0
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
i
Pengaruh Suhu Dan Durasi Perawatan Terhadap Kuat Tekan Mortar Geopolimer Berbahan Dasar Abu Terbang Horianto¹, Andi Arham Adam² dan Nicodemus Rupang³ 1 Studi Kinerja Angkutan Umum Penumpang Antar Kota Dalam Propinsi (A.K.D.P) di Sulawesi Tengah Ali Alhadar
15
Profil Distribusi Kecepatan Vertikal Suatu Aliran Pada Dsaluran Terbuka Alifi Yunar
27
Hubungan Kerapatan Dengan Kuat Rekat Kayu Kelapa Pada Gaya Kempa Yang Konstan Kusnindar. Abd. Chauf 1, dan Agus Rivani2 40 Algoritma Pemfilteran Untuk Reduksi Noise Pada Citra Menggunakan Logika Fuzzy Anita Ahmad Kasim1 dan Agus Harjoko2 51 Model GPS Pengukuran Pola Arus Pasang Surut Dan Gelombang (Kasus Pantai Bahari Kecamatan Polewali Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat) Baharuddin; Wihardi Tjaronge2; Arsyad Thaha3; Farouk Maricar4 60 Test X-Ray Tomography Permeable Asphalt Pavement Menggunakan Batu Domato Sebagai Course Aggregate Dengan Bahan Pengikat Bna-Blend Pertamina Firdaus Chairuddin1, Wihardi Tdaronge2, Muhammad Ramli3, Johannes Patanduk4 75 Eksistensi Ruang Aktivitas Tepian Teluk Pasca Pembangunan Jalan Lingkar Pantai Teluk Palu (JLPTP) Muhammad Bakri1, Prof. Nindyo Soewarno2, Dr. Budi Prayitno3 Mengatasi Rutting Subgrade Melalui Peningkatan Kualitas Subbase Menggunakan Material Lolioge Syamsul Arifin1, Mary Selintung2, Lawalenna Samang3, Tri Harianto4 i
89
103
Model Evaluasi Dan Monitoring Pengadaan Barang Dan Jasa Bangunan Konstruksi Berbasis Mitigasi Di Pesisir Pantai Tutang Muhtar Kamaludin
118
Buis Beton Berlubang Sebagai Alternatif Sumur Resapan Air Hujan I Gede Tunas1, Rizaldi Maadji2, Arody Tanga3
138
Perencanaan Pondasi Dangkal Dan Pondasi Tiang Bor Dengan Metode Analitis Dan Metode Elemen Hingga Astri Rahayu¹, Dini Afrianti² 150 Perbandingan Frekuensi Alami Balok Beton Bertulang Berpenampang I Dengan Balok Beton Bertulang Berpenampang T Berlubang Memanjang Muhammad Yusuf Amir 1, Fatmawati Amir2 171 Penerapan Sni 1726 2012 Pada Bangunan Bertingkat Di Kota Palu Dalam Upaya Mitigasi Bencana Gempa (Studi Kasus Bangunan Rusunawa Ujuna Kota Palu) I Ketut Sulendra 182 Pengaruh Penambahan Bitumen Asbuton Terhadap Modulus Kekakuan Campuran Arief Setiawan 193 Pengaruh Komposisi Alkali Aktivator Terhadap Kuat Tekan Mortar Geopolimer Barbahan Dasar Abu Terbang Medi Tikara1, Andi Arham Adam2, I Wayan Suarnita3 215 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keefektifan Sistem Penjaminan Mutu Pada Perguruan Tinggi Nirmalawati 227 Hubungan Kreativitas, Motivasi Dan Karakter Individu Terhadap Kepemimpinan Penanggung Jawab Teknik (Pjt) Industri Konstruksi Di Indonesia (Studi Kasus: Kota Palu Propinsi Sulawesi Tengah) Tilaar, T.A.M.1, Selintung, M.2, Rahim, M.R.3, Nurdin, D.4 241 Penentuan Ketebalan Media Saringan Pada Model Penjernihan Air Limbah Masyarakat Saparuddin¹, M. Saleh Pallu², Mary Selintung3 dan Rita Tahir Lopa4
255
ii
Kajian Spasial Permukiman Vernakular Pesisir di Kabupaten Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan Studi Kasus : Permukiman Pesisir Desa Appa‘tana Muhammad Najib1, Ahda Mulyati2, Arya Ronald3 265 Studi Karakteristik Lentur Balok Beton Bertulang Beragregat Styrofoam Yasser 1, Herman Parung 2, M. Wihardi Tjaronge3, Rudy Djamaluddin 4
276
Aplikasi Model MockWyn-UB untuk Menaksir Indek Kekeringan Akibat Adanya Perubahan Iklim I Wayan Sutapa 293 Perubahan Permukaan Air Akibat Adanya Hambatan Pilar Pada Belokan Saluran M. Galib Ishak1, M. Saleh Pallu2, M. Arsyad Thaha3 dan Rita Tahir Lopa4 306 Pengaruh Penambahan Material Perkerasan Daur Ulang Terhadap Karakteristik Campuran Beton Aspal Lapis Aus Novita Pradani1, Ratnasari Ramlan2 322 Studi potensi sungai salena dusun salena kota palu Sebagai sumber energi PLTMH Kennedy.M1,Ridho Hantoro2,Khairil Anwar3, Prabowo4
333
Peran Fakultas Teknik Universitas Tadulako Dalam Peningkatan Sdm Transportasi Jurair Patunrangi
352
Penempatan Lokasi Tiang Jaringan Distribusi Primer Menggunakan Geographic Infomartion System (GIS) Deny Wiria Nugraha1, Yuli Asmi Rahman2 363
iii
PENGARUH SUHU DAN DURASI PERAWATAN TERHADAP KUAT TEKAN MORTAR GEOPOLIMER BERBAHAN DASAR ABU TERBANG Horianto¹, Andi Arham Adam² dan Nicodemus Rupang³ Universitas Tadulako, Palu, Indonesia Email:
[email protected]
ABSTRACT The Purpose of this research is to determine the optimum temperature and duration of curing which produce acceptable compressive strength of fly ash based geopolymer mortar. In this research, sodium silicate (Na2SiO3) and sodium hydroxide (NaOH) were used as alkaline activator. The dosage of activator was 55% and the ratio between sodium silicate and alkali activator is 1 : 2. The research was conducted by varying the curing temperature of 80, 100 and 120oC with each curing temperature has a duration of 4, 6 and 20 hours. Compressive strength test was performed at age of 3, 7, 14 and 28 days on cube specimens with a size of 50 x 50 x 50 mm with a mass ratio between the sand and fly ash is 1 : 2,75. The test results showed that the compressive strength of geopolymer mortar with temperature and duration of curing 120oC and 20 hours produces the highest compressive strength of 33.1 MPa. The compressive strength is greater than that produced by normal mortar compressive strength of 27.6 MPa. Keywords: Geopolymer, Fly ash, Compressive Strength, Temperature, Duration.
PENDAHULUAN Merujuk pada besarnya sumbangan industri semen terhadap total emisi karbon dioksida (CO2), maka perlu segera dicarikan solusi yang tepat untuk meminimalisir gas yang mencemari lingkungan ini. Penggantian sejumlah bagian semen dalam pembuatan beton, atau secara total menggantinya dengan bahan lain yang lebih ramah lingkungan menjadi pilihan yang lebih menjanjikan. Salah satu alternatif pemecahannya adalah penggunaan limbah abu terbang (fly Ash). Abu terbang merupakan limbah industri dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) hasil dari sisa pembakaran batu bara yang mengandung silica amorf. Istilah ‗geopolimer‘ digunakan pertama kali pada tahun 1970 oleh seorang insinyur dan juga seorang ilmuwan Prancis, Prof. Joseph Davidovits. Geopolimer sendiri terbentuk dari reaksi kimia aluminium dan silikon sebagai bahan kimia dasar yang dengan bantuan aktivator alkali akan mengalami proses polimerisasi
1
anorganik (inorganic polymerization), yang hasilnya sebuah benda padat menyerupai beton/mortar. Perawatan (curing) merupakan salah satu tahapan yang sangat penting dalam proses pembuatan beton/mortar agar kualitas yang direncanakan dapat tercapai. Pada beton/mortar biasa perawatan dapat dilakukan dengan perendaman atau memberikan air tambahan untuk proses hidrasi. Perawatan beton/mortar geopolimer pada suhu kamar akan menyebabkan penundaan pada waktu pengikatan. Hal ini dapat dihindari dengan perawatan panas menggunakan oven (Kirschner dan Harmuth, 2004). Selama proses perawatan, beton/mortar geopolimer mengalami proses polimerisasi. Pada suhu tinggi, proses polimerisasi menjadi lebih cepat dan beton/mortar geopolimer dapat mencapai 70% dari kuat tekannya dalam waktu 3 sampai 4 jam pemanasan (Kong dan Sanjayan, 2008 dalam Bakri dkk., 2010). Penurunan kuat tekan geopolimer dapat terjadi dalam perawatan dengan suhu yang tinggi untuk waktu yang lama (Puertas dkk, 2008 dalam Khale, 2007).
Gambar 1 Pengaruh Waktu Curing terhadap Kuat Tekan Mortar Geopolimer (Sumber : Ravikumar dkk., 2010)
Pada Gambar 1, dapat dilihat bahwa waktu curing memberikan pengaruh yang signifikan pada kuat tekan mortar geopolimer. Hal ini diduga bahwa waktu curing yang lebih lama melepaskan molekul air yang lebih banyak pada mortar geopolimer. Curing yang lebih lama juga akan mempercepat reaksi polimerisasi dan setting dari mortar tersebut (Ravikumar dkk., 2010).
2
TINJAUAN PUSTAKA Reaksi polimerisasi dapat terjadi karena adanya reaksi antara alkaline activator (NaOH atau KOH) dengan material yang mengandung silikat atau alumina yang tinggi yang digunakan sebagai penyeimbang reaksi dengan menyumbangkan ion positif (kation) dan juga berfungsi untuk mereaktifkan unsur aluminium dan silika di dalam fly ash. Pemberian Sodium Silikat (Na2SiO3) pada mortar geopolimer dapat mempercepat reaksi polimerisasi yang cenderung lambat, sehingga dengan demikian kekuatan mortar geopolimer dapat meningkat dibandingkan dengan tanpa adanya penambahan Na2SiO3 (Davidovits, 2008).
Gambar 2 Ikatan Polimerisasi yang Terjadi pada Geopolimer (Sumber : www.geopolymer.org)
Secara keseluruhan proses geopolimerisasi digambarkan dalam empat tahap yaitu (Xu, dkk. 2001 dalam Song 2007) : 1)
Terjadinya penguraian aluminium silikat di dalam alkali aktivator. Ketika mineral aluminum silikat berada pada pH tinggi (keadaan basa), maka ikatan yang menghubungkan antara silikat dan aluminium tetrahedral akan terputus.
2)
Unsur aluminum dan silika kompleks yang telah terurai, menyebar dari permukaan padatan aluminium silikat ke ruang antar partikel.
3)
Terbentuklah benda uji menyerupai gel, yang merupakan hasil dari proses polimerisasi akibat penambahan larutan silika (sodium silikat) dengan unsur aluminium dan silika kompleks.
3
Bentuk benda uji yang menyerupai gel mulai mengalami pengerasan yang berkaitan dengan pengeluaran air yang tidak ikut mengalami reaksi kimia dan terbentuklah geopolimer.
Gambar 3
Ikatan yang terjadi pada semen (kiri) dan ikatan yang terjadi pada geopolymer (kanan) (Sumber : www.geopolymer.org).
Kuat Tekan (N/mm2)
4)
Umur benda uji (hari)
Gambar 4
Perbandingan Antara Kuat Tekan Mortar Geopolimer dengan Umur Benda Uji pada Suhu Ruang. (Sumber: Manjunath dkk., 2011)
4
Kuat tekan mortar geopolimer pada suhu ruangan secara berkelanjutan meningkat sesuai dengan umur benda uji, yang dapat dilihat pada Gambar 2.9. Peningkatan kuat tekan ini dapat dikaitkan dengan pembentukan dari alumino silikat/kalsium silikat hidrat gel secara terus menerus yang merupakan bahan pengikat dari mortar geopolimer (Manjunath dkk.,2011) Kondisi perawatan dari geopolimer terdiri dari suhu perawatan dan lama pemanasan. Efek dari suhu pemanasan pada suhu 30, 60 dan 91oC pada perkembangan kuat tekan di perlihatkan pada Gambar 5, yang mana menandakan bahwa keuntungan dari pemanasan pada proses perawatan geopolimer adalah signifikan. Kondisi perawatan geopolimer terbaik adalah pada suhu 60oC selama
Kuat Tekan pada umur 7 hari (MPa)
24 jam. (Hardjito, dkk., 2002 dalam Song, 2007)
Suhu Perawatan (oC) Catatan : durasi perawatan selama 24 jam
Gambar 5
Pengaruh dari suhu pemanasan terhadap perkembangan kuat tekan geopolimer (Sumber : Hardjito dkk., 2002 dalam Song, 2007)
Tabel 1
Hasil Penelitian Suhu Perawatan terhadap Perkembangan Geopolimer Berbahan Dasar Abu Terbang
No 1 2 3 4
Variasi Suhu dan Durasi o
30, 60, 91 C selama 24 jam o
30, 75 C selama 24 jam o
75, 95 C selama 6 atau 24 jam o
45, 65, 85 C selama 24 jam
Optimum
Referensi
o
Hardjito dkk, 2002
o
Sindhunata dkk, 2004
o
Bakharev, 2005c
o
Fernandez-Jimenez dan Palomo, 2002
60 C, 24 jam 75 C, 24 jam 95 C, 24 jam 85 C, 20 jam
(Sumber : Song, 2007)
METODE PENELITIAN Bahan dasar (raw material) berupa abu terbang (fly ash) yang diambil dari PLTU Mpanau. Abu terbang yang digunakan tergolong ke dalam abu terbang
5
kelas F yaitu abu terbang dengan kadar kalsium yang rendah. Analisis unsur kimia yang terdapat dalam abu terbang dapat dilihat pada Tabel 2. Dalam penelitian ini, Sodium Silikat (Na2SiO3) yang digunakan memiliki kerapatan sebesar 1.552 g/cc (Na2O = 15.4% dan SiO2 = 32.33%). Dosis aktivator (Alkali Aktivator/fly ash) yang digunakan adalah sebesar 55% serta perbandingan antara sodium silikat dan alkali aktivator adalah 1 : 2. Sodium hidroksida yang digunakan adalah dalam bentuk cairan (liquid) yang dipersiapkan sehari sebelum dilakukan pencampuran dengan tambahan air. Tabel 2 Komposisi Kimia dari Binder (% Massa)
Komponen
Abu terbang
SiO2 Fe2O3 Al2O3 CaO K2O SO3 TiO2 MnO Mortar geopolimer berbahan dasar abu
55.540 23.760 14.020 2.020 1.580 1.300 0.920 0.291 terbang dalam penelitian ini
menggunakan Water to Solid ratio (W/S) sebesar 0.35. Jumlah air dalam campuran mortar merupakan penjumlahan dari kandungan air yang berada dalam sodium silikat, sodium hidroksida dan tambahan air sedangkan jumlah padatan (solid) merupakan penjumlahan dari berat abu terbang, dan kandungan padatan dalam sodium silikat dan sodium hidroksida. Perbandingan antara abu terbang dan pasir yang dipakai adalah 1 : 2.75. Detail mix yang digunakan diadopsi dari Adam (2009) dan SNI 06-68252002, akan tetapi dalam penelitian ini digunakan kemolaran sodium hidroksida dan air tambahan yang berbeda. Berikut adalah Tabel 3 jumlah bahan yang dibutuhkan dalam mix design mortar geopolimer berbahan dasar abu terbang (per 1 liter campuran). Alat yang digunakan adalah Hobart mixer dengan kapasitas 5 liter, benda uji dibuat dalam bentuk 5 cm3, dipadatkan dan digetarkan sesuai dengan prosedur yang digunakan dalam SNI 06-6825-2002. Benda uji kemudian dioven dengan variasi suhu perawatan 80o, 100o dan 120oC serta durasi masing 4, 6 dan 20 jam
6
dan juga satu set benda uji yang dibiarkan di ruangan terbuka yang terkena sinar matahari langsung (kering udara). Tabel 3 Jumlah Bahan dari Mortar Geopolimer (per litre mix)
Abu terbang (Kg) 0.516
Activator (Kg) Pasir (Kg)
Air
Na2SiO3
NaOH
Tambahan
(liquid)
(10M)
(Kg)
0.142
0.142
0.046
1.420
Total (Kg) 2,265
Benda uji yang sebelum dimasukan ke dalam oven tersebut, setelah dicetak didiamkan sejenak selama ± 3 jam sebelum dilapisi dengan cling wrap, kemudian durasi pemanasan telah tercapai maka benda uji di keluarkan dari oven dan dibiarkan selama ± 6 jam sebelum dilepaskan dari cetakan. Setelah dilepaskan dari cetakan, benda uji tetap dibiarkan dalam suhu kamar sampai pada hari pengetesan. Mortar geopolimer berbahan dasar abu terbang yang dibiarkan di ruangan terbuka yang terkena sinar matahari langsung belum dapat dilepaskan dari cetakan sebelum mencapai umur 3 hari, hal ini disebabkan benda uji belum berubah menjadi benda padat. Kuat tekan rata-rata dari mortar geopolimer tersebut diperoleh dari pengetesan kuat tekan menggunakan mesin uji kuat tekan dengan pengaturan kecepatan penekanan sebesar 20 MPa/menit. Kuat tekan dari benda uji dites pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari setelah pencampuran. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Uji Kuat Tekan Mortar Normal dan Mortar Geopolimer dengan Perawatan Kering Udara Hasil pengujian kuat tekan pada umur 3 hari untuk mortar normal adalah 15,733 MPa sedangkan untuk mortar geopolimer sangat rendah yaitu 0,867 MPa. Pada umur 7 hari grafik kuat tekan untuk mortar normal mengalami kenaikan menjadi 21,867 MPa dan untuk mortar geopolimer sebesar 2,133 MPa. Selanjutnya, pada umur 14 hari grafik kuat tekan untuk mortar normal masih mengalami kenaikan yang walaupun tidak terlalu besar yaitu 25,867 MPa dan untuk mortar geopolimer sebesar 8,133 MPa. Setelah itu pada umur 28 hari kuat tekan untuk mortar normal yaitu sebesar 27,600 MPa dan mortar geopolimer adalah 15,200 MPa.
7
Gambar 6
Grafik Kuat Tekan Antara Mortar Normal dan Mortar Geopolimer dengan Perawatan Kering Udara
Hasil Uji Kuat Tekan Mortar Geopolimer dengan Suhu 80oC dan Durasi 4, 6 dan 20 jam.
Gambar 7
Grafik Kuat Tekan Mortar Geopolimer dengan Suhu 80oC dan Durasi 4, 6 dan 20 Jam
Hasil pengujian kuat tekan untuk mortar geopolimer suhu 80oC ini, untuk durasi 4 jam pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari masing-masing sebesar 1,160; 3,160; 6,280; dan 11,750 MPa. Selanjutnya untuk durasi 6 jam pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari masing-masing sebesar 5,040; 6,560; 8,640; dan 12,500 MPa. Setelah itu, untuk durasi 20 jam pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari masing-masing sebesar 8
17,120; 19,200; 19,360; 19,400 MPa. Gambar 7 menunjukkan bahwa pada suhu perawatan 80oC durasi 4 dan 6 jam menghasilkan kuat tekan yang sangat kecil bila dibandingkan dengan durasi 20 jam. Akan tetapi perkembangan kuat tekan pada durasi 4 dan 6 jam menunjukkan hasil lebih besar dibandingkan dengan durasi 20 jam yang cenderung tetap. Hal ini disebabkan karena pada durasi 20 jam proses polimerisasi diperkirakan telah mencapai titik maksimal sehingga tidak adanya lagi unsur yang dapat bereaksi yang menyebabkan kuat tekan yang dihasilkan cenderung tetap. Pada Gambar 7 juga terihat bahwa laju kenaikan kuat tekan pada durasi 4 dan 6 jam cenderung konstan dan linear apabila dibandingkan dengan kenaikan kuat tekan pada durasi 20 jam yang cenderung tetap setelah umur 7 hari. Hal ini dikarenakan pada durasi 4 dan 6 jam dengan suhu 80oC mortar geopolimer tidak memperoleh pemanasan yang cukup sehingga mengakibatkan kenaikan dari kuat tekan pada setiap umur mengalami kenaikan yang cukup signifikan, sedangkan pada durasi 20 jam dengan suhu 80oC, mortar geopolimer terlihat telah mencapai kuat tekan yang optimum. Hasil Uji Kuat Tekan Mortar Geopolimer dengan Suhu 100oC dan Durasi 4, 6 dan 20 jam.
Gambar 8
9
Grafik Kuat Tekan Mortar Geopolimer dengan Suhu 100oC dan Durasi 4, 6 dan 20 Jam
Hasil pengujian kuat tekan untuk mortar geopolimer suhu 100oC ini, untuk durasi 4 jam pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari masing-masing sebesar 11,680; 12,880; 13,240 dan 13,450 MPa. Selanjutnya untuk durasi 6 jam pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari masing-masing sebesar 16,280; 16,680; 17,800 dan 18,500 MPa. Setelah itu, untuk durasi 20 jam pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari masing-masing sebesar 20,680; 21,160; 21,360 dan 21,900 MPa. Gambar 8 menunjukkan bahwa pada suhu perawatan 100oC durasi 4 dan 6 jam menghasilkan kuat tekan yang lebih kecil bila dibandingkan dengan durasi 20 jam. Hasil Uji Kuat Tekan Mortar Geopolimer dengan Suhu 120oC dan Durasi 4, 6 dan 20 jam.
Gambar 9
Grafik Kuat Tekan Mortar Geopolimer dengan Suhu 120oC dan Durasi 4, 6 dan 20 Jam
Pada Gambar 8 juga menunjukkan bahwa kuat tekan dari
mortar
geopolimer telah mencapai kuat optimumnya pada setiap durasi pemanasan yang ditunjukkan dengan kenaikan kuat tekan dari masing-masing durasi perawatan yang cenderung tetap, walaupun demikian kuat tekan maksimum dari setiap durasi perawatan menunjukkan hasil yang berbeda. Semakin lama durasi perawatan dari mortar geopolimer tersebut maka hasil kuat tekannya semakin besar. Hasil pengujian kuat tekan untuk mortar geopolimer suhu 120oC ini, untuk durasi 4 jam pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari masing-masing sebesar 11,680;
10
13,200; 13,520 dan 14,300 MPa. Selanjutnya untuk durasi 6 jam pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari masing-masing sebesar 16,280; 17,800; 17,920 dan 19,600 MPa. Setelah itu, untuk durasi 20 jam pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari masing-masing sebesar 27,680; 32,160; 33,040 dan 33,100 MPa. Gambar 9 menunjukkan bahwa pada suhu perawatan 120oC durasi 4 dan 6 jam menghasilkan kuat tekan yang lebih kecil bila dibandingkan dengan durasi 20 jam. Hal ini juga terlihat ditunjukkan pada Gambar 8, dimana kuat tekan akan bertambah seiring dengan bertambahnya durasi pemanasan dari mortar geopolimer, akan tetapi dengan adanya penambahan suhu juga mengakibatkan hasil kuat tekan maksimal pada masing-masing durasi pemanasan berbeda, yaitu semakin tinggi suhu pemanasan maka kuat tekan dari mortar geopolimer tersebut akan semakin besar. Perbandingan Uji Kuat Tekan Mortar Geopolimer karena Perbedaan Suhu Perawatan
Gambar 10
Grafik Pengaruh Suhu Perawatan Terhadap Kuat Tekan Mortar Geopolimer
Gambar 10 di atas memperlihatkan efek dari suhu pemanasan terhadap kuat tekan mortar geopolimer berbahan dasar abu terbang dengan menjaga durasi pemanasan agar tetap konstan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa untuk durasi pemanasan yang sama, kuat tekan mortar geopolimer akan mengalami kenaikan seiring dengan bertambahnya suhu pemanasan dari mortar geopolimer. Untuk pemanasan pada durasi 4 jam laju kenaikan dari kuat tekan mortar geopolimer terlihat membentuk garis lurus yang artinya mengalami kenaikan kuat 11
tekan yang konstan. Sedangkan pada durasi 20 jam memperlihatkan kenaikan kuat tekan yang paling besar yaitu 33,100 MPa dibandingkan dengan durasi 4 dan 6 jam yang masing-masing menghasilkan kuat tekan sebesar 14,300 MPa dan 19,600 MPa. Perbandingan Uji Kuat Tekan Mortar Geopolimer karena Perbedaan Durasi Perawatan
Gambar 11
Grafik Pengaruh Durasi Perawatan Terhadap Kuat Tekan Mortar Geopolimer
Gambar 11 di atas memperlihatkan efek dari durasi pemanasan terhadap kuat tekan mortar geopolimer berbahan dasar abu terbang dengan menjaga suhu pemanasan agar tetap konstan. Hasil pengamatan menujukkan bahwa untuk suhu perawatan yang sama kuat tekan mortar geopolimer akan mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya durasi pemanasan. Pada suhu 80oC memperlihatkan laju kenaikan kuat tekan mortar geopolimer membentuk sebuah garis lurus yang artinya laju kenaikan dari kuat tekannya konstan, sedangkan pada suhu 100oC dan suhu 120oC terlihat laju kenaikan dari kuat tekan yang hampir sama yaitu sebesar 37% pada durasi pemanasan 6 jam, akan tetapi setelah dilakukan pemanasan sampai 20 jam terlihat bahwa kuat persentase kenaikan dari kuat tekan pada suhu 120oC adalah 2 kali lebih besar dibandingkan pada suhu 80oC dan suhu 100oC. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
12
Kombinasi suhu dan durasi perawatan untuk mortar geopolimer berbahan dasar abu terbang yang memiliki kuat tekan paling tinggi adalah pada suhu 120oC dan durasi selama 20 jam. Pada umur 28 hari, kuat tekan mortar geopolimer dengan kombinasi tersebut adalah 33,100 MPa.
Pada umur 28 hari persentase kenaikan kuat tekan mortar geopolimer berbahan dasar abu terbang untuk suhu 120oC durasi 6 dan 20 jam masingmasing memiliki kenaikan sebesar 37,063% dan 131,469% terhadap durasi 4 jam.
Untuk mortar geopolimer berbahan dasar abu terbang dengan perawatan kering udara pada umur 28 hari memiliki kuat tekan lebih rendah yaitu sebesar 15,200 MPa dibandingkan dengan mortar normal yaitu sebesar 27,600 MPa.
Suhu dan durasi perawatan memiliki pengaruh dalam kuat tekan mortar geopolimer yang ditunjukan dengan semakin tinggi suhu dan lama durasi perawatan maka kuat tekan yang dihasilkan akan semakin besar.
DAFTAR PUSTAKA Adam AA. 2009. Strength and Durability Properties of Alkali Activated Slag and Fly Ash-Based Geopolymer Concrete, Thesis, School of Civil, Enviromental and Chemical Engineering, RMIT University, Melbourne, Australia. Badan Standar Nasional, SNI 03-6825-2002. Metode Pengujian Kekuatan Tekan Mortar Semen Portland Untuk Pekerjaan Sipil, Jakarta Bakri Mohd. M. Al., Mohammed H., Kamarudin H., Niza I. K. dan Zarina Y. 2010. Review on Fly ash-based Geopolymer Concrete without Portland Cement. Journal of Engineering and Technology Research Vol. 3(1), PP. 1-4. Davidovits, J. 2008. Geopolymer Chemistry and applications. Saint-Quentin, France, Institut Geopolymer. Khale D, Chaudhary R. 2007. Mechanism of Geopolymerization and Factors Influencing Its Development. J Mater Sci, 42:729-746 Kirschner A.V., Harmuth H. 2004. Inverstigation of Geopolymer Binders with Respect to Their Application for Building Materials. Christian Doppler
13
Laboratory for Building Materials with Optimized Properties at the Department Of Ceramics, University of Leoben, Leoben, Austria. Manjunath, G. S., Radhakrishma, Giridhar C., Jadahv Mahesh. 2011. Compressive Strength Development in Ambient Cured Geo-polymer Mortar. International Journal of Earth Sciences and Engineering. ISSN 0974-5904, Volume 04, No. 06 SPL, October 2011, pp. 830-834. Ravikumar, D., Peethamparan, S., & Neithalath, N. 2010. Structure and Strength of NaOH Activated Concretes Containing Fly Ash or GGBFS as the Sole Binder. Cement and Concrete Composites, 32(6), 399-410. Elsevier Ltd. Song, Xiujiang. 2007. Development and Performance of Class F Fly Ash Based Geopolymer Concretes against Sulphuric Acid Attack. Thesis, School of Civil and Environmental Engineering, The University of New South Wales, Sydney, Australia. http://www.geopolymer.org/applications/introduction_developments_and_applica tions_in_geopolymer_2, di akses 19 Februari 2013
14
STUDI KINERJA ANGKUTAN UMUM PENUMPANG ANTAR KOTA DALAM PROPINSI ( A.K.D.P. ) DI SULAWESI TENGAH Ali Alhadar Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Taduloako E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Angkutan umum penumpang antar kota dalam propinsi adalah angkutan umum penumpang yang melayani dari ibu kota Kabupaten ke ibu kota Kabupaten lain yang berasal dari satu Propinsi. Di Sulawesi Tengah terdapat 12 ( Dua belas ) Kabupaten dan 1 (satu ) Kota. Kota Palu merupakan Ibu Kota Propinsi Sulawesi Tengah adalah terminal induk yang menghubungkan ibu kota kabupaten di Sulawesi Tengah, masih banyak daerah daerah yang belum terjangkau oleh angkutan umum terutama di daerah pedesaan dalam kabupaten sehingga roda ekonomi tidak berjalan lancar, sulit menjangkau pasar, dengan terpaksa mereka menjual hasil produksi dengan harga murah. Dilain pihak pengusaha angkutan umum kesulitan dalam menginvestasi armada pada daerah yang belum terjangkau oleh angkutan umum. Pada penelitian ini mengkaji tentang daerah daerah yang belum terjangkau oleh angkutan umum dengan kata lain membuka rute baru dengan tanpa investasi armada dengan cara memanfaatkan waktu tunggu keberangkatan kembali kerute yang selama ini yang dilaluinya. Artinya memanfaatkan waktu tunggu diterminal , yang selama ini menurut pengamatan kami kendaraan banyak menganggur diterminal, pool pool kendaraan menunggu keberangkatan kembali , hal tersebut perlu dimanfaatkan untuk melayani rute yang dekat dalam kabupaten yang belum terjangkau oleh aramada angkutan umum, sehingga pengadaan armada tidak perlukan lagi. Perlu diketahui bahwa dalam perhitungan Biaya Operasi Kendaraan ( B.O.K. ) salah komponen yang paling signifikan adalah pengadaan armada, dalam penelitian ini pengadaan armada menjadi nol sehingga kinerja financial perusahaan akan meningkat dan waktu operasi kendaraan sangat optimal. Dengan kata lain waktu menganggur kendaraan diterminal secara ekonomi bisa menghasilkan pendapatan tambahan yang selama ini nol. Dalam penelitian ini manajemen operasi kendaraan harus dipisahkan atau diatur tersendiri agar tidak mengganggu jadwal keberangkatan rute utamnya, Pada penelitian ini dapat membuka lapangan kerja baru karena manajeman operasi terpisah dengan dengan manajemen operasi tetapnya. Kata kunci: Investasi Armada, Rute baru, manajemen operasi, waktu operasi, kineja financial.
PENDAHULUAN Latar Belakang Angkutan umum adalah sarana yang di butuhkan oleh sebagaian besar masyrakat kota, tidaklah mungkin suatu kota dapat hidup tanpa angkutan umum. 15
Perlu di ketahui bahwa sistem transportasi merupakan salah satu komponen atau aspek yang tak terpisahkan dari aspek atau komponen lainnya yang membentuk kota sebagai sistem, karena hanya dengan sudut pandang seperti inilah kita dapat memahami bahwa masalah transportasi yang timbul di suatu kota merupakan refleksi dari keterkaitan yang kompleks dan intens antara berbagai aspek atau komponen yang meliputi kultur budaya, social , ekonomi , kependudukkan,pola aktivitas, tata guna lahan, sarana dan prasarana transportasi, lingkungan, pemilikan kendaraan dan angkutan umum. Perlu di ketahui
pertumbuhan jumlah kendaraan rata-rata diatas 3%
pertahun. Pertumbuhan lalulintas yang tinggi ini tidak dibarengi dengan pengembangan jaringan jalan perkotaan yang memadai. Pertumbuhan jalan yang relative kecil yaitu dibawah 1% pertahunnya. Ketidak seimbangan pertumbuhan antara jumlah lalulintas dan prasarana jalan yang secara kasat mata dapat dilihat dengan makin berambahnya titik-titik kemacetan di kota-kota. Ditinjau dari sudut pandang sistem angkutan umum kondisi diatas sangatlah menyulitkan. Santoso, (1996). Di Sulawesi Tengah terdapat 12 Kabupaten dan Kota (terlampir peta), kota Palu merupakan terminal induk yang menghubungkan seluruh ibukota Kabupaten. Di Sulawesi Tengah masih banyak daerah daerah yang belum terjangkau oleh angkutan umum, terutama didaerah pedesaan, sehingga roda ekonomi
tidak
berjalan lancar , sangat sulit menjangkau pasar, dengan terpaksa mereka menjual dengan harga murah. Dilain pihak pengusaha angkutan memerlukan investasi yang cukup besar
kesulitan karena
untuk pengadaan armada angkutan
umum baik penumpang maupun barang. Dari uraian tersebut timbul pemikiran penulis untuk membuka rute baru tanpa investasi kendaraan dengan memanfaatkan waktu sisa kendaraan
di
terminal sebelum berangkat kembali kerute yang sudah ditetapkan, Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengkaji rute rute yang jauh dan waktu istirahatnya cukup lama. Misalnya Rute Palu – Luwuk, Palu – Morowali, Palu Buol
16
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka pokok penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut : Kesulitan investasi untuk pengadaan armada angkutan dapat diatasi dengan memanfaatkan waktu luang operasi kendaraan sebelum berangkat kembali kerute tetapnya. Banyaknya
lokasi lokasi yang belum terjangkau oleh angkutan umum
dapat diatasi dengan memanfaatkan waktu tunggu sebelum melakukan perjalanan kembali kerute tetapnya, sehingga roda ekonomi akan berputar. Pembukaan rute baru tidak mengalami kesulitan aramada banyaknya kendaraan yang menganggur di terminal untuk menunggu keberangakatan kembili kerute tetapnya. Sehingga jam operasi kendaraan sangat optimal. Membuka lapangan kerja baru karena manajemen operasi kendaraan harus di pisahakan dengan manajemen operasi pada rute tetapnya , sehingga sistem operasi kendaraan memnfaatkan waktu tunggu kendaraan di terminal bisa berjalan dengan baik. Maksud Penelitian Membuka rute baru angkutan umum
penumpang
dengan optimalisasi
wuktu tunggu armada diterminal sebelum keberangkatan kembali dengan tanpa investasi kendaaran sehingga kinerja operasi kendaraan akan meninggkat, karena salah satu kesulitan dalam mengoperasikan rute baru adalah kendaraan dan komponen yang besar dalam perhitungan biaya operasi kendaraan ( B. O. K. ) adalah investasi kendaran. Tujuan Penelitian Melakukan studi kinerja angkutan umum (A.K.D,P.) di Sulawesi Tengah dalam upaya optimalisasi jam dan hari operasi
operasi kendaraan dengan
memanfaatkan waktu tunggu armada diterminal. Membuka rute baru uuntuk daerah daerah yang belum terjangkau oleh angkutan umum tanpa investasi kendaraan
17
Manfaat Penelitian Kesulitan
pengadaan armada untuk pembukaan rute baru yang belum
terjangkau oleh angkutan umum penumpang dapat diatasi dengan optimalisasi jam operasi kendaraan dengan tanpa investasi kendaraan . Dengan optimalisasi jam operasi kendaraan banyak daerah daerah yang belum terjangkau rute kendaraan
atau di lewati kendaraan
dapat diatasi.
Membuka lapangan kerja baru, baik pengendara dan administrasi operasi kedaraan, karena harus di pisahkan denagn operasi rute tetapnya. TINJAUAN PUSTAKA Umum Pada dasarnya pihak yang dapat terlibat dalam semua aspek kegiatan penyelenggaraan angkutan umum ada dua komponen yaitu :
Pihak Pemerintah ( Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat )
Pihak Swasta. Keterlibatan pihak pemerintah dalam penyelenggaraan angkutan umum
pada dasarnya sebagai representasi keinginan rakyat yang diwakili oleh pemerintah sehingga kepentingan masyarakat luas (penumpang) merupakan hal utama yang harus menjadi perhatian. Dengan demikian ada 2 (dua) kondisi lingkungan yang menjadi konsideran dalam kebijakan pemerintah, yaitu kondisi sosial dan kondisi politik. Bagi pihak swasta keterlibatan dalam penyelenggaraan angkutan umum pada dasarnya berorientasi ekonomi yaitu berusaha meraih keuntungan ekonomi sebesar besarnya. Sasaran dari keterlibatan pihak swasta dalam penyelenggaraan angkutan umum adalah memaksimalkan keuntungan. Dari filosofi dasar masing masing yang berbeda tersebut, maka jelas bahwa makin besar tingkat keterlibatan pemerintah dalam aspek aspek kegiatan penyelenggaraan angkutan umum maka makin besar pula tingkat pemenuhan kepentingan masyarakat luas Dan sebaliknya makin besar pula keterlibatan pihak swasta dalam pemyelenggaraan angkutan umum, maka makin rendah pula tingkat pemenuhan kepentingan masyarakat luas terhadap angkutan umum.
18
Bila ditinjau dari dari alokasi dana yang harus disediakan oleh pemerintah, maka jelas bahwa makin besar keterlibatan pemerintah dalam aspek kegiatan penyelenggaraan angkutan umum maka makin besar pula alokasi dana yang harus disediakan pemerintah. Sebaliknya
semakin
kecil
tingkat
keterlibatan
pemerintah
dalam
penyelenggaraan angkutan umum yang berarti makin besar tingkat keterlibatan pihak swasta akan semakin kecil alokasi dana yang harus disediakan oleh pemerintah. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa tingkat keterlibatan yang tinggi dari pemerintah berarti usaha pemenuhan kepentingan masyarakat akan semakin besar, untuk itu diperlukan alokasi dana yang tidak sedikit. Dari uraian tersebut akan jelas bahwa faktor finansial sangat mempengaruhi tingkat keterlibatan pemerintah dalam penyelenggaraan angkutan umum. Sistem angkutan umum adalah merupakan sistem pelayanan jasa angkutan yang berfungsi untuk mengumpulkan dan mendistribusikan penumpang yang mempunyai kebutuhan akan pergerakan. Meskipun para penumpang belum tentu mempunyai tempat asal yang sama ataupun tujuan yang sama, tetapi pola ataupun karakteristik pergerakannya adalah sedemikian sehingga memungkinkan suatu rute sistem angkutan melayani secara baik. Sistem Pentarifan Angkutan Umum. Dalam menentukan besar dan struktur tarif faktor yang perlu diperhatikan ialah besarnya biaya operasi kendaran yang digunakan sebagai alat angkut. Faktor ini harus diperhatikan karena keuntungan yang diperoleh operator sangat tergantung kepada besarnya tarif yang ditetapkan dan biaya operasi kendaraan struktur tarif merupakan cara bagaimana tarif tersebut dibayarkan. 1.
Tarif Seragam (Flat Fare).
Tarif seragam adalah tarif yang dikenakan tanpa memperhatikan jarak yang dilalui Tarif seragam menawarkan sejumlah keuntungan yang telah dikenal secara luas terutama kemudahan dalam pengumpulan ongkos didalam kendaraan Struktur ini memungkinkan transaksi yang cepat, terutama dalam kendaraan yang ukuran besar dan dioperasikan oleh satu orang dan secara umum pengumpulan tarifnya sederhana.
19
Gambar 1. Struktur Permasalahan Sistem Angkutan Umum 2.
Tarif Berdasarkan Jarak ( Distance Fare)
Struktur tarif ini sangat bergantung pada jarak yang ditempuh, yakni penetapan besarnya tarif dilakukan pengalian ongkos tetap perkilometer dengan panjang perjalanan yang ditempuh oleh setiap penumpangnya Jarak minimum (tarif minimum) diasumsikan nilainya 3.
Tarif Bertahap
Struktur tarif ini dihitung berdasarkan jarak yang ditempuh oleh penumpang Tahapan ini adalah suatu penggal dari rute yang jaraknya antara satu atau lebih tempat perhentian sebagai dasar perhitungan dasar tarif untuk itu jaringan perangkutan dibagi dalam penggal penggal rute yang secara kasar mempunyai panjang yang sama. Jarak antara kedua titik diatur dengan memperhatikan kondisi setempat Titik perubahan tahapan haaislah mudah dikenali dan cukup spesifik
20
Tarif bertahap mencerminkan usaha penggabungan secara wajar keinginan penumpang dan pertimbangan biaya yang dikeluarkan perusahaan dengan waktu untuk mengumpulkan ongkos 4.
Tarif Zona.
Struktur tarif ini merupakan bentuk penyederhanaan dari tarif bertah jika daerah pelayanan perangkutan dibagi kedalam zona zona Pu: kota biasanya merupakan zona terdalam dan dikelilingi oleh terk yang tersusun sepciti sebuah sabuk Daerah pelayanan perangkutan ju dapat dibagi kedalam zona zona yang berdekatan Jika terdapat jal melintang dan melingkar, panjang jalan ini harus dibatasi dengan membagi kedalam sektor sektor Kerugian akan terjadi bagi penumpang yang hanya melakukan suatu perjalanan jarak pendek didalam dua zona. Sebaliknya suatu perjalanan yang panjang dapat menjadi lebih murah apabila dilakukan dalam sebuah zona dibandingkan dengan perjalanan pendek yang melintasi batas zona Kerugian ini dapat diimbangi dengan memberlakukan zona tumpang tindih atau skala tarif yang dapat dipakai untuk dua zona. Seperti tarif bertahap batas tertinggi tarif dapat ditetapkan dengan tidak membuat pembagian zona yang terlalu banyak. Pengelompokkan dari beberapa zona juga mungkin untuk dilakukan. Biaya Operasi Kendaraan. (B.O.K.)
Biaya operasi kendaraan didefinisikan sebagai biaya yang secara ekonomi terjadi dengan dioperasikan satu kendaran pada kondisi normal untuk suatu tujuan. Komponen2 biaya yang diperhitungakan :
Biaya tetap (fixed cost)
Biaya tidak tetap (Variabel cost)
Biaya lainnya (Overhead)
1.
Biaya Tetap
(Fixed Coast)
Biaya tetap adalah biaya yang harus dikeluarkan pada saat awal dioperasikan sistem angkutan umum. Biaya tetap ini tidak terganti pada bagaimana sistem angkutan ini dioperasikan. Biaya tetap untuk angkutan umum penumpang terdiri dari (komponen) biaya
21
yang semuanya dihitung dalam satuan wa tertentu. Biasanya jangka waktu
perhitungan adalah 1 (satu) tah karena sebagaian besar komponen biaya dibayar setiap tahun. Empat komponen biaya dari biaya tetap adalah : 2.
Biaya Tidak
Tetap
Biaya tidak tetap bisa juga disebut sebagai biaya variabel (variabel cost), karena biaya ini sangat bervariasi tergantung hasil diproduksi, seperti waktu tempuh atau jumlah penumpang atau barang yang diangkut 3.
Biaya biaya
yang diperhitungkan adalah :
Pemakaian BBM.
Pemakaian Oli Mesin.
Biaya Penggunaan Ban.
Biaya Perawatan Kendaraan.
4.
Biaya
Overhead.
David Lowe menyatakan bahwa untuk menghitung biaya overhead beberapa peneliti melakukan 2 (dua) cara : Menghitung 20 - 25 % dari jumlah biaya tidak tetap dan tetap. Menghitung biaya overhead secara terperinci, yaitu menghitung biaya overhead perlu terus dipantau secara berkala oleh pemilik kendaraan. Aspek Finansial.
Aspek Finansial Dimaksudkan untuk menyelidiki terumi perbandingan antara pengeluaran dan " Revenue Earnings " proyek Apakah proyek itu terjamin dananya yang diperlukan Apakah proyek akan mampu membayar kembali dana tersebut Apakah proyek akan berkembang sedemikian rupa sehingga secara finansial dapat berdiri sendiri Kadariah, (1986) Pendapatan.
Dalam pengelolaan penisahaan angkutan umum yang perlu diperhatikan adalah kelayakan kinerja operasi kendaraan, yaitu dengan menganalisis hal hal yang berhubungan kemampuan pengoperasian kendaraan dan kesesuaian antara pendapatan yang akan diterima dari pembayaran tarif penumpang dengan besarnya biaya yang dikeluarkan.
22
Identifikasi Masalah dan Studi Pustaka
Observasi Lapangan dan Survei Pendahuluan
Penetapan Tujuan Penelitian
Data
Pengambilan Data Primer
Data Jenis Kendaraan Data Lalu Lintas Data Penumpang Data Terminal
Pengumpulan Data Sekunder
Jumlah Kendaraan AKDP Jumlah Perusahaan Beroperasi Peta Jaringan Jalan ( Rute ) Jumlah Penduduk
Data Geometrik
Kompilasi Data Analisis Data
Kesimpulan dan Saran Gambar 2. Bagan Alir Penelitian
METODE PENELITIAN Umum Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan berbagai literatur dan data sekunder yang berkaitan dengan penelitian yang akan di lakukan. Kemudian dilakukan survey lapangan untuk mendapatkan data primer.
23
Data primer antara lain jenis kendaraaan, jumlah kendaraan, waktu tempuh, kecepatan kendaraan, jumlah terminal, jumlah perusahaan yang beroperasi antar kota dalam propinsi, mengedarkan kuisioner. Data sekunder antara lain jumlah terminal, jumlah perusahaan beroperasi antar kota dalam propinsi, panjang jalan yang dilalui
yang
kendaraan,
mengedarkan kuisioner. Observasi Lapangan. Dalam obserevasi lapangan dilakukan dengan melihat langsung serta ikut naik dalam angkutan umum untuk mengetahui load faktor kendaraan , kecepatan , waktu tempuh , terminal , mengetahui perilaku supir, wawancara dengan penumpang, wawancara dengan pengendara. Pengumpulan data 1.
Data Sekunder Cara untuk mendapatkan data sekunder adalah dengan menghubungi
instansi terkait seperti Dinas perhubungan, Dinas Kimpraswil, Kantor Statistik . 2.
Data Primer Untuk mendapatkan data primer yaitu dengan cara survey langsung di
lapangan dan langsung langkah awal adalah dengan mempersiapkan alat-alat dan keperluan survey dan dibantu oleh beberapa tenaga surveyor. Alat-alat yang dibutuhkan antara lain:
Stopwatch untuk digunakan menghitung waktu tempuh, kecepatan kendaraan, kecepatan perjalan, kecepatan gerak, waktu tunggu
Alat penghitung (manual counter) untuk mengetahui jumlah kendaraan, jenis kendaraan.
Formulir kuisioner untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang penerapan rencana yang berkaitan dengan penelitian ini.
Formulir data untuk mencatat data di lapangan
Pengambilan data di Lapangan Sebelum di lakukan pengambilan data di lapangan surveyor diarahkan cara pengisian formulir dan penggunaan alat dan dilakukan survey pendahuluan untuk 24
melihat
kelemahan-kelemahan
dalam
pengambilan
data
dalam
rangka
penyempurnaan pada data survey 1.
Lama Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama 8 Bulan setiap lokasi penelitian yaitu:
2.
Kompilasi Data Kompilasi data adalah data primer dan data sekunder untuk mengetahui data
yang akan digunakan untuk dipilah-pilah yang kemungkinan salah satu sehingga data tersebut dibuang atau (out layers) 3.
Analisis Data Dari hasil kompilasi data primer data sekunder kemudian diadakan analisis
untuk dapat mengetahui kinerja angkutan Umum Antar Kota Dalam Propinsi dalam upaya.
Fare Box Ratio Fare box ratio adalah perbandingan antara pendapatan dan biaya operasi kendaraan
yang
terjadi
dengan
dioperasikannya
kendaraan
suatubperusahaan, untuk mengetahui apakah di perlukan subsidi. Hal hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut : Bila fare box ratio kurang dari 1 maka masih perlu subsidi. Bila fare box ratio sama dengan 1 maka terjadi keseimbangan, tidak perlu subsidi Bila fare box ratio lebih besara dari 1 maka maka terdapat laba
0
1
2.5
Gambar 3. Fare Boxs Ratio Diagram proses fare Box Ratio terlihat pada gambar 4 terlampir
25
DAFTAR PUSTAKA Angkeara P. 1997. Studi Perkembangan Angkutan Umum Kota Di Kota Madya Bandung (Thesis Program Magister Perencanaan Wilayah Dan Kota ITB) Black J. 1981. Urban Transport Planning. Croom Helm Itd, 2-10 st. John,s Road, London, SWI Gray, G, E. et al. 1979. Public Transportation. Prentice-Hall Inca. Simon & Schuster Company Englewood Cliffs, New Jersey. Hermawan, R, et al. 1999. Pemberdayaan Angkutan Umum Makalah Seminar Musda II MTI Jabar. Kanafani A. 1983. Transportation Demand Analysis, University Of California, Berkely. Morlok, E, K. 1978. Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi. Penerbit Erlangga. Mudiono R. 1998. Tinjauan Kelayakan Pengoperasian Angkutan Umum Bus Sedang, (Thesis Program Magister Bidang Khusus Rekayasa Transportasi ITB). Napitipulu R. 1999. Analisis Pemilihan Ukuran Angkutan Kota Optimum Pada Suatu Rute Tertentu ( Kasus : Rute Dipati Ukur – Leuwi Panjang, Bandung) Jurnal Transportasi FSTPT ITB. Nasution.H.M.N. 1996. Manajemen Transportasi, Penerbit Ghalia Indonesia. Purwatmoko H, Permadi E. 1999. Penentuan Nilai Waktu Pengguna Angkutan Umum Di Kotamadya Bandung, Tugas Akhir Jurusan Teknik Sipil ITB Santoso, I. 1996. Perencanaan Prasarana Angkutan Umum. Pusat Studi Transportasi & Komunikasi Institut Teknologi Bandung (Seri 002). Tamin, O, Z. 1998. Pemodelan Optimasi Jumlah Armada dan Tarif Angkutan Kota Di Kotamadya Bandung. Laporan Akhir Penelitian No. 18685097 DIK-ITB TA 1997/1998. Tamin, O, Z. 1997. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi, Penerbit. ITB Tamin, O, Z. 2011. Strategi Peningkatan Pelayanan Angkutan Umum Penerbit. ITB Tumewu W, et al. 1999. Laporan Akhir Pengabdian kepada Masyarakat ITB, Evaluasi Kinerja Operasi Angkutan Taxi di Kota Bandung.
26
PROFIL DISTRIBUSI KECEPATAN VERTIKAL SUATU ALIRAN PADA DSALURAN TERBUKA Alifi Yunar Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Email :
[email protected]
ABSTRAK Aliran air pada aliran terbuka terlihat bersamaan berpindah dari hulu ke hilir. Jika diperhatikan lebih rinci ternyata aliran itu tidaklah bersamaan melainkan berbeda pada bagian permukaan aliran sampai bagian di atas permukaan dasar. Ilmu tentang aliran air pada saluran terbuka ini dikaji sepenuhnya pada Hidraulika sungai atau hidraulika saluran terbuka. Pendekatan-pendekatan mengenai perbedaan aliran ini telah banyak di lakukan oleh para peneliti. Dan untuk pendekatan awal dari semua pendekatan yang ada maka pendekatan matematis yang dapat di lakukan secara praktis. Penggambaran profil distribusi kecepatan vertikal akan di gunakan diberbagai penelitian lanjutan seperti penelitian angkutan sediimen dan penelitian tentang aliran saluran terbuka baik langsung di lapangan atau di laboratorium. Kata kunci :Hidraulika sungai, SedimenDasar, profil distribusi aliran
PENDAHULUAN Latar Belakang Pendekatan utama yang sering dilakukan oleh peneliti aliran saluran terbuka adalah debit aliran, kecepatan aliran dan luas penampang aliran. Pada konsep debit aliran ini, seakan akan seluruh aliran bergerak bersamaan dari hulu ke hilir. Vijay P. Singh (2003) menuliskan, Sifat fisika air yang mampu mengadakan gesekan dengan permukaan yang padat ataupun permukaan yang bergerak, berakibat pada perubahan kecepatan dibagian permukaan yang bergerak ataupun permukaan yang keras tersebut. Secara umum dapat kita lihat bahwa air dapat di hentikan dengan menutup aliran saluran terbuka. Air akan berhenti mengalir. Tetapi pada kondisi lain jika pada penutup tersebut terdapat lubang, atau penutupan dilakukan setengah dari luas penampang air itu sendiri maka air akan berusaha untuk melewati hambatan tersebut. Jika kondisi ini terjadi di sebagian saja dari badan sungai, maka yang terjadi adalah proses perlambatan aliran secara umum, dan khusus terjadi perlambatan aliran di atas permukaan dasar atau di pinggir sungai.
27
3
Ketika air melewati hambatan yang ada maka kecepatan di sekitar hambatan tersebut akan berubah. Perubahan tersebut dapat berupa pusaran air atau air akan melambat dari kecepatan sebelum melampaui hambatan. TINJAUAN PUSTAKA Teori Tentang Hambatan Aliran di Saluran Terbuka Studi pada aliran saluran terbuka dengan batasan yang padat tidak bergerak, menghasilkan koefisien kekasaran yang konstan. Setelah koefisien kekasaran di peroleh maka persaman hambatan aliran pun dapat di rumuskan dengan memperhitungkan kecepatan, kemiringan dasar, dan kedalaman aliran. Chang Chun Kiat et al (2004) menuliskan bahwa, pada hidraulika alluvial, batas aliran selalu bergerak, dan koefisien kekasaran berfariasi. Pada kondisi ini persamaan hambatan aliran tidak dapat di aplikasikan langsung di lapangan. Studi berikutnya dilakukan oleh beberapa peneliti untuk mendapatkan persamaan koefisien kekasaran pada permukaan allufial. Hasil yang diperoleh sungguh berbeda satu dengan yang lainnya. Prandtl (1926) dalam Alifi Yunar (2005) menuliskan persamaan kecepatan aliran pada setiap lapisan aliran pada kedalaman tertentu : (1)
(2)
Dimana :
u = Kecepatan pada jarak vertikal y diatas permukaan dasar =
= kecepatan geser
D = Kedalaman aliran S = Kemiringan dasar saluran/sungai y = Kedalaman aliran yang di tinjau
28
= Viskositas kinematik = Koefisien kekasaran oleh Schlichting (1935)
Persamaan (1) dan persamaaan (2) mendapatkan hubungan geser,
dapat di integrasikan untuk
antara kecepatan aliran rata rata, v dan kecapatan
atau koefisien kekasaran, ks. Hasil integrasi tersebut dapat memperhitungkan beberapa hal antara lain : Untuk penampang aliran lingkaran dengan dinding halus, Alifi Yunar
(2005) : (3)
Untuk penampang persegi empat luas dan dinding halus : (3)
CT Yang (1996) Untuk penampang lingkaran dengan dinding kasar : (4)
Untuk penampang penampang persegi empat yang luas dengan dinding kasar : (5)
Untuk penampang penampang persegi empat yang luas dengan dinding kasar : (6) .J.J. Peters (2009), mengungkapkan bahwa di dalam teori terdapat lapisan
aliran laminar yang ada pada bagian bawah lapisan aliran turbulen. Peng Gao dan Athol Graham (2004) menuliskan, pada dasarnya aliran ini tidak sepenuhnya ada pada sungai sebenarnya, dan akan lebih sulit lagi dalam
29
pengamatan jika dasar sungai tersebut bergerak dimana pada proses pergerakan dasar tersebut terdapat angkutan sedimen dasar.
Gambar 1. Teori tentang lapisan aliran di atas permukaan dasar.
METODE PENELITIAN Sebelum melakukan penelitian maka dilakuka npenyusunan peralatan utama dan peralatan pendukung lainnya, hal ini dilakukan untuk mempermudah pekerjaan penelitian yang dapat sewaktu-waktu dicari dan dipergunakan Alat penelitian utama yang digunakan adalah standard multipurpose tilting flume yang terdapat pada Laboratorium Hidraulikadan Hidrologi UGM.
Gambar 2. Standard Multi Purpose Tilting Flume
30
Gambar 3 Tampak atas Flume
Keterangan Gambar : 1. Penyearah arus
4. Jarak penelitian dari rough bed
2. Rigid bed
5. Jarak penelitian dan penangkapsedimen
3.Rough bed
6. Panjang penangkap sedimen 7. Penampungan air
Domain atau daerah yang diteliti adalah sepanjang 44 cm searah aliran dan selebar 20 cm tegak lurus arah aliran. Standard multi purpose tilting flume merupakan peralatan utama yang paling dibutuhkan karena dalam flumeinise muahal yang menyangkut tentang penelitian pola aliran dan gerusan dapat dilihat dan diketahui. Flume ini pada bagian dinding dibuat dari fleksiglass dan pada bagian dasar dibuat dari stainlesstell licin dengan panjang 17 m, tinggi 0.45 m, dan lebar 0.30 m, dan kemiringan dasar saluran dapat diatur hingga maksimum +5% dankemiringan minimum hingga -1%. Aliran Dalam Flume Sebelum mengenai pilar sudah dapat diyakinkan bahwa aliran tersebut adalah seragam. Tetapi semburan air dari pompa dapat dipastikan akan mengakibatkan pusaran yang menyebabkan ketidakseragaman aliran. Sehingga diperlukan adanya perlakuan khusus aliran air sebelum mengenai pilar. Penyearah arus, dibuat dari susunan pipa paralon yang mempunyai diameter kecil 2 cm dengan alat ini diharapkan aliran yang mengalir lebih
31
terarah, tidak terjadi turbulensi akibat datangnya air dari pompa yang kemudian membentur dinding flume. Permukaan kasar, dibuat dari campuran semen, pasir dan kerikil dengan ukuran 30 cm x 100 cm dicetak di atas papan agar diperoleh ikatan yang kuat sehingga tidak terangkut oleh kondisi aliran yang ada. Permukaan kasar ini diletakkan pada bagian hulu yang berguna untuk menyeragamkan distribusi aliran arah vertikal. Pintu air hilir (tailgate), pada dasarnya alat ini berupa pintu air yang juga berfungsi sebagai peluap pada bagian ujung hilir flume, namun pada penelitian ini dapat digunakan sebagai pengatur ketinggian muka air dalamflume. Tail gate ini digunakan pada awal running dengan cara mengatur tinggi rendahnya bukaan pintu pada bagian hilir dan pada saatrunning berlangsung tailgate dikunci agar ketinggian air yang dingin akan tetap terjaga. Peralatan Pengambilan Data Merupakan berbagai peralatan yang digunakan untuk mengambil data yang diperlukan dalam penelitian. Hal umum yang diperlukan adalah peralatan tulis menulis, papan pencatat kegiatan laboratorium dan komputer sebagai pengolah data dan penyusunan laporan. Pencatat waktu (Stopwatch), alat ini digunakan untuk mengukur selang waktu yang ditetapkan pada pengukuran kedalaman gerusan selama running berlangsung. Pengukur tinggi kedalaman tiap titik (Point gauge), alat ini digunakan untuk mengukur elevasi dasar saluran untuk mendapatkan kontur dari dasar saluran akibat gerusan yang terjadi disekitar pilar. Daerah yang diukur adalah daerah disekitar pilar dengan jarak titik yang sudah ditentukan yaitu sejajar aliran, dan arah melintang aliran
32
Bagan Alir Penelitian Mulai
Persiapan 1. 2. 3.
Peralatan utama (standard multi purpose tilting flume) Bahan : Pasir dan air Peralatan tulis-menulis dan pengolah data (laptop)
Debit konstan disiapkan dengan mengatur aliran dalam flume sebesar 0,0045 m3/det.
Pasir di siapkan dengan variasi kekasaran: 1. 2. 3. 4.
Kedalaman air dari permukaan dasar, yo = 0,065 m
Ks = d65 = 0,00054 m Ks = d90 = 0,00088 m Ks = d85 = 0,00076 m Ks = d50 = 0,00043 m
Penyusunan persamaan untuk mengetahui
1. Percepatan gravitasi Bumi
parameter parameter aliran seperti,
= 10 m/det 2. Kedalaman Normal = 0,0065 m 3. Kemiringan dasar -4 = 10 4. Kecepatan geser aliran = 0,00799 m/det
2
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kefisien kekasaran dasar saluran, C . Menghitung kecepatan rata rata, Uo . Menghitung Bilangan Froude, Fr. Menghitung Bilangan Reynolds, Re. Menghitung parameter Partikel. Menghitung Parameter kritik Shields. Menghitung tegangan geser tc,r Menghitung kecepatan kritik butiran u*c,r 8. 9. Menghitung Regim aliran 10. Menghitung kecepatan krtitik aliran
Membuat grafik dengan menempatkan kecepatan pada kedlaman tertentu dengan koefisien kekasaran yang di gunakan
Penyusunan laporan hasil penelitian
33
Selesai
Membagi kedalaman aliran (yo) dalam ruas yang sama. Dengan menggunakan persamaan : Untuk menentukan garis lengkung profil distribusi kecepatan vertikal
HASIL DAN PEMBAHASAN Aliran air dan pergerakan butiran di dalam flume Debit aliran yang digunakan dalam penelitian adalah sebesar 0.0045 m3/s. Diperoleh dari pengamatan pergerakan sedimen pada beberapa tempat (tidak keseluruhan bergerak) dengan ketinggian muka air normal y0= 0.065 m. .Bacaan pada manometer, h = 10 mm, kemudian dengan membandingkan pembacaan kalibrasi flume dan dilakukan pula kalibrasi alat sebelum digunakan dengan menggunakan ember maka diperoleh nilai h = 10 mm = 0.001 m sama dengan debit yang dialirkan sebesar 4.5 ltr/s = 0.0045 m3/s .Data kalibrasi terdapat pada lampiran. Jenis aliran air yang digunakan adalah aliran yang seragam (uniform), dengan keadaan bahwa permukaan air sama sejajar dengan permukaan dasar, dan debit yang dialirkan tetap. Kemiringan dasar yang digunakan adalah 0.0001,diketahui dari pembacaan alat pengukur kemiringan pada Multi Purpose Tilting Flume. Menghitung parameter-parameter hidraulik 1.
Koefisen kekasaran permukaan dasar C
g κ
ln
12R g = 9.81 m2/s ks
= 0.4 R=
A A = yo b P
= 0.065 0.30 = 0..0195m2
P = b + 2yo=0.30 + 2 0.065 = 0.430 m R=
0.0195 = 0.045 m 0.430
Ks = 2 d50 = 0.00086 m
C
9.81 12 0.045 ln = 45.078 m1/2/s 0.4 0.00086
34
2.
Menghitung kecepatan rata-rata kecepatan aliran dengan menggunakan persamaan Uo= Q/A Q U0 A U0
0.0045 Q = = 0.23 m/s A (0.065 0.3)
Kecepatan yang diperoleh v = U0 = 0.23 m/s 3.
Menghitung bilangan Froude :
Fr 4.
g yn
Fr
0.23 9.81 0.065
= 0.28
Menghitung bilangan Reynolds : Re
5.
U0
0.23 0.065 U0L =14950 Re 6 v 10
Menghitung parameter partikel : 1
1
(2.81 1) 9.81 3 (s 1) g 3 D d D 0.00043 2 -6 2 50 ν (10 )
D* = 11.22 10 < D* 20 6.
Menghitung parameter kritikShields (critical Shields parameter) partikel (d50 = 0.00043 m ) cr = 0.04 D*-0.1 = 0.0314
7.
Menghitungreratawaktutegangangeserpermukaan (time-averaged critical shear stress)
θ cr
τ b,cr τ b,cr 0.0314 ρs ρg d50 2810 1000 9.81 0.00043 τ b,cr
= 0.0314 1810 9.81 0.00043 = 0.24 N/m
8.
Menghitung kecepatan kritik butiran : 2
u,cr ( s 1) g d 50
35
τ b,cr
ρ s ρg d 50
2
u,cr ( s 1) g d 50
0.0314
2
u ,cr (s 1) g d 50 0.0314 u ,cr (s 1) g d 50 0.0314
= 0.0156 m/s 9.
Menghitung regime aliran butiran:
0.0156 0.00043 u c k s = 6.708 6 v 10 10.
Menghitungkecepatankritik :
Uc
u cr C 0.0156 45.078 Uc g 9.81 = 0.062 m/s Tabel 5.1 Kesimpulan Hasil Perhitungan Aliran dan Butiran
Q (m3/s)
yn (m)
B (m)
R (m)
U0 (m/s)
Ucr (m/s)
0.0045
0.065
0.3
0.045
0.231
0.062
I
g (m2/s)
0.0001
9.81
C(m1/2/s) kg/m3)
45.078
0 (N/m)
GS
skg/m3)
0.0084
2.81
2810
d50 (m)
1000 cr (N/m)
Fr
0.289
0.00043 0.0024322 1.81
u* (m/s) u*c (m/s) 0.0080
0.031
Pembahasan hasil perhitungan: - Jenis aliran dalam flume adalah turbulen sub kritik karena : Fr < 1 dan Re > 2000 - Regim aliran dengan kekasaran permukaan adalah aliran transisi (transitionalflow) karena : u c k s u k = 6.078 5 < c s < 70 v v
Penggambaran profil distribusi kecepatan vertikal untuk kedalaman aliran 0,06 m. Dari data hasil perhitungan di atas, maka penggambaran distribusi kecepatan vertikal, yang di butuhkan adalah : 1.
Percepatan grafitasi Bumi
= 10 m/det2
36
Kedalaman Normal
= 0,0065 m
2.
Kemiringan dasar
= 10-4
3.
Kecepatan geser aliran = 0,00799 m/det Hasil perhitungan kecepatan aliran untuk setiap kedalaman aliran disajikan dalam
bentuk tabel sebagai berikut : Tabel 2. Distribusi vertikal kecepatan aliran dalam saluran terbuka (Flume) U* 0,0080
c = 1,04
c = 1,12
u1 Ks = d65 0,00054 u1 0,0356 0,1129 3,01E-04 0,1270 4,87E-04 0,1354 5,32E-04 0,1413 5,61E-04 0,1459 5,82E-04 0,1497 5,99E-04 0,1528 6,13E-04 0,1556 6,26E-04 0,1580 6,36E-04 0,1602 6,45E-04 0,1622 6,54E-04 0,1640 6,62E-04
c = 1,09
u2 Ks = d90 0,00088 u2 0,0274 0,1107 2,80E-04 0,1259 4,80E-04 0,1349 5,29E-04 0,1412 5,60E-04 0,1462 5,83E-04 0,1503 6,01E-04 0,1537 6,16E-04 0,1567 6,29E-04 0,1593 6,41E-04 0,1616 6,51E-04 0,1638 6,60E-04 0,1657 6,68E-04
c = 1,01
u3
u4
Ks = d85 0,00076 u3 0,0299 0,1109 2,86E-04 0,1257 4,80E-04 0,1344 5,28E-04 0,1406 5,58E-04 0,1455 5,80E-04 0,1494 5,98E-04 0,1528 6,13E-04 0,1556 6,25E-04 0,1582 6,37E-04 0,1605 6,46E-04 0,1626 6,55E-04 0,1644 6,63E-04
Ks = d50 0,00043 u4 0,0392 0,1142 3,11E-04 0,1280 4,91E-04 0,1360 5,35E-04 0,1418 5,63E-04 0,1463 5,84E-04 0,1499 6,01E-04 0,1530 6,14E-04 0,1557 6,26E-04 0,1581 6,36E-04 0,1602 6,45E-04 0,1621 6,54E-04 0,1638 6,61E-04
i 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
y 1,00E-04 4,16E-03 8,21E-03 1,23E-02 1,63E-02 2,04E-02 2,44E-02 2,85E-02 3,26E-02 3,66E-02 4,07E-02 4,47E-02 4,88E-02
13
5,28E-02 0,1656 6,69E-04
0,1675
6,76E-04 0,1662 6,71E-04 0,1654 6,68E-04
14 15
5,69E-02 0,1672 6,75E-04 6,09E-02 0,1686 6,81E-04
0,1691 0,1707
6,83E-04 0,1678 6,77E-04 0,1669 6,74E-04 6,89E-04 0,1693 6,84E-04 0,1683 6,80E-04
16
6,50E-02 0,1699 6,87E-04
0,1721
6,95E-04 0,1707 6,89E-04 0,1696 6,85E-04
S u =
S u =
0,0096
0,0096
S u =
0,0096
S u =
Gambar 4. Grafik Distribusi Kecepatan Vertikal Hasil Perhitungan
37
0,0096
KESIMPULAN Penggambaran profil distribusi kecepatan vertikal adalah kegiatan rangkaian perhitungan yang dilakukan untuk mengetahui kecepatan aliran pada kedalaman tertentu. Data awal adalah kegiatan laboratorium untuk mengetahui perermukaan dasar yang bergerak (pasir) dengan gradasi tertentu dan aliran air dalam flume dengan debit aliran 0,0045 m3/det. Dalam pengamatan fisik di laboratorium tidak dapat di lihat dengan kasat mata distribusi aliran tersebut. Tetapi dari hasil perhitungan dapat diuraikan sebagai berikut : 1.
Untuk nilai Ks = d65 = 0,00054 m diperoleh kecepatan pada bagian permukaan 0,1699 m/det dan kecepatan di dasar 0,0356 m/det.
2.
Untuk nilai Ks = d90 = 0,00088 m diperoleh kecepatan pada bagian permukaan 0,1721m/det dan kecepatan di dasar 0,0274m/det.
3.
Untuk nilai Ks = d85 = 0,00076 m diperoleh kecepatan pada bagian permukaan 0,0299m/det dan kecepatan di dasar 0,1707 m/det.
4.
Untuk nilai Ks = d50 = 0,00043 m diperoleh kecepatan pada bagian permukaan 0,0392 m/det dan kecepatan di dasar 0,1696 m/det . Hasil diatas menunjukkan bahwa pada tahap pertama tentang penelitian ini
sudah dapat menggambarkan secara detil adanya perbedaan kecepatan antara bagian permukaaan aliran saluran terbuka dengan pada bagian dasar aliran tersebut. Untuk Bahan Diskusi Penelitian tentang distribusi vertikal kecepatan aliran ini sangat sedikit. Mengingat banyaknya anggapan dalam memahami aliran saluran terbuka, distribusi aliran vertikal pada saluran terbuka ini akan mempersempit parameter aliran dan menghasilkan pendekatan yang lebih sempurna pada liran yang terjadi. Penelitian lebih lanjut tentang garis distribusi vertikal ini masih berupa garis yang semi lengkung dan terlihat lebih lurus ketika mendekati permukaan dasar. Dengan persamaan matematika maka lanjutan penelitian ini adalah membentuk distribusi vertikal kecepatan aliran dalam saluran terbuka terlihat lebih lengkung.
38
DAFTAR PUSTAKA Alifi Yunar. 2005. Karakteristik Gerusan Lokal di Sekitar Pilar Silinder dan Pilar Segi Empat Ujung Bulat pada kondisi Terjadi Penurunan Dasar Suangai , Tesis, UGM, Jogjakarta Alifi Yunar. 2007. Karakteristik Gerusan Pilar Segi Empat Ujung Bulat Pada Kondisi Terjadi Penurunan Dasar Sungai dengan Proteksi Tirai , SMARTEK, UNTAD, Palu. Bambang Trihatmojo. 2003. Hidraulika II Beta Offset, Jogjakart Chang Chun Kiat et al. 2004. Measurement of Bed Load Transport for selected Small Streams in Malaysia ,International Conference on Managing Rivers in 21st century, Malaysia M.Ashiq and J.C.Bathrust.1999. Comparison of Bed Load Sampler and Tracer data on initation of motion, Journal of Hydraulic Engineering. Muhammad SalehPallu. 2012. TeoriDasarAngkutanSedimen DI DalamSaluran Terbuka, CV. TelagaZamzam, Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia. Peng Gao and Athol D. Abrahams. 2004. Bedload Transport in Rough Open Channel Flow, Departemen geography, State University of New York, NY 1461, USA. Vijay P Singh. 2003. On The Theories of Hydraulic Geometry. Departement of Civil and Environmental Engineering Lousiana State University, USA. Van Rijn LC. 1977. Principles of Sediment Transport in Rivers, Estuaries,Coastal Seas and Oceans, Oldemarkt, The Netherlands. CT Yang. 1996. Sediment Transport, Theory and Practice , UCLA, USA, Hoffmans, G.J.C.M. danVerheij, H.J.1997. Scour Mannual, A.A. Balkema, Rotterdam, Brookfield. H.N.C Breussers and AJ Rudkivi. 1991. Scouring, A.A Balkema, Rotterdam. JJ Pieters. 2009. Hydroeurope, Belgium Laboratorium Hidraulika-Hidrologi. 2005. Universitas Gajahmada, Jogjakarta
39
HUBUNGAN KERAPATAN DENGAN KUAT REKAT KAYU KELAPA PADA GAYA KEMPA YANG KONSTAN Kusnindar. Abd. Chauf 1, dan Agus Rivani2 Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Tadulako
ABSTRAK Selain mutu kayu, kualitas rekatan lamina pada balok laminasi sangat ditentukan oleh kuat tarik dan geser sejajar kayu. Jika perekatan yang terjadi tidak monolit, maka ada kemungkinan terjadi cacat perekatan. Oleh karena itu untuk aplikasi pada kayu kelapa, perlu dilakukan penentuan keteguahn rekatan kayu, mengingat angka kerapatan kayu kelapa sangat variatif. Di sisi lain angka kerapatan kayu berkorelasi positif dengan kuat tarik dan geser sejajar kayu. Untuk mendukung hal itu dilakukan uji geser rekatan dengan menggunakan UTM dengan variasi kerapatan pada kondisi kadar air 8,6%, dengan standar ASTM. Dari hasil uji itu diperoleh fakta bahwa tingkat variasi kerapatan kayu kelapa relatif besar antara 0,3 – 1,1 gr/cm3, sehingga harus diperhatikan pola penempatan lamina sesuai dengan daya dukung yang diperlukan. Perekatan optimum tercapai pada kerapatan 0,8 gr/cm3, dengan intensitas perekatan mencapai 14,75 kN. Di samping itu terdapat kecenderungan penurunan intensitas perekatan mengikuti kenaikan nilai kerapatan. Dari sisi visual, diperoleh fakta bahwa kegagalan perekat 80% terjadi pada kayu dengan kerapatan tinggi, dan 0% pada kerapatan rendah, dalam hal ini yang mengalami kegagalan adalah kayu yang direkatkan. Kata Kunci: Kerapatan, Kuat Rekat, Kayu Kelapa, Gaya Kempa
PENDAHULUAN Inovasi rekayasa konstruksi kayu harus dilakukan melalui diversifikasi sumber kayu untuk mencapai tataran struktural bangunan. Salah satu yang dapat dikembangkan adalah kayu kelapa (Cocos nucifera) dengan perkiraan produksi nasional mencapai 8.815.884 m3/tahun. Selama ini pola pemanfaatan kayu kelapa masih terbatas pada elemen solid. Balok solid cenderung memiliki keterbatasan dimensi dan kapasitas. Di sisi lain dengan bobot ±650 kg/m3, dapat dipastikan penggunaan konstruksi kayu bersifat lebih ringan dan daktail sehingga sangat menguntungkan bila konstruksi berkapasitas besar dapat dibuat dari material kayu kelapa yang ringan, terutama untuk ketahanan terhadap gempa. Oleh karena itu aplikasi teknologi laminasi bisa menjadi solusi. Masalahnya adalah bahwa aplikasi teknologi laminasi masih terbatas pada kayu sub tropis dan dikotil. Oleh karena itu penelitian menjadi sangat penting
440
karena akan menghasilkan informasi mengenai kriteria desain balok struktural laminasi (glue laminated timber) dengan bahan kayu kelapa. Kadar air kayu kelapa berkorelasi negatif dengan berat jenisnya, dan tidak ada perbedaan susut tangensial dan radial. Sifat mekanik kayu kelapa pada kondisi kering udara disajikan dalam Tabel 1 (Romulo, 1997). Tabel 1. Sifat mekanis kayu kelapa menurut kategori kerapatan Lentur Statis (MPa)
gr/cm3
Tekan (MPa)
Tekan // (Mpa)
MOE
MOR
Prop
E
Max
Prop
≥ 0,6
11.414
104
61,7
9.747
57
9,0
0,4-0,6
7.116
63
38,4
5.282
38
3,4
0,25-0,4
3.633
33
15,4
2.914
19
1,7
Jika dikategorikan menurut kelompok umur maka pada kondisi kering udara sifat fisis dan mekanis kayu kelapa disajikan dalam Tabel 2 (Kusnindar, 2006). Tabel 2. Sifat fisis dan mekanis kayu kelapa bagian dalam pada w = 15% σtk//
σtk┴
σtr//
τ
MOR
MOE
Ρ
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
gr/cm3
30
18,80
-
31,01
10,15
48,96
14.478
0,52
50 - 60
49,45
19,63
27,39
4,91
69,932
13.716
0,78
60 - 80
81,79
25,35
146,90
5,01
72,67
14.666
0,78
> 80
119,49
43,54
148,84
6,87
111,86
20.938
0,83
Umur Thn
Kapasitas kayu sebagai elemen lentur sangat dipengaruhi oleh kerapatan kering udaranya, sebagaimana disajikan dalam Gambar 1 (Kusnindar, 2006). Kekuatan batas balok laminasi lebih tinggi dibanding balok solid (Bakar dkk., 2004). Daya dukung balok laminasi sangat ditentukan oleh kapasitas tarik lamina
41
terluar. Mode keruntuhan garis rekatan tergantung pada ketebalan lamina terluar (Serrano dan Larsen, 1999).
Gambar 1. Hubungan kerapatan dengan kapasitas lentur (Kusnindar, 2006)
Untuk memperoleh kapasitas lentur optimal, dibutuhkan pengempaan 0,3//. Bila desain balok ditujukan untuk optimalisasi MOE, maka diperlukan pengempaan < 0,3// atau > 0,3// (Kusnindar, 2005). Pemberian tekanan tegak lurus serat kayu melampaui titik proporsional akan menyebabkan perubahan bentuk elastis dan cenderung akan terjadi compressive failure (Wardhani dkk ,2006). Terlepas dari mutu kayu, maka kualitas rekatan lamina sangat ditentukan oleh kuat tarik sejajar dan kuat geser sejajar kayu. Jika perekatan yang terjadi tidak monolit, maka ada kemungkinan terjadi cacat perekatan (Kessel dan Martin H, 2005). Keteguahn rekatan balok dengan tiga lapis adalah 1,6 kali keteguhan geser balok solid (Noguchi dan Komatsu, 2002). Peningkatan kekuatan lamina akibat perekatan berkisar 1,06 - 1,68 dengan kyield = 1,35-1,65 (Serrano dan Larsen, 1999). Garis perekatan yang pejal dan tipis akan membantu perataan distribusi beban pada lamina (San dkk., 2001). Bahan dan Metode Kegiatan penelitian ini akan dilaksanakan melalui uji geser rekatan untuk memperoleh kuat rekat dan modulus geser rekatan pada setiap kategori kerapatan kayu, uji foto makro untuk visualisasi penetrasi perekat. Bahan dasar penelitian adalah balok kayu kelapa 6/12 yang diperoleh dari tebangan pohon kelapa berusia 35 – 50 tahun (Gambar 2). Dalam hal ini tegakan yang dipilih adalah yang
42
tumbuhnya relatif lurus dengan usia tanaman ± 50 Tahun (Usia tidak produktif). Bentuk dan jumlah benda uji disajikan dalam Tabel 3.
7
9
10
8 Gambar 2. Tegakan Pohon Kelapa yang Siap Ditebang
Selanjutnya pembuatan sampel uji geser rekatan (Gambar 3). Dimensi dan bentuk sampel mengikuti ASTM.
Gambar 3. Bentuk dan dimensi sampel uji geser rekatan
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kadar air dan kerapatan (Gambar 4).
43
Gambar 4. Proses uji kerapatan dan kadar air
Selanjutnya dilakukan uji geser rekatan dengan menggunakan UTM (Gambar 5)
Gambar 5. Proses uji geser rekatan
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Uji Kerapatan dan Kadar Air Berdasarkan hasil uji kerapatan, maka kayu kelapa yang digunakan berada dalam kisaran kerapatan 0,3 – 1,1 grm/cm3 sebagaimana disajikan dalam Tabel 3. Dengan tingkat variasi yang besar itu, maka yang harus diperhatikan adalah penempatan lamina sesuai dengan daya dukung diperlukan.
44
Tabel 3. Variasi kerapatan kayu kelapa N o
KOD E
1
X6
TEBA L (cm) 2,50
2
X1
3
TINGGI (cm)
LEBAR (cm)
LONG
SHORT
BERAT (gram)
(gr/cm3)
5,00
7,03
5,15
46,7
0,3
2,50
5,00
7,03
5,06
47
0,3
V3
2,50
5,00
7,05
5,19
48,2
0,3
4
S6
2,50
5,00
6,53
4,67
44,40
0,3
5
S5
2,50
5,00
6,74
4,35
44,20
0,3
1
A3E
2,50
5,00
7,50
4,95
54,60
0,4
2
A2E
2,50
5,00
7,04
4,92
52,50
0,4
3
W4
2,50
5,00
7,13
5,15
54
0,4
4
V1
2,50
5,00
6,97
4,99
53,1
0,4
5
V4
2,50
5,00
6,63
4,42
49,10
0,4
1
K6
2,50
5,00
6,95
4,97
69,70
0,5
2
L3
2,50
5,00
7,00
5,02
70,60
0,5
3
K5
2,50
5,00
7,03
4,91
70,60
0,5
4
L4
2,50
5,00
7,03
5,06
73,60
0,5
5
K3
2,50
5,00
6,95
5,07
77,10
0,5
1
C3
2,50
5,00
6,85
4,90
126,50
0,9
2
C4
2,50
5,00
7,05
4,99
132,30
0,9
3
C1
2,50
5,00
6,87
4,96
130,40
0,9
4
G2'
2,50
5,00
7,09
4,92
135,2
0,9
5
G4'
2,50
5,00
7
4,94
134,7
0,9
1
E2E
2,50
5,00
6,66
4,95
138,50
1,0
2
JI1
2,50
5,00
6,99
5,05
144
1,0
3
E1
2,50
5,00
6,94
4,93
142,40
1,0
4
E2
2,50
5,00
7,03
4,99
144,90
1,0
5
G3
2,50
5,00
6,90
4,87
142,90
1,0
1
J3''
2,50
5,00
6,75
4,62
150,00
1,1
2
N2''
2,50
5,00
6,69
4,42
147,30
1,1
3
Q2''
2,50
5,00
6,49
4,54
146,50
1,1
4
B2E
2,50
5,00
6,95
5,01
159,80
1,1
5
J2''
2,50
5,00
6,68
4,36
147,90
1,1
Rata-rata
Dari enam kategori kerapatan tersebut, maka terdapat nilai yang efektif jika mengacu pada standar nasional Indonesia untuk kayu konstruksi, yaitu kayu kelapa dengan kerapatan 0,5gr/cm3 sampai dengan 0,9 gr/cm3
45
0,3
0,4
0,5
0,9
1,0
1,1
Hasil Uji Geser Rekatan Selanjutnya dilakukan uji geser rekatan dengan hasil sebagaimana disajikan dalam tabel 4. Dari tabel 4 diperoleh fakta bahwa setiap kategori kerapatan memiliki karakteristik mekanik yang berbeda. Pmax
max
Pmax
max
Pmax
max
kN
mm
kN
Mm
No
kN
mm
03
4,82
04
5,63
2,06
1
05
3,33
2
03
2
04
8,26
2,31
2
05
3
4,17
3
04
1,92
1,74
3
4,32
3,11
4
04
3,99
1,53
03
5,86
4,04
5
04
4,29
6
03
6,41
3,86
6
04
7
03
5,33
1,89
7
8
03
5,95
3,03
9
03
9,64
10
03
5,27
No
1
No
1
Pmax
max
kN
mm
06
12,98
2,54
2
06
10,53
2,08
2,83
3
06
7,26
2,32
4
06
05
10,16
2,00
5
06
6
05
8,08
3,53
6
06
3,58
7
05
5,91
2,67
7
06
6,93
2,39
8
05
11,81
4,03
8
06
04
5,52
2,49
9
05
9
06
04
6,00
3,02
10
05
10
06
No
2,64
1
4,39
4,11
03
5,49
4
03
5
No
4,64
1
7,44
4,91
05
8,95
4
05
1,69
5
4,97
5,58
04
5,17
8
04
1,78
9
3,67
10
Pmax
max
Pmax
max
kN
mm
kN
mm
09
10,53
1
13,90
2
09
2
1
3
1,75
3
24,18
2,28
09
17,68
6
09
7
Pmax
max
Pmax
max
kN
mm
kN
mm
1.1
9,37
DU
6,65
1,63
2
1.1
2
DU
8,40
1,55
1,16
3
1,01
3
OX
6,72
1,67
17,46
1,81
10,22
0,78
4
OX
8,66
2,35
1
17,79
1.1
6,90
2,04
5
IF
3,80
1,22
6
1
6
1.1
7,03
1,30
6
IF
6,72
1,86
2,87
7
1,28
7
1.1
5,19
0,84
7
UP
6,74
1,98
15,29
2,93
7,47
2,61
8
1.1
8
UP
6,03
3,96
09
9,63
1
9,73
5,11
9
1.1
9
VJ
4,12
1,83
10
09
25,12
10
1
14,63
1,36
10
1.1
10
VJ
7,73
3,04
11
09
11
1
11
1.1
11
MBR
5,53
1,76
12
09
12
1
12
1.1
12
MBR
7,36
5,73
13
09
13
1
13
1.1
13
BBR
6,40
5,60
No
No
1,82
1
0,93
1
22,07
1,76
16,36
1,28
09
16,36
1
12,50
4
09
4
1
5
2,99
5
17,41
1,77
09
14,02
8
09
9
No
KODE
2,36
1
13,73
0,92
1.1
15,43
4
1.1
1,67
5
10,50
1,77
1
11,44
8
1
2,83
9
3,05
Selanjutnya berdasarkan Gambar 6 diperoleh fakta bahwa perekatan optimum tercapai pada kayu dengan kerapatan 0,8 gr/cm3, dengan intensitas
46
perekatan mencapai 14,75 kN. Di samping itu terdapat kecenderungan penurunan intensitas perekatan mengikuti kenaikan nilai kerapatan. 30,00
Pmax (kN)
25,00 20,00
15,00 10,00 5,00 0,00
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
Kerapatan (gr/cm3)
Gambar 6. Hubungan kerapatan dengan kuat rekat kayu kelapa
Fenomena ini dapat dijelaskan dengan mengamati hasil fot makro yang dilakukan terhadap penetrasi perekat sebagaimana Gambar 7. Dari Gambar 7 terlihat bahwa pada kayu dengan kerapatan rendah jumlah perekat yang masuk ke dalam substrat lebih banyak dibanding dengan kayu kerapatan tinggi.
kerapatan rendah
kerapatan tinggi
kerapatan 0,8
Gambar 7. Hasil foto makro penetrasi perekat ke dalam substrat
Selanjutnya dari segi kemampuan deformasi, maka terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi kerapatan, maka deformasi linier yang terjadi semakin kecil. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kerapatan kayu, maka kekakuannya semakin besar. Kenyataan ini disajikan dalam Gambar 8.
47
Gambar 8. Hubungan kerapatan dengan deformasi maksimum glue line
Pada benda uji rekatan yang terdiri dari kombinasi kategori kerapatan terdapat fakta lain, yaitu bahwa: 1.
Pada gabungan kerapatan rendah dan tinggi, kuat rekat cenderung mengikuti kuat geser bagian dengan kerapatan rendah, dengan beban maksimum 8,6 kN.
2.
Lendutan maksimum yang dihasilkan dapat lebih besar dari lendutan maksimum pada sampel dengan kerapatan seragam.
