Daftar isi . I
PENDAHULUAN
Halaman 1
LATAR BELAKANG II
BAHAN DAN CARA KERJA
5
III
TEMUAN KAJIAN DAN PEMBAHASAN
7
IV
PENCEMARAN UDARA DARI SUMBER BERGERAK
7
IV-1 PRODUKSI OTOMOTIVE
7
IV-2 PARAMETER PENCEMARAN UDARA SUMBER BERGERAK
11
IV-3 DAMPAK TERHADAP KESEHATAN
16
IV-4 PENGENDALIAN
21
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
22
V-1 KESIMPULAN
22
V-2 REKOMENDASI
23
VI
DAFTAR PUSTAKA
23
VII
POLICY BRIEF
V
LAMPIRAN
KAJIAN DAMPAK PENCEMARAN UDARA TERHADAP KESEHATAN Abstrak Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan, oksida nitrogen (NOx), partikel (SPM10) dan hidrokarbon (HC). Rentang tingkat pencemaran udara ambient untuk CH4: 1,0 - 1,97 ppm; NonCH4: 1,5 -3,78 ppm, NOx: 0,06 0,490 ppm; Sox: 0,001 - 0,276 ppm; CO: 0,01 -11,53 ppm dan partikel (SPM10): 6,0-260 ug/m3. Bila dilakukan evaluasi dengan Indek Standar Pencemaran Udara (ISPU) sesuai Kepmen Lingkungan Hidup No. 45 tahun 1997 kondisinya sudah termasuk kategori ’’sedang” dengan penjelasan bahwa tingkat kualitas udara tersebut tidak berpengaruh pada kesehatan manusia ataupun hewan tetapi berpengaruh pada tumbuhan sensitif dan nilai estetika. Penelitian lain mengukur Zat -zat pencemar udara yang paling sering dijumpai dilingkungan perkotaan adalah: S02, NO dan N02, CO, 03, SPM(=Suspended Particulate Matter) dan Pb(=Lead). S02 berperan dalam terjadinya hujan asam dan polusi partikel sulfat aerosol. N02 berperan terhadap polusi partikel dan deposit asam dan prekursor ozon yang merupakan unsur pokok dari kabut fotokimia. Asap dan debu termasuk polusi partikel. Ozon, CO, SPM, dan Pb. Salah satu hasil penelitian menyebutkan bahwa tingkat keparahan gangguan pernafasan adalah 18 orang mengalami gangguan restriksi paru (kesulitan pengembangan paru) dari ringan hingga sangat berat. Dan 6 orang mengalami obtruksi pada jalan nafas dari ringan hingga berat, 6 orang norma l. Perlu ada terobosan kebijakan mulai dari mengurangi sumber pencemar, teknologi menurunkan emisi, penyusunan peraturan yang harmonis antara produksi dan penjualan sumber emisi, peraturan tentang parameter dan batasan di lingkungan, dan yang terkait agar saling memperbaiki.
I. PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Pencemaran udara adalah kehadiran satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan, mengganggu estetika dan kenyamanan, atau merusak properti. Pencemaran udara dapat ditimbulkan oleh sumber-sumber alami maupun kegiatan manusia. Beberapa definisi gangguan fisik seperti polusi suara, panas, radiasi atau polusi cahaya dianggap sebagai polusi udara. Sifat alami udara mengakibatkan dampak pencemaran udara dapat bersifat langsung dan lokal, regional, maupun global.(http://apims.doe.gov.my/apims/hourly2.php)
Kadar pencemaran udara di kota-kota megapolitan di Asia menunjukkan kecenderungan stabil, tetapi masih berada di atas kadar maksimum yang diperbolehkan menurut World Health Organization (WHO) (CAI Asia Center. Air Quality in Asian Cities. 2009).
1
Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Menurut
Soedomo,dkk,
1990, transportasi darat memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap setengah dari total emisi SPMio, untuk sebagian besar timbal, CO, HC, dan NOx di daerah perkotaan, dengan konsentrasi utama terdapat di daerah lalu lintas yang padat, dimana tingkat pencemaran udara sudah dan/atau hampir melampaui standar kualitas udara ambient. Hasil monitoring tingkat pencemaran udara di ruas-ruas jalan kota besar seperti : Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Denpasar (Bali), dan Serang (Banten), serta kota- kota yang dilalui Jalur Pantura tingkat pencemaran udara sudah dan/atau hampir melampaui standar kualitas udara ambient khususnya untuk parameter oksida nitrogen (NOx), partikel (SPM10) dan hidrokarbon (HC). Rentang tingkat pencemaran udara ambient untuk CH4: 1,0 - 1,97 ppm; NonCH4 1,5 -3,78 ppm, NOx: 0,06 - 0,490 ppm; SOx: 0,001 - 0,276 ppm; CO: 0,01 -11,53 ppm dan partikel (SPMJO): 6,0-260 ug/m3. Bila dilakukan evaluasi dengan Indek Standar Pencemaran Udara (ISPU) sesuai Kepmen Lingkungan Hidup No. 45 tahun 1997, kondisinya sudah termasuk kategori ’’sedang” dengan penjelasan bahwa tingkat kualitas udara tersebut tidak berpengaruh pada kesehatan manusia ataupun hewan tetapi berpengaruh pada tumbuhan sensitif dan nilai estetika.( Nanny Kusminingrum, 2008). Berdasarkan hasil studi kasus yang dilakukan oleh Bank Pembangunan Asia pada beberapa kota di Indonesia tahun 2008 menunjukkan bahwa emisi PM10 di udara rata-rata pertahun pada Kota Medan menduduki peringkat paling tinggi (111,9 [ug/m3), diikuti oleh Kota- kota lain yaitu Surabaya, Bandung dan Jakarta. Dari 6 kota yang diamati hanya Kota Palangkaraya dan Pekanbaru yang cemaran PMio di udara masih di bawah batas yang diperbolehkan oleh Badan Kesehatan Dunia (20 pg/m 3). Emisi S02 ratarata per-24 jam juga menunjukkan Kota Medan menduduki peringkat tertinggi (92,48 p g/m ) diikuti oleh kota Surabaya dan Jakarta dari batas yang diperbolehkan Badan Kesehatan Dunia 20 p g/m per-hari. Emisi N02 paling tinggi dijumpai padas Kota Jakarta yaitu 18,47 pg/m 3 dan ini masih di bawah batas yang diperbolehkan oleh Badan Kesehatan Dunia 40 pg/m per-tahun (Center CAIfACC- A, 2010). Sejak tahun 1950; armada kendaraan secara global telah meningkat 10% kali lipat dan diperkirakan menjadi
dua
kali
lipat
dalam
tempo
20 -30
Tahun
mendatang,
dari sekarang
2
berjumlah 630 juta buah. Angka pertambahan jumlah kendaraan dunia diproyeksikan melampaui kedua jumlah total produksi dan populasi diperkotaan. Peranan kendaraan bermotor terhadap pertambahan polusi menjadi meningkat di negara-negara yang sedang berkembang. Jika tidak dilakukan pengawasan yang ketat terhadap zat-zat pencemar yang berkaitan dengan lalu lintas, sudah pasti akan memperburuk kondisi udara daerah ini. Sebagai tambah zat-zat pencemar udara yang lebih tradisionil yang lebih umum, sejumlah besar racun dan zat kimia dideteksi telah meningkat jumlahnya diudara perkotaan, walaupun dengan konsentrasi rendah. Zat-zat pencemar udara yang paling sering dijumpai dilingkungan perkotaan adalah: S02, NO dan N02, CO, 03, SPM(=Suspended Particulate Matter) dan Pb(=Lead). S02 berperan dalam terjadinya hujan asam dan polusi partikel sulfat aerosol. N02 berperan terhadap polusi partikel dan deposit asam dan prekursor ozon yang merupakan unsur pokok dari kabut fotokimia. Asap dan debu termasuk polusi partikel. Ozon, CO, SPM, dan Pb seluruhnya telah dibuktikan memberi pengaruh yang merugikan kesehatan manusia. Pembakaran bahan bakar fosil di sumber-sumber yang menetap, mengarah terbentuknya produksi S02, NO dan N02 serta Pb, sedangkan masing-masing berminyak solar jelas terbukti menghasilkan sejumlah partikel dan S02 sebagai tambahan dari NO dan N02. Ozon merupakan suatu fotokimia oksidan secara tidak langsung dihasilkan dari sumber-sumber pembakaran, dibentuk dibagian bawah atmosfir, dari NO dan komponen-komponen organik yang mudah menguap(=VOCs= Volatile Organic Compounds) atau hidrokarbon-hidrokarbon reaktif dengan adanya sinar matahari. VOCs dihasilkan dari keaneka ragaman sumber-sumber buatan manusia termasuk lalu lintas jalan raya, produksi dan pemakaian zat-zat kimia organik seperti ;bahan-bahan pelarut, transport dan pemakaian crude oil, pemakaian dan distribusi gas alam, tempat pembuangan limbah dan pabrik- pabrik limbah cair. Penelitian yang dilakukan oleh Endah K, dkk, 1999, menunjukkan bahwa ada korelasi antara kualitas udara dengan kapasitas vital paru pada penyapu jalan (p = 0.032; p = 0.035). Zat pencemar yang berkorelasi secara signifikan dengan kapasitas vital paru baik pada penyapu jalan laki-laki maupun perempuan adalah NOx. Parameter kualitas udara yang melebihi NAB adalah debu. Tingkat keparahan gangguan pernafasan adalah 18 orang mengalami gangguan restriksi paru (kesulitan pengembangan paru) dari ringan hingga sangat berat. Dan 6 orang mengalami obtruksi pada jalan nafas dari ringan hingga berat, 6 orang normal.
3
Hasil kajian yang dilakukan oleh Bank Dunia tahun 1996, tentang kerugian akibat pencemaran udara di kota Jakarta, mencapai sekitar $ 200 juta US/tahun untuk seluruh jumlah penduduk Jakarta, sementara hasil kajian yang dilakukan oleh Puslitbang Jalan dan Jembatan (Gunawan, dkk 1997), dengan metoda wawancara dilakukan di kota Bandung dan Surabaya, menyimpulkan bahwa setiap orang mengeluarkan biaya kesehatan rata-rata Rp. 30.000/orang/tahun akibat pencemaran udara. Diperkirakan dampak pencemaran udara di Jakarta yang berkaitan dengan kematian prematur, perawatan rumah sakit, berkurangnya hari kerja efektif, dan ISNA pada tahun 1998 senilai dengan 1,8 trilyun
rupiah
dan
akan
meningkat
menjadi
4,3
trilyun
rupiah
pada
tahun
2015
(http://id.wikipedia.org/wiki) RUMUSAN MASALAH Hasil pengukuran tentang pencemaran udara telah menunjukan hasil yang makin meningkat. Artinya telah terjadi pencemaran udara yang dapat mengganggu kesehatan. Telah terjadi kemacetan lalu lintas di kota-kota besar yang menimbulkan kerugian secara ekonomi sangat besar. Sudah diatur dengan berbagai peraturan perundang-undangan, untuk mengatasi pencemaran udara, namun tetap makin hari hasil pemantauan dan penelitian menunjukkan bahwa kualitas udara makin membahayakan kesehatan. Oleh sebab itu perlu dicari dimana terjadi gap yang menyebabkan pencemaran udara yang makin membahayakan kesehatan tersebut.
TUJUAN KAJIAN TUJUAN UMUM: Mengkaji tentang pencemaran udara dan dampaknya terhadap kesehatan TUJUAN KHUSUS: 1. Mengkaji sumber-sumber pencemaran udara pada umumnya dan khususnya oleh sumber bergerak (automotive). 2. Mengkaji tentang pencemaran udara di Indonesia 3. Mengkaji tentang dampak kesehatan yang disebabkan karena pencemaran udara 4. Mengkaji tentang peraturan perundangan yang berkaitan dengan pencemaran udara 5. Mempelajari gap yang menimbulkan masalah pencemaran udara
4
MANFAAT KAJIAN 1. Hasil kajian diharapkan dapat digunakan sebagai dasar menyusun strategi dan program Penyehatan Lingkungan (MDG’s no. 7, Isu strategis bidang kesehatan no.3) 2. Hasil kajian dapat digunakan untuk program pengendalian penyakit tidak menular dan kesehatan lingkungan (prioritas nasional bidang kesehatan no. 3). 3. Hasil kajian dapat digunakan sebagai dasar penyusunan kebijakan baru tentang sumber pencemar, penggunaan jenis bbm, produksi automotive. 4. Bagi masyarakat peneliti, hasil kajian dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya. KERANGKA KONSEP
II. BAHAN DAN CARA BAHAN: 1. Kumpulkan hasil-hasil penelitian, kajian, dan hasil monitoring dari berbagai instansi terkait tentang adanya pencemaran udara baik parameter yang diukur beserta nilai ukurannya, tempat pengukuran (area, kota), dampak kesehatan. Kata kunci penelusuran menggunakan dampak kesehatan pencemaran udara, pencemaran udara, produksi kendaraan bermotor, polusi udara akibat kendaraan bermotor.
2. Kumpulkan peraturan perundang-undangan mengenai pencemaran udara dan kesehatan yang berkaitan dengan pencemaran udara tersebut, tentang produksi kendaraan bermotor.
5
CARA:
1. Menggunakan metode yang sistematik untuk identifikasi literatur; menilai dan mensintesis topik bahasan: 2. Proses identifikasi menggunakan kriteria sbb: — Multiple databases
.
3. Proses penilaian menggunakan instrumen penilaian yang terstandar --Bersifat kualitatif: narasi Sehingga terstandar dan reproducible 4. Kriteria disusun secara eksplisit (dapat di replikasi) dan rinci, yaitu: — Database(s) yang dipakai — Rentang waktu yang dipakai — Keywords yang dipakai untuk searching — Bahasa yang dipakai (Indonesia, English) 5. Materi yang didapat direview untuk mengambil kesimpulan dari berbagai sumber tersebut (sistematik review) yang terdiri dari: menggunakan Delphi proses. 6. Peningkatan sumber pencemar udara (dalam hal ini dikhususkan hanya pada kendaraan bermotor). Berapa peningkatan kendaraan bermotornya (simpul 1). 7. Review kadar polutan di udara yang disebabkan oleh kendaraan bermotor (simpul 2). 8. Review peraturan yang ada yang mengatur tentang sumber pencemar (kendaraan bermotor) dan peraturan tentang pengendalian pencemaran udara (Lingkungan Hidup) 9. Berdasarkan volume kendaraan bermotor sebagai sumber pencemar, kadar polutan yang terukur di udara, peraturan yang ada, dilakukan analisis untuk melihat gap atau hal yang menyebabkan meningkatan pencemaran udara. 10. Review gangguan kesehatan yang berkaitan dengan bahan pencemar udara (polutan) dari berbagai literature dan hasil penelitian (simpul 4). 11. Dilakukan analisis apakah kadar tersebut sudah menimbulkan gangguan kesehatan? (dibandingkan dengan NAB atau dilakukan analisis risiko kesehatan) Atau dilakukan analisis prediksi, kemungkinan gangguan kesehatan yang akan muncul pada populasi di wilayah-wilayah dengan pencemaran udara yang meningkat (sysdyn analisis) analisis simpul 2 ke simpul 3).
6
12. Dicari altemative-alternatif yang mungkin dapat dilakukan untuk mengatasi pencemarannya dan gangguan kesehatannya. 13. Selanjutnya disusun menjadi laporan kajian, policy option, dan artikel untuk publikasi III. TEMUAN KAJIAN DAN PEMBAHASAN
Jumlah artikel yang direview: Jumlah artikel yang berkaitan dengan kajian ini terdiri dari: 7 peraturan baik berupa pp maupun kep men; 13 artikel yang berkaitan dengan produksi kendaraan bermotor dan dampak lingkungannya; 20 artikel berkaitan dengan indicator kesehatan; dan 5 artikel berkaitan dengan dampak kesehatan. Hasil review seperti pada lampiran 4.
IV PENCEMARAN DARI SUMBER BERGERAK. IV-1 PRODUKSI OTOMOTIVE Simpul 1: jumlah kendaraan bermotor (sumber pencemar) dari data primer di Ditlantas didapat bahwa produksi kendaraan bermotor adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis tahun 1987-2012
Tahun
Mobil Penumpang
Truk
Bis
Sepeda Motor
Jumlah
1987
1170103
303378
953694
5554305
7981480
1988
1073106
385731
892651
5419531
7771019
1989
1182253
434903
952391
5722291
8291838
1990
1313210
468550
1024296
6082966
8889022
1991
1494607
504720
1087940
6494871
9582138
1992
1590750
539943
1126262
6941000
10197955
1993
1700454
568490
1160539
7355114
10784597
1994
1890340
651608
1251986
8134903
11928837
1995
2107299
688525
1336177
9076831
13208832
1996
2409088
595419
1434783
10090805
14530095
1997
2639523
611402
1548397
11735797
16535119
1998
2769375
626680
1586721
12628991
17611767
1999*)
2897803
644667
1628531
13053148
18224149
2000
3038913
666280
1707134
13563017
18975344 7
Sumber: Kantor Kepolisian Republik Indonesia ’’ sejak 1999 tidak termasuk TimorTimur http://bps.go.id/tab sub/view.php?kat=2&tabel=l&daftar=l&id subvek=17¬ab=12
Dari Kantor Kepolisian Republik Indonesia, terlihat bahwa jumlah kendaraan bermotor dari tahun ke tahun meningkat terus. Kalau sumber emisinya meningkat, secara logika emisinya juga bertambah (meningkat). Data dari Kementerian Perindustrian adalah sebagai berikut: Dalam jangka menengah, Kementerian Perindustrian menargetkan produksi kendaraan bermotor roda empat mencapai 1.250.000 unit. Jumlah produksi tersebut diperoleh jika diasumsikan pertumbuhan ratarata per tahun adalah 10%. Berdasarkan data dari ASEANAutomotive Federation (AAF), sampai dengan akhir 2012, produksi kendaraan bermotor roda empat di Indonesia telah mencapai 1,065 juta unit. Produksi tahun 2012 tersebut mengalami peningkatan 27% jika dibandingkan dengan produksi tahun 2011 yang sebesar 837 ribu unit. Jika dibandingkan dengan target produksi yang ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian sebagaimana terlihat pada tabel di bawah, maka produksi tahun 2012 jauh melampaui target yang ditetapkan. Target produksi selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Sasaran Kuantitatif Industri Kendaraan Bermotor Roda 4 Jangka Menengah
2010
2011
2012
Produksi 540.000 675.000 840.000 Penjualan 542.000 675.000 846.000 Export 108.000 140.000 180.000 Sumber data: Kementerian Perindustrian
2013
2014
1.000.000 1.057.000 220.000
1.250.000 1.300.000 260.000
8
Dari sepuluh negara anggota ASEAN, hanya empat negara yang tercatat sebagai basis produksi yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Viet Nam. Produsen terbesar kendaraan bermotor roda empat adalah Thailand dengan penguasaan pasar pada tahun 2012 mencapai 58%, disusul Indonesia sebesar 25,1%, Malaysia sebesar 13,4% dan Viet Nam 1,7%. Pangsa pasar Indonesia meningkat dari kisaran 18,6% pada tahun 2007 menjadi 25,1% pada tahun 2012 sedangkan pada periode yang sama Malaysia dan Viet Nam mengalami penurunan masingmasing dari 19,9% menjadi 13,4% dan 3,4% menjadi 1,7%. Namun demikian, hanya Thailand satu-satunya negara di ASEAN yang mengalami surplus produksi. Dilihat dari Peraturan-peraturan yang ada atau kepmen Perindustrian, ada misi yang perlu dicapai yaitu produksi kendaraan bermotor meningkat dari tahun ke tahun (dengan demikian sumber pencemaran karena sumber bergerak meningkat). Sedangkan ruang atau wilayah tidak meningkat (tetap). Logikanya pasti terjadi peningkatan pencemaran ambient kalau tidak diimbangi dengan teknologi emisi yang baik. Yang banyak mengatur tentang pengendalian pencemaran udara hanya kepmen Lingkungan hidup saja (4 kep men KLH tahun 2005 dan tahun 2006). Yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah: Terdapat 2 jenis pencemar yaitu sebagai berikut: a.
