KARAKTERISASI DAN OPTIMASI EFISIENSI SEL SURYA BST/CuO TERGANDENG KRISTAL FOTONIK
M DAHRUL
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakterisasi dan Optimasi Efisiensi Sel Surya BST/CuO Tergandeng Kristal Fotonik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2016 M DAHRUL NIM G751130061
RINGKASAN M Dahrul. Karakterisasi dan Optimasi Efisiensi Sel Surya BST/CuO Tergandeng Kristal Fotonik. Dibimbing oleh HUSIN ALATAS dan IRZAMAN Sel surya merupakan salah satu teknologi yang dikembangkan umat manusia untuk mengatasi kelangkaan sumber daya energi tak terbarukan. Kendala utama pengembangan sel surya khusunya di negara berkembang seperti Indonesia adalah biaya pembuatan dan komponen yang sangat mahal dibandingkan efisiensi operasional (persentase konversi energi matahari). Pembuatan sel surya dapat juga melalui bahan feroelektrik yaitu BST. BST memiliki sifat opto-elektronik (peka cahaya) dan secara teoritis memiliki efsiensi sebesar 6%. Tembaga oksida (CuO) merupakan material yang banyak diaplikasikan sebagai sel surya fotovoltaik. Semikonduktor CuO memiliki serapan optik yang tinggi pada cahaya tampak, tidak beracun, dan di fabrikasi dengan biaya rendah. Kristal fotonik mampu meningkatkan efisiensi film tipis BST. Kombinasi BST, CuO, dan kristal fotonik diharapkan mampu menjadi sel surya jenis baru. Film tipis BST diberikan perlakuan variasi dopant yaitu litium dan tembaga dan persentase jumlah dopant (1%, 3%, dan 5%) untuk meningkatkan sifat optik dan struktur BST. Film tipis CuO diberikan perlakuan variasi suhu annealing (350 °C, 450 °C, 550 °C) dan ketebalan lapisan (satu lapisan, dua lapisan, dan tiga lapisan) untuk meningkatkan sifat optik dan struktur CuO. Karakterisasi struktur film tipis BST dan CuO bertujuan untuk mengetahui mempelajari tingkat kekristalan bahan yang dibuat. Karakterisasi optik bertujuan untuk mengetahui dan mempelajari sifat optik yang merupakan faktor utama kualitas sel surya. Pengujian fotovoltaik bertujuan mendapatkan karakteristik fotovoltaik terutama efisiensi. Peningkatan efisiensi sel surya menggunakan kristal fotonik. Film tipis BST dan CuO telah berhasil dibuat dengan metode sol-gel dan teknik spin-coating. Karakterisasi optik memperlihatkan film tipis BST, BLST, dan BCST memiliki absorbansi daerah cahaya tampak dan mengalami penurunan energi gap seiring dengan bertambahnya jumlah dopant. Karakterisasi optik CuO menunjukkan film tipis CuO mengalami penurunan energi gap ketika suhu annealing ditingkatkan. Film tipis CuO pada suhu annealing 550 °C dan energi gap 1.98 eV digunakan untuk sel surya. Data fotokonduktivitas menunjukkan bahwa semua sel surya peka terhadap intensitas cahaya. Konduktivitas tertinggi yaitu adalah BLST 5% sebesar 9,1 x 10-7 S/cm dan BCST 3% sebesar 28,5 x 10-7 S/cm. Karakteristik fotovoltaik memperlihatkan efisiensi terbesar pada BST/CuO yaitu 0,009% dan adanya peningkatan arus pada pada semua sel surya. Sel surya BLST/CuO memiliki peningkatan efisiensi terbaik sebesar 57.82% karena bersesuaian dengan panjang gelombang PPB kristal fotonik. Kata kunci: BST, CuO, kristal fotonik, sel surya
SUMMARY M DAHRUL. Characterization and Optimization of BST/CuO Solar Cell Efficiency Coupled to Photonic Crystal. Supervised by HUSIN ALATAS and IRZAMAN. Solar cell is one of the technologies that has been developed to solve the scarcity of non-renewable energy resources. The main obstacle for solar cell development in Indonesia is the cost of manufacture and components are higher than the operating efficiency (the percentage of solar energy conversion). Solar cells can also be made using a ferroelectric material called BST. BST has optoelectronic properties (sensitive to light) and theoretically have efficiency by 6%. Copper oxide (CuO) is a material which is widely applied as photovoltaic solar cells. Semiconductor CuO have high optical absorption in the visible, non-toxic, and low cost fabrication. Photonic crystals can improve the efficiency of thin film BST. The combination of BST, CuO, and a photonic crystal is expected to become a new kind of solar cell. Dopant variations (lithium and copper) were given to BST thin films with the percentage number of dopant were 1%, 3% and 5%. It’s done to improve their optical properties and structure of the BST. To improve CuO optical properties and structure, the thin film were made in three layers with certain thickness and the temperature variation for this film were 350 °C, 450 °C, and 550 °C. The characterization for BST and CuO thin films aims to determine and obtain the crystallinity and crystallite size. Optical characterization aims to identify and study the optical properties which is the main factor for the quality of solar cells. Photovoltaic testing aims to obtain characteristics especially photovoltaic efficiency. Photonic crystal is used to increase the efficiency of solar cells. BST and CuO thin films have been successfully prepared by sol-gel method and spin-coating techniques. Optical characterization of BST, BLST, and BCST thin films have the absorbance on the visible region and the energy gap was decreasing when the annealing temperature increased. Optical characterization of CuO thin film also showed the same result. CuO thin film at the annealing temperature of 550 °C and the energy gap of 1.98 eV was applied for solar cells. Photoconductivity data were showed that all solar cells are sensitive to light intensity with the highest conductivity for BLST 5% is 9.1 x 10-7 S/cm and BCST 3% is 28.5 x 10-7 S/cm. Photovoltaic characteristics were showed that the best efficiency for BST/CuO is 0.009% and there is an increase of current flow in all solar cells. Solar cells BLST/CuO efficiency increases 57.82% and it is consistent with the photonic crystal PPB wavelength. Keywords: BST, CuO, photonic crystal, solar cell,
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISASI DAN OPTIMASI EFISIENSI SEL SURYA BST/CuO TERGANDENG KRISTAL FOTONIK
M DAHRUL
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biofisika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji luar komisi: Dr Yesie Widya Sari, MSi
Judul Tesis : Karakterisasi dan Optimasi Efisiensi Sel Surya BST/CuO Tergandeng Kristal Fotonik Nama : M Dahrul NIM : G751130061
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Husin Alatas, MSi Ketua
Dr Ir Irzaman, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Biofisika
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Mersi Kurniati, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 15 Juni 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan sebaikbaiknya. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Karakterisasi dan Optimasi Efisiensi Sel Surya BST/CuO Tergandeng Kristal Fotonik. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 sampai Desember 2016. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Husin Alatas dan Bapak Dr Irzaman selaku pembimbing atas nasehat spiritual, arahan, dan bimbingannya. Di samping itu, terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Dr Akhiruddin Maddu dan Bapak Dr Mamat Rahmat atas arahannya dalam pembuatan film tipis serta Bapak Erus Rustami M.Si, dalam pengujian sel surya. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Didik Ahmad dan Ibu Nella Rahmati dari Balai Penelitian Kehutanan serta Bapak Sulis Tyono dari Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) yang telah membantu selama proses pengujian bahan. Terima kasih kepada rekanrekan laboratorium biomaterial saudara Muhammad Kasasi, Febrian Vernando, dan Sugianto serta rekan laboratorium material saudari Aah Nuraisah dan Mutiara Khairunnisa. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada almarhum ayah, ibu, adinda serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juni 2016 M Dahrul
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN 1 Latar Belakang ............................................................................................... 1 Perumusan Masalah ....................................................................................... 2 Ruang Lingkup Masalah ................................................................................ 2 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 2 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Barium Stronsium Titanat ............................................................................. 3 Metode Chemical Solution Deposition.......................................................... 6 Sel Surya ........................................................................................................ 7 Tembaga Oksida ............................................................................................ 9 Kristal Fotonik ............................................................................................. 10 METODE 11 Tempat dan Waktu Penelitian...................................................................... 11 Bahan ........................................................................................................... 11 Alat .............................................................................................................. 12 Prosedur Penelitian ...................................................................................... 12 HASIL DAN PEMBAHASAN 22 Karakterisasi Struktur .................................................................................. 22 Karakterisasi Optik ...................................................................................... 27 Karakterisasi Fotokonduktivitas .................................................................. 40 Karakteristik I-V Sel Surya ......................................................................... 42 Absorbansi Sel Surya ................................................................................... 46 SIMPULAN DAN SARAN 47 Simpulan ...................................................................................................... 47 Saran ............................................................................................................ 47 DAFTAR PUSTAKA
