Daftar Isi I. Pengantar
1
II. Kilas Balik Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia 2003 - 2007
7
1. Pencapaian Perekonomian Nasional
7
2. Sumbangan Sektor Keuangan
15
2.1. Menegakkan Tiga Pilar Stabilitas
15
2.2. Inisiatif-Inisiatif Kebijakan Strategis Terkait Tiga Pilar Stabilitas
18
2.2.1. Inisiatif di Bidang Moneter
18
2.2.2. Inisiatif di Bidang Perbankan
21
A. Arsitekur Perbankan Indonesia
22
B. Persiapan Menuju Implementasi Basel II
28
C. Memantapkan Koordinasi Terkait Crisis Resolution
31
2.2.3. Inisiatif di Bidang Sistem Pembayaran
32
2.2.4. Inisiatif di Bidang Sektor Riil
34
III. Tantangan dan Prospek Perekonomian Kedepan 1. Tantangan Perekonomian Kedepan
37 37
1.1. Perubahan di Pasar Keuangan Global
38
1.2. Perubahan di Pasar Barang Dunia
41
1.3. Eksklusi Sosial-Ekonomi
42
1.4. Persistensi Inflasi
46
1.5. Daya Saing Daerah di Era Global dan Otonomi Daerah
50
1.6. Mempertahankan Modal Budaya di Era Global
51
2. Prospek Perekonomian Kedepan
53
IV. Memperkokoh Stabilitas, Mengawal Pembangunan 1. Inisiatif-Inisiatif di Bidang Moneter
56 57
1.1 Pengembangan Pasar Keuangan Domestik
58
1.2 ΩMemperkuat Efektifitas Kebijakan Moneter
59
1.3 Memperkuat Perangkat Analisa Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
62
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
i
2. Inisiatif-Inisiatif di Bidang Perbankan
63
2.1 Arah kebijakan lanjutan dalam proses penataan kembali struktur industri perbankan nasional A.
63
Penjajakan Kemungkinan Pendirian Kembali Policy Bank yang khusus untuk mendukung pembiayaan proyek-proyek pembangunan jangka panjang
B.
Perluasan kesempatan operasional ke arah universal banking bagi bank-bank yang dinilai mampu dan layak menjalankannya
C.
66 69
Optimalisasi peran perbankan dalam pembiayaan pembangunan, terutama kepada bank-bank yang telah dimiliki asing
72
2.2 Arah Pengembangan Industri BPR Sebagai Salah Satu Penopang Kekuatan Ekonomi Lokal
76
2.3 Langkah-langkah Dalam Upaya Mempercepat Pertumbuhan Perbankan Syariah
79
3. Inisiatif di Bidang Sistem Pembayaran Nasional
81
4. Inisiatif di Bidang Pemberdayaan Sektor Riil
81
V. Penutup
84
Lampiran Daftar Istilah
89
Kronologis Event Kronologis Events Terkait dengan Kebijakan Penting di Bidang Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran selama 2003-2007
ii
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
98
“Dengan perjuangan kita mencapai kemajuan! Saat peralihan yang kita hadapi sekarang ini baiklah kita pergunakan dengan sebaik-baiknya, supaya kita dapat menanam bibit yang bagus bagi pohon sejarah bangsa kita dimasa datang. Saat yang penting inilah yang akan menentukan nasib kita sebagai bangsa untuk berabad-abad lamanya.”
Muhammad Hatta “Sebelas Bulan Merdeka”: Pidato Radio Tanggal 17 Juli 1946
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
iii
Halaman ini sengaja dikosongkan
iv
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
∆Meretas Jalan Stabilitas, Mengawal Pembangunan Ekonomi Negeri∆ Pidato Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah, Pada Pertemuan Tahunan Perbankan 2008 18 Januari 2008
Assalamu«alaikum wr.wb,
Selamat malam dan salam sejahtera bagi kita semua,
I. Pengantar Mengawali perbincangan kita malam ini, saya ingin mengajak seluruh hadirin sekalian untuk bersama-sama memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat yang dilimpahkanNYA kepada kita semua sehingga kita dapat bertemu kembali dalam suasana yang sangat baik, di acara Pertemuan Tahunan Perbankan 2008. Dalam kesempatan yang baik ini, saya, atas nama seluruh anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia, juga ingin mengucapkan Selamat Tahun Baru 2008. Semoga di tahun yang baru ini Tuhan selalu membimbing dan memberkati setiap upaya kita dalam memakmurkan negeri.
Hadirin sekalian yang berbahagia, Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, malam ini menjadi sangat istimewa bagi saya. Malam ini adalah malam yang ke lima kalinya saya berdiri di sini, berbicara di hadapan Bapak-Ibu sekalian. 5 tahun berlalu begitu cepat. Tanpa terasa, tidak sampai 5 bulan dari saat ini, saya akan tiba di penghujung masa jabatan saya sebagai Gubernur Bank Indonesia.
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
1
Kita bersama-sama telah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Berbagai ragam keadaan, kejadian dan peristiwa, silih berganti kita hadapi. Ada yang menggembirakan, ada pula yang mengecewakan, bahkan ada pula yang memprihatinkan. Kita mahfum bahwa perubahan konstelasi nasional dan global dalam dasawarsa terakhir yang terasa begitu luas dan mendalam, telah mengantarkan berbagai tantangan baru di dalam pengelolaan stabilitas ekonomi bangsa. Gejolak dan ketidakpastian seakan-akan adalah sebuah dimensi konstan yang akan terus menerus mengikuti langkah kita, seiring dengan pergeseran dan perubahan yang terjadi. Namun, bagaimanapun, kita patut bersyukur. Jalinan kerjasama dan koordinasi yang erat, dilandasi oleh rasa saling pengertian diantara kita, telah menjadi elemen yang begitu penting di dalam mencapai keberhasilan pelaksanaan tugas memelihara kestabilan moneter, perbankan dan sistem pembayaran oleh Bank Indonesia. Untuk itu, sebelum saya memasuki substansi arahan tahunan saya malam ini, perkenankan saya untuk menyampaikan rasa penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat perbankan yang telah bekerja sama dan mendukung langkah-langkah kebijakan Bank Indonesia di dalam memperkuat ketahanan dan meningkatkan kinerja industri perbankan secara keseluruhan. Di samping itu, tidak lupa pula saya mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada seluruh jajaran Pemerintah baik di pusat maupun daerah, DPR, kalangan pengusaha, akademisi, pengamat, media massa dan berbagai pihak lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan baik teknis maupun strategis kepada pelaksanaan tugastugas Bank Indonesia.
Hadirin sekalian yang berbahagia, Sepuluh tahun yang lalu bangsa ini berbaris berbanjar-banjar menuju terbitnya Indonesia sebagai sang fajar baru masyarakat berdemokrasi di Asia. Mengawali tahun ini, kita sedang melihat terbitnya Indonesia sebagai bintang ekonomi baru di Asia Raya. Syukur Alhamdulillah kita panjatkan pada Ilahi Robbi. Negeri ini akhirnya telah menutup pengalaman krisis Asia yang sangat memilukan itu, insya Allah, untuk selamanya. Jaman baru yang akan lebih baik dari yang lalu telah kita masuki. Kita bahkan telah mengawalinya dengan pencapaian-pencapaian yang membesarkan hati di bidang ekonomi. Perekonomian kita sudah melaju dengan menggunakan kedua mesinnya √√ mesin stabilitas dan mesin pertumbuhan √√. Tidaklah 2
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
mengherankan jika kemudian banyak penumpang didalamnya dan penonton diluarnya yang sedang dikejutkan oleh percepatan yang sedang terjadi. Untuk pertama kalinya sejak krisis Asia, pertumbuhan ekonomi kita telah mencapai diatas 6% pertahun. Sementara, dalam 5 tahun terakhir, perkembangan ekonomi makro kita tetap mantap kendati disana-sini kita hadapi masa-masa yang cukup sulit. Ketahanan dan stabilitas sistem keuangan juga telah jauh lebih baik dibandingkan sebelum krisis Asia. Kita bahkan mencatat bahwa industri perbankan nasional berhasil melewati dan bahkan menahan dampak gejolak-gejolak yang cukup besar. Tidaklah berlebihan jika kita kemudian mengatakan bahwa dalam perekonomian nasional sedang tertanam daya tahan yang lebih tangguh.
Hadirin sekalian yang berbahagia, Indonesia baru di awal Abad 21 ini memiliki banyak harapan dan kesempatan yang terbentang dihadapannya. Karenanya, dunia sedang memperhatikan dengan sangat seksama langkah-langkah kita menuju masa depan tersebut. Apa-apa yang telah tercapai setelah kita membongkar tatanan lama untuk kemudian membangun kembali tatanan baru diatasnya, di alam demokrasi yang sejati ini, bukanlah sesuatu yang dapat dipandang secara sepintas lalu saja. Kita sedang menyajikan sebuah referensi segar bagi negara-negara di dunia ketiga tentang kemampuan alam demokrasi untuk bersanding dengan pencapaian positif pada kemajuan ekonomi. Bagi perjalanan sejarah negara-kebangsaan kita dan polity yang melingkupinya, belum pernah sebelumnya kita melewati ruang dan waktu yang sama seperti sekarang. Di masa-masa awal setelah Proklamasi 1945, kita sempat mengenyam kehidupan berdemokrasi seperti yang kita miliki saat ini. Periode sejak Proklamasi 1945 sampai pertengahan 1950-an mencatat adanya keterbukaan dan demokrasi politik dalam keseharian bangsa kita. Kehidupan politik yang multi partai bersanding akrab dengan semangat keadaban yang sangat santun. Hari-hari Bangsa kita dipenuhi dengan dialog, perdebatan tentang idealisme kebangsaan, dan pertukaran pikiran antar intelektual-intelektual kelas satu yang juga elit-elit politik yang disegani keluasan pandangannya dijamannya. Pada masa itu Bangsa Indonesia dan Bapak-Bapak Bangsanya adalah cahaya-cahaya Asia yang kemudian dicatat oleh tinta emas sejarah sebagai pencetus semangat Asia-Afrika. Namun, kita juga mencatat bahwa periode keterbukaan, demokrasi, dan kesantunan tersebut tidak berlangsung lama karena adanya kealpaan dalam merencanakan dan melaksanakan secara sistematis pembangunan ekonomi yang
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
3
meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas. Kebebasan politik kita dahulukan diatas pembangunan ekonomi, sehingga kita menjadi negara bebas, terbuka dan demokratis, namun tanpa perbaikan yang mendasar pada tingkat kesejahteraan rakyat. Kealpaan ini kemudian membawa kita ke dekade 1960-an yang ditandai oleh kemunduran di berbagai bidang kehidupan sosial, politik dan ekonomi bangsa. Pada masa setelah itu, tinta sejarah mencatat gegap gempitanya derap pembangunan ekonomi di era Orde Baru. Sejak akhir dekade 1970-an kita bergerak semakin dekat pada makna kemerdekaan sebagai jembatan emas bagi peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan ekonomi bagi rakyat banyak. Pada dekade selanjutnya sampai pertengahan tahun 1990-an, dunia menyaksikan kiprah Indonesia sang Macan Asia di percaturan ekonomi-politik Asia Timur. Namun, dalam 3 dekade Orde Baru itu pula kita kurang melihat pentingnya untuk membangun kembali kehidupan politik yang terbuka dan berdemokrasi. Kealpaan itu kemudian membawa kita pada krisis ekonomi-politik yang berat, dan nyaris mencabut keseluruhan sendi kehidupan kita dari akarnya. Dalam penjelajahan kita memasuki labirin memori kolektif masa lalu itu, senantiasa kita temui kontras-kontras mengenai mana yang seharusnya menjadi kapten dalam kehidupan negara-kebangsaan kita. ≈Ekonomi sebagai Kapten atau Politik sebagai Kapten∆ adalah perdebatan warung kopi pelipur lelah yang telah kita kenal selama ini. Namun, ada yang sangat berbeda dalam 5 tahun terakhir ini. Terbersit dalam benak dan perasaan kita bahwa terdapat suatu perubahan fundamental dalam kehidupan negara-kebangsaan kita, yang tampaknya adalah sebuah keterlepasan dari masa lalu ƒ a complete break from the past ƒ. Perbedaan itu adalah adanya sebuah fakta bahwa dalam 5 tahun terakhir ini konsolidasi kehidupan politik kita di alam demokrasi yang bebas dan terbuka, telah berjalan seiring dengan konsolidasi perekonomian yang semakin mantap mantap. Disatu sisi kita telah kembali hidup dalam suatu tatanan masyarakat demokratis yang bebas dan terbuka. Kita telah pula menerapkan otonomi daerah dan desentralisasi ekonomi-politik. Kita telah memilih Kepala Negara dan kepala daerah melalui pemilu langsung, dan kehidupan pers kita yang bebas berkembang sangat pesat. Bersamaan dengan itu pula, ekspansi perekonomian kita terus melaju dengan stabilitas perekonomian yang tetap terpelihara. Kita bahkan telah merumuskan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan ekonomi kita tanpa arahanarahan serta kekangan dari pihak-pihak asing, seperti IMF, yang kepentingannya belum tentu selaras dengan kepentingan rakyat Indonesia. Periode dimana kita berada dalam skim Extended Fund Facility sampai dengan berakhirnya Post4
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
Program Monitoring IMF adalah sebuah periode yang memberatkan bagi Bangsa Indonesia. Di era tersebut, kita tidak dapat sepenuhnya merumuskan dan menerapkan kebijakan-kebijakan penyesuaian dengan cakupan dan tempo yang selaras dengan kepentingan dan pemenuhan sebesar-besarnya hajat hidup Rakyat dan Bangsa Indonesia. Banyak kompromi-kompromi penting yang didesakkan kepada kita, namun tidak sepenuhnya memberi keuntungan pada kepentingan nasional Indonesia dan lebih memberi keuntungan pada pihak-pihak diluar kita. Tangan di bawah memang selalu tangan yang tidak bermartabat. Kita tidak ingin era yang merendahkan Rakyat dan Negara-Kebangsaan kita itu berulang lagi. Demokrasi, keterbukaan, kebebasan, dan keberanian untuk mandiri telah menjadikan kita manusia sebagai manusia adanya, dengan berbagai kesempatan yang semakin terbuka untuk menggapai kemakmuran secara lebih luas bagi seluruh rakyat Indonesia. Terbuktilah semua yang menjadi keyakinan Bapak-Bapak Bangsa ini tentang pandangan dan sikap hidup yang tepat yang perlu selalu menjadi pegangan kita dalam mengisi alam kemerdekaan dan kebebasan yang mereka perjuangkan. Memang bila kita hanya melihat berbagai angka, untuk sementara, apa yang telah tecapai secara sekilas tampak tidak terlalu dramatis. Namun, dibalik perkembangan itu ada sesuatu pergeseran yang sangat strategis yang sedang terjadi. Secara berangsur-angsur kita telah menata kekuatan-kekuatan kelembagaan yang ada yang memungkinkan kita untuk mengambil langkah yang lebih terencana dan sinambung, serta mengurangi kecenderungan untuk bertindak secara ad-hoc. Berbagai lembaga-lembaga utama kita, termasuk Bank Indonesia, telah melakukan langkah-langkah perbaikan secara bertahap yang tentunya harus senantiasa dilanjutkan dan mencakup semua bidang yang esensial. Bahkan dalam konteks yang hampir sama dengan pandangan Muhammad Hatta tentang Revolusi Indonesia 1945, kemampuan kita untuk menyandingkan demokrasi dan kesejahteraan dapat menjadi sebuah ∆mata dari rantai panjang perubahan besar yang mendasar∆ pada kehidupan masyarakat dinegara-negara sedang membangun lainnya di Asia dan Afrika dimasa-masa yang akan datang. Oleh karena itu, kita layak dan patut berbangga atas pencapaian yang luar biasa itu, yang kita peroleh atas inisiatif dan kerja kita sendiri. Kita juga bersyukur kepada Sang Pengatur Jagad karena telah memberi kesempatan yang sangat jarang itu kepada kita. Sebagai salah satu dari sedikit saja negara sedang membangun yang berdemokrasi dan salah satu pemerintahan rakyat terbesar di Asia, pantaslah kiranya jika dimasa yang akan datang kita terus berupaya untuk lebih mengenali lagi kekuatan-kekuatan dan kemampuan yang kita miliki dalam
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
5
berdikari menentukan pilihan dan mengambil keputusan yang tepat untuk kepentingan kita sendiri secara demokratis. Adalah suatu keyakinan kita bersama sejak Proklamasi 1945 bahwa kelestarian dari republik kita akan jauh lebih terjamin apabila kita berdemokrasi, sebagaimana yang ditunjukkan pada periode 5 tahun terakhir ini. Kita juga sedang dituntut untuk menggunakan keberhasilan yang telah tercapai saat ini sebagai suatu modal yang amat berharga untuk menata langkahlangkah kedepan dan menjawab tantangan. Kemerdekaan Bangsa Indonesia di tahun 1945 hanyalah sebuah sarana bagi perwujudan Kemerdekaan Manusia Indonesia, demikian yang pernah disampaikan oleh Sutan Sjahrir, dan juga Soekarno dan Muhammad Hatta, Bapak-Bapak bangsa ini. Namun, 62 tahun setelah Proklamasi 1945, banyak dari rakyat kita yang masih merindukan suatu tatanan yang memerdekakan mereka sebagai manusia, yaitu tatanan negarakebangsaan yang menyejahterakan dan mencerdaskan mayoritas dan bukan sebagian terkecil dari masyarakat. Kerinduan ini adalah tantangan yang sedang disematkan di pundak kita bersamaan dengan bangkitnya Bangsa Indonesia di era baru di awal Abad 21 ini.
Hadirin sekalian yang berbahagia, Memahami peralihan yang sedang kita alami, saya merasakan bahwa perjalanan memimpin Bank Indonesia sebagai lembaga negara yang menerima mandat dari rakyat untuk turut berperan memelihara stabilitas ekonomi bangsa, adalah sebuah pengalaman yang sangat berharga. Pengalaman yang telah mengantarkan saya untuk dapat lebih dalam memahami dinamika perekonomian kita, tantangan yang sedang dan akan dihadapinya, peluang yang dimilikinya dan kekuatan yang membawanya bangkit menuju pencapaian cita-cita kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan tentu, sebagai anak bangsa, mandat tersebut adalah sebuah kehormatan dan kesempatan untuk memberikan bakti terbaik saya kepada bangsa, negara dan seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, malam ini, tiba waktunya bagi saya melakukan refleksi terhadap apa-apa yang sudah dikerjakan Bank Indonesia dalam 5 tahun kepemimpinan saya. Rasanya bukan suatu yang berlebihan jika saya menjadikan hal ini sebagai bagian dari bentuk pertanggung jawaban moral saya kepada para stakeholders Bank Indonesia. Selain itu, malam ini saya juga akan menyampaikan pandangan-pandangan tentang prospek dan tantangan perekonomian kedepan 6
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
dan implikasinya bagi kerja Bank Indonesia. Saya berharap perspektif ke depan yang akan saya sampaikan dalam pemaparan malam ini, dapat menjadi sebuah sumbangan pemikiran bagi kita semua dalam menyusun langkah-langkah bersama untuk meraih masa depan bangsa yang lebih baik. Terkait dengan hal-hal tersebut, tema pidato saya malam ini adalah: ∆Meretas Jalan Stabilitas, Mengawal Pembangunan Ekonomi Negeri∆. Dalam sistematika penyampaiannya, di bagian awal pidato ini saya akan membuka kembali lembaran-lembaran catatan kerja saya dan mengajak hadirin sekalian untuk sejenak mengikuti kilas balik perjalanan Bank Indonesia dalam melaksanakan misi konstitusionalnya pada kurun 5 tahun terakhir. Beberapa pertanyaan yang akan menjadi landasan pemaparan saya adalah: Apa saja inisiatif kebijakan yang telah kami lakukan dan apa yang menjadi konsiderannya? Sejauh mana kemajuan yang telah dicapai dalam implementasinya? Apa yang sudah disumbangkannya pada keseluruhan proses pembangunan ekonomi di era paska krisis ini? Pada bagian berikutnya, saya akan mengulas tentang prospek dan tantangan-tantangan perekonomian kedepan dan langkah-langkah yang perlu diambil oleh Bank Indonesia untuk memastikan bahwa lembaga ini tetap menjadi bagian dari solusi permasalahan perekonomian bangsa. Beberapa dari tantangantantangan tersebut bukanlah sesuatu yang baru karena telah dan sedang berlangsung saat ini. Akan tetapi di masa mendatang, tantangan-tantangan tersebut akan semakin mengemuka dan bertambah tinggi intensitasnya, sehingga urgensi untuk mempersiapkan diri di dalam menghadapinya menjadi semakin menguat. Akhirnya, sebelum menutup pidato ini saya akan menyampaikan beberapa pandangan mengenai langkah-langkah lanjutan serta kebijakankebijakan yang perlu kita lakukan kedepan, dengan menjadikan tahun 2008 ini sebagai sebuah momentum baru bagi terwujudnya Bank Indonesia yang lebih bermanfaat dalam meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
II. Kilas Balik Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia 2003 - 2007 1. Pencapaian Perekonomian Nasional Hadirin sekalian yang berbahagia, Awal tahun 2007 lalu kita baru saja meraih kembali stabilitas makro ekonomi paska gejolak harga minyak di akhir 2005 dan dampaknya pada nilai tukar, inflasi, dan suku bunga sampai pertengahan 2006. Ketika itu, jika saudaraPertemuan Tahunan Perbankan 2008
7
Tabel 1. Indikator Utama Perekonomian Indikator Makro GDP (% - yoy) Inflasi (% - yoy) Eksternal Ekspor (miliar USD) Impor (miliar USD) Debt to GDP ratio Cadangan Devisa (miliar USD) Nilai tukar Keuangan Pemerintah Penerimaan (miliar Rp) Belanja (miliar Rp) Defisit/Surplus APBN (%of PDB) Pasar Keuangan Yield SUN global (%)** IHSG
2002
2003
2004
2005
2006
2007*
4,38 10,03
4,72 5,06
5,03 6,40
5,68 17,11
5,48 6,60
6,3 6,59
59,165 35,652 65,71 32,039 8.950
64,109 39,546 57,01 36,296 8.570
70,767 50,615 53,40 36,320 8.948
86,995 69,462 45,12 34,724 9.713
103,514 73,868 35,28 42,586 9.167
118,937 86,354 31,3 56,900 9.140
298.605 341.396 403.367 495.224 322.180 376.505 427.177 509.632 -1,3 -1,7 -1,0 -0,5
637.796 670.591 -1,0
-1,1
5.93 1.806
5.89 2.746
6.08 425
4.72 692
3.71 1.000
4.92 1.163
Ket: * Posisi akhir Desember (estimasi) **Sejak th 2006 menggunakan global bond jatuh tempo 2014
saudara sekalian masih ingat, di tempat ini, saya mengibaratkan bahwa kondisi perekonomian kita pada tahun 2006 bagaikan sebuah pesawat yang terbang dengan satu mesin. Di satu sisi, kita telah berhasil membawa kembali kondisi ekonomi makro pada lintasan yang seharusnya. Namun, karena masih cukup beratnya tantangan-tantangan mikro dan struktural dalam perekonomian, maka laju dan kualitas pertumbuhan ekonomi masih belum seperti yang kita harapkan. Saat itu pertumbuhan kegiatan usaha yang produktif di sektor riil cenderung sangat lambat. Di awal tahun 2008 ini, kita patut bersyukur karena telah berhasil menutup tahun 2007 dengan pencapaian-pencapaian yang cukup baik sebagaimana yang ditunjukkan oleh indikator-indikator utama perekonomian kita (Tabel 1). Terkait dengan kondisi ini, kalau saya boleh mengatakan dengan analogi yang sama, pesawat perekonomian kita sudah mulai terbang dengan kedua mesinnya. Oleh karenanya, tidak terlalu mengherankan jika banyak penumpang didalamnya yang sedang dikejutkan oleh percepatan yang sedang terjadi.
8
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
Berbagai pencapaian perekonomian yang dapat kita catat sampai dengan akhir 2007, secara ringkas akan saya sampaikan sebagai berikut. Di sisi pertumbuhan ekonomi, untuk pertama kalinya sejak krisis Asia, pertumbuhan ekonomi kita telah mencapai diatas 6% pertahun yaitu 6,3% di 2007. Pertumbuhan ini dicirikan oleh laju yang semakin berimbang antara sisi permintaan dan penawaran, sebagaimana yang tercermin pada resiliensi pengeluaran konsumsi yang diikuti oleh perkembangan menggembirakan pada investasi. Realisasi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) sepanjang tahun 2007 tercatat melaju sebesar 8,37%, sementara investasi swasta bertumbuh sebesar 7,18% dari tahun lalu. Perkembangan pada investasi ini menyebabkan rasio investasi terhadap PDB telah meningkat dari sekitar 19.6 % di 2003 ke 23% di 2007 lalu. Selain itu, kita juga melihat bahwa terdapat diversifikasi yang cukup baik dalam perekonomian, sehingga walaupun sektor manufaktur belum sepenuhnya pulih, banyak sektor-sektor lain yang berkembang dan menjadi penopang wealth creation dalam perekonomian kita selama tahun 2007. Diversifikasi ini ditunjukkan oleh ekspansi di sektor-sektor ekstraktif, perdagangan, telekomunikasi, transportasi, utilitas, konstruksi, dan jasa-jasa. Semua perbaikanperbaikan di sektor riil ini telah memberi indikasi awal yang cukup kuat bahwa hambatan-hambatan struktural di sisi mikro ekonomi (supply side constraints) sudah mulai membaik. Dari sisi eksternal, neraca pembayaran Indonesia (NPI) terus membukukan surplus selama 4 tahun berturut-turut. Pada akhir 2007 surplus NPI tercatat sebesar 3,1% dari PDB, sehingga rata-rata surplus NPI kita dalam 3 tahun terakhir adalah sebesar 2.4% dari PDB. Perkembangan positif pada NPI ini ditopang oleh net aliran modal portofolio ke pasar-pasar keuangan, penanaman modal langsung, net ekspor, dan net jasa remitansi tenaga kerja migran Indonesia. Dalam kaitan ini dapat kita cermati bahwa ekspor non migas Indonesia tetap tinggi di tengah ekonomi global yang sedikit melambat. Perkembangan ini menunjukkan bahwa negara tujuan ekspor kita semakin terdiversifikasi sehingga sebagian dampak pelambatan ekonomi di negara maju pada ekspor dapat dikompensasikan dengan ekspor ke negara yang pertumbuhan ekonominya tinggi seperti China dan India. Kinerja NPI yang sangat baik dalam 4 tahun terakhir ini telah memberi ruang bagi kita untuk membiayai berbagai keperluan pembangunan, memperkuat diri melalui penambahan cadangan devisa, dan yang terpenting melalui sumbangan aliran net remitansi tenaga kerja migran, resiliensi permintaan domestik dalam perekonomian nasional dapat kita pertahankan. Terkait dengan cadangan devisa,
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
9
dapat saya sampaikan bahwa sampai dengan di akhir 2007, cadangan devisa kita telah mencapai USD 56.9 milyar, atau setara dengan 5.7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. Cadangan devisa ini meningkat sekitar 1,5 kali lipat dari posisi 5 tahun yang lalu. Kinerja NPI yang kuat juga memberikan peluang pada kita untuk mempercepat pelunasan utang-utang kepada IMF. Langkah ini ditempuh dengan suatu perhitungan yang matang dalam semangat kemandirian kebijakan publik dan keyakinan terhadap kinerja perekonomian kedepan. Jatuh tempo pembayaran yang masih sekitar 3,5 tahun kedepan disepakati untuk kita percepat pembayarannya menjadi 12 Oktober 2006. Dengan demikian, Bangsa Indonesia tidak lagi harus mengikuti program-program yang ada dalam skim Extended Fund Facility IMF. Walaupun pelunasan utang kepada IMF ini kita percepat, kondisi pasar keuangan tetap stabil dan cadangan devisa dapat terus meningkat. Pertumbuhan ekonomi yang semakin berimbang, neraca pembayaran yang surplus, dan posisi cadangan devisa yang cukup baik telah banyak membantu upaya memelihara stabilitas nilai rupiah, terutama untuk jangka menengahpanjang. Pada kurun 5 tahun terakhir, diluar tahun 2005 yang diwarnai oleh gejolak harga minyak dunia, inflasi IHK dan inflasi inti secara rata-rata tercatat sebesar 6.19% dan 6,28% per tahun dibawah laju rata-rata di era pra krisis (1992 √ 2007) yang sebesar 8,21% dan 9,13%. per tahun. Sementara itu, tanpa memasukkan gejolak nilai tukar di tahun 2005, nilai tukar rupiah kita dalam 5 tahun terakhir tampak terjaga dalam suatu kisaran yang kondusif bagi pemeliharan keseimbangan internal dan eksternal ekonomi makro kita. Volatilitas nilai tukar rupiah juga telah jauh lebih rendah dibanding volatilitasnya pada tahun-tahun awal setelah krisis. Semua ini memberi kepastian yang lebih baik pada para pengusaha baik di sektor riil maupun di sektor keuangan tentang rata-rata nilai tukar dalam jangka panjang. Sehingga, kita dapat mengatakan bahwa semua perkembangan positif pada laju inflasi dan pada nilai tukar telah menopang pengelolaan ekspektasi tentang stabilitas ekonomi makro dan daya saing ekspor dalam jangka-menengah panjang. Di bidang perbankan, jika kita mencermati kemajuannya setidaknya sejak awal tahun 2004, kita dapat mengatakan bahwa perkembangan indikatorindikator perbankan saat ini cukup menggembirakan (Tabel 2). Dibandingkan dengan awal tahun 2004, pertumbuhan total aset perbankan telah meningkat cukup pesat, yaitu sebesar Rp737,85 T (63,7%) menjadi 1.895 T pada bulan November 2007. Sementara itu, kredit meningkat Rp529,6 T atau lebih dari dua
10
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
Tabel 2. Perkembangan Indikator Utama Perbankan Indikator Kredit (T Rp) DPK (T Rp) NPL Gross (%) NPL Nett (%) SB KMK Bank Umum (%)* SB KI Bank Umum (%) * SB KK Bank Umum (%)* Jumlah Bank**
Des 2002 Des 2003 Des 2004 Des 2005 Des 2006 410,3 835,8 8,1 2,1 18,3 17,8 20,2
477,2 888,6 8,2 3,0 15,1 15,7 18,7 138,0
595,1 963,1 5,8 1,7 13,4 14,1 16,6 133,0
730,2 1.127,9 8,3 4,8 16,2 15,7 16,8 131,0
832,9 1.287,0 7,0 3,6 15,1 15,1 17,6 130,0
Nov 2007 1.004,6 1.437,5 5,4 2,3 13,2 13,3 16,3 128,0
*) Data Bulan Oktober 2007 **) Per tanggal ini terdapat 16 bank yang masih bermodal di bawah Rp, 80 milyar, Dari 16 tersebut, 9 bank diperkirakan bisa mencapai Rp 80 milyar sedangkan 7 bank masih belum jelas,
kali lipat dari levelnya di 2004 menjadi Rp 1004,6 T di akhir tahun lalu. Pertumbuhan kredit tersebut didukung oleh peningkatan DPK sebesar Rp551 T atau sekitar 62% dari levelnya di 2004 sehingga pada bulan November 2007 yang lalu DPK berada pada posisi Rp1.437,5 T. Disepanjang tahun 2007, ditopang oleh penurunan BI rate sejalan dengan terpeliharanya stabilitas ekonomi makro, kredit telah tumbuh sesuai dengan target yang ditetapkan oleh perbankan pada awal tahun, dan tercatat bertumbuh sebesar 24,3%. Pertumbuhan kredit tersebut menandakan bahwa perbankan telah kembali memberi sumbangan yang signifikan dalam keseluruhan pembiayaan pembangunan nasional. Satu aspek yang penting untuk dicatat terkait kinerja perbankan sampai akhir 2007 adalah fakta bahwa stabilitas sistem perbankan kita paska krisis telah jauh lebih baik ketimbang sebelum krisis. Mayoritas bank dalam industri perbankan saat ini telah mempertahankan kecukupan modalnya pada tingkat yang tinggi, yaitu CAR rata-rata berkisar pada angka 19,5%. Dalam satu tahun terakhir, total aset mengalami peningkatan yang cukup tinggi mencapai sekitar 11,9% menjadi Rp 1.845 T. Dari sisi profitabilitas, ROA perbankan mengalami peningkatan dari 2,6% menjadi 2,8%, yang secara umum diperoleh dari adanya perbaikan efisiensi dalam kegiatan operasional perbankan. Sementara itu, tingkat NPL perbankan mengalami perbaikan yang menggembirakan, yaitu dari 6,98% (gross) dan 3,63% (net) menjadi masing-masing 5,41% dan 2,29%. Hal ini terutama disebabkan mulai diimplementasikannya PP No. 33 tahun 2006 oleh bank-bank milik Pemerintah. Kita juga perlu berbesar hati karena perbankan ternyata mampu
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
11
BB-
B
B+
B-
CCC+ SD
SD
SD
CCC
B-
CCC+
CCC+
CCC+
B
B-
BB+
Non Investment grade
BB
BBB
BBB -
Investment grade
BBB -
AAA AA+ AA AA A+ A ABBB+ BBB BBB BB+ BB BB B+ B BCCC+ CCC CCC CC R SD D
AAA AA+ AA AA A+ A ABBB+ BBB BBB BB+ BB BB B+ B BCCC+ CCC CCC CC R SD D
07 18 10 31 09 27 11 15 29 30 17 02 21 02 23 05 12 08 22 26 Des Apr Okt Des Jan Jan Mar Mei Mar Mar Apr Okt Mei Nov Apr Sep Mei Okt Des Jul 1992 1995 1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003 2004 2006
Grafik 1. Rating Indonesia
menahan berbagai gejolak yang cukup besar dalam perekonomian seperti kenaikan harga minyak dan dampak turunannya pada nilai tukar, inflasi dan suku bunga, serta dampak menular krisis sub-prime mortgage di AS. Kemampuan dan daya tahan ini tidak terlepas dari semakin membaiknya kemampuan manajemen risiko perbankan dan peraturan kehati-hatian yang telah kita terapkan pada perbankan nasional.
