DEPUTI MENTERI SEKRETARIS NEGARA BIDANG HUBUNGAN KELEMBAGAAN
2010
Menakar Konstribusi Lembaga Kekuasaan Negara dalam Mewujudkan Tujuan Negara
Oleh: Prof. Or. Faisal A. Rani, S.H., M.Hum ,
Pengantar Dalam
praktek
pemahaman tentang
di
berbagai
negara
pemisahan kekuasaan.
terdapat
berbagai
Oleh karena itu
Marshall mengungkapkan bahwa prase pemisahan kekuasaan merupakan salah satu yang paling membingunkan di dalam kosakata pemikiran konstitusional dan politik, dan telah digunakan dengan berbagai implikasi oleh sejarawan dan ilmuan politik." Locke merupakan ideologist pertama yang bereaksi terhadap absolutisme, ketika Locke meadukung pembatasan kekuasaan politik raja. Menurut Locke, alasan mengapa manusia memasuki suatu "social
contract"
adalah
untuk
mempertahankan
kehidupan,
kebebasan dan hak untuk memiliki. Ketiga hal tersebut dipandang oleh Locke sebagai "property", yang memberikan kepada manusia status politik.45 Menurut Montesquieu, kebebasan politik hanya ada di negara-negara dimana
kekuasaan negara,
bersama dengan
semua fungsi yang berkaitan, tidak berada pada tangan orang yang 44
Geoffrey Marshall, Constitutional Theory, Oxford University Press, London, 1971, Wm. 97. 45 John Locke, Two Trestises of Government,Peter Laslett, ed., Cmbrigdge, 1967, hlm. 324, dalam Brewer-Carias, Judicial Review and ComparativeLaw, CambridgeUniversity Press, 1989, him. 10.
48
sama. Sehubungan dengan itu Montesquieu mengatakan bahwa " ... it is an eternal experience that any man who is given power tends to abuse it; he does so until he encounters limits ....
In order to avoid
the abuse of power, steps must be taken for power to limit power.?" Untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan, maka harus ada kekuasaan yang dapat membatasi kekuasaan. Montesquieu
berkesimpulan
bahwa
untuk
menjamin
kebebasan, semua fungsi negara janganlah berada pada tangan yang sama.
Dalam konsep Montesquieu tidak ada wewenang
negara (public authority) tertentu harus memiliki prioritas terhadap yang lainnya.
47
Benar bahwa dengan
mendifinisikan wewenang
legislatif sebagai "kehendak umum negara" (general will of the state) dan wewenang eksekutif sebagai "pelaksanaan kehendak umum tersebut" (execution of that general will); dapat disimpulkan bahwa eksekutif, sejauh mengenai pelaksanaan itu sendiri, adalah tunduk pada kehendak legislatif, tetapi tentu saja bukan dalam pengertian subordinasi politik. 48 Bahkan sebaliknya Montesquieu berpendapat bahwa ketiga kekuasaan itu sama kedudukannya, sehingga " ... they could act as a mutual restraint, as the only possible form of cooperation for the maintenance of political liberty"" Konsep
Montesqiueu,
seperti
halnya
juga konsep
Locke,
merupakan suatu pemikiran untuk mengimbangi kekuasaan absolut Montesquieu, De L 'Esprit des Lois, G.Truc, ed., Paris, 1949, vol. I, Book Xl ch.4, him 162, dalam Brewer-Carias, Ibid., hlrn, 12. 47 Brewer - Carias, op. cit., him. 13. 48 Ibid. '9 Ibid. '6
49
melalui
pemisahan
kekuasaan.
