BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penghasilan negara adalah berasal dari rakyatnya melalui pungutan pajak, dan/atau dari hasil kekayaan alam yang ada di dalam negara itu (natural resources). Dua sumber tersebut merupakan dua sumber terpenting dan memberikan penghasilan kepada negara. Penghasilan itu untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kesehatan rakyat, pendidikan, kesejahteraan, dan sebagainya. Pungutan pajak mengurangi penghasilan atau kekayaan individu tetapi sebaliknya merupakan penghasilan negara yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat, melalui pengeluaran-pengeluaran rutin, dan pengeluaranpengeluaran pembangunan yang akhirnya kembali lagi kepada seluruh masyarakat dan bermanfaat bagi rakyat, baik yang membayar pajak ataupun tidak (Suandy, 2011:7). Pendapatan negara memegang peranan penting dalam menjalankan seluruh program pemerintah demi memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemerintah sangat berpengaruh dalam mengatur, menstabilkan, dan mengembangkan kegiatan ekonomi negara. Pajak menurut Pasal 1 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah: kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak 1
2
merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak merupakan kewajiban dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Apabila ditinjau dari segi ekonomi, pajak dapat dipahami sebagai pengalihan sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik, maka dengan sendirinya tentu ada pihak yang melakukan pemungutan atau menerima peralihan kekayaan itu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah pemerintah. Lembaga pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Pemahaman pengalihan sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat. Sumber penerimaan negara Indonesia setiap tahun untuk sektor pajak dapat dilihat di Laporan Keuangan Pemerintah Pusat yang telah diaudit pada bagian Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah. Pencapaian Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah tiap tahunnya menunjukkan bahwa perpajakan tetap menjadi
3
kontributor utama dalam Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah. Hal ini dapat terihat dari Tabel 1 yang telah diolah berikut ini. Tabel 1 Jumlah Pendapatan Negara (dalam triliun rupiah)
Tahun
Penerimaan Pajak
Penerimaan Negara Bukan Pajak
Penerimaan Hibah
Total Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah
Persentase Pajak
2012
980.518
351.804
5.787
1.338.109
73%
2013
1.077.307
354.752
6.832
1.438.891
75%
2014
1.146.865
398.590
5.034
1.550.489
74%
2015
1.240.418
255.628
11.973
1.508.020
82%
Sumber: Kementerian Keuangan RI : Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (Diolah) Berdasarkan Tabel 1 di atas memperlihatkan bahwa penerimaan negara dari perpajakan mempunyai kontribusi lebih dari 50% setiap tahunnya. Hal ini membuktikan bahwa penerimaan negara dari tahun ke tahun didominasi oleh sektor pajak. Dapat dikatakan bahwa pajak merupakan tulang punggung pendapatan negara. Upaya penagihan di dalam pajak tentu merupakan hal yang sangat penting. Hal itu perlu dipahami mengingat bahwa pajak dari sisi ekonomi merupakan peralihan kekayaan dari wajib pajak ke dalam kas negara dapat dipandang sebagai sebuah pengurangan kekayaan. Apabila pajak itu merupakan pengurangan kekayaan tentu saja juga sekaligus dapat dirasakan sebagai sesuatu yang
4
mengurangi
kesejahteraan,
mengurangi
kenikmatan,
bahkan
lebih
jauh
mengurangi hak individu yang bersangkutan, dan dapat dipandang sebagai sesuatu yang membebani. Oleh karena mengurangi kesejahteraan individu maka tentu saja secara alamiah orang akan berusaha untuk tidak memenuhi kewajiban tersebut, atau mengurangi pemenuhan kewajiban tersebut salah satunya melalui cara penghindaran (tax avoidance) (Pudyatmoko, 2009:181). Menurut Simon (2003) seperti yang dikutip oleh Harinurdin (2011) pengertian kepatuhan pajak (tax compliance) adalah wajib pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya. Pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut harus sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu ada pemeriksaan, investigasi seksama (obtrusive investigation), peringatan, ancaman, dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi. Kepatuhan wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya akan meningkatkan penerimaan negara dan pada gilirannya akan meningkatkan besarnya rasio pajak. Menurut Manurung (2013) dalam Fidiana et. al. (2013) persentase tingkat kepatuhan pajak di Indonesia pada tahun 2012 masih dianggap sangat rendah, hal tersebut tidak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Rendahnya tingkat kepatuhan pajak di Indonesia diperkuat oleh banyaknya penelitian-penelitian yang mengeksplorasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi meningkatnya kepatuhan perpajakan. Ketidakpatuhan pajak terjadi di berbagai negara, termasuk negara-negara berkembang seperti Indonesia. Menurut Hai dan See (2011) dalam Fidiana et al. (2013) masalah ketidakpatuhan pajak telah ada sejak lahirnya konsep pajak itu sendiri.
