KAWISTARA VOLUME 2
No. 3, 22 Desember 2012
DAFTAR ISI
Halaman 225-328
Daftar Isi − i Editorial − ii
Membangun Pariwisata Bersama Rakyat: Kajian Partisipasi Lokal dalam Membangun Desa Wisata di Dieng Plateau ─ 225-237 Destha Titi Raharjana
Partisipasi Anggota Kelompok Tani dalam Menunjang Efektivitas Gapoktan Pada Kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat di Kabupaten Bogor ─ 238-251 Yudhi Harsatriadi Sandyatma dan Sunarru Samsi Hariadi
Identitas Kaum Samin Pasca Kolonia Pergulatan Negara, Agama dan Adat dalam Pro-Kontra Pembangunan Pabrik Semen di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah─ 252-263 Munawir Aziz
Bendera di Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (Kajian Konteks Sejarah, Konteks Budaya, dan Estetika Semiotis) ─264-275 Deni Junaedi
Tradisi “Berzanjen” Masyarakat Banyuwangi Kajian Resepsi Sastra terhadap Teks Al-Barzanji ─ 276-284
Hasim Ashari, Sangidu, Fadli Munawar Manshur, dan Kun Zachrun Istanti
Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Penggunaan Lembaga Bank Syariah: Studi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ─ 285-295 Duddy Roesmara Donna
Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer di Timur Tengah Pasca-Difitisme 1967─ 296-307
Yoyo, Heddy Shri Ahimsa Putra, Fadlil Munawar Manshur, dan Siti Muti’ah Setiawati
Kontinuitas dan Perubahan Makna Lagu Kebangsaan Indonesia Raya ─ 308-321
Wisnu Mintargo, R.M. Soedarsono, dan Victor Ganap
Resensi ─ 322-325 Roberto Akyuwen
Indeks ─ 326-328
i
KAWISTARA VOLUME 2
No. 3, 22 Desember 2012
Halaman 225-328
Editorial
Banyak orang menganggap bahwa yang global dan lokal adalah dua entitas yang saling bersisihan secara paralel sehingga pertemuannya membutuhkan inovasi-inovasi. Seringkali dianggap pula keduanya akan sulit dipertautkan. Komponen makro yang mencirikan modernitas disebut global, sementara yang lokal ditempatkan dalam kategori tradisionalitas yang menempati ruang-ruang mikro, spesifik, dan mengakar dalam posisi-posisi perfiferi. Anggapan tersebut di satu sisi dapat diterima mengingat globalitas dan lokalitas adalah wacana yang dibangun dengan argumen-arguemen yang dibuat masuk akal agar kategori-kategori dapat ditetapkan. Akan tetapi, sebuah pertanyaan lain muncul. Adakah lokalitas yang otonom dari globalitas. Adakah globalitas yang muncul sendiri tanpa intervensi baik ide, gagasan maupun praktik sosial dari lokalitas? Pada dasarnya, yang global dan yang lokal adalah dinamika yang kental bertautan satu sama lain meskipun seringkali karena dominasi-dominasi kekuasaan kultur dominan menyebabkan “merasa” otonomnya yang satu dari yang lain. Tulisan-tulisan pada edisi kali ini menunjukkan hubungan-hubungan historis dan sosial antara yang lokal dan global dalam praktik kehidupan masyarakat yang riil. Hubungan keduanya terlihat dalam berbagai konteks kehidupan. Artikel pertama ditulis oleh Destha Titi Raharjana yang berjudul Membangun Pariwisata bersama Rakyat. Artikel ini menjelaskan turut andilnya masyarakat lokal dengan ciri tradisionalitas. Masyarakat dihadapkan pada pembangunan yang bercirikan modernitas dalam membangun pariwisata di Dieng. Sementara itu, artikel kedua ditulis oleh Yudhi Harsatriadi Sandyatmo dan Sunarru Samsi Hariadi yang mencoba melihat bahwa dalam konteks dunia pertanian, petani memiliki sosial kapital yang kuat dengan berperan sebagai subjek yang aktif dalam membangun penguatan lembaga distribusi pangan di daerah Bogor. Dalam hal ini, petani tidak ditunjukkan sebagai yang bekerja dalam lahan pertanian saja, tetapi terlibat dalam pengorganisasian modern. Artikel ketiga berjudul Identitas Kaum Samin Pasca-Kolonial: Pergulatan Negara, Agama dan Adat dalam Pro-kontra Pembangunan Pabrik Semen di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Kompleksitas muncul ketika masyarakat yang dibahas ini secara luas dianggap sebagai yang anti modernitas. Pergulatan-pergulatan pun terjadi karena benturan-benturan antara gagasan orang Samin dengan pemerintah, perusahaan, dan kekuasaan-kekuasaan yang lain. Tulisan keempat ditulis oleh Deni Junaedi yang membahas tentang identitas Hizbut Tahrir Indonesia, Yogyakarta. Tulisan terfokus pada penggunaan simbol yang dalam hal ini adalah warna bendera. Kajian semiotika dilakukan dengan tujuan mencari makna warna bendera Hizbut Tahrir dan merujuk pada warna bendera yang dipakai oleh Nabi Muhammad pada waktu itu.
ii
Artikel kelima menunjukkan perkawinan antara yang global dan lokal sebagai sebuah narasi khalayak terdapat di dalam tradisi Berzanjen. Artikel ini ditulis oleh Hasim Azhari dan kawan-kawan dengan mencoba mendeskripsikan sambutan terhadap teks Berzanjen yang dilakukan oleh masyarakat Banyuwangi dalam bentuk performing arts yang dimainkan pada saat perkawinan, acara Maulud Nabi, dan sebagainya. Artikel keenam berjudul Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Penggunaan Lembaga Bank Syariah. Penulis mencoba meneliti faktor apa saja yang mempengaruhi penggunaan bank Syariah oleh masyarakat DIY. Fenomena yang menarik adalah bahwa perbankan Indonesia, termasuk di Yogyakarta didominasi oleh perbankan dengan praktik modernitas. Di sisi lain, banyak anggota masyarakat yang menganggap perbankan menjauhkan mereka dari praktik yang seharusnya dari agama. Bagaimana masyarakat menegosiasikan kepentingan modernitas dan pemahaman keagamaan mereka dengan menggunakan bank Syariah menjadi aspek penting untuk dilakukan. Kemudian, artikel ketujuh , yaitu Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer di Timur Tengah Pasca-Difitisme 1967 yang ditulis oleh Yoyo mencoba melihat tren pemikiran ideologis dalam konteks di Timur Tengah. Penulis berargumen bahwa dalam konteks Timur Tengah, pemikiran Islam fundamentalis masih telihat lebih kuat daripada pemikiranpemikiran sekuler yang lain. Artikel kedelapan ditulis oleh Wisnu Mintargo yang mencoba melihat pemaknaan kembali terhadap Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Penulis mencoba melihat kembali bagaimana lagu kebangsaan dalam konteks masa kini? Kontinuitas seperti apa yang dipahami. Tulisantulisan di atas memiliki poin-poin menarik tersendiri dalam mentautkan yang modern dan tradisional.
iii
KAWISTARA VOLUME 2
No. 3, 22 Desember 2012
Halaman 225-328
MEMBANGUN PARIWISATA BERSAMA RAKYAT: KAJIAN PARTISIPASI LOKAL DALAM MEMBANGUN DESA WISATA DI DIENG PLATEAU Destha Titi Raharjana
Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada Email:
[email protected]
ABSTRACT
Development as a process of change in live should involve the communities as integral element. People should not only be regarded as objects of development. The paradigm of the bottom up planning expects people to act as subject and object of development as well. In the context of development of rural tourism, the planning process should involve the local communities from the beginning. Dieng Plateau as a tourist site has a diversity of attractions. The village is designed by local communities to complement the tourist attractions in Dieng. This study focuses on the participation of the Dieng Kulon in developing tourist villages in their neighborhood. Various stages of the planning are done collectively and then practiced together. By applying the methods of action research, this study finds some of the following findings: (1) identification of problems in the development of rural tourism, (2) The mapping the potential of rural tourism, and (3) identification of potential inter-agency networking to support sustainable rural tourism in The Dieng Kulon. Keywords: Community, Participation, Tourism, Rural Tourism , Dieng Plateau
ABSTRAK
Pembangunan yang dipahami sebagai proses perubahan di dalam kehidupan semestinya melibatkan masyarakat sebagai unsur yang tidak terpisahkan. Masyarakat sebaiknya tidak dipandang sebagai objek pembangunan semata. Adanya paradigma bottom up planning mengharapkan masyarakat dapat berperan sebagai subjek sekaligus objek pembangunan. Dalam konteks pembangunan desa wisata, dalam proses perencanaan harus sejak awal melibatkan masyarakat lokal. Dataran Tinggi Dieng sebagai objek wisata memiliki keragaman atraksi. Desa wisata dirancang oleh masyarakat setempat untuk melengkapi atraksi wisata di Dieng. Kajian ini menfokuskan pada proses partisipasi masyarakat Dieng Kulon dalam membangun desa wisata di lingkungan tempat tinggal mereka. Berbagai tahapan perencanaan dikerjakan secara kolektif dan kemudian dipraktekkan bersama-sama. Dengan menerapkan metode action riset, studi ini menemukan beberapa temuan berikut: (a) identifikasi masalah-masalah dalam pengembangan desa wisata, (b) pemetaan potensi desa wisata, dan (c) identifikasi potensi jejaring antar lembaga yang dapat mendukung keberlanjutan desa wisata di Dieng Kulon. Kata Kunci: Masyarakat, Partisipasi, Pariwisata, Desa Wisata, Dataran Tinggi Dieng
225
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 225-237
PENGANTAR
Kawasan Dataran Tinggi Dieng memiliki pesona wisata nan eksotis. Berada diketinggian 2.100 mdpl dengan landscape yang mempesona menjadikannya sebagai pilihan tempat istirahat zaman kolonial hingga sekarang. Udaranya yang sejuk, lingkungan alami didukung ragam potensi alam dan budayanya mampu menyihir orang untuk datang. Asal kata Dieng berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “Di” yang berarti tempat yang tinggi atau gunung dan “Hyang” yang berarti kahyangan. Dari penggabungan kata tersebut, maka dapat diartikan bahwa “Dieng” merupakan wilayah yang tinggi berupa pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam (Sukatno, 2004). Di abad VIII sampai XII Masehi, telah dibangun kompleks percandian seluas 900.000 m2 (Sonjaya, 2005). Kompleks candi Dieng terdiri dari Candi Arjuna, Candi Dwarawati, Candi Gatot Kaca, dan Candi Bima. Kompleks Candi Arjuna terdiri dari Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Komplek Candi Dieng dibangun pada masa agama Hindu, hal ini dapat dilihat dari peninggalan Arca Dewa Siwa, Wisnu, Agastya, dan Ganesha. Semuanya bercirikan Agama Hindu. Candi-candi di Dieng dipercaya sebagai tanda awal peradaban Hindu di Pulau Jawa pada masa Sanjaya pada abad ke-8. Hal ini ditunjukkan dengan adanya gugusan candi di Dieng yang konon untuk memuja Dewa Syiwa. Candicandi tersebut antara lain: Candi Arjuna, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, Candi Sembadra, Candi Gatot Kaca. Sedangkan untuk penamaan candi-candi itu sendiri dipercaya baru dimulai pada abad ke-19. Di kawasan Dieng ini pula sumber mata air Sungai Serayu bermula. Sungai Serayu merupakan sungai yang mengalir di Jawa Tengah bagian Selatan dan bermuara di Cilacap. Bukan itu saja keunikan kawasan Dieng sebagai daerah vulkanik ditandai banyaknya kawah aktif dan diolah sebagai geothermal. Yaitu eksplorasi panas bumi di kawasan Dieng dilakukan PT Geodipa Energi. 226
Dieng Plateau pada zamannya memiliki ekosistem yang unik. Sayangnya, kondisi saat ini sudah berubah. Gambaran indah tempo dulu sudah tidak dapat lagi dijumpai. Ekosistem Dieng telah berubah. Bencana akibat kerusakan lingkungan mendera kawasan yang dulu dikenal sebagai daerah tangkapan air. Pasca-Reformasi perambahan hutan dan kawasan perbukitan terus terjadi akibat tekanan penduduk terhadap lahan yang sangat tinggi (Kedaulatan Rakyat, 16/4/2008). Hal ini diperburuk lagi dengan budidaya pertanian monokultur berupa kentang, sehingga erosi di hulu sangat besar. Beberapa sungai menjadi keruh dan menimbulkan sedimentasi pada hilirnya. Selain itu, terjadi penyusutan debit air secara tajam ketika musim kemarau (Kompas, 3/4/2010) dan pada musim penghujan ditandai dengan banjir besar. Banjir bandang Januari 2000 merupakan dampak nyata dari salah kelola lingkungan. Tidak ada yang menyangka bahwa daerah pegunungan yang berada di ketinggian 2.000 meter dpl dapat diterjang banjir bandang. Musibah itu diakibatkan oleh rusaknya hutan lidung dan puncak Gunung Perahu karena ulah masyarakat (Suara Merdeka, 20/12/2004). Kedaulatan Rakyat (13/3/2003) mewartakan petani dilarang menanam kentang di dataran tinggi. Pihak Perhutani Kedu Utara bersama Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) juga mengeluarkan larangan yang sama bagi petani di Dieng dan memberi jalan lain kepada mereka agar menanam kopi atau salak pondoh di sela-sela tegakan. Kompas (3/4/2010) mengabarkan bahwa saat ini telah tumbuh kesadaran petani untuk memulihkan kondisi lingkungan di Dieng melalui penanaman lima ribu bibit pohon eukaliptus yang cepat tumbuh, dapat menyimpan air, serta bernilai ekonomis tinggi. Selain penyelamatan ekosistem Dieng lewat kaidahkaidah konservasi alam, saat ini diupayakan untuk memberi kesadaran pengembangan pariwisata sebagai penyelamat ekosistem Dieng (Kompas, 23/12/2009). Semenjak krisis ekonomi melanda Indonesia popularitas Dieng menurun hingga
Destha Titi Raharjana -- Membangun Pariwisata Bersama Rakyat: Kajian Partisipasi Lokal dalam Membangun Desa Wisata di Dieng Plateau
awal dekade 2000-an. Sejak itu tampak usaha masyarakat Dieng untuk mengolah aset wisatanya yang sempat terabaikan. Sebagian warga mulai mencari solusi dengan mengembangkan jasa pariwisata di desanya, seperti menyisakan ruang kamar untuk disewakan kepada wisatawan sebagai rumah inap, meskipun mereka juga tetap berprofesi sebagai petani kentang demi kebutuhan ekonomi keluarga. Salah satunya yang dijalankan warga di Dieng adalah mengonservasi alam Dieng dengan aktivitas baru lewat jasa wisata sebagai alternatif mengurangi dampak perusakan ekologis, sekaligus memberdayakan masyarakat lokal sambil tetap menjaga kelestarian budaya. Pariwisata dipandang sebagai satu alternatif sebab pengembangan kawasan wisata dapat melestarikan objek wisata, mendorong pelestarian alam, dan transformasi ekonomi menuju ekonomi berbasis jasa. World Tourism Organization (WTO) pada 1995 menunjukkan bahwa telah muncul perkembangan pariwisata alternatif yang dipandang lebih menghargai lingkungan dan juga kebudayaan masyarakat lokal. Kenyataan tersebut kini memicu kesadaran pembangunan pariwisata yang berwawasan lingkungan sebagai “alternative tourism” (Smith dan Eadington, 1992; Weiler dan Hall, 1992). Pariwisata alternatif dimengerti sebagai pariwisata yang mempertimbangkan pemanfaatan sumber daya alam saat ini untuk generasi mendatang, seperti green tourism; soft tourism; low-impact tourism; eco-tourism; responsible tourism; sustainable tourism; dan lain-lain (Hunter & Green, 1995 dalam Paramita, 1998; Mowforth dan Munt, 1998:156—186). Orientasi pembangunan kepariwisataan perlu menempatkan fakta di atas sebagai pertimbangan pokok dalam menumbuhkembangkan kapasitas dan kapabilitas pada masyarakat (Beeton, 2006). Hal ini dilakukan untuk dapat meningkatkan pelayanan sekaligus merealisasikan peran sentral masyarakat dalam aktivitas pembangunan kepariwisataan sesuai dengan harapan dan kemampuan yang dimiliki. Partisipasi masyarakat dirasa penting untuk
mengambil keputusan dalam pembangunan kepariwisataan maupun manfaat yang akan diterima sebagai implikasi berlangsungnya aktivitas wisata di kawasan pedesaan (Wall, 1995). Di Indonesia pengembangan desa wisata lebih banyak difasilitasi negara, sedangkan masyarakat cenderung pasif. Akibatnya, kapasitas lokal di dalam merespon inovasi yang disponsori oleh negara melalui pembangunan desa wisata masih menghadapi sejumlah persoalan krusial (Damanik, 2009:131-133). Di tingkat global, aktivitas wisata secara massif yang berjalan selama ini dipercaya memunculkan dampak negatif, ditandai dengan berlangsungnya penurunan kualitas lingkungan yang sering dijamah wisatawan (Paramita, 1998). Ada dua hal pokok yang dapat diasumsikan sehubungan dengan pariwisata dan lingkungan. Pertama, lingkungan akan terganggu oleh aktivitas wisata. Tourism dan lingkungan terus berdialektika, yaitu dalam wujud pertentangan atau konflik. Kedua, lingkungan dan pariwisata saling bersinergi dan saling mendukung satu sama lain. Anggapan kedua ini hanya dapat dilakukan apabila stakeholders menyadari bahwa kualitas lingkunganlah yang menjadi dasar nilai jual untuk wisatawan. Dataran tinggi Dieng sebagai kawasan wisata telah mengalami tekanan lingkungan, sehingga upaya pemahaman dampak ekologi sangat mendesak dilakukan. Informasi ekologi menjadi sangat penting bagi pengelola guna mengetahui dinamika kawasan. Informasi ini pada gilirannya bermanfaat untuk menyusun langkah perencanaan pariwisata, seperti perencanaan desa wisata kawasan dataran tinggi Dieng. Desa wisata merupakan suatu wilayah perdesaan yang dapat dimanfaatkan berdasarkan kemampuan unsur-unsur yang memiliki atribut produk wisata secara terpadu, di mana desa tersebut menawarkan secara keseluruhaan suasana yang memilikan tema dengan mencerminkan keaslian pedesaan, baik dari tatanan segi kehidupan sosial budaya dan ekonomi serta adat istiadat keseharian yang mempunyai ciri khas arsitektur dan tata ruang desa menjadi
227
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 225-237
suatu rangkaian aktivitas pariwisata (www. wikipedia.org,2010). Keterlibatan warga dalam pengembangan desa wisata menjadi hal yang penting karena dari wargalah yang lebih mengetahui dan memahami akan potensi wilayahnya. Selain itu, keterlibatan warga ini sangat penting untuk mendapatkan dukungan dan memastikan bahwa hal yang akan diperoleh selaras dengan kebutuhan dan keuntungan warga setempat. Akhirnya, peran warga dalam pembangunan pariwisata sangat mendesak untuk dikembangkan dan ditempatkan sebagai bagian yang terintegrasi. Partisipasi masyarakat hakikatnya bukan semata mendorong terjadinya proses penguatan kapasitas masyarakat lokal, tetapi merupakan sebuah mekanisme guna meningkatan pemberdayaan bagi warga untuk terlibat dalam pembangunan secara bersama. Dalam konteks pembangunan pariwisata, tampaknya partisipasi masyarakat penting untuk terus didorong guna mendistribusi keuntungan-keuntungan dari kegiatan kepariwisataan yang berlangsung kepada masyarakat secara langsung. Semangat desentralisasi dan pemberian kewenangan penuh bagi warga untuk mengelola pariwisata di daerahnya merupakan hal mutlak untuk terwujudnya pariwisata berbasis komunitas. Dengan bottom up planning memaksa komunitas lokal untuk berpikir dan bergerak guna merancang dan memutuskan pola pembangunan pariwisata yang memihak kepentingan komunal. Mubyarto (1988) menegaskan bahwa partisipasi merupakan kesediaan membantu berhasilnya program sesuai dengan kemampuan setiap orang tanpa berarti harus mengorbankan kepentingan sendiri. Partisipasi intinya adalah sikap sukarela dari masyarakat untuk membantu keberhasilan program pembangunan. Selain itu, partisipasi juga dapat dimaknai sebagai bentuk keterlibatan mental sekaligus emosional seseorang dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk ikut serta menyumbangkan kemampuan dalam mencapai tujuan kelompok dan ikut bertanggung jawab atas tujuan kelompok,
228
termasuk pelaksanaan program-program tersebut. Pelibatan ini membuat masyarakat merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap proses keberlanjutan program pembangunan. Pendekatan partisipatif yang dilaksanakan diharapkan akan memberikan ruang bagi perkembangan aktivitas yang berorientasi kompetisi dan tanggung jawab sosial oleh anggota komunitas itu sendiri. Pentingnya partisipasi dalam pembangunan memberikan arti bahwa segala hal yang berkaitan dengan pengambilan kebijakan ekonomi, seperti menarik investor luar, maka harus melibatkan warga (Bryson, 1995;2007). Dalam proses pembangunan ekonomi di wilayah pedesaan warga hendaknya tidak saja dijadikan objek, melainkan sebagai subyek dalam menentukan arah perkembangan masyarakat, sehingga jika warga masyarakat menolak investasi yang masuk, maka pemerintah juga tidak dapat memaksakan kehendaknya. Arnstein (1969:216) menjelaskan bahwa partisipasi warga dapat digambarkan sebagai pendistribusian kekuasaan diantara anggota masyarakat itu sendiri. Lebih lanjut Arnstein memberikan delapan tipologi tingkatan partisipasi masyarakat; manipulasi, terapi, informing, konsultasi, placation, kemitraan, pembagian kekuasan, dan kontrol warga. Sedangkan oleh Pretty (1995) partisipasi masyarakat teridentifikasi menjadi tujuh sesuai dengan derajat tingkatan partisipasi: partisipasi manipulatif, partisipasi pasif, partisipasi dengan konsultasi, partisipasi dalam bentuk material, partisipasi fungsional, partisipasi aktif, dan mobilisasi secara mandiri. Lebih lanjut bahwa hakekat dari partisipasi masyarakat merupakan bentuk peningkatan daya tawar bagi masyarakat itu sendiri, sehingga posisinya menjadi seimbang dengan pemerintah ataupun investor. Hal ini juga berfungsi sebagai kekuatan untuk mengontrol kebijakan yang diambil pemerintah agar terjadi sinergi antara sumber daya lokal, kekuatan politik pemerintah, dan sumber daya dari luar atau investor.
Destha Titi Raharjana -- Membangun Pariwisata Bersama Rakyat: Kajian Partisipasi Lokal dalam Membangun Desa Wisata di Dieng Plateau Tabel 1 Tipologi Normatif dalam Partisipasi Masyarakat Level 1
7. Self-mobilization 6. Interactive participation
8. Citizen control 7. Delegated power 6. Partnership
Spotaneus participation : • Bottom up • Active participation • Direct participation • Participation in decision making • Authentic participation • Self planning
Level 2
5. Fuctional paticipation 4. Participation for material incentives 3. Participation by consultation
5. Placation 4. Consultation 3. Informing
Level 3
2. Passive artisipation 1. Manipulative participation
2. Therapy 1. Manipulation
Level 4
Non-participation Pretty’s (1995) typology of community participation
Arnstein (1969) typology of community participation
Induced participation : • Top down • Passive • Formal • Mostly indirect • Degree of tokenism • Manipulation • Pseudo participation • Participation in implementation and sharing benefits • Choice between proposed alternatives and feedback Coercive participation : • Top down • Passive • Formal • Mostly indirect • Participation in implementation but not necessarily sharing benefits • Choice between proposed limited alternatives or no choice • Paternalism • Non participation • High degree of tokenism and manipulation Tosun’s (1999) typology of community participation
Sumber : diadaptasi dari Tosun(1999)
Pengembangan desa wisata semestinya menerapkan pendekatan community based tourism. Masyarakat berperan penting dalam menunjang pembangunan pariwisata. Sedangkan keterlibatan pemerintah dan swasta sebatas memfasilitasi masyarakat sebagai pelaku utama pengembangan desa wisata. “Pariwisata dari Rakyat, Oleh Rakyat, dan untuk Rakyat” adalah jargon produk masa pemerintahan Gus Dur yang diproduksi untuk menunjukkan perhatian dan dorongan pemerintah kepada masyarakat dalam membangun kepariwisataan. Nilainilai yang mendasari kepariwisataan tidak lain adalah pariwisata yang dijalankan pemerintah selama ini sudah semestinya memang benar-benar dapat memberikan peran total bagi masyarakat yang ujungnya
bermuara pada kesejahteraan rakyat. Sesuai dengan hakikat desa wisata yang semestinya diinisiasi secara intern dan mandiri oleh masyarakat tempatan (lokal) ini berarti bahwa pemerintah, baik tingkat pusat dan daerah hanya sebagai fasilitator. Proses tumbuh dan berkembangnya desa wisata akan bergantung pada masyarakat itu sendiri. Prinsip-prinsip pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism) harus mendasari pengembangan desa wisata. Pengembangan yang melampaui daya dukung akan menimbulkan dampak yang besar tidak hanya pada lingkungan alam, tetapi juga pada kehidupan sosial budaya masyarakat yang pada akhirnya akan mengurangi daya tarik desa tersebut. 229
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 225-237
Beberapa bentuk keterlibatan masyarakat tersebut adalah penyediaan fasilitas akomodasi berupa rumah-rumah penduduk (home stay), penyediaan kebutuhan konsumsi wisatawan, pemandu wisata, penyediaan transportasi lokal, pertunjukan kesenian, dan lain-lain. Pengembangan desa wisata merupakan bagian dari penyelenggaraan pariwisata yang terkait langsung dengan jasa pelayanan yang membutuhkan kerjasama dengan berbagai komponen penyelenggara pariwisata yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat. Upaya membangun pariwisata dengan cara mendorong peran masyarakat menjadi hal vital. Senada dengan ini disampaikan Greffe (1994) dan Gannon (1994) yang menyebutkan bahwa bila pariwisata pedesaan tidak dilandasi oleh perencanaan yang matang, berbagai hal negatif akan terjadi dan dapat mengancam keberlanjutan sumber daya di kawasan pedesaan itu sendiri. Daerah pedesaan dengan berbagai keunikannya, seperti lingkungan yang alami, pemandangan dan bentang alam yang indah, beraneka ragam tumbuhan, masyarakat pedesaan, dan pola hidup mereka yang khas merupakan alternatif untuk memberikan pengalaman ‘lain’ kepada wisatawan dan sekaligus untuk mendiversifikasi produk wisata (Lane, 1994). Berbagai keunikan tersebut telah mendukung berkembangnya pariwisata minat khusus yang lebih dikenal dengan pariwisata pedesaan atau rural tourism. Inskeep (1991) menyebutkan bahwa pariwisata pedesaan “…refers to tourist staying in or near a village, often traditional village in remote areas, learning about the village0 and local cultural way of life and customs, and often participating in some village activities (Chuang dalam Damanik, tt, 2010:1313 dan Kuvacic, dkk dalam Damanik, tt, 2010: 1648) memaknai pariwisata perdesaan dengan menunjukkan suatu lingkungan geografis tempat terjadi/ berlangsungnya aktivitas pariwisata dan karakteristik asli berupa budaya tradisional, budaya pertanian, lanskap pedalaman, dan gaya hidup sederhana. Konteks ruang (space) menjadi penting untuk memosisikan aktivitas
230
dan implikasi perkembangan pariwisata perdesaan. Desa wisata merupakan bentuk alternatif pariwisata yang mampu menyumbang perubahan-perubahan positif terhadap sumberdaya sosial, ekonomi, dan budaya di daerah perdesaaan (Damanik,tt).
PEMBAHASAN
Pengembangan untuk menjadi desa wisata memerlukan kerjasama dan keikutsertaan seluruh masyarakat desa guna memajukannya. Selain itu dalam pengembangan desa wisata memerlukan perencanaan matang sehingga dapat menjadi salah satu objek wisata sehingga menjadi kenangan bagi wisatawan (Permanasari, 2010:64). Segenap program pembangunan termasuk sektor kepariwisataan, seperti yang dijalankan masyarakat di dataran tinggi Dieng diawali dengan perencanaan. Perencanaan pariwisata yang dikerjakan lewat metode partisipatif dengan pelibatan masyarakat secara penuh dalam prosesnya sehingga perencanaannya lebih didasarkan pada kajian-kajian terhadap masalah yang mereka hadapi serta potensi yang tersedia di dalam masyarakat. Metode ini diharapkan akan terjalin hubungan antara masyarakat dengan kelembagaan wisata secara terus menerus. Masyarakat diberi kesempatan untuk menyatakan masalah yang dihadapi dan gagasan-gagasan sebagai masukan untuk berlangsungnya proses perencanaan berdasarkan kemampuan warga masyarakat desa. Itulah makna perencanaan partisipatif. Bila model perencanaan dengan melibatkan segenap warga mencoba menfungsikan kelembagaan setempat secara nyata di dalam menyusun perencanaan pembangunan, khususnya di sektor pariwisata, maka diharapkan masyarakat sanggup melaksanakan, memelihara, dan menindaklanjuti hasil-hasil pembangunan. Bilamana proses perencanaan partisipatif itu dapat berlangsung, maka diharapkan akan mampu meningkatkan peran serta masyarakat, yang berarti pula memberdayakan masyarakat dalam pembangunan desanya.
Destha Titi Raharjana -- Membangun Pariwisata Bersama Rakyat: Kajian Partisipasi Lokal dalam Membangun Desa Wisata di Dieng Plateau
Melalui riset aksi ini, masyarakat Dieng Kulon diajak melakukan teknik perencanaan partisipatif. Dua teknik yang dijalankan, yaitu (a) pemetaan partipatif (participatory mapping) dan (b) menyusun diagram venn hubungan antar-lembaga. Pada teknik pertama dimaksudkan untuk menghasilkan mapping yang meliputi: (i) identifikasi permasalahan, (ii) identifikasi potensi sumberdaya dan peluang pengembangannya, serta (iii) identifikasi potensi pariwisata. Metode yang diterapkan adalah dengan focus group discussion (FGD). Diskusi terfokus dilaksanakan bersama elemen masyarakat meliputi pengelola wisata, perwakilan pengurus desa, dan tokoh masyarakat. Secara gender forum ini juga dihadiri kaum perempuan dan lakilaki. Kegiatan pertemuan dijalankan secara informal dipandu fasilitator. Dalam FGD ini diawali dengan uraian maksud dan tujuan pertemuan yang disampaikan fasilitator. Target dari pertemuan ini adalah diperoleh kesadaran bersama (collectives awarness) akan potensi beserta peluang pengembangan pariwisata berbasis pedesaan yang dimungkinkan dapat dijalankan di wilayah Desa Dieng Kulon khususnya dan Dieng Plateau pada umumnya. Dari rembug bersama diperoleh informasi bahwa dibandingkan tiga empat tahun lampau, ekonomi pariwisata di Dieng Kulon baru diawali dengan beberapa homestay. Homestay merupakan salah satu sarana penunjang pariwisata yang dikelola dengan konsep community based tourism (CBT), artinya masyarakat (pemilik) secara mandiri dan swadaya menyiapkan sebagian kamar dari rumah tinggalnya sebagai tempat inap sementara. Jalinan interaksi sosial yang lebih ditekankan dibandingkan sekedar hubungan bisnis, antara tamu dan tuan rumah. Homestay yang dikembangkan dengan memanfaatkan beberapa ruang kamar untuk disewakan kepada wisatawan yang karena faktor cuaca memaksa mereka tidak mungkin melanjutkan perjalanan pulang. Daerah Dieng Kulon hanya ada satu hotel yang berdiri, yaitu hotel Gunung Mas. Bila peak season hotel tidak sanggup menampung tamu sehingga muncul inisiatif beberapa keluarga untuk membuka
rumahnya sebagai homestay. Ajakan pihak Pemerintah, dalam hal ini Dinas Pariwisata Banjarnegara, ternyata telah menyadarkan warga Dieng Kulon bahwa selain pertanian, warga Dieng masih mendapatkan sesuatu usaha lain, yaitu usaha jasa pariwisata yang dijalankan (homestay). Kini berbagai usaha ekonomi penopang aktivitas pariwisata sudah mulai bergairah dijalankan oleh warga Dieng Kulon. Bukan saja homestay yang awalnya di bawah 10 buah dan kini berkembang lebih menjadi 40 rumah inap telah berjalan. Informasi di akhir tahun 2012 di Dieng Kulon semakin marak perkembangan homestay hingga mendekati 50 buah, dengan berbagai klasifikasi dan fasilitas yang disiapkan masingmasing pemilik. Secara ekonomi memang tampak ada perbaikan dan peningkatan dari adanya kegiatan pariwisata di dataran tinggi Dieng. Kondisi ini menjadikan sebagian dari warga yang tadinya hanya petani kentang juga mulai merambah bisnis homestay sebagai alternatif inkam tambahan. Selain itu di sekitar desa juga sudah banyak warga membuka warung makan, seperti warung nasi padang, nasi rames, warung sate madura, dan warung kelontong yang menjadikan kemudahan bagi wisatawan untuk berbelanja. Gagasan untuk belajar bersama warga Dieng Kulon guna mengelola potensi yang ada di desanya coba dijalankan lewat pertemuan bersama. Peran fasilitator mengajak bersama untuk merefleksikan dan merancang desa wisata secara kolektivitas. Beberapa proses dilakukan dengan cara mengajak warga untuk melakukan beberapa tahap sebagai berikut ini.
Identifikasi Permasalahan: Perspektif Lokal
Upaya mengenali “potensi diri” yang sudah dilakukan secara mandiri merupakan langkah awal yang produktif dilakukan warga Dieng Kulon. Dapat diibaratkan bahwa serpihan-serpihan potensi daya tarik yang terdapat di Dieng Kulon sebagai akar-akar dari sebuah pohon. Itu semua merupakan dasar bagi tumbuhnya batang dan daun serta buah hasil dari sektor 231
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 225-237
pariwisata. Akar pariwisata; seperti kesenian, kerajinan makanan dan non-makanan, aktivitas pertanian, permainan anak atau tradisonal merupakan daya tarik yang dapat dikemas sebagai aset wisata kerakyatan. Akar-akar yang kuat dapat dihasilkan dan dikembangkan secara profesional, bila akar-akar wisata yang diibaratkan tersebut ditopang/didukung dengan batang pohon yang kokoh. Batang pohon inilah yang berfungsi untuk mengarahkan, mengelola, dan mengemas akar-akar wisatanya agar lebih memiliki daya saing. Batang pohon diwujudkan melalui lembaga wisata lokalsemacam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang didorong pemerintah agar di setiap kecamatan atau kawasan wisata dibentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis). Pokdarwis merupakan lembaga sosial yang dibentuk secara bottom up, atas inisiatif warga untuk secara serius mengelola wisata yang terdapat di daerahnya. Adanya kesadaran dalam melihat diri dan lingkungannya merupakan bekal dasar untuk lebih serius menjalankan usaha pariwisata di desa tersebut. Akan tetapi, untuk sebuah langkah yang baru bahwa dari ekonomi pertanian ke ekonomi jasa, tentunya tidak semudah membalik tangan. Warga pun diajak secara kritis mengidentifikasi berbagai permasalahan secara internal dan eksternal yang secara realitas dihadapinya. Dari diskusi yang dilaksanakan, maka diperoleh gambaran permasalahan sebagai berikut ini. Tabel. 2 Klasifikasi Permasalahan di Dieng Kulon Perspektif Masyarakat Aspek Aspek Internal SDM pendukung wisata
Kelembagaan Wisata Lokal
232
Masalah yang Dihadapi Masih dominannya pola pikir sebagai petani dibandingkan sebagai penyedia jasa. Belum memasyarakatnya sadar wisata/ sapta pesona Terbatasnya kesempatan mengikuti pelatihan-pelatihan bidang pariwisata Belum pahamnya pengelola di pokdarwis akan tupoksinya Minimnya akses dan jejaring yang dimiliki pengelola
Aspek Eksternal Aksesibilitas
Sarana Penunjang Wisata Lingkungan
Jalan menuju kawasan Dieng Kulon tidak memungkinkan di lewati bis besar Ada sebagian jalan ke beberapa objek yang rusak parah Jalan setapak ke Candi Dwarawati terganggu pralon yang malang melintang Jalan ke objek sempit, sehingga sulit untuk bersimpangan mobil Atraksi dimalam hari belum dapat dikembangkan Perbukitan didimonasi tanaman kentang, rentan longsor. Tingginya intensitas pemakaian pupuk kimia Penurunan kualitas tanah yang berimbas pada turunnya produktivitas tanaman kentang
Sumber : Dikembangkan dari data primer, 2010
Dari tabel permasalahan di atas, masyarakat melihat dalam mendorong perkembangan pariwisata khususnya di Dieng Kulon dan umumnya di dataran tinggi Dieng terdapat kendala internal dan eksternal yang krusial dan segera perlu diberikan solusi guna mendorong perkembangan desa wisata Dieng Kulon yang terus berjalan. Harapannya adalah pihak pemerintah selaku fasilitator, dapat mencermati dan memberikan solusi lebih lanjut. Fakta ini memperlihatkan pula bila upaya pembangunan desa wisata bukan saja akan berhasil jika dikelola oleh masyarakat, tetapi memerlukan support pihak pemerintah, dalam hal regulasi dan perbaikan infrastruktur serta dukungan pihak swasta dibidang lainnya. Bila koordinasi dapat dilakukan mestinya akan terjadi percepatan dalam pengembangan pariwisata Dieng Kulon dan sekitarnya.
Mapping Potensi Sumberdaya Wisata
Tahap selanjutnya, berbagai potensi sumberdaya yang terdapat di Dieng Kulon, maka hasil curah gagasan bersama ini diketahui adanya klasifikasi sumberdaya yang melingkupi daerahya yang mencakup komponen fisik, biotik, dan sosial budaya seperti tampak ditabel berikut ini.
Destha Titi Raharjana -- Membangun Pariwisata Bersama Rakyat: Kajian Partisipasi Lokal dalam Membangun Desa Wisata di Dieng Plateau
Tabel. 3 Klasifikasi Potensi Dieng Plateau dan Peluang Pengembangannya Komponen Fisik/Alam
Biotik/Vegetasi
Sosial Budaya/ Living Culture
Potensi Daya Tarik Landscape Perbukitan Kawah Air terjun Telaga Kompleks percandian Tanaman Carica Tanaman Khas Purwaceng Terong Belanda Jambu Bunut
Peluang Yang Dapat Dikembangkan Tracking, outbond, pemandu wisata Persewaan binokuler , pemandu wisata Outbond, tracking, pemandu wisata Persewaan alat pancing,wisata air (perahu) Area penjualan hasil bumi khas Dieng. Demplot kebun Carica, Usaha olahan Carica Demplot kebun Purwaceng, Usaha olahan Purwaceng Demplot kebun terong Belanda, Usaha olahan terong Belanda Demplot kebun Jambu bunut
Seni Budaya: Tari Rampak Yakso, Ruawatan cukur rambut anak gimbal
Mengemas paket pertunjukan budaya Mendirikan sanggar tari Mengaktifkan event budaya khas Dieng
Situs budaya Museum
Wisata edukasi : sejarah, arkeologi dan budaya Dieng dan pendidikan energy tentang geothermal
Sumber : Dikembangkan dari data primer, 2010
Dari tabel di atas ternyata ada “kesadaran kolektif” atas potensi yang dapat dikembangkan, bukan saja membuka homestay semata. Atas kesadaran yang dimiliki inilah akan memudahkan untuk mengajak warga merencanakan model desa wisata yang sesuai prinsip lokalitas. Sekaligus mendorong peranserta serta kesiapan warga desa untuk menjadi pelaku usaha jasa, bukan saja berprofesi sebagai petani kentang. Warga pun diajak berpikir bahwa aktivitas yang ke depan dapat dikembangkan bukan saja mengandalkan objek-objek juga khas Dieng, seperti telaga, candi dan kawah, tetapi dengan mengajak wisatawan on site ke kebun kentang, ke dapur, ke tegalan, dan lainnya sehingga ada integrasi antara sektor pertanian dan sektor pariwisata. Ini berarti masuknya pariwisata di desa-desa bukan menggantikan aktivitas ekonomi utama warga, tetapi justru memberikan alternatif tambahan bagi rumah tangga petani dari sektor jasa ini. Bagi wisatawan sendiri, selama mereka tinggal di homestay serta bergaul dan ikut menyelami kehidupan petani Dieng, mereka akan mendapatkan pengalaman batin baru yang sebelumnya belum pernah dialaminya. Dalam pengembangan desa sebagai objek wisata perlu dipahami sejak awal bila masyarakat setempat bukan objek yang pasif namun justru sebagai subjek yang aktif. Sebuah lingkungan perdesaan dapat
dipandang sebagai objek sekaligus subyek wisata. Sebagai objek, artinya desa tersebut merupakan tujuan kegiatan pariwisata, sedangkan sebagai subyek adalah sebagai penyelenggara, apa yang dihasilkan oleh desa akan dinikmati oleh masyarakatnya secara langsung dan peran aktif masyarakat sangat menentukan kelangsungannya (Soebagyo,1991 dalam Raharjana, 2005). Kegiatan yang akan terjalin interaksi wisatawan sebagai tamu dengan masyarakat selaku tuan rumah akan menimbulkan pengalaman budaya. Uraian kegiatan interaksi budaya tersebut dapat terjalin dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, kegiatan hunian masyarakat, baik yang bersifat pribadi ataupun komunal, kegiatan pembinaan, dan pengelolaan untuk memberikan peningkatan sumberdaya manusia dalam hal ketrampilan serta aspek pengelolaan administrasi bagi kegiatan desa ataupun kegiatan wisata itu sendiri, dan terakhir adalah kegiatan wisata. Kegiatan wisata dapat mencakup atraksi dan akomodasi. Kegiatan yang dapat dijadikan atraksi antara lain; kegiatan upacara tradisional, kegiatan kesenian desa, kegiatan olah raga, kegiatan makan-minum, dan lainnya. Sementara untuk akomodasi yang diperlukan untuk tempat tinggal wisatawan yang berkeinginan menetap untuk sementara waktu juga patut diperhatikan. Beberapa tempat tinggal khas yang memungkinkan 233
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 225-237
dapat dikembangkan sebagai sarana akomodasi dengan melakukan perbaikan, menjaga kebersihan sehingga memenuhi standar minimal akomodasi jika dilihat dari segi kesehatan dan kenyamanan, mencakup sirkulasi udara, penyinaran, sanitasi, dan penyediaan sarana MCK.
Pemetaan Partisipatif tentang Atraksi Wisata
Untuk menghasilkan pemetaan atraksi di desa wisata dipakai metode PRA yang dikerjakan bersama warga. Dipahami bersama bahwa hal yang mendorong terjadinya aktivitas wisata adalah ketersediaan objek/atraksi wisata. Something to see – berupa atraksi harus tersedianya agar dapat dijadikan objek wisata. Demikian halnya dengan apa yang dapat disajikan/ditawarkan bagi wisatawan saat mereka live in di homestay. Melalui diskusi bersama warga tampak adanya pemahaman warga desa terkait dengan titik-titik atau objek wisata yang menjadi daya tarik selama ini serta sebaran potensi yang dapat diangkat sebagai daya tarik berbasis pertanian di desa Dieng Kulon. Desa Dieng Kulon yang termasuk dalam kawasan “poros” pariwisata Dieng Plateau sebetulnya memilik posisi yang strategis ditunjang lagi dengan keberadaan sarana penunjang pariwisata yang sebagian berada di wilayahnya, seperti sub terminal, kompleks Candi Arjuna, warung-warung, gedung pertemuan Withliem, dan sarana lainnya. Dapat disebutkan bila area kompleks Candi Arjuna ini sebagai “titik nol” dari awal mula pusat pelayanan wisata untuk area Dieng Plateau. Hasil diskusi bersama diketahui bahwa warga memiliki pemahaman akan sumberdaya/daya tarik yang sering dikunjungi wisatawan atau tempat-tempat di mana para pemandu lokal sering mengajak wisatawannya, seperti ke Candi Arjuna, Bale Kambang, Museum Kailasa, Candi Bima, dan Kawah Sikidang. Telaga Merdada dan objek alam lainnya yang masih masuk wilayah Kab. Banjarnegara. Selain itu dari hasil mapping atraksi wisata ini juga diperoleh adanya pengetahuan mengenai potensi alternatif 234
daya tarik yang terdapat di wilayah kampung atau dengan memanfaatkan sumberdaya pertanian lokal di sana untuk diangkat sebagai atraksi wisata. Jenisnya mencakup pertanian purwaceng, pertanian jambu bunut, terong Belanda, perternakan Dodi-Domba Dieng yang bercirikan bulunya yang tebal, termasuk juga sentra atraksi pembuatan keripik kentang, asinan Carica, dan sebagainya. Hasil mapping bersama warga selanjutnya diolah dan ditampilkan secara grafis sehingga menjadi map sebaran daya tarik objek wisata area Dieng Plateau dan Desa Dieng Kulon, seperti tersaji berikut ini.