Oleh
karena
itu,
pemisahan
kekuasaan lebih merupakan doktrin hukum (legal doctrine) dari pada dalil politik (political postulate), dan juga teori pemisahan kekuasaan Montesquieu
tidak
kedaulatan,
menentukan
siapa
yang
akan
menjalankan
tetapi hanya bagaimana kekuasaan harus diatur untuk
mencapai tujuan tertentu. Pembentukan berbagai Lembaga Non Struktural (LNS) di luar kekuasaan
pokok sebagaimana
diungkapkan
Montesquieu,
bukan
karena mengekor perkembangan kelembagaan negara lain. Amerika Serikat
sebagai
negaranya
suatu
mendekati
negara
yang
pelembagaan
konsep kekuasaan
Montesquieu,
kekuasaan juga lahir
berbagai lembaga kekuasaan lain di luar kekuasaan substantif yang . difomulasikan baru
Montesquieu.
semacam
dimulai
"kornisi
dimulai
dengan
Di AS munculnya lembaga kekuasan
Negara"
atau
Administrative agencies,
pembentukan
Interstate
Commerce
Commission yang mendapat pengesahan Congress pada tahun 1887, kemudian pada tahun 1914, untuk mengawasi bentuk-bentuk persaingan usaha, terbentuk Federal Trade Commission. perkembangannya
kemudian
muncul
berbagai
Dalam
komisi Negara
independent (independent regulatory agencies).50
so Wahyudi Djafar, "Kornisi Negara Antara "Latah" clan Keharusan Transisional", ASASI ELSAM, Edisi September-Oktober 2009, yang bersumber dari: Journal Political Research Quarterly, Volume 60 Number 4, December 2007.
50
Hukum tata Negara
Penting untuk kita pahami bahwa berbicara mengenai hukum tata negara selalu terkait dengan ruang dan waktu tertentu. Oleh karena itu R. Kranenburg dan Logemann menyebutnya dengan Hukum Tata Negara Positif. Oleh karena itu hal yang paling penting dalam ·hukum tata negara, bahwa lingkup hukum tata negara adalah apa saja yang tercantum di dalam UUD sebagai putusan dan pitihan suatu bangsa tanpa harus mengikuti teori tertentu atau system yang berlaku di Negara lain. Tidak ada keharusan mengikuti atau tidak mengikuti teori atau system tertentu.
T eori kenegaraan hanya merupakan kerangka pikir, yang tidak harus diikuti dan yang berlaku adalah - kata K.C. Where - adalah yang disepakati resultante, terlepas dari masalah sama atau tidak sama dengan teori atau yang berlaku di negara lain. Materi UUD sebagai suatu putusan bangsa, tidak ada ukuran benar atau salah, yang penting ia dapat menjadi sarana mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam kenyatakaan praktek Negara-negara, tidak ada suatu teori yang benar-benar murni dianut oleh suatu Negara. Dalam UUD suatu
negara
selalu
ada
muatan
domestic
sesuai
dengan
kebutuhannya masing-masing. Dengan demikian, rencana perubahan UUD berikutnya bukan karena kita ingin menyesuaikan dengan suatu teori atau karena tidak sama dengan system yang dianut di negara lain. Akan tetapi memang karena ada kebutuhan kita sesuai dengan logika dan kebutuhan kita sendiri. Sekali lagi bahwa teori atau system di negara
51
lain hanya merupakan logical construct yang perlu dideduksi atau
internalisasi. Tujuan negara Tujuan
negara adalah mewujudkan kesejateraan rakyat.
Dengan demikian pembentukan kekuasaan negara melalui konstitusi dalam rangka menggapai tujuan kesejahteraan rakyat, baik lahir maupun
kesejahteraan bathin.
