1
Daftar Isi DAFTAR ISI ............................................................................................................................................................ 2
1. PARADOKS PRODUKTIVITAS TEKNOLOGI INFORMASI .............................................................. 3 2. KLASIFIKASI METODOLOGI ANALISA COST-‐BENEFIT ................................................................. 6 3. RAGAM TEKNIK EVALUASI INVESTASI PROYEK TEKNOLOGI INFORMASI .................... 11 4. TUJUAN DAN TIPE INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI ......................................................... 17 5. MEREKA-‐REKA MANFAAT TEKNOLOGI INFORMASI BAGI PERUSAHAAN ...................... 20 6. PERHITUNGAN COST-‐BENEFIT SEDERHANA UNTUK MANFAAT YANG TANGIBLE ... 23 7. TEKNIK MENGUKUR MANFAAT INTANGIBLE DALAM INVESTASI ..................................... 29 8. FORMULA MENGHITUNG KEUNTUNGAN INVESTASI ............................................................... 31 9. EVALUASI INVESTASI DENGAN METODE VALUE ANALYSIS ................................................. 34 10. PRINSIP DASAR PADA KONSEP INFORMATION ECONOMICS ............................................. 36 11. KERANGKA INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI GARTNER ............................................... 41 12. MANAJEMEN PORTOFOLIO INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI .................................... 46 13. PENGAWASAN ALOKASI BIAYA PROYEK TEKNOLOGI INFORMASI ................................. 49 14. PENENTUAN EFEKTIVITAS MANFAAT DENGAN PENDEKATAN ANALISA GAP ........ 53 15. STRATEGI MENILAI MANFAAT TEKNOLOGI INFORMASI ..................................................... 59 16. METODE I.S.S.U.E UNTUK MENGUKUR MANFAAT TEKNOLOGI INFORMASI ............... 63 17. MANAJEMEN INVESTASI TEKNOLOGI INFORMASI DALAM STANDAR COBIT ............ 68 18. KONSEP TOTAL VALUE OF OPPORTUNITY DARI GARTNER ............................................... 75 19. PENDEKATAN I.T. VALUE CHAIN MANAGEMENT DARI ALINEAN ................................... 78 20. ANALISA INVESTASI PROYEK SISTEM KEAMANAN JARINGAN ......................................... 85
REFERENSI ......................................................................................................................................................... 93 RIWAYAT HIDUP ............................................................................................................................................. 95
2
1. Paradoks Produktivitas Teknologi Informasi Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, triliunan dolar Amerika telah diinvestasikan oleh berbagai perusahaan untuk membangun teknologi informasinya. Tercatat pada tahun 2000 sekitar dua triliun dolar telah dialokasikan oleh berbagai perusahaan di seluruh dunia untuk membeli dan menerapkan teknologi ini, dan diperkirakan pada tahun 2004 nilai ini akan mencapai sekitar tiga triliun dolar (Strassmann, 1997a). Namun demikian, hingga saat ini masyarakat dan para praktisi industri masih mengalami kesulitan untuk membuktikan atau memperlihatkan bahwa investasi sebesar itu benar-benar tidak percuma, dalam arti kata secara nyata terlihat adanya peningkatan output produk dan jasa yang diciptakan secara signifikan (Strassmann. 1997b). Fenomena ”ketidakcocokan” atau ”ketidakseimbangan” antara besaran investasi yang dikeluarkan untuk keperluan teknologi informasi dengan ukuran total output yang dihasilkan dideskripsikan sebagai sebuah ”IT Productivity Paradox” (paradoks produktivitas) – sebuah isu yang hingga saat ini masih hangat dibicarakan di kalangan akademisi maupun praktisi teknologi informasi semenjak tahun 1980-an (Roach, 1994). Berdasarkan fakta dan definisi di atas, para pakar berusaha keras untuk mendapatkan penjelasan yang logis mengenai mengapa fenomena paradoks produktivitas tersebut terjadi. Dari hasil kajian mereka, alasan mengapa terjadinya paradoks tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu masing-masing mengkristal menjadi kesimpulan sebagai berikut (Willcocks et al, 2000): 1.
Permasalahan analisa dan representasi data tidak memperlihatkan terjadinya peningkatan produktivitas;
2.
Manfaat yang diperoleh oleh teknologi informasi tidak terlihat karena adanya kerugian di area lain; dan
3.
Peningkatan produktivitas tidak terlihat karena adanya kegagalan penerapan teknologi informasi atau tingginya alokasi biaya teknologi informasi.
A N A L IS A
D A N
R E P R E S E N T A S I
D A T A
Para ekonom mendefinisikan ”produktivitas” dengan cukup mudah, yaitu jumlah keluaran (output) dibagi dengan jumlah masukan (input). Besaran output dihitung dengan cara mengalikan jumlah produk yang dihasilkan dengan nilai (value) rata-rata dari produk tersebut; sementara besaran input didapatkan dari jumlah jam kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan seluruh output tersebut. Angka rasio yang didapatkan dari hasil pembagian antara output dengan input di atas dikenal sebagai labor productivity. Jika sumber daya lain seperti misalnya besaran investasi dan kebutuhan material dimasukkan sebagai bagian dari input, maka angka rasio yang didapat dikenal sebagai multifactor productivity. Ternyata di dalam dunia teknologi informasi, rumusan sederhana ini belum tentu secara ”kongkrit” memperlihatkan atau merepresentasikan terjadinya kenaikan atau penurunan produktivitas seperti yang umum dipergunakan pada aktivitas lain seperti proses manufaktur atau produksi. Hal ini disebabkan karena berbeda dan beragamnya asumsi terhadap variabel input maupun output yang dipergunakan. Misalnya pada industri jasa seperti kesehatan dan pendidikan. Sangat sulit untuk menentukan kuantitas atau karakteristik seperti apa yang dikatakan sebagai sebuah output. 3
Dalam industri kesehatan misalnya, apakah yang dimaksud dengan entiti output adalah pasien yang dilayani, atau pasien yang berhasil disembuhkan, atau pasien yang menjalani proses penyembuhan, dan lain sebagainya. Demikian pula di bidang pendidikan, apakah output yang dimaksud berkaitan erat dengan jumlah mahasiswa yang lulus, atau jumlah mahasiswa yang berhasil lulus tepat waktu, atau jumlah mahasiswa yang ”diluluskan”, dan lain sebagainya. Ini baru hal yang terkait dengan sesuatu yang dapat diukur dan dilihat (kuantitaf dan tangible), belum dipertimbangkan faktor-faktor lain yang bersifat unquantifiable dan intangible seperti kualitas dari output yang dihasilkan. Dengan kata lain, masing-masing orang akan mencoba mendefinisikan output yang dimaksud sesuai dengan kepentingan dan relevansinya masing-masing, sehingga pengukuran produktivitas pun menjadi sangat relatif sifatnya. Dari segi input, yang dalam hal ini terkait erat dengan alokasi sumber daya keuangan yang diinvestasikan untuk pengembangan teknologi informasi, terlihat bahwa ternyata pemakaian teknologi informasi di dalam sebuah perusahaan bersifat sistemik, dalam arti kata menyebar di seluruh proses inti dan aktivitas penunjang yang ada, sehingga sangat sulit untuk menentukan proporsi nilai investasi terhadap sebuah rangkaian proses tertentu atau sub-sistem tertentu yang ingin dihitung produktivitasnya. Contohnya adalah investasi untuk membeli sebuah mesin ATM yang ternyata tidak saja berpengaruh terhadap meningkatnya produktivitas pada proses pelayanan terhadap pelanggan (dibandingkan dengan menggunakan teller), tetapi berpengaruh pula terhadap aktivitas terkait lainnya seperti: mempercepat proses transfer antar rekening, mengurangi biaya komunikasi dan transaksi, meningkatkan rasa aman pelanggan, mempertinggi tingkat kepuasan nasabah, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, ”tidak adil” rasanya jika investasi tersebut hanya dibebankan semata pada sebuah proses atau sub-sistem tertentu sementara kontribusi manfaatnya dirasakan pula oleh berbagai proses yang lain di dalam perusahaan. Oleh karena itu dapat dimengerti betapa sulitnya mencari rumusan produktivitas yang benar-benar menggambarkan keadaan yang sebenarnya dalam arti kata secara kongkrit merepresentasikan manfaat yang diberikan oleh teknologi informasi per satuan investasi yang dialokasikan. Hasil riset memperlihatkan lebih banyaknya hasil perhitungan yang cenderung underestimate dampak produktivitas yang sebenarnya (kenaikan produktivitas tersembunyi di balik angka-angka dengan asumsi yang ”keliru”) dibandingkan yang overestimate.
K E R U G IA N
A R E A
L A IN
Pada dasarnya organisasi semacam perusahaan merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai entiti yang saling terkait satu dengan yang lainnya. Katakanlah penggunaan sebuah aplikasi teknologi informasi di salah satu divisi berhasil meningkatkan produktivitas karyawan yang berada di dalamnya. Karena produktivitasnya meningkat, maka perusahaan dapat mengurangi jumlah karyawannya pada divisi terkait dan memindahkannya di divisi lain. Akibatnya secara total sistem, jika diukur produktivitasnya, nampak tidak terjadi peningkatan yang berarti – karena pada divisi baru tersebut, karyawan yang ada hanya akan menjadi beban tambahan overhead semata. Contoh lainnya adalah penerapan electronic commerce yang memungkinkan seorang pelanggan untuk melakukan pemesanan produk melalui internet untuk dapat diantarkan langsung ke rumah (delivery) pada hari yang sama. Pada proses penjualan, jelas terjadi 4
peningkatan produktivas dalam arti kata meningkatnya frekuensi pemesanan oleh pelanggan. Namun untuk dapat memenuhi delivery dalam kurun waktu 24 jam seperti yang diinginkan, terpaksa perusahaan harus memiliki armada ekspedisi atau kurir tambahan untuk melakukannya – yang jika dihitung-hitung secara keseluruhan justru terkesan menurunkan produktivitas perusahaan. Kedua contoh di atas memperlihatkan bagaimana manfaat dari teknologi informasi di satu tempat ter-offset dengan kerugian di tempat lain di dalam sebuah organisasi. Sehingga jika dilakukan perhitungan produktivitas secara menyeluruh, hampir tidak terlihat peningkatan yang signifikan. Bahkan tidak mustahil justru terjadi ”penurunan” dari hasil perhitungan produktivitas yang ada.
B E B A N
B IA Y A
T E K N O L O G I
IN F O R M A S I
Berbeda dengan kedua kesimpulan terdahulu dimana manfaat signifikan yang berhasil disumbangkan oleh teknologi informasi termarginalkan oleh beberapa aspek terkait, maka dalam kesimpulan yang ketiga ini bersumber dari kenyataan bahwa teknologi informasi memang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap tingkat produktivitas – bahkan cenderung ”memperburuk” kinerja produktivitas perusahaan secara keseluruhan. Hasil kajian memperlihatkan adanya dua penyebab utama terjadinya hal ini. Hal pertama berasal dari gagalnya penerapan teknologi informasi karena berbagai faktor penyebab internal maupun eksternal. Dalam kerangka ini jelas terlihat bahwa investasi telah keluar secara percuma dan tidak dapat dikembalikan lagi. Hal kedua terjadi karena tingginya biaya pemeliharaan dan pengembangan teknologi informasi yang harus ditanggung perusahaan. Sehingga walaupun secara bisnis telah terjadi peningkatan output, membengkaknya biaya overhead pemeliharaan maupun pengembangan teknologi informasi telah menyebabkan tingginya faktor input yang dibutuhkan – sehingga secara langsung berdampak pada perhitungan produktivitas. Dengan memahami dan mempelajari fenonema paradoks tersebut, terlihat betapa sulit dan kompleksnya permasalahan yang harus dihadapi dalam rangka mencari relasi antara besaran investasi yang dialokasikan dengan manfaat yang diperoleh oleh perusahaan terkait dengan peningkatan produktivitas. Sudah hampir 25 tahun paradoks ini diperbincangkan, dan selama itu pula perdebatan antara sejumlah kubu yang sepakat dan menentang adanya paradoks ini berlangsung. Suka atau tidak suka, mau tidak mau, pada kenyataannya filosofi ”business is business” yang akan mendominasi manajemen pengambil keputusan dalam menentukan apakah perusahaan perlu untuk mengalokasikan sejumlah sumber dayanya untuk mengembangkan teknologi informasi. Pada kenyataannya cukup banyak manajemen yang tidak perduli dengan adanya paradoks ini karena mereka yakin betul bahwa tidak ada perusahaan yang bisa survive dewasa ini tanpa melibatkan teknologi informasi. ”in IT we trust” – demikian kata hati mereka berbicara.
5
2. Klasifikasi Metodologi Analisa Cost-Benefit A N A L IS A
C O S T -B E N E F IT
Pada dasarnya, metode pengukuran dan analisa cost-benefit didasarkan pada cara serta perspektif manajemen dalam menilai kinerja teknologi informasi yang diimplementasikan. Terkait dengan paradigma ini, setiap metodologi yang dipilih dan dipergunakan oleh manajemen memiliki karakteristik khusus – yang membedakannya dengan metodologi lain. Strategic Analysis and Evaluation merupakan suatu teknik pengukuran dengan menggunakan scoring technique yang didasarkan pada prinsip bahwa semua perangkat teknologi informasi yang diimplementasikan dalam perusahaan harus secara jelas dan tegas mendukung strategi generik perusahaan, sehingga keberadaannya harus dikaji secara sungguh-sungguh. Michael Porter dalam teori competitive advantage-nya yang terkemuka mengatakan bahwa hanya ada dua strategi yang dapat membuat perusahaan unggul dibandingkan dengan kompetitornya, yaitu melalui: cost reduction dan differentiation. Jika implementasi sebuah aplikasi teknologi informasi terbukti dapat mengurangi sejumlah atau sekelompok biaya organisasi – misalnya biaya transaksi atau komunikasi – maka teknologi tersebut dianggap tepat untuk diterapkan oleh perusahaan. Demikian juga jika aplikasi sebuah teknologi informasi dapat membuat perusahaan memiliki sesuatu yang membedakannya dengan perusahaan lain atau mempunyai sesuatu yang “lain dari pada yang lain”, maka keberadaannya dianggap tepat dalam kerangka strategis perusahaan. Contoh aplikasi teknologi informasi yang menunjang performa differentiation adalah: implementasi customer relationship management sehingga pelanggan merasa memiliki hubungan yang khusus dengan perusahaan, aplikasi call center yang berfungsi sebagai help desk khusus bagi seorang nasabah bank, penerapan supply chain management yang mendukung perusahaan dalam menjalin kemitraan bisnis strategis dengan mitra pemasoknya, dan lain sebagainya. Jika seluruh investasi teknologi informasi perusahaan diarahkan bagi dikembangkannya perangkat teknologi terkait dengan dua strategi generik ini, maka dinilai bahwa investasi tersebut tepat (manfaatnya telah embedded di dalam kedua strategi tersebut). Semakin terkait langsung aplikasi teknologi informasi terhadap pencapaian strategi cost reduction maupun differentiation, semakin tinggi score atau nilainya bagi perusahaan. Value Chain Assessment adalah sebuah pendekatan scoring technique lain dimana didasarkan pada teori value chain yang diperkenalkan pula oleh Michael Porter. Value chain merupakan suatu rangkaian proses di dalam perusahaan yang terkait langsung dengan penciptaan nilai bagi kebutuhan pelanggan, dimana nilai yang dimaksud biasanya direpresentasikan langsung dalam bentuk produk atau jasa yang dihasilkan perusahaan tersebut. Contoh sebuah value chain adalah rantai aktivitas perusahaan semenjak yang bersangkutan membeli bahan mentah, menyimpan di dalam gudang bahan mentah, mengolahnya menjadi bahan baku, menyimpan hasilnya di gudang bahan baku, mengolahnya menjadi produk jadi, menyimpan produk jadi di gudang khusus, mendistribusikan dan menyebarkannya ke tempat-tempat penyimpanan, menjualnya secara retail di sejumlah tempat, sampai dengan melayani pelanggan pasca penjualan. Dalam kerangka ini dikatakan bahwa setiap investasi teknologi informasi yang dialokasikan harus dipergunakan untuk mengembangkan teknologi yang secara langsung dipergunakan di dalam rangkaian core process atau proses utama dalam rangkaian value 6
chain tersebut. Semakin terlihat hubungan keterkaitannya, semakin tinggi score perangkat aplikasi teknologi informasinya bagi sebuah perusahaan. Relative Competitive Performance atau yang sedikit banyak dapat dianalogikan sebagai proses benchmarking merupakan cara menilai kelayakan investasi teknologi informasi dengan mengkomparasikan atau membandingkannya dengan perusahaan serupa (kompetitor) dalam industri sejenis. Butir-butir kinerja yang dikomparasikan menyangkut sejumlah aspek – baik kualitatif maupun kuantitatif – terkait dengan biaya yang dikeluarkan untuk investasi maupun manfaat strategis atau operasional yang didapat perusahaan. Melalui cara pembandingan ini diyakini bahwa perusahaan tidak akan melakukan under investment atau over investment terhadap pengembangan teknologi informasi yang dimilikinya. Proportion of Management Vision Achieved merupakan sebuah pendekatan yang cukup unik dimana masing-masing individu yang memegang jabatan manajer ke atas (seperti senior manager, general manager, vice president, director, dan lain sebagainya) diminta untuk melakukan penilaian atau kajian yang didasarkan pada apakah implementasi teknologi informasi terkait sesuai dengan “keinginan” atau “kehendak” atau rencana mereka semula sebagai seorang pengambil keputusan. Pendekatan ini dipergunakan dengan berasumsi bahwa seluruh manajer di dalam perusahaan bekerja dan bergerak untuk menuju kepada satu visi dan misi yang telah dicanangkan; sehingga mereka tahu persis bagaimana teknologi informasi dapat berperan membantu mereka dalam setiap aktivitas pencapaian visi dan misi tersebut. Dengan kata lain, sebuah keputusan investasi dinilai layak dan “benar” apabila sesuai dengan rencana atau pandangan dari manajer terkait, sementara jika tidak maka dinilai investasi tersebut tidak pada tempatnya. Work Study Assessment adalah suatu pendekatan evaluasi dimana dilakukan pengkajian terhadap bagaimana implementasi teknologi informasi memberikan dampak pengaruh terhadap pola dan cara kerja para individu dalam satu divisi atau departemen tertentu di perusahaan. Dalam metode ini analisa dilakukan terhadap bagaimana kontribusi teknologi informasi berpengaruh terhadap perbaikan kinerja sebuah proses tertentu yang sangat ditentukan dengan besarnya volume pekerjaan dan tingginya frekuensi aktivitas yang terjadi. Sebuah investasi teknologi informasi dinilai layak dan tepat apabila dapat benarbenar memperbaiki kinerja proses atau akvitas yang dilakukan sejumlah individu sehingga terlihat pengaruhnya dalam bentuk peningkatan kinerja atau performansi divisi atau departemen dimana perangkat teknologi tersebut diimplementasikan. Economic Assessment dipandang sebagai salah satu pendekatan analisa yang menggunakan sejumlah teori ekonomi yang dibangun berdasarkan sebuah model matematika tertentu. Metode analisa yang biasanya dinyatakan dalam fungsi output terhadap sejumlah variabel input ini diperkenalkan oleh sejumlah pakar ekonomi yang bekerjasama dengan ahli matematika dan praktisi manajemen. Dengan memasukkan sejumlah data sesuai dengan kondisi perusahaan yang ada ke dalam beragam variabel input pada formula terkait, maka akan didapatkan nilai output yang akan dikomparasikan dengan sejumlah parameter untuk menilai layak tidaknya biaya yang diinvestasikan terhadap manfaat yang diperoleh perusahaan. Financial Accounting Based Analysis adalah metode analisa yang mempergunakan sejumlah formula dan ukuran yang baku dipergunakan dalam manajemen financial accounting. Contohnya adalah dengan mempergunakan formula ROI, IRR, NPV, dan lain-lain sebagai alat bantuk untuk menilai apakah sebuah investasi dianggap layak, wajar, 7
dan worth bagi sebuah perusahaan – ditinjau terlebih-lebih dari aspek sumber daya finansial. User Attitudes adalah cara pengukuran manfaat dengan cara melibatkan mayoritas user atau pengguna teknologi informasi di dalam perusahaan. Melalui survei, jajak pendapat, observasi, dan diskusi, masing-masing pengguna diminta untuk menyatakan penilaiannya terhadap setiap aplikasi yang mereka pergunakan, terutama berkaitan dengan seberapa besar manfaat diterapkannya aplikasi tersebut untuk membantu aktivitas mereka seharihari. Semakin positif tanggapan mereka, semakin dinilai layaklah investasi teknologi informasi yang telah dilakukan oleh perusahaan. User Utility Assessment dipandang sebagai sebuah metodologi yang kontroversial karena didasarkan pada asumsi yang sangat spekulatif. Prinsip yang dipegang dalam konsep ini adalah bahwa semakin banyak dan semakin lama individu di perusahaan menggunakan aplikasi teknologi informasi tertentu, semakin dianggap berhasillah penerapan teknologi tersebut. Sementara semakin sedikit atau semakin banyak individu yang menolaknya, semakin dipandang tidak layak investasi yang telah dikeluarkan untuk membangun sistem tersebut. Paradigma ini dipergunakan karena anggapan bahwa semakin sering sebuah sistem dipergunakan, berarti frekuensi transaksi bisnis yang “dibantu” dengan adanya sistem tersebut semakin tinggi – demikian juga dengan volume per transaksinya – yang berarti akan semakin banyak manfaat yang telah diperoleh perusahaan dengan utilisasi tersebut. Sebaliknya, utilisasi yang rendah karena tidak terpakainya sistem berarti adanya “pemborosan” sumber daya yang selayaknya tidak terjadi, yang berarti pula bahwa investasi yang telah dikeluarkan sia-sia adanya. Value Added Analysis adalah pendekatan dimana analisa dimulai dengan cara mengkaji nilai atau value yang diberikan oleh sistem atau aplikasi teknologi informasi sebelum menyentuh unsur pembiayaannya. Dengan kata lain, yang pertama-tama perlu dilakukan adalah menyetujui akan nilai atau manfaat yang diberikan oleh aplikasi teknologi informasi terlebih dahulu, baru kemudian mereka yang bersepakat duduk bersama untuk mengkalkulasi biaya yang layak dikeluarkan untuk pencapaian value tersebut. Jika hasil kalkulasi tersebut “berkenan” di hati para pengambil keputusan, maka investasi yang dikeluarkan dinilai layak; sementara jika tidak, maka rencana membangun dan/atau mengembangkan sistem terkait terpaksa tidak dilakukan. Return on Management diperkenalkan pertama kalinya oleh Paul Strassman dalam bukunya “Information Payoff” (Strassman, 1985) dan ditekankan kembali pada karyanya “The Business Value of Computers” (Strassman, 1990), dimana yang bersangkutan berusaha memisahkan apa yang dinamakan sebagai management added value dengan management cost dan kemudian membandingkan keduanya untuk diperoleh Return On Management atau ROM. Konsepnya cukup jelas, yaitu sebagai berikut: •
Semenjak sebuah sistem aplikasi teknologi informasi diterapkan, dihitunglah seberapa besar pendapatan atau revenue yang diperoleh perusahaan.
•
Jika revenue tersebut dikurangi dengan Cost Of Goods Sold atau COGS dan pajak, akan diperoleh profit margin atau business value added.
•
Dari business value added ini kemudian dikurangi dengan shareholders value added (misalnya dalam bentuk pembagian deviden saham) dan operation costs
8
sehingga akhirnya diperoleh sebuah nilai yang merupakan gabungan dari management costs dan management value added. •
Jika nilai tersebut dikurangi dengan management costs, maka akan didapatlah management value added.
Dengan berpegang pada formula: ROM = Management Value Added : Management Cost maka akan diperoleh harga ROM yang akan menentukan tingkat kelayakan investasi yang telah dan/atau akan dilakukan. Konsep ini dibangun dengan filosofi bahwa dalam perusahaan moderen, yang terpenting bukanlah modal, material, maupun teknologi, namun adalah sumber daya manusia yang direpresentasikan dalam manajemen. Multi-Objective Multi-Criteria Method atau MOMCM diperkenalkan sebagai sebuah metode yang bernuansa subyektif karena didasarkan pada kenyataan bahwa setiap sistem aplikasi yang diterapkan memiliki obyektif yang berbeda karena beragamnya stakeholders yang berkepentingan dengan adanya sistem tersebut. Adanya sejumlah obyektif yang berbeda dan beragamnya perspektif stakeholders memaksa perlu dikembangkannya sebuah sistem yang dapat mengadopsi situasi ini. Dalam MOMCM tersebut masingmasing stakeholder diberi kesempatan untuk menentukan sendiri bobot atau weight dan penilaian dari sejumlah obyektif atau manfaat yang didapat dari adanya sistem aplikasi terkait. Dengan cara demikian, maka perusahaan dapat melihat dan menentukan layak tidaknya suatu investasi dari hasil total penilaian para stakeholder tersebut. Keduabelas metode tersebut pada dasarnya memiliki sejumlah karakteristik yang membedakan satu dan lainnya, dan perusahaan perlu mengetahui kelebihan dan kekurangan dari masing-masing cara yang ada. Tabel berikut memperlihatkan secara ringkas isu-isu seputar masing-masing metode evaluasi yang dijelaskan sebelumnya. Approach and Methods Strategic Analysis and Evaluation
Value Chain Assessment Relative Competitive Performance
Proportion of Management Vision Achieved
Work Study Assessment
Issues and Characteristics • Highly subjective • Issues not well understood • All but top management may be unaware of strategy • Very subjective • Difficult to obtain hard data • Not well understood by management • Information available may be sketchy • Difficult to compare benefits of different system • Uncertainty about competitors plans • No hard data • Virtually no objectivity in this approach to assessment • It is sometimes not easy to get top management to admit to failure • Objectivity may be relatively superficial • Changes in work patterns may be drastically
9
Economic Assessment – I/O Analysis
Cost Benefit Analysis Based on Financial Accounting
User Attitudes
User Utility Assessment
Value Added Analysis Return on Management Multi-Objectives Multi-Criteria Methods
alter the assessment • Most managers are not familiar with these techniques • Requires an understanding of economic analysis • It is relatively abstract • It attmepts to avoid detailed quantification of monetary terms • Most managers are not familiar with these techniques • Tis approach is subject to manipulation • Accounting requires a sound infrastructure which many firms do not have • Financial accounting cannot extend beyond simple monetary terms and thus many issues of value are omitted • However this approach has long established acceptance in business • Involving too many users • Every user is unique and has different background • Too many statistics involved • Users may not tell the truth or simply exaggerate • Users may have vested interersts in presenting a particular viewpoint • Corporate culture may colour users views and the interpretation of the outcome • Very practical approach • Keeps costs under control • Encourages prototyping • A major break with classical economics • Not easy to operationalise • Useful to stimulate re-thinking • A very unquantifiable method • Not userful as a post implementation tool • Useful to stimulate debate
Sejumlah praktisi manajemen menyarankan agar sebuah perusahaan dapat menggunakan dua atau tiga cara sekaligus dalam menganalisa cost-benefit investasi teknologi informasi karena setiap metodologi memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing (kedua atau ketiga metodologi yang dipergunakan diharapkan dapat saling melengkapi sehingga menghasilkan suatu metrik pengukuran yang lebih berkualitas). Namun bukan berarti perusahaan dapat menggunakan sekitar enam atau tujuh cara sekaligus, karena justru akan berpotensi menghasilkan sebuah hasil yang konflik satu dan lainnya sehingga akan mempersulit pengambilan keputusan.