5
Menurut Menteri Keuangan RI Sri Mulyani dalam Antara (2016), mengatakan bahwa penerimaan pajak pemerintah dalam beberapa tahun terakhir jauh di bawah target, dan kepatuhan wajib pajak untuk melaporkan hartanya masih rendah, sehingga membuat rasio pajak menjadi kecil. Indikasi adanya praktek penghindaran pajak di Indonesia terlihat dari rendahnya rasio pajak Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau biasa disebut tax ratio. Brodjonegoro (2016) menyatakan bahwa rasio penerimaan perpajakan (tax ratio) Indonesia yang saat ini berada di kisaran 11 persen dan masih berada di bawah standar negara-negara ASEAN dan Organisation on Economic Cooperation and Development (OECD). Pajak bukan lahir dari perjanjian, melainkan dengan menggunakan dasar undang-undang. Jadi di situ rakyat sebagai pihak yang memiliki kekayaan yang akan dipindahkan ke kas negara telah memberikan persetujuannya melalui wakilwakil mereka yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Apabila rakyat telah menyetujui dan mengizinkan dirinya dikenakan pajak, atau sebagian kekayaan yang ada padanya dialihkan ke kas negara maka tentunya hal tersebut dapat dilaksanakan. Apabila kemudian rakyat tidak memenuhi kewajiban yang telah disetujui tersebut maka dalam hal seperti itu dapat dilakukan upaya penagihan. Pengertian penghindaran pajak (tax avoidance) diuraikan oleh Suandy (2011:21) yang menyatakan bahwa penghindaran pajak adalah suatu usaha pengurangan secara legal yang dilakukan dengan cara memanfaatkan ketentuan-
6
ketentuan di bidang perpajakan secara optimal seperti, pengecualian dan pemotongan-pemotongan yang diperkenankan maupun manfaat hal-hal yang belum diatur dan kelemahan-kelemahan yang ada dalam peraturan-peraturan yang berlaku. Perusahaan yang berperilaku tax avoidance dianggap tidak bertanggung jawab secara sosial. Menurut World Bank Group Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) disebut sebagai komitmen bisnis berkelanjutan yang berkontribusi bagi ekonomi melalui kerjasama dengan pihak-pihak yang berkepentingan dan berpengaruh pada lingkungan sekitar dan masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas sarana dan keberlangsungan hidup masyarakat setempat maupun secara umum dengan cara-cara yang bermanfaat baik untuk bisnis itu sendiri maupun nuntuk masyarakat luas atau untuk pembangunan. Dari definisi tersebut dapat disebutkan bahwa pajak dan CSR sama-sama ditujukan untuk kesejahteraan umum. Namun bedanya adalah pajak dikelola oleh pemerintah pusat maupun daerah yang kemudian didistribusikan kepada masyarakat umum sedangkan biaya pelaksanaan CSR dikelola perusahaan untuk kemudian didistribusikan kepada masyarakat umum. Kajian tentang hubungan penghindaran pajak dengan Corporate Social Responsibility telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan hasil yang mix atau berbeda-beda. Adiningtiyas (2016) melakukan penelitian untuk menguji dan mencari bukti apakah performa Corporate Social Responsibility berpengaruh
7
terhadap tax avoidance. Hasil pengujian menunjukkan bahwa Corporate Social Responsibility memiliki pengaruh negatif terhadap tax avoidance perusahaan. Perusahaan dengan performa Corporate Social Responsibility yang tinggi berarti memiliki rasa tanggung jawab sosial yang tinggi sehingga perusahaan mengurangi tax avoidance karena dianggap tidak bertanggung jawab secara sosial. Hasil penelitian tersebut didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Septiani (2015) yang menyatakan bahwa Corporate Social Responsibility memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap agresivitas