Zat pencemar primer, konsentrasi
yang
yaitu
zat
kimia yang
membahayakan.
Zat tersebut
langsung bersal
mengkontaminasi
udara
dalam
dari komponen udara alamiah seperti
karbon dioksida, yang meningkat diatas konsentrasi normal, atau sesuatu yang tidak biasanya, ditemukan dalam udara, misalnya timbal. b.
Zat pencemar sekunder, yaitu zat kimia berbahaya yang terbentuk di atmosfer melalui reaksi kimia antar komponen-komponen udara.
Sumber bahan pencemar primer dapat dibagi lagi menjadi dua golongan besar : •
Sumber alamiah. Beberapa kegiatan alam yang bisa menyebabkan pencemaran udara adalah kegiatan gunung berapi, kebakaran hutan, kegiatan mikroorganisme, dan lain-lain. Bahan pencemar yang dihasilkan umumnya adalah asap, gas-gas, dan debu.
•
Sumber
buatan
manusia.
Kegiatan
manusia yang
menghasilkan
bahan-bahan
pencemar
bermacam-macam antara lain adalah kegiatan-kegiatan berikut:
9
1.
Pembakaran, seperti pembakaran sampah, pembakaran pada kegiatan rumah tangga, industri, kendaraan bermotor, dan lain-lain. Bahan-bahan pencemar yang dihasilkan antara lain asap, debu, grit (pasir halus), dan gas (CO dan NO).
2.
Proses peleburan, seperti proses peleburan baja, pembuatan soda,semen, keramik, aspal. Sedangkan bahan pencemar yang dihasilkannya antara lain adalah debu, uap dan gas-gas.
3.
Pertambangan dan penggalian, seperti tambang mineral and logam. Bahan pencemar yang dihasilkan terutama adalah debu.
4.
Proses pengolahan dan pemanasan seperti pada proses pengolahan makanan, daging, ikan, dan penyamakan. Bahan pencemar yang dihasilkan terutama asap, debu, dan bau.
5.
Pembuangan limbah, baik limbah industri maupun limbah rumah tangga. Pencemarannya terutama adalah dari instalasi pengolahan air buangannya. Sedangkan bahan pencemarnya yang teruatam adalah gas H2S yang menimbulkan bau busuk.
6.
Proses kimia, seperti pada proses fertilisasi, proses pemurnian minyak bumi, proses pengolahan mineral. Pembuatan keris, dan lain-lain. Bahan-bahan pencemar yang dihasilkan antara lain adalah debu, uap dan gas-gas
7.
Proses pembangunan seperti pembangunan gedung-gedung, jalan dan kegiatan yang semacamnya. Bahan pencemarnya yang terutama adalah asap dan debu.
8.
Proses percobaan atom atau nuklir. Bahan pencemarnya yang terutama adalah gas-gas dan debu radioaktif.
Dalam kajian ini yang dipelajari adalah pencemaran udara akibat sumber bergerak (otomotive). Untuk menjaga agar pencemaran lingkungan terkendali, maka penyusunan peraturan perundang- undangan harus sinergi dari semua pihak terkait sehingga dari produksi yang meningkat dapat dikendalikan pencemaran udaranya. Rekomendasi yang perlu dari simpul 1 ini adalah: 1. Public transportation sangat diperlukan agar dapat mengurangi macet, penggunaan BBM tidak boros, pencemaran udara dapat dikendalikan. 2. Perbaikan teknologi sumber emisi perlu diupayakan agar emisi dari sumber bergerak tidak mencemari udara. 3. Penyediaan trotoar untuk pejalan kaki perlu diperbaiki agar pejalan kaki merasa nyaman dan aman. Untuk keperluam jarak pendek, masyarakat akan senang berjalan kaki.
10
4. Pertimbangan antara produksi automotive, panjang jalan, penyediaan BBM, dan pencemaran lingkungan agar seimbang sehingga lingkungan terjaga dari pencemaran perlu adanya sinkronisasi dan harmonisasi dalam penyusunan peraturan perundang- undangan lintas sector. IV-2 PARAMETER PENCEMARAN UDARA SUMBER BERGERAK Simpul 2: Hasil pengukuran pencemaran udara meliputi parameter yang diukur meliputi: PM2,5-10; NO2; S02;C0; dan kadar logam Pb. Hasil menunjukkan bahwa: Didalam laporan WHO (1992) dinyatakan paling tidak 90% dari CO diudara perkotaan berasal dari emisi kendaraan bermotor. Hasil pengukuran di Jakarta menunjukkan bahwa PM untuk daerah pinggiran dengan daerah tengah kota, Kadar PM
10
10
kadarnya sangat berbeda
paling tinggi , dibanding kadar pencemar
lainnya seperti NO, N02 dan CO. Pengukuran kadar pencemar di jalannan di pusat kota didapat bahwa kadar CO paling tinggi dibanding pencemar utama lainnya (NO dan N02). Carbon monoksida (CO). Sumber CO buatan antara lain kendaraan bermotor, terutama yang menggunakan bahan bakar bensin. Berdasarkan estimasi, Jumlah CO dari sumber buatan diperkirakan mendekati 60 juta Ton per tahun. Separuh dari jumlah ini berasal dari kendaraan bermotor yang menggunakan bakan bakar bensin dan sepertiganya berasal dari sumber tidak bergerak seperti pembakaran batubara dan minyak dari industri dan pembakaran sampah domestik. Didalam laporan WHO (1992) dinyatakan paling tidak 90% dari CO diudara perkotaan berasal dari emisi kendaraan bermotor. Dalam beberapa penelitian ditemukan kadar CO yang cukup tinggi didalam kendaraan sedan maupun bus. Kadar CO diperkotaan cukup bervariasi tergantung dari kepadatan kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar bensin dan umumnya ditemukan kadar maksimum CO yang bersamaan dengan jam-jam sibuk pada pagi dan malam hari. Selain cuaca, variasi dari kadar CO juga dipengaruhi oleh topografi jalan dan bangunan disekitamya. Kadar NOx diudara perkotaan biasanya 10-100 kali lebih tinggi dari pada di udara pedesaan. Kadar NOx diudara daerah perkotaan dapat mencapai 0,5 ppm (500 ppb). Seperti halnya CO, emisi NOx dipengaruhi oleh kepadatan penduduk karena sumber utama NOx yang diproduksi manusia adalah dari pembakaran dan kebanyakan pembakaran disebabkan oleh kendaraan
11
bermotor, produksi energi dan pembuangan sampah. Sebagian besar emisi NOx buatan manusia berasal dari pembakaran arang, minyak, gas, dan bensin. Kadar NOx di udara dalam suatu kota bervariasi sepanjang hari tergantung dari intensitas sinar mataharia dan aktivitas kendaraan bermotor. Perubahan kadar NOx berlangsung sebagai berikut: a) Sebelum matahari terbit, kadar NO dan N02 tetap stabil dengan kadar sedikit lebih tinggi dari kadar minimum seharihari. b) Setelah aktifitas manusia meningkat (jam 6-8 pagi ) kadar NO meningkat terutama karena meningkatnya aktivitas lalulintas yaitu kendaraan bermotor. Kadar NO tetinggi pada saat ini dapat mencapai 1 -2 ppm. c) Dengan terbitnya sinar matahari yang memancarkan sinar ultra violet kadar N02 ( sekunder ) kadar N02 pada saat ini dapat mencapai 0,5 ppm. d) Kadar ozon meningkat dengan menurunnya kadar NO sampai 0,1 ppm. e) Jika intensitas sinar matahari menurun pada sore hari (jam 5-8 malam ) kadar NO meningkat kembali. f) Energi matahari tidak mengubah NO menjadi N02 (melalui reaksi hidrokarbon) tetapi 03 yang terkumpul sepanjang hari akan bereaksi dengan NO. Akibatnya terjadi kenaikan kadar N02 dan penurunan kadar 03. g) Produk akhir dari pencemaran NOx di udara dapat berupa asam nitrat, yang kemudian diendapkan sebagai garamgaram nitrat didalam air hujan atau debu. Merkanisme utama pembentukan asam nitrat dari N02 di udara masih terus dipelajari Salah satu reaksi dibawah ini diduga juga terjadi diudara tetapi diudara tetapi peranannya mungkin sangat kecil dalam menentukan jumlah asam nitrat di udara. h) Kemungkinan lain pembentukan HN03 didalam udara tercemar adalah adanya reaksi dengan ozon pada kadar N02 maksimum 03 memegang peranan penting dan kemungkinan terjadi tahapan reaksi sebagai berikut: 03 + N02 ------------ ->N03 + 02 N03 + N02 ---------- ->N205 N205 + 2HN03 ----->2HN03 Reaksi tersebut di atas masih terus dibuktikan kebenarannya, tetapi yang penting adalah bahwa prosesproses di udara mengakibatkan perubahan NOx menjadi HN03 yang kemudian bereaksi membentuk partikel-partikel. 12
Sulfur dioksida (SO2). Kadar SO2 = 365g/Nm3 udara dengan rata-rata waktu pengukuran 24 jam. SO2 di udara sangat reaktif terhadap senyawa-senyawa yang ada di atmosfer dan akan membentuk partikel partikel kecil yang sangat sensitive terhadap paru-paru. HydroCarbon (HC) merupakan polutan primer karena dilepas ke udara ambien secara langsung, sedangkan oksidan fotokima merupakan polutan sekunder yang dihasilkan di atmosfir dari hasil reaksi-reaksi yang melibatkan polutan primer. Kegiatan industri yang berpotensi menimbulkan cemaran dalam bentuk HC adalah industri plastik, resin, pigmen, zat warna, pestisida dan pemrosesan karet. Diperkirakan emisi industri sebesar 10 % berupa HC. Sumber HC dapat pula berasal dari sarana transportasi. Kondisi mesin yang kurang baik akan menghasilkan HC. Pada umumnya pada pagi hari kadar HC di udara tinggi, namun pada siang hari menurun. Sore hari kadar HC akan meningkat dan kemudian menurun lagi pada malam hari. Adanya hidrokarbon di udara terutama metana, dapat berasal dari sumber-sumber alami terutama proses biologi aktivitas geothermal seperti explorasi dan pemanfaatan gas alam dan minyak bumi dan sebagainya Jumlah yang cukup besar juga berasal dari proses dekomposisi bahan organik pada permukaan tanah, Demikian juga pembuangan sampah, kebakaran hutan dan kegiatan manusia lainnya mempunyai peranan yang cukup besar dalam memproduksi gas hidrakarbon di atmosfir. Hidrokarbon diudara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hidrocarbon (PAH) yang banyak dijumpai di daerah industri dan padat lalulintas. Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan merangsang terbentuknya sel-sel kanker. Pengaruh hidrokarbon aromatic pada kesehatan manusia dapat terlihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 3. Jenis Hidrokarbon, Konsentrasi ( ppm), dan Dampak Kesehatan Jenis HydroCardon Benzene ( C6H6 )
Konsentrasi (ppm) 100 3.000 7.500 20.000
Toluena (C7H8)
200 600
Dampak Kesehatan 100 Iritasi membran mukosa Lemas setelah 1/2 -1 Jam Pengaruh sangat berbahaya setelah pemaparan 1 jam Kematian setelah pemaparan 5-10 menit Pusing lemah dan berkunang-kunang setelah pemaparan 8 jam Kehilangan koordinasi bola mata terbalik setelah pemaparan 8 jam 13
Partikulat debu melayang (Suspended Particulate Matter/SPM) merupakan campuran yang sangat rumit dari berbagai senyawa organik dan anorganik yang terbesar di udara dengan diameter yang sangat kecil, mulai dari < 1 mikron sampai dengan maksimal 500 mikron. Partikulat debu tersebut akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang layang di udara dan masuk kedalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan. Selain dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan, partikel debu juga dapat mengganggu daya tembus pandang mata dan juga mengadakan berbagai reaksi kimia di udara. Partikel debu SPM pada umumnya mengandung berbagai senyawa kimia yang berbeda, dengan berbagai ukuran dan bentuk yang berbada pula, tergantung dari mana sumber emisinya.Karena Komposisi partikulat debu udara yang rumit, dan pentingnya ukuran partikulat dalam menentukan pajanan, banyak istilah yang digunakan untuk menyatakan partikulat debu di udara. Beberapa istilah digunakan dengan mengacu pada metode pengambilan sampel udara seperti : Suspended Particulate Matter (SPM), Total Suspended Particulate (TSP), balack smake. Istilah lainnya lagi lebih mengacu pada tempat di saluran pernafasan dimana partikulat debu dapat mengedap, seperti inhalable/thoracic particulate yang terutama mengedap disaluran pernafasan bagian bawah, yaitu dibawah pangkal tenggorokan (larynx ). Istilah lainnya yang juga digunakan adalah PM-10 (partikulat debu dengan ukuran diameter aerodinamik <10 mikron), yang mengacu pada unsur fisiologi maupun metode pengambilan sampel. Secara alamiah partikulat debu dapat dihasilkan dari debu tanah kering yang terbawa oleh angin atau berasal dari muntahanletusan gunung berapi. Pembakaran yang tidak sempurna dari bahan bakar yang mengandung senyawa karbon akan mumi atau bercampur dengan gas-gas organik seperti halnya penggunaan mesin disel yang tidak terpelihara dengan baik. Partikulat debu melayang (SPM) juga dihasilkan dari pembakaran batu bara yang tidak sempurna sehingga terbentuk aerosol kompleks dari butir-butiran tar. Dibandingkan dengan pembakaraan batu bara, pembakaran minyak dan gas pada umunya menghasilkan SPM lebih sedikit. Kepadatan kendaraan bermotor dapat menambah asap hitam pada total emisi partikulat debu. Demikian juga pembakaran sampah domestik dan sampah komersial bisa merupakan sumber SPM yang cukup penting. Berbagai proses industri seperti proses penggilingan dan penyemprotan, dapat menyebabkan abu berterbangan di udara, seperti yang juga dihasilkan oleh emisi kendaraan bermotor.
14
Timah hitam (Pb) dan senyawa beracun lainnya, yang dapat memajan tubuh melalui rute lain. Pengaruh partikulat debu bentuk padat maupun cair yang berada di udara sangat tergantung kepada ukurannya. Ukuran partikulat debu bentuk padat maupun cair yang berada diudara sangat tergantung kepada ukurannya. Ukuran partikulat debu yang membahayakan kesehatan umumnya berkisar antara 0,1 mikron sampai dengan 10 mikron. Pada umunya ukuran partikulat debu sekitar 5 mikron merupakan partikulat udara yang dapat langsung masuk kedalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Keadaan ini bukan berarti bahwa ukuran partikulat yang lebih besar dari 5 mikron tidak berbahaya, karena partikulat yang lebih besar dapat mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan ini akan lebih bertambah parah apabila terjadi reaksi sinergistik dengan gas S02 yang terdapat di udara juga. Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus pandang mata (Visibility) Adanya ceceran logam beracun yang terdapat dalam partikulat debu di udara merupakan bahaya yang terbesar bagi kesehatan. Pada umumnya udara yang tercemar hanya mengandung logam berbahaya sekitar 0,01% sampai 3% dari seluruh partikulat debu di udara Akan tetapi logam tersebut dapat bersifat akumulatif dan kemungkinan dapat terjadi reaksi sinergistik pada jaringan tubuh, Selain itu diketahui pula bahwa logam yang terkandung di udara yang dihirup mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan dosis sama yang besaral dari makanan atau air minum. Oleh karena itu kadar logam di udara yang terikat pada partikulat patut mendapat perhatian . Timah hitam ( Pb ) merupakan logam lunak yang berwarna kebiru-biruan atau abu-abu keperakan dengan titik leleh pada 327,5°C dan titik didih 1.740°C pada tekanan atmosfer. Senyawa Pb-organik seperti Pb-tetraetil dan Pb-tetrametil merupakan senyawa yang penting karena banyak digunakan sebagai zat aditif pada bahan bakar bensin dalam upaya meningkatkan angka oktan secara ekonomi. Pb-tetraetil dan Pb tetrametil berbentuk larutan dengan titik didih masing-masing 110°C dan 200°C. Karena daya penguapan kedua senyawa tersebut lebih rendah dibandingkan dengan daya penguapan unsur-unsur lain dalam bensin, maka penguapan bensin akan cenderung memekatkan kadar P-tetraetil dan Pb-tetrametil. Kedua senyawa ini akan terdekomposisi pada titik didihnya dengan adanya sinar matahari dan senyawa kimia lain diudara seperti senyawa holegen asam atau oksidator. Pembakaran Pb-alkil sebagai zat aditif pada bahan bakar kendaraan bermotor merupakan bagian terbesar dari seluruh emisi Pb ke atmosfer berdasarkan
estimasi sekitar 80-90% Pb di udara ambien berasal dari pembakaran bensin tidak
15
sama antara satu tempat dengan tempat lain karena tergantung pada kepadatan kendaraan bermotor dan efisiensi upaya untuk mereduksi kandungan pb pada bensin. Standar polutan udara yang ditetapkan oleh Badan Dunia seperti WHO, AAQS, NAAQS adalah sebagai berikut: Tabel 4. Standar Nasional dan standar WHO polutan udara di Indonesia AAQS in Jakarta
NAAQS
µg/m3
µg/m3
24-jam
230
230
-
1-tahun
90
90
-
24-jam
150
150
50
1-tahun
-
-
20
1-jam
900
900
-
24-jam
260
365
20
1-tahun
60
60
-
1-jam
400
400
200
24-jam
92.5
150
-
1-tahun
60
100
40
1-jam
200
235
-
24-jam
-
-
100
1 -tahun
30
50
-
Pb
1-tahun
-
1
0.5
CO
1-jam
26.000
30.000
30.000
24-jam
-
-
10.000
1-tahun
9.000
10.000
-
Polutan
Waktu rata-rata
SPM
PM10
S02
N02
03
WHO guide lines
Sumber: ASEAN- German Technical Cooperation CAfSCitAR. Indonesia Country Profile: Focus on Smaller Cities: Clean Air Initiative for Asian Cities (CAI-Asia) Center; 2009.