Gambar 9. Sifat mekanik perekatan dengan dua kategori kerapatan
48
KESIMPULAN
Tingkat variasi kerapatan kayu kelapa adalah relatif besar antara 0,3 – 1,1 grm/cm3, sehingga harus diperhatikan pola penempatan lamina sesuai dengan daya dukung diperlukan. Perekatan optimum tercapai pada kayu dengan kerapatan 0,8 gr/cm3, dengan intensitas perekatan mencapai 14,75 kN. Di samping itu terdapat kecenderungan penurunan intensitas perekatan mengikuti kenaikan nilai kerapatan. Selanjutnya tingkat kegagalan perekat 80% terjadi pada kepatan tinggi, dan 0% pada kerapatan rendah. Dalam hal ini yang mengalami kegagalan adalah justru pada kayu yang direkatkan. Pada benda uji dengan kerapatan kombinasi, kuat rekat cenderung mengikuti kuat geser bagian dengan kerapatan rendah dan lendutan maksimum yang dihasilkan lebih besar dari lendutan maksimum pada sampel dengan kerapatan seragam. DAFTAR PUSTAKA Bakar S. A., A. L. Saleh and Z. B. Mohamed, 2004, Factors Affecting Ultimate Strength Of Solid And Glulam Timber Beams, Jurnal Kejuruteraan Awam 16(1): 38-47 Blass, H.J., P. Aune, B.S. Choo, R. Gorlacher, D.R., Griffiths., dan G. Steck, 1995, Timber Engineering Step I. Centrum Hout, The Nederland. Breyer, D.E., K.J. Fridley, dan K.E. Cobeen, 1998, Design of Wood Structures ASD. McGraw-Hill Inc. New York. Kessel M. H., dan Guenther M., 2005. Assessment of the load bearing capacity of defectively glued laminated timber. Institute for Building Engineering and Timber Structures. TU Braunschweig Germany Kusnindar A. C., 2005. Karakteristik Mekanik Kayu Kelapa Sebagai Bahan Konstruksi, Jurnal Smartek, Vol 3. No.1. Kusnindar A. C., 2006. Pengaruh Proses Laminasi Terhadap Kapasitas Lentur Balok Kayu. Prosiding Hasil-Hasil Penelitian dan Pengembangan di Sulawesi Tengah. Palu. Noguchi M. and K. Komatsu, 2005. Design Method of the Knee Joints using Adhesive for the Wooden Portal Frame Structures. Wood Research Institute, Kyoto University, Uji, Kyoto, Japan Laboratory of Structural Function
49
Prayitno, T.A. 1996. Perekatan Kayu. Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Sakuna, T., dan C.C. Moredo. 1993. Bonding of selected Tropical Woods—Effects of Extractivees and Related Properties. Symposium-USDA Forest Service, and Taiwan Forestry Research Institute. May 25-28, 1993. Taipei. Serrano, E., and H.J. Larsen. 1999. Numerical Investigation Of The Laminating Effect In Laminated Beam. Journal of Structural Engineering. 125 (7 ) : 740-745. Sunday E. E, Louis E. A dan Kenneth E. A, 2007. Determination Of Thermal Properties Of Cocos Nucifera Trunk For Predicting Temperature Variation With Its Thickness. Department of Physics, University of Uyo, Uyo, Nigeria Wardhani. I. Y., Surjokusumo. S., Hadi. Y. S dan Nugroho. N., 2006, Performance of Densified Inner-Part of Coconut Wood (Cocos nucifera Linn). J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis. Vol. 4 • No. 2
50
ALGORITMA PEMFILTERAN UNTUK REDUKSI NOISE PADA CITRA MENGGUNAKAN LOGIKA FUZZY Anita Ahmad Kasim1 dan Agus Harjoko2 Jurusan Teknik Elektro Universitas Tadulako, Palu Jurusan Ilmu Komputer dan Elekronika Instrumentasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Email:
[email protected] [email protected]
ABSTRAK Algoritma pemfilteran digunakan dalam pemrosesan mereduksi noise dari sebuah citra. Nilai rata-rata (mean) filter biasanya digunakan untuk mereduksi noise Gausian, tetapi tidak efektif untuk noise impulse misalnya pada noise Salt & Pepper. Nilai tengah (median) filter baik untuk mereduksi noise impulse tetapi tidak bekerja baik pada noise Gausian. Berdasarkan ide logika fuzzy, penelitian ini mengemukakan pemfilteran baru yang disebut filter fuzzy. Filter fuzzy mampu menangani 2 jenis noise tersebut sampai pada batas tertentu. Filter fuzzy menggunakan fungsi triangular median center dengan cara mengambil jumlah nilai deviasi piksel dengan nilai median dan menggantinya piksel noise dengan output yang seharusnya berdasarkan fungsi keanggotaan fuzzy triangular. Dari hasil implementasi diperoleh nilai besaran MSE masing-masing citra dengan filterisasi citra menggunakan filter mean, filter median dan filter terendah ada pada citra dengan noise Gaussian. Sedangkan pada noise salt & pepper, noise terduksi baik pada filter fuzzy dan filter median. Terlihat bahwa pemanfaatan filter fuzzy pada kedua citra dengan masing-masing noise lebih rendah yang menandakan kualitas perubahan citra dari citra asli dengan noise dengan citra hasil reduksi noise. Kata Kunci: citra, filter fuzzy, reduksi noise
ABSTRACT Filtering algorithm used in processing to reduce noise from an image. The average value (mean) filter normally used to reduce Gaussian noise, but it is not effective to the impulse noise such as the Salt & Pepper noise. The mean (median) filter for reducing the impulse noise but does not work well on Gaussian noise. Based on the idea of fuzzy logic, this study suggests a new filtering called fuzzy filter. Fuzzy filter is able to handle the two types of noise to some extent. Using triangular fuzzy filter function center median by taking the amount of deviation value of pixels with the median value of pixel noise and replace it with the output should be based on triangular fuzzy membership functions. From the results of the implementation of MSE values obtained magnitude of each image by filtering the image using the mean filter , median filter and the filter is in the image with the lowest Gaussian noise . While the salt & pepper noise, noise reduced both the fuzzy filter and median filter. The use of fuzzy filter on the second image 5 51
indicating lower noise image quality changes from the original image with the image noise with noise reduction results. Key Words : image, fuzzy filter, noise reduction
PENDAHULUAN Algoritma pemfilteran digunakan dalam pemrosesan mereduksi noise dari sebuah citra. Nilai rata-rata (mean) filter biasanya digunakan untuk mereduksi noise Gausian, tetapi tidak efektif untuk noise impulse misalnya pada noise Salt & Pepper. Nilai tengah (median) filter baik untuk mereduksi noise impulse tetapi tidak bekerja baik pada noise Gausian. Berdasarkan ide logika fuzzy. Penelitian ini mengemukakan pemfilteran baru yang disebut filter fuzzy. Filter fuzzy mampu menangani 2 jenis noise tersebut sampai pada batas tertentu. Filter fuzzy menggunakan fungsi triangular median center dengan cara mengambil jumlah nilai deviasi piksel dengan nilai median dan menggantinya piksel noise dengan output yang seharusnya berdasarkan fungsi keanggotaan fuzzy triangular. Transmisi antarmuka atau interferensi ekternal sebuah citra digital akan memiliki gangguan yang akan memberi efek dalam analisa sebuah citra. Analisa sebuah citra akan dapat digunakan dalam proses pengenalan pola citra (Anita dan Hendra, 2012). Efek ini akan sangat berpengaruh ketika akan dilakukan analisa lebih dalam pada sebuah citra. Pada proses pengambilan gambar ada beberapa gangguan yang mungkin terjadi, seperti kamera tidak fokus atau munculnya bintik-bintik yang bisa jadi disebabkan oleh proses capture yang tidak sempurna. Setiap gangguan pada citra dinamakan dengan noise. Untuk menghilangkan noise dilakukan reduksi noise Proses tersebut dilakukan dengan menggunakan berbagai macam metode tergantung pada kondisi yang diharapkan pada citra, seperti mempertajam bagian tertentu pada citra, menghilangkan noise atau gangguan, manipulasi kontras dan skala keabuan, dan sebagainya. Noise pada citra tidak hanya terjadi karena ketidaksempurnaan dalam proses pengambilan citra, tetapi bisa juga disebabkan oleh kotoran-kotoran yang terjadi pada citra. Berdasarkan bentuk dan karakteristiknya, noise pada citra dibedakan menjadi beberapa macam yaitu:
52
1.
Gaussian Noise Gaussian merupakan model noise yang mengikuti distribusi normal standard dengan rata-rata 0 dan standard deviasi 1. Efek dari Gaussian noise muncul titik-titik berwarna yang jumlahnya sama dengan persentase noise.
2.
Speckle Noise speckle merupakan model noise yang memberikan warna hitam pada titik yang terkena noise.
3.
Salt & Pepper Noise salt & pepper seperti halnya taburan garam, akan memberikan warna putih pada titik yang terkena noise. Untuk mereduksi noise digunakan filterisasi diantaranya adalah Filter Mean
dan Filter Median. Filter Mean adalah filter linear dan Filter Median adalah filter non linear. Mean filter digunakan untuk mereduksi noise Gaussian sehingga tidak efektif dalam filterisasi noise Salt & Pepper (Noise impulse), sedangkan Median Filter baik untuk mereduksi noise impulse tetapi tidak bekerja baik pada noise Gausian (Zhang,dkk,2011). TINJAUAN PUSTAKA Logika Fuzzy pertama kali diperkenalkan oleh ahli Matematika asal Amerika Richard pada tahun 1965. Logika fuzzy digunakan dalam berbagai pengolahan
citra
seperti
filterisasi
(Zhang,dkk,2011),
segmentasi
(Borges,dkk,2011), klasifikasi (Juanjuan,dkk,2012), kompresi (Luan,dkk,2009), pemrosesan citra (Lu,2011; Zhige, 2008) dan beberapa analisa pengenalan pola (Lazzerini,dkk,2001; Ting Chou,dkk,2011; Melin,2010). Berdasarkan ide logika fuzzy, makalah ini mengemukakan pemfilteran baru yang disebut filter fuzzy. Filter Fuzzy mampu menangani 2 jenis noise tersebut sampai pada batas tertentu. Algoritma filter fuzzy
hampir sama dengan filter mean, tetapi algoritmanya
memiliki koefisien. Filter fuzzy mampu diaplikasikan untuk mengurangi noise pada noise Gaussian dan noise impulse. Mean Filter dan Median Filter Untuk Reduksi Noise Perbaikan kualitas citra adalah proses yang dilakukan untuk mendapatkan kondisi citra tertentu. Proses tersebut dilakukan dengan menggunakan berbagai
53
metode tergantung kondisi yang diharapkan pada citra, seperti mempertajam bagian tertentu pada citra, menghilangkan noise atau gangguan, manipulasi kontras dan skala keabuan, dan sebagainya. Reduksi Noise Menggunakan Filter Mean Ada berbagai macam teknik untuk mereduksi noise, salah satunya menggunakan Filter Mean (Zhang,dkk,2011). Filter Mean efektif digunakan untk memproses reduksi noise pada noise Gaussian. Misalkan sebuah citra direpresentasikan dalam sebuah matrik M x N dengan fungsi diskret f(x,y). Algoritma fungsi Mean akan memproses citra sebagi sebuah titik g(x,y). Proses satu titik di (x,y) dan ketetanggaan yang dimiliki citra dengan persamaan (1) sebagai berikut:
(1) Citra yang melalui proses Filter Mean dapat dilihat pada gambar 1 berikut:
Gambar 1. (a) Citra Asli, (b) Citra dengan Noise Salt & Pepper, (c) Reduksi Noise Filter Mean, (d)Citra dengan Noise Gaussian, (e) Reduksi Noise Filter Mean
Reduksi Noise Menggunakan Filter Median Filter Median digunakan untuk mereduksi noise impulse. Filter Median akan mengganti nilai piksel dengan median dari level intensitas dalam ketetanggan piksel yang telah dilakukan perangkingan (Zhang,dkk,2011). Misalkan sebuah citra direpresentasikan dalam matrik M x N dengan fungsi diskret f(x,y). Proses algoritma filter median dinyatakan dalam fungsi g(x,y). Setiap titik diproses pada (x,y) baik dengan titik itu sendiri maupun dengan titik yang berketetanggan seperti pada persamaan (2). (2) Citra yang melalui proses Filter Median dapat dilihat pada gambar 2 berikut:
54
Gambar 2. (a) Citra Asli, (b) Citra dengan Noise Salt & Pepper, (c) Reduksi Noise Filter Median, (d) Citra dengan Noise Gaussian, (e) Reduksi Noise Filter Median
METODE PENELITIAN Fuzzy Filter dapat digunakan untuk mereduksi noise Gaussian dan noise impulse seperti noise Salt & Pepper. Konsep logika fuzzy digunakan untuk menghitung variabel koefisien dalam sebuah citra. Adapun metode yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1.
Proses
akan
dilakukan
pada
sebuah
citra
bitmap
8
bit
yang
direpresentasikan dalam 3 x 3 matrik ketetanggaan. Filter fuzzy menggunakan sebuah mask berukuran 3x3, perhitungan dilakukan untuk menentukan nilai pixel pusat berdasarkan perbedaan 4 pixel tetangganya (atas, bawah, kanan, dan kiri), dan mengimplementasikan beberapa aturan fuzzy. 2.
Citra bitmap 8 bit direpresentasikan dalam sebuah matrik ketetanggan seperti digambarkan pada Gambar 3 berikut:
Gambar 3. Area Ketetanggaan 3 x 3
B merupakan titik fokus yang memiliki level keabuan B. An (n dari 1 sampai 8) adalah titik yang berdekatan dengan fungsi antara An dan B dalam ‗ketidakjelasan‖ sebuah level keabuan yang baru yaitu C dan akan menggantikan B. 3.
Output filter fuzzy dapat diperoleh memalui persamaan 3 sebagai berikut:
(3)
55
4.
Filter fuzzy dengan fungsi triangular median center adalah filter yang mengambil jumlah nilai deviasi piksel dengan nilai median dan menggantinya piksel noise dengan output yang seharusnya berdasarkan fungsi keanggotaan fuzzy triangular
(4)
5.
Kualitas citra diukur dengan menggunakan besaran MSE (Mean Square Error). MSE adalah rata-rata kuadrat nilai kesalahan antara citra asli dengan citra hasil pengolahan yang dengan cara membandingkan pixel-pixel pada posisi yang sama dari dua citra yang berlainan. Secara matematis ditunjukkan pada persamaan 5 sebagai berikut:
(5) dimana x y = koordinat pixel pada citra M = lebar citra (pixel) s,t
= nilai intensitas pixel
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa filter yang akan dilakukan pada file citra yang diberi noise. Noise yang diberikan meliputi noise salt & pepper dan noise Gaussian. Masing-masing citra yang telah memiliki noise akan direduksi noisenya dengan berbagai filter yang telah dibahas diatas. Setiap citra ditambahkan noise Gaussian dan noise salt & pepper. Noise Gausssian pada setiap citra direduksi menggunakan tiga buah filter yaitu filter mean, filter median dan filter fuzzy. Ketiga hasil filterisasi di bandingkan untuk melihat kualitas setiap citra setelah dilakukan reduksi noise menggunakan filter
56
mean, filter median dan filter fuzzy. Dari hasil implementasi ketiga buah filter, diperoleh hasil seperti pada gambar 4 berikut:
Gambar 5. (a) Citra Asli, (b) Citra dengan Noise Salt & Pepper, (c) Reduksi Noise Filter Mean, (d) Reduksi Noise Filter Media, (e) Reduksi Noise Filter Fuzzy, (f)Citra dengan Noise Gaussian, (g) Reduksi Noise Filter Mean, (h) Reduksi Noise Filter Media, (i) Reduksi Noise Filter Fuzzy
Hasil perhitungan MSE keseluruhan citra dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1: Nilai rata-rata MSE hasil filterisasi
57
Dari hasil implementasi diperoleh nilai besaran MSE masing-masing citra dengan filterisasi citra menggunakan filter mean, filter median dan filter terendah ada pada citra dengan noise Gaussian. Sedangkan pada noise salt & pepper, noise terduksi baik pada filter fuzzy dan filter media. Terlihat bahwa pemanfaatan filter fuzzy pada kedua citra dengan masing-masing noise lebih rendah yang menandakan kualitas perubahan citra dari citra asli dengan noise dengan citra hasil reduksi noise. KESIMPULAN Dari analisa yang telah dijabarkan dapat disimmpilkan bahwa sistem logika fuzzy dapat diterapkan pada prose filter citra. Dengan menambahkan koefisien sebagaimana yang digunakan pada sistem fuzzy aditif, sebuah filter mampu melakukan filterisasi citra karena koefisien yang digunakan bersifat relative terhadap semua titik dan dirinya sendiri sehingga mampu beradaptasi dengan titik-titik yang lain maupun dengan dirinya sendiri. DAFTAR PUSTAKA Anita AK dan Andi Hendra, 2012, Eigen Face Algorithm for Batik Bomba Recognition, International Symposium Computational Science, Yogyakarta. Borges,VRP., Barcelos,CAZ., Guliato, D., Batista, MA., 2011, A Selective Fuzzy Region Competition Model For Multiphase Image Segmentation, 2011, 23th IEEE International Confrence on Tools With Artificial Intellengence, hal. 118-125 Guiming, Lu., Yuanzhe,Zhang., 2011, A New Additive Fuzzy System For Image Processing, 2011, International Conference on Network Computing and Information Security, hal. 332-334 Hong-qiao,ZHANG., Xin-Jun,MA., WU-Ning, 2011, A New Filter of Image Based On Fuzzy Logical, International Symposium on Computer Science and Society, China, hal. 315-272 Juanjuan, ZHAO., Huijun, LU, Yue, LI., Junjie,CHEN., 2012, A Kind of Fuzzy Decision Tree Based on The Image Emotion Classification, International Confrence on Computing Measurement, Control and Sensor Network, hal. 167-170
58
Lazzerini, Batrice., Marcelloni, Franscesco., 2001, A Fuzzy Approach to 2-D Shape Recognition, IEEE Transaction on Fuzzy System Vol. 9 No. 1, February 2001, hal. 5-14 Luong, HV., Kim, Yong-Min., Kook, Byung., Hong Kim, Choel., 2009, Artificial Intelligences, Networking and Parallel/Distribution Computing, 10th ACIS International Confrence on Software Engineering, hal. 510-515 Melin, P., 2010, Interval Type-2 Fuzzy Logic Application in Image Processing and Pattern Recognition, 2010, IEEE International Confrence on Granular Computing,hal 728-731 Ting Chou, Yang., Ming Huang,Shih., Hua Wu,Szu., Ferr Yang,Jar., 2011, DWT and Sub-Pattern PCA for Face Recognition Based on Fuzzy Data Fussion, 2011 International Confrence on Intelligent Computation and Bio Medical Instrumetation, hal. 296-299. Zhige, Jia., Xiaoli, Liu., 2008, Modelling Spatial Relationships for Remote Sensing Image Processing Based on Fuzzy Set Theory, 2008 International Confrence on Computer Science and Software Engineering, hal. 11011104
59
MODEL GPS PENGUKURAN POLA ARUS PASANG SURUT DAN GELOMBANG (KASUS PANTAI BAHARI KECAMATAN POLEWALI KABUPATEN POLEWALI MANDAR PROVINSI SULAWESI BARAT) Baharuddin; Wihardi Tjaronge2; Arsyad Thaha3; Farouk Maricar4 Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil Universitas Hasanuddin Makassar
1
Email :
[email protected]
ABSTRACT The research was conducted in August 2012, which took place in the waters of Beach Cliff of Pantai Bahari, Polewali Sub District, Polewali Mandar District, west Celebes Province. This study aimed to determine the pattern of tidal currents and wave characteristics. The method used in this study is a survey method in the determination of station data retrieval consists of 3 stations and 1 station consists of 3 sampling points around the coast. Data retrieval research done at low tide and ebb tide towards the approaching tide. Beaches Bahari a coastal area that has a relatively narrow beach, sand bersubstrat, located along the coast line along the coast so there are Bahari vegetation Coconut tree (Cocos nucifera), Fir Tree (Casuaria equesetifolia). Characteristics include wave height, period and wavelength at high tide and low tide at station 2 is the largest when compared with the two other stations. Bahari inshore depth value is average - average 1.52 m - 1.66 m at high tide and 0.86 m - 1.09 m at low tide. Flow patterns that occur when tidal flow is towards the East, at low tide reverse flow towards the West with the type of flow is the flow along the coast (Longshore current) type tidal ebb and flow that happens is a daily mix biased toward a double (Mixed, dominant semidiurnal) which occurs twice ups and downs twice in one day but different heights. Key Note : tides, bahari beach, the current wave.
PENDAHULUAN Kondisi oseanografi fisika di kawasan pesisir dan laut dapat digambarkan oleh terjadinya fenomena alam seperti terjadinya pasang surut, arus, gelombang, kondisi suhu dan salinitas serta angin. Fenomena tersebut memberikan kekhasan karakteristik pada kawasan pesisir dan lautan sehingga menyebabkan terjadinya kondisi fisik perairan yang berbeda-beda. Perairan Pantai Bahari terletak di Kecamatan Polewali Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat, merupakan daerah pesisir yang mempunyai pantai yang relatif sempit, bersubstrat pasir, yang terdapat di sepanjang garis pantai. Daerah penelitian merupakan salah satu daerah pariwisata, pemukiman
60
maupun kegiatan lalu lintas kapal dengan kondisi karakteristik arus pasang surut dan gelombang yang sangat besar. Perairan Pantai Bahari dipengaruhi oleh pasang surut dan gelombang yang terjadi dimana salah satu akibat dari gelombang dan pasang surut yang masuk ke pantai menyebabkan beberapa kerusakan fisik seperti : pengikisan daratan (abrasi) di perairan pantai ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola arus pasang surut dan karakteristik gelombang. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2012, yang bertempat di Perairan Pantai Bahari Kecamatan Polewali Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei yaitu berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari pengukuran di lapangan dan data sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi-instansi terkait. Bahan dan alat yang digunakan selama penelitian ini adalah current drogue, Stopwatch, Meteran, Tali Pemberat, Kompas, Kamera, GPS, Alat Tulis, Anenometer. Penentuan stasiun dalam pengambilan data terdiri dari 3 stasiun dan 1 stasiun terdiri dari 3 titik sampling di sekitar pantai. Jarak setiap titik sampling 50 m. Titik sampling 1.1, 1.2 dan 1.3 terletak pada jarak 50 m dari garis pantai. Titik sampling 2.1, 2.2 dan 2.3 terletak pada jarak 100 m dari garis pantai. Titik sampling 3.1, 3.2 dan 3.3 terletak pada jarak 150 m dari garis pantai. Pengambilan data penelitian dilakukan pada waktu pasang menjelang surut dan surut menjelang pasang dengan menggunakan perahu dan pada waktu pengambilan data perahu dalam keadaan berhenti untuk mengurangi bias dalam pengambilan data. Adapun pengukuran karakteristik gelombang menggunakan galah berskala dan stop wacth dan pengukuran gelombang meliputi Tinggi Gelombang (H) Tinggi Gelombang adalah nilai yang diperoleh antara jarak vertikal antara puncak gelombang dengan lembah gelombang, dengan cara memancangkan galah berskala tersebut ke dalam perairan, kemudian dari galah berskala tersebut dicatat
61
berapa batas air pada waktu terjadinya lembah gelombang. Setelah itu, dicatat tinggi air pada saat terjadinya puncak gelombang, jarak vertikal antara tinggi puncak dan batas lembah adalah tinggi gelombang. Perioda Gelombang (T) Perioda gelombang adalah interval waktu yang dibutuhkan oleh partikel air untuk kembali ke kedudukan semula dengan kedudukan sebelumnya. Perioda gelombang dengan menancapkan galah berskala, kemudian dihitung waktu antara puncak gelombang ke puncak berikutnya. Panjang Gelombang (L) Panjang gelombang dapat diukur dengan melihat waktu yang dibutuhkan oleh puncak gelombang berikutnya yang melalui satu titik kemudian dicatat jarak atau panjang gelombang dari waktu yang diperlukan dua gelombang puncak tersebut. Maka panjang gelombang dapat ditentukan dengan: L = g(T) /2 Dimana :
g = Gravitasi bumi (9,8 m/dt) T = Perioda Gelombang = 3,14
Panjang gelombang adalah Jarak antara dua puncak atau dua lembah gelombang yang berturut-turut. Pengambilan data arus bersamaan dengan pengambilan data gelombang. Adapun pengukuran karakteristik Arus meliputi: Kecepatan Arus Untuk pengukuran kecepatan arus menggunakan current drogue dan stopwatch di stasiun penelitian. Pengamatan ini secara kualitatif dengan pembacaan selang waktu tertentu masing-masing selama mendekati pasang air laut dan pada saat surut air laut. Jarak yang diukur dibandingkan dengan waktu dengan menggunakan rumus : v = s/t Dimana :
v = Kecepatan arus (m/dt)
62
t = Waktu (dt) s = Jarak (m) Arah Arus Arah arus ditentukan berdasarkan kompas yang digunakan sejalan dengan current drouge. Pengukuran kedalaman pada setiap stasiun dengan menurunkan tali berskala yang diberi pemberat sampai ke dasar perairan dan diusahakan tali tetap tegang. Kemudian di bantu dengan menggunakan GPS. Hasil yang diperoleh di masukan ke dalam rumus menurut (Galib, 2005). Kedalaman = Cosinus a x L Dimana :
L = Panjang tali a = Sudut yang di bentuk oleh tali dengan bidang tegak lurus
Data gelombang yang diperoleh antara lain berupa tinggi gelombang, panjang gelombang, dan perioda gelombang. Selanjutnya data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik dan dibahas secara deskriptif. Dalam penelitian ini digunakan beberapa asumsi : 1.
Ketelitian peneliti dianggap sama dalam melakukan penelitian
2.
Titik sampling dianggap mewakili wilayah yang diteliti.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perairan Pantai Bahari terletak di Kecamatan Polewali Kabupaten Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat terletak pada koordinat 103° 20‘ 07‖ BT sampai 103° 22' 05‖ BT sampai 1° 06‘ 22" LU sampai 1° 05‘ 18‖ LU. Memiliki luas daerah 870,47 km2, Pantai Bahari merupakan daerah pesisir yang mempunyai pantai yang relatif sempit, bersubstrat pasir, yang terdapat di sepanjang garis pantai. Daerah penelitian merupakan salah satu daerah pariwisata, pemukiman maupun kegiatan lalu lintas kapal dengan kondisi karakteristik gelombang dan arus pasang surut yang sangat besar. Vegetasi yang terdapat di sepanjang pantai Bahari adalah pohon Kelapa (Cocos nucifera), pohon Cemara (Casuaria equesetifolia). Kecamatan Tebing mempunyai ketinggian 22 m di atas permukaan laut. Curah hujan di kecamatan Tebing sekitar 238,3 mm/tahun dengan suhu udara pada umumnya dipengaruhi
63
oleh tinggi rendahnya tempat dan permukaan laut, suhu rata - rata maksimum antara 33,6 C° dan suhu rata - rata minimumnya 22,5 C°. Sedangkan kelembapan udara relatif antara 80 - 89 %. Di sepanjang pantai Bahari (stasiun 1, stasiun 2, stasiun 3) merupakan pantai berpasir putih dengan keadaan air yang agak keruh karena dipengaruhi oleh lumpur. Secara detail, keadaan tiap stasiun dapat digambarkan sebagai berikut : 1.
Stasiun 1, merupakan daerah yang dekat dengan aktifitas masyarakat. Dengan kedalaman yang relatif kecil dan gelombang yang tidak terlalu besar dan memiliki kedalaman yang bervariasi dengan rata – rata kedalaman 0,86 m.
2.
Stasiun 2, merupakan daerah tempatan pariwisata. Di daerah ini, gelombang yang terbentuk cukup besar bila dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya dengan tinggi gelombang mencapai 0,33 m pada saat pasang dan 0,36 m pada saat surut. Kedalaman mencapai 0,89 m.
3.
Stasiun 3 , merupakan daerah yang dekat dengan aktifitas masyarakat, sama pada stasiun 1. Gelombang di daerah ini tidak terlalu besar, kedalaman bervariasi dengan rata – rata 1,09 m.
Karakteristik Gelombang Karakteristik gelombang yang dapat diukur, diamati dan dihitung di setiap stasiun penelitian meliputi : tinggi gelombang, perioda gelombang, dan panjang gelombang. Gelombang adalah pergerakan naik turunnya air dengan arah tegak lurus terhadap permukaan laut yang membentuk kurva sinusoidal. Gelombang yang terjadi di laut hampir sebagian besar disebabkan oleh angin. Angin di atas lautan mentransfer energinya ke perairan, menyebabkan riak – riak, alun/bukit, dan berubah menjadi apa yang kita sebut dengan gelombang. Selain itu, gelombang di laut juga dapat disebabkan oleh angin (gelombang angin), gaya tarik menarik antara Bumi, Bulan dan Matahari (gelombang pasang surut), gempa (tektonik atau vulkanik) di dasar laut (gelombang tsunami), ataupun gelombang yang disebabkan oleh gerakan kapal.
64
Tinggi Gelombang (H) Tinggi gelombang diperoleh dari pengukuran jarak vertikal setara puncak gelombang dengan lembah gelombang. Hasil pengukuran tinggi gelombang pada setiap stasiun sangat bervariatif. Nilai rata-rata tinggi gelombang di perairan pantai Bahari berdasarkan perhitungan di tiap stasiun dapat dilihat di Tabel 2 dan grafik tinggi gelombang dapat dilihat pada Gambar 1 Tabel 2. Hasil Pengukuran Tinggi Gelombang (H) di Perairan Pantai Bahari
Tanggal pengukuran 10- Aug -12 11- Aug -12 12- Aug -12 13- Aug -12 14- Aug -12 15- Aug -12 16- Aug -12 17- Aug -12 18- Aug -12 19- Aug -12 20- Aug -12 21- Aug -12 22- Aug -12 23- Aug -12 24- Aug -12 Rata-rata
I pasang (m) 0,20 0,18 0,22 0,23 0,21 0,20 0,24 0,19 0,22 0,24 0,21 0,21 0,20 0,22 0,23 0,21
surut (m) 0,25 0,21 0,26 0,25 0,23 0,22 0,28 0,20 0,25 0,27 0,22 0,23 0,22 0,25 0,24 0,24
STASIUN II pasang (m) surut (m) 0,35 0,36 0,37 0,39 0,31 0,34 0,30 0,32 0,33 0,37 0,31 0,34 0,34 0,38 0,32 0,35 0,35 0,36 0,39 0,39 0,32 0,35 0,31 0,34 0,33 0,37 0,35 0,37 0,30 0,32 0,33 0,36
III pasang (m) surut (m) 0,22 0,28 0,27 0,3 0,25 0,27 0,23 0,25 0,21 0,23 0,24 0,30 0,20 0,23 0,21 0,25 0,21 0,23 0,27 0,31 0,25 0,28 0,23 0,27 0,21 0,25 0,24 0,26 0,27 0,32 0,23 0,27
Sumber : Data Primer 2012
Berdasarkan tabel dapat diketahui hasil pengukuran terhadap tinggi gelombang perairan pantai Bahari pada saat pasang berkisar antara 0,21 – 0,33 m dan pada saat surut berkisar antara 0,24 – 0,36 m. Di stasiun 1, tinggi gelombang rata- rata adalah 0,21 m pada saat pasang dan rata-rata 0,24 m pada saat surut. Pada stasiun 2 tinggi gelombang relatif lebih tinggi dibandingkan di stasiun 1 dan stasiun 3, baik itu pada saat pasang maupun surut, yakni berkisar 0,33 m pada saat pasang dan antara 0,32-0,39 pada saat surut dengan rata-rata 0,356 m. Pada stasiun 3 tinggi gelombang rata-rata 0,23 m dan antara 0,23-0,32 m atau rata-rata 0,268 m pada saat surut. Pada gambar 2 dapat dilihat perbandingan tinggi gelombang antara ketiga stasiun di lokasi penelitian.
65
Gambar 1. Diagram Tinggi Gelombang di Perairan Pantai Bahari
Periode Gelombang (T) Periode gelombang adalah waktu yang diperlukan untuk membentuk dua puncak gelombang atau lembah melalui satu titik tertentu yang saling berurutan. Hasil pengukuran periode gelombang di perairan pantai Bahari dapat dilihat pada tabel 3 dan grafik periode gelombang dapat dilihat pada gambar 2. Tabel 3. Hasil Pengukuran Periode Gelombang (T) di Perairan Pantai Bahari
Tanggal pengukuran 10- Aug -12 11- Aug -12 12- Aug -12 13- Aug -12 14- Aug -12 15- Aug -12 16- Aug -12 17- Aug -12 18- Aug -12 19- Aug -12 20- Aug -12 21- Aug -12 22- Aug -12 23- Aug -12 24- Aug -12 Rata-rata
I pasang (m) surut (m) 1,13 0,80 1,04 0,75 1,14 0,83 1,08 0,82 1,03 0,79 0,95 0,72 1,05 0,83 1,90 0,70 0,93 0,75 1,07 0,87 1,12 0,94 0,95 0,73 0,92 0,70 1,07 0,92 1,11 0,97 1,10 0,81
STASIUN II III pasang (m) surut (m) pasang (m) surut (m) 2,07 1,87 1,95 1,72 2,36 2,03 1,9 1,69 2,40 2,07 1,84 1,63 2,30 2,01 1,7 1,54 2,15 1,93 1,85 1,59 2,01 1,80 1,82 1,72 2,04 1,85 1,78 1,68 2,02 l.,82 1,72 1,63 2,05 1,89 1,79 1,68 2,18 1,97 1,91 1,77 2,27 2.02 1,87 1,74 2,03 1.86 1,85 1,7 2,05 1.91 1,9 1,79 2,25 1.98 1,95 1,83 2,36 2.12 1,8 1,79 2,17 1,94 1,84 1,70
Sumber : Data Primer 2012
Pengukuran periode gelombang yang dilakukan menunjukkan bahwa periode gelombang pada saat pasang relatif lebih besar dibandingkan pada saat
66
surut. Saat pasang berkisar antara 1,10 – 2,17 detik dan antara 0,81 – 1,84 detik pada saat surut.
Gambar 2. Diagram Periode Gelombang di Perairan Pantai Bahari
Periode gelombang di stasiun 2 lebih lama dibandingkan kedua stasiun lainnya. Pada stasiun 1 periode gelombang berkisar antara rata – rata 1,10 detik pada saat pasang dan rata – rata pada 0,81 detik saat surut. Stasiun 2 periode gelombang terjadi rata – rata 2,17 detik pada saat pasang dan rata – rata 1,94 detik pada saat surut. Pada stasiun 3 periode gelombang yang rata – rata 1,84 detik pada saat pasang dan rata – rata 1,70 detik pada saat surut. Panjang Gelombang (L) Panjang gelombang adalah jarak antara dua puncak atau lembah gelombang. Atau jarak antara satu puncak dengan satu lembah gelombang. Hasil pengukuran panjang gelombang menunjukkan ukuran panjang gelombang yang bervariasi karena dipengaruhi hasil pengukuran periode gelombang, yang berkisar antara 1,98 – 7,37 m pada saat pasang dan 1,03 – 5,90 m pada saat surut. Secara detail panjang gelombang di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 4 dan grafik panjang gelombang pada Gambar 3 Tabel 4. Hasil Pengukuran Panjang Gelombang (L) di Perairan Pantai Bahari
Tanggal pengukuran 10- Aug -12 11- Aug -12 12- Aug -12 13- Aug -12 14- Aug -12 15- Aug -12
67
STASIUN I II pasang (m) surut (m) pasang (m) surut (m) 1,99 1,00 6,69 5,46 1,69 0,88 8,69 6,43 2,03 1,08 8,99 6,69 2,03 1,05 8,26 6,30 1,66 0,97 7,21 5,81 1,41 0,81 6,30 5,06
III pasang (m) surut (m) 5,93 4,62 5,63 4,46 5,28 4,15 4,51 3,70 5,34 3,95 5,17 4,62
16- Aug -12 17- Aug -12 18- Aug -12 19- Aug -12 20- Aug -12 21- Aug -12 22- Aug -12 23- Aug -12 24- Aug -12 rata-rata
1,72 5,63 1,35 1,79 1,96 1,41 1,32 1,79 1,92 1,98
1,08 0,76 0,88 1,18 1,38 0,83 0,76 1,32 1,47 1,03
6,49 6,37 6,56 7,42 8,04 6,43 6,56 7,90 8,69 7,37
5,34 5,17 5,57 6,06 6,37 5,40 5,69 6,12 7,01 5,90
4,94 4,62 5,00 5,69 5,46 5,34 5,63 5,93 5,06 5,30
4,40 4,15 4,40 4,89 4,72 4,51 5,00 5,23 5,00 4,52
Sumber : Data Primer 2012
Panjang gelombang di stasiun 2 lebih tinggi dibanding dengan stasiun 1 dan stasiun 3. Pada stasiun 2 panjang gelombang pada saat pasang rata – rata 7,37 m dan pada saat surut rata – rata 5,90 m. Sementara pada stasiun 1 panjang gelombang rata – rata 1,98 m pada saat pasang dan rata – rata 1,03 m pada saat surut. Pada stasiun 3 panjang gelombang yang terbentuk rata – rata 5,30 m pada saat pasang dan pada saat surut berkisar rata – rata 4,52.
Gambar 3. Diagram Panjang Gelombang di Perairan Pantai Bahari
Karakteristik Arus Pengambilan data arus yang diambil adalah data arus permukaan yang meliputi pengukuran kecepatan arus dan menentukan arah arus pada saat pasang dan pada saat surut di perairan pantai Bahari. Bentuk arus yang terjadi di lokasi penelitian adalah arus perairan pesisir yang merupakan arus menyusur pantai (Longshore current). Arus ini terjadi karena gelombang mendekat dan menghantam ke pantai dengan arah yang miring atau tegak lurus garis pantai. Akibatnya material yang terbawa oleh arus sebagian tertinggal di pantai, sebagian lagi ikut terbawa kembali seiring dengan aliran balik arus tersebut. Sehingga ketika material yang tertinggal lebih sedikit dari pada material yang terangkut, maka terjadi pengikisan daratan atau abrasi.
68
Kecepatan dan Arah Arus Arus di perairan pantai Bahari merupakan arus pasang surut yang merambat dari arah lautan menuju daratan. Hasil pengukuran kecepatan dan arah arus di perairan pantai Bahari dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Pengukuran Kecepatan dan Arah Arus di Perairan Pantai Bahari
Stasiun
Sub Stasiun
I
50m 100m 150 m 50 m 100 m 150 m 50 m 100 m 150 m
II
III
Kecepatan dan Arah Arus Saat Pasang Saat Surut Arah Arus Kec. Arus Arah Arus Kec. Arus (0) (m/dt) (0) (m/dt) 55° 0,21 120° 0,18 70° 0,19 140o 0,16 75° 0,20 145° 0,19 65° 0,24 135° 0,26 85° 0,22 150° 0,24 75° 0,19 140° 0,21 65° 0,22 130° 0,19 80° 0,20 145° 0,19 70° 0,18 165° 0,15
Sumber : Data Primer 2012
Hasil pengukuran kecepatan dan arah arus di lokasi menunjukkan adanya kecepatan dan arah arus yang bervariasi di ketiga stasiun dengan 9 sub stasiun, yaitu 0,18 – 0,24 m/det atau rata – rata 0,21 m/det pada saat air pasang dan antara 0,15 – 0,26 m/det atau rata – rata 0,19 m/det pada saat air surut. Meskipun kecepatan arus pada saat pasang lebih tinggi daripada kecepatan arus pada saat surut . Namun tidak dapat perbedaan yang cukup signifikan terhadap kecepatan arus di tiga stasiun pada saat surut maupun pada saat pasang. Pada stasiun 1 kecepatan arus di ketiga sub stasiun pada saat pasang terjadi antara 0,19 – 0,21 m/det atau rata – rata 0,20 m/det dengan arah arus berkisar diantara 55 ° dan 75° ke arah timur dan tenggara sementara kecepatan arus pada saat surut antara 016 – 0,19 m/det atau rata – rata 0,17 m/det dengan arah arus berkisar antara 120° dan 145° ke arah Barat Daya. Tidak berbeda dengan stasiun 1, pada stasiun 2, kecepatan arus berkisar 0,19 – 0,24 m det atau rata – rata 0,21 m/det pada saat pada pasang di ketiga stasiun dengan arah arus yang berada dikisaran 65° dan 85° ke arah Timur dan Tenggara sementara pada pada saat surut , kecepatan arus bervariasi antara 0,21 – 0, 26 m/det atau rata – rata 0,23 m/det dengan arah arus diantara 135° dan 150° ke arah Barat Daya. Pada stasiun 3 dengan tiga sub stasiun, diketahui bahwa kecepatan arus pada saat pasang berada pada nilai 0,18 –
69
0,22 m/det atau rata – rata 0,20 m/det dan arah arus pada kisaran 65° dan 80° kearah Timur dan Tenggara. Sementara itu pada saat surut , kecepatan arus yang diperoleh antara 0,15 – 0,19 m/det atau rata – rata 0,17 m/det dan arah arus antara 130° dan 165° ke arah Barat Laut. Untuk lebih detailnya dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Diagram Kecepatan Arus Tiap Stasiun di Perairan Pantai Bahari
Tinggi dan Tipe Pasang Surut Kondisi pasang surut menurut Hutabarat dan Evan (1986) disebut dengan high water dan low water, juga pada saat yang sama akan ditemukan tinggi/rentang pasang surut (tidak range) yang besar. Kondisi ini terjadi pada saat bumi, bulan dan matahari membentuk sudut 90 baik pada seperempat bulan awal maupun akhhir dan pada saat tersebut akan terjadi tinggi pasang rendah yang disebut pasang perbani (neap tide). Kebalikan dari kondisi ini adalah pada saat bumi, bulan dan matahari berada pada satu garis lurus yang akan membangunkan pasang yang dikenal dengan pasang purnama (spring tide)yang terjadi pada saat bulan purnama (15 hari bulan) danbulan baru (1 hari bulan). Tipe pasang surut ditentukan oleh frekuensi air pasang dengan surut setiap harinya. Hal ini disebabkan karena perbedaan respon setiap lokasi terhadap gaya pembangkit pasang surut . Jika suatu perairan mengalami satu kali pasang dan satu kali surut, maka kawasan tersebut dikatakan bertipe pasang surut harian tunggal (diurnal tides) , namun jika terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari, maka tipe pasang surutnya disebut tipe harian ganda (semidiurnal tides). Tipe pasut lainnya merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda
70
disebut dengan tipe campuran (mixed tide) dan tipe pasut ini digolongkan menjadi dua bagian, yaitu tipe campuran dominasi ganda dan tipe campuran dominasi tunggal (Duxbury et al, 1992). Dalam penelitian mengenai tipe pasang surut, peneliti tidak melakukan pengamatan langsung terhadap pasang surut di lokasi penelitian, namun berpedoman terhadap tabel pasang surut yang diperoleh dari Dinas Hydro – oseanografi TNI AL Kabupaten Polewali Mandar. Kedalaman Perairan Kedalaman perairan merupakan salah satu faktor lingkungan perairan yang berpengaruh terhadap bentuk gelombang saat merambat mendekati pantai. Pengukuran kedalaman di perairan pantai Bahari dilakukan pada saat pasang dan surut dengan jarak setiap sub stasiun 50 m mulai dari garis pantai hingga 150 m ke arah laut. Ini dimaksudkan untuk mengetahui bentuk dasar pantai. Hasil pengukuran kedalaman laut di perairan pantai Bahari dinyatakan dalam persen dan dalam bentuk grafik. Lebih jelasnya dilihat pada tabel 6 dan gambar 7 Tabel 6. Kedalaman Perairan di Perairan Pantai Bahari.
Stasiun
Sub Stasiun 50 m 100 m 150 m 50 m 100 m 150 m 50 m 100 m 150 m
I
II
III
Kedalaman Pasang (m) 1,14 1,57 1,86 1,21 1,55 1,90 1,35 1,60 2,05
Sumber : Data Primer 2012
Gambar 7. Diagram Kedalaman Perairan Pantai Bahari
71
Surut (m) 0,68 0,75 1,15 0,71 0,86 1,12 0,84 1,10 1,35
KESIMPULAN DAN SARAN Karakteristik gelombang dan arus pasang surut ketiga stasiun di perairan pantai Bahari selama penelitian berbeda satu sama lain. Karakteristik gelombang yang meliputi tinggi, periode dan panjang gelombang pada saat pasang dan surut di stasiun 2 merupakan yang terbesar apabila dibandingkan dengan kedua stasiun lainnya. Nilai kedalaman perairan pantai Bahari adalah rata – rata 1,52 m – 1,66 m pada saat pasang dan 0,86 m – 1,09 m pada saat surut. Kecepatan arus di perairan pantai Bahari lebih cepat pada saat surut dibanding saat pasang. Pola arus yang terjadi pada waktu pasang adalah arus menuju ke arah Timur, sebaliknya pada saat surut arus menuju ke arah Barat dengan tipe arus adalah arus menyusur pantai (Longshore current). Berdasarkan data pasang surut yang diplot dalam bentuk grafik, menunjukkan bahwa tipe pasang surut yang terjadi adalah pasang surut campuran condong ke harian ganda (Mixed, dominant semidiurnal) yaitu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam satu hari namun ketinggian yang berbeda. Penelitian ini merupakan studi awal yang memberikan informasi mengenai kondisi gelombang dan arus pasang surut di perairan Bahari, oleh karena itu perlu untuk diketahui seberapa besar pengaruh gelombang dan arus pasang surut tersebut terhadap perubahan garis pantai yang meliputi abrasi dan akreasi di kawasan ini. Sedangkan untuk pemanfaatannya, disarankan untuk diadakan pengkajian yang lebih intensif lagi mengenai bagaimana usaha pemanfaatan kawasan ini sebagai lokasi wisata yang diharapkan mampu menjadi sumber pemasukan bagi masyarakat setempat, mengingat potensinya yang cukup berpeluang untuk dikembangkan. DAFTAR PUSTAKA
Agus. 2011. Sifat Air Laut. http://www.geocities.com/agus.adut/sifatair laut.htm (9 April 2009). Amri, U. 2010. Arus Pasang Surut dan Profil Kawasan Pantai Pulau Labuhan Bilik Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. (tidak diterbitkan).
72
Arief. D., 1980. Pengantar Oseanografi. Hal. 123 – 124 dalam D.H. Kunarso dan Rugitno (eds0, Status Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik Penanggulangannya. Birowo, S. 1991. Pengantar Oseanografi, hal. 123 – 124. Dalam Status Pencemaran Laut di Indonesiadan Teknik Pemantauannya. PPPO-LIPI Jakarta. Darmadi. 2010. Karakteristik Gelombang dan Arus Pasang Surut di Pelabuhan Kejawan Cirebon. Laporan Praktikum Oseanografi Fisika. Jurusan Ilmu Kelautan. Universitas Padjadjaran Bandung. Diposaptono, S. 2004. Karakteristik Laut Pada Kota Pantai. Direktorat Bina Pesisir, Direktorat Jendral Urusan Pesisir dan Pulau – pulau kecil Departemen Kelautan dan Perikanan. Duxbury, A. B, Duxbury A. C, and Sverdrup. K. A., 1992. Fundamental of Oceanography Fourth Edition. Wm C Brown. Dubuque. 337 page. Faurika, Y. 2010. Studi Gelombang dan Arus Serta Kemiringan Pantai di Kelurahan Pasie Nan Tigo Sumatera Barat. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. Galib. M., 1999. Oseanografi Fisika. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. 93 hal (tidak diterbitkan). , 2005. Oseanografi Fisika Deskriptif. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. FAPERIKA Press. 92 hal. Horikawa. K. 1978. Coastral Engineering an Inrtoduction to Ocean Engineering, University of Tokyo. Hutabarat. S dan S. M. Evans, 1985. Pengantar Oseanografi, Universitas Indonesia. Jakarta. 147 hal. Idris, F. 2009. Distribusi Suhu dan Salinitas di Perairan Sekitar Muara Sungai Ungar Kecamatan Kundur Kabupaten Karimun Provinsi Kepulauan Riau. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekanbaru. (tidak diterbitkan). Jalaluddin. R. 2005. Hubungan Pasang Surut dengan Gelombang Bono di Perairan Pantai Teluk Meranti Kecamatan Pelalawan Provinsi Riau. Skripsi Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan (tidak diterbitkan). Markas Besar, T.N.I. A.L 2007. Hidrografi dan Oseanografi. Spesialisas Navigasi dan Direksi. Jakarta. (terbatas).
73
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Nybakken, J. W. 1988. Oseao. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan 0leh M. Eidmen, Koesbiono, D.G. Bengen, Hutomo dan Sukarjo. Gramedia Jakarta 352 hal. Pardjaman, 2006. Sumberdaya, sifat – sifat oseanologis serta permasalahan Proyek Penelitian Potensi Sumberdaya Ekonomi, LON LIPI. Jakarta, hal 83-104. Rahman H, 2007. Pola Arus dan Tipe Pasang Surut di Perairan Desa Panglima Raja Kecamatan Kuala Indragiri Kabupaten Indragiri. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. Pekanbaru. Hal 6 (tidak diterbitkan). Rikha. A. 2004. Abrasi dan Sedimentasi Berdasarkan Energi Fluks Gelombang di Pantai Teluk Pangandaran Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Skripsi.FAPERIKA UNRI. 54 hal. Setiana, A. 2000. Oseanografi Kimia Perairan Pesisir. Makalah Pada Kursus Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Holistik (angkatan pertama). PPLH. IPB Bogor. 30 hal. (tidak diterbitkan). Uktoselya, H. 1991. Beberapa Aspek Fisika Laut dan Perannya Dalam Masalah Perencanaan Dalam Laporan Seminar Pencemaran Laut Serta Lembaga Oseanografi Nasional LIPI. Jakarta. 175 hal.
74
TEST X-RAY TOMOGRAPHY PERMEABLE ASPHALT PAVEMENT MENGGUNAKAN BATU DOMATO SEBAGAI COURSE AGGREGATE DENGAN BAHAN PENGIKAT BNA-BLEND PERTAMINA Firdaus Chairuddin1, Wihardi Tdaronge2, Muhammad Ramli3, Johannes Patanduk4 1 Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Dari Universitas Atmajaya 2 Dosen Jurusan Teknik Sipil Universitas Hasanuddin Makassar 3 Dosen Jurusan Teknik Sipil Unversitas Hasanuddin Makassar 4 Dosen Jurusan Teknik Sipil Uiversitas Hasanuddin Makassar Email :
[email protected]
ABSTRAK
Aspal porus merupakan struktur lapisan perkerasan yang mempunyai ronggarongga yang membuat air tidak tergenang di permukaan jalan, mengurangi percikan air dan membuat permukaan jalan tidak licin sehingga mengurangi kecelakaan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana pengaruh aspal porus menggunakan pecahan batu domato dan batu pecah alam dengan bahan pengikat BNA Blend Pertamina melalui karakteristik pengujian Marshall, Indirect Tensile Strength (ITS), dan Cantabro. Serta mendapatkan nilai campuran gradasi agregat kasar dan Kadar Aspal Optimum (KAO) yang sesuai. Metodologi Penelitian yang digunakan dalam pengkajian adalah metode eksperimen di laboratorium. Aspal porus diproduksi sebagian menggunakan jenis agregat kasar pecahan batu domato dan sebagian agregat langsung dari stone cruser dengan bitumen yang sama. Komposisi dan variasi aspal yang akan diteliti adalah 100% BNA Blend Pertamina dengan kadar aspal 7%, 8%, 9%, dan 10%. Selanjutnya dilakukan observasi untuk mengetahui nilai stabilitas Marshall, nilai uji keausan (Cantabro Test).dan Indirect Tensile Strength (ITS). Dari hasil penelitian yang dilakukan mengindikasikan bahwa campuran beraspal porus menunjukan pengaruh terhadap nilai karakteristik aspal porus khususnya pada gradasi batu domato 50% tertahan ½‖ dan batu alam 50% tertahan 3/8‖ dimana dari hasil analisa didapatkan nilai Kadar Aspal Optimum yaitu 9.5%. Berdasarkan hasil Scanning Electron Microscope (SEM) dapat dilihat secara mikrostruktur dan kandungan unsur kimia yang terdapat di dalam aspal porus membuktikan bahwa seluruh unsur-unsur dari senyawa BNA Blend Pertamina dengan batu domato dapat menyatu dan mengikat dengan baik. Kata Kunci: Aspal porus, batu domato, marshal test, cantabro test, indirect tensile strenght test.
PENDAHULUAN Jalan merupakan lintasan dasar dan utama dalam menggerakkan roda perekonomian Nasional dan daerah, mengingat penting dan srategisnya fungsi jalan untuk mendorong distribusi barang dan jasa sekaligus mobilitas penduduk. Dimana ketersediaan jalan memungkinkan masyarakat mendapatkan akses kemudahan bertransportasi. Untuk itu diperlukan perencanaan struktur perkerasan 75
7
yang kuat, tahan lama dan mempunyai daya tahan tinggi terhada deformasi yang terjadi. Kerusakan jalan di Indonesia umumnya disebabkan oleh physical damage factor yang berlebih, banyaknya arus kendaraan yang lewat sebagai akibat pertumbuhan jalan kendaraan juga sangat berpengaruh terhadap umur layak kendaraan. Disamping itu kerusakan jalan banyak diakibatkan oleh fungsi drainase struktur jalan kurang baik, akibatnya genangan air dipermukaan jalan meningkat sehingga merusak struktur jalan. (Puslitbang PU, 2011). Sifat aspal berpori antaranya adalah sifat hidrolik dikarenakan memberi manfaat mencegah aqua planning pada jalan dengan kondisi basah atau tergenang air di lapis permukaannya sehingga mengurangi hidroplanning. Selebihnya sifat aspal berpori karena permukaannya yang kasar tahan selip kendaraan pada kndisi kecepatan tnggi disamping itu pula aspal berpori mengurangi semprotan air dan pantulan cahaya di jalan karea fungsi drainasenya baik. (Pagotto. et. al. 2000). Kapasitas drainase aspal berpori sangat tergantung pada besar kecil ukuran porositas, sedangkan daya tahan dan kekuatan tergantung pada besar ukuran isi kekosongan pori yang berbeda, dimana di tentukan bahwa pavement dengan kadar kekosongan lebih dari 20% itu lebih tahan lama dibanding kondisi kadar kekosongan kurang dari 20%. (Ruz, et. al, 1990). Pada aspal berpori yang menggunakan bahan pengikat BNA Blend Pertamina 100%, curah hujan yang jatuh pada permukaan dengan kemiringan antara 2% - 3% dengan intensitas 452 mm/jam besarnya rembesan vertikal adalah 100% dan aliran permukaan (surface run off) yaitu 0,05%. (Nur Ali, et.al, 2012). Pada aspal berpori yang menggunakan bahan pengikat aspal minyak 100%, curah hujan ang jatuh pada permukaan dengan kemiringan 2%-3% dengan intensitas 452 mm/jam, besarnya rembesan vertikal adalah 100%, aliran permukaan 0%, untuk curah hujan sebesar 452 mm/jam yang jatuh dipermukaan aspal berpori dengan menggunakan aspal minyak sebesar 2% diperoleh rembesan vertikal sebesar 99,88%. (Diana et.al, 2000). Aspal berpori di indonesia belum memiliki spesifikasi khusus sehingga pengukuran terhadap kinerja aspal berpori dilakukan dengan mengacu pada standar spesifikasi Malaysia, Jepang, Australia, Inggris dan America. Aspal berpori adalah jenis perkerasan yang menggunakan aggregat halus sebanyak 15%-
76
30% yang oleh beberapa Negara menggunakan aspal minyak sebagai bahan pengikat. (Zulkarnain et. al. 2001). Carr Donald D. dan Rooney L.F (1985) membuat klasifikasi mineral atas dasar kandungan kalsit dan dolomit serta material non-karabonat dalam batuan. Jika kandungan kalsit dalam batuan dominan, (MgCO3) yang paling banyak (>15%) maka batuan tersebut diklasifikasikan sebagai batuan domato. Batu domato yang mengalami metamorfosa akan berubah penampakannya dan sifatnya. Itu terjadi karena pengaruh tekanan maupun panas tinggi, sehingga batu domato tersebut menghablur, seperti yang dijumpai pada marmer. Air tanah juga berpengaruh terhadap penghabluran ulang pada permukaan batu domato sehingga membentuk kalsit.
Gambar 1. Batu Domato
Pada pengujian aspal poros permeability test dengan model test experimental menunjukkan bahwa hasil test dengan menggunakan aspal minyak yang di combaind dengan campuran aggregate kasar dan aggregat halus diperoleh stability 0,15 cm/dt, artinya permeability cukup kuat. (Phil Herington, et all, 1997) Aspal berpori berbeda dengan aspal padat, dimana aspal poros berpori sebagian besar terdiri dari aggregat kasar gradasi terbuka (open graded course aggregat) dan sejumlah kecil pasir serta filler. Rongga-rongga terbentuk dari tumpukan rangka (skeleton) dimana aggregat kasar dan kadar rongga udara pada aspal berpori adalah sebesar 10%-25% rongga udara yang bersambung membentuk drainase dibawah permukaan yang dapat menyebarkan air secara vertikal dengan cepat kebawah sehingga tidak terjadi genangan air. (Nur. Ali, et. al. 2005).
77
Karakteristik konstruksi perkerasan jalan aspal beton banyak dipengaruhi oleh bahan campuran antara aggregat dan aspal, nampak bahwa variasi penggunaan aggregat kasar bentuk bulat sebesar 0%, 20%, 40%, 60%,80% dimana dari test Marshall nampak bahwa nilai kelelehan 522, 86 kg nilai rongga udara 6, 179% sedangkan agregat kasar bentuk pecah nilai kelelehan 716,22 kg nilai rongga udara 8,779%. (Siti Nurfaridah et.all, 2008). Dengan model simulation based ON Competed nampak bahwa unsur carbonate pada strukture buatan dengan menganalisa mikro struktur lateral rock strukture pada sistem X – ray Computed nampak bahwa ada korelasi Fluid Flow dengan model ukuran butir batuan yang digunakan sebagai course aggregat. (Jon Kaczmacak. et .all, 2010) METODOLOGI Desain penelitian Komposisi campuran yang digunakan dalam penelitian ini yaitu komposisi campuran menggunakan gradasi terbuka menggunakan agregat kasar pecahan batu domato lolos saringan 3/4‖ tertahan saringan 1/2‖ dan pecahan batu alam lolos saringan 1/2‖ tertahan saringan 3/8‖ dengan variasi penambahan agregat halus 9% dengan komposisi campuran yang menggunakan trial gradations dan pencampuran aspal dengan BNA Blend Pertamina menggunakan 7%, 8%, 9%, 10% kadar BNA Blend Pertamina. Pengumpulan data primer dan data sekunder Metode pengumpulan data digunakan data primer dengan menganalisa hasil dari
penelitian
yang
dilaksanakan
mengadakan
kegiatan
percobaan
di
laboratorium dimana Aspal Porus diproduksi dengan menggunakan jenis agregat dengan sistem gradasi terbuka (open graded) dan menggunakan Asbuton sebagai bahan pengikat, sedangkan data sekunder dengan membaca sejumlah buku, artikel-artikel ilmiah sebagai landasan teori dalam menuju kesempurnaan penelitian ini.
78
Metode analisis data Selanjutnya dilakukan observasi untuk mengetahui nilai Porositas, Stabilitas (Marshall Test), nilai Uji Keausan (Cantabro Test), dan nilai Kuat Tarik Tak Langsung (Indirect Tensile Strenght (ITS). HASIL PENELITIAN Pengujian sifat fisik agregat Hasil pengujian sifat diperlihatkan pada Tabel 1 menunjukkan nilai penyerapan batu domato tertahan saringan ½‖ adalah 6,79% sangat tinggi disebabkan Karakteristik batu domato mempunyai pori yang besar dibandingkan pengujian agregat kasar batu alam tertahan saringan 3/8‖ dan karakteristik agregat halus telah memenuhi syarat spesifikasi untuk digunakan sebagai agregat campuran beraspal. Pengujian sifat fisik BNA Blend Pertamina Hasil pengujian sifat fisik BNA Blend Pertamina pada Tabel 2 menunjukkan bahwa BNA Blend Pertamina memenuhi syarat spesifikasi untuk digunakan sebagai bahan pengikat pada campuran beraspal. Dari hasil pengujian penetrasi sebelum kehilangan berat dengan nilai 42,1 mm memperlihatkan bahwa BNA Blend Pertamina merupakan jenis aspal keras, hasil solubility memperlihatkan bahwa BNA Blend Pertamina mengandung aspal 69,16% sehingga mineral yang terkandung selain aspal sebesar 30,84%. Pengujian permeabilitas dan porositas Pengujian Permeabilitas ini menggunakan benda uji yang sama dengan benda uji Marshall, menunjukkan bahwa koefisian pereabilitas semakin kecil dengan semakin bertambahnya kadar BNA Blend Pertamina maka volume rongga yang berada di dalam benda uji semakin berkurang hal ini disebabkan rongga yang terisi oleh liquid semakin kecil sehingga waktu untuk mengalirkan air dipermukaan akan lebih lama. Hasil pengujian menunjukkan nilai terendah 19,40% pada gradasi batu domato 25% tertahan ½‖ dan batu alam 75% tertahan 3/8‖ sedangkan nilai tertinggi 24,63% pada gradasi batu domato 75% tertahan ½‖ dan batu alam 25% tertahan 3/8‖. Fenomena perilaku permeabilitas sangat dipengaruhi juga dari persentase porositas dalam campuran aspal porus yaitu 79
minimal 10-1 cm/detik. Dari hasil pengujian porositas, campuran aspal porus telah memenuhi spesifikasi yang ditentukan yaitu 15% - 25%. Pengujian stabilitas (Marshall Test) Proses pengujian Marshall dilakukan sesuai prosedur pengujian yang mengacu pada SNI 06-2489-1991. Pengujian Marshall ini dilakukan hanya untuk mengukur stabilitas dan alir (flow), hal ini merupakan salah satu parameter indikasi nilai kekuatan yang dimiliki oleh suatu campuran dalam hal pemenuhan kebutuhan berdasarkan parameter perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai stabilitas terendah diperoleh 470,66 kg pada gradasi Batu domato 75 % Tertahan 1/2" dan Batu Alam 25 % Tertahan 3/8" dengan kadar aspal 7 %. Sedangkan nilai stabilitas tertinggi diperoleh 837,09 kg pada gradasi pecahan Batu domato 50 % Tertahan 1/2" dan Batu Alam 50 % Tertahan 3/8" dengan kadar aspal 9 %. Hanya gradasi campuran angregat kasar 75:25 dengan kadar BNA Blend Pertamina 7 % dengan nilai stabilitas 470.66 tidak memenuhi standar spesifikasi, sedangkan gradasi campuran angregat kasar 75:25, 50:50, dan 25:75. Pada semua kadar variasi BNA Blend Pertamina dapat memenuhi standar minimal spesifikasi yaitu 500 Kg. Pengujian indirect tensile strenght (ITS Test) Hasil pengujian Kuat Tarik Tak Langsung (ITS Test) mendapatkan nilai kuat tarik tak langsung yang terendah 0,087 N/mm² pada gradasi batu domato 75 % Tertahan 1/2" dan batu alam 25 % Tertahan 3/8" sedangkan nilai kuat tarik tak langsung yang tertinggi 0,166 N/mm² pada gradasi batu domato 50 % Tertahan 1/2" dan batu alam 50 % tertahan 3/8" dengan kadar aspal 9 % memberikan pengaruh besar terhadap besarnya titik puncak kekuatan gaya tarik dari campuran aspal porus tersebut. Pengujian tingkat keausan (Cantabro Test) Hasil pengujian menunjukkan nilai keausan tertinggi diperoleh 41,21% pada gradasi pecahan batu domato 75% tertahan saringan 1/2‖ dan batu alam 25% tertahan saringan 3/8‖ dengan kadar aspal 7%. Sedangkan nilai keausan terendah diperoleh 10,77% pada gradasi pecahan batu domato 25% tertahan saringan 1/2‖ dan batu alam 75% tertahan saringan 3/8‖ dengan kadar aspal 10%. 80
Penentuan kadar BNA Blend Pertamina optimum pada gradasi 100% tertahan saringan 1/2” Penentuan kadar aspal optimum untuk gradasi agregat 100% tertahan pada saringan 1/2" tidak dapat ditentukan karena tidak terdapat titik temu antara semua kriteria, meskipun untuk kriteria permeabilitas, porositas, stabilitas, kelelehan, kekakuan Marshall dan kuat tarik tak langsung untuk kadar aspal 7% - 10% memenuhi spesifikasi. Hal ini berarti untuk gradasi agregat 100% tertahan saringan 1/2‖, kadar aspal yang digunakan pada penelitian ini belum memenuhi untuk mendapatkan campuran dengan ketahanan yang tinggi. Pengujian XRD (X-Ray Diffraction) dan SEM (Scanning Electron Microscope) BNA Blend Pertamina Berdasarkan data pengujian XRD BNA Blend Pertamina menunjukkan bahwa unsur penyusun BNA Blend Pertamina ini didominasi oleh Karbon (C) dan Silika (Si). Pada fase intan (diamond), Karbon merupakan penyusun BNA Blend Pertamina yang terbesar yaitu 68,17%. Selain fase intan, Karbon pada BNA Blend Pertamina juga berupa hidrokarbon Dimethoxymethane sebanyak 7,9%. BNA Blend Pertamina mengandung mineral yang terbentuk dari senyawa silicon oxide (SiO2) pada fase coasite. Melalui pengujian SEM, ditemukan atom-atom maupun oksida penyusun BNA Blend Pertamina yang sulit ditemukan melalui analisis dari Pengujian XRD. BNA Blend Pertamina terdiri dari bitumen dan butiran-butiran mineral yang tersebar di antara bitumen. Dari hasil pengujian SEM diketahui bahwa dalam BNA Blend Pertamina ini juga terdapat atom Sulfur (S) sebesar 5,45% yang membentuk oksida SO4, Aluminium sebesar 8,64%yang membentuk oksida Al2O3 dan Kalsium (Ca) sebesar 3,33%. Pengujian XRD batu domato Data pengujian XRD batu domato menunjukkan bahwa batu domato yang digunakan tersusun atas senyawa-senyawa yang terbentuk dari unsur Kalsium (Ca), Silika (Si), Aluminium (Al) dan Oksigen (O2). Senyawa ini merupakan unsur utama yang terdapat dalam semen. Fase terbesar dalam batu domato adalah fase Tobermorite yaitu senyawa yang berbentuk kristal yang merupakan hasil dari reaksi hidrasi C3S maupun C2S yang menyusun batu domato sebesar 68,7%. Hasil 81
dari reaksi hidrasi C3S maupun C2S selain Tobermorite adalah Portlandite (Ca (OH)2) yang terdapat dalam batu domato sebesar 4,51%. Fase penyusun batu domato terbesar kedua adalah Anorthite (Ca Al2Si2O8) sebesar 8,81%. Selain itu terdapat fase Ettringite sebesar 8,71% dan fase Gypsum (CaSO4.2H2O) sebesar 3,21% serta Quartz (SiO2) sebesar 7,5%. Foto SEM briket aspal berongga Pengujian foto SEM briket aspal berongga terlihat bahwa hingga pada ketelitian 100 μm, seluruh permukaan agregat tertutup oleh aspal, serta dapat diprediksi ketebalan film atau aspal yang menutupi agregat briket tersebut adalah sekitar 60 hingga 70 μm. Hasil foto SEM pada Aspal Porus gambar 1 terlihat mineral tersebut adalah jenis batu kapur, berwarna putih tulang berasal dari senyawa CaCO3. Aspal porus tersusun oleh unsur kimia Oksigen (O), Calsium (Ca), Carbon (C), Aluminium (Al), Silicon (Si), Iron (Fe), Magnesium (Mg) dan Sulfur (S). Dari analisa pengujian aspal porus diatas tersusun oleh beberapa unsur Magnesium (Mg) dan Oksigen (O) sehingga berubah menjadi Magnesium Oksida (MgO) dimana ikatan tersebut menjadi filler untuk menahan retakan dari pori yang membuat briket akan semakin kuat. cps/eV 60
50
40 Mg S Na 30 K Al O Si S Ca
K
Ca
20
10
0 2
Gambar 2. SEM Batu Domato
4
6
8
10 keV
12
14
16
18
20
Gambar 3.Permeable Asphalt Favement Tescan vega 3SB
Spectrum: test unn. C norm. C Atom. C Compound norm. Comp. C Error (3 Sigma) [wt.%] [wt.%] [at.%] [wt.%] [wt.%] -----------------------------------------------------------------------------------------Oxygen 41.56 42.98 58.53 0.00 15.03 Silicon 10.48 10.83 8.41 SiO2 23.18 1.46 Aluminium 8.06 8.33 6.73 Al2O3 15.74 1.29 Sodium 7.35 7.60 7.21 Na2O 10.25 1.59 Magnesium 4.74 4.90 4.39 MgO 8.12 0.92 Potassium 1.50 1.55 0.86 K2O 1.86 0.26 Calcium 16.39 16.95 9.21 CaO 23.71 1.58 Sulfur 6.64 6.86 4.66 SO3 17.14 0.84 ----------------------------------------------------------------------------------------Total: 96.71 100.00 100.00
Element
82
40
cps/eV
35
30
25
20
15
Ti Mg K Na S Fe Al O Si S Ca
K
Ca
Ti
Fe
10
5
0 2
4
6
8
10 keV
12
14
16
18
20
Gambar 5. BNA Blend Pertamina – EDS Tescan vega3SB
Gambar 4. SEM BNA Blend Pertamina Spectrum: test Element
[wt.%]
unn. C
norm. C [wt.%]
Atom. C Compound norm. Comp. C Error (3 Sigma) [at.%] [wt.%] [wt.%]
---------------------------------------------------------------------------------------Oxygen 20.01 40.36 58.46 0.00 9.11 Silicon 1.56 3.15 2.60 SiO2 6.73 0.36 Aluminium 1.68 3.39 2.91 Al2O3 6.40 0.42 Sodium 2.74 5.52 5.57 Na2O 7.45 0.79 Calcium 16.39 33.05 19.11 CaO 46.25 1.68 Sulfur 5.37 10.83 7.83 SO3 27.05 0.76 Magnesium 1.83 3.69 3.52 MgO 6.12 0.50 ----------------------------------------------------------------------------------------Total: 49.57 100.00 100.00 5000 4000
0 20
60
PFC
0 100 20
Graphite, C
silicon dioxide, cristobalite-alpha HP, syn, Si O2
(1 2 2)
(2 1 0)(1 2 0) (1 1 0)
0 100
80 Calcite, Ca C O3
(0 0 2)
0 100
0
40
(1 1 2)
100
(1 2 2)
1000
(1 1 2)
0 2) 2 0) (1(0 (2 1 0) 0) 0 4) (1 1 (1
2000
(1 0 4)
Intensity (cps)
3000
40
Sillimanite, Al2 ( Si O4 ) O
60
80
2-theta (deg)
Gambar 6. Hasil Analisis BNA Blend Pertamina 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90 100
Wt(%) Calcite
Graphite
silicon dioxide, cristobalite-alpha HP, syn
Sillimanite
Unknown
Gambar
83
7. Hasil Analisis Kuantitatif BNA Blend Pertamina
PEMBAHASAN Hasil pengujian menunjukkan bahwa semakin terbuka gradasi suatu campuran beraspal maka kuat tariknya akan semakin menurun. Di lain sisi, kuat tariknya akan meningkat jika kadar aspalnya bertambah hingga mencapai kuat tarik maksimum (pada kadar aspal optimum) karena daya lekat agregatnya semakin kuat. Akan tetapi jika kadar aspal meningkat, kuat tarik mulai menurun karena telah melewati kuat tarik maksimum. Pengujian kuat tarik tak langsung juga mengahasilkan pola retakan yang mengindikasikan retakan yang akan terjadi di lapangan (Sunarjono, 2007), sedangkan campuran beraspal yang didesain mempunyai porositas lebih tinggi dibandingkan jenis perkerasan yang lain, sifat poros diperoleh karena campuran aspal porus menggunakan proporsi agregat halus lebih sedikit dibanding campuran jenis yang lain. Kandungan rongga pori dalam jumlah yang besar diharapkan menghasilkan kondisi permukaan agak kasar, sehingga akan mempunyai tingkat kekesatan yang tinggi. Selain itu pori yang tinggi diharapkan dapat berfungsi sebagai saluran drainase di dalam campuran (Djumari., dkk 2009). Campuran aspal porus merupakan generasi baru dalam perkerasan lentur, yang membolehkan air meresap ke dalam lapisan atas (wearing course) secara vertikal dan horizontal. Lapisan ini menggunakan gradasi terbuka (open graded) yang dihamparkan di atas lapisan aspal yang kedap air. Ketika rongga udara semakin kecil, maka air yang mengalir ke dalam campuran aspal akan semakin lambat (Tanan, 2010). Lapisan aspal porus ini secara efektif dapat memberikan tingkat keselamatan dan kenyamanan terutama diwaktu hujan agar tidak terjadi genangan-genangan air serta memiliki kekesatan permukaan yang lebih kasar dan dapat mengurangi kebisingan (Setyawan, 2008). Dari hasil pengujian ini dilakukan untuk mencari kadar aspal optimum dari suatu campuran beraspal yang dilakukan dengan beberapa pengujian yaitu Permeabilitas, Porositas, Stabilitas Marshall, Kelelehan (flow), Hasil Bagi Marshall, Indeks Kekuatan Sisa, Kuat Tarik Tak Langsung, Cantabro. Dengan Gradasi Agregat Batu domato 75%; 50%; 25% Tertahan ½‖ dan Batu Alam 25%; 50%; 75% Tertahan 3/8‖ , Agregat Halus 9%. Kemudian BNA Blend Pertamina 7%, 8%, 9%, 10%. (Tjaronge dkk., 2011)
84
Selanjutnya untuk menetukan Kadar Aspal Optimum (KAO) dilakukan dengan metoda bar-chart yang merupakan rentang kadar aspal yang memenuhi semua syarat kriteria campuran beraspal yaitu Permeabilitas, Porositas, Stabilitas Marshall, Kelelehan (flow), Hasil Bagi Marshall, Indeks Kekuatan Sisa, Kuat Tarik Tak Langsung, Cantabro ditunjukan seperti pada Gambar 2 Nilai kadar aspal optimum ditentukan sebagai nilai tengah dari rentang kadar aspal maksimum dan minimum yang memenuhi semua persyaratan spesifikasi, sehingga diperoleh KAO untuk campuran Aspal Porus yang bergradasi agregat batu domato 50% tertahan ½‖ dan batu alam 50% tertahan 3/8‖, agregat halus 9% dan kadar BNA Blend Pertamina 9% - 10% adalah 9.5 %. Dari hasil pengujian XRD dan SEM dengan benda uji BNA Blend Pertamina, batu domato dan aspal porus mempunyai data analisa kimia sebagai berikut. Untuk pengujian XRD dengan benda uji BNA Blend Pertamina menguraikan fase senyawa bitumen dan mineral yang terdiri dari Oksigen (O), Karbon (C), Silika (Si), Magnesium (Mg), Sulfur (S) dan Besi (Fe), sedangkan benda uji batu domato menguraikan unsur-unsur penyusunnya yang tediri dari Kalsium (Ca), Silika (Si), Aluminium (Al) dan Oksigen (O). Untuk mendukung hasil pengujian XRD, maka pengujian foto SEM dilakukan agar dapat diuraikan komposisi briket aspal porus yang merupakan perpaduan antara batu domato dan BNA Blend Pertamina secara analisis terdapat elemen atom yaitu Oksigen (O), Karbon (C), Kalsium (Ca), Almunium (Al), Silika (Si), Besi (Fe), Magnesium (Mg) dan Sulfur (S) yang membentuk ikatan senyawa CaCO3 mineral tersebut dalah jenis batu kapur berwarna putih tulang yang terbakar pada suhu 825 °C dan Magnesium Oksida (MgO) dimana ikatan tersebut menjadi filler untuk menahan retakan dari pori yang membuat briket akan semakin kuat. KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil analisa data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan dari hasil pengujian dilakukan seperti Pengujian Permeabilitas, Porositas, Stabilitas Marshall, Kelelehan (flow), Indeks Kekuatan Sisa (IKS), ITS test, Cantabro menunjukkan pengaruh terhadap karakteristik aspal porus khususnya pada gradasi Batu domato 50 % Tertahan 1/2" dan Batu Alam 50 % Tertahan 3/8" dimana dari hasil analisis dapat dilihat jelas garis hubungan 85
trendline grafik didapatkan nilai Kadar BNA Blend Pertamina Optimum yaitu 9.5% sedangkan hasil XRD dan SEM membuktikan bahwa seluruh unsur-unsur dari senyawa BNA Blend Pertamina dengan batu domato dapat menyatu/mengikat dengan baik. Untuk selanjutnya perlu alat/mesin khusus di dalam pengolahan batu domato sehingga dapat digunakan dengan jumlah banyak dan perlu dilakukan penelitian lebih mendalam untuk pengolah BNA Blend Pertamina sehingga dapat memenuhi spesifikasi yang sesuai, agar dapat dimasukkan kedalam spesifikasi bina marga. DAFTAR PUSTAKA Allex Eduardo Alvarez Lugo, 2009, Improving Mix Design and Construction of Permeable Friction Course Mixtures. Disserttion Departmen of Civil Enginering Texas University. Circular Transportation Research, 2012. Application of Advanced Mode to Understand Behavior and Performance of Asphalt Mixtures. Colorado Ready Mixed Concred Association, 2005. Specifiec’s Guide for Pervios Concrete Pavement Design. Esmael Ahmadina, Majid Zargar, Mohamed Rehan Karim, Mahrez Abdelaziz, Payam Shatigh, 2011. Using Waste Plastic Bottles as Additive for Stone Mastic Asphalt Journal of Material and Design. Erik Sehlangen, Quantao Liu, Martin Van de Ven, Gerber Van Bochove, Jo Van Montfort, 2011. Evaluation of The Induction Healing Efect of Poru Asphalt Concrete Though Four Point Bending Fatique Test. Felice Givliani, Filippo Merusi, Gioanni Polacco, Sara Filippi, Messimo Paci, 2012. Effectivenees of Sodium Chloride- Based Anti Icing Filter n Asphalt Mixtures Journal of Construction and Building Materials. Fazleem Hanim Ahmad Kamar, Jaszline Nor Sarif, 2005. Design of Porus Asphalt Mixture to Performance Related Criteria. He Gui Ping, Wong Wing Gun, 2006. Effects of Moisture On Strength and Permanent Deformation of Foamed Asphalt Mix Incorporating Rap Materials. Journal of Constraction and Building Materials. Hao Ying, 2008, Using X-Ray Computed Tomography to Quantity Damage of Hot-Mix Asphalt in The Dynamic Complex Modulus and Flow Number.
86
International Tecnology Exchange Program, 2005. Quite Pavement System In Europe. Lori Kathryn Schaus, 2007. Porus Asphalt Pavement Design In Proactive Design for Cold Climate Use Thesis Departmen of Eivil Enginering Waterloo University. Meor Othman Hamzah, Mohammad Rosli Mohammad Hasan, Martin Van de Van, 2011. Permeability Loss In Porus Asphalt due to Binder Creep. Journal of Construction and Building Materials. Mohammad Adli Sani, Abi Zzaid Abd Latib, Choy Peng Ng, Nordila Ahmad Muhammad Y Yusof, Muhammad Anzari Matrani, 2011. Propertis of Coir Fibre and Kenaf Fibre Modified Asphalt Mixes. Mohammad Ruzaini Mohammad Yusof, Belinda Marie Balraj, Choy Peng Ng, 2011. Effect of Rubber Size In Reclaimed Rubber Modified Asphalt Mixes. Matthias A. Haselbaner, Michael Manhart, 2011. Influence of Flow Couditions In Porus Asphalt On Pollution and Cleaning. Nur Sabahiah Binti Abdul Sukor, 2005. Evaluation of Laboratory Compactive Effort On Asphaltic Concrete Mmixes, Thesis. Departement of Civil Engineering, Technologi of Malaysia University. Nrachai Tuntiworawit, Chayatan Phromsorn, Direk Lavansiri, 2005. The Modification of Asphalt With Natural Rubber Latex Proceding of The Ekstern Asia Society of for Transportation Studies Vol.5.pp.679.694.2005. Remi M. Candacle, Miched E. Barrett, Randal J. Charbeneay, 2008. Porus Friction Course In Laboratory Evaluation of Hydraulic Properties Center For Research In Water Resources, The University of Texas at Austin. R. Christopher Williams, 2009. Early Permebility Test For Asphalt Acceptance, Center for Transportation Research and Education Lowa State University. Storm Water Center University of new Hampshier, 2007. Porus Asphalt Pavement and Infiltration Beds. Prithvi. S. Kandhal, Rajib.B.Mallick, 1999. Design of New. Generation Open Graded Friction Courses.
87
Verhelst, F.A.D.B, Vervoort and G Marchal (1995). X-Ray Computerized Tomography Determination of Heterogeneties in Rock Samples. Wu Shao Peng, Liu Gang, Molian tong, Chen Zheng, Ye Qun Shan, 2006. Effect of Tiber Types On Relevant Properties of Porus Asphalt, Journal of Transaction of Non Ferrous Metals Society of China.
88
EKSISTENSI RUANG AKTIVITAS TEPIAN TELUK PASCA PEMBANGUNAN JALAN LINGKAR PANTAI TELUK PALU (JLPTP) Muhammad Bakri1, Prof. Nindyo Soewarno2, Dr. Budi Prayitno3 Program Studi S3 Jurusan Teknik Arsitektur Dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada Jurusan Teknik Arsitektur Dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada Jurusan Teknik Arsitektur Dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada Email:
[email protected]/
[email protected]
ABSTRACT Areas of the city as the capital of Palu in Central Sulawesi province have a very unique landscape format. The existence of rivers, valleys, mountais, hills, sea (bay), and lake in the north are the diversity of landscape areas of the city. Lives of the people are occupying the valley area as well as heterogeneous. Of activities to support the survival of communities, groups, families and individuals participate to make the region a more competitive atmosphere. Economic growth and development is likely to lead to the edge of the bay, bringing changes to the order of life in a region activity. Reorientation due to the construction of the Ring Road Hammers Gulf Coast (JLPTP) is one of the factors influence the change in the region. This paper seeks to uncover the existence of a qualitative approach through case studies. The results will be followed up in other research studies advanced in an attempt to find the right formula in formulating development programs in the region. So the development of the area can still synergize with development programs launched by the government. Keywords: Sustainability, Existence, Development
ABSTRAK Wilayah kota Palu sebagai ibukota propinsi Sulawesi Tengah, mempunyai format landscape yang sangat unik. Keberadaan sungai, lembah, gunung, bukit, laut (teluk) serta danau di sebelah Utara menjadi fenomena keragaman bentang alam wilayah kota. Kehidupan masyarakat yang menempati wilayah lembah juga demikian heterogen. Macam aktivitas guna menunjang keberlansungan hidup komunitas, kelompok, keluarga serta individu ikut menjadikan suasana ruang kawasan semakin kompetitif. Pertumbuhan sektor ekonomi dan pembangunan yang cenderung mengarah pada tepian teluk, membawa perubahan terhadap tatanan kehidupan dalam ruang aktivitas kawasan. Reorientasi akibat pembangunan Jalan Lingkar Pantai Teluk Palu (JLPTP) merupakan salah satu faktor berpengaruh terhadap perubahan kawasan. Makalah ini berupaya mengungkap eksistensi ruang melalui pendekatan kualitatif studi kasus. Hasil penelitian nantinya dapat ditindak lanjuti pada penelitian-peneltian lanjutan sebagai upaya untuk menemukan formula tepat dalam menyusun program
89
8
pembangunan pada kawasan. Sehingga pengembangan kawasan tetap dapat bersinergi dengan program-program pembangunan yang dicanangkan pemerintah. Kata kunci : Keberlangsungan, Eksistensi, Pembangunan
PENDAHULUAN Konstitusi Negara UUD 1945, pasal 28H ayat (1) memberikan jaminan pada Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Namun kenyataan dalam realita keseharian, masih memamerkan penjara keruangan yang cenderung menjadikan penghuni ruang sebagai objek penderita. Belum lagi bila menilik pada aturan yang lebih sepesifik terhadap perlindungan Hak Asasi Manusia Pasal 3 dan UU No. 23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup yang menekankan pada masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang lebih baik dan sehat. Kehadiran struktur pemerintahan daerah sebagai perpanjangan tangan pusat, tentu diharapkan dapat mengejewantahkan amanah undang-undang dalam bentuk pelaksanaan
pembangunan
diberbagai
sektor.
Pembangunan
dengan
keberpihakan pada masyarakat harus terus digalakkan. Perencanaan konprehensif yang digali dari upaya mengedepankan kepentingan masyarakat merupakan tantangan tersendiri pelaksanaan pembangunan. Apalagi bila kawasan dimaksud merupakan kawasan dengan karakteristik khusus dan dimanfaatkan oleh berbagai komunitas/kelompok untuk melangsungkan aktivitasnya. Wilayah penelitian ini merupakan gambaran kompleksitas pemanfaatan ruang, wilayah tepian pantai tempat
sebagian
besar
kelompok/komunitas
masyarakat
melangsungkan
kehidupan. Sementara dalam Keputusan Presiden No 32 tahun 1990, menegaskan bahwa, Kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai. Peraturan lain kemudian yang harus menjadi perhatian adalah sempadan pantai guna melindungi wilayah pantai dan kelestarian fungsi pantai. Kondisi ini menjadi menarik untuk menelaah lebih dalam persoalan-persoalan pelaksanaan pembangunan kawasan, tidah hanya pada tataran pelaksanaan fisik, namun yang terpenting dalam penelitian ini adalah
90
menalarkan keberadaan aktivitas kawasan pasca pembangunan Jalan Lingkar Pantai Teluk Palu (JLPTP). Lokus wilayah penelitian meliputi dua kecamatan yaitu Palu Barat dan Palu Timur sepanjang pengembangan jalan pada tepian teluk Palu. Lokasi bersentuhan langsung dengan wilayah perairan teluk dan wilayah kota tentu ikut menanggung desakan perkembangan wilayah, atas kebutuhan hunian maupun fasilitas-fasilitas penunjang kehidupan kota. Pembangunan Jalan Lingkar Pantai Teluk Palu (JLPTP), tanggul penahan ombak, dan perumahan petani garam oleh pemerintah kota Palu serta propinsi, disamping itu terdapat pula kegiatan pengembang swasta di bidang perumahan pertokoan dan resto. Kemudian berbagai program kegiatan masyarakat pembangunan kawasan ditunjang program kerja pemerintahan dan non pemerintahan, memperlihatkan kompleksitas kehidupan yang dialami masyarakat guna mempertahankan eksistensi terhadap hak hidup maupun guna kawasan.