48
LAMPIRAN
53
RIWAYAT HIDUP
71
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kristalinitas dan parameter kisi film tipis BST Ukuran kristal film tipis BST, BLST, dan BCST Kristalinitas dan parameter kisi film tipis CuO Ukuran kristal film tipis CuO annealing 350 ºC, 450 ºC, dan 550 ºC Beberapa penelitian energi gap CuO Koefisien absorpsi dan koefisien peredaman pada serapan maksimum Parameter fotovoltaik sel surya tanpa kristal fotonik Parameter fotovoltaik sel surya gandeng kristal fotonik Peningkatan efisiensi sel surya
23 24 26 26 30 37 44 44 45
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Struktur perovskite BST pada fase kubik dan tetragonal Mekanisme hard dan soft dopant (Uchino 2000) Proses spin coating (Bornside et al. 1987) Persambungan p-n sel surya Kurva I-V sel surya Struktur kristal CuO (Wang 2006) Struktur kristal fotonik (Joannopoulos et al. 2008) Diagram alir penelitian Diagram alir pembuatan film tipis BST Diagram alir pembuatan film tipis CuO Set-up pengukuran absorbansi film tipis Struktur lapisan sel surya Rangkaian pengukuran arus tegangan sel surya Kristal fotonik Pola difraksi film tipis BST, BCST, dan BLST Pola difraksi CuO annealing 350 ºC, 450 ºC, dan 550 ºC Ketebalan film terhadap variasi suhu annealing Absorbansi CuO annealing (a) 350 °C, (b) 450 °C, dan (c) 550 °C Energi gap CuO suhu annealing (a) 350 °C, (b) 450 °C, dan (c) 550 °C Koefisien absorpsi CuO annealing 350 °C, 450 °C, dan 550 °C Koefisien peredaman CuO annealing 350 °C, 450 °C, dan 550 °C Indeks bias CuO annealing 350 °C, 450 °C, dan 550 °C Absorbansi film tipis BST terhadap BLST Absorbansi film tipis BST terhadap BCST Energi gap film tipis (a) BST, (b) BLST, dan (c) BCST Hubungan jumlah dopant dengan nilai energi gap Konduktivitas listrik sel surya (a) BLST/CuO dan (b) BCST/CuO Kurva J-V Sel Surya (a) BST/CuO, (b) BCST/CuO, dan (c) BLST/CuO Pola serapan BST dan CuO dengan kristal fotonik sebagai reflektor
3 5 6 7 8 10 11 13 14 15 16 19 20 21 22 25 27 28 31 32 33 34 35 36 38 39 41 43 46
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data ICDD-JCPDS BST dan CuO 2 Penampakan film tipis dan sel surya 3 Perhitungan nilai parameter kisi BST 4 Perhitungan parameter kisi CuO 5 Penentuan energi gap BST 6 Penentuan energi gap CuO 7 Penentuan ukuran kristal 8 Data fotokonduktivitas sel surya (3 lapisan CuO) 9 Data fotokonduktivitas sel surya (2 lapisan CuO) 10 Data dan perhitungan fotovoltaik sel surya
54 55 56 58 62 63 64 65 66 67
PENDAHULUAN Latar Belakang Sel surya merupakan salah satu teknologi yang dikembangkan umat manusia untuk mengatasi kelangkaan sumber daya energi tak terbarukan. Energi matahari dalam bentuk pancaran sinar matahari merupakan sumber energi yang melimpah. Sel surya memanfaatkan energi cahaya matahari untuk diubah menjadi energi listrik. Oleh karena itu, sel surya sering disebut sel fotovoltaik. Sel surya ditemukan pertama kali oleh Edmond Becquerel pada tahun 1839 ketika mengamati dua plat cairan yang mengalirkan arus listrik kontinu ketika disinari cahaya (Soga 2006). Sel surya yang pertama kali dikembangkan adalah sel surya berbasiskan silikon kristal tunggal dan silikon polikristal yang efisiensinya mencapai 25% (Chopra et al. 2004). Kendala utama pengembangan sel surya khusunya di negara berkembang seperti Indonesia adalah biaya pembuatan dan komponen yang sangat mahal dibandingkan efisiensi operasional (persentase konversi energi matahari). Sel surya yang telah dipergunakan sebagian besar berupa silikon baik dalam bentuk kristal tunggal maupun dalam bentuk polikristal. Pengembangan dan peningkatan efisiensi sel surya dalam skala lab seperti sel multijunction telah mencapai 44%. Selain itu, sel surya dapat dibuat dari bahan organik atau gabungan organik dan logam (hibrid) seperti dye-sensitized cells (Kirchartz et al. 2015). Pembuatan sel surya dapat juga melalui bahan feroelektrik (Itskovsky 1999). Bahan ferolelektrik misalnya barium strontium titanate (BaxSr1-xTiO3) atau disingkat BST memiliki sifat opto-elektronik (peka cahaya) dan secara teoritis memiliki efsiensi sebesar 6% (Irzaman et al. 2015). Tembaga oksida (CuO) merupakan material yang banyak diaplikasikan sebagai sel surya fotovoltaik. Semikonduktor CuO memiliki serapan optik yang tinggi pada cahaya tampak, tidak beracun, dan difabrikasi dengan biaya rendah (Ray 2001). CuO merupakan semikonduktor tipe-p dengan energi gap 1.5 – 1.9 eV yang mendekati energi gap sel surya silikon (Kidowaki et al. 2012). Penelitian CuO menitikberatkan pada mekanisme penumbuhan, sifat optik, dan sifat listrik. Film tipis BST telah dibuat dengan beberapa teknik seperti sputtering, laser ablation, dan sol-gel process (Kao dan Yang 1999; Lahiry et al. 2008; Irzaman et al. 2008) sedangkan film tipis CuO dapat dibuat dengan beberapa teknik pelapisan seperti dip-coating, vacuum evaporation, sputtering process, chemical solution deposition (CSD) (Kidowaki et al. 2001; Zhang et al. 2009; Mugwang’a et al. 2013; Bushra et al. 2014). Metode CSD sangat menarik untuk dikembangkan karena memiliki kontrol stoikiometri yang baik, mudah dalam fabrikasi, dan disintesis pada suhu ruangan (Adem 2003; Irzaman et al. 2008; Jundale et al. 2011). Kemampuan BST dalam menyerap foton dapat ditingkatkan dengan menggunakan kristal fotonik (Nuayi et al. 2013). Oleh karena itu kombinasi antara BST, CuO, dan kristal fotonik dapat diterapkan sebagai sel surya.
2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dan kerangka pemikiran dalam latar belakang, maka permasalahan pembuatan sel surya dengan kombinasi BST, CuO, dan kristal fotonik dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Pembuatan film tipis CuO dan BST menggunakan metode CSD harus menghasilkan lapisan yang tidak mudah rontok, kuat, dan permukaan yang rata. 2. Pemberian perlakuan tertentu pada film tipis BST dan CuO untuk meningkatkan kualitas kristal dan mengoptimalkan sifat optiknya. 3. Penggabungan film tipis BST dan CuO diharapkan memiliki sifat fotovoltaik dan optik yang dapat diterapkan sebagai sel surya. 4. Penggunaan kristal fotonik diharapkan dapat meningkatkan efisiensi sel surya. Ruang Lingkup Masalah Berdasarkan perumusan diatas, ruang lingkup masalah pembuatan dan karakterisasi sel surya dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Karakterisasi struktur kristal dan sifat optik CuO menggunakan variasi ketebalan dan suhu annealing 350° C, 450°, dan 550° C. 2. Karakterisasi struktur kristal dan sifat optik BST menggunakan variasi dopant tembaga dan litium dengan jumlah pendadah 1%, 3%, dan 5%. 3. Pengujian kepekaan cahaya sel surya menggunakan variasi dopant (pendadah) tembaga dan litium dengan jumlah pendadah 1%, 3%, dan 5% pada lapisan BST. 4. Menghitung efisiensi dan mengoptimalisasi efisiensi menggunakan kristal fotonik Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah membuat jenis sel surya menggunakan bahan BST dan CuO serta meningkatkan efisiensi sel surya dengan memasangkan kristal fotonk. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk meningkatkan sifat optik dan struktur kristal menggunakan perlakuan suhu annealing dan bahan pendadah. Manfaat Penelitian 1. 2. 3.
Sebagai salah satu upaya dalam usaha pendayagunaan sumber daya energi matahari. Ditemukannya parameter pembuatan, perlakuan, serta kombinasi BST dan CuO sebagai sel surya. Pembuatan jenis sel surya baru yang dapat menunjang kemandirian dan otonomi teknologi.
3
TINJAUAN PUSTAKA Barium Stronsium Titanat Fenomena Feroelektrik Bahan feroelektrik adalah bahan yang mengalami polarisasi secara spontan akibat adanya medan listrik dari luar. Gejala feroelektrik pertama kali ditemukan oleh Valasek pada tahun 1912 pada garam Rochelle (Adem 2003 dan Iriani 2009). Kristal dibagi menjadi 32 grup titik (point group) sesuai dengan simetri yang dimiliki dan dari 32 grup titik tersebut dibagi menjadi 21 non-centrosymmctric dan 11 centrosymmctric. Kristal centrosymmctric tidak memiliki banyak sifat polar ketika diberikan gangguan medan listrik. Kristal non-centrosymmctric memiliki satu atau lebih sumbu polar dan merupakan vektor dan tensor pada kristal (Adem 2003). Feroelektrik merupakan bagian dari kristal non-centrosymmctric yang memiliki polarisasi spontan. Bahan yang memiliki sifat feroelektrik secara umum merupakan bahan yang berbentuk perovskite. Struktur perovskite adalah struktur kristal sederhana yang berbentuk kubus dengan rumus kimia A+2B+2O3-2. Atom A menggambarkan kation dengan jari-jari ion besar, B adalah kation dengan jari-jari ion kecil dan O adalah atom oksigen. Fase ferolelektrik tetragonal
Fase paraelektrik kubus
c A
a B
= Ba/Sr
O
=O a
= Ti a
P=0
a
P
a
Gambar 1 Struktur perovskite BST pada fase kubik dan tetragonal Bahan barium stronsium titanat (BaxSr1-xTiO3) atau yang sering disingkat BST merupakan salah satu bahan yang memiliki struktur perovskite. Atom Ba/Sr menempati posisi A dan atom Ti menempati posisi B pada struktur perovskite kristal. Ketika medan listrik dikenakan pada BST maka distribusi muatan total tidak sama dengan nol sehingga terjadi kelebihan muatan pada salah satu sisi kristal yang dinamakan polarisasi. Hal ini ditandai dengan atom pusat kristal berpindah ke posisi yang sesuai dengan arah medan listrik yang diberikan. Bahan BST mengalami polarisasi (feroelektrik) ketika berada di bawah suhu Curie dan bersifat paraelektrik ketika diatas suhu Curie. Struktur perovskite BST ketika terpolarisasi dapat dilihat pada Gambar 1. Suhu Curie barium titanat 120 °C, dengan penambahan stronsium maka BST mengalami penurunan suhu Curie menjadi suhu kamar. Suhu Curie BST di suhu ruangan akan sangat berguna untuk spesifikasi alat tertentu.