IV-3 DAMPAK TERHADAP KESEHATAN Simpul 3: indikator pajanan udara terhadap kesehatan manusia menyebutkan bahwa Indikator-indikator yang menggambarkan adanya gangguan kesehatan adalah sebagai berikut. Pemajanan CO. Misalnya kadar CO di bengkel kendaraan bermotor ditemukan mencapai setinggi 600 µg/m3 dan didalam darah para pekerja bengkel tersebut bisa mengandung HbCO sampai lima kali lebih tinggi dari kadar nomal. Para petugas yang bekerja dijalan raya diketahui 16
mengandung HbCO dengan kadar 4-7,6% (porokok) dan 1,4-3,8% (bukan perokok) selama sehari bekarja. Sebaliknya kadar HbCO pada masyarakat umum jarang yang melampaui 1% walaupun studi yang dilakukan di 18 kota besar di Amerika Utara menunjukan bahwa 45 % dari masyarakat bukan perokok yang terpajan oleh CO udara, di dalam darahnya terkandung HbCO melampaui 1,5%. Perlu juga diketahui bahwa manusia sendiri dapat memproduksi CO akibat proses metabolismenya yang normal. Produksi CO di dalam tubuh sendiri ini (endogenous) bisa sekitar 0,1+1% dari total HbCO dalam darah. Karakteristik biologik yang paling penting dari CO adalah kemampuannya untuk berikatan dengan haemoglobin, pigmen sel darah merah yang mengakut oksigen ke seluruh tubuh. Sifat ini menghasilkan pembentukan karboksihaemoglobin (HbCO) yang 200 kali lebih stabil dibandingkan oksihaemoglobin (Hb02). Penguraian HbCO yang relatif lambat menyebabkan terhambatnya kerja molekul sel pigmen tersebut dalam fungsinya membawa oksigen keseluruh tubuh. Kondisi seperti ini bisa berakibat serius, bahkan fatal, karena dapat menyebabkan keracunan. Selain itu, metabolisme otot dan fungsi enzim intraseluler juga dapat terganggu dengan adanya ikatan CO yang stabil tersebut. Dampat keracunan CO sangat berbahaya bagi orang yang telah menderita gangguan pada otot jantung atau sirkulasi darah periferal yang parah. Dampak dari CO bervasiasi tergangtung dari status kesehatan seseorang pada saat terpajan .Pada beberapa orang yang berbadan gemuk dapat mentolerir pajanan CO sampai kadar HbCO dalam darahnya mencapai 40% dalam waktu singkat. Tetapi seseorang yang menderita sakit jantung atau paru-paru akan menjadi lebih parah apabila kadar HbCO dalam darahnya sebesar 5-10%. Pengaruh CO kadar tinggi terhadap sistem syaraf pusat dan sistem kardiovaskular telah banyak diketahui. Namun respon dari masyarakat berbadan sehat terhadap pemajanan CO kadar rendah dan dalam jangka waktu panjang, masih sedikit diketahui. Misalnya kinerja para petugas jaga, yang harus mempunyai kemampuan untuk mendeteksi adanya perubahan kecil dalam lingkungannya yang terjadi pada saat yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan membutuhkan kewaspadaan tinggi dan terus menerus, dapat terganggu/ terhambat pada kadar HbCO yang berada dibawah 10% dan bahkan sampai 5% (hal ini secara kasar ekivalen dengan kadar CO di udara masing-masing sebesar 80 dan 35 mg/m ) Pengaruh ini terlalu terlihat pada perokok, karena kemungkinan sudah terbiasa terpajan dengan kadar yang sama dari asap rokok. Beberapa studi yang dilakukan terhadap sejumlah sukarelawan berbadan sehat yang melakukan latihan berat (studi untuk melihat penyerapan oksigen maksimal) menunjukkan bahwa kesadaran hilang pada kadar HbCO 50% dengan latihan yang
17
lebih ringan, kesadaran hilang pada HbCo 70% selama 5-60 menit. Gangguan tidak dirasakan pada HbCO 33%, tetapi denyut jantung meningkat cepat dan tidak proporsional. Studi dalam jangka waktu yang lebih panjang terhadap pekerja yang bekerja selama 4 jam dengan kadar HbCO 5-6% menunjukkan pengaruh yang serupa terhadap denyut jantung, tetapi agak berbeda. Hasil studi diatas menunjukkan bahwa paling sedikit untuk para bukan perokok, ternyata ada hubungan yang linier antara HbCO dan menurunnya 'kapasitas maksimum oksigen. Studi epidemiologi tentang kesakitan dan kematian akibat penyakit jantung dan kadar CO di udara yang dibagi berdasarkan wilayah, sangat sulit untuk ditafsirkan. Namun dada terasa sakit pada saat melakukan gerakan fisik, terlihat jelas akan timbul pada pasien yang terpajan CO dengan kadar 60 µg/m3, yang menghasilkan kadar HbCO mendekati 5%. Walaupun wanita hamil dan janin yang dikandungnya akan menghasilkan CO dari dalam tubuh (endogenous) dengan kadar yang lebih tinggi, pajanan tambahan dari luar dapat mengurangi fungsi oksigenasi jaringan dan plasental, yang menyebabkan bayi dengan berat badan rendah. Kondisi seperti ini menjelaskan mengapa wanita merokok melahirkan bayi dengan berat badan lebih rendah dari normal. Masih ada dua aspek lain dari pengaruh CO terhadap kesehatan yang perlu dicatat. Pertama, tampaknya binatang percobaan dapat beradaptasi terhadap pemajanan CO karena mampu mentolerir dengan mudah pemajanan akut pada kadar tinggi, walaupun masih memerlukan penjelasan lebih lanjut. Kedua, dalam kaitannya dengan CO di lingkungan kerja yang dapat menggangggu pertubuhan janin pada pekerja wanita, adalah kenyataan bahwa paling sedikit satu jenis senyawa hidrokarbon-halogen yaitu metilen khlorida (dikhlorometan), dapat menyebabkan meningkatnya kadar HbCO karena ada metobolisme di dalam tubuh setelah absorpsi terjadi. Apabila kadar CO dalam udara ambien telah melebihi baku mutu ( 10.000 ug/Nm udara dengan rata-rata waktu pengukuran 24 jam ). Pemajanan CO dari udara ambien dapat direfleksikan dalam bentuk kadar karboksi-haemoglobin (HbCO) dalam darah yang terbentuk dengan sangat pelahan karena butuh waktu 4-12 jam untuk tercapainya keseimbangan antara kadar CO diudara dan HbCO dalam darah Oleh karena itu kadar CO di dalam lingkungan, cenderung dinyatakan sebagai kadar rata-rata dalam 8 jam pemajanan Data CO yang dinyatakan dalam rata-rata setiap 8 jam pengukuran sepajang hari (moving 8 hour average concentration) adalah lebih baik dibandingkan dari data CO yang, dinyatakan dalam rata-rata dari 3 kali pengukuran pada periode waktu 8 jam yang berbeda dalam sehari. Perhitungan tersebut akan lebih mendekati gambaran dari respons tubuh manusia tyerhadap keracunan CO dari udara.
18
Pajanan Oksida nitrogen seperti NO dan N02 berbahaya bagi manusia. Penelitian menunjukkan bahwa N02 empat kali lebih beracun daripada NO. Selama ini belum pernah dilaporkan terjadinya keracunan NO yang mengakibatkan kematian. Di udara ambient yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi N02 yang bersifat racun. Penelitian terhadap hewan percobaan yang dipajankan NO dengan dosis yang sangat tinggi, memperlihatkan gejala kelumpuhan sistim syarat dan kekejangan. Penelitian lain menunjukkan bahwa tikus yang dipajan NO sampai 2500 ppm akan hilang kesadarannya setelah 6-7 menit, tetapi jika kemudian diberi udara segar akan sembuh kembali setelah 4-6 menit. Tetapi jika pemajanan NO pada kadar tersebut berlangsung selama 12 menit, pengaruhnya tidak dapat dihilangkan kembali, dan semua tikus yang diuji akan mati. N02 bersifat racun terutama terhadap paru. Kadar N02 yang lebih tinggi dari 100 ppm dapat mematikan sebagian besar binatang percobaan dan 90% dari kematian tersebut disebabkan oleh gejala pembengkakan paru ( edema pulmonari). Kadar N02 sebesar 800 ppm akan mengakibatkan 100% kematian pada binatang-binatang yang diuji dalam waktu 29 menit atau kurang. Pemajanan N02 dengan kadar 5 ppm selama 10 menit terhadap manusia mengakibatkan kesulitan dalam bernafas. Pengaruh utama polutan SOx terhadap manusia adalah iritasi sistim pernafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada kadar SO 2 sebesar 5 ppm atau lebih bahkan pada beberapa individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang mengalami penyakit khronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan SO2, meskipun dengan kadar yang relative rendah. Kadar SO2 yang berpengaruh terhadap gangguan kesehatan adalah sebagai berikut:
Konsentrasi (ppm)
Pengaruhnya
3-5 8-12 20 20 20
Jumlah terkecil yang dapat dideteksi dari baunya Jumlah terkecil yang segera mengakibatkan iritasi tenggorokan Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan iritasi mata Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan batuk
50-100 400 -500
Maksimum yang diperbolehkan untuk kontrak singkat (30 menit) Berbahaya meskipun kontak secara singkat
Maksimum yang diperbolehkan untuk konsentrasi dalam waktu lama
19
I
Kontribusi Pb di udara terhadap absorpsi oleh tubuh lebih sulit diperkirakan. Distribusi ukuran partikel dan kelarutan pb dalam partikel juga harus dipertimbangkan biasanya kadar pb di udara sekitar 2 p g/m dan dengan asumsi 30% mengendap disaluran pemapasan dan absorpsi sekitar 14 pg/per hari. Mungkin perhitungan ini bisa dianggap terlalu besar dan partikel Pb yang dikeluarkan dari kendaraan bermotor ternyata bergabung dengan filamen karbon dan lebih kecil dari yang diperkirakan walaupun agregat ini sangat kecil (0,1 mm) jumlah yang tertahan di alveoli mungkin kurang dari 10%. Uji kelarutan menunjukkan bahwa Pb berada dalam bentuk yang sukar larut. Hampir semua organ tubuh mengandung Pb dan kira-kira 90% dijumpai di tulang, kandungan dalam darah kurang dari 1% kandungan dalam darah dipengaruhi oleh asupan yang baru (dalam 24 Jam terakhir) dan Oleh pelepan dari sistem rangka. Manusia dengan pemajanan rendah mengandung 10-30 pg Pb/100 g darah Manusia yang mendapat pemajanan kadar tinggi mengandung lebih dari 100 pg/100 g darah kandungan dalam darah sekitar 40 jag Pb/100g dianggap terpajan berat atau mengabsorpsi Pb cukup tinggi walau tidak terdeteksi tanda-tanda keluhan keracunan. Terdapat perbedaan tingkat kadar Pb di perkantoran dan pedesaan wanita cenderung mengandung Pb lebih rendah disbanding pria, dan pada perokok lebih tinggi dibandingkan bukan perokok. Gejala klinis keracunan timah hitam pada individu dewasa tidak akan timbul pada kadar Pb yang terkandung dalam darah dibawah 80 p g Pb/100 g darah namun hambatan aktivitas enzim untuk sintesa haemoglobin sudah terjadi pada kandungan Pb normal (30-40 pg). Timah Hitam berakumulasi di rambut sehingga dapat dipakai sebagai indikator untuk memperkirakan tingkat pemajanan atau kandungan Pb dalam tubuh Anak-anak merupakan kelompok risika tinggi Gangguan kesehatan adalah akibat bereaksinya Pb dengan gugusan sulfhidril dari protein yang menyebabkan pengendapan protein dan menghambat pembuatan haemoglobin, Gejala keracunan akut didapati bila tertelan dalam jumlah besar yang dapat menimbulkan sakit perut muntah atau diare akut. Gejala keracunan kronis bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi lelah sakit kepala, anemia, kelumpuhan anggota badan, Kejang dan gangguan penglihatan. Inhalasi merupakan satusatunya rute pajanan yang menjadi perhatian dalam hubungannya dengan dampak terhadap kesehatan. Walau demikian ada juga beberapa senjawa lain yang melekat bergabung pada partikulat.
20
SPM. Pajanan SPM baik yang mengandung bahan berbahaya lainnya maupun yang berisi hanya partikelpartikel debu ukuran 2.5 - 10 micron akan meenyebabkan kelahiran bayi dengan berat badan rendah, kematian bayi karena premature, ostheosclerosis, asthma, gangguan pernafasan, dan penyakit jantung.
HidroCarbon. Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan merangsang terbentuknya sel-sel kanker. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa pajanan oleh hydrocarbon dapat meningkatkan risiko cancer.
IV-4. PENGENDALIAN. Untuk mengendalikan pencemaran udara sebab sumber bergerak, perlu ada kebijakan yang harus diimplementasikan berupa: 1. Public transportation sangat diperlukan agar dapat mengurangi macet, penggunaan BBM tidak boros, pencemaran udara dapat dikendalikan. 2. Perbaikan teknologi sumber emisi perlu diupayakan agar emisi dari sumber bergerak tidak mencemari udara. 3. Penyediaan trotoar untuk pejalan kaki perlu diperbaiki agar pejalan kaki merasa nyaman dan aman. Untuk keperluam jarak pendek, masyarakat akan senang berjalan kaki. 4. Pertimbangan antara produksi automotive, panjang jalan, penyediaan BBM, dan pencemaran lingkungan agar seimbang sehingga lingkungan terjaga dari pencemaran perlu adanya sinkronisasi dan harmonisasi dalam penyusunan peraturan perundang- undangan lintas sector. 5. Merawat mesin kendaraan bermotor agar tetap berfungsi baik 6. Melakukan pengujian emisi dan KIR kendaraan secara berkala 7. Memasang filter pada knalpot 8. Memodfikasi pada proses pembakaran PERATURAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG TERKAIT 1. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup no. 35 tahun 2003 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor.
21
2. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup no.141 tahun 2003 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor type baru dan Yang sedang diproduksi (current production) 3. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup no.05 tahun 2006 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor lama 4. Keputusan Menteri Negara no. 15 tahun 1996 tentang Program Langit Biru 5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup no. 252 tahun 2004 tentang Program penilaian peringkat hasil uji type emisi gas buangan kendaraan bermotor type baru. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1993 tentang Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3528); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3530);
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KESIMPULAN Dari Kantor Kepolisian Republik Indonesia, terlihat bahwa jumlah kendaraan bermotor dari tahun ke tahun meningkat terus. Kalau sumber emisinya meningkat, secara logika emisinya juga bertambah. Berdasarkan data dari ASEAN Automotive Federation (AAF), sampai dengan akhir 2012, produksi kendaraan bermotor roda empat di Indonesia telah mencapai 1,065 juta unit. Produksi tahun 2012 tersebut mengalami peningkatan 27%. Zat-zat pencemar udara yang paling sering dijumpai dilingkungan perkotaan adalah: S02, NO dan N02, CO, 03, SPM (^Suspended Particulate Matter) dan Pb(=Lead)- Kadar pencemar tersebut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, mengalami perluasan dari kota-kota besar ke kota kota kecil lainnya (tersebar luas). Dari berbagai penelitian telah membuktikan bahwa semua parameter pencemaran udara tersebut berkontribusi terhadap gangguan kesehatan seperti gangguan pemapasan, terjadinya asthma, pneumonia, terjadinya stress, terjadinya gangguan jantung, menyebabkan kematian premature, kelahiran bayi dengan berat badan rendah, meningkatkan kasus cancer.
22
REKOMENDASI
Dari kajian tersebut, beberapa rekomendasi bertujuan untuk mengendalikan pencemaran udara yang disebabkan sumber bergerak antara lain yaitu: 1. Public transportation sangat diperlukan agar dapat mengurangi macet, penggunaan BBM tidak boros, pencemaran udara dapat dikendalikan. 2. Perbaikan teknologi sumber emisi perlu diupayakan agar emisi dari sumber bergerak tidak mencemari udara. 3. Penyediaan trotoar untuk pejalan kaki perlu diperbaiki agar pejalan kaki merasa nyaman dan aman. Untuk keperluam jarak pendek, masyarakat akan senang berjalan kaki. 4. Pertimbangan antara produksi automotive, panjang jalan, penyediaan BBM, dan pencemaran lingkungan agar seimbang sehingga lingkungan terjaga dari pencemaran perlu adanya sinkronisasi dan harmonisasi dalam penyusunan peraturan perundang- undangan lintas sector. 5. Merawat mesin kendaraan bermotor agar tetap berfungsi baik 6. Melakukan pengujian emisi dan KIR kendaraan secara berkala 7. Memasang filter pada knalpot 8. Memodflkasi pada proses pembakaran KETERBATASAN KAJIAN Keterbatasan kajian ini adalah artikel, hasil monitoring yang direview terbatas yang berbahasa Indonesia, maupun yang berbahasa English. Yang ditulis dalam bahasa lain tidak direview. DAFTAR PUSTAKA An-Soo Jang; Particulate Air Pollutants and Respiratory Diseases. ( Division of Allergy and Respiratory Medicine, Departement of Internal Medicine, Soonchunhayg, University Hospital, Bucheon, Korea, (http://dx.doi.org/10.5772/51363). ASEAN- German Technical Cooperation CAfSCitAR. Indonesia Country Profile: Focus on Smaller Cities: Clean Air Initiative for Asian Cities (CAI-Asia) Center; 2009. Asia News Network, Indonesia rivals Thailand's auto industry Friday, 25 May 2012
23
Budi Haryanto (ed) ,2012: Air Pollution - A Comprehensive Perspective. Published by InTech Janeza Trdine 9, 51000 Rijeka, Croatia, http://dx.doi.org/10.5772/259 Center CAIfACC-A. Indonesia: Air Quality Profile-2010 Edition. Pasig City, Philippines: Clean Air Initiative for Asian Cities Center: 2010 Endah Kumala Dewi, Siswi Jayanti, Baju Widjasena, 1999: Hubungan antara Paparan Polusi Udara dengan Kapasitas Paru pada Penyapu Jalan di Kotamadya Semarang. Frost & Sullivan, Changing Face of the ASEAN Automotive Industry through 2015 and beyond, 2012 Gaikindo, 2012; Indonesia motor vehicle population (4-w) category 2000 - 2011. Gunawan, dkk, 1997, Analisis Kerugian Akibat Polusi Udara dan kebisingan lalu lintas, Puslitbang Jalan, p 30-31, Bandung. Jantamas Tuntawiroonl, Chulabhom Mahidol2, Panida Navasumritl, Herman Autrup3 and Mathuros Ruchirawatl,4. Increased health risk in Bangkok children exposed to polycyclic aromatic hydrocarbons from traffic-related sources. Carcinogenesis vol.28 no.4 pp.816-822, 2007. doi:10.1093/carcin/bgll75. Advance Access publication October 27, 2006. Kyung Hwa Jung 1, Beizhan Yan 2, Steven N. Chillrud 2, Frederica P. Perera 3, Robin Whyatt 3, David Camann 4, Patrick L. Kinney 3 and Rachel L. Miller 1,3,* Assessment of Benzo (a)pyrene -equivalent Carcinogenicity and Mutagenicity of Residential Indoor versus Outdoor Polycyclic Aromatic Hydrocarbons Exposing Young Children in New York City. International Journal of Environmental Research and Public Health ISSN 16604601 www.mdpi.com/joumal/ijerph Margherita Ferrante, Maria Fiore, Gea Oliveri Conti, Caterina Ledda, Roberto Fallico and Sciacca; Old and New Air Pollutants: An Evaluation on Thirty Years Experiences . ('http://dx.doi.org/10.5772/47820'). Masoumeh Rashidi, Mohammad Hossein Rameshat, and Hadi Gharib. Air Pollution and Death Due to Cardiovascular Diseases (case study: Isfahan Province of Iran). (Departement of Geography, and Medicine Geography Researchers, the University of Isfahan, Iran). = (http://dx.doi.org/10.5772/50416). Nanny Kusminingrum, G. Gunawan, 2008: Polusi Udara Akibat Kendaraan Bermotor Di Jalan Perkotaan Pulau Jawa dan Bali. Pusat Litbang Jalan dan Jembatan Jl. A.H. Nasution 264 Bandung 40294.
24
LAMPIRAN 1. Jadwal Kegiatan (terlampir 1) 2. Rincian budget (Terlampir 2) 3. Keanggotaan tim kajian (terlampir 3) 4. Hasil review artikel (terlampir 4) 5. Draft Artikel: (terlampir5) 6. Persetujuan PPI (lampiran 6)
26
Lampiran 1
JADWAL KEGIATAN TAHUN 2014
Kegiatan
Mrt Apr Mei
1. Penyusunan proposal 2. Pengumpulan data 3. Analisis data
4. Penyusunan laporan 5. Penyusunan policy option 6. Penyusunan artikel 7. Diseminasi hasil
Dalam pelaksanaannya tidak sesuai jadwal yang dibuat.