Hadirin sekalian yang berbahagia, Kondisi ekonomi makro yang terpelihara dan industri perbankan yang semakin sehat, kuat dan resilien telah menyumbang pada semakin membesarnya kepercayaan investor terhadap prospek perekonomian Indonesia. Kondisi ini tercermin dari perbaikan rating Indonesia pada laporan lembaga-lembaga rating internasional dimana saat ini kita telah semakin mendekati investment grade dan sedang menuju levelnya sebelum krisis (Grafik 1). Sementara itu, ditopang dengan cukup baiknya laba korporasi dan ekspektasinya yang terus positif kedepan, kepercayaan investor tersebut juga terlihat pada derasnya aliran ekses likuiditas global yang masuk ke pasar keuangan Indonesia sehingga menjadikan IHSG salah satu indeks yang memiliki kinerja terbaik di dunia (Grafik 2). Beberapa sub-sektor yang menjadi penopang kenaikan IHSG tersebut mengkonfirmasi pula adanya diversifikasi pada sumber-sumber wealth creation dalam perekonomian. Pencapaian-pencapaian di atas tentu membesarkan hati kita semua karena terwujud di tengah berbagai cobaan dan gejolak baik yang bersumber dari dalam
12
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
Indeks
Indeks
3500 3000 2500
3000 IHSG (RHS) Pertanian Pertambangan Properti Infrastruktur
2500 2000
2000 1500 1500 1000
1000
500
500
0
0 Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt
2003
2004
2005
2006
2007
Grafik 2. IHSG dan Komponennya
negeri seperti musibah bencana alam yang secara bergantian terus mendera kita, maupun yang bersumber dari luar negeri seperti gejolak harga minyak dunia dan krisis sub-prime mortgage. Tidaklah berlebihan jika kemudian kita mengatakan bahwa dalam perekonomian makro nasional kita sedang tertanam daya tahan yang lebih tangguh. Kita pun dapat mencermati bahwa pencapaian-pencapaian tersebut merupakan buah dari kerjasama seluruh elemen pemangku kebijakan publik dalam memberikan sumbangsih terbaiknya bagi pemulihan ekonomi nasional. Kebijakan untuk melakukan konsolidasi fiskal ditahun-tahun awal paska krisis yang kemudian dilanjutkan dengan kebijakan fiskal yang lebih ekspansif pada dua tahun terakhir telah berperan dalam menggerakkan aktivitas perekonomian tanpa menyebabkan instabilitas harga dan nilai tukar sehingga ekspansi perekonomian tetap terjaga (Grafik 3). Otoritas fiskal juga telah berhasil secara bertahap mengurangi beban utang luar negeri, dari level diatas 100% pada awal krisis, menjadi sekitar 31% pada tahun 2007 lalu sehingga makin memperkuat prospek kesinambungan fiskal kita kedepan. Sementara itu, kebijakan untuk mengurangi subsidi BBM seiring dengan gejolak harga minyak di tahun 2005 merupakan sebuah langkah yang telah memperkuat lagi postur fiskal kita dalam jangka menengah-panjang. Kebijakan tersebut telah pula membantu mengurangi ketidakpastian di pasar valas terkait kenaikan harga minyak di penghujung 2007 lalu. Sementara itu, dari sisi kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perbaikan indikator-indikator sosial dan iklim investasi, kita telah melihat pula perkembanganperkembangan yang cukup berarti. Angka kemiskinan yang diukur melalui
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
13
% PDB 0,0 -0,5
-0,5
-1,0
-1,0
-1,0
-1,5
-1,10
-1,3 -1,5 -1,7
-2,0 -2,5
-1,7 Stimulus
Konsolidasi
-2,4 Surplus/Defisit APBN
-3,0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Grafik 3. Konsolidasi Fiskal
persentase orang yang hidup di bawah garis kemiskinan menurun dari 17,75% pada 2006 menjadi 16,6% pada 2007 atau menurun secara absolut sebanyak 1,88 juta orang. Perbaikan pada angka kemiskinan tersebut dalam banyak aspeknya ditopang oleh meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan stabilitas ekonomi makro. Tidak kalah penting adalah program √program sosial yang diluncurkan untuk membantu masyarakat miskin bertahan ditengah gejolak dan bencana alam. Menurunnya angka kemiskinan telah pula memperbaiki indikator pencapaian Indonesia dalam Tujuan-Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals, MDGs). Dari delapan MDGs, Indonesia telah mencatat kemajuan yang cukup berati dalam program pengentasan kemiskinan. Laporan Bank Dunia (November 2007) menyebutkan bahwa persentase penduduk yang hidup dengan pendapatan kurang dari US$ 1 per hari adalah 8,5%, jauh lebih rendah daripada target MDGs 2015, yakni 10,3%. Indikator MDGs lainnya yang juga menunjukkan perbaikan adalah jumlah siswa yang masuk Sekolah Dasar; jumlah kematian anak di bawah 5 tahun; dan akses masyarakat terhadap sarana air bersih. Dalam kaitan ini, Bank Dunia juga mencatat bahwa hampir di seluruh aspeknya, pencapaian program-program MDGs Indonesia berjalan sesuai target. Sementara itu, untuk mendorong kegiatan investasi, pemerintah telah berupaya keras untuk memperbaiki iklim investasi. Pencapaian penting dalam hal ini adalah penerbitan paket kebijakan ekonomi terpadu (Inpres No. 6 - Juli 2007) yang isinya mencakup pembaruan dari tiga paket sebelumnya, yaitu paket perbaikan investasi, percepatan infrastruktur, dan reformasi sektor keuangan serta
14
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
paket kebijakan pemberdayaan sektor usaha kecil dan menengah (UKM). Paket kebijakan baru tersebut memasukkan juga tentang PP Pelaksanaan Penanaman Modal dan penyingkatan waktu pengurusan ijin investasi di Indonesia. Disamping itu, perbankan juga telah berpartisipasi aktif dalam menyediakan akses pembiayaan, ditopang oleh program penjaminan kredit dan skema investasi melalui mekanisme Public Private Partnership (PPP). Masih terkait dengan perbaikan iklim investasi, kita dapat pula melihat pencapaian yang membesarkan hati terkait implementasi Otonomi Daerah. Saat ini telah mulai bermunculan sekumpulan pemerintahan daerah yang progresif yang kinerja pembangunan daerahnya melebihi yang lain. Success stories ini ditunjukkan melalui kemampuan birokrasi di daerah-daerah progresif tersebut untuk menebar manfaat bagi rakyat di daerahnya. Survei yang dilakukan oleh KPPOD menunjukkan bahwa pencapaian-pencapaian penting di daerah-daerah progresif tersebut terkait erat dengan perbaikan iklim investasi secara nasional, seperti meningkatnya indeks pembangunan manusia, meningkatnya efisiensi dan kualitas pelayanan Pemerintah Daerah, terbangunnya jaringan-jaringan infrastruktur, dan perbaikan pada tata kelola pemerintahan. Ini semua tentu merupakan sebuah perkembangan positif untuk menyelesaikan hambatan di sisi penawaran pada perekonomian kita dalam jangka panjang. Harapan akan tercapainya hal-hal tersebut akan jauh lebih besar lagi apabila semua elemen bangsa dapat memberikan dukungan sepenuhnya. Elemen-elemen bangsa tersebut, termasuk pemerintahan daerah yang progresif, akan membentuk sebuah »critical mass» yang akan mendorong percepatan dan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkeseimbangan.
2. Sumbangan Sektor Keuangan 2.1. Menegakkan Tiga Pilar Stabilitas Hadirin sekalian yang berbahagia, Berbagai pencapaian yang baik di tahun 2007 terkait kinerja perekonomian secara keseluruhan, saya sikapi sebagai buah dari reformasi di berbagai bidang ekonomi yang telah dilakukan oleh semua pemangku kebijakan ekonomi secara bersama-sama. Kerjasama antar pemangku kebijakan tersebut didukung pula secara aktif oleh kerja keras para pelaku ekonomi di dunia usaha dan masyarakat secara luas. Saya juga perlu mengatakan bahwa kita patut berbangga pada pencapaian-pencapaian tersebut karena berbagai upaya kebijakan untuk
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
15
percepatan pembangunan ekonomi yang kita lakukan dalam 5 tahun terakhir berlangsung di tengah alam demokrasi dan kemandirian. Dengan kebanggaan dan keyakinan yang sama tentang kemampuan bangsa untuk hidup dalam sebuah kesatuan polity yang mandiri dan demokratis, saya ingin menyampaikan bahwa para pemangku kebijakan publik di sektor keuangan dan semua pelaku bisnis didalam setiap industrinya telah pula turut memberi kontribusi nyata dalam membangun semangat kemandirian kebijakan tersebut dan Bank Indonesia menyambut baik keseluruhan pencapaian perekonomian yang ada saat ini1 . Sebagaimana lembaga pemangku kebijakan publik lainnya, Bank Indonesia memiliki keunikannya tersendiri dalam keseluruhan kontinuum kebijakan publik di negeri kita. Bank Indonesia adalah salah satu lembaga utama penyedia tiga pilar stabilitas yang menjadi penopang dan elemen-elemen penyinambung (elements of continuity) proses pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Tiga pilar stabilitas tersebut adalah: (a) stabilitas nilai rupiah, (b) industri perbankan yang sehat dan tangguh sebagai penopang stabilitas sistem keuangan, dan (c) sistem pembayaran modern yang lancar, aman, cepat dan murah untuk mendukung kegiatan transaksi dalam perekonomian. Seperti kebutuhan manusia akan udara, keberadaan tiga pilar stabilitas ini senantiasa kita perlukan, oleh karenanya sangatlah tepat jika Rakyat Indonesia melalui undang-undang tentang bank sentral yang diratifikasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat telah menggariskannya sebagai mandat konstitusional Bank Indonesia2 . Menengok kembali perjalanan Bank Indonesia dalam 5 tahun ini, saya dapat mengatakan bahwa upaya untuk mewujudkan berbagai aspirasi yang terkandung dalam mandat tadi telah membuahkan hasil-hasil yang sangat penting yang menjaga momentum kesinambungan pembangunan perekonomian nasional dan prospeknya kedepan. Hasil-hasil tersebut telah diperoleh dalam semangat kemandirian pelaksanaan tugas sesuai arah dan pace yang selaras dengan kepentingan rakyat kita, tanpa didikte oleh pihak-pihak asing. Oleh karenanya pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan apresiasi pada jajaran saya di Bank Indonesia yang dalam 5 tahun terakhir telah memberikan kerjasama terbaiknya dan menunjukkan kualitasnya sebagai first rate professionals yang mandiri dalam berpikir, dan senantiasa mengambil keputusan yang mendahulukan kepentingan masa depan rakyat dan negerinya. 1 2
16
Polity (latin: politia) adalah kehidupan bermasyarakat yang terorganisasi dan memiliki bentuk pemerintahan yang spesifik. UU 23 / 1999 tentang Bank Indonesia, yang selanjutnya di amandemen pada UU 3 / 2004.
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
Hadirin sekalian yang berbahagia, Salah satu sumbangsih sektor keuangan yang merupakan pencapaian kunci dalam perekonomian kita 5 tahun terakhir adalah tersedianya sebuah sistem keuangan nasional yang lebih stabil dibanding sebelum krisis yang mendukung ketahanan perekonomian secara keseluruhan keseluruhan. Sistem keuangan yang lebih stabil tersebut ditunjukkan oleh fakta bahwa sistem keuangan kita telah semakin mampu menahan dan menyerap berbagai gejolak (shocks) baik yang muncul dari perekonomian global maupun domestik, semakin meningkat efisiensi dan efektifitasnya dalam mengalokasikan sumber dana melalui intermediasi dan dalam mengelola risiko, serta semakin mendalam perannya sebagai penopang lalu lintas pembayaran. Terwujudnya sistem keuangan yang lebih stabil tersebut telah ditopang oleh pencapaian-pencapaian pada tiga pilar stabilitas yang menjadi elements of continuity dalam proses pembangunan ekonomi nasional. Pencapaianpencapaian tersebut secara ringkas adalah sebagai berikut: Pertama, meningkatnya kepercayaan pelaku ekonomi domestik dan internasional terhadap kemampuan otoritas moneter dalam memelihara stabilitas ekonomi makro dan menopang keseluruhan kualitas manajemen kebijakan ekonomi makro nasional. Kedua, industri perbankan yang semakin efektif dalam menopang keseluruhan stabilitas sistem keuangan dan upaya percepatan pembangunan ekonomi nasional, serta semakin siap dalam menghadapi tantangan globalisasi. Ketiga, infrastruktur sistem pembayaran yang semakin handal, cepat, akurat, aman, dan efektif dalam menopang dan menurunkan biaya kegiatan transaksi swasta dan Pemerintah diseluruh pelosok negeri. Terwujudnya sistem keuangan yang lebih stabil dan bermanfaat, sejalan dengan semakin kokohnya tiga pilar stabilitas, telah memberi ruang gerak yang lebih lapang bagi para pemangku kebijakan publik di sektor lain dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan mikro-struktural untuk mempercepat kembalinya keseluruhan dinamika pembangunan ekonomi paska krisis pada gairah aslinya. Dengan ruang gerak yang lebih lapang tersebut, langkah-langkah perbaikan struktural di sektor riil yang telah dan sedang kita lakukan menjadi lebih terkelola baik dari segi kompleksitas, arah maupun pace-nya, karena tidak terganggu oleh berbagai persoalan lain yang terkait dengan instabilitas di sistem moneter, sistem keuangan, dan sistem pembayaran.
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
17
2.2. Inisiatif-Inisiatif Kebijakan Strategis Terkait Tiga Pilar Stabilitas Pencapaian pada tiga pilar stabilitas sebagaimana yang saya sampaikan tadi, dalam berbagai aspeknya terkait dengan kebijakan-kebijakan strategis yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran nasional. Inisiatif-inisiatif strategis itu secara ringkas dapat saya sampaikan berikut ini.3
2.2.1 Inisiatif di Bidang Moneter Hadirin sekalian yang berbahagia, Terkait dengan kebijakan moneter, inisiatif strategis yang telah dilakukan adalah penerapan Inflation Targeting Framework (ITF) secara implisit sejak 2003 dan secara full-fledged sejak 2005. Langkah ini merupakan sebuah upaya untuk membuat kebijakan moneter dapat lebih efektif dalam melakukan stabilisasi nilai rupiah ketika terjadi gejolak di pasar keuangan global, maupun dalam memelihara stabilitas tersebut ketika kondisi sedang tenang. Efektifitas tersebut sangat kita perlukan di era keterkaitan pasar keuangan global dewasa, terutama karena kita menganut rejim devisa dengan nilai tukar mengambang bebas. Gejolak yang muncul dari pasar keuangan global dapat dengan cepat menular ke pasar keuangan kita walaupun tidak ada penyebab yang muncul dari kondisi fundamental perekonomian domestik. Efek menular tersebut akan segera tercermin di pasar valas dalam bentuk gejolak nilai tukar yang diujungnya dapat mempengaruhi inflasi dan keseluruhan pencapaian stabilitas ekonomi makro kita. Gejolak-gejolak seperti itu tentu perlu kita jaga karena instabilitas pada nilai tukar dan inflasi akan memperbesar risiko pasar yang harus ditanggung oleh sistem keuangan secara keseluruhan. Sejak penerapannya, saya dapat mengatakan bahwa ITF telah memberikan hasil yang nyata berupa terpeliharanya stabilitas ekonomi makro dalam 5 tahun terakhir, walaupun terdapat gejolak-gejolak yang cukup besar dalam perekonomian kita. Seiring dengan diterapkannya ITF, laju inflasi IHK cenderung berada dalam target disinflasi yang ditetapkan Bank Indonesia dan Pemerintah secara bersamasama. Sementara itu, nilai tukar rupiah cenderung stabil dalam kisaran yang kondusif bagi perekonomian. Penerapan full-fledged ITF sejak bulan Juli 2005 ditandai dengan 3
18
Terlampir Kronologis Events Terkait dengan Kebijakan Penting di Bidang Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran selama 2003-2007
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
digunakannya BI rate sebagai sasaran operasional kebijakan moneter, menggantikan base money. Pergantian instrumen ini membuat implementasi kebijakan moneter dapat dipantau secara transparan oleh para pelaku pasar keuangan, sehingga respon kebijakan moneter dapat lebih cepat dalam mempengaruhi ekspektasi pelaku pasar ditengah gejolak. Hal ini setidaknya telah dibuktikan di 2 gejolak penting, yaitu di tahun 2005 terkait gejolak harga BBM dan di pertengahan 2007 terkait gejolak sub-prime mortgage di AS. Guncangan harga minyak dunia yang sempat menggoyahkan kestabilan harga di 2005, memang merupakan gejolak yang luar biasa. Dampak langsungnya telah menyebabkan inflasi IHK mencapai 17,1% di 2005 dan nilai tukar terdepresiasi secara cukup signifikan. Namun, kombinasi kebijakan ∆one two∆ yang sangat cantik saat itu antara langkah-langkah fiskal untuk mengkoreksi ekspektasi pasar yang negatif terhadap ketahanan fiskal dalam jangka panjang, dan kebijakan moneter melalui ITF untuk meredam second round effect gejolak harga BBM dan depresiasi nilai tukar pada inflasi, telah membawa stabilitas ekonomi makro pada track-nya di 2006. Stabilisasi kondisi ekonomi makro paska gejolak BBM 2005 tersebut telah pula menjaga momentum perekonomian kita sehingga tetap dapat tumbuh 5,5% di 2006. Selanjutnya, ditengah krisis sub-prime mortgage tahun lalu, kebijakan BI rate dalam konteks ITF telah pula membantu kita dalam memelihara ekspektasi pelaku pasar terhadap stabilitas ekonomi makro dalam jangka menengah panjang. Dengan dukungan lebih lanjut dari cukup tangguhnya industri perbankan dalam menghadapi risiko pasar, stabilitas ekonomi makro dan sistem keuangan tetap dapat kita pertahankan walaupun terjadi efek menular yang cukup kuat kala itu. Ini semua telah membantu mempertahankan kelangsungan ekspansi perekonomian kita di 2007 sehingga kita bisa menembus angka pertumbuhan ekonomi diatas 6%. Dalam konteks pemeliharan stabilitas ekonomi makro dalam jangka menengah-panjang, salah satu keunggulan ITF adalah penetapan BI rate yang dilakukan dengan terlebih dahulu membuat antisipasi forward looking, terhadap prospek ekonomi ke depan, baik itu perkembangan harga maupun pertumbuhan ekonomi. Ini membantu bank sentral untuk secara bertahap membangun reputasi dan kredibilitas di pasar atas komitmennya dalam menjaga stabilitas ekonomi makro. Dengan reputasi dan kredibilitas yang tinggi, biaya yang timbul dalam memelihara stabilitas perekonomian akan semakin murah dan kebijakan akan lebih efektif mencapai sasarannya.
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
19
Dalam kaitan tadi, saya dapat menyampaikan bahwa terpeliharanya stabilitas ekonomi makro dan melajunya perekonomian yang kini kita rasakan bersama adalah cermin dari credibility gain dari berbagai kebijakan stabilisasi yang selama ini ditempuh. Credibility gain dalam mengelola ekspektasi masyarakat tersebut menjadi modal yang amat berharga untuk semakin memperkuat stabilitas perekonomian dan meningkatkan daya tahan perekonomian terhadap berbagai tantangan di masa depan. Dalam konteks implementasi ITF untuk memelihara stabilitas ekonomi makro yang lebih luas, walaupun kita menganut sistem nilai tukar mengambang, smoothing terhadap pergerakan nilai tukar, termasuk melalui penyesuaian permintaan dan penawaran di pasar valas, masih diperlukan. Upaya untuk mengurangi volatilitas ini bukan sesuatu yang unik terjadi hanya di kita, tapi juga merupakan fenomena global. Hampir semua negara yang secara de jure mengadopsi sistem nilai tukar mengambang, dalam prakteknya, melakukan upaya intervensi untuk mengatasi volatilitas nilai tukarnya, baik melalui intervensi langsung di pasar valas maupun dengan menggunakan instrumen operasi pasar terbuka. Oleh karena itu, pada waktu-waktu tertentu, Bank Indonesia berada di pasar valas, terutama ketika kondisi pasar valas berpotensi untuk mengalami ketidakseimbangan. Langkah ini telah meredam volatilitas sehingga potensi destabilisasi nilai tukar terkait kegiatan spekulasi dapat dicegah. Terkait dengan pemeliharaan stabilitas nilai rupiah, untuk lebih memantapkan lagi kemampuannya dalam mengatasi gejolak di pasar keuangan, Bank Indonesia dalam 5 tahun belakangan ini telah secara bertahap memperkuat posisi cadangan devisa nasional. Langkah ini kami ambil sebagai asuransi bagi pemeliharaan stabilitas ekonomi makro kedepan ditengah berbagai ketidakpastian terkait penyesuaian global imbalances dan semakin meningkatnya cross-border capital flows. Meskipun kita menganut rejim nilai tukar mengambang dan rejim devisa bebas, kita tetap memerlukan first line of defense yang cukup untuk membantu menyerap gejolak sehingga stabilitas ekonomi makro dapat tetap terjaga. Dalam pelaksanaan dari kebijakan tersebut, kami pun terus menjaga agar penambahan biaya penguatan cadangan devisa berupa penambahan outstanding SBI senantiasa terukur. Hasil pencermatan terhadap langkah-langkah serupa oleh bank sentral di kawasan kita seperti, Bank of Korea, Bank of Thailand dan People Bank of China menunjukkan bahwa dengan semakin dinamisnya perekonomian, maka dalam jangka panjang, penambahan SBI tersebut dapat diturunkan pada waktunya (Tabel 3).
20
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
Tabel 3. Outstanding Surat Utang Bank Sentral di Beberapa Negara Bank of Thailand
Bank of Korea
People Bank of China
Bank Indonesia
Posisi Surat Utang Bank
593,5 Miliar Baht
158.390 Miliar Won
3.230 Miliar Renmimbi
207,4 Triliun Rupiah
% thd PDB
8%
19%
7%
6%
*) Perbandingan «SBI» beberapa bank sentral tahun 2006 (kecuali Thailand tahun 2005) Sumber: CEIC, web site masing-masing bank sentral
Sementara itu, sebagai second line of defense, melalui kerjasama ASEAN+3 dalam kerangka Chiang Mai Initiatives, Bank Indonesia mendapat penugasan dari Pemerintah untuk melakukan kesepakatan bilateral swap arrangements dengan negara-negara Jepang, Korea dan China. Langkah regional self-help ini merupakan suatu langkah strategis yang diambil oleh para Menteri Keuangan ASEAN bersama ketiga negara industri di Asia tersebut untuk menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan di kawasan ini. Dari sisi Indonesia, kesepakatan ini dapat dianggap sebagai pendorong untuk menghentikan Post - Program Monitoring yang dilakukan IMF, demi memastikan bahwa kemandirian kebijakan dapat tetap kita pertahankan.
2.2.2. Inisiatif di Bidang Perbankan Hadirin sekalian yang berbahagia, Selanjutnya dari sisi kebijakan perbankan. Seperti halnya di negara-negara sedang membangun lainnya, sektor perbankan adalah sub-sistem utama dalam keseluruhan sistem keuangan. Saat ini pangsa aset perbankan kita dalam keseluruhan sistem keuangan masih berada diatas 80% dari total aset di sistem keuangan. Oleh karenanya, industri perbankan adalah sebuah industri strategis yang sangat penting perannya di dalam mendorong dinamika pembangunan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Fungsi intermediasi yang diemban perbankan hingga saat ini masih sangat dominan sebagai sumber pembiayaan bagi para pelaku usaha di sektor-sektor produktif. Belajar dari pengalaman kita di waktu lalu, stabilitas sistem perbankan merupakan aspek pokok yang harus dapat terus kita pertahankan dalam menjamin kesinambungan pembangunan ekonomi nasional. Kerapuhan yang ada pada suatu bank dapat dengan cepat meluas mempengaruhi kepercayaan
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
21
masyarakat, baik kepada sistem perbankan sendiri maupun kepada sistem ekonomi secara keseluruhan. Situasi demikian selanjutnya dapat mengganggu stabilitas ekonomi makro dan menghambat langkah-langkah kita untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya apabila upaya untuk menjaga terpeliharanya stabilitas sistem perbankan merupakan sebuah prioritas kebijakan yang memerlukan keseriusan dan konsistensi dalam penerapannya. Secara umum, pencapaian yang menggembirakan di bidang perbankan sampai akhir tahun 2007 tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan strategis yang terangkum dalam inisiatif-inisiatif untuk mencegah berulangnya krisis perbankan (crisis prevention) dan inisiatif-inisiatif untuk menyelesaikan krisis bila hal itu berulang (crisis resolution). Dalam kaitannya dengan yang pertama, dua insitiatif kebijakan strategis yang utama adalah implementasi program Arsitektur Perbankan Indonesia sejak 2004 dan persiapan yang telah dilakukan sejak 4 tahun lalu menuju implementasi Basel II di 2008. Sementara itu, dalam kaitannya dengan yang kedua, Bank Indonesia bersama Departemen Keuangan dan instansi terkait lainnya terus memantapkan inisiatif-inisitatif dalam payung besar Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) nasional.
