3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian Daerah penelitian dipilih secara purposive yaitu Desa Sondi Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun, dengan alasan bahwa daerah tersebut merupakan lokasi pelatihan pembuatan pupuk bokashi dan kebutuhan petani terhadap pupuk bokashi paling besar namun besarnya penggunaan petani terhadap pupuk bokashi tidak sesuai dengan kebutuhan tersebut. 3.2. Metoda Pengambilan Sampel Populasi di dalam penelitian ini adalah petani cabai yang ada di Desa Sondi Raya, Kecamatan Raya. Untuk penentuan sampel penelitian, dilakukan dengan metode pengambilan contoh acak kelompok dengan mengelompokkan populasi menjadi 2 kelompok berdasarkan petani cabai peserta pelatihan dan non pelatihan pembuatan bokashi pupuk bokashi. Sampel yang diambil sebanyak 25% dari total jumlah populasi (87 KK) yaitu sebanyak 22 KK, dengan jumlah petani peserta pelatihan sebanyak 11 KK dan petani nonpeserta pelatihan sebanyak
11 KK.
Jumlah kedua kelompok sampel diambil sama dengan alasan karena melihat perbedaan kedua kelompok sampel dalam penggunaan jumlah pupuk bokashi. Distribusi populasi dan sampel penelitian di Desa Sondi Raya, Kecamatan Raya dapat dilihat pada Tabel 3.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3. Jumlah Petani Sampel Penelitian Berdasarkan Petani Cabai Peserta Pelatihan dan Non Pelatihan Pembuatan Pupuk Bokashi di Desa Sondi Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun Tahun 2007 No 1 2
Kelompok Petani Populasi KK Petani Peserta 34 Petani Non Peserta 53 Total 87 Sumber: PPL Kecamatan Raya Tahun 2007
Sampel (KK) 11 11 22
3.3. Metode Pengumpulan Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan responden dengan menggunakan daftar kuisoner yang telah dipersiapkan terlebih dahulu, sedangkan data sekunder diperoleh dari lembaga atau instansi terkait seperti Dinas Pertanian
Simalungun,
Kantor
Kecamatan
Raya
dan
buku-buku
yang
berhubungan dengan penelitian.
3.4. Metode Analisis Data Untuk menguji hipotesis 1 dianalisis dengan menggunakan analisis Skala Likert, sebab hal yang dianalisis adalah sikap petani terhadap teknologi pembuatan pupuk bokashi di daerah penelitian, maka digunakan item positif dan item negatif yaitu: Tabel 4. Skala Likert Skala Likert Sangat tidak setuju (STS) Tidak setuju (TS) Ragu-ragu (R) Setuju (S) Sangat setuju (SS)
Item Positif
Item Negatif
0 1 2 3 4
4 3 2 1 0
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengukur sikap digunakan skala pengukuran sikap likert dengan rumus: Skor standart yang digunakan adalah skor T yaitu: X X T = 50 + 10 S
Keterangan:
T = Skor standa X = Skor responden X = Rata-rata skor kelompok S = Deviasi standart kelompok Kreteria uji apabila T > 50 = sikap positif (Azwar, 1997). Sedangkan untuk menguji hipotesis 2(a dan b) dengan menggunakan analisis deskriptif. Tabel 5. Skor Tingkat Adopsi Komponen Teknologi Pembuatan Pupuk Bokashi Berdasarkan Literatur N0 1
2
3
Komponen Teknologi Pelatihan
Prinsip Pembuatan Bokashi
Teknik Pembuatan Bokashi
Indikator
Bobot
a. Mengikuti pelatihan pembuatan bokashi dan melaksanakan pembuatan bokashi. b. Mengikuti pelatihan pembuatan bokashi tapi tidak melaksanakan pembuatan bokashi. c. Tidak mengikuti pelatihan pembuatan bokashi tapi melaksanakan pembuatan bokashi d. Tidak mengikuti pelatihan pembuatan bokashi dan tidak melaksanakan pembuatan bokashi
3
a. Mengetahui prinsip pembuatan bokashi sesuai anjuran dan melaksanakan pembuatan bokashi b. Mengetahui prinsip pembuatan bokashi sesuai anjuran tapi tidak melaksanakan pembuatan bokashi c. Tidak mengetahui prinsip pembuatan bokashi sesuai anjuran tapi melaksanakan pembuatan bokashi d. Tidak mengetahui prinsip pembuatan bokashi sesuai anjuran dan tidak melaksanakan pembuatan bokashi
3
a. Mengetahui teknik pembuatan bokashi sesuai anjuran dan melakukan pembuatan bokashi b. Mengetahui teknik pembuatan bokashi sesuai anjuran tapi tidak melakukan pembuatan bokashi c. Tidak mengetahui teknik pembuatan bokashi
3
2 1 0
2
1 0
2
Universitas Sumatera Utara
sesuai anjuran tapi melakukan pembuatan bokashi d. Tidak mengetahui teknik pembuatan bokashi sesuai anjuran dan tidak melakukan pembuatan bokashi 4
Cara Penggunaan
a. Mengetahui cara penggunaan bokashi sesuai anjuran dan melakukan pembuatan bokashi b. Mengetahui cara penggunaan bokashi sesuai anjuran tapi tidak melakukan pembuatan bokashi c. Tidak mengetahui cara penggunaan bokashi sesuai anjuran tapi melakukan pembuatan bokashi. d. Tidak mengetahui cara penggunaan bokashi sesuai anjuran dan tidak melakukan pembuatan bokashi Sumber : Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian Kabupaten Simalungun
1 0 3 2 1 0
Kriteria penilaian untuk skor adalah :
Mengikuti semua anjuran dan melakukan pembuatan pupuk bokashi skor 3
Mengikuti semua anjuran dan tidak melakukan pembuatan bokashi skor 2
Tidak mengikuti semua anjuran dan melakukan pembuatan bokashi skor 1
Tidak mengikuti semua anjuran dan tidak melakukan pembuatan pupuk bokashi 0 Dari tabel dapat dikemukakan bahwa jumlah skor tingkat adopsi teknologi
pembuatan pupuk bokashi berdasarkan literatur berada antara 0-12. Tabel 6. Skor Tingkat Adopsi Teknologi Pembuatan Pupuk Bokashi No
Kategori
Range
1
Tinggi
9 - 12
2
Sedang
5-8
3
Rendah
0-4
Hipotesis 3 dengan menggunakan analisis statistik dengan uji beda ratarata atau dengan uji 2 arah petani peserta pelatihan dan petani non peserta pelatihan pembuatan pupuk bokashi.