\
Sumber : www.googleearth di olah
Gambar 1. Lokasi Pelaksanaan Penelitian dalam Wilayah Kota Palu
91
TINJAUAN PUSTAKA Keberadaan kelompok dalam suatau kawasan dapat diidentifikasi melalui ciri memiliki sesuatu secara bersama-sama (common ownership), yang saling bergantung pada satu wilayah, dan mereka saling berinteraksi. Komunitas dan kelompok masyarakat lainnya dapat dibedakan atas berbagai pola, atas dasar ukuran, atas dasar level, riil atau tidak riil, bersifat kooperatif (cooperative) atau kompetitif (competitiv), serta formal atau informal. Komunitas kawasan merupakan kesatuan hidup yang berada dalam satu wilayah tertentu disebut sebagai ―community of places’, ciri komunitasnya adalah adanya keharmonisan, egalitarian, serta sikap saling berbagi nilai dan kehidupan. Keruangan biasanya terbentuk dari kesatuan manusia dan lingkungan sekitarnya untuk membentuk suatu kehidupan (Christopher Alexander, 2007). Mengidentifikasi keberadaan dalam suatu kawasan perlu memahami kohesi sosial sebab biasanya akan lebih menonjol sebagaimana pendapat (Mitchell, 1994) yaitu adanya 3 karakteristik kohesi sosial, yaitu (1) komitmen individu untuk norma dan nilai umum, (2) saling tergantungan yang muncul karena adanya niat untuk berbagi (shared interest), dan (3) individu yang mengidentifikasi dirinya dengan grup tertentu. Sehingga tidak terjadi penolakan terhadap kehadiran ruangruang baru dalam kawasan. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa eksistensi peruntukan ruang, umumnya sangat di pengaruhi kemampuan satu individu atau kelompok dalam menerapkan suatu jenis penghunian yang sesuai terhadap ruang. Lingkungan didesain sebagai area beraktivitas oleh penduduk asli secara unselfconscious, melalui interaksi (hubungan) antara unsur fungsional dengan aspek human behavioral agar faktor alam dan non alam dapat berinteraksi dengan seimbang dan mengalir dengan baik (Christopher Alexander, 2007). Pendekatan yang dilakukan (Brower, 1980), Keberadaan suatu klaim teritorial yang diartikan sebagai suatu penghunian, dan orang yang mengklaim disebut dengan penghuni. Penghunian biasanya disertai dengan suatu tampilan tanda-tanda teritorial, pengumuman keberadaan, sifat dan tingkat klaim teritori. Jenis-jenis penghunian ini adalah penghunian personal, penghunian komunitas, penghunian oleh masyarakat, dan penghunian bebas. Dari pendekatan tersebut
92
terdapat jarak kontrol keruangan masing-masing, berdasar teritori dan aturan yang berlaku atau kesepakatan dalam sisten keruangan. Berdasar pustaka diketahui proses-proses terbentuknya eksistensi suatu kelompok pada suatu kawasan yang dapat di identifikasi dari cirri, hubungan dengan lingkungan, hubungan aktivitas serta klaim terhadap wilayah tempat aktivitas baik berupa individu maupun secara berkelompok. METODE PENELITIAN Pelakasanaan penelitian dilakukan dengan penggunaan data-data empirik lapangan dipetakan berdasar ruang dan waktu berlangsungnya aktivitas pada sisi pengembangan Jalan Lingkar Pantai Teluk Palu (JLTP). Rekaman tersebut dilakukan menggunakan peta perilaku yang terlebih dahulu telah disipakan sebelum melakukan survey lapangan. Proses ini dilakukan guna memudahkan dalam pencatatan penandaan aktivitas yang berhubungan dengan keberadaan dalam ruang kawasan. Place Centered Mapping
Perilaku/ Aktivitas
Tempat dan waktu berlangsungnya aktivitas
Temuan penelitian berhubungan dengan eksistensi berdasar tempat aktivitas
Jenis aktivitas Sumber : Haryadi (1996) di modifikasi Gambar 2. Analisis Place Centered Mapping
Guna menjaga keakuratan temuan lapangan, dilanjutkan dengan teknik layering dalam kurun waktu pengambilan data yang berbeda teknik ini oleh (Tschumi, Bernard, 1994) dikenalkan sebagai teknik analisis superimpose yang dilakukan pada Parc de la Villette, Paris. Proses pelaksanaan penelitian ini secara keseluruhan dengan pendekatan kualitatif dengan teknik studi kasus yang menetapkan kawasan sebagai kasus tunggal atau single case.
93
HASIL DAN PEMBAHASAN Kawasan
penelitian
meliputi empat wilayah kelurahan yaitu wilayah
Kelurahan Talise, wilayah Kelurahan Besusu, wilayah Kelurahan Lere dan wilayah Kelurahan Silae. Lokasi tersebut berada dalam dua Kecamatan Kota yaitu Kecamatan Palu Timur dan Kecamatan Palu Barat dibatasi sungai yang membelah kota dari arah Selatan. Kawasan Taman Ria (Kelurahan Silae) Kawasan Taman Ria yang secara administratif masuk wilayah Kelurahan Silae dalam proses pembentukannya terbilang tidak ada yang istimewa seperti wilayah penelitian Talise, Besusu dan Lere. Terbentuknya kawasan ini berdasar Undang – Undang No.5 tahun 1979, tentang Pemerintahan Desa / Kelurahan yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.2 Tahun 1980 dan Peraturan Daerah Tingkat I Sulawesi Tangah No.8 Tahun 1981 sampai dengan 1983. Masyarakat di Kelurahan Silae seperti dengan kawasan lainnya di lokasi penelitian di dominasi suku asli Kaili. Namun beberapa suku pendatang juga mewarnai sebab di lokasi terdapat kawasan PERUMNAS. Populasi permukiman padat hanya terdapat di kawasan tersebut. Mata pencaharian masyarakat Silae cukup bervariasi yang terdiri dari petani sekitar 138 orang, nelayan sekitar 45 orang, PNS sekitar 980 orang, pedagang sekitar 372 orang, dan profesi lainnya seperti tukang batu, tukang kayu, buruh bangunan, tukang gali batu, tukang ojek, tukang becak sekitar 10 orang, sementara usaha
produktif yang ada seperti
perbengkelan berjumlah 10 buah, kios berjumlah 33 buah, salon 3 buah, dan usaha pembuatan batu bata berjumlah 6 buah (Profil Kelurahan Silae 2008). Pertumbuhan kawasan tepi pantai di Keluraha Silae dan Tipo tergolong sangat cepat kondisi ini di dukung view yang sangat menarik khususnya ke arah Teluk dan Kota Palu. Beberapa investor telah membangun fasilitas wisata di kawasan ruko sebagai tempat usaha. Kemudahan akses pembangunan JLPTP, menjadi daya tarik sehingga pertumbuhan tepian pantai semakin pesat, baik bangunan bersifat formal maupun nonformal. Kawasan yang dulunya merupakan kawasan nelayan dan rekreasi berenang dan taman bermain untuk anak kini semakin sempit akibat klaim ruang 94
oleh investor dan PKL. Kondisi tersebut terjadi bukan hanya pada ruang darat tetapi juga pada ruang laut. Sehingga ruang parkir perahu semakin sempit dan area tempat rekreasi berupa renang juga semakin tersingkirkan keberadaan PKL di sepanjang Pantai. Kawasan Kampung Lere (Kelurahan Lere) Pada awalnya Lere bernama desa Panggona, di masa pemerintahan Belanda Panggona kemudian diubah menjadi Lalere. Kondisi geografi wilayah Lere yang terletak disepanjang pantai mempengaruhi, di mana terdapat banyak tanaman Lalere (Bahasa Indonesia berarti daun Katang-katang atau Batata Pantai), hingga sekarang dikenal dengan nama Lere. Lere merupakan daerah pusat pemerintahan kota Palu pada masa Prakarsa Magau Palu Jodjokodi pada tahun 1982, kemudian diteruskan oleh keturunan Magau Palu ke seluruh penjuru Kabupaten Donggala, sebagai Magau/Raja yang mempunyai kekuasaan mutlak pada saat itu. Sehingga Kampung Lere menjadi Kota Lama dengan sejarah yang terus dikenang oleh masyarakat Palu. Masyarakat kelurahan Lere, dominan dengan suku To Kaili atau orang Kaili asli serta beberapa pendatang dari Bugis dan Jawa berbaur lewat pernikahan dengan masyarakat setempat. Walaupun terdiri dari berbagai macam suku, masyarakat kelurahan Lere masih memiliki semangat gotong royong serta kekeluargaan. Walaupun telah banyak pengaruh kebudayaan luar, masyarakat kelurahan Lere masih tetap mempertahankan kebudayaan asli mereka seperti dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Adapun acara-acara yang sering diadakan di Kampung Lere yang masih sangat kental dengan budaya / adat yang berlaku misalnya adalah acara besar keluarga, diantaranya; Acara Pernikahan (Poboti), Acara Potong rambut anak (Akeka Nongana), Acara Pengkhataman Al-Quran (Nopatama), Khitanan / Sunatan (Pokeso), serta sebuah acara kebudayaan yang sangat-sangat jarang dilakukan oleh masyarakat tanah Kaili, yakni Upacara Balia (Upacara Tolak Bala). Sedangkan dari segi kesenian antara lain Pamonte, Raego. Alat kesenian yang biasa digunakan sebagai pengiring yaitu gendang, suling dan gong.
95
Tingkat perekonomian masyarakat di kelurahan Lere tergolong tingkat menengah ke bawah. Hal ini dapat dilihat dari tingkat pendapatan masyarakat di kelurahan Lere, dimana masyarakat yang bermukim di pesisir pantai bekerja sebagai nelayan yang masih menggunakan alat-alat tradisional untuk mencari ikan. Kondisi ini berlangsung secara turun temurun yang merupakan warisan dari nenek moyang To Kaili Kampung Lere Kegiatan ekonomi lainnya guna menunjang pendapatan yang dilakukan secara sampingan dan musiman, seperti mencari Nener dan bertambak udang serta tambak ikan. Sementara sebagian lainnya membuka usaha sampingan dengan dagang makanan, warung makanan, mendirikan kios seadanya dalam upaya menambah penghasilan. Beberapa diantaranya mempunyai pekerjaan tetap sebagai pegawai negeri/swasata. Kawasan yang berada di pusat kota dan sekaligus pengembangan wisata teluk, diintervensi perkembangan kota dan pertumbuhan bisnis kawasan tepi teluk dengan adanya koneksitas akses. Pesona alami yang ditawarkan sebagai kawasan kampung tua dengan panorama eksotik, mengundang para pemodal untuk berinvestasi seperti pandiriang hotel, karaoke, kafe dan resto beserta fasilitasnya penunjangnya. Perubahan fungsi ruang kawasan juga berpengaruh pada arsitektur rumah yaitu dari konstruksi kayu menjadi kontruksi beton. Kondisi tersebut mewarnai ruang dan pola berkehidupan kawasan. Struktur kelembagaan masyarakat di kelurahan Lere masih mengenal sistem kekerabatan seperti istilah To Tua untuk orang yang dituakan. Biasanya orang tersebut dari golongan yang berpengaruh (turunan raja) dan keberadaannya sangat di hargai oleh masyarakat setempat yang ditandai dengan masih adanya nuansa kerajaan dari rumah adat Souraja (rumah raja) di kawasan. Kegiatan
investasi
oleh
pemodal
mempersempit
ruang
kampung,
pembangunan Tanggul, akses JLPTP dan jembatan penghubung kawasan Palu Timur dan Palu Barat
memaju pertumbuhan/perkembangan kawasan.
Kecenderungan mengganti rumah tradisional menjadi rumah dengan konstruksi beton berkembang sehingga populasi rumah tradisional semakin berkurang. Program-program pembangunan fisik kawasan seperti drainase tidak mampu
96
menyelesaikan
permasalahan
kawasan.
Kesadaran
masyarakat
terhadap
pentingnya kebersihan pantai dan lingkungan yang masih kurang. Kawasan Besusu Barat (Kelurahan Besusu) Kelurahan Besusu Barat terbentuk berdasarkan Undang-Undang tahun 1979 tentang Pemerintahan Daerah/Kelurahan, ditindak lanjuti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1980 dan Peraturan Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah No. 8 Tahun 1980. Kawasan termasuk dalam potensi pengembangan perdagangan karena berada pada pusat kota, terhitung pada tahun 2007, jumlah warung 58 dan toko/kios sebanyak 264 terdiri atas bangunan permanen dan non permanen. Selain Kegiatan PKL kawasan juga biasa digunakan sebagai area pentas seni, lombalomba, serta pelaksanaan upacara adat selamatan serta interaksi sosial. Pembangunan Jalan Lingkar JLPTP oleh pemerintah menyebabkan masyarakat nelayan kehilangan tempat menambatkan/parkir perahu. Aktivitas PKL yang menguasai tepian pantai membawa masalah terhadap kebersihan kawasan sebab sampah yang dihasilkan dibiarkan di lokasi. Sementara sebagian kawasan pinggir jalan yang dulunya sebagai area pemukiman kini di intervensi bangunan-bangunan komersial seperti toko dan warung. Kawasan Kampung Nelayan/Penggaraman (Kelurahan Talise) Kawasan Kampung Nelayan secara administratif terletak di Kelurahan Talise. Pada awalnya Talise lebih dikenal dengan nama Kalantaro berada dibawah Pemerintahan Kampung Besusu. Sekitar tahun 1920-an kalantaro berdiri sendiri dan berubah nama menjadi Talise diambil dari sebuah pohon ketapang besar yang dalam bahasa Kaili Talise berarti Ketapang. Pada Tahun 1920-an itulah mulai terbentuk kampung Talise yang dikepalai oleh seorang Kepala kampung. Pada tahun 1970-an Kampung Talise berubah menjadi Desa Talise dibawah Pemerintahan Kepala Desa. Kelurahan Talise baru terbentuk pada Tahun 1990-an yang dipimpin oleh seorang Lurah dibawah Pemerintahan Kota Masyarakat Kelurahan Talise didominasi oleh suku Kaili sebagai penduduk asli yang turun temurun menempati kawasan. Terdapat juga suku pendatang
97
diantaranya dari Sulawesi Selatan (Suku Bugis/Makassar, Toraja) dan Jawa. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin yaitu laki- laki 8.068 jiwa, perempuan 8.244 jiwa, menurut golongan usia. Pembangunan jalan lingkar dalam, tanggul penahan ombak, dan perumahan petani garam oleh pemerintah Kota Palu dan Propinsi, disamping itu terdapat pula kegiatan pengembang swasta di bidang perumahan, pertokoan dan resto. Untuk kelompok dalam kegiatan ekonomi terdapat kelompok kegiatan ekonomi Petani Garam, kelompok Nelayan Talise dan Persatuan Jagung Bakar Talise (PEJABAT) yang meliputi sebagian wilayah Kelurahan Besusu Barat. Terjadi konflik antara penggunaan ruang di kawasan seperti kegiatan nelayan, kegiatan rekreasi, kegiatan resto, serta PKL. Ruang parkir nelayan yang semakin sempit, sebagian kawasan penggaraman dibangun industri dan pertokoan, kegiatan resto terhadap klaim ruang laut sebagai area privat serta kegiatan PKL yang tidak terkontrol. Identifikasi Eksistensi Aktivitas Kawasan Sejak pengoperasian Jalan Lingkar JLPTP yang mengitari tepian teluk Palu pada tahun 2006, pertumbuhan aktivitas dilokasi tumbuh semakin beragam. Perilaku keruangan pada setiap spot kawasan penelitian dalam kurung waktu 24 jam memperlihatkan dinamika pemanfaatan. Secara umum kawasan dapat dibedakan menjadi dua yaitu pertama, ruang dengan nuansa tradisional dalam artian masih dikelolah secara tradisional seperti ruang nelayan dan petani garam. Aktivitas kawasan cenderung berlansung monoton.
Kedua, ruang yang
berkembang mengakomodasi aktivitas bersantai,berlibur (berwisata). Ruang ini mengakomodasi variasi aktivitas mulai dari sekedar duduk, minum, makan, berkumpul, berjualan, menikmati pemandangan dan bahkan menginap. Kelompok ruang ini lebih bersifat atraktif dan dinamik.
98
H
KETERANGAN : Aktivitas Nelayan 3000m
Aktivitas Petani Garam
2400m
G
Aktivitas Pelaku Wisata
Kawasan Kampung Nelayan
1800m A F
1200m B
Kawasan Besusu Barat
C E D
Kawasan
600m
Taman Ria
N
25
Kawasan Kampung Lere 0.00m
skala
50
600m
1200m
1800m
100
meter S
2400m
3000m
3600m
4200m
Sumber : Survey 2012
Gambar 3. Kelompok Aktivitas dan Lokasi Berlangsungnya Aktivitas
Perkembangan kawasan membawa konsekwensi terhadap interaksi perilaku keruangan. Kolaborasi antara aktivitas perilaku yang kental dengan tradisi dengan aktivitas berwisata menjadi menarik. Kondisi ini disebabkan adanya interaksi keruangan dan perilaku dalam lokasi yang sama. Oleh karena itu perlu pemetaan macam aktivitas, lokasi serta waktu berlangsungnya guna memudahkan identifikasi yang mengarah pada tujuan penelitian. Berdasar maksud tersebut maka berikut ini dipetakan macam aktivitas di lokasi
yang kemudian
dikelompokkan dalam tabel yang menunjukkan aktivitas, media aktivitas, lokasi, jenis kegiatan serta waktu berlangsungnya aktivitas.
99
Sumber : Survey 2012
Gambar 4. Kelompok Pelaku Aktivitas Kawasan
Durasi waktu kelompok aktivitas pada lokasi
menunjukkan adanya
kesamaan waktu dan tempat berlangsungnya. Kondisi ini menunjukkan secara ekplisit bahwa kemungkinan ada interaksi antara aktivitas keruangan baik itu yang bersifat sinergi maupun yang menimbulkan pertentangan (konflik) terhadap keberadaan JLPTP. Guna menelaah lebih lanjut aktivitas keruangan yang berlangsung maka dilakukan pengelompokan aktivitas yang saling berhubungan atau menyatu dengan kelompok lainnya. Sebab secara umum setting keruangan kawasan menunjukkan adanya kelompok yang mendominasi. Sementara perilaku keruangan lainnya menjadi penunjang eksistensi
pola dan keruangan yang
diekspresikan dalam macam bentuk aktivitas. Berdasarkan peta perilaku yang dilakukan ditemukan berbagai aktivitas pengguna ruang kawasan , melakukan aktivitas dalam kurun waktu masingmasing sesuai dengan aktivitas kelompok. Terdapat tiga kelompok utama apabila
100
keseluruhan aktivitas dibagi berdasar pola perilaku terhadap pemanfaatan ruang kawasan. Analisis berdasar gambar kemudian dikelompokkan berdasarkan hubungan memberikan informasi tentang keberadaan/eksistensi ruang-ruang kawasan pasca pembangunan Jalan Lingkar Pantai Teluk Palu (JLPTP) masih tetap eksis. Bahkan berdasar analisis
keberadaan JLPTP ikut menambah pertumbuhan aktivitas
kawasan serta pendapatan sebagai imbas dari kunjungan dan kemudahan akses. Ruang berbasis lokalitas yang terbentuk jauh sebelum perencanaan ataupun pembangunan kawasan, seperti kawasan penggaraman dan kampung Lere tetap eksis dan melakukan aktivitas keseharian sebagaimana biasanya. Walau beberapa perubahan struktur ruang kemudian terjadi seperti reorientasi pada akses serta adanya perubahan pencapaian akses nelayan pada ruang laut dalam konsep ruang Nakappali (Bakri, 2011). KESIMPULAN Penelitian mengungkapkan bahwa pasca pembangunan JLPTP pada tepian teluk Palu yang diorientasikan untuk pengembangan kawasan wisata teluk dan kemudahan akses tidak kemudian mengusik keberadaan ruang komunitas/aktivitas kawasan. Terjadi reorientasi ruang kawasan yang langsung mengakses pada jalan ditepian teluk. Keberadaan JLTP ikut mengenerik eksistensi aktivitas meruang dikawasan. Terdapat tiga kelompok utama yang memperlihatkan eksistensi aktivitas pada ruang kawasan antara lain ruang aktivitas wisata
meliputi aktivitas
pembangunan penunjang wisata, hotel, restoran dan ruang penunjang untuk menikmati aktivitas berwisata seperti kuliner, berenang, selancar, menyelam atau hanya sekedar menikmati pemandangan teluk. Sementara duan ruang aktivitas yang memperlihatkan eksistensinya adalah ruang aktivitas tambak garam dan ruang aktivitas nelayan. Sehingga untuk tindak lanjut dari penelitian ini perlu dikaji lebih mendalam mengenai strategi-strategi perencanaan yang konprehensif terhadap eksitensi ruang kawasan. Lanjutan penelitian diharapkan menemukan formula yang dapat mengitegrasikan pelaksanaan pembangunan terhadap eksistensi aktivitas ruang kawasan 101
DAFTAR PUSTAKA Alexander, C. 2007. Rethinking Technology: A Reader in Architectural Theory, Christopher Alexander-The Selfconscious Proces, New York: Routledge p. 2007. Bakri, M. 2011. Local Wisdom ― To Kaili‖ in The Utilization of Coastal Area. Makassar, Indonesia. Bakri, M. 2012. "Pasompoa" Layover Space in the Spatial Structure Of Fisherman in Teluk Palu Concept Of Spatial The Fisherman ’ S Teluk Palu pp. 425–432. Brower, S. N. 1980. Human Behavior and Enviromen Advances in Theory and Research, Theory in Urban Setting. Empironment and Culture, 4, 179– 207. Haryadi & B.Setiawan, 1996., Arsitektur Lingkungan dan Perilaku, Gajah Mada Press Michael J. Hatton, 1999., Community Base Tourism In The Asia Pacific., Apec publication The Scool of Media Studies of Humber Collage, Toronto Canada Tschumi, B. 1994. Event - Cities (Praxis). New York: MIT Press
102
MENGATASI RUTTING SUBGRADE MELALUI PENINGKATAN KUALITAS SUBBASE MENGGUNAKAN MATERIAL LOLIOGE Syamsul Arifin1, Mary Selintung2, Lawalenna Samang3, Tri Harianto4 1
Universitas Tadulako Universitas Hasanuddin 3 Universitas Hasanuddin 4 Universitas Hasanuddin 2
Email:
[email protected]
ABSTRAK Modus kerusakan deformasi permanen (rutting) pada konstruksi jalan lentur merupakan persoalan yang dominan terjadi, ditandai bekas roda kendaraan khususnya di daerah dimana gaya rem yang besar sering terjadi. Menurut M. Khabiri, (2010) bahwa rutting dengan kedalaman tertentu bisa dialami oleh setiap lapis perkerasan lentur (lapis permukaan, base, subbase, dan subgrade), yaitu pada saat stress lebih besar dari strength (bearing capacity) pada lapis tersebut. Artinya kemampuan konstruksi jalan menahan terjadinya rutting tergantung pada kemampuan individu setiap lapis perkerasan (Dormon, 1962). Perlindungan terhadap bahaya stress juga didapat dari strength lapis subbase yang ada di atasnya (M.Khabiri, 2010). Semakin tinggi kualitas material subbase semakin besar perlindungan yang diberikan ke subgrade sehingga rutting sulit terjadi. Salah satu metode untuk meningkatkan kualitas material subbase adalah dengan menambahkan zat aditif seperti semen, aspal, kapur dan sebagainya (Tensar, 1998). Tujuan penelitian ini adalah mengupayakan konstruksi jalan lentur yang dibangun di Indonesia tercegah dari kerusakan rutting di atas subgrade dengan cara meningkatkan kualitas material subbase yang ada di atasnya. Hasil penelitian yang diharapkan adalah terjadinya peningkatan kemampuan memikul gaya tekan vertikal subgrade, melalui pengujian Unconfined Compressive Strength. Berdasarkan nilai strength subgrade tersebut dan dengan bantuan Kenlayer Software Program dan model matematika yang dikembangkan oleh Morton (2004), akan diketahui jumlah repetisi beban yang dapat dipikul oleh konstruksi jalan. Kata Kunci: Rutting, Deformasi Permanen, Repetisi beban, Perkerasan Lentur
PENDAHULUAN Rutting dengan kedalaman tertentu (rutting depth), bisa saja dialami oleh setiap lapis perkerasan lentur, yaitu pada saat stress (load passages, atau external forces) lebih besar dari strengh (bearing capacity) material (Khabiri, M, 2010). Salah satu tugas penting lapis subbase saat beban lalu lintas bekerja adalah mengurangi compressive strain atau penurunan permukaan akibat gaya tekan di 9 103
atas subgrade. Gaya tekan ini disinyalir penyebab utama rutting di permukaan tanah dasar dimana semua lapis konstruksi jalan ditempatkan di atasnya. Telah menjadi pemahaman umum selama bertahun-tahun untuk mengaitkan deformasi permanen dengan vertical strain yang begitu besar pada bagian atas permukaan subgrade. (NCHRP, 2004).
Gambar 1. Deformasi Plastis pada Lapis Permukaan dan Subgrade
Dari keterangan di atas difahami bahwa rutting terjadi jika kualitas individual material konstruksi jalan tidak memenuhi syarat spesifikasi. Olehnya itu pemilihan quarry dengan kualitas individual material yang tinggi akan membantu mencegah terjadinya rutting. Dari latar belakang ini, telah dilakukan pengujian pendahuluan terhadap material yang diambil dari beberapa quarry berbeda, yaitu; Sungai Suluri, Desa Walatana Kecamatan Dolo Selatan, Sungai Wuno, Desa Tulo Kecamatan Dolo, Sungai Matampondo Kecamatan Palu Timur, dan Sungai Lolioge, Kelurahan Watusampu, Kecamatan Palu Barat, guna memilih material dengan kualitas terbaik. Perencanaan konstruksi jalan lentur (Flexible Pavement) memiliki standar layanan tertentu yang dapat berupa prediksi waktu (umumnya tahun) berapa lama konstruksi tersebut diharapkan dapat memberi layanan (design life atau life time) kepada pengguna jalan. Standar layanan juga dapat dalam bentuk prediksi jumlah
104
repetisi beban (Cumulative load repetition), misalnya berapa juta kali lintasan kendaraan dengan standar beban tertentu sebelum rutting atau kerusakan bentuk lain mulai terjadi. Dengan demikian, dapat difahami bahwa material subbase dengan kualitas yang baik akan memberi kontsribusi positif pada peningkatan kualitas subgrade, yang pada akhirnya meningkatkan kemampuan konstruksi jalan secara keseluruhan. Target khusus yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana peningkatan vertical compressive strength dan modulus elastisitas subbase pasca stabilisasi dengan kapur, serta efeknya terhadap strain subgrade dan prediksi peningkatan repetisi beban yang dapat dilayankan oleh konstruksi jalan (accumulative of load repetition number) secara keseluruhan. Dengan stabilisasi ini pula diharapkan akan terjadi peningkatan vertical compressive strength pada permukaan subgrade. Perubahan ini akan diketahui melalui pengujian Unconfined Compressive Strength. Berdasarkan nilai strength subgrade tersebut, dengan bantuan Kenlayer Software Program dan model matematika yang dikembangkan oleh Morton (2004), akan diketahui jumlah repetisi beban yang dapat dipikul oleh konstruksi jalan. TINJAUAN PUSTAKA Deformasi Permanen (Rutting) Deformasi Plastis adalah jenis kerusakan utama yang ditemui pada konstruksi perkerasan jalan lentur, khususnya saat temperatur udara meninggi. Kerusakan jenis ini disebabkan oleh akumulasi deformasi permanen pada seluruh lapis perkerasan akibat repetisi beban lalu lintas. Lebar dan kedalaman rutting umumnya disebabkan oleh sifat – sifat struktural lapis perkerasan (termasuk ketebalan dan kualitas material), beban lalu lintas dan kondisi lingkungan (L.A.Khateeb et al, 2011). Agregat memainkan performa penting pada campuran beraspal. Jumlah mineral agregat dalam campuran umumnya berkisar 90 hingga 95% berdasarkan berat dan sekitar 75 hingga 85 persen berdasarkan volume campuran. Agregat diharapkan menyiapkan batu skeleton yang kuat agar bisa menahan repetisi beban kendaraan. Saat sekumpulan agregat terbebani oleh gaya yang cukup besar, maka akan terjadi suatu bidang yang mengalami gaya shear sebagai akibat adanya partikel agregat yang tergelincir atau bergeser satu sama lain. Kejadian ini menghasilkan apa yang disebut dengan deformasi permanen 105
pada konstruksi jalan beraspal. Disepanjang bidang ini shear stress yang bekerja melabihi shear strength campuran beraspal. Dormon (1962) adalah peneliti pertama yang mengemukakan kriteria desain klasik dan compressive strain pada subgrade yang muncul saat temperatur meninggi. Hal yang istimewa pada kriteria ini adalah dipertahankannya dasar teori desain mekanis. Ia juga mengemukakan obseravasi penting lainnya, yaitu adanya kenyataan bahwa hampir seluruh konstruksi jalan beraspal mengalami sejumlah deformasi permanen setelah setiap aplikasi beban
Gambar 2. Strains akibat repetisi beban (Dormon, 1962)
Gambar 2 memperlihatkan bagaimana sejumlah penurunan (strain) terjadi akibat repetisi beban pada material yang selalu berganti setiap saat. Pada awalnya, material memperlihatkan peningkatan jumlah deformasi permanen (akumulasi plastic strain). Namun demikian, saat jumlah beban meningkat, akumulasi plastic strain material cendrung menjadi elastic (recoverable strain). Penomena ini umumnya terjadi setelah 100 hingga 200 aplikasi beban. Penggunaan vertical compressive strain untuk mengontrol deformasi permanen didasarkan kenyataan bahwa plastic strain proporsional terhadap elastic strain pada material konstruksi jalan. Jadi, dengan mengurangi elastic strain pada subgrade, elastic strain pada komponen lainnya di atas permukaan subgrade akan dapat dikontrol. Olehnya itu terjadinya deformasi permanen pada permukaan lapisan beraspal akan juga dapat dikontrol (Huang, 2004). Research yang dilakukan Eliot dan Thomson menyimpulkan bahwa shear strength dan kuantitas rutting tergantung pada granular materials dan material subbase. Dengan demikian untuk menentukan deformasi permanen material subbase digunakan
106
parameter yang didapat dari unconfined compressive strength (UCS) berdasarkan Metode AASHTO-24 (Little, 1999 & Mallela et al, 2004).
Gambar 3. Alat Uji UCS
Dimungkinkan
untuk
menggunakan
―Software
Kenlayer‖
untuk
menentukan nilai compressive strain pada subgrade soil (Daba, 2006). Software ini telah digunakan oleh peneliti sebelumnya dengan mempertimbangkan validitasnya dalam pemeriksaan pavement pada kondisi yang berbeda. Untuk
menentukan
modulus
elastisitas
lapis
subbase
dengan
mempertimbangkan hasil pengujian compressive strength-nya, digunakan rumus-1 di bawah dengan memperbandingkan nilainya dengan compressive strength material, yaitu sebesar; (SPO, 2007) Eeq = 550 x fme ………………….. (1) Dimana: Eeq
= Modulus elastisitas equivalen material (Kg/cm2)
fme
= Compressive strength material (Kg/cm2)
Untuk menentukan efek stabilisasi material subbase terhadap strength yang dihasilkan, akan digunakan EDF (Equivalent Damage Factor), hal mana dapat dihitung menggunakan rumus-2 (Morton, 2004).
dimana: NCC
= Jumlah repetisi beban yang diijinkan untuk kondisi material subbase
NCD
= Jumlah repetisi untuk beban yang diijinkan pada kondisi standar.
107
EDFC = Equivalent damage factor. Untuk menghitung jumlah repetisi beban pada kondisi berbeda di lapis subbase digunakan rumus-3 berikut;
ECX
= Compressive strain pada kondisi lapis subbase
Bahan Penstabilisasi Kapur Menurut Wesley, L.D, (1987), bahwa kapur untuk bahan stabilitas diperoleh dari hasil pembakaran batu kapur alam (limestone) yang mengandung Calcium Carbonate (CaCO3) sampai Carbon Dioxide (CO2) yang dikandungnya hilang. Calcium Oxide (CaO) hasil pembakaran ini dikenal sebagai ―Quick Lime‖ kemudian diberi air dengan segera untuk membentuk Hydrated Lime berupa Calcium Hydoixide (Ca(OH)2) yang lebih dikenal sebagai ―Slaked Lime‖ berupa bubuk yang halus. Slaked Lime lebih banyak digunakan untuk keperluan stabilisasi dari pada Quick Lime karena ia merusak peralatan dan dapat membakar kulit pekerja. Menurutnya, stabilisasi adalah proses alami atau buatan untuk membuat tanah lebih kuat dan tahan terhadap perubahan bentuk, perubahan struktur, perpindahan dan pergeseran yang diakibatkan oleh beban ataupun oleh perubahan kondisi alam sekitar. Ia menuliskan bahwa, secara garis besar, stabilisasi dengan kapur akan meningkatkan kekuatan dan kekakuan material berbutir halus. Bahkan menurutnya,
kapur terkadang digunakan untuk
meningkatkan sifat-sifat teknis fraksi halus dari tanah granular. METODE PENELITIAN Suchman, E.A (1967) dalam Nasir, M (1999), menyatakan bahwa desain penelitian adalah ‗semua proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian‘. Desain percobaan adalah step – step atau langkah yang utuh dan berurutan yang dibuat lebih dahulu, sehingga keterangan yang ingin diperoleh dari percobaan akan mempunyai hubungan yang nyata dengan masalah penelitian. Akan halnya pengertian metode penelitian dapat dicermati dari uraian Nasir, M, 108
(1999) bahwa: ―Jika kita membicarakan bagaimana secara berurut suatu penelitian dilakukan, yaitu dengan alat apa dan prosedur bagaimana suatu penelitian dilakukan, maka itu adalah metode penelitian‖. Rumusan Masalah
Studi Pustaka
Pengambilan Material pada 4 quarry; S.Suluri, S.Wuno, S.Matampondo, dan S.& G. Lolioge
Pemeriksaan Pendahuluan Agregat Untuk Seleksi Kualitas Terbaik; pengujian berat jenis, penyerapan, dan abrasi Mix Design Campuran, Menggunakan Material dari Quarry Terbaik
Lapis Permukaan, Pemerisaan Aspal, Pembuatan Gradasi Campuran Beraspal,Uji Pemadatan, Uji Marshall, Penentuan Volumetrik, Penentuan KAO, Modulus Elastisitas, Poisson Ratio
Lapis Base, uji pendahuluan, Uji Pemadatan, Uji CBR, Unconfined Compressive Strength Test, Modulus Elastisitas, Poisson Ratio
Lapis Subbase, Analisa Saringan, Batas Atterberg, Stabilisasi Kapur, uji Pemadatan, Uji CBR, Modulus Elastisitas, Poisson Ratio
Subgrade, Analisa Saringan, AnalisaHidrome ter, Batas-batas Atterberg, Uji Pemadatan, Uji CBR, Modulus Elastisitas, Poisson Ratio
Software Kenlayer, Modulus Elastisitas, Tebal Setiap lapis, & Poisson Ratio
Subgrade Strain (Rutting Depth) & Load Repetition Number
Pengumpulan Data
Analisa Data Kesimpulan dan Rekomendasi
Gambar 4. Bagan Alur Penelitian
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode penelitian adalah operasionalisasi dari desain penelitian yang lebih bersifat detail, dengan
109
menyebutkan alat apa dan prosedur bagaimana setiap item dari langkah kerja dilakukan. Mengacu pada pemahaman tersebut, desain penelitian didesain seperti pada Figur-4. Dari bagan penelitian terlihat bahwa penelitian ini dimulai dari ―rumusan masalah‖, diakhiri dengan kesimpulan dan rekomendasi. Bagian bagan berwarna biru adalah seluruh aktifitas yang merupakan bagian intergral penelitian yang akan dilakukan dalam rangka mencapai gelar doktor di Fakultas Teknik, Program Studi S3, Universitas Hasanuddin. Menurut Nasir, M. (1999), bahwa pengumpulan data tidak lain adalah suatu proses pengadaan data primer untuk keperluan penelitian. Pengumpulan data merupakan langkah yang amat penting dalam metode ilmiah, karena pada umumnya, data yang dikumpulkan, digunakan, kecuali untuk penelitian eksploratif, untuk menguji hipotesa yang telah dirumuskan. Tabel-1, Spesifikasi Subbase ASTM-D 2940 No. 2― 1½‖ No.4 No.200
% Lolos 100 90-100 30-60 0 - 12
Toleransi ±5 ± 10 ±5
Tabel-2, Perhitungan Berat Tertahan Pada Setiap Nomor Saringan Saringan No.
Bukaan (mm)
2― 1½‖ No.4 No.200
50.8 37.5 4.75 0.075
Spesifikasi Gradasi Min
Max
100 90 30 0
100 100 60 12
% Lolos (nilai tengah) 100 95 45 6
% tertahan 0 5 50 45
Berat Tertahan (gram) 0 250 2500 2250 5000
Pengumpulan data akan dilakukan dengan ‗Metode Pengamatan Langsung‘, yaitu dengan pencatatan secara sistematis data – data yang dihasilkan dari seluruh rangkaian pengujian, sambil mengontrol validitas dan reabilitas data yang dikumpulkan. Khusus untuk data gradasi, diawali dengan pembuatan tabel untuk setiap jenis diameter butiran yang diperiksa. Skenario penelitian dalam rangka mengetahui rutting resistance material subbase yang telah distabilisasi diawali dengan menyajikan prosentase masing –
110
masing material yang dicampur. Analisa saringan material subbase akan dilakukan menggunakan standar ASTM-D 2940, gradasi ideal. Setelah berat material pada setiap nomor saringan diketahui, selanjutnya membuat benda uji yg beratnya 5000 gram (atau sesuai berat yg diatur pada modified compaction method) dengan variasi kadar kapur 0, 2, 4, 6 dan 8% terhadap berat material subbase. Tabel-3. Prosentase Setiap Material Untuk Stabilisasi. Jenis Material
Prosentase setiap Material
Subbase Kapur Air
100 2 15
Berat untuk kebutuhan benda uji (Kg) 5 0,1 0,75
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa untuk mengetahui efeknya terhadap strength material lapis subbase, maka dalam penelitian ini direncanakan untuk mengaplikasi beberapa variasi prosentase kapur (0, 2, 4, 6, dan 8%) dan juga variasi grading size kapur yaitu tertahan saringan # 100 (0,0375 mm) dan lolos saringan # 200 (0,075 mm). Dalam hal ini berat material subbase dibuat konstan. Benda uji akan dibuat dengan ukuran 30×30×30 cm3, dan akan dibiarkan selama 7 hari pada ruangan lembab.
Batas Bawah Grada si Ideal Gambar 5. Dimensi Benda Uji 30 x 30 x 30 cm, dan Gambaran kondisinya setelah curing 7 hari.
111
Batas Atas
Gambar 6. Gradasi Material Subbase dan perbandingannya Dengan Gradasi Standar Khabiri.M, (2010)
Tabel-4. Penentuan Compressive Strength Campuran Subbase Prosentase Kapur 0 2 4 6 8 0 2 4 6 8
Compressive Strength Campuran (Kg)
Ukuran Butiran Kapur Tertahan Saringan # 100 (0,0375 mm)
Filler, Lolos Saringan # 200 (0,075 mm)
Setelah mengetahui nilai compressive strength subbase, selanjutnya menghitung besarnya modulus elastisitas menggunakan persamaan-1. Hasilnya akan disajikan seperti pada Tabel-5. Menentukan subgrade strength capacity dengan menggunakan Program Software Kenlayer. Model fisik perkerasan di desain dengan ketebalan masing – masing;
7,5 cm untuk lapis permukaan, 15 cm untuk lapis base, 30 cm untuk
lapis subbase, dan tanah dasar subgrade. Table 5. Nilai Modulus Elastisitas Lapis Perkerasan Jenis Lapis Perkerasan Surface (Asphalt) Base (Granular)
Subbase (Stabilized)
Subgrade (soil)
Tebal Lapis (cm) 7,5 15
0,35 (contoh saja) 0,45
30
0,25
-
0,45
Poisson’s Ratio
Modulus Elastisitas (kg/cm2)
112
Unconfined Compressive Strength Test
Uji Laboratorium
7,5 cm
Compressive Strength
15 cm
Model Matematis Modulus Elasticity
30 cm
Parameter: Modulus Elasticity, Layer Thicknesses, Poisson’s Ratio
Gambar 7. Model Fisik Lapis Perkerasan Lentur dengan Ketebalan Masing – Masing lapis yang akan diinput ke Kenlayer Software
Kenlayer Software
Subgrade Strain (Rutting Depth) Model Matematis Repetion Numbers
Gambar 8. Peta Penelitian
Menurut Daba (2006), bahwa untuk menentukan nilai compressive strain subgrade soil digunakan Software Kenlayer. Dari uraian di atas, secara umum peta penelitian yang akan dilakukan pasca studi pendahuluan digambarkan secara skematik seperti pada gambar 8. Table-6. Penentuan compressive strain subgrade menggunakan software Kenlayer Ukuran Butiran Kapur Tertahan saringan # 100 (0,0375 mm)
Filler, Lolos saringan # 200 (0,075 mm)
113
Persen Kapur
Modulus Elastisitas (kg/cm2)
0 2 4 6 8 0 2 4 6 8
Telah diketahui sebelumnya
Subgrade Strain (Micro Strain)
Pada bagian akhir, Load Repetition Capacity konstruksi jalan dihitung menggunakan persamaan-3. Hasilnya disajikan dalam bentuk tabel berikut; Table 7. Akumulasi Repetisi Beban yang Dilayani oleh Konstruksi Jalan Persen Kapur
Subgrade Strain (Micro Strain)
0 2 4 6 8 0 2 4 6 8
Telah diketahui sebelumnya
Akumulasi Repetisi Beban
HASIL DAN PEMBAHASAN Sebagaimana diulas pada latar belakang, bahwa telah diadakan penelitian pendahuluan di laboratorium terhadap material dari empat quarry berbeda. Jenis pemeriksaan individual material yang dilakukan terdiri dari pengujian berat jenis, penyerapan, dan abrasi, yang hasilnya disajikan pada Tabel-8. Terlihat bahwa material Sungai/Gunung Lolioge memilki kualitas terbaik, ditandai berat jenis yang paling besar, serta penyerapan dan abrasi paling kecil. Tabel 8. Hasil Uji Pendahuluan Kualitas Individual Material Beberapa Quarry No.
Sumber Material
1
Sungai Suluri
2
Sungai Wuno
3 4
Sungai Matampondo Sungai/Gunung Lolioge
Jenis Agregat Kasar Halus Kasar Halus Kasar Halus Kasar Halus
Berat Jenis 2.20 2.40 2.41 2.47 2.62 2.63 2.77 2.71
Penyerapan (%) 1.41 2.17 0.96 1.57 0.86 0.88 0.58 0.81
Abrasi (%) 36.79 35.58 35.86 20.44
Mengapa kualitas material quarry Lolioge lebih baik dibandingkan material quarry lainnya diharapkan akan lebih jelas terlhat dengan analisa detil permukaan sel tiga dimesi menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy), serta analisa komposisi unsur yang terkandung dalam material tersebut melalui pengujian EDS (Energy Dispersive Spectroscopy).
114
Tabel 9. Daya Dukung Material LPA Beberapa Quarry No.
Sumber Material
CBR LPA (%)
1
Sungai Suluri
87.19
2
Sungai Wuno (Tulo)
88.51
3
Sungai Matampondo
90.26
4
Sungai/Gunung Lolioge
96.84
Telah dilakukan pengujian lanjutan terhadap material dari empat quarry di atas, guna menentukan daya dukung terbesar jika digunakan sebagai LPA. Hasil pengujiannya disajikan
pada Tabel-9. Terlihat bahwa material Lolioge
menunjukkan daya dukung tertinggi dengan nilai CBR 96,84%. Adapun uji UCS terhadap material subbase yang distabilisasi saat ini dalam persiapan, dan diharapkan dalam bebrapa pekan kedepan hasilnya sudah dapat dianalisis. KESIMPULAN Dari hasil uji UCS di laboratorium diharapkan akan jelas terlihat pengaruh stabilisasi beberapa variasi kadar kapur dan variasi besar butiranya terhadap kemampuan material subbase dalam menurunkan compressive strain pada permukaan subgrade. Jika hal ini terbukti, berarti bahwa stabilisasi tersebut berpotensi meningkatkan kapasitas subbase dalam mengatasi rutting pada permukaan subgrade. Semakin tinggi performa subbase menahan rutting, semakin besar pula harapan akan akumulasi repetisi beban yang dapat dilayani oleh konstruksi jalan lentur secara keseluruhan. Perbedaan nilai modulus elastisitas setiap lapis perkerasan lentur (lapis permukaan, base, subbase dan subgrade)
diperkirakan akan memberi efek
berbeda pada ketahanan konstruksi dalam menahan rutting dan jumlah repetisi beban kendaraan yang bisa dilayani. Hal ini akan dibuktikan setelah membuat model fisik konstruksi perkerasan yang dibebani dengan beban vertikal sebagai
115
refresentasi beban kendaraan. Analisis akan dilakukan menggunakan bantuan Software Kenlayer. DAFTAR PUSTAKA Daba S. Gedafa, (2006), Comparison of Flexible Pavement Performance Using Kenlayer and HDM-4, Fall Student Conference Midwest Transportation Consortium November 15, Ames, Iowa,pp . Dormon, G.B, (1962). The Extension to Practice of a Fundamental Procedure for the Design of Flexible Pavements. Ann Arbor, Mich., 1st International Conference on the Structural Design of Asphalt Pavements, ISAP. Huang, Y.H, (2003). Pavement Analysis and Design. 2nd Edn, Prentice Hall, Englewood Cliffs, New Jersey, USA., ISBN-10: 0131424734, pp: 792. Khabiri.M, (2010), The Effect of Stabilized Subbase Containing Waste Construction Materials on Reduction of Pavement Rutting Depth, Civil Engineering group, Vali-Asr University, Rafsanjan, Iran, EJGE, Vol. 15, Bund. L. Khateeb, L.A, et al (2011), Rutting Prediction of Flexible Pavements Using Finite Element Modeling, Jordan Journal of Civil Engineering, Volume 5, No. 2. Kim, J.R, et al (1991), Rational Test Methods for predicting permanent deformation in Asphalt Concrete pavement, Final Report, Civil & Mineral Engineering Department University of Minnesota. Little D. N., (1999), Evaluation of Structural Properties of Lime Stabilized Soils and Aggregates, Volume 1: Summary of Findings Prepared for the National Lime Association, pp 1-97. Mallela J., Von Quintus H. and Smith K. (2004), Consideration of Lime-Stabilized Layers in Mechanistic-Empirical Pavement Design, The National Lime Association, Arlington, Virginia, pp 1-30. Mochtar, I.S.B, (2004), Bahan Presentase pada ‖Seminar Nasional Tentang Kerusakan Dini Konstruksi Jalan, Kelongsoran Lereng, dan Strategi Penanganannya‖, Kerjasama Teknik Sipil ITS, Untad, dan Kimpraswil Sulteng, Palu. Morton, B.S, et al (2004), The Effect Of Axle Load Spectra And Tire Inflation Pressures On Standard Pavement Design Methods, Proceedings Of The 8th Conference On Asphalt Pavements For Southern Africa September,pp1-15.
116
Nasir, M, (1999), ―Metode Penelitian‖, Ghalia Indonesia NCHRP, (2004). Guide for Mechanistic-Empirical Design of New and Rehabilitated Pavement Structures. Illinois, Urbana: National Cooperative Highway Research Program, Transportation Research Board (TRB), National Research Council. Final Document Appendix RR: "Finite Element Procedures For Flexible Pavement Analysis". SPO Specifications Providing Office, (2007), Guideline of support Un-Reinforced Masonry Building against Earthquake, Technical Work Deputy, Publishing Number 376, Tehran, 2007, pp12. Tensar (1998), Chemical and Mechanical Stabilization of Subgrades and Flexible Pavement Sections, Technical Note, Atlanta. Wesley, L.D, (1987), Mekanika Tanah, Penerbit Pekerjaan Umum, Jakarta.
117
MODEL EVALUASI DAN MONITORING PENGADAAN BARANG DAN JASA BANGUNAN KONSTRUKSI BERBASIS MITIGASI DI PESISIR PANTAI Tutang Muhtar Kamaludin
ABSTRACT Selection of providers of goods and construction services ortendersisan importantst agein the process of building constructions ervice activity-based mitigation. This needs constructiondue to building conditionson the coast have special characteristics. Procure ment activities and construction servicesis a starting point to wards the creation of quality development outcomes. Therefore, the usersandproviders of goods and construction servicesneed to understandandhave the same perceptionin implementing regulations relating toprocurementof construction Researchusing observational methodsto the opinion of the service users and service providers from all counties and cities in Central Sulawesi relating to procurement of construction servicesto thecoastalareasespeciallybuilding-based disaster mitigation.Descriptive statistic alanalysis performed with the program packageis applied from the decision-making. Monitoring and evaluation ofthe implementation ofquality standards ofthe road pavementis done bya systemic approach (input-process-output-outcome-impact) This study evaluated the performance ofthe application ofquality standardsin the procurement of subjective reasons (subjective reasoning) andan objective assessmen to facomplex problem. Data collection techniquest hat are relevantto the nature and type of qualitative data is the interview(interview) and ora writtenanswerto thequestionnaire(survey form) addressed to experts(expert). The resultsare expected to determine the activities or projects are consistent with the planor program has been established. So that monitoring and evaluation is necessary to determine whether there source has been used appropriately and according to plan, whether the activityof the process conducted in accordance withthe required means, and whether the planned targets or targets tha tcan beachieved Keywords: Tender, Evaluation, Monitoring. Beachbuilding
PENDAHULUAN Latar Belakang Pemilihan penyedia barang dan jasa konstruksi merupakan tahapan yang penting dalam proses kegiatan pembangunan. Sebab, kegiatan pengadaan barang dan jasa konstruksi merupakan titik awal menuju terwujudnya hasil pembangunan yang berkualitas. Oleh karena itu, para pengguna dan penyedia barang dan jasa
118
konstruksi perlu memahami dan memiliki persepsi yang sama dalam melaksanakan peraturan yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa konstruksi. Menurunnya kepedulian dari pengguna jasa terhadap aturan yang berlaku dan rendahnya sumber daya manusia (SDM) yang memahami berbagai macam regulasi yang mengatur tentang pengadaan barang dan jasa konstruksi yang salah satunya diatur dalam Keppres 80 tahun 2003. Menambah daftar panjang buruknya manajemen proses pengadaan barang dan jasa. Dari berbagai macam penyimpangan dan pelanggaran dalam proses pengadaan barang dan jasa konstruksi tersebut. Mendorong para penyedia jasa yang merasa dirugikan dan diberlakukan tidak adil oleh pengguna jasa sebagai pelaksana dalam proses pelelangan untuk melakukan sanggahan. Namun seringkali penyedia barang dan jasa yang melakukan sanggahan lebih cenderung ―menyerang‖ terhadap kekurangan dari pemenang atau ke arah kecurigaan terjadinya KKN (korupsi kolusi nepotisme) antara panitia dengan peserta pemilihan, dengan tanpa disertai dengan bukti-bukti serta dasar yang kuat, sehingga materi sanggahan dengan mudah dapat dinyatakan tidak diterima. Implementasi e-Procurement di lingkungan instansi pemerintah memberikan tantangan Sistem Pengadaan Barang dan Jasa Kontruksi di Indonesia termasuk bidang yang mengalami inovasi karena perkembangan teknologi informasi. Apalagi dengan kebijakan dan regulasi pemerintah yang terus menerus disempurnakan sehingga hal ini mempengaruhi tata cara dan sistim yang telah dibentuk.Pengadaan barang/jasa untuk pemerintah adalah salah satu alat untuk menggerakkan roda perekonomian.Penyerapan anggaran yang diambil dari APBN/APBD melalui pengadaan barang/jasa ini menjadi faktor yang sangat penting.Maka, tidak heran bila kegiatan pengadaan barang dan jasa menjadi salah satu kegiatan pemerintahan yang banyak ‗diburu‘ para pemilik badan usaha. Persaingan usaha yang tidak sehat (premanisme bad governace), kolusi,persengkokongkolan antara pengguna jasa dan calon penyedia jasa, antara sesama calon penyedia jasa, informasi harga dan akses pasar yang terbatas dan tersekat-sekat (fragmented) melatar belakangi munculnya peraturan tentang pengadaan secara elektonik, dan saat ini hamper seluruh wilayah Indonesia
119
termasuk Sulawesi Tengah sudah melaksakan transaksi elektonik dalam hal pengadaan barang dan jasa dalam bidang konstruksi. Pada sistim pengadaan barang dan jasa konstruksi di Indonesia telah diterapkan sistim E-procurement. Pada sistim E-procurement seluruh proses lelang mulai dari pengumuman, mengajukan penawaran, seleksi, sampai pengumuman pemenang akan dilakukan secara online melalui situs internet (website).Pemerintah Indonesia saat ini memang berusaha mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government) dan menerapkan tata kelola yang baik (good governance). Kedua hal ini baru bisa tercapai jika penyelenggaraan pemerintahan didasarkan pada prinsip kepastian hukum, professional, visioner, efisien, akuntabel, transparan,dan partisipatif. Untuk mendukung tujuan pemerintah tersebut, keluarnya Perpres No. 70/2012 tentang pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah, yang menggantikan Keppres No. 80/2003, pada prinsipnya untuk menciptakan iklim persaingan yang sehat, efisiensi belanja negara, dan percepatan pelaksanaan APBN/APBD, memerlukan sistem dan prosedur lelang yang lebih sederhana dengan tetap memperhatikan good governance serta mendukung terciptanya kepastian aturan.Mengingat sistim lelang di Indonesia mengalami perubahan. Dari Konvesional, menuju sistim lelang elektronik, perubahan itu terjadi bertahap karena sistim lelang elektronik memerlukan persyaratan yang berbeda dengan sistim lelang konvesional. Ada tiga bidang prasyarat yang harus dipenuhi yaitu hukum, teknis, dan manajemen. Tanpa kesiapan dalam
itu, maka lelang
elektronik tidak dapat mencapai tujuannya. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang terkait dengan pemberlakuan peraturan standard pengadaan barang dan jasa untuk bangunan konstruksi berbasis Mitigasi di Pesisir Pantai, maka rumusan-rumusan masalah dapat diuraikan sebagai berikut: 1.
Bagaimana pengenalan dan pemahaman pengguna jasa terhadap substansi standard pengadaan barang dan jasa untuk bangunan konstruksi berbasis Mitigasi di Pesisir Pantai dengan implementasi proses penerapannya
120
2.
Bagaimana pengenalan dan pemahaman penyedia jasa terhadap substansi standard pengadaan barang dan jasa untuk bangunan konstruksi berbasis Mitigasi di Pesisir Pantai dengan implementasi proses penerapannya
3.
Apa kendala dan penyimpangan yang sering terjadi dalam implementasi standar pengadaan barang dan jasa dari mulai proses perencaan dan tahapan kontrak
4.
Bagaimana kerangka berpikir menyusun model dan monitoring dan evaluasi pemberlakuan regulasi tentang pengadaan barang dan jasa
5.
Faktor-faktor
apa
yang
mempertimbangkan
dalam
tiap
subsistem
pemberlakuan standar pengadaan barang dan jasa 6.
Variabel-variabel apa yang mempertimbangkan dapat mempengaruhi faktorfaktor dalam tiap subsistem pemberlakuan pengadaan barang dan jasa.
Tujuan Penelitian 1.
Mengidentifikasi kendala memahami pengguna jasa terhadap substansi standard pengadaan barang dan jasa untuk bangunan konstruksi berbasis Mitigasi di Pesisir Pantai dengan implementasi proses penerapannya;
2.
Mengidentifikasi kendala memahami penyedia jasa terhadap substansi standard pengadaan barang dan jasa untuk bangunan konstruksi berbasis Mitigasi di Pesisir Pantai dengan implementasi proses penerapannya;
3.
Mengidentifikasi kendala dan penyimpangan yang sering terjadi dalam implementasi standar pengadaan barang dan jasa dari mulai proses perencaan dan tahapan kontrak;
4.
Merumuskan kerangka berpikir menyusun model dan monitoring dan evaluasi pemberlakuan regulasi tentang pengadaan barang dan jasa;
5.
Menganalisis perbandingan tingkat faktor-faktor
dalam tiap subsistem
pemberlakuan standar pengadaan barang dan jasa; 6.
Menganalisis antar variabel yang mempertimbangkan dapat mempengaruhi faktor-faktor dalam tiap subsistem pemberlakuan pengadaan barang dan jasa.
TINJAUAN PUSTAKA
121
Umum Dalam pembangunan nasional, jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis mengingat jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau bentuk fisik lainnya, baik yang berupa prasarana maupun sarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang, terutama bidang ekonomi, sosial, dan budaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang−Undang Dasar 1945. Selain berperan mendukung berbagai bidang pembangunan, jasa konstruksi berperan pula untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya
berbagai
industri
barang/jasa
yang
diperlukan
dalam
penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.(Penjelasan Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi). Guna mencapai tujuan yang diamanatkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, yaitu perusahaan nasional yang mampu menunjukkan komitmennya pada penyelenggaraan jasa konstruksi dalam bentuk peningkatan kemampuan personil, teknologi dan permodalan usahanya di Indonesia, maka perusahaan nasional perlu diberikan kesempatan untuk bersaing dalam proses pelelangan dengan tetap memperhatikan asas kejujuran dan keadilan, keseimbangan, keterbukaan, dan kemitraan serta kriteria biaya, mutu, jadwal serta tidak boleh menimbulkan efek proteksi (non tarif barier) maupun ketentuan-ketentuan lain yang diatur dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil serta Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. (Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi). Dalam rangka menghapuskan inefisiensi, monopoli, dan praktek–praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam kegiatan jasa konstruksi, telah dirumuskan asas keterbukaan secara lebih rinci dalam pasal-pasal pengaturan yang diharapkan dapat mewujudkan tertib penyelenggaraan dalam kegiatan jasa konstruksi yang bernuansa tersedianya kesempatan atau peluang yang adil bagi masyarakat untuk berperanserta dalam penyelenggaraan pekerjaan jasa konstruksi, persaingan yang sehat antar para penyedia jasa, kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dengan
122
penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan akan peraturan perundang-undangan. (Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi). Yang dimaksud dengan prinsip – prinsip dasar pengadaan jasa pemerintah adalah hal –hal mendasar yang harus menjadi acuan, pedoman dan harus dijalankan, dilakuan, serta dapat diwujudkan oleh seluruh pihak (stake holder) dalam melakukan, mengikuti, mengawasi pengadaan jasa pemerintah sesuai dengan perannya masing – masing. Filosofi Prinsip-prinsip Dasar Pengadaan Jasa Pemerintah Prinsip – prinsip dasar adalah acuan atau pedoman pokok, dalam penyusunan aturan perundang – undangan, tata cara, prosedur, praktek sehari – hari dalam pengadaan jasa pemerintah. Dalam hal ini sesuatu yang belum jelas diatur, pemilihan jalan keluarnya harus berpedoman dan mengacu kepada prinsip – prinsip dasar. Dalam prinsip-prinsip dasar pengadaan jasa tersebut terkandung hal-hal yang berkaitan dengan hakekat, filosofi, etika dan norma pengadaan jasa pemerintah. Artinya, dalam melaksanakan dan mewujudkan seluruh prinsipprinsip dasar tersebut, perlu dipahami esensi, maksud dan tujuan yang mendasarinya, dan bukan sekedar dijalankan untuk memenuhi persyaratan secara formal. Namun apabila melaksanakan dan mewujudkannya disertai dengan pemahaman terhadap hakekat, filosofi dan etika yang mendasari prinsip-prinsip dasar tersebut, diharapkan tujuan dari diberlakukannya prinsip-prinsip dasar akan dapat dicapai. Agar hakekat, esensi, tujuan dan maksud pengadaan jasa tersebut dapat dilaksanakan sebaik-baiknya, maka kedua belah pihak yaitu pihak pengguna dan pihak penyedia harus berpedoman kepada filosofi dasar pengadaan jasa, tunduk kepada etika dan norma pengadaan jasa yang berlaku, mengikuti dan memahami prinsip-prinsip dasar pengadaan jasa, serta menjalankan metoda dan proses pengadaan jasa yang telah berlaku diatur dalam aturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapatdinyatakan bahwa filosofi pengadaan jasa adalah upaya untuk mendapatkan jasa yang diinginkan yang 123
dilakukan atas dasar pemikiran logis dan sistematis (the system of thougt), mengikuti norma dan etika yang berlaku, berdasarkan metode dan proses pengadaan yang baku. Proses Pengadaan Jasa Konstruksi Cara pengadaannya juga dapat dilakukan langsung oleh badan usaha yang bersangkutan,
yang
biasanya
memiliki
unit
untuk
pengadaan
(procurement/logistic unit), dengan cara membeli langsung di pasar, atau dengan menggunakan jasa pihak kedua, yaitu pemasok (supplier), pemborong (contractor), dan konsultan. Tata cara hubungan dengan pihak kedua, yang dapat berupa: pembelian langsung, pelelangan terbuka, pelelangan terbatas, pemilihan langsung, penunjukkan langsung, bentuk kontrak, cara pembayaran, cara penyerahan pekerjaan, perawatan dan jaminan, serta lain-lain, sepenuhnya ditentukan dalam aturan yang telah disepakatidan disetujui oleh manajemen perusahaan. Untuk mencapai tujuan pengadaan barang/jasa, yaitu mendapatkan barang/jasa yang tepat jumlah, tepat waktu, kualitas yang baik, dan harga wajar, sesuai atau bahkan lebih baik dari yang telah direncanakan, maka perlu dipertimbangkan keadaan alamiah (nature conditions) dan jenis dari barang/jasa yang akan dilakukan pengadaannya. Perbedaan
alamiah
tersebut,
dapat
terkait
dengan
kompleksitas
permasalahannya, siklus serta tahapannya, juga resiko yang akan dihadapi dalam pelaksanaan pengadaannya. Pengadaan untuk keperluan rutin dan operasional mungkin tidak diperlukan perencanaan yang teliti dan komplek, karena hampir tiap perioda tertentu dilakukan. Berbeda dengan pengadaan untuk keperluan investasi baru, diperlukan perencanaan yang matang dan teliti, terutama untuk aktivitas yang menyangkut pendanaan yang sangat besar. Untuk memahami kondisi alamiah (nature conditions) tersebut, biasanya kita mempertimbangkan 2 (dua) faktor pokok, dalam menentukan cara pengelolaan (manajemen) pengadaan. Faktor yang pertama adalah harga atau biaya. Semakin besar biaya yang dipergunakan untuk pengadaan, semakin komplek permasalahan yang dihadapi, dan semakin diperlukan tingkat manajemen pengadaan (procurement management) yang lebih canggih (sophisticated). 124
Sebaliknya, semakin kecil biaya yang dipergunakan untuk pengadaan, semakin sederhana pula manajemen pengadaan dijalankan. Faktor kedua adalah resiko, dari pelaksanaan aktivitas pengadaan yang bersangkutan. Semakin tinggi resiko yang dihadapi, semakin diperlukan manajemen pengadaan yang canggih. Sebaliknya semakin rendah resiko yang dihadapi, semakin sederhana manajemen pengadaan yang dipilih. Penyedia Jasa Konstruksi Penyedia barang/jasa adalah orang perseorangan atau badan usaha yang kegiatan usahanya menyediakan barang/layanan jasa.(Keputusan Presiden No. 80 Tahun
2003
tentang
Pedoman
Pelaksanaan
Pengadaan
Barang/Jasa
Pemerintah). Pengguna barang/jasa, penyedia barang/jasa dan para pihak yang terkait dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa harus mematuhi etika sebagai berikut: 1.
Melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang/jasa;
2.
Bekerja secara profesional dan mandiri atas dasar kejujuran, serta menjaga kerahasiaan dokumen pengadaan barang/jasa yang seharusnya dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa;
3.
Tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung untuk mencegah dan menghindari terjadinya persaingan tidak sehat;
4.
Menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan para pihak;
5.
Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak yang terkait, langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan barang/jasa (conflict of interest);
6.
Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan Negara dalam pengadaan barang/jasa;
7.
Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara;
125
Tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan berupa apa saja kepada siapapun yang diketahui atau patut dapat diduga berkaitan dengan pengadaan barang/jasa. (Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah). Pengertian Model dan Evaluasi Pengertian
dari model adalah: a description of observed behaviour,
simplified by ignoring certain details. Models allow complex systems to be understood and their behaviour predicted within the scope of the model, but may give incorrect descriptions and predictions for situations outside the realm of their intended use (Ortuzar& Willimsen, 1994). Dengan kata lain, model adalah suatu deskripsi dari perilaku yang diobservasi, kemudian disederhanakan dengan mengabaikan detail tertentu. Pemodelan akan memungkinkan sistem yang kompleks dapat dipahami dan perilaku sistem tersebut dapat diprediksi berdasarkan cakupan dari model, tetapi model tersebut tidak dapat menjelaskan seluruh aspek dari realitas. Secara spesifik, mendefinisikan model sebagai suatu representasi sederhana dari dunia nyata atau suatu sistem pengamatan yang menekankan pada elemenelemen tertentu atas pertimbangan-pertimbangan kepentingan.Pemodelan suatu fenomena adalah membangun suatu teori yang menggambarkan dan menjelaskan fenomena tersebut.Pemodelan dilakukan dengan menuliskan suatu deskripsi tentang sistem tersebut atau membangun suatu teori dari seluruh fenomena yang diamati. Pemodelan dari suatu fenomena alam, baik fisik maupun non-fisik dapat berbentuk model phisik dan non-phisik.Model fisik merupakan replika dari kondisi fisik ideal dari suatu entitas, misal model mobil, model rumah, model gelombang, model mesin, dan model jembatan. Model non-fisik atau model abstrak atau disebut mental model,biasanya digunakan untuk merepresentasikan karakteristik dari suatu perilaku atau kejadian, proses, karakteristik, dan sistem dari suatu fenomena, misal model bangkitan lalu-lintas, model aliran tunai, model kejadian kecelakaan, dan model pengendalian proyek konstruksi. Struktur model tersebut dapat ditulis dalam bentuk matematika dan diagram atau gambar-gambar 126
yang menjelaskan karakteristik hubungan antar elemen atau subsistem dari sesuatu yang dimodelkan (any systems). Ortuzar & Willimsen (1994) menyebutkan bahwa model fisik biasanya digunakan untuk keperluan rancangan (design of structure), sedangkan model abstrakmerepresentasikan suatu teori tentang sistem yang ditinjau dan bagaimana sistem tersebut bekerja.Mental model memegang peranan penting dalam memahami dan menginterprestasikan fenomena alam (dunia nyata) dan model-model analitis. Salah satu bentuk dari mental model tersebut adalah model logika(logic model) yang digunakan untuk menyelesaikan pengendalian dan pengembangan sistem prasarana kegiatan, misal monitoring dan evaluasi terhadap suatu proses yang komplek (sistemik) sehingga dapat diketahui efisiensi dan efektivitas dari proses tersebut. Pengertian Monitoring dan Evaluasi Monitoring adalah kegiatan pengumpulan dan analisis informasi secara sistematik tentang bagaimana suatu organisasi atau program sedang berjalan. Monitoring didasarkan pada sasaran yang ditetapkan dan aktivitas yang direncanakan selama tahapan perencanaan program. Evaluasi adalah perbandingan dampak aktual program terhadap rencana strategi yang ditetapkan. Evaluasi akan melihat apa yang telah ditetapkan untuk dilaksanakan, apa yang telah dicapai dan bagaimana pencapaian tersebut,definisi monitoring sebagai berikut, " monitoring is an intermittent (regular or irregular) series of observations in time, carried out to show the extent of compliance with formulated standars or degree of deviation from an expected norm".Dengan kata lain, monitoring adalah suatu serial observasi periodik yang dilakukan untuk menunjukkan tingkat pemenuhan standar yang telah ditetapkan atau observasi tersebut dilakukan untuk mengetahui derajad penyimpangan dari suatu norma, standar, pedoman dan manual yang ditetapkan. Istilah monitoring juga dapat dipahami sebagai upaya sistematis untuk menilai atau mengevaluasi apakah suatu tujuan atau target dari suatu proses telah tercapai. Selanjutnya, monitoring dirumuskan sebagai:"The act of overseeing the progress of a research study to ensure that the rights and well-being of participants are protected, that the data are accurate, complete and verifiable, and that the conduct of the research is in compliance with the protocol, with applicable regulatory requirements and with 127
standars of the field".Artinya dalam konteks monitoring penelitian, kata monitoring dapat dijelaskan sebagai tindakan mengawasi proses. suatu program penelitian untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat memiliki hak-hak yang terlindungi, data yang diperoleh akurat, lengkap dan sudah diverifikasi dengan pihak terkait. Selain itu, monitoring tersebut dilakukan terhadap kaidah dan persyaratan serta standar yang harus dipenuhi oleh suatu proses penelitian. Konsep Dasar Monitoring dan Evaluasi Secara mendasar, monitoring dan evaluasi adalah upaya menentukan apakah suatu kegiatan atau proyek dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan rencana atau program yang telah ditetapkan. Secara praktis, monitoring dan evaluasi diperlukan untuk menentukan apakah sumberdaya telah digunakan secara tepat dan sesuai rencana, apakah aktivitas dari proses dilakukan sesuai dengan cara-cara yang disyaratkan, dan apakah sasaran atau target yang direncanakan dapat tercapai. Oleh karena itu, monitoring dan evaluasi menjadi sangat penting posisinya dalam implementasi suatu rencana karena beberapa hal, antara lain untuk mengetahui sejauh mana suatu program dapat diimplementasikan dan apa intervensi yang dibutuhkan untuk meningkatkan dampak dari suatu program tersebut . Sistem monitoring dan evaluasi dirancang untuk mencapai berbagai tujuan (Shapiro, 2004), antara lain: (i) menyediakan informasi untuk semua tingkatan manajemen; (ii) menunjukkan kinerja dari implementasi program(programme performance)sebagai bagian dari akuntabilitas; (iii) mengukur hasil(project outcomes and impacts) terhadap keluaran; dan (iv) membangkitkan pemahaman yang luas dan mendapatkan pelajaran untuk tindak lanjut dari suatu implementasi program. Hal yang mendasar dari monitoring dan evaluasi adalah menfokuskan pada efisiensi, efektivitas dan dampak (impact) suatu program. Oleh karena itu, pengembangan monitoring dan evaluasi melibatkan penetapan indikator-indikator efisiensi, efektivitas dan dampak. Disamping itu, monitoring dan evaluasi memerlukan suatu sistem untuk mengumpulkan, mencatat dan menganalisis informasi yang terkait dengan indikator-indikator tersebut. Sedangkan, evaluasi melibatkan pengkajian apa hasil dan dampak yang dicapai, termasuk 128
keberlanjutan dari program (Shapiro, 2004). Pertama kali, tujuan monitoring dan evaluasi harus. 1.
Pengembangan Perangkat Lunak Pengembangan perangkat lunak monitoring dan evaluasi pemberlakuan
standar mutu Pengadaan Penyedia Jasa Konstruksi berbasis Mitigasi dibangun untuk mengaplikasikan logic model dari sistem hierarki elemen-elemen yang berpengaruh terhadap kinerja pemberlakuan standar mutu Pengadaan Penyedia Jasa Konstruksi berbasis Mitigasi berbasis pendekatan sistemik.
Aplikasi Model Perangkat Lunak Studi kasus <—
data monitoring kuantitatif kinerja pengadaan Jasa Konstruksi
Gambar 1. Kerangka berpikir pengembangan perangkat lunak model monitoring dan evaluasi pemberlakuan standar Jasa Konstruksi
129
Pengembangan perangkat lunak pada prinsipnya terdiri atas: (i) brainware (olah pikir) yang meliputi logic model, logika kecenderungan pengaruh variabel dan program aksi tiap variabel; dan (ii)Software(perangkat lunak) yang meliputi bahasa pemrograman, rancangan basis data dan proses olah data input, rancangan implementasi antar muka dan eksekusi aplikasi model. Kerangka pengembangan perangkat lunak tersebut dapat ditunjukkan dalam Gambar 1 METODE PENELITIAN Metodologi Penelitian Penelitian merupakan suatu proses yang panjang berawal dari minat untuk mengetahui fenomena tertentu dan selanjutnya berkembang menjadi gagasan, teori, konseptualisasi. Proses penelitian memerlukan pemilihan metode yang sesuai, proses pengambilan data, pengumpulan dan pengolahan serta analisis data dan menyusun kesimpulan yang melahirkan gagasan atau teori baru, sehingga merupakan suatu proses yang tiada henti (Biatna dkk., 2005). Metode penelitian dilaksanakan berdasarkan observasi terhadap pendapat para pengguna jasa dan penyedia jasa dari seluruh kabupaten dan kota di Sulawesi Tengah
yang
berkaitan
dengan
bidang
pengadaan
jasa
konstruksi
khusunyabangunan konstruksi berbasis Mitigasi di Pesisir Pantai. Analisis diskriptif dilakukan dengan statistik yang diaplikasikan dari paket program pengambilan keputusan. Metodologi penelitian secara garis besar menjelaskan tiga bagian penting (Nazir, 2004), yaitu: (i) prosedur penelitian, (ii) teknik penelitian, dan (iii) metode penelitian. Berkaitan dengan hal tersebut, metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dalam 7 (tujuh) tahapan kegiatan Desain responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain responden tetap karena responden yang dibentuk mengikuti aturan tertentu dan tidak berubah-ubah selama proses penarikan responden berlangsung. Desain responden tetap yang dipilih dalam penelitian ini adalah metode cluster sampling (responden berkelompok), yaitu teknik memilih sebuah responden dari kelompok unit-unit yang kecil atau cluster. Teknik cluster sampling yang digunakan adalah two stage cluster sampling.
130
Instrumen Penelitian Monitoring dan evaluasi pemberlakuan standar mutu Pengadaan Penyedia Jasa Konstruksi berbasis Mitigasi dilakukan dengan pendekatan sistemik (inputprocess-output-outcome-impact) sehingga perlu ditetapkan faktor, variabel beserta indikator dan parameternya dalam tiap bagian-bagian sistem (subsistem) pemberlakuannya. Faktor dalam penelitian ini dimaksudkan keadaan atau peristiwa yang mempengaruhi terjadinya sesuatu atau sesuatu yang secara aktif berkontribusi terhadap suatu penyelesaian, hasil dan proses. Variabel dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai sesuatu yang memiliki variasi atau sesuatu yang dapat berubah-ubah yang mencerminkan karakter dari faktor. Indikator yang dimaksud dalam penelitian ini sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mengukur, memberi petunjuk dan keterangan terhadap variabel. Parameter yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ukuran yang membatasi atau tolok ukur kinerja (performance) variabel. Penelitian ini mengkaji tentang kinerja pemberlakuan standar mutu Pengadaan Penyedia Jasa Konstruksi berbasis Mitigasi yang mendasarkan pada alasan-alasan subyektif(subjective reasoning) dan penilaian obyektif terhadap suatu permasalahan yang kompleks. Berkaitan dengan hal tersebut, teknik pengumpulan data yang relevan dengan sifat dan jenis data yang bersifat kualitatif adalah wawancara(interview)dan atau menjawab tertulis terhadap kuesioner (formulir survai) yang ditujukan kepada pakar(expert).Instrumen penelitian yang paling sesuai berupa formulir survai yang berisi pertanyaan-pertanyaan pilihan yang harus dijawab atau dipilih dengan pertimbangan obyektif dan pengalaman serta keahlian responden (pakar) eksemplar pada tiap tahapan survai. Pengumpulan data dengan mengirimkan kuesioner kepada responden (pakar) memiliki beberapa keuntungan, antara lain: (i) penggunaan kuesioner melalui komunikasi pos tidak memerlukan enumerator sehingga dapat mengurangi biaya; (ii) kuesioner yang dikirimkan dapat mencapai responden (pakar) dalam area yang luas, terutama pada daerah yang anggota populasinya jarang dan memiliki pelayanan kantor pos yang baik; (iii) pengiriman kuesioner dengan menggunakan jasa pos dapat mengurangi error dari enumerator; (iv) kuesioner yang dikirimkan dapat memberikan kesempatan yang lebih fleksibel
131
bagi responden untuk menjawabya dengan melengkapi data pendukung yang lebih akurat; (v) responden dapat menjawab pertanyaan yang diajukan secara lebih jujur, karena responden tidak bertatap muka langsung dengan enumerator. Selain keuntungan-keuntungan di atas, pengiriman kuesioner juga memiliki batasan-batasan sebagai berikut: (i) pertanyaan-pertanyaan yang diajukan harus sederhana dan langsung mengenai sasaran; (ii) pertanyaan yang dibuat harus yang dapat dimengerti oleh responden; (iii) jawaban dari pertanyaan tersebut harus diterima sebagai suatu jawaban final kecuali akan dilakukan pengecekan ulang; (iv) penggunaan kuesioner yang dikirimkan biasanya memakan waktu lama untuk mendapatkan tanggapan responden; (v) jawaban yang diberikan untuk masingmasing responden tidak lagi independen karena responden sudah dapat membaca terlebih dahulu terhadap pertanyaan yang diajukan; (vi) tidak ada kesempatan untuk membuat tambahan terhadap jawaban yang diperoleh berdasarkan observasi; (vii) responden dapat saja tidak mengembalikan kuesioner. Pengembalian kuesioner yang terisi lebih besar 40% dari desain responden yang terkirim dapat diteruskan untuk analisis jika sampel yang terkirim tersebut tidak terfokus pada satu tempat melainkan tersebar di semua lokasi penarikan jawaban responden. METODE ANALISIS DATA Beberapa metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (i) statistik diskriptif; (ii) analisis faktor; dan (iii) analisis hierarki proses. Analisis statistik diskriptif untuk menjelaskan profil atau kinerja Pengadaan Penyedia Jasa Konstruksi berbasis Mitigasi saat ini termasuk bagaimana proses pemberlakuan standar mutu Pengadaan Penyedia Jasa Konstruksi berbasis Mitigasi serta menjelaskan
persepsi
pakar
terhadap
verifikasi
variabel-variabel
yang
mempengaruhi faktor-faktor pemberlakuan standar mutu 1.
Seleksi dan Pengelompokkan Variabel Pengaruh dengan Pendekatan Analisis Faktor (factor analysis) Analisis faktor merupakan salah satu model statistik yang memanfaatkan
hubungan-hubungan korelasi maupun kovariansi pada suatu kelompok variabel untuk menerangkan kembali atau meringkas kelompok variabel tersebut dalam
132
beberapa kuantitas acak yang tidak teramati, yang disebut faktor. Factor analysis mulai dikembangkan oleh Karl Pearson dan Charles Spearman pada awal abad ke20 untuk mempelajari inteligensia yang tidak mungkin diamati atau diukur secara langsung (Johnson & Wichern, 1992). Sebagaimana halnya dengan model-model statistik yang lain, diperlukan alasan-alasan teoritik yang mendukung seorang analis untuk melakukan factor analysis. Suatu alasan teoritis diperlukan untuk memotivasi analis dalam menduga beberapa variabel yang mengukur sebuah fenomena mendasar yang sama, dengan harapan jumlah data yang tersedia mampu mendukung dugaan atau pemodelan yang akan dilakukan Pada dasarnya analisis faktor dilakukan dengan tujuan-tujuan berikut: (i) meringkas data (data summarization), yaitu mengidentifikasi adanya hubungan antar variabel dengan melakukan uji korelasi dan dilanjutkan dengan meringkas beberapa variabel dalam satu faktor sepanjang memungkinkan; (ii) mengurangi banyaknya variabel (data reduction), yaitu dengan menggunakan faktor yang dihasilkan dari sejumlah variabel. Variabel-variabel yang difaktorkan umumnya disyaratkan sebagai variabel kuantitatif berskala interval atau rasio (Hair et al., 1998; Santoso, 2003; Johnson & Wichern, 1992; Washington et al., 2003). Dengan mengikuti notasi yang digunakan oleh Washington et al. (2003), formulasi matematis model faktor dapat dijelaskan secara ringkas sebagai berikut. Sebuah model faktor diformulasikan dengan menyatakan variabel-variabel teramati, X j hingga Xpdi dalam satu set fungsi linier seperti yang ditunjukkan dalam Persamaan (3.1) Xi - Ul = I11F1 + I12F2 + ... + llmFm + Si X2- U2 = /21F1 + /22F2 + ... + hmFm + S2 (3.1) Xp —Up=/p1Fr +lpF2 +.*..+IpmFm +Sp
yang ditunjukkan dalam Persamaan (3.2) (X—u)
px1 = LpxmFpxm + Spx1 (3.2) F merupakan faktor-faktor yang terbentuk dan lj merupakan nilai-nilai
bobot faktor. Suku galat sihanya berasosiasi dengan X,. Sejumlah p galat acak (random errors)dan m bobot faktor yang terbentuk bersifat tidak teramati dalam observasi pengumpulan data atau laten. Dengan p buah persamaan dan p + m buah kuantitas tidak diketahui, nilai kuantitas-kuantitas ini dapat dihitung secara
133
langsung tanpa memerlukan adanya informasi tambahan. Untuk menghitung besarnya nilai bobot faktor dan galatnya, beberapa pembatasan digunakan. Pembatasan ini akan menentukan jenis model faktor yang dihasilkan, apakahorthogonalataukah oblique.Model faktororthogonalyang mensyaratkan tidak adanya korelasi antar faktor-faktor yang terbentuk lebih populer dan umum digunakan karena dapat diinterpretasikan dengan lebih tegas. Model faktor orthogonal disyaratkan untuk memenuhi hal-hal berikut: F dan
S
bersifat saling
bebas; E[ F] = 0; Cov[F]=I; E[S] = 0; dan Cov[s]= v,dengan vmerupakan sebuah matriks diagonal. Nilai bobot faktor berkisar antara 0 dan 1. Sebuah bobot faktor lj dengan nilai mendekati 1 menunjukkan bahwa variabel Xibanyak dipengaruhi oleh faktor Fj. Sebaliknya, nilai bobot faktor yang mendekati 0 menunjukkan bahwa variabel Xitidak dipengaruhi oleh faktor Fj secara substantif. Jumlah faktor yang perlu diekstrak dari sekumpulan variabel bergantung pada nilai eigen tiap faktornya.. Salah satu metode ekstraksi faktor yang umum digunakan adalah metodeprincipal component.Metode ini mengasumsikan bahwa variabel dapat dibentuk kembali melalui kombinasi faktor secara tepat linear. Selain itu, diasumsikan pula bahwa tidak terdapat korelasi antar komponen (faktor), dan jumlah nilai kebersamaan (commonality)tiap variabel pada seluruh faktor bernilai 1 (satu). Asumsi terakhir mensyaratkan bahwa nilai galat tiap variabel memiliki nilai harapan nol. Untuk memperjelas hubungan antara variabel dengan faktornya, matriks faktor perlu dirotasi. Metodevarimaxmerupakan sebuah metode rotasi yang paling umum digunakan dalam model faktor orthogonal. Metode ini bekerja dengan prinsip memaksimalkan jumlah variabel yang memiliki bobot faktor tinggi pada suatu faktor. Interpretasi suatu model faktor bersifat langsung. Variabelvariabel yang memiliki nilai bobot faktor tinggi pada suatu faktor dianggap memiliki pengaruh yang tinggi dalam mendeskripsikan faktor tersebut, demikian pula sebaliknya. Pemeriksaan beberapa variabel yang memiliki nilai bobot faktor tinggi pada suatu faktor dilakukan untuk mencermati struktur mendasar atau kesamaan (commonality) antar variabel tersebut. Struktur mendasar yang dimiliki oleh beberapa variabel berbobot tinggi inilah yang perlu dicari interpretasi logisnya oleh seorang analis berdasarkan konteks penelitian yang dilakukan.
134
Metode analisis faktor telah diimplementasikan dalam berbagai program komputer statistik terkemuka, sepertiStatistical Package for the Social Sciences (SPSS), Statistica dan SAS.Pada penelitian ini analisis faktor dilakukan dengan bantuan SPSS versi 18 di bawah sistem operasi Microsoft Windows. Paket program ini dipilih karena memiliki langkah-langkah pengujian matriks korelasi antar variabel yang dapat dimonitor sebelum analisis faktor dilakukan atas sekumpulan variabel tersebut. Pengujian awal atas korelasi antar variabel ini diperlukan untuk memeriksa tingkat kepatutannya (appropriateness) sebelum dilanjutkan dengan pemodelan faktor. PENUTUP Penelitian diharapkan akan menghasilkan hal-hal sebagai berikut: a.
Peningkatan kualitas dan kompetensi SDM Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa yang memahami secara utuh standar Pengadaan Jasa Konstruksi sesuia dengan ketentuan yang berlaku
b.
Adanya perbaikan system dengan pengaturan dan manajamen pengelolaan yang baik di LPSE untuk mempermudah dan semakin transparannya pengadaan jasa konstruksi terutama untuk pekerjaan bangunan konstruksi berbasis Mitigasi di Pesisir Pantai.
c.
Melalui penerapan dan regulasi yang standar diharapkan dapat menyatukan presepsi antara pengguna jasa dan penyedia jasa untuk semakin menumbuhkan rasa kompetisi yang baik diantara pengguna jasa sehingga bisa mewujudkan bangunan gedung yang andal.
DAFTAR PUSTAKA ANDREW R.J. DAINTY1*, MEI-I CHENG1 AND DAVID R. MOORE A competency-based performance model for construction project managers'Department of Civil and Building Engineering, Loughborough University, Loughborough, Leicestershire, LE11 3TU, UK Scott Sutherland School, The Robert Gordon University, Garthdee Road, Aberdeen AB10 7QB, UK Received 23 June 2003; accepted 20 December 2003,Construction Management and Economics (OCTOBER 2004) ll, 877886
135
D.
A. LANGFORD1*, P. KENNEDY2, J. CONLIN1 and N. MCKENZIE3Comparison of construction costs on motorway projects using measure and value and alternative tendering initiative contractual arrangements,'Department of Civil Engineering, Strathclyde University, Glasgow, UKSchool of the Built and Natural Environment, Glasgow Caledonian University, Glasgow, UK ^National Roads Directorate, Scottish Executive, Edinburgh, UKConstruction Management and Economics (December 2003) 21, 831-840.
Edmond W.M. Lam, Albert P.C. Chan and Daniel W.M. Chan,Benchmarking design-build procurement systems in construction,Department of Building and Real Estate, The Hongkong Polytechnic University, Kowloon, People's Republic of China Benchmarking: An International Journal Vol. 11 No. 3, 2004 pp. 287-302 FARZAD KHOSROWSHAHI1 * and AMIR M. ALANI A model for smoothing time-series data in construction University of Central England, Faculty of the Built Environment, Perry Barr, Birmingham B42 2SU, UK 2University of Portsmouth, Department of Civil Engineering, Lion Gate Building, Lion Terrace, Portsmouth PO1 3HF, UKReceived 26 April 2002; accepted 17 January 2003 Construction Management and Economics (July 2003) 21, 483-494 Godefroy Beauvallet, Younes Boughzala, and Said Assar,E-Procurement, from Project to Practice: Empirical Evidence from the French Public Sector,S. Assar (*)Institut Télécom, Telecom Business School, 9, rue Ch. Fourier, 91011 Evry, France e-mail:
[email protected],S. Assar et al. (eds.), Practical Studies in E-Government: Best Practices 13 from Around the World, DOI 10.1007/978-1-4419-7533-1_2, © Springer Science+Business Media, LLC 2011 Inder Singh1 and Devendra Kumar Punia2EMPLOYEES ADOPTION OF EPROCUREMENT SYSTEM: AN EMPIRICAL STUDY Center for Information Technology in CES, University of Petroleum & Energy Studies,Dehradun (Uttarakhand),
[email protected] of Information Systems in CMES, University of Petroleum & Energy Studies, Dehradun (Uttarakhand), India.International Journal of Managing Information Technology (IJMIT) Vol.3,No.4, November 2011 K. P. Anagnostopoulos, A. P. Vavatsikos DEMOCRITUS,An AHP Model for Construction Contractor PrequalificationEjux£ipr|aiaKr| 'Epeuva / Operational Research. An International Journal. Vol.6, No 3 (2006), pp.136-346
136
Lampiran Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum No. 12/SE/M/2008. Tentang Prosedur Pelaksanaan Pelelangan E – Procurement. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Persyaratan dan Ketentuan Penggunaan Sistem Pengadaan Secara Elektronik Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Petunjuk Pengoperasian Layanan Pengadaan Secara Elektronik Nasioanl Martin Betts, Petter Black,Sharon, Juan Gonzales, ―Toward Secure And Legala ETendering‖,Tean Vol 11 (2006) bats et al pg 89,April2006 Noor Maizura Mohamad Noor and Rosmayati Mohemad,Decision Support for Web-based Prequalification Tender Management Systemin Construction Projects,Universiti Malaysia Terengganu Malaysia,ISBN 978-953-761964-0 Hard cover, 406 pages Publisher InTechPublished online 01, January, 2010 Published in print edition January, 2010 Pepres No.70 Tahun 2012, tentang Pengadaan Barang dan Jasa Penjelasan UU Republik Indonesia No. 11 tahun 2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penjelasan UU Republik Indonesia No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 54 tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.BP Cipta Karya Jakarta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 29 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Tony Ma, The Two-Envelope Tendering For Contractor Selection-South Australian Expereinces, University Of South Australia Seri Buku Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Indonesia, Konsolidasi Keppres 80 Tahun 2003 dan Perubahannya. Ver. 1/.08. 2008.