4 Penerapan Bahan BST Film tipis BST merupakan bahan feroelektrik perovskite yang telah banyak diteliti dari tahun 1990-an. Hal ini disebabkan film tipis BST mempunyai keunggulan yaitu konstanta dielektrik yang tinggi, dielectric loss (pengurangan dielektrik) yang rendah, konstanta dielektrik yang tinggi, dan komposisinya tergantung suhu Curie yang mengakibatkan BST dapat bersifat feroelektrik maupun paraelektrik. Keunggulan tersebut menjadikan film tipis BST sebagai kandidat menggantikan SiO2 sebagai dielektrik penyimpan muatan (kapasitor), dynamic random acces memory (DRAM), aplikasi gelombang akustik, dan tunable microwave. (Manavalan 2005; Gurumurthy 2007; Irzaman et al. 2011; Balachandran et al. 2012). Selain memiliki sifat feroelektrik, film tipis BST memiliki kepekaan terhadap cahaya (opto-electronic), peka terhadap rangsangan suhu (pyroelectric), dan peka terhadap pengaruh tekanan (piezoelektrik). Sifat pyroelectric telah diterapkan sebagai switch thermal infrared dan sensor infra merah (Okatan et al. 2008; Irzaman et al. 2008; Kanareykin et al. 2010). Sifat BST telah diaplikasiskan sebagai opto-electronic pada fotodioda (Kocanda et al. 2012 dan Dahrul et al. 2010). Selain itu, kepekaannya terhadap cahaya telah diterapkan dalam model pengeringan otomatis dalam pertanian (Irzaman et al. 2016). Transisi fase feroelektrik dengan memanfaatkan efek pyroelectric non-linear dapat diterapkan sebagai sel surya feroelektrik. Fase transisi kinetik di bawah pengaruh perubahan suhu dalam lapisan film feroelektrik sebagai bagian dari metalferroelectric-metal (MFM) diakibatkan oleh laju pemanasan paparan energi matahari. Sel surya film feroelektrik bekerja dengan cara menyerap energi iradiasi matahari dan mengubah secara langsung energi termal tersebut ke dalam energi listrik melalui efek pyroelectric non-linear (Itkovsky 1999). Pemodelan BST sebagai bahan feroelektrik memiliki potensi efisiensi sel surya sebesar 6% dengan menggunakan substrat silikon (Irzaman et al. 2015). Efisiensi sel surya feroelektrik dapat dihitung melalui persamaan LandauChalatnikov. Efisiensi yang dihasilkan dalam persamaan ini berdasarakan sifat polarisasi spontan, sifat pyroelectric dan pergeseran listrik (Itkovsky 1999). Persamaan tersebut diungkapkan sebagai berikut: 2 Dm Psi2 x m x 0 0 cP C D i
2
Dm D i
2
(1)
dimana Psi adalah polarisasi spontan, ε0 adalah permitivitas ruang hampa, cp adalah kalor jenis pada tekanan tetap, C adalah konstanta Curie, xm adalah electric displacement maksumum, x0 adalah electric displacement awal. Persamaan tersebut kemudian disederhanakan dengan menganggap nilai heating rates dan resistansi yang besar sehingga berlaku x0 << 1sehingga dapat diabaikan dan xm mendekati 1. Persamaan efisiensi dalam kondisi maksimum menjadi: Psi2 1 max (2) exp(1) 0 c P C Nilai efisiensi sel surya feroelektrik juga dipengaruhi oleh x0 (electric displacement awal), maka persamaannya berubah menjadi (Sze dan Kwok 2007):
5
max 100 % 1 x0
(4)
Efisiensi BST kemudian dapat dihitung dengan memasukkan nilai besaran diatas berdasarkan literatur yait Psi = 7,66 μC/cm2, Cp = 2,5 x 106 J/ m3·K , C = 1300 °C = 1,573 x 103 K , εo = 8,854 x 10-16 C2/N·cm sehingga didapatkan nilai efisiensi BST sebesar 6% (Putra 2012 dan Irzaman et al. 2015). Bahan Pendadah (Dopant) Bahan pendadah (dopant) adalah adalah bahan yang diharapkan mampu mengubah konstanta kisi, tetapan dielektrik, sifat pyroelectric, sifat opto-electronic, sifat piezoelektrik dari keramik maupun film tipis BST menjadi lebih baik. Klasifikasi dopant dapat dibedakan menurut unsurnya yaitu soft dopant dan hard dopant. Ion soft dopant menjadikan bahan feroelektrik memiliki koefisien elastisitas yang tinggi, sifat medan koersif yang rendah, faktor kualitas mekanik lebih rendah. Ion hard dopant dapat menghasilkan bahan feroelektrik menjadi lebih keras (hardness) seperti loss dielectric rendah, bulk resistivitas rendah, sifat medan koersif lebih tinggi, faktor kualitas mekanik lebih tinggi, dan faktor kualitas listrik lebih tinggi (Xu 1991).
Hard dopant
Soft dopant
Gambar 2 Mekanisme hard dan soft dopant (Uchino 2000) Ion hard dopant merupakan ion aseptor karena muatannya lebih kecil dari muatan yang digantikannya. Hard dopant berperan penting dalam pembentukan ruang kosong di posisi ion oksigen. Aseptor dopant ke dalam senyawa BST menyebabkan sangat efektifnya pembangkitan dipole-dipole ion. Ion oksigen sangat mudah bergerak melompat dari posisi O ke posisi kosong O (O vacancy) yang jaraknya sangat berdekatan. Ion soft dopant merupakan ion donor karena muatannya lebih besar dari muatan ion yang digantikannya. Ion donor tersebut menyebabkan tidak efektifnya pembangkitan momen dipol, karena ion Ba (ion yang lepas) tidak dapat dengan mudah melompat dari posisi A ke posisi ruang kosong A akibat terhalang secara ionik oleh oksigen pada gugus oktahedran (Xu, 1991). Mekanisme kedua dopant tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 (Uchino 2000).
6 Metode Chemical Solution Deposition Metode CSD adalah metode penumbuhan lapisan tipis dengan menggunakan larutan bahan kimia di atas permukaan substrat pada suhu kamar. Metode ini lebih murah karena tidak perlu ruang vakum, memiliki kontrol stokiometri yang baik, mudah dalam pembuatannya, dan sangat baik untuk penelitian dalam skala laboratorium. Kelebihan utama metode CSD adalah bahan atau film yang dapat dibuat, dihasilkan pada komposisi campuran akhir pada level molekul sehingga waktu difusi bahan setelah mengalami proses pirolisis untuk mencapai kesetimbangan termodinamika cukup singkat dan stabil. Hal ini mengakibatkan hasil yang didapatkan merupakan campuran homogen dan film yang tebal (Iriani 2009 dan Uchino 2000).
Gambar 3 Proses spin coating (Bornside et al. 1987) Metode CSD terdiri dari proses pembuatan larutan kimia (sol-gel) dan pelapisan pada substrat. Terdapat beberapa metode pelapisan seperti spin-coating, dip coating, spin-casting, casting. Secara umum pelapisan metode kimia CSD menggunakan teknik spin coating. Oleh karena itu, metode CSD sering juga dikenal sebagai metode sol-gel. Pada metode sol-gel, larutan yang dbuat akan berubah fase dari bentuk larutan (solution) menjadi gel. Transformasi tersebut dapat terjadi ketika sebelum pelapisan maupun setelah pelapisan ketika tahap penguapan. Pelapisan film tipis dengan teknik spin coating terdiri dari beberapa proses. Proses tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 (Bornside et al. 1987). Proses pertama adalah penetesan larutan diatas substrat. Proses kedua adalah substrat dipercepat sampai pada kecepatan tinggi agar lapisan cairan menipis (adanya efek sentrifugasi). Langkah ketiga adalah susbtrat diputar dengan kecepatan konstan sehingga terjadi penipisan larutan secara perlahan-lahan. Pada proses ini diharapkan ketebalan larutan pelapis menjadi homogen. Proses terakhir adalah penguapan pelarut. Parameter yang mempengaruhi proses spin coating adalah viskositas larutan, kecepatan putar, waktu putar, kecepatan pengeringan, percepatan putar dan kevakuman.
7 Sel Surya Sel surya (fotovoltaik) secara umum terdiri dari komponen dasar berbahan semikonduktor. Berbagai struktur dan kombinasi sel surya yang telah dikembangkan memanfaatkan fenomena persambungan semikonduktor. Selain berbahan semikonduktor, sel surya dapat juga berasal dari bahan organik seperti pada jenis dye-sensitized solar cell (DSSC). Sel surya tersebut didasarkan pada kaidah proses fotosintesis yang terjadi di alam bebas yang dilakukan oleh semua jenis tanaman. Terdapat juga sel surya hybrid yaitu perpaduan bahan organik dan bahan anorganik. Bahan organik dalam sel surya jenis ini berfungsi sebagai penyerap cahaya dan bagian anorganiknya adalah nanokristal semikonduktor biasanya material golongan II-IV (Sugianto 2014 dan Xie et al. 2015).