Universitas Sumatera Utara
Jika : H0 : µ1 = µ2 atau µ1 - µ2 = 0 H1 : µ1 ≠ µ2 atau µ1 - µ2 ≠ 0 Keterangan: µ1 = Rata-rata variable I (petani peserta pelatihan pembuatan bokashi) µ2 = Rata-rata variable I (petani non peserta pelatihan pembuatan bokashi) Rumus:
th =
n1n2 n1 n2 2
X1 X 2
n1 1S
2 1
n2 1S
2 2
n1 n 2
Dengan: 1 S X X 1 i1 n1 1
2
2 1
1 S X i2 X 2 n2 1
2
2 2
Kriteria Uji dengan 2 pihak:
-(tabel-tabel) ≤ th≤ t-tabel
Hipotesis H0 diterima
th < -(t-tabel) atau th> t-tabel
Hipotesis H1 diterima
Dimana:
Ho = Tidak terdapat perbedaan penggunaan jumlah pupuk bokashi bagi petani cabai peserta pelatihan dan petani cabai non peserta pelatihan pembuatan pupuk bokashi H1 =
Terdapat perbedaan penggunaan jumlah pupuk bokashi bagi petani cabai peserta pelatihan dan petani cabai non peserta pelatihan pembuatan pupuk bokashi
Universitas Sumatera Utara
Keterangan:
X 1 = Rata-rata (mean) jumlah penggunaan pupuk petani peserta pelatihan pembuatan bokashi
X 2 = Rata-rata (mean) jumlah penggunaan pupuk petani non peserta pelatihan pembuatan bokashi n1 =
Banyaknya sampel petani peserta pelatihan pembuatan bokashi
n2 =
Banyaknya sampel petani non peserta pelatihan pembuatan bokashi
S1 =
Standar deviasi petani peserta pelatihan pembuatan bokashi
S2 =
Standar deviasi petani non peserta pelatihan pembuatan bokashi
Xi1 =
Nilai individu petani peserta pelatihan pembuatan bokashi
Xi2 =
Nilai individu petani non peserta pelatihan pembuatan bokashi
(Djarwanto, 1996). Hipotesis 4 dengan menggunakan metode korelasi range sperman dengan alat bantu SPSS: Dengan kriteria sebagai berikut: Sig < α (0.05) ............................................................H0 ditolak Sig > α (0.05) ............................................................H0 diterima (Triton, 2006). 6i 1 di n
dan dengan rumus : rs = 1 th = rs
2
N3 N N 2 1 rs 2
tα = α ; db (n – 2)
dimana range rs = -1≤ 0 ≥ 1 - rs = koefisien korelasi - di = selisih antara rangking nilai faktor petani dengan sikap - N = jumlah pasangan rangking - db = derajat bebas Dengan kriteria sebagai berikut: t-hitung ≤ tα(0,05)………. Ho diterima, atau tidak terima H1 t-hitung > tα(0,05)………. Ho ditolak, atau terima H1
Universitas Sumatera Utara
H0: Tidak ada hubungan faktor sosial ekonomi dengan sikap petani terhadap teknologi pembuatan pupuk bokashi H1: Ada hubungan faktor sosial ekonomi dengan sikap petani terhadap teknologi pembuatan pupuk bokashi Hipotesis 5 dapat menggunakan metode korelasi range sperman dengan alat bantu SPSS : Dengan kriteria sebagai berikut: Sig < α (0.05) ............................................................H0 ditolak Sig > α (0.05) ............................................................H0 diterima 6i 1 di n
Dan dengan rumus: rs = 1 -
th = rs
2
N3 N N 2 1 rs 2
tα = α ; db (n – 2)
dimana range rs = -1≤ 0 ≥ 1 - rs = koefisien korelasi -di= selisih antara rangking nilai faktor petani dengan penggunaan jumlah pupuk bokashi -N = jumlah pasangan rangking -db= derajat bebas Dengan kriteria sebagai berikut: t-hitung ≤ tα(0,05)………. Ho diterima, atau tidak terima H1 t-hitung > tα(0,05)………. Ho ditolak, atau terima H1 H0: Tidak ada hubungan faktor sosial ekonomi petani dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi H1:: Ada hubungan faktor sosial ekonomi petani dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi (Siegel, 1997).
Universitas Sumatera Utara
3.5. Definisi dan Batasan Operasional
Defenisi dan batasan operasional digunakan untuk menjelaskan dan menghindari kesalahpahaman dalam melakukan penelitian. 3.5.1. Definisi
1. Sikap adalah perasaan, pikiran, dan kecenderungan seseorang yang kurang lebih bersifat permanent mengenai aspek-aspek tetentu dalam lingkungannya. 2. Sikap positif adalah sikap cenderung menyukai, mendekati, dan menerima keberadaan teknologi pembuatan bokashi. 3. Sikap negatif adalah sikap yang cenderung menjauhi, membenci, menghindar atupun tidak menyukai keberadaan teknologi pembuatan kompos. 4. Adopsi adalah proses mental yang terjadi pada diri seseorang pada saat menerima atau mengetahui sesuatu yang baru bagi didrinya atau dapat diartikan sebagai penerapan atau penggunaan suatu ide atau alat-alat teknologi baru yang disampaikan berupa pesan komunikasi 5. Pupuk bokashi adalah bahan organik yang telah difermentasikan yang di buat dengan
memfermentasikan
bahan-bahan
organik
dan
EM
(Efektif
Mikroorganisme). 6. Teknologi pupuk bokashi merupakan suatu inovasi yang disampaikan oleh penyuluh dalam bentuk cara pembuatan dan hasil yaitu pupuk bokashi 7. Umur adalah usia petani pada saat penelitian yang diukur berdasarkan usia kerja produktif yaitu 14-65 tahun. 8. Tingkat pendidikan petani adalah pendidikan formal terakhir yang pernah ditempuh oleh petani.
Universitas Sumatera Utara
9. Tingkat kosmopolitan adalah tingkat keterbukaan petani terhadap dunia luar yang diukur berdasarkan banyaknya melakukan kunjungan keluar desa serta penggunaan sarana informasi melalui media cetak dan frekuensi petani menggunakan media elektronik. 10. Pengalaman bertani adalah pengalaman bertani dalam usahatani dinyatakan dalam tahun. 11. Faktor sosial adalah faktor yang ada pada diri petani sebagai responden yang dapat mempengaruhi sikap petani terhadap teknologi pembuatan kompos yang meliputi: umur, tingkat pendidikan, tingkat kosmopolitan, dan pengalaman bertani. 12. Luas lahan adalah luas area yang diusahakan petani yang dinyatakan dalam satuan Ha. 13. Pendapatan petani adalah hasil yang diperoleh petani dalam usahanya sebagai petani. 14. Jumlah tanggungan keluarga adalah jumlah seluruh anggota keluarga yang belum berpenghasilan dan menjadi tanggung jawab. 15. Faktor ekonomi adalah faktor yang dapat mempengaruhi sikap petani terhadap teknologi pembuatan bokashi yang meliputi luas lahan, total pendapatan keluarga, dan jumlah tanggungan.
Universitas Sumatera Utara
3.5.2. Batasan Operasional
1. Tempat penelitian adalah Desa Sondi Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun 2. Waktu Penelitian adalah Tahun 2008. 3. Sampel penelitian adalah petani cabai merah yang merupakan peserta pelatihan pembuatan pupuk bokashi dan non peserta pelatihan pembuatan pupuk bokashi 4. Yang dimaksud dengan teknologi pupuk bokashi disini adalah hasil berupa pupuk yaitu pupuk bokashi
Universitas Sumatera Utara
IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK SAMPEL
4.1. Gambaran Umum Derah Penelitian 4.1.1. Keadaan Fisik dan Geografi
Nagori Sondi Raya Kecamatan Raya berada pada ketinggian 900m diatas permukaan laut, dengan luas wilayah 2.261 Ha. Secara administratif, nagori Sondi Raya mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara berbatasan dengan nagori Siporkas
Sebelah Selatan berbatasan dengan kelurahan Pematang Raya
Sebelah Timur berbatasan dengan nagori Bahapal Raya
Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan P.Raya Nagori Sondi Raya terletak ± 2 Km dari Ibukota Kecamatan Raya, ± 3 Km dari pusat Ibukota Kabupaten Simalungun. 4.1.2. Keadaan Penduduk
Jumlah penduduk Nagori Sondi Raya sebanyak 4.259 jiwa, terdiri dari 2.105 orang laki-laki dan 2.154 orang perempuan dengan total kepala keluarga 730 KK. Keadaan penduduk menurut kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 7 berikut: Tabel 7. Keadaan Penduduk Menurut Kelompok Umur No. 1 2 3 4 5 6
Kelompok Umur(Tahun) Jumlah(jiwa) <6 175 6-12 275 13-20 462 21-30 549 31-40 1.333 >40 1.465 JUMLAH 4.259 Sumber : Monografi Nagori Sondi raya, Tahun 2008
Persentase(%) 4,10 6,45 10,84 12,89 31,29 34,39 100
Universitas Sumatera Utara
Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah penduduk terbanyak terdapat pada kelompok umur >40 tahun yakni 1.465 jiwa dengan persentase 34,39% dan terendah adalah kelompok umur <6 tahun yakni 175 jiwa dengan persentase 4,10%. Dan dari data tersebut dapat diketahui bahwa penduduk nagori Sondi raya berada pada usia tidak produktif. Mayoritas penduduk di Nagori Sondi raya merupakan suku Batak Simalungun. Pada umumnya penduduk sudah saling mengenal satu sama lainnya. Hubungan kekeluargaan dapat dilihat dari adanya gotong royong, acara-acara adat baik dalam melaksanakan acara perkawinan yang dilakukan sesuai adat istiadat, maupun acara adat lainnya. Mata pencaharian utama penduduk Nagori Sondi raya adalah bertani. selain bertani penduduk juga ada yang bekerja sebagai pegawai, pedagang, tukang dan lain-lain. Sebagai gambaran tentang keadaan penduduk menurut mata pencahariannya dapat dilihat pada Tabel 8 berikut: Tabel 8. Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Mata Pencaharian Jumlah (orang) TNI / POLRI / PNS 213 Swasta 262 Wiraswasta 273 Petani 3019 Nelayan Buruh 332 Pengerajin 5 Pedagang 155 TOTAL 4259 Sumber : Monografi Nagori Sondi Raya, Tahun 2008
Persentase(%) 5 6,15 6,40 70,88 7,79 0,11 3,63 100
Pada Tabel 8, diatas menunjukkan mata pencaharian penduduk Nagori Sondi raya sebagian besar bersumber dari sektor pertanian yaitu sebagai petani sebanyak 3019 orang (70,88%) yang pada umumnya mengusahakan sayur mayur terutama
Universitas Sumatera Utara
sayur sawi, jahe, cabai, jagung, kopi, dan ada juga petani yang mengusahakan tanaman padi dan beternak. 4.1.3. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang tersedia dengan baik dapat memperlancar jalannya laju pembangunan sehingga mempengaruhi perkembangan masyarakat untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Sarana dan prasarana yang ada di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 9 dibawah ini: Tabel 9. Sarana dan Prasarana di Nagori Sondi Raya No. Sarana dan Prasarana 1 Sarana Pendidikan - SD - SMP - SMU 2 Sarana Komunikasi - Pesawat telepon kios pon (wartel) - Pesawat TV 3 Salon kecantikan 4 KUD 5 Rumah Ibadah - Mesjid - Gereja 6 Kantor kelurahan 7 Penyuluh Pertanian Lapangan (Sumber : Monografi Nagori Sondi Raya, Tahun 2008)
Jumlah (Unit)
4 2 3 705 5 1 2 4 1 1
Dari keadaan sarana dan prasarana di Nagori Sondi Raya menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat dibidang pendidikan, perekonomian dan sosial budaya belum terpenuhi dengan baik, sehingga masyarakat belum dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada.
