DAFTAR ISI
hal Pengantar Deputi Menteri Sekretaris Negara Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan ……………………………………
i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………
iii
BAB I PENDAHULUAN …….………………………………………………
1
1. Latar Belakang …………………………………………………….. 2. Tujuan Penulisan …………………………………………………..
1 3
BAB II TEORI-TEORI LEMBAGA PERWAKILAN ……………………..
5
1. Varian Pemikiran Tentang Perwakilan Politik ………………….
7
a. Thomas Hobbes (1588-1679) Dalam Bukunya “Leviathan” …
7
b. John Locke (1632-1704) Dalam Bukunya ’’Two Treatise On Government’’…………………………………………………..
8
c. Montesquieu (1689-1755) Dalam Bukunya “Del L’esprit Des Lois’’……………………………………………………………
9
d. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) Dalam Bukunya “The Social Contract” ……………………………………………….
10
2. Fungsi Lembaga Perwakilan ……………………………………...
10
a. Representatives as agents (Perwakilan Politik) ………………..
11
b. Direct patronage (Pelindungan langsung) …………………….
12
c. Statutes (The making of laws/Pembuatan UU) ………………..
12
d. Oversight (Pengawasan) ……………………………………….
12
e. Advice and consent: special power of legislators ……………...
12
f. Debate (Dialog/argumentasi) …………………………………..
13
i
g. Direct committee government (Pendelegasian Komisi) ………..
13
h. The Legislative veto …………………………………………….
13
3. Tinjauan Sistem Bikameral ………………………………………..
13
4. Perwakilan Politik Di Indonesia ..…………………………………
16
BAB II MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT ……………………..
21
1. Sejarah Singkat ………………………………………………….....
21
2. Dasar Hukum ……………………………………………………....
23
3. Susunan dan Kedudukan ………………………………………….
24
4. Tugas dan Kewenangan ……………………………………………
25
5. Keanggotaan ………………………………………………………..
26
a. Fraksi ………………………………………………………….....
27
b. Kelompok Anggota ……………………………………………...
27
6. Alat Kelengkapan …………………………………………………..
27
a. Pimpinan Majelis ………………………………………………..
27
b. Panitia ad hoc Majelis …………………………………………...
28
7. Ruang Lingkup dan Mekanisme Pelaksanaan Tugas dan Wewenang …………………………………………………………..
29
a. Mekanisme Perubahan UUD NRI Tahun 1945 .............................
29
b. Mekanisme impeachment/pemberhentian Presiden ……………..
29
c. Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Hasil Pemilihan Umum……………….…………………………………………..
31
d. Pelantikan Wakil Presiden Menjadi Presiden …………………...
32
e. Pemilihan dan Pelantikan Wakil Presiden …………………….
33
f. Pemilihan dan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden ………...
34
ii
8. Hak-Hak Anggota MPR …………………………………………...
37
9. Persidangan dan Pengambilan Keputusan ……………………….
38
10. Kesekretariatan Jenderal MPR …………………………………...
40
BAB IV DEWAN PERWAKILAN RAKYAT …………………………………
41
1. Sejarah Singkat ……………………………………………………..
41
2. Dasar Hukum ………………………………………………………
43
3. Kedudukan dan Susunan ………………………………………….
44
4. Fungsi dan Kewenangan Lembaga ………………………………..
44
5. Keanggotaan ……………………………………………………….
47
6. Alat Kelengkapan ………………………………………………….
51
a. Pimpinan DPR …………………………………………….........
51
b. Badan Musyawarah (Bamus) ……………………………………
53
c. Komisi ……………………………………………....................
54
d. Komisi I …………………………………………….....................
56
e. Komisi II ……………………………………………...................
57
f. Komisi III ……………………………………………..................
57
g. Komisi IV ……………………………………………..................
58
h. Komisi V ……………………………………………..................
58
i. Komisi VI ……………………………………………..................
58
j. Komisi VII …………………………………………….................
59
k. Komisi VIII ……………………………………………...............
60
l. Komisi IX ……………………………………………..................
60
m. Komisi X ……………………………………………...................
60
n. Komisi XI ……………………………………………..................
61
iii
o. Badan Legislasi DPR RI ………………………………………...
61
p. Badan Anggaran ……………………………………………........
63
q. Badan Urusan Rumah Tangga …………………………………...
64
r. Badan Kerja Sama Antar Parlemen ...............................................
65
s. Badan Kehormatan DPR RI .....................................................
66
t. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara .....................................
67
u. Panitia Khusus DPR RI …………………………………………
68
7. Mekanisme Penyusunan Peraturan Perundang-undangan ..........
68
8. Mekanisme Penetapan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara …………………………………………...............................
70
9. Mekanisme Pengawasan DPR RI …………………………………
74
10. Hak-Hak DPR RI …………………………………………………
76
11. Persidangan dan Pengambilan Keputusan ....................................
81
12. Kesekretariatan Jenderal ...........................................................
85
BAB V DEWAN PERWAKILAN DAERAH …………………………………
89
1. Sejarah Singkat …………………………………………………….
89
2. Dasar Hukum ………………………………………………………
90
3. Susunan dan Kedudukan …………………………………………
91
4. Tugas, Fungsi dan Kewenangan Lembaga ………………………
91
5. Keanggotaan ………………………………………………………..
93
6. Alat Kelengkapan ………………………………………………….
95
a. Pimpinan ……………………………………………………….
95
b. Panitia Musyawarah (Panmus) ………………………………
97
Komite-komite …………………………………………………
98
d. Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) ...........................
102
e.
103
c.
Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) .................................. iv
f.
Panitia Khusus (Pansus) ..........................................................
104
g. Badan Kehormatan (BK) ...........................................................
105
h. Panitia Akuntabilitas Publik (PAP) ..........................................
106
i.
Panitia Hubungan Antar-Lembaga (PHAL) ...........................
107
j.
Pimpinan Kelompok DPD di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) .............................................................................
108
7. Ruang Lingkup Lembaga .................................................................
108
8. Hak-Hak Anggota .............................................................................
112
9. Persidangan dan Pengambilan Keputusan .....................................
114
10. Kesekretariatan Jenderal .................................................................
123
BAB VI PENUTUP......................................................................................
v
125
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Derasnya dorongan demokratisasi yang melanda Indonesia di penghujung milenium ke-2 tahun masehi, ternyata telah mampu menghadirkan perubahan yang signifikan di segala bidang. Tidak lepas dari itu, sejarah juga mencatat bahwa sistem ketatanegaraan kita telah mengalami perubahan secara fundamental, hal ini terpantul dari hasil amandemen UUD Negara RI Tahun 1945 yang telah dilakukan sebanyak 4 kali. Amandemen tersebut, menegaskan setidaknya pada tiga hal, pertama, adanya dukungan yang kuat terhadap cita-cita negara hukum dan demokrasi; kedua, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia yang dinyatakan secara eksplisit dan rinci; dan ketiga, adanya perubahan struktur ketatanegaraan yang terlihat pada lembaga-lembaga pelaksana cabang kekuasaan negara, sehingga cenderung berdiri di atas kepentingan rakyat dan betul-betul mencerminkan kedaulatannya (Zoelva, 2007). Dengan demikian, nilai-nilai kedaulatan rakyat -yang juga sebagai nilai demokrasidapat lebih dibumikan dan dilaksanakan secara nyata. Seiring dengan itu, adanya perubahan lembaga-lembaga perwakilan rakyat sebagai cermin pelaksanaan kedaulatan rakyat, merupakan keniscayaan yang kemudian hadir. Tidak seperti masa sebelumnya, dalam hal kelembagaan negara ini, setidaknya terdapat beberapa perubahan mendasar pada rumpun kelembagaan legislatif yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat RI (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD). Salah satu perubahan yang mencolok tersebut misalnya terlihat dalam kekuasaan membentuk undang-undang. Pada saat ini kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR (pasal 20 ayat 1), dan Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang. Tidak seperti sebelumnya, kekuasaan pembentukan undang-undang berada di tangan Presiden sedangkan DPR hanya memberi persetujuan (pasal 5 ayat 1).
1
Proses dan mekanisme pembuatan undang-undang antara DPR dan Presiden yang diatur dalam pasal 20 ayat 2, 3, 4 dan 5, menyatakan setiap rancangan undang-undang harus dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (ayat 2), jika rancangan itu tidak mendapat persetujuan bersama, maka rancangan undang-undang itu tidak dapat diajukan lagi pada masa persidangan itu (ayat 3). Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama, (ayat 4) dan apabila Presiden dalam waktu tiga puluh hari setelah rancangan undangundang itu disetujui bersama, undang-undang itu sah menjadi undangundang dan wajib diundangkan. Disamping perubahan tersebut, terdapat pula beberapa penguatan lain yang dilakukan untuk mempertegas tiga fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Konstruksi UUD Negara RI Tahun 1945 pasca amandemen IV, juga mengamanatkan lembaga baru dalam rumpun legislatif, yaitu DPD RI. Kehadiran DPD mengandung makna bahwa sekarang ada lembaga yang mewakili kepentingan lintas golongan atau komunitas yang sarat dengan pemahaman akan budaya dan karakteristik daerah. Para wakil daerah bukanlah wakil dari suatu komunitas atau sekat komunitas di daerah (antara lain yang berbasis ideologi atau parpol), melainkan figur-figur yang bisa mewakili seluruh elemen yang ada di daerah. Dengan sendirinya, para wakil daerah baru bisa dikatakan “sungguh-sungguh berada di atas kepentingan golongan” apabila yang bersangkutan benar-benar memahami apa yang menjadi muatan daerah yang diwakilinya (komunitas berikut budaya dan ruhnya, geografisnya, kandungan buminya, dan sebagainya), dan sekaligus harus terbebas dari semua sekat ideologis. DPD memiliki kekhasan karena anggotanya merupakan wakil-wakil daerah dari setiap provinsi. Tidak ada pengelompokan anggota (semacam fraksi di DPR), anggota DPD merupakan orang-orang independen yang bukan berasal dari partai politik atau politisi profesional tetapi berasal dari berbagai latar belakang misalnya sebagai pengacara, guru, ulama, pengusaha, tokoh Ormas atau LSM, serta ada beberapa anggota DPD yang mantan menteri, gubernur, bupati/walikota, dan lain-lain. Selain kedua lembaga tersebut, Indonesia juga memiliki ciri yang khas dalam sistem perwakilan yaitu dengan adanya lembaga MPR. Keanggotaan MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD
2
menunjukan bahwa MPR dipandang sebagai lembaga perwakilan rakyat karena keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Unsur anggota DPR untuk mencerminkan prinsip demokrasi politik sedangkan unsur anggota DPD untuk mencerminkan prinsip keterwakilan daerah agar kepentingan daerah tidak terabaikan. MPR memang tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi, karena prinsip kedaulatan rakyat tidak lagi diwujudkan dalam kelembagaan MPR tapi oleh UUD Negara RI Tahun 1945 [Pasal 1 ayat (2)]. Namun demikian adanya perubahan posisi MPR dari lembaga tertinggi
menjadi lembaga tinggi ini membuat semua lembaga negara sama kedudukannya, fungsi dan kewenangannya sudah jelas seperti dalam UUD. Kerangka yang dibangun antarlembaga adalah checks and balances. Berdasarkan hal-hal tersebutlah, maka tulisan ini akan melihat lebih jauh kelembagaan negara dalam rumpun legislatif, baik dari sisi normatif maupun praktek yang telah dijalankan dalam penyelenggaraan kewenangannya. 2. Tujuan Penulisan Penulisan buku ini dilakukan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut: 1. Memberikan gambaran teori-teori lembaga perwakilan. 2. Mendiskripsikan tentang sejarah singkat lembaga-lembaga negara rumpun legislatif. 3. Memberikan gambaran tentang keberadaan lembaga-lembaga negara 4. Menjelaskan tentang fungsi dan kewenangan yang menonjol dari lembaga legislatif seperti pemakzulan presiden, perumusan undangundang, penetapan anggaran belanja negara, dan pengawasan atas pelaksanaan pemerintahan.
3
4
BAB II TEORI-TEORI LEMBAGA PERWAKILAN Sejarah direct democracy (perwakilan langsung) telah mulai di perbincangkan dalam kehidupan non-politik sejak Yunani kuno, namum pembahasan dalam bentuk konsep telah dimulai pada awal abad ke 14. Thomas Hobbes pada tahun 1965 menerbitkan Leviathan untuk membahas masalah perwakilan politik secara filisofis dan pada abad ke 18 studi yang berpengaruh sampai dewasa ini diantaranya antara lain karena teori kemandirian wakil yang di kemukan oleh Edmun Burke tahun 1779. Karya Burke (dimana wakil bebas bertindak dan menentukan sikapnya terhadap wakil) dianggap sebagai permulaan studi kasik terhadap perwakilan politik, disusul oleh sejumlah peneliti mulai dari John Stuart Mill (1861) sampai dengan Karl Loewenstein (1922). Studi yang lebih mendalam dilakukan oleh Alfred de Grazia (1968) dan Pitkin (1957) sudah lebih mendalam tentang perwakilan politik. (Sanit, 1985). Perwakilan politik sebagai sebuah praktek telah lama berlangsung dalam kehidupan bernegara jauh sebelum teori-teori perwakilan itu lahir, perwakilan politik telah lahir dan di laksanakan oleh beberapa negara dan bangsa sejak zaman dahulu mulai dari zaman Yunani kuno, Romawi dan juga pada Zaman Islam ketika Nabi Muhammad Masih hidup. Pada zaman Yunani kuno masyarakat hidup dalam suatu negara yang di sebut dengan polis, dimana konsep perwakilan pada saat itu dilaksanakan secara langsung, karena jumlah masyarakat yang relatif sedikit dan wilayah yang tidak terlalu luas. Begitu juga pada zaman romawi kuno. Pada zaman Nabi Muhammad konsep perwakilan telah lama di kenal dengan sebutan Ulil Amri (pemimpin yang menjadi wakil), dimana pada saat itu telah ada yang sifatnya perwakilan dalam merumuskan berbagai persoalan bangsa. Dimana para para Ulil Amri dipilih dari kabilah-kabilah yang ada di Kota Madinah dan sekitarnya. Konsep perwakilan yang ada pada saat itu adalah baik zaman yunani kuno dan pada zaman rasulullah masih dilaksanakan dengan demokrasi langsung (perwakilan langsung), dimana dipilih secara lansung pada zaman yunani kuno dan pada zaman islam dipilih berdasarkan musyawarah siapa diantara mereka yang paling layak dalam mewakili dari para kaumnya. Fungsi perwakilan pun pada saat dulu masih terbatas mengingat kekuasaan raja yang besar dan belum kompleknya permasalahan negara seperti
5
saat ini. Sementara dalam konteks perwakilan pada zaman rasulullah hanya membicarakan hal-hal yang sifatnya sangat dalam konteks duniawi seperti peperangan, perekonomian negara yang kesemua itu dilaksanakan dan diputuskan jika ketentuannya tidak ada dalam Al Qur’an dan Sunnah Rosul. Indirect Democracy (Perwakilan Tidak Langsung). Pandangan Rousseau yang berkeinginan untuk berlangsung demokrasi langsung sebagaimana pelaksanaannya pada zaman Yunani kuno. Kenyataanya sulit untuk dipertahankan lagi. Faktor-Faktor seperti luasnya suatu wilayah negara, populasi penduduk yang sangat cepat, makin sulit dan rumitnya masalah politik dan kenegaraan, serta kemajuan ilmu dan teknologi merupakan persoalan yang menjadi kendala untuk melaksanakan demokrasi langsung pada era globalisasi sekarang. Sebagai ganti dari gagasan Rousseau maka lahirlah demokrasi tidak langsung (indirect democracy), yang disalurkan melalui lembaga perwakilan atau yang dikenal dengan parlemen. Kelahiran parlemen ini pada dasarnya bukan karena gagasan dan cita-cita demokrasi tapi karena kelicikan sistem feodal. Pada abad pertengahan yang berkuasa di Inggris adalah rajaraja/bangsawan yang sangat feodalistis (monarchi feudal). Dalam kerajaan yang berbentuk feodal, kekuatan berada pada kaum feodal yang berprofesi sebagai tuan tanah yang kaya (pengusaha). Mereka tidak hanya kaya, mempunyai tanah yang luas tapi mereka juga menguasai orang-orang yang ada dalam lingkaran kekuasaan (kerajaan). Apabila pada suatu saat menginginkan raja mengingkan penambahan tentara dan pajak maka para raja akan mengirimkan utusan untuk menyampaikan keinginannya dan maksud pada tuan tanah (Lord). Lama kelamaan praktek semacam ini menurut raja tidak layak sehingga timbul pemikiran untuk memanggil mereka ke pusat pemerintahan sehingga kalau raja menginginkan sesuatu makan raja tinggal memanggil mereka. Sebagai konsekwensinya raja harus membentuk suatu badan/lembaga yang terdiri dari pada lord, dan kemudian ditambah dengan para pendeta. Tempat ini menjadi tempat meminta nasehat raja dalam rangka masalahmalasalah kenegaraan terutama yang berhubungan dengan pajak. Secara pelan tapi pasti lembaga ini menjadi permanen yang kemudian disebut “Curia Regis” dan kemudian menjadi House of Lords seperti sekarang (Boboy, 1994). Kelahiran House of Lords adalah merupakan pertanda kelahiran lembaga perwakilan pertama di era modern. House of Lord dalam perjalannya 6
mempunyai kekuasaan yang sangat besar, maka raja berkehendak untuk mengurangi kekuasaan dan hak-hak mereka, akibatnya timbul pertikaian antara raja dan kaum ningrat (lords), dengan bantuan rakyat dan kaum borjuis kepada kaum ningrat maka raja mengalah, akibatnya hak-hak raja dibatasi. Karena rakyat dan kaum menengah yang menjadi korban manakala raja bikin kebijakan (penaikan pajak) maka rakyat minta agar rakyat mempunyai wakil dan diminta pendapat dan keterangannya sebelum sebuah kebijakan dibuat. Karena yang pada awalnya kalangan yang duduk dalam House of Lord didukung oleh para rakyat dan kaum menengah yang akhirnya kaum ningrat mendapatkan kemenagan, maka sejak saat itu pula kedudukan rakyat dan kaum menengah menjadi kuat. Sebagai bagian dari perwujudan agar terbentuk perwakilan rakyat maka lahirlah apa yang disebut Magnum Consilium, yang terdiri dari para wakil rakyat yang akhirnya disebut House of Commons sampai sekarang. (Boboy,1994) Perkembangan selajutnya adalah bahwa House of Commons mempunyai kekuatan yang semakin bertambah. Mereka dapat membebaskan para menteri (perdana menteri) yang mereka tidak sukai walaupun tidak berbuat kejahatan untuk turun dari kekuasaan, kekuasaan yang demikian dilakukan dengan mengajukan “mosi tidak percaya” yang dapat mengakibatkan jatuh dan mundurnya sebuat kabinet dan itu berlangsung sampai sekarang. Dalam konstitusi Inggris yang labih berkuasa adalah House of Lord yang dipilih melalui pemilihan umum sedangkan House of Lord adalah kumpulan para lord yang terdiri dari para orang-orang yang ditunjuk dan turun-temurun. Ruang Lingkup Studi Perwakilan Politik Studi perwakilan politik terpusat kepada lima pokok masalah perwakilan politik yaitu: konsepsi, idiologi, pemilihan umum dan lembaga perwakilan (Sanit,1985). 1. Varian Pemikiran Tentang Perwakilan Politik a. Thomas Hobbes (1588-1679) Dalam Bukunya “Leviathan” Kehidupan manusia tidak terlepas dari suatu keterikatan sosial, karena kehidupan manusia senantiasa berlandaskan kepada kepentingan. Perjanjian (keterikatan) sosial itu mengakibatkan manusia-manusia bersangkutan menyerahkan segenap kekuatan ddan kekuasaannya masing-masing kepada sebuah majelis, agar kepentingannya tersalurkan bagai sebuah ’’kanal’’. Terbentuknya
7
majelis (dewan perwakilan) juga merupakan bentuk sejati dari penyerahan hak dan kekuasaan manusia untuk memerintah dirinya sendiri dalam sebuah komunitas bersama (politik). Namun demikian, majelis pun harus dikenakan syarat yaitu ia harus menyerakan hak kekuasaannya pada manusia-manusia yang telah memandatkannya, apabila terjaadi perusakan moral majelis. Kekuasaan majelis bersifat “absolut” karena keterikatan (perjanjian) sosial yang dibangun didasarkan atas penyerahan hak yang dominan dari manusiamanusia kepada majelis dan bukan sebaliknya. Karenanya, majelis (dan juga penguasa politik yang dimandatkan oleh perjanjian) dapat menggunakan segala cara, termasuk kekerasan untuk menjaga ketenteraman dan ketertiban. Penguasa harus menjadi “leviathan” (binatang buas). Idealnya, kekuasaan oleh satu majelis lebih baik dijalankan oleh satu orang (center of power), karena jalan satu-satunya untuk mendirikan kekuasaan ialah dengan menyerahkan kekuasaan dan kekusaan seluruhnya kepada satu orang. Sejatinya dewan rakyat/majelis (perwakilan) dipegang oleh penguasa negara, sehingga aspirasi kepentingan rakyat akan cepat terselesaikan daripada menunggu kerja majelis yang penuh dengan perbantahan.fokusnya majelsis berada dalam “heredity power.” b. John Locke (1632-1704) Dalam Bukunya ’’Two Treatise On Government’’. Manusia-manusia pastilah memiliki berbagai macam kepentingan dan aspirasi kehidupan yang perlu untuk disampaikan, termasuk untuk melindungi dirinya sendiri. Dalam jumlah yang besar, maka tidak akan mungkin menyampaikan aspirasi tersebut secara satu persatu. Manusiamanusia membentuk “masyarakat’’ (society) yang dibentuk berdasarkan perjanjian bersama. Kekuasaan “masyarakat” adalah supreme of power. Manusia-manusia menyerahkan kekuasaan kepada “masyarakat,” namun manusia-manusia bisa menarik perjanjian yang disepakati apabila terjadi pelanggaran. Jadi kekuasaan tertinggi masih terletak
8
pada rakyat secara keseluruhan, karenanya dibuatlah undangundang/hukum untuk megawasi tugas “masyarakat.” “Masyarakat” terikat oleh ketentuan-ketentuan yang melarannya berbuat sewenang-wengan dan tidak boleh menyerahkan hak legislatif yang diperolehnya dari rakyat keseluruhan kepada pihak lain. Kekuasaan politik yang diwakilkan rakyat kepada suprame of power (masyrakat) adalah berdasarkan kepada keprcayaan (trust), basisutamanya adalah kepercayaan rakyat terhadap penguasa untuk melindungi rakyat.Kemungkinan munculnya absolutisme akan dapat dihindari apabila ’’masyarakat’’ dan konstitusi membuat batasan kewenangan yang dimiliki oleh penguasan politik, karena pada hakekatnya kekuasaan adalah suatu perjanjian sosial. c. Montesquieu (1689-1755) Dalam Bukunya “Del L’esprit Des Lois’’ Kekuasaan yang menampung,membicarakan dan memperjuangkan keterwakilan kepentingan rakyat banyak serta merumuskan peraturan adalah “legislatif’. Mutlak perlu dibentuk legislatif sebagai perwakilan rakyat agar pembicaraan yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak akan bisa dipenuhi, tanpa perwakilan, maka yang terjadi adalah suara minoritas (minority sounds) hal yang mudah ditaklukkan oleh mayoritas kekuasaan. Dewan rakyat (legislatif) merupakan mediator antara rakyat dan penguasa, menjadi komunikator dan agregator aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Realitanya, masyarakat terdiri atas kelas utama yaitu rakyat pada umumnya dan kaum bangsawan. Karenanya dalam lembaga perwakilan harus dibagi dalam dua kamar (two chambers) yaitu rakyat umum dan kaum bangsawan. Masing-masing mempunyai hak veto yang dibuat tiap kamar. Prinsipnya,masing-masing kekuasaan politik haruslah dibuat terpisah (trias politica) dan masing-masing memiliki wewenang untuk saling mengawasi.