Gambar. 1 Mapping Daya Tarik Wisata Desa Wisata Dieng Kulon
Pemetaan Matriks Hubungan Antarlembaga
Langkah ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bahwa dalam membangun pariwisata bukan semata tanggungjawab masyarakat semata, tetapi melalui kerjasama dan kemitraan yang dapat dikembangkan akan mendorong percepatan pelaksanaan pembangunan pariwisata. Termasuk juga di lingkungan perdesaan Dieng Kulon. Untuk saat ini dari identifikasi yang berhasil dikembangkan, masyarakat desa Dieng Kulon juga telah membentuk lembaga pengelola pariwisata yang mereka beri nama Dieng Pandawa. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) demikian lembaga ini berfungsi sebagai mitra pemerintah dan menjadi fasilitator dalam pelaksanaan dan monitoring aktivitas
Destha Titi Raharjana -- Membangun Pariwisata Bersama Rakyat: Kajian Partisipasi Lokal dalam Membangun Desa Wisata di Dieng Plateau
pariwisata yang berlangsung di kawasan Dieng, khususnya yang termasuk di wilayah Kec. Batur Kab. Banjarnegara. Awalnya motivasi untuk menata dan membangun kegiatan wisata lebih berorientasi ke wisata pertanian dilaksanakan warga Dieng Kulon memang masih dapat dikatakan “embrio” termasuk juga dengan terbentuknya Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang diberi nama Dieng Pandawa. Adapun kelompok-kelompok kegiatan yang tergabung dalam Pokdarwis adalah sebagai berikut ini. Ketua
Pokja Home Industry
Pokja Agrowisata
Pokja Souvenir
Pokja Guide
Pokja Seni Tradisional
Pokja Homestay
Pokja Fotografi
Gambar.2 Struktur Kepengurusan Pokdarwis Dieng Pandawa Desa Wisata Dieng Kulon
Selain Pokdarwis dari diskusi bersama warga juga dihasilkan identifikasi lembaga-lembaga lainnya yang ternyata memiliki keterkaitan baik langsung atau tidak dengan masyarakat di desa Dieng Kulon. Bila dicermati lebih lanjut dapat disajikan dalam matriks sebaga berikut ini. Tabel. 4 Keterlibatan Pihak di Desa Wisata Dieng Kulon Lembaga-Lembaga Terkait
Dinas Pariwisata Prov Jawa Tengah Memberikan alokasi dan dukungan dana untuk peningkatan SDM pelaku wisata lokal
Melaksanakan event lomba/kejuruan yang diikuti seluruh desa wisata se-Jawa Tengah
Dinaspar Kab Banjarnegara & UPTD Dieng Menjadi mitra bagi pengelola desa wisata di Dieng Kulon
Memberikan rekomendasi dan fasilitasi pengembangan fisik dan non- fisik kawasan Wisata Dieng yang termasuk wilayah Kab. Banjarnegara
Kementerian Pusat Tahun 2010 memberikan dukungan dalam bentuk pemberian dana hibah melalui PNPM Pariwisata di desa Dieng Kulon dan dua lainnya sekitar desa Dieng Kulon. Melibatkan Dieng Kulon dalam event di tingkat nasional
Sumber : Dikembangkan dari data primer, 2010
SIMPULAN
Kajian menerapkan pendekatan partisipatif (participatory approach). Penerapannya secara khusus diterapkan
Perguruan Tinggi
Pihak Swasta
UGM melaksanakan kajian perencanaan pembangunan desa wisata di Dataran Tinggi Dieng dengan dana dari pihak Kemenbudpar (2008)
Memberikan dukungan dalam bentuk peliputan/ reportase yang dilaksanakan pihak televisi swasta nasional dengan cara shotting di kawasan Dieng sehingga turut mempromosikan Dieng
Pihak UGM melaksanakan KKN tematik Pariwisata selama 3 mulai tahun 2009
Memberikan dukungan material dalam kegiatan social/pariwisata dan budaya yang berlangsung di desa Dieng Kulon. Pihak swasta, seperti PT Geodipa, dan kalangan perusahaan rokok juga pernah memberikan dukungan
pada desa wisata di dataran tinggi Dieng, tepatnya Desa Dieng Kulon Kec. Batur Banjarnegara. Kajian berangkat dari asumsi bahwa keberhasilan pembangunan apapun bentuknya, termasuk pariwisata sudah
235
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 225-237
semestinya melibatkan masyarakat sebagai subjek. Warga setempat diberi hak mutlak untuk ikut menentukan masa depan. Selain itu lewat penerapan metode ini agar tidak ada terjadi kegagalan model pembangunan sebelumnya yang cenderung tidak partisipatif. Oleh karenanya, model kerja partisipatif dalam pendekatan ini dipandang strategis memperbaiki proses perencanaan sebelumnya, atau mengedepankan proses belajar dari dan bersama masyarakat setempat. Dari hasil dialog bersama warga desa Dieng Kulon yang ditunjang dengan berbagai metode pengumpulan data, baik partisipasi observasi, wawancara sambil lalu serta melaksanakan pertemuan kelompok. Dari proses riset aksi ini diperoleh rumusan bahwa eksistensi Dieng Plateau sebagai destinasi nasional bahkan internasional masih mampu menyedot perhatian para pelancong. Meskipun model wisata konvensional dalam bentuk massif tourism- masih mendominasi, tetapi tidak menutup peluang menangkap pewisata minat khusus yang tertarik untuk belajar lebih dekat kehidupan masyarakat desa. Adanya motivasi dan dorongan secara kolektif dari sebagian warga di desa Dieng untuk mengelola pariwisata sebagai respon atas semakin tidak menentunya hasil dari pertanian. Ditingkat komunitas, sudah terbentuk pengelola pariwisata berbasis desa. Kajian ini pula telah melahirkan model perencanaan partisipatif yang hasilnya antara lain dipahaminya berbagai potensi dan permasalahan yang melingkupi perkembangan pariwisata di Dieng, serta diketahuinya hubungan peran dan fungsi antarlembaga yang dpandang memberikan kontribusi bagi pariwisata di Dieng Kulon khususnya dan Dieng Plateau pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arnstein RS, 1969, “A Ladder of Citizen Participation”, Journal of the American Institute of Planners 35: 216-224. Beeton, Sue, 2006, Community Development Through Tourism, Australia: Landlinks Press. 236
Bryson, John M, 1995, Strategic Planning for Public and Non Profit Organizations : A guide to Strengthening and Sustaining Organizational Achievement, JosseyBass Publishers: San Francisco. ______ , 2007, Perencanaan Strategis bagi Organisasi Sosial (terj),Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Chambers, Robert, 1997, PRA: Memahami Desa Secara paritisipatif, Yogyakarta: Kanisius. Damanik, Janianton, 2009, “Isu-Isu Krusial Dalam Pengelolaan Desa Wisata Dewasa Ini”, Jurnal Kepariwisataan Indonesia 5 (3): 127-137. ______ , tt, Negara sebagai Sponsor Pengembangan Desa Wisata, kertas kerja. Lane, 1994, “ What is Rural Tourism”, Journal of Sustainable Tourism, 2:7-21. Mowforth, Martin dan Ian Munt, 1998, Tourism and Sustainability: New Tourism in the Third World, London: Routledge. Mubyarto, 1988, Sistem dan Moral Ekonomi Pancasila, Jakarta: LP3ES. Paramita, Marsongko, 1999, “Re-Orientasi & Rekayasa Bio-Diversity (Green Tourism) Terhadap Pengembangan Produk Wisata”, makalah Diskusi Panel “Pembangunan Kepariwisataan Terhadap Isu Lingkungan”, Dies Natalis Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung ke-35. Permanasari, Ika, 2010, “Pengentasan Kemiskinan Melalui Pemberdayaan Masyarakat di Desa Wisata”, Jurnal Kepariwisataan Indonesia 5 (1): 57-69. Pretty J, 1995, “The Many Interpretations of Participations”, Focus 16:4-5. Sonjaya, Jajang Agus, 2005, “Pengelolaan Warisan Budaya di Dataran Tinggi Dieng”, Tesis. Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Tidak dipublikasikan.
Destha Titi Raharjana -- Membangun Pariwisata Bersama Rakyat: Kajian Partisipasi Lokal dalam Membangun Desa Wisata di Dieng Plateau
Sukatno, Otto, CR, 2004, Dieng Poros Dunia : Menguak Jejak Peta Surga yang Hilang. Yogyakarta : IRCiSOD. Raharjana, Destha T, 2005, Pengembangan Desa Wisata Berbasis Budaya: Kajian Etnoekologi Masyarakat Dusun Ketingan, Tirtoadi, Mlati Sleman DIY, Tesis Master, Program Studi Ilmu Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Tidak dipublikasikan. Smith dan Eadington, 1992, Tourism and Alternatives, Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Surat kabar
Kedaulatan Rakyat, 12 Maret 2003, “Dataran Tinggi Dieng Pasca-Reformasi (1): Telaga dan Satwa Liar ikut ‘Menghilang’”, halaman 7. Kedaulatan Rakyat, 13 Maret 2003, “Dataran Tinggi Dieng Pasca Reformasi (2): Petani Nekad tanam Kendang di Area Hutan”, hlm: 7. Kedaulatan Rakyat, 12 April 2008, “Menata Objek Wisata, Menjual Legenda Dieng”, hlm: 11. Kompas,
15 September 2003, “Dieng berpotensi sebagai Daerah Tujuan Wisata Internasional”, hlm: 17.
Tosun C, 1999, “Towards a typology of community participation in the tourism development Process”, International Journal of Tourism and Hospitality 10:113-134.
Kompas, 23 Desember 2009, “harapan Baru Menyelamatkan Dieng”, Teropong, hlm: 40.
Weiler dan Colin Michael Hall, 1992, “Introduction: What’s Special About Special Interest Tourism”, dalam Special Interest Tourism, London: Belhaven Press.
Suara Merdeka, 20 Desember 2004, “Bencana di Wonosobo dan Dieng”, hlm: 1.
Kompas, 3 April 2010, “Dieng: Krisis Air akibat Pestisida”, hlm: 23.
237
KAWISTARA VOLUME 2
No. 3, 22 Desember 2012
Halaman 225-328
PARTISIPASI ANGGOTA KELOMPOK TANI DALAM MENUNJANG EFEKTIVITAS GAPOKTAN PADA KEGIATAN PENGUATAN LEMBAGA DISTRIBUSI PANGAN MASYARAKAT DI KABUPATEN BOGOR Yudhi Harsatriadi Sandyatma
Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian Email:
[email protected]
Sunarru Samsi Hariadi
Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Email:
[email protected]
ABSTRACT
This study aims at evaluating participation of the Farmer Group Association (Gapoktan) members and factors affecting their participation in the Food Community Distribution Institution Program (Penguatan-LDPM). It also examines impacts of the members’ participation toward the effectiveness of Gapoktan involvement in the program. The study was conducted in Bogor, West Java. It used mixed methods: qualitative and quantitative. The total samples were 91 respondents and 15 informants. The sampling technique used was proportionate stratified random sampling and purposive techniques respectively. The results showed that level of members’ participation in the program was low. Factors that significantly affected their participation included age, income, motivation, and intensity of activity socialization received. In terms of target achievement, members’ participation has a positive impact on the effectiveness of the association. Keywords: Participation, Farmers Group Association, Effectiveness, the Food Community Distribution Institution Program
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat partisipasi anggota Gapoktan penerima Kegiatan PenguatanLDPM, faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi anggota Gapoktan dalam Kegiatan Penguatan-LDPM, dan pengaruh partisipasi anggota Gapoktan terhadap efektivitas Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat dengan menggunakan metode penelitian kombinasi kualitatif dan kuantitatif (mixed methods) dengan jumlah sampel sebanyak 91 responden dengan teknik proportionate stratified random sampling dan 15 informan secara purposive. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat partisipasi anggota Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM adalah rendah. Faktor-faktor yang signifikan berpengaruh terhadap partisipasi anggota Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM adalah usia, pendapatan, motivasi, dan intensitas menerima sosialisasi kegiatan. Terkait dengan efektivitas Gapoktan yang dilihat dari proses mencapai tujuan, partisipasi anggota Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM berpengaruh positif terhadap efektivitas Gapoktan. Kata Kunci: Partisipasi, Gapoktan, Efektivitas, Penguatan-LDPM
238
Yudhi Harsatriadi Sandyatma --Partisipasi Anggota Kelompok Tani dalam Menunjang Efektivitas Gapoktan pada Kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat di Kabupaten Bogor
PENGANTAR
Pada tahun 2009 Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian mencanangkan kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (Penguatan-LDPM). Kegiatan ini muncul sebagai salah satu solusi dalam mengatasi berbagai masalah ketahanan pangan yang berkembang dewasa ini. Selain itu juga, sebagai respon terhadap adanya perubahan lingkungan strategis secara global yang ditandai oleh pergerakan harga-harga pangan strategis, kenaikan harga minyak bumi dunia, perubahan iklim dan pemanasan global, maupun sebagai dampak dari krisis finansial global yang mempengaruhi daya beli konsumen miskin, dan meningkatnya kerawanan pangan terutama di negaranegara berkembang (Satria dkk, 2008). Kegiatan Penguatan-LDPM bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan: (1) kemampuan kelembagaan Gabungan Kelompoktani (Gapoktan), (2) unit usaha distribusi dan pengolahan hasil pertanian dalam rangka mendorong stabilisasi harga pangan strategis, (3) kemampuan unit usaha distribusi pemasaran Gapoktan dan memperluas jejaring pemasaran dengan mitra di luar wilayahnya, dan (4) unit cadangan pangan dengan tersedianya gudang Gapoktan untuk menyimpan gabah/beras dalam rangka memenuhi kebutuhan anggotanya (BKP, 2009). Sasaran dari pelaksanaan kegiatan PenguatanLDPM tahun 2009 adalah 546 Gapoktan di 27 provinsi sentra produksi padi dan atau jagung. Setiap Gapoktan akan memperoleh dana Bansos senilai Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Dana tersebut dipergunakan sebagai berikut: (1) pembangunan/rehabilitasi gudang maksimal Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) sebagai sarana penyimpanan gabah/beras/jagung; (2) pembelian dan pengolahan gabah/beras/jagung dari petani; dan (3) penyediaan cadangan pangan bagi anggota yang miskin. Berangkat dari kondisi tersebut, partisipasi elemen kelembagaan petani sasaran penerima manfaat seperti petani, kelompoktani, dan Gapoktan diperlukan dalam menentukan keberhasilan kegiatan ini. Partisipasi petani
yang tergabung dalam wadah Gapoktan menjadi penting posisinya dalam kegiatan Penguatan-LDPM karena keterlibatan aktif dan kerjasama yang dilakukan baik dengan sesama anggota maupun pengurus Gapoktan akan menentukan kinerja efektivitas Gapoktan itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian Goldsmith dan Blustain (Ndraha, 1990) mengambil lokasi penelitian di Jamaika bahwa anggota masyarakat termasuk petani di dalamnya akan tergerak berpartisipasi jika: (1) partisipasi dilakukan melalui organisasi atau kelompok yang sudah dikenal atau yang sudah ada di tengah-tengah masyarakat; (2) partisipasi memberikan manfaat kepada masyarakat yang bersangkutan; (3) manfaat yang diperoleh melalui partisipasi tersebut dapat memenuhi kepentingan masyarakat yang bersangkutan; dan (4) dalam proses partisipasi terjamin adanya kontrol yang dilakukan oleh masyarakat. Lebih lanjut Husodo (2006) mengemukakan bahwa partisipasi akan efektif apabila dilaksanakan secara kolektif dalam wadah kelompok. Hal demikian akan menghasilkan sinergi yang pada gilirannya akan menghasilkan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati oleh semua pihak. Adapun wujud partisipasi yang dapat diberikan oleh anggota Gapoktan pada suatu kegiatan yaitu: ide/gagasan, keterampilan, tenaga, harta benda, dan uang (Hamidjoyo, 1991). Setiap anggota Gapoktan yang berperan serta aktif pada kegiatan di Gapoktan akan memberikan kontribusi yang berbeda sebagaimana yang diungkapkan oleh Daniel et al (2006) bahwa tingkat partisipasi petani sebagai anggota masyarakat tidak sama tergantung sejauh mana keterlibatan petani tersebut dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Mardikanto (2007) mengemukakan bahwa partisipasi adalah suatu bentuk keterlibatan dan keikutsertaan secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari dalam (intrinsik) maupun dari luar (ekstrinsik) dalam keseluruhan proses kegiatan yang mencakup: pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, serta pemanfaatan hasil kegiatan
239
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 238-251
yang dicapai. Berbagai studi penelitian terdahulu menghasilkan bahwa faktor internal yang mempengaruhi partisipasi anggota Gapoktan pada suatu kegiatan adalah usia, pendapatan, dan motivasi (Pudjianto, 2009; Husodo, 2006), sedangkan faktor eksternal atau faktor diluar diri yang mempengaruhi partisipasi anggota Gapoktan pada suatu kegiatan antara lain: peranan penyuluh, intensitas menerima sosialisasi kegiatan, kepemimpinan Gapoktan, dan kepemimpinan kelompoktani (Pudjianto, 2009; Tjokroamidjojo, 1996). Faktor-faktor tersebut juga diduga mempengaruhi partisipasi anggota Gapoktan pada kegiatan Penguatan-LDPM. Peran serta dan keterlibatan aktif anggota Gapoktan pada kegiatan Penguatan-LDPM sendiri akan menentukan keberhasilan Gapoktan dalam mencapai tujuannya sebagaimana yang diungkapkan oleh Steers (1985). Efektivitas Gapoktan pada dasarnya ditentukan dari akumulasi efektivitas yang dilakukan oleh anggotanya. Dengan kata lain, apabila setiap anggota Gapoktan berkoordinasi melakukan tugas dan pekerjaannya masing-masing dengan baik, maka efektivitas Gapoktan secara keseluruhan akan muncul. Namun demikian prestasi seorang anggota Gapoktan tidak juga dapat dikatakan sebagai keberhasilan atau keefektifan Gapoktan secara keseluruhan. Untuk menilai apakah suatu Gapoktan dikatakan efektif atau tidak, maka secara keseluruhan ditentukan oleh tercapai tidaknya tujuan Gapoktan itu sendiri menurut kolektivitas anggotanya dan kepuasan anggotanya. Berdasarkan kondisi di atas, menarik untuk dikaji lebih mendalam beberapa permasalahan yang juga menjadi fokus perhatian dalam penelitian tentang Kegiatan Penguatan-LDPM ini, yaitu (1) Bagaimana tingkat partisipasi anggota Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM?; (2) Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi anggota Gapoktan?; (3) Bagaimana hubungan antar berbagai faktor yang mempengaruhi partisipasi anggota
240
Gapoktan?; (4) Bagaimana pengaruh partisipasi anggota Gapoktan terhadap efektivitas Gapoktan yang dilihat dari sisi kepuasan anggota Gapoktan dan proses mencapai tujuan Gapoktan yang meliputi: (1) proses tersalurkannya dana bansos untuk pembangunan gudang Gapoktan, (2) proses meningkatnya perputaran aktivitas pembelian gabah/beras Gapoktan dari petani, dan (3) proses tersedianya cadangan pangan untuk memenuhi kebutuhan anggotanya?; dan (5) Bagaimana efektivitas Gapoktan dilihat dari aspek pengembangan lembaga Gapoktan?. Tulisan ini menggunakan mixed methods sebagai metode dasar, di mana metode kuantitatif didukung oleh metode kualitatif yang digunakan keduanya secara simultan atau bersamaan. Metode kualitatif dalam penelitian ini berfungsi untuk menjelaskan temuan-temuan kuantitatif (Tashakkori dan Teddlie, 2010). Penelitian ini mengambil sampel 91 responden dan 15 informan di Gapoktan Mitra Sari, Kecamatan Pamijahan dan Gapoktan Subur Tani, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor. Penentuan sampel responden menggunakan teknik proportionate stratified random sampling, sedangkan penentuan informan ditentukan secara purposive sesuai dengan kriteria informan yang mengetahui dan paham tentang kegiatan Penguatan-LDPM. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini: menggunakan kuesioner, pengamatan langsung, wawancara mendalam, dokumentasi, dan studi pustaka. Adapun untuk menganalisis data terdapat 5 (lima) cara yang digunakan. Pertama, analisis interval kelas untuk menguji hipotesis tentang tingkat partisipasi anggota Gapoktan. Penentuan interval kelas menggunakan rumus sebagaimana digunakan oleh Nazir bahwa interval kelas merupakan hasil bagi antara range (nilai maksimal – nilai minimal) dengan jumlah interval kelas yang diinginkan dalam hal ini rendah, sedang, dan tinggi (Nazir, 2003). Kedua, analisis regresi linear berganda untuk menguji hipotesis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi
Yudhi Harsatriadi Sandyatma --Partisipasi Anggota Kelompok Tani dalam Menunjang Efektivitas Gapoktan pada Kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat di Kabupaten Bogor
anggota Gapoktan pada Kegiatan PenguatanLDPM. Hipotesis model yang dikembangkan adalah sebagai berikut: Y = bo + b1 X1 + b2 X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6+ b7X7 + e Di mana: Y : Partisipasi anggota Gapoktan pada Kegiatan PenguatanLDPM bo : Intersep b1 – b7 : Koefisien regresi variabel X1-X7 X1 : Usia X2 : Motivasi X3 : Pendapatan X4 : Peranan penyuluh X5 : Intensitas menerima sosialisasi kegiatan X6 : Kepemimpinan Gapoktan X7 : Kepemimpinan kelompoktani e : galat Ketiga, Sebagai pengembangan dari hasil model regresi linear berganda dan untuk mengetahui besarnya hubungan pengaruh baik langsung maupun tidak langsung diantara variabel-variabel, maka digunakan analisis jalur (path analiysis). Keempat, analisis regresi linear sederhana
digunakan untuk menguji hipotesis tentang pengaruh partisipasi anggota Gapoktan terhadap efektivitas Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM. Kelima, model interaktif yang digunakan untuk menganalisis efektivitas Gapoktan dari segi pengembangan lembaga Gapoktan secara kualitatif. Menurut Miles dan Huberman (Salim, 2006) komponenkomponen analisis data yang dilakukan mencakup pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan secara interaktif saling berhubungan selama dan sesudah pengumpulan data.
PEMBAHASAN Tingkat Partisipasi Anggota Gapoktan Pada Kegiatan Penguatan-LDPM
Partisipasi anggota Gapoktan adalah peran serta atau keterlibatan anggota Gapoktan penerima Program Dana Bansos Kegiatan Penguatan-LDPM pada tahap perencanaan, pelaksananaan, pemantauan dan evaluasi, serta pemanfaatan hasil baik dalam wujud ide, tenaga, dan materi. Pengertian ini mengadopsi dari konsep yang diungkapkan oleh Yadav (Mardikanto, 1987) yang membagi partisipasi dalam empat tingkatan kegiatan pembangunan yang meliputi: tahap perencanaan, pelaksananaan, pemantauan serta evaluasi, dan pemanfaatan hasil.
Tabel 1. Tingkat Partisipasi Anggota Gapoktan pada Kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat Pertahap Kegiatan di Kabupaten Bogor No 1 2 3 4 5
Tahap Perencanaan Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi Pemanfaatan Hasil Partisipasi Keseluruhan
Skor Rata-Rata (a) 12,85 8,22 13,59 3,03 37,69
Maksimal (b) 47 34 54 18 153
Tingkat Partisipasi Anggota Gapoktan ( c ) = a/b x 100% 27,33 24,18 25,17 16,85 24,63
Sumber: Data Primer, 2012
241
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 238-251
Hasil penelitian sebagaimana terangkum dalam Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi anggota Gapoktan secara menyeluruh mulai dari tahap perencanaan hingga pemanfaatan hasil masih tergolong rendah yaitu sebesar 24,63 persen. Kondisi tersebut disebabkan sebagai berikut: (1) minimnya sosialisasi kegiatan yang diberikan ketua beserta pengurus Gapoktan dan penyuluh selaku pendamping kepada anggota Gapoktan, (2) banyaknya anggota Gapoktan yang jarang bahkan tidak hadir pada rapat-rapat yang diselenggarakan pada masing-masing kegiatan di setiap tahap, dan (3) kontribusi yang diberikan oleh anggota Gapoktan baik dalam bentuk ide, tenaga, maupun materi secara keseluruhan juga rendah. Tahap pemanfaatan hasil dan tahap pelaksanaan perlu mendapat perhatian khusus mengingat tahap tersebut berada di bawah rata-rata secara keseluruhan terutama partisipasi anggota Gapoktan pada tahap pemanfaatan hasil yang hanya mencapai 16,85 persen. Penyebabnya adalah rendahnya anggota Gapoktan memberikan sumbangan ide, tenaga, dan materi terutama dari sisi kontribusi ide atau gagasan. Anggota Gapoktan mayoritas enggan untuk menyebarluaskan informasi manfaat dari kegiatan Penguatan-LDPM kepada sesama anggota yang pasif atau petani yang belum bergabung dalam Gapoktan karena minimnya sosialisasi pada tahap ini yang diberikan oleh ketua Gapoktan atau penyuluh baik secara formal maupun informal. Minimnya sosialisasi tersebut diiringi juga rendahnya partisipasi secara materi. Anggota Gapoktan meskipun sudah memperoleh keuntungan dari aktivitas penjualan gabah/beras ke Gapoktan, tetapi tidak mau mengisi uang kas ke Gapoktan. Keengganan tersebut dikarenakan mengetahui sesama anggota lainnya tidak mengisi uang kas Gapoktan ditambah lagi tidak adanya sanksi dari Gapoktan itu sendiri. Di sisi lain, keuntungan yang diperoleh Gapoktan dari usaha jual/beli gabah beras anggotanya tidak diinformasikan kepada anggotanya. Kurangnya keterbukaan
242
Ketua dan Pengurus Gapoktan dalam menginformasikan keuntungan dari usaha Gapoktan sebagai bagian dari manfaat yang dapat diperoleh anggota menambah argumen partisipasi anggota Gapoktan pada tahap ini menjadi rendah. Pada tahap pelaksanaan, partisipasi anggota Gapoktan pada kegiatan PenguatanLDPM rendah karena sosialisasi kegiatan yang diberikan hanya sebatas kepada orangorang yang dekat baik dari segi kedekatan hubungan maupun tempat tinggal yang berdekatan dengan pengurus. Rendahnya sosialisasi terhadap pelaksanaan kegiatan kemudian berdampak pada rendahnya kontribusi secara materi yang diberikan oleh anggota Gapoktan seperti dalam hal; (1) memberikan bantuan semen, batu bata/batako, kayu, asbes/genteng, paku, kawat, besi untuk pembangunan gudang Gapoktan, (2) mengeluarkan uang untuk membeli makanan dan minuman pada saat pembangunan gudang Gapoktan, dan (3) menjual gabah/beras ke Gapoktan. Kondisi tersebut dikarenakan pendapatan perbulan mayoritas anggota Gapoktan (62,64 persen) yang hanya berkisar antara Rp400.000,00 sampai dengan Rp1.299.999,00. Anggota Gapoktan enggan untuk berkontribusi karena lebih memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari keluarganya. Bentuk partisipasi yang kebanyakan diberikan oleh anggota Gapoktan pada tahap pelaksanaan dalam bentuk tenaga meliputi: (1) mengajak sesama anggota Gapoktan untuk bergotong-royong dalam pembangunan gudang Gapoktan, (2) ikut serta membangun gudang Gapoktan, dan (3) membantu Gapoktan mengumpulkan gabah/beras yang dibeli dari anggota. Anggota Gapoktan akan sukarela dan lebih banyak mengerahkan tenaganya yang mengandalkan kekuatan fisik dibandingkan memberikan sumbangsih pemikiran terlebih materi seiring dengan hasil studi yang dilakukan oleh (Tanjungsari, 2010). Pada tahap perencanaan, meskipun secara persentase tertinggi di atas semua tahap yaitu sebesar 27,33 persen, tetapi
Yudhi Harsatriadi Sandyatma --Partisipasi Anggota Kelompok Tani dalam Menunjang Efektivitas Gapoktan pada Kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat di Kabupaten Bogor
partisipasi anggota Gapoktan pada tahap ini masih tergolong rendah. Beberapa peran serta dilakukan anggota Gapoktan pada tahap ini antara lain: (1) menghadiri rapat perencanaan kegiatan, (2) menginformasikan jumlah anggota yang miskin, (3) menginformasikan perkiraan biaya pembangunan gudang, (4) memberikan ide dalam merancang bentuk bangunan gudang Gapoktan, dan (5) memberikan informasi rata-rata hasil panen. Adapun penyebab rendahnya tingkat partisipasi pada tahap ini adalah sikap pengambil keputusan yaitu ketua Gapoktan dan pengurus tentang rencana kegiatan yang seringkali tidak menampung aspirasi anggotanya. Kondisi tersebut kemudian membuat anggota Gapoktan jarang memberikan informasi tentang perencanaan kegiatan Penguatan-LDPM karena hal tersebut selain tidak akan diperhatikan oleh ketua beserta pengurus Gapoktan juga anggota Gapoktan beranggapan bahwa hal tersebut dapat dilakukan oleh ketua maupun pengurus Gapoktan. Hasil penelitian ini seiring dengan studi yang dilakukan oleh Arifah (2002) bahwa meskipun petani mempunyai kesempatan yang sama dalam mengeluarkan pendapat ketika menyusun rencana, tetapi tidak semua terdorong untuk memberikan kontribusi. Tingkat keterlibatan anggota Gapoktan pada tahap pemantauan dan evaluasi hanya mencapai 25,17 persen. Rendahnya tingkat partisipasi tersebut dikarenakan anggota Gapoktan minim memberikan kontribusi dalam hal, yaitu (1) menilai atau memberi masukan terhadap kinerja ketua dan pengurus Gapoktan serta penyuluh sebagai pendamping kegiatan Penguatan-LDPM agar usaha Gapoktan dapat berkembang, (2) membantu Gapoktan untuk mengingatkan kepada sesama anggota untuk tidak menjual gabah/beras ke tengkulak, dan (3) hadir dalam rapat anggota tahunan Gapoktan.
Hal lain yang menyebabkan rendahnya partisipasi anggota Gapoktan pada tahap ini adalah mereka enggan dalam membantu ketua Gapoktan dalam pembuatan laporan bulanan hasil kegiatan Penguatan-LDPM. Anggota Gapoktan beranggapan bahwa pihak yang lebih banyak berkepentingan dalam tahap ini adalah ketua dan pengurus Gapoktan, serta penyuluh pertanian yang berfungsi sebagai pendamping kegiatan, dan Tim Teknis Kabupaten. Hasil studi pada tahap pemantauan dan evaluasi ini sama halnya dengan yang dilakukan oleh Swedianti (2011); Pudjianto (2009); dan Arifah (2002).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Anggota Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi partisipasi anggota Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM adalah usia, motivasi, pendapatan, peranan penyuluh, intensitas menerima sosialisasi kegiatan, kepemimpinan Gapoktan, dan kepemimpinan Kelompoktani. Untuk menganalisis faktor-faktor tersebut, maka digunakan program Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) 16 dengan metode backward. Metode pengolahan data dengan cara ini adalah memasukan semua variabel bebas yang diduga berpengaruh secara keseluruhan, kemudian secara otomatis program SPSS 16 akan menghilangkan satu persatu variabel bebas yang tidak signifikan berpengaruh. Dari 7 (tujuh) variabel yang diduga mempengaruhi partisipasi anggota Gapoktan pada kegiatan Penguatan-LDPM, variabel peranan penyuluh, kepemimpinan Gapoktan, dan kepemimpinan Kelompoktani tidak berpengaruh, sehingga keluar dari model. Adapun hasil analisis yang mempengaruhi partisipasi anggota Gapoktan pada kegiatan Penguatan-LDPM sebagaimana terlihat pada Tabel 2.
243
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 238-251
Tabel 2. Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Mengenai Faktor-Faktor Berpengaruh Signifikan terhadap Partisipasi Anggota Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM (Model 4) No 1 2 3 4
Variabel konstanta Usia (X1) Motivasi (X2) Pendapatan (X3) Intensitas menerima sosialisasi kegiatan (X5)
Keterangan: N :91 R :0,990 R Square :0,979 Adjusted R Square :0,979 F-hitung :1.027,201 F-tabel α = 0,05 :2,4953 t-tabel α = 0,05 :1,99133 sig :0,000 Persamaan Model: Y = -0,426X1 + 0,123X2 + 0,00004506X3 + 0,313X5 Sumber: Data Primer, 2012 diolah dengan SPSS 16 (Model Backward)
Berdasarkan hasil analisis sebagaimana tercantum pada Tabel 2, nilai R Square sebesar 0,979 menunjukkan bahwa variabel bebas yaitu usia, pendapatan, motivasi, dan intensitas menerima sosialisasi kegiatan dapat menjelaskan variabel terikat yaitu partisipasi anggota Gapoktan pada Kegiatan PenguatanLDPM sebesar 97,9 persen, sedangkan sisanya 2,1 persen dijelaskan faktor-faktor lainnya di luar model. Hasil analisis juga memperlihatkan faktor usia berpengaruh negatif sedangkan faktor motivasi, pendapatan, dan intensitas menerima sosialisasi kegiatan berpengaruh positif terhadap terhadap partisipasi anggota Gapoktan pada kegiatan Penguatan-LDPM. Nilai koefisien regresi usia sebesar -0,426 menunjukkan bahwa semakin muda usia anggota Gapoktan, maka terjadi peningkatan partisipasi sebesar 0,426 satuan. Anggota Gapoktan yang memiliki motivasi kuat akan meningkatkan partisipasinya pada kegiatan penguatanLDPM guna memenuhi kebutuhan seperti sandang, pangan, papan (existence), berhubungan sosial (relatedness), dan mengembangkan kemampuan diri (growth) 244
Koefisien Regresi 1,937 -0,426 0,123 0,00004506 0,313
t-hitung 0,229 3,480 2,064 17,137 3,027
Sig 0,819 0,001 0,042 0,000 0,003
sebagaimana yang dikonsepsikan oleh Alderfer (Umstot, 1988). Keinginan dan dorongan yang kuat dari anggota Gapoktan untuk berpartisipasi pada kegiatan Penguatan-LDPM dalam memenuhi kebutuhan akan existence antara lain: keinginan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, hasil panen, memperoleh kepastian harga jual gabah/ beras, dan bebas dari rasa kuatir gagal panen. Adapun motivasi anggota Gapoktan yang kuat untuk berpartisipasi pada kegiatan penguatan-LDPM dalam rangka memenuhi kebutuhan berhubungan sosial (relatedness) di antaranya keinginan untuk sebagai berikut: (1) meningkatkan kerjasama dengan petani, maupun pengurus Gapoktan/ Kelompoktani; (2) diperhatikan pada saat berhubungan dengan petani maupun pengurus Gapoktan/ Kelompoktani; (3) selalu berhubungan dengan ketua Gapoktan untuk memperoleh informasi terbaru tentang kegiatan Penguatan-LDPM; dan (4) bekerjasama dengan penyuluh sebagai pendamping untuk mengembangkan usaha dalam kegiatan Penguatan-LDPM. Di sisi lain, keinginan dan dorongan yang kuat dalam hal: keinginan untuk menjadi orang yang berguna bagi masyarakat terutama petani di desanya; menerapkan pengetahuan yang diberikan oleh penyuluh; menambah wawasan dan pengetahuan dari penyuluh; dan mengikuti pelatihan untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan merupakan beberapa motivasi anggota Gapoktan untuk berpartisipasi pada kegiatan PenguatanLDPM yang disebabkan pemenuhan kebutuhan akan pengembangan diri (growth). Pendapatan anggota Gapoktan yang berkisar antara Rp 400.000,00 sampai dengan Rp 3.000.000,00 perbulan memberikan dampak
Yudhi Harsatriadi Sandyatma --Partisipasi Anggota Kelompok Tani dalam Menunjang Efektivitas Gapoktan pada Kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat di Kabupaten Bogor
terhadap keterlibatan dan peran aktif anggota Gapoktan pada kegiatan Penguatan-LDPM. Semakin meningkat pendapatan anggota Gapoktan akan berpengaruh pada partisipasi anggota Gapoktan itu sendiri pada kegiatan Penguatan-LDPM. Begitu pula dengan peningkatan intensitas menerima sosialisasi kegiatan, semakin sering anggota Gapoktan menerima sosialisasi kegiatan PenguatanLDPM dari ketua maupun pengurus Gapoktan serta penyuluh baik pada setiap tahap, maka akan diikuti peningkatan partisipasi anggota Gapoktan pada kegiatan Penguatan-LDPM. Peranan penyuluh yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap partisipasi anggota Gapoktan lebih banyak dikarenakan minimnya frekuensi pendampingan kepada seluruh anggota Gapoktan pada kegiatan PenguatanLDPM yang rata-rata hanya 3-4 kali dalam setahun terakhir. Kondisi tersebut terjadi karena penyuluh harus membina wilayah kerja hingga 3-4 desa, padahal menurut ketentuan Peraturan Menteri Pertanian nomor 273/Kpts/OT.160/4/2007 tentang pedoman pembinaan kelembagaan petani, seharusnya penyuluh hanya membina satu desa sebagai wilayah kerjanya. Baiknya kepemimpinanan Gapoktan yang dicirikan dengan hal-hal yang berkaitan dengan gaya ketua Gapoktan dalam mengelola Gapoktan sesuai dengan situasi dan tingkat kematangan anggota Gapoktan tidak berpengaruh terhadap peran serta dan keterlibatan aktif anggota Gapoktan pada kegiatan Penguatan-LDPM. Anggota Gapoktan tidak tergerak berkontribusi pada kegiatan Penguatan-LDPM meskipun ketua Gapoktan sudah menggunakan gaya telling (memberikan supervisi dan instruksi) ketika terdapat anggota Gapoktan yang tidak mengetahui dan tidak mau mengikuti kegiatan Penguatan-LDPM; gaya selling (memberikan dorongan dan motivasi) ketika terdapat anggota Gapoktan yang mengetahui, tetapi tidak mau mengikuti kegiatan PenguatanLDPM; gaya participating (memberikan fasilitasi) ketika terdapat anggota Gapoktan yang mengetahui, tetapi berkeinginan kuat mengikuti kegiatan Penguatan-LDPM; dan
gaya delegating (memberikan asistensi dan pengarahan) ketika terdapat anggota yang mengetahui dan mau mengikuti kegiatan Penguatan-LDPM. Hal tersebut terjadi karena norma seperti pemberian apresiasi dan sanksi yang berlaku pada Gapoktan tidak berjalan secara optimal. Sama halnya dengan kepemimpinan ketua kelompoktani yang juga tidak memberikan pengaruh terhadap partisipasi anggota Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM, selain karena tingginya permisivitas norma yang berlaku di kelompoktani juga dikarenakan minimnya kegiatan penunjang pada kegiatan PenguatanLDPM yang melibatkan seluruh anggota.
Hubungan Berbagai Faktor yang Saling Mempengaruh Partisipasi Anggota Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM
Sebagai pengembangan dari analisis regresi linear berganda, maka dapat digunakan analisis jalur (path analysis) sebagaimana dikemukakan Muller (Hariadi, 2011) untuk mengetahui hubungan antarberbagai faktor (usia, pendapatan, motivasi, dan intensitas menerima sosialisasi kegiatan) yang saling mempengaruhi partisipasi anggota Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM. E2
0,88 -0,74
USIA
PENDAPATAN
0,77
E1
-0,15
0,98
0,23 -0,82
E3
0,23 0,68
INTENSITAS MENERIMA SOSIALISASI KEGIATAN
PARTISIPASI ANGGOTA GAPOKTAN PADA KEGIATAN PENGUATAN-LDPM
0,35
0,09 MOTIVASI 0,03
0,03 Chi-Square P RMSEA TLI
: 0.007 : 0,931 : 0,000 : 1,016
E4 Keterangan: : Mempengaruhi secara signifikan : Tidak signifikan Angka Koefisien Jalur : Tercantum pada anak panah Angka Koefisien Determinasi (R²) : Tercantum diatas atau dibawah kotak segi empat
Gambar 1. Struktur Model Analisis Jalur Variabel-Variabel yang Berpengaruh terhadap Partisipasi Anggota Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM Sumber: Data Primer, 2012, diolah dengan Amos 5
245
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 238-251
Berdasarkan hasil analisis jalur sebagaimana terangkum pada Gambar 1, faktor usia tampak mempengaruhi pendapatan (-0,739), intensitas menerima sosialisasi kegiatan (-0,822), dan partisipasi anggota Gapoktan pada Kegiatan PenguatanLDPM (-0,150). Tim teknis kabupaten, penyuluh, ketua Gapoktan/Kelompoktani beserta pengurus harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi anggota Gapoktan pada Kegiatan PenguatanLDPM, terutama faktor intensitas menerima sosialisasi kegiatan (0,09) selain faktor usia yang memiliki pengaruh paling besar terhadap intensitas menerima sosialisasi kegiatan secara berbanding terbalik. Artinya supaya sosialisasi kegiatan dapat berjalan dengan efektif selain intensitas pertemuan diperbanyak, akan lebih efektif jika lebih banyak memperhatikan usia anggota Gapoktan yang berusia lebih muda dibandingkan anggota Gapoktan yang sudah berusia tua. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan yang dikemukakan oleh Soedijanto (1996) bahwa kemampuan belajar seseorang dalam mengikuti suatu kegiatan akan berkurang secara bertahap dan terasa sangat nyata setelah berusia 55 atau 60 tahun. Lionberger (Mardikanto, 1993) sendiri mengatakan bahwa semakin tua seseorang yaitu di atas 50 tahun, biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi dan cenderung hanya menerapkan kegiatan yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat setempat. Pendapatan anggota Gapoktan berpengaruh langsung paling besar terhadap partisipasi anggota Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM. Meskipun mayoritas pendapatan anggota berkisar antara Rp 400.000,00 sampai dengan Rp 1.299.999,00 (63 persen) harus terus ditingkatkan sehingga memberikan pengaruh terhadap meningkatnya partisipasi anggota Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM secara menyeluruh. Ketua Gapoktan/ Kelompoktani beserta pengurus dan penyuluh harus membuat inovasi dan meningkatkan pendapatan anggota dengan
246
cara mempercepat perputaran penjualan gabah/beras anggota ke mitra pemasaran dan mengembangkan usaha Gapoktan dengan memaksimalkan keuntungan yang diperoleh dengan melibatkan seluruh anggotanya melalui pembagian kerja atau tugas yang jelas. Pendapatan anggota Gapoktan tidak berpengaruh terhadap motivasi untuk berpartisipasi pada kegiatan PenguatanLDPM yang disebabkan oleh kebutuhan akan eksistensi diri, berhubungan sosial, dan pengembangan diri. Hal tersebut terjadi karena sosialisasi kegiatan sangat minim dan tidak seluruh anggota mengetahui tentang kegiatan tersebut membuat pendapatan tidak berpengaruh terhadap motivasi. Begitupula dengan usia yang tidak berpengaruh terhadap motivasi, dengan minimnya sosialisasi kegiatan baik anggota Gapoktan yang berusia muda atau tua tidak akan termotivasi untuk berpartisipasi pada kegiatan Penguatan-LDPM untuk memenuhi kebutuhan eksistensi diri, berhubungan sosial, dan pengembangan diri. Motivasi anggota kelompoktani yang masih memiliki pengaruh relatif rendah (0,032) terhadap partisipasi anggota Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM, tidak boleh luput dari perhatian ketua Gapoktan/Kelompok tani beserta pengurus dan penyuluh yang bersinggungan langsung setiap hari dengan anggota kelompoktani. Motivasi anggota Gapoktan untuk berpartisipasi pada kegiatan Penguatan-LDPM dalam rangka memenuhi kebutuhan existence, relatedness, dan growth harus difasilitasi oleh ketua Gapoktan/Kelompoktani beserta pengurus dan penyuluh. Bentuk fasilitasi tersebut dapat berupa: mencari jaringan pemasaran bersama-sama antara petani, pengurus Gapoktan/Kelompoktani, dan pendamping; mengembangkan dan menerapkan pengetahuan atau inovasi baru yang diperoleh dari pelatihan untuk meningkatkan produktivitas padi seperti sekolah lapang yang diselenggarakan oleh Penyuluh.
Yudhi Harsatriadi Sandyatma --Partisipasi Anggota Kelompok Tani dalam Menunjang Efektivitas Gapoktan pada Kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat di Kabupaten Bogor
Pengaruh Partisipasi Anggota Gapoktan terhadap Efektivitas Gapoktan pada Kegiatan PenguatanLDPM
Salah satu faktor yang mempengaruhi efektivitas suatu organisasi adalah adanya dukungan atau partisipasi anggota dalam organisasi tersebut. Sills mengemukakan bahwa efektivitas kelompok adalah keberhasilan kelompok untuk mencapai tujuannya yang dapat dilihat pada tercapainya keadaan atau perubahanperubahan (fisik maupun non-fisik) yang memuaskan anggotanya (Steers, 1985; Sills dalam Mardikanto, 1993). Tabel 3. Hasil Analisis Regresi Linear Sederhana Mengenai Partisipasi Anggota Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM Berpengaruh terhadap Efektivitas Gapoktan No
Variabel
Koefisien Regresi
t-hitung
Sig
1 2
konstanta Partisipasi
25,229 0,282
15,718 8,742
0,000 0,000
Keterangan: N R R Square Adjusted R Square F-hitung F-tabel α = 0,05 t-tabel α = 0,01 t-tabel α = 0,05
: 91 : 0,680 : 0,462 :0,456 :76,423 :3,961333 :2,640667 :1,9903
Persamaan Model: Y = 25,229 + 0,282X Sumber: Data Primer, 2012 diolah menggunakan SPSS 16
Tabel 3 memperlihatkan bahwa nilai sig variabel partisipasi anggota Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM lebih kecil dari taraf signifikansi= 0,05 atau nilai t-hitung variabel partisipasi anggota Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM sebesar 8,742 lebih besar dari nilai t-tabel dengan nilai 1,9903. Jika nilai uji sig lebih kecil dari taraf signifikansi yang telah ditetapkan atau nilai t-hitung lebih besar dari nilai t-tabel, maka hipotesis diterima. Peningkatan partisipasi anggota Gapoktan
pada kegiatan Penguatan-LDPM akan diikuti pula dengan peningkatan efektivitas Gapoktan dalam proses mencapai tujuannya serta kepuasan anggota Gapoktan. Adapun proses dalam mencapai tujuan Gapoktan meliputi proses: (1) tersalurkannya dana bansos untuk pembangunan gudang Gapoktan, (2) meningkatnya perputaran aktivitas pembelian gabah/beras Gapoktan kepada anggotanya, dan (3) tersedianya cadangan pangan untuk memenuhi kebutuhan anggotanya.
Efektivitas Gapoktan dalam Pengembangan Lembaga Gapoktan
Pengembangan lembaga Gapoktan pada kegiatan Penguatan-LDPM di Kabupaten Bogor dari aspek perluasan jaringan pemasaran belum sepenuhnya optimal dilakukan oleh Gapoktan penerima, hal ini terlihat nyata dengan yang dihadapi Gapoktan Mitra Sari. Gabah/beras yang dibeli dari anggotanya selama ini dalam sebulannya hanya dijual kepada masyarakat sekitar (2-4 ton), Pasar Leuwiliang (3-5 ton), dan kios Gapoktan di Pasar Laladon, Bogor (6-8 ton). Sulitnya memasarkan beras lebih banyak dikarenakan belum terlibatnya secara penuh anggota dalam Kegiatan PenguatanLDPM dan aktivitas anggota lebih banyak terfokus pada kegiatan produksi (on-farm). Ditambah lagi dengan Ketua Gapoktan yang sudah berusia lanjut dan belum ada sumber daya manusia Gapoktan yang mau untuk menjadi pengganti Ketua Gapoktan saat ini membuat pengembangan usaha yang dilakukan dalam rangka meningkatkan skala usaha menjadi sulit untuk diwujudkan. Kondisi berbeda dialami pada Gapoktan Subur Tani, meskipun keterlibatan anggotanya juga relatif minim, tetapi aktivitas jual-beli gabah/beras dan jaringan pemasaran cukup luas, begitupula dengan pengembangan usaha yang dilakukan cukup berkembang. Pemasaran beras yang dilakukan oleh Gapoktan Subur Tani selama ini antara lain: masyarakat sekitar; pedagang grosir dan eceran di Cikalong, Depok, Bekasi, Cibubur, Jonggol, Pasar Induk Beras Cipinang, dan Pasar Ciawi; dan Gapoktan 247
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 238-251
sesama penerima Kegiatan PenguatanLDPM di Kabupaten: Bandung Barat, Purwakarta, Karawang, dan Indramayu. Dalam sebulannya rata-rata kurang lebih 20 ton beras yang dapat dijual oleh Gapoktan Subur Tani kepada mitra Gapoktan. Harga yang ditawarkan oleh Gapoktan bervariasi tergantung pada kualitas beras itu sendiri dan juga kondisi harga pasar yang berkembang. Adapun harga pembelian beras yang dilakukan oleh Gapoktan kepada anggotanya memiliki selisih antara Rp200,00/kg sampai dengan Rp300,00/kg dengan sistem pembayaran secara tunai langsung. Harga pembelian Gapoktan tersebut masih di atas HPP yaitu Rp6.000,00/kg sesuai dengan tujuan dari kegiatan Penguatan-LDPM itu sendiri. Cara pembayaran yang dilakukan antara Gapoktan Subur Tani dengan mitra adalah membayar uang muka sebesar 1015 persen dari total nilai transaksi yang disepakati. Kepercayaan yang dibangun
Gapoktan Subur Tani dengan mitra lebih banyak dikarenakan jaringan yang dimiliki oleh Ketua Gapoktan, bukan disebabkan oleh kolektivitas seluruh anggotanya. Ketua Gapoktan yang merupakan mantan kepala desa dan telah menangani berbagai macam proyek kegiatan, sehingga cukup berpengalaman dalam mencari mitra pemasaran. Dari segi kerjasama/kemitraan dengan Gapoktan lain, Gapoktan Mitra Sari belum pernah melakukan kerjasama dengan Gapoktan sekitarnya baik dari sisi penjajagan pemasaran beras maupun pengembangan usaha. Tercatat hanya pada tahun 2010 Gapoktan Mitra Sari bekerjasama membeli gabah Gapoktan Subur Tani sebanyak 5 ton. Di lain pihak, kerjasama yang dilakukan oleh Gapoktan Subur Tani relatif lebih baik dibandingkan dengan Gapoktan Mitra Sari sebagaimana terangkum pada Tabel 4.