10
3. Ragam Teknik Evaluasi Investasi Proyek Teknologi Informasi Semenjak komputer dan teknologi informasi memegang peranan penting di dalam dunia bisnis, banyak sekali literatur yang membahas bagaimana caranya menjustifikasi kelayakan investasi untuk membangun dan mengembangankan teknologi tersebut. Berikut adalah beberapa teknik evaluasi investasi teknologi informasi yang cukup banyak dikenal dan telah dipergunakan secara luas di kalangan praktisi bisnis. R E T U R N -O N -IN V E S T M E N T
(R O I)
Pendekatan ROI ini terdiri dari sejumlah teknik pendekatan formal (Radcliffe, 1982). Contoh yang paling sederhana dari ROI adalah payback method dimana dicoba dihitung durasi waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi yang telah dialokasikan. Namun sebagian kalangan menganggap pendekatan ini terlampau sederhana. Mereka lebih suka menggunakan metode ROI dimana dicoba diperhitungkan nilai atau value atau manfaat investasi yang akan diperoleh di masa depan dan “memproyeksikan” besaran nilai tersebut pada saat ini (ketika investasi dilakukan). Metode yang paling banyak dipilih adalah dengan menggunakan Internal Rate of Return (IRR) yang biasanya digunakan bersama dengan Net Present Value (NPV). Sebuah proyek teknologi informasi yang diusulkan untuk dibiayai terlebih dahulu dihitung IRR-nya. Jika ternyata nilai IRR tersebut lebih besar dari hurdle rate of return atau ambang batas minimal rasio pengembalian yang telah disepakati perusahaan, maka proposal tersebut disetujui. Sebaliknya jika nilai IRR berada di bawah ambang tersebut, proyek teknologi informasi yang diusulkan biasanya ditolak oleh manajemen untuk dibiayai. Pendekatan ROI ini cenderung dipilih oleh organisasi yang memiliki disiplin tinggi atau sangat ketat dalam mengelola sumber daya keuangannya. Salah satu kekuatan metode IRR terletak pada kemudahan bagi para pengambil keputusan dalam menentukan apakah investasi terhadap proyek teknologi informasi perlu dilakukan atau tidak. Sejauh nilai perhitungan IRR lebih besar dari ambang rasio yang dicanangkan – misalnya lebih besar dari bunga deposito bank atau alat investasi konvensional lainnya – maka manajemen dengan leluasa dan penuh kepastian akan memilih untuk melakukan investasi terhadap proyek tersebut. Namun kelemahan terbesar – dan dinilai cukup mendasar – dari metode ROI ini adalah banyaknya hambatan dalam menentukan nilai atau parameter dari beberapa variabel yang dibutuhkan untuk menghitung IRR misalnya, karena karakteristik dari proyek teknologi informasi. Karena IRR membutuhkan nilai perkiraan besaran manfaat yang akan didapat dari implementasi teknologi informasi di kemudian hari, paling tidak ada dua faktor utama yang sangat sulit untuk ditentukan, yaitu: •
Banyak sekali elemen ketidakpastiaan di kemudian hari terkait dengan manfaat yang akan diperoleh melalui implementasi teknologi informasi. Hal ini selain disebabkan karena banyaknya manfaat yang bersifat kualitatif dan intangible, perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat (eksponensial) dan kompetisi yang sedemikian tajam, akan sangat sulit dalam menentukan nilai atau manfaat yang akan diperoleh dikemudian hari (sifatnya teramat sangat relatif).
•
Adalah merupakan suatu kenyataan bahwa dalam pelaksanaannya, banyak sekali proyek teknologi informasi yang tidak berhasil diselesaikan tepat pada 11
waktunya, terutama proyek dengan ruang lingkup besar dan kompleksitas tinggi. Hal ini menyebabkan tidak pastinya kapan perusahaan benar-benar akan memperoleh manfaat yang dijanjikan pada awal pengerjaan proyek. Seandainya proyek tersebut selesai tepat waktu pun, terkadang masih perlu dilakukan perbaikan atau pengembangan di sana sini karena adanya perubahan kebutuhan bisnis yang menyebabkan diperlukannya durasi waktu tambahan untuk menyelesaikan proyek terkait. Statistik memperlihatkan, walaupun banyak perusahaan yang masih menggunakan metode ROI untuk melakukan evaluasi terhadap investasi teknologi informasinya, sebagian dari mereka merasa tidak puas dengan penggunaan metode ini. C O S T -B E N E F IT
A N A L Y S IS
(C B A )
Metode CBA adalah pendekatan yang mencoba untuk menentukan atau menghitung nilai dari setiap elemen teknologi informasi yang memiliki kontribusi terhadap biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diperoleh (King et al, 1978). Pada mulanya, metode ini lahir untuk mengantisipasi banyaknya elemen terkait – seperti manfaat - dengan teknologi informasi yang tidak memiliki nilai pasar atau harga yang jelas. Contohnya adalah akan dinilai berapa manfaat implementasi sebuah sistem teknologi yang memiliki potensi untuk menyelematkan nyawa satu orang? Di dalam CBA, elemen yang tidak memiliki value yang jelas dicoba untuk dicari nilai padanannya (dalam mata uang) dengan menggunakan berbagai teknik penilaian (valuation technique). Hasil dari biaya dan manfaat yang telah ditransfer ke dalam satuan mata uang tersebut selanjutnya dapat diproyeksikan ke dalam format alur kas (cash flow) atau dengan menggunakan metode standar ROI yang telah dikenal luas. Kekuatan utama dari metode ini adalah karena telah berhasilnya manajemen dalam mengkuantifikasikan biaya dan manfaat yang bersifat kualitatif maupun intangible. Sementara kelemahan utama dari metode ini menurut kejadian yang sudah-sudah adalah sering terjadi perselisihan atau perdebatan dalam menentukan teknik yang sesuai dalam mencari value elemen yang nilainya tidak jelas tersebut. M U L T I -O B J E C T IV E , (M O M C )
M U L T I-C R IT E R IA
M E T H O D S
Salah satu variasi dari CBA yang cukup banyak dipergunakan adalah MOMC (VaidRaizda, 1983). Metode ini berkembang berpijak pada kenyataan bahwa di dalam sebuah perusahaan terdapat sejumlah stakeholders yang masing-masing memiliki pandangan berbeda mengenai value dari biaya maupun manfaat dari sejumlah aspek atau elemen teknologi informasi. Dalam kerangka ini, ada ukuran yang dipandang lebih penting dibandingkan dengan nilai uang, yaitu utility. Setiap proyek teknologi informasi pasti memiliki obyektif yang ingin dicapai, dan tidak jarang ditemui terdapat lebih dari satu obyektif yang menjadi target. Karena setiap stakeholder sebagai pengambil keputusan memiliki pandangan atau perspektif yang berbeda terhadap obyektif tersebut, maka masing-masing pihak berhak untuk melakukan pembobotan (fungsi utilitas) terhadap sejumlah obyektif yang ada (misalnya dilihat dari sisi prioritas atau dampak signifikan dari investasi yang akan dilakukan). Setelah itu barulah nilai value yang telah disetarakan dengan biaya maupun manfaat yang ada dikalikan dengan masing-masing bobot tersebut untuk memperoleh hasil akhir. Pendekatan ini selain cocok dipergunakan untuk investasi
12
proyek dengan multi obyektif, sangat tepat dipergunakan untuk meredam konflik yang terjadi antara beberapa orang yang tidak sepakat dengan value maupun manfaat dari teknologi informasi yang akan dikembangkan. Kelebihan lain adalah dimungkinkannya pula dipergunakan metode MOMC ini jika ternyata terdapat lebih dari satu jenis proyek investasi dengan ragam obyektif maupun biaya/manfaat terkait. Untuk membantu manajemen dalam melakukan perhitungan ini, banyak sekali dijual di pasaran berbagai jenis perangkat lunak (software) yang dapat dipergunakan. Selain sebagai alat bantu pengambilan keputusan, perangkat lunak tersebut dapat pula melakukan kajian terkait dengan metode ini seperti contohnya analisa sensitivitas dan uji coba kehandalan (robustness). B O U N D A R Y
V A L U E S
Metode ini merupakan salah satu cara heuristik yang cukup banyak digemari karena kemudahan dan kesederhanaannya (Martin, 1989). Prinsip yang dipergunakan adalah melakukan komparasi atau perbandingan antara rasio perusahaan dengan rasio rata-rata industri yang diperoleh dengan cara menghitung biaya total yang harus dikeluarkan untuk investasi teknologi informasi dibandingkan dengan sebuah ukuran agregrat tertentu, seperti total pendapatan (revenue) atau total pengeluaran operasional (operating expenses). Jika rasio perusahaan lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata industri sejenis, maka kenaikan biaya investasi dipertimbangkan sebagai hal yang normal atau seharusnya dilakukan. Sementara jika terjadi sebaliknya, perlu dipertanyakan kelayakan investasi tersebut. Sering pula dipergunakan variasi dari ukuran yang ada, misalnya dengan menggunakan rasio biaya teknologi informasi per karyawan atau perbandingan antara manfaat teknologi informasi dibagi dengan total pengeluaran untuk pengembangan dan pemeliharaan teknologi informasi. Hasil perbandingan rasio ini selain dapat dipergunakan untuk mengevaluasi sebuah investasi, dapat pula diperganakan untuk menilai kinerja efisiensi dari teknologi informasi perusahaan. Jika rasio pengeluaran lebih besar dibandingkan industri, berarti perusahaan dipandang kurang efisien dibandingkan dengan para pesaingnya; sementara jika nilainya lebih kecil, berarti perusahaan memiliki kinerja teknologi informasi yang sukses dan kompetitif. R E T U R N -O N -M A N A G E M E N T
(R O M )
Metode ROM terkait dengan penghitungan nilai manfaat terkait dengan terjadinya perubahan kenaikan tingkat produktivitas manajemen (Strassman, 1985). Cara ini bertujuan untuk melihat dampak implementasi sebuah sistem baru terhadap nilai tambah di kalangan manajemen perusahaan. ROM didefinisikan sebagai hasil perhitungan dari total pendapatan perusahaan dikurangi dengan seluruh biaya dan nilai tambah dari masingmasing sumber daya – termasuk modal (capital) – kecuali biaya manajemen dan hal terkait dengan manajemen. Sehingga value dari sebuah sistem baru adalah selisih antara ROM sebelum sistem tersebut diimplementasikan dengan ROM setelah sistem tersebut diimplementasikan. Tantangan penggunaan metode ini terletak pada kemampuan memperkirakan proyek pendapatan dan biaya terkait dengannya di kemudian hari seandainya sistem tersebut diimplementasikan. Jika estimasi ini berhasil dilakukan, kinerja metode ROM akan jauh lebih baik dibandingkan dengan metode ex post evaluation lainnya.
13
IN F O R M A T IO N
E C O N O M IC S
(IE )
Dari semua metode yang ada, information economics dinilai sebagai satu-satunya cara yang paling komprehensif dan dinilai dapat menjawab sejumlah faktor dan karakteristik unik - serta berbagai isu dan tantangan yang dihadapi - dalam mengevaluasi proyek investasi teknologi informasi (Parker et al, 1987). Dalam prakteknya, terlihat bahwa metode ini sebenarnya merupakan varian dari CBA, yang disesuaikan secara khusus untuk menjawab berbagai faktor ketidakpastian (uncertainties) dan intangible yang kerap ditemukan dalam proyek teknologi informasi. Dalam IE, semua hal yang bersifat kuantitatif dan tangible dapat dengan mudah dikalkulasikan dengan menggunakan metode ROI konvensional. Namun untuk proses-proses yang bersifat intangible dan memiliki unsur resiko, diberlakukan sejumlah teknik dengan menggunakan ranking dan scoring. Hasilnya kemudian dinilai kembali oleh para eksekutif untuk menentukan nilai relatif dari aspek yang bersifat tangible dan intangible. Singkatnya, metode ini bertujuan untuk mengidentifikasikan, mengukur, dan me-ranking dampak ekonomis yang timbul akibat diimplementasikannya sistem baru (perubahan kinerja organisasi). Metode ini dikatakan merupakan sebuah teknik CBA yang diperluas karena adanya tiga proses tambahan yang diberlakukan, yaitu: •
Value Linking – yang membahas dampak konsekuensi dari perubahan utama di berbagai fungsi organisasi akibat diterapkannya sebuah sistem baru;
•
Value Acceleration - yang mencoba untuk mendefinisikan nilai tambah yang akan dinikmati oleh perusahaan seandainya sistem baru dipergunakan; dan
•
Job Enrichment – yang menggambarkan hasil evaluasi terhadap nilai tambah lainnya terkait dengan peningkatan kompetensi dan keahlian dari karyawan perusahaan yang diperoleh karena diterapkannya sistem baru.
Secara ringkas, IE bertujuan untuk menjembatani aspek kuantitatif dan kualitatif dari manfaat teknologi informasi, isu tangible dan intangible, hal-hal yang penuh ketidakpastiaan baik secara strategis maupun operasional, dan terutama yang berkaitan dengan resiko yang dihadapi. Kelemahannya adalah bahwa untuk menggunakan metode ini diperlukan keahlian spesifik karena sifatnya yang kompleks dan cukup memakan waktu.
C R IT IC A L
S U C C E S S
F A C T O R S
(C S F )
Metode ini bersifat sangat strategis dan generik, namun diminati oleh para pimpinan perusahaan karena relevansinya terhadap bisnis (Rockart, 1979). Setelah menentukan visi, misi, dan obyektif bisnisnya, biasanya para pimpinan perusahaan berusaha untuk mengidentifikasikan critical success factors atau faktor-faktor apa saja yang dipandang sebagai kunci keberhasilan bisnis perusahaan. Setelah CSF berhasil didefinisikan, barulah ditelaah satu per satu, apa saja kontribusi teknologi informasi terhadap masing-masing CSF tersebut. Jika kontribusi teknologi informasi sangat besar terhadap pencapaian sebuah CSF, maka seyogiyanya perlu dilakukan investasi terhadapnya. Misalnya salah satu CSF adalah: “pelayanan prima kepada pelanggan di seluruh dunia” – dimana investasi untuk 14
membangun sebuah sistem Customer Relationship Management (CRM) menjadi suatu keharusan.
V A L U E
A N A L Y S IS
(V A )
Seperti halnya IE, VA diperuntukkan untuk teknologi informasi yang memberikan sprektrum manfaat yang cukup luas, termasuk hal-hal intangible (Melone et al, 1984). Metode ini dibangun dengan pemikiran atau prinsip bahwa lebih baik memfokuskan diri pada value atau nilai yang didapat perusahaan dibandingkan dengan usaha untuk mengurangi atau mereduksi biaya. Filosofi ini didasari pada observasi bahwa setiap inovasi berkembang karena adanya keinginan untuk meningkatkan value tertentu, bukan sekedar untuk melakukan penghematan terhadap biaya semata. Untuk mendapatkan value yang optimal, kajian terhadap hal-hal yang bersifat intangible harus dilakukan. VA biasanya mempergunakan teknik pendekatan iteratif - seperti metode Delphi – untuk mendapatkan solusi terhadap permasalahan tersebut. Terkadang dibangun pula prototip dari sebuah sistem agar manajemen pengambil keputusan dapat memperkirakan value yang dapat diperoleh seandainya sistem tersebut diimplementasikan secara penuh di kemudian hari. Ketika sebuah sistem diusulkan untuk dibangun, sejumlah manfaat yang akan diperoleh dipetakan terlebih dahulu. Kemudian dengan menggunakan teknik statistik – seperti cluster analysis – manfaat yang serupa dicoba untuk dikategorisasikan. Setelah kategori manfaat berhasil diklasifikasikan, barulah terhadap masing-masing kategri dinyatakan value yang terkait dengannya. Karena biasanya manfaat tersebut kerap diekspresikan melalui berbagai format, seperti: angka, kalimat, ukuran, dan lain sebagainya, maka terkadang dipergunakan metode kalkulasi utility seperti pada MOMC. Metode VA ini sangat rumit dan membutuhkan biaya yang relatif besar untuk diimplementasikan, namun memang hasilnya dinilai dapat memuaskan para stakeholder dalam dunia bisnis.
E X P E R IM E N T A L
M E T H O D S
Membayangkan atau memperkirakan apa yang akan terjadi seandainya sistem telah selesai dibangun sangat sulit dilakukan oleh para pengambil keputusan, terutama mereka yang belum memiliki pengalaman atau pengetahuan cukup mengenai dampak teknologi informasi bagi bisnis. Nilai investasi yang terlampau besar, pengerjaan yang diperkirakan memakan waktu cukup lama, dan ketidakpastiaan akan sukses tidaknya proyek merupakan hal-hal yang sangat “menakutkan” bagi para pengambil keputusan – yang akhirnya memilih untuk tidak melakukan investasi. Untuk mengatasi hal tersebut, ada beberapa cara ekseperimental yang dapat dipergunakan dalam rangka menjembatani hal tersebut, yaitu masing-masing adalah: prototyping, simulation, dan gameplaying. Penjelasan ringkas mengenai ketiga pendekatan ini adalah sebagai berikut: •
Protoytping adalah merupakan cara untuk membangun sebuah prototip dari sebuah sistem besar secara cepat (Alavi, 1984). Prototip dapat berupa sebuah sub-sistem kecil, atau sistem lengkap dengan kemampuan terbatas. Manajemen yang merasa ragu-ragu atau sulit mendapat gambaran mengenai sistem yang akan dibangun biasanya memilih sebuah fungsi atau proses bisnis tertentu untuk dibangun prototipnya. Setelah prototip selesai dibangun, barulah 15
didemonstrasikan kepada yang bersangkutan, sehingga manajemen tersebut dapat memperoleh gambaran dan memperkirakan manfaat atau value apa yang dapat diperoleh perusahaan di kemudian hari terkait dengan sistem yang akan dibangun. •
Simulation adalah sebuah proses pemetaan terhadap situasi bisnis yang akan terjadi di kemudian hari dengan menggunakan perangkat lunak tertentu (software) untuk kemudian disimulasikan (Hertz, 1990). Tujuannya adalah agar perusahaan dapat melihat secara jelas berbagai ukuran kinerja kuantitatif yang terlihat meningkat dalam tatanan baru tersebut, sehingga yang bersangkutan merasa tidak ragu-ragu untuk membangun teknologi informasinya. Melalui alat simulasi ini manajemen dengan leluasa dapat melakukan berbagai skenario yang dikehendakinya (what-if scenario) terutama terkait dengan nilai investasi yang ingin dikeluarkan (karena hal tersebut berkorelasi langsung dengan spesifikasi teknologi informasi yang akan dibangun).
•
Gameplaying adalah sebuah pendekatan dimana dicoba dilakukan role play terhadap skenario tertentu yang akan terjadi di kemudian hari seandainya sebuah sistem teknologi informasi diterapkan (Hirschheim, 1985). Misalnya perusahaan berniat untuk menerapkan sistem e-procurement untuk proses tender. Maka dikumpulkanlah semua karyawan dan para rekanan bisnis terkait dengan proses tersebut untuk masing-masing membahas seandainya sistem automatic tender tersebut dilaksanakan. Isu maupun manfaat yang diperoleh akan teridentifikasi melalui proses diskusi dari berbagai pihak yang berkepentingan ini.
Disamping seluruh metode yang telah dijelaskan terdahulu, dalam perkembangannya masih banyak pendekatan lain yang diperkenalkan untuk mengevaluasi investasi proyek teknologi informasi, seperti misalnya (House, 1983): art criticism (menggunakan justifikasi penilaian dari para ahli berdasarkan pengalaman luas mereka mengenai value of IT bagi bisnis), accreditation (menggunakan sejumlah kriteria atau ukuran standar kualitas dari sebuah investasi yang “baik dan benar”), adversarial methods (mengambil keputusan setelah mendengarkan dua belah pihak saling “berdebat” mengenai pro dan kontra dari rencana investasi), analogy (melakukan penggambaran terhadap situasi sejenis yang pernah terjadi sebelumnya), dan lain sebagainya.
16
4. Tujuan dan Tipe Investasi Teknologi Informasi Investasi merupakan salah satu keharusan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan, terutama ketika bisnisnya sedang berada dalam tahap awal, yaitu pada tingkat pembentukan dan pertumbuhan (infancy dan growth stages). Namun tidak jarang dijumpai pimpinan perusahaan yang menganggap bahwa investasi terhadap teknologi informasi merupakan suatu hal yang tidak terlalu penting untuk dilakukan oleh perusahaan. Kebanyakan dari mereka merasa bahwa investasi tersebut sifatnya adalah optional atau nice to have belaka, dalam arti kata tidak wajib untuk dilaksanakan. Dalam kerangka manajemen strategis di era moderen saat ini, pandangan tersebut dapat dianggap benar atau salah sama sekali, tergantung dari karakteristik investasi yang ada. Pada dasarnya peranan teknologi informasi bagi setiap perusahaan bersifat unik dan spesifik. Hal ini disebabkan karena masing-masing perusahaan memiliki strategi yang berbeda satu dengan lainnya. Walaupun dua buah perusahaan misalnya berada pada sebuah industri yang sama, namun peranan teknologi informasinya bisa sangat berbeda. Lihatlah bagaimana pelanggan sebuah bank akan rush jika jaringan ATM-nya rusak satu hari saja sementara bank yang lain tidak mengalami gangguan yang berarti walaupun jaringan ATM-nya rusak seminggu. Artinya adalah bahwa meskipun keduanya memiliki teknologi informasi berupa jaringan ATM untuk mendukung bisnisnya, namun bagi bank yang pertama teknologi tersebut sifatnya adalah vital, sementara bagi bank lainnya teknologi ATM terkait hanyalah berfungsi sebagai perangkat penunjang belaka. Ditinjau dari segi peranan strategis teknologi informasi, paling tidak dapat ditemukan lima jenis tujuan dari dilakukannya investasi terhadap perangkat teknologi tersebut. Kategori pertama adalah karena alasan kelangsungan hidup perusahaan atau bisnis itu sendiri, dalam arti kata adalah bahwa perusahaan melihat bahwa keberadaan teknologi informasi di dalam bisnis terkait sifatnya adalah mutlak. Contohnya adalah perusahaan semacam bank retail, hotel kelas atas (bintang lima), transportasi penerbangan, dan lain sebagainya yang “tidak mungkin” dapat bertahan lama dalam ketatnya persaingan bisnis tanpa diperlengkapi oleh teknologi informasi. Melihat kemutlakan sifat tersebut, maka jarang dilakukan analisa untuk menimbang seberapa penting melakukan investasi untuk mengembangkan teknologi informasi karena perangkat tersebut merupakan syarat atau sarana utama yang harus dimiliki perusahaan agar dapat berbisnis. Kategori kedua adalah perusahaan yang hendak melakukan investasi karena alasan ingin memperbaiki efisiensi. Diharapkan dengan diimplementasikannya teknologi informasi dalam sejumlah bidang atau aktivitas tertentu, maka akan dilakukan proses reduksi atau optimalisasi terhadap alokasi beragam sumber daya perusahaan, seperti: manusia, waktu, biaya, material, aset, dan lain sebagainya. Biasanya teknologi informasi dipergunakan untuk menekan atau mereduksi biaya komunikasi (interaksi) dan transaksi. Contohnya adalah penerapan teknologi semacam intranet, office automation, website, dan lain sebagainya. Berdasarkan teori keunggulan kompetitif Michael Porter, salah satu strategi perusahaan dalam era persaingan global yang kerap dipakai adalah cost leadership, dalam arti kata manajemen berusaha untuk sedapat mungkin menekan biaya produksi agar barang atau jasa yang ditawarkannya dapat bersaing dalam harga. Artinya adalah bahwa untuk industri dimana faktor harga memiliki elastisitas yang tinggi di pasar – seperti misalnya produk komoditas – aspek efisiensi merupakan hal krusial atau vital yang harus diupayakan oleh perusahaan. Perusahaan akan mampu menciptakan produk atau jasa yang baik, murah, dan cepat apabila proses penciptaan produk atau jasa tersebut adalah baik, murah, dan cepat. Metode yang paling tepat dipergunakan untuk mengevaluasi proposal 17
investasi terhadap teknologi terkait adalah analisa cost benefit; dimana dalam metode ini dicoba untuk dikomparasikan antara besarnya investasi yang dikeluarkan dengan perkiraan manfaat efisiensi yang diperoleh melalui penerapan teknologi informasi tersebut. Investment Purpose business survival improving efficiency improving effectiveness competitive leap infrastructure
Investment Type Mandatory Vital Critical
Evaluate/Measure continue/discontinue business cost benefit business analysis
Strategic Architecture
strategic analysis very broad terms
Kategori berikutnya adalah tujuan investasi untuk memperbaiki efektitivitas usaha, dalam arti kata melakukan apa yang diistilahkan sebagai do the right thing. Contoh penerapan aplikasi teknologi informasi terkait dengan hal ini adalah menerapkan sistem pengambilan keputusan (decision support system), membangun datawarehouse untuk keperluan business intelligence, mengembangkan situs electronic commerce, dan lain sebagainya. Dalam bisnis, investasi semacam ini dikatakan sebagai sebuah hal yang kritikal, mengingat bahwa tanpa dimilikinya perangkat teknologi tersebut, akan sulit bagi perusahaan untuk menjalankan suatu rangkaian proses tertentu. Oleh karena itulah maka cara melakukan evaluasi terhadap investasi terkait adalah dengan menjalankan aktivitas analisa bisnis, dimana dalam kegiatan tersebut dipetakan dan didefinisikan rangkaian proses mana saja yang merupakan core processes atau proses utama; dimana teknologi informasi akan dipergunakan untuk menopang kehandalan proses tersebut. Kategori keempat adalah keinginan perusahaan untuk mendapatkan suatu loncatan keunggulan kompetitif (competitive advantage leap) agar dapat meninggalkan para pesaing bisnisnya dengan mengembangkan teknologi yang perusahaan lain belum memiliki. Terkait dengan tipe investasi ini adalah pengembangan aplikasi untuk menerapkan berbagai konsep manajemen baru seperti supply chain management, enterprise resource planning, customer relationship management, call center, dan lain sebagainya – dimana secara signifikan implementasi berbagai perangkat teknologi informasi ini diharapkan dapat membawa perusahaan berada jauh di depan dipandingkan dengan para pesaing bisnisnya. Investasi dalam kaitan ini memang terkesan bersifat strategis, atau memiliki perspektif rentang waktu jangka panjang, sehingga kelayakannya sangat ditentukan oleh para pimpinan senior perusahaan (misalnya para anggota direksi); sehingga alat bantu untuk mengukur visibilitas dari investasi ini biasanya terkait dengan konsep analisa strategis. Kategori yang terakhir adalah suatu bentuk investasi yang dilatarbelakangi oleh peranan teknologi informasi sebagai salah satu perangkat infrastruktur yang tidak dapat dihindari keberadaannya bagi sebuah perusahaan di era global ini. Adalah merupakan suatu standar bagi perusahaan dewasa ini untuk memiliki corporate website yang dapat diakses oleh para calon pelanggan di seluruh dunia, menggunakan email sebagai sarana berkomunikasi sehari-harinya, memanfaatkan sejumlah alat bantu aplikasi office productivity (seperti word processor, spreadsheet, presentation, database, dan lain-lain), menginstalasi jaringan Local Area Network untuk keperluan aktivitas sehari-hari, dan lain sebagainya; dimana keseluruhan perangkat tersebut sudah menjadi sebuah infrastruktur usaha yang harus dimiliki oleh perusahaan. Besarnya investasi yang perlu dikeluarkan sifatnya sangat tergantung dari arsitektur infrastruktur yang diadopsi oleh perusahaan, sehingga alat ukur kelayakannya pun cukup beraneka ragam. Biasanya pimpinan akan melakukan proses
18
benchmarking dengan perusahaan lain yang bergerak di industri serupa dan memiliki ukuran usaha yang kurang lebih sama untuk mendapatkan perkiraan total investasi yang wajar untuk kategori infrastruktur ini.
