BAB II KAJIAN TEORI
Di dalam bab dua ini akan dibahas beberapa teori yang menjadi landasan dari analisis yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Teori tersebut adalah Representasi, Cerita Pendek, Feminisme, Analisis Wacana Kritis model Sara Mills.
2.1. Representasi Istilah representasi itu sendiri menunjuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam produk media. Pertama, apakah seseorang atau kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya. Kata ‘semestinya’ ini mengacu pada apakah seseorang atau kelompok itu diberitakan apa adanya atau diburukkan. Penggambaran yang tampil bisa jadi adalah penggambaran yang buruk dan cenderung memarjinalkan seseorang atau kelompok tertentu. Kedua, bagaimanakah representasi itu ditampilkan, hal tersebut bisa diketahui melalui penggunaan kata, kalimat, aksentuasi (Eriyanto, 2001:113). Persoalan utama dalam representasi adalah bagaimana realitas atau suatu objek ditampilkan. Menurut John Fiske, saat menampilkan objek, peristiwa, gagasan, kelompok atau seseorang paling tidak ada tiga proses yang harus dihadapi. Pada level pertama, adalah peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas; bagaimana suatu hal itu dikonstruksi sebagai realitas oleh media. Pada level kedua, ketika kita memandang sesuatu sebagai realitas, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana realitas itu digambarkan. Dalam hal ini alat teknis yang dapat digunakan adalah kata, kalimat atau proposisi dan sebagainya. Pemakaian kata-kata, kalimat atau proposisi tertentu, misalnya, membawa makna tertentu ketika diterima oleh khalayak. Pada level ketiga, bagaimana suatu hal tersebut diorganisir ke dalam konvensi-konvensi yang diterima secara ideologis. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial atau kepercayaan dominan dalam masyarakat.
9
Menurut Fiske, ketika kita melakukan representasi tidak bisa dihindari kemungkinan
menggunakan
ideologi
tersebut.
Misalnya,
ada
peristiwa
pemerkosaan, bagaimana peristiwa tersebut digambarkan. Dalam ideologi yang dipenuhi patriarki, kode representasi yang muncul, misalnya digambarkan dengan tanda posisi laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan. Tabel 2.1. Tahap Representasi Menurut John Fiske Pertama
Realitas
Kedua
Dalam televisi seperti pakaian, make up, perilaku, gerakgerik, ucapan, suara. Dalam bahasa tulis seperti dokumen, wawancara, transkip dan sebagainya. Representasi
Ketiga
Elemen-elemen di atas ditandakan secara teknis. Dalam bahasa tulis seperti kata, kalimat, proposisi, foto dan sebagainya. Elemen-elemen tersebut ditransmisikan ke dalam kode representasional yang memasukan di antaranya bagaimana objek digambarkan: karakter, narasi, setting, dialog, dan sebagainya Ideologi
Semua elemen diorganisasikan dalam koherensi dan kode-kode ideologi seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriaki, ras, kelas, materialism, kapitalisme dan sebagainya Sumber: Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. hlm 115 Penggunaan istilah representasi berangkat dari kesadaran bahwa apa yang tersaji di media seringkali tidak selalu persis dengan apa yang ada di realitas empirik. Isi media tidak merupakan murni realitas karena itu representasi lebih tepat dipandang sebagai cara bagaimana mereka membentuk versi realitas dengan cara-cara tertentu bergantung pada kepentingannya. Pendapat Fiske mengenai representasi ini berlaku dalam sebuah proses kerja media secara umum dan sudah mulai menyinggung mengenai kaitan antara representasi dengan realitas bentukan yang diciptakan oleh suatu media.
10
Branston dan Stafford (1996:78) mengatakan bahwa representasi bisa diartikan sebagai segenap tanda yang digunakan media untuk menghadirkan kembali (re-present) sebuah peristiwa atau realitas. Namun demikian realitas yang tampak tersebut tidaklah semata-mata menghadirkan realitas sebagaimana adanya. Di dalamnya senantiasa akan ditemukan sebuah konstruksi (a construction), atau tak pernah ada realitas yang benar-benar transparan. Namun realitas yang dibangun oleh pembuat teks, yakni realitas yang dibentuk oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi makna lewat bahasa yang dilakukan oleh pekerja media itu sendiri. Konstruksi realitas ini sangat dipengaruhi sejumlah faktor seperti afiliasi ideologis dari pengelola media, lingkungan sosio-politis tempat media berada, sumber-sumber acuan yang digunakan media serta sumber-sumber kehidupan media.