Pembetukan lembaga-lembaga
kekuasaan negara merupakan artikulasi dari tujuan negara. Wujud negara diartikan kadang-kadang melalui kekuasaan (power), kekuatan (force), dan kewenangan, wibawa, hak untuk bertindak (authority). Ketiga-tiganya sebetulnya adalah kekuasaan, yang ketiganya berkaitan dan sukar dipisahkan. Kekuasaan oleh Logemann disebut dengan jabatan, dan negara adalah organisasi dari jabatan-jabatan. Kekuasaan negara adalah kekuasaan hukum, karena validitas kekuasaan hanya ditentukan oleh hukum. Oleh karena
itu,
konstitusi
diberbagai
negara
mengelompokkan
kekuasaan dalam fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. UUD 1945 secara substantif juga mengelompokkan kekuasaan negara dalam tiga fungsi kekuasaan (klasik) dimaksud. Dalam Mukadimah UUD 1945, tujuan negara dirumuskan (i) memberikan perlindungan kepada bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (ii) meningkatkan kesejahteraan rakyat; (iii) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (iv) berperan serta dalam menciptakan ketertiban dunia. Semua kekuasaan negara harus
52
berperan mewujudkan tujuan negara, mewujudkan kesejahteraan rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Wujud kekuasaan negara dalam UUD. Walaupun bagusnya UUD itu dirumuskan, ia tetap merupakan resultante atau produk kesepakatan yang terkait dengan keadaan atau situasi pada saat dirumuskan. Oleh karenanya, UUD sebagai norma hukum dapat berubah jika situasi atau keadaan telah berubah, sesuai dengan tuntutan perubahan atau perjalanan waktu. UUD 1945 hasil amandemen lebih baik, dapat dilihat dari hubungan kerja antar lembaga negara yang jauh lebih menciptakan mekanisme checks and balances
baik,
sehingga system
kenegaraan lebih demokratis. Lembaga Presiden dan DPR sudah pada posisi yang koordinat, tidak ada kooptasi atau dominasi dari yang satu terhadap yang lain. Demikian pula kekuasaan legislative tidak dapat berbuat sewenang-wenang dalam membentuk norma undang-undang, karena ada mekanisme uji materil oleh Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan negara menurut UUD 1945 dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok fungsi, (i) fungsi kekuasaan legislatif, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah; (ii) fungsi kekuasaan eksekutif; Presiden dan Wakil Presiden (iii) dan fungsi kekuasaan yudikatif, Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di bawahnya, serta Makamah Konstitusi;
dan
(iv)
fungsi
pemeriksaan
53
pengelolaan
dan
tanggungjawab keuangan negara, Sadan Pemeriksa Keuangan. Lembaga-lembaga
yang melaksanakan
merupakan
"lembaga
kekuasaan
primer,
kekuasaan
atau
fungsi-fungsi
negara",
sering juga
yang
disebut
dimaksud mempunyai
dengan
state
fungdamental bodies. Sementara lembaga-lembaga yang lain yang ada dalam UUD sebagai kekuasaan pelengkap, kekuasaan sekunder yang bersifat mendukung kekuasaan primer, atau ada juga yang memberi istilah dengan state auxiliary bodies. T erkait dengan "komisi negara", gagasan mempertegas bahwa system pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 adalah system pemerintahan presidensil praktek
ketatageraan
parlementer.
Oleh
sangat penting, mengingat dinamika akhir-akhir
karena
ini
Presiden
mencerminkan memegang
quasi
kekuasaan
pemerintahan, memungkinkan Presiden membentuk "kornisi negara". Di
Amerika
Serikat,
"komisi
negara"
yang
dikenal
dengan
"administrative agencies" adalah "units of government created by statute to carry out specific tasks in implementing the statute. Most administrative agencies fall in the executive branch".51 Dalam praktek ketatanegaraan Indonesia, Presiden
juga
Pemerintahan
pada masa kekuasaan Orde Baru,
membentuk
sekitar
20
Lembaga-lembaga
Non-Departemental, semacam executive branch
agencies, yang beberapa di antaranya masih berfungsi.
Denny lndrayana, Komisi Negara: Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan, Monday, December 24, 2007. st
54
Lembaga negara.
Dalam UUD hasil amandemen sama sekali tidak mengatur atau memberikan pengertian tentang "lembaga negara", sehingga muncul berbagai
interpretasi dalam
mengidentifikasi
konsep "lembaga
negara". ldentifikasi dimaksud menjadi sangat penting oleh karena UUD 1945, dalam Pasal 24C ayat (1) mengatur bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah mengadili dan memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh
UUD.