Tabel 4. Kemitraan/Kerjasama Gapoktan Subur Tani dengan Sesama Gapoktan Penerima Kegiatan Penguatan-LDPM No I. 1 2 3 4 II. 1
Keterangan Penjualan Jenis Gabah/ Beras Harga (Rp/ Kg)*) Kuantitas**) Bulan***) Pembelian Jenis Gabah/ Beras
2
Harga (Rp/Kg)
3 4
Kuantitas Bulan
Mitra Usaha Mandiri (Bandung Barat)
Mitra Gapoktan Kiara Makmur (Kab.Purwakarta)
Sinar Langgeng (Kab.Karawang)
GKG
GKG
GKP
GKP
-
3.800,-
3.800,-
3.400,-
3.400,-
-
4 ton Oktober
7,5 kuintal Oktober
20 ton Februari
9 ton Februari
-
GKG dan Beras (kepala) 4.200,-(GKG) dan 8.100 (Beras) 8 dan 9 ton Maret
GKG dan Beras (medium) 3.700,-(GKG) dan 6.800 (Beras) 8 dan 5 ton April
GKG 4.100,8 ton Desember
-
Jaya Tani (Kab. Indramayu)
Harapan Murni (Kab.Bekasi)
GKG 3.900,9 ton April
Sumber: Data Primer, 2012
Keterangan: *) **)
Harga transaksi terakhir yang dilakukan Kuantitas transaksi rata-rata yang sering dilakukan ***) kecenderungan bulan yang sering dilakukan transaksi GKP : Gabah Kering Panen GKG : Gabah Kering Gabah
248
Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa kerjasama jual-beli gabah/beras Gapoktan Subur Tani hingga lintas kabupaten yang melibatkan Gapoktan sesama penerima Kegiatan Penguatan-LDPM dengan kuantitas yang bervariasi. Bentuk kerjasama lain dalam rangka pengembangan usaha Gapoktan Subur Tani kepada Gapoktan sekitar penangkaran benih padi, pembelian beras
Yudhi Harsatriadi Sandyatma --Partisipasi Anggota Kelompok Tani dalam Menunjang Efektivitas Gapoktan pada Kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat di Kabupaten Bogor
organik, dan penjualan pupuk. Penangkaran benih dilakukan dengan beberapa anggota dekat sedangkan pengadaan pupuk bekerjasama dengan distributor setempat. Dalam setiap musim tanam tiba, Gapoktan Subur Tani dapat memasok sekitar 3-4 ton benih kepada Gapoktan mitra dengan harga berkisar antara Rp33.000,00 sampai dengan Rp35.000,00. Adapun jumlah pupuk yang dijual ke Gapoktan Berkah Mandiri (Kecamatan Cariu) permusimnya dapat mencapai sekitar 2,5 ton, ke Gapoktan Cikutamahi (Kecamatan Cariu) sebanyak 6 ton, dan ke Gapoktan Sri Mukti (Kecamatan Jonggol) sebanyak 4 ton. Selain memasok benih dan pupuk, Gapoktan Subur Tani juga membeli beras organik setiap musimnya dari Gapoktan Pringgandani (Kecamatan Cariu) sebanyak 12 ton, sedangkan dari Gapoktan Sri Mukti (Kecamatan Jonggol) kadangkala setiap bulannya sebanyak 2,5 ton. Permintaan beras organik dari Gapoktan Subur Tani karena adanya mitra yang menginginkan beras organik tetapi anggotanya belum ada yang membudidayakan beras organik. Mengacu pada kondisi diatas, setidaknya terdapat 4 (empat) hal yang menyebabkan belum efektifnya Gapoktan yang pada akhirnya berdampak pada keikutsertaan anggota kelompoktani pada Kegiatan Penguatan-LDPM, yaitu Pertama, Ketua Gapoktan dan pengurus belum memaksimalkan sumber daya manusia yang dimiliki terutama dalam hal membantu dalam memperluas jaringan pemasaran Gapoktan dalam rangka meningkatkan modal dan usaha dan juga kerjasama dengan Gapoktan lainnya. Kinerja Gapoktan selama ini lebih banyak dilaksanakan secara personal figur pemimpin ketua Gapoktan dan belum dilaksanakan secara kolektif. Kedua, Ketua Gapoktan jarang melakukan sosialisasi kegiatan sehingga informasi kegiatan tidak seluruh anggota dapat menerima. Gapoktan yang dibentuk sebagai wadah kelembagaan petani untuk menampung aspirasi dan keinginan anggotanya namun tidak berjalan sebagaimana mestinya, bahkan
pada akhirnya menimbulkan rendahnya partisipasi anggota dalam kegiatan di Gapoktan. Kondisi tersebut diperkuat oleh Syahyuti (2003) yang mengungkapkan bahwa meskipun kelembagaan sudah dibentuk, tetapi pembinaan dan sosialisasi yang dijalankan cenderung individual, yaitu hanya kepada pengurus. Ketiga, partisipasi dan kekompakan anggota kelompoktani dalam kegiatan Penguatan-LDPM masih relatif rendah, ini tercermin dari minimnya tingkat kehadiran anggota dalam setiap rapat pada kegiatan Penguatan-LDPM yang merupakan dampak dari minimnya sosialisasi kegiatan itu sendiri. Keempat, minimnya sumber daya manusia yang ingin mengelola Gapoktan padahal usia Ketua Gapoktan yang sudah berusia diatas 60 tahun dan telah lebih dari 3 (tiga) kali periode memimpin Gapoktan. Keinginan regenerasi kepengurusan Gapoktan yang diinginkan langsung dari ketua Gapoktan belum direspon positif oleh seluruh anggota karena belum disosialisasikan secara luas, juga masih adanya kekuatiran dari Ketua Gapoktan kepada penggantinya terutama masalah pengelolaan dana.
SIMPULAN
Implementasi Kegiatan Penguatan-LDPM di Kabupaten Bogor belum sepenuhnya dilaksanakan secara optimal, hal ini ditandai dengan rendahnya tingkat partisipasi anggota Gapoktan baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, dan pemanfaatan hasil. Faktor pendapatan paling berpengaruh positif secara langsung terhadap partisipasi anggota Gapoktan pada kegiatan Penguatan-LDPM dibandingkan faktor motivasi dan intensitas menerima sosialisasi kegiatan yang juga sama-sama berpengaruh positif secara langsung terhadap partisipasi anggota Gapoktan pada kegiatan PenguatanLDPM. Di sisi lain, usia berperngaruh negatif secara langsung terhadap partisipasi anggota Gapoktan pada kegiatan Penguatan-LDPM. Adapun faktor-faktor yang tidak signifikan mempengaruhi partisipasi anggota Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM sebagai 249
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 238-251
berikut: peranan penyuluh, kepemimpinan Gapoktan, dan kepemimpinan Kelompoktani. Studi empiris juga membuktikan bahwa usia berpengaruh negatif terhadap pendapatan anggota Gapoktan dan intensitas menerima sosialisasi kegiatan, serta intensitas menerima sosialisasi kegiatan berpengaruh positif terhadap pendapatan anggota Gapoktan. Sosialisasi kegiatan akan lebih efektif jika lebih banyak diberikan kepada anggota yang berusia di bawah 50 tahun yang kemudian akan berdampak pada peningkatan pendapatan dengan diiringi peran serta aktif anggota Gapoktan pada kegiatan Penguatan-LDPM. Bagi anggota Gapoktan yang sudah berusia di atas 50 tahun disarankan agar mengikuti programprogram yang cocok bagi mereka. Partisipasi anggota Gapoktan pada Kegiatan Penguatan-LDPM berpengaruh positif secara signifikan terhadap efektivitas Gapoktan. Namun, dari aspek pengembangan lembaga Gapoktan belum sepenuhnya optimal, hal ini disebabkan karena jarangnya sosialisasi kegiatan sehingga informasi kegiatan tidak seluruh anggota dapat menerima, kinerja Gapoktan lebih banyak dilaksanakan dan dikelola berdasarkan figur Ketua Gapoktan bukan berdasarkan kerjasama kolektif yang dibangun atas dasar keterlibatan seluruh anggota, dan minimnya sumber daya manusia yang ingin mengelola Gapoktan yang terlihat dari kepemimpinan ketua Gapoktan sudah lebih dari 3 (tiga) periode memimpin Gapoktan. Terdapat beberapa saran yang perlu menjadi perhatian khusus bagi tim teknis kabupaten, penyuluh, dan Pengurus Gapoktan, yaitu pertama, rendahnya tingkat partisipasi anggota Gapoktan pada kegiatan Penguatan-LDPM dapat ditingkatkan dengan memperbanyak sosialisasi kegiatan baik secara kualitas maupun kuantitas dengan sasaran diutamakan kepada anggota Gapoktan yang berusia muda. Kedua, kinerja Gapoktan yang selama ini lebih banyak karena figur ketua Gapoktan bukan berdasarkan kolektivitas, maka perlu adanya kesadaran berkelompok yang dimunculkan 250
baik oleh pengurus Gapoktan/Kelompoktani dan penyuluh maupun dari anggota itu sendiri. Kehadiran Gapoktan diposisikan sebagai wadah untuk menampung aspirasi dan kebutuhan yang diperlukan oleh anggotanya, sehingga anggota dapat terlibat penuh dalam kegiatan di Gapoktan karena ada kebutuhan yang ingin dicapai. Ketiga, masa kepemimpinan Gapoktan yang telah lebih dari 3 periode seyogyanya perlu adanya perbaikan AD/ART Gapoktan tentang masa kepengurusan Gapoktan untuk dibatasi agar tidak terlalu lama dan adanya peremajaan kepengurusan. Pengurus yang terpilih adalah orang-orang yang dapat bebas kepentingan, dapat menimbulkan kesadaran berkelompok anggotanya, dan dapat mempersatukan serta mampu mengelola Gapoktan sebagai organisasi petani yang dapat menguntungkan anggotanya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007, Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 273/Kpts/OT.160/4/2007 tertanggal 13 April 2007 tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani, Jakarta: Departemen Pertanian. Arfani, 1987, Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Anggota Kelompok Tani dalam Menerapkan Panca Usaha Tanaman Padi Sawah, Tesis: Institut Pertanian Bogor. Arifah,
Nur, 2002, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Petani dalam Program Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) (Studi Kasus di Kelompoktani Subur Jaya, Desa Ciherang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat), Skripsi: Institut Pertanian Bogor.
Badan Ketahanan Pangan, 2009, Pedoman Umum Kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (LDPM) Tahun 2009. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan. Daniel, M. Darmawati, Nieldalina, 2006, PRA (Participatory Rural Appraisal)
Yudhi Harsatriadi Sandyatma --Partisipasi Anggota Kelompok Tani dalam Menunjang Efektivitas Gapoktan pada Kegiatan Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat di Kabupaten Bogor
Pendekatan Efektif Mendukung Penerapan Penyuluhan Partisipatif dalam Upaya Percepatan Pembangunan Pertanian. Jakarta: PT Bumi Aksara. Hamidjoyo, Santoso, 1991, Keterlibatan Wanita Dalam Sistem Usaha Tani Berkonservasi Selani Das Brantas Kabupaten Malang, Malang: Yayasan Pengembangan Desa. Hariadi, Sunarru, S, 2011, Dinamika Kelompok: Teori dan Aplikasinya untuk Analisis Keberhasilan Kelompok Tani Sebagai Unit Belajar, Kerjasama, Produksi, dan Bisnis, Yogyakarta: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Husodo, Sapto, 2006. “Partisipasi Petani dalam Kegiatan DAFEP di Kabupaten Bantul”, Jurnal IlmuIlmu Pertanian, Vol 2, No. 1. Kementerian Pertanian, 2011, Laporan Penguatan-LDPM, http://aplikasi. deptan.go.id/ smspldpm, diakses pada tanggal 17 Februari 2012. Mardikanto, Totok, 2007, Sistem Penyuluhan Pertanian, Surakarta: Sebelas Maret University Press. ______1987, Komunikasi Pembangunan, Surakarta: Sebelas Maret University Press. Nazir, M, 2003, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia. Ndraha, Taliziduhu, 1990, Pembangunan Masyarakat Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas, Jakarta: Rineka Cipta. Pudjianto, Kuat, 2009, Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan, Lahan dan Konservasi Sumberdaya Air di Sub DAS Keduang, Daerah Hulu DAS Bengawan Solo, Tesis: Institut Pertanian Bogor.
Salim, Agus, 2006, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Edisi Kedua, Yogyakarta: Tiara Wacana. Satria, Arief; Zulkarnaen, Iskandar; Noviana, Deni; Anggraini Eva, 2008, Pokok Pemikiran IPB: Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Untuk Kesejahteraan Rakyat, Bogor: Institut Pertanian Bogor. Soedijanto, 1996, Psikologi Belajar Mengajar, Jakarta: Universitas Terbuka. Steers, Richard M, 1985, Efektivitas Organisasi, Jakarta: Erlangga. Swedianti, Karina, 2011, Partisipasi Masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan (PNPM), Skripsi: Institut Pertanian Bogor. Syahyuti, 2003, Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian Pertanian, Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Tanjungsari Kurnia, 2010, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani Dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi di Kecamatan Sleman Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Skripsi: Universitas Gadjah Mada. Tashakkori Abbas dan Teddlie Charles, 2010, Handbook of Mixed Methods in Social and Behavioral Research, Edisi Bahasa Indonesia, Yogyakarta:Pustaka Pelajar Tjokroamidjojo, 1996, Perencanaan Pembangunan, Jakarta: Gunung Agung. Umstot,
Denis, 1988, Understanding Organizational Behaviour, New York: West Publishing Company.
251
KAWISTARA VOLUME 2
No. 3, 22 Desember 2012
Halaman 225-328
IDENTITAS KAUM SAMIN PASCA KOLONIAL Pergulatan Negara, Agama dan Adat dalam Pro-kontra Pembangunan Pabrik Semen di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah Munawir Aziz
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah - Pati - Jawa Tengah Email:
[email protected]
ABSTRACT
Memories of collonialization have created ethos of daily struggles among Samin people. Encounters with collonial in the early 20 century impacted on Samin’s character, ethos, and world-view in ways of dealing with the Indonesian goverment, corporation and other communities. This impact may be observed in the case of establishment of the Semen Gresik corporate in Sukolilo, Pati, Central Java. The project plan of establishing a cement factory and exploration of Kendeng Mountain at Sukolilo Pati created conflict among the people of Pati. The people were divided into two. The first supported the exploration, and the second resisted. Samin, however, resisted it and stood against it for their environment. This article examines Samin movement, especially when dealing with the power of the state and (cement) corporation. It also studies how Samin people constructed their post-colonial worldview and identity in response to the state, religion, and the caplitalists. Using Gayatri Spivak’s theory of “subalternity”, this article explains identity politics of the post-colonial Samin movement. Key words: Samin, cement, identical a politics, pasca-colonial.
ABSTRAK
Memori atas penjajahan memberi warisan etos perjuangan keseharian dalam diri kaum Samin. Perjumpaan dengan kolonialisme pada awal abad 20 berdampak pahatan memori pada watak, etos, dan world-view (pandangan dunia) kaum Samin ketika berhadapan dengan negara, perusahaan dan komunitas di luar dirinya. Hal ini tampak pada kasus pembangunan pabrik semen di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Rencana pembangunan pabrik semen dan eksplorasi Pegunungan Kendeng di Kawasan Sukolilo, pati mengundang konflik di antara warga. Masyarakat di daerah Pati terbelah, antara mendukung atau menolak pembangunan pabrik semen. Namun, kaum Samin bersuara untuk mempertahankan lingkungan hidup. Artikel ini menggali aksi kaum Samin ketika berhadapan dengan kekuasaan, yang pada konteks ini tampak pada aparatur Negara dan perusahaan semen. Selain itu, proses kaum Samin untuk mengkonstruksi pandangan hidup dan identitasnya pada masa pascakolonial, khususnya ketika terjadi perbenturan dengan Negara, agama, dan kuasa ekonomi. Dengan menggunakan pisau analisis subalternity Gayatri Spivak, artikel ini berusaha menggali politik identitas dalam gerakan kaum Samin pascakolonial. Kata kunci: Samin, semen, politik identitas, pasca-kolonial.
252
Munawir Aziz -- Identitas Kaum Samin Pasca Kolonia Pergulatan Negara, Agama dan Adat dalam Pro-kontra Pembangunan Pabrik Semen di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah
PENGANTAR
Politik identitas kaum Samin pada masa kini dipengaruhi oleh pewarisan ingatan dan spirit perjuangan melawan rezim penjajah. Pada masa kolonialisme, di awal abad 20, kaum Samin melawan penguasa kolonial dengan keluguan dan ‘ilmu bodon’, yang masih tampak pada keturunan Samin generasi sekarang. Samin merupakan nama seorang priyayi-petani di Blora, Samin Surontika (Raden Kohar), yang menyebarkan pandangan hidup dengan menolak represi kolonial pada pergantian abad 19-20. Samin kemudian menjadi ideologi dan identitas gerakan bagi petani pada zaman kolonial, yang sampai saat ini masih ditemukan jejaknya. Pengikut Samin juga dianggap sebagai sedulur sikep, yang banyak tersebar di Blora, Pati, Kudus, Bojonegoro, Madiun dan beberapa kawasan sekitarnya (Koerver: 1976: 250). Pada masa kolonial, Samin Surontika (Raden Kohar) sebagai tokoh gerakan Samin menghimpun sebagian petani di desa-desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk melawan penjajah, dengan menolak membayar pajak, dan hal semacamnya yang berusaha menolak represi penguasa atas rakyat. Selepas Indonesia merdeka, pada masa Orde Baru (1966-1998), kaum Samin dianggap sebagai anti-pembangunan, yang tidak mau menerima bantuan dari pemerintah, serta tak dapat disentuh dalam proyek islamisasi maupun penginjilan. Kaum Samin juga menolak perangkat agama dan pemerintahan masuk dalam batas hidup komunitasnya. Pada masa pasca-reformasi ini, warga Samin di Bombong, Baturejo, Sukolilo, Pati mengampanyekan penolakan pembangunan pabrik Semen karena dinilai merusak lingkungan. Warga Samin merasa bahwa pembangunan pabrik semen hanya menguntungkan segelintir orang, namun akan merusak lahan pertanian dan ekosistem pegunungan Kendeng, yang membujur di Pati selatan sampai Blora (Wawancara dengan Gunretno, Tokoh Muda Samin Sukolilo, 2011). Artikel ini berusaha menggali politik identitas kaum Samin, ketika berhadapan
dengan represi pemerintah dan oknumnya, perusahaan hingga instansi agama, pada masa pasca-kolonial, khususnya pada konteks pro-kontra pembangunan pabrik semen di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Tulisan ini berusaha mengisi celah kosong terhadap hasil kajian dan literatur yang membahas tentang gerakan kaum Samin dan kehidupannya. Beberapa penelitian terdahulu tentang gerakan Samin, dikerjakan oleh Harri J. Benda-Lance Castles (1969: 207-216). Dalam tulisannya, Harry J. Benda dan Lance Castles menjelaskan dengan baik tentang sebabsebab terjadinya gerakan yang dipimpin oleh Samin Surontiko, sebagai perlawanan petani melawan kolonial Belanda. Perlawanan ini dilakukan dengan cara menolak membayar pajak. Perlawanan yang dimulai di daerah Blora pada 4 Februari 1907 dalam waktu singkat mempunyai pengikut yang banyak, antara lain di: Rembang, Ngawi, Bojonegoro, Pati, Tuban, Grobogan dan Kudus. Selain itu, Justus M. van der Kroef (1952: 161-165) menulis tentang perlawanan kaum Samin melawan kolonial Belanda dengan imajinasi sosok ratu Adil atau messiah dalam diri Samin Surosentika. Politik imajinasi ini memberi tekanan pada semangat perlawanan bahkan sampai saat ini. Victor T. King (1973: 457-481) dalam kajiannya membahas tentang gerakan kaum Samin di Jawa Tengah bagian utara untuk menganalisis perkembangan gerakan dengan fondasi ekonomi pada masyarakat bukan wilayah hutan. A. Pieter E. Korver (1976: 249-266) mengkaji Samin dalam kerangka gerakan millenarisme, sebagai identitas gerakan. Takashi Shiraishi (1990: 95-120) melakukan review atas laporan kolonial terhadap warga pengikut Samin (Dangir) di Genengmulyo, Juwana untuk membaca pengaruh saminisme di beberapa daerah di pesisir utara Jawa. Bennedict Anderson (1996) dan Amrih Widodo (1997) lebih menekankan kajian pada kaum Samin pascakemerdekaan, serta bagaimana pergulatan kuasa-adat yang terjadi, seperti tampak juga pada kajian tentang hak-hak minoritas yang dilakukan Uzair Ahmad (2007).
253
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 252-263
Suripan Sadi Hutomo (1996) menulis tentang tradisi yang ada di Blora, sebagian membahas tentang kehidupan warga Samin di Klopoduwur, Blora. Suripan menggambarkan secara konkret hasil penelitian dan pengamatannya terhadap penerus Samin Surosentika yang masih ada di kampung asalnya, yaitu di Klopoduwur. Selain itu, Suripan juga membahas tentang pola ucap, pola komunikasi dan permainan simbol yang ada di kaum Samin, serta analisis terhadap teks-teks penting yang menjadi pedoman kearifan warga Samin. Tim peneliti dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menulis sebuah buku berjudul Agama Tradisional Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger (Nuruddin dkk, 2003). Buku ini dibagi menjadi dua bagian yang pertama tentang masyarakat Samin dan kedua tentang masyarakat Tengger. Dalam bagian pertama (tentang masyarakat Samin) bahwa penelitian dilakukan di Desa Klopodhuwur, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Blora pada tahun 2003 menekankan tentang reaksi komunitas Samin terhadap modernisasi, yang tampak pada program-program pengembangan dari pemerintah. Selain itu, Moh. Rosyid melakukan riset terhadap kehidupan kaum Samin di Undaan Kudus. Rosyid berpendapat bahwa, masyarakat Samin dapat bergaul ramah dengan warga di sekitar lokasi tempat tinggalnya, tetapi masih memegang nilainilai prinsip dasar yang menjadi warisan dari leluhur, seperti “agama Adam” dan pola komunikasi dengan anggota kelompok maupun di luar kelompok (Rosyid, 2008). Agama Adam merupakan model kepercayaan komunitas Samin yang menganggap bahwa nilai-nilai agama diwariskan dari ajaran Nabi Adam, Sang Manusia pertama. Ajaran “agama Adam” mengukuhkan persaudaraan sosial dan etika kemanusiaan, semisal tidak boleh berbohong, mencuri dan mengambil hak milik orang lain, meskipun ditemukan di jalan tanpa pemilik.
254
Dari beberapa naskah tentang gerakan Samin, sebagian besar berada pada domain historiografi, agama, budaya hingga politik penguasa atas komunitas adat. Penelitian ini berusaha mengisi celah kajian tentang kaum Samin dengan menggunakan kerangka postcolonial perspective, untuk menganalisis isu terbaru berupa kasus pro-kontra pembangunan pabrik semen di Sukolilo, yang melibatkan kaum Samin dalam kontestasi aspirasi. Dengan menggunakan sudut pandang pasca-kolonial untuk membaca gerakan kaum Samin masa kini akan ditemukan benang merah dalam mengkonstruksi kesadaran politis, antara penyerbu dan penjajah masa kini, yang berubah: dari kepentingan kolonial menjadi politik penguasa lokal dan kepentingan ekonomi korporasi. Leela Gandhi mengungkapkan bahwa postcolonial membantu untuk menjernihkan pola perbedaan antara ‘native dan invader’, serta untuk mengkosntruksi kesadaran politik, menyatukan gerakan revolusioner, dan berdiri untuk melawan penjajah baru (Gandhi, 1998: 11).
PEMBAHASAN Samin dan Genealogi Gerakan
Gerakan Samin pada awalnya merupakan gerakan petani yang menolak mengikuti perintah kolonial. Samin Surontika merupakan tokoh dari gerakan ini, yang kemudian melebar tak hanya di Blora, tetapi juga di beberapa kawasan lain. Samin Surontika, atau Surosentika, lahir di sekitar Blora. Nama kecilnya adalah Raden Kohar, beliau adalah seorang keturunan priyayi, yang memiliki beberapa lahan garapan yang cukup luas. Namun, memilih untuk menjadi petani dan menggerakkan perlawanan dari warga desa untuk melawan kekuasaan kolonial. Pada tahun 1890, Samin mulai menyebarkan pengaruhnya di sekitar Bojonegoro dan Blora. Tahun 1905, Samin mulai menarik warga untuk mengikuti prinsipnya, menolak menyumbang untuk lumbung desa yang dikelola pemerintah kolonial, menolak menggembala ternak
Munawir Aziz -- Identitas Kaum Samin Pasca Kolonia Pergulatan Negara, Agama dan Adat dalam Pro-kontra Pembangunan Pabrik Semen di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah
bersama-sama, dan menolak membayar pajak. Pada bulan Januari 1903, resident Rembang melaporkan bahwa ada sekitar 772 pengikut Samin di 34 desa di perbatasan Blora Selatan dan Bojonegoro. Surohidin dan Karsijah, menantu Samin, aktif dalam melakukan pengajaran bagi warga dan petani di sekitar tempat tinggalnya (Benda and Castles, 1969: 211). Dari pola inilah, pengikut Samin menyebar di beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Perlawanan Samin Surontika beserta pengikutnya ini merupakan gerakan grassroot yang ditujukan untuk melawan represi kolonial, dan menyangkal kekuasaan negara sebagai alat eksploitasi pajak. Tidak hanya bertindak dalam perlawanan kelas petani dan penduduk desa, gerakan Samin juga menjadi idelogi. Penyebaran ideologi Samin menggunakan pengaruh Samin Surontika sebagai tokoh dari para petani, yang dianggap Ratu Adil, atau gerakan millenarisnime (de Tall, 1976: 250-253). Millenarisme merupakan gerakan rakyat yang menghendaki adanya juru penyelamat, dalam konteks rakyat Jawa sebagai “ratu adil”. Pengikut Samin yang tersebar di beberapa kawasan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, umumnya petani yang hidup dari menggarap lahan sawah dan menggembala ternak. Kebijakan pajak oleh pemerintah kolonial dirasakan memberi beban berat, kemudian mereka berpaling kepada gerakan pembebasan rakyat dari kaum petani. Penyebaran pengikut Samin diikuti dengan penyebaran pengaruh dan ideologi, tidak hanya penolakan terhadap kewajiban membayar pajak, tetapi prinsip dalam mengelola sumber daya alam: lemah pada duwe, banyu pada duwe, kayu pada duwe yang berarti bahwa tanah, air dan kayu adalah milik bersama (Widiyanto, 1983: 64). Pengikut Samin juga memiliki logika dan cara pandang dunia yang berbeda dengan pandangan masyarakat umumnya, khususnya ketika berkaitan dengan represi penguasa, seperti yang tampak pada antara seorang patih dan pengikut Samin ini dalam kutipan ini.
+ “Kamu masih hutang 90 cent kepada negara” - “Saya tidak meminjam apa pun kepada negara” + “Tapi kamu mesti bayar pajak” - “Wong Sikep tidak mengenal pajak”.
Logika pengikut Samin yang tampak pada dialog di atas sekilas tampak lugu, tetapi jika dicermati secara mendalam, akan muncul sebersit perlawanan dengan menggunakan logika bahasa. Atau pada dialog ini, antara seorang priyayi dan pengikut samin: + “apa kamu gila atau pura-pura gila? - Saya tidak gila dan juga tidak pura-pura gila” + Kamu biasanya bayar pajak, kenapa sekarang tidak? - Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang. Kenapa negara tak habis-habis minta uang? + “Negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak punya cukup uang, tak mungkin memelihara jalan-jalan dengan baik. - Kalau menurut kami keadaan jalanjalan itu mengganggu kami, kami akan membetulkannya sendiri. + Jadi kamu tak mau bayar pajak? - Wong Sikep tak kenal pajak” (Widiyanto, 1983).
Dengan demikian, gerakan Samin merupakan perlawanan petani terhadap kekuasaan kolonial, dengan menggunakan strategi anti-kekerasan. Ada pembelokan ‘logika bahasa’, sebagai alat untuk menghindari represi. Takashi Shiraishi mengungkap bahwa wong sikep memiliki ciri-ciri seperti berikut: Pertama, konsep utama agama Adam sebagai hidup (urip), yang merupakan inti dari bentuk kehidupan berupa suksma/ nyawa. Hidup (urip) punya banyak makna, namun semua bentuk dibagi menjadi dua: wong (orang) dan sandang pangan (pakaian dan makanan). Kedua, semua aktivitas manusia dimaksudkan untuk dua hal: (1) tatane wong, mengelola hidup dengan melakukan sikep rabi (sexual intercouse). (2) toto nggaoto, memproduksi sandang pangan dengan 255
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 252-263
mengelola lahan. Ringkasnya, lelaki ngitjir (menanam) dan perempuan nganakake (melahirkan). Ketiga, wong, ada dua macam: wong Jowo, yang jujur, menepati janji, dan tidak melakukan kejahatan. Sedangkan wong Jawal, adalah gila dan jahat. Wong Sikep hidup dengan menghayati agama Adam dan menjadi wong Jawa dengan segala identitas moralnya (Shiraishi, 1990: 114). Dalam agama Adam, pengikut Samin menganggap bahwa Adam sebagai lorong menuju spiritualitas (Agama iku gaman, gaman lanang, Adam pengucape). Maksudnya adalah agama merupakan alat untuk menjalin hubungan dengan Yang Maha Mencipta (Sing Nduwe Jagad), dan juga perisai untuk melindungi diri. Ajaran-ajaran Adam adalah ajaran moral kemanusiaan, yang diyakini pengikut Samin sebagai fondasi moral dan adat komunitasnya (Widodo, 1997).
Dari Samin menuju Semen
‘’Kahanane tumrap bangsa saiki, kaya endhog ing pucuk sungu, punika yen mleset niba akhire. Wong cilik ngantu-ngantu, tumalawung sakjroning ati. Mbokya isa mardika lahir batinipun. Jawa moga ndang baliya, manjing ing jiwa pribadi. Bali jiwa kang nyata ... ‘’ Artinya: “Kondisi bangsa saat ini, seperti telur di puncak tanduk, jika meleset akan jatuhnya akhirnya. Orang kecil menantinanti, yang mendalam di dasar hati (jiwa). Semoga bisa merdeka lahir batin. Jawa semoga lekas kembali, masuk dalam jiwa tiap manusia. Kembali pada jiwa yang nyata.” Ini merupakan tembang pembuka pada pertemuan warga Samin, Baturejo, Sukolilo, Pati, 25 Agustus 2005 (Hartono, 2005).
Pada tujuh tahun terakhir, warga Kabupaten Pati disibukkan oleh rencana proyek pembangunan Pabrik Semen di Sukolilo (Azis, 2009). Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Jateng) dan Pemerintah Daerah Kabupaten Pati, secara simbolis telah menjalin kesepakatan dengan PT Semen Gresik (SG), untuk membangun Pabrik Semen di daerah Sukolilo. Rencananya, Pabrik semen ini akan mengambil bahan tambang dari Pegunungan 256
Kendeng, serta lahan pertanian yang kaya tanah liat, sebagai bahan pembuatan semen. Pegunungan Kendeng, merupakan salah satu pegunungan yang berlimpah bahan karts, serta mineral-mineral lain. Dalam tahapan awal proyeknya, PT Semen Gresik didukung Pemerintah Provinsi Jateng dan Pemda Pati, menggandeng Lembaga Penelitian Lingkungan dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, untuk melakukan kajian Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) terkait eksplorasi bahan tambang dan kelayakan pembangunan pabrik Semen. Pihak Undip menyatakan bahwa Pegunungan Kendeng Sukolilo layak dijadikan sebagai lokasi tambang (www. undip.ac.id/download/chafid-amdal-SG. pdf), dan (http://suaramerdeka.com/v1/ index.php/read/cetak/2011/05/23/147313/ Sosialisasi-Amdal-Pabrik-Semen-Diprotes), diakses pada 13 Februari 2012). Namun, keinginan Pemerintahan Provinsi Jateng dan Pemda Pati, yang mendukung PT Semen Gresik untuk mengeksplorasi Pegunungan Kendeng, tidak serta merta mendapat persetujuan dari masyarakat lokal, terutama warga Sukolilo, Kayen dan Tambakromo—tiga kecamatan terdekat dengan Pegunungan Kendeng. Beberapa kelompok masyarakat, LSM, dan ormas, bahkan menyatakan tidak setuju dengan rencana pembangunan pabrik semen sebab akan menghadirkan ancaman berupa kerusakan lingkungan. Meskipun Pemda Pati bersikeras menyampaikan kepada publik bahwa pembangunan pabrik semen di Sukolilo, akan sangat menguntungkan masyarakat Pati, pro-kontra meledak, melampaui lingkaran perdebatan antara menolak dan menerima: masyarakat Pati terbelah menjadi dua bagian (Wawancara dengan Abdul Hamid, tokoh pemuda Sukolilo, 4 Juni 2010). Sebagian warga Sukolilo, Kayen, dan Tambakromo menolak pembangunan pabrik semen sebab dianggap hanya akan merusak lingkungan serta tidak menambah kesejahteraan warga lokal. Keuntungan hanya akan diambil oleh elit politik, maupun
Munawir Aziz -- Identitas Kaum Samin Pasca Kolonia Pergulatan Negara, Agama dan Adat dalam Pro-kontra Pembangunan Pabrik Semen di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah
makelar tanah. Puluhan LSM, semisal Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), SHEEP Indonesia, Serikat Petani Pati (SPP), serta warga Samin, yaitu komunitas tradisional penerus ajaran Samin Surosentika, menolak pembangunan pabrik Semen, sebab dianggap hanya sebagai perusak lingkungan (Wawancara dengan Husaini, aktifis Sheep Indonesia, Pati, 5 Juni 2010). Warga Samin sendiri bahkan mengadakan kajian khusus, dengan perangkat sederhana yang dirumuskan dari kearifan lokal, untuk mendata dan menganalisis potensi pegunungan Kendeng, serta membuat skema dasar tentang kerusakan lingkungan, jika pegunungan Kendeng dikeruk untuk kepentingan pembangunan pabrik semen. Pro-kontra yang terjadi di sekitar pembangunan bahkan berlanjut tidak sekedar hanya persoalan menolak dan menerima, tetapi melampaui menjadi problem keagamaan dan relasi sosial. Pihak penolak pabrik semen, setia dengan prinsipnya menentang eksploitasi lingkungan, menyelenggarakan puluhan kali demonstrasi ke Pemda Pati maupun Pemprov Jawa Tengah. Gunretno, tokoh pemuda Samin, mengungkapkan bahwa warga Samin bukannya menentang pembangunan, tetapi menolak perusakan lingkungan yang diakibatkan oleh eksploitasi pabrik semen, seperti yang terjadi di Tuban. Gunretno mengisahkan: “Kulo lan sak rencang rak sampun dolan menyang Tuban, ningali sedulur-sedulur ingkang manggon mriko, wonten lokasi pabrik Semen. Kulo lan sedulur puniko angresapi trenyuh, bilih urip sedulur wonton Tuban punika langkung ngenes, mboten sami kaleh janji pabrik semen. (Saya dan sesama Sedulur Sikep—sebutan bagi pengikut Samin—sudah berkunjung ke Tuban, melihat saudara-saudara yang ada di sana, di dekat lokasi pabrik Semen. Saya dan sedulur merasa trenyuh/iba, tentang kehidupan saudara yang ada di Tuban yang menyedihkan, tidak sama dengan janji dari pihak Pabrik Semen).”
Gunretno merupakan salah satu tokoh penggerak warga Samin di Sukolilo, Dia merupakan cucu-menantu dari Mbah Tarno, salah satu sesepuh Samin Bombong, Sukolilo. Mbah Tarno meninggal (ganti sandangan) pada Juli 2009, pada usia 101 tahun. Selama hidupnya, Mbah Tarno teguh pada pendirian, dan merupakan tokoh kunci sedulur sikep di Sukolilo dan sekitarnya. Pada awal 2009, ketika penulis berkunjung, Mbah Tarno mengungkapkan bahwa, “Jawa Tengah kuwi wetenge Jawa, dadi ora keno diutak-atik, sebab ndadekno rusak kabeh neng tanah Jowo. (Jawa Tengah itu perutnya Jawa, jadi tidak boleh diutak-atik, sebab akan akan merusak semua di tanah Jawa). Pandangan Mbah Tarno ini bersumber dari etika lingkungan yang ia warisi dari sesepuhnya, Samin Surosentiko, yang menolak penindasan humanis dari pejabat kolonial belanda, pada awal 1900-an (Benda dan Castles dalam de Tall, 1969: 125). Pro-kontra pembangunan pabrik Semen melintasi ruang sosial, ekonomi, budaya maupun agama di kalangan warga Sukolilo serta warga Pati secara umum. Elite Ormas di Pati, cenderung lebih banyak berada pada posisi moderat di tengah prokontra pembangunan pabrik semen, semisal Nahdlatul Ulama dan organisasi underbow dalam strukturnya. Pengurus Daerah Muhammadiyah mendukung pembangunan pabrik Semen. Begitu juga dengan beberapa aliran keagamaan, yang relatif lebih kecil, semisal Rifa’iyyah, dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Dalam struktur sosial-keagamaan warga Sukolilo, Islam merupakan agama terbesar: NU sebagai mayoritas, disusul Muhammadiyah, lalu Rifai’yyah, LDII, juga ada beberapa penganut Islam-kejawen. Selain itu, ada juga pengikut Kristen Katolik, Budha, dan Hindu. Warga keturunan Tionghoa juga bermukim di daerah ini, meski lebih banyak tinggal di kota Pati, untuk menjalankan bisnisnya. Di Sukolilo, warga Samin bermukim di Dukuh Bombong, Baturejo, Sukolilo, mencapai ratusan kepala keluarga. Ini merupakan jumlah terbesar dari kaum Samin pasca Samin Surosentika, yang
257
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 252-263
bermigrasi dari Klopoduwur, Blora, menuju Bojonegoro, Tuban, Rembang, Purwodadi, Sukolilo (Pati), hingga Undaan (Kudus). Penelusuran yang dilakukan oleh penulis berdasar data teks dari buku-buku yang ada, maupun data lapangan. Komunitas Samin di Kudus tidak sampai seratus orang (Rosyid, 2008), sedangkan Samin Klopoduwur berjumlah 64 keluarga (Wawancara dan penelitian lapangan, Klopoduwur Blora, 4 Juni 2012). Pada konteks keagamaan Sukolilo, ketika isu pro-kontra semen meningkat, warga Samin yang menolak rencana ekslorasi pegunungan Kendeng dianggap merupakan golongan kafir oleh sebagian elite agama di Sukolilo, yang belakangan diketahui mendukung pembangunan pabrik Semen, sebab telah menjalin komunikasi dengan PT SG. Di desa-desa sekitar Sukolilo, warga juga terpecah, pengajian dan sholat berjamaah pun menjadi terbelah, antara kelompok pendukung dan penolak pabrik Semen (Wawancara dengan KH. Asmui Syadzali, Rais Syuriah PC NU Pati, 02 Juni 2010). Selain itu, pro-kontra juga berkembang menjadi konflik sosial di antara warga di Sukolilo. Kelompok pendukung pabrik Semen dianggap hanya mendapat uang upeti dan bayaran dari PT SG. Sebaliknya, penolak pabrik Semen SG dianggap hanya merupakan pendemo bayaran, yang dibiayai LSM maupun pabrik semen lain, semisal Holcim maupun Tiga Roda, yaitu kompetitor dari Semen Gresik (SG) (Wawancara dengan Pak Bambang, guru SMPN 01 Sukolilo, 4 Juni 2010, Abdul Hamid, pemuda dan aktifis Sukolilo, 4 Juni 2010, serta Husaini, direktur SHEEP bagian Pati, 28 Mei 2010). Nuansa konflik berbasis ekonomi-politik, yang bergeser menjadi konflik keagamaan meluas di kehidupan warga Sukolilo. Aktivitas sosial-keagamaan menjadi tidak netral, dan sebagian fungsionaris organisasi kemasyarakatan merasakan dilema ketika akan menjalankan program sosial di daerah. Hubungan yang toleran antar agama, juga tidak lagi netral dan bernuansa politis. Elit ormas seperti NU maupun Muhammadiyah
258
terlibat dalam komunikasi maupun lobi politik dengan pemerintah maupun SG. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pati dianggap sudah tidak netral, sebab sejak awal terang-terangan mendukung PT SG. Sikap tokoh agama ini menyebabkan elemen warga yang menolak perusakan lingkungan yang terjadi bila pabrik semen dibangun menyatakan sangat kecewa dengan elit agama (Wawancara dengan Gunarti, warga Samin, 4 Juni 2010; Herusansono, “Masalah Pabrik Semen, Pemerintah Harus Pertimbangkan Sosio Kultural,” Kompas, 31 Januari 2009 dari http:// lipsus.kompas.com/grammyawards/ read/2009/01/31/11444222/Masalah. Pabrik.Semen.Pemerintah.Harus. Pertimbangkan.Sosio.Kultural, diakses pada 14 April 2012).
Samin, Represi, dan Subalternitas
Pada konteks ini, warga Samin di Sukolilo dianggap sebagai kelompok yang menolak pembangunan, tidak waras, tidak agamis, tidak bertuhan, hingga penyebab kekafiran bagi warga sekitar. Selain itu, muncul stigma negatif terhadap masyarakat Pati daerah selatan yang menolak pembangunan semen, dengan dinyatakan sebagai kelompok komunis, marhaen, dan pemberontak. Citra ini kemudian menimbulkan depresi sebagian warga, hingga ada yang mengalami tekanan mental (Yumni, 2012). Kaum Samin yang terbungkam dan dipinggirkan dalam peta komunikasi massa, masuk dalam ranah “subaltern”, meminjam teori Gayatri Spivak. Menurut Spivak, subaltern lahir dari peminggiran politik oleh kekuasaan yang diteruskan dengan pelanggengan marginalisasi budaya, ekonomi, dan agama. Subyek dalam konsep subalternity, bergerak di level elit politik dengan membajak kekuasaan, dan kaum marginal dinarasikan dalam ruang sejarah dan panggung kebudayaan yang melintasi dimensi-dimensi lain. Spivak mengungkapkan: the subject implied by the text of insurgency can only serve as a counterpossibility for the narrative sanctions granted to the colonial
Munawir Aziz -- Identitas Kaum Samin Pasca Kolonia Pergulatan Negara, Agama dan Adat dalam Pro-kontra Pembangunan Pabrik Semen di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah
subject in the dominant groups (Spivak, 1995: 27-8). Menurut Spivak bahwa asumsi yang melatarbelakangi analisisnya terhadap komunitas subaltern dan gerakan pendampingan yang digerakkannnya dalam sebuah lingkungan kecil yang berefek pada struktur politik; in the context of colonial production, the subaltern has no history and cannot speak (Spivak, 1995: 28). Narasi sejarah pascakolonial didominasi oleh elit kekuasaan dan tak memungkinkan kaum marginal menarasikan dirinya. Selain itu, dengan mengandaikan kaum Samin sebagai subaltern community, maka dapat digali secara mendalam memori kolektif dan relasinya dengan kekuasaan, sebagai bagian dari pembacaan atas determinasi politik dalam kontinuitas sejarah komunitas yang berlabel “indigenous community”. Spivak menulis bahwa subaltern studies menjadi instrumen untuk melihat masyarakat subaltern berada pada wilayah yang terpinggirkan, di mana sejarah kaum subaltern lahir dari kuasa elite (Spivak in Aschroft, 1995: 27). Pada titik ini, kaum subaltern menurut Sumit Sarkar berusaha untuk menghindari perangkap reduksi ekonomi, pada waktu yang sama, mempertahankan dorongan untuk menolak eksploitasi, dan dominasi (Sarkar dalam Chateurvedi, 2000: 301). Jika pada awal perpindahan abad 19 dan 20, kaum Samin berhadapan dengan kuasa kolonial. Pada abad 21 ini, kaum Samin dipinggirkan oleh pejabat negara dan kepentingan korporasi yang ingin mengeksploitasi lahan. Ketika berhadapan dengan penguasa kolonial, warga Samin melawan dengan menolak membayar pajak dan gerakan lain untuk membantu kaum petani bebas dari cengkeraman kolonial. Pada masa kini, ketika berhadapan dengan kehendak kuasa oknum pemerintah dan kepentingan perusahaan, kaum Samin melawan dengan menolak eskploitasi pegunungan Kendeng. Ekspresi penolakan dan identitas kaum Samin, tampak pada pola gerakan sebagai berikut:
Penolakan terhadap Eksploitasi Lahan
Gerakan Samin dalam menolak penjajahan masa sekarang yang berupa politik transaksi penguasa dan kepentingan ekonomi korporasi, tampak pada penolakan terhadap rencana pembangunan pabrik Semen di pegunungan Kendeng. Pembangunan pabrik semen ini akan mengekploitasi material pegunungan Kendeng, yang selama ini menjadi sumber air dan cagar alam di kawasan Sukolilo. Kaum Samin menganggap bahwa pegunungan Kendeng adalah ‘paku bumi’ bagi keseimbangan ekosistem Jawa (Azis, 2009). Perusakan terhadap pegunungan Kendeng, bagi kaum Samin merupakan awal perusakan tanah Jawa secara umum. Mbah Tarno, sesepuh Samin Baturejo, menyatakan sebagai berikut: Yo ngeniku mau, dadi buyut ki amung tani buyute wong sak nuswantoro kabeh, seng kepengen nglelo, piye.. Yen kepengen nandur, nandur dalane mangan nyandang. Ki cawisane anak putu buyut, canggah, wareng, udek-udek. Ki seng diudek malah peraturane, iki bagiane anak putu ngasi udek-udek gandrung siwur, emboh ki nenek moyang ki pesene ngono., yo tak kandakno opo anane.. Dene yo nandur monggo, nek ora yo sak kerso... (Wawancara dengan Mbah Tarno, 2009). (ya itu tadi, jadi nenek moyang itu bercocok tanam, yang menjadi nenek moyangnya orang se-nusantara. Yang ingin mengelola lahan.. yang ingin menanam, tanam sumber pangan-sandang. Ini bagiannya anak cucu, canggah, wareng, udek-udek [keturunan]. Namun, sekarang ini yang dimainkan itu malah peraturannya, ini bagian anak cucu sampai keturunan jauh, entah ini, nenek moyang pesennya ya begitu [untuk menjaga lahan dan keseimbangan alam], ya saya bicarakan apa adanya. Jika mau menanam ya silakan, kalau tidak ya terserah.. )
Penolakan kaum Samin terhadap rencana eksplorasi semen di kawasan pegunungan Kendeng merupakan salah satu ekspresi dari sikap hidupnya untuk menghargai keseimbangan alam (Pegunungan Kendeng yang membujur dari Pati sampai Blora menyimpan jutaan kubik karts dan material 259
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 252-263
tambang lain. Mineral yang terkandung di pegunungan Kendeng berfungsi untuk menyimpan air, resapan air hujan dan rumah bagi flora-fauna. Perusakan oleh tambang liar di beberapa titik kawasan pegunungan Kendeng menyebabkan banjir bandang di Sukolilo dan Kayen, Pati, pada 3 Desember 2011. Banjir ini menewaskan beberapa penduduk, merusak ratusan rumah, membunuh ternak dan menghancurkan lahan pertanian. Kompas, 4 Desember 2011, http://regional.kompas. com/read/2011/12/04/11162557/Dua. Tewas.Akibat.Banjir.Bandang.di.Pati, akses pada 14 April 2012).
Politik Ingatan Nenek Moyang
Bagi kaum Samin, gerakan perlawanan terhadap penjajah Belanda pada awal abad 20 mewariskan ingatan, etos, dan identitas. Nama Samin Surontika dikenang sebagai nenek moyang yang diteladani sikap dan cara berpikirnya. Hampir di setiap rumah warga Samin di Bombong, Sukolilo dan Kaliyoso, Undaan, dan Kudus tergantung foto Samin Surosentika. Mbah Tarno, menyebutkan bahwa Samin Surosentika tak hanya sebagai nenek moyang, juga simbol identitas wong Sikep: Lha yo, kuwi ra aran-aran tho. Samin kuwi pengaran wong.. kuwi gambare nek gedheg. Mbah Surontiko, pengarane cilik kuwi Raden Kohar.. nek gedhe ditambahi wong tuwane, Surosentiko Samin. Jaman belanda kuwi, diatur belanda ki emoh.. Mulane koyo aku barang kuwi, jaman kae yo ngono, Mergo tanah iki yo tanahtanah ne yo dewe, londo ra nduwe neng kene, nyatane Londo disingkap Jepang, bali ra nggowo ndah-ndeh.. Mengko wong jowo kuwi nggek-nggeke dewe.. Manuke ko lambang. Manuk ki ono keneng ngakngkuk.. mengko wong Jowo iso dingkak-ngkuk. Penjajah belanda jaman kono.. Tanah-tanah dewe dadi, Padahal sipatan seng jejek, mulane jo nyembah nyeleweng wae.. mulane iku jowo podo jowo, Karepe kuwi ngono.. Jowo podo jowo, yo unen2 mbangun (Wawancara Mbah Tarno, 5
April 2009)
“lha iya, itu akan nama. Samin itu nama orang. Itu ada gambarnya di dinding. Mbah Surontika, nama kecilnya Raden
260
Kohar. Kalau besar ditambah orang tuanya, Surosentika Samin. Pada zaman Belanda, diatur Belanda itu ndak mau. Makanya, seperti saya ini, zaman itu ya seperti itu, sebab tanah ini kan tanah milik sendiri. Belanda tidak punya di sini. Kenyataanya, Belanda digempur Jepang, pulang tidak bawa apa-apa.” (Maka, orang Jawa itu miliknya sendiri. Burungnya itu jadi lambang. Burung (manuk) itu bisa di ngkak-ngkuk, bisa dibentuk-bentuk. Maka, orang Jawa itu bisa dibentak-bentuk, ditindas oleh penjajah Belanda zaman itu. Tanah milik sendiri, padahal harus punya sifat teguh, makanya jangan menyeleweng [dari prinsip], Makanya itu sesama orang Jawa, seharusnya seperti itu. Jawa dengan Jawa, ya semestinya saling membangun/membantu).