2.2.
Cerita Pendek (Cerpen)
Menurut Sumardjo (1999:19) mengemukakan bahwa cerpen adalah cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur fisiknya dalam obyek terkecil. Sehingga arti pendek bukan terletak pada pendek atau panjang halamannya tetapi pada lingkup masalahnya. Ruang lingkup masalah sangat dibatasi, maka masalah tersebut harus digambarkan dengan jelas sehingga dan mengesankan pembaca. Karena bentuknya yang pendek, maka yang ditampilkan oleh cerpen hanyalah sebagian saja dari kehidupan yang dialami oleh tokoh cerita. Tabel berikut memberikan penjelasan mengenai perbedaan antara roman, novel dan cerpen. Tabel 2.2. Perbedaan Antara Roman, Novel, Dan Cerpen 1 No Unsur
Roman
Novel
Cerpen
1
Kompleks
Kompleks
Sederhana
Alur
1
Abdurrosyid. 2009. Roman, Novel dan Cerpen. http://abdurrosyid.wordpress.com/2009/07/28/roman-novel-dan-cerpen/ diakses pada 3 Maret 2012 pukul 12.10 WIB
11
2
Konflik
Mengubah nasib tokoh secara tragis
3
Panjang cerita Menceritakan kehidupan tokoh secara mendetail
Mengubah nasib Tidak tokoh mengubah nasib tokoh
Menceritakan Menceritakan sebagian besar kehidupan kehidupan tokoh tokoh yang dianggap sejak lahir sampai penting dewasa atau meninggal dunia
4
Penokohan
Karakter tokoh disampaikan secara lebih mendetail
Karakter tokoh Karakter disampaikan tokoh tidak secara mendetail. mendetail.
Cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam, suatu hak yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel (Edgar dalam Suryanto, 2007:175). Selain itu, ide cerpen biasanya diangkat dari realitas sosial, dan budaya, menjadi sebuah realita baru sesuai versi dan kepentingan pengarangnya. dapat sarana merefleksikan kehidupan manusia dan juga memberikan satu wacana baru bagi pembaca. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ali, dkk. 1997:186), Cerita Pendek adalah karya sastra yang kurang dari 10.000 kata, yang memberikan kesan tunggal dan fokus pada satu situasi dengan penonjolan karakter tokohnya. Berdasarkan pengertian di atas, cerita pendek mengisahkan kehidupan tokoh yang berada dalam satu peristiwa atau satu kejadian. Tokoh dalam cerita itu dapat berupa tokoh imajinatif atau tokoh nyata, hal ini sesuai dengan kehendak pengarang itu sendiri. Tokoh merupakan pusat sorotan dalam cerita. Unsur penokohan dalam cerpen terasa lebih dominan, daripada unsur yang lain. Dengan membaca cerpen, seorang pembaca akan memahami karakter tokoh cerita yang dimiliki. Jadi,
12
membaca cerpen tidak sekedar mengetahui jalan cerita tetapi mengetahui manusia dengan sifat-sifatnya. Karya sastra bentuk ini juga merupakan suatu alat komunikasi dari perasaan-perasaan yang dimiliki manusia. Melalui cerpen kita dapat mengetahui bagaimana gambaran kehidupan masyarakat suatu zaman, masalah kemanusiaan, cinta, harapan, protes, ketimpangan sosial, religiusitas, dan sebagainya. 2
2.3.
