Daftar Isi Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo Kabupaten Rembang (Sebuah Refleksi Kehidupan Masyarakat Pedesaan) Tradition of Early Marriage In Tegaldowo Village, Rembang District (A Rural Community Life Reflection) — 1 Moh. Mukson
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah Sebagai Upaya Mengurangi Angka Perceraian di Kabupaten Pesisir Selatan (Policy Analysis of BP4 Pre Marital Course as Efforts to Reduce The Divorce Rate in South Pesisir District) — 46 Nofri Yendra
Telaah Pemikiran Hisab Sa’adoeddin Djambek (Sebuah Upaya Menuju Unifikasi Kalender Indonesia) Study of Thought of Sa’adoeddin Djambek Hisab (The Attempts Toward Unification Indonesia Calendar) — 96 Lina Kushidayati
Peranan Jejaring Antar DKM Dalam Pemberdayaan Masyarakat (Optimalisasi Bimbingan & Penyuluhan Agama di Kecamatan Rancabali Kabupaten Bandung Prov. Jawa Barat) Role of Networking Among Dkm In The Community (Optimization of Religion in Counseling & Extension District Rancabali Bandung West Java) — 121 Ihsan Faisal BR
Pengelolaan Wakaf Produktif dengan Memanfaatkan Lembaga Perbankan (Partnership between Nazhir with Banks in the Management of Waqf Assets) — 145 Abdullah Ubaid
Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
Telaah Sidang Itsbat Sebagai Putusan Tunggal Dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah Perspektif Ilmu Falak & Ushul Fiqh (Study of Itsbat Conference as a Single Decisioni in Determination of The Beginning Qamariyah Perspective Ilmu Falak and Ushul Fiqh) — 170 Siti Tatmainul Qulub
Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’ân The Quran-based Character Education— 194 Nasaruddin Umar
Tradition of Early Marriage in Tegaldowo Village, Rembang District (A Rural Community Life Reflection) Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo Kabupaten Rembang (Sebuah Refleksi Kehidupan Masyarakat Pedesaan)
Moh. Mukson KUA Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang Jawa Tengah email :
[email protected]
Abstract : Economic maturity, mental, and physical capital are important points in preparing marriage life. As well as maturity in thinking and acting, it will minimize conflicts and disharmony in the family caught on. In Tegaldowo society, early marriage is a common thing. Moreover, there is perception says that the sooner women married is the better and better confidence to be the young widow than the title as an old maid because waiting for ripe age of marriage. Married at a young age has implications for the well-being of families and society as a whole. Abstraksi : Kematangan ekonomi, mental, dan fisik adalah modal penting dalam persiapan membina rumah tangga. Begitu pun kedewasaan dalam berpikir dan bertindak, tentunya akan meminimalisir konflik dan tidak mudah terjebak pada disharmoni dalam keluarga. Dalam masyarakat Tegaldowo kawin usia muda merupakan hal lumrah terlebiih lagi masih adanya persepsi bahwa perempuan semakin cepat menikah semakin baik dan keyakinan lebih baik jadi janda muda dari pada mendapat predikat perawan tua karena menunggu usia matang nikah. Padah pernikahan di usia muda memiliki implikasi bagi kesejahteraan keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Keyword: Tradition, Age of Married, Married in Young Age, Tegaldowo Village, Conflict, Welfare
2_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
A. Pendahuluan Ketika sepasang pengantin sepakat mengikrarkan janji, menyatu dalam sebuah ikatan yang bernama pernikahan yang ada dalam benak mereka tak lain adalah mewujudkan impian tentang keluarga yang bahagia, sejahtera, lahir dan batin. Dalam bahasa agama keluarga idaman semacam itu sering disebut dengan istilah keluarga sakînah, mawaddah wa rahmah.1 Begitupun saat mereka menetapkan hati untuk memilih pasangan hidup, dalam lubuk hati yang paling dalam tentu menginginkan kebersamaan dalam waktu yang panjang atau bahkan sebisa mungkin abadi. Aneh rasanya kalau ada seorang laki-laki ataupun perempuan dari awal menikah sudah diniatkan untuk sementara waktu saja. Kisahkisah tentang keabadian cinta, kesetiaan dan indahnya membangun kebersamaan telah banyak mengisi lembar-lembar sejarah peradaban manusia dan tampaknya hal itu merupakan salah satu sumber inspirasi bagi banyak manusia saat menjalani kehidupan rumah-tangganya.2 Persoalannya tidak semua yang memiliki impian indah tentang keluarga bahagia, harmonis, sakînah, mawaddah wa rahmah bisa mewujudkannya dalam kenyataan. Ada banyak hal yang bisa menyebabkan terjadinya kesenjangan antara impian dan kenyataan. Pernikahan bukanlah sebuah kondisi yang monolitik. Pernikahan merupakan sebuah kondisi yang dinamis dan penuh warna. Sedinamis dan seberagam warna hidup dan kehidupan itu sendiri. Maka bagi siapa saja yang tidak memiliki kesiapan yang cukup dalam memasuki jenjang pernikahan, tidak heran bila dia gagal mewujudkan impian-impiannya. Pernikahan dalam usia dini sering disebut sebagai salah satu hal yang menghangi pasangan pengantin mewujudkan impain-impian indahnya. Mengapa demikian?, Karena menikah dalam usia dini biasanya tidak dibarengi dengan kematangan ekonomi, kematangan mental, dan bahkan dalam hal-hal tertentu, kematangan fisik. Kondisi demikian tentu cukup rentan konflik dan mudah terjebak dalam disharmoni. Harus diakui
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _3
bahwa pernikahan sesungguhnya adalah urusan orang-orang dewasa. Hanya orang-orang yang dewasa dan matang–-khususnya secara mental, yang siap mengarungi kehidupan berumah-tangga yang seringkali mesti berhadapan dengan problem-problem besar. Bila mentalnya masih labil–-tipikal mentalitas anak-anak–-tentu cukup sulit menyesuaikan diri dengan kehidupan berumah-tangga khususnya saat mereka dihadapkan pada persoalan-persoalan yang membutuhkan penyelesaian secara dewasa. Pernikahan usia dini sekalipun dilarang oleh Undang-undang, ternyata masih banyak terjadi di masyarakat. Sebagian masyarakat masih memiliki persepsi bahwa perempuan semakin cepat menikah semakin baik. Pada saat lamaran dari seorang laki-laki telah datang, maka tak ada alasan bagi pihak keluarga perempuan untuk menolaknya. Tanpa perlu mempertimbangkan berapa usia anak perempuannya. Datangnya jodoh adalah anugerah yang tidak boleh ditolak, karena kalau ditolak, mereka khawatir anak perempuannya menjadi “perawan tua”. Mereka tidak terlalu berpikir apakah dengan usia muda, anak-anaknya bisa menjalani rumah tangga dengan benar atau tidak. Apakah dengan usia muda, dengan pengetahuan dan pengalaman yang sangat minim dalam urusan rumah tangga, anaknya bisa mewujudkan kebahagiaan atau tidak. Bagi mereka, hidup dan pernikahan adalah sesuatu yang sederhana. Mereka berpikir segala sesuatu akan berjalan secara alamiah, kebahagiaan akan turun dengan sendirinya, karena mereka dulu juga mengalami seperti itu. Mereka lupa bahwa kebahagiaan perkawinan perlu diusahakan secara terus menerus antara suami istri, karena perceraian yang terjadi sering diakibatkan tidak adanya persiapan di antara kedua belah pihak.3 Pernikahan, di samping masuk dalam masalah sosial (hubungan antar manusia) juga memiliki nilai ibadah bagi yang menjalankannya. Sebagaimana tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1. “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
4_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”4 Agar mampu menjaga kerukunan, harmonis, dan mampu mengelola persoalan-persoalan yang dihadapinya, pasangan suami istri harus memiliki kedewasaan dalam berpikir dan bertindak. Oleh karenanya, pernikahan harus dipandang dan disikapi sebagai sesuatu yang serius dan penting. Usia pada saat menikah berkaitan erat dengan pola rumah tangga yang akan dijalankan oleh pasangan suami istri. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang belum matang atau belum semestinya dari sisi usia dan mereka yang telah matang, tentu sangat berbeda. Kematangan usia secara umum berkait pula dengan kematangan secara mental dan pengalaman. Kematangan usia biasanya juga berkaitan dengan kematangan ekonomi. Kematangan ekonomi ini erat kaitannya dengan kemampuan mencari nafkah, khususnya bagi suami yang memang memiliki kewajiban untuk menafkahi keluarga. Apa yang bisa diharapkan dari pasangan pengantin yang dari segi pengalaman bekerja masih minim dan belum terbiasa memikul tanggung-jawab keluarga. Kesiapan psikis (mental) baik bagi laki-laki maupun perempuan tidak kalah penting dibanding kematangan fisik. Mengingat kehidupan keluarga tidak selamanya mulus dan ramah. Akan selalu ada problem dan kesulitan, baik yang sifatnya internal maupun eksternal. Terlebih bagi laki-laki yang menjadi suami dan sekaligus sebagai imam rumah tangga, tentu dibutuhkan kematangan dan kedewasaan yang lebih, agar upaya membimbing dan memimpin keluarga bisa berjalan dengan sukses dan selamat, lebih-lebih saat keluarga menghadapi banyak ujian.5 Pernikahan di usia muda juga memiliki implikasi bagi kesejahteraan keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Proses pemberdayaan kepada anak-anak tentu tidak bisa optimal. Bagaimana proses pemberdayaan anak-anak bisa berjalan baik, bila orang tua yang tentunya memegang peranan penting dalam proses pemberdayaan
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _5
tersebut, dalam beberapa hal mengalami ketidak-berdayaan sendiri. Dampak berikutnya, keluarga semacam ini sering menjadi beban untuk anggota masyarakat yang lain. Hukum Islam tidak memberikan batasan usia bagi seseorang yang ingin melaksanakan pernikahan. Akan tetapi lebih mengarah kepada tanda-tanda fisik seperti pubertas biologis, atau dengan kata lain telah mencapai usia bâligh, yaitu seperti yang terjadi pada laki-laki dengan keluarnya manî dan bagi perempuan telah mengalami menstruasi. Namun pada kenyataannya, dewasa ini pada usia tersebut biasanya belum mencapai kematangan, baik emosi, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat 1, tentang tentang Perkawinan, memberikan batasan usia bagi laki-laki dan perempuan yang ingin melangsungkan pernikahan. Pernikahan, bagi laki-laki sekurang-kurangnya telah mencapai usia 19 tahun dan bagi perempuan sekurang-kurangnya telah mencapai usia 16 tahun. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendapatkan kualitas rumah tangga dan keturunan yang baik.6 Persoalan lain yang berkaitan dengan persoalan pernikahan dini atau pernikahan usia muda, di samping sebagaimana dijelaskan di atas, seperti ekonomi, kekurang-matangan secara pengetahuan dan kematangan emosional, plus karena hamil pra nikah, adanya tradisi yang diyakini secara turun temurun bahwa pernikahan dini adalah tradisi peninggalan nenek moyang yang “layak” dan bahkan dalam komunitas tertentu “harus” dilestarikan. Inilah yang terjadi di desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang. Di tengah gencarnya wacana tentang emansipasi perempuan, kesetaraan gender, dekonstruksi budaya patriarkhi,7 dan banyak yang lain, ternyata masih ada sebuah komunitas yang berjalan dengan narasinya sendiri, teguh dengan tradisi perkawinan usia dini yang berumur ratusan tahun peninggalan nenek moyang dan meyakini apa yang mereka lakukan sebagai bentuk kesetiaan pada
6_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
leluhur. Di desa ini, sebagian masyarakatnya masih percaya bila seorang gadis berusia 18 tahun belum menikah dianggap sebagai “perawan tua” yang tak laku. Juga keyakinan-keyakinan lain yang intinya senafas tentang perlu dan pentingnya pernikahan para gadis pada usia muda. Bahkan dalam kasus tertentu demi taat pada tradisi ini para orang tua melakukan pemaksaan pada anak gadisnya. Fenomena di atas menggerakkan hati penulis untuk mencoba merefleksikan praktek nikah atau kawin ala “Siti Nurbaya” 8 yang tampaknya tak lagi senafas dengan kemauan sebagian masyarakat desa Tegaldowo sendiri. Zaman telah berubah dan sesungguhnya mulai terbit kesadaran di sebagian kalangan masyarakat desa Tegaldowo sendiri untuk “berubah”. Hanya denyut perubahan tersebut nampaknya masih membutuhkan proses yang panjang untuk menemukan momentum dan menjadi kesadaran bersama. Hal ini tentu saja wajar, ketika wacana besar (grand-discourse) banyak menggelontor ruang publik, tentang emansipasi perempuan, keseteraan gender, pentingnya keluarga sakinah, dan beberapa hal baru yang lain, maka paling tidak ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, wacana narasi itu meluncur mulus menuju obyek sasaran dan perubahan sebagai target segera terjadi. Tentu demi mencapai h tersebut mengandaikan pra syarat tertentu. Yang utama adalah terbangunnya kesadaran atau pola pikir (mind-set) masyarakat yang pro terhadap perubahan. Terbangunnya kesadaran atau pola pikir demikian hanya mungkin bila segenap pranata dalam masyarakat pun bersikap sama. Pranata, entah dalam wujud adat-istiadat, hukum-hukum, kebiasaan, cita-cita, maupun dalam bentuk seperti nilai-nilai agama, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berkembang dalam masyarakat tertentu, memberi ruang yang memadai bagi tumbuh berkembangnya semangat perubahan. Kedua, munculnya resistensi dari masyarakat dan bahkan dalam bentuknya yang ekstrem, melawan. Ini terjadi ketika wacana atau narasi baru dianggap tidak sesuai atau bertentangan dengan wacana atau narasi yang berkembang di masyarakat. Apalagi dalam masyarakat yang
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _7
kesadaran dan pola pikirnya belum mengalami “pencerahan”, mereka cenderung bersikap tertutup atas hal-hal baru. Pedoman mereka dalam menjalani hidup adalah adat-istiadat peninggalan nenek-moyang yang berlaku turun-temurun. Di dalam masyarakat demikian dibutuhkan perjuangan yang lebih, agar semangat perubahan bisa mendapat sambutan. Dan apa yang terjadi di masyarakat desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang menggambarkan pertarungan antar wacana tersebut. Pertarungan wacana atau narasi dalam masyarakat pedesaan yang hidup dalam tuntunan adat-istiadat berumur ratusan tahun menghadapi perguliran dan tuntutan zaman yang “mengharuskan” perubahan. Masyarakat yang menjadikan perkawinan usia dini dan dalam banyak kasus disertai dengan kawin paksa sebagai tuntunan adat yang dalam kenyataannya menimbulkan banyak korban, khususnya bagi para perempuan kecil itu, menghadapi nilai-nilai baru tentang persamaan, modernisasi, dan ide-ide pembangunan yang lain. Semoga apa yang penulis susun memberi arti bagi perkembangan kesadaran masyarakat luas. Sebagai wahana refleksi bersama melongok sebuah dunia yang mungkin dianggap sebagai “dunia lain” yang sesungguhnya tak berjarak dengan kita. Mungkin kegandrungan kita pada narasi-narasi baru membuat kita kurang menyadari bahwa masih banyak dalam ceruk-ceruk wilayah negara kita yang amat luas ini, komunitas yang menjalankan narasinya sendiri dan butuh untuk kita sapa. Publik terkaget-kaget saat seorang Pujiono Cahyo Widianto atau lebih dikenal dengan sebutan Syeh Puji mengawini Lutviana Ulfah, gadis “bau kencur” berusia 12 tahun, yang akhirnya menjadi berita nasional itu. Begitupun saat Aceng Fikri menjalani “pernikahan kilat” dengan gadis “bau kencur” yang bernama Fany Oktora. Tapi sesunguhnya apa yang menimpa Ulfah maupun Fany Oktora dialami oleh banyak gadis-gadis lain dan berlangsung sekian lama nyaris tanpa “gugatan” dan publikasi.
8_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
Setidaknya banyak para gadis kecil di desa Tegaldowo mengalami “tragedi” itu. Sebagaimana secara lebih dalam akan kami bahas dalam tulisan ini.
B. Rumusan Masalah Dalam tulisan ini penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran sepintas-kilas desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang? 2. Apa sajakah faktor-faktor yang melatar-belakangi terjadinya praktek kawin usia dini di desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang? 3. Apa dampak negatif dari praktek kawin usia dini di desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang? 4. Apa yang bisa dilakukan Kantor Urusan Agama dalam meminimalisir praktek kawin usia dini di desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah: 1. Untuk mengetahui gambaran sekilas Desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatar-belakangi terjadinya pratek kawin usia dini di Desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang 3. Untuk mengetahui dampak negatif dari praktek kawin usia dini di Desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang 4. Untuk mengetahui apa yang bisa dilakukan Kantor Urusan Agama dalam meminimalisir praktek kawin usia dini di Desa Tegaldowo Kabupaten Rembang
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _9
2. Manfaat Penelitian Penulisan ini diharapkan bisa memberi manfaat : 1. Manfaat secara teoritis Membantu pengembangan dan khazanah keilmuan, khususnya dari sisi teoritis pada bidang-bidang ilmu seputar pernikahan, budaya masyarakat, dan pendidikan Islam 2. Manfaat secara praktik Menjadi bahan bagi segenap pihak, termasuk para pemangku kebijakan untuk menyusun langkah terbaik, agar persoalan pelestarian tradisi tidak dimaknai secara dangkal. Juga bahan renungan para orang tua, calon pengantin dan masyarakat, khususnya yang berdomisili di Desa Tegaldowo Kabupaten Rembang.
D. Sistematika Pembahasan •
•
• •
•
Secara garis besar tulisan ini terdiri dari sistematika sebagai berikut: PENDAHULUAN, berisi tentang latar belakang masalah, permusan masalah, tujuan dan kegunaan hasil penulisan dan sistematika penulisan. KAJIAN TEORI DAN METODE PENELITIAN, membahas tentang pegertian perkawinan atau pernikahan, pengertian perkawinan usia dini dan metode penelitian. TRADISI PERKAWINAN USIA DINI DI DESA TEGALDOWO KECAMATAN GUNEM KABUPATEN R EMBANG, meliputi profil Desa Tegaldowo, adat istiadat yang berlaku di Desa Tegaldowo, praktek pernikahan usia muda di Desa Tegaldowo, beberapa akibat yang muncul karena perkawinan usia dini KESIMPULAN, memuat kesimpulan dan saran-saran
10_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
E. Kerangka Teoritis dan Metodologi Penelitian a. Kajian Teori 1. Pengertian perkawinan Perkawinan menurut hukum Islam adalah sama dengan pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, dan melalui perkawinan tersebut bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakînah, mawaddah, dan rahmah.9 Menurut bahasa Indonesia pernikahan adalah perkawinan. Dewasa ini kerap kali dibedakan antara ‘’nikah” dengan “kawin”,10 akan tetapi pada prinsipnya antara pernikahan dan perkawinan adalah sama. Nikah yang menurut bahasa berarti penggabungan dan pencampuran. Sedangkan menurut istilah nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal.11 Pernikahan, berasal dari kata “nikah” yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasuk-kan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi’). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah. Beranjak dari makna etimologis inilah para ulama fikih mendefinisikan perkawinan dalam konteks hubungan biologis. Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi. Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.12 Definisi lain yang diberikan oleh beberapa mazhab, antara lain : Menurut Hanafiah, nikah adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan mut’ah secara sengaja, artinya kehalalan seorang laki-laki untuk ber-istimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i. Menurut Hanabilah nikah adalah akad yang menggunakan lafaz nikâh yang bermakna tazwîj dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang.13
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _11
Golongan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki), berarti juga untuk hubungan kelamin, bukan dalam arti sebenarnya (arti majazî). Penggunaan kata untuk bukan arti sebenarnya itu memerlukan penjelasan di luar dari kata itu sendiri. Di kalangan ulama Syafi’iyah rumusan yang biasa dipakai adalah akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafadz na-ka-ha atau za-waja. Ulama golongan Syafi’iyah ini memberikan definisi sebagaimana disebutkan di atas melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami isteri yang berlaku sesudahnya yaitu boleh bergaul, sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung di antara keduanya tidak boleh bergaul.14 Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halal melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong-menolong, serta menimbulkan hak dan kewajiban di antara keduanya.15 Dengan redaksi yang berbeda, Imam Taqiyyudin di dalam Kifâyah al-Akhyâr mendefinisikan nikah sebagai ibarat tentang akad yang masyhur yang terdiri dari rukun dan syarat, dan yang dimaksud dengan akad adalah al-wathi’ (bersetubuh).16 Definisi yang diberikan oleh ulama-ulama fikih di atas bernuansa biologis. Nikah dilihat hanya sebagai akad yang menyebabkan kehalalan melakukan persetubuhan. Hal ini semakin tegas karena menurut al-Azhari makna asal kata nikah bagi orang Arab adalah al-wath’ (persetubuhan).17 Pengertian para ahli fiqh tentang hal ini bermacammacam, tetapi mereka semuanya sependapat, bahwa perkawinan, nikah atau zawaj adalah suatu akad atau perjanjian yang mengandung ke-sahan hubungan kelamin. Pada dasarnya pernikahan itu diperintahkan oleh syara’. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak yatim,
12_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat orang, dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, cukup satu orang” (Q.S. Al-Nisa’ : 3).18 Dan begitu pula Allah telah menjelaskan dalam surat al-Zariyat ayat 49: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.19 Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuhtumbuhan. Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak-pinak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarkhi tanpa aturan. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhai, dengan upacara ijab kabul sebagai lambang adanya rasa ridha-meridhai, dan dengan dihadiri dengan para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat. 2. Pengertian Perkawinan Usia Dini Perkawinan atau pernikahan dini adalah akad nikah yang dilangsungkan pada usia di bawah kesesuaian aturan yang berlaku. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam memuat asas penting yang harus dipenuhi dalam pernikahan, diantaranya adalah asas kematangan atau kedewasaan calon mempelai. Asas ini juga diterapkan oleh sekitar 17 (tujuh belas) negara muslim, dengan batas minimal usia pernikahan yang berbeda-beda.20 Ketentuan usia calon mempelai diatur di dalam Kompilasi Hukum
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _13
Islam pasal 15 yang berbunyi: 1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. 2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang No. 1 Tahun 1974.21 Kompilasi hukum Islam dalam hal ini memang tidak memberikan aturan yang berbeda dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, akan tetapi ia menjelaskan pertimbangan hukum yang digunakan di dalam menetapkan peraturan ini, yaitu sebagai upaya kemaslahatan yang tidak diterangkan di dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 di dalam pasal 7, terdapat persyaratan-persyaratan yang lebih rinci. Berkenaan dengan calon mempelai pria dan wanita, undang-undang mensyaratkan batas minimum umur calon suami sekurang-kurangnya 19 tahun dan calon isteri sekurang kurangnya berumur 16 tahun. Selanjutnya dalam hal adanya penyimpangan terhadap pasal 7, dapat dilakukan dengan meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita. Semua ketentuan sebagaimana diterangkan dalam Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari yang bersangkutan tidak menentukan lain, sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 ayat (6). Batasan umur yang termuat dalam Undang-undang Perkawinan sebenarnya masih belum terlalu tinggi dibanding dengan beberapa negara lainnya di dunia. Al-Jazair misalnya membatasi umur untuk melangsungkan pernikahan itu, laki-lakinya 21 tahun dan perempuan 18 tahun, demikian juga di Bangladesh 21 tahun untuk laki-laki dan
14_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
18 tahun untuk perempuan. Memang ada juga beberapa negara yang mematok umur tersebut sangat rendah. Yaman Utara misalnya, membatasi usia perkawinan tersebut pada umur 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan. Malaysia membatasi usia perkawinannya, laki-laki berumur 18 tahun dan yang perempuan 16 tahun. Dan rata-rata negara di dunia membatasi usia perkawinan itu laki-laki 18 tahun dan wanitanya berkisar 15 dan 16 tahun. Yang jelas, dengan dicantumkannya secara eksplisit batasan umur, menunjukkan apa yang disebut oleh Yahya Harahap di dalam buku Hukum Perkawinan Nasional, exepressip verbis atau langkah penerobosan hukum adat dan kebiasaan yang dijumpai di dalam masyarakat Indonesia. Di dalam masyarakat adat Jawa misalnya, sering kali dijumpai perkawinan anak perempuan yang masih muda usianya. Anak perempuan Jawa dan Aceh seringkali dikawinkan meskipun umurnya masih kurang dari 15 tahun, walaupun mereka belum diperkenankan hidup bersama sampai batas umur yang pantas. Biasanya ini disebut dengan kawin gantung. Agak berbeda dengan paparan di atas, adalah apa yang termaktub dalam konvensi hak-hak anak yang dikeluarkan oleh Majlis Umum PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) pasal 1 bahwa anak didefinisikan sebagai mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Konvensi ini diperkuat dengan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mana dalam pasal 1 mengatakan bahwa: ”anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”.22 Dalam tinjauan fiqih pernikahan/perkawinan dini biasa disebut dengan nikah al-shaghîr/al-shaghîrah, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh seseorang laki-laki atau perempuan yang belum baligh. Dalam perspektif fiqih, usia baligh seseorang dicirikan dengan ihtilâm (mimpi basah) bagi seorang laki-laki dan keluarnya darah haid bagi seorang perempuan. Dari sisi usia, menurut Abu Hanifah bagi laki-laki adalah 18 tahun dan perempuan 17 tahun. Sementara menurut Syafi’i usia baligh
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _15
adalah 15 tahun baik laki-laki ataupun perempuan. Hukum pernikahan dini menurut mayoritas ulama adalah sah, apabila telah memenuhi syarat dan rukun pernikahan yang telah ditentukan yaitu sighat (ijabqabul), calon mempelai (suami-isteri), wali bagi perempuan dan dua saksi. Namun ada juga ulama yang tidak membolehkan pernikahan dini dengan beberapa argumentasi dan dalil. Ulama yang mensahkan pernikahan dini mengemukakan dalil dan argumentasi sebagai berikut: 1) Terdapat dalam surat Ath-Thâlaq ayat 4:
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.”
Dalam ayat ini disebutkan bahwa iddah (masa tunggu) bagi wanita yang belum haid dan wanita yang sudah monopouse adalah 3 bulan. Adanya iddah bagi wanita yang belum haid menunjukkan kebolehan menikahnya karena iddah tidak mungkin terjadi tanpa didahului pernikahan dan perceraian.
2) Terdapat dalam surat An-Nur ayat 32 :
“Dan nikahkanlah wanita-wanita yang belum bersuami di antara kalian”.
Perintah dalam ayat ini menggunakan kata wanita-wanita yang bermakna ‘am (umum) yang mencakup semua perempuan baik yang sudah baligh ataupun belum. Mengenai lafadz ‘am para ulama ushul sepakat bahwa semua kata yang bersifat umum dapat mencakup semua makna yang tercakup di dalamnya apabila tidak ada dalil yang men-takhsis-nya.
3) Pernikahan Nabi dengan Siti ‘Aisyah, sebagaimana tertulis dalam beberapa hadis.
“Nabi menikahiku ketika aku berusia 6 tahun dan hidup bersama
16_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
denganku ketika aku berusia 9 tahun.”23 4) Riwayat dan atsar dari para sahabat yang menikahkan kerabat mereka yang masih kecil. Seperti ‘Ali bin Abi Thib yang mengakadkan pernikahan Ummi Kultsum dengan ‘Urwah Ibn Zubair, dan ‘Abdullah Ibn al-Hasan Ibn ‘Ali dengan wanita yang masih kecil. Sahabat-sahabat lain seperti Ibn al-Musayyab dan ‘Abdullah ibn Mas’ud juga membolehkan pernikahan di bawah umur.24 5) Sahnya pernikahan dini juga didasarkan kepada kemaslahatan yang terkandung dalam menikahkan anak kecil, seperti telah ditemukannya calon yang ideal (se-kufu) bagi si wanita. 6) Sahnya pernikahan ini juga didasarkan pada prinsip bahwa baligh bukanlah merupakan syarat sahnya pernikahan.25 Sedangkan ulama yang tidak membolehkan pernikahan seseorang yang belum baligh seperti Ibn Syubrumah, Abu Bakr al-A’sham dan Usman al-Batti berpedoman kepada dalil yang terdapat dalam surat AnNisa’ ayat 6 : “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” Meskipun secara eksplisit tidak menerangkan tentang kondisi baligh sebagai salah satu syarat pernikahan, ayat ini mengandung makna bahwa kelayakan seseorang untuk menikah dibatasi oleh usia bâligh dan rusyd (kepandaian) seseorang dalam mengurus harta. Menurut Ibn Hazm jika anak-anak masih kecil dibolehkan menikah maka esensi ayat ini akan terabaikan.26 Orang-orang yang belum baligh dipandang belum mengerti esensi dan tujuan menikah, sehingga pernikahan dini justru akan menyebabkan madharat, mengingat begitu beratnya beban tanggung jawab di dalam kehidupan pernikahan.
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _17
b. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini penulis mengunakan pendekatan kualitatif. Bogdan dan Taylor mendefinisikan bahwa metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.27 Adapun sifat penelitian tersebut adalah penelitian deskriptif. Menurut Moh. Nazir, penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.28 Dalam penelitian ini, penulis mendeskripsikan secara sistematis dan akurat dengan mencatat semua hal yang terkait dengan obyek yang diteliti. 2. Tempat Penelitian Penelitian mengambil tempat di desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang Propinsi Jawa Tengah. 3. Populasi Sample dan Sampling Setelah merumuskan permasalahan, tujuan, dan rancangan penelitian dengan tepat dan benar. Maka tahap selanjutnya adalah menentukan obyek penelitian dengan tepat dan benar, dari mana data dikumpulkan. Pada umumnya dalam penelitian hanya menggunakan sebagian saja dari keseluruhan jumlah populasi yang diteliti yang disebut sampel. Teknik pengambilan sampel untuk penelitian disebut sampling. Sampling merupakan salah satu langkah yang penting dalam penelitian, dalam arti menentukan seberapa besar atau sejauh mana keberlakuan generalisasi hasil penelitian tersebut. Kesalahan dalam sampling akan menyebabkan kesalahan dalam kesimpulan, ramalan atau tindakan yang berkaitan dengan hasil penelitian.29 Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti.30 Dalam suatu penelitian sampel haruslah representatif, untuk itu dalam
18_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
penelitian ini teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non probability sample dengan cara purposive sampling atau sampel bertujuan,31 yaitu pemilihan sekelompok subyek atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai keterkaitan yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Berdasarkan pada metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini, sampel yang peneliti pilih beberapa orang tua yang anaknya menjalani perkawinan usia dini dan tentu saja para pelaku kawin usia dini sendiri. 4. Sumber Data Sumber data adalah salah satu yang paling vital dalam penelitian. Kesalahan dalam menggunakan dan memahami serta memilih sumber data, maka data yang akan diperoleh juga akan meleset dari yang diharapkan. Oleh karenanya, peneliti harus mampu memahami sumber data mana yang mesti digunakan dalam penelitiannya itu.32 Ada dua jenis sumber data yang biasanya digunakan dalam penelitian dan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a) Sumber Data Primer
Data Primer yaitu data-data yang diperoleh dari sumber pertama.33 Dalam hal ini data primer diperoleh langsung dari wawancara dengan beberapa perempuan yang mengalami praktek kawin usia dini dan beberapa tokoh yang memahami persoalan ini.
Wawancara berikutnya penulis lakukan kepada beberapa personil KUA Kecamatan Gunem. Hal ini penulis lakukan dalam rangka menggali informasi tentang Desa Tegaldowo, khususnya yang berkait dengan praktek kawin usia dini. a) Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan, diolah, dan disajikan oleh pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dan subyek penelitian. Data sekunder antara lain mencakup
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _19
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian yang berwujud laporan, dan sebagainya.34 Adapun data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen, literatur yang sesuai dengan pembahasan penelitian. Menurut Soerjono Soekanto sumber data dibagi menjadi tiga yaitu: sumber data primer, sumber data sekunder dan sumber data tersier. Sumber Data tersier adalah data-data penunjang, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap data primer dan sumber data sekunder, diantaranya kamus dan ensiklopedia.35 5. Metode Pengumpulan Data Kualitas data sangat ditentukan oleh kualitas alat atau metode pengumpulannya. Untuk memperoleh data yang valid, maka dalam pengumpulannya, digunakan tiga metode sebagai berikut: 1) Metode interview (wawancara) Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seseorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu.36 Adapun mengenai pelaksanaan wawancara peneliti memilih jenis interview bebas terpimpin. Interview bebas terpimpin yaitu pewawancara membawa pedoman yang hanya merupakan garis besar tentang h-h dapat ditanyakan kepada para informan. Dalam wawancara ini informan yang dimaksud adalah beberapa pelaku kawin usia dini, para orang tua yang anaknya melakukan kawin usia dini dan beberapa tokoh yang penulis anggap menguasai permasalahan ini. 1) Metode Observasi (pengamatan) Observasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala subjek yang diselidiki, baik pengamatan itu dilakukan dalam situasi yang sebenarnya maupun dalam situasi yang direkayasa.
20_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
Pengamatan atau observasi sering dipakai sebagai teknik pengumpulan data dalam penelitian yang bermaksud mengkaji tingkah laku.37 Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang perilaku masyarakat, keadaan dan kondisi Observasi dapat dilakukan dengan dua cara, yang kemudian digunakan untuk menyebut jenis observasi, yaitu: a) Observasi sistematis, yang dilakukan oleh pengamat dengan menggunakan pedoman sebagai instrumen pengamatan. b) Observasi non sistematis, yang dilakukan oleh pengamat dengan tidak menggunakan instrumen pengamatan.38 Berdasarkan pengertian dan macam pengamatan observasi di atas, peneliti akan menggunakan obeservasi non sistematis, pemilihan jenis pengamatan tersebut dengan alasan, data yang diperoleh dari teknik tersebut berupa kondisi objektif masyarakat yang dapat diamati secara langsung. Dan agar dapat diketahui secara langsung tentang praktek kawin usia dini di Desa Tegaldowo. 6. Metode Dokumentasi Dokumentasi adalah mencari data megenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, agenda, dan lain-lain.39 Dalam metode ini peneliti menggunakannya untuk memperoleh data atau informasi yang berasal dari data-data Desa Tegaldowo Kecamatan Gunem, buku-buku dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan obyek penelitian. 7. Metode Analisa Data Menurut Bogdan dan Taylor, analisa data adalah proses merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan ide seperti yang disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada tema dan ide itu.40
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _21
Sedangkan menurut Saifullah, dalam sebuah penelitian ada beberapa alternatif analisis data yang dapat dipergunakan yaitu antara lain: deskriptif kualitatif, deskriptif komparatif, kualitatif atau non hipotesis, deduktif atau induktif, induktif kualitatif, contents analysis (kajian isi), kuantitatif dan uji statistik.41 Setelah data-data diperoleh dan dikumpulkan peneliti, maka langkah selanjutnya adalah analisa data, sesuai dengan pembahasan tesis ini. Literatur-literatur yang diperoleh dalam penelitian, data-data kepustakaan dan lapangan tersebut dikumpulkan. Kemudian peneliti melakukan penyusunan data, menguraikan data, dan mensistematisasi data yang telah terkumpul untuk dikaji dengan metode deskriptif kualitatif yaitu analisis yang menggambarkan keadaan atau status fenomena dalam kata-kata atau kalimat, kemudian di pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.42 Dengan tujuan memberikan gambaran secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau untuk menentukan frekwensi atau penyebaran, suatu gejala adanya hubungan tertentu antara suatu gajala dengan gejala lain dalam masyarakat.
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang A. Pintas Kilas Potret Desa Tegaldowo Tegaldowo adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang. Merupakan desa terluas diantara desa-desa lain di wilayah Kecamatan tersebut. Di sebelah utara desa Suntri dan sebelah baratnya desa Timbrangan. Untuk sebelah selatan dan timur berbatasan dengan areal hutan. Berpenghuni 1326 Kepala Keluarga (KK), terdiri dari 2461 laki-laki dan 2486 perempuan. Mata pencaharian masyarakat mayoritas petani. Sisanya pedagang, PNS dan yang lain. Secara prosentase petani mencapai + 95%. Dari
22_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
jumlah ini 70% adalah petani persil yakni petani yang menggarap lahan hutan milik perhutani. Jenjang pendidikan, sesuai data statistik yang disampaikan suprapto,43 salah seorang perangkat desa, dari 4947 jumlah penduduk hanya 7 orang yang mendapat gelar sarjana strata satu (S1), 9 orang bergelar D2 dan D3, 71 orang SLTA, 200 orang luus SLTP, + 2000 orang lulus SD, sisanya tidak sempat lulus SD. Sebagai gambaran penulis paparkan beberapa hal seputar kebiasaan, adat-istiadat, maupun h-h lain yang ikut andil bagi kehidupan dan corak budaya yang dipilih oleh masyarakat desa Tegaldowo, antara lain: 1. Kehidupan Persil Mayoritas sumber kehidupan masyarakat Tegaldowo adalah petani persil. Persil merupakan istilah lahan tanah milik Perhutani yang belum ditanami atau hutan jati yang baru ditebang dan dibiarkan kosong. Tercatat dalam data statistik ada + 70% dari 1326 Kepala Keluarga memilih hidupnya di persil. Bila persilnya dekat dari desa mereka berangkat pagi pulang sore hari. Bila persilnya jauh mereka menginap di lahan persilnya. Ada yang satu hari, dua hari, satu miggu bahkan ada yang satu bulan. Tidak hanya kaum laki-laki yang melakukan ini. Kaum perempuan pun banyak yang mendampingi suaminya tinggal di persil. Kondisi demikian tentu berpengaruh pada perhatian orang tua kepada anak-anaknya. Pendampingan belajar, kepedulian pada perkembangan dan kebutuhan anak kurang terurus. 2. Praktek Keagamaan Dalam masalah agama, berdasarkan statistik 100% masyarakat Tegaldowo beragama Islam. Akan tetapi baru sebagian kecil dari mereka yang mengamalkan ajaran Islam secara benar. Lebih banyak dari mereka yang sekedar “mengaku” Islam dalam tataran administratif. Misalnya untuk dicantumkan dalam KTP, Kutipan Akte Nikah, Ijasah sekolah atau untuk kepentingan dokumentasi yang lain.
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _23
Memang masjid, langgar, banyak berdiri, Madrasah Diniyyah juga sudah ada. Namun kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan lembaga-lembaga pendidikan keagamaan tersebut masih minim. Jama’ah shalat maktûbah-–shalat lima waktu—tak banyak pengikutnya. Termasuk jamaah shat Jum’at. Abdul Ghoni, Kepala KUA Kecamatan Gunem, menuturkan saat menghadiri majlis akad nikah rata-rata Calon Pengantin (Catin) maupun wali mesti dituntun untuk mengucapkan kalimat “syahadat”. Warna lain dari corak keagamaan masyarakat adalah kentalnya nuansa kejawen.44 3. Penyakit Masyarakat Banyak yang salah duga saat membayangkan desa Tegaldowo sebagai wilayah di pegunungan, dengan latar-belakang budaya agraris, tentu cenderung tenang dan jauh dari hal-hal negatif, sebagaimana masyarakat perkotaan yang heterogen. Kesan demikian segera pudar saat dengan mudah bisa dijumpai orang berjudi di tempat-tempat yang cenderung terbuka. Orang-orang desa yang lugu itu tanpa canggung menenggak minuman keras. Main kartu, dadu, bilyard – permainan yang mulanya sebagai olah raga – mulai beberapa tahun lalu hampir menjadi permainan rakyat untuk mencari peruntungan. Main kartu dan dadu mudah dijumpai di warung-warung kopi atau tempat yang digunakan mangkal banyak orang. Apalagi bila ada acara ketoprak ataupun tayub di tempat mereka yang menggelar syukuran perkawinan atau khitan. Begitupun minuman keras. Acara tayub adalah ajang menggelar pesta minuman beralkohol. Biasanya minuman keras disediakan tuan rumah. Kesenian tayub, sering digelar untuk acara perkawinan. Bagi mempelai laki-laki yang membawa seekor kerbau pada memperlai wanita, maka seolah “wajib” hukumnya bagi pihak mempelai wanita menggelar kesenian tayub pada pesta perkawinannya. Di masyarakat Tegaldowo, tayub menjadi kesenian idola. Walaupun untuk mendatangkan
24_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
rombongan kesenian ini butuh biaya besar dari mulai jutaan bahkan bisa di atas sepuluh juta, tergantung terkenal atau tidaknya ledek-nya (penari). Menurut Suwandi, masyarakat begitu obral untuk membayar kesenian tayub tapi tidak untuk membiayai pendidikan anak-naknya.45 Saat digelar kesenian ini, kerumunan masyarakat, baik yang sekedar nonton maupun yang ikut menari mendampingi ledek, disuguhi hal-hal erotik. Bagaimana tidak erotik, bila penari perempuan yang berjumlah 2 sampai 4 orang dikelilingi banyak lelaki yang ikut menari dengan tak jarang tangan si lelaki mengelus pipi, bahu dan bahkan anggota tubuh lain yang mestinya tak layak disentuh di tempat umum. Dibalut udara pegunungan yang dingin dan dihangatkan dengan minuman beralkohol yang disediakan tuan rumah, suasana makin panas dan sensual. Seringnya pemandangan seperti ini di masyarakat, secara langsung atau tidak membentuk masyarakat untuk permisif terhadap beberapa hal tentang seks. 4. Budaya Ngemblok Kekayaan budaya masyarakat pegunungan – Tegaldowo dan sekitarnya, yang tak banyak dijumpai ditempat lain adalah adanya budaya ngemblok. Sebelum ke jenjang perkawinan, pihak pria mendatangi keluarga pihak wanita dan menyatakan keinginannya untuk mempersunting anak gadisnya. Pihak wanita, tanpa mengikutsertakan sang anak – biasanya masih duduk di bangku SD ataupun SLTP – menerima kedatangan pihak pria, namun tidak langsung menjawab maksud si pria. Setelah kurang lebih sebulan, datang rombongan pihak wanita ke keluarga pria dengan membawa aneka makanan khas desa sebagai jawaban. Inilah yang dimaksud ngemblok. Sebelum ngemblok biasanya didahului sebuah fase yang bernama “ndhedheki”. Yakni ketertarikan seorang pria kepada seorang wanita ditandai dengan semacam pengumuman kepada khayak bahwa wanita tersebut telah ditaksirnya. Dengan pengumuman ini dengan
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _25
sendirinya diharap pria-pria yang mungkin naksir pada wanita tersebut mengurungkan niatnya. 5. Tradisi Kawin Usia Dini Sebagaimana penulis paparkan di atas tentang kebiasaan dan adatistiadat yang berlaku di masyarakat Tegaldowo : pertanian persil, corak keagamaan yang kental dengan nuansa sinkretistis dengan tradisi kejawen, kebiasaan berjudi, menenggak minum keras dan kesenian tayub yang diidolakan serta adanya budaya ngemblok, dalam batasbatas tertentu menggambarkan betapa masyarakat Tegaldowo adalah masyarakat yang berpola pikir tradisonal. Yang masih belum siap menapaki kehidupan modern yang dinamis, sering bersikap irrasional dan kurang siap menerima sesuatu yang baru yang menuntun ke arah perbaikan serta kurang bersemangat menyongsong kemajuan. Hal lain yang memprihatinkan adalah adanya praktek kawin usia dini yang dalam banyak kasus disertai adanya unsur pemaksaan. Tradisi kawin usia dini dan kawin paksa – yang dalam cerita sering dinisbatkan dengan kisah “Siti Nurbaya”, dapat dijumpai pada masyarakat desa Tegaldowo. Atas nama adat, mereka melestarikan praktek yang telah berlaku turun temurun itu tanpa peduli bahwa zaman sebenarnya telah berubah. Anak-anak perempuan yang sedang asyik mengukir masa depan tiba-tiba mesti dipaksa bersanding di pelaminan. Mungkin tidak ada perlawanan frontal dari para gadis “bau kencur” itu. Namun bukan berarti pula mereka menerima nasib itu dengan gembira. Mereka mesti rela menerima paket jodoh yang disodorkan orang tua. Bahkan andai mereka tidak mengenal apalagi mencintai calon suaminya. Dalam beberapa kasus mereka disodori berita tentang perkawinannya tatkala mereka mereka belum banyak tahu tentang apa itu kawin, apa itu menikah. Tentu saja berita tersebut membuat kaget atau bahkan menjadi hal biasa-biasa saja karena mereka tidak memiliki gambaran yang cukup bagaimana mereka menjalani kehidupannya kelak. Mereka cenderung
26_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
pasrah menerima dan menjalani nasib. Menyerahkan masa depannya dalam belenggu tradisi. Seperti yang dialami Bunga (bukan nama sebenarnya). Bertepatan dengan acara perpisahan siswa kelas 3 SMP Gunem 2, pada hari itu dia mesti menjalani hari “bersejarah” dalam hidupnya. Bunga yang mestinya bisa bersenang-senang karena baru saja melaksanakan ujian tingkat SLTP mesti melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang telah meminangnya saat masih duduk dibangku kelas 2. Pada mulanya dia melakukan penolakan kepada orang tuanya agar mau menunda perkawinan selepas dia lulus SLTA. Namun keputusan orang tuanya tetap kukuh: dia harus menikah selepas lulus SMP. Bela, teman sekelas bunga juga mengalami nasib tragis. Dia mesti mengurungkan cita-citanya sekolah SMA karena orang tuanya telah menerima lamaran laki-laki yang siap menyuntingnya menjadi istri. Lebih tragis lagi, Bela mesti menikah dengan duda yang umurnya terpaut puluhan tahun dengannya. Dalam hal ini Bunga masih lebih beruntung karena suaminya seorang perangkat desa berijasah STM dan berumur 25 tahun. Nasib lebih parah menimpa Sita. Dia mesti dikawinkan dalam usia begitu muda. Dia baru saja lulus SD namun pria yang meminangnya sudah tak sabar untuk menunggunya beranjak besar. Jadilah gadis kecil ini mesti menyandang gelar sebagai seorang istri saat dia sebenarnya belum paham sepenuhnya apa itu itu istri, apa itu kawin, apa itu berumah-tangga dan semacamnya.46 Beberapa kejadian tersebut tentu amat ironis. Dalam Undang Undang nomor 1 Tahun 1974 pasal 6 ayat 1 disebutkan: “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.” Dalam pasal penjelasan disebutkan: ”oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _27
manusia. Maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun”. Tindakan memaksa anak untuk menikah sesungguhnya bisa dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) dan sebagai bentuk kekerasan terhadap anak. Sementara itu perkawinan bisa dikategorikan sebagai perkawinan dini bila dilakukan pada umur yang belum selayaknya. Mengacu pada Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat 1 menyebut: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahu”. Pada ayat 2 pasal yang sama dikatakan bahwa: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.47 Agak berbeda dengan paparan di atas adalah apa yang termaktub dalam konvensi hak-hak anak yang dikeluarkan oleh Majlis Umum PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) pasal 1, bahwa anak didefinisikan sebagai mereka yang berusia di bawah 18 tahun. Konvensi ini diperkuat dengan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mana dalam pasal 1 mengatakan bahwa: ”anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”.48 Dengan demikian dalam perspektif ini, perkawinan yang dilakukan pada usia di bawah 18 tahun bisa dikategorikan sebagai perkawinan usia dini. Perkawinan selayaknya dilakukan oleh manusia dewasa. Menurut M Fauzil Adhim, mengutip hasil penelitian professor psikologi Amerika diane E papalia dan sally wendkos O mengatakan: “Usia terbaik untuk menikah bagi perempuan adalah 19 sampai 25 tahun. Sedangkan bagi laki-laki 20 sampai 25 tahun”.49
28_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
Dari sini bisa ditarik benang merah bahwa apa yang dilakukan sebagian masyarakat desa Tegaldowo dengan praktek ala Siti Nurbaya merupakan tindakan yang tidak senafas dengan UU sekaligus secara psikologis amat merugikan bagi masa depan perempuan. B. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kawin Usia Dini Ada beberapa hal yang menyebabkan praktek kawin usia dini yang sering juga disertai pemaksaan - kawin paksa - seolah tetap lestari dalam masyarakat desa Tegaldowo. Hal tersebut berkaitan dengan persepsi, pemahaman, keyakinan atau apapun istilahnya yang masih mengakar kuat di sebagian besar masyarakat. Persepsi, keyakinan, pemahaman itu antara lain: 1. Ketakutan disebut sebagai Perawan Tua yang Tak Laku Ketakutan anaknya disebut sebagai perawan tua sering membuat sebagian orang tua di Tegaldowo tak berpikir panjang dalam menerima pinangan laki-laki. Untuk keluarga yang kurang mampu secara ekonomi cenderung menerima begitu saja saat datang pinangan. Mereka tidak banyak pertimbangan dan menetapkan kriteria tertentu bagi pendamping anak gadisnya. Mereka tidak berpikir apakah anak gadisnya cocok atau tidak dengan calon suaminya. Mereka tidak menganggap penting hal demikian dan percaya dengan berlalunya waktu, mereka akan cocok dengan sendirinya setelah jadi suami istri. Mereka berkaca dari apa yang mereka alami dulu bahwa waktu menikah tidak perlu saling kenal, toh nanti akan kenal sendiri dan cocok sendiri. Perkawinan menurut mereka begitu sederhana. Bagi mereka usia 20 tahun sudah masuk kategori usia yang dihindari. Usia 20 tahun dan belum menikah sudah dianggap perawan tua dan itu aib bagi keluarga. Terkadang demi menutupi rasa malu, gadis yang sudah 20 tahun dan belum kawin ditawartawarkan agar ada laki-laki yang mengawininya.50
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _29
Berikut data pengelompokan umur Calon Pengantin desa Tegaldowo Tahun 2000 – 2004 yang penulis peroleh dari KUA kecamatan Gunem. Usia <19 Th
Persen (%)
Usia 19 – 25 Th
Persen (%)
Usia > 25 Th
Persen (%)
No
Tahun
Jumlah N
1.
2000
82
33
40,2
32
39
17
20,8
2.
2001
72
37
61,7
21
35
2
3,3
3.
2002
62
20
36,4
23
41,8
12
21,8
4.
2003
85
42
58,4
23
31,9
7
9,7
5.