9
d. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) Dalam Bukunya “The Social Contract” Pada dasarnya, manusia tidak dapat hidup sendiri secara perseorangan, ia tidak mampu untuk mengatur hidupnya sendiri di tengah komunitasnya,maka diperlukan legislator. Legislator adalah tokoh masyarakat yang diamanatkan oleh rakyat perorangan untuk membuat perlindungan politik terhadapnya. Negara merupakan produk dari perjanjian sosial (kontrak sosial) antara rakyat dan penguasa/dewan rakyat. Rakyat bisa menarik mandatnya, apabila dirasakan penguasa/dewan rakyat telah menyimpang dari kewenangannya. Legislator ini bertindak sebagai penyampai aspirasi/kepentingan dari rakyat kepada sang penguasa. Begitu beratnya tugas legislator, maka ia adalah sesorang yang “mahatahu” dan pembentuk dasar hukum untuk negara yang bersangkutan. Kekuasaan legislatif (lembaganya para legislator) harus senantiasa berada ditangan rakyat secara keseluruhan. Legislatif terbentuk atas dasar dua prinsip, yaitu moral dan semangat kolektif. Lembaga perwakilan ini menjadi satu-satunya yang paling handal dalam mewakili aspirasi kepentingan politik rakyat bukannya eksekutif. Eksekutif hanyalah sekedar pegawai-pegawai biasa saja yang melayani kepentingan rakyat. 2. Fungsi Lembaga Perwakilan Konsep perwakilan politik tidak dapat terpisahkan dengan konsep badan perwakilan rakyat. Lembaga ini dibangun oleh para wakil rakyat dengan fungsi utama merealisasikan kekuasaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Terdapat dua peran utama dari Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu: a. Badan legislatif merupakan lembaga pembuat undang-undang (a law making institution). Artinya DPR berfungsi membuat UU dan kebijakan bagi rakyat . Dalam kapasitas ini semua anggota DPR diharapkan untuk membuat UU atau kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan rakyat.
10
b. Badan legislatif adalah merupakan badan perwakilan rakyat (a representative assembly), yang dipilih untuk membantu menghubungkan antara konstituen dan pemerintahan nasional. Dua peran ganda tersebut melekat dalam masing-masing anggota Dewan. Oleh karenannya setiap anggota dewan dituntut untuk mampu menyeimbangkan antara fungsi legislatif (perundang-undangan) dan fungsi perwakilan. Artinya disatu sisi dia harus meujudkan tujuan nasional sementara pada sisi yang lain dituntut untuk mewakili konstituennya dari daerah pemilihan dia. Dua fungsi ini sama-sama berat dan pentingnya. Hanya anggota DPR yang memliki integritas dan kemampuan yang baik yang mampu melaksanaakan keduanya. Napitupulu (2005) mengutif pendapat Burns (1989) menyebutkan, secara teori bahwa Lembaga Perwakilan Rakyat setidaknya memiliki 6 (enam) fungsi: a. Representasi (Perwakilan) b. Lawmaking (Pembuatan UU) c. Consensus building (Membangun consensus) d. Overseeing (Pengawasan) e. Policy Clarification (Klarifikasi kebijakan) f. Legitimizing (Memberikan legitimasi) Teoritisi lain, Calvin Mackenzie (1986) menyebutkan bahwa lembaga perwakilan rakyat memiliki tiga fungsi seperti: a. Legislation (Pembuatan UU) b. Representasion (Perwakilan) c. Administrative oversight (Pengawasan) Theodore J. Lowi dan Benjamin Ginsberg (1990) membagi beberapa fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat sebagai: a. Representatives as agents (Perwakilan Politik) Hal ini dimaksudkan bahwa gagasan wakil sebagai agen yang ditunjukkan melalui peranan anggota legislative dalam hal memperhatikan konstituennya berdasarkan karakteristik sosiologis. Dalam hal ini anggota dewan senantisa siap melayani dan membantu 11
konstituennya dalam berbagai permasalahan yg dihadapi. Oleh karenanya ia harus siap mendengar dan menampung keluh kesah konstituennya. b. Direct patronage (Pelindungan langsung) Dalam hal ini anggota dewan dapat memberikan perlindungan yang dirasakan langsung oleh konstituennya. Artinya anggota dewan dapat bertindak mengintervensi pemerintah atas nama konstituennya apabila dihadapkan pada kepentingan masyarakat, atau adanya kebijakan pemerintah yang dirasakan merugikan masyarakat konstituennya. c. Statutes (The making of laws/Pembuatan UU) Lembaga perwakilan rakyat memiliki fungsi merumuskan dan membuat UU, baik atas usul pemerintah maupun atas inisiatif dari lembaga perwakilan sendiri. d. Oversight (Pengawasan) Menjalankan fungsi pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang dijalankan agar tidak bertentangan dengan garis-garis poltik yang telah ditetapkan oleh DPR. Dalam menjalankan fungsi pengawasan ini, anggota dean diberikan hak untuk bertanya, melakukan penyeleidikan atau investigasi atas kebiajakan pemerintah yg dianggap terjadi penyimpangan. Fungsi pengawasan ini dilakuan dengan cara kuestioner atau melalui bertanya langsung kepada konstituennya atas kebijakan pemerintah tersebut. e. Advice and consent: special power of legislators Merupakan kekuasaan tambahan yang dimiliki oleh lembaga perwakilan yang ditetapkan dalam konstitusi. Dalam hal ini Lembaga perwakilan rakyat berperan untuk memberikan saran kepada pemerintah (presiden) dalam hal menetapkan pejabat-pejabat tinggi negara seperti duta besar dan hakim, misalnya. Memberikan saran dalam hal perjanjian kerjasama dengan negara lain atau menyatakan suatu keadaan (kondisi) tertentu dari negara.
12
f. Debate (Dialog/argumentasi) Dalam hal ini Lembaga Perwakilan Rakyat memiliki fungsi untuk bertanya secara detail dan menguji keseriusan eksekutif adalam hal poses legislasi (merumuskan/menetapkan UU atau kebijakan) yang diajukan oleh pihak eksekutif. g. Direct committee government (Pendelegasian Komisi) Fungsi ini mengacu kepada praktek pendelegasian kekuasaan legislatif tertentu dari Lembaga Perwakilan Rakyat kepada salah satu dari komisikomisinya. Misalnya, setiap anggota fraksi dalam komisi, ia dapat menyetujui atau tidak menyetujui atas sebuah proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah, karena ia telah ditugaskan dalam komisi tersebut. Pelaksanaan fungsi ini dilaksanakan tidak harus kembali bertanya kepada Lembaga Perwakilan Rakyat (pimpinan lembaga) untuk otorisasi (Kewenangan) maupun apropriasi (persetujuan). h. The Legislative veto Fungsi ini merupakan salah satu cara dari legislatif dalam membuat UU secara tidak langsung. Dalam hal ini legislatif memberikan kepada presiden kekuasaan untuk mereorganisasi badan atau departemen pemerintah. Badan legislatif dapat memveto (memutuskan) usulan presiden untuk dijadikan UU (peraturan) manakala dewan beranggapan bahwa usulan presiden tersebut penting dan menyangkut kepentingan rakyat. Berdasarkan keseluruhan uraian di atas nampak bahwa banyak sekali fungsi yang dimiliki oleh lembaga perwakilan rakyat. Tentunya keberlakuan fungsi lembaga perwakilan rakyat ini akan berbeda antara negara satu dengan yang lainnya, dan ini sangat dipengaruhi oleh sistem politik yang dipergunakan. 3. Tinjauan Sistem Bikameral Sistem bikameral adalah wujud institusional dari lembaga perwakilan atau parlemen sebuah Negara yang terdiri atas dua kamar (Majelis). Majelis yang anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang berdasarkan jumlah penduduk secara generik disebut majelis pertama atau majelis rendah, dan
13
dikenal juga sebagai House of Representatives. Majelis yang anggotanya dipilih atau diangkat dengan dasar lain (bukan jumlah penduduk), disebut sebagai majelis kedua atau majelis tinggi dan di sebagian besar negara disebut sebagai Senate. Kecuali dalam periode yang pendek pada masa RIS di tahun 1950, Indonesia selalu menganut sistem unikameral, maka posisi dan konsep keberadaan majelis kedua dalam sistem perwakilan tidak mudah dapat dicerna dan dipahami oleh masyarakat termasuk banyak para elit politik dan kaum intelektual di Indonesia. Seperti pemilihan presiden langsung, juga Pilkada langsung, yang pada awalnya banyak yang menentang dan meragukan apakah cocok untuk diterapkan di Indonesia, demikian juga dengan DPD. Banyak yang mempertanyakan apakah lembaga perwakilan seperti DPD cocok untuk negara kesatuan seperti Indonesia, bukankah sistem seperti itu hanya cocok untuk negara federal? Ada juga yang merasa khawatir bahwa proses pembuatan undang-undang bisa menjadi terhambat kalau harus melibatkan dua lembaga perwakilan. Karena selama ini Indonesia tidak menganut sistem bikameral tentu jawabannya tidak bisa diperoleh dari pengalaman sendiri. Jawaban yang paling mendekati dan obyektif adalah dengan mempelajari bagaimana selama ini sistem itu diterapkan di negara-negara lain. Sebagai referensi, dapat melihat hasil studi yang dirangkum oleh IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance). Diindikasikan bahwa dari 54 Negara yang dianggap sebagai negara demokrasi, sebanyak 32 negara memilih bikameral, sedangkan 22 negara memilih unikameral. Berarti di sebagian besar negara yang menganut paham demokrasi, sistem bikameral dianggap lebih cocok. Dari 32 negara yang memiliki sistem bikameral tersebut, 20 diantaranya adalah negara kesatuan. Maka berarti bahwa sistem bikameral tidak hanya berlaku di negara yang menganut paham federal. Negara demokrasi dengan jumlah penduduk besar umumnya memiliki dua majelis (kecuali Bangladesh). Semua negara demokrasi yang memiliki wilayah luas juga memiliki dua majelis (kecuali Mozambique). Selanjutnya mari melihat pada spektrum negara-negara ASEAN. Tercatat dari 10 negara anggota ASEAN, diantaranya 7 negara menganut sistem demokrasi dan 3 negara (Brunei, Myanmar dan Vietnam) menganut paham yang berbeda. Dari 7 negara yang menganut sistem demokrasi
14
tersebut, 5 negara menerapkan sistem parlemen bikameral, yaitu masingmasing Malaysia, Philipina, Kamboja, Thailand (sebelum kudeta militer), dan terakhir Indonesia. Sistem bikameralisme Indonesia memang mengalami perdebatan panjang selama proses sidang-sidang MPR lalu, namun fakta menunjukkan bahwa telah lahir lembaga legislatif kamar kedua di Indonesia yaitu DPD yang mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan satu diantara lima negara dengan sistem bikameral tersebut. Dalam “manajemen politik” seperti juga dalam bidang administrasi publik maupun bisnis, ada faktor rentang kendali yang perlu dipertimbangkan (span of control). Demikian pula dengan negara sebagai suatu unit manajemen negara, maka Indonesia sebagai negara demokrasi baru, yang besar penduduknya dan besar wilayahnya adalah yang terakhir memilih sistem bikameral. Di sebagian besar negara para anggota mewakili negara bagian, provinsi atau wilayah perwakilan dengan jumlah yang sama. Di sebagian negara lagi jumlahnya proporsional terhadap jumlah penduduk, sedangkan di sebagian lainnya merupakan kombinasi dari kedua kriteria tersebut. Namun ada pula yang dipilih secara nasional (tidak mewakili daerah), atau diangkat atas dasar pertimbangan lain. Keanggotaan majelis tinggi dibatasi dalam periode tertentu, ada yang sama dengan periode DPR namun banyak pula yang berbeda. Sistem bikameral juga mencerminkan prinsip checks and balances bukan hanya antar cabang-cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif) tapi juga di dalam cabang legislatif itu sendiri. Dengan demikian maka sistem bikameral dapat lebih mencegah terjadinya tirani mayoritas maupun tirani minoritas (Patterson and Mughan: 1999). Dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki majelis tinggi, sistem bikameral pada umumnya dibagi dalam dua kategori: kuat dan lemah. Dalam hal majelis tinggi mempunyai kewenangan legislasi dan pengawasan yang sama atau hampir sama dengan majelis rendah, maka sistem bikameral di negara tersebut disebut kuat. Dan dalam hal kewenangan yang dimiliki tersebut kurang kuat, atau sama sekali tidak ada maka termasuk kelompok yang lemah. Dari 32 negara demokrasi yang menganut sistem bikameral, antara yang kuat dan yang lemah terbagi sama masing-masing 16 negara (belum termasuk Indonesia).
15
Pada umumnya, legitimasi dari majelis tinggi menentukan kuat lemahnya sistem bikameral di suatu negara. Legitimasi ditentukan oleh keterlibatan warga negara dalam pemilihan anggota majelis. Majelis yang langsung dipilih oleh rakyat mempunyai legitimasi yang tertinggi, makin tidak langsung, makin kurang legitimasinya. Ada hubungan sistemik antara tingkat legitimasi dengan kewenangan formal yang diberikan kepada majelis tinggi. Makin tinggi legitimasinya, makin kuat kewenangannya, contohnya seperti Amerika Serikat, Swiss, Italia, Filipina (Mastias dan Grange:1987). Dengan konsep tersebut, maka Indonesia merupakan sebuah “anomali” karena dengan definisi legitimasi di atas, lembaga DPD mempunyai legitimasi yang sangat tinggi, yang seharusnya memiliki kewenangan formal yang tinggi pula, tetapi dalam kenyataan kewenangan formalnya sangat rendah. Dengan demikian bisa dilihat bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara dengan sistem bikameral yang anggotaanggotanya dipilih langsung, dan karenanya memiliki legitimasi tinggi, tetapi kewenangannya amat rendah. Masalah yang seringkali ditampilkan sebagai penolakan terhadap sistem bikameral adalah efisiensi dalam proses legislasi; karena harus melalui dua kamar, maka banyak anggapan bahwa sistem bikameral akan mengganggu atau menghambat kelancaran pembuatan undang-undang. Sejak awal memang banyak yang sudah mempersoalkan manfaat yang dapat diperoleh dari adanya dua sistem seperti tersebut di atas dibanding dengan “ongkos yang harus dibayar” dalam bentuk kecepatan proses pembuatan undang-undang. Untuk itu negara-negara yang menganut sistem bikameral dengan caranya masing-masing telah berupaya untuk mengatasi masalah tersebut antara lain dengan membentuk conference committee untuk menyelesaikan perbedaan yang ada antara dua majelis tersebut, sehingga dewasa ini masalah tersebut tidak lagi menjadi faktor penghambat 4. Perwakilan Politik Di Indonesia Indonesia adalah negara demokrasi yang menganut sistem perwakilan di dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam sistem perwakilan ini masing-masing anggota masyarakat mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam setiap perumusan kebijakan publik. Bentuk dari adanya keterlibatan masyarakat dalam perumusan kebijakan tersebut dilakukan dengan cara rakyat menentukan sendiri wakil-wakilnya yang menjadi kepercayaan
16
untuk menyalurkan aspirasi rakyat dalam pemerintahan melalui pemilihan umum (pemilu). Keterlibatan rakyat dalam perumusan kebijakan dapat direalisasikan melalui wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk di tingkat Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Oleh karenanya, lembaga legislative (DPR dan DPRD) merupakan perangkat kekuasaan pemerintah yang sangat berperan dalam memenuhi berbagai tuntutan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Peran penting dari lembaga legislative ini ditunjukkan dari tugas yang dipunyainya, antara lain menetapkan kebijakan publik. Bentuk kebijakan yang ditetapkan oleh DPR adalah Undang-undang dan oleh DPRD adalah Peraturan Daerah (Perda) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Setiap UU atau Peraturan daerah yang ditetapkan harus mencerminkan kehendak rakyat. Kepentingan rakyat yang diwakilinya dapat direalisasikan dengan baik bila setiap anggota legislatif mengetahui aspirasi rakyat yang diwakilinya. Aspirasi rakyat yang masuk ditampung untuk kemudian dirumuskan dalam kebijakan yang dibuatnya. Dalam merumuskan kebijakan tersebut perlu adanya aktivitas dan kreativitas yang tinggi dari setiap anggota komponen di dalam DPR atau DPRD. Dengan kata lain, partisipasi dari setiap anggota diperlukan dalam perumusan kebijakan daerah. Dalam hal fungsi legislatif yang dimiliki oleh DPR dan DPRD, menunjukkan bahwa dirinya sebagai badan perwakilan rakyat dituntut untuk senantiasa mampu menampung aspirasi dan kepentingan masyarakat yang diwakilinya dengan cara memasukannya ke dalam UU, Peraturan Daerah dan APBD yang dihasilkannya. Memuaskan kehendak masyarakat atau kemauan umum adalah esensi dari fungsi anggota serta badan legislatif selaku wakil rakyat. Anggota DPR atau DPRD perlu pula mempertimbangkan berbagai kehendak atau opini yang ada, baik yang datang dari perorangan, maupun dari berbagai kesatuan individu seperti kekuatan politik, kelompok kepentingan, eksekutif dan sebagainya. Dengan demikian, para wakil rakyat dituntut untuk menyelaraskan berbagai kehendak atau opini tersebut dalam proses perumusan dan pemutusan kebijakan. Untuk dapat melaksanakan fungsinya, baik DPR mapun DPRD mempunyai hak-hak: hak anggaran, hak mengadakan perubahan, hak 17
mengajukan pernyataan pendapat, hak prakarsa, dan hak penyelidikan. Melihat pada beratnya tugas dalam melaksanakan fungsi legislatif, DPR dan DPRD harus benar-benar mampu berperan dalam menggunakan hakhaknya secara tepat, melaksanakan tugas dan kewajibannya secara efektif dan menempatkan kedudukannya secara proporsional. Hal tersebut hanya dapat terlaksana dengan baik apabila setiap anggota badan legislatif ini bukan saja piawai dalam berpolitik, melainkan juga menguasai pengetahuan yang cukup dalam hal konsepsi dan teknis penyelenggaraan pemerintahan, mekanisme kerja kelegislatifan, kebijakan publik, teknis pengawasan, penyusunan anggaran dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seorang anggota lembaga legislatif harus memenuhi kemampuan ideal agar dapat melaksanakan peran dan fungsinya dengan baik. Selain DPR, dalam sistem perwakilan di Indonesia, juga mengenal adanya Dewan Perwakilan Daerah. secara teoritis keberadaan DPD untuk membangun mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks and balances) dalam lembaga legislatif itu sendiri, disamping antar cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif, yudikatif). Disamping itu juga untuk menjamin dan menampung perwakilan daerah-daerah yang memadai untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam lembaga legislatif. Secara politis, sesuai dengan konsensus politik bangsa Indonesia, maka keberadaan DPD akan memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI; semakin meneguhkan persatuan kebangsaan seluruh daerahdaerah; akan meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional serta mendorong percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah secara berkeadilan dan berkesinambungan. Keberadaan DPD untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat (dan) daerah memiliki legitimasi yang kuat seperti halnya memberikan implikasi harapan yang kuat pula dari rakyat kepada lembaga DPD karena anggota DPD secara perorangan dan secara langsung dipilih oleh partai politik. Jelasnya DPR dan DPD tersebut seperti terlihat pada gambar berikut:
18
Keanggotaan DPD untuk pertama kalinya dipilih pada pemilu tahun 2004 yang lalu yaitu berjumlah 128 orang yang terdiri atas 4 orang dari 32 provinsi. Sulawesi Barat sebagai provinsi termuda belum terwakili. DPD dipimpin oleh seorang ketua dan dua orang wakil ketua yang mencerminkan wilayah barat, tengah, dan timur Indonesia. Pada pemilu 2009 lalu, keanggotaan DPD telah diwakili oleh 33 Provinsi dengan empat orang anggota di setiap provinsi sehingga jumlah anggota DPD akan berjumlah 132 orang pada masa keanggotaan 2009-2014. DPD memiliki kekhasan karena anggotanya merupakan wakil-wakil daerah dari setiap provinsi. Tidak ada pengelompokan anggota (semacam fraksi di DPR), anggota DPD merupakan orang-orang independen yang bukan berasal dari partai politik atau politisi profesional tetapi berasal dari berbagai latar belakang misalnya sebagai pengacara, guru, ulama, pengusaha, tokoh Ormas atau LSM, serta ada beberapa anggota DPD yang mantan menteri, gubernur, bupati/walikota, dan lain-lain. Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga perwakilan, pembagian tugas dan kerja anggota DPD diatur dalam Peraturan Tata Tertib. Pembagian tugas di DPD tercermin dari alat-alat kelengkapan yang dimiliki, yakni: Empat Panitia Ad Hoc yang ruang lingkup tugasnya mencakup bidang 19
legislasi, pertimbangan, dan pengawasan. Seluruh anggota, kecuali Pimpinan DPD, wajib bergabung ke dalam salah satu Panitia Ad Hoc. Kelahiran DPD telah membangkitkan harapan masyarakat daerah dimana kepentingan daerah dan masalah-masalah yang dihadapi daerah dapat diangkat dan diperjuangkan di tingkat nasional. Disamping itu kebijakan-kebijakan publik baik di tingkat nasional maupun daerah tidak akan merugikan dan akan dapat senantiasa sejalan dengan kepentingan daerah dan kepentingan rakyat di seluruh tanah air. Kepentingan daerah merupakan bagian yang serasi dari kepentingan nasional, dan kepentingan nasional secara serasi merangkum kepentingan daerah. Kepentingan daerah dan kepentingan nasional tidak bertentangan dan tidak dipertentangkan. Berbagai lembaga yang termasuk dalam perwakilan politik tersebut, akan dijelaskan lebih lanjut dalam bab-bab selanjutnya.
20
BAB III MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
1. Sejarah Singkat Tepat pada ulang tahun Kaisar Hirohito, 29 April 1945, Pemerintah Kolonial Jepang di Indonesia membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan yang dalam Bahasa Jepang-nya Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai itu merupakan sebuah badan yang dibentuk untuk merealisasikan janji Jepang memberi kemerdekaan kepada Indonesia. Namun karena BPUPKI terlalu cepat ingin merealisasikan kemerdekaan Indonesia maka badan itu dibubarkan oleh saudara tua itu dan kemudian membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dalam Bahasa Jepang-nya Dokuritzu Zyunbi Iinkai, pada 7 Agustus 1945. Di tengah kontroversi jadi tidaknya realisasi Jepang untuk memberi kemerdekaan Indonesia, yang perlu dicatat dari peran PPKI ini adalah pada tanggal 18 Agustus 1945 badan itu mampu mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945. Karena dibuat dalam waktu yang sangat sempit dan tergesagesa maka Presiden Soekarno mengatakan UUD 1945 yang disahkan sehari setelah Indonesia merdeka itu bukan sebagai undang-undang dasar yang sifatnya permanen. Sebagai mantan Ketua PPKI tentu Soekarno mengetahui dan menyebut UUD 1945 itu adalah undang-undang dasar sementara, yang dibuat secara kilat. Untuk itu ia mengatakan bila keadaannya sudah memungkinkan, maka akan dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bertugas menyusun undang-undang dasar yang lebih lengkap dan sempurna. Namun karena situasi dalam negeri dan masih adanya keinginan Belanda untuk menguasai Indonesia maka keinginan Soekarno untuk menyempurnakan UUD 1945 tidak tercapai, bahkan undang-undang dasar yang dijadikan pedoman bernegara oleh Bangsa Indonesia silih berganti sesuai dengan kepentingan penguasa dan situasi politik yang berkembang pada jamannya.