Feminisme Secara
etimologis
feminis
berasal
dari
bahasa
Prancis,
yaitu femme (woman) berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Dalam pengertian yang paling luas, feminis adalah gerakan kaum perempuan untuk menolak
segala sesuatu
yang
dimarginalisasikan,
disubordinasikan,
dan
direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih dikenal sebagai gerakan kesetaraan gender. Feminis membedakan antara gender dan jenis kelamin. Jenis kelamin merujuk pada bagaimana laki-laki dan perempuan dipandang secara biologis, sementara gender merupakan peran ideologis dan material yang dibentuk serta dilekatkan oleh masyarakat terhadap kedua jenis kelamin tersebut. Gender kemudian digunakan untuk menjustifikasi perlakuan tidak adil serta menjadi dasar ideologi suatu bentuk ketidakadilan sosial. Secara umum, istilah feminisme merujuk pada pengertian sebagai ideologi pembebasan perempuan, karena yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya (Kasiyan, 2008:73). Awalnya, teori feminis diarahkan oleh tujuan politis gerakan perempuan, yakni keutuhan untuk memahami subordinasi perempuan dan eksklusi atau 2
Darwadi. Trend Penerbitan Cerpen Di Media Massa : Studi Analisis Isi Terhadap Cerpen Di Surat Kabar Harian KOMPAS Periode 1998-2007 (1 Dekade) http://www.scribd.com/doc/36911937/Trend-Penerbitan-Cerpen-Di-Media-Massa diunduh pada 1 Maret 2012 pukul 20.15 WIB
13
marjinalisasi perempuan dalam berbagai wilayah kultural maupun sosial. Kaum feminis menolak pandangan bahwa ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan bersifat alamiah dan tidak terelakkan (Jackson, 2009:1). Dalam pengertian yang paling luas, feminisme adalah gerakan kaum perempuan
untuk
menolak
segala
sesuatu
yang
dimarjinalisasikan,
disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial lainnya. Dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu dalam sastra, feminisme dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi. Dalam dunia sastra, dikenal istilah kritik sastra feminisme, yaitu cara menganalisis posisi perempuan di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana perempuan diposisikan di dalam teks sastra dan kaitannya dengan konstruksi budaya patriarkal yang telah mendominasi peradaban. Dasar pemikiran berperspektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra (Endraswara, 2003:146). Laki-laki dan perempuan telah direpresentasikan oleh media sesuai dengan stereotip-stereotip kultural untuk mereproduksi peranan-peranan jenis kelamin secara tradisional. Rosemary Putnam Tong (2004) membagi feminisme ke dalam beberapa aliran utama, yaitu: a. Feminisme Liberal Tujuan awal dari aliran feminis ini adalah penerapan prinsip-prinsip kebebasan pada perempuan sebagaimana pada laki-laki. Aliran ini memiliki pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual, bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik (Tong, 2004:15). Terdapat stereotip dalam masyarakat yang melihat perempuan itu emosional sementara laki-laki rasional. Bagi feminis liberalis setiap manusia punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Jika perempuan mendapat pendidikan yang sama maka perempuan juga mampu
14
bersikap
seperti
lak-laki.
Kurangnya
akses
pendidikan
juga
3
menyebabkan perempuan tidak selalu menyadari potensinya . Pada abad 19 tuntutan kaum feminis liberal beralih ke perjuangan mendapatkan hak politik dan kesempatan ekonomi yang setara. Pada abad 20 perjuangan beralih kepada perjuangan untuk membebaskan perempuan dari peran gender yang opresif. b. Feminisme Radikal Menurut Alison Jaggar dan Paula Rothenberg, feminis radikal yakin bahwa perempuan adalah kelompok teropresi pertama, opresi yang paling menyebar dan ada dalam hampir setiap masyarakat sehingga sulit dihapuskan. Feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh,
hak-hak
reproduksi,
seksualitas
(termasuk
lesbianism),