137
BUIS BETON BERLUBANG SEBAGAI ALTERNATIF SUMUR RESAPAN AIR HUJAN I Gede Tunas1, Rizaldi Maadji2, Arody Tanga3 1
Jurusan Teknik Sipil Universitas Tadulako, Palu Jurusan Teknik Sipil Universitas Muhammadyah, Luwuk 3 Jurusan Teknik Sipil Universitas Tadulako, Palu
2
Email:
[email protected]
ABSTRAK Banjir yang terjadi di kawasan perkotaan umunya berasal dari luapan aliran sistem drainase permukiman, yang sering menimbulkan kerugian baik sosial maupun materi. Salah satu penyebabya adalah berkurangnya peresapan (infiltrasi) aliran ke dalam tanah akibat meningkatnya pembangunan permukiman. Kondisi ini juga memberikan dampak terhadap berkurangnya ketersediaan (cadangan) air tanah terutama pada musim kemarau. Salah satu tindakan antisipasi yang dapat dilakukan adalah membuat sumur resapan di lingkungan permukiman. Sumur resapan terbuat dari buis beton berlubang pada bagian sisi-sisinya. Pemakaian konstruksi ini diperkirakan lebih efektif dibandingkan buis beton konvensional. Sebagai upaya verifikasi, maka perlu dilakukan pengujian mengetahui efisiensi peresapan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa sumur resapan buis beton berlubang memiliki efisiensi peresapan hingga 48.55 % pada jenis tanah berangka permeabilitas 0.00282 cm/det dan debit 0.15 liter/det. Kata kunci: genangan, sumur resapan, buis beton berlubang
PENDAHULUAN Salah satu penyebab banjir yang paling konvensional selain hujan ekstrim adalah ketidakseimbangan siklus hidrologi yang terjadi di alam ini (Hindarko, 2002). Fenomena yang paling nyata dari proses ini adalah jumlah air yang melimpas dipermukaan (run-off) jauh lebih besar volume yang meresap kedalam tanah (infiltrasi). Sebagai konsekuensi dari fenomena ini berdampak pada dua hal yakni berkurangnya cadangan air bawah tanah (aquifer) dan berlebihnya air dipermukaan (banjir). Arti fisik dari proses ini adalah berkurangnya faktor tahanan permukaan yang berfungsi untuk memberi kesempatan peresapan air kedalam tanah, akibat pemanfaatan lahan oleh manusia baik untuk pengembangan usaha maupun untuk permukiman. Defisit air pada musim kemarau akibat berkurangnya cadangan air tanah juga merupakan masalah yang saling terkait dengan banjir/genangan (Asdak, 11 138
2002). Pengambilan air tanah dangkal secara kontinyu di daerah perkotaan telah membawa dampak terhadap kesinambungan elevasi muka air tanah dangkal (Sudjarwadi, 1998). Fluktuasi muka air tanah sangat dirasakan pada musim penghujan dan musim kemarau. Rentang musim kemarau belakangan ini jauh lebih panjang dibandingkan musim penghujan. Masalah muncul terutama pada musim kemarau, hampir sebagian sumur-sumur yang diusahakan secara individu oleh masyarakat perkotaan mengalami kekeringan terutama pada daerah-daerah yang berada pada topografi yang lebih tinggi. Dampaknya adalah masyarakat mengalami kesulitan dalam pemenuhan air bersih, apalagi daerah-daerah tersebut belum terjangkau oleh PDAM. Sebagai upaya preventif yang dilakukan melengkapi bangunan pada kawasan permukiman dengan sumur resapan dalam hal ini menggunakan buis beton berlubang, yang berfungsi sebagai media peresapan air hujan sehingga air yang melimpas dipermukaan dapat diminimalkan, artinya peluang untuk terjadinya luapan/banjir dapat diantisipasi. TINJAUAN PUSTAKA Air Tanah Salah satu komponen penting dalam siklus hidrologi adalah air tanah (ground water). Telah diketahui bersama bahwa air tanah merupakan sumber air tawar terbesar di planet bumi, mencakup kira-kira 30 % dari total air tawar. Akhirakhir ini pemanfaatn air tanah telah meningkat dengan pesat, bahkan dibeberapa tempat tingkat eksploitasinya sudah sampai pada tingkat yang membahayakan (Suripin, 2002). Air tanah biasanya diambil, baik untuk sumber air bersih maupun irigasi, melaui sumur terbuka, sumur tabung, spring, atau sumur horizontal. Kecendrungan memilih air tanah sebagai sumber air bersih, dibandingkan air permukaan, mempunyai keuntungan sebagai berikut lebih bersih dari bahan cemaran (polutan) permukaan, tersedia dekat dengan tempat yang memerlukan, sehingga lebih murah ditinjau dari segi biaya, kualitasnya lebih seragam dan bersih dari kekeruhan, bakteri, lumut, atau tumbuhan dan binatang air. Cara pengambilan air tanah yang paling tua dan sederhana adalah dengan membuat sumur gali (dug wells) dengan kedalaman lebih rendah dari posisi
139
permukaan air tanah (Kusnadi, 2003). Jumlah air yang dapat diambil dari sebuah sumur gali biasanya terbatas, dan yang diambil adalah air tanah dangkal. Untuk pengambilan yang lebih besar diperlukan luas dan kedalaman yang lebih besar. Sumur gali biasanya dibuat dengan kedalaman lebih dari 5-8 meter dibawah permukaan tanah. Untuk pengambilan air tanah dengan jumlah yang cukup besar, misalnya daerah industri, cara yang paling banyak dipakai adalah dengan membuat sumur dalam (deep wells) yang pada umumnya terbuat dari pipa dan air yang diambil adalah air tanah dalam (confined aquifer). Dalam rangka menjaga kelestarian air tanah, maka perlu dijaga keseimbangan antara pengisisan dan pengambilan. Berakaitan dengan pengelolaan air tanah, maka perlu dilakukan upaya konservasi dengan cara pengisian air tanah buatan (artificial recharge) dan pengendalian pengambilan air tanah (Suripin, 2002). Pengisian air tanah buatan secara umum adalah dengan menggunakan konsep penggenangan. Cara ini umumnya dilakukan dengan penggenangan buatan dengan sumber air berasal dari sungai, membuat kolam-kolam di sekitar rumah, pemanfaatan pipa jaring-jaring drainase yang porus guna meresapkan air hujan di sekitar rumah. Pengisian buatan diakukan melalui permukaan, selanjutnya air permukaan akan terinfiltrasi dan setelah kapasitas jenuh tercapai maka akan terjadi perkolasi yang menyebabkan pengisian aquifer. Disisi lain pengendalian pengambilan air tanah merupakan salah satu usaha yang penting dilakukan. Pengambilan air tanah melalui sumur-sumur akan mengakibatkan lengkung penurunan muka air tanah (depression cone). Makin besar laju pengambilan air tanah, makin curam lengkung lengkung permukaan air tanah yang terjadi disekitar sumur sampai terjadi keseimbangan baru (Sri Harto, 2002). Keseimbangan baru akan tercapai hanya jika laju pengambilan air tanah lebih kecil dari pengisian oleh air hujan pada daerah resapan. Sumur Resapan Kosep dasar sumur resapan pada hakekatnya adalah memberikan kesempatan dan jalan pada air hujan yang jatuh di atap atau lahan yang kedap air untuk meresap ke dalam tanah dengan jalan menampung air tersebut pada suatu sistem resapan yang dikenal dengan sumur resapan. Sumur resapan ini merupakan sumur kosong dengan kapasitas tampungan yang cukup besar sebelum air 140
meresap kedalam tanah. Dengan adanya tampungan, maka air hujan akan mempunyai waktu yang cukup untuk meresap kedalam tanah, sehingga pengisian tanah menjadi optimal. Berdasarkan konsep tersebut, maka ukuran atau dimensi sumur yang diperlukan untuk suatu lahan/kapling sangan tergantung pada beberapa faktor yaitu luas permukaan penutupan, karakteristik hujan, koefisien permeabilitas tanah dan tinggi muka air tanah. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untu mendesain sumur resapan diantaranya metode Sunjoto dan metode PU. Sunjoto (1998, dalam Suripin, 2004) mengemukakan bahwa volume dan efisiensi sumur resapan dapat dihitung berdasarkan keseimbangan air yang masuk ke dalam sumur dan air yang meresap ke dalam tanah, dan dapat dituliskan dengan:
Q H FK
FKT 1 e R 2
(1)
dengan: H=tinggi muka air dalam sumur (m), F=faktor geometrik (m), Q=debit
air masuk
(m3/det), T=waktu
pengaliran (detik),
K=koefisien
permeabilitas tanah (m/det) dan R=jari-jari sumur (m). Departemen Pekerjaan Umum (Hindarko, 2002) telah menyusun standar tata cara perencanaan teknis sumur resapan air hujan untuk lahan pekarangan. Metode PU menyatakan bahwa dimensi atau jumlah sumur resapan air hujan yang diperlukan pada suatu lahan pekarangan ditentukan oleh curah hujan maksimum, permeabilitas tanah dan luas bidang tanah, yang dirumuskan sebagai berikut:
H
D I At D K As As D K P
(2)
Berdasarkan mekanisme pengaliran dari atap, sumur resapan dibedakan menjadi 2 bagian yakni sumur resapan pada rumah bertalang dan rumah tidak bertalang. Sumur resapan pada bangunan bertalang dan ada/tanpa saluran pelimpah air hujang yang dari talang dimasukkan ke saluran keliling bangunan pada ujungnya diberi koral sehingga kotoran tidak masuk ke sumur resapan lalu airnya dimasukkan kesumur resapan. Fungsi saluran pelimpah adalah apabila sumur resapan penuh maka air akan mengalir kesaluran pelimpah. Sedangkan
141
Berdasarkan jenis bahan/material yang digunakan sumur resapan dapat dibedakan menjadi sumur resapan pasangan batu bata, buis beton dan batu kali. Sumur Resapan Buis Beton Berlubang Secara tradisional buis beton banyak digunakan untuk sumur resapan air hujan di sekitar permukiman. Bahan ini banyak digunakan karena dianggap praktis sehingga tidak banyak menemukan kesulitan saat instalasi di lapangan. Dengan menggunakan jenis konstruksi ini penggalian tanah sebagai tempat buis beton dapat dilakukan secara bersama-sama dengan instalasi buis beton, sehingga kemungkinan terjadinya longsoran pada sisi sumur dapat dihindari (Tunas, I.G., dan Tanga, A., 2010). Namun disamping, kemudahan instalasi tersebut, berdasarkan beberapa pengamatan dilapangan ternyata kinerja sumur resapan ini relatif kurang efektif untuk meresapkan air hujan. Sisi kedap buis beton ini menyebabkan air hujan yang masuk ke dalam sumur tidak dapat meresap secara horisontal dan hanya meresap secara vertikal. Bahkan pada beberapa kasus, kapasitasnya sering terlampaui lebih awal dari lama hujan. Sebagai antisipasi dari kelemahan ini, dengan tidak mengurangi tingkat kepraktisan
di
lapangan,
dimunculkan
konsep
sumur
resapan
dengan
menggunakan bahan yang sama (buis beton) tetapi pada semua sisi diberi lubang pada saat proses pencetakan. Lubang-lubang ditentukan dan diatur sedemikian rupa pada seluruh sisi buis beton sehingga tidak mengurangi kekuatan sumur dalam menahan beban vertikal berupa plat penutup dan urugan tanah pada sisi atas, dan beban horisontal berupa tekanan tanah lateral yang bekerja pada seluruh sisi sumur. Pada saat proses pencetakan lubang-lubang sumuran ini di buat dengan menggunakan pipa PVC berukuran 3 inchi. METODE PENELITIAN Lokasi penelitian ini bertempat kawasan permukiman
di Kelurahan
Birobuli Selatan dan Kelurahan Petobo Kota Palu. Adapun tahapan yang diambil untuk menyelesaikan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Tahap Pengumpulan Data dan Penyiapan Gambar Kerja
142
Pada tahap ini data yang akan dikumpulkan untuk penelitian adalah primer berupa sampel tanah yang diambil pada beberapa titik menggunakan hand boring untuk mengetahui angka permeabilitas tanah sebagimana diperlihatkan pada Gambar 1. Jalan Titik 1
Titik 2
Titik 3
Kapling 3
Kapling 4
Kapling 5
Kapling 6
Jalan
Kapling 2
Jalan
Kapling 1
Titik 4
Titik 5
Titik 6
Jalan
Gambar 1. Posisi pengambilan sampel tanah
Data lain adalah berupa data sekunder berupa data curah hujan untuk mengetahui hujan tahunan yang terjadi di Kota Palu. Demikian pula pad tahap ini dilakukan penyiapan gambar kerja/desain untuk pembuatan alat cetakan buis beton berlubang. DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIOANAL UNIVERSITAS TADULAKO LEMBAGA PENGABDIAN PADA MASYARAKAT Kampus Bumi Tadulako Tondo Telp. 0451-429574
0.15 m
0.35 m
0.35 m
0.15 m
PROGRAM IbM
0.20 m
Ipteks bagi Masyarakat (IbM) Perumahan Petobo Permai Untuk Mengatasi Genangan Air Hujan
0.20 m 0.80 m
0.20m
PELAKSANA KEGIATAN G. Tunas, S.T., M.T. Ir. Arody Tanga. MT
0.20 m NAMA GAMBAR Tampak dan Potongan Buis Beton Berlubang
1.00 m SKALA GAMBAR 1 : 10
TAMPAK DEPAN/SAMPING SKALA 1:10
Lubang Peresapan D8 cm
NOMOR DAN JUMLAH LEMBAR 01/03
Gambar 2. Gambar desain buis beton berlubang
2. 143
Tahap Desain, Pengujian Model dan Pembuatan Alat Cetakan
Model sumur resapan buis beton berlubang dibuat dari pipa PVC berdiameter 3 inch atau setara dengan diameter 7.5 cm dengan panjang 50 cm. Model sumur yang dibuat di bedakan menjadi 3 macam yakni model sumur konvensional, model sumur berlubang dan model sumur berlubang dengan tutup dibawahnya. Jenis pertama dimaksudkan untuk mengetahui kinerja peresapan sumur tanpa lubang di bagian dinding, jenis kedua dimaksudkan untuk mengetahui kinerja peresapan lubang dikombinasikan dengan peresapan bagian bawah, sedangkan jenis ketiga dimaksudkan untuk mengetahui kinerja peresapan sumur khusus pada bagian lubang.
Gambar 3. Model buis (sumuran) konvensional, berlubang dan berlubang dengan tutup bawah (a) dan alat cetakan buis beton berlubang (b)
Pembuatan model dilakukan dengan penyekalaan model, artinya model sumur yang dibuat beserta ukuran dan posisinya sebanding dengan ukuran sumur (buis) yang sebenarnya. Hal ini juga berarti bahwa dimensi dan posisi lubang pada model proporsional dengan sumur (buis) yang akan dibuat. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penyimpangan hasil peresapan aliran antara debit yang diinput pada model dengan debit yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Ketiga model ditunjukkan pada Gambar 3a. Setelah model selesai dibuat, selanjutnya dilakukan pengujian model dan pembuatan alat cetakan. Bahan pencetakan buis beton berlubang dibuat dari dari kayu Palapi (salah satu kayu kelas kuat dan awet I-II di Sulawesi Tengah), dengan ukuran tinggi 80 cm, diameter luar 1 m dan tebal 8 cm seperti terlihat pada Gambar 3b.
144
3.
Tahap Pencetakan dan Pemasangan Buis Beton Berlubang Pencetakan buis beton menggunakan bahan/material semen portland
(Semen Tonasa), kerikil dan pasir, dengan tulangan. Perbandingan campuran adalah 1:2:3 menggunakan tulangan D8 (diameter 8 mm). Hasil cetakan buis beton diperlihatkan pada Gambar 4a. Selanjutnya Pemasangan buis (Gambar 4b) dilakukan di lokasi pengambilan sampel tanah. Buis yang dipasang di susun sebanyak 3 (tiga) buah sesuai kebutuhan kedalaman, sehingga kedalaman penggalian tanah 1.6 m. Teknik pemasangan buis hampir sama dengan pemasangan sumur dangkal untuk air bersih. Sedikit perbedaan yang dilakukan adalah pemberian lapisan ijuk pada setiap pertemuan lubang dengan tanah, untuk menghindari tanah pada dinding masuk ke dalam sumur melalui lubang. Demikian pula pada bagian bawah diberi lapisan kerikil sebagai pembatas bidang kontak antara air dan tanah. Pada bagian atas sumuran, di beri lapisan penutup untuk memberikan perlindungan terhadap kenyamanan dan keindahan pemilik rumah.
Gambar 4. Hasil cetakan buis beton berlubang (a) dan pemasangan buis di permukiman (b) 4.
Tahap Analisis
Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap efektifitas lubang terhadap infiltrasi aliran kedalam tanah. Hasil analisis ini juga dibandingkan terhadap hasil pengujian terhadap kinerja peresapan tanpa menggunakan lubang pada sisi-sisi sumuran.
HASIL DAN PEMBAHASAN 145
Permeabilitas Tanah Pengambilan sampel dan uji mekanika tanah dimaksudkan untuk mengatahui tingkat kelulusan air pada lokasi dimana buis beton berlubang akan diterapkan, sehingga pengaruh porositas tanah dapat diketahui. Berdasarkan sampel tanah yang diambil dengan alat ukur bor, dan diuji di laboratorium menunjukkan bahwa tingkat kelulusan air sebesar 0,00282 cm/dtk, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1. Sampel tanah yang diambil berjumlah 6 sampel dengan jarak minimal 30 m. Maing-masing kapling perumahan di ambil 1 sampel. Tabel 1. Sampel uji permebilitas (konstan head) sampel tanah Dimensi Contoh : Diameter = 6,2 cm, Luas = 30,175 cm² , Tinggi (h) = 1 cm No. Waktu (t) Volume air (Q) sampel detik Cc 1 180 195.00 2 180 192.00 3 180 189.00 4 180 189.50 5 180 179.00 6 180 178.00 Rata-rata 187,08
Temperatur (T) C° 28 28 28 28 28 28
Pengujian Sumur Resapan Pengujian model sumur yang dimaksudkan untuk mengetahui efektifitas lubang pada dinding buis peresapan, berdasarkan angka parameter porositas tanah yang telah didapatkan. Uji ini dilakukan dengan menggunakan debit aliran sebesar 0.15 liter perdetik, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4 yang dilakukan pada Kapling (titik) 1, 2 dan 6 Tabel 2. Hasil uji model sumur pada Titik 1
No. Sumur
Debit (liter/detik)
Lama pengisian sumur penuh (menit)
Lama pengosongan (menit)
1 2
0.15 0.15
5.60 12.40
6.10 3.20
3
0.15
6.15
6.35
Keterangan Tanpa lubang Berlubang Berlubang dengan tutup bawah
146
Penentuan debit 0.15 liter per detik dilakukan bedasarkan penyekalaan debit akibat hujan rancangan dengan periode ulang 1 tahun. Artinya bahwa pedoman pengujian dilakukan berdasarkan debit akibat hujan tahunan. Transformasi hujan menjadi debit dilakukan dengan Metode Rasional. Pengujian dilakukan pada saat musim kemarau, dimana kadar dan muka air tanah rendah. Pengaruah air tanah pada pengujian ini diabaikan, artinya bahwa sumur ini akan bekerja dengan baik pada saat kadar air tanah belum mencapai titik jenih. Berdasarkan data uji yang diperlihatkan pada Tabel 2 dapat dianalisis bahwa terdapat pengaruh lubang terhadap kinerja peresapan sumur. Pengaruh lubang berdasarkan hasil uji tersebut adalah sebesar 54.84 % (titik 1), 44.49 % (titik 2) dan 46.32 % (titik 3). Apabila diambil nilai rata-rata ketiga titik tersebut, pengaruh lubang terhadap pengisian sumur (pencapaian jenuh) adalah 48.55 %. Tabel 3. Hasil uji model sumur pada Titik 2 No. Sumur
Debit (liter/detik)
Lama pengisian sumur penuh (menit)
Lama pengosongan (menit)
Keterangan
1 2
0.15 0.15
6.30 11.35
7.25 4.30
Tanpa lubang Berlubang
3
0.15
8.55
8.15
Berlubang dengan tutup bawah
Tabel 4. Hasil uji model sumur pada Titik 6 No. Sumur
Debit (liter/detik)
Lama pengisian sumur penuh (menit)
Lama pengosongan (menit)
Keterangan
1 2
0.15 0.15
6.20 11.55
6.90 4.50
Tanpa lubang Berlubang
3
0.15
7.45
7.55
Berlubang dengan tutup bawah
147
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pengujian lapangan maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut ini : 1)
Kondisi tanah di tempat pengujian memiliki angka permeabilitan kategori sedang, mencapai 0.00282 cm/det.
2)
Buis beton berlubang yang diuji sebagai sumur resapan air hujan, berdasarkan hasil uji lapangan memberikan efisiensi peresapan 48.55 % dibandingkan dengan buis beton konvensional dengan debit dan kedalaman yang sama.
3)
Buis beton berlubang dapat dijadikan sebagai alternatif sumur resapan air hujan.
Saran Beberapa hal yang dapat disarankan untuk menyempurnakan penelitian ini adalah perlunya dilakukan variasi debit dan melakukan pengujian pada lokasi lain dengan jenis tanah yang berbeda. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah mendanai penelitian ini melalui Hibah Program IbM. DAFTAR PUSTAKA Asdak, C., 2002, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Bear, J., 1979, Hydraulics of Groundwater, McGraw-Hill, New York. Hindarko, 2002, Drainase Kawasan Daerah, Esha, Jakarta. Hindarko, 2002, Manfaatkan Air Tanah Tanpa Merusak Kelestariannya, Esha, Jakarta. http://bplhd.jakarta.go.id/sumur_resapan
148
Kusnadi, 2003, Teknologi Sumur Resapan, Andi Offset, Yogyakarta. Sudjarwadi., 1988, Teknik Sumberdaya Air, KMTS UGM, Yogyakarta. Suripin, 2002, Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air, Andi Offset, Yogyakara Tunas, I.G., dan Tanga, A., 2010, Laporan Program IBM Perumahan Petobo Permai Dalam Mengugangi Genangan Air Hujan, LPM UNTAD, Palu.
149
PERENCANAAN PONDASI DANGKAL DAN PONDASI TIANG BOR DENGAN METODE ANALITIS DAN METODE ELEMEN HINGGA Astri Rahayu¹, Dini Afrianti² Universitas Tadulako, Fakultas Teknik, Jurusan Sipil Email :
[email protected]
ABSTRAK Di era Globalisasi ini dan menjelang keterbukaan Ekonomi Asean, bangsa Indonesia harus mengejar ketertinggalannya dibanding bangsa lainnya dengan membangun infrastruktur. Bangunan sipil yang ada seharusnya memiliki pondasi yang kuat dan kokoh. Perhitungan pondasi yang ada selama ini berdasarkan metode analitis yang didasarkan Daya Dukung Tanah dari Terzaghi. Analisa kapasitas daya dukung pondasi dangkal dan dalam dapat dikontrol dengan menggunakan metode elemen hingga untuk mempercepat perhitungan. Tulisan ini bertujuan untuk membandingkan perhitungan analitis dan metode elemen hingga pada pondasi dangkal dan dalam. Perhitungan pondasi dangkal dengan studi kasus Pembangunan Gedung Bakorluh P2K Provinsi Sulawesi Tengah yang terdiri dari 2 lantai menggunakan pondasi telapak berbentuk bujur sangkar dengan dimensi 1,5 x 1,5 m dan kedalaman 2,2 m. Perhitungan pondasi dalam dengan studi kasus Hotel Coco Best Western Palu terdiri dari 10 lantai, menggunakan pondasi tiang bor D = 0,4 m dengan kedalaman 18 m, dimana dilapangan menggunakan pondasi tiang pancang. Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan dengan metode Terzaghi diperoleh nilai kapasitas daya dukung pondasi telapak, qult = 1632,125 kN/m2, yang ditujukan untuk menahan beban titik di atasnya, P = 139,819 kN. Hasil perhitungan penurunan menggunakan menggunakan data (segera) memiliki nilai penurunan maksimum sebesar 4,50 mm. Berdasarkan analisa menggunakan Plaxis v. 8.2, penurunan pondasi telapak adalah 24,57 mm dan 24,18 mm pada kolom A dan B. Berdasarkan analisa menggunakan Plaxis v. 8.2, pondasi tiang bor tunggal tidak dapat mendukung beban sebesar P =6526,018 kN sehingga harus digunakan kelompok tiang bor sebanyak 9 hingga 10 buah, dimana Σ MSF = 8,3 beban P = 700 kN. Jika Faktor keamanaan antara 2,5 hingga 3 maka Kapasitas daya dukung tanah akan lebih besar. Kata kunci: Pondasi telapak, Pondasi tiang bor, Plaxis v. 8.2, Kapasitas daya dukung, Penurunan.
150
PLANNING SPREAD FOUNDATIONS AND BORE PILE WITH ANALYTICAL METHOD AND FINITE ELEMENT METHOD. Astri Rahayu¹, Dini Afrianti² Tadulako University, Teknik Faculty, Civil Departement Email :
[email protected]
ABSTRACT In this era of globalization and openness towards the Asean Economic, Indonesian people have to catch up compared to other nations by building infrastructure. Existing civil buildings should have a strong and solid foundation. Calculations exist for this foundation is based on analytical methods that are based on Terzaghi Bearing Capacity. Analysis of bearing capacity of shallow and deep foundations can be controlled by using the finite element method to accelerate the computation. This paper aims to compare the analytical calculations and finite element method in shallow and deep foundations. Calculation of shallow foundation with case studies Building Construction Bakorluh P2K Central Sulawesi province consisting of 2 floors using square foundation with dimensions of 1.5 x 1.5 m and a depth of 2.2 m. Calculation of deep foundation with case studies Hotel Best Western Coco Palu consisted of 10 floors, using bored pile foundation D = 0.4 m with a depth of 18 m, where in the real location using bore pile foundation. Based on the analysis conducted by the method of Terzaghi bearing capacity values obtained square foundation, qult = 1632.125 kN/m2, which is intended to support point load on it, P = 139.819 kN. Calculations result of immediatelly settlement using the data reduction using μ is 4.50 mm. Based on analysis using Plaxis v. 8.2, deformation in the square foundation is 24.57 mm and 24.18 mm for columns A and B. Based on analysis using Plaxis v. 8.2, a single bored pile foundation can not support the load of P = 6526.018 kN so bored pile group should be used as much as 9 to 10 pieces, where MSF Σ = 8.3 P = 700 kN load. If safety factor between 2.5 to 3 then the bearing capacity will be greater. Keywords: square foundation, bore pile foundation, Plaxis v. 8.2, bearing capacity, settlement.
PENDAHULUAN Latar Belakang Di era Globalisasi ini dan menjelang keterbukaan Ekonomi Asean, bangsa Indonesia harus mengejar ketertinggalannya dibanding bangsa lainnya dengan membangun infrastruktur. Bangunan teknik sipil meliputi dua bagian utama yaitu struktur atas (upper structure) dan struktur bawah (sub structure) . Struktur atas didukung oleh struktur bawah sebagai pondasi yang berinteraksi dengan tanah 151
untuk menghasilkan kapasitas dukung yang mampu memikul dan memberikan keamanan pada struktur bagian atas. Struktur bawah sebagai pondasi secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu pondasi dangkal dan pondasi dalam. Perhitungan pondasi dangkal yang ada selama ini berdasarkan metode analitis yang didasarkan Daya Dukung Tanah dari Terzaghi. Analisa kapasitas daya dukung pondasi dangkal dan dalam dapat dikontrol dengan menggunakan metode finite elemen untuk mempercepat perhitungan. Pemilihan jenis pondasi tergantung kepada jenis struktur atas, apakah termasuk konstruksi beban ringan atau beban berat dan juga jenis tanahnya. Untuk konstruksi beban ringan dan kondisi lapisan permukaan yang cukup baik, biasanya jenis pondasi dangkal sudah cukup memadai. Tetapi untuk konstruksi beban berat (high-rise building) biasanya jenis pondasi dalam adalah menjadi pilihan. Tanah dasar yang baik dan stabil merupakan syarat bagi kemampuan konstruksi dalam memikul beban. Apabila lapisan tanah pendukung keras, maka daya dukung tanah tersebut cukup kuat untuk menahan beban yang ada. Sebagai obyek penelitian adalah Gedung Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (Bakorluh P2K) di Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Tengah sebanyak 2 lantai untuk pondasi dangkal, dan Hotel Coco Best Western sebanyak 10 lantai untuk pondasi dalam. Penyelidikan tanah dilakukan dengan menggunakan metode statis yaitu penyelidikan sondir yang bertujuan untuk mengetahui perlawanan penetrasi konus dan hambatan lekat yang merupakan indikasi dari kekuatan daya dukung lapisan dengan menggunakan rumus empiris. Pada penelitian ini perhitungan kapasitas daya dukung yang digunakan adalah metode Terzaghi dan metode elemen hingga menggunakan program Plaxis. Dari studi ini akan diperoleh nilai keamanan sehingga dapat diketahui seberapa jauh perbedaan antara hasil kapasitas daya dukung pondasi berdasarkan hasil perhitungan beberapa metode. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka yang menjadi permasalahan pada studi ini yaitu mengenai: 1.
Bagaimana kapasitas daya dukung pondasi dangkal dan pondasi dalam? 152
2.
Seberapa besar penurunan yang terjadi pada pondasi?
Batasan Masalah Uji sifat tanah berdasarkan data tanah yang diperoleh dari hasil penyelidikan tanah di lapangan. 1.
Perhitungan pembebanan menggunakan SAP 2000 v.14
2.
Metode Terzaghi
3.
Metode numeris, dimana didasarkan pada metode elemen hingga dengan menggunakan program Plaxis v. 8.2.
4.
Penurunan diperhitungkan menggunakan perhitungan penurunan
data
(segera). Tujuan dan Manfaat Penelitian A.
Tujuan
1.
Menghitung dan menganalisa kembali besarnya daya dukung pondasi berdasarkan rumus empiris dari metode Terzaghi dan metode elemen hingga (finite element) menggunakan program Plaxis yang didasarkan pada data CPT (sondir).
2.
Menghitung besarnya
penurunan (settlement) yang terjadi dengan
menggunakan rumus empiris dan program Plaxis. TINJAUAN PUSTAKA Pondasi Pondasi terbagi atas pondasi dangkal dan pondasi dalam, pondasi dangkal didefinisikan sebagai pondasi yang mendukung bebannya secara langsung, seperti pondasi telapak, pondasi memanjang dan pondasi rakit. Pondasi dalam didefinisikan sebagai pondasi yang meneruskan beban bangunan ke tanah keras atau batuan yang terletak relatif jauh dari permukaan, contohnya pondasi sumuran dan pondasi tiang, (Hardiyatmo, 2002). Stabilitas pondasi ditentukan oleh beberapa faktor : 1.
Kapasitas daya dukung tanah (bearing capacity) Daya dukung tanah ini sangat dipengaruhi oleh :
153
2.
a)
Jenis pondasi yang meliputi bentuk, dimensi, dan kedalaman.
b)
Sifat tanah dimana pondasi tersebut diletakkan.
Penurunan (settlement) a)
Penurunan seketika (immediate settlement) diakibatkan oleh elastisitas tanah.
b)
Penurunan konsolidasi (consolidation settlement) diakibatkan oleh peristiwa konsolidasi atau keluarnya air dari ruang pori partikel tanah.
Daya Dukung Tanah Daya dukung tanah (bearing capacity) adalah kemampuan tanah untuk mendukung beban baik dari segi struktur pondasi maupun bangunan di atasnya tanpa terjadinya keruntuhan geser. Daya dukung menyatakan tahanan geser tanah untuk melawan penurunan akibat pembebanan, yaitu tahanan geser yang dapat dikerahkan oleh tanah di sepanjang bidang gesernya. Daya dukung dipengaruhi oleh nilai kuat geser tanah, dimana hal ini dipengaruhi oleh nilai kohesi dan sudut geser tanah. Nilai kohesi (c) diperoleh dari besarnya gaya tarik menarik antara butiran tanah, sedangkan daya tahan terhadap pergeseran antar partikel tanah disebut sudut geser tanah ( ). Analisa daya dukung tanah diperlukan untuk mempelajari kemampuan tanah dalam mendukung beban pondasi struktur yang terletak di atasnya. Metode Analisa Kapasitas Daya Dukung Analisa Terzaghi yang merupakan perkembangan dari analisis daya dukung Prandtl dalam Hardiyatmo (2002) untuk bentuk pondasi bujur sangkar, sebagai berikut : qult = 1.3 cNc +
Df Nq + 0,4
B
....... (2.1)
dimana : qult
= kapasitas daya dukung ultimit (kN/m2)
c
= kohesi (kN/m2)
Df
= kedalaman pondasi (m) = berat volume tanah (m)
B
= lebar atau diameter pondasi (m)
154
L Nc, Nq,
= panjang pondasi (m) = faktor daya dukung Terzaghi
. Df = po = tekanan overburden (tekanan vertikal pada dasar pondasi) = bila terdapat beban merata (qo) maka menjadi ( . Df + qo) = (po + qo) Pondasi harus memenuhi dua persyaratan dasar, yaitu : 1.
Faktor aman (Fs) terhadap keruntuhan geser dari tanah pendukung harus memadai, biasanya yang sering dipakai adalah 3.
2.
Penurunan pondasi dapat terjadi dalam batas toleransi dan penurunan sebagian tidak boleh menyebabkan kerusakan serius atau mempengaruhi fungsi struktur. Daya dukung izin didefinisikan sebagai tekanan maksimum yang boleh
dikerjakan pada tanah sedemikian rupa sehingga kedua kebutuhan dasar di atas terpenuhi. Kapasitas daya dukung untuk pondasi tiang bor
ditinjau dari cara
mendukung beban dibedakan menjadi 2 (dua) macam (Hardiyatmo 2002), yaitu tiang dukung ujung (end bearing pile) dimana tiang dipancang hingga mencapai tanah keras dan tiang gesek (friction pile) dimana kapasitas dukungnya lebih ditentukan oleh perlawanan gesek antara dinding tiang dan tanah disekitarnya. Kapasitas daya dukung tiang bor dapat dihitung dengan beberapa metode antara lain, Kapasitas daya dukung dari data sondir, Kapasitas daya dukung dari data parameter tanah ( ɤ dan c ) dan dari hasil N SPT. Penentuan Daya Dukung Izin Daya dukung tanah atau pondasi dibedakan menjadi daya dukung ultimit, qu, dan daya dukung izin, qall, dimana qult merupakan daya dukung ultimit atau maksimum sedangkan qall merupakan batasan tegangan atau beban yang diizinkan bekerja pada tanah atau pondasi yang ditinjau. Persamaan yang dipergunakan dalam perhitungan daya dukung izin: ....... (2.2)
155
Setelah dilakukan perhitungan daya dukung izin tersebut, langkah selanjutnya ialah melakukan desain pondasi sehingga nilai daya dukung netto harus lebih kecil daripada nilai daya dukung izin (q ≤
).
Penurunan Segera (immediate settlement) Penurunan segera atau penurunan elastik adalah penurunan yang terjadi akibat dari deformasi elastik tanah kering, basah atau jenuh air tanpa adanya perubahan kadar air dalam tanah. Penurunan ini biasanya langsung terjadi setelah pembebanan dilaksanakan dan perhitungan penurunannya didasarkan pada teori elastisitas. ..... (2.3) dengan : Si
= penurunan segera (m)
q
= tekanan pada dasar pondasi (kN/m2) = angka poison = modulus elastik (kN/m2 )
Ip
= faktor pengaruh
L dan B adalah panjang dan lebar pondasi. Pembebanan Komponen dari sebuah struktur harus direncanakan untuk menahan beban yang bekerja padanya tanpa mengalami tegangan dan deformasi yang berlebihan. Pada struktur gedung beban-beban yang diperhitungkan adalah beban mati, beban hidup dan beban akibat gempa. Sulawesi Tengah merupakan wilayah gempa-4 pada pembagian wilayah untuk Indonesia. Beban yang bekerja pada konstruksi pondasi dibedakan atas beban vertikal dan beban horizontal. Metode Elemen Hingga (Finite Element Method) Metode elemen hingga adalah cara pendekatan solusi analitis struktur secara numerik dan struktur kontinum dengan derajat kebebasan tak terhingga
156
disederhanakan dengan diskretisasi kontinum ke dalam elemen-elemen kecil yang umumnya memiliki geometri lebih sederhana dengan derajat kebebasan tertentu (berhingga), sehingga lebih mudah dianalsis. Ketelitian perhitungan menggunakan Finite Element Method (FEM), tergantung pada banyaknya nodal pada elemen, dengan kata lain semakin banyak nodal maka perhitungan menjadi lebih teliti.
Gambar 1. Elemen hingga versi 2D pada umumnya (Sumber: Potts Dan Zdravković, 1999)
Program Plaxis Plaxis merupakan suatu paket program finite element yang khusus digunakan untuk menghitung deformasi tanah pada konstruksi geoteknik. Analisa deformasi tanah dasar di bawah pondasi telapak dan tiang bor dapat dilakukan secara numeris dengan menggunakan software Plaxis versi 8.2. Plaxis merupakan software yang berdasar pada metode elemen hingga dan merupakan kependekan dari plane strain dan axi-symmetry (Brinkgreve dan Vermeer, 1998). Plaxis memberikan beberapa pilihan model konstitutif dalam memecahkan masalah, yaitu : Mohr-Coulomb model, Hardening Soil model, Soft Soil model dan Soft Soil Creep model. Adapun program Plaxis yang digunakan untuk analisis kasus ini adalah versi 8.2 dengan meninjau pada kondisi axi-symmetry dan menggunakan pemodelan Mohr-Coulomb. Model Mohr-Colomb dipengaruhi oleh lima parameter tanah yaitu parameter E dan υ mewakili elastisitas tanah, φ dan c mewakili plastisitas tanah dan ψ sebagai sudut dilatancy. Nilai kohesi c dan sudut gesek dalam
diperoleh dari uji geser seperti uji
triaxial atau diperoleh dari hubungan empiris berdasarkan data uji lapangan. Metode Penelitian
157
Perhitungan kapasitas daya dukung tanah pada pondasi telapak dan pondasi tiang bor yang biasanya dihitung dengan metode analitis dapat dikontrol dengan metode elemen hingga. Pada metode elemen hingga, beban (load) dari bangunan atas (upper structure) disalurkan
melalui
pondasi
ke tanah disekitarnya.
Kemampuan tanah mendukung beban diatasnya dibuat dalam berbagai pemodelan tanah, salah satunya adalah model Mohr- Coulomb. Pada penelitian ini diambil kasus pondasi dangkal pada gedung Bakorluh Sulawesi Tengah dan pondasi tiang bor pada hotel Coco Best Western Palu. Pondasi tiang bor tidak dihitung secara analitis akan tetapi langsung diuji kapasitas dukung dengan elemen hingga. Tahapan perencanaan Setelah semua data-data yang dibutuhkan telah lengkap maka selanjutnya ke proses perhitungan pondasi. Langkah-langkah dalam perhitungan pondasi telapak adalah sebagai berikut : 1.
Menghitung kapasitas daya dukung pondasi Dalam perhitungan kapasitas daya dukung pondasi, metode yang digunakan
untuk pondasi telapak bujur sangkar dirumuskan: Analisa Terzaghi (pers. 2.1) qult = 1.3 cNc + 2.
Df Nq + 0,4
B
Menghitung tekanan tanah yang terjadi qytd = P / Luas pondasi dimana : qytd P
3.
= Daya dukung tanah yang terjadi (kN/m2) = Beban ultimit (kN)
Menghitung faktor keamanan FS = qult / qytd Faktor aman (FS) terhadap keruntuhan geser dari tanah pendukung harus memadai, sehingga FS ≥ 3.
4.
Menghitung penurunan pondasi
a.
Plaxis versi 8 Langkah-langkah analisa pondasi telapak dan
pondasi tiang bor
menggunakan Plaxis v. 8.2:
158
Penggambaran pondasi
Penentuan material perencanaan
Generate mesh
Tentukan kondisi muka air tanah
Plaxis calculation
Plaxis output
Penurunan Pada Pondasi Telapak a.
Penurunan segera (immediate settlement), si
Dimana: Poisson ratio ( )
= 0,20
Modulus Elastisitas (Es)
= 20000 kN/m2
Faktor pengaruh (Ip)
= 0,82
Dimensi pondasi (B)
= 1,5 m
Tekanan pondasi netto (qn) qn = q – (Df
)
Analisa Pondasi Menggunakan Plaxis v. 8.2 a.
Gambar potongan 2D dari kasus perencanaan Pada dasarnya penggambaran potongan 2D dari kasus perencanaan
menggunakan Plaxis v. 8.2, menggunakan sistem koordinat xy. Adapun ukuran mesh yang digunakan dalam analisa pondasi telapak adalah ukuran mesh kasar (coarse).. Untuk menggambar potongan 2D kasus, gunakan ikon perintah ―line‖ untuk menentukan batasan-batasan (cluster) material, sedangkan untuk asumsi penggambaran struktur seperti pondasi digunakan ikon perintah ―plate‖. -6525,02 kN
-139,819 kN 1m
18 m
4m
4m
159
Gambar 2. Pemodelan perencanaan untuk pondasi pada Plaxis v. 8.2 (Sumber: Plaxis v. 8.2)
Untuk penggambaran beban aksial yang berupa beban titik digunakan ikon perintah ―Point load – load system A‖,
, setelah ikon dipilih, kotak dialog ini
akan diperoleh. Langkah selanjutnya adalah memasukan nilai beban aksial yang bekerja yaitu sebesar -6525,02 kN untuk tiang bor dan -139,819 kN untuk telapak yang pada Plaxis akan dibulatkan secara otomatis. b.
Tentukan material yang ada pada perencanaan Untuk menentukan material digunakan ikon perintah ―Material Sets‖, Pilihan asumsi penggambaran material Material-material untuk pilihan “Soil & Interfaces”
Gambar 3. Material set (Sumber: Plaxis v. 8.2)
Gambar 4. Material set untuk Lempung Berlanau, CL (Parameters) (Sumber: Plaxis v. 8.2)
Untuk parameter elastisitas yaitu Modulus Elastisitas (E) dan Angka Poisson ( ) dimasukan sesuai dengan data yang ada, begitu juga dengan parameter kuat geser, kohesi (c) dan sudut gesek ( ), untuk input data kohesi tanah untuk satu profil Pasir, SW, diambil nilai c = 0,0001 kN/m2. Sementara nilai 160
modulus geser Gref dan Eoed dan nilai kecepatan Vs dan Vp akan dihitung secara otomatis oleh Plaxis. Setelah pengaturan ini selesai, klik ikon ―Next‖.
Untuk menentukan karakteristik pondasi, click ikon ―Material Set‖, opsi ―plate‖ dipilih, kotak dialog seperti pada gambar 3.5 akan muncul, langkah selanjutnya adalah memasukan data sesuai dengan data yang diperoleh. Berikut adalah data input untuk struktur pondasi.
Gambar 5. Material set untuk pondasi (Sumber: Plaxis v. 8.2)
Pada Gambar 5 juga terlihat nilai ―d‖ yang merupakan ekuivalensi ketebalan balok, nilai ini secara otomatis dihitung oleh Plaxis. Nilai ini juga dapat dijadikan nilai pengontrol jika input data dilakukan dengan benar. Nilai ―w‖ adalah ini berat isi beton yang diambil sebesar 24 kN/m3 sedangkan ― ‖ adalah nilai angka Poisson beton yang diambil 0,20. Setelah semua pengaturan material yang digunakan dalam analisa selesai, hal penting lainnya adalah membatasi daerah analisa. Hal ini dapat dilakukan dengan opsi ―standard fixities‖ atau ikon,
, dimana ikon ini berfungsi untuk
membuat daerah analisa tidak mengalami deformasi, baik secara vertikal maupun horizontal. Untuk mengaplikasikan pondasi yang telah diset, double klik pada ―Plate‖ yang telah digambar. c.
Generate mesh Untuk men-generate mesh, klik ikon
. Dalam analisa pondasi telapak dan
tiang bor, digunakan tingkat mesh kasar (course) dengan 15 nodal dalam setiap meshnya.
161
1m
1,5 m
4m
4m
Gambar 6. Mesh pada material tanah (Sumber: Plaxis v. 8.2)
d.
Tentukan kondisi MAT Setelah proses mesh generation selesai, klik ikon
untuk
menentukan kondisi muka air tanah (MAT). Setelah itu untuk meletakkan muka air tanah klik ikon ―phreatic level‖,
, dimana pengaturan muka air tanah
dilakukan dengan cara yang sama dengan cara menggambar cluster. Langkah berikutnya adalah membangkitkan tekanan air yang dapat dilakukan dengan ikon ―generate water pressure‖,
. Setelah itu klik ikon ―initial pore pressure‖,
,
untuk opsi analisa dimana terdapat muka air tanah pada analisa. Langkah berikutnya adalah membangkitkan tekanan awal yang dapat dilakukan dengan mengklik ikon,
, dan setelah itu klik ikon,
, maka akan
diperoleh kotak dialog ―K0 procedure‖ dan nilai M-weight diisi dengan nilai 1 yang menandakan faktor pengali untuk material tanah. Setelah itu klik ikon ―OK‖. e.
Plaxis Calculation Tahap perhitungan pada Plaxis hanya dapat ditempuh hanya apabila model
telah digambar dengan benar, mesh telah dibangkitkan dan tekanan air tanah telah dibangkitkan.
162
Jenis-jenis perhitungan yang disediakan oleh PLAXIS V 8.2 Click “Parameters” untuk tahap selanjutnya Fase-fase perhitungan
Gambar 7. Plaxis Calculation (General) (Sumber: Plaxis v. 8.2)
Plaxis Calculation terdiri dari 4 tab utama yaitu General, Parameters, Multipliers dan Preview. Tab General merupakan tab awal dimana dapat diberikan penamaan fase (opsional), menentukan fase perhitungan dimulai dari fase mana dan menentukan jenis perhitungan. Gambar 3.7 menunjukan pengaturan untuk perhitungan ―struktur‖ . Setelah beban aksial dianalisa, dilakukan perhitungan untuk menentukan faktor keamanan. Fasilitas yang digunakan adalah jenis perhitungan Phi/c reduction. Setelah proses perhitungan selesai, fase-fase akan diberi tanda, tanda centang berwarna hijau menandakan proses perhitungan berhasil.
Tanda centang berwarna hijau menandakan bahwa perhitungan telah berhasil...!!
Gambar 8. Centang hijau yang menunjukan perhitungan yang berhasil (Sumber: Plaxis v. 8.2).
163
HASIL DAN PEMBAHASAN Perhitungan
Kapasitas
Daya
Dukung
Pondasi
Telapak
dengan
Menggunakan Parameter Kuat Geser Tanah a.
Ketahui tipe struktur dan beban ultimit (P) Beban titik yang bekerja di atas pondasi merupakan beban dari atap, pelat
lantai dan balok, yang kemudian disalurkan ke kolom dan ke pondasi. Sehingga untuk memperoleh nilai beban titik tersebut perlu dilakukan analisa pembebanan dengan SAP 2000 terlebih dahulu. Beban titik maksimum yaitu P = -139,819 kN untuk kolom B dan P = 111,960 kN untuk kolom A pada gedung Bakorluh. Beban titik maksimum pada hotel Coco Best Western P = -6526,081 kN. Nilai maksimum ini selanjutnya akan digunakan sebagai acuan perhitungan kapasitas daya dukung pondasi. b.
Ketahui kondisi tanah: sudut gesek ( ), kohesi (c), berat isi tanah ( ). Pemodelan kasus perencanaan gedung Bakorluh sbb,
Gambar 9. Pemodelan perencanaan
Gedung Hotel Coco BW Palu, Profilisasi Tanah dianggap seragam dengan dominasi Pasir berlanau ɤd =19 kN/m³ , Ø = 40˚, c = 0. Panjang Tiang bor = 18 m D = 0,4 m. (Ponsedo L, 2013) c.
Hitung analisa daya dukung tanah Analisa daya dukung tanah dengan menggunakan teori Terzaghi dengan
kedalaman muka air tanah 1,2 m di atas dasar pondasi. Kapasitas dukung ultimit pada keruntuhan geser lokal: = 12,75;
, dari tabel Ø -N diperoleh Nc = 25,18; Nq
= 8,35
164
Pondasi berbentuk bujur sangkar, maka: qult = 1.3 cNc + q Nq + 0,4
B
;
dimana: q = (Df – D) + D 1.
Daya dukung ultimit pondasi qult
= 1.3 cNc + q Nq + 0,4
B
= 1,3 (37 x 25,18) + 29,066 x 12,75 + 0,4 (10,055 x 1,50 x 8,35) = 1632,125 kN/m2 2.
Hitung kapasitas pondasi (qytd) qytd
= = = 62,142 kN/m2
3.
Gunakan faktor keamanan, FS = 3 Fs = = = 26,265
4.
Periksa apakah FS ≥ 3 26,265 ≥ 3 aman Sehingga disimpulkan bahwa pondasi telapak dengan dimensi, B = 1,5 m
dan kedalaman, Df = 2,2 m, yang ditempatkan pada tanah yang telah diprofilkan sebelumnya, mampu menahan beban titik dari konstruksi bangunan atas. d.
Perhitungan Penurunan pada Pondasi Telapak Perhitungan penurunan segera (immediate settlement), si
Dimana:
165
Poisson ratio ( )
= 0,20
Modulus Elastisitas (Es)
= 20000 kN/m2
Faktor pengaruh (Ip)
= 0,82
Dimensi pondasi (B)
= 1,5 m
Tekanan pondasi netto (qn) qn = q – (Df
)
= 62,142 – (2,2
17)
= 24,742 kN/m2 Sehingga nilai si dapat dihitung:
= 0,00146 m = 1,461 mm Dari hasil perhitungan penurunan segera diperoleh nilai penurunan masih dalam batas kontrol penurunan rata-rata izin. Tabel 1. Perhitungan daya dukung metode Terzaghi untuk kolom A dan B Keruntuhan geser lokal faktor daya dukung
Parameter tanah 2
3
qc (kN/m2)
Beban kolom A
c (kN/m )
ɣd (kN/m )
Nc
Nq
Nɣ
lapisan 1
lapisan 2
P (kN/m)
37
17
25.18
12.75
8.35
3078.80
7696.41
111.960
B
Df
Df/B
qult
qytd
(m) 1.5 1.2 1.0 1.5 1.2 1.0 1.5 1.2 1.0
(m) 1.67 2.08 2.50 1.47 1.83 2.20 1 1.25 1.5
(kN/m2) 1697.150 1687.075 1680.358 1632.125 1622.050 1615.333 1480.400 1470.325 1463.608
(kN/m2) 49.760 77.750 111.960 49.760 77.750 111.960 49.760 77.750 111.960
Pondasi bujur sangkar
2.5
2.2
1.5
Parameter tanah ɣd (kN/m3)
c (kN/m2)
penurunan (mm)
Fs 34.107 21.699 15.009 32.800 20.862 14.428 29.751 18.911 13.073
data sondir 14.978 11.907 11.274 12.283 10.505 9.335 9.335 6.377 5.125
qc (kN/m2)
faktor daya dukung
data μ 0.429 1.665 2.734 0.730 1.906 2.935 1.432 2.468 3.403
Beban kolom B
Nc
Nq
Nɣ
lapisan 1
lapisan 2
P (kN/m)
12.75
8.35
3078.800
7696.410
139.819
37
17
25.18
B
Df
Df/B
Pondasi bujur sangkar (m) 1.5 1.2 1.0 1.5 1.2 1.0 1.5 1.2 1.0
2.2
1.5
qytd 2
(m) 2.5
qult
1.67 2.08 2.50 1.47 1.83 2.20 1 1.25 1.5
(kN/m ) 1697.150 1687.075 1680.358 1632.125 1622.050 1615.333 1480.400 1470.325 1463.608
2
(kN/m ) 62.142 97.097 139.819 62.142 97.097 139.819 62.142 97.097 139.819
Fs 27.311 17.375 12.018 26.265 16.706 11.553 23.823 15.143 10.468
penurunan (mm) data sondir 19.048 15.240 14.449 15.709 13.487 12.016 12.016 8.264 6.661
data μ 1.160 2.579 3.830 1.461 2.820 4.031 2.163 3.382 4.500
166
Berdasarkan hasil perhitungan daya dukung pondasi telapak, dengan variasi dimensi pondasi 1,0 - 1,5 m dan variasi kedalaman 1,5 - 2,5 m diperoleh nilai faktor keamanan (Fs) yang memenuhi syarat dimana Fs > 3 untuk setiap tinjauan beban kolom. Pada lokasi perencanaan, jenis pondasi yang digunakan adalah pondasi telapak berbentuk bujur sangkar dengan dimensi B = 1,5 m dan kedalaman 2,2 m. Penggunaan pondasi telapak pada pembangunan Gedung Bakorluh P2K Provinsi Sulawesi Tengah layak digunakan dengan lebar pondasi (B) = 1,5 m dan kedalaman Df = 2,2 m dengan beban kolom B yang merupakan beban maksimum, karena mampu menahan beban titik. Analisa Pondasi Menggunakan Plaxis v. 8.2 a.
Hasil analisis terhadap struktur pondasi Simulasi hasil interaksi struktur terhadap tanah
(a)
(b)
Gambar 10. Deformasi mesh pada Plaxis Output karena beban aksial (Sumber: Plaxis v. 8.2)
Gambar 10. (a) menunjukan deformasi mesh yang terjadi karena instalasi struktur pondasi telapak dan sloof yang diperuntukan untuk menahan beban titik, P, akibat bangunan atas dimana pondasi telapak A menerima beban sebesar 111,960 kN dan B menerima beban sebesar -139,819 kN pada kedalaman 2,2 m. Dari tabel hasil analisa, penurunan yang terjadi pada nodal 1109 adalah sebesar 24,57 mm dan pada nodal 1479 penurunan yang terjadi adalah sebesar 24,18 mm.
167
-111,960 kN
Nodal nomor 1109
Nodal nomor 1479
-139,819 kN
24,57 mm
24,18 mm
Gambar 11. Analisa perpindahan nodal nomor 1109 dan 1479 (Sumber: Plaxis v. 8.2) Untuk mengetahui nilai pada masing-masing nomor nodal, klik ikon ―table‖ sehingga akan diperoleh data sebagai berikut:
Gambar 12. Tabel hasil analisa deformasi mesh nodal 1479 (Sumber: Plaxis v. 8.2)
Gambar di atas menunjukkan tabel hasil analisa deformasi mesh pada nodal nomor 1479. Pada gambar di atas ditunjukkan secara detail letak koordinat nodal nomor 1479 dan penurunan yang terjadi sebesar -24,18 mm. Sedangkan pada perhitungan Pondasi tiang bor dengan beban P=-6526,018 kN tidak dapat dikalkulasi karena beban melebihi kemampuan daya dukung tanah. Ketika beban dikurangi secara bertahap, pada beban P= -700,00 kN tanah dapat mendukung dengan nilai ΣMSF = 8,3. Sehingga jika dihitung 6526,018 kN/700,00 kN = 9,3. Diperlukan kelompok tiang antara 9 – 10 buah untuk mendukung beban tersebut. Dilapangan digunakan kelompok tiang pancang berjumlah 9. 168
KESIMPULAN Sesuai dengan hasil penelitian, baik dengan menggunakan parameter kuat geser tanah maupun dengan menggunakan perangkat lunak dengan dasar logika elemen hingga, maka disimpulkan bahwa : 1.
Hasil perhitungan daya dukung pondasi telapak pada pembangunan Gedung Bakorluh P2K Provinsi Sulawesi Tengah dengan metode Terzaghi untuk lebar pondasi B =1,5 m dan kedalaman Df = 2,2 m sebesar 1632,125 kN/m2 mampu menahan beban aksial maksimum sebesar 139,819 kN dimana faktor keamanan ≥ 3.
2.
Pada analisa penurunan maksimum yang terjadi akibat beban aksial yang diberikan oleh konstruksi bangunan menunjukan bahwa cara empiris dengan menggunakan Plaxis v. 8.2, menunjukan hasil yang berbeda. Penurunan maksimum yang diperoleh menggunakan metode Terzaghi untuk lebar pondasi B = 1,5 m dan kedalaman Df = 2,2 m untuk tinjauan kolom B sebesar 1,461 mm, sedangkan dari perhitungan Plaxis v. 8.2 mengalami penurunan sebesar 24,18 mm.
3.
Pada perhitungan Pondasi tiang bor dengan beban P=-6526,018 kN tidak dapat dikalkulasi karena beban melebihi kemampuan daya dukung tanah. Ketika beban dikurangi secara bertahap, pada beban P= -700,00 kN tanah dapat mendukung dengan nilai ΣMSF = 8,3. Diperlukan kelompok tiang antara 9 – 10 buah untuk mendukung beban tersebut.
4.
Perhitungan
secara
analitis
dan
elemen
hingga,
keduanya
sama
membutuhkan data beban, data material dan bentuk pondasi serta data tanah. DAFTAR PUSTAKA Afrianti, D, 2011, Perencanaan Pondasi Telapak pada Gedung Badan Koordinasi Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan (BAKORLUH P2K) Propinsi Sulawesi Tengah. Jurusan Teknik Sipil. Fakultas Teknik. Universitas Tadulako. Palu. Bowles, J. E, 1986, Analisis dan Desain Pondasi Jilid I. Edisi keempat. Erlangga. Jakarta. Bowles, J. E., 1988, Foundation Analysis and Design, Fifth Edition, McGraw-Hill Inc., USA.
169
Das, B. M, 1993, Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip Rekayasa Geoteknis) Jilid I. Edisi Ketiga. Erlangga. Jakarta Das, B. M, 1993. Mekanika Tanah (Prinsip-Prinsip Rekayasa Geoteknis) Jilid II. Edisi Ketiga. Erlangga. Jakarta. Das, B. M., 1999, Principles of Foundation Engineering, Fourth edition, PWS Publishing, California State University Sacramento, USA. Handoko, Gagak, 2010, Analisis Interaksi Tanah Terhadap Pondasi Tiang Pada Rumah Susun di Kelurahan Ujuna Dengan Metode Elemen Hingga. Jurusan Teknik Sipil. Fakultas Teknik. Universitas Tadulako. Palu. Hardiyatmo, H.C. 2002, Mekanika Tanah I, Edisi Pertama. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Jumikis, A. R., Soil Mechanics, 1984, Robert E. Krieger Company, Inc., Florida. Potts, D. M. dan Zdravković, L., 1999, Finite Element Anaysis in Geotechnical Engineering, Thomas Telford, London. Ponsedo, L, 2013, Perencanaan Pondasi Tiang Bor pada Pembangunan Hotel Best Western Coco Palu, Sulawesi Tengah. Jurusan Teknik Sipil.Fakultas Teknik. Universitas Tadulako. Sosrodarsono, S., Nakazawa., 1990, Mekanika Tanah & Teknik Pondasi. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Terzaghi, K, & Peck, R. B, 1993, Mekanika Tanah dalam Praktik Rekayasa, Penerbit Erlanga, Jakarta. SNI–1726–2002, Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung, Jakarta. SNI–03–2847–2002, Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung, Bandung.
170
PERBANDINGAN FREKUENSI ALAMI BALOK BETON BERTULANG BERPENAMPANG I DENGAN BALOK BETON BERTULANG BERPENAMPANG T BERLUBANG MEMANJANG Muhammad Yusuf Amir
1)
, Fatmawati Amir
2)
1) Staf Pengajar Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Palu , 2) Staf Pengajar, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Tadulako Palu
Email:
[email protected])
ABSTRAK Beton bertulang dengan penampang I mengurangi bobot dan kebutuhan beton, namun pengurangan kekuatannya tidak terlalu besar. Beton bertulang dengan penampang I pelaksanaannya cukup rumit dan memakan waktu berdasarkan pengamatan. Oleh karena itu dibuat balok beton dengan penampang persegi berlubang memanjang (hollow core beam) yang beratnya ekivalen dengan balok beton penampang I. Diharapkan beton bertulang penampang persegi berlubang memiliki kekuatan yang tidak berbeda dengan beton bertulang penampang I tersebut, namun lebih ekonomis dan lebih mudah dilaksanakan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan membandingkan frekuensi alami balok beton bertulang persegi berpenampang T berlubang memanjang dengan balok beton bertulang berpenampang I ekivalennya. Benda uji yang digunakan 4 (empat) buah dengan bentang 3500 mm, yaitu masing-masing 1 (satu) balok kontrol (BK) berupa balok tampang T dengan flens bawah dan 3 (tiga) balok berlubang (BB) berupa balok tampang T berlubang secara geometri dan material sama dengan tinggi 300 mm, lebar dan tinggi flens atas 600 mm dan 100 mm untuk lebar badan BK 125 mm BB 200 mm, sedangkan lebar dan tinggi flens bawah BK 200 mm dan 75 mm. Masingmasing benda uji diberi beban statik dan dinamik sampai dengan beban leleh dengan menggunakan mesin penggetar. Dari hasil analisis penelitian Balok uji BK yang ekuivalen dengan BB baik material maupun dimensi tidak menjamin memiliki frekuensi alami yang sama untuk sistem perletakan sendi-rol balok BB memiliki frekuensi alami yang lebih tinggi dengan peningkatan sebesar 14,061 % sebelum pembebanan dan 12,625 % tahap pembebanan sebelum leleh (yield) dibandingkan BK dan sistem perletakan sendi-sendi BB memiliki frekuensi alami yang lebih tinggi dengan peningkatan sebesar 10,145 % sebelum pembebanan dan 2,957 % tahap pembebanan sebelum yield dibandingkan BK dan ketika pembebanan leleh (yield) sistem perletakan sendi-rol balok BB mengalami penurunan sebesar 0,065 % dibandingkan BK begitu pula sistem perletakan sendi- sendi BB mengalami penurunan sebesar -9,075 % dibandingkan BK. Peningkatan frekuensi alami Balok BB dibandingkan Balok BK sebelum pembebanan tahap leleh menunjukkan peningkatan kekakuan pada balok BB dan setelah leleh mengalami penurunan kekakuan. Kata kunci : Balok Beton T Berlubang Memanjang, Balok I, Beban Statik, Beban dinamik
171
13
PENDAHULUAN Beton bertulang merupakan bahan bangunan yang paling banyak digunakan pada saat ini. Dalam upaya meningkatkan efisiensi dalam suatu struktur bangunan, bentuk penampang dari beton bertulang tidak lagi hanya berbentuk persegi tetapi dengan penampang I mengurangi bobot dan kebutuhan beton, namun pengurangan kekuatannya tidak terlalu besar. Beton bertulang dengan penampang I pelaksanaan pembuatannya cukup rumit dan memakan waktu lebih lama. Oleh karena itu dibuat bentuk lain dari penampang beton yang pengurangan bobotnya ekivalen dengan balok beton penampang
I, dengan
membuat beton bertulang dengan penampang persegi berlubang memanjang (hollow core beam). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perilaku frekuensi alami dan kekakuan pada keadaan layan dan saat runtuh balok tampang T berlubang memanjang dan balok tampang I. Dari
penelitian diharapkan
bermanfaat dalam mempermudah pelaksanaan pemasangan dan pengerjaan bekisting dan baja tulangan dalam pembuatan balok beton bertulang. TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Mirwan (2008), melakukan Pengujian eksperimental tentang kuat lentur balok persegi dan balok I. Penampang balok yang diteliti adalah dengan ukuran (130 X 200) panjang 1300 (Gambar 1).
Gambar 1 Dimensi Tulangan Balok Persegi dan Balok I
Penelitian ini menunjukan bahwa penggunaan balok I pada bagian lentur diharapkan dapat menjadi pertimbangan praktisi kedepan mengingat karena dapat mengurangi berat sendiri struktur. Balok I aman dengan pengurangan luasan pada daerah tarik sebesar 2,42 %.
172
Gilang T (2009), melakukan pengujian untuk mengetahui karakteristik kekuatan hollow core beam RC terhadap lentur dan geser. Hasil pengujian yang dilakukan terhadap balok 150/300 bentang 2 m balok beton persegi solid (BS), dan balok beton berlubang memanjang bentang dengan tiga buah lubang diameter 50,8 mm (BRD). Dari hasil pengujian didapatkan nilai pada beban ultimit seperti dalam tabel berikut ini (Tabel 1). Tabel 1
Kuat lentur dan beban ultimit hasil pengujian Kode Benda Uji
BS BRD % nilai BRD terhadap BS
Beban Ultimit (kN) 8 4 8 8 % 104,76
Momen Lentur (kNm) 25,2 26,4 104,76 %
Saleh, F (2000), melakukan pengujian eksperimental tentang deteksi kerusakan pada balok beton bertulang non-prismatis dengan pemberian beban dinamik. Penampang balok non-prismatis yang diteliti adalah dengan ukuran (230-150 x 100) panjang 3000 mm. Hasil pengujian menunjukkan terjadi peningkatan kerusakan dan penurunan frekuensi dengan bertambahnya beban yang diberikan. Kuat Lentur Balok Berlubang Jika nilai a diasumsikan di bawah sayap atau pada lubang maka analisa perhitungan Cc = Cc1 - Cc2 (Gambar 3.1) dimana Cc = Ts, Cc1 adalah gaya tekan beton solid pada garis a dan Cc2 gaya tekan beton solid pada garis a-w (Sapramedi, 2005).
Gambar 2. Distribusi tegangan pada balok persegi berlubang
Analisis perhitungannya sebagai berikut: 1.
173
Menghitung gaya tekan Cc1 dengan anggapan balok persegi biasa.
Cc1 = 0,85fc‘.a.b 2.
Menghitung gaya tekan Cc2 sebagai gaya tekan yang tidak terpakai. Cc2 = 0,85fc‘. (a-w).s
3.
(1)
(2)
Menghitung momen nominal yang terjadi. Mn = Cc1.(d-a/2) + Cc2.{d-0,5.(a+w)}
(3)
dengan: fc‘ = kuat tekan beton (MPa), a = tinggi blok tekan ekivalen (mm), b = lebar balok (mm), w = tebal blok penuh (mm), s = lebar lubang (mm). Frekuensi Alami Sistem memiliki massa dan elastisitas dapat mengalami getaran bebas tanpa rangsangan luar, yang dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut (Supriyadi, 2002):
dengan: f = frekuensi alami (siklus/s, atau Hz), k = kekakuan struktur (N/m atau kg/m), m = massa dari struktur (kg.s2/cm) Pola-pola/mode normal dibedakan berdasarkan perletakan/tumpuan dari balok, perletakan ini seperti berikut (Biggs, 1964). a.
Perletakan sederhana
b.
Perletakan jepit-jepit
c.
Perletakan salah satu ujungnya jepit dan ujung lainnya tertumpu sederhana
d.
Perletakan salah satu ujungnya jepit dan ujung lainya bebas
dengan: ω = frekuensi alami sudut, (rad/s), n = pola/mode ke-1,2,3,…dst, l = panjang bentang (m), E = modulus elastisitas bahan (N/mm2), I = Momen Inersia (mm4), m = massa, (kg.s2/cm)
174
METODE PENELITIAN Bahan Penelitian Bahan digunakan dalam penelitian ini adalah beton jadi produksi PT. KARYA BETON SUDHIRA, baja tulangan KS berdiameter S13 dan JKS berdiameter P6 , tripleks dan kayu reng digunakan untuk bekisting serta polyfoam digunakan sebagai pengisi lubang. Alat Penelitian Alat-alat yang dipakai menguji balok uji terdiri dari Loading Frame, Hydraulic Jack dan Hydraulic Pump, Load cell, Data Logger, LVDT (Linear Variable Differential Transducer), Mechanical Vibrator, Amplifier Sensor, Accelerometer dan set komputer dengan Analog Convertor(PCL-812G). Dengan setting up disajikan pada Gambar 5. Benda Uji Benda uji terdiri dari benda uji pendahuluan dan benda uji balok. Benda uji pendahuluan terdiri: kuat tekan beton dan kuat tarik tulangan. Benda uji balok terdiri dari 2 jenis yaitu, 1 buah balok I (BK), 3 buah balok berlubang (BB). Pelaksanaan Penelitian Pembuatan benda uji terdiri dari 4 buah balok dengan ukuran tinggi 300 mm, lebar 200 mm dan panjang 3500 mm (SNI 03-1747-1989 dengan bentang 7 meter berdimensi 40/60, skala 1 : 2) skala pemodelan yang digunakan adalah 1 : 2. Benda uji terdiri dari satu buah benda balok kontrol (BK) berupa balok I dan tiga benda uji berupa balok persegi berlubang (BB1, BB2, BB3), terlihat Tabel 2 Spesifikasi benda uji
Tabel 2
Kode Jumlah BK BB
1 3
Panjang Lflens L web (mm) (mm) (mm) tengah bawah 3500 3500
600 600
125 125
Tinggi (mm) Tul.Utama Tul.Sengkang Balok Lubang Atas Bawah
Balok Lentur 200 300 200 300
Keterangan : BK : Balok tampang T dengan flens di bawah BB : Balok tampang T berlubang memanjang
175
125 125
10D6 4D13 10D6 4D13
P6-50 P6-50
Penulangan benda uji dilakukan dengan memasang tulangan pada sisi bawah dan atas balok. Pemasangan Strain gauge untuk mengetahui regangan yang terjadi pada baja tulangan dan beton. Pemasangan dilakukan pada balok kontrol (BK) dan balok berlubang (BB). Pengujian pendahuluan terdiri dari pengujian tarik baja ini berdasarkan SNI 07-2052-2002 dan pengujian kuat tekan beton berdasarkan SNI 03-1974-1990. Pengujian benda uji balok dilakukan setelah beton berumur 28 hari.
a. Tampang memanjang pengujian statik
b.
Tampang memanjang pengujian dinamik
c. Tampang melintang
Gambar 3 Set-up pengujian balok beton
176
Data pengujian lentur meliputi beban dan lendutan selama pembebanan berlangsung, besarnya beban pada saat terjadi retak pertama dan beban maksimum, pola retak dan frekuensi alami. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Pendahuluan Hasil pengujian 3 silinder beton diperoleh kuat tekan rata-rata sebesar 33,786 MPa. Kuat tarik baja tulangan D13 dan P6 sebesar 428,532 MPa dan 340,179 MPa. Pengujian Lentur Eksperimen Pengujian lentur berupa beban, lendutan dan lebar retak dalam Tabel 3. dan Gambar 6. Tabel 3
No
Benda Uji
1 2 3 4
BB1 BB2 BB3 BK
Hasil pengujian balok uji lentur Kapasitas Beban (kN) Lendutan yang terjadi (mm) Lebar Retak (mm) % kekuatan (Pmax) Retak 1 Maks Retak 1 Maks Retak 1 terhadap BK 16,9 15,9 15,6 16,5
110,8 111,3 112,9 108,6
1,793 1,720 0,795 0,650
31,4 40,307 30,48 77,797
0,03 0,04 0,02 0,08
2.03 2.49 3.96 0
Gambar 4 Hubungan beban dan lendutan benda uji lentur hasil eksperimen Frekuensi alami tumpuan sendi-roll Frekuensi alami hasil eksperimen beban dinamikbaik balok
kontrol
(BK) dan balok berlubang (BB3) dapat dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 9.
177
Tabel 4
Frekuensi Hasil Eksperimen Beban Dinamik Jenis
Frekuensi Alami (Hz)
Peningkatan(%)
Balok Utuh Balok Crack Balok Yield Balok Utuh Balok Crack Balok yield Balok Kontrol (BK)
31,250
27,902
26,856
Balok Berlubang (BB) 35,644
31,424
26,839
14.061
12,625
-0,065
Gambar 5 Frekuensi Hasil Eksperimen Beban Dinamik
Frekuensi alami tumpuan sendi-sendi Frekuensi alami hasil eksperimen beban dinamik baik balok control (BK) dan balok berlubang (BB3) dapat dilihat pada Tabel 5. dan Gambar 6.
Tabel 5
Frekuensi Hasil Eksperimen Beban Dinami
Jenis Balok Kontrol (BK) Balok Berlubang (BB)
Frekuensi (Hz) Balok Utuh Balok Balok Crack Yield 33,692 33,672 29,000 37,110 34,668 26,368
Peningkatan (%) Balok Balok Balok Utuh Crack Yield 10,145
2,957
-9,075
Gambar 6 Frekuensi Hasil Eksperimen Beban Dinamik
178
Perbandingan frekuensi alami hasil eksperimen dan teoritis Hasil perhitungan secana teoritis dibandingkan dengan frekuensi alami balok berlubang (BB3) secara eksperimen dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 12. Tabel 6 Frekuensi Hasil Eksperimen Beban Dinamik Mode Sendi-Roll (Eksperimen) Sendi-Sendi (Eksperimen) Tumpuan Sederhana (Teoritis) Jepit-Jepit (Teoritis) Ujung Jepit dan Lainnya Sederhana (Teoritis) Ujung Jepit dan Lainnya Bebas (Teoritis)
Frekuensi (Hz) 35,644 37,110 38,180 57,269 47,725 19,090
Gambar 7 Frekuensi alami hasil eksperimen dan teoritis KESIMPULAN Kesimpulan Berdasarkan pengujian di laboratoriumyang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain adalah sebagai berikut: 1.
Beban lentur maksimum hasil eksperimen untuk benda uji BK, BB1, BB2 dan BB3 secara berturut-turut adalah 108,6 kN; 110,8 kN; 111,3 kN dan 112,9 kN. Kenaikan kapasitas lentur balok BB1, BB2, dan
179
BB3 secara berurutan terhadap BK adalah 2,03%; 2,49% dan 3,96%. 2.
Frekuensi alami untuk sistem
perletakan
(BB3) memiliki
alami
frekuensi
sendi-rol
yang
balok
lebih
berlubang
tinggi
dengan
peningkatan sebesar 14,061 % dibandingkan balok kontrol (BK). 3.
Frekuensi alami untuk (BB3) memiliki
sistem perletakan sendi-sendi balok berlubang
frekuensi
alami
yang
lebih
tinggi
dengan
peningkatan sebesar 10,145 % dibandingkan balok kontrol (BK). 4.
Pada
saat
pembebanan
kondisi
sebelum
yield/crack
balok
BB
dibandingkan balok BK dengan sistem perletakan sendi rol sebesar 12,145 % sedangkan sistem perletakan sendi-sendi sebesar 2,957 %. 5.
Pada saat pembebanan kondisi saat yield balok BB dibandingkan balok BK dengan sistem perletakan sendi rol sebesar -0,065 % sedangkan sistem perletakan sendi-sendi sebesar -9,075 %.
6.
Hasil
eksperimen
sistem
perletakan
sendi-rol
relatif
aman
dibandingkan sistem perletakan sendi-sendi hal terlihat dari penurunan frekuensi sebelum yield/crack dan saat yield. Saran Berdasarkan
pengujian
eksperimen
dan
analisis
maka
disarankan
penelitian selanjutnya : 1.
Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang balok tampang T berlubang khususnya perilaku balok tampang T berlubang terhadap sumbu lemah.
2.
Perlu
adanya
penelitian
lanjutan
tentang
pengujian
dinamis
khususnya frekuensi yang cukup tinggi. 3.
Perlu adanya penelitian lebih lanjut hubungan tegangan-regangan yang terjadi pada saat awal sampai runtuh balok tampang T berlubang.
4.
Perlu adanya pemisahan pengujian statik maupun dinamis baik balok tampang T dengan flens di bawah maupun balok tampang T berlubang.
5.
Penelitian
selanjut
tentang
pengujian
dinamis
sebaiknya
memperhatikan kekakuan dari sistem perletakan dalam meredam getaran dinamis yang diberikan sebelum melakukan pengujian. 180
6.
Penelitian
selanjut
tentang
pengujian
dinamis
sebaiknya
memperhatikan kekakuan beton masif dalam meredam getaran yang diberikan sebelum melakukan pengujian. DAFTAR PUSTAKA Biggs, J.M., 1964, Structural Dynamics, McCraw-Hill Book company, USA Gilang, 2009, Perilaku Geser dan Lentur Pada Balok Beton Bertulang Berlubang Lingkaran. Tugas Akhir, UGM, Yogyakarta Mirwan, 2008, Perbandingan Kuat Lentur Balok Berpenampang Persegi dengan Balok Berpenampang, Tugas Akhir, UII, Jogjakarta. Saleh, Fadillawaty, 2000, Deteksi Lokasi Kerusakan Balok Beton Non-Prismatis Dengan Perubahan Mode Kelengkungan, Tesis, UGM, Yogyakarta Sapramedi, W.N., 2005. Analisis Perilaku Geser dan Lentur Pada Balok Beton Bertulang Berlubang Lingkaran (Hollow Core RC Beam). Tugas Akhir, UGM, Yogyakarta SNI 07-2052, 2002. Baja Tulangan Beton. SNI 03-2847, 2002. Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung, Bandung. SNI 03-1747, 1989. Metode, Tata Cara dan Spesifikasi Pembangunan Jembatan, Bandung. Supriyadi, B., dkk, 2002, Pengaruh Beban Hidup Dinamik Pada Struktur Lantai Gedung Berbentang Panjang, Laporan penelitian Hibah Bersaing IX/2, LPUGM. Yogyakarta
181
PENERAPAN SNI 1726 2012 PADA BANGUNAN BERTINGKAT DI KOTA PALU DALAM UPAYA MITIGASI BENCANA GEMPA (Studi Kasus Bangunan Rusunawa Ujuna Kota Palu) I Ketut Sulendra Dosen Fakultas Teknik Universitas Tadulako Palu Email:
[email protected];
ABSTRAK Peraturan tentang bagunan gedung yang pernah diterapkan di Indonesia yaitu GBV & PBI-55, (2) PBI-71, (3) PPTGIUG-83 & SNI Tata Cara Perencanaan Bangunan Gedung Beton Bertulang tahun 1991, (4)SNI Perencanaan Bangunan Beton Bertulang 2002 & SNI Bangunan Beton Bertulang Tahan Gempa tahun 2002, (5) SNI 1726 tahun 2012 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung, kelimanya mempunyai beban rencana gempa dan pendetailan tulangan yang berbeda-beda. Sebagaimana halnya kota lain yang sedang berkembang, kota Palu terus mengalami peningkatan jumlah penduduk yang berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan akan pemukiman termasuk sarana dan prasarananya bangunan gedung untuk berbagai fungsional seperti perniagaan, pendidikan, kesehatan, pemerintahan, hiburan dan fungsional lainnya. Pengesahan Peta Gempa tahun 2010 dan Penetapan SNI 1726 tahun 2012 tentang ―Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung‖ berimplikasi pada upaya evaluasi pada bangunan yang telah dibangun sebelum tahun 2012 dan penerapan SNI 1726 tahun 2012 pada bangunan yang akan dibangun, dalam upaya meminimalisasi jatuhkan korban jiwa dan kerugian material Penelitian ini akan menyajikan data dan hasil analisis dari penerapan SNI 1726 tahun 2012 yang diterapkan pada bangunan yang telah dibangun sebelum tahun 2012. Hasil analisis berupa output gaya-gaya dalam struktur bangunan serta dimensi penampangnya beserta penulangannya. Perbedaan antara gaya-gaya dalam dan penampang serta kebutuhan luas tulangan antara sebelum dan setelah penerapan SNI 1726 tahun 2012 pada beberapa bangunan bertingkat rendah di kota Palu ini akan dijadikan dasar dalam upaya perkuatan struktur bangunan tersebut untuk meminimalisasi dampak kerusakan bangunan akibat bencana gempa. Hasil analisis terhadap gaya-gaya dalam dan luasan penampang beton serta kebutuhan tulangan terhadap penerapan SNI 1726 tahun 2012 adalah sebagai berikut : penambahan luas penampang balok dan kolom serta kebutuhan luas tulangan longitudinal berkisar 25-60%, hal tersebut berbanding lurus dengan peningkatan gaya-gaya dalam berupa momen lentur, gaya geser dan gaya aksial.. Hasil ini berimplikasi pada kebutuhan pada upaya evaluasi pada elemen struktur khususnya pada kolom sebagai elemen penahan beban lateral.Evaluasi dapat berupa perkuatan struktur. Jika hal ini dilakukan maka jatuhnya korban jiwa dan kerugian material dapat diminimalisir. Kata kunci : SNI 1726 2012, beban gempa, gaya dalam bangunan, mitigasi
PENDAHULUAN Kota Palu sebagai pusat pemerintahan dan telah ditetapkan sebagai Kawasan Industri Khusus, kedepannya pembangunan kota Palu membutuhkan fasilitas infrastruktur yang semakin kompleks. Fasilitas-fasilitas tersebut seperti pemukiman, perniagaan, perkantoran, parawisata, pendidikan dan kesehatan, serta fasilitas umum untuk pengembangan social dan budaya. Tentunya fasilitas yang
182
akan dibangun tersebut harus sudah mengadopsi perencanaan terbaru dengan mempertimbangkan factor keamanan yang lebih besar sesuai Peta Gempa Indonesia 2010 dan SNI 1726 tahun 2012. Secara umum peta zonasi gempa yang baru ini cenderung akan memberikan beban gempa yang lebih besar pada bangunan dibandingkan dengan yang ditentukan dalam peraturan gempa yang lama tersebut. Tentu saja secara defakto peta zonasi gempa yang baru tersebut tidak hanya diterapkan bagi bangunan baru atau bangunan yang akan dirancang tetapi harus diterapkan juga pada bangunanbangunan lama atau bangunan yang sudah berdiri. Sementara penerapan peta zonasi gempa yang baru terhadap bangunan baru biasanya langsung dilakukan oleh para perencana, penerapannya pada bangunan lama atau pada bangunan yang sudah berdiri jarang sekali dilakukan dan sampai saat ini tidak jelas aturan mainnya. Padahal sebenarnya penerapan peta zonasi gempa yang baru tidak akan efektif jika hanya diberlakukan pada bangunan baru saja. Hal ini mengingat bangunan yang sudah ada jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah bangunan yang akan dibangun. Adalah suatu kenyataan bahwa untuk Indonesia beberapa tahun terakhir ini kejadian gempa sudah bisa dikatakan fenomenal karena kejadiannya yang cukup sering dalam waktu yang cukup berdekatan sebagaimana yang telah terjadi antara lain di Nabire, Aceh, Nias, Yogyakarta, Bengkulu, Tasikmalaya, Padang, dan daerah-daerah lainnya. Sebelum kejadian gempa Padang pada tanggal 30 September 2009, sebagian besar bangunan yang runtuh dan rusak adalah bangunan rumah masyarakat yang digolongkan sebagai bangunan nonengineered, namun hasil evaluasi lapangan pasca gempa Padang tersebut diketahui bahwa terdapat juga bangunan-bangunan engineered yang rusak berat dan runtuh dengan jumlah yang cukup banyak. Termasuk diantaranya adalah bangunan perkantoran, bangunan pendidikan, bangunan hotel, dan bahkan bangunan rumah sakit yang sebagian besar termasuk bangunan publik dan bangunan penting atau lifeline facilities. Hal ini tentu saja menimbulkan pertanyaan serta kekhawatiran tentang keamanan bangunanbangunan engineered lain yang ada saat ini terutama yang berada di zonasi gempa tinggi. Mampukah bangunan-bangunan ini bertahan jika terjadi gempa atau
183
akankah kejadian seperti di Padang terulang kembali. Apalagi peta zonasi gempa baru sudah diperkenalkan dengan tingkat ancaman yang cenderung lebih tinggi dari peta zonasi gempa sebelumnya. Dari hasil tinjauan lapangan dapat diketahui bahwa sebagian besar bangungan-bangunan nonengineered dan engineered rusak berat dan runtuh karena bangunan-bangunan tersebut mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi. Secara umum kerentanan bangunan ditentukan oleh kekuatan, kekakuan, redaman, dan daktilitas yang dimiliki [FEMA 172 (1992)] yang secara dominan ditentukan oleh kualitas bahan, kekuatan yang disediakan, kualitas pendetailan struktur, dan konfigurasi bangunannya. Permasalahan gempa bumi dalam bidang konstruksi sangat menekankan pembangunan yang tahan akan beban gempa tersebut. Dengan merujuk pada suatu filosofi konstruksi bangunan tahan gempa yakni apabila gempa kecil bangunan tidak mengalami kerusakan apapun, dan jika gempa sedang komponen non struktur boleh mengalami kerusakan, tetapi komponen strukturnya tidak boleh mengalami kerusakan dan apabila gempa kuat, komponen non struktur maupun komponen strukturnya boleh mengalami kerusakan namun masih sempat memberi kesempatan pada penghuninya untuk menyelamatkan diri. KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Analisis Wilayah Gempa untuk kota Palu dengan Peta Gempa Tahun 2010 Berikut disajikan analisis wilayah gempa untuk kot Palu sesuai Peta Gempa tahun 2010. Lokasi Objek
: Kota Palu pada Bangunan Rusunawa Ujuna
Klasifiasi site
: Tanah keras, N > 50
Faktor keutamaan gedung, IE : IV dengan koefisien 1,50
184
Gambar 1 Peta Respons Spektra percepatan Ss untuk wilayah Indonesia
Peta Respons Spektra percepatan 0,2 detik (Ss) di batuan dasar (SB) untuk probabilitas 2% dalam 50 tahun di kota Palu dan sekitarnya.
Dari peta diperoleh Ss = 2,55 g
Gambar 2 Peta Respons Spektra percepatan Ss untuk wilayah kota Palu
185
Tabel 1
Koefisien Situs, Fa dan Fv
Klasifikasi Site (Sesuai Tabel 3)
SS Ss ≤ 0.25
Ss = 0.5
Ss= 0.75
Ss = 1.0
Ss ≥ 1.25
Batuan Keras (SA) Batuan (SB) Tanah Sangat Padat dan Batuan Lunak (SC)
0.8 1.0
0.8 1.0
0.8 1.0
0.8 1.0
0.8 1.0
1.2
1.2
1.1
1.0
1.0
Tanah Sedang (SD) Tanah Lunak (SE) Tanah Khusus (SF)
1.6 2.5 SS
1.4 1.7 SS
1.2 1.2 SS
1.1 0.9 SS
1.0 0.9 SS
S1 =0.4 0.8 1.0
S1 ≥ 0.5 0.8 1.0
Tabel 2
Nilai Fa untuk tanah sedang (SD) adalah 1.0
Klasifikasi Site (Sesuai Tabel 3) Batuan Keras (SA) Batuan (SB) Tanah Sangat Padat dan Batuan Lunak (SC) Tanah Sedang (SD) Tanah Lunak (SE) Tanah Khusus (SF)
S1 S1 ≤ 0.1 S1 = 0.2 S1 = 0.3 0.8 0.8 0.8 1.0 1.0 1.0 1.7
1.6
1.5
1.4
1.3
2.4 3.5 SS
2.0 3.2 SS
1.8 2.8 SS
1.6 2.4 SS
1.5 2.4 SS
Dari hasil tabel di atas diperoleh nialai Fv untuk tanah sedang (SD) adalah 1.3 Menentukan Spektral Respon Percepatan SDS dan SD1 Koefisien Situs, Fa dan Fv masing-masing utnuk tanah sangat padat dan batuan lunak adalah 1,0 dan 1,3 maka, nilai SDS dan SD1 : SDS = 2/3 (Fa x Ss) = 2/3 (1.0 x 2,55) = 1,70 SD1 = 2/3 (Fv x S1) = 2/3 (1,3 x 1,10) = 0,95
186
Tabel 3
Kategori Desain Seismik Berdasarkan Parameter Respon Percepatan pada Periode 1 Detik
Dari hasil di atas, Kategori Desain Seismik (KDS) berdasarkan nilai SDS adalah D dan berdasarkan nilai SD1 adalah F. Kesimpulan dari hasil Kategori Desain Seismik (KDS) diambil yang terbesar adalah F. 1) Desain Respon Spektrum, Sa a) Untuk perioda yang lebih kecil dari T0, digunakan grafik dari persamaan : b) Untuk perioda T0 sampai TS, digunakan grafik dari persamaan: Sa = SDS c) Untuk perioda lebih besar dari Ts, digunakan grafik dari persamaan:
Dimana : T = Periode Getar Fundamental Struktur sebagai berikut
d) Perkiraan periode fundamental alami, Ta Nilai Ta untuk gedung dengan tipe struktur rangka beton pemikul momen : Ta = Ct hnx
dimana : hn = ketinggian struktur (m) = 19,52 m Ct dan x = koefisien (lihat tabel 3. 13)
Ta = Ct x hnx = 0,0466 x 19,520,9 = 0,676
187
Tabel 4 Respon Spektrum T
Sa
(periode)
(g)
0
0,680
0,112
1,700
0,559
1,700
1
0,950
1,5
0,633
2
0,475
2,5
0,380
3
0,317
3,5
0,271
4
0,238
4,5
0,211
5
0,190
5,5
0,173
6
0,158
6,5
0,146
7
0,136
7,5
0,127
8
0,119
8,5
0,112
9
0,106
9,5
0,100
10
0,095
Pemodelan Struktur
Gambar 3 Perspektif Bangunan Rusunawa Ujuna
188
Gambar 4 Potongan Memanjang
Gambar 5 Potongan Melintang
Kombinasi Beban-beban Kombinasi pembebanan yang digunakan: 1. 1,4D 2. 1,2D + 1,6L + 0,5Lr 3. 1,2D + 1,6Lr + L 4. 1,2D + 1,0W + L + 0,5Lr 5. 1,2D + 1,0Ex + L 6. 1,2D + 1,0Ey + L 7. 0,9D + 1,0W 8. 0,9D + 1,0Ex 9. 0,9D + 1,0Ey
189
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Tabel 5
Tabel 6
Dimensi Sebelum dan Setelah Penerapan SNI 1726 2012 No.