21
Sebagaimana diketahui bersama bahwa pada tanggal 29 Agustus 1945 sesaat setelah proklamasi kemerdekaan, dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sesuai ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, KNIP bertugas membantu Presiden dalam menjalankan kekuasaan negara, sebelum terbentuknya lembaga-lembaga negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar. Dalam perkembangan sejarahnya, pada pertengahan Oktober 1945, KNIP kemudian berubah menjadi semacam parlemen, tempat Perdana Menteri dan anggota kabinet bertanggung jawab. Hal ini, sejalan dengan perubahan sistem pemerintahan dari sistem Presidensial ke sistem Parlementer. Sejarah mencatat, bahwa KNIP adalah cikal bakal (embrio) dari badan perwakilan di Indonesia, yang oleh Undang-Undang Dasar 1945 diwujudkan ke dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Keberadaan badan-badan perwakilan, DPR dan MPR ketika itu, tidak terlepas dari keinginan para pendiri negara bahwa negara yang didirikan adalah negara yang demokratis. MPR yang anggota-anggotanya terdiri atas anggota DPR, di tambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat. Atas dasar itulah MPR melaksanakan kedaulatan rakyat. Mengingat fungsi dan kewenangan MPR yang tinggi seperti mengubah Undang-Undang Dasar, mengangkat dan memberhentikan Presiden/Wakil Presiden, maka para Ahli Hukum Tata Negara menyebut MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Pandangan ini kemudian dikukuhkan dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan atau Lembaga-lembaga Tinggi Negara. Meskipun demikian, sejarah menunjukkan bahwa negara Indonesia baru membentuk MPR yang bersifat sementara setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, sedangkan MPR yang dibentuk berdasarkan hasil Pemilihan Umum baru terlaksana pada tahun 1971. Sejak terbentuknya, baik MPRS maupun MPR telah memberikan sumbangan yang besar bagi pembangunan bangsa dan negara. Sebagai sebuah lembaga, MPR juga tidak luput dari pasang surut seiring dengan perjalanan sistem ketata- negaraan. Di masa lalu, MPR begitu kuat posisinya, begitu besar tugas dan ke- wenangannya bahkan disebut 22
sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Bergulirnya reformasi yang menghasilkan reformasi konstitusi telah mendorong para pengambil keputusan untuk tidak menempatkan MPR dalam posisi sebagai lembaga tertinggi. Setelah reformasi, MPR menjadi lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan lembaga-lembaga negara lainnya, bukan lagi penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Perubahan Undang-Undang Dasar telah mendorong penataan ulang posisi lembaga-lembaga negara terutama mengubah kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR yang dianggap tidak selaras dengan pelaksanaan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat sehingga sistem ketatanegaraan dapat berjalan optimal. Pasal 1 ayat (2) yang semula berbunyi: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Setelah perubahan Undang-Undang Dasar diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak lagi dijalankan sepenuhnya oleh sebuah lembaga negara, yaitu MPR, tetapi melalui caracara dan oleh berbagai lembaga negara yang ditentukan oleh UUD 1945. Tugas, dan wewenang MPR secara konstitusional diatur dalam Pasal 3 UUD 1945, yang sebelum maupun setelah perubahan salah satunya mempunyai tugas mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar sebagai hukum dasar negara yang mengatur hal-hal penting dan mendasar. Oleh karena itu dalam perkembangan sejarahnya MPR dan konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar mempunyai keterkaitan yang erat seiring dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia. 2. Dasar Hukum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diatur dalam Bab III UUD 1945 yang juga diberi judul “Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Bab III ini berisi dua pasal, yaitu Pasal 2 yang terdiri atas tiga ayat, Pasal 3 yang juga terdiri atas tiga ayat.
23
Pasal 2 UUD 1945 berbunyi: (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. (2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara. (3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak.
Sedangkan Pasal 3-nya menyatakan: (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan undang-undang dasar. (2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden. (3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar.
Pengaturan lebih lanjut mengenai kedudukan MPR dilakukan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 66 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. 3. Susunan dan Kedudukan Dalam UUD 1945 setelah Perubahan Keempat, organ MPR juga tidak dapat lagi dipahami sebagai lembaga yang lebih tinggi kedudukannya daripada lembaga negara yang lain atau yang biasa dikenal dengan sebutan lembaga tertinggi negara. MPR sebagai lembaga negara sederajat levelnya dengan lembaga-lembaga negara yang lain seperti DPR, DPD, presiden/wakil presiden, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan. Pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, dinyatakan bahwa susunan dan kedudukan adalah: a. MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum.
24
b. MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. 4. Tugas dan Kewenangan Salah satu perubahan penting setelah dilakukannya perubahan terhadap UUD NRI Tahun 1945 adalah perubahan terhadap Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 sebelum perubahan menyatakan bahwa, “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Hal ini membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR yang sering menghadirkan kesalahpahaman terhadap MPR dan Pimpinan MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat, kini MPR berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya, yaitu: Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. Berubahnya kedudukan MPR juga berimplikasi kepada tugas dan wewenang MPR. MPR tidak lagi mempunyai tugas dan wewenang untuk memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, kecuali jika Presiden dan/atau Wakil Presiden berhalangan tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, MPR juga tidak mempunyai tugas dan wewenang untuk menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945 sebelum diubah. Berubahnya kedudukan, tugas, dan wewenang MPR tersebut memang tidak berarti menghilangkan peran penting MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009, MPR memiliki tugas dan wewenag untuk: a. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan umum;
25
c. Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden; d. Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya; e. Memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya; dan f. Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya. 5. Keanggotaan Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai institusi negara secara eksplisit telah tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah” Dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009, dinyatakan bahwa, ayat (1) keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan Presiden, dan ayat (2) masa jabatan anggota MPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji. Terkait dengan keanggotaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 pasal 12 Undang-undang Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, dinyatakan bahwa di dalam MPR juga terdapat: 26
a. Fraksi Fraksi adalah pengelompokan anggota MPR yang mencerminkan konfigurasi partai politik. Fraksi dapat dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR. Setiap anggota MPR yang berasal dari anggota DPR harus menjadi anggota salah satu fraksi. Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil rakyat. b. Kelompok Anggota Kelompok Anggota adalah pengelompokan anggota MPR yang berasal dari seluruh anggota DPD. Kelompok Anggota dibentuk untuk meningkatkan optimalisasi dan efektivitas kinerja MPR dan anggota dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil daerah. 6. Alat Kelengkapan Dalam rangka pelaksanaan tugasnya, MPR mempunyai Alat-alat Kelengkapan yang disusun menurut pengelompokan kegiatan, yaitu Pimpinan Majelis dan Panitia ad hoc Majelis. Hal ini diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 22 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. a. Pimpinan Majelis Pimpinan MPR merupakan satu kesatuan Pimpinan yang bersifat kolektif, terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR. Pimpinan MPR yang berasal dari DPR sebagaimana dimaksud dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Dalam hal musyawarah untuk mufakat tersebut tidak tercapai, pimpinan MPR yang berasal dari DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
27
Pimpinan MPR yang berasal dari DPD dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam sidang paripurna DPD. Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, pimpinan MPR yang berasal dari DPD dipilih dari dan oleh anggota DPD serta ditetapkan dalam sidang paripurna DPD. Pimpinan MPR ditetapkan dengan keputusan MPR. Pimpinan MPR bertugas: 1). Memimpin sidang MPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan; 2). Menyusun rencana kerja dan mengadakan pembagian kerja antara ketua dan wakil ketua; 3). Menjadi juru bicara MPR; 4). Melaksanakan putusan MPR; 5). Mengoordinasikan anggota MPR untuk memasyarakatkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 6). Mewakili MPR di pengadilan; 7). Menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran MPR; dan 8). Menyampaikan laporan kinerja pimpinan dalam siding paripurna MPR pada akhir masa jabatan. b. Panitia ad hoc Majelis. Panitia ad hoc MPR dapat dibentuk oleh Majelis untuk melakukan tugas-tugas tertentu. Panitia ad hoc terdiri atas pimpinan MPR dan paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah anggota dan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari jumlah anggota yang susunannya mencerminkan unsur DPR dan unsur DPD secara proporsional dari setiap fraksi dan Kelompok Anggota MPR. Anggota dimaksud diusulkan oleh unsur DPR dan unsur DPD dari setiap fraksi dan Kelompok Anggota MPR. Panitia ad hoc MPR bertugas: 1). Mempersiapkan bahan sidang MPR; dan 2). Menyusun rancangan putusan MPR. 28
Panitia ad hoc MPR melaporkan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam sidang paripurna MPR. Panitia ad hoc MPR dibubarkan setelah tugasnya selesai. 7. Ruang Lingkup dan Mekanisme Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Berikut ini adalah mekanisme pelaksanaaan tugas dan wewenang MPR sesuai dengan ketentuan UUD NRI Tahun 1945. a. Mekanisme Perubahan UUD NRI Tahun 1945 1). Usul perubahan diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR [Pasal 37 (1)]; 2). diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya [Pasal 37 (2)]; 3). sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR [Pasal 37 (3)]; 4). Putusan dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% + 1 anggota dari seluruh anggota MPR [Pasal 37 (4)]; 5). Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan [Pasal 37 (5)]. b. Mekanisme impeachment/pemberhentian Presiden Perubahan Ketiga UUD 1945 memuat ketentuan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya yang sematamata didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat yuridis dan hanya mengacu pada ketentuan normatif-limitatif yang disebutkan di dalam konstitusi. Berikut diuraikan mengenai ketentuan pemberhentian Presiden. 1). Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
29
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden [(Pasal 7B ayat (1)]. 2). Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat [(Pasal 7B ayat (2)]. 3). Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat[(Pasal 7B ayat (3)]. 4). Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi [(Pasal 7B ayat (4)]. 5). Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat [(Pasal 7B ayat (5)]. 6). Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut [(Pasal 7B ayat (6)].
30
7). Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat [(Pasal 7B ayat (7)]. 8). Dari mekanisme ini terlihat bahwa proses impeachment pasca perubahan UUD NRI tahun 1945 tidaklah mudah. Presiden harus dinyatakan melanggar hukum. 9). Proses usulan pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden tidak lagi sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme politik tetapi dengan mengingat dasar usulan pemberhentiannya yaitu masalah pelanggaran hukum melalui Mahkamah Konstitusi. c. Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Hasil Pemilihan Umum Pelaksanaan tugas MPR yang terkait dengan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Hasil Pemilihan Umum, diatur dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 34 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Dalam Pasal 32 dinyatakan bahwa MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR. Dengan prosesi sebagai berikut: 1). Pimpinan MPR mengundang anggota MPR untuk menghadiri sidang paripurna MPR dalam rangka pelantikan Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum. 2). Pimpinan MPR mengundang pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih untuk dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden dalam sidang paripurna MPR. 3). pimpinan MPR membacakan keputusan KPU mengenai penetapan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.
31
4). Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR. 5). Dalam hal MPR tidak dapat menyelenggarakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR. 6). Dalam hal DPR tidak dapat menyelenggarakan rapat, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. 7). Berita Acara Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden ditandatangani oleh Presiden dan Wakil Presiden serta pimpinan MPR. 8). Setelah mengucapkan sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden, Presiden menyampaikan pidato awal masa jabatan. d. Pelantikan Wakil Presiden Menjadi Presiden Dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 44 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dinyatakan tentang mekanisme pelantikan Wakil Presiden menjadi Presiden. Pasal 40 Undang-undang tersebut menyatakan, jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai berakhir masa jabatannya. Mekanisme pelantikan Wakil Presiden menjadi Presiden adalah sebagai berikut: 1). Jika terjadi kekosongan jabatan Presiden, MPR segera menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk melantik Wakil Presiden menjadi Presiden. 2). Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang, Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR.
32
3). Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat, Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. 4). Presiden sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan ketetapan MPR. 5). Setelah mengucapkan sumpah/janji, Presiden menyampaikan pidato pelantikan e. Pemilihan dan Pelantikan Wakil Presiden Pemilihan dan pelantikan Wakil Presiden yang berhalangan tetap diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 48 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Mekanisme pemilihan dan pelantikan Wakil Presiden adalah sebagai berikut: 1). Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, MPR menyelenggarakan sidang paripurna dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari untuk memilih Wakil Presiden. 2). Presiden mengusulkan 2 (dua) calon wakil presiden beserta kelengkapan persyaratan kepada pimpinan MPR paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum penyelenggaraan sidang paripurna MPR. 3). Dalam sidang paripurna sebagaimana dimaksud, MPR memilih satu di antara 2 (dua) calon wakil presiden yang diusulkan oleh Presiden. 4). Dua calon wakil presiden yang diusulkan sebagaimana dimaksud wajib menyampaikan pernyataan kesiapan pencalonan dalam sidang paripurna MPR sebelum dilakukan pemilihan. 5). Calon wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan di sidang paripurna MPR ditetapkan sebagai Wakil Presiden. 6). Dalam hal suara yang diperoleh tiap-tiap calon sama banyak, pemilihan diulang 1 (satu) kali lagi. 7). Dalam hal pemilihan sebagaimana tersebut hasilnya tetap sama, Presiden memilih salah satu di antara calon wakil presiden. 33
Prosesi pelantikan Wakil Presiden adalah sebagai berikut: 1). MPR melantik Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam sidang paripurna MPR dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR. 2). Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang paripurna, Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguhsungguh di hadapan rapat paripurna DPR. 3). Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat paripurna, Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguhsungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. 4). Wakil Presiden terpilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ditetapkan dengan ketetapan MPR. f. Pemilihan dan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang berhalangan tetap diatur dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal 55 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Pada Pasal 49 Undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa dalam hal Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Mekanisme yang akan dilakukan dalam hal Presiden dan Wakil Presiden berhalangan tetap tersebut adalah sebagai berikut: 1). Apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, MPR menyelenggarakan sidang paripurna paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan.
34
2). Paling lama 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan sebagaimana dimaksud, pimpinan MPR memberitahukan kepada partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. 3). Paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat pemberitahuan dari pimpinan MPR, partai politik atau gabungan partai politik sebagaimana dimaksud menyampaikan calon presiden dan wakil presidennya kepada pimpinan MPR. 4). Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya tersebut, menyampaikan kesediaannya secara tertulis yang tidak dapat ditarik kembali. 5). Calon presiden dan wakil presiden yang diajukan harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai pemilihan umum presiden dan wakil presiden. 6). Ketentuan mengenai tata cara verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen administrasi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diajukan diatur dengan peraturan MPR tentang tata tertib. Mekanisme pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah sebagai berikut: 1). Pemilihan 2 (dua) pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam sidang paripurna MPR sebagaimana dimaksud dilakukan dengan pemungutan suara. 2). Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak dalam sidang ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
35
3). Dalam hal suara yang diperoleh setiap pasangan calon presiden dan wakil presiden sama banyak, pemungutan suara diulangi 1 (satu) kali lagi. 4). Dalam hal hasil pemungutan suara ulang tersebut tetap sama, MPR memutuskan untuk mengembalikan kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden kepada partai politik atau gabungan partai politik pengusul untuk dilakukan pemilihan ulang oleh MPR. 5). Dalam hal MPR memutuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Prosesi Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih adalah sebagai berikut: 1). MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam sidang paripurna MPR dengan bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan sidang paripurna MPR. 2). Dalam hal MPR tidak dapat mengadakan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan rapat paripurna DPR. 3). Dalam hal DPR tidak dapat mengadakan rapat, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama atau berjanji dengan sungguhsungguh di hadapan pimpinan MPR dengan disaksikan oleh pimpinan Mahkamah Agung. 4). Presiden dan Wakil Presiden terpilih ditetapkan dengan ketetapan MPR. 5). Setelah mengucapkan sumpah/janji, Presiden menyampaikan pidato pelantikan.
36
8. Hak-Hak Anggota MPR Dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 59 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dan Keputusan MPR RI Nomor 1/MPR/2010 tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI, dinyatakan bahwa Anggota MPR memiliki hak-hak sebagai berikut: a. Mengajukan usul pengubahan pasal Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Setiap Anggota MPR dapat mengajukan usul pengubahan pasal di dalam Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945, sesuai dengan mekanisme yang telah ditentukan. b. Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan putusan Setiap Anggota MPR berhak untuk menentukan sikap dan pilihan dengan bebas tanpa paksaan dan ancaman. c. Memilih dan dipilih Setiap Anggota MPR memiliki hak untuk memilih dan dipilih. d. Hak Imunitas 1). Anggota MPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakan-nya, baik secara lisan maupun tertulis di dalam ataupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan denga tugas dan wewenang MPR. 2). Anggota MPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam sidang atau rapat MPR maupun di luar sidang atau rapat MPR yang berkaitan dengan tugas dan wewenang MPR. 3). Ketentuan sebagaimana dimaksud, tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
37
e. Hak Protokoler Setiap Anggota MPR memiliki Hak Protokoler dalam setiap acara kenegaraan dan acara resmi yang meliputi Tata tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan. f. Hak Keuangan dan administratif. Anggota MPR memiliki Hak Keuangan dan Administratif yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 9. Persidangan dan Pengambilan Keputusan Secara rutin MPR melaksanakan sidang dalam rangka melaksanakan tugas dan kewenangannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 64 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentag MPR, DPR, DPD dan DPRD. Pada Pasal 60 Undang-undang tersebut, menyatakan bahwa MPR bersidang sedikitnya sekali dalam 5 (lima) tahun di ibu kota negara. Persidangan MPR diselenggarakan untuk melaksanakan tugas dan wewenang MPR. Berbagai Sidang/Rapat yang dapat diselenggarakan oleh MPR sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Peraturan Tata Tertib MPR adalah sebagai berikut: a. Sidang Paripurna MPR; b. Rapat Gabungan Pimpinan MPR, Pimpinan fraksi-fraksi dan Pimpinan Kelompok Anggota; c. Rapat Pimpinan MPR; d. Rapat Konsultasi dan koordinasi Pimpinan MPR dengan Presiden dan/atau pimpinan lembaga negara lainnya; e. Rapat Panitia Ad Hoc MPR; f. Rapat Alat Kelengkapan MPR lainnya; dan g. Rapat Fraksi atau Kelompok Anggota.
38
Selain itu, MPR juga mengadakan Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan untuk mendengarkan laporan pelaksanaan tugas dan wewenang serta kinerja Pimpinan MPR. Sidang Paripurna MPR diadakan berdasarkan putusan Pimpinan MPR dan dapat mendengarkan saran atau pertimbangan Pimpinan fraksi-fraksi atau Pimpinan Kelompok Anggota bila dipandang perlu. Dalam Pasal 62 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 diatur tentang mekanisme pengambilan keputusan dalam Sidang MPR adalah sebagai berikut: a. Dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) ditambah 1 (satu) anggota dari seluruh anggota MPR untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota MPR yang hadir untuk memutuskan usul DPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden; c. Dihadiri sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota MPR ditambah 1 (satu) anggota MPR dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah anggota ditambah 1 (satu) anggota MPR yang hadir untuk sidang pemberhentian presiden. d. Pengambilan keputusan dalam sidang terlebih dahulu diupayakan dengan cara musyawarah untuk mufakat. e. Dalam hal cara pengambilan keputusan tidak tercapai, keputusan diambil melalui pemungutan suara. f. Dalam hal keputusan berdasarkan pemungutan suara tidak tercapai, dilakukan pemungutan suara ulang.
39
g. Dalam hal pemungutan suara ulang hasilnya masih belum memenuhi, maka akan berlaku ketentuan: 1). Pengambilan keputusan ditangguhkan sampai sidang berikutnya; atau 2). Usul yang bersangkutan ditolak. 10. Kesekretariatan Jenderal MPR. Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang MPR, dibentuk Sekretariat Jenderal MPR, yang susunan organisasi dan tata kerjanya diatur dengan peraturan Presiden atas usul Pimpinan MPR. Sekretariat Jenderal MPR dipimpinan oleh Seorang Jenderal MPR yang bertanggung jawab kepada Pimpinan MPR. Sekretaris Jenderal MPR secara administratif diangkat oleh Presiden dan diproses sesuai dengan peraturan kepegawaian atas usul Pimpinan MPR. Sekretariat Jenderal MPR wajib memberikan laporan umum tertulis secara berkala setiap 6 bulan kepada Pimpinan MPR tentang pelaksanaan tugas Sekretariat Jenderal MPR. Laporan tersebut selanjutnya disampaikan kepada seluruh Anggota setelah mendapat persetujuan dari Pimpinan MPR.
40
BAB IV DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 1. Sejarah Singkat Pada masa penjajahan Belanda berdasarkan Pasal 53 sampai dengan Pasal 80 bagian kedua Indische Staatsregeling, wet op de Staatsinrichting van Nederlandsh-Indie (Indische Staatsrgeling), yang ditetapkan pada tanggal 16 Desember 1916, serta diumumkan dalam Staatsblat Hindia Nomor 114 Tahun 1916, dan berlaku pada tangal 1 Agustus 1917 memuat hal-hal yang berkenaan dengan kekuasaan legislatif, yaitu Volksraad (Dewan Rakyat). Berdasarkan konstitusi Indische Staatsrgeling buatan Belanda itulah, pada tanggal 18 Mei 1918 Gubernur Jenderal Graaf Van Limburg Stirum atas nama pemerintah penjajah Belanda membentuk dan melantik Volksraad (Dewan Rakyat). Adapun keanggotaan Volksraad pada Tahun 1918 terdiri atas 1 orang Ketua (diangkat oleh Raja) dan 38 orang Anggota (20 orang dari golongan Bumi Putra), untuk Tahun 1927 terdiri atas 1 orang Ketua (diangkat oleh Raja) dan 55 orang Anggota (25 orang dari golongan Bumi Putra), sedangkan untuk Tahun 1930 terdiri atas 1 orang Ketua (diangkat oleh Raja) dan 60 orang Anggota (30 orang dari golongan Bumi Putra) Volksraad mempunyai hak yang tidak sama dengan parlemen, karena volksraad tidak mempunyai Hak Angket dan Hak menentukan Anggaran Belanja Negara. Dalam perjalanannya kaum nasionalis moderat antara lain Hohammad Husni Thamrin dan lain-lain, menggunakan volksraad sebagai jalan untuk mencapai cita-cita Indonesia Merdeka memalui jalan Parlemen. Usulan-usulan anggota seperti Petisi Sutardjo Tahun 1935 yang berisi "Permohonan kepada Pemerintah Belanda agar diadakan pembicaraan bersama antara Indonesia dan Berlanda dalam suatu perundingan mengenai nasib Indonesia di masa yang akan datang", atau Gerakan Indonesia Berparlemen dari Gabungan Politik Indonesia yang berisi keinginan adanya parlemen yang sesungguhnya sebagai suatu tahap untuk menuju Indonesia Merdeka, ternyata ditolak pemerintah Hindia Belanda.