seksisme, relasi kekuasaan perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. Feminisme radikal terbagi menjadi dua yakni Feminis Radikal Libertarian dan Feminis Radikal Kultural. Feminis Radikal Libertarian secara umum memberikan perhatian pada konsep feminitas serta peran dan tanggung jawab reproduksi dan seksual yang membatasi perempuan sebagai manusia yang utuh. Aliran ini menolak asumsi adanya hubungan pasti antara jenis kelamin dan gender seseorang. Namun masyarakat partriaki menggunakan peran gender yang kaku untuk membatasi perempuan. Konsep yang diajukan untuk mengatasinya adalah androgini (Jaggar, 1983:85). Aliran feminis radikal ini memandang seksualitas sebagai pertukaran kenikmatan seksual erotis dan genital ragawi yang dikendalikan masyarakat dengan dikotomi praktik seksual yang buruk dan abnormal. Sementara pandangan feminis radikal kultural menolak gagasan androgini sebagai tujuan feminis dengan usaha penguatan esensi keperempuanan dan feminitas. Bahwa perempuan tidak seharusnya mencoba menjadi lakilaki namun menekankan nilai dan sifat yang secara kultural 3
Mary Wollstonecraft dalam A Vindication Of The Right Of Women (1792) yang dikutip oleh Jaggar, Alison (1983,36)
15
dihubungkan dengan perempuan (Jaggar, 1983:93). Feminis radikal kultural melihat perlunya mengambil kendali atas seksualitas perempuan bagi perempuan dengan memprioritaskan keintiman. Feminis aliran ini tidak setuju pada seksualitas yang berorientasi pada genital. Sehingga aliran ini menolak semua institusi patriakal antara lain industri pornografi, prostitusi dan heteroseksualitas yang dipaksakan c. Feminisme Marxist Aliran ini merujuk pada pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels. Dasar utama penindasan perempuan adalah kelasisme, sementara seksisme berada dalam urutan kedua. Opresi perempuan bukan merupakan tindakan yang dilakukan oleh satu individu saja, namun dari struktur politik, sosial dan ekonomi dimana masyarakat itu berada (Tong, 2004: 139). Untuk memahami alasan penindasan terhadap perempuan yang perlu dianalisis adalah hubungan antara status pekerjaan perempuan dan citra diri perempuan. Pekerjaan perempuan dianggap membentuk sifat-sifat alamiah perempuan dalam suatu sistem hubungan kekuasaan dan pertukaran kapital. Isu-isu yang difokuskan oleh aliran ini adalah pekerjaan perempuan. Diantaranya adalah pemahaman bahwa institusi keluarga berkaitan dengan kapitalisme, pekerjaan rumah tangga diremehkan dan pekerjaan perempuan cenderung berupah rendah. d. Feminisme Sosialis Menurut aliran ini, dasar opresi yang dialami perempuan bukan hanya kelasisme maupun seksisme tapi merupakan kapitalisme dan patriaki yang saling terkait. Feminis sosialis juga melihat keadaan penindasan perempuan dibentuk dan dipertahankan oleh struktur sosial dalam masyarakat (Tong, 2004:175). Agenda dari aliran ini adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriaki. Aliran ini menekankan bahwa feminis seharusnya juga melihat posisi perempuan dalam
16
keluarga, di tempat kerja, peran reproduksi dan seksual perempuan serta peran produktif perempuan. 2.4. Analisis Wacana Kritis Model Sara Mills Analisis Wacana terutama menyerap sumbangan dari studi linguistik. Hanya berbeda dengan analisis linguistik, analisis wacana tidak berhenti pada aspek tekstual tetapi juga konteks dan proses produksi dan konsumsi suatu teks, bagaimana bahasa diproduksi dan ideologi dibaliknya. Terdapat tiga pandangan dalam analisis wacana, yaitu pandangan positivism-empiris, konstruktivisme dan kritis. Dalam penelitian ini lebih cenderung menggunakan pandangan kritis, atau disebut analisa wacana kritis (AWK). AWK dimaksudkan sebagai suatu proses analisis dengan tujuan untuk membongkar maksud-maksud atau makna tertentu dari sang pencerita yang mengemukakan suatu pernyataan dalam sebuah wacana tertentu. AWK melihat konteks terutama bagaimana ideologi kelompok-kelompok yang ada berperan dalam membentuk wacana. Misalnya dalam wacana cerpen yang memunculkan pencerminan ideologi seseorang, apakah dia feminis, antifeminis, kapitalis, sosial, dan sebagainya. AWK digunakan untuk