Ungkapan Mbah Tarno ini seakan memberi landasan memori bagi gerakan perlawanan kaum Samin terhadap represi penguasa, dari zaman kolonial sampai kemerdekaan yang diwakili oleh oknum pemerintah dan pengusaha. Penggunaan nama Samin Surosentika sebagai nenek moyang merupakan ‘politik ingatan’ untuk melegitimasi gerakan perlawanan dan juga sebagai usaha menawarkan ‘kebenaran sejarah’ dari pada ‘klaim sejarah’ (Budiawan, “Bung Karno sebagai (Nara) Sumber Pelajaran Sejarah” http://www.kompas.co.id/ kompas-cetak/0603/12/Buku/2501555. htm) Mbah Tarno, sebagai sesepuh Samin di Sukolilo bermaksud untuk mewarisi spirit perjuangan Samin Surosentika kepada sedulur Sikep. Gerakan perlawanan nenek moyang Samin pada awal abad 20 merupakan legitimasi gerakan penolakan eksploitasi semen, bertujuan menjaga sumber penghidupan dan kelestarian alam. Politik ingatan, bagi Homi K. Bhabha tidak hanya bermaksud sebagai usaha reflektif dan historiografis. Ia menyatakan: remembering is never a quiet act of introspection or retrospection. It is a painful re-membering, a putting together of the dismembered past to make sense of the trauma of the present (Bhabha, 1994: 63). Politik ingatan sedulur Sikep tentang
Munawir Aziz -- Identitas Kaum Samin Pasca Kolonia Pergulatan Negara, Agama dan Adat dalam Pro-kontra Pembangunan Pabrik Semen di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah
gerakan perlawanan nenek moyangnya tak sekedar nostalgia, namun menjadi gerakan dalam masa pasca-kolonial. Mengenai hal ini, Leela Gandhi mengungkap bahwa mengingat dan melupakan merupakan strategi bagi kaum terjajah. Melupakan dan menghapus kenangan penjajahan merupakan usaha untuk memulai gerakan emansipasi yang baru, di era pasca-kolonial. Postcolonial amnesia is symptomatic of the urge for historical self-invention or the need to make a new start to erase painful memories of colonial subordination. As it happens, histories, much as families, cannot be freely chosen by a simple act of will, and newly emergent postcolonial nationStates are often deluded and unsuccessful in their attempt to disown the burdens of their colonial inheritance (Gandhi, 1998: 4).
Akan tetapi, pada Sedulur Sikep mengingat-melupakan merupakan proses politik untuk mewariskan semangat perjuangan, seperti yang tampak pada gerakan penolakan eksploitasi material di pengunungan Kendeng. Bahasa menjadi bagian penting dari strategi politik komunikasi dan politik ingatan kaum Samin (Widodo, 2000: 19).
Pondok Pasinaon
Perlawanan terhadap perangkat negara masih tampak pada penolakan untuk sekolah secara formal. Namun, bukan berarti sedulur sikep bodoh dan tidak mengerti perkembangan informasi. Mereka tetap belajar secara berkelompok yang berbasis rumah, yang mereka sebut sebagai ‘pondok pasinaon’ (Rosyid, 2008). Pondok pasinaon ini merupakan semacam sistem dan perangkat budaya bagi warga Sedulur sikep untuk mengajar generasi muda tentang ilmu baca-tulis, menghitung, moral, dan cara menggarap lahan. Di rumah, pada orang tua warga Samin mengajar anaknya dengan prinsip-prinsip moral dalam keseharian. Ilmu baca tulis, menghitung dan nembang (bernyanyi), diajarkan secara komunal di sebuah balai di tengah pemukiman. Di Bombong, Baturejo terdapat sebuah balai untuk pengajaran anak-anak dan pertemuan
warga Sedulur Sikep, begitu juga di daerah Kaliyoso, dan Kudus (Wawancara dengan Gunarti, perempuan sedulur sikep dan penggerak pondok pasionaon, 6 April 2009). Pondok pasionaon ini menjadi media untuk mewariskan etika dan nilai-nilai hidup sedulur sikep kepada generasi penerusnya. Lewat tembang dan dolanan, sikap sedulur sikep terhadap eksploitasi alam ditransformasikan pada anak-anak mereka.
SIMPULAN
Gerakan perlawanan kaum Samin pada awal abad 20 dan abad 21 menampilkan pola yang hampir sama. Jika pada masa kemunculannya, gerakan ini dikampanyekan oleh Samin Surosentika dan pengikutnya untuk melawan rezim kolonial Belanda dengan menolak membayar pajak, dan melawan represi penjajah. Pada masa sekarang, kaum Samin melawan ‘penjajahan’ dalam bentuk ekploitasi mineral di kawasan pegunungan Kendeng oleh oknum pemerintahan dan elit pengusaha. Gerakan perlawanan kaum Samin dalam rencana pembangunan pabrik Semen di Sukolilo, Pati, membawa konsekuensi berupa diskriminasi dan marginalisasi dalam ranah politik dan agama. Pada ranah politik, terjadi diskriminasi wacana dan stigmatisasi untuk meminggirkan sedulur sikep dan warga penentang pembangunan pabrik semen. Pada wilayah agama, stigma kafir sering diucapkan oleh pendakwah yang tidak memahami jalur berpikir warga sikep dan warga Sukolilo yang menolak eksploitasi lingkungan untuk material semen. Warga sedulur sikep dianggap sebagai pembangkang yang menolak pembangunan, bahkan dianggap kafir oleh sekelompok pemuka agama. Akan tetapi, pada ruang kontestasi tersebut, prinsip hidup yang diwariskan dari gerakan perlawanan nenek moyang membentuk worldview dan identitas sedulur sikep. Gerakan kaum Samin pada masa pascakolonial tidak hanya reaktif, tetapi juga aktif ‘menyuarakan’ aspirasinya dengan ekspresi kultural, yaitu (1) keteguhan sikap menolak 261
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 252-263
eksploitasi alam; (2), perlawanan terhadap represi kekuasaan dengan politik ingatan untuk membentuk kesatuan komunal; dan (3) transformasi pengetahuan dan kebudayaan melalui sistem ‘pondok pasinaon’. Dari pondok pasionaon inilah, nilai-nilai moral dan etika sedulur sikep diwariskan kepada generasi mudanya, termasuk sikap terhadap eksploitasi lingkungan. Gerakan sedulur sikep sebagai komunitas subaltern (subaltern community) pada masa pasca-kolonial tak hanya bungkam dalam represi penguasa, tetapi juga bersuara. Setidaknya, kaum Samin dalam gerakannya menjawab lontaran Gayatri Spivak: Can the Subaltern Speak? Dengan aksinya, kaum Samin telah bersuara.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Bennedict ROG, 1996, Gerakan Millenarialisme dan Saminis” (Millenatialism movement and Saminism) in Benedict Anderson (ed), Agama dan Etos Sosial di Indonesia, Bandung: Al-Ma’arif. Aziz, Munawir, 2009a, Wacana Tanding Kaum Samin, Jakarta: Media Indonesia. ______ , 2009b, Omah Kendeng kaum Samin, Jakarta: Kompas. ______ , 2008, Samin, Semen dan Konflik Kepentingan, Jakarta: Kompas. Budiawan, “Bung Karno sebagai (Nara) Sumber Pelajaran Sejarah.” Kompas. http:// www.kompas.co.id/kompascetak/0603/12/Buku/2501555.htm Bhaba, Homi K, 1994, The Location of Culture. London: Routledge. Chaturvedy, Vinayak, 2000, Mapping Subaltern Studies and the Postcolonial, London: Verso. Gandhi, Leela, 1998, Postcolonial Theory: a Critical Introduction. Australia: Allen&Unwin. Hartono, Anton Wahyu, 2005, “Hidup Merdeka Warga ‘’Sikep’’; Berkat Sikap ‘’Teges’’ dan Tak ‘’Ita-itu,’’ Suara Merdeka, 27 Agustus 2005. 262
______ , 2005, Hidup Merdeka Warga “Sikep”; Menjadikan Kejujuran sebagai “Saka Guru.” 28 Agustus 2005. Hutomo, Suripan Sadi, 1996, Tradisi Dari Blora, Semarang: Citra Almamater. King, Victor T, 1973, Some Observations on the Samin Movement of the North-Central Java. BKI. Deel 129, 4e avlevering, ‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff. ______ , 1977, Status, Economic Determinism and Monocausality: More on the Samin. In Bijdragen tot de Taal, Land- en Volkenkunde, Deel 133, 2de/3de Afl. Korver, A. 1976, The Samin Movement and Millenarism, in Bijdragen tot de Taal, Land- en Volkenkunde, 132 (1976), no: 2/3, Leiden, 249-266 Kroef, Justus M. van der, 1952, “The Messiah in Indonesia and Melanesia.” The Scientific Monthly, Vol. 75, No. 3 (Sep., 1952) Nuruddin dkk (editor), 2003, Agama Tradisional Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, Yogyakarta: LkiS. Rosyid, Moh, 2008, Samin Kudus: Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal, Jogjakarta, Pustaka Pelajar. Shiraishi, Takashi, 1990, Dangir’s Testimony: Saminism Reconsidered. Source: Indonesia, Vol. 50, 25th Anniversary Edition (Oct., 1990). Spivak, Gayatri C, 1995, “Can the Subaltern Speak?” In Bill Aschrof, The Postcolonial Studies Reader, London: Routledge. Uzair, Achmad, 2007, Politik Representasi dan Wacana Multikulturalisme dalam Praktik Program Komunitas Adat Terpencil (KAT) Kasus Komunitas Sedulur Sikep Bombong-Bacem. In “Hak Minoritas Dilema Multikulturalisme di Indonesia”. Jakarta: Yayasan Tifa. Van der Kroef, Justus M, 1952, The Messiah in Indonesia and Melanesia. The Scientific Monthly, Vol. 75, No. 3.
Munawir Aziz -- Identitas Kaum Samin Pasca Kolonia Pergulatan Negara, Agama dan Adat dalam Pro-kontra Pembangunan Pabrik Semen di Sukolilo, Pati, Jawa Tengah
Widodo, Amrih, 1997, “Samin in the New Order: The Politics of Encounter and Isolation.” In Jim Schiller and Barbara Martin Schiller (eds). Imagining Indonesia: Cultural Politics and Political Culture, Ohio: Ohio University Press.
______ , 2000, “Untuk Hidup, Tradisi Harus Mati”. Basis, September-Oktober, 2000. Suara Merdeka, 2010, “Tradisi Pernikahan Sedulur Sikep: Pasangan Hidup Samin Tak Ada yang Bercerai.” Semarang: Suara Merdeka. 06 April 2010.
263
KAWISTARA VOLUME 2
No. 3, 22 Desember 2012
Halaman 225-328
BENDERA DI HIZBUT TAHRIR INDONESIA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (KAJIAN KONTEKS SEJARAH, KONTEKS BUDAYA, DAN ESTETIKA SEMIOTIS) Deni Junaedi
Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta Email:
[email protected]
ABSTRACT
This paper discusses flags of Hizb ut-Tahrir Indonesia Yogyakarta (HTI DIY). This organization uses two kinds of flag : liwa and rayah. The color of the liwa is white, and the color of the rayah is black. The charges of both are the profession of faith (shahada) in Arabic Calligraphy. Historically speaking, the Prophet Muhammad used the liwa and the rayah. Politcally speaking, both flags are prepared for the flag of the new Caliphate aspired by Hizb ut – Tahrir (HT). HTI DIY confirms that liwa and rayah are not their flags but flags of islam. The semiotic aesthetics study of the flags includes the study of aesthetic object, aesthetic values, and aesthetics experience. As aesthetic object, the forms of liwa and rayah show varieties. Aesthetic values of those flags consist of symbolic value, which refers to Islam anf the Caliphate; iconic value, i.e. imitation of the Prophet Muhammad flags; and indexical value indicating the activity of the HTI DIY. Aesthetic experiences of the flags experienced by the HTI DIY activists are in the form of the emotional affects, i.e. touched or sublime. Keywords: Liwa and rayah, Hizb ut-Tahrir Indonesia Yogyakarta, semiotic aesthetics, historical context, cultural context.
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji bendera yang digunakan Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (HTI DIY). Organisasi ini menggunakan dua jenis bendera, liwa, dan rayah. Liwa berwarna putih dan rayah berwarna hitam, keduanya bertuliskan kaligrafi Arab berlafaz kalimat sahadat. Dalam konteks sejarah terlihat bahwa liwa dan rayah pernah digunakan oleh Nabi Muhammad. Pada konteks budaya terungkap bahwa liwa dan rayah disiapkan sebagai bendera negara Khilafah yang dicita-citakan oleh Hizbut Tahrir (HT). HTI DIY menegaskan bahwa liwa dan rayah bukan benderanya, tetapi bendera Islam. Analisis estetika semiotis meliputi pembahasan tentang objek estetis, nilai estetis, dan pengalaman estetis. Sebagai objek estetis, bentuk liwa dan rayah di HTI DIY memperlihatkan keragaman visual. Nilai estetis yang terkandung di dalamnya terbagi dalam: nilai simbolis, yaitu mengacu pada Islam dan Khilafah; nilai ikonis, yaitu peniruan terhadap bendera Nabi Muhammad; dan nilai indeksikal, menunjukkan keberadaan HTI DIY. Pengalaman estetis yang dialami aktivis HTI DIY, ketika melihat penggunaan bendera itu, berupa efek emosional yang berujud rasa haru atau emioti. Kata Kunci: Liwa dan rayah, Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, estetika semiotic, konteks sejarah, konteks budaya.
264
Deni Junaedi -- Bendera di Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (Kajian Konteks Sejarah, Konteks Budaya, dan Estetika Semiotis)
PENGANTAR
Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (HTI DIY) merupakan organisasi Islam kontroversial. HTI DIY adalah bagian dari Hizbut Tahrir (HT) yang didirikan oleh Taqiyuddin an-Nabhani di Yerusalem Palestina pada tahun 1953 (Esposito, 2001: 125). Organisasi ini bertujuan untuk mengembalikan kejayaan Islam melalui penegakan negara Khilafah yang menyatukan seluruh dunia (Hizbut Tahrir, 2009: 3). Menurut Muhsin bahwa HT berkembang di lebih dari 70 negara, antara lain yaitu Amerika Serikat, Inggris, Australia, Yaman, Tunisia, Malaysia, dan Indonesia (Amhar, 2010: 9-11). Parpol yang tidak terlibat di parlemen itu sampai ke Indonesia, di kota Bogor, pada tahun 1982. HT di wilayah Indonesia disebut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Konsep HT masuk ke DIY pada tahun 1988, kepengurusannya secara resmi dibentuk pada tahun 1992 (Muhsin, 2007: 117-123). Secara harfiah, Hizbut Tahrir bermakna ‘partai pembebasan’. Dalam bahasa Arab, hizb berarti ‘partai’ dan at-tahrir berarti ‘pembebasan’. Partai ini mendeklarasikan bahwa ideologinya adalah Islam (Esposito, 2001: 125-126). Saat mengelar kegiatan terbuka, HTI DIY hampir selalu mengibarkan dua jenis bendera, yaitu liwa dan rayah. Liwa adalah bendera berwarna dasar putih dan bertuliskan kalimat sahadat berwarna hitam seperti gambar berikut ini.
Gambar 1 Liwa berwarna dasar putih dengan kalimat sahadat berwarna hitam (Foto: Deni Junaedi, 2011)
Kalimat tersebut menggunakan bahasa dan kaligrafi Arab. Lafaz sahadat berbunyi laa ilaaha illaa Allah Muhammad Rasul Allah yang berarti ‘tidak ada Tuhan selain Allah Muhammad rasul Allah’. Kebalikannya, rayah memiliki warna dasar hitam dengan kalimat sahadat berwarna putih seperti gambar berikut ini.
Gambar 2 Rayah berwarna dasar hitam dengan kalimat sahadat berwarna putih (Foto: Deni Junaedi, 2011
Tulisan ini merupakan upaya pemahaman (verstehen) terhadap budaya visual di HTI DIY, yaitu pada penggunaan bendera tersebut. Rumusan masalah yang diajukan adalah: pertama, mengapa liwa dan rayah digunakan oleh HTI DIY?; kedua, bagaimana konteks sejarah bendera tersebut?; ketiga, bagaimana keberadaan bendera itu dalam konteks budaya HTI DIY?; dan keempat, bagaimana estetika semiotis bendera tersebut? Bentuk maupun penggunaan liwa dan rayah telah diteliti oleh Abdullah bin Muhammad bin Sa’d Al-Hujaili (2002) dalam Al-‘Alamu Nabawiy as-Syarif. Ia menggunakan pendekatan historis untuk membahas bendera yang digunakan pada masa Jahiliyah hingga Abasiyah; penekanannya diberikan pada liwa dan rayah yang digunakan Nabi Muhammad. Sumber data yang digunakan adalah hadis Nabi dan catatan sejarah. Pustaka lain yang membahas liwa adalah tulisan Gabriella Elgenius (2007: 17-18), yaitu pada salah satu subbab “The Origin of European National Flags” dalam buku Flag, Nation, Symbolism in Europe and America. Elgenius menyatakan, bangsa Arab menghubungkan warna bendera 265
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 264-275
dengan pemimpin sebelumnya; ini berbeda dengan bangsa Cina yang mengidentifikasi setiap warna bendera dengan konsep filsafat atau agama. Akan tetapi, kedua kepustakaan tersebut tidak menyinggung penggunaannya liwa dan rayah oleh HT, apalagi HTI DIY. Dengan demikian, tulisan Al-Hujaili maupun Elgenius berbeda dengan penelitian ini. Penelitian tentang HTI DIY dikerjakan oleh Illya Muhsin (2007) dalam tesis “Gerakan Penegakan Syariah Islam: Studi tentang Gerakan Sosial Hizbut Tahrir Indonesia di DIY”. Penelitiannya menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografis. Ulasan Muhsin sama sekali tidak menyinggung liwa dan rayah. Studi tentang bendera disebut veksillologi (vexillology). Dalam veksillologi, warna dasar bendera disebut ground. Konfigurasi gambar atau tulisan adalah charge. Material tambahan yang digunakan untuk mendekorasi bendera ialah bunting. Ratio adalah perbandingan proporsi antara sisi tinggi dibanding sisi panjang. Displai (display) merupakan cara pemasangan bendera. (Fault, 2007: 1; Roberts, 2008: 7; Smith, 1984: 348-351). Charge bendera yang digunakan HTI DIY berupa kaligrafi Arab. Dalam bahasa Arab, kaligrafi disebut khat yang berarti ‘garis’ atau ‘tulisan’ dan secara istilah berarti ‘tulisan yang indah’ (AR., 2005: 45). Di antara berbagai khat Arab, terdapat beberapa gaya yang paling menonjol, yaitu naskhi, sulus, diwani, diwani jali, farisi, riqah, dan kufi (AR., 2007: passim). Kajian konteks sejarah menganalisis liwa dan rayah yang digunakan HTI DIY dalam konteks waktu. Tulisan ini menggunakan model sinkronis dalam pencatatan sejarah. Model sinkronis lebih mengutamakan deskripsi yang meluas dalam ruang tanpa terlalu banyak menyinggung dimensi waktu (Kuntowijoyo, 2003: 43). Kajian konteks budaya menganalisis liwa dan rayah dalam budaya HTI DIY. J.J. Honingman mengelompokkan unsur budaya menjadi tiga, yaitu sistem budaya, aktivitas,
266
dan artefak. Sistem budaya terdiri dari gagasan, pikiran, konsep, nilai, norma, pandangan, atau sejenisnya yang bersifat abstrak; aktivitas merupakan tingkah laku berpola para pelaku budaya; dan artefak berupa benda ciptaan manusia (Soekiman, 2000: 40-41). Kajian estetika semiotis merupakan analisis terhadap liwa dan rayah yang digunakan HTI DIY dalam perspektif estetika yang ditempatkan dalam kerangka semiotika. Analisis estetika melalui metodologi semiotika mendefinisikan estetika sebagai “kajian tentang proses estetis”. Proses estetis juga disebut estesis. Istilah ini berkorelasi dengan kata semiosis dalam terminologi semiotika. (Katya Mandoki, 2007: Xi dan 101-102) disebut semio-aesthetics. Untuk hal yang sama bahwa Winfried Nöth dalam metodologi semiotika menggunakan istilah semiotic aesthetics dan semiosis merupakan proses penandaan atau proses penerimaan suatu tanda oleh interpreter (Winfried Nöth, 1990: 42 dan 421). Semiotika adalah studi tentang tanda dan cara kerja tanda (Fiske, 2011: 60). Memanfaatkan model semiosis Charles Sander Peirce untuk diterapkan dalam estesis. Semiosis Peircean bersifat triadik. Sudut segitiganya terdiri dari representamen, object, dan interpertant. Menurut Peirce (1955: 99), representamen adalah sesuatu yang berada bagi seseorang untuk sesuatu yang lain dalam berbagai cara atau kapasitas; bagian ini merupakan aspek material suatu tanda. Object, berbeda dengan pengertian sehari-hari adalah sesuatu yang diacu oleh representament. Interpretant merupakan hal yang muncul pada benak seseorang karena dibangkitkan oleh representament. Segitiga semiosis Peirce diadopsi menjadi segitiga estesis. Sudut representamen ditempati “objek estetis”; object diubah menjadi “nilai estetis”, dan interpretant diganti dengan “pengalaman estetis”. Objek estetis, nilai estetis, maupun pengalaman estetis merupakan ranah pembahasan estetika yang penting (Eaton, 2010: xiii). Nilai estetis menempati puncak segitiga, hal ini untuk menunjukkan bahwa nilai bersifat objektif dan subjektif sekaligus.
Deni Junaedi -- Bendera di Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (Kajian Konteks Sejarah, Konteks Budaya, dan Estetika Semiotis)
Objek estetis adalah apapun yang dapat merangsang kemunculan pengalaman estetis (Thomas Munro,1970: 22). Nilai estetis adalah nilai yang dimiliki objek terkait dengan kapasitasnya untuk membangkitkan kesenangan, yang muncul dari ciri objek yang secara tradisional dianggap berharga untuk diperhatikan dan direfleksikan (Marcia Muelder Eaton, 2010:181). Adapun pengalaman estetis adalah pengalaman tentang tanda intrinsik sesuatu yang secara tradisional dianggap berharga untuk diperhatikan dan direfleksikan. Secara ringkas, kerangka teoretik ini dapat dilihat pada skema di bawah ini.
Dwijatmiko, anggota HTI DIY dan desainer logo HTI maupun desainer visual kegiatan HTI; Eko Pujiyanto dan Nunuk Dwi Hariyani, produsen liwa dan rayah dari Ahsanta Design and Product; dan beberapa anggota maupun pelajar HTI DIY. Studi dokumen dilakukan terhadap bendera, foto, video, dan terbitan resmi HT, HTI, atau HTI DIY. Terbitan HT berupa buku materi halqoh, majalah al-Wa’ie, tabloit Media Umat, buletin al-Islam, selebaran, spanduk, banner, poster, maupun website HT.
PEMBAHASAN
Pembahasan penelitian terbagi dalam tiga subbab, yaitu liwa dan rayah dalam konteks sejarah, liwa dan rayah dalam konteks budaya HTI DIY, dan estetika semiotis liwa dan rayah di HTI DIY.
1. Liwa dan Rayah dalam Konteks Sejarah
Gambar 3 Skema teori (Dibuat oleh: Deni Junaedi, 2011)
Observasi dilakukan pada kegiatan HTI DIY dengan penekanan pada penggunaan liwa dan rayah. Kegiatan tersebut meliputi masirah (demonstrasi), konferensi, seminar, diskusi, pawai, bantuan bencana alam, syawalan, kajian kitab HT, halqah (lingkar studi), dan pertemuan internal sabab (aktivis) HTI DIY. Wawancara dilakukan terhadap: Ismail Yusanto, Juru Bicara HTI; Rosyid Supriyadi, Ketua DPD I HTI DIY; Dhuha Ghufron, Penanggungjawab (Mas’ul) HTI DIY; Aruman, anggota HTI DIY yang juga kaligrafer (khattat) liwa dan rayah; Andika
Setelah Negara Islam terbentuk di Madinah pada tahun 622, Nabi Muhammad memerintahkan penggunaan liwa (bendera) dan rayah (panji). Liwa berwarna dasar putih, sedangkan rayah menggunakan ground hitam. Hal ini sesuai dengan hadis yang disampaikan Ibnu Abas, “Rayah Rasulullah saw berwarna hitam, dan liwa-nya berwarna putih.” Hadis serupa juga diriwayatkan oleh Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah bin Buraidah, maupun Rasyid bin Saad (AlHujaili, 2002: 44-50). Charge liwa yang digunakan Nabi Muhammad berupa kalimat sahadat. Hal ini terekam dalam hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah dan Ibnu Abbas, “Liwa Nabi saw tertulis laa ilaaha illaa Allah Muhammad Rasul Allah.” Mahmud Abbas memperkirakan bahan yang digunakan untuk menulis adalah arang hitam atau jelaga yang dicampur dengan getah pohon (Al-Hujaili, 2002: 65-67). Umumnya, liwa dan rayah pada zaman Nabi Muhammad digunakan dalam peperangan. Liwa berada di dekat pemimpin tertinggi atau wakilnya, sedangakan rayah digunakan untuk komandan bagian. Dalam bahasa militer modern, Abdul Qadim Zallum (2002: 191) menyatakan, liwa untuk 267
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 264-275
menandakan komandan resimen, sedangkan rayah dibawa komandan batalion. Dengan demikian, pada sebuah peperangan hanya terdapat sebuah liwa dan dimungkinkan ada beberapa rayah (Al-Hujaili, 2002: 32-36). Setelah Nabi Muhammad wafat pada tahun 632, pemerintahan Islam diteruskan sahabatnya. Periode Khulafaur Rasyidin ini tetap menjaga penggunaan panji hitam. Khalid bin Walid diangkat Abu Bakar sebagai panglima perang di Damaskus, membawa rayah, dan mengibarkannya ketika memerangi bani Hanifah dan nabi palsu Musailamah. Demikian juga, saat perang Jamal, Ali membawa panji berwarna hitam (Al-Hujaili, 2001: 121-123; Khalid, 2006: 351). Selanjutnya, di periode Khilafah Umawiyah hingga Usmaniyah bermunculan berbagai jenis bendera; periode ini sangat panjang, sejak tahun 661 hingga saat keruntuhan Khilafah tahun 1924. Ground yang ada adalah putih, hitam, hijau, dan merah. Adapun charge yang dibubuhkan meliputi kaligrafi Arab baik berupa kalimat sahadat maupun selain lafaz itu; gambar bulan sabit dan bintang atau hanya bulan sabit; pedang, baik pedang Zulfiqar maupun pedang berujung satu; lingkaran yang mengingatkan pada stempel nabi; dan, kendati sedikit, juga gambar mahluk hidup baik manusia atau binatang. Di periode setelah keruntuhan Khilafah, tipe bendera Barat mempengaruhi bendera negara bangsa (nation state) di negeri Muslim. Secara visual pengaruh itu terdapat pada komposisi bicolor, tricolor, atau tribar. Bicolor adalah pola bendera dua warna baik terkomposisi secara vertikal maupun horisontal. Tricolor terdiri dari tiga warna yang berderet vertikal. Tribar terkomposisi dari tiga warna yang berjajar secara horisontal. Setelah keruntuhan Khilafah banyak organisasi Islam terbentuk. Di antaranya terdapat beberapa organisasi yang menggunakan liwa dan terutama rayah. Liwa dan rayah yang digunakan organisasi Islam selain HT kerap kali tidak hanya bertuliskan kalimat sahadat, tetapi ditambah gambar pedang. Organisasi Islam yang menggunakan rayah, antara lain Al-Qaeda; Osama bin Laden,
268
pemimpinnya, sering ditampilkan berpidato dengan latar belakang rayah (As-Suri, 2010: 81). HT adalah salah satu organisasi Islam yang mengibarkan liwa dan rayah. Di belahan bumi manapun, HT mengibarkan bendera yang sama. Hal itu terjadi karena HT menyebarkan pemikirannya melalui buku yang sama. Di Indonesia, liwa dan rayah mulai dikibarkan secara terbuka sejak tahun 2000 dalam acara Konferensi Khilafah Islamiyah. Dengan demikian, HTI mesti menunggu pengibarannya selama delapan belas tahun sejak masuk ke Indonesia yang saat itu masih berada di bawah pemerintahan Orde Baru. Sebagai bagian dari HTI, HTI DIY terlibat dalam Konferensi Khilafah Islamiyah. Secara ringkas, posisi liwa dan rayah dalam konteks sejarah dapat dilihat dalam skema di gambar 4 di bawah ini.
Gambar 4. Skema posisi liwa dan rayah dalam konteks sejarah (Dibuat oleh: Deni Junaedi, 2012)
Deni Junaedi -- Bendera di Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (Kajian Konteks Sejarah, Konteks Budaya, dan Estetika Semiotis)
2. Liwa dan Rayah dalam Konteks Budaya HTI DIY
Liwa dan rayah dalam konteks budaya HTI DIY dapat dilihat dalam tiga ranah, yaitu sistem budaya, aktivitas, dan artefak. Sistem budaya terkait dengan pemikiran HT yang dianut HTI DIY terkait dengan bendera tersebut; aktivitas merupakan kegiatan yang dilakukan HTI DIY terkait dengan liwa dan rayah; sedangkan artefak adalah liwa dan rayah itu sendiri maupun benda yang berhubungan dengan bendera itu. Pada tataran sistem budaya, landasan utama HTI DIY adalah bangunan keimanan yang diperoleh dengan akal (dalil aqli) maupun didasarkan pada kutipan al-Quran dan hadis mutawatir (dalil naqli). Keimanan berdasarkan akal meliputi keimanan pada keberadaan Pencipta, kemukjizatan alQuran, dan kenabian Muhammad; keimanan berdasarkan kutipan (naqli) diterapkan pada hal gaib lainnya. Persoalan ini dibahas dalam buku resmi HT yang berjudul Nizham al-Islam (peraturan hidup dalam Islam) (An-Nabhani, 2001b: 4-13). Cara untuk membuktikan keberadaan Pencipta adalah dengan memperhatikan alam, kehidupan, dan manusia. Ketiga hal itu memiliki sifat terbatas dan tergantung dengan yang lain. Sesuatu yang bersifat batas dan tergantung dengan yang lain membutuhkan hal yang tidak terbatas dan tidak tergantung dengan yang lain, yaitu Pencipta (al-Khaliq). Dengan demikian, keberadaan Pencipta adalah keniscayaan (wajibul wujud) karena tidak terbatas, Pencipta tidak diciptakan oleh pencipta lain atau menciptakan dirinya sendiri, tetapi bersifat azali atau tidak berawal dan tidak berakhir. Berdasarkan naluri beragama (yang perwujudannya dapat berupa pengagungan atas sesuatu), maka manusia akan berusaha beribadah kepada Pencipta. Untuk melakukannya, manusia memerlukan pedoman yang berasal dari Pencipta. Keterangan ulama lain, an-Nabhani menyatakan bahwa al-Quran merupakan pedoman yang berasal dari Pencipta. Hal ini dibuktikan dengan ayat yang berisi tantangan
bagi orang yang meragukannya. Para peragu diminta untuk membuat surat yang semisal dengan al-Quran. Tantangan semacam itu, antara lain terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 23, “Dan jika kamu dalam keraguan tentang al-Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat yang semisal dengannya, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” Tantangan tersebut tidak terjawab hingga kini. Ayat selanjutnya mempertegas, “Maka jika kamu tidak dapat membuat, dan pasti kamu tidak akan dapat membuat, peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya berupa manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir.” Dengan demikian, HT menegaskan, kemukjizatan bahwa alQuran dari Pencipta tidak terbantahkan. Muhammad yang membawa al-Quran, sebagai mukjizatnya, mengindikasikan kedudukannya sebagai nabi. Selanjutnya, keimanan tersebut diimplementasikan dalam segala perilaku. Peraturan Islam menurut HT mengatur tiga aspek, yaitu hubungan manusia dengan Pencipta, dengan dirinya sendiri, dan dengan sesamanya. Aspek pertama meliputi perkara akidah dan ibadah; aspek kedua terkait dengan akhlak, makanan, dan pakaian; aspek terakhir termasuk dalam pengaturan negara (An-Nabhani, 2001b: 79). Negara dalam sistem Islam berbentuk Khilafah. Pemerintahan yang dipimpin seorang Khalifah ini menyatukan seluruh dunia berdasarkan syariah Islam. Penegakan Khilafah menjadi titik penekanan perjuangan HT. Walaupun bertujuan mendirikan negara, dalam perjuangannya HT melarang penggunaan senjata atau perlawanan fisik (Redaksi Al-Wa’ie, 2011: 20). Metode yang digunakan HT untuk mendirikan Khilafah terdiri dari tiga tahap, yaitu pembentukan kutlah, tafaul maal ummah, dan thalabun nushrah. Pembentukan kutlah adalah tahap pembentukan kelompok, dalam hal ini merupakan pembentukan partai politik. Tafaul maal ummah merupakan fase interaksi HT terhadap umat atau masyarakat. Thalabun nushrah adalah babak pencarian dukungan
269
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 264-275
dari pemiliki kekuatan (militer) agar mau menyerahkan kekuasaan. (An-Nabhani, 2001a: 30-55). Cara ini mencontoh Nabi Muhammad ketika melakukan penegakan negara Islam di Madinah (Al-Jawi, 2011: 17-21). Berdasarkan telaah hadis, HT menyimpulkan bahwa negara Khilafah harus menggunakan liwa (bendera) dan rayah (panji). Bahkan, HT mencantumkan penggunaan liwa dan rayah dalam Rancangan Undang-Undang Dasar (Dustur) Negara Islam. Bab Angkatan Bersenjata Pasal 60 menyebutkan, “Dalam angkatan bersenjata ditentukan keberadaan liwa dan rayah” (An-Nabhani, 2001b: 102). Selanjutnya, dalam tataran aktivitas, maka liwa dan rayah dipakai untuk kegiatan HTI DIY yang bersifat terbuka, seperti masirah (unjuk rasa), konferensi, seminar, diskusi, maupun bantuan bencana alam. Adapaun kegitan yang bersifat internal tidak memakainya, misalnya, halqoh rutin atau rapat sabab HTI DIY. Pada tataran artefak, maka liwa dan rayah merupakan benda penting di HTI DIY; hal ini terindikasi dari penggunaannya dalam berbagai kegiatan. Selain itu, liwa dan rayah sering menjadi sumber inspirasi untuk membuat desain visual, misalnya, untuk logo HTI bahwa artefak di HTI DIY yang terinspirasi oleh liwa maupun rayah dapat dipandang sebagai derivasi dari bendera di bawah ini.
Secara ringkas, posisi liwa dan rayah dalam konteks budaya HTI DIY dapat dilihat di skema pada gambar 6.
Gambar 6 Skema posisi liwa dan rayah dalam konteks budaya HTI DIY (Dibuat oleh: Deni Junaedi, 2012)
3. Estetika Semiotis Liwa dan Rayah di HTI DIY
Gambar 5. Logo HTI (Desain oleh: Andika Dwijatmiko)
270
Liwa dan rayah dapat dipandang sebagai objek estetis karena mampu membangkitkan pengalaman estetis. Objek estetis yang berupa karya seni rupa, maka objek tersebut memiliki bentuk yang terbuat dari material tertentu dan dikerjakan dengan teknik tertentu. Kebanyakan bendera di HTI DIY terbuat dari bahan kain dengan teknik sablon. Selain itu, sebagian bendera juga dibuat dari kertas dengan teknik fotokopi dan vinil dengan teknik cetak digital.
Deni Junaedi -- Bendera di Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (Kajian Konteks Sejarah, Konteks Budaya, dan Estetika Semiotis)
Secara visual, liwa memiliki ground putih dengan charge kalimat sahadat berwarna hitam. Sebaliknya, rayah memiliki ground hitam dengan kalimat sahadat berwarna putih. Sebagian bendera di HTI DIY menggunakan bunting atau hiasan berupa rumbai. Semua bendera yang digunakan HTI DIY menggunakan khat sulus, tetapi komposisinya beragam, misalnya terdapat yang berkomposisi segiempat (gambar 1), lingkaran (gambar. 7), atau segiempat dengan penekanan lafaz Allah di bagian tengah atas (gambar. 8). Keragaman juga terjadi pada ukuran, rasio, maupun displai.
Gambar 1 Liwa berwarna dasar putih dengan kalimat sahadat berwarna hitam (Foto: Deni Junaedi, 2011)
Gambar 7 Komposisi khat berbentuk lingkaran (Foto: Deni Junaedi, 2011)
Gambar 8 Komposisi segiempat dengan penekanan pada lafaz Allah di bagian tengah atas (Foto: Deni Junaedi, 2011)
Sebagai objek estetis, liwa dan rayah memiliki nilai estetis. Nilai estetis yang terkandung pada bendera itu meliputi nilai simbolis, nilai ikonis, dan nilai indeksikal. Nilai simbolik merupakan kaitan antara bendera tersebut dengan Islam dan konsep penegakan Khilafah. Hubungan liwa dan rayah dengan Islam dapat dilihat pada charge bendera tersebut, yaitu kalimat sahadat. Pernyataan laa ilaaha illa Allah Muhammad Rasul Allah hanya ada di dalam Islam, dan menjadi syarat mutlak yang harus diucapkan seseorang ketika menyatakan keislamannya. Kalimat tersebut juga selalu dibaca saat orang Muslim melaksanakan sholat. Keterkaitan liwa dan rayah dengan Islam, dalam konteks HTI DIY, ditegaskan melalui pernyataan Rasyid Supriyadi, Ketua DPD HTI DIY bahwa bendera tersebut bukanlah bendera HT atau organisasi tertentu, tetapi bendera Islam. Selain itu, secara terbuka dalam aksi “Mengutuk Rencana Pembakaran al-Quran” di depan Kantor Pos Pusat Yogyakarta tanggal 29 Agustus 2010, orator aksi menyerukan, “Kibarkan liwa dan rayah! Bendera itu adalah bendera Rasulullah, bendera umat Islam, bukan bendera organisasi manapun.” Liwa dan rayah di HTI DIY juga menjadi simbol penegakan Khilafah. Dengan kata lain, bendera itu memiliki kapasitas untuk
271
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 264-275
dikaitkan dengan ide penegakan Khilafah. Pada beberapa buku resmi HT keberadaan liwa dan rayah terkait erat dengan negara Khilafah (An-Nabhani: 2009, 310; AnNabhani, 2001b: 102; An-Nabhani, 2003: 310314; Hizbut Tahrir, 2005: 169-172). Nilai ikonis pada liwa dan rayah di HTI DIY mengindikasikan bendera tersebut memiliki kesamaan dengan acuannya. Dalam hal ini, acuan tersebut adalah bendera yang digunakan Nabi Muhammad. Dengan kata lain, liwa dan rayah di HTI DIY bernilai ikonis karena meniru bendera Rasulullah; warna putih maupun hitam sama sekali tidak memiliki makna tertentu sebagaimana kebanyakan warna bendera, seperti putih berarti suci. Liwa dan rayah memiliki nilai indeksikal. Ini berarti pengibaran liwa dan rayah di DIY mengindikasikan keberadaan kegiatan HTI DIY. Contohnya adalah pemasangan liwa dan rayah di jalan lingkar Yogyakarta tanggal 19 Juni 2011 yang mengindikasikan kegiatan Konferensi Rajab (Konjab) 1432 H yang diselenggarakan HTI DIY. Akan tetapi, terdapat kemungkinan, meskipun kecil bahwa pemakaian liwa dan rayah di DIY tidak mengindikasikan keberadaan kegiatan HTI DIY. Hal ini mengingat bendera tersebut kadang juga digunakan oleh organisasi Islam lainnya, misalnya, oleh Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), meskipun rayah di MMI ditambah dengan gambar pedang. Pengalaman estetis yang dirasakan aktivis atau sabab HTI DIY ketika melihat penggunaan liwa dan rayah berupa efek emosional. Namun demikian, bendera itu tidak hanya menyebabkan efek emosional, tetapi juga efek energetis dan efek logikal. Efek energetis, meskipun bukan bentuk pengalaman estetis merupakan aspek penambah pengalaman estetis dan juga aspek yang terlihat dari pengalaman estetis. Demikian pula, pengalaman estetis terkait dan terjadi secara bersama dengan efek logikal. Efek emosional merupakan perasaan yang timbul pada sabab HTI DIY saat menyaksikan pengibaran liwa dan rayah. Efek tersebut berupa perasaan haru. Keterharuan
272
atau yang terkait dengannya seperti rasa ingin menangis diakui oleh sabab HTI DIY. Rasyid Supriyadi adalah Ketua DPD I HTI DIY merasa terharu, setelah menyaksikan pengibaran liwa dan rayah pada acara Konjab 1432 H tanggal 19 Juni 2011. Pentas pengibaran liwa dan rayah yang berlangsung di Jogja Expo Center (JEC) itu juga menimbulkan perasaan haru bagi seorang daris (pelajar) HTI DIY, bahkan mengaku hampir tidak dapat menahan tangis, “Saya tidak berani menoleh ke sebelah, karena air mataku akan jatuh.” Demikian pula, pernyataan anggota HTI DIY yang bertugas menjawab pertanyaan wartawan pada acara itu menggambarkan perasaan haru yang dirasakan pada sebagian besar sabab HTI DIY, “Banyak peserta Konjab yang akan menangis saat menyaksikan pengibaran liwa dan rayah.” Keterharuan yang dirasakan sabab HTI DIY merupakan campuran antara perasaan senang, bangga, semangat, kagum, terpesona, dan sekaligus merasa berhadapan dengan sesuatu yang besar. Perasaan seperti itu, meskipun tidak sepenuhnya, merupakan bentuk kondisi sublim (sublime). Sublim pada abad ke-18 merupakan pengalaman tentang astonishment. Astonishment adalah gerakan jiwa yang tertahan dan dengan sedikit unsur rasa mencekam (horror) (Edmund Burke, 1764: 95). Baik Burke maupan Kant memberikan contoh sublim dengan pengalaman ketika berhadapan dengan keagungan alam, misalnya, gunung yang tinggi atau padang pasir yang luas (Crawford, 2005: 58). Konsep Khilafah sebagai negara superpower yang dicita-citakan HT, dan liwa dan rayah yang menjadi simbol penegakan Khilafah, menjadikan bendera itu berefek bagi sabab HTI DIY sebagaimana berhadapan dengan sesuatu yang besar. Keterpesonaan pada sesuatu yang besar ini, sedikit atau banyak, dapat dibandingkan dengan ketika seseorang menghadapi alam yang secara fisik lebih besar dari dirinya. Dengan demikian, kondisi sublim dapat digunakan untuk menamai pengalaman estetis yang dirasakan sabab HTI DIY ketika melihat penggunaan liwa dan rayah. Pengalaman estetis yang dirasakan sabab HTI DIY itu kadang diperkuat dengan
Deni Junaedi -- Bendera di Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (Kajian Konteks Sejarah, Konteks Budaya, dan Estetika Semiotis)
efek energetis. Efek yang bukan termasuk pengalaman estetis ini berupa acungan kepalan tangan dan teriakan takbir. Pada saat yang bersamaan, pengibaran bendera itu menimbulkan efek logikal, yaitu pemikiran yang mengaitkan liwa dan rayah dengan Islam dan Khilafah. Efek ini juga bukan termasuk pengalaman estetis, tetapi tanpa unsur logikal pengalaman estetis tidak akan muncul. Proses kemunculan pengalaman estetis yang dibangkitkan oleh objek estetis di bawah pengaruh nilai estetis disebut estesis. Pengalaman estetis yang muncul pada sabab HTI DIY saat mengamati penggunaan liwa dan rayah sebagai objek estetis dipengaruhi oleh nilai estetis yang terkandung pada objek tersebut, yaitu nilai simbolis, nilai ikonis, dan nilai indeksikal. Nilai tersebut terkandung di dalam objek, yaitu liwa dan rayah, dan tertangkap oleh subjek, yaitu sabab HTI DIY. Secara singkat, estesis yang terjadi pada penggunaan liwa dan rayah di HTI DIY dapat dilihat di skema pada gambar 9.
SIMPULAN
Liwa dan rayah digunakan HTI DIY sebagai upaya peniruan terhadap bendera Nabi Muhammad dan bendera tersebut dipersiapkan sebagai bendera negara Khilafah yang dicita-citakan HT; liwa dan rayah tidak dianggap sebagai bendera HTI DIY, HT, maupun organisasi manapun, tetapi bendera milik umat Islam. Dalam konteks sejarah, penggunaan bendera di HTI DIY merupakan fenomena pengulangan sejarah sebagaimana penggunaan bendera pada periode Nabi Muhammad.. Dalam konteks budaya, liwa dan rayah merupakan artefak penting di HTI DIY karena hampir selalu digunakan dalam kegiatannya yang bersifat terbuka; penggunaan bendera itu didasari sistem budaya yang dipelajari sabab HTI DIY. Dalam estetika semiotis, proses estetis atau estesis terjadi karena liwa dan rayah sebagai objek estetis, yaitu membangkitkan pengalaman estetis pada sabab HTI DIY. Pengalaman itu muncul karena sabab HTI DIY mampu menangkap nilai estetis yang terkandung dalam bendera itu dan kemampuan penangkapan nilai ini tidak terlepas dari pembelajaran yang diterima aktivis HTI DIY.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hujaili, Abdullah bin Muhammad bi Sa’d, 2002, Al-‘Alamu Nabawiy asSyarif wa Tatbiqatihi al-Qadimatu wa al-Ma’ashiratu. Madinah alMunawarah: Maktabat al-‘Ulum wa al-Khikam. Al-Jawi, Shidiq, 2011, “Thalabul-Nushrah: Kunci Perubahan Haqiqi”, dalam majalah Al-Wa’ie. Jakarta: HTI, no. 129, tahun XI, 1-31 Mei. Amhar, Fahmi, 2010, “Peta Global Perjuangan Menegakkan Khilafah”, dalam majalah Al-Wa’ie. Jakarta: HTI, No. 119, Tahun X,1-31 Juli. Gambar 9 Skema estetika semiotis liwa dan rayah di HTI DIY (Dibuat oleh: Deni Junaedi, 2012)
An-Nabhani, Taqiyuddin, 2001a, At-Takattul al-Hizbiy. Tanpa kota: Hizbut Tahrir.
273
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 264-275
______ , 2001b, Nizamul al-Islam. Tanpa kota: Hizbut Tahrir. ______ , 2003, Kepribadian Islam, terj. Agung Wijayanto, et al. Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, cetakan ke-5. ______ , 2009, Daulah Islam, Terj. Umar Faruq. Jakarta: HTI Pres, cetakan ke-4. AR., D. Sirojuddin, 2005, “Kaligrafi” dalam Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. ______ , 2007, Koleksi Karya Master Kaligrafi Islam (Naskhi, Sulus, Diwani, Diwani Jali, Farisi, Kufi, Riq’ah). Jakarta: Darul Ulum Press. As-Suri, Abu Mush’ab, 2010, Perjalanan Gerakan Jihad (1930-2002): Sejarah, Eksperimen, dan Evaluasi, terj. Agus Suwandi. Solo: Jazera. Burke, Edmund, 1764, A Philosophical Enquiry into the Origin Of Our Ideas of the Sublime and Beautiful. London: R. and J. Dodsley. Crawford, Donal W., 2005, “Kant”, dalam Berys Gault dan Dominic Mclver Lopes, The Routledge Companian to Aesthetics. London dan New York: Routledge. Eaton, Marcia Muelder, 2010, Persoalanpersoalan Dasar Estetika, terj. Embun Kenyowati Ekosiwi. Jakarta: Salemba Humanika. Elgenius, Gabriella, 2007, “The Origin of European National Flags”, dalam Thomas Hylland Eriksen dan Richard Jenkins, ed., Flag, Nation, Symbolism in Europe and America. New York: Routledge. Esposito, John L., ed., 2001, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World, volume 2. New York: Oxford University Press. Fault, Michael, ed., 2007, “50 Years of Vexillology”, dalam jurnal Flagmaster the Journal of the Flag Institute. York, issue 124, Agustus.