2004
78
56
72,8
15
19,4
6
7,8
Berdasarkan penelusuran di lapangan, penulis menemukan beberapa kasus terjadinya ketidak-sesuaian umur antara yang terdata di KUA dengan yang tertera di ijazah. Ketidak-sesuaian ini banyak terjadi pada catin yang usianya tercatat 16 dan 17 tahun. Setelah penulis teliti tahun kelahiran berdasar ijazah atau data yang dkeluarkan pihak sekolah banyak dari mereka yang berusia di bawah 16 tahun. Tentu saja kesenjangan ini menimbulkan banyak dugaan. Namun berdasarkan keterangan yang penulis peroleh dari Drs Abdul Ghoni, MSI, selaku Kepala KUA Kecamatan Gunem, perbedaan tersebut disebabkan sumber referensi dalam penentuan umur yang berbeda. KUA meggunakan Akte Kelahiran yang dikeluarkan pihak Catatan sipil. Sementara catatan sipil tidak mensyaratkan ijazah sebagai syarat pengurusan Akte Kelahiran.51 Berdasarkan data dari KUA Gunem sejak tahun 2011 hingga Mei 2013 terdapat 11 calon pegantin yang menikah pada usia dini. Pelaksanaan pernikahan mereka dilaksanakan setelah Pengadilan Agama Kabupaten Rembang mengeluarkan dispensasi nikah. Menurut Mardi, angka ini bukanlah angka riil pelaku kawin usia di desa Tegaldowo. Menurutnya angka yang sebenarnya jauh lebih
30_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
tinggi. Pengadilan Agama semenjak mencuatnya kasus Syeh Puji tidak terlalu “obral” dalam meluluskan permohonan dispensasi nikah di bawah umur. Maka bagi calon pengantin yang berdasar pengalaman kecil peluangnya untuk mendapat dispensasi dari Pengadilan Agama , dan biasanya mereka melakukan perkawinan di bawah tangan.52 Fakta ini dibenarkan oleh Listyowati, yang berprofesi sebagai “rias manten”. Menurutnya dia biasa diminta merias pengantin yang usianya masih sangat muda dan perkawinannya dilakukan di bawah tangan.53 2. Lebih Baik Jadi Janda Muda Perceraian dalam masyarakat desa Tegaldowo bukanlah hal yang ditabukan. Biarlah anak menjadi janda muda karena itu lebih baik daripada menanggung aib sebagai perawan tua yang tak laku. Dalam beberapa kasus, karena perkawinan lebih diniatkan agar tak jadi perawan tua, mahligai rumah tangga hanya seumur jagung. Hanya berlangsung dalam hitungan minggu, hari bahkan jam. Menurut Muslih, pernah terjadi malam akad nikah, paginya salah satu pengantin telah kembali ke orang tuanya. Dalam catatan KUA Gunem dalam setiap tahun selalu terdapat janda yang menikah lagi di desa Tegaldowo. Rata-rata mereka juga masih berusia muda. Berikut data yang penulis ambil dari tahun 2000 – 2004. DATA USIA JANDA DESA TEGALDOWO TAHUN 2000 – 2004 TAHUN
JUMLAH JANDA
2000 2001 2002 2003 2004
32 9 22 22 39
< 20 Tahun 2 9 5 14
20-25 TAHUN
26 – 30 TAHUN
>31 TAHUN
20 6 8 12 22
4 3 1 2
8 1 2 4 1
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _31
Data di atas diperoleh dari kelengkapan nikah para Catin. Ada asumsi lain yang menyatakan bahwa kenyataan di lapangan jumlah janda dan usia yang lebih muda sebenarnya jauh lebih banyak ketimbang apa yang tertulis di KUA. Asumsi ini didukung oleh penemuan penulis ketika menilik lebih dalam pada status kejandaan seseorang. Kebanyakan dalam berkas ditemukan orang-orang yang berstatus janda itu mengurus percerainnya ketika akan menikah kembali. Ini berarti para perempuan yang punya problem keluarga termasuk mereka yang tak lagi serumah dengan suami tidak mengurus perceraian pada saat belum menemukan calon suami baru. Jadi status mereka ini janda bukan, istri pun seolah bukan. 3. Anak Gadis sekolah Mau Jadi Apa? Anak gadis sekolah tinggi-tinggi mau jadi apa? Toh nanti kerjanya Cuma di belakang. Buat apa buang biaya mahal bila kelak hanya bergelut dengan dapur, sumur dan kasur. Lebih baik dikawinkan saja. Demikian ungkapan yang diterima Suparman dari para tetangga saat hendak menyekolahkan anaknya selepas lulus SMP. Apa yang dialami Suparman banyak menimpa orang tua lain yang hendak menyekolahkan anak gadisnya selepas SMP. Mau jadi apa! Itulah ungkapan yang berulang kali muncul bila melihat anak perempuan yang melanjutkan jenjang pendidikan. Anehnya hal demikian tak terjadi pada anak laki-laki. Padah melihat fakta, khususnya yang ada di desa Tegaldowo, baik laki-laki maupun perempuan nyaris bernasib sama selepas lulus sekolah. Sama-sama tak bisa mengandalkan ijazah untuk mendapat pekerjaan. Apa yang menimpa Suparman dan para orang tua yang lain menjadi penegasan atas rendahnya kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak, khususnya bagi anak perempuan. Tempat perempuan adalah di rumah. Setinggi-tinggi dia terbang, sejauh jauhnya dia pergi akan kembali ke rumah juga. Menurut H. Asy’ari, seorang guru di salah satu SD di desa Tegaldowo, sebenarnya banyak anak perempuan yang dari segi intelektualitas tak kalah
32_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
dengan anak laki-laki. Namun persepsi keliru masyarakat, akhirnya memupus impian anak-anak perempuan yang cerdas itu untuk terus mengembangkan diri. Cita-cita untuk menjadi Polwan dari Kiswati, putri Suparman dan kiswati-kiswati yang lain mesti kandas di altar tradisi.54 4. Dampak Negatif Kawin Usia Dini Adat istiadat kawin usia dini yang sering disertai pemaksaan (kawin paksa) dari kalangan orang tua di desa Tegaldowo telah berlangsung lama, berlaku turun temurun. Kalau boleh disebut dampak positif dari adat-istiadat ini amatlah sedikit. Tak sebanding dengan dampak negatif yang ditimbulkannya. Baik secara sosial, ekonomi, hukum, maupun kemanusiaan. Dampak negatif itu antara lain: a. Melanggar Perundang-undangan yang Berlaku
Praktek kawin usia dini jelas bertentangan dengan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Khususnya UUP Nomor 1 1974 pasal 7 ayat 1 yang membahas tentang batasan umur minimal bagi calon pengantin dan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam bab penjelasan tentang Pasal 7 UUP Nomor 1 1974 menyebut bahwa perkawinan terkait erat dengan masalah kependudukan. Ternyata batas usia kawin yang lebih rendah berpotensi meningkatkan laju pertumbuhan penduduk. Dengan menjalani pernikahan yang lebih lama, ditunjang dengan emosi yang belum stabil serta tingginya libido seksual pada masa muda, memungkinkan terjadinya kontak seksual yang lebih tinggi. Walau tingginya kontak seksual belum tentu bisa dimaknai makin sering punya anak, karena telah banyak alat kontrasepsi yang ditawarkan ke masyarakat, namun dari segi kemungkinan tentu hal tersebut cukup masuk akal.
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _33
b. Rawan Perceraian
Karena perkawinan demi memenuhi keinginan orang tua atau lebih didorong gengsi agar laku, ikatan perkawinan terkadang begitu rapuh. Hanya disulut pertengkaran kecil misalnya, ikatan perkawinan bisa saja berakhir. Mugkin mereka tidak langsung mengajukan permohonan bercerai ke Pengadian Agama. Namun salah satu pasangan kembali ke rumah orang tua atau pergi jauh tanpa mengirimkan kabar.
Secara umum kasus perceraian di desa Tegaldowo berdasarkan data yang penulis peroleh dari KUA Kecamatan Gunem, lebih dari 50% perceraian disebabkan ketidak-mampuan secara ekonomi. Mereka mengajukan alasan “perselisihan yang tidak bisa didamaikan” dan pemicunya adalah kondisi ekonomi keluarga yang sulit. Ini bisa dipahami ketika pasangan suami istri tidak dibekali kematangan yang cukup baik kematangan ekonomi – mereka rata-rata kurang dibekali ketrampilan yang memadai dan bekerja serabutan, maupun kematangan mental-emosionalspiritual maka cukup sulit bagi mereka bersiakap arif dan dewasa mengahadapi problem rumah tangganya. Dan perceraian sering dipilih untuk keluar dari problem itu.
Di bawah ini penulis tampilkan tingkat cerai talak di desa Tegaldowo dari tahun 2000 – 2004 JUMLAH PERISTIWA
TAHUN
NIKAH
TALAK-CERAI
2000 2001 2002 2003 2004
82 72 62 85 78
13 9 5 14 11
Data di atas adalah peristiwa perceraian yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Artinya putusan Pengadilan Agama telah
34_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
jatuh. Sementara di masyarakat banyak kasus pasangan suami istri yang tidak bersama lagi namun belum diajukan ke pengadilan. Menurut Drs. Abdul Ghoni, MSI, Kepala KUA Kecamatan Gunem, data tersebut kurang akurat di samping karena keterbatasan personil KUA dan sistem pengarsipan dokumen yang belum optimal, lebih penting lagi dalam masalah talak-cerai, KUA hanya menerima tembusan dari Pengadilan agama.55 Penulis menduga angka perceraian yang sebenarnya lebih tinggi. Menurut pengakuan Mardi P3N desa Tegaldowo yang sering mendampingi mereka yang berperkara di PA, dalam setiap bulan walau fluktuatif selalu ada orang yang mengajukan talak-cerai antara 1–2 orang. Bahkan dalam bulan-bulan tertentu angkanya cukup tinggi.56 Sebenarnya dampak negatif lain masih banyak, seperti nikah sebagai penghambat cita-cita seperti yang dialami Bunga, Bela dan Sita, sebagaimana penulis kemukakan di muka. Dengan nikah usia dini banyak juga yang harus drop out dari bangku sekolah. Belum lagi, mereka harus menghadapi problem-problem rumah tangga, yang mestinya diperuntukkan bagi orang dewasa sebelum waktunya. 5. Upaya KUA untuk Meminimalisir Perkawinan Usia Dini Seharusnya masalah perkawinan usia dini mendapat perhatian yang besar dari segenap pihak, agar hal demikian tidak terus terjadi. Harus ada keberanian untuk memutus mata rantai yang telah berlangsung sekian lama itu karena korban telah banyak berjatuhan. Bahkan andaikata hanya ada satu korban sekalipun praktek semacam ini harus dikritisi. Tidak ada toleransi bagi praktek-praktek apapun walau mengatas-namakan tradisi sekalipun kalau harus mengorbankan “nasib” hidup dan kehidupan seseorang. KUA sebagai pihak yang berkepetingan dengan urusan pencatatan perkawinan harus proaktif melakukan upaya-upaya serius agar
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _35
praktek kawin usia dini dapat diminimalisir dari waktu ke waktu. Beberapa upaya yang bisa dilakukan antara lain: a. Bersama anggota masyarakat / Lembaga Swadaya Masyarakat dan pihak-pihak lain dalam pemerintahan melakukan sinergi untuk membuka cakrawala masyarakat agar pola pikir masyarakat makin terbuka dan “tercerahkan”. Penyuluhan, sosialisasi, orientasi, atau apapun istilahnya mesti diintensifkan agar informasi seputar dampak negatif praktek kawin usia dini makin dimengerti masyarakat. Tidak bisa disanggah bahwa upaya perubahan pola pikir lebih efektif dilakukan melalui jalur pendidikan. Baik itu jalur pendidikan formal, informal maupun non formal harus diberdayakan untuk membantu penyebaran informasi tentang masalah tersebut. Khusus untuk desa Tegaldowo pemerintah telah mendirikan satu lembaga pendidikan baru setingkat SLTA yakni Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang harapannya bisa menarik dan menampung minat belajar para remaja di daerah tersebut. Begitupun beberapa kalangan yang peduli pendidikan di daerah Tegaldowo khususnya dan Kecamatan Gunem pada umumnya dua tahun yang lalu telah mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Dengan makin bertambahnya jumlah jenjang pendidikan diharapkan akan makin banyak anak-anak di daerah tersebut yang “tercerah”-kan pola pikirnya melalui jalur pendidikan. b. Mengaktifkan dan mengintensifkan program Gerakan Keluarga Sakinah secara lebih luas agar semangat membangun keluarga sakinah mampu menjangkau semua kalangan, termasuk mereka yang selama ini masih terbelenggu oleh tradisi-tradisi yang pro terhadap praktek kawin usia dini. Perekrutan kaderkader keluarga sakinah bisa dilakukan dengan berbagai ormas keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, PERSIS, Muslimat, Fatayat, maupun ormas-ormas kepemudaan dan kemahasiswaan seperti KNPI, HMI, PMII, GMNI dan sebagainya. Tak lupa
36_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
dilibatkan pula organisasi seperti PKK, majlis-majlis ta’lim dan yang lain. c. Penyebaran informasi tentang perilaku seksual yang sehat dan benar, khususnya di kalangan remaja. Karena ada indikasi pada perkembangan terakhir angka perkawinan usia dini yang disebabkan salahnya pergaulan di kalangan remaja makin meningkat. Perkawinan yang disebabkan karena kehamilan pra nikah makin sering terjadi. Pendek kata upaya meminimalisir perkawinan usia dini harus dilakukan baik melalui pendekatan struktural dengan berbagai produk perundang-undangan dan semacamnya maupun melalui pendekatan kultural melalui berbagai kegiatan yang mampu mengantarkan para remaja, para orang tua dan pihak-pihak yang rentan terhadap perilaku ini menjadi lebih luas pemahaman dan pengetahuannya. Dan KUA serta Kementerian agama secara lebih luas harus berada di garda terdepan.
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _37
Penutup 1. Kesimpulan Dari paparan di atas penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berkut : a. Desa Tegaldowo merupakan desa yang secara geografis berada di sekitar pegunungan dengan mayoritas profesi masyarakatnya sebagai petani, dengan tingkat pendidikan yang cenderung rendah, sehingga dari sisi pola pikir pun masih tradisional. Corak keagaamaan masyarakat walau 100% muslim namun cenderung sinkretis dengan tradisi kejawen bahkan mayoritas adalah “Islam KTP”. Ada beberapa hal yang agak spesifik berlangsung di desa ini seperti petani persil, maraknya kesenian tayub yang lekat dengan miras, tradisi ngemblok, maupun tradisi kawin usia dini yang dalam banyak kasus disertai dengan pemaksaan dari para orang tua. Khususnya kepada para anak gadisnya b. Faktor-faktor yang menyebabkan tetap lestarinya tradisi kawin usia dini di desa Tegaldowo adalah adanya persepsi, pemahaman atau keyakinan yang tetap dipegang kuat oleh sebagian besar masyarakatnya, antara lain: ketakutan disebut perawan tidak laku saat anak gadis ada di usia + 20 tahun, lebih baik jadi janda muda, anak gadis sekolah mau jadi apa. c. Dampak negatif yang muncul akibat adanya tradisi kawin usia dini, yang dalam banyak kasus disertai pemaksaan ini antara lain: terjadinya pelanggaran terhadap perundang-undanan yang berlaku khususnya UUP Nomor 1 tahun 1974 dan UU Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002. Juga rawan terjadinya perceraian. d. Upaya yang dilakukan KUA dalam meminimalisir perkawinan usia dini antara lain, pertama, bersinergi dengan berbagai kalangan baik masyarakat maupun instansi pemerintah untuk membuka
38_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
cakrawala masyarakat agar pola pikir mereka makin terbuka dan “tercerahkan”. Kedua, Mengaktifkan dan mengintensifkan program Gerakan Keluarga Sakinah secara lebih luas, agar semangat membangun keluarga sakinah mampu menjangkau semua kalangan termasuk mereka yang selama ini masih terbelenggu oleh tradisi-tradisi yang pro terhadap praktek kawin usia dini. Ketiga, Penyebaran informasi tentang perilaku seksual yang sehat dan benar, khususnya di kalangan remaja. Karena ada indikasi pada perkembangan terakhir angka perkawinan usia dini yang disebabkan salahnya pergaulan di kalangan remaja makin meningkat. 1. Saran-saran Berkait dengan masih banyak terjadinya praktek kawin usia dini, baik karena alasan tradisi, ekonomi, maupun salah pergaulan di kalangan remaja penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut: a. KUA dan Kementerian Agama secara lebih luas perlu melakukan revitalisasi berbagai kegiatan yang selama ini sangat baik pada tataran konsep namun masih lemah pada tataran implementasi. Gerakan Keluarga Sakinah, Kursus Calon Pengantin (Suscatin) misalnya dalam pelaksanaan sering menghadapi kendala baik karena persoalan anggaran maupun SDM (Sumber Daya Manusia) b. Untuk tokoh agama dan tokoh masyarakat khususnya di daerahdaerah yang masih rawan dengan praktek kawin usia dini, seperti desa Tegaldowo, bersikap pro aktif melakukan pemberdayaan masyarakat agar masyaraakat lebih maju pola pikirnya. Jangan malah “mendiamkan” atau bahkan “memfasilitasi” keinginan sebagian masyarakat untuk melakukan kawin usia dini baik itu misalnya dalam bentuk menikahkan di bawah tangan maupun membantu upaya rekayasa administrasi agar secara legal-formal sudah memenuhi syarat secara perundang-undangan.
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _39
Daftar Pustaka Adhim, Mohammad Fauzil, Kado Pernikahan untuk Istriku, Yogyakarta, Mitra Pustaka, 1998 Amiruddin dan Asikin, Zaenal, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004 Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2002 Ayyub, Syaikh Hasan, Diterjemahkan M. Abdul Ghoffar, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2001 Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), Buku Pintar Keluarga Muslim, Semarang, 2001 Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Sosial; Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif, Surabaya: Airlangga Press, 2001 Depag, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: CV. Penerbit J-ART, 2005 Departemen Agama, Pedoman akad Nikah, Jakarta: Direktorat Uurusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2008 Ghazaly, Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006 Hakim, Rahmat, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta, andi offset, 1997 Al-Husaini, Taqiyyudi Abu Bakr bin Muhammad, Kifayatul Akhyar, Jakarta: Dar Al-Kutub Al- Islamiyah, 2004, Juz II Ibnu, Suhadi, dkk., Dasar-Dasar Metodologi Penelitian, Malang: Universitas Negeri Malang: 2003 Ismail, Nurjannah, Perempuan dalam Pasungan, Yogyakarta,LkiS, 2003
40_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
Al-Jaziri, Abdurrahman, Kitab ‘ala Mazahib al-Arba’ah, t.tp : Dar Ihya al Turas al-Arabi, 1986, juz IV Komaidi, Didik, B love & D love Cinta Luhur Dan Cinta Nista, Jogjakarta: Palem, 2005 Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1993 Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002 Nazir, Moh., Metode Penelitian, Jakarta: Ghia Indonesia, 2003 Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari akmal Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Jakarta: Prenada Media Group, 2006 Plan Indonesia – PU Rembang, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, Rembang, 2005 Polak, J.B.A.F. Maijor, Sosiologi Suatu Buku Pengantar, Jakarta, PT Ichtiar Baru – Van Hoeve, 1985 Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam, Zakat dan Wakaf, Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu pegawai Pencatat Nikah, Jakarta, 1996 Proyek Peningkatan Tenaga Keagamaan Direktoral Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Jakarta 2004 Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Beirut: Dâr al-Fikr, 1983 Saifullah, Buku Panduan Metodologi penelitian, Malang: Fakultas Syari’ahUIN, 2006 Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Pres, 1986 Suma, Amin, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _41
Grafindo Persada, 2004 Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003 Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang- Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007 al-Syaukani, Muhammad ibn ‘Ali, Nahl al-Authar, Beirut: Dâr al-Fikr, 2000, jilid III Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008. Zahrah, Muhammad Abu, al-Ahwal al-Syakhsiyyah Qohirah: Dâr al-Fikr al-‘arabî, 1957
42_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013
Endnotes
1. Istilah sakînah mawaddah wa rahmah bisa dilihat dalam al Qur’an Surat ArRuum ayat 21.
2. Dalam doa selepas akad nikah sering disebut beberapa nama agar kedua mempelai diberi karunia oleh Allah bisa menyerupai mereka seperti Nabi Adam dan Hawwa, Nabi yusuf dan Zulaikha, Nabi Musa dan shafura, Nabi Muhammad dan Khadijah serta Ali ibn Abi Thib dan Fatimah az Zahra.
3. Wilson Nadaek, Perkawinan dan Keluarga, Jakarta: BP4 no.313, 1998, h. 51 4. Departemen Agama, Pedoman akad Nikah, Jakarta: Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2008, h. 70.
5. Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, h. 85. 6. Departemen Agama, Pedoman akad Nikah, h. 74 7. Gugatan atas dominasi budaya patriarkhi banyak disuarakan oleh kalangan
feminis. Termasuk gugatan atas tafsir keagamaan yang bias gender ini. Misalnya bisa dilihat dalam, Dr Nurjannah Ismail, Perempuan dalam Pasungan, Yogyakarta,LKIS, 2003.
8. Siti Nurbaya adalah nama sebuah novel karangan Marah Rusli yang
diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1920-an. Mengisahkan tradisi kawin paksa dan juga kawin usia dini yang cukup kuat pada masa itu. Orang sering menisbatkan tradisi kawin paksa dengan sebutan Siti Nurbaya.
9. Didik Komaidi, B love & D love Cinta Luhur Dan Cinta Nista, Jogjakarta: Palem, 2005. h. 107.
10. Penggunaan kata nikah dikonotasikan dengan “prosesinya”, sedangkan
kawin dikonotasikan dengan dengan hubungan kelamin, sehingga ada perkataan “nikahlah anda sebelum anda kawin”.dengan kata lain bermakna, bahwa seseorang telah terikat dalam ikatan pernikahan yang tidak boleh dinikahi oleh orang lain. Sedangkan penggunaan kata kawin mengandung arti orang tersebut telah h melakukan hubungan badan. Meskipun demikian pada hakikatnya kedua kata tersebut mempunyai makna yang sama, hanya kalau dengan “nikah” diadopsi dari bahasa Arab sedangkan arti bahasa Indonesianya adalah kawin.
11. Syaikh Hasan Ayyub, Diterjemahkan M. Abdul Ghoffar, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2001. h. 3.
12. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2006, h. 7-8.
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _43
13. Abdurrahman Al-Jazirî, Kitâb ‘alâ Madzâhib al-Arba’ah, t.tp : Dâr Ihyâ alTurâts al-’Arabî, 1986, juz IV, h. 3.
14. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang- Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007, h. 37.
15. Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, Qahirah: Dâr al-Fikr al‘Arabi, 1957, h. 19.
16. Taqiyyudi Abu Bakr bin Muhammad Al-Husaini, Kifâyah al-Akhyâr, Jakarta: Dar Al-Kutub Al- Islamiyah, 2004, Juz II, h. 35.
17. Amir Nuruddin dan Azhari akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Jakarta: Prenada Media Group, 2006, h. 39-40.
18. Depag, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bandung: CV. Penerbit J-ART, 2005, h. 78.
19. Depag, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 523. 20. Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h. 183.
21. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2008, h. 55.
22. Plan Indonesia – PU Rembang, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, Rembang, Plan Indonesia, 2005, h. 14.
23. Lihat Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukani, Nahl al-Authar jilid III, Beirut: Dâr al-Fikr, 2000, h. 232.
24. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, Juz 1x, h. 6683. 25. Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Beirut: Dâr al-Fikr, 1983, Juz II, h. 115. 26. Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, h. 6682. 27. Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1993, h. 112.
28. Moh. Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghia Indonesia, 2003, h. 54. 29. Bambang Sunggono, , Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, h. 118
30. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Pres, 1986, h. 109. 31. Amiruddin, Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT.
44_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.1 2013 Raja Grafindo Persada, 2004, h. 106.
32. Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial; Format-Format Kuantitatif dan Kualitatif, Surabaya: Airlangga Press, 2001, h. 29.
33. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 2002, h. 114.
34. Amiruddin, Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, h. 45. 35. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Pres, 1986, h. 12. 36. Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002, h. 180.
37. Suhadi Ibnu, dkk., Dasar-Dasar Metodologi Penelitian, Malang: Universitas Negeri Malang: 2003, h. 93.
38. Suharsimi, Arikunto, Prosedur Penelitian…, h. 133. 39. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian…, h. 200. 40. Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif , Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 1993, h. 112.
41. Saifullah, Buku Panduan Metodologi penelitian, Malang: Fakultas Syari’ahUIN, 2006, h. 59.
42. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian…, h. 245. 43. Wawancara dengan Suparto, Kepala Dusun, hari Ahad tanggal 31 Maret 2013.
44. Wawancara dengan Abdul Ghoni, MSI pada hari Ahad 07 April 2013. 45. Wawancara dengan Suwandi, Kaur Kesra, pada hari Ahad, 31 Maret 2013. 46. Nama-nama tersebut disampaikan oleh Nur Syamsi, mantan pengajar SMP 2 Gunem waktu wawancara dengan penulis pada hari Ahad 17 Maret 2013.
47. Lihat Proyek Peningkatan Tenaga Keagamaan Direktoral Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, Jakarta 2004, h. 222.
48. Plan Indonesia – PU Rembang, Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, Rembang, Plan Indonesia, 2005, h. 14.
49. Lihat Mohammad Fauzil Adhim, Kado Pernikahan untuk Istriku, Yogyakarta, Mitra Pustaka, 1998.
Tradisi Perkawinan Usia Dini di Desa Tegaldowo _45
50. Wawancara dengan Subadi (Tokoh Masyarakat) pada tanggal 31 Maret 2013 51. Wawancara hari Ahad tanggal 7 Maret 2013 52. Wawancaara hari Ahad 31 Maret 2013 53. Wawancara hari Ahad 31 Maret 2013 54. Wawancara hari Ahad tanggal 31 Maret 2013 55. Wawancara hari Ahad tanggal 07 Maret 2013 56. Wawancara hari Ahad tanggal 31 Maret 2013
Policy Analysis of BP4 Pre Marital Course as Efforts to Reduce The Divorce Rate in South Pesisir District
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah Sebagai Upaya Mengurangi Angka Perceraian di Kabupaten Pesisir Selatan
Nofri Yendra Kantor Urusan Agama, Kecamatan Batang Kapas, Kabupaten Pesisir Selatan email :
[email protected]
Abstract : Talaq or divorce is one of the thing that religion dislike. But the divorce rate in Indonesia is increasing from year to year. Surely it will cause social problems. Therefore the government issued a policy to reduce the divorce rate. One of the policies is pre-marital course for the bride and groom, hosted by the Advisory Board, Development, and Preservation Marriage (BP4). And the existence of BP4 very important role in reducing the divorce rate in Indonesia, except not in the South Pesisir District. Abstraksi : Talak atau perceraian termasuk perbuatan yang dibenci dalam agama. Namun Angka perceraian yang terus meningkat di Indonesia dari tahun ke tahun. Tentunya hal itu akan menimbulkan masalah-masalah sosial. Karenanya pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi angka perceraian. Salah satu kebijakannya adalah kursus pra nikah untuk para calon pengantin, yang diselenggarakan oleh Badan Penasehatan,
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _47 Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4). Dan keberadaan BP4 berperan sangat penting dalam mengurangi angka perceraian di Indonesia, terkecuali tidak di Kabupaten Pesisir Selatan. Keywords : Divorce, Divorce Rates, Government Policies, Premarital Course, The Bride and Groom, The South Pesisir District Society
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974, pembentukan keluarga diawali dengan perkawinan. Perkawinan yang dimaksud adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.1 Rumusan tersebut jelas menunjukkan bahwa undang-undang perkwinan kita adalah undangundang religius, bukan sekuler. Konsekuensinya adalah bagaimana keluarga yang terbentuk adalah keluarga yang religius. Keluarga yang dilandasi dengan nilai-nilai dan norma ajaran Islam. Di samping itu, tujuan perkawinan itu bukanlah untuk sementara waktu, atau sarana untuk coba-coba, manakala mengalami kecocokan, maka rumah tangga bisa di lanjutkan, tetapi apabila tidak mengalami kecocokan, maka masing-masing pihak bisa menempuh jalannya masing-masing, melainkan tujuan perkawinan itu adalah untuk membangun mahligai rumah tangga yang kekal atau untuk selama-lamanya, dengan kata lain hanya kematian yang dapat memisahkannya. Untuk mewujudkan kualitas keluarga dan perkawinan di tengah masyarakat yang bergerak dinamis dalam arus perubahan globalisasi, praktis memunculkan aneka tantangan (challenge) dan problematika yang menuntut strategi penanganan dan penyelesaiannya. Beberapa masalah yang muncul dalam dasawarsa terakhir menyangkut perkawinan dan keluarga berkembang pesat antara lain meningkatnya angka perceraian, kekerasan dalam berumah tangga, fenomena pernikahan sirri, dan poligami
48_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
terselubung, perkawinan di bawah umur, dan merebaknya kasus pergaulan bebas, serta pornografi mewarnai dinamika problematika perkawinan. Dampak dari berbagai masalah kehidupan berumah tangga sebagaimana dimaksud di atas, tidak jarang yang berujung ke pengadilan. Bahkan menurut informasi dari website Kementerian Agama menerangkan bahwa Indonesia kini berada dalam peringkat tertinggi negara-negara yang menghadapi angka perceraian (marital divorce), paling banyak dibandingkan negara-negara berpenduduk Muslim lainnya. Beberapa tahun silam biasanya angka perceraian mencapai 60.000 per tahun. Pasca reformasi, perceraian rata-rata naik menjadi 200.000 per tahun. “Bayangkan 2 juta orang kawin 200.000 yang cerai setiap tahun. Ironisnya, dahulu perceraian yang terjadi akibat suami menceraikan isteri. Sekarang terbalik, justru isteri yang menggugat cerai. Sebanyak tiga per empat dari peristiwa perceraian itu bermunculan di kota-kota besar. Kebanyakan isteri yang menceraikan suami atau cerai gugat, bukan talak. Dari banyaknya peristiwa perceraian itu, diperkirakan 80 % perceraian menimpa pada tatanan rumah tangga muda yang usia perkawinannya baru berjalan sekitar lima tahun.2 Berdasarkan data, di Jakarta dari 5.193 kasus, sebanyak 3.105 (60 %) adalah kasus isteri gugat cerai suami, sebaliknya suami gugat cerai isteri 1.462 kasus. Di Surabaya, dari 48.374 kasus, sebanyak 27.805 (80 %) adalah kasus isteri gugat cerai suami, sedangkan suami gugat cerai isteri mencapai 17.728 kasus. Di Bandung, dari 30.900 kasus perceraian, sebanyak 15.139 (60 %) adalah kasus istri gugat cerai suami dan suami gugat cerai isteri sebanyak 13.415 kasus. Selanjutnya, di Medan dari 3,244 kasus, sebanyak 1.967 (70 %) adalah isteri gugat cerai suami dan suami gugat cerai isteri hanya 811 kasus. Di Makasar, dari 4.723 kasus, sebanyak 3.081 (75 %) adalah isteri gugat cerai suami, dan suami gugat cerai isteri hanya 1.093 kasus. Sedangkan, di Semarang dari 39.082 kasus, sebanyak 23.653 (70 %) adalah isteri gugat cerai suami dan suami gugat cerai siteri hanya 12.694 kasus. 3
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _49
Penyebab perceraian tersebut antara lain karena ketidakharmonisan rumah tangga mencapai 46.723 kasus, faktor ekonomi 24.252 kasus, krisis keluarga 4.916 kasus, cemburu 4.708 kasus, poligami 879 kasus, kawin paksa 1.692 kasus, kawin bawah umur 284 kasus, penganiayaan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebanyak 916 kasus. Suami atau isteri dihukum lalu kawin lagi 153 kasus, cacat biologis (tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis) 581 kasus, perbedaan politik 157 kasus, gangguan pihak keluarga 9.071 kasus, dan tidak ada lagi kecocokan (selingkuh) sebanyak 54.138 kasus.4 Setali tiga uang dengan masalah tersebut di atas, di Sumatera Barat angka perceraian juga meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2010, angka perceraian sebanyak 1576 kasus yang terdiri dari 529 cerai talak dan 1.047 cerai gugat. Tahun 2011, perceraian naik secara drastis, yakni mencapai 5467 kasus, yang terdiri dari 1819 cerai talak dan 3.648 cerai gugat. Sementara pada tahun 2012, angka perceraian juga bertambah dari tahun sebelumnya, yakni mencapai angka 6.056 kasus yang terdiri dari 1.951 cerai talak dan 4.105 cerai gugat. Di Kabupaten Pesisir Selatan ternyata angka perceraian juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 2010, jumlah perceraian terjadi sebanyak 154 kasus, yang terdiri dari 69 kasus cerai talak dan 85 cerai gugat. Tahun 2011 sebanyak 161 kasus, tahun 2012 sebanyak 204 kasus dan pada tahun 2013 ini sudah tercatat jumlah perkara yang masuk dalam register pendaftaran sebanyak 93 kasus.5 Bahkan ironinya, kasus perceraian pada tahun 2013 ini melanda rumah tangga yang secara ekonomi tergolong berpenghasilan cukup tinggi, di antaranya ada yang berprofesi sebagai anggota DPRD, PNS, Pegawai Bank, POLRI, dan lain-lain.6 Dari data yang penulis ungkapkan di atas, terlihat sekali bahwa keutuhan kehidupan keluarga dalam rumah tangga sebagai basis dalam pembangunan masyarakat suatu bangsa, saat ini benar-benar dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Dalam rangka meminimalisir masalah atau problematika kehidupan dalam rumah tangga tersebut, maka Kementerian Agama (dahulu Depag) mengambil inisiatif melalui
50_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Peraturan Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ.II/491 Tahun 2009 tentang Kursus Calon Pengantin. Kursus Calon Pengantin (KURSUS PRA NIKAH) adalah pemberian bekal pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan dalam waktu singkat kepada catin (calon pengantin) tentang kehidupan rumah tangga/keluarga. Tujuan diterbitkannya peraturan ini adalah untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang kehidupan rumah tangga/keluarga dalam mewujudkan keluarga sakînah, mawaddah dan rahmah serta mengurangi angka perselisihan, perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga. Penyelenggara yang berwenang terhadap pelaksanaan Kursus Catin adalah Badan Penasehatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) atau badan dan lembaga lain yang telah mendapat Akreditasi dari Kementerian Agama. Materi Kursus Catin diberikan sekurang-kurangnya 24 jam pelajaran yang disampaikan oleh narasumber yang terdiri dari konsultan perkawinan dan keluarga sesuai keahlian yang dimiliki dengan metode ceramah, dialog, simulasi, dan studi kasus. Materi tersebut meliputi tata-cara dan prosedur perkawinan, pengetahuan agama, peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan dan keluarga, hak dan kewajiban suami istri, kesehatan reproduksi, manajemen keluarga dan psikologi perkawinan dan keluarga. Sarana penyelenggaraan Kursus Catin seperti silabus, modul, sertifikat tanda lulus peserta, dan sarana prasarana lainnya disediakan oleh Kementerian Agama. Sertifikat tanda lulus, bukti kelulusan mengikuti Kursus Pra Nikah merupakan persyaratan pendaftaran perkawinan. Di KUA Kec. Batang Kapas dan di beberapa KUA lain yang ada di Kabupeten Pesisir Selatan, pelaksanaan Kursus Pra Nikah/ Suscatin ini dilaksanakan lebih kurang hanya satu sampai dua jam saja. Meskipun kegiatannya terjadwal pada hari-hari tertentu. Seperti di KUA Kecamatan Batang Kapas, Kursus Pra Nikah dilaksanakan setiap hari selasa dan kamis. Namun kadang-kala juga dilaksanakan pada hari lain,
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _51
dikarenakan calon pengantin yang bersangkutan tidak dapat hadir pada jadwal yang telah ditentukan. Dalam pelaksanaan kursus tersebut, materi kursus hanya disampaikan oleh satu orang narasumber yang mencakup semua materi yang dipandang penting untuk disampaikan sebagai bekal bagi Catin dalam mengarungi samudera kehidupan rumah tangga. Pelaksanaan Kursus Pra Nikah seperti itu dapat dipastikan hasilnya pun sangat jauh dari yang diharapkan. Padahal yang perlu disampaikan agar dipahami oleh para calon pengantin itu adalah materi yang meliputi tata cara dan prosedur perkawinan, pengetahuan agama, peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan dan keluarga, hak dan kewajiban suami istri, kesehatan reproduksi, upaya menjaga kesehatan ibu saat hamil, melahirkan, pentingnya program keluarga berencana (KB), problematika pernikahan dan penyelesaiannya, hukum syariah tentang perkawinan, manajemen keluarga dan psikologi perkawinan dan keluarga. Dengan waktu yang sesingkat itu, tentu tujuan dari diterbitkannya peraturan tentang Kursus Pra Nikah ini belum dapat mencapai maksud dan tujuan yang diharapkan. Sehingga pihak KUA Kecamatan perlu mengkaji kembali pelaksanaan yang sudah berjalan selama ini. Sehingga proses yang telah terlaksana selama ini bukan sekedar upaya menggugurkan kewajiban semata. Berdasarkan hal tersebut di atas serta terdorong oleh rasa tanggung jawab untuk mewujudkan keluarga sakînah, mawaddah wa rahmah di kabupaten Pesisir Selatan, maka penulis merasa tertarik untuk mengkaji persolan ini dalam sebuah karya tulis dengan judul “ Analisa Kebijakan Program BP4 tentang Kursus Pra Nikah Sebagai Upaya Mengurangi Angka Perceraian di Kabupaten Pesisir Selatan”
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah yang penulis uraikan di atas, yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :
52_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
1. Bagaimanakah pelaksanaan Kebijakan BP4 tentang Kursus pra nikah di KUA Kecamatan yang ada di Kabupaten Pesisir Selatan ? 2. Langkah-lagkah apakah dilakukan oleh KUA Kecamatan dalam pelaksanaan Kursus Pra Nikah untuk mengurangi angka perceraian di Kabupaten Pesisir selatan ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan a. Tujuan Penulisan Adapun tujuan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Kebijakan BP4 tentang Kursus pra nikah di KUA Kecamatan yang ada di Kabupaten Pesisir Selatan. 2. Untuk mengetahui langkah-langkah apa yang harus dilakukan oleh KUA Kecamatan dalam pelaksanaan Kursus Pra Nikah, sehingga dapat mengurangi angka perceraian di Kabupaten Pesisir Selatan. b. Manfaat Penulisan Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu secara teoritis dan secara praktis:
1. Secara teoritis yaitu: -
Sebagai sumbangan pemikiran terhadap para pengambil kebijakan, terkait dengan penerbitan peraturan tentang Kursus Pra Nikah.
-
Sebagai informasi kepada masyarakat, terkait dengan peraturan Kementerian Agama tentang Kursus Pra Nikah.
2. Secara praktis yaitu : Sebagai masukan bagi KUA Kecamatan yang ada di Kabupaten Pesisis selatan, terkait dengan pelaksanaan Kursus Pra Nikah yang dianggap masih belum efektif.
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _53
D. Sistematika Penulisan Sistematiaka penulisan secara keseluruhan terdiri dari empat bagian dan beberapa sub Bagian, yang tersusun sebagai berikut : • Pendahuluan. Bagian ini terdiri dari Latar Belakang Masalah,Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, dan Sistematika Penulisan. • Kajian Teoritis dan Metodologi Penelitian. Bagian ini terdiri dari Kajian Teoritis, Kerangka Berfikir, dan Metodologi Penulisan/ Penelitian. • Pembahasan. Bagian ini berisi tentang hasil pembahasan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah yang ada dalam penulisan ini. • Kesimpulan. Bagian ini merupakan bagian terakhir dalam penulisan ini yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Kajian Teoritis dan Metodologi Penulisan A. Kajian Teoritis 1. Tujuan Perkawinan Allah SWT. mencanangkan syari’at perkawinan dalam Islam, di samping mempunyai maksud dan tujuan yang luhur, juga terdapat pelajaran-pelajaran atau hikmah yang dapat kita petik. Karena Allah tidak pernah membuat atau menciptakan sesuatu itu tanpa arti dan sia-sia. Tujuan agama Islam mensyari’atkan perkawinan berkaitan erat dengan bahwa agama Islam menyangkut naluri, seksual, dengan sangat jujur. Oleh karena itu penindasan naluri seksual tidak pernah ditemukan dalam hukum Islam. Namun naluri seksual itu harus disalurkan dengan cara-cara yang benar dan etis, yaitu melalui pranata perkawinan. Tujuan perkawinan bukan hanya sebatas hubungan alat kelamin, akan tetapi jauh dari itu mencakup tuntunan kehidupan keluarga yang sakinah, sehigga manusia dapat hidup tenang, baik dalam keluarga maupun masyarakat.
54_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Dengan demikian, tujuan Islam mensyari’atkan perkawinan adalah untuk mengatur tata cara pengabsahan hubungan suami istri di antara dua insan yang berlainan jenis. Sedangkan pada sisi lain, tujuan perkawinan adalah untuk melindungi dan memelihara moral umat. Karena dalam perkawinan ditetapkan antara hak dan kewajiban setiap individu, baik suami dan istri, sehingga terbina ketenteraman jiwa, bukan hanya sekedar hubungan syahwat. Khairudin Nasution menyebutkan bahwa tujuan perkawinan antara lain: (1) memperoleh kehidupan yang sakînah, mawadah wa rahmah (ketenangan, cinta, dan kasih sayang); (2) reproduksi (regenerasi); (3) pemenuhan kebutuhan biologis; (4) menjaga kehormatan; dan (5) ibadah.7 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika dalam dadang muttaqin berpendapat: “Dalam perkawinan ikatan lahir dan batin dimaksud, adalah perkawinan tidak cukup dengan hanya ikatan lahir saja atau dikatakan batin saja. Tetapi hal ini harus ada keduanya, sehingga akan tercipta ikatan lahir dan batin yang merupakan pondasi yang amat kuat dalam membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.”8 Tujuan yang hakiki dalam sebuah pernikahan adalah mewujudkan mahligai rumah tangga yang sakînah dan dihiasi mawadah serta rahmah. Kata mawadah yang digunakan dalam al-Qur’an, sebagaimana tertera dalam surat al-Rum ayat 17, berbeda dengan kata hubbun yang juga berarti cinta. Pengertian kata hubbun mempunyai makna cinta secara umum, karena ada rasa senang dan tertarik kepada obyek tertentu, seperti cinta pada harta benda, senang pada binatang piaraan, dan yang lainnya. Sedangkan kata mawaddah mempunyai makna rasa cinta yang dituntut melahirkan ketenangan dan ketentraman pada jiwa seseorang serta bisa saling mengayomi antara satu dengan yang lainnya, dalam hal ini suami dan istri. Apabila kata mawaddah dibarengi dengan kata wa rahmah yang mempunyai makna kasih sayang.9 Pengertian kasih sayang yang harus dimiliki oleh masing-masing pasangan suami istri adalah kedua belah pihak harus memiliki sikap
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _55
saling pengertian dan bersedia mengorbankan unsur kepentingan pribadinya serta menghormati hak dan kewajiban masing-masing pihak. Sebuah pernikahan yang dilandasi mawadah wa rahmah akan tercipta suatu bangunan rumah tangga yang kokoh dan penuh dengan kebahagiaan, meskipun banyak problematika yang akan menggoyahkan rumah tangga yang telah didirikan, namun bisa diselesaikan dengan baik dan tidak terlepas untuk senantiasa berlindung pada Allah SWT. Sementara itu, rumah tangga yang tidak tahan terhadap cobaan hidup yang menimpanya, sehingga terjadi perceraian, maka rumah tangga yang didirikan itu menunjukkan bahwa unsur mawadah wa rahmah telah ditarik oleh Allah SWT., dan ini bukan berarti Allah tidak meridhai pernikahan yang dilangsungkan. Sehingga mawadah wa rahmah tetap utuh dalam kehidupan rumah tangga bergantung pada kedua belah pihak antara suami istri dalam mempertahankannya.10 Secara sosiologis, perkawinan melahirkan hubungan-hubungan manusia secara kompleks dan luas, yang merupakan materi bagi sebagian pembentuk moral, kewajiban melahirkan keturunan, mencintai, menghibur, menuntun, mendidik, menolong, dan memahami merupakan kewajiban seseorang terhadap anggota-anggota keluarganya. Dalam konteks ini, menurut Isma’il Raji al-Faruqi, pemenuhan terhadap tujuan Tuhan terhadap manusia mensyaratkan bahwa manusia harus menikah di antara sesamanya dan melahirkan keturunan serta hidup bersama. Dengan demikian, perkawinan menyediakan ajang hubungan-hubungan yang di dalamnya terdapat unsur moral dari kehendak Ilahi yang dapat dipenuhi oleh keputusan dan tindakan manusia.11 Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa perkawinan bertujuan untuk membangun kesinambungan ras manusia di dunia. Sebab dari perkawinan tersebut akan melahirkan generasi baru sebagai pelanjut dari generasi lama. Lebih dari itu, melalui perkawinan akan membentuk suatu masyarakat yang memenuhi tuntunan dan syarat moral yang dikehendaki oleh ajaran agama.
56_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Sementara itu, Muhammad Yunus menjelaskan hikmah perkawinan dengan bertolak dari kenyataan bahwa Allah menciptakan manusia sebagai khalifah atau penguasa di muka bumi dan kenyataan bahwa Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan.12 Dalam konteks ini, hikmah perkawinan melalui empat hal, yakni: Pertama, perkawinan akan membuahkan ikatan kekeluargaan, dan memperkuat hubungan kemasyarakatan. Kedua, perkawinan akan memelihara diri seseorang dari jerat perzinahan. Sebab jika ada istri di samping suami, istri tidak akan mungkin berbuat zina, demikian pula sebaliknya. Ketiga, melalui perkawinan akan terpelihara keturunan, sehingga akan melahirkan keturunan-keturunan yang sah, yang akan melahirkan keturunan masyarakat yang sehat dan bermoral. Keempat, perkawinan akan mendorong masing-masing suami dan istri menyadari kewajiban dan tanggung jawab dalam keluarga. Dengan adanya syari’at perkawinan ini, akan membangun suatu hubungan yang kekal dan tidak ada yang dapat memisahkannya, kecuali kematian dan perceraian (talak). Masing-masing suami istri akan menemukan suatu keterangan pikiran dan menyehatkannya dan dapat menimbulkan perbaikan akhlak. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. Al-Rum (30) : 21: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. 13 Hal ini dapat terjadi karena adanya kerjasama yang baik antara keduanya. Isteri sebagai manajer rumah tangga bertugas mengatur dan mengurus rumah tangga serta termasuk mendidik anak ketika suami tidak ada, sementara suami mencari kebutuhan untuk menghidupi rumah tangga agar tetap terjaga keberlangsungannya. Harus ada kerjasama menyelamatkan rumah tangga, seiya sekata, saling mempercayai dan saling bermusyawarah.14
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _57
Di Indonesia sejak tahun 1974 telah di-undangkan suatu undangundang tentang perkawinan yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Materi undang-undang tersebut merupakan kumpulan tentang hukum munâkahât yang terkandung di dalam al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, dan kitab-kitab fiqih klasik dan kontemporer, yang telah berhasil diangkat oleh sistem hukum nasional Indonesia dari hukum normatif menjadi hukum tertulis dan hukum positif yang mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa kepada seluruh rakyat Indonesia, termasuk umat muslim Indonesia.15 Dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka dimensi hukum telah masuk ke ranah perkawinan. Undang-Undang ini merupakan sebuah bentuk aspirasi hukum dan sosial sebagai landasan berhukum untuk menuju Modern Society and Responsive Law. Berkaitan dengan itu, salah satu fungsi hukum adalah untuk kesejahteraan hidup manusia, di samping kepastian hukum. Sehingga hukum boleh dikatakan bahwa berhukum adalah sebagai medan dan perjuangan manusia dalam konteks mencari kebahagiaan hidup.16 Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun Tahun 1974 Tentang Perkawinan, secara jelas menyebutkan bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.17 Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, serta dapat melanjutkan generasi dan memperoleh keturunan. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak sedikit perkawinan yang putus karena terjadinya perceraian. Pasangan suami isteri kadang harus menghadapi masalah di dalam kehidupan rumah tangga mereka, besar kecilnya persoalan yang dihadapi bergantung dari pandangan dan cara mereka menyelesaikan persoalan tersebut, tidak sedikit dari pasangan suami isteri merasa bahwa
58_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
perkawinan mereka sudah tidak dapat dipertahankan lagi dan kemudian mereka memutuskan untuk mengakhiri masalah rumah tangga mereka dengan jalan perceraian, tanpa melalui sidang pengadilan, maka secara hukum perceraian tersebut dianggap tidak sah. Maka oleh karena itu, setiap perkawinan yang sah dan telah tercatat hanya dapat diakhiri dengan perceraian yang harus dilakukan di depan sidang pengadilan. Menurut M. Yahya Harahap, asas-asas yang dipandang cukup prinsip dalam Undang-Undang Perkawinan adalah: 1) Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini. Undang-undang Perkawinan menampung di dalamnya segala unsur-unsur ketentuan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. 2) Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Maksud dari perkembangan zaman adalah terpenuhinya aspirasi wanita yang menuntut adanya emansipasi, di samping perkembangan sosial ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi yang telah membawa implikasi mobilitas sosial di segala lapangan hidup dan pemikiran. 3) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal. Tujuan perkawinan ini dapat dielaborasi menjadi tiga. Pertama, suami-isteri saling bantu membantu serta saling lengkap melengkapi. Kedua, masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk pengembangan kepribadian itu suami isteri harus saling membantu. Ketiga, tujuan terakhir yang ingin dikejar oleh keluarga bangsa Indonesia ialah keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan material. 4) Kesadaran akan hukum agama dan keyakinan masing-masing warga negara bangsa Indonesia yaitu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Hal ini merupakan crusial point yang hampir menenggelamkan undang-undang ini. Di samping itu, perkawinan harus memenuhi administratif pemerintahan dalam bentuk pencatatan (akta nikah).