Gambar 4 Persambungan p-n sel surya Sel surya sederhana memanfaatkan persambungan p-n yaitu ketika dua bahan semikonduktor dengan jenis n dan p digabungkan dengan metode tertentu. Semikonduktor jenis n adalah semikonduktor ekstrinsik (mengalami impuritas) yang memiliki kelebihan elektron bebas di bagian pita konduksinya. Semikonduktor jenis p adalah semikonduktor ekstrinsik (mengalami impuritas) yang memiliki kelebihan hole (ruang kosong yang ditinggalkan oleh elektron ketika tereksitasi) di bagian pita valensinya. Pada masing-masing bagian kemudian diberi kontak untuk mengalirkan arus yang dihasilkan sel surya ketika terkena cahaya matahari. Persambungan sel surya p-n semikonduktor dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 menjelaskan diagram level energi persambungan semikonduktor jenis n dan p. Persambuangan p-n terjadi pada saat kesetimbangan termal yaitu ketika kedua jenis semikonduktor memiliki energi fermi yang sama. Pembawa muatan negatif (elektron) pada tipe-n berdifusi ke tipe–p sedangkan pembawa muatan positif (hole) berdifusi ke tipe-n. Pada saat tersebut, akumulasi total muatan berbeda pada dua sisi persambungan menghasilkan beda potensial dan medan listrik elektrostatik yang menghentikan proses difusi muatan-muatan tersebut. Daerah tersebut tidak memiliki muatan bebas dan disebut lapisan deplesi.Lapisan deplesi mencegah terjadinya pergerakan arus di dalam persambungan. Level energi
8 I ISC Imaks
Pmaks
Vmaks
VOC
V
Gambar 5 Kurva I-V sel surya fermi kedua jenis tipe menjadi sama (dalam diagram energi segaris) dan potensial listrik di daerah lapisan deplesi disebut potensial built-in. Ketika sel surya menyerap energi foton dengan energi yang lebih besar dari energi gap semikonduktor, elektron-elektron tereksitasi dari level pita valensi ke level pita konduksi dan menjadi elektron bebas. Setiap elektron yang tereksitasi meninggalkan jejak ruang kosong di level pita valensi (hole) dan dianggap sebagai muatan positif. Adanya medan elektrostatik di daerah persambungan mengakibatkan elektron-elektron akan menuju tipe-p pada pita konduksi dan hole yang ditinggalkan pada level valensi mengalir ke tipe-n. Muatan-muatan tersebut akan mengalir secara berlawanan jika dihubungkan dengan rangkaian luar atau suatu perangkat dan akhirnya mengalami rekombinasi di dalam bahan semikonduktor. Aliran muatan-muatan tersebut menghasilkan arus listrik pada rangkaian luar. Karakteristik sel surya dapat diungkapkan oleh beberapa parameter yaitu daya output, faktor pengisian (fill factor), dan efisiensi sel surya. Ketiga parameter tersebut ditentukan melalui kurva I-V (Gambar 5). Daya output adalah daya nyata yang dihasilkan sel surya sebagai hasil konversi energi matahari menjadi energi listrik. Faktor pengisian merupakan parameter yang menggambarkan performa sel surya. Faktor pengisian merupakan perbandingan daya maksimum yang dihasilkan (faktual) dengan daya seharusnya secara teoritis. Kinerja sel surya dikatakan cukup baik ketika nilai faktor pengisian lebih besar dari 70% (Kidowaki et al. 2012). Efisiensi sel surya merupakan parameter yang menggambarkan kemampuan sel surya melakukan konversi energi matahari menjadi energi listrik. Efisiensi merupakan faktor parameter utama dalam menilai kualitas sel surya. Saat persambungan p-n mengalami kesetimbangan termal dan tanpa penyinaran cahaya, hubungan arus dan tegangan dapat diungkapkan dengan ekspresi persamaan (5): qV I I 0 exp (5) 1 kT dimana q adalah muatan elektron dalam beda potensial bias V, k adalah konstanta Boltzman dan I adalah arus jenuh semikonduktor. Ketika sel surya mendapat energi foton dari cahaya, maka akan timbul arus foto (Iph) sebagai akibat mengalirya
9 muatan pembawa mayoritas ke rangkaian luar. Persamaan (5) kemudian berubah menjadi persamaan (6): qV (6) I I ph I 0 exp 1 kT Pada saat pengukuran I-V, potensiometer diputar sehingga mengalami hambatan maksimum. Hal tersebut mengakibatkan rangkaian menjadi rangkaian terbuka (open circuit) dan arus menjadi nol (I = 0). Beda potensial yang dihasilkan adalah beda potensial open circuit (Voc). VOC
nKT I ph ln q I 0
(7)
Pada saat potensiometer diputar menjadi hambatan minimum, maka rangkaian menjadi rangkaian short circuit dan V= 0. Arus yang mengalir pada kondisi tersebut adalah arus rangkaian pendek (ISC). I SC I ph (8) Tembaga Oksida Tembaga oksida merupakan bahan yang memiliki dua bentuk yaitu tembaga oksida (cuprous oxide) atau yang sering disingkat Cu2O dan tembaga (II) oksida (cupric oxide) atau yang biasa disingkat CuO. CuO memiliki struktur kristal monoklinik, energi gap 1.2 – 1.9 eV, warna hitam, absorpsivitas tinggi, emisivitas suhu rendah. Cu2O memilki warna cokelat kemerahan, struktur kristal kubik dengan energi gap 2.0 – 2.2 Ev (Akgul et al. 2014). Kedua jenis oksida tersebut memilliki sifat yang sangat berbeda seperti warna bahan, struktur kristal, sifat listrik, sifat optik dan sifat kimiawinya. Penggunaan kedua bahan tersebut lebih terarah ke aplikasi sel surya. Selain aplikasi sel surya, tembaga oksida diterpakan juga sebagai sensor, dilute magnetic doping, baterai ion litium, colossal magnetoresistance, superkonduktor suhu tinggi, katalis, dan thermal conducting fields (Tran et al. 2016; Vikraman et al. 2016). Hal ini terkait dengan sifat bahan yang tidak beracun, dapat dibuat dengan metode sederhana dan biaya rendah, serta nilai energi gapnya dapat diatur dengan kontrol pada komposisinya (Wang 2006). Bahan CuO dapat digunakan sebagai penyerap energi surya selektif dan memiliki emisi termal yang kecil. Bahan Cu2O sangat menjanjikan sebagai sel surya karena sangat baik untuk konversi energi fotovoltaik (Johan et al. 2011). Nilai energi gap suatu bahan sangat mempengaruhi sifat optik terutama pada aplikasi sel surya (Rahman et al. 2015). Struktur kristal CuO Struktur kristal CuO merupakan unit sel monoklinik (space group C2h6) yang terdiri dari empat molekul CuO. Konstanta Lattice atau parameter kisi dari struktur kristal CuO adalah a = 0.47 nm, b = 0.34 nm, c = 0.51 nm, dan sudut β = 99.54° seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6 (Wang 2006). Atom CuO memiliki susunan atom dimana setiap atom mempunyai empat atom tetangga yang saling berbeda. Pada bidang (110), setiap atom Cu terhubungkan dengan empat atom O koplanar terdekat pada sudut bangun kristal (rectangular parallelogram). Atom O terkoordinasi pada empat atom Cu dalam bentuk tetrahedron (Ray et al. 2001).
10
Gambar 6 Struktur kristal CuO (Wang 2006) Sifat Fisik CuO CuO dalam bentuk murni memiliki struktur warna hitam pekat dengan massa jenis 6.4 g/cm3. CuO memiliki titik lebur tinggi 1330 °C dan tidak larut dalam air. Sama seperti Cu2O, bahan CuO merupakan semikonduktor tipe-p (Wang 2006). Perbedaan sifat optik CuO dengan Cu2O adalah memiliki energi gap pada rentang 1.4 eV sampai 1.9 eV dalam kondisi transisi elektron secara tidak langsung (indirect band gap) dan juga memiliki indeks bias 2.63. Banyak metode yang dapat digunakan dalam pembuatan CuO seperti thermal oxidation, sintering, precipitation, sputtering, chemical vapour transport (CVT), electrochemical deposition, dan Chemical Solution Deposition (CSD), chemical vapour deposition (CVD), molecular beam epitaxy (Papadimitropoulos et al. 2005). Kristal Fotonik Kristal fotonik adalah material dielektrik atau bahan optik dengan indeks bias berbeda-beda yang tersusun secara periodik. Kajian fisika untuk struktur dengan permeabilitas dielektrik yang termodulasi secara periodik ini memungkinkan terjadinya difraksi Bragg cahaya (Joannopoulos et al. 2008). Penerapan kristal fotonik dalam bidang optik yaitu sebagai filter optik, elemen emisi cahaya, pandu gelombang (waveguide), laser, fiber optik, dan material optikal magnet. Kristal fotonik dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu satu dimensi, dua dimensi, dan tiga dimensi seperti yang terlihat pada Gambar 7 (Joannopoulos et al. 2008). Sistem satu dimensi merupakan sebuah subyek yang penting karena sederhana dari segi teori, komputasi, maupun fabrikasi. Fabrikasi kristal fotonik satu dimensi telah umum dilakukan menggunakan material dielektrik seperti TiO2, SiO2, dan CdS (Rahmat 2013). Kristal fotonik satu dimensi dapat dibuat memalui beberapa metode seperti spray pyrolysis, electron beam evaporation, sputtering, chemical vapour deposition, dan sol-gel (Maulina 2012).