Apakah
pamerintah
daerah,
karena
kewenangannya ditentukan dalam UUD dapat termasuk dalam identifikasi
"lembaga negara", yang dapat menjadi
pihak dalam
sengketa antarlembaga negara? Dalam
kepustakaan
lnggris,
ditemukan
istilah
political
institution, sedangkan di Belanda dijumpai istilah staat organen, yang maknanya setara dengan istilah lembaga negara dalam keputakaan lndonesia.52 menjalankan
Lembaga negara adalah institusi yang dibentuk untuk fungsi negara. Pasca amandemen UUD 1945, di
samping istilah "majelis" dan "dewan" dikenal tiga istilah lain untuk mengindentifikasikan
organ penyelenggara
negara, yakni istilah
"badan", "lembaga", dan "komisi".53 Semua lembaga yang disebutkan dalam UUD tersebut menjalankan kekuasaan negara, namun materi 52
Pendapat Sri Soemantri M., Lihat Proseeding Diskusi "Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pascaamandemen ul.JD 1945, Komisis Reformasi Hukum Nasional, Jakarta, 09 November 2004, dalam Finnansyah Arifin, dkk., Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasiona (KRHN), Jakarta 2005. 53 Lihat Pasal 23 menggunakan istilah "badan", dalam Pasal 24C d.itemukan istilah "lernbaga negara", dan Pasal 22 ayat (5) dan Pasal 24B menggunakanistilah "komisi".
55
kekuasaannya tidak sama. Oleh karena itu, sebahagian ahli hokum tata negara mengelompokkan lembaga negara menjadi "main state's organ" - lembaga Negara utama dan "auxiliary state's organ" lembaga negara Bantu, yang dalam tulisan ini sebelumnya disebut dengan "kekuasaan primer" dan "kekuasaan sekunder".
Komisi negara Dalam UUD 1945 terdapat dua komisi yang secara eksplisit disebutkan, Keberadaan
yaitu "komisi pemilihan umum" dan "Komisi Yudisial". komisi pemilihan umum disebutkan dalam Pasal 22E
ayat (5) - "Pemilihan pemilihan
umum
umum diselenggarakan
yang
bersifat
nasional,
oleh suatu komisi
tetap,
dan
mandiri."
Sementara ketentuan tentang Komisi Yudisial terdapat dalam Pasal 248, pada ketentuan ayat (1) - "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang
mengusulkan
pengangkatan
hakim
agung
dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim." Pengaturan dalam UUD mengenai dua komisi tersebut, terdapat dua gaya penulisan
berbeda, pada ketentuan Pasal 22E ayat (5)
tertulis "oleh suatu komisi pemilihan umum" (dengan huruf kecil pada k, p, dan u) berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 248 ayat (1) tertulis
"Kornisi Yudisial"
Ketentuan
Pasal
(dengan
22E
huruf kapital pada K dan Y).
bermakna
bahwa
pemilihan
umum
dilaksanakan oleh sebuah komisi pemilihan umum, terserah kepada pembentuk
undang-undang
untuk
56
memberi
nama
apa
komisi
dimaksud. Sementara ketentuan Pasal 24C, bermakna bahw komisi yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung itu adalah bernama "Komisi Yudisial". Rumusan ketentuan Pasal 24C ayat (1) semestinya mirip dengan rumusan Pasal 22E, tidak menggunakan huruf kapital, cukup hanya mengatur "usul pengangkatan hakim agung, menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim diselenggarakan oleh sebuah komisi yang mandiri." Oleh karena kedua lembaga itu tidak menyelenggarakan kekuasaan primer, tetapi menjalankan kewenangan sekunder sebagai dukungan terhadap kekuasaan primer. Sebagai penyelenggara kekuasaan pendukung atau sekunder, komisi-komisi negara tidak diatur di dalam UUD. Komisi yudisial misalnya, yang fungsinya lebih bersifat pendukung terhadap jalannya kekuasaan kehakiman, cukup diatur di dalam undang-undang. Penembatan Komisi Yudisial dalam satu Bab atau dalam Bab tentang kekuasaan kehakiman adalah suatu kekeliruan. Oleh karena itu Komisi Yudisial harus dikeluarkan dari Bab tentang kekuasaan kehakiman. Dalam UUD amandemen berikutnya, perlu ditegaskan bahwa fungsi
KY
adalah
pengawasan ekstra
yudisial dan
pelaksanaan kontrol atau pengawasan terhadap perilaku hakim, dan tidak mempengaruhi independensi hakim dan lembaga peradilan.