pajak. Hasil uji menunjukkan pengungkapan CSR memiliki hubungan negatif yang signifikan, berarti semakin tinggi pengungkapan CSR, semakin rendah tingkat agresivitas pajak yang dimiliki oleh sebuah perusahaan. Artinya, dengan memiliki ungkapan yang tinggi akan tanggung jawab sosial atau yang biasa disebut Corporate Social Responsibility, maka perusahaan memiliki tingkat yang rendah dalam melakukan agresivitas pajak karena dengan adanya pengungkapan CSR yang baik maka citra perusahaan juga akan semakin baik sehingga perusahaan enggan melakukan tindakan agresivitas pajak yang mempunyai resiko akan merusak citra perusahaan. Pendapat berbeda dilakukan oleh Mustikawati (2015) yang menyatakan bahwa pengungkapan Corporate Social Responsibility tidak berpengaruh terhadap penghindaran pajak. Semakin besar atau kecil pengungkapan CSR tidak berpengaruh terhadap praktek penghindaran pajak yang dilakukan perusahaan. Sebuah entitas yang melakukan kegiatan CSR dengan baik, tidak terlepas dari perusahaan yang memiliki tanggung jawab yang baik dalam mengelolah
8
perusahaannya (Rahmawati et al., 2016). Harmonisasi antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya dapat tercapai apabila terdapat komitmen penuh dari manajemen puncak (top management) perusahaan terhadap penerapan CSR sebagai
akuntabilitas
publik.
Saat
ini
terdapat
kecenderungan
(trend)
meningkatnya tuntutan publik atas transparasi dan akuntabilitas perusahaan sebagai wujud implementasi GCG (Good Corporate Governance). Salah satu implementasi GCG perusahaan adalah penerapan CSR. Dalam era globalisasi, kesadaran akan penerapan CSR menjadi penting seiring dengan semakin maraknya kepedulian masyarakat terhadap produk (barang) yang ramah lingkungan. Salah satu prinsip GCG adalah masalah pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat (Effendi, 2016:162) Irawan dan Aria (2012) dalam Rahmawati et al. (2016) menyatakan bahwa penerapan GCG diharapkan bisa mempengaruhi entitas untuk berperilaku profesional, transparan dan efisien serta mengoptimalkan fungsi manajerial perusahaan dalam setiap Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) dianggap mampu mempekuat posisi daya saing perusahaan secara berkesinambungan, mengelola resiko dan sumber daya secara efektif dan efisien, serta dapat meningkatkan kepercayaan investor (Rahmawati et al. , 2016).
9
Raka dalam Effendi (2016) menyatakan bahwa dalam GCG tersirat bahwa sebuah perusahaan bukanlah mesin pencetak keuntungan bagi pemiliknya, melainkan sebuah entitas untuk menciptakan nilai bagi semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, perusahaan bukanlah sekedar mesin yang mengubah input menjadi output, melainkan sebuah lembaga insani (human institution), sebuah masyarakat yang punya nilai, cita-cita, jati diri, dan tanggung jawab sosial. Konsep GCG mencerminkan pentingnya sikap berbagi (sharing), peduli (caring), dan melestarikan. Penerapan tata kelola yang baik ditujukan untuk mendorong para pemegang saham, anggota Dewan Komisaris, dan Direksi untuk dapat mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan etika moral (Hanggraeni, 2015:77). Peran Good Corporate Governance yang baik diduga dapat mendorong ketaatan perusahaan sebagai wajib pajak untuk menjalankan kewajiban perpajakaannya. GCG juga mempengaruhi cara sebuah perusahaan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Jika perusahaan tersebut melakukan tax avoidance tentu perusahaan tersebut melakukan perencanaan pajak untuk meminimalkan pajak yang harus dibayar sehingga hal tersebut menjadikan citra buruk bagi perusahan. Hal tersebut juga mencerminkan lemahnya penerapan GCG pada perusahaan. Daniri (2005) dalam Hanggraeni (2015:85) menjelaskan pengertian dasar dari tata kelola secara sistematik adalah terciptanya mekanisme check and balance yang efektif, pengelolaan perusahaan yang memperhatikan kepentingan stakeholders, dan menekankan pendekatan bahwa perusahaan melakukan upaya