Universitas Sumatera Utara
4.2. Karakteristik Petani Sampel
Karakteristik petani sampel dalam penelitian ini terdiri dari umur, pengalaman bertani, tingkat pendidikan, tingkat kosmopolitan, luas lahan, jumlah tanggungan dan total pendapatan berdasarkan petani peserta pelatihan pembuatan bokashi dan petani non peserta pelatihan pembuatan bokashi. Karakteristik dari petani peserta pelatihan pembuatan bokashi dan petani non peserta pelatihan pembuatan bokashi tersebut dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini. Tabel 10. Karakteristik Petani Sampel Usahatani Cabai Merah di Desa Sondi Raya Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun Tahun 2007 Rentang No Karakteristik
Peserta pelatihan
Non peserta pelatihan
Rata-rata Peserta pelatihan
Non pesrta pelatihan
1
Umur petani
26 - 63 thn
33 - 65 thn
41 thn
44 thn
2
Lama Bertani
2 -15 thn
2 - 8 thn
4,6 thn
6,5 thn
3
Tingkat Pendidikan Tingkat Kosmopolitan Luas lahan
9 -16 thn
9 -16 thn
13 -14 thn
11-12 thn
18 - 47
17 - 44
33
26
0,08 - 0,28
0,08 - 0,4
0,17 Ha
0,27 Ha
1-5 jiwa
1-7 jiwa
3 jiwa
4 jiwa
4 5 6
Jumlah Tanggungan Total Pendapatan
Rp Rp Rp Rp 954.036 – 354.333 – 5.988.224,24 5.049.570,15 11.397.750 10.973.500 (Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 1) 7
Universitas Sumatera Utara
4.2.1. Umur
Umur petani sampel berpengaruh dalam pengelolaan usahataninya. Ratarata umur petani peserta pelatihan pembuatan pupuk bokashi adalah 41 tahun dengan rentang umur 26-63 tahun, dan rata-rata umur petani yang tidak mengikuti pelatihan pembuatan bokashi 44 tahun dengan rentang umur 33-65 tahun.
4.2.2. Lama Bertani
Faktor yang sangat berpengaruh terhadap kemampuan pengelolaan usahatani adalah lama bertani. Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa rata-rata lama bertani petani sampel yang memakai bokashi dalam usahatani cabai adalah 6 tahun dengan rentang 2-15 tahun. Sedangkan petani peserta pelatihan pembuatan pupuk bokashi adalah 4,6 tahun, dan petani yang tidak mengikuti pelatihan pembuatan bokashi 6,5 tahun. Sehingga dapat dikatakan bahwa lama bertani petani sampel yang memakai bokashi dalam usaha taninya berbeda antara petani peserta dan petani non peserta pelatihan pembuatan pupuk bokashi.
4.2.3. Tingkat Pendidikan
Pendidikan formal merupakan salah satu faktor penting dalam mengelola usahatani. Pendidikan formal juga sangat erat kaitannya dengan kemampuan petani dalam hal menerima dan menyerap teknologi dan informasi untuk mengoptimalkan usahataninya. Dari Tabel 10 diketahui bahwa rentang tingkat pendidikan formal antara petani yang petani peserta pelatihan pembuatan pupuk bokashi adalah 13-14 tahun dan petani yang tidak mengikuti pelatihan pembuatan
Universitas Sumatera Utara
bokashi 11-12 tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa dari kedua jenis sampel memiliki rentang tingkat pendidikan yang berbeda pada rata-rata pendidikannya. 4.2.4. Tingkat Kosmopolitan
Petani yang memiliki kemauan untuk mengetahui informasi dari surat kabar, majalah, siaran radio, TV dan buku-buku pertanian, akan lebih mudah dalam menerapkan informasi baru. Dari Tabel 10 dapat diketahui bahwa rata-rata tingkat kosmopolitan petani peserta pelatihan pembuatan pupuk bokashi adalah 33 dengan rentang 18-47 dan rata-rata tingkat kosmopolitan petani yang tidak mengikuti pelatihan pembuatan bokashi 26 dengan rentang 17-44. Sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat kosmopolitan petani sampel yang peserta pelatihan lebih tinggi dibandingkan dengan petani sampel yang tidak peserta pelatihan pembuatan bokashi.
4.2.5. Luas Lahan
Rata-rata luas lahan untuk petani peserta pelatihan pembuatan pupuk bokashi adalah 0,17 Ha dengan rentang 0,08 – 0,28 Ha dan rata-rata luas lahan petani yang tidak mengikuti pelatihan pembuatan bokashi 0,27 Ha dengan rentang 0,08 – 0,4 Ha.
4.2.6. Jumlah Tanggungan
Rata-rata jumlah tanggungan untuk petani peserta pelatihan pembuatan pupuk bokashi adalah 3 jiwa dengan rentang 1-5 jiwa
dan rata-rata jumlah
tanggungan petani yang tidak mengikuti pelatihan pembuatan bokashi 4 jiwa dengan rentang 1-7 jiwa.
Universitas Sumatera Utara
4.2.7. Total Pendapatan
Pendapatan yang diperoleh petani akan mempengaruhi petani dalam mengelola usahataninya. Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa rata-rata pendapatan petani sampel yang merupakan petani peserta pelatihan pembuatan bokashi adalah Rp 5.988.224,24 dengan rentang Rp 954.036 – 10.973.500. Sedangkan rata-rata pendapatan petani sampel yang tidak merupakan peserta pelatihan pembuatan boakshi adalah Rp 5.049.570,15 dengan rentang Rp 354.333 – 11.397.750. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendapatan petani sampel peserta pelatihan pembuatan bokashi lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan petani sampel yang nonpeserta pelatihan pembuatan bokashi.
4.2.8. Teknik Pembuatan Bokashi
Adapun indikator yang digunakan sebagai tingkat adopsi terhadap teknologi pembuatan pupuk bokashi adalah: 1. Pelatihan
Pelatihan yang dimaksud, yaitu kegiatan pembuatan pupuk bokashi yang dibimbing oleh penyuluh atau dalam kelompok tani. 2. Prinsip Pembuatan Bokashi
Prinsip-prinsip yang perlu diketahui dalam proses pembuatan Bokashi, sebagai berikut:
Faktor Kelembapan
Kelembapan
bokashi
harus
mencapai
kadar
air
30-50%.