19
5. Mereka-reka Manfaat Teknologi Informasi bagi Perusahaan Merupakan hal yang cukup sulit dalam menentukan apakah melakukan investasi untuk membangun infrastruktur teknologi informasi merupakan hal yang tepat atau tidak. Di satu pihak perusahaan merasa bahwa seperti halnya investasi di bidang lain, harus ada target ROI (Return On Investment) yang dikenakan pada setiap investasi terhadap komponen teknologi informasi, perusahaan pesaing lain banyak yang sudah tidak memikirkan hal ini lagi, alias investasi yang dilakukan sudah melampaui batas-batas kewajaran (berlebihan). Namun gejala over investment ini bukan tanpa alasan dilakukan oleh perusahaanperusahaan besar mengingat banyak sekali advantage dari utilisasi teknologi informasi yang tidak dapat diukur secara finansial. Dan Remenyi, Arthur Money, dan Alan Twite mencoba mengilustrasikan benefit tersebut dalam sebuah matriks (Remenyi et al, 1995) yang dapat digunakan sebagai landasan manajemen dalam pengambilan keputusan. Masalah investasi di bidang teknologi informasi merupakan hal yang cukup memusingkan kepala para manajemen senior perusahaan. Di satu sisi mereka sadar bahwa sudah saatnya (kalau tidak memang karena sudah terlambat) mereka harus memiliki suatu sistem informasi yang dapat menunjang bisnis mereka, sementara di lain pihak mereka harus mengeluarkan biaya yang relatif cukup besar untuk dapat merancang dan mengimplementasikan sistem informasi yang dibutuhkan. Tanpa memiliki teknologi informasi yang cukup canggih, sulit di alam kompetisi global ini untuk dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar dari manca negara yang mulai banyak mengadu untung di tanah air. Namun salah mengidentifikasikan kebutuhan sistem pun akan menjadi bumerang bagi organisasi yang bersangkutan. Jika dalam organisasi non-profit jenis teknologi yang cocok adalah yang tepat guna, dalam perusahaan, besarnya investasi di bidang teknologi informasi yang feasible ditentukan melalui suatu analisa biaya dan manfaat (cost-benefit analysis). Menghitung biaya investasi yang diperlukan di muka, dan biaya operasional yang secara periodik harus dikeluarkan per bulannya, cukup mudah untuk dilakukan. Namun terkadang para praktisi teknologi informasi maupun manajemen perusahaan sulit meyakinkan pelaku investasi akan besarnya manfaat (benefit) yang akan diperoleh melalui investasi di bidang teknologi informasi, karena tidak semua jenis manfaat dapat dengan mudah dirupiahkan. Remenyi membagi manfaat dari utilisasi teknologi informasi menjadi dua macam, yang bersifat tangible dan intangible. Manfaat tangible adalah yang secara langsung berpengaruh terhadap profitabilitas perusahaan, baik berupa pengurangan atau penghematan biaya (cost) maupun peningkatan pendapatan (revenue). Sebagai contoh, jika pada mulanya perusahaan harus mempekerjakan beberapa karyawan yang secara khusus bertugas mempersiapkan laporan-laporan rekapitulasi keuangan, dengan diimplementasikannya aplikasi Datawarehousing perusahaan yang bersangkutan tidak perlu lagi harus merekrut karyawan-karyawan baru yang harus digaji per bulannya. Contoh lainnya adalah dengan diinstalasinya ATM (Automated Teller Machine) sebagai perpanjangan tangan atau kanal distribusi, sebuah bank dapat merperluas jangkauan bisnisnya sehingga dapat menjaring para pelanggan baru atau non pelanggan untuk melakukan transaksi melalui mesin tersebut. Secara nyata perusahaan dapat merasakan pertambahan revenue yang diperoleh melalui transaksi-transaksi melalui jaringan ATMnya. 20
Namun pada kenyataannya, tidak semua jenis manfaat tangible dapat dinyatakan dalam besaran angka atau kuantitatif. Contoh yang paling populer adalah dengan dikembangkannya Office Automation System, sebuah perusahaan merasa kinerjanya menjadi lebih efisien dan cost effective. Namun besarnya efisiensi dan efektivitas sangat sulit dikuantitatifkan dalam rupiah.
TANGIBLE
Di sisi lain, manfaat intangible didefinisikan sebagai manfaat positif yang diperoleh oleh perusahaan sehubungan dengan pemanfaatan teknologi informasi, namun tidak memiliki korelasi secara langsung dengan profitabilitas perusahaan. Seperti halnya manfaat tangible dan manfaat intangible dapat dibagi menjadi dua bagian, yang quantifiable dan yang unquantifiable atau biasa pula dipergunakan measurable dan unmeasurable. Matriks berikut menggambarkan kategori dari manfaat atau benefit yang diperoleh oleh perusahaan sehubungan dengan investasi di bidang teknologi informasi beserta contohcontohnya.
HIGH
Better Information Improved Security Lower Risk
Staff Reduction Lower Assets More Sales
LOW
Market Reaction Access to New Staff
Faster Information Positive Staff Reaction
LOW
HIGH
MEASURABLE
Sumber: Remenyi et.al., 1995
Berdasarkan kenyataan di lapangan, terlihat bahwa sebagian besar manajemen hanya memperhatikan manfaat yang tangible-quantifiable karena mudah untuk dikalkulasi dan dirupiahkan dan terlihat berpengaruh langsung terhadap profitabilitas perusahaan. Sehingga tidaklah mengherankan jika melihat kenyataan betapa sulitnya meng-goal-kan suatu proyek teknologi informasi karena berdasarkan perhitungan, terlihat bahwa benefit yang diperoleh tidak sesuai dengan besarnya cost yang dikeluarkan. Namun jika manajemen berani untuk mengkalkulasi baik secara heuristik maupun secara what-if simulation maka akan terlihat kelayakan investasi di bidang teknologi informasi. Kalkulasi secara heuristik biasanya dilakukan dengan cara hitung-hitungan kasar dan sederhana. Katakanlah untuk membangun suatu Executive Information System, manajemen senior ditanya berapa besar yang bersangkutan mau membayar untuk sebuah laporan atau informasi per harinya. Jika manajer tersebut mau membayar katakanlah Rp 10,000 per laporan per harinya, berarti dengan kata lain beliau mau mengeluarkan kurang lebih Rp 200,000 per bulannya. Jika ada 50 manajer dalam satu perusahaan, berarti per bulannya mereka mau mengeluarkan Rp 10,000,000 per bulan untuk laporan yang bersangkutan, atau dengan kata lain Rp 120,000,000 per tahunnya. Nilai kasar inilah yang dianggap dapat merepresentasikan nilai dari informasi (manfaat) tersebut, sehingga dapat
21
melakukan perbandingan dengan biaya yang diperlukan untuk membangun sistem Executive Information System tersebut. What-if simulation biasanya berupa suatu aplikasi sederhana dalam spreadsheet yang berisi kalkulasi secara matematis mengenai hubungan antara variabel-variabel yang berpengaruh terhadap biaya dan manfaat dari kinerja teknologi informasi. Katakanlah dengan diimplementasikannya sistem komputer tertentu, maka seorang customer service dapat lebih cepat melayani pelanggan, sehingga dalam satu hari akan lebih banyak jumlah pelanggan yang dapat dilayani oleh perusahaan yang bersangkutan, yang secara tidak langsung akan meningkatkan kualitas pelayanan dan mendatangkan sumber-sumber pendapatan yang potensial. Katakanlah counter tersebut bertugas melayani pembukaan rekening baru di bank, maka dalam satu hari, jumlah pemasukan bank dengan adanya sistem komputer akan lebih besar jika dibandingkan dengan sistem sebelumnya yang manual. Pada buku yang sama, Remenyi memperlihatkan sebuah matriks yang diharapkan dapat memandu manajemen dalam menentukan teknik pendekatan semacam apa yang cocok untuk dipergunakan berdasarkan karakteristik tangible-intangible dan measurableunmeasurable seperti yang diperlihatkan pada gambar berikut.
Sumber: Remenyi et.al., 1995
Masih banyak lagi teknik-teknik lain yang dapat dipergunakan untuk menghitung manfaat menyeluruh yang dapat diberikan oleh suatu sistem informasi. Pada dasarnya, perlu dibentuk tim yang secara khusus dapat melakukan analisa cost-benefit secara menyeluruh sehingga manajemen dapat dengan mudah mengambil keputusan terhadap investasi besarnya di bidang teknologi informasi.
22
6. Perhitungan Cost-Benefit Sederhana untuk Manfaat yang Tangible Analisa Cost-Benefit dalam metode penghitungan investasi pengembangan teknologi informasi menggunakan prinsip memperbandingkan biaya yang harus dikeluarkan dengan manfaat yang diperoleh oleh perusahaan. Pendekatan ini biasa dipergunakan di dalam situasi dimana penggunaan teknologi informasi memberikan manfaat yang tangible dan cenderung mudah diukur (measurable) secara kuantitatif. Konsep ini sebenarnya cukup sederhana, namun ada baiknya dipahami sungguh-sunggu sebelum mencoba menggunakan teknik lain yang lebih rumit. Untuk mudahnya, akan diberikan 4 (empat) buah contoh pendekatan ini masing-masing terkait dengan manfaat teknologi informasi dalam: •
Mereduksi biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan (cost displacement);
•
Menghindari biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan (cost avoidance);
•
Memperbaiki kualitas keputusan yang diambil (decision analysis); dan
•
Menghasilkan dampak positif yang diperoleh perusahaan (impact analysis).
C O S T
D IS P L A C E M E N T
Banyak biaya yang dapat direduksi dengan dimanfaatkannya komputer atau teknologi informasi di sebuah perusahaan. Pendekatan ini biasa dipergunakan, pada saat teknologi informasi dipergunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kinerja efisiensi, dalam hal ini memanfaatkan keunggulan yang ditawarkan untuk mengurangi total biaya yang harus dikeluarkan perusahaan (biasanya terkait dengan biaya overhead). Misalnya dengan dipergunakannya komputer, maka lembur tidak perlu dilakukan lagi sehingga biaya tunjangan gaji karyawan maupun penyelia dapat dikurangi. Atau dengan dipergunakannya aplikasi spreadsheet, maka tidak perlu lagi direkrut karyawan honorer untuk membuat laporan konsolidasi dalam bentuk grafik, karena komputer telah secara otomatis mengeluarkannya. Karena pada dasarnya biaya-biaya tersebut dapat dengan mudah dihitung secara kuantitatif, maka ROI atau payback dari investasi teknologi informasi tersebut dapat dengan mudah dan sederhana dihitung seperti yang diperlihatkan pada tabel berikut ini. dalam 000,000
Biaya Investasi Personal Computer Aplikasi Spreadsheet Jaringan Modem Printer dan Scanner Instalasi Total Biaya Bulanan Karyawan Pemeliharaan
Rp100 Rp128 Rp73 Rp2 Rp2 Rp10 Rp315
Rp9 Rp12
23
Pengembangan Aplikasi Lain-Lain Amortisasi Total
Rp8 Rp8 Rp8 Rp45
Manfaat Bulanan Reduksi gaji pegawai Reduksi proses kontrol Reduksi biaya administrasi Reduksi biaya sewa tempat Reduksi biaya lain-lain Total
Rp42 Rp8 Rp4 Rp2 Rp1 Rp57
Keuntungan per Bulan
Rp12
Manfaat per Tahun ROI Simple Payback
Rp144 46% 2
tahun
Dalam tabel tersebut jelas diperlihatkan bahwa dalam waktu sebulan, perusahaan berhasil memperoleh manfaat – dalam bentuk reduksi biaya – sebesar Rp 12 juta per bulan atau RP 144 juta per tahun. Sehingga jelas terlihat bahwa investasi yang dikeluarkan diperkirakan akan kembali dalam kurun waktu kurang lebih 2 (dua) tahun, karena memberikan ROI sebesar 46%. Dengan mudah tabel ini dapat di-extend misalnya untuk kurun waktu 3 (tiga) tahun jika diperlukan oleh manajemen sehingga akan menghasilkan perhitungan seperti yang diperlihatkan pada ilustrasi berikut. dalam 000,000
Biaya Investasi Personal Computer Aplikasi Spreadsheet Jaringan Modem Printer dan Scanner Instalasi Total
Rp100 Rp128 Rp73 Rp2 Rp2 Rp10 Rp315 Tahun 1
Tahun 2
Tahun 3
Biaya Bulanan Karyawan Pemeliharaan Pengembangan Aplikasi Lain-Lain Amortisasi Total
Rp9 Rp12 Rp8 Rp8 Rp8 Rp45
Rp10 Rp13 Rp9 Rp9 Rp9 Rp50
Rp11 Rp14 Rp10 Rp10 Rp10 Rp55
Manfaat Bulanan Reduksi gaji pegawai Reduksi proses kontrol Reduksi biaya administrasi Reduksi biaya sewa tempat
Rp42 Rp8 Rp4 Rp2
Rp46 Rp9 Rp4 Rp2
Rp51 Rp10 Rp5 Rp2
24
Reduksi biaya lain-lain Total
Rp1 Rp57
Rp1 Rp62
Rp1 Rp69
Keuntungan per Bulan
Rp12
Rp12
Rp14
Rp144
Rp144
Rp168
ROI Simple Payback
46% 2
46% tahun
53%
Cost of capital
20% Rp1,076 tahun
Rp96
Manfaat per Tahun
Discounted Annual Net Benefit Discounted Payback
Rp120 3
Dalam tabel ini terlihat bahwa manajemen dapat pula memperhitungkan indikator finansial lainnya seperti discounted annual net benefit dan discounted payback dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun tersebut terkait dengan investasi yang dikeluarkan dan manfaat reduksi biaya yang diberikan oleh teknologi informasi. C O S T
A V O ID A N C E
Jika pada cost diplacement diperoleh manfaat berupa reduksi biaya, maka prinsip yang dipergunakan dalam cost avoidance adalah dihindarinya atau diantisipasinya pengeluaran biaya yang tidak perlu karena adanya teknologi informasi. Misalnya adalah dengan dipergunakannya aplikasi Computer Based Training (CBT), maka tidak diperlukan lagi pengeluaran biaya karyawan untuk keperluan administrasi, akomodasi, material, instruktur, dan transportasi ke luar kota karena proses pelatihan tersebut dapat dilakukan di tempat kerja. Cara perhitungan yang sama dapat dipergunakan seperti yang diperlihatkan pada tabel berikut ini. Terlihat dari perhitungan tersebut bahwa investasi yang dikeluarkan dapat dikembalikan dalam kurun waktu kurang lebih 6 (enam) tahun karena memberikan ROI sebesar 16%. dalam 000,000
Biaya Investasi Personal Computer Aplikasi Computer Based Training Jaringan Modem Printer dan Scanner Instalasi Total
Rp432 Rp100 Rp60 Rp20 Rp7 Rp220 Rp839 Tahun 1
Biaya Bulanan Karyawan Pemeliharaan Pengembangan Aplikasi Lain-Lain Amortisasi Total
Rp34 Rp65 Rp8 Rp4 Rp23 Rp134
25
Manfaat Bulanan Tidak memerlukan instruktur Tidak memerlukan biaya transportasi Tidak memerlukan biaya akomodasi Tidak memerlukan biaya makalah Tidak memerlukan administrasi Total Keuntungan per Bulan
Rp120 Rp7 Rp12 Rp3 Rp3 Rp145 Rp11
Manfaat per Tahun
Rp132
ROI Simple Payback D E C IS IO N
16% 6
tahun
A N A L Y S IS
Terkadang dengan diimplementasikannya sebuah sistem informasi yang efektif, manajemen dapat diuntungkan dalam hal pengambilan keputusan yang lebih baik. Contohnya adalah penerapan Transactional Information System dan Management Information System untuk proses pemantauan piutang dan penagihan. Perusahaan yang memiliki pelanggan hingga puluhan atau bahkan ratusan ribu, mengalami kesulitan dalam proses penagihan piutang (pada umumnya mereka yang tidak ditagih cenderung akan terlambat membayar hutangnya). Dengan dibangunnya sebuah sistem aplikasi yang membantu manajemen dalam menentukan dan memonitor para pelanggan yang harus segera melunasi kewajibannya, akan banyak manfaat yang dapat diperoleh. Misalnya akan diperolehnya masukan uang tunai dari piutang pada waktunya, yang kemudian akan berpengaruh terdapat adanya pemasukan tambahan dari bunga bank hasil tabungan pemasukan tersebut, yang berarti pula akan berkurangnya tugas debt collector sehingga mereka dapat memanfaatkan waktu untuk melakukan penjualan produk/jasa perusahaan, dan lain sebagainya. dalam 000,000
Biaya Investasi Personal Computer Aplikasi TIS dan MIS Jaringan Modem Printer dan Scanner Instalasi Total
Rp876 Rp89 Rp10 Rp8 Rp2 Rp3 Rp988
Biaya Bulanan Karyawan Pemeliharaan Pengembangan Aplikasi Lain-Lain Amortisasi Total
Rp5 Rp88 Rp11 Rp7 Rp20 Rp131
26
Manfaat Bulanan Pembayaran piutang lebih cepat Bunga bank karena tagihan cepat Kenaikan penjualan Manfaat lain-lain Total Keuntungan per Bulan Manfaat per Tahun ROI Simple Payback
Rp14 Rp8 Rp111 Rp43 Rp176 Rp45 Rp540 55% 2 tahun
Dari situasi ini terlihat bahwa sebenarnya pengambilan keputusan penagihan yang lebih baik memberikan keuntungan bagi perusahaan sekitar Rp 45 juta per bulan atau kurang lebih Rp 540 juta per tahun. IM P A C T
A N A L Y S IS
Manfaat lain yang kerap diperoleh dari implementasi teknologi informasi terkait dengan penghematan waktu, yang berdampak langsung terhadap penghematan biaya atau peluang memperoleh pendapatan. Misalnya penerapan Sales Information System untuk menggantikan proses penjualan secara manual melalui telepon atau tatap muka. Sebelum sistem ini diterapkan, dalam satu hari setiap salesman dapat melakukan sales call sebanyak 6 kali dengan masing-masing lama pembicaraan sekitar 35 menit dan pengisian formulir selama 60 menit. Dengan sistem yang baru, maka lama transaksi dari 35 menit dapat direduksi menjadi 15 menit, dan pengisian formulir untuk semua pelanggan dari 60 menit dapat dikurangi menjadi 10 menit. Artinya, setiap hari akan dihemat waktu sebesar 170 menit. Artinya setiap salesman dengan waktu tambahan 170 menit tersebut dapat melakukan tambahan sales call sebanyak 3 transaksi per hari (dengan asumsi durasi sela antar telepon adalah 25 menit). Jika setiap telepon mendatangkan pendapatan atau revenue sebesar Rp 1.5 juta sebagia nilai transaksi, maka dalam satu hari perusahaan mendapatkan tambahan pendapatan sebesar Rp 4.5 juta. Jika net profit per transaksi adalah 7.5%, maka setiap harinya akan diperoleh manfaat sebesar Rp 1.69 juta per hari atau Rp 33.75 juta per bulan. Katakanlah sistem yang diinvestasikan ada 5 (lima) buah, berarti manfaat bulanan satu buah sistem adalah Rp 6.75 juta atau Rp 81 juta per tahun. Perusahaan akan memperoleh ROI yang cukup besar dalam hal ini yaitu sekitar 63%. dalam 000,000
Biaya Investasi 5 Buah Sistem Personal Computer Aplikasi Sales Information System Jaringan Modem Printer dan Scanner Instalasi Total
Rp30 Rp23 Rp10 Rp10 Rp10 Rp45 Rp128
27
Biaya Bulanan Karyawan Pemeliharaan Pengembangan Aplikasi Lain-Lain Amortisasi Total
Rp4 Rp6 Rp3 Rp2 Rp12 Rp27
Manfaat Bulanan Rata-rata "sales call" per hari Rata-rata nilai penjualan per "call" Reduksi rata-rata durasi "sales call" dari 35 menjadi 15 menit Reduksi waktu yang diperlukan untuk mengisi formulir dari 60 menjadi 10 menit Total Hemat Waktu Rata-rata waktu sela antara "sales call" Artinya terdapat tambahan peluang untuk melakukan tambahan "sales call" Sehingga akan mendapatkan tambahan pemasukan sejumlah
6 Rp1.5 20
menit
50
menit
Rp170
menit
25
menit
3
per hari
Rp4.5
per hari
Net Profit
7.5%
Manfaat harian dari 5 buah sistem
1.688
Manfaat bulanan untuk 5 buah sistem
33.75
Manfaat bulanan 1 buah system
6.75
Manfaat per Tahun
Rp81
ROI
63%
28
7. Teknik Mengukur Manfaat Intangible dalam Investasi Salah satu tantangan terbesar dalam menilai kelayakan sebuah investasi pembangunan teknologi informasi adalah menilai atau memperkirakan manfaat apa yang akan diperoleh oleh perusahaan nantinya. Dikatakan sebagai tantangan karena kebanyakan manfaat yang diberikan oleh teknologi informasi bersifat intangible atau sulit dikuantifikasikan ke dalam satuan angka finansial dan tidak secara langsung berpengaruh terhadap profitabilitas perusahaan. David Silk pada tahun 1990 menawarkan langkah-langkah untuk membantu manajemen dalam mengukur manfaat intangible tersebut (Silk, 1990). Adapun pendekatan tersebut terdiri dari 6 (enam) langkah utama sebagai berikut. Langkah pertama adalah mencoba untuk menkonseptualisasikan dampak atau manfaat yang kira-kira akan diperoleh perusahaan dengan diimplementasikannya sistem baru. Misalnya adalah Sistem Informasi Penagihan (Automatic Billing System) yang diharapkan dapat memberikan serangkaian manfaat seperti: mengurangi kesalahan, mempercepat pengiriman tagihan, mereduksi durasi pembayaran, dan lain sebagainya. Langkah kedua adalah melihat perubahan langsung apa yang kira-kira akan terjadi terkait dengan manfaat yang telah didefinisikan pada langkah sebelumnya. Contohnya adalah sebagai berikut: •
Mengurangi kesalahan – berarti akan terjadi perubahan dalam hal: keluhan pelanggan berkurang, kepuasan pelanggan meningkat, biaya memperbaiki kesalahan dapat direduksi (biaya komunikasi, kertas, peralatan kantor, dan waktu yang hilang), dan lain sebagainya;
•
Mempercepat pengiriman tagihan – berarti akan terjadi perubahan dalam hal: ketepatan pembayaran, tertib administrasi, pendjadwalan pemasukan, dan lain sebagainya;
•
Mereduksi durasi pembayaran – berarti akan terjadi perubahan dalam hal: pemasukan diterima lebih cepat, memperkecil opportunity loss karena keterlambatan pembayaran, dan lain sebagainya.