Jun
Jul
Agt
Sept
Okt
Rencana Anggaran Kajian Pencemaran Udara
Lampiran 2
Persiapan Belanja Bahan 521211 ATK
paket
1.000.000,00
Penggandaan proposal
500.000,00
Kaji Etik (paket)
500.000,00
2.000.000,00
Pengumpulan data Belanja barang non operasional 521211 ATK
1.000.000,00
paket
730.000,00
foto copy bahan
7.300.000,00
Belanja perjalanan dinas 524113 Jakarta (LH,UI,DKI,Perhub, GTZ, lali
Uang harian 60% x Rp 530000)
3
5
1
3
5
1
2
524111 ITB, Unpad, dll
1
Lumpsum
2
3
Penginapan
2
2
110,000.00 210,000.00 250,000.00 430,000.00 600,000.00
1.650.000,00 3.150.000,00 500.000,00 2.580.000,00 2.400.000,00
10.280.000,00
1.000.000,00
1.000.000,00
521211 Foto copy bahan kajian (paket) Analisis data: 521211 Penggandaan
5.00.000,00
500.000,00
rapat analisis data 521211 konsumsi
7
3
524114 uang harian
7
3
522151 nara sumber kebijakan
2
2
2
60,000.00 250,000.00 600,000.00
1.260.000,00 5.250.000,00 4.800.000,00
11.310.000,00
Penyusunan laporan 521211
500.000,00
500.000,00
Penggandaan
524114 uang harian
4 4
60,000.00 250,000.00
1.680.000,00
7 7
521213 Honor Administrasi Org program
1 2
5 5
200,000.00 300,000.00
1.000.000,00
521211 konsumsi
7.000.000,00
3.000.000,00
8.680.000,00
4.000.000,00 40.000.000,00
Lampiran 3
KEANGGOTAAN TIM KAJIAN No.
Nama
Keahlian
Tugas
1.
Dr. Ir. Inswiasri, MKes
Kesling, Kesmas
Menyiapkan proposal kajian, menganalisis, membuat laporan
2.
Bambang Wispriyono, Drs, Apt, PhD
Toksikolog
Memberikan data-data dampak pencemaran udara, analisis data.
3.
Budi Hartono, SKM, MKes
Kesling
Menelusuri data, menganalisis,
4.
Cucu Cukiwati, SKM, MKes
Kesmas
Menelusuri data, menganalisis
5.
Wardana
Administrasi
Lampiran 4
Daftar penelitian tentang kajian pencemaran udara karena kendaraan bermotor dan dampaknya terhadap kesehatan tahun 2014 No
Topik
A.
Kualitas Lingkungan:
1
Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999
2
Old and New Air Pollutants: An Evaluation on Thirty Years Experiences (Margherita Ferrante, Maria Fiore, Gea Oliveri Conti,
Parameter
Outcome/gangguan kesehatan
Jenis parameter pencemar udara dalam buku pedoman ini didasarkan pada baku mutu udara ambien menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999, yang meliputi: Sulfur dioksida (S02), Karbon monoksida (CO), Nitrogen dioksida (NO2 ), Oksidan (O3), Hidro karbon (HC), PM 10, PM 2,5, TSP (debu), Pb (Timah Hitam), Dustfall (debu jatuh). Empat parameter yang lain (Total Fluorides (F), Fluor Indeks, Khlorine & Khlorine dioksida, Sulphat indeks) akan dibahas kemudian karena merupakan parameter pencemaran udara yang diberlakukan untuk daerah/kawasan industri kimia dasar. Sumber CO buatan antara lain kendaraan bermotor, terutama yang menggunakan bahan bakar bensin. Berdasarkan estimasi, Jumlah CO dari sumber buatan diperkirakan mendekati 60 juta Ton per tahun. Separuh dari jumlah ini berasal dari kendaraan bermotor yang menggunakan bakan bakar bensin dan sepertiganya berasal dari sumber tidak bergerak seperti pembakaran batubara dan minyak dari industri dan pembakaran sampah domestik. Didalam laporan WHO (1992) dinyatakan paling tidak 90% dari CO diudara perkotaan berasal dari emisi kendaraan bermotor. Selain itu asap rokok juga mengandung CO, sehingga para perokok dapat memajan dirinya sendiri dari asap rokok yang sedang dihisapnya.
Parameter pencemar udara
CO, C02, NOx, S02, PM10, PM 2.5, O3, heavy metals (As, Cd, Co, Cr, Mn, Ni, Pb from particulate air pollution, mining, steel industries, combustion processes). POPs, dioxine and l
Lampiran 4
Caterina Ledda, Roberto Fallico and Sciacca (http://dx.doi.org/10.5772 /47820)
furans, PAHs, PCBs, VOCsPGEs or PGMs
3
Urban Structure and Air Quality. Helena Martins, Ana Miranda and Carlos Borrego. (http://dx.d0i.0rg/l 0.5772 /50144)
4
Particulate Air Pollutants and Asthma symptoms are associated PM have effects on human Respiratory Diseases. An-Soo with indoor coarse PM. Every 10 health with asthma. Jang (Division of Allergy and µg/m3 increase in indoor PM 2 . 5 Respiratory Medicine, 1 0 concentration led to a 6% Departement of Internal increased in the number of days of Medicine, coughing, wheezing, or chest Soonchunhayg, tightness ................. University Hospital, These findings demonstrate that Bucheon, Korea. both indoor coarse and fine PM (http://dx.doi.org/10.5772 distinctly effect respiratory health /51363) in children with asthma.
5.
Atmospheric pollutans (gaseous and particulate) be devided in primary pollutans and secondary pollutans PM includes as principal components Sox, NOx, CO, NMVOC.
CO, C02, NOx, S02, PM10, PM
6.
Kualitas emisi kendaraan bermotor Perbedaan kadar SPM di perkotaan dan perdesaan
7.
Kualitas udara ambient
8.
Concentration of Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAHs) in the Sediments and Milkfish (Chanos chanos, Forsk) at Marunda and Blanakan Ponds, Indonesia
CO, C02, NOx, S02, Pb, PM10, PM 2.5, 03 dll The polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) are pollutants of concern due to their persistence in the marine ecosystem. The aim of the research was to analyse concentration of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) in the sediments and milkfish (Chanos chanos, Forsk) at Marunda and Blanakan ponds.The PAHs fraction were analysed using GC-MS model Shimadzu QP5000.The results revealed that PAH detected in the surface sediments of Marunda and Blanakan Ponds, were
Noverita Dian Takarina 1, Sharfma Tammy Aryanti 2, Mohammad Agung Nugraha 3 International Journal of Marine Science 2013, Vol.3,
PM have effects on human health, causing premature deaths, reducing quality of life by aggravating respiratory conditions such as asthma
2 5, O3.
SPM (PM!0 dan PM 2.5)
The results revealed that PAH detected in the surface sediments of Marunda and Blanakan Ponds, were Naphthalene, Benzo (b) fluoranthene, Benzo (k) fluoranthene, Benzo (a) pyrene and Indeno (1,2,3cd) pyrenewith the range concentrations were 27.163.0 ng/g and 24.0-64.9 ng/g. Total PAH concentration observed in the meat and gills of Chanos chanos at Marunda ponds were 13.3 ng/g and 0.4 ng/g,
2
Lampiran 4
Naphthalene, Benzo (b) http://ijms.sophiapubIisher. fluoranthene, Benzo (k) co fluoranthene, Benzo (a) pyrene m and Indeno (1,2,3-cd) pyrenewith the range concentrations were 27.1-63.0 ng/g and 24.0-64.9 ng/g. Total PAH concentration observed in the meat and gills of Chanos chanos at Marunda ponds were 13.3 ng/g and 0.4 ng/g, respectively, while in Blanakan ponds, PAH were not detected. PAHs were detected in Marunda and Blanakan indicates input source petrogenic and pyrogenic both sediment, meat, and gills of Chanos chanos, Forskal. No.13,105-110
9.
10
Air Pollution and Death Due to Cardiovascular Diseases (case study: Isfahan Province of Iran). Masoumeh Rashidi, Mohammad Hossein Rameshat, and Hadi Gharib. (Departement of Geography, and Medicine Geography Researchers, the University of Isfahan, Iran). (http://dx.doi.org/10.5772 /50416) Spatial and Temporal Analysis of Surface Ozone in Urban Area: Multilevel and Structural Equation Model Approach. S.B. Nugroho, A. Fujiwara, and J. Zhang. Transportation Engineering Laboratory, Graduate School for International Development and Cooperation, Hiroshima University, Japan,
respectively, while in Blanakan ponds, PAH were not detected. PAHs were detected in Marunda and Blanakan indicates input source petrogenic and pyrogenic both sediment, meat, and gills of Chanos chanos, Forskal.
Air pollution exists naturally in the environment, but in most cases the increase in quantity, is the result of human activities. There were 19614 men (56%), and 15659 (44%) regarding the mentioned mortality rate, showing more men than women.
Primary pollutants had a negative influence for all temporal situation in roadside area except for the weekend during wet season. It seem that PM 10 load behaved quite differently compared to the other primary pollutants at the suburban area and city centre, i.e. the higher the PM 10 load, the lower the major precursors NO, N02 and CO loads. On the road area in the city center, it is found that CO concentration
3
Lampiran 4
11
Kagamiyama, Higashi Hiroshima, Japan. (http://dx.d0i.0rg/l 0.5772 /50416)
was the highest among the other primary pollutants for all situations. In addition, the higher the CO load, the lower the other major precursors (NO and N02) load.
Addressing Ambient Air Pollution in Jakarta, Indonesia Zahra Shahab, environmental researcher, National Institute of Health Research and Development, Ministry of Health, Indonesia (email:
[email protected] .go.id), or Agus Rachmat, Biostatistics Division, U.S. Naval Medical Research Unit 2, Jakarta, Indonesia (e-mail: rahmat(5)namrutwo.or §)•
The results show that the TSP and lead concentrations at some sampling points were upper threshold. Meanwhile, the nitrogen oxide concentration at all sampling points was under threshold. Specifically, TSP concentration ranged between 74.07 and 416.26 micrograms/m3, nitrogen oxide concentration ranged between 23.61 and 55.36 micrograms/m3, and lead concentration ranged between 0.00 and 3.88 micrograms/m3. The highest TSP concentrations were found in Central Jakarta and East Jakarta, which was consistent with Central Jakarta being an office area and East Jakarta being an industrial area.
In June 2006, the Center for Health and Status Ecology Research and Development, National Institute of Health Research and Development, Ministry of Health, conducted research on this pollution.
12
13
INDONESIA MOTOR Produksi mobil di Indonesia tahun VEHICLE 2000 - 2011 POPULATION (4-W) BY CATEGORY 2000 -2011 by GAIKINDO CAI-ASIA, 2009. 4
Lampiran 4 Indonesia Country Profile
Jumlah B.
Indikator gangguan kesehatan:
1.
Carcinogenic polycyclic aromatic hydrocarbons in umbilical cord blood of human neonates from Guiyu, China (Yongyong Guo aj, Xia Huo »j, Kusheng Wu a.b, Junxiao Liu a, Yuling Zhang a, Xijin Xu a,c,D)
13 artikel
Unregulated electronic-waste recycling results in serious environmental pollution of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in Guiyu, China. We evaluated the body burden of seven carcinogenic PAHs and potential health risks for neonates. Umbilical cord blood (UCB) sampleswere collected fromGuiyu (n=103), and the control area of Chaonan (n=80), China. PAHs in UCBwere determined by gas chromatography/mass spectrometry. Themedian E 7c-PAH concentrationwas 108.05 ppb in UCB samples fromGuiyu, vs. 79.36 ppb in samples from Chaonan. Residence inGuiyu and longer cooking timeof food during the gestation period were significant factors contributing to the £ 7c-PAH level. Benzo[a]anthracene (BaA), chrysene (Chr), and benzo[a]pyrene (BaP) were found to correlate with reduced neonatal height and gestational age. Infants experiencing adverse birth outcomes, on the whole, displayed higher BaA, Chr, and BaP levels compared to those with normal outcomes. We conclude that maternal PAH exposure results in fetal accumulation of toxic PAHs, and that such prenatal exposure correlates with adverse effects on neonatal health.
maternal PAH exposure results in fetal accumulation of toxic PAHs, and that such prenatal exposure correlates with adverse effects on neonatal health
5
Lampiran 4
2
Benzo[a]pyrenemediated toxicity in primary pig bladder epithelial cells: A proteomic approach Nisha Vermaa, Mario Pinka, Albert W. Rettenmeiera, Simone Schmitz-Spankea,b, Available
online at www.sciencedirect .com,
www.elsevier.com/locate/ j prot
The studies described in this paper deal with a sequence of cellular events induced by the environmental toxicant benzo[a]pyrene (B[a]P) that were investigated in primary urinary bladder epithelia cells (PUBEC) from pigs by using a proteomic approach. Two-dimensional (2DE) gel electrophoresis unveiled the differences in protein expression between cells exposed to 0.5 pMB[a]P for 24 h and control cells. Twenty-five differentially expressed proteins involved in DNA repair, mitochondrial dysfunction, and apoptosis were identified by matrix-assisted laser desorption/ionization time- of-flight mass spectrometry (MALDI-TOFMS). These findings were supported by the concentrationdependent increase in olive tailmoments as determined by the comet assay andby a time- dependent increase in histoneH2A.x (H2AX) phosphorylation upon B[a]P exposure. On the other hand, the expression of voltagedependent anion channel 2 (VDAC2), cathepsin D (CTSD), heat shock protein 27 (HSP27), and heat shock protein 70 (HSP70) hinted to apoptosis occurring through the intrinsic apoptotic mitochondrial pathway. Taken together, these data suggest that B[a]P is capable of inducing DNA damage in urinary bladder epithelial cells at lowconcentrations during a short exposure period, thus eventually leading to cell death by apoptosis. Biological significance Epidemiological studies have indicated PAHs as potential candidates for initiating bladder
PAHs as potential candidates for initiating bladder cancer development, urothelial cells are not only passively exposed to reactive metabolites but also actively by intracellularly producing reactive intermediates that can induce cancer.
6
Lampiran 4
cancer development, although the precise risk is still unknown (Kaufman et al. (2009)[1 ]). In recent years, the understanding of the metabolic capacity of urothelial cells has broadened continuously; i.e. a wide range of xenobiotic metabolizing cytochrome P450 enzymes (CYP) were detected in urothelial cells fromhumans and animals (Roos et al., 2006; Guhe et al., 1996 [2,3]), thus indicating that urothelial cells are not only passively exposed to reactive metabolites but also actively by intracellularly producing reactive intermediates that can induce cancer. Moreover, small quantities of non-metabolized B[a]P and its hydroxylated derivatives have been identified in blood and urine (Rossella et al. (2009) [4]). Thus, it appears plausible that B[a]P, a highly lipophilic compound, is taken up by the urothelium and metabolically activated to carcinogenic intermediates in these cells. In our previous studies with primary uroepithelial cells isolated from freshly slaughtered pigs we demonstrated the ability of these cells for a strong uptake of B[a]P and its conversion to the oxidative metabolite (3-OH—B[a]P) (Verma et al. (2012) [5]). The present study is a continuation of this previous work
3.
PAH biomarkers for human health risk assessment: a review of the state-of-the-art. Sergio Silveira Franco / Adelaide Cassia Nardocci i Wanda Maria Risso Gunther i Cad. Saude Publica, Rio de Janeiro, 24 Sup 4:S569-S580, 2008
Polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) are widely distributed in the environment, and some are carcinogenic to human beings. The study of biomarkers has helped clarify the nature and magnitude of the human health risks posed by such substances. This
This article provides a review of the state-of-the- art on PAH biomarkers for human health risk assessment and also discusses their applicability within the context of environmental management in Brazil. The article discusses the
7
Lampiran 4
article provides a review of the state-of-the-art on PAH biomarkers for human health risk assessment and also discusses their applicability within the context of environmental management in Brazil. The article discusses the methodologies for determination of some biomarkers such as 1hydroxypyrene and PAH-DNA adducts. Cytogenetic markers, frequency of chromosomal aberrations, and micronucleus induction were considered for the evaluation of cancer risk. The current stage of studies on validation of such biomarkers was also approached.
4.
Increased health risk in Bangkok children exposed to polycyclic aromatic hydrocarbons from traffic-related sources. Jantamas Tuntawiroonl, Chulabhom Mahidol2, Panida Navasumritl, Herman Autrup3 and Mathuros Ruchirawatl,4, Carcinogenesis vol.28 no.4 pp.816-822, 2007 doi: 10.1093/carcin/bgl 17 5 Advance Access publication October 27, 2006
methodologies for determination of some biomarkers such as 1hydroxypyrene and PAH-DNA adducts. Cytogenetic markers, frequency of chromosomal aberrations, and micronucleus induction were consideredfor the evaluation of cancer risk The current stage of studies on validation of such biomarkers was also approached.
The aim of this study is to assess This study indicates that potential health risk of exposure to Bangkok schoolchildren particle-associated polycyclic aromatic exposed to a high level of hydrocarbons (PAHs) in children living genotoxic PAHs in ambient air in a megacity with traffic congestion may be more vulnerable to the such as Bangkok. The study population health impacts associated with comprised 184 Thai schoolboys (aged 8- the exposure to genotoxic 13 years) attending schools adjacent to pollutants than children high-density traffic areas in in provincial areas and may Bangkok and schools located in the have increased health risks provincial area of Chonburi. The for the development of certain ambient concentration of total PAHs at diseases such as cancer. roadsides in proximity to the Bangkok schools was 30-fold greater than at roadsides in proximity to the provincial schools (30.39 ± 5.80 versus 1.50 ± 0.28 ng/m3; P < 0.001). Benzo(g,h,i)perylene (BghiP), an indicator of automobile exhaust emission, was the predominant PAH.
8
Lampiran 4
Personal exposure to total PAHs and the corresponding benzo(a)pyrene (BaP) equivalent concentrations in Bangkok schoolchildren were 3.5-fold higher than in provincial schoolchildren (4.13 ± 0.21 versus 1.18 ±0.09 ng/m3; P < 0.001 and 1.50 ± 0.12 versus 0.43 ± 0.05 ng/m3; P < 0.001, respectively). The concentration of urinary 1hydroxypyrene (1-HOP) was significantly higher in Bangkok schoolchildren. Bulky carcinogenDNA adduct levels in peripheral lymphocytes were also significantly higher (0.45 ± 0.03 versus 0.09 ± 0.00 adducts/108 nt; P < 0.001). Finally, a significantly higher level of DNA strand breaks and a significantly lower level of DNA repair capacity were observed in Bangkok schoolchildren (P < 0.001). This study indicates that Bangkok schoolchildren exposed to a high level of genotoxic PAHs in ambient air may be more vulnerable to the health impacts associated with the exposure to genotoxic pollutants than children in provincial areas and may have increased health risks for the development of certain diseases such as cancer.
5.
Prenatal Exposure to Background: Polycyclic aromatic Prenatal PAH exposure was (PAHs) are carcinogenic associated with lower global Polycyclic Aromatic hydrocarbons environmental pollutants generated methylation in umbilical cord Hydrocarbons, during incomplete combustion. After white blood cells {p = 0.05), but Benzo[a]pyrene- DNA exposure and during metabolism, PAHs global methylation levels were can form reactive epoxides that can positively associated with the Adducts, and covalently bind to DNA. These PAH- presence of detectable adducts Genomic DNA DNA adducts are established markers of in cord blood {p = 0.01). Methylation in Cord cancer risk. PAH exposure has been Conclusions: These associated with epigenetic alterations, observations suggest that PAH Blood Julie B. Herbstman,i Deliang
including genomic cytosine
exposure was
9
Lampiran 4
Tang,i Deguang Zhu,i Lirong Qu,i Andreas Sjddin,2Zheng U,2 David Camann,3and Frederica P. Pererai Environmental Health Perspectives • volume 120
I number 5 | May 2012
methylation. Both global hypomethylation and hypermethylation of specific genes have been associated with cancer and other diseases in humans. Experimental evidence suggests that PAH-DNA adduct formation may preferentially target methylated genomic regions. Early embryonic development may be a particularly susceptible period for PAH exposure, resulting in both increased PAH-DNA adducts and altered DNA methylation. Objective: We explored whether prenatal exposure to PAHs is associated with genomic DNA methylation in cord blood and whether methylation levels are associated with the presence of detectable PAH-DNA adducts. Methods: In a longitudinal cohort study of nonsmoking women in New York City, we measured PAH exposure during pregnancy using personal air monitors, assessed PAH internal dose using prenatal urinary metabolites (in a subset), and quantified benzo[a]pyrene-DNA adducts and genomic DNA methylation in cord blood DNA among 164 participants. Results: Prenatal PAH exposure was associated with lower global methylation in umbilical cord white blood cells (p = 0.05), but global methylation levels were positively associated with the presence of detectable adducts in cord blood (p = 0.01). Conclusions: These observations suggest that PAH exposure was adequate to alter global methylation in our study population. Additional epidemiologic studies that can measure site-specific cytosine methylation and adduct formation will improve our ability to understand this complex molecular
adequate to alter global methylation in our study population. Additional epidemiologic studies that can measure site-specific cytosine methylation and adduct formation will improve our ability to understand this complex molecular pathway in vivo.