Type Balok dan Kolom
1 2 3 4
Balok Atap Balok Lantai Kolom Utama Kolom Teras
Pu (kN) -192,996 -435,989
Tumpuan Atas -82,1214 -224,543
Momen (kN.m) Lapangan Tumpuan Bawah -16,7184 117,5511 -77,882 371,332
Momen ultimit balok yang paling maksimum dari semua kombinasi Type Balok B 30 x 50 B 25 x 50
Tabel 8
Setelah 25 x 50 30 x 50 40 x 60 40 x 40
Momen ultimit kolom yang paling maksimum dari semua kombinasi Type Kolom K 40 x 40 K 40 x 60
Tabel 7
Dimensi (cm) Sebelum 20 x 50 25 x 50 30 x 50 30 x 30
Tumpuan Kiri -83,4785 -45,8002
Momen (kN.m) Lapangan Tumpuan Kanan 58,5599 -94,0012 -19,9157 27,8518
Penulangan Longitudinal Sebelum dan Setelah Penerapan SNI 1726 2012 No.
Type Balok dan Kolom
1 2 3 4
Balok Atap 25 x 50 Balok Lantai 30 x 50 Kolom Utama 40 x 60 Kolom Teras 40 x 40
Dimensi Tulangan Utama Sebelum Setelah 5D19 7D19 6D19 8D19 12D19 16D19 8D19 12D19
Dimensi penampang balok bertambah sekitar 20% sampai 25% serta luas tulangan longitudinal bertambah 30% sampai 40% akibat konsekuensi penerapan Peta Gempa 2010 dan SNI 1726 tahun 2012. Sedangkan Dimensi penampang kolom bertambah sekitar 50% sampai 60% serta luas tulangan longitudinal bertambah 30% sampai 50% akibat konsekuensi penerapan Peta Gempa 2010 dan SNI 1726 tahun 2012. Hal ini juga berlaku untuk tulangan geser. Tabel 9
Perpindahan Lantai Atas dari SKBI 1987, SNI 1726 2002 dan Peta Gempa 2010
Perpindahan Lantai Atas
SKBI 1987 1,5 cm
SNI 1726 2002 6 cm
Peta Gempa 2010 9 cm
Perbandingan perpindahan/displacement pada puncak dengan lokasi yang sama dan bangunan yang sama tetapi berbeda peta gempa, maka untuk bangunan
190
di atas, displacement berdasarkan peta tahun 2010 lebih besar 6 kali lipat dari peta gempa tahun 1987. Jika dibandingkan dengan peta gempa tahun 2002 displacement yang terjadi 1,5 kali lipat. Hal ini berbanding lurus dengan peningkatan gaya-gaya dalam struktur.
Gambar 6 Ilustrasi Bangunan Tahan Gempa Berbasis Kinerja (Aplied Technology Council-58 )
Gambar 6 di atas menunjukkan bahwa beban gempa yang semakin besar akan menyebabkan tingkat kerusakan yang semakin besar, perpindahan atap pada puncak bangunan yang semakin besar juga menyebabkan tingkat kerusakan yang semakin besar pula. Konsekuensi kerusakan yang semakin besar menyebabkan biaya perbaikan yang semakin besar pula. Secara umum biaya perbaikan di bawah 60% dari biaya fisi awal bangunan masih ekonomis untuk dilakukan. Dari hasil analisis dan studi literatur yang telah dilakukan maka penerapan Peta Gempa tahun 2010 dan SNI 1726 tahun 2012 membawa konsekuensi pada perencanaan gedung khususnya di kota Palu yaitu bertambahnya biaya kontruksi. Biaya ini berupa bertambahnya volume pekerjaan baik pekerjaan beton dan berat besi yang digunakan. Hal itu juga perlu ditambah dengan pelaksanaan dan pengawasan yang baik selama pekerjaan konstruksi berlangsung. Diharapkan dengan penerapan peraturan terbaru ini dalam perencanaan bangunan gedung, dampak kerugian akibat bencana gempa baik kerugian harta benda dan jatuhnya korban jiwa akibat bangunan yang rusak dan runtuh akibat gempa dapat diminimalisir.
191
KESIMPULAN 1. Peta zonasi gempa yang baru telah dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun 2010 yang cenderung akan memberikan gaya gempa atau ancaman yang lebih besar dibandingkan dengan peta zonasi gempa sebelumnya. 2. Peta zonasi gempa yang baru harus diterapkan tidak hanya untuk bangunan baru tetapi harus diterapkan juga untuk bangunan lama atau bangunan yang ada. 3. Sehubungan dengan diterapkannya peta zonasi gempa yang baru maka bangunan yang ada perlu dievaluasi kerentanannya terhadap gempa. 4. Bangunan yang rentan terhadap gempa khususnya bangunan public seperti ruko dan rumah susun harus direncanakan dan jika telah dibangun harus dilakukan evaluasi terhadap beban gempa tahun 2012 dan SNI 176 tahun 2012 tentang Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung . DAFTAR ACUAN/PUSTAKA SNI-03-1727, Tata Cara Perencanaan Pembebanan untuk Rumah dan Gedung SNI-03-2847, Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung PBI-55, Peraturan Beton Indonesia – 1955 PBI-71, Peraturan Beton Indonesia – 1971 SNI Beton 91, ―Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung 1991‖ PPTGIUG 1983,―Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia untuk Gedung 1983‖ SNI Gempa 2002, ―Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung –SNI 03-1726-2002‖ SNI Beton 2002, ―Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung – SNI 032847-2002‖ SNI 1726 2012, ―Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung – SNI 0 2847-2002‖ Applied Technology Council.(1996). ― ATC 40 -Seismic Evaluation and Retrofit of Concrete Buildings‖, Redwood City, California, U.S.A.
192
PENGARUH PENAMBAHAN BITUMEN ASBUTON TERHADAP MODULUS KEKAKUAN CAMPURAN Arief Setiawan
ABSTRAK Suatu campuran dibentuk oleh agregat sebagai tulangan dan aspal sebagai bahan perekat. Bitumen ekstrak asbuton dapat dimanfaatkan sebagai bahan tambah pada aspal AC 60/70 agar kepekaan terhadap temperatur dapat berkurang mengingat iklim tropis di Indonesia yang memberikan temperatur relatif tinggi. Penambahan bitumen ekstrak asbuton pada campuran diperlukan pemahaman tentang pengaruhnya terhadap nilai struktural campuran yaitu modulus kekakuan campuran agregat aspal. Penelitian dilakukan terhadap gradasi Superpave yaitu agregat dengan ukuran maksimum nominal (nms) 19 mm. Variasi penambahan bitumen ekstrak asbuton (BEA) sebesar 0% dan 4% terhadap total kadar aspal AC 60/70, lama pembebanan 87 ms dan variasi temperatur perkerasan adalah 25C, 35C dan 45C yang disesuaikan dengan kondisi temperatur di Indonesia. Modulus kekakuan campuran diuji dengan 2 metode yaitu pendekatan empiris metode Brown dan Brunton (1984) dan pengujian dengan alat Universal Testing Machine (UTM). Untuk membuktikan pengaruh temperatur dan penambahan bitumen ekstrak asbuton dilakukan pendekatan statistik dengan analysis of variance two-factor dengan tingkat signifikansi = 5%. Hasil penelitian menunjukkan semakin bertambah BEA dalam campuran akan meningkatkan nilai modulus kekakuan akan tetapi peningkatan temperatur akan menurunkan modulus kekakuan campuran. Campuran dengan bahan perekat AC 60/70 dengan penambahan 4% BEA memiliki modulus kekakuan yang lebih besar daripada campuran tanpa penambahan bitumen ekstrak asbuton baik dengan pendekatan empiris cara Brown dan Brunton maupun dengan alat UTM. Pengaruh temperatur dan penambahan bitumen ekstrak asbuton terhadap nilai modulus kekakuan campuran agregat aspal pada agregat adalah signifikan dengan nilai fhitung = 1500,853 > f0,05 = 3,885 untuk pengaruh temperatur dan fhitung = 75,977 > f0,05 = 4,747 untuk pengaruh penambahan bitumen ekstrak asbuton.
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah pada perkerasan lentur adalah munculnya kerusakan yang penyebab utamanya berhubungan dengan kualitas bahan pendukungnya, antara lain aspal dan agregat. Kerusakan akan cepat terjadi jika perkerasan tersebut mengalami pembebanan secara berlebih (overloading) dari beban yang direncanakan serta pengaruh lingkungan, antara lain dengan adanya temperatur perkerasan yang relatif tinggi. Salah satu cara dalam mengatasi kerusakan jalan yang terjadi lebih awal adalah dengan memperbaiki kinerja campuran agregat aspal dengan memodifikasi sifat-sifat fisik aspal khususnya penetrasi dan titik lembek, menggunakan bahan tambah, sehingga akan mengurangi kepekaan aspal terhadap temperatur. Bahan tambah yang dapat digunakan adalah bitumen esktrak asbuton.
193
15
Metode desain struktur perkerasan lentur menuju metode desain analitis, dimana salah satu input perencanaannya menggunakan nilai modulus kekakuan campuran. Nilai modulus kekakuan campuran umumnya ditentukan dengan pendekatan empiris karena untuk mendapatkan nilai modulus kekakuan dari uji laboratorium memerlukan alat uji secara mekanik yang relatif mahal. Metode empiris (metode tidak langsung) untuk mencari modulus kekakuan campuran antara lain metode Brown dan Brunton (1984) sedangkan pengujian modulus kekakuan campuran secara laboratorium (metode langsung) dengan alat Universal Testing Machine (UTM). Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Mengukur modulus kekakuan campuran dengan alat uji UTM untuk agregat ukuran maksimum nominal 19 mm, 2. Menganalisis modulus kekakuan campuran pendekatan empiris cara Brown dan Brunton (1984) untuk agregat ukuran maksimum nominal (nms) 19 mm, Batasan Masalah Tidak meninjau sifat kimia bahan serta tidak menganalisis secara geologis jenis batuan. Pengujian sifat fisik bahan secara umum didasarkan pada Standar Nasional Indonesia (SNI) No.1737-1989-F, sedangkan spesifikasi gradasi Superpave dari The Asphalt Institute, Superpave Series No.2 (SP-2) (1996). Gradasi agregat yang digunakan adalah ukuran maksimum nominal 19 mm dan 25 mm dengan target gradasi dalam batas titik-titik kontrol dan melewati daerah di bawah penolakan (restricted zone). Persentase penambahan kadar bitumen ekstrak asbuton yang diteliti yaitu sebesar 0% atau kadar AC 60/70 sebesar 100% dan 4% atau AC 60/70 sebesar 96%, dari total kadar aspal terhadap campuran. Pengujian campuran panas agregat aspal dengan prosedur Marshall standar untuk agregat dengan ukuran maksimum nominal 19 mm dengan persyaratan dan penentuan kadar aspal optimum secara umum berdasarkan SNI No.1737-1989-F. Analisis modulus kekakuan aspal dan modulus campuran agregat aspal, lama pembebanan diasumsikan pada kecepatan rata-rata kendaraan komersil
194
sebesar 9 km/jam (standing load < 20 km/jam) dengan tebal perkerasan 75 mm digunakan pendekatan empiris cara Brown dan Brunton (1984) dan uji di laboratorium dengan alat UTM. Variasi temperatur uji ditetapkan dari temperatur perkerasan yang diperoleh berdasarkan data temperatur udara maksimum dan minimum bulanan rata-rata beberapa kota di Indonesia pada kurun waktu selama 10 tahun yaitu dari tahun 1988 sampai dengan 1998, dengan hasil sebesar 25 C, 35 C dan 45 C. Pengujian modulus kekakuan campuran agregat aspal dengan alat UTM dengan batasan antara lain pembebanan berulang didasarkan pada 5 kali pembebanan, benda uji pada kadar aspal optimum, perkiraan rasio Poisson pada semua variasi temperatur sebesar 0,40 (untuk asphalt concrete), dan beban repetisi berkisar 40 % beban runtuh uji tarik tak langsung yang diperkirakan sebesar 13 % stabilitas Marshall. TINJAUAN PUSTAKA Bitumen Ekstrak Asbuton Bitumen ekstrak asbuton diperoleh dengan memisahkan mineral asbuton dari asbuton disebut dengan proses ekstraksi kemudian dilanjutkan dengan merecovery hasil ekstraksi tersebut dengan proses destilasi (Zamhari, et al, 2000). Akbar (2000), Ahmad (2000), Riyanto dan Nofrianto (2001) menunjukkan bahwa penambahan bitumen ekstraks asbuton sebesar 4% mampu menurunkan nilai penetrasi aspal dan menaikkan titik lembek aspal AC 60/70 sehingga memenuhi spesifikasi AC 40/50. Agregat Bergradasi Superpave Siswosoebrotho (1993) menyatakan bahwa dalam pelaksanaan ukuran dan gradasi agregat mempunyai tujuan tertentu antara lain, ukuran agregat mempunyai hubungan dengan tebal penyebaran atau penghamparan dan tebal padat suatu lapis perkerasan, sedangkan gradasi berhubungan dengan kestabilan. Superpave menetapkan gradasi dengan 2 (dua) spesifikasi khusus yaitu target gradasi berada dalam batas titik-titik kontrol (control points) dan menghindari daerah penolakan (restricted zone) yang meliputi 5 (lima) jenis gradasi agregat yang dikategorikan dalam ukuran maksimum nominal yaitu 9,50
195
mm; 12,50 mm; 19,00 mm; 25,00 mm dan 37,50 mm (The Asphalt Insitute, Superpave Series No.2 (SP-2), 1996). Kennedy (1996) menyarankan untuk menghasilkan kinerja jalan yang baik dengan volume yang tinggi dipilih target gradasi yang lewat di bawah daerah penolakan. Penelitian yang dilakukan oleh Giyanto (1993) menunjukkan bahwa gradasi dengan ukuran maksimum nominal yang semakin besar mempunyai nilai VMA yang mengecil dengan nilai stabilitas relatif makin besar diikuti dengan kecenderungan modulus kekakuan yang semakin besar pula. Modulus Kekakuan Istilah kekakuan (stiffness) yang dikemukakan oleh Shell Research Laboratory dalam Yang (1972) adalah ekspresi dari beban per-satuan deformasinya. Teori kekakuan yang dikemukakan oleh Brown dan Brunton (1984) menyebutkan bahwa nilai struktural perkerasan dapat dinyatakan dalam modulus kekakuan campuran agregat aspal. Modulus kekakuan ini digunakan untuk menyatakan suatu nilai tegangan dibagi regangan pada temperatur dan lama pembebanan tertentu akibat beban dinamik lalu lintas kendaraan. Brown dan Brunton juga menyatakan bahwa nilai modulus kekakuan campuran agregat aspal ditentukan oleh kekakuan bahan perekat (aspal) dan karakteristik perbandingan agregat (gradasi agregat). Kekakuan bahan perekat sangat ditentukan oleh lama pembebanan (load time), recovered softening point of bitumen dan recovered penetration index of bitumen. Modulus elastis sebagai perbandingan antara tegangan dan regangan, perilaku regangan pada setiap lapisan perkerasan saat menerima beban berulang akan menimbulkan elastic strain, plastic strain keduanya merupakan total strain dan peak strain. Huang (1993) dalam Dewantoro, et. al (2001) mengemukakan daerah elastic strain menunjukkan struktur perkerasan akan kembali ke bentuk semula, namun sebagian akan mengalami deformasi permanen dalam daerah plastic strain. Hal tersebut berlangsung secara berulang-ulang sehingga terjadi recoverable strain (regangan yang terjadi sebelum kekuatan maksimum struktur tercapai) dan total plastic strain. Peak strain adalah regangan yang terjadi saat kekuatan maksimum struktur tercapai, jika peak strain dilampaui maka struktur
196
perkerasan akan mengalami failure. Batas peak strain tergantung dari tebal lapisan dan karakteristik material yang dinyatakan dalam rasio Poisson dan modulus elastisitas. The Asphalt Insitute dan Shell menggunakan peak strain dalam penentuan modulus kekakuan campuran. Cara terbaik untuk menentukan kekakuan campuran agregat aspal adalah dengan uji dengan alat di laboratorium (direct method) yang terjamin keakuratan hasilnya, tetapi dapat juga digunakan metode prediksi yang diberikan untuk respon elastik (Brown dan Brunton, 1984). Yang (1972) menyatakan bahwa sifat viscous dari bahan perekat aspal memberikan kontribusi yang besar terhadap sifat elastik dari dari asphaltic concrete (beton aspal). Modulus elastisitas kemungkinan menurun dari 500.000 psi pada 40F (4,444C) menjadi 4.000 psi pada 100F (37,778C). LANDASAN TEORI Pemodelan sistem perkerasan lentur Secara umum sistem perkerasan lentur terdiri dari beberapa lapisan yaitu lapisan beraspal, material lepas dan lapisan tanah dasar. Sifat fisik masing-msing lapisan tersebut dapat diwakili oleh besaran modulus kekakuan (E) dan rasio Poisson (), selain kedua sifat fisik tersebut adalah ketebalan perkerasan (h) (Gambar 1).
Catatan: gambar tidak berskala
Gambar 1 Pemodelan sistem perkerasan lentur Sumber: Brown dan Brunton (1984)
Penyebaran tegangan yang disebabkan oleh beban roda akan menyebabkan terjadinya 2 (dua) titik kritis dalam perkerasan tersebut yaitu regangan tarik horizontal pada lapisan beraspal dan regangan tekan vertikal pada permukaan tanah dasar (Mulyadi, et. al, 2000).
197
Modulus Kekakuan 1.
Modulus kekakuan aspal Brown dan Brunton (1984) menyatakan regangan yang terjadi pada aspal
sangat tergantung pada tegangan, lama pembebanan dan temperatur. Modulus kekakuan diperoleh dengan membagi tegangan dengan regangannya pada temperatur dan waktu pembebanan tertentu. Modulus kekakuan aspal dinyatakan sebagai fungsi dari temperatur dan lama pembebanan, dipresentasikan pada Gambar 2. Ullidtz dalam Brown dan Brunton juga menyatakan bahwa secara matematis hubungan dari sifat-sifat fisik aspal dan lalu lintas seperti titik lembek, temperatur dan waktu pembebanan adalah sebagai berikut ini. Sb = 1,157.10 -7 . t - 0,368. 2,718 - Pir (SPr-T)5 ….……..........………..…....(1) dengan : Sb
= modulus kekakuan bitumen, (MPa)
t
= lama pembebanan, (detik)
T
= temperatur perkerasan, (oC)
PIr
= penetrasi indeks recovered
SPr
= titik lembek recovered, (oC)
Gambar 2 Kekakuan aspal sebagai fungsi dari waktu dan temperatur Sumber: Brown dan Brunton (1984)
Perbedaan temperatur pada saat penghamparan akan dilaksanakan dengan temperatur di laboratorium menjadi suatu pertimbangan dalam pendekatan persamaan Brown dan Brunton, sehingga recovered properties digunakan dalam perhitungan modulus kekakuan aspal. Hubungan antara penetrasi awal (Pi) dengan penetrasi recovered (Pr) adalah sebagai berikut ini. Pr = 0,65 . Pi ……………………………….…………………….…… (2)
198
Titik lembek recovered (SPr) dapat dicari dari penetrasi recovered (Pr) dengan persamaan sebagai berikut ini. SPr = 98,4 – 26,35 . log Pr ……………….……………………….…….(3) Indeks Penetrasi recovered (PIr) dapat dicari dari penetrasi recovered (Pr) dan titik lembek recovered (SPr) dengan persamaan sebagai berikut ini. PIr =
1951,4 500.log.Pr 20.SPr ………………..…………….……. (4) 50.logPr SPr 120,4
Lama pembebanan (t, detik) tergantung pada tebal perkerasan (h, mm) dan kecepatan kendaraan komersil rata-rata (V, km/jam) dapat dihitung dengan persamaan 5 atau persamaan 6. log t = 5.10-4.h - 0,2 - 0,94.log V …………...…………………….…….(5) Untuk tebal perkerasan antara 100 - 350 mm dapat digunakan persamaan sebagai berikut ini. t=
1 ………………………………………………………………….. (6) V
Batasan penggunaan prosedur untuk mencari modulus kekakuan aspal cara Brown dan Brunton adalah 0,01 < t < 0,1 detik, –1
1 34 MMPT = MMAT 1 6 .…………………………….…(7) Z 4 Z 4 dengan : MMPT
= temperatur perkerasan bulanan rata-rata (F)
MMAT
= temperatur udara bulanan rata-rata (F)
Z
= kedalaman struktur perkerasan (inch) Temperatur pada kedalaman Z = h/3 (h adalah tebal lapisan aspal) diambil
sebagai temperatur yang mewakili seluruh lapis aspal dan digunakan sebagai basis perhitungan modulus. 2.
Modulus kekakuan campuran agregat aspal a.
Metode Brown dan Brunton (1984)
Brown dan Brunton memberikan persamaan untuk mencari modulus kekakuan campuran agregat aspal sebagai berikut ini. 199
n
257,5 2,5.VMA Sme = Sb 1 .………....................…........…….....(8) n.(VMA 3) 40.000 n = 0,83.log ……… ....………..............................………....(9) Sb dengan:
Sme
= kekakuan campuran elastik, (MPa)
VMA = Void in Mineral Aggregate (%) Persamaan Brown dan Brunton (1984) mendekati kebenaran antara lain jika nilai minimum modulus kekakuan bitumen untuk kondisi berperilaku elastik adalah 5 MPa, diatas nilai ini, modulus kekakuan campuran agregat aspal hanya tergantung pada modulus kekakuan bitumen dan proporsi volumetrik (volumetric proportion), tetapi di bawah nilai ini, sifat-sifat dari agregat menjadi sangat menentukan, sedangkan pengaruh dari kekakuan bitumen mengalami penurunan. Kondisi ini digambarkan pada Gambar 3 dimana modulus kekakuan dari campuran agregat aspal ditunjukkan sebagai fungsi dari modulus kekakuan bitumen.
Gambar 3. Hubungan antara modulus kekakuan campuran agregat aspal dan modulus kekakuan bitumen. Sumber: Brown dan Brunton (1984).
Batasan lain penggunaan prosedur Brown dan Brunton adalah variasi nilai VMA campuran agregat aspal dari 12 % sampai dengan 30 % dengan volume pori dalam campuran lebih besar 3%. Prosedur Modulus kekakuan campuran agregat aspal ini didasarkan pada apa yang didapatkan oleh Shell. b. Uji modulus berdasarkan tarik tak langsung dengan UTM Uji modulus tarik tak langsung (indirect tensile modulus test) atau disebut juga repeated load indirect tensile, Robert et.al (1991), menyatakan bahwa metode uji ini paling umum digunakan untuk mengukur modulus kekakuan
200
(stiffness modulus) campuran panas agregat aspal, dimana aturan pengujian serupa dengan uji tarik tak langsung (indirect tensile test) yang akan menghasilkan resilient modulus (MR). Pembebanan yang diaplikasikan tidak akan memberikan kegagalan (runtuh, failure) pada benda uji. ASTM D 4123-82 (Reapproved 1987) menetapkan beban repetisi sebesar 10%~50% beban runtuh pada uji tarik tak langsung. Oleh karena itu untuk mengetahui modulus resilien, kekuatan tarik harus diukur atau diperkirakan terlebih dahulu. Pembebanan umumnya diterapkan selama 0,1 detik dan kondisi tanpa beban (rest period) selama 0,9 detik, yaitu benda uji menerima satu beban berulang (one load cycle) per detik, waktu perulangan beban dapat dilihat pada Gambar 4. Kombinasi lain antara lama pembebanan dan rest period dapat digunakan (Robert, et al, 1991).
Gambar 4. Diagram Pembebanan dan Respon Regangan terhadap Waktu Sumber : UTM (1995)
Besaran rasio Poisson diperlukan sebagai data masukan (input) pada UTM. Yoder dan Witczak (1975) menyatakan bahwa besaran rasio Poisson () adalah rasio antara regangan lateral (l) dengan regangan aksial (a) oleh beban yang sejajar sumbu dimana regangan aksial terukur. Rasio Poisson yang digunakan oleh berbagai agencies disajikan pada Tabel 1 dibawah ini. Tabel 1
Poisson’s ratio yang digunakan oleh berbagai agencies Bahan
Original Shell Oil Co. Asphalt concrete 0.50 Granular base 0.50 Subgrade 0.50 Sumber: Yoder dan Witzcak (1975)
Revised Shell Oil Co. 0.35 0.35 0.35
The Asphalt Institute 0.40 0.45 0.45
Kentucky Highway 0.40 0.45 0.45
Alat UTM adalah salah satu alat yang dapat digunakan untuk melakukan pengujian tarik tak langsung beban berulang yang dikembangkan oleh Industrial 201
Process Controls Limited (IPC) di Australia. Prinsip kerja uji tarik tak langsung dalam alat ini mengacu pada prosedur ASTM D 4123-82 (1987). Hasil yang diperoleh dari pengujian modulus uji tarik tak langsung dengan alat UTM adalah sebagai berikut: 1) modulus resilien elastis (resilient modulus of elasticity), 2) waktu pembebanan (loading time), 3) waktu penambahan pulsa gaya (force pulse rise time), 4) tegangan tarik (tensile stress), 5) puncak pembebanan gaya (peak loading force), dan 6) regangan recoverable total (total recoverable strain). UTM memberikan persamaan-persamaan sebagai berikut:
2.F ………………….…………………………..……………….….. (10) π.L.D F.(R 0,27) E= ………………….…….……………..…………..……….. (11) L.H H r = …………………………………………………………...……..….. (12) D dengan: St =
St
= kekuatan tarik (MPa)
E
= modulus resilien elastik total (MPa)
L
= tinggi sampel (mm)
F
= gaya maksimum (beban berulang) (N)
D
= diameter sampel (mm)
R
= perkiraan nilai rasio Poisson
H
= deformasi horisontal recoverable total (mm)
r
= regangan recoverable total
HIPOTESIS Berdasarkan pada tujuan penelitian, tinjauan pustaka dan landasan teori yang ada, nilai modulus kekakuan campuran agregat aspal dipengaruhi modulus kekakuan aspal dan nilai VMA. Penambahan bitumen ekstrak asbuton akan mempengaruhi sifat fisik aspal khususnya titik lembek dan penetrasinya, disamping itu aspal sebagai bahan yang bersifat termoplastik akan dipengaruhi oleh temperatur, kedua hal tersebut akan mempengaruhi modulus kekakuan aspal.
202
Nilai VMA sangat dipengaruhi oleh volume pori udara dan volume aspal dalam campuran padat. Temperatur pencampuran dan pemadatan yang diukur pada viskositas aspal yang sama serta cara pemadatan yang dibuat sama maka besar kecilnya pori akan tergantung pada sifat fisik agregat. Dengan demikian dapat diduga bahwa temperatur dan penambahan bitumen ekstrak asbuton akan mempengaruhi nilai modulus kekakuan campuran agregat aspal. Penambahan bitumen ekstrak asbuton sebesar 4% diduga akan menurunkan penetrasi dan menaikkan titik lembek sehingga akan menaikkan nilai modulus kekakuan campuran agregat aspal baik dengan pendekatan empiris cara Brown dan Brunton (1984) maupun pengujian dengan UTM. CARA PENELITIAN Proses kerja Bagan alir metodologi penelitian dan bagan alir penelitian di presentasikan pada Gambar 5 dan Gambar 6. Penentuan kadar aspal optimum dilakukan dengan cara Marshall masing-masing 3 (tiga) benda uji untuk tiap variasi kadar aspal (4; 4,5; 5; 5,5; dan 6 %), variasi penambahan bitumen ekstrak asbuton (BEA) (0 dan 4%) untuk nms 19 mm dan 25 mm, selanjutnya dilakukan analisis variansi dwifaktor untuk mengetahui pengaruh variasi kadar aspal dan pengaruh penambahan BEA terhadap karakteristik Marshall. Untuk pengujian dengan UTM masing-masing 3 (tiga) benda uji setiap variasi temperatur (25; 35 dan 45C) dan variasi penambahan BEA (0 dan 4%), selanjutnya dilakukan analisis variansi dwifaktor untuk mengetahui pengaruh variasi temperatur dan pengaruh penambahan BEA terhadap modulus kekakuan campuran. Kendala Penelitian Ketajaman mata serta konsentrasi pikiran pada saat penimbangan, pembacaan arloji pengukur kelelehan dan arloji pengukur stabilitas yang dilakukan secara manual pada pengujian Marshall sangat dibutuhkan, sehingga perlu dilakukan dengan cermat agar kesalahan dapat diminimalkan, apabila terjadi kesalahan maka dilakukan pengulangan pengujian yang akan memperlambat waktu pengujian berikutnya.
203
Gambar 5 Bagan alir Metodologi Penelitian
Gambar 6 Bagan alir penelitian 204
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian 1.
Hasil pemeriksaan sifat fisik aspal
Tabel 2 No
Hasil Pemeriksaan Sifat Fisik Aspal
Sifat-sifat
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Penetrasi Titik lembek Titik nyala Kehilangan berat Kelarutan Daktilitas Berat jenis Suhu Pencampuran Suhu Pemadatan
10 11 12 13
Penetrasi Daktilitas Titik Lembek Indeks Penetrasi (PI) *) SNI No.1737-1989-F
2.
1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 1
205
0,1 mm o C o C % berat % berat cm gr/cm3 o C o C % asli cm o C -
Hasil Pemeriksaan Agregat Sifat-sifat
Agregat Kasar Penyerapan air Berat jenis bulk Berat jenis semu Berat jenis efektif Tes abrasi Los Angeles Indeks kepipihan Kelekatan dengan aspal Agregat Halus Penyerapan air Berat jenis bulk Berat jenis semu Berat jenis efektif Sand equivalent Filler Berat jenis
Spesifikasi *) Min Maks 2,5 95
3 40 25 -
2,5 50
3 -
Hasil Pemeriksaan 1,9835 2,620 2,764 2,692 16,93 15,38 95 2,417 2,598 2,772 2,685 64,48 -
2,6505
*) SNI No.1737-1989-F
3.
Satuan
Hasil pemeriksaan agregat
Tabel 3 No
Spesifikasi Kadar penambahan BEA AC 60/70 *) terhadap AC 60/70 (%) Min Maks 0 2 4 60 79 63,6 50,3 44,5 48 58 49,8 52,4 54,0 200 325 328 330 0,8 0,0285 0,0659 0,04925 99 99,5902 99,5679 99,5805 100 >140 >140 >140 1 1,0251 1,0344 1,0383 156 158 173 142 147 163 Setelah kehilangan berat 54 79 91,5 91 50 >140 >140 >140 53,8 54,2 55,8 -0,67455 -0,60315 -0,51632
Hasil karakteristik Marshall pada kadar aspal optimum
Satuan
% % % % % % -
Tabel 4
Hasil Pemeriksaan Marshall pada Kadar Aspal Optimum untuk nms 19 mm
No
Karakteristik dan persyaratan *)
1 2 3 4 5 6 7 8
Kepadatan (gr/cc) VMA (%) (> 14) VFWA (%) VITM (%) (3 – 5) Stabilitas (kg) (> 550) Kelelehan (mm) (2-4) MQ (kg/mm) (220-350) Indeks Perendaman (%) (>75) *)SNI No.1737-1989-F
4.
Standar Rendaman BEA 0% Kadar Aspal (%) 5,1 5,1 2,327 2,323 15,73 15,85 70,60 69,93 4,62 4,77 1119,9 1038,8 3,73 4,37 300,0 238,9 92,755
Standar BEA 4%
Rendaman
5,2 2,330 15,69 72,27 4,35 1322,1 3,8 347,9 96,588
5,2 2,323 15,96 70,84 4,66 1277,0 4,3 294,9
Hasil analisis temperatur perkerasan
Tabel 5
Hasil Analisis MMAT dan MMPT pada tebal perkerasan 75 mm.
MMAT (oC) MMPT (oC) Maks. Min. Maks. 1 Banda Aceh 35,00 18,00 45,13 2 Medan 34,30 21,10 44,29 3 Padang 32,50 18,70 42,13 4 Riau 34,60 19,40 44,65 5 Jambi 33,40 14,00 43,21 6 Palembang 34,40 20,10 44,41 7 Bengkulu 32,60 13,40 42,25 8 Tanjung Karang 35,20 19,10 45,37 9 Jakarta 34,60 21,00 44,65 10 Bandung 30,60 14,60 39,85 11 Semarang 34,30 19,50 44,29 12 Yogyakarta 34,40 16,00 44,41 13 Surabaya 35,00 20,10 45,13 14 Bali 34,20 17,00 44,17 15 Mataram 36,30 19,10 46,69 16 Kupang 37,70 19,80 48,37 17 Dili 33,00 15,60 42,73 18 Pontianak 33,80 18,80 43,69 19 Palangkaraya 34,00 20,70 43,93 20 Banjarmasin 36,20 20,00 46,57 21 Samarinda 34,00 20,00 43,93 22 Manado 34,20 18,90 44,17 23 Palu 35,50 20,70 45,73 24 Ujung Pandang 34,70 18,50 44,77 25 Kendari 33,10 17,80 42,85 26 Ambon 33,80 17,80 43,69 27 Jayapura 32,30 21,60 41,89 Rata-rata 34,21 18,57 44,18 Sumber: Hasil olahan data Badan Meteorologi dan Geofisika (1988-1998) No
Nama Kota
Min. 24,72 28,44 25,56 26,40 19,92 27,24 19,20 26,04 28,32 20,64 26,52 22,32 27,24 23,52 26,04 26,88 21,84 25,68 27,96 27,12 27,12 25,80 27,96 25,32 24,48 24,48 29,04 25,40
Berdasarkan hasil analisis MMPT maka temperatur pengujian ditentukan 25C, 35C dan 45C. Penentuan ketiga temperatur tersebut dianggap mewakili dari seluruh temperatur perkerasan beberapa kota di Indonesia.
206
5.
Hasil analisis modulus kekakuan cara Brown dan Brunton (1984)
Tabel 6
Hasil Analisis Modulus Kekakuan cara Brown dan Brunton (1984) Temperatur (C) 25 35 45
6.
nms 19 mm BEA 0% 2157,089 589,216 56,246
BEA 4% 3356,564 1142,612 193,971
Hasil pengujian modulus kekakuan dengan alat UTM
Tabel 7
Hasil Pengujian Modulus Kekakuan pada nms 19 mm Temperatur (C) 25
Rata-rata 35
Rata-rata 45
Rata-rata
Mean MR (MPa) 0 %BEA 6242,500 6614,500 6495,000 6450,667 2322,500 2225,000 2602,000 2383,167 895,250 951,950 1163,000 1003,400
4%BEA 7247,000 6896,500 6719,500 6954,333 3673,000 3541,000 3412,500 3542,167 1538,500 1545,000 1451,000 1511,500
Pembahasan 1.
Pengaruh penambahan BEA terhadap sifat fisik AC 60/70
Gambar 7 Hubungan antara Penambahan BEA pada AC 60/70 dengan Penetrasi, Titik lembek dan PI.
207
Penambahan bitumen ekstrak asbuton (BEA) telah merubah sifat fisik AC 60/70 terutama angka penetrasi dan titik lembeknya. Angka penetrasi akan menurun yang mengindikasikan bahwa aspal menjadi lebih keras dari sebelumnya sedangkan titik lembek akan naik mengindikasikan bahwa kepekaan aspal terhadap temperatur menjadi berkurang (nilai PI naik) (Gambar 7). Hal ini dikarenakan penetrasi BEA yang rendah (4. 0,1 mm) dan titik lembek yang tinggi (82 C) (berdasarkan hasil penelitian Zamhari et.al, 2000).
Gambar 8 Hubungan kadar BEA dengan Temperatur Pencampuran dan Temperatur Pemadatan
Penambahan bitumen ekstrak asbuton juga akan menaikkan temperatur pencampuran dan temperatur pemadatan, hal ini disebabkan aspal minyak relatif lebih kaku akibat penambahan BEA mengakibatkan kebutuhan pemanasan yang lebih tinggi untuk mencapai viskositas yang telah ditetapkan untuk proses pencampuran dan pemadatan. 2.
Pengaruh penambahan BEA terhadap nilai VMA Penambahan bitumen ekstrak asbuton ke dalam AC 60/70 yang digunakan
sebagai bahan perekat tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap nilai VMA, ditunjukkan dengan nilai fhitung = 1,063 < f0,05 = 7,709 untuk nms 19 mm dan fhitung = 1,553 < f0,05 = 7,709 untuk nms 25 mm, hal ini dikarenakan temperatur pencampuran dan temperatur pemadatan sudah disesuaikan dengan penambahan kadar bitumen ekstrak asbuton ke dalam AC 60/70. 3.
Modulus kekakuan campuran agregat aspal a. Pendekatan empiris cara Brown dan Brunton (1984)
208
Tabel 8
Hasil Analisis Parameter Penentuan Modulus Kekakuan Aspal (Sbit)
BEA (%) 0 4
Tabel 9
Pen. (Pi) (0.1 mm) 63,6 44,5
Pr (0.1 mm) 41,340 28,925
SPr (C) 55,809 59,895
PIr -0,283 -0,213
t (detik) 0,087 0,087
Penentuan Sbit dan Sm Metode Brown dan Brunton (1984)
Nms (mm) 19
25
SP (C) 49,8 54,0
BEA (%) 0
VMA (%) 15,73
4
15,69
0
15,6
4
15,39
Temperatur(C) 25 35 45 25 35 45 25 35 45 25 35 45
Sbit (MPa) 5,936 0,834 0,032 11,872 2,194 0,168 5,936 0,834 0,032 11,872 2,194 0,168
Sm(MPa) 2157,089 589,216 56,246 3356,564 1142,612 193,971 2226,198 611,587 58,895 3594,821 1238,305 213,770
Tabel 9 menunjukkan bahwa batasan metode Brown untuk kondisi elastik PIr diantara –1 dan +1 serta nilai t berada diantara 0,01 dan 0,1 detik terpenuhi. Berdasarkan hasil analisis modulus kekakuan campuran (Sm) pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa batasan nilai VMA terletak diantara 12% sampai dengan 30% terpenuhi, sedangkan batasan nilai Sbit > 5 MPa terpenuhi hanya pada temperatur 25C. Hal ini berarti bahwa pada temperatur 35C dan 45C, aspal sudah tidak lagi berperilaku elastis. Tabel 10 Rasio Sm akibat Penambahan 4% BEA terhadap 0% BEA Temperatur (C) 25 35 45
Rasio nms 19 1,556 1,939 3,449
nms 25 1,615 2,025 3,630
Tabel 10 menunjukkan bahwa semakin tinggi temperatur maka rasio modulus kekakuan campuran agregat aspal semakin tinggi pula yang berarti penambahan bitumen akan memberikan hasil yang baik jika temperatur relatif tinggi. b. Pengujian dengan UTM
209
Tabel 11 Rasio Sm akibat Penambahan 4% BEA terhadap 0% BEA Rasio 1,078 1,486 1,506
Temperatur (C) 25 35 45
Tabel 11 memberikan kecenderungan yang sama dengan Tabel 10 yaitu penambahan bitumen akan memberikan hasil yang baik jika temperatur relatif tinggi. Berdasarkan anova dwifaktor, temperatur berpengaruh signifikan terhadap modulus kekakuan campuran agregat aspal, ditunjukkan dengan nilai fhitung = 1500,853 > f0,05 = 3,885, sedangkan penambahan BEA juga memberikan pengaruh signifikan yang ditunjukkan dengan nilai fhitung = 75,977 > f0,05 = 4,747. Interaksi antara kedua faktor tersebut juga berpengaruh secara signifikan yang memberikan nilai fhitung = 6,878 > f0,05 = 3,885. c. Perbandingan modulus kekakuan campuran antara metode Brown dan Brunton (1984) dengan pengujian UTM Perbedaan nilai modulus kekakuan campuran pengujian dengan alat UTM terhadap pendekatan empiris metode Brown dan Brunton (1984) dengan variasi terhadap temperatur dipresentasikan pada Gambar 9 sedangkan rasio antara UTM terhadap Brown dan Brunton (1984) ditunjukkan pada Tabel 14.
Modulus K ekakuan Campuran (MPa)
8000 UTM_0%BEA 7000
Brown_0%BEA
6000
UTM_4%BEA Brown_4%BEA
5000 4000 3000 2000 1000 0 25
35
45 o
Temperatur ( C)
Gambar 9 Hubungan Pengukuran Modulus Kekakuan Campuran antara UTM dan Brown dan Brunton (1984) terhadap temperatur 25C, 35C dan 45 C dengan lama pembebanan 87 ms.
210
Tabel 14 Rasio UTM terhadap Metode Brown dan Brunton Temperatur (C) 25 35 45
0%BEA 2,990 4,045 17,839
4%BEA 2,072 3,100 7,792
Nilai rasio modulus kekakuan campuran dengan pengujian UTM terhadap metode Brown dan Brunton lebih besar dari 1 (rasio>1). Hal ini dikarenakan perbedaan batasan regangan yang digunakan. Alat UTM didasarkan pada recoverable strain sedangkan metode Brown dan Brunton didasarkan pada peak strain. Secara umum rasio perbandingan antara UTM terhadap metode Brown dan Brunton dapat dikatakan bahwa semakin tinggi temperatur maka rasio yang diberikan menjadi semakin besar pula yang berarti nilai keduanya semakin besar perbedaannya. Hal ini dikarenakan selain batasan regangan antara kedua metode berbeda, juga pada temperatur 35C dan 45C sudah tidak memenuhi batasan penggunaan dari metode Brown dan Brunton (1984) sehingga akan memperbesar perbedaan dari nilai modulus kekakuan campuran terhadap pengujian UTM. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan antara lain: 1. Penambahan bitumen ekstrak asbuton sebesar 2% dan 4% terhadap bahan perekat AC 60/70 dapat menurunkan penetrasi dan menaikkan titik lembek. 2. Penambahan bitumen ekstrak asbuton ke dalam AC 60/70 dapat meningkatkan viskositas yang mengakibatkan temperatur pencampuran dan temperatur pemadatan menjadi lebih tinggi. 3. Penambahan bitumen ekstrak asbuton ke dalam AC 60/70 dapat meningkatkan nilai stabilitas campuran agregat aspal dan Marshall Quotient menjadi lebih besar. Stabilitas campuran pada kadar aspal optimum konvensional (0% BEA) meningkat 18,1% untuk nms 19 mm dan 1,3% untuk 25 mm pada penambahan 4% BEA. 4. Campuran dengan bahan perekat AC 60/70 + 4% BEA pada nms 19 mm memperlihatkan ketahanan terhadap kerusakan yang diakibatkan air adalah 211
lebih baik sebagaimana ditunjukkan dengan Indeks Perendaman 92,755% menjadi 96,588% yang berarti ada kenaikan sebesar 4,1%. 5. Campuran dengan bahan perekat AC 60/70 dengan penambahan 4% BEA memiliki modulus kekakuan yang lebih besar daripada campuran tanpa penambahan bitumen ekstrak asbuton baik dengan pendekatan empiris cara Brown dan Brunton maupun dengan UTM. 6. Modulus kekakuan cara Brown dan Brunton (1984) hanya pada temperatur 25C yang memenuhi batasan untuk kondisi perilaku elastik dari aspal sebagai bahan perekat. 7. Berdasarkan Analysis of Variance twofactor dengan pengujian satistik f menyatakan bahwa penambahan Bitumen Ekstrak Asbuton (BEA) akan memberikan pengaruh signifikan (fhitung = 75,977 > f0.05 = 4,747), dan temperatur juga memberikan pengaruh signifikan (fhitung = 1500,853 > f0.05 = 3,885) terhadap respon yaitu nilai modulus kekakuan campuran agregat aspal. 8. Hasil pengujian modulus kekakuan campuran agregat aspal dengan alat UTM tidak memiliki hubungan yang baik dengan pendekatan empiris metode Brown dan Brunton (1984) karena perbedaan dasar kriteria batas regangan.
Saran-saran Berdasarkan penelitian ini, beberapa saran yang diusulkan untuk penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut ini. 1. Penambahan bitumen ekstrak asbuton pada aspal keras dengan penetrasi yang berbeda kemudian dibandingkan dalam hasil akhir penetrasi yang sama antara aspal keras murni dan akibat penambahan bitumen ekstrak asbuton. 2. Pemadatan benda uji dengan menggunakan gyratory compactor kemudian dianalisis indeks kemudahan pekerjaan untuk beberapa target gradasi Superpave. 3. Penelitian selanjutnya perlu dilakukan pengujian Indirect Tensile Static Load untuk menentukan beban failure dan rasio Poisson suatu target gradasi tertentu kemudian dilakukan uji Indirect Tensile Stiffness Modulus, dengan demikian perkiraan atau asumsi dapat dikurangi.
212
4. Penelitian terhadap fatigue resistance dari campuran yang dibuat dengan bahan perekat yang mengandung bitumen ekstrak asbuton. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1994, Road and Paving Materials; Paving Management Technologies, Annual Book of American Society for Testing and Materials (ASTM) Standards, Volume 04.03, Section 4 Construction, ASTM. Anonim, 1987, Petunjuk Pelaksanaan Lapis Aspal Beton (Laston) untuk Jalan Raya, SKBI-2.4.26. 1987, UDC: 625.75(02), SNI No. 1737-1989-F, Yayasan Badan Penerbit PU, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. Anonim, 1996, Superpave Mix Design, Superpave Series No.2 (SP-2), Asphalt Institute. Anonim, 1993, Mix Design Methods for Asphalt Concrete and Other Hot-Mix Types, Manual Series No.2 (MS-2), 6th Edition Asphalt Institute. Ahmad, N.S., 2000, Ekstrak Bitumen Aspal Buton Mikro sebagai Salah Satu Alternatif Perbaikan Sifat Aspal Minyak Produksi Pertamina, Tesis S-2, Magister Sistem dan Teknik Transportasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. (tidak dipublikasikan) Brown, S.F., dan Brunton, J.M., 1984, An Introduction to the Analytical Design of Bituminous Pavement, 2th Edition, University of Nottingham. Dairi, G., dan James., 1991, Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pemanfaatan Asbuton sebagai Perkerasan Jalan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Prasarana Jalan, Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. Dairi, G., dan Arifin, Z., 1993, Studi Karakteristik Beton Aspal Diuji dengan Static Indirect Tensile, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Prasarana Jalan, Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. Dewantoro, I., Subagio, B.S, dan Karsaman, R.H., 2001, Kajian Nilai Modulus Elastis Perkerasan Lentur Hasil Pengukuran Alat GH dan UMATTA serta Perhitungan Metode Shell dan Asphalt Institute, Simposium ke-4 Forum Studi Transportasi antar Perguruan Tinggi (FSTPT), Universitas Udayana, Bali. Giyanto, N., 1993, Penelitian Pengaruh Variasi Gradasi Agregat Kasar pada Beton Aspal terhadap Modulus Kekakuan dan Koefisien Kekuatan Relatif,
213
Tugas Akhir, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. (tidak dipublikasikan) Nasution, A. H., 1994, Pengkajian Modulus Elastisitas Perkerasan Beraspal Campuran Panas di Laboratorium, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Prasarana Jalan, Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. Kennedy, T.W., 1996, The Bottom Line: Superpave System Works, The Superpave Asphalt Research Program, The University of Texas at Austin. K.B. de Vos., 1995, Universal Testing Machine (UTM), Reference Manual, Industrial Process Controls Ltd, Australia. Mulyadi, M., Samosir, B., Tarmedi, Sutrisno, Budjang, Suryana, O., dan Herman., 2000, Pengkajian Kinerja Perkerasan Lentur Secara Analitis, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Prasarana Jalan, Departemen Kimpraswil, Bandung. Robert, F.L., Kandhal, P.S., Lee, D.Y., Brown, E.R., dan Kennedy, T.W., 1991, Hot Mix Asphalt Material, Mixture Design and Construction, Napa Education Foundation Lanham, Maryland. Soedjatmiko, A.E.T., 1999, Karakterisasi Modulus Lapis Aspal untuk Kondisi Klimatik di Indonesia, Tesis S-2, Magister Sistem dan Teknik Jalan Raya, Institut Teknologi Bandung, Bandung (tidak dipublikasikan). Walpole, R.E., dan Myers, R.H., 1993, Probability and Statistics for Engineers and Scientists, 5th Edition, Macmillan Publishing Company, a division of Macmillan, Inc., United States of America. Yang, N.C., 1972., Design of Functional Pavements, McGraw-Hill, Inc., United States of America. Yoder, E.J., dan Witczak, M.W., 1975, Principle of Pavement Design, 2nd Edition, John Wiley & Sons Inc., Canada. Zamhari, K.A., H, Madi., Yamin, A., Lawalata, GM., Aristono, T., Arifin, Z., R, Tuti., S, Dodi., Paidjo, Firdaus, J., dan S, Bongsu., 2000, Penelitian Berbagai Campuran Aspal untuk Iklim Tropis di Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Prasarana Jalan, Departemen Kimpraswil, Bandung
214
PENGARUH KOMPOSISI ALKALI AKTIVATOR TERHADAP KUAT TEKAN MORTAR GEOPOLIMER BARBAHAN DASAR ABU TERBANG Medi Tikara1, Andi Arham Adam2, I Wayan Suarnita3 ¹ ² 3 Universitas Tadulako, Palu Indonesia Email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menentukan komposisi alkali aktivator yang menghasilkan kuat tekan optimum untuk mortar geopolimer berbahan dasar abu terbang. Dalam penelitian ini digunakan Abu Terbang tipe F dari PLTU Mpanau dan aktivator yang digunakan adalah Sodium Silikat (Na2SiO3) dan Sodium Hidroksida (NaOH). Benda uji yang dibuat adalah mortar berbentuk kubus dengan ukuran 50 x50 x 50 mm dengan ratio massa antara abu terbang dengan pasir adalah 1 : 2,75 dan rasio massa air terhadap solid (w/s) adalah 0,35. Variasi dosis aktivator yang digunakan adalah 25%, 40% dan 55% dengan perbandingan Sodium Silikat terhadap Aktivator (W/A) sebesar 0; 0,3; 0,5; 0,7 dan 1. Pengujian kuat tekan mortar dilakukan pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari. Hasil pengujian kuat tekan menunjukkan bahwa kuat tekan mortar geopolimer yang paling besar serta kuat tekan yang optimum (sudah bisa digunakan sebagai elemen struktur) adalah mortar dengan komposisi dosis 55% dan W/A = 0,5 menghasilkan kuat tekan sebesar 24,72MPa. Kata-kata kunci : Abu terbang, alkal`i aktivator, dosis, geopolimer, kuat tekan
PENDAHULUAN Seiring dengan maraknya pembangunan fisik, kebutuhan akan beton serta mortar semakin meningkat, karena pada umumnya beton dan mortar menggunakan bahan pengikat berupa semen portland. Namun belakangan ini semen portland mulai mendapatkan sorotan dari kalangan pecinta lingkungan, hal ini disebabkan oleh industri semen portland menjadi salah satu penyumbang emisi gas karbon dioksida (CO2) terbesar selain penggunaan BBM. Penggantian sejumlah bagian semen dalam pembuatan beton dan mortar, atau secara total menggantinya dengan bahan lain yang lebih ramah lingkungan menjadi solusi yang lebih menjanjikan untuk mengatasi masalah besarnya emisi gas karbondioksida dari industri semen portland. Salah satu solusi dari permasalahan tersebut adalah penggunaan limbah abu terbang (fly ash) sebagai bahan utama pengganti semen. Abu terbang merupakan limbah dari industri Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berupa hasil dari sisa pembakaran batu bara.
215
16
Pada tahun 1978 seorang ilmuwan Prancis, Prof. Joseph Davidovits adalah orang yang memperkenalkan istilah yang disebut Geopolimerisasi, yaitu reaksi cairan alkali dengan silikon dan aluminium dalam bahan sumber geologi atau bahan limbah seperti fly ash dan abu sekam padi. Geopolimer sendiri terbentuk dari rekasi kimia aluminium dan silikon sebagai bahan kimia dasar yang disebut polimerisasi anorganik (inorganic polymerization) yang hasilnya sebuah benda padat menyerupai beton atau mortar. Limbah seperti abu terbang, dapat digunakan sebagai material dasar untuk membuat beton atau mortar geopolimer. Dengan adanya teknologi geopolimer ini dapat membantu mereduksi limbah abu terbang sehingga menjadi bahan yang bermanfaat serta memiliki nilai jual. Selain itu penggunaan abu terbang sebagai bahan dasar beton atau mortar juga dapat mengurangi kadar karbon dioksida di atmosfer karena dapat mengurangi produksi semen portland atau bahkan dapat menggantikan produksi semen portland. TINJAUAN PUSTAKA Geopolimer adalah sebuah senyawa silikat alumino anorganik yang disintesiskan dari bahan–bahan produk sampingan seperti fly ash (abu terbang), abu kulit padi (rice husk ash) dan lain-lain, yang banyak mengandung silikon dan aluminium (Davidovits, 2008 dalam Prasetio dkk. 2012). Mortar geopolymer merupakan produk geosintetik dimanaa reaksi pengikatan yang terjadi adalah reaksi polimerisasi. Dalam reaksi polimerisasi ini unsur aluminium dan silikat merupakan unsur yang mempunyai peranan penting dalam
membuat
ikatan polimer (Davidovits, 1994). Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan digunakan fly ash agar terbentuk ikatan polimer.
Gambar 1 Ikatan Polimerisasi yang Terjadi pada Beton/Mortar Geopolimer (Sumber : www.geopolymer.org)
216
Gambar 2
Ikatan yang Terjadi pada Beton/Mortar Memen (Kiri) dan Ikatan yang Terjadi pada Beton/Mortar Geopolymer (Kanan) (Sumber : www.geopolymer.org)
Untuk membuat campuran mortar geopolimer dibutuhkan bahan kimia berupa larutan sodium silikat (waterglass) dan sodium hidroksida sebagai aktivator. Sodium silikat dan sodium hidroksida digunakan sebagai alkaline aktivator (Hardjito dkk, 2004). Sodium silikat atau waterglass mempunyai fungsi untuk mempercepat reaksi polimerisasi. Sedangkan sodium hidroksida berfungsi untuk mereaksikan unsur-unsur Al dan Si yang terkandung dalam fly ash sehingga dapat menghasilkan ikatan polimer yang kuat.
Gambar 3 Kuat Tekan Mortar Geopolimer Berbahan Dasar Abu Terbang dengan Suhu Perawatan 800 C dan Durasi 20 Jam (Sumber : Adam, 2009)
217
METODE PENELITIAN Bahan dasar yang digunakan untuk membuat murtar geopolimer berupa abu terbang (fly ash) yang diambil dari PLTU Mpanau. Berasarkan hasil pemeriksaan komposisi kimia dalam fly ash seperti pada Tabel 1 di bawah menunjukkan bahwa fly ash yang digunakan masuk dalam fly ash kelas F dengan kandungan kalsium yang rendah. Dalam penelitian ini aktivator yang digunakan adalah larutan sodium silikat (waterglass) dan larutan sodium hidroksida (NaOH) dengan konsentrasi 10M. Dengan rasio fly ash : pasir adalah 1:2,75 dengan perbandingan water/solid (w/s) = 0,35. Dimana wwater/solid (w/s) merupakan perbandingan jumlah berat padatan yang terkandung dalam fly ash, sodium silikat serta sodium hidroksida dengan jumlah berat aii yang terkandung dalam sodium silikat, sodium hidroksida serta air tambahan. Tabel 1 Kandungan Kimia Abu Terbang yang Digunakan No Parameter 1 SiO2 2 Fe2O3 3 Al2O3 4 CaO 5 K2O 6 SO3 7 TiO2 8 MnO 9 Bahan Lain Total
Fly Ash (%) 55,54 23,76 14,02 2,02 1,58 1,3 0,92 0,291 0,5559 99,9869
Detail mix serta prosedur yang dipakai dalam melakukan penelitian ini iadopsi dari Adam (2009) serta
SNI 06-6825-2002, dengan menggunakan 2
variasi komposisi aktivator, yaitu : 1.
Dosis aktivator : persentase perbandingan massa antara aktivator dengan fly ash.
2.
Waterglass/aktivator (W?A) : perbandingan massa antara sodium silikat atau waterglass (Na2SiO3) dengan aktivator (Na2SiO3 + NaOH). Notasi benda uji yang digunakan untuk mortar geopolimer berbahan dasar
abu terbang diberikan pada Gambar 4 berikut :
218
* NS = Mortar Geopolimer Berbahan dasar Abu Terbang dengan sodium silikat dan sodium hidroksida sebagai aktivator * N = Mortar Geopolimer Berbahan dasar Abu Terbang dengan sodium hidroksida sebagai aktivator * S = Mortar Geopolimer Berbahan dasar Abu Terbang dengan sodium silikat/waterglass sebagai aktivator
(W/A) Waterglass / Alkali Aktivator
NS55-0,5 Dosis Aktivator
(
)
Fly Ash X 100% Aktivator
Gambar 4 Notasi Benda Uji untuk Mortar Geopolimer Berbahan Dasar Abu Terbang
Dalam penelitian ini, berdasarkan variabel yang ditentukan maka dibuat variasi dosis aktivator mulai dari 25%, 40% dan 55% dengan rasio waterglass/aktivator (W/A) antara 0; 0,3; 0,5; 0,7 dan 1 dangan total 15 variabel atau percobaan. Untuk perawatan (curing) benda uji dilakukan dengan memanaskan benda uji yang sudah dibungkus dengan cling wrap dimasukkan dalam oven pada suhu 1000C selama 20 jam. Kemudian setelah proses perawatan benda uji selesai lalu benda uji di uji kuat tekan dengan umur mortar 3, 7, 14 dan 28 hari. Berikut adalah tabel mix desain yang menunjukkan variasi dosis dan rasio waterglass/aktivator dari percobaan yang akan dilakukan. Tabel 2
Variabel Dosis serta Modulus Aktivator
Aktivator yang Digunakan NaOH
NaOH + Na2SiO3
Tabel 3
Komposisi Aktivator Dosis Aktivator (%) Na2SiO3/Aktivator 25 0 40 0 55 0 25 0,3 40 0,3
Variabel Dosis serta Modulus Aktivator (Lanjutan)
Aktivator yang Digunakan NaOH + Na2SiO3
Na2SiO3
219
Notasi Variabel Penelitian N25-0 N40-0 N55-0 NS25-0,3 NS40-0,3
Notasi Variabel Penelitian NS55-0,3 NS25-0,5 NS40-0,5 NS55-0,5 NS25-0,7 NS40-0,7 NS55-0,7 NS25-1 NS40-1 NS55-1
Komposisi Aktivator Dosis Aktivator (%) Na2SiO3/Aktivator 55 0,3 25 0,5 40 0,5 55 0,5 25 0,7 40 0,7 55 0,7 25 1 40 1 55 1
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil keseluruhan dari pengujian kuat tekan mortar geopolimer berbahan dasar abu terbang serta mortar semen dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah.
Gambar 5 Kuat Tekan Mortar Geopolimer untuk Setiap Variasi Komposisi Alkali Aktivator dan Mortar Semen
Hasil Uji Kuat Tekan Mortar Geopolimer dengan Dosis Aktivator yang Berbeda Hasil pengujian kuat tekan mortar geopolimer dengan dosis aktivator yang berbeda untuk setiap variasi W/A (waterglass/aktivator) pada mortar umur 28 hari dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah.
Gambar 6 Hubungan Antara Dosis Aktivator dengan Kuat Tekan Mortar Geopolimer pada Umur 28 Hari
220
Dari Gambar 6 di atas dapat dilihat kuat tekan mortar geopolimer pada umur 28 hari dengan 55% kuat tekan dari mortar geopolimer juga semakin bertambah dan peningkatan yang paling signifikan terjadi pada mortar dengan variasi W/A = 0,5 yaitu 24,72 MPa dimana pada mortar dengan W/A = 0,5 tersebut selain menunjukkan peningkatan kuat tekan yang signifikan, peningkatan kuat tekannya terhadap dosis aktivator juga cenderung konstan atau linier. Hal ini menunjukkan bahwa dosis dari aktivator memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap kuat tekan mortar geopolimer, karena dengan meningkatkan dosis aktivator berarti juga meningkatkan kadar Na2O yang terdapat pada sodium hidroksida dan sodium silikat serta meningkatkan kadar SiO2 yang terdapat pada sodium silikat. Dimana Na2O dan SiO2 tersebut berpengeruh terhadap reaksi polimerisasi yang terjadi. Hasil Uji Berbeda Hasil
Kuat Tekan Mortar Geopolimer dengan Variasi W/A yang pengujian
kuat
tekan
mortar
geopolimer
dengan
W/A
(waterglass/aktivator) yang berbeda untuk setiap variasi dosis aktivator pada mortar umur 28 hari dapat dilihat pada Gambar 7 di bawah.
Gambar 7 Hubungan Antara W/A (Waterglass/Aktivator) dengan Kuat Tekan Mortar Geopolimer pada Umur 28 Hari
Dari Gambar 7 di atas dapat dilihat kuat tekan mortar geopolimer pada umur 28 hari dengan W/A = 0,5 menghasilkan kuat tekan hingga 24,72 MPa pada dosis 55%, dan kuat tekan dari mortar kemudian menurun pada W/A = 0,7 dengan kuat tekan paling besar adalah 21,84 MPa untuk dosis 55% kemudian kuat tekan mortar geopolimer semakin menurun hingga 0 MPa untuk dosis 25% dan paling
221
tinggi 1,93 MPa untuk dosis 40% pada W/A = 1. Sehingga dari gambar 7 di atas dapat dilihat bahwa rasio W/A yang optimum digunakan adalah W/A = 0,5-0,7 yang menghasilkan kuat tekan optimum. Hal
ini
menunjukkan
bahwa
W/A
(waterglass/aktivator)
juga
mempengaruhi kuat tekan mortar geopolimer, karena dengan meningkatkan rasio W/A dari campuran mortar geopolimer berarti sodium silikat yang digunakan dalam aktivator akan semakin banyak sehingga meningkatkan jumlah SiO2 dalam aktivator dimana unsur ini mempunyai peranan untuk mempercepat terjadinya reaksi geopolimerisasi pada unsur silika dan aluminium yang terkandung di dalam fly ash sehingga menghasilkan ikatan polimerisasi yang kuat. Namun semakin tinggi rasio W/A yang digunakan dapat mengurangi kuat tekan dari mortar geopolimer itu sendiri, hal ini terlihat jelas pada Gambar 7 di atas yang menunjukkan semakin rendah atau tingginya rasio W/A yang digunakan hingga melewati batas optimum dapat menghasilkan kuat tekan mortar geopolimer yang rendah. Hasil Uji Mortar
Kuat Tekan Mortar Geopolimer Dosis 25% terhadap Umur
Kuat Tekan (MPa)
30
25.87
25
27.60
21.87
N25-0
20 15.73
15 10
NS25-0,3 0.00 0.00 0.00 0.15 0.00
5
0 0
7
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
0.00 0.00 0.00 0.15 0.00
14
NS25-0,5
0.00 0.00 0.10 0.00 0.00 21
28
NS25-0,7 S25-1
35
Mortar Semen
Umur (Hari)
Gambar 8 Hubungan Antara Umur dengan Kuat Tekan Mortar Semen dan Mortar Geopolimer pada Dosis 25% dan W/A = 0-1
Hasil pengujian kuat tekan untuk mortar geopolimer dengan dosis aktivator 25%, untuk W/A 0; 0,3; 0,5; 0,7 dan 1 pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari dapat dilihat pada Gambar 8 di atas. Dari hasil pengujian didapatkan kuat tekan untuk W/A = 0; 0,3 dan 1 pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari semuanya sebesar 0 MPa dan tidak mengalami peningkatan sama sekali. Kemudian untuk W/A = 0,5
222
pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari masing-masing sebesar 0, 0, 0 dan 0,1 MPa. Kemudian untukl W/A = 0,7 pada umur 3, 7, 14 dan 28 hari masing-masing sebesar 0,15; 0,15; 0 dan 0 MPa. Gambar 4.8 di bawah menunjukkan bahwa pada dosis aktivator 25% dengan W/A = 0; 0,3; 0,5 dan 1 menghasilkan kuat tekan yang sangat kecil bila dibandingkan dengan W/A = 0,7 dan hingga 28 hari kuat tekannya sedikit meningkat. Walaupun kuat tekan yang dihasilkan dengan W/A = 0,7 juga sangat kecil, hal ini menunjukkan bahwa dengan dosis 25% tidak menghasilkan kuat tekan yang baik karena unsur-unsur pereaksi dalam aktivator seperti Na2O dan SiO2 sangat kurang untuk membentuk reaksi polimerisasi walaupun dengan suhu perawatan yang cukup tinggi 1000C dan durasi 20 jam. Pada W/A = 0,7 terdapat sedikit kuat tekan, hal ini disebabkan karena unsur SiO 2 yang mencapai batas optimum untuk melakukan reaksi polimerisasi dalam mortar geopolimer walaupun jumlahnya masih sedikit sehingga sedikit menghasilkan kuat tekan. Hasil Uji Mortar
Kuat Tekan Mortar Geopolimer Dosis 40% terhadap Umur
30 Kuat Tekan (MPa)
25.87 25
27.60
21.87
20
17.28 15.73 15
16.32
10
12.16 12.16
5
3.92 4.56 1.40 0.60 0.87 0.60 7
0
0
N40-0
17.36
17.44 15.36
NS40-0,3
13.76
NS40-0,5
5.52 1.45 1.07 14
NS40-0,7
5.68 1.55 1.93 21
28
S40-1
Mortar Semen 35
Umur (Hari)
Gambar 9 Hubungan Antara Umur dengan Kuat Tekan Mortar Semen dan Mortar Geopolimer pada Dosis 40% dan W/A = 0-1
Hasil pengujian kuat tekan untuk mortar geopolimer dengan dosis aktivator 40% dengan W/A = 0-1 dapat dilihat pada Gambar 9 di atas. Untuk W/A = 0 kuat tekan yang dihasilkan justru menurun pada umur 7 hari, yaitu 0,6 MPa dan naik kembali pada umur 14 dan 28 hari menjadi 1,55 MPa. Kemudian untuk
223
W/A = 0,3 menunjukkan kenaikan yang tidak signifikan mulai dari umur 3 sampai 28 hari dengan kuat tekan hingga 5,68 MPa, untuk W/A = 0,5 juga menunjukkan kenaikan yang tidak terlalu signifikan mulai dari umur 3 sampai 28 hari dengan kuat tekan hingga 15,35 MPa, untuk W/A = 0,7 juga menunjukkan kenaikan yang tidak terlalu signifikan dan pada umur 7 hari kuat tekannya justru menurun hingga 16,32 MPa dan berangsur naik kembali pada umur 14 dan 28 hari dengan kuat tekan hingga 17,44 MPa, dan untuk W/A = 1 juga menunjukkan menunjukkan kenaikan yang tidak terlalu signifikan mulai dari umur 3 sampai 28 hari dengan kuat tekan hingga 1,93 MPa. Hal ini menunjukkan bahwa dengan dosis 40% sudah mulai menghasilkan kuat tekan yang cukup baik, pertambahan kuat tekan dari mortar geopolimer yang tidak terlalu signifikan juga menunjukkan bahwa unsur-unsur pembentuk reaksi polimer dalam mortar geopolimer sudah
bereaksi secara penuh pada saat
0
dikeluarkan dari oven dengan suhu 100 C dan durasi 20 jam, sehingga pada umur 3 hari hingga 28 hari tidak menunjukkan peningkatan kuat tekan yang signifikan. Hasil Uji Mortar
Kuat Tekan Mortar Geopolimer Dosis 55% terhadap Umur
30
Kuat Tekan (MPa)
25.87 25
21.68 21.87 20.88 17.68 18.96 15 15.73
24.00
20
12.48 12.48
10
27.60 24.72 21.84
N55-0
20.32
NS55-0,3
14.24
13.92
NS55-0,5 NS55-0,7
3.87 3.33
5 0
0.40 0
2.67 0.27
0.27 7
3.87 0.60
14
21
28
S55-1
Mortar Semen 35
Umur (Hari)
Gambar 10 Hubungan Antara Umur dengan Kuat Tekan Mortar Semen dan Mortar Geopolimer pada Dosis 55% dan W/A = 0-1
Hasil pengujian kuat tekan untuk mortar geopolimer dengan dosis aktivator 55%dengan W/A = 0-1 dapat dilihat pada Gambar 10 di atas. Untuk W/A = 0 kuat tekan yang dihasilkan justru menurun pada umur 7 sampai 14 hari hingga 2,67 MPa dan naik kembali pada umur 28 hari menjadi 3,87 MPa. Kemudian untuk W/A = 0,3 menunjukkan kenaikan yang tidak signifikan mulai 224
dari umur 3 sampai 28 hari dengan kuat tekan hingga 14,24 MPa, untuk W/A = 0,5 juga menunjukkan kenaikan yang tidak terlalu signifikan mulai dari umur 3 dan justru menurun pada 7 hari sebesar 20,88 MPa dan naik kembali pada umur 28 hari dengan kuat tekan hingga 24,72 MPa, untuk W/A = 0,7 juga menunjukkan menunjukkan kenaikan yang tidak terlalu signifikan mulai dari umur 3 sampai 28 hari dengan kuat tekan hingga 21,84 MPa dan untuk W/A = 1 juga menunjukkan kenaikan yang tidak terlalu signifikan mulai dari umur 3 dan justru menurun pada 7-14 hari sebesar 0,27 MPa dan naik kembali pada umur 28 hari dengan kuat tekan hingga 0,6 MPa. Hal ini menunjukkan bahwa dengan dosis 55% sudah bisa menghasilkan kuat tekan yang optimum (dalam hal ini optimum berarti sudah bisa digunakan sebagai elemen struktural), pertambahan kuat tekan dari mortar geopolimer yang tidak terlalu signifikan juga menunjukkan bahwa unsur-unsur pembentuk reaksi polimer dalam mortar geopolimer sudah bereaksi secara penuh pada saat dikeluarkan dari oven dengan suhu 1000C dan durasi 20 jam, sehingga pada umur 3 sampai 28 hari tidak menunjukkan peningkatan kuat tekan yang signifikan KESIMPULAN Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : Dari hasil pengujian kuat tekan mortar geopolimer berbahan dasar abu terbang, komposisi aktivator yang dapat menghasilkan kuat tekan yang optimum (sudah bisa digunakan untuk bahan konstruksi struktural) adalah komposisi aktivator dengan dosis aktivator 40% dengan W/A = 0,5-0,7 dan dosis aktivator 55% dan W/A = 0,3-0,7 dengan kuat tekan mulai dari 14,24 MPa hingga 24,72 MPa. Dosis aktivator yang baik digunakan untuk menghasilkan kuat tekan mortar geopolimer yang baik adalah dosis 40% - 55%. W/A (Waterglass/Aktivator) yang baik digunakan untuk menghasilkan kuat tekan mortar geopolimer yang optimum adalah W/A = 0,5 – 0,7 dengan syarat dosis aktivator yang digunakan minimal 40%. Dari hasil pengujian kuat tekan mortar geopolimer berbahan dasar abu terbang, dengan hanya menggunakan sodium hidroksida sebagai aktivator 225
hanya dapat menghasilkan kuat tekan sebesar 3,87 MPa dengan komposisi dosis aktivator 55% dan W/A = 0. Dari hasil pengujian kuat tekan mortar geopolimer berbahan dasar abu terbang, dengan hanya menggunakan sodium silikat sebagai aktivator hanya dapat menghasilkan kuat tekan sebesar 1,93 MPa dengan komposisi dosis aktivator 40% dan W/A = 1. DAFTAR PUSTAKA Adam A.A. (2009). Strength and Durability Properties of Alkali Activated Slag and Fly Ash-Based Geopolymer Concrete. Thesis. (Unpublished). RMIT University. Melbourne, Australia. Badan Standar Nasional, SNI 03-6825-2002. Metode Pengujian Kekuatan Tekan Mortar Semen Portland Untuk Pekerjaan Sipil, Jakarta Davidovits, J. (1994b). Properties of Geopolymer Cements, Proceedings of the 1st International Conference on Alkaline Cements and Concretes, Kiev State Technical University, Kiev, Ukraine, pp.131-149 Hardjito, D. and Rangan, B.V. (2004). Influence Of Aggregate On The Microstructure Of Geopolymer. Curtin University of Technology. Perth, Australia. Jaarsveld, v. J.G.S., Deventer, v. J.S.J., and Lukey, G.C. (2002). The Characterisation Of Source Materials In Fly Ash-Based Geopolymers. University of Melbourne, Australia. Pontoh, S. (2009). Analisis Kuat Tekan Beton dengan Aditif Kapur dan Fly Ash Ex. PLTU MPanau. Tugas Akhir. (Tidak Diterbitkan). Universitas Tadulako, Palu. Prasetio, P.P., Kartadinata G., Hardjito D. dan Antoni (2012). Karakteristik Mortar dan Beton Geopolimer Berbahan Dasar Lumpur Sidoarjo. Skripsi. Universitas Kristen Petra, Surabaya. http://www.geopolymer.org/applications/introduction_developments_and_applica tions_in_geopolymer_2, diakses 16 Februari 2013 http://www.geopolymer.org/chemical structure and applications.htm, diakses 13 Februari 2013
226
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEEFEKTIFAN SISTEM PENJAMINAN MUTU PADA PERGURUAN TINGGI Nirmalawati Fakultas Teknik Universitas Tadulako Palu Email :
[email protected]
ABSTRAK Tercapai keefektifan dalam pelaksanaan penjaminan mutu, merupakan salah satu bentuk keberhasilan perguruan tinggi dalam mengelola sumber daya yang dimiliki secara optimal. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana faktor-faktor kapabilitas kepemimpinan, komitmen dosen terhadap lembaga, akuntabilitas lembaga, kinerja tim, dan budaya mutu berpengaruh terhadap keefektifan sistem pelaksanaan penjaminan mutu. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kuantitatif, bersifat deskriptif-korelasional. Populasi penelitian semua dosen pada universitas negeri maupun swasta, jumlah sampel penelitian diambil dengan teknik proporsional random sampling dan menggunakan tabel yang disusun oleh Krejcie dan Cohran. Pengumpulan data menggunakan teknik penyebaran angket kepada responden. Teknik analisis data digunakan SEM (Structural Equation Modelling) dan diselesaikan dengan bantuan software PLS (Partial Least Square). Hasil penelitian menyatakan bahwa (1) gambaran kapabilitas kepemimpinan, komitmen dosen terhadap lembaga, akuntabilitas lembaga, budaya mutu, dan kinerja tim pada universitas tersebut keseluruhan berkategori baik; (2) komitmen dosen, akuntabilitas lembaga, kinerja tim, dan budaya mutu berpengaruh langsung terhadap keefektifan pelaksanaan penjaminan mutu; sedangkan kapabilitas kepemimpinan tidak memiliki pengaruh langsung terhadap keefektifan sistem penjaminan mutu. Kata kunci: Keefektifan, penjaminan mutu, akuntabilitas
PENDAHULUAN Proses penjaminan mutu di suatu perguruan tinggi merupakan kegiatan mandiri, sehingga proses tersebut dirancang, dijalankan dan dikendalikan sendiri oleh perguruan tinggi tanpa campur tangan dari pemerintah. Adapun landasan juridis dari penjaminan mutu pendidikan tinggi adalah (1) Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas No 20/2003), yaitu evaluasi pendidikan yang terdiri dari kegiatan pengendalian, penjaminan dan penetapan mutu pendidikan; (2) Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005, tentang Standar nasional pendidikan; (3) Rencana Strategis (Renstra) Diknas 2005-2009 yang diarahkan pada aspek, (a) pemerataan dan perluasan akses; (b) peningkatan mutu, relevansi dan daya saing; (c) tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik; (4) Kerangka strategi pengembangan perguruan tinggi jangka panjang atau Higher Education Long Term Strategy 2003-2010 (HELTS 2003-
227
17
2010), tentang ciri mutu pendidikan tinggi nasional dinyatakan secara khusus, yaitu penjaminan mutu (Quality Assurance). Adapun proses penjaminan mutu pendidikan tinggi di perguruan tinggi dijalankan melalui tahap-tahap yang dirangkai sebagai berikut, (a) perguruan tinggi menetapkan visi dan misinya, (b) berdasarkan visi dan misi tersebut, setiap program studi menetapkan visi dan misinya, (c) visi setiap program studi kemudian dijabarkan oleh program studi terkait menjadi serangkaian standar mutu pada setiap butir-butir mutu, (d) standar mutu dirumuskan dan ditetapkan dengan meramu visi perguruan tinggi (secara deduktif) dan kebutuhan stakeholders (secara induktif), sebagai standar maka rumusannya harus spesifik dan terukur yaitu mengandung unsur audience, behavior, competence, degree, (e) menetapkan organisasi dan mekanisme kerja penjaminan mutu, (f) melaksanakan penjaminan mutu dengan menerapkan manajemen kendali mutu, (e) perguruan tinggi mengevaluasi dan merevisi standar mutu melalui benchmarking (patok duga) secara berkelanjutan. Pelaksanaan penjaminan mutu pendidikan tinggi saat ini sudah menjadi isu global yang merupakan tuntutan masyarakat pada umumnya. Adapun prospektif dari pelaksanaan penjaminan mutu adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat agar mendapatkan hasil pendidikan yang sesuai dengan yang dijanjikan oleh penyelenggara pendidikan tinggi, memberikan kepuasan kepada stakeholders dan memberikan peningkatan mutu pendidikan tinggi. Di samping itu, penjaminan mutu juga memberikan kesempatan dan peluang terjadinya interaksi antara masyarakat kampus dengan masyarakat luas dalam berbagai kegiatan terutama kegiatan kekaryaan, melibatkan masyarakat dalam menilai tugas akhir mahasiswa, memperhatikan masukan dari masyarakat. Sedangkan kegiatan evaluasi yaitu, akreaditasi yang dilakukan oleh BAN-PT, EPSBED yang dilakukan oleh Dirjen Dikti, dan Sistem penjaminan mutu yang dilakukan secara mandiri oleh perguruan tinggi yang bersangkutan, diarahkan pada pencapaian mutu atau kualitas pendidikan tinggi. Kegiatan evaluasi tersebut dapat saling mendukung dan melengkapi. Beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan sistem penjaminan mutu perlu diketahui, terutama dalam pengembangan proses internal atau proses
228
manajemen. Seperti yang dinyatakan oleh Soetopo (2005) bahwa penjaminan mutu secara internal perguruan tinggi akan tertopang, jika dilaksanakan pengukuran keefektifan perguruan tingginya dengan memperhatikan proses internal organisasi di samping produktivitas organisasi dalam penilaiannya. Sehingga kajian tentang keefektifan sistem penjaminan mutu ditinjau dari sudut pandang yang menekankan pada pendekatan proses internal atau proses manajemen dalam pelaksanaan sistem penjaminan mutu. Pendekatan internal dengan mengukur kemampuan organisasi dan manajemen dalam mengubah faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan organisasi, antara lain meliputi faktor kapabilitas kepemimpinan, kinerja tim, akuntabilitas lembaga, komitmen dosen, dan budaya mutu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada beberapa universitas negeri maupun swasta, maka secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa universitas tersebut telah melaksanakan penjaminan mutu yang ditandai dengan telah memiliki lembaga penjaminan mutu. Tetapi secara umum masih terdapat beberapa kendala atau kekurangan dalam pelaksanaan penjaminan mutu pada beberapa universitas tersebut, antara lain (1) kapabilitas kepemimpinan dari para pemimpinnya masih perlu ditingkatkan, (2) rendahnya komitmen dari para pimpinan maupun dosen, (3) sikap mental dosen yang kurang suportif dalam melaksanakan proses pembelajaran atau masih perlu ditingkat kompetensinya, dan (4) rendahnya kualitas pelayanan terhadap mahasiswa, (5) rencana strategis (Renstra) atau rencana induk pengembangan (RIP) suatu perguruan tinggi, sebagian besar disusun hanya untuk memenuhi persyaratan akreditasi, (6) rendahnya persentase dosen yang membuat rencana pembelajaran berupa satuan acara perkuliahan (SAP). Dengan masih adanya kendala dalam melaksanakan penjaminan mutu, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran faktorfaktor:
kapabilitas
kepemimpinan,
komitmen
dosen
terhadap
lembaga,
akuntabilitas lembaga, kinerja tim, dan budaya mutu serta bagaimana faktor-faktor tersebut berpengaruh terhadap keefektifan sistem pelaksanaan penjaminan mutu. LANDASAN TEORI Keefektifan Sistim Penjaminan Mutu
229
Istilah keefektifan (efectiveness) mempunyai banyak pengertian seperti yang telah diungkapkan oleh para ahli sesuai dengan pandangan dan pendekatan masing-masing. Kata "efektif‖ berdasarkan beberapa literatur ada yang mengartikan dengan kesuksesan, kebaikan (goodness), hasil atau produk, kemanjuran, ketepatan sasaran, melakukan sesuatu yang benar, dan lain-lain. Keefektifan organisasi dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, yaitu segi pencapaian
tujuan,
kepemimpinan
yang
sistem
komunikasi
diterapkan,
proses
yang
berhasil,
manajemen
dalam
keberhasilan organisasi,
produktivitas, proses adaptasi yang terjadi dalam organisasi (Soetopo, 2001). Robbins (2003) mengemukakan bahwa untuk mengartikan keefektifan organisasi dapat melalui empat pendekatan, yaitu pendekatan pencapaian tujuan, pendekatan sistem, pendekatan konstituensi-strategis, dan pendekatan nilai-nilai bersaing. Kreitner dan Kinicki (1992) menyebutkan empat pendekatan multidimensional dalam mengukur kefektifan organisasi yaitu, pendekatan pencapaian tujuan, tersedianya sumber daya, proses internal dan kepuasan anggota. Pendapat dari Scheerens (1997) menjelaskan bahwa keefektifan organisasi dapat ditinjau dari tiga ilmu, yaitu ilmu ekonomi, ilmu organisasi, dan ilmu pendidikan. Keefektifan sekolah menurut ilmu ekonomi sama dengan hasil proses produksi dalam suatu organisasi, yaitu proses produksi dapat dikatakan sebagai perputaran atau perubahan (tranformasi) dari masukan (inputs) ke keluaran (outputs). Menurut teori organisasi, keefektifan sekolah dapat dilakukan dengan mempertimbangkan bermacam-macam kriteria, elemen atau aspek organisasi dari organisasi yang memiliki dampak pada upaya peningkatan performasi (kinerja). Menurut teori pendidikan, keefektifan sekolah merupakan hasil secara teknis, yaitu hasil jangka pendek (output), dan hasil jangka panjang (outcome). Keefektifan dapat dinyatakan sebagai output, yaitu pencapaian. Sedangkan efisiensi dapat didefinisikan sebagai tingkat output yang diinginkan dengan biaya yang mungkin paling rendah. Dengan kata lain, efisiensi adalah keefektifan dengan persyaratan tambahan bahwa hal ini dicapai dengan cara semurah mungkin (Scheerens & Bosker, 1997). Pengertian sistem Penjaminan mutu dari berbagai pendapat para ahli: Ariani (1999), Hedwig, R. & Polla, G. (2006), Darianto (2006), dan Usman (2006)
230
menyimpulkan bahwa sistem penjaminan mutu pendidikan tinggi adalah manajemen mutu yang memberikan jaminan kepuasan atau keyakinan kepada stakeholders. Sedangkan Piper (dalam Ekroman, 2002) mendefinisikan bahwa ‖Quality assurance, the total of those mechanism and procedures adopted to assure a given quality or the continued improvement of quality, which embodies the planning, defining, encouraging, assessing and control of quality‖. Pendapat tersebut menyatakan bahwa jaminan mutu merupakan mekanis dan prosedur total, untuk memberikan keyakinan mutu atau perbaikan mutu berkelanjutan, dengan perencanaan, definisi, memberi semangat, menilai dan mengontrol kualitas. Direktur jenderal Pendidikan Tinggi mengemukakan bahwa penjaminan mutu di perguruan tinggi merupakan strategi
untuk meningkatkan kualitas
perguruan tinggi di Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Higher Education long Term Strategy 2003-2010 (HELTS 2003-2010) yang dikeluarkan pada tanggal 1 April 2003, menguraikan bahwa ‖ Penjaminan mutu pendidikan tinggi di perguruan tinggi adalah proses penerapan dan pemenuhan standar mutu pengelolaan dan pendidikan tinggi secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga stakeholders (mahasiswa, orang tua, dunia kerja, pemerintah, dosen, tenaga penunjang, serta pihak lain yang berkepentingan) memperoleh kepuasan‖. Berdasarkan berbagai sudut pandang tentang keefektifan organisasi yang telah diuraikan di atas, maka pendekatan yang digunakan untuk mengukur keefektifan sistem penjaminan mutu adalah pendekatan proses internal atau proses manajemen dalam organisasi penjaminan mutu. Pendekatan proses internal atau proses manajemen yang dimaksudkan adalah suatu pendekatan yang digunakan untuk mengukur keefektifan sistem penjaminan mutu yang berfokus pada cara yang dibutuhkan untuk mencapai peningkatan mutu pendidikan tinggi. Adapun yang diukur adalah kemampuan organisasi dan manajemen penjaminan mutu dalam mengubah atau mengatur faktor-faktor atau komponen-komponen penentu keefektifan sistem penjaminan mutu perguruan tinggi. Rangkuman dari para ahli, antara lain: Hadiwiardjo & Wibisono (2000), Sallis (1993), Juran, MJ. (1993), dan Soetopo (2005) menyatakan bahwa untuk mengukur keefektifan sistem penjaminan mutu dengan menggunakan komponen proses penetapan standar, proses pemenuhan standar dan proses kontrol.