Langkah berikutnya adalah menentukan jenis indikator ukuran apa yang dapat dipergunakan untuk merepresentasikan masing-masing perubahan tadi, seperti: •
Mengurangi keluhan
=
jumlah keluhan
•
Mengurangi kesalahan
=
jumlah kesalahan
•
Mempercepat tagihan
=
waktu pengiriman
•
Mempercepat pembayaran
=
waktu pembayaran
dan seterusnya. Langkah keempat adalah memperkirakan kuantitas perubahan yang terjadi terhadap masing-masing indikator ukuran yang ada jika sistem baru diimplementasikan. Dalam hal ini misalnya:
29
•
Jumlah keluhan berkurang dari sekitar 10 buah per hari menjadi tidak lebih dari 2 per hari;
•
Jumlah kesalahan berkurang dari sekitar 150 buah per hari menjadi tidak lebih dari 10 per hari;
•
Waktu pengiriman tagihan ke klien atau pelanggan dari rata-rata 2 minggu menjadi sekitar 2 hari;
•
Waktu pembayaran dari rata-rata 6 minggu menjadi 1 minggu; dan seterusnya.
Langkah selanjutnya adalah mentransformasikan perubahan kuantitas indikator tersebut ke dalam satuan finansial terkait dengan hal tersebut. Misalnya: •
Melayani sebuah keluhan membutuhkan seorang customer service menggunakan telepon selama kurang lebih 30 menit, sehingga dengan berkurangnya jumlah keluhan dari 10 menjadi 2, maka waktu komunikasi yang dihemat adalah kurang lebih 4 jam. Jika 1 jam perusahaan harus membayar katakanlah Rp 25,000 untuk telepon interlokal, maka dalam sehari yang bersangkutan telah menghemat biaya sebesar Rp 100,000.
•
Waktu pembayaran yang tadinya biasa dilakukan dalam 6 minggu menjadi 1 minggu berarti perusahaan akan memperoleh uang satu bulan lebih cepat. Jika perusahaan memiliki 1000 orang pelanggan, dan nilai transaksi per masingmasing pelanggan sebesar Rp 1 juta, maka perusahaan tersebut berhasil mendapatkan uang Rp 1 milyar lebih cepat. Jika bunga bank dalam setahun sebesar 12%, maka sama saja dengan perusahaan berhasil mendapatkan bunga yang selama ini hilang – karena keterlambatan pembayaran – sebesar Rp 10 juta per bulannya. dan seterusnya.
Langkah keenam atau langkah terakhir adalah menggunakan total hasil perhitungan di atas sebagai jumlah manfaat yang diberikan sistem teknologi informasi kepada perusahaan. Barulah berdasarkan karakteristiknya, pergunakanlah metode pengukuran cost-benefit seperti ROI, IRR, NPV, Value Analysis, dan lain sebagainya.
30
8. Formula Menghitung Keuntungan Investasi Dalam setiap metode perhitungan cost-benefit, dilakukan perkiraan manfaat implementasi teknologi informasi yang dinyatakan dalam ukuran finansial seperti mata uang rupiah atau dolar Amerika. Perkiraan tersebut biasanya didasarkan pada sejumlah asumsi terkait dengan ”harapan manfaat” atau expected return yang akan diperoleh perusahaan seandainya sebuah sistem teknologi informasi diaplikasikan. Manfaat yang dimaksud dapat beraneka ragam rupanya dan berasal dari berbagai sumber, seperti: •
Nilai transaksi yang didapat melalui mekanisme perdagangan elektronik;
•
Fee yang diperoleh perusahaan untuk setiap transaksi yang terjadi atau dibukukan;
•
Biaya overhead yang dihemat karena kehadiran aplikasi dan teknologi informasi;
•
Reduksi total biaya yang diperlukan untuk melakukan proses komunikasi, koordinasi, dan kooperasi; dan lain sebagainya.
Dalam perhitungan yang lebih akurat, nilai manfaat yang diharapkan tersebut sebenarnya harus dikalikan dengan sejumlah probabilitas agar sesuai dengan kenyataan yang ada. Rumus atau formula yang kerap dipergunakan untuk hal tersebut adalah sebagai berikut: Expected Return = Estimated Return x IT Investment Equation
dimana nilai sebenarnya dari manfaat yang akan diperoleh perusahaan adalah merupakan hasil perkalian antara besarnya nilai yang diharapkan dengan sebuah nilai probabilitas tertentu, yang pada dasarnya merupakan ekuasi atau persamaan dari investasi teknologi informasi.
Adapun persamaan dari investasi teknologi informasi tersebut dapat dinyatakan sebagai: IT Investment Equation = P(ROI Type) x P(Conversion Success)
dimana IT Investment Equation = P(Success|Return)
yang berarti bahwa probabilitas kesuksesan sebuah investasi teknologi informasi sehingga mendatangkan atau memberikan manfaat tertentu akan sangat bergantung dari probabilitas tercapainya ROI dari tipe aplikasi teknologi informasi terkait dan probabilitas suksesnya proses pengembangan dan aplikasi aplikasi teknologi informasi tersebut. Contohnya adalah sebagai berikut. Katakanlah perusahaan bermaksud untuk membeli dan mengimplementasikan sistem lembur untuk membantu manajemen dalam memonitor dan mengawasi pekerjaan karyawannya. Alasan diimplementasikannya sistem ini karena melihat kenyataan bahwa banyak karyawan yang melakukan kerja lembur hanya agar
31
yang bersangkutan mendapatkan tunjangan tambahan. Perusahaan terpaksa harus ”kehilangan” banyak uang karena harus membiayai mereka ini, sementara produktivitas perusahaan tidak meningkat dengan bertambahnya jam kerja lembur tersebut. Diharapkan dengan diimplementasikannya sistem ini, perusahaan dapat menghemat misalnya sekitar Rp 50 juta per bulan, hasil dari proses seleksi terhadap permohonan lembur yang tidak perlu. Menurut pengalaman yang sudah-sudah, probabilitas terjadinya pengembalian investasi atau ROI dari implementasi sistem lembur di perusahaan adalah sekitar 0.75, sementara diperoleh data yang mengatakan bahwa 8 dari 10 proyek implementasi sistem informasi lembur berhasil dilakukan. Artinya adalah bahwa: Expected Return
= = = = = =
Estimated Return x IT Investment Equation Rp 50 juta x IT Investment Equation Rp 50 juta x P(Success|Return) Rp 50 juta x P(ROI Type) x P(Conversion Success) Rp 50 juta x 0.75 x 0.8 Rp 30 juta
yang artinya adalah bahwa nilai yang harus dimasukkan sebagai value manfaat dari teknologi informasi adalah Rp 30 juta, bukan Rp 50 juta seperti yang diperkirakan sebelumnya. Untuk mencari angka kedua probabilitas di atas, manajemen biasanya melakukan riset kecil dengan cara mengumpulkan informasi atau referensi terkait dengan ukuran tersebut. Cukup banyak lembaga-lembaga di dunia yang telah melakukan riset serupa – seperti AC Nielsen, Gartner, Jupiter, dan lain-lain - dimana hasilnya dapat dengan mudah didapatkan melalui internet. Katakanlah sebuah perusahaan yang berniat untuk mengimplementasikan aplikasi Enterprise Resource Planning atau ERP ingin melakukan perhitungan manfaat yang mendekati akurat. Melalui perhitungan kasar, didapatkan keuntungan perusahaan dalam satu tahun sebesar Rp 10 Milyar, dimana nilai ini merupakan estimated return. Ketika dilakukan pencarian referensi, didapatkan dua buah informasi yang kurang lebih dapat dipergunakan sebagai parameter probabilitas yang diinginkan untuk menghitung expected return dari manfaaat implementasi ERP.
32
Dari data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa probabilitas diperolehnya manfaat dari implementasi ERP adalah sekitar 77% (27% highly successful dan 50% moderately successful); sementara probabilitas keberhasilan kebanyakan proyek ERP di perusahaan adalah sekitar 35% (implementation complete), sehingga memberikan: Expected Return
= Rp 10 Milyar x 77% x 35% = Rp 2,6950 Milyar
Fenomena tersebut oleh Lucas pada tahun 1991 ditelurkan dalam bentuk 4 (empat) prinsip utama dalam berinvestasi, yaitu masing-masing: 1.
Terdapat beraneka ragam jenis manfaat atau value bagi perusahaan melalui penerapan teknologi informasi, dimana Return On Investment dalam satuan dan bentuk uang hanyalah merupakan salah satu jenis dari value tersebut;
2.
Setiap jenis investasi di teknologi informasi memiliki probabilitas pengembalian atau pemberian manfaat yang berbeda-beda;
3.
Probabilitas diperolehnya keuntungan dari investasi teknologi informasi sangat bergantung dengan probabilitas keberhasilan implementasi; dan
4.
Nilai riil yang didapat perusahaan sebagai manfaat dari implementasi teknologi informasi di kebanyakan kasus lebih kecil dari nilai manfaat yang diharapkan melalui hasil perhitungan.
33
9. Evaluasi Investasi dengan Metode Value Analysis Sering kali manfaat dari diimplementasikannya suatu aplikasi tertentu tidak dapat dibayangkan oleh para stakeholder karena kebanyakan dari mereka tidak memiliki latar belakang terkait dengan teknologi informasi. Untuk mengatasi keragu-raguan dalam melakukan investasi terhadap sebuah proyek teknologi informasi yang besar, pada tahun 1981, seorang praktisi teknologi Informasi bernama Keen memperkenalkan suatu metode evaluasi investasi yang diberi nama Value Analysis. Metode ini digunakan pertama kali oleh yang bersangkutan untuk membantu eksekutif dalam menilai tingkat manfaat dari implementasi aplikasi Decision Support System. Metode ini terdiri dari 8 (delapan) langkah yang terbagi menjadi dua tahap utama.
Sumber: Keen, 1981 T A H A P
P E M B A N G U N A N
P R O T O T IP
Obyektif dari tahap ini adalah melakukan perencanaan dan konstruksi sebuah prototip aplikasi kecil untuk memberikan gambaran atau ilustrasi kepada yang berkepentingan terhadap seperti apa bentuk aplikasi lengkap nantinya. Ada dua jenis prototip aplikasi yang dapat dibangun. Pertama adalah prototip yang menggambarkan sebagian kecil modul dari sistem besar yang lengkap; sementara jenis kedua adalah prototip yang menggambarkan sebuah modul yang memiliki fitur lengkap dari sistem besarnya. Pada tahap ini, ada empat langkah utama yang harus dilakukan. Langkah pertama adalah melakukan identifikasi terhadap manfaat seperti apa yang dapat diperlihatkan atau ditunjukkan kepada para mereka yang berkepentingan. Dalam melakukan pengidentifikasian ini, sang perancang aplikasi haruslah jeli agar value atau manfaat yang hendak diperlihatkan benar-benar dapat dimengerti, relevan, dan kontekstual dengan calon pengguna. Contoh dari value yang dapat ditonjolkan di dalam prototip aplikasi adalah sebagai berikut: •
Seorang manajer agen penjualan real estate dapat melakukan pencarian terhadap rumah sesuai dengan profil, karakteristik atau spesifikasi khusus yang diminta oleh pelanggannya, seperti berdasarkan pada: lokasi, gaya arsitektur, jumlah kamar, luas bangunan, dan lain sebagainya;
•
Seorang investor dapat melakukan investasi secara online ke seluruh bursa efek yang ada di dunia tanpa harus meninggalkan meja kerjanya;
•
Seorang customer service dapat melakukan pemindahan rekening nasabah bank kapan saja dan dari mana saja secara mudah dan fleksibel; 34
•
Seorang dokter dapat berkomunikasi dengan para pasiennya melalui teleconference yang diinstalasi di rumah dan tempat praktek kerjanya;
•
Seorang dosen dapat melakukan perkuliahan secara virtual di dunia maya yang dapat diikuti oleh seluruh mahasiswanya yang tersebar di berbagai belahan bumi; dan lain sebagainya.
Berdasarkan tawaran value di atas, langkah kedua yang harus dilaksanakan adalah memperkirakan kisaran biaya maksimum berapa yang sanggup dikeluarkan oleh perusahaan atau investor untuk membuat prototip aplikasinya. Agar yang bersangkutan bersedia untuk mengalokasikan dana tersebut, ada baiknya prototip yang dikembangkan bukanlah merupakan suatu sistem ”setengah jadi” yang sifatnya coba-coba, tetapi dapat langsung dimanfaatkan sebagai sebuah modul kecil yang menjalankan sebuah proses bisnis tertentu. Katakanlah perusahaan telah sepakat untuk mengalokasikan uang sejumlah X rupiah untuk membangun aplikasi terkait. Jika biaya tersebut dianggap cukup oleh para pembuat prototip, maka langkah ketiga yang dilakukan adalah mengembangkan prototip aplikasi tersebut. Setelah prototip jadi, maka langkah keempat yang dilakukan adalah mendemokan atau memperlihatkan fitur dan keunggulan aplikasi tersebut kepada pihak-pihak yang berkepentingan, terutama mereka yang akan menggunakan dan memiliki kewenangan untuk memutuskan alokasi investasi. Dengan memperlihatkan prototip aplikasi ini, maka yang bersangkutan dapat secara jelas memperoleh gambaran manfaat intangible apa yang terkandung dan akan diperoleh perusahaan seandainya keseluruhan sistem berhasil dibangun dan diimplementasikan.
T A H A P
P E N G E M B A N G A N
S IS T E M
U T U H
Dengan berasumsi bahwa manajemen merasa puas dengan hasil yang diperlihatkan oleh prototip aplikasi, maka langkah kelima yang kemudian harus dilakukan adalah melakukan perhitungan terhadap perkiraan total biaya yang dibutuhkan untuk membangun keseluruhan sistem yang dimaksud. Perlu diperhatikan bahwa yang harus dihitung adalah keseluruhan biaya secara lengkap (total cost of ownership), menyangkut biaya investasi, operasional, dan pemeliharaan sistem. Langkah keenam adalah ”membiarkan” para pengambil keputusan untuk mempertimbangkan kelayakan total biaya yang dibutuhkan tersebut dengan keseluruhan manfaat yang telah mereka pahami melalui demo prototip aplikasi terdahulu. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka jika yang bersangkutan menilai bahwa biaya tersebut sebanding dengan manfaat yang akan diperoleh, maka langkah ketujuh yang dilaksanakan adalah membangun aplikasi terkait secara utuh. Akhirnya, setelah sistem tersebut jadi dan diimplementasikan, perlu dilakukan langkah kedelapan untuk me-leverage investasi yang telah dialokasikan, dalam bentuk perbaikan atau peningkatan fitur maupun fasilitas sistem utuh yang ada agar dapat memberikan lebih banyak manfaat bagi pemakainya.
35
10. Prinsip Dasar pada Konsep Information Economics Dalam paradigma moderen, manfaat implementasi teknologi informasi kerap dikaitkan dengan konsep value dalam bisnis. Hal ini disebabkan karena lebarnya spektrum dari value yang dimaksud, dari yang sifatnya tangible menuju intangible sampai dengan yang sifatnya quantifiable menuju unquantifiable. Marilyn Parker, Robert Benson, dan Trainor merupakan salah seorang praktisi teknologi informasi yang melakukan terobosan melalui teori ”information economics”-nya sebagai salah satu cara yang hingga saat ini dinilai ”terakurat” dalam kaitannya dengan proses analisa biaya dan manfaat implementasi teknologi informasi. Konsep value dalam information economics dianggap sebagai perluasan dari indikator semacam ROI, IRR, dan lain sebagainya melalui penambahan unsur manfaat seperti: value linking, value acceleration, value restructuring, dan innovation (Parker, 1988).
Sumber: Parker et.al., 1987
Value Linking adalah manfaat yang diperoleh berupa peningkatan kinerja satu atau sejumlah fungsi bisnis atau organisasi karena adanya implementasi teknologi informasi. Katakanlah fungsi back office atau administrasi yang tadinya sarat dengan pengeluaran untuk keperluan alat-alat kantor dapat secara signifikan dikurangi karena diimplementasikannya konsep paperless office atau electronic document management system. Atau semakin meningkatnya kompetensi sumber daya manusia perusahaan karena organisasi membangun dan menerapkan konsep computer based training. Atau sebuah perguruan tinggi yang meningkat knowledge base dan potential revenue source-nya karena menerapkan konsep e-learning. Manfaat yang diperoleh sebagai dampak diimplementasikannya teknologi informasi ini harus diperhitungkan dalam melakukan kajian atau analisa cost-benefit. Value Acceleration berkembang sebagai konsekuensi logis dari nature atau karakteristik teknologi yang memiliki dimensi ”kecepatan” atau mempercepat terciptanya suatu manfaat bagi organisasi semacam perusahaan. Lihatlah bagaimana fungsi pada ATM (Automated Teller Machine) dapat memberikan kinerja pelayanan jauh lebih cepat dibandingkan dengan traditional teller atau customer service dalam hal-hal semacam mentransfer dana, mengambil tunai, menabung, membayar tagihan, dan lain sebagainya. 36
Selain fungsi operasional, secara strategis pun keberadaan teknologi informasi dapat memberikan manfaat dalam dimensi kecepatan yang tinggi, seperti dalam hal: pembukaan ”kantor cabang baru” (secara virtual), pengembangan pasar secara internasional (melalui internet), peningkatan frekuensi dan transaksi perdagangan (e-commerce atau e-business), dan lain sebagainya. Value Restructuring merupakan manfaat langsung maupun tidak langsung yang dinikmati perusahaan karena terjadinya sejumlah restrukturisasi proses bisnis. Restrukturisasi yang dimaksud terjadi ketika sejumlah rangkaian proses yang terjadi di perusahaan didesain kembali secara lebih ramping sebagai dampak dilibatkannya perangkat teknologi informasi dan komunikasi di dalam bisnis. Paling tidak terdapat 4 (empat) cara melakukan restrukturisasi proses, yaitu melalui: eliminasi proses, simplifikasi proses, integrasi proses, dan otomatisasi proses. Dengan melakukan satu atau lebih cara tersebut, jelas akan terlihat peningkatan kinerja proses bisnis yang ada di dalam organisasi. Innovation yang dimaksud dalam kerangka ini adalah kemampuan teknologi informasi dalam membantu melahirkan produk-produk dan jasa-jasa baru yang dapat ditawarkan ke pasar. Lihatlah bagaimana teknologi semacam SMS (Short Message Services) telah mampu mengembangkan beragam pasar baru karena kemampuannya melahirkan sejumlah produk atau jasa yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan, seperti: membeli pulsa telepon, melakukan jajak pendapat, memesan tiket pesawat, bermain game interaktif, dan lain sebagainya. Tentu saja hal ini memberikan manfaat yang sangat signifikan bagi perusahaan yang berhasil menerapkannya.
Sumber: Parker et.al., 1987
Dalam perspektifnya tersebut, Parker berpendapat bahwa value yang bersangkutan akan dapat ditemukan dan didefinisikan secara cermat jika dilakukan pengkajian terhadap dua domain utama, yaitu: domain bisnis dan domain teknologi. Untuk dapat memahami bagaimana kedua domain tersebut berinteraksi, perlu dikembangkan sebuah kerangka pemahaman tertentu. Hubungan yang dimaksud adalah sebagai berikut. Setiap perusahaan yang berbisnis pasti memiliki atau menyusun apa yang disebut sebagai Business Plan atau rencana bisnis. Rencana ini dibuat sebagai acuan pimpinan dan segenap karyawan perusahaan dalam menjalankan usahanya, disamping sebagai sebuah bahasa bersama antara pimpinan perusahaan tersebut dengan pemegang saham
37
atau pemilik usaha. Berdasarkan visi, misi, obyektif, dan sasaran yang dikemukakan dalam rencana bisnis itulah maka perusahaan menyusun strategi operasionalnya sehari-hari. Hal yang utama dilakukan adalah mendesain rangkaian proses bisnis terkait dengan penciptaan produk dan jasanya serta membentuk sebuah struktur organisasi yang dinilai paling efektif dan efisien.
Sumber: Parker et.al., 1987
Untuk mendesain sebuah proses bisnis dengan kinerja yang prima – dalam arti kata lebih cepat, lebih murah, dan lebih baik dibandingkan dengan para pesaing bisnis yang lain – dilibatkanlah teknologi informasi. Oleh karena itu, perlu dikembangkan sebuah arsitektur sistem informasi yang dapat menjawab tantangan usaha tersebut. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, perkembangan teknologi informasi yang sedemikian cepat tidak saja merupakan tantangan tertentu bagi perusahaan, namun lebih jauh lagi dapat menciptakan sejumlah peluang bisnis baru yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Peluang baru inilah yang secara interaktif akan mempengaruhi rencana bisnis yang telah disusun sebelumnya untuk kemudian direvisi. Secara pemahaman rule of thumb, kedua domain tersebut dapat dipisahkan karena adanya hubungan dimana domain atau perspektif bisnis dikaitkan dengan aspek manfaat, sementara domain teknologi dianggap yang berkontribusi terhadap aspek biaya (atau bisnis merupakan sumber pendapatan sementara teknologi merupakan sumber pengeluaran).
Sumber: Parker et.al., 1988
38
Oleh karena itulah maka ”keseimbangan” di antara dua domain ini perlu dijaga secara hati-hati agar hasil akhirnya bukanlah merupakan kerugian bagi perusahaan.
Sumber: Parker et.al., 1987
Jika kedua domain tersebut dianggap sebagai sebuah neraca usaha, maka akan diperoleh hubungan antara kedua domain terkait berupa siklus sebagai berikut. Bisnis akan memperoleh sebuah value apabila menerapkan aplikasi teknologi informasi tertentu. Tentu saja teknologi terkait akan membutuhkan biaya investasi dan operasional yang akan dibebankan kepada bisnis tersebut. Namun biaya tersebut bukanlah merupakan alokasi finansial yang hilang atau sia-sia karena akan ”menggerakkan” aplikasi teknologi informasi yang dimaksud untuk menciptakan sejumlah atau beragam value yang akan mendatangkan sumber pendapatan baru bagi bisnis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk melakukan perhitungan terhadap value maupun biaya investasi tersebut perlu dilibatkan berbagai pihak di dalam perusahaan, seperti: para manajer, direktur keuangan, kepala divisi perencanaan, penanggung jawab manajemen sistem informasi, dan lain sebagainya. Ada dua tugas besar yang harus mereka jalankan terkait dengan pengkajian cost-benefit ini, masing-masing adalah menentukan besarnya manfaat atau value dari sejumlah perencanaan implementasi aplikasi teknologi informasi yang ada, untuk kemudian menyusun urutan prioritas pengembangannya.
Sumber: Parker et.al., 1987
39
Masing-masing pihak kemudian melakukan analisanya masing-masing untuk kemudian memberikan nilai atau score terhadap setiap proyek aplikasi teknologi informasi yang dikembangkan. Mengingat bahwa terdapat sekian banyak cara melakukan justifikasi terhadap investasi – selain ROI dan IR – maka lebih dari satu metodologi perlu dilibatkan dalam perhitungan tersebut, dimana masing-masing metodologi akan diberikan beban atau weight sesuai dengan pandangan pihak terkait terhadap ”keampuhan” konsep tersebut merepresentasikan perhitungan cost-benefit. Hasil perhitungan yang merupakan jumlah dari perkalian antara score yang diberikan dengan bobot yang ada merupakan total value yang dimaksud.
Sumber: Parker et.al., 1987
Dengan melakukan hal yang sama terhadap setiap aplikasi teknologi yang ada, maka manajemen perusahaan dapat melihat dan membanding-bandingkan total value dari masing-masing aplikasi teknologi yang telah dimiliki maupun yang akan dikembangkan. Untuk dapat menentukan prioritas terhadap sistem mana yang sebaiknya terlebih dahulu diperhatikan dan dibangun, perlu dilakukan satu tahapan pengkajian. Caranya adalah dengan mencoba menghitung total value yang merupakan hasil penjumlahan antara ROI (dan konsep lain yang dimiliki) dengan hasil evaluasi pada domain bisnis (meliputi manfaat total yang berpotensi akan diraih perusahaan) dan hasil evaluasi pada domain teknologi (merupakan keunggulan-keunggulan yang diperoleh oleh perusahaan karena adanya teknologi tersebut setelah memperhitungkan berbagai faktor biaya dan resiko yang ada). Urutan prioritas ditentukan berdasarkan total nilai terbesar yang diperoleh oleh masing-masing proyek teknologi informasi yang ada.
Sumber: Parker et.al., 1988
40
11. Kerangka Investasi Teknologi Informasi Gartner IN T E G R A T E D
P L A N N IN G
S U IT E
Ada sebuah kerangka konseptual menarik yang diperkenalkan oleh Lembaga Riset Gartner terkait dengan manajemen investasi teknologi informasi di sebuah perusahaan. Gartner melihat bahwa kebijakan investasi di sebuah perusahaan adalah merupakan bagian dari prinsip governance yang harus diterapkan – dalam hal ini adalah bagaimana perencanaan dan pengembangan teknologi informasi benar-benar dilakukan untuk mendukung tercapainya obyektif bisnis dengan menjunjung tinggi aspek akuntabilitas, responsibilitas, dan transparansi. Sehubungan dengan hal tersebut, perencanaan sebuah investasi teknologi informasi harus sejalan atau align dengan strategi bisnis terkait. Untuk keperluan tersebut, Gartner menawarkan sebuah konsep governance yang diberi nama ”Gartner’s Integrated Planning Suite” (Kumagai, 2002).
Sumber: Gartner, 2002
Dalam kerangka ini, ada empat aspek yang saling terkait satu dengan lainnya sehubungan dengan prinsip governance yang ingin ditegakkan, dimana masing-masing memiliki relasi keterkaitan sebagai berikut: •
Strategic Planning dari perusahaan yang biasa dikemukakan secara gamblang dalam rencana bisnis korporat (business plan) merupakan hal yang men-drive disusunnya sebuah rencana investasi teknologi informasi. Dengan memahami visi, misi, obyektif, dan ukuran kinerja dari perusahaan yang bersangkutan, akan diperoleh gambaran yang jelas mengenai peranan dan teknologi informasi seperti apa yang harus dibangun oleh perusahaan tersebut. Untuk itulah perlu dialokasikan sejumlah dana untuk mengembangkan teknologi informasi tersebut dalam durasi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Detail dari rencana tersebut biasanya dijelaskan secara mendalam dalam dokumen Rencana Induk Teknologi Informasi atau IT Masterplan atau Information Technology Strategic Planning yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Strategic Corporate Planning (Perencanaan Strategis Korporat).