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _59
5) Undang-undang perkawinan menganut azas monogami akan tetapi tetap terbuka peluang untuk melakukan poligami selama hukum agamanya mengizinkannya. 6) Hukum perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh pribadi-pribadi yang telah matang jiwa dan raganya. 7) Kedudukan suami isteri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.18 2. Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian Menurut Amir Syarifuddin, salah satu tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, maka Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian.19 Dalam Islam perceraian pada prinsipnya dilarang, hal ini dapat dilihat pada isyarat Rasulullah SAW bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan halal tetapi sangat di benci oleh Allah.20 Sebagaimana sabdanya : “Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah bersabda “ perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak (perceraian)”. (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan al-Hakim).21 Berdasarkan Pasal 39 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan. Hal ini merupakan salah satu cara untuk mempersulit terjadinya perceraian sesuai dengan prinsip hukum Perkawinan Nasional. Hal ini dinyatakan pula oleh Hilman Hadikusuma yang berpendapat bahwa :22 “....Salah satu prinsip dalam hukum Perkawinan Nasional ialah mempersulit terjadinya perceraian (cerai hidup), karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, akibat perbuatan manusia. Lain halnya dengan terjadinya putus perkawinan
60_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
karena kematian yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dielakkan oleh manusia...” Ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah sebagai berikut: 1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 2) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan-alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya. 3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlansung. 4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain. 5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri. 6) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan/ pertengkaran dan tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah tangga.23 Dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat tambahan alasan terjadinya perceraian yang khusus berlaku bagi pasangan perkawinan yang memeluk agama Islam, yaitu : 1. suami melanggar taklik talak, 2. peralihan agama atau murtad yang mengakibatkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.24 Meskipun perceraian pada prinsipnya dipersulit, namun kenyataan yang terjadi angka perceraian justru akhir-akhir ini jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Agama Badan Litbang Agama
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _61
menyebutkan bahwa yang menjadi faktor atau sebab terjadinya perceraian di antaranya adalah sebagai berikut :25 1) Perselisihan yang tidak dapat didamaikan, 2) Tidak mempunyai tanggung jawab dalam keluarga, 3) Persoalan Ekonomi, 4) Kemerosotan moral. Adapun faktor penyebab perceraian yang lain adalah seperti yang terjadi di Jawa Barat, khususnya di Indramayu, perceraian banyak disebabkan oleh pandangan masyarakat tentang makna perkawinan, keluarga, dan perceraian itu sendiri. Bagi mereka telah membudaya pandangan bahwa, apabila perkawinan dinilai sebagai sesuatu yang wajar, maka perceraian juga dipandangnya sebagai sesuatu yang wajar pula.26 Bahkan Ramlah Hakim mengemukakan bahwa di sebagian masyarakat ada yang berpandangan bagi perempuan yang menjadi janda dan kawin berkali-kali menunjukan bahwa ia adalah perempuan yang laku dan lakilaki yang gonta-ganti isteri dan sering bercerai menunjukkan kejantanan dan keberanian seorang laki-laki.27 Di samping faktor atau sebab di atas, perceraian terkadang juga terjadi karena faktor pernikahan di bawah umur, kawin paksa, poligami liar dan tidak bertanggung jawab. 3. BP4 dan Kursus Pra Nikah Untuk meningkatkan kualitas perkawinan menurut ajaran Islam, diperlukan bimbingan dan penasehatan perkawinan secara terusmenerus dan konsisten agar dapat mewujudkan rumah tangga/keluarga yang sakînah mawaddah wa rahmah. Sejak BP4 didirikan pada tanggal 3 Januari 1960 dan dikukuhkan oleh Keputusan Menteri Agama Nomor 85 tahun 1961, kemudian disusul dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 1977. Di mana dalam Keputusan Menteri Agama tersebut ditegaskan mengenai kedudukan BP4 adalah satu-satunya Badan yang berusaha di bidang Penasehatan Perkawinan dan Pengurangan Perceraian. Fungsi dan Tugas BP4 tetap konsisten melaksanakan
62_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Perundang lainnya tentang Perkawinan, oleh karenanya fungsi dan peranan BP4 sangat diperlukan masyarakat dalam mewujudkan kualitas perkawinan.28 BP4 memiliki program-program organisasi untuk dijalankan. Program organisasi tersebut yaitu :29 1) Mereposisi organisasi sesuai dengan keputusan MUNAS BP4 ke XIV tahun 2009 di Jakarta 2) Melakukan langkah pemberdayaan dan peningkatan kapasitas organisasi BP4 pada semua tingkatan organisasi 3) Membentuk pusat penanggulangan krisis Keluarga (family crisis center) 4) Melaksanakan konsolidasi organisasi BP4 mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah dengan mengadakan Musda I, II, Musyawarah Kecamatan dan Musyawarah Konselor dan Penasihat Perkawinan Tingkat Kecamatan; serta meningkatkan tertib administrasi organisasi masing-masing jenjang 5) Mengusahakan anggaran BP4 melalui jasa profesi penasihatan, dana bantuan Pemerintah, lembaga donor agensi nasional dan Internasional, swasta, infaq masyarakat, dan dari sumber lain yang sah sesuai dengan perkembangan kegiatan dan beban organisasi. 6) Mengupayakan payung hukum organisasi BP4 melalui undangundang terapan peradilan agama bidang perkawinan dan SKB Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Mahkamah Agung 7) Menyelenggarakan evaluasi program secara periodik tiap tahun melalui Rakernas 8) Menyelenggarakan Munas BP4 XV tahun 2014 9) Membuat website BP4.
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _63
Di samping program organisasi tersebut di atas, masih ada programprogram lain yang terbagi dalam bidang-bidang di bawah ini yaitu:30 1) Bidang Pendidikan Keluarga Sakinah dan pengembangan SDM a) Menyelenggarakan orientasi Pendidikan Agama dalam Keluarga, Kursus Calon Pengantin, Pendidikan Konseling untuk Keluarga, Pembinaan Remaja Usia Nikah, Pemberdayaan Ekonomi Keluarga; b) Upaya Peningkatan Gizi Keluarga, Reproduksi Sehat, Sanitasi Lingkungan, Penanggulangan Penyakit Menular Seksual (PMS) dan HIV/AIDS; c) Menyiapkan kader motivator keluarga sakinah dan mediator; d) Menyempurnakan buku-buku pedoman pembinaan keluarga sakinah. 2) Bidang Konsultasi Hukum dan Penasihatan Perkawinan dan Keluarga a) Meningkatkan pelayanan konsultasi hukum, penasihatan perkawinan dan keluarga di setiap tingkat organisasi; b) Melaksanakan pelatihan tenaga mediator perkawinan bagi perkara-perkara di Pengadilan Agama; c) Mengupayakan kepada Mahkamah Agung (MA) agar BP4 ditunjuk menjadi lembaga pelatih mediator yang terakreditasi; d) Melaksanakan advokasi terhadap kasus-kasus perkawinan; e) Mengupayakan rekrutmen tenaga profesional di bidang psikologi, psikiatri, agama, hukum, pendidikan, sosiologi dan antropologi; f) Menyusun pola pengembangan SDM yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan BP4; g) Menyelenggarakan konsultasi jodoh;
64_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
h) Menyelenggarakan konsultasi perkawinan dan keluarga melalui telepon dalam saluran khusus (hotline), TV, Radio, Media Cetak dan Media elektronika lainnya; i) Meningkatkan kerjasama dengan lembaga lain yang bergerak pada bidang Penasihatan Perkawinan dan Keluarga; j) Menerbitkan buku tentang Kasus-kasus Perkawinan dan Keluarga. 3) Bidang Penerangan, Komunikasi dan Informasi a) Mengadakan diskusi, ceramah, seminar/temu karya dan kursus serta penyuluhan tentang : 1. Penyuluhan Keluarga Sakinah 2. Undang-undang, Perkawinan, Hukum Munakahat, Kompilasi Hukum Islam, undang-undang KDRT dan undang-undang terkait lainnya 3. Pendidikan Keluarga Sakinah. b) Meningkatkan kegiatan penerangan dan motivasi Pembinaan Keluarga Sakinah melalui: 1. Media cetak 2. Media elektronik 3. Media tatap muka 4. Media percontohan/keteladanan c) Mengusahakan agar majalah Perkawinan dan Keluarga dapat disebarluaskan kepada masyarakat. d) Meningkatkan Perpustakaan BP4 di tingkat Pusat dan Daerah. 4) Bidang Advokasi dan Mediasi a) Menyelenggarakan advokasi dan mediasi
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _65
b) Melakukan rekruitmen dan pelatihan tenaga advokasi dan mediasi perkawinan dan keluarga c) Mengembangkan kerjasama fungsional dengan MA, PTA dan PA. 5) Bidang Pembinaan Keluarga Sakinah, Pembinaan Anak, Remaja dan Lansia a) Menjalin kerjasama dengan Pemerintah Daerah, Kantor Kependudukan /BKKBN dan instansi terkait lainnya dalam penyelenggaraan dan pendanaan pemilihan keluarga sakinah teladan b) Menerbitkan buku tentang Keluarga Sakinah Teladan Tingkat Nasional c) Menyiapkan pedoman, pendidikan dan perlindungan bagi anak, remaja, dan lansia d) Melaksanakan orientasi pembekalan bagi pendidikan anak dalam keluarga e) Melakukan kerjasama dengan berbagai pihak meningkatkan kesejahteraan anak, remaja dan lansia.
untuk
Di sampaing hal yang penulis uraikan di atas, BP4 juga mempunyai upaya dan usaha sebagai berikut: 1. Memberikan bimbingan, penasihatan dan penerangan mengenai nikah, talak, cerai, rujuk kepada masyarakat baik perorangan maupun kelompok; 2. Memberikan bimbingan tentang peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keluarga; 3. Memberikan bantuan mediasi kepada para pihak yang berperkara di pengadilan agama; 4. Memberikan
bantuan
advokasi
dalam
mengatasi
masalah
66_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
perkawinan, keluarga dan perselisihan rumah tangga di peradilan agama; 5. Menurunkan terjadinya perselisihan serta perceraian, poligami yang tidak bertanggung jawab, pernikahan di bawah umur dan pernikahan tidak tercatat; 6. Bekerjasama dengan instansi, lembaga dan organisasi yang memiliki kesamaan tujuan baik di dalam maupun di luar negeri; 7. Menerbitkan dan menyebarluaskan majalah perkawinan dan keluarga, buku, brosur dan media elektronik yang dianggap perlu; 8. Menyelenggarakan kursus calon pengantin, penataran/pelatihan, diskusi, seminar dan kegiatan-kegiatan sejenis-yang berkaitan dengan perkawinan dan keluarga; 9. Menyelenggarakan pendidikan keluarga untuk peningkatkan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlaqul karimah dalam rangka membina keluarga sakinah; 10. Berperan aktif dalam kegiatan lintas sektoral yang membina keluarga sakinah;
bertujuan
11. Meningkatkan upaya pemberdayaan ekonomi keluarga; 12. Upaya dan usaha lain yang dipandang bermanfaat untuk kepentingan organisasi serta bagi kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga.31 Memperhatikan tujuan maupun upaya dan usaha yang perlu dilakukan oleh BP4, ternyata kedudukan BP4 menempati posisi penting dan luhur. Posisi tersebut akan bertambah lagi bagi BP4 yang berkedudukan di kota-kota besar, di mana nilai-nilai suatu perkawinan dalam pergaulan hidup antara manusia terus menerus merosot dari tahun ke tahun. Hidup bersama dan kebebasan bercinta yang mulai tampil di masyarakat perkotaan, merupakan suatu tantangan sangat berat untuk menanggulanginya.
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _67
Dalam rangka meminimalisir masalah atau problematika kehidupan dalam rumah tangga tersebut, maka Kementerian Agama (dahulu Depag) mengambil inisiatif melalui Peraturan Direktorat Jenderal (Dirjen) Bimbingan Masyarakat Islam tentang Kursus Calon Pengantin Nomor DJ.II/491 Tahun 2009 tanggal 10 Desember 2009 jo. DJ.II/372/2011 tentang Penyelenggaraan Kursus Pra Nikah. Kursus Calon Pengantin (KURSUS PRA NIKAH) adalah pemberian bekal pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan dalam waktu singkat kepada Catin (calon pengantin) tentang kehidupan rumah tangga/keluarga. Tujuan diterbitkannya peraturan ini adalah untuk meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang kehidupan rumah tangga/keluarga dalam mewujudkan keluarga sakînah, mawaddah dan rahmah serta mengurangi angka perselisihan, perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga. Penyelenggara yang berwenang terhadap pelaksanaan Kursus Catin/Kursus Pra Nikah adalah Badan Penasehatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) atau badan dan lembaga lain yang telah mendapat Akreditasi dari Kementrian Agama. Materi Kursus Catin diberikan sekurang-kurangnya 24 jam pelajaran yang disampaikan oleh narasumber yang terdiri dari konsultan perkawinan dan keluarga sesuai keahlian yang dimiliki dengan metode ceramah, dialog, simulasi, dan studi kasus. Materi inti terdiri dari: 1) Tata cara dan prosedur Perkawinan; Memahami Tata cara dan prosedur Perkawinan, yang terdiri dari Dasar hukum Prosedur perkawinan dan pencatatan perkawinan, dan Pentingnya pencatatan Perkawinan. Materi ini disampaikan sebanyak 2 jam pelajaran. 2) Pengetahuan Agama, khususnya Fikih Munakahat (hukum Islam tentang pernikahan); Memahami hukum pernikahan berdasarkan agama Islam; Memahami pengetahuan dasar tentang agama Islam (Fiqh Islam), terdiri dari Motivasi pernikahan, tujuan pernikahan dan dasar-dasar serta syarat-syarat dan rukun nikah; Tata cara
68_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
peminangan secara islami, dan masa ta’aruf; Tata cara nikah, walimah, talak, cerai, dan rujuk; Esensi malam pertama, adab berjimak dan tata cara mandi junub, waktu-waktu yang tidak diperbolehkan berjima’, Batasan-batasan yang boleh dilakukan ketika istri dalam keadaan haid dan nifas; Fiqh Thaharah dan Fiqh ‘Ibâdah (tambahan) ini sebanyak 5 jam pelajaran. 3) Peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan dan keluarga, memahami: a. Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan; b. Undang-undang No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; c. Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; d. Uraian umum Undang-undang perkawinan, pengertian dan bentuk-bentuk kekerasan fisik dan psikis dalam rumah tangga, Sanksi hukum melakukan KDRT, Pengertian tentang perlindungan anak, Hak dan kewajiban anak; e. Kewajiban dan tanggung jawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, Ketentuan pidana terhadap pelanggaran perlindungan anak; f. Pengertian PAUD dan pendidikan, sebanyak 4 jam pelajaran. 4) Hak dan kewajiban suami istri. Memahami hak dan kewajiban suami–istri, dan aplikasinya dalam kehidupan keluarga: 1. Hak dan kewajiban suami. 2. Hak dan kewajiban istri. 3. Aplikasi hak dan kewajiban dalam kehidupan Keluarga. Diberikan selama 3 jam pelajaran. 5) Manajemen Keluarga Sakinah: 1. Memahami konsep keluarga sakinah. 2. Memahami Fungsi keluarga sakinah 3. Memahami pemecahkan masalah keluarga secara mandiri 4. Keutuhan, keharmonisan, dan kelestarian rumah tangga berbasis ketakwaan. 5. Membangun dan melestarikan kasih sayang lahir batin (mawaddah wa rahmah). 6. Fungsi Keluarga Sakinah: fungsi agama, reproduksi, edukasi, protektif, afektif, ekonomi, sosial-budaya, lingkungan,
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _69
dan rekreatif. 7. Teknik pemecahan masalah keluarga. sebanyak 5 jam pelajaran. 6) Psikologi Keluarga dan Spritual Parenting: 1. Memahami dasardasar ilmu jiwa dan pentinganya ilmu jiwa dalam membina keluarga. 2. Memahami pengasuhan dan pembinaan keluarga dengan pendekatan spritual/Agama (Keikhlasan). 3. Pengertian ilmu jiwa/psikologi dan Ilmu jiwa perkembangan serta psikologi keluarga. 4. Problematika keluarga yang terkait ilmu jiwa keluarga. 5. Pengertian dan manfaat spritual parenting. Diberikan Selama 2 jam pelajaran. 7) Kesehatan reproduksi, Perawatan kehamilan, dan pendidikan pranatal, pasca natal, dan Pendidikan Gizi Keluarga: 1. Memahami konsep dan tata cara menjaga kesehatan reproduksi, serta fungsifungsi alat reproduksi 2. Mengenal berbagai macam penyakit yang terkait dengan alat reproduksi. 3. Memahami kesehatan fisik dan psikis ibu hamil, gizi seimbang ibu hamil. 4. Memahami stimulasi janin dalam kandungan. 5. Memahami proses kelahiran yang sehat dan aman. 6. Memahami konsep pertumbuhan dan perkembangan AUD. 7. Memahami tentang pentingnya gizi seimbang, kesehatan, dan PAUD. 8. Pengenalan alat-alat reproduksi dan cara menjaganya. 9. Perilaku seksual menyimpang dan akibat yang ditimbulkannya. 10. Upaya mencapai penambahan berat badan proporsional, imunisasi bumil (Ibu Hamil), mencegah pendarahan, keguguran, stres, dan dukungan positif dari suami dan lingkungan. 11. Gizi seimbang (termasuk zat besi, zeng, yodium, dll), dan pemenuhannya. 12. Tujuan, dasar, dan prinsip stimulasi janin dalam kandungan. 13. Persiapan kelahiran, macam-macam proses kelahiran, dan tata cara menyambut kelahiran. 14. Pentingnya stimulasi psikososial sejak dini dan tahapan tumbuh kembang sesuai usia anak dan deteksi dini Tumbuh Kembang Anak Usia Dini. 15. Melejitkan kecerdasan jamak pada anak usia dini dan mengembangkan kemandirian Anak Lambat Berkembang (ALB)
70_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
dan Anak dengan Berkebutuhan Khusus (ABK). 16. Pengasuhan untuk meningkatkan harga diri. 17. Gizi Holistik dan pentingnya Inisiasi Menyusui Dini (IMD), ASI (Air Susu Ibu) Ekslusif (6 bulan) dan ASI Tuntas (2 tahun) serta dilema ASI dan susu formula. Diberikan selama 3 jam pelajaran. 8) Pengembangan ekonomi keluarga dalam semangat kewirausahaan muslim: 1. Memahami sumber-sumber ekonomi keluarga. 2. Memahami pengelolaan ekonomi keluarga yang efektif, produktif dan efisien. 3. Memahami pentingnya semangat kewirausahaan, Jenis pekerjaan dan cara memperoleh penghasilan tetap yang halal, Prilaku tidak konsumtif dan sesuai dengan skala prioritas kebutuhan, Mengembangkan dan memanfaatkan peluang (kiatkiat usaha) untuk menambah pemasukan dan mengatasi kendalakendala ekonomi keluarga (keserasian peran suami-istri secara seimbang). Disampaikan selama 2 jam pelajaran. Materi tersebut meliputi tata-cara dan prosedur perkawinan, pengetahuan agama, peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan dan keluarga, hak dan kewajiban suami istri, kesehatan reproduksi, manajemen keluarga dan psikologi perkawinan dan keluarga. Beberapa alasan yang menjadi landasan filosofi didirikannya BP4 tercantum dalam mukaddimah Anggaran Dasar BP4 yang memuat inti motivasi dan semangat berdirinya BP4, diantaranya sebagai berikut: Pertama, berdasarkan firman Allah SWT QS. Ar-Ruum ayat 21: ”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan Nya diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Dari ayat di atas dapat diambil pemahaman bahwa manusia, yaitu lakilaki dan perempuan dianjurkan untuk membentuk keluarga (menikah),
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _71
agar tercipta ketentraman dan tumbuhnya rasa kasih sayang. Kedua, bahwa untuk mewujudkan rumah tangga sejahtera dan bahagia, diperlukan adanya bimbingan yang terus menerus dan berkesinambungan dari para Korps Penasihat. Ketiga, diperlukan adanya Korps Penasihat Perkawinan yang berakhlak tinggi dan berbudi, serta nurani bersih, sehingga dapat melaksanakan tugas dengan baik. Sedangkan sendi dasar operasionalnya yang berlandaskan peri kehidupan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pembentukan rumah tangga yang menjadi sendi dasar negara, dibebankan kepada Kementrian Agama, yaitu dengan melaksanakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Tentang Pengawasan dan Pencatatan NTR (Nikah, Thalaq dan Rujuk) yang berlaku menurut Agama Islam.32 Penasehatan tidak hanya sebagai syarat formal ketika seseorang akan menikah, akan tetapi menjadi persyaratan substansial, sehingga seseorang yang akan melangsungkan perkawinan telah paham dengan design rumah tangganya yang akan dibangun ke depan. Dalam Anggaran Dasar BP4 bertujuan untuk mempertinggi mutu perkawinan guna mewujudkan keluarga sakinah menurut ajaran Islam untuk mencapai masyarakat dan bangsa Indonesia yang maju, mandiri, bahagia, sejahtera, materiil, dan spirituil. Maka upaya dan usaha yang ditempuh antara lain memberikan bimbingan, penasihatan, dan penerangan mengenai nikah, talak, cerai, rujuk kepada masyarakat, baik perorangan maupun kelompok; memberikan bantuan mediasi kepada para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama; memberikan bantuan advokasi dalam mengatasi masalah perkawinan, keluarga dan perselisihan rumah tangga di peradilan agama; menurunkan terjadinya perselisihan serta perceraian, poligami yang tidak bertanggung jawab, pernikahan di bawah umur dan pernikahan tidak tercatat.
72_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Oleh karena itu, yang diperlukan BP4 adalah memiliki mediator yang telah bersertifikat, sehingga bisa menggunakan metode mediasi yang modern yang dapat memberikan bekal kepada calon pengantin dan memberikan penasihatan yang menyentuh hati para pihak yang berselisih untuk berdamai dan menjaga rumah tangganya. BP4 merupakan satusatunya badan yang bertugas menunjang sebagian tugas Kementerian Agama dalam hal ini Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji dalam bidang penasihatan perkawinan, perselisihan, dan perceraian, namun bukan organisasi struktural Kementerian Agama dan kedudukannya bersifat semi resmi yang mendapat subsidi dari pemerintah karena sifat keanggotaannya tidak mengikat. Dalam situasi dan kondisi semacam ini BP4 tetap melaksanakan tugas dan mengembangkan misi untuk meningkatkan mutu perkawinan dan mewujudkan keluarga bahagia sejahtera. 33 Tinggi rendahnya angka perceraian merupakan tolok ukur tingkat keberhasilan perkawinan. Berikut ini perbandingan angka perceraian dan angka pernikahan di Indonesia dari tahun ke tahun.34 Tahun
Talak / Cerai
Nikah / Rujuk
Prosentase Talak/ Cerai
1951 1952 1953 1954 1955 1956 1957 1958 1959 1960 1961 1962 1963 1964 1965 1966
814.342 782.625 723.009 732.823 759.534 583.479 598.576 672.039 696.673 652.015 595.745 641.745 651.831 612.819 578. 143 512. 792
1.443.271 1.310.268 1.416.483 1.375.091 1.313.480 1.082.469 1.148.847 1.292.039 1.319.770 1.247.840 1.040.734 1.464.372 1.293. 181 1.130.460 1.777.849 1.096.895
56. 42 % 59. 73% 51. 64% 53. 29% 57. 82% 53. 90% 52. 10% 54. 10% 52. 78% 52. 25% 57. 24% 43. 84% 50. 40% 54. 20% 32. 52% 46. 75%
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _73
1967 1968 1969 1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976
447. 408 481. 746 363. 500 229. 886 292. 004 308. 916 318.545 312.314 315.161 101.819
1.127.060 1.101. 163 954. 078 889.316 956.578 1.009. 208 1.018.546 1.176.916 1.244.180 931.932
39. 69% 43. 74% 38. 10% 25. 85% 30. 53% 30. 60% 31. 27% 27. 38% 25. 33% 10. 92%
Dari angka tersebut di atas, secara umum nampak dari tahun ke tahun angka perceraian terus menurun dari 56 kasus (42 %) di tahun 1956 turun menjadi 25 kasus (33 %) di tahun 1975, bahkan pada tahun 1976 yaitu awal diberlakukannya undang-undang perkawinan angka perceraian hanya 10 kasus (92 %). Memang tidak bisa dikatakan bahwa penurunan angka perceraian dari tahun ke tahun adalah mutlak merupakan hasil kerja BP4, namun bagaimanapun BP4 punya andil dalam hal itu, karena sejak didirikan pada tahun 1960 BP4 langsung secara terus menerus bekerja secara efektif. Disamping itu BP4 juga aktif di dalam berbagai kegiatan lintas sektoral dengan instansi yang punya tujuan yang sama, yaitu mewujudkan keluarga bahagia sejahtera. Oleh karena itu BP4 masih ingin melanjutkan dan meningkatkan kegiatannya dalam rangka menekan serendah-rendahnya angka perceraian dengan memperhatikan peluangpeluang yang strategis untuk mencapai maksud yang diinginkan, yaitu mewujudkan keluarga bahagia dan sejahtera yang kekal berdasarkan tuntunan agama Islam. 2. Metodologi Penulisan/ Penelitian Metode yang digunakan dalam penulisan ini termasuk penelitian terapan (applied research), sebab hasil dari tulisan ini diarahkan pada penggunaan secara praktis di bidang kehidupan sehari-hari, yakni penggunaan secara praktis tentang pelaksanaan Kursus Pra Nikah/ Suscatin di KUA Kecamatan. Ditinjau dari segi tempat, penelitian ini
74_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
termasuk penelitian lapangan (field research), karena penelitiannya dilakukan pada locus yang telah ditentukan, yaitu di Kabupaten Pesisir Selatan. Adapun yang menjadi alasan bagi penulis memilih Kabupaten Pesisir Selatan sebagai lokasi penelitian adalah sebagai berikut : Pertama, Karena di Kabupaten Pesisir Selatan kasus peceraian selalu meningkat dari tahun ke tahun berdasarkan data yang penulis ungkapkan pada bagian latar belakang masalah di atas. Kedua, karena penulis sendiri bekerja sebagai salah seorang penghulu fungsional di salah satu Kecamatan di Kabupaten Pesisir Selatan. Ketiga, karena penulis berdomisili di Kabupaten Pesisir Selatan. Metode pengumpulan data yang penulis gunakan antara lain adalah: Pertama, Observasi Partisipan/pengamatan terlibat, bahkan penulis sendiri adalah salah seorang pelaku dalam pelaksanan kegiatan Kursus Pra Nikah/Suscatin di salah satu Kecamatan yang ada di Kabupaten tersebut. Jadi data-data yang akan penulis ungkapkan dalam penelitian ini lebih banyak data yang bersumber dari pengalaman pribadi penulis dalam melaksanakan Kursus Pra Nikah/Suscatin di KUA Kecamatan. Kedua, wawancara dengan teknik pengambilan sampel secara acxidentil sampling dan teknik purposhif sampling secara bersamaan . Ketiga, Studi Dokumentasi.35 Teknik analisis data dilakukan dalam penelitian ini adalah Analisis Data Kualitatif. Analisis data Kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilahmilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Pada hakikatnya analisis data adalah sebuah kegiatan untuk mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberi kode atau tanda, dan mengkategorikannya sampai terjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. Lebih dari sekedar itu, pengolahan data, yang tidak lain
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _75
merupakan tahap analisis dan interpretasi data mencakup langkahlangkah reduksi data, penyajian data, interpretasi data dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Reduksi data diartikan secara sempit sebagai proses pengurangan data, namun dalam arti yang lebih luas adalah proses penyempurnaan data, baik pengurangan terhadap data yang kurang perlu dan tidak relevan, maupun penambahan terhadap data yang dirasa masih kurang. Penyajian data merupakan proses pengumpulan informasi yang disusun berdasar kategori atau pengelompokan-pengelompokan yang diperlukan. Interpretasi data merupakan proses pemahaman makna dari serangkaian data yang telah tersaji, dalam wujud yang tidak sekedar melihat apa yang tersurat, namun lebih pada memahami atau menafsirkan mengenai apa yang tersirat di dalam data yang telah disajikan. Penarikan kesimpulan/verifikasi merupakan proses perumusan makna dari hasil penelitian yang diungkapkan dengan kalimat yang singkatpadat dan mudah dipahami, serta dilakukan dengan cara berulangkali melakukan peninjauan mengenai kebenaran dari penyimpulan itu, khususnya berkaitan dengan relevansi dan konsistensinya terhadap judul, tujuan dan perumusan masalah yang ada.
B. Pembahasan 1. Sekilas Tentang Kabupaten Pesisir Selatan Kabupaten Pesisir Selatan merupakan salah satu dari 19 kabupaten/ kota di Propinsi Sumatra Barat, dengan luas wilayah 5.749,89 Km2. Wilayah Kabupaten Pesisir Selatan terletak di bagian selatan Propinsi Sumatra Barat, memanjang dari utara ke selatan dengan Panjang garis pantai 234 Km. Kabupaten Pesisir Selatan, sebelah utara berbatasan dengan Kota Padang, sebelah timur dengan Kabupaten Solok dan Propinsi Jambi, sebelah selatan dengan Provinsi Bengkulu dan sebelah barat dengan Samudera Indonesia. 36
76_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Kabupaten ini terdiri dari 15 Kecamatan (sebelumnya 12 Kecamatan dan sampai saat ini Kantor Urusan Agama baru ada di 12 Kecamatan). Yang terdiri dari Kecamatan Koto XI Tarusan, Bayang, IV Nagari Bayang Utara, IV Jurai, Batang kapas, Sutera, Lengayang, Ranah Pesisir, Linggo Sari Baganti, Pancung Soal, Basa Ampek Balai, dan Kecamatan Lunang Silaut. Dengan jumlah penduduk sebanyak 420.000 jiwa.37 Sementara itu di Kabupaten ini peristiwa pernikahan rata-rata sebanyak 5000 peristiwa per tahunnya. 3. Pelaksanaan Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah Pada KUA Kecamatan di Lingkungan Kabupaten Pesisir Selatan. Peraturan Direktur Jenderal Bimas Islam Nomor Dj.II/491 Tahun 2009 jo Dj. II/372/2011 tentang Kursus Calon Pengantin/ Kursus Pra Nikah, bahwa dalam rangka meminimalisir tingginya angka perselisihan, perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga yang salah satunya disebabkan oleh rendahnya pengetahuan dan pemahaman calon pengantin tentang kehidupan rumah tangga serta untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah, maka perlu dilakukan Kursus Calon Pengantin/Kursus Pra Nikah. Kursus Pra Nikah/Kursus Catin ini sekurang-kurangnya dilaksanakan selama 24 jam pelajaran yang meliputi materi: tatacara dan prosedur perkawinan, pengetahuan agama, peraturan perundangan di bidang perkawinan dan keluarga, hak dan kewajiban suami isteri, kesehatan reproduksi, manajemen keluarga, dan psikologi perkawinan dan keluarga. Kantor Urusan Agama Kecamatan yang ada di lingkungan Kabupaten Pesisir Selatan telah melaksakan kegiatan Kursus Pra Nikah/ Kursus Calon Pengantin yang oleh kebanyakan masyarakat menyebutnya dengan istilah “sidang”. Di Kecamatan Batang Kapas misalnya pelaksanaan Kursus Pra Nikah ini dilakukan secara terjadwal yakni setiap hari selasa dan kamis. Kadang kala juga dilaksanakan pada hari lain, karena calon pengantin tidak dapat hadir pada jadwal yang ditetapkan. Kursus dilaksanakan di ruangan BP4 Kantor Urusan Agama Kecamatan. Dalam
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _77
pelaksanaan pemberian materi kursus tersebut hanya dilakukan oleh satu orang narasumber, kadang kala dilakukan oleh penghulu, atau penyuluh agama atau oleh salah seorang staf KUA yang lain. Dilihat dari segi waktu pelaksanaan hanya berlangsung sekitar satu sampai dua jam saja. Sementara tuntutan materi yang diharapkan untuk dapat disampaikan sangat banyak dan dari berbagai sisi dan disiplin ilmu pengetahuan. Tidak jauh berbeda dengan kondisi Kecamatan Batang Kapas, di Kecamatan Sutera, pelaksanaan Kursus Pra Nikah/Kursus Calon Pengantin juga dilaksanakan. Berdasarkan data yang penulis peroleh, dapat dijelaskan bahwa Kursus Pra Nikah dilaksanakan secara terjadwal, waktu pelaksanaan kurang lebih selama satu sampai dua jam, dengan satu orang narasumber.38 Kadang pelaksanan Kursus “sidang” dilaksanakan hanya oleh P3N yang bekerja di wilayah di mana pelaksanaan akad nikah akan dilangsungkan. Artinya kalau pernikahan dilangsungkan di wilayah tiga, maka yang menjadi narasumber dalam pelaksanaan kursus adalah P3N yang bekerja di wilayah tersebut.39 Di Kecamatan Koto XI Tasuran, Kursus Pra Nikah/Kursus Calon Pengantin dilaksanakan di Ruang BP4 Kantor KUA, dengan jadwal pelaksanaan setiap hari selasa dan rabu. Nara sumber Kursus sebanyak dua orang, yang pertama menyampaikan materi tentang Fiqh alMunâkahât dan yang kedua menyampaikan materi tentang Keluarga Sakinah. Narasumber terdiri dari Penghulu, Penyuluh Fungsional dan staf yang ada di KUA Kecamatan secara bergantian, dengan rentang waktu pelaksanan sekitar dua sampai tiga jam.40 Demikian juga pelaksanaan kursus di KUA Kecamatan Basa Ampek Balai. Jadwal pelaksanaan dilakukan pada hari Senin, Rabu dan Kamis. Materi yang disampaikan terdiri dari dasar-dasr pengetahuan agama, fiqh munakahat, problematika dalam keluarga. Narasumber dalam pelaksanaan kursus mekibatkan tokoh masyarakat dengan lama waktu pelaksanaan sekitar satu sampai dua jam.41
78_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Sementara di Kecamatan Lengayang, sebelum tahun 2012, pelaksanaan kursus justru tidak dikelola oleh BP4 KUA Kecamatan secara terkoordinir dengan alasan tidak memungkinkan dilaksanakan di KUA karena mempertimbangkan kondisi geografis/ tempat berdomisili/ pemukiman penduduk yang sangat jauh dari Kantor KUA. Kalaupun ada penasehatan hal tersebut dilaksanakan saja di lapangan saat akad nikah dilangsungkan.42 Kemudian di Kecamatan Bayang, jadwal pelaksanaan Kursus dilaksanakan pada hari Senin, Rabu, dan Kamis. Materi terdiri dari Fiqh munâkhât, kesehatan reproduksi, dan psikologi perkawinan. Pemberian materi dijadwalkan dalam bentuk tim sebanyak tiga orang yang terdiri dari Penghulu dan dua orang Penyuluh Fungsional dan sampai saat ini belum melibatkan tenaga dari luar KUA sebagai narasumber, semuanya di-handle oleh pegawai KUA Kecamatan. Namun dalam pelaksanaannya jarang yang terealisasi dalam bentuk tim, lebih sering dilaksankan oleh satu orang narasumber saja, hal tersebut terjadi, karena masing-masing narasumber di samping sebagai pemateri dalam kursus juga memiliki beban tugas yang lain. Sedangkan lama waktu pelaksanaan kursus hanya berlangsung antara satu sampai dua jam.43 Ketika dicoba untuk melihat materi yang diharapkan ada dalam kegiatan kursus sebagaimana yang diharapkan oleh Kementerian Agama setidaknya ada tujuh materi dengan perkiraan waktu belajarnya selama 24 jam pelajaran atau sekitar lima hari belajar. Tujuh materi sedianya disampaikan oleh tujuh orang narasumber dan dari berbagai unsur dan dinas instansi yang terkait, misalkan Puskesmas berkenaan dengan materi kesehatan reprouksi dan materi-materi yang lain yang harus disesuaikan antara materi dengan narasumber yang akan menyampaikannya. Ketentuan di atas sangat tidak relevan dengan realita di lapangan, karena BP4 diperankan atau di-handle oleh KUA, dan dalam pelaksanaannya kadang dilakukan oleh Pembantu PPN yang ada di setiap desa atau nagari. Hal ini banyak terjadi pada KUA yang tidak ada
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _79
atau belum mempunyai Penghulu yang cukup, sehingga pelaksanaan tugas KUA di bidang nikah dan rujuk dibantu oleh P3N. Di pihak lain, tidak terlaksananya kursus sebagaimana yang diharapkan, karena sebagian besar masyarakat yang senantiasa menghendaki prosedur yang praktis. Bahkan penulis masih menemukan di lapangan masyarakat yang ingin membayar atau mengganti dengan uang asal anak atau kemenakannya bisa tidak mengikuti kursus. Hal tersebut mereka lakukan dengan berbagai alasan, diantaranya calon pengantin jauh di perantauan, tidak dapat izin dari tempat bekerja dan lain sebagainya. Setelah dilakukan penelitian lebuh lanjut ternyata kasus-kasus seperti ini terjadi pada pasangan calon pengantin yang tidak pandai tulis baca al-Qur’an dan tidak bisa bacaan shalat. Dapat dibayangkan seandainya keinginan masyarakat seperti demikian dan berhadapan dengan petugas yang tidak mempunyai integritas, akan seperti apa perkawinan dan rumah tangga mereka di kemudian hari. Di sisi lain, pelaksanaan kursus di KUA kecamatan tidak berjalan sebagai mana mestinya, dikarenakan kekurangan sumber daya manusia, apa lagi tuntutan materi yang harus disampaikan sangat banyak, sehingga tidak terakomodir oleh tenaga yang ada. Belum lagi ketika masyarakat mengalami permasalahan keluarga yang mengarah kepada perceraian sekaligus meminta nasehatan kepada BP4 sangat tidak memungkinkan dengan dalih prosedur yang berbelit-belit serta jauhnya jarak tempuh dari desa ke kecamatan (KUA/BP4). Inilah referensi ketidakaktifan BP4, walaupun BP4 merupakan organisasi semi pemerintah berfungsi memilihara keutuhan rumah tangga untuk mencapai kebahagian dan kesejahteraan keluarga yang banyak menyangkut berbagai aspek kehidupan. Tetapi masyarakat ingin mengambil langkah yang praktis dan efesien. Kenyataan yang terjadi di KUA Kecamatan pelaksanaannya kursus tersebut hanya lebih kurang selama satu sampai dua jam saja. Pelaksanaan seperti ini tentu tidak akan mampu mencapai sasaran seperti yang diharapkan. Sementara itu yang harus dipahami adalah
80_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
bahwa penasehatan tidak hanya sebagai syarat formal ketika seseorang akan menikah, akan tetapi menjadi persyaratan substansial, sehingga seseorang yang akan melangsungkan perkawinan telah paham dengan design rumah tangganya yang akan dibangun ke depan. 4. Langkah-Langkah yang Harus Dilakukan oleh KUA Kecamatan Dalam Pelaksanaan Kursus Pra Nikah Sehingga Dapat Mengurangi Angka Perceraian di Kabupaten Pesisir Selatan Semua kalangan tentu sepakat, bahwa mempersiapkan perkawinan yang mempunyai tujuan mulia sebagai ibadah kepada Allah Swt. berarti meletakkan fondasi yang kokoh bagi mahligai rumah tangga dan masa depan satu generasi. Begitu pula menyelamatkan perkawinan dan rumah tangga yang sedang dirundung masalah berarti menyelamatkan suatu generasi. Kini, pada sebagian kalangan masyarakat, perkawinan sudah tidak dianggap lagi sebagai pranata sosial yang sakral, sehingga ketika terjadi masalah atau perselisihan, perceraian langsung menjadi pilihan utama. Padahal ikatan perkawinan bukan semata-mata ikatan perdata. Banyaknya perceraian belakangan ini juga ditengarai sebagai dampak globalisasi arus informasi yang mengganggu psikologi masyarakat melalui multi media yang menampilkan figur artis dan selebriti dengan bangga mengungkapkan kasus perceraiannya. Ditambah lagi dengan kurang efektifnya pelaksanaan Kursus Pra Nikah di Kecamatan. Secara normatif, beberapa hal yang dapat dilakukan dalam rangka menekan angka perceraian adalah proses pematangan jiwa seseorang sebelum melaksanakan pernikahan. Dalam hal ini Kantor Urusan Agama (KUA) memiliki peranan yang sangat penting dalam mempersiapkan pasangan calon pengantin. Bahkan sebelum itu, KUA dapat melaksanakan pembinaan pada remaja usia pra nikah, agar jauh-jauh hari ada kesadaran yang profan atas persoalan-persoalan kerumahtanggaan yang akan terjadi dalam mengarungi kehidupan rumah tangga.
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _81
Langkah yang harus dilakukan adalah mengevaluasi pelaksanaan kursus yang ada sekarang. Sudah dapat dipastikan bahwa pemberian kursus seperti yang terjadi saat ini tidak akan memberikan hasil dan pengaruh yang maksimal bagi calon pengantin dalam menjalankan dan membina kehidupan keluarga atau rumah tangga. Adapun langkahlangkah yang dapat dilakukan dalam memperbaiki model kursus yang ada sekarang diantaranya adalah sebagai berikut : Pertama, Menambah jumlah tenaga atau narasumber sesuai dengan materi yang diharapkan oleh Kementerian Agama, yakni sebanyak tujuh sampai sembilan materi. Tujuh sampai sembilan meteri tersebut sedianya disampaikan oleh minimal tujuh orang narasumber pula, itupun seandainya satu orang narasumber mampu menyampaikan lebih dari satu materi, maka masih dibutuhkan minimal lima atau enam orang narasumber lagi. Seandainya tidak dilakukan perubahan, dengan tetap mempertahankan cara lama dengan satu orang narasumber saja, dapat dipastikan pelaksanaan Kursus Pra Nikah/Kursus Calon Pengantin tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan angka perceraian di Negeri ini, secara khusus di Kabupaten Pesisir selatan. Kedua, meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia yang ada di KUA dengan melaksanakan berbagai kegiatan, baik dalam bentuk pemberian bekal bagi para narasumber yang akan memberikan materi, membuat modul materi kursus dan hal-hal lain yang berkaitan dengan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia. Narasumber juga mesti selalu memperbaiki dan mengevaluasi meteri yang akan di sampaikan kepada calon pengantin, sebab tanpa demikian, hasil yang maksimal sulit untuk diperoleh. Ketiga, memperpanjang waktu pelaksanaan Kursus Pra Nikah. Palaksanaan kursus yang hanya satu atau dua jam saja jelas tidak akan mampu untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Kalau dicoba melihat model pelaksanaan kursus di tempat lain, maka penulis sangat tertarik dengan pembinaan perkawinan yang dilaksanakan di Malaysia,
82_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Singapura, dan beberapa negara yang berpenduduk muslim di Eropa. Setiap calon pengantin diwajibkan mengikuti kursus pra nikah, di Singapura disebut Kursus Bimbingan Rumah Tangga. Untuk calon pengantin muslim, peserta kursus bimbingan rumah tangga memperoleh sijil (sertificate) yang diiktiraf oleh jabatan pernikahan Islam setempat.44 Selain Singapura atau Malaysia, di beberapa negara Eropa, nasehat sebelum perkawinan diperoleh pasangan yang hendak menikah, setara dengan kuliah satu semester, sementara di Indonesia pada umumnya dan di Kabupaten Pesisir Selatan khususnya, hanya sekitar 60 sampai 90 menit saat berhadapan dengan penghulu atau petugas lain yang ada di KUA. Prof.Dr.Zakiah Darajat, ahli ilmu jiwa agama yang banyak memberikan perhatian terhadap masalah kesejahteraan keluarga pernah menyatakan, jika kita tanyakan kepada orang tua yang mempunyai anak yang sudah mencapai usia dewasa awal, bahkan usia remaja, tentang apa yang mereka pikirkan, jawabannya hampir sama, yaitu masalah jodoh bagi anaknya. Jarang kita dengar tentang cara membekali putra-putri mereka menghadapi kehidupan berkeluarga kelak. Hal ini menggambarkan betapa lemahnya pemikiran orang tua tentang pembekalan putraputrinya yang telah diambang pernikahan. Padahal untuk suatu pekerjaan sederhana sekalipun, orang perlu dipersiapkan. Namun untuk menjadi seorang suami yang akan menjadi kepala rumah tangga atau seorang istri yang akan menjadi pendamping suami, pengatur kehidupan rumah tangga dan cepat atau lambat akan menjadi pengasuh, pendidik, dan pembimbing anak-anak yang lahir di dalam keluarga itu nanti, tidak ada kursus atau sekolahnya. Setiap pengantin hanya diantar dengan doa, ditambah sedikit nasehat pernikahan dari orang yang dipandang dapat memberikannya.45 Di tengah tingginya potensi instabilitas rumah tangga dan banyaknya perceraian, maka pendidikan dan pembekalan kepada pasangan yang hendak menikah adalah salah satu cara yang paling mungkin dilakukan. Upaya tersebut akan berfungsi ganda sebagai edukasi nilai-nilai perkawinan di semua level masyarakat maupun sebagai langkah untuk
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _83
memperbaiki mutu perkawinan dan mengurangi perceraian. Pemerintah bersama BP4 perlu mengambil langkah strategis untuk memperkuat lembaga perkawinan dan mengurangi perceraian. Langkah yang dapat dilakukan ialah kewajiban mengikuti kursus pra nikah dan bimbingan rumah tangga bagi calon pengantin di seluruh tanah air. Di samping itu langkah lainnya ialah revitalisasi peran BP4 untuk bertindak sebagai mediasi dalam penyelesaian kasus perceraian di luar peradilan atau out of court settlement. Penulis optimis, upaya di atas yang kini telah berjalan diharapkan dapat mengurangi perceraian. Dalam kaitan itu, Peraturan Menteri Agama RI tentang pencatatan nikah perlu secara eksplisit memuat ketentuan mengenai kewajiban mengikuti kursus pra nikah dan bimbingan rumah tangga bagi calon pengantin yang akan menyampaikan pemberitahuan kehendak menikah kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri Agama RI sejak beberapa tahun lalu yang telah menginstruksikan kepada Direktorat Urusan Agama Islam supaya membuat terobosan program guna memperkuat lembaga perkawinan, diantaranya lewat pendidikan pra nikah. Sedangkan lembaga yang ditugaskan untuk menyelenggarakan kursus pra nikah dan bimbingan rumah tangga itu adalah BP4 Pusat dan Daerah dengan sumber dana APBN dan APBD. Di samping itu dapat diselenggarakan oleh lembaga swasta secara swadana dengan akreditasi dan sertifikasi diberikan oleh BP4. Jika bukan sekarang, kapan lagi kita berbuat lebih serius memperkuat nilai-nilai perkawinan dan rumah tangga di tengah masyarakat. Keempat, melakukan kegiatan atau koordinasi lintas sektoral dengan dinas atau instansi terkait. Koordinasi ini dilakukan guna mencari pemecahan masalah yang sedang dihadapi, sekaligus melibatkan langsung dinas instansi terkait seperti Pengadilan Agama, Puskesmas, Pemerintahan Kecamatan bahkan juga dengan Kerapatan Adat Nagari. Khusus dengan Kerapatan Adat Nagari yang ada di Kecamatan,
84_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
menurut hemat penulis, hal ini tentu sangat bermanfaat, terutama di daerah Minang Kabau secara umum dan Kabupaten Pesisir Selatan secara khusus. Sebab para calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan rata-rata tidak memahami aturan adat dalam kehidupan berkeluarga. Dengan adanya tambahan materi Kursus tentang adat, diharapkan calon pengantin memiliki bekal dalam membina keluarga kelak. Sehingga mereka terutama kaum laki-laki yang dalam adat Minang setelah menikah ia masuk ke dalam keluarga perempuan. Dengan adanya materi tersebut ia akan terhindar dari perilaku yang dalam bahasa minang diistilahkan dengan sumando kacang miang, sumando lanagau ijau, atau sumando lapiak buruak” melainkan ia akan berprilaku sebagai sumando niniek mamak. Kelima, Melibatkan Ulama dan lembaga/Ormas Islam yang ada. Ulama juga memiliki peran yang sangat besar, peranan Ulama sangat menentukan, yang harus memberikan bimbingan dan fatwa kepada masyarakat mengenai cerai menurut hukum Islam, apabila kehidupan rumah tangga tidak bisa lagi dipertahankan dan tidak memberikan kebahagiaan terhadap suami isteri. Syari’at Islam sebagai syari’at yang faktual tidak memaksakan seseorang untuk terus menerus hidup dalam kesengsaraan. Dan faktor lingkungan sosial, kehidupan dalam beragama, faktor lembaga/organisasi sosial kemasyarakatan seperti majelis taklim dan sebagainya, punya peran yang sangat besar pula untuk menekan tingginya angka perceraian. Keenam, Penguatan keuangan BP4 danTransparansi pengelolaannya. Sebab BP4 yang ada di Kecamatan tidak memiliki sumber dana yang jelas dan tidak mendapatkan bantuan keuangan dari APBD. Hemat penulis, penguatan lembaga perkawinan sama mendesaknya dengan penanggulangan bencana moral dan pergaulan bebas yang kini melanda para remaja kita. Betapa tidak risau, norma standar dan nilai-nilai yang seharusnya menjadi simpul pengikat perkawinan dan kehidupan rumah tangga muslim belakangan ini tampak semakin pudar pengaruhnya di masyarakat.