11
Gambar 7 Struktur kristal fotonik (Joannopoulos et al. 2008) Ketika cahaya mengenai lapisan, masing-masing permukaan merefleksikan sebagian dari medan. Jika ketebalan dari masing-masing lapisan dipilih untuk nilai yang sesuai, medan yang direfleksikan akan berkombinasi di dalam fase, menghasilkan interferensi konstruktif, dan reflektansi yang kuat, yang disebut sebagai refleksi Bragg. Telah dibuktikan bahwa hamburan Bragg dalam struktur dielektrik periodik menjadi penyebab munculnya PBG (Schmidt et al. 2007). Periodisitas kristal fotonik dapat rusak akibat adanya defek sehingga memunculkan modul resonansi dalam selang PBG dimana frekuensi gelombang elektromagnetik yang datang sama dengan frekuensi modus atau frekuensi defek kristal fotonik yang diberikan. Gelombang dengan modus atau frekuensi defek akan dipantulkan terusmenerus secara harmonik di sekitar modus defek oleh DBR (distributed bragg reflector) sebelah kiri dan kanan lapisan defek yang berfungsi sebagai cermin PBG (Maulina 2012). Oleh karena itu, foton-foton akan terlokalisasi di sekitar defek dan menimbulkan peningkatan medan yang besar. Peningkatan medan yang besar pada daerah defek mengakibatkan transmitansi penuh dalam PBG pada frekuensi resonansinya sehingga memunculkan fenomena photonic pass band (PPB) (Schmidt et al. 2006)
METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Februari 2015 sampai Desember 2015 di Laboratorium Fisika Material Departemen Fisika IPB, Laboratorium Spektroskopi Departemen Fisika IPB, Laboratorium Biomaterial Departemen Fisika IPB IPB, Laboratorium Analisis Bahan BATAN, Laboratorium Analisis Balai Penelitian Kehutanan (BALITHUT). Bahan Bahan yang digunakan dalam pembuatan film tipis barium strontium titanat (BST) adalah barium asetat [Ba(CH3COO)2, 99%], stronsium asetat [Sr(CH3COO)2, 99%], titanium isopropoksida [Ti(C12O4H28), 99.999%], asam asetat [CH3COOH, ≥ 99.7%], etilena glikol [C2H6O2, ≥ 99%]. Semua bahan dari Sigma Alrdich. Bahan yang digunakan dalam pembuatan film tipis tembaga (II) oksida (CuO) adalah tembaga asetat [Cu(CH3COO)2, 99%], dietanolamida [C4H11NO2, >98%], etilena glikol [C2H6O2, ≥ 99%], etanol [C2H5OH, 98%]. Bahan
12 yang digunakan sebagai substrat adalah kaca kuarsa yang dicuci dengan menggunakan aqua bidestilasi steril dan aseton PA [CH3COCH3, >98%]. Reflektor yang dipakai adalah kristal fotonik 1 defect. Pemasangan kontak menggunakan pasta perak dan alumunium foil. Media film tipis solar sel beserta kontaknya menggunakan kaca preparat, kabel jumper male female, male header, dan kawat tembaga rose gold 0.8 mm. Alat Penimbangan menggunakan timbangan laboratorium model AND GR-200 dan spatula lab untuk mengambil bahan dan sampel. Gelas ukur 10 ml dan botol kaca vial untuk mengukur volume larutan dan mencampur bahan diatas Digital Hotplate Stirrer model MSH-20D. Deposisi lapisan tipis BST dan CuO menggunakan spin coater. Larutan diteteskan menggunakan pipet mekanik CappTrioTM Mechanical Pipette 100 μl. Pinset anatomis untuk mengambil film tipis. Selanjutnya film tipis dimasukkan ke dalam furnace Vulcan model 3-130. Sampel lapisan tipis dikarakterisasi struktur kristalnya dengan menggunakan X-Ray Diffractometer (XRD) merk Shimadzu tipe MAXima. Karakterisasi Sifat listrik film tipis yaitu pengujian pengukuran arus-tegangan menggunakan Keithley's SourceMeter Family Model 2400 dengan program Labview dan pengujian konduktifitas menggunakan LCR meter tipe HIOKI 3522-50 LCR HiTester dengan program Jajang_Labview. Karakterisasi sifat optik menggunakan Spectrophotometer Vis-NIR Ocean Optics USB 1000 Oceanoptic dan Spectrophotometer UV-Vis Ocean Optics USB 1000 Oceanoptic dengan program Spectrasuite. Pengukuran intensitas cahaya yang diberikan pada film tipis menggunakan lux meter Light Meter Lutron LX-100. Pengukuran I-V sel surya menggunakan resistor 1 MΩ, potensiometer 500 kΩ, dan dua buah multimeter model Fluke 28 II. Prosedur Penelitian Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan. Pertama adalah pembuatan dan karakterisai struktur serta optik film tipis CuO dengan variasi ketebalan dan suhu annealing. Tahapan kedua adalah pembuatan dan karakterisasi struktur serta optik film tipis BST dengan variasi dopant dan jumlah dopant. Tahapan ketiga pembuatan sel surya dan uji listrik dari sel surya. Langkah penelitian secara umum seperti ditunjukkan pada Gambar 8. Pembuatan film tipis menggunakan metode CSD dan pendeposisian di atas substrat menggunakan teknik spin-coating. Film tipis CuO diberikan variasi suhu annealing untuk mengetahui optimasi dari sisi struktur dan optik. Film tipis BST diberikan variasi pendadah (dopant) untuk mengetahui sejauh mana pengaruhnya pada absorbansi maksimum dan energi gap. Diagram alir pembuatan film tipis CuO dan BST secara berturut-turut dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10. Penelitian selanjutnya adalah menggabungkan film tipis CuO sebagai tipe-p di atas permukaan film tipis BST yang bertindak sebagai tipen sehingga
13 Variasi suhu annealing
Variasi jenis dopant Sintesis film tipis CuO
Sintesis film tipis BST Variasi jumlah dopant
Variasi ketebalan film
Struktur Optik
Karakterisasi film tipis CuO
Karakterisasi film tipis BST
Struktur Optik
Gandeng kristal fotonik Pengukuran parameter fotovoltaik Tanpa kristal fotonik
Pengujian konduktivitas
Pembuatan Sel Surya BST/CuO
Perubahan intensitas cahaya
Variasi dopant
Perlakuan Alur kerja Gambar 8 Diagram alir penelitian
terbentuk persambungan p-n Junction. Film tersebut kemudian diuji kepekaan konduktifitasnya terhadap sinar matahari dan parameter fotovoltaiknya dengan pengukuran kurva I-V. Pengukuran dilakukan dengan digandeng dan tanpa kristal fotonik. Pembuatan Larutan Larutan BST dibuat dengan mencampurkan barium asetat, stronsium asetat, dan asam asetat ke dalam botol kaca vial dan diaduk menggunakan digital hotplate stirrer selama satu jam. Titanium isopropoksida ditambahkan dan diaduk selama setengah jam. Perbandingan fraksi molaritas antar bahan larutan BST dapat dilihat pada persamaa reaksi di bawah. 0.65Ba(CH3COO)2 + 0.35Sr(CH3COO)2 + Ti(C12H28O4) + 22O2 → BaSrTiO3 + 17H2O + 16CO2 (9) Etilena glikol kemudian ditambahkan dan diaduk hingga larutan berwarna bening. Larutan dengan perlakuan pendadahan dibuat dengan cara yang sama dengan menambahkan senyawa pendadah pada pencampuran asam asetat sesuai dengan ukuran yang telah dihitung. Pendadah yang digunakan adalah litium asetat dan tembaga asetat. Larutan kemudian dipanaskan di atas hotplate selama satu jam dengan suhu 90 °C.
14 Ba (CH3COO)2
Sr (CH3COO)2
dilarutkan sejam dalam CH3COOH
ditambahakan Ti (C12O4H28)
ditambahakan C2H6O2
dipanaskan sejam pada suhu 90°C
ditambahkan
Larutan BST
Li (CH3COO)2/ Cu (CH3COO)2
Penambahan 11 lapisan
spin coating 3000 rpm, 30 detik
drying (hidrolisis) 200 °C
pirolisis 400 °C
Film Tipis BST
annealing 850 °C selama 8 jam
Gambar 9 Diagram alir pembuatan film tipis BST Larutan CuO dibuat dengan mencampurkan tembaga asetat ke dalam larutan etanol dengan konsentrasi yang diinginkan. Larutan diaduk di atas hotplate selama satu jam. Etilena glikol kemudian ditambahkan dan diaduk lagi selama setengah jam. Larutan yang terbentuk larut secara sempurna dan berwarna biru gelap. Pembuatan Film Tipis dengan Teknik Spin-Coating Substrat yang digunakan untuk film CuO dan BST adalah kuarsa dan kaca preparat. Kaca preparat dan kuarsa dipotong persegi dengan ukuran 1 cm2. Substrat sebelumnya dicuci dengan menggunakan aquades bidestilasi dan dikeringkan di atas hotplate. Setelah itu direndam dalam larutan aseton selama 1 menit. Pencucian dilakukan untuk mencegah partikel pengotor maupun lemak menempel sehingga dapat mengurangi kerataan lapisan yang akan dibuat. Proses pelapisan CuO dan BST menggunakan teknik spin-coating. Pelapisan BST dilakukan dengan cara substrat ditetesi larutan BST sehingga seluruh permukaan tertutupi. Substrat kemudian diputar dengan kecepatan putar 3000 rpm selama 30 detik. Sampel dikeringkan diatas hotplate selama 10 menit pada suhu 200°C untuk menguapkan pelarut yang masih ada (hidrolisis). Sampel kemudian didinginkan hingga mencapai suhu ruangan dan dipanaskan lagi diatas hotplate selama 10 menit pada suhu 400°C agar terjadi pemecahan struktur kimia (pirolisis).