41
Pada Awal perang Dunia II Anggota-anggota Volksraad mengusulkan dibentuk nya milisi pribumi untuk membantu Pemerintah menghadapi musuh dari luar, usul ini juga ditolak. Tanggal 8 Desember 1941 Jepang melancarkan serangan ke Asia. Dan pada tanggal 11 Januari 1942 tentara Jepang pertama kali menginjak bumi Indonesia yaitu mendarat di Tarakan (Kalimantan Timur). Pemerintah Hindia Belanda tidak mampu melawan dan menyerah kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942. Dengan mendaratnya tentara Jepang tersebut, maka Belanda mengakhiri masa penjajahan yang selama 350 tahun di Indonesia. Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang meng-akibatkan keberadaan volksraad secara otomatis tidak diakui lagi. Rakyat Indonesia pada awalnya gembira menyambut tentara Dai Nippon (Jepang), yang dianggap sebagai saudara tua yang membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan. Namun pemerintah militer Jepang tidak berbeda dengan pemerintahan Hindia Belanda, karena semua kegiatan politik dilarang. Pemimpin-pemimpin yang bersedia bekerjasama, berusaha menggunakan gerakan rakyat bentukan Jepang, seperti tiga-A (Nippon cahaya Asia, Pelindung Asia, dan Pemimpin Asia) atau PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), untuk mem-bangunkan rakyat dan menanamkan cita-cita kemerdekaan dibalik punggung pemerintah militer Jepang. Tahun 1943, dibentuk Tjuo Sangi-in, sebuah badan perwakilan yang hanya bertugas menjawab pertanyaan Saiko Sikikan, penguasa militer tertinggi, mengenai hal-hal yang menyangkut usaha memenangkan perang Asia Timur Raya. Jelas bahwa Tjuo Sangi-in bukan Badan Perwakilan apalagi Parlemen yang mewakili bangsa Indonesia. Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang dibom atom oleh "Serikat" dan Uni Soviet menyatakan perang terhadap Jepang. Dengan demikian Jepang akan kalah dalam waktu singkat, sehingga Proklamasi harus segera dilaksanakan. Pada tanggal 16 Agustus 1945, tokoh-tokoh pemuda bersepakat menjauhkan Sukarno-Hatta ke luar kota (Rengasdengklok Krawang) dengan tujuan menjauhkan dari pengaruh Jepang yang berkedok menjanjikan kemerdekaan, dan didesak Sukarno-Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Setelah berunding selama satu malam di rumah Laksamana Maeda, maka pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia membacakan Proklamasi Kemerdekaan di halaman rumahnya Pengangsaan Timur 56, Jakarta. Sehari 42
setelah Proklamasi Kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menetapkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang kita kenal sebagai Undang-undang Dasar 1945. Maka mulai saat itu, penyelenggara negara didasarkan pada ketentuan-ketentuan menurut Undang-undang Dasar 1945. Sesuai dengan ketentuan dalam Aturan Peralihan, tanggal 29 Agustus 1945, dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat atau KNIP beranggotakan 137 orang. Komite Nasional Pusat ini diakui sebagai cikal bakal badan Legislatif di Indonesia, dan tanggal pembentukan KNIP yaitu 29 Agustus 1945 diresmikan sebagai hari jadi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Pimpinan KNIP pada saat itu adalah Ketua Mr. Kasman Singodimedjo, Wakil Ketua I Mr. Sutardjo Kartohadi-kusumo, Wakil Ketua II Mr. J. Latuharhary Wakil Ketua III Adam Malik. Pada tanggal 10 Nopember 1945 terjadi peristiwa pertempuran di Surabaya yang menimbulkan banyak korban di pihak bangsa Indonesia, sehubungan dengan itu KNIP dalam Sidang Pleno ke-3 tanggal 27 Nopember 1945 mengeluarkan resolusi yang menyatakan protes yang sekeras-kerasnya kepada Pucuk Pimpinan Tentara Inggris di Indonesia atas penyerangan dari Angkatan Laut, Darat dan Udara atas rakyat dan daerahdaerah Indonesia. Selain itu KNIP juga telah mengadakan sidang di Kota Solo pada tahun 1946, di Malang pada tahun 1947, dan Yogyakarta tahun 1949, dalam rangka perjuangan mempertahankan kemerdekaan dilaksanakan serentak di medan-perang dan di meja perundingan. Dinamika revolusi ini juga dicerminkan dalam sidang-sidang KNIP, antara pendukung pemerintah dan golongan keras yang menentang perundingan. Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda telah dua kali menandatangani perjanjian, yaitu Linggarjati dan Renville. Tetapi semua persetujuan itu dilanggar oleh Belanda, dengan melancarkan agresi militer ke daerah Republik. 2. Dasar Hukum Sebagai salah satu alat kelengkapan negara, pengaturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tercantum dalam Bab III Pasal 19 sampai dengan Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
43
Tahun 1945. Selain itu juga diatur dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. 3. Kedudukan dan Susunan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat. Susunan DPR terdiri atas Fraksi dan Alat Kelengkapan DPR RI yang meliputi : a. Pimpinan DPR; b. Badan Musyawarah; c. Komisi; d. Badan Legislasi; e. Panitia Anggaran; f. Badan Ususan Rumah Tangga; g. Badan Kerja Sama Antar Parlenen; h. Badan Kehormatan; i. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, dan j. Panitia Khusus 4. Fungsi dan Kewenangan Lembaga DPR mempunyai 3 (tiga) fungsi yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Ketiga fungsi tersebut mempunyai tugas masingmasing yaitu : a. Fungsi Legislasi adalah fungsi membentuk Undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. b. Fungsi Anggaran adalah fungsi menyusun dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). c. Fungsi Pengawasan adalah fungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang dan Peraturan Pelaksanaanya.
44
Dalam melaksanakan ketiga fungsi tersebut sesuai dengan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, DPR mempunyai tugas dan wewenang antara lain : a. membentuk Undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama; b. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi Undang-Undang; c. menerima Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPD yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; d. membahas rancangan Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam huruf c bersama Presiden dan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden; e. membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden; f. memperhatikan pertimbangan DPD atas Rancangan Undang-Undang tentang APBN dan rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; g. Membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan membrikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden; h. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan APBN; i. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
45
j. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang; k. memberikan perimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi; l. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain; m. memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD; n. membahas dan menindaklajuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK; o. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial; p. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; q. memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden; r. memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara; s. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; dan t. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam undangundang. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPR mempunyai hak yaitu Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat, pengertian dari ketiga hak tersebut sebagai berikut : a. Hak Interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
46
b. Hak Angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; c. Hak Menyatakan Pendapat adalah hak DPR sebagai lembaga untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan Hak Interpelasi dan Hak Angket, terhadap dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Preiden melakukan pelanggaran hukum berupa penghiatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. 5. Keanggotaan Keanggotaan DPR periode 2009-2014 seluruhnya berjumlah 560 orang, yang terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan Umum untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji. Anggota DPR harus memenuhi persyaratan keanggotaan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang dan ditetap-kan dengan Keputusan Presiden, serta berdomisili di Ibukota Negara Republik Indonesia. Setiap anggota DPR dapat melakukan Kunjungan Kerja ke daerah pemilihannya sekurang-kurang 1 (satu) kali dalam 2 (dua) bulan dengan waktu paling lama 5 (lima) hari yang dilaksanakan diluar Masa Reses dan diluar sidang-sidang DPR. Adapun komposisi anggota DPR periode 2009-2014 secara rinci sebagai berikut :
47
No.
Fraksi
Jumlah
%
1 Partai Demokrat
F- PD
148
26,40
2 Partai Golkar
F- PG
106
18,92
F- PDI Perjuangan
94
16,78
4 Partai Keadilan Sejahtera
F- PKS
57
10,17
5 Partai Amanat Nasional
F- PAN
46
8,21
38
6,78
28
5,00
F- GERINDRA
26
4,64
F- HANURA
17
3,04
560
100
3
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Partai Persatuan F- PPP Pembangunan 7 Partai Kebangkitan Bangsa F- PKB 6
Partai Gerakan Indonesia Raya 9 Partai Hati Nurani Rakyat 8
Total
Anggota DPR dapat dan/atau diberhentikan karena beberapa sebab, pertama anggota berhenti antarwaktu karena : a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri sebagai anggota atas permintaan sendiri secara terulis, dan c. diberhentikan. Kedua anggota DPR diberhentikan antar waktu karena : a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalang-an tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun; b. melanggar sumpah/janji jabatan dank ode etik DPR; c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
48
d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut turut tanpa alasan yang sah; e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundangundangan; f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undangundang; h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, atau i. menjadi anggota partai politik lain.
a.
b.
c.
d.
Anggota DPR juga mempunyai hak tertentu yaitu : mengajukan rancangan undang-undang, hak ini dimaksudkan untuk mendorong, memacu kreativitas, semangat dan kualitas anggota DPR dalam menyikapi serta menyalurkan dan menindaklanjuti aspirasi rakyat yang diwakilinya dalam bentuk pengajuan usul rancangan undang-undang; mengajukan pertanyaan, adalah hak anggota DPR untuk menyampaikan pertanyaan baik lisan maupun tertulis kepada pemerintah berkaitan dengan tugas dan wewenang DPR; menyampaikan usul dan pendapat, adalah hak anggota DPR untuk menyampaikan usul sdan pendapat secara leluasa baik kepada pemerintah maupun kepada DPR sendiri sehingga ada jaminan kemandirian sesuai dengan panggilan hati nurani serta kredibilitasnya. Oleh karena itu, setiap anggota DPR tidak dapat diarahkan oleh siapa pundi dalam proses pengambilan keputusan. Namun demikian tata cara penyampaian usul dan pendapat dimaksud tetap memperhatikan tata krama, etika, moral, sopan santun dan kepatutan sebagai wakil rakyat; memilih dan dipilih, hak memilih adalah hak anggota DPR untuk menggunakan suaranya dalam suatu kegiatan pemilihan. Sedangkan
49
e. f.
g.
h.
hak dipilih adalah hak anggota DPR untuk mencalonkan diri untuk dipilih dalam suatu kegiatan pemilihan; membela diri, adalah hak anggota DPR untuk membela diri dari segala tuduhan yang ditujukan pada dirinya dalam sidang pengadilan; imunitas adalah hak kekebalan hukum anggota DPR untuk tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena pernyataan dan pendapat yang disampaikan dalam rapat-rapat DPR dengan pemerintah dan rapat-rapat DPR lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; protokoler adalah hak anggota DPR untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan jabatannya dalam acara-acara kenegaraan atau acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya; keuangan dan administrasi adalah hak anggota DPR untuk memperoleh gaji, uang kehormatan, dan tunjangan lain berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Selain mempunyai hak, anggota DPR juga mempunyai kewajiban sebagai berikut : a. mengamalkan Pancasila; b. melaksanakan Undang-Undang dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala peraturan perundang-undangan; c. melaksanakan kehidupan demokrasi daam penyelenggaraan pemerintahan; d. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI); e. memperhatikan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat; f. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; g. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan; h. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya; dan i. menaati etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga yang terkait.
50
Terkait dengan hak dan kewajiban sebagai anggota DPR, juga mempunyai beberapa larangan yaitu : a. tidak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya seperti hakim pada badan peradialan atau pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, pegawai pada Badan Usaha Milik Negara, badan Usaha Milik daerah/atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD; b. tidak boleh melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat/ pengacara, notaris, dokter praktek atau pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota; dan c. tidak boleh melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. 6. Alat Kelengkapan Untuk melaksanakan tugas dan wewenang, DPR membentuk Alat Kelengkapan yang terdiri atas Pimpinan DPR, Badan Musyawarah, Komisi, Badan Legislasi, Panitia Anggaran, Badan Urusan Rumah tangga, Badan Kerja sama Antar Parlemen, Badan Kehormatan, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, dan Panitia Khusus. a. Pimpinan DPR Pimpinan DPR adalah alat kelengkapan DPR dan merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial yang terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR, masa jabatan Pimpinan DPR sama dengan Masa Keanggotaan DPR. Pimpinan DPR mempunyai bertugas sebagai berikut : 1) memimpin sidang DPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan; 2) menyusun rencana kerja pimpinan; 3) melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan DPR; 4) menjadi juru bicara DPR; 5) melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPR; 6) mewakili DPR dalam berhubungan dengan lembaga negara lainnya;
51
7) mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan keputusan DPR; 8) mewakili DPR di pengadilan; 9) melaksanakan keputusan DPR berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 10) menyusun rencana anggaran DPR bersama Badan Urusan Rumah Tangga yang pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna; dan 11) menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk itu. Selanjutnya dalam melaksanakan tugasnya, Pimpinan DPR bertanggungjawab kepada Rapat Paripurna DPR. Berdasarkan surat Keputusan Pimpinan DPR RI No. 37/PIMP/I/2009-2010 tentang Penetapan Koordinator Bidang Kerja Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Masa Keanggotaan Tahun 2009-2014 sebagai berikut : 1) Ketua DPR RI, H. Marzuki Alie, S.E, M.M., mempunyai tugas yang bersifat umum dan mencakup semua Bidang Koordinasi. 2) Wakil Ketua Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Korpolkam), Drs. H. Priyo Budi Santoso, mempunyai tugas yang membidangi ruang lingkup tugas Komisi I, Komisi II dan Komisi III, dan Badan Kerjasama Antar Parlemen, serta Badan Legislasi. 3) Wakil Ketua Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang), Ir. H. Pramono Anung Wibowo, MM, mempunyai tugas yang membidangi ruang lingkup tugas Komisi IV, Komisi V, Komisi VI dan Komsi VII. 4) Wakil Ketua Koordinator Bidang Ekonomi dan Keuangan (Korekku), H.M. Anis Matta, Lc., mempunyai tugas yang membidangi ruang lingkup tugas Komisi XI, Badan Anggaran, dan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara. 5) Wakil Ketua Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra), Ir. Taufik Kurniawan, MM, yang membidangi ruang lingkup tugas Komisi VIII, Komisi IX, Komisi X dan Badan Kehormatan. Pimpinan DPR berhenti dari jabatannya karena : 1) meninggal dunia;
52
2) mengundurkan diri, atau 3) diberhentikan. Pimpinan DPR diberhentikan dari jabatannya apabila : 1) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun; 2) melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan keputusan rapat paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh Badan Kehormatan DPR; 3) dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; 4) diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundangundangan; 5) ditarik keanggotannya sebagai anggota DPR oleh partai politiknya; 6) melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undangundang, atau 7) diberhentikan sebagai anggota partai politik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Badan Musyawarah (Bamus) Badan Musyawarah dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggota an Badan Musyawarah pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Anggota Badan Musyawarah berjumlah paling banyak 1/10 (satu persepuluh) dari jumlah anggota berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi yang ditetap kan oleh rapat paripurna. Anggota Badan Musyawarah DPR RI saat ini dipimpin oleh Ketua Dr. H. Marzuki Alie (Fraksi Partai Demokrat), Wakil Ketua Drs. H. Priyo Budi Santoso(Fraksi Partai Golongan Karya), Wakil Ketua Ir. H. Pramono Anung Wibowo, M.M.(Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), Wakil Ketua H.M. Anis Matta, Lc (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), Wakil Ketua Ir. Taufik Kurniawan, M.M (Fraksi Partai 53
Amanat Nasional),dan 54 orang anggota. Pimpinan DPR RI karena jabatannya juga sebagai Pimpinan Badan Musyawarah dan dalam hal ini Pimpinan DPR tidak merangkap sebagai anggota dan tidak mewakili Fraksi. Tugas Badan Musyawarah bertugas 1) Menetapkan agenda DPR untuk 1 (satu) tahun sidang, 1 (satu) masa persidangan, atau sebagian dari suatu masa sidang, perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, dan jangka waktu penyelesaian rancangan undang-undang, dengan tidak mengurangi kewenangan rapat paripurna untuk mengubahnya; 2) Memberikan pendapat kepada pimpinan DPR dalam menentukan garis kebijakan yang menyangkut pelaksanaan tugas dan wewenang DPR; 3) Meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPR yang lain untuk memberikan keterangan/ penjelasan mengenai pelaksanaan tugas masing-masing; 4) Mengatur lebih lanjut penanganan suatu masalah dalam hal undangundang mengharuskan Pemerintah atau pihak lainnya melakukan konsultasi dan koordinasi dengan DPR; 5) Menentukan penanganan suatu rancangan undang-undang atau pelaksanaan tugas DPR lainnya oleh alat kelengkapan DPR; 6) Mengusulkan kepada rapat paripurna mengenai jumlah komisi, ruang lingkup tugas komisi, dan mitra kerja komisi yang telah dibahas dalam konsultasi pada awal masa keanggotaan DPR; dan 7) Melaksanakan tugas lain yang diserahkan oleh rapat paripurna kepada Badan Musyawarah. c. Komisi Susunan dan keanggotaan Komisi ditetapkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna DPR RI, menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap Fraksi, pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan Tahun Sidang. Setiap Anggota, kecuali Pimpinan MPR dan DPR, harus menjadi anggota salah satu komisi. Jumlah Komisi,
54
Pasangan Kerja Komisi dan Ruang Lingkup Tugas Komisi diatur lebih lanjut dengan Keputusan DPR yang didasarkan pada institusi pemerintah, baik lembaga kementerian negara maupun lembaga nonkementerian, dan sekretariat lembaga negara, dengan mempertimbangkan keefektifan tugas DPR. Tugas Komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan Rancangan Undang-Undang yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya. Tugas Komisi di Bidang Anggaran antara lain: 1) Mengadakan Pembicaraan Pendahuluan mengenai penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah; dan 2) Mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan pemerintah. Tugas Komisi di Bidang Pengawasan antara lain: 1) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk APBN, serta peraturan pelaksanaannya; 2) Membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang terkait dengan ruang lingkup tugasnya; 3) Melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; serta 4) Membahas dan menindklanjuti usulan DPD. Selain tugas tersebut di atas, Komisi dalam melaksanakan tugasnya dapat mengadakan: a. Rapat Kerja dengan Presiden yang dapat diwakili oleh Menteri; b. Rapat Dengar Pendapat dengan pejabat pemerintah yang mewakili intansinya; c. Rapat Dengar Pendapat Umum, baik atas permintaan Komisi maupun atas permintaan pihak lain;
55
d. Mengadakan kunjungan kerja dan studi banding dalam Masa Reses, atau apabila dipandang perlu dalam masa Sidang dengan persetujuan Pimpinan DPR, yang hasilnya dilaporkan dalam rapat Komisi untuk ditentukan tindak lanjutnya; e. Mengadakan Rapat Kerja dan Rapat Dengar Pendapat, apabila dipandang perlu dengan pejabat pemerintah yang mewakili instansinya yang termasuk dalam ruang lingkup tugas Komisi yang bersangkutan atas persetujuan Pimpinan DPR, dan memberitahu kan kepada Pimpinan Komisi yang bersangkutan; f. Mengadakan Rapat Gabungan Komisi apabila ada masalah yang menyangkut lebih dari satu Komisi; g. Membentuk Panitia Kerja atau Tim; h. Melakukan tugas atas keputusan rapat paripurna dan/atau Badan Musyawarah; i. Mengusulkan kepada Badan Musyawarah hal yang dipandang perlu untuk dimakksn dalam acara DPR. d. Komisi I Komisi I DPR RI adalah Komisi yang membidangi pertahanan, luar negeri, dan informasi. Sedangkan pasangan kerja Komisi I DPR RI adalah Kementerian Pertahanan, Kementerian Luar Negeri, Panglima TNI dan Mabes TNI AD, AL dan AU, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas), Badan Intelijen Negara (BIN), Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Televisi Republik Indonesia (TVRI), Radio Republik Indonesia (RRI), Dewan Pers, Perum LKBN Antara. Ketua Komisi I DPR RI saat ini adalah oleh Drs. Mahfuds Siddiq, M.Si dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, sedangkan Wakil Ketua dijabat oleh Drs. Agus Gumiwang Kartasasmita dari Fraksi Partai Golongan Karya, Wakil Ketua TB. Hasanuddin, SE, MM, dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Wakil Ketua H. Haryono Isman dari Fraksi Partai Demokrat
56
e. Komisi II Komisi II DPR RI adalah Komisi yang membidangi Pemerintah an Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kepemiluan, Pertanahan dan Reforma Agraria sedangkan pasangan kerja Komisi II DPR RI adalah Kementerian Dalam Negeri, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet, Lembaga Administrasi Negara (LAN), Badan Kepegawaian Negara (BKN), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Arsip Nasional RI (ANRI), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Ombudsman Republik Indonesia, dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Ketua Komisi II DPR RI saat ini adalah oleh H. Chairuman harahap, SH, MH. dari Fraksi Partai Golongan Karya, sedangkan Wakil Ketua dijabat oleh Dr. Drs. H. Taufiq Effendi, MBA dari Fraksi Partai Demokrat, Wakil Ketua Ganjar Pranowo, dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Wakil Ketua Drs. Abdul Hakam Naja, M.Si dari Fraksi Partai Amanat Nasional. f. Komisi III Komisi III DPR RI adalah Komisi yang membidangi Hukum, Hak Azasi Manusia dan Keamanan, sedangkan pasangan kerja Komisi III DPR RI adalah Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia, Kejaksaan Agung, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Hukum Nasional, Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), Setjen Mahkamah Agung, Setjen Mahkamah Konstitusi, Setjen MPR, Setjen DPD, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Setjen Komisi Yudisial, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Ketua Komisi III DPR RI saat ini adalah oleh Dr. Benny Kabur Harman, S.H., dari Fraksi Partai Demokrat, sedangkan Wakil Ketua dijabat oleh Ir. H. Tjatur Sapto Edy, MT dari Fraksi Partai Amanat Nasioal, Wakil Ketua Dr. Azis Syamsudin, dari Fraksi Partai Golongan
57
Karya, Wakil Ketua Fahri Hamzah dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. g. Komisi IV Komisi IV DPR RI adalah Komisi yang membidangi Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Kelautan, Perikanan, dan Pangan, sedangkan pasangan kerja Komisi IV DPR RI adalah Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Badan Urusan Logistik dan Dewan Maritim Nasional. Ketua Komisi IV DPR RI saat ini adalah oleh Drs. H. Akhmad Muqowan dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, sedangkan Wakil Ketua dijabat oleh Hj. Anna Mu’awanah, SE, MH., dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Wakil Ketua Firman Soebagyo, SE, dari Fraksi Partai Golongan Karya, Wakil Ketua Ir. E. Herman Khaeron, M.Si dari Fraksi Partai Demokrat. h. Komisi V Komisi V DPR RI adalah Komisi yang membidangi Perhubungan, Pekerjaan Umum, Perumahan Rakyat, Pembangunan Pedesaan dan Kawasan Tertinggal, Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, sedangkan pasangan kerja Komisi V DPR RI adalah Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan SAR Nasional, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoardjo (BPLS). Ketua Komisi V DPR RI saat ini adalah oleh Dra. Yasti Soepredjo Mokoagow dari Fraksi Partai Amanat Nasional, sedangkan Wakil Ketua dijabat oleh H. Muhidin Mohammad Said dari Fraksi Partai Golongan Karya, Wakil Ketua Drs. Yoseph Umar Hadi, M.Si dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia perjuangan, Wakil Ketua Ir. H. Mulyadi dari Fraksi Partai Demokrat. i. Komisi VI Komisi VI DPR RI adalah Komisi yang membidangi Perdagangan, Perindustrian, Investasi, Koperasi, UKM dan BUMN, Standarisasi
58
Nasional sedangkan pasangan kerja Komisi VI DPR RI adalah Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Menteri Negara BUMN, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Badan Standarisasi Nasional (BSN), Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ketua Komisi VI DPR RI saat ini adalah oleh Ir. H. Airlangga Hartato, M.MT, MBA dari Fraksi Partai Golongan Karya, sedangkan Wakil Ketua dijabat oleh Ir. Nurdin Tampubolon dari Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat, Wakil Ketua Aria Bima dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Wakil Ketua Ir. Agus Hermanto, MM dari Fraksi Partai Demokrat. j. Komisi VII Komisi VII DPR RI adalah Komisi yang membidangi Energi Sumber Daya Mineral, Riset dan Teknologi, serta lingkungan hidup sedangkan pasangan kerja Komisi VII DPR RI adalah Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Dewan Riset Nasional, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Tenaga Nuklir (BATAN), Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETAN), Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Pengatur Kegiatan Hilir Migas, Badan Pelaksana Pengendalian Usaha Hulu Migas, PP. IPTEK, dan Lembaga EIKJMEN Ketua Komisi VII DPR RI saat ini adalah oleh H. Teuku Riefky Harsa dari Fraksi Partai Demokrat, sedangkan Wakil Ketua dijabat oleh Zainuddin Amali, SE dari Fraksi Partai Golongan Karya, Wakil Ketua H. Achmad Farial dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Wakil Ketua Drs. Effendi M.S. Simbolon dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
59
k. Komisi VIII Komisi VIII DPR RI adalah Komisi yang membidangi Agama, Sosial, dan Pemberdayaan Perempuan sedangkan pasangan kerja Komisi VIII DPR RI adalah Kementerian Agama, Kementerian Sosia Rl, Kementerian Pemberdaya- an Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dan Badan Amil Zakat Nasional. Ketua Komisi VIII DPR RI saat ini adalah oleh H. Abdul Kadir Karding, SPI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, sedangkan Wakil Ketua dijabat oleh Dra. Hj. Chairun Nisa, MA dari Fraksi Partai Golongan Karya, Wakil Ketua H. Gondo Radityo Gambiro dari Fraksi Partai Demokrat, Wakil Ketua Ahmad Zainuddin, Lc dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. l. Komisi IX Komisi IX DPR RI adalah Komisi yang membidangi Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kependudukan, serta Kesehatan sedangkan pasangan kerja Komisi IX DPR RI adalah Departemen Kesehatan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Badan Kkoordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Badan Pengawas Obat dan Makanan, BNP2TKI, PT.Askes (Persero), dan PT.Jamsostek(Persero). Ketua Komisi IX DPR RI saat ini adalah oleh Dr. Ribka Tjiptaning dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sedangkan Wakil Ketua dijabat oleh Drs. H. Irgan Chairul Mahfiz dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Wakil Ketua Ir. Soepriyatno dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Wakil Ketua Dr. Ahmad Nizar Shihab, D.San dari Fraksi Partai Demokrat. m. Komisi X Komisi X DPR RI adalah Komisi yang membidangi Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata, Kesenian dan Kebudayaan sedangkan pasangan kerja Komisi X DPR RI adalah Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga, serta Perpustakaan Nasional.