231
Komponen proses penetapan standar dijabarkan ke dalam indikator-indikator yang meliputi, perumusan tujuan, pengambilan keputusan. Komponen proses pemenuhan standar dijabarkan ke dalam indikator-indikator yang meliputi, kepemimpinan, mekanisme pemenuhan standar, kekuatan motivasi, sistem komunikasi. Komponen proses kontrol dijabarkan ke dalam indikator-indikator yang meliputi, evaluasi standar mutu, revisi standar mutu. Kapabilitas Kepemimpinan Menurut The New Grolier Webster International Dictionary of the English Language ―Capable‖ diartikan sebagai memiliki kemampuan (power) cukup, kompoten, memiliki ketrampilan, atau berkualitas. Menurut Karahasan (2000) dalam School Leadership Capabilities, menguraikan mengenai arti kapabilitas sebagai berikut, bahwa kapabilitas kepemimpinan adalah perilaku kepemimpinan yang meliputi kemampuan, ketrampilan, pengetahuan, kompetensi, kesanggupan, kecakapan, yang dimiliki pemimpin dan dikendalikan oleh karakterisitik yang berhubungan dengan kinerja sehingga dapat mempengaruhi bawahannya untuk mencapai tujuan. Adapun karakteristik yang dimaksud adalah sifat dan motivasi. Rangkuman dari berbagai pendapat mengenai pengertian dari kapabilitas kepemimpinan,
bahwa terdapat kesamaan dan perbedaan
dalam mengukur
mengenai kapabilitas kepemimpinan dalam pendidikan. Setelah dilakukan rekapitulasi didapatkan enam karakter pemimpin kapabel, yaitu: (1) pemimpin memiliki kemampuan memandang masa depan universitas (Rossow, 1990; Wiratman, 2002; Sagala, 2000; Sallis, 2006; Tampubolon, 2001); (2) pemimpin memiliki kemampuan profesionalitas pendidikan yang tinggi (Mulyasa, 2002; Sergiovani & Elliot, 1975; Scheerens, 1992; Foley & Conole, 2003; Tampubolon, 2001); (3) pemimpin lebih memfokuskan pada kegiatan pengajaran (Mulyasa, 2002; Sergiovani & Elliot, 1975; Scheerens, 1992); (4) pemimpin memiliki kemampuan mengendalikan mutu pengajaran dan memonitoring kemajuan belajar siswa (Tampubolon, 2001; Mulyasa, 2002; Sergiovani & Elliot, 1975; Scheerens, 1992; Nasution, 2001; (5) pemimpin memiliki kemampuan mendorong dan memotivasi tenaga pengajar untuk bekerja keras (Mulyasa, 2002; Sergiovani & Elliot, 1975; Scheerens, 1992; Tampubolon, 2001); dan (6) pemimpin memiliki
232
kemampuan memelihara kerjasama (Tampubolon, 2001; Mulyasa, 2002; Sergiovani & Elliot, 1975; Scheerens, 1992; Foley & Conole, 2003; Nasution, 2001; Sallis, 2006). Sehingga dapat disimpulkan bahwa kapabilitas kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki ketua atau pimpinan yang meliputi kemampuan memandang masa depan universitas, kemampuan dalam
menfokuskan
pada
kegiatan pengajaran, kemampuan professionalitas pendidikan yang tinggi, kemampuan mengendalikan dan memonitoring, kemampuan mendorong tenaga pengajar untuk bekerja keras, dan kemampuan memelihara kerjasama. Komitmen Organisasi Komitmen (commitment) diartikan sebagai janji, memenuhi janji, kesediaan, kepercayaan, dan ada pula yang memandang sebagai suatu sikap perilaku. Pendapat Glickman (1981) dan Deaux (1988) mengemukakan
seseorang
dianggap berkomitmen apabila ia bersedia mengorbankan tenaga dan waktunya secara relatif lebih banyak dari waktu yang telah ditetapkan baginya, terutama dalam usaha-usaha peningkatan pekerjaannya. Dengan demikian komitmen mencakup kepedulian, penggunaan waktu, penggunaan tenaga dan pemberian perhatian. Steers dan Porter (1983) menyatakan bahwa komitmen dipandang sebagai suatu sikap, yaitu suatu keadaan individu melibatkan diri dalam organisasi tertentu sekaligus mendukung tujuan-tujuan dari organisasi tersebut. Sikap dapat menghasilkan perilaku yang diinginkan. Dalam organisasi sikap bersifat penting karena mereka akan mempengaruhi perilaku (Stephen P. Robbins, 2003). Rangkuman pendapat para ahli, antara lain: Stoff (1995),Taylor (1994), Boone dan Johnson (dalam Usman, 2006), maka dapat disimpulkan bahwa komitmen adalah kesediaan dan sikap dari seseorang untuk menepati janji sebagai suatu kekuatan yang bersifat positif maupun negatif dari seseorang untuk melibatkan diri ke dalam organisasi. Sedangkan pengertian komitmen terhadap organisasi secara garis besar terdapat dua macam yaitu, pertama adalah afektif, normatif, dan continuance (berkelanjut) dari anggota organisasi atau pegawai; kedua adalah sikap anggota organisasi terhadap terhadap organisasi dan kehendak dari anggota organisasi. Serta variabel-variabel yang mempengaruhi komitmen
233
dosen terhadap lembaga terdiri adalahi: (1) kepercayaan yang teguh terhadap universitas; (2) keterlibatan para dosen untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan universitas; dan (3) loyalitas untuk tetap mempertahankan keanggotaannya di dalam universitas. Juga disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen dosen terhadap lembaga meliputi: (1) faktor personal; (2) faktor organisasi; dan (3) faktor bukan organisasi, misalnya tersedia / tidaknya alternatif pekerjaan yang lain. Sedangkan Dirjen Dikti (2003),menyatakan bahwa sistem penjaminan mutu agar dapat berjalan secara efektif, apabila memenuhi persyaratan, yaitu komitmen, perubahan paradigma, sikap mental para pelaku proses pendidikan serta pengorganisasian penjaminan mutu pendidikan tinggi di perguruan tinggi. Para pelaku proses pendidikan tinggi di suatu perguruan, baik yang memimpin maupun yang dipimpin harus memiliki komitmen yang tinggi untuk senantiasa menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan tinggi yang diselenggarakannya. Akuntabilitas Lembaga Echols & Shadil (1996) menjelaskan mengenai istilah ―akuntabilitas‖ dapat diterjemahkan sebagai suatu keadaan untuk dipertanggungjawabkan atau keadaan dapat dimintai pertanggungjawaban. LAN-RI (1997) menyatakan bahwa akuntabilitas adalah kewajiban untuk mempertanggungjawabkan atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang atau badan hukum atau pimpinan kolektif suatu organisasi kepada pihak yang memiliki atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Sedangkan Hamid (1991) dalam artikelnya berjudul ―accountability in the public service‖ menulis: ―accountability can be defined as the obligation to give answer and explanations, concerning one’s action’s and performance to those with right to require such answers and explanations‖. Pernyataan di atas mengatakan bahwa akuntabilitas berarti meminta individu dan organisasi bertanggungjawab atas kinerja yang diukur seobyektif mungkin. Rangkuman pengertian akuntabilitas lembaga dari beberapa ahli, antara lain: Gorton (1976), Neave (1985), Sibley (1992), Maxwell (1994), Newmann (1997), Craft (1994), McConnell (1981), Soehendro (1996), Jalal & Supriadi (2001),
234
Sheila Elwood (dalam Mardiasmo, 2002), dan Akdon (2006), disimpulkan bahwa akuntabilitas lembaga adalah akuntabilitas proses atau pertanggungjawaban proses penggunaan dan pelaksanaan prosedur-prosedur kerja atau tata kerja serta instrumen-instrumen kerja yang memadai. Yang meliputi mekanisme perencanaan prosedur kerja, pelaksanaan prosedur kerja, mekanisme penggunaan instrumen kerja, dan monitoring kesesuaian. Budaya Mutu Istilah Budaya ( Culture) berasal dari kata ― Colere‖ yang artinya segala daya dan upaya manusia untuk mengubah alam (Koentjaraningrat, 1994). Secara umum konsep tentang budaya dipahami secara berbeda-beda dan sampai saat ini belum ada kesepakatan dalam memahaminya , hal ini disebabkan oleh adanya kompleksitas dari budaya itu sendiri. Rangkuman
pendapat
dari
para
ahli:
Robbins
(2003),
Gibson,
Ivanichevich,dan Donally (1995), Dobson dan McNay (dalam Warner & Palfreyman, 1996), Owen (1995), Shein (1992), dan Indrajit & Djokopranoto (2006), menyatakan bahwa budaya organisasi adalah karkateristik atau gambaran kepribadian organisasi yang dapat berupa nilai-nilai, sikap, asumsi-asumsi, keyakinan, harapan, tradisi, norma bersama untuk mengontrol dan mengarahkan perilaku organisasi. Sedangkan Goetsch & davis (1994) menyatakan bahwa budaya mutu adalah sistem nilai organisasi yang mengahasilkan suatu lingkungan yang konduktif bagi pembentukan dan perbaikan mutu secara terus-menerus. Budaya mutu terdiri dari filosofi, keyakinan, sikap, norma, nilai, tradisi, prosedur dan harapan yang meningkatkan mutu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa budaya mutu adalah karakteristik atau gambaran kepribadian organisasi yang dapat berupa nilai-nilai, sikap, asumsiasumsi, keyakinan, harapan, tradisi, norma bersama yang menghasilkan lingkungan yang kondusif bagi pembentukan dan perbaikan mutu secara terusmenerus. Kinerja Tim Rifai & Basri (2005) menyimpulkan pengertian kinerja dari berbagai ahli manajemen yaitu: bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai seseorang
235
atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum dan tidak bertentangan dengan moral atau etika. Akdon (2006) mengatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja suatu organisasi dalam
rangka
mewujudkan
tujuan
strategik,
kepuasan
pelanggan
dan
kontribusinya terhadap lingkungan strategik. Tika (2005) Stoner (1978), Bernardin dan Russel (1993),Mahsun (2006), Handoko, Prawiro Suntoro (1999), Armstrong & Baron (1998) menjelaskan mengenai pengertian performance diartikan sebagai kinerja, hasil kerja atau prestasi kerja. Sementara itu pernyataan Robbins (1982) bahwa performansi atau kinerja menunjukkan efektivitas dan efesiensi dalam melaksanakan tugas. Memperhatikan uraian di atas, maka dapat disimpulkan tentang kinerja atau performansi (performance), bahwa kinerja atau performansi dapat diartikan sebagai prestasi kerja, pelaksanaan atau proses kerja, tingkat pencapaian kerja, unjuk kerja atau hasil kerja. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam menetapkan kinerja atau performansi diartikan sebagai proses atau pelaksanaan kerja. Hanafiah, dkk (1994) menyatakan bahwa tim adalah kumpulan orang-orang yang bekerja dalam suatu program yang sama. Tampubolon (2001) menyatakan bahwa tim kerjasama merupakan suatu strategi yang sangat efisien dan efektif dalam usaha peningkatan mutu perguruan tinggi secara berkelanjutan. Sallis (1993) menyatakan bahwa:
menunjukkan bahwa tim kerja dalam sebuah
organisasi merupakan komponen penting dari implementasi sistem mutu, mengingat tim kerja akan meningkatkan kepercayaan diri, komunikasi, dan mengembangkan kemandirian. Berdasarkan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tim peningkatan mutu adalah sekelompok orang yang menjadi kesatuan atau unit dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan berdasarkan komitmen untuk menciptakan, memelihara dan meningkatkan mutu secara berkesinambungan. Kreitner & Kinicki (1997) menyatakan bahwa ada delapan atribut dari tim yang berkinerja tinggi sebagai berikut, kepemimpinan partisipatif; berbagi tanggungjawab; kesejajaran tujuan; komunikasi yang tinggi; fokus pada masa
236
depan; fokus pada tugas; bakat kreatif; respon cepat.
Maka ditarik kesimpulan
bahwa penilaian kinerja tim adalah mengukur kemampuan tim dalam proses kerja atau pelaksanaan tugas. Adapun pengukuran kinerja tim tersebut dalam penelitian ini menggunakan delapan komponen tim yang berkinerja tinggi, sebagaimana yang diidentifikasi oleh Kreitner & Kinicki. METODE Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif, rancangan penelitian deskriptif-korelasional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua dosen yang terdaftar pada seluruh universitas negeri dan swasta di Jawa Timur. Teknik pengambilan sampel menggunakan cara proporsional random sampling dan besarnya sampel ditentukan berdasarkan tabel sampel yang disusun oleh Isaac dan Michael, dengan menggunakan taraf kepercayaan 95%. Pengumpulan data menggunakan satu jenis instrumen, yaitu kuesioner dan instrumen dalam penelitian ini telah diuji cobakan dan dinyatakan valid. Pengujian validitas dan reliablitas instrumen menggunakan bantuan program komputer SPSS versi 13.0 for windows. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model SEM (Structural Equation Modelling) dan dengan bantuan software Partial Least Square (PLS). PEMBAHASAN Berdasarkan hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa kapabilitas kepemimpinan, komitmen dosen terhadap lembaga, akuntabilitas lembaga, budaya mutu, dan kinerja tim yang dipersepsi oleh responden dengan kateori rata-rata baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa kapabilitas kepemimpinan, komitmen dosen terhadap lembaga, akuntabilitas lembaga, budaya mutu, dan kinerja tim pada seluruh universitas telah dilaksanakan dengan baik. Hasil analisis penelitian menemukan bahwa Kapabilitas kepemimpinan tidak dapat mempengaruhi secara langsung
keefektifan pelaksanaan sistem
penjaminan mutu, namun kapabilitas kepemimpinan hanya dapat mempengaruhi akuntabilitas lembaga atau mempengaruhi komitmen dosen. Selanjutnya akuntabilitas lembaga atau komitmen dosen dapat mempengaruhi keefektifan pelaksanaan sistem penjaminan mutu. Temuan ini sejalan dengan pendapat dari 237
Arnold & Feldman (1986), yang mengatakan bahwa salah satu penentu komitmen sebagai perilaku individual dipengaruhi oleh kepemimpinan. Hasil analisis penelitian berikutnya menunjukkan bahwa ada hubungan secara langsung antara komitmen dosen dengan keefektifan pelaksanaan sistem penjaminan mutu. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kepercayaan yang teguh, keterlibatan para dosen dan loyalitas yang dibangun oleh para dosen di universitas masing-masing akan diikuti semakin meningkatnya keefektifan sistim penjaminan mutu. Temuan ini sejalan dengan penelitian Mahsun (2006) menyatakan bahwa kinerja optimal dapat dicapai dengan memberikan rasa kepemilikan atas setiap tindakan pada individu-individu atau group, dimana rasa kepemilikan meningkatkan perilaku, tanggung jawab dan sikap. Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan secara langsung antara akuntabilitas lembaga dengan keefektifan pelaksanaan sistem penjaminan mutu. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi mekanisme perencanaan prosedur kerja, pelaksanaan prosedur kerja, mekanisme penggunaan instrumen kerja, dan monitoring kesesuaian kerja yang dibangun pimpinan universitas akan diikuti semakin tingginya keefektifan sistim penjaminan mutu. Hal ini senada dengan pernyataan LAN-RI (1997) bahwa akuntabilitas adalah mempertanggungjawabkan atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi kepada pihak yang memiliki atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan secara langsung antara
budaya mutu dengan keefektifan pelaksanaan sistem
penjaminan mutu. Hal ini menunjukkan bahwa semakin baik nilai-nilai, sikap, asumsi-asumsi, keyakinan, harapan, tradisi, norma bersama terhadap mutu akan diikuti semakin tingginya keefektifan sistim penjaminan mutu. Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan secara langsung antara kinerja tim dengan keefektifan pelaksanaan sistem penjaminan mutu. Hal ini menunjukkan bahwa semakin kuatnya kinerja tim akan diikuti semakin tingginya keefektifan sistim penjaminan mutu.
238
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) gambaran kapabilitas kepemimpinan, komitmen dosen terhadap lembaga, akuntabilitas lembaga, budaya mutu terhadap keefektifan pelaksanaan sistem penjaminan mutu memiliki kategori baik; (2) Makin tingginya komitmen dosen diikuti makin meningkatnya keefektifan sistim penjaminan mutu; (3) Makin meningkatnya akuntabilitas lembaga diikuti makin efektif sistem penjaminan mutu; (4) Makin baiknya budaya mutu diikuti makin efektif sistim penjaminan mutu; (5) Makin kuatnya kinerja tim diikuti makin efektif sistim penjaminan mutu; (6) Makin baiknya kapabilitas kepemimpinan diikuti makin efektif sistim penjaminan mutu asalkan disertai peningkatan akuntabilitas lembaga; dan (7) Makin baiknya kapabilitas kepemimpinan diikuti makin efektif sistim penjaminan mutu asalkan disertai kuatnya komitmen terhadap lembaga. Berdasarkan hasil kesimpulan di atas dapat disarankan sebagai berikut: (1) para pimpinan lembaga sertifikasi penjaminan mutu diharapkan memperhatikan komponen-komponen dalam keefektifan sistem penjaminan mutu; (2) BAN-PT dalam melaksanakan akreditasinya diharapkan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan sistem penjaminan mutu; (3) Dirjen dikti dan bagi para tim audit internal maupun eksternal dalam melakukan pengawasan dan pengendalian diharapkan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan sistem penjaminan mutu; (4) Para pimpinan universitas dalam melaksanakan penjaminan mutu perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan sistem penjaminan mutu; (5) Para civitas akademik dalam melaksanakan penjaminan mutu perlu meningkatkan komitmennya dalam melaksanakan sistem penjaminan mutu DAFTAR PUSTAKA Alma, B. & Hurriyati, R. 2008. Manajemen Corporate & Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan Fokus Pada Mutu & Layanan Prima.Bandung:Alfabeta. Cohran, W.G. 1974. Sampling Technique. New Delhi: Wiley Easter Preate Limited. Diknas. 2003. Pedoman Penjaminan Mutu (Quality Assurance) Pendidikan Tinggi. Jakarta: Dikti.
239
Ghozali, I. 2005. Structural Equation Modeling, Teori dan Konsep, & Aplikasi Dengan Program Lisrel 8.54. Semarang: Badan Penerbi Universitas Diponegoro. Goetsch, L. D. & Davis, B. S. 1997. Introduction to Total Quality. New Jersey: Prentice-Hall Inc. Hair & Anderson, B., dkk. 2006. Multivariate Data Analysis. Singapore: Pearson Prentice Hall. Hedwig, R. & Polla, G. 2007. Model Sistem Penjaminan Mutu & Proses Penerapannya di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hunt, D. S. & Morgan, M.R. 1994. Organizational Commitment: One of Many Commitment or Key Mediating Construct. Academy of Management Journal. Vol. 37.12. Juran, M. J. & Gryna, M. F. 1993. Quality Planning and Analysis. New York: McGraw-Hill, Inc. Karahasan, B. 2000. A Leadership Development Model for Principals, Assistant Principals and Leading Teachers in Victorian Schools. Victorian: Department of Education &Training by the Hay Group. Kuncoro, H. Z. S. 2002. Komitmen Organisasional, (http:// psikologi-komitmen organisasional., diakses 10 januari 2008). LAN-RI. 2001. Akuntabilitas and Good Governance. Jakarta: LANRI. Nirmalawati. 2009. Hubungan antara kapabilitas kepemimpinan, komitmen dosen, kompetensi dan akuntabilitas lembaga dengan kinerja lembaga dalam pelaksanaan penjaminan mutu. Disertasi. Malang: Program Pascasarjana, Universitas Negeri Malang. Rossow, L. F. 1990. The Principalship Demensions in Instructional Leadership. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-all, Inc. Sallis, E. 2006. Total Quality Management in Education. London: Kogan Page Education Management Series. Sukrisno. 2008. Hubungan Antara Responsibilitas Manajemen, Akuntabilitas Mutu Pelayanan, Budaya Mutu, Pembelajaran Organisasi, Kinerja Tim Dengan Keefektifan Sistem Penjaminan Mutu Pada Universitas Swasta di Surabaya. Disertasi. Malang: Program Pascasarjana, Universitas Negeri Malang. Tampupolon, P. D. 2001. Perguruan Tinggi Bermutu, Paradigma Baru Manajemen Pendidikan Tinggi Menghadapi Tantangan Abad ke-21. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
240
HUBUNGAN KREATIVITAS, MOTIVASI DAN KARAKTER INDIVIDU TERHADAP KEPEMIMPINAN PENANGGUNG JAWAB TEKNIK (PJT) INDUSTRI KONSTRUKSI DI INDONESIA (STUDI KASUS: KOTA PALU PROPINSI SULAWESI TENGAH) Tilaar, T.A.M.1, Selintung, M.2, Rahim, M.R.3, Nurdin, D.4 1
Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin 2 Professor Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin 3 Professor Jurusan Teknik Areitektur, Universitas Hasanuddin 4 Professor Jurusan Ekonomi Manajemen, Universitas Tadulako email :
[email protected]
ABSTRAK Industri konstruksi berkemampuan menyediakan dan menghasilkan infrastruktur di Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa industri konstruksi menjadi salah satu sub sektor ekonomi dan sebagai pembentuk modal tetap kegiatan ekonomi masyarakat (gross fixed capital formation). Mengelola proyek konstruksi di abad 21 membutuhkan pengetahuan dan gaya kepemimpinan yang berbeda. Karakter kepemimpinan harus sesuai dengan kebutuhan proyek yang unik seperti etika, kepercayaan yang diberikan, kejujuran, melaksanakan pekerjaan yang benar dan adil dan bertanggung jawab. Mengelola proyek yang unik sebagai bagian implementasi ilmu manajemen dalam manajemen proyek. Praktek manajemen terkait dengan filsafat, karena tanpa filsafat praktek manajemen adalah robot yang miskin kreativitas dan miskin motivasi serta miskin inovasi. Untuk proyek yang unik penyelesaian pekerjaan membutuhkan kreativitas. Selain kreativitas dibutuhkan pula motivasi untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik bagi industri konstruksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis keberhasilan industri konstruksi khususnya pada hubungan kreativitas, motivasi, karakter individu terhadap kepemimpinan PJT untuk keberhasilan usaha industri konstruksi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey, dengan melakukan pengambilan sampel dari populasi industri konstruksi skala kecil di kota Palu. Penelitian ini merupakan penelitian penjelasan dari persepsi responden (explanatory perceptional research). Analisis data menggunakan Structural Equational Modeling (SEM) dengan menggunakan paket program statistik SEM dan Statistical product and Service Solutions (SPSS). Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini adalah menemukan model kepemimpinan PJT industri konstruksi di Kota Palu Propinsi Sulawesi Tengah. Hasil penelitian ini dapat berkontribusi terhadap materi pembelajaran manajemen konstruksi di pendidikan keteknikan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat melengkapi dan memperkaya teori manajemen dalam pengelolaan industri konstruksi dan untuk para praktisi akan bermanfaat dalam merencanakan pengembangan usaha industri konstruksi dengan tantangan yang demikian pesatnya. Kata kunci: kreativitas, motivasi, karakter individu dan kepemimpinan, penanggung jawab teknik
PENDAHULUAN Industri konstruksi merupakan salah satu sub sektor bidang perekonomian yang penting dan strategi di Indonesia. Industri konstruksi ini menyediakan dan menghasilkan infrastruktur yang menjadi pembentuk modal tetap kegiatan ekonomi masyarakat (gross fixed capital formation). Salah satu obyek kegiatan
241
18
industri konstruksi adalah proyek konstruksi. Mengelola proyek konstruksi di abad 21 membutuhkan pengetahuan dan gaya kepemimpinan yang berbeda, Toor dan Ofori (2008). Karakter kepemimpinan harus sesuai dengan kebutuhan proyek yang unik seperti etika, kepercayaan yang diberikan, kejujuran, melaksanakan pekerjaan yang benar dan adil dan bertanggung jawab, Walker, B. L. & Walker, D. (2011). Mengelola proyek yang unik sebagai bagian implementasi ilmu manajemen dalam manajemen proyek. Praktek manajemen terkait dengan filsafat, karena tanpa filsafat praktek manajemen adalah robot, yang miskin kreativitas dan miskin motivasi serta miskin inovasi. Untuk proyek yang unik penyelesaian pekerjaan membutuhkan kreativitas, Aleinikof A.G. (2002). Selain kreativitas dibutuhkan pula motivasi untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik bagi industri konstruksi Thwala, W. D., Monese, L. N. (2007) Dengan demikian manajemen digunakan untuk mengatur orang orang yang memiliki pendidikan dan keahlian yang tinggi. Jika bekerja sendirian tidak akan menghasilkan produk yang optimal, apabila beberapa ahli yang memiliki pengetahuan dan keahlian berbeda untuk mengerjakan satu tujuan, maka kerjanya produktif dan hasilnya optimal, Druker (2001). Keberhasilan usaha di industri konstruksi ditentukan oleh model kepemimpinan yang memiliki karakter individu dengan sifat instrumental untuk keberhasilan usaha, sifat prestatif untuk dapat bekerja lebih baik, sifat keluwesan dalam hubungan kemitraan, sifat untuk mau bekerja keras, sifat kemampuan diri dalam bekerja, sifat untuk mau mengambil resiko, sifat yang mampu dalam mengendalikan diri, sifat inovatif untuk mendapatkan cara baru dalam penyelesaian pekerjaan dan sifat kemandirian dalam tanggung jawab pribadi. Apabila diperhatikan laporan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) 2012 dalam Natsir dkk. (2012), Tilaar (2013), postur industri konstruksi seperti berikut ini: Tabel 1 No. 1. 2. 3.
Struktur Industri Konstruksi
Jumlah Industri Konstruksi sesuai Grade Grade 2,3 dan 4 Grade 5 Grade 6 dan 7
Nasional 160.021 21.032 1.742
Propinsi Sulawesi Tengah 1.212 74 20
Kota Palu 191 31 13
Sumber: [12] dan [22]
242
Dengan memperhatikan sedemikian besar jumlah perusahaan industri konstruksi di Indonesia ataupun di propinsi Sulawesi Tengah dan kota Palu tentu memiliki sejumlah permasalahan. Masalah di Indonesia setiap tahun adalah jumlah perusahaan asing disektor konstruksi meningkat, lingkungan usaha di sektor konstruksi kurang kondusif, terjadi persaingan tidak sehat dan daya saing rendah Suraji, A. (2013). Dalam ilmu manajemen terdapat beberapa prinsip esensial yang bersifat filosofis yaitu manajemen adalah soal manusia sehingga dalam fungsi manajemen memungkinkan manusia didalamnya dapat bekerjasama, yaitu kekuatan yang ada dalam organisasi yang berbeda keahliannya menjadi satu sehingga relevan menghadapi tantangan dalam bisnis untuk manajemen bisnis. Dengan demikian ontology dari praktek manajemen adalah komunikasi dan tanggungjawab individual yang saling terkait satu sama lain dan tidak terlepaskan. Para ahli manajemen mengatakan bahwa manajemen adalah bagian dari liberal arts karena manajemen terkait dengan pengetahuan kebijaksanaan dan kepemimpinan. Kepemimpinan yang memiliki ketrampilan atau keahlian bidang teknik harus mampu memimpin sehingga keberhasilan untuk mengawal tiga constrains utama yaitu waktu, biaya dan mutu kerja. Industri konstruksi harus memiliki pemimpin yang mampu menjalankan kepemimpinan dengan baik sehingga dapat melaksanakan pekerjaan konstruksi atau proyek yang didefinisikan sebagai pekerjaan yang unik. Pekerjaan unik tersebut menjadi tantangan penanggung jawab teknik (PJT) untuk mampu menjamin tertibnya pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Berkaitan dengan studi teoritik dan studi empirik yang peneliti lakukan maka faktor faktor yang telah menjadi perhatian peneliti adalah faktor kreativitas, faktor motivasi dan faktor karakter individu yang memiliki hubungan dengan kepemimpinan pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Kepemimpinan industri konstruksi di Indonesia saat ini membutuhkan perkuatan yang didukung oleh kepemimpinan PJT yang memiliki kreativitas, sehingga diperoleh ide bermutu dengan tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Kreativitas memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kinerja perusahaan dan kinerja karyawan karena seseorang yang kreatif berkemampuan untuk menghasilkan ide
243
baru dengan
menggabungkan, mengubah atau merekayasa ide ide yang sudah ada dan menghasilkan produk yang lebih bermutu. Pendapat ahli mengemukakan bahwa faktor motivasi perlu ada dalam implementasi sistem manajemen konstruksi agar usaha menjadi sukses, karena dengan motivasi akan dapat menjawab masalah yang dihadapi. Motivasi dalam karakter individu menjadi penting supaya proses kerja sesuai visi dan misi perusahaan. Untuk mampu meraih kesuksesan diperlukan kepemimpinan PJT yang merupakan salah satu dasar praktek yang baik untuk menjadi industri konstruksi yang berhasil. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diidentifikasi rumusan masalah penelitian sebagai berikut: 1.
Apakah kreativitas memiliki hubungan signifikan terhadap kepemimpinan PJT dan keberhasilan industri konstruksi?
2.
Apakah motivasi memiliki hubungan signifikan terhadap kepemimpinan PJT dan keberhasilan industri konstruksi?
3.
Apakah
karakter
individu
memiliki
hubungan
signifikan
terhadap
kepemimpinan PJT dan keberhasilan industri konstruksi? 4.
Apakah Kepemimpinan PJT memiliki hubungan signifikan terhadap keberhasilan industri konstruksi?
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah, kajian masalah, dan rumusan masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka tujuan di lakukannya penelitian ini secara umum dan secara khusus adalah sebagai berikut: Tujuan penelitian secara umum Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini secara umum adalah untuk menguji dan menganalisis keberhasilan industri konstruksi yang ada di kota Palu, propinsi Sulawesi Tengah dan di Indonesia khususnya pada hubungan kreativitas, motivasi, karakter individu terhadap kepemimpinan PJT untuk keberhasilan usaha industri konstruksi. Tujuan penelitian secara khusus
244
Tujuan khusus yang ingin di capai dalam penelitian ini adalah untuk menguji dan menganalisis:
hubungan kreativitas, motivasi, karakter individu
terhadap kepemimpinan PJT dan keberhasilan industri konstruksi serta hubungan kepemimpinan PJT terhadap keberhasilan industri konstruksi di kota Palu, propinsi Sulawesi Tengah dan di Indonesia. Kegunaan Penelitian/Manfaat Berkaitan dengan tercapainya beberapa tujuan tersebut, maka penelitian ini di harapkan akan berguna: untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam pendidikan teknik sipil, serta hasil penelitian ini dapat merupakan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang manajemen industri konstruksi khususnya yang berkaitan dengan kepemimpinan PJT dan keberhasilan industri konstruksi di Indonesia. Bagi perusahaan industri konstruksi, penelitian ini dapat menjadi
dasar kebijakan pemerintah dalam
pembinaan dan pengembangan industri konstruksi di kota Palu, pemerintah daerah propinsi Sulawesi Tengah dan di Indonesia. Bagi peneliti berikutnya, hasil penelitian ini dapat menjadi
referensi, terutama dalam bidang manajemen
konstruksi dan manajemen industri konstruksi
meliputi kreativitas, motivasi,
karakter individu, kepemimpinan PJT untuk keberhasilan usaha. Ruang Lingkup/Batasan Penelitian Ruang lingkup dan batasan penelitian adalah perusahaan industri konstruksi yang berada di kota Palu, propinsi Sulawesi Tengah dan terdaftar di asosiasi badan usaha yang memiliki sertifikat badan usaha (SBU) yang terdaftar di lembaga pengembangan jasa konstruksi propinsi (LPJKP) Sulawesi Tengah. Sebagai responden dari populasi adalah penanggung jawab teknik (PJT) dari sejumlah perusahaan industri konstruksi yang tersebar di kota Palu yang akan ditentukan jumlahnya sesuai dengan metodologi penelitian yang digunakan. KAJIAN PUSTAKA Hubungan Kreativitas dengan Kepemimpinan Berdasarkan hasil penelitian Okpara,F.O. (2007) bahwa nilai kreativitas dan inovasi dalam entrepreneur adalah nama baru dalam permainan. Kemudian 245
kesimpulan lainnya Creativity and Innovation are at the heart of the spirit of enterprise. Thus the value of creativity and innovation is to provide a gateway for astute entrepreneurship. Keberhasilan pengusaha adalah kombinasi dari ide kreativitas dan keputusan yang bernilai tinggi. Prinsip kreativitas yang ditemukan dalam penelitian Okpora bahwa dalam setiap individu ada kreativitas yang merupakan fungsi dari keahlian, berpikir kreatif dengan ketrampilan yang dimiliki serta motivasi. Menurut Sriraman, B. (2004) dalam penelitiannya tentang The characteristics of mathematical creativity. Tujuan penelitian ini untuk menambah aturan tentang khayalan, intuisi, interaksi sosial, penggunaan heuristik dan pentingnya pembuktian dalam proses kreatif model Gestalt yang terdiri atas: preparing, Incubation, Illumination and Verification. Hasil penelitian yang diperoleh bahwa model Gestalt oleh Haddamrd masih sesuai untuk diterapkan saat ini. Hasil penelitian Poernomo, (2006) menemukan bahwa Kreativitas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja manager, hal ini dimaksudkan agar memberi kebebasan kepada manager untuk meningkatkan kreativitas dan meningkatkan keahlian sesuai dengan bidang kerja masing masing. Dalam penelitian ini Poernomo berkesimpulan bahwa faktor faktor yang mempengaruhi kreativitas adalah faktor karyawan yang dapat meningkatkan kreativitas. Hubungan Motivasi dengan Kepemimpinan Berdasarkan hasil penelitian Marisa, A. dan Yusof, N. (2011) menemukan bahwa motivasi menjadi sangat penting yang mempengaruhi kinerja industri konstruksi menjadi sukses. Lebih penting lagi dalam industri konstruksi adalah kemampuan untuk membentuk tim kerja, memotivasi orang lain, membentuk struktur organisasi yang kuat serta manajemen proyek yang terkendali. Hasil penelitian di Pakistan oleh Khan, R.A. et.al. (2009) bahwa hubungan antara motivasi dan produktivitas sangat signifikan. Bahkan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah motivasi kerja memberikan kontribusi kunci untuk mengoptimalkan produktivitas pekerja sesuai dengan penelitian yang ditemukan oleh Kazaz et.al. Sehingga dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah proses yang mengaktifkan produktivitas tenaga kerja konstruksi. Hasil penelitian Parkin, A. B. et. al. (2009) dalam pelaksanaan kerja konstruksi di Turki dengan 370 pekerja konstruksi sebagai responden, hasilnya adalah faktor pendapatan terdahulu atau 246
pendapatan dimuka memotivasi pekerja untuk peningkatan tingkat produktivitas. Penelitian ini memperkuat temuan Vroom dan Deci dan Hollyforde dan Whiddett dalam Parkin, A. B. et.al. (2009). Hal inilah yang memperkuat teori Hirarki kebutuhan Maslow yang berkaitan dengan 5 kebutuhan dasar manusia yaitu: 1. Kebutuhan fisilogis seperti kebutuhan makanan, tempat tinggal, air, pakaian dan lain lain, 2. Kebutuhan keselamatan seperti keamanan dari gangguan binatang liar, penjahat, cuaca yang ekstrim, konflik, dan lain lain, 3. Kebutuhan cinta, kasih sayang dan rasa memiliki, umumnya hubungan dengan sesame manusia, 4. Kebutuhan kestabilan yang didasarkan dari evaluasi diri, kepercayaan diri, kebebasan, pengakuan, penghargaan dan lain lain, 5. Kebutuhan aktuallisasi diri yaitu individu yang dapat melakukan apa yang diinginkan seperti musisi, penyair, pelukis dan lain lain. Hasil penelitian Thawalah W. D. dan Monese L. N. (2007) dengan judul Motivation as a tool to improve productivity on the construction life,
yang
dilakukan di Afrika Selatan dimana industri konstruksi menjadi salah satu industri yang memberikan peran pertumbuhan ekonomi di Afrika Selatan. Temuan Thawalah dan Monese intinya mengungkapkan bahwa motivasi memberikan pengaruh terhadap peningkatan produktivitas kerja untuk keberhasilan usaha dan pekerja adalah pemain kunci yang harus dimotivasi. Hasil temuan yang dikemukakan oleh Herzberg dalam Kreitner, R. and Kinicki, A (2005). Temuan empirik ini menunjukkan bahwa apa yang ditemukan dalam penelitian Schaders dalam Haris dan Dainty et.al, bahwa pekerja di bidang konstruksi terkait dengan motivasi bidang konstruksi yang didefinisikan sebagai seperangkat hubungan independen dan dependen yang menjelaskan arah dan tujuan serta keberhasilan usaha menjadi tidak sesuai. Hubungan Karakteristik Individu dengan Kepemimpinan. Kepemimpinan dalam pengelolaan proyek di abad 21 harus beradaptasi dengan lingkungan proyek jika ingin tetap relevan. Dengan demikian akan diperoleh model model yang berbeda. Pendekatan dan atributnya akan berbeda pula seperti kepemimpinan autentik yang dikemukakan Walker, B. L. and Walker, D (2011) Hubungan karakter individu dimaksud adalah yang berkaitan dengan ciri kepribadian seorang pemimpin. Berdasarkan hasil penelitian Douglas (2006) 247
dengan judul
penelitian:
Perseptions
Looking at
the World
Through
Entrepreneurial Lenses menemukan bahwa menjadi ciri individu bahwa optimis dengan melihat peluang dengan kemampuan untuk memecahkan masalah untuk memiliki target pendapatan dengan memperhitungkan waktu serta menilai preferensi konsumen serta berbagai resiko yang terkait dengan usaha yang dijalankan. Penelitian yang dilakukan oleh Elfving et al. (2009) dengan judul Toward A Contextual Model of Entrepreneural Intentions menemukan dalam penelitiannya bahwa Model Intensional Entrepreneur yaitu motivasi dan keinginan berada pada keinginan tradisional. Dengan demikian dalam berusaha dapat mengintegrasikan berbagai elemen kognitif pengusaha menjadi lebih komperhensif dalam prilaku pemimpin. Berdasarkan penelitian Drnovsek et.al. (2010) yang diunduh dari
[email protected] 23 juli 2013 dengan judul Collective Passion in Entrepreneurial teams mengemukakaan bahwa setiap individu dalam tim ditempat kerja adalah sebagai pengarah dalam pengambilan keputusan. Hasil yang diperoleh adalah pengaruh kepemimpinan terjadi lonjakan cepat dan signifikan memperkuat penelitian Baron dan Cardon et al. bahwa pemimpin adalah sebagai driver dan pengambil keputusan untuk keberhasilan usaha. Keberhasilan usaha industri konstruksi di Inggris adalah pada faktor ketrampilan managerial dan latar belakang pengalaman pemimpin dalam pengelolaan usaha. Hubungan Kepemimpinan PJT dan Keberhasilan Usaha Berdasarkan hasil penelitian Yang, L. R., Wu, K. S. dan Huang, C. F. (2013) bahwa hubungan antara gaya kepemimpinan manager, kerjasama tim, kinerja proyek dan kepuasan pemangku kepentingan mempengaruhi keberhasilan proyek. Lebih lanjut penelitian Mahardiana, (2011) melakukan penggabungan antara Model B Mod yaitu Contingency ABC dengan Model Four Primary Characteristics of Succsessful Entrepreneurs, Barringer and Ireland maka dikatakan bahwa karakteristik kepribadian wirausaha, motivasi dan komitmen dalam menjalankan usaha akan mempengaruhi prilaku kepemimpinan seorang wirausaha menjadi berhasil. Hasil penelitiannya adalah: karakteristik individu wirausaha berpengatuh positif dan signifikan terhadap kepemimpinan pengusaha kecil bidang konstruksi yang ada di Sulawesi Tengah, hasil temuan ini 248
mendukung teori entrepreneur characteristic personality yang dikemukakan oleh Chell. Kemudian karakteristik kepribadian wirausaha tidak berpengaruh signifikan terhadap keberhasilan usaha yang dijalankan oleh pengusaha kecil bidang konstruksi yang ada di Sulawesi Tengah. METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di kota Palu propinsi Sulawesi Tengah. Alasan penetapan kota Palu sebagai lokasi penelitian karena dapat dikatakan bahwa struktur industri konstruksi di Indonesia, Propinsi Sulawesi Tengah dan kota Palu memiliki struktur dan jumlah perbandingan yang hampir sama untuk skala nasional, propinsi dan kota Palu. Rancangan Penelitian 1.
Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian dengan penjelasan atau explanatory research.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey, dengan melakukan pengambilan sampel dari populasi yang ada. Metode Survey menurut Van Dalen dalam Sangaji, E. M. & Sofia (2010) mengemukakan bahwa survey bertujuan membuktikan atau membenarkan suatu hipotesis. Survey dilakukan dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data utama Sanusi (2011). Penjelasan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh antar variabel melalui pengujian hipotesis. Karena penelitian ini berkaitan dengan prilaku manusia
sebagai respons yang sifatnya sederhana
maupun kompleks dalam mempersepsikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan, dengan demikian penelitian ini, merupakan penelitian penjelasan dari persepsi responden (explanatory perceptional research). 2.
Populasi Penelitian Populasi adalah kelompok individu atau sebagai obyek pengamatan yang
minimal memiliki persamaan fisik, sehingga kesimpulan penelitian tentang keseluruhan populasi dapat diperoleh, Sangaji, E. M. & Sofia (2010). Populasi dalam penelitian ini adalah industri konstruksi di kota Palu propinsi Sulawesi Tengah. yaitu: sejumlah 235 Perusahaan yang terdaftar di LPJKP Sulawesi 249
Tengah tahun 2012. Alasan pengambilan populasi tersebut karena
struktur
industri konstruksi di Indonesia, propinsi Sulawesi Tengah dan kota Palu memiliki kesamaan perbandingannya. 3.
Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel. Sampel adalah merupakan bagian dari populasi. Survey dalam penelitian ini
hanya sebagian populasi yang dijadikan sampel. Jumlah sampel disesuaikan dengan alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini. Alat analisis yang digunakan adalah Structural Equational Modeling. Mustafa, Eq. Z. dan Wijaya, T (2012)
mengemukakan bahwa tidak ada ukuran sampel yang tepat untuk SEM
dengan bantuan software LISREL 8.30 Jumlah sampel yang diambil berkisar antara 5 sampai 10 kali lipat dari jumlah indikator. Dalam berbagai penelitian yang menggunakan SEM sebaiknya jumlah sampel adalah antara 100 sampai 200 sampel 4.
Teknik Pengambilan sampel Teknik pengambilan sampel adalah secara acak berupa stratified random
sampling (sampel acak distratifikasi). Menurut Sanusi, A. (2011) terdapat tiga persyaratan yang harus dipenuhi dalam hal stratifikasi yaitu: Memiliki kriteria yang jelas yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menstratifikasi populasi dalam lapisan lapisan. Kriteria dimaksud adalah variabel yang akan diteliti atau variabel lain yang menurut peneliti mempunyai hubungan yang erat dengan variabel yang akan diteliti. 2. Harus ada data pendahuluan dari populasi mengenai criteria yang digunakan untuk menstratifikasi, dan 3. Harus diketahui secara tepat jumlah elemen dari setiap lapisan dalam populasi tersebut. Populasi industri konstruksi di kota Palu berjumlah 235 perusahaan dengan 5 strata (grade) dan jumlah responden penelitian seperti berikut ini: Grade 2 sejumlah 81 Perusahaan, Grade 3 sejumlah 41 Perusahaan dan Grade 4 sejumlah 68 perusahaan. 5.
Prosedur Penelitian Instrumen Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner yang diisi oleh
responden. Kuesioner berisi sejumlah pernyataan dari indikator yang ada pada variabel penelitian. Data adalah gambaran variabel yang diteliti dan berfungsi dalam pembuktian hipotesis sehingga yang penting harus dipenuhi adalah
250
validitas dan realibilitasnya. Menurut Sanusi, A. (2011), mengemukakan agar data yang diperoleh mempunyai tingkat akurasi dan konsistensi yang tinggi maka instrumen yang digunakan harus valid dan reliabel. Suatu instrumen dikatakan valid jika instrumen tersebut mengukur apa yang seharusnya diukur. Tingkat validitasnya pada alat ukur sudah harus terjamin. Sebelum kuesioner disampaikan kepada responden perlu dilakukan uji coba kuesioner yang diberikan kepada 20 orang responden. Maksudnya adalah untuk dapat mengetahui alat ukur tersebut memiliki kekuatan, untuk dapat mengukur apa yang akan diukur dalam penelitian. Uji Validitas Uji Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan dan kesasihan suatu instrument. Menurut Sanusi, A. (2011) validitas instrumen penelitian terdiri atas beberapa jenis antara lain, validitas konstruk (construct validity), validitas isi (content validity), validitas eksternal (external validity) dan validitas rupa (face validity). Uji Reliabilitas Uji Reliabilitas menunjukkan ketetapan suatu alat ukur seperti yang dkemukakan oleh Walizer dan Wiener dan Mahardiana (2011). Lebih lanjut dikemukakan bahwa sesuatu alat ukur dikatakan reliabel (dapat diandalkan) jika kita selalu mendapatkan hasil yang konsisten dari gejala pengukuran yang tidak berubah yang dilakukan pada waktu yang berbeda.Jadi reliabel memenuhi dua hal penting dan utama yaitu stabilitas ukuran dan konsistensi internal ukuran. Oleh Sanusi, A. (2011) mengemukakan bahwa reliabilitas ini mengandung objektivitas karena hasil pengukuran tidak terpengaruh oleh siapa pengukurnya. 6.
Pengambilan data Pengambilan data dengan menyampaikan kuisioner kepada industri
konstruksi di Kota Palu yang respondennya adalah: setiap perusahaan diwakili oleh satu orang Penanggung Jawab Teknik (PJT). Rencana pengisian kuisioner akan disampaikan kepada perusahaan industri konstruksi yang tergabung pada 8 asosiasi perusahaan indusri konstruksi di Kota Palu. 7.
Analisis Data Dalam penelitian ini menggunakan model analisis Structural Equational
Modeling (SEM) dengan menggunakan paket program statistik SEM dan
251
Statistical product and Service Solutions (SPSS). Penggunakan SEM dapat melakukan pengujian beberapa variabel dependen maupun dengan lainnya secara bersamaan dengan membuat model struktural. Asumsi asumsi yang harus dipenuhi dalam prosedur pengumpulan dan pengolahan data yang dianalisis dengan pemodelan SEM adalah: pertama ukuran Sampel minimal 100 dan maksimal 200 dengan setiap indikatornya perlu dipenuhi minimal lima observasi. Kedua adalah normalitas dan linieritas dengan asumsi yang paling fundamental dalam analisis multivarian adalah normalitas, yaitu karena perhitungan suatu bentuk distribusi data pada suatu variabel metrik tunggal dalam menghasilkan distribusi normal, atau membentuk suatu distribusi normal. Ketiga adalah multicollinearity yaitu mengharuskan tidak adanya kolerasi yang sempurna atau besar diantara variabel-variabel independen. Nilai korelasi antara variabel observed yang tidak diperbolehkan adalah sebesar 0,9 atau lebih. Kemudian keempat adalah angka ekstrim (outlier) berupa observasi yang muncul dengan nilai nilai ekstrem baik univariate maupun multivariate yaitu yang muncul karena kombinasi karakteristik unik yang dimiliki dan nampak jauh berbeda dengan observasi lain. HASIL YANG DIHARAPKAN Hasil yang diharapkan dalam penelitian
ini adalah menemukan model
kepemimpinan PJT industri konstruksi skala besar, sedang dan industri konstruksi skala kecil di kota Palu, propinsi Sulawesi Tengah. Lebih lanjut diharapkan hasil penelitian ini dapat berkontribusi terhadap materi pembelajaran manajemen konstruksi di pendidikan keteknikan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan memperkaya teori manajemen dalam pengelolaan industri konstruksi. Kepada para praktisi, bahwa hasil penelitian ini akan bermanfaat dalam merencanakan pengembangan usaha industri konstruksi di masa depan dengan tantangan yang demikian pesatnya. KESIMPULAN Menemukan satu kebaharuan berupa model kepemimpinan PJT yang dapat mendorong dan mengembangkan industri konstruksi di Indonesia dan untuk keberhasilan menghadapi tantangan era AFTA dan MP3EI serta tantangan dalam pengembangan ekonomi Indonesia.
252
DAFTAR PUSTAKA Aleinikof, A.G. (2002) Mega Creativity Five Steps to Thinking Like a Genius, Cincinnati, Ohio. Drnovsek et.al. (2010) yang diunduh dari
[email protected] 23 juli 2013 dengan judul Collective Passion in Entrepreneurial teams Douglas (2006) Entrepreneurship and Management Education: A Case For Change, Journal of management and Entrepreneurship, Vol. 1 No.2 pp. 117. Drucker, P. (2001) The Esensial Drucker, Harper Collins Publisher. Elvings, J., Brannback, M., Carsrud, A. (2009) Toward A Contextual Model of Entrepreneur Intention www.springer.com/cda/content.../cda.../9781441904423-c2.pdf?...0... pp.2333, Diunduh, 10 Juli 2013. Khan, R. A., Umer, M., Khan,S. M, (2009). Effect of Basic Motivation Factors On Construction Workforce Productivity in Pakistan, Procs.Conference ARCOM, Nottingham England, September 7-9, 2009: 10-14 Kreitner R, Kinicki, A. (2005), Diterjemahkan oleh Early Suwandi, Organisasi, Penerbit Salemba 4 Jakarta.
Prilaku
Mahardiana, L. (2011), Pengaruh Karakteristik Kepribadian Wirausaha, Motivasi dan Komitmen Pengusaha Terhadap Kepemimpinan dan Keberhasilan Usaha Kecil Studi Empiris kepada Pengusaha Kecil Bidang Konstruksi di Sulawesi Tengah, Disertasi tidak diterbitkan, Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya Marisa, A & Yusof, N. (2011). A Studi on the importance of Motivation among the Managers in Construction Companies in Medan, World Academy of Science Engineering and Technology 60, 2011: 2051-2055. Putri, M. A. dan Budiastuti, D. (2011). Analisa pengaruh Kreativitas dan perilaku Inovatif Terhadap Kinerja Karyawan: thesis.binus.ac.id./doc/ringkasanind/2011-2-00014 MN%20Ringka….Diakses 30 Maret 2013. Mustofa Eq. Z dan Wijaya, T. (2012), Panduan Teknik Statistik SEM & PLS Dengan SPSS AMOS, Penerbit Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta. Natsir, Rivai dan Rizal (2012). Team Perumus kerangka Kerja Bagaimana Merestrukturisasi Industri Konstruksi Nasional, oleh LPJKN Juni, 2012. Okpara, F.O. (2007). The Value of Creativity and Inovation in Entrepreneurship, Journal of Asia Entrepreneurship and Sustainability No reproduction or storage, in part or in full, permitted without prior permission. (
[email protected]) Volume III, Issue 2, September 2007, diunduh 4 April 2013 Parkin, A.B., Tutesigensi., Buyukaip, A.I., (2009). Motivation Among Construction Worker in Turkey. ARJ (Ed) Procs Annual Arcom
253
Conference, 7-9 Sept 2009Nothingham UK, Association of Researchers in Construction Management: 105-114. Poernomo, (2006). Kreativitas dan Kerjasama Tim Berpengaruh Terhadap Kinerja Manager, Jurnal Ilmu ilmu Eknomi Vo.6 No.2. hal. 102 -108 Suhardi, (2013). The Science Of Motivation, Kitab Motivasi, Penerbit PT. Elex Media Komputindo, Jakarta. Sriraman, B. 2004. The Characteristics of Mathematical Creativity, Journal The Mathematics Educator, Vol. 14.No.1, pp 19-24. Sangaji, E. M., Sopiah 2010. Metodologi Penelitian, Pendekatan Praktis dalam Penelitian, Penerbit Andi Yogyakarta. Sanusi, A. (2011). Metodologi Penelitian Bisnis, Penerbit Salemba 4, Jakarta. Suraji, A. (2013) Analisa dan pilihan Kebijakan Pengembangan Pasar Konstruksi, materi Forum Konsultasi Pasar Konstruksi Pusat Pembinaan Sumber Daya Investasi Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum. Thwala, W. D., Monese, L. N. (2007). Motivation As A Tool To Improve Productivity On The Construction Site, Literature Review Department of Quantity Surveying and Construction Management University of Johannesburg (
[email protected] diunduh 28 Maret 2013). Tilaar, T.A.M. (2013), Pengaruh Kreativitas, Motivasi dan Entrepreneur terhadap Keberhasilan Usaha (studi kasus: Kota Palu Propinsi Sulawesi Tengah), Bahan Presentasi Pelatihan Penanggung Jawab Teknik LPJK Propinsi Sulawesi Tengah. Toor,S.U.R., Ofori,G.(2008) Leadership For Future Construction Industry Agenda for Auntentic Leadership. International Journal of Project Management, 26(6) 620-630. Walker, B. L. and Walker, D (2011), Authentic Leadership for 21st Century Project Delivery, International Journal of Project Management 29 (2011) 383-395. Yang, L. R., Wu, K. S. dan Huang, C. F. (2013), Validation of a Model Measuring the Efect of a Project Managers Leadership Style on Project Performance, KSCE Journal of Civil Engineering (2013) 17 (2) 271-280
254
PENENTUAN KETEBALAN MEDIA SARINGAN PADA MODEL PENJERNIHAN AIR LIMBAH MASYARAKAT Saparuddin¹, M. Saleh Pallu², Mary Selintung3 dan Rita Tahir Lopa4 Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Jalan Perintis Kemerdekaan KM-10, Telp 081341052343, email:
[email protected] 2 Professor Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Jalan Perintis Kemerdekaan KM-10, Telp 0811444983, email:
[email protected] 3 Professor Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin,: Jalan Perintis Kemerdekaan KM-10, Telp 081241950035, email:
[email protected] 4 Assosiate Professor Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Jalan Perintis Kemerdekaan KM-10,Telp.081381266719, email :
[email protected] 1
ABSTRAK Manusia dalam kehidupannya menggunakan air antara 100 liter sampai dengan 200 liter/orang/hari dan air yang telah digunakan itu dibuang kembali dalam bentuk yang sudah kotor atau air limbah, pada umumnya masyarakat membuang air limbahnya itu ke badan air yang ada disekitarnya tanpa melakukan pengolahan terlebih dahulu sehingga sumber-sumber air yang ada ikut tercemar, untuk itu diperlukan usaha penjernihan air limbah masyarakat sebelum dibuang kebadan air, tujuan penelitian ini untuk menentukan ketebalan media saringan yang ideal pada model penjernihan air limbah masyarakat dengan menggunakan metode eksperimen di laboratorium dengan analisa kualitatif dan kuantitatif, hasil yang diharapkan pada penelitian ini diketahuinya ketebalan media penyaringan air limbah yang memenuhi standar efluen air limbah. Kata kunci : Penjernihan air limbah, ketebalan saringan
ABSTRACT People in their life using water from 100 liters up to 200 liters / person / day and water that has been used it is thrown back in a form that is dirty or sewage water, in general, people throw their waste water into water bodies around it without first processing advance so that the sources of contaminated water that is involved, it is necessary to attempt purification of waste water before discharge kebadan the water, the purpose of this study to determine the ideal thickness of the filter media on the model of the wastewater purification using the experimental method in the laboratory with the analysis of qualitative and quantitative results are expected in this study knew wastewater filtration media thickness of the wastewater effluent standards Keywords: Purification of waste water, the thickness of the filter
PENDAHULUAN Masyarakat perkotaan menggunakan air bersih antara 100 sampai 200 liter/ orang/ hari, tergantung tingkat kesejahteraannya dan air yang telah digunakan itu akan dibuang kembali dalam bentuk air yang sudah kotor. Air buangan yang berasal dari masyarakat yang di kenal sebaeragai air limbah, merupakan bekas air pakai, baik pemakaian rumah tangga maupun pemakaian air lainnya dan telah tercemar. Air tercemar atau air limbah domestik (rumah tangga) yang dominan umumnya banyak mengandung bahan organik dan anorganik dan bersumber dari
255
255
rumah tinggal, kantor-kantor institusi, fasilitas hotel, tempat hiburan, daerah komersil dan fasilitas umum lainnya yang digunakan masyarakat untuk menunjang kegiatan sehari-hari. Jumlah air limbah yang dibuang akan selalu bertambah dengan meningkatnya jumlah penduduk dengan segala kegiatannya. Apabila jumlah air yang dibuang berlebihan melebihi dari kemampuan alam untuk menerimanya maka akan terjadi kerusakan lingkungan. Lingkungan yang rusak akan menyebabkan menurunnya tingkat kesehatan manusia yang tinggal pada lingkungan itu, sehingga perlu dilakukan penanganan air limbah yang seksama dan terpadu baik itu dalam penyaluran maupun pengolahannya. Sistem penyaluran air limbah adalah suatu rangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi atau membuang air limbah dari suatu kawasan/lahan baik itu dari rumah tangga maupun kawasan industri. Sistem penyaluran biasanya menggunakan sistem saluran tertutup dengan menggunakan pipa yang berfungsi menyalurkan air limbah tersebut ke bak interceptor yang nantinya di salurkan ke saluran utama atau saluran drainase dan seterusnya ke badan air yang lebih besar seperti sungai. Jika tingkat kontaminasi air limbah masyarat ini tidak memenuhi persyaratan baku mutu badan air, maka diperlukan adanya penanganan berupa pengolahan
sebelum dialirkan ke badan air. Pada umumnya pengolahan
dilakukan secara fisik di suatu tempat yang disebut sebagai Bangunan Pengolahan Air Limbah (BPAL). Pengolahan air limbah dilakunan untuk mengurangi tingkat perncemaran yang ada pada air limbah dengan jalan penjernihan Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini Berapa besar ketebalan media saringan yang ideal pada model penyaringan air limbah untuk mendapatkan standar efluen air limbah yang akan dilepaskan ke badan air. Tujuan penelitian ini melakukan pengujian untuk mendapatkan ketebalan media saringan yang ideal pada model penyaringan air limbah sebelum dialirkan ke badan air. TINJAUAN PUSTAKA Air Limbah Air limbah atau air buangan adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari rumah tangga, industri maupun tempat-tempat umum lainnya, dan pada umumnya
256
mengandung bahan-bahan atau zat-zat yang dapat membahayakan bagi kesehatan manusia serta menggangu lingkungan hidup. Batasan lain mengatakan bahwa air limbah adalah kombiasi dari cairan dan sampah cair yang berasal dari daerah pemukiman, perdagangan, perkantoran dan industri, bersama-sama dengan air tanah, air permukaan dan air hujan yang mungkin ada (Haryoto, 1997). Djajadiningrat AH, (1995) Air limbah adalah terkonsentrasinya bahan pencemar di dalam air dalam suatu periode waktu yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu yang dapat merugikan kesehatan dan lingkungan. Menteri Negara lingkungan hidup Nomor 112 Tahun 2003, Air limbah domestik adalah air limbah yang berasal dari usaha dan atau kegiatan permukiman (real estate), rumah makan (restaurant), perkantoran, perniagaan, apartemen, dan asrama. Baku mutu air limbah domestik adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah domestik yang akan dibuang atau dilepas ke air permukaan. Baku mutu air limbah domestik
sesuai keputusan menteri Negara
lingkungan hidup No. 112 Tahun 2003 seperti pada tabel 1. Tabel 1
Baku mutu air limbah domestik
Parameter pH BOD TSS Minyak dan Lemak Sumber: Kepmen Neg. LH No.12 Tahun 2003
Satuan mg/l mg/l mg/l
Kadar Maksimum 6 - 9 100 100 10
Wayland R H. dan Timothy E, 2002, Perkiraan volume aliran air limbah selain memperhitungkan banyaknya pemakaian air dalam rumah tangga seperti mandi, cuci, masak dan lainnya juga dihitung pemakaian air yang digunakan di luar rumah seperti cuci mobil, irigasi dan sebagainya. Karakteristik Air Limbah Karakteristik air limbah sangat ditentukan dari mana sumber air limbah tersebut berasal. Tebbutt T.H.Y, 1992, Karena struktur molekul dan sifat listrik dari konstanta dielektrik yang sangat tinggi dan konduktivitas yang rendah, air mampu melarutkan berbagai zat, sehingga kimia air alami sangat kompleks.
257
257
Semua perairan alami mengandung berbagai bahan lain dalam konsentrasi mulai dari tingkat konsentrasi yang rendah mg/lt pada air hujan, sekitar 35.000 mg / l dalam air laut. Air limbah biasanya mengandung sebagian besar bahan terlarut dari proses kotoran tambahan yang datang dari limbah sebelumnya. Selanjutnya Tebbutt T.H.Y,1992, Dengan demikian, pelepasan metabolisme manusia sekitar 6 gr klorida setiap hari sehingga dengan konsumsi air dari 150 l/orang hari limbah domestik akan mengandung setidaknya 40 mg klorida. Limbah mentah khas berisi sekitar 1.000 mg/ padatan dalam larutan dan suspensi dan dengan demikian sekitar 99,9% air murni. Air laut di sisi lain pada 35.000 mg/l dari kotoran ternyata jauh lebih terkontaminasi dibanding limbah mentah. Djajadiningrat AH, 1995, air limbah perkotaan mengandung lebih dari 99,9 % cairan. Zat-zat yang terdapat dalam air limbah diantaranya unsur-unsur organik tersuspensi
maupun
terlarut
dan
juga
unsur-unsur
anorganik
serta
mikroorganisme. Unsur-unsur tersebut memberikan corak kualitas air limbah dalam sifat fisik, kimiawi, maupun biologi. Sugiharto, 1987, Penentuan derajat kekotoran air limbah sangat dipengaruhi oleh adanya sifat fisik yang mudah dilihat pada air tersebut. Adapun sifat fisik yang penting pada air adalah zat padat sebagai efek estetika dan kejernihan serta bau dan warna juga temperatur. Kodoatie RJ dan Sjarief R, 2009, memberikan karakteristik fisik air limbah domestik dinyatakan dalam tempertur, warna, bau dan kekeruhan, sifat-sifat tersebut seperti pada table 2.
Tabel 2
Karakteristik fisik limbah cair domestik
Parameter
Penjelasan Suhu dari air limbah biasanya sedikit lebih tinggi dari air minum. Pemperatur ini Temperatur dipengaruhi aktifitas mikrobiologi, solubitas dari gas dan viskositas Air limbah yang baru dibuang biasanya berwarna agak abu-abu. Dalam kondisi Warna septik air limbah akan berwarna hitam Air limbah yang baru dibuang biasanya mempunyai bau seperti sabun atau bau Bau lemak. Dalam kondisi septik akan berbau sulfur dan kurang sedap. Kekeruhan pada air limbah sangat tergantung pada kandungan zat padat Kekeruhan tersuspensi. Pada umumnya air limbah yang kuat mempunyai kekeruhan yang tinggi. Sumber: Kodoatie RJ dan Sjarief R, 2009
258
Chandra Budiman, 2007, mengemukakan karakteristik fisik yang dimiliki air limbah terdiri dari 99,9 % air, mengandung 0,1 % bahan yang bersifat padat (suspended solid), volume bahan padat bervariasi antara 100 – 500 mg/l. Apabila volume bahan padat kurang dari 100 mg/lt, air limbah tersebut disebut lemah, sedangkan bila bahan padat lebih dari 500 mg/l disebut kuat. Penyaringan Air Penyaringan air adalah suatu proses pemisahan zat padat dari air yang membawanya menggunakan suatu medium berpori atau bahan berpori lain untuk menghilangkan sebanyak mungkin zat padat halus yang tersuspensi dan koloid. Disamping mereduksi kandungan zat padat, penyaringan air dapat pula mereduksi kandungan bakteri, menghilangkan warna, rasa, bau, besi dan bakteri. Saparuddin, 2010, Pada pengolahan air dengan menggunakan saringan makin lama penggunaan saringan akan memperlambat penyaringan, begitu pula ketebalan pasir saringan mempengaruhi kecepatan penyaringan Pada penyaringan air dengan media berbutir, terdapat tiga penomena proses yaitu: a.
Transportasi : meliputi proses gerak brown, sedimentasi, dan gaya tarik antara partikel.
b.
Kemampuan menempel : meliputi proses mechanical straining adsorpsi (fisik – kimia), biologis.
c.
Kemampuan menolak : meliputi tumbukan antar partikel dan gaya tolak menolak.
Media Saringan dan Distribusi Pasir. Adams, Jr, 1999, Pengelolaan yang paling sederhana ialah pengelolaan dengan menggunakan pasir dan benda-benda terapung melalui bak penangkap pasir dan saringan. Benda yang melayang dapat dihilangkan oleh bak pengendap yang dibuat khusus untuk menghilangkan minyak dan lemak. Lumpur dari bak pengendap pertama dibuat stabil dalam bak pembusukan lumpur, lumpur menjadi semakin pekat dan stabil, kemudian dikeringkan dan dibuang. Djajadiningrat AH, (1995) menetukan ada tiga hal yang perlu diperhatikan pada system yang digunakan dalam pengolahan air limbah sebagai berikut:
259
a.
Karakteristik air limbah baik limbah cair domestik maupun limbah cair industri.
b.
Assymilative capacity dari badan air penerima, adalah kemampuan badan air untuk menerima beban yang berupa air limbah tanpa terjadi pencemaran. Kemampuan badan air untuk menerima air limbah tergantung dari perbandingan debit air yang ada pada badan air dengan debit air limbah yang masuk ke badan air dan kadar polutan (bahan pencemar) yang terkandung di dalamnya. Semakin besar debit badan air dan semakin rendah kadar polutan yang dikandungnya semakin besar pula assimilative capacity badan air yang bersangkutan.
c.
Peraturan tentang air limbah yang berlaku terhadap badan air yang bersangkutan. Peraturan ini bergantung dari peruntukan (beneficial use) badan air yang dimaksud Media saringan dapat tersusun dari pasir silika alami, anthrasit, atau pasir
garnet. Media ini umumnya memiliki variasi dalam ukuran, bentuk dan komposisi kimia. Pemilihan media saringan yang akan digunakan dilakukan dengan analisa ayakan. Effective Size (ES)
atau ukuran efektif media saringan adalah ukuran
media saringan yang dianggap paling efektif dalam memisahkan kotoran yang besarnya 10 % dari total kedalaman lapisan media saringan atau 10 % dari fraksi berat, ini sering dinyatakan sebagai P10
(persentil 10). P10 yang dapat dihitung
dari ratio ukuran rata-rata dan standar deviasinya. Uniformity Coefficient (UC)
atau koefisien keseragaman adalah angka
keseragaman media saringan yang dinyatakan dengan perbandingan antara ukuran diameter pada 60 % fraksi berat terhadap ukuran. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (01) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (02)
Hidrolika Saringan Pada prinsipnya aliran pada media berbutir (saringan pasir) dianggap sebagai aliran dalam pipa berjumlah banyak, kehilangan tekanan dalam pipa akibat gesekan aliran mengikuti persamaan Darcy – Weisbach sebagai berikut: 260
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (03) Dimana: hL = Kehilangan tekanan akibat gesekan aliran L = Panjang atau kedalaman media. V
= Kecepatan aliran.
D
= Diameter kanal.
METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Sesuai dengan permasalahan dan tujuan akhir dalam penelitian ini, maka jenis studi ini menekankan pada desain model eksperimen yang dilaksanakan di laboratorium dengam membuat penyaringan air limbah yang akan menghasilkan air buangan yang memenuhi standar efluen air limbah yang akan dibuang ke badan air. Penelitian
ini
dilaksanakan dilaboratorium
dengan menggunakan
pendekatan yang bersifat kualitatif dan kuantitatif melalui beberapa teknik analisis statistik dengan variabel-variabel sebagai berikut: 1. Variabel berpengaruh merupakan variabel yang menentukan kualitas fisik air limbah yang telah dijernihkan meliputi: a. Tingkat kekeruhan air limbah yang akan dibuang b. Debit air limbah yang akan dibuang c. Material penjernihan dan ketebalannya. 2. Variabel bebas adalah miniatur sungai sebagai model 3. Variabel kontrol adalah kualitas air limbah yang telah melewati model penjernihan. Kualitas air limbah yang telah disaring merupakan variabel yang menentukan kondisi tingkat kekeruhan air limbah yang akan dibuang, kualitas air limbah yang telah disaring dan tidak memenuhi syarat efluen air limbah, mengisyaratkan struktur
penjernihan air limbah perlu diperbaiki, Model
Penyaringan air limbah sperti gambar 1. Struktur saringan tersusun dari bawak keatas : ijuk, pasir, dan kerikil seperti pada gambar 2.
261
Gambar 1 Model penjernihan air limbah KERIKIL Pasir
Pasir
PASIR IJUK
Ijuk
Gambar 2 Struktur saringan penjernihan air limbah
Lokasi dan Waktu Penelitian Sesuai dengan model desain penelitian, maka rencana pelaksanaan penelitian ini akan di laksanakan pada Laboratorium Alat dan Bahan Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka memperoleh gambaran dan datadata yang mendekati sebenarnya terjadi pada penjernihan air limbah sebelum dialirkan kebadan air, pemodelan fisik yang akan dilakukan di Laboratorium, Sepanjang bentang dibuat saringan air limbah yang dihubungkan dengan pipa ke bak air limbah Teknik Pengumpulan Data. Adapun langkah-langkah kegiatan yang dilakukan dalam penelitian ini disusun sebagai berikut: 1. Rancangan dan pembuatan alat. 2. Menganalisa tingkat kekeruhan air limbah masyarakat sebelum di jernihkan 3. Mengukur debit air limbah masyarakat yang mengalir ke sungai. 4. Menganalisa tingkat kekeruhan air limbah yang telah dijernihkan. 5. Menganalisa tingkat kekeruhan air sungai yang telah terkontaminasi dengan air limbah yang telah dijernihkan. 6. Persiapan pelaksanaan pengambilan data, sampai dengan penyusunan tulisan. Teknik Analisis
262
Data penelitian ini terdiri dari variabel berpengaruh berupa tingkat kekeruhan air limbah masyarakat, variabel bebas berupa ketebalan dan media penjernihan yang digunakan, dan variabel kontrol berupa tingkat kekeruhan air limbah masyarakat yang telah dijernihkan. Penelitian ini menentukan hubungan fungsional antara variabel-variabel yang ada, maka untuk menentukan hubungan fungsional tersebut maka digunakan analisa korelasi dan analisa regresi. Hasil yang diharapkan Hasil pengujian mengalirkan air limbah dengan debit rata-rata 0,4 l/dt selama 60 menit, melewati interpal variasi ketebalan saringan masing-masing 4 Cm, 8 Cm, 12 Cm, 16 Cm, dan 20 Cm, dengan tingkat kekeruhan awal dan hasil saringan seperti data pada tabel 2. Tabel 2 : Hasil saringan air limbah
Sumber : data primer 2013
Kesimpulan Menbandingkan olahan kekeruhan awal sebelum melewati saringan dengan hasil saringan diperoleh hasil bahwa saringan pada model penjernihan air limbah memberikan penurunan kekeruhan yang beararti, sementara lama penggunaan saringan tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. DAFTAR PUSTAKA Adams, Jr, 1999, Wastewater Treatment Plant Design, CRC Pres LLC, Washington, D.C.
263
Chandra Budiman, 2007, Pengantar Kesehatan Lingkungan, Penerbit buku kedokteran, Jakarta. Djajadiningrat AH, 1995, Pengelolaan dan Pengolahan Limbah Waste Management, PP-PSL Direktorat Jenderal Pendidikan Tingi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Huisman, L, 1994, Rapid Sand Filtration, Lecture Notes, IHE Delf Netherlands Kodoatie RJ dan Sjarief R, 2009, Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu, Penerbit Andi, Yogyakarta Kusnoputranto Haryoto, 1997, Air Limbah dan Ekskreta Manusia, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nomor 112 Tahun 2003, Baku Mutu Air Limbah Domestik. Saparuddin, 2010, Pemanfaatan Air Tanah Dangkal untuk Air Bersih di Kampus Bumi Bahari Palu, Hal 143 - 152, Smartek, Vol. 8 Fakultas Teknik Universitas Tadulako Sugiharto, 1987, Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah, Penerbit Universitas Indonesia (UI Press) Jakarta. Tebbutt T.H.Y, 1992, Principles of Water Quality Control, Pergamon Press, New York, Seoul, Tokyo Wayland R H. dan Timothy E, 2002, Onsite Wastewater Treatment Systems Manual, Office of Research and Development U.S. Environmental Protection Agency
264
KAJIAN SPASIAL PERMUKIMAN VERNAKULAR PESISIR DI KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR SULAWESI SELATAN STUDI KASUS : PERMUKIMAN PESISIR DESA APPA’TANA Muhammad Najib1, Ahda Mulyati2, Arya Ronald3 ¹ ² Jurusan Teknik Arsitektur Fak. Teknik Uniersitas Tadulako Palu ² PPS Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fak. Teknik Univ. Gadjah Mada Yogyakarta ³ Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fak. Teknik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan merupakan wilayah dimana sebagian besar masyarakatnya bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau. Oleh sebab itu masyarakat dengan mata pencaharian sebagai nelayan membangun permukimannya pada tempat-tempat yang dapat memberi kehidupan atau sumber mata pencaharian. Penelitian bertujuan mengeksplor spasial permukiman vernakular pesisir sebagai bentukan masyarakat terhadap lingkungan fisik kawasan. Metoda yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif-fenomenologi, pengambilan data secara naturalistik dan teknik analisis indultif (Guba, GE and Lincoln, SY, 1985; Groat and Wang, 2002). Kawasan pesisir terdiri atas gugusan pulau-pulau dan pesisir pantai yang terbentuk dari bukit-bukit karang, dimanfaatkan sebagai permukiman dan tempat berladang/bertani. Babaroh membentuk pagmundah, dan seterusnya kampoh mengelilingi lahan bukit-bukit karang. Oleh sebab itu bagian depan rumak menghadap ke bukit karang atau jalan sedang bagian belakang menghadap laut. Perahu-perahu mereka ditambatkan pada sepanjang pantai sebagai ruang atau akses rumak terhadap laut. Daratan bukit-bukit lainnya berfungsi sebagai kawasan berladang/bertani terletak bersebelahan dengan kawasan permukiman. Pekerjaan ini akan dilakukan jika kondisi alam tidak memungkinkan untuk me-laut, karena angin, cuaca, ombak, dan lain-lain. Bukit karang umumnya merupakan bagian dari lingkungan permukiman sebagai batas antar desa atau permukiman lainnya. Permukiman membentuk spasial linier dihubungkan oleh jalan sebagai akses. Bagian barat terletak lahan daratan berupa bukit karang masing-masing berfungsi sebagai ruang berladang/bertani, serta ruang penunjang kehidupan (fasilitas air bersih, kuburan, tempat membuat/memperbaiki lopi/bido‘, lepa-lepa, dan lain-lain). Ruang sakral merupakan hal utama sebagai sumber kekuatan dalam pembentukan spasial permukiman, berfungsi sebagai Ruang pertahanan terhadap bencana alam. Kata Kunci : Spasial, Permukiman, Pesisir, Kepulauan.
PENDAHULUAN Lingkungan permukiman akan berkembang secara alamiah seiring dengan perjalanan waktu. Berbagai aspek berpengaruh antara lain pengetahuan, teknologi, peradaban, maupun kebijakan. Hal ini diindikasikan adanya perubahan spasial permukiman, sebagai proses adaptasi pemukim terhadap lingkungan. Perubahan spasial dapat tejadi dengan proses yang relatif cepat, tetapi ada yang terjadi dalam proses yang panjang. Faktor pemicunya dapat berupa pemicu alamiah (bencana alam) ataupun rekayasa seperti tingkat pendidikan, teknologi, peradaban dan kebijakan pemerintah. Terciptanya karakter spasial permukiman dapat dibentuk 20 265
secara visual di dalam lingkungan permukiman, dan oleh perilaku masyarakat sebagai pelaku. Hal ini masih ditemui di beberapa komunitas lokal di kepulauan Selayar Sulawesi Selatan dengan keragaman kehidupan budayanya. Kepulauan Selayar mempunyai garis pantai sepanjang kurang lebih 90 km dan gugusan pulau-pulau sehingga sebagian masyarakatnya bermukim di kawasan tersebut. Permukiman masyarakat pesisir terbentuk karena kondisi alam dan geografi yang sangat rentan terhadap bencana. Mereka membangun rumah tinggal berbentuk rumah panggung, dimana sebagian atau seluruhnya berada diatas air, menggunakan bahan-bahan yang mudah diperoleh di lingkungannya, yaitu kayu, bambu, daun kelapa, enau, dan lain-lain. Awalnya permukiman dibentuk oleh pemukim karena kebutuhan akan tempat bernanung dan berlindung. Mereka memilih tempat bernaung yang dapat memberi keamanan, sehingga pulau-pulau atau daratan berupa karang yang dapat memberi kehidupan adalah pilihannya. Kelompok ini terdiri atas beberapa keluarga, membangun rumah tinggal sesuai pengetahuan lokalnya dengan mengelilingi atau sejajar daratan bukit karang. Ruang-ruang pesisir hampir terdapat pada semua kawasan, sehingga berkembang masyarakat pesisir yang mendiami kawasan pesisir dan pulau-pulau. Umumnya masyarakat tersebut mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan sehingga membangun rumah tinggal dan permukimannya pada tempat-tempat dimana mereka dapat menyatu dan hidup dengan tempat yang memberinya kehidupan. Pada umumnya permukiman tidak direncanakan dengan baik, spontan, hanya sebagai tempat tinggal bagi keluarga jika mereka pergi me-laut. Permukiman dibangun sesuai tingkat pengetahuan lokal mereka, tidak mengenal standar atau norma-norma yang baku, tetapi sesuai kebutuhan pada masa itu. Masyarakat ini berkembang sesuai budaya lokal yang dimiliki sebagai ciri khas yang spesifik dalam mengatur kehidupan mereka. Kebiasaan-kebiasaan inilah yang kemudian berkembang menjadi hukum adat yang mengatur berbagai aspek kehidupan baik dalam hubungan sosial kemasyarkatan, ritual, kepercayaan, dan lain-lain. Hal-hal tersebut tercermin dalam wujud kehidupan mereka, baik pada lingkungan fisik maupun lingkungan sosial yang merupakan karakter, keunikan dan citra budaya yang khas pada setiap permukiman. Keunikan pada
266
lingkungan sosial maupun lingkungan fisik mengandung kearifan lokal yang menjadi daya tarik dan dikembangkan sebagai nilai lokal dari permukiman itu. Berdasarkan isu-isu tersebut, pertanyaan penelitian : seperti apa spasial permukiman vernakular pesisir sebagai proses adaptasi terhadap lingkungan fisik kawasan khususnya di desa Appa‘tana kepulauan Selayar ?
Gambar 1 Ragam bentuk permukiman masyarakat vernakular pesisir (Data lapangan, 2010-2013)
Gambar 2 Peta Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan; dan Letak Kasus Permukiman Pesisir (desa Appa‘tana) Kepulauan Selayar Sulawesi Tengah (Sumber : RTRW Kab. Kep. Selayar, 2012 dan Google Map, 2012)
Gambar 3 : Kondisi Permukiman Pesisir Kabupaten Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan (Data Lapangan, 2011 update data 2013)
267
TINJAUAN PUSTAKA Vernakular adalah bahasa setempat, dalam arsitektur
istilah ini untuk
menyebut bentuk-bentuk yang menerapkan unsur-unsur budaya, lingkungan termasuk iklim setempat, diungkapkan dalam bentuk fisik arsitektural (tata letak, denah, struktur, detail-detail, ornamen, dan lain-lain) (Sumalyo, 1993). Comparising the dwellings and all other buildings of the people. Related to their environmental contexts and available researches they are customarily owner or community-built, utilizing traditional technologies. All forms of vernacular architecture are built to meet spesific
needs, accommodating
the
values,
economies and ways of life of the cultures that produce them (Oliver, P, 1987 ). Arsitektur vernakular sering disebut arsitektur kerakyatan. Vernakular menunjukkan pada sesuatu yang asli, etnik, rakyat, dan arsitektur tradisional. Bentuk-bentuk arsitektur berupa shelter, indigenous architecture, non-formal architecture, spontaneous architecture, folk architecture atau traditional architecture. Cerminan asritektur vernakular dapat dilihat pada dialog manusia dengan lingkungan, tanggap terhadap lingkungan, keterbatasan material, budaya dan teknologi serta dalam konteks relasi sosial. Keberadaan bangunan atau lingkungan selalu terlingkupi faktor lingkungan fisik dan sosial-budaya karena lahir didalam jejaring kehidupan manusia (Oliver, P, 1987). Secara umum, ada lima elemen pembentuk suatu permukiman yaitu : alam, manusia, masyarakat (community), perlindungan (shell) dan jaringan (network). Kelima unsur akan bekerjasama sehingga membentuk suatu permukiman yang utuh ( Doxiadis, CA, 1957). Permukiman vernakular mempertimbangkan kondisikondisi fisik yang melingkupinya selain unsur-unsur sosial-ekonomi-budayareligi, dan berpengaruh terhadap karakteristiknya. Aspek yang sangat kuat adanya kebutuhan spesifik pada lingkungan budaya. Struktur sosial mempengaruhi karakter khusus pada hunian, permukiman, desa dari lingkungan budaya yang berbeda. Tradisi ritual suatu masyarakat mempengaruhi organisasi spasial di sebuah desa. Demikian juga tradisi perkawinan, dan tradisi-tradisi lain, berpengaruh pada tata letak dan pengembangan desa-desa suatu masyarakat. Ciri spesifik pada sosio-budaya masyarakat akan menghasilkan arsitektur vernakular (bangunan, permukiman, desa) yang spesifik pula (Oliver, P, 1987).
268
Lingkungan terbangun oleh hubungan dari relasi-relasi elemen didalamnya dan memiliki pola tertentu, memiliki struktur tertentu. Relasi yang terbentuk antara manusia dengan lingkungan fisik secara fundamental bersifat spasial, dipisahkan dan disatukan di dalam dan oleh ruang. Oleh karena itu, karakteristik, sosial dan budaya suatu lingkungan tercermin dalam tatanan spasialnya. Ruang merupakan ruang tiga dimensional yang mengelilingi manusia, relasi antara elemen-elemen didalamnya membentuk tatanan tertentu dan disebut organisasi spasial (Rapoport, A, 1977). Aspek spasial sebagai unsur mendalam pada tatanan ruang, karena space adalah aspek permukaan, sedang spasial adalah struktur didalamnya, yang mencerminkan karakteristik space (Bacon, E, 1967; Hiller, 1989). Ruang selalu terkait dengan realitas manusia dan kehidupannya, dimana manusia terhadap artefak-artefak membentuk ‗spasial budaya‘. Spasial budaya adalah tatanan ruang tertentu yang mengungkapkan tatanan relasi artefak-artefak berdasarkan prinsip tatanan sosial. Relasi bolak balik antara tatanan sosial dengan tatanan fisik spasial, mencerminkan bahwa pada momen tertentu tatanan spasial dipengaruhi oleh tatanan sosial, begitu pula sebaliknya. Manusia
sangat
menentukan
dan
mencerminkan
keunikan
suatu
permukiman, khususnya pada arsitektur permukiman vernakular. Keunikan akan terlihat pada cara manusia berperilaku terhadap lingkungan yang menjadi ruang kehidupan manusia (Madanipour, 1996). Perilaku me-Ruang manusia mempunyai sistem tertentu, dan berpengaruh terhadap tatanan spasial yang terbentuk sebagai wadah kehidupannya (Waterson, R, 1990). Perbedaan individu, kelompok dan masyarakat menghasilkan konsep dan wujud ruang yang berbeda (Rapoport, A, 1969; Haryadi dan Setiawan, 1995, 2006). Bentukan lingkungan merupakan hasil pikiran dan perilaku manusia. Setiap kelompok etnis memiliki image yang khas tentang lingkungannya, karena perilaku masing-masing etnis juga khas. Bentukan lingkungan tidah hanya disebabkan kondisi iklim dan lingkungan yang unik, tetapi juga perilaku dari etnis itu sendiri. METODE PENELITIAN Penelitian menggunakan metode pendekatan kualitatif-fenomenologi, pengumpulan data secara naturalistik dan teknik analisis secara induktif (Guba, GE and Lincoln, SY, 1991). Data-data diperoleh melalui wawancara mendalam 269
pada masyarakat yang bermukim atau yang mengetahui sejarah terbentuknya permukiman pesisir dan pulau-pulau (Groat, L and D. Wang, 2002). Oleh sebab itu kajian ini menggunakan berbagai kepustakaan untuk mengetahui konsep terbentuknya spasial permukiman. Lokus yang menjadi amatan adalah permukiman pesisir yang tersebar di kepulauan Selayar Sulawesi Selatan terutama desa Appa‘tana. HASIL DAN PEMBAHASAN Kepulauan Selayar merupakan salah satu pulau yang terpisah dari daratan propinsi Sulawesi Selatan dengan luas kira-kira 1.357,03 km2 yang membentang dari utara ke selatan antara pulu Sulawesi dan pulau Takabonerate. Kepulauan ini terdiri atas 130 (seratus tiga puluh) gugusan pulau, 7 (tujuh) diantaranya kadang tidak terlihat (tenggelam) pada saat air pasang. Desa Appa‘tana merupakan salah satu kampoh masyarakat pesisir di kepulauan Selayar. Masyarakatnya sudah beradaptasi dengan suku Selayar yang merupakan penduduk asli. Kondisi kampoh terdiri atas batu-batuan, berada di tepi pantai (laut) yang landai. Sebagaimana kampoh-kampoh lainnya yang dihuni masyarakat pesisir kepulauan Selayar, desa Appa‘tana sudah berada di daratan bukit batu. Permukiman ini dihuni oleh suku Bajo yang ada dan tersebar di Sulawesi Selatan dengan karakteristik tersendiri. Mata
pencaharian
penduduk
mayoritas
nelayan,
sehingga
mereka
membangun rumak mendekati laut. Penempatan rumak dilakukan sesuai anjuran Ketua Adat dan pengetahuan lokal yang dimiliki. Rumak tidak menghadap utaraselatan agar terhindar dari bencana yang diakibatkan oleh alam dan lingkungan. Perahu dan sampan ditambatkan di pesisir pantai, sehingga pada bagian rumak terdapat ruang kolong, lego-lego dan pintu yang mudah dicapai jika pulang dari me-laut. Jalan merupakan orientasi lain dalam kampoh, berfungsi sebagai ruang sosialisasi, sedang laut merupakan orientasi lain yang sifatnya semi privat. Laut masih merupakan Ruang sakral bagi pemukim, sehingga pada rumak (rumah) terdapat ruang yang menghadap ke laut sebagai Ruang kehidupan. Rumak selain sebagai tempat berlindung,
ruang berlangsungnya proses
sosial-budaya, dimana manusia hidup dan berkembang. Sebagai bagian dari
270
kampoh (kampung), rumak memberikan kenyamanan bagi pemukim sehingga dapat melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Perubahan rumak seiring tingkat kebutuhan yang juga berubah. Pemukim mayoritas beragama Islam, sehingga Mesjid atau mushollah sebagai ‗typological view‘ kampoh, berfungsi sebagai ruang ibadah dan kegiatan-kegiatan berkaitan dengan keagamaan. Walaupun mereka telah memeluk agama Islam, sebagaian besar pemukim masih melakukan tradisi-tradisi menyangkut ‗Ruang Laut‘ sebagai ruang mata pencaharian. Kegiatan ini biasanya memanfaatkan ruang rumak, jalan dan laut sebagai ruang utama. Dalam perkembangan permukim semakin bertambah, sehingga unit-unit permukiman tumbuh dan berkembang. Kumpulan rumah tinggal membentuk garis linier mengelilingi bukit karang. Permukiman terdiri atas deretan rumah tinggal dihubungkan oleh jalan. Unit-unit permukiman membentuk spasial dimana rumah tinggal (rumak) mengelilingi ruang-ruang publik yaitu jalan, mesjid, sekolah, balai desa, warung, tempat mandi cuci, dan tempat-tempat bermain.
Gambar 4 Permukiman pesisir kepulauan Selayar dan permukiman desa Appa‘tana (Sumber : Google Map, 2011; update peta 2013)
Interaksi sosial pemukim dilakukan pada teras depan rumah, jalan setapak dan ruang-ruang publik yang ada di lingkungan permukiman. Interaksi lain biasanya dilakukan pada saat mereka me‘laut‘ mencari ikan. Laut juga berfungsi sebagai akses antar unit-unit lingkungan dan tempat bermain bagi anak-anak serta ruang kehidupan bagi pemukim. Rumah tinggal merupakan ruang privat sehingga teras depan dan jalan adalah ruang-ruang publik. Spasial terbentuk karena Kondisi Alam dan Lingkungan
Permukiman masyarakat pesisisr terbentuk karena kondisi alam dan geografi yang sangat rentan terhadap bencana. Mereka membangun rumah tinggalnya berbentuk rumah panggung menggunakan bahan-bahan yang mudah
271
diperoleh di lingkungannya, yaitu kayu, bambu, kelapa, enau, dan lain-lain. Awalnya permukiman dibentuk oleh pemukim karena kebutuhan akan tempat bernanung dan berlindung. Mereka memilih tempat bernaung yang dapat memberi keamanan bersama keluarganya, sehingga pulau-pulau karang dan pesisir pantai yang berdekatan dengan tempat yang memberi kehidupan adalah pilihannya. Kelompok ini terdiri atas beberapa keluarga akhirnya membangun rumah tinggal (rumak) sesuai pengetahuan lokalnya mengelilingi daratan bukit karang ditengah laut dan mendekati daratan pantai.
Gambar 5 Ruang permukiman yang terbentuk karena kondisi alam dan lingkungan (Hasil Analisis, 2013)
Dalam perkembangannya permukiman semakin bertambah, unit-unit permukiman tumbuh dan berkembang sepanjang pantai dan mendekati daratan pantai. Kumpulan rumah tinggal ini membentuk garis linier mengelilingi bukit karang dan pantai. Permukiman terdiri atas deretan rumah tinggal dihubungkan oleh jalan. Unit-unit permukiman membentuk spasial dimana
rumah tinggal
mengelilingi ruang-ruang publik yaitu jalan, mesjid, sekolah, balai desa, warung, tempat mandi cuci, dan tempat-tempat bermain. Laut tidak hanya sebagai ruang kehidupan tetapi juga sebagai ruang bermain. Akses antar unit-unit lingkungan bagi pemukim menggunakan sampan (lepa-lepa) atau kendaraan bermotor. Rumah tinggal merupakan ruang privat sehingga teras bagian depan (lego-lego) dan jalan adalah ruang-ruang publik. Spasial trbentuk karena Interaksi Sosial Pemukim Pemukim dalam kehidupan kesehariannya akan melakukan interaksi, baik dengan pemukim itu sendiri maupun terhadap lingkungannya. Interaksi sosial umumnya dilakukan pada teras depan rumah, jalan setapak, bale-bale dan ruangruang publik yang ada di lingkungan permukiman. Keadaan ini biasanya ramai pada sore hari, anak-anak kecil bermain dan ibu-ibu mengobrol sambil mengasuh
272
anak. Ruang-ruang lain yang dimanfaatkan sebagai ruang interaksi adalah tempat mandi cuci/mengambil air, yang terdapat pada unit-unit lingkungan. Interaksi terjadi pada saat mereka mandi, mencuci dan mengambil air bersih untuk kebutuhan pemukim di masing-masing rumah. Interaksi lain biasanya dilakukan pada saat mereka me‘laut‘ mencari ikan. Biasanya mereka melakukan pekerjaan ini secara bersama-sama baik dalam satu perahu atau berlainan perahu. Mereka akan menuju tempat
atau lokasi
berdasarkan naluri dan petunjuk alam dimana akan memperoleh hasil yang memadai untuk kehidupan keluarganya. Kegiatan itu biasanya dilakukan pada siang hari dan pulang pada keesokan paginya. Laut tidak hanya sebagai Ruang mata pencaharian tetapi merupakan ruang bermain bagi anak-anak. Biasanya mereka melakukannya sambil mencari ikan, sehingga menggunakan sampan (perahu kecil atau lepa-lepa). Masing-masing anak membawa perahu, jika telah memperoleh hasil yang diinginkan, meraka lalu berenang sambil bercanda sebagaimana layaknya anak-anak. Kebiasaan ini dilakukan pada siang atau sore hari setelah pulang dari sekolah.