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _85
Semua kalangan tentu sepakat bahwa mempersiapkan perkawinan yang mempunyai tujuan mulia sebagai ibadah kepada Allah Swt. berarti meletakkan fondasi yang kokoh bagi mahligai rumah tangga dan masa depan satu generasi. Begitu pula, menyelamatkan perkawinan dan rumah tangga yang sedang dirundung masalah berarti menyelamatkan satu generasi. Perkembangan arus teknologi tidak bisa dibendung dan perubahan perilaku masyarakat demikian cepat. Maka BP4 harus melakukan reposisi peran dan fungsinya, agar lebih sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman. BP4 yang dulu merupakan badan semi resmi di bawah Departemen Agama (kini Kementerian Agama) dan sejak Munas ke-14 Tahun 2009 berubah menjadi organisasi profesional yang bersifat sosial keagamaan sebagai mitra kerja Kementerian Agama dalam mewujudkan keluarga sakînah mawadah wa rahmah. BP4 sejak didirikan telah banyak melakukan upaya pembinaan rumah tangga. Sejak pasangan mendaftar pernikahan di KUA, sebelum pernikahan diharuskan mengikuti kursus calon pengantin. Demikian juga pasca pernikahan BP4 ikut berupaya membina, memberikan advokasi, dan mediasi dalam mewujudkan keluarga sakînah. Kursus/Penasehatan tidak hanya sebagai syarat formal ketika seseorang akan menikah, akan tetapi menjadi persyaratan substansial, sehingga seseorang yang akan melangsungkan perkawinan telah paham dengan design rumah tangganya yang akan dibangun ke depan. Dalam Anggaran Dasar BP4 bertujuan untuk mempertinggi mutu perkawinan guna mewujudkan keluarga sakinah menurut ajaran Islam, untuk mencapai masyarakat dan bangsa Indonesia yang maju, mandiri, bahagia, sejahtera, materiil, dan spirituil. Maka, upaya dan usaha yang ditempuh antara lain memberikan bimbingan, penasehatan, dan penerangan mengenai nikah, talak, cerai, rujuk kepada masyarakat, baik perorangan maupun kelompok, memberikan bantuan mediasi kepada para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama, memberikan bantuan advokasi
86_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
dalam mengatasi masalah perkawinan, keluarga dan perselisihan rumah tangga di peradilan agama, menurunkan terjadinya perselisihan serta perceraian, poligami yang tidak bertanggung jawab, pernikahan di bawah umur dan pernikahan tidak tercatat. Oleh karena itu, yang diperlukan BP4 adalah memiliki mediator yang telah bersertifikat sehingga bisa menggunakan metode mediasi yang modern yang dapat memberikan bekal kepada calon pengantin dan memberikan penasihatan yang menyentuh hati para pihak yang berselisih untuk berdamai dan menjaga keutuhan rumah tangganya. Semoga. 5. Analisa Penulis Berdasarkan data-data yang penulis kemukan pada pembahasan sebelumnya, bahwa angka perceraian di berbagai daerah di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dan tidak terkecuali di Kabupaten Pesisir Selatan. Di Sumatera Barat angka perceraian meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2010 angka perceraian sebanyak 1576 kasur yang terdiri dari 529 cerai talak dan 1047 cerai gugat. Tahun 2011 perceraian naik secara drastis yakni mencapai 5467 kasus, yang terdiri dari 1819 cerai talak dan 3648 cerai gugat. Sementara pada tahun 2012 angka perceraian juga bertambah dari tahun sebelumnya yakni mencapai angka 6056 kasus yang terdiri dari 1951 cerai talak dan 4105 cerai gugat. di Kabupaten Perisisr Selatan ternyata angka perceraian juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 2010 jumlah perceraian terjadi sebanyak 154 kasus, yang terdiri dari 69 kasus cerai talak dan 85 cerai gugat. Tahun 2011 sebanyak 161 kasus, yang terdiri dari 57 kasus cerai talak dan 104 kasus cerai gugat. Tahun 2012 perceraian terjadi sebanyak 204 kasus, yang terdiri dari 61 kasus cerai talak dan 143 kasus cerai gugat, dan pada tahun 2013 ini sudah tercatat jumlah perkara yang masuk dalam register pendaftaran sebanyak 93 kasus.46 Dari data di atas dapat dipahami bahwa kasus perceraian di Kabupaten Pesisir Selatan senantiasa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kalau dibuat perbandingan dari tahun 2011 terjadi 161 kasus
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _87
perceraian dan tahun 2012 sebanyak 204 kasus perceraian. Hal itu berarti terjadi peningkatan sebanyak 43 kasus perceraian pada tahun 2012 dibandingkan dengan jumlah perceraian yang terjadi pada tahun 2011. Kalau dibandingkan dengan peristiwa nikah yang terjadi di Kabupaten Pesisir selatan dari tahun ke tahun memang angka perceraian yang terjadi porsentasenya memang tidak besar. Pernikahan pada tahun 2010 berjumlah sebanyak 5276 peristiwa, tahun 2011 sebanyak 5500 peristiwa dan tahun 2012 sebanyak 4749 peristiwa.47 Namun kalau dilihat dari sisi jumlah kasus perceraian yang terjadi di Kabupaten Pesisir selatan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan kebijakan BP4 tentang Kursus Pra Nikah yang dilaksanakan pada KUA Kecamatan di lingkungan Kabupaten Pesisir Selatan belum berhasil untuk menurunkan angka perceraian. Maka dari itu semua pihak yang terkait harus melakukan langkah-langkah dalam upaya meningkatkan kualitas dan metode dalam pelaksanaan Kursus Pra Nikah di KUA Kecamatan yang ada di Kabupaten Pesisir Selatan. Ketika upaya atau langkah-langkah yang penulis uraikan pada bagian sebelum ini dilakukan, maka besar harapan, pelaksanaan Kursus tersebut akan dapat menurunkan angka perceraian di Kabupaten ini.
88_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Penutup A. Kesimpulan Dari paparan yang penulis uraikan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Pelaksanaan Kebijakan BP4 tantang Kursus Pra Nikah di KUA Kecamatan dalam lingkungan Kabupaten Pesisir Selatan sampai saat ini belum lagi memenuhi standar yang diharapkan. Pelaksanaan kursus yang dilakukan memang sudah terjadwal, hanya saja waktu pelaksanaannya masih terlalu singkat, yakni hanya berkisar satu atau dua jam saja, selain itu pelaksanaan kursus hanya dilakukan oleh satu orang narasumber saja. Di lain pihak karakter masyarakat juga kurang mendukung pelaksanaan kursus tersebut, bagi mereka lebih baik membayar dari pada ikut kursus, terutama bagi calon pengantin yang tidak pandai shalat dan baca al-Qur’an. 2. Langkah-langkah atau upaya yang harus dilakukan dalam kursus pra nikah yang diharapkan mampu mengurangi angka perceraian di Kabupaten Pesisir Selatan diantaranya adalah: Merefitalisasi peran BP4 yang ada di Kecamatan, meningkatkan Sumber Daya Manusia yang menjalankan fungsi BP4, menambah waktu pelaksanaan kursus, melakukan koordinasi lintas sektoral dengan dinas instansi terkait, menguatkan peran Lembaga Kerapatan Adat, bekerja sama dengan Ulama dan ormas keagamaan yang ada. Apabila langkah-lagkah ini dilakukan besar kemungkinan kebijakan BP4 tentang Kursus Pra Nikah akan dapat menurunkan angka perceraian di Kabupaten Pesisir Selatan. B. Saran 1. Kantor Urusan Agama Kecamatan hendaknya melakukan evaluasi dan kajian terhadap peranan BP4 dalam melaksakan
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _89
kursus sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar untuk mencegah/menekan angka perceraian dengan bimbingan yang intensif bagi remaja pra nikah. 2. Diperlukan sebuah upaya yang sangat serius dari lembaga-lembaga pemerintah seperti KUA, BP4, Pengadilan Agama dan lembagalembaga masyarakat untuk duduk bersama merumuskan kembali metode penasehatan terhadap lembaga perkawinan.
90_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Daftar Pustaka Buku, Majalah, Artikel, dan Data Anshary, M. MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010 Anggaran Dasar BP4 Tahun 2009 Pasal 6 Arikunto, Suharsimi,Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek Asmawim, Muhammad, Nikah Dalam Perbincangan dan Perdebaikan, Yogyakarta: Darusslam, 2004 Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), Hasil Munas Ke XIV, 2009, Jakarta : BP4 Pusat BP4 Pusat, BP4 Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: BP4 Pusat, 1977 BP4 Pusat, Hasil-Hasil Musyawarah nasional BP4 VII dan PITNAS IV, Jakarta: BP4 Pusat, 1986 Dachlan, Aisjah, Membina Rumah Tangga Bahagia dan Peranan Agama Islam dalam Rumah Tangga, Jakarta: Jamunu, 1996 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1998 Al-Faruqi, Isma’il Raji, alih bahasa Rahman Astuti, Tauhid, Bandung: Pustaka Pelajar, 1995 Hakim, Ramlah, Poligami dan Perceraian: Sebagai Suatu Analisa Sosial dan Perundang-Undangan, dalam al-Qalam No. 1 dan 2 Juli dan Desember, 1990 KUA Kec. Lengayang Tahun 2005-2012 Kusuma, Hilman, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi, Hukum Kekeluargaan Perkawinan, Perwarisan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993 Mutaqien, Dadang, Cakap Hukum Dalam Bidang Hukum dan Perjanjian, Yogyakarta: Insania Citra Press, 2006 Muqaddimah Anggaran Dasar BP4 yang merupakan Hasil Munas BP4 ke XIV 2009 Nasar, M.Fuad, dalam Majalah Perkawinan Keluarga Edisi No. 466/2011 Nasution, Khoirudin, Hukum Perkawinan I : Dilengkapi Perbandingan UU
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _91
Muslim Kontemporer Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006) Prodjohamidjojo, Martiman, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Indonesia Legal Publishing, 2003 Rofiq,Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000 Seksi Bimas Islam Kantor Kementerian Agama Kab. Pesisir Selatan tahun 2013, Statistik Pernikahan dari tahun ke tahun Sutarmadi, Ahmad, Majalah Amal Bakti, Juni-juli, 1997 Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, 2004 al-Sayûti, Jalâl al-Dîn, al-Jâmi’ al-Sâghir, Bandung: al-Ma’arif,tt., Usman, Sabian, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009 Yunus, Muhammad, Hukum Perkawinan menurut madzhab Syafi’I, Hanafi, Malaiki, dan Hambali, Jakarta; Hadakarya Agung, 1956 Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 Zahid, Moh., Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, Badan Penalitian dan Pengembangan Agama Departeman Agama RI, 2003 WEB http://www.kemenag.go.id http://www.pa.painan.go.id http//www.pesisirselatan.go.id, di akses pada hari rabu, 05 Juni 2013 WAWANCARA Masrinedi, Panitera Muda pada Pengadilan Agama Painan, Wawancara pada tanggal 3 Juni 2013 Salmil Asfari, Penyuluh Fungsional Pada KUA Kec. Sutera, Wawancara pada hari selasa, 04 Juni 2013 Dedi Irawan, Calon Pengantin yang melaksanakan pernikahan pada
92_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
tahun 2012 berasal dari Kecamatan Batang Kapas, Wawancara pada hari Jum’at, 07 Juni 2013. Yosef Yuda, Kepala KUA Kec. Basa Ampek Balai, Wawancara pada hari selasa 304 Juni 2013. Zaimal Elpetani, Penghulu pada KUA Kec. Bayang, Wawancara pada hari rabu 06 Juni 2013.
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _93
Endnotes 1. Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1 2. Diunduh dari website Kementerian Agama RI, http://www.kemenag.go.id 3. http//www.kemenag.go.id 4. http//www.kemenag.go.id 5. Data diunduh dari http://www.pa.painan.go.id 6. Masrinedi, Panitera Muda pada Pengadilan Agama Painan, Wawancara pada tanggal 3 Juni 2013
7. Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan I : Dilengkapi Perbandingan UU Muslim Kontemporer, h. 37-54.
8. Dadang Mutaqien, Cakap Hukum Dalam Bidang Hukum dan Perjanjian, Yogyakarta: Insania Citra Press, 2006, Cet.1, h. 59.
9. Muhammad Asmawim Nikah Dalam Perbincangan dan Perdebaikan, Yogyakarta: Darussalam, 2004, cet. 1, h. 19.
10. Muhammad Asmawim, Nikah Dalam, h. 20. 11. Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid, alih bahasa Rahman Astuti, Bandung: Pustaka Pelajar, 1995), cet. Ke-2, h. 138-139.
12. Muhammad Yunus, Hukum Perkawinan menurut madzhab Syafi’I, Hanafi, Malaiki, dan Hambali, Jakarta: Hadakarya Agung, 1956, cet. Ke-1, h. 54.
13. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1998, h.644.
14. Nj. Aisjah Dachlan, Membina Rumah Tangga Bahagia dan Peranan Agama Islam dalam Rumah Tangga, Jakarta: Jamunu, 1996, h.17
15. M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, h. 10.
16. Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, h. 5
17. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 18. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 52
19. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat
94_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013 dan Undang-Undang Perkawinan, 2004, h. 25-26
20. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. Ke-4, h. 268.
21. Jalâl al-Dîn al-Sayûti, al-Jâmi’ al-Sâghir, Bandung: al-Ma’arif,tt., Juz I, h. 5 22. Hilman Kusuma, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi, Hukum Kekeluargaan Perkawinan, Perwarisan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, h. 160.
23. Martiman Prodjohamidjojo, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Indonesia Legal Publishing, 2003, h. 42
24. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 275-276 25. Moh. Zahid, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, Badan Penalitian dan Pengembangan Agama Departeman Agama RI, 2003, h. 71
26. Moh. Zahid, Dua Puluh Lima Tahun... h. 72. 27. Ramlah Hakim, Poligami dan Perceraian: Sebagai Suatu Analisa Sosial dan
Perundang-Undangan, dalam al-Qalam No. 1 dan 2 Juli dan Desember, 1990, h. 31.
28. Ramlah Hakim, Poligami dan Perceraian ..., h.31 29. Muqaddimah Anggaran Dasar BP4 yang merupakan Hasil Munas BP4 ke XIV 2009.
30. Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), Hasil Munas Ke XIV, 2009, Jakarta : BP4 Pusat, h. 5
31. Pasal 6 Anggaran Dasar BP4 Tahun 2009 32. BP4 Pusat, BP4 Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: BP4 Pusat, 1977, h. 13.
33. BP4 Pusat, Hasil-Hasil Musyawarah nasional BP4 VII dan PITNAS IV, Jakarta: BP4 Pusat, 1986), h. 118
34. Ahmad Sutarmadi, Majalah Amal Bakti, Juni-juli, 1997, h. 21-22. 35. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek , h. 107. 36. Data di unduh dari : http//www.pesisirselatan.go.id , di kunjungi/ di akses pada hari rabu, 05 Juni 2013
37. http//www.pesisirselatan.go.id 38. Salmil Asfari, Penyuluh Fungsional Pada KUA Kec. Sutera, Wawancara pada hari selasa, 04 Juni 2013
Analisa Kebijakan BP4 Tentang Kursus Pra Nikah _95
39. Dedi Irawan, Calon Pengantin yang melaksanakan pernikahan pada tahun
2012 berasal dari Kecamatan Batang Kapas, Wawancara pada hari Jum’at, 07 Juni 2013.
40. Betriadi, Penghulu pada KUA Kec, Koto XI Tarusan, Wawancara pada hari senin, 03 Juni 2013.
41. Yosef Yuda, Kepala KUA Kec. Basa Ampek Balai, Wawancara pada hari selasa 304 Juni 2013.
42. Yosef Yuda, Kepala KUA Kec. Basa Ampek Balai, Wawancara pada hari selasa
304 Juni 2013, (data ini di sampaikan karena yang bersangkutan sebelumnya bekerja sebagai penghulu pada KUA Kec. Lengayang selama 7 tahun, semenjak 2005 sampai 2012).
43. Zaimal Elpetani, Penghulu pada KUA Kec. Bayang, Wawancara pada hari rabu 06 Juni 2013.
44. M.Fuad Nasar, dalam Majalah Perkawinan Keluarga Edisi No. 466/2011, h. 15-18
45. M.Fuad Nasar, dalam Majalah Perkawinan Keluarga Edisi No. 466/2011, h. 15-18
46. Data diunduh dari http://www.pa.painan.go.id 47. Statistik Pernikahan dari tahun ke tahun pada Seksi Bimas Islam Kantor Kementerian Agama Kab. Pesisir Selatan tahun 2013.
Study of Thought of Sa’adoeddin Djambek Hisab (The Attempts Toward Unification Indonesia Calendar)
Telaah Pemikiran Hisab Sa’adoeddin Djambek (Sebuah Upaya Menuju Unifikasi Kalender Indonesia) Anisah Budiwati IAIN Walisongo Semarang email :
[email protected]
Abstract : In 1972, Sa’adoeddin Djambek as the head of the agency reckoning rukyat at that time also, he wrote earlier related of determination qamariyah which published in 1976. The concept of the calculations to be used as a basic reference guide for the study of determination qamariyah month. Until now, the methods used Sa’adoeddin Djambek, the Nautical Almanac is still be the one of the reference system of reckoning for every consultation of meeting rukyat reckoning work in each year. Although in several sources, there are several differences with the concept in his book Sa’adoeddin Djambek. This study as the study of thought Sa’adoeddin Djambek which expected contribution to be the one of the attemps of calendar unification in Indonesia that is still on hold worship determination Ramadan, Shawwal and Dhu al-Hijjah together. Abstraksi : Pada tahun 1972 Sa’adoeddin Djambek menjadi ketua badan hisab rukyat yang pada waktu itu pula, ia menulis Hisab awal bulan terkait penentuan awal bulan qamariyah yang terbit pada tahun 1976. Konsep perhitungannya menjadi pedoman untuk dijadikan acuan dasar dalam mempelajari penentuan awal bulan qamariyah. Sampai saat ini, metode yang digunakan Sa’adoeddin Djambek yakni Almanak Nautika masih menjadi salah satu sistem hisab yang menjadi referensi yang ada pada setiap musya-
Telaah Pemikiran Hisab Sa’adoeddin Djambek _97 warah temu kerja hisab rukyat di setiap tahunnya. Meskipun pada beberapa sumber tentang perhitungan Almanak Nautika terdapat beberapa perbedaan dengan konsep Sa’adoeddin Djambek di dalam bukunya. Penelitian ini sebagai telaah pemikiran Sa’adoeddin Djambek yang diharapkan menadi salah satu kontribusi upaya unifikasi kalender di Indonesia yang selama ini masih dalam penantian penentuan ibadah Ramadhan, syawal dan Dzulhijjah bersama. Keywords: Sa’adoeddin Djambek, Thoughts, and Unification of Calendar
A. Pendahuluan Perkembangan hisab awal bulan dengan berbagai metode hisab baik urfi, taqribi, tahkiki hingga kontemporer telah mewarnai khazanah keilmuan tentang sistem hisab awal bulan kamariyah di Indonesia. Dalam Almanak Hisab Rukyat disebutkan bahwa Depag cq Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, dalam musyawarah kerjanya tentang evaluasi kegiatan hisab yang dilakukan setiap tahun menggunakan banyak referensi kitab-kitab falak di antaranya Sulamun Nayyirain oleh Muh. Manshur Ibn Abd Hamid, Fathur Roufil Manan oleh Abu Hamdan Abdul Jalil, Khulasotul Wafiyah oleh KH. Zubair, Qowaidul Falakiyah oleh Abd Fatah Ath Thukly, Hisab Urfi dan Hakiki oleh KR. Muh. Wardan, Hisab Hakiki oleh Lembaga falak dan Hisab PP. Muhammadiyah (Sistem New Comb dan Laverier).1 Namun dari referensi-referensi tersebut, hanya sistem hisab awal bulan Sa’adoeddin Djambeklah yang dijadikan pedoman utama dalam menetapkan awal bulan Qamariah pada tahun 1980an. Namun, sebagaimana data yang penulis temukan, beberapa konsep hisab awal bulan Sa’adoeddin Djambek tidak lagi menjadi referensi yang digunakan pada temu kerja musyawarah Hisab Rukyat Kementerian Agama RI.2 Di sana hanya tercantum metode yang ia digunakan yakni Almanak Nautika dengan beberapa perbedaan dengan sistem hisab yang ada pada buku hisab awal bulan Sa’adoeddin Djambek. Dalam hisab awal bulan Sa’adoeddin Djambek tidak digunakan perhitungan elongasi sebagaimana dalam sistem perhitungan Almanak Nautika. Tentunya,
98_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
hal ini menjadi suatu alasan untuk dapat secara mendalam mengetahui konsep-konsep perhitungannya. Permasalahan dalam makalah ini terfokus pada pemikiran Sa’adoeddin Djambek dalam menentukan awal bulan Kamariyah. Sehingga permasalahan yang diangkat meliputi bagaimana konsep penentuan awal bulan kamariyah Sa’adoeddin Djambek dan bagaimana relevansi konsep tersebut dengan upaya unifikasi kalendar yang ada di Indonesia.
B. Metode Penelitian Penelitian ini ditulis dengan menggunakan metode deskriptif (descriptive) yang bertujuan untuk mengetahui secara detail tentang pemikiran Sa’adoeddin Djambek dalam menentukan awal bulan Kamariyah di Indonesia. Sehingga dengan menggunakan teknik dokumentasi, sumber data primer dapat diperoleh dari dokumendokumen berupa karya-karya Sa’adoeddin Djambek. Sumber sekunder berupa dokumen yang berasal dari buku-buku lain yang menunjang pencarian data. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan teknik deskriptif analitik matematis, yakni menggambarkan konsep perhitungan dan penentuan Sa’adoeddin Djambek dalam hisab awal bulan Kamariyah. Kemudian dilakukan analisis untuk mengetahui relevansi konsep yang dimiliki Sa’adoeddin Djambek dengan upaya unifikasi kalendar yang ada di Indonesia.
C. Pembahasan 1. Biografi Intelektual Sa’adoeddin Djambek Sa’adoeddin Djambek lahir di Bukit Tinggi, 24 Maret 1911 M/23 Rabiul Awal 1329 H. Ia merupakan putra dari Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860-1947 M/ 1277-1367 H), ahli falak pada masa
Telaah Pemikiran Hisab Sa’adoeddin Djambek _99
itu dari Minangkabau. Sa’adoeddin Djambek memulai pendidikan formalnya ketika memperoleh pendidikan pertamanya di HIS (Hollands Inlandsche Kweekschool). Setelah tamat dari HIS pada 1927 M/ 1346 H, ia meneruskannya lagi ke (HKS) Hogere Kweekschool, sekolah pendidikan guru atas di Bandung Jawa Barat dan memperoleh ijazah pada tahun 1930 M/1349 H. Selama empat tahun (1930-1934 M/ 1349-1353 H) ia mengabdikan diri sebagai guru Gouvernements Schakelschool di Perbaungan, Palembang. Setelah menjalani tugasnya sebagai guru di Palembang, ia berusaha melanjutkan pendidikannya dengan mengajukan permohonan untuk dipindahtugaskan ke Jakarta agar dapat melanjutkan pendidikan lebih tinggi.3 Di Jakarta ia bekerja sebagai guru Gouvernement HIS nomor 1 selama setahun. Pada 1935 M/ 1354 H ia memperoleh kesepakatan untuk melanjutkan pendidikan ke Indische Hoofdakte (program diploma pendidikan) di Bandung sampai memperoleh ijazah pada 1937 M/ 1356 H. Pada tahun yang sama memperoleh ijazah bahasa jerman dan bahasa Perancis. Setelah mengikuti pendidikan di Bandung, ia kembali menjalankan tugasnya sebagai guru Gouvernement HIS di Simpang Tiga, Sumatera Timur (sekarang Riau). Sebagai seorang guru, ia tidak pernah berhenti mengembangkan pendidikannya. Karirnya terus meningkat dari guru sekolah dasar sampai dengan menjadi dosen di Perguruan Tinggi dan terakhir menjadi pegawai tinggi di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta.4 Ketertarikannya mempelajari ilmu hisab dimulai pada tahun 1929 M/ 1348 H ketika ia belajar dengan Syekh Taher Jalaluddin Al-Azhari di AlJami’ah Islamiyah Padang.5 Pertemuan dengan gurunya itu membekas dalam dirinya hingga menjadi awal pembentukan keahliannya di bidang hitung menghitung penanggalan. Untuk memperdalam pengetahuannya, ia kemudian mengikuti kursus Legere Akte Ilmu Pasti di Yogyakarta pada tahun 1941-1942 M/ 1360-1361 H serta mengikuti kuliah ilmu pasti dan astronomi pada FIPIA (Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam) di Bandung pada 1954-1955 M/ 1374-1375 H. Keahliannya di bidang ilmu pasti dan
100_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
ilmu falak dikembangkannya melalui tugas yang dilaksanakannya di beberapa tempat.6 Pada 1995-1956 M/ 1375-1376 H menjadi Lektor kepala dalam mata kuliah ilmu pasti pada PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru) di Batusangkar, Sumatera Barat. Kemudian ia memberi kuliah ilmu falak sebagai dosen tidak tetap di Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1959-1961 M/ 1379-1381 H).7 Selain sebagai ahli falak, di antara aktivitas paling dominan yakni dalam pendidikan melalui Muhammadiyah. Aktivitasnya tersebut pada gilirannya memperoleh pengakuan dari warga Muhammadiyah, sehingga pada tahun 1969 diberi kepercayaan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjadi ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Pendidikan dan Pengajaran di Jakarta periode 1969-1973. Sebagai seorang tokoh, Saadoe’din Djambek tidak jarang mendapatkan kepercayaan dari berbagai pihak. Ia pernah diberi kepercayaan untuk menjadi staf ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Di samping itu, pada tahun 1972 pada saat diadakan musyawarah ahli Hisab dan Rukyat seluruh Indonesia, di mana disepakati dibentuknya Badan Hisab dan Rukyat, Ia dipilih dan dilantik sebagai ketua.8 Kunjungan ke luar negeri yang pernah dilakukan Sa’adoeddin Djambek antara lain menghadiri konferensi Mathematical Education di India (1958), mempelajari System Comprehensive School di negara-negara seperti India, Thailand, Swedia, Belgia, Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang (1971), penelitian/ survey mengembangkan ilmu hisab dan rukyat dan kehidupan sosial di Tanah Suci Mekah dan menghadiri First World Conference on Muslim Education di Mekah pada tahun 1977.9 Sa’adoeddin Djambek meninggal dunia pada hari Selasa, 22 November 1977/10 Dzulhijjah 1397 H di Jakarta. Makamnya dekat dengan makam Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.10 Sebagai ahli falak, ia banyak menulis tentang ilmu hisab. Di antara karya-karyanya adalah (1) Waktu dan Djadwal Penjelasan Populer Mengenai Perjalanan Bumi, Bulan, dan Matahari (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas
Telaah Pemikiran Hisab Sa’adoeddin Djambek _101
tahun 1952 M/1372 H), (2) Almanak Djamiliyah (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas tahun 1953 M/ 1373 H), (3) Arah Qiblat11 (diterbitkan oleh Tintamas pada tahun 1956 M/ 1380 H), (4) Perbandingan Tarich (diterbitkan oleh Tintamas pada tahun 1968 M/ 1388 H), (5) Pedoman Waktu Shalat Sepanjang Masa12 (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974 M/ 1394 H), (6) Shalat dan Puasa di Daerah Kutub13 (diterbitkan oleh Penerbit Bulan Bintang pada tahun 1974 M/ 1394 H), dan (7) Hisab Awal Bulan14 (diterbitkan oleh Penerbit Tintamas Jakarta pada tahun 1976 M/ 1396 H). 2. Kajian Hisab Awal Bulan Sa’adoeddin Djambek Buku berjudul hisab awal bulan karya Sa’adoeddin Djambek ini adalah buku cetakan pertama yang diterbitkan oleh penerbit Tinta Mas Jakarta tahun 1976. Kajian buku ini mencakup empat pembahasan yakni sebagaimana berikut ini, Bab pertama, mengurai tentang gerak bumi, bulan, dan matahari yang terdiri dari sub pembahasan (a) bumi dan matahari, (b) bulan dan bumi, (c) bumi, bulan, dan matahari, dan (d) barat dan timur. Intisari bab ini menjelaskan konsep dasar hubungan ketiga benda langit yakni bumi, bulan, dan matahari meliputi gerakan peredarannya yang dikaitkan pada adanya permulaan bulan baru. Termasuk di dalamnya membahas permulaan bulan yang ditandai dengan posisi ke tiga benda langit tersebut. Bab kedua menjelaskan tentang peristiwa terbenam dengan uraian pengenalan aspek-aspek penting yang terkait seperti (a) definisi terbenam, (b) refraksi, (c) kerendahan ufuk, (d) parallax, dan (e) juga membahas data-data hisab yang terdiri dari data lintang tempat, deklinasi, perata waktu, tinggi, sudut waktu, dan azimuth. Bab ketiga, berbicara tentang hisab awal bulan. Terdiri dari koreksikoreksi, algoritma (jalan) hisab, kemudian perhitungan azimuth. Bab keempat yaitu pembahasan terbenamnya bulan, pengenalan titik batas, garis batas tanggal, ketelitian perhitungan, dan penjelasan tentang pembelokkan garis batas hari. Halaman lampiran terdiri dari daftar
102_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
refraksi, daftar kerendahan ufuk, tabel memindahkan menit dan detik menjadi bagian jam, tabel memindahkan derajat menjadi bagian lingkaran dan sebaliknya, dan tabel memindahkan derajat menjadi bagian 10o, 5o, dan 2o beserta contohnya. 3. Algoritma Hisab Awal Bulan Sa’adoeddin Djambek Algoritma atau urutan hisab awal bulan karya Sa’adoedin Djambek yakni dimulai dari menghisab waktu terbenam matahari, menentukan data-data bulan, menghisab tinggi bulan, dan melakukan koreksi terhadap tinggi bulan. Kemudian pada langkah selanjutnya, ia memakai penentuan garis batas tanggal terbenamnya bulan. Berikut ini algoritma perhitungan sekaligus contoh perhitungan awal Ramadhan 1434 H dengan markaz Semarang (p = 7o 00’ LS dan 110o 24’ BT, h = 150 m15). Sebagaimana proses perhitungan yang ada pada kitabnya, penulis mengurai urutan perhitungan dengan pertama kali menulis input data yang berasal dari data Nautical Almanac. Berikut ini adalah data Nautical Almanac pada tanggal 08 Juli 2013.16 G.M.T Jam 08 09 10 11 12
Sun GHA Dec N22 o 298 43.9’ 26.2 N22 o 313 43.8’ 26.0 N22 o 328 43.7’ 25.7 N22 o 343 43.6’ 25.4 N22 o 358 43.5’ 25.1
GHA
V
298 56.2’
12.7
313o 27.9’
12.8
327o 59.7’
12.7
342o 31.4’
12.8
357o 03.2’
12.8
o
Moon Dec N17 58.4 N17 53.5 N17 48.6 N17 43.6 N17 38.6
D
HP
4.9
54.0
4.9
54.0
5.0
54.0
5.0
54.0
5.2
54.0
Sumber : Navsoft’s 2012 Nautical Almanac pada tgl 08 Juli 201317 Langkah perhitungan setelah menyiapkan data matahari dan bulan yakni a) menghitung waktu terbenam matahari, b) data tinggi bulan, c) dan koreksi data bulan a. Menghitung waktu terbenam matahari
Telaah Pemikiran Hisab Sa’adoeddin Djambek _103
Menghitung sudut waktu matahari pada dasarnya menentukan busur sepanjang lingkaran harian suatu benda langit dihitung dari titik kulminasi atas sampai benda langit tersebut. Dalam astronomi disebut dengan hour angle (bahasa arab: zawiyah suwai’iyyah) dan untuk memudahkan diberikan notasi huruf t. Gambar di bawah ini adalah posisi bola langit dengan posisi lintang tempat 7o LS.
K
z
P
KLS N KLU
t
L
O
S
F
Keterangan:
E
Q
KFE = lingkaran deklinasi matahari PLQ = equator NFS = horizon FL = deklinasi t
= hour angle.
Untuk menghitung saat terbenam matahari, maka dilakukan beberapa perhitungan yaitu menghitung sudut waktu matahari dan menghitung saat terbenam matahari yaitu dengan cara sebagai berikut ini: Dengan logaritma:
104_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
2s
= 270o – (p+d+h)
Penyelesaiannya bisa menggunakan logaritma dan kalkulator : p = - 7o 00’ d = +22o 25.4’ h = -1o 13’ 00” + p+d+h = 14o 12’ 124” 2s = 270o – (14o 12’ 124”) = 255o 47’ 36” s = 127o 54’ p = -07o 00’ s+p = 120o 54’ Log cos 120o 54’ Log cos 150o 19’
s =127o 54’ d = +22o 25.4’ s+ d = 150o 19’ (-) (-)
= 9.7105 – 10 = 9.9389 –10 + 9.6494 – 10 o Log cos -07 00’ = 9.9967 – 10 o Log cos +22 25.4’ = 9.9658 – 10 + 9.9625 – 10
2 Log sin ½ t = Log sin ½ t = ½t= t=
9. 6494 – 10 9.9625 – 10 9.6869– 10 9.8434 - 1018 44o 12’ 29.73”19 88o 24’ 59.46 (dibulatkan 88o 25’)
Bila menggunakan kalkulator: cos t = tan Lt tan Dec + sec Lt sec Dec sin h cos t = tan -7o 00’ tan 22o 25.4’ + sec -7o 00’ sec 22o 25.4’ sin - 01 13’ 00”
Telaah Pemikiran Hisab Sa’adoeddin Djambek _105
cara pejet : shift cos (- tan -7o 00’ x tan 22o 25.4’+ (cos -7o 00’)x-1 x (cos 22o 25.4’) x-1 x sin - 01o 13’ 00” = shif derajat = 88o 25’ 22.02 (dibulatkan menjadi 88o 25’). Ternyata perhitungan dengan logaritma dan kalkulator menghasilkan perbedaan. Perhitungan dengan logaritma akan menghasilkan 88o 24’ 59.46 dan perhitungan dengan kalkulator 88o 25’ 22.02. Sebelum menghitung waktu terbenam, diperlukan data almanak nautika sebagaimana berikut ini: Day 08
Equation of time20 12h 00h m d 05m 06d 05 01
Mer. Pass 12. 05
Sumber : Navsoft’s 2012 Nautical Almanac pada tgl 08 Juli 2013 Dari data di atas diketahui Equation of time pada pukul 00h adalah 05m 01d dan pukul 12h adalah 05m 06d. Untuk mengetahui Equation of time pada pukul 11 GMT dapat dihitung dengan cara mengetahui selisih kedua data yakni 00m 05d (05m 06d - 05m 01d). Kemudian data selisih tersebut dibagi 12 yaitu 00m 0.42d. Setiap jam mencapai 00m 0.42d, sehingga Equation of time pada pukul 11 GMT adalah 05m 5.58d (05m 06d - 00m 0.42d). Kemudian menentukan terbenam matahari waktu GMT yakni : Waktu Dzuhur
= 11j 59m 55d 21
T matahari
= 05j 53 m 40 d 22 +
17o 53’ 35”
Bujur Markaz
= 07o 21’ 36’23 -
Terbenam Matahari
= 10j 31m 59d GMT /17j 31m 59 WIB
b. Menentukan data tinggi bulan Langkah selanjutnya adalah mencari nilai sudut waktu dan deklinasi bulan pada saat terbenam yaitu pkl. 10j 31m 59d GMT. Untuk mencari sudut waktu bulan pada saat ghurub yaitu maka lakukan interpolasi dari data di bawah ini:
106_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Jam 10 11
GHA Bulan 327o 59.7’ 342o 31.4’
Dek Bulan N17 48.6 N17 43.6
Catatan: a. Sudut waktu bulan pada pkl. 17: 31: 59 WIB = GHA saat ghurub + Bujur tempat
= (Data GHA 1 + selisih x (GHA 2- GHA 1) + Bujur Tempat)
= (327o 59.7’ + 31m 59d x (342o 31.4’- 327o 59.7’)) + 110o 24’
= 446o 08’ 21” (karena lebih dari 360o sehingga menjadi 86o 08’ 21”)
b. Deklinasi Bulan Sudut waktu bulan pada pkl. 17: 31: 59 WIB
= (Data Dek Bln 1 + selisih x (Dek Bln 2- Dek Bln 1)
= 17o 48.6’ + 31m 59d x (17o 43.6’- 17o 48.6’)
= 17o 45’ 56.08
Dengan tiga macam data yang tersedia yaitu p, t, dan d bulan, kita dapat menghisab tinggi bulan yaitu dengan rumus Tan q = cotan d cos t
p = -07o 00’, d = 17o 45’ 56.08”, t = 86o 08’ 21” dan q = sudut bantu penyelesaiannya: Log cotg 17o 45’ 56.08” (d) Log cos 86o 08’ 21” (t) Log tg q Q p q+p Log sin 17o 45’ 56.08” (d) Log sin 04o 52’ 02.03” (q+p)
= 10.4943 – 1024 = 8.8282 – 10 + = 9.3225 – 10 = 11o 52’ 02.03”25 = - 07o 00’ + = 04o 52’ 02.03” = 9.4844 - 10 = 8.9286 – 10 + = 8.413 – 10
Telaah Pemikiran Hisab Sa’adoeddin Djambek _107
Log cos 11o 52’ 02.03” (q) Log sin h H (tinggi bulan)
= 9.9906 – 10 = 8.4224 – 10 =01o30‘56.02” dibulatkan 01o 31‘ 26
Jika menggunakan perhitungan kalkulator, maka bisa menggunakan rumus di bawah ini : Sin h = sin p sin d + cos p cos d cos t Sin h = sin - 07o 00’ sin 17o 45’ 56.08” + cos - 07o 00’ cos 17o 45’ 56.08” cos 86o 08’ 21” = 01o 30’ 58.24” (dibulatkan 01o 31’) c. Menghitung koreksi terhadap tinggi bulan (h = 01o 31‘) H Paralaks
= 01o 31’ = 00o 50’ .‑ o 00 41’ Refraksi = 00o 26’ 58 . + = 00o 07’ 58” 27 semidiameter = 00o 16’ . + = 00o 23’ 58” Kerendahan ufuk = 00o 22’ + Tinggi lihat = 00o 45’ 58”
Dari daftar Lampiran IV Dari daftar Sama dengan matahari
Sebagai kita dapat peroleh tinggi bulan 00o 45’ 58” atau posisi bulan adalah 00o 45’ 58” di sebelah timur matahari. d. Menghitung Azimuth Matahari dan Bulan Langkah berikutnya menghitung azimuth matahari dan azimuth bulan. Azimuth yang akan kita hitung adalah sudut yang dihitung pada lingkaran ufuk/horizon, dihitung dari titik utara. Rumus menghitung azimuth:
q adalah sudut bantu (12o 18’ 56.7”), yang sudah kita gunakan di bagian terdahulu. Besarnya bulan sudah kita ketahui, kemudian kita
108_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
akan menentukkan besarnya matahari: Log cotg 22o 25.4’ Log cos 88o 25’
= 10.3844 – 10
=
8.4413 – 10 +
Log tg q
= 8.8257 - 10
q
= 3o 49’ 47.25
Penyelesaiannya
Log cotg t Log cos(p+q) Log sin q Log cotg A Cotg A A
Matahari t = 88o 25’ p = -7o 00” q = 3o 50’ p+q = 3o 11’ = 8.4415 – 10 = 9.9993 – 10 + = 8.4408 – 10 = 8.8251 – 10 = 9.6157 – 10 = 0.4127622774 = 67o 34’ 15.64” (67o 34’)28
Bulan t = 86o 08’ 21” p = -7o 00” q = 11o 52’ p+q = 4o 52’ = 8.8292 – 10 = 9.9984 – 10 + = 8.8276 – 10 = 9.3130 – 10 = 9.5146 – 10 = 0.3270 = 71o 53’ 24.79” (71o 53’)
Jika dengan kalkulator: Azimuth matahari29 : Cotg A = -sin -7o 00’ cotg 88o 25’+ cos -07o 00’ tg 22o 25.4’ cosec 88o 25’ = 67o 33’ 16.83”” (dibulatkan menjadi 67o 33’) /292o 27’ 00” Azimuth bulan Cotg A = -sin -7o 00’ cotg 86o 08’ 21”+ cos -07o 00’ tg 17o 45’ 56.08” cosec 86o 08’ 21” = 71o 53’ 39.21” (dibulatkan menjadi 71o 54’) / 288o 06’ 00”
Dari perhitungan di atas30 hasil perhitungan antara logaritma dengan
kalkulator memiliki perbedaan. Pada lingkaran UTSB (horizon) kita akan mendapatkan posisi azimuth matahari sebesar 292o 27’ 00” dan azimuth bulan sebesar 288o 06’ 00”. Sehingga diketahui bahwa posisi bulan 04o 21’ 00” berada di sebelah selatan matahari tenggelam.
Telaah Pemikiran Hisab Sa’adoeddin Djambek _109
4. Analisis Hisab Awal Bulan Sa’adoeddin Djambek Berdasarkan penelusuran terhadap Hisab Awal Bulan Sa’adoeddin Djambek, maka dapat disebutkan bahwa sistem perhitungan yang dipergunakan Sa’adoeddin Djambek menggunakan spherical trigonometry dengan data almanak nautika. Konsep perhitungannya menggunakan perhitungan astronomi yang mencoba untuk mempertimbangkan posisi toposentrik dalam menghitung lama hilal di atas ufuk dan tinggi bulan. Meskipun jika metode ini dibandingkan dengan analisis numerik31 yang ada pada sistem Jean Meeus dan yang lainnya memang akan tampil berbeda. Beberapa hal berikut adalah analisis konsep Sa’adoeddin Djambek di dalam hisabnya yang meliputi analisis terhadap konsep hisab, input data, proses kerja, kriteria masuknya tanggal dan klasifikasi sistem hisab yaitu: 4.1. Konsep Hisab Awal Bulan Sa’adoeddin Djambek Konsep hisab Sa’adoeddin Djambek pada dasarnya sederhana karena menggunakan dua cara yakni menggunakan logaritma dan kalkulator. Menurutnya sistem perhitungan di dalam ilmu falak adalah menggunakan segitiga bola langit.32 Sehingga berdasarkan pada data yang digunakan bersifat geosentris, maka hasil hisab pun akan bersifat geosentris pula. Artinya, bila hasil hisab menunjukkan bahwa bulan berkedudukan sekian derajat di atas ufuk, maka itu adalah menurut keadaan (si pengamat dikhayalkan bermarkaz di titik pusat bumi). Pendekatan bentuk bumi pada hasil hisab adalah bersifat bola. Karena mengikuti rumusan dan perhitungan yang dijalankan yakni ketika menghitung azimuth matahari, azimuth bulan. Dalam menentukan ketinggian bulan, faktor-faktor koreksi tetap dilakukan, sehingga perhitungan menggunakan toposentrik. Sedangkan pada dasarnya input data pada saat ini seharusnya tidak menggunakan data bola lagi, karena pergerakan benda langit terutama matahari dan bulan berbentuk elips.
110_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Dalam konsep hisabnya, perhitungan yang ia kerjakan bertujuan untuk memastikan apakah pada waktu perpindahan siang menjadi malam, bulan berada di timur atau barat matahari terbenam, sebagaimana pada bukunya di hlm. 15-16 : “Yang harus dilakukan dalam menghisab jatuhnya tanggal satu bulan baru tidak lain Matahari ditempatkan pada posisi terbenam. Lalu ditentukan posisi bulan. Bila bulan berkedudukan di sebelah timur garis ufuk dan sekaligus di sebelah timur matahari; bulan baru sudah ada atau : hilal sudah wujud” Ia menyimpulkan bahwa yang harus dilakukan bukanlah menentukan tinggi bulan di atas ufuk mar’i di kala matahari terbenam pada tanggal 29 hari bulan qamariyah, tetapi kita disuruh untuk meyakini, apakah pada pertukaran siang kepada malam bulan sudah berkedudukan di sebelah timur matahari ataukah masih sebelah baratnya. Hal ini untuk memenuhi syarat yang telah disebutkan dalam Qs. Al-Baqarah ayat 185. Meskipun demikian, ia tetap mengakui bahwa cara mengetahui tanggal satu itu bermacam-macam. Seseorang dapat melihat hilal sudah di sebelah timur matahari dengan mata kepala sendiri pada waktu matahari telah terbenam atau seorang ahli hisab dapat mengetahui kedudukan bulan melalui hitungannya yang teliti. Bagian terbesar umat Islam mengetahui masuknya bulan Ramadhan dari berita yang sah mengenai rukyatul hilal, atau dari pemberitahuan hasil hisab seorang ahli hisab yang dipercaya atau dari pengumuman instansi resmi yang berwenang. Dalam bab tersendiri, Ia melakukan semacam pembuatan garis batas tanggal dengan memanfaatkan data waktu terbenam matahari dan bulan pada nautical almanac. Dengan memanfaatkan data ini, ia dapat membuat garis batas tanggal di sekitar daerah lintang tertentu, sehingga akan terlihat wilayah mana saja ketika jatuhnya tanggal baru. Pemilihan batas hari didasarkan pada perhitungan kasar posisi terbenam matahari dan bulan pada waktu yang sama yang berasal dari data almanak nautika. Sehingga sangat memungkinkan adanya garis yang dapat
Telaah Pemikiran Hisab Sa’adoeddin Djambek _111
dibentuk untuk menunjukan daerah yang mengalami jatuhnya tanggal 1 dan 2 Ramadhan. Dalam perhitungan yang dilakukan Sa’adoeddin Djambek, ia hanya menggunakan koreksi paralaks bulan, namun tidak menggunakan paralaks matahari, ini disebabkan karena ketelitian yang diperhatikan hanya sampai satuan menit. Untuk matahari yang berjarak dari bumi sebesar 150.000.000 km, berparallaks 0.0024 derajat atau 8.8’. Sehingga paralaks matahari tidak diperhatikan atau dianggap sebesar nol. Dengan kata lain nilai tinggi geosentris dan tinggi toposentris matahari diperhitungkan sama besar. 4.1. Input Data dan Proses Kerja Hisab Awal Bulan Sa’adoeddin Djambek Data yang digunakan oleh Sa’adoeddin Djambek dalam menentukan awal bulan Qamariah adalah data-data yang bersumber dari Nautical Almanac (Nautical Almanak yang dibuat Indonesia diterbitkan oleh Hidrografi Angkatan Laut), sehingga markaz dalam penentuan awal bulan dalam buku ini menggunakan data Greenwich. Data ini juga dipakai di beberapa negara, terutama untuk kepentingan pelayaran, dan diterjemahkan ke dalam bahasa brasilia, Danish, Greek, India, Italia, Korea, Meksiko, Norwegia, Peru, dan Swedia. Di Indonesia, almanak tersebut diterbitkan ulang sesuai dengan naskah aslinya oleh Markas Besar TNI angkatan laut jawatan Oseanografi Jakarta, (Depag, 1981: 103 ). Proses kerja perhitungan yakni ketika mengambil data, yakni sebagaimana ketika pengambilan data deklinasi yakni tidak teliti sampai menit dan detik. Hal ini dilakukan dengan asumsi bahwa perubahan deklinasi matahari dari jam ke jam hanya kecil sekali. Data-data yang ada dalam Almanac Nautika ini bersifat geosentris, yakni menggunakan titik pusat dari keberadaan setiap benda langit baik matahari maupun bulan. Sehingga nilai dari setiap benda langit merupakan posisi pusat benda tersebut di dalam bola langit.
112_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Sistem Nautical Almanac ini pertama sekali dikembangkan di Indonesia oleh H. Sa’adoeddin Djambek (Ketua Badan Hisab & Rukyah Depag RI yang pertama)33. Sistem awal bulan Sa’adoeddin Djambek menjadi pedoman penentuan awal bulan disebabkan karena data yang dipergunakan bersumber dari almanak yang diterbitkan oleh lembagalembaga bertaraf internasional yang sangat ahli dalam bidang astronomi. 4.2. Kriteria Penentuan Masuknya Tanggal Di dalam konsep perhitungannya, ia memisahkan bab tersendiri ketika mengerjakan hisab. Sehingga dapat dikatakan ia tidak memiliki kriteria penentuan masuk tanggal. Namun, jikalaupun ada kemungkinannya, hal itu terdapat pada bab tertentu yang membahas pembuatan garis tanggal, maka hal ini dapat dikatakan adanya konsep masuknya tanggal melalui pemanfaatan data terbenam matahari dan bulan. Dalam pembuatan garis batas tanggal yang memungkinkan memotong tengah-tengah sebuah kota, pulau, provinsi atau negara sekalipun, maka dalam hal ini yang dilakukan adalah menariknya ke arah barat. Sehingga jikalaupun bagian B yang secara teoritik adalah sudah mulai untuk berpuasa (timur), dan daerah A belum, maka daerah wilayah B yang mungkin dapat melihat hilal, dianggap tidak melihatnya dan mengikuti daerah A yang sama sekali tidak memungkinkan melihat bulan. Alasan yang ia kemukakan berdasaran pada hadis riwayat bukhari : berpuasalah kamu bila melihat bulan dan berbukalah bila melihatnya, jika ada awan hendaklah kamu sempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari. Sa’adoeddin Djambek menyimpulkan bahwa tujuan hisab adalah memastikan, apakah pada waktu perpindahan siang menjadi malam, bulan sudah ada di sebelah timur matahari ataukah masih di sebelah baratnya. Di bawah ini, penulis mencoba untuk mempraktikan apa yang Sa’adoeddin Djambek lakukan, yaitu membuat garis tanggal dengan mengambil data ghurub matahari dan bulan pada beberapa tanggal.