•
Mengingat bahwa pengembangan teknologi informasi perusahaan akan dibangun secara bertahap sebelum sebuah sistem holistik atau menyeluruh selesai dibangun, maka manajemen investasi teknologi informasi tersebut 41
harus dikembangkan berdasarkan arsitektur teknologi informasi yang diadopsi perusahaan atau yang diistilahkan Gartner sebagai Enterprise Architecture. Sebuah arsitektur yang baik akan memperlihatkan keseluruhan komponen dan hubungan keterkaitan satu dengan lainnya yang membentuk sebuah sistem teknologi informasi korporat. Diperlihatkan pula dalam arsitektur tersebut bagaimana filosofis pembangunan sistem secara ”rumah tumbuh” akan dikembangkan oleh perusahaan, sesuai dengan kekuatan dan keterbatasan sumber daya yang dimiliki. •
Karena begitu banyaknya komponen dalam arsitektur teknologi informasi yang harus dibangun – yang terbagi menjadi sejumlah kategori seperti perangkat lunak (sistem operasi, aplikasi, dan basis data), perangkat keras (komputer, jaringan, dan infrastruktur), dan perangkat manusia (user dan kebijakan) – maka diperlukan suatu pendekatan manajemen portofolio atau Portfolio Performance Management agar terjadi optimalisasi proses pengembangan. Konsep portofolio yang dikembangkan tersebut berakar dari beranekaragamnya perspektif atau pandangan mengenai nature dari teknologi informasi yang ingin dibangun, seperti dilihat dari segi: prioritas, fungsi, utilisasi, kebutuhan, demografi, stakeholder, karakteristik sumber daya, aspek perencanaan, dan lain sebagainya.
•
Dalam perkembangannya, keputusan yang diambil berdasarkan prinsip manajemen portofolio ini akan diukur kinerjanya, terutama terkait dengan bagaimana keputusan penerapan teknologi informasi tersebut akan berpengaruh terhadap kinerja bisnis perusahaan secara keseluruhan. Oleh karena itulah dikatakan bahwa manajemen portofolio tersebut akan mempengaruhi strategic planning yang disusun.
Perlu diketahui bahwa Gartner mengembangkan konsep berfikir dalam kerangka tersebut karena dilatarbelakangi oleh hasil riset yang dilakukannya pada tahun 2002, dimana didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1.
Perusahaan yang dapat mengintegrasikan rencana bisnis korporat dengan strategi pengembangan teknologi informasinya (strategic planning) akan memiliki kinerja yang jauh lebih baik dari perusahaan yang gagal melakukan integrasi tersebut;
2.
Perusahaan yang memiliki arsitektur teknologi informasi yang jelas (enterprise information technology architecture) akan mampu memperbaiki kinerja operasionalnya 30% lebih baik dibandingkan dengan perusahaan lain yang tidak memilikinya – terutama berkaitan dengan tuntutan perubahan karena lingkungan eksternal yang dimanis dari waktu ke waktu; dan
3.
Perusahaan yang menerapkan prinsip manajemen portofolio dalam beragam proyek teknologi informasinya berhasil melakukan penghematan 10-30% terhadap pengeluaran dari masing-masing proyek yang dilakukan (kebanyakan karena adanya pengurangan aktivitas alokasi sumber daya yang redudansi).
Dengan kata lain, keberadaan aspek strategic planning, enterprise architecture, dan portfolio performance management merupakan kunci penting yang harus dipertimbangkan
42
secara sungguh-sungguh dalam melakukan strategi pengelolaan investasi teknologi informasi di sebuah perusahaan.
V A L U E -O P T IM IZ E D
F R A M E W O R K
Dalam kenyataan sehari-hari, sangat jarang perusahaan berada dalam kondisi yang ideal seperti yang dimaksud di atas. Proses menuju pada terciptanya governance tersebut biasanya secara evolusi dilalui oleh perusahaan dalam beberapa tahap yang kerap diistilahkan sebagai proses ”pematangan” atau maturity process. Berpegang pada standar IT Governance yang diperkenalkan oleh Information System Audit and Control Association (ISACA) yang dikembangkan dengan menggunakan teori Capability Maturity Model (CMM) dari Software Engineering Institute (SEI), proses pematangan IT Governance dilakukan melalui lima tahap (level). Kerangka yang diberi nama ”ValueOptimized Framework” ini berusaha untuk melihat kematangan tata kelola (governance) perusahaan dari dua sisi utama, yaitu manajemen portofolio investasi (portfolio management) dan keberadaan indikator untuk mengukur kinerja (performance measurement). Adapun kelima tahap yang dimaksud memiliki arti sebagai berikut: 1.
Pada tahap awal ini yang dijadikan fokus untuk mengembangkan governance lebih pada aktivitas internal perusahaan, yang masing-masing dilakukan oleh sebuah fungsi organisasi. Dengan kata lain, ukuran kinerja perusahaan dilihat dari seberapa jauh beragam aktivitas internal memenuhi standar yang telah ditentukan oleh manajemen. Sementara itu, terkait dengan permasalahan manajemen portofolio investasi, manajemen masih dalam fase dini, dimana mulai ditanamkan keperdulian mengenai pentingnya aspek ini.
2.
Pada tahap kedua ini, fokus pengukuran kinerja mulai ditekankan pada aktivitas atau proses lintas departemen. Yang menjadi ukuran utama pada proses lintas fungsi ini adalah outcome atau output yang dihasilkan oleh serangkaian proses tersebut, terutama dilihat dari sisi customer atau pelanggan dari rangkaian proses tersebut. Adapun dalam kaitannya dengan manajemen investasi, pimpinan perusahaan mulai memahami dan menetapkan baku standar tata kelola investasi teknologi informasi di perusahaan yang harus ditaati oleh segenap sumber daya manusia yang ada.
3.
Pada tahap selanjutnya, perusahaan mulai mengkonsentrasikan diri untuk melibatkan dan mengukur performansi sejumlah proses eksternal yang terintegrasi dengan beragam rangkaian proses internal. Pada saat yang bersamaan, manajemen perusahaan telah secara penuh menerapkan tata kelola investasi portofolio proyek teknologi informasi secara penuh dan menyeluruh.
4.
Pada tahap keempat, domain kinerja proses ditingkatkan secara lebih luas lagi, yaitu menyangkut keseluruhan proses perusahaan yang telah diintegrasikan dengan seluruh rangkaian proses yang dimiliki oleh para mitra bisnis, baik yang berfungsi sebagai pemasok (supplier), vendor, lembaga keuangan, dan mitra strategis lainnya. Konsep manajemen terintegrasi seperti supply chain management dan customer relationship management merupakan beberapa contoh dari teori yang dapat diterapkan dalam format ini. Sementara itu di sisi manajemen investasi, telah terjadi proses optimalisasi atau perbaikan terhadap 43
kinerja total portofolio yang dimaksud – terutama berdasarkan hasil evaluasi dari implementasi portofolio yang sudah-sudah.
Sumber: Gartner, 2002 5.
Pada tahap ultimate atau final ini, secara teori telah terjadi sebuah platform, dimana penyelenggaraan proses internal dan eksternal telah membentuk suatu sistem yang mampu memperbaiki dirinya sendiri – dalam arti kata dapat dengan mudah diubah-ubah dan disesuaikan dengan kondisi bisnis yang secara dinamis berubah (kemampuan adaptif). Sementara di sini manajemen investasi, dengan sendirinya telah terjadi proses leveragement dari teknologi informasi yang dimiliki karena telah terjadi sejumlah optimalisasi proses di berbagai bidang.
Dalam kerangka value-optimized tersebut terlihat bahwa ketiga aspek lainnya dalam tata kelola teknologi informasi – yaitu strategic planning, investment management, dan enterprise architecture – merupakan pilar penyanggah terlaksananya governance yang baik selama proses pematangan terjadi dengan fungsi keterkaitan sebagai berikut: •
Strategic Planning akan memberikan arahan kebijakan strategis terhadap sumber dan cara membiayai investasi yang dibutuhkan (financing and funding strategy);
•
Investment Management akan berisi anggaran tahunan yang direncanakan untuk dialokasikan bagi pengembangan teknologi inforamsi; dan
•
Enterprise Architecture akan memiliki keterkaitan yang erat dengan resiko investasi yang siap ditanamkan oleh perusahaan bagi pembangunan dan pengembangan teknologi informasinya.
Menurut hasil riset oleh lembaga yang sama, perusahaan yang mengembangkan prinsip governance-nya secara bertahap sesuai dengan maturity model yang ada berhasil meningkatkan kinerjanya secara signifikan, yaitu:
44
•
Mempercepat proses pengembangan aplikasi bisnis yang dipergunakan hingga 40%;
•
Mereduksi biaya pengembangan aplikasi hingga 25%; dan
•
Mengurangi permasalahan proyek yang dipicu karena ketidaktepatan jadwal penyelesaian hingga 145%.
45
12. Manajemen Portofolio Investasi Teknologi Informasi Seperti halnya konsep portofolio dalam ilmu keuangan, investasi perusahaan terhadap sejumlah proyek pengembangan teknologi informasi disarankan untuk menerapkan pendekatan serupa. Hasil lembaga pengkajian Gartner memperlihatkan bahwa perusahaan yang untuk pertama kalinya memutuskan untuk menerapkan konsep portofolio di dalam manajemen investasi teknologi informasinya berhasil melakukan penghematan antara 1030% terhadap total biaya proyeknya (Gartner, 2002).
Sumber: Gartner, 2002
Secara sederhana portofolio investasi teknologi informasi didefinisikan sebagai sekumpulan keputusan investasi yang dialokasikan untuk membangun dan mengembangkan sejumlah aplikasi teknologi informasi di dalam perusahaan. Mengelola sejumlah proyek secara portofolio sangat berbeda dengan mengelola proyek individu. Keputusan untuk melakukan investasi pada sebuah proyek biasanya didasarkan pada kebutuhan tertentu, sementara keputusan untuk melakukan sejumlah investasi (portofolio) didasarkan pada kebutuhan yang lebih besar atau luas, yaitu pencapaian visi, misi, dan obyektif perusahaan. Dengan kata lain, jika pada proyek individu tujuannya adalah untuk pemenuhan suatu kebutuhan khusus tertentu, proyek secara portofolio tujuannya untuk tercapainya perimbangan terhadap pemenuhan sejumlah ragam kebutuhan baik yang sifatnya strategis maupun operasional. Manfaat lain yang diperoleh selain terjadinya penyeimbangan pemenuhan kebutuhan adalah terciptanya optimalisasi pada sumber daya yang dialokasikan perusahaan. Dalam manajemen portofolio dipergunakan sejumlah perspektif untuk mengklasifikasikan proyek teknologi informasi yang ada menjadi beberapa kategori. Contoh pengelompokkan yang ada misalnya berdasarkan: demografi, stakeholder, jenis kebutuhan, sumber daya, rencana implementasi, dan lain sebagainya. Dari sekian banyak perspektif yang ada, yang paling banyak dipergunakan di dalam bisnis adalah berdasarkan hakekat atau peranannya dalam perusahaan seperti yang diperlihatkan pada gambar berikut.
46
Sumber: Gartner, 2002
Dalam kerangka portofolio jenis ini, nature dari sebuah aplikasi teknologi informasi dibagi menjadi 4 (empat) kategori, yaitu: •
Foundation Infrastructure yaitu aplikasi teknologi informasi yang menjadi landasan dari berbagai aplikasi lain yang ada di dalam perusahaan, seperti: sistem operasi, basis data, network management, office productivity modules, dan lain sebagainya;
•
Utility yaitu aplikasi teknologi informasi yang sifatnya mendasar dan dipergunakan untuk berbagai urusan utilisasi sumber daya perusahaan seperti yang sering didapatkan pada proses back-office, seperti: sistem penggajian, aplikasi akuntansi dan keuangan, modul-modul administrasi, dan lain sebagainya;
•
Enhancement yaitu aplikasi teknologi informasi yang dibangun sesuai dengan kebutuhan spesifik perusahaan terutama yang berkaitan dengan proses penciptaan produk dan jasa yang ditawarkan kepada pelanggan (berkaitan langsung dengan proses inti atau core processes), seperti: customer relationship management, supply chain management, enterprise resource planning, dan lain sebagainya; dan
•
Frontier yaitu aplikasi teknologi informasi unik yang bersifat eksperimental, untuk meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan karena sifatnya yang unik.
Pada setiap kategorisasi pasti terkandung suatu filosofi tertentu. Foundation Infrastructure adalah merupakan suatu kategori aplikasi yang mau tidak mau harus dimiliki oleh perusahaan, sehingga keberadaannya bersifat mutlak. Utility merupakan kebutuhan minimum yang harus pula dimiliki perusahaan karena merupakan aplikasi yang mengurusi permasalahan administrasi usaha. Karena sifatnya sebagai aplikasi penunjang (supporting applications), maka keberadaannya pastilah akan memakan biaya tertentu (cost center), sehingga perlu dipikirkan cara yang paling efisien untuk mengelolanya. Sebaliknya pada aplikasi bertipe enhancement, penerapan aplikasi yang baik akan memberikan keuntungan signifikan bagi bisnis, dalam arti kata berpengaruh langsung terhadap peningkatan kualitas produk dan jasa, sehingga aplikasi terkait harus dikembangkan seefektif mungkin. Dan yang terakhir, aplikasi pada kategori frontier biasa dikembangkan perusahaan untuk mencari sumber pendapatan baru (non konvensional) sehingga profitabilitas usaha dapat
47
ditingkatkan. Melihat pembagian ini, manajemen perusahaan harus berusaha keras untuk memikirkan proporsional investasinya untuk ditanamkan pada kategori mana saja, agar berimbang, dan sesuai dengan strategi bisnis perusahaan. Biasanya, proporsi keseimbangan portofolio akan bergantung pada jenis industri dimana perusahaan tersebut berada seperti yang diperlihatkan pada tabel berikut ini.
Sumber: Gartner, 2002
Contoh lain mengenai pembagian kategorisasi terkait dengan manajemen portofolio terlihat pada gambar berikut:
Sumber: Gartner, 2002
dimana kategori aplikasi dibagi menjadi 5 (lima) jenis dari yang sifatnya mandatory (keharusan) sampai dengan strategis. Terkait dengan investasi yang ditanamkan, terlihat bahwa semakin tinggi resiko yang diambil, akan semakin besar pula potensi manfaat investasi yang dapat diperoleh perusahaan seandainya berhasil.
48
13. Pengawasan Alokasi Biaya Proyek Teknologi Informasi Aktivitas pengembangan teknologi informasi di perusahaan biasanya dilakukan dengan menggunakan pendekatan atau berbasis proyek. Sesuai dengan standar baku yang ada, hal utama yang perlu dilakukan di dalam sebuah proyek adalah menyusun perencanaan. Menurut PMBOK (Project Management Body of Knowledge) - sebuah panduan baku penerapan konsep manajemen proyek efektif yang diperkenalkan oleh Project Management Institute – anggaran biaya dari sebuah proyek ditentukan oleh paling tidak 5 (lima) faktor, yaitu: ruang lingkup proyek, durasi pengerjaan, kualitas output yang diharapkan, sumber daya manusia yang dialokasikan, serta ragam material dan sumber daya lain yang dibutuhkan (PMI, 1996). Dalam perencanaan biaya, kelima faktor tersebut harus diperhitungkan sungguh-sungguh agar dapat dihitung anggaran biaya proyek yang sesungguhnya.
Sumber: Schwalbe, 2002
Pada saat biaya tersebut telah disepakati, maka dialokasikanlah sejumlah uang agar proyek terkait dapat segera dimulai. Adalah merupakan suatu keharusan bagi seorang project manager untuk memonitor atau mengawasai pemakaian biaya tersebut selama proyek berjalan, agar tidak terjadi penyimpangan yang dapat mengganggu lancarnya pengerjaan proyek. Pada aktivitas yang diberi nama project cost control ini terdapat sejumlah hal yang harus dilakukan, yaitu: •
Memastikan bahwa tersedia biaya yang diperlukan untuk melakukan berbagai aktivitas di dalam proyek sesuai dengan waktu pengerjaannya;
•
Melakukan langkah-langkah realokasi yang dibutuhkan seandainya terjadi kesalahan dalam pengelolaan biaya yang telah dialokasikan karena satu dan lain hal (revisi anggaran);
•
Menginformasikan kepada stakeholder terkait mengenai hal-hal terkait dengan perubahan kebutuhan dan implementasi biaya; dan
49
•
Memantau penggunaan sumber daya keuangan dari waktu ke waktu.
Terkait dengan aktivitas tersebut di atas, ada berbagai konsep yang dapat dipergunakan, salah satunya adalah Earned Value Management (EVM). Dalam EVM, dikenal beberapa istilah penting, yaitu: •
PV atau Planned Value – dahulu dinamakan sebagai BCWS (Budgeted Cost of Work Scheduled) – atau ringkasnya anggaran, adalah merupakan biaya yang disepakati untuk dialokasikan untuk pelaksanaan sebuah aktivitas pada satu waktu tertentu;
•
AC atau Actual Cost – dahulu dinamakan sebagai ACWP (Actual Cost of Work Performed) – merupakan total biaya yang telah dipergunakan untuk menyelesaikan sebuah aktivitas pada satu waktu tertentu; dan
•
EV atau Earned Value – dahulu dinamakan sebagai BCWP (Budgeted Cost of Work Performed) – merupakan nilai dari hasil perkalian antara persentasi dari pekerjaan yang telah diselesaikan dengan biaya yang dianggarkan (Planned Value).
Untuk mempermudah pembahasan, dapat dipergunakan contoh sebagai berikut.
Sumber: Schwalbe, 2002
Terlihat dalam contoh tersebut sebuah aktivitas pembelian web server yang direncanakan untuk dilakukan selama dua minggu; dimana di minggu pertama telah dianggarkan sejumlah uang sebesar US$10,000 dan di minggu kedua sebesar US$0. Saat ini, proyek telah memasuki minggu kedua (tahap pertama baru saja selesai), dan telah selesai dikerjakan kurang lebih 75% dari aktivitas terkait; namun dari catatan yang ada, pada minggu pertama telah dikeluarkan biaya sebesar US$15,000 dan pada minggu kedua telah dipergunakan uang sebesar US$5,000. Dengan berdasarkan pada perhitungan EV = 75% x US$10,000 = US$7,500 – maka dapat dipergunakan sejumlah formula kinerja sebagai berikut:
50
Sumber: Schwalbe, 2002
•
CV atau Cost Variance sebesar US$-7,500 mengandung arti bahwa proyek telah mengalokasikan uang sebesar US$7,500 lebih banyak dari yang dianggarkan, atau telah terjadi cost overrun;
•
SV atau Schedule Variance sebesar US$-2,500 mengandung arti bahwa telah terjadi keterlambatan dalam penyelesaian aktivitas yang mengakibatkan “tersia-sianya” atau tidak terpakainya uang sebesar US$2,500;
•
CPI atau Cost Performance Index sebesar 50% mengandung arti bahwa proyek telah “rugi” sebesar dua kali dari biaya yang seharusnya dikeluarkan; dan
•
SPI atau Schedule Performance Index sebesar 75% mengandung arti bahwa baru 75% porsi aktivitas yang selesai dikerjakan.
Dengan kata lain, dibutuhkan dana sebesar US$10,000 (total anggaran) x 50% (CPI) = US$5,000 pada minggu kedua agar akvititas dapat selesai sepenuhnya. Perlu diperhatikan bahwa sejumlah formula tersebut dapat dipergunakan sebagai indikator kinerja proyek, terutama terkait dengan manajemen pembiayaan, melalui cara sebagai berikut: •
Jika CV atau SV menunjukkan nilai negatif, maka proyek dalam keadaan bermasalah; dan
•
Demikian pula CPI atau SPI yang nilainya lebih kecil dari 100% merupakan indikasi terjadinya permasalahan biaya dalam proyek.
Mengingat proyek pada dasarnya merupakan kumpulan dari serangkaian aktivitas atau kegiatan, maka perlu dikembangkan anggaran secara lengkap seperti yang diperlihatkan pada tabel berikut.
51
Sumber: Schwalbe, 2002
52
14. Penentuan Efektivitas Manfaat dengan Pendekatan Analisa Gap Teori manajemen teknologi informasi memperlihatkan adanya tiga konstituen atau stakeholders di dalam organisasi yang kerap memiliki obyektivitas saling bertentangan (konflik). Adapun ketiga konstituen yang dimaksud adalah: •
Pimpinan dan Manajemen – yang dianggap sebagai “sponsor” dari setiap inisiatif penerapan teknologi informasi karena dari merekalah aspek “business value of information technology” menemukan konteksnya;
•
Pengelola Teknologi Informasi – yang merupakan pihak paling bertanggung jawab terhadap implementasi pembangunan aplikasi teknologi informasi; dan
•
Pengguna atau Pemakai (user) – yang berperan aktif sebagai pemakai teknologi informasi yang dibangun untuk membantu aktivitasnya sehari-hari.
Dalam kaitannya dengan analisa cost-benefit, manfaat sebuah pengembangan teknologi informasi dianggap menemukan titik optimasinya – artinya proyek penerapan tersebut dianggap berhasil – apabila gap “ekspektasi” di antara ketiga konstituen tersebut kecil. Dengan kata lain, biaya investasi yang dikeluarkan dianggap sepadan dengan manfaat yang diperoleh sejauh tidak terdapat gap konflik kepuasan atau efektivitas penerapan dari ketiga konstituen tersebut. Kerangka yang dipergunakan untuk mengkaji hal tersebut adalah dengan menggunakan analisa “Multiple Gap” yang diperkenalkan oleh Arthur Money dan Remenyi bersaudara. Cara menggunakannya adalah dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini. L A N G K A H 1 : M E N E N T U K A N D I H A R A P K A N
T I P E
M A N F A A T
Y A N G
Hal pertama yang harus dilakukan adalah mendefinisikan butir-butir manfaat yang diharapkan organisasi atau perusahaan sehubungan dengan sistem teknologi informasi yang akan diterapkan. Contohnya adalah 16 manfaat generik yang kerap dipergunakan sebagai berikut: 1.
Mereduksi total biaya yang harus dikeluarkan perusahaan
2.
Mengganti karakteristik biaya yang kerap dikeluarkan melalui efisiensi
3.
Menghindari pengeluaran yang tidak perlu
4.
Meningkatkan peluang pertumbuhan usaha melalui sumber pendapatan baru
5.
Memperbaiki kualitas informasi bagi pengambilan keputusan manajemen
6.
Meningkatkan produktivitas karyawan
7.
Meningkatkan kapasitas volume dan frekuensi transaksi usaha
8.
Mengurangi kesalahan yang sering terjadi
9.
Menciptakan keunggulan kompetitif usaha 53
10.
Mengejar ketinggalan dalam persaingan
11.
Memperbaiki kualitas kontrol atau pengawasan
12.
Meningkatkan kinerja produktivitas manajemen
13.
Memperbaiki moral dan etika karyawan
14.
Meningkatkan citra perusahaan
15.
Meningkatkan kualitas pelayanan pelanggan
16.