10
untuk memenuhi kepentingan pemegang saham dengan menyeimbangkan kepentingan para pemangku kepentingan, terutama pemegang saham. Mekanisme tata kelola pada dasarnya terdiri dari pengendalian di dalam atau internal dan pengendalian lingkungan atau eksternal. Mekanisme Eksternal corporate governance menjadi faktor pendorong dalam proses pengambilan keputusan yang berasal dari luar perusahaan. Salah satu diantaranya adalah adanya sistem hukum yang baik dan tepat sasaran. Dalam mendukung adanya penerapan tata kelola yang baik dalam suatu perusahaan dibutuhkan pula adanya mekanisme corporate governance yang berasal dari dalam perusahaan termasuk didalamnya komposisi dewan direksi, dewan komisaris, shareholders, komisaris independen dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Mekanisme internal corporate governance memiliki dampak langsung dalam mendorong manajer untuk meningkatkan kinerjanya. Internal corporate governance berbicara mengenai mekanisme akuntanbilitas, pengawasan, dan pengendalian manajemen perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya dan keputusan pengambilan risiko. Oleh karena itu peneliti akan meneliti GCG dengan proksi proporsi komisaris independen, komite audit dan kualitas audit. Komisaris independen yang duduk dalam jajaran pengurus perseroan dianggap penting dalam kaitan implementasi GCG dalam perusahaan, karena memiliki peran untuk memberi nasihat dan melakukan pengawasan terhadap jalannya perusahaan (Sitorus, 2012:665). Tugas komisaris independen dalam
11
memastikan prinsip-prinsip dan praktik GCG dipatuhi dan diterapkan dengan baik, antara lain menjamin transparansi dan keterbukaan laporan keuangan perusahaan, kepatuhan perusahaan pada perundang-undangan dan peraturan yang berlaku, serta menjamin akuntanbilitas program perseroan (Effendi, 2016:36). Adanya komisaris independen dalam perusahaan juga dapat memberikan petunjuk dan arahan untuk mengelola perusahaan serta merumuskan strategi perusahaan yang lebih baik termasuk dalam menentukan kebijakan terkait tarif pajak efektif yang akan dibayarkan perusahaan (Diantari, 2016:708). Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan Maharani dan Suardana (2014) yang menyatakan bahwa komisaris independen berpengaruh negatif terhadap penghindaran pajak. Menurut Pedoman Good Corporate Governance Indonesia (2006), bagi perusahaan yang sahamnya tercatat di Bursa Efek Indonesi sekurang-kurangnya harus membentuk komite audit, sedangkan komite lainnya sesuai dengan kebutuhan. Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia, tugas dan tanggung jawab komite audit secara umum terdapat tiga bidang, yaitu laporan keuangan,
Good
Corporate
Governance,
dan
pengawasan
perusahaan.
Pembentukan komite audit bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dalam rangka implementasi GCG. Berdasarkan hal tersebut, komite audit dengan wewenang yang dimilikinya akan dapat mencegah segala perilaku atau tindakan yang menyimpang terkait dengan laporan keuangan perusahaan. Sehingga dengan adanya komite audit dalam perusahaan dapat meminimalisir terjadinya praktik tax avoidance. Menurut Diantari (2016) dalam penelitiannya menyatakan bahwa komite audit berpengaruh negatif terhadap tax avoidance.