Gambar 6 Interaksi sosial yang dilakukan pemukim baik pada saat me-laut, di jalan, tempat mandi cuci yang dilakukan pada laut, jalan, bale-bale dan teras atau kolong rumah tinggal . (Hasil Analisis, 2013)
Spasial terbentuk karena Kondisi Fisik Ruang Permukiman Permukiman terdiri atas sekumpulan rumah, dilengkapi dengan fasilitas lingkungan antara lain balai desa, mesjid atau mushollah, sekolah, puskesmas pembantu, tempat mandi cuci, bak air dan jalan atau tetean sebagai akses. Biasanya antar rumah terdapat ruang yang dimanfaatkan sebagai tempat memperbaiki sampan (perahu kecil), begitu pula pada ruang-ruang belakang rumah yang menghadap laut. Pada ruang yang lebih luas dimanfaatkan sebagai tempat membuat atau memperbaiki perahu yang berukuran lebih besar.
273
Sebagian besar permukiman menempati pesisir dan daratan pantai, menyebabkan rumah-rumah berbentuk panggung menggunakan ketinggian tiang yang bervariasi sesuai ketinggian lahan dan pasang-surut air. Rumah tinggal mempunyai tiang setinggi ± 2-3 m, sedang pada permukiman pesisir pantai biasanya mempunyai ketinggian lebih rendah yaitu ± 1,5-2 m. Kolong rumah biasanya dimanfaatkan sebagai tempat pemeliharaan binatang piaraan atau menyimpan alat untuk menangkap sumber daya laut. Rumah tinggal dan laut dihubungkan oleh bagian belakang rumah tinggal yang disebut sebagai lego-lego atau ruang tambahan. Dalam perkembangannya, jalan sebagai pusat orientasi sehingga lego-lego pada bagian belakang yang menghadap laut pindah pada bagian depan rumah.
Ruang ini tidak saja sebagai akses ke laut tetapi juga
sebagai ruang istirahat, tempat menyimpan hasil yang diperoleh selama me-laut, dan alat-alat penangkap ikan. Rumah tinggal berbentuk panggung dihubungkan dengan jalan berbahan pasir atau beton Tanggul sepanjang pantai sebagai “Ruang Pertahanan”
Mesjid sebagai pusat lingkungan permukiman dan Ruang sakral
Gambar 7 Kondisi fisik Ruang permukiman, lego-lego atau ruang depan sebagai akses dan ruang interaksi pemukim, ruang-ruang antara sebagai tempat membuat dan memperbaiki lepa-lepa (sampan), lepa (perahu). (Hasil Analisis, 2013)
KESIMPULAN 1.
Pembentukan spasial permukiman vernakular pesisir sangat tergantung pada kondisi fisik permukiman, yang terbentuk oleh pengaruh alam, lingkungan dan perilaku pemukimnya. Hal ini terjadi sebagai proses adaptasi terhadap kondisi fisik dan lingkungannya.
274
2.
Spasial permukiman membentuk pola sejajar mengikuti garis pantai dan jalan sebagai arah hadap rumah yang berfungsi sebagai akses dan ruang publik dan pusat orientasi. Orientasi lain yang bersifat privat yaitu laut sebagai Ruang Utama sehingga ruang-ruang bagian belakang rumah tinggal menghadap ke laut. Pusat permukiman adalah mesjid atau mushollah sebagai ruang sakral dan ruang publik.
3.
Kepercayaan terhadap kekuatan alam mempengaruhi penempatan ruangruang sakral sebagai Ruang Pertahanan terhadap bencana.
DAFTAR PUSTAKA Bacon, Edmun. 1967 dan 1975. Design of Cities. Thames and Hudson, London. Doxiadis, CA. 1957. Ekistics An Introduction to The Science of Human Settlements. Hutchinson, London. Groat, L and D. Wang. 2020. Architectural Research Methods. John Wiley and Sons, New York. Guba, GE and Lincoln, SY. 1985. Naturalistic Inquiry. Sage Publications Inc, Beverly Hills. Haryadi dan Setiawan. 1995 dan 2006. Arsitektur Lingkungan dan Perilaku : Suatu Pengantar ke Teori, Metodologi dan Aplikasi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan, Jakarta. Hiller, Bill. 1989. The Architecture of The Urban Object dalam Ekistics : The Problems and Science of Human Settlements. Vol. 56 nr 334/335, Januari/February-March/April 1989. Madanipour. 1996. Design of Urban Space : An Inquiry into Sosio-Spatial Process. John Wiley and Sons, Chichester. Oliver, Paul.1987. Dwellings The House Across The World. Phaidon Press Limited, Oxford, UK. Rapoport, Amos. 1977. Human Aspects of Urban Form : Towards A Nonverbal Communication Approach to Urban Form and Design. Pergamon Press, New York. --------. 1969. House Form and Culture. Prentice Hall, New Jersey. Waterson, R. 1990. The Living House, An Antropology of Architecture in South East Asia. Oxford University Press, Singapore.
275
STUDI KARAKTERISTIK LENTUR BALOK BETON BERTULANG BERAGREGAT STYROFOAM Yasser 1, Herman Parung 2, M. Wihardi Tjaronge3, Rudy Djamaluddin 4 1
Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, 234 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin,
email :
[email protected],
[email protected],
[email protected], 4
[email protected]
ABSTRAK Pada umumnya beban lentur yang bekerja pada elemen struktur balok beton ditahan oleh serat terluar pada daerah tekan sementara daerah tariknya diabaikan. Oleh karena itu sangat beralasan jika bagian balok beton pada daerah tarik diminimalkan dengan pengurangan massa beton pada daerah tarik dengan mengabaikan tegangan tarik beton saat menerima beban statis atau pada daerah tersebut diisi dengan styrofoam concrete (styrocon). Salah satu upaya untuk mengefesienkan nilai ekonomis beton dengan mereduksi beton dan menggunakan styrocon sehingga komponen volume material alam, seperti: pasir tambang, agregat kasar, dan semen serta berat konstruksi menjadi lebih kecil. Styrofoam sebagai limbah dapat digunakan sebagai pengisi untuk mengurangi volume beton, terutama untuk daerah dimana penampang beton tidak bekerja secara mekanik. Sebagai usaha untuk mempelajari kekuatan lentur balok beton bertulangan luar dan komposit beragregat styrofoam, maka dilakukan serangkaian pengujian. Bahan uji berupa balok dengan dimensi 15 cm x 20 cm x 270 cm. Bahan uji terdiri dari balok normal mutu beton 26.0 MPa dengan tulangan transversal sebagai bahan uji kontrol dan bahan uji dengan bertulangan luar transversal serta sistem rangka dan komposit beragregat styrofoam. Pada balok komposit normalstyrocon dengan variasi kandungan styrofoam. Balok diletakkan pada 2 tumpuan sederhana dengan pengujian metode pembebanan 2 titik. Hasil menunjukkan kekuatan lentur balok beton normal 36.7 kN, tetapi pada balok bertulangan luar transversal menurun 30.6 kN, tetapi balok bertulangan luar sistem rangka relatif sama 35.8 kN. Namun balok bertulangan luar rentan terhadap korosi dan kebakaran serta memerlukan perawatan. Oleh karena itu digunakan styrocon pada bagian terluar dengan kandungan styrofoam sebesar 30%, 40%, dan 50% yang memiliki kekuatan lentur masing-masing 33.8 kN, 31.0 kN, dan 29.0 kN. Sehingga dapat disimpulkan bahwa menggunakan balok beton komposit normalstyrocon dapat mengefesienkan penggunaan material alam pada balok beton dan mereduksi berat konstruksi serta memiliki aspek lingkungan dengan menggunakan limbah buangan. Kata-kata kunci: Kekuatan lentur, Balok beton berlapis, Styrocon, Tulangan luar, Beban monotonik.
PENDAHULUAN Beton masih merupakan salah satu bahan yang paling banyak digunakan di seluruh dunia dan diperkirakan bahwa produksi global tahunan lebih dari 2 miliar 21 276
meter kubik (Jacobsen, 2006). Terbentuk dari suatu campuran yang mengeras dari semen, air, agregat halus dan agregat kasar. Sebagai bahan utama penyusun beton merupakan bahan alam yang semakin berkurang jumlahnya sehingga perlu peningkatan kajian untuk mengefisienkan material alam yang digunakan pada desain optimum struktur bangunan, khususnya pada gelagar jembatan. Gambar 1 memperlihatkan implementasi perletakan sendi-rol pada elemen konstruksi.
Gambar 1 Aplikasi sumple beam Dari berbagai teori yang berkaitan dengan analisis elemen struktur balok beton, diketahui bahwa bagian yang kekuatannya bekerja secara maksimal dalam menahan gaya lentur hanya bagian terluarnya saja. Itupun pada bagian beton yang mengalami tekan, sedangkan bagian beton yang mengalami tarik, kekuatannya diabaikan (Nawy, 1998). Oleh karena itu tidak efisien apabila bagian inti beton yang tidak bekerja secara maksimal terbuat dari jenis beton yang sama dengan yang bekerja secara maksimal. Melihat ketidakefisien tersebut maka timbulah pemikiran untuk membuat beton yang terdiri dari beberapa lapisan yang berbeda (Schaumann, dkk., 2008). Gambar 2 memperlihatkan balok beton yang terdiri dari beberapa lapisan berbeda. Dengan ini, kita bisa mengefesienkan desain elemen struktur balok yang terbuat dari beton dengan cara menggunakan beton normal pada lapisan tertentu sedangkan bagian lainnya diisi dengan beton ringan styrocon yang menggunakan styrofoam. Dengan digunakannya styrocon maka secara total berat beton dan struktur pun akan menjadi lebih ringan yang secara otomatis akan memperkecil dimensi struktur, sehingga desain optimal pun bisa dicapai. Namun beton ringan memiliki kelemahan seperti kekakuan yang lebih rendah serta susut dan rangkak yang lebih besar. Oleh karena itu material ini cenderung ditempatkan pada posisi didekat garis netral atau bagian bawah. Dengan diefisienkannya lapisan beton yang
277
bekerja dalam menahan lentur, secara teoritis, dengan melihat kekurangan dan kelebihan dari beton normal dan ringan, diharapkan kombinasi dari kedua jenis beton tersebut menjadi komposit, sehingga masing-masing jenis beton dapat saling menutupi kekurangan masing-masing.
Gambar 2 Penampang balok beton berlapis Styrofoam atau expanded polystyrene dikenal sebagai gabus putih yang biasa digunakan sebagai pembungkus barang elektronik sering menjadi sampah buangan. Gambar 3 memperlihatkan contoh styrofoam. Polystyrene ini dihasilkan dari styrene (C6H5CH9CH2) yang tidak dapat terurai oleh tanah sehingga mengurangi kualitas kesuburan lahan, jika dibakar menghasilkan oksida karbon (COx) yang memicu pemanasan global serta sisa pembakaran menjadi plastik cair yang mengakibatkan pencemaran tanah dan air. Oleh karena itu perlu teknologi beton yang berwawasan lingkungan dengan me-reuse limbah tersebut pada elemen struktur balok untuk me-reduce pencemaran tersebut sehingga penggunaan beton ringan styrocon pada lapisan inti/ bawah balok berlapis normalringan selain mengurangi berat konstruksi juga memiliki aspek lingkungan.
Gambar 3 Styrofoam TINJAUAN PUSTAKA Penggunaan material styrofoam pada beton dengan memanfaatkan limbah dapat menurunkan biaya konstruksi beton, memperlambat timbulnya panas hidrasi, menurunkan berat jenis beton, dan mengurangi beban gempa yang bekerja lebih kecil karena berat struktur beton berkurang (Satyarno, 2006; Giri,
278
dkk.,2008). Yang pada akhirnya eksploitasi material alam seperti pasir, kerikil, dan semen untuk bahan bangunan dapat dikurangi. Motivasi untuk menyelidiki kinerja seperti balok berlapis beton normal dan ringan adalah untuk merancang elemen struktur yang memanfaatkan sifat yang paling menguntungkan dari dua mutu beton yang berbeda dan mereka dalam satu penampang. Balok berlapis digunakan dalam aplikasi yang memerlukan kekakuan lentur yang tinggi dan kekuatan dikombinasikan berat yang rendah (Skjølberg dan Hansson, 2010;
Ness dan Overli, 2011).
Studi penggunaan tulangan sistem rangka pada elemen struktur telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Salmon dan Einea (1995) yang menggunakan steel trusses untuk mereduksi lendutan pada panel cangkang. Deshpande dan Fleck (2001) melakukan eksperimental pada balok sandwich, yang terdiri dari inti truss segitiga face-sheets, yang telah dicetak dengan aluminiumsilikon alloy dan silikon in brass untuk mendapatkan kekakuan efektif makroskopik dan kekuatan lembaran face-sheets dan inti tetrahedral. Kocher, dkk. (2002) menyajikan pendekatan teoritis untuk mempelajari beberapa isu yang berkaitan dengan desain struktur sandwich dengan diperkuat polimer rangka pada inti
berongga
dengan
menggunakan
model
analisis
sederhana
yang
menggambarkan kontribusi untuk mengatasi stabilitas struktur yang berongga pada inti. Liu dan Lu (2004) meneliti sebuah prosedur optimasi multi-parameter pada panel sandwich ultralightweight truss-core. Detail konfigurasi dan ukuran untuk kedua facesheets dan struts individu dalam panel sandwich yang dioptimalkan. Optimasi meningkatkan kinerja struktural dari setiap panel pada kasus multiple loading dan meminimalkan berat struktural secara simultan. Kabir (2005) mengembangkan suatu metode untuk menyelidiki karakteristik mekanik panel dinding sandwich 3D pada beban geser dan lentur statis, dalam rangka untuk memahami komponen struktural tersebut. Secara umum penelitian terkait dengan pemanfaatan limbah syrofoam untuk digunakan pada elemen struktur balok untuk keperluan efesiensi penggunaaan material alam pada beton serta penerapan teknologi konstruksi yang berwawasan lingkungan. Terkait dengan hal tersebut adalah penting untuk memperluas penggunaan styrofoam untuk menggunakan kembali limbah tersebut. Untuk
279
melakukan studi aplikasi bahan styrofoam untuk subtitusi material alam, maka telah dilakukan serangkaian studi analitis dan pengujian eksperimental. Tulisan ini menyajikan hasil dari studi dimaksud yang terkait dengan kapasitas lentur balok beton berlapis dengan menggunakan bahan styrofoam. Styrofoam atau expanded polystyrene dikenal sebagai gabus putih yang biasa digunakan sebagai pembungkus barang-barang elektronik sering menjadi sampah buangan. Polystyrene ini dihasilkan dari styrene (C6H5CH9CH2) yang tidak dapat terurai oleh tanah sehingga mengurangi kualitas kesuburan lahan, jika dibakar menghasilkan oksida karbon (COx) yang memicu pemanasan global serta sisa pembakaran menjadi plastik cair yang dapat mengakibatkan pencemaran tanah dan air. Oleh karena itu perlu teknologi beton yang berwawasan lingkungan dengan me-reuse limbah tersebut pada elemen struktur balok untuk me-reduce pencemaran tersebut. Sehingga penggunaan beton ringan styrocon pada lapisan inti atau bawah balok berlapis normal-ringan selain mengurangi berat konstruksi juga memiliki aspek lingkungan. METODE PENELITIAN Gambar 4 memperlihatkan bahan uji untuk masing-masing balok normal (BN), balok bertulangan luar tranversal (BTL), balok bertulangan luar system rangka (BTR), balok normal-styrocon dengan kandungan styrofoam 30% (BSC30), balok normal-styrocon dengan kandungan styrofoam 40% (BSC40), dan balok normal-styrocon dengan kandungan styrofoam 50% (BSC50). Bahan uji BN dimaksudkan sebagai balok kontrol atau sebagai pembanding sedangkan BTL, BTR, BSC30, BSC40, dan BSC50 sebagai competitor, balok mana yang memberikan kekuatan dan efesiensi penggunaam material alam.
(a) Balok BN
(b) Balok BTL
280
(c) Balok BTR
(d) Balok BSC30
(e) Balok BSC40
(f) Balok BSC50
Gambar 4 Detail bahan uji Semua bahan uji adalah balok dengan dimensi panjang 270 cm, lebar balok 15 cm, dan tinggi balok 20 cm pada Gambar 5. Balok beton bertulang direncanakan memiliki tulangan tarik 3 batang tulangan 20 cm dengan tulangan geser berdiameter 6 mm. Untuk memudahkan perakitan tulangan, maka pada sisi tekan juga diberi tulangan dengan diameter 6 mm. Bahan beton direncanakan memilki kuat tekan 25 MPa. Tabel 1
Karakteristik beton dan baja tulangan Beton Parameter Tegangan Tekan Tegangan Tarik Tegangan Lentur Modulus Elastisitas
Baja Nilai 26.0 MPa 3.0 MPa 3.81 MPa 23219 MPa
Parameter fy fymax εs Es
Nilai 458.27 MPa 442.32 MPa 0.00253 209787 MPa
Proses pengecoran dilakukan sesuai standar yang baku dan dilakukan proses perawatan beton selama 28 hari sepert pada Gambar 7. Untuk memeriksa sifatsifat beton dilakukan pengujian tekan dan uji belah pada bahan uji silinder selain uji kuat tarik menggunakan bahan uji balok. Secara rinci sifat-sifat beton dan tulangan baja disajikan pada Tabel 1.
281
Tabel 2
Spesifikasi expanded polystyrene/styrofoam
Pengujian dilakukan pada balok BN di atas suatu bentang sederhana dengan membebani balok secara sentries pada 2 titik pembebanan berjarak 525 mm.
Gambar 5 Persiapan dan pengecoran bahan uji balok Berdasarkan teori lentur beton bertulang (Wight dan MacGregor, 2005), titik leleh tulangan ditandai dengan terjadinya perubahan kekakuan balok secara nyata. Oleh karena balok direncanakan dalam kondisi berttulangan lemah (under reinforcement) maka perubahan kekakuan tersebut akan disebabkan oleh melelehnya tulangan seperti diilustrasikan pada Gambar 6.
Gambar 6 Tipikal hubungan beban-lendutan untuk balok bertulangan lemah Dari hasil pengujian berat volume styrofoam, diperoleh nilai berat volume styrofoam 22,612 kg/m3 dan nilai faktor gembur sebesar 0,61. Dimana, berat volume styrofoam diperoleh dari perbandingan berat padat styrofoam 354,8 kg gr dengan volume padat styrofoam 15690,48 cm3. Dan nilai faktor gembur diperoleh
282
dari perbandingan antara volume padat 15690,48 cm3 dengan volume gembur 25636,73 cm3. Karakteristik bahan dasar Styrofoam disajikan pada Tabel 2.
Gambar 7 Perawatan bahan uji balok
Gambar 8 Metode pembebanan balok Pengujian dilakukan dengan metode pembebanan seperti pada Gambar 8, balok beton bertulang normal (BN). Balok diuji diatas tumpuan sederhana dengan jarak antara tumpuan 2500 mm. Pembebanan diberikan dalam bentuk pembebanan 2 titik berjarak 500 mm secara sentries pada tengah bentang. Pembebanan dilakukan secara bertahap per 1 kN dengan menggunakan jack hidrolis secara manual. Pengukuran lendutan dilakukan dengan menempatkan 3 buah dial gauge pada titik tengah bentang dan pada titik pembebanan. Pembacaan beban dasn dial dilakukan pada stiap kenaikan beban 1 kN. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap retakan yang terjadi. Retak yang muncul selanjutnya di sketsa. Untuk mengamati penjalaran retakan, maka dipilih 3 retakan utama untuk dianalisis. Estimasi Kapasitas Lentur Gambar 9. Mengilustrasikan asumsi dasar regangan penampang, tegangan dan gaya-gaya dalam pada analisis kapsitas lentur. Asumsi tersebut berdasar pada kondisi penampang bertulangan lemah (ρs<ρsb). Berdasarkan teori lentur beton bertulang (Wight dan MacGregor, 2005), maka diasumsikan juga pada analisis ini bahwa terjadi hubungan regangan yang bervariasi linier pada penampang rekatan
283
yang sempurna antara baja tulangan dengan beton serta regangan beton pada kondisi hancur adalah 0,003. Selain itu juga diasumsikan bahwa tegangan pada penampang tekan beton saat kapasitas ultimit adalah segiempat serta tulangan baja berprilaku elasto-plastis. Pada suatu kondisi tertentu balok dapat menahan beban yang terjadi hingga regangan tekan lentur beton maksimum (ε‘c)maks mencapai 0.003 sedangkan tegangan tarik tulangan mencapai tegangan Ieleh fy. Jika hal itu terjadi, maka nilai fs = fy dan penampang dinamakan mencapai keseimbangan regangan (penampang bertulangan seimbang). Berdasarkan pada asumsi yang telah dikemukakan di atas, dapat dilakukan pengujian regangan, tegangan, dan gaya-gaya yang timbul pada penampang balok yang bekerja menahan momen batas (Mu), yaitu momen yang timbul akibat beban luar pada saat terjadi kehancuran. Kuat lentur balok beton terjadi karena berlangsungnya mekanisme tegangan-regangan dalam yang timbul di dalam balok, pada keadaan tertentu dapat diwakili oleh gaya-gaya dalam. Dimana ND merupakan resultan gaya tekan dalam dan merupakan resultan gaya tekan pada daerah yang berada diatas garis netral. Sedangkan NT adalah merupakan resultan gaya tarik dalam dan merupakan seluruh gaya tarik yang direncanakan untuk daerah yang berada di bawah garis netral. Resultan gaya tekan dalam dan resultan gaya tarik dalam arah garis kerjanya sejajar, sama besar namun berlawan arah dengan jarak z sehingga membentuk kopel momen tahanan dalam, dimana nilai maksimumnya disebut sebagai kuat lentur. Momen tahanan dalam tersebut akan memikul momen lentur rencana aktual yang diakibatkan oleh beban luar. Untuk tujuan perencanaan pada kondisi balok dibebani harus disusun sesuai dengan komposisi dimensi balok beton dan jumlah luasan tulangan yang dapat menahan momen akibat beban luar. Terlebih dahulu adalah mengetahui resultan total gaya beton tekan ND, dan letak garis kerja gaya dihitung terhadap serat tepi tekan terluar, sehingga jarak z dapat dihitung. Nilai ND dan NT dapat dihitung dengan menyederhanakan bentuk distribusi tegangan lengkung dirubah dengan bentuk ekivalen yang lebih sederhana, dengan memanfaatkan nilai intensitas tegangan rata-rata agar nilai dan letak resultan tidak berubah.
284
Gambar 9 Model tegangan-regangan Berdasarkan bentuk empat persegi panjang, intensitas tegangan beton tekan rata-rata ditentukan sebesar 0,85 f‘c dan diasumsikan bekerja pada daerah tekan dan penampang balok selebar b dan setinggi a, besarnya dapat ditentukan dengan persamaan : a = β1 c
(1)
Untuk balok underreinforced keruntuhan lentur ditandai dengan melelehnya tulangan sementara tegangan yang terjadi pada beton kecil (fc< fc‘). Batas elastic dimana nilai fs=fy. Sehingga momen yang terjadi seperti persamaan berikut: My = fy.As.jd
(2)
Setelah tegangan baja yang terjadi sama dengan tegangan leleh baja maka hal ini dikatakan balok sudah mengalami lentur daktail. Dalam keadaan lentur daktail balok mengalami deformasi tanpa terjadinya keruntuhan pada tulangan tarik. Dari persamaan keseimbangan gaya Cc+Cs = T, maka: As.fy = 0,85fc.b.a + As’.fy
(3)
a = (As.fy - As’.fy)/( 0,85fc.b)
(4)
atau
sedangkan untuk menentukan momen ultimit: Mu = 0,85.fc.a.b(d-a/2) + As’.fy(d-d’)
(5)
Tabel 3 menyajikan hasil estimasi momen ultimit untuk masing-masing bahan uji dengan menggunakan sifat-sifat material yang disajikan pada Tabel 2. Momen retak awal diestimasi menggunakan teori lentur elastis (Wight et.al. 2005). Untuk momen ultimit, estimasi dilaksanakan berdasarkan kondisi dimana
285
terjadi kegagalan tekan pada beton setelah tulangan baja meleleh dengan menggunakan pers. (5). Dari Tabel 3 berdasarkan estimasi dapat diketahui bahwa untuk balok bertulang biasa (BN) memiliki beban ultimit sebesar 28.77 kN. Untuk balok bertulangan luar relatif sama, namun pada tulangan sistem rangka memperlihatkan peningkatan. Untuk balok komposit normal-styrofoam menunjukkan kondisi yang lebih baik dibanding balok bertulangan luar. Sehingga dapat mengefesiensikan penggunaan material alam serta memanfaatkan kembali limbah tersebut pada elemen struktur balok. Tabel 3
Estimasi momen retak awal dan momen ultimit Kode Balok BN BTL BTR BSC30 BSC40 BSC50
Retak Awal Mcr(kN.m) Pcr(kN) 4.28 7.54 1.21 2.00 2.82 4.50 2.05 3.02 1.56 2.01 1.22 1.34
Momen Ultimit Mu(kN.m) Pu(kN) 14.77 28.77 12.51 28.77 14.84 28.90 15.09 29.42 15.09 29.42 15.09 29.42
Rasio (x/BN) 1.00 1.00 1.00 1.00 1.02 1.02
HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan Beban dan Lendutan Gambar 10 menunjukkan hubungan antara beban dan lendutan dari masingmasing bahan uji. Pada balok BN, awal pembebanan masih berupa garis lurus yang memperlihatkan perilaku elastic sampai beban rata-rata 8 kN (working stage). Sejalan dengan peningkatan beban, hubungan beban dan lendutan lebih landai dibandingkan dengan sebelumnya. Hal ini terjadi sampai pada beban ratarata 32 kN (yielding stage). Pada saat baja tulangan mengalami leleh yang ditandai dengan peningkatan lendutan yang besar tanpa diikuti dengan peningkatan beban yang berarti, kurva hubungan beban dan lendutan yang jauh lebih datar dibanding sebelumnya. Hal ini terjadi sampai beban ultimate rata-rata 37 kN (collapse stage).
286
Gambar 10 Hubungan beban dan lendutan Pada balok BTL response ultimate lebih rendah dari BN dan relatif bersifat brittle. Sedangkan pada BTR dengan tulangan system rangka memperlihatkan peningkatan beban ultimate dibandingkan dengan BTL namun tetap tidak ductile. Balok BSC30 memperlihatkan kondisi yang lebih daktail dibandingkan dengan BN dengan penambahan styrofoam sebesar 30 % pada bagian tarik beton, Sehingga dapat menefesiensikan penggunaan material alam serta memanfaatkan kembali limbah tersebut pada elemen struktur balok. Balok BSC40 dan BSC50, kapasitas masing-masing menurun dibandingkan BSC 30. Tabel 4
Beban retak dan beban ultimit hasil pengujian Eksperimental
Teoritis Kode Balok BN(1) BN(2) BN(3) BTL(1) BTL(2) BTL(3) BTR(1) BTR(2) BTR(3) BSC30(1) BSC30(2) BSC30(3) BSC40(1) BSC40(2) BSC40(3) BSC50(1) BSC50(2) BSC50(3)
287
Pcr (kN)
Pu (kN)
7.54
28.77
2.00
28.77
4.50
28.90
3.02
29.42
2.01
29.42
1.34
29.42
Pcr (kN) 8.00 8.00 8.00 2.00 2.00 2.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 3.00 3.00 3.00 2.00 2.00 2.00
Pu (kN) 37.50 36.00 36.50 32.30 31.50 28.00 36.60 35.10 35.60 34.00 33.00 34.50 30.50 31.00 31.50 29.00 29.00 29.00
Rasio (x/BN) exp. 1.00 1.00 1.00 0.881 0.859 0.764 0.998 0.957 0.971 0.927 0.900 0.941 0.832 0.845 0.859 0.791 0.791 0.791
Exp/ Teoritis 1.303 1.251 1.269 1.123 1.095 0.973 1.266 1.215 1.232 1.156 1.122 1.173 1.037 1.054 1.071 0.986 0.986 0.986
Gambar 11 Tingkat deviasi antara hasil test dengan estimasi teoritis
(a) Bahan uji BN
(b)
Bahan uji BTL
(c) Bahan uji BTR
(d) Bahan Uji BCS 30
(e) Bahan uji BSC40
(f) Bahan uji BSC 50
Gambar 12 Arah rambatan retak Kapasitas Lentur Tabel 4 menyajikan ringkasan beban pada saat retak awal dan saat beban ultimit dari masing-masing balok normal (bahan uji BN), balok bertulang luar (bahan uji BLT dan BTR), dan balok komposit normal-styroco (bahan uji BSC30, BSC40, dan BSC40). Secara umum beban ultimit untuk semua bahan uji hasil pengujian memiliki rasio kesamaan yang cukup baik dibandingkan dengan estimasi teoritis sebagaimana terlihat pada Gambar 11 yang menunjukkan tingkat deviasi antara hasil test dengan estimasi teoritis. Beban ultimit balok BSC50 hasil pengujian yang dicapai pada tingkat beban 29.0 kN. Jika dibandingkan dengan estimasi teoritis dengan menggunakan asumsi regangan dan tegangan yang dipaparkan di atas, menunjukkan hasil yang cukup baik dengan rasio kesamaan 98.6 %. Hal ini mengindikasikan bahwa bahan uji BSC50 berperilaku sebagaimana diasumsikan pada estimasi teoritis. 288
Untuk bahan uji BTL memiliki kapasitas lentur yang paling rendah dengan benda uji lain terhadap bahan uji BN serta berperilaku getas. Balok BTR paling mendekati kapasitas lentur BN, namun memperlihatkan karakteristik yang tidak daktail. Kapasitas lentur balok BSC30 juga mendekati balok BN dan memperlihatkan perilaku yang lebih daktail bahan uji pembanding tersebut, yang memberikan efesiensi penggunaan material alam, seperti : pasir, kerikil, dan semen sebesar 30 % pada tension area. Selain itu menggunakan kembali limbah atau buangan sampah gabus putih pembungkus alat-alat elektronik tersebut. Bahan uji BSC40 dan BSC50 memiliki beban ultimate yang lebih rendah. Sehingga kurang memberikan kapasitas lentur dibandingkan bahan uji BN. Pola Retak dan Pola Kegagalan
(a) Bahan uji BN
(b) Bahan uji BTL
(c) Bahan Uji BTR
(d) Bahan uji BSC30
(e) Bahan uji BSC40
(f) Bahan uji BSC50
Gambar 13 Pola penjalaran retak Secara umum pola retak sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 12 adalah merupakan retak lentur yang mulai saat tegangan yang terjadi melebihi tegangan tarik material beton. Penambahan beban akan menyebabkan menjalarnya rekatan mengarah ke atas menuju garis netral balok serta munculnya retakan baru. Balok mengalami keruntuhan pada beban maksimum yang ditandai dengan melebarnya retak dan melelehnya baja tulangan yang ditandai dengan lendutan
289
yang besar sampai balok mengalami hancur pada serat tekan. Pada balok beton bertulang beragregat styrofoam, panjang retak yang terjadi lebih lambat daripada panjang retak pada balok beton bertulang normal (BN). Monitoring terhadap penjalaran 3 retak pada masing-masing bahan uji disajikan pada Gambar 13. Nampak dapat diamati pada balok BN bahwa retak mulai menjalar saat beban berada pada level sekitar 8 kN. Retakan terus menjalar hingga tercapai beban ultimate balok. Pada balok bertulangan luar BTL dan BTR dapat diamati retakan mulai menjalar setelah beban berada pada level yang sedikit lebih tinggi dari beban retak awal balok BN, namun lebih cepat collapse karena retakan awal sudah berada pada compression area balok beton tersebut. Berdasarkan pola retak serta phenomena penjalaran retak seperti yang ditunjukkan pada Gambar 12 dan Gambar 13, dapat disimpulkan bahwa balok yang beraggregat styrofoam memberikan keuntungan dan kondisi yang lebih baik, pada panjang perambatan pola retak yang tidak langsung menuju keatas, dibandingkan balok normal (BN) serta balok bertulangan luar (BTL dan BTR), dikarenakan styrocon dengan penambahan expanded polistyerene lebih memiliki elongation daripada beton normal.
(a) Bahan uji BN
(b)
Bahan uji BTL
(c) Bahan Uji BTR
(d) Bahan uji BSC30
(e) Bahan uji BSC 40
(f) Bahan uji BSC 50
Gambar 14 Keruntuhan pada bahan uji
Gambar 14 memperlihatkan foto-foto bahan uji yang mengalami kerusakan. Semua benda uji memperlihatkan keruntuhan lentur. Namun pada bahan uji BTR dengan tulangan sistem rangka memperlihatkan reduksi deflection, tetapi setelah beton bagian tekan retak langsung mengalami failure. Pada balok normal (BN) kerusakan juga terjadi sampai bagian upper beton. Sedangkan pada beton komposit normal-styrocon keruntuhan sampai pada tinggi blok tegangan 290
segiempat Whitney, disebabkan kuat tarik beton beragregat styrofoam memiliki kuat tarik yang lebih baik dari beton normal. KESIMPULAN Berdasarkan pengujian dan analisis, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Hubungan beban dan lendutan pada balok beton komposit normal-styrocon dengan penambahan 30% styrofoam memperlihatkan perilaku yang cukup baik pada daktalitas perpindahan dibandingkan balok beton normal. Selain itu dapat mengefesiensikan penggunaan material alam, seperti : pasir, kerikil, dan semen sebesar 30 % pada penampang tarik dan mengurangi berat konstruksi serta memanfaatkan kembali limbah atau sampah buangan gabus putih pembungkus alat elektronik. 2. Kapasitas lentur balok beton komposit normal-styrocon dengan penambahan 30% styrofoam, memiliki kemampuan menaham beban ultimit sebesar 34.5 kN, serta penambahan material expanded polistyerene pada tension area mengakibatkan styrocon memiliki elongation yang lebih dibandingkan beton normal, sehingga memiliki kelenturan yang lebih baik pula. 3. Pada balok beton komposit normal-styrocon dengan penambahan 30% styrofoam panjang retak yang terjadi lebih lambat daripada panjang retak pada balok beton bertulang normal dan balok beton bertulangan luar dimana perambatan pola retak yang tidak langsung menuju keatas. 4. Hasil pengujian yang dicapai menunjukkan hasil yang cukup baik dengan rasio kesamaan 98.6% dibandingkan dengan estimasi teoritis, hal ini mengindikasikan bahwa bahan uji berperilaku sebagaimana diasumsikan pada estimasi teoritis. 5. Ada potensi kehilangan daya rekatan antara lapisan beton normal dan lapisan styrocon pada balok beton komposit yang timbul akibat pergeseran (sliding),terkelupas (bonding), kerutan (wrinkling), dan lekukan (indentation) pada permukaan kedua lapisan tersebut. 6. Perlu dikembangkan metode perkuatan kemampuan rekatan antara kedua lapisan beton komposit normal-styrocon tersebut untuk meningkatkan kekuatan dan kestabilan pada balok beton berlapis tersebut. 291
DAFTAR PUSTAKA Despandhe, V. S. and Fleck, N. A. 2001. Collapse of Truss Core Sandwich Beams in 3-Point Bending. International of Solid and Structures, Pergamon, 38, 6275-6305. Giri, I. B. D., Sudarsana, I. K., dan Tutarani, N. M. 2008. Kuat Tekan dan Modulus Elastisitas Beton dengan Penambahan Styrofoam (Styrocon). Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 12, No. 1, Denpasar. Jacobsen, S. (2006). Lecture Notes, BM3. Trondheim: NTNU. Kabir, M. Z. 2005. Structural Performance of 3-D Sandwich Panel Under Shear and Flexural Loading. Journal of Scientica Iranica, Vol. 12 No. 4, October 2005, 402-408. Kocher, C., Watson, W., Gomez, M. and Birman, V. 2002. Integrity of Sandwich Panels ands Beams with Truss-Reinforced Cores. Journal of Aerospace Engineering, ASCE, Vol. 15, No. 3, July, 111-117. Liu, J. S. and Lu, T. J. 2004. Multi-Objectif and Multi-Loading Optimization of Ultraweight Truss Material. International Journal of Solids and Structures, Elsevier, 41 (2004), 24 September 2004, 619-635. Nawy, E. G. (1998). Reinforced Concrete A Fundamental Aproach. Third Edition, Prentice-Hall, Inc. Nes, L. G. and Overli, J. A. 2011. Composite and Hybrids Investigation of Material Parameters and Structural Performance of a Concrete Sandwich Slab Element. fib Symposium PRAQUE, Session 5-6. Salmon, D. C. and Einea A. 1995. Partially Composites Sandwich Panel Deflections. Journal of Structural Engineering. ASCE, Vol. 121, No. 4, April, 778-783. Satyarno. I. 2006. Ligthweight Styrofoam Concrete for Lighter and More Wall Ductile. Jurnal HAKI, Yogyakarta. Schaumann, E., Valle, T. and Keller, T. 2008. Direct Load Transmission in Sandwich Slabs with Lightweight Concrete Core. Journal of Tailor Made Concrete Structures-Walraven & Stoelhorst (eds), Taylor & Francis Group, London, 849-855. Skjølberg, O. G. and Hansson, A. 2010. Hybrid Concrete Structures : Experimental Testing and Numerical Simulation of Structural Element. Department of Structural Engineering, Faculty of Engineering Science and Technology, NTNU - Norwegian University of Science and Technology. Wight, J. K. and MacGregor, J. G. (2005). Reinforced Concrete Mechanics and Design. Sixth Edition, Pearson.
292
APLIKASI MODEL MOCKWYN-UB UNTUK MENAKSIR INDEK KEKERINGAN AKIBAT ADANYA PERUBAHAN IKLIM I Wayan Sutapa1 Kandidat Doktor pada Program Doktor Teknik Sipil Universitas Brawijaya, Malang Dosen Teknik Sipil Universitas Tadulako, Palu Email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi pengaruh perubahan iklim terhadap indek kekeringan di Daerah Aliran Sungai Bangga. Investigasi dilakukan dengan menganalisis perbandingan antara defisit air dengan evapotranspirasi potensial. Defisit air dianalisis dari neraca air dengan metode MockWyn-UB sebagai pengembangan dari program FJ. Mock. Skenario pengaruh perubahan iklim didasarkan dari hasil deteksi dan proyeksi perubahan iklim metode Makesens dimana selama periode pengamatan data historis terjadi penurunan hujan tahunan sebesar 20% dan kenaikan suhu sekitar 10C. Kesimpulan dari studi ini adalah: rerata tingkat kekeringan dengan skala kecil terjadi pada bulan Pebruari sampai Agustus; skala sedang terjadi antara bulan September sampai Desember dan skala besar terjadi pada bulan Desember. Setelah perubahan iklim, terjadi peningkatan indek kekeringan antara 15% sampai 60%, dimana tingkat kekeringan skala sedang terjadi pada bulan Pebruari sampai September dan tingkat kekeringan skala besar terjadi pada bulan Januari, Oktober sampai Desember. Kata kunci: perubahan iklim, MockWyn-UB, indek kekeringan, Sungai Bangga
ABSTRACT This study aimed to investigate the effect of climate change on drought index in Watershed Bangga. Investigations carried out by analyzing the ratio between the water deficit of potential evapotranspiration. Water deficit was analyzed by the method of water balance MockWyn-UB as the development of programs FJ. Mock. Effects of climate change scenarios based on the results of the detection and projection of climate change Makesens method whereby historical data during the observation period the annual rainfall decreased by 20% and increase in temperature of about 10C. Conclusions of this study are: the average level of small-scale droughts occurred in February and August; scales occurring between the months of September to December and a large scale took place in December. After climate change, drought index increased from 15% to 60%, where the rate of scale drought going on in February and September and the level of large-scale droughts occurred in January, October and December. Keywords: climate change, MockWyn-UB, drought index, River Bangga
293
22
PENDAHULUAN Air adalah substansi yang paling melimpah di permukaan bumi, merupakan komponen utama bagi semua makhluk hidup, dan merupakan kekuatan utama yang secara konstan membentuk permukaan bumi. Air juga merupakan faktor penentu dalam pengaturan iklim di permukaan bumi untuk kebutuhan hidup manusia (Indarto, 2010). Pengaruh perubahan iklim yang ditandai dengan terjadinya pergeseran musim yang mengakibatkan kemarau panjang sehingga terjadi kekeringan yang berpengaruh terhadap sektor pertanian. Untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya air salah satunya perlu dilakukan analisis neraca air (Nasution dan Djazim Syaifullah, 2005). Secara umum neraca air menyatakan hubungan antara aliran air yang masuk dengan aliran air yang keluar pada suatu daerah pada waktu tertentu. Neraca air tersebut sangat diperlukan untuk mengevaluasi ketersediaan air hujan pada suatu wilayah, khususnya untuk mengetahui kapan dan seberapa besar surplus dan defisit air yang terjadi di wilayah yang ditinjau. Dengan hasil analisis neraca air tersebut dapat dilakukan evaluasi secara tidak langsung terhadap komponenkomponen neraca air yang tidak diketahui besarnya berdasarkan komponenkomponen yang diketahui, seperti defisit atau surplus air pada bulan tertentu di wilayah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi pengaruh perubahan iklim terhadap indek kekeringan (drought index) di Daerah Aliran Sungai Bangga. Investigasi dilakukan dengan menganalisis perbandingan antara defisit air dengan evapotranspirasi potensial. Defisit air dianalisis dari neraca air dengan metode MockWyn-UB sebagai pengembangan dari metode FJ. Mock (Mock, F.J., 1973). Skenario pengaruh perubahan iklim didasarkan dari hasil deteksi dan proyeksi perubahan iklim metode Makesens, dimana selama periode pengamatan data historis terjadi penurunan hujan tahunan sebesar 20% dan kenaikan suhu sekitar 10C (I Wayan Sutapa, dkk, 2013). Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kekurangan / defisit air dan kelebihan/surplusnya dari nilai indek kekeringan sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pengelolaan air di suatu wilayah. Indek kekeringan dibagi dalam tiga skala yaitu skala sedikit (tidak ada) dengan batasan nilainya
294
antar 0 – 16,7 ; skala sedang nilainya antara 16,7 – 33,3dan besar dengan nilai batas antara 33,3 – 100 (Nasution dan Djazim Syaifullah, 2005). TINJAUAN PUSTAKA Pemodelan Hidrologi Model dapat didefinisikan sebagai penyederhanaan/abstraksi dari suatu fenomena alam yang sangat komplek sebagai representasi dari realitas sesungguhnya kedalam suatu seri persamaan matematis atau statistik. Misalnya model fenomena hidrologi. Tujuan dari pembuatan model hidrologi adalah untuk mempelajari siklus air yang ada di alam dan meramalkan outputnya (Indarto, 2010).
Berbagai model dari yang sederhana sampai yang komplek telah
dikembangkan untuk menganalisis dan memprediksi fenomena hidrologi. Pemilihan terhadap suatu model tergantung kepada jenis informasi apa yang dibutuhkan dan bagaimana hasil pemodelan akan diterapkan, jumlah dan jenis asumsi dalam model, jumlah data yang dibutuhkan dan tingkat kompleksitasnya. Ada berbagai cara untuk mengklasifikasi model. Berdasarkan bentuknya, ada model fisik, model analog dan model matematis (Indarto, 2010). Model fisik merupakan reproduksi system riil tetapi dalam ukuran yang lebih kecil, biasanya berupa prototype. Model analog, prinsipnya menggambarkan suatu system yang akan dimodelkan dengan mengambil analogi (kemiripan) dari sistem lain. Misalnya: model aliran air di dalam DAS seperti aliran listrik di dalam suatu rangkaian elektronik. Model matematis, menyatakan persamaan atau suatu seri persamaan yang menggambarkan respon dari suatu komponen atau sistem hidrologi. Model yang baik adalah model yang mampu menirukan perilaku DAS sedekat mungkin. Suatu kriteria biasanya digunakan untuk menilai keandalan suatu model dalam mereproduksi fenomena alam selama proses kalibrasi. Pada prinsipnya, ada dua macam kriteria, yaitu secara visual (grafis) dan dengan menggunakan seperangkat hasil analisa statistik (Indarto, 2010). Secara visual keandalan tersebut diamati dengan melihat koherensi/kemiripan antara output terukur dan terhitung, misalnya: hasil scatter-plot antara debit terukur & terhitung, membuat grafik residual selisih antara debit terukur & terhitung dan perbandingan grafik FDC (Flow duration curve) antara debit terhitung & terukur (Podger, 2004
295
dalam Indarto, 2010). Secara kuantitatif, keandalan model dalam mereproduksi kejadian alam dinilai secara statistik dengan berbagai tolok ukur. Satu atau beberapa fungsi obyektif biasanya digunakan untuk mengukur secara kuantitatif tingkat kesalahan antara yang terhitung dan terukur. Model IHACRES (Croke et al., 2004 dalam Indarto, 2010) menggunakan fungsi obyektif yang terdiri dari: bias, relatif bias, R squared, R2 sqrt, R2 log, R2 inv. Model MockWyn-UB Model MockWyn-UB merupakan pengembangan dari model neraca air dari FJ. Mock (I Wayan Sutapa, 2013) dengan memasukan fenomena-fenomena alam yang terjadi saat ini sebagai hal terbarukan pada penelitian ini seperti perubahan iklim, intersepsi tajuk, sebaran hujan berdasarkan tata guna lahan, jenis tanah dan karakteristik tanah. Model debit yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: a.
Hujan yang jatuh ke bumi sebagian diterima daun tumbuh-tumbuhan dan disimpan pada daun tumbuh-tumbuhan yang disebut interception storage, selanjutnya air hujan tersebut melalui stomata daun mengalami penguapan sebagai transpirasi. Sedangkan air hujan yang jatuh ke permukaan sebagian akan diuapkan kembali ke atmosfer sebagai evaporasi. Pada kondisi nyata di lapangan sangat sulit membedakan antara evaporasi dan transpirasi jika tanahnya tertutup oleh tumbuh-tumbuhan karena kedua proses tersebut saling berkaitan sehingga dinamakan evapotranspirasi.
b.
Air hujan yang tersimpan pada daun tumbuh-tumbuhan sebagian akan jatuh ke permukaan tanah secara menetes (drip) dan sebagian mengalir turun ke tanah merambat melalui batang tumbuhan (throughfall).
c.
Air hujan yang jatuh ke permukaan tanah pada kondisi belum jenuh akan meresap ke lapisan permukaan tanah sebagai infiltrasi. Apabila pada lapisan permukaan tanah (root zone) terus menerus terjadi penambahan air untuk mengisi pori-pori tanah, maka lapisan tanah akan mencapai kapasitas lapang (field capacity). Setelah lapisan tanah permukaan mengalami kondisi jenuh atau air berlebihan, maka air hujan lebih banyak mengalir di permukaan tanah menjadi aliran permukaan (direct runoff). 296
d.
Pada lapisan air tanah, sebagian air tanah yang disimpan menjadi simpanan air tanah (ground water storage) akan mengalir secara kontinyu ke arah horizontal sebagai aliran dasar (baseflow) Tangki model MockWyn-UB sebagai pengembangan dari tangki FJ. Mock
disajikan pada gambar 1.
Gambar 1 Tangki model MockWyn-UB
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Daerah Aliran Sungai Bangga yang merupakan anak Sungai Palu yang secara administrative terletak di Kampung Bangga, Kecamatan Dolo Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah. Secara geografis lokasi Daerah Aliran Sungai Bangga terletak antara 010 15‘07‖ LS - 01021‘30‖ LS dan 1190 49‘20‖ BT – 1190 56‘05‖ BT. Luas Daerah Aliran Sungai Bangga adalah 65,90 km2 dan panjang sungai utama 15,50 km. Lokasi penelitian disajikan pada gambar 1.
297
Peta Sulawesi Tengah
Gambar 2 Lokasi penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang terdiri dari: 1) Data hujan harian dari stasiun Bangga Atas dan Bangga Bawah (1993 – 2011); 2) Data klimatologi dari stasiun Bora (1980 – 2011); 3) Peta topografi skala 1:50.000 ; 4) Peta tata guna lahan/ landuse . Untuk menginvestigasi pengaruh perubahan iklim terhadap indek kekeringan diperlukan metode dan langkah-langkah berikut: 1). Deteksi perubahan iklim; 2) Analisis data hujan; 2). Analisis evapotranspirasi potensial; 3) Aplikasi model MockWyn-UB untuk tanpa perubahan iklim dan dengan adanya perubahan iklim; 4) Analisis indeks kekeringan. Metode perhitungan neraca air MockWyn-UB dilakukan dengan membuat tabel neraca air dari parameter hidrologi dengan melakukan beberapa perhitungan empiris. Beberapa persamaan empiris yang digunakan pada penelitian ini adalah: 1. Curah hujan Curah hujan diperhitungkan berdasarkan luas tata guna lahan PHT = (LHT/LDAS) x PDAS
(1)
PKC = (LKC/LDAS) x PDAS
(2)
PLT = (LLT/LDAS) x PDAS
(3)
2. Curah hujan netto (PNT) Curah hujan netto didasarkan pada vegetasi tutupan lahan dan intersepsi tajuk dengan menggunakan hasil penelitian Dunne dan Leopold (Nugroho Hadisusanto. 2006) -
PNTHT = 0,886P + 0,088
(4)
-
PNTKC = 0,925P + 0,333
(5)
298
-
PNTLT = PLT
(6)
-
TPN = PNTHT + PNTKC + PNTLT
(7)
3. Evapotranspirasi potensial Evapotranspirasi potensial untuk tiap bulannya dihitung dengan persamaan Penman Monteith (Allen G. Richard, 1998) 900 U 2 (es ea ) (T 273) ETo = (1 0,34U 2 ) 4. Evapotranspirasi aktual (ETa) 0,408Rn
(8)
Evapotranspirasi aktual dibagi dua bagian yaitu: -
Jika TPN > ETo maka ETa = ETo
- Jika TPN < ETo, maka ETa = TPN + ΔSM 5. Selisih antara TPN dengan ETo tiap bulan, S = TPN – Eto
(9) (10) (11)
6. Akumulasi hilangnya air potensial (Accumulated Potential Water Loss, APWL) - Pada bulan-bulan kering atau nilai TPN < ETo, dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai selisih (TPN – ETo) setiap bulannya dengan nilai (TPN – ETo) bulan sebelumnya. - Pada bulan-bulan basah (TPN > ETo), maka nilai APWL sama dengan nol 7. Kelembaban tanah (Soil Moisture, SM) -
Pada bulan-bulan basah (TPN > ETo), nilai SM untuk tiap bulannya sama dengan kapasitas lapang (field capacity)
- Pada bulan-bulan kering atau nilai TPN < Eto, nilai SM dihitung dengan persamaan : SM = SMC. e-(APWL / SMC)
(12)
8. Perubahan kelembaban tanah tiap bulannya (ΔSM) 9. Water surplus (WS) atau kelebihan air Kelebihan air terjadi pada bulan-bulan basah (TPN > ETo),diperoleh dengan Jika SM < SMC, maka WS = 0 dan jika tidak maka WS = S 10. Water Deficit (WD) atau kekurangan air , WD = ETo – ETa
(13)
11. Indeks kekeringan, Ia = WD/ETo
(14)
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil perhitungan indek kekeringan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik seperti berikut:
299
Tabel 1
Contoh perhitungan indek kekeringan tahun 1995
300
Dengan cara yang sama, maka rekapitulasi hasil perhitungan indek kekeringan untuk periode 1995-2011 disajikan pada tabel berikut: Tabel 2
Rekapitulasi hasil perhitungan indek kekeringan periode 1995-2011
Gambar 3 Korelasi antara R, ETo dengan Ia, periode 1995-2000
Gambar 4 Korelasi antara R, ETo dengan Ia, periode 2001-2006
302
Gambar 5 Korelasi antara R, ETo dengan Ia, periode 2007-2011
Gambar 6 Korelasi antara R, ETo dengan Ia, rerata bulanan periode 1995-2011
Dari hasil perhitungan pada tabel 2 dan disajikan dalam bentuk grafik pada gambar 3 sampai gambar 5 dapat dijelaskan bahwa dengan nilai evapotranspirasi potensial yang hampir sama sepanjang tahun, maka indek kekeringan (Ia) sangat besar dipengaruhi oleh nilai hujan (R). Pada tahun 1995, 1996 dan 2007 nilai indek kekeringan relative kecil dibandingkan dengan tahun yang lain. Hal ini terjadi karena hujan yang terjadi relative lebih besar dari penguapannya. Nilai indek kekeringan terbesar terjadi pada tahun 2005 (33,65) dan terkecil terjadi pada
tahun 1995. Hal ini mengindikasikan bahwa pada tahun 2005 terjadi kekeringan yang cukup panjang, sedangkan tahun 1995 hampir tidak terjadi kekeringan kecuali pada bulan Desember dengan skala kecil. Korelasi antara hujan, evapotranspirasi dengan indek kekeringan pada gambar 6 menggambarkan bahwa rerata tingkat kekeringan dengan skala kecil terjadi pada bulan Pebruari sampai Agustus; skala sedang terjadi antara bulan September sampai Desember dan skala besar terjadi pada bulan Desember. Hasil analisis indek kekeringan sebelum perubahan iklim (Ia-1) dan setelah perubahan iklim (Ia-2) menunjukkan bahwa setelah perubahan iklim, terjadi peningkatan indek kekeringan antara 15% sampai 60%, dimana tingkat kekeringan sedang terjadi pada bulan Pebruari sampai September dan tingkat kekeringan besar terjadi pada bulan Januari, Oktober sampai Desember. Dengan adanya perubahan iklim, maka terjadi masa kemarau/ kekeringan yang cukup lama dan tidak ada tingkat kekeringan skala kecil. KESIMPULAN Berdasarkan data pengukuran hujan dan iklim (hidroklimatologi) bulanan dalam periode 1980 sampai 2011 yang neraca airnya dianalisis dengan metode MockWyn-UB, dapat disimpulkan bahwa rerata tingkat kekeringan dengan skala kecil terjadi pada bulan Pebruari sampai Agustus; skala sedang terjadi antara bulan September sampai Desember dan skala besar terjadi pada bulan Desember. Setelah perubahan iklim, terjadi peningkatan indek kekeringan antara 15% sampai 60%, dimana tingkat kekeringan skala sedang terjadi pada bulan Pebruari sampai September dan tingkat kekeringan skala besar terjadi pada bulan Januari, Oktober sampai Desember. Hal ini mengindikasikan terjadi kemarau yang cukup panjang. DAFTAR PUSTAKA Allen G. Richard. 1998. Crop Evapotranspiration-Guidelines for Computing Crop Water Requirement-FAO Irrigation and Drainage Paper No. 56, Food Agriculture Organization of the United Nation. Roma. Indarto. 2010. Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi, Edisi Pertama. Bumi Aksara. Jakarta
304
I Wayan Sutapa, Moh. Bisri, Rispiningtati, Lily Montarcih. 2013. Effect of Climate Change on Water Availability of Bangga River, Central Sulawesi of Indonesia, J.Basic Appl. Sci. Res. 3 (2):1051-1058 I Wayan Sutapa. 2013. Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Pemodelan Debit, Disertasi. Universitas Brawijaya. Malang Mock, F.J. 1973. Water Availability Appraisal, Food Agriculture Organization of the United Nation. Bogor. Nasution dan Djazim Syaifullah. 2005. Analisis Spasial Indeks Kekeringan Daerah Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat, Jurnal Air Indonesia (JAI). 1 (2): 235-243. Nugroho Hadisusanto. 2006. Model Simulasi Hujan-AliranSungai Fungsi Simpanan Air Tanah Daerah Aliran Sungai Kali Sayang, Disertasi. Universitas Brawijaya. Malang.
PERUBAHAN PERMUKAAN AIR AKIBAT ADANYA HAMBATAN PILAR PADA BELOKAN SALURAN M. Galib Ishak1, M. Saleh Pallu2, M. Arsyad Thaha3 dan Rita Tahir Lopa4 1
Mahasiswa Program Doktor Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Makassar 2 Professor Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Makassar 3 Associate Professor Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin Makassar 4 Associate Professor Jurusan Teknik Sipil, Universitas Hasanuddin, Makassar email:
[email protected]
ABSTRAK Membangun jembatan dengan pilar ditengah sungai yang berbelok-belok mengakibatkan berubahnya morfologi sungai. Penelitian ini mengkaji pengaruh adanya pilar jembatan yang berakibat berubahnya penampang melintang permukaan air, perubahan kecepatan, meningkatnya turbelunsi air, berubahnya topograpi dasar sungai, dan kedalaman gerusan pada pilar. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan metode kualitatif dengan membuat model saluran di laboratorium. Saluran terbuka dibuat dengan ukuran lebar 0,5 meter dan tinggi saluran 0,5 meter yang terbuat dari fiberglass, model saluran dibagi menjadi tiga bagian dari hulu kehilir yaitu; bagian pertama dengan saluran lurus sepanjang 3 m, bagian kedua saluran dengan belokan 1800 dan jari-jari 0,75 meter, bagian ketiga saluran lurus panjang 2 meter, pada bagian hilir dibuat alat ukur V-Notch dan pintu yang bisa dirubah ketinggiannya sesuai kebutuhan penelitian, pilar yang terbuat dari kayu lebar 2 cm dan 3 cm panjang 10 cm, sedimen 2 mm. Penelitian ini dibatasi pada aliran turbulen subkritis, penelitian dilakukan dengan menempatkan pilar pada awal belokan, kemudian dipindah-pindahkan setiap interval 600 hingga akhir belokan, sedang pengukuran permukaan air, distribusi kecepatan, permukaan sedimen, dan kedalam gerusan pada setiap koordinat penempatan pilar dilaksanakan dengan interval 300 mulai dari awal belokan hingga akhir belokan. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah; menentukan besaran koefisien superelevasi sepanjang belokan saluran, mendapatkan perubahan distribusi kecepatan, permukaan sedimen, dan kedalaman gerusan akibat adanya hambatan pilar, dengan gambar topografi dan beberapa bilangan tak berdimensi yang akan dianalisis hubungan satu dengan yang lainnya. Kata kunci: belokan, saluran, pilar, superelevasi
PENDAHULUAN Bumi yang kita huni terdiri atas lautan dan daratan, hampir semua daratan terdiri atas daerah aliran sungai, secara umum pengertian daerah aliran sungai adalah daerah yang dibatasi oleh punggung bukit atau gunung yang mengalirkan air permukaan, yang kemudian mengalirkan air sampai ke laut. Definisi sungai secara umum adalah perpaduan antara alur sungai dan aliran air. Sungai merupakan suatu alur yang panjang di atas permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasal dari hujan atau salju. Badan sungai adalah daerah yang secara terus menerus bersentuhan oleh air, dilain pihak sungai-sungai yang
306
airnya tidak konstan bahkan sampai kering sungai ini biasanya disebut dengan sungai tadah hujan. Suatu alur yang panjang di atas permukaan bumi tempat mengalirnya air yang berasal dari air hujan atau bagian yang senantiasa tersentuh oleh aliran air ini disebut alur sungai. Perpaduan antara alur sungai dan aliran air di dalamnya disebut sungai. Sosrodarsono S, dkk, 1994 [13]. Dihulu pada umumnya sungai mengalir deras oleh karena kemiringan medannya yang sangat terjal dan aliranya menjeram atau sangat turbulen, sedang sungai dibagian hilir sudah memasuki dataran rendah yang kemiringan medannya cukup landai, sehingga kecepatan air menjadi lambat dan sering terjadi pengendapan sedimen, yang menyebabkan sungai menjadi mudah berpidahpindah arus dan berbelok-belok. Karakteristik yang spesifik pada sebuah belokan sungai, yaitu aliran air di belokan yang dapat menyebabkan gerusan pada bagian luar belokan, sedang bagian dalam belokan dalam terjadi endapan. Sungai mempunyai banyak masalah pada gerusan yang terjadi di bagian luar tikungan sungai, sedang bagian dalam tikungan terjadi endapan secara terus menerus. Masjedi A., 2007 [2], Mozaffari J, 2011 [11] Idealnya membangun jembatan pada bagian sungai yang lurus untuk meminimalkan gerusan pada abutmen dan pilar, namun sering kali ini sulit dilaksanakan khususnya pada daerah perkotaan, oleh karena adanya gaya sentrifugal yang terjadi pada aliran sepanjang belokan yang berpengaruh terhadap naiknya permukaan air pada bagian luar dan penurunan permukaan air pada bagian dalam belokan kejadian tersebut didefinisikan sebagai superelevasi. Chow V. T. 1989 [4], Yen C. L., 1971[14] , Duan G. D., 2004 [8], dengan adanya pilar pada belokan saluran atau sungai akan merubah tinggi permukaan air sebelum adanya hambatan, oleh karena itu dalam penelitian ini akan mengkaji permukaan air sebelum dan sesudah adanya hambatan pilar pada belokan saluran. Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi yang erat hubungannya dengan hambatan pilar jembatan di belokan sungai, dimana dalam penelitian ini pilar ditempatkan pada
posisi secara berpindah-pindah mulai dari awal belokan saluran model 00, 600, 900, 1200, dan 1800, olehnya itu rumusan-rumusan masalah dapat diuraikan sebagai berikut: a. Bagaimana perubahan permukaan air sebelum dan sesudah adanya pilar pada beberapa koordinat penempatan pilar pada belokan. b. Bagaiman besarnya gerusan yang terjadi pada setiap koordinat penempatan pilar pada belokan saluran model. Tujuan Penelitian Terkait dengan latar belakang dan rumusan permasalahan di atas, maka dalam penelitian ini perlu dilakukan suatu studi dan analisa yang bertujuan untuk : a.
Mendapatkan perubahan besaran seperelevasi permukaan air berdasarkan koordinat pilar.
b.
Menentukan besaran gerusan lokal pada setiap koordinat pilar.
Manfaat Penelitian Seiring dengan tujuan yang ingin dicapai, maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini mencakup dalam dua aspek yaitu : Aspek akademis dan aspek praktis. Aspek akademis, hasil penelitian yang diharapkan adalah sebagai suatu kajian akademik yang mengacu pada standar dan kaidah ilmiah, oleh karena itu penelitian ini akan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, harapan kedepan dapat dijadikan rujukan atau sumber refrensi sebagai suatu landasan teoritis khususnya yang terkait dengan hambatan pilar pada belokan sungai, juga dapat merupakan suatu model dibidang teknik sungai dalam upaya pendekatan terhadap fenomena kejadian yang sebenarnya akibat adanya hambatan pada belokan sungai yang menyebabkan terjadinya superelevasi, gerusan lokal, dan perubahan topografi dasar sungai. Aspek praktis, melalui pemodelan hambatan pada belokan sungai akan dapat dijadikan sebagai landasan dalam membangun pilar jembatan pada belokan sungai, dan dapat digunakan oleh para praktisi dibidang teknik sungai untuk memprediksi besarnya superelevasi, kedalaman gerusan lokal, dan kemiringan melintang dasar sungai akibat adanya pilar jembatan dengan menggunakan 308
bilangan tak berdimensi yang akan dibuat dalam bentuk grafik. Untuk disertasi ini penulis akan membuat model fisik dengan satu belokan saluran di laboratorium yang dimaksudkan untuk menguraikan tentang pengaruh adanya pilar jembatan pada belokan sungai, dalam kondisi aliran subkritis turbulen. LANDASAN TEORI Membicarakan tentang aliran air di sungai, banyak peneliti yang telah mengungkapkan tentang teori-teori yang terkait dengan hal tersebut; rumus tentang tahanan aliran Philippe-Gaspard Gauckler (1826-1905) dan Robert Manning (1816-1897). Giovanni Venturi (1746-1822) mempelajari pengaruh perubahan penampang pipa dan saluran terhadap tekanan dan profil aliran. Osborn Reynolds (1842-1912) mengembangkan teknik model fisik gerak sedimen dasar dan meneliti masalah kavitasi. Selain itu dia juga mengusulkan bilangan tak berdimensi yang dikenal dengan bilangan Reynolds, dan meneliti kondisi aliran laminer, turbulen, dan kritis. Daryl B. Simons, 1977 [4]. Pengelompokan Aliran Pengelompokan aliran berdasarkan gaya kekentalan (viscous forces) dijabarkan oleh Reynolds (Re), Re =
………………………………………………………………..……..(1) NIlai Re untuk saluran terbuka, Re < 500 disebut aliran berlapis (laminer
flow), Re > 2000 disebut aliran bergolak (turbulent flow), 500 < Re < 2000 disebut aliran transisi. Chow. V. T., 1989 [4]: Pengelompokan aliran berdasarkan gaya gravitasi dijabarkan Froude (Fr) dengan suatu bilangan tak berdimensi ………………………………………………………………..……..(2) Dengan: U = Kecepatan rata-rata aliran, g = Gaya gravitasi, D = Kedalaman maksimum aliran. bila Fr < 1 aliran sub kritis, bila Fr > 1 aliran super kritis, bila Fr = 1 aliran kritis. Gerak Mula Sedimen
Gerak mula partikel sedimen dan kecepatan kritis; air yang mengalir pada permukaan
sedimen
menimbulkan
gaya
pada
butiran
yang
cenderung
menggerakkannya, sedang besarnya gaya tahanan yang ditimbulkan oleh air mengalir berbeda-beda tergantung dengan ukuran butiran sedimen. Untuk menentukan gerak mula sedimen, terlebih dahulu dilakukan pengukuran distribusi ukuran butiran, metode yang paling umum digunakan untuk menentukan distribusi ukuran butiran secara mekanis dilakukan dengan analisis saringan. Hasilnya disajikan sebagai berat komulatif yang lolos saringan yang biasanya disajikan dalam grafik ukuran butiran. Persentase berat dari sedimen yang lebih kecil atau lebih besar dari ukuran tertentu diplot kegrafik partikel, ukuran yang biasa digunakan oleh peneliti berbeda-beda: D35, D40, D50, D90, D85, Dg (diameter rata secara geometrik), Dm (diameter rata-rata). Darly B. Simons,1977 [12]. Untuk sedimen kasar misalnya pasir, kerikil, gaya tahanan adalah berat partikel sedimen. Sedimen halus yang mengandung sedikit lumpur atau tanah liat cenderung bersifat kohesif, tahanannya berdasarkan gaya berat butir secara individu, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sedimen dengan butiran halus akan bergerak sebagai satu kesatuan, sedang sedimen kasar yang bersifat non kohesip bergerak sebagai butiran yang bebas. Bila gaya hidrodinamik bekerja pada suatu butiran dari sedimen atau agregat dari partikel sedimen non kehesip telah mencapai suatu nilai yang bila ditambah sedikit saja akan menyebabkan butiran bergerak, yang biasa disebut kondisi kritis, nilai kondisi kritis tersebut mencapai suatu besaran gaya geser dasar aliran, maka kecepatan rata-ratanya telah mencapai kritis, pada kondisi aliran seperti ini berpotensi menggerakkan sedimen. Beberapa peneliti yang banyak digunakan penelitiaanya dalam hal gerak mula antara lain Shields (1936), Yalin (1972), Paintal (1971), dalam Leo C. van Rijn. 1989 [9] bahwa dalam grafik Shields telah dibuat bilangan tak berdimensi yaitu sumbu tegak adalah parameter gerak sedang pada sumbu horizontal adalah parameter partikel, dengan menggunakan parameter ini, grafik Shields seperti pada gambar 1 di bawah ini:
310
Gambar 1. Grafik Shields Aliran pada Belokan Saluran Penelitian dengan menitik beratkan pada adanya arus sekunder yang berhubungan dengan dasar saluran pada belokan sungai yang sangat berpengaruh terhadap distribusi kecepatan dalam arah vertikal dan arah melintang, yang menyebabkan tegangan geser dalam melintang dan memanjang pada belokan Mozaffari J., 2011 [11]. Penelitian ini menggunakan satu set saluran buatan untuk menelusuri distribusi kecepatan dalam arah melintang dan melintang saluran pada belokan saluran, dan dilakukan di laboratory of hydraulics departement of EPFL University in Switzerland, dengan menggunakan sudut belokan 1930, pengambilan data dilakukan mulai pada Januari 2009 sampai dengan bulan September 2009, pengukuran kecepatan dengan menggunakan alat ADVP (Acoustic Doppler Velocimeter Profiler).
Gambar 2 Topograpi aliran untuk debit 63 lt/dt
Tabel 1
Besaran aliran dan dimensi saluran
Q Lt/dt 63 89 104
H m 0,098 0,12 0,13
U m/dt 0,49 0,54 0,63
u* m/dt 0,056 0,063 0,065
Sf [-] 0,004 0,0037 0,0043
Re [-] 43000 58000 73000
Fr [-] 0,5 0,5 0,56
R/B [-] 1,31 1,31 1,31
R/H [-] 17 14,1 13
B/H [-] 13 10,8 10
Pada gambar 2 menunjukkan perubahan topograpi untuk debit 63 ltr/dt dengan gerusan maksimum pada bagian luar belokan saluran, dan pada bagian dalam belokan saluran terjadi pendangkalan, diperlihatkan juga adanya gerusan pada 6 titik, yang terdalam pada bagian luar belokan di sudut 700, kemiringan dasar saluran mulai pada sudut 310, dan gerusan mulai menurun setelah sudut belokan 900. Dalam usaha untuk melukiskan pengaruh dan besarnya aliran spiral, pada belokan yang berbeda-beda, dan kondisi aliran yang bermacam-macam, maka Ahmad Shukry (1950) dalam [5] telah menggunakan istilah yang dinamakan kekuatan aliran spiral. Kekuatan aliran spiral didefinisikan sebagai rasio peresentase energi kinetik rata-rata gerakan lateral, terhadap energi kinetik total aliran, pada penampang yang ditinjau. Permukaan air pada aliran belokan saluran dirumuskan dengan persamaan gerak aliran, dengan merumuskan persamaan matematik terhadap permukaan air dalam arah melintang dan memanjang pada belokan saluran dengan menggunakan koordinat selinder, secara sederhana superelevasi dinyatakan Yen C. L., 1971 [14] ……………………………………………………………..……(3) Dengan : Sr=Kemiringan melintang saluran pada belokan, g= gaya gravitasi, Um = Kecepatan rerata segmen saluran, r = Jari-jari belokan saluran, Cr = Koefisien superelevasi lokal. Dengan menggunakan data dari dua model belokan saluran yang telah dilaksanakan penelitiannya di Iowa Institute Hydraulic Research, dan model tersebut dianggap sebagai mewakili sungai Mississippi dan Missouri, dimana terdapat dua belokan 900, dengan dimensi hidrolis sebagai berikut: Tabel 2
Ukuran Model
Bentuk Penampang Saluran segi empat Saluran trapesium
Rc 28 ft 28 ft
B 14 ft 6 ft
Re 0,7 X105 s.d. 1,6 X105 2,5 X105 s.d. 5,5 X105
Fr 0,3 s.d. 0,7 0,37 s.d. 0,82
Rc/B 2 4,67
312
Superlevasi pada potongan melintang saluran dengan mengintegrasikan persamaan di atas sehingga koefisien superlevasi dapat didefinisikan ……..……………………………………..….(4) Dengan:
=
= lebar permukaan air melintang, koefisien superelevasi
berdasar atas pengukuran pada model dan perhitungan dengan analisa numerik oleh Yen C. L., 1971 [16]. dengan data mulai dari sudut belok 00 sampai dengan Π/2, hasilnya bahwa koefisien superlevasi (Cs) pada saluran dengan dasar sedimen lebih besar dibandingkan dengan saluran tanpa sedimen, nilai Cs terbesar pada belokan 450 nilai Cs>4 sedang yang terkecil pada sudut 900 dengan nilai Cs<2 untuk dasar sedimen, sedang nilai Cs untuk dasar tanpa sedimen nilai rata-rata kurang lebih Cs = 2, sedang Chow V. T [4] dinyatakan secara praktis bahwa koefisien superelevasi dasar bergerak
=2,0 untuk saluran dengan dasar tetap sedang untuk
= 2,2.
Penelitian dilaksanakan pada saluran alamiah di belokan sungai Baldwin Creek dekat Lander, Wyoming, dimulai pada sungai sepanjang 100 m, kemudian masuk kesaluran yang berbelok dengan sudut belokan sungai sebesar 1800, Jarijari belokan R = 10,7 m, debit 1,96 m3/dt, hasil penelitian menunjukkan bahwa zona terdalam saluran belum tentu menghasilkan tegangan geser terbesar, karena berdasar atas pengukuran dimana terdapat air dangkal dengan sedimen pasir tergerus. Leopold L. B., 1982 [10]. Distribusi kecepatan pada belokan saluran oleh Mozaffari J., 2011 [11] pada gambar 3 memperlihatkan perbandingan antara hasil perhitungan dengan rumusrumus oleh peneliti sebelumnya yaitu Rozovskii (1961), Kikkawa et. al (1976), Johannesson and Parker (1989) dan Bridge (1992) dengan hasil pengukuran dengan menggunakan alat ADVP sebagai berikut:
Gambar 3 Pengukuran profil kecepatan pada potongan melintang 1800, dan Profil kecepatan beberapa model penelitian untuk debit 63 lt/dt
Penelitian dilakukan model belokan saluran di Laboratorium Mekanika Fluida Delft University of Technology (DUT), saluran ini sebagai model dari sungai alamiah, tinggi air h = 0,05 m, lebar W = 0,5 m dan jari-jari R = 4,10 m, debit 5,2 lt/dt, kecepatan aliran = 0,2 m/dt, belokan saluran 1800. Model ini merupakan aliran yang dangkal (w/h=10) dan belokan sungai (R/h=80), kecepatan aliran 5,21 l/dt. BOOIJ Robert. 2003 [3] Setelah dilakukan perhitungan terhadap dimensi aliran sehingga diperoleh hasil bahwa bilangan Reynolds sebesar Re= 10.000, dan bilangan Froude sebesar Fr = 0,02. Penelitian ini difokuskan pada distribusi kecepatan dalam arah 3 D, dengan menggunakan alat Laser Doppler Velocity (LDP) 3 dimensi hasilnya menunjukkan bahwa adanya aliran sekunder arah melintang belokan saluran sebagaimana pada gambar 4.
Gambar 4 Profil vertikal terhadap pengukuran komponen kecepatan
Penelitian yang dilakukan oleh Jennifer G. Duan, 2004 [8]. Simulasi model terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan antara oleh dua peneliti de Vriend (1979) dan Rozovskii (1961), membandingkan dengan hasil simulasi model matematis dengan data pada tabel 3. Tabel 3
Data geometrik saluran dan parameter aliran yang disimulasi
Peneliti De Vriend (1979) Rozovskii (1961)
Debit Q( 0,0671 0,0123
Lebar B (m) Kedalaman H (m) 1,7 1,7
0,1953 0,0530
Kecepatan (m/dt) R/B 0,202 0,265
3,5 1,0
Gambar 5 Model Fisik Penelitian de Vriend,1979 dan Rozovskii (1961)
314
Hasilnya menunjukkan bahwa penurunan kecepatan pada belokan sebelah dalam sedang pada sebelah luar belokan terjadi kenaikan kecepatan. Akselerasi terhadap perubahan aliran pada belokan sebelah dalam disebabkan adanya pergeseran dalam arah melintang aliran terhadap perubahan momentum aliran sekunder, belokan aliran yang mempunyai jari-jari yang besar dibandingkan dengan lebar aliran sangat sedikit pengaruhnya terhadap aliran sekunder dalam arah potongan melintang saluran. Aliran pada Belokan Saluran dengan Hambatan Gerusan Lokal disekitar Pilar, Menurut Breusers dan Raudkivi,1991 dalam Jaji Abdurrosyid, 2011 [7], kedalaman gerusan tergantung dari beberapa variabel, yaitu karakterisitik fluida, material dasar, aliran dalam saluran dan bentuk pilar atau abutmen jembatan yang dapat ditulis: ds = f (ρ, ν, g, d, ρs, , U,) ……………………………………………….…...(5) Sedang [1] yang mempengaruhi kedalaman gerusan (ds) pada belokan saluran dengan hambatan pilar merupakan fungsi dari beberapa variabel antara lain; ……………..………………………..….(6) Dengan:
= kedalaman gerusan,
kinematik,
= kedalaman aliran,
sedimen,
= kedalaman rata-rata aliran,
yang menghadap arah aliran,
= kerapatan air,
= diameter butiran sedimen, = kecepatan aliran,
= sudut arah aliran,
= viskositas = kerapatan = lebar pilar
= jarak antara pilar.
Mempelajari kedalaman gerusan di sekitar pilar jembatan di belokan sungai sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Alireza Masjedi, 2011 [2], dengan membuat model flume di laboratorium dengan belokan 1800, R/B = 4,7 (R = jari-jari beloakan, B = Lebar flume), diameter pilar 6 cm, dengan memindahmindahkan pilar dari posisi 00, 300, 600, 900, 1200, 1500, dan 1800, kedalaman air konstan 12 cm, pasir alam yang seragam D50 = 2 mm dengan faktor keseragaman 1,7 yang digunakan sebagai dasar saluran, debit aliran sebesar 18, 20 ltr/dt, hasinya menunjukkan bahwa tumbukan air pada pilar yang berbentuk selinder menimbulkan pusaran air.
Mencermati gambar 6 menunjukkan bahwa gerusan terdalam terjadi pada posisi pilar 600, kedua terdalam pada posisi pilar 900, sedang gerusan pada pilar yang paling dangkal di posisi pilar 300
Gambar 6 Profil gerusan pada pilar dengan debit 32 ltr/dt
Penelitian lainnya tentang aliran disekitar pilar sebagaimana yang telah dilakukan Agung Wiyono [1], dengan membuat model fisik di alboratorium, hasil penelitian ini dibandingkan dengan tiga formula yaitu: yaitu Laursen (1962), Neill, dan Shen et al. (1969), Colorado State University CSU (1975), dibandingkan dengan pengukuran dilakukan dengan tiga debit yaitu 7 liter/detik, 9 liter/detik, dan 11 liter/detik dengan hasil bahwa perhitungan dengan menggunakan lima metode yang berbeda, akan memberikan hasil yang berbeda antara lain ketidak tepatan metode Laursen 72%, Shen et al. 33,9%, Jain dan Fischer 23,5%, Neill 15,2%, dan Metode Colorado State University (CSU) 14,4%. Jadi yang paling mendekati adalah metode CSU. METODE PENELITIAN Lokasi dan Peralatan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam rangka untuk memperoleh gambaran dan data-data yang mendekati yang sebenarnya terjadi pada saluran alam, pemodelan fisik yang akan dilakukan di Laboratorium Hidraulika Jurusan Tenik Sipil Fakultas Teknik Universitas Tadulako. Saluran terbuka dibuat dengan ukuran lebar 0,5 meter dan tinggi saluran 0,5 meter yang terbuat dari fiberglass, model saluran dibagi menjadi tiga bagian yaitu; bagian pertama saluran lurus 3 m, bagian kedua saluran belokan 1800 dan jari-jari 0,75 meter, bagian ketiga saluran lurus 2 meter dimana pada bagian hilir
316
dibuat alat ukur debit V-Notch, dan pintu yang bisa dirubah ketinggiannya sesuai kebutuhan tinggi air, pilar yang digunakan adalah dari pilar dari kayu lebar 2 cm dan 3 cm panjang 10 cm, material dasar pasir alam maksimum 2 mm (d50), untuk mengukur permukaan air, permukaan sedimen, kedalaman gerusan lokal dekat pilar digunakan alat ukur point gauge, sedang untuk mengukur kecepatan air digunakan current meter, pompa air yang digunakan kapasitas 1300 lt/menit.
Gambar 7 Ukuran model saluran dan gambar tiga dimensi model
Pengukuran debit dilakukan dengan membuat pintu ukur pada saluran khusus, pada hilir saluran dibuat pintu ukur debit V-Notch, dengan rumus: ……..………………………………………………….(7) Sampel Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk pengambilan data mulai dari awal belokan hingga akhir belokan dengan interval 300 sampai dengan akhir belokan, sedang pilar ditempatkan pada awal belokan kemudian dipindahkan setiap interval 600, adapun ketinggian air di saluran disesuaikan dengan besarnya bilangan Froude dan bilangan Reynolds yang diinginkan sesuai rencana penelitian, adapun langkah-langkah kegiatan yang dilakukan sesuai bagan alir.
HASIL Pengukuran tinggi muka air, dan kecepatan dilakukan pada kondisi aliran dengan bilangan Frouds 0,18-0,26, bilangan Reynolds 10.336-10.798 atau aliran subkritis turnbulen,
hasilnya
menujukkan
bahwa
nilai
superelevasi
terbesar
pada kondisi tanpa pilar lebih besar dibandingkan dengan aliran dengan hambatan pilar.
Gambar 8 Bagan Alir Penelitian
Secara umum aliran tanpa pilar nilai Cs terbesar pada belokan 1200 sedang nilai Cs terkecil pada awal belokan atau 00, sedang aliran dengan pilar nilai Cs terbesar pada belokan 1500. Nilai Cs tanpa pilar dibandingkan dengan nilai Cs dengan hambatan pilar menujukkan bahwa lebih besar dibanding pengaliran dengan pilar. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4 dan gambar nomor 8. Nilai terbesar Cs tanpa pilar = 3,296 pada belokan 1200, sedang nilai terbesar Cs dengan pilar = 2,429 pada belokan 1500. Sedang terkecil untuk aliran tanpa pilar Cs = 0,196 pada belokan 00, untuk aliran dengan pilar Cs terkecil pada belokan 00 sebesar = -0,375. Nilai terbesar kedua Cs tanpa pilar = 3,296 pada belokan 1200, sedang nilai terbesar Cs dengan pilar = 2,429 pada belokan 1500. Sedang terkecil untuk aliran tanpa pilar Cs = 0,196 pada belokan 00, untuk aliran dengan pilar Cs terkecil pada belokan 00 sebesar = -0,375
318
Tabel 4. Koefisien Superelevasi pada Belokan Tanpa Pilar dan Dengan Pilar Dipasang pada Setiap Interval 300
Gambar 8. Grafik Koefisien Superelevasi pada Belokan Tanpa Pilar dan Dengan Pilar Dipasang pada Setiap Interval 300 Hasil perhitungan nilai kemiringan permukaan air
sesuai hasil
perhitungan yaitu untuk saluran tanpa pilar terbesar pada belokan 1200, sedang dengan pilar terbesar pada belokan 1500, ini menunjukkan kondisi aliran dengan pilar merubah nilai Cr, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 9. Mencermati nilai Cr pada gambar di atas, kemiringan permukaan air dalam arah melintang saluran untuk kondisi tanpa pilar terjadi penurunan pada sisi dalam sebesar Cr = 4,341 sedang sisi luar terjadi kenaikan muka air sebesar Cr = 6,428 sehingga total Cr = 10,769 pada belokan 1200, sedang kondisi dengan pilar nilai juga terjadi penurunan pada sisi dalam sebesar Cr = 6,145 sedang pada sisi luar terjadi kenaikan nilai Cr = 4,548 sehingga total Cr = 10,693 terjadi pada belokan 1500. Dari kedua kondisi tersebut menujukkan kemiringan terbesar masih pada kondisi aliran tanpa pilar.
Gambar 9. Permukaan Air Tanpa Pilar dan dengan Pilar
KESIMPULAN Secara umum penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti menunjukkan, semua peneliti menyatakan bahwa terjadinya peningkatan permukaan air pada sebelah luar dan penurunan pada bagian dalam aliran. Koefisien superlevasi menunjukkan bahwa untuk saluran dengan dasar sedimen menunjukkan nilainya lebih besar dibandingkan dengan saluran tanpa sedimen, yang nilainya bervariasi mulai dari 2 hingga 4 untuk dasar sedimen, sedang distribusi kecepatan pada belokan saluran dalam arah vertikal menunjukkan bahwa nilanya tidak mengikuti rumus logarithmic low. Bertitik tolak dari data pada hasil dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: Nilai koefisien superelevasi Cs masih lebih besar pada kondisi tanpa pilar dibandingkan dengan kondisi pilar ditempatkan pada koordinat belokan 0, 300, 600, 900, 1200, 1500 dan 1800 , sedang nilai Cs = 3,296 terbesar tanpa pilar berada pada belokan 1200, sedang nilai Cs = 2,429 dengan pilar terbesar pada belokan 1500. Demikian juga dengan kemiringan air menujukkan hal yang sama. Olehnya itu penelitian yang dapat dikembangkan kedepan adalah bagaimana perubahan besaran superelevasi pada kondisi pilar secara bergantian ditempatkan pada titik-titik tertentu.
320
DAFTAR PUSTAKA Agung Wiyono, Indratmo Soekarno, Andi Egon. Perbandingan Beberapa Formula Perhitungan Gerusan di Sekitar Pilar (Kajian Laboratorium). Jurnal Teknik Sipil ISSN 0853-2982 Vol 13 No. 1 Januari 2006. Alireza Masjedi, Hosein kazemi, Elaheh Peymani Foroushani. 2009. Experimental Study on the Effect of Cylindricad Bridge Pier Position on the Scoring Depth in the Rivers Bend. 33rd IAHR Congress: Water Engineering for a Sustainable Environment Copyright 2009 by International Association of Hydraulic Engineering & Research (IAHR) ISBN: 978-94-90365-01-1. BOOIJ Robert. 2003. Modeling the Flow in Curved Tidal Channels and Rivers. International International Conference on Estuaries and Coasts. November 9-11, 2003, Hangzhou, China. Chow. Ven The., 1989. Hidrolika Saluran Terbuka (Open Channel Hydraulics). Penerbit Erlangga, Bandung. Daryl B. Simons, Fuat Senturk., 1977. Sediment Transport Technology, Water Resources Publications Fort Collins Colorado 80522, USA. Duan J. G., 2004. Simulation of Flow and Mass Dispersion in Meandering Channels. Journal of Hidrolic Engineering @ ASCE. Jaji Abdurrosyid, Achmad Karim Fatchan. Januari 2007. Gerusan di Sekitar Abutmen dan Pengendaliannya Pada Kondisi Ada Angkutan Sedimen untuk Saluran Berbentuk Majemuk. Dinamika Teknik Sipil, Volume 7, Nomor 1: 20 – 29 Jennifer G. Duan, 2004. Simulation of Flow and Mass Dispersion in Mendering Channels. Journal of Hydraulic Engineering © ASCE Leo C. van Rijn. 1989. Handbook Sediment Transport by Currents and Waves. Delft Hydraulics. Leopold L. B. 1982. Water Surface Topography in River Channels and Inplications for Mender Development. Gravel-bed River, Edited by R. D. Hey, J. C. Bathurst and C. R. Thorne, John Wley & Sons Ltd. Mozaffari J., Amiri-Tokaldany E., Blanckaert, 2011. Exprimental Investigations to Determine the Distribution of Longitudinal Velocity in Rivers Bends. Research Journal of Environmental Sciences 5 (6): 544. 2011 ISSN 18193412 / DOI:10.3923/rjes.2011.544.556 © 2011 Academic Journals Inc. Simons. Darly B., Sentruk Fuat. 1977. Sediment Transport Technology. Water Resources Publications, Colorado USA. Sosrodarsono Suyono, Tominaga Masateru. 1994. Perbaikan dan Pengaturan Sungai, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta. Yen C. L., dkk, 1971. Water Surface Configuration in Channel Bends. Journal of the Hydraulics Division. Procedings of the American Sociaty of Civil Engineers.