Cara
mengukurnya dengan membuat kepalan campuran bahan. Bila campuran
Universitas Sumatera Utara
bahan tersebut dikepalan tidak lengket, tandanya kandungan air sudah mencapai 50%. Faktor Temperatur
Usahakan agar temperatur tetap stabil pada suhu 400C-500C. Bila temperatur lebih rendah atau lebih tinggi dari tempetaratur tersebut, maka mikroorganisme yang terkandung dalam campuran bahan bokashi tidak akan berbiak / akan mati. Faktor Tempat Bokashi
Tempat membuat bokashi harus dibawah naungan. Maksudnya bokashi terhindar dari siraman air hujan. Naungan dapat terbuat dari seng, terpal, plastik, atau atap rumbia. Faktor Tempat Penyimpanan
Bokashi yang belum digunakan sebaiknya disimpan dalam naungan yang beratap dan teduh atau tidak terkena sinar matahri langsung. Maksudnya untuk menjaga agar kualitas bokashi tetap baik. Faktor Air
Air
yang
digunakan
untuk
pembuatan
bokashi
tidak
boleh
mengandungantibiotik atau air ledingyang mengandung kaporit. Karena dapat menyebabkan mati atau tidak bekerjanya mikroorganisme. Sebaikknya gunakan air sumur atau air dari sumber air lainnya. 3. Teknik Pembuatan Bokashi Menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan : larutan EM4, limbah
pertanian (top soil bambu, tanah humus), gula, air bersih, bahan organik, dedak halus, dll.
Universitas Sumatera Utara
Urutan kerja pembuatan bokashi: dengan mencampurkan larutan EM4
+ bahan organik + air + dedak halus + gula, kemudian diaduksecara merata sampai mencapai kelembapan 30-50%. Kemudian digundukkan diatas lantai tanah yang kering lalu ditutup dan selalu dicek setiap hari, umumnya berlangsung 2 minggu. 4. Cara Penggunaan Bokashi
Penggunaan bokashi pada umunya sama dengan penggunaan pupuk kandang, namun masih ada perbedaan penggunaan jenis bokashi yang dibuat. Secara umum penggunaan bokashi antara lain: a. Sebagai pupuk dasar b. Untuk memupuk tanaman disebarkan disekitar perakaran atau dibawah tajuk ataupun disekitar piringan tanaman c.
Sebagai mulsa penutup tanah dan pupuk susulan
d. Sebagai penutup biji tanaman setelah biji dimasukan kelobang taburkan bokashi dan tanah e. Sebagai media persemaian diberikan pada permukaan bedengan persemaian, dapat juga sebagai pengisi polibag. (Tamba, 1999).
Universitas Sumatera Utara
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilakukan pada petani yang menggunakan pupuk bokashi, yang diteliti adalah bagaimana sikap petani tersebut terhadap pupuk bokashi baik petani yang mengikuti pelatihan maupun yang tidak mengikuti pelatihan pembuatan pupuk bokashi di Nagori Sondi Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun. Penelitian ini dilakukan pada bulan agustus 2008. 5.1. Sikap Petani Cabai terhadap Teknologi Pembuatan Pupuk Bokashi di Daerah Penelitian.
Sikap petani cabai merah terhadap teknologi pembuatan bokashi diketahui dengan melihat jawaban-jawaban petani cabai merah terhadap pernyataanpernyataan yang diberikan. Pernyataan ini dibagi kedalam 10 pernyataan positif dan 10 pernyataan negatif. Sikap dalam hal ini merupakan suatu respon dalam wujud suka atau tidak suka terhadap suatu objek. Sikap petani bisa berupa positif dan negatif. Untuk pernyataan positif, jawaban Sangat Tidak Setuju (STS) diberi nilai 0, Tidak Setuju (TS) diberi nilai 1, Ragu-Ragu (R) diberi nilai 2, Setuju (S) diberi nilai 3 dan Sangat Setuju (SS) diberi nilai 4. Demikian sebaliknya untuk pernyataan negatif, jawaban Sangat Tidak Setuju (STS) diberi nilai 4, Tidak Setuju (TS) diberi nilai 3, Ragu-Ragu (R) diberi nilai 2, Setuju (S) diberi nilai 1 dan Sangat Setuju (SS) diberi nilai 0. Dari jawaban setiap pernyataan akan diperoleh distribusi frekuensi responden bagi setiap kategori, kemudian secara kumulatif dilihat deviasinya menurut deviasi normal, sehingga diperoleh skor (nilai skala untuk masing-masing kategori jawaban), kemudian skor terhadap masing-masing pernyataan dijumlahkan.
Universitas Sumatera Utara
Interpretasi terhadap skor masing-masing responden dilakukan dengan mengubah skor tersebut kedalam skor standart yang mana dalam hal ini digunakan model Skala Likert (Skor T). Dengan mengubah skor pada skala sikap menjadi skor T menyebabkan skor ini mengikuti distribusi skor yang mempunyai mean sebesar T= 50 dan standart deviasi S = 7,4. Sehingga apabila skor standart > 50, berarti mempunyai sikap yang positif. Jika skor standart ≤ 50, berarti mempunyai sikap negatif. Sikap petani cabai merah terhadap teknologi pembuatan pupuk bokashi di Desa Sondi Raya dapat dilihat pada Tabel 11 berikut. Tabel 11. Sikap Petani Cabai Merah Terhadap Teknologi Pembuatan Bokashi di Desa Sondi Raya No Kategori Jumlah (Orang) 1 Positif 13 2 Negatif 9 Jumlah 22 (Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 1 dan 2d)
Persentase (%) 59,09 % 40,91% 100 %
Berdasarkan Tabel 11 dapat dikemukakan bahwa dari 22 petani sampel, jumlah petani cabai merah yang menyatakan sikap positif terhadap teknologi pembuatan bokashi sebanyak 13 orang (59,09%) dan menyatakan sikap negatif sebanyak 9 orang (40,91%). Sehingga sikap petani cabai merah terhadap teknologi pembuatan pupuk bokashi lebih dominan positif dari pada sikap negatif di daerah penelitian. Dengan demikian Hipotesis 1 yang menyatakan bahwa sikap petani cabai merah positif terhadap teknologi pembuatan bokashi dapat diterima.
Universitas Sumatera Utara
5.2. Tingkat adopsi petani cabai peserta dan non peserta pelatihan pembuatan bokashi terhadap pembuatan pupuk bokashi pada usahatani cabai di daerah penelitian.
Berdasarkan indikator yang digunakan dan penilaian dari lampiran 15 maka, tingkat adopsi petani peserta pelatihan pembuatan bokashi terhadap pembuatan pupuk bokashi di daerah penelitian adalah tinggi. Berdasarkan hasil observasi dilapangan, yang menyebabkan petani peserta menerima teknologi pupuk bokashi yaitu para petani merasakan dampak yang positif dimana dari segi biaya yang cukup diminimalisirkan khususnya dalam pembuatan bokashi dan dampaknya terhadap tanah sangat subur sehingga dapat meningkatkan hasil produksi usahatani mereka namun dalam jangka waktu yang lama. Terlebih pada saat ini petani merasa terjepit karena harga pupuk kimia yang sangat mahal dan langka untuk ditemukan. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Anonimous, 2005) pada tinjauan pustaka yang menyatakan bahwa: “Pertanian organik merupakan bagian dari pertanian alami yang dalam pelaksanaanya berusaha menghindarkan penggunaan bahan kimia dan pupuk yang bersifat meracuni lingkungan dengan tujuan untuk memperoleh kondisi lingkungan yang sehat”. Sehingga Hipotesis 2 yang menyatakan bahwa tingkat adopsi petani cabai peserta pelatihan pembuatan pupuk bokashi adalah tinggi, diterima. Sedangkan Tingkat adopsi petani non peserta pelatihan pembuatan bokashi terhadap pembuatan pupuk bokashi di daerah penelitian adalah sedang. Berdasarkan hasil observasi dilapangan, yang menyebabkan petani non peserta pelatihan kurang mengadopsi teknologi pembuatan pupuk bokashi karena petani tidak mengetahui bagaimana cara pembuatan pupuk bokashi, prinsip pembuatan dan teknik pembuatan pupuk bokashi yang benar. Sebenarnya petani non peserta
Universitas Sumatera Utara
pelatihan bukan tidak menerima, namun mereka tidak mengetahui tekniktekniknya sehingga ketika mereka melakukan pembuatan pupuk bokashi mereka hanya mengetahui sedikit informasi dan hasil dari perlakuan mereka kurang berhasil. Sehingga Hipotesis 2 yang menyatakan bahwa tingkat adopsi petani non peserta pelatihan pembuatan bokashi adalah rendah, ditolak.