12
Kualitas Audit berhubungan dengan transparansi, dimana transparansi mensyaratkan adanya pengungkapan yang akurat. KAP besar (Big Four Accounting Firm) diyakini dapat melakukan audit yang lebih berkualitas. Hal ini dikarenakan KAP Big Four diberikan banyak pelatihan dan diakui secara internasional (Nindita dan Siregar, 2012:92). Jika dikaitkan dengan penghindaran pajak, manajer perusahaan yang diaudit oleh KAP The Big Four akan lebih sulit memanipulasi laba yang ditunjukkan untuk kepentingan perpajakan. Menurut Chai dan Liu (2010), jika nominal pajak yang dibayar terlalu tinggi bagi perusahaan biasanya akan memaksa perusahaan untuk melakukan manipulasi laba untuk kepentingan perusahaan. Penelitian yang pernah dilakukan mengenai pengaruh Good Corporate Governance terhadap penghindaran pajak telah banyak ditemui oleh beberapa peneliti dengan hasil yang mix atau berbeda-beda. Salah satunya oleh Rahmawati et al. (2016), penelitian tersebut menemukan bahwa kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional memberikan pengaruh negatif signifikan terhadap tax avoidance. Sebagai salah satu mekanisme tata kelola perusahaan yaitu kepemilikan manajerial memiliki pengaruh signifikan dan memiliki arah negatif terhadap tax avoidance. Mekanisme lain yaitu dewan komisaris dan komite audit tidak berpengaruh terhadap tax avoidance. Sedangkan penelitian Maharani dan Suardana (2014) diperoleh hasil bahwa variabel yang berpengaruh negatif adalah proporsi dewan komisaris, kualitas audit, dan komite audit, sedangkan risiko perusahaan berpengaruh positif terhadap tax avoidance yang dilakukan
13
perusahaan manufaktur yang terdaftar Bursa Efek Indonesia periode tahun pengamatan 2008-2012. Penelitian ini perlu dilakukan dengan mempertimbangkan pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) dan Good Corporate Governance (GCG) terhadap penghindaran pajak. Objek penelitian ini yaitu perusahaan multinasioal sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesi (BEI). Penelitian ini berfokus pada penghindaran pajak yang merupakan suatu praktik yang secara umum disepakati sebagai suatu tindakan yang tidak dapat diterima dan harus dicegah serta dilawan. Akan tetapi, kenyataan bahwa penghindaran pajak dilakukan dengan memanfaatkan celah dalam peraturan perpajakan sehingga secara literal tidak melanggar hukum membuat isu tersebut menjadi isu diskusi yang menarik. Pajak dan CSR sama-sama ditujukan untuk kesejahteraan umum. Perusahaan yang berperilaku tax avoidance dianggap tidak bertanggung jawab secara sosial dan bertolak belakang dengan prinsip CSR. Selain itu, tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) diduga dapat mendorong ketaatan perusahaan sebagai wajib pajak untuk menjalankan kewajiban perpajakaannya. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka peneliti akan menggunakan judul Pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) dan Good Corporate Governance (GCG) terhadap penghindaran pajak.
14
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah terebut, maka rumusan masalah yang dapat digunakan dalam penelitian ini : 1. Apakah Corporate Social Responsibility (CSR) berpengaruh terhadap penghindaran pajak? 2. Apakah komisaris independen berpengaruh terhadap penghindaran pajak? 3. Apakah komite audit berpengaruh terhadap penghindaran pajak? 4. Apakah kualitas audit berpengaruh terhadap penghindaran pajak? 1.3 Tujuan Penelitian Sesuai latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pengaruh Corporate Social Responsibility (CSR) terhadap penghindaran pajak. 2. Untuk mengetahui pengaruh komisaris independen terhadap penghindaran pajak. 3. Untuk mengetahui pengaruh komite audit terhadap penghindaran pajak. 4. Untuk mengetahui pengaruh komite audit terhadap penghindaran pajak. 1.4 Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disebutkan maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak, antara lain: a. Kontribusi Praktis Dari penelitian ini diharapkan perusahaan dapat mempertimbangkan diterapkannya Corporate Social Responsibility dan Good Corporate
15
Governance yang dapat berpengaruh terhadap penghindaran pajak perusahaan sehingga perusahaan dapat mengambil keputusan yang tepat atas perencanaan pajaknya. b. Kontribusi Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi mengenai pengaruh Corporate Social Responsibility dan Good Corporate Governance terhadap penghindaran pajak. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi dan acuan bagi penelitian selanjutnya yang mengangkat topik yang sama. c. Kontribusi Kebijakan Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan evaluasi dan masukan
kepada
Direktorat
Jenderal
Pajak
mengenai
fenomena
penghindaran pajak yang banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar dan kebijakan perusahaan di masa yang akan datang. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Agar dapat mengarah ke pembahasan dan tidak meluas sehingga tidak menyimpang dari materi-materi pokoknya, dalam penelitian ini peneliti membatasi permasalahan pada pengaruh Corporate Social Responsibility dan Good Corporate Governance (yang diproksikan komisaris independem, komite audit dan kualitas audit) terhadap penghindaran pajak pada perusahaan multinasioanal sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2012-2015.