60
Ketua Komisi X DPR RI saat ini adalah oleh Prof. Dr. H. Mahyuddin NS, SP,OG (K) dari Fraksi Partai Demokrat, sedangkan Wakil Ketua dijabat oleh H. Asman Abnur, SE, M.Si dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Wakil Ketua Ir. Rully Chairul Azwar, M.Si dari Fraksi Partai Golongan Karya, Wakil Ketua Ir. Heri Akhmasi dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. n. Komisi XI Komisi XI DPR RI adalah Komisi yang membidangi Keuangan, Perencanaan Pembangunan Nasional, Perbankan, dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, sedangkan pasangan kerja Komisi VII DPR RI adalah Kementerian Keuangan RI, Menteri Perencanaan dan Pembangunan/ Kepala Bappenas, Bank Indonesia, Perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pusat Statistik (BPS), Setjen BPK RI, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). Ketua Komisi VII DPR RI saat ini adalah oleh Ir. H. Emir Moeis, M.Sc dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sedangkan Wakil Ketua dijabat oleh Dr. H. Harry Azhar Azis dari Fraksi Partai Golongan Karya, Wakil Ketua Achsanul Qosasi dari Fraksi Partai Demokrat, Wakil Ketua KH. Dr. Surahman Hidayat, MA dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. o. Badan Legislasi DPR RI Badan Legislasi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Legislasi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Jumlah anggota Badan Legislasi ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang. Pimpinan Badan Legislasi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial, yang terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan
61
paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Legislasi berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pimpinan Badan Musyawarah saat ini adalah Ketua Ignatius Mulyono dari Fraksi partai Demokrat, sedangkan Wakil Ketua adalah Dra. Hj. Ida Faiziah dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Wakil Ketua H. Sunardi Ayub, SH dari Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat, Wakil Ketua Achmad Dimyati N, SH, MH, M.Si dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Badan Legislasi mempunyai tugas antara lain : 1) menyusun rancangan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan dan prioritas rancangan undang-undang beserta alasannya untuk satu masa keanggotaan dan untuk setiap tahun anggaran di lingkungan DPR dengan mempertimbangkan masukan dari DPD; 2) mengoordinasi penyusunan program legislasi nasional antara DPR dan Pemerintah; 3) menyiapkan rancangan undang-undang usul DPR berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan; 4) melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang diajukan anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada pimpinan DPR; 5) memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD di luar prioritas rancangan undang-undang tahun berjalan atau di luar rancangan undang-undang yang terdaftar dalam program legislasi nasional; 6) melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugaskan oleh Badan Musyawarah; 7) mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan rancangan undang-undang melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus;
62
8) memberikan masukan kepada pimpinan DPR atas rancangan undang-undang usul DPD yang ditugaskan oleh Badan Musyawarah; dan 9) membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPR untuk dapat digunakan oleh Badan Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya. p. Badan Anggaran Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang. Susunan dan keanggotaan Badan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas anggota dari tiap-tiap komisi yang dipilih oleh komisi dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota dan usulan fraksi. Pimpinan Badan Anggaran merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Anggaran berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan mempertimbangkan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pimpinan Badan Anggaran saat ini adalah Ketua Melchias Marcus Mekeng dari Fraksi Partai Golongan Karya, sedangkan Wakil Ketua adalah Olly Dondokambey, SE dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Wakil Ketua Mirwan Amir dari Fraksi Partai Demokrat, Wakil Ketua Tamsil Linrung,S.Pd dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Badan Anggaran bertugas : 1) Membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal umum dan prioritas
63
2) 3)
4) 5) 6)
anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan anggaran; Menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi terkait; Membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerian/ lembaga; Melakukan sinkronisasi terhadap hasil pembahasan di komisi mengenai rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga; Membahas laporan realisasi dan prognosis yang berkaitan dengan APBN; dan Membahas pokok-pokok penjelasan atas rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh Komisi. Anggota Komisi dalam Badan Anggaran harus mengupayakan alokasi anggaran yang diputuskan Komisi dan menyampaikan hasil pelaksana an tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Komisi. q. Badan Urusan Rumah Tangga Badan Urusan Rumah Tangga, yang selanjutnya disingkat BURT, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BURT pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Jumlah anggota BURT ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang. Pimpinan BURT merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial, yang terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang dijabat oleh ketua DPR dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BURT berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan 64
perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pimpinan Badan Urusan Rumah Tangga saat ini adalah Ketua Dr. H. Marzuki Ali dari Fraksi Partai Demokrat, sedangkan Wakil Ketua adalah Pius Lustrilanang, S.IP, M.Si dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya , Wakil Ketua Dr. Indrawati Sukadis dari Fraksi Partai Demokrat, Wakil Ketua Refizal dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. Badan Urusan Rumah Tangga mempunyai tugas: 1) Menetapkan kebijakan kerumahtanggaan DPR; 2) Melakukan pengawasan terhadap Sekretariat Jenderal dalam pelaksanaan kebijakan kerumahtanggaan DPR sebagaimana dimaksud dalam huruf a, termasuk pelaksanaan dan pengelolaan anggaran DPR; 3) Melakukan koordinasi dengan alat kelengkapan DPD dan alat kelengkapan MPR yang berhubungan dengan masalah kerumahtanggaan DPR, DPD, dan MPR yang ditugaskan oleh pimpinan DPR berdasarkan hasil rapat Badan Musyawarah; 4) Menyampaikan hasil keputusan dan kebijakan Badan Urusan Rumah Tangga kepada setiap anggota; dan 5) Menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk itu. r. Badan Kerja Sama Antar Parlemen Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, yang selanjutnya disingkat BKSAP, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BKSAP pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Jumlah anggota BKSAP ditetapkan dalam Rapat Paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan pada permulaan tahun sidang. Pimpinan BKSAP merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial, yang terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota BKSAP berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut
65
perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pimpinan Badan Kerja Sama Antar Parlemen saat ini adalah Ketua Dr. H. Muhammad Hidayat Nur Wahid, MA dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, sedangkan Wakil Ketua adalah Ir. H. Azwar Abubakar, MM dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Wakil Ketua Drs. Sidarto Danusubroto, SH dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Wakil Ketua Dr. Nurhayati Ali Aseggaf, M.Si dari Fraksi Partai Demokrat. Badan Kerja Sama Antar Parlemen bertugas: 1) Membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPR dan parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral, termasuk organisasi internasional yang menghimpun parlemen dan/atau anggota parlemen negara lain; 2) Menerima kunjungan delegasi parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR; 3) Mengoordinasikan kunjungan kerja alat kelengkapan DPR ke luar negeri; dan 4) Memberikan saran atau usul kepada pimpinan DPR tentang masalah kerja sama antarparlemen. s. Badan Kehormatan DPR RI Badan Kehormatan dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Kehormatan dengan memperhatikan perimbang-an dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Anggota Badan Kehormatan berjumlah 11 (sebelas) orang dan ditetapkan dalam rapat paripurna pada permulaan masa keanggotan DPR dan pada permulaan tahun sidang. Pimpinan Badan Kehormatan merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial, yang terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua, yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Kehormatan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pimpinan Badan 66
Kehormatan saat ini adalah Ketua Dr. Muhammad Prakosa dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sedangkan Wakil Ketua adalah H. Nudirman Munir, S.H. dari Fraksi Partai Golongan Karya, Wakil Ketua H. Abdul Wahab Dalimunthe, S.H dari Fraksi Partai Demokrat. Tata cara pelaksanaan tugas Badan Kehormatan diatur dengan peraturan DPR tentang tata beracara Badan Kehormatan. t. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, yang selanjutnya disingkat BAKN, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BAKN pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Anggota BAKN berjumlah paling sedikit 7 (tujuh) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang atas usul fraksi DPR yang ditetapkan dalam rapat paripurna pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang. Pimpinan BAKN merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial yang terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BAKN berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dengan memperhatikan keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Pimpinan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara saat ini adalah Ketua H. Ahmad Muzani dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, sedangkan Wakil Ketua adalah Mayjen TNI (Purn) Yahya Sacawiria, S.IP, MM, dari Fraksi Partai Demokrat, Wakil Ketua Ir. A Edwin Kawilarang dari Fraksi Partai Golongan Karya. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara mempunyai tugas: 1) melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang disampaikan kepada DPR; 2) menyampaikan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada komisi; 3) menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK atas permintaan komisi; dan
67
4) memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan. u. Panitia Khusus DPR RI Panitia khusus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat sementara. DPR menetapkan susunan dan keanggotaan panitia khusus berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Jumlah anggota panitia khusus ditetapkan oleh rapat paripurna paling banyak 30 (tiga puluh) orang. Pimpinan panitia khusus merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial. Pimpinan panitia khusus terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat dan proporsional dengan memperhatikan jumlah panitia khusus yang ada serta keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Fraksi yang mendapatkan komposisi pimpinan panitia khusus mengajukan satu nama calon pimpinan panitia khusus kepada pimpinan DPR untuk dipilih dalam rapat panitia khusus. Pemilihan pimpinan panitia khusus dilakukan dalam rapat panitia khusus yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan panitia khusus. Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh rapat paripurna dan dapat diperpanjang oleh Badan Musyawarah apabila panitia khusus belum dapat menyelesaikan tugasnya. Panitia khusus dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya dinyatakan selesai. 7. Mekanisme Penyusunan Peraturan Perundang-undangan DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk
68
mendapat persetujuan bersama. Rancangan Undang-Undang (RUU) dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD. DPD dapat mengajukan kepada DPR, RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Apabila ada 2 (dua) RUU yang diajukan mengenai hal yang sama dalam satu Masa Sidang yang dibicarakan adalah RUU dari DPR, sedangkan RUU yang disampaikan oleh presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. RUU yang sudah disetujui bersama antara DPR dengan Presiden, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Apabila setelah 15 (lima belas) hari kerja, RUU yang sudah disampaikan kepada Presiden belum disahkan menjadi undang-undang, Pimpinan DPR mengirim surat kepada presiden untuk meminta penjelasan. Apabila RUU yang sudah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Proses Pembahasan RUU dari Pemerintah di DPR RI antara lain : RUU beserta penjelasan/keterangan, dan/atau naskah akademis yang berasal dari Presiden disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan Surat Pengantar Presiden yang menyebut juga Menteri yang mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU tersebut. Dalam Rapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh Pimpinan DPR, kemudian Pimpinan DPR memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota. Terhadap RUU yang terkait dengan DPD disampaikan kepada Pimpinan DPD. Penyebarluasan RUU dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. Kemudian RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR bersama dengan Menteri yang mewakili Presiden.
69
Proses Pembahasan RUU dari DPD di DPR RI RUU beserta penjelasan/keterangan, dan atau naskah akademis yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR, kemudian dalamRapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh DPR, Pimpinan DPR memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota. Selanjutnya Pimpinan DPR menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pimpinan DPD mengenai tanggal pengumuman RUU yang berasal dari DPD tersebut kepada Anggota dalam Rapat Paripurna. Bamus selanjutnya menunjuk Komisi atau Baleg untuk membahas RUU tersebut, dan mengagendakan pembahasannya. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, Komisi atau Badan Legislasi mengundang anggota alat kelengkapan DPD sebanyak banyaknya 1/3 (sepertiga) dari jumlah Anggota alat kelengkapan DPR, untuk membahas RUU Hasil pembahasannya dilaporkan dalam Rapat Paripurna. RUU yang telah dibahas kemudian disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR dan kepada Pimpinan DPD untuk ikut membahas RUU tersebut. Dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya surat tentang penyampaian RUU dari DPR,Presiden menunjuk Menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam pembahasan RUU bersama DPR. Kemudian RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR. 8. Mekanisme Penetapan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara a. Tahun Anggaran berlaku meliputi masa 1 tahun, yaitu: 1). Sebelum Tahun 2000 dimulai tanggal 1 April s.d. tanggal 31 Maret tahun berikutnya; 2). Untuk Tahun 2000 (masa peralihan) dimulai tanggal 1 April s.d. 31 Desember Tahun berjalan. 3). Setelah Tahun 2000 dimulai tanggal 1 Januari s.d. 31 Desember tahun berjalan.
70
b. Dasar Penyusunan, Penetapan dan Pemeriksaan APBN 1). Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; 2). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 3). Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. c. Siklus APBN terdiri atas : 1). Penyusunan & Pembahasan APBN 2). Penetapan APBN 3). Pelaksanaan APBN 4). Laporan Realisasi SM I dan Prognosis SM II APBN 5). Perubahan APBN 6). Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN d. Struktur APBN meliputi antara lain : 1). Sebelum Tahun 2000, balance budget/Anggaran berimbang yaitu Penerimaan sama dengan Pengeluaran; 2). Setelah Tahun 2000 Struktur APBN menggunakan GFS (Goverment Financial Statistic) berbentuk I – Account yaitu Pendapatan > Belanja (Surplus). e. Waktu Penyusunan,Pembahasan dan Penetapan APBN Penyusunan, Pembahasan dan Penetapan RAPBN dilakukan pada tahun sebelum anggaran dilaksanakan, contoh APBN tahun 2006 disusun dibahas dan ditetapkan pada tahun 2005. Pembicaraan Pendahuluan Penyusunan APBN meliputi : Pertengahan Mei, Pemerintah menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro RAPBN tahun berikutnya, yaitu: 1). Assumsi dasar ekonomi makro (pertumbuhan ekonomi, inflasi, tingkat bunga SBI, nilai tukar, harga minyak, lifting (produksi) minyak
71
2). Kebijakan dalam bidang penerimaan Negara 3). Kebijakan dalam bidang Pengeluaran negara 4). Kebijakan Defisit dan Pembiayaannya Mei-Juni, Pembahasan bersama antara DPR C.q. Panitia Anggaran DPR-RI dengan pemerintah C.q Menteri Keuangan, Meneg PPN/ Kepala Bappenas dan Gubernur Bank Indonesia. Hasil pembahasan Pembicaraan pendahuluan Penyusunan RAPBN menjadi dasar penyusunan RUU APBN beserta Nota Keuangannya. Pembahasan RUU APBN Beserta Nota Keuangan (Tk. I), tanggal 16 Agustus dengan acara : 1). Presiden menyampaikan pidato pengantar RUU APBN beserta NKnya dalam Rapat Paripurna DPR 2). Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi atas RUU APBN 2007 beserta NK-nya 3). Jawaban Pemerintah atas PU Fraksi-Fraksi atas RUU APBN 2007 beserta NK-nya September-Oktober, pembahasan RUU APBN beserta Nota Keuangannya antara Pemerintah dengan Panitia Anggaran DPR-RI. Akhir Oktober pembahasan RUU APBN yang meliputi : 1). Pembicaraan Tk.II/ pengambilan keputusan atas RUU APBN beserta NK-nya 2). Laporan Panitia Anggaran atas Pembicaraan Tk.I/ Pembahasan RUU APBN 3). Pendapat akhir Fraksi-Fraksi atas RUU APBN 4). Pendapat akhir Pemerintah atas RUU APBN 5). Pengambilan Keputusan atas RUU APBN Berdasarkan UU No.13 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa RUU APBN diambil keputusan oleh DPR dilakukan
72
selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan). APBN yang disetujui DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja. Apabila DPR tidak menyetujui RUU APBN, pemerintah pusat dapat melaku kan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya. Laporan Realisasi SM I dan Prognosa SM II APBN: 1). Pemerintah menyampaikan laporan realisasi semester I dan Prognosis semester II APBN selambat-lambatnya akhir juli dalam tahun berjalan 2). Pembahasan antara Panitia Anggaran dengan Pemerintah Perubahan APBN dilakukan apabila terjadi: 1). Perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN. 2). Perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal. 3). Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi,antarkegiatan,dan antar jenis belanja. 4). Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih (SAL) tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan. 5). Proses pembahasan RUU perubahan APBN sama dengan APBN induk, namun tidak melalui tahap pemandangan umum fraksi dan jawaban pemerintah atas pandangan umum fraksi-fraksi (short cut). f. Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN Presiden menyampaikan RUU pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
73
Laporan keuangan meliputi: 1). Laporan Realisasi APBN 2). Neraca 3). Laporan Arus Kas Catatan atas Laporan Keuangan yang dilampiri dengan Laporan keuangan perusahaan negara dan badan lainnya. 9. Mekanisme Pengawasan DPR RI Sesuai dengan kewenangan yang diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, DPR RI dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan. Pengawasan yang dilakukan tersebut dilakukan dengan berbagai mekanisme, antara lain penggunaan Hak ataupun pelaksanaan Rapat Kerja antara Alat Kelengkapan DPR dengan Menterimenteri terkait. Pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR dijalankan dalam kerangka menciptakan sistem politik yang bersifat checks and balances, terutama berkenaan dengan hubungan badan legislatif dan eksekutif. Terkait dengan pengawasan pemerintah, pada dasarnya yang dilakukan DPR bukanlah untuk menjatuhkan pemerintahan tetapi lebih pada untuk mendalami kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah. Dalam penggunaan hak angket misalnya, DPR membentuk hak angket untuk melakukan penyelidikan. Hak angket bukan untuk menjatuhkan pemerintah, tetapi untuk lebih mendalami mengapa sampai hal ini terjadi, dan tidak terulang lagi di kemudian hari. Pemerintah akan senantiasa terawasi sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan mampu dicegah dan dihindarkan. Pemerintah tidak dapat mengambil keputusan secara sepihak atas kebijakan yang diambilnya berkenaan dengan dan berpengaruh bagi hajat hidup orang banyak. Di samping itu sebaliknya bagi pemerintah, adanya pengawasan yang efektif dari DPR akan bermakna positif untuk meningkatkan kinerja birokasi pemerintahan itu sendiri, yaitu dalam konteks memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat, sebagaimana masih menjadi harapan publik selama ini. Pengawasan yang dijalankan oleh DPR melalui alat-alat kelengkapan dan mekanisme kerja yang dimiliki sama sekali bukan untuk mencari-cari kesalahan pemerintah, tetapi lebih 74
merupakan suatu pertanggungjawaban posisi DPR sebagai lembaga politik perwakilan rakyat. Lingkup pengawasan DPR, yaitu melaksanakan pengawasan terhadap: a. pelaksanaan undang-undang, b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, c. kebijakan pemerintah. d. Memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD; e. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan; f. mengajukan, memberikan persetujuan, pertimbangan, pertimbangan/konsultasi, dan pendapat; g. menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; Di samping itu, pengawasan DPR dikaitkan pula dengan kegiatan membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang diajukan oleh DPD terhadap pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Keuangan dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Secara singkat dan umum, pengawasan yang dilakukan oleh parlemen, termasuk DPR bertujuan untuk memelihara akuntabilitas publik, terutama dari lembaga-lembaga yang berkaitan langsung dengan pelaksanaan kebijakan dan program pemerintahan serta pembangunan. Dalam konteks lembaga politik, fungsi pengawasan yang dijalankan DPR merupakan bentuk pengawasan politik yang bersifat strategis dan bukan administratif. Hal inilah yang membedakan fungsi pengawasan yang dilakukan DPR dengan fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan dan publik lainnya. Fungsi pengawasan parlemen lebih bersifat politis strategis menyangkut pencapaian tujuan pemerintahan dan pembangunan. Pengawasan juga dapat berlangsung pada berbagai tingkatan kebijakan, program, proyek maupun kasus yang ada sepanjang memiliki arti penting secara politik strategis. 75
Pengawasan parlemen diperlukan berdasarkan beberapa argumentasi atau pemikiran, yaitu: Pertama, Parlemen (DPR) merupakan representasi rakyat dalam menilai dan mengawasi kinerja pemerintah dalam mengelola keuangan negara dan melaksanakan undang-undang, kebijakan pemerintah, dan berbagai kebijakan publik lain secara konsisten. Kedua, pengawasan mengaktualisasi pelaksanaan etika tata pemerintahan yang baik dan demokratis (good governance). Ketiga, pengawasan dapat meredam “penyakit” KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)di kalangan pemerintah, termasuk berdampak pada DPR sendiri. Keempat, pengawasan memungkinkan terbangunnya hubungan timbal balik (checks and balances) antara lembaga legislatif, eksekutif dan masyarakat sipil. Pengawasan DPR dilakukan melalui beberapa mekanisme, yaitu Rapat Kerja, Rapat Dengar Pendapat, Rapat Dengar Pendapat Umum, dan kunjungan kerja. Di samping itu, pengawasan dilakukan melalui penggunaan hak-hak DPR, antara lain: hak interpelasi, hak angket, hak mengajukan/menganjurkan, Memberikan Persetujuan, Memberikan Pertimbangan, dan Memberikan Pendapat. 10. Hak-Hak DPR RI Dalam Pasal 77 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, secara kelembagaan, DPR RI memiliki Hak-hak sebagai berikut: a. Hak interpelasi Hak Interpelasi adalah Hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pelaksanaan hak interpelasi dapat dilakukan apabila usul pelaksanaannya disampaikan oleh paling sedikit 25 (duapuluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu)fraksi. Usul tersebut menjadi hak interpelasi DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir. 76
Terkait dengan penggunaan Hak Interpelasi tersebut, dalam pasal 174 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, dinyatakan bahwa dalam hal rapat paripurna DPR yang menyetujui usul interpelasi sebagai hak interpelasi DPR, Presiden dapat hadir untuk memberikan penjelasan tertulis terhadap materi interpelasi dalam rapat paripurna berikutnya. Apabila Presiden tidak dapat hadir untuk memberikan penjelasan tertulis, Presiden menugasi menteri/pejabat terkait untuk mewakilinya. Pasal 175 menyatakan bahwa DPR memutuskan menerima atau menolak keterangan dan jawaban Presiden. Dalam hal DPR menerima keterangan dan jawaban, usul hak interpelasi dinyatakan selesai dan materi interpelasi tersebut tidak dapat diusulkan kembali. Dalam hal DPR menolak keterangan dan jawaban Presiden, DPR dapat menggunakan hak DPR lainnya. Keputusan untuk menerima atau menolak keterangan dan jawaban Presiden harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir.. b. Hak Angket Hak Angket adalah Hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundangundangan. Hak angket diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi. Pengusulan hak angket disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya mengenai: materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki, dan alasan penyelidikan. Usul Hak Angket menjadi Hak Angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu
77
perdua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah anggota DPR yang hadir. Dalam hal DPR menerima usul hak angket, DPR membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPR dengan keputusan DPR. Dalam hal DPR menolak usul hak angket usul tersebut tidak dapat diajukan kembali. Panitia angket dalam melakukan penyelidikan selain meminta keterangan dari Pemerintah, dapat juga meminta keterangan dari saksi, pakar, organisasi profesi, dan/atau pihak terkait lainnya. Pasal 180 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket dapat memanggil warga negara Indonesia dan/atau orang asingyang bertempat tinggal di Indonesia untuk memberikan keterangan. Warga negara Indonesia dan/atau orang asing tersebut wajib memenuhi panggilan panitia angket. Dalam hal warga negara Indonesia dan/atau orang asing tidak memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turuttanpa alasan yang sah, panitia angket dapat memanggilsecara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia angket. Rapat paripurna DPR mengambil keputusan terhadap laporan panitia angket. Apabila rapat paripurna DPR memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat. Apabila rapat paripurna DPR memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak bertentangan dengan
78
ketentuan peraturan perundang-undangan, usul hak angket dinyatakan selesai dan materi angket tersebut tidak dapat diajukan kembali. c. Hak Menyatakan Pendapat Hak Menyatakan Pendapat adalah Hak DPR untuk menyatakan pendapat atas: 1). kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional; 2). tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket; atau 3). dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupapengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatantercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presidentidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hak menyatakan pendapat diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR. Pengusulan hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud disertai dengan dokumen yang memuat sekurang-kurangnya: 1). materi dan alasan pengajuan usul pernyataan pendapat; 2). materi hasil pelaksanaan hak interpelasi atau hak angket; atau 3). materi dan bukti yang sah atas dugaan adanya tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (4) huruf c Undangundang Nomor 27 Tahun 2009, atau materi dan bukti yang sah atas dugaan tidak dipenuhinya syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Usul hak menyatakan pendapat menjadi hak menyatakan pendapat DPR RI apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR yang hadir. Dalam hal DPR menerima usul hak menyatakan pendapat, DPR membentuk panitia khusus yang terdiri atas semua unsur fraksi DPR
79
dengan keputusan DPR. Dalam hal DPR menolak usul hak menyatakan pendapat, usul tersebut tidak dapat diajukan kembali. Panitia khusus melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia khusus, yang pengambilan keputusannya dilakukan oleh Rapat paripurna DPR. Dalam hal rapat paripurna DPR memutuskan menerima laporan panitia khusus terhadap materi hak menyatakan pendapat, DPR menyatakan pendapatnya kepada Pemerintah. Dalam hal rapat paripurna DPR memutuskan menerima laporan panitia khusus yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyampaikan keputusan tentang hak menyatakan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi. Dalam hal Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR terbukti, DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. Dalam hal Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR tidak terbukti, usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dilanjutkan. d. Selain itu Anggota DPR juga memiliki Hak-hak sebagai berikut: 1). Hak Mengajukan Usul Rancangan Undang-Undang; 2). Hak Mengajukan Pertanyaan; 3). Hak Menyampaikan Usul Dan Pendapat; 4). Hak Memilih dan Dipilih; 5). Hak Membela Diri; 6). Hak imunitas; 7). Hak protokoler; dan 8). Hak keuangan dan administratif.