Memperbaiki relasi atau hubungan antar stakeholder
L A N G K A H 2 : M E N Y U S U N K O N S T I T U E N
K U E S I O N E R
U N T U K
K E T I G A
Hal selanjutnya yang perlu dipersiapkan adalah menyusun kuesioner “serupa tapi tak sama” yang akan diisi oleh ketiga domain konstituen yang berbeda tersebut. Dikatakan “serupa” karena daftar pertanyaan yang diberikan sama terhadap ketiga konstituen, yaitu berasal dari ke-16 manfaat generik yang telah dijelaskan sebelumnya; dikatakan “tak sama” karena masing-masing konstituen akan memberikan penilaiannya dengan menggunakan konteks indikator yang berbeda – sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, peranan, dan ekspektasi dari masing-masing konstituen. Contoh kuestioner yang dimaksud adalah sebagai berikut: Domain Pimpinan dan Manajemen 1. Kemampuan sistem dalam mereduksi total biaya yang harus dikeluarkan perusahaan Tidak Relevan Tidak Penting Penting Kritikal 2. Mengganti karakteristik biaya yang kerap dikeluarkan melalui efisiensi Tidak Relevan Tidak Penting Penting Kritikal 3. …dan seterusnya… Domain Pengelola Teknologi Informasi 1. Kemampuan sistem dalam mereduksi total biaya yang harus dikeluarkan perusahaan Tidak Mungkin Mungkin Berpotensi Pasti 2. Mengganti karakteristik biaya yang kerap dikeluarkan melalui efisiensi Tidak Mungkin Mungkin Berpotensi Pasti 3. …dan seterusnya… Domain Pengguna atau Pemakai 1. Kemampuan sistem dalam mereduksi total biaya yang harus dikeluarkan perusahaan Sangat Buruk Buruk Baik Sangat Baik 2. Mengganti karakteristik biaya yang kerap dikeluarkan melalui efisiensi
54
Tidak Mungkin Mungkin 3. …dan seterusnya…
Berpotensi
Pasti
Kuesioner tersebut kemudian dibagikan ke masing-masing kelompok konstituen untuk dilakukan penilaian. Hasilnya kemudian dikumpulkan untuk selanjutnya dikaji. L A N G K A H 3 : M E N G H I T U N G A N T A R K O N S T I T U E N
H A S I L
D A N
M E N G K A J I
G A P
Hasil dari kuestioner untuk masing-masing konstituen tersebut dihitung dan dicari nilai akhirnya – misalnya dengan menggunakan rata-rata. Katakanlah hasilnya adalah seperti yang diperlihatkan pada tabel berikut ini. Pimpinan
Pengelola
Pengguna
Mereduksi total biaya yang harus dikeluarkan perusahaan
3.4
2.5
1.5
Mengganti karakteristik biaya yang kerap dikeluarkan melalui efisiensi
2.5
1.2
3.3
Menghindari pengeluaran yang tidak perlu
1.6
3.0
2.0
Meningkatkan peluang pertumbuhan usaha melalui sumber pendapatan baru
2.0
3.3
3.0
Memperbaiki kualitas informasi bagi pengambilan keputusan manajemen
1.0
2.0
4.0
Meningkatkan produktivitas karyawan
2.4
2.0
2.0
Meningkatkan kapasitas volume dan frekuensi transaksi usaha
3.6
3.0
1.0
Mengurangi kesalahan yang sering terjadi
2.1
2.0
2.0
Menciptakan keunggulan kompetitif usaha
3.0
3.1
3.1
Mengejar ketinggalan dalam persaingan
2.2
2.0
2.4
Memperbaiki kualitas kontrol atau pengawasan
4.0
3.1
2.2
Meningkatkan kinerja produktivitas manajemen
3.2
2.9
3.1
Memperbaiki moral dan etika karyawan
3.4
2.6
2.2
Meningkatkan citra perusahaan
2.2
2.2
3.0
Meningkatkan kualitas pelayanan pelanggan
3.3
4.0
1.0
Memperbaiki relasi atau hubungan antar stakeholder
3.9
3.1
2.5
55
Tabel di atas kemudian ditransformasikan ke sebuah tabel baru dengan menggunakan 3 (tiga) buah indikator, yaitu masing-masing menggunakan simbol: *
: importance scores
(dihasilkan oleh domain Pimpinan)
#
: expectation scores
(dihasilkan oleh domain Pengelola)
@
: experience scores
(dihasilkan oleh domain Pengguna)
1 to 2
2 to 3
3 to 4
Mereduksi total biaya yang harus dikeluarkan perusahaan
@
#
*
Mengganti karakteristik biaya yang kerap dikeluarkan melalui efisiensi
#
*
@
Menghindari pengeluaran yang tidak perlu
*@
#@
#
Meningkatkan peluang pertumbuhan usaha melalui sumber pendapatan baru
*
*@
#@
Memperbaiki kualitas informasi bagi pengambilan keputusan manajemen
*#
#
@
Meningkatkan produktivitas karyawan
#@
*#@
@
#
#@
*#@
Meningkatkan kapasitas volume dan frekuensi transaksi usaha Mengurangi kesalahan yang sering terjadi
*#
Menciptakan keunggulan kompetitif usaha
#
Mengejar ketinggalan dalam persaingan
*#
*#@
*# @
Memperbaiki kualitas kontrol atau pengawasan
@
*#
Meningkatkan kinerja produktivitas manajemen
#
*@
#@
*
*#@
@
Memperbaiki moral dan etika karyawan Meningkatkan citra perusahaan
@
Meningkatkan kualitas pelayanan pelanggan
*# #@
Memperbaiki relasi atau hubungan antar stakeholder
56
*
Dari tabel di atas terlihat, bahwa sistem yang diterapkan telah berhasil memenuhi 4 (empat) harapan atau ekspektasi perusahaan, yaitu masing-masing dalam hal: •
Kemampuan sistem dalam meningkatkan produktivitas karyawan;
•
Kemampuan sistem dalam mengurangi kesalahan yang terjadi;
•
Kemampuan sistem dalam mengejar ketinggalan persaingan; dan
•
Kemampuan sistem dalam meningkatkan citra perusahaan
Sedangkan terhadap hasil pada masing-masing kriteria manfaat lainnya, tampak dengan jelas sejumlah gap yang terjadi di antara ketiga konstituen terkait. Paling tidak terdapat 3 (tiga) jenis gap yang perlu diperhatikan seperti yang dijelaskan berikut ini: •
Gap 1 terjadi jika ada nilai perbedaan yang signifikan antara Pimpinan dan Pengelola;
•
Gap 2 terjadi jika ada nilai perbedaan yang signifikan antara Pengelola dan Pengguna; dan
•
Gap 3 terjadi jika ada nilai perbedaan yang signifikan antara Pimpinan dan Pengguna.
L A N G K A H 4 : M E N G A M B I L M A S I N G - M A S I N G G A P
K E S I M P U L A N
T E R H A D A P
Dari tabel yang terakhir disusun dan tiga kategori gap yang ada, dapat diambil sejumlah kesimpulan terhadap masing-masing butir kriteria sebagai berikut. Gap 1: Pimpinan vs Pengelola • Jika nilai (* - #) > 0, maka berarti bahwa pengelola tidak berhasil membangun sistem sesuai dengan besarnya harapan yang dimiliki oleh pimpinan (under achievement) atau dianggap gagal mencapai ekspektasi yang ada. •
Jika nilai (* - #) < 0, maka berarti bahwa pengelola berhasil membangun sistem yang melampaui harapan yang ada pada pimpinan atau dianggap berhasil mencapai target yang diharapkan.
Gap 2: Pengelola vs Pengguna • Jika nilai (# - @) > 0, maka berarti bahwa pengelola tidak berhasil membangun sistem karena dianggap hasilnya berada di bawah tingkat kepuasan para pengguna. •
Jika nilai (# - @) < 0, maka berarti bahwa pengelola berhasil membangun sistem yang benar-benar dianggap bermanfaat oleh pengguna karena melebihi ekspektasi yang ada.
Gap 3: Pengelola vs Pengguna • Jika nilai (* - @) > 0, maka berarti bahwa kepentingan pimpinan terhadap sistem yang ada tidak didukung dengan tingkat kepuasan para pengguna sistem yang memakainya. 57
•
Jika nilai (* - @) < 0, maka berarti bahwa para pengguna sistem memiliki tingkat kepuasan sesuai atau lebih besar daripada pandangan pimpinan terhadap nilai kepentingan sistem tersebut.
Dengan menganalisa ketiga gap tersebut maka dapat diambil sejumlah kesimpulan sebagai berikut: •
Jika Gap 1 bernilai positif, maka terdapat gap atau masalah kesenjangan yang tinggi antara pimpinan perusahaan yang memiliki perspeksi tersendiri terhadap “business value of information technology” dengan kemampuan pengelola dalam menghasilkan sebuah sistem dengan kinerja yang dimaksud. Dalam posisi ini layak dipertimbangkan kerjasama dengan pihak ketiga (misalnya dengan menggunakan pola “outsourcing”), terutama terhadap sejumlah kriteria manfaat yang sangat diharapkan oleh pimpinan terhadap sistem yang dibangun.
•
Jika Gap 2 bernilai positif, maka terdapat gap atau masalah kesenjangan antara manfaat positif yang secara langsung ingin dirasakan oleh para pengguna sistem dengan kinerja sistem yang dibangun oleh pengelola. Pengelola dalam hal ini perlu mengkaji kembali strateginya mulai dari memikirkan “user interface” yang cocok bagi para pengguna sampai dengan menerapkan sebuah aplikasi yang manfaatnya langsung dirasakan atau “quick win” oleh setiap pengguna.
•
Jika Gap 3 bernilai positif, maka terdapat suatu masalah yang serius karena manfaat yang dianggap penting oleh pimpinan untuk dapat dirasakan organisasi atau perusahaan berbanding terbalik dengan tingkat kepuasan para pengguna sistem tersebut. Untuk mencegah terjadinya “pemboikotan” dari pengguna sistem, ada baiknya komunikasi dan “negosiasi” antara pimpinan dan pengguna digalakkan untuk memperoleh pandangan yang serupa mengenai manfaat yang dituju dengan dibangunnya sistem terkait.
Metode analisa manfaat berdasarkan gap antara tiga konstituen organisasi ini sangat baik diterapkan di sebuah organisasi besar yang sulit melakukan komunikasi efektif antara pihak pimpinan, pengelola, dan pengguna. Dengan dibantu oleh kuesioner sederhana dan mudah dipahami, manajemen pengembang sistem informasi dapat membangun strategi pendekatan agar investasi besar yang telah dikeluarkan “dipandang” wajar oleh ketiga konstituen tersebut karena kecilnya gap perspektif di antara mereka bertiga.
58
15. Strategi Menilai Manfaat Teknologi Informasi Manfaat yang diperoleh oleh organisasi atau perusahaan yang menerapkan teknologi informasi sifatnya berbeda-beda satu dan lainnya. Memperkirakan atau menilai manfaat ini adalah merupakan seni tersendiri karena harus dilakukan dengan cara memperhatikan konteks yang lebih besar, terutama terkait dengan organisasi dimana teknologi tersebut berada. Meta Group menegaskan kembali konsep penilaian ini dengan istilah IT Value Management (Fisher, 2000). Menurutnya, terdapat 6 (enam) langkah strategi yang harus dilakukan oleh manajemen di dalam usahanya untuk menentukan atau menilai manfaat yang akan diperoleh dengan diimplementasikannya aplikasi teknologi informasi. L A N G K A H 1 : B E N E F I T S
E S T A B L I S H
I T ’ S
R O L E
I N
C R E A T I N G
Setiap individu dapat memandang teknologi informasi secara berbeda, tergantung dari kacamata atau perspektifnya masing-masing. Pimpinan perusahaan dalam hal ini harus memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan peranan teknologi informasi yang spesifik bagi perusahaannya dengan cara menekankan kepada segenap manajemen dan karyawan perusahaannya akan posisi teknologi informasi yang dimaksud di dalam kerangka usaha yang ada. Dengan cara demikianlah maka akan didapat kesatuan pandangan akan manfaat teknologi informasi yang akan dan diharapkan diperoleh dengan keberadaannya di perusahaan. Sejumlah teori mengatakan bahwa karakteristik industri dimana perusahaan itu berada akan sangat mempengaruhi tipe peran teknologi informasi dalam memberikan manfaatnya. Lihatlah beberapa contoh teori yang kerap dipergunakan sebagai berikut: •
Teori Tallon yang membagi peranan teknologi informasi berdasarkan aspek Strategic Positioning dan Operational Effectiveness sehingga didapatkanlah tipetipe peran yaitu: Dual Focus, Operations Focus, Market Focus, dan Unfocused.
•
Teori Warren McFarlan yang mengklasifikasikan teknologi informasi berdasarkan aspek Business Fuctionality Dependent Upon IT dan aspek IT Development for Competitive Advantage sehingga terdapatlah empat tipe peranan yaitu masingmasing: Stratetic, Turnaround, Factory, dan Support.
•
Teori Accounting Practices yang secara gambling membagi hakekat teknologi informasi menjadi empat jenis besar yaitu: Cost Center, Profit Center, Investment Center, dan Service Center.
Inti dari langkah ini adalah adanya kesepakatan dan pemahaman bersama dari seluruh jajaran perusahaan bahwa keberadaan teknologi informasi adalah semata-mata untuk mendatangkan manfaat bisnis tertentu yang telah dicanangkan bersama. L A N G K A H 2 : P O R T F O L I O
C L A S S I F Y
B E N E F I T S
W I T H I N
Y O U R
I T
Setiap perusahaan biasanya menerapkan lebih dari satu aplikasi teknologi informasi. Yang perlu dipahami adalah bahwa setiap jenis aplikasi memiliki hakekat manfaat yang berbeda satu dan lainnya. Terhadap masing-masing aplikasi yang berada pada portofolio aplikasi teknologi informasi tersebut, perlu dilakukan pemetaan terhadap peranan dan manfaatnya masing-masing. Ada beberapa sistem pembagian kategori yang dapat dilakukan. 59
Contohnya adalah lima kateogri yang diperkenalkan oleh Weill dan Broadbent sebagai berikut: •
Strategic – memberikan manfaat dalam hal peningkatan daya saing;
•
Informational – memberikan manfaat dalam hal meningkatkan fungsi kontrol dan pengambilan keputusan;
•
Transactional – memberikan manfaat dalam hal pengurangan biaya dan peningkatan produktivitas;
•
Infrastructure – memberikan manfaat sebagai perangkat pengintegrasian proses bisnis dan utilisasi sumber daya usaha; dan
•
Research and Development – memberikan manfaat untuk inovasi baru dalam bisnis.
penunjang
Dengan melakukan klasifikasi terhadap manfaat tersebut maka perusahaan dapat melihat apakah mayoritas (atau perbandingan) aplikasi dengan proporsi terbesar sejalan dengan peranan teknologi informasi yang telah didefinisikan sebelumnya. Jika ya, berarti perusahaan telah secara tepat memposisikan keberadaan teknologi informasi dalam konteks bisnis yang berarti pula akan meningkatkan probabilitas keberhasilan pencapaian manfaat teknologi informasi. Jika tidak, perlu diadakan pengkajian ulang dengan melibatkan sejumlah pertimbangan-pertimbangan dan alasan-alasan tertentu. L A N G K A H 3 : S T R A T E G Y
M A P
I T
B E N E F I T S
O N T O
B U S I N E S S
Setelah masing-masing manfaat tersebut teridentifikasi dan diklasifikasikan, maka langkah selanjutnya adalah mencari kaitan antara manfaat tersebut dengan strategi bisnis yang dimiliki perusahaan. Ada beberapa anchor atau titik kaitan yang dapat dipergunakan, misalnya adalah dengan menghubungkan manfaat tersebut dengan obyektif atau sasaran bisnis, critical success factors, key performance measures, key goal indicators, dan lain sebagainya. Dengan demikian maka akan jelas terlihat bahwa keberadaan teknologi informasi memang sejalan dengan strategis bisnis yang dianut. Contoh sejumlah business drivers yang dapat dipergunakan terkait dengan hal ini adalah kemampuan teknologi informasi di dalam hal-hal semacam: •
Memaksimalkan utilisasi aset dan sumber daya perusahaan;
•
Memperbaiki kualitas tata kelola atau manajemen informasi;
•
Memelihara dan menarik pelanggan baru bagi perusahaan;
•
Meningkatkan mutu hubungan atau relasi dengan para mitra bisnis;
•
Menarik, mengembangkan, serta menanamkan motivasi tinggi bagi karyawan;
•
Menumbuhkan jangkauan serta ruang lingkup bisnis;
•
Mengoptimalkan investasi infrastruktur;
60
•
Mengakomodasi sejumlah persyaratan regulasi; dan
•
Menambah value secara finansial.
Cara lain yang kerap dipergunakan oleh perusahaan adalah menghubungkan manfaat teknologi informasi dengan sejumlah konsep manajemen yang diimplementasikan perusahaan tersebut, seperti: value chain, balanced scorecard, ISO 9001:2000, sixth sigma, dan lain sebagainya. L A N G K A H 4 : B U I L D D E V E L O P M E N T
I T
B E N E F I T S
I N T O
P R O J E C T
Manfaat dari teknologi informasi baru dapat dirasakan apabila perangkat teknologi tersebut benar-benar dibangun dan diterapkan. Mengingat bahwa hampir seluruh pengembangan teknologi informasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan berbasis proyek, maka target tercapainya manfaat teknologi informasi tersebut harus benar-benar dipahami oleh segenap stakeholder langsung maupun tidak langsung dari seluruh proyek yang terdapat di perusahaan. Dalam hal ini, project manager dan project leader merupakan para individu yang paling bertanggung jawab untuk mempromosikan dan meyakinkan tercapainya manfaat teknologi informasi dalam setiap inisiatif proyek yang ada. Berdasarkan teori Integrated Project Management dan konsep Project Management Body of Knowledge, terdapat 4 (empat) tahap utama di dalam mengelola proyek yang perlu diperhatikan, terutama dalam kaitannya untuk mempertinggi tingkat keberhasilan proyek tersebut, yaitu: •
Tahap Preconditioning – yang pada dasarnya merupakan suatu penanaman pemahaman kepada seluruh stakeholder atau awareness mengapa sebuah proyek harus dilaksanakan;
•
Tahap Project in Action – yang merupakan serangkaian proses semenjak dideklarasikannya sebuah proyek hingga tahap penyelesaian akhirnya;
•
Tahap Transition Management – yang merupakan proses pasca proyek dimana hasil atau outcome dari proyek tersebut harus diintegrasikan dengan sistem bisnis secara utuh dalam bentuk manajemen transisi (atau change management); dan
•
Tahap Continuous Improvement – yang merupakan mekanisme di dalam perusahaan sebagai komitmen untuk selalu memperbaharui diri ke arah yang lebih baik dalam bentuk perbaikan-perbaikan kinerja yang berkesinambungan.
L A N G K A H
5 :
U S E
R I S K
T O
D I S C O U N T
I T
B E N E F I T S
Keberadaan resiko dalam berbagai aktivitas manusia merupakan kenyataan kehidupan yang tidak dapat dihindari. Demikian pula dengan setiap inisiatif pengembangan teknologi informasi pasti akan dibayang-bayangi dengan sejumlah kehadiran sejumlah resiko, baik yang berskala rendah, menengah, dan tinggi. Total manfaat yang diperkirakan akan diperoleh perusahaan harus ”dikurangi” dengan keberadaan resiko tersebut, yang dapat dilakukan dengan menggunakan tiga tahapan. Tahap pertama adalah dengan melakukan pengukuran terhadap besarnya resiko tersebut. Besar kecilnya resiko biasanya ditentukan oleh sejumlah faktor, seperti: ukuran atau ruang lingkup proyek, tingkat kompleksitas proyek, kesiapan perusahaan untuk berubah, 61
ketersediaan sumber daya manusia dengan kompetensi atau keahlian tertentu, dan lain sebagainya. Biasanya dengan menggunakan teknik scoring maka dapat dilihat seberapa besar resiko yang dihadapi perusahaan terkait dengan inisiatif pengembangan aplikasi teknologi informasi tertentu. Tahap kedua adalah dengan melakukan perbandingan atau kalkulasi ”pengurangan” antara manfaat yang akan didapat dengan besar kecilnya resiko yang dihadapi tersebut. Untuk mempermudah perhitungan dapat dipergunakan peta matriks 2x2 dimana aspek yang dipergunakan adalah besar kecilnya manfaat yang diperoleh dan besar kecilnya resiko yang dihadapi. Tahap ketiga adalah menentukan daerah resiko mana saja yang sesuai atau sepadan dengan strategi bisnis perusahaan, sehingga proyek-proyek teknologi informasi yang berada di daerah tersebut sajalah yang akan dikembangkan perusahaan. Misalnya dari matriks yang ada dipilih proyek-proyek yang berada di dalam domain manfaat besar dan resiko kecil serta domain manfaat kecil dan resiko kecil. Namun untuk seorang pimpinan perusahaan yang bersifat risk taker, tidak mustahil berani untuk memilih melakukan proyek dengan kriteria manfaat besar dan resiko kecil. L A N G K A H W O R K
6 :
P U T
P O S T - I M P L E M E N T A T I O N
R E V I E W S
T O
Pada hakekatnya, melakukan prosedur langkah 1 sampai dengan langkah 5 di atas merupakan suatu proses pembelajaran yang tidak akan lepas dari sejumlah kesalahan. Oleh karena itulah harus ada mekanisme evaluasi pasca implementasi prosedur tersebut di atas, sehingga metodologi yang dipergunakan dalam menilai manfaat yang diberikan teknologi informasi kepada bisnis dapat senantiasa diperbaiki.
62
16. Metode I.S.S.U.E untuk Mengukur Manfaat Teknologi Informasi Brown pada tahun 1994 membedakan manfaat teknologi informasi menjadi yang bersifat hard dan soft. Hard benefit adalah manfaat yang dapat secara langsung dirasakan oleh perusahaan yang mengimplementasikannya karena karakteristiknya yang dapat diukur secara kuantitatif, misalnya dengan menggunakan satuan finansial. Sementara itu soft benefit adalah manfaat yang tidak secara langsung dapat dinikmati oleh perusahaan karena karakteristiknya yang ”tidak terlihat” secara nyata. Ada tiga jenis soft benefit yang dimaksud, dimana masing-masing diberi nama: intangible, indirect, dan strategic. Perbedaan di antara keempat jenis manfaat ini dapat digambarkan secara matriks dengan menggunakan pendekatan dua buah aspek. Aspek pertama terkait dengan seberapa jauh tipe teknologi informasi atau sistem informasi yang dikembangkan dapat secara langsung dirasakan manfaatnya oleh pengguna (attributable to the IT/IS), dan aspek kedua berhubungan dengan dapat tidaknya manfaat yang ada dikuantifikasikan atau diukur secara kuantitatif (measurable).
Sumber: Brown, 1994
Manfaat hard biasanya terkait dengan implementasi teknologi informasi yang secara jelas memberikan kontribusi kepada perusahaan dalam bentuk reduksi biaya, pengurangan staf atau karyawan, peningkatan produktivitas, dan lain sebagainya. Manfaat intangible merupakan implementasi teknologi informasi yang segera dapat dirasakan manfaatnya bagi pengguna atau perusahaan yang menerapkannya, namun sangat sulit dilakukan pengukuran terhadap besarnya manfaat tersebut. Contohnya adalah bagaimana penerapan Decision Support System dapat memperbaiki kualitas pengambilan keputusan manajemen, namun sulit untuk dikuantifikasikan besaran manfaat yang diperoleh tersebut dalam satuan finansial. Manfaat indirect pada dasarnya dapat dikuantifikasikan besarannya namun keberadaannya tidak langsung dapat dirasakan oleh para pengguna. Misalnya adalah pengembangan Local Area Network, dimana walaupun manfaatnya dapat dengan mudah dihitung karena adanya optimalisasi terhadap sumber daya yang ada (melalui proses sharable), namun user tidak dapat segera merasakan manfaatnya karena belum adanya aplikasi yang diinstalasi di atas jaringan tersebut (seperti e-mail, office productivity, intranet, dan lain sebagainya).
63
Manfaat strategic lebih merupakan suatu manfaat jangka panjang yang dapat dinikmati perusahaan karena dimiliki atau dikembangkannya teknologi informasi tertentu. Misalnya adalah keberadaan teknologi informasi yang dapat meningkatkan daya saing usaha, memperbesar potensi pasar, memperbaiki citra perusahaan di mata pelanggan, mengoptimalkan hubungan dengan para mitra bisnis, dan lain sebagainya. Dengan berpegang pada keempat manfaat tersebut, maka setiap jenis atau tipe aplikasi teknologi informasi yang ada dapat dipetakan kategori manfaat yang diberikan. Pertanyaan yang timbul kemudian adalah sebagai berikut: perusahaan harus memfokuskan diri pada penghitungan manfaat yang mana agar kajian cost-benefit dapat mencapai sasarannya?
Sumber: Brown, 1994
Sejumlah literatur mengusulkan agar proses pengukuran dilakukan secara bertahap atau evolusioner sesuai dengan kematangan perusahaan dalam menghadapi isu tersebut. Pendekatan ini menyarankan agar hal pertama yang sebaiknya dilakukan adalah mengukur manfaat yang bersifat hard terlebih dahulu, sebelum kemudian perusahaan ”belajar” untuk menerapkan metodologi untuk menghitung besarnya manfaat yang bersifat intangible atau indirect. Dengan sendirinya manfaat yang bersifat strategic akan dipelajari terakhir.
Sumber: Brown, 1994
Kenyataan memperlihatkan bahwa untuk melakukan pengukuran terhadap manfaat yang bersifat soft, perlu dipergunakan sejumlah simulation tool. Perusahaanperusahaan di negara maju banyak sekali menggunakan perangkat simulasi bisnis seperti Extend, FinSim, dan lain sebagainya. Tujuan dari dipergunakannya perangkat simulasi ini adalah untuk sedapat mungkin menggambarkan keadaan lingkungan bisnis secara nyata sehingga berbagai variabel yang tidak tampak dan bersifat
64
kompleks dapat saling berinteraksi sehingga manfaat soft yang sulit dihitung dapat teridentifikasi dan diukur. Adapun metodologi yang diperkenalkan dalam pendekatan ini dikenal sebagai ISSUE yang merupakan kepanjangan dari Initiation Simulation Substantiation Utilisation Estimation.
Sumber: Brown, 1994
Pada tahap Initiation ini hal pertama yang dilakukan adalah mendefinisikan obyektif dari sistem yang ingin dikembangkan, terutama berkaitan dengan manfaat yang dituju (yang tentu saja dengan tujuan akhir manfaat tersebut dapat dikuantifikasikan). Selain obyektif, hal yang perlu digambarkan pula adalah rangkaian proses bisnis terkait dengan sistem yang ada, termasuk di dalamnya pemberian atribut kinerja atau karakteristik proses seperti waktu, biaya, pelaku, dan lain sebagainya.
Sumber: Renaissance Indonesia, 2002
Tahap selanjutnya adalah Simulation dimana dilakukan konstruksi model yang menyerupai keadaan yang sebenarnya. Setelah model tersebut selesai dikembangkan, maka kondisi ”AS IS” atau lingkungan perusahaan saat ini tersebut disimulasikan sedemikian rupa sehingga dapat dilihat kinerjanya, terutama dalam kaitannya dengan performa finansial (atau menghitung indikator kinerja lain yang terkait dengan parameter keuangan).
65
Sumber: Renaissance Indonesia, 2002
Substantiation adalah tahap konfirmasi atau penegasan kembali bahwa model yang telah dibuat tersebut benar-benar mendekati kenyataan yang ada. Berbagai tes perlu dilakukan untuk membuktikan hal ini terhadap sistem yang dimodelkan tersebut. Setelah dilakukan pengecekan atau validasi terhadap kehandalan model yang dibuat, barulah dilakukan tahap Utilisation dimana pada saat inilah dilakukan sejumlah kajian antara kondisi ”AS IS” dan kondisi di masa mendatang ”TO BE” ketika aplikasi teknologi informasi diterapkan. Perbandingan kinerja yang dinyatakan dalam sejumlah indikator antara kondisi lama dan baru inilah yang akan menjadi fokus kajian manfaat yang dimaksud.
Sumber: Renaissance Indonesia, 2002
Setelah perbandingan tersebut dilakukan, barulah tahap Estimation dimana para pimpinan atau praktisi bisnis terkait melakukan perkiraan pengukuran terhadap besarnya manfaat yang akan mereka peroleh akibat diimplementasikannya sistem terkait.