274
Fiske, John, 2011, Cultural and Communication Studies, terj. Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim. Yogyakarta: Jalasutra. Hizbut Tahrir, 2005, Ajhizah ad-Daulah alKhilafah. Libanon: Darul Umah, 2005. ______ , 2009, Mengenal Hizbut Tahrir dan Strategi Dakwah Hizbut Tahrir, terj. Abu Afif dan Nur Khalish. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, cetakan ke3. Khalid, Khalid Muh., 2006, Karakteristik Perihidup Enam Puluh Shahabat Rasulullah, terj. Mahyuddun Syaf. Bandung: Diponegoro, cetakan ke20. Kuntowijoyo, 2003, Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, cetakan ke-2. Mandoki, Katya, 2007, Everyday Aesthetics: Prosaics, the Play of Culture and Social Identities. Hampshire: Ashgate. Muhsin, Illya, 2007, “Gerakan Penegakan Syariah Islam: Studi tentang Gerakan Sosial Hizbut Tahrir Indoensia di DIY”. Tesis Program Studi Sosiologi Sekolah Pascasarjana UGM. Munro, Thomas, 1970, Form and Style in the Arts: an Introduction to Aesthetic Morpology. Cleveland: The Press of Case Western University. Nöth, Winfried, 1990, Handbook of Semiotics. Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press. Peirce, Charles Sander, 1955, “Logic as Semiotic: The Theory of Sign”, dalam Justus Bucher, ed., Philosophical Writing of Peirce. New York: Dover. Redaksi Al-Wa’ie, 2011, “Rachmad S. Labib: Hizbut Tahrir Tidak Menggunakan Kekerasan”, dalam majalah Al-Wa’ie. Jakarta: HTI, No.18 ,Tahun XI, 1-30 Juni.
Deni Junaedi -- Bendera di Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (Kajian Konteks Sejarah, Konteks Budaya, dan Estetika Semiotis)
Roberts, David, 2008, Complete Flags of the World. London, New York, Melbourne, Munich, dan Delhi: DK, cetakan ke-7.
Soekiman, Djoko, 2000, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII – Medio Abad XX). Yogyakarta: Bentang Budaya.
Smith, Whitney, 1984, The Encyclopedia Americana International Edition, Volume 11. Connecticut: Grolier Incorporated.
Zallum,
Abdul Qadim, 2002, Sistem Pemerintahan Islam, terj. M. Maghfur W. Bangil: Al-Izzah, cetakan ke-3.
275
KAWISTARA VOLUME 2
No. 3, 22 Desember 2012
Halaman 225-328
TRADISI “BERZANJEN” MASYARAKAT BANYUWANGI KAJIAN RESEPSI SASTRA TERHADAP TEKS ALBARZANJI Hasim Ashari
Program Studi Agama dan Lintas Budaya Minat Studi Kajian Timur Tengah Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dan Sekolah Tinggi Islam Blambangan Jawa Timur Email:
[email protected]
Sangidu, Fadli Munawar Manshur, dan Kun Zachrun Istanti Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT
The text of Maulid Al-Barzanji is an Arabic religious literature. It is an old text, but still well accepted by Indonesian Muslim society. In Banyuwangi, East Java, the text is even very popular. People of Banyuwangi recite the text in several accasions such as wedding ceremony, circumcision, birth of child, the celebration of the Prophet birthday, and so forth. Recitation of the text has been even a kind of art performance. These practices show that Arab- Islam culture has transformed in Banyuwangi and even contributed to cultural changes in Banyuwangi, East Java. Keywords: Al-Barzanji, Arabic Literature, tradition.
ABSTRAK
Teks Maulid Al-Barzanji dapat dianggap sebagai karya sastra Arab keagamaan atau sastra kitab yang sudah begitu tua dan masih dapat diterima oleh masyarakat luas dari waktu ke waktu, bahkan menjadi populer dalam kehidupan masyarakat Banyuwangi Jawa Timur. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila teks maulid Al-Barzanji mampu mengundang perhatian masyarakat Banyuwangi dalam berbagai bentuk sambutan. Bentuk-bentuk sambutan atas teks maulid Al-Barzanji tersebut berupa tradisi lisan pembacaan pada kegiatan-kegiatan keagamaan di antaranya dibaca dalam acara pernikahan, khitan, kelahiran anak, maulid Nabi Muhammad saw, dan bahkan digunakan sebagai seni pertunjukan (performing art). Sambutan dalam berbagai tradisi tersebut merupakan suatu wujud dari proses transformasi budaya Arab-Islam pada masyarakat Banyuwangi Jawa Timur yang mampu membawa perubahan yang signifikan dalam tatanan kebudayaan masyarakat Banyuwangi Jawa Timur. Kata Kunci: Al-Barzanji, Sastra Arab, Tradisi
276
Hasim Ashari -- Tradisi “Berzanjen” Masyarakat Banyuwangi Kajian Resepsi Sastra Terhadap Teks Al-Barzanji
PENGANTAR
Kata “Berzanjen” diambil dari nama pengarang teks Al-Barzanji yaitu Ja’far AlBarzanji. Keistimewaan dari karya Ja’far AlBarzanji (teks Al-Barzanji) ini adalah pada kenyataannya karya tulis tersebut tidak hanya berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan saja. Namun, dengan segala potensi dan keberadaannya, karya ini telah ikut membentuk tradisi keagamaan dan mengembangkan kebudayaan Islam di Indonesia, khususnya di lingkungan masyarakat Banyuwangi Jawa Timur. Salah satu tradisi keagamaan masyarakat Banyuwangi tersebut adalah acara “Berzanjen”, yaitu acara pembacaan teks Al-Barzanji yang sering disebut juga dengan Berzanjenan. Acara ini biasa dilakukan dalam momen-momen upacara keagamaan masyarakat Banyuwangi Jawa Timur, di antaranya dibaca ketika upacara pernikahan, upacara menyambut kelahiran bayi, aqikahan, khitanan, maulid Nabi saw, dan upacara pelepasan haji. Dalam prosesi pembacaan teks Al-Barzanji tersebut para peserta kelihatan khusuk dan menghayati kalimat demi kalimat yang dibacanya sehingga terkesan kesakralan teks tersebut. Kesakralan suasana pembacaan teks Al-Barzanji ini, terbangun oleh alunan pelantun dan pembaca prosa lirik AlBarzanji dan kekhusyukan para peserta, yang sering pula memberikan senggakan berupa lafadl “Allah” setiap satu kalimat selesai dibaca. Namun, ada pula kelompok masyarakat tertentu, yang sering disertai dengan iringan musik serta tarian, sehingga menambah kekhusyukan peserta. Hal-hal yang mendatangkan kekhusyukan itulah yang sering mendatangkan kerinduan pada peserta, untuk tetap merengkuh pembacaan teks Al-Barzanji sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi keagamaannya. Fenomena saat pembacaan Al-Barzanji srokalan (machal al-qiyâm) semua peserta berdiri dan suasana yang terbangun sangat sakral. Pada saat berdiri untuk menyanyikan shalawat asyraqal badru, setelah imam atau orang yang membaca prosa lirik sampai
pada cerita kelahiran Nabi, suasananya sangat khusyuk. Hal ini merupakan ekspresi kegembiraan yang luar biasa atas kelahiran Nabi saw. Walaupun hal ini merupakan sesuatu yang tidak atau sulit diterima pemikiran logis, tetapi bagi kalangan pengikut pembacaan dipegang secara kuat. Fenomena munculnya pembacaan yang beraneka macam terhadap teks Al-Barzanji di atas, memperlihatkan peran besar pembaca dalam menemukan maknanya. Peran pembaca dengan latar belakang konteks yang berbeda, pastinya akan menghasilkan pembacaan yang berbeda pula, sehingga fenomena ini memperlihatkan betapa pentingnya peran latar belakang pembaca bagi pembacaan suatu teks karya sastra. Gejala seperti terungkap dalam pembahasan di atas telah mengundang perhatian para pengamat sastra untuk mempertimbangkan kondisi kontekstual suatu karya sastra dalam kaitannya dengan penerimaan oleh pembaca. Konteks dan kondisi penerimaan yang dimaksud adalah konteks masyarakat Banyuwangi Jawa Timur mempunyai banyak varian dan tanggapan dalam proses pembacaan teks Al-Barzanji, diantaranya pembacaan teks Al-Barzanji ketika pelepasan jama’ah haji, kelahiran anak, akiqah, khitan, pernikahan, dan maulid Nabi Muhammad saw. Fenomena tanggapan terhadap teks Al-Barzanji ini, menarik penulis untuk mempertimbangkan penelitian terhadap teks Al-Barzanji yang didasarkan pada faktor penerimaan, dalam arti, penyelidikan yang ditumpukan pada reaksi pembaca masyarakat Banyuwangi Jawa Timur dalam menghadapi teks Al-Barzanji yang sering disebut dengan kajian resepsi sastra.
PEMBAHASAN Sejarah Intelektual Al-Barzanji
Teks Al-Barzanji ditulis oleh Ja’far Al-Barzanji Ibn Hasan Ibn ‘Abdul Karim Ibn Muhammad Ibn Abdul Rasul, dengan judul asli ‘Iqd Al-Jawâhir (kalung permata), sedangkan penamaan Al-Barzanji dalam judul karya tersebut adalah dibangsakan kepada nama penulisnya, yang diambil 277
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 276-284
dari tempat asal keturunannya yaitu daerah Barzanj sebuah desa di wilayah SyahrazurIrak (Abi ‘Abdillah, tt: 382; Anies, 1983: 9). Bila dilihat dari bentuknya, menurut Annemarie Schimmel (1991: 214) seorang sarjana Jerman peneliti Islam di dalam bukunya, “Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi saw dalam Islam,” sebetulnya berbentuk prosa, tetapi kemudian penyair-penyair sering mengubahnya menjadi puisi; ada tiga versinya yang puitikal dalam bahasa Swahili. Teks Al-Barzanji dalam bentuk prosa terdiri atas 19 (sembilanbelas) pasal dengan 359 (tiga ratus lima puluh sembilan) lirik, dan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir, sedangkan dalam bentuk puitisnya terdiri dari 16 (enambelas) pasal dengan 205 (duaratus lima) bait, dan mengolah rima akhir “nun”. Produk sastra Arab, teks Al-Barzanji merupakan sebuah karya sastra berbentuk prosa yang berisi tentang sejarah kehidupan Rasulullah saw. Isi teks Al-Barzanji dilukiskan dengan kata-kata yang begitu indah, bernuansa pujian-pujian pada nabi Muhammad saw, dan dalam sastra Arab jenis karya semacam ini disebutkan dengan istilah Madah Nabawi. Madah Nabawi adalah jenis karya sastra Arab yang bertemakan keagamaan dalam bentuk prosa atau puisi yang berisi pujian-pujian kepada Nabi Muhammad saw. Dalam istilah ini, Oemar Amin Husin (1975:548) mengatakan bahwa karya sastra yang pembicaraannya difokuskan pada Nabi Muhammad saw disebut sastra keagamaan. Masyarakat Arab-Islam karya Ja’far Al-Barzanji (‘Iqdul Jawâhir) yang lebih dikenal dengan sebutan Maulid Al-Barzanji, mendapat sambutan yang begitu tinggi, hal itu dibuktikan dengan munculnya karyakarya penyambut atas karya tersebut, seperti Al-Kaukabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jauhar (bintang cemerlang di atas untaian mutiara) karya Ja’far bin Isma’il yang merupakan syarah dari Maulid Al-Barzanji, Al-Qaulul Munji ( perkataan yang menyelamatkan) karya Abdullah Muhammad Ulaisy yang
278
merupakan syarah dari Maulid Al-Barzanji juga, syarah ini selesai ditulis pada malam Kamis akhir Rabiul Tsani tahun 1269 H, setebal 45 (empatpuluh lima) halaman (Anies, 1983: 15). Sambutan masyarakat Arab-Islam atas Maulid Al-Barzanji juga terlihat dalam tradisi lisan, dengan dibacakannya teks Arab Maulid Al-Barzanji pada peringatan maulid Nabi saw. Di Jazirah Arab dan negara-negara di Afrika, perayaan maulid Nabi saw senantiasa diawali atau dibuka dengan pembacaan teks Arab Maulid Al-Barzanji (Schimmel, 1991:214-315; Kaptein, 1994:59). Belum didapatkan keterangan yang memuaskan mengenai bagaimana perayaan maulid berikut pembacaan kitab-kitab masuk ke Indonesia di dalam masyarakat muslim-Indonesia. Akan tetapi, terdapat indikasi bahwa orang-orang Arab Yaman yang banyak datang di wilayah ini yang memperkenalkannya, di samping pendakwah-pendakwah dari Kurdistan. Ini dapat dilihat dalam kenyataan bahwa saat ini banyak dari keturunan mereka, maupun syekh-syekh mereka yang mempertahankan tradisi pembacaan maulid. Di samping dua penulis kenamaan maulid berasal dari Yaman (Al-Diba’i) dan dari Kurdistan (AlBarzanji). Yang jelas kedua penulis tersebut menyandarkan dirinya sebagai keturunan Rasulullah saw, sebagaimana terlihat dalam kasidah-kasidahnya (Shalikhin, 2010: 459). Perkembangan teks Al-Barzanji di Indonesia, kehadirannya sangat terkait erat dengan pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang berlaku bagi masyarakat muslim setempat. Secara umum, biasanya teks Al-Barzanji dibaca dan dinyanyikan pada berbagai kesempatan, tidak hanya pada peringatan maulid Nabi Muhammad saw saja, namun pada saat-saat khusus yang berhubungan dengan siklus hidup manusia, seperti kelahiran anak pun juga dibacakan teks Al-Barzanji (Anas, 2003: 80). Dalam acara tersebut, teks Al-Barzanji dilagukan (didendangkan) dengan bermacam-macam lagu, seperti (1) lagu Rekby: dibaca dengan perlahan-lahan, (2) lagu Hijas: menaikkan tekanan suara dari lagu rekby, (3) lagu Ras:
Hasim Ashari -- Tradisi “Berzanjen” Masyarakat Banyuwangi Kajian Resepsi Sastra Terhadap Teks Al-Barzanji
menaikkan suara yang lebih tinggi dari lagu Hijas, dengan irama yang beraneka ragam, (4) lagu Sikka: membacanya dengan tekanan suara yang tenang, (5) lagu Nakhawan: membacanya dengan suara yang tinggi dengan irama yang sama dengan lagu Ras, (6) lagu Masyri: melagukannya dengan suara lembut serta dibarengi dengan perasaan yang mendalam. Dalam tatacara pembacaannya ada yang membacanya secara berkelompok sampai tujuh kelompok yang bersahut-sahutan dan ada pula yang tidak dalam kelompok, tetapi membacanya secara bergiliran satu persatu dari awal sampai akhir (Ensiklopedi Islam, 1994: 242). Hal yang sangat sulit juga ditelusuri adalah mengenai asalnya pola lagu tersebut yang berlaku dalam membawakan teks AlBarzanji. Perkembangan di berbagai daerah di Banyuwangi memperlihatkan bahwa teks Al-Barzanji yang dibawakan secara lisan sebagai seni pertunjukan (performing art) pada upacara-upacara keagamaan, memiliki lagu yang beraneka ragam sesuai dengan latarbelakang budaya setempat, seperti di desa Sraten dan perkampungan suku Osing (suku asli Banyuwangi), gaya lagu AlBarzanji banyak mengacu pada lagu tilawah Islam, dan umumnya gaya lagu Sikka dan lagu Ras yang digunakan.
Resepsi Teks Al-Barzanji dalam Tradisi Sastra Jawa
Penelitian resepsi dilihat dari fisik teks dapat berupa: intertekstual, penyalinan, penyaduran, dan penerjemahan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penyaduran dalam melihat sambutan atas teks Al-Barzanji dalam sastra masyarakat Jawa, khususnya Jawa Timur. Teks Arab Al-Barzanji dalam perjalanannya telah melahirkan teks-teks saduran Al-Barzanji dalam bentuk prosa lirik. Hal ini menandakan bahwa adanya transformasi nilai budaya pada masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Banyuwangi dalam meresepsi teks Al-Barzanji. Proses tersebut menegaskan pendapatnya Pater Jan Bakker SJ (1984: 113) bahwa kebudayaan itu
terus berkembang seirama dengan perubahan hidup masyarakat di suatu tempat, yang tentunya di pengaruhi oleh faktor situasi dan kondisi. Teks Al-Barzanji yang masuk dalam sastra Jawa diubah ke dalam bentuk prosa lirik dengan tujuan agar lebih mudah didendangkan dalam tradisi lisan sebagai sebuah seni pertunjukan (performing art). Kegiatan penyaduran atas teks Al-Barzanji oleh masyarakat Jawa dalam bentuk prosa lirik, telah melahirkan dua teks saduran dalam dua variasi, yang keduanya telah diterbitkan oleh Menara Kudus. Kedua saduran teks Al-Barzanji tersebut adalah saduran teks Al-Barzanji versi Ahmad Abdul Hamid Al-Kendali dan saduran teks AlBarzanji versi Asrori Ahmad Teks saduran Al-Barzanji versi Arori Ahmad diterbitkan oleh Menara Kudus pada tahun 1982 dengan judul Munyatul Al-Murtaji. Saduran ini memiliki 104 (seratus empat) halaman dengan penulisan halamannya menggunakan angka bilangan Arab yang diletakkan pada bagian atas teks. Pada halaman pertama berisi kata pengantar dari penyadur. Teks saduran versi Asrori Ahmad ini, selain memuat teks Marchaban juga memuat teks Maulid Diba’ yang biasa dibacakan pada saat Mahalul Qiyam. Transliterasi pada teks terjemahan bahasa Jawa juga merupakan hal lain yang membedakan teks saduran ini dengan teks hipogramnya. Al-Barzanji teks saduran versi Ahmad Abdul Hamid Al-Kendali diterbitkan pada penerbit yang sama, yaitu Menara Kudus pada tahun 1955 dengan judul Sabîlul Almunjî. Saduran ini memiliki 85 (delapanpuluh lima) halaman dengan penulisan halamannya menggunakan angka bilangan Arab yang diletakkan pada bagian atas teks. Pada halaman pertama berisi kata pengantar dari penyadur dan halaman berikutnya berisi tentang hukumnya mengadakan acara maulid Nabi saw dan hikmahnya. Teks saduran versi ini, selain memuat teks Marchaban dan teks Maulid Diba’ sebagaimana teks saduran versi Asrori Ahmad juga memuat Tlala’al Badru
279
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 276-284
‘alayna yang biasa dibacakan juga pada saat Machalul Qiyam. Kedua saduran teks Al-Barzanji dalam bentuk prosa lirik tersebut merupakan bentuk resepsi masyarakat Jawa atas teks Al-Barzanji dalam tradisi tulis, yang kemudian sering dibacakan dalam tradisi lisan masyarakat Banyuwangi Jawa Timur dalam bentuk seni pertunjukan (performing art) pada acara-acara keagamaan.
Sambutan Positif Al-Barzanji dalam Tradisi Keagamaan Masyarakat Banyuwangi Jawa Timur
Kegiatan pembacaan teks Arab AlBarzanji pada masyarakat Banyuwangi Jawa Timur sebagai wujud sambutan yang positif yang diaktualisasikan dalam acara-acara keagamaan sebagai bentuk seni pertunjukan (performing art). Acara-acara keagamaan yang identik dengan pembacaan teks AlBarzanji sebagai berikut ini. Pertama adalah Pembacaan Al-Barzanji dalam Acara Maulid Nabi Muhammad saw Pembacaan teks Al-Barzanji dalam acara Maulid Nabi saw merupakan sebuah tradisi dalam kebudayaan Islam, yang telah lahir seiring dengan kelahiran teks Arab Al-Barzanji sendiri di Jazirah Arab, yang secara terus menerus mengalami perkembangan dari generasi ke generasi umat Islam di belahan dunia dalam berbagai resepsi. Peringatan Maulid Nabi saw pada masyarakat Banyuwangi Jawa Timur tidak diharuskan pada tanggal 12 Rabi’ul awal saja, tetapi dapat juga dilaksanakan selain tanggal 12 Rabi’ul awal (asalkan masih dalam bulan Rabi’ul awal). Beberapa hal yang mungkin berbeda dalam rangkaian pembacaan teks Al-Barzanji pada masyarakat Banyuwangi Jawa Timur dengan masyarakat muslim lainnya (baca: Arab-Islam) adalah bahwa dalam prosesi acara maulid Nabi saw dibagi dua golongan. Satu golongan yang bertugas membaca teks Al-Barzanji di masjid atau musholla, sedangkan golongan yang kedua bertugas mengarak dog-dogkan (telur ayam yang dihias dan ditancapkan di potongan pohon pisang). Dalam Wawancara dengan Saproni, salah 280
seorang tokoh agama di kecamatan Cluring kabupaten Banyuwangi, pada tanggal 27 Agustus 2012 di dusun Simbar II desa Tampo bahwa tradisi masyarakat Banyuwangi setiap kepala keluarga diwajibkan membuat hiasan telur ayam rebusan yang ditancapkan di potongan pohon pisang (dog-dogkan), yang kemudian dibawa keliling kampung dan berakhir di masjid atau musholla tempat dibacanya teks Al-Barzanji. Rangkaian pembacaan teks Al-Barzanji dan arakarakan dog-dogkan keliling kampung tersebut dilakukan secara bersamaan sebelum memasuki acara inti, yaitu ceramah agama (tausiyah) dari seorang mubaligh yang diundang oleh panitia. Kedua adalah pembacaan Al-Barzanji dalam Acara Pernikahan Pembacaan teks Al-Barzanji dalam acara pernikahan pada masyarakat Banyuwangi Jawa Timur biasanya dilakukan pada malam hari setelah acara akad nikah. Biasanya pembacaan tersebut dilakukan dengan mengundang kelompok nasyid lakilaki maupun perempuan, tergantung di mana acara tersebut dilaksanakan di rumah mempelai laki-laki atau perempuan. Untuk di rumah mempelai laki-laki biasanya yang diundang kelompok nasyid laki-laki, dan sebaliknya apabila pembacaan itu dilakukan di rumah mempelai perempuan biasanya yang diundang kelompok nasyid perempuan.berdasarkan informasi dari hasil wawancara dengan Timbul, salah seorang tokoh masyarakat dan sekaligus Kerawat Desa Kemiren (Suku Osing/suku Asli Banyuwangi), pada tanggal 25 Agustus 2012 di desa Kemiren. Prosesi pembacaan teks AlBarzanji kelompok nasyid tersebut biasanya diiringi dengan instrumen musik rebana. Dalam sesi pembacaannya, teks Al-Barzanji yang dibacakan biasanya berjumlah empat pasal, yaitu 1 (Aljannatu), pasal 2 (Wa Ba’du), pasal 3 (Walammâ Arâda), dan pasal 4 (Walammâ Tamma Min), serta pembacaan marchaban. Kemudian prosesi acara pembacaan teks AlBarzanji tersebut ditutup dengan doa. Ketiga adalah pembacaan Al-Barzanji dalam Acara Kelahiran Anak bahwa Pembacaan teks Al-Barzanji dalam acara
Hasim Ashari -- Tradisi “Berzanjen” Masyarakat Banyuwangi Kajian Resepsi Sastra Terhadap Teks Al-Barzanji
kelahiran anak pada masyarakat Banyuwangi Jawa Timur, biasanya dibaca ketika sepasaran bayi (hari ketujuh kelahiran anak). Rangkaian pembacaan tersebut, dimulai setiap malam hari mulai awal kelahiran bayi hingga keenam harinya diadakan acara jagong bayi, di mana masyarakat sekitar berdatangan tiap malam di rumah yang punya bayi, hanya sekedar hormat bayi dan ramah tamah. Hari ketujuh dari kelahiran bayi, diadakan acara pembacaan kitab Al-Barzanji dan disela-sela bacaannya dilaksanakan acara cukur rambut si bayi dan sekaligus pemberian nama bayi. Acara cukur rambut dilaksanakan pada saat pembacaan Marchaban, di mana para peserta pembacaan teks Al-Barzanji diharuskan untuk berdiri. Dalam tatacara pelaksanaan cukur rambut anak tersebut, dilakukan dengan dua tahap sebagai berikut: pertama anak yang akan dicukur digendong oleh orang tuanya atau kerabat dekatnya dan didampingi oleh saudaranya yang bertugas membawa baskom atau nampan yang berisi air dan gunting untuk mencukur rambut. Orang yang diberi tugas untuk memotong rambut bayi biasanya diserahkan kepada orang yang dituakan atau ditokohkan dalam lingkungan masyarakat tersebut. Kedua Bayi yang sudah dipotong rambutnya tersebut lalu dibawa keliling ke seluruh peserta pembacaan teks Al-Barzanji untuk diperlihatkan dan dimintakan doa. Setelah acara cukur rambut, dan pembacaan Marchaban selesai, seluruh peserta dipersilahkan duduk dan kemudian pembacaan doa Al-Barzanji dan proses pemberian nama si bayi. Keempat yaitu Pembacaan Al-Barzanji dalam Acara Khitanan bahwa Teks AlBarzanji yang didendangkan dalam acara khitan pada masyarakat Banyuwangi Jawa Timur, biasanya dilakukan pada malam hari setelah anak tersebut dikhitan. Sebelum prosesi pembacaan teks Al-Barzanji, biasanya didahului tuan rumah atau orang tua dari anak yang dikhitan berusaha mengundang kerabat serta tetangga terdekat untuk diminta bantuannya membaca kitab Al-Barzanji. Pembacaan teks Al-Barzanji dalam acara khitan ini, sedikit berbeda dengan proses
pembacaannya pada acara pernikahan atau kelahiran bayi. Dalam proses pembacaannya lebih sederhana tanpa diselingi dengan acara-acara ritual lainnya. Pembacaan teks Al-Barzanji dibuka dengan bacaan Aljannatu, kemudian dilanjutkan dengan membaca Abtadi-u. Setelah pembacaan tersebut selesai kemudian pembacaan Marchaban yang diikuti seluruh tamu undangan berdiri. Setelah acara pembacaan Marchaban, seluruh tamu undangan dipersilahkan duduk kembali dan kemudian acara tersebut ditutup dengan pembacaan doa Al-Barzanji.
Sambutan Terhadap Teks Al-Barzanji dalam Perspektif Estetika Negatif
Teks Al-Barzanji dalam perspektif estetika negatif didasarkan pada teori negativitas Adono tentang estetika (Jauss, 1982: 13-14). Teori negativitas menyatakan bahwa sebuah karya sastra baru dapat dikatakan mencapai keindahan bilakarya satra tersebut dinegasikan. Artinya bahwa karya tersebut mampu keluar dari realitas awal yang menjadi rujukannya. Sambutan terhadap teks Al-Barzanji dalam perspektif estetika negatif tersebut sebagai berikut ini. Pertama Polemik Tentang Berdiri Ketika Machal al-Qiyâm.Dalam tradisi pembacaan teks Al-Barzanji dikenal istilah Machal alQiyâm, yaitu peserta pembacaan teks AlBarzanji seluruhnya berdiri dalam rangka pembacaan marchabanan. Bagi kalangan yang tidak setuju pembacaan teks Al-Barzanji, hal ini sudah jelas bahwa mereka beranggapan tradisi ini termasuk bid’ah (melakukan sesuatu yang tidak pernah dikenal pada masa Rasulullah saw). Hal ini berdasarkan hadits Nabi saw yang diriwayatkan Ibnu Majah yang artinya “….semua bid’ah adalah sesat”. Namun mereka juga menggarisbawahi bahwa pembacaan teks Al-Barzanji dengan cara berdiri guna untuk menghormati Nabi Muhammad saw adalah sangat berlebihan mengingat Nabi saw sudah wafat, tidak mungkin Nabi saw dapat hadir dalam acara tersebut. Hal ini dibuktikan dalam kalimat pembuka marchabanan, yaitu: “marchaban, marchaban, marchaban, marchaban jadda al281
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 276-284
chusayni marchaban. Yâ nabî salâm ‘alayka yâ Rasûl salâm ‘alayka Yâ chabîb salâm ‘alayka shalawâtullah ‘alayka (selamat datang, selamat datang, selamat datang, selamat datang wahai kakek Hasan dan Husain, selamat datang). Mereka menganggap bahwa ucapan selamat datang hanya bisa diberikan kepada orang yang hadir secara fisik. Akan tetapi, Muhammad Alawi alMaliki berpendapat lain, bahwa yang hadir adalah bukan fisik Nabi Muhammad saw. Menurutnya, yang hadir dalam majelis pembacaan teks Al-Barzanji hanyalah ruhnya saja. Alawi beranggapan bahwa Rasulullah saw hidup dalam kehidupan di alam barzah yang sempurna dan dalam kedudukan yang layak, dan dengan kedudukannya dalam kehidupannya yang sempurna itu, maka ruhnya dapat berkeliling mengitari jagad raya dan dimungkinkan juga dapat menghadiri majelis-majelis kebajikan, tempat-tempat suci atau majelis ilmu dan majelis-majelis keagamaan lainnya seperti pembacaan teks Al-Barzanji dalam acara pernikahan, khitan, aqikah, pelepasan haji, dan lain sebagainya (Idhoh, 2011: 23). Sikap berdiri dalam pembacaan teks Al-Barzanji ini, oleh sebagian ulama dipandang perlu dan dianggap baik sebagai penghormatan. Hal ini antara lain di isyaratkan dalam teks Al-Barzanji, yang mengatakan “hadzâ wa qad istachsana al-qiyâma ‘inda dzikri maulidihi asysyarîfi a-imatun dzawû riwâyatin wa rawiyyatin” yang artinya “ini oleh beberapa imam yang memiliki riwayat dan pikiran, memandang baik untuk berdiri ketika menyebutkan kelahiran yang Mulia (Nabi saw)” (Idhoh, 2011: 25). Kedua Polemik tentang Kemahlukan Nabi saw. Dalam konteks pembacaan teks Al-Barzanji pada acara ritual keagamaan masyarakat Banyuwangi Jawa Timur, ada sebagian masyarakat memberikan sambutan negatif terhadap teks Al-Barzanji. Mereka menolak tradisi pembacaan teks sastra yang berisi pujian pribadi dan perjalanan hidup Nabi Muhammad saw karena dianggapnya sebagai bid’ah (Bachtiar, 2004: 1). Ja’far AlBarzanji dipandang telah menempatkan Nabi
282
Muhammad saw dalam posisi al-Khâliq, yaitu Allah SWT sebagai wâjibul-wujûd padahal posisi Nabi hanya sebagai mumkinul-wujûd, yaitu yang keberadaannya tidak kekal (fana). Menurut golongan tersebut, teks Al-Barzanji itu termasuk dalam wilayah “sesuatu yang baru” yang dalam bahasa Arab disebut bid’ah. Oleh karena itu, tujuan dari golongan atau gerakan ini, yang dipelopori oleh Muhammad Ibn ‘Abdul Wahhab (17031787), ingin memurnikan Islam dari segala pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam (Pijper, 1984: 103).Jadi, menurut golongan ini, karya-karya sastra Arab Islam termasuk teks Al-Barzanji yang berisi teks pujian berlebihan (pengkultusan) terhadap Nabi atau tokoh-tokoh lainnya dianggap bid’ah. Ketiga adalah perbedaan Pendapat Tentang Cinta Kepada Nabi saw. Cinta manusia kepada Nabi Muhammad saw diekspresikan oleh para penyair melalui berbagai sarana, antara lain yang utama adalah sarana bahasa yang tergambar dalam teks Al-Barzanji berbentuk prosa. Keberadaan teks Al-Barzanji dalam khazanah sastra Arab menimbulkan polemik yang berkepanjangan seiring dengan ungkapan cinta yang dianggap berlebihan kepada Nabi Muhammad saw dari berbagai lapisan umat Arab dan non-Arab serta dari berbagai periode zaman (Al-Anshâry, t.t. : 3). Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah sastra Arab, khususnya yang berkaitan dengan sastra pujian, isi kandungan sebagian besar teksnya berbicara tentang ungkapan cinta para penyair kepada Nabi yang dipandang oleh masyarakat Muslim puritan sebagai cinta yang berlebih-lebihan dan cenderung mempersamakan posisi Nabi dengan posisi Allah SWT. Pandangan kelompok ini didasarkan pada objektivitas tekstual yang melihat sesuatu secara hitam-putih atau apa adanya. Artinya, penafsiran teks tanpa melibatkan instrumen bantu yang dapat menjelaskan isi kandungan teksnya secara lebih luas. Keempat adalah perbedaan Pendapat Tentang Pembacaan Al-Barzanji pada Acara Maulid Nabi saw. Masalah yang menjadi
Hasim Ashari -- Tradisi “Berzanjen” Masyarakat Banyuwangi Kajian Resepsi Sastra Terhadap Teks Al-Barzanji
polemik di kalangan kelompok-kelompok Muslim adalah terletak pada pembacaan teks Al-Barzanji yang di dalamnya diungkapkan cinta, rindu, sanjungan, dan pujian kepada Nabi saw yang dianggap oleh penentang Maulid Nabi saw terlalu berlebih-lebihan. Menurut kelompok ini, peringatan maulid Nabi saw dengan membaca teks Al-Barzanji adalah suatu perbuatan bid’ah, artinya hal baru dalam agama yang tidak dicontohkan dan dituntunkan oleh Nabi. Hadits yang jadi rujukan mereka adalah hadis sahih dari Abu Qatadah yang menceritakan bahwa seorang Arab (Baduwy) bertanya kepada Rasulullah saw, “Bagaimana penjelasan Baginda tentang berpuasa pada hari Senin? Rasulullah saw menjawab: “Ia adalah hari aku dilahirkan dan hari diturunkan Al-Qur’an kepadaku”. Mereka berpendapat maulid Nabi adalah istimewa berdasarkan hadis tersebut, tetapi tidak terdapat di dalamnya perintah untuk merayakannya. Seandainya masyarakat muslim setuju dengan istilah “merayakan” maulid Nabi, maka bentuk perayaannya seharusnya dengan cara berpuasa pada hari senin secara rutin sebagaimana tersurat dalam hadis tersebut, bukan dengan cara yang membutuhkan biaya besar yang cenderung boros dan berhura-hura (www.30brinkster. com.2004). Bagi kelompok pendukung peringatan maulid Nabi, melakukan perayaan maulid merupakan suatu bentuk penghormatan dan ungkapan rasa cinta yang mendalam terhadap Nabi saw, sebagai makhluk utama ciptaan Allah swt, dan berjasa besar terhadap agama dan umat Islam. Jadi, perayaan maulid menurut kelompok ini, bukanlah sebuah tindakan sia-sia yang memboroskan harta benda karena kecintaan kepada Nabi saw tidak bisa dihitung dan diukur dengan harta benda kepada orang yang sangat dicintainya, pecinta akan melakukan apa saja yang dianggap dapat membahagiakannya. Tindakan membahagiakan Nabi saw, antara lain, dengan membacakan teks Al-Barzanji pada acara-acara ritual Islam
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis terhadap sambutan masyarakat Banyuwangi Jawa Timur terhadap teks Al-Barzanji, menghasilkan kesimpulan bahwa penyambutan teks Al-Barzanji (berzanjenan) oleh masyarakat Banyuwangi Jawa Timur, telah melahirkan tradisi-tradisi baru yang menyertainya. Tradisi baru yang lahir seiring dengan pelaksanaan kegiatan ritual keagamaan tersebut diantaranya adalah acara pernikahan, kelahiran anak, khitan, maulid Nabi saw, dan pelepasan jamaah haji. Dalam proses kegiatan berzanjenan dalam masyarakat Banyuwangi Jawa Timur telah melahirkan ritual-ritual yang menyertainya, ritual-ritual yang lahir seiring dengan pelaksanaan kegiatan Berzanjenan tersebut, seperti sesi pembacaan Marchabanan, dogdogkan, prosesi cukur rambut bayi, pemberian nama bayi merupakan wujud aktivitas kreatif budaya masyarakat Banyuwangi Jawa Timur, seiring dengan kegiatan pembacaan teks Al-Barzanji. Konsep estetika negatif yang diterapkan dalam studi teks Al-barzanji ini tidaklah mengarah pada “negatif” dalam arti buruk, tetapi lebih bermakna munculnya defamiliarisasi dalam teks Al-Barzanji tersebut. Defamiliarisasi lebih diberi arti sebagai ketidakakraban pembaca terhadap bahasa teks Al-Barzanji yang keluar dari kaidah umum. Hal yang diperdebatkan seperti telah diuraikan di atas, maka pada hakikatnya tidak terdapat perbedaan yang terlalu tajam antara konsep Ja’far Al-Barzanji dengan kritik Wahaby (golongan yang tidak setuju tradisi berzanjenan). Salah satunya, tentang permohonan syafaat kepada Nabi yang terdapat dalam teks Al-Barzanji karena sesungguhnya yang dituju adalah Allah SWT. Dalam konteks ini, yang menjadi polemik adalah perbedaan sudut pandang antara keduanya. Al-Barzanji menggunakan bahasa sastra sebagai bahasa tingkat kedua (secondary modeling system) yang lebih cenderung kepemakaian bahasa secara konotatif, sedangkan Wahaby lebih condong 283
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 276-284
pada pemakaian bahasa tingkat pertama (primary modeling system) yang bersifat denotatif. Dalam tradisi tulis dapat disimpulkan bahwa resepsi masyarakat Banyuwangi Jawa Timur atas teks Al-Barzanji berupa transformasi bentuk teks, di mana proses itu telah melahirkan teks-teks saduran AlBarzanji dalam bentuk prosa lirik. Hal ini, menandakan adanya perubahan bentuk karya Sastra Arab klasik jenis maddah nabawi yang dipengaruhi oleh nilai budaya atau sistem budaya yang berlaku pada masyarakat penyambutnya pada budaya masyarakat Banyuwangi Jawa Timur.
DAFTAR PUSTAKA Anas, A, 2003, Menguak Pengalaman Sufistik: Pengalaman Keagamaan Jamah Maulid al-Diba’ Girikusumo, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Anies, M, 1983, Peringatan Maulid Nabi saw dan Terjemahan Al-Barzanji, Yogyakarta: Balai Ilmu. Al-Anshâry, Achmad al-Mubârak al-Khajrajy, B.s. Al-Hamaziyyâtul-Bahiyyah fy Madchi Khayril-Baryyah Sayyidinâ Muchammad saw, Al-Qahirah: DârulAnshâr. Al-Jurjany, Asy-Syarîf ‘Aly bin Muchammad, b.s. Kitab At-Ta’rîfât, Al-Charamayn Lith-Thibâ’ah Wan-Nasyri Wat-Tauzî’. Singapura-Jeddah. Bachtiar, T.A, 2004, Melacak Akar Tradisi Maulid dalam www.maqmedia. com/tabloid mq/mei4/jejak.htm.
Baker JB, .S.J, 1984, Filsafat Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius. Hoesin, O.A, 1975, Kultur Islam, Sejarah Perkembangan Kebudayaan Islam dan Pengaruhnya dalam Dunia Internasional, Jakarta: Bulan Bintang. Ibnu Taymiyyah, A.‘A.C. b.s, Qâ’idatun Jalîlah fy at-Tawassuki wal Wasîlah, Ri’âsatu Idâratil-Buchutsil-‘Ilmiyyati wal-Iftâ’i wad-Da’wai wal Irsyad, Riyâdh. Idhoh, A, 2011, Sejarah dan Dalil-Dalil Perayaan Maulid Nabi saw, Pekalongan: AlAsri. Kaptein, N, 1994, Perayaan Hari Lahir Nabi Muhammad saw: Asal Usul dan Penyebaran Awalnya; Sejarah di Magrib dan Spanyol Muslim sampai Abad ke-10 / ke-16, (terj) Lilian D. Tedjasudhana, Jakarta: INIS. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), 1988, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pijper, G.F, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia, 1900-1950, diterjemahkan oleh Tudjimah dan Yessy Augusdin dari judul asli Atudien over de Geschiedenis van Islam in Indonesia 1900-1950, Jakarta: UI Press. Schimmel, A, 1991, Dan Muhammad adalah Utusan Allah; Penghormatan Terhadap Nabi saw dalam Islam, (terj) Rahmani Astuti dan Ilyas Hasan, Bandung: Mizan. Sholikhin, M., 2010, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, Yogyakarta: Narasi Syafe’i, R., 2007, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia.
284
KAWISTARA VOLUME 2
No. 3, 22 Desember 2012
Halaman 225-328
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENGGUNAAN LEMBAGA BANK SYARIAH: STUDI DI PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Duddy Roesmara Donna
Program Studi Agama dan Lintas Budaya Minat Studi Ekonomi Islam Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada Email:
[email protected]
ABSTRACT
This research aims to analyze factors that affect the using of sharia finance institution in the Province of DIY. This research involved 150 respondents distributed in Yogyakarta City, Bantul Regency, Kulon Progo, Gunung Kidul, and Sleman. Non probability with purposive sampling method was used to predict population behavior with factor analysis as a tool of analysis. The preference of using sharia finance institution was affected by institution factor, loyalty of Islamic law factor, service factor, and suitability of product factor. Keywords: preference, sharia finance institution, factor analysis.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penggunaan lembaga keuangan syariah di Provinsi DIY. Penelitian dilakukan dengan 150 responden yang terbagi di setiap wilayah, yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Gunungkidul, dan Kabupaten Sleman. Metode sampel non probabilitas dengan sampel purposif digunakan untuk memprediksi perilaku populasi dengan analisis faktor sebagai alat analisisnya. Preferensi masyarakat Provinsi DIY terhadap lembaga keuangan syariah dipengaruhi oleh faktor kelembagaan, faktor ketaatan terhadap syariah Islam, faktor pelayanan, dan faktor kesesuaian produk. Kata Kunci: preferensi, lembaga keuangan syariah, analisis faktor
285
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 285-295
PENGANTAR
Fungsi intermediasi adalah salah satu fungsi yang penting dalam perekonomian. Lembaga keuangan syariah merupakan salah satu lembaga yang berperan penting pada proses intermediasi tersebut. Masih banyak permasalahan yang muncul pada penerapan lembaga keuangan syariah. Seringkali masyarakat masih menganggap bahwa tidak ada bedanya meminjam di lembaga keuangan syariah dengan di lembaga keuangan konvensional. Beberapa mereka melihat bahwa meminjam di lembaga keuangan syariah lebih mahal dan lebih berbelit-belit prosedurnya dibandingkan lembaga keuangan konvensional. Beberapa bahkan lembaga keuangan syariah hanya merupakan bentuk “kelatahan” akan kondisi perekonomian, dan tak ada bedanya dengan kapitalisme syariah. Meskipun terdapat perubahan ke arah yang lebih baik (ada kecenderungan lembaga keuangan syariah untuk meningkatkan pangsa pembiayaan dengan prinsip bagi hasil), tetapi ketimpangan antara pembiayaan dengan prinsip bagi hasil dan jual beli sewa masih relatif besar. Total pembiayaan dengan prinsip bagi hasil tidak pernah lebih dari setengah total pembiayaan dengan prinsip jual beli. Hal tersebut merupakan sebuah fenomna yang menarik karena diharapkan pembiayaan dengan prinsip bagi hasil lebih mendominasi (Donna, 2006). Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil diharapkan lebih menggerakkan sektor riil karena menutup kemungkinan disalurkannya dana pada kepentingan konsumtif dan hanya pada usaha produktif. Bila ditinjau dari konsep bagi hasil, maka harus ada return yang dibagi, hal tersebut hanya bisa terjadi bila uang digunakan untuk usaha produktif. Bila ditinjau dari prinsip ketaatan terhadap syariah, pembiayaan dengan prinsip jual beli dan sewa menimbulkan celah lebih besar untuk melakukan penyimpangan terhadap prinsip syariah (Donna, 2006). Menurut Wijaya (2006), alasan utama nasabah yang hanya memiliki rekening di lembaga bank syariah adalah kekhasan 286
aspek syariah (penerapan prinsip syariah, keseseuai dengan ajaran Islam, dan tidak ada riba). Nasabah tetap mempertahankan rekening di bank konvensional karena aksesibilitas dan fasilitas bank konvensional lebih bagus dibanding bank syariah serta kebijakan kantor / bisnis yang berhubungan dengan bank konvensional. Sedangkan alasan paling dominan bagi nasabah bank konvensional tidak berminat terhadap produk bank syariah disebabkan oleh informasi tentang lembaga keuangan syariah masih kurang memadai. Preferensi dan sumber informasi nasabah tentang bank syariah juga dianalisis dalam penelitian ini. Aspek yang akan dianalisis lebih lanjut adalah sumber informasi bank syariah, lokasi ideal bank syariah, busana yang dikenakan bagi karyawan pria dan wanita, serta bahasa yang digunakan dalam penamaan produk lembaga keuangan syariah. Hasil analisis ini akan digunakan sebagai bahan pendukung dalam penyusunan strategi pemasaran yang akan direkomendasikan untuk bank syariah. Keberadaan dan tampilan kantor merupakan sumber informasi utama bagi nasabah bank di wilayah Propinsi DIY untuk mendapatkan informasi tentang lembaga keuangan syariah. Lokasi yang dianggap ideal bagi nasabah untuk mendirikan kantor adalah di daerah bisnis (toko/pasar). Karyawan Wanita bank syariah sebaiknya menggunakan jilbab, sedangkan karyawan pria tidak harus menggunakan pakaian koko dan peci. Produk bank syariah sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia dalam penamaan produknya. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa ada masalah di dalam industri lembaga keuangan syariah. Produk yang ada dalam lembaga keuangan syariah masih kearab-araban, bagi beberapa orang hal ini merupakan masalah karena kendala pemahaman bahasa. Masalah lain adalah nasabah lembaga keuangan syariah sama dengan nasabah bank konvensional. Hasilnya adalah banyaknya floating costumer yang ada di lembaga keuangan syariah. Hal ini tak lepas dari kemiripan produk dan
Duddy Roesmara Donna -- Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Penggunaan Lembaga Bank Syariah: Studi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
sistem lembaga keuangan syariah dengan bank konvensional. Lembaga keuangan syariah masih belum dapat menggeser jual beli (murabahah) sebagai produk unggulan mereka dengan bagi-hasil (mudharabah) yang lebih berjiwa ekonomi syariah. Bank syariah merupakan salah satu bentuk lembaga keuangan syariah. Penelitian ini memperluas cakupan karena banyak macam lembaga keuangan syariah selain bank yang mungkin cocok bagi sekelompok masyarakat. Terdapat keunikan dan perbedaan dalam pemanfaatan dana pada lembaga keuangan syariah dan konvensional. Dalam lembaga keuangan konvesional pemanfaatan dilakukan dengan cara meminjamkan uang dengan jangka waktu tertentu dengan tingkat keuntungan (suku bunga) yang ditetapkan di awal perjanjian. Dalam lembaga keuangan syariah terdapat dua macam prinsip pembiayaan yang sering digunakan, yaitu prinsip bagi hasil dan prinsip jual beli sewa. Prinsip bagi hasil dalam lembaga keuangan syariah mengharuskan peminjam menggunakan dana untuk usaha produktif dan tidak memungkinkan untuk penggunaan konsumtif karena harus ada pendapatan usaha yang dibagikan ke pihak bank. Prinsip bagi hasil terdiri dari pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Prinsip jual beli dan sewa membuka kemungkinan untuk penggunaan dana tujuan konsumtif meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk usaha produktif. Prinsip jual beli dan sewa terkesan lebih diminati oleh lembaga keuangan syariah karena relatif lebih aman (keuntungan ditentukan di depan) dan tidak memerlukan pengawasan yang ketat seperti prinsip bagi hasil. Berdasarkan fakta yang ada, diduga terdapat karakteristik yang berbeda pada kedua model pembiayaan di atas. Dengan konsep dan karakteristik yang berbeda maka diduga faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan kedua macam pembiayaan tersebut juga berbeda sehingga diperlukan langkah yang berbeda pula untuk membuat kebijakan terhadap kedua jenis pembiayaan tersebut.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah faktor apa sajakah yang mempengaruhi permintaan pembiayaan dengan bagi hasil (uncertainty contract) dan jual beli/sewa (certainty contract). Tujuan untuk mengidentifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi pemilihan model pembiayaan pada lembaga keuangan syariah. Schaik berpendapat bahwa salah satu dari prinsip Ekonomi Islam yang melandasi bank syariah adalah larangan riba (Schaik, 2001). Untuk menghindari riba sistem bagi hasil dan risiko merupakan solusi yang disarankan. Prinsip utama dalam bank syariah adalah keuangan yang didasarkan perdagangan dan berbagi risiko dengan mitranya. Nasution (2006), yang berjudul “Analisis Potensi dan Preferensi Masyarakat terhadap Bank Syariah di Wilayah Kota Medan”, diteliti mengenai preferensi masyarakata Kota Medan terhadap bank Syariah dengan menggunakan metode pearson product moment. Preferensi yang digunakan dalam penelitian tersebut, yaitu (1) keuntungan relatif, (2) keterbukaan informasi, (3) kompabilitas, (4) kompleksitas, dan (5) triabilitas. Lembaga Penelitian Instititut Pertanian Bogor (2004) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam menggunakan bank syariah di Jawa Barat dapat ditelaah dengan menggunakan model logit. Faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam mengguakan produk maupun jasa bank syariah , yaitu (1) pekerjaan utama, pengusaha vs non-pengusaha, (2) penghasilan, rendah vs non-rendah, (3) aksesibilitas, (4) keterbukaan terhadap informasi, (5) penerimaan terhadap bank konvensional, (6) pertimbangan memilih bank karena lokasi/akses, (7) pertimbangan memilih bank karena pelayanan, (8) pertimbangan memilih bank karena kredibilitas, (9) pertimbangan memilih bank karena fasilitas, (10) pertimbangan memilih bank karena statusnya, (11) pengguna jasa bank konvensional – pinjaman, (12)
287
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 285-295
pengguna jasa bank konvensional – layanan jasa, (13) tingkat pengetahuan terhadap bank syariah. Pusat Pengkajian Bisnis dan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universtias Brawijaya (2000) menyebutkan bahwa variabel-variabel penting dalam meneliti preferensi masyarakat Jawa Timur adalah (1) perilaku masyarakat, (2) karakteristik masyarakat, (3) stimuli pasar, dan (4) stimuli lainnya. Metode penelitian yang dipakai adalah dengan estimasi model logit. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut menyatakan bahwa dari hasil estimasi logit masyarakat indivual, keputuasan untuk tidak memilih bank syariah dipengaruhi oleh tujuh faktor, yaitu: (1) payment period, (2) warranties, (3) location, (4) economic circumtances, (5) role and statues, (6) age and life stages, dan (7) family, serta (8) Pendidikan. Sedangkan hasil estimasi logit dari responden perusahaan mengindikasikan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi perusahaan untuk memilih bank syariah atau bank konvensional, yaitu (1) service, (2) size, (3) brand name, (4) reference group. Dari keempat faktor yang ada, faktor reference group yang memiliki posisi paling dominan. Hasil penelitian Direktorat Perbankan Syariah – Bank Indonesia – dengan Institut Pertanian Bogor (2004), mengenai potensi, preferensi dan perilaku masyarakat terhadap bank syariah di Wilayah Kalimantan Selatan menyatakan bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi keputusan masyarakat untuk menggunakan produk atau jasa perbankan syariah di Kalimantan Selatan, yaitu (1) jenis pekerjaan, (2) pertimbangan profesionalisme dan aksesibilitas bank, (3) tingkat pengetahuan tentang bank syariah, (4) posisi tokoh keagamaan, (5) persepsi terhadap bunga yang bertentangan dengan agama, (6) kesan positif terhadap bank syariah, dan (7) keberadaan bank syariah. Sedangkan keputusan yang mempengaruhi masyarakat untuk terus menggunakan produk atau jasa perbankan syariah disebabkan oleh: (1) Variabel-variabel tingkat pendidikan, (2) pendidikan formal bisnis, (3) keterbukaan
288
terhadap informasi, (4) pertimbangan kemapanan dan asesibilitas bank, (5) pengetahuan terhadap bank, dan (6) status nasabah bank syariah saja. Adapun variabelvariabel yang mempengaruhi masyarakat untuk ingin menggunakan produk atau jasa perbankan syariah sebagai berikut: (1) pendidikan non formal baik keagamaan maupun bisnis, (2) jenis pekerjaan pengusaha dan karyawan, (3) keterbukaan terhadap informasi, (4) pengetahuan terhadap bank syariah, (5) kesan terhadap bank syariah, (6) Persetujuan terhadap prinsip syariah dan (7) status responden (nasabah bank konvensional dan non-nasabah bank). Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih bank, baik bank konvensional maupun bank syariah, relatif sama. FaktorFaktor utama tersebut: (1) aksesibilitas, (2) kredibilitas, (3) profesionalisme pelayanan, dan (5) faslilitas pelayanan. Bunga/bagi hasil tidak menjadi faktor pertimabangan utama dalam hal ini. Lembaga Penelitian Universitas Andalas bekerjasama dengan Bank Indonesia Padang (2001) melakukan penelitian tentang potensi, preferensi, dan perilaku masyarakat terhadap bank syariah di Sumatera Barat, dengan menggunakan model regresi logit (logistic regression model) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan preferensi masyarakat untuk memilih bank konvensional sebagai berikut: (1) variabel sosio-ekonomi, (2) variabel pelayanan, (3) variabel aksebilitas, dan (4) variabel keamanan. Adapun faktorfaktor yang mempengaruhi persepsi dan preferensi masyarakat untuk memilih Bank Syariah adalah (1) faktor sosio-ekonomi, (2) faktor pemahaman tentang bagi hasil, dan (3) faktor pemahaman terhadap bank syariah. Hasil penelitan di Sumatera Barat menemukan bahwa nasabah bank syariah umumnya berasal dari golongan masyarakat menengah-atas. Perbedaan ini disebabkan oleh perkembangan yang lebih baik di lembanga perbankan syariah di Jawa Barat, dibandingkan dengan di Sumatera Barat. Hal ini dikarenakan jumlah bank syariah
Duddy Roesmara Donna -- Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Penggunaan Lembaga Bank Syariah: Studi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
yang masih terbatas, informasi mengenai sistem operasi bank syariah juga terbatas yang akan mengakibatkan ketidak-tahuan golongan menengah-atas terhadap prosedur pembiayaan dan pengembalian pada bank syariah, yang pada akhirnya akan mempengaruhi preferensi mereka terhadap bank syariah. Data yang digunakan dalam kegiatan ini meliputi primer. Data primer digali dari preferensi masyarakat di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Gunungkidul, dan Kabupaten Sleman terhadap pembiayaan syariah. Karakteristik data yang digunakan adalah data ordinal dengan skala likert (1 sampai 5). Metode pemilihan sampel yang digunakan adalah non-probability dengan metode purposive sampling. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat di Provinsi DIY yang pernah menggunakan layanan di lembaga keuangan syariah. Dikarenakan jumlah populasi sulit diidentifikasi, maka digunakan non probability sampling. Penggunaan non probability dengan purposive sampling merupakan metode sampling yang mendasarkan pada kriteria tertentu dalam penelitian. Kriteria yang digunakan adalah responden yang pernah menggunakan pelayanan lembaga keuangan syariah. Jumlah sample direncanakan sebesar 150 yang tersebar di tiap kota/kabupaten di Provinsi DIY. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan analisis faktor. Analisis Faktor merupakan teknik untuk mengombinasikan pertanyaan atau variabel yang dapat menciptakan faktor baru serta mengombinasikan sasaran untuk menciptakan kelompok baru secara berturut-turut. Dibentuk dari teknik analysis of interdependence karena mereka menganalisa interdependence dari pertanyaan, variabel atau sasaran. Tujuannya adalah menghasilkan pemahaman yang mendasari struktur pertanyaan, variabel, sasaran dan mengkombinasikannya ke dalam variabel atau kelompok. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dari analisis faktor sebagai berikut:
1.