80
11. Persidangan dan Pengambilan Keputusan DPR bersidang sedikitnya sekali dalam setahun (Pasal 19 Ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945). Tahun Sidang DPR dimulai pada tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada tanggal 15 Agustus tahun berikutnya. Apabila tanggal 16 Agustus jatuh pada hari libur maka pembukaan Tahun Sidang dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Tahun Sidang dibagi dalam 4 (empat) masa persidangan. Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses. 1). Masa Sidang merupakan masa di mana DPR melakukan kegiatan, terutama di dalam gedung DPR 2). Masa Reses adalah masa DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang, terutama di luar gedung DPR, misalnya untuk melaksanakan kunjungan kerja, baik yang dilakukan oleh anggota secara perseorangan maupun secara berkelompok Masa Persidangan, jadwal dan acara persidangan ditetapkan oleh Badan Musyawarah. Semua jenis rapat DPR dilakukan di Gedung DPR. Waktu rapat DPR adalah: a.
Siang hari
Hari Senin s.d. Kamis dari Pukul 09. 00 s.d. 16.00, dengan waktu istirahat pukul 12.00 s.d. 13.00.
Hari Jum’at Pukul 09. 00 s.d. 16.00, dengan waktu istirahat pukul 11.00 s.d. 13.30
b. Malam hari Setiap hari kerja mulai dari pukul 19.30 s.d. 23.00 Penyimpangan dari waktu rapat ditentukan oleh Rapat yang bersangkutan. Sedangkan penyimpangan dari tempat rapat, hanya dapat dilakukan atas persetujuan Pimpinan DPR. a. Jenis-Jenis Rapat DPR 1). Rapat Paripurna, adalah Rapat anggota yang dipimpin oleh Pimpinan DPR dan merupakan forum tertinggi dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPR. 81
2). Rapat Paripurna Luar Biasa, adalah rapat paripurna yang diadakan dalam masa reses, dengan syarat diminta oleh Presiden dengan persetujuan Pimpinan DPR, dikehendaki oleh Pimpinan DPR dengan persetujuan Badan Musyawarah atau diusulkan oleh sekurang-kurangnya 13 (tiga belas) orang anggota dengan persetujuan Badan Musyawarah. 3). Rapat Fraksi, adalah rapat anggota fraksi yang dipimin oleh pimpinan fraksi. 4). Rapat Pimpinan DPR, adalah rapat pimpinan DPR yang dipimpin oleh Ketua DPR. Dalam keadaan mendesak apabila ketua DPR berhalangan hadir, Rapat Pimpinan DPR dapat dipimpin oleh salah seorang wakil ketua DPR yang ditunjuk oleh Ketua DPR. 5). Rapat Badan Musyawarah, adalah rapat angota Bamus yang dipimpin oleh Pimpinan Bamus (prakteknya adalah Pimpinan DPR). 6). Rapat Komisi, adalah rapat anggota komisi yang dipimpin oleh Pimpinan Komisi. 7). Rapat Gabungan Komisi, adalah rapat bersama yang diadakan oleh lebih dari satu Komisi, dihadiri oleh anggota Komisi-komisi yang bersangkutan dan dipimpin oleh Pimpinan Rapat Gabungan Komisi (pimpinan dipilih berdasarkan musyawarah) 8). Rapat Badan Legislasi, adalah rapat anggota Badan Legislasi yang dipimpin oleh Pimpinan Badan Legislasi. 9). Rapat Panitia Anggaran, adalah rapat anggota Panitia Anggaran yang dipimpin oleh Pimpinan Panitia Anggaran. 10). Rapat Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), adalah rapat anggota BURT yang dipimpin oleh Pimpinan BURT. 11). Rapat Badan Kerjasama Antar Parlemen, adalah rapat anggota BKSAP yang dipimpin oleh Pimpinan BKSAP. 12). Rapat Badan Kehormatan, adalah rapat angota Badan Kehormatan yang dipimpin oleh Pimpinan Badan Kehormatan.
82
13). Rapat Panitia Khusus, adalah rapat Panitia Khusus yang dipimpin oleh Pimpinan Panitia Khusus. 14). Rapat Panitia Kerja atau Tim, adalah rapat anggota Panitia Kerja atau Tim yang dipimpin oleh Pimpinan Panita Kerja atau Tim. 15). Rapat Kerja, adalah rapat antara Komisi, Gabungan Komisi, Badan Legislasi, Panitia Anggaran, Panitia Khusus dengan Pemerintah, dalam hal ini Presiden atau Menteri yang ditunjuk untuk mewakili Presiden, atau dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) atas undangan Pimpinan DPR RI. Rapat ini dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi, Pimpinan Badan Legislasi, Pimpinan Panitia Anggaran, atau Pimpinan Panitia Khusus. 16). Rapat Dengar Pendapat, adalah rapat antara Komisi, Gabungan Komisi, Badan Legislasi, Panitia Anggaran, Panitia Khusus dengan Pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya, baik atas undangan Pimpinan DPR RI maupun atas permintaan pejabat pemerintah dimaksud. Rapat ini dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi, Pimpinan Badan Legislasi, Pimpinan Panitia Anggaran, atau Pimpinan Panitia Khusus. 17). Rapat Dengar Pendapat Umum, adalah rapat antara Komisi, Gabungan Komisi, Badan Legislasi, Panitia Anggaran, Panitia Khusus dengan perseorangan, kelompok, organisasi, atau badan swasta, baik atas undangan Pimpinan DPR RI ataupun permintaan yang bersangkutan. Rapat ini dipimpin oleh Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi, Pimpinan Badan Legislasi, Pimpinan Panitia Anggaran, atau Pimpinan Panitia Khusus. b. Sifat Rapat DPR RI 1). Rapat terbuka, adalah rapat yang selain dihadiri anggota, juga dapat dihadiri oleh bukan anggota, baik yang diundang maupun yang tidak diundang, kecuali rapat tersebut memutuskan tertutup. Jenis rapat terbuka antara lain: a). Rapat Paripurna b). Rapat Paripurna Luar Biasa
83
c). d). e). f). g). h). i). j).
Rapat Komisi Rapat Gabungan Komisi Rapat Badan Legislasi Rapat Panitia Anggaran Rapat Panitia Khusus Rapat Kerja Rapat Dengar Pendapat Rapat Dengar pendapat Umum.
Rapat terbuka yang sedang berlangsung dapat diusulkan untuk dinyatakan tertutup oleh Ketua Rapat maupun Anggota atau salah satu Fraksi dan/atau pihak yang diundang menghadiri rapat tersebut. 2). Rapat Tertutup, adalah rapat yang hanya dapat dihadiri oleh Anggota dan mereka yang diundang kecuali rapat tersebut memutuskan terbuka. Jenis rapat tertutup antara lain: a). b). c). d). e). f).
Rapat Pimpinan DPR Rapat Badan Musyawarah Rapat BURT Rapat BKSAP Rapat Badan Kehormatan Rapat Panitia Kerja atau Tim
Semua jenis rapat DPR dapat mengambil keputusan. Pengambilan keputusan adalah proses penyelesaian akhir suatu masalah yang dibicarakan dalam setiap jenis rapat DPR yang dapat berupa persetuajuan atau penolakan. Pengambilan Keputusan dalam rapat DPR pada dasarnya diusahakan sejauh mungkin dengan cara musyawarah mufakat, namun apabila hal tersebut tidak dapat tercapai maka dilakukan voting. Pengambilan keputusan oleh rapat DPR dapat dilakukan apabila dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat (kuorum), apabila tidak tercapai, rapat ditunda sebanyak-banyaknya 2 kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 24 jam. Setelah 2 kali penundaan kuorum belum juga tercapai, cara
84
penyelesaiannya diserahkan kepada Bamus (apabila terjadi dalam rapat Alat Kelengkapan DPR), atau kepada Bamun dengan memperhatikan pendapat Pimpinan Fraksi (apabila terjadi dalam rapat Bamus). c. Keputusan Berdasarkan Mufakat Pengambilan keputusan berdasarkan mufakat dilakukan setelah kepada anggota rapat yang hadir diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat serta saran, dan dipandang cukup untuk diterima oleh rapat sebagai sumbangan pendapat dan pemikiran bagi penyelesaian masalah yang sedang dimusyawarahkan, Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah apabila diambil dalam rapat yang telah mencapai kuorum dan disetujui oleh semua yang hadir. d. Keputusan Berdasarkan Suara Terbanyak Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila keputusan berdasarkan mufakat sudah tidak terpenuhi karena adanya pendirian sebagian anggota rapat yang tidak dapat dipertemukan lagi dengan pendirian anggota rapat yang lain. Pengambilan keputusan secara terbuka dilakukan apabila menyangkut kebijakan dan dilakukan secara tertutup apabila menyangkut orang atau masalah lain yang dianggap perlu. Pemberian suara secara tertutup dilakukan dengan cara tertulis, tanpa mencantumkan nama, tanda tangan, fraksi pemberi suara atau tanda lain yang dapat menghilangkan sifat kerahasiaan, atau dapat juga dilakukan dengan cara lain yang tetap menjamin sifat kerahasiaan. Keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah apabila diambil dalam rapat yang telah mencapai kuorum dan disetujui oleh lebih separuh jumlah anggota yang hadir. 12. Kesekretariatan Jenderal Sekretariat Jenderal DPR RI merupakan unsur penunjang DPR, yang berkedududukan sebagai Kesekretariatan Lembaga Negara yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal dan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Pimpinan DPR.
85
Sekretaris Jenderal dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris Jenderal dan beberapa Deputi Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Pimpinan DPR. DPR dapat mengangkat sejumlah pakar/ahli sesuai dengan kebutuhan, dan dalam melaksanakan tugasnya Sekretariat Jenderal dapat membentuk Tim Asistensi. Susunan organisasi dan tata kerja Sekretaris Jenderal ditetapkan dengan keputusan Presiden. a. Kedudukan Sekretariat Jenderal DPR RI Sebagai unsur penunjang DPR yang berkedudukan sebagai Kesekretariatan Lembaga Negara. Tugas Sekretariat Jenderal DPR RI: 1). Memberikan Bantuan teknis kepada DPR RI 2). Memberikan Bantuan Administratif kepada DPR RI 3). Memberikan Bantuan Keahlian kepada DPR RI b. Tugas dan Fungsi Utama Sekretaris Jenderal 1). Memimpin Setjen DPR RI sesuai dengan tugas pokoknya 2). Membina seluruh satuan organisasi di Lingkungan Setjen DPR RI agar berdaya guna dan berhasil guna 3). Menentukan kebijaksanaan pelaksanaan kegiatan Setjen DPR RI 4). Membina dan melaksanakan hubungan kerjasama dengan instansi/ lembaga lain diluar Setjen DPR RI c. Tugas dan Fungsi Utama Deputi Bidang Perundang-undangan 1). Memberikan dukungan teknis, administratif dan keahlian di bidang perundang-undangan untuk memperkuat pelaksanaan tugas dan fungsi DPR di bidang legislasi. 2). Tugas dan Fungsi Utama Deputi Bidang Anggaran dan Pengawasan 3). Memberikan dukungan teknis, administrasi dan keahlian di bidang anggaran dan pengawasan untuk memperkuat pelaksanaan tugas dan fungsi DPR RI di Bidang anggaran dan pengawasan.
86
d. Tugas dan Fungsi Utama Deputi Bidang Persidangan dan B.K.S.A.P.
Membina dan melaksanakan dukungan teknis dan administrasi dibidang persidangan dan kerjasama antar Parlemen
e. Tugas dan Fungsi Utama Deputi Bidang Administrasi
Membina dan melaksanakan perencanaan serta pengawasan, kepegawaian, keuangan, perlengkapan dan kerumahtanggaan di lingkungan DPR RI
87
88
BAB V DEWAN PERWAKILAN DAERAH 1. Sejarah Singkat Konsensus politik bangsa Indonesia melalui Reformasi Tahun 1998 telah menghasilkan reformasi tata pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dituangkan dalam amandemen UUD 1945. Dan diharapkan selanjutnya perubahan sistem terjadi melalui tatalaksana kepemerintahan, baik melalui aktualisasi check and balance antara cabang kekuasaan, pronsip desentralisasi dan implementasi good governance ataupun tekad untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dari Kolusi, Korupsi dan Neppotisme. Prinsip check and balance antara cabang kekuasaan Negara didalam kekuasaan legislatif sendiri dibangun dengan keberadaan lembaga Dewan Perwakilan Daerah sesuai dengan amandemen ketiga UUD Tahun 1945 pada Tahun 2001. Kelahiran lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI merupakan peningkkatan dari Lembaga Utusan Daerah dan Golongan dalam struktur lembaga MPR RI sebelumnya, dengan menempatkan sebagai lembaga Negara yang anggota-anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai salah satu prinsip demokrasi. DPD RI merupakan lembaga legislatif dalam sistem tata negara Republik Indonesia. Pertama kali dibentuk pada Tahun 2004 dimana setiap provinsi memiliki 4 (empat) orang wakil yang dipillih secara langsung melalui Pemilihan Umum. DPD RI lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128 Anggota DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil sumpahnya. Bila dibandingkan dari segi kelahiran lembaganya, DPD memang jauh lebih muda dari DPR, karena DPR lahir sejak tahun 1918 (dulu bernama Volksraad). Namun, apabila dilihat dari segi gagasannya, keberadaan lembaga seperti DPD, yang mewakili daerah di parlemen nasional, sesungguhnya sudah terpikirkan dan dapat dilacak sejak sebelum masa kemerdekaan. Dicatat oleh Indra J. Piliang dalam sebuah buku yang diterbitkan DPD, bahwa pemikiran ini lahir pertama kali dalam konferensi GAPI pada 31 Januari 1941 (Kelompok DPD di MPR RI, 2006: 15). Gagasan tersebut terus bergulir, sampai pada masa pendirian Republik ini pun, gagasan untuk membentuk lembaga perwakilan daerah di parlemen 89
nasional ikut dibahas. Gagsan tersebut dikemukakan oleh Moh. Yamin dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dikatakannya: Kekuasaan yang dipegang oleh permusyawaratan oleh seluruh rakyat Indonesia diduduki, tidak saja oleh wakil daerah-daerah Indonesia, tetapi semata-mata pula oleh wakil golongan atau rakyat Indonesia seluruhnya, yang dipilih dengan bebas dan merdeka oleh rakyat dengan suara terbanyak. Majelis Permusyawaratan juga meliputi segala anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kepada Majelis Presiden bertanggung jawab. Jadi ada dua syaratnya, yaitu wakil daerah dan wakil golongan langsung daripada rakyat Indonesia. (Sekretariat Negara RI, 1995). Berdasarkan ketentuan konstitusi, jumlah seluruh anggota DPD RI tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR RI. DPD RI merupakan parlemen nasional yang mewakili daerah dan bersidang di Ibu Kota Negara, dalam menjalankan tugasnya, DPD RI memiliki kantor di Daerah. 2. Dasar Hukum Latar belakang pembentukan DPD RI sebagaimana tercantum dalam, lampiran Keputusan MPR Nomor 4/MPR/2004 tentang Laporan Badan Pekerja MPR RI mengenai Hasil Kajian Komisi Konstitusi tentang Perubahan UndangUndang Dasar 1945, menegaskan bahwa keberadaan DPD RI dalam struktur ketatanegaraan, Indonesia itu antara lain dimaksudkan untuk memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah-daerah; meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan negara dan daerah-daerah; dan mendorong percepatan demokrasi, pernbangunan dan kemajuan daerah-daerah secara serasi dan seimbang. Secara konstitusional, pengaturan DPD RI diatur dalam beberapa pasal UUD 1945 hasil Amandemen yaitu Pasal 2 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa: “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum “. 90
Selain itu juga diatur dalam pasal lainnya yaitu Pasal 22 C mengenai pemilihan anggota DPD, Pasal 22 D mengenai fungsi pengawasan dan fungsi anggaran, Pasal 22 E ( ayat 2, 3 , 4 ) mengenai Pemilu legislatif, Pasal 23 E ayat 2 mengenai hasil pemeriksaan keuangan, Pasal 23 F ayat 1 mengenai pemilihan Anggota BPK. Secara khusus DPD RI juga diatur dalam UU Nomor 27 Tahun Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. 3. Susunan dan Kedudukan Berdasarkan Pasal 221 dan 222 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR DPD dan DPRD, DPD terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum. Sedangkan kedudukan DPD RI merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara. 4. Tugas, Fungsi dan Kewenangan Lembaga Tugas, Fungsi dan Kewenangan DPD RI diatur dalam Pasal 22 D, UUD 1945, dan secara lengkapnya dijabarkan dalam Pasal 223 dan 224 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, berdasarkan UU tersebut DPD mempunyai fungsi: a. pengajuan usul kepada DPR mengenai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah; b. ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; c. pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; dan
91
d. pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama. Selain fungsi di atas DPD RI juga mempunyai tugas dan wewenang, yaitu: a.
dapat mengajukan kepada DPR rancangan undang- undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
b.
ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c.
ikut membahas bersama DPR dan Presiden rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR, yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d.
memberikanpertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
e.
dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
f.
menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
g.
menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undangundang yang berkaitan dengan APBN;
92
h.
memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK; dan
i.