66
Sumber: Renaissance Indonesia, 2002
67
17. Manajemen Investasi Teknologi Informasi dalam Standar COBIT IT Governance Institute bekerja sama dengan ISACA (Information System Audit and Control Association) memperkenalkan sebuah kerangka untuk mengelola “information technology governance” di perusahaan dengan nama COBIT (Control Objectives for Information and Related Technologies) yang merupakan hasil riset dari berbagai institusi terkemuka seperti PriceWaterhouseCoopers, IBM, Gartner, dan sejumlah tokoh-tokoh profesional dari dunia bisnis, pemerintahan, dan pendidikan. Dalam salah satu control area dari 34 butir yang ada, dibahas mengenai masalah Manajemen Investasi Teknologi Informasi yang baik dan efektif. Terkait dengan butir tersebut, COBIT secara jelas menekankan prinsip investasi yang dinyatakan dalam kalimat sebagai berikut (ITGI, 2000): “Control over the IT process Manage the IT Investment with the business goal of ensuring funding and controlling disbursement of financial resources ensures delivery of information to the business that addresses the required Information Criteria and is measured by Key Goal Indicators is enabled by a periodic investment and operational budget established and approved by the business considers Critical Success Factors that leverage specific IT Resources and is measured by Key Performance Indicators”.
IN F O R M A T IO N
C R IT E R IA
D A N
IT
R E S O U R C E S
Manajemen sebuah perusahaan akan berfungsi secara efektif apabila para pengambil keputusan selalu ditunjang dengan keberadaan informasi yang berkualitas. COBIT mendeskripsikan karakteristik informasi yang berkualitas menjadi 7 (tujuh) aspek utama, yaitu masing-masing: •
Effectiveness – informasi yang dihasilkan haruslah relevan dan dapat memenuhi kebutuhan dari setiap proses bisnis terkait dan tersedia secara tepat waktu, akurat, konsisten, dan dapat dengan mudah diakses;
•
Efficiency – informasi dapat diperoleh dan disediakan melalui cara yang ekonomis, terutama terkait dengan konsumsi sumber daya yang dialokasikan;
•
Confidentiality – informasi rahasia dan yang bersifat sensitif harus dapat dilindungi atau dijamin keamanannya, terutama dari pihak-pihak yang tidak berhak mengetahuinya;
•
Integrity – informasi yang dihasilkan haruslah lengkap, akurat, valid,dan memiliki nilai bisnis sesuai dengan harapan yang membutuhkannya;
•
Availability – informasi haruslah tersedia bilamana dibutuhkan dengan kinerja waktu dan kapabilitas yang diharapkan;
68
•
Compliance – informasi yang dimiliki harus dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya dan mengacu kepada hukum maupun regulasi yang berlaku, termasuk di dalamnya mengikuti standar nasional atau internasional yang ada; dan
•
Reliability – informasi yang dihasilkan haruslah berasal dari sumber yang dapat dipercaya sehingga tidak menyesatkan para pengambil keputusan yang menggunakan informasi tersebut.
Keseluruhan informasi tersebut dihasilkan oleh sebuah sistem informasi (dan teknologi informasi) yang dimiliki perusahaan, dimana di dalamnya teradapat sejumlah komponen sumber daya penting, yaitu: 1.
Data – yang merupakan “bahan mentah” dari setiap informasi yang dihasilkan, dimana di dalamnya terkandung fakta dari aktivitas transaksi dan interaksi sehari-hari masing-masing proses bisnis yang ada di perusahaan;
2.
Aplikasi – yang merupakan sekumpulan program untuk mengolah dan menampilkan data maupun informasi yang dimiliki oleh perusahaan;
3.
Teknologi – yang terdiri dari sejumlah perangkat keras dan infrastruktur teknologi informasi sebagai teknologi pendukung untuk menjalankan portofolio aplikasi yang ada;
4.
Fasilitas – yang berupa sarana fisik seperti ruangan dan gedung dimana keseluruhan perangkat sistem dan teknologi informasi ditempatkan; dan
5.
Manusia – yang merupakan pemakai dan pengelola dari sistem informasi yang dimiliki.
Sumber: ITGI, 2000
69
IT Resources Sumber: ITGI, 2000
Berdasarkan riset yang dilakukan terhadap sejumlah perusahaan terkemuka di dunia, diperoleh kesimpulan bahwa untuk mengelola proses bisnis terkait dengan investasi di bidang teknologi informasi, untuk komponen Information Criteria dipilih 2 (dua) aspek utama atau primer, yaitu effectiveness dan efficiency; dan reliability dianggap sebagai aspek utama penting lainnya yang bersifat sekunder. Sementara untuk komponen IT Resources, aplikasi, teknologi, fasilitas, dan manusia dianggap sebagai hal yang perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh agar dapat dihasilkan informasi dengan kualitas seperti yang diharapkan tersebut. Artinya adalah bahwa seluruh hal terkait dengan informasi mengenai investasi yang harus dialokasikan untuk pengembangan teknologi informasi perlu diberikan secara efektif, melalui cara-cara yang ekonomis (efisien), dimana keseluruhan datanya haruslah terpercaya atau reliable. Untuk itulah dibutuhkan teknologi, fasilitas, dan aplikasi yang memadai dengan didukung oleh sumber daya manusia yang handal. C R IT IC A L
S U C C E S S
F A C T O R S
Critical Success Factors atau biasa disingkat CSF, merupakan hal-hal yang dianggap sebagai kunci keberhasilan perusahaan dalam mengelola teknologi informasi yang dimiliki agar dapat secara efektif menjadi penunjang setiap usaha untuk pencapaian obyektif bisnis. Secara prinsip, CSF memiliki karakteristik sebagai berikut: •
Pemacu utama untuk pencapaian keberhasilan pelaksanaan proses manajemen;
•
Suatu kondisi yang akan menjadi batu pijakan tercapainya keberhasilan pelaksanaan aktivitas secara optimal;
•
Hal yang dianggap sangat penting untuk meningkatkan probabilitas tingkat kesuksesan terlaksananya sebuah proses;
•
Parameter yang dapat diukur dan diamati agar organisasi dapat sukses;
•
Bernuansa strategis, melibatkan teknologi, berorientasi organisasi, dan memiliki aspek prosedural;
•
Fokus pada pencapaian perbaikan kapabilitas dan kemampuan pelaksanaan aktivitas; dan
•
Cenderung berorientasi pada level proses.
70
COBIT menganggap bahwa terkait dengan proses investasi teknologi informasi, paling tidak ada beberapa CSF yang patut untuk dipertimbangkan untuk dipakai sebagai acuan, masing-masing adalah: •
Seluruh tipe dan jenis biaya terkait dengan teknologi informasi telah teridentifikasi dan diklasifikasikan sesuai dengan karakteristiknya;
•
Sejumlah aset teknologi informasi yang terkait dengan adanya pembiayaan pemeliharaan terhadapnya dapat diukur secara efektif dan jelas;
•
Kriteria yang dipergunakan untuk setiap pengambilan keputusan terkait dengan investasi teknologi informasi secara formal telah dimiliki, lengkap dengan prosedur pengajuan dan persetujuannya;
•
Perencanaan pengembangan teknologi informasi secara jelas telah didefinisikan sesuai dengan siklus hidup (life cycle) teknologi terkait, sehingga biaya yang perlu dikeluarkan dan diinvestasikan di kemudian hari telah dapat diketahui;
•
Proses pengembilan keputusan terhadap investasi yang akan dikeluarkan telah memperhitungkan hal-hal semacam: dampak jangka pendek dan panjang yang akan terjadi (misalnya biaya sosial, biaya perubahan, biaya perbaikan, biaya migrasi, dan lain sebagainya), dampak proses lintas sektoral yang perlu dibina, manfaat yang diharapkan didapatkan, kontribusi terhadap bisnis yang diperoleh, dan lain sebagainya;
•
Tersedia pilihan sejumlah skenario terhadap berbagai kemungkinan investasi yang dapat dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek seperti analisa cost-benefit, fisibilitas, tingkat kematangan teknologi, tata kala waktu, dan lain-lain;
•
Anggaran dan investasi teknologi informasi sejalan dengan strategi anggaran dan rencana bisnis perusahaan atau korporat; dan
•
Tingkat akuntabilitas manajemen yang jelas terhadap realisasi manfaat yang diperoleh dalam bentuk prosedur pengawasan berkala yang jelas, sejalan dengan biaya investasi yang dikeluarkan.
K E Y G O A L IN D IC A T O R S IN D IC A T O R S
D A N
K E Y
P E R F O R M A N C E
Key Goal Indicators atau disingkat KGI adalah merupakan sasaran atau target yang ingin dicapai oleh sebuah proses atau aktivitas di dalam perusahaan. Karena KGI sifatnya sebuah obyektif yang ingin dicapai di masa mendatang, maka secara berkala perlu dilakukan pengukuran-pengukuran untuk menjamin bahwa aktivitas yang dilakukan perusahaan berada di “jalan yang benar” (on the right track) dalam arti kata menuju pada tercapainya KGI tersebut. Indikator ukuran ini lah yang di dalam COBIT dinamakan sebagai Key Performance Indicators atau KPI.
71
Sumber: ITGI, 2000
Terkait dengan proses investasi teknologi informasi di perusahaan, contoh KGI yang dapat dipergunakan adalah sebagai berikut: •
Persentasi investasi teknologi informasi yang berhasil memenuhi atau bahkan melebihi manfaat yang diharapkan atau ditargetkan sebelumnya, berdasarkan perhitungan semacam ROI atau kepuasan pemakai (user satisfaction);
•
Biaya aktual pengeluaran teknologi informasi yang dinyatakan sebagai persentasi total pengeluaran dibandingkan dengan target yang telah direncanakan;
•
Biaya aktual pengeluaran teknologi informasi yang dinyatakan sebagai persentasi total pemasukan (revenue) dibandingkan dengan target yang telah direncakan; dan lain sebagainya.
Sementara itu, KPI yang dapat dipergunakan sebagai indikator kinerja adalah sebagai berikut: •
Persentasi proyek teknologi informasi yang menggunakan standar baku model investasi dan penganggaran;
•
Durasi pemantauan dan revisi anggaran secara berkala;
•
Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kasus terjadinya penyimpangan dengan pelaporan;
•
Persentasi proyek teknologi informasi yang melewati tahap evaluasi investasi;
•
Jumlah proyek teknologi informasi yang berhasil memberikan manfaat sesuai dengan harapan dan besaran investasi yang telah dikeluarkan; dan lain sebagainya.
M A T U R IT Y
M O D E L
COBIT melihat bahwa menerapkan mekanisme governance secara efektif tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, melainkan harus melalui sejumlah tahap “kematangan” tertentu. Paling tidak posisi kematangan sebuah perusahaan terkait dengan
72
keberadaan dan kinerja proses tata kelola investasi teknologi informasi dapat dikategorikan menjadi 6 (enam) tingkatan, yaitu:
0
Adalah posisi kematangan terendah, suatu kondisi dimana perusahaan merasa tidak membutuhkan adanya mekanisme proses investasi teknologi informasi yang baku, sehingga tidak ada samak sekali pengawasan terhadap investasi teknologi informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan;
1
Sudah ada beberapa inisiatif mekanisme perencanaan, tata kelola, dan pengawasan terhadap sejumlah investasi yang dilakukan, namun sifatnya masih ad-hoc, sporadis, tidak konsisten, belum formal, dan reaktif;
2
Kondisi dimana perusahaan telah memiliki kebiasan yang terpola untuk merencanakan dan mengelola investasi teknologi informasi dan dilakukan secara berulang-ulang secara reaktif, namun belum melibatkan prosedur dan dokumen formal.
3
Pada tahapan ini, perusahaan telah memiliki mekanisme dan prosedur yang jelas mengenai tata cara dan manajemen proses investasi teknologi informasi, dan telah terskomunikasikan serta tersosialisasikan dengan baik di seluruh jajaran manajemen perusahaan;
4
Merupakan kondisi dimana manajemen perusahaan telah menerapkan sejumlah indikator pengukuran kinerja kuantitatif untuk memonitor efektivitas pelaksanaan manajemen investasi teknologi informasi; dan
5
Level tertinggi ini diberikan kepada perusahaan yang telah berhasil menerapkan prinsip-prinsip governance secara utuh dan mengacu pada best practice, dimana secara utuh telah diterapkan prinsip-prinsip governance, seperti: transparency, accountability, responsibility, dan fairness.
Sumber: ITGI, 2000
Dengan adanya maturity level model, maka perusahaan dapat mengetahui posisi kematangannya saat ini, dan secara kontinyu serta berkesinambungan harus berusaha
73
untuk meningkatkan levelnya sampai ke tingkat tertinggi agar aspek governance terhadap proses investasi teknologi informasi dapat berjalan secara efektif.
74
18. Konsep Total Value of Opportunity dari Gartner Total Value of Opportunity atau TVO adalah sebuah metodologi pendekatan analisa costbenefit terhadap investasi teknologi informasi yang dilakukan di dalam sebuah bisnis perusahaan. Karena sifatnya yang sangat kompleks – dalam arti kata melibatkan sejumlah formula perhitungan yang mempertimbangkan aspek-aspek semacam manfaat bisnis, resiko yang dihadapi, maupun tingkat kesiapan organisasi – perhitungan TVO dibantu dengan sebuah aplikasi berbasis web. Adapun keistimewaan dari metodologi yang diperkenalkan lembaga riset terkemuka Gartner ini adalah ruang lingkup analisanya yang sangat mendalam karena melibatkan tiga aspek konstituen utama di dalam perusahaan yang kerap saling konflik, masing-masing adalah: bisnis, teknologi informasi, dan keuangan.
Secara struktur logika, anatomi TVO terbagi menjadi tiga layer, yaitu: Value Questions, TVO Applied Methodologies, dan TVO Software Flow. Metode analisa berangkat dari sejumlah pertanyaan mendasar yang merupakan kunci dari setiap keputusan bisnis yang terkait dengan investasi teknologi informasi, masing-masing adalah: 1.
What is the initiative?
2.
How will we meassure business value?
3.
What does the technology do?
4.
How much benefits will we receive?
5.
How much does it cost?
6.
How do we take into account future uncertainty?
7.
Is the enterprise positioned to exploit the capabilities?
Masing-masing pertanyaan tersebut kemudian akan dijawab dengan metode yang pernah dikenal – dan dipandang efektif – sebagai cara untuk menyelesaikannya. Misalnya adalah pertanyaan pertama yang akan secara baik dijawab dengan menggunakan metode Project Description and Investment Framework yang diperkenalkan oleh MIT Sloan School of
75
Management, atau pertanyaan kelima yang dengan baik akan terjawab jika digunakan pendekatan Total Cost of Ownership (PCO) dalam menghitung total biaya investasi, atau pertanyaan terakhir yang akan mengarah pada dipergunakannya paradigma lima pilar kapabilitas yaitu strategic assessment, business process impact, architecture, direct payback, dan risk assessment. Ketujuh metode yang saling berhubungan tersebut kemudian secara kompleks akan men-drive cara kerja aplikasi yang dipergunakan untku membantu melakukan kalkulasi TVO yang dimaksud. Untuk mempermudah mengetahui bagaimana hasil dari TVO dapat membantu manajemen di dalam mengambil keputusan terhadap rancangan investasi yang akan dilakukan, dapat dilihat melalui sebuah contoh proyek dengan ruang lingkup penerapan konsep supply chain yang bertujuan untuk mengurangi jumlah kesalahan dan meningkatkan ketepatan pengiriman dengan profil investasi dan manfaat sebagai berikut:
Profil ini kemudian dimasukkan sebagai input ke dalam software TVO dan akan menghasilkan initial outputs sebagai berikut:
Seperti yang terlihat pada anatomi software TVO, output ini dihasilkan setelah perangkat lunak tool tersebut melakukan kalkulasi terhadap input yang diberikan dengan menerapkan sejumlah teori dan konsep seperti: Framework Prime and Aggregates, IT 76
Capabilities, TCO, Future Value, dan lain sebagainya. Initial Output ini kemudian diolah kembali untuk didiagnosa sehingga dihasilkan Final Output sebagai berikut:
Dari Final Output tersebut jelas terlihat bahwa dari overall score yang dihasilkan adalah 57%, yang dalam tabel berada pada wilayah range 51%-75%, dimana mengandung arti: ”Rencana investasi terkait dipandang baik, hanya saja butuh sejumlah penyempurnaan (fine tuning)”. Sebagai catatan, sejumlah perusahaan besar yang telah mengadopsi TVO sebagai metode analisa cost-benefit adalah: Microsoft, SAP, Intel, Cisco, JP Morgan Chase, Black and Decker, Cognos, Hyperion, Kintana, Captaris, dan Newroads.
77
19. Pendekatan I.T. Value Chain Management dari Alinean Pada tahun 2002 perusahaan konsultan terkemuka dunia Ernst and Young menghasilkan sebuah riset yang salah satu kesimpulannya memperlihatkan bahwa hampir 79% perusahaan pada saat ini menggunakan ROI dalam menganalisa investasi teknologi informasinya. Walaupun demikian, 65% dari perusahaan respondennya mengaku tidak tahu secara pasti apakah cara penghitungan ROI-nya sudah benar atau tidak jika diterapkan pada investasi teknologi informasi. 75% dari mereka juga menyatakan tidak memiliki prosedur yang jelas dan baku, maupun anggaran yang tersedia, dalam usahanya memakai ROI sebagai formula perhitungan. Bahkan 68% dari mereka tidak menggunakan ROI lagi setelah sebuah proyek teknonologi informasi selesai sebagai bahan pengukuran. Dengan kata lain, terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, nampaknya ROI masih menjadi “satu-satunya” bahasa investasi yang disepakati oleh para stakeholder perusahaan. Oleh karena itu, untuk tidak membuat perhitungan menjadi misleading, sebuah perusahaan konsultan Alinean memperkenalkan metode yang diberi nama IT Value Chain Management untuk menganalisa dan mengukur cost-benefit dari implementasi teknologi informasi berbasis proyek. Metodologi IT Value Chain Management dibagi menjadi empat langkah, yaitu masingmasing (Alinean, 2002): 1.
Project ROI
2.
Project Optimisation and Budgeting
3.
Corporate Financial Impact
4.
Competitive Peer Comparison
Keempat langkah tersebut berada di dalam dua buah domain perspektif, masing-masing adalah perspektif makro dan mikro (dalam kaitannya dengan dampak terhadap bisnis perusahaan yang terjadi karena diimplementasikannya teknologi informasi), dan perspektif internal dan eksternal (terkait dengan stakeholders yang memperoleh manfaat dari teknologi informasi).
78
Sumber: Alinean, 2002
L A N G K A H
1 :
P R O J E C T
R O I
Idealnya, setiap proyek teknologi informasi diharapkan mengarah pada tujuan peningkatan profitabilitas usaha yang ditandai dengan meningkatnya pendapatan perusahaan atau berkurangnya total biaya yang harus dikeluarkan. Hal ini diharapkan dapat terjadi - secara langsung maupun tidak langsung – setelah sebuah proyek teknologi informasi selesai dilaksanakan. Dengan kata lain, harus terdapat kinerja perbaikan yang jelas pada saat sebelum inisiatif teknologi informasi diimplementasikan (As-Is) dan setelah aplikasi teknologi informasi diterapkan (To-Be). Jika hal ini tidak terwujud tentu saja para sponsor proyek tidak akan bersedia menyisihkan sumber daya keuangannya untuk dialokasikan pada proyek teknologi informasi yang diusulkan.
Sumber: Alinean, 2002
Setiap proyek teknologi informasi pasti diusulkan karena adanya kebutuhan atau tuntutan tertentu dari bisnis (business case). Oleh karena itu, cara lain mengidentifikasan adanya
79
manfaat dari dilaksanakannya sebuah proyek teknologi informasi adalah terjadinya benefit value yang merupakan hasil pengurangan dari proposed plan (usulan pelaksanaan proyek teknologi informasi) dengan kondisi yang ada saat ini, atau dapat dinyatakan dengan formula: Value =
(Cost and Benefit with IT Investment) – (Cost and Benefit without IT Investment)
Nilai value tersebut haruslah positif karena berarti (Benefit-Cost) ketika investasi dilakukan (To-Be) jauh lebih besar dibandingkan dengan (Benefit-Cost) jika investasi tidak dilakukan (As-Is). Adapun indikator finansial yang biasa dipergunakan dalam menghitung cost-benefit terkait dengan proyek teknologi informasi ini adalah: ROI, NPV, IRR, dan Payback Period.
Sumber: Alinean, 2002
Dimana masing-masing indikator tersebut akan melibatkan sejumlah formula dan variabel tertentu terkait dengan total biaya yang harus diperkirakan dan perkiraan manfaat yang dapat diperoleh seperti yang diperlihatkan pada gambar berikut.
Sumber: Alinean, 2002
80
Sumber: Alinean, 2002
Untuk dapat mengukur manfaat secara tepat, tentu saja dibutuhkan pengetahuan yang cukup untuk dapat mengidentifikasi tidak saja tangible benefits tetapi memasukkan juga unsur-unsur intangible benefits. Demikian pula di dalam menghitung total cost, harus dimasukkan pula asumsi-asumsi terkait dengan sejumlah resiko yang kerap dihadapi proyek teknologi informasi.
L A N G K A H 2 : B U D G E T IN G
P R O J E C T
O P T IM IZ A T IO N
A N D
”We don’t have all the money in the world” artinya adalah bahwa setiap perusahaan memiliki keterbatasan anggaran untuk dialokasikan terhadap sejumlah usulan atau inisiatif proyek teknologi informasi. Untuk itu, perusahaan harus melakukan proses seleksi dan prioritasi terhadap semua usulan proyek teknologi informasi yang ada. Cara pertama adalah dengan membuat tabel detail dan grafik ilustrasi mengenai profil masing-masing proyek seperti contoh berikut.
81
Sumber: Alinean, 2002
Berdasarkan tabel dan gambar di atas, maka dapat dilakukan proses seleksi melalui sejumlah kriteria dan perhitungan berbasis pada data ROI, resiko, biaya total, NPV, IRR, dan Payback Period. Katakanlah hasil perhitungan memperlihatkan bahwa dua proyek dapat ditunda atau tidak dilaksanakan karena nilai atau score-nya yang rendah, yaitu masing-masing: proyek Security Improvement dan proyek Human Capital Management Automation. Maka dapatlah disusun perkiraan anggaran yang dibutuhkan seperti yang diperlihatkan pada tabel berikut.
Sumber: Alinean, 2002
L A N G K A H
3 :
C O R P O R A T E
F IN A N C IA L
IM P A C T
Setelah anggaran dan perhitungan cost-benefit selesaikan dikerjakan barulah langkah berikutnya dilakukan, yaitu memetakan hasil perhitungan tersebut ke dalam bahasa standar keuangan perusahaan, yang dalam bentuk terkecilnya direpresentasikan dalam chart of account.
82
Sumber: Alinean, 2002
Dengan telah dipetakannya perhitungan tersebut, maka dengan sendirinya biaya dan manfaat seluruh proyek teknologi informasi telah diintegrasikan dengan seluruh komponen biaya dan manfaat perusahaan sehingga dapat diperoleh balance sheet, cash flow, dan income statement yang terpadu dan telah mereprentasikan profil proyek teknologi informasi – sehingga dapat dengan mudah dimengerti oleh para stakeholder terkait.
Sumber: Alinean, 2002 L A N G K A H
4 :
C O M P E T IT I V E
P E E R
C O M P A R IS O N
Langkah terakhir yang kerap dilaksanakan oleh perusahaan moderen adalah melakukan komparasi atau benchmarking terhadap para saingan atau perusahaan di industri sejenis untuk membandingkan presentasi dan besarnya investasi teknologi informasi yang telah dan akan dilakukan. Sejumlah indikator tambahan dapat dipergunakan untuk memperoleh nilai perbandingan yang akurat dan relevan, misalnya dengan menggunakan konsep EVA atau Economic Value Added dan Information Productivity. 83
Sumber: Alinean, 2002
Tujuan dari dilakukannya perbandingan tersebut untuk dapat mengevaluasi apakah perusahaan cenderung melakukan over investment atau under investment disamping untuk melihat tingkat keunggulan kompetitif antara perusahaan dengan kompetitornya, sehingga usaha perbaikan dapat secara terus menerus dilakukan.