5.3. Perbedaan Penggunaan Pupuk Bokashi Bagi Petani Cabai Peserta dan Petani Cabai Nonpeserta Pelatihan Bokashi di daerah Penelitian
Analisis uji beda rata-rata (Paired t-test Sample) digunakan untuk mengetahui perbedaan penggunaan pupuk bokashi bagi petani cabai peserta dan petani cabai non peserta pelatihan pembuatan pupuk bokashi. Tabel 12. Analisis Perbedaan penggunaan pupuk bokashi bagi petani cabai peserta dan petani cabai non peserta pelatihan pembuatan bokashi di daerah penelitian
Paired Differences
Mean
Std. Deviation
T
df
Sig.(2tailed)
1,331
10
0,213
Std. Error Mean
Petani Peserta - Petani Non 33,79753 45.000 112,09371 Peserta 00 (Sumber : Analisis Data Primer lampiran 14)
Berdasarkan hasil analisis uji beda rata-rata Perbedaan penggunaan pupuk bokashi bagi petani cabai peserta dan petani cabai non peserta pelatihan bokashi diketahui t-hitung = 1.331 lebih kecil dari pada t-tabel = 2.20 yang berarti menerima Ho dan menolak H1, di samping menggunakan perbandingan t hitung dengan t tabel dapat juga melakukan perbandingan Sig(2-tailed) dengan α, Sig(2tailed) (0.213) > α (0.05), maka H0 diterima. Secara uji statistik tidak ada
Universitas Sumatera Utara
perbedaan yang nyata penggunaan pupuk bokashi bagi petani cabai peserta dan petani non peserta pelatihan bokashi. Sehingga Hipotesis 3 ditolak yang menyatakan bahwa ada perbedaan penggunaan pupuk bokashi bagi petani cabai peserta dan petani cabai non peserta pelatihan bokashi di daerah penelitian. Alasan kenapa tidak ada perbedaan yang nyata penggunaan pupuk bokashi bagi petani cabai peserta dan petani nonpeserta pelatihan pembuatan bokashi yaitu: 1. Meskipun petani nonpeserta pelatihan pembuatan bokashi tidak mengikuti pelatihan pembuatan bokashi namun, antara petani peserta dan nonpeserta pelatihan pembuatan bokashi sama-sama menggunakan pupuk bokashi dalam usahatani cabainya. Bagi petani nonpeserta pelatihan, pupuk bokashi mereka peroleh dengan melakukan pembuatan pupuk bokashi dan ada juga yang membeli dari dinas perkebunan. 2. Selain menggunakan bokashi petani nonpeserta pelatihan juga melakukan pembuatan pupuk bokashi walaupun mereka tidak mengerti cara dan teknis pembuatan yang sebenarnya. 3. Dilihat dari tingkat adopsi petani sampel, bahwa tingkat adopsi petani peserta lebih tinggi dan tingkat adopsi nonpeserta pelatihan dalam pembuatan pupuk bokashi sedang. Sehingga dari segi tingkat adopsi tidak terlalu jauh perbandingannya.
Universitas Sumatera Utara
5.4.
Hubungan Faktor Sosial Ekonomi Petani Cabai dengan Sikapnya Terhadap Teknologi Pembuatan Pupuk Bokashi
Faktor sosial ekonomi yang berhubungan dengan sikap petani adalah umur, pengalaman bertani, tingkat pendidikan, tingkat kosmopolitan, luas lahan, jumlah tanggungan dan total pendapatan. Untuk mengetahui hubungan faktor sosial ekonomi petani cabai merah dengan sikapnya terhadap teknologi pembuatan bokashi maka dianalisis dengan menggunakan analisis koefisien korelasi Rank Spearman dengan nilai α = 0,05 dan n = 22. 5.4.1. Hubungan Umur Petani Cabai Merah Dengan Sikapnya Terhadap Teknologi Pembuatan Bokashi
Umur petani adalah salah satu faktor yang berkaitan erat dengan kemampuan kerja dalam melaksanakan kegiatan usahatani. Umur dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam melihat produktivitas seseorang dalam bekerja dimana dengan kondisi umur yang masih produktif maka kemungkinan besar seseorang dapat bekerja dengan baik dan maksimal. Untuk mengetahui bagaimana hubungan umur dengan sikap petani cabai merah dengan sikapnya terhadap teknologi pembuatan pupuk bokashi, dapat dilihat pada Tabel 13 di bawah ini: Tabel 13. Hubungan Umur Petani Cabai dengan Sikapnya Terhadap Teknologi Pembuatan Bokashi Sikap Petani Cabai Positif Negatif 1 14-39 6 (27,28%) 5 (22,72%) 2 40-65 7 (31,81%) 4 (18,19%) Jumlah 13 (59,09 %) 9 (40,91%) (Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 1 dan 2d) No
Umur
Total
11 (50 %) 11 (50 %) 22 (100%)
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Tabel 13. menunjukkan bahwa pada kelompok umur 14-39 tahun, terdapat 6 (27,28%) orang yang bersikap positif dan terdapat 5 (22,72%) orang yang bersikap negatif. Pada kelompok umur 40-65 tahun terdapat 7 (31,81%) orang yang bersikap positif dan terdapat 4 (18,19%) orang yang bersikap negatif. Untuk melihat erat tidaknya hubungan umur dengan sikapnya terhadap teknologi pembuatan bokashi maka dianalisis dengan menggunakan Korelasi Rank Spearman. Dari hasil analisis diperoleh rs = 0,082 dan thitung = 0,367 serta ttabel = 1,725. Data ini menunjukkan bahwa thitung < ttabel. Hal ini berarti H0 diterima dan H1 ditolak, artinya tidak ada hubungan umur dengan sikap petani terhadap teknologi pembuatan bokashi. Maka Hipotesis 4 yang menyatakan ada hubungan antara umur dengan sikap petani terhadap teknologi pembuatan pupuk bokashi adalah ditolak. Hal ini disebabkan karena umur petani sampel yang lebih dominan pada umur orang dewasa sehingga mereka memiliki sikap yang kuat dan lebih percaya untuk menggunakan pupuk kimia sebagai pupuk utama dalam usahataninya dari pada lebih menerima inovasi baru (menggunakan pupuk bokashi). Hal ini sesuai dengan pernyataan (Kreitner dan Kinicki, 2003), yang menyatakan, “ Apa yang terjadi pada sikap seluruh orang dewasa selama pertengahan masa kedewasaanya. Tiga faktor yang perlu diperhitungkan tentang stabilitas sikap tengah baya, yaitu: Kepastian kepribadian yang lebih besar, Merasa cukup pengalaman, Kebutuhan akan sikap yang kuat”.
Universitas Sumatera Utara
5.4.2. Hubungan Pengalaman Bertani Petani Cabai Merah Dengan Sikapnya Terhadap Teknologi Pembuatan Bokashi
Setiap orang juga dapat belajar dari pengalaman tanpa menerima pengajaran secara formil. Pengalaman bertani tentu saja menambah wawasan petani dalam berusahatani dengan baik. Untuk mengetahui hubungan antara pengalaman bertani dengan sikap petani terhadap teknologi pembuatan bokashi dapat dilihat pada Tabel 14. berikut. Tabel 14. Hubungan Pengalaman Bertani Petani Cabai Merah dengan Sikapnya Terhadap Teknologi Pembuatan Bokashi Sikap Petani Cabai Positif Negatif 1 ≤5 7 (31,81%) 4 (18,18%) 2 >5 6 (27,28%) 5 (22,72%) Jumlah 13 (59,09 %) 9 (40,91%) (Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 1 dan 2d) No
Pengalaman Bertani
Total
11 (50%) 11 (50%) 22 (100 %)
Berdasarkan Tabel 14. menunjukkan bahwa pada kelompok pengalaman bertani ≤ 5 tahun, terdapat 7 (31,81 %) orang yang bersikap positif dan terdapat 4 (18,18 %) orang yang bersikap negatif. Pada kelompok pengalaman bertani >5 tahun terdapat 6 (27,28%) orang yang bersikap positif dan terdapat 5 (22,72 %) orang yang bersikap negatif. Untuk melihat erat tidaknya hubungan pengalaman bertani cabai dengan sikapnya terhadap teknologi pembuatan bokashi maka dianalisis dengan menggunakan Korelasi Rank Spearman. Dari hasil analisis diperoleh rs = -0.326 dan thitung = 1,542 serta ttabel = 1,725. Data ini menunjukkan bahwa thitung < ttabel. Hal ini berarti H0 diterima dan H1 ditolak, artinya tidak ada hubungan pengalaman bertani
dengan sikap petani terhadap teknologi pembuatan bokashi. Maka
Universitas Sumatera Utara
Hipotesis 4 yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pengalaman bertani
dengan sikap petani terhadap teknologi pembuatan pupuk bokashi adalah ditolak. Hal ini disebabkan karena petani belum terbuka akan adanya perubahan dan tidak berani dalam mengambil resiko. Sehingga sebelum mereka menerapkan pada usahataninya, mereka terlebih dahulu membuat perbandingan kemudian mengambil keputusan.