A. Arsitekur Perbankan Indonesia Hadirin sekalian yang berbahagia, Beberapa hari yang lalu adalah ulang tahun ke empat peluncuran program Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Tidak diragukan lagi bahwa API telah membuahkan manfaat nyata bagi perekonomian paska krisis. Perbankan nasional kita saat ini telah menjadi bagian dari solusi masalah pembangunan ekonomi nasional. Dengan kata lain, industri perbankan sebagai beban pembangunan ekonomi nasional sudah menjadi bagian dari masa lalu kita. Penguatan industri perbankan dalam kerangka API juga memiliki daya dukung lain bagi perekonomian karena perbankan pada saat ini dapat dikatakan adalah penopang utama stabilitas sistem keuangan. Sistem keuangan Indonesia yang sampai saat ini masih didominasi oleh perbankan semakin menguatkan pandangan bahwa peran perbankan dalam pencegahan krisis (crisis prevention) dan sekaligus menjaga kestabilan ekonomi makro masih relevan. Melalui keenam pilarnya, API telah melengkapi sektor perbankan dan juga otoritasnya dengan perangkat-perangkat yang diharapkan menyediakan fondasi yang dalam dan kuat bagi penguatan dan pengembangan perbankan 22
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
selanjutnya. Kita sudah menyadari sejak semula bahwa tantangan yang dihadapi oleh masing-masing pilar API tidak sama, namun secara umum saya cukup gembira melihat bahwa perkembangan program API berjalan sesuai rencana dan bahwa industri perbankan menunjukkan tingkat keseriusan yang tinggi dalam memberikan dukungan terhadap upaya penguatan kita bersama. Berikut saya sampaikan beberapa pokok-pokok pencapaian terkait dengan pilar-pilar API. Upaya-upaya konsolidasi perbankan yang telah dimulai sejak diluncurkan dalam kerangka Pilar I API telah tiba pada tingkat persiapan final, yaitu tahap dimana sebagian bank telah menentukan arah strategis ke depan. Sebagaimana kita ketahui bersama, tahun 2008 ini adalah tahun dimana semua bank umum telah harus mempunyai modal minimum sebesar Rp80 miliar untuk dapat mempertahankan statusnya sebagai bank umum yang beroperasi secara penuh. Dari 128 bank yang ada dalam industri, saat ini semuanya telah memenuhi ketentuan tersebut. 20 diantaranya masih akan kami tindak lanjuti efektifitas setoran modalnya melalui pemeriksaan. Namun dengan itikad baik, dapat kita katakan bahwa saat ini semua bank telah mampu melewati batas minimal pemenuhan modal minimumnya, dan juga akan mampu memenuhi modal minimum Rp. 100 milyar pada akhir tahun 2010. Pencapaian tahap ini menjadi penting untuk saya kemukakan, karena setidaknya saat ini ketahanan industri perbankan dalam menyerap risiko secara umum telah mengalami peningkatan, yang pada dasarnya merupakan salah satu tujuan antara dari pilar I-API. Tahun 2008 ini juga adalah tahun dimana bank-bank yang terkena ketentuan Single Presence Policy telah menetapkan langkah strategis ke depan terkait dengan kepemilikan lebih dari satu bank di Indonesia. Selanjutnya saya berharap bahwa pada tahun ini bank-bank tersebut akan dapat merealisasikan langkah-langkah tersebut sesuai dengan time-line yang diberikan. Dengan semua itu, di tahun 2010 mendatang kita akan memiliki sektor perbankan yang terdiri dari bank-bank yang tidak hanya lebih kuat dalam struktur permodalan, namun juga lebih terfokus dalam arah dan strateginya. Dalam hal ini perlu saya kemukakan juga bahwa, pada tahap ini, terdapat berbagai langkah lanjutan yang harus dan sedang diambil oleh bank-bank milik pemerintah. Kompleksitas dari isu yang dihadapi oleh bank-bank menempatkan pemerintah sebagai pemilik untuk melakukan berbagai penyesuaian strategis yang diperlukan. Tentu hal ini memerlukan waktu. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan yang telah dikeluarkan, terbuka kemungkinan adanya tambahan waktu bagi bank-bank dengan kompleksitas masalah yang tinggi untuk menyelesaikan beberapa isu terkait, sehingga manfaat dan nilai tambah yang diperoleh dari pelaksanaan SPP dapat optimal. Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
23
Berbagai dinamika dan kenyataan seperti kondisi ekonomi global maupun nasional, belum terwujudnya insentif pajak dalam rangka merger, dan perbedaan kultur antar bank tidak dapat menyurutkan langkah kita untuk melakukan konsolidasi. Bank Indonesia meyakini hal ini akan membawa manfaat yang lebih besar bagi industri perbankan Indonesia dalam menghadapi tantangan ke depan di era globalisasi keuangan saat ini. Konsolidasi perbankan akan menciptakan bank-bank dengan kapasitas dan potensi yang lebih besar untuk beroperasi pada skala yang lebih besar sehingga dapat memasuki pasar-pasar baru yang sebelumnya seakan-akan off-limits bagi perbankan nasional, misal pasar luar negeri kawasan regional Asia maupun benua lainnya. Lebih dari itu, bank-bank yang telah menjadi lebih besar dan kuat dari hasil konsolidasi akan dapat memberikan sumbangan yang lebih besar bagi negara, baik dalam bentuk dividen (bagi bank milik pemerintah) maupun penerimaan pajak (bagi semua bank). Dalam hal ini, perlu kita cermati bahwa berbagai keringanan pajak yang diterapkan untuk menggulirkan proses konsolidasi tersebut akan dikompensasi secara berlipat oleh penghasilan yang lebih besar yang diterima oleh negara melalui pajak. Penerimaan negara yang lebih besar tersebut selanjutnya dapat mendorong terealisasikannya pembangunan berbagai proyek infrastruktur, dan perbankan Indonesia pun dapat lebih berperan mengingat kapasitasnya yang telah meningkat. Pilar 2 API yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pengaturan perbankan telah berhasil mendirikan beberapa Lembaga Riset Perbankan Daerah (LRPD) di berbagai daerah terpilih. Pada tahap ini LRPD telah didirikan dengan bekerja sama dengan empat universitas di daerah, yaitu Universitas Andalas di Padang, Universitas Brawijaya di Malang, Universitas Hasanuddin di Makassar, dan Universitas Sumatera Utara di Medan. Keenambelas hasil riset yang telah dipublikasikan merupakan studi yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerahnya. Topik riset yang telah dilakukan cukup beragam, dari studi potensi pendirian bank, perlindungan nasabah, sampai persepsi dan sikap masyarakat santri terhadap bank syariah. Mengingat besarnya peran UMKM dalam mendorong perekonomian, baik di pusat maupun daerah, rasanya tidak terlalu mengejutkan bahwa masing-masing LPRD mempunyai riset dengan topik yang terkait dengan pembiayaan dan pengembangan usaha-usaha mikro dan kecil. Selanjutnya, untuk mengimbangi dan mengantisipasi meningkatnya kompleksitas dunia perbankan ke depan serta menjawab tuntutan dari stakeholders akan peningkatan kualitas kinerja BI, telah dilakukan penyempurnaan-
24
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
penyempurnaan dalam fungsi pengawasan sektor perbankan. Program penyempurnaan tersebut, sebagaimana dicakup dalam Pilar 3 API API, mempunyai tujuan menciptakan pengawasan dan pengaturan yang efektif dan dengan mengacu pada standar-standar internasional. Guna meningkatkan efektivitas pengawasan dan pengaturan perbankan, Bank Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan koordinasi dengan lembaga-lembaga pengawas lain, menyempurnakan infrastruktur pendukung pengawasan bank termasuk melakukan reorganisasi sektor perbankan di Bank Indonesia, menyempurnakan implementasi sistem pengawasan bank berbasis risiko, serta meningkatkan efektivitas enforcement pengawasan. Bentuk organisasi pengawasan Bank Indonesia yang baru akan dapat lebih mendukung implementasi pendekatan pengawasan berdasarkan risiko atau Risk Based Supervision (RBS). Bentuk organisasi pengawasan Bank Indonesia juga dirancang untuk mendukung implementasi consolidated supervision sehingga pengawas dapat melihat permasalahan bank bukan hanya sebagai suatu single entity namun melihat keterkaitan-keterkaitan yang ada dari kelompok usaha bank itu. Untuk itu, Bank Indonesia telah membekali tenaga pengawasnya dengan berbagi pengetahuan melalui program pendidikan yang berkelanjutan bagi pengawas bank. Sementara itu, Pilar 4 API yang mencakup peningkatan kualitas manajemen dan operasional perbankan telah terus dilakukan melalui sertifikasi bankir dalam kemampuan manajemen risiko yang dilakukan oleh sebuah lembaga yang independen. Sertifikasi yang dilakukan berdasar standar-standar yang diakui secara internasional mempunyai arti penting bagi perbankan Indonesia. Selain merupakan upaya standarisasi kemampuan insan perbankan Indonesia, upaya ini merupakan salah satu cara kita menjawab kuatnya arus globalisasi. Basel II telah membuat dunia perbankan semakin konvergen dengan norma-norma global sehingga penguasaan bidang manajemen risiko oleh SDM perbankan Indonesia yang setara dengan counterparts-nya di luar menjadi penting. Peningkatan kemampuan bankir lokal juga menjadi sebuah keharusan menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Pada saat ini telah lebih dari 19,000 sertifikat dari berbagai tingkat yang diberikan kepada bankir yang telah lulus ujian dan berhak mendapatkannya. Namun di sini perlu saya ingatkan bahwa sertifikat apapun tidak dapat menjadi pengganti dari seorang bankir yang kompeten dan berintegritas. Sertifikat ini adalah kendaraan bagi bankir untuk menjadi bankir yang lebih baik dan masing-masing bankir harus senantiasa
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
25
membuktikan dalam dunia profesional mereka bahwa mereka memang patut mengantonginya. Masih terkait dengan Pilar 4 API, Bank Indonesia juga telah menetapkan standar-standar praktek Good Corporate Governance (GCG) melalui Peraturan Bank Indonesia pada tahun 2006. Karena kondisi bank yang bervariasi, kita selama ini telah memberikan toleransi dan leniency yang cukup besar bagi bank dalam tahap awal pelaksanaan ketentuan ini. Mulai awal tahun 2008 diharapkan semua bank telah melaksanakan ketentuan GCG sepenuhnya. Tahun 2008 adalah tahun tonggak baru transparansi dunia perbankan kepada masyarakat. Pada tahun ini, seluruh bank diwajibkan untuk menyampaikan laporan pelaksanaan GCG yang bersifat self-assessment. Dengan bentuk transparansi demikian, diharapkan akan tercipta social control dari masyarakat. Masyarakat dengan mudah akan mengetahui kinerja serta pelaksanaan GCG bank sehingga membantu mereka menentukan pilihan dalam mempercayakan penyimpanan dan pengelolaan dananya. Kita harapkan bahwa masyarakat sudah dapat melihat laporan GCG bank pada website masing-masing bank pada pertengahan tahun ini. Dalam rangka melengkapi infrastruktur perbankan yang telah ada dan berkontribusi dalam meningkatkan pengelolaan manajemen risiko perbankan, Bank Indonesia sedang melakukan penyempurnaan terhadap Biro Informasi Kredit (BIK). Upaya ini merupakan bagian dari Pilar 5 API API. Pembentukan Biro Informasi Kredit merupakan suatu jawaban atas kebutuhan untuk mengatasi problem asymmetric information yang sering menghambat efektifitas dan efisiensi pelaksanaan fungsi intermediasi perbankan. Dari sudut pandang kreditur, BIK diharapkan dapat memperpendek proses analisis dan pengambilan keputusan pemberian kredit, membantu menurunkan risiko kredit bermasalah, serta mengurangi ketergantungan pemberi kredit kepada agunan konvensional karena kreditur dapat menilai reputasi kredit dari calon debiturnya. Sedangkan dari sudut pandang debitur, BIK akan dapat mempercepat waktu untuk memperoleh persetujuan kredit. Information sharing akan mengatasi masalah asymmetric information yang pada gilirannya akan secara signifikan mendorong peningkatan efisiensi dan efektifitas fungsi intermediasi lembaga keuangan. Lebih jauh dari itu, keberadaan BIK juga diharapkan pula akan memicu terjadinya perubahan sikap debitur ke arah yang positif. Dengan monitoring eksposure kredit secara akurat dan menyeluruh, debitur akan terdorong untuk lebih menepati pembayaran hutangnya, sehingga tidak merusak credit history pribadinya.
26
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
Selanjutnya, ke depan, dengan semakin tingginya kesadaran mengenai manfaat dan konsekuensi dari credit history, masyarakat akan terdorong untuk membangun credit history yang baik sehingga akan memudahkannya kelak ketika akan mengajukan pinjaman. Praktek semacam ini telah kita banyak lihat di beberapa negara dimana infrastruktur biro kredit telah cukup lama memasyarakat. Akhirnya terkait dengan Pilar 6 API API, program peningkatan perlindungan dan pemberdayaan masyarakat telah mulai dilaksanakan sejak tahun 2005. Dalam rangka peningkatan perlindungan dan pemberdayaan tersebut, telah dikeluarkan ketentuan-ketentuan yang mengatur aspek transparansi informasi produk dan penggunaan data pribadi nasabah, mekanisme penyelesaian pengaduan nasabah, dan penyediaan alternatif penyelesaian sengketa antara nasabah dengan bank. Ketiga ketentuan tersebut dikeluarkan sebagai tanggapan Bank Indonesia atas cukup maraknya keluhan dan permasalahan yang dihadapi nasabah dalam pemanfaatan produk dan jasa perbankan. Akan tetapi, sejak semula memang telah disadari bahwa penerbitan ketiga ketentuan di atas tidak dapat menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya, yaitu masih rendahnya tingkat pemahaman masyarakat mengenai karakteristik produk dan jasa perbankan, terutama yang terkait dengan risiko dan biaya-biaya yang terdapat didalamnya. Sebagai jawaban dari keadaan tersebut, Bank Indonesia kemudian meluncurkan program edukasi masyarakat di bidang perbankan.. Kegiatan ini diharapkan dapat meminimalisir permasalahan-permasalahan terkait dengan perbankan yang selama ini terjadi di masyarakat. Kita juga harapkan program ini dapat sekaligus berkontribusi dalam peningkatan kemampuan masyarakat untuk merencanakan masa depannya dengan lebih baik melalui pemanfaatan produk dan jasa perbankan secara tepat guna. Kami menginginkan edukasi masyarakat di bidang perbankan tidak hanya menjadi suatu program yang dibatasi oleh sebuah jangka waktu, melainkan menjadi suatu gerakan besar berskala nasional. Jika selama ini fokus Bank Indonesia adalah menciptakan kestabilan sistem perbankan dan keuangan agar masyarakat dapat melakukan kegiatan usaha untuk memperoleh pendapatan guna mendukung peningkatan taraf hidupnya, maka akhir-akhir ini kami pun memberi perhatian yang lebih besar terhadap cara-cara bagaimana masyarakat seharusnya merencanakan dan mengelola keuangannya. Edukasi masyarakat tentang produk perbankan juga sejalan dengan upaya financial deepening yang berarti terbukanya pilihan variasi produk-produk investasi yang semakin banyak, yang ditawarkan kepada masyarakat. Oleh karena itu,
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
27
pemahaman masyarakat yang baik terkait dengan karakteristik, manfaat, risiko produk dan jasa perbankan menjadi semakin penting artinya. Sehubungan dengan hal ini, kami telah meluncurkan sebuah program edukasi dengan slogan ≈Ayo ke Bank∆ yang akan terus bergulir ke tahun 2008 ini. Slogan ini bukanlah sebuah slogan tanpa isi, melainkan merupakan sebuah komitmen dari masyarakat perbankan untuk mengajak masyarakat berkontribusi dalam pembangunan melalui pemahaman dan pemanfaatan produk-produk perbankan.
B. Persiapan Menuju Implementasi Basel II Hadirin sekalian yang berbahagia, Masih dalam konteks crisis prevention, dalam rangka menjaga kestabilan dan meningkatkan kekuatan sistem perbankan Indonesia, Bank Indonesia sejak 4 tahun lalu telah menetapkan sebuah strategic policy untuk mengadopsi Basel II mulai tahun 2008 ini dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang paling sederhana. Sesuai dengan roadmap implementasi Basel II yang telah disusun, maka program kerja yang telah diselesaikan dimaksudkan untuk memberikan fondasi yang utuh bagi efektifitas penerapan pendekatan (approach) yang dipilih dalam perhitungan kecukupan modal bank sesuai dengan Basel II. Rangkaian program kerja tersebut meliputi baik Pilar 1 terkait kebutuhan modal minimum, Pilar 2 terkait proses review pengawasan maupun Pilar 3 terkait disiplin pasar yang aktualisasinya dilakukan melalui diskusi yang intensif oleh Working Group Basel II, termasuk komunikasi dan sosialisasi dengan industri perbankan secara lebih luas. Beberapa pokok pencapaian terkait Road Map menuju Basel II adalah sebagai berikut. Terkait dengan Pilar 1 1, dalam rangka penyiapan regulasi ke arah pemanfaatan internal model oleh bank dalam menghitung beban modal (capital charge) risiko pasar (market risks) telah diterbitkannya ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar. Untuk risiko kredit, penyiapan regulasinya sudah pula melalui berbagai diskusi dengan stakeholders, termasuk Pemerintah. Ada beberapa isu penting dalam Basel II yang memerlukan koordinasi lanjutan antara Bank Indonesia dengan Pemerintah, antara lain untuk (i) menetapkan definisi yang lebih jelas dan kebijakan 28
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
yang lebih berpihak mengenai usaha kecil dan menengah (UKM) yang dapat dipergunakan untuk mendefinisikan debitur retail dan Small Medium Entities (SME), dan (ii) daftar badan usaha milik negara (BUMN) yang mendapat dukungan Pemerintah sehingga dapat digolongkan sebagai Public Sector Entities (PSE). Masih dalam lingkup risiko kredit, Bank Indonesia juga sudah memulai proses pengakuan (recognition) terhadap lembaga pemeringkat domestik yaitu PT Pefindo, PT Moody»s Indonesia dan PT Fitch Rating Indonesia dengan mengaplikasikan sejumlah parameter yang merupakan rincian dari 6 kriteria kelayakan (eligibility criteria) menurut Basel II. Selanjutnya, proses yang hampir sama juga diterapkan bagi penyiapan regulasi yang terkait dengan perhitungan beban modal untuk risiko operasional (operational risk). Penjabaran lanjut dari definisi pendapatan bruto (gross income) dan pos-pos laba/rugi yang diperhitungkan dalam pendapatan bruto juga sudah didiskusikan bersama dengan Working Group. Untuk Pilar 2 yang lebih berorientasi pada persiapan internal Bank Indonesia, maka program kerja yang dilakukan adalah upaya menterjemahkan 4 prinsip di Pilar 2, yaitu Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP), supervisory review evaluation and process (SREP), CAR above minimum, dan early intervention ke dalam konstalasi sistem pengawasan bank. Sistem pengawasan berbasis risiko (risk based supervision) diharapkan dapat menjadi awal yang suportif bagi aplikasi Pilar 2 secara efektif dan efisien. Pada waktunya, Bank Indonesia akan menerbitkan secara komprehensif consultative paper yang terkait dengan implementasi Pilar 2 ini. Di Pilar 3 3, program kerja yang dilakukan lebih mengarah pada penyempurnaan kerangka laporan publikasi bank yang sesuai dengan standar internasional, antara lain standar akuntansi (international accounting standards √ IAS). Untuk tujuan ini, maka Bank Indonesia sudah mengadopsi IAS 32 dan IAS 39 berupa PSAK 50 dan PSAK 55 yang akan diikuti dengan penyusunan PAPI. Selanjutnya, dirasa perlu juga untuk menyempurnakan pola laporan bank yaitu laporan bulan bank umum (LBU) dengan memfasilitasi tambahan data dan informasi yang diperlukan untuk Basel II. Perlu kiranya saya sampaikan disini bahwa dari hasil studi dampak kuantitatif (quantitative impact study √ QIS) yang dilakukan terhadap bank-bank besar, atau systemically important banks, Bank Indonesia melihat bahwa secara umum perbankan kita telah cukup siap untuk mengadopsi Basel II dengan pendekatan-pendekatan yang paling sederhana. Namun, kami juga melihat bahwa
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
29
pada akhirnya, penerapan Basel II tidak hanya membutuhkan kesiapan kalangan perbankan untuk penerapan manajemen risiko yang lebih baik termasuk menyempurnakan kualitas modal dan sistem informasi yang dimilikinya, namun juga membutuhkan kesiapan Bank Indonesia untuk meningkatkan kualitas ketentuan, pengawas, sistem informasi, praktek dan tindak lanjut pengawasan bank. Di luar pencapaian-pencapaian yang telah kita raih tersebut, saya lihat bahwa dalam rangka menuju ke arah proses penguatan perbankan melalui implementasi Basel II, perhatian kita seringkali tersita oleh persepsi-persepsi atau informasi-informasi yang tidak sepenuhnya akurat mengenai implementasi Basel II yang pada akhirnya dapat merugikan kita sendiri. Salah satu mis-persepsi yang cukup banyak beredar adalah bahwa implementasi Basel II bagi bank umum di Indonesia akan sangat memberatkan bank. Disini perlu saya tegaskan bahwa pencapaian Basel II oleh perbankan Indonesia pada tahapan sekarang adalah dengan menggunakan pendekatan yang paling sederhana. Perbedaan yang paling nyata dengan pelaksanaan Basel I yang selama ini kita lakukan yaitu dimasukkannya risiko operasional dalam perhitungan modal. Selain itu mis-persepsi juga beredar perihal persiapan infrastruktur pendukung implementasi Basel II. Mengingat bahwa pendekatan yang wajib digunakan adalah pendekatan yang paling sederhana, kebutuhan minimum akan infrastruktur tersebut juga masih within reach perbankan Indonesia. Dengan meminimalkan dan memisahkan mis-persepsi yang ada, kita dapat lebih mudah melihat tuntutan Basel II yang sebenarnya. Dapat kita katakan bahwa semangat Basel II adalah upaya peningkatan kualitas dan efektivitas dari manajemen risiko yang kontinyuƒbaik dari bank maupun pengawasƒdemi penguatan sistem perbankan secara keseluruhan. Bagaimana mencapai semangat Basel II inilah yang seharusnya mendapat porsi diskusi yang lebih besar. Peningkatan kualitas manajemen risiko perbankan secara umum memerlukan kerjasama antara perbankan dengan Bank Indonesia melalui peningkatan manajemen risiko oleh perbankan, peningkatan efektivitas risk-based supervision oleh Bank Indonesia, serta peningkatan kualitas dialog konstruktif di antara keduanya. Dengan kerjasama tersebut maka kan tumbuh pola pikir dan kultur yang senantiasa berupaya meminimalkan potensi kegagalan bank melalui manajemen risiko yang handal. Oleh karena itu, ada baiknya pikiran dan tenaga kita difokuskan tidak hanya untuk pencapaian hal-hal yang bersifat tangible , seperti misalnya
30
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
penggunaan berbagai pendekatan untuk mengukur modal risiko pasar, kredit, maupun operasional, namun lebih penting lagi adalah pencapaian hal-hal yang bersifat lebih intangible, seperti adopsi sikap yang mendukung spirit Basel II. Pencapaian kita sampai dengan saat ini sudah cukup menggembirakan, marilah kita isi pencapaian itu dengan mulai menumbuhkan mindset dan kultur yang tepat sehingga manfaat Basel II yang kita raih adalah manfaat yang optimum.
C. Memantapkan Koordinasi Terkait Crisis Resolution Hadirin sekalian yang berbahagia, Berkaitan dengan inisiatif crisis resolution , perlu kiranya saya menyampaikan terlebih dahulu latar belakang munculnya inisiatif ini. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997 merupakan krisis yang sangat mahal baik dipandang dari aspek finansial maupun pelajaran yang dipetik. Terkait dengan hal ini, ada tiga policy response utama dari Bank Indonesia, yaitu pertama, upayaupaya yang dilakukan untuk memperbaiki kembali sistem perbankan dan perekonomian paska krisis melalui restrukturisasi perbankan, kedua, upaya mencegah terjadinya krisis di masa mendatang melalui penguatan sistem perbankan sebagaimana dilakukan oleh API serta implementasi Basel II, dan ketiga adalah upaya melakukan persiapan jika krisis kembali berulang. Dalam rangka menciptakan mekanisme resolusi krisis, Pemerintah telah membentuk Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) dimana BI merupakan salah satu unsur yang memainkan peran yang penting. JPSK merupakan mekanisme yang dibentuk dalam kerangka kerja macro-prudential dan bertujuan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan serta melindungi kepentingan pengguna jasa keuangan. Mengingat sistem keuangan terdiri dari berbagai industri, maka cakupan JPSK tidak saja meliputi bank, tetapi juga lembaga keuangan bukan bank, pasar modal dan sistem pembayaran. Agar JPSK dapat berjalan secara efektif, kualitas pengaturan dan pengawasan yang tinggi, fasilitas lender of last resort yang memadai, program penjaminan simpanan nasabah yang memadai, dan prosedur manajemen krisis keuangan yang jelas menjadi faktor yang kritikal. Koordinasi antar instansi yang terlibat (BI, Depkeu, dan LPS) menjadi hal yang sangat penting dalam konteks JPSK. Oleh karena itu, melalui Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) yang telah dicanangkan tahun lalu, Bank Indonesia telah dan akan terus memantapkan koordinasi dengan semua pihak terkait.
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
31
2.2.3. Inisiatif di Bidang Sistem Pembayaran Hadirin sekalian yang berbahagia, Di bidang sistem pembayaran nasional, Bank Indonesia telah menerapkan berbagai kebijakan strategis untuk membangun infrastruktur sistem pembayaran yang semakin handal, cepat, akurat, aman, dan efektif dalam menopang seluruh kegiatan transaksi swasta dan pemerintah di seluruh pelosok negeri. Sistem pembayaran yang demikian memiliki arti penting bagi pemeliharaan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Terjadinya gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, dapat menimbulkan risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat pula menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik pada sistem keuangan secara keseluruhan, termasuk gangguan serius pada stabilitas ekonomi makro. Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, Bank Indonesia telah dan akan terus mengupayakan penurunan berbagai risiko dalam sistem pembayaran nasional dan meningkatkan efisiensinya. Dalam kaitannya dengan sistem pembayaran nilai besar, Bank Indonesia telah terus meningkatkan kualitas sistem BI-Real Time Gross Settlement (RTGS) yang telah diimplementasikan sejak akhir tahun 2000. Sistem BI-RTGS yang merupakan sistem pembayaran dan penyelesaian transaksi secara real time, pada tahun 2007 memproses rata-rataΩ 33.000 transaksi per hari dengan nilai rata-rata Rp. 172 trilyun per hari. Menyadari pentingnya sistem BI-RTGS dalam menunjang kelancaran transaksi pembayaran, sebagai systemically important payment system, sistem BI-RTGS telah terus kami sempurnakan dengan mengacu pada The Core Principles for Sytemically Important Payment System (CP-SIPS) yang dikeluarkan oleh Bank for International Settlement. Keamanan dan kehandalan operasional sistem BI-RTGS juga terus kami tingkatkan dengan menyempurnakan perangkat keamanan dan keseluruhan teknologi informasi yang sudah diterapkan, termasuk peningkatan kualitas back up dan business continuity plan jika terjadi bencana alam. Selanjutnya, sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman dan handal, Bank Indonesia telah meningkatkan kualitas penyelenggaraan Kliring melalui pengembangan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI). SKNBI Ωyang diimplementasikan sejak 32
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
Juli 2005, pada tahun 2007 rata-rata telah memperoses 318.000 transaksi/hari dengan nilai rata-rata Rp.5,5 trilyun/hari. Dengan implementasi SKNBI, penggunaan nota kredit untuk transfer dana antar Bank melalui Kliring yang dipandang sudah tidak efisien khususnya terkait dengan biaya pencetakan warkat dan prosedur pemrosesan warkat,kini dilakukan tanpa pertukaran fisik warkat (paperless). Penyelenggaraan kliring kredit secara paperless telah dapat dan akan dilakukan secara nasional yang memungkinkan peserta mengirimkan transfer kredit untuk tujuan kantor Bank di seluruh wilayah Indonesia. Berkenaan dengan upaya menerapkan prinsip-prinsip perlindungan konsumen, Bank Indonesia telah mengatur mengenai kewajiban dan tanggung jawab bank yang mengirimkan instruksi transfer dan menerima transfer melalui sistem BI-RTGS atau SKNBI. Peraturan tersebut pada prinsipnya berupaya untuk melindungi kepentingan nasabah yang mengirimkan instruksi transfer atau menerima transfer, sehingga efisiensi dan keamanan sistem pembayaran dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Perkembangan sistem pembayaran non tunai, khususnya pembayaran dengan menggunakan kartu juga telah mendorong Bank Indonesia untuk mengeluarkan ΩPBI No. 7/52/PBI/2005 tanggal 28 Desember 2005 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu (APMK) serta beberapa Surat Edaran Ekstern yang terkait dengan tata cara penyelenggaraan kegiatan APMK, Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian, dan Peningkatan Keamanan Dalam Penyelenggaraan Kegiatan APMK, serta Ωpengawasan Penyelenggaraan Kegiatan APMK. Ω Untuk mendorong terbentuknya industri kartu kredit yang sehat, saat ini Bank Indonesia secara aktif mendorong terbentuknya self regulating organization (SRO) yang mampu menyusun sendiri standar yang akan dipakai dalam industri kartu kredit di Indonesia. Dengan mekanisme SRO, standar yang ditetapkan akan mampu menjaga keamanan instrumen kartu kredit dan menjaga persaingan dalam level yang sehat. Sementara itu, untuk mengantisipasi kebutuhan masyarakat dan perkembangan instrumen pembayaran non tunai, Bank Indonesia memfasilitasi munculnya instrumen pembayaran elektronik (e-money) Ωdan menyiapkan kebijakan dan ketentuan yang mengatur penyelenggaraan e-money agar instrumen ini dapat berjalan efisien dan aman. Bank Indonesia menilai penting pengembanganΩinstrumen pembayaran non tunai berskala mikro sebagai pelengkap instrumen high value dan low/retail value yang sudah ada saat ini.
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
33
Instrumen pembayaran mikro ini dirancang untuk melayani pembayaran bernilai sangat kecil dengan frekuensi pemakaian tinggi serta proses pembayaran sangat cepat. Instrumen pembayaran mikro yang dapat efektif untuk keperluan itu adalah e-money. E-money adalah instrumen pembayaran mikro yang merupakan stored value facility instrument.Ω E-money memiliki kemudahan untuk dapat diisi ulang melalui berbagai sarana yang disediakan oleh penerbit, sehingga emoney dapat menjangkau seluruh segmen masyarakat termasuk yang belum memiliki akses kepada perbankan untuk menggunakan instrumen pembayaran non tunai. Dalam upaya memberikan layanan yang lebih baik kepada Pemerintah, Bank Indonesia sebagai kasir pemerintah yang menatausahakan berbagai rekening penerimaan dan pengeluaran pemerintah, Ωpada bulan Desember tahun 2007 telah mengimplementasikan Sistem Bank Indonesia Government √ Electronic Banking (BIG-eB). Sistem BIG-eB adalah suatu system layanan yang disediakan Bank Indonesia kepada DepKeu untuk memfasilitasi DepKeu mendapatkan informasi serta melakukan transaksi secara elektronik dan on-line atas Rekening Pemerintah yang ditatausahakan di Bank Indonesia. ΩFasilitas ini diharapkan dapat menjawab kebutuhan Pemerintah akan treasury single account dan memudahkan Pemerintah dalam pengelolaan seluruh rekeningnya.
2.2.4. Inisiatif di Bidang Sektor Riil
Hadirin sekalian yang berbahagia, Sejak saya pertama berbicara dalam forum ini, dan seperti yang telah dikemukakan pada tahun-tahun sebelumnya, ada beberapa hal fundamental yang menjadi pokok perhatian Bank Indonesia dalam mengemban tugasnya sebagai suatu lembaga negara yang melakukan fungsinya sebagai bank sentral. Satu hal yang secara institusional melekat pada hampir semua bank sentral di dunia adalah fungsi vital bank sentral dalam menjaga kestabilan ekonomi makro nasional. Fungsi ini menyebabkan ruang gerak operasional yang ada di tangan bank sentral dibatasi oleh instrumen yang dimilikinya. Bank sentral tidak dapat bergerak secara langsung diluar itu karena tidak memiliki instrumennya dan juga tidak ada niat sedikitpun untuk melakukan itu. Namun, disisi lain perkembangan dalam sektor riil perlu selalu menjadi perhatian bank sentral, terutama karena perkembangan yang kurang sehat di sektor riil dapat mengganggu kestabilan ekonomi yang menjadi fokus dari bank sentral.
34
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
Oleh karena itu, adalah suatu bagian integral dari tugas bank sentral untuk senantiasa mengikuti perkembangan dalam semua sektor perekonomian Indonesia dan dari waktu ke waktu memberikan sinyalemen mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan, serta menyumbang pada upaya-upaya mikro-struktural untuk memperbaiki kondisi di sektor riil. Hal ini kami rasa perlu untuk dilakukan terutama mengingat bahwa setiap kali bank sentral menempuh kebijakan yang perlu diambil untuk menjaga stabilitas perekonomian nasional, tidak ada satu sektor pun yang tidak tersentuh oleh kebijakan itu, baik langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, agaknya kurang bijaksana apabila bank sentral tidak mengambil sikap yang lebih peka terhadap perkembangan yang sedang terjadi secara meluas dalam kehidupan perekonomian dan sosial yang dapat mengandung dampak yang luas terhadap kestabilan jangka panjang dari perekonomian kita. Disamping itu, mungkin merupakan sesuatu yang kurang bijaksana apabila bank sentral bersikap mekanik dan birokratik dalam perhatiannya mengenai perkembangan yang terjadi dalam perekonomian kita. Oleh karena itu, Bank Indonesia telah pula mengambil langkah-langkah yang secara langsung terkait dengan pemberdayaan sektor riil tanpa keluar dari khittahnya sebagai penjaga gawang stabilitas, baik dalam bentuk peningkatan peran Bank Indonesia dalam policy advisory maupun dalam fasilitasi pengembangan perekonomian rakyat. Terkait dengan policy advisory, pada pertengahan tahun lalu Bank Indonesia telah menggulirkan program kerja multi-year yaitu Reorientasi Kantor Bank Indonesia di daerah. Langkah tersebut dilakukan agar Bank Indonesia dapat menjadi lebih proaktif dalam pemantauan perkembangan ekonomi dan sosial di seluruh Nusantara dalam bentuk yang sesuai dengan perkembangan di negara kita, dan dalam menjalin kemitraan strategis dengan Pemerintah Daerah. Sementara itu terkait dengan kebijakan fasilitasi, Bank Indonesia telah menggulirkan program pilot project klaster UMKM dan Tim Fasilitasi Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Daerah (TFPPED) sebagai upaya untuk mengembangkan perekonomian daerah dan sektor UMKM melalui technical assistance dari Bank Indonesia. Tim ini dibentuk untuk mempercepat pemberdayaan ekonomi daerah melalui peningkatan fungsi intermediasi perbankan. Hal ini dilakukan melalui implementasi hasil-hasil kajian dan penelitian, program-program baik di pusat maupun daerah guna meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, serta pengendalian inflasi. Pada saatnya nanti, sebagai bagian dari program revitalisasi dan reorientasi KBI, Task Force ini akan menyatu dengan tugas-tugas Kantor Bank Indonesia. Keanggotaan Tim terdiri dari unsur pimpinan Pemda,
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
35
Bank Indonesia (pusat maupun daerah), perbankan, asosiasi dan instansi atau lembaga terkait lainnya. Sebagai pilot project, TFPPED dibentuk di delapan Kantor Bank Indonesia di daerah yaitu Bandung, Medan, Manado, Cirebon, Pontianak, Jambi, Kupang dan Purwokerto. Inisiatif lain yang terkait dengan kebijakan fasilitasi adalah pengguliran Data Informasi Bisnis Indonesia (DIBI). DIBI adalah sebuah upaya untuk mengurangi kesenjangan informasi, asymmetric information, antara perbankan dan sektor riil yang kami tengarai sebagai salah satu dari berbagai penyebab masih belum optimalnya fungsi intermediasi perbankan saat ini. Rancangan arsitektur informasi yang dibangun dalam DIBI diharapkan dapat memenuhi kebutuhan informasi kalangan perbankan dan para pelaku ekonomi UMKM di berbagai daerah di Indonesia. Bagi pelaku ekonomi UMKM, DIBI kami harapkan dapat menambah wawasan yang dapat melahirkan ide mengenai peluang usaha baru, maupun untuk kebutuhan ekspansi usaha. Sedangkan bagi perbankan, DIBI kami harapkan dapat mendorong kreatifitas dalam penyaluran kredit. Sebagai tahap awal, rancangan arsitektur informasi pada DIBI disesuaikan dengan resources informasi yang tersedia di Bank Indonesia saat ini termasuk kajian-kajian ekonomi regional yang secara berkala telah kami lakukan. Sifat informasi makro maupun mikro yang disajikan diupayakan kental atau bersentuhan dengan kebutuhan pelaku ekonomi UMKM baik langsung maupun tidak langsung. Sesuai dengan tujuannya, pengembangan DIBI ke depan akan diarahkan pada fasilitas penyajian data dan informasi yang lebih bernuansa mikro bisnis. Disamping menggulirkan berbagai inisiatif yang akan menjadi tugastugas rutin baru kedepan, Bank Indonesia juga telah melakukan langkah strategis bersama-sama dengan pemerintah didalam mengarahkan kegiatan anak-anak perusahaan Bank Indonesia yang harus didivestasi sebelum tahun 2009 mendatang. Dalam proses divestasi Askrindo, porsi kepemilikan saham Bank Indonesia telah berkurang dari 55% menjadi hanya tinggal 17,6% setelah Pemerintah menyetorkan modal sebesar Rp.850 miliar. Setoran modal oleh Pemerintah kepada Askrindo ini, memiliki arti yang sangat penting didalam mengatasi kendala tingginya persepsi risiko usaha dikalangan perbankan. Dengan tambahan modal tersebut kemampuan Askrindo untuk menjamin kredit yang disalurkan perbankan semakin meningkat. Terkait dengan hal ini, pada tanggal 5 November 2007 lalu, Pemerintah telah meresmikan program Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang dalam proses penyalurannya oleh perbankan, kredit tersebut dijamin oleh Askrindo.