PENGARUH PENAMBAHAN MATERIAL PERKERASAN DAUR ULANG TERHADAP KARAKTERISTIK CAMPURAN BETON ASPAL LAPIS AUS Novita Pradani1, Ratnasari Ramlan2 12
Jurusan Teknik Sipil Universitas Tadulako Jalan Soekarno Hatta Km. 8 Palu 94118 Email:
[email protected]
ABSTRAK Karakteristik campuran beton aspal lapis aus merupakan nilai-nilai yang menunjukkan kinerja campuran beton aspal. Penambahan material perkerasan daur ulang (RAP), tentunya akan mempengaruhi kinerja campuran beton aspal lapis aus. Makin tinggi persentase kandungan RAP, maka kinerja campuran akan semakin menurun. Disisi lain, penggunakan material daur ulang dapat menekan penggunakan sumber daya, energi dan preservasi kondisi lingkungan. Untuk itulah diperlukan penelitian guna menemukan komposisi yang tepat antara material daur ulang (RAP) dan material baru. Dalam penelitian ini persentase material daur ulang (RAP) yang digunakan adalah sebesar 20% dan 30% terhadap berat total campuran. Dalam menentukan karakteristik campuran beton aspal lapis aus, diperoleh dari hasil pengujian Marshall. Berdasarkan hasil yang diperoleh, stabilitas tertinggi diberikan oleh campuran dengan kandungan material daur ulang 30% yaitu rata-rata sebesar 1510,30 kg sedangkan pada campuran dengan 20% kandungan material daur ulang, rata-rata sebesar 1323,81 kg. Sedangkan nilai Marshall Quetiont (MQ) tertinggi diperoleh pada campuran dengan 30% material daur ulang yaitu sebesar 413,24 kg/mm. Dari hasil analisa terlihat bahwa penambahan material daur ulang dapat meningkatkan nilai stabilitas dan Marshall Quetiont (MQ) dari campuran beton aspal lapis aus. Kata Kunci : material daur ulang, beton aspal, stabilitas, MQ, kelelehan, kepadatan
PENDAHULUAN Upaya peningkatan kinerja pelayanan prasarana jalan diperhadapkan pada beberapa kendala. Salah satunya adalah keterbatasan material di beberapa daerah di Indonesia dalam hal ini material agregat maupun aspal yang berdampak pada makin tingginya biaya pembangunan dan rehabilitasi jalan. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut, salah satu cara yang saat ini sedang dikembangkan adalah pemanfaatan kembali material perkerasan jalan lama (recycling) sebagai material perkerasan jalan baru. Namun berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan aplikasi penuh di lapangan, penggunaan material daur ulang seringkali menemui beberapa kendala antara lain menurunnya sifat fisik dari material daur ulang, mengingat selama masa layannya telah menerima beban lalu lintas yang cukup berat. Selain itu
24 322
material daur ulang juga memiliki tingkat variabilitas yang cukup tinggi sehingga dapat berdampak pada perubahan gradasi dan durabilitas dari campuran. Disamping itu, teknologi daur ulang juga memberikan beberapa manfaat antara lain untuk mengatasi keterbatasan bahan perkerasan jalan [Sugeng, B.S., 2009] sehingga teknologi ini bersifat efisien dan efektif serta dapat mengurangi penggunaan agregat (45-100%) dan aspal baru (60%) sehingga nilai ekonomis bahan kupasan meningkat, hemat energi, dan geometrik jalan dapat dipertahankan serta melestarikan sumber daya alam. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik dari campuran Laston Lapis Aus (AC-WC) menggunakan material RAP (recycling). Campuran yang digunakan pada studi ini adalah campuran Beton Aspal Lapis Aus (AC-WC) yang menggunakan 20% dan 30% material RAP terhadap berat total campuran. TINJAUAN PUSTAKA Perkerasan Daur Ulang (Recyling) Secara umum perkerasan daur ulang (recycling) memanfaatkan kembali material (agregat dan aspal) perkerasan lama untuk dijadikan sebagai perkerasan baru yang ditambahkan material baru atau dan bahan peremaja. Material yang digunakan untuk metoda daur ulang adalah bahan kupasan aspal dan bila diperlukan ditambahkan aspal dan agregat baru. Bahan kupasan aspal ini mengandung aspal dan agregat lama. Untuk mencapai hasil yang memadai pada umumnya aspal dan agregat lama perlu diperbaharui baik sifat-sifatnya maupun gradasinya. Penurunan sifat material ini hanya diperbolehkan sampai dengan batas tertentu, apabila terjadi penurunan yang terlalu besar dan signifikan maka material tersebut tidak dapat digunakan kembali karena akan berpengaruh cukup besar terhadap hasil campuran yang baru. Beberapa sifat material RAP yang bisa digunakan sebagai batasan antara lain agregat masih mempunyai daya tahan cukup baik untuk mempertahankan gradasi (jumlah, ukuran, bentuk dan komposisi butiran) dan sifat rheologi aspal (penetrasi atau viskositas) mengalami penurunan, namun hal ini dapat dikembalikan dengan penambahan bahan peremaja (rejuvenating agent).
Lapis Beton Aspal Lapis Aus (AC-WC) Lapis Beton Aspal adalah lapisan penutup konstruksi perkerasan jalan yang mempunyai nilai struktural yang pertama kali dikembangkan di Amerika oleh The Asphalt Institute dengan nama Asphalt Concrete (AC). Menurut Bina Marga Dept.PU, campuran ini terdiri atas agregat bergradasi menerus dengan aspal keras, dicampur, dihamparkan dan dipadatkan dalam keadaan panas pada suhu tertentu. Lapis aus (AC-WC) merupakan lapisan teratas yang langsung bersentuhan dengan roda kendaraan. Kekuatan dari perkerasan beton aspal lapis aus (AC-WC) diperoleh melalui struktur agregat yang saling mengunci (interlocking). Struktur agregat yang saling mengunci ini menghasilkan geseran internal yang tinggi dan saling melekat bersama oleh lapis tipis aspal perekat diantara butiran agregat. Perkerasan beton aspal ini cukup peka terhadap variasi kadar aspal dan perubahan gradasi agregat, hal ini disebabkan karena beton aspal memiliki sifat stabilitas tinggi dan relatif kaku, yaitu tahan terhadap pelelehan plastis namun cukup peka terhadap retak. Berdasarkan spesifikasi baru campuran beraspal Kementerian Pekerjaan Umum 2010, Perkerasan Beton Aspal Lapis Aus (AC-WC) mempunyai ukuran maksimum agregat dalam campuran adalah 19 mm. Karakteristik Beton Aspal Karakteristik campuran yang harus dimiliki oleh campuran Beton Aspal (Silvia Sukirman, 2003) adalah : a.
Stabilitas Stabilitas perkerasan jalan adalah kemampuan lapisan perkerasan menerima
beban lalu lintas tanpa terjadi perubahan bentuk tetap seperti gelombang, alur maupun bleeding. Kebutuhan akan stabilitas sebanding dengan volume dan beban lalu lintas yang menggunakan lapisan perkerasan tersebut. Jadi jalan yang memiliki volume lalu lintas yang tinggi serta dilalui oleh kendaraan berat menuntut kestabilan yang lebih besar dibandingkan dengan jalan dengan volume lalu lintas yang rendah. b.
Durabilitas (keawetan/daya tahan)
324
Durabilitas atau keawetan dari suatu perkerasan lentur merupakan kemampuan untuk menahan keausan akibat pengaruh suhu, cuaca, air ataupun keausan akibat gesekan roda kendaraan. c.
Fleksibilitas (Kelenturan) Fleksibilitas adalah kemampuan dari suatu perkerasan lentur untuk
mengikuti deformasi yang berulang akibat beban lalu lintas tanpa terjadi keretakan. d.
Tahanan Geser/kekesatan (Skid Resistance) Tahanan geser adalah kemampuan permukaan beton aspal memberikan gaya
gesek pada roda kendaraan untuk menghindari terjadinya slip atau tergelincir, baik di waktu hujan atau basah maupun di waktu kering. e.
Ketahanan terhadap Kelelahan (fatique resistance) Ketahanan terhadap kelelahan adalah kemampuan lapis aspal beton
menerima beban berulang tanpa terjadi kelelahan berupa retak dan alur (ruting). f.
Kedap Air (impermeabilitas) Kedap air atau impermeabilitas adalah kemampuan beton aspal untuk tidak
dapat dimasuki air ataupun udara ke dalam lapisan beton aspal. Air dan udara dapat mengakibatkan percepatan proses penuaan aspal dan pengelupasan film/selimut aspal dari permukaan agregat. Jumlah pori yang tersisa setelah beton aspal dipadatkan dapat menjadi indikator kekedapan air campuran. Tingkat impermeabilitas beton aspal berbanding terbalik dengan tingkat durabilitasnya. g.
Kemudahan Pelaksanaan (workability) Kemudahan dalam pelaksanaan adalah kemampuan campuran beton aspal
untuk mudah dihamparkan dan dipadatkan sehingga diperoleh hasil yang memenuhi kepadatan yang diharapkan. METODE PENELITIAN Penelitian ini dititikberatkan pada pengujian laboratorium terhadap kinerja kelelahan, dimana material yang digunakan dalam penelitian ini adalah material lama (RAP) dan material baru. Dari kedua material tersebut dilakukan pengujian mengikuti standar SNI (Standar Nasional Indonesia).
Dalam pengujian campuran terdapat 2 variasi kadar material RAP terhadap berat total campuran yaitu 20% material RAP dan 30% material RAP. Pengujian campuran ini dilakukan sesuai dengan standar pengujian campuran beraspal panas. Untuk mendapatkan nilai Kadar Aspal Optimum (KAO) digunakan perencanaan dengan Metoda Marshall dengan Pendekatan Kepadatan Mutlak. Kadar Aspal Optimum (KAO) diperoleh untuk keenam variasi campuran. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Material Aspal yang digunakan dalam campuran ini adalah aspal dengan penetrasi 60/70 dan aspal RAP. Penentuan kandungan aspal pada material RAP perlu dilakukan terlebih dahulu, kemudian dilakukan pengujian yang dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 sebagai berikut. Tabel 1
Kadar Aspal Hasil Ekstraksi dari Reclaimed Asphalt Pavement (RAP)
Sampel
Berat (gr) Sampel Agregat (1) (2) (3) 1 500 475,6 2 500 474,6 Kadar Aspal Rata-rata Sumber : Hasil pengujian
Tabel 2
Kadar Aspal (%) Aspal (4) = (2)-(3) 24,4 25,4
(5)=[(4)/(2)] x100 4,88 5,08 4,98
Pengujian Sifat –Sifat Aspal Hasil Ekstraksi dari RAP
No Jenis Pemeriksaan 1 Penetrasi,25°C,100 gr, 5 detik; 0,1 mm 2 Titik Lembek; °C 3 Berat Jenis Sumber : Hasil pengujian
Hasil Uji 21,6 57 1,043
Metoda Uji SNI 06-2456-1991 SNI 06-2434-1991 SNI 06-2441-1991
Gambar 1 Gradasi Rencana dan Gradasi RAP Campuran AC-WC
326
Untuk Pengujian selanjutnya dilakukan penambahan aspal lama kedalam aspal baru (Pen 60/70) diuji untuk (2) dua campuran dengan perbandingan RAP 20% dan material baru 80%; RAP 30% dan material 70%. Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Pengujian Pencampuran Aspal Lama dengan Aspal Baru No
1 2 3
Jenis Pemeriksaan
Penetrasi,25°C (dmm) Titik Lembek, °C Berat Jenis
Hasil Uji 20% RAP 30% RAP 0%SBS (A1) 0%SBS (B1) 57,2 56,6 51 52 1,0383 1,0396
Metode Pengujian
SNI06-2456-1991 SNI06-2434-1991 SNI06-2441-1991
Sumber : Hasil pengujian
Agregat yang digunakan meliputi agregat baru dan agregat dari material lama (RAP), dilakukan pengujian untuk menentukan apakah agregat tersebut masih layak untuk digunakan dalam pengujian campuran. Hasil pengujian menunjukkan bahwa agregat RAP masih layak digunakan. Namun gradasi material RAP tidak memenuhi spesifikasi sehingga perlu dilakukan perbaikan gradasi dengan menambahkan agregat baru seperti pada Gambar 2. Pengujian Kadar Aspal Optimum Berdasarkan spesifikasi baru campuran beraspal dengan Kepadatan Mutlak, dilakukan perencanaan sesuai dengan gradasi agregat yang dipilih, kemudian untuk masing-masing campuran tersebut dilakukan pengujian Marshall dengan variasi kadar aspal yang digunakan. Hasil referensi data Marshall, selanjutnya dilakukan pengujian Kepadatan Mutlak. Dimana penentuan Kadar Aspal Optimum dilakukan dengan metode barchart. KAO merupakan rentang kadar aspal yang memenuhi semua syarat kriteria campuran beraspal, yaitu: VIM
Marshall,
VIM
Refusal,
VMA, VFB, stabilitas,
kelelehan dan MQ. Nilai Kadar Aspal Optimum (KAO) yang didapatkan dari masing-masing campuran digunakan sebagai kadar aspal dalam perencanaan Pengujian Kelelahan. Berdasarkan analisis Marshall dengan metode kepadatan mutlak dihasilkan Kadar Aspal Optimum (KAO), untuk kandungan 20% RAP yaitu sebesar 5,28%, sedangkan untuk campuran dengan kandungan 30% RAP sebesar 5,34%.
Pengujian Marshall Berdasarkan hasil pengujian Marshall, diperoleh paramter-parameter Marshall berikut: Tabel 3 Parameter Marshall Sifat-Sifat Campuran KAO Refusal; % Berat Isi; t/m3 V I M Marshall; % V I M Refusal; % V M A; % V F A; % Stabilitas; Kg Kelelehan; mm Marshall Quotient; Kg/mm
20% RAP 5,28 2,344 4,91 2,60 15,57 69,38 1323,81 3,57 374,18
Campuran AC-WC 30% RAP 5,34 2,347 4,99 2,55 15,83 68,78 1510,30 3,60 413,24
Spesifikasi >2,5 % >15 % >65 % >800 Kg >3 mm >250 Kg/mm
Karakteristik Campuran Beton Aspal Lapis Aus 1)
Kepadatan (Berat Isi) Kepadatan (density) adalah berat campuran yang diukur tiap satuan volume
(The Asphalt Institute, 1983). Kepadatan merupakan tingkat kerapatan campuran setelah campuran dipadatkan. Kepadatan campuran beraspal meningkat seiring dengan meningkatnya kadar aspal, hingga mencapai nilai maksimum dan setelah itu nilainya akan turun, tetapi masing-masing jenis variasi aspal memberikan perilaku yang berbeda.
Gambar 2 Kepadatan Campuran terhadap Presentase RAP
328
Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa nilai kepadatan semakin besar seiring pertambahan presentase RAP dalam campuran. Hal ini dipengaruhi oleh sifat dari material RAP sendiri yang sebagian rongga pada agregatnya telah terisi atau tertutup oleh aspal lama sehingga dengan makin banyaknya material RAP maka rongga campuran yang dihasilkan juga kecil. Akibatnya setelah penambahan aspal baru, maka rongga pada campuran dapat langsung terisi oleh aspal baru dan kepadatan maksimum dapat tercapai lebih awal. 2)
Stabilitas Stabilitas merupakan parameter empiris untuk mengetahui kemampuan
perkerasan jalan menerima beban lalu lintas tanpa terjadi perubahan bentuk tetap seperti gelombang, alur, dan bleeding [Silvia Sukirman, 2003]. Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai stabilitas diantaranya adalah gradasi agregat dan kadar aspal. Selain itu stabilitas juga dipengaruhi oleh gesekan internal partikel agregat, interlocking, adhesi dan kohesi, dimana gesekan internal dan interlocking dipengaruhi oleh bentuk dan tekstur permukaan agregat yang digunakan. Sedangkan kohesi dan adhesi berkaitan dengan kemampuan daya lekat aspal. Secara umum, partikel agregat yang lebih berbentuk angular dengan permukaan lebih kasar akan meningkatkan stabilitas campuran. Sementara sifat kohesi akan meningkat bila viskositas aspal lebih tinggi atau ketika temperatur campuran menurun. Oleh karena itu nilai stabilitas menurut Spesifikasi Kementerian PU, 2010 untuk jenis campuran Laston Lapis Aus (AC-WC) dibatasi minimal 800 kg dan minimal 1000 kg untuk Laston Modifikasi. Perbandingan nilai stabilitas setiap campuran disajikan pada Gambar 3
Gambar 3 Stabilitas Campuran terhadap Presentase RAP
Pada Gambar 3 menunjukkan bahwa nilai stabilitas berbanding lurus dengan penambahan material RAP. Kenaikan nilai stabilitas ini disebabkan karena penambahan material RAP akan memberikan nilai penetrasi yang semakin rendah atau lebih keras. Akibatnya campuran menjadi lebih kaku sehingga berkontribusi terhadap kenaikan nilai stabilitas. 3)
Kelelehan (Flow) Kelelehan (Flow) merupakan parameter empiris yang menjadi indikator
terhadap kelenturan atau perubahan bentuk plastis campuran beraspal yang diakibatkan oleh beban. Tingkat kelelehan campuran dipengaruhi oleh kadar aspal dalam campuran, suhu, viskositas aspal dan bentuk partikel agregat. Campuran yang mempunyai nilai kelelehan relatif rendah pada Kadar Aspal Optimum biasanya memiliki daya tahan deformasi yang lebih baik. Namun nilai kelelehan ini harus dibatasi agar tidak terlalu rendah, sebab kelelehan yang rendah membuat campuran menjadi kaku dan rentan terhadap retak. Untuk itu dalam spesifikasi Kementerian Pekerjaan Umum, 2010 disyaratkan bahwa kelelehan minimum untuk campuran AC-WC sebesar 3 mm. Secara umum, kecenderungan nilai kelelehan akan menurun seiring dengan penambahan prosentase kadar aspal sampai mencapai suatu nilai minimum. Hal ini dikarenakan penambahan kadar aspal akan menyelimuti agregat dan menciptakan kekuatan mengunci antar agregat dan menyebabkan kelelehan menurun. Dengan menambahkan aspal, maka jumlah aspal yang berlebih tidak dapat lagi berfungsi sebagaimana mestinya yaitu sebagai perekat dan menyelimuti agregat namun aspal disini lebih berfungsi sebagai pelumas yang menyebabkan kondisi bleeding pada campuran. Dengan jumlah aspal yang lebih banyak ini maka campuran menjadi lebih lunak dan terdeformasi lebih besar. Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa kelelehan akan cenderung meningkat seiiring penambahan material RAP. Hal ini disebabkan karena kandungan aspal optimum pada kandungan RAP 30% lebih tinggi dibandingkan pada campuran dengan presentase 20% RAP.
330
Gambar 4 Kelelehan Campuran terhadap Presentase RAP
4)
Marshall Quetiont (MQ) Hasil Bagi Marshall atau Marshall Quotient (MQ) adalah perbandingan
antara stabilitas dan kelelehan yang juga merupakan indikator terhadap kekakuan campuran secara empiris. Semakin tinggi nilai MQ, maka kemungkinan akan semakin tinggi kekakuan suatu campuran dan semakin rentan campuran tersebut terhadap keretakan. Namun nilai MQ ini juga tidak boleh terlalu rendah karena hal tersebut akan menyebabkan campuran rentan terhadap deformasi plastis. Karena itu maka spesifikasi membatasi nilai MQ untuk campuran AC-WC minimum 250 kg/mm dan 300 kg/mm untuk AC-WC modifikasi. Secara umum kecenderungan dari hubungan MQ dan kadar aspal adalah bahwa MQ meningkat dengan peningkatan kadar aspal sampai mencapai nilai MQ maksimum. Hal ini disebabkan karena kadar aspal berfungsi menjadi perekat antar butiran agregat yang menciptakan kekuatan dari interlocking agregat. Selanjutnya dengan meningkatnya kadar aspal maka akan terbentuk ikatan aspal yang membuat campuran menjadi lebih lunak. Sehingga nilai MQ akan mengalami penurunan kembali. Secara umum pada Gambar 5 menunjukkan bahwa dengan penambahan RAP, maka campuran yang dihasilkan akan menunjukkan kecenderungan lebih kaku. Hal ini menjadi mungkin bila melihat nilai stabilitas dan kepadatan campuran yang juga semakin besar seiring dengan penambahan material RAP.
Gambar 5. MQ Campuran terhadap Presentase RAP KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa stabilitas tertinggi diberikan oleh campuran dengan kandungan material daur ulang 30% yaitu rata-rata sebesar 1510,30 kg sedangkan pada campuran dengan 20% kandungan material daur ulang, rata-rata sebesar 1323,81 kg. Sedangkan nilai Marshall Quetiont (MQ) tertinggi diperoleh pada campuran dengan 30% material daur ulang yaitu sebesar 413,24 kg/mm. Dari hasil analisa terlihat bahwa penambahan material daur ulang dapat meningkatkan nilai stabilitas dan Marshall Quetiont (MQ) dari campuran beton aspal lapis aus. DAFTAR PUSTAKA AASHTO, (1998) : Standard Spesifications for Transportation Materials and Methods of Sampling and Testing, Washington D.C. Asphalt Institute, (1983) : Principles of Construction of Hot Mix Asphalt Pavement, Manual Series No.22, The Asphalt Institute. Departemen Pekerjaan Umum, (1999) : Pedoman Perencanaan Campuran Beraspal Panas dengan Pendekatan Kepadatan Mutlak, No.025/T/BM/1999, Direktorat Jenderal Bina Marga. Departemen Pekerjaan Umum, (2008) : Kajian dan Pengawasan Uji Coba Skala Penuh Recyling lapisan Beraspal dengan Campuran Beraspal Panas, Pusat Penelitian dan Pengembangan.
332
Kementerian Pekerjaan Umum, (2010) : Seksi 6.3 Spesifikasi Campuran Beraspal Panas. Shell Bitumen (2003) : The Shell Bitumen Handbook, Shell Bitumen, U.K. Standar Nasional Indonesia, SNI (2003) : Metoda Pengujian Campuran Beraspal Panas dengan Alat Marshall, RSNI M-01-2003, Badan Standar Nasional Indonesia. Sugeng, B.S. dan Rahman, H. (2010) : Kinerja Fatigue dari Campuran Lapis Pengikat (AC-BC) yang Memakai Material Hasil Daur Ulang (Recycling) dan Polimer Neoprene , Jurnal FSTPT, Simposium XIII Forum Studi Transportasi antar Perguruan Tinggi, Semarang Sukirman, S., (2003) : Beton Aspal Campuran Panas, Granit, Jakarta. Sukirman, S., (2006) : Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur, Institut Teknologi Nasional, Bandung Yoder, E.J. And Witczak, M.W. (1975) : Principles of Pavement Design, Second Edition, John Wiley & Sons, Inc, New York
STUDI POTENSI SUNGAI SALENA DUSUN SALENA KOTA PALU SEBAGAI SUMBER ENERGI PLTMH Kennedy.M1, Ridho Hantoro2, Khairil Anwar1, Prabowo3 1
Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Tadulako, Palu Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknologi Industri, ITS Surabaya 3 Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, ITS, Surabaya 2
ABSTRAK Studi potensi aliran sungai ini dimaksudkan untuk mengamati dan mengukur besar energi aliran sungai Salena yang terletak di Dusun Salena Kecamatan Palu Barat Kotamadya Palu Propinsi Sulawesi Tengah, sebagai sumber energi pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) untuk dusun tersebut. Studi dilaksanakan selama 6 bulan melalui pengamatan langsung melalui pengumpulan data primer dan sekunder. Pengukuran di lakukan pada dua posisi yang berbeda di sepanjang aliran sungai Salena yang dimaksudkan untuk melihat perbedaan potensi di sepanjang aliran sungai. Hasil pengukuran menunjukkan adanya perbedaan yang cukup besar di kedua lokasi, dimana pada lokasi pertama kecepatan aliran rata-rata sebesar 0,99 m/s, debit rata-rata 0,825 m3/s, sedangkan pada lokasi ke dua yang terletak lebih rendah, kecepatan aliran rata-rata sebesar 0,813 m/s namun debit ukur rata-rata sebesar 0,17 m3/s, hal ini di sebabkan oleh kerusakan aliran sungai akibat adanya penambangan galian disekitar sungai pada lokasi kedua sehingga aliran sungai banyak merembes ke sisi sungai. Posisi sungai yang memiliki kountur dengan lereng yang cukup, terdapat posisi perletakan turbin dengan head efektif 19 m, sehingga potensi PLTMH berkisar antara 15 KW hingga 80 KW cukup untuk memenuhi kebutuhan daya listrik Dusun Salena sebesar 10 KW. Dalam pemanfaatannya diperlukan kebijakan dari pemerintah serta kesadaran dari masyarakat untuk menjaga daerah tangkapan air dengan jalan melestarikan hutan disekitar aliran sungai demi menjaga debit aliran sungai Salena. Kata Kunci : Aliran Sungai, PLTMH, Debit, Head, Daya.
PENDAHULUAN
Daerah-daerah terpencil dan perdesaan umumnya tidak terjangkau jaringan listrik. Dalam kondisi demikian, solusi yang memadai adalah dengan menyediakan pembangkit listrik setempat seperti generator set (genset) yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM). Kondisi geografis Kota Palu Sulawesi Tengah terletak di lembah Palu, terdiri dari pegunungan dan teluk yang masyarakatnya tersebar hingga ke punggung. Kota palu dengan posisi yang terletak pada posisi 0°54′S, dan 119°50′E, sesungguhnya memiliki sumber energy terbarukan yang cukup, namun belum dimanfaatkan secara maksimal, topografi kota Palu yang di kelilingi oleh pegunungan dan sungai memberikan sumber Tenaga Air yang cukup untuk di manfaatkan.
334
Meskipun saat ini pemerintah daerah telah merencanakan pasokan energi listrik dari PLTA Poso, namun peningkatan kebutuhan akan daya listrik tetap meningkat seiring dengan pesatnya perkembangan kota Palu, selain itu masih ada dusun yang terletak di kaki pegunungan Kota Palu yang masih belum terjangkau transmisi listrik dari PLN. Dengan adanya energy dari PLTMH maka diharapkan akan dapat meningkatkan produktifitas dan pendapatan masyarakat pada daerah yang belum terjangkau jaringan listrik PLN bagi kegiatan-kegiatan yang mendorong ke arah hidup yang lebih baik, seperti memanfaatkan penerangan untuk belajar serta kegiatan yang meningkatkan pendapat masyarakat untuk usaha produktif. Perumusan dan Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan maka permasalahan yang muncul adalah sebagai berikut : -
Belum adanya informasi/data potensi awal untuk pengembangan penyediaan listrik dengan teknologi PLTMH.
-
Belumada penelitian skema pengembangan PLTMH secara terpadu yang berbasis komunitas di Palu Sulawesi Tengah ini dapat dijadikan sebagai langkah awal yang penting, khususnya untuk merumuskan sistem penyediaan jasa energi yang efektif, handal dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat serta menunjang pertumbuhan ekonomi.
Tujuan dan Manfaat Tujuan yang akan dicapai dengan penelitianini adalah untuk melakukan identifikasi pontensi atas berbagai sumber energi terbarukan air(PLTMH) yang tersedia. Hasil dari studi diharapkan akan dapat memberikan gambaran yang obyektif dan proporsional, bagi para pengambil keputusan, mengenai: - Mengetahui potensi awal sumberdaya energi terbarukan air (PLTMH) - Mengetahui status teknis penerapan sistem teknologi PLTMH - Mendapatkan analisis potensi dampak pemanfaatan PLTMH bagi perekonomian masyarakat daerah. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : -
Sebagai langkah awal penyediaan energi terbarukan
-
Pemanfaatan potensi lokal daerah untuk penyediaan energi listrik
-
Mengurangi ketergantungan pada skema pembangkit listrik yang terpusat
PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO Mikrohidro adalah istilah yang digunakan untuk instalasi pembangkit listrik yang mengunakan energi air. Kondisi air yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber daya (resources) penghasil listrik adalah memiliki kapasitas aliran dan ketiggian tertentu dad instalasi. Semakin besar kapasitas aliran maupun ketinggiannya dari istalasi maka semakin besar energi yang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan energi listrik. Biasanya Mikrohidro dibangun berdasarkan kenyataan bahwa adanya air yang mengalir di suatu daerah dengan kapasitas dan ketinggian yang memadai. Istilah kapasitas mengacu kepada jumlah volume aliran air persatuan waktu (flow capacity) sedangan beda ketingglan daerah aliran sampai ke instalasi dikenal dengan istilah head. Mikrohidro juga dikenal sebagai white resources dengan teluemahan bebas bisa dikatakan "energi putih". Dikatakan demikian karena instalasi pembangkit listrik seperti ini mengunakan sumber daya yang telah disediakan oleh alam dan ramah lingkungan. Suatu kenyataan bahwa alam memiliki air terjun atau jenis lainnya yang menjadi tempat air mengalir. Dengan teknologi sekarang maka energi aliran air beserta energi perbedaan ketinggiannya dengan daerah tertentu (tempat instalasi akan dibangun) dapat diubah menjadi energi listrik, Mikrohidro hanyalah sebuah istilah. Mikro artinya kecil sedangkan hidro artinya air. Dalam, prakteknya istilah ini tidak merupakan sesuatu yang baku namun bisa dibayangkan bahwa Mikrohidro, pasti mengunakan air sebagai sumber energinya. Yang membedakan antara istilah Mikrohidro dengan Miniihidro adalah output daya yang dihasilkan. Mikrohidro menghasilkan daya lebih rendah dari 5 kW hingga 100 kW, sedangkan untuk minihidro daya keluarannya berkisar antara 100 kW hingga namun dibawah dari 1 MW. Secara teknis, Mikrohidro memiliki tiga komponen utama yaitu air (sumber energi), turbin dan generator.
Pada prinsipnya dalam pemanfaatan energi Air adalah
mengubah energi potensial air karena posisi atau Head nya menjadi energi kinetik
336
dan energi mekanik oleh turbin yang pada akhirnya di konversikan menjadi energi listrik melalui generator. Air yang mengalir dengan kapasitas debit dan ketinggian tertentu disalurkan melalui pipa penstok menuju rumah instalasi (rumah turbin) dan menmutar turbin, dipastikan akan menerima energi air tersebut dan mengubahnya menjadi energi mekanik berupa berputamya poros turbin. Poros yang berputar tersebut kemudian ditransmisikan ke generator dengan menggunakan kopling. Dari generator akan dihasilkan energi listrik yang akan masuk ke sistem kontrol arus listrik sebelum dialirkan ke rumah-rumah atau keperluan lainnya (beban). Begitulah secara ringkas
proses
Mikrohidro
merubah energi aliran dan ketinggian air menjadi energi listrik. Prinsip dasar : P= ρ.g.H.η.Q................................. (1) Dimana : P= Daya (kW) ρ= massa jenis air (kg/m3) g= gravitasi (9.8 m/dt2) H= ketinggian jatuh, head (m) η= efisiensi turbin & generator (60%-80%) Q= debit (m3/dt) Variable yang paling berpengaruh adalah H dan atau Q, artinya jika salah satu sudah memiliki potensi yang bagus, maka satu yang lainnya tidak perlu besar (tetapi harus ada). Sedangkan variable yang lain bersifat konstanta. Efesiensi turbin, generator dan sistim mekanikal dapat di uraikan dengan menggunakan perhitungan potensi daya hidrolik : Ph = Qd x Hnet x g x ηTb x ηGnr xηM......(2) Dengan : Ph = Potensi daya hidrolik, kW Qd = Debit desain, (m3/dt) Hnet = Head efektif, m ηTb = Efisiensi turbin PAT 0,70-0,8ηGnr = Efisiensi generator 0,7-0,8
ηM = Efisiensi transmisi mekanik, flat belt, 0.87-0,95 g = konstanta percepatan gravitasi, (9.8 m/dt2) Net head (Hnet) ditentukan dari pengurangan rugi-rugi gesekan dan turbulensi dalam head tank, dan penstok (Hloss) terhadap gross head (Hg). Estimasi efisiensi turbin, efisiensi generator dan efisiensi transmisi mekanik masing-masing merupakan efisiensi sistem untuk turbin, generator sinkron dan penggunaan V belt yang diperoleh berdasarkan spesifikasi manufaktur.
Gambar 1 Layout sebuah PLTMH Pada gambar 1 memanfaatkan sebuah sungai dengan membuat saluran pembawa ke sebuah titik yang memiliki kontur ketinggian untuk jatuhan air ke turbin yang ada dalam rumah pembangkit. Turbin yang berputar akan dipasangkan pada sebuah generator yang akan ikut berputar dan menghasilkan listrik. Terdapat sebuah peningkatan kebutuhan suplai daya ke daerah-daerah pedesaan di sejumlah negara, sebagian untuk mendukung industri-industri, dan sebagian untuk menyediakan penerangan di malam hari. Kemampuan pemerintah yang terhalang oleh biaya yang tinggi dari perluasan jaringan listrik, sering membuat Mikro Hidro memberikan sebuah alternatif ekonomi ke dalam jaringan. Ini karena Skema Mikro Hidro yang mandiri menghemat biaya dari jaringan transmisi, dan karena skema perluasan jaringan sering memerlukan biaya peralatan dan pegawai yang mahal. Skema Mikro Hidro dapat didisain dan dibangun oleh pegawai lokal dan organisasi yang lebih kecil dengan mengikuti peraturan yang lebih longgar dan menggunakan teknologi lokal seperti untuk pekerjaan irigasi tradisional atau mesin-mesin buatan lokal. Pendekatan ini
338
dikenal sebagai Pendekatan Lokal. Gambar dibawah menunjukkan betapa ada perbedaan yang berarti antara biaya pembuatan dengan listrik yang dihasilkan. METODE PENELITIAN Metode penelitian dilakukan melalui tahapan sesuai flowchart berikut : Mulai
PHASE I 1. Survey & pengumpulan data : - Identifikasi debit potensial DAS, - Geografi, iklim - Potensi PLTMH 2. Survey data kebutuhan energi listrik masyarakat lokal - Studi kasus sungai di dusun Salena dan Lekatu Kecamatan Palu Barat Kota Palu.
PHASE II 1. Pemetaan dan identifikasi skema pengembangan PLTMH secara terpadu yang berbasis komunitas - Segmentasi masyarakat
- Site survey, pengukuran debit, kontur ketinggian - Data sekunder Dinas PU Pengairan/ Pengelola DAS -Data sekunder Dinas ESDM
SKEMA MANDIRI ENERGI - Kebutuhan energi - Akses energi - Kemampuan finansial - Tingkat teknologi - Transfer pengetahuan
- Identifikasi pengembangan potensi industri kecil
ANALISA
HASIL, KESIMPULAN, DAN REKOMENDASI
Selesai
Gambar 2 Flowchart penelitian Phase I : Identifikasi lokasi potensial PLTMH -
Survey literature & pengumpulan data, meliputi Identifikasi debit potensial DAS, geografi, iklim, dan potensi PLTMH
-
Survey data kebutuhan energi listrik untuk masyarakat pada daerah-daerah pemukiman di sepanjang alur sungai, di fokuskan pada wilayah daerah Kota Palu dan Sekitarnya Studi kasus sungai di dusun Salena Kecamatan Palu Barat Kota Palu.
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan pemilihan dusun tersebut antara lain :
-
Dusun Salena dan Lekatu terletak kurang lebih 10 Km dari pusat pemerintahan Kota Palu yang hingga saat ini belum tersentuh jaringan listrik PLN, di sebabkan lokasi yang terletak dipunggung pegunungan dan tingkat per ekonomian masyarakat yang masih rendah.
-
Tingkat pendidikan masyarakat saat ini sekitar 50% masih berpendidikan sekolah dasar, sehingga membutuhkan stimulasi untuk merubah kemampuan ekonomi masyarakatnya menjadi sejahtera.
-
Dusun salena dan Lekatu memiliki potensi air sungai dengan debit aliran yang cukup yang mengalir sepanjang tahun, sehingga memungkinkan untuk dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH), untuk membantu
masyarakat
dalam
hal
penerangan
dan
memberdayakan
masyarakat dalam peningkatan pendapatannya. -
Dusun Salena dan Lekatu memiliki potensi lahan dan hasil perkebunan yang memungkinkan untuk dikelola misalnya ketersediaan potensi talas, pisang dan berbagai komoditi yang memungkinkan untuk dikembangkan.
-
Selain hal tersebut, dusun Salena memiliki potensi alam yang memungkinkan untuk dikembangkan menjadi objek wisata pegunungan, karena letaknya berada pada celah bukit dan berada pada ketinggian 350m diatas permukaan laut.
Phase II : Pemetaan dan identifikasi skema pengembangan PLTMH secara terpadu yang berbasis komunitas -
Segmentasi masyarakat yang dapat memanfaatkan PLTMH sebagai alternatif penyedia energi listrik.
-
Identifikasi pengembangan potensi industri kecil dengan ketersediaan listrik dari PLTMH.
Kegiatan penelitian pada artikel ini merupakan tahap mula atau pada phase I, sementara phase II akan dilanjutkan pada kegiatan berikutnya.
340
GAMBARAN UMUM WILAYAH A. Lokasi DusunSalena yang merupakan bagian dari Kecamatan Palu Barat, Kota Palu Propinsi Sulawesi Tengah 000 51‘24,45‖ LU dan 119047‘58,4‖ BT dengan elevasi 320-495 meter di atas permukaan laut.
Gambar 3. Peta Adminstratif Kota Palu
Gambar 4. Lokasi Dusun Salena Dari Kota Palu
PENGUMPULAN DATA NON TEKNIS a. Data Kependudukan dan Profil SosialEkonomi Dusun Salena, Kecamatan Palu Barat, Kotamadya Palu, berjarak ± 10 km dari pusat kota Palu dan dapat ditempuh dengan kendaraan baik roda dua, maupun roda empat. Desa tersebut dihuni oleh 102 kepala keluarga yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Masyarakat pada dusun tersebut awalnya adalah masyarakat yang tidak menetap di suatu lokasi, namun masayarakat berpindah-
pindah tempat di wilayah pegunungan Palu, melihat bahwa mereka melakukan pembukaan lahan dengan jalan melakukan penebangan hutan, maka pemerintah Kota Palu mengajak masyrakat tersebut untuk menetap di sebuah lokasi yang kemudian disepakati terletak di Dusun Salena, oleh karena itu maka hampirseluruhpenduduknyabekerjasebagaipetanipalawija
secara
tradisional
dengan tingkat pendidikan yang relatif masih rendah. Jumlah rumah di dusun Salena saat ini terdiri dari 89 rumah, dengan pemukiman yang terpusat pada satu wilayah. Sarana umum yang terdapat di dusun Salena adalah 1 buah Mesjid, 1 Buah Balai Adat, 1 Sekolah Dasar dan 1 Puskesmas Pembantu. Tabel 1 Data informasisosialmasyarakat Kriteria
Lokasi
Jumlah KK
102 kk
Tingkat keseimbangan sosial
Islam = 100%
Tingkat homogenitas situasi desa
Tidak ada konflik,desa dikelola baik
Sumberpendapatan dan profilpekerjaan
Lain-lain =1,8 % Berkebun = 98,2 %
Kesadaran dan partisipasigender
Belum aktif
Kesadaranuntukberkontribusi
berpotensi, Tidak tertarik swadaya
Kesadaranuntukmembayarlistrik
Berpotensi
Kebutuhanpenggunaanperalatanlistrik
Penerangan, Radio, TV
Potensiusahaproduktif
Ada,dalam pengolahan hasil pertanian
Pengembangankapasitaslokal
Cukup baik
Kapasitaskemampuanpengelolaan PLTMH
Kurang
Kemudahanakses pasar
Kurang
342
Gambar 5. Kondisi Pemukiman warga dusun Salena b. Kondisi Elektrifikasi. Suplai energy listrik dusuniniberasaldarienergi Surya yang di peroleh dari proyek pemerintah, namun belum merata dan tidak seluruh rumah mendapatkan panel surya. Saat ini banyak yang telah mengalami kerusakan akibat dari ketidak pahaman
masyarakat
untuk
merawat
komponen
tersebut.Jumlahpenggunaanlistriktiaprumahberkisar24sebagianbesarlistriknyadigunakanuntukmenyalakan
50 3
watt
sistem yang
buahlampupijar.
Sebuahtelevisi umum yang di letakkan di balai pertemuan masyarakat, penggunaan listrik terbatas hanya pada malam hari berkisar 8 jam. Melihat hal tersebut maka daya listrik yang tersedia belummemadai untuk digunakan bagi upaya peningkatankesejahteraan masyarakat.
Tabel 2. Penggunaan Listrik Pedesaan Keterangan
Jumlah
Daya
Jumlah Daya
Penggunaan lampu
3 titik
8 watt
24 watt
Penggunaan Televisi Berwarna
1 unit
45 watt
45 watt
Kebutuhan catu daya tiap rumah
70 watt
Tabel 3 Estimasi Kebutuhan Daya Listrik Dusun Salena No.
Uraian
Jumlah
1 2
Rumah Penerangan Fasilitas Umum Penerangan Jalan
89 4
3
Daya Listrik/ Unit 70 Watt 70 watt
Jumlah Daya listrik 6,2 KWatt 2,8 KWatt
50 Watt
1 KWatt 10 KWatt
20 Total
HASIL a. Potensi Sumber Daya Alam Pendukung Potensi bahan bangunan lokal di wilayah Dusun Salena, khususnya di sekitar lokasi identifikasi rencana PLTMH cukup memadai. Bahan bangunan seperti batu dan pasir banyak terdapat di sekitar Sungai. Kebutuhan kayu bangunan secara selektif dapat diperoleh dari hutan disekitar wilayah dusun. Bahan bangunan lainnya seperti semen, besi, bata dapat dibeli di Kecamatan Silae Kota Palu. b. Kondisi Topografi Aliran sungai yang akan digunakan untuk rencana PLTMH berasal dari Sungai Salena yang bersumber dari sumber mata air yang terdapat di pegunungan Palu, yang mengalir di antara celah pegunungan dari arah Barat menuju ke arah Timur dan bermuara di Teluk Palu. Berdasarkan pengamatan lapangan, kemiringan tanah di sepanjang sungai Salena memiliki relatif cukup terjal dengan kondisi dasar sungai didominasi oleh batuan keras dan berumput di sisi sungai. Lokasi
pengamatan
dilaksanakan
di
aliran
Sungai
Salena
mempertimbangkan kemiringan sungai dan Daerah Aliran Sungai. Pemilihan lokasi potensial ini dengan mempertimbangkan profil tinggi head dan saluran air serta debit air aliran sungai yang ada. Pengambilan data
potensi daya air
dilakukan dengan menggunakan peralatan bantu : 1. Digital Current meter/ flow meter dan GPS Alat ini digunakan untuk mengukur kecepatan aliran sungai 2. Altimeter, untuk mengetahui ketiggian posisi. Hal ini penting untung mengetahui seberapa besar nilai head. 344
3. Meteran, digunakan untuk mengukur lebar atau luas basah aliran sungai
Gambar 6 Lokasi Pengamatan Aliran Sungai c.
Data Pengamatan Sungai Salena Pengambilan data dilakukan sebanyak 5 kali pada bulan yang berbeda, guna
mengetahui kondisi aliran sungai dan diambil pada dua titik di aliran sungai untuk melihat perbedaan debit aliran di sepanjang alur sungai dengan pertimbangan lokasi pengalihan aliran menuju bak penampung dan turbin. Untuk mendapatkan luas penampang aliran sungai, maka tiap lokasi lebar sungai dibagi menjadi 10 titik pengukuran kecepatan dan kedalaman air yang kemudian akan di pergunakan dalam perhitungan debit aliran. A. Lokasi I NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
LEBAR SUNGAI (m)
Kedalaman sungai (m)
Kecepatan (m/s)
3
0,25 0,3 0,345 0,42 0,4 0,38 0,43 0,4 0,37 0,3
0,98 0,96 0,99 1 1 0,99 1 1 1 0,98 0,99
Rata-rata
Denganbantuansoftware Autocad, maka di peroleh luas penampang basah (A) aliran sungai pada lokasi I : 0,98 m2. Berdasarkan kondisi aliran sungai Salena yang berbatu dan berumput, maka faktor koreksi (Cs) yang dipilih sebesar 0,85 (range 0,6-0,9) maka debit aliran pada lokasi I adalah :
Q = A .Cs. v = 0,98 m2 x 0,85 x0.99 m/det = 0,825 m3/det
Gambar7.Luasan basah areasungai Lokasi I
Gambar 8. Foto Lokasi I
B. Lokasi II Lokasi II berjarak sekitar 600 meter dari lokasi I dan lebih dekat dari permukiman, data pengamatan rata-rata kecepatan dapat dilihat pada tabel berikut: NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Lebar Sungai (m)
18
Kedalaman sungai (m) 0,08 0,095 0,2 0,205 0,21 0,225 0,17 0,16 0,15 0,07 Rata-rata
Kecepatan sungai (m/s) 0,66 0,79 0,8 0,85 0,76 0,94 0,89 0,68 0,89 0,76 0,802
Dengan menggunakan software Autocad di dapatkan luas penampang basah sungai pada lokasi sungai (A) = 0,254 m2
346
Gambar9.LuasPenampang Basahsungai Lokasi II Sehingga debit aliran pada lokasi II: Q = A .Cs. v = 0,254 m2x 0,85 x0.802 m/det = 0,17 m3/det
Gambar 10. Foto Lokasi II TINGGI JATUH (HEAD) Kondisi daerah dusun Salena yang terletak di punggung pegunungan Palu memiliki kontur yang cukup terjal, aliran Sungai Salena yang mengalir di celah pegunungan memiliki potensi yang cukup baik untuk mendapatkan tinggi jatuh air yang memadai dalam pemanfaatannya pada PLTMH. Pemilihan lokasi penempatan bak penenang dan penempatan turbin air, dengan pertimbangan tinggi jatuh air (head) yang cukup dan tidak jauh dari pemukiman penduduk Dari pengamatan di lokasi di dapatkan lokasi dengan tinggi jatuh air 20 meter. Head tersebut merupakan beda ketinggian antara rencana elevasi muka air di Head bak penenang dengan sumbu turbin yang terletak di dalam rumah pembangkit. Estimasi tinggi jatuh efektif (Net Head) dengan mempertimbangkan rugi-rugi aliran pada saluran pembawa dan pipa penstock direncanakan tinggi jatuh efektif sebesar19 m. Jenis pembangkit yang sesuai dengan kondisi topografi PLTMH Salena merupakan pembangkit ―Run off River‖ . Perhitungan daya hidrolik (daya rencana) menggunakan persamaan :
Ph = Q x Hnet x g x ηT x ηG xηtr Dimana : Ph
: Daya Hidraulik (daya bangkitan) (KW)
Q
: Debit (m3/s)
Hnet
: Tinggi jatuh netto (m)
g
: Gaya graftasi (9,81 m/s2)
ηT
: Efesiensi Turbin ( di pilih 70%)
ηG
: Efesiensi Generator (di pilih 80%)
ηTr : Efesiensi Transmisi (dipilih 95%) Tinggi jatuh efektih (Hnet) ditentukan dari pengurangan rugi-rugi gesekan dan turbulensi dalam head tank, dan penstok (Hloss) terhadap tinggi jatuh air (Hg).
Headloss yang direncanakan berkisar 5%. Estimasi efisiensi turbin,
efisiensi generator dan efisiensi transmisi mekanik masing-masing merupakan efisiensi sistem untuk turbin, generator sinkron dan penggunaan V belt yang diperoleh berdasarkan spesifikasi manufaktur. Sehingga estimasi daya yang ada dari pengukuran untuk kedua lokasi adalah : Tabel 6. Data perhitungan Daya Hidrolik S. Salena No.
Uraian
Simbol
satuan
Lokasi I
Lokasi II
1.
Debit
Q
m3/s
0,825
0,17
2 3.
Tinggi Jatuh Head Efektif
H He
m m
20 19
20 19
4.
Efesiensi Turbin
T
-
0,7
0,7
5.
Efesiensi Generator
G
-
0,8
0,8
6.
Efesiensi Transmisi
Tr
-
0,95
0,95
Estimasi Daya Bangkitan
P
KW
81,7232
16,8399
Dari tabel 6, hasil perhitungan daya hidrolik sungai Salena, terlihat perbedaan yang cukup besar antara lokasi I dan Lokasi II, hal ini di akibatkan oleh adanya aktifitas galian C, berupa penambangan batu pecah (batu kerikil) di punggung pegunungan, tidak jauh dari alur sungai pada lokasi II, mengakibatkan terganggunya alur sungai dan menurunkan kapasitas aliran. Selain hal itu, aktifitas
348
penebangan hutan menyebabkan kerusakan daerah tangkapan air hujan (catchment area) yang berdampak pada debit aliran sungai. Pengamatan alur sungai Salena, pernah dilaksanakan pada tahun 2007, dimanajika dibandingkan dengan kondisi sungai pada pengambilan data pada bulan Agustus-September 2013, perubahan alur sungai Salena terjadi cukup siginifikan seperti yang di tunjukkan pada gambar berikut ini. Merujuk dari tingkat kebutuhan daya listrik dusun Salena sebesar 10 KW, maka potensi Sungai Salena yang tersedia cukup memadai digunakan bagi PLTMH untuk dusun Salena. d. MenentukanJenisTurbin Berdasarkan hasil pengamatan untuk kedua lokasi berkisar 0,17 m3/s hingga 0,85 m3/s dan tinggi jatuh air efektif 19 m, maka menentukanjenisturbin yang akandigunakandenganmelihatgrafik Turbine Application chart. Pada gambar 11.Maka, jenisturbin yang akandigunakanyaituturbinjenisTurbin aliran silang (Crossflow) atau dapat juga menngunakan jenis Propeller. Posisi penempatan pembangkit berjarak 200 m dari pemukiman, sehingga memberikan beberapa keuntungan antara lain :
Instalasi energy listrik akan relatif lebih pendek.
Perawatan
instalasi
pembangkit
lebih
mudah,
karena
posisi
pembangkit lebih mudah dijangkau.
Mobilitas bahan pembangunan lebih mudah dan efisien, dibandingkan jika pembangkit di letakkan jauh ke sumber aliran sungai
Gambar 11. Turbine Application Chart
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Sungai Salena layak untuk dimanfaatkan bagi Pembangkit listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dengan menggunakan jenis pembangkit Diversion atau run of rifer. 2. Potensi daya hidrolis sunga Salena berkisar antara 15 KW hingga 80 KW. 3. Di butuhkan sosialisasi yang intensif kepada masayarakat guna meningkatkan kesadaran dalam menjaga dan memelihara kondisi alam sekitar dusun Salena, khususnya aliran Sungai Salena. 4. Dalam pembangunan PLTMH, harus melibatkan masyarakat sekitar untuk menumbuhkan kesadaran dan rasa memiliki tinggi, sehingga manfaat 5. PLTMH dapat dirasakan dalam waktu yang lama dan berkelanjutan. 6. Di butuhkan pelatihan baik
dari sisi Teknis maupun ekonomis dalam
pengoperasian PLTMH, serta metoda pemanfaatan energi secara efisien untuk usaha produktif masyarakat Salena. 7. Diperlukan pembinaan dari budaya dan kultur agar dapat mencegah timbulnya pergesaran nilai akibat dari cepatnya arus informasi. DAFTAR PUSTAKA
IMIDAP (Integrated Microhydro Development and Application Program), ―BUKU UTAMA PEDOMAN STUDI KELAYAKAN PLTMH‖, Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2008. BENT SORENSN, ― Renewable Energy Its Physics, Engineering, Use, Environmental Impacts, Economy and Planning aspects‖, 3rd ed. , Elsevier Science , 2004. Abdul Kadir, ENERGI Sumber Daya,Inovasi, Tenaga Listrik Dan Potensi Ekonomi, Edisi Ke-2, UI-Press. Jakarta. 1995 FRITZ DIETZEL dan DAKSO SRIYONO, ―Turbin Pompa dan Kompresor‖ Erlangga, Jakarta, 1990.
350
C.C. WARNICK, HOWARD A. MAYO, JAMES L. CARSON DAN LEE H. SHELDON, ―Hydropower Engineering‖, Prentice-Hall,Inc, Englewood Cliffs, New Jersey, 1984. ARISMUNANDAR, ―Penggerak Mula Turbin‖, Universitas ITB, Bandung, 1977. ARISMUNANDAR dan SUSUMUMU KUWAHARA, ―Pembangkitan Dengan Tenaga Air‖, Buku Pegangan Teknik Tenaga Listrik, Jilid I, Pradnya Paramita, Jakarta, 1974.
PERAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS TADULAKO DALAM PENINGKATAN SDM TRANSPORTASI Jurair Patunrangi Fakultas Teknik, Jurusan Sipil Universitas Tadulako Email:
[email protected]
ABSTRAK Negara yang maju adalah negara yang memiliki sistim transportasi yang baik, hal itu dapat dilihat dari sistim pelayanan transportasinya, pelayanan yang baik dapat diukur dari tersedianya sarana dan prasarana yang memadai sehingga arus pergerakan barang, orang dan kendaraan (BOK) dapat berjalan aman, lancar, tertib, ekonomis dan sesuai lingkungan. Dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan terhadap sistim pelayanan transportasi (BOK), terlihat bahwa permasalahan transportasi di Provinsi Sulawesi Tengah belum begitu akut, namun gejala ke arah sistem pelayanan transportasi yang buruk sudah mulai terlihat. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, dibutuhkan berbagai kajian mendalam untuk mengatasi permasalahan di masa datang. Peran perguruan tinggi diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam menjawab tantangan permasalahan transportasi di Sulawesi Tengah, melalui tridarma perguruan tinggi dengan senantiasa mempersiapkan dan meningkatkan sumberdaya manusianya. Kata Kunci: Peran Fakultas Teknik, Sumberdaya Manusia, dan Transportasi.
Latar Belakang Transportasi adalah pergerakan orang dan barang dari satu tempat ke tempat lain dengan berbagai tujuan perjalanan dan menggunakan berbagai moda/alat angkut yang memungkinkan. Perjalanan dilakukan dengan maksud tertentu, dan sumber
daya
yang
dibutuhkan
untuk
melakukan
perjalanan
sehingga
mendatangkan manfaat. Diharapkan manfaat tersebut lebih besar dari sumber daya (terutama biaya) yang dikeluarkan untuk melakukan perjalanan. Transportasi merupakan salah satu komponen yang mutlak penting bagi pencapaian tujuan pembangunan masa kini dan masa mendatang. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa negara-negara yang berhasil dalam pencapaian tujuan pembangunan adalah negara-negara yang memiliki sistem transportasi yang memadai dalam memenuhi kebutuhan dinamis penduduknya. Namun demikian, agar pembangunan transportasi nasional lebih efisien, efektif dan memberikan nilai tambah bagi sektor lain serta tidak menimbulkan berbagai dampak negatif
352
bagi masyarakat dan lingkungan, maka perlu disusun dan dirumuskan rencana pembangunannya. Salah satu bentuk rencana yang penting untuk disusun dan dirumuskan yakni rencana dalam penelitian dan pengembangan teknologi dan manajemen transportasi. Pengembangan teknologi dan manajemen transportasi merupakan salah satu tugas penting yang harus dilakukan pemerintah dalam mencapai tujuan pembangunan nasional. Hal ini karena dengan adanya pengembangan teknologi dan manajemen transportasi, maka perpindahan dan pergerakan barang, orang dan kendaraan (BOK) dari satu tempat ke tempat lain dapat berjalan lebih cepat, efisien, efektif, murah dan sesuai lingkungannya. Walaupun
kemajuan
transportasi
memiliki
korelasi
erat
dengan
pembangunan peradaban, namun keberhasilannya sangat berkaitan erat dengan berbagai kompleksitas dari faktor-faktor lainnya, seperti kualitas, biaya dan tingkat pelayanan sistem transportasi itu sendiri. Tanpa perhatian terhadap faktorfaktor ini, maka hampir dipastikan kemajuan di bidang transportasi dapat menimbulkan berbagai biaya sosial (social costs) baik berupa kecelakaan, kemacetan, kebisingan, dan polusi. Penelitian dan pengembangan teknologi/ manajemen transportasi tentu merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam mencapai tujuan pembangunan. Melalui penelitian, maka tidak saja dapat diidentifikasi dan dianalisis faktor-faktor atau komponen (input factors) yang ada dalam pembangunan sistem transportasi, melainkan juga dapat diungkapkan masalah dan isu-isu yang terjadi di sektor transportasi. Hasil identifikasi dan analisis itu selanjutnya berguna untuk merumuskan kebijakan yang diperlukan dalam pengembangan teknologi yang diperlukan dan langkah-langkah yang harus diambil dalam menjawab dinamika kebutuhan masyarakat di bidang transportasi. Besarnya tantangan di bidang transportasi tersebut sehingga peran perguruan tinggi tidak terkecuali Universitas Tadulako (Fakultas Teknik Jurusan Sipil), dituntut untuk lebih mengembangkan perannya terutama dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam rangka menjawab tantangan pembangunan dimasa datang.
Konsep Perencanaan Transportasi Perkotaan Perencanaan transportasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan kota. Rencana kota tanpa mempertimbangkan pola transportasi yang terjadi akan banyak menimbulkan permasalahan lalu lintas di masa mendatang. Keterkaitan perencanaan transportasi dan perencanaan kota, maka penetapan suatu bagian kota menjadi tempat kegiatan tertentu, misalnya kawasan perbelanjaan, bukanlah sekedar memilih lokasi. Pemilihan lokasi strategis merupakan hal penting, namun kesesuaian dengan rencana tata guna lahan harus menjadi landasan pengembangan kawasan selain perkiraan bangkitan/tarikan perjalanan yang ditimbulkan. Perencanaan transportasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang tujuannya mengembangkan sistem angkutan yang memungkinkan manusia dan barang bergerak atau berpindah tempat dengan cepat, aman, nyaman, dan murah. Perencanaan transportasi merupakan suatu proses yang dinamis dan tanggap terhadap perubahan tata guna lahan, kondisi ekonomi, dan pola perjalanan. Modal yang dikeluarkan untuk menerapkan sistem transportasi sangat besar sehingga perencanaan sistem transportasi yang tidak komprehensif mencakup aspek-aspek yang akan terlibat di dalamnya seperti: pola tata guna lahan, pola jaringan jalan, pola penyebaran penduduk, dan pola kebutuhan pergerakan penduduk, akan menimbulkan permasalahan yang serius terhadap pengembangan kota. Salah satu cara untuk mencapai sasaran umum dalam perencanaan transportasi adalah membuat kebijakan atas: (lihat Gambar 1) 1.
Sistem Kegiatan; perencanaan tata guna lahan yang baik dapat mengurangi keperluan perjalanan yang panjang sehingga membuat interaksi semakin mudah.
2
Sistem Jaringan; dapat dilakukan dengan meningkatkan kapasitas pelayanan prasarana yang ada seperti pelebaran jalan dan memperluas jaringan jalan termasuk pembangunan jalan baru.
3.
Sistem Pergerakan; dapat dilakukan melalui teknik dan manajemen lalu lintas serta fasilitas angkutan umum yang baik.
354
Gambar 1. Sistim Transportasi Makro (Sumber: Ofyar Z Tamin)
Urutan pertama konsep yang dapat menyatukan hubungan dasar antara ketiga sistem tersebut di atas adalah aksesibilitas atau daya hubung. Aksesibilitas merupakan suatu ukuran potensial atau kemudahan orang untuk mencapai tujuan dalam suatu perjalanan. Karekteristik sistem transportasi ditentukan oleh aksesibilitas. Aksesibilitas memberikan pengaruh pada beberapa lokasi kegiatan atau tata guna lahan. Lokasi kegiatan juga memberikan pengaruh pada pola perjalanan untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Pola perjalanan ini kemudian mempengaruhi jaringan transportasi yang pada akhirnya akan memberikan pengaruh pada sistem transportasi secara keseluruhan. Gambar 2 berikut ini akan memberikan ilustrasi dari hubungan tersebut. Pada dasarnya tata guna lahan dan sistem transportasi merupakan dua sistem yang saling mempengaruhi. Pola tata guna lahan harus dibedakan dengan pertumbuhan. Dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi sering kali terjadi perubahan tata guna lahan, namun hal ini perlu diimbangi dengan peningkatan transportasi.
Transport asi
Pola Kegiatan
Aksesibilitas
Penataan Lahan Gambar 2.
Keterkaitan Antara Faktor-Faktor yang Terkait Dengan Transportasi Menyebabkan Tingginya Kompleksitas Permasalahan Perencanaan yang Dihadapi. (Sumber:Wright, Paul H, 1989)
Sistem transportasi merupakan elemen dasar infrastruktur yang berpengaruh tehadap pola pengembangan perkotaan. Pengembangan transportasi dan tata guna lahan dapat memainkan peranan yang penting dalam kebijakan dan program pemerintah.
Pengembangan
infrastruktur
dalam
sektor
transportasi
akan
menimbulkan biaya tinggi apabila tidak diatur pengelolaannya dengan baik. Namun dengan manajemen yang baik pun, perbaikan tingkat pelayanan (level of service) dari arteri yang ada hanya terjadi sementara. Peningkatan pelayanan akan berkolerasi dengan peningkatan aktivitas, yang akan pula membangkitkan lalu lintas lebih banyak. Dan akhirnya akan menurunkan kinerja pelayanan lalu lintas. Gambar 3 mengilustrasikan permintaan terhadap peningkatan jalan baru dan dampak yang timbul dalam satu lingkaran yang berkelanjutan. Rencana tindakan yang perlu dilakukan sebagai solusi permasalahan yang ditimbulkan akibat pengembangan tata guna lahan dan sistem transportasi di atas, adalah: 1.
Kebijakan pemerintah dengan pengembangan wilayah mikro maupun makro.
2.
Pengembangan sistem transportasi dan penyediaan tingkat pelayanan yang baik.
3.
Peningkatan
investasi
infrastruktur
dalam
sektor
transportasi
dan
peningkatan pendapatan penduduk.
356
Peningkatan Jalan
Peningkatan Aksesibilitas
Tingkat Pelayanan Buruk
Peningkatan Lahan
Meningkatkan Konflik Lalu Lintas
Perubahan Tata Guna Lahan
Meningkatkan Pembangkit Lalulintas
Gambar 3. Lingkaran Setan Problema Transportasi (Stover V.G, 1988). Proses perencanaan transportasi dikembangkan dari evaluasi terhadap alternatif rencana tata guna lahan. Proses ini akan memberikan informasi terhadap kesesuaian tata guna lahan di masa mendatang dan asumsi sistem transportasi yang akan dikembangkan. Kemudian dilakukan evaluasi terhadap kinerja aksesibilitas sistem transportasi dan pola tata guna lahan. Syarat aksesibilitas yang baik adalah kemudahan melakukan perjalanan yang aman, nyaman, cepat dan tidak mengalami hambatan. Persoalannya aksesibilitas yang baik sering merugikan aspek lingkungan, bahkan setelah lingkungan dikorbankan pun, persoalan aksesibilitas tetap ada. Sementara lingkungan yang baik adalah lingkungan yang tidak banyak terganggu oleh lalu lintas. Masalah Transportasi di Sulawesi Tengah Permasalahan sistem transportasi nasional merupakan suatu permasalahan yang sangat kompleks dan dapat ditinjau dari berbagai perspektif. Dari perspektif pengembangan teknologi dan manajemen transportasi, permasalahan yang dihadapi adalah: (1) regulasi, (2) pemanfaatan dan pengembangan teknologi, serta (3) manajemen transportasi, untuk memenuhi kebutuhan transportasi nasional yang aman, nyaman, terjangkau dan ramah lingkungan. Ketiga permasalahan
tersebut saling terkait dan dirasakan oleh pelaku transportasi baik pada transportasi jalan, sungai, danau dan penyeberangan (SDP), laut, dan udara, meski dalam tingkat yang berbeda. Masalah transportasi di Sulawesi Tengah serupa dengan kota-kota lainnya yang sudah lebih maju, meskipun belum akut. Permasalahan itu antara lain; a.
Rute angkutan kota yang telah ditetapkan belum berjalan sesuai harapan, sehingga evaluasi terhadap jaringan rute angkutan umum tidak dapat dilakukan seperti; (load factor, waktu tunggu, lama perjalanan, dll),
b.
Belum tersedianya rute angkutan barang, sehingga kendaraan dengan muatan yang melebihi kapasitas daya dukung jalan dapat bergerak secara bebas di dalam kota yang pada akhirnya akan merusak konstruksi jalan,
c.
Penutupan jalan pada saat acara suka maupun duka dengan seenaknya dapat dilakukan masyarakat tanpa memperdulikan kepentingan pengguna jalan, hal ini dapat merugikan pengguna jalan seperti: waktu tempuh bertambah karena harus berputar mencari jalan alternatif, terjadi pemborosan bahan bakar, tundaan dll,
d.
Perlu penetapan fungsi hirarki jalan dalam kota/ibukota kabupaten agar pola pergerakan dapat berjalan sesuai fungsinya (arteri, kolektor dan lokal),
e.
Pembangunan fasilitas penarik pergerakan yang tidak dilengkapi dengan fasilitas parkir, menyebabkan kendaraan menggunakan sebahagian badan jalan, hal ini dapat mengurangi kapasitas jalan dan menurunkan kecepatan pengguna jalan,
f.
Sistim perparkiran belum tertata baik, sehingga potensi pendapatan dari sektor perparkiran belum optimal sebagai sektor pendapatan yang cukup menjanjikan,
g.
Perlu penertiban angkutan feeder (ojek, dokar dan becak), sehingga fungsi angkutan pra dan pasca perjalanan tidak mengambil alih peran angkutan umum.
Peran Fakultas Teknik Universitas Tadulako dalam Peningkatan Kompetensi Sumberdaya Manusia Transportasi Perguruan tinggi merupakan lembaga yang sangat strategis dalam mendorong percepatan pembangunan di daerah Sulawesi Tengah, dimana
358
perguruan tinggi memiliki keunggulan seperti sumber daya manusia yang melimpah, kemampuan membuat riset dan kajian, sehingga keberadaan perguruan tinggi seyogyanya berperan sebagai agen pembangunan (agent of development). Universitas Tadulako diharapkan dapat mengambil peran tersebut mengingat Jurusan Sipil memiliki sumber daya manusia yang memadai. Dengan potensi sumber daya manusia tersebut, sudah sewajarnya bila Universitas Tadulako mampu mengambil peran dalam pembangunan bukan hanya dalam skala regional melainkan juga dalam skala nasional. Dalam konteks pembangunan transportasi di Sulawesi Tengah, beberapa hal yang dapat diperankan oleh Fakultas Teknik Jurusan Sipil, melalui tridharma perguruan tinggi antara lain: 1.
Pendidikan dan Pengajaran; Membangun sumber daya manusia yang berkualitas dengan senantiasa meningkatkan peran sebagai lembaga pendidikan tinggi. Hal ini bermakna sangat strategis karena pembangunan dewasa ini membutuhkan sumber daya manusia sebagai salah satu variabel utama yang menentukan keberhasilannya.
2.
Penelitian; Membantu mahasiswa dalam melakukan penelitian dalam rangka mengevaluasi sistim transportasi yang sedang berjalan baik di kota Palu maupun kabupaten-kabupaten yang ada di Sulawesi Tengah; Dapat membantu pemerintah melakukan studi tentang kebijakan transportasi untuk memudahkan penentuan skala prioritas pembangunan sarana dan prasarana transportasi berdasarkan kebutuhan daerah; melakukan studi evaluatif untuk peningkatan efisiensi dan efektivitas.
3.
Pengabdian Pada Masyarakat; Membangun kerjasama dengan pemerintah daerah melalui Kuliah Kerja Profesi dalam mempersiapkan database sarana dan prasarana transportasi; Dapat membantu pemerintah dalam melakukan sosialisasi dan pelatihan tentang pentingnya peranan sistim transportasi yang berjalan dengan baik kepada para pelaku transportasi (pengguna, operator
dan
petugas
lapangan);
Dapat
berpartisipasi
dalam
mengembangkan pemikiran kepada kelompok swadaya, organisasi dan lembaga yang peduli terhadap persoalan transportasi.
Penutup Demikianlah beberapa buah pemikiran yang dapat saya kemukakan, sebagai insan akademisi saya menaruh harapan besar kepada Universitas Tadulako (Fakultas Teknik Jurusan Sipil, KDK Transportasi) untuk senantiasa berada di depan dalam memberikan kontribusi pemikiran dan ikut berperan lebih besar dalam pembangunan daerah di Sulawesi Tengah khusunya dan skala nasional pada umumnya. Sebagai lembaga pendidikan tinggi, Universitas Tadulako dituntut untuk melahirkan sumber daya manusia yang bermutu dan tenaga-tenaga pembangunan yang trampil dan profesional. Hanya dengan menyiapkan sumber daya manusia yang bermutu dan tenagatenaga profesional yang berkualitas kita akan mampu menghadapi tantangan masa depan yang lebih berat, dengan tingkat kompleksitas masalah yang lebih rumit. Tidak terlalu berlebihan bila tumpuan harapan itu dibebankan masyarakat Sulawesi Tengah kepada Universitas Tadulako yang sekarang sedang tumbuh menjadi salah satu universitas terbaik di Sulawesi. DAFTAR PUSTAKA Abubakar, I., Yani, A., dan Sutiono, E., 1995, Menuju Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang Tertib, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, Jakarta. Bambang dkk, 2004, Referensi Ringkas Bagi Proses Advokasi Pembangunan Transportasi, Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Jakarta Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum RI, 1999, Pedoman Perencanaan Fasilitas Jalur Pejalan Kaki pada Jalan Utama, PT. Media Saptakarya, Jakarta. Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas Angkutan Kota, Dirjen Perhubungan Darat, Departemen Perhubungan RI, 1998, Pedoman Perencanaan dan Pengoperasian Fasilitas Parkir, Jakarta. Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum RI, 1997, Manual Kapasitas Jalan Indonesia, Jakarta. Patunrangi, J., (2000), Pengaruh Perubahan Sistem Zona Terhadap Tingkat Akurasi Matriks Asal-Tujuan (MAT) Berdasarkan Informasi Arus Lalu lintas Jurnal Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB).
360
Patunrangi, J., (2001), Pengaruh Rute Bebas Angkutan Kota Terhadap Kehilangan Waktu Perjalanan (Studi Kasus Trayek Terminal Masomba – Manonda, Jurnal MEKTEK Fakultas Teknik Universitas Tadulako, Palu. Patunrangi, J., (2002) Studi Model Bangkitan Pergerakan Dengan Metode Regresi (Studi Kasus BTN Palupi Kota Palu). Jurnal MEKTEK Fakultas Teknik Universitas Tadulako, Palu. Jurnal MEKTEK Fakultas Teknik Universitas Tadulako, Palu. Patunrangi, J., 2003, Strategi Penanganan Angkutan Umum Di Kota Palu, Makalah Presentasi Mencari Solusi Permasalahan Angkutan Umum Perkotaan di Kota Palu, Dinas Perhubungan Kota Palu. Patunrangi, J., (2003) Studi Karakteristik dan Model tarikan Pergerakan Fasilitas Pelayanan Rumah sakit di Kota Palu, Jurnal SMARTEK Fakultas Teknik Universitas Tadulako, Palu. Patunrangi, J., (2004) Studi Karakteristik Dan Model Tarikan Pergerakan Fasilitas Layanan Swalayan Di Kota Palu, Jurnal MEKTEK Fakultas Teknik Universitas Tadulako, Palu. Patunrangi, J., (2009), Studi Persepsi Pengguna Angkutan Kota Di Kota Palu, Jurnal SMARTEK Fakultas Teknik Universitas Tadulako, Palu. Patunrangi, J., (2010), Model Bangkitan Pergerakan Zona Kecamatan Palu Utara, Kota Palu, Jurnal MEKTEK Fakultas Teknik Universitas Tadulako, Palu. Menteri Perhubungan RI, 1993, Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 65 tahun 1993 Tentang; Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Jakarta. Menteri/Sekretaris Negara RI, 1992, Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Jakarta. Munawar, Ahmad, 2004. Manajemen Lalu Lintas Perkotaan, Beta Offset, Jogjakarta. Morlok, Edward K. 1991. Pengantar Teknik dan Perencanaan Transportasi. Edisi III. Erlangga. Jakarta. Nasution, HMN, 1996, Manajemen Transportasi, Ghalia Indonesia, Jakarta. Oglesby, C.H., Hicks, R.G., 1982, highway Engineering, Fourth Edition, John Wiley and Sons, Inc, New York. Pignataro, L,. J,. 1973, Traffic Engineering Theory and Practice, Prentice Hall, Englewood.
Tamin, O. Z. 2000. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Edisi II. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Transportation Research Board, National Research Council, 2000, Highway Capacity Manual, Washington D.C. Vuchic, V. R., 1981, Urban Transportation System and Technology, Prentice Hall, New Jersey.
362
PENEMPATAN LOKASI TIANG JARINGAN DISTRIBUSI PRIMER MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFOMARTION SYSTEM (GIS) Deny Wiria Nugraha1, Yuli Asmi Rahman1 Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Tadulako Email :
[email protected],
[email protected] 1
ABSTRACT In electrical distribution network, problem of demanding achievement of optimum condition of system operational performance is essential. One of the factors necessary to consider in the designing of the primary electrical distribution network is cost. Cost is closely related to length of cable used. It highlights the importance of calculating the minimum length of cable required in a network. The cable should be not only with as minimal as possible in length, but also regulated for better arrangement. Actually, in regulating the cable installation, longer path is more frequently selected. One of the ways of achieving optimization condition is to use algorithm to determine a minimum spanning tree of the primary electrical distribution network system. The research was conducted by designing a graph model of primary electrical distribution network in appropriate with the data obtained. Based on the graph, each was weighted for distance or length of network cable by using the ArcView GIS 3.3. The data were then calculated and simulated by using computer to gain a minimum spanning tree of the primary electrical distribution network using the Prim’s algorithm. Key Words : Graph, Minimum Spanning Tree, Prim’s Algorithm, Primary Electrical Distribution Network PENDAHULUAN
Banyak permasalahan yang dapat dimodelkan dengan menggunakan graf, khususnya di bidang teknologi informasi. Salah satunya adalah masalah dalam pencarian pohon merentang minimum. Termasuk didalamnya adalah mencari panjang minimum kabel dari suatu penataan jaringan distribusi listrik primer. Masyarakat konsumen tenaga listrik saat ini selain menuntut kontinuitas pelayanan daya juga telah makin sadar akan kualitas layanan pasokan tenaga listrik yaitu kestabilan tegangan dan frekuensi. Di lain pihak produsen tenaga listrik dipacu untuk mengoperasikan sistem kelistrikan dengan ekonomis untuk mencapai efisiensi usaha. Salah satu cara dengan mengatur sistem distribusi listrik dengan baik untuk menyalurkan tenaga listrik dari sumber sampai ke konsumen. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam desain jaringan distribusi listrik primer adalah biaya. Biaya berkaitan erat dengan panjang kabel yang digunakan. Hal ini menyebabkan pentingnya menghitung panjang minimum kabel yang dibutuhkan dari suatu jaringan. Selain panjang kabel yang dipergunakan
seminimal mungkin, juga perlu dipertimbangkan pengaturan penataan kabel tersebut. Kenyataannya, dalam mengatur pemasangan kabel, seringkali memilih jalur yang lebih panjang. Dampak lain yang ditimbulkan jika kabel terlalu panjang melewati batas maksimum adalah nilai drop tegangan yang melebihi batas toleransi. Dalam jaringan distribusi listrik primer, masalah tuntutan pencapaian kondisi optimum unjuk-kerja sistem adalah sangat penting. Kondisi tersebut dapat dicapai dengan menentukan pohon merentang minimum (minimum spanning tree) dari sistem jaringan distribusi listrik primer.Dalam penelitian ini dirancang model jaringan distribusi listrik primer dalam suatu graf dengan bobot masing-masing berupa panjang kabel jaringannya. Selanjutnya dihitung dan disimulasikan oleh program komputer untuk mendapatkan pohon merentang minimum jaringan distribusi listrik primer dengan menggunakan algoritma Prim. Studi kasus yang diambil adalah pada jaringan distribusi listrik primer yang ada di wilayah kota Palu, Sulawesi Tengah. Graf G didefinisikan sebagai pasangan himpunan (V, E), ditulis dengan notasi G = (V, E). Dalam hal ini, V merupakan himpunan tidak kosong dari simpul-simpul (vertices atau node) digambarkan dalam titik-titik, dan E adalah himpunan sisi-sisi (edges atau arcs) digambarkan dalam garis-garis yang menghubungkan sepasang simpul (Munir, 2009). Dapat dikatakan graf adalah kumpulan dari simpul-simpul yang dihubungkan oleh sisi-sisi. Graf dapat digambarkan pada gambar 1. B
e1
e3 e2
A
e4
C
Gambar 1. Graf G
Pada gambar graf G diatas, graf terdiri dari himpunan V dan E yaitu: V = (A, B, C) E = (e1, e2, e3, e4); bisa ditulis {(A,B),(B,C),(B,C),(A,C)} Graf berbobot adalah graf yang setiap sisinya diberi sebuah harga. Bobot pada tiap sisi dapat berbeda-beda bergantung pada masalah yang dimodelkan dengan graf. Bobot dapat menyatakan jarak antara dua buah tiang listrik, kapasitas, biaya 364
perjalanan antara dua buah kota, waktu tempuh pesan (message) dari sebuah simpul komunikasi ke simpul komunikasi lain, ongkos produksi, dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya, graf berbobot dapat digambarkan pada gambar 2. a 10 e 15 d
12 8
b
11
9 c
14
Gambar 2. Graf berbobot
Apabila G adalah graf berbobot, maka bobot pohon merentang T dari G didefinisikan sebagai jumlah bobot semua sisi di T. Pohon merentang yang berbeda mempunyai bobot yang berbeda pula. Diantara semua pohon merentang dalam graf G, pohon merentang yang berbobot minimum dinamakan pohon merentang minimum. Pohon merentang minimum ini mempunyai terapan yang luas dalam masalah riil (Munir, 2009). Jika dimisalkan akan dibangun jaringan distribusi listrik primer yang menghubungkan sejumlah titik tiang di suatu daerah, dalam rancangannya digambarkan pada gambar 3. A
A
15
40
15
35
C D
20
35
C
H
D
20
H
45
B
14
30
B
14
30
25
G
50
G
25
10 E
48
F
10 E F
Gambar 3. Contoh graf rancangan jaringan distribusi listrik primer dan pohon merentang minimum yang terbentuk
Langkah-langkah menghitung total jarak minimum dari suatu graf sebagai berikut: a. Dari suatu graf yang terbentuk, perhatikan apakah memenuhi kriteria suatu pohon merentang. b. Lakukan pelacakan secara berurutan mulai dari simpul pertama sampai dengan simpul terakhir.
c. Pada setiap simpulnya perhatikan nilai (bobot) tiap-tiap sisinya. d. Ambil nilai yang paling kecil artinya jarak terpendek dari setiap sisi simpul. e. Lanjutkan sampai seluruh simpul tergambar pada pohon merentang. f. Jumlahkan nilai yang telah dipilih atau jarak minimum yang menghubungkan simpul-simpul tersebut. Oleh karena tidak perlu mengurutkan terlebih dahulu, algoritma Prim cocok untuk pohon dengan jumlah simpul banyak. Algoritma Prim akan selalu berhasil menemukan pohon merentang minimum tetapi pohon merentang yang dihasilkan tidak selalu unik. Strategi yang digunakan adalah strategi Greedy dengan menganggap bahwa pada setiap langkah dari pohon merentangnya adalah augmented dan dipilih simpul yang nilainya paling kecil dari semua simpul yang ada (Purwanto, 2008). Langkah-langkah dalam algoritma Prim adalah sebagai berikut: a. Buat sebuah pohon yang terdiri dari satu simpul (node), dipilih secara acak dari graf. b. Buat sebuah himpunan yang berisi semua cabang di graf. c. Loop sampai semua cabang di dalam himpunan menghubungkan dua simpul di pohon 1). Hapus dari himpunan satu cabang dengan bobot terkecil yang menghubungkan satu simpul di pohon dengan satu simpul di luar pohon. 2). Hubungkan cabang tersebut ke pohon. METODE PENELITIAN Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: perangkat keras (hardware) berupa komputer dengan prosesor Intel Core 2 CPU T5500 1,66 GHz, memori 2,49 GB RAM, hard disk 320 GB dan monitor 15,4 inchi. Perangkat lunak (software) berupa sistem operasi Microsoft Windows XP dan program ArcView GIS versi 3.3. Penelitian ini dilakukan dengan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: a. Melakukan pengamatan dan pengumpulan data jaringan distribusi listrik primer pada PT. PLN (Persero) cabang Palu rayon kota. b. Instalasi program yang dibutuhkan serta pengaturannya. c. Melakukan persiapan data yang telah ada sehingga dapat digunakan oleh program aplikasi.
366
Merancang model graf jaringan distribusi listrik primer sesuai dengan data yang diperoleh, kemudian dari graf tersebut diberi bobot masing-masing berupa jarak atau panjang kabel dengan menggunakan program ArcView GIS 3.3 . Mulai
A
Masukan titik, garis, jarak
Waktu selesai
Pilih titik Start (Mulai) Inisialisasi himpunan F, T, Jarak, Status
Waktu komputasi = waktu selesai - waktu mulai
Waktu komputasi
Waktu mulai I =1 sampai banyak titik -1
Minimum = total(jarak)
Jumlah total panjang minimum
Urutan = awal, akhir
Urutan pohon merentang minimum
Seleksi titik terpilih J =1 sampai banyak titik
Titik terhubung garis?
Tidak
Ya Terhubung dengan titik terpilih?
Hasil pohon merentang minimum
Ya
Selesai
Tidak Tampung proses
J
Seleksi jarak terkecil
Jarak terkecil?
Tidak
Ya Ubah himpunan F, T, Jarak, Status
I
A
Gambar 4. Flowchart Penelitian
d. Dengan menggunakan algoritma Prim, ditentukan pohon merentang minimum dari model graf berbobot pada jaringan distribusi listrik primer, kemudian dihitung dan disimulasikan oleh program ArcView GIS 3.3 untuk mendapatkan jumlah total panjang minimum kabel yang digunakan. e. Melakukan pengujian dan menarik kesimpulan dari hasil pengujian tersebut. Data yang diperoleh dari lokasi penelitian mengenai jarak atau panjang kabel jaringan distribusi listrik primer yang menghubungkan titik-titik tiang, gardu distribusi dan LBS/ABS dimasukkan ke dalam sistem dengan dukungan peta kota
Palu yang telah dibuat sebelumnya pada program GIS untuk mendapatkan model graf berbobot yang sesuai dengan kondisi yang ada di lokasi penelitian. Titik tiang, titik gardu dan titik LBS/ABS distribusi listrik tersebut dihubungkan dengan garis/kabel sesuai dengan jarak masing-masing yang kemudian membentuk suatu graf berbobot dengan menggunakan program ArcView GIS 3.3. Kemudian diproses dengan metode algoritma Prim untuk mendapatkan hasil berupa pohon merentang minimum dari jaringan distribusi listrik primer, urutan pohon merentang minimum dan waktu komputasi dalam pencarian pohon merentang minimum tersebut. Keseluruhan tahapan proses algoritma Prim dalam mencari pohon merentang minimum pada jaringan distribusi listrik primer dapat dijelaskan dengan gambar 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Implementasi algoritma Prim dengan menggunakan program GIS melalui beberapa tahapan proses sampai didapatkan pohon merentang minimum jaringan distribusi listrik primer, informasi jaringan distribusinya, informasi urutan pohon merentang minimum, informasi jumlah total panjang minimum kabel yang menghubungkan semua titik tiang, dan informasi waktu komputasi dalam mendapatkan pohon merentang minimum jaringan distribusi listrik primer serta grafik hasil pengujian implementasi algoritma Prim.
Gambar 5. Tampilan halaman awal sistem dan tampilan pemilihan titik tiang mulai implementasi algoritma Prim pada jaringan distribusi listrik primer dengan program GIS
Contoh pengujian sistem menggunakan model graf berbobot dengan jumlah titik/simpul sebanyak 76 buah dan jumlah sisi sebanyak 83 buah. Model graf berbobot jaringan distribusi listrik primer yang diuji pada pengujian ini diambil dari titik-titik tiang yang ada pada penyulang Elang. Titik-titik tiang tersebut
368
dihubungkan dengan garis (kabel) yang datanya sesuai dengan jarak/panjang kabelnya.
Gambar 6. Tampilan hasil proses implementasi algoritma Prim pada jaringan distribusi listrik primer dengan menggunakan program ArcView GIS 3.3
Penamaan kode titik tiang disesuaikan dengan kode tiang yang telah terpasang pada penyulang Elang. Model graf berbobot yang dibentuk pada pengujian ini dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7. Model graf berbobot dan pohon merentang minimum jaringan distribusi listrik primer pada penyulang (feeder) Elang
Penggunaan program ArcView GIS 3.3 pada penelitian ini adalah untuk menampilkan jaringan distribusi listrik primer sesuai dengan data yang diperoleh pada PT. PLN (Persero) cabang Palu rayon kota untuk dua penyulang (feeder) yaitu penyulang Dechu dan penyulang Elang. Program ini digunakan untuk memodelkan data jaringan distribusi listrik primer ke dalam graf atau gambar desain jaringan distribusi dengan latar belakang peta kota Palu yang sesuai dengan kondisi geografis. Graf atau gambar desain jaringan tersebut berupa titik-titik tiang, gardu dan LBS/ABS yang dihubungkan dengan kabel
jaringan yang masing-masing memiliki jarak/panjang. Data jaringan distribusi listrik primer ini dapat diolah sehingga memiliki kelengkapan informasi. Kemudian dengan bantuan pemrograman bahasa script avenue yang ada pada ArcView GIS 3.3 dan dengan menggunakan metode algoritma Prim, graf jaringan distribusi listrik primer dapat disimulasikan untuk mendapatkan pohon merentang minimum dari kabel yang menghubungkan antara titik-titik tiang distribusi listrik primer, menampilkan jumlah total panjang dan urutan pohon merentang minimumnya serta waktu komputasi untuk mencari pohon merentang minimum tersebut. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Setelah dilakukan serangkaian pengujian dan analisa dalam penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Waktu komputasi algoritma Prim dalam mencari pohon merentang minimum suatu graf berbobot akan bertambah naik seiring dengan bertambahnya jumlah titik/simpul dan jumlah sisi graf berbobot tersebut. Sehingga hasil pengujian implementasi algoritma Prim bersifat kuadratik. Dengan kompleksitas waktu algoritma Prim tersebut yang bersifat kuadratik dan berbentuk polinomial dalam n, dengan n adalah ukuran jumlah simpul dan jumlah sisi, maka dapat dibuktikan juga bahwa algoritma Prim termasuk dalam kategori algoritma yang baik atau algoritma yang efisien untuk memecahkan masalah pencarian pohon merentang minimum suatu graf berbobot jaringan distribusi listrik primer. Saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: a. Implementasi algoritma Prim dalam mencari pohon merentang minimum pada jaringan distribusi listrik primer masih perlu dikaji lebih mendalam lagi selain menggunakan parameter panjang kabel jaringan distribusi listrik sebagai bobot dari grafnya. Pengembangan selanjutnya dapat menggunakan parameter lainnya, yaitu nilai arus dan tegangan yang mengalir pada jaringan, kapasitas daya dan beban listriknya, pengaruh frekuensi, dan rugi-rugi tegangan dan daya yang ada pada jaringan distribusi listrik primer.
370
b. Peta yang digunakan sebagai dasar desain model graf berbobot dalam pencarian pohon merentang minimum sebaiknya menggunakan peta yang sesuai dengan topografi suatu wilayah. Daftar Pustaka Gloor, P. A., Johnson, D. B., Makedon, F., Metaxas, P., (1993), A Visualization System for Correctness Proofs of Graph Algorithms, http://www.wellesley.edu/CS/ pmetaxas/visual_proofs.pdf, Computer Science Education, [diakses: 19 Maret 2010]. Greenberg, H. J., (1998), Greedy Algorithm for Minimum Spanning Tree,http://glossary.computing.society.informs.org/notes/spanningtree.pdf, University of Colorado, Denver, [diakses: 19 Maret 2010]. Kadir, A., (2006), Distribusi dan Utilisasi Tenaga Listrik, Universitas Indonesia Press, Jakarta. Kristanto, A., (2008), Perancangan Sistem Informasi dan Aplikasinya, Gava Media, Yogyakarta. Marsudi, D., (2006), Operasi Sistem Tenaga Listrik, Graha Ilmu, Yogyakarta. Mehta, D. P., Sahni, S., (2005), Handbook of Data Structures and Applications, Chapman & Hall/CRC Computer and Information Science Series, United States of America Munir, R., (2009), Matematika Diskrit, Edisi 3, Informatika, Bandung. Oetomo, B. S., (2002), Perencanaan dan Pembangunan Sistem Informasi, Andi, Yogyakarta. Pop, P. C., Zelina, I., (2004), Heuristic Algorithms for the Generalized Minimum Spanning Tree Problem, http://emis.library.cornell.edu/ journals/AUA/acta8/Pop_Zelina.pdf, Proceedings of the International Conference on Theory and Applications of Mathematics and Informatics (ICTAMI), Thessaloniki, Greece, [diakses: 19 Maret 2010]. Prahasta, E., (2004), Sistem Informasi Geografis: ArcView Lanjut Pemrograman Bahasa Script Avenue, Informatika, Bandung. Prahasta, E., (2009), Sistem Informasi Geografis: Tutorial ArcView, Informatika, Bandung. Purbasari, I. Y., (2007), Desain Dan Analisis Algoritma, Edisi 1, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Purwanto, E. B., (2008), Perancangan Dan Analisis Algoritma, Edisi 1, Graha Ilmu, Yogyakarta. Zakaria, T. M., Prijono, A., (2006), Konsep Dan Implementasi Struktur Data, Informatika, Bandung.
372