15 Cu (CH3COO)2
C2H5OH
dicampur dan diaduk selama 1 jam
ditambahkan C2H6O2
Larutan CuO
Penambahan lapisan
annealing selama 3 jam
drying 200 °C selama 10 menit
spin coating 3000 rpm, 30 detik
Film tipis CuO
Gambar 10 Diagram alir pembuatan film tipis CuO Proses ini kemudian diulang untuk mendapatkan ketebalan yang diinginkan. Penelitian ini menggunakan 11 pelapisan. Proses selanjutnya adalah annealing pada suhu 850 °C dengan waktu tahan 8 jam. Proses tersebut terdiri dari waktu kenaikan 2 °C/ menit, waktu tahan 8 jam, dan penurunan 2 °C/ menit. Pelapisan CuO dilakukan dengan cara substrat diputar dengan kecepatan 3000 rpm. Substrat yang diputar kemudian ditetesi dengan larutan CuO dan dibiarkan selama 30 detik. Sampel selajutnya dipanaskan di atas hotplate 10 menit pada suhu 200 °C untuk menguapkan pelarut yang masih ada. Proses ini kemudian diulang untuk mendapatkan variasi ketebalan lapisan. Penelitian CuO menggunakan perlakuan jumlah lapisan yaitu satu lapisan, dua lapisan, dan tiga lapisan. Sampel kemudian dipanaskan untuk proses annealing selama satu jam. Sampel CuO diberikan variasi waktu annealing yaitu 350 °C, 450 °C, dan 550 °C. Karakterisasi Struktur dan Optik Karakterisasi Optik Karakterisasi sifat optik film tipis dilakukan dengan pengukuran spektrum serapan (absorbansi) dan mengamati daerah serapan panjang gelombang maksimum dari film tipis. Data absorbansi yang didapatkan kemudian digunakan untuk menentukan kontanta absorbansi, koefisien peredaman, serta band gap film tipis yang dihasilkan. Spektrokopi sifat optik menggunakan spectrophotometer model ocean optics DT-mini-2.
16
Pengukuran sifat optik menggunakan metode absorbansi. Tungsten Halogen Lamp sebagai sumber gelombang (light source) ditransmisikan melalui kabel fiber optic menuju film tipis yang selanjutnya diteruskan ke monokromator yaitu spectrophotometer Optic USB 2000 UV-Vis. Melalui perangkat lunak Spectra-Suite pada komputer dihasilkan hubungan absorbansi dengan panjang gelombang. Parameter lain kemudian dapat diolah menggunakan Sigma Plot. Skema pengukuran sifat optik film tipis dapat dilihat pada Gambar 11. Prosedur pengambilan data adalah melakukan kalibrasi dengan merekam data saat intensitas gelap (ID) dan intensitas tanpa sampel film tipis yang dilalui pada kaca kuarsa (IR). Setelah itu, pengambilan data film tipis (IF). Setiap pergantian sampel harus dikalibrasi untuk menjamin ketepatan dan keakuratan data spektroskopi. Absorbansi adalah perbandingan intensitas radiasi maksimum dengan intensitas radiasi yang diserap ole film tipis. Hubungan absorbansi dapat dari persamaan: I ID A log 10 R IF ID
(10)
Koefisien absorpsi (α) adalah nilai kemampuan suatu bahan dalam menyerap radiasi yang diterimanya. Koefisien absorpsi merupakan karakteristik suatu bahan dan merupakan fungsi absorbansi dan ketebalan film seperti yang diungkapkan pada persamaan (11).
e d
IF ID IR ID
(11)
Gambar 11 Set-up pengukuran absorbansi film tipis dimana d adalah ketebalan film (cm) dan α adalah koefisien absorpsi. Apabila persamaan (10) disubtitusikan ke persamaan (11) maka akan didapatkan persamaan untuk menentukan nilai koefisien absorbansi (Kocanda et al. 2012). 2.303
A d
(12)
dimana adalah absorbansi, d adalah ketebalan film (cm), dan α adalah koefisien absorpsi. Selain koefisien absorpsi, pengurangan intensitas cahaya dapat juga
17 dihitung melalui koefisien peredaman. Koefisien peredaman didapatkan melalui persamaan (13) (Timuda 2010; Kocanda et al. 2012): (13) k 4 Indeks bias film tipis dapat dihitung melalui metode Swanepoel (Swanepoel 1983). Metode tersebut menggunakan konsep transmitansi yang dapat diungkapkan melalui persamaan (14):
n M M 2 s2
1/ 2 1/ 2
(14)
dimana n adalah indeks bias film dan s adalah indeks bias substrat (Poelman et al. 2013). Nilai M dapat ditentukan menggunakan persamaan (15): M 2s
TM
Tm s 2 1 T M Tm 2
(15)
dimana TM dan Tm adalah transmitansi maksimum dan minimum pada panjang gelombang tertentu. Alat spektroskopi yang dipakai telah di kalibrasi sehingga nilai TM dan Tm bias direduksi (Pimpabute et al. 2011; Shaaban et al. 2012; Baydogan et al. 2013). Persaaman (15) dimodifikasi menjadi persamaan (16): M
2s s2 1 T 2
(16)
Nilai energi band gap dapat diketahui dari transisi elektron pada absorbansi atau transmitansi. Proses transisi elektron dapat melalui transisi langsung (direct transition) maupun transisi tidak langsung (indirect transition). Untuk transisi secara langsung dan tak langsung dapat digunakan hubungan sebagaimana dalam persamaan (17) (Baydogan et al. 3013)
h Ch Eg
n
(17)
dimana hv adalah energi foton, A adalah sebuah konstanta yang nilainya antara 107 sampai 108 m-1 (Kocanda et al. 2012), sedangkan eksponen n bergantung pada jenis transisi di dalam bahan. Transisi langsung n = ½ dan transisi tak langsung n = 2. Eg adalah lebar celah pita optik bahan semikonduktor, α adalah koefisien absorpsi yang dapat ditentukan dari kurva transmitansi atau absorbansi (Leng et al. 2006). Penentuan energi band gap menggunakan metode Tauc Plot yaitu melakukan ekstrapolasi pada bagian linier kurva yang memotong bagian sumbu energi foton (axis) (Jundale et al. 2011). Perpotongan di sumbu x dari perpanjangan bagian linier kurva merupakan energi gap bahan tersebut. Karakterisasi Struktur Kristal Karakterisasi struktur kristal film tipis menggunakan metode difraksi sinar-x. Difraksi sinar-x merupakan metode yang sangat baik untuk mempelajari struktur kristal dan komposisi material. Bahan kristal tersusun dari barisan-barisan sejajar atom-atom yang dipisahkan oleh suatu jarak khas. Difraksi terjadi ketika radiasi gelombang sinar-x memasuki kristal dan dihamburkan. Arah dan intensitas difraksi bergantung pada orientasi kisi kristal terhadap radiasi (Lun 2012). Pola yang dihasilkan melalui difraksi sinar-x sepanjang kisi atom berjarak dekat di dalam
18 kristal direkam dan selanjutnya dianalisa untuk mengetahui sifat kisi tersebut. Data yang diperoleh berupa intensitas radiasi terhadap sudut 2θ. Karakterisasi struktur kristal menggunakan alat X-Ray Diffractometer (XRD) merk Shimadzu tipe MAXima denga target Cu yang panjang gelombangnya (λ) 1.54059 Å, tegangan generator 40 kV dan arus tabung 30 mA. Sudut 2θ dimulai 20° sampai 70° dengan step size 0.02° dan time per step adalah 0.6 detik. Data hasil XRD dalam bentuk text file dan diolah dengan program spread sheet. ICDD data base diperlukan untuk mencocokkan puncak-puncak difraksi. Dari puncak difrak dapat ditentukan indeks miller nilai parameter kisi dihitung melalui metode Cohen dengan penyelesaian matriks menggunakan metode Cramer. Struktur kristal BST saat temperature Curie adalah tetragonal sehingga jarak antar bidang (d) dapat diungkapkan melalui persamaan (18):
1 h2 k 2 l 2 d2 a2 c
(18)
Struktur kristal CuO adalah monoklinik sehingga jarak antar bidang (d) dapat diungkapkan melalui persamaan (19):
1 1 h 2 k 2 sin 2 l 2 2hl cos 2 d 2 sin 2 2 b2 c ac
(19)
dimana h,k, dan l adalah indeks miller setiap puncak. Nilai a, b, dan c adalah parameter kisi sel satuan, d adalah jarak bidang refleksi yang dihitung, dan β adalah sudut tepi sel a dan b. Ukuran rata-rata kristal film tipis didapatkan dengan menerapkan persamaan Scherrer seperti yang dituliskan pada persamaan (20) (Cullity 2001).
L
K B cos B
(20)
dimana L adalah ukuran (diameter ) rata-rata kristal, K adalah kontanta Scherrer yang nilainya berkisar 0.89 sampai dengan 1, λ adalah panjang gelombang sinar-x yaitu 1.54059 Å, θB adalah sudut Bragg, dan B adalah lebar puncak setengah maksimum yaitu FWHM (Full Width Half Maximum). Pembuatan Sel Surya Pembuatan sel surya BST/CuO menggunakan konsep film tipis perovskite. Mekanisme kerja sel surya perovskite adalah persambungan p-n junction dimana BST sebagai tipe-n dan CuO sebagai tipe-p. Film tipis CuO yang dipilih adalah film tipis yang mempunya absorbansi paling besar dan energi gap terkecil. Film tipis BST, BLST, dan BCST kemudian dijadikan sebagai substrat di bawah lapisan CuO. Pembuatan sel surya menggunakan variasi yang sama seperti variasi perlakuan pada BST. Lapisan CuO dilapiskan ke permukaan BST dengan teknik spin-coating. Film tipis BST ditempatkan diatas piringan spin-coater dan ditutupi sebagian permukaanya. Larutan CuO kemudian diteteskan dan diputar dengan kecepatan 3000 rpm selama 30 detik. Film dipanaskan diatas hotplate pada suhu 200 °C selama 10 menit. Pelapisan CuO dilakukan sebanyak tiga kali. Sampel film dilakukan proses sintering dengan waktu annealing satu jam pada suhu 550 °C.