ikut serta dalam penyusunan program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dandaerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
5. Keanggotaan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, menetapkan Anggota DPD RI setiap provinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat) orang, dan jumlah anggota DPD RI tidak boleh lebih dari 1/3 (satu pertiga) dari jumlah anggota DPR RI. Keanggotaan DPD RI diresmikan dengan keputusan Presiden. Anggota DPD dalam menjalankan tugasnya berdomisili di daerah pemilihannya dan mempunyai kantor di ibu kota provinsi daerah pemilihannya. Masa jabatan anggota DPD adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPD yang baru mengucapkan sumpah/janji. Anggota DPD dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, hakim pada badan peradilan, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD. Anggota DPD dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas dan wewenang DPD serta hak sebagai anggota DPD. Anggota DPD dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dilarang menerima gratifikasi. Anggota DPD RI dapat diberhentikan baik pemberhentian antarwaktu maupun pemberhentian sementara. a. Pemberhentian Antar waktu Anggota DPD berhenti antar waktu karena: 93
1). meninggal dunia 2). mengundurkan diri 3). diberhentikan. Anggota DPD diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud apabila: tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPD selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPD; dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang di-ancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPD yang menjadi tugas dan kewajiban-nya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; tidak memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; atau melanggar ketentuan larangan sebagaimanadiatur dalam Undang-Undang ini. Penggantian Antar waktu Anggota DPD yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 283 ayat (1) dan Pasal 284 ayat (1)digantikan oleh calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkatperolehan suara calon anggota DPD RI dari provinsi yang sama. Dalam hal calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara calon anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD, anggota DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1 digantikan oleh calon anggota DPD yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya. Masa jabatan anggota DPD pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPD yang digantikannya. b. Pemberhentian Sementara Anggota DPD RI Anggota DPD diberhentikan sementara karena: 1). menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih 94
2). Menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus. Apabila anggota DPD tersebut dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, m a k a anggota DPD yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPD. Namun apabila Anggota DPD tersebut dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka anggota DPD yang bersangkutan diaktifkan kembali. Anggota DPD yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu. 6. Alat Kelengkapan Dalam menjalankan tugasnya DPD memiliki alat kelengkapan sebagai berikut: a. Pimpinan Pimpinan DPD, sebagai salah satu alat kelengkapan, merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif-kolegial. Pimpinan terdiri atas satu orang ketua dan dua orang wakil ketua yang d i p i l i h dari dan oleh Anggota DPD dalam Sidang Paripurna DPD. Setelah terpilih, ketua dan wakil ketua terpilih tersebut diresmikan dengan Keputusan DPD Pimpinan DPD dipilih dengan menjunjung tinggi prinsip mencerminkan keterwakilan kepulauan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan juga prinsip mencerminkan keterwakilan wilayah. Dalam Peraturan Tata Tertib DPD RI diatur bahwa Pimpnan DPD memiliki tugas untuk: 1) memimpin sidang DPD dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan; 2) menyusun rencana kerja pimpinan; 3) menjadi juru bicara DPD; 4) melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPD; 5) mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan keputusan DPD; 6) mewakili DPD di pengadilan; 95
7) melaksanakan keputusan DPD berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 8) menetapkan arah dan kebijakan umum anggaran DPD; dan 9) menyampaikan laporan kinerja dalam Sidang Paripurna yang khusus diadakan untuk itu. Pimpinan DPD tidak memiliki wewenang untuk mengeluarkan pernyataan politik atas nama DPD atau jabatannya, kecuali ditugaskan oleh DPD. Selain itu, Pimpinan DPD berwenang bertindak atas nama DPD hanya dalam hal-hal yang bersifat protokoler. Pimpinan DPD pun tidak dapat membatalkan Hasil Keputusan Alat Kelengkapan DPD yang telah menjadi keputusan pada pembicaraan tingkat I. Adapun hal-hal yang dapat dilakukan oleh Pimpinan DPD dalam melaksanakan tugasnya adalah: 1). mengadakan koordinasi terhadap pelaksanaan tugas alat kelengkapan DPD sekurang-kurangnya satu kali dalam satu bulan; 2). mengadakan koordinasi dan konsultasi dengan Pimpinan Alat Kelengkapan dan perwakilan provinsi sebelum Sidang Paripurna dilaksanakan atau apabila ada masalah yang mendesak; 3). menghadiri Sidang alat kelengkapan DPD apabila dipandang perlu; 4). mengadakan permusyawaratan Pimpinan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan dalam rangka melaksanakan tugasnya; dan 5). mengawasi pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dilakukan oleh Sekretaris Jenderal dengan dibantu oleh Panitia Urusan Rumah Tangga. Terkait dengan masa jabatan, Pimpinan DPD bertugas selama masa keanggotaannya di DPD. Namun, ada beberapa alasan untuk Pimpinan berheti atau diberhentikan, yaitu: 1). meninggal dunia; 2). mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis; 3). tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Pimpinan;
96
4). melanggar tata tertib, sumpah/janji, kode etik, dan/atau tidak melaksanakan tugas/kewajiban sebagai Pimpinan berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Kehormatan; dan/atau 5). dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman serendah-rendahnya 5 (lima) tahun penjara. b. Panitia Musyawarah (Panmus) Merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap. Sebagai pimpinan Panmus adalah pimpinan DPD RI. Pada dasarnya Panmus DPD dapat dibandingkan dengan Badan Musyawarah (Bamus DPR), karena peran dan fungsinya yang sama. Keduanya dapat dianggap sebagai “miniatur” dari lembaganya masing-masing, karena di sinilah keputusan-keputusan penting mengenai DPD dan DPR direncanakan. Dari segi keanggotaan, karena pegelompokan Anggota DPR disusun dalam bentuk fraksi maka keanggotaan Bamus DPR pun terdiri dari perwakilan fraksi. Sementara itu, anggota DPD yang bukan berasal dari partai politik dikelompokkan berdasarkan daerah (Provinsi) pemilihannya, sehingga Anggota Panmus DPD berjumlah sama dengan jumlah provinsi yang ada di Indonesia saat ini. Pasal yang mengatur tentang Panmus dalam Tatib DPD adalah Pasal 40 sampai Pasal 44. Di dalam Tatib tersebut diatur juga tentang tugas dan wewenang Panmus, yaitu: 1). merancang dan menetapkan acara serta kegiatan DPD termasuk sidang dan rapat, untuk satu Tahun Sidang, satu Masa Persidangan, dan sebagian dari suatu Masa Sidang; 2). merancang program dan arah kebijakan DPD selama satu masa keanggotaan dan satu tahun sidang; 3). merancang dan menetapkan perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah; 4). merancang dan menetapkan jangka waktu penyelesaian rancangan undang-undang, dengan tidak mengurangi hak Sidang Paripurna untuk mengubahnya;
97
5). memberikan pendapat kepada Pimpinan dalam menentukan garis kebijaksanaan yang menyangkut pelaksanaan tugas dan wewenang DPD; 6). menghimpun data, informasi, dan membuat perbandingan serta menyarankan hal-hal yang dapat menjadi contoh untuk perbaikan pola kerja sistem dan mekanisme DPD; 7). meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPD yang lain untuk memberikan keterang-an/penjelasan mengenai hal yang menyangkut pelaksanaan tugas setiap alat kelengkapan tersebut; 8). menentukan penanganan terhadap pelaksanaan tugas DPD oleh alat kelengkapan DPD; 9). menjembatani tugas-tugas Anggota di daerah; dan 10). melaksanakan hal-hal yang oleh Sidang Paripurna diserahkan kepada Panitia Musyawarah. Dalam melaksanakan tugasnya, Panmus DPD dapat mengundang Pimpinan DPD, alat kelengkapan DPD yang lain atau perwakilan provinsi yang dipandang perlu untuk menghadiri sidang Panmus DPD. c. Komite-komite Dalam Tatib DPD disebutkan bahwa Komite merupakan panitia kerja yang dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap. Dalam UU No. 27/2009 disebutkan bahwa salah satu alat kelengkapan dari DPD adalah panitia kerja, sehingga nama “Komite” merupakan hasil dari keputusan yang didasarkan kepada Tatib DPD sebagai pengaturan lebih lanjut dari UU No.27/2009. Secara garis besar, tugas Komite adalah mendukung berjalannya fungsi dari DPD sebagai bagian dari parlemen nasional, yaitu memiliki peran dalam pengajuan rancangan undang-undang (RUU), pembahasan RUU, pemberian pertimbangan dan pengawasan. Tugas Komite dalam pengajuan RUU adalah mengadakan persiapan dan pembahasan RUU tertentu. Pembahasan atas RUU tersebut dilakukan dengan kegiatan:
98
1). menginventarisir masalah; 2). membahas dan menyusun argumentasi kebijakan berdasarkan inventarisasi masalah; 3). membahas dan menyusun keterangan/penjelasan dan/atau naskah akademik; 4). menyusun draf awal rancangan undang-undang; 5). mengadakan rapat kerja dengan Pemerintah; dan 6). meminta penjelasan pemerintah daerah, DPRD, dan/atau unsur masyarakat. Tugas Komite dalam pembahasan RUU yang berasal dari DPR atau Presiden adalah melakukan pembahasan serta menyusun pandangan dan pendapat DPD. Pembahasan RUU yang berasal dari DPR atau Presiden tersebut dilakukan dengan kegiatan: 1). menyusun agenda pembahasan; 2). menginventarisir masalah; 3). membahas dan menyusun argumentasi kebijakan berdasarkan inventarisasi masalah; dan 4). menyusun draf pandangan dan pendapat atas rancangan undangundang. Sedangkan tugas Komite dalam pemberian pertimbangan adalah melakukan pembahasan dan penyusunan pertimbangan DPD mengenai RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama, serta menyusun pertimbangan DPD terhadap calon anggota BPK yang diajukan DPR. Pembahasan dan penyusunan pertimbangan tersebut dilakukan dengan: 1). menyusun agenda pembahasan; 2). menginventarisir masalah; 3). membahas dan menyusun argumentasi kebijakan berdasarkan inventarisasi masalah; dan 4). menyusun draf pertimbangan atas rancangan undang-undang. Selain itu, tugas Komite di bidang pengawasan adalah melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang (UU) bidang tertentu, dan
99
membahas hasil pemeriksaan BPK. Dalam melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU bidang tertentu dilakukan dengan: 1). menyusun agenda pengawasan; 2). melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang; 3). membahas dan menindaklanjuti usulan Anggota, provinsi, atau kelompok Anggota; 4). menginventarisir masalah; 5). pengayaan materi pengawasan; dan 6). menyusun laporan hasil pengawasan. 7). Sedangkan dalam membahas hasil pemeriksaan BPK dilakukan dengan: 8). menyusun agenda pembahasan; 9). menginventarisir masalah; membahas dan melakukan klarifikasi atas hasil pemeriksaan BPK; 10). menyusun rancangan pertimbangan. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komite dapat melakukan beberapa hal, yaitu: 1). mengadakan rapat kerja dengan Pemerintah; 2). meminta penjelasan kepada pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat. 3). mengadakan Dengar Pendapat dan Dengar Pendapat Umum, baik atas permintaan Komite maupun atas permintaan pihak lain; 4). mengadakan kunjungan kerja sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) Masa Sidang yang hasilnya dilaporkan dalam Sidang Komite yang bersangkutan dan disampaikan kepada semua alat kelengkapan; 5). mengadakan studi banding setelah melakukan koordinasi dengan Panitia Hubungan Antar-Lembaga yang hasilnya dilaporkan dalam Sidang Komite dan disampaikan kepada semua alat kelengkapan; 6). mengadakan Sidang Gabungan apabila ada masalah yang menyangkut lebih dari 1 (satu) Komite;
100
7). menyusun skala prioritas dan tindak lanjut hasil kunjungan kerja/studi banding sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d dan huruf e; 8). melakukan tugas atas keputusan Sidang Paripurna dan/atau Panitia Musyawarah; 9). mengusulkan kepada Panitia Musyawarah hal yang dipandang perlu untuk dimasukkan dalam acara DPD. 10). melaksanakan Sidang Gabungan dalam rangka mengatur hal-hal yang berkaitan dengan masalah teknis. Sama seperti komisi di DPR, Komite di DPD pun memiliki ruang lingkup dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Adapun ruang lingkup tersebut adalah sebagai berikut: 1). Komite I Membidangi otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah serta antar-daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pemukiman dan kependudukan; pertanahan dan tata ruang; serta politik, hukum, dan hakasasi manusia (HAM). 2). Komite II Membidangi pertanian dan perkebunan; perhubungan; kelautan dan perikanan; energi dan sumber daya mineral; kehutanan dan lingkungan hidup; pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan daerah tertinggal; perindustrian dan perdagangan; penanaman modal; dan pekerjaan umum. 3). Komite III Membidangi pendidikan; agama; kebudayaan; kesehatan; pariwisata; pemuda dan olahraga; kesejahteraan sosial; pemberdayaan perempuan dan ketenagakerjaan. 4). Komite IV Membidangi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN);pajak; perimbangan keuangan pusat dan daerah; lembaga keuangan; dan koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah.
101
d. Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) Merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap, bertugas menyiapkan Rancangan Undang Undang inisiatif DPD yang akan disampaikan kepada DPR. Tugas dan wewenang dari PPUU diatur dalam UU No. 27/2009, dan kemudian diatur lebih lanjut dalam Tatib DPD. Adapun tugas dan wewenang PPUU yang diatur dalam UU No. 27/2009 adalah: 1). merencanakan dan menyusun program serta urutan prioritas pembahasan usul rancangan undang-undang untuk 1 (satu) masa keanggotaan DPD dan setiap tahun anggaran; 2). membahas usul rancangan undang-undang berdasarkan program prioritas yang telah ditetapkan; 3). melakukan kegiatan pembahasan, harmonisasi,pembulatan, dan pemantapan konsepsi usul rancangan undang-undang yang disiapkan oleh DPD; 4). melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyem-purnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugaskan oleh Panitia Musyawarah dan/atau sidang paripurna; 5). melakukan koordinasi, konsultasi, dan evaluasi dalam rangka mengikuti perkembangan materi usul rancangan undang-undang yang sedang dibahas oleh panitia kerja; 6). melakukan evaluasi terhadap program penyusunan usul RUU; dan 7). membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat dipergunakan sebagai bahan oleh PPUU pada masa keanggotaan berikutnya. Sedangkan tugas dan wewenang tambahan yang diatur dalam Tatib DPD, sebagai elaborasi dari tugas dan wewenang lebih lanjut dari UU No. 27/2009, yaitu: 1). melakukan pembahasan terhadap RUU dari DPR atau Presiden yang secara khusus ditugaskan oleh Panitia Musyawarah atau Sidang Paripurna; 2). melakukan tugas atas keputusan Sidang Paripurna dan/atau Panitia Musyawarah;
102
3). mengusulkan kepada Panitia Musyawarah hal yang dipandang perlu untuk dimasukkan dalam acara DPD; 4). menyusun usulan rancangan acara serta kegiatan Panitia Perancang Undang-Undang untuk satu Tahun Sidang, satu Masa Persidangan, atau sebagian dari suatu Masa Sidang untuk selanjutnya disampaikan kepada Panitia Musyawarah. 5). menyusun usulan program dan kegiatan serta rancangan anggaran setiap tahun anggaran, sesuai dengan kebutuhan dalam rangka pelaksanaan tugasnya, untuk selanjutnya disampaikan kepada Panitia Urusan Rumah Tangga; dan 6). memberikan pendapat dan pertimbangan atas permintaan daerah tentang berbagai kebijakan hukum dan tentang masalah hukum yang berkaitan dengan kepentingan daerah dan kepentingan umum; 7). memberikan masukan yang obyektif kepada Pimpinan, Pemerintah Daerah, dan masyarakat mengenai pelaksanaan pembangunan hukum dan saran-saran lain yang berkaitan dengan penyusunan rancangan undang-undang di DPD; dan 8). membuat inventarisasi masalah hukum dan perundang-undangan pada akhir Tahun Sidang dan akhir masa keanggotaan untuk dapat dipergunakan sebagai bahan Panitia Perancang Undang-Undang pada masa keanggotaan berikutnya. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, PPUU dapat mengadakan rapat kerja dengan Pemerintah, pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat. Selain itu, PPUU juga dapat mengadakan Rapat Dengar Pendapat, Rapat Dengar Pendapat Umum, atau studi banding setelah melakukan koordinasi dengan Panitia Hubungan AntarLembaga, baik atas permintaan PPUU sendiri maupun atas permintaan pihak lain. e. Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) Merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap, pada dasarnya PURT memiliki kekhususan tugas dan wewenang dalam urusan kerumahtanggaan DPD, baik yang diberikan oleh UU No. 27/2009 dan tatib DPD secara umum maupun yang ditugaskan oleh
103
Pimpinan DPD berdasarkan hasil Sidang Panitia Musyawarah secara khusus. PURT bertugas untuk membantu Pimpinan DPD dalam menentukan kebijakan kerumahtanggaan DPD, termasuk kesejahteraan Anggota dan pegawai Sekretariat Jenderal, serta dalam merancang dan menyusun kebijakan anggaran DPD. Selain itu, PURT juga memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap Sekretariat Jenderal, terutama dalam hal pelaksanaan tugas dan kewajiban, serta pengelolaan anggaran. Wewenang terakhir adalah mewakili Pimpinan DPD untuk melakukan koordinasi dalam rangka pengelolaan sarana dan prasarana kawasan gedung perkantoran MPR, DPR, dan DPD. Dalam rangka menjalankan tugas unuk membantu Pimpinan DPD, PURT dapat menyusun Standar Biaya Khusus dan mengajukannya kepada Pemerintah untuk dibahas bersama. Penyusunan program dan kegiatan tersebut dilakukan berdasarkan usulan program serta kegiatan dari masing-masing Alat Kelengkapan, Anggota, Provinsi dan Sekretariat Jenderal. Sedangkan dalam melakukan pengawasan terhadap Sekretariat Jenderal, PURT dapat meminta penjelasan dan data yang diperlukan kepada Sekretariat Jenderal. f. Panitia Khusus (Pansus) Pansus merupakan satu alat kelengkapan yang dibentuk berdasarkan pada Tatib DPD. Berbeda dengan pengaturan pada DPR, secara khusus Pansus tidak diatur sebagai alat kelengkapan di DPD dalam UU No. 27/2009. Namun, secara garis besar Pansus di DPR dan DPD memiliki fungsi yang sama. Pansus DPD bukanlah alat kelengkapan yang bersifat tetap, karena Pansus dibentuk apabila dipandang perlu untuk menghadapi suatu permasalahan. Selain itu, Pansus juga dibentuk dengan jangka waktu yang telah ditentukan, yaitu selama enam bulan, dan selanjutnya dapat diperpanjang satu kali untuk tiga bulan. Dalam menjalankan tugasnya, Pansus DPD bertanggungjawab kepada DPD, sehingga pada akhirnya, hasil yang didapat oleh Pansus DPD harus dilaporkan pada Sidang Paripurna DPD. Dalam melaksanakan tugasnya, Pansus DPD dapat mengadakan rapat kerja dengan Pemerintah. Selain itu juga dapat meminta penjelasan kepada pemerintah daerah, DPRD, dan masyarakat, dengan cara mengadakan 104
Dengar Pendapat dan Dengar Pendapat Umum, baik atas permintaan Pansus DPD sendiri maupun atas permintaan pihak lain. Pansus juga dapat menugaskan Anggota untuk melakukan rapat di daerah pemilihannya atau tempat lain yang disepakati. g. Badan Kehormatan (BK) Merupakan alat kelengkapan DPD yang bersifat tetap, yang bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap Anggota DPD. Selain itu BK juga bertugas untuk mengevaluasi dan menyempurnakan peraturan DPD tentang tata tertib dan kode etik. Badan Kehormatan melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan Pimpinan DPD, masyarakat umum, atau masyarakat pemilih terhadap anggota DPD yang: 1). tidak melaksanakan kewajiban; 2). tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPD selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun; 3). tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; 4). tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum; dan/atau 5). melanggar ketentuan larangan Anggota. 6). Secara garis besar, proses yang dilakukan oleh Badan Kehormatan dalam menindaklanjuti pengaduan terkait dengan Anggota yang bermasalah adalah dengan melakukan penyelidikan, verifikasi, dan penjatuhan sanksi atau rehabilitasi. Badan Kehormatan akan melakukan proses sebagaimana disebutkan di atas apabila ada pengaduan. Pengaduan pelanggaran yang dilakukan oleh Anggta DPD tersebut disampaikan oleh Pimpinan DPD, masyarakat, atau daerah dengan dilengkapi identitas kepada Badan Kehormatan. Adapun identitas yang dimaksud harus terjamin kerahasiaannya. 105
Dalam tahap penyelidikan, Badan Kehormatan memanggil Anggota DPD yang bersangkutan untuk dimintai keterangan atas pengaduan yang disampaikan terhadap dirinya. Selain itu, Badan Kehormatan juga memeriksa dokumen-dokumen yang terkait dengan pengaduan tersebut. Keseluruhan proses tersebut harus sudah selesai paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. Dalam tahap verifikasi, Badan Kehormatan dapat memanggil kembali Anggota DPD yang bersangkutan. Dalam tahap penyelidikan ini, Badan Kehormatan juga dapat memanggil pengadu atau saksi-saksi lain yang diajukan, serta memeriksa barang bukti atau alat bukti lain yang diajukan. Setelah proses penyelidikan dan veridikasi selesai, maka sudah dapat diputuskan apakah Anggota DPD yang diadukan bersalah atau tidak. Apabila bersalah maka harus dikenakan sanksi, yaitu berupa teguran tertulis, pemberhentian dari jabatan Pimpinan DPD atau Pimpinan alat kelengkapan DPD, atau pemberhentian sebagai Anggota. Namun, apabila Anggota DPD yang besangkutan terbukti tidak bersalah maka Badan Kehormatan wajib memberikan rehabilitasi. h. Panitia Akuntabilitas Publik (PAP) Seperti halnya dengan Pansus DPD, Panitia Akuntabilitas Publik DPD pun bukan merupakan alat kelengkapan yang diatur secara khusus dalam UU No. 27/2009, namun diatur dalam Tatib DPD. Keanggotaan dari Panitia Akuntabilitas Publik ini berjumlah sebelas orang yang mencerminkan keterwakilan gugus kepulauan. Adapun tugas dari Panitia Akuntabilitas Publik adalah: 1). melakukan penelaahan lanjutan terhadap temuan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan yang disampaikan kepada DPD; 2). mengkaji dan meneliti terhadap indikasi penyimpangan anggaran pembangunan di daerah yang bersumber dari APBN; dan 3). melakukan advokasi dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat tentang penyimpangan anggaran pembangunan di daerah yang bersumber dari APBN. 4). Dalam menjalankan tugasnya, Panitian Akuntabilitas Publik dapat meminta penjelasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga lain yang mengelola 106
keuangan negara. Selain itu, setelah mendapatkan temuan, dapat menyampaikan temuan tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan kepada Komite DPD sebagai bahan masukan. Temuan dari Panitia Akuntabilitas Publik pun harus disampaikan dalam Sidang Paripurna DPD. i. Panitia Hubungan Antar-Lembaga (PHAL) Panitia Kerja Hubungan Antar-Lembaga adalah alat kelengkapan yang mempunyai tugas yang bersifat eksternal. Panitia Kerja Hubungan Antar-Lembaga diatur dalam Pasal 92-94 Tatib DPD. Tugas utama dari Panitia Kerja Hubungan Antar-Lembaga adalah mengadakan hubungan dengan lembaga sejenis yang terdapat di luar negeri. Dengan adanya tugas tersebut diharapkan terbangun kerja sama antar negara yang baik, sehingga DPD pun dapat meningkatkan kualitas kerjanya. Tugas Panitia Kerja Hubungan Antar-Lembaga menurut Tatib DPD adalah sebagai berikut. 1). membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPD dengan lembaga sejenis, lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah, baik secara bilateral maupun multilateral, atas penugasan Sidang Paripurna maupun atas dasar koordinasi dengan Panitia Musyawarah, dan Komite; 2). mengkoordinasikan kegiatan studi banding yang dilakukan oleh Komite dan/atau Panitia Perancang Undang-Undang; 3). mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kunjungan delegasi lembaga negara sejenis yang menjadi tamu DPD; 4). mengadakan evaluasi dan menindaklanjuti hasil pelaksanaan tugas Panitia Hubungan Antar-Lembaga; 5). memberikan saran atau usul kepada Pimpinan tentang kerjasama antara DPD dengan lembaga negara sejenis, baik secara bilateral maupun multilateral; dan 6). mengadakan rapat gabungan dengan Pimpinan, Panitia Musyawarah, Panitia Urusan Rumah Tangga, dan Komite dalam rangka pembentukan delegasi DPD. 107
Panitia Kerja Hubungan Antar-Lembaga dalam melaksanakan tugasnya dapat mengadakan hubungan dengan organisasi internasional di luar lembaga berdasarkan pertimbangan dari Panmus DPD. Selain itu, Panitia Kerja Hubungan Antar-Lembaga juga dapat melakukan hubungan kerjasama antara DPD dengan lembaga negara sejenis sekaligus menghimpun data dan informasi dari organisasi internasional atau lembaga negara sejenis, baik secara bilateral maupun multilateral. Hasil kunjungan delegasi Panitia Kerja Hubungan Antar-Lembaga tersebut harus dilaporkan dalam Sidang Paripurna dan disampaikan dalam Sidang Paripurna DPD, dan juga kepada alat kelengkapan DPD. j. Pimpinan Kelompok DPD di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Sebagai alat kelengkapan MPR adalah bagian integral dari DPD yang merupakan pengelompokan Anggota sebagai Anggota MPR. 7. Ruang Lingkup Lembaga Sesuai dengan fungsi, tugas dan kewenangan seperti yang tercantum dalam UUD 1945 dan UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, ruang lingkup tugas DPD adalah sebagai berikut: a.
Ikut serta dalam penyusunan program legislasi nasional, pengajuan usul kepada DPR, dan ikut dalam pembahasan dengan DPR dan Presiden mengenai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan: 1 ) otonomi daerah, 2 ) hubungan pusat dan daerah, 3 ) pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, 4 ) pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, 5 ) perimbangan keuangan pusat dan daerah.
b.
Memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan 1) pajak, 2) pendidikan, 3) dan agama. 108
c.
Melakukan pengawasan dan menyampaikan hasil pengawasan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti atas pelaksanaan undang-undang mengenai 1) otonomi daerah, 2) pembentukan, 3) pemekaran, dan penggabungan daerah, 4) hubungan pusat dan daerah, 5) pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, 6) pelaksanaan APBN, 7) pajak, pendidikan, 8) dan agama
d.
memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK Dalam Pengajuan dan Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU), DPD dapat mengajukan RUU berdasarkan program legislasi nasional. Pengajuan RUU tersebut disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau naskah akademik, dan dapat diusulkan oleh Panitia Perancang Undang-Undang dan/atau panitia kerja. Usulan pengajuan RUU diputuskan dalam sidang paripurna DPD. Usulan disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR dengan surat pengantar dari pimpinan DPD dengan menyebut juga Panitia Perancang Undang- Undang dan/atau panitia kerja yang mewakili DPD dalam melakukan pembahasan RUU tersebut. Terhadap usulan RUU dari DPD tersebut, DPR memutuskan usul rancangan undang-undang DPR memutuskan usul rancangan undangundang sebagaimana dimaksud dalam rapat paripurna berikutnya, berupa: a. persetujuan; b. persetujuan dengan pengubahan; c. penolakan. Dalam hal rapat paripurna DPR memutuskan memberi persetujuan terhadap usul rancangan undang-undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud, rancangan undang-undang tersebut menjadi 109
rancangan undang-undang usul dari DPR. Apabila dalam hal rapat paripurna memutuskan memberi persetujuan dengan pengubahan, rancangan undang-undang tersebut menjadi rancangan undang- undang usul dari DPR dan untuk selanjutnya DPR. menugaskan penyempurnaan rancangan undang-undang tersebut kepada komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus. Namun dalam hal rapat paripurna memutuskan menolak usul rancangan undang-undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud, pimpinan DPR menyampaikan keputusan mengenai penolakan tersebut kepada pimpinan DPD. DPD ikut serta membahas rancangan undang-undang bersama DPR dan Presiden. Dalam hal DPD ikut membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud, DPD menyampaikan pendapat dan pandangannya dalam Pembicaraan Tingkat I serta Penyampaian pendapat mini fraksi pada akhir Pembicaraan Tingkat I dan penyampaian pendapat mini DPD pada Pembicaraan Tingkat II atau Pengambilan keputusan. Dalam hal DPD tidak memberikan pandangan dan/atau pendapat mini Pembicaraan Tingkat I tetap dilaksanakan. DPD memberikan pertimbangan kepada DPR dalam hal pemilihan anggota BPK. Sebelumnya pimpinan DPR mem-beritahukan rencana pemilihan anggota BPK kepada DPD dengan disertai dokumen kelengkapan persyaratan calon anggota BPK sebagai bahan DPD untuk memberikan pertimbangan atas calon anggota BPK, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum alat kelengkapan DPR memproses pelaksanaan pemilihan anggota BPK. Pertimbangan DPD tersebut disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR paling lambat 3 (tiga) hari sebelum pelaksanaan pemilihan, yang selanjutnya segera disampaikan kepada alat kelengkapan DPR digunakan sebagai bahan per-timbangan. Dalam hal pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud tidak disampaikan, pemilihan anggota BPK tetap dilaksanakan. DPD RI melaksanakan tugas dan fungsinya tersebut, dilaksanakan oleh komite-komite yang memiliki ruang lingkup sebagai berikut:
110
1. Komite I memiliki ruang lingkup, otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah dan pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah. Yang Terkait Urusan Daerah dan Masyarakat bidang a. Otonomi Daerah; b. Hubungan Pusat dan Daerah serta Antardaerah; c. Pembentukan, Pemekaran dan Penggabungan Daerah; d. Pemukiman dan Kependudukan; e. Pertanahan dan Tata Ruang; dan f. Politik, Hukum dan HAM 2. Komite II memiliki ruang lingkup pengelolaan sumber daya alam dan pengelolaan sumber daya ekonomi lainnya. Yang Terkait Urusan Daerah dan Masyarakat bidang: a. Pertanian dan Perkebunan; b. Perhubungan; c. Kelautan dan Perikanan; d. Energi dan Sumber Daya Mineral; e. Kehutanan dan Lingkungan Hidup; f. Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan dan Daerah Tertinggal; g. Perindustrian dan Perdagangan; h. Penanaman Modal; dan i. Pekerjaan Umum 3. Komite III memiliki ruang lingkup pendidikan; dan agama. Yang terkait Urusan Daerah dan Masyarakat bidang: 1. Pendidikan; 2. Agama; 3. Kebudayaan; 4. Kesehatan; 5. pariwisata; 6. Pemuda dan Olahraga. 7. Kesejahteraan Sosial; 8. Pemberdayaan Perempuan; dan 9. Ketenagakerjaan 4. Komite IIV memiliki ruang lingkup rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN, perimbangan keuangan pusat dan daerah, 111
memberikan pertimbangan hasil pemeriksaan keuangan negara dan Pemilihan Anggota BPK dan pajak Yang Terkait Urusan Daerah dan Masyarakat bidang: 1.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
2.