Telaah Pemikiran Hisab Sa’adoeddin Djambek _113
Tanggal U 40o 35o 30o 20o U 10o 0o S 10o 20o 30o 35o S 40o
Matahari 19 19: 26 19: 13 19: 01 18: 42 18: 25 18: 10 17: 55 17: 38 17: 20 17: 09 16: 57
18 18: 46 18: 35 18: 26 18: 09 17: 55 17: 41 17: 28 17: 13 16: 56 16: 46 16: 35
Bulan Juli 2012 19 19: 23 19: 14 19: 06 18: 53 18: 41 18: 30 18: 19 18: 07 17: 54 17: 46 17: 37
20 19: 56 19: 50 19: 45 19: 35 19: 27 19: 19 19: 11 19: 02 18: 52 18: 46 18: 40
Lintang U 20o Bulan
18: 53
Bulan tgl 19
18: 53
Matahari
18: 42
Bulan tgl 18
18: 09
Selisih
11’
44’
11/44 = 0.25 lngkrn = 90o
Lintang U 10o Bulan Matahari Selisih
18: 41 18: 25 16’
Bulan tgl 19 Bulan tgl 18
18: 41 17: 55 46’
16/46 = 0.35 lngkrn = 125o 13’
18: 30 18: 10 20’
Bulan tgl 19 Bulan tgl 18
18: 30 17: 41 49’
20’ /49’ = 0.41 lngkrn = 146o 56’
Bulan tgl 19 Bulan tgl 18
18: 19 17: 28 51’
24’/51’ = 0.47 lngkrn = 169o 25’
Bulan tgl 19 Bulan tgl 18
18: 07 17: 13 54’
29’/54’ = 0.54 lngkrn = 193o 20’
Lintang 0o Bulan Matahari Selisih
Lintang S 10o Bulan Matahari Selisih
18: 19 17: 55 24’
Lintang S 20o Bulan Matahari Selisih
18: 07 17: 38 29’
114_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Diperoleh data sebagai berikut: Pada lintang 20o utara titik batas hari terdapat pada bujur 90o Pada lintang 10o utara titik batas hari terdapat pada bujur 125o Pada lintang 0o titik batas hari terdapat pada bujur 146o Pada lintang 10o selatan titik batas hari terdapat pada bujur 169o Pada lintang 20o selatan titik batas hari terdapat pada bujur 193o Titik-titik itu kita gambarkan pada sebuah peta, kemudian keempat titik itu kita hubungkan membentuk sebuah garis. Semua tempat di sebelah timur garis itu sampai ke garis batas hari mengalami jatuhnya tanggal 1 Ramadhan yakni pada hari Jum’at dan semua tempat yang berada di sebelah baratnya sampai dengan garis batas hari jatuh tanggalnya pada hari Sabtu 25
Lintang Utara
20 15 Sabtu
10 05 00
Lintang Selatan
05 10 15
Jum’at
20 25 80
95 110 125 140 155 170 185 200 Bujur Timur
Dari logika yang dipakai Sa’adoeddin Djambek, kiranya perhitungan garis batas tanggal untuk bisa dijadikan pedoman langsung dalam
Telaah Pemikiran Hisab Sa’adoeddin Djambek _115
menentukan posisi hilal suatu tempat, tidak dapat dipakai. Apalagi dikaitkan dengan adanya berbagai macam tawaran sebagai upaya unifikasi kalendar hijriyah di Indonesia. Ini dikarenakan data terbenam matahari yang dijadikan pedoman dalam melukis garis itu diambil ratarata dari 3 hari. Kemudian data terbenam matahari dan terbenam bulan, tidak memperhatikan kerendahan ufuk. Jadi hanya berlaku bagi daerah yang persis berada di permukaan air laut (ketinggian 0 meter).34 Catatan ini penulis kemukakan, meskipun pada sub bab ketelitian perhitungan, Sa’adoeddin Djambek telah menjelaskan bahwa garis batas tanggal tersebut dalam hal ketelitian tidak sama dengan hasil hisab yang dijalankan pada bab sebelumnya. Pada halaman 38 bukunya, ia memaparkan bahwa ketelitian waktu terbenam hanya mencakup satuan menit, namun di sisi lain data itu memberikan keuntungan praktis yang amat besar, karena mudah menggunakannya. 4.3. Klasifikasi Sistem Hisab Sistem perhitungan yang dilakukan oleh para ahli hisab ada dua macam yaitu: a) sistem tabel, yaitu menjadikan posisi bulan dan matahari pada saat penyusunan data sebagai pedoman, lalu diadakan penambahan gerak rata-rata sejak waktu itu sampai perhitungan dilakukan dibarengi dengan koreksi-koreksi yang diperlukan sehingga menghasilkan posisi sebenar-benarnya pada saat perhitungan dilakukan. b) sistem matematik, yaitu dengan mempergunakan kaidah-kaidah spherical trigonometry (ilmu ukur segitiga bola).35 Berdasarkan pada sistem perhitungan yang mengklasifikasikan kedua sistem tersebut, maka sistem perhitungan Sa’adoeddin Djambek adalah menggunakan sistem matematik, yaitu perhitungan yang diselesaikan dengan kaidah-kaidah spherical trigonometry. Jika penulis mencoba mengklasifikasikan sistem hisab yang digunakan Sa’adoeddin Djambek, maka sistem hisabnya termasuk pada sistem hisab yang menggunakan kaidah spherical trigonometri. Namun sistem hisab dalam buku ini belum sampai pada koreksi-koreksi lain yang mewakili hisab kontemporer saat ini. Sedangkan hisab kontemporer
116_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
saat ini, salah satu diantaranya memperhatikan koreksi benda-benda langit berupa planet-planet yang mempengaruhi penentuan new moon.
D. Kesimpulan Hisab Awal Bulan karya Sa’adoeddin Djambek yang terbit pada tahun 1976 merupakan salah satu buku yang dapat dijadikan acuan dasar dalam mempelajari penentuan awal bulan Qamariyah dalam prinsip trigonometri bola. Sistem ini telah dianggap akurat karena memadukan aspek astronomi (data nautical almanac) dengan rumus-rumus hisab yakni trigonometri bola. Sehingga pada waktu itu juga dijadikan pegangan oleh Badan Hisab Rukyat pada tahun 1972. Namun, ketika perkembangan ilmu dan teknologi telah berkembang dan mengalami kemajuan, konsep penentuan dengan berpatokan pada nol derajat di atas permukaan laut kiranya menjadi sebuah bahan pertimbangan. Mengingat -senada dengan Susiknan Azhari- belum adanya inkonsistensi pada ketentuan ketinggian hilal sudah ada di atas ufuk. Bagaimana apabila hilal sudah berada di atas ufuk, namun tidak dapat dirukyat dikarenakan ketinggian hilal sangat rendah. Apakah sudah dianggap tanggal baru atau belum? Tidak ada kriteria yang atau penjelasan apapun tentang kondisi ini. kriteria nol derajat yang dijadikan kriteria penentuan tinggi hilal hanya dapat berlaku bagi wilayah yang tinggi permukaannya nol derajat. Sehingga kriteria nol derajat untuk dapat menjadi salah satu tawaran unifikasi kalendar hijriyah di Indonesia ini kurang lengkap, karena tidak memperhatikan ketinggian tempat di setiap wilayah untuk melihat hilal. Sebagaimana observasi yang selalu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia di setiap tempat pada setiap akhir bulan hijriyah. Dengan demikian, telaah ini diharapkan menjadi salah satu kontribusi upaya unifikasi kalender di Indonesia yang selama ini masih mengharapkan kebersamaan dalam ibadah Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Telaah Pemikiran Hisab Sa’adoeddin Djambek _117
Daftar Pustaka Ali, Hamdany, Himpunan Keputusan Menteri Agama, Jakarta: Lembaga Lektur Keagamaan, 1973 Shiddiqi, Nourouzzaman, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997 Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, Cet. Ke-2. , Pembaharuan Pemikiran Hisab di Indonesia: Studi atas Pemikiran Saadoe’ddin Djambek, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002 Depag, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981 Djambek, Saadoeddin,Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tintamas, 1976. Izzuddin, Ahmad, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab-Rukyat Praktis dan Solusi Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika, 2006. , Fiqh Hisab Rukyah (Menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Ramadhan. Idul Fitri. dan Idul Adha), Jakarta: Erlangga, 2007 Pardi, M., Almanak Nautika, Jakarta: Gunung Agung, 1968, cet. Ke-2. Rojak, Encep Abdul, Hisab Awal Hijriyah Kontemporer, 2012. Website http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/chapter_iii/07210042-keki-febriyanti.ps http://www.tecepe.com.br/ (data Nautical Almanac). http://www.noltime.com/menghitung-l-h-a-matahari-dan-declination. html http://navsoft.com/downloads.html
118_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Endnotes
1. Depag, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, h. 107
2. Rekap hasil sistem hisab pada tahun 2013 yaitu Sullamun Nayirain, Fath Al-
Rauf Al-Mannaan, Qawaid Falakiyah, Manahijul Hamidiyah, Badiatul Mitsal, Jean Meeus, Al-Falakiyah, Ittifaqu Dzatil Bain, Matla as-Saìd, Ephemeris, New Comb, Nurul Anwar, Khulashah al-Wafiyah, Almanak Nautika, Ahilla, Starry Night PP6.39, Irsyadul Murid, Lunar phase ProV1.77, Astroinfo, Ascript, Mawaaqit, Falakiyah Najmi, ELP2000-82b,VSOP-87, Tsamratul Fikr, dan E.W. Brown.
3. Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, cet. Ke-2, h. 185.
4. Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, cet. Ke-2, h. 186.
5. Dalam literatur-literatur keislaman Indonesia ia terkenal sebagai ahli ilmu
falak Indonesia. Karyanya yang berkaitan dengan ilmu falak yaitu Pati Kiraan Menentukan Waktu Yang Lima (Singapore, Al-Ahmadiyyah Press, 1938 M/ 1357 H), Matijatul Umur (The Almanac: Muslim and Christian Calender and Direction of Qiblar according to Shafie Sect), Jadawwil Mukhbah at-Taqrirat fi Hisab al-Auqat wa Samt al-Qiblat, dan Mathematical Tables. Lihat Azhari Susikna, Ensiklopedi Hisab Rukyat..., cet. Ke-2, h. 206.
6. Dengan ilmu yang telah diperolehnya, ia mengembangkan teori spherical
trigonometry dengan mencoba menyusun teori-teori untuk menghisab arah kiblat, menghisab terjadinya bayang-bayang kiblat, awal waktu shalat, dan menghisab awal bulan qamariyah. Ia mencoba mengenalkannya di perguruan-perguruan Islam, terutama di IAIN Sunan Kalijaga. Lihat Azhari Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat..., h. 50-51.
7. Ensiklopedi Hisab Rukyat..., Azhari, h. 187 . 8. Dikutip dari Susiknan Azhari, dalam Hamdany Ali, Himpunan Keputusan Menteri Agama, Jakarta, Lembaga Lektur Keagamaan, 1973, cet. I, h. 241. Ketika ia dilantik menjadi ketua berarti usianya sudah mencapai 62 tahun.
9. Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat..., h. 52. 10. Dalam literatur-literatur keislaman Indonesia ia terkenal sebagai ahli ilmu
falak Indonesia. Karyanya yang berkaitan dengan ilmu falak yaitu Pati Kiraan Menentukan Waktu Yang Lima (Singapore, Al-Ahmadiyyah Press, 1938 M/ 1357 H), Matijatul Umur (The Almanac: Muslim and Christian Calender and
Telaah Pemikiran Hisab Sa’adoeddin Djambek _119 Direction of Qiblar according to Shafie Sect), Jadawwil Mukhbah at-Taqrirat fi Hisab al-Auqat wa Samt al-Qiblat, dan Mathematical Tables. Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat..., h. 206.
11. Buku ini memberikan cara sederhana menentukan arah kiblat di Indonesia dan Malaya.
12. Buku ini memuat jadwal shalat sepanjang masa, yakni waktu-waktu shalat setiap kota yang letaknya antara 7o LU dan 10o LS.
13. Buku ini mengurai persoalan shalat dan puasa di daerah yang letaknya jauh di selatan atau utara khatulistiwa (daerah abnormal).
14. Karya yang terakhir ini merupakan pergumulan pemikirannya yang akhirnya menjadi ciri khas pemikirannya dalam hisab awal bulan Qamariah
15. Ketinggian yang diambil merupakan contoh. Karena ketinggian Semarang mencapai 150 m, mengakibatkan kerendahan ufuk sebesar 21,6’ dibulatkan menjadi 22’. Sehingga tinggi nyata matahari menjadi 0o – 22’ (kerendahan ufuk) – 35’ (refraksi) –16’ (semi diameter matahari) = - 01o 13’ 00”. Lihat daftar kerendahan ufuk pada lampiran belakang.
16. GMT (Greenwich Mean Time), GHA (Greenwich Hour Angel)/SWG (sudut
waktu di Greenwich), Dek (deklinasi matahari/bulan), v/b (pertambahan sudut waktu), d/k (perubahan deklinasi), HP/PU (horizontal paralaks/paralaks ufuk), notasi N (north/utara).
17. Http://Navsoft.Com/Downloads.Html atau akses 27/02/2013.
http://www.tecepe. com.br/,
18. Cara memperoleh hasil ini dengan 9. 6869 – 10 = -0.3131/ 2 = -0.15655 + 10 = 9.8434.
19. Untuk menjadikan ½ t, maka shif sin shif log (9.8434 – 10) = 44o 12’ 29.73” 20. Terdapat ketentuan dalam pemakaian perata waktu yakni jika w.m > w.s,
maka perata waktu bertanda positif, sedangkan jika w.m < w.s, maka perata waktu bertanda negatif. (w.m adalah waktu mer pass dan w.s adalah waktu sejati). Sehingga untuk menentukan tanda nilai perata waktu, dapat dilihat dari nilai meridian pass nya. Jika mer pass lebih dari jam 12.00, maka nilai perata waktu positif dan begitupula sebaliknya.
21. Waktu dzuhur = jam meridian pas (12.05) – equation of time pkl. 11 (0o 05’ 5.58’) = 11j 59m 54.42d , dibulatkan menjadi 11j 59m 55d
22. Sudut waktu matahari dijadikan jam dengan cara dibagi dengan angka 15 yaitu 88o 24’ 59.46“/ 15 = 5o 53’ 39.96”.
23. Bujur markaz Semarang dari Greenwich adalah 07j 21m 36d. Ini diperoleh dengan cara bujur Semarang 110o 24’ dibagi 15.
24. Untuk mengetahui log dari anti fungsi (cotg, cosec, dan secan), maka rumus
120_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013 yang dipakai dengan menggunakan kalkulator yaitu log cotg a = 20-log tan a (20-log tan(17o 45’ 56.08”))
25. Cara mengubah hasil logaritma ke derajat dengan cara misalnya mencari
9.3225, maka pejet shif tan shif log (9.3225 – 10) = 11.86723056 = 11o 52’ 02.03”
26. Cara pejet ----- shif sin shif log (8.4224 – 10) = 1.516178286= 01o 30’ 58.24” 27. Nama lainnya s.t.g (seperdua garis tengah) 28. Untuk menjadikan nilai A, maka caranya di kalkulator: shift log (9.6176-
10) hasilnya 0.4145720318, kemudian cari nilai Cotg 0.4145720318 dengan menekan tombol shift tan (0.4145720318)x-1 yaitu 67o 28’ 56.9” (dibulatkan menjadi 67o 29’)
29. Rumus azimuth dihitung dari arah barat ke arah utara apabila hasilnya
positif , maka az= 360o- az dan dari arah barat ke selatan apabila hasilnya positif, maka az= 180o+ az. Hasil di atas positif, maka untuk mengetahui az dihitung dari utara, maka rumusnya 360o- az.
30. Nilai azimuth dalam rumus ini adalah absolut. Rumus cotan dan cotg adalah
titik acuan uang digunakan perhitungan adalah titik selatan atau utara. Apabila hasilnya positif, maka nilai itu dihitung dari titik utara ke arah barat, dan apabila hasilnya negatif, maka nilai itu dihitung mulai dari titik selatan ke arah barat. Hal ini disebabkan karena matahari pada waktu sore hari berada di langit sebelaha barat. Persamaan ini berlaku untuk mencari azimuth bulan dan juga bintang kainnya.
31. Sebagaimana penjelasan Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag ketika kuliah Hisab
Klasik 11 Juni 2012. Bahwa analisis yang dapat dilakukan terhadap beberapa perhitungan falak hendaknya menganalisis pada bentuk benda langit yang sebenarnya.
32. Sa’adoeddin, Djambek, Hisab Awal Bulan, Jakarta: Tinta Mas, 1976, h. 20. 33. Http://Lib.Uin-Malang.Ac.Id/Thesis/Chapter_Iii/07210042-Keki-Febriyanti. Ps), akses 28/02/2013.
34. Dr. H. Ahmad Izzuddin memberikan apresiasi bahwa tidak ada buku falak yang sampai pada analisis pembuatan peta garis tanggal hijriyah kecuali dalam buku ini. Namun kelemahan metode ini terletak pada nol derajat yang tidak dapat berlaku di wilayah lain (Gedung Pascasarjana IAIN Walisongo, 11 Juni 2012)
35. Depag, Almanak Hisab Rukyat, h. 111.
Role of Networking Among DKM in The Community (Optimization of Religion in Counseling & Extension District Rancabali Bandung West Java)
Peranan Jejaring Antar DKM Dalam Pemberdayaan Masyarakat (Optimalisasi Bimbingan & Penyuluhan Agama di Kecamatan Rancabali Kabupaten Bandung Prov. Jawa Barat)
Ihsan Faisal BR Penyuluh Agama Islam Kab. Bandung email:
[email protected]
abstrac :
The process towards the Islamic civilization through various aspects, one of them through religious social institutions. The business is now considered an indispensable thing in the midst of challenges and obstacles that are befalling Muslims, especially in Indonesia. Lessons of history implicitly suggests that the Prophet Muhammad and his companions started to build Islamic civilization started from the mosque. Spirit of their faith strengthened by a reliable regular managerial. Prosperity mosque partially considered would reduce the power line Muslims who spread to all corners of the regions in Indonesia. This fact will lead to inequality of wealth mosque conditions which impact on the inequality of religious development in the community.
122_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013 Therefore, the necessity for the whole community is working to improve the pattern of increasing prosperity of the mosque in accordance with the conditions of each place. Sub Region Rancabali is mountains that condition-based society of farmers and plantation workers. Thus, the pattern of increasing prosperity of the mosque will be felt contextual if it is done by using natural-based empowerment, and Muslims. Through this paper, the author seeks to elaborate the above problems objectively. Hope the author, may have benefit values can be learned from this paper as well as input and criticism is expected for the improvement of writing this simple.
abstraksi
Proses menuju peradaban Islam melalui berbagai aspek, salah satunya melalui lembaga-lembaga sosial keagamaan. Masalah ini sekarang dianggap sebagai hal yang sangat diperlukan di tengah-tengah tantangan dan hambatan yang menimpa umat Islam, khususnya di Indonesia. Pelajaran sejarah secara implisit menunjukkan bahwa Nabi Muhammad dan para sahabatnya mulai membangun peradaban Islam dimulai dari masjid. Semangat keimanan mereka diperkuat dengan membiasakan system manajerial yang handal. Kemakmuran Masjid yang parsial dianggap akan mengurangi eksistensi kaum Muslim yang menyebar ke seluruh pelosok daerah di Indonesia. Fakta ini akan menyebabkan ketimpangan kondisi masjid yang berimbas pada ketimpangan pembangunan keagamaan di masyarakat. Oleh karena itu, termasuk hal yang urgen sifatnya bagi seluruh masyarakat untuk bisa bekerja dalam rangka meningkatkan pola peningkatan kesejahteraan masjid sesuai dengan kondisi masing-masing tempat. Kecamatan Rancabali adalah daerah pegunungan yang kondisi sosialnya berbasis masyarakat petani dan pekerja perkebunan. Dengan demikian, pola peningkatan kesejahteraan masjid akan terasa kontekstual jika dilakukan dengan menggunakan alam berbasis pemberdayaan kaum Muslim. Melalui tulisan ini, penulis berusaha untuk menguraikan masalah di atas secara obyektif. Harapan penulis, mungkin memiliki nilai manfaat yang bisa diambil dari tulisan ini serta masukan dan kritik diharapkan untuk perbaikan penulisan yang sederhana ini.
Keywords : Mosque, Network, Empowering.
Peranan Jejaring Antar DKM Dalam Pemberdayaan Masyarakat _123
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini bangsa Indonesia tengah menghadapi krisis multidimensional, yaitu suatu krisis yang meminjam istilah Frithjof Capra sebagai krisis dimensi moral, intelektual dan spiritual. Krisis ini bersifat multidimensional karena mencakup seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, pendidikan dan ilmu pengetahuan. Krisis multidimensional ini bisa menjadi indikator mundurnya peradaban bangsa, dan sebagai jawabannya adalah menata kembali basis peradaban yang semestinya dibangun. Berdasarkan pembacaan terhadap sejarah kebudayaan, setidaknya ada tiga basis yang menjadi fundamen atau dasar bangunan suatu peradaban. Ketiga basis tersebut adalah kemanusiaan (humanitas), keilmuan (intelektualitas), dan spiritualitas.1 Demikian pula terlihat dalam kemunculan sejarah peradaban Islam. Peradaban Islam dapat berkembang hingga puncak keemasannya karena adanya pengawalan spiritualitas keagamaan, ajaran kemanusiaan dan rasionalitas Islam sejak masa kenabian sampai akhir kekhalifahan Abbasiyah. Tetapi, ketika pengawalan spiritualitas, ajaran kemanusiaan dan rasionalitas Islam tersebut rontok oleh gaya hidup materialistik-hedonis, maka kemegahan peradaban Islam mulai lemah hingga mencapai titik kejatuhannya.2 Dr.Muhammad Sa’id Ramdhan Al-Buthy menyebutkan ada tiga asas (dasar) terbentuknya masyarakat yang baru dalam konteks ketika Rasulullah SAW dan para sahabat berhijrah ke Madinah. Masyarakat yang baru tersebut sering diistilahkan dengan terma Masyarakat Madani atau masyarakat yang berperadaban. Ketiga asas yang dibangun oleh Rasul saat itu adalah membangun masjid, mempersaudarakan antara kaum Muslimin, dan membuat aturan yang kuat untuk intern kaum Muslimin dan kesepakatan (semacam MoU) dengan non Muslim saat itu.3
124_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Al-Buthiy menguraikan analisisnya di atas berkaitan dengan program prioritas yang dilakukan oleh Rasul SAW ketika hijrah ke Madinah. Untuk memusatkan seluruh kegiatan Umat Islam di Madinah saat itu, maka dibangunlah sebuah masjid sebagai pusat kegiatan (centre of action) kaum Muslimin. Rasulullah SAW telah menjadikan masjid bukan hanya sebagai medium melakukan komunikasi transendental-spiritual yang telah mentradisi, tetapi secara substantif mampu memaknai masjid sebagai wahana transformasi peradaban umat yang adaptif dan open minded. Pemahaman membangun masjid yang dimaksud tentu tidak hanya dalam pengertian pembangunan fisik/sarana an sich, tetapi bermakna pada pemakmuran kegiatan-kegiatannya (ta’mir masjid) yang berorientasi pada kerja-kerja pencerahan dan pencerdasan umat (culture of civilization). Ada sebuah hadits yang isinya mengisyaratkan balasan Allah bagi orang yang membangun masjid di dunia, maka kelak di akhirat ia akan disediakan sebuah bangunan di surga. Hal ini sebagaimana terdapat dalam kitab Shahih Al-Bukhari ;
ِ ِ ِ ِ ﻋﻦ ﻋﺜْﻤﺎ َن ﺑﻦ ﻋ ﱠﻔﺎ َن ر ِﺿﻲ اﷲ ﻋْﻨﻪ ﻳـ ُﻘﻮ ُل ِﻋْﻨ َﺪ ﻗَـﻮِل اﻟﻨ ﲔ ﺑَـ َﲎ َ ْ ﱠﺎس ﻓْﻴﻪ ﺣ ْ ْ َ ُ َ ُ َ َ َ َْ َ ُ ْ َ ِ ِ ِ ﺎل ﺑُ َﻜْﻴـُﺮ َ َﺻﻠﱠﻰ اﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻳَـ ُﻘ ْﻮ ُل َﻣ ْﻦ ﺑَـ َﲎ َﻣ ْﺴﺤ ًﺪا ﻗ َ َﻣ ْﺴﺤ َﺪ اﻟﱠﺮ ُﺳ ْﻮل ِ ﺎل ﻳـْﻨﺒﻐِﻰ ﺑِِﻪ وﺟﻪ ِ اﳉَﻨ ِﱠﺔ ْ اﷲ ﺑَـ َﲎ اﷲُ ﻟَﻪُ ِﻣﺜْـﻠَﻪُ ِﰱ ُ َﺣﺴْﺒ َْ َ َ َ َ َﺖ اَﻧﱠﻪُ ﻗ
“Dari Utsman bin Affan RA, ia berkata ketika membangun masjid Rasul SAW, beliau bersabda,”barang siapa yang membangun masjid (Bukair berkata, aku menyangka bahwa ia (Rasul) mengatakan “mengharap ridha Allah”), (maka) Allah akan membangunkan buatnya dengan bangunan yang serupa kelak di surga.”4
ِ ﺎﷲ واﻟْﻴـﻮِم ِ ِ ِ ِ ِ ﺼﻼََة َوآﺗَﻰ اﻵﺧ ِﺮ َوأَﻗَ َﺎم اﻟ ﱠ ْ َ َ إﱠﳕَﺎ ﻳَـ ْﻌ ُﻤُﺮ َﻣ َﺴﺎﺟ َﺪ اﷲ َﻣ ْﻦ َآﻣ َﻦ ﺑ ﺶ إِﻻﱠ ْﻬﺘَ ِﺪﻳْ َﻦmembangun ُﻜ ْﻮﻧُﻮاْ ِﻣ َﻦ اﻟْ ُﻤmasjid اﷲَ ﻓَـ َﻌﺴﻰ َ ِأ ُْوﻟـﺌal-Masjid) Pemahaman (Binâ perlu kontekstualisasi َ ْاﻟﱠﺰَﻛﺎ َة َوَﱂْ َﳜ َﻚ أَ ْن ﻳ
makna dengan menitikberatkan pada aspek manajemen pemberdayaan potensi masjid dan yang melingkupinya. Kata kunci (key word) yang sesuai dengan QS. Al-Taubah ayat 18 adalah Ta’mir (pemakmuran) masjid.
ِ َﺟﻌِﻠ ض َﻣ ْﺴ ِﺠ ًﺪا َوﻃَ ُﻬ ْﻮًرا )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ْ ُ ُ ﺖ ﻟ َﲕ ْاﻷ َْر (ﻋﺒﺪاﷲ
ُْ ُ
ْ َ ََ ْ َ ْ َ َ َ َ ْ ُ َ ْ ُ َْ ِاﳉﻨﱠﺔ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ َﺖ اَﻧﱠﻪُ ﻗ ُ َﺣﺴْﺒ َْ ﺎل ﻳَـْﻨﺒَﻐﻰ ﺑﻪ َو ْﺟﻪَ اﷲ ﺑَـ َﲎ اﷲُ ﻟَﻪُ ﻣﺜْـﻠَﻪُ ﰱ Peranan Jejaring Antar DKM Dalam Pemberdayaan Masyarakat _125
ِ ﺎﷲ واﻟْﻴـﻮِم ِ ِ ِ ِ ِ ﺼﻼََة َوآﺗَﻰ اﻵﺧ ِﺮ َوأَﻗَ َﺎم اﻟ ﱠ ْ َ َ إﱠﳕَﺎ ﻳَـ ْﻌ ُﻤُﺮ َﻣ َﺴﺎﺟ َﺪ اﷲ َﻣ ْﻦ َآﻣ َﻦ ﺑ ﻚ أَ ْن ﻳَ ُﻜ ْﻮﻧُﻮاْ ِﻣ َﻦ اﻟْ ُﻤ ْﻬﺘَ ِﺪﻳْ َﻦ َ ِﺶ إِﻻﱠ اﷲَ ﻓَـ َﻌﺴﻰ أ ُْوﻟـﺌ َ ْاﻟﱠﺰَﻛﺎةَ َوَﱂْ َﳜ
“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orangorang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apapun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.”5
ِ َﺟﻌِﻠ ض َﻣ ْﺴ ِﺠ ًﺪا َوﻃَ ُﻬ ْﻮًرا )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ْ ُ ُ ﺖ ﻟ َﲕ ْاﻷ َْر (ﻋﺒﺪاﷲ PEMBAHASAN
ِ ِﺐ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ ﻳـ َﻘﺎﺗِﻠُﻮ َن ِﰱ ﺳﺒِﻴﻠ ُِ إِ ﱠن اﷲ ﺻ ّﻔﺎً َﻛﺄَﻧـﱠ ص ﻮ ﺻ ﺮ ﻣ ن ﺎ ﻴ ـ ﻨ ـ ﺑ ﻢ ﻬ ﻪ ﳛ ﱠ ٌ ﱡ ْ ْ ْ ٌ ُ ُ َ َ َ ُ ُ َ ْ ْ ْ ْ َ 1. Peta Wilayah Kec. Rancabali A. Kondisi Obyektif Kecamatan Rancabali
Wilayah Kecamatan Rancabali terletak di daerah selatan Kota Bandung, berjarak sekitar 50 Km dari kota Bandung. Kecamatan Rancabali memiliki luas wilayah 8.637,787 ha. Fungsi kawasan berdasarkan kesesuaian lahan digunakan untuk kawasan lindung, perkebunan dan pertanian
ِ ِ ُﺳ َﻮةٌ َﺣ َﺴﻨَﺔٌ ﻟﱢ َﻤ ْﻦ َﻛﺎ َن ﻳَـ ْﺮ ُﺟ ْﻮ اﷲَ َواﻟْﻴَـ ْﻮَم ْاﻵ ِﺧَﺮ ْ ﻟََﻘ ْﺪ َﻛﺎ َن ﻟَ ُﻜ ْﻢ ِ ْﰲ َر ُﺳ ْﻮل اﷲ أ ًَوذَ َﻛَﺮ اﷲَ َﻛﺜِ ْﲑا lahan basah. Rencana penggunaan lahan : fungsi lindung, perkebunan /
agrobisnis, cagar alam / wisata, pemukiman pedesaan, pertanian lahan basah. Sejumlah kawasan wisata di Bandung selatan, terutama di Kec. Rancabali Kab. Bandung, masih menjadi primadona bagi sebagian masyarakat untuk mengisi libur akhir pekan. Mayoritas kondisi tanah di Rancabali berupa bukit-bukit dan gunung. Selain perkebunan dan pegunungan, wilayah Rancabali pun dipercantik dengan tersedianya kekayaan alam berupa potensi tempattempat pariwisata. Tempat-tempat tersebut antara lain Situ Patengan, Air panas Cimanggu, Kawah Putih, Ranca Upas, Air Panas Walini, Kawah Cibuni, Pranatirta Rancabali, Curug Cisabuk.6
126_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
2. Data Monografi Kec. Rancabali Penduduk Kecamatan Rancabali tercatat sekitar 47.384 orang. Dari jumlah tersebut, mayoritas beragama Islam (47.356), Protestan (28), sedangkan yang lainnya tidak ada. Mata pencaharian masyarakat di wilayah Kecamatan Rancabali pada umumnya di bidang perkebunan dan pertanian, karena memiliki potensi sumber daya alam yang luar biasa. Data monografi Kecamatan Rancabali menandakan bahwa status sosial dan pendidikan masyarakat Rancabali rata-rata adalah para petani yang notabene dominan masyarakat menengah ke bawah serta tingkat pendidikan yang masih rendah. Sebenarnya untuk mengatakan kaum tani di pedesaan Indonesia-termasuk di kawasan Kecamatan Rancabali Kab. Bandung- mengalami kemiskinan yang gawat tak usah jauhjauh ke masa lalu. Dari fenomena nasional, Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan data, tahun 2008 angka kemiskinan mencapai 39,05 juta jiwa atau 17,75 % dari keseluruhan jumlah penduduk nasional. Di lingkungan perkotaan angka kemiskinan mencapai 13,47%, sedangkan di pedesaan mencapai 21,81%. Hal ini menjelaskan bahwa kawasan pedesaan yang identik dengan sektor pertanian sebagai mata pencaharian pokok itu dihuni oleh manusia-manusia miskin. BPS juga menyebutkan angka kemiskinan di kalangan petani mencapai 56,07%, yang jauh melampaui sektor industri yang hanya mencapai 6,77%.
B. Landasan Teori Kemakmuran Masjid 1. Hakikat Masjid Kata masjid terambil dari akar kata sujud yang berarti taat, patuh, dan tunduk dengan penuh hormat. Meletakkan dahi, kedua telapak tangan, dan jari-jari kaki adalah bentuk lahiriah yang paling nyata dari makna-makna di atas. Dari pengertian ini, bangunan yang secara umum digunakan untuk sujud, shalat dan mengabdi kepada Allah dinamai masjid. Dari akar katanya, dipahami bahwa masjid bukan hanya berfungsi sebagai tempat meletakkan dahi, yakni sujud dalam shalat,
ِ إِﱠﳕَﺎ ﻳـﻌﻤﺮ ﻣﺴ ِ ﺎﷲ واﻟْﻴـﻮِم ِ ِاﷲ ﻣﻦ آﻣﻦ ﺑ ِ ﺎﺟ َﺪ ﺼﻼََة َوآﺗَﻰ اﻵﺧ ِﺮ َوأَﻗَ َﺎم اﻟ ﱠ َ َ ْ َ َ ُ ُ ْ َ _127 ْ َ َ َ Masyarakat Peranan Jejaring Antar DKM Dalam Pemberdayaan ﻚ أَ ْن ﻳَ ُﻜ ْﻮﻧُﻮاْ ِﻣ َﻦ اﻟْ ُﻤ ْﻬﺘَ ِﺪﻳْ َﻦ َ ِﺶ إِﻻﱠ اﷲَ ﻓَـ َﻌﺴﻰ أ ُْوﻟـﺌ َ ْاﻟﱠﺰَﻛﺎ َة َوَﱂْ َﳜ
tetapi ia adalah tempat melakukan aktivitas yang mengandung makna kepatuhan kepada Allah SWT atau paling tidak tempat mendorong lahirnya aktivitas yang menghasilkan kepatuhan kepada-Nya. Nabi Muhammad SAW bersabda:
ِ َﺟﻌِﻠ ض َﻣ ْﺴ ِﺠ ًﺪا َوﻃَ ُﻬ ْﻮًرا )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ْ ُ ُ ﺖ ﻟ َﲕ ْاﻷ َْر (ﻋﺒﺪاﷲ
“Telah dijadikan untukku (dan umatku) seluruh persada bumi sebagai masjid dan sarana penyucian.” (HR. Bukhari dan Muslim melalui Jabir bin Abdillah).
ِ إِ ﱠن اﷲ ُِﳛ ﱡ ِِ ِ ص ٌ ﺻ ْﻮ ُ ﺻ ّﻔﺎً َﻛﺄَﻧـﱠ ُﻬ ْﻢ ﺑـُْﻨـﻴَﺎ ٌن ﱠﻣ ْﺮ َ ﺐ اﻟﱠﺬﻳْ َﻦ ﻳـُ َﻘﺎﺗﻠُ ْﻮ َن ِﰱ َﺳﺒِْﻴﻠﻪ َ
Dalam hal ini bertemu kata sujud dan masjid dan terpadu aktivitas sujud, yakni kepatuhan kepada Allah dengan fungsi dan peranan masjid, bahkan fungsi manusia sebagai khalifah di bumi.7
ِ ﺳﻮِلpertama اﻵ ِﺧَﺮ َـ ْﺮ ُﺟ ْﻮ اﷲَ َواSAW َﻛﺎ َن ﻳhijrah ﻟﱢ َﻤ ْﻦke ُﺳ َﻮةٌ َﺣ اﷲ ﻟََﻘ ْﺪ Ketika ْ ﻟْﻴَـ ْﻮَمRasulullah ََﻛﺎ َن ﻟRasul ٌَﺴﻨَﺔMadinah, ْ أlangkah ْ ُ ُﻜ ْﻢ ِ ْﰲ َرyang lakukan adalah membangun masjid. Sebelum sampai di kota Madinah ََوذ ً َﻛﺜِ ْﲑاQuba Rasulullah mampir terlebih dahulu di suatu daerah bernama ََﻛَﺮ اﷲdan
di sana membangun sebuah masjid yang kelak dikenal dengan sebutan masjid Quba. Setelah sampai di kota Madinah pun, program utama yang dilakukan adalah membangun masjid yang kemudian dikenal dengan nama Masjid Nabawi. Dari masjid inilah Rasul membangun kota peradaban yaitu Al-Madinah Al-Munawwarah. Masjid Nabawi di Madinah telah menjabarkan fungsinya sehingga lahir peranan masjid yang beraneka ragam. Sejarah mencatat tidak kurang dari sepuluh peranan yang telah diemban oleh masjid Nabawi, yaitu sebagai : a. Tempat ibadah (shalat, zikir), b. Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah ekonomi-sosial-budaya), c. Tempat pendidikan, d. Tempat santunan sosial, e. Tempat latihan militer dan persiapan alatalatnya, f. Tempat pengobatan para korban perang, g. Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa, h. Aula dan tempat menerima tamu, i. Tempat menawan tahanan, dan j. Pusat penerangan atau pembelaan agama.8 Catatan sejarah tersebut memberikan isyarat yang sangat penting bahwa masjid merupakan hal pokok dalam pembangunan suatu
128_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
kebudayaan atau peradaban. Prof. Hamka, ketika memberikan kata pengantar dalam buku “Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam” karya Sidi Gazalba, menyatakan bahwa masjid merupakan sumber inspirasi bagi kemajuan hidup masyarakat Islam. Apabila fungsi masjid tersebut dipelihara secara baik, maka hiduplah (majulah) masyarakat. Tetapi apabila masjid tidak berfungsi lagi, maka masyarakat Islam akan mundur dan hilang “nyali”- nya. Oleh karena itu, apabila hendak memperbaiki masyarakat Islam, maka perbaikilah masjidnya.9 Pernyataan Hamka tersebut, menunjukkan betapa masjid memiliki arti penting yang oleh Sidi Gazalba disebut sebagai barometer dari realisasi tujuan-tujuan Islam dan suasana masyarakatnya. Pembangunan masjid bermakna pembangunan tatanan hidup, kebudayaan dan peradaban masyarakat. Sebaliknya, keruntuhannya akan bermakna keruntuhan tatanan hidup dan peradaban masyarakat.10 Masjid bukan sekedar tempat atau pusat ibadah dan berkumpulnya kaum muslim untuk melaksanakan shalat, tetapi lebih dari itu, masjid merupakan pusat peradaban. Masjid merupakan tempat suci par excellent umat Islam.11 Keberadaannya bukan hanya pelengkap dalam suatu lingkungan tertentu, melainkan sebagai pusat peribadatan dan kebudayaan Islam.12 2. Makna Kemakmuran Kata kunci dari firman Allah SWT yang terdapat dalam QS. Al-Taubah : 18 adalah makna ‘imaarah (seakar dengan ta’mir). Kata ‘makmur’ menurut kajian linguistik berasal dari kata ‘amara (َﻋَﻤَﺮ ) terdiri dari tiga huruf; ‘ain, mim, dan ra’. Kalimat ini mengandung arti menunjukkan sesuatu yang tinggi, berupa suara ataupun yang lainnya. Seakar dengan kata ‘amara lahir kata ‘amaar yang mengandung arti segala sesuatu yang diletakkan di kepala.13 Sedangkan dalam Kamus Bahasa Arab Al-Munawwir, ‘ammara bermakna mendiami atau menempati, ma’mur bermakna yang didiami. Dalam konteks masjid, makna ma’mur berarti tempat tersebut banyak yang menempati atau mendiami sehingga
Peranan Jejaring Antar DKM Dalam Pemberdayaan Masyarakat _129
mengandung makna memiliki nilai lebih dari hanya sekedar tempat biasa.14 Memakmurkan masjid mencakup sekian banyak aktivitas, antara lain membangun, beribadah dengan tekun di dalamnya, memelihara serta membersihkannya serta menjaga kesuciannya dan memfungsikannya sesuai dengan fungsi yang ditetapkan Allah dan Rasul SAW.15 M. Quraish Shihab menafsirkan QS. Al-Taubah : 18 sebagai berikut : “Setelah menjelaskan bahwa kaum musyrikin tidak wajar memakmurkan masjid-masjid Allah, kini dijelaskan siapa yang wajar memakmurkannya, yaitu yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah, yakni tidak lain kecuali siapa yang beriman dengan benar kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat secara tekun dan benar, menunaikan zakat dengan sempurna dan tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah. Maka mereka itulah yang sangat jauh lagi tinggi kedudukannya adalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat serta melaksanakan secara sempurna petunjuk Allah SWT.16 3. DKM sebagai sebuah Institusi Sosial Keagamaan Dalam konteks kekinian dan kedisinian, keberadaan sebuah masjid berbanding lurus dengan eksistensi organisasi Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) - nya.17 Kepengurusan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) memiliki fungsi strategis yang diharapkan mampu menjadi institusi sosial keagamaan dalam mentransformasikan “kesalehan individual” menjadi “kesalehan sosial” dalam kehidupan sehari-hari. Berlandaskan hal di atas, maka muncullah konsep visi dan misi DKM. Visi DKM yaitu : “Meningkatkan fungsi masjid bagi pemberdayaan dan persatuan umat guna mencapai kesejahteraan jamaah masjid lahir dan batin.” Sedangkan misinya antara lain : mengelola organisasi dan administrasi masjid (idarah), mengelola kemakmuran masjid (‘imarah), dan mengelola pemeliharaan sarana fisik masjid (ri’ayah).18
130_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
DKM dikelompokkan sebagai lembaga religius atau lembaga keagamaan. Lembaga religius atau lembaga keagamaan merupakan salah satu lembaga sosial. Lembaga sosial (social institution) adalah organisasi norma-norma untuk melaksanakan sesuatu yang dianggap penting. Salah satu ciri lembaga sosial adalah memiliki banyak mitra, di mana mitra lembaga keagamaan dalam komunitas masyarakat di antaranya lembaga kenegaraan, lembaga pendidikan adat dan budaya. Tugas pokok DKM meliputi tiga hal utama; pertama, pembinaan administrasi atau idarah. Hal ini meliputi masalah organisasi, kepengurusan, personalia, perencanaan, dan administrasi keuangan. Kedua, pembinaan kemakmuran atau imarah. Meliputi masalah pembinaan peribadatan, pembinaan pendidikan formal (baik pendidikan agama maupun pendidikan umum), pendidikan luar sekolah, majelis ta’lim, pembinaan remaja, wanita, perpustakaan, taman kanak-kanak, peringatan hari besar nasional & Islam dan ibadah sosial. Ketiga, pembinaan sarana fisik atau ri’ayah. Hal ini meliputi perawatan segala aspek sarana prasarana yang berhubungan dengan masjid dan pelaksanaan kegiatan keagamaannya.19
C. Peranan Jejaring antar DKM dalam Pemberdayaan Masyarakat di Kecamatan Rancabali Di antara masalah umat yang muncul adalah adanya keterputusan di antara kaum muslim itu sendiri. Sejak dulu hingga kini ada kecenderungan masyarakat yang memisahkan antara agama dengan persoalan sosial pada umumnya. Terjadinya discrepancy (ketidaksesuaian) antara keimanan, keislaman dengan pilihan-pilihan dan tindakan sosial kemasyarakatan. Seorang muslim yang baik dan taat hanya ketika berada di masjid, tetapi tidak merefleksikan ketaatan itu dalam tindakan sosial atau muamalah. Hal ini yang menyebabkan merajalelanya korupsi, kezaliman ataupun ketidakadilan. Dengan kata lain ada fenomena pengamalan kaum muslim cenderung berorientasi fiqh an-sich (fiqh minded)20
Peranan Jejaring Antar DKM Dalam Pemberdayaan Masyarakat _131
1. Rekayasa Sosial melalui Jejaring antar DKM Problem adalah perbedaan antara das sollen (yang seharusnya, yang diinginkan) dan das sein (yang nyata, yang terjadi). Kita mencita-citakan sebuah masyarakat yang menghormati hukum, ternyata menemukan masyarakat yang sama sekali mengabaikan hukum. Akibatnya timbul perbedaan antara yang ideal dan yang real, itu artinya mempunyai problem. Problem itu bisa bersifat sosial dan individual. Masalah individual terjadi kalau berkenaan dengan orang itu sendiri, namun jika masalah itu muncul dari beberapa orang yang banyak maka itulah bukti adanya masalah sosial. Problem individual bisa diantisipasi dengan therapy individual, sedangkan problem sosial mesti diantisipasi dengan usaha rekayasa sosial (social engineering). Ada beberapa problem sosial yang disebutkan oleh para ilmuwan sosial sebagai sumber-sumber perubahan: pertama, proverty (kemiskinan)21; kedua, crimes (kejahatan); ketiga, conflict (pertikaian).22 Terjadinya perubahan sosial di antara sebabnya adalah adanya ide (the great ideas) yang dimiliki oleh masyarakat atau sebagian masyarakat. Selain itu ada juga peran tokoh masyarakat (the great individuals) yang bisa menggerakkan seluruh masyarakat tersebut. Adapun strategi perubahan sosial bisa terjadi melalui berbagai cara di antaranya : people power (strategi perubahan sosial melalui kekuasaan), normative reeducative (aturan yang terlembagakan dalam pendidikan), serta persuasive strategi (pendekatan persuasif).23 Masyarakat Desa Alamendah Kec. Rancabali mayoritas penduduknya merupakan masyarakat muslim. Hal yang berkaitan erat dengan praktek keagamaan masyarakat adalah adanya tempat ibadah atau masjid, dan dari masjid inilah intensitas pertemuan anggota masyarakat semakin sering serta berimbas pada dampak positif akibat komunikasi tiap hari antar masyarakat. Profesi masyarakat Desa Alamendah Kec. Rancabali rata-rata adalah petani sayur-sayuran dan buah-buahan. Dengan demikian, satu hal yang menjadi benang merah kebutuhan riil mereka
ِ ﺎل ﻳـْﻨﺒﻐِﻰ ﺑِِﻪ وﺟﻪ ِ اﳉَﻨ ِﱠﺔ ْ اﷲ ﺑَـ َﲎ اﷲُ ﻟَﻪُ ِﻣﺜْـﻠَﻪُ ِﰱ ُ َﺣﺴْﺒ َْ َ َ َ َ َﺖ اَﻧﱠﻪُ ﻗ 132_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
ِ ﺎﷲ واﻟْﻴـﻮِم ِ ِ ِ ِ ِ ﺼﻼََة َوآﺗَﻰ اﻵﺧ ِﺮ َوأَﻗَ َﺎم اﻟ ﱠ ْ َ َ إﱠﳕَﺎ ﻳَـ ْﻌ ُﻤُﺮ َﻣ َﺴﺎﺟ َﺪ اﷲ َﻣ ْﻦ َآﻣ َﻦ ﺑ ِ اﻟﱠﺰَﻛﺎةَ وَﱂ َﳜْﺶ إِﻻﱠ اﷲ ﻓَـﻌﺴﻰ أُوﻟـﺌِﻚ أَ ْن ﻳ ُﻜﻮﻧُﻮاْ ِﻣﻦ اﻟْﻤﻬﺘ ﻦ ﻳ ﺪ َ ْtergabung ْ ُ َ dan ْDKM ْ ْ َ antar َ َ dalam َjejaring َ yang َ Banyaknya َmasjid
seolah-olah terjawab dengan mengarahkan kegiatan pada institusi sosial keagamaan yaitu masjid (baca: DKM). DKM di Desa Alamendah berdasarkan data dan fakta di lapangan ada 33 masjid. Hal ini membuktikan jaringan shilaturahim yang kuat antar pengurus dan jamaah masjid di wilayah Desa Alamendah khususnya. Uniknya lagi adalah, para pengurus DKM yang tergabung tersebut mayoritas adalah para petani sehingga semakin memperkuat jaringan usaha di bidang ekonomi (agribisnis) pada khususnya.
ِ َﺟﻌِﻠ ض َﻣ ْﺴ ِﺠ ًﺪا َوﻃَ ُﻬ ْﻮًرا )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ْ ُ ُ ﺖ ﻟ َﲕ ْاﻷ َْر (ﻋﺒﺪاﷲ Fenomena masyarakat ini tentunya merupakan aktualisasi pengamalan firman Allah SWT yang terdapat dalam QS. Al-Shaff : 4;
ِ إِ ﱠن اﷲ ُِﳛ ﱡ ِِ ِ ص ٌ ﺻ ْﻮ ُ ﺻ ّﻔﺎً َﻛﺄَﻧـﱠ ُﻬ ْﻢ ﺑـُْﻨـﻴَﺎ ٌن ﱠﻣ ْﺮ َ ﺐ اﻟﱠﺬﻳْ َﻦ ﻳـُ َﻘﺎﺗﻠُ ْﻮ َن ِﰱ َﺳﺒِْﻴﻠﻪ َ
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.24
ِ ِ ُﺳ َﻮةٌ َﺣ َﺴﻨَﺔٌ ﻟﱢ َﻤ ْﻦ َﻛﺎ َن ﻳَـ ْﺮ ُﺟ ْﻮ اﷲَ َواﻟْﻴَـ ْﻮَم ْاﻵ ِﺧَﺮ ْ ﻟََﻘ ْﺪ َﻛﺎ َن ﻟَ ُﻜ ْﻢ ِ ْﰲ َر ُﺳ ْﻮل اﷲ أ ِ اﷲ َﻛﺜfaktor Berdasarkan teori rekayasa sosial yang kedua di atas,ًﲑاbahwa َوذَ َﻛَﺮ ْ َ berikutnya yang mempengaruhi adanya perubahan sosial adalah munculnya tokoh masyarakat (the great individuals) yang menjadi penggerak bagi perubahan masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini, sosok yang dimaksud adalah seorang ulama sekaligus entrepreneur di bidang agribisnis yaitu KH. Fuad Affandi dengan Pesantren Al-Ittifaqnya.25 Peranan KH. Fuad Affandi yang menyatukan potensi pesantren dengan masyarakat petani melalui slogan “kerjasama” (Al-Ittifaq) mampu mengubah masyarakat komunalisme yang jumud ke arah masyarakat komunitarianisme yang dinamis dan kemudian menorehkan modal sosial bagi kaum tani. Modal sosial yang terjadi di kawasan Alamendah (Rancabali) tersebut mirip seperti yang dikatakan Robert Putman, “Menjadikan masyarakat memiliki nilai kolektif dari semua jaringan sosial dan kecenderungan untuk melakukan sesuatu bagi semua.” Sebagai ide abstrak, modal sosial tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk organisasi yang
Peranan Jejaring Antar DKM Dalam Pemberdayaan Masyarakat _133
secara praksis berupa paguyuban untuk kegiatan sosial, koperasi untuk kegiatan ekonomi/bisnis, lembaga swadaya untuk penguatan sumber daya manusia dan institusi pendidikan. Pesantren Al-Ittifaq yang notabene adalah representasi lembaga pendidikan golongan masyarakat bawah yang memiliki ciri-ciri komunalisme ala masyarakat pedalaman di Pasundan kini telah mewujud dalam bingkai komunitarianisme. Hal yang unik, bahwa gerakan itu justeru muncul dari ruang komunalisme pesantren, sebuah lembaga pendidikan yang selama ini dikenal “gemar memisahkan diri” dari tradisi masyarakat setempat.26 “Kesuksesan” ulama dari lereng Gunung Patuha dalam dunia agribisnis dan kegiatan sosial telah menandaskan, ada kekuatan kepemimpinan sejati dari seorang kiai yang mampu memberdayakan kehidupan masyarakat untuk tujuan materi dan ruhani. Ratusan hektar tanah yang pada tahun 1970-an tidak digarap, kini menjadi lahan yang mampu menyejahterakan ribuan keluarga petani, bahkan mendorong kemajuan di bidang jasa dan bisnis lainnya.27 2. Strategi Pemberdayaan Ada beberapa cara pembentukan perilaku manusia, di antaranya : a. Cara pembentukan perilaku dengan mengkondisikan atau kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuklah perilaku tersebut. b. Pembentukan perilaku dengan pengertian (insight). Di samping pembentukan dengan mengkondisikan atau kebiasaan, pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan pengertian atau insight. Seperti membiasakan berdisiplin agar tidak mengganggu orang lain. c. Pembentukan perilaku dengan menggunakan model. Hal ini bisa dijadikan contoh orang tua atau guru yang menjadi model untuk anak-anak atau murid-muridnya.28
اﳉَﻨﱠﺔ ْ ﺎل ﻳَـْﻨﺒَﻐﻰ ﺑﻪ َو ْﺟﻪَ اﷲ ﺑَـ َﲎ اﷲُ ﻟَﻪُ ﻣﺜْـﻠَﻪُ ﰱ َ َﺖ اَﻧﱠﻪُ ﻗ ُ ﺴﺒ ْ َﺣ 134_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
ِ ﺎﷲ واﻟْﻴـﻮِم ِ ِ ِ ِ ِ ﺼﻼََة َوآﺗَﻰ اﻵﺧ ِﺮ َوأَﻗَ َﺎم اﻟ ﱠ ْ َ َ إﱠﳕَﺎ ﻳَـ ْﻌ ُﻤُﺮ َﻣ َﺴﺎﺟ َﺪ اﷲ َﻣ ْﻦ َآﻣ َﻦ ﺑ ﻚ أَ ْن ﻳَ ُﻜ ْﻮﻧُﻮاْ ِﻣ َﻦ اﻟْ ُﻤ ْﻬﺘَ ِﺪﻳْ َﻦ َ ِﺶ إِﻻﱠ اﷲَ ﻓَـ َﻌﺴﻰ أ ُْوﻟـﺌ َ ْاﻟﱠﺰَﻛﺎ َة َوَﱂْ َﳜ
Aspek kehidupan yang pertama dan utama dilakukan untuk menuju pemberdayaan adalah dari sisi ibadah terutama shalat. Ada rumusan yang menjadi ciri khas dalam komunitas jejaring DKM tersebut adalah upaya pembiasaan praktek Shalat secara berjama’ah pada awal waktu di Masjid. Sekilas rumusan tersebut dianggap hal yang lumrah walaupun semestinya memang harus demikian. Tetapi pengamalan yang disertai dengan keyakinan tentu akan dirasakan perbedaannya. Secara empiris memang demikian, hampir rata-rata di setiap masjid bisa terlihat fenomena seperti itu terutama di pusat pemberdayaannya yaitu Masjid Al-Ittifaq.