5.4.3. Hubungan Tingkat Pendidikan Petani Cabai Merah Dengan Sikapnya Terhadap Teknologi Pembuatan Bokashi
Cara berpikir seseorang akan dipengaruhi tingkat pendidikan yang dimilikinya dalam melakukan suatu aktifitas dalam kehidupannya sehari-hari. Demikian dengan petani sampel ternyata (18,19%) berpendidikan SMP, (45,45%) berpendidikan SMA, (13,63%) berpendidikan D3, dan (22,73%) berpendidikan S1. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap petani cabai merah terhadap teknologi pembuatan bokashi dapat dilihat pada Tabel 15. berikut.
Tabel 15. Hubungan Tingkat Pendidikan Petani Cabai Merah dengan Sikapnya Terhadap Teknologi Pembuatan Bokashi Sikap Petani Cabai Positif Negatif 1 SD 0 (0) 0 (0) 2 SMP 3 (13,63%) 1 (4,55%) 3 SMA 4 (18,19%) 6 (27,27%) 4 D3 3 (13,63%) 0 (0) 5 S1 3 (13,63%) 2 (9,09%) Jumlah 13 (59,09 %) 9 (40,91%) (Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 1 dan 2d) No
Tingkat Pendidikan
Total
0 (0) 4 (18,19%) 10 (45,45%) 3 (13,63%) 5 (22,73%) 22 (100%)
Universitas Sumatera Utara
Tabel 15 menunjukkan petani sampel berpendidikan SMP terdapat 3 (13,63%) orang yang bersikap positif dan 1 (4,55%) orang bersikap negatif. Petani sampel yang tingkat pendidikannya SMA terdapat, 4 (18,19%) orang yang bersikap positif dan 6 (27,27%) orang yang bersikap negatif. Sementara petani sampel yang tingkat pendidikannya D3 terdapat 3 (13,63%) yang seluruhnya bersikap positif dan S1 terdapat 3 (13,63%) orang yang bersikap positif dan 2 (9,09%) orang yang bersikap negatif. Untuk melihat erat tidaknya hubungan tingkat pendidikan dengan sikapnya terhadap teknologi pembuatan bokashi maka dianalisis dengan menggunakan Korelasi Rank Spearman. Dari hasil analisis diperoleh rs = 0,271 dan thitung =1,259 serta ttabel = 1,725. Data ini menunjukkan bahwa thitung < ttabel. Hal ini berarti H0 diterima dan H1 ditolak, artinya tidak ada hubungan tingkat pendidikan dengan sikap petani terhadap teknologi pembuatan bokashi. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan yang dimiliki petani adalah pendidikan formal yang tidak ada kaitannya dengan usahatani cabai yang dikelolanya. Selain itu jumlah petani sampel yang berpendidikan tinggi (D3 dan S1) lebih sedikit dibandingkan jumlah petani sampel yang berpendidikan rendah (SD, SMP, dan SMA). 5.4.4. Hubungan Tingkat Kosmopolitan Petani Cabai Merah Dengan Sikapnya Terhadap Teknologi Pembuatan Bokashi
Tingkat keterbukaan petani terhadap dunia luar yang diukur berdasarkan banyaknya jenis buku/majalah/koran yang dibaca petani, mengikuti siaran radio dan televisi dibidang pertanian dan banyaknya melakukan perjalanan keluar dari desa tempat tinggalnya sehubungan dengan usahataninya, merupakan tingkat
Universitas Sumatera Utara
kosmopolitan petani yang berhubungan dengan sikap petani terhadap teknologi pembuatan bokashi. Hubungan tingkat kosmopolitan dengan sikap petani terhadap teknologi pembuatan bokashi dapat ditunjukkan melalui perhitungan skor yang diperoleh dari 16 parameter. Setiap parameter skor terendah adalah 0 dan yang tertinggi adalah 4. Tingkat kosmopolitan tersebut menggunakan tiga kriteria yaitu : Kriteria rendah dengan skor 0-21 Kriteria sedang dengan skor 22-42 Kriteria tinggi dengan skor 43-64
Untuk melihat hubungan faktor tingkat kosmopolitan dengan sikap petani cabai merah terhadap teknologi pembuatan bokashi dapat dilihat pada Tabel 16 berikut. Tabel 16.
Hubungan Tingkat Kosmopolitan Petani Cabai Merah dengan Sikapnya Terhadap Teknologi Pembuatan Bokashi
Sikap Petani Cabai Tingkat Kosmopolitan Positif Negatif 1 0-21 (Rendah) 1 (4,55%) 2 (9,09%) 2 22-42 (Sedang) 10 (45,45%) 7 (31,82%) 3 43-64 (Tinggi) 2 (9.09%) 0 Jumlah 13 (59,09 %) 9 (40,91%) (Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 1 dan 2d ) No
Total
3 (13,64%) 17 (77,27%) 2 (9.09%) 22 (100 %)
Tabel 16. menunjukkan petani cabai memiliki tingkat kosmopolitan yang lebih dominan berkriteria sedang. Pada tabel 16 menjelaskan bahwa 3 (13,64 %) orang petani sampel yang memiliki tingkat kosmopolitan rendah terdapat 1 (4,55%) orang yang bersikap positif dan 2 (9,09%) orang yang bersikap negatif. Petani sampel yang tingkat kosmopolitannya sedang 17 (77,27 %) terdapat 10 (45,45%) orang yang bersikap positif dan 7 (31,82 %) orang bersikap negatif.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan petani sampel yang tingkat kosmopolitannya tinggi terdapat 2 (9,09%) yang bersikap positif. Untuk melihat erat tidaknya hubungan tingkat kosmopolitan dengan sikapnya terhadap teknologi pembuatan bokashi maka dianalisis dengan menggunakan Korelasi Rank Spearman. Dari hasil analisis diperoleh rs = 0.549 dan thitung = 2,937 serta ttabel = 1,725. Data ini menunjukkan bahwa thitung > ttabel. Hal ini berarti H1 diterima dan H0 ditolak, artinya ada hubungan tingkat kosmopolitan dengan sikap petani terhadap teknologi pembuatan bokashi. Hal ini menunjukkan bahwa kemauan petani untuk mengetahui informasi dari berbagai media (surat kabar, majalah, radio, TV) dan seringnya melakukan perjalanan keluar daerah baik dalam hubungannya dengan pengelolaan usahatani ataupun tidak akan sangat mempengaruhi petani dalam menerapkan teknologi baru. 5.4.5. Hubungan Luas Lahan Petani Cabai Merah Dengan Sikapnya Terhadap Teknologi Pembuatan Bokashi
Seperti yang kita ketahui bersama luas lahan yang digunakan petani mempunyai hubungan dengan sikap petani terhadap teknologi pembuatan pupuk bokashi, demikian halnya pada daerah penelitian. Untuk lebih jelas mengetahui hubungan luas lahan petani cabai dengan sikap petani terhadap teknologi pembuatan pupuk bokashi, dapat dilihat pada Tabel 17 berikut: Tabel 17.