2.
Tujuan: memiliki dua fungsi utama yaitu mengidentifikasi dasar konstruk (variabel yang terbentuk dari indikator yang telah dikelompokkan) dalam data dan penyederhanaan untuk mengurangi jumlah variabel suatu set yang dapat dikendalikan. Metodologi: prosedur analisis faktor dalam penerapannya menggunakan principal component dan common factor analysis.
Principal component merupakan sasaran yang meringkas informasi dalam sejumlah variabel yang besar ke dalam beberapa faktor. Secara konseptual principal component didasarkan pada total informasi dalam setiap variabel. Secara normal principal component analysis merupakan tahap pertama dalam factor analysis dan akan digambarkan dari geometric perspective dalam konteks suatu sampel. Di dalam principal component analysis dibahas mengenai: • Factor yaitu penyederhanaan variabel atau konstruk di mana secara tidak langsung diamati, tetapi kebutuhannya diduga dari input variabel. • How many factor merupakan berapa banyak faktor yang terlibat dalam suatu model. Adanya jumlah yang pasti dari konstruk input variabel yang diukur. Konstruk didefinisikan sebelum analisis serta diperoleh dari teori dan pengetahuan mengenai situasi. Data merupakan faktor yang dianalisa sampai konstruk ini muncul sebagai faktor. • Eigenvalue criteria mewakili sejumlah variance dalam variabel awal yang dikumpulkan dengan sebuah faktor dengan kriteria lebih dari 1,0. • Screen plot criteria plot merupakan plot dari eigenvalues berlawanan dengan sejumlah faktor supaya adanya keturunan. • Percentage of variance criteria merupakan penurunan yang ditentukan di mana persentase yang dikumulatifkan dari variance diturunkan oleh faktor tingkat kepuasan yang dicapai.
289
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 285-295
• Significance test criteria untuk menentukan signifikansi statistik dari sebagian eigenvalue dan mempertahankan beberapa faktor yang merupakan statistik signifikan. • Factor scores salah satu output dari program factor analysis yang merupakan nilai untuk setiap faktor bagi seluruh responden. Faktor diturunkan dalam variabel di mana factor score dihitung dari pengetahuan variabel yang dikumpulkan. • Factor interpretation berdasarkan pada factor loading merupakan hubungan faktor ke variabel dan digunakan untuk membantu menginterpretasikan faktor. • Communality merupakan persentase dari variance variabel yang mengkontribusi korelasi dengan variabel lainnya atau common untuk variabel lainnya. • Variance explained merupakan ringkasan pengukuran yang mengindikasi berapa banyak total variance awal dari keseluruhan variabel faktor yang mewakilinya. • Factor rotation menghasilkan beberapa solusi (loading dan factor score) untuk setiap data yang dibentuk dari factor rotation dan dihasilkan oleh factor rotation scheme. Alasan membentuk factor analysis pada data adalah untuk memperoleh pandangan dari kelompok variabel yang muncul dan dapat dilakukan dengan memilih satu, dua atau lebih input variabel untuk mewakili setiap faktor dan menganti input variabel awal dengan factor score. Factor analysis sebagai berikut: • Application: factor analysis digunakan untuk mengidentifikasikan dasar dimensi atau konstruk dalam data dan mengurangi sejumlah variabel dengan mengeliminasi kelebihannya. • Input: menggunakan sekumpulan nilai variabel untuk setiap individu dan sasaran dalam suatu sampel. • Output yang dihasilkan adalah factor loading, factor score, dan persentase variance yang dijelaskan.
290
• Key assumption biasanya terdapat faktor yang mendasari variabel dan variabel secara lengkap dan cukup mewakili faktor ini. • Limitations of factor analysis dimana factor analysis merupakan proses subjektivitas yang tinggi. Common factor analysis hanya berpusat pada variance (pengukuran jumlah informasi yang disampaikan oleh setiap faktor) yang dibagikan diantara keseluruhan variabel dan dapat diringkas sebagai metode transforming the original variabel into new, noncorrelated variabel yang disebut faktor. Common factor analysis merupakan usaha peneliti untuk menemukan dasar dimensi di sekitar variabel awalnya. Secara garis besar, tahapan pada analisis faktor sebagai berikut: 1. Memilih variabel yang layak dimasukkan dalam analisis faktor. Oleh karena analisis faktor berupaya mengelompokkan sejumlah variabel, maka seharusnya ada korelasi yang cukup kuat diantara variabel, sehingga akan terjadi pengelompokkan. Jika sebuah variabel atau lebih berkorelasi lemah dengan variabel lainnya, maka variabel tersebut akan dikeluarkan dari analisis faktor. Alat seperti MSA atau Barlett’s Test dapat digunakan untuk keperluan ini. 2. Setelah sejumlah variabel terpilih, maka dilakukan ektraksi variabel tersebut hingga menjadi satu atau beberapa faktor. Beberapa metode pencarian faktor yang sering digunakan adalah Principal Component dan Maximum Likehood. 3. Faktor yang terbentuk pada banyak kasus, kurang menggambarkan perbedaan diantara faktor-faktor yang ada. Hal tersebut dapat mengganggu analisis karena justru sebuah faktor harus berbeda secara nyata dengan faktor lain. Untuk itu, jika isi faktor masih diragukan, maka dapat dilakukan proses rotasi untuk memperjelas apakah
Duddy Roesmara Donna -- Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Penggunaan Lembaga Bank Syariah: Studi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
faktor yang terbentuk sudah secara signifikan berbeda dengan faktor lain. Setelah faktor benar-benar sudah terbentuk, maka proses dilanjutkan dengan menamakan faktor yang ada dan dilakukan langkah validasi hasil faktor (Santosa dan Tjiptono, 2001).
PEMBAHASAN
Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan lembaga keuangan syariah dan model pembiayaan di lembaga keuangan syariah digunakan analisis faktor. Secara garis besar, proses analisis faktor ditempuh dengan dua langkah yaitu ekstraksi dan rotasi.
Proses Ekstraksi
Langkah pertama adalah melihat nilai KMO and Bartlett’s Ttest. Angka K-M-O Measure of Sampling Adequacy (MSA) adalah 0,741. Oleh karena angka MSA diatas 0,5 maka kumpulan variabel tersebut dapat diproses lebih lanjut. Kesimpulan yang sama dapat dilihat pula pada angka Bartlett’s Test (yang ditampakkan pada angka Chi Square) sebesar 1,260 dengan signifikansi 0,000. Selanjutnya tiap variabel dianalisis untuk mengetahui mana yang dapat diproses lebih lanjut dan mana yang harus dikeluarkan. Pada tabel 1 (Anti Image Correlation) yang menandakan besaran MSA sebuah variabel. Adapun pedoman yang digunakan adalah, kalau nilai MSA lebih besar dari 0,5 maka variabel tersebut tetap dipakai dalam analisis selanjutnya. Kalau nilai MSA lebih kecil dari 0,5, maka variabel tersebut dikeluarkan dari analisis. Dapat dilihat bahwa ke-16 indikator mempunyai nilai MSA yang lebih dari 0,5 sehingga kesemua indikator dipakai dalam proses selanjutnya. Tabel 1. Nilai MSA dari Anti Image Correlation dan Communalities Indikator
Anti Image Correlation
Communalities
i1
0,595
0,770
i2
0,530
0,760
Indikator
Anti Image Correlation
Communalities
i3
0,874
0,588
i4
0,771
0,760
i5
0,776
0,686
i6
0,738
0,660
i7
0,825
0,723
i8
0,788
0,631
i9
0,831
0,807
i10
0,729
0,868
i11
0,747
0,872
i12
0,758
0,578
i13
0,876
0,719
i14
0,556
0,902
i15
0,584
0,866
i16
0,848
0,596
Sumber: Data Primer, diolah
Proses Rotasi
Seluruh proses rotasi dalam penelitian ini menggunakan principal component analysis dengan metode rotasi varimax. Penggunaan metode tersebut disebabkan karakteristik analisis faktor yang bersifat eksploratori (bukan konfirmatori). Analisis eksploratori lebih sesuai untuk menganalisis sesuatu yang belum baku landasan terorinya atau belum banyak penelitian sebelumnya yang serupa. Tabel 1 menunjukkan bahwa semua indikator mempunyai nilai communalities di atas 0,5 sehingga semua indikator digunakan dalam proses selanjutnya. Nilai communalities sebesar 0,596 dari I16 menunjukkan bahwa sekitar 59,6 persen dari Indikator16 dapat dijelaskan oleh faktor yang terbentuk nanti. Demikian juga dengan variabel lain. Langkah selanjutnya adalah proses rotasi. Tabel 2 menunjukkan angkaangka sebagai hasil dari proses rotasi memperlihatkan distribusi yang lebih jelas dan nyata dibandingkan dengan jika tidak dilakukan rotasi. Dari hasil Tabel 2 terlihat ada sebuah indikator yang mempunyai korelasi ganda, yaitu I9 (sembilan belas). Ada indikator yang memiliki nilai korelasi ganda, maka dilakukan proses analisis faktor ulang dengan menghilangkan variabel yang 291
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 285-295
memiliki korelasi ganda tersebut. Dengan menghilangkan variabel yang memiliki nilai korelasi ganda tersebut diharapkan nantinya akan terbentuk faktor yang lebih baik dan memiliki korelasi yang lebih bagus. Tabel 2. Rotated Component Matrix 1
menyisakan sepuluh indikator yang tidak mempunyai korelasi ganda. Kesepuluh indikator tersebut mengelompok dalam empat faktor, yaitu Faktor 1 (I7, I9, I13, dan I16); Faktor 2 (I14 dan I15); Faktor 3 (I1 dan I2); dan Faktor 4 (I3 dan I6).
Component
1
2
3
4
Tabel 3. Rotated Component Matrix 2
5
i1
0,731
i2
0,843
Component
1
2
3
4
i3
0,665
i1
0,864
i4
0,768
i2
0,884
i5
0,740
i3
0,665
i6
0,750
i6
0,892
i7
0,789
i7
0,822
i8
0,734
i9
0,798
0,634
i13
0,834
i9
0,609
i10
0,873
i11
0,867
0,794
i15
0,931 0,756
Sumber: Data Primer, diolah
i14
0,930
i15
0,902
i16
0,935
i16
i12 i13
i14
Penamaan Faktor
0,707
Sumber: Data Primer, diolah
Adapun hasil dari proses rotasi dengan menghilangkan I9 adalah seperti terangkum dalam Tabel 3. Dari proses reduksi tersebut
Sampai langkah ini proses reduksi indikator sudah berhenti. Proses selanjutnya adalah penamaan faktor. Tabel 4 menunjukkan rangkuman penamaan faktor beserta indikatornya. Terdapat empat faktor, yaitu Faktor Kelembagaan, Faktor Ketaatan pada Syariah Islam, Faktor Pelayanan, dan Faktor Kesesuaian Produk.
Tabel 4. Penamaan Faktor i7
Kemudahan yang disebabkan institusi/kantor
i9
Lokasi LKS yang dekat dengan rumah
i13
Kedekatan LKS dengan kelompok jamaah yang diikuti
i16
Kecewa dengan lembaga keuangan konvensional
i14
Keyakinan bahwa produk LKS halal
i15
Bagian dari ketaatan/menegakkan syariat Islam
i1
Proses administrasi dan pencairan yang mudah
i2
Adanya program jemput bola
i3
Akad dan produk yang sesuai dengan kebutuhan
i6
Tingkat return yang ditawarkan bersaing
Sumber: Data Primer, diolah
292
Faktor 1
Faktor Kelembagaan
Faktor 2
Faktor Ketaatan pada Syariah Islam
Faktor 3
Faktor Pelayanan
Faktor 4
Faktor Kesesuaian Produk
Duddy Roesmara Donna -- Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Penggunaan Lembaga Bank Syariah: Studi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Uji Reliabilitas
Ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Secara empiris, tinggi rendahnya reliabilitas ditunjukkan oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas. Secara teoritis, besarnya koefisien reliabitas berkisar antara 0 sampai 1, tetapi pada kenyataannya koefisien sebesar 1 dan 0 tidak pernah dijumpai. Koefisien reliabilitas yang semakin mendekati 1 berarti semakin dapat dipercaya. Tabel 5. Uji Reliabilitas Faktor
Cronbach Alpha
Faktor 1
0,803
Faktor 2
0,907
Faktor 3
0,708
Faktor 4
0,499
Sumber: Data Primer, diolah
Uji reliabilitas dilakukan setelah hasil dari analisis faktor karena nilai Alpha lebih besar dari 0,4, berarti semua instrumen yang dipakai memenuhi syarat dan reliable.
Analisis Komprehensif Temuan Faktor
Faktor yang paling berperan dominan adalah faktor kelembagaan. Faktor kelembagaan yang diperhatikan nasabah dalam menggunakan lembaga keuangan syariah adalah fasilitas kemudahan sebagai hasil kerja sama lembaga keuangan syariah dengan kantor tempat bekerja nasabah, kedekatan lokasi lembaga keuangan syariah dengan tempat tinggal nasabah, kedekatan lokasi lembaga keuangan syariah dengan tempat pertemuan kelompok/jamaah nasabah, dan kekecewaan nasabah terhadap lembaga keuangan konvensional. Kedekatan lokasi dan kemudahan merupakan indikator yang paling penting dalam faktor kelembagaan. Faktor kedua adalah ketaatan pada syariah Islam dengan indikator anggapan bahwa produk lembaga keuangan syariah adalah halal dan indikator bahwa menggunakannya adalah bagian dari
ketaatan/menegakkan syariah Islam. Hal ini menunjukkan masih rendahnya pemahaman nasabah terhadap syariah Islam pada ranah perniagaan. Pada kenyataannya masih banyak produk lembaga keuangan syariah yang tidak ada bedanya dengan lembaga keuangan konvensional. Akan tetapi, masyarakat menganggap produk tersebut halal karena telah diberikan embel-embel akad yang menggunakan bahasa Arab. Faktor ketiga adalah faktor pelayanan dengan indikator proses administrasi dan pencairan yang mudah serta indikator adanya program jemput bola. Masyarakat pada umumnya masih pragmatis sehingga kemudahan administrasi dan jemput bola merupakan hal yang menarik, baik untuk mengajukan pembiayaan maupun untuk menabung. Bahkan banyak responden yang asal terima uang saja tanpa mempedulikan lembaga keuangannya apakah berdasarkan syariah Islam atau tidak. Faktor terakhir adalah faktor kesesuaian produk dengan indikator akad dan produk sesuai dengan kebutuhan dan indikator tingkat return yang ditawarkan bersaing. Pada kenyataannya, return yang dibayarkan banyak yang bersifat tetap besarnya (seperti suku bunga), hanya saja diberi istilah margin atau bahkan bagi hasil. Masyarakat tidak terlalu memahami esensi dari akadakad tersebut dan hanya melihat besarnya return dan kesesuaian produk dengan kebutuhannya saja.
SIMPULAN
Dari pemaparan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang untuk menggunakan lembaga keuangan syariah adalah faktor kelembagaan, ketaatan terhadap syariah Islam, faktor pelayanan, dan faktor kesesuaian produk. Temuan ini senada dan mendukung temuan-temuan penelitian serupa sebelumnya, seperti yang dipaparkan pada sub-bahasan sebelumnya. Penelitian ini mempunyai implikasi bahwa untuk meningkatkan penggunaan lembaga 293
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 285-295
keuangan syariah oleh masyarakat sebaiknya memfokuskan peningkatan kualitas pada halhal di luar syariah Islam karena dari ketiga faktor hanya ada satu faktor yang berkaitan dengan ketaatan pada syariah Islam dan juga didukung oleh temuuan bahwa pada umumnya masyarakat tidak memahami dan mempedulikan syariah Islam (asalkan sudah ada label berbahasa Arab dianggap sudah mencukupi). Penelitian ini mempunyai kelemahan dalam hal sampling karena menggunakan non probability (disebabkan peneliti tidak memungkinkan mengetahui populasi yang merupakan keseluruhan nasabah lembaga keuangan syariah), maka hasilnya bersifat studi kasus dan tidak dapat digeneralisir sebagai perilaku masyarakat Provinsi DIY. Diharapkan instansi yang merupakan regulator dari lembaga keuangan syariah yang ada melakukan penelitian serupa dengan metode sampling probabiliy.
Daftar Pustaka
Andri Soemitra, M.A., 2009, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Anto, Hendri MB dan Setyowati, Desti, editor Nurul Huda dan M.E. Nasution, 2009, “Current Issues Lembaga Keuangan Syariah”, cet. 1, Jakarta: Kencana Prenada Group.
Baldwin, et. al., 2002, “Theoritical Foundations of Islamic Economics”, cet. 1, IRTI-IDBI, Jeddah-Arab Saudi. Bank Indonesia Padang, dan Lembaga Penelitian Universitas Andalas, 2001, Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Sumatera Barat, Penelitian, Bank Indonesia dalam www.bi.go.id. Bank Indonesia dan LP-IPB, 2004, Potensi, Preferensi, dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Wilayah Jawa Barat, Penelitian, Bank Indonesia dalam www.bi.go.id. 294
Bank Indonesia dan PPKP-LP Undip, 2000, Penelitian Potensi, Preferensi, dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, Penelitian, Bank Indonesia, dalam www.bi.go.id. Bank Indonesia dan PPBEI-FE Unbraw, 2000, Penelitian Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah; Studi Pada Wilayah Propinsi Jawa Timur, Penelitian, Bank Indonesia dalam www.bi.go.id. Bank Indonesia Yogyakarta, 2010, Statistik Ekonomi dan Keuangan Daerah DIY Bulan Agustus, Yogyakarta: Bank Indonesia Yogyakarta Direktorat Perbankan Syariah, Bank Indonesia, dan Institut Pertanian Bogor, 2004, Potensi Preferensi dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Wilayah Kalimantan Selata,, Penelitian, Institut Pertanian Bogor, dalam www.bi.go.id. Cooper, DR., and Schindler, PS., 2001, “Business Research Methods 7th Ed”, McGraw-Hill Irwin. Donna,DR, 2006, Variabel-variabel yang Mempengaruhi Pembiayaan pada Perbankan Syariah di Indonesia, Tesis. Tidak Diterbitkan. Eswaran, M. and A. Kotwal,1990, “Implications of Credit Constraints for Risk Behaviour in Less Developed Economies”, Oxford Economic Papers, Vol. 42. Hair, JF., dkk,, 2010, “Multivariate Data Analysis a Global Perspective 7th edition”, Pearson Global Edition. Gujarati, DN. Dan Porter, DC., 2009, “Basic Econometrics 5th edition”, McGrawHill International Edition.
Duddy Roesmara Donna -- Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Penggunaan Lembaga Bank Syariah: Studi di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Iqbal, Munawar, et. al., 1998, “Challenges Facing Islamic Banking”, cet. 1, Jeddah-Arab Saudi: IRTI-IDB. Karim, A, 2003, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: The International Institute of Islamic Thought Indonesia. Khan, SR, 1984, “An Economic Analysis of a PLS Model for the Financial Sector”, The Pakistan Journal of Economics, 3(2). Korteweg, P dan Van Loo, P, 1977, “The Market for Money and the Market for Credit”, Leiden: Martinus Nijhoff Social Sciences Division. Kuncoro, M, 2003, Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi, Jakarta: Penerbit Erlangga. Ligon, E, 1998, “Risk Sharing and Information in Village Economies”, Review of Economic Studies, 65, 847-864. Nasution, A.R., 2006, Analisis Potensi dan Preferensi Masyarakat terhadap Bank Syariah di Wilayah Kota Medan, Tidak Diterbitkan.
Santosa, S. dan Tjiptono, F., 2001, Riset Pemasaran: Konsep dan Aplikasi dengan SPSS. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. Sub Dinas Koperasi Provinsi DIY, 2010, Jumlah Koperasi di Provinsi DIY, Tidak Diterbitkan Schaik, D, 2001, ”Islamic Banking. The Arab Bank Review”, 3(1): 45-52. Shams, R., 2004, “A Critical Assessment of Islamic Economic”, HWWA Discussion Thesis, 281: 1-12. Sharma, S., 1996, “Applied Multivariate Analysis”, John Wiley and Sons, Inc. Seyed, dan Makiyan, N, 2001, “The Role of Rate of Return on Loans in the Islamic Banking System of Iran”, International Journal of Islamic Financial Services, 3(3). Wijaya, A, 2006, Segmentasi Pasar dan Perilaku Nasabah terhadap Lembaga Keuangan Syariah di Wilayah Yogyakarta dan Implikasi Strategi Pemasarannya, Tesis, Tidak Diterbitkan.
295
KAWISTARA VOLUME 2
No. 3, 22 Desember 2012
Halaman 225-328
TREN PEMIKIRAN INTELEKTUAL MUSLIM KONTEMPORER DI TIMUR TENGAH PASCA-DIFITISME 1967 Yoyo
Program Studi Agama dan Lintas Budaya Minat Studi Kajian Timur Tengah Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Email:
[email protected] dan
[email protected] Heddy Shri Ahimsa Putra dan Fadlil Munawar Manshur Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Siti Muti’ah Setiawati
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada
ABSTRACT
This article is an effort to make a clear mapping on contemporary Muslim intellectuals in the Middle East after the Arab defeat in 1967. The Six-Day War taking place in June 1967 was disaster for the Arab world. It terminated the ideology of Pan-Arab nationalism and generated the rise of four competing self-criticism ideologies: Marxism, Liberalism, Fundamentalism and Nationalism. The four ideologies have their own particular responses and solutions for the Arab crisis. The result of this research shows that Islamic fundamentalism is still the strongest ideology compared to the secular ideologies. The Arab Spring in 2011 proved the fact and paved a way for the Islamists to be on the top of political arena like in Egypt recently. The other Islamist militant groups such as Jama’ah Islamiyyah are now more freely to voice the implementation of Islamic syari’ah Key words: Muslim intellectuals, the Arab defeat, and self-criticism ideologies.
ABSTRAK
Artikel ini merupakan sebuah upaya membuat peta yang cukup jelas mengenai tren intelektual Muslim di Timur Tengah pasca difitisme Arab 1967. Perang Enam-Hari yang terjadi pada Juni 1967 merupakan derita bagi dunia Arab. Ia mengindikasikan berakhirnya ideologi Pan-Arabisme dan telah memicu lahirnya empat ideologi kritik-diri yang saling berkompetisi: Marxisme, Liberalisme, Fundamentalisme dan Nasionalisme dalam bentuk ekstrimnya. Keempat ideologi tersebut mempunyai respon dan tawaran solusi tersendiri terhadap krisis Arab. Di akhir penelitian ini memperlihatkan bahwa fundamentalisme Islam masih menjadi ideologi yang sangat kuat dibanding dengan ideologi-ideologi sekuler lainnya. Pasca the Arab Spring, fundamentalisme Islam di Mesir berhasil menjadi penguasa di samping semakin menguatnya gerakan-gerakan Islam lain di panggung politik. Kelompok-kelompok Islam militan pun
296
Yoyo--Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer di Timur Tengah Pasca-Difitisme 1967 semisal Jama’ah Islamiyyah menjadi semakin bebas dalam menyuarakan tuntutan penerapan syari’at Islam. Kata Kunci: Intelektual Muslim, Difitisme Arab, dan Ideologi-ideologi Kritik-Diri.
PENGANTAR Studi mengenai intelektual di dunia Islam dan Timur Tengah pada khususnya, berdasarkan pengamatan Singer dan Gershoni (2008: 383) bahwa kajian ini “… [it] has not been a fashionable field in Middle Eastern studies…since the mid-1970s it has been pushed to the sidelines.” Lebih tegas lagi, menurut Ibrahim M Abu-Rabi’(2004: 7) “the field of contemporary Arab [Muslim] thought is still virgin.” Bidang kajian Islam yang masih jarang disentuh. Di Indonesia pun, kajian terhadap dinamika sosial intelektual Muslim merupakan kajian masih minim dilakukan dan bahkan sedikit “ditelantarkan” (Rumadi, 2008:7). Alasan yang paling mudah diterima karena “the importance of the intellectual in society and in the processes of modernization is generally marginal” (Hatina, 2007:8). Marginalisasi ini terjadi karena pemikiran intelektual seringkali dianggap terlalu idealis di tengah-tengah masyarakat yang cenderung bergerak ke arah pragmatis. Melengkapi diskusi di atas, artikel ini berusaha menjabarkan peta sederhana tren pemikiran intelektual Muslim kontemporer di Timur Tengah khususnya pascakekalahan perang Arab-Israel pada 1967 atau kemudian dikenal dengan sebutan difitisme 1967 sampai tahun 2000-an. Difitisme 1967 telah banyak melahirkan gerakan ideologis, baik ke arah sekuler maupun Islamis sebagai respon dan jawaban atas persoalan-persoalan kemunduran yang terjadi di dunia Arab. Baru-baru ini, pasca-the Arab Spring semakin mengokohkan fakta bahwa pertarungan ideologis itu memang terbukti adanya. Upaya untuk memetakan tren pemikiran intelektual Arab, tulisan ini pun diharapkan mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan kontemporer seperti mengapa fundamentalisme agama di
Timur Tengah masih menjadi satu-satunya tren ideologi yang mampu bertahan (dengan segala konsekuensinya), sedangkan ideologiideologi sekuler seperti liberalisme dan Marxisme semakin terpinggirkan dan tidak terlalu banyak diminati. Buku Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798-1939 terbit pertama kali pada 1962 merupakan buku yang sangat terkenal dan buku pertama yang berbicara mengenai sejarah dan pergumulan pemikiran intelektual Arab dihadapkan pada isu modernitas yang dibawa oleh Barat. Dalam bukunya tersebut, Hourani menyebutkan empat generasi intelektual sekaligus sebagai representasi dari tren pemikiran Arab modern ke dalam empat periode, yaitu pertama, generasi antara tahun 1830-1870 Masehi dicirikan dengan tren “mengadopsi” lembaga hukum dan politik Barat demi kemajuan negara; Kedua, generasi antara tahun 1870-1900 Masehi ditandai dengan gerakan re-interpretasi Islam; Ketiga, generasi antara tahun 1900-1939 Masehi ditandai dengan menguatnya gerakan fundamentalisme sekaligus liberalisme Islam; dan Keempat, generasi pasca-Perang Dunia II sebagai tren nasionalisme Arab. Abdallah Laroui, intelektual Arab asal Maghrib dalam bukunnya The Crisis of Arab Intellectuals bahwa empat periode sejarah pemikiran intelektual Arab dengan menambahkan periode 1967 ke atas sebagai era baru kebangkitan intelektual Arab, yaitu pertama, Nahdah—periode renaissance kultural Arab terbesar—, diawali pada abad ke-19 (1850 Masehi sampai tahun 1914 Masehi); Kedua, periode di antara dua Perang Dunia (PD I dan PD II) sampai pada pertengahan tahun 1950-an, ditandai oleh perkembangan pemikiran yang memainkan peranan utama dalam setiap gerakan sosial utamanya gerakan nasionalis; Ketiga, periode masa percobaan nasionalisme Arab di bawah payung ideologi persatuan Nasser dan Partai Ba’ath setelah PD II sampai pada Perang Arab-Israel 1967; dan Keempat, periode krisis moral juga politik pasca kekalahan Perang 1967 (hazīmah) yang
297
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 296-307
kemudian disebut sebagai the Second Nahdah merupakan Kebangkitan Intelektual Arab Kedua (Laroui, 1967: vii-viii). Sementara Sharabi (1992: 94) memetakan empat fase tren pemikiran di dunia Arab mulai dari tahun 1880-1980 Masehi sebagai berikut, yaitu pertama, fase Turki Ustmani (1880-1918 Masehi), didominasi oleh ideologi reformisme dan sekularisme; Kedua, fase penjajahan Eropa (1918-1945 Masehi), didominasi oleh ideologi nasionalisme Arab, revivalisme Islam, dan Sosialismeliberal; Ketiga, fase kemerdekaan (19451980 Masehi), didominasi oleh ideologi sosialisme revolusioner, liberalism, dan fundamentalisme; dan keempat, fase pascakemerdekaan (1980 Masehi) sampai sekarang dengan ditandai oleh tren fundamentalisme Islam dan Kritisisme-Sekuler. Sedikit berbeda dari periodesasi di atas, Halim Barakat (2012) memetakan pemikiran Arab ke dalam tiga periode, Pertama, fase formatif mulai dari tahun 1850-an hingga Perang Dunia I. Periode ini ditandai kecenderungan religius, yaitu benturan antara kelompok tradisional versus reformis; kecenderungan liberal dan radikal progresif; Kedua, fase meraih Perjuangan Nasional (1918-1945); dan Ketiga fase kemerdekaan dan pasca-kemerdekaan (1945-1992) yang ditandai dengan menguatnya gerakan liberalisme, fundamentalisme agama, dan Islam progresif. Berbeda dari penelitian di atas, artikel ini secara khusus akan melihat peta perkembangan intelektual Muslim kontemporer khususnya pasca-difitisme 1967 sampai sekarang. Diakui oleh para sarjana Barat bahwa sulit untuk merumuskan definisi yang tepat tentang intelektual atau intellectuals. Salah satu alasannya karena seringkali definisi tersebut merupakan self-definitions (Bauman, 1987: 8), kurang objektif dan cenderung bias, definisi disusun atas dasar binary opposition antara siapa yang disebut “intellectuals” dan “non-intellectuals” dengan batas-batas yang sudah sangat jelas dikonstruksi oleh kelompok sosial tertentu.
298
Apabila merujuk pada makna dasar penggunaannya, Raymond (1985: 169-171), dalam Keywords: A vocabulary of culture and society menyebutkan bahwa kata “intellectual” digunakan untuk merujuk pada jenis orang tertentu atau seseorang yang melakukan pekerjaan tertentu. Kata ini efektif digunakan pada akhir abad ke19. Meskipun penggunaan kata itu sendiri kurang disukai, kata “intellectual” menjadi sangat popular dalam literature Inggris pada pertengahan abad ke-20. Kata “intelektual” sekarang digunakan secara netral untuk menggambarkan orang yang melakukan jenis pekerjaan tertentu dan utamanya jenisjenis pekerjaan yang bersifat umum. Dalam tradisi Islam terdapat istilah klasik yang lazim digunakan untuk merujuk kepada sekelompok orang yang berkecimpung dalam tradisi keilmuan, istilah tersebut yaitu ‘ulama (bentuk jamak dari ‘ālim) berarti sarjana atau scholar, orangorang yang memiliki pengetahuan (ilm). Akan tetapi, istilah ini digunakan hanya bagi “mereka yang memiliki pengetahuan agama” (Milson, 1972: 17). ‘Ulama sebagai special groupe dalam masyarakat Muslim, cenderung lebih berperan sebagai moral caretakers dibanding sebagai pengkritik (Esposito, 2001: 14). Puncak kemapanan ‘ulama dalam sejarah Islam klasik tercatat pada masa Dinasti Ustmani terdapat kerjasama harmonis antara ‘ulama dan penguasa di mana ulama berperan sebagai pemegang legitimasi bagi kekuasaan raja (1972: 21; 2001: 14-16) atau disebut oleh Abdo (2000: 43) sebagai religious stamp of approval. Kekuasaan seorang raja tidak akan legitimate kalau belum mendapat persetujuan dari ‘ulama. Merujuk pada deskripsi ini, istilah intelektual kurang tepat apabila dipadankan dengan kata ‘ulama dalam tradisi Islam klasik. Untuk konteks modern, tepatnnya pada akhir abad ke-19 terdapat dua kata Arab yang lazim digunakan sebagai padanan kata “intelektual”: yaitu mutsaqqaf dan mufakkir, yang pertama berasal dari kata tsaqafa, kebudayaan (a man of culture) atau academically trained, ditempuh melalui jenjang
Yoyo--Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer di Timur Tengah Pasca-Difitisme 1967
pendidikan formal. Sedangkan yang terakhir berasal dari kata fikr atau thought (a man of thought). Dari dua istilah tersebut, penulis seperti halnya Hofmann (2007: 67) merasa lebih tepat untuk menggunakan kata mufakkir sebagai padanan untuk kata “intelektual” yang diartikan sebagai “analytical mind who communicate,” menandakan bahwa proses menjadi intelektual tidak mesti melalui sebuah tahapan pendidikan formal yang tinggi, melainkan melalui sebuah proses pemikiran yang aktif dan produktif. Lebih dari itu, seorang intelektual (al-mufakkir) adalah “someone whose place it is publicly to raise embarrassing questions, to confront orthodoxy and dogmas” (Said, 1994). Tugasnya adalah menyampaikan pemikiran dengan tujuan untuk melakukan perubahan meskipun gagasan tersebut boleh jadi sangat bertentangan dengan gagasan yang lazim berlaku.
PEMBAHASAN Difitisme 1967
Tanggal 5 Juni 1967 Masehi, Israel menyerang dan menghancurkan angkatan udara Mesir. Beberapa hari kemudian, Israel menduduki Sinai juga Suez, Yerusalem serta Palestina bagian Yordania, dan Syria bagian selatan (Dataran Tinggi Golan) (Hourani, 1992: 413). Kekalahan 1967 Masehi ini dipandang oleh para pemikir Arab-Muslim bukan hanya sekedar kekalahan teknologi, melainkan juga kekalahan moral. Apabila bangsa Arab dapat dikalahkan dengan begitu cepat, pasti ada yang salah dengan sistem moralnya. Permasalahan yang lebih penting adalah tentang identitas bangsa Arab dihubungkan dengan warisan masa lampau (turāst) dan tantangan zaman. Haruskah mereka mengambil nilai-nilai dari luar, ataukah dapat digali dari kultur dan nilai-nilai yang telah diwariskan [ArabIslam] untuk sampai pada dunia modern? Pertanyaan ini memperlihatkan relasi antara identitas Arab-Muslim dan pada ketergantungan pada dunia Barat (1992: 442443).
Pertama kalinya pasca 1967, utamanya tahun 1970 dan 1980-an, terdengar istilah Islamis atau fundamentalis (al-ushuliyyah), dan istilah self-criticism atau Marxist selfcriticism. Hal ini merupakan akibat dari kekalahan perang Arab tersebut dan juga mengindikasikan adanya kematangan dalam ranah pemikiran intelektual Arab pada era 1970 dan 1980-an (Abu-Rabi’, 2004: 10). Kalau pada era Kebangkitan Arab Pertama pertanyaan yang muncul adalah “mengapa kita (bangsa Arab-Muslim) mengalami kemunduran sementara yang lain (Barat-Kristen) mengalami kemajuan?” maka pertanyaan yang muncul di kalangan intelektual Arab era Kebangkitan Kedua adalah “mengapa kita (Arab-Muslim, Dunia Ketiga) gagal merealisasikan kebangkitan kita? (Al-Jabiri, 1990: 131). Dengan mewaspadai akan bangkitnya gerakan tradisionalisme (dalam bentuk fundamentalisme Islam utamanya) dalam pemikiran Arab kontemporer, Laroui pada saat yang sama optimis bahwa telah lahir gerakan intelektual baru dalam menghadapi krisis difitisme 1967 yang disebutnya sebagai the second Nahdah (Laroui, 1976: 67). Hal ini berarti bahwa pemikiran Arab sedang menghadapi era Kebangkitan Kedua seperti halnya Kebangkitan Pertama pada abad ke-19 Masehi. Menurutnya Laroui bahwa Kebangkitan Arab Kedua (the second Nahdah) ini sebenarnya telah diawali pada tahun 19631965 Masehi yang disebut dengan era Nasser dan berkembang menjadi sangat matang sejak tahun 1970-an sampai sekarang setelah masa percobaan Nasserisme menemui kegagalan ( Laroui, 1976: 92-93).
Intelektual Maghrib
Meskipun kekalahan perang ArabIsrael 1967 ini lebih dirasakan oleh intelektual Masyriq (Arab-Timur) seperti Mesir utamanya, Syria, dan juga Libanon, tetapi refleksi atas kekalahan tersebut ikut diramaikan oleh intelektual Arab dari wilayah Maghrib seperti Maroko dan Aljazair (Browers, 2009: 21). Refleksi tersebut juga menandai lahirnya tren baru 299
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 296-307
intelektual Arab kontemporer dari Maghrib. Sharabi (1988) mencatat bahwa gerakan yang muncul di Maghrib ini menerima gagasan filsafat dan epistemologi baru dari Barat, utamanya Perancis. Intelektual Maghrib kontemporer seperti Muhammad Arkoun dari Aljazair dan Muhammad Abid alJabiri dari Maroko merupakan representasi dari intelektual tersebut. Mereka berupaya menggunakan metode strukturalis baru, yaitu post-strukturalis dan dekonstruksi untuk menafsirkan kembali teks-teks klasik warisan Arab-Islam. Maghrib menjadi posisi yang sangat penting dalam hal menerima gerakan atau tren intelektual dan kultural dari Timur dan Mesir utamanya sejak era pertama Nahdah. Akan tetapi, posisi sebagai penerima ini (receiver) mulai bergeser dan berubah menjadi producer bahkan sender pemikiran-pemikiran yang tak kalah hebatnya dari Masyriq, maka otomatis Masyriq mulai menerima dan mengakui produk baru pemikiran progressif ini. Perubahan posisi demikian dimulai pada pertengahan tahun 1980-an dan ada satu alasan penting sebagai latar belakangnya yaitu adanya expansion of change pemikiran antara Masyriq dan Maghrib (Nagawasa, 1992). Contoh ini bisa dilihat dalam sebuah buku dengan judulnya yang mencerminkan adanya kekuatan intelektual baru dari Maghrib yaitu Hiwār al-Masyriq wal Maghrib (Dialog Timur dan Barat), sebuah dialog antara pemikir terkenal asal Timur (Mesir), yaitu Hasan Hanafi dengan Muhammad Abid al-Jabiri sebagai representasi intelektual Arab kontemporer dari Barat (Maroko). Wacana keseimbangan antara intelektual Masyriq dan Maghrib di atas didukung oleh tiga faktor utama, yaitu pertama, majalah intelektual yang dipublikasikan di Masyriq mulai terhubung dengan produk-produk pemikiran intelektual Maghrib; Kedua, adanya aktivitas institusi dan organisasi inter-Arab dalam mengorganisir simposium dan konferensi ilmiah; Ketiga, adanya peranan ‘gates of Paris.’ Hasan Hanafi, Muhammad Abid al-Jabiri, dan juga Arkoun merupakan representasi produk ketiga ini
300
(Nagawasa, 1992: 98). Produk dari ‘gates of Paris’ sebagian besar intelektual Maghrib dan sedikit dari Masyriq semisal Hasan Hanafi lebih senang menulis karya-karyanya dalam bahasa Perancis, seperti yang dilakukan oleh Muhammad Arkoun dan Abdallah Laroui. Hal demikian tentunya menjadi kendala linguistik tersendiri bagi sebagian besar audiens Muslim yang secara umum hanya mahir bahasa Arab atau Inggris (Abu-Rabi, 2004: 44-45).
Tema-Tema Pemikiran
Meskipun beberapa tulisan telah dihasilkan selama abad ke-20 ini dan bahkan telah dimulai pada abad ke-19 Masehi (era Kebangkitan Arab Pertama) yang jumlahnya lebih terbatas, tetapi tulisantulisan yang dihasilkan pada tahun 1960, 1970, dan 1980-an jauh lebih penting dan sangat tajam. Tulisan-tulisan itu memiliki nada menyedihkan tentang mereka dan menunjukkan adanya keinginan besar untuk bergulat dengan problem modernitas. Tulisan-tulisan tersebut dimaksudkan untuk proses perubahan, sekalipun terlalu abstrak atau idealistik (Boullata, 2002: 3). Karya-karya tersebut sebagian sangat terinspirasi oleh tiga tren utama aliran pemikiran Barat, yaitu kritisisme AngloAmerika, Marxisme Barat, dan pemikiran strukturalis dan post-strukturalis Perancis (Sharabi, 1992: 104). Tahun 1967 Masehi sekaligus memberi sinyal curahan sejumlah tulisan-tulisan Arab kritis tentang situasi Arab, mulai dari nuansa filsafat, agama, dan sastra. Banyak pemikir Arab pasca 1967 dipaksa untuk memikirkan ulang sejumlah isu besar yang selama ini sudah taken for granted bahkan sampai pada tahap sakralisasi teks (Abu-Rabi’, 2004: 59). Persoalan yang diangkat oleh intelektual Arab kontemporer sangat banyak dan beberapa tema masih terkait dengan pemikiran yang dihasilkan pada era Kebangkitan Arab Pertama. Masing-masing intelektual mempunyai kecenderungan dan fokus masing-masing dalam melihat satu permasalahan. Oleh karena itu, tema
Yoyo--Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer di Timur Tengah Pasca-Difitisme 1967
yang satu boleh jadi dibahas lebih detail dibandingkan dengan tema yang lain. Tema-tema tersebut di atas misalnya, posisi perempuan dalam masyarakat Arab, pada umumnya memperoleh ruang pembahasan yang lebih besar dibanding sistem pendidikan di dunia Arab. Kedudukan Islam dalam masyarakat Arab mendapat perhatian yang lebih besar dibanding persoalan-persoalan kemanusiaan dan hakhak asasi individual. Persoalan politik, khususnya yang terkait dengan kebijakan asing lebih sering menjadi acuan terhadap persoalan-persoalan ekonomi. Gagasan tentang sosialisme dan nasionalisme di dunia Arab lebih menarik banyak kajian dibanding dengan gagasan tentang kebebasan dan demokrasi. Imperialisme Barat dan zionisme sebagai penghambat kemajuan Arab, dianalisis secara lebih mendalam daripada persoalan sistem kelas dalam masyarakat Arab (Boullata, 2002: 7). Dari tema-tema tersebut di atas, persoalan mengenai bagaimana Islam diposisikan dalam ranah kehidupan sosial-politik tetap merupakan isu utama intelektual kedua generasi (Kebangkitan Arab Pertama dan Kedua). Hal ini menjadi indikator penting bahwa posisi dan peranan Islam dalam konteks sosial politik akan tetap menjadi isu utama baik bagi mereka yang memiliki kecenderungan ke arah Liberal, Marxis, maupun Islamis atau fundamentalis tentunya dengan porsi yang berbeda-beda.