57
Komisi negara di luar UUD
Pasca reformasi politik dan hukum 1998 muncul berbagai komisi baru sebagai lembaga kekuasaan negara sekunder atau state auxiliary agencies, atau administrative agencies, dengan landasan hukum pembentukannya beragam bentuknya. Sebetulnya sebelum reformasi pembentukan lembaga semacam state auxiliary agencies, atau administrative agencies sudah dimulai dengan pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 1993 dengan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993. Kemudian setelah
berakhir rezim kekuasaan Orde Baru,
muncul berbagai komisi negara, barang kali sebagai reaksi yang berlebihan terhadap runtuhnya rezim otoritarian. Hingga tahun 2010, Indonesia
sedikitnya
memiliki
14
komisi
negara
independen
(independent regulatory agencies), yang bukan merupakan bagian dari salah satu organ kekuasaan negara primer. Komisi-komisi independen ini semuanya diatur dengan undang-undang,
kecuali
komisi pemilihan umum dan komisi yudisial juga disebutkan dalam UUO. Selain 14 komisi negara independen di atas, juga memiliki sedikitnya 42 komisi negara atau badan khusus yang merupakan bagian dari
lembaga kekuasaan eksekutif (executive branch
agencies). Komisi-komisi tersebut banyak terbentuk pada masa transisi setelah reformasi antara tahun 1999 dan tahun 2005. Jumlah komisi negara, baik yang independen maupun yang merupakan bagian dari lembaga kekuasaan eksekutif, berjumlah
54 buah.
Pelembagaan komisi-komisi tersebut sebagai bagian dari kekuasaan
58
negara pertumbuhannya
sangat cepat, yang oleh Wahyudi
Djafar
disebut dengan pelembagaan secara massif.54 Komisi-komisi negara
yang independen yaitu:
Tabet 1: Komisi-komisi Negara lndependen55
01.
Komisi Yudisial
Pasal 248 UUD 45, UU No. 22/2004
02.
Komisi Pemilu
Pasal 22E UUD 45, UU No. 22/2007
03.
Komnas HAM
Kepres No. 48/2001, UU No.39/1999
04.
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
UU No. 5/1999
05.
Komisi Ombusdman Nasional
Kepres No.44/2000, UU No.37/2008
06. 07.
Komisi Penyiaran Indonesia Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Koru si
08.
Komisi Perlindungan Anak
09.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Dewan Pers
10.
UU No. 32/2002 UU No. 30/2002 UU No.23/2002, Kepres No.77/2003 UU No.24/2004 (dibatalkan MK UU No. 40/1999
54
Libat: Wabyudi Djafar, "Komisi Negara: Antara 'Latah' dan Keharusan Transisional", ASASI ELSAM, Edisi September-Oktober 2009. 55 Sumber: Ibid., yang diformulasikan dari Firmansyah Arifin, dkk., Kementerian Negara PAN, dan Naskah Amandemen UUD 1945, Kelompok DPD di MPR (2008).
59
11.
Dewan Pendidikan
UU No. 20/2003
12.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
UU No. 13/2006
13.
Komisi lnformasi Publik
UU No. 14/2008
14.
Sadan Pengawas Pemilu
UU No. 22/2007
Sebagaimana diungkapkan
di atas, di sampaing komisi negara
independen, juga terdapat komisi-komisi
negara yang merupakan
executive branch agencies. Komisi-komisi
tersebut adalah sebagai
berikut: Tabel 2: Komisi-komisi sebagai executive branch agencies50
-.~l. -c;o"fF~~--~~~. . - ~- --~ .--
I
., •
_.._
--f.·~
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 S6
~1§1 '.Jo. TI
.