10
Lampiran 4
pathway in vivo. 6.
Assessment of Benzo(a)pyreneequivalent Carcinogenicity and Mutagenicity of Residential Indoor versus Outdoor Polycyclic Aromatic Hydrocarbons Exposing Young Children in New York City
7.
PCB Exposure and in Vivo CYP1A2 Activity among Native Americans
The application of benzo(a)pyrene (BaP)-toxic equivalent factor to polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) concentrations can provide a more accurate risk assessment from environmental exposure to PAH. We hypothesized that BaP- equivalent toxicity determined following residential air monitoring among young urban children may vary by season. Residential indoor and outdoor air levels of PAH measured over two- weeks in a cohort of 5-6 year old children (n = 260) in New York City were normalized to the cancer and mutagen potency equivalent factor of BaP (BaP = 1). Data are presented as carcinogenic equivalents (BaP-TEQ) and mutagenic equivalents (BaP-MEQ) for the sum of 8 PAH (D8PAH; MW □ 228) and individual PAH and compared across heating versus nonheating seasons. Results show that heating compared to nonheating season was Kyung Hwa Jung i, Beizhan Yan associated significantly with higher (BaP- TEQ)£8PAH and (BaP2, Steven N. Chillrud 2, Frederica MEQ)E8PAH both indoors and outdoors P. Perera 3, Robin Whyatt 3, (p < 0.001). Outdoor (BaP-TEQ)E8PAH David Camann 4, Patrick L. and (BaP- MEQ)E8PAH were Kinney 3 and Rachel L. Miller significantly higher than the 1,3,* International J ournal of corresponding indoor measures during Environmental Research and the heating season (p < 0.01). These Public Health ISSN 1660-4601 findings suggest that at levels encountered in New York City air, www.mdpi.com/joumal/ije especially during the heating season, rph residential exposure to PAH may pose an increased risk of cancer and mutation.
Results show that heating compared to nonheating season was associated significantly with higher (BaP-TEQ)2:8PAH and (BaPrMEQ)E8PAH both indoors and outdoors (p < 0.001). Outdoor (BaP- TEQ)£8PAH and (BaP- MEQ)£8PAH were significantly higher than the corresponding indoor measures during the heating season (p < 0.01). These findings suggest that at levels encountered in New York City air, especially during the heating season, residential exposure to PAH may pose an increased risk of cancer and mutation.
Cytochrome P-450 1A2 (CYP1A2) is an enzyme involved in the metabolic activation of some carcinogens and is believed to be induced by xenobiotics. Very few studies, however, have
Edward F. Fitzgerald,1 Syni-
11
Lampiran 4 An Hwang,2 George Lambert,3 Marta Gomez,2 and Alice Tarbell 4 Environ Health Perspect 113:272—
277 (2005). doi:10.1289/ehp.7370 available via
http://dx.doi.org/[ Online 9
investigated the association between environmental exposures and in
-
vivo CYP1A2 activity in humans. To address this issue, a study was conducted of CYP1A2 activity
December 2004
among Native Americans exposed to polychlorinated biphenyls (PCBs) from the consumption of fish from the St. Lawrence River. At the Mohawk Nation at Akwesasne (in New York and in Ontario and Quebec, Canada), 103 adults were interviewed, and they donated blood for serum PCB analysis and underwent the caffeine breath test (CBT), a safe and noninvasive procedure that uses caffeine as a probe for CYP1A2 activity in vivo. The results supported the findings of other studies that CBT values are higher among smokers and men and lower among women who use oral contraceptives. Despite a relatively low average total PCB body burden in this population, the sum of serum levels for nine mono- or di-or//io-substituted PCB congeners showed positive associations with CBT values (p = 0.052 wet weight and p - 0.029 lipid adjusted), as did toxic equivalent quantities (TEQs; p = 0.091 for wet weight and 0.048 for lipid adjusted). Regarding individual congeners, serum levels of PCB-153, PCB-170, and PCB-180 were significantly correlated with CBT values. The results support the notion that CYP1A2 activity may be a marker of an early biological effect of exposure to PCBs in humans and that the CBT may be a useful tool to monitor such effects. Key words: cytochrome P-450 1A2, hazardous waste, Indians, North American, PCB, polychlorinated
12
Lampiran 4
biphenyls. 8.
Relationship between urinary metabolites of polycyclic aromatic hydrocarbons and thyroid hormone levels in Chinese non-occupational exposure adult males
Polycyclic aromatic hydrocarbons These results indicated that (PAH) are ubiquitous global PAH exposure might be pollutants. Limited studies related to altered male suggested that PAH may interfere thyroid hormone levels, but with thyroid function in animals, further study is needed to but little is known about humans. confirm these observed A population of 480 Chinese findings. males was recruited. Using LCMS/MS, four urinary metabolites of PAH including Pengfei Zhu a, Zenghui 1-hydroxynaphthalene (1-N), 2Bian a, Yankai Xia a, Yan hydroxynaphthalene (2-N), 1Han a, Shanlei Qiao t, hydroxypyrene (1-P) and 2Rencheng Zhao b, Nianzu hydroxyfluorene (2-F) were Jin b, measured in spot urinary samples, Shoulin Wanga, Yuzhu which were adjusted by urinary Peng c, Xinru Wang a,* creatinine (CR). Blood ' samples journal homepage: www.elsevier.com/1ocate/c were collected for measuring hemosp serum levels of thyroid hormones here including total thyroxine (TT4), free triiodothyronine (FT3), free thyroxine (FT4) and thyroidstimulating hormone (TSH). The median CRadjusted urine PAH concentrations of 1- N, 2-N, 1-P, 2-F were 2.306, 4.047, 1.155 and 2.899 lgg 1 of CR, respectively. Significant p- values for trend were found for men with higher 2-F tertiles and were more likely to possess high-reference TSH levels. In addition, the multivariate linear regression models showed significant positive correlations for TSH levels with increased CR-adjusted 2-F concentration. No significant associations were found between other thyroid hormones levels and PAH metabolite concentrations. These results indicated that
13
Lampiran 4
PAH exposure might be related to altered male thyroid hormone levels, but further study is needed to confirm these observed findings. 9.
Effect of Urban Traffic, Individual Habits, and Genetic Polymorphisms on Background Urinary 1Hydroxypyrene Excretion PIERLUIGI COCCO, MD, PATRICK S. MOORE, PHD, MARIA G. ENNAS, MD, MARIA G. TOCCO, SCD, ANTONIO IBBA, SCD, SILVIA MATTUZZI, SCD, MICHELE MELONI, MD, MARIA MONNE, MD, GIOVANNA PIRAS, SCD, STEFANIA COLLU, MD, GIANNINA SATTA, SCD, MARIAGRAZIA ZUCCA, SCD, ALDO SCARPA, MD, AND COSTANTINO FLORE, MD Ann Epidemiol 2007;17:1-8. _ 2006 Elsevier Inc.
PURPOSE: Potential sources of exposure to polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) and genetic polymorphisms were investigated in relation to their contribution to interindividual variation in baseline levels of urinary 1 -hydroxypyrene ( 1 - OHP) excretion in subjects without occupational exposure to PAHs. METHODS: Urinary excretion of 1-OHP was measured in 114 subjects, including 48 women and 66 men. Questionnaire information was collected on possible environmental and individual sources of PAH exposure. A subset of 70 individuals also was evaluated for a singlenucleotide polymorphism (Ex7C295C/T) in the cytochrome P-450 1A2 (CYP1A2) gene, and 61 of these also were evaluated for the glutathione transferase T1 (GSTT1) gene polymorphism. RESULTS: 1-OHP values did not show a significant seasonal variability and were unaffected by age; education; body mass index; smoking status, including passive smoking; or the C/T base substitution in position 295 of exon 7 of the CYP1A2 gene. After reciprocal adjustment with logistic regression, living in a heavily trafficked urban area (odds ratio, 4.9; 95% confidence interval, 1.0-24.9), and frequent intake
-
CONCLUSION: Our study shows that exposure to urban traffic, dietary habits, and the nonnull GSTT1 genotype may contribute to interindividual variation in background levels of 1 - OHP urinary excretion in subjects without occupational exposure to PAHs.
14
Lampiran 4
of grilled meat (odds ratio, 6.9; 95% confidence interval, 1.1-43.5) were significant predictors of background urinary 1-OHP levels of 0.50 mg/g creatinine or greater. Elevated risks also were associated with daily alcohol intake greater than 65 g and the nonnull GSTT1 genotype. CONCLUSION: Our study shows that exposure to urban traffic, dietary habits, and the nonnull GSTT1 genotype may contribute to interindividual variation in background levels of 1-OHP urinary excretion in subjects without occupational exposure to PAHs.
10
Increased urinary excretion of 8- hydroxydeoxyguanosin e in engine room personnel exposed to polycyclic aromatic hydrocarbons R Nilsson, R Nordlinder, B E Moen, S 0vreb0, K Bleie, A H Skorve, B E Hollund, C Tagesson Occup
Environ Med
2004;61:692-696.
Background: Previous investigations indicate that engine room personnel on ships are exposed to polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) from oil and oil products, with dermal uptake as the major route of exposure. Several PAH are known carcinogens and mutagens. Aims: To investigate the urinary excretion of a marker for oxidative DNA damage, 8 hydroxydeoxyguanosine (80HdG), in engine room personnel, and to study the association between 80HdG and 1 hydroxypyrene (10HP), a biological marker for PAH exposure. Methods: Urine samples were collected from engine room personnel (n = 36) on 10 Swedish and Norwegian ships and from unexposed controls (n = 34) with similar age and smoking habits. The exposure to oils, engine exhaust, and
Excretion in urine of 80HdG (adjusted to density 1 .022 ) was similar for controls (mean 18.0 nmol/1, n = 33), and for those who had been in the engine room without skin contact with oils (mean 18.7 nmol/1, n = 15). Engine room personnel who reported skin contact with oil had increased excretion of 80HdG (mean 23.2 nmol/1, n = 19). The difference between this group and the unexposed controls was significant. The urinary levels of In 10HP and In 80HdG were significantly correlated, and the association was still highly significant when the effects of smoking and age were accounted for in a multiple regression analysis.
15
Lampiran 4
tobacco smoke 24 hours prior to sampling was estimated from questionnaires. The urinary samples were frozen for later analyses of 80HdG and lOHP by high performance liquid chromatography. Results: Excretion in urine of 80HdG (adjusted to density 1.022) was similar for controls (mean 18.0 nmol/1, n = 33), and for those who had been in the engine room without skin contact with oils (mean 18.7 nmol/1, n = 15). Engine room personnel who reported skin contact with oil had increased excretion of 80HdG (mean 23.2 nmol/1, n = 19). The difference between this group and the unexposed controls was significant. The urinary levels of In lOHP and In 80HdG were significantly correlated, and the association was still highly significant when the effects of smoking and age were accounted for in a multiple regression analysis. Conclusion: Results indicate that exposure to PAH or possibly other compounds from skin contact with oils in engine rooms may cause oxidative DNA damage.
11
Ambient Air Pollution and Atherosclerosis in Los Angeles
Associations have been found between long-term exposure to ambient air pollution and cardiovascular morbidity and mortality. The contribution of air Nino Kunzli, Michael Jerrett, pollution to atherosclerosis that Wendy J. Mack, Bernardo underlies many cardiovascular diseases Beckerman, Laurie LaBree, has not been investigated. Animal data Frank Gilliland, suggest that ambient particulate matter Duncan Thomas, John (PM) may contribute to atherogenesis. Peters, and Howard N. Hodis We used data on
Conclusion: Results indicate that exposure to PAH or possibly other compounds from skin contact with oils in engine rooms may cause oxidative DNA damage.
These results represent the first epidemiologic evidence of an association between atherosclerosis and ambient air pollution. Given die leading role of cardiovascular disease as a cause of death and the large populations exposed to ambient PM2.5, these findings may be important and need further confirmation.
16
Lampiran 4
Environ Health Perspect 113:201-206 * (2005). doi:10.1289/ehp.7523 available via http://dx.doi.org/ [Online 22 November 2004]
12
Differences among
798 participants from two clinical trials to investigate the association between atherosclerosis and long-term exposure to ambient PM up to 2.5 jun in aerodynamic diameter (PM2.5). Baseline data included assessment of the carotid intima- media thickness (CIMT), a measure of subclinical atherosclerosis. We geocoded subjects’ residential areas to assign annual mean concentrations of ambient PM2.5. Exposure values were assigned from a PM2.5 ” surface derived from a geostatistical model. Individually assigned annual mean PM2.5 concentrations ranged from 5.2 to 26.9 |ig/m3 (mean, 20.3). For a cross-sectional exposure contrast of 10 (ig/m3 PM2.5, CIMT increased by 5.9% (95% confidence interval, 1-11%). Adjustment for age reduced the coefficients, but further adjustment for covariates indicated robust estimates in the range of 3.94.3% (p-values, 0.05-0.1). Among older subjects (>D60 years of age), women, never smokers, and those reporting lipid-lowering treatment at baseline, the associations of PM2.5 and CIMT were larger with the strongest associations in women >D60 years of age (15.7%, 5.7-26.6%). These results represent the first epidemiologic evidence of an association between atherosclerosis and ambient air pollution. Given the leading role of cardiovascular disease as a cause of death and the large populations exposed to ambient PM2.5, these findings may be important and need further confirmation.
In Amsterdam, the Netherlands, we measured airborne particulate
These results indicate that mass measurements of 17
Lampiran 4
Black Smoke, PMio, and PM1.0 . Levels at Urban Measurement Sites Willem H. Roemer and Joop H. van Wijnen Municipal Health Service, Environmental Medicine, Amsterdam, The Netherlands Environ Health Perspect 109:151— 154 (2001). [Online 24 January 2001] http.V/ehpnetl .niehs.nih.gov /docs/200l/109pl 51154roemer/abstract. html
13
The ConcentrationResponse Relation between PM2.5 and Daily Deaths Joel
matter (PM) during winter 1998-1999, taking daily average measurements at an urban background site, at a busy street, and at a motorway. Comparison of black smoke, PM10, and PM 1.0 levels showed that daily averages were highly correlated over time. Median daily concentrations were elevated at sites affected by traffic. The highest increase relative to the background in median daily concentration was noted for black smoke at the motorway (300%), whereas for PM10 and PM 1.0 the increase was only 37% and 30%. These results indicate that mass measurements of ambient particulate matter underestimate the exposure to particles generated by traffic. Key words: black smoke, exposure assessment, PM10, PM 1.0, particulate matter, traffic.
Particulate air pollution at commonly occurring concentrations is associated with daily deaths. Recent attention has focused on the shape of the concentration- response Schwartz, 1,2,3 Francine curve, particularly at low doses. Laden,1,3 and Antonella Several recent articles have reported ZanobettH 1 Environmental that particulate matter with Epidemiology Program, aerodynamic diameter 5 10 |un (PM 10) Department of was associated with daily deaths with Environmental Health, no evidence of a threshold. These Harvard School of Public reports have used smoothing or spline Health, Boston, methods in individual cities and pooled Massachusetts, the results across multiple cities to USA; 2Department of obtain estimates that are more robust. Epidemiology, Harvard To date, fine particulate matter School of Public Health, (aerodynamic diameter 8 2.5 |im; PM2.5), a component of PM10, has not Boston, Massachusetts, USA; 3Channing Laboratory, been examined in this regard. We examined this association in a Brigham and Women's
ambient particulate matter underestimate the exposure to particles generated by traffic. Key words: black smoke, exposure assessment, PM10, PM 1.0, particulate matter, traffic.
We found an essentially linear relationship down to 2 ng/m3. The same approach was applied to examine the concentration response to traffic particles, controlling for particles from other sources. Once again, the association showed no sign of a threshold. The magnitude of the association suggests that controlling fine particle pollution would result in thousands fewer early deaths per year
Hospital, and Department of
18
Lampiran 4
Medicine, Harvard Medical School, Boston, Massachusetts, USA. Environmental Health Perspectives • VOLUME 110 INUMBER 10 | October 2002
14
Elemental Carbon and PM2.5 Levels in an Urban Community Heavily Impacted by Truck Traffic
hierarchical model in six U.S. cities. In the first stage, we fit log- linear models including smooth functions of PM2.5 in each city, controlling for season, weather, and day of the week. These smooth functions allowed for nonlinearities in the city-specific associations. We combined the estimated curves across cities using a hierarchical model that allows for heterogeneity. We found an essentially linear relationship down to 2 p.g/m3. The same approach was applied to examine the concentration response to traffic particles, controlling for particles from other sources. Once again, the association showed no sign of a threshold. The magnitude of the association suggests that controlling fine particle pollution would result in thousands fewer early deaths per year.
Hunts Point, a 690-acre peninsula in the South Bronx, New York City, is a hub in the tristate (New York, New Jersey, and Connecticut) freight transportation system. This study was carried out in response to community concerns about potential health effects of exposure to diesel exhaust T. Suvendrini Lena,1 Victor particulate (DEP). We measured Ochieng,2 Majora Carter, 3 particulate matter < 2.5 pm in Jose Holguin- Veras, 2 and aerodynamic diameter (PM2.5) and Patrick L. Kinneyl elemental carbon (EC) on sidewalks 1 Mailman School of Public and tested whether spatial variations in Health, Columbia University; concentrations were related to local truck traffic density. Ten-hour 2Civil Engineering Department, City College of integrated air samples for EC and PM2.5 were collected for 9 days over a New York; 3The Point 3-week period in the summer of 1999 at Community Development seven geographically distinct Corporation, New York, intersections. Simultaneous traffic
These results show that airborne EC concentrations, an important component of DEP, are elevated in Hunts Point and that the impact varies across the community as a function of large truck traffic.
19
Lampiran 4 New York, USA Environmental Health Perspectives • VOLUME 110 INUMBER 10 | October 2002
15
The Level of Maternal Methemoglobin during Pregnancy in an Air-Polluted Environment Lucijan Mohorovic Obstetric and Gynecologic Primary Care, Labin, Croatia Environmental
Health Perspectives VOLUME 111 | NUMBER 16 December 2003 •
|
counts were carried out for each sampling event. Traffic was classified into three classes: passenger cars, small trucks, and large trucks (diesel vehicles). Mean diesel vehicle volumes ranged from 9.3 to 276.5 vehicles/hr across sites. Mean EC concentrations by site ranged from 2.6 |ig/m3 at the control site to 7.3 ng/m3 along a designated truck route. Linear regression of site-specific mean EC concentration on mean large truck counts predicted an increase of 1.69 jxg/m3 EC per 100 large trucks/hr (SE = 0.37; p = 0.01; R2 = 0.84). Average PM2.5 concentrations by site ranged 1.6-fold (19.0-29.9 ng/m3) and were more weakly associated with local traffic. Variations over time for PM2.5 were more pronounced, ranging almost 4fold (8.9-34.4 |.ig/m3). These results show that airborne EC concentrations, an important component of DEP, are elevated in Hunts Point and that the impact varies across the community as a function of large truck traffic.