84
20. Analisa Investasi Proyek Sistem Keamanan Jaringan Dewasa ini, hubungan antara bisnis dan teknologi informasi bukan lagi merupakan sebuah relasi demand-supply belaka, tetapi keduanya telah menjadi suatu kesatuan yang tak terpisahkan. Fenomena ini terutama terjadi pada perusahaan moderen yang telah menyadari bahwa informasi telah menjadi salah satu faktor produksi penting disamping empat sumber daya lain yang lebih dikenal sebagai 4M (men, machines, materials, dan money). Dalam konteks ini, jelas terlihat bahwa manajemen perusahaan harus memiliki mekanisme efektif untuk mengelola proses penciptaan, penyimpanan, penyaluran, dan pengawasan terhadap informasi ini agar keberadaannya benar-benar dapat menjadi sebuah entiti strategis bagi perusahaan. Melihat bahwa pada dasarnya wujud informasi merupakan sebuah content yang berada dalam sebuah ”container” yang bernama teknologi informasi (konvergensi antara teknologi komputer dan telekomunikasi), maka faktor pengelolaan terhadap teknologi ini menjadi sangat krusial. Bukan merupakan rahasia umum lagi bahwa di era internet ini, banyak terjadi berbagai tindakan kriminal berkaitan dengan pencurian informasi penting dan rahasia yang dimiliki oleh perusahaan. Tindakan ini tidak saja bermuara pada terjadinya kerugian langsung yang harus ditanggung/diderita oleh pihak perusahaan terkait, tetapi lebih jauh lagi dapat menjadi ancaman terhadap keberadaan dan perkembangan teknologi informasi sebagai suatu alat bantu untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia pada umumnya dan aktivitas bisnis (pertukaran barang dan jasa) pada khususnya. Walaupun jelas terlihat dalam kerangka ini bahwa sudah saatnya manajemen perusahaan menaruh perhatian serius terhadap kondisi sistem keamanan jaringan teknologi informasinya, namun pada kenyataannya hanya sedikit sekali pimpinan perusahaan yang memutuskan untuk menyisihkan sebagian anggarannya untuk membangun sistem yang efektif. Memperhatikan bahwa salah satu alasan yang dikemukanan adalah tidak jelasnya manfaat riil yang diperoleh untuk menjustifikasi biaya yang telah dikeluarkan, artikel ini bertujuan untuk memberikan beberapa alternatif pendekatan seputar teknik analisa dan perhitungan cost-benefit terhadap isu terkait. Harapannya adalah agar para eksekutif perusahaan yang ingin mengembangkan sistem keamanan jaringannya tidak harus merasa takut akan terjadinya”over investment” (investasi yang berlebih) dalam mengeksekusi keputusan alokasi biaya terkait. D O M A IN
R E S IK O
K E A M A N A N
Berkaitan dengan aktivitas yang terjadi pada perusahaan, paling tidak ada 3 (tiga) domain resiko keamanan yang harus benar-benar diperhatikan, masing-masing adalah (Indrajit, 2002): •
Domain Relasi Internal
•
Domain Relasi Konsumen
•
Domain Relasi Mitra Bisnis
Domain Relasi Internal berkaitan dengan pengelolaan informasi (penciptaan, penyimpanan, penyaluran, dan pengawasan) yang melibatkan berbagai entiti bisnis – yang saling terkait satu lainnya – dalam batasan wilayah organisasi usaha. Contohnya adalah informasi yang mengalir antar departemen, antar fungsi, antar jabatan, antar unit bisnis, dan lain-lain. 85
Domain Relasi Konsumen berkaitan dengan pengelolaan informasi pada suatu wilayah yang terbentuk karena adanya interaksi antara perusahaan dengan pelanggannya. Contohnya adalah informasi profil pelanggan, informasi transaksi melalui internet, informasi pembayaran dengan kartu kredit, informasi jual-beli produk, dan lain-lain. Domain Relasi Mitra Bisnis berkaitan dengan pengelolaan informasi dalam suatu wilayah kolaborasi antara perusahaan dengan sejumlah mitra bisnisnya, seperti para supplier, vendor, lembaga keuangan, dan lain sebagainya. Dalam kerjasama ini, beragam informasi mengalir dari perusahaan ke sejumlah mitra bisnis dan sebaliknya. Contohnya adalah informasi berkaitan dengan pemesanan barang, peminjaman kredit di bank, kontrak kerjasama, dan lain-lain. T IP E
R E S IK O
B IS N IS
Dengan mengetahui tiga domain di atas, maka manajemen dengan mudah dapat mengidentifikasi jenis dan tingkat resiko bisnis apa saja yang perlu untuk dipahami dan diperhatikan secara sungguh-sungguh. Resiko Keamanan Internal Dalam domain relasi internal, informasi memiliki dua peranan strategis. Peranan pertama adalah keberadaan informasi sebagai salah satu faktor produksi penting yang secara langsung terlibat dalam proses penciptaan barang dan/atau jasa. Dengan adanya informasi ini diharapkan proses utama tersebut (core processes) dapat dilangsungkan secara efektif dan efisien. Termasuk di dalam proses ini adalah aktivitas perencanaan korporat, aktivitas pengelolaan sumber daya, aktivitas pengambilan keputusan, dan lain sebagainya. Sehubungan dengan hal ini, faktor keamanan data dan/atau informasi yang buruk akan memiliki dampak langsung kepada perusahaan, misalnya: •
Masuknya virus yang merusak data dan/atau informasi yang dimiliki perusahaan akan membuat kegiatan produksi perusahaan terganggu;
•
Bocornya data dan/atau informasi rahasia perusahaan ke tangan kompetitor (terutama yang berkaitan dengan hak milik intelektual) dapat mendatangkan kerugian yang sangat besar;
•
Hilangnya data dan/atau informasi krusial dapat menghentikan sejumlah proses dan aktivitas internal perusahaan;
•
Dirubahnya sejumlah data dan/atau informasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab akan membuat keputusan strategis yang diambil menjadi salah;
•
Rusaknya sistem email dapat menurunkan efisiensi kinerja karena sulitnya melakukan komunikasi; dan lain sebagainya
Resiko terbesar yang dihadapi oleh perusahaan sehubungan dengan hal ini adalah terganggunya atau terhentinya proses produksi yang berarti hilangnya kesempatan perusahaan untuk menawarkan produk dan/atau jasanya kepada pelanggan – yang berarti pula ancaman terhadap eksistensi usaha.
86
Peranan kedua dari informasi adalah sebagai alat bantu terciptanya kontrol internal yang baik di dalam perusahaan – terutama yang berkaitan dengan aspek ”good corporate governance” yang belakangan ini mutlak dituntut oleh mayoritas stakeholder organisasi. Sejumlah kasus keamanan yang kerap terjadi sehubungan dengan hal ini misalnya: •
Manipulasi laporan keuangan dan perpajakan karena buruknya sistem keamanan aplikasi maupun database perusahaan;
•
Diubahnya data dan/atau informasi sejumlah ukuran kinerja bisnis pada masing-masing unit atau departemen agar tidak terlihat adanya kinerja buruk yang terjadi;
•
Digantinya isi dari sejumlah dokumen arsip agar tidak terkena jeratan hukum;
•
Dibukanya dokumen-dokumen rahasia oleh mereka yang tidak berhak untuk mengaksesnya; dan lain sebagainya.
Adapun resiko terbesar yang dihadapi oleh perusahaan jika faktor keamanan terhadap data dan/atau informasi tidak terjaga dalam konteks ini adalah potensi terjadinya ”chaos” atau kekacauan internal, yang tentu saja akan berdampak langsung dan sangat buruk terhadap operasional usaha. Resiko Keamanan Konsumen Perusahaan dapat eksis menjalankan usahanya karena adanya konsumen yang setia membeli produk dan/atau jasa yang ditawarkan. Dengan kata lain, konsumen merupakan faktor penentu dari hidup matinya usaha. Dalam menjalankan bisnisnya sehari-hari, tentu saja terjadinya relasi yang intens antara perusahaan dengan para konsumennya. Dan di dalam era internet seperti saat ini, sejumlah dan beragam interaksi antara perusahaan dengan konsumennya terjadi di dunia maya. Berbeda dengan resiko kemanan internal dimana hanya kalangan terbatas saja terhubung dengan jaringan komputer perusahaan, di dalam dunia maya, puluhan bahkan ratusan juta individu maupun kelompok saling terhubung satu dengan yang lain – sehingga secara langsung meningkatkan kompleksitas dan mempertinggi resiko terjadinya tindak kejahatan terhadap perusahaan melalui pencurian maupun pengrusakan terhadap informasi yang mengalir di internet.
Sumber: Indrajit, 2002
87
Paling tidak ada tiga jenis resiko keamanan yang dapat terjadi dalam konteks relasi ini: •
Resiko keamanan yang berpotensi mendatangkan kerugian bagi konsumen;
•
Resiko keamanan yang berpotensi mendatangkan kerugian bagi perusahaan; dan
•
Resiko keamanan yang berpotensi mendatangkan kerugian bagi kedua belah pihak.
Jenis pertama merupakan ancaman nyata terhadap para konsumen yang menginginkan untuk melakukan transaksi jual beli melalui internet (e-commerce). Tindakan kriminal yang telah terjadi di dunia maya dimana dampaknya sangat merugikan para konsumen adalah: •
Pencurian nomor kartu kredit, sehingga orang lain yang tidak berhak dapat dengan leluasa mempergunakannya untuk berbelanja di internet;
•
Penyadapan data dan/atau informasi yang bersifat ”privacy” dimana sering disalahgunakan oleh mereka yang mencurinya untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan (spamming, pemerasan, marketing, dll.);
•
Pengambilan kata kunci rahasia (password) sehingga dapat disalahgunakan orang lain (melakukan pemesanan palsu, mengganti konten, memfitnah, mengadu domba, dll.); dan lain sebagainya.
Jenis kedua adalah hal-hal yang berpotensi mendatangkan kerugian bagi perusaaan, seperti yang terjadi karena aktivitas kriminal sebagai berikut: •
Pemesanan palsu terhadap sejumlah barang yang telah dikirimkan ke konsumen dan kembali lagi ke perusahaan;
•
Penjualan produk dan/atau jasa kepada pihak yang tidak berhak;
•
Tidak dapat diaksesnya situs jual beli karena dirusak (diboikot);
•
Pengambilan produk digital tanpa meninggalkan catatan jual-beli; dan lain sebagainya.
Dalam situasi dimana terjadi sejumlah tindakan kriminal sekaligus, tentu saja kedua pihak yaitu masing-masing konsumen dan perusahaan mengalami kerugian secara bersamasama. Resiko Keamanan Mitra Bisnis Seperti halnya pada konsumen, terdapat tiga jenis resiko yang terkait dengan relasi ini, yaitu masing-masing: •
Resiko keamanan yang berpotensi mendatangkan kerugian bagi mitra bisnis;
•
Resiko keamanan yang berpotensi mendatangkan kerugian bagi mitra perusahaan;
88
•
Resiko keamanan yang berpotensi mendatangkan kerugian bagi kedua belah pihak.
Contoh-contoh kasus kejahatan yang berkaitan dengan ketiga jenis kerugian tersebut antara lain: •
Pemesanan palsu yang dilakukan oleh pihak yang berhasil masuk ke dalam domain akses jaringan sehingga pihak pemasok (supplier) mengirimkan bahan baku kepada perusahaan yang tidak membutuhkannya;
•
Proses autorisasi dan autentifikasi yang seolah-oleh telah berjalan dengan sempurna padahal sifatnya semu (menjalankan program aplikasi yang ”ditanam” oleh pelaku kejahatan);
•
Penggunaan ”signature” palsu untuk melakukan transaksi dan/atau pengaksesan terhadap dokumen dan arsip rahasia; dan lain sebagainya.
T IN G K A T
K R IT IK A L IT A S
K E A M A N A N
Melihat sejumlah kasus yang pernah terjadi – dan beragam trend kejahatan yang mengancam tersebut – perusahaan dapat memilahnya menjadi tiga jenis resiko, yaitu (Indrajit, 2002): •
Resiko Besar – keadaan dimana jika terjadi suatu kasus kejahatan tertentu, perusahaan akan terancam keberadaan atau eksistensinya;
•
Resiko Menengah – keadaan dimana jika terjadi suatu kasus kejahatan tertentu, perusahaan akan mengalami kerugian yang cukup signifikan walaupun tidak sampai mengancam keberadaannya; dan
•
Resiko Kecil – keadaan dimana jika terjadi suatu kasus kejahatan tertentu, kerugian yang terjadi tidak terlampau mempengaruhi kinerja perusahaan secara keseluruhan.
Jika tingkat resiko ini dikaitkan dengan tipe resiko bisnis yang telah dikemukakan sebelumnya, akan dapat diperoleh sebuah matriks yang memperlihatkan portofolio tingkat kritikalitas sistem keamanan jaringan ditinjau dari resiko bisnis terburuk yang dapat ditimbulkan. Secara jelas terlihat dalam matriks tersebut, hal-hal mana saja yang termasuk di dalam kategori resiko besar, menengah, dan kecil. Berdasarkan pemetaan ini, terdapat tiga jenis keputusan yang perlu diambil oleh manajemen perusahaan terkait dengan strategi pengembangan sistem keamanan jaringan, masing-masing adalah: •
Terhadap ancaman kejahatan yang beresiko besar, sewajarnya perusahaan berusaha untuk membangun sistem keamanan jaringan terkait ”at any cost”, dalam arti kata tanpa mempertimbangkan lagi seberapa besar biaya yang harus dikeluarkan. Hal ini wajar mengingat jika terjadi kasus, keberadaan perusahaan dalam keadaan terancam.
•
Terhadap ancaman kejahatan yang beresiko menengah, perusahaan biasanya akan mengadakan perhitungan cost-benefit mengingat ancaman yang ada
89
terkait dengan hilangnya sumber daya finansial. Pada saat ini biasanya perusahaan akan menganggarkan keuangannya secara wajar sesuai dengan resiko yang dihadapi. •
Terhadap ancaman kejahatan yang beresiko kecil, biasanya perusahaan memutuskan untuk membangun sistem keamanan dengan standar minimum saja.
Sumber: Indrajit, 2002
P E R H IT U N G A N
C O S T -B E N E F IT
Dari matriks yang sama, dapat dilihat adanya 9 (sembilan) jenis kategori perhitungan costbenefit yang dapat dijadikan pedoman bagi para pengambil keputusan. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing skenario dimaksud (Indrajit, 2002). Investasi ”Resiko Besar” Prinsip yang dipergunakan di dalam kategori ini adalah perusahaan harus secara mutlak memiliki sistem keamanan jaringan – jika tidak ingin suatu ketika nanti gulung tikar pada saat terjadi kasus kejahatan. Jadi keberadaannya bersifat mutlak. Ditinjau dari segi manfaat (benefit), jelas terlihat bahwa dengan adanya sistem jaringan keamanan yang baik, perusaaan ”terbebas” dari sebuah resiko yang mengancam eksistensinya. Justifikasi biaya (cost) yang harus dikeluarkan, sangat terkait erat dengan domain resiko keamanan yang ada: •
Pada Domain Relasi Internal, biasanya biaya yang harus dikeluarkan untuk melindungi perusahaan dari ancaman kejahatan jaringan tidak lagi sekedar menjadi sebuah biaya investasi, tetapi lebih merupakan sebuah ”overhead” – yang dibebankan sebagai biaya operasional – sehari-hari karena sifatnya yang mutlak. Secara kontinyu dan berkala sistem keamanan jaringannya harus selalu diawasi dan dievaluasi, dan tentu saja diremajakan sesuai dengan perkembangan teknologi baru yang ada.
•
Pada Domain Relasi Mitra Bisnis, perusahaan memiliki kesempatan untuk dapat memperkecil biaya yang harus dikeluarkan dengan cara mengajak para mitranya untuk berbagi biaya (cost sharing). Hal ini dimungkinkan mengingat 90
resiko yang sama (walau mungkin dengan derajat yang berbeda) dihadapi pula oleh mitra bisnis terkait, sehingga dengan sedikit usaha negosiasi, perusahaan tidak harus sendirian mengalokasikan sumber daya finansialnya untuk membangun sistem keamanan jaringan. •
Pada Domain Relasi Konsumen, keadaan cukup berbeda, mengingat banyaknya jumlah konsumen yang perlu dilayani. Dalam kerangka ini, usulan implementasi anggaran ”tak terbatas” dapat dilakukan dengan cara mengajak pihak ketiga untuk bersama-sama berinvestasi dalam mengelola resiko yang ada. Contohnya adalah perusahaan asuransi yang memberikan tawaran perlindungan terhadap transaksi elektronik, dimana jika terjadi kejahatan, yang bersangkutan akan mengganti kerugian konsumen; sementara jika kejahatan tidak terjadi, perusahaan asuransi mendapatkan persentasi dari nilai transaksi. Dalam kerangka ini, kedua belah pihak sepakat untuk memilih suatu sistem jaringan yang terjangkau biayanya (affordable), namun memiliki kinerja yang cukup baik (bukan ”state-of-the-arts”). Perjanjian bisnis lain dapat juga terjadi antara perusahaan dengan beragam industri terkait, misalnya dengan vendor teknologi informasi, perusahaan jasa kemanan jaringan, konsultan, atau dengan pihak-pihak lainnya.
Investasi ”Resiko Menengah” Dalam situasi dimana ancaman keamanan memiliki resiko yang langsung terhadap profitabilitas perusahaan ini (terjadi potensi pengurangan pendapatan dan peningkatan biaya yang dapat dikuantifikasikan), besarnya investasi yang dikeluarkan perusahaan akan sangat tergantung dari perhitungan tertentu. •
Pada Domain Relasi Internal, formula yang biasa dipergunakan cukup mudah. Anggaplah dengan adanya virus yang masuk ke dalam sistem, maka produktivitas perusahaan menurun sebesar 25%. Maka potensi kerugian perusahaan yang timbul dalam satu hari adalah nilai tersebut dikalikan dengan rata-rata pendapatan perusahaan yang diperoleh dalam satu hari. Dengan kata lain perusahaan akan dapat mengira-ngira hilangnya potensi pendapatan yang ada dalam satu tahun. Angka tersebut kemudian dipakai untuk menghitung nilai investasi sistem jaringan keamanan dan ROI yang terjadi sebagai bahan pengambilan keputusan. Cara kedua adalah dengan menghitung biaya yang harus dikeluarkan seandainya terjadi masalah terkait dengan rusaknya sistem jaringan yang dipergunakan. Katakanlah untuk memperbaikinya, dibutuhkan biaya X, dan kejadian tersebut terjadi hampir setiap bulan. Maka dapat dengan mudah manajemen menghitung biaya yang harus dikeluarkan dalam waktu satu tahun hanya untuk memperbaiki sistem terkait agar bisnis dapat berjalan kembali secara normal.
•
Pada Domain Relasi Mitra Bisnis, biasanya untuk sistem dengan resiko menengah ini kedua perusahaan yang bermitra berada dalam posisi ”seimbang” dimana keduanya dapat bersama-sama membangun sistem unik (proprietary) yang didedikasikan untuk kepentingan bersama. Mengenai keputusan jumlah biaya yang perlu dialokasikan, biasanya selain faktor resiko dilihat pula ”business value” yang dapat dinikmati oleh kedua belah pihak.
•
Pada Domain Relasi Konsumen, angka besarnya investasi untuk membangun sistem keamanan jaringan dihitung melalui potensi kerugian yang mungkin 91
terjadi dalam setiap kasus kejahatan, dikalikan dengan angka probabilitas/ kemungkinan terjadinya tindakan kriminal tersebut. Untuk keperluan tersebut, perusahaan harus memiliki daftar jenis kejahatan yang mungkin terjadi dengan potensi kerugian dan probabilitas frekuensi kejadian sebelum akhirnya dapat memperkirakan total biaya yang layak untuk diinvestasikan. Investasi ”Resiko Rendah” Terhadap jenis ancaman beresiko rendah, biasanya prioritas pengembangan sistem keamanan jaringan juga menjadi kecil di mata manajemen perusahaan. Bisa dikatakan keberadaan sistem ini bersifat ”optional” atau ”nice to have”. Paling tidak dalam situasi ini perusahaan memutuskan untuk menginstalasi sistem keamanan jaringan dengan standar paling minimum. •
Pada Domain Relasi Internal, manajemen perusahaan biasanya melakukan proses perbandingan (benchmarking) di perusahaan pada industri sejenis terhadap jumlah alokasi atau persentasi biaya yang didedikasikan untuk membangun dan memelihara sistem jaringan keamanan.
•
Pada Domain Relasi Mitra Bisnis, ada kesempatan dimana perusahaan ”melimpahkan” atau memberikan keleluasaan kepada mitra bisnisnya untuk membangun sistem terkait, mengingat keberadaan sistem ini bagi perusahaan bersifat ”tidak mendesak” sementara mungkin bagi mitra bisnis bersifat sebaliknya.
•
Pada Domain Relasi Konsumen, hal yang kurang lebih sama terjadi. Mengingat bahwa kerugian yang diderita perusahaan tidak terlampau signifikan, maka faktor resiko dan biayanya, diserahkan atau dilimpahkan kepada para konsumen yang ingin melakukan transaksi. Hal ini akan berjalan secara efektif terutama jika konsumen juga memandang resiko kerugian yang dihadapi cukup rendah seandainya terjadi ancaman keamanan.
Pada akhirnya, pengalaman memperlihatkan bahwa keputusan untuk menentukan apakah perusahaan akan membangun sistem keamanan jaringannya atau tidak akan sangat tergantung dari dua hal utama, yaitu: peranan sistem dan teknologi informasi bagi perusahaan terkait dan pola atau gaya manajemen pimpinan perusahaan. Jika keberadaan atau posisi sistem dan teknologi informasi sangat kritikal bagi perusahaan (terkait dengan peranannya dalam melancarkan rangkaian proses bisnis inti atau ”core processes”), maka jelas permasalahan keamanan jaringan merupakan hal yang mutlak diperhatikan. Sebaliknya jika tidak, maka pemikiran terhadap perlu tidaknya dilakukan pembangunan terhadap sistem keamanan jaringan menjadi hal yang tidak mendapatkan prioritas utama. Ditinjau dari gaya kepemimpinan, seorang ”risk taker” biasanya justru berani mengambil resiko dengan cara tidak perlu memperhatikan sungguh-sungguh terhadap isu keamanan ini; sementara seorang ”risk averse” biasanya justru tertarik untuk mencari jalan bagaimana agar segala resiko yang mengancam kelanggengan usaha bisnisnya dapat diminimalisasi. Seperti yang sering terjadi dalam fenomena kehidupan sehari-hari, seorang kepala rumah tangga tidak akan pernah berfikir untuk menyisihkan sebagian pendapatannya guna membeli sistem alarm rumah, sampai tetangga atau teman dekatnya mengalami musibah perampokan. 92
Referensi Alavi, M. (1984). An Assessment of the Prototyping Approach to IS Development. Communciations of the ACM, 27, 6, 556-63. Alinean. (2002). Aligning IT Investment Strategies with Business Value: Cost Justifying IT Investments using ROI and IT Value. Presentation by Tom Pisello, CEO and Founder. Fisher, S. (2000). “Metrics for e-Success,” CTO FirstMover, 15 May, 27-3- (www.infoworld.com). Gartner, (2002). Gartner Business Performance Framework and Total Value of Opportunity: Measure the Business Value of IT Initiatives. Gartner Presentation by Rudi Roegiers, USA. Hertz, D. (1990). Risk Analysis in Capital Investment. In Dyson, G. (ed.) Strategic Planning: Models and Analytical Techniques. John Wiley, Chichester. Hirschheim, R. (1985). Office Automation: a Social and Organisational Perspective. John Wiley, Chichester. House, E. (ed.) (1983). Philosophy of Evaluation. Sage, San Fransisco and London. Indrajit, Richardus Eko. (2002). Isu dan Strategi Sistem Keamanan Jaringan, STIBANAS Applied Technology Center Bulleting, 2002. ITGI. (2000). COBIT Management Guidelines 3rd Edition. Information System Audit and Control Foundation, IT Governance Institute, Rooling Meadow, Illinois, USA. Keen P.G.W. Value Analysis: Justifiying Decision Support Systems. MIS Qtly (March). King, J. and Schrems, E. (1978). Cost Benefit Analysis in IS Development and Operation. Computing Surveys, March, 19-34. Kumagai, William. (2002). Public Sector Challenges in 2002. Gartner Consulting-MISAC, United States. Martin, R. (1989). The Utilisation and Efficiency of IS: a Comparative Analysis. Oxford Institute of Information Management, Templeton Cllege, Oxford. Melone, N. and Wharton T. (1984). Strategies for MIS Project Selection. Journal of Systems Management, 32, 2, 26-37. Parker, M, and Benson, R. With Trainor, H. (1987). Information Economics. Prentice-Hall, Englewood Cliffs, NJ. Project Management Institute. (1993). Project Management Body of Knowledge. PMI Publishing, Maryland, USA. Radcliffe, R. (1982). Investment: Concepts, Analysis, Strategy. Scott Foreman, Glenview, Illinois. Remenyi, Dan, Arthur Money, and Alan Twite. (1995). Effective Measurement and Management of IT Costs and Benefits, Butterworth-Heinemann, Oxford. Roach, S. (1994). Lessons of the Productivity Paradox. In Gillin, P. (ed.) The Productivity Payoff: the 100 Most Effective Users of Information Technology. Computerworld, Septemebr 19th, Section 2, 55. Rockart, J. (1979). Chief Execurives Define their own Information Needs. Harvard Business Review, 57, 2, 81-93. Scwalbe, Kathy. (2002). Information Technology Project Management, The Course Technology – Thomson Learning. Silk, D.J. (1990). Managing IS Benefits for the 1990s, Journal of Information for MBA Studnets, Henley – The Management College. Strassman, P. (1985). Information Payoff: The Transformation of Work in the Electronic Age. The Free Press, New York. Strassman, P. (1990). The Business Value of Computers, The Information Economics Press. Strassmann, P. (1997a). Do US Firms Spend too much on Information Technology? Interview by Norm Alster. Investor’s Business Daily, April 3rd. Strassmann, P. (1997b) P. The Squandered Computer. Information Economics Press, New Canaan. Wilcocks, Leslie P. and Stephanie Lester. (2000). Beyond the IT Productivity Paradox. John Wiley and Sons, New York.
93
Vaid-Raizda, V. (1983). Incorporation of Intangibles in Comptuer Selection Decisions. Journal of Systems Management, 34, 11, 30-46.
94
Riwayat Hidup
Richardus Eko Indrajit dilahirkan di Jakarta, 24 Januari 1969. Saat ini menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer Perbanas dengan pangkat akademis Lektor Kepala, Direktur Lembaga Riset Renaissance Indonesia, CEO Prime Consulting Indonesia, dan Ketua Forum Komunikasi Program Studi Komputer Kopertis Wilayah III. Menyelesaikan studi sarjananya di Jurusan Teknik Komputer Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, dan memperoleh gelar Master of Science dari Harvard University, Amerika Serikat. Pada saat yang bersamaan, belajar pula di Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Boston University sebelum pada akhirnya menamatkan program Master of Business Administration dari Leicester University, Inggris dan menyelesaikan program doktoralnya di University of the City of Manila, Filipina. Saat ini selain bekerja sebagai konsultan independen di bidang sistem dan teknologi informasi, tercatat pula sebagai dosen di berbagai program sarjana maupun pasca sarjana perguruan tinggi di Indonesia, seperti: Universitas Indonesia, Universitas Atmajaya, Universitas Trisakti, Universitas Bina Nusantara, dan Universitas Pelita Harapan. Selain di perguruan tinggi, aktif pula mengajar di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) dan bergabung dengan berbagai lembaga penelitian. Sebagai konsultan, telah memiliki pengalaman cukup luas di beragam industri seperti manufaktur, telekomunikasi, perbankan, retail, pertambangan, distribusi, kesehatan, infrastruktur, jasa-jasa, dan transportasi. Kurang lebih telah menulis 15 buah buku terkait dengan bidang bisnis, sistem informasi, dan teknologi informasi. Sehari-hari dapat dihubungi melalui email
[email protected] atau handphone (818) 925-926.
95