membongkar pengoperasian ideologi gender dalam wacana sastra, di antaranya model analisis Sara Mills. Fokus perhatian Sara Mills adalah wacana feminisme, yakni bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks, baik dalam cerpen, gambar, foto, maupun media. Oleh karena itu, model analisis ini disebut juga analisis berperspektif feminis. Fokus perhatian analisis ini adalah menunjukkan bagaimana teks bias gender dalam menampilkan perempuan. Perempuan cenderung ditampilkan sebagai pihak yang salah, marginal dibandingkan dengan laki-laki. Ketidakadilan dan penggambaran yang buruk mengenai perempuan inilah yang menjadi sasaran utama dalam tulisan Mills. Gagasan dari Sara Mills agak berbeda dengan model critical linguistic, yang
memusatkan perhatian pada struktur kebahasaan dan
bagaimana
pengaruhnya dalam pemaknaan khalayak. Secara umum, ada dua hal yang diperhatikan dalam analisis model Sara Mills, dapat dilihat dari model analisis berikut ini,
17
Tabel 2.3. Model Analisis Sara Mills Tingkat Posisi Subjek-Objek
Yang Ingin Dilihat Bagaimana
peristiwa
dilihat,
dari
kacamata siapa peristiwa itu dilihat. Siapa
yang
diposisikan
sebagai
pencerita (subjek) dan siapa yang menjadi
objek
Apakah
yang
diceritakan.
masing-masing
kelompok
aktor
sosial
dan
mempunyai
kesempatan untuk menampilkan dirinya sendiri,ataukah
kehadirannya,
gagasannya ditampilkan oleh orang atau kelompok lain Posisi Penulis-Pembaca
Bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam
teks.
Bagaimana
pembaca
memposisikan dirinya dalam teks yang ditampilkan. manakah
Kepada
pembaca
kelompok
mengidentifikasi
dirinya. Sumber: Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. hlm 211 Sara Mills lebih melihat pada bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam teks, posisi tersebut pada akhirnya menentukan bentuk teks yang hadir ditengah khalayak. Dalam artian siapa yang menjadi subjek penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan akan diperlakukan dalam teks secara keseluruhan. Wacana media bukanlah sarana yang netral, tetapi cenderung menampilkan aktor tertentu sebagai subjek, yang mendefinisikan peristiwa atau kelompok tertentu. Posisi itulah yang menentukan semua bangunan unsur teks, dalam arti pihak yang mempunyai posisi tinggi untuk mendefinisikan realitas akan menampilkan 18
peristiwa atau kelompok lain dalam bentuk struktur wacana tertentu yang akan hadir pada khalayak. Selain posisi aktor, Sara Mills juga memusatkan perhatian pada bagaimana posisi pembaca dalam teks. Menurut Mills, teks adalah suatu hasil negosiasi antara penulis dan pembaca, oleh karena itu, pembaca tidak semata sebagai pihak yang menerima teks, tetapi juga ikut melakukan transaksi sebagaimana akan terlihat dalam teks. Bagi Mills, membangun suatu model yang menghubungkan antara teks dan penulis di satu sisi dengan teks dan pembaca di sisi lain, mempunyai sejumlah kelebihan: 1. Akan secara komprehensif melihat teks, karena bukan hanya berhubungan dengan faktor produksi tetapi juga resepsi. 2. Posisi pembaca disini ditempatkan dalam posisi yang penting. Hal ini karena teks memang ditujukan secara langsung atau tidak berkomunikasi dengan khalayak.
19
2.5. Penelitian Sebelumnya Penelitian dengan topic serupa pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Maka peneliti juga diharuskan untuk mempelajari penelitianpenelitian terdahulu agar dapat dijadikan sebagai acuan bagi peneliti dalam melakukan penelitian ini. Tabel 2.4. Penelitian Sebelumnya Peneliti
Judul
Arga Fajar Rianto (2010): Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik program studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur 4
Representasi Feminisme Dalam Film “Ku Tunggu Jandamu” (Studi Analisis Semiotika Representasi Feminisme Melalui Tokoh Persik)
Metode
Hasil
metode semiotika
Konstruksi feminisme dalam film “Ku Tunggu Jandamu” ini adalah masih tergolong feminisme setengah jalan, karena pandangan feminismenya masih terangkai dalam bingkai pemikiran dan perspektif patriarki.