..
-
--. :·-. .· -
.-. . ~ . ·.·-::
II
-
'
Dewan Pembina lndustri Strateqis Dewan Riset Nasional Dewan Buku Nasional Dewan Maritim Indonesia Dewan Ekonomi Nasional Dewan Pengembangan Usaha Nasional Komite Penilaian lndeoenden Komite Kebijakan Sektor Keuanqan Bakor Pengembanaan TKI Sadan Pengelola Gelora Bung Karno Sadan Penoelola Kawasan
Ibid.
60
®.'~ill.i=t~;~~J~~J 1~-;!X@_;i~ ~rtr~~:.~ ~';
Keppres No.40/1999 Keppres Keppres Keppres Keppres
No.94/1999 No.110/1999 No. 161/1999 No.144/1999
Keppres No.165/1999 Keppres No.99/1999 Keppres No.89/1999 Keppres No.29/1999 Keppres No. 72/1999 Keppres No. 73/1999
0-.,.
... .
-. '1 -
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Kemayoran Komisi Hukum Nasional Komite Antar Departemen Sidang Kehutanan Komite Aksi Nasional Penghapusan Sentuk-bentuk Pekerjaan T erburuk Untuk Anak Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran Komite Akreditasi Nasional Komite Olahraga Nasional Indonesia Komite Nasional Keselamatan Transportasi Dewan Ketahanan Panqan Komisi Kepolisian Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia Sadan Narkotika Nasional Sadan Pengembangan Kapet Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Pusat Pelaporan dan Transaksi Keuangan Tim Koordinasi Penanggulanqan Kemiskinan Dewan Gula Nasional Dewan Pertahanan Nasional Sadan Nasional Penanqgulangan Sencana Sadan Nasional Sertifikasi Profesi Sadan Pengatur Jalan Tol Bad an Pendukung Pengembanqan Sistem
61
Keppres No.15/2000 Keppres No.80/2000 Keppres No.12/2000 Keppres No.151/2000 PP No. 102/2000 Keoores No.78/2001 Keppres No.72/2001 UU No.41/1999, Keppres No.105/1999 Keppres No.132/2001 UU No. 2/2002 Keppres No. 44/2002 Keppres No.17 /2002 Keppres No.150/2002 Keppres No.181/1998, Perpres No.65/2005 UU No.25/2003, Keppres No.81/2003 Keppres No. 54/2005 Keppres No.23/2003 UU No.3/2003 UU No. 24/2007 PP No. 23/2004 PP No. 15/2005 PP No. 16/2005
34
35
36 37
38 39 40
Penvediaan Air Minum dan Koordinasi Lembaga Peningkatan Pengendalian Kesejahteraan Sosial Penyandana Cacat Lembaga Sensor Film
Korsil Kedokteran Indonesia Sadan Pengelola Pusoiotek Pengembangan Sadan Kehidupan Sernegara Dewan Pengembangan dan Antariksa Nasional Komisi Keiaksaan
Keppres No. 83/1999
PP No.8/1999
UU No. 29/2004 Keoores No.43/1976 Keppres No.85/1999 Keppres No.132/1998 UU No.16/2004
Di samping komisi negara independen dan komisi-komisi sebagai executive branch agencies lembaga-lembaga
di atas, masih terdapat
pemerintahan non departemen (LPND),
yang
jumlahnya sekitar 24 lembaga, yang dipimpina oleh pejabat setara eselon satu, seperti Lembaga Administrasi Negara (LAN), Arsip Nasional,
Sadan Kepegawaian Negara, Perpustakaan Nasional,
Sadan Pusat Statistik, Sadan Standarisasi Nasional, Sulog, SKKSN, LAPAN, SPPT, SPN,
SPOM, lemhanas,
Sadan Tenaga Nuklir
Nasional, Sadan Pengawas Tenaga Nuklir, Sadan Koordinasi Survey dan
Pemetaan Nasional,
BKPM.