ِ َﺟﻌِﻠ ض َﻣ ْﺴ ِﺠ ًﺪا َوﻃَ ُﻬ ْﻮًرا )رواﻩ اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﺑﻦ ْ ُ ُ ﺖ ﻟ َﲕ ْاﻷ َْر (ﻋﺒﺪاﷲ
Aspek berikutnya adalah sisi pola kepemimpinan. Dalam terminologi ajaran Islam, kepemimpinan sangat erat kaitannya dengan nilai teladan yang baik (uswah hasanah). Secara normatif, nilai uswah hasanah yang ideal adalah Rasulullah SAW sebagaimana dalam firman Allah dalam QS. Al-Ahzab : 21;
ِ إِ ﱠن اﷲ ُِﳛ ﱡ ِِ ِ ص ٌ ﺻ ْﻮ ُ ﺻ ّﻔﺎً َﻛﺄَﻧـﱠ ُﻬ ْﻢ ﺑـُْﻨـﻴَﺎ ٌن ﱠﻣ ْﺮ َ ﺐ اﻟﱠﺬﻳْ َﻦ ﻳـُ َﻘﺎﺗﻠُ ْﻮ َن ِﰱ َﺳﺒِْﻴﻠﻪ َ
ِ ِ ُﺳ َﻮةٌ َﺣ َﺴﻨَﺔٌ ﻟﱢ َﻤ ْﻦ َﻛﺎ َن ﻳَـ ْﺮ ُﺟ ْﻮ اﷲَ َواﻟْﻴَـ ْﻮَم ْاﻵ ِﺧَﺮ ْ ﻟََﻘ ْﺪ َﻛﺎ َن ﻟَ ُﻜ ْﻢ ِ ْﰲ َر ُﺳ ْﻮل اﷲ أ ًَوذَ َﻛَﺮ اﷲَ َﻛﺜِ ْﲑا
“Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”29 Di antara rumusan kepemimpinan yang baik antara lain; Pertama, meyakinkan. Artinya memberikan keyakinan pada masyarakat mengenai program yang akan kita laksanakan beserta segala konsekuensinya. Keyakinan ini merupakan dasar sebelum mengerjakan sesuatu walaupun tidak mudah untuk menerapkannya. Kedua, menggalang. Setelah meyakinkan masyarakat, berikutnya kekuatan masyarakat yang sudah ada itu hendaknya digalang untuk menjadi sebuah kekuatan atau modal baru. Ketiga, menggerakkan. Modal atau kekuatan yang baru tersebut lebih bermakna dan akan terasa jika sudah bisa digerakkan. Gerakan
Peranan Jejaring Antar DKM Dalam Pemberdayaan Masyarakat _135
masyarakat ini merupakan wujud nyata dari hasil keyakinan dan penggalangan sebelumnya. Keempat, memantau. Hasil perbuatan atau pergerakan tersebut tentu harus dievaluasi melalui pemantauan yang proporsional. Adakalanya masyarakat diberikan reward (pujian) sebagai bentuk apresiasi positif hasil pekerjaan mereka, juga punishment (sanksi) yang akan memperbaiki kinerja mereka. Kelima, melindungi. Masyarakat yang menjadi binaan perlu diberikan perlindungan, advokasi, dan sebagainya. Perlindungan tersebut akan menjadi bentuk kenyamanan mereka dalam beraktifitas. Perlindungan yang dimaksud bisa dalam bentuk perlindungan fisik, psikis, materi, semangat, dan sebagainya. Individu-individu masyarakat petani yang bergerak di bawah naungan Al-Ittifaq Nampak seperti semut. Kata Widi Yarmanto (Majalah Gatra, 29 Juni 2001), “Semut bekerja secara serius, terpola pada sistem dan disiplin dalam bertindak, serta punya rasa setia kawan yang tinggi. Jika hak dan kebebasannya dipasung, mereka melawan dan berteriak.”30 Dalam hal ini, pengaruh pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma agama, adat, serta sosial adalah suatu keharusan bagi masyarakat. Dalam tinjauan hubungan sibernetik antara nilai-nilai kultural (juga keagamaan) dan tindakan, nilai-nilai berfungsi sebagai pengontrol dan pengawas (lebih dominan) terhadap tindakan, baik pribadi maupun kelompok. Walaupun begitu, kehati-hatian tetap diperlukan untuk tidak begitu saja menarik garis lurus antara sejumlah nilai tertentu dengan seperangkat tindakan tertentu.31 3. Program-program Jejaring antar DKM Sebagai sebuah jejaring antar DKM yang sudah terbentuk dengan baik maka akan berdampak pada beberapa program pemberdayaan riil masyarakat. Di antara beberapa program yang sudah terlaksana dan menjadi ciri khas secara keseluruhan dari anggota jejaring antar DKM tersebut antara lain :
136_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
a. Bidang Ibadah Dalam pengamalan ibadah ritual sehari-hari pada dasarnya berjalan sesuai dengan aturan dari pembuat syari’at (shâhib al-syâri’). Hanya dari proses waktu yang sudah berjalan, maka terbentuklah sebuah kebiasaan positif dan menyebar serta mengakar di kalangan masyarakat. Contoh ibadah shalat, pendidikan karakter yang ditanamkan adalah membiasakan diri untuk bisa shalat secara berjamaah pada awal waktu dan dilaksanakan di masjid masing-masing. Fenomena ini sangat terasa indah dilihat tatkala datang adzan yang menandakan waktu shalat tiba, maka seluruh anggota masyarakat yang sedang beraktifitas apapun segera menunda pekerjaannya dan bergegas menuju ke masjid. Kesadaran melaksanakan ibadah haji, menunaikan zakat atau bahkan mengeluarkan infaq, shadaqah juga sudah menjadi kebiasaan di kalangan jamaah masjid yang terbentuk dalam jejaring DKM tersebut. Fenomena lain adalah praktek melaksanakan ibadah qurban sudah hampir ada pada setiap DKM masing-masing. b. Bidang Pendidikan Pola pendidikan berbasis masjid yang ada di kalangan masyarakat adalah bentuk Majelis Ta’lim dengan beragam segmentasinya; bapakbapak, ibu-ibu, remaja/pemuda, dan anak-anak. Pada setiap masjid yang ada di Desa Alamendah mempunyai jadwal pengajiannya masingmasing dan rata-rata melaksanakan tidak kurang dari seminggu sekali bahkan ada yang seminggu dua kali pembinaan. Dengan demikian, bisa diasumsikan pada setiap masjid itu sudah tersedia Majelis Ta’lim, TKA/ TPA, Madrasah lengkap dengan sarana prasarana yang mendukungnya. c. Bidang Sosial Sejalan dengan pelaksanaan peringatan hari besar Islam, maka ada nilai plus yang masyarakat lakukan melalui jejaring antar DKM ini yaitu dengan melaksanakan bakti sosial. Setiap memasuki bulan Rabi’ul Awal, jejaring antar DKM menggelar acara nikah massal. Acara ini dilaksanakan
Peranan Jejaring Antar DKM Dalam Pemberdayaan Masyarakat _137
dengan penuh nuansa kekeluargaan tanpa menghilangkan aspek profesionalitas, akuntabilitas dan transparansi biaya/dana. Sumber dana digali dari masyarakat itu sendiri dengan sistem lelang amal. Masingmasing anggota masyarakat yang berkehendak dan mau beramal dipersilakan dengan kemampuan masing-masing. Peserta nikah massal pun berasal dari masyarakat sekitar Desa Alamendah dan dari luar desa serta ada sebagian yang merupakan santri Pesantren Al-Ittifaq. Khusus santri Al-Ittifaq yang ikut nikah massal, kelak akan ditempatkan di suatu daerah sekitar Alamendah (Rancabali) dengan diberikan amanah berupa masjid dan sebidang tanah perkebunan untuk modal usaha hidupnya. d. Bidang Ekonomi Bidang ekonomi ini merupakan program unggulan masyarakat yang tergabung dalam jejaring antar DKM. Hal ini dikarenakan sumber daya alam yang tersedia dan mendukung pada program ini. Selain itu, hal yang paling pokok adalah tersedianya lembaga perekonomian yang memfasilitasi segala bentuk kebutuhan dan aktifitas ekonomi mereka. Lembaga tersebut adalah Koperasi Pondok Pesantren Al-Ittifaq. Selain dipercayai oleh jamaah masjid yang menyebar di dekitar Desa Alamendah, koperasi Al-Ittifaq juga tegak berdiri di atas organisasi pertanian yang kokoh. Ada 5 (lima) kelompok tani yang merupakan pendukung utama Koperasi Pondok Pesantren Al-Ittifaq, yaitu : (1) Kelompok Tani Alif, (2) Kelompok Tani Tunggul Endah, (3) Kelompok Tani HMS (Hasil Melak Sayur), (4) Jampang Endah, (5) CV One. Lima kelompok tani ini bisa digolongkan sebagai organisasi tani internal Al-Ittifaq. Di luar itu, masih ada sekitar 15 kelompok tani di sekitar pesantren yang bermitra dan sinergis, yakni 6 kelompok di Desa Pasirjambu, 5 kelompok di Desa Lebak Muncang Ciwidey. Setiap kelompok tani biasanya terdiri dari 90 petani. Mereka memiliki lahan sendiri dan masing-masing ketua kelompok sudah menjadi pengusaha sayur dan strawberry dan menjadi koordinator untuk memaksimalkan kinerja para petani yang lain. Cara ini dilakukan demi pembaruan manajemen ke arah yang lebih efektif.32
138_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
D. Kesimpulan dan Saran Masyarakat Kecamatan Rancabali mayoritas adalah petani atau pekerja perkebunan. Hal itu tentunya mempengaruhi pola hidup dan kehidupan mereka dalam beberapa aspek, seperti pendidikan, sosial, ekonomi, agama, dan sebagainya. Namun demikian, pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh berbagai pihak sangat disambut dengan antusias oleh anggota masyarakat tersebut. Satu faktor pemberdayaan yang berbasis masyarakat adalah dengan melakukan aktivitas pemberdayaan tersebut dimulai dari institusi sosial keagamaan yaitu masjid dan DKM-nya. Konsep kemakmuran masjid dan pemberdayaan DKM-nya mencoba diaktulisasikan dalam kehidupan riil masyarakat. Dengan demikian, masjid dan DKM-nya bisa menjadi solusi bagi permasalahan yang ada di masyarakat Rancabali dan masyarakat Rancabali pun bisa menghidupkan masjid-masjidnya.
Peranan Jejaring Antar DKM Dalam Pemberdayaan Masyarakat _139
Daftar Pustaka Al-Bukhari. Tt, Shahih Al-Bukhari. Semarang: Usaha Keluarga. Amstrong, Karen, , Sejarah Tuhan, Bandung: Mizan Pustaka Utama, 2004. Anshary, Isa, KHM, Mujahid Dakwah, Bandung: CV.Diponegoro, 1984, cet. III. Ariffien, Zaenal dan Hendar Riyadi, Masjid Pusat Ibadah, Dakwah dan Pencerahan Peradaban, Bandung: Kalam Mujahidin, 2007, cet. II, Agustus. Azra, Azyumardi, Islam Substantif. Bandung: Mizan, 2000, cet. I, September. Bidang Penamas Depag prov. Jawa Barat, Panduan Tugas Penyuluh Agama Masyarakat. Bandung, 2009 Buthy, Muhammad Said Ramdhan Al, Fiqh Al-Sirah. Beirut: Daar AlKutub Al-Islamiyah, 1990 Capra, Frithjof, Titik Balik Peradaban, Yogyakarta: Bentang, 2004. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Syamil Cipta Media, tth. __________________, Direktori Terpadu Pondok Pesantren Jawa Barat, Bandung: 2006. Depag RI Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, Himpunan Peraturan Tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Agama dan Angka Kreditnya: Jakarta: 2000 DMI Jawa Barat, Buku Pedoman Pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) di Jawa Barat, Bandung: DMI Jabar, 2004, Oktober. Gazalba, Sidi, Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989. Ibn Faris, Abi Al-Husain, Mu’jam Maqayis Al-Lughah. Beirut: Daar Ihya Al-Turats Al- Arabi, 2008. Kecamatan Rancabali, “Data Monografi” Tahun 2010. Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1997.
140_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Kusnawan, Aep (penyunting), Ilmu Dakwah (kajian berbagai aspek). Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, cet. I, Februari. Liliweri, Alo, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: LKis, 2009, cet. III. Madjid, Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina, 1999, cet. V, Desember. ___________________, Masyarakat Religius. Jakarta: Paramadina, 2000, cet. II, April. Manshur, Faiz, Enterpreneur Organik; Rahasia Sukses KH. Fuad Affandi Bersama Pesantren dan Tarekat “Sayuriah”-nya. Bandung: Nuansa Cendekia, 2009, cet. I, September. Maulany, Rahmat, Dahsyatnya Kekuatan Masjid, Bandung: Elkom Publisher, 2008. Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, cet. XIV. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Model Pemberdayaan Dewan Keluarga Masjid di Jawa Barat, Bandung, tth. Rahman, Fazlur, Islam, Bandung: Pustaka, 2000, cet. IV. Rakhmat, Jalaluddin, Rekayasa Sosial, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000, cet. II, Mei. Schimmel, Annemarie, Rahasia Wajah Suci Ilahi, Memahami Islam Secara Fenomenologis, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1996. Shabuni, Muhammad Ali Al, Shafwat Al-Tafasir, Beirut: Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, tth. Shaleh, Ashaf HM, Takwa (Makna dan Hikmahnya dalam Al-Qur’an). Jakarta: Erlangga, 2006, cet. II. Shihab, M Quraish, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 2000, cet. X, Februari. _________________, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2005, cet. III, Februari. Sentosa, Muhammad Djarot, Komunikasi Qur’aniyah. Bandung: Pustaka Islamika, 2005, cet. I, Maret. Seksi Penamas Kab. Bandung, Buku Pedoman Teknis Kepenyuluhan, Bandung, 2005.
Peranan Jejaring Antar DKM Dalam Pemberdayaan Masyarakat _141
Walgito, Bimo., Psikologi Sosial (suatu pengantar), Yogyakarta: CV. Andi Offset, tth. Yani, Ahmad, Panduan Memakmurkan Masjid, kajian Praktis bagi Aktivis Masjid, Jakarta: DEA Press dan Khairu Ummat, 1999. Internet : www.kemenag.go.id www.entrepeneurorganik.com kecamatanrancabali.wordpress.com Mahlani, penyuluhjogja.com. koranindonesia.com www.bandungkab.go.id
142_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Endnotes 1. Zaenal Ariffien dan Hendar Riyadi, Masjid Pusat Ibadah, Dakwah dan Pencerahan Peradaban, Bandung: Kalam Mujahidin, 2000, cet. II, h. 34.
2. Zaenal Ariffien dan Hendar Riyadi, Masjid Pusat Ibadah..., h. 35. Baca juga : Harun Nasution (peny.), Sejarah Ringkas Islam, Jakarta: UI-Press, 1984; A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Muhammad Labib Ahmad, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1997; Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
3. Muhammad Sa’id Ramdhan Al-Buthy, Fiqh Al-Siirah, Beirut: Daar al-Kutub al-Islamiyyah, 1990, h. 193.
4. Al-Imam Abi Abdillah bin Muhammad bin Ismail bin Ibrahim Ibn alMughirah Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Semarang: Usaha Keluarga, 1981, Kitab Shalat, juz I, h. 116. Hadits yang serupa terdapat dalam Shahih Muslim bab Masajid; Sunan Tirmidzi bab Mawaqit; Sunan Al-Nasa-i bab Masajid; Sunan Ibn Majah bab Muqaddimah; Sunan Al-Darimi bab Shalat; dan Musnad Ahmad bin Hanbal.
5. Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Syamil Cipta Media, h. 189.
6. Kecamatanrancabali.wordpress.com 7. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2005, cet. III, volume 5, h. 717.
8. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2000, cet. X, h. 462.
9. Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka AlHusna, 1989, h. xi.
10. Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadat...., h. 319. 11. Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi, Memahami Islam secara Fenomenologis, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1996, h. 98.
12. Sidi Gazalba, Masjid, Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadat..., h. 256. Hal ini sebagaimana disimbolkan dengan mihrab dan mimbar yang secara umum
Peranan Jejaring Antar DKM Dalam Pemberdayaan Masyarakat _143 terdapat dalam setiap masjid, baik yang besar maupun yang kecil, yang merupakan simbol dari pusat ibadah dan pusat kebudayaan. Mihrab (pangimaran) merupakan simbol pusat ibadah yang memiliki nilai kesucian di mana seseorang memimpin shalat berjamaah. Sedangkan mimbar (podium) merupakan simbol pusat kebudayaan, karena di atas mimbar tersebut terjadi proses dialog dan kontak kebudayaan antara khatib (penceramah) degan mustami’. Lihat Zaenal Ariffien, Masjid, Masjid Pusat Ibadah..., h. 72-73.
13. Abi Al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakaria, Mu’jam Maqaayis Al-Lughat, Beirut: Daar Ihya Al-Turats, 2008, h. 675-676.
14. Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, cet. IV, h. 970-971.
15. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah..., h. 548. 16. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah...., h. 551-552. 17. Penulis menggunakan nomenklatur Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) dalam makalah ini dengan dua alasan; pertama, secara terminologis, historis dan filosofis, istilah kemakmuran lebih mengena dan lebihh substantive dari pada hanya sekedar istilah keluarga, kesejahteraan, dan sebagainya. Karena sebelumnya dan bahkan sebagian masyarakat masih menggunakan istilah Dewan Keluarga/Kesejahteraan Masjid. Kedua, merujuk pada Buku Pedoman Pengurus DKM di Jawa Barat yang dikeluarkan oleh Pimpinan Wilayah Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jawa Barat. Dalam buku tersebut telah disepakati penyebutan istilah DKM yang tepat adalah Dewan Kemakmuran Masjid.
18. PW. DMI Jawa Barat, Buku Pedoman Pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) di Jawa Barat, Bandung: DMI Jabar, 2004, h. 5.
19. Pemprov. Jawa Barat, Model Pemberdayaan Dewan Keluarga Masjid di Jawa Barat, Bandung: Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tt, h. 45.
20. Azyumardi Azra, Islam Substantif, Bandung: Mizan, 2000, cet. I, September, h. 42, 123.
21. Lebih lengkap lihat tulisan M.Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan AlQur’an, Bandung: Mizan, 2000, cet. X, Februari, h. 448-452.
144_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
22. Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000, cet. II, Mei, h. 55-58.
23. Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial..., h. 46-53. 24. Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya..., h. 551. 25. Pendapat penulis tentunya didasarkan pada data dan fakta serta konfirmasi di lapangan ke berbagai pihak yang berkompeten, selain itu terdapat pula referensi yang banyak yang semakin menguatkan pemikiran di atas. Pada akhirnya, penulis pun tidak mendengar hanya dari perkataan orang dan pendapat orang malahan bisa berdialog langsung dengan beliau, bermitra kerja dengan beliau dan keluarga besar pesantrennya khususnya selama melakukan tugas bimbingan dan penyuluhan di kec. Rancabali.
26. Faiz Manshur, Enterpreneur Organik; Rahasia Sukses KH. Fuad Affandi
Bersama Pesantren dan Tarekat “Sayuriah”-nya. Bandung: Nuansa Cendekia, 2009, cet. I, h. 104.
27. Faiz Manshur, Enterpreneur Organik; Rahasia Sukses KH. Fuad Affandi
Bersama Pesantren dan Tarekat “Sayuriah”-nya. Bandung: Nuansa Cendekia, 2009, cet. I, h. 101.
28. Bimo Walgito, Psikologi Sosial ..., h. 18-19. 29. Departemen Agama, Al-Qur’an..., h. 420. 30. Faiz Manshur, Enterpreneur Organik..., h. 105-106. 31. Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, Jakarta : Paramadina, 2000, cet. II, April, h. 6.
32. Faiz Manshur, Enterpreneur Organik..., h. 84.
Partnership between Nazhir with Banks in the Management of Waqf Assets Pengelolaan Wakaf Produktif dengan Memanfaatkan Lembaga Perbankan
Abdullah Ubaid Islamic Economic Circle for Social Justice, Jakarta email :
[email protected]
Abstract : The waqf assets in Indonesia are mostly not managed productively. It’s very unfortunate. As a breakthrough, an idea of waqf management by utilizing banking institutions, in this case is the Islamic banks. This idea is no longer dreamily, but it can be implemented. Legal basic is Law 41 Year 2004 on Waqf, and Government Regulation 42 Year 2006. The rules give the green light to the Islamic banks to play a role in the development of waqf assets towards productive. However, Islamic banks cannot act as a Nazhir (manager). It can only act as a partner of Nazhir, both in reception and management of waqf asset , as well as the distribution of investment returns. In Islamic banks there are many products that can be utilized by Nazhir to develop waqf assets are handled. Therefore, Nazhir should partner with Islamic banks. Abstraksi : Selama ini aset wakaf di Indonesia sebagian besar tidak dikelola secara produktif. Ini sangat disayangkan. Sebagai langkah terobosan, muncul gagasan pengelolaan wakaf dengan memanfaatkan lembaga perbankan, dalam hal ini adalah bank syariah. Gagasan ini kini tak lagi mengawang-awang, tapi sudah dapat diimplementasikan. Landasannya adalah Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan juga Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006. Aturan tersebut memberikan lampu hijau kepada bank syariah untuk turut berperan dalam pengembangan aset wakaf ke
146_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013 arah produktif. Hanya saja, bank syariah tidak dapat berperan sebagai nazhir atau pengelola wakaf. Ia hanya dapat berperan sebagai mitra nazhir, baik dalam penerimaan dan pengelolaah harta benda wakaf, serta penyaluran hasil investasi. Di bank syariah ada banyak produk yang dapat dimanfaatkan oleh nazhir untuk mengembangkan aset wakaf yang ditanganinya. Karena itu, nazhir harus bermitra dengan bank syariah. Keywords: waqf asset, nazhir, Islamic banking, partnership.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sejatinya mempunyai aset wakaf yang cukup besar. Sayangnya belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Menurut data Kementerian Agama per 23 Juli 2009, aset wakaf yang berupa tanah tersebar di 450.000 lokasi, dengan luas 2,7 milyar meter persegi.1 Ironisnya, tanah wakaf ini sebagian besar (77 %) didiamkan. Hanya sebagian kecil (23 %) yang dimanfaatkan untuk kepentingan usaha produktif, seperti untuk rumah sakit, pertanian, perkebunan, peternakan, dan sarana bisnis.2 Hal ini tak lepas dari peran Nazhir atau pengelola aset wakaf yang tidak profesional dan tidak mempunyai pengetahuan yang mumpuni tentang pengelolaan aset wakaf secara produktif. Penelitian membuktikan, para nazhir ternyata tidak fokus dalam mengelola aset, mereka mayoritas bekerja sambilan dan tidak diberi upah (84%), dan yang bekerja secara penuh dan terfokus ternyata amatlah minim (16 %). Selain itu, wakaf di Indonesia lebih banyak dikelola oleh perseorangan (66%) alias tradisional, daripada organisasi profesional (16%) dan berbadan hukum (18%).3 Karena itulah, perlu ada upaya terobosan agar potensi yang demikian besar tidak tersia-siakan begitu saja. Menurut saya, peluang inilah yang mestinya ditangkap oleh Bank Syariah. Aset yang begitu besar dapat dijadilan lahan investasi yang empuk. Tentunya, hal ini dapat dilakukan
Pengelolaan Wakaf Produktif dengan Memanfaatkan Lembaga Perbankan _147
melalui kerjasama yang baik dan saling menguntungkan antara pihak Bank Syariah dengan nazhir wakaf. Tidak hanya aset wakaf yang berupa tanah yang dapat dimanfaatkan oleh Bank Syariah, tapi juga aset wakaf yang berupa uang, atau dikenal dengan wakaf uang. Berdasarkan perkiraan Mustafa Edwin Nasution, potensi wakaf uang di Indonesia mencapai 3 triliun pertahun. Ini didasarkan pada sample perhitungan jumlah penduduk muslin dengan pendapatan rata-rata per bulan.4 Potensi wakaf uang ini juga dapat dihitung dengan perkiraan yang cukup sederhana. Satu misal, andai saja terdapat 1 juta saja masyarakat muslim yang mewakafkan dananya sebesar Rp 100.000,- per bulan, maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp 100 milyar setiap bulan, berarti akan diperoleh Rp. 1,2 trilyun per tahun. Bila diinvestasikan dengan tingkat return 10 persen per tahun, maka akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp 10 miliar setiap bulan, dan Rp 120 miliar per tahun. Meski begitu, yang patut dicermati adalah, sebesar apapun aset wakaf yang dimiliki bila tidak ditangani oleh sumber daya nazhir yang handal dan profesional, maka aset wakaf tetap diam, dan tidak bergerak ke arah produktif. Karena itu, bank syariah punya andil besar dalam memajukan usaha produktif dengan menggandeng nazhir dalam pengelolaan dan pengembangan aset wakaf, baik berupa tanah maupun uang.
B. Usaha Produktif Jadi Ruh Wakaf Usaha produktif di sektor riil ini sangat penting untuk digerakkan dan sudah semestinya bank syariah harus mampu menjadi pelopornya. Namun yang masih menjadi pertanyaan adalah mengapa melalui instrumen wakaf? Wakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada Allah melalui harta benda yang dimilikinya, yaitu dengan melepas benda yang dimilikinya untuk kepentingan umum.
148_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Ketika berwakaf, ada empat rukun yang harus dipenuhi. Pertama, orang yang berwakaf (wâqif). Kedua, benda yang diwakafkan (mauqûf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (mauqûf ‘alaih). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sîghah). Selain rukun wakaf yang empat, ada satu lagi elemen penting dalam wakaf, yaitu nazhir atau pengelola harta wakaf. Nazhir adalah orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf. 5 Prinsip pengelolaan asset wakaf adalah pengembangan secara produktif agar dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sebab, substansi atau ruh dari ajaran wakaf adalah produktifitas. Jika aset wakaf tidak diproduktifkan, maka nilai ibadah sosial yang dapat mengalirkan manfaat abadi yang melekat pada wakaf itu akan menghilang.6 Substansi produktifitas dalam pengelolaan asset wakaf ini tergambar dengan jelas dalam kisah derma Umar bin Khattab. Suatu ketika, ia berkata kepada Muhammad saw., “Saya mempunyai seratus saham (tanah) di Khaibar. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya.” Lalu, Nabi saw. menjawab, “Tahanlah (artinya jangan jual, hibahkan, dan wariskan) asalnya (asetnya), lalu sedekahkan buahnya (hasil pengelolaannya)”.7 Makna kalimat “tahan lalu sedekahkan” pada hadis tersebut adalah wakaf.8 Berdasarkan hadis di atas wakaf bukan berarti mendiamkan benda yang diwakafkan, tapi harus dikelola secara produktif, lalu hasilnya disedekahkan untuk kepentingan umum. Anjuran Nabi ini ternyata mendapat mendapat respon yang sangat menakjubkan dari para sahabat. Seorang sahabat bernama Jabir meriwayatkan ihwal girah para sahabat untuk berderma. “Tidak seorangpun sahabat yang mempunyai kemampuan yang tidak berwakaf,” tandasnya.9 Begitulah gambaran betapa semangatnya para sahabat untuk mempraktikkan wakaf. Karena memang wakaf dipandang sebagai instrumen filantropi yang lebih strategis dibanding lainnya, katakanlah sebagai satu misal, zakat. Ciri utama yang menjadi pembeda adalah tugas pengelola. Amil zakat berkewajiban untuk mendistribusikan “seluruh”
Pengelolaan Wakaf Produktif dengan Memanfaatkan Lembaga Perbankan _149
harta zakat yang terkumpul kepada delapan golongan (mustahiq).10 Sedang pengelola wakaf (nâzhir) harus menjaga harta wakaf agar tetap “utuh”, yang dapat didistribusikan kepada masyarakat adalah manfaat atau hasil pengelolaan dari harta yang diwakafkan (mauqûf).11 Nilai stategis wakaf dapat dilihat dari sisi pengelolaan. Jika zakat ditujukan untuk menjamin keberlangsungan pemenuhan kebutuhan pokok kepada delapan golongan, maka wakaf lebih dari itu. Hasil pengelolaan wakaf bisa dimanfaatkan berbagai lapisan masyarakat, tanpa batasan golongan, untuk kesejahteraan sosial dan membangun peradaban umat.12 Karena itu, keutamaan wakaf terletak pada hartanya yang utuh dan manfaatnya yang terus berlipat dan mengalir abadi, atau biasa disebut shadaqah jariyah. Melihat sisi strategis itu, maka tak heran jika sahabat Jabir mengatakan hal seperti itu. Jadi, produktifitas dalam pengelolaan aset wakaf adalah sebuah keniscayaan.
C. Terobosan Kemitraan ala Indonesia Andil bank syariah dalam mengelola aset wakaf dengan cara mendorong usaha produktif untuk pengentasan kemiskinan ini bukan omong kosong. Ini sudah dibuktikan oleh M.A. Mannan di Bangladesh melalui Social Investment Bank Ltd (SIBL). SIBL merupakan model perbankan yang tujuannya untuk memberdayakan keluarga melalui investasi sosial berdasarkan sistem ekonomi partisipatif.13 SIBL dinilai sebagai lembaga keuangan yang berhasil dalam mengembangkan operasionalisasi pasar modal sosial (the voluntary capital market) melalui instrumen keuangan Islam, seperti cash waqf deposit certificate, waqf properties development bond, family waqf certificate, dan sebagainya. Bank ini memposisikan diri sebagai nazhir wakaf uang. Ia membuat produk yang disebut sertifikat wakaf uang (SWU). SWU yang diterbitkan SIBL ini dapat terbeli oleh sebagian besar masyarakat. Bahkan, sertifikat tersebut dapat dibuat dalam pecahan kecil. Penerbitan SWU ini dapat
150_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
menjadi sarana bagi rekonstruksi sosial, di mana mayoritas penduduk dapat berpartisipasi aktif untuk mengembangkan usaha produktif yang dikembangkan oleh SIBL.14 Model yang dikembangkan Mannan itu, sayangnya, tidak dapat implementasikan di Indonesia sepenuhnya, karena terbentur aturan dan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini. Di Bangladesh, Mannan memposisikan SIBL sebagai nazhir wakaf. Ini diperbolehkan di sana, tapi dilarang di Indonesia. Sebab, menjadikan bank syariah sebagai nazhir adalah bertentangan dengan peraturan yang ada, baik dalam UU No. 41 tahun 2004 tentang wakaf, maupun UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah. UU No. 41 tahun 2004 menyebutkan dengan jelas bahwa Lembaga Keuangan Syariah diposisikan sebagai penerima wakaf uang.15 Sementara dalam UU No. 21 tahun 2008 disebutkan, Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada nazhir sesuai dengan kehendak wakif. Karena itu, bank Syariah tidak berhak mengelola dana wakaf, hanya menghimpun dan menyalurkan. 16 Jadi, posisi bank syariah dalam memanfaatkan aset wakaf untuk usaha produktif bukan sebagai nazhir, tapi mitra nazhir. Kemitraan ini diharapkan dapat menjembatani kondisi nazhir yang masih tradisional itu agar dapat mengelola dan mengembangkan aset wakaf secara produktif. Tentu saja, arah kemitraan ini tak hanya dalam soal penerimaan dan menyalurkan wakaf uang, tapi juga dalam pengembangan aset wakaf, baik tanah maupun uang. Dengan begitu, ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh kedua belah pihak, Bank Syariah dan nazhir wakaf. Bagi bank syariah, kemitraan ini membawa beberapa manfaat. Pertama, meningkatnya eksistensi lembaga perbankan syariah. Dengan adanya kerjasama ini, sosialisasi wakaf kepada masyarakat, secara otomatis juga merupakan langkah sosialisasi lembaga perbankan. Kedua, kalau dana yang dihimpun
Pengelolaan Wakaf Produktif dengan Memanfaatkan Lembaga Perbankan _151
melalui bank bertambah banyak, maka akan memperbesar kemungkinan perolehan pendapatan bagi bank syariah. Ketiga, memberikan citra positif kepada lembaga perbankan syariah. Ini akibat implikasi disalurkannya pembiayaan untuk kebaikan (qardh al-hasan) melalui kebijakan dan jaringan lembaga perbankan yang tersebar luas. Sementara dari sisi nazhir: pertama, nazhir dapat memanfaatkan kemampuan lembaga perbankan dalam investasi, baik jangka pendek, menengah, maupun panjang. Pertimbangan jenis investasi apa yang lebih menguntungkan dan sedikit resiko perlu diketahui oleh nazhir. Hal ini tentu dapat dilakukan jika nazhir bermitra dengan bank syariah. Kedua, nazhir terhindar dari resiko ketidakprofesionalan. Dalam pembangunan proyek atau investasi dibutuhkan administrasi yang rapi. Nazhir selaku pihak yang diberikan kepercayaan oleh waqif dalam pengelolaan harus mampu mengadministrasikan progress investasi dan semua transaksi yang dilakukan. Dengan bantuan bank syariah, nazhir akan mampu mengemban amanah waqif dengan baik. Ketiga, kredibilitas nazhir di mata masyarakat akan naik, sebab dalam kerjanya nazhir selalu bekerjasama dengan Bank Syariah, yang sudah dikenal oleh publik sebagai lembaga professional dibidang keuangan. Keempat, kemitraan ini dapat dijadikan proses pembelajaran bagi nazhir menuju kualitas nazhir profesional. Atas dasar pertimbangan dan manfaat yang akan diperoleh di atas, gagasan ini menarik untuk diterapkan. Satu sisi akan membantu Bank Syariah menyalurkan dananya untuk pembiayaan di sektor riil, pada sisi lain juga menghidupkan aset wakaf yang ‘mati suri’ untuk dikelola dan dikembangkan secara produktif. Produktifitas inilah yang nantinya secara langsung ataupun tidak akan berdampak pada penanggulangan kemiskinan.
152_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Model Akad antara Bank Syariah dan Nazhir Untuk dapat mengimplementasikan kemitraan antara bank syariah dan nazhir wakaf dalam mengembangkan usaha produktif, harus diketahui bentuk-bentuk alternatif akad yang dapat dilakukan. 1. Model Murabahah Nazhir memposisikan dirinya sebagai pengusaha pengendali proses investasi, yang membeli berbagai keperluan proyek wakaf, seperti material, peralatan dan lain-lain, kepada bank. Adapun pembayarannya akan di bayar kemudian (diangsur) diambilkan dari pendapatan hasil pengembangan wakaf. Model ini lebih tepat dilakukan dalam pengembangan aset wakaf berupa tanah atau bangunan. MAUQUF ALAIH
WAQIF
Akad jual beli
NAZHIR PROYEK USAHA
Bayar angsur
BANK SYARIAH Beli barang
P RO F I T Kirim barang
SUPLIER PENJUAL
2. Model Istisna’ Model ini tidak jauh berbeda dengan model murabahah, hanya saja akadnya bukan jual beli, tapi pemesanan barang. Nazhir Memesan barang kepada Bank, misalnya bahan material bangunan untuk membangun Rumah Sakit. Setelah itu, pembayaran dilakukan secara berkala, dari hasil keuntungan pengelolaan. Desain ini cocok untuk pengembangan aset berupa tanah atau bangunan.
Pengelolaan Wakaf Produktif dengan Memanfaatkan Lembaga Perbankan _153
MAUQUF ALAIH
WAQIF NAZHIR
Akad pesan barang Bayar angsur
PROYEK USAHA
BANK SYARIAH Beli barang
PROF IT Kirim pesanan
PRODUSEN PENJUAL
3. Model Wadiah Yad Dammanah Model ini lebih tepat diterapkan untuk mengembangkan wakaf uang. Cara kerjanya seperti layaknya tabungan, di mana wakaf uang disetorkan ke bank, lalu pihak bank mengelolanya. Bank dan Nazhir akan memperoleh bagi hasil dari pengelolaan tersebut. Mekanisme penyetorannya bisa 2 alternatif: Wakif langsung ke Bank, atau melalui nazhir terlebih dahulu. Model 1 MAUQUF ALAIH
WAQIF
BANK SYARIAH
PROYEK USAHA
P RO F I T
NAZHIR
154_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Model 2 MAUQUF ALAIH
WAQIF
BANK SYARIAH
NAZHIR
PROYEK USAHA
PROFIT 4. Model Mudharabah Muqayyadah Model ini bisa digunakan untuk pengembangan wakaf uang ataupun tanah. Wakif melalui nazhir, atau dapat langsung menyetorkan wakaf uang ke bank. Bank lalu bekerjasama dengan pihak III dalam suatu proyek. Bank sebagai shohibul mal, Pihak III sebagai mudhorib. Pengembangan aset wakaf model ini dapat dilakukan langsung oleh nazhir, tanpa melalui bank. Model 1 MAUQUF ALAIH
NAZHIR Laporan Bagi hasil
WAQIF
BANK SYARIAH
PIHAK III
modal
keahlian
PROYEK USAHA
P RO F IT MODAL
Pengelolaan Wakaf Produktif dengan Memanfaatkan Lembaga Perbankan _155
Model 2
WAQIF
MAUQUF ALAIH
NAZHIR Bagi hasil
BANK SYARIAH
PIHAK III
modal
keahlian
PROYEK USAHA
PRO FIT MODAL
Model 3
WAQIF
MAUQUF ALAIH
NAZHIR
PIHAK II
modal
keahlian
PROYEK USAHA
P RO F I T MODAL
156_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
5. Model Musyarakah Ini juga cocok dalam pengembangan jenis aset wakaf berupa uang atau tanah. Langkah praktisnya, nazhir bisa melalui bank, atau dapat pula langsung bekerjasama dengan pihak II dan III tanpa melalui bank. Masing-masing pihak berkontribusi pada modal. Model 1 MAUQUF ALAIH
NAZHIR Laporan Bagi hasil
WAQIF
BANK SYARIAH
PIHAK III
modal
modal
PROYEK USAHA
PRO FI T Model 2 WAQIF
MAUQUF ALAIH
NAZHIR Bagi hasil
BANK SYARIAH
PIHAK III
modal
modal
PROYEK USAHA
P ROF IT
Pengelolaan Wakaf Produktif dengan Memanfaatkan Lembaga Perbankan _157
Model 3 MAUQUF ALAIH
WAQIF
BANK SYARIAH/ INVESTOR
NAZHIR
modal
modal
PROYEK USAHA
P ROFI T 6. Model Iajrah Muntahiyah Bittamlik Ini lebih tepat digunakan dalam pengembangan aset tanah wakaf untuk properti. Nazhir memegang kendali penuh atas menajemen proyek. Nazhir memberikan izin berjangka kepada penyedia dana untuk mendirikan sebuah gedung di atas tanah wakaf. Nazhir menyewa gedung tersebut untuk jangka waktu yang sama. Nazhir menjalankan menajemen dan membayar sewa secara periodik kepada penyedia dana. Jumlah sewa telah ditetapkan sehingga menutup modal pokok dan keuntungan yang dikehendaki penyedia dana.
158_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
MAUQUF ALAIH
WAQIF
NAZHIR
property
milik
OBJEK SEWA
Pesan objek sewa/ bangunan
BANK SYARIAH
SUPLIER
milik
7. Model Muzara’ah Tanah wakaf untuk Agribisnis. Nazhir memfungsikan tanah wakaf sebagai lahan pertanian. Nazhir menyediakan segala hal yang terkait dengan pengelolaan, mulai dari lahan, benih, pupuk, dan sebagainya. Nazhir bekerjasama dengan pihak II sebagai pengelola, dengan imbalan persentase dari hasil panen. MAUQUF ALAIH
WAQIF
NAZHIR
PIHAK II
Lahan pertanian modal
keahlian
USAHA PERTANIAN
PRO F IT
Pengelolaan Wakaf Produktif dengan Memanfaatkan Lembaga Perbankan _159
8. Model Qard Hasan Baik uang ataupun tanah dapat dikembangkan dengan model ini. Dalam praktiknya, hampir sama dengan musyarakah atau mudharabah. Hanya saja, tidak ada bagi hasil keuntungan. 100 % keuntungan menjadi hak milik nazhir. MAUQUF ALAIH
WAQIF
NAZHIR
BANK SYARIAH PROYEK USAHA
P ROF I T M ODA L
Model Investasi Bank Syariah dengan “Nazhir Ganda” Nazhir ganda yang dimaksud di sini adalah dua jenis nazhir: nazhir wakaf tanah dan nazhir wakaf uang. Jadi, bank syariah juga dapat bermitra dengan dua nazhir yang mengelola jenis aset yang berbeda (yang satu tanah dan satunya lagi uang), bisa juga bermitra dengan satu nazhir yang mengelola dua jenis aset yang berbeda, uang dan tanah. Sebelum ke bentuk nazhir ganda, penulis akan menjelaskan pola investasi wakaf uang terlebih dahulu. Perlu diketahui, pengelolaan dan pengembangan atas harta benda wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-produk Lembaga Keuangan Syariah dan atau instrumen
160_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
keuangan syariah.17 Proses investasi wakaf uang dapat ditunjukkan gambar berikut:
Penghimpunan dan Penerimaan
LKS-PWU
Pengelolaan dan Pengembangan
Pendayagunaan dan Penyaluran
investasi Investasi finansial 90 % Hasil wakaf uang Mauquf Alaih Nazhir dan/atau Investasi riil Wakif Investasi 10 % Pasar uang : deposito di bank Investasi finansial dan/atau Investasi finansial syariah, unit link asuransi syariah, dll Pasar modal : saham syariah, Investasi riil Investasi riil / proyek obligasi syariah, dan reksadana syariah, dll Langsung Tidak langsung Nazhir secara langsung berinvestasi dalam satu proyek Nazhir menginvestasikan wakaf menggunakan wakaf uang, uang ke produk Lembaga misalnya pembangunan Keuangan Syariah. Jadi nazhir apartemen. Misalnya, Nazhir mempercayakan penuh kepada
meminta bank syariah untuk mencarikan pihak ke3 untuk bermudharabah muqayyadah dgn nazhir.
LKS.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Pasal 45 Ayat (1) juga disebutkan bahwa nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan peruntukan yang tercantum dalam Akta Ikrar Wakaf. Berdasarkan Pasal tersebut, nazhir diperbolehkan mengelola dan mengembangkan aset wakaf dalam bentuk apapun asal dengan cara halal. Sementara dalam ayat (2) Pasal 45 PP No. 42 tahun 2006 dipaparkan, “Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memajukan kesejahteraan umum, nazhir dapat bekerjasama dengan pihak lain sesuai dengan prinsip syariah.” Jadi, pasal tersebut menjelaskan, dalam rangka memproduktifkan harta wakaf guna diambil hasilnya untuk mauqûf alaih, Nazhir dapat bekerjasama dengan pihak manapun selama berdasarkan prinsip syariah. Pada titik inilah yang membedakan antara wakaf uang dengan wakaf tanah. Dalam investasi wakaf uang, nazhir harus menginvestasikan melalui instrumen Lembaga Keuangan Syariah, termasuk bank syariah. Sementara wakaf tanah punya ketentuan yang bebas, yaitu bebas
bekerjasama dengan pihak lain sesuai dengan prinsip syariah.” Jadi, pasal tersebut menjelaskan, dalam rangka memproduktifkan harta wakaf guna diambil hasilnya untuk mauquf alaih, Nazhir dapat bekerjasama dengan pihak
Pengelolaan Wakaf Produktif dengan Memanfaatkan Lembaga Perbankan _161
manapun selama berdasarkan prinsip syariah.
Pada titik inilah yang membedakan antara wakaf uang dengan wakaf
berinvestasi ditanah. bidang danuang, bermitra dengan siapapun selama Dalam apapun investasi wakaf nazhir harus menginvestasikan melalui berdasarkan prinsip BerikutSyariah, ini adalah model bentuk kerjasama instrumen syariah. Lembaga Keuangan termasuk bank syariah. Sementara wakaf tanah antara punya ketentuan bebas,dengan yaitu bebasnazhir berinvestasi di bidang pengembangan wakaf bank yang syariah ganda. Berikut apapun dan bermitra dengan siapapun selama berdasarkan prinsip syariah. ini adalah bagan model kemitraan Bank Syariah dengan nazhir ganda. Berikut ini adalah model bentuk kerjasama pengembangan wakaf antara bank syariah dengan nazhir ganda. Berikut ini adalah bagan model kemitraan Bank
Model 1
Syariah dengan nazhir ganda.
BANK SYARIAH
WAKIF
PROGRAM
UMUM
WADIAH DEPOSITO/ TABUNGAN MUDHARABAH
NAZHIR Tanah dan Uang
MUDHARABAH MUQAYYADAH
PIHAK III
TANAH WAKAF
Model 2
BANK SYARIAH
WAKIF
PROGRAM
KHUSUS
WADIAH DEPOSITO/ TABUNGAN MUDHARABAH
NAZHIR Tanah dan Uang
MUDHARABAH MUQAYYADAH
PIHAK III
TANAH WAKAF
PIHAK III
162_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Model 3
NAZHIR A UANG
BANK SYARIAH WADIAH DEPOSITO/ TABUNGAN MUDHARABAH
WAKIF
PROGRAM UMUM/ KHUSUS
MUDHARABAH MUQAYYADAH
NAZHIR B PIHAK III
TANAH
Keterangan Gambar:18 1. Wakif mewakafkan dananya dengan menempatkan dana pada account nazhir yang ada di Bank Syariah (pada awalnya wadiah kemudian dapat ditempatkan pada tabungan atau deposito mudharabah). 2. Wakif akan menerima SWU bila jumlah dana yang diwakafkan mencapai Rp. 1 juta. 3. Nazhir dalam memanfaatkan wakaf uang dapat melalui program umum (dari dana yang terkumpul disisihkan untuk membangun Ruko diatas tanah wakaf) atau khusus (sejak awal nazhir mempromosikan agar masyarakat berwakaf uang dalam rangka pembangunan Ruko diatas tanah wakaf). 4. Nazhir meminta bank syariah untuk mencarikan pihak ke-3 untuk bermudharabah muqayyadah dgn nazhir dalam rangka pembangunan Ruko diatas tanah wakaf yang dikelola nazhir (bank syariah akan menerima fee). 5. Perjanjian Kerja Sama antara nazhir dgn pihak ke-3 untuk membangun
Pengelolaan Wakaf Produktif dengan Memanfaatkan Lembaga Perbankan _163
Ruko dan mengelola Ruko dalam jangka waktu tertentu, misalnya 15 tahun. 6. Pihak ke-3 akan mengembalikan pembiayaan mudharabah tersebut dengan mencicil dan membayarkan bagi hasil selama 15 tahun pada account nazhir yang ada di bank syariah. 7. Bagi hasil yang terkumpul dari Ruko dan usaha-usaha lain akan disalurkan oleh nazhir untuk kepentingan mauqûf ‘alaih. 8. Setelah 15 tahun Ruko dapat dikelola langsung oleh nazhir dan keuntungannya untuk mauqûf ‘alaih. 9. Biaya pembangunan Ruko (Rp.1M), misalnya biaya bahan ditambah tenaga kerja ditambah arsitek sebesar Rp. 900 juta dan biaya jasa kontraktor sebesar Rp. 100 juta. 10. Alternatif Pihak Ke-3: a. Dapat 1 orang, dia sebagai kontraktor pembangunan Ruko (pada akhir proyek pembangunan menerima Rp.100 juta) dan juga sebagai pengelola Ruko (yang berkewajiban mengelola Ruko selama 15 tahun utk dapat menghasilkan keuntungan agar dapat mengembalikan biaya pembangunan Ruko sebesar Rp.1M dan memberikan bagi hasil kepada Nazhir melalui bank syariah). b. Dapat 2 orang, orang pertama sebagai kontraktor pembangunan Ruko, begitu selesai pembangunan yang bersangkutan dibayar atas jasanya menyelesaikan pembangunan ruko (Rp. 100 juta). Orang kedua ditunjuk sebagai pengelola Ruko(yang berkewajiban mengelola Ruko selama 15 tahun utk dapat menghasilkan keuntungan agar dapat mengembalikan biaya pembangunan Ruko sebesar Rp. 1 Miliyar dan memberikan bagi hasil kepada Nazhir melalui bank syariah).