36
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
Terkait dengan keberadaan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), perusahaan ini juga terus memberikan kontribusi yang cukup signifikan di dalam memberikan pembiayaan dan pendampingan usaha kepada UMKM. Melalui anak perusahaan PT Bahana Artha Ventura (BAV), saat ini terdapat lebih dari 90 ribu pelaku UMKM yang menerima pembiayaan dan berada dalam pembinaan perusahaan ini. Terlepas dari kendala keterbatasan permodalan yang saat ini dihadapi oleh BPUI karena masih belum terlaksananya rencana konversi utang RDI Pemerintah menjadi penyertaan modal, BAV melalui business plan yang terakhir merencanakan untuk terus menyalurkan pembiayaan usaha kepada UMKM, yang diperkirakan akan dapat mencapai jumlah sekitar 275 ribu pelaku hingga tahun 2012 mendatang. Penyaluran pembiayaan kepada UMKM ini diperkirakan memiliki potensi penyerapan tenaga kerja mencapai sekitar 2,5 juta pekerja.
III. Tantangan dan Prospek Perekonomian Kedepan 1. Tantangan Perekonomian Kedepan Hadirin sekalian yang berbahagia Berbagai inisiatif-inisiatif strategis yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia sejak tahun 2003 sampai akhir 2007 sebagaimana yang telah saya uraikan tadi, masih jauh dari selesai. Kami masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang tersisa yang perlu segera dituntaskan untuk lebih memperkuat lagi ketahanan sistem keuangan kita menghadapi berbagai tantangan kedepan yang semakin berat. Beberapa dari tantangan-tantangan tersebut yang sudah dan sedang kita hadapi saat ini akan terus berlanjut dalam 5 tahun kedepan dengan intensitas yang semakin besar. Sementara itu, kami juga melihat adanya tantangan-tantangan baru dalam perekonomian kedepan yang perlu kita antisipasi dari sekarang. Dalam konteks tantangan-tantangan tersebut, perlu kiranya saya sampaikan bahwa kita tidak dapat dan tidak boleh berasumsi bahwa stabilitas sistem keuangan kita kedepan akan terus berlanjut. Asumsi seperti itu dapat menyebabkan kita terjebak pada zona kenyamanan yang melunturkan kemampuan kita mengikuti perkembangan jaman dan mengantisipasi masalah secara lebih dini. Oleh karena itu, ijinkanlah saya pada bagian ini menguraikan pandangan-pandangan tentang tantangan-tantangan terhadap sistem keuangan dan perekonomian kita yang menuntut kerja keras semua pihak untuk mengantisipasinya demi memantapkan lagi stabilitas sistem keuangan dan menjamin bahwa pencapaian ekonomi yang telah kita peroleh di tahun 2007 dapat terus meningkat dan berkelanjutan.
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
37
1.1. Perubahan di Pasar Keuangan Global Hadirin sekalian yang berbahagia, Salah satu tantangan besar yang dihadapan kita yang semakin menguat intensitasnya kedepan adalah adanya perubahan-perubahan pada sistem keuangan dunia. Perubahan-perubahan yang telah berlangsung setidaknya sejak dekade 1980-an ini memberi implikasi pada meningkatnya potensi berulangnya krisis keuangan jika kita tidak menyikapi perubahan-perubahan tersebut dengan lebih memperkuat lagi pencapaian terkait stabilitas sistem keuangan. Percepatan perubahan tersebut terasa semakin meningkat intensitasnya seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat. Kita menyaksikan perubahan yang berjalan dengan laju yang sangat pesat antara lain pada inovasi instrumen-instrumen derivatif dan berbagai bentuk instrumen keuangan terstruktur (structured finance). Inovasi dan perkembangan instrumen tersebut menambah kompleksitas dan tingkat keterkaitan transaksi keuangan. Hal tersebut ditopang pula oleh semakin meningkatnya ekses likuiditas di pasar keuangan global dan semakin bervariasinya permintaan konsumen terhadap instrumen keuangan yang sesuai dengan profil risiko mereka. Perubahan penting ini kemudian telah diikuti pula oleh semakin kaburnya batas antara peran intermediasi yang dilakukan oleh perbankan tradisional dan pelaku pasar nonbank, dimana perbankan di pasar keuangan global cenderung kian menjauh dari relationship lending dan lebih mendekat pada strategi sekuritisasi aset dan memperjualbelikan instrumen yang didapat di kemas ulang untuk diperdagangkan di pasar sekunder dalam rangka risk transfer. Sejalan dengan semua itu, kita juga melihat semakin meningkatnya keterkaitan antar pasar-pasar keuangan didunia sebagaimana yang tercermin pada membesarnya volume transaksi keuangan antar negara (cross-border financial flows). Korelasi antar pasar yang semakin meningkat tersebut ditunjang oleh bermunculannya pemain-pemain baru, dan pelaku pasar keuangan yang besar, yang beroperasi lintas negara, baik yang dimiliki oleh swasta, seperti hedge funds, maupun yang merupakan anak perusahaan dari badan usaha milik negara, seperti sovereign wealth funds. Hal lain yang kemudian menambah pada cross-border financial flows tersebut adalah kegiatan pengelolaan portofolio aset yang dilakukan oleh perusahaan dana pensiun dan asuransi dari negara-negara besar, serta pemunculan ulang dari kegiatan leveraged buy out yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan private equity.
38
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
Perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem keuangan global tersebut, telah turut memperbesar ekses likuiditas global, sejalan dengan semakin bervariasinya sumber-sumber likuiditas untuk pembiayaan, semakin murahnya biaya financing akibat penurunan secara permanen laju inflasi global dalam 1 dekade terakhir, dan bermunculannya pusat-pusat pertumbuhan baru yang menopang wealth creation kelas menengah baru (∆new money∆) dalam perekonomian global, khususnya di negara-negara berkembang. Bagi perekonomian kita yang menganut rejim devisa bebas, berbagai perubahan di sistem keuangan global dan meningkatnya ekses likuiditas global tersebut telah membuat sistem keuangan domestik terasa dangkal, dengan instrumen-instrumen yang masih didominasi oleh saham, SUN dan SBI. Persoalan kemudian timbul karena walaupun dangkal, imbal hasil di pasar keuangan kita dalam beberapa tahun terakhir ternyata menarik bagi para investor jangka pendek. Di pasar saham, imbal hasil yang menarik tersebut didukung oleh prospek laba korporasi yang membaik, IPOs, dan stabilitas ekonomi makro. Sementara itu, adanya perbedaan produktifitas antara kita dan negara-negara maju, telah menyebabkan adanya spread tertentu antara suku bunga kita dengan suku bunga di negara-negara maju sehingga cenderung mengundang investasi portofolio masuk ke pasar keuangan kita, melalui carry trade, baik itu ke instrumen saham, maupun ke risk free instruments , seperti SUN dan SBI. Walaupun aliran modal masuk jangka pendek berguna untuk memenuhi kebutuhan financing nasional dalam jangka pendek, namun ia juga sangat volatile dan rentan terhadap sudden reversal karena sensitif terhadap perubahan ekspektasi dan pada momen-momen tertentu sarat akan perilaku irasional. Sensitifitas terhadap perubahan ekspektasi tersebut saat ini ditunjukkan oleh sensitifitas nilai tukar rupiah terhadap perubahan risk appetite investor global terhadap debt instrument berdenominasi US dollar yang dikeluarkan oleh negara-negara berkembang, termasuk yang dikeluarkan oleh Republik Indonesia melalui pasar keuangan internasional. Dalam 2 tahun terakhir ini, kami mencermati bahwa terdapat hubungan positif yang semakin menguat antara nilai tukar rupiah dan pergerakan EMBIG spread (Grafik 4). Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pengelolaan stabilitas nilai rupiah oleh Bank Indonesia. Sementara itu, aliran modal masuk jangka pendek juga dapat mengirim sinyal yang salah tentang kondisi fundamental nilai rupiah kita, sehingga nilai tukar dapat mengalami misalignment yang cukup serius yang mengundang kegiatan spekulasi jika kita salah dalam menyikapinya.
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
39
5,0
4,50
4,0 3,0
2,54
2,0 1,0 0,35
0,0 -1,0 -1,68
-2,0 2004
2005
2006
2007
Grafik 4. Sensitifitas Nilai Rupiah Terhadap EMBIG Spread
Semua hal yang saya sebutkan diatas memberi implikasi pada pemeliharaan stabilitas ekonomi makro sebagai salah satu pilar penopang keseluruhan stabilitas sistem keuangan kita. Tingginya ketidakpastian membuat tugas kebijakan moneter menjadi lebih kompleks. Sementara itu, walaupun digemari oleh para spekulan, volatilitas nilai tukar dapat menimbulkan dampak yang negatif pada ekspektasi inflasi melalui ekspektasi dampak passthrough effects-nya . Volatilitas nilai tukar yang berlebihan juga dapat menimbulkan balance sheet effect pada korporat dan insititusi-institusi keuangan, terutama ketika kewajiban dalam valasnya tidak di-lindung nilai (hedging). Dalam kaitan ini pula, volatilitas nilai tukar dapat menyebabkan aktivitas perdagangan internasional menjadi terganggu, karena adanya keterbatasan kapasitas eksportir maupun importir dalam melakukan penyesuaian terhadap perubahan nilai tukar. Selain itu, ketika Pemerintah memiliki utang dalam valas seperti di Indonesia, volatilitas nilai tukar dapat mengganggu market valuation terhadap SUN dan kesinambungan fiskal. Oleh karena itu, dari sisi pengelolaan stabilitas makro ekonomi, kebijakan nilai tukar kita dalam keseluruhan framework kebijakan moneter perlu mendapat perhatian khusus. Dalam kaitan ini, kami melihat bahwa kebijakan-kebijakan intervensi yang terukur yang kami lakukan selama ini untuk melakukan smoothing terhadap volatilitas nilai tukar, tanpa memaksakan suatu level tertentu, tidak inkonsisten dengan fokus kami pada stabilitas nilai rupiah dalam jangka menengah panjang. Perlu pula saya sampaikan disini bahwa kebijakan Bank Indonesia terhadap volatilitas nilai tukar, baik melalui kebijakan intervensi yang
40
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
terukur, kebijakan suku bunga BI rate, maupun kebijakan prudential perbankan, sampai saat ini masih efektif. Namun kedepan, Bank Indonesia melihat perlunya perbaikan-perbaikan pada mekanisme OPT dan infrastruktur pasar uang jangka pendek untuk memperbaiki yield curve dalam sistem keuangan kita. Saya akan kembali pada topik ini di bagian akhir pemaparan saya malam ini. Sementara itu, bagi ketahanan stabilitas sistem perbankan sebagai pilar lain stabilitas sistem keuangan, saya dapat menyampaikan bahwa walaupun berbagai stress-testing yang dilakukan oleh Bank Indonesia menunjukkan bahwa perbankan kita mampu menghadapi risiko pasar terkait instabilitas makro, kita tetap perlu memperkokoh lagi ketahanan industri perbankan. Demikian halnya karena keyakinan perbankan akan kekuatan dirinya dapat dengan mudah menimbulkan aktifitas yang melampaui kemampuan (overstretch). Bank Indonesia tidak ingin hal itu terjadi di masa depan.
1.2. Perubahan di Pasar Barang Dunia Hadirin sekalian yang berbahagia, Tantangan lainnya bagi perekonomian Indonesia ke depan adalah perubahan mendasar di pasar barang global. Ada tiga hal penting yang patut dicermati secara seksama dalam kaitan ini, yaitu perubahan struktural di pasar enerji dunia, harga pangan internasional dan dampak pemanasan global (global warming). Ketiga faktor tersebut saling terkait dan jika tidak disikapi secara hatihati dapat memberikan dampak yang negatif terhadap perkembangan ekonomi domestik. Dalam beberapa tahun terakhir, perkembangan harga komoditas, terutama minyak dunia, telah terus mengalami kenaikan secara signifikan. Secara fundamental, kenaikan harga minyak tersebut mencerminkan kenaikan permintaan di tengah semakin ketatnya produksi. Walaupun permintaan enerji berbasis fosil dari negara-negara OECD, seperti AS, negara-negara Eropa dan Jepang cenderung melemah karena musim dingin yang lebih hangat di belahan bumi utara terkait dengan efek pemanasan global, kita mencermati bahwa telah terjadi perubahan struktural di pasar enerji. Perubahan ini muncul karena terdapat kenaikan permintaan secara signifikan yang berasal dari Cina, India dan negara-negara berkembang lainnya, seiring dengan meningkatnya kegiatan perekonomian mereka. Sementara itu, produksi minyak dunia cenderung stagnan.
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
41
Perlombaan global untuk menyediakan sumber-sumber enerji alternatif telah menimbulkan peningkatan harga pangan internasional. Dalam delapan bulan pertama 2007 misalnya, rata-rata harga pangan internasional ƒkhususnya jagung, gandum dan kacang kedelaiƒ naik hingga 10,5%. Salah satu penyebab kenaikan harga makanan tersebut adalah meningkatnya produksi biofuel, yang telah meningkatkan permintaan terhadap komoditi jagung dan kedelai. Kenaikan harga minyak dunia telah mendorong insentif untuk kegiatan produksi biofuel. Bagi negara-negara sedang membangun, kenaikan harga pangan internasional tentu dapat berdampak buruk karena kita ketahui bersama bahwa kenaikan harga pangan akan meningkatkan biaya hidup baik langsung maupun tidak langsung melalui kenaikan harga non-makanan. Transmisi kenaikan harga makanan ke harga non-makanan akan lebih signifikan terjadi di negara sedang membangun daripada di negara maju karena porsi makanan yang cukup besar dalam pengeluaran rumah tangga di negara sedang membangun. Disisi lain terdapat faktor lain yang juga sedang mendorong kenaikan harga pangan internasional, yaitu pengaruh perubahan cuaca yang ekstrim terkait efek pemanasan global. Sebagai gambaran, kekeringan di Australia pada 2006 telah menurunkan produksi gandum hingga 60%. Para ahli memperkirakan bahwa efek pemanasan global tidak saja memberikan tekanan terhadap produksi pangan dunia, namun juga memberikan ancaman global, seperti meningkatnya permukaan air laut akibat pencairan es di kutub dunia, berubahnya arus utama laut dan meningkatnya kekeringan di sejumlah negara. Bagi kita di negara sedang membangun ancaman-ancaman ini cukup serius, karena terkait langsung dengan kemampuan mereka yang miskin untuk berhadapan dengan gejolak dan bencana alam. Kita menyadari bahwa pemanasan global adalah cermin dari fenomena global externality dimana pengaruh negatif bukanlah berasal dari current flow akan tetapi dari akumulasi stok yang sudah dan akan terjadi. Akibatnya generasi mendatang akan lebih merasakan dampak negatif dari pemanasan global tersebut.
1.3. Eksklusi Sosial-Ekonomi Hadirin sekalian yang berbahagia, Kalau kita merenungkan kembali krisis ekonomi yang kita alami 10 tahun lalu, tampaknya kita mempunyai cukup alasan untuk mengatakan bahwa krisis tersebut telah menimbulkan eksklusi sosial-ekonomi bagi kebanyakan manusia
42
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
Indonesia. Eksklusi tersebut timbul karena redistribusi pendapatan dan tentunya juga redistribusi kekuatan ekonomi-politik yang berlangsung secara tiba-tiba dalam perekonomian kita, ketika krisis itu menghantam. Eksklusi tersebut pada kehidupan mereka yang sudah miskin dan mereka yang menjadi miskin karena krisis, tidaklah teatrikal, tapi ia sangat nyata. Hasil akhir dari redistribusi tersebut saat ini masih terasa sangat menyesakkan bagi mereka yang berada di bagian bawah dari piramida sosial-ekonomi. Disparitas pendapatan yang melebar, kualitas pembangunan manusia yang menurun, dan informalitas tanpa proteksi sosial dalam pasar tenaga kerja yang meningkat, jika dibanding era pra-krisis adalah ekses-ekses krisis Asia yang saat ini sedang bersama-sama kita perjuangkan perbaikannya. Oleh karena itu, Bank Indonesia menyambut baik upaya-upaya yang sedang dilakukan saat ini untuk mempercepat perbaikan-perbaikan pada aspek-aspek kesejahteraan sosialekonomi masyarakat tersebut. Percepatan tersebut memang kita perlukan. Di era globalisasi ekonomi saat ini, percepatan penyelesaian persoalan eksklusi sosial merupakan tuntutan moral kemanusiaan kita. Eksklusi sosial menimbulkan kemampuan yang asimetris pada kedua kelompok dalam piramida sosial ekonomi dalam menyikapi shocks dalam perekonomian. Sementara itu, sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya, perekonomian kita kedepan menghadapi pula tantangan volatilitas yang lebih besar pada nilai tukar sebagai akibat cross-border capital flows dan harga-harga bahan makanan sebagai akibat perubahan struktural dalam perekonomian dunia. Kerentanan terhadap shocks menyebabkan si miskin yang lemah menjadi semakin lemah, sementara si kaya yang memiliki banyak cushion dapat dengan mudah melakukan penyesuaian. Kesenjangan seperti ini tentu mengganggu nilai kemanusiaan kita. Kesenjangan yang sangat kontras seperti itu diujungnya juga berpotensi menjadi feed-back yang negatif pada kesinambungan pencapaian perekonomian kita saat ini. Feed back negatif tersebut utamanya dapat muncul karena jebakan kemiskinan, a poverty trap, dan efek menetes keatas dalam perekonomian, ƒ a trickle up economy ƒ. Dengan kata lain, terdapat potensi munculnya sebuah lingkaran buruk dalam perekonomian kita. Semua ini tentu dapat menyulitkan proses kita memantapkan berbagai pencapaian positif sampai akhir 2007 lalu. Sementara itu, kesenjangan sosial-ekonomi juga akan mempersulit kita dalam menghadapi tantangan yang sudah sangat nyata di depan kita, yaitu perwujudan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Lemahnya kesejahteraan sosial-
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
43
ekonomi masyarakat dapat memberi dampak lanjutan yang merisaukan bagi bangsa kita di era integrasi ekonomi itu. Daya saing perekonomian kita dapat lebih rendah dari peer-group karena produktifitas total faktor produksi yang tidak sebanding, pasar domestik yang menciut, dan minat pengusaha untuk meningkatkan kapasitas produksi dan membentuk modal tetap di Indonesia menjadi lebih rendah. Kita kemudian menjadi kurang kompatibel bagi negara lain untuk menjalin kerja sama, sehingga di satu sisi kita menjadi kurang mampu untuk mengambil manfaat dari globalisasi dan di sisi lain kita hanya menerima imbas mudaratnya. Pandangan-pandangan yang saya sampaikan tadi menyiratkan pentingnya untuk melakukan penyesuaian cara pandang kita terhadap skala prioritas dalam meningkatkan berbagai pencapaian positif yang telah kita miliki saat ini. Ditengah lingkungan eksternal yang menimbulkan tantangan-tantangan berat dan lingkungan domestik yang semakin konvergen dengan derap langkah globalisasi, berbagai permasalahan terkait daya saing perekonomian memang perlu menjadi motivator kita dalam memantapkan lagi pencapaian yang sudah ada. Namun, dalam upaya meningkatkan daya saing perekonomian, tampaknya kita tidak dapat melupakan aspek inklusi sosial bagi seluruh anak bangsa. Tanpa empati tersebut daya saing yang tercipta tidak mungkin dapat berkesinambungan, karena daya saing itu tidak memberi makna pada kontrak sosial yang melandasi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Hadirin sekalian yang berbahagia, Terkait dengan persoalan eksklusi sosial sebagaimana yang telah saya sampaikan tadi, kita ditantang untuk memperbaiki kondisi sosial-ekonomi petani kecil dan pekerja lepas di sektor pertanian yang merupakan mayoritas pekerja dalam perekonomian kita. Sektor pertanian yang tidak mampu memberi kemaslahatan bagi para petani kecil dan pekerja lepas pertanian, dapat membawa keseluruhan perekonomian kita pada stagnasi yang berkelanjutan. Sementara itu, bagi ketahanan ekonomi nasional, sektor pertanian yang demikian tidak akan mampu mendukung ketahanan pangan dan tidak dapat diharapkan sebagai penyerap tenaga kerja nasional. Beberapa eksternalitas kemudian kita rasakan di pedesaan dan perkotaan dalam bentuk potensi jebakan kemiskinan dan inflasi harga bahan makanan yang persisten. Bagi Bank Indonesia, hal ini tentu menjadi concern.
44
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
Selain itu, kita juga berhadapan dengan fenomena paradox of growth. Fenomena ini muncul karena adanya kecenderungan pihak pengusaha untuk lebih banyak menggunakan modal dibandingkan dengan penggunaan tenaga kerja. Pilihan yang dilakukan oleh pengusaha tersebut tentu saja rasional. Dengan harga modal yang relatif turun mengingat semakin banyaknya likuiditas baik secara global maupun nasional, maka pilihan pengusaha tersebut masuk diakal, mengingat masih besarnya tantangan di pasar tenaga kerja kita. Dilihat dari kacamata global, fenomena ini adalah sebuah fenomena globalisasi kapitalisme dan pasar persaingan bebas yang menuntut pemilik modal untuk meningkatkan daya saing agar dapat merebut pangsa pasar. Salah satu cara untuk efisiensi adalah dengan mengganti manusia dengan skill rendah dengan mesin atau kapital yang padat teknologi. Proses technology switching ini akan semakin mengedepan di masa yang akan datang seiring dengan semakin canggihnya temuan-temuan baru di bidang teknologi produksi. Bagi kita di negara berkembang, fenomena ini tentu perlu kita cermati, terlebih dengan adanya fakta tambahan yang menunjukkan bahwa telah terjadi pula perlambatan pada pertumbuhan sektor manufaktur di era paska krisis jika dibandingkan dengan era pra-krisis. Pertumbuhan sektor manufaktur di era prakrisis secara rata-rata adalah 11,7% (1994-1997) sementara di era paska krisis menurun ke 5,2% (2003-2007). Perlambatan di industri manufaktur telah menyebabkan lebih besarnya peran sektor non-tradables. Jika mencermati lebih lanjut, perkembangan sektor non-tradables tersebut lebih banyak ditopang oleh kegiatan yang bernilai tambah rendah. Walaupun terdapat dampak positif dari perkembangan ini dalam bentuk menurunnya exchange-rate pass-through ke inflasi, terdapat pula dampak negatif berupa menurunnya nilai tambah yang dihasilkan oleh perekonomian secara keseluruhan. Dampak negatif ini berarti pula pendapatan permanen masyarakat secara rata-rata bertumbuh lebih rendah di era paska krisis dan berimplikasi pada pertumbuhan konsumsi swasta dan pasar domestik yang secara rata-rata juga lebih rendah dibanding pra-krisis. Dalam menyikapi fenomena paradox of growth ini kita perlu memastikan bahwa nilai tambah yang muncul dari perkembangan teknologi tidak terkonsentrasi pada pendapatan sebagian orang saja. Kita akan dituntut untuk semakin peka tentang perlunya redistributive income policy yang bersih, efisien, dan tepat sasaran yang menjamin bahwa mereka yang memiliki kelebihan dapat berbagi dengan mereka yang tertinggal secara sosial-ekonomi. Selain itu insentif kebijakan untuk mengembangkan dan memperkuat pertumbuhan kegiatan usaha
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
45
mikro, kecil dan menengah yang padat karya terutama di non-farm sectors di pedesaan perlu pula kita pikirkan bersama agar tersedia jaring pengaman yang cukup bagi masyarakat untuk bermanuver ketika terjadi shocks yang kurang menguntungkan bagi perekonomian.
1.4. Persistensi Inflasi Hadirin sekalian yang berbahagia, Tantangan lain yang juga perlu mendapat perhatian khusus kita adalah kekakuan laju inflasi kita untuk dapat bergerak ke laju yang lebih rendah. Banyak alasan yang dapat memotivasi kita untuk segera menyikapi tantangan ini dengan komitmen yang tak terpatahkan. Salah satunya adalah bahwa dengan laju inflasi yang secara permanen lebih rendah dan semakin konvergen ke laju inflasi mitra dagang, maka ketahanan fundamental perekonomian makro dan neraca pembayaran kita akan lebih meningkat lagi. Namun bagi Bank Indonesia motivasi yang terpenting adalah bahwa pencapaian laju inflasi yang secara permanen lebih rendah dapat mengurangi tekanan eksklusi sosial sebagaimana yang telah saya sampaikan di atas. Inflasi yang rendah akan mempertahankan kesinambungan daya beli rakyat miskin yang jumlahnya banyak sekali di negeri ini dan membantu upaya bersama mencapai kualitas pembangunan ekonomi yang lebih baik bagi seluruh rakyat. Kita telah memahami bersama bahwa peningkatan jumlah masyarakat miskin dapat terjadi melalui kenaikan laju inflasi karena meningkatnya laju inflasi akan mengikis daya beli masyarakat, jika pendapatan nominal yang diterima bertumbuh lebih rendah. Selain itu, inflasi yang tinggi juga akan memperbesar ketimpangan pendapatan dalam masyarakat karena adanya kemampuan asimetris antara mereka yang kaya dan miskin dalam menyikapi kenaikan harga-harga. Namun upaya untuk menurunkan laju inflasi secara permanen bukanlah hal yang mudah karena adanya fakta-fakta berikut terkait laju inflasi IHK kita. Laju inflasi IHK kita sangat dipengaruhi oleh inflasi bahan makanan (volatile food) yang bersifat persisten. Persisten dalam hal ini berarti bahwa setiap terjadi shock, inflasi pada kelompok ini cenderung lama untuk kembali pada laju semula. Sebagaimana yang dapat saya tunjukkan pada Grafik 5, dapat dilihat bahwa walaupun laju inflasi IHK sudah kembali «normal» paska gejolak di 2005, akan tetapi inflasi volatile food masih cenderung persisten pada laju yang tinggi.
46
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
%, yoy
%, yoy 50
21 Periode
19
2005 2006 2007
17
Rata-rata (YoY) inti volatile adm 7,5 11,0 18,8 8,8 16,9 24,6 5,9 12,5 2,8
40 30
15 13
20
11
10
9
IHK Inti (trimmed) Inti (exclusion) Volatile Foods Adm Prices (RHS)
7 5
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2005
2006
-10
2007
Grafik 5. Inflasi dan Komponennya
Banyak hipotesa yang telah diajukan mengenai sumber persistensi tersebut. Namun salah satu yang sering diajukan adalah bahwa persistensi itu dapat timbul karena adanya inefisiensi akibat ketidaksempurnaan pada pasar distribusi barang bahan makanan. Beberapa faktor hipotetikal dapat menyebabkan ketidaksempurnaan tersebut seperti kurang berkembangnya pasar-pasar yang terkait dengan (a) penyediaan jasa logistik, transportasi, dan infrastruktur transportasi bahan makanan, dan (b) penyediaan jasa pengelolaan nilai waktu barang perishable bagi produsen, serta (c) penyediaan informasi pasar yang simetris bagi produsen pemasok, pengumpul, dan retailer. Hipotesa lain yang juga dapat diajukan sebagai faktor yang menimbulkan inefisiensi pasar distribusi bahan makanan adalah distorsi yang ditimbulkan oleh kebijakan yang berpihak hanya pada pelaku pasar tertentu sehingga muncul praktek oligopsoni dan oligopoli di pasar distribusi serta aktifitas rent-seeking. Jika kita berasumsi bahwa hipotesahipotesa ini sahih adanya, maka persistensi inflasi harga bahan makanan adalah fenomena ekonomi mikro. Ini berimplikasi pada kurang relevannya kebijakan moneter sebagai instrumen pengendali langsung inflasi bahan makanan, dan menyiratkan pentingnya untuk melakukan kajian ekonomi mikro yang lebih mendalam terkait pasar distribusi bahan makanan di seluruh daerah di nusantara, agar kita dapat merumuskan kebijakan yang tepat dan efektif. Untuk yang terakhir ini, kita juga dapat termotivasi oleh sebuah fakta bahwa dalam 4 tahun terakhir terdapat disparitas laju inflasi IHK daerah. Sebagaimana yang ditunjukkan di Grafik 6, dalam kurun 4 tahun terakhir terdapat 34 kota dari 45 kota yang disurvei oleh BPS yang menunjukkan laju inflasi IHK diatas laju inflasi nasional.
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
47
yoy % 12,00 11,00 10,00 9,00 8,00 7,00 6,00
Rata-rata Inflasi Kota (tahun 2004-2007*) Nasional DENPASAR BATAM SURAKARTA AMBON SAMPIT PALANGKARAYA SURABAYA MALANG JAKARTA CIREBON SEMARANG PONTIANAK MANADO MAKASSAR SERANG/CILEGON PANGKAL PINANG JEMBER MATARAM PURWOKERTO KEDIRI BALIKPAPAN BANDUNG SAMARINDA PALU PEKANBARU GORONTALO BANJARMASIN BANDAR TERNATE YOGYAKARTA JAMBI PEMATANG SIBOLGA MEDAN KUPANG TEGAL PADANG PADANG LHOKSEUMAWE TASIKMALAYA BENGKULU JAYAPURA PALEMBANG KENDARI BANDA ACEH
5,00
Grafik 6. Disparitas Laju Inflasi IHK Daerah
Laju inflasi IHK kita juga tampaknya mempunyai kecenderungan jangka panjang, atau inflasi inti, yang kaku yang sulit untuk dibawa ke laju yang lebih rendah (sticky inflation). Data menunjukkan bahwa sejak tahun 1990, inflasi terendah yang pernah dicapai adalah sekitar 5% pada periode sesaat sebelum krisis, yaitu antara Tw III / 1996 dan Tw II / 1997, dan antara Tw IV / 2003 and Tw I / 2004 . Sementara itu, penelitian kami menunjukkan bahwa di era paska krisis ini komponen permanen pembentuk inflasi masih cukup tinggi dan berada sekitar 5% per tahun. Dengan adanya fakta-fakta ini muncul pertanyaan selanjutnya yaitu tingkat inflasi berapa yang terendah yang dapat kita capai dalam jangka menengah-panjang? Mampukah kita mencapai inflasi permanen yang berkisar antara 2% dan 3% pertahun seperti di negara-negara mitra dagang? Apakah terdapat faktor tertentu yang terkait dengan karakteristik perekonomian kita yang menyebabkan tingkat inflasi kita secara permanen lebih tinggi dari pada mitra dagang utama? Saya berpandangan bahwa masih tingginya perbedaan inflasi kita dengan mitra dagang terkait erat dengan pembentukan ekspektasi di masyarakat yang cenderung melihat ke masa lalu dimana laju inflasi kita belum pernah secara permanen berada pada laju rata-rata dibawah 5%. Terdapat beberapa hipotesa yang dapat menjelaskan hal ini. Pertama adalah bahwa kebijakan moneter masih mempunyai ruang untuk meningkatkan kredibilitasnya lebih lanjut. Sejak implementasi ITF sudah terdapat tanda-tanda bahwa rata-rata laju inflasi inti, yang pergerakannya banyak dipengaruhi oleh kredibilitas kebijakan moneter telah menunjukkan rata-rata yang menurun sejak 2003, menuju ke laju yang secara
48
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
signifikan berada dibawah laju inflasi inti sebelum krisis. Tren linier rata-rata laju inflasi inti sejak 2003 tercatat sebesar 7% per tahun, sementara tren yang sama untuk periode 1992 √ 1997 adalah sebesar 8.50%. Ini berarti sejak diterapkannya ITF telah ada penurunan tren jangka panjang laju inflasi inti sebesar 1.5 poin persentase. Kedepan kita dapat lebih yakin bahwa dengan konsistensi penerapan ITF, kredibilitas kebijakan moneter dapat lebih meningkat lagi sehingga tren jangka panjang laju inflasi inti dapat menurun lagi secara permanen.