The objective of this prospective study was to determine if a correlation could be established between the ground-level concentrations of sulfur dioxide and methemoglobin concentrations in pregnant women when a coalpowered thermoelectric power plant was in operation (“dirty” period) and when it was closed (“clean” period). The location of the power plant, Plomin 1, in Labin, Croatia, was taken into consideration. Blood and urine samples of each pregnant woman in the study were tested three times in
The increase of maternal methemoglobin could be a useful biomarker to determine when the health of pregnant women is threatened by toxic substances in the environment
20
Lampiran 4 New York, USA Environmental Health Perspectives • VOLUME 110 | NUMBER 10 | October 2002
15
counts were carried out for each sampling event. Traffic was classified into three classes: passenger cars, small trucks, and large trucks (diesel vehicles). Mean diesel vehicle volumes ranged from 9.3 to 276.5 vehicles/hr across sites. Mean EC concentrations by site ranged from 2.6 ng/m3 at the control site to 7.3 along a designated truck route. Linear regression of site-specific mean EC concentration on mean large truck counts predicted an increase of 1.69 jig/m3 EC per 100 large trucks/hr (SE = 0.37; p 0.01; R2 - 0.84). Average PM2.5 concentrations by site ranged 1.6-fold (19.0-29.9 p.g/m3) and were more weakly associated with local traffic. Variations over time for PM2.5 were more pronounced, ranging almost 4-fold (8.9-34,4 ng/m3). These results show that airborne EC concentrations, an important component of DEP, are elevated in Hunts Point and that the impact varies across the community as a function of large truck traffic.
The Level of Maternal The objective of this prospective study was to determine if a correlation could Methemoglobin be established between the groundduring Pregnancy in level concentrations of sulfur dioxide and methemoglobin concentrations in an pregnant women when a coal- powered Air-Polluted thermoelectric power plant was in Environment operation (“dirty” period) and when it Lucijan Mohorovic
The increase of maternal methemoglobin could be a useful biomarker to determine when the health of pregnant women is threatened by toxic substances in the environment
closed (“clean” period). Obstetric and Gynecologic Primary Care, was Labin, Croatia Environmental Health location of the power plant, Plomin Perspectives VOLUME 111 | NUMBER 16 | Labin, Croatia, was taken December 2003 ■
The 1, in into consideration. Blood and urine samples of each pregnant woman in the study were tested three times in
20
Lampiran 4
the clean period (n = 138) and three times in the dirty period (n = 122 ), with 1 month between each test. I observed a correlation between the increase in mean values of methemoglobin and the ground-level concentration of S 02 on corresponding dates during the dirty period (r = 0.72, p< 0 .01 ). In the clean period, the negative mean value of methemoglobin was significant (r = -0.60, p 5 0.05), whereas in the dirty period, the positive mean value of methemoglobin was significant (r = 0.73, p 8 0.01). The increase of maternal methemoglobin could be a useful biomarker to determine when the health of pregnant women is threatened by toxic substances in the environment.
16
Personal PM2.5 Exposure and Markers of Oxidative Stress in Blood Mette Sorensen, 1 Bahram Daneshvar, 2 Max Hansen, 2 Lars 0. Dragsted,2 Ole Hertel,3 Lisbeth Knudsen, 1 and Steffen Loftl 1 Institute
of Public Health, University of Copenhagen, Denmark; 2lnstitute of Food Safety and Nutrition, Soborg, Denmark; 3National Environmental Research Institute, Roskilde, Denmark Environmental Health Perspectives • VOLUME 111 | NUMBER 2 | February 2003
Ambient particulate air pollution assessed as outdoor concentrations of particulate matter 5 2.5 pm in diameter (PM2.5) in urban background has been associated with cardiovascular diseases at the population level. However, the significance of individual exposure and the involved mechanisms remain uncertain. We measured personal PM2.5 and carbon black exposure in 50 students four times in I year and analyzed blood samples for markers of protein and lipid oxidation, for red blood cell (RBC) and platelet counts, and for concentrations of hemoglobin and fibrinogen. We analyzed protein oxidation in terms of ©-glutamyl semialdehyde in hemoglobin (HBGGS) and 2 -aminoadipic semialdehyde in hemoglobin (HBAAS) and plasma proteins (PLAAS), and lipid peroxidation was measured as malondialdehyde (MDA) in
This suggests that exposure to particles in moderate concentrations can induce oxidative stress and increase RBCs in peripheral blood. Personal exposure appears more closely related to these biomarkers potentially related to cardiovascular disease than is ambient PM2.5 background concentrations
21
Lampiran 4
plasma. Median exposures were 16.1 |ig/m3 for personal PM2.5 exposure, 9.2 jig/m3 for background PM2.5 concentration, and 8.1 • 10 -6 /m for personal carbon black exposure. Personal carbon black exposure and PLAAS concentration were positively associated (p < 0 .01 ), whereas an association between personal PM2.5 exposure and PLAAS was only of borderline significance {p = 0.061). A 3.7% increase in MDA concentrations per 10 jig/m3 increase in personal PM2.5 exposure was found for women {p < 0.05), whereas there was no significant relationship for the men. Similarly, positive associations between personal PM2.5 exposure and both RBC and hemoglobin concentrations were found only in women {p < 0.01). There were no significant relationships between background PM2.5 concentration and any of the biomarkers. This suggests that exposure to particles in moderate concentrations can induce oxidative stress and increase RBCs in peripheral blood. Personal exposure appears more closely related to these biomarkers potentially related to cardiovascular disease than is ambient PM2.5 background concentrations
17
Particulate Matter, Sulfur Dioxide, and Daily Mortality in Chongqing, China Scott A. Verifiers, 1,2,3 Binyan Wang, 1,4 Zhonggui Peng, 5 Yu
In 1995, daily mortality in a district of Chongqing, China, was analyzed from January through December for associations with daily ambient sulfur dioxide and fine particles (airborne particles with diameters 5 2.5 ^m; PM2.5). The mean concentration of PM2.5
The relative risks of mortality due to cancer and other causes were insignificant on both days. The estimated effects of mean daily S02 on cardiovascular and respiratory mortality risk remained after controlling 22
Lampiran 4
Xu, 5 Lihua Wang,4 and Xiping Xu1,4 1 Department of Environmental Health, Harvard School of Public Health, Boston, Massachusetts, USA; 2Center for Bioenvironmental Research, Tulane and Xavier Universities, and 3U.S./China Institute, Tulane University, New Orleans, Louisiana, USA; 4Center for Eco-Genetics and Reproductive Health, Beijing Medical University, Beijing, China; 5Chongqing Institute for Environmental Science, Chongqing, China
18
A m-Aminolevulinic Acid Dehydratase (ALAD)
Polymorphism May Modify the Relationship of
for PM2.5. was 147 |ig/m3 (maximum, 666 fig/m3), and that of S02 was 213 ng/m3 (maximum, 571 pg/m3). On average, 9.6 persons died each day. We used a generalized additive model using robust Poisson regression to estimate the associations of mean daily S02 and PM2.5 with daily mortality (on the same day and at lags up to 5 days) adjusted for trend, season, temperature, humidity, and day of the week. The relative risk of mortality associated with a 100 jig/m3 increase in mean daily S 02 was highest on the second lag day [1.04; 95% confidence interval (Cl), 1.00-1.09] and the third lag day (1.04; 95% Cl, 0.99-1.08). The associations between daily mortality and mean daily PM2.5 were negative and statistically insignificant on all days. The relative risk of respiratory mortality on the second day after a 100 pg/m3 increase in mean daily S02 was 1.11 (95% Cl, 1 .02 -1 .22 ), and that for cardiovascular mortality was 1.10 (95% Cl, 1.021.20). The relative risk of cardiovascular mortality on the third day after a 100 |ig/m3 increase in mean daily S02 was 1.20 (95% Cl, 1.111.30). The relative risks of mortality due to cancer and other causes were insignificant on both days. The estimated effects of mean daily S02 on cardiovascular and respiratory mortality risk remained after controlling for PM2.5.
In this study we investigated whether a known ™- aminolevulinic acid dehydratase (ALAD) exon 4 polymorphism has a modifying effect on the association of blood or bone lead level with uricemia and indices of renal function
Our findings suggest that ALAD genotype may modify the effect of lead on the renal excretion of uric acid as well as overall renal function among middle-aged and elderly men who had community 23
Lampiran 4
Low-Level Lead Exposure to Uricemia and Renal Function:The Normative Aging Study
among middle-aged and elderly men. We performed a crosssectional study of subjects who participated between 1991 and 1995 in the Department of Veterans Affairs Normative Aging Study. Information on blood lead levels, bone lead levels (measured by K- shell Ming-Tsang Wu, 1,2,3 Karl X-ray fluorescence), serum uric acid, Kelsey, 1,4 JoeI Schwartz, 1 serum creatinine, estimated creatinine David Sparrow, 5 Scott clearance, and ALAD polymorphism Weiss, 4 and Howard Hu 1,4 status was available in 709 subjects. 1 Department of Regression models were constructed to Environmental Health, examine the relationships of serum Harvard School of Public uric acid, serum creatinine, and estimated creatinine clearance to blood Health, Boston, or bone lead level, stratified by Massachusetts, USA; genotype. We also adjusted for age, 2Graduate Institute of body mass index, blood pressure, Occupational Safety and Health and 3Department of smoking, alcohol consumption, and ingestion of analgesic medications (n = Occupational Medicine, 638). Kaohsiung Medical Of the University Hospital, 709 subjects, 7 (1%) and 107 (15%) Kaohsiung, Taiwan; were homozygous and heterozygous 4Channing Laboratory, for the variant (ALAD-2) allele, Department of Medicine, respectively. The mean (range) serum Brigham and Women's uric acid and creatinine levels were 6.5 Hospital, Harvard Medical (2.9-10.6) and 1.2 (0.6-2.5) mg/dL. No School, Boston, significant differences were found in Massachusetts, USA; serum uric acid, serum creatinine, or 5The Normative Aging estimated creatinine clearance by Study, U.S. Department of ALAD genotype. However, after Veterans Affairs, Boston, adjusting for other potential Massachusetts, USA confounders, we found a significant Environ Health Perspect linear relationship between serum uric 111:335—340 (2003). acid doi:10.1289/ehp.5504 available and patella bone lead (p = 0.040) via among the ALAD 1-212-2 genotype http://dx.doi.org/ [Online 31 individuals above a threshold patellar October 2002] lead level of 15 ng/g. In contrast, among the wild-type (ALAD 1-1) individuals, there was a suggestion of a significant linear relationship of serum uric acid with patella bone lead (p =
(nonoccupational) exposures to lead. Additional research is needed to ascertain whether this constitutes a true geneenvironment interaction and, if so, its clinical impact. Key words: ™- aminolevulinic acid dehydratase, bone lead, serum creatinine, serum uric acid.
24
Lampiran 4
0.141), but only after a threshold of 101 pg/g. There was evidence of a significant (p = 0.025) interaction of tibia lead with genotype (ALAD 1-1 vs. ALAD 12/2-2) regarding serum creatinine as an outcome, but in the same linear regression model tibia lead alone was not a significant predictor of serum creatinine. Conversely, for estimated creatinine clearance, patella lead, but not the interaction of patella lead with genotype, was a significantly independent predictor (p = 0.026). Our findings suggest that ALAD genotype may modify the effect of lead on the renal excretion of uric acid as well as overall renal function among middleaged and elderly men who had community (nonoccupational) exposures to lead. Additional research is needed to ascertain whether this constitutes a true gene- environment interaction and, if so, its clinical impact. Key words: ™- aminolevulinic acid dehydratase, bone lead, serum creatinine, serum uric acid.
19
Proinflammatory and Cytotoxic Effects of Mexico City Air Pollution Particulate Matter in Vitro Are Dependent on Particle Size and Composition Alvaro R. Osomio- Vargas, 1 James C. Bonner, 2 Ernesto AlfaroMoreno, 1,3 Leticia Martinez, 4 Claudia Garcia- Cuellar, 1,3 Sergio Ponce-de-Ledn
Exposure to urban airborne particulate matter (PM) is associated with adverse health effects. We previously reported that the cytotoxic and proinflammatory effects of Mexico City PM 10 (8 10 mean aerodynamic diameter) are determined by transition metals and endotoxins associated with these particles. However, PM2.5 (5 2.5 |un mean aerodynamic diameter) could be more important as a human health risk because this smaller PM has the potential to reach the distal lung after inhalation. In this study, we compared the cytotoxic and proinflammatory effects of Mexico
These results indicate major differences in PM 10 and PM2.5. PM2.5 induces cytotoxicity in vitro through an endotoxin- independent mechanism that is likely mediated by transition metals. In contrast, PM 10 with relatively high levels of endotoxin induces proinflammatory cytokine release via an endotoxindependent mechanism. Keywords: apoptosis, cytotoxicity, endotoxin, IL-6 , interleukin-6 , J774A.1 cells, Mexico City, particle composition,
25 P
Lampiran 4
Rosales,5 Javier Miranda, 6 City PM10 with those of PM2.5 using particulate matter, and Irma Rosas4 the murine monocytic J774A.1 cell PM 10, PM2.5, TNF-{, tumor line in vitro. PMs were collected from necrosis factor-{. Environmental Health the northern zone or the southeastern Perspectives • VOLUME 111 zone of Mexico City. Elemental | NUMBER 10 j August 2003 composition and bacterial endotoxin on PMs were measured. Tumor necrosis factor-^ (TNF-() and interleukin -6 (IL-6 ) production by J774A.1 cells was measured in the presence or absence of recombinant endotoxin- neutralizing protein (rENP). Both northern and southeastern PMs contained endotoxin and a variety of transition metals. Southeastern PM 10 contained the highest endotoxin levels, 2 -fold higher than that in northern PM 10. Northern and southeastern PM2.5 contained the lowest endotoxin levels. Accordingly, southeastern PM 10 was the most potent in causing secretion of the proinflammatory cytokines TNF- (and IL-6 . All PM2.5 and PM 10 samples caused cytotoxicity, but northern PMs were the most toxic. Cytokine secretion induced by southeastern PM 10 was reduced 50-75% by rENP. These results indicate major differences in PM 10 and PM2.5. PM2.5 induces cytotoxicity in vitro through an endotoxin-independent mechanism that is likely mediated by transition metals. In contrast, PM 10 with relatively high levels of endotoxin induces roinflammatory cytokine release via an endotoxin- dependent mechanism. Key words: apoptosis, cytotoxicity, endotoxin, IL-6 , interleukin-6 , J774A.1 cells, Mexico City, particle composition, particulate matter, PM 10, PM2.5, TNF-{, tumor necrosis factor-(.
20
Acute Respiratory Diseases and Carboxyhemoglobin
Outdoor carbon monoxide comes mainly Our Findings provide strong from vehicular emissions, and high evidence of the relation between concentrations occur in CO 26
Lampiran 4
Status in School Children of Quito, Ecuador
areas with heavy traffic congestion. CO exposure and susceptibility to binds to hemoglobin, forming respiratory infections. carboxyhemoglobin (COHb), and reduces oxygen delivery. We Bertha Estrella, 1,2 Ramiro investigated the link between the Estrella,2,3 Jorge Oviedo,4 adverse effects of CO on the respiratory Ximena Narvaez,3 Maria T. system using COHb as a marker for Reyes,3 Miguel Gutierrez,3 chronic CO exposure. We examined the relationship between acute respiratory and Elena N. NaumovaS 1 Corporaci6n Ecuatoriana de infections (ARIs) and COHb concentrations in school-age children Biotecnologfa, Quito, living Ecuador; 2Universidad Central del Ecuador, Quito, in urban and suburban areas of Quito, Ecuador. We selected three schools Ecuador; 3Baca- Ortiz located in areas with different Children Hospital, Quito, traffic intensities and enrolled 960 Ecuador; 4Fundaci6n children. To adjust for potential Natura, Quito, Ecuador; confounders we conducted a detailed BTufts University School of survey. In a random subsample of 295 Medicine, Boston, children, we determined that average Massachusetts, USA COHb concentrations were Environmental Health significantly higher in children Perspectives • VOLUME 113 attending schools in areas with high and | NUMBER 5 | May 2005 moderate traffic, compared with the low- traffic area. The percentage of children with COHb concentrations above the safe level of 2.5% were 1,43, and 92% in low-, moderate-, and hightraffic areas, respectively. Children with COHb above the safe level are 3.25 [95% confidence interval (Cl), 1.656.38] times more likely to have ARI than children with COHb < 2.5%. Furthermore, with each percent increase in COHb above the safety level, children are 1.15 (95% Cl, 1.031.28) times more likely to have an additional case of ARI. Our findings provide strong evidence of the relation between CO exposure and susceptibility to respiratory infections.
27
Lampiran 4
Jumlah
20 artikel
C. Gangguan kesehatan: 4
Air pollution smaller babies
delivers By the authors’ calculations, each
In a study of more than increase in PMio by 10 220,000 US births micrograms per cubic metre (|ig published last month, m-3) was associated with a 3% Trasande and his higher chance of an infant being colleagues found that underweight and with an overall outdoor air pollution was average weight reduced by 3 associated with longer grammes. That reduction in hospital stays and greater average weight tripled to 9 g when health-care costs-. In 2010, the authors adjusted for local 8.2% of infants bom in the variables such as maternal age or United States were of low tobacco use. The calculations took birth weight. socioeconomic status into account.
1. Dadvand, P. et al. Environ. Health Perspect. http://dx.doi.ore/l 0.1289/eho. 12055 75 (2013). 2. Trasande, L., Wong, K., Roy, A., Savitz, D. A. & Thurston, G. J. Expo. Sci. Environ. Epidemiol. http://dx.doi.ore/l 0.1038/ies.2012.1 The median PMio value varied 24(2013). across the 14 sites, from 12.5 (ig httD://www.nature.com/ne m-3 in Vancouver to 66.5 |ig m-3 in ws/air-Dollution-deliversSeoul. For a subset of centres that smaller-babies-1.12358 included information on PM2.s exposure, the odds of lower birth weight increased by 10% for each increase in exposure.
As Trasande explains, the risks are small at the individual level, but “on a population basis, a shift can produce large increases in the percentage of low-birth-weight infants”, he says. Smoking, alcohol and drug use and poor maternal health are also linked to low birth weights.
5.
Air pollution delivers smaller babies
Dadvand, P. e t a l Environmental Health The observational study Perspectives1 (an epidemiologist at the pooled data from 3 million Centre for Research in Environmental births at 14 research centres in 9 countries, 28
Lampiran 4 Epidemiology in Barcelona, Spain) htto://www.nature.com/news/airDollution-delivers-smaller-babies1.12358
6.
Trasande, L., Wong, K., Roy, A., Savitz, D. A. & Thurston, G. J. Expo. Sci. Environ. Epidemiol. htto://dx.doi.org/10.1038/ies.201
including the United States, South Korea and Brazil. pollutants: inhalable particulate matter (PM) with a diameter of less than 2.5 micrometres (PM2.S) and of less than 10 micrometres (PMxo). Those centres that have higher levels of air pollution report higher risks of low birth weights compared with those centres that have lower levels of pollution," each increase in PM 10 by 10 micrograms per cubic metre (fig nrf 3) was associated with a 3% higher chance of an infant being underweight and with an overall average weight reduced by 3 grammes. That reduction in average weight tripled to 9 g when the authors adjusted for local variables such as maternal age or tobacco use. The calculations took socioeconomic status into account. The median PM 10 value varied across the 14 sites, from 12.5 jjg rrT3 in Vancouver to 66.5 ng nrf 3 in Seoul. For a subset of centres that included information on PM 2.s exposure, the odds of lower birth weight increased by 10% for each increase in exposure
the risks are small at the individual level, but "on a population basis, a shift can produce large 29
Lampiran 4 2.124
increases in the percentage of low-birth- weight infants Smoking, alcohol and drug use and poor maternal health are also linked to low birth weights outdoor air pollution was associated with longer hospital stays and greater health-care costs*. In 2010, 8.2% of infants born in the United States were of low birth weight The World Health Organization recommends that countries establish rigorous air-pollution standards of an annual mean of 10 pg m"3for PM .5 and 20 pg m _3for PM10. The US Environmental Protection Agency recently strengthened its annual PM .5 standard by decreasing it from 15 pg m~3 to 12 pg rrf 3 2
2
7.