No
1
Hubungan Luas Lahan Petani Cabai dengan Sikapnya Terhadap Teknologi Pembuatan Bokashi Luas Lahan
< 0,5 Ha
Sikap Petani Cabai Positif Negatif 12 (54,54%) 9 (40,91%)
Total
21 (95,45%)
Universitas Sumatera Utara
2
≥ 0,5 Ha 1 (4,55%) 0 Jumlah 13 (59,09 %) 9 (40,91%) (Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 1 dan 2d)
1 (4,55%) 22 (100%)
Berdasarkan Tabel 17. menunjukkan bahwa pada kelompok luas lahan, < 5Ha, terdapat12 (54,54%) orang bersikap positif dan terdapat9 (40,91%) orang yang bersikap negatif. Pada kelompok luas lahan ≥ 0,5 Ha, hanya terdapat 1 (4,55%) yang bersikap positif. Untuk melihat erat tidaknya hubungan luas lahan dengan sikapnya terhadap teknologi pembuatan bokashi maka dianalisis dengan menggunakan Korelasi Rank Spearman. Dari hasil analisis diperoleh rs =0,121 dan thitung = 0,545 serta ttabel = 1,725. Data ini menunjukkan bahwa thitung < ttabel. Hal ini berarti H0 diterima dan H1 ditolak, artinya tidak ada hubungan luas lahan dengan sikap petani terhadap teknologi pembuatan bokashi. Maka Hipotesis 4 yang menyatakan bahwa ada hubungan antara luas lahan dengan sikap petani terhadap teknologi pembuatan pupuk bokashi adalah ditolak. Dari Tabel 17. menunjukkan bahwa petani sampel lebih dominan memiliki luas lahan < 0,5 Ha dengan rata-rata luas lahan 0,23 Ha (Lampiran 1). Sehingga petani lebih lambat menerima inovasi baru dibandingkan petani yamg memiliki luas lahan yang lebih luas (≥ 0,5Ha). Sama halnya dengan pernyataan (Ginting.M,2002) yang menyatakan ”Petani yang memiliki lahan luas lebih mudah untuk menerima inovasi baru karena keefisienan penggunaan sarana produksi”. Selain itu hal ini juga disebabkan karena dengan menanam berbagai macam tanaman dalam satu areal, konsekuensinya adalah produktivitas masingmasing tanaman tidak akan maksimal tentunya.
Universitas Sumatera Utara
5.4.6. Hubungan Jumlah Tanggungan Petani Cabai Merah Dengan Sikapnya Terhadap Teknologi Pembuatan Bokashi
Jumlah tanggungan keluarga adalah salah satu faktor ekonomi yang perlu diperhatikan dalam penentuan sikap petani cabai terhadap teknologi pembuatan pupuk bokashi. Untuk lebih jelasnya hubungan ini dapat dilihat pada Tabel 18. berikut: Tabel 18. Hubungan Jumlah Tanggungan Dengan Sikapnya Terhadap Teknologi Pembuatan Bokashi Sikap Petani Cabai Positif Negatif 1 0-3 10 (45,46%) 3 (13,63%) 2 4-7 3 (13,63%) 6 (27,28%) Jumlah 13 (59,09 %) 9 (40,91%) (Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 1 dan 2d) No
Jumlah Tanggungan
Total
13 (59,09%) 9 (40,91%) 22 (100%)
Berdasarkan Tabel 18. menunjukan bahwa pada kelompok jumlah tanggungan
0-3 jiwa, terdapat10 (45,46%) orang yang bersikap positif dan
terdapat 3 (13,63%) orang yang bersikap negatif. Pada kelompok jumlah tanggungan
4-7 jiwa, terdapat 3 (13,63%) orang yang bersikap positif dan
terdapat 6 (27,28%) orang yang bersikap negatif. Untuk melihat erat tidaknya hubungan jumlah tanggungan dengan sikap petani
terhadap
teknologi
pembuatan
bokashi
maka
dianalisis
dengan
menggunakan Korelasi Rank Spearman. Dari hasil analisis diperoleh rs = -0,346 dan thitung = 1,649 serta ttabel = 1,725. Data ini menunjukkan bahwa thitung < ttabel. Hal ini berarti H0 diterima dan H1 ditolak, artinya tidak ada hubungan jumlah tanggungan dengan sikap petani terhadap teknologi pembuatan bokashi. Maka Hipotesis 4 yang menyatakan bahwa ada hubungan antara jumlah tanggungan
dengan sikap petani terhadap teknologi pembuatan pupuk bokashi adalah ditolak. Hal ini disebabkan karena petani yang memiliki jumlah tanggungan banyak
Universitas Sumatera Utara
maupun yang sedikit belum termotivasi untuk melakukan teknologi pembuatan bokashi.
5.4.7. Hubungan Total Pendapatan Usahatani Cabai Petani Cabai Merah Dengan Sikapnya Terhadap Teknologi Pembuatan Bokashi
Petani yang memiliki tingkat pendapatan usahataninya tinggi akan berusaha lagi mencari informasi dan melakukan inovasi baru agar produksi usahataninya lebih meningkat. Dan petani yang pendapatan usahataninya rendah akan lebih sulit dalam menerapkan inovasi baru. Tingkat pendapatan petani dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : Pendapatan Rendah : Rp 354.333 – 4.035.472 Pendapatan Sedang : Rp 4.035.473 – 7.716.611 Pendapatan Tinggi :Rp 7.716.612 – 11.397.750
Untuk mengetahui hubungan antara total pendapatan dengan sikap petani terhadap teknologi pembuatan bokashi dapat dilihat pada Tabel 19 berikut. Tabel 19. Hubungan Total Pendapatan Usahatani Cabai Permusim Tanam dengan Sikapnya Terhadap Teknologi Pembuatan Bokashi Sikap Petani Cabai Positif Negatif 1 Rp. 354.333 – 4.035.472 6 (27,27%) 3 (13,64%) 2 Rp. 4.035.473 – 7.716.611 2 (9,09%) 3 (13,64%) 3 Rp. 7.716.612 – 11.397.750 5 (22,73%) 3 (13,64%) Jumlah 13 (59,09 %) 9 (40,91%) (Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 1 dan 2d) No
Total Pendapatan
Total
9 (40.90%) 5 (22,73%) 8 (36,37%) 22 (100%)
Untuk melihat erat tidaknya hubungan total pendapatan dengan sikapnya terhadap teknologi pembuatan bokashi maka dianalisis dengan menggunakan Korelasi Rank Spearman. Dari hasil analisis diperoleh rs = -0.135 dan thitung=0.609 serta ttabel =1.725. Data ini menunjukkan bahwa thitung < ttabel. Hal ini berarti H0
Universitas Sumatera Utara
diterima dan H1 ditolak, artinya tidak ada hubungan total pendapatan dengan sikap petani terhadap teknologi pembuatan bokashi. Maka Hipotesis 4 yang menyatakan bahwa ada hubungan antara total pendapatan dengan sikap petani terhadap teknologi pembuatan pupuk bokashi adalah ditolak.
Universitas Sumatera Utara
5.5.
Hubungan Faktor Sosial Ekonomi Penggunaan Pupuk Bokashi.
Petani Cabai dengan Jumlah
Dalam penelitian ini ada hubungan antara Faktor Sosial Ekonomi dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi. Gambaran hubungan Faktor Sosial Ekonomi dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi, dapat dilihat pada Tabel 20 berikut: Tabel 20. Hubungan Faktor Sosial Ekonomi Petani Cabai dengan Jumlah Penggunaan Pupuk Bokashi. Karakteristik
Range
Rata-rata
rs
t-hitung
t-tabel
Umur
26-65 tahun
42,5
-0,101
0.454
1,725
Pengalaman Bertani Tingkat Pendidikan Jumlah Tanggungan Total Pendapatan
2-15 tahun
5,6
-0,069
0,309
1,725
9-16 tahun
12
0,085
0,381
1,725
1-7 orang
4
-0,100
0,449
1,725
0,052
0,232
1,725
0,22
0,277
1,289
1,725
113,4
-
-
-
Luas lahan Pupuk Bokashi
Rp. 354.333 – 11.397.750 0,08-0,6 Ha 10-500 sak
Rp. 5.519.783
(Sumber : Analisis Data Primer Lampiran 17) Dari Tabel 20. dapat dilihat jumlah terendah untuk pupuk bokashi yang digunakan adalah 10 sak dan jumlah tertinggi pupuk bokashi yang digunakan adalah 500 sak dengan rata-rata jumlah penggunaan pupuk bokashi yaitu 113,4 sak. Sedangkan range umur petani adalah 26-65 tahun, umur terendah 26 tahun dan yang tertinggi 65 tahun dengan rat-rata 42,5 tahun. Untuk melihat hubungan umur dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi maka diuji dengan uji korelasi Rank Spearman. Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh nilai rs = -0,101, dan nilai thitung = 0,454 serta t tabel = 1,725. Data ini menunjukkan bahwa thitung < ttabel. Hal ini berarti H0 diterima dan H1 ditolak,
Universitas Sumatera Utara
artinya tidak ada hubungan umur dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi. Maka Hipotesis 5 yang menyatakan bahwa ada hubungan antara umur dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi adalah ditolak. Dalam penelitian pengalaman bertani atau lamanya bertani cabai memiliki hubungan dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi. Gambaran hubungan antara pengalaman bertani cabai dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi dapat dilihat pada Tabel 20. Untuk melihat hubungan pengalaman bertani dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi maka diuji dengan uji korelasi Rank Spearman. Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh nilai rs = -0,069 , dan nilai thitung = 0,309 serta t tabel = 1,725. Data ini menunjukkan bahwa thitung < ttabel. Hal ini berarti H0 diterima dan H1 ditolak, artinya tidak ada hubungan pengalaman bertani dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi. Maka Hipotesis 5 yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pengalaman bertani dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi adalah ditolak. Tingkat pendidikan formal yang dimiliki petani akan menunjukkan tingkat pengetahuan serta wawasan yang luas untuk petani menerapkan apa yang diperolehnya untuk peningkatan usahataninya. Untuk melihat hubungan tingkat pendidikan dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi maka diuji dengan uji korelasi Rank Spearman. Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh nilai rs = 0,085 , dan nilai thitung = 0,381 serta t tabel = 1,725. Data ini menunjukkan bahwa thitung < ttabel. Hal ini berarti H0 diterima dan H1 ditolak, artinya tidak ada hubungan tingkat pendidikan dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi. Maka Hipotesis 5 yang menyatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi adalah ditolak. Seperti yang kita ketahui bersama luas lahan yang digunakan petani mempunyai hubungan terhadap penggunaan pupuk bokashi, demikian halnya pada daerah penelitian. Untuk melihat erat tidaknya hubungan luas lahan cabai dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi maka dianalisis dengan menggunakan Korelasi Rank Spearman. Dari hasil analisis diperoleh rs = 0,277 dan thitung =1,289 serta ttabel = 1,725 . Data ini menunjukkan bahwa thitung < ttabel. Hal ini berarti H0 diterima dan H1 ditolak, artinya tidak ada hubungan luas lahan dengan penggunaan pupuk bokashi. Maka Hipotesis 5 yang menyatakan bahwa ada hubungan antara luas lahan cabai dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi adalah ditolak. Jumlah tanggungan keluarga adalah salah satu faktor ekonomi yang perlu diperhatikan dalam penentuan penggunaan pupuk bokashi.