LPND merupakan lembaga
pemerintah yang oleh Presiden, yang langsung berada di bawah dan bertanggungjawab
kepada
Presiden.
LPND
dibentuk
untuk
melaksanakan urusan-urusan pemerintahan tertentu dan spesifik.57
57
Lihat Faisal A. Rani, Kewenangan Presiden Untuk Membentuk lembaga Pemerintahan Non-Departemen,Tesis pada ProgramPascasarjana Unpad Bandung, 2004.
62
Menata ulang
UUD tidak memberikan petunjuk atau norma apa yang diidentifikasi
sebagai "lembaga
non struktural",
namun
UUD
mengatur atau mencantumkan dua lembaga yang dapat digolongkan dalam LNS, yaitu "komisi pemilihan umum" dan "Kornisi Yudisial". Dalam praktek penyelenggaraan negara, sudah banyak terbentuk lembaga negara non-struktural, dengan berbagai latar belakang pembentukannya. lstilah yang digunakan untuk LNS berbeda-beda, ada yang digunkan badan, lembaga, komisi, dewan, komite, dan bahkan ada yang digunakan istilah akademi. pembentukannya
juga
berbeda-beda,
Dari sisi dasar hukum ada
yang
dibentuk
berdasarkan undang-undang, peraturan pemerintah, dan ada yang dasar pembentukannya keputusan presiden atau peraturan presiden, dengan fungis dan tujuan berbeda-beda, yang tentunya bersifat spesifik. Untuk menata ulang lembaga kekuasaan negara, dapat dirujuk pada dua kelompok kekuasaan negara yang disebutkan di atas. lembaga kekuasan primer (atau state fundamental bodies) dan lembaga kekuasaan sekunder (atau state auxiliary bodies). Semua lembaga kekuasaan primer diatur dan dibentuk berdasarkan UUD. Komisi Yudisial
dan komisi pemilihan
umum,
bukan lembaga
kekuasaan primer, tetapi bersifat sekunder, dan tidak berada di dalam UUD sebagai jajaran kekuasaan primer.
63
Semua
kekuasaan
negara
atau
pemerintahan
diselenggarakan oleh lembaga kekuasaan sekuder
yang
atau state
auxiliari bodies atau administrative agencies harus dikaji atau dinilai ulang tentang fungsi, tugas, kewenangan, dan perannya dalam mewujudkan tujuan negara. Paling tidak, langkah
penataan. Pertama, menilai
harus dilakukan tiga
kembali
semua lembaga
kekuasaan sekunder atau administrative agencies atau state auxiliary bodies masih dibutuhkan tugas, fungsi, kewenangannya, dan perannya dalam mewujudkan tujuan negara. Jika masih dibutuhkan, dan kekuasaan tersebut merupakan lingkup kekuasaan eksekutif atau lingkup kekuasaan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara, maka kekuasaan yang ada pada lembaga tersebut harus melebur dalam kementerian negara. Semua tugas, fungsi, kewenangan, dan peran kekuasan pemerintahan (eksekutif)
dibagi
habis dalam kementerian.
Kedua, apabila
kekuasaan yang ada pada lembaga kekuasaan sekunder itu tumpang
tindih
dengan
kekuasaan
dengan
tugas,
fungsi,
kewenangan, dan peran kementerian, maka ia harus dibubarkan. Ketiga, jika masih dibutuhkan, dan tidak dapat dileburkan dalam kementerian karena tugas, fungsi, kewenangan,
dan perannya
spesifik, maka lembaga tersebut dapat dipertahankan
sebagai
lembaga kekuasaan sekunder (state auxiliary bodies). Semua lembaga kekuasaan sekunder (state auxiliary bodies) harus
diatur dan dibentuk dengan undang-undang.
Langkah
pragmatis, membentuk suatu undang-undang yang menentukan
64
kriteria
lembaga
kekuasaan
lembaga kekuasaan sekunder.
sekunder
dan membentuk
lembaga-
Dengan demikian, semua kekuasaan
negara sekunder diatur dan dibentuk dalam satu undang-undang.
65