Air pollution delivers smaller babies
Dadvand, P. et al Environmental Health Perspectives1 (an epidemiologist at the C entre for Resear ch in Environmental Epidemiology in Barcelona, Spain) httD://www.nature,com/news/airDollution-delivers-smaller-babies-
1.12358
The observational study pooled data from 3 million births at 14 research centres in 9 countries, including the United States, South Korea and Brazil. pollutants: inhalable particulate matter (PM) with a diameter of less than 2.5 micrometres (PM2.5) and of less than 10 micrometres (PMi 0). Those centres that have higher levels of air pollution report higher risks of low birth weights compared with those centres that have lower levels of pollution," 30
Lampiran 4 each increase in PM10 by 10 micrograms per cubic metre (pg irf3) was associated with a 3% higher chance of an infant being underweight and with an overall average weight reduced by 3 grammes. That reduction in average weight tripled to 9 g when the authors adjusted for local variables such as maternal age or tobacco use. The calculations took socioeconomic status into account. The median PMIQ value varied across the 14 sites, from 12.5 pg m" 3 in Vancouver to 66.5 pg nrf J in Seoul. For a subset of centres that included information on PM 2 5 exposure, the odds of lower birth weight increased by 10% for each increase in exposure
Jumlah D.
S artikel
Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kualitas udara dan produksi kendaraan bermotor:
Kepmen KLH no. 141/2003 tentang Batas Ambang Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Yang sedang diproduksi
2
Kenmen KLH 05/2006 tentang ambang batas gas buang kendaraan bermotor lama
o o O UZX
1
Berlaku sejak tahun 2006/2007
CO HC
31
Lampiran 4
3
Kepmen KLH 15/1996 tentang program langit biru
4
Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor
5.
Permen Perindustrian no. 33/M.IND/Per/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan bermotor roda empat yang hemat energy dan harga teijangkau. Kemen Perindustrian no. 59/M.IND/Per/5/2010 tentang industry kendaraan bermotor
6.
Langkah-langkah pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak dan sumber tidak bergerak.
CO max 4.5% HC max 3000 ppm
Ijin usaha, keringanan pajak, dan syarat syaratnya. Tidak membatasi tentang emisi gas buang. Tatacara import dan perakitan serta syaratsyarat SNI dalam produksi kendaraan bermotor Tidak membatasi tentang emisi gas buang.
7,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Jumlah
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. 7 peraturan perundang undangan
32
Kementerian Lingkungan Hidup: 1. Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 2. Kep Men LH No. 35 Tahun 1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor 3. Kep Men LH No. 15 Tahun 1996 tentang Program Langit Biru 4. Kep Men LF I No. 45 Tahun 1997 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara 5. Kep Bapedal No. 107 Tahun 1997 tentang Pedoman Teknis Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemaran Udara 6. Kep Men LH No. I41/MENLH/2003 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor yang Sedang Diproduksi (Current Production) 7. Kep Men LH No. 252 Tahun 2004 tentang Program Penilaian Peringkat Hasil Uji Tipe Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru 8. Per Men LH No. 5 Tahun 2006 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama . 9. Per Men LH No. 4 Tahun 2009 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor 10. Per Men LH No. 7 Tahun 2009 tentang Ambang Batas Kebisingan Kendaraan Bermotor Tipe Baru 11. Per Men LH No. 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah
Kementerian Perindustrian: Peraturan Menteri Perindustrian No. 33/M-IND/ PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan ... Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi 80/M-IND/PER/9/2014 tentang Industri Kendaraan ... memiliki peralatan produksi untuk membuat karoseri kendaraan bermotor roda empat... Permenperin tersebut merupakan turunan dari program mobil emisi karbon rendah atau low emission carbon (LEC) yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Lampiran 5
Dampak pencemaran udara terhadap kesehatan Inswiasri* Bambang Wispriyono** Email korespondensi:
[email protected] *Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan masyarakat ** Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat-Universitas Indonesia Abstract Kontribusi pencemaran udara di kota besar sekitar 70-80 persen berasal dari sektor transportasi. Pencemaran udara dari kendaraan bermotor yang melebihi ambang batas akan mengakibatkan gangguan kesehatan. Parameter pencemar udara ambien menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999, meliputi: sulfur dioksida (S02), karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (N02), oksidan (03), hidrokarbon (HC), PM 10, PM 2,5, TSP (debu), Pb (Timah Hitam), dustfall (debu jatuh). Zat-zat pencemar udara yang paling sering dijumpai dilingkungan perkotaan adalah: S02, NO dan N02, CO, 03, SPM (^Suspended Particulate Matter) dan Pb(=Lead). Kadar pencemar tersebut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, mengalami perluasan dari kota-kota besar ke kota kota kecil lainnya (tersebar luas). Dari berbagai penelitian telah membuktikan bahwa semua parameter pencemaran udara tersebut berkontribusi terhadap gangguan kesehatan seperti gangguan pemapasan, terjadinya asthma, pneumonia, terjadinya stress, terjadinya gangguan jantung, menyebabkan kematian premature, kelahiran bayi dengan berat badan rendah, meningkatkan kasus cancer.
Kata kunci: Pencemaran udara, automotive, kesehatan
PENDAHULUAN Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 163, menerangkan bahwa lingkungan yang sehat bisa terwujud bila terhindar dari unsur salah satunya adalah udara yang tercemar ( 1). Pencemaran udara adalah kehadiran satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan, mengganggu estetika dan kenyamanan, atau merusak property(2) Pencemaran udara dapat ditimbulkan oleh sumbersumber alami maupun kegiatan manusia. Beberapa definisi gangguan fisik seperti polusi suara, panas, radiasi atau polusi cahaya dianggap sebagai polusi udara. Sifat alami udara mengakibatkan dampak pencemaran udara dapat bersifat langsung dan lokal, regional, maupun global(2). Kontribusi pencemaran udara di kota besar sekitar 70-80 persen berasal dari sektor transportasi. Pencemaran udara dari kendaraan bermotor yang melebihi 1
Lampiran 5
ambang batas akan mengakibatkan gangguan kesehatan. Parameter pencemar udara ambien menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999, meliputi: sulfur dioksida (S02), karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (N02), oksidan (03), hidrokarbon (HC), PM 10, PM 2,5, TSP (debu), Pb (Timah Hitam), dustfall (debu jatuh) (3). Dari Kantor Kepolisian Republik Indonesia, terlihat bahwa jumlah kendaraan bermotor dari tahun ke tahun meningkat terus Kalau sumber emisinya meningkat, secara logika emisinya juga bertambah (meningkat). SUMBER PENCEMARAN Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan, antara lain industri, transportasi, perkantoran, dan perumahan. Sumber pencemaran udara juga dapat disebabkan oleh berbagai kegiatan alam, seperti kebakaran hutan, gunung meletus, dan gas alam beracun. Penggunaan bahan bakar yang kurang ramah lingkungan seperti bahan bakar minyak atau batu bara dengan kadar sulfur tinggi, a. Zat pencemar primer, yaitu zat kimia yang langsung mengkontaminasi udara dalam konsentrasi yang membahayakan. Zat tersebut bersal dari komponen udara alamiah seperti karbon dioksida, yang meningkat diatas konsentrasi normal, atau sesuatu yang tidak biasanya, ditemukan dalam udara, misalnya timbal. b. Zat pencemar sekunder, yaitu zat kimia berbahaya yang terbentuk di atmosfer melalui reaksi kimia antar komponen-komponen udara. Sumber bahan pencemar primer dapat dibagi lagi menjadi dua golongan besar : 1. Sumber alamiah. Beberapa kegiatan alam yang bisa menyebabkan pencemaran udara adalah kegiatan gunung berapi, kebakaran hutan, kegiatan mikroorganisme, dan lain-lain. Bahan pencemar yang dihasilkan umumnya adalah asap, gas-gas, dan debu. 2. Sumber buatan manusia. Kegiatan manusia yang menghasilkan bahan-bahan pencemar bermacam-macam antara lain adalah kegiatan-kegiatan berikut: • Pembakaran, seperti pembakaran sampah, pembakaran pada kegiatan rumah tangga, industri, kendaraan bermotor, dan lain-lain. Bahan-bahan pencemar yang dihasilkan antara lain asap, debu, grit (pasir halus), dan gas (CO dan NO). • Proses peleburan, seperti proses peleburan baja, pembuatan soda,semen, keramik, aspal. Sedangkan bahan pencemar yang dihasilkannya antara lain adalah debu, uap dan gas-gas. • Pertambangan dan penggalian, seperti tambang mineral and logam. Bahan pencemar yang dihasilkan terutama adalah debu. • Proses pengolahan dan pemanasan seperti pada proses pengolahan makanan, daging, ikan, dan penyamakan. Bahan pencemar yang dihasilkan terutama asap, debu, dan bau. • Pembuangan limbah, baik limbah industri maupun limbah rumah tangga. Pencemarannya terutama adalah dari instalasi pengolahan air buangannya. Sedangkan bahan pencemarnya yang teruatam adalah gas H2S yang menimbulkan bau busuk.
2
Lampiran 5
•
• •
Proses kimia, seperti pada proses fertilisasi, proses pemurnian minyak bumi, proses pengolahan mineral. Pembuatan keris, dan lain-lain. Bahan-bahan pencemar yang dihasilkan antara lain adalah debu, uap dan gas-gas Proses pembangunan seperti pembangunan gedung-gedung, jalan dan kegiatan yang semacamnya. Bahan pencemarnya yang terutama adalah asap dan debu. Proses percobaan atom atau nuklir. Bahan pencemarnya yang terutama adalah gas-gas dan debu radioaktif.
Sumber pencemaran udara yang disebabkan oleh sumber bergerak (otomotive) dari tahun ke tahun meningkat terus. Keadaan ini dapat dilihat dalam table berikut.
Tabel i. Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis tahun 1987-2012(4>
Tahun
Mobil Penumpang
Bis
Truk
Sepeda Motor
Jumlah
1987
1170103
303378
953694
5554305
7981480
1988
1073106
385731
892651
5419531
7771019
1989
1182253
434903
952391
5722291
8291838
1990
1313210
468550
1024296
6082966
8889022
1991
1494607
504720
1087940
6494871
9582138
1992
1590750
539943
1126262
6941000
10197955
1993
1700454
568490
1160539
7355114
10784597
1994
1890340
651608
1251986
8134903
11928837
1995
2107299
688525
1336177
9076831
13208832
1996
2409088
595419
1434783
10090805
14530095
1997
2639S23
611402
1548397
11735797
16535119
1998
2769375
626680
1586721
12628991
17611767
1999*
2897803
644667
1628531
13053148
18224149
2000
3038913
666280
1707134
13563017
18975344
2001
3189319
680550
1777293
15275073
20922235
2002
3403433
714222
1865398
17002130
229851B3
2003
3792510
798079
2047022
19976376
26613987
2004
4231901
933251
231S781
23061021
30541954
2005
5076230
1110255
2875116
28531831
37623432
2006
6035291
1350047
3398956
32528758
43313052
2007
6877229
1736087
4234236
41955128
54802680
2008
7489852
2059187
4452343
47683681
61685063
2009
7910407
2160973
4452343
52767093
67336644
2010
8891041
2250109
4687789
61078188
76907127
3
Lampiran 5
2011
9548866
2254406
4958738
68839341
85601351
2012
10432259
2273821
5286061
76381183
94373324
Sumber: Kantor Kepolisian Republik Indonesia *)sejak 1999 tidak termasuk Timor-Timur http:i/bps.gp.id/tab sub/view.php?i(at=2&label=l&daftar=l&id subvek=17¬ab=12
Dari Kantor Kepolisian Republik Indonesia, terlihat bahwa jumlah kendaraan bermotor dari tahun ke tahun meningkat terus. Kalau sumber emisinya meningkat, secara logika emisinya juga bertambah (meningkat). Data dari Kementerian Perindustrian adalah sebagai berikut: Dalam jangka menengah, Kementerian Perindustrian menargetkan produksi kendaraan bermotor roda empat mencapai 1.250.000 unit. Jumlah produksi tersebut diperoleh jika diasumsikan pertumbuhan rata-rata per tahun adalah 10%. Berdasarkan data dari ASEANAutomotive Federation (AAF), sampai dengan akhir 2012, produksi kendaraan bermotor roda empat di Indonesia telah mencapai 1,065 juta unit. Produksi tahun 2012 tersebut mengalami peningkatan 27% jika dibandingkan dengan produksi tahun 2011 yang sebesar 837 ribu unit. Jika dibandingkan dengan target produksi yang ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian sebagaimana terlihat pada tabel di bawah, maka produksi tahun 2012 jauh melampaui target yang ditetapkan. Target produksi selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Sasaran Kuantitatif Industri Kendaraan Bermotor Roda 4 Jangka Menengah
Produksi Penjualan Export
2010 540.000 542.000 108.000
2011 675.000 675.000 140.000
Sumber data: Kementerian Perindustrian(5)
2012
2013
840.000 846.000 180.000
1.000.000
1.057.000 220.000
2014 1.250.000 1.300.000 260.000
Lampiran 5
PARAMETER PENCEMAR UDARA KARENA KENDARAAN BERMOTOR Parameter utama yang diproduksi oleh aktivitas manusia adalah sebagai berikut: •
Sulfur oxides (SOx) - particularly sulfur dioxide, a chemical compound with the formula SO 2. SO2 is produced by volcanoes and in various industrial processes. Coal and petroleum often contain sulfur compounds, and their combustion generates sulfur dioxide. Further oxidation of SO2, usually in the presence of a catalyst such as NO 2, forms H2SO4, and thus acid rain. [2] This is one of the causes for concern over the environmental impact of the use of these fuels as power sources.
•
Nitrogen oxides (NOx) - Nitrogen oxides, particularly nitrogen dioxide, are expelled from high temperature combustion, and are also produced during thunderstorms by electric discharge. They can be seen as a brown haze dome above or a plume downwind of cities. Nitrogen dioxide is a chemical compound with the formula NO 2. It is one of several nitrogen oxides. One of the most prominent air pollutants, this reddish-brown toxic gas has a characteristic sharp, biting odor.
•
Carbon monoxide (CO)- CO is a colourless, odourless, toxic yet non-irritating gas. It is a product by incomplete combustion of fuel such as natural gas, coal or wood. Vehicular exhaust is a major source of carbon monoxide.
•
Volatile organic compounds - VOCs are a well-known outdoor air pollutant. They are categorized as either methane (CH4 ) or non-methane (NMVOCs). Methane is an extremely efficient greenhouse gas which contributes to enhanced global warming. Other hydrocarbon VOCs are also significant greenhouse gases because of their role in creating ozone and prolonging the life of methane in the atmosphere. This effect varies depending on local air quality. The aromatic NMVOCs benzene, toluene and xylene are suspected carcinogens and may lead to leukemia with prolonged exposure. 1,3-butadiene is another dangerous compound often associated with industrial use.
•
Particulates, alternatively referred to as particulate matter (PM), atmospheric particulate matter, or fine particles, are tiny particles of solid or liquid suspended in a gas. In contrast, aerosol refers to combined particles and gas. Some particulates occur naturally,
5
Lampiran 5
originating from volcanoes, dust storms, forest and grassland fires, living vegetation, and sea spray. Human activities, such as the burning of fossil fuels in vehicles, power plants and various industrial processes also generate significant amounts of aerosols. Averaged worldwide, anthropogenic aerosols—those made by human activities—currently account for approximately 10 percent of our atmosphere. Increased levels of fine particles in the air are linked to health hazards such as heart disease,[3] altered lung function and lung cancer. •
Toxic metals, such as lead and mercury, especially their compounds. Timah hitam (Pb) dan senyawa beracun lainnya, yang dapat memajan tubuh melalui rute lain. Pengaruh partikulat debu bentuk padat maupun cair yang berada di udara sangat tergantung kepada ukurannya. Ukuran partikulat debu bentuk padat maupun cair yang berada diudara sangat tergantung kepada ukurannya. Ukuran partikulat debu yang membahayakan kesehatan umumnya berkisar antara 0,1 mikron sampai dengan 10 mikron. Pada umunya ukuran partikulat debu sekitar 5 mikron merupakan partikulat udara yang dapat langsung masuk kedalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Keadaan ini bukan berarti bahwa ukuran partikulat yang lebih besar dari 5 mikron tidak berbahaya, karena partikulat yang lebih besar dapat mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan menyebabkan iritasi. Keadaan ini akan lebih bertambah parah apabila terjadi reaksi sinergistik dengan gas S02 yang terdapat di udara juga. Selain itu partikulat debu yang melayang dan berterbangan dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi daya tembus pandang mata (Visibility) Adanya ceceran logam beracun yang terdapat dalam partikulat debu di udara merupakan bahaya yang terbesar bagi kesehatan. Pada umumnya udara yang tercemar hanya mengandung logam berbahaya sekitar 0,01% sampai 3% dari seluruh partikulat debu di udara Akan tetapi logam tersebut dapat bersifat akumulatif dan kemungkinan dapat terjadi reaksi sinergistik pada jaringan tubuh, Selain itu diketahui pula bahwa logam yang terkandung di udara yang dihirup mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan dosis sama yang besaral dari makanan atau air minum. Oleh karena itu kadar logam di udara yang terikat pada partikulat patut mendapat perhatian . Timah hitam ( Pb ) merupakan logam lunak yang berwarna kebirubiruan atau abu-abu keperakan dengan titik leleh pada 327,5°C dan titik didih 1.740°C pada tekanan atmosfer. Senyawa Pb-organik seperti Pb-tetraetil dan Pb-tetrametil merupakan senyawa
6
Lampiran 5
yang penting karena banyak digunakan sebagai zat aditif pada bahan bakar bensin dalam upaya meningkatkan angka oktan secara ekonomi. Pb-tetraetil dan Pb tetrametil berbentuk larutan dengan titik didih masing-masing 110°C dan 200°C. Karena daya penguapan kedua senyawa tersebut lebih rendah dibandingkan dengan daya penguapan unsur-unsur lain dalam bensin, maka penguapan bensin akan cenderung memekatkan kadar P-tetraetil dan Pb-tetrametil. Kedua senyawa ini akan terdekomposisi pada titik didihnya dengan adanya sinar matahari dan senyawa kimia lain diudara seperti senyawa holegen asam atau oksidator. Pembakaran Pb-alkil sebagai zat aditif pada bahan bakar kendaraan bermotor merupakan bagian terbesar dari seluruh emisi Pb ke atmosfer berdasarkan estimasi skitar 80-90% Pb di udara ambien berasal dari pembakaran bensin tidak sama antara satu tempat dengan tempat lain karena tergantung pada kepadatan kendaraan bermotor dan efisiensi upaya untuk mereduksi kandungan pb pada bensin. •
Hidro carbon merupakan polutan primer karena dilepas ke udara ambien secara langsung, sedangkan oksidan fotokima merupakan polutan sekunder yang dihasilkan di atmosfir dari hasil reaksi-reaksi yang melibatkan polutan primer. Kegiatan industri yang berpotensi menimbulkan cemaran dalam bentuk HC adalah industri plastik, resin, pigmen, zat wama, pestisida dan pemrosesan karet. Diperkirakan emisi industri sebesar 10 % berupa HC. Sumber HC dapat pula berasal dari sarana transportasi. Kondisi mesin yang kurang baik akan menghasilkan HC. Pada umumnya pada pagi hari kadar HC di udara tinggi, namun pada siang hari menurun. Sore hari kadar HC akan meningkat dan kemudian menurun lagi pada malam hari. Adanya hidrokarbon di udara terutama metana, dapat berasal dari sumber-sumber alami terutama proses biologi aktivitas geothermal seperti explorasi dan pemanfaatan gas alam dan minyak bumi dan sebagainya Jumlah yang cukup besar juga berasal dari proses dekomposisi bahan organik pada permukaan tanah, Demikian juga pembuangan sampah, kebakaran hutan dan kegiatan manusia lainnya mempunyai peranan yang cukup besar dalam memproduksi gas hidrakarbon di atmosfir. Hidrokarbon diudara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan akan membentuk ikatan baru yang disebut plycyclic aromatic hidrocarbon (PAH) yang banyak dijumpai di daerah industri dan padat lalulintas. Bila PAH ini masuk dalam paru-paru
7
Lampiran 5
akan menimbulkan luka dan merangsang terbentuknya sel-sel kanker. Pengaruh hidrokarbon aromatic pada kesehatan manusia dapat terlihat pada tabel dibawah ini. Tabel 3. Jenis Hidrokarbon, Konsentrasi (ppm ), dan Dampak Kesehatan Jenis HydroCardon
Konsentrasi (ppm)
Dampak Kesehatan
Benzene (C6H6)
100
100 Iritasi membran mukosa
3.000
Lemas setelah Vz - 1 Jam
7.500
Pengaruh sangat berbahaya setelah pemaparan 1 jam
20.000
Kematian setelah pemaparan 5-10 menit
200
Pusing lemah dan berkunang-kunang setelah pemaparan 8 jam
Toluena (C7H8 )
These are gases which are released from air conditioners, refrigerators, aerosol sprays, etc. CFC's on being released into the air rises to stratosphere. Here they come in contact with other gases and damage the ozone layer. This allows harmful ultraviolet rays to reach the earth's surface. This can lead to skin cancer, disease to eye and can even cause damage to plants (6) PERATURAN-PERATURAN Peraturan yang terkait dengan produksi otomotive dan pengendalian pencemaran udara karena sumber bergerak. Produksi: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah, terkait dengan Permenperin merupakan turunan dari program mobil emisi karbon rendah atau low emission carbon (LEC) yang telah diatur
2. Peraturan Menteri Perindustrian No. 33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau
S
Lampiran 5
3. Peraturan Menteri Perindustrian no.80/M-lND/PER/9/2014 tentang Industri Kendaraan ... memiliki peralatan produksi untuk membuat karoseri kendaraan bermotor roda empat... Pengendalian Pencemaran Udara: '
1. Undang-Undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 2. Kep Men LH No. 35 Tahun 1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor 3. Kep Men LH No. 15 Tahun 1996 tentang Program Langit Biru 4. Kep Men LH No. 45 Tahun 1997 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara 5. Kep Bapedal No. 107 Tahun 1997 tentang Pedoman Teknis Perhitungan dan Pelaporan serta Informasi Indeks Standar Pencemaran Udara 6. Kep Men LH No. 141/MENLH/2003 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor yang Sedang Diproduksi (Current Production) 7. Kep Men LH No. 252 Tahun 2004 tentang Program Penilaian Peringkat Hasil Uji Tipe Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru 8. Per Men LH No. 5 Tahun 2006 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Lama 9. Per Men LH No. 4 Tahun 2009 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor 10. Per Men LH No. 7 Tahun 2009 tentang Ambang Batas Kebisingan Kendaraan Bermotor Tipe Baru 11. Per Men LH No. 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah 12. Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999, Parameter pencemar udara: Sulfur dioksida (S02), Karbon monoksida (CO), Nitrogen dioksida (N02), Oksidan (03), Hidro karbon (HC), PM 10 , PM 2,5, TSP (debu), Pb (Timah Hitam), Dustfall (debu jatuh). Empat parameter yang lain (Total Fluorides (F), Fluor Indeks, Khlorine & Khlorine dioksida, Sulphat indeks.