164_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Daftar Pustaka Al-Arnaut, Muhammad, Daur al-Awqaf fi Tanmiyah al-Iqtishodiyah, Damaskus: Darul Fikr, 1999. Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fathu Al-Bari, Kairo: Mushtafa al-Halabi, 1959. Al-Haddad, Ahmad Ibn Abdul Aziz, Waqf al-Nuqud wa Istimraruha, 2006. Al-Hattab, Mawahib al-Jalil, Dar al-Fikr, Beirut, 1992. Al-Jurjawi, Ali Ahmad, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Kairo: Dar alFikr, 1994. Al-Mawardi, Abu al-Hasan, al-Hawi al-Kabir, Beirut, Dar al-Fikr, 1994. Al-Nawawi, Abi Zakaria Muhyiddin bin Syaraf, Al-Majmu’ Syarah AlMuhadzdzab, Beirut: Darul Fikr, 1996 M. __________, Shahih Muslim bi Syarh a-Nawawi, Juz I, Mesir: Maktabat alMishriyyah, 1924. Al-Ramli, Syamsu al-Dîn Muhammad, Nihâyah al-Muhtaj, Mesir: Mushthafa al-Bâbi al-Halabi, 1938. Al-Shan’ani, Muhammad Ismail Amir al-Yamani, Subulus Salam, Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1349 H. Al-Thabari, Muhammad Ibn Jarir, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran, Mesir: al-Halabi, 1954. Al-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Damaskus: Dar Al Fikri Al Mu’ashir, 1989. Basya, Muhammad Qadri, Muntada Qadhaya al-Waqf al-Fiqhiyyah alAwwal, Kuwait: al-Amanah al-Ammah li al-Awqaf, 2003. __________, Qanun al-‘Adl wa al-Inshaf fi al-Qadha’ ‘ala Musykilat al-Auqaf, Mesir: Dar al-Salam, 2006. Catherine, & Gretchen B Rossman, Designing Qualitative Research, California: Sage Publication, 1995. Chapra, Umer, dan Tariqullah Khan, Regulasi dan Pengawasan Bank Syariah, Jakarta: Bumi Aksara 2008. Dafterdar, Hisyam, The Role of Islamic Financial Institution in Developing Awqaf, Jeddah: IRTI IDB, 2008.
Pengelolaan Wakaf Produktif dengan Memanfaatkan Lembaga Perbankan _165
Fatwa Majlis Ulama Indonesia tentang Wakaf Uang, 11 Mei 2002, Jakarta: Badan Wakaf Indonesia, 2007. Hasanah, Uswatun, (ed.), Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam, Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, Jakarta: PKTTIUI, 2005. Hasanah, Uswatun, Peranan Wakaf dalam Mewujudkan Kesejahteraan Sosial: Studi Kasus Pengelolaan Wakaf di Jakarta Selatan, Disertasi S3, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1997. Hasanah, Uswatun, Wakaf Produktif untuk Kesejahteraan Sosial dalam Perspektif Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: UI, 2008. Hendra, Peranan Wakaf Uang dalam Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia: Studi Kasus Tabung Wakaf Indonesia dan Wakaf Tunai Muamalat Baitul Maal Muamalat, Jakarta: Disertasi UIN Syarif Hidayatullah, 2008. Ibn Kasir, Abul Fida’ Ismail AL-Qurasyi Ad-Dimasqi, Tafsir Ibnu Katsir, Riyadl: Darur Rayah, 1993 . Ibn Qudamah, Al-Mughni, Beirut: Darul Fikr, 1994. Ilcham, Warren F., Stanley N. Katz, Edward L. Queen, Philanthropy in the World’s Tradition, Indiana University Press, 1998. Jahar, Asep Saepuddin, Towards Reforming Islamic Philanthropy: Case Study on Waqf and Zakat in Contemporary Indonesia, Leipzig Jerman: 2005. Kahf, Monzer, al-Waqf al-Islami, Tathawwur, Idarah, Tanmiyah, Lebanon: Darul Fikr al-Muasir, 2000. __________, Financing the Development of Awqaf Property, Kuala Lumpur: Irti, 1998. Karim, Adiwarman, Bank Islam; Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: Rajawali Pers, 2008. Keputusan Menteri Agama, No. 1-5, tentang Lembaga Keuangan Syariah penerima Wakaf Uang, tahun 2008. Lewis, Mervyn K, and Latifa M. Algaoud, Islamic Banking, Massacussetts: Edward Elgard, 2001. Lincoln, Yvonna S., dan Egon G. Guba, Naturalistic Inquiry, Baverly Hill: Sage Publication, 1981. Mahamood, Siti Mashitoh, Waqf in Malaysia: Legal and Administrative Perspectives, Malaysia: University of Malaya Press, 2006.
166_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Mannan, MA., Cash Waqf Certificate- an Innovation in Islamic Financial Instrument: Global Opportunities for Developing Social Capital Market in the 21st Century Voluntary Sector Banking”, Cambridge: Harvard University, 1999. __________, Islamic Economic, Theory and Practice. Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1997. Masyita, Dian, dan Erie Febrian, The Role of BRI in the Indonesian Cash Waqf House’s System, dalam BRI International Seminar on Developing Microbanking: Creating Opportunities for the Poor through Innovation in Denpasar, Bali, Indonesia on the 1-2 December 2004. Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991. Morse, J. M., and Field P. A., Qualitative Research Methods for Health Professionals (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: Sage, 1995. Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah, Yogyakarta: FE UGM, 2005 Najib (dkk.), Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN Jakarta, 2006. Nasution, Mustafa Edwin, dan Uswatun Hasanah (ed.), Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam, Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, Jakarta: PKTTI-UI, 2005. Nasution, Mustafa Edwin, Peranan Badan Wakaf Indonesia dalam Pengembangan Wakaf di Indonesia, Jakarta: Jurnal al-Awqaf, 2008. Nauman, Walliman Laurence, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, International: Pearces Education, 2006. Peraturan Menteri Agama RI, No. 4 tentang Administrasi Wakaf Uang, tahun Ridwan, Murtadlo, Peranan Wakaf dalam Mengatasi Masalah Kemiskinan: Kajian di Jawa Tengah, Tesis S2, Malaysia: Universiti Malaya, 2006. Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Damaskus: Dar al-Fikr, 1992. Siregar, Mulya E. dkk., Peranan Perbankan Syariah dalam Wakaf Tunai (Sebuah Kajian konseptual), Jakarta: Bank Indonesia, 2001. Soekanto, Soejono, dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali Press, 1990.
Pengelolaan Wakaf Produktif dengan Memanfaatkan Lembaga Perbankan _167
Syamsul Anwar, Hukum perjanjian Syariah; Teori Akad dalam Fikih Muamalah, Jakarta: Rajawali Pers, 2007. Tim Penyusun Buku, (Drs. H. Thulus, dkk.), Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Depag RI, 2004. Tim Penyusun Buku, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Depag RI, 2003. Zainuddin, Ibn Najim, Bahr al-Rai’, Mesir: Dar al-Kutub al-Arabiyya. tt.
168_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Endnotes 1. Mustafa Edwin Nasution, dkk., Pencanangan Gerakan Nasional Wakaf Uang oleh
Presiden RI, Jakarta: Badan Wakaf Indonesia, 2010, h. 12. Lihat juga, Mustafa Edwin Nasution, Peranan Badan Wakaf Indonesia dalam Pengembangan Wakaf di Indonesia, Jakarta: Jurnal al-Awqaf, Vol. 1, No. 1, 2008.
2. Penelitian ini dilakukan PBB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2006, terhadap
500 responden nazhir di 11 Propinsi. Lebih jelasnya, lihat Najib (dkk.), Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture, UIN Jakarta, 2006, h. 115.
3. Najib (dkk.), Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan, 2006, h. 119. 4. Untuk mengetahui rincian perhitungannya lihat, Mustafa Edwin Nasution dan
Uswatun Hasanah (ed.), Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam, Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, Jakarta: PKTTI-UI, 2005, h. 43-44.
5. Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al- Nawawi, Shahih Muslim bi Syarkh al-Nawawi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), jz. 5, h. 324.
6. Muhy al-Din Abu Zakaria Yahya al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh a-Nawawi,
Mesir: Maktabat al-Mishriyyah, 1924, Juz. VI hal. 21. Manfaat yang mengalir abadi atau diistilahkan shadaqah jariah dalam riwayat Muslim adalah wakaf. Lihat, Muhammad Ismail Amir al-Yamani al-Shan’ani, Subulus Salam, Kairo: Mustafa alBabi al-Halabi, 1349 H, h. 87.
7. Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz. VI, h. 88. Lihat juga, Ali Ahmad al-Jurjawi,
Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Kairo: Dar al-Fikr, 1994; Al-Imam Abul Fida’ Ismail bin Karsir AL-Qurasyi Ad-Dimasqi, Tafsir Ibnu Katsir, Riyadl: Darur Rayah, 1993, Juz I, h. 381; Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1992, Jilid III, h. 381; Subul al-salam, h. 87.
8. Ibn Qudamah, Al-Mughni, Beirut: Darul Fikr, 1994, jilid VIII, h. 148. Lihat juga,
Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Beirut, Dar al-Fikr, 1994, Jilid IX, h. 368. Diungkapkan dengan jelas bahwa ciri khas wakaf adalah tahbis al-ash wa tasbil al-tsamrah.
9. Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, Damaskus: Dar Al Fikri
Al Mu’ashir, 1989, X, hal. 759. Lihat juga, Syamsu al-Dîn Muhammad al-Ramli, Nihâyah al-Muhtaj, Mesir: Mushthafa al-Bâbi al-Halabi, 1938, hal. 359.
10. Delapan golongan yang dimaksud adalah fakir, miskin, pengurus zakat (amil), orang
yang baru masuk Islam, budak, orang yang berhutang, untuk perjuangan di jalan Allah, orang dalam perjalanan. Lihat, QS. al-Taubah: 60.
11. Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Jilid IX, h. 368. 12. Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu Al-Bari, Kairo: Mushtafa al-Halabi, 1959, Juz. 6, h. 321-328.
Pengelolaan Wakaf Produktif dengan Memanfaatkan Lembaga Perbankan _169
13. Abdul Mannan, Cash Waqf Certificate- an Innovation in Islamic Financial Instrument: Global Opportunities for Developing Social Capital Market in the 21st Century Voluntary Sector Banking”, Cambridge: Harvard University, 1999.
14. Abdul Mannan, Cash Waqf Certificate.. 15. Lembaga Keuangan Syariah diposisikan sebagai penerima wakaf uang dan mitra
nazhir dalam pengelolaan. Lihat, Pasal 28, UU No. 41, tahun 2005, tentang Wakaf; dan Pasal 48 PP No. 42 Tahun 2006.
16. Lihat, pasal 4 ayat 3 UU No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah. 17. Pasal 48, Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006. 18. Gambar dan keterangan ini diadaptasi dari Mulya E. Siregar, Peranan Perbankan Syariah dalam Implementasi Wakaf Uang, makalah Seminar Ekonomi Syariah “Menuju Perekonomian Indonesia Berbasis Syariah, Kebijakan Pemerintah dan Pengaturan Industri Berbasis Syariah, Universitas al-Azhar, Jakarta, 2009.
Study of Itsbat Conference as a Single Decision in Determination of The Beginning Qamariyah Perspective Ilmu Falak and Ushul Fiqh Telaah Sidang Itsbat Sebagai Putusan Tunggal Dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah Perspektif Ilmu Falak dan Ushul Fiqh
Siti Tatmainul Qulub IAIN Walisongo Semarang email:
[email protected]
Abstract : Determination of the beginning Qamariyah is a very important issue in Islam because it involves the implementation of worship, especially the fasting of Ramadan, Eid alFitr and Eid al-Adha. But in reality often there is a difference. In Indonesia, early determination of month Qamariyah handled by the government through a program known as the Itsbat conference. In the itsbat conference, The Minister of Religious Affairs will decide the start and end of fasting. However, despite longstanding ithbat conference, differences still occur. The most basic differences is the guidelines and criteria used by each of the organizations, if the criteria are different and there is no change to unity, then the difference will continue to happen. In other words, to make a decision together, it takes an agreement with the criteria. Beside that, the decision-making authority of law fixing the start of the month Qamariyah given to the government. And organizations hisab and rukyat must follow the decision. By promoting greater benefit (maslahat al-mu’adzom) compared with the smaller beneficiaries, and on the basis of objective constitution, namely jalbul mashalih wa dar’ul mafasid, the unity of worship will be realized.
Telaah Sidang Itsbat Sebagai Putusan Tunggal Dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah _171
Abstraksi : Penentuan awal bulan Qamariyah merupakan suatu persoalan yang sangat penting dalam agama Islam karena menyangkut pelaksanaan ibadah, khususnya puasa Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Namun realitasnya seringkali terjadi perbedaan. Di Indonesia, penetapan awal bulan Qamariyah ditangani oleh pemerintah melalui sebuah acara musyawarah yang dikenal dengan sebutan Sidang Itsbat. Dalam sidang itsbat, Menteri Agama akan memutuskan dimulai dan diakhiri puasa. Namun, walaupun sidang itsbat telah berlangsung lama, perbedaan masih saja terjadi. Hal yang paling mendasari perbedaan tersebut adalah pedoman dan kriteria yang digunakan oleh ormas, bila kriteria tersebut tetap berbeda dan tidak ada perubahan untuk persatuan, maka perbedaan akan terus terjadi. Dengan kata lain, untuk menghasilkan satu keputusan bersama, maka dibutuhkan satu kesepakatan kriteria bersama. Di samping itu, otoritas keputusan pengambilan hukum penetapan awal bulan Qamariyah diberikan kepada pemerintah. Sedangkan ormas dan aliran hisab rukyat wajib mengikuti keputusan tersebut. Dengan mengedepankan kemaslahatan yang lebih besar (maslahat al-mu’adzom) dibanding dengan maslahat yang lebih kecil, dan dengan berdasarkan tujuan tasyri’ yakni jalbul mashalih wa dar’ul mafasid, maka kebersamaan beribadah akan dapat terwujud. Keywords: Itsbat Conference, Determination of Start Month Qamariyah, Usul Fiqh
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penetapan tanggal satu bulan Qamariyah merupakan suatu persoalan yang sangat penting dalam agama Islam, karena hal ini menyangkut pelaksanaan ibadah, khususnya pada awal bulan Ramadhan dan Syawal yang terkait dengan penentuan kapan memulai dan mengakhiri ibadah puasa. Namun demikian, walaupun penetapan awal bulan baru ini merupakan persoalan yang sangat penting, dalam realitasnya seringkali terjadi perbedaan hari lebaran. Bahkan perbedaan tersebut seringkali menjadi penyebab terjadinya perseteruan dan mengusik ukhuwah Islamiyah di antara sesama muslim.
172_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Hampir setiap tahun, di Indonesia terjadi perbedaan khususnya dalam penetapan awal Ramadan atau Syawal. Perbedaan lebaran misalnya, terjadi pada masa Orde Baru pasca hadirnya Badan Hisab dan Rukyat, yaitu pada tahun 1985, 1992, 1993, dan 1998. Dan perbedaan ini kembali terulang pada tahun 2002, 2006, 2007 dan 2011. Padahal keberadaan Badan Hisab dan Rukyat bertujuan untuk mengusahakan bersatunya umat Islam dalam menentukan tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijjah. Namun sampai saat ini dan pada tahun-tahun ke depan nampaknya masih sangat mungkin terjadi perbedaan. Di Indonesia, dalam hal penetapan awal bulan Qamariyah berada di tangan pemerintah melalui sebuah acara musyawarah yang dikenal dengan sebutan Sidang Itsbat. Dalam sidang itsbat ini pemerintah yang diwakili oleh Menteri Agama akan memutuskan kapan akan dimulai dan diakhiri puasa. Namun sayangnya, walaupun sidang itsbat telah berlangsung lama, perbedaan masih saja terjadi. Ada saja kelompok yang tidak mengikuti putusan sidang itsbat. Bahkan, adapula peserta yang ikut sidang itsbat bukan untuk mengikuti keputusan sidang, namun untuk izin berlebaran terlebih dahulu melaksanakan lebaran. Bila hal ini yang terjadi, maka persatuan dalam mengikuti putusan sidang itsbat tidak akan pernah akan terwujud. Dari permasalahan di atas, menjadi sebuah pertanyaan besar mengapa putusan sidang itsbat tidak dapat menjadi satu putusan tunggal dalam penetapan tanggal satu bulan Qamariyah di Indonesia, sehingga masih banyak ormas-ormas Islam yang mengambil keputusan sendiri di luar yang telah ditetapkan Pemerintah. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis akan menelaah secara kritis putusan sidang itsbat dengan mengambil sampel putusan sidang itsbat sejak tahun 1381 H – 1432 H / 1962 M – 2011 M. dalam penetapan awal bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah, serta mengkajinya dalam perspektif ilmu falak dan ushul fiqih. Sehingga dapat diketahui peran putusan sidang itsbat dalam penyatuan penetapan awal bulan Qamariyah, solusi penyatuan putusan serta pandangan ushul fiqih terhadap putusan tersebut.
Telaah Sidang Itsbat Sebagai Putusan Tunggal Dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah _173
B. Metode Penelitian Berdasarkan permasalahan dan tujuan penelitian di atas, penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analitis dan pendekatan ilmu falak dan ushul fiqih. Penelitian ini merupakan penelitian keputusan menggunakan pendekatan ilmu lain seperti ilmu falak dan ushul fiqih. Data-data yang dikumpulkan akan dipilih dan dipilah berdasarkan sub-sub pokok bahasan dan kemudian dianalisa. Dari analisis data tersebut didapatkan hasil dan kesimpulan dari permasalahan yang ada. C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Sidang Itsbat dan Urgensinya Itsbat dalam bahasa Arab berasal dari kata atsbata – yutsbitu– itsbatan, yang berarti penetapan, pengukuhan, pengiyaan.1 Dalam Ensiklopedi Hisab Rukyat, Susiknan Azhari memberikan definisi Itsbat (Sidang Itsbat) sebagai sidang untuk menetapkan kapan jatuhnya tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 1 Dzulhijjah yang dihadiri berbagai ormas Islam di Indonesia dan langsung dipimpin oleh Menteri Agama RI.2 Sidang itsbat dihadiri di antaranya oleh Duta Besar Negara-Negara Islam, Pejabat Eselon I dan II Kementerian Agama RI, Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ormas Islam, dan Lembaga / Instansi yang terkait. Acara tersebut dipimpin langsung oleh Menteri Agama Republik Indonesia. Dalam acara pokok sidang itsbat, dimulai dengan presentasi / simulasi hisab awal bulan dilanjutkan dengan tanggapan / saran (sambil menunggu laporan rukyat) dan diakhiri dengan penetapan awal bulan.3 Dalam penetapan sidang itsbat, Menteri Agama menimbang berbagai hal sebelum memutuskan, yaitu data hisab yang dihimpun oleh Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama dari berbagai sumber tentang waktu ijtima’, ketinggian hilal dan posisi hilal di seluruh Indonesia, dan laporan pelaksanaan rukyat dari seluruh Indonesia.4
174_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Sidang Itsbat ini sangat penting diadakan dalam rangka memberikan kepastian kepada masyarakat terkait dengan penetapan tanggal 1 Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Dengan sidang itsbat yang menghimpun berbagai informasi baik hasil hisab maupun laporan rukyat dari seluruh titik observasi hilal di Indonesia, dapat memberikan kemantapan bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadah. Apalagi, keputusan yang diambil dalam sidang itsbat ini merupakan hasil Musyawarah Menteri Agama dengan Anggota Badan Hisab Rukyat, Ormas Islam dan para ahli. Sehingga keberadaannya sangat ditunggutunggu masyarakat. 2. Badan Hisab Rukyat Dulu dan Sekarang Tertulis dalam sejarah, bahwa pada masa penjajahan, persoalan penentuan awal bulan yang berkaitan dengan ibadah diserahkan pada kerajaan-kerajaan Islam yang masih ada. Kemudian setelah Indonesia merdeka, secara berangsur-angsur mulai terjadi perubahan. Dan setelah terbentuk Departemen Agama pada tanggal 4 Januari 19465, persoalanpersoalan yang berkaitan dengan hari libur (termasuk penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah) diserahkan kepada Departemen Agama. Namun, walaupun penetapan hari libur telah diserahkan pada Departemen Agama, dalam wilayah praktis sampai saat ini (terkadang) masih belum seragam. Hal ini merupakan dampak dari adanya perbedaan antara beberapa pemahaman dalam wacana hisab rukyat.6 Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) berinisiatif untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan tersebut, sehingga dibentuklah Badan Hisab Rukyat Departemen Agama pada tanggal 16 Agustus 1972 yang diketuai oleh Sa’adoeddin Djambek.7 Sampai saat ini, badan tersebut (berubah menjadi Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama) masih ada dan diketuai oleh Direktur URAIS Kementerian Agama RI secara ex officio.8 Kehadiran Badan Hisab Rukyat adalah untuk menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyah dalam beribadah, khususnya untuk mempersatukan
Telaah Sidang Itsbat Sebagai Putusan Tunggal Dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah _175
paham ahli hisab dan rukyat dalam masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, tujuan dari Badan Hisab Rukyat adalah mengusahakan bersatunya umat Islam dalam menentukan tanggal 1 Ramadlan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijjah. Statusnya adalah resmi dan berada di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan berkedudukan di Jakarta. Tugasnya memberi masukan dan saran dalam hal penentuan permulaan tanggal bulan Qamariyah kepada Menteri Agama. Adapun keanggotaannya terdiri dari 1 Anggota tetap (inti) yang mencerminkan 3 unsur, yaitu; 1) Unsur Kementerian Agama, 2) Unsur Ahli Falak/Hisab, 3) Unsur Ahli Hukum Islam/Ulama.9 Dari sejak terbentuknya Badan Hisab Rukyah hingga saat ini telah banyak perkembangan dan penyempurnaan, di antaranya dengan mengadakan musyawarah hisab dan rukyah antar negara, Malaysia, Singapura dan Indonesia pada tanggal 19 sampai 11 Juli 1974 yang membahas tentang kerjasama dalam bidang hisab dan rukyah, yang selanjutnya dikembangkan dengan persoalan 10 Dzulhijjah kaitannya dengan hari wukuf di Arab Saudi. Di samping itu, Ketua BHR juga menghadiri Konferensi penentuan awal bulan Hijriyah di Istanbul, Turki pada bulan November 1978 dalam rangka membangun kerjasama dengan negara lain.10 Pada perkembangan berikutnya, BHR telah dibentuk di daerahdaerah yang dikoordinasi oleh Pengadilan Tinggi Agama. Tugasnya adalah menghimpun para ahli hisab dan rukyat di daerah dan menyusun perhitungan hisab baik masalah arah kiblat, jadwal waktu shalat, dan sebagainya. Selanjutnya, pada tahun 1968 Kementerian Agama telah membangun Pos Observasi Bulan (POB) di Pelabuhan Ratu sebagai pusat observasi rukyat yang ada di Jakarta. Walaupun telah dibentuk BHR dengan tugas untuk menyatukan hisab dan rukyat di Indonesia, namun dalam dataran realistis masih belum terwujud, karena perbedaan penentuan awal Ramadhan maupun Idul Fitri masih sering terjadi. Pada tahun-tahun terakhir, ada perbedaan dalam hal keberadaan Badan Hisab Rukyat pada masa sebelum era Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan setelah era SBY. Pada masa Gus Dur misalnya, pada
176_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
saat itu Badan Hisab Rukyat tidak diberdayakan dan tidak dapat memberi kontribusi penyatuan. Sehingga Gus Dur sebagaimana disampaikan Wahyu Widiana, berkata bahwa Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama akan dibubarkan dan persoalan hisab rukyat diserahkan kepada masyarakat.11 Namun pada era SBY ini, keberadaan Badan Hisab Rukyat diberdayakan. Ini terbukti dengan adanya banyak upaya yang dilakukan Badan Hisab Rukyat dalam rangka penyatuan awal bulan Qamariyah khususnya Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. Berbagai upaya tersebut diantaranya, perekrutan anggota Badan Hisab Rukyat yang berasal dari para ahli hisab rukyat dan astronomi yang mewakili keberadaan masyarakat Indonesia, perumusan penyatuan kriteria hilal penetapan awal bulan Qamariyah, pembentukan Rancangan Undang-Undang Hisab Rukyat, dan sebagainya. Pada era SBY ini pun, tidak hanya para pakar hisab rukyat saja yang muncul seperti Dr. H. Ahmad Izzuddin, M.Ag, Drs. Slamet Hambali, M.Si, Prof. Dr. Susiknan Azhari, dan lain-lain, namun para pakar astronomi juga banyak muncul dan memberikan perhatian cukup besar terhadap masalah hisab rukyat, seperti Prof. Dr. Bambang Hidayat, Prof. Ahmad Baiquni, M.Sc., P.h.D., Dr. Djoni N. Danawas, Dr. Moedji Raharto, dan Prof. Dr. Thomas Djamaluddin, M.Sc., Dr. Ing. Khadid, dan lain-lain. Di samping itu, pada era ini tampak wawasan masyarakat terbuka dan tercerahkan tentang perbedaan mengawali puasa Ramadhan, berhari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Dengan terbukanya wawasan, masyarakat dapat lebih memahami perbedaan dan mengambil sikap untuk saling tasammuh fil ikhtilaf (toleransi dalam perbedaan). 3. Deskripsi Perbedaan Sebelum memutuskan tanggal satu bulan Qamariyah, Menteri Agama Republik Indonesia menimbang beberapa hal dalam sidang itsbat, yaitu hasil hisab dan hasil rukyat. Dua hal tersebut menjadi pertimbangan
Telaah Sidang Itsbat Sebagai Putusan Tunggal Dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah _177
yang dijadikan dasar dalam putusan, di mana penggabungan hisab (hasil perhitungan) sebagai hipotesis yang akan diverifikasi dengan hasil observasi (rukyat), sehingga hasil putusan yang didapatkan merupakan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan secara objektif ilmiah. Pada dasarnya hisab dan rukyat merupakan metode yang menjadi perantara untuk mendapatkan saatu objek (hilal) yang dijadikan syarat penentu awal bulan Qamariyah. Namun demikian, hasil kedua metode tersebut tidak selalu sama. Di Indonesia terdapat banyaknya aliran hisab rukyat, beberapa metode hisab yang digunakan sebagai dasar penetapan, serta kriteria ketinggian hilal yang berbeda. Beberapa hal inilah yang mendorong terjadinya perbedaaan dalam penetapan awal bulan Qamariyah di Indonesia. a. Aliran Hisab Rukyat Dalam wacana hisab rukyat khususnya penetapan awal bulan Qamariyah di Indonesia, terdapat dua aliran besar yang selama ini kuat yaitu aliran hisab dan aliran rukyat. Aliran hisab selalu diidentikkan dengan ormas Muhammadiyah, sedangkan aliran rukyat selalu diidentikkan dengan ormas Nahdlatul Ulama. Hal ini karena keduanya merupakan ormas keagamaan yang terbesar di Indonesia. Antara dua aliran ini seringkali terjadi perbedaan, perbedaan tersebut dilatarbelakangi dari perbedaan pemahaman term “rukyat” dalam beberapa hadis Rasulullah saw tentang penetapan awal bulan Qamariyah. Dalam aliran hisab, terdapat perbedaan dalam sistem hisab, sistem hisab taqribi, tahqiqi dan kontemporer. Demikian pula dalam aliran rukyat terdapat beberapa perbedaan, yaitu rukyat global yang dipegangi oleh Hizbut Tahrir Indonesia, dan rukyat fi wilayatil hukmi sebagaimana yang dipegang oleh Nahdlatul Ulama. Pada beberapa tahun terakhir, kurang lebih sejak tahun 2007, muncul aliran-aliran baru lain yang ikut mewarnai aliran hisab rukyat di Indonesia, yaitu aliran an-Nadzir, yang merukyat pasang surut air laut (bukan
178_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
merukyat hilal) di Goa Sulawesi Selatan. Adapula yang menggunakan perhitungan yang disebut dengan golek limo yang dijadikan patokan oleh aliran Thariqah Naqsabandiyah. Selain aliran-aliran di atas, ada satu aliran lagi yang sudah ada sejak zaman kerajaan Islam, yaitu aliran Kejawen, mereka menggunakan perhitungan Aboge, penetapannya selalu berbeda satu hari setelah ketetapan pemerintah. b. Sistem Hisab dan Kriteria Tinggi Hilal di Indonesia Dalam hal hisab terdapat beberapa rujukan sistem hisab yang digunakan oleh Kementerian Agama RI. Berbagai rujukan inilah yang menjadikan perbedaan dalam perhitungan. Sistem hisab tersebut yaitu; (1) Hisab Haqiqi Taqribi, termasuk di dalamnya Kitab Sullam anNayyirain, Fath ar-Rauf al-Mannan, Al-Qawaid Al-Falakiyah, (2) Hisab Haqiqi Tahqiqi, antara lain Hisab Hakiki, Badiat al-Mitsal, Al-Khulashah AlWafiyah, Al-Manahij Al-Hamidiyah, Nurul Anwar, Menara Kudus, (3) Hisab Kontemporer yaitu New Comb, Jeen Meus, E.W. Brouwn, Almanak Nautika, Ephemeris Hisab Rukyat, Al-Falakiyah, Mawaqit, Ascript, Astro Info, Starry Night Pro 5.12 Dari berbagai sistem hisab tersebut, terdapat selisih yang cukup besar bila membandingkan dengan sistem hisab taqribi, sebagaimana ditunjukkan tabel di bawah ini:
Telaah Sidang Itsbat Sebagai Putusan Tunggal Dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah _179
Tabel 1. Rekap hasil perhitungan Ijtima’ dan Tinggi Hilal
Adapun hisab resmi yang digunakan Pemerintah Indonesia mengacu pada sistem hisab haqiqi Kontemporer yang berpedoman pada ufuk mar’i dengan menggunakan Kriteria MABIMS13 yakni tinggi hilal minimum 20, jarak dari matahari minimum 30, umur bulan dihitung saat ijtimak atau bulan baru atau bulan dan matahari segaris bujur saat matahari terbenam minimal 8 jam. Kriteria ini sering disebut sebagai kriteria imkanurrukyat. Dasar dari kriteria imkanurukyat 20 yang digunakan pemerintah di atas adalah hilal Syawal 1424 H. tinggi 20, ijtima’ terjadi jam 10.18 WIB, 29 Juni 1984 yang dilihat oleh Muhammad Arief (Panitera Pengadilan Agama Parepare), Muhadir (Bendahara Pengadilan Pare-pare), H. Abdullah Hamid (Guru Agama Jakarta), H. Abdullah (Guru Agama Jakarta), K. Ma’mur (Guru Agama Sukabumi) dan Endang Effendi (Hakim Agama Sukabumi).14
180_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Sedangkan sistem hisab rujukan pokok hisab Depag RI adalah Ephemeris Hisab rukyat dengan Markas hisab POB Sukabumi- Jawa Barat dengan posisi 70 01’ 44,6” S, 1060 33’ 27,8 BT dan ketinggian dari muka laut 52,69 meter. Adapun kalender resmi yang digunakan adalah Taqwim Standar Indonesia, yang merupakan Hasil Temu Kerja Evaluasi Hisab Rukyat Tahunan antara Kementerian Agama RI, NU, Muhammadiyah, PERSIS, DDII, Al Mansyuriyah, Obsevatorium Bosscha ITB, LAPAN, Planetarium & Observatorium Jakarta, BMG, Bakorsurtanal dan Ahli hisab rukyat perseorangan.15 c. Hasil Sidang Itsbat sampai Tahun 2011 Dalam tulisan ini, penulis merangkum hasil Sidang Itsbat dalam penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal pada tahun 1381 H – 1434 H./1962 M – 2011 M. Tabel tersebut menunjukkan bahwa dalam hasil keputusan terjadi beberapa kali perbedaan, khususnya antara Pemerintah dan Muhammadiyah. Dari data tersebut dapat teramati bahwa perbedaan seringkali terjadi pada saat posisi-posisi hilal awal bulan sedikit berada di atas ufuk yaitu antara 0° - 2°. Jika hilal berada di bawah ufuk (negatif) atau cukup tinggi (di atas 2°) biasanya perbedaan ini jarang terjadi. Hal ini karena kriteria yang digunakan oleh Muhammadiyah berbeda dengan pedoman dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah. Di Indonesia terdapat beberapa kriteria aliran hisab rukyat. Setiap aliran hisab rukyat memiliki kriteria masing-masing yang berbeda, di antara kriteria-kriteria tersebut sebagai berikut: a) Muhammadiyah Dalam menyikapi persoalan hisab rukyat, Muhammadiyah menuangkannya dalam keputusan Muktamar Khususi di Pencongan Wiradesa Pekalongan pada tahun 1972. Sedangkan secara formal pemikiran hisab rukyatnya tertuang dalam himpunan putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah. Pokok yang dijadikan pedoman oleh Muhammadiyah adalah hisab wujudul hilal atau hisab milad al-hilal.
Telaah Sidang Itsbat Sebagai Putusan Tunggal Dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah _181
Yang dimaksud wujudul hilal di sini adalah matahari terbenam lebih dahulu daripada terbenamnya bulan (hilal) walaupun hanya satu menit atau kurang.16 Di mana dalam menentukan tanggal 1 bulan baru berdasarkan hisab dengan tiada batasan tertentu, pokoknya asal hilal sudah wujud, maka menurut kalangan ahli hisab sudah berdasarkan hisab wujudul hilal, dan dapat ditentukan hari esoknya adalah awal bulan Qamariyah. b) NU Secara formal, pemikiran hisab rukyat NU tertuang dalam keputusan Muktamar NU XXVII di Situbondo 1984, Munas Alim Ulama di Cilacap 1987, dan rapat kerja Lajnah Falakiyah NU di Pelabuhan Ratu (1992). Dalam keputusan itu menekankan bahwa NU menggunakan dasar ru’yah al-hilal bil fi’li atau istikmal (menyempurnakan bulan menjadi 30 hari) dalam penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha. Sedangkan kedudukan hisab hanyalah sebagai pembantu dalam melaksanakan rukyat. Penetapan awal bulan tersebut berlaku untuk umum bagi segenap lapisan kaum Muslimin di Indonesia dan dilakukan oleh Pemerintah (itsbat al-hakim).17 Dalam kaitannya dengan garis batas pemberlakuan rukyat (mathla’), prinsip pemikiran yang dipegangi NU adalah mathla’ fi wilayatil hukmi. c) Persis Metode yang digunakan persis dalam penetapan awal bulan qomariyah adalah metode hisab dengan kriteria imkanurrukyat. Hisab yang digunakan oleh persis termasuk hisab yang modern dan mutakhir karena menggunakan hisab ephemeris yang sudah diakui keakurasiannya. Dengan kriteria imkanurrukyat, ini maka penetapan Persis dalam awal bulan Qamariyah terutama Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah kemungkinan besar akan aman dari adanya perbedaan dengan itsbat pemerintah dan juga dengan aliran rukyat.18
182_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
d) Hizbut Tahrir Indonesia Dalam hal hisab rukyat, Hizbut Tahrir Indonesia menganut prinsip rukyat global, yaitu jika salah satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri ikut berpuasa atau berlebaran walaupun yang lain belum melihat hilal. Dari pemaparan berbagai kriteria aliran hisab dan rukyat di atas, dapat dikemukakan bahwa apabila hilal berada pada posisi antara 0° - 2° di atas ufuk, maka diprediksi akan terjadi perbedaan. Namun bila hilal berada di bawah ufuk (negatif), maka sudah pasti menggunakan istikmal dan diperkirakan sama. Dan apabila hilal sudah cukup tinggi (di atas 2°) diprediksi sudah dapat dirukyat, dan tidak ada perbedaan. 4. Perbedaan Pendapat Ormas Islam Dalam penetapan awal bulan Qamariyah di Indonesia, tidak dapat lepas dari adanya dissenting opinion (perbedaan pendapat) antara anggota Ormas Islam. Dari beberapa anggota yang mengikuti Sidang Itsbat, seperti Muhammadiyah, NU, Persis, Hizbut Tahrir dan sebagainya, pasti ada yang tidak sepakat dengan keputusan pemerintah. Bahkan walaupun mereka mengikuti Sidang Itsbat, namun keputusan awal bulan telah ditetapkan sebelumnya dan keikutsertakan mereka dalam sidang Itsbat adalah meminta izin untuk berlebaran lebih dahulu. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammadiyah pada sidang Itsbat penetapan 1 Syawal 1432 H. Dengan kondisi demikian, walaupun Sidang Itsbat selalu dilakukan untuk menyatukan pendapat berbagai ormas Islam, namun perbedaan akan tetap terjadi. Hal yang paling mendasar adalah pedoman dan kriteria yang digunakan oleh masing-masing Ormas, bila kriteria tersebut tetap dan tidak ada perubahan untuk persatuan, maka perbedaan akan terus terjadi. Dengan kata lain, untuk menghasilkan satu keputusan bersama, maka dibutuhkan satu kesepakatan kriteria bersama. Dan inilah yang saat ini terus diusahakan oleh Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI.
Telaah Sidang Itsbat Sebagai Putusan Tunggal Dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah _183
Dalam program jangka pendek yang dilakukan oleh BHR adalah memberi informasi kepada masyarakat tentang persoalan yang ada, sehingga apabila masih ada perbedaan, masyarakat sudah siap dan tidak menimbulkan hal-hal yang negatif seperti meresahkan, timbul perseteruan dan mengusik ukhuwah di antara sesama muslim. Adapun program jangka panjangnya adalah usaha penyeragaman sistem hisab, penyeragaman kriteria awal bulan, dan mengoptimalkan dan modernisasi pelaksanaan rukyat. Hingga saat ini, pemerintah telah membentuk tim perumus rancangan undang-undang hisab rukyat yang diketuai oleh Prof. Dr. Susiknan Azhari bersama empat anggota lain dari Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI. Dalam usaha penyatuan awal bulan Qamariyah yang dilakukan pemerintah pada era ini tampak lebih mengedepankan objektif ilmiah. Hal ini terbukti dengan keputusan-keputusan dalam sidang itsbat tetap mengikuti kriteria yang selama ini dipegangi oleh pemerintah (imknurrukyat) dengan tetap menimbang data hisab dan rukyat di lapangan. Pada era ini, keputusan lebih bersifat demokrasi dan tidak memihak kepentingan politik, sebagaimana yang terjadi sebelumnya pada era Orde Baru dalam penetapan awal Syawal 1412, 1413, 1414 dan 1418 H.19 Sebagai contoh, pada penetapan 1 Syawal 1432 H, pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan kalender dengan tanggal merah 30 dan 31 Agustus. Umumnya, tanggal merah pertama merupakan penanda tanggal 1 Syawal. Artinya, pada tanggal 30 tersebut diprediksikan sudah ada yang masuk tanggal 1 Syawal. Namun pada kalender tahun ini, 1 Syawal ditetapkan jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011, yakni tanggal merah kedua. Dan pemerintah tetap konsisten dengan kriteria imkanurrukyat, di mana pada saat itu hilal tidak dapat dirukyat di seluruh Indonesia karena ketinggian hilal masih di bawah 2°. Sehingga penetapan tanggal 1 Syawal jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011. Di samping itu, apabila terdapat perbedaan di masyarakat, konsep yang diajukan oleh pemerintah adalah tasammuh fil ikhtilaf / agree in
184_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
disagreement (toleransi dalam perbedaan). Bila masih belum dapat disatukan, yang dilakukan adalah saling toleransi demi kebersamaan dan kemaslahatan bersama, namun tetap berdimensi objektif ilmiah. Walaupun demikian, sampai saat ini Pemerintah masih terus berupaya untuk melakukan penyatuan kriteria guna persatuan dan kebersamaan dalam melaksanakan ibadah. Sampai saat ini memang belum ada keputusan yang dengan tegas mengharuskan atau mewajibkan rakyat Indonesia yang beragama Islam untuk mengikuti hasil sidang itsbat yang ditetapkan oleh Menteri Agama. Keputusan tersebut masih berada di tangan masyarakat dan Ormas-ormas Islam. Sehingga banyak dari mereka yang masih mengandalkan ego masing-masing dan ingin lebih menonjol daripada yang lain walaupun tidak berbasis objektif ilmiah. Dan inilah yang menjadi masalah bersama sampai saat ini. Setiap aliran masih mengedepankan ego masing-masing dan tidak mau mengalah untuk kemaslahatan bersama. Namun walaupun belum ada keputusan yang mengatur kewajiban mengikuti pemerintah, Keputusan Fatwa MUI No. 2 tahun 2004 Tentang Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, cukup untuk menunjukkan pentingnya mengikuti keputusan pemerintah. Dengan melihat berbagai usaha yang dilakukan oleh pemerintah dan MUI di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintah pada era sekarang ini berusaha keras untuk menyatukan penetapan awal bulan Qamariyah di Indonesia. Dasar pijakan yang digunakan pemerintah adalah objektif ilmiah, yang mempertemukan antara aliran hisab dan rukyat. 5. Tinjauan Ushul Fiqh terhadap Putusan Sidang Itsbat Dalam tinjauan ushul fiqih, idealisme penyelesaian hukum adalah berbasis kemaslahatan sebagaimana idealisme ajaran agama Islam. Idealisme tersebut dibingkai dalam epistemologi maqashidus syari’ah, yaitu teori-teori ilmu jurisprudensi Islam
Telaah Sidang Itsbat Sebagai Putusan Tunggal Dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah _185
yang muaranya adalah demi tegaknya kemaslahatan dan terhindarkannya kerusakan (jalbul mashalih wa dar’ul mafasis).20 Demikian pula dalam hal putusan sidang itsbat yang dilakukan oleh Menteri Agama untuk menetapkan awal bulan Qamariyah khususnya Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah demi keabsahan dan kemantapan beribadah umat Islam. Penetapan awal bulan Qamariyah khususnya dalam penetapan awal bulan puasa Ramadhan, lebaran Idul Fitri dan Idul Adha, merupakan ibadah yang terkait dengan sosial kemasyarakatan karena keberadaannya menyangkut umat Islam di seluruh dunia. Dalam istilah ushul fiqh, dikategorikan sebagai maslahat al-‘amah yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan banyak orang. Untuk itu perlu ada sebuah kebersamaan dan kemaslahatan bersama dalam penetapannya. Dari segi kepentingan kemaslahatannya, kebersamaan dalam penetapan awal bulan Qamariyah ini termasuk dalam maslahat alhajiyah yakni kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan manusia.21 Sebuah kebersamaan dalam beribadah termasuk dalam kategori memelihara kebutuhan manusia. Dalam hal ini, untuk mencapai sebuah kebersamaan, putusan sidang itsbat pemerintah harus memenuhi kriteria kemaslahatan umat, sebagaimana kaidah ushul fiqih sebagai berikut : 1. Kaidah Kelima (dari 40 Kaidah Kulliah dalam Al-Asybah Wan Nadhoir)
ِِ ﺼﻠَ َﺤ ِﺔ ُ ﺼﱡﺮ ْ ف اْ ِﻹ َﻣ ِﺎم َﻋﻠَﻰ اﻟﱠﺮﻋﻴﱠﺔ َﻣﻨُـ ْﻮ ٌط ﺑِﺎﻟْ َﻤ َ َﺗ
“Tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan.”22 Aplikasi kaidah di atas khusus dalam bidang pemerintahan yang menyangkut kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya. Karena itu, tindakan pemimpin harus bertujuan memberi kemaslahatan
ف ْ اﳊَﺎﻛِ ِﻢ ِﰲ َﻣ َﺴﺎﺋِ ِﻞ اْ ِﻹ ْﺟﺘِ َﻬ ِﺎد ﻳَـ ْﺮﻓَ ُﻊ ْ ُﺣ ْﻜ ُﻢ َ َاﳋِﻼ َﺼﻠَ َﺤﺔَ اﻟﱠﺮ ِاﺟ َﺤﺔ ْ اَ ْﳊُ ْﻜ ُﻢ ﻳَـﺘﱠﺒِ ُﻊ اﻟْ َﻤ
186_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
manusia, baik menarik kebaikan maupun menolak kemudaratan bagi rakyatnya. Jika tindakan kebaikan pemimpin ditafsirkan buruk oleh rakyatnya, maka dalam kondisi yang demikian itu perlu memperbanyak musyawarah, karena bagaimanapun keadaannya pemerintah merupakan kristalisasi dari kehendak rakyatnya.23 Kemaslahatan yang ditempuh pemimpin harus mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih universal mencakup totalitas masyarakat, tidak mementingkan kemaslahatan golongan atau individu.24 Demikian halnya dalam penetapan awal bulan Qamariyah, pemimpin (Menteri Agama dan Badan Hisab Rukyat) tidak boleh mementingkan kemaslahatan golongan atau individu saja, namun harus mengedepankan kemaslahatan yang lebih universal.
ِِ ﺼﻠَ َﺤ ِﺔ ُ ﺼﱡﺮ ْ ف اْ ِﻹ َﻣ ِﺎم َﻋﻠَﻰ اﻟﱠﺮﻋﻴﱠﺔ َﻣﻨُـ ْﻮ ٌط ﺑِﺎﻟْ َﻤ َ َﺗ
2. Kaidah Ketigapuluh Tiga (dari 68 kaidah tambahan dalam AlMajallatul Ahkamil Adliyah)
ف ْ اﳊَﺎﻛِ ِﻢ ِﰲ َﻣ َﺴﺎﺋِ ِﻞ اْ ِﻹ ْﺟﺘِ َﻬ ِﺎد ﻳَـ ْﺮﻓَ ُﻊ ْ ُﺣ ْﻜ ُﻢ َ َاﳋِﻼ
“Keputusan hakim dalam ijtihad dapat menghilangkan persengketaan.”25
Aplikasi kaidah ini adalah apabila dalam suatu kasus beberapa hakim menetapkan hukum yang berbeda-beda, kemudian tim tersebut mengambil keputusan yang dianggap lebih kuat, maka pihak-pihak lain tidak boleh mengingkari keputusan hakim tersebut.26
َﺼﻠَ َﺤﺔَ اﻟﱠﺮ ِاﺟ َﺤﺔ ْ اَ ْﳊُ ْﻜ ُﻢ ﻳَـﺘﱠﺒِ ُﻊ اﻟْ َﻤ
Dalam hal hisab rukyat, kaidah ini dapat diaplikasikan dalam hal penetapan awal bulan Qamariyah, ketika dalam sebuah kasus terdapat beberapa aliran atau kelompok hisab rukyat (misalnya NU dan Muhammadiyah) yang berbeda-beda dalam memutuskan, maka tim yang terbentuk dalam Badan Hisab Rukyat akan mengambil keputusan yang dianggap lebih kuat (di antaranya melalui sidang itsbat yang diputuskan oleh Menteri Agama), di mana keputusan tersebut didasarkan pada kajian yang objektif ilmiah dan merupakan jembatan yang menyatukan keputusan aliran yang berbeda tersebut,
ِ ﻳـ َﻘﺪﱠم ِﰲ ُﻛﻞ ِوﻻَﻳ ٍﺔ ﻣﻦ ﻫﻮ أَﻗْ َﺪم ﻋﻠَﻰ اﻟْ ِﻘﻴ ِﺎم ِﲝ ُﻘﻮﻗِﻬﺎ وﻣﺼ ﺎﳊِ َﻬﺎ َ ُ َُ ْ َ َ ﱢ َ ََ َ ْ ُ َ ُ ُ
Telaah Sidang Itsbat Sebagai Putusan Tunggal Dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah _187
ِ ف اْ ِﻹﻣ ِﺎم ﻋﻠَﻰ اﻟﱠﺮ ِﻋﻴﱠ ِ ﺼﻠَ َﺤ ِﺔ ﻤ ﻟ ﺎ ﺑ ط ﻮ ـ ﻨ ﻣ ﺔ ْ ٌ ُ َ َ ُ ﺼﱡﺮ ْ َ َ َﺗ َْ
maka aliran-aliran tersebut tidak boleh mengingkari keputusan yang telah dibuat. Mereka harus mengikuti hasil putusan yang telah ditetapkan oleh Menteri Agama dalam sidang itsbat. Hal ini sesuai dengan kaidah di atas, bahwa keputusan hakim (Menteri Agama) dalam sebuah ijtihad dapat menghilangkan persengketaan antara berbagai aliran hisab rukyat di Indonesia.
ف ْ اﳊَﺎﻛِ ِﻢ ِﰲ َﻣ َﺴﺎﺋِ ِﻞ اْ ِﻹ ْﺟﺘِ َﻬ ِﺎد ﻳَـ ْﺮﻓَ ُﻊ ْ ُﺣ ْﻜ ُﻢ َ َاﳋِﻼ
3. Kaidah Ketigapuluh Empat (dari 68 kaidah tambahan dalam AlMajallatul Ahkamil Adliyah)
َﺼﻠَ َﺤﺔَ اﻟﱠﺮ ِاﺟ َﺤﺔ ْ اَ ْﳊُ ْﻜ ُﻢ ﻳَـﺘﱠﺒِ ُﻊ اﻟْ َﻤ
“Hukum itu mengikuti kemaslahatan yang paling kuat/banyak.”27
Misalnya dalam penetapan awal bulan Qamariyah 1 Syawal 1432 H, terdapat beberapa aliran yang berbeda dalam penetapannya. NU dengan rukyatul hilal menetapkan tanggal 1 Syawal jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011, sedangkan Muhammadiyah dengan wujudul hilal menetapkan jatuh pada tanggal 30 Agustus 2011. Dalam sidang itsbat, diputuskan dengan dalil yang paling kuat yakni data hisab dan laporan rukyat dari berbagai titik di seluruh Indonesia, bahwa tanggal 1 Syawal 1432 H jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011, karena pada tanggal 29 Ramadhan/29 Agustus hilal tidak dapat dirukyat dan ketinggian hilal pada saat itu belum memenuhi kriteria hilal mungkin dapat dirukyat (imkanurrukyat).