Kedua, kemampuan inflasi inti dan komponen permanen inflasi untuk bergerak ke laju yang lebih rendah tertahan oleh masih banyaknya ruang bagi perbaikan produktifitas dan efisiensi perekonomian secara keseluruhan. Perbaikanperbaikan pada aspek ini akan berdampak pada aspek ekonomi mikro pembentukan laju inflasi inti, khususnya pada perbaikan kapasitas perekonomian untuk memasok barang dan jasa. Melalui perbaikan kapasitas yang berkelanjutan, tekanan permintaan akan barang dan jasa dapat terserap sehingga perekonomian tidak inflatoir. Pelaku pasar yang sehari-hari bergelut dengan pasokan dan distribusi barang dan jasa akan mencermati perbaikan-perbaikan tersebut dan kemudian memasukkannya dalam rencana perubahan harga jual mereka kedepan. Ekspektasi positif yang terbentuk selanjutnya akan membantu penurunan laju inflasi inti ke lintasan yang secara permanen lebih rendah. Adanya keterkaitan yang erat antara laju inflasi dengan produktifitas dan efisiensi perekonomian aspek memberi implikasi bahwa kebijakan disinflasi perlu diterapkan dengan senantiasa memperhatikan prinsip pentahapan (gradualism) dan keseimbangan (balance). Kebijakan moneter yang terlalu ketat ditengah produktifitas dan inefisiensi perekonomian yang masih memiliki ruang untuk perbaikan, dapat menimbulkan resesi. Sementara iu, kebijakan moneter yang terlalu longgar ditengah produktifitas dan inefisiensi yang demikian dapat membuat perekonomian menjadi inflatoir dan tidak pro-poor. Kenaikan hargaharga yang terjadi akan menggerus daya beli masyarakat miskin kita sehingga kesenjangan sosial-ekonomi menjadi melebar. Sementara itu, adanya keterkaitan erat laju inflasi dengan aspek-aspek struktural memberi implikasi bahwa untuk melakukan proses disinflasi yang kredibel diperlukan koordinasi yang menyeluruh dan terpadu dari seluruh instansi dalam pemerintahan termasuk Bank Indonesia. Secara umum koordinasi tersebut dapat dilakukan dengan membagi arah kebijakan menjadi 3 bagian besar. Pertama adalah senantiasa menjaga agar stabilitas internal dan eksternal nilai rupiah tetap terjaga melalui kebijakan moneter yang pre-emptive dan berhati-hati serta kebijakan pasar
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
49
uang, perbankan dan sistem pembayaran yang selalu memperkokoh stabilitas sistem keuangan. Arah kebijakan yang pertama ini merupakan tanggung jawab Bank Indonesia dan bertujuan untuk mengurangi risiko instabilitas di sektor keuangan yang dapat mengganggu stabilitas nilai rupiah. Kedua adalah memelihara ketahanan dan kesinambungan fiskal dalam jangka panjang sehingga menghindari munculnya dominasi fiskal yang dapat mempengaruhi, secara negatif, ekspektasi investor SUN terhadap prospek inflasi kedepan, yang selanjutnya dapat menggoyahkan dan menurunkan efektifitas kebijakan moneter dalam memelihara stabilitas ekonomi makro secara keseluruhan. Ketiga adalah memperbaiki stuktur dan infrastruktur pasar distribusi bahan makanan dan meningkatkan efisiensi dan produktifitas perekonomian secara keseluruhan.
1.5. Daya Saing Daerah di Era Global dan Otonomi Daerah Hadirin sekalian yang berbahagia, Tantangan kita kedepan lainnya adalah daya saing daerah di era global dan otonomi daerah. Laporan World Economic Forum (WEF) dalam ≈Global Competitiveness Report∆ tahun 2006-2007 menunjukkan posisi daya saing Indonesia berada pada peringkat ke-50 dari 125 negara, dibandingkan dengan peringkat ke69 dari 107 negara pada tahun sebelumnya. Walaupun terdapat perbaikan pada peringkat daya saingnya, Indonesia dinilai masih tetap menduduki salah satu posisi daya saing terendah dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Daya saing Indonesia masih berada di bawah negara Singapura (urutan ke-5), Jepang (ke-7), Malaysia (ke-26), Thailand (ke-35), dan India (ke-43). Sementara, berdasarkan laporan IMD (International Institute for Management Development) dalam World Competitiveness Yearbook 2007, posisi daya saing Indonesia berada pada dua negara dengan peringkat daya saing terendah. Indonesia menduduki peringkat ke 54, sementara Venezuela berada pada peringkat 55 dari 55 negara yang disurvei. Sebagaimana yang telah kita pahami bersama, meningkatnya globalisasi ekonomi membuat tingkat persaingan antar negara dari waktu ke waktu akan makin tinggi. Namun lebih dari itu, semakin tingginya tingkat persaingan global akan berdampak langsung pada perekonomian daerah terlebih lagi setelah era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Hal ini berarti terdapat tuntutan bagi setiap daerah di Indonesia untuk meningkatkan daya saing masing-masing daerah, karena daya saing daerah-daerah di Indonesia merupakan ≈ujung tombak∆ daya saing nasional.
50
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
Hasil pencermatan kami terhadap daya saing setiap daerah di Nusantara menunjukkan bahwa daya saing keseluruhan dari sekitar 65% jumlah kabupaten/ kota di Indonesia masih berada di bawah rata-rata nasional, sedangkan yang di atas rata-rata hanya 17%. Hal ini mengindikasikan terdapat ketimpangan yang besar dalam pembangunan ekonomi antar daerah kabupaten/kota di Indonesia. Atau, secara umum dapat dikatakan bahwa perekonomian daerah masih memerlukan peningkatan dan perbaikan kualitas infrastruktur utama, pengembangan kegiatan usaha yang mampu menyerap tenaga kerja serta peningkatan pembangunan sumber daya manusia. Sementara itu, untuk daerah yang masuk dalam kelompok berdaya saing rendah pada umumnya mempunyai karakteristik sektor pertanian yang tidak terkait dengan industri sebagai sektor utama perekonomian daerah, serta kurangnya peran sektor swasta dalam pembiayaan pembangunan. Oleh karena itu, saat ini kita sedang menghadapi tantangan untuk meningkatkan daya saing ekonomi daerah. Untuk menghadapi tantangan ini kita tidak dapat melupakan fakta obyektif tentang meningkatnya relevansi ekonomipolitik pemerintahan daerah dan keberagaman lokalitas yang semakin mengedepan dewasa ini dan di masa depan. Fakta ini memberi sebuah keniscayaan bahwa rekayasa pembangunan sosial dan ekonomi, yang seragam dalam skala nasional akan cukup sulit untuk dilakukan. Kita kemudian perlu memikirkan caracara penanganan masalah bangsa yang berpijak pada idiosyncracy kearifan lokal yang terpendam dalam keberagaman itu. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi bangsa yang selama ini sudah terbiasa berpikir dalam keseragaman yang monolitik. Adanya fakta obyektif ini memberi sebuah pesan bagi semua pemangku kebijakan publik, termasuk Bank Indonesia, untuk mampu mendekonstruksi dan merekonstruksi ulang makna dan perannya dalam keseluruhan proses pembangunan nasional.
1.6. Mempertahankan Modal Budaya di Era Global Hadirin sekalian yang berbahagia, Terkait dengan upaya kita untuk beradaptasi dengan arus globalisasi, kita juga dituntut untuk mencari dan mengkonstruksi sebuah semangat kultural yang tepat bagi pembangunan ekonomi negeri dalam kebhinekaan bangsa kita. Bagaimanapun juga, pembangunan ekonomi adalah semata-mata refleksi dan hasil dari semangat kultural yang melekat pada sebuah bangsa. Kontinuitas
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
51
semangat kultural seperti apa yang ingin kita bentuk untuk menyikapi keragaman dalam aspek sosial-budaya dan wilayah ekonomi bangsa, akan menentukan pencapaian kita semua dalam bidang pembangunan ekonomi dan pemulihan daya saing di tahun-tahun mendatang. Perlu kiranya kita pahami bahwa pembangunan sebagai sebuah transformasi ekonomi, sosial dan politik, dalam keseluruhan prosesnya akan sangat dipengaruhi oleh faktor manusia dan kekayaan budayanya. Dalam konteks yang lebih sempit seperti pembangunan ekonomi misalnya, Soedjatmoko jauh-jauh hari telah menyampaikan sebuah pesan pada kita bahwa pembangunan ekonomi menuntut tidak hanya keberadaan institusi-insitusi formal dan keahlian teknokratik semata, tapi juga faktor-faktor kultural seperti norma-norma tertentu dan modal sosial yang mendukung kemajuan ekonomi. Namun dalam konteks pembangunan yang lebih luas untuk membangun kemaslahatan jiwa manusia keragaman budaya mempunyai peran yang lebih mendasar. Didalam setiap budaya tersimpan ingatan kolektif suatu suku bangsa. Ketika memasuki labirin memori kolektif itu setiap individu akan mengingat, melupakan, merekonstruksi, memaknai ulang pandangan-pandangannya dan bahkan membangun pandangan baru untuk suatu kontinuitas kemajuan kultural bersama . Dalam proses tersebut keragaman budaya dapat menjadi instrumen yang membuka kemungkinan bagi pengayaan pandangan tentang dunia. Proses pengayaan melalui pertukaran tersebut dapat menghasilkan tidak hanya hal-hal yang abstrak seperti pandangan tentang dunia dan spekulasi filosofis, tapi juga hal-hal yang sangat praktikal seperti ketika kita menemukan jamu-jamu tradisional yang telah menjadi bagian dari kearifan lokal selama berabad-abad. Catatan tadi menonjolkan pentingnya implementasi sebuah kerja kebudayaan untuk memastikan bahwa negara-kebangsaan kita tetap memiliki mosaik budaya yang kaya dan berwarna-warni. Namun, tantangan yang kita hadapi akan sangat besar, terutama karena arus besar homogenisasi budaya global yang sedang membentuk pandangan tentang dunia yang cenderung seragam, yaitu dunia konsumen komersial yang berbasis pada bagian yang paling fana dari budaya di dunia barat. Tantangan kita menjadi berat karena proses penyeragaman tersebut tampil sangat seduktif pada persepsi subliminal kita dan dampaknya pada budaya lokal berlangsung secara perlahan. Tanpa kita sadari bagian dari kita telah menjadi pasar besar yang dipenuhi kaum yang sangat konsumtif dan manusia-manusia yang terdominasi oleh industrialisasi.
52
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
2. Prospek Perekonomian Kedepan Hadirin sekalian yang berbahagia, Luasnya cakupan tantangan-tantangan yang kita hadapi kedepan tidak serta merta berarti bahwa prospek pencapaian perekonomian kita saat ini gairahnya akan meredup. Saya berpandangan bahwa optimisme yang sudah terbentuk saat ini, dimana perekonomian telah mulai berjalan dengan kedua mesinnya, dapat terus kita pertahankan di masa yang akan datang. Bagi saya alasan yang terpenting atas optimisme ini adalah bahwa demokrasi kita sudah semakin terkonsolidasi sehingga kita mempunyai keyakinan bahwa sistem Pemerintahan dan berbagai perangkat birokrasi akan semakin efektif dalam menjalankan tugasnya walaupun tahun depan kita akan kembali menyelenggarakan salah satu pesta demokrasi terbesar di Asia yaitu pemilu langsung 2009. Bahkan saya pun melihat bahwa upayaupaya untuk mengatasi berbagai hambatan struktural yang tersisa dalam perekonomian kita akan semakin meningkat. Bagi Pemerintahan incumbent langkah ini adalah langkah yang rasional karena melalui itu akan hadir manfaat nyata yang lebih besar lagi dari bagi rakyat yang telah memberi dukungannya selama ini melalui sistem demokrasi yang bebas dan terbuka. Alasan kedua yang menyebabkan saya sangat optimis adalah tersedianya modal stabilitas dan daya tahan ekonomi makro yang ada dalam genggaman kita saat ini. Secara ringkas modal resiliensi tersebut saya rangkum di Tabel 4. Modal ini akan menjadi pemicu ekspansi ekonomi yang lebih tinggi dan berkelanjutan dalam 2 tahun kedepan walaupun tantangan eksternal berupa perubahan di pasar keuangan, dan pasar barang global terkait kenaikan harga minyak dan harga pangan dunia dunia masih tinggi. Secara umum, perkiraaan perekonomian kedepan yang telah disusun oleh Bank Indonesia adalah sebagai berikut. Pertumbuhan ekonomi sampai tahun 2009 kami perkirakan akan terus meningkat dan secara bertahap menuju laju 7% pertahun. Ekspansi ekonomi yang berlanjut tersebut terutama didukung oleh meningkatnya kapasitas perekonomian sejalan dengan rasio investasi terhadap PDB yang terus meningkat merespons perbaikan-perbaikan pada daya beli masyarakat, NPI yang masih terus membukukan surplus, nilai tukar yang stabil, dan inflasi yang terus mengarah pada laju yang semakin rendah. Kinerja NPI yang kuat akan ditopang oleh beberapa faktor. Dari sisi transaksi berjalan, kinerja ekspor non-migas kita akan tetap kuat karena adanya diversifikasi negara tujuan ekspor dan permintaan komoditas primer dunia terkait
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
53
Tabel 4. Resiliensi Sistem Keuangan dan Ekonomi Makro 2 Tahun Terakhir Indikator
2006
2007
Proyeksi 2008
Ketahanan Ekonomi Makro Ketahanan ekonomi makro tahun 2007 lebih baik dibandingkan tahun lalu, laju inflasi terjaga, nilai tukar lebih stabil, cadangan Ketahanan ekonomi makrot ahun 2007 lebih baik dibandingkan tahun lalu, laju inflasi terjaga, nilai tukar lebih stabil, cadangan devisa meningkat rasio utang menurun, dan kesinambungan fiskal yang terjaga. Laju Inflasi Nilai Tukar
6,6% yoy Menguat 5,96%dgn volatilitas 3,79%
Cadangan Devisa
Des 2006 = USD 42,6 miliar, setara 4,5 Des 2007 = USD 57 miliar, setara 5,7 bulan impor dan pembayaran official bulan impor dan pembayaran official debt debt 35,3% Okt 2007 = 33% 70,1% 52,4%
Utang/ PDB Utang Jk. Pendek/ Cad. Devisa Surplus Primary Balance/ PDB
Surplus 1.4% dari PDB
6.6% yoy menguat 0,29% dengan volatilitas 1,37%
5% + 1% Sedikit melemah akibat kenaikan impor seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi USD 72,9 miliar
Surplus 0,7% dari PDB
Ketahanan Industri Perbankan Ketahanan Industri perbankan sebagai sub-sistem utama (dengan pangsa 80%) dari sistem keuangan meningkat: permodalan cukup memadai untuk menyerap potensi gejolak, kualitas kredit membaik, laba meningkat dan manajemen risiko membaik Indikator Utama Kinerja
CAR = 20,47%, NPL Gross = 6,98% (NPL Net = 3,63%), ROA = 2,60%
Pertumbuhan Kredit
14,1% dengan LDR 64,7%
CAR = 19,82%, NPL Gross = 5,63% (NPL Net = 2,49%), ROA = 2,80% (Okt 2007) 23,1% dengan LDR 69,0% (Okt 2007)
NPL Gross : 5,11%
24% dengan LDR 72,0%
Ketahanan Pasar Modal Ketahanan pasar modal membaik, sejalan dengan meningkatnya kapitalisasi pasar, volume dan frekuensi transaksi Likuiditas di Pasar Obligasi dan Saham
Kapitalisasi Pasar = 45% dari PDB Rata-rata Vol. Perdagangan Obligasi = Rp 3,3 triliun per hari, frekuensi perdagangan = 146,7 kali Reksadana NAV = Rp 50,87 triliun
Kapitalisasi Pasar = 49% dari PDB Rata-rata Vol. Perdagangan Obligasi = Rp 5,8 triliun per hari, frekuensi perdagangan = 253,4 kali Reksadana NAV = Rp 90,4 triliun
enerji alternatif yang tetap tinggi. Dari sisi transaksi modal, aliran investasi portofolio, terutama untuk equity akan tetap deras sejalan dengan maraknya IPOs dan masih cukup tingginya ekspektasi laba korporasi di Indonesia. Berbagai fakta yang saya kumpulkan dari komunitas keuangan global juga menunjukkan bahwa appetite investor global terhadap penanaman modal di negara-negara emerging market Asia, masih cukup baik terutama karena ekses likuiditas global saat ini masih tinggi. Kemudian, dari sisi remitansi net tenaga kerja migran Indonesia di luar negeri, saya memperkirakan bahwa kedepan, income transfer ini akan tetap kuat dan menjadi aliran modal yang secara teratur (steady) dan dalam jumlah besar masuk ke Indonesia. Seluruh aspek penopang kinerja NPI tadi akan mempermudah Bank Indonesia dalam mengambil langkah-langkah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Dalam kaitan ini, kebijakan-kebijakan intervensi valas secara terukur akan tetap
54
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
kami lakukan untuk melakukan smoothing terhadap volatilitas nilai tukar, tanpa memaksakan suatu level tertentu terhadapnya. Dalam konteks ini, kami juga melihat bahwa kebijakan untuk menjaga kecukupan cadangan devisa masih merupakan kebijakan yang konsisten dengan pemeliharaan stabilitas ekonomi makro dalam jangka panjang. Nilai tukar yang terjaga pada suatu kisaran yang stabil dan kondusif bagi pemeliharaan keseimbangan internal dan eksternal ekonomi makro, kami pandang sebagai sebuah pra-kondisi yang diperlukan untuk menurunkan sensitifitas harga-harga terhadap gejolak nilai tukar. Dengan menurunnya exchange rate pass through effects, laju inflasi inti yang merupakan kecenderungan jangka menengah panjang dari laju inflasi IHK akan dapat kita jaga pada laju yang konsisten mengarah pada sasaran inflasi IHK. Kami melihat bahwa pencapaian sasaran inflasi sampai tahun 2010 yang telah ditetapkan, yaitu 5 + 1% di 2008, 4.5 + 1% di 2009, dan 4 + 1% di 2010 bukan hal yang tidak mungkin untuk dicapai. Lintasan disinflasi ini akan semakin mendekatkan laju inflasi kita dengan laju inflasi mitra dagang yang secara ratarata berada di kisaran 2 - 3% per tahun. Pencapaian sasaran inflasi tersebut akan ditunjang oleh kombinasi kebijakan berikut ini. Dari sisi fiskal, otoritas fiskal akan senantiasa memantapkan ketahanan fiskal ditengah gejolak harga minyak dan ketidakpastian global kedepan. Dalam kaitan ini, 9 langkah pengaman APBN yang telah dirumuskan tahun lalu merupakan langkah awal yang dapat menjadi pedoman pelaku pasar tentang daya tahan fiskal kita tahun ini. Sementara itu, sebagai bagian dari kebijakan anti-inflasi yang menyeluruh, semua departemen dan instansi pemerintahan yang terkait dengan pengendalian inflasi bahan makanan akan mengambil langkah-langkah yang menurunkan persistensi inflasi bahan makanan. Kebijakan moneter akan memberi kontribusi yang penting melalui pemeliharaan stabilitas nilai tukar yang akan menjadi salah satu kebijakan kunci yang akan kami ambil. Namun lebih dari itu, melalui kebijakan BI rate dalam kerangka inflation targeting, Bank Indonesia akan selalu menjaga konsistensi stance kebijakan moneter dengan pencapaian sasaran inflasi yang telah diumumkan exante. Dari waktu ke waktu kami akan melihat sejauh mana stance BI rate yang kami keluarkan selaras dengan ekspektasi forward-looking yang kami bangun melalui perangkat-perangkat proyeksi inflasi Bank Indonesia maupun survei-survei ekspektasi inflasi di pasar keuangan dan di masyarakat luas. Selain itu kami juga akan mengambil langkah-langkah kebijakan untuk memperkokoh stabilitas sistem keuangan guna mengurangi risiko perambatan gejolak di pasar keuangan global
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
55
ke pasar valas domestik. Untuk mewujudkan sistem keuangan yang lebih kokoh tersebut Bank Indonesia akan mengambil langkah-langkah strategis dan memperkuat lagi kinerja dan daya tahan industri perbankan. Langkah-langkah ini akan saya uraikan lebih lanjut di bagian akhir pemaparan malam ini. Laju inflasi yang semakin rendah ke depan akan mempertahan pendapatan permanen masyarakat sehingga daya beli masyarakat, khususnya mereka yang tergolong kelas menengah ke bawah. Ditopang oleh perbaikan-perbaikan lebih lanjut pada indikator-indikator MDGs, perbaikan daya beli ini akan menjadi lebih permanen dan memperluas basis-basis konsumsi dalam perekonomian domestik. Langkah-langkah penyediaan dan perbaikan infrastruktur utama, kredit perbankan, kecukupan input enerji dan pembukaan akses yang lebih besar pada kegiatan enterpreneurship akan memperluas kapasitas pasar domestik yang selanjutnya akan menjadi pemicu ekspansi kapasitas produksi nasional melalui investasi PMA dan PMDN, baik di tingkat korporasi maupun UMKM. Kebangkitan investasi yang berlanjut ini akan semakin memantapkan langkah Indonesia menuju status investment grade.
IV. Memperkokoh Stabilitas, Mengawal Pembangunan Hadirin sekalian yang berbahagia, Semua perkiraan diatas sangat bergantung pada sebuah asumsi bahwa stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan tetap terjaga dalam 2 tahun ke depan. Asumsi ini dalam banyak halnya akan sangat tergantung pada inisiatif-inisiatif kebijakan yang akan dilakukan oleh Bank Indonesia terkait tiga pilar stabilitas. Oleh karena itu, pada bagian berikut ini ijinkanlah saya menyampaikan beberapa pandangan tentang apa-apa saya yang perlu dilakukan oleh Bank Indonesia untuk memperkokoh stabilitas demi mengawal pembangunan ekonomi kedepan.. Perwujudan tiga pilar stabilitas yang kokoh dalam perekonomian nasional menuntut kearifan dan kesabaran dalam melakukan penyesuaian-penyesuaian. Dalam jangka panjang, upaya-upaya tersebut dapat memperbaiki efektifitas dari berbagai inisiatif kebijakan dan program-program yang telah kami canangkan. Penyesuaian-penyesuaian tersebut terkadang membuat stakeholders kami dalam jangka pendek bertanya-tanya tentang kredibilitas, dan bahkan kontinuitas dari insiatif kebijakan yang kami canangkan. Ada hari-hari gelap seperti itu dalam perjalanan kami meretas jalan menuju stabilitas, tapi banyak pula hari-hari terang dimana pada akhirnya stakeholders memahami dan mengerti bahwa penyesuaian-
56
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
penyesuaian ex-post bukan berarti hilangnya komitmen Bank Indonesia terhadap arah yang ditetapkannya ex-ante. Jika saya boleh mencirikan manajemen inisiatif kebijakan Bank Indonesia dalam 5 tahun terakhir, maka dua kata kunci ini kiranya dapat menjadi pegangan para stakeholders, yaitu pentahapan (gradualism) dan penyeimbangan (balancing). Di dalam kedua kata kunci itu terdapat sebuah pemahaman bahwa manajemen inisiatif kebijakan dan program tidak dapat semata bergantung pada kaedahkaedah baku yang normatif sifatnya (rule-based). Akan tetapi perlu pula untuk menyediakan ruang yang cukup lapang untuk merespon secara cepat (discretions) ketika terjadi perubahan-perubahan asumsi dan constraints yang dihadapi perekonomian. Namun, dalam bermanuver tersebut Bank Indonesia tetap memperhatikan kaedah-kaedah baku yang normatif untuk memastikan bahwa kami tidak keluar dari khittah membangun tiga pilar stabilitas. Oleh karena itu, kebebasan dan kreatifitas kami dalam menerapkan penyesuaian kebijakan akan selalu terukur (measured discretions). Ini perlu saya sampaikan agar tidak ada keraguan bagi sebagian orang terhadap komitmen Bank Indonesia untuk senantiasa menyediakan tiga pilar stabilitas yang menjadi prakondisi dan elemenelemen penyinambung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Oleh karena itu dalam jangka pendek kami akan terus melanjutkan berbagai pekerjaan rumah yang masih tersisa yang masih perlu segera diselesaikan. Di samping itu, mencermati berbagai tantangan kedepan yang kami antisipasi, terdapat pula beberapa inisiatif strategis baru yang saya pandang perlu untuk diambil. Inisiatif-inisiatif yang akan kami ambil kedepan tersebut merupakan ∆inisiatif-inisiatif pengawal pencapaian pembangunan ekonomi∆ melalui kebijakan-kebijakan di bidang pasar keuangan, moneter, perbankan, sistem pembayaran dan pemberdayaan sektor riil.
1. Inisiatif-Inisiatif di Bidang Moneter
Hadirin sekalian yang berbahagia, Dibidang moneter, Bank Indonesia akan melalukan inisiatif-inisiatif yang merupakan jawaban kami terhadap tantangan globalisasi sektor keuangan, sembari mempersiapkanΩ kebijakan moneter dalam menghadapi MEA 2015.Ω Inisiatif-inisiatif ini terbagi dalam 3 kelompok yaitu: inisiatif pengembangan pasar keuangan domestik, inisiatif penguatan efektifitas kebijakan moneter, dan inisiatif penguatan perangkat analisa kebijakan menuju MEA 2015.
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
57
1.1 Pengembangan Pasar Keuangan Domestik Pada saat ini, perkembangan pasar keuangan domestik cukup menggembirakan, khususnya pasar Surat Utang Negara (SUN). Ke depan peran pasar keuangan domestik tersebut akan semakin penting, baik bagi efektifitas kebijakan moneter maupun dalam pengendalian stabilitas perekonomian secara lebih luas. Pengembangan pasar dimaksudkan untuk dapat lebih memperkuat kemampuan sistem keuangan kita dalam menghadapi tantangan terkait globalisasi keuangan yang dapat menimbulkan gangguan eksternal terhadap perekonomian kita. Krisis pasar keuangan global yang berasal dari ambruknya sektor perumahan kualitas rendah, atau sub-prime mortgage di AS beberapa waktu yang lalu adalah contoh nyata dari pentingnya ketahanan perekonomian dan pasar keuangan domestik. Dengan kata lain, hal ini kembali menegaskan kepada kita perlunya memiliki pasar keuangan yang lebih kuat, lebih dalam dan lebih likuid agar potensi gangguan dari faktor eksternal dapat diminimalisir. Mempertimbangkan hal tersebut kami bermaksud untuk segera menambah dan mengaktifkan kembali instrumen dan jenis transaksi yang akan digunakan dalam mengimplementasikan kebijakan moneter melalui kegiatan manajemen likuditas. Termasuk dalam kaitan rencana ini adalah mengaktifkan transaksi repo dengan underlying SUN, melengkapi jangka waktu penerbitan SBI dengan yang lebih panjang, yaitu SBI 6, 9, dan 12 bulan, dan transaksi dengan menggunakan valas (foreign exchange swap). Pengaktifan transaksi repo SUN dalam kegiatan manajemen likuiditas ini sekaligus dimaksudkan untuk meningkatkan aktifitas dan likuditas pasar SUN sehingga pasar SUN menjadi lebih efisien dan lebih memiliki daya tahan (resilience) dalam menghadapi potensi gejolak. Sementara optimalisasi transaksi melalui FX Swap dimaksudkan untuk sinkronisasi dan harmonisasi langkah mengatur likuiditas dan menjaga stabilitas pasar uang rupiah dengan pasar uang valas domestik.ΩΩ Langkah-langkah ini kami harapkan dapat mendukung berbagai upaya yang tengah dan akan dilakukan untuk memperdalam pasar keuangan secara keseluruhan (financial market deepening).ΩΩ Masih terkait dengan upaya memperdalam pasar keuangan, kami juga melihat pentingnya untuk mempercepat pengembangan industri keuangan syariah. Industri keuangan syariah yang berkembang akan memperluas jenisjenis instrumen yang dapat digunakan masyarakat dalam mengelola portofolio aset-aset keuangannya. Hal ini akan banyak membantu pasar keuangan domestik dalam menyerap gejolak.Ω Selain itu, industri keuangan syariah yang berkembang
58
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
juga akan membuat industri perbankan syariah berkembangΩ lebih pesat sehingga melalui interaksi saling menguntungkan ini pangsa perbankan syariah dalam industri perbankan kita dapat meningkat sesuai dengan yang kita citacitakan. Untuk mengembangkan industri keuangan syariah tersebut kita akan terbantu oleh fenomena ekses likuiditas global terutama yang berasal dari dana timur tengah yang meninggalkan pasar AS paska implementasi Patriot Act di negara itu.Ω Banyak negara lain seperti ΩQatar, Uni Arab Emirat, Malaysia, Jepang, dan Singapura yang telah melakukan langkah strategis dan berhasil menarik ekses likuiditas tersebut. Malaysia dan Singapura bahkan sudah mulai melihat Indonesia sebagai sumber dana dan pasar menarik bagi instrumen-instrumen syariah mereka. Namun, dari sisi kita, tampaknya masih banyak yang perlu dilakukan dalam waktu dekat, terlebih jika melihat fakta bahwa Indonesia dipandang sebagai potensi yang besar dalam industri keuangan syariah global karena memiliki penduduk muslim terbesar. Ω Kedepan, seiring dengan semakin dekatnya implementasi MEA 2015, persaingan di industri keuangan syariah akan semakin meningkat. Sementara itu, berbagai hambatan bagi perkembangan industri keuangan syariah domestik seperti masalah perpajakan masih menghambat upaya-upaya bersama yang tengah dilakukan.Ω Disamping itu, pengembangan serta peningkatan daya saing industri keuangan syariah nasional masih membutuhkan dukungan infrastruktur penting terkait kelembagaan, regulasi, kerangka hukum, SDM, dan infrastruktur pasar.Ω Untuk mengisi kekosongan-kekosongan ini diperlukan koordinasi yang mantap dari kita semua. Untuk mendukung upaya koordinasi tersebut Bank Indonesia akan merumuskan sebuah strategi besar pengembangan industri keuangan syariah nasional, dengan bekerjasama dengan lembaga terkait lainnya. Selain itu, Bank Indonesia juga akan mulai mengkaji lebih dalam berbagai aspek yang terkait dengan strategi dan implementasi kebijakan moneter dalam perekonomian yang menganut sistem keuangan ganda, yaitu konvensional dan syariah.Ω
1.2 ΩMemperkuat Efektifitas Kebijakan Moneter Hadirin sekalian yang berbahagia, Banyak bagian dalam pidato saya ini yang menekankan betapa cepatnya perubahan-perubahan yang terjadi di sekeliling kita. Untuk dapat bertahan di tengah-tengah situasi seperti itu, tidak ada jalan lain kecuali kita beradaptasi,
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
59
dengan melakukan berbagai perbaikan guna mengurangi berbagai masalah dan kelemahan kita. Dalam bidang moneter, salah satu strategi kebijakan yang kami rasa perlu untuk terus kami review dan sempurnakan efektifitas penerapannya dalam mengantisipasi perubahan adalah ITF. Dari hasil penilaian terhadap pelaksanaan ITF selama 3 tahun belakangan ini, peluang untuk lebih mengoptimalkan efektifitas strategi yang ada masih sangat terbuka. Hal ini terutama karena pola manajemen likuiditas yang utamanya dilakukan melalui lelang penerbitan SBI 1 bulan masih menyebabkan fluktuasi ketersediaan likuiditas pasar uang harian, tingginya volatilitas suku bunga dan adanya struktur suku bunga jangka pendek yang curam (steep short-term yield curve) di pasar uang. Hal-hal tersebut kurang mendorong efisiensi manajemen portfolio institusi keuangan dan menyebabkan institusi keuangan cenderung mencari keuntungan dengan memanfaatkan perbedaan suku bunga jangka pendek. Fluktuasi suku bunga pasar uang yang tinggi juga meningkatkan ketidakpastian aspek likuiditas dari institusi keuangan yang menanamkan dananya dalam aset yang berjangka lebih panjang dari sumber dananya. Dengan kata lain cost of being temporary illiquid menjadi mahal karena relatif tidak bisa dikalkulasi dengan baik. Pelaku pasar cenderung memiliki orientasi jangka pendek, yang pada gilirannya menjadi distorsi terhadap transmisi kebijakan moneter dan sekaligus kurang mendorong peningkatan peran pasar keuangan dalam perekonomian. Implementasi langkah penyempurnaan ini tidak dimaksudkan untuk mengubah arah (stance) kebijakan moneter Bank Indonesia. Penyempurnaan ini pada dasarnya adalah sebuah tactical move dalam penerapan ITF, yang kami pandang perlu diambil untuk mengoptimalkan efektifitas ITF di dalam mengelola ekspektasi masyarakat. Berpegang pada garis fikir tersebut dalam penerapannya, penyempurnaan ini nantinya akan lebih terarah pada upaya-upaya menjaga stabilitas suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) jangka pendek, khususnya overnight, sebagai alat transmisi kebijakan moneter, yang sekaligus pula sebagai mekanisme pembentuk struktur kurva imbal hasil jangka pendek (short term yield curve) yang lebih wajar. Dalam konteks yang lebih luas, penerapan strategi kebijakan ini bertujuan pula untuk meningkatkan efisiensi pembentukan harga (pricing) Ωaset-aset di pasar keuangan dan produk institusi perbankan. Dengan demikian, upaya-upaya untuk
60
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
menunjang inisiatif pengembangan pasar keuangan dometik dan memperkuat diri dalam menghadapi meningkatnya potensi gejolak di pasar keuangan di era globalisasi saat ini juga akan terfasilitasi. Oleh karena itu, langkah untuk mengefektifkan kembali penerbitan SBI dengan jangka waktu yang lebih panjang adalah sebuah prasyarat yang harus juga dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk menyerap kelebihan pasokan likuiditas yang bersifat struktural melalui mekanisme lelang. Besarnya SBI dalam berbagai jangka waktu yang akan diterbitkan ditetapkan berdasarkan proyeksi atas kebutuhan likuiditas perbankan. Pada saat yang sama, Bank Indonesia akan memonitor perkembangan likuiditas dan suku bunga PUAB O/N secara harian dan akan merespon setiap penyimpangan yang ada dalam batas-batas tertentu, melalui mekanisme Fine Tuning Operations. Pada prinsipnya hal ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa setiap hari akan tersedia likuiditas yang cukup untuk keperluan setelmen transaksi perbankan sehingga sukuΩ bunga PUAB O/N akan stabil. Dalam hal Bank Indonesia perlu menambah atau mengurangi likuiditas secara temporer maka hal tersebut akan dilakukan melalui transaksi «repo», baik dengan menggunakan SBI maupun SUN, atau transaksi FX Swap. Dengan short term yield curve yang wajar maka pelaku pasar tidak lagi berkonsentrasi mencari keuntungan dengan horizon yang pendek di pasar uang. Ini akan mendorong mereka untuk semakin aktif mencari keuntungan melalui penanaman dan pengelolaan dana dengan horizon yang lebih panjang. Dengan inisiatif kebijakan ini, kami berniat untuk menjaga suku bunga PUAB overnightΩΩ pada level yangΩ konsisten dan sejalan dengan level suku bunga yang mencerminkan arah kebijakan moneter Bank Indonesia yaitu level BI Rate.Ω Kebijakan di atas dan perluasan instrumen kebijakan moneter sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya, pada gilirannya akan mendorong perbankan dan pelaku pasar keuangan lain untuk mulai melakukan manajemen asset dan liabilities (ALMA) secara lebih profesional, termasuk dari sisi manajemen risiko. Terkait dengan hal tersebut, terjaganya stabilitas suku bunga pasar uang akan mengurangi risiko likuiditas penanaman dana Ωjangka panjang dan sekaligus memperbaiki infrastruktur pasar keuangan sehingga menjadi lebih efisien untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan.ΩΩΩΩΩ
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
61
1.3 Memperkuat Perangkat Analisa Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 Hadirin sekalian yang berbahagia, Inisiatif ketiga di bidang moneter adalah memperkuat kemampuan analisa kebijakan untuk menyongsong MEA 2015. Penandatanganan Piagam ASEAN atau ASEAN Charter di Singapura pada 20 November 2007, memberi implikasi bahwa program integrasi ekonomi ASEAN merupakan komitmen yang tak dapat ditawar lagi. Hampir tuntasnya agenda perdagangan bebas intra ASEAN akan membawa perubahan yang signifikan pada pergerakan faktor produksi, baikΩ physical capital yang bergerak lewat financial investment, misalnya FDI atau Portfolio Investment, maupun modal sumber daya manusia melalui berpindahnya skilled labor. Dampak dari bebasnya pergerakan faktor produksi tersebut adalah terciptanya konfigurasi baru distribusi produksi perekonomian intra ASEAN. Determinan dari konfigurasi baru ini haruslah dipahami oleh kita semua. Kita dituntut memiliki kemampuan memprediksi bagaimana karakteristik serta determinan distribusi produksi perekonomian yang baru tersebut. Tentunya karena kita bicara sesuatu yang akan terjadi di masa depan, kita belum memiliki data yang dapat diinterpretasikan melalui suatu kajian empiris. Oleh karena itu diperlukan riset yang bersifat konseptual teoritis sesuai kaidah-kaidah ekonomi dengan menyertakan sejumlah asumsi yang plausible. Selain itu, untuk mengetahui secara lebih rinci dampak dari penurunan hambatan perdagangan (baik tarif dan non-tarif) terhadap kinerja ekspor serta kesejahteraan masyarakat dari tiap negara ASEAN, diperlukan pula suatu riset multiyears yang melibatkan pihak-pihak yang antusias, kompeten dan berdedikasi tinggi. Dalam kaitan ini teknik pemodelan berbasiskan Computable General Equilibrium (CGE) dengan menggunakan basis data Global Trade Analysis Project (GTAP) dan Financial-Social Accounting Matrix (FSAM) akan kami kembangkan. Sepengetahuan saya, sampai saat ini belum banyak institusi publik di negara kita yang telah melaksanakan agenda riset yang sangat penting ini. Selanjutnya, jika kita renungkan bersama, keberhasilan Indonesia dalam kancah MEA 2015Ωnanti jelas tak lepas dari seberapa tinggi daya saing yang dimiliki relatif terhadap daya saing kesembilan negara ASEAN lain. Daya saing tersebut menurut hemat saya memiliki tiga dimensi, yaitu (1) dimensi kebutuhan dasar yang mencakup institusi, infrastruktur, stabilitas ekonomi makro serta kesehatan dan pendidikan primer, (2) dimensi penentu efisiensi yang mencakup pendidikan lanjutan dan pelatihan, efisiensi pasar barang dan jasa, kemajuan pasar keuangan, kesiapan teknologi serta ukuran pasar, dan (3) dimensi inovasi dan kecanggihan, 62
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
yang mencakup faktor-faktor penentu kecanggihan serta tingkat perkembangan inovasi. Oleh karena itu, riset yang mampu memetakan daya saing negara-negara ASEAN serta mengungkapkan komponen daya saing Indonesia yang perlu diperbaiki merupakan masukan yang vital untuk sesegera mungkin ditindaklanjuti oleh seluruh komponen bangsa, termasuk Bank Indonesia. Akhirnya, kita perlu pula memahami bagaimana peran otoritas moneter ditengah-tengah implementasi MEA 2015 nanti. Kita perlu melihat lebih jauh apakah kebijakan moneter kita yang prudent dengan sasaran terciptanya inflasi yang rendah dan ekonomi makro yang stabil merupakan kebijakan moneter yang akan mendukung kepentingan nasional kita, sebagaimana yang kita temukan dan yakini selama ini bahwa kebijakan moneter yang prudent Ωdan anti inflasi merupakan kebijakan moneter yang pro-poor dalam konteks domestik.