4
Rianto, Fajar Arga. 2010. Skripsi: Representasi Feminisme Dalam Film “Ku Tunggu Jandamu” (Studi Analisis Semiotika Representasi Feminisme Melalui Tokoh Persik). UPN Veteran Jawa Timur diunduh pada 9 Februari 2012 pukul 10:56 WIB
20
Martha Priscilla Mada Warouw: mahasiswa program studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana 2.6.
Representasi Feminisme dalam program reality show Take him Out Indonesia (analisis wacana Feminis Sara Mills)
Analisis Wacana Kritis Metode Sara Mills
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tayangan tersebut berupaya untuk merepresentasikan dengan apik kondisi perempuan dalam memperjuangkan hak untuk memilih pasangan, walaupun pada realitanya kelanjutan hubungan tersebut dikembalikan pada pasangan yang terpilih. Televisi bekerja sebagai agen pengubah persepsi masyarakat dimana kaum perempuan ternyata sejajar dengan laki-laki dan menjadikan perempuan terepresentasikan sebagai makhluk superior, sehingga pada ranah feminism, sosok perempuan dalam memangku tanggung jawab di bidang publik berjalan selaras dan nampak sanggup pula menjalankan perannya di bidang domestik sesuai fungsi dan perannya.
Kerangka Pikir Karya sastra merupakan bentuk komunikasi antara penulis untuk
mengungkapkan realitas, ide, gagasan bahkan ideologinya kepada pembacanya. Dalam menghadirkan kembali suatu realitas dalam karya sastranya, realitas yang tampak tersebut tidaklah semata-mata menghadirkan realitas sebagaimana adanya. Di
dalamnya
senantiasa
akan
ditemukan
sebuah
konstruksi
(a
construction), realitas yang dibangun oleh pembuat teks yakni realitas yang dibentuk oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi makna lewat
21
bahasa yang dilakukan oleh pembuat teks. Konstruksi realitas ini sangat dipengaruhi sejumlah faktor seperti latar belakang kehidupan penulis, lingkungan sosio-politis, pendidikan dan kepercayaan yang dianut. Maka sebuah karya sastra tidak sekedar memberikan gambaran realitas, namun juga memproduksinya berdasarkan ideologi tertentu, inilah yang kita sebut dengan representasi. Sastra seringkali menghasilkan representasi mengenai perbedaan gender yang memberi sumbangan pada pandangan sosial bahwa laki-laki dan perempuan memiliki nilai yang berbeda. Menarik untuk diperhatikan, Yonathan Rahardjo sebagai seorang laki-laki menulis mengenai perempuan, menampilkan tokoh perempuan yang menyiratkan berbagai kehalusan perasaan seorang perempuan namun sifat kepahlawanan lelaki memang masih kuat pada beberapa tulisan di dalamnya. Apakah dengan menciptakan karya yang menyiratkan perjuangan seorang perempuan, lantas Yonathan Rahardjo bisa dikatakan sebagai male feminist atau pro feminist? Hal tersebut dapat terjawab melalui keseluruhan cerita pendek dalam buku 13 Perempuan dengan mengkaji teks tersebut menggunakan analisis wacana model Sara Mills. Fokus perhatian Sara Mills adalah wacana feminisme, yakni bagaimana perempuan ditampilkan dalam teks, baik dalam cerpen, gambar, foto, maupun media. Selanjutnya digunakan tahap representasi menurut John Fiske untuk menarik garis besar representasi feminis pada setiap cerpen. Maka dari sinilah akan tergambarkan bagaimana representasi feminis dalam 13 Perempuan karya Yonathan Rahardjo.
22
Bagan 3.1. Kerangka Pikir Yonathan Rahardjo sebagai penulis
Kumpulan Cerpen 13 Perempuan
• Analisis Wacana Sara Mills • Representasi John Fiske
Isi kumpulan cerpen 13 Perempuan
Representasi Feminis
23
Feminisme : -Feminisme Liberal -Feminisme Radikal -Feminisme Marxis -Feminisme Sosialis