Untuk melihat erat
tidaknya hubungan jumlah tanggungan dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi maka dianalisis dengan menggunakan Korelasi Rank Spearman. Dari hasil analisis diperoleh rs = -0,100 dan thitung = 0,449 serta ttabel = 1,725. Data ini menunjukkan bahwa thitung < ttabel. Hal ini berarti H0 diterima dan H1 ditolak, artinya tidak ada hubungan jumlah tanggungan dengan penggunaan pupuk bokashi. Maka Hipotesis 5 yang menyatakan bahwa ada hubungan antara jumlah tanggungan dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi adalah ditolak. Kondisi ekonomi petani yang lemah atau tidak memadai pada umunya dilihat dari tinggi rendahnya pendapatan seorang petani, yang dapat memperlihatkan sukses tidaknya usahataninya. Untuk melihat erat tidaknya
Universitas Sumatera Utara
hubungan total pendapatan dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi maka dianalisis dengan menggunakan Korelasi Rank Spearman. Dari hasil analisis diperoleh rs = 0,052 dan thitung = 0.232 serta ttabel = 1,725. Data ini menunjukkan bahwa thitung < ttabel. Hal ini berarti diterima H0 dan H1 ditolak, artinya tidak ada hubungan total pendapatan dengan penggunaan pupuk bokashi. Maka Hipotesis 5 yang menyatakan bahwa ada hubungan antara total pendapatan dengan jumlah penggunaan pupuk bokashi adalah ditolak. Dari Tabel 20, dapat diketahui bahwa tidak ada faktor sosial ekonomi yang berkorelasi terhadap penggunaan jumlah pupuk bokashi atau dengan kata lain faktor sosial ekonomi tidak berkorelasi terhadap penggunaan jumlah pupuk bokashi. Meskipum mereka telah mengadopsi teknologi pembuatan bokashi, dan sikapnya terhadap teknologi pembuatan pupuk bokashi adalah positif tetapi data tersebut menunjukkan bahwa petani sampel masih sedikit menggunakan pupuk bokashi dalam usahatani cabainya dibandingkan pupuk kimia. Hal ini disebabkan karena, dampak pupuk bokashi terhadap tanaman lebih lambat dibanding pupuk kimia. Setelah pupuk bokashi ditaburkan pada tanaman, masih menunggu beberapa lama sampai bakteri dan virus yang ada di dalam tanah mati. Selain itu tanaman cabai yang sangat rentan terkena penyakit mendorong petani untuk lebih cepat melakukan pencegahan. Sehingga petani lebih dominan mengunakan pupuk kimia dalam usahataninya.
Universitas Sumatera Utara
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
6. Sikap petani cabai terhadap teknologi pembuatan bokashi di Desa Sondi Raya adalah positif yaitu dari 22 orang petani cabai, 13 orang (59,09 %) memiliki sikap positif dan 9 orang (40,91 %) memiliki sikap negatif. Oleh sebab itu sikap petani sampel terhadap teknologi pembuatan pupuk bokashi lebih dominan sikap yang positif dari pada sikap negatif, sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa sikap petani terhadap teknologi pembuatan pupuk bokashi adalah positif dapat diterima. 7. Tingkat adopsi petani cabai peserta pelatihan terhadap teknologi pembuatan pupuk bokashi adalah tinggi sedangkan petani non peserta pelatihan pembuatan pupuk bokashi sedang. 8. Pada usahatani cabai tidak terdapat perbedaan dalam penggunaan pupuk bokashi pada petani peserta pelatihan pembuatan bokashi dan petani non peserta pelatihan pembuatan bokashi. 9. Faktor sosial ekonomi yang berkorelasi dengan sikap petani cabai terhadap teknologi pembuatan bokashi adalah tingkat kosmopolitan sedangkan faktor sosial ekonomi yang tidak berkorelasi dengan sikap petani cabai terhadap teknologi pembuatan bokashi adalah umur, pengalaman bertani, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, luas lahan, dan total pendapatan. 10. Tidak ada faktor sosial ekonomi yang berkorelasi dengan penggunaan jumlah pupuk bokashi atau dengan kata lain faktor sosial ekonomi tidak berkorelasi dengan penggunaan jumlah pupuk bokashi.
Universitas Sumatera Utara
11. Alasan mengapa perbedaan tingkat adopsi terhadap teknologi pembuatan pupuk bokashi tidak diikuti dengan tingkat penggunaan bokashi karena,
petani
nonpeserta
pelatihan
meskipun
tidak
mengikuti
pelatihan
pembuatan pupuk bokashi tetapi mereka menggunakan pupuk bokashi dalam usahatani cabainya. Pupuk bokashi itu diperoleh mereka dengan melakukan pembuatan sendiri dan ada juga yang membeli dari dinas perkebunan.
Selain menggunakan bokashi petani nonpeserta pelatihan juga melakukan pembuatan pupuk bokashi tetapi mereka tidak mengerti cara dan teknis pembuatannya
Meskipun tingkat adopsi petani peserta lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat adopsi nonpeserta pelatihan dalam pembuatan pupuk bokashi namun dalam hal penggunaan pupuk bokashi untuk usahatani cabai mereka, tidak terdapat perbedaan yang nyata.
6.2. Saran Kepada Pemerintah
Pemerintah diharapkan mampu membantu pelaksanan kegiatan penyuluhan pertanian
khususnya
dalam
hal
teknologi
pembuatan
bokashi
dengan
menyediakan fasilitas yang mendukung untuk pembuatan bokashi.
Universitas Sumatera Utara
Kepada Petani Cabai
Petani cabai yang tidak memakai bokashi dan yang memakai bokashi namun hanya sekedar (sedikit dan lebih mengutamakan pupuk kimia) hendaknya mengambil keputusan untuk memakai bokashi pada usahataninya karena pemakaian pupuk bokashi dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi cabai yang kemudian berdampak pada peningkatan pendapatan, kesejahteraan petani, mengurangi biaya pengeluaran usahatani, pertanian alami yang dalam pelaksanaanya berusaha menghindarkan penggunaan bahan kimia dan pupuk yang bersifat meracuni lingkungan dengan tujuan untuk memperoleh kondisi lingkungan yang sehat. Selain itu, juga untuk menghasilkan produksi tanaman yang berkelanjutan dengan cara memperbaiki kesuburan tanah melalui penggunaan sumberdaya alami seperti mendaur ulang limbah pertanian.
Universitas Sumatera Utara