19
Gambar 12 Struktur lapisan sel surya Proses selanjutnya adalah pembuatan kontak film tipis yang meliputi proses pembuatan lubang kontak film tipis dengan ukuran 1 mm2 menggunakan aluminium foil. Lubang kontak tersebut dilapiskan aluminum (proses metalisasi) sebagai media kontak film. Persambungan kawat dengan media kontak menggunakan pasta perak. Kawat yang terhubung dengan kontak film disambungkan dengan kabel jumper male female agar kawat tidak putus dan aman ketika digunakan. Gambar struktur sel surya film tipis yang diberi kontak ditunjukkan oleh Gambar 12. Karakterisasi Fotokonduktivitas Pengujian konduktivitas digunakan untuk menentukan nilai konduktivitas listrik film tipis masih berada dalam interval nilai semikonnduktor dan menguji kepekaan (sensivitas) film tipis terhadap intensitas cahaya. Fotokonduktivitas adalah konduktivitas listrik yang dihasilkan dari eksitasi elektron dari pita valensi menuju pita konduksi ketika menyerap energi foton yang lebih besar dari energi pita terlarang. Elektron yang tereksitasi pita konduksi ini meningkatkan pembawa muatan yang pada akhirnya konduktivitas listrik Alat yang digunakan dalam pengujian ini adalah LCR meter dan nilai keluarannya berupa konduktansi (G). Konduktansi film tipis diukur dengan berbagai variasi intensitas cahaya yaitu pada kondisi gelap (0 lux), kondisi terang dengan variasi intensitas cahaya 1.000 lux, 2.000 lux, 3.000 lux, sampai 12.000 lux dengan kelipatan 1000 lux. Besaran konduktansi dipengaruhi oleh nilai konduktivitas suatu bahan yang merupakan ciri khas bahan. Oleh karena itu, data konduktansi digunakan untuk menghitung nilai konduktivitas listrik film tipis dengan menggunakan persamaan (21).
GL A
(21)
dimana G adalah konduktansi film (S), L jarak antar kontak (m), A adalah luas film tipis (m2), dan σ adalah konduktivitas listrik (S/m). Data hasil pengujian memperlihatkan perubahan nilai konduktivitas ketika diberikan variasi perubahan intensitas cahaya dengan hubungan yang linier.
20 Karakterisasi Sel Surya Karakterisasi sel surya bertujuan untuk menghitung paya maksimum (Pmax), faktor pengisian (FF), dan efisiensi sel surya (η). Daya maksimum (Pmax) didefinisikan sebagai perkalian dari tegangan maksimum (Vmax) dan arus maksimum (Imax) sel surya dan secara teknis nilai tersebut ditentukan dari luasan efektif kurva hubungan arus tegangan (I-V) sel surya. Perhitungan faktor pengisian (FF) dan Efisiensi konversi (η) dapat dilihat secara berturut-turut pada persamaan (22) dan persamaan (23).
FF
Vmax I max Voc I sc
(22)
Faktor pengisian (FF) adalah perbandingan antara daya maksimum (Pmax) dengan perkalian Voc dan Isc.
V max I max x 100 % Pin
(23)
Efisiensi konversi (η) adalah perbandingan daya keluaran maksimum (Pmax) dengan daya energi cahaya yang tiba pada permukaan sel surya (Pin). Pin dihitung dari intensitas cahaya yang sampai pada permukaan dan luas permukaan sel surya (A). V1
Arus sel (I) = V1/R
Potensiometer = 500 kΩ R = 1000 kΩ
V2
Gambar 13 Rangkaian pengukuran arus tegangan sel surya Pengukuran parameter-parameter diatas didapatkan dari pengukuran arustegangan sel surya. Rangkaian pengukuran arus-tegangan dapat dilihat pada Gambar 13. Sumber cahaya dengan intensitas dan jarak tertentu ditempatkan tegak lurus menyinari sel surya. Potensiometer diputar ke arah hambatan maksimum sehingga tercatat tegangan rangkaian terbuka (Voc) pada multimeter. Nilai hambatan potensiometer kemudian diturunkan pelan-pelan dan dicatat setiap perubahan arus dan tegangan. Ketika nilai hambatan potensiometer menunjukkan minimum, nilai arus yang mengalir adalah sebagai arus rangkaian pendek (Isc). Pasangkan data arus dan tegangan sehingga membentuk kurva arus-tegangan.
21
Penggunaan Kristal Fotonik Kristal fotonik yang dipakai pada penelitian ini terbuat dari bahan gelas borosilicate crown atau yang biasa dikenal dengan BK-7 dengan indeks bias 1.52. Kristal fotonik sebagai kumpulan lapisan dielektrik terdiri dari atas 22 lapisan dengan dua bahan dielektrik yang berbeda (indek bias tinggi dan rendah). Bahan indeks bias tinggi yaitu ZrO2 dengan indeks bias 2.1 dan bahan indeks bias rendah yaitu MgF2 dengan indeks bias 1.38 produk. Metode pelapisan bahan-bahan tersebut menggunakan metode electron beam evaporation. Bahan ZrO2 dan MgF2 barasal dari Soltex Co. Ltd. (Maulina 2012).
Gambar 14 Kristal fotonik Proses pelapisan 22 lapisan tersebut terdiri dari pelapisan bahan indeks bias tinggi dan rendah secara bergantian hingga terbentuk 8 lapisan. Lapian ke-10 dan lapisan ke-9 sebagai defek-1 dengan memodiifikasi indeks bias bahan ZrO2 dan MgF2. Setelah itu dilanjutkan lagi pelapisan hingga terbentuk 22 lapisan. Ketebalan masing-masing lapisan indeks bias tinggi (ZrO2) dan indeks bias rendah (MgF2) berturut-turut adalah 65.47 nm dan 99.63 nm. Setelah itu, dilakukan pengujian panjang gelombang hasil fabrikasi kristal fotonik menggunakan spectrophotometer UV-VIS Ocean Optics USB 4000. Optimalisasi Efisiensi Sel Surya Salah satu upaya optimasi efisiensi sel surya adalah meletakkan bahan di bagian bawah sel sebagai reflektor cahaya (SERI 1982; Dominguez et al. 2012; Andreani et al. 2014). Reflektor pada penelitian ini adalah kristal fotonik 1 defect. Cahaya yang datang pada sel surya tidak semuanya diserap melainkan ada yang di transmisikan. Cahaya yang tidak terserap oleh BST dan CuO kemudian dipantulkan kembali oleh kristal fotonik untuk diserap oleh sel surya. Posisi kristal fotonik berada di bawah struktur sel surya yaitu berada setelah film tipis BST. Penelitian ini menggunakan prinsip penggandengan (coupled atau embeded) bukan menggunakan metode pelapisan. Hal ini didasarkan bahwa pelapisan BST diatas kristal fotonik menggunakan sol-gel tidak mungkin dilakukan karena melibatkan suhu annealing BST 850 °C. Selain itu terdapat keuntungan jika menggunakan prinsip penggandengan, yaitu dapat dilakukan pengukuran tanpa atau dengan penggandengan melibatkan hanya satu sel surya sehingga lebih presisi. Optimalisasi dilakukan dengan mengukur kembali parameter fotovoltaik termasuk efisiensi dan dibandingkan ketika tanpa kristal fotonik.
22
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Struktur
20
30
40
50 2θ (derajat)
BLST
Si (100)
BCST
(211)
(200)
(111)
BST
Intensitas (a.u.)