2. Inisiatif-Inisiatif di Bidang Perbankan 2.1 Arah kebijakan lanjutan dalam proses penataan kembali struktur industri perbankan nasional. Hadirin sekalian yang berbahagia, Selanjutnya, adalah arah dan perspektif pemikiran ke depan untuk bidang perbankan. Sejak Arsitektur Perbankan Indonesia diluncurkan di awal tahun 2004 lalu rasanya kita patut bersyukur bahwa kekuatan dan daya tahan industri perbankan di dalam menghadapi berbagai risiko dan gejolak, lambat laun, mulai menguat. Kinerja industri pun sedikit demi sedikit terus membaik. Perolehan laba perbankan terus naik, sejalan dengan meningkatnya pelaksanaan fungsi intermediasi dan perbaikan efisiensi, serta efektifitas di dalam mengelola risiko yang ada. Meski banyak yang sudah kita selesaikan, kita tahu masih lebih banyak lagi yang harus kita kerjakan. Dalam era global seperti saat ini, kecepatan perubahan demi perubahan seringkali membuat kita terpana. Pencapaian kita hari ini ternyata belum tentu memadai untuk hari esok. Kesadaran inilah yang sebenarnya kami jadikan landasan dalam perumusan API sebagai kebijakan industrial perbankan selama ini. Pencapaian ke 6 tujuan fundamental yang divisualisasikan sebagai pilar-pilar dalam API pada dasarnya adalah sebuah proses transformasi sebuah bangunan industri, dari yang sempat porak poranda karena dihantam krisis, menjadi industri yang kokoh ditengah guncangan, kuat bersaing di percaturan persaingan global dan bermanfaat bagi Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
63
seluruh masyarakat. Dalam proses ini, diperlukan adanya strategi implementasi yang dapat memastikan bahwa setiap inisiatif dan program akan dapat mengakumulasikan pencapaian yang akan menjadi kekuatan fundamental di masa datang. Oleh karena itu, setiap langkah perlu kita perhitungkan secara cermat dan hati-hati. Kita dituntut untuk senantiasa peka dalam menyikapi perubahan dan dinamika yang melingkupi proses ini. Kita juga harus mampu memperhitungkan implikasi dari setiap langkah terhadap berbagai dimensi yang terkait, memilih prioritas dalam kebijakan, dan kemudian menjaga keseimbangan penerapannya agar tidak timbul gejolak yang tidak perlu. Salah satu upaya pencapaian tujuan fundamental dalam API yang memiliki kompleksitas yang tinggi dan masih membutuhkan waktu panjang adalah upaya penataan kembali struktur industri perbankan sebagaimana yang telah digariskan dalam pilar I - API. Tujuan ini membutuhkan pemenuhan berbagai prakondisi pada lingkungan strategis yang melingkupi industri perbankan, dan juga adanya dukungan serta peran serta dari semua pihak. Jelas, dalam pelaksanaan kebijakan ini Bank Indonesia tidak dapat bergerak sendiri. Dukungan dari stakeholders, terutama masyarakat perbankan, Pemerintah, dan DPR adalah kunci keberhasilan pencapaian tujuan. Dari perjalanan yang telah ditempuh selama ini, ada sebuah catatan penting yang perlu menjadi perhatian kita, yaitu bahwa industri yang sehat dan kuat pada dasarnya adalah juga industri yang mampu melaksanakan fungsinya secara optimal. Menyadari akan hal ini, langkah-langkah penguatan ketahanan industri perbankan sebagai bagian dari strategi penataan kembali struktur industri perbankan tidak selamanya harus ditempuh secara sequential dengan langkahlangkah optimalisasi fungsi dari industri itu sendiri. Keduanya dapat dilakukan secara simultan, dan bersifat saling mengisi serta komplementer satu dengan yang lain, bergantung pada prioritas untuk merespon perkembangan yang terjadi dalam perekonomian. Oleh karena itu, ketika dalam proses implementasi sebuah kebijakan kita berhadapan dengan berbagai permasalahan dan keterbatasan, maka bukanlah suatu hal yang tabu apabila kita kemudian perlu melakukan penyesuaian dalam strategi. Kita semua tahu bahwa dalam sistem ekonomi pasar sebagaimana yang kita anut saat ini, pengaturan hanya dapat dilakukan secara efektif dan tanpa menimbulkan distorsi pada kestabilan, apabila strategi dan mekanismenya dapat mengikuti kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip yang ada dalam sistem pasar itu sendiri.
64
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
Selama ini berbagai langkah yang mendukung proses tersebut telah kami tempuh. Untuk memetakan kekuatan dan kelemahan serta kemudian mengarahkan pola operasional dari setiap bank, kami telah menggariskan program konsolidasi industri perbankan, kewajiban pemenuhan modal minimum, dan single presence policy. Selain itu, kami juga terus melakukan kajian terhadap kondisi dan potensi ekonomi masyarakat, melalui peningkatan peran kantor-kantor BI, pengguliran berbagai program yang mendukung kemajuan sektor riil, peningkatan kualitas informasi, data, analisa bisnis dan ekonomi, termasuk penyempurnaan sistem informasi, agar perbankan dapat memperoleh informasi secara lebih utuh dan lengkap mengenai kondisi ekonomi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut, kami ikuti pula dengan langkah-langkah konsultatif dan persuasif kepada setiap pemegang saham pengendali bank untuk mulai memposisikan diri mengisi setiap lapisan dalam struktur industri yang telah dirancang. Berpegang pada pokok-pokok pikiran tersebut, dalam kesempatan malam ini, terdapat 3 (tiga) besaran pemikiran strategis yang dapat saya usulkan sebagai acuan di dalam melanjutkan kebijakan perbankan dalam perspektif waktu 5 tahun ke depan. Yang pertama adalah arah kebijakan lanjutan dalam proses penataan kembali struktur industri perbankan nasional. Dalam lingkup arah kebijakan ini, saya menempatkan 3 inisiatif yang bertujuan untuk lebih memantapkan proses konsolidasi industri perbankan sesuai dengan prediksi perkembangan kebutuhan ekonomi terhadap peran perbankan di masa datang, yaitu: a) Penjajakan kemungkinan pendirian kembali policy bank yang khusus untuk mendukung pembiayaan proyek-proyek pembangunan jangka panjang; b) Perluasan kesempatan operasional ke arah universal banking bagi bank-bank yang dinilai mampu dan layak menjalankannya. c) Optimalisasi peran perbankan dalam pembiayaan pembangunan, terutama kepada bank-bank yang telah dimiliki asing; Kedua adalah arah pengembangan industri BPR untuk menjadi salah satu penopang kekuatan ekonomi lokal dengan memperhatikan potensi ekonomi dan sosial masyarakat setempat. Dan ketiga adalah langkah-langkah Dalam Upaya Mempercepat Pertumbuhan Perbankan Syariah.
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
65
Berikut ini, perkenankan saya untuk memberikan penjelasan secara lebih dalam mengenai latar belakang pikiran-pikiran tersebut dan beberapa inisiatif yang dapat kita tempuh untuk mewujudkannya.
A. Penjajakan Kemungkinan Pendirian Kembali Policy Bank yang khusus untuk mendukung pembiayaan proyek-proyek pembangunan jangka panjang Hadirin sekalian yang berbahagia, Pada jamuan makan malam di awal tahun 2007 lalu, saya menyampaikan bahwa salah satu fenomena yang menghambat kelancaran pembangunan ekonomi kita adalah adanya kekakuan sisi penawaran (supply side rigidity) di dalam merespon sisi permintaan. Ketika itu saya mengemukakan bahwa salah satu penyebab utama terjadinya fenomena tersebut adalah rendahnya pertumbuhan investasi, baik yang dilakukan oleh pihak swasta asing maupun domestik ke dalam industri maupun kegiatan usaha produktif lain yang bersifat strategis dan jangka panjang. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir sejak terjadinya krisis, akumulasi dan kualitas kapital cenderung berjalan lambat dan porsinya terhadap pembentukan PDB belum kembali ke periode sebelum krisis. Tentu saya tidak perlu lagi mengulangi secara panjang lebar mengenai kondisi ini. Sekarang ini, mungkin kita semua akan dapat dengan cepat dan fasih menerangkan berbagai faktor penghambat yang menyebabkan investasi strategis yang begitu kita rindukan begitu berat untuk datang ke dalam perekonomian kita. Namun kefasihan itu menjadi tidak penting lagi, kalau kemudian kita berhenti sampai disitu. Yang menjadi jauh lebih penting dan mendesak untuk kita pikirkan dan lakukan saat ini adalah bagaimana kita dapat mengerahkan segala daya upaya, kekuatan dan kerja keras untuk dapat segera berhasil menerobos kebuntuan dalam masalah investasi ini. Kita semua tahu bahwa Pemerintah dan pihak-pihak lain yang terkait, selama ini telah berupaya keras di berbagai bidang dan dengan berbagai cara untuk mencoba mengurangi faktor-faktor penghambat investasi yang ada. Namun kita pun tahu kalau pekerjaan tersebut sangat berat, karena memang masalah yang kita hadapi, adalah masalah yang struktural dan kompleks, saling mengait satu sama lain. Dari sekian banyak faktor penghambat investasi yang telah kita identifikasikan selama ini, salah satu diantaranya adalah masalah keterbatasan ataupun ketiadaan infrastruktur fisik, berupa sarana dan prasarana. Kita semua
66
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
tentu sering mendengar, melihat, ataupun merasakan sendiri bahwa kondisi infrastruktur fisik kita banyak yang rusak, obsolete, ataupun kapasitasnya sudah tidak lagi memadai. Kegiatan pembangunan sarana dan prasarana seperti jaringan listrik, jalan, pelabuhan, tempat penyimpanan, tempat pengolahan, bendungan, pengairan, penyediaan kapal nelayan dan lain sebagainya relatif masih terbatas. Tidak jarang untuk kegiatan rutin ekonomi masyarakat saja keadaan infrastruktur tersebut sudah tidak layak. Apa lagi untuk menarik investasi usaha baru. Dalam pengamatan saya, keadaan ini terjadi karena disebabkan setidaknya oleh 3 (tiga) hal. Pertama, pada beberapa tahun pertama di awal krisis, ekonomi kita sempat mengalami kontraksi. Dalam kondisi ini, sumber dana pembangunan menjadi terbatas, dan alokasinya terpaksa harus mendahulukan pembayaran kewajiban-kewajiban jangka pendek. Kedua, meskipun telah terjadi perbaikan kondisi ekonomi dalam beberapa tahun terakhir ini, mengingat penyaluran dana APBN sebagian besar adalah untuk daerah, maka pemanfaatan dana pembangunan sangat tergantung pada kemampuan Pemda. Padahal, dari data yang ada, penyerapan Pemda terhadap alokasi dana APBN hingga saat ini masih belum optimal. Akibatnya, dana-dana pembangunan tersebut bermutasi menjadi dana jangka pendek yang kemudian hanya berputar-putar di sektor keuangan. Ketiga, pembangunan proyek-proyek infrastruktur untuk keperluan nasional, membutuhkan alokasi belanja pembangunan dalam jumlah besar yang tidak dapat sepenuhnya akan dapat ditutup oleh APBN. Dibutuhkan adanya sumber pembiayaan lain yang bersifat komersial, seperti dari perbankan ataupun pasar modal. Namun sayangnya, sumber dana perbankan saat ini masih didominasi oleh sumber dana jangka pendek, sehingga pembiayaan proyek-proyek infrastruktur yang berjangka waktu panjang, juga relatif terbatas. Keadaan tersebut tentu tidak dapat kita terus biarkan. Keberadaan infrastruktur yang memadai sangat kita perlukan, jika kita ingin perekonomian kita tumbuh lebih tinggi, lebih merata dan lebih menyejahterakan masyarakat dari pada saat ini. Bahkan, terkait dengan tantangan persisten inflasi sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya, perbaikan dan perluasan ketersediaan infrastruktur diseluruh penjuru negeri menjadi sangat penting. Infrastruktur yang mencukupi dan berkualitas akan menurunkan hambatan distribusi pasokan barang dan menurunkan biaya di sisi penawaran, sehingga perekonomian menjadi lebih efisien. Efisiensi yang meningkat tersebut akan membuat sisi penawaran dalam perekonomian lebih responsif terhadap permintaan, sehingga ekonomi kita menjadi tidak inflation prone. Dalam jangka yang lebih panjang, ketersediaan infrastruktur juga akan menunjang perbaikan produktifitas perekonomian.
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
67
Perbaikan pada produktifitas ini selanjutnya akan memberi ruang bagi disinflasi yang lebih permanen. Oleh karena itu, ketiga kendala pembiayaan pembangunan tersebut harus kita atasi. Malam ini saya mencoba untuk mendukung sebuah gagasan pikiran yang sebenarnya bukan sama sekali baru untuk kita, namun rasanya memiliki relevansi dan urgensi yang tinggi untuk dapat kita mulai jajaki kemungkinan penerapannya. Gagasan tersebut adalah pendirian kembali sebuah policy bank khusus untuk pembiayaan proyek-proyek pembangunan jangka panjang.
Policy bank ini pada dasarnya adalah kepanjangan tangan Pemerintah yang diharapkan akan mampu menghimpun dana jangka panjang, melalui berbagai cara dan mekanisme. Selain menghimpun dana langsung dari masyarakat, bank ini akan memfokuskan diri mencari dana jangka panjang di pasar keuangan, dengan cara penerbitan surat-surat berharga, serta mencari pinjaman luar negeri dari berbagai lembaga multilateral. Dana yang berhasil dihimpun bank ini, kemudian disalurkan untuk membiayai berbagai proyek dan program pembangunan jangka panjang, khususnya infrastruktur, mendampingi dana pembangunan yang dialokasikan Pemerintah dalam APBN. Kegiatan operasional bank ini juga akan dapat difokuskan sebagai investment bank, yang akan banyak memberikan dukungan dan fasilitas kepada Pemerintah dan bank-bank miliknya, termasuk BPD-BPD, dalam penerbitan surat berharga di pasar modal, baik dalam bentuk konvensional maupun syariah. Dalam konteks pengelolaan kebijakan pembangunan yang strategis, bank ini merupakan motor dan wahana utama bagi Pemerintah untuk dapat membangun kerangka hubungan kerjasama pembiayaan public and private partnership secara efektif dan efisien. Untuk memfasilitasi arah kebijakan ini, Bank Indonesia akan membantu dengan berbagai kajian dan langkah kebijakan persiapan. Setelah melakukan kajian secara mendalam dan melalui berbagai persiapan yang matang, Pemerintah dapat saja menempuh proses pendirian bank ini dengan cara, menggabungkan bank atau lembaga keuangan yang telah dimiliki saat ini menjadi policy bank, atau, mendirikan sebuah bank yang benar-benar baru. Nantinya, kepemilikan saham dari bank ini pun dapat didiversifikasikan kepada berbagai pihak, mulai dari masyarakat umum, bank-bank Pemerintah lain yang telah lebih dulu ada, BUMN-BUMN, pihak swasta asing dan domestik lembaga internasional, sepanjang Pemerintah sendiri dapat tetap menjadi pemilik saham mayoritas sekaligus pengendali.
68
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
Yang perlu menjadi catatan kita sini, adalah implikasi dari pendirian bank Pemerintah yang menjalankan tugas khusus seperti ini. Dengan keberadaan bank ini, maka bank-bank Pemerintah lain pun dituntut untuk dapat menyesuaikan fungsi, peran, dan strategi kegiatan usahanya agar diantara bank-bank milik Pemerintah tersebut tidak saling berbenturan dalam persaingan yang tidak perlu. Setiap bank milik Pemerintah nantinya akan memiliki fokus fungsi dan perannya dalam mendukung proses pembangunan dan akan lebih optimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai pangsa pasarnya masingmasing. Dengan penyesuaian fokus dan strategi bisnis bank-bank milik Pemerintah ini, diharapkan setiap bank milik Pemerintah mampu bersaing dengan bank-bank lain sesuai dengan visi dan misi yang menjadi kekuatan daya saingnya. Bagi Bank Indonesia, langkah kebijakan ini akan memberikan dampak hasil yang signifikan di dalam proses pemantapan program konsolidasi perbankan, sekaligus pula merupakan bagian penting dari keseluruhan strategi penataan kembali struktur industri perbankan nasional.
B. Perluasan kesempatan operasional ke arah universal banking bagi bankbank yang dinilai mampu dan layak menjalankannya Hadirin sekalian yang berbahagia, Sejak beberapa waktu yang lalu Bank Indonesia telah melemparkan wacana kepada masyarakat mengenai kemungkinan kita mengadopsi pola operasional universal banking untuk menggantikan pola commercial banking yang sekarang kita anut. Bahkan kami telah mengambil ancang-ancang untuk menyesuaikan Undang-Undang yang menjadi dasar legal perbankan kita. Langkah untuk mengadopsi pola universal ini pada dasarnya merupakan sebuah bentuk respon dari keberadaan kita ditengah fenomena globalisasi sektor keuangan yang semakin nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kita sulit untuk mengelak dari kenyataan bahwa, untuk dapat meningkatkan fungsi dan perannya, saat ini arah perkembangan perbankan global cenderung berinovasi untuk dapat mengemas sebuah paket produk bank yang terintegrasi dengan berbagai produk industri keuangan lain. Bagi industri perbankan, hal ini perlu dilakukan guna mencapai beberapa tujuan sekaligus antara lain, untuk mempercepat perputaran arus dana yang dikelola bank, memperluas basis operasional yang dapat meningkatkan margin
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
69
pendapatan dan mengurangi eksposure risiko. Dari sisi pengelolaan kebijakan publik, adopsi universal banking ke dalam sistem perbankan Indonesia juga akan menopang financial market deepening yang pada akhirnya akan berkontribusi positif terhadap stabilitas keuangan dan pertumbuhan perekonomian. Variasi produk perbankan yang lebih luas dapat berdampak positif dalam menjaga stabilitas keuangan karena menyediakan sarana diversifikasi investasi yang lebih baik bagi masyarakat. Dengan tidak terkonsentrasinya penempatan ke dalam satu atau beberapa jenis produk saja, diharapkan bahwa perekonomian akan lebih tahan menghadapi gejolak yang dapat timbul. Dalam hal ini, pasar keuangan yang lebih dalam seringkali identik dengan pasar keuangan yang memiliki daya tahan dan stabilitas yang lebih terjaga. Intermediasi keuangan yang dibutuhkan untuk menggerakkan perekonomian juga akan terbantu dengan semakin banyaknya produk keuangan yang tersedia. Terintegrasinya kegiatan dan produk perbankan dengan pasar modal dalam bentuk sekuritisasi aset, reksadana, dan transaksi derivatif jelas akan meningkatkan eksposure risiko, baik bagi setiap insititusi yang terlibat, maupun bagi sistem keuangan secara keseluruhan. Hal ini membawa konsekuensi perlunya kita untuk terlebih dahulu melakukan persiapan untuk pemenuhan berbagai syarat pendukung yang akan senantiasa mampu mengawal stabilitas. Bagi perbankan yang akan terlibat dalam kegiatan universal banking, mereka dituntut untuk dapat memiliki kemampuan sumber daya manusia yang memadai, kekuatan finansial dan operasional yang solid, serta kemampuan pengelolaan risiko secara efektif sebelum berani memulai beroperasi dalam kegiatan ini. Kami melihat bahwa sebenarnya perbankan kita saat ini, secara de facto, telah melakukan kegiatan universal banking melalui kerjasama dengan lembaga keuangan lain ataupun melalui anak-anak perusahaannya. Apabila kita tidak ingin dikagetkan dengan sebuah fenomena yang dapat menimbulkan guncangan, pihak-pihak otoritas, tidak bisa tidak, harus dapat menyatakan ketegasannya dalam melihat keseluruhan dimensi operasional yang selama ini telah dilaksanakan oleh perbankan. Pengaturan industri keuangan perbankan harus bersifat komplementer dan kompatibel satu sama lain dengan pembagian tanggung jawab dan wewenang masing-masing secara jelas. Hal ini akan diikuti pula dengan langkah kerjasama dan koordinasi yang intensif antara pihak-pihak otoritas sebagai satu kesatuan tindakan dalam melindungi kestabilan sistem secara keseluruhan. Terkait dengan hal ini, pola pengawasan berdasarkan risiko secara terkonsolidasi yang selama ini telah mulai diterapkan Bank Indonesia, akan
70
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
ditingkatkan intensitasnya dalam melihat keterkaitan bank dengan perusahaan keuangan lainnya. Pada saat pengaturan universal banking selesai kami rumuskan, kami akan memberikan beberapa opsi yang dapat dipilih oleh bank yang diperkenankan bergerak di bidang ini yaitu: 1. Menggabungkan kegiatan anak perusahaannya, terutama yang bergerak di bidang sekuritas ke dalam bank induknya. 2. Tetap memiliki anak perusahaan di bidang keuangan, namun mendeklarasikan seluruh kegiatan anak perusahaannya tersebut sebagai satu kesatuan dengan kegiatan usaha bank induknya. Dalam konteks ini, kami akan bekerja sama dengan pihak-pihak otoritas lain, untuk menyusun prinsip kehati-hatian dan menetapkan standar pengungkapan data dan informasi kegiatan operasional yang seragam, dari setiap produk ataupun kegiatan yang tergolong sebagai produk universal. 3. Memilih untuk menjalankan visi, misi dan strategi kegiatan usaha yang terfokus pada kegiatan investasi (investment bank). 4. Dan sebagai konsekuensi dari pilihan-pilihan tersebut, Bank Indonesia akan menentukan porsi kegiatan yang terkait dengan universal banking dalam batasbatas tertentu yang berbeda. Pembedaan tersebut dikaitkan dengan ke tiga pilihan diatas dan didasarkan pada hasil penelitian Bank Indonesia terhadap kemampuan setiap bank dalam menjalankan kegiatan ini. Dalam pandangan Bank Indonesia, pola operasional universal banking adalah sebuah keniscayaan, apabila kita memiliki visi akan ada bank-bank kita yang mampu memposisikan diri sebagai bank internasional dalam struktur industri perbankan kita. Bank-bank ini harus dilengkapi dengan sofistikasi yang memadai untuk dapat bersaing di lingkup global. Dan jika kita semua sependapat mengenai hal ini, kita perlu bergegas untuk menyiapkan diri. Tuntutan pasar keuangan global tidak lagi memungkinkan kita untuk dapat dengan leluasa dan berlama-lama menetapkan jadwal kita sendiri. MEA 2015 sudah ada di depan mata dengan berbagai implikasinya terhadap aspek sosial ekonomi bangsa. Modal utama untuk melangkah kesana telah kita miliki, yaitu kondisi stabilitas yang telah kita capai saat ini. Sepanjang kita menyadari bahwa adopsi pola universal banking akan membutuhkan persiapan yang tidak sedikit, maka setidaknya berbagai aspek yang sedang diupayakan oleh program API adalah titik awal yang telah kita mulai. Program konsolidasi industri perbankan, penguatan aspek-aspek finansial dan teknis operasional, seperti permodalan, manajemen
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
71
risiko, dan juga upaya-upaya edukasi nasabah harus kita upayakan selesai sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditetapkan. Semakin kita melangkah maju ke depan, penguatan-penguatan yang telah kita lakukan melalui API akan semakin menampakkan manfaat yang nyata. Adopsi universal banking hanyalah salah satu contoh dari kemungkinan yang dimungkinkan oleh API. Oleh karena itu, jika kita sering menganggap bahwa pencapaian bentuk akhir bangunan API adalah tahun 2010, padahal senyatanya pencapaian tersebut hanyalah sebuah titik awal baru bagi proses penguatan industri selanjutnya.