Pajak;
3.
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah;
4.
BPK;
5.
Lembaga Keuangan; dan
6.
Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
8. Hak-Hak Anggota Sesuai dengan ketentuan Pasal 233 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD bahwa anggota DPD mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut: a. Hak anggota DPD RI : 1) Hak Bertanya Hak bertanya sebagaimana dimaksud dilakukan dalam sidang dan/atau rapat sesuai dengan tugas dan wewenang DPD 2) Hak Menyampaikan usul dan pendapat Anggota DPD berhak menyampaikan usul dan pendapat mengenai suatu hal, baik yang sedang dibicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat dan mengenai tata caranya diatur dalam tata tertib DPD RI. 3) Hak Memilih dan dipilih Anggota DPD mempunyai hak yang sama dalam memilih dan dipilih untuk menduduki jabatan tertentu pada alat kelengkapan DPD, tata cara pelaksanaan hak memilih dan dipilih tersebut diatur dengan peraturan DPD tentang tata tertib. 4) Hak Membela diri Hak m em be l a diri tersebut dapat digunakan apabila Anggota DPD yang diduga melakukan pelanggaran sumpah/janji, kode etik, 112
dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota diberi kesempatan untuk membela diri dan/atau memberikan keterangan kepada Badan Kehormatan 5) Hak Imunitas Artinya Anggota DPD RI tidak dapat dituntut di depan pengadilan dan diganti antarwaktu atas pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya yang berkaitan dengan fungsi serta tugas dan wewenang DPD RI. Namun demikian, ketentuan sebagaimana dimaksud tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 6) Hak Protokoler Pimpinan dan anggota DPD mempunyai hak protokoler. Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak protokoler sebagaimana dimaksud diatur dalam peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan “hak protokoler” adalah hak anggota DPD untuk memperoleh penghormatan berkenaan dengan jabatannya baik dalam acara kenegaraan atau dalam acara resmi maupun dalam melaksanakan tugasnya 7) Keuangan dan administratif Pimpinan dan anggota DPD mempunyai hak keuangan dan administratif, yang diatur dalam tatatertib DPD RI. b. Sedangkan mengenai kewajiban Anggota DPD RI adalah sebagai berikut: 1) Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila; 2) Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati segala perturan perundang-undangan. 3) Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 4) Mendahulukan kepentingan Negara di atas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. 113
5) Mentaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. 6) Menjaga etika dan norma dalam hunbungan kerja dengan lembaga lain. 7) Menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat. 8) Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada masyarakat di daerah yang diwakilinya. Berkenaan dengan kewajiban tersebut, hal itu mempertegas fungsi politik Anggota DPD RI yang meliputi representasi, legislasi dan pengawasan yang dicirikan oleh sifat mandatnya dari rakyat pemilih yaitu sifat “otoritatif” atau mandate rakyat kepada anggota; di samping itu ciri sifat ikatan atau “binding” yaitu ciri melekatnya pemikiran dan langkah kerja Anggota DPD RI yang semata-mata didasarkan pada kepentingan dan keberpihakan pada rakyat daerah 9. Persidangan dan Pengambilan Keputusan Pada hakikatnya Anggota DPD adalah wakil daerah di lembaga perwakilan pusat. Sebagai seorang wakil daerah, ia memiliki peran dan fungsi untuk menghimpun dan merealisasikan aspirasi masyarakat di daerah asal pemilihannya. Aspirasi-aspirasi yang didapatkan tentu saja akan beraneka ragam. Keragaman aspirasi tersebut harus dielaborasi dan diolah sedemikian rupa agar dapat dihasilkan satu kebijakan, sesuai dengan ruang lingkup kebijakan DPD, yang mendukung pemberdayaan masyarakat di daerah. Sehingga diperlukan satu mekanisme untuk melakukan pembahasan bersama, dan oleh karena kepentingan tersebut tercipta mekanisme yang bernama persidangan di DPD. Pengaturan mengenai persidangan menjadi sangat penting dan strategis karena persidangan tersebut adalah forum tertinggi untuk melaksanakan tugas dan wewenang DPD. Tata tertib DPD (tatib) mengatur tentang sidang dan rapat secara khusus pada Bab XIX dari pasal 137 sampai dengan pasal 180.
114
a.
Waktu Persidangan Jadwal acara persidangan DPD ditetapkan oleh Panitia Musyawarah. Sama dengan awal masa sidang Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), awal masa sidang DPD juga diawali dengan pidato pembukaan ketua DPD yang menguraikan rencana kegiatan DPD dalam satu masa sidang dan masalah yang penting untuk disampaikan kepada anggota DPD. Namun, tidak seperti DPR yang dalam tata tertibnya membagi satu tahun sidang menjadi empat masa persidangan, DPD hanya menyebutkan adanya tahun sidang yang dimulai pada tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada tanggal 15 Agustus tahun berikutnya. Dengan catatan, apabila tanggal 16 Agustus jatuh pada hari libur, pembukaan tahun sidang dilakukan pada hari kerja sebelumnya. Selain itu, khusus pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota. Semua Jenis sidang DPD dilakukan di Ibukota Negara, terutama dalam hal pengajuan dan pembahasan rancangan undang-undang, yang waktunya mengikuti masa sidang DPR. Waktu sidang DPD telah ditentukan dalam Tata Tertib DPD (Tatib), yaitu pada siang hari, hari Senin sampai dengan hari Kamis, dari pukul 09.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB dengan istirahat pukul 12.00 WIB sampai dengan pukul 13.00 WIB. Untuk hari Jumat dari pukul 09.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 dengan istirahat dari pukul 11.00 WIB sampai dengan pukul 13.30 WIB. Sedangkan untuk malam hari dari pukul 19.30 WIB sampai dengan pukul 23.30 WIB, pada setiap hari kerja.
115
b. Jenis Persidangan Jenis dari persidangan DPD terdiri atas sidang dan rapat. Adapun penjelasan dari Sidang dan Rapat tersebut adalah sebagai berikut: 1)
Sidang Sidang di DPD terdiri atas Sidang Paripurna dan Sidang alat kelengkapan. Sidang Paripurna adalah permusyawaratan Anggota yang dipimpin oleh Pimpinan dan merupakan forum tertinggi dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPD. Adapun yang dimaksud dengan pelaksanaan tugas dan wewenang DPD adalah: sidang dalam rangka pembicaraan tingkat II; sidang dalam rangka penyampaian Hasil Pemeriksaaan BPK; sidang dalam rangka penyampaian laporan kinerja Pimpinan dan Panitia Urusan Rumah Tangga; dan/atau sidang dalam rangka pembahasan suatu masalah atau penyampaian suatu masalah termasuk Rancangan UndangUndang dari DPR atau Presiden. Sedangkan yang dimaksud dengan Sidang Alat Kelengkapan adalah permusyawaratan Anggota dalam alat kelengkapan yang dipimpin oleh Pimpinan Alat Kelengkapan yang bersangkutan. Adapun yang dimaksud dengan pelaksanaan tugas dan wewenang adalah: sidang alat kelengkapan dalam rangka mempersiapkan rancangan putusan DPD sesuai dengan tugas dan wewenang alat kelengkapan; sidang gabungan alat kelengkapan adalah sidang bersama antara dua atau lebih alat kelengkapan untuk membahas masalah yang terkait lebih dari satu alat kelengkapan, dipimpin oleh Pimpinan alat kelengkapan pemrakarsa; rapat kerja dalam rangka meminta penjelasan kepada Pemerintah, pemerintah daerah, DPR, dan/atau masyarakat
116
2)
3)
dalam rangka pelaksanaan hak bertanya dan hak menyampaikan usul dan pendapat Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 dan Pasal 129, dan Pasal 130; dengar pendapat dan dengar pendapat umum baik dengan pemerintah, unsur pemerintahan daerah, atau unsur masyarakat; dan/atau permusyawaratan Pimpinan alat kelengkapan yang dipimpin oleh Ketua alat kelengkapan masing-masing. Rapat Rapat adalah permusyawaratan Anggota, kelompok Anggota provinsi, Komite, Panitia Perancang Undang-Undang, Panitia Akuntabilitas Publik, Panitia Khusus, atau Tim Kerja Komite, Tim Kerja Panitia Perancang Undang-Undang, atau Tim Kerja Panitia Khusus. Rapat DPD dilaksanakan oleh Anggota di daerah pemilihannya atau daerah lain sesuai penugasan dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban Anggota serta pelaksanaan tugas dan wewenang DPD. Rapat DPD dilaksanakan dalam rangka: menyerap, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi daerah dan masyarakat; melakukan konsultasi publik kepada pemerintah daerah, DPRD, dan/atau unsur masyarakat daerah; menjadi juru bicara bagi kepentingan daerah apabila ada masalah di daerah pemilihannya; melakukan dengar pendapat dan dengar pendapat umum dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi DPD; menyampaikan hak bertanya atau hak menyampaikan usul dan pendapat; melakukan permusyawaratan kelompok Anggota provinsi; atau melakukan hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang DPD. Sifat Sidang dan Rapat Sidang Paripurna dan Sidang Alat Kelengkapan pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali Sidang Badan Kehormatan, koordinasi Pimpinan dengan Pimpinan Alat Kelengkapan dan perwakilan 117
Provinsi, Permusyawaratan Pimpinan, per-musyawaratan Pimpinan Alat Kelengkapan, atau ditentukan lain oleh sidang yang bersangkutan. Begitu pula dengan Rapat DPD yang pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali permusyawaratan kelompok Anggota provinsi. Konsekuensi dari Sidang yang bersifat tertutup adalah hanya boleh dihadiri oleh Anggota dan mereka yang diundang. Selain itu, pembicaraan dan keputusan dalam sidang tertutup bersifat rahasia dan tidak boleh diumumkan apabila dinyatakan secara tegas sebagai rahasia dan tidak dapat diumumkan. 4)
Tata Cara Sidang/Rapat Pengaturan mengenai tata cara sidang dalam Tatib DPD dimaksudkan agar tercipta keteraturan dalam pelaksanaan Sidang/Rapat, terutama keteraturan dalam hal administrasi. Dalam Tatib DPD diatur bahwa setiap Anggota dan undangan Sidang/Rapat wajib menandatangani daftar hadir sebelum menghadiri Sidang/Rapat. Daftar hadir tersebut sangat penting untuk mengetahui tingkat kehadiran dalam Sidang/Rapat tersebut, yang akan menentukan kuorum dari Sidang/rapat tersebut. Apabila telah memenuhi kuorum, yaitu separuh dari jumlah Anggota, maka Ketua Sidang sudah dapat membuka Sidang/Rapat. Apabila pada waktu yang telah ditentukan belum dihadiri oleh separuh dari Anggota Sidang/Rapat, Ketua Sidang menunda pembukaan Sidang/Rapat paling lama satu jam. Setelah satu jam ditunda, Ketua sidang dapat membuka walaupun kuorum belum juga terpenuhi.
5)
Kegiatan Rapat Anggota di Daerah DPD tidak memiliki masa reses seperti yang dimiliki oleh DPR. Hal tesebut dapat terlihat dari Tatib DPD tidak mengatur tentang pembagian masa persidangan menjadi masa sidang dan masa reses seperti di dalam Tatib DPR. Dalam praktiknya, masa sidang DPD mengikuti masa persidangan DPR. Ketika DPR
118
memasuki masa reses, maka anggota DPD akan melakukan kegiatan di daerah masing-masing atau melakukan kunjungan kerja ke daerah sesuai dengan penugasan DPD. Kegiatan di daerah pemilihan masing-masing dilakukan dalam rangka: a. Penyerapan Aspirasi Daerah dan Masyarakat Rapat di daerah harus dimanfaatkan oleh Anggota DPD untuk menerima penyampaian aspirasi daerah dan masyarakat, selain dapat juga dilakukan melalui Rapat Dengar Pendapat Umum atau melalui kunjungan kerja. Selanjutnya, hasil dari Rapat di daerah tersebut disampaikan oleh Anggota DPD yang bersangkutan pada Sidang Paripurna setiap awal masa sidang, dan kemudian oleh Pimpinan diterima dan disalurkan kepada alat kelengkapan DPD sesuai dengan ruang lingkup tugas dan wewenangnya atau Perwakilan Provinsi yang bersangkutan yang difasilitasi oleh Sekretariat Jenderal. Dalam rangka tindaklanjut aspirasi daerah dan masyarakat, Anggota DPD yang bersangkutan sesuai dengan penugasannya dapat melakukan rapat kerja dengan Pemerintah Daerah dan DPRD, atau meminta Pemerintah untuk melakukan tindak lanjut atas permsalahan di daerah. b. Akuntabilitas Rapat di daerah harus juga dipakai oleh Anggota DPD untuk menyampaikan perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenangnya di DPD. Hal ini penting dilakukan oleh Anggota DPD mengingat peran dan fungsinya sebagai seorang perwakilan daerah. 6)
Tata Cara Mengubah Acara Sidang/Rapat Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa agenda Sidang/Rapat dirumuskan oleh Panitia Musyawarah. Namun, hal tersebut bukan berarti bahwa keputusan dari Panitia Musyawarah adalah mutlak dalam mengatur agenda Sidang/rapat. Dalam Tatib diatur mengenai tata cara mengubah acara Sidang/Rapat.
119
Setelah Panitia Musyawarah melakukan Rapat untuk menyusun acara atau agenda Sidang/Rapat, Alat kelengkapan DPD masih dapat mengajukan usul perubahan kepada Pimpinan DPD mengenai acara yang telah ditetapkan oleh Panitia Musyawarah, baik mengenai perubahan waktu maupun mengenai masalah baru, yang akan diagendakan untuk segera dibicarakan dalam Sidang Panitia Musyawarah. Usul tersebut diajukan secara tertulis dengan menyebutkan waktu dan masalah yang diusulkan, selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum acara sidang yang bersangkutan dilaksanakan. Panitia Musyawarah membicarakan dan mengambil keputusan tentang usul perubahan tersebut, dan keputusan dari Panitia Musyawarah tersebut dapat mengubah acara sidang/rapat, yang kemudian harus diberitahukan kepada seluruh Anggota DPD selambatlambatnya dalam 2 (dua) hari. Selain dengan cara yang dijelaskan diatas, perubahan atas acara Sidang/Rapat dapat dilakukan oleh Pimpinan DPD atau Anggota DPD, dengan cara mengajukan usul perubahan tentang acara Sidang Paripurna yang sedang berlangsung. Kemudian Sidang/Rapat yang bersangkutan segera mengambil keputusan tentang usul perubahan acara tersebut. Mekanisme ini dilakukan khusus apabila terjadi keadaan darurat. 7)
Tata Cara Permusyawaratan Ketua Sidang/Rapat wajib menjaga agar Sidang atau Rapat berjalan dengan ketentuan yang berlaku. Ketua hanya dapat berbicara selaku pimpinan Sidang atau Rapat, menjelaskan masalah yang menjadi pembicaraan, menunjukkan duduk persoalan dan menyimpulkan pembicaraan anggota Sidang/Rapat. Peserta Sidang/Rapat yang ingin berbicara dalam hal ini anggota DPD dapat mendaftarkan namanya terlebih dahulu dan akan mendapat giliran berbicara sesuai dengan urutan pendaftaran. Setiap anggota DPD dapat melakukan interupsi atas pembahasan masalah dalam setiap Sidang/Rapat, untuk:
120
1. Meminta penjelasan tentang duduk persoalan sebenarnya mengenai masalah yang sedang dibicarakan. 2. Menjelaskan soal yang di dalam pembicaraan menyangkut diri dan atau tugasnya 3. Mengajukan usul prosedur mengenai soal yang sedang dibicarakan 4. Mengajukan usul agar rapat atau sidang ditunda untuk sementara 8)
Risalah, Catatan Rapat, dan Laporan Singkat Sebagai bentuk dari dokumentasi, Sidang/Rapat, baik yang bersifat tertutup maupun terbuka, harus disusun risalah, catatan sidang/rapat, dan laporan singkat. Dokumen-dokumen tersebut menjadi penting mengingat Sidang/Rapat yang diselenggarakan oleh DPD harus menjunjung tinggi prinsip transparansi, karena menyangkut dengan kebijakan publik. Selain sebagai bentuk dari dokumentasi, baik risalah, catatan sidang/rapat, maupun laporan singkat sangat diperlukan sebagai bentuk dari pertanggungjawaban para Anggota DPD peserta Sidang/Rapat. Risalah adalah rekaman pembicaraan dan catatan rapat yang dibuat secara lengkap dan berisi seluruh jalannya pembicaraan yang dilakukan dalam rapat serta dilengkapi dengan catatan tentang: 1. Jenis dan sifat rapat atau sidang; 2. Hari dan tanggal rapat atau sidang; 3. Tempat rapat atau sidang; 4. Acara rapat atau sidang; 5. Waktu pembukaan dan penutupan rapat atau sidang; 6. Ketua dan sekretaris rapat/sidang; 7. Jumlah dan nama anggota yang menandatangani daftar hadir; 8. Undangan yang hadir. Risalah wajib diberikan kepada setiap anggota DPD, dan dalam waktu dua kali dua puluh empat jam anggota DPD yang
121
keberatan terhadap isi dari risalah tersebut berkesempatan melakukan perbaikan atas isi dari risalah tersebut. Catatan Sidang/Rapat adalah catatan yang memuat pokok pembicaraan, kesimpulan dan/atau keputusan yang dihasilkan dalam sidang/rapat. Sedangkan laporan singkat adalah laporan yang memuat kesimpulan dan/atau keputusan dari Sidang/Rapat. Sekretaris Rapat harus secepatnya menyusun catatan Sidang/Rapat sementara dan laporan singkat untuk segera dibagikan kepada Anggota DPD dan pihak yang bersangkutan setelah Sidang/Rapat selesai. Setelah itu, setiap Anggota DPD dan pihak yang bersangkutan tersebut diberi kesempatan untuk mengadakan koreksi terhadap catatan Sidang/Rapat dan laporan singkat sementara dalam waktu 4 (empat) hari sejak diterimanya catatan Sidang/Rapat dan laporan singkat dan menyampaikannya kepada Sekretaris Rapat yang bersangkutan. Dalam risalah, catatan Sidang/Rapat, dan laporan singkat mengenai Sidang/Rapat yang bersifat tertutup, harus dicantumkan dengan jelas kata “rahasia”. Selain itu, risalah, catatan Sidang/Rapat, dan laporan singkat mengenai Sidang/Rapat yang bersifat tertutup dapat memutuskan bahwa suatu hal yang dibicarakan dan diputuskan dalam Sidang/Rapat untuk tidak dimasukkan. 9)
Undangan, Peninjau, dan Wartawan Sidang/Rapat DPD dapat dihadiri oleh undangan, peninjau dan wartawan. Adapun yang dimaksud dengan undangan adalah mereka yang hadir dalam Sidang/Rapat atas undangan Pimpinan, baik statusnya sebagai Anggota alat kelengkapan ataupun bukan Anggota alat kelengkapan. Sedangkan Peninjau dan wartawan adalah mereka yang hadir dalam rapat/sidang DPD tanpa mendapatkan undangan dari Pimpinan, namun mendapatkan persetujuan dari Pimpinan atau pimpinan alat kelengkapan untuk mengikuti Sidan/Rapat. Undangan dalam Sidang/Rapat DPD dapat ikut berbicara atas persetujuan dari Ketua Sidang/Rapat, tetapi tidak mempunyai
122
hak suara apabila dilakukan voting dalam pengambilan keputusan. Sedangkan peninjau dan wartawan tidak diperbolehkan untuk berbicara dan juga tidak mempunyai hak suara dalam voting pengambilan keputusan. Pimpinan Sidang/Rapat dapat meminta agar undangan, peninjau, dan/atau wartawan yang mengganggu ketertiban meninggalkan ruang Sidang/Rapat, dan apabila permintaan itu tidak diindahkan maka yang bersangkutan dikeluarkan dengan paksa dari ruang Sidang/Rapat atas perintah ketua Sidang/Rapat. 10) Kesekretariatan Jenderal Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenang DPD RI, dibentuk Sekretariat Jenderal DPD RI yang susunan organisasi dan tata kerjanya diatur dengan peraturan Presiden, dan bertugas untuk menyelenggarakan dukungan administratif dan keahlian kepada DPD RI. Fungsi Sekretariat Jenderal DPD RI a. Koordinasi dan pembinaan terhadap pelaksanaan tugas unit organisasidi lingkungan Sekretariat Jenderal DPD RI b. Pemberian dukungan administratif dan keahlian di bidang perundang-undangan, pertimbangan dan pengawasan dalam fungsi politik lembaga dan anggota DPDRI c. Pembinaan dan pelaksanaan perencanaan, pengawasan, administrasi keanggotaan, kepegawaian, ketatausahaan, perlengkapan, kerumahtanggaan, dan Keuangan di lingkungan DPD RI Visi Sekretariat Jenderal DPD RI: "Profesionaldan Handal dalam Memberikan Dukungan Administratif dan Keahlian bagi Pelaksanaan Tugas Konstitusional DPD " Misi Sekretariat Jenderal DPD RI: a. b.
Meningkatkan kapasitas Struktur kelembagaan dan ketatalaksanaan Sekretariat Jenderal; Optimalisasi dukungan keahlian dan teknis persidangan DPD; 123
c. d. e. f.
Membangun SDM aparatur yang profesional, kompeten dan berintegritas; Membangun pemahaman masyarakat luas tentang keberadaan DPD.
124
BAB VI PENUTUP Seiring Amandemen UUD Negara RI Tahun 1945, adanya perubahan lembaga-lembaga perwakilan rakyat sebagai cermin pelaksanaan kedaulatan rakyat, merupakan keniscayaan yang kemudian hadir. Tidak seperti masa sebelumnya, dalam hal kelembagaan negara ini, setidaknya terdapat beberapa perubahan mendasar pada rumpun kelembagaan legislatif yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat RI (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD). Buku ini disusun dengan memuat penjelasan tentang fungsi, kewenangan dan keberadaan Alat Kelengkapan lembaga-lembaga dimaksud. Dengan demikian, substansinya diharapkan dapat menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi dalam membangun hubungan yang haarmonis dan sinergis antara Presiden dan atau Menteri Sekretaris Negara dengan Lembaga-lembaga negara dimaksud. Sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan hubungan kelembagaan, maka buku ini akan direviu secara berkala setiap tahunnya. Selain itu pada tahap selanjutnya, Asisten Deputi Hubungan Lembaga Negara dan Lembaga Non Struktural juga akan menyusun buku tentang Lembaga Negara Rumpun Yudikatif, yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial.
125