ِ ﻳـ َﻘﺪﱠم ِﰲ ُﻛﻞ ِوﻻَﻳ ٍﺔ ﻣﻦ ﻫﻮ أَﻗْ َﺪم ﻋﻠَﻰ اﻟْ ِﻘﻴ ِﺎم ِﲝ ُﻘﻮﻗِﻬﺎ وﻣﺼ ﺎﳊِ َﻬﺎ َ ُ َُ ْ َ َ ﱢ َ ََ َ ْ ُ َ ُ ُ
Putusan tersebut mempertimbangkan kemaslahatan untuk sebuah kesepakatan kebersamaan dalam beridul fitri dan didasarkan pada kajian yang objektif ilmiah. Karena bila tidak bersatu tentu akan menimbulkan kekacauan dan mengganggu ukhuwah Islamiyah umat Islam. Oleh karena itu, seharusnya semua elemen masyarakat dapat mengambil dan mengikuti keputusan yang memberikan kemaslahatan yang paling kuat/banyak yaitu keputusan pemerintah. Bila setiap aliran memberikan keputusan masing-masing kepada jama’ah, tentu kemaslahatan yang ditimbulkan lebih sedikit karena
ف اﳋِﻼ اﳊَﺎﻛِ ِﻢ ِﰲ َﻣ َﺴﺎﺋِ ِﻞ اْ ِﻹ ْﺟﺘِ َﻬ ِﺎد ﻳَـ ْﺮﻓَ ُﻊ ْ ْ ُﺣ ْﻜ ُﻢ َ َ 188_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013 hanya satu golongan dibanding bila bersama-sama. Bila mengikuti pemerintah, maka akan terbentuk sebuah kebersamaan dalam beribadah dan kemaslahatan yang ditimbulkan akan lebih besar.
َﺼﻠَ َﺤﺔَ اﻟﱠﺮ ِاﺟ َﺤﺔ ْ اَ ْﳊُ ْﻜ ُﻢ ﻳَـﺘﱠﺒِ ُﻊ اﻟْ َﻤ
4. Kaidah Keenampuluh Tujuh (dari 68 kaidah tambahan dalam AlMajallatul Ahkamil Adliyah)
ِ ﻳـ َﻘﺪﱠم ِﰲ ُﻛﻞ ِوﻻَﻳ ٍﺔ ﻣﻦ ﻫﻮ أَﻗْ َﺪم ﻋﻠَﻰ اﻟْ ِﻘﻴ ِﺎم ِﲝ ُﻘﻮﻗِﻬﺎ وﻣﺼ ﺎﳊِ َﻬﺎ َ ُ َُ ْ َ َ ﱢ َ ََ َ ْ ُ َ ُ ُ
“Orang-orang yang lebih berani menegakkan hak-hak dan kemaslahatankemaslahatan harus didahulukan pada setiap kekuasaan.” 28
Karena itu penguasa negara harus diberikan pada orang yang mengerti politik negara, dalam peperangan komandannya diserahkan pada yang mengerti strategi perang, dalam peradilan kekuasaannya diberikan pada orang yang mengerti hukum dan sebagainya.29 Begitu pula dalam penentuan awal bulan Qamariyah diberikan pula pada tim yang terdiri dari ahli falak, ahli astronomi, ahli fiqih dan hukum Islam, dan sebagainya agar keputusannya dapat mencakup semua golongan dan memberikan kemaslahatan bersama. Dengan kajian ushul fiqh di atas, alangkah bijaksananya bila otoritas keputusan dalam pengambilan hukum penetapan tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal ataupun 10 Dzulhijjah diberikan kepada pemerintah. Dan ormas-ormas dan aliran-aliran hisab rukyat wajib mengikuti keputusan tersebut, sebagaimana mereka pun ikut dalam pengkajian penetapan dalam sidang itsbat. Dengan mengedepankan kemaslahatan yang lebih besar (maslahat almu’adzom) dibanding dengan maslahat yang lebih kecil, dan dengan berdasarkan tujuan tasyri’ yakni jalbul mashalih wa dar’ul mafasid, maka insyaallah kebersamaan beribadah akan dapat terwujud.
Telaah Sidang Itsbat Sebagai Putusan Tunggal Dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah _189
A. Penutup Sidang Itsbat sebagai musyawarah penetapan awal bulan Qamariyah yang ditangani oleh pemerintah seyogyanya bisa menjadi keputusan tunggal dan final bagi umat Islam Indonesia seluruhnya. Sehingga umat Islam Indonesia memiliki pegangan dalam melaksanakan ibadah puasa, Idul Fitri dan Idul Adha. Untuk mewujudkan hal tersebut, yang harus dilakukan pemerintah adalah berupaya untuk secepatnya merumuskan satu kriteria yang akan disepakati bersama. Di samping itu, program yang harus dilakukan Pemerintah melalui Badan Hisab Rukyat adalah memberi informasi kepada masyarakat tentang persoalan yang ada, sehingga apabila masih ada perbedaan, masyarakat sudah siap dan tidak menimbulkan hal-hal yang negatif seperti meresahkan, timbul perseteruan dan mengusik ukhuwah di antara sesama muslim. Sedangkan program jangka panjang adalah upaya penyeragaman sistem hisab, upaya mengoptimalkan dan modernisasi pelaksanaan rukyat dengan mengutamakan objektif ilmiah. Dari kajian ushul fiqh sebenarnya otoritas keputusan dalam pengambilan hukum penetapan tanggal awal bulan Qamariyah diberikan kepada pemerintah, sedangkan ormas dan aliran hisab rukyat wajib mengikuti keputusan tersebut. Mereka harus mengedepankan kemaslahatan yang lebih besar (maslahat al-mu’adzom) dibanding dengan maslahat yang lebih kecil, dan dengan berdasarkan tujuan tasyri’ yakni jalbul mashalih wa dar’ul mafasid, maka kebersamaan beribadah akan dapat terwujud.
190_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Daftar Pustaka Ali, Hamdany, Himpunan Keputusan Menteri Agama, cet. I, Jakarta: Lembaga Lektur Keagamaan, 1972 As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman, al-Asyba’ Wan Nadhoir, Indonesia: Syirkah Nur Asia, t.th. Azhari, Susiknan, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Cet. II, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008 Azhari, Susiknan, Sa’adoeddin Djambek (1911 – 1977) Dalam Sejarah Pemikiran Hisab di Indonesia, Yogyakarta: IAIN Yogyakarta, 1999 Bisri, Adib, dan Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia tahun 2010, Almanak Hisab Rukyat Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Wacana Ilmu, 1997 Izzuddin, Ahmad, Fiqih Hisab Rukyat, Jakarta: Erlangga, 2007 Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Tentang Penetapan Tanggal 1 Ramadhan, dan 1 Syawal Keputusan Temu Kerja Evaluasi Hisab Rukyat Tahun 2007 Khazin, Muhyiddin, Makalah Teknik Pelaksanaan Rukyatul Hilal dan Sidang Itsbat, Subdit Pembinaan Syari’ah dan Hisab Rukyat Departemen Agama RI tahun 2008 Kumpulan “Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia dalam Penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal dari tahun 1426/2005 M sampai tahun 1432 H/2011 M” Materi Sidang Anggota Badan Hisab Rukyat Departemen Agama RI tahun 2007 Nasution, Harun, Ensiklopedi Islam Indonesia, Cet. I, Jakarta: Djambatan, 1992
Telaah Sidang Itsbat Sebagai Putusan Tunggal Dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah _191
Rahman, Asjmuni A., Qoidah-Qoidah Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1976 Sudarmono, Skripsi dengan judul Analisis terhadap Penetapan Awal Bulan Qamariyah Menurut Persatuan Islam, Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, tahun 2008 Usman, Muhlish, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997 Wardan, Muhammad, Hisab ‘Urfi dan Hakiki, Yogyakarta: t.p, 1987 Yasid, Abu, Aspek-aspek Penelitian Hukum, Hukum Islam – Hukum Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Website http://gp-ansor.org/biografi/suryadharma-ali diakses pada tanggal 23 Desember 2011 http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Maftuh_Basyuni diakses pada tanggal 23 Desember 2011 Indonesiahttp://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/suryadharma-ali diakses pada tanggal 23 Desember 2011. nasional.kompas.com/read/2011/10/18 diakses pada tanggal 24 Desember 2011.
192_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Endnotes
1. Adib Bisri dan Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999, h. 56.
2. Susiknan Azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyat, Cet. II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h. 106.
3. Muhyiddin Khazin, Makalah Teknik Pelaksanaan Rukyatul Hilal dan Sidang Itsbat, Subdit Pembinaan Syari’ah dan Hisab Rukyat Departemen Agama RI tahun 2008.
4. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Tentang Penetapan Tanggal 1 Ramadhan, dan 1 Syawal.
5. Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, cet. I, Jakarta: Djambatan, 1992, h. 211.
6. Hampir setiap organisasi masyarakat termasuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah selalu mengeluarkan ketetapannya walaupun dalam bahasa yang lain seperti fatwa dan ikhbar. Lihat Susiknan Azhari, Sa’adoeddin Djambek (1911 – 1977) Dalam Sejarah Pemikiran Hisab di Indonesia, Yogyakarta: IAIN Yogyakarta, 1999, h. 15.
7. Hamdany Ali, Himpunan Keputusan Menteri Agama, cet. I, Jakarta: Lembaga Lektur Keagamaan, 1972, h. 241.
8. Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyat, Jakarta: Erlangga, 2007, h. 59. 9. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI, Almanak Hisab Rukyat, 2010, h. 76.
10. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI, Almanak Hisab Rukyat, 2010, h. 81-88.
11. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI, Almanak Hisab Rukyat, 2010, h. 81-88
Telaah Sidang Itsbat Sebagai Putusan Tunggal Dalam Penetapan Awal Bulan Qamariyah _193
12. Keputusan Temu Kerja Evaluasi Hisab Rukyat Tahun 2007. 13. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia tahun 2010, Almanak Hisab Rukyat, h. 42-43.
14. Materi Sidang Anggota Badan Hisab Rukyat Departemen Agama RI tahun 2007.
15. Materi Sidang Anggota Badan Hisab Rukyat Departemen Agama RI tahun 2007..
16. Muhammad Wardan, Hisab ‘Urfi dan Hakiki, Yogyakarta, t.p, 1987, h. 5. 17. Ahmad Izzuddin, Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyat, h. 110. 18. Sudarmono, Skripsi dengan judul Analisis terhadap Penetapan Awal Bulan Qamariyah Menurut Persatuan Islam, Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, tahun 2008.
19. Ahmad Izzuddin, Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyat, h. 87-88. 20. Abu Yasid, Aspek-aspek Penelitian Hukum, Hukum Islam – Hukum Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, h. 48-49.
21. Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Wacana Ilmu, 1997, h. 6. 22. Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi, al-Asyba’ Wan Nadhoir, Indonesia: Syirkah Nur Asia, t.th., h. 83.
23. Muhlish Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah Pedoman Dasar dalam Istinbath Hukum Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1997, h. 150.
24. Muhlish Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah..., h. 151. 25. Asjmuni A. Rahman, Qoidah-Qoidah Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, h. 70. 26. Muhlish Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah..., h. 191-192. 27. Asjmuni A. Rahman, Asjmuni A. Rahman, Qoidah-Qoidah Fiqh..., h. 71. 28. Asjmuni A. Rahman, Qoidah-Qoidah Fiqh..., h. 139. 29. Muslih Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah..., h. 205.
Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’ân
The Quran-Based Character Education Nasaruddin Umar Rektor PTIQ Jakarta email:
[email protected]
Abstract : Quran and Hadith are the main references of Islamic law. As the sources of Islamic law, the Quran contains a lot of Shari’a, teachings and exhortations for Muslims, including hints of character education. Character education has its own importance in our social system, which significantly impacts on the success of development. Thus, the Quran-based character education needs to be explored and developed in order to provide a broader contribution to national development, particularly in the field of religion. Abstraksi : Al-Qur’an dan Hadits merupakan rujukan utama hukum Islam. Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur’an banyak memuat syariat, ajaran dan nasihat-nasihat bagi umat Islam, termasuk di dalamnya isyarat pendidikan karakter. Pendidikan karakter memiliki urgensi tersendiri dalam sistem sosial kemasyarakatan, yang mana secara signifikant memberikan pengaruh terhadap keberhasilan pembangunan. Dengan demikian, maka pendidikan karakter berbasis al-Qur’an perlu digali dan dikembangkan agar memberikan kontribusi yang lebih luas dalam pembangunan nasional, khususnya bidang agama. Keywords: The Quran, Character Education, Insan Kamil
Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’ân _195
A. Pendahuluan Akhir-akhir ini, perhatian kita tersedot menyaksikan beberapa topik pemberitaan --yang seolah-olah hampir kita tidak percaya tetapi kenyataannya seperti itu--, yaitu berberapa kasus korupsi dan penyimpangan moral. Korupsi yang sedemikian marak dalam pemberitaan sepertinya sangat berbeda dengan mitos-mitos dan kaedahkaedah moral leluhur bangsa kita. Belum lagi dengan demoralisasi tayangan televisi lainnya. Ini semua sudah sangat bertentangan dengan nilai dan moral leluhur dan orang tua kita jama dulu. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) dalam releasenya menyampaikan fakta menyedihkan, bahwa tahun 2013 sebagai Tahun Darurat Nasional Kejahatan Seksual Terhadap Anak. Tahun 2013 kasus kejahatan terhadap anak masih mendominasi angka kasus kekerasan terhadap anak, dan angka tersebut kini bahkan cenderung mengalami peningkatan. Berdasar data yang dipantau Pusat Data dan Informasi Komnas PA sejak Januari hingga Juni 2013, terdapat 1.032 kasus kekerasan yang menimpa anak. Dari jumlah tersebut, sebanyak 535 kasus atau sekitar 52 persen merupakan kasus kekerasan seksual. Selebihnya, kasus kekerasan fisik sebanyak 294 kasus, kekerasan psikis sebanyak 203 kasus. Ancaman tindak kriminalitas juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Data Polda Metro Jaya menegaskan hal ini, bahwa di kota Jakarta dan sekitarnya pada tahun 2013 sungguh mencemaskan. Sebelumnya, berdasarkan catatan akhir tahun 2012 Polda Metro Jaya, tiap 10 menit di wilayah hukumnya mencuat satu kasus kejahatan. Crime clock mengalami perlambatan selama 9 detik yaitu dari 9 menit 57 detik pada tahun 2011 menjadi 10 menit 6 detik di tahun 2012. Artinya pada tahun 2012 setiap 10 menit 6 detik terjadi satu kasus kejahatan. Kejahatan yang masih menonjol di tahun 2012 yakni kasus perampokan. Aksi pencurian dan kekerasan ini makin merajalela. Tahun ini sebanyak 1.094 kasus, meningkat 159 kasus atau 17,00 persen dibanding tahun sebelumnya yang berjumlah 925 kasus. Dari 1.094 kejadian perampokan itu, yang terungkap 610 kasus atau 55,75 persen.1
196_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Semua problematika di atas menunjukkan betapa karakter bangsa ini tengah dilanda dekadensi. Sebagai bangsa timur, Indonesia dikenal dengan karakter mulia; saling menghormati, gotong royong, toleran. Dengan semakin panjangnya daftar angka kriminalitas, korupsi dan lainnya menunjukkan bahwa karakter tersebut mulai luntur. Di sinilah kita membutuhkan revitalisasi pendidikan karakter untuk menanggulangi berbagai problematika tersebut. Pada dasarnya, semua model pendidikan klasik maupun kontemporer tidak pernah lepas dari visi pembentukan karakter. Pendidikan bahkan sering dinilai sebagai simpul perubahan sikap dan tingkah laku. Tentang karakter apa yang diinginkan, tergantung pada di mana, bagaimana dan oleh siapa model pendidikan dijalankan. Karakter yang ingin diciptakan melalui model pendidikan di Indonesia boleh jadi berbeda dengan karakter yang ingin dibentuk di negara lain di Amerika, Eropa, Australia, Afrika dan Asia lainnya. Variabel lain seperti agama dan budaya, juga akhirnya ikut menentukan bagaimana karakter itu dibentuk. Dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2 Untuk memperbaiki karakter yang rusak dan untuk mengembalikan nilai-nilai luhur yang hilang, salah satu kunci pentingnya ialah pendidikan keagamaan harus lebih di tingkatkan. Ruang publik masyarakat harus segera dibenahi, karena terkadang anak-anak sudah cukup banyak mendapatkan tuntunan dari rumah dan sekolahnya tetapi dirusak oleh lingkungan publik. Sebagai contoh, merokok merupakan aib di rumah
Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’ân _197
dan di sekolah tetapi di luar rumah dan sekolah di mana-mana anak-anak kita menyaksikan orang merokok tanpa sedikitpun beban. Di rumah kita mewanti-wanti anak-anak kita tentang bahaya pergaulan bebas tetapi di lingkungan publik kita begitu permissifnya menerima kenyataan ini. Pendidikan karakter dianggap penting dan selalu menjadi perhatian dunia pedagogi, karena ia tidak hanya berhubungan dengan pengembangan individu, tetapi juga mencakup kepentingan warga masyarakat dan negara secara umum. Bangsa yang tidak memiliki atau tidak mampu memelihara karakter bangsanya sendiri maka akan begitu mudah terombang-ambing oleh daya tarik dan kepentingan bangsabangsa lain yang memiliki karakter lebih kuat. Bangsa yang tidak memiliki karakter akan larut dengan asumsi nilai yang berkembang dari luar, sehingga definisi kebenaran dan dan kewajaran sangat ditentukan oleh bangsa-bangsa lain. Bagi pedagog asal Jerman, F.W. Foester (1869-1966), misalnya, tujuan pendidikan adalah pembentukan dan pengembangan karakter yang kemudian akan menjadi ukuran kualitas pribadi seseorang. Dalam dunia pendidikan Barat, Foester bagaikan dikenal sebagai bapak pendidikan karakter, mengingat dialah yang pertama kali mencetuskan pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual. Foester menyembutkan empat hal mendasar yang menjadi ciri khas pendidikan karakter: nilai, keberanian, otonomi, dan keteguhan/kesetiaan.3 Lalu bagaimana dengan Islam? Islam adalah agama yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia. Islam juga dikenal sebagai ajaran moral yang sangat luhur. Namun yang terjadi di dalam masyarakat kita sepertinya terjadi deislamisasi terhadap karakter bangsa. Apa yang dikatakan oleh Islam tidak seperti yang terwujud di dalam masyarakat. Islam menganjurkan kedamaian, kelembutan, sopan-santun dan tenggang rasa, tetapi yang menjadi pemandangan sehari-hari ialah tawuran, kriminalitas, kekerasan, kesadisan, dan kenekadan.
198_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Islam menyerukan pembinaan rumah tangga sakina, mawaddah dan rahmah tetapi yang terjadi adalah peningkatan jumlah perceraiaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan penjualan anak. Paper ini tidak bermaksud merumuskan pendidikan Islami pembentukan karakter. Paper ini mencoba melihat kembali dan merumuskan bagaimana sebenarnya pendidikan karakter yang dinginkan oleh Islam berdasarkan al-Qur’ân dan Hadis. Paper lebih ingin melihat bagaimana sebenarnya al-Qur’ân, maupun Hadis, merekomendasikan ciri, model dan nilai pendidikan pembentukan karakter.
B. Dulu dan Sekarang: Sebuah perbandingan Masih pada masa orang tua kita, orang yang melakukan kesalahan berat seperti perzinahan dan perselingkuhan harus diberikan sanksi yang berat, misalnya ia harus diusir ke luar komunitas adat. Sementara kasur, bantal, atau tikar yang pernah digunakan berzina harus dibakar. Bahkan ada yang juga membakar rumah yang pernah ditempati berzina itu. Bukan hanya sampai di situ, perbuatan zina, juga diyakini akan menimbulkan kemurkaan Tuhan dalam bentuk turunnya musibah yang bersifat massif, yang tidak hanya menimpa yang bersangkutan, tetapi juga orang yang baik. Inilah sebabnya, mengapa masyarakat dulu tidak memerlukan kunci rumah, meski tidak ada polisi di mana-mana. Daun pintu dibutuhkan hanya agar binatang liar seperti ular, babi, anjing, dan binatang liar lainnya tidak masuk ke rumah. Kehidupan terasa sangat aman sekalipun tanpa polisi, karena mereka yakin Tuhan Maha Menyaksikan seluruh perbuatan hambanya. Berbohong saja dianggap pemali dan menurunkan cahaya muka. Sekali saja seseorang ketahuan berbohong maka orang itu tidak ada lagi nilainya di dalam masyarakat. Sifat-sifat tercela lainnya juga sangat ditakuti oleh anggota masyarakat. Seperti menjadi orang munafik atau hipokrit, pasti akan menyempitkan hidup dan kehidupannya sendiri, karena orang yang suka mengumbar
Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’ân _199
aib orang lain untuk kepentingan pribadi atau golongan maka ia lebih dahulu diterpencilkan di dalam masyarakat. Sejak kecil seorang anak didoktrin untuk memelihara keluhuran budi pekerti, rajin bekerja, dan taat beribadah. Kekayaan dan dan kemewahan hidup bukanlah yang paling utama di dalam masyarakat tradisional. Untuk apa kaya tetapi dijauhi masyarakat. Lebih baik hidup pas-pasan tetapi diterima hangat di dalam masyarakat, ini yang lebih disukai dalam masyarakat tradisional kita. Sangat berbeda dengan sekarang. Rasa malu dan istiqamah sudah mulai tercecer. Kalau dulu mengambil haknya orang lain adalah tabu, mendapatkan sanksi adalah aib besar, dan melakukan pelanggaran moral seperti perzinaan dan perselingkuhan dianggap pemali besar. Akan tetapi sekarang, mengambil hak orang lain sepertinya tanpa beban. Sanksi tidak lagi dianggap sesuatu yang memalukan, bahkan kadangkadang merasa tidak bersalah sama sekali karena ia pintar mencari alasan pembenaran. Penayangan lekuk-lekuk aurat secara sengaja di depan kamera, dianggap sebagai suatu kebanggaan. Dahulu orang tua atau senior yang pernah berjasa begitu ditakuti dan dihormati, tetapi sekarang banyak sekali pemberitaan seoorang anak menyiksa orang tua atau seniornya sampai mati. Para pemimpin dan tokoh masyarakat dahulu sekaligus sebagai teladan. Para rakyat dan anggota masyarakat begitu respek dan santunnya terhadap tokoh adat, tokoh agama, atau pemimpinnya. Akan tetapi sekarang, tokoh masyarakat atau pemimpin menyerupai malaikat di suatu tempat tetapi di tempat lain menyerupai iblis. Tidak ada lagi sopan santun dari rakyat untuk tokoh adat dan pemerintah. Bahkan pembakaran kantor camat dan sejumlah kendaraan dinas menjadi pemandangan sehari-hari.
C. Al-Qur’an dan Transformasi Sosial Al-Qur’an tidak diturunkan di dalam masyarakat yang hampa budaya melainkan turun di dalam masyarakat yang sudah sarat
200_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
dengan nilai-nilai budaya lokal. Kehadiran Al-Qur’an sebagai petunjuk tidak serta merta melakukan pembersihan dan penggusuran terhadap berbagai nilai-nilai yang datang sebelumnya. Al-Qur’an membutuhkan waktu 23 tahun untuk melakukan enkulturasi dan reformasi secara gradual, yang dikenal dengan tiga prinsip dasar (usâs al-tasyri’), yaitu: 1) Berangsur-angsur dalam penerapan tata-nilai (al-tadrij fi al-tasyri’), 2) Penyederhanaan beban (al-taqlîl al-taklîf), dan 3) Meminimalkan kesulitan (’adam al-haraj). Addres utama dan pertama Al-Qur’an ialah masyarakat Arab yang dilukiskan Al-Qur’an sebagai bangsa paling kufur dan munnafiq (ala’rab asyadd kufran wa nifâqa/QS. al-Taubah/9:97). Mereka dikenal sebagai bangsa yang doyan dengan minuman keras dan untuk menghapuskannya diperlukan 4 ayat turun secara bertahap untuk sampai kepada penghapusan total:
ِ اﳋﻤﺮ واﻟْﻤﻴ ِ ﺎب و ْاﻷ َْزَﻻ ُم ﻳَﺎأَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ ء َاﻣﻨُﻮا إِﱠ ﺲ ِﻣ ْﻦ ﺟ ر ﺼ ﻧ اﻷ و ﺮ ﺴ ﺎ ﳕ َ ْ ْ َ ْ َ ْ ْ َ ُ ْ َ َ َ َ َ َ ُ ُ ٌ ِ ﺎﺟﺘَﻨِﺒُﻮﻩُ ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗُـ ْﻔﻠِ ُﺤﻮ َن ْ ََﻋ َﻤ ِﻞ اﻟﺸْﱠﻴﻄَﺎن ﻓ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. al-Mâidah/5:90).
ِ اﳋﻤﺮ واﻟْﻤﻴ ِ ﺎب و ْاﻷ َْزَﻻ ُم ﻳَﺎأَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﱠ ِﺬﻳﻦ ء َاﻣﻨُﻮا إِﱠ ﺲ ِﻣ ْﻦ ﺟ ر ﺼ ﻧ اﻷ و ﺮ ﺴ ﺎ ﳕ َ ْ ْ َ ْ َ ْ ْ َ ُ ْ َ َ َ َ َ َ ُ ُ ٌ ِﱠ ْ ﺎﺟﺘَﻮاﻨِﺒُ َﻮﻩُﻻ ﻟَﺗََﻌﺄْﻠﱠ ُﻛُﻜﻠُْﻢﻮا ﺗُـ ْﻔاﻟﻠِﱢﺮﺑَﺎُﺤﻮأ َن ُﻳﻦِﺎن ءﻓَ َاﻣْﻨ َ َﺿ َﻌﺎﻓًﺎ ُﻣ َﻀ َﺎﻋ َﻔﺔً َواﺗﱠـ ُﻘﻮا اﻟﻠﱠﻪ َ َﻳﻋَﺎَأﻤَﻳـﱡِﻞَﻬﺎاﻟ اﻟﺸْﱠﻴﺬﻄ
ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗُـ ْﻔﻠِ ُﺤﻮ َن
Mereka juga gemar dengan sistem pembungaan uang alias rentenir dan untuk menghapuskannya diperlukan 7 ayat turun secara bertahap untuk sampai kepada penghapusan total:
ِﱠ ْ ﻳﻦ ءَ َاﻣﻨُﻮا َﻻ ﺗَﺄْ ُﻛﻠُﻮا اﻟﱢﺮﺑَﺎ أ َ َﺿ َﻌﺎﻓًﺎ ُﻣ َﻀ َﺎﻋ َﻔﺔً َواﺗﱠـ ُﻘﻮا اﻟﻠﱠﻪ َ ﻳَﺎأَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﺬ öΝà6ŠÏj.t“ãƒuρ $oΨÏG≈tƒ#u™ öΝä3ø‹n=æ t (#θè=÷Gtƒ öΝà6ΖÏiΒ Zωθß™u‘ öΝà6 ‹ﻮ َنÏُﺤù ِﻠ$uْﻔΖﺗُـù=™y ْﻢö‘&r !ﻠﱠ ُﻜ$ﻌyϑَ َﻟx.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan ∩⊇∈⊇∪ tβθßϑn=÷ès? (#θçΡθä3s? öΝs9 $¨Β Νä3ßϑÏk=yèãƒuρ sπyϑò6Ïtø:$#uρ |=≈tGÅ3ø9$# ãΝà6ßϑÏk=yèãƒuρ berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al ’Imrân/3:130).
öΝà6∩∠®∪ ŠÏj.t“ãƒ#YuρŠθßϑ$oΨøtÏG¤Χ≈tƒ$Y#uΒ™$s)öΝtΒä3y7 ø‹n=•/æ t u‘ y7 (#θèsW=yè÷Gtƒö7tƒ βr öΝ&à6 Zω©9θß\'™s#Ïùu‘$tΡ öΝ ù yγ$utFΖsùù=™ y È≅ö‘ø‹&r©9$# z⎯!$yϑÏΒx.uρ #©|¤ΖÏiΒtã y7 ⎯Ïà6 μÎ/ ô‰‹Ï¤f ∩⊇∈⊇∪ tβθßϑn=÷ès? (#θçΡθä3s? öΝs9 $¨Β Νä3ßϑÏk=yèãƒuρ sπyϑò6Ïtø:$#uρ |=≈tGÅ3ø9$# ãΝà6ßϑÏk=yèãƒuρ
Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’ân _201
Kiranya kenyataan ini menjadi pelajaran penting bagi kita bahwa betapapun mulianya sebuah perubahan yang dituju tetap membutuhkan waktu, kesabaran, strategi dan rambu-rambu yang akan memandu agar arah perubahan itu tidak melenceng dari tujuan semula. Rasulullah SAW sendiri membutuhkan waktu 11 tahun dalam mewujudkan masyarakat madani di Madina dengan penuh ketabahan. Seorang reformer atau pembaharu sejati tidak akan pernah menyalahkan keadaan atau menekankan kesalahan dan kelemahan orang lain, melainkan bagaimana mengubah keadaan menjadi lebih baik. Demikianlah prinsip yang membuat Rasulullah sukses di dalam melewati masa-masa sulitnya. Al-Qur’an yang didukung oleh pribadi agung Rasulullah Saw, berhasil melakukan transformasi sosial dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat cerdas dan terampil. Dari masyarakat yang berkeadaban rendah (badawa) menuju masyarakat yang berkeadaban lebih tinggi (madani). Dari masyarakat yang samasekali tidak pernah diperhitungkan secara internasional dan regional menjadi masyarakat penentu kecenderungan masa depan (trend setter) di kawasan itu.
D. Pembentukan Karakter dalam Islam Keberhasilan Al-Qur’an yang didukung oleh pribadi agung Rasulullah Saw, dalam melakukan transformasi sosial dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat cerdas dan terampil menegaskan urgensi dan fungsi strategis al-Qur’an bagi eksistensi umat Islam. Dalam hal ini, al-Qur’an pula yang mendorong pentingnya pendidikan karakter bagi keberlangsungan kehidupan umat manusia. Hampir semua orang sepakat bahwa pendidikan --apapun sistem pendidikan yang diterapkan-- merupakan model terbaik pendidikan karakter bagi anak didik di berbagai tingkatan. Materi dalam setiap tingkat pendidikan bakan telah dirumuskan secara matang dan disesuaikan dengan umur anak didik. Diharapkan, dengan model seperti ini, karakter itu tercipta, terkembangkan dan menetap dalam sanubari anak didik.
202_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Menurut menurut Kamus Besar Bahasa, karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti. Dalam kaitannya dengan dengan al-Qur’an, berkarakter baik diartikan sebagai seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap sebagaimana diperintahkan dalam al-Qur’an dan Hadits. Mereka yang berkarater baik adalah mereka yang yang melaksanakan moralitas Islam seperti kejujuran, toleransi, saling menyayangi, gotong royong dan sifat-sifat terpuji lainnya. Seperti yang jamak diketahui, variable umum dalam dunia pendidikan meliputi pembentukan karakter, guru, murid, dan lingkungan sekolah. Padanan kata guru dalam bahasa Arab antara lain ustâdz, mudarris, murabbî, atau mu‘allim. Namun jika melihat fungsinya, guru sebenarnya lebih patut disebut “mursyid” atau pembimbing. Jadi, guru sebenarnya membimbing, mengarahkan, menunjukkan sebuah pengetahuan. Dalam konsep pendidikan Islam, seorang mursyid bukan hanya memimpin, membimbing dan membina murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah dan pergaulan sehari-hari, tetapi juga memimpin, membimbing dan membina murid-muridnya melaksanakan kewajiban yang ditetapkan oleh Syara’. Di samping memimpin yang bersifat lahiriah tersebut, seorang mursyid adalah juga pemimpin kerohanian, menuntun dan membawa anak didiknya. Oleh sebab itu seorang mursyid pada hakikatnya adalah sahabat rohani yang sangat akrab sekali dengan rohani muridnya yang bersama-sama tak bercerai-cerai, beriring-iringan, berimam-imaman melaksanakan zikrullah dan ibadat lainnya menuju ke hadirat Allah SWT. Persahabatan itu tidak saja semasa hidup di dunia, tetapi persahabatan rohaniah ini tetap berlanjut sampai ke akhirat, walaupun salah seorang telah mendahului berpulang ke rahmatullah, dan telah sederetan duduknya dengan para wali Allah yang saleh. Sebagaimana dalam tradisi Tasawuf, dalam mengajar murîd-(anak didik)-nya, seorang mursyid mesti menjalankan secara ikhlas total. Tujuan pendidikan karakter itu seyogyanya selalu teringat oleh Mursyid. Ia semestinya menyelami mabda pembelajaran dengan berharap, apa
Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’ân _203
yang mereka sampaikan kepada anak didik, niscaya akan dipahami dan diamalkannya. Seorang Mursyid tidak hanya menyiapkan diri dengan materi-materi pelajaran itu. Jauh melebihi itu, seorang Mursyid mesti melakukan sejumlah pembatinan. Proses pembatinan itu akan turut memperbaharui dan memperkuat niat yang sudah tertanam sempurna. Persiapan spiritual seperti ini, menuntut keikhlasan yang luar biasa. Para ulama di masa lalu selalu mempraktekkan kerendah-hatian dan ketulusan dalam menyampaikan materi. Apa yang disampakan oleh Mursyid seyogyanya telah diyakini sebagai kebenaran bagi anak didiknya. Mesti diyakini, bahwa segala hal yang keluar dari hati secara tulus dan ikhlas, insya Allah akan mendarat di hati. Pesan-pesan itu kemudian akan membekas, dan akhirnya menhadi praktek dan amalan umat Islam. Persiapan spiritual itu mencakup proses pembatinan yang juga mencakup dua hal; kesucian diri dalam wudhu, serta kesucian spiritual. Mengikuti praktek hidup ulama-ulama kita jaman dahulu, beliau-beliau selalu bangun tengah malam, bertahajjud dan berdoa, “semoga anak didik saya dapat menerima pelajaran dengan mudah.” Di pagi hari, setelah melaksanakan shalat Dhuha, beliau-beliau berdoa lagi hal yang sama. Pembatinan itu juga mencakup berbagai bentuk pensucian diri dalam arti fisik dan rohani. Sebelum mengajar, seorang Mursyid mesti memiliki wudhu yang dawâm lagi sempurna. Setiap kali wudhu terpaksa batal, ia akan kembali mengambil wudhu yang baru sesegera mungkin. Kesucian lain yang dimaksud di sini adalah kesucian internal, hati dan pikiran sebelum menjalankan tugas pembelajarannya. Al-Qur’ân sebenarnya menjelaskan bahwa proses pembelajan mesti dimulai dengan tazkiya (atau pensucian diri), yang jika selesai, kemudian dilanjutkan dengan pembelajaran.
ﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗُـ ْﻔﻠِ ُﺤﻮ َن 204_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
öΝà6ŠÏj.t“ãƒuρ $oΨÏG≈tƒ#u™ öΝä3ø‹n=tæ (#θè=÷Gtƒ öΝà6ΖÏiΒ Zωθß™u‘ öΝà6‹Ïù $uΖù=y™ö‘r& !$yϑx. ∩⊇∈⊇∪ tβθßϑn=÷ès? (#θçΡθä3s? öΝs9 $¨Β Νä3ßϑÏk=yèãƒuρ sπyϑò6Ïtø:$#uρ |=≈tGÅ3ø9$# ãΝà6ßϑÏk=èy ãƒuρ
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni’mat Kami kepadamu) Kami telah ∩∠®∪ mengutus #YŠθßϑøt¤Χkepadamu $YΒ$s)tΒ y7•/u‘Rasul y7sWyèö7diantara ƒt βr& #©|¤kamu tã y7©9 yang \'s#Ïù$tΡ membacakan ⎯ÏμÎ/ ô‰¤fyγtFsù È≅ayat-ayat ø‹©9$# z⎯ÏΒuρ Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS. al-Baqarah/2: 151).
∩⊆⊃∪ ÏŠθàf¡9$# t≈t/÷Šr&uρ çμósÎm7|¡sù È≅ø‹©9$# z⎯ÏΒuρ
Ayat ini jelas sekali memerintahkan Mursyid dan anak didik mesti membersikan, mensucian dan mengosongkan diri dari segala hal-hal ∩⊄∉∪ ¸ξƒÈθsÛ Wξø‹s9 çμósÎm7y™uρ …çμs9 ô‰ß∨ó™$$sù È≅ø‹©9$# š∅ÏΒuρ yang mengotori hati, baru kemudian memberi atau menerima ilmu pengetahuan. Hati yang kotor akan sulit menerima ilmu pengetahuan. Itulah kemudian, di berbagai Majelis Taklim, khususnya di Jakarta, berbagai pembacaan al-Fatihah, wirid, hizib, shalawat, ratib, Yasin, tahlîl, dan sebagainya, hingga menghabiskan waktu 1.5 jam. Sementara itu, pengajian sesungguhnya berjalan hanya sekitar 30 menit.Berbagai pembacaan itu memang dipraktekkan dan direproduksi dari zaman ke zaman, dalam rangka tazkiyah atau pengosongan hati untuk menerima pelajaran baru. Hal yang juga penting dalam pembentukan karakter adalah penghormatan murid/anak didik kepada guru atau Mursyid-nya. Dalam hal ini, Ta‘lîm al-Muta‘allim menjadi layak dan wajib ditelaah kembali, mengingat kitab itu berisi penghormatan guru oleh murid. Bacaanbacaan di Majelis Taklim itu selalu dipraktekkan untuk mempersiapkan anak didik menerima pengetahuan secara baik.4 Hal yang tidak kalah penting dari pembentukan karakter adalah waktu pembelajaran. Al-Qur’ân dan Hadis sangat merekomendasikan agar proses pembelajaran dilakukan di malam hari. Malam hari merupakan waktu yang tepat, tenang dan sunyi, sehingga lebih mudah menyerap pengetahuan. Keistimewaan waktu malam dalam mendekatkan diri kepada Allah (termasuk menuntut ilmu) beberapa kali disebutkan dalam
ﻠﺤﻮ َن ُ ِﻟَ َﻌﻠﱠﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗُـ ْﻔ ﻟَ َﻌﻠ ُﻜ ْﻢ ﺗُـ ْﻔﻠ ُﺤﻮ َن
öΝà6ŠÏj.t“ãƒuρ $oΨÏG≈tƒ#u™ öΝä3ø‹n=æ t (#θè=÷Gtƒ öΝà6ΖÏPendidikan iΒ Zωθß™Karakter u‘ öΝà6 ‹Ïù $uΖAl-Qur’ân ù=™ y ö‘&r !$_205 yϑx. Berbasis
∩⊇∈⊇∪Jumlah s?ÏG≈t(#ƒθç#uΡ™θä3öΝwajib s? ä3öΝø‹s9n=æ Νä(#θè3=÷Gßϑsunnah ãƒuρà6 sπyϑΖÏyang ò6 ø:$#dilakukan Å3à6 ø9$# ãΝjauh Ïk=ù=yè™ Al-Qur’ân. öΝà6 ŠÏj.tβ t“ãƒθßuρϑn=$o÷èΨshalat t $¨Βdan tƒÏk=yèöΝ iΒ ÏtZω θßuρ™|= u‘ ≈tGöΝ ‹Ïà6 ù $ußϑΖlebih y ãƒö‘uρ&r $! yϑx. banyaköΝdari à6ŠÏj.ibadah t“ãƒuρ $oΨlainnya ÏG≈tƒ#u™ öΝä3diø‹n=siang æ t (#θè=hari. ÷Gtƒ öΝà6ΖÏiΒ Zωθß™u‘ öΝà6‹Ïù $uΖù=™ y ö‘&r $! yϑx. ∩⊇∈⊇∪ tβθßϑn=÷ès? (#θçΡθä3s? öΝs9 $¨Β Νä3ßϑÏk=èy ãƒuρ sπyϑò6Ïtø:$#uρ |=≈tGÅ3ø9$# ãΝà6ßϑÏk=yèãƒuρ ∩∠®∪ #YŠθßϑøt¤Χ∩⊇$Y∈Β⊇∪$s)tβtΒθßy7 μÎ/ Ïtô‰ø:¤f tFsù≈tGÈ≅Å3ø‹ø9©9$#$#ãΝz⎯à6 ÏΒuρ ßϑÏk=yèãƒuρ ϑn=•/÷èu‘s? y7 (#θçΡsWθäyè3ö7tƒs? βr öΝ&s9 #©$¨Β|¤Νätã3y7 ßϑÏk=©9èy ãƒ\'uρs#Ïùsπ$tΡyϑ⎯Ïò6 $#uρ yγ|=
“Dan pada ∩∠®∪sebahagian #YŠθßϑøt¤Χ $YΒmalam $s)tΒ y7•/hari u‘ y7bersembahyang sWyèö7tƒ βr& #©|¤tã y7tahajudlah ©9 \'#s Ïù$tΡ ⎯ÏμÎ/kamu ô‰¤fyγsebagai tFsù È≅ø‹©9$# z⎯ÏΒuρ suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan mengangkat kamu ≈t/Tuhan-mu ÷Štã&r uρy7çμ©9ós\'Îm7#s |¡ ∩∠®∪ #YŠθßϑøt¤Χ $YΒ$s)tΒ y7•/u‘∩⊆⊃∪ y7ÏŠsWyèθàö7f tƒ ¡ βr&9$##©t|¤ Ïù$tsùΡ È≅ ⎯Ïμø‹Î/©9$#ô‰z⎯¤fÏΒyγuρ tFsù È≅ø‹©9$# z⎯ÏΒuρ ke tempat yang terpuji” (QS. al-Isrâ’/17: 79).
∩⊆⊃∪ ÏŠθàf¡9$# t≈t/÷Š&r uρ çμósÎm7|¡sù È≅ø‹©9$# z⎯ÏΒuρ ∩⊄∉∪ ¸ξƒÈθsÛ Wξø‹s9 çμós Îm7y™ÏŠuρθà…çf μs9¡ô‰9$#ß∨tó™ ©9$# Îm7š∅ ÏΒuρø‹©9$# z⎯ÏΒuρ ∩⊆⊃∪ ≈t/÷Š$$sù&r uρÈ≅çμø‹ós |¡sù È≅
“Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai sembahyang” (QS. Qâf/50: 40). ∩⊄∉∪ ¸ξƒÈθsÛ Wξø‹s9 çμósÎm7y™uρ …çμs9 ô‰ß∨ó™$$sù È≅ø‹©9$# š∅ÏΒuρ
∩⊄∉∪ ¸ξƒÈθsÛ Wξø‹s9 çμósÎm7y™uρ …çμs9 ô‰ß∨ó™$$sù È≅ø‹©9$# š∅ÏΒuρ
“Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari” (QS. al-Insân/76: 26). Sebuah pesan Imam Syafi’i juga mengisyaratkan pentingnya malam sebagai waktu paling tepat bagi penggemblengan dan pendidikan karakter. “Man thalab al-‘ulâ, sahiru al-layâlî”, siapa yang ingin keutamaan/ketinggian, maka hendaklah ia begadang belajar pada waktu malam.” Karenanya, model pendidikan pesantren yang menitikberatkan pendidikan pada malam hari, menjadi penting untuk dibicarakan dan dikaji lagi. Pesantren telah terbukti menjadi pusat pendidikan karakter terkuat di Indonesia ini. Tentu ada pengecualian-pengecualian. Namun kebejatan-kebejatan seperti perkelahian jamaah di tempat umum atau di sekolah, tidak pernah terjadi di pesantren-pesantren yang diakui di tanah air. Karenanya, kita juga perlu memikirkan kembali, mengembalikan waktu belajar pengajian anak-anak ke malah hari, antara Magrib dan Isya. Selain mengamalkan ayat-ayat di atas, anak didik kita akan mendapati
206_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
praktek keagamaan magrib di mushalla atau masjid, yang saat ini sudah hilang dalam tradisi anak-anak kita. Namun, jika kita tidak dapat memindahkannya di waktu Magrib, bukan berarti waktu pengajian saat ini di waktu sore (asar) harus dihapuskan. Kita mesti mengingat kembali sebuah kaidah: “mâ lâ yatimmu kullu-hu lâ yutraku kullu-hu”, apa saja yang tidak dapat dicapai keseluruhannya, bukan berarti meninggalkan keseluruhannya.5 Dari pemaparan di atas kita melihat benang merah yang membedakan model pendidikan Barat dan Islam. Ontologi keilmuan Barat itu hanya bersifat hushûly (ilmu yang diukur dan dipelajari berdasarkan logika semata), sementara ontologi keilmuan Islam, disamping berdasarkan hushûly, juga berlandaskan hudlûry (ilmu yang diperoleh melalui jalur batin/hati). Perbedaan ontologi keilmuan ini juga menyebabkan perbedaan landasan epistemologis keilmuan Barat dan keilmuan Islam. Namun hal itu tidak berarti kedua kutub keilmuan tersebut tidak dapat dijembatani dan dipertemukan. Karenanya, pentingnya mengintegrasikan dua hal ini dalam konteks pembelajaran di lingkungan pendidikan Islam, termasuk pendidikan karakter. Jika dua hal tersebut diaplikasikan secara baik dan integratif, pendidikan Islam ke depan akan bisa menjadi center of excellence sekaligus role model pendidikan Islam di dunia.
E. Penutup Bangsa yang berakater adalah mereka yang mampu menegakkan prinsip-prinisp kejujuran, toleransi, moderasi dan ketaatan hukum. Ketahanan naisonal bidang politik, pendidikan, ekonomi, agama, semuanya bersumber pada tersedianya pribadi-pribadi yang berkarakter. Dalam upaya mewujudkan cita-cita ini, maka pendidikan karakter sebagaimana diajarkan al-Qur’an, perlu dikaji dan dikembangkan. Pendidikan karakter berbasis al-Qur’an harus dikedepankan oleh umat Islam dalam berkontribusi membangunan bangsa dan negara.
Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’ân _207
Dibutuhkan komitment dan konsistensi dari seluruh elemen umat untuk bersama-sama menjabarkan nilai-nilai moralitas Islam sebagaimana dituntunan al-Qur’an dan Hadits. Wallahu a’lam bishowab.
208_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Daftar Pustaka Asrohah, Hanun, Dr., Pelembagaan Pesantren Asal-Usul dan Perkembangan Pesantren di Jawa, Jakarta: Balitbang Agama dan diklat Keagamaan, 2004 A.M.Saifuddin et al., Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, Bandung: Mizan, 1998 Koesoema, Doni, A., Pendidikan Karakter, Jakarta: PT Grasindo, 2007 Nakosteen, Mehdi, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Surabaya: Risalah Gusti,1996 Rahim, Husni, Dr., Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 2001 Stanton, Charles Michael, Higher Learning in Islam, Savage, Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc, 1990 http://wartakota.tribunnews.com, (02/1 2013) UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’ân _209
Endnotes 1. http://wartakota.tribunnews.com, (02/1 2013) 2. Untuk lebih detail, lihat UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
3. Doni Koesoema. A, Pendidikan Karakter, Jakarta: PT Grasindo, 2007 4. Kitab Ta’lîm al-Muta’allim ini ditulis oleh Syeikh Ibrahim bin Isma’il alZarnuji. Kitab ini merupakan rujukan wajib para santri di pesantren tradisional. Tidak mengherankan jika membicarakan konsepsi pendidikan dalam literatur pesantren tardisional, Ta’lîm al-Muta’allim menjadi rujukan utama para santri.
5. Gagasan menghidupkan budaya mengaji magrib menjadi landasan deklarasi Gerakan Masyarakat Magrib Mengaji (GM3) Kementerian Agama. Gerakan ini menitikberatkan sosialisasi pentingnya menghidupkan magrib untuk mengaji yang saat ini mulai luntur. Dengan menggerakkan stakeholders seperti Majelis Taklim, Penyuluh Agama Islam (PAI), pengajian tradisional, gerakan ini telah dideklarasikan di beberapa wilayah di Indonesia. Out put dari gerakan ini adalah terbangunya kembali tradisi mengaji magrib, abik di musholla, masjid maupun rumah-rumah.
210_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Pedoman Transliterasi
Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _413
414_Jurnal Bimas Islam Vol.5. No.2 2012
Ketentuan Tulisan _211
A. Ketentuan Tulisan 1. Tulisan merupakan hasil penelitian di bidnag zakat, wakaf, dakwah Islam, pemberdayaan KUA dan hal-hal terkait pengembangan masyarakat Islam lainnya. 2. Karangan ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan perangkat lunak pengolah kata Microsoft Word , font Palatino Linotype, maksimum 25 halaman kuarto minimum 17 halaman dengan spasi satu setengah. 3. Karangan hasil penelitian disusun dengan sistematika sebagai berikut: Judul. Nama Pengarang. Abstract . Keywords . Pendahuluan. Metode Penelitian. Hasil Penelitian. Pembahasan. Kesimpulan dan Saran. Daftar Kepustakaan. Sistematika tersebut dapat disesuaikan untuk penyusunan karangan ilmiah. 4. JUDUL a. Karangan dicetak dengan huruf besar, tebal, dan tidak melebihi 18 kata. b. Nama Pengarang (tanpa gelar), instansi asal, alamat, dan alamat e-mail dicetak di bawah judul. c. Abstract (tidak lebih dari 150 kata) dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris), dan Keywords (3 sampai 5 kata) ditulis dalam bahasa lnggris, satu spasi, dengan huruf miring. d. Tulisan menggunakan endnote e. Daftar Kepustakaan dicantumkan secara urut abjad nama pengarang dengan ketentuan sebagai berikut: • Untuk buku acuan (monograf): Nama belakang pengarang diikuti nama lain. Tahun. Judul Buku. Kota Penerbit: Penerbit. • Untuk karangan dalam buku dengan banyak kontributor: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Dalam: Nama Editor. Judul Buku. Kota
212_Jurnal Bimas Islam Vol.6. No.I 2013
Revitalisasi Peran dan Fungsi Keluarga _415
Penerbit: Penerbit. Halaman. • Untuk karangan dalam jurnal/majalah: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Nama Majalah, Volume (Nomor): Halaman. • Untuk karangan dari internet: Nama Pengarang. Tahun. “Judul Karangan.” Alamat di internet ( URL ). Tanggal mengakses karangan tersebut. 5. Gambar diberi nomor dan keterangan di bawahnya, sedangkan Tabel diberi nomor dan keterangan di atasnya. Keduanya sedapat mungkin disatukan dengan file naskah. Bila gambar/tabel dikirimkan secara terpisah, harap dicantumkan dalam lembar tersendiri dengan kualitas yang baik. 6. Naskah karangan dilengkapi dengan biodata singkat pengarang dikirimkan ke alamat kantor Jurnal Bimas Islam berupa naskah tercetak (print out) dengan menyertakan soft copy dalam disket/ flash disk atau dapat dikirim melalui e-mail Jurnal Bimas Islam (
[email protected]).