Gerakan Self Criticism
Secara sederhana, Kebangkitan Arab Kedua dengan berbagai bentuk ideologisnya dapat disebut sebagai gerakan “Kritik Diri” atau Self Criticism. Yaitu satu kesadaran kritis terhadap kondisi yang sedang dihadapi bangsa Arab sebagai konsekuensi dari perasaan dan refleksi atas difitisme 1967. Menurut Fouad Ajami (1981: 32-87), Issa J. Boullata (2002: 4-5; 1988: 150-153 ), Sharabi (1988: 92-94), Abu-Rabi’ (2004: 63-92), dan Dessouki (1973: 187-195), gerakan self criticism tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat klasifikasi utama.
Pertama, sekelompok intelektual yang menginginkan perubahan masyarakat Arab secara fundamental. Pandangan agama harus dihilangkan dan diganti oleh pemikiran sekuler yang berpijak pada rasionalisme, ilmu pengetahuan, dan ekonomi sosialis. Kelompok ini diwakili oleh kalangan Marxis (Marxist criticism) atau disebut pula sebagai gerakan kritisisme radikal. Kedua, sekelompok lebih besar intelektual Arab yang menilai kebudayaan Arab tradisional (turāst) masih sesuai di era modern hanya jika diinterpretasikan dan dipahami secara lebih baik, dan hanya jika bagian elemen-elemen tertentu dikembangkan dengan melihat kebutuhankebutuhan modern dan atas dasar pengalaman dari negara-negara modern (Barat). Kelompok ini diwakili oleh kalangan liberal atau liberal criticism. Ketiga, kelompok intelektual yang lebih memperhatikan pada aspek-aspek agama. Mereka melihat elemen-elemen Islam dalam kebudayaan Arab sebagai elemen prinsipil. Kelompok ini diwakili oleh kalangan fundamentalis atau fundamentalist criticism. Terakhir, kelompok intelektual pragmatis dalam melihat peranan agama dan lebih menonjolkan rasa persatuan nasional. Tren ini disebut sebagai nationalist criticism. Empat, kecenderungan umum tersebut di atas terkadang tidak memiliki batasbatas yang pasti, karena ada intelektual yang masuk salah satu tren sejauh berkaitan dengan persoalan tertentu, sementara dalam masalah-masalah lainnya dia lebih tepat dimasukkan dalam tren yang lain. Beberapa intelektual secara jelas dan sadar beralih dari satu tren ke tren lainnya dalam waktu-waktu tertentu karena kehidupan personalnya atau seiring dengan perkembangan sosial politik (Boullata, 2002: 6), fenomena ini disebut oleh Abu-Rabi’ (2004) sebagai intellectual conversions. Pada level linguistik, gerakan kritisisme bertujuan untuk melakukan transformasi kosakata dengan menciptakan terminologiterminologi baru. Pada level interpretatif, berupaya membongkar kategori-kategori
301
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 296-307
tafsir dominan dan membangun tafsir yang lebih fresh. Sedangkan pada level ideologis berupaya mendekonstruksi pemikiran ideologi dalam berbagai bentuknya dan membuka “ruang” dialog. Terakhir, pada level praktis, mencoba melakukan delegitimasi tonggak teoritis otoritas teologis dan kekuasaan politis (Sharabi, 1992: 105). Kecenderungan seperti ini hanya akan terlihat pada kelompok Marxis/Kiri, dan kelompok liberal. Sedangkan yang kedua terakhir yaitu nasionalis dan fundamentalis cenderung eksklusif dan lebih senang untuk melakukan mobilisasi massa daripada menghasilkan pemikiran kreatif dan reflektif.
Kritisisme Marxis/Kiri
Bagi kelompok Marxis/Kiri Arab, tragedi 1967 bukan hanya akibat dari praktek korupsi dan otoritarianisme regim Arab, tetapi lebih dari itu merupakan “keterbelakangan” (takhalluf) dan “kebodohan” (jahl) dari masyarakat Arab itu sendiri. Secara lebih spesifik disimpulkan bahwa masyarakat Arab gagal memutuskan tendensi tradisional dan konservatif sehingga mencegah mereka melakukan internalisasi spirit modernitas dalam bentuk positif, humanistik, dan bahkan revolusioner (Sheehi, 2004: 3). Intelektual Arab Marxis/Kiri mengadvokasikan modernisasi total sejalan dengan garis revolusi dan putus dari tradisi masa lalu. Mereka mengkritisi revolusi Arab kontemporer sebagai tidak sepenuhnya dan hanya parsial saja (Dessouki, 1973: 190). Intelektual representatif dari kelompok Marxis/Kiri ini adalah Hussain Muruwwa, Mahdi ‘Amil, Fawwaz Tarabulsi, dan Karim Muruwwa dari Libanon; Yassin al-Hafiz, Elias Murqus, Sadek Jalal al-‘Azm, Tayyib Tizini, dan Adonis dari Syria; Hisham Sharabi dari Palestina; Samir Amin, Luthfi al-Khuli, Ibrahim Sabri ‘Abdallah, Fu’ad Mursi, Rif’at al-Sa’id, Ahmad Sadiq Sa’d, Ghali Syukri, dari Mesir; Abdallah Laroui dari Maroko; Talal Asad dari Saudi Arabia; dan Hadi alUlwi dari Iraq (Abu-Rabi’, 2004: 87). Dalam sebuah interview pada tahun 1997, Sadek Jalal al-‘Azm, seorang filsuf dari 302
Damaskus dan mendapat pendidikan dari Yale University mengatakan bahwa akibat dari kekalahan 1967 sebagai berikut:
“Naturally, the defeat of June 1967 interrupted all plans and revealed the fragility of the modern Arab intellectual renaissance on which the Arab liberation movement based its hopes. Most of these hopes revolved around the concept of the inspired leader and when the leader fell everything crashed with him, leaving nothing behind but emptiness, loss, and confusion. I would not be exaggerating when I say that the defeat hit us like a lightening bolt.”
Lebih lanjut ia mengatakan:
“The 1967 defeat was an exceptional event in every sense of the word, a terrifying explosion which destroyed the foundations of the Arab liberation movement.”
Gerakan pembebasan tersebut khususnya dalam tren sosialisnya di bawah kepemimpinan Nasser. Menurut al-Azm, revolusi 1952 yang dipimpin Nasser tersebut memang telah menjalankan transformasi ekonomi dan politik dengan menggulingkan pemimpin monarki dan memperluas kekuasaan dengan cara redistribusi tanah dan menghapus sistem feodal. Akan tetapi, upaya tersebut tidak menyentuh “super struktur” masyarakat Arab yaitu system of thought, value, dan belief. Menurutnya lagi, kekalahan 1967 sebagai akibat dari masih menguatnya pemikiran konservatisme (Kassab, 2010: 74). Kekurangan yang lain dalam pandangan al-‘Azm adalah karena masyarakat Arab gagal memproklamirkan sifat ilmiah dan sekuler dari ideologi sosialisme. Pada kenyataannya, revolusi Arab belum menangani problem fundamental masyarakat semisal masa depan pertanian, kepemilikan tanah, sekularisasi, dan relasi kelas. Konsekuensi dari ketidak jelasan ideologi ini adalah lahirnya sikap wasathiyyah (tengah-tengah, middle-of-theroadism), sebagai karakter utama revolusi Arab selama ini (Dessouki, 1973: 190). Sekularisme dalam pandangan al-Azm menjadi sebuah keharusan agar masyarakat Arab mampu maju dan bersaing dengan negara-negara maju lainnya.
Yoyo--Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer di Timur Tengah Pasca-Difitisme 1967
Bagi al-Azm (1998: 67-76) sekularisme atau yang ia sebut dengan civil government (hukumah madaniyyah) merupakan prekondisi bagi demokrasi. Sekularisme adalah sikap netral yang wajib ditampilkan oleh negara terkait agama, sekte, denominasi, dan kategori-kategori etnis yang seringkali menjadi persoalan di masyarakat. Lebih jauh al-Azm menegaskan bahwa sekularisme adalah pilihan sejarah. Islam dapat menerima sekularisme sepanjang kita mampu membedakan antara “doctrinaire no” (allā assuratiyyah) dan “historic yes” (an-na’am at-tārikhiyyah). Doctrinaire no, memandang bahwa sistem poilitik yang pernah dijalankan (kekaisaran) dipandangan tidak sejalan dengan Islam, meskipun dalam sejarahnya telah terbukti memajukan Islam. Sedangkan historic yes, memandang bahwa Islam dalam perjalanan sejarahnya selalu mampu beradaptasi dengan berbagai ideologi yang pernah ada. Dengan demikian, sekularisme sebagai sebuah “historic yes” pada zaman modern dapat diterima Islam sebagaimana Islam pernah berhasil melalui serangkaian sejarah panjang dalam menafsirkan dan mendefinisikan diri. Islam dipandang dari sudut doktiner, maka hanya akan kompatibel dengan dirinya sendiri apabila Islam dipandang sebagai fakta sejarah dengan telah terbukti mampu berkompetisi dalam panggung politik, sosial, dan organisasi ekonomi. Meskipun demikian, al-Azm tidak setuju apabila pemikiran agama menjadi fondasi bagi perubahan. Menurutnya, pemikiran agama hanyalah kesadaran palsu dan tidak dapat sejalan dengan pemikiran ilmiah autentik. Pemikiran agama ini sangat berbahaya karena terkadang digunakan untuk mendukung tatanan sosial yang ada dan mereka yang berada dibelakangnya, serta mencegah terjadinya gerakan pembebasan sosial dan politik (Hourani, 1992). Termasuk dalam sikap ini, ia mengkritik Adonis atau Ali Ahmad Said (lahir 1930), sebagai intelektual Marxis lainnya yang cenderung bersimpati dan mengagumi Revolusi Islam Iran 1979.
Hal ini menurut penulis dapat dipahami karena Adonis lahir dan besar dalam tradisi Syi’ah.
Kritisisme Liberal
Schumman (2008: 404) mewanti-wanti bahwa meskipun intelektual Arab liberal tidak banyak dibicarakan, ini bukan berarti “the absence of “voices” does not prove the sufficiently the nonexistence of liberal ideas in the Arab world,” karena gaung mereka memang tidak selantang kelompok nasionalis atau fundamentalis. Sejak akhir abad ke-19 Masehi, pemikiran liberal seringkali dianggap sebagai adopsi dari gagasan-gagasan Barat dan karenanya dianggap “inauthentic.” Bahkan, intelektual liberal seringkali dituduh sebagai agen Barat. Faktor lain yang membuat pemikiran liberal ini tenggelam di dunia Arab karena kecenderungan mereka yang berani mengkritisi pemerintahan sehingga sering tersisihkan (2008: 404-405). Intelektual Arab-Muslim liberal dapat dilacak pada era Kebangkitan Arab Pertama seperti Taha Hussein, Ali Abd al-Raziq, Salim al-Bustani, dan Khalid Muhammad Khalid (Abu-Rabi, 2004: 74). Pada konteks kontemporer terdapat sederetan tokoh seperti Hisham Sharabi, Anwar Abd alMalik, Jalal Amin, Samir Amin, dan Abd alKabir al-Khatibi, dan Hasan Hanafi (Boullata, 2001: 122). Menurut kelompok liberal, kekalahan Arab 1967 dan kemenangan bangsa Zionis Israel terletak pada superioritas sistem sosial mereka yang didasarkan pada nilai-nilai kehidupan Barat modern, sementara bangsa Arab masih jauh dari hal demikian. Para penulis liberal lainnya seperti Zureiq, Adonis, Abdullah Abd al-Dayim, dan Munir al-Ba’labaki menekankan pentingnya perencanaan dan sekularisasi pendidikan, sains, dan teknologi sebagai solusi keterpurukan bangsa Arab (Dessouki, 1973: 189). Intelektual Arab lainnya Farag Fauda (1945-1992 Masehi), penulis liberal Mesir terkemuka dan mengabdikan seluruh aktivitasnya dalam menentang Islam fundamentalis. Pemikiran Fauda didasarkan 303
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 296-307
pada interpretasi rasional terhadap Islam yang kemudian menghantarkannya pada dua tujuan: menolak tuntutan penerapan syari’ah yang dalam pandangannya akan merusak kesatuan nasional antara penganut Kristen Koptik Mesir dengan umat Muslim; dan melegitimasi eksistensi civil government yang didasarkan pada pemisahan agama dan negara serta menjamin hak-hak universal manusia (Hatina, 2007: 9). Farag Fauda seperti dikutip Hatina termasuk intelektual Arab liberal yang sangat meratapi difitisme 1967: “Time stood still for me… I felt worthless, foolish and helpless. A strong desire to die or to hide took hold of me. Everything before me became small and pitiful. It seemed to me that Egypt had died and was finished, and I saw no alternative but to bury myself in history books.” Hatina (2007: 48), Dalam merespon peristiwa di atas, Fauda menyayangkan akan menguatnya respon dari kalangan Islamis atau fundamentalis. Dalam pandangan Fauda, solusi kalangan Islamis tidak dapat menyelesaikan persoalan yang dihadapi dunia Arab dan Muslim pada umumnya karena mereka hanya berfokus pada pemikiran agama saja bukan pada persoalan nasional. Kelompok fundamentalis juga seringkali terjebak pada retorika agama semata.
Kritisisme Fundamentalis
Penyebab utama dari an-Nakbah (kekalahan 1967) ini menurut kelompok fundamentalis karena memudarnya nilainilai Islam. Faktor keimanan sebagai penyebab utama kekalahan dan ideologi sekuler merupakan sebab kekalahan lain (Nagawasa, 1992: 66). Sikap frustasi kelompok fundamentalis ini seringkali diungkapkan dalam bentuk blame the others dengan menyalahkan kelompok atau ideologi lain sebagai biang kerok kekalahan bangsa Arab dari Zionisme Israel (Lewis, 2002). Bagi kalangan fundamentalis, sejak bangsa Arab berpaling dari Islam dan mulai menerapkan nasionalisme dan sosialisme 304
yang nota bene merupakan impor dari Barat dan sekaligus asing bagi Islam juga asing bagi mentalitas Muslim itu sendiri, maka keduanya telah membinasakan bangsa Arab-Muslim. Nasionalisme umpamanya telah menghancurkan Turki Ustmani dan melemahnya Islam. Begitu pula hal yang sama terjadi pada ideologi sosialisme, yang telah menghantarkan pada kerusakan, kemiskinan, hilangnya kebebasan, dan akhirnya kekalahan (Dessouki, 1973: 189). Penganut fundamentalis juga memandang an-Nakbah atau difitisme 1967 M sebagai simbol kekalahan sosialisme Arab. Singkatnya, an-Nakbah bukanlah kekalahan negara atau tentara Arab melainkan gejala dari gagalnya trend ideology-ideologi Barat seperti sekularisme, liberalisme, sosialisme, dan nasionalisme karena semuanya bertolak belakang dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Intelektual sekaligus tokoh fundamentalis post-1967 Masehi di antaranya Abd al-Qadir ‘Awdah, Yusuf alQardawi, Muhammad al-Ghazali, Hassan al-Turabi, Rashid al-Ghannusyi, Sayyid Qutb, dan Muhammad Qutb, juga ada Omar bin ‘Abd al-Rahman (Abu-Rabi’, 2004: 70),. Mereka merepresentasikan tren kelompok fundamentalis kontemporer yang berpengaruh kuat terhadap lahirnya gerakan-gerakan fundamentalis modern di berbagai negara baik yang didominasi oleh kaum Muslim maupun tidak.
Kritisisme Nasionalis
Sejak kekalahan negara-negara Arab pada tahun 1967 dan meningkatnya kekayaan minyak yang sangat pesat secara tiba-tiba pada tahun 1970-an, situasi politik beralih total, yaitu penentangan yang kuat terhadap pan-Arabisme dan lebih memihak pada rezim negara nasional. Arus yang sangat kuat ini mengidentifikasi kepentingan “Arab” secara lebih partikular (Lapidus, 2007: 179). Maka difitisme 1967 telah melahirkan rasa nasionalisme yang lebih bersifat lokal, dan nasionalis model Nasseris juga Aflaq dengan sendirinya runtuh beserta pan-Arabismenya (Hatina, 2007: 8; Abu-Rabi’, 2004: 79).
Yoyo--Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer di Timur Tengah Pasca-Difitisme 1967
Pasca difitisme 1967 M, nasionalis Arab memang gagal untuk mewujudkan agenda besar mereka yaitu Arab unity. Begitu juga kelompok Islam fundamentalis Arab tidak mampu menggulingkan seorang regim dan tidak mampu mendirikan sebuah negara syari’ah-based. Meskipun demikian, nasionalisme Arab dan Islamisme masih merupakan ideologi dominan di Timur Tengah. Nasionalisme dan Islamisme belum gagal, yang gagal adalah versi radikal. Kedua ideologi tersebut melewati periode radikalisasi dan berakhir sekitar dua atau tiga dekade yang lalu. Nasionalisme Arab radikal mengalami masa subur secara intelektual selama tahun 1940 dan 1950-an (dengan karya-karya monumental dari al-Hursi, ‘Aflaq, al-Arsuzi, dan Zurayk). Hal yang sama dialami oleh ideologi Islam selama 1960 dan 1970-an (karya-karya Abu al-‘Ala al-Mawdudi, Sayyid Qutb, Baqir Sadr, dan Ruhulloh Kehomeini) (Schumann, 2008: 409).
SIMPULAN
Dari analisis terhadap respon-respon yang berbeda atas an-nakbah atau difitisme 1967, maka menurut Dessouki (1973: 191) terdapat hipotesis bahwa dengan mendalamnya situasi krisis di dunia Arab, sebuah polarisasi mungkin saja terjadi antara pemikiran Islam dan pemikiran revolusioner sementara tren liberal-sekular dan middle-ofthe-roadism (seperti sikap mayoritas ulama AlAzhar yang cenderung cari selamat) menjadi semakin terpinggirkan. Faktor utama yang menyebabkan terjadinya polarisasi karena gagalnya pemikiran Arab modern untuk menghasilkan sintesis bermakna antara Islam sebagai agama massa dengan sumber utamanya sistem nilai (tradisi Islam klasik atau turāst) dengan modernitas yang termanifestasi dalam kebudayaan dan kultur modern Barat. Upaya Muhammad Abduh berakhir dengan ortodoksi dan pemikiran sosial-politik konservatif, yaitu Salafisme dan kemudian Ikhwanul Muslimin. Di satu sisi tren sekularis ‘westernis’ terlalu abstrak dan general.
Pendapat sebaliknya disampaikan oleh Browers (2009: 19), menurutnya ideologi sekuler dengan corak kritisisme dan cenderung kiri justeru muncul dan cukup menguat pasca difitisme 1967 di samping semakin menguatnya gerakan fundamentalisme Islam. Akan tetapi, peristiwa the Arab Spring yang terjadi akhir-akhir ini lebih memihak pada tesis Laroui (1976), yaitu ideologi Islam fundamentalis akan semakin menguat dan ini terbukti di Tunisia dan khususnya Mesir dengan menangnya gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) sebagai pemegang kekuasaan. IM sejak berdirinya pada 1928 Masehi baru pertama kali dalam sejarah panjangnya mampu mendirikan sebuah partai yaitu Hizbul Hurriyyah wal ‘Adālah (Partai Pembebasan dan Keadilan) pada tahun 2011 dan menghantarkan Muhammad Mursi sebagai presiden Mesir sipil pertama dari kalangan IM sendiri. Tidak hanya itu saja, gerakan-gerakan Islam lain seperti Salafiyah pun telah berhasil mendirikan partai HizbunNūr (2011). Sedangkan gerakan militan seperti Jama’ah Islamiyyah semakin gencar melakukan berbagai protes dan tuntutan penerapan syari’at Islam. Sementara itu, suara-suara kritis intelektual sekuler, liberal atau Marxis hanya mampu menghiasi berbagai media independen Mesir semisal al-masry al-youm tanpa dibarengi dukungan massa yang kuat. Singkatnya, gerakan fundamentalisme Islam yang diwakili oleh IM sedang dipertaruhkan reputasi politiknya di hadapan masyarakat Mesir khususnya dan dunia Muslim pada umumnya. Pasca dikeluarkannya draft konstitusi baru oleh presiden Mursi yang telah menuai badai protes utamanya dari kalangan sekuler meskipun pada akhirnya draft tersebut mendapat dukungan cukup signifikan yaitu 63.8%, masyarakat dunia sedang menantikan apakah IM dengan partai Hizbul Hurriyyah wal ‘Adālah-nya dan Mursi sebagai presidennya akan segera melahirkan kebijakan-kebijakan revolusioner seperti yang pernah dilakukan Nasser pasca-revolusi Juli 1952 telah berhasil membawa perubahan besar pada waktu itu. Dunia Muslim sedang
305
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 296-307
menantikan gebarakkan tersebut dan ini akhirnya dapat menjadi renungan bagi intelektual Muslim bahwa ideologi Islam barangkali masih dapat menjadi ideologi penyelamat atas kemunduran yang sedang terjadi sehingga ideologi-ideologi sekuler semakin terbukti tidak dapat diterapkan. Ataukah sebaliknya, andaikan IM sebagai representasi ideologi Islam menemui kegagalan haruskan ideologi-ideologi sekuler semisal Marxisme dan Liberalisme dapat dipertimbangkan kembali sebagai ideologi alternatif setelah dimodifikasi dan melalui proses kreativitas intelektual terlebih dahulu seperti yang pernah dilakukan Nasser dengan Pan-Arabisme-nya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu-Rabi, I. M., 2006, Contemporary Islamic Intellectual History: A Theoretical Perspective, Singapore: Majelis Agama Islam Singapura. ______ , 2004, Contemporary Arab Thought: Studies in Post-1967 Arab Intellectual History, London: Pluto Press. Ajami, F, 1992, The Arab Predicament: Arab Political Thought and Practice since 1967, New York: Cambridge University Press. Al-Azm, S. J. & Fakhr, A., 1998, “Trends in Arab Thought: An Interview with Sadek Jalal al-Azm.” Journal of Palestine Studies, 27, 68-80. Al-Jabiri, M. A., 1990, Isyakāliyāt al-Fikr al‘Arabī al-Mu’āshir, Beirut: Markaz Dirāsāt al-Wihdah al-‘Arabiyyah. Barakat, H., 2012, Dunia Arab: Masyarakat, Budaya dan Negara, Bandung: Nusa Media. Boullata, I. J., 2001, Dekonstruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam, Yogyakarta: LKiS. ______ , 1988, Challenges to Arab Cultural Authenticity, The Next Arab Decade: Alternative Futures, Boulder: Westview Press.
306
Browers, M, 2009, Political Ideology in the Arab World: Accommodation and Transformation, Cambridge: Cambridge University Press. Dessouki, A. E. H., 1973, “Arab Intellectuals and Al-Nakba: The Search for Fundamentalism,” Middle Eastern Studies, 9, 187-195. Esposito, J. L. & Sou’yb, H. M. J., 1990, Islam dan Politik. Jakarta: Bulan Bintang. Hatina, M., 2007, Identity Politics in the Middle East: Liberal Thought and Islamic Challenge in Egypt, London: IB Tauris & Company. Hourani, A.,1992, A History of the Arab Peoples, New York: Harvard University Press. ______ , 1983, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798-1939, New York: Cambridge University Press. Kassab, E. S., 2010, Contemporary Arab Thought: Cultural Critique in Comparative Perspective, New York: Columbia University Press. Kurzman, C, (ed.) 2003, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global, Jakarta: Paramadina. Lapidus, I. M., 2007, A History of Islamic Societies, New York: Cambridge University Press. Laroui, Abdallah., 1976, The Crisis of the Arab Intellectual: Traditionalism or Historicism? California: University of California Press. Lewis, B., 2002, What Went Wrong?: The Clash between Islam and Modernity in The Middle East, New York: Harper Perennial. Nagawasa, E., 1992, “An Introductory Note on Contemporary Arabic Thought.” Mediterranean World, 13, 65-71. Schumann, C, 2008, “The “failure” of Radical Nationalism and The “silence” of Liberal Thought in The Arab World.” Comparative Studies of South
Yoyo--Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer di Timur Tengah Pasca-Difitisme 1967
Asia, Africa and the Middle East, 28, 404-415. Sharabi, H. B., 1992, Neopatriarchy: A Theory of Distorted Change in Arab Society, New York: Oxford University Press. ______ , 1966, “The Burden of the Intellectuals of the “Liberal Age”,” Middle East Journal, 20, 227-232.
Sheehi, S., 2004, Foundations of Modern Arab Identity, Gainesville: University Press of Florida. Talhami, G, 1997, “An Interview with Sadik Al-Azm,” Arab Studies Quarterly (asq), 19.
307
KAWISTARA VOLUME 2
No. 3, 22 Desember 2012
Halaman 225-328
KONTINUITAS DAN PERUBAHAN MAKNA LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA Wisnu Mintargo
Program Studi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dan Institut Seni Indonesia Surakarta
Email:
[email protected] R.M. Soedarsono
Guru Besar Universitas Gadjah Mada
Victor Ganap
Guru Besar Institut Seni Indonesia Yogyakarta
ABSTRACT
The main objective of this paper is to analyze functions of “heroic” Indonesian songs related to the Indonesian independence (from 1945 to 1949 ) from historical perspectives. Through this analysis, it is hoped, historical processes of the past, especialy the history of music development in Indonesia and the background of the use of the “heroic” Indonesian songs in particular, can be reconstructed. The important aspects of the Indonesian songs, as this paper shows, include constructive function for ceremonies and advices for development. The ceremonial character is shown in the song of “Indonesia Raya” the national anthem Key words: National anthem
ABSTRAK
Objek utama dari tulisan ini adalah menganalisis fungsi dari lagu perjuangan Indonesia sehubungan dengan kemerdekaan Indonesia 1945- 1949 dilihat dari perspektif sejarah. Analisis ini diharapkan bahwa proses sejarah masa lalu dapat direkonstruksi, khususnya sejarah perkembangan music di Indonesia, latar belakang penggunaan lagu-lagu perjuangan Indonesia. Salah satu aspek terpenting dalam penulisan ini adalah fungsi dari lagu perjuangan Indonesia yang terbagi dalam satu bagian, terutama adalah fungsi konstruksi dari lagu untuk upacara meliputi saran dari pembangunan. Karakter seremonial ditampilkan dalam lagu “Indonesia Raya” yaitu lagu kebangsaan. Kata Kunci: Lagu Kebangsaan.
308
Wisnu Mintargo -- Kontinuitas dan Perubahan Makna Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
PENGANTAR
Lagu ‘Indonesia Raya’ asal mulanya lagu perjuangan yang kemudian diangkat menjadi lagu kebangsaan dan disebut pula sebagai musik fungsional. Fungsi bersifat upacara lebih ditonjolkan dari pada nilai estetisnya, dimaksudkan secara seremonial tidak selalu harus memenuhi persyaratan teknik komposisi musik yang sempurna seperti karya musik simponi. Ahli ilmu jiwa massa mengatakan bagaimana pun lemahnya lagu kebangsaan ditinjau dari komposisi musik, tetapi daya tariknya mampu membangkitkan semangat terutama makna yang terkandung dalam syair lagu itu (Soelaiman Yoesoep, 1979:52). Dalam konteks sejarah, perubahan, dan perkembangannya dari judul penulisan ini adanya upaya melihat sejarah Indonesia dari sudut pandang orang Indonesia dengan menekankan dinamika masyarakat, sehingga Indonesia bukanlah hanya ajang dari permainan kekuatan luar semata-mata, yaitu dikotomi dari oposisi antara terjajah dan penjajah sebagai pusat perhatian. Sejarah mempunyai peranan yang penting karena dengan melihat ke masa lalu akan dapat membangun masa depan yang lebih baik (Kuntowijoyo, 1994:111). Pada kenyataannya, Indonesia dari masa kemerdekaannya hingga reformasi selalu terjadi konflik sosial. Suasana politik rezim di era kepemimpinan yang berubah-ubah adalah akibat warisan kolonialisme masih mempengaruhi kebebasan demokrasi yang belum sepenuhnya padam. Tulisan ini berusaha melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi perlawanan kolonisasi, sejalan dengan perubahan fungsi lagu “Indonesia Raya’ dari masa penjajahan hingga kemerdekaan. Pendapat teori perubahan sosial yang dikemukakan oleh Robert E. Park dengan mengikuti pandangan Spencer dan Durkheim bahwa perubahan sosial yang terjadi dalam kesenian juga akibat adanya perubahan dari masyarakatnya sesuai dengan kondisi saat itu (Soedarsono, 2001:69). Dalam hal ini terjadinya perubahan pada lagu ‘Indonesia’ disesuaikan dengan konteks perkembangannya dibentuk oleh panitia
lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ menjelang detik-detik proklamasi kemerdekaan sebagai simbol perlawanan sekaligus sarana upacara. Di tengah terpuruk dan upaya untuk bangkit lagi, bangsa ini tidak akan pernah lupa dengan peringatan sekaligus perayaan tahunan hari kemerdekaannya. Salah satu ritual yang tidak boleh diabaikan adalah menyanyikan lagu ‘Indonesia Raya’ sebagai kesepakatan di bawah semangat Nasionalisme yang telah ditetapkan sebagai lagu Nasional. Terlepas dari makna lagu bagi anak bangsa saat ini, lagu tersebut menjadi saksi sejarah serta ikut melakukan dan membuktikan perjuangan kedaulatan negara tercinta dari masa ke masa hingga pergantian generasi. Tentu tidak terlalu penting apakah perjuangan mau dipahami sebagai sebuah spirit fisik-non fisik karena pada kenyataannya banyak efek penguatan mental dari hasil impresi konseptual seniman musik. Timbulnya semangat, cinta, ketaatan, kesetiaan terhadap bangsa, dan negara dalam berbagai bentuk hanya sebagian dari maksud penciptaan karya ini. Akhirnya penulisan sejarah sangat tergantung kepada kondisi objektif, berupa tersedianya sumber dan kondisi subjektif. Dimaksudkan dari uraian mengenai model yang kiranya jelas, untuk meningkatkan pengetahuan sejarah dalam menentukan strategi yang tepat sesuai kondisi objektif dan subjektif, serta tujuan dari penulisannya (Kuntowijoyo, 1994). Sejak awal penelitian lagu ‘Indonesia Raya’ telah dilakukan sejumlah pengumpulan data kualitatif, sehingga penulisan ini berhasil dihimpun dari buku-buku sejarah, majalah, brosur, makalah seminar, pidato ilmiah, jurnal dan sumber-sumbar lain. Dalam menganalisis data kualitatif yang diperlukan adalah melakukan seleksi data sesuai kebutuhan. Kemudian dilakukan eksplanasi secara kritis terhadap imformasi yang berhasil dikumpulkan melalui sumber tertulis yang dapat dipercaya (Soedarsono, 2001). Setelah selesai maka dilakukan penulisan secara bertahap dimulai gerakan Budi Utomo dan Sumpah Pemuda, masa pendudukan
309
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 308-321
Jepang dan revolusi Indonesia, di masa kemerdekaan, dan analisis ini dibahas agar menjadi pengetahuan yang bermanfaat.
PEMBAHASAN Angkatan Pemuda Perintis 1908-1942
Perjalanan sejarah politik kebudayaan terlihat bahwa perkembangan musik nasional Indonesia masa kolonial Hindia Belanda 1908-1942 disebut periode dalam sejarah pergerakan, bersamaan berdirinya Budi Utomo yang berjuang disebut sebagai angkatan perintis kemerdekaan. Sikap patriotisme pertama kali dipelopori oleh kalangan terpelajar dr. Sutomo dan dr. Wahidin Sudirohusodo dengan organisasi Boedi Utomo (1908). Dilanjutkan para pemuda tahun 1920-an dengan berbagai perkumpulan seperti dr. Satiman Wiryosanjoyo dengan mendirikan Jong Java di Yogyakarta tahun 1915, Paguyuban Pansundan (1914), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Minahasa (1918), Jong Ambon (1920), Jong Timorsh Verbond (1921), Kaum Betawi (1923). Menyusul kemudian Jong Batak Bond, Jong Celebes, Jong Borneo, Sekar Rukun, Islamieten Bond. Perkumpulan itu cikal bakal perjuangan kedaerahan, setelah tahun 1926 meningkat ke arah persatuan pemuda Indonesia semakin kuat sebagai jiwa nasional. Awal penelitian terciptanya lagu ‘Indonesia Raya’ dimulai dengan sikap patriot W.R. Supratman seorang nasionalis, wartawan, dan seniman yang tergugah hatinya, setelah membaca sebuah artikel dalam surat kabar Fajar Asia, artikel itu menyebutkan “siapa yang dapat menciptakan lagu Kebangsaan Indonesia Raya yang dapat membangkitkan semangat rakyat”. Artikel yang semula dimuat dalam majalah Timboel terbit di Yogyakarta, kemudian dikutip oleh surat kabar Fajar Asia pimpinan H. Agus Salim. Artikel itu dibaca Supratman dan mengilhaminya dalam mempersatukan pemuda Indonesia lewat lagu ciptaannya. Meskipun lagu ‘Indonesia’ ciptaannya telah disosialisasikan dan diperlihatkan kepada rekannya Sugondo Jayopuspito, A. Sigit Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia 310
dan Monotutu dipastikan bahwa lagu itu memenuhi syarat sebagai sebuah kriteria lagu kebangsaan (Soebagijo,1985:49; Soesilo, 1996; dan Mintargo, 2001:76). Penciptaan lagu kebangsaan dengan semangat patriotisme merupakan upaya menyampaikan pesan konstruktif melalui musik. Harus diakui bukanlah pekerjaan mudah menghasilkan serangkaian lirik penuh makna di sebaliknya dengan ilustrasi musik yang menyertainya. W.R. Supratman sebagai pemuda ikut mendorong semangat perjuagan lewat lagunya setelah melalui lobby yang cukup panjang dengan para pemuda (Ganap, 2009:17). Dengan diilhami cita-cita kebangkitan nasional Boedi Utomo 1908, pada tanggal 28 Oktober 1928 yang mengikrarkan sumpah pemuda, yaitu satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Kesempatan itu dipergunakan oleh Supratman memperkenalkan lagunya di dalam ruang peserta kongres pemuda di gedung Indonesische Club, Kramat 106 Jakarta. Betapa hebatnya lagu disambut peserta dan beliau menerima ucapan selamat dari rekan-rekannya.
Gambar 1. W.R. Supratman dan Lagu ‘Indonesia’ di Gedung Kramat 106 Jakarta kongres Pemuda 28 Oktober 1928, rekonstruksi ilustrasi gambar Aji Soemarno P. 1982.(Sumber: Bambang Sularto Lagu Kebangsaan Indonesia Raya. Jakarta:Depdikbud, 1982, 62)
Wisnu Mintargo -- Kontinuitas dan Perubahan Makna Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Di lain pihak, Supratman memperoleh tudingan dari komponis pribumi karena memilih musik barat yang berakar dari Barat. Perlu dipahami bahwa konotasi Barat pada waktu itu sama artinya dengan kaum penjajah, sehingga lagu yang bernada Barat tentunya tidak layak disebut sebagai lagu kebangsaan. Selain memicu timbulnya konflik untuk merealisir gagasan ini, maka para empu gamelan tahun 1930-an sibuk memodernisir gamelan, dari segi praktek maupun teori agar musiknya dapat diterima etnis lain. Perubahan-perubahan dalam notasi musik diantaranya pernah ditulis dalam buku kecil Muhamad Yamin bahwa usaha-usaha memainkan lagu ‘Indonesia’ terbukti mengalami kegagalan karena secara teknis lagu itu memakai sistem tangga nada diatonis, sedang gamelan memakai sistem tangga nada pentatonik (Dungga dan Manik, 1952: 32). Supratman memang tidak memasukan unsur, Melayu, Jawa, India, maupun Cina yang notabene menjadi simbol identitas kaum pribumi ketika itu tanpa alasan yang kuat. Akan tetapi diakuinya bahwa bahasa Melayu sebagai bahasa nasional sekaligus pemberlakuan musik diatonis sebagai musik nasional. Berikut transkripsi naskah teks asli lagu dan syair ‘Indonesia’ pada tahun 1928 yang diciptakan W.R. Supratman (Bambang Sularto, 1982:112).
Berkumandangnya lagu ‘Indonesia’ awalnya dengan jumlah 81 birama ini memakai irama wals 6/8. Analisis lagu ini tidak memiliki tekanan yang kuat untuk menjadi irama mars karena aksen yang datar dengan tempo lambat iringan musiknya dengan tangganada C natural sesuai register instrumen biola dan belum memperhitungkan ambitus suara vokal manusia. Dalam kebanyakan musik terdapat jumlah ketukan-ketukan yang sama untuk setiap birama. Ketukan wals dihitung tiga ketukan (Triple) atau sukat susun 6 ketukan dalam satu birama. Resikonya lagu ini terasa lebih berat banyak memakai jumlah birama pada musiknya. Lagu ‘Indonesia’ sebagai diplomasi awal memang peranannya sangat kuat untuk mempersatukan para pemuda diprediksi saat itu bangsa Indonesia belum berani terbuka dan berterus terang secara politis melawan penjajah, tentu sangat hati-hati dan tidak perlu memakai lagu bersifat mars. Lagu ini ditekan sedemikian termasuk strategi yang harus digunakan agar tidak menimbulkan kecurigaan pihak penguasa pemerintah Belanda, terutama makna dari syair yang terkandung misalnya syair Indones, indones, moelia, moelia pada klimaks lagu penciptanya memilih kata-kata yang halus, tetapi dapat juga memberi penguatan mental dan mampu membangkitkan semangat pemuda kala itu untuk bersatu. Daya tarik tersebut akhirnya kaum pergerakan mempelajari lagu ini secara diam-diam, apabila belum memiliki notasi syairnya, dengan kesadaran mereka meminjam kepada teman kemudian disalin dan dihafalkan. Adakalanya pemuda menyanyikannya disaat bekerja atau
311
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 308-321
sedang beristirahat. Penyebarluasan lagu di masa kolonial Hindia Belanda, bukan saja dilakukan oleh organisasi politik, tetapi juga pers dan dunia dagang. Perusahan piringan hitam produksi Yokimcan berhasil merekam lagu ‘Indonesia’ di luar negeri, tetapi karena ada larangan pemerintah Belanda akhirnya sebuah piringan hitam berhasil diselundupkan ke Indonesia. Harian Soeloeh pada tanggal 7 Nopember 1928 memuat teks lagu ‘Indonesia’ Sinpo dalam edisi majalah mingguan bulan Nopember 1928 juga memuat teks lagu ini. Supratman ikut berperan menyebarluaskan lagunya dengan melatih para pelajar, serta membagikan selebaran pamflet lagu ke masyarakat (Mintargo, 2008:30). Ilmu pengetahuan musik yang dimiliki W.R. Supratman diperoleh secara otodidak dan non-formal. Ilmu itu tidak dia dapatkan dari lembaga pendidikan formal, melainkan proses pembelajaran individual dari pemusik Barat, makanya dia lebih dikenal sebagai seorang nasionalis sejati. Seiring keberadaan lagu itu, perjuangan diplomasi terus dilakukan oleh para tokoh pergerakan berbagai etnis di antaranya Sukarjo Wiryopranoto di Dewan Rakyat Hindia Belanda (Volksraad) mengusulkan, lagu ‘Indonesia’ diakui di samping lagu kebangsaan ‘Wilelmus’. Sukardjo Wiryopranoto tokoh pergerakan nasional, memperjuangkan lagu agar diakui pemerintah Belanda. M.H. Thamrin tokoh Betawi ikut memperjuangkan lagu ‘Indonesia’ agar dapat diterima oleh pemerintah Belanda. Pidatonya tanggal 11 Juli 1939 di Volksraad, M.H. Thamrin mengecam pemerintah Belanda bersikap merendahkan Indonesia. Hamkah Seorang ulama Islam dari Sumatera Barat mengatakan, lagu ‘Indonesia‘ telah diterima oleh seluruh rakyat Indonesia, sudah sewajarnya Belanda mengakui lagu itu sebagai lagu Kebangsaan Indonesia (Sutrisno, 1978:70). Di lain pihak, pengakuan itu telah membuat pemerintah kolonialisme melarang istilah kebangsaan. Jonkheer de
312
Graeff, Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan sinis mengatakan bahwa lagu ‘Indonesia’ tidak lebih dari lagu clublied atau lagu sebuah perkumpulan (Ganap, 2009). Dari uraian di atas, maka pertama dapat dianalisis fungsi lagu ‘Indonesia’ kala itu, untuk mempersatukan para pemuda berlatar belakang berbagai etnis disebut sebagai perintis kemerdekaan. Oleh karena itu, lebih akurat dan netral hanya lewat musik diatonis pilihan satu-satunya sebagai alat perjuangan. Pengakuan bahasa melayu sebagai bahasa persatuan akibatnya kedudukan bahasa nasional menjadi alat komunikasi terpenting dalam berdiplomasi melawan penjajah termasuk teks syair lagu yang terkandung di dalamnya. Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi merupakan pemersatu berbagai etnis yang berbeda-beda merupakan kekalahan bagi bahasa Belanda yang diberlakukan sebagai bahasa pengantar sejak kongres pemuda pertama tahun 1926. Kedua fungsi lagu ‘Indonesia’ diakui sebagai jati diri bangsa menjadi perdebatan yang hangat di kalangan kaum intelektual pribumi. Polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1930-an antara kelompok yang berpikiran nasionalis tradisional dan kelompok ultranasionalis merupakan fakta yang penting guna digarisbawahi. Polemik menunjukan komitmen kaum intelektual pribumi terhadap masa depan bangsa Indonesia. Kelompok nasionalis tradisional dengan tokohnya Ki Hadjar Dewantara dan Ali Boediardjo menginginkan jati diri bangsa Indonesia dibangun di atas nasionalisme yang tetap berakar pada budaya tradisi yang telah diwariskan oleh para leluhur bangsa. Sebaliknya kelompok ultranasionalis yang dipelopori oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane menghendaki sebuah wacana Indonesia baru yang dibangun di atas reruntuhan budaya lokal. Pemikiran tentang Jati diri bangsa Indonesia di masa depan hendaknya merupakan sebuah diskontinunitas sejarah, dengan mengubur dalam-dalam Chuvinisme etnisitas beserta simbol-simbol budaya lokalnya.
Wisnu Mintargo -- Kontinuitas dan Perubahan Makna Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Pendudukan Jepang dan Revolusi 1945-1949.
Masa pendudukan bala tentara Jepang, pemuda Indonesia disebut sebagai angkatan pendobrak menuju kemerdekaan. Pada awalnya dipicu musik propaganda Jepang menjelang pendaratannya di bumi Indonesia awal bulan maret 1942. Dimulai dengan siaran radio yang dipancarkan dari Tokyo dan radio pusat Jakarta dengan mengumandangkan lagu ‘Indonesia Raya’ untuk membangkitkan harapan rakyat. Pada tanggal 29 April 1942 Jepang bekerja sama dengan pemimpin Indonesia membentuk negara kesatuan Asia Timur Raya disebut tiga A, yaitu Nippon pemimpin Asia, Nippon pelindung Asia, dan Nippon cahaya Asia (Kamajaya, 1979:9). Menurut Institute of Propaganda Analisys bahwa propaganda berasal dari bahasa latin propagare, berarti menyebarluaskan, yaitu suatu pengungkapan opini dari seseorang atau sekelompok massa dengan sengaja untuk mempengaruhi opini publik. Dalam arti yang lunak, propaganda menyiarkan keterangan, bermaksud menarik simpati masyarakat umum untuk tujuan kekuasaan (More, 1988:63). Di masa pendudukan Jepang harapan ingin merdeka akan terwujud, pemerintah tidak melarang lagu ‘Indonesia Raya’ bahkan berguna bagi alat propaganda. Peranan lagu menjadi penting misalnya radio Tokyo, selalu membuka siarannya dengan semangat diiringi orkes simponi NHK Jepang yang di arransir dan di orkestrasi Nobuo Lida, tujuannya agar dapat mengambil hati dan simpati rakyat Indonesia. Propaganda Jepang kali ini berhasil menjalankan misinya secara halus, seolah-olah Jepang bagian dari bangsa kita. Saat rakyat bersemangat menjaga keamanan menyelenggarakan pemerintahan, Perdana menteri Tojo Hideki secara sepihak telah melarang lagu ‘Indonesia Raya’ serta pengibaran Sang Saka Merah Putih. Tanggal 29 April 1942 Jepang membuat undangundang baru nomor 4 menetapkan lagu ‘Kimigayo’ sebagai lagu wajib di negara jajahannya, bendera Himomaru wajib dikibarkan (Mintargo, 2002: 107).
Sejak saat itu keberadaan lagu ‘Indonesia Raya’ mengalami pasang surut dan tidak terdengar lagi di depan umum karena ketatnya pengawasan. Pada tahun 1944 Jepang mulai mengalami kekalahan dalam perang dunia ke II, posisinya mulai terdesak dan memerlukan bantuan Indonesia, barulah lagu itu diakui dan boleh diperdengarkan secara umum. Persiapan menyambut kemerdekaan tahun 1944, lagu ‘Indonesia Raya’ mengalami perubahan syair dan cara menyanyikannya. Untuk itu panitia lagu Kebangsaan pimpinan Sukarno dengan anggotanya Ki Hadjar Dewantara, Achyar, Bintang Sudibyo, Darma Wijaya, Kusbini, K.H. Mansyur, Mr. Muhammad Yamin, Mr. Sastro Moelyono, Sanusi Pane, Cornel Simandjuntak, Mr. Achmad Soebardjo, dan Utoyo. Setelah disahkan tahun 1944, lagu berkumandang dalam rapat pertemuan dan upacara tertentu (Sularto, 1982: 176). Proses waktu yang panjang untuk lagu berjudul ‘Indonesia’ tahun 1928 kemudian pada tahun 1944 diubah menjadi lagu Kebangsaan ‘Indonesia Raya’ disebabkan Jepang tidak siap mengembalikan kekuasaan politik kepada pemerintah Indonesia. Perubahan itu meliputi teori musik dan tata bahasa dengan jumlah 41 birama mengutamakan penyederhanaan lagu agar lebih mudah dinyanyikan dan mengubah separoh penggunaan jumlah birama dari lagu aslinya. Pergantian birama 6/8 irama wals (Triple) dengan tempo Djangan Terlaloe Tjepat, diubah menjadi birama 4/4 marcia (Quardruple) hingga aksentuasi lagu semakin kuat dan tegas, sebab ketukan-ketukan mars empat ketukan dalam satu birama dengan tangga nada G untuk ambitus suara manusia sudah dinilai tepat, baik vokal maupun instrumen musik pengiring. Kata ‘mulya’ yang kurang membangkitkan semangat diganti syairnya oleh aspirasi para pemuda menjadi kata ‘merdeka’. Perubahan lagu disesuaikan perkembangan zaman sebagai sarana upacara. Lagu yang direvisi oleh panitia, tetap mempertahankan struktur lagu dan pesan semangat masih tetap murni ciptaan W.R. Supratman.