9
Lampiran 5
DAMPAK TERHADAP KESEHATAN Dampat keracunan CO sangat berbahaya bagi orang yang telah menderita gangguan pada otot jantung atau sirkulasi darah periferal yang parah. Dampak dari CO bervasiasi tergangtung dari status kesehatan seseorang pada saat terpajan .Pada beberapa orang yang berbadan gemuk dapat mentolerir pajanan CO sampai kadar IlbCO dalam darahnya mencapai 40% dalam waktu singkat Tetapi seseorang yang menderita sakit jantung atau paru-paru akan menjadi lebih parah apabila kadar HbCO dalam darahnya sebesar 5-10%. Pengaruh CO kadar tinggi terhadap sistem syaraf pusat dan sistem kardiovaskular telah banyak diketahui. Namun respon dari masyarakat berbadan sehat terhadap pemajanan CO kadar rendah dan dalam jangka waktu panjang, masih sedikit diketahui. Misalnya kinerja para petugas jaga, yang harus mempunyai kemampuan untuk mendeteksi adanya perubahan kecil dalam lingkungannya yang terjadi pada saat yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan membutuhkan kewaspadaan tinggi dan terus menerus, dapat terganggu/ terhambat pada kadar HbCO yang berada dibawah 10% dan bahkan sampai 5% (hal ini secara kasar ekivalen dengan kadar CO di udara masing-masing sebesar 80 dan 35 µg/m3) Pengaruh ini terlalu terlihat pada perokok, karena kemungkinan sudah terbiasa terpajan dengan kadar yang sama dari asap rokok. Beberapa studi yang dilakukan terhadap sejumlah sukarelawan berbadan sehat yang melakukan latihan berat (studi untuk melihat penyerapan oksigen maksimal) menunjukkan bahwa kesadaran hilang pada kadar HbCO 50% dengan latihan yang lebih ringan, kesadaran hilang pada HbCo 70% selama 5-60 menit. Gangguan tidak dirasakan pada HbCO 33%, tetapi denyut jantung meningkat cepat dan tidak proporsional. Studi dalam jangka waktu yang lebih panjang terhadap pekerja yang bekerja selama 4 jam dengan kadar HbCO 5-6% menunjukkan pengaruh yang serupa terhadap denyut jantung, tetapi agak berbeda. Pajanan Oksida nitrogen seperti NO dan N02 berbahaya bagi manusia. Penelitian menunjukkan bahwa N02 empat kali lebih beracun daripada NO. Selama ini belum pemah dilaporkan terjadinya keracunan NO yang mengakibatkan kematian. Di udara ambient yang normal, NO dapat mengalami oksidasi menjadi N02 yang bersifat racun. Penelitian terhadap hewan percobaan yang dipajankan NO dengan dosis yang sangat tinggi, memperlihatkan gejala kelumpuhan sistim syarat dan kekejangan. Penelitian lain menunjukkan bahwa tikus yang dipajan NO sampai 2500 ppm akan hilang kesadarannya setelah 6-7 menit, tetapi jika kemudian diberi udara segar akan sembuh kembali setelah 4-6 menit. Tetapi jika pemajanan NO pada kadar tersebut berlangsung selama 12 menit, pengaruhnya tidak dapat dihilangkan kembali, dan
10
Lampiran 5
semua tikus yang diuji akan mati. N02 bersifat racun terutama terhadap paru. Kadar N02 yang lebih tinggi dari 100 ppm dapat mematikan sebagian besar binatang percobaan dan 90% dari kematian tersebut disebabkan oleh gejala pembengkakan paru ( edema pulmonari ). Kadar N02 sebesar 800 ppm akan mengakibatkan 100% kematian pada binatang-binatang yang diuji dalam waktu 29 menit atau kurang. Pemajanan N02 dengan kadar 5 ppm selama 10 menit terhadap manusia mengakibatkan kesulitan dalam bernafas. Pengaruh utama polutan SOx terhadap manusia adalah iritasi sistim pernafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada kadar SO 2 sebesar 5 ppm atau lebih bahkan pada beberapa individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang mengalami penyakit khronis pada sistem pernafasan kardiovaskular. Individu dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan SO 2, meskipun dengan kadar yang relative rendah. Kadar SO 2 yang berpengaruh terhadap gangguan kesehatan adalah sebagai berikut:
Konsentrasi (ppm)
Pengaruhnya
3-5 8-12 20 20 20
Jumlah terkecil yang dapat dideteksi dari baunya Jumlah terkecil yang segera mengakibatkan iritasi tenggorokan Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan iritasi mata Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan batuk Maksimum yang diperbolehkan untuk konsentrasi dalam waktu lama
50-100 400 -500
Maksimum yang diperbolehkan untuk kontrak singkat ( 30 menit ) Berbahaya meskipun kontak secara singkat
Hampir semua organ tubuh mengandung Pb dan kira-kira 90% dijumpai di tulang, kandungan dalam darah kurang dari 1% kandungan dalam darah dipengaruhi oleh asupan yang baru (dalam 24 Jam terakhir) dan Oleh pelepan dari sistem rangka. Manusia dengan pemajanan rendah mengandung 10-30 |ig Pb/100 g darah Manusia yang mendapat pemajanan kadar tinggi mengandung lebih dari 100 jig/100 g darah kandungan dalam darah sekitar 40 jig Pb/100g dianggap terpajan berat atau mengabsorpsi Pb cukup tinggi walau tidak terdeteksi tanda-tanda keluhan keracunan. Terdapat perbedaan tingkat kadar Pb di perkantoran dan pedesaan wanita cenderung mengandung Pb lebih rendah disbanding pria, dan pada perokok lebih tinggi
11
Lampiran 5
dibandingkan bukan perokok. Gejala klinis keracunan timah hitam pada individu dewasa tidak akan timbul pada kadar Pb yang terkandung dalam darah dibawah 80 pg Pb/100 g darah namun hambatan aktivitas enzim untuk sintesa haemoglobin sudah terjadi pada kandungan Pb normal (30-40 pg). Timah Hitam berakumulasi di rambut sehingga dapat dipakai sebagai indikator untuk memperkirakan tingkat pemajanan atau kandungan Pb dalam tubuh Anak-anak merupakan kelompok risika tinggi Gangguan kesehatan adalah akibat bereaksinya Pb dengan gugusan sulfhidril dari protein yang menyebabkan pengendapan protein dan menghambat pembuatan haemoglobin, Gejala keracunan akut didapati bila tertelan dalam jumlah besar yang dapat menimbulkan sakit perut muntah atau diare akut. Gejala keracunan kronis bisa menyebabkan hilang nafsu makan, konstipasi lelah sakit kepala, anemia, kelumpuhan anggota badan, Kejang dan gangguan penglihatan. Inhalasi merupakan satu-satunya rute pajanan yang menjadi perhatian dalam hubungannya dengan dampak terhadap kesehatan. Walau demikian ada juga beberapa senjawa lain yang melekat bergabung pada partikulat.
PENGENDALIAN RISIKO KESEHATAN Untuk mengendalikan pencemaran udara sebab sumber bergerak, perlu ada kebijakan yang harus diimplementasikan berupa: 1. Public transportation sangat diperlukan agar dapat mengurangi macet, penggunaan BBM tidak boros, pencemaran udara dapat dikendalikan. 2. Perbaikan teknologi sumber emisi perlu diupayakan agar emisi dari sumber bergerak tidak mencemari udara. 3. Penyediaan trotoar untuk pejalan kaki perlu diperbaiki agar pejalan kaki merasa nyaman dan aman. Untuk keperluam jarak pendek, masyarakat akan senang berjalan kaki. 4. Pertimbangan antara produksi automotive, panjang jalan, penyediaan BBM, dan pencemaran lingkungan agar seimbang sehingga lingkungan terjaga dari pencemaran perlu adanya sinkronisasi dan harmonisasi dalam penyusunan peraturan perundang- undangan lintas sector. 5. Merawat mesin kendaraan bermotor agar tetap berfungsi baik 6. Melakukan pengujian emisi dan KIR kendaraan secara berkala 7. Memasang filter pada knalpot 8. Memodfikasi pada proses pembakaran
12
Lampiran 5
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Dari Kantor Kepolisian Republik Indonesia, terlihat bahwa jumlah kendaraan bermotor dari tahun ke tahun meningkat terus. Kalau sumber emisinya meningkat, secara logika emisinya juga bertambah. Berdasarkan data dari ASEANAutomotive Federation (AAF), sampai dengan akhir 2012, produksi kendaraan bermotor roda empat di Indonesia telah mencapai 1,065 juta unit. Produksi tahun 2012 tersebut mengalami peningkatan 27%. Zat-zat pencemar udara yang paling sering dijumpai dilingkungan perkotaan adalah: S02, NO dan N02, CO, 03, SPM (^Suspended Particulate Matter) dan Pb(=Lead). Kadar pencemar tersebut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, mengalami perluasan dari kota-kota besar ke kota kota kecil lainnya (tersebar luas). Dari berbagai penelitian telah membuktikan bahwa semua parameter pencemaran udara tersebut berkontribusi terhadap gangguan kesehatan seperti gangguan pemapasan, terjadinya asthma, pneumonia, terjadinya stress, terjadinya gangguan jantung, menyebabkan kematian premature, kelahiran bayi dengan berat badan rendah, meningkatkan kasus cancer.
SARAN Untuk mengendalikan pencemaran udara sebab sumber bergerak, perlu ada kebijakan yang harus diimplementasikan berupa: 1. Public transportation sangat diperlukan agar dapat mengurangi macet, penggunaan BBM tidak boros, pencemaran udara dapat dikendalikan. 2. Perbaikan teknologi sumber emisi perlu diupayakan agar emisi dari sumber bergerak tidak mencemari udara. 3. Penyediaan trotoar untuk pejalan kaki perlu diperbaiki agar pejalan kaki merasa nyaman dan aman. Untuk keperluam jarak pendek, masyarakat akan senang berjalan kaki. 4. Pertimbangan antara produksi automotive, panjang jalan, penyediaan BBM, dan pencemaran lingkungan agar seimbang sehingga lingkungan terjaga dari pencemaran perlu adanya sinkronisasi dan harmonisasi dalam penyusunan peraturan perundang- undangan lintas sector.
13
Lampiran 5
1. Merawat mesin kendaraan bermotor agar tetap berfungsi baik 2. Melakukan pengujian emisi dan KIR kendaraan secara berkala 3. Memasang filter pada knalpot 4. Memodfikasi pada proses pembakaran
DAFTAR PUSTAKA 1. Undang-undang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 163 2. http://apims-doe.Eov.mv/apims/hourlv2.php 3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 4. http://bps.go.id/tab 5ub/view.php?kat=2&tabel=l&daftar=l&id subvek-17¬ab=12 Kantor Kepolisian Republik Indonesia, 5. HADRIANI P. Dampak-Kesehatan-dari-Polusi-Udara-Belakangan-Ini. http://www.tempo.co/read/news/2014/04/19/060571778/ An-Soo Jang; Particulate Air Pollutants and Respiratory Diseases. ( Division of Allergy and Respiratory Medicine, Departement of Internal Medicine, Soonchunhayg, University Hospital, Bucheon, Korea, (http://dx.doi.org/10.5772/51363). ASEAN- German Technical Cooperation CAfSCitAR. Indonesia Country Profile: Focus on Smaller Cities: Clean Air Initiative for Asian Cities (CAI-Asia) Center, 2009. Asia News Network, Indonesia rivals Thailand's auto industry Friday, 25 May 2012 Budi Haryanto (ed) ,2012: Air Pollution - A Comprehensive Perspective. Published by InTech Janeza Trdine 9, 51000 Rijeka, Croatia, http://dx.doi.org/10.5772/259 Center CAIfACC-A. Indonesia: Air Quality Profile-2010 Edition. Pasig City, Philippines: Clean Air Initiative for Asian Cities Center: 2010 Endah Kumala Dewi, Siswi Jayanti, Baju Widjasena, 1999: Hubungan antara Paparan Polusi Udara dengan Kapasitas Paru pada Penyapu Jalan di Kotamadya Semarang. Frost & Sullivan, Changing Face of the ASEAN Automotive Industry through 2015 and beyond, 2012 Gaikindo, 2012; Indonesia motor vehicle population (4-w) category 2000 - 2011. Gunawan, dkk, 1997, Analisis Kerugian Akibat Polusi Udara dan kebisingan lalu lintas, Puslitbang Jalan, p 30-31, Bandung.
14
Lampiran 5
Jantamas Tuntawiroonl, Chulabhom Mahidol2, Panida Navasumritl, Herman Autrup3 and Mathuros Ruchirawatl,4. Increased health risk in Bangkok children exposed to polycyclic aromatic hydrocarbons from traffic-related sources. Carcinogenesis vol.28 no,4 pp.816-822, 2007. doi:10.1093/carcin/bgI175. Advance Access publication October 27, 2006. Kyung Hwa Jung 1, Beizhan Yan 2, Steven N. Chillrud 2, Frederica P. Perera 3, Robin Whyatt 3, David Camann 4, Patrick L. Kinney 3 and Rachel L. Miller 1,3,* Assessment of Benzo (a)pyrene equivalent Carcinogenicity and Mutagenicity of Residential Indoor versus Outdoor Polycyclic Aromatic Hydrocarbons Exposing Young Children in New York City. International Journal of Environmental Research and Public Health ISSN 1660-4601 www.mdpi.com/joumal/ijerph Margherita Ferrante, Maria Fiore, Gea Oliveri Conti, Caterina Ledda, Roberto Fallico and Sciacca; Old and New Air Pollutants: An Evaluation on Thirty Years Experiences . (http://dx.doi.org/10.5772/47820y Masoumeh Rashidi, Mohammad Hossein Rameshat, and Hadi Gharib. Air Pollution and Death Due to Cardiovascular Diseases (case study: Isfahan Province of Iran). (Departement of Geography, and Medicine Geography Researchers, the University of Isfahan, Iran). (http://dx.doi.org/! 0.5772/50416). Nanny Kusminingrum, G. Gunawan, 2008: Polusi Udara Akibat Kendaraan Bermotor Di Jalan Perkotaan Pulau Jawa dan Bali. Pusat Litbang Jalan dan Jembatan Jl. A.H. Nasution 264 Bandung 40294. Nisha Vermaa, Mario Pinka, Albert W. Rettenmeiera, Simone Schmitz-Spankea,b, Benzo[ajpyrenemediated toxicity in primary pig bladder epithelial cells: A proteomic approach. Available online at www.sciencedirect .com, www.elsevier.com/locate/jprot Noverita Dian Takarina 1, Sharfma Tammy Aryanti 2, Mohammad Agung Nugraha 3: Concentration of Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAHs) in the Sediments and Milkfish (Chanos chanos, Forsk) at Marunda and Blanakan Ponds, Indonesia. International Journal of Marine Science 2013, Vol.3, No.13,105-110. http://ijms.sopliiapublisher.com Shanty Syahril, Budy P. Resosudarmo * Haryo Satriyo Tomo. 2002: Study on Air Quality in Jakarta, Indonesia Future Trends, Health Impacts, Economic Value and Policy Options. S.B. Nugroho, A. Fujiwara, and J. Zhang. Spatial and Temporal Analysis of Surface Ozone in Urban Area: Multilevel and Structural Equation Model Approach. Transportation Engineering Laboratory, Graduate School for International Development and Cooperation, Hiroshima University, Japan, Kagamiyama, Higashi Hiroshima, Japan. (http://dx.doi.org/10.5772/50416). Soedomo M., Usman K, Djajadiningrat S T., Darwin, 1990, Model Pendekatan dalam Analisis Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara, Studi Kasus di Jakarta, Bandung dan Surabaya, Penelitian KLH -Jurusan Teknik Lingkungan 1TB, Bandung.
15
Lampiran 5
http://id.wikipedia.ore/wiki/Pencemaran udara; diunduh pada tgl 17 Maret 2014 Thailand Automotive Institute, Thailand Automotive Industry: Moving Ahead with AEC: Opportunities and Challenges, 2012 www.miti.gov.my, Official Portal of Ministry of International Trade and Industry Malaysia, Review of National Automotive Policy, 2009 www.gaikindo.or.id, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Data Statistik Kendaraan Bermotor. www.asean-autofed.com, ASEAN Automotive Federation Yongyong Guo a,l, Xia Huo a,l, Kusheng Wu a,b, Junxiao Liu a, Yuling Zhang a, Xijin Xu a,c Carcinogenic polycyclic aromatic hydrocarbons in umbilical cord blood of human neonates from Guiyu, China.
16
Lampiran 6
LEMBAR PERSETUJUAN PENELITIAN Jakarta; Desember, 2014