C. Optimalisasi peran perbankan dalam pembiayaan pembangunan, terutama kepada bank-bank yang telah dimiliki asing Hadirin sekalian yang berbahagia, Dari pengamatan Bank Indonesia, proses penguatan industri perbankan yang kita tempuh sejak beberapa tahun setelah krisis, ternyata telah mengantarkan sebuah perubahan konstelasi yang cukup mendasar dalam industri perbankan Indonesia. Saat ini, terdapat 49 bank umum yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh pihak asing, dengan pangsa pasar mencapai sekitar 46% dari total aset industri nasional. Sepanjang stabilitas sistem keuangan dan kepastian arah kebijakan ke depan dapat kita pelihara, maka Bank Indonesia memperkirakan bahwa proses akuisisi kepemilikan saham bank-bank swasta domestik oleh pihak asing masih akan terus berlangsung. Dari sudut pandang otoritas, perubahan konstelasi industri ini memiliki berbagai dimensi yang perlu terus diikuti dan dicermati, terkait dengan fungsi dan peran perbankan dalam perekonomian ke depan. Saya kerap kali berdialog dengan diri saya sendiri untuk mempertanyakan implikasi apa yang dapat timbul dengan terjadinya perubahan tatanan ini. Selain itu, tidak jarang saya merasa perlu untuk berdiskusi dengan berbagai pihak, dalam dan luar negeri, yang kiranya dapat membantu saya untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus menggantung dalam benak saya. Bapak-Ibu sekalian tentu mengetahui bahwa banyak negara-negara di dunia yang industri perbankannya di dominasi oleh pihak asing. Namun, kondisi Indonesia tentu berbeda dengan negara-negara itu. Perubahan konstelasi tersebut telah menghadapkan kita kepada pertanyaan-pertanyaan, akankah kita sebagai bangsa akan tetap mampu memetik manfaat dari keberadaan sebuah industri perbankan yang banyak memiliki pelaku asing? Respon kebijakan apa yang harus
72
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
dilakukan oleh Bank Indonesia dalam menyikapi hal ini, terutama agar perbankan Indonesia akan dapat terus berkontribusi secara optimal kepada proses pembangunan bangsa? Dari proses penelusuran yang saya lakukan tersebut, saya sampai pada sebuah kesimpulan sementara bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pertanyaan perennial yang rasanya akan terus membayangi kita semua, terutama kami di Bank Indonesia. Dan jawabannya, akan sangat bergantung pada berbagai faktor yang melingkupi industri perbankan itu sendiri. Namun, kita semua tahu bahwa salah satu faktor penting yang akan dapat mempengaruhi optimalisasi fungsi dan peran bank-bank asing di dalam pembangunan ekonomi Indonesia adalah tentu terletak pada respon dan arah kebijakan yang digariskan oleh otoritas. Dengan pemahaman ini, saya tergerak untuk menyodorkan sebuah prinsip dasar penetapan arah kebijakan perbankan Indonesia yang kiranya akan dapat menjawab kegundahan kita semua sebagai bangsa dalam menyikapi perubahan konstelasi kepemilikan bank-bank. Selain dari beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan pada beberapa waktu lalu, malam ini, saya ingin membawa pikiran dan pandangan kita semua untuk dapat melihat sebuah peluang untuk menjadikan perbankan sebagai penggerak dan pengarah berbagai kegiatan ekonomi, atau prinsip ≈banks leading the development.∆ Prinsip dasar ini merupakan kebalikan dari prinsip umum yang biasa dijadikan landasan kegiatan usaha perbankan dalam sebuah perekonomian yaitu, ≈banks follow the trade∆. Mengapa saya sampai pada pikiran itu? Jawaban saya terpulang kembali pada tantangan perekonomian ke depan yang telah saya kemukakan. Tantangantantangan tersebut menyiratkan pentingnya kontribusi sektor perbankan dalam upaya bersama seluruh kekuatan ekonomi bangsa untuk menjawab tantangan eksklusi sosial dan paradox of growth. Untuk itu kita memerlukan bisnis perbankan yang dapat memberdayakan ekonomi masyarakat (socially inclusive banking sector) dan yang membuka akses bagi pemupukan aset di tingkat akar rumput untuk memperbaiki kualitas pertumbuhan ekonomi dan menopang pertumbuhan pasar domestik. Kita tahu bahwa kegiatan usaha perbankan adalah kegiatan komersial, yang tentunya bertujuan untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Tentu, tidak ada yang salah mengenai hal ini. Namun, perlu kiranya untuk dipahami bahwa bisnis perbankan yang sinambung dalam jangka panjang menuntut pula adanya pasar domestik yang berkembang. Proses mobilisasi dana yang tidak diikuti oleh pembangunan aset produktif di tingkat akar rumput yang meningkatkan daya
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
73
beli permanen dari masyarakat menengah-kebawah yang menjadi mayoritas produsen dan konsumen di negeri ini, lambat laun akan menyebabkan persaingan usaha perbankan yang berlomba-lomba menuju titik nadir (a race to the bottom). Untuk itu, bagi bank-bank asing yang beroperasi di Indonesia saya ingin mengajak anda untuk bersama-sama kita berdayakan dan sejahterakan customer base anda, karena disanalah sebenarnya terletak harapan keuntungan anda dimasa depan. Efisiensi yang anda miliki, yang menunjukkan profesionalisme anda sebagai bankir, adalah sebuah modal untuk membangun customer base yang lebih menjamin ketahanan kegiatan usaha anda dimasa yang akan datang. Dalam kaitan ini, saya sangat memahami bahwa anda dalam banyak hal mengalami kondisi persaingan yang mirip dengan prisoners» dillema. Secara individual bank, manfaat yang anda terima sebagai yang pertama bergerak untuk membangun customer base yang lebih makmur, belum tentu akan diikuti dengan langkah dan strategi konstruktif yang sama oleh semua pelaku yang ada dalam industri. Absennya mekanisme koordinasi ini telah menjadi concern kami, karena keadaan itu diujungnya dapat menimbulkan ≈kemacetan∆ yang mengganggu kenyamanan semua partisipan di industri perbankan. Oleh karenanya, Bank Indonesia akan menyediakan insentif yang sama bagi semua dan menjadi wasit yang adil untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun dari anda keluar dari aturan main yang kita bangun dan sepakati bersama. Berpegang pada motivasi tersebut, dapat saya sampaikan 4 program kebijakan yang kiranya dapat menjadi guidelines dalam mengoptimalkan peran perbankan dalam menjawab berbagai tantangan pembangunan ekonomi yang tengah kita hadapi sat ini. Kebijakan ini terutama ditujukan kepada bank-bank umum milik asing, yang selama ini masih mengarahkan sebagian besar penyaluran kreditnya kepada sektor konsumtif. Namun demikian, dalam penerapannya nanti bukan berarti tidak ada bank-bank domestik yang menjadi obyek dari kebijakan ini. ΩBank Indonesia akan tetap menerapkan kebijakan affirmative ini kepada seluruh bank, dengan pembedaan bobot kewajiban sesuai dengan kondisi portfolio pembiayaan dari masing-masing bank. Ω Pertama, adalah kewajiban dari setiap bank untuk melakukan pembinaan kepada pelaku usaha produktif di suatu wilayah ataupun sektor tertentu yang selama ini memiliki potensi, namun belum dikembangkan secara baik. Proses pembinaan tersebut diberikan seiring dengan penyaluran kredit usaha, baik dalam bentuk modal kerja ataupun investasi, yang jumlahnya disesuaikan dengan prospek dan kemampuan usaha pelaku usaha dimaksud. Rasio atau porsi jumlah kredit dan debitur dalam pemenuhan kewajiban ini, nantinya akan dapat dihitung dengan 74
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
mengacu pada beberapa indikator. Namun salah satu indikator penting yang kiranya dapat digunakan adalah perbandingan relatif dengan jumlah kredit konsumsi yang ada dalam portfolio bank. ΩBiaya yang dikeluarkan bank untuk melakukan pembinaan usaha ini dapat diperhitungkan sebagai dari cost of fund yang dapat diperhitungkan akan mampu ditanggung oleh debitur yang dibina, ataupun sebagai bagian dari biaya operasional (biaya overhead) bank. Kedua, kewajiban untuk menyalurkan kredit kepada sektor UMKM produktif dalam suatu rasio atau porsi tertentu terhadap total kredit yang disalurkan masing-masing bank. Kebijakan ini bukan sepenuhnya merupakan kebijakan baru. Sebelum krisis, Bank Indonesia pernah menerapkan kewajiban ini kepada perbankan nasional, yang dinilai cukup di dalam mendorong pertumbuhan UMKM. Dengan memperhatikan berbagai pengalaman di waktu lalu, kebijakan ini dipertimbangkan untuk kembali diterapkan dengan berbagai penyempurnaan. Ketiga, adalah kewajiban untuk menerapkan program Corporate Social Responsibility bagi setiap bank dalam suatu rasio yang akan kita sepakati bersama. Terkait dengan hal ini, saya memiliki pandangan bahwa CSR industri perbankan seyogayanya dapat terarah pada upaya-upaya strategis dalam proses pembentukan masa depan bangsa. Dan salah satu bidang strategis yang terkait dengan masa depan bangsa adalah bidang pendidikan. Saya berharap kontribusi perbankan ke bidang ini melalui berbagai inovasi dan kreatifitas dalam program, akan dapat memberikan kesempatan dan peluang bagi anak-anak bangsa di seluruh pelosok Indonesia untuk mewujudkan mimpi mereka meraih kehidupan masa depan yang lebih baik. ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ Dan yang keempat, adalah langkah Bank Indonesia untuk segera menuntaskan kajian mengenai kemungkinan penurunan perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) bagi Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dari kajian kami selama ini, terbuka kemungkinan untuk menurunkan ATMR jenis kredit tersebut, mengingat telah adanya penjaminan oleh Askrindo, yang notabene adalah BUMN. Dalam prakteknya, saat ini porsi penyaluran KUR yang tidak dilindungi oleh Askrindo dan menjadi tanggungan pihak bank adalah sebesar 30%. Dengan mengacu pada hal tersebut dan memperhatikan ketentuan perhitungan ATMR yang berlaku saat ini, dimana kredit-kredit yang dijamin oleh BUMN memiliki bobot risiko sebesar 50%, maka kami memperkirakan akan dapat segera menyesuaikan perhitungan ATMR bagi penyaluran KUR menjadi sekitar 30 hingga 40%. Diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama, ketentuan yang terkait dengan kredit ini dapat segera kami keluarkan. Terbuka pula Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
75
kemungkinan perhitungan ATMR atas kredit UMKM yang dijamin oleh perusahaan asuransi diluar Askrindo, sepanjang perusahaan asuransi tersebut dapat memenuhi beberapa persyaratan yang akan kami tetapkan kemudian. Dalam proses perumusan aturannya nanti, seperti biasa, kami akan selalu bekerjasama dengan Bapak-Ibu sekalian, mendiskusikan berbagai langkah terbaik yang dapat kita wujudkan bersama. Jalinan komunikasi yang telah begitu baik selama ini perlu terus kita pertahankan dan tingkatkan. Masyarakat perbankan tidak perlu ragu untuk menyampaikan berbagai concern yang kiranya memerlukan respon dari kami, tanpa harus menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu diruang publik. Saya meyakini, keempat langkah kebijakan tersebut akan dapat menjadi pemicu proses pembentukan asset bangsa yang bersifat strategis bagi masa depan kita bersama, termasuk industri perbankan. Perlu kiranya kita sepakat bahwa masa depan bangsa ini bukan terletak hanya di kota-kota besar yang didominasi oleh kegiatan sektor non-tradable. Bangsa ini adalah bangsa yang harus bertumpu pada potensi dan kekuatan sumber dayanya, yang saat ini masih terpinggirkan di pelosok-pelosok daerah. ΩOleh karena itu, jika kita, masyarakat perbankan, ingin bertahan dan dapat terus meraih keuntungan dalam jangka panjang, maka tidak bisa tidak potensi itulah yang harus dikembangkan dan dihantarkan meraih kemajuan.
2.2 Arah Pengembangan Industri BPR Sebagai Salah Satu Penopang Kekuatan Ekonomi Lokal. Hadirin sekalian yang berbahagia, Selanjutnya saya akan masuk pada pemikiran yang kedua, yaitu arah kebijakan pengembangan industri BPR. Sebagaimana telah saya sampaikan pada arahan saya tahun lalu, industri BPR perlu diredifinisikan dalam konteksnya untuk melayani dinamika kehidupan masyarakat kecil. Jika saat ini kita melihat bahwa banyak BPR-BPR yang berada di pinggir-pinggir kota atau bahkan di tengah kota, maka wajar kalau kemudian kita bertanya, apa yang salah dengan desa-desa kita sehingga BPR enggan kesana? Atau justru kita harus melihat dari sudut pandang sebaliknya, apakah benar selama ini BPR mampu dan telah bersungguh-sungguh dalam melayani masyarakat kecil di pelbagai pelosok desa? Menemukan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan diatas bukan hal yang sulit. Kita harus mengakui bahwa kondisi perekonomian masyarakat di desa-desa memang masih banyak yang memprihatinkan. Di sisi lain dengan pendekatan sebagai badan usaha komersial yang diterapkan saat ini, BPR menempuh jalan 76
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
pintas dengan beroperasi seperti halnya bank umum untuk memperoleh keuntungan. Padahal konsep awal yang mendasari masuknya BPR dalam industri perbankan nasional telah mengarahkan agar industri BPR ini dapat beroperasi secara khusus, melayani segmen masyarakat yang khusus, dan memerlukan perlakuan yang khusus pula. Dari kacamata kami sebagai otoritas moneter, BPR adalah bank yang bukan pencipta uang giral, sehingga sejak awal pun BPR tidak kami tempatkan sebagai bagian dari transmisi kebijakan moneter. ΩKekhususan operasional ini bertujuan agar BPR lebih fleksibel masuk ke pelosok-pelosok daerah untuk melayani masyarakat kecil yang memang menjadi tujuan keberadaannya. Dengan jumlahnya yang lebih dari 10 kali lipat bank umum, seyogyanya BPR mampu menyebar ke seluruh penjuru tanah air, tanpa harus terkonsentrasi Ωmasuk ke kota-kota besar dan memiliki kecenderungan beroperasi seperti bank umum. ΩDari sudut pandang sebagai otoritas perbankan, BPR bukan lah bank yang memiliki dampak sistemik apabila terjadi permasalahan. Namun apabila banyak BPR yang gagal bersaing dengan bank umum karena tidak mampu memanfaatkan kekhususan-kekhususan yang dimilikinya, maka kegagalan tersebut tentu akan dapat membebani sistem perbankan secara signifikan. Ω Terkait dengan perkembangan ini, Ωsuatu hal yang wajar kalau kemudian Bank Indonesia merasa perlu untuk melakukan review terhadap kebijakan yang ada selama ini dan kemudian memberikan respon, sesuai dengan konsep dan prinsip-prinsip dasar yang kita telah sepakati bersama. Perlu kiranya saya tegaskan kembali bahwa industri BPR dituntut untuk dapat lebih optimal dalam melaksanakan peran dan fungsinya melayani masyarakat di pelbagai pelosok daerah. Ia harus dapat kembali ke khittahnya memberikan dukungan kepada upaya pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal yang menjadi sasaran dan fokus kegiatan usahanya. Lokalitas-lokalitas keekonomian yang tumbuh dan berakar pada nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat-lah yang seharusnya menjadi lahan garapan industri BPR. Hal ini mengingat bahwa letak perbedaan yang mendasar antara BPR dan bank umum, ada pada kemampuan BPR untuk masuk menjadi bagian peri kehidupan dan dinamika ekonomi masyarakat di sekelilingnya. Oleh karena itu, pendekatan dan pola kegiatan operasional BPR pun harus dapat mencerminkan kebiasaan, adat istiadat dan budaya dari masyarakat yang dilayaninya agar mereka merasa nyaman dan aman dilayani oleh BPR. ΩDengan demikian, tidak akan dapat dihindari, kalau kemudian pola operasional BPR adalah pola operasional yang bersifat customized, menyesuaikan dengan target pasarnya.
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
77
Menyadari perlunya langkah-langkah redefinition and redirection atas arah kebijakan pengembangan BPR di masa datang, terdapat beberapa pokok-pokok inisiatif yang dapat kita tempuh dalam cakupan periode waktu 5 tahun ke depan. 1. Melakukan studi penelitian dan kajian secara mendalam terhadap kekuatankekuatan ekonomi lokal yang lebih relevan untuk dilayani oleh BPR, dibandingkan oleh Bank Umum. Dari hasil studi tersebut, BPR akan dapat merumuskan dan menyiapkan pola operasionalnya yang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat, Ωuntuk dapat memanfaatkan peluang di dalam meraih keuntungan. 2. Terkait dengan langkah diatas, saat ini secara internal Bank Indonesia tengah menyiapkan pendirian sebuah pusat studi lembaga keuangan mikro atau Micro Finance Institute. Proses pendirian pusat studi ini akan kami lakukan bersamasama dengan berbagai pihak, termasuk dengan lembaga-lembaga internasional yang memiliki pengalaman dan pengetahuan mendalam mengenai pembiayaan mikro seperti GTZ, Swisscontact dan IFC. Keberadaan pusat studi diharapkan akan dapat mempertajam berbagai upaya yang selama ini telah dilakukan oleh Pemerintah dan pihak-pihak lain di dalam mendorong pengembangan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat kecil di berbagai pelosok daerah dan pedesaan. 3. Menyusun blueprint arah kebijakan BPR ke depan dengan mengikutsertakan berbagai pihak, terutama Pemerintah Daerah, untuk dapat mensinergikan fungsi dan peran BPR di dalam mendukung penyediaan pembiayaan pembangunan daerah/desa, bersama-sama dengan lembaga keuangan mikro lainnya yang telah ada saat ini. Dalam inisiatif ini, akan dikaji berbagai kemungkinan kebijakan untuk menata kembali industri BPR sesuai potensi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat dimana BPR dinilai akan mampu berkembang dengan baik. 4. Mencari bentuk pendekatan pengawasan dan pengaturan yang paling sesuai untuk diterapkan bagi industri BPR ke depan. Sejalan dengan perkembangan variasi pola operasional BPR, maka peran BI sebagai otoritas harus pula disesuaikan. BI harus tetap dapat berperan secara efektif dalam menjaga kesehatan dan kekokohan industri BPR, tanpa harus menghambat kegiatan operasional BPR yang masing-masing dapat berbeda satu sama lain. Dalam kondisi industri seperti ini, prinsip pengaturan one size fits all tidak lagi dapat diterapkan. Oleh karena itu, dalam proses pengaturan dan pengawasan BPR, terbuka kemungkinan Bank Indonesia akan mengikutsertakan pihak-pihak lain yang benar-benar memahami kondisi operasional BPR yang ada di suatu
78
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
wilayah, seperti pihak Pemda, LSM, konsultan dan pihak-pihak lainnya. Fungsi dan peran Bank Indonesia sendiri ke depan akan lebih difokuskan Ωdalam pemberian guidelines, rambu-rambu kehati-hatian serta gambaran kondisi dan dinamika keseluruhan industri. ΩΩΩΩΩΩΩ ΩΩΩ Ω 2.3 Langkah-langkah Dalam Upaya Mempercepat Pertumbuhan Perbankan Syariah Hadirin sekalian yang berbahagia, Pemikiran terakhir di bidang perbankan adalah mengenai perbankan syariah. Dalam upaya mendorong pertumbuhan industri syariah, pada tahun ini perbankan syariah telah kami targetkan untuk mencapai jumlah aset sebesar 5% dari total aset perbankan secara keseluruhan. Dan sampai dengan tahun 2015, kami mengharapkan pangsa pasar perbankan syariah akan dapat terus meningkat hingga 15%. Tentu target ini adalah target yang cukup ambisius. Namun penetapan target ini sebenarnya bukan lah hal yang mengada-ada. Kita memerlukan pemicu bagi seluruh insan industri perbankan dan pihak-pihak lain yang terkait untuk lebih bekerja keras dan berinovasi untuk mencapainya. Berdasarkan pemantauan kami dan dengan memperhatikan perkembangan perbankan syariah di seluruh dunia, kami berkeyakinan bahwa potensi kekuatan dan daya saing perbankan syariah di Indonesia untuk tumbuh dan berkembang masih sangat besar. Seyogyanya, kita semua mampu melihat bahwa perbankan syariah adalah sebuah produk dan jasa keuangan yang memiliki karakterΩ nilainilai universal yang adil, menguntungkan dan bermanfaat bagi siapapun yang dilayaninya. Mengacu pada kondisi saat ini, pencapaian target 5% dari total aset perbankan boleh dikatakan masih merupakan tantangan yang besar bagi industri syariah ini. ΩOleh karena itu, selain upaya-upaya dari industri syariah sendiri, diperlukan kesamaan pandang dan kerjasama antara pelaku industri, Bank Indonesia, Pemerintah, sertaΩ pihak-pihak terkait lainnya. Lebih dari itu, pengembangan industri perbankan syariah harus ditingkatkan dari domain agenda Bank Indonesia dan pihak-pihak terkait lainnya menjadi agenda nasional.Ω Setiap pihak memiliki perannya masing-masing yang harus dilaksanakan secara optimal, megacu pada agenda pencapaian tujuan yang telah disepakati bersama. Sebagai agenda nasional, pengembangan perbankan syariah dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut:Ω
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
79
i. Memberikan insentif, kemudahan atau fasilitas untuk menarik investor-investor baruΩ ii. Melakukan sosialisasi perbankan syariah intensif sehingga bukan hanya mampu memberikan pengetahuan tetapi juga mampu menggerakkan masyarakat pada semua golongan/segmen/strata untuk menggunakan jasa keuangan/produk perbankan syariah.Ω iii. Melakukan pembinaan Pendamping UMK & Account Officer Bank Syariah dalam rangka meningkatkan kemampuan sektor riil yang diharapkan mampu memperkuat sisi demandΩΩ pembiayaan perbankan syariah iv. Memperluas ketelibatkan perbankan syariah dalam proyek-proyek pemerintah.Ω v. Menyelesaikan dikeluarkannya ataupun diamandemennya beberapa ketentuan perundang-undangan yang kondusif dalam rangka mendukungΩ akselerasi pengembangan perbankan syariah misalnya amandemen UU Perpajakan, penyelesaian Undang Undang Perbankan Syariah, dan Undang Undang Sukuk. Sementara itu, hingga beberapa tahun ke depan, Bank Indonesia akan terus memberi perhatian yang lebih besar pada tiga hal utama untuk mendukung pertumbuhan perbankan syariah, yaitu pertama, perihal permodalan. Permodalan yang kuat menjadi penting untuk menjaga pertumbuhan bank syariah berada pada level yang cukup pesat namun sekaligus prudent. Ekspansi perbankan dan pertumbuhan DPK yang pesat perlu diimbangi oleh sisi permodalannya sehingga bank syariah dapat tumbuh secara lebih sustainable dan prudent. Kedua, SDM. Sebagai industri yang baru tumbuh dan berkembang, kualitas sumber daya manusia perbankan syariah menjadi unsur yang kritikal dalam keberhasilannya. SDM syariah dituntut untuk mempunyai profesionalisme dan kompetensi yang, paling tidak, sama dengan perbankan konvensial agar dapat memberikan bukti kepada masyarakat bahwa perbankan syariah adalah sebuahΩ industri yang mempunyai profesionalisme tinggi, menguntungkan, dan berpotensi besar.Ω Ketiga, cakupan pelayanan. Perluasan cakupan pelayanan dengan pemberlakuan sistem «office channeling» telah memudahkan masyarakat untuk menabung di perbankan syariah yang terbukti cukup besar. Animo yang besar dari masyarakat ini kemudianΩ kita sambut dengan perluasan cakupan office channeling sehingga tidak hanya melayani kebutuhan masyarakat untuk menempatkan dana, namun juga kebutuhan terkait dengan pembiayaan. Kita
80
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
pun melihat bahwa tingginya tuntutan kualitas pelayanan menuntut perbankan syariah dapat menarik tenaga-tenaga terbaik yang ada di perbankan.
3. Inisiatif di Bidang Sistem Pembayaran Nasional Hadirin sekalian yang berbahagia, Sementara itu di bidang sistem pembayaran, beberapa langkah kedepan yang saya pandang penting dalam mendukung stabilitas sistem keuangan adalah membuat sistem perbayaran nasional semakin bermanfaat bagi masyarakat dan semakin sesuai dengan international best practices. Dalam kaitan ini implementasi Sistem Bank Indonesia Government √ Electronic Banking (BIG-eB) yang sudah secara resmi diluncurkan pada akhir tahun lalu akan terus kami tingkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan yang disediakannya. Dengan kualitas pelayanan yang meningkat dan menjangkau seluruh Nusantara, diharapkan monitoring dan transaksi keuangan Pemerintah Pusat dapat lebih efektif dan efisien sehingga menunjang keseluruhan upaya kita mempercepat lagi pembangunan ekonomi nasional. Selain itu, saya juga melihat pentingnya untuk terus meningkatkan efisiensi sistem BI-RTGS. Dalam kaitan ini rencana untuk meluncurkan BI-RTGS Versi 2.0 merupakan agenda penting terkait upaya kita membangun sistem pembayaran nasional yang semakin handal, efektif dan efisien menyongsong integrasi ekonomi ASEAN. Selanjutnya, dalam 5 tahun kedepan, Bank Indonesia juga akan terus mengupayakan peningkatan efektifitas dan efisiensi kegiatan pengedaran uang dengan kualitas yang baik ke daerah-daerah perbatasan Indonesia dengan negaranegara tetangga. Penyediaan uang kartal dengan jumlah yang cukup dan kualitas yang baik ini merupakan suatu upaya untuk mempertegas kehadiran simbol-simbol Negara Kesatuan Republik Indonesia di daerah-daerah perbatasan sehingga memperkuat integritas teritorial negara-kebangsaan kita.
4. Inisiatif di Bidang Pemberdayaan Sektor Riil Hadirin sekalian yang berbahagia, Sudah saya kemukakan pada bagian terdahulu bahwa Bangsa Indonesia pada saat ini masih dihadapkan pada persoalan eksklusi sosial yang cukup
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
81
memprihatinkan. Ketika satu kelompok dalam masyarakat secara sistematik terpinggirkan secara sosial-ekonomi sehingga kelompok itu merasakan sebuah dahaga yang sangat mendalam untuk perbaikan hak-haknya atas kesejahteraan, atau yang oleh Amartya Sen disebut sebagai deprivasi sosial (social deprivation), maka pada titik itu kemiskinan sebagai sebuah entitas ontologis menjadi «ada». Ditengah pasokan tenaga kerja yang berlimpah (unlimited supply of labor) persoalan eksklusi sosial terasa sedang menggugat makna kontrak sosial di negari kita. Mereka yang berada di papan bawah dari piramida sosial ekonomi tentunya merasa bahwa dunianya adalah dunia yang tidak terproteksi oleh kontrak sosial yang mereka masuki. Ada semacam ketidakamanan dan kecemasan eksistensial pada diri mereka. Penjelasan yang paling masuk akal tentang jalan nasib mereka adalah terbatasnya akses untuk melakukan mobilitas sosial-ekonomi keatas. Keterbatasan itu menimbulkan kehausan akan pintu-pintu yang lebih terbuka. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya ingin menegaskan keyakinan saya tentang perlunya bank sentral untuk senantiasa mengambil jalan yang prostabilitas, karena kebijakan seperti itu adalah kebijakan yang pro-poor. Belum ada yang dapat secara meyakinkan mendebat pentingnya peran bank sentral sebagai penjaga gawang stabilitas. Saya juga melihat bahwa Bank Indonesia masih mempunyai ruang yang cukup luas untuk mengoptimalkan instrumen-instrumen kebijakan yang kami miliki dalam menjawab tantangan eksklusi sosial, khususnya kebijakan yang terkait dengan fungsi KBI di daerah. Dalam konteks itu, program Reorientasi KBI yang telah kami gulirkan di pertengahan 2007 lalu akan kami perkuat implementasinya. Manfaat KBI bagi pemberdayaan dan percepatan pembangunan ekonomi di daerah, serta upaya pengendalian inflasi di daerah, akan kami pertajam, yang semuanya berujung pada Indonesia yang lebih sosial-inklusif dan lebih siap memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 . Termasuk dalam kaitan ini adalah pembukaan KBI di daerah-daerah yang kami cermati sebagai lokalitas dengan pencapaian progresif di segala bidang pembangunan √√politik, ekonomi, sosial dan budaya √√, serta memiliki potensi untuk menjadi sumber-sumber pertumbuhan baru di Indonesia. Untuk tahap pertama, kami akan segera membuka KBI di Propinsi Banten dan Gorontalo, dan membuka kembali KBI di Tegal dan Pematang Siantar. Sementara itu, beberapa program kerja kedepan terkait KBI yang akan secara bertahap segera kami implementasikan dapat saya sampaikan sebagai berikut:
82
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
Pertama, memperbaiki cakupan dan kualitas data statistik perekonomian daerah yang dimiliki KBI koordinator dan melakukan integrasi pelaporan statistik perekonomian daerah dalam rangka policy advisory. Dalam kaitan ini keseluruhan informasi akan dikompilasi dalam Data Informasi Bisnis Indonesia yang dapat di akses oleh seluruh elemen bangsa yang memerlukannya. Kedua, mengembangkan riset-riset strategis ekonomi daerah terkait peluang dan potensi di sektor riil, kesiapan menuju MEA 2015, pencapaian MDGs, dampak perubahan iklim dan penuruan kualitas lingkungan hidup dan ekosistem pada perekonomian dan kualitas hidup masyarakat, jaringan produksi dan distribusi, struktur-perilaku-kinerja kegiatan produksi dan distribusi, dan pengembangan modal sosial dan kultural. Ketiga, meningkatkan peran fasilitasi / mediasi seluruh KBI terkait intermediasi perbankan ke kelompok usaha mikro-kecil-menengah dengan memanfaatkan DIBI dan informasi yang dimiliki oleh BIK. Keempat, melakukan analisis yang menyeluruh terhadap sumber inflasi daerah, mengembangkan sistem deteksi dini inflasi daerah, berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah terkait pengendalian inflasi daerah, dan memfasilitasi pembentukan Tim Pengendalian Inflasi Daerah. Kelima, dalam upaya membantu peningkatan kualitas SDM yang erat kaitannya dengan tingkat pendidikan dan literasi, Bank Indonesia akan memperbaiki kualitas dan pemanfaatan perpustakaan di seluruh KBI dan menjadikan perpustakan tersebut sebagai learning & cultural center bagi masyarakat luas di daerah kerjanya. Langkah ini adalah langkah yang relatif murah, namun efektif di dalam meningkatkan fungsi perpustakaan KBI sebagai learning center, yang akan menyediakan berbagai sumber-sumber rujukan tidak saja bagi masyarakat luas tentang berbagai aspek ilmu pengetahuan, tapi juga menyediakan rujukan bagi para entrepreneurs atau calon entrepreneurs di daerah. Tersedianya business library yang memadai di era globalisasi ini selain akan dapat memperkuat kemampuan masyarakat di berbagai daerah beradaptasi dengan era ini juga dapat membuka peluang bagi mereka yang kreatif, inovatif dan mandiri untuk mencari jalan keluarnya sendiri agar dapat melakukan mobilitas sosial keatas. Sementara itu terkait dengan fungsinya sebagai cultural center, perpustakaan KBI akan menjadi tempat dimana sejarah sosial- budaya Negara Kebangsaan Indonesia serta keragaman dan kearifan-kearifan lokal didalamnya, disimpan, dibaca, dipelajari dan dirayakan.
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
83
V. Penutup Hadirin sekalian yang berbahagia Demikian yang dapat saya sampaikan mengenai inisiatif-inisiatif strategis yang akan diambil oleh Bank Indonesia tahun ini. Pada bagian akhir ini ijinkanlah saya menyampaikan beberapa catatan penutup berikut ini. Periode 5 tahun terakhir dalam perjalanan pembangunan ekonomi Indonesia paska krisis adalah sebuah periode peralihan dari suatu kondisi dimana kita masih ada dalam cengkeraman krisis multidimensional menuju rekonsolidasi pembangunan ekonomi yang memperkuat fondasi√fondasi kunci dari perekonomian kita. Hasil dari proses rekonsolidasi tersebut saat ini telah mulai tampak dan karenanya sudah tiba saatnya bagi kita untuk beralih dari fokusfokus kebijakan yang semula kita pusatkan pada upaya pemulihan sendi-sendi kehidupan perekonomian dan sosial dari suatu masyarakat yang sedang menghadapi keadaan darurat yang cukup berat, kearah pemantapan sendi-sendi tersebut. Karena itu dimasa-masa yang akan datang, sudah tiba saatnya untuk sedikit demi sedikit mengurangi perhatian kepada langkah-langkah yang sifatnya rescue operations, dan meningkatkan perhatian pada upaya penataan ulang dari kehidupan kita yang lebih memperhatikan hal-hal fundamental yang sifatnya jangka panjang. Kedepan, kita menghendaki terwujudnya suatu kehidupan ekonomi yang dapat bersaing dalam pertarungan global, dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas, dan mampu mengadaptasi hal-hal yang merupakan best-practices di dunia. Perwujudan kehidupan ekonomi yang demikian itu menuntut kita untuk konsisten, sabar dan persisten dalam mengambil langkah perbaikan setiap kali ada peluang untuk melakukannya, sekecil apapun langkah yang sedang diambil itu. Dalam proses untuk dapat menjadi lebih antisipatif tersebut, terdapat pula faktor baru yang akan terjadi dalam waktu dekat yang memerlukan perhatian kita semua, yakni adanya suatu komitmen diantara pemerintah negara-negara ASEAN untuk menerapkan integrasi ekonomi di kawasan ASEAN pada tahun 2015. Secara formal, komitmen ini, yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang mengikat, akan membuat perekonomian negara ASEAN menjadi suatu satuan perekonomian yang terbuka, dalam bentuk free trade area. Bagaimanapun bentuk akhirnya, kebijakan ekonomi nasional akan perlu disesuaikan dengan perkembangan baru ini. Pemikiran dan langkah antisipatif perlu disiapkan karena secara formal proses pembukaan pasar telah disepakati untuk berlaku pada tahun
84
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
2015. Dengan perkembangan yang luas ini maka dunia perbankan juga dituntut untuk melakukan langkah persiapan disamping juga melakukan serangkaian perubahan dan perbaikan institusional, prosedural, teknis, aplikasi teknologi, pengembangan sumber daya manusia dan permodalan. Proses ini telah kita lakukan bersama secara bertahap. Dalam perjalanannya kita juga senantiasa memulai untuk mengaplikasikan international best-practices yang telah diterapkan di seluruh dunia. Perkembangan yang telah meluas seperti yang telah saya kemukakan tadi juga mempunyai implikasi internal terhadap Bank Indonesia sebagai salah satu dari lembaga negara yang memiliki peranan khusus dalam kelangsungan hidup Indonesia sebagai suatu negara kesatuan. Banyak penyesuaian interen yang juga perlu dilakukan mengingat tantangan baru yang dihadapi. Berapa hal yang telah menjadi perhatian adalah implikasi operasional dan organisasional KantorKantor Bank Indonesia di seluruh wilayah Nusantara. Hadirin sekalian yang berbahagia, Dalam 5 tahun terakhir ini pula kita telah dihadapkan pada berbagai perubahan-perubahan mendasar dalam dinamika perekonomian yang dalam banyak aspeknya merupakan efek-efek turunan dari arus dahsyat globalisasi ekonomi. Sebagai sebuah progresi peradaban, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang dapat menahan dan menutup diri darinya, alih alih menarik mundur progresi tersebut. Perekonomian dunia seakan sedang dalam transisi yang semakin cepat untuk menjadi satu pasar besar, yang seiring dengan itu menimbulkan ekses. Ekses yang telah bersama-sama kita rasakan saat ini adalah pemanasan global yang timbul karena limbah kegiatan produksi yang bertumbuh terlalu pesat ketimbang kapasitas bumi untuk menyerapnya. Dampak dari ekses tersebut bagi kita yang berada di negara sedang membangun tidak dapat kita hiraukan. Pemanasan global telah menimbulkan perubahan iklim yang akhir-akhir ini mengganggu upaya kita mempercepat pembangunan ekonomi. Kita tentu perlu menyikapi hal ini dengan sangat serius karena bagi mayoritas masyarakat kita dampak dari perubahan iklim adalah meredupnya harapan tentang kehidupan yang lebih baik yang selanjutnya menimbulkan kecemasan-kecemasan eksistensial. Kita juga perlu memastikan bahwa sebagai satu bangsa yang menjadi bagian dari umat manusia secara keseluruhan, tidak ada kealpaan dari diri kita sendiri dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup yang merupakan bagian dari solusi penting perubahan iklim.