313
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 308-321
Penelusuran sejarah ini berusaha memberikan gambaran yang utuh dengan cara paralelisasi fakta yaitu membandingkan antara lagu ‘Indonesia Raya’ tahun 1928 dengan perubahannya pada masa revolusi, sehingga data yang ditemukan ada kaitannya. Dalam hal ini kedudukkan sejarah kesenian dapat digambarkan melalui tulisan sejarah sebagai sebuah integrated equivalent menyuguhkan pemandangan menyeluruh (Kuntowijoyo, 1994:115). Semua dapat diamati dari perubahan teori musik, notasi, birama, irama, dan cara menyanyikannya. Perubahan dimaksudkan adalah sebagai ide baru disesuaikan dengan fungsinya mengikuti kriteria lagu kebangsaan yang bersifat semangat negara yang telah memenangkan peperangan, seperti Inggris, Rusia, dan Amerika. Penelitian sejarah pergerakan revolusi dalam sosiologi dapat terungkap akibat benturan proses sosial dan perubahan sosial yang terjadi, akibatnya berdampak luas terhadap kehidupan bangsa. Revolusi salah satu penyebab terjadinya perubahan ketatanegaraan secara mendasar menyangkut perubahan politik, struktur sosial, ekonomi dan sikap budaya masyarakat. Revolusi diawali dengan pemberontakan dan kesenian dapat berfungsi sebagai media ekspresi (Marbun, 1996:557). Dalam hal ini pandangan filsafat Difthey bersifat esensial historis bahwa peristiwa revolusi menunjukan jiwa manusia dalam keadaan tidak stabil kehidupan tidak pernah menentu dan mengalami perubahan karena pengaruh situasi yang sangat dasyat dan menekan di saat itu, sehingga manusia mengambil jalan pintas. Analisis hermeunetik dapat dibuktikan melalui intrepretsi dari syair lagu nasional sebagai nilai perjuangan merupakan alat diplomasi perlawanan (Sumaryono, 1996: 50). Sejarah pergerakan seperti dikemukakan Brosnilaw Malinowski di dalam teori fungsional, jika pada masa perang kemerdekaan tokoh pergerakan berusaha menyadarkan rakyat melalui pidato dan tulisan opini politiknya, pejuang dengan fisik dan strategi tempurnya
314
digaris depan, maka seniman berjuang digaris belakang dengan memberi semangat dengan lagu ciptaannya (Yudistira, 1966:55). Telah dikemukakan bahwa proses sebuah lagu perjuangan yang diubah statusnya menjadi lagu kebangsaan dalam upaya mempersatukan bangsa karena penjajahan sebagai penyebab kesengsaraan rakyat yang memicu timbulnya konflik sosial akibat krisis politik, ekonomi, dan kebudayaan sehingga ada beberapa faktor yang memicu yaitu: (1) kehilangan harga diri suatu bangsa, karena dijajah bangsa lain; (2) kehilangan harta benda, sanak saudara, hasil bumi oleh sewenang-wenang kaum penjajah; (3) kehilangan rasa adil akibat hakhak kemanusiaan dirampas oleh penguasa kaum penjajah; (4) kehilangan suatu kebebasan hidup di tanah airnya sendiri. Sebaliknya, sebagai perlawanan jati diri bangsa diwujudkan lewat simbol Bhinneka Tunggal Ika lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ bagaikan Sang Saka Merah Putih yang polos dan sederhana berkibar dalam hati setiap insan Indonesia. Menurut hukum internasional lagu kebangsaan hanya dimiliki oleh suatu negara yang merdeka. Walaupun status lagu kebangsaa ‘Indonesia Raya’ belum diakui sebagai lagu kebangsaan di forum internasional, tetapi secara tersirat sifat semangat kemerdekaan bangsa sudah nampak dalam lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya (Dewantara, 1948: 58). Selain itu dengan diperdengarkan lagu, ada tanda bahwa Indonesia masih memiliki harapan untuk bangkit dari keadaan pesimis menjadi optimis meraih kemerdekaannya. Setelah dicermati secara keseluruhan lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’, bait pertama, kedua, ketiga, dan bait keempat, makna yang terkandung di dalam lagu itu bersifat konstruktif dalam membangun bangsa. Unsur semangat terkandung dalam lagu dipengaruhi irama musik mars bersifat magnetic song bila lagu berkumandang, peserta upacara menjaga tata tertib berdiri di tempat penuh perhatian, hingga setiap orang mampu menghayati lagu dan sadar sebagai
Wisnu Mintargo -- Kontinuitas dan Perubahan Makna Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
bangsa yang merdeka dan bersatu. Daya tariknya seperti magnit dan tidak jarang ikut mencucurkan air mata karena keagungan lagu itu. Pada akhirnya tanggal 17 Agustus 1945 dalam pembacaan teks proklamasi oleh Sukarno, di hadapan para pemimpin dan ratusan rakyat yang berkumpul pada pagi hari di jalan Pegangsaan timur, Jakarta, menyatakan kemerdekaan Indonesia. Setelah pembacaan teks proklamasi, pengibaran Sang Saka Merah Putih dilakukan, dengan serempak para hadirin menyanyikan lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’. Peristiwa bersejarah itu tetap berlangsung hingga kini dan diperingati setiap tahun.
Gambar 2. Upacara 17 Agustus 1945 di Pegangsaan timur 56 Jakarta. (Sumber: Radik Utoyo Sudirdjo, Lima tahun Perang Kemerdekaan 1945-1949. Jakarta: Penerbit Alda 1976, hal. 34.)
Pada tahun 1945 Jepang mengalami kekalahan perang akibat bom atom Sekutu. Belanda kembali membonceng Sekutu menancapkan kekuasaannya di Indonesia, rakyat menolak, dan mengadakan perlawanan fisik. Menurut James C. Dibdin bahwa analisis secara historis karakter suatu bangsa dapat dianalisa melalui sikap serta pemikiran nasionalnya, yaitu: (1) karakter bangsa yang mempunyai sifat pendendam dan kejam dalam peperangan; (2) karakter bangsa yang mempunyai sifat pemalas dan enggan berusaha; (3) karakter bangsa yang mempunyai sifat kesatria bila berjuang menghadapi tantangan dan penindasan. Sikap patriotisme dan pemikiran nasional pada bagian akhir inilah yang dimiliki oleh bangsa kita dengan berjuang mempersatukan bangsa dengan merebut kemerdekaan. Setelah bala tentara Jepang meninggalkan kekuasaannya, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih kekuasaan. Pada tahun 1947 Ki Hadjar Dewantara dalam permusyawaratan pendidikan menetapkan bahwa upacara pengibaran sangsaka merah putih dan menyanyikan lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ wajib diperdengarkankan setiap hari di halaman sekolah. Pemerintah menghentikan pengibaran bendera Jepang, menghapuskan lagu ‘Kimigayo’, meniadakan upacara dan pelajaran bahasa Jepang dengan mengganti semangat kebangsaan melalui pendidikan nasional, serta siap secara diplomasi menghadapi kaum penjajah Belanda dan sekutunya kembali ke bumi pertiwi. Pada tanggal 19 Desember 1948 usaha diplomasi pemimpin pergerakan melalui markas PBB New York ditetapkan bahwa lagu kebangsaan yang diperjuangkan oleh bangsa Indonesia dicantumkan dalam negara RIS UUDS pasal 3 ayat 2 yang berbunyi bahwa lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ ialah ‘Indonesia Raya’ Pada konferensi internasional yang diselenggarakan tanggal 29 Agustus 1949 di Jakarta, dihadiri oleh pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda, yang diikuti pula oleh Belgia (ditunjuk Belanda), Australia (ditunjuk
315
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 308-321
Indonesia). Amerika Serikat menekan Belanda agar mengakui eksistensi Indonesia. Dalam konferensi itu diputuskan: (1) Bendera Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah Sang Saka Merah Putih; (2) Bahasa resmi RIS ialah Bahasa Indonesia; (3) Lagu kebangsaan RIS ialah ‘Indonesia Raya’. Pada tanggal 27 Desember 1949, bertempat di Istana Gambir, Jakarta diadakan acara penurunan bendera Belanda dan pengibaran bendera Indonesia dalam rangka pengakuan secara simbolis kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Acara dihadiri oleh A.H.J Loving sebagai komisaris tertinggi Belanda di Indonesia dan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX mewakili pemerintah Indonesia.
Gambar 3. Penyerahan Kedaulatan R.I dari Pemerintah Belanda kepangkuan Ibu Pertiwi tanggal 27 Desember 1949 di Istana Gambir Jakarta.(Sumber Soedrago, “Pemandangan Dalam Negara”dalam Majalah Mimbar Indonesia, edisi 1 Jakarta 17 Januari 1950, hal. 5)
Upacara penyerahan dan penandatanganan kesepakatan disaksikan 22 wakil utusan PBB. Setelah penurunan bendera Belanda digantikan Sang Saka Merah Putih, maka berkumandanglah lagu Kebangsaan ‘Indonesia Raya’ tanda berakhirnya kolonialisme di Indonesia (Sudargo: 1950). Dari uraian di atas dapat dianalisis pertama adalah fungsi lagu ‘Indonesia Raya’ sebagai alat propaganda oleh karena usaha-usaha Jepang memanfaatkan pemimpin Indonesia yang dimaksudkan 316
agar pengaruh dan keinginannya berkuasa di Indonesia dapat bertahan lama seperti kolonial Belanda. Selain itu Jepang telah menabur janji kebencian terhadap bangsa lain dengan faham fasisme, baik secara halus maupun dengan jalan kekerasan agar bangsa Indonesia mau menerima begitu saja tanpa memikirkan akibatnya, seperti mengajak rakyat Indonesia melawan Amerika dan sekutunya. Diperdengarkan lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ terbukti bahwa Jepang telah melancarkan propaganda terselubung secara halus guna menarik simpatik bangsa Indonesia. Akibatnya Indonesia terkecoh oleh janji-janji Jepang dan menerima kerugian besar bagi rakyat Indonesia. Kedua Fungsi lagu sebagai sarana upacara kemerdekaan adalah menjadi citacita proklamator dan segenap seluruh rakyat Indonesia. Menurut Sukarno di depan sidang BPUPKI, kemerdekaan adalah jembatan emas, di seberangnya jembatan itulah kita bina seluruh rakyat Indonesia. Mengenai arti kemerdekaan terjadinya perubahan mendasar ketatanegaraan artinya dimulai sejak tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia bebas dari penjajahan karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan bebas tidak terikat oleh pihak manapun, termasuk dalam mengemukakan pendapat dan perlawanan terhadap kolonialisme.
Pasca kemerdekaan Kontra Reformasi
Sudah saatnya di berlakukan reformasi secara menyeluruh terhadap ketetapan Pemerintah Nomor. 1 tanggal 17 Agustus 1959 menyatakan bahwa lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ wajib dihormati, dihayati, dan diajarkan secara sungguh-sungguh dalam pendidikan moral kebangsaan guna membangun jati diri bangsa. Analisis makna yang terkandung dalam lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ terjabar dalam syair sebagai berikut. Bait I. Indonesia Tanah airku Indonesia bersatu Tanah tumpah darahku Hiduplah tanahku Disanalah aku berdiri Hiduplah negriku
Wisnu Mintargo -- Kontinuitas dan Perubahan Makna Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Jadi pandu ibuku Indonesia kebangsaanku Bangsa dan tanah airku Marilah kita berseru
Bangsaku, rakyatku, semuanya Bangunlah jiwanya Bangunlah badannya Untuk Indonesia Raya (kebait IV)
Bait IV. Indonesia Raya, merdeka, merdeka Tanahku, negriku yang kucinta Indonesia Raya, merdeka, merdeka Hiduplah Indonesia Raya Bait II. Indonesia tanah yang mulya Indonesia bahagia Tanah kita yang kaya Suburlah tanahnya Disanalah kita berada Suburlah jiwanya Untuk slama-slamanya Bangsanya, rakyatnya, semuanya Indonesia tanah pusaka Sabarlah hatinya P’saka kita semuanya Sadarlah budinya Marilah kita mendoa Untuk Indonesia Raya (kebait IV) Bait III. Indonesia tanah yang suci Indonesia abadi Tanah kita yang sakti Slamatlah rakyatnya Disanalah aku berdiri Slamatlah putranya Jadi ibu sejati Pulaunya, lautnya, semuanya Indonesia tanah berseri Majulah negrinya Tanah yang akau sayangi Majulah pulaunya Marilah kita berjanji Untuk Indonesia Raya (Kebait IV) Bait pertama mengungkapkan hubungan yang sangat erat antarmanusia dengan lingkungan alam Indonesia. Begitu erat hubungan tersebut, sehingga lingkungan itu disebut sebagai tanah air, tanah tumpah darah, dan sebagai ibu pertiwi. Kebudayaan telah menempatkan hubungan antara manusia dengan lingkungannya, sehingga alam menjadi bagian dari hidupnya,
bagian dari sejarahnya, bagian dari proses kebudayaan. Pengertian kalimat itu, maka bangsa Indonesia menjadi satu definisi diri manusia sebagai subjek budaya, artinya bangsa Indoesia sebagai potensi manusianya, tanah air Indonesia sebagai lingkungan alamnya. Dalam bait pertama ditegaskan, bahkan mengelorakan pesan panggilan perjuangan kebudayaan, sebagai hakekat perjuangan nasional. Seperti dalam lirik, hiduplah tanahku, hiduplah negeri, bangsaku, rakyatku, semuanya. Bangunlah jiwanya bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya. Artinya perjuangan membangun Indonesia berarti membangun manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Bait kedua memberikan deskripsi mengenai tanah air Indonesia, yaitu tanah air yang kaya. Bait ini mengungkapkan kesadaran sejarah, maka tanah air dinamakan tanah pusaka. Bait ini pula mengungkapkan sikap religius bangsa Indonesia yang mengajak berdoa kepada Tuhan Yang Maha esa. Selanjutnya dalam bait itu memberikan pesan bekerja membangun dalam pengertian suburlah tanahnya, suburlah jiwanya, bangsanya, rakyatnya, semuanya. Ini meminta adanya kesediaan dan kesetiaan bagi semua, yaitu sadarlah hatinya, sadarlah budinya. Bait ketiga mengungkapkan tugas dan kewajiban bangsa sebagai puteraputeri tanah air. Tugas berarti menjaga mempertahankan, memajukan, yang intinya membangun secara menyeluruh secara berkesinambungan sebagai tugas abadi. Bait ke empat yang selalu diulang-ulang sebagai refrein lagu menurut Muhamad Yamin adalah sebuah pesan klimaks sebagai pernyataan sumpah bakti pemuda yang bergelora dalam kongres pemuda tanggal 28 Oktober tahun 1928, yang berjanji teguh pada dasar kesatuan tanah air, bangsa, dan kebudayaan menuju kemerdekaan Indonesia yang berarti pernyataan tekad, kesediaan dan kesetiaan terhadap perjuangan membangun Indonesia yang merdeka dan bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Dengan gelora itu bangsa Indonesia bersatu dalam berjuang
317
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 308-321
menyongsong masa depan bertujuan memperjuangkan derajat, martabat bangsa dan negara, serta masyarakat Indonesia (Murtopo, 1978: 76). Lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ diperdengarkan saat tertentu dan pada peristiwa penting saja dengan cara dan aturan tersendiri. Misalnya pada kesempatankesempatan di mana diperdengarkan lagu kebangsaan dengan alat musik, maka lagu itu dibunyikan lengkap satu kali, yaitu strofe dengan dua kali ulangan. Jika pada kesempatan-kesempatan lagu kebangsaan dinyanyikan lengkap satu bait, yaitu bait pertama dengan ulangan dua kali. Jika lagu kebangsaan dinyanyikan keseluruhan, yaitu tiga bait, maka sesudah bait pertama dan bait yang kedua dinyanyikan ulangan satu kali sesudah bait penghabisan dinyanyikan ulangan dua kali. Pada tahun 1951 dengan melibatkan 140 pemusik lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ berkumandang diarransir dan diorkestrasi Jos Cleber, yang kemudian digubah dan direvisi kembali oleh R.A. Soedjasmin pimpinan Korp Musik Kepolisian Negara tahun 1952, dan berlaku saat ini. Fungsi utama lagu kebangsaan sebagai sarana upacara, di mana kedudukan pemain serta peserta upacara harus dilibatkan, hingga seni pertunjukan jenis ini bisa disebut Art of Participation (Soedarsono, 2001:170). Dengan memperlakukan sikap hormat pada lagu akhirnya diikuti segenap masyarakat Indonesia seperti organisasi politik, organisasi sosial, militer, organisasi sekolah sebagai upacara ritual bersifat nasional. Dua kutub Pascakemerdekaan dan reformasi terdapat jurang pemisah setelah runtuhnya orde lama dan razim orde baru. Di era reformasi, konflik sosial akibat krisis politik, ekonomi, kebudayaan, dan mengarah disintegrasi bangsa menghancurkan arti kemerdekaan terkandung dalam teks lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’. Akibat konflik lokal beberapa waktu lalu, seperti peristiwa Aceh, Poso, Maluku, Sampit, Papua, dan daerah lainnya meruntuhkan nilai persatuan bangsa yang digelorakan para pemuda 1928. Pengalaman sejarah yang gemilang kini
318
seakan pudar ditelan masa. Peranan lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ kini kurang dihargai, menjadi kegiatan seremonial bersifat slogan. Para elit politik kita belum menyadari dan menghayati makna yang terkandung dalam lagu, sementara para pendahulu berjuang mengorbankan darah, harta, air mata, dan jiwa raga. Pernyataan di atas kini dapat dibuktikan dan berimbas pada dunia pendidikan. Dalam pelaksanaan upacara sekolah di seluruh pelosok tanah air, rata-rata para siswa kurang memiliki kesadaran kebangsaan, sehingga penganiayan, dan kekerasan terhadap sesama. Tawuran para pelajar dan mahasiswa serta masyarakat semakin meningkat. Para guru, dosen, ulama, dan tokoh masyarakat menganggap sesuatu hal biasa dan kurang mempedulikannya. Pergeseran nilai fungsi lagu maupun cara menyanyikan berimbas pula dalam upacara di lembaga pemerintah daerah sampai pemerintah pusat. Dewasa ini rata-rata peserta upacara tidak disiplin menghayati lagu, intonasi, maupun teks lagu kebangsaan, bahkan banyak yang belum hafal. Sementara pergeseran nilai fungsi nasionalisme dan persatuan makin lama makin memprihatinkan. Penyimpangan perilaku pejabat dan abdi negara, anggota DPR pusat maupun daerah serta masyarakat turut memperparah keadaan. Terjadi krisis moral seperti meningkatnya korupsi, sifat anarkis sekelompok masa menggunakan alasan agama sebagai sumber keuntungan, kendaraan politik, dan alat terorisme. Kasus narkoba dan fornografi, penebangan hutan dan pembalakan liar, penyelundupan kayu ilegal dan hasil bumi, perlindungan warga di luar negeri, tenaga kerja Indonesia, komersialisai penyalahgunaan pendidikan dan kesehatan masyarakat, melanggar HAM, bencana alam dan lingkungan serta transportasi di Indonesia yang terjadi berturut-turut adalah sebagai sebuah konspirasi politik yang menginginkan Indonesia dalam keadaan tidak stabil. Belum lagi, masalah konflik hak cipta kebudayaan serta wilayah perbatasan dengan negara tetangga akibat lemahnya pengawasan
Wisnu Mintargo -- Kontinuitas dan Perubahan Makna Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
dan alutsista militer kita. Menghormati dan menghargai lagu kebangsaan mengajarkan agar bangsa selalu merenung dan intropeksi. Konsep kebangsaan sebagai konsep nasional yang luhur tidak lepas dari nilainilai yang terkandung dalam budaya bangsa kita yang telah menjadi darah daging kehidupan. Sebagai sebuah harapan, tidak perlu bangsa Indonesia kini harus berpecahbelah, bercerai-berai, dan terkotak-kotak. Perjalanan api semangat lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 bergelora dengan tidak memandang suku, ras, agama maupun golongan. Bangsa Indonesia harus membangun kembali harapan baru dan semangat baru serta pantang putus asa menciptakan persatuan demi menciptakan perdamaian abadi agar Indonesia adil makmur sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju di segala bidang.
SIMPULAN
Dalam tiga dekade terakhir, mahasiswa mengalami pertumbuhan secara pesat dan mereka selalu berjuang sebagai oposisi melawan rezim yang berkuasa. Pada tahun 1966 gerakan mahasiswa berkobar di bawah panji “Tritura” utuk melawan Soekarno dan PKI. Gerakan itu telah menjadi legenda besar bagi Negara Republik Indonesia, karena mahasiswa beraliansi (ditunggangi) kekuatan militer berhasil menumbangkan Soekarno. Bagaimana pun mahasiswa mempunyai peran besar dalam melahirkan orde baru yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto. Akan tetapi, ketika orde baru berdiri, mahasiswa terpaksa dipinggirkan dari arena politik oleh rezim Soeharto dengan dalih stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Mereka menentang dikotomi ekonomi antara sikaya dan simiskin, kekuasaan politik antara yang kuat dan yang lemah, reformasi belum mampu keluar dari konflik lokal yang berkepanjangan seperti alat perlawanan demokrasi yang kebablasan diluar ambang batas. Di masa peristiwa reformasi gerakan aksi mahasiswa Indonesia
Pada 12 Mei sampai dengan 17 Desember 1998 bahwa menyanyikan lagu-lagu perjuangan yang berfungsi sebagai alat perlawanan oposisi terhadap pemerintah akhir masa orde baru dalam menentang ketidakadilan dan demokrasi dan memberi inspirasi semangat perjuangan tempo dulu. Di Istana Merdeka, Soeharto tidak mampu mengendalikan kerusuhan, setelah gagal mendapatkan dukungan ulama, dan tokoh masyarakat ditambah 14 orang menterinya mengundurkan diri. Akhirnya, Soeharto mundur dari jabatan presiden digantikan BJ. Habibie, dengan menyanyikan lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’. Ketika itu mahasiswa berhasil dalam perjuangan reformasi. Walaupun demokrasi yang kebablasan dan konflik antar-etnis ada sebagian yang dapat diselesaikan di antaranya konflik Aceh, Poso, Maluku, korupsi dan anggaran pendidikan; namun di sisi lain muncul konflik baru yang harus mendapat prioritas penyelesaian serta solusinya adalah penegakan hukum dan hak azazi manusia. Fungsi lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ selama tiga perempat abad telah berjuang mempersatukan bangsa di dalam prosesnya melalui tiga tahap sebagai berikut: Pertama, Masa sumpah pemuda 28 Oktober 1928 adalah menghimpun rasa kebangsaan merupakan kesadaran berbangsa yang tumbuh secara alami dalam diri setiap orang karena kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, dan aspirasi perjuangan harus tetap dilestarikan hingga saat ini sebagai jiwa nasionalisme. Kedua, Masa kolonialisme dan pendudukan Jepang adalah aspirasi semangat kebangsaan dan tekad sejati seluruh masyarakat Indonesia untuk membela dan berkorban bagi kepentingan bangsa dan negara, sebagai warisan jiwa patriotik yang harus tetap dipelihara segenap bangsa Indonesia saat ini guna membela kedaulatan negara bila ada ancaman dari dalam maupun dari luar. Ketiga, Dalam mengisi kemerdekaan terjadi proses dinamika politik sejak orde lama, orde baru, dan reformasi saat ini, yaitu implementasi
319
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 308-321
rasa, semangat, dan paham kebangsaan, pikiran-pikiran nasional tentang hakekat, cita-cita kehidupan, dan perjuangan masa lalu. Penghayatan wawasan kebangsaan tidak cukup mempelajari paham kebangsaan, bahkan harus dibuktikan dan digali lebih dalam sampai rasa kebangsaan itu tumbuh di dalam hati rakyat. Akhirnya dengan cara ini semangat kebangsaan akan dapat dikobarkan dan dihayati dalam pikiran, perilaku rakyat Indonesia agar tetap bersatu padu merupakan salah satu aspek yang diperjuangkan W.R. Supratman tergambar dalam arti dan makna lagu Kebangsaan ‘Indonesia Raya’.
DAFTAR PUSTAKA
Dewantara, Ki Hadjar, 1948, Kebudayaan. Yogyakarta: Taman Siswa. Dibdin, James C, 1962, “Nationality in Music”, dalam Roman Rolland, ed., International Library of Music for Home and Music Litertur 2, New York: The University Sosiety. Djohan, 2008, Musik Revolusi Indonesia, resensi buku Karya Wisnu Mintargo dalam Jurnal Ke’teg’ Vol. 8 No. 1 ISI Surakarta. Dungga, J.A. dan L. Manik, 1952, Musik di Indonesia dan Persoalannya, Jakarta:Balai Pustaka. Ganap.
Victorius, 2008, Sumbangsih Ilmu Pengetahuan Musik Dalam Pembentukan Jati diri Bangsa, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Seni Pertunjukan. ISI Yogyakarta, tanggal 9 Januari.
Garna, Yudistira. K, 1996, Ilmu-ilmu Sosial dasar, Kasus, Konsepsi, Posisi. Bandung: Progran Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Kamajaya, 1979, Sejarah Bagimu Neg’ri Lagu Nasional, Yogyakarta: U.P. Indonesia. Kuntowijoyo, 1994, Metodologi Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sejarah,
Marbun. B.N, 1996, Kamus Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 320
Mintargo, Wisnu, 2001, Fungsi Lagu Perjuangan Dalam Konteks Kemerdekaan tahun 1945-1949, Tesis, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. ______ ,2003, Lagu Propaganda dalam Revolusi Indonesia: 1945-19449, dalam Jurnal Humaniora Volume XV, No. 1/2003. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya UGM. ______
,2008, Musik Revolusi Indonesi, Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Murtopo, Ali, Strategi Kebudayaa, Jakarta: Yayasan Proklamasi. More, Frazier H,1988, Hubungan Masyarakat, Prinsif, Kasus, dan Masalah, terj. Suwiryo, Bandung:Roesdakarya. Nurzain, Umar, 1981, Namaku Wage, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Pranarka, A.M.W, 1986, Wawasan Kebangsaan, Ketahanan Nasional dan Wawasan Nusantara, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Sarjana Wiyata Taman Siswa. Sudirdjo, Radik Utoyo, 1976, Lima Tahun Perang Kemerdekaan 1945-1949, Jakarta: Penerbit Alda, 1976. Sularto, Bambang, 1982, Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan DEPDIKBUD. Sumaryono. E, 1996, Hermeunetik Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius. Sutrisno Kutojo dan Mardanas Safwan, 1978, Pahlaan Nasional W.R. Supratman. Jakarta: Mutiara. Soebagijo I.N, 1985, Tragedi Kehidupan Seorang Komponis, Biografi W.R. Supratman, Jakarta: Intidayu Press. Soedargo, 1950, Pemandangan Dalam Negara dalam Majalah Mimbar Indonesia, edisi I, Jakarta 7 Januari. Soedarsono, R.M, 2001, Metode Penelitian Seni Pertunjukan Dan Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Wisnu Mintargo -- Kontinuitas dan Perubahan Makna Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Soeharto, 1982, Saksi Sejarah Mengikuti Pergerakan Dwitunggal, Jakarta:P.T. Gunung Agung.
Soesilo, Y. Edi, 1996, Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Tesis Guna Mencapai Derajad S-2 Universitas Gadjah Mada.
321
KAWISTARA VOLUME 2
No. 3, 22 Desember 2012
Halaman 225-328
Resensi Penulis : Roberto Akyuwen Instansi : Balai Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Yogyakarta Judul Buku : ECONOMYTHS: How the science of complex systems is transforming economic thougt Penulis : David Orrell Penerbit : Icon Books Ltd., London Cetakan, Tahun : First Edition, 2012 Tebal : 316 halaman ISBN : 978-184831-219-7
Sejak pertama kali ditemukan, revolusi ilmu ekonomi telah didominasi oleh sistem pemikiran mekanistik dan linier yang inspirasinya bersumber dari ilmu mekanika Newton. Fenomena ini akan berubah. David Orrell melalui buku ini menerangkan bahwa seorang ahli matematika, menunjukkan bagaimana revolusi ilmu ekonomi dipengaruhi oleh ideide baru yang muncul dari berbagai bidang, seperti teori kompleksitas dan ilmu jaringan. David Orrell menjelaskan bagaimana perekonomian sebagai hasil dari proses yang kompleks dan jaringan yang tidak linier. Ia juga menunjukkan mengapa model-model matematika yang digunakan oleh para bankir dan pembuat kebijakan telah mengakibatkan dunia menjadi lebih berisiko. Hubungan paradoks di antara uang dan kebahagiaan juga dieksplorasi. Selain itu, David Orrell berpandangan bahwa sistem keuangan lebih baik dilihat sebagai suatu proses organik dibandingkan sebagai suatu mesin. Pada akhirnya, dapat ditunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan dapat membantu menemukan kembali ilmu ekonomi di abad ke-21. 322
Pada awal tahun, menurut hasil ramalan dari berbagai pihak (Bloomberg.com), tahun 2008 akan menjadi tahun sejahtera bagi pasar keuangan. Tidak seorangpun menduga akan terjadi suatu kerugian dan bahkan keuntungan bisnis diprediksikan mencapai rata-rata 11 persen. Mereka tidak memperhatikan bahwa salah satu bencana keuangan terbesar dalam sejarah sedang berlangsung di bawah kakinya. Pada akhir tahun, Indeks S dan P 500 menurun 38 persen, sejumlah $29 triliun telah hilang di pasar global, dan banyak fondasi perekonomian dunia telah runtuh. Kegagalan pembayaran kredit dalam skala besar (credit crunch) terjadi dalam beberapa fase, tetapi kejadian yang paling penting adalah kolapsnya layanan keuangan perusahaan Lehman Brothers pada September 2008. Dengan kepemilikan aset lebih dari AS$600 miliar, kebangkrutan Lehman Brothers adalah yang terbesar dalam sejarah perusahaan di Amerika Serikat. Lehman juga merupakan salah satu titik kunci di dalam jaringan keuangan, sehingga kebangkrutannya mengantarkan
Resensi
krisis memasuki fase yang sangat berbahaya. Banyak pihak yang kuatir bahwa seantero sistem keuangan global akan hancur. Kekuatiran ini tidak terjadi dan pasar pada akhirnya dapat pulih dari pengalaman hampir-mati. Akan tetapi, dampak dari kejadian bangkrutnya Lehman Brother masih terasa hingga saat ini. Kegagalan para ekonom untuk memperkirakan credit crunch atau resesi yang berikutnya bukanlah hal yang khas. David Orrel menunjukkan bahwa peramalan keuangan memiliki catatan pengalaman (track record) keberhasilan yang sangat buruk, bahkan tatkala didasarkan pada modelmodel matematika yang sempurna. Dewasa ini, model-model tersebut tidak hanya gagal untuk memprediksikan kejatuhan ekonomi, tetapi lebih jauh lagi, membantu kegagalan. Pada tahun-tahun sebelum krisis, pelaku pasar keuangan sangat bergantung pada model-model kuantitatif/matematika dalam membuat keputusan. Bahkan jika model-model yang digunakan tidak mampu memperkirakan dengan tepat situasi di masa depan, mereka masih menggunakannya untuk menghitung risiko. Sebagai contoh, untuk menghitung risiko dari suatu paket pinjaman, para pelaku pasar keuangan hanya perlu melakukan suatu perhitungan statistik dengan menggunakan rumus sederhana atau model risiko yang didasarkan pada teori ekonomi standar. Perhitungan statistik sepertinya berjalan dengan baik, sehingga para analis kuantitatif mulai menggunakannya untuk mempertaruhkan risiko yang lebih besar. Sebelum krisis menjadi sangat parah, terdapat tanda-tanda bahwa model-model yang digunakan gagal menangkap beragam risiko perekonomian yang sebenarnya. Pada 11 Agustus 2007, setahun sebelum jatuhnya Lehman Brother, turbulensi pasar yang tidak terduga telah terjadi dan menyebabkan turunnya harga rumah di Amerika Serikat. Kejadian yang diperkirakan oleh model hanya akan terjadi sekali dalam 10.000 tahun, ternyata terjadi setiap hari selama tiga hari berturut-turut.
Ibaratnya bahwa Anda tidak perlu menjadi seorang ahli matematika untuk melihat bahwa ada hal yang salah dengan model-model yang digunakan sebagai alat analisis sistem keuangan. Bagaimana mungkin begitu banyak ahli yang bergaji tinggi, tetapi telah salah dalam menduga bekerjanya perekonomian? Sebenarnya, tidak seorangpun terkejut dengan krisis sebagaimana dirasakan oleh para analis kuantitatif dan model matematikanya. Pada awal 2003, Warren Buffet menjelaskan produk-produk derivatif yang kompleks yang menjadi kunci dalam credit crunch, sehingga disebut sebagai senjata keuangan untuk penghancuran massal (financial weapons of mass destruction). Di tahun yang sama, sebelum jatuhnya Lehman yang menghancurkan sistem perbankan, seorang ilmuwan jaringan, Albert-Laszlo Barabasi telah mengingatkan potensi “cascading failures” di dalam perekonomian. Bahkan para bankir di bank-bank sentral telah memikirkan bahwa sistem keuangan telah menjadi kurang stabil. Pada Januari 2007, Jean-Claude Trichet, Presiden Bank Sentral Eropa, mengemukakan bahwa elemenelemen pasar keuangan global terlihat tidak stabil, tetapi letak risikonya tidak sepenuhnya dapat diketahui. Nassim Taleb adalah seorang penulis dan Nouriel Roubini adalah seorang ekonom, telah memberikan peringatan secara lebih spesifik, namun suara mereka diabaikan karena agresivitas para pelaku di dalam sistem keuangan yang mengejar profit. Sama seperti krisis-krisis sebelumnya, penyebab credit crunch telah banyak dianalisis dan diperdebatkan. Kritik yang paling nyata adalah pada perilaku dari para bankir yang memperoleh gaji sangat tinggi dan masih ditambah bonus yang tinggi pula. Kondisi ini sering dipandang lumrah sebagai konsekuensi tingginya risiko yang diambil oleh para bankir. Sayangnya, karena keputusan mereka yang keliru, terjadi kekelaman pada perekonomian riil. Pihak lain yang harus bertanggung jawab adalah regulator yang telah gagal mengawal
323
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 322-325
pesatnya inovasi pada produk-produk keuangan. Di samping itu, masih banyak aktor-aktor lainnya yang ikut terlibat. Para pemilik rumah di Amerika Serikat yang mengambil subprime loans, tetapi tidak mampu membayar kembali, bank-bank sentral yang mengabaikan gejala-gejala persoalan, dan para ekonom yang merancang model-model matematika yang cacat. Fenomena yang terjadi masih meninggalkan pertanyaan mengenai bagaimana begitu banyak orang di dalam industri keuangan telah tersesat dengan risiko yang dijalankannya dan tidak memperhatikan bahaya yang ditimbulkan. Alasannya, menurut Orrell adalah bahwa asumsi-sumsi dasar yang membentuk teori ekonomi penuh dengan kekurangan. Hal ini bermakna bahwa tidak hanya model-model matematika, tetapi model-model aktual mengenai perekonomian yang dimiliki oleh kebanyakan ekonom sepenuhnya salah. Persoalan ini menjadi alasan dibalik perhitungan risiko keuangan. Persoalan utama yang dihadapi oleh sistem ekonomi kita adalah tidak pada kesulitan untuk memprediksinya, tetapi di samping produktivitas dan kreativitasnya yang luar biasa disebut oleh Orrel sebagai “a state of ill health”. Perekonomian pada dasarnya tidak adil, tidak stabil, dan tidak berkelanjutan, tetapi, teori ekonomi tidak memiliki cara untuk mengakomodasi hal ini. Perekonomian tidak adil. Teori ekonomi seharusnya membahas mengenai optimisasi alokasi sumber daya. Dalam realitanya, orang yang kaya menjadi semakin kaya. Pada tahun 2009, seorang manajer hedge fund memperoleh penghasilan lebih dari AS$2 miliar, sementara lebih dari satu juta orang hanya memiliki penghasilan kurang dari AS$1 perhari. Arus utama ilmu ekonomi adalah suatu teori yang menyatu dengan kepentingan orang yang sangat kaya. Perekonomian tidak stabil. Menurut teori, invisible hand seharusnya menjaga harga aset-aset pada tingkat yang stabil. Tetapi dalam faktanya, harga beragam aset, seperti minyak bumi, emas, dan mata
324
uang sangat berfluktuasi. Pada akhir 2007, harga minyak bumi pernah mencapai lebih dari AS$140 per barel, namun kemudian menurun tajam menjadi di bawah AS$40 per barel hanya dalam beberapa bulan. Minyak bumi sering disebut sebagai darah kehidupan perekonomian (lifeblood of the economy), tetapi suplai darah kita sendiri dapat diatur dengan lebih baik. Sementara waktu ini, perekonomian sepertinya sedang mengalami serangan jantung. Perekonomian tidak berkelanjutan. Menurut teori, perekonomian dapat tumbuh selamanya tanpa batas. Realitasnya, kita dihadapkan pada kendala-kendala kemacetan yang parah (over-crowding), perubahan iklim, dan degradasi lingkungan. Sebagaimana dikemukakan oleh para pemerhati lingkungan, pertumbuhan yang tanpa akhir (never-ending growth) merupakan filosofi dari suatu sel kanker. Ketiga persoalan jauh lebih penting dibandingkan kejadian credit crunch. Hutang perekonomian global yang menumpuk dibandingkan persoalan lingkungan, atau hutang yang dimiliki oleh negara-negara kaya di negara-negara miskin, perlu lebih diperhatikan dibandingkan hutang bankbank kepada pemerintah atau pemegang saham. Dalam konteks ini, crisis yang terjadi dapat dipandang sebagai suatu berkah yang terselubung (blessing in disguise) karena menjadi daya pendorong bagi kita untuk memikirkan kembali pendekatan kita mengenai uang. Selain gagal menyelesaikan keterbatasan perekonomian, teori ekonomi juga gagal untuk memperhitungkan dengan cermat dinamika dan produktivitas perekonomian. Suatu modal yang menekankan stabilitas tidak cukup baik dalam menangkap kreativitas pasar. Jadi, mengapa tetap mempertahankan teori ekonomi yang dalam kenyataannya tidak sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai? Ilmu ekonomi adalah suatu representasi matematika dari perilaku manusia dan seperti model-model matematika lainnya yang didasarkan pada asumsi-asumsi
Resensi
tertentu. Orrell berpandangan bahwa dalam kasus ilmu ekonomi, asumsi-asumsi yang digunakan sangat jauh dari realita, dan sesuai dengan kebutuhan dan perilaku dari kebanyakan orang, maka hasilnya adalah berupa karikatur yang sangat menyesatkan. Teori ekonomi lebih sesuai untuk menjadi suatu ideologi dibandingkan ilmu pengetahuan. Alasan mengapa begitu banyak orang meyakini bahwa asumsiasumsi tersebut masuk akal adalah karena didasarkan pada ide-ide yang bersumber dari ilmu fisika atau teknik yang merupakan bagian dari warisan ilmu pengetahuan kita sekitar 2500 tahun yang lalu (Yunani kuno). Terlihat dangkal sebagai ilmu pengetahuan riil, tetapi merupakan koin tiruan. Untuk membuat kemajuan, tidak cukup untuk menyesuaikan dan memperbaiki asumsi-asumsi tersebut. Banyak karya telah dilakukan untuk mengeksplorasi variasivariasi minor. Misalnya, suatu artikel di dalam Nature yang berjudul “Economics Needs a Scientific Revolution” menegaskan bahwa perlu melepaskan diri dari ilmu ekonomi klasik dan mengembangkan alatalat yang sepenuhnya berbeda. Tatkala ilmu ekonomi membuat model secara tradisional mengikuti ilmu fisika dan mekanika, perekonomian menghadapi suatu organisma hidup, dan bukan mesin. Buku ini menunjukkan bagaimana suatu generasi baru ekonom, ahli matematika, ahli lingkungan, dan pakar ilmu pengetahuan
lainnya menerapkan beragam pelajaran serta teknik untuk mengembangkan suatu model perekonomian yang lebih realistis. Setiap bab diawali dengan salah satu kesalahan konsepsi dibalik teori ekonomi ortodoks. Diskusi kemudian diarahkan pada sejarah untuk melacak sumber ide tersebut dan menjelaskan bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, dicoba untuk menguraikan mengapa kondisi tersebut terus berlangsung meskipun buktibukti menunjukkan kondisi yang sebaliknya, serta mengusulkan bagaimana dapat mengubah atau menggantikannya. Secara lebih spesifik, kesalahan-kesalahan konsepsi yang dimaksudkan terdiri dari: 1. perekonomian dapat digambarkan oleh hukum-hukum ekonomi; 2. perekonomian terbentuk oleh perilaku individu-individu yang independen; 3. perekonomian berjalan dengan stabil; 4. risiko ekonomi dapat dengan mudah dikelola dengan menggunakan statistika; 5. perekonomian berlangsung secara rasional dan efisien; 6. perekonomian bersifat gender-netral; 7. perekonomian berjalan dengan adil; 8. pertumbuhan ekonomi dapat berlangsung terus-menerus selamanya; 9. pertumbuhan ekonomi akan membuat kita bahagia; dan 10. pertumbuhan ekonomi selalu baik.
325
KAWISTARA VOLUME 2
No. 3, 22 Desember 2012
Halaman 225-328
Indeks Kawistara Volume 2, No. 3, Desember 2012
A
Abtadi-u 281 Al-Barzanji 276, 277, 278, 279, 280, 281, 282, 283, 284 Aljannatu 280, 281 Al-Kaukabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jauhar 278 Al-Qur’an 283 alutsista 319 analisis faktor 285, 289, 290, 291, 293 an-Nakbah 304 aqikahan 277 Arabic Literature 276 Arab unity 305 Art of Participation 318 at-tahrir 265
B
bank konvensional 286, 287, 288 Barzanj 278 Berzanjen 277 Bhinneka Tunggal Ika 314 Bicolor 268 bid’ah 281, 282, 283 blessing in disguise 324 Bloomberg.com 322 Blora 253, 254, 255, 258, 259, 262 bottom up planning 225, 228 bunting 266, 271
C
cement 252 certainty contract 287 civil government 303, 304 collectives awarness 231 Common factor analysis 290 Community 225, 236, 238
326
community based tourism 229, 231 credit crunch 322, 323, 324 cultural context 264
D
Dataran Tinggi Dieng 225, 226, 235, 236, 237 David Orrell 322 Defamiliarisasi 283 delegating 245 Desa Wisata 225, 234, 235, 236, 237 Dieng Plateau 225, 226, 231, 233, 234, 236 Difitisme Arab 297 dog-dogkan 280, 283 dr. Sutomo 310 dr. Wahidin Sudirohusodo 310
E
Effectiveness 238 embrio 235 existence 244, 246 expansion of change 300
F
factor analysis 285, 289, 290 Factor analysis 290 Fajar Asia 310 Farmers Group Association 238 financial weapons of mass destruction 323 floating costumer 286 focus group discussion 231 Fungsi intermediasi 286
G
Gapoktan, Efektivitas 239 Gapoktan Mitra Sari 240, 247, 248 geothermal 226, 233
Indeks
global ii, iii grass-root 255 Gunretno 253, 257, 263
H
Hasil penelitian Direktorat Perbankan Syariah 288 hedge fund 324 historical context 264 historic yes 303 Hizbul Hurriyyah wal ‘Adālah 305 Hizbut Tahrir 264, 265, 266, 272, 273, 274 Hizb ut-Tahrir Indonesia Yogyakarta 264 home stay 230 Hourani 297, 299, 303, 306
I
Ibn ‘Abdul Karim 277 Ibn Abdul Rasul 277 Ibn Hasan 277 Ibn Muhammad 277 identical a politics 252 Identitas Kaum Samin i, ii Ideologi-ideologi Kritik-Diri 297 ilmu bodon 253 ilmu mekanika Newton 322 Indonesia Raya 308, 309, 310, 313, 314, 315, 316, 317, 318, 319, 320, 321 Indonesische Club 310 Institute of Propaganda Analisys 313 integrated equivalent 314 Intelektual Muslim 297 intern 229 invisible hand 324 Iqd Al-Jawâhir 277
J
Ja’far Al-Barzanji 277, 278, 282, 283 Juni 1967 296, 299
K
kahyangan 226 Kelompok Sadar Wisata 232, 234, 235 khat 266, 271 khitanan 277 Kimigayo 313, 315 Klopoduwur 254, 258
L
laa ilaaha illaa Allah Muhammad Rasul Allah 265, 267 lagu kebangsaan 308, 309, 310, 311, 312, 314, 315, 316, 318, 319 Lagu Kebangsaan 308, 310, 320, 321 Lagu Kebangsaan Indonesia Raya i, iii
Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat 239, 241, 250 lembaga keuangan syariah 285, 286, 287, 289, 291, 293, 294 live in di homestay 234 Liwa 264, 265, 267, 268, 269, 270, 271, 272, 273 Liwa and rayah 264 liwa dan rayah 264, 265, 266, 267, 268, 269, 270, 271, 272, 273 logistic regression model 288 lokal ii, iii
M
machal al-qiyâm 277 Madah Nabawi 278 magnetic song 314 mapping 231, 234 Marchaban 279, 281 masirah 267, 270 Masyarakat 225, 226, 229, 230, 232, 236, 237, 239, 241, 250, 251, 252, 254, 257, 262, 275, 287, 293 maulid Al-Barzanji 276 maulid Nabi saw 277, 278, 279, 280, 283 millenarisnime 255 model regresi logit 288 Motivasi anggota kelompoktani 246 Munyatul Al-Murtaji 279 musik simponi 309 Muslim intellectuals 296 mutawatir 269
N
Nabi Muhammad 264, 265, 267, 268, 270, 272, 273, 276 nasabah bank konvensional dan non-nasabah bank 288 National anthem 308 never-ending growth 324 Nilai 229 Nilai communalities 291 non-probability 289
O
Orrell 322, 324, 325 over-crowding 324
P
Pariwisata 225, 227, 229, 231, 235, 236 Participation 225, 229, 236, 238, 318 partisipasi 225, 228, 236, 238, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 249, 250 Partisipasi 225, 227, 228, 229, 239, 241, 243, 244, 245, 247, 250, 251 pasca-colonial 252
327
Kawistara, Vol. 2, No. 3, Desember 2012: 326-328
pasca-kolonial 252, 253, 254, 261, 262 pasca-the Arab Spring 297 Pater Jan Bakker SJ 279 Penguatan-LDPM 238, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251 Penggunaan Lembaga Bank Syariah iii Pengurus Gapoktan 242, 250 penyuluh 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 250 performing art iii, 276 Plateau 225, 226, 231, 233, 234, 236 politik identitas 252, 253 politik ingatan 260, 261, 262 postcolonial perspective 254 potensi diri 231 posisi-posisi perfiferi ii preference 285 preferensi 285, 287, 288, 289 primary modeling system 284 principal component analysis 289, 291 Propinsi DIY 286 proportionate stratified random sampling 238, 240 PT Semen Gresik 256 purposive sampling 289
R
rayah 264, 265, 266, 267, 268, 269, 270, 271, 272, 273 refrein 317 relatedness 244, 246 reliable 293 representamen 266 riba 286, 287 Rosyid 254, 258, 261, 262, 267 Rural Tourism 225, 236
S
sabab 267, 270, 272, 273 Sabîlul Almunjî 279 sakralisasi teks 300 Samin 252, 253, 254, 255, 256, 257, 258, 259, 260, 261, 262, 263 Samin Surontika 253, 254, 255, 260 Sastra Arab 276 secondary modeling system 283 sedulur Sikep 260 Self Criticism 301 self-criticism ideologies 296
328
self-definitions 298 semen 242, 252, 253, 254, 256, 257, 258, 259, 260, 261 semiotic aesthetics 264, 266 shalawat asyraqal badru 277 sharia finance institution 285 Sikka 279 sistem tangga nada pentatonik 311 Statistical Package for the Social Sciences 243 strofe 318 subalternity Gayatri Spivak 252 subprime loans 324 syariah Islam 269, 285, 293, 294
T
Takashi Shiraishi 253, 255 the Arab defeat 296 the Food Community Distribution Institution Program 238 the second Nahdah 299 tilawah 279 tim teknis kabupaten 250 Tourism 225, 227, 236, 237 Tradisi 262, 263, 276 tradisi Berzanjen iii tradisi Islam klasik atau turāst 305 tradition 276 Tren Pemikiran Intelektual Muslim Kontemporer i, iii Tribar 268 Tricolor 268
U
uncertainty contract 287 underbow 257
V
veksillologi 266 verstehen 265
W
wals 311, 313 World Tourism Organization 227 world-view 252 worldview 261 W.R. Supratman 310, 311, 312, 313, 320
Y
Yunani kuno 325