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
85
Transisi perekonomian dunia menjadi pasar global juga memberi dampak yang sangat luas terhadap perilaku manusia sebagai homo economicus. Kita telah merasakan bermunculannya perubahan preferensi serta visi para pelaku ekonomi di era global ini tentang kehidupan yang mereka jalani. Dalam tataran analitis, perubahan-perubahan tersebut seakan sedang menggugat validitas hubunganhubungan kausalitas antar besaran-besaran ekonomi. Berbagai teori yang sebelumnya kita pandang sebagai sebuah kebenaran, yang menjadi basis pemangku kebijakan dalam merumuskan sebuah keputusan penting, ternyata berangsur-angsur berubah menjadi sekumpulan mitos-mitos. Fenomena ini dapat menimbulkan kegamangan bahkan bagi mereka yang telah makan asam-garam kebijakan publik, terutama karena dalam menyikapi fenomena ini pemutus kebijakan perlu senantiasa mendekonstruksi dan merekonstruksi berbagai asumsi yang mendasari perangkat-perangkat analisa mereka. Exercise yang demikian mengandung banyak risiko, terutama karena keputusan kebijakan publik tidak memberi kemewahan bagi para pemutusnya untuk melakukan eksperimentasi yang dapat diulang. Oleh karenanya, kesalahan dalam memilah asumsi-asumsi mana tentang dunia yang kiranya paling tepat untuk dipilih dalam merumuskan kebijakan dapat berdampak luas bagi kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini, kebijakan publik diujungnya adalah sebuah seni dalam memilah-milah asumsi dan konsideran kebijakan yang prosesnya menuntut kearifan, kematangan, dan yang terpenting: guts serta intuisi.
Hadirin sekalian yang berbahagia, Globalisasi telah pula menyadarkan kita tentang pentingnya untuk senantiasa menjadikan Indonesia sebagai suatu kemungkinan yang tidak absurd. Ketika republik ini didirikan, kita tahu bahwa hanya sedikit saja yang tidak bertanyatanya tentang kemungkinan yang tersedia baginya. Kita sadar, dan bapak-bapak bangsa kita pun mengetahui, bahwa tidak banyak negeri yang memiliki kemungkinan obyektif untuk tetap utuh sebagai negara modern, demokratis dan terbuka, ditengah mozaik keragaman dan kontras yang mewarnainya. Tidak banyaknya elemen-elemen subyektif yang dapat menjadikan negeri ini mungkin bagi keragaman dan kontras yang membentuknya, menorehkan sebuah pesan yang kuat bahwa Indonesia sebagai sebuah kemungkinan tidak dapat berhenti untuk diperjuangkan. Oleh karena itu meminjam dari seorang Indonesianis dari Universias Cornell, Indonesia sebagai ∆an imagined community∆ adalah sebuah proyek bersama (∆a common project∆), yang perlu terus kita perjuangkan dengan
86
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
capaian-capaian positif di segala bidang kehidupan. Rasa malu terhadap kondisi dan posisi negara-kebangsaan kita dalam tata pergaulan masyarakat internasional, dan keprihatinan kita terhadap nasib generasi penerus dimasa datang, adalah prasyarat bagi keberhasilan kita dalam menggapai Indonesia yang kita cita-citakan. 10 tahun setelah krisis, setelah kita melalui berbagai masa peralihan, adalah saat yang tepat bagi kita untuk mengisi dekade-dekade kedepan dengan kerja kolektif yang lebih keras lagi dalam semangat keadaban yang saling mendukung untuk menguatkan kemungkinan yang tersedia bagi negeri yang didalamnya sarat akan fondasi-fondasi yang penting bagi kemajuan peradaban umat manusia ini. Nasihat Muhammad Hatta lebih dari 60 tahun lalu kiranya masih sangat relevan bagi kita di awal Abad 21 ini:
≈Dengan perjuangan kita mencapai kemajuan! Saat peralihan yang kita hadapi sekarang ini baiklah kita pergunakan dengan sebaik-baiknya, supaya kita dapat menanam bibit yang bagus bagi pohon sejarah bangsa kita dimasa datang. Saat yang penting inilah yang akan menentukan nasib kita sebagai bangsa untuk berabad-abad lamanya.∆
Akhirnya, sebelum saya menutup uraian malam ini, ijinkanlah saya untuk menyampaikan apresiasi kepada senior saya, yang mewakili generasi sebelum saya, yaitu Bapak Rachmat Saleh, mantan Gubernur Bank Indonesia, yang karena kepemimpinannya yang visioner telah membangun Bank Indonesia dan industri perbankan Indonesia sebagai institusi-institusi ekonomi yang penting. Bapak Rachmat saleh adalah Gubernur Bank Indonesia yang secara sadar telah mendorong upaya-upaya penguatan institusi dan membuka kesempatan untuk perluasan wawasan serta kemampuan keterampilan kepada para pegawai baik di dalam maupun di luar negeri. Pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang menciptakan sebanyak mungkin penggantinya dan itulah yang dilakukan oleh Pak Rachmat Saleh. Selanjutnya, Pak Rachmat saleh juga yang telah banyak mengingatkan kami untuk selalu menjaga keutuhan Bank Indonesia, sebagai sebuah lembaga strategis dengan peran publik yang sangat penting di republik ini, dan untuk selalu membuat lembaga ini lebih baik dalam menjalankan fungsinya sebagai public servant atau pelayan masyarakat. Hormat kami semua dari jajaran Bank Indonesia termasuk para pimpinannya kepada Pak Rachmat Saleh. Kalau Bapak masih ingat 15 tahun lalu ketika saya berbincang-bincang dengan Bapak
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
87
di Bethesda-Maryland, ketika itu saya mengatakan kepada Bapak bahwa Bapak adalah ∆the living legend∆. Malam ini saya ingin menegaskan kembali pernyataan saya itu bahwa Bapak akan selalu menjadi ∆the living legend∆ dalam perjalanan sejarah Bank Indonesia. Semoga Bapak tetap diberi kesehatan sehingga tetap dapat berkiprah bagi kemajuan Bank Indonesia dan perekonomian kita. Sekali lagi, selamat Tahun Baru 2008. Marilah kita semua tetap bekerja keras dan bekerja sama dalam semangat kemandirian yang saling mendukung untuk memantapkan langkah bangsa ini menuju ke cakrawala jaman baru yang lebih baik. Kita yakin bahwa Tuhan senantiasa bersama kita untuk meridhoi dan meringankan langkah kita menuju masa depan yang lebih baik. Sekian dan terima kasih. Wassalamu»alaikum wr. wb.
Jakarta, 18 Januari 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA
Burhanuddin Abdullah
88
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
Daftar Istilah
25 Basel Core principles for Effective Banking Supervision
Dua puluh lima prinsip yang harus dipenuhi oleh sistem pengawasan perbankan secara efektif menurut Basel Committee on Banking Supervision
ASEAN Economic Community
Masyarakat Ekonomi ASEAN. Merupakan sebuah kerjasama yang meliputi kerjasama politik, keamanan, ekonomi, dan socio-kultural yang erat antar negara-negara ASEAN dalam rangka mencapai perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan regional.
Asset Liability Management (ALMA)
Kegiatan pengelolaan risiko yang timbul akibat adanya mismatch antara aset dan kewajiban bank
Asymmetric information
Informasi yang diterima oleh berbagai pihak namun dengan tingkat kelengkapan ataupun keakuratan yang berbeda-beda bagi masing-masing pihak
Balance sheet effect
Pengaruh satu variabel terhadap perekonomian yg dianalisis melalui perkembangan pos-pos neraca perusahaan
Bank for International Settlements (BIS)
Sebuah organisasi internasional yang memfasilitasi kerjasama moneter dan keuangan internasional dan berperan sebagai bank bagi bank sentral
Barriers to entry
Faktor-faktor yang membuat suatu usaha baru sulit bersaing dengan usaha-usaha lain yang telah terlebih dahulu ada
Base money
Uang kartal yang beredar di masyarakat plus simpanan pada bank sentral
BI-Rate
Suku bunga referensi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia setiap bulannya
Bilateral Swap Arrangement (BSA)
Perjanjian/pengaturan hubungan antar dua negara untuk saling membantu menutup kebutuhan keuangan dari negara yang membutuhkan di saat negara dimaksud sedang mengalami gejolak dalam perekonomiannya, terutama gejolak nilai tukar.
Business Continuity Plan (BCP)
Perencanaan mengenai bagaimana sebuah organisasi dapat kembali berfungsi dalam hal terjadinya sebuah bencana ataupun gangguan yang berkepanjangan
Capital Adequacy Ratio (CAR)
Ukuran permodalan bank yang dinyatakan sebagai prosentase dari eksposur rata-rata tertimbang risiko bank
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
89
Capital charge
Modal yang harus disisihkan oleh bank untuk mengantisipasi risiko yang dihadapi bank
Capital intensive
Usaha atau proses produksi yang kelangsungannya secara signifikan didukung oleh sumber daya berupa modal
Carry trade
Sebuah strategi dimana seorang investor menjual mata uang yang mempunyai suku bunga yang relatif rendah dan menggunakan hasil penjualannya untuk membeli mata uang yang mempunyai suku bunga lebih tinggi
Co-movement
Sebuah gerakan yang menyertai gerakan hal lain
Chiang Mai Initiative
Kerjasama diantara negara-negara ASEAN+3 dalam rangka menciptakan jejaring bilateral swap arrangements (BSA) guna mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek dan melengkapi kerjasama-kerjama keuangan internasional yang telah ada sebelumnya
Compliance-based
Dalam konteks pengawasan, merupakan konsep pengawasan di mana penekanan diberikan pada tingkat kepatuhan bank terhadap peraturan otoritas
Computable General Equilibrium (CGE)
Model ekonomi yang menggunakan data ekonomi untuk mengestimasi dampak perubahan kebijakan, teknologi, ataupun faktor-faktor lain pada sebuah ekonomi.
Consultative paper
Paper yang ditulis oleh Bank Indonesia dan diedarkan ke industri perbankan untuk dimintakan tanggapannya. Paper tersebut menyajikan gambaran penerapan Basel II dan berbagai dampaknya.
Core Principles for Systemically Important Payment System (CP SIPS)
Pedoman yang dibuat oleh Bank for International Settlements (BIS) bagi penyelenggara sistem pembayaran yang dianggap sistemik
Credibility gain
Kepercayaan yang meningkat
Credit history
Data historis yang dapat menggambarkan kecenderungan perilaku seseorang dalam membayar utang maupun tagihan-tagihan lainnya
Critical mass
Istilah untuk menggambarkan momentum dalam suatu sistem sosial yang cukup besar sehingga momentum tersebut bergerak terus dan bahkan dapat bertambah besar
Cross-border capital flows
Perpindahan modal antar negara
Cross-border financial flows
Perpindahan dana antar negara
90
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
De jure
Berdasarkan hukum atau secara resmi
E-money
Alat pembayaran yang nilainya tersimpan dalam sebuah sistem/fasilitas. Contoh e-money yang sudah dikenal luas adalah phone-banking, internet banking, serta pembayaran melalui kartu kredit, kartu debit maupun kartu ATM.
Economies of scale
Gejala menurunnya biaya rata-rata per unit produk/jasa dalam jangka panjang dengan semakin besarnya skala usaha yang digunakan
Economies of scope
Gejala yang mirip dengan economies of scale, namun jika economies of scale terkait dengan penurunan biaya akibat peningkatan produksi dari satu jenis produk/jasa , maka economies of scope terkait dengan penurunan biaya sebagai akibat dari produksi dari berbagai jenis produk/jasa
Elements of continuity
Elemen-elemen yang dibutuhkan untuk menjamin sebuah proses dapat berjalan secara berkesinambungan
EMBIG
Emerging Markets Bond Index Global merupakan indeks yang mencatat kembalian dari obligasi-obligasi dalam denominasi dollar yang dikeluarkan oleh negara-negara berkembang. Pada saat ini Indeks dimaksud mencakup 132 instrumen utang dari 32 negara.
Ex-ante
Istilah ekonomi untuk menggambarkan bahwa sesuatu didasarkan atas kejadian-kejadian yang akan terjadi di depan. Lawan dari ex-post
Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD)
Fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia kepada bank bermasalah yang mengalami kesulitan likuiditas namun masih memenuhi tingkat solvabilias yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan berdampak sistemik. Pemberian FPD didasarkan pada keputusan rapat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia dan pendanaannya menjadi beban pemerintah.
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP)
Fasilitas Pendanaan dari Bank Indonesia kepada bank yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek oleh bank.
Financial market deepening
Upaya untuk meningkatkan «kedalaman» pasar keuangan. Kedalaman pasar keuangan dapat dicapai melalui upaya menambah jenis instrumen investasi yang tersedia di pasar keuangan.
Financial-Social Accounting Matrix (FSAM)
Suatu alat analisis untuk melihat interaksi para pelaku di pasar keuangan dan di sektor riil dg memanfaatkan alat analisa matriks dan tabel input output
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
91
First line of defense
Lapisan pertahanan yang pertama
First rate professional
Professional yang berkualitas tinggi
Foreign exchange swap
Instrumen pasar keuangan derivatif jangka pendek yang dapat diperjualbelikan secara «over-the-counter» atau secara langsung antara dua pihak yang terlibat
Forward looking
Dengan memperrtimbangkan berbagai kemungkinan, proyeksi, dan keadaan di masa depan
Full-fledged
Secara penuh
Global externality
Dampak dari sebuah kegiatan yang dirasakan oleh masyarakat, perekonomian, maupun negara yang tidak terlibat atau terkait secara langsung dengan kegiatan tersebut
Global imbalances
Keadaan dimana terdapat defisit transaksi berjalan yang besar di Amerika Serikat, dan sebaliknya, surplus transaksi berjalan di negara-negara di Asia, Jepang, peng-ekspor minyak, maupun negara-negara industri.
Global Trade Assessment Projection (GTAP)
Data base yang diperlukan untuk melakukan analisa terkait dengan perdagangan internasional
Gross income
Pendapatan sebelum dikurangi pajak
Hedge funds
Investment fund yang pada umumnya menggunakan instrumen keuangan derivatif. Fund manager-nya pada umumnya dibayar sesuai dengan kinerja fund tersebut (disebut dengan performance fee). Hedge funds pada umumnya didirikan oleh berbagai private partnerships dan terbuka hanya untuk investor terbatas.
Hedging
Sebuah strategi yang digunakan dalam kegiatan investasi yang dapat meminimalkan eksposur risiko terkait
Homo economicus
Dalam Bahasa Inggris sering disebutkan sebagai Economic Man. Merupakan konsep yang mengatakan bahwa manusia adalah mahluk rasional yang dapat membuat berbagai keputusan untuk memenuhi kebutuhannya sebagai individu.
Idiosyncrasy
Karakteristik yang khas pada sesuatu
Inflasi IHK
Inflasi yang perhitungannya dilakukan berdasarkan perubahan harga barang dan jasa kebutuhan masyarakat luas
Inflasi inti
Pada dasarnya adalah tingkat inflasi IHK setelah diluarkan bahan makanan yang harganya sangat berfluktuasi (volatile foods), dan
92
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
barang-barang yang harganya banyak ditentukan pemerintah (administered goods). Inflation Targeting Framework (ITF)
Kerangka kerja kebijakan moneter yang secara transparan dan konsisten diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi beberapa tahun ke depan. Sasaran inflasi tersebut secara eksplisit ditetapkan dan diumumkan.
Inflation Targeting Lite
Istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan kerangka kerja kebijakan moneter yang hanya mengadopsi sebagian unsur-unsur kerangka kerja ITF
Inflatoir
Menyebabkan kenaikan harga (inflasi)
Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP)
Proses asesmen kecukupan modal yang dilakukan oleh bank dengan mempertimbangkan semua risiko yang dihadapinya. Proses ini dilakukan dalam kerangka Basel II
International Accounting Standards (IAS)
Standar akuntansi internasional yang digunakan dalam rangka Basel II
Investment grade
Obligasi yang dianggap oleh lembaga pemeringkat bahwa pihak yang mengeluarkan obligasi tersebut dapat membayar kewajibannya.
KPPOD
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
Leniency
Keringanan
Letter of Intent (LOI)
Surat dari pemerintah suatu negara kepada International Monetary Fund (IMF) yang berisi rencana reformasi ekonomi negara tersebut yang dilakukan terkait dengan bantuan dari IMF.
Leveraged buyout
Strategi akusisi perusahaan menggunakan dana yang diperoleh dengan cara berhutang
Market risk
Risiko terpengaruhinya nilai sebuah investasi akibat perubahan yang terjadi dalam pasar
Meretas
Tindakan membuka jalan baru
Millenium Development Goals (MDGs)
Delapan sasaran yang telah disepakati oleh negara-negara anggota PBB untuk dicapai pada tahun 2015. MDG terutama terkait dengan peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup bagi negara-negara yang paling membutuhkan.
Misalignment
Keadaan dimana sesuatu hal kurang sejalan atau sebanding dengan hal lain ataupun lingkungannya
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
93
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI)
Suatu catatan sistematis dari seluruh transaksi ekonomi antara penduduk Indonesia dengan bukan penduduk Indonesia dalam jangka waktu tertentu.
Non-performing loans
Kredit yang telah gagal bayar
Non-tradable
Barang-barang atau jasa-jasa yang tidak bisa atau sulit diperdagangkan apabila jauh tempat dimana barang/jasa tersebut diproduksi (terkait dengan kegiatan perdagangan internasional)
Office channeling
Skim untuk meningkatkan akses masyarakat ke produk perbankan syariah dengan cara memperbolehkan kantor cabang suatu bank konvensional yang telah mempunyai unit usaha syariah (UUS) untuk melakukan pelayanan jasa dan produk syariah
Oligopoli
Pasar atau industri dimana hanya ada beberapa penjual saja
Oligopsoni
Pasar atau industri dimana jumlah pembelinya hanya beberapa saja
Operational risk
Risiko terjadinya kerugian sebagai akibat dari proses internal maupun eksternal, sumber daya manusia, maupun sistem yang kurang memadai.
Outstanding
Yang beredar di masyarakat
Pace
Kecepatan
Paradox of growth
Fenomena ekonomi dimana terdapat peningkatan investasi yang tidak diikuti oleh peningkatan penyerapan tenaga kerja yang sebanding
Passthrough effects
Dampak perubahan satu indikator thd indikator lainnya, biasanya adalah dampak perubahan nilai tukar terhadap harga-harga (dalam konsep/teori tentang inflasi)
Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB):
Pengeluaran yang dilakukan oleh Pemerintah untuk membeli dan/ atau membangun barang-barang modal atau infrastruktur yang bersifat jangka panjang (Capital Expenditure)
Perishable
Tidak tahan lama
Policy advisory
Pemberian masukan terkait dengan kebijakan
Polity
Kehidupan bermasyarakat yang terorganisasi dan memiliki bentuk pemerintahan yang spesifik (dari bahasa latin: politia)
Poverty trap
Kemiskinan yang disebabkan oleh berbagai hal diluar kekuasaan seseorang atau sekelompok masyarakat sehingga membuat orang
94
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
atau kelompok masyarakat tersebut sulit keluar dari kemiskinan tersebut PP No. 33 Tahun 2006
Peraturan Pemerintah yang mengubah peraturan pemerintah sebelumnya perihal Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Pada dasarnya, PP No. 33 Tahun 2006 menetapkan bahwa piutang BUMN/BUMD bukan piutang negara dan dapat dikelola menurut kaedah-kaedah perusahaan yang sehat.
Prisoner»s Dilemma
Skenario dalam game theory dimana terdapat dua pihak dan masingmasing pihak mempunyai pilihan untuk saling bekerja sama atau saling mengkhianati. Skenario tersebut untuk menggambarkan perilaku manusia dalam usaha mendapatkan hasil yang terbaik bagi dirinya dan dapat tidaknya manusia dapat mempercayai manusia lain yang juga menghadapi situasi dan mempunyai kepentingan yang sama.
Private equity
Perusahaan yang berspesialisasi dalam mendanai usaha baru maupun melakukan akusisi terhadap perusahaan yang telah ada
PUAB (Pasar Uang Antar Bank)
Merupakan kegiatan pinjam meminjam dana antara satu bank dengan bank lainnya. Dalam hal ini, bank yang kelebihan dana akan meminjamkan dana kepada bank yang kekurangan dana dengan memberikan kompensasi tingkat suku bunga tertentu
Public Private Partnership (PPP)
Kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam pengelolaan maupun pendanaan sebuah usaha
Public Sector Entities (PSE)
Perusahaan milik pemerintah yang mempunyai tugas khusus dan cenderung bersifat monopoli
Quantitative Impact Study (QIS)
Pengujian yang dilakukan untuk mengetahui dampak dari penerapan basel II terhadap permodalan bank
Real Time Gross Settlement (RTGS)
Sistem setelmen pembayaran yang beroperasi secara gross dan realtime (melalui proses elektronis) dimana rekening anggota sistem dapat di debit maupun kredit beberapa kali dalam satu hari sesuai dengan perintah pembayaran maupun pembayaran yang diterimanya.
Redistributive income policy
Kebijakan yang bertujuan untuk lebih menyeimbangkan uang yang diterima si kaya dan si miskin dalam suatu perekonomian
Relationship lending
Hubungan antara bank dengan debitur yang sedemikian rupa sehingga kedua belah pihak mendapat manfaat dalam pemberian kredit dari bank ke debitur
Rent seeking
Kegiatan mencari keuntungan bukan melalui perdagangan dan
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
95
penciptaan nilai tambah, namun melalui manipulasi lingkungan ekonomi ataupun hukum Return on Assets (ROA)
Indikator profitabilitas sebuah bank atau perusahaan relatif terhadap aset total
Risk-based supervision
Kerangka kerja pengawasan yang menilai bank dari kemampuannya untuk mengelola risiko dan melakukan pricing yang tepat dari risiko-risiko yang dihadapinya.
Risk free instruments
Instrumen investasi yang bebas dari risiko tidak bisa membayar pokok maupun bunga
Risk transfer
Upaya mitigasi risiko melalui pengalihan risiko melalui cara, antara lain, sekuritisasi aset
Second round effects
Dampak lanjutan
Sekuritisasi aset
Penerbitan surat berharga oleh penerbit Efek Beragun Aset (EBA) yang didasarkan pada pengalihan aset keuangan dari kreditur asal yang diikuti dengan pembayaran yang berasal dari hasil penjualan efek beragun aset kepada pemodal
Self-Regulating Organization (SRO)
Organisasi yangƒsampai batas-batas tertentuƒdapat melakukan pengaturan terhadap industri dimana organisasi tersebut berada
Single Presence Policy (SPP)
Kebijakan Bank Indonesia yang menyatakan bahwa setiap pihak hanya dapat menjadi Pemegang Saham Pengendali (PSP) bagi satu bank umum di Indonesia. Kebijakan ini diambil dalam rangka mendorong konsolidasi perbankan Indonesia dan meningkatkan efektivitas pengawasan bank.
Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI)
Sistem kliring nasional yang diselenggarakan Bank Indonesia yang mencakup setelemen kliring debit dan kredit bagi seluruh bank umum
Small Medium Entities (SME)
Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
Smoothing
Pengurangan gejolak yang ada
Soveriegn Wealth Funds (SWF)
Fund yang dimiliki oleh sebuah negara yang terdiri dari aset-aset finansial seperti saham, obligasi, dan instrumen lainnya. Fund semacam ini didirikan dengan berbagai tujuan, antara lain, untuk mengurangi volatilitas pendapatan pemerintah, mengurangi dampak buruk dari siklus ekonomi terhadap keuangan pemerintah, maupun pencadangan dana untuk keperluan ke depan.
96
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
Spread
Selisih
Stress-testing
Tes yang dilakukan untuk mengevaluasi ketahanan perbankan terhadap gejolak-gejolak perekonomian tertentu
Sub-prime mortgage
Kredit kepemilikan rumah yang diberikan kepada debitur yang mempunyai sejarah kredit yang kurang baik ataupun tidak mampu membuktikan bahwa debitur mempunyai penghasilan yang cukup untuk membayaran cicilan bulanan. Kredit semacam ini pada umumnya akan mempunyai tingkat suku bunga di atas tingkat suku bunga pasar.
Sudden reversal
Pembalikan yang tiba-tiba
Trickle up economy Teori ekonomi yang menerangkan gejala dimana kekayaan mengalir dari masyarakat miskin ke masyarakat kaya Tangible
Mempunyai wujud fisik. (Lawannya adalah intangible = tidak mempunyai wujud fisik)
Tim Fasilitasi Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Daerah (TFPPED)
Task force yang dibentuk oleh Bank Indonesia di daerah-daerah yangt terdiri dari unsur Pemda, Bank Indonesia, asosiasi perbankan dan asosiasi dan organisasi lain terkait. Task force tersebut bertujuan untuk dapat mendukung peran intermediasi perbankan dalam akselerasi sektor riel melalui forum-forum koordinasi.
Underlying
Merupakan suatu instrumen keuangan yang nilainya menjadi dasar dari besarnya cash flow yang diterima oleh instrumen atau transaksi turunannya
Universal banking
Sistem perbankan yang cakupan pelayananannya selain mencakup simpan dan pinjam juga mencakup investment banking
Volatile foods
Jenis-jenis makanan yang harganya sangat berfluktuasi, misalnya beras, cabe, dan produk-produk pertanian lainnya.
Wealth creation
Proses penciptaan kekayaan
Welfare state
Istilah untuk mendiskripsikan sebuah sistem kenegaraan yang bertanggung jawab untuk menyediakan kesejahteraan bagi warganya
Yield curve Kurva yang menggambarkan hubungan antara tingkat suku bunga dan jangka waktu sebelum jatuh tempo untuk seorang debitur dan mata uang tertentu.
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
97
Kronologis Events Terkait dengan Kebijakan Penting di Bidang Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran selama 2003-2007 No.
Tanggal
Kebijakan
1.
17 Februari 2003
Penandatanganan Bilateral Swap Arrangement senilai $ 3 miliar antara Bank Indonesia dan Bank Sentral Jepang.
2.
1 Agustus 2003
Pemerintah dan Bank Indonesia menandatangani Kesepakatan Bersama Mengenai Penyelesaian BLBI serta hubungan Keuangan Pemerintah dan Bank Indonesia, sebagai tindak lanjut dari Keputusan DPR RI 3 Juli 2003.
3.
15 September 2003
Inpres No. 5 Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Menjelang dan Sesudah Berakhirnya Program Kerjasama Dengan International Monetary Fund (IMF). Program stabilisasi makro ekonomi disusun secara komprehensif yang dituangkan dalam white paper sebagai salah satu bentuk penerapan unsur transparansi atas komitmen dan akuntabilitas dalam melaksanakan program pembangunan pasca keluar dari IMF
4.
24 Desember 2003
Penandatanganan Bilateral Swap Arrangement senilai $ 1 miliar antara Bank Indonesia dan Bank Sentral Korea Selatan.
5.
30 Desember 2003
Penandatanganan Bilateral Swap Arrangement senilai $ 1 miliar antara Bank Indonesia dan Bank Sentral China.
6.
9 Januari 2004
Peluncuran Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang merupakan landasan dan arah kebijakan perbankan dalam jangka panjang.
7.
15 Januari 2004
Pengesahan UU No. 3/2004 tentang Perubahan atas UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia.
8.
Januari 2004
Penerapan kerangka kerja moneter Inflation Targeting Lite (ITL) secara implisit.
9.
20 Desember 2004
Penandatanganan Surat Keputusan Bersama (SKB) Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Bank Indonesia tentang Kerjasama Penanganan Kasus Tindak Pidana di Bidang Perbankan.
10.
10 Januari 2005
Peraturan Bank Indonesia (PBI) diterbitkan meliputi ketentuan mengenai Pinjaman Luar Negeri Bank.
11.
20 Januari 2005
Peraturan Bank Indonesia (PBI) diterbitkan meliputi ketentuan mengenai Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum; Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum; Prinsip Kehati-Hatian Dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum; Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank Umum Pasca Bencana Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dan Kabupaten Nias, Propinsi Sumatera Utara; Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah; serta Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
98
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
No.
Tanggal
Kebijakan
12.
27 April 2005
Paket Kebijakan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah melalui upaya meningkatkan intensitas intervensi di pasar valas, menaikkan maksimum suku bunga penjaminan simpanan valas, dan memperketat ketentuan Posisi Devisa Neto (PDN) bagi perbankan.
13.
5 Juli 2005
Penerapan kerangka kerja moneter Fully Fledged Inflation Targeting Framework, ditandai dengan diumumkannya secara eksplisit suku bunga kebijakan, BI Rate, kepada publik.ΩDewan Gubernur memandang penetapan suku bunga tersebut dapat mengendalikan tingkat inflasi ke arah sasaran inflasi jangka menengah sekaligus kondusif untuk memelihara momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dewasa ini.
14.
5 Juli 2005
Paket Kebijakan tentang pemenuhan kebutuhan valas Pertamina oleh Pemerintah serta manajemen permintaan valas dan kewajiban repatriasi Devisa Hasil Ekspor (DHE) bagi BUMN
15.
29 Agustus 2005
Penerapan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI).
16.
30 Agustus 2005
Paket Kebijakan tentang penyediaan fasilitas swap hedging untuk utang luar negeri, investasi prasarana dan ekspor, pemberlakuan intervensi valas dengan instrumen swap jangka pendek, pelarangan transaksi margin trading, serta pengawasan intensif terhadap bank atas transaksi valas yang tidak disertai dengan underlying transactions.
17.
22 September 2005 Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
18.
28 Desember 2005
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) dan Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai penyediaan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD)
19.
30 Desember 2005
Keputusan Bersama Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan tentang Pembentukan Forum Stabilitas Sistem Keuangan (Forum SSK).
20.
7 Juli 2006
Pemerintah bersama-sama dengan Bank Indonesia mengeluarkan Paket Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK) untuk mengembangkan infrastruktur keuangan, meningkatkan akses pembiayaan, dan memperkuat struktur keuangan.
21.
12 Oktober 2006
Bank Indonesia atas nama Pemerintah Republik Indonesia secara efektif telah melunasi seluruh pinjaman kepada IMF di bawah skim Extended Fund Facility (EFF).
22.
8 Desember 2006
Penandatanganan nota kesepahaman mengenai Kerjasama dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi antara Bank Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008
99
No.
Tanggal
Kebijakan
23.
30 Maret 2007
Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 9/6/PBI/2007 dan 7/2/PBI/2005 untuk meningkatkan peran perbankan dalam pembiayaan sektor riil.
24.
8 Mei 2007
Laporan Keuangan Tahunan Bank Indonesia Tahun 2006 memperoleh pendapat Wajar Tanpa Pengecualian dari BPK-RI. Perolehan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian tersebut merupakan pencapaian ke-4 kalinya dalam empat tahun terakhir ini.
25.
29 Juni 2007
Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menandatangani Keputusan Bersama tentang Pembentukan Forum Stabilitas Sistem Keuangan (SKB), yang merupakan perubahan dari SKB yang telah ditandatangani oleh Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan pada tanggal 30 Desember 2005. Pembentukan FSSK ini merupakan tindak lanjut Pasal 31 Nota Kesepakatan antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 17 Maret 2004 mengenai ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan bank yang berdampak sistemik, pemberian Fasilitas Pembiayaan Darurat (≈FPD∆), dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
26.
29 Juni 2007
Gubernur Bank Indonesia (BI) dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menandatangani Nota Kesepakatan sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan.
27.
2 Juli 2007
Peluncuran Data Informasi Bisnis Indonesia.
28.
27 Desember 2007
Peluncuran Bank Indonesia Government Electronic Banking (BIG-eB).
100
Pertemuan Tahunan Perbankan 2008