(100)
(110)
Karakterisasi Struktur Film Tipis BST
60
70
Gambar 15 Pola difraksi film tipis BST, BCST, dan BLST Struktur kristal BST dikarakterisasi menggunakan X-ray diffraction (XRD). Gambar 15 menunjukkan pola difraksi material BST, BST dengan dopant tembaga (BCST), dan BST dengan dopant litium (BLST). Pola difraksi terlihat pada puncak dengan sudut sekitar 23º, 32º, 39.48, 46, dan 57º. Gambar 15 juga menunjukkan indeks miller dari masing masing puncak yaitu 23º (100), 32º (110), 39.48 (111), 45.9 (200), dan 57º (211). Hasil perhitungan bersesuaian dengan data ICDD (PDF # 13-1395). Pola difraksi memperlihatkan bahwa puncak tertinggi terdapat pada BST di bidang kristal (111). Hal tersebut terjadi karena pada bidang tersebut bidang kristal mayoritas sehingga hasil difraksi sinar-X mengalami superposisi dengan fase yang sama. Jumlah puncak BST yang lebih banyak dan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan film lainnya karena probabilitas unsur-unsur penyusun membentuk BST pada orientasi bidang-bidang tertentu makin besar (Iriani 2009). Gambar tersebut memperlihatkan pola difraksi pada BST dopant tembaga (BCST) lebih halus (smooth). Hal ini disebabkan substrat yang dipakai pada BCST adalah silikon sedangkan film BST dan BLST menggunakan substrat kuarsa. Hal tersebut ditandai dengan munculnya puncak silikon pada sudut 68º (100). Gambar 15 juga menunjukkan pola difraksi BST dengan dopant tembaga (BCST). Persentase dopant yang digunakan adalah 3%. Terdapat empat puncak BST yang muncul yaitu (100), (110), (111), dan (200) berdasarkan data base ICDD. Perbedaan hasil karakterisasi XRD antara BST dan BCST terlihat pada perbedaan intensitas puncak. Intensitas lapisan BST yang didoping tembaga (BCST) pada bidang (100), (110), (111), dan (200) cenderung menurun nilai intensitasnya dan puncak yang terbentuk lebih sedikit dibandingkan BST. Hal ini terjadi karena
23 masuknya ion Cu+ yang menggantikan ion Ba2+ mengakibatkan cacat pada kristal (Jaing et al. 2009). Sebagaimana yang telah diketahui, ion Cu+ sebagai hard dopant mempunyai jari-jari sama dengan ion Ba2+ yaitu 1.35 Å. Hanya saja ion Cu+ mempunyai muatan +1 sedangkan ion Ba2+ muatannya +2. Adanya pendadah (dopant) akan mengakibatkan cacat akibat adanya pengotor dalam kristal (Ha et al. 2006). Penambahan konsentrasi pendadah mengakibatkan cacat kristal semakin banyak dan akan menurunkan intensitas. Masuknya ion ion Cu+ mengakibatkan perubahan komposisi Ba/Sr didalam struktur kristal. Perubahan komposisi tersebut mempengaruhi fase feroelektrik, struktur kristal, dan parameter kisi. Tabel 1 Kristalinitas dan parameter kisi film tipis BST Jenis Film BST BCST BLST
Kristalinitas 92.41% 90.96% 91.45%
Parameter kisi (Å) a b c 3.934 3.934 3.932 3.929 3.929 3.923 3.994 3.994 3.992
Rasio c/a ( 10-2 ) 99.94 99.95 99.86
Gambar 15 memperlihatkan pola XRD BST dopant litium (BLST) dengan persentase bahan dopant 3% dari massa BST. Pola tersebut menunjukkan telah terbentuk puncak BST pada bidang (100), (110), (111), dan (200). Hal ini bersesuaian dengan data dari ICDD data base. Pola difraksi dengan pendadah litium cenderung mengalami penurunan intensitas. Penurunan tersebut diakibatkan oleh masuknya ion Li+ yang mempunya jari-jari ionik 0.76 Å menggantikan ion Ti4+ yang memiliki jari-jari ionik 0.68 Å. Ion Li+ berperan sebagai ion hard dopant karena muatannya lebih kecil daripada muatan ion yang digantikan. Masuknya ion Li+ mengakibatkan cacat kristal pada sistem kristal BST sehingga hasil difraksi sinar-X yang terdeteksi mengalami penurunan intensitas. Adanya pendadah (dopant) akan mengakibatkan cacat kristal (Ha et al. 2006). Cacat tersebut adalah cacat akibat adanya pengotor (impurities), yaitu cacat akibat adanya sejumlah kecil ion-ion yang menempati posisi ion-ion dari kristal senyawa murni (Ha et al. 2006). Gambar tersebut juga memperlihatkan puncak-puncak pada bidang BLST cenderung lebih tinggi dibandingkan puncak-puncak bidang pada BCST. Hal ini terjadi akibat ion Li+ menggantikan ion Ti4+ sedangkan ion Cu menggantikan ion Ba2+. Ion Li+ tidak mengakibatkan perubahan komposisi Ba/Sr. Oleh karena itu, Ion Li+ hanya mengakibatkan cacat kristal bukan mengakibatkan perubahan fase. Tabel 1 menunjukkan derajat kristalinitas dan parameter kisi dari BST, BST didadah tembaga (BCST), dan BST didadah litium (BLST). Tingkat kristalinitas dari hasil karakterisasi XRD memperlihatkan film BST memiliki tingkat kritaslinitas lebih tinggi dibandingkan yang lain yaitu, 92.41%. Hal ini disebabkan penambahan bahan pendadah pada BCST dan BLST menurunkan intensitas di bidang bersesuaian dan juga mengurangi jumlah puncak yang muncul. Hal yang sama juga terlihat pada kristalinitas BLST (91.45%) yang lebih tinggi dari BCST (90.96%) disebabkan jumlah puncak BLST lebih banyak dan intensitas difraksi lebih tinggi. Tabel 1 juga memperlihatkan nilai parameter kisi film BST, BCST, dan BLST. Nilai parameter kisi menentukan sistem kristal yang terbentuk. Secara umum nilai parameter kisi a dan c hampir sama untuk semua jenis film. Nilai tersebut bersesuaian dengan ICDD (PDF # 13-1395). Menurut data ICDD, BST
24 memiliki sistem kristal dengan parameter kisi a = 3.947Å. Hal ini menandakan bahwa struktur kristal dalam penelitian ini memiliki fase transisi sehingga fase tetragonal mendekati fase kubus. Fase tersebut terjadi karena fraksi mol stronsium (Sr) yang dipakai pada film BaxSr1-xTiO3 adalah 0.35. Struktur BST berbentuk bulk dengan persentase mol Sr ≤ 0.25 adalah perovskite tetragonal yang bersifat feroelektrik sedangkan struktur BST dengan persentase mol Sr ≥ 0.25 adalah perovskite kubus yang bersifat paraelektrik (Adem 2003). Namun, dalam bentuk film tipis persentase mol Sr ≥ 0.25 masih merupakan fase tetragonal. Anomali tersebut menunjukkan struktur pseudo-cubic (Yun dan Koh 2012). Hal tersebut dapat diketahui dari sifat feroelektrik BST yang muncul ketika dipol dalam feroelektrik berkorelasi lurus dengan sifat opto-electronic sebagai film tipis fotodioda (Dahrul et al. 2010). Komposisi Sr mengakibatkan perubahan parameter kisi struktur BST sehingga mempengaruhi fase BST. Komposisi Barium (Ba) yang dominan di dalam BST menjadikan BST berada pada fase feroelektrik pada suhu Curie. Nilai parameter kisi tergantung pada fraksi mol BST dalam hal ini x = 0.65. Nilai tersebut membuat persentase mol Sr berada pada fase transisi. Tabel 2 Ukuran kristal film tipis BST, BLST, dan BCST Jenis film
Puncak (2θ)
FWHM
BST BLST BCST
32° 32° 32°
0.29 0.32 0.16
Ukuran kristal (nm) 31.67 28.70 57.39
Tabel 1 juga menunjukkan film BCST memiliki rasio c/a lebih besar dibandingkan film lainnya. Hal ini terjadi karena jari-jari ion Cu+ menggantikan posisi Ba/Sr. Penggantian tersebut mempengaruhi komposisi Ba/Sr dan ukuran struktur kristal. Sebagaimana yang telah diketahui ion Cu+ memiliki jari-jari ion 1.35 Å lebih besar dari jari-jari ion yang digantikannya yaitu Ba atau Sr. Jari-jari ion Ba2+ 1.135 Å dan jari-jari ion Sr2+ 1.13 Å. komposisi Ba/Sr mengakibatkan perubahan fase struktur kristal BST. Nilai rasio parameter kisi BCST yang lebih kecil (nilai parameter kisi c dan a semakin berbeda) dari film lain mengindikasikan fase kristal adalah fase tetragonal. Selain itu, tabel parameter kisi BST juga memperlihatkan nilai parameter kisi BLST yaitu, c = 3.992 Å dan a = 3.994 Å nilainya berbeda dengan lain. Hal ini disebabkan pada film BLST, ion Li+ menggantikan kedudukan ion Ti4+ yang berkedudukan di pusat sistem kristal. Ion Li+ dengan jari jari ionik 0.76 Å memiliki ukuran lebih besar dibandingkan ion Ti4+ yang memiliki jari jari 0.68 Å. Tabel 2 memperlihatkan ukuran kristal dari film tipis BST, BCST, dan BLST. Ukuran kristal diperoleh dengan membandingkan puncak dengan FWHM terbesar dari ketiga film tersebut. Puncak tersebut memiliki bidang orientasi (110). Ukuran kristal diukur dengan menggunakan persamaan Schererr. Hasil perhitungan FWHM disertakan dalam Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian pendadah (dopant) Li dan Cu mengubah ukuran partikel. Ion Li+ dan Cu+ memiliki jari-jari ion yang lebih besar dari atom yang digantikannya sehingga secara teoritis ukuran kristal semain besar.
25 Pemberian dopant tembaga sebesar 3% mengakibatkan ukuran kristal semakin besar pada puncak 39° (57.39 nm) jika dibandingkan dengan BST (31.67 nm). Penambahan jumlah dopant tembaga mengakibatkan ukuran kristal semakin besar (Ha et al. 2006). Pemberian dopant litium sebesar 3% seharusnya mengakibatkan ukuran kristal semakin besar pada puncak 32° dibandingkan dengan BST. Hal yang terjadi pada puncak 39° adalah ukuran kristal lebih kecil yaitu 28.70 nm. Hal ini disebabkan pada struktur kristal dengan bidang orientasi (110), jumlah dopant litium sangat sedikit menggantikan ion Ti4+.
20
30
(200) 40
50
60
(220)
(113)
Cu2O (202)
(202)
350 oC 450 oC 550 oC
(020)
Intensitas (a.u.)
(110)
(111)
Karakterisasi Struktur Film Tipis CuO
70
2 (derajat)
Gambar 16 Pola difraksi CuO annealing 350 ºC, 450 ºC, dan 550 ºC Struktur kristal CuO dikarakterisasi menggunakan X-ray diffraction (XRD). Gambar 16 menunjukkan pola difraksi film tipis CuO dengan perlakuan suhu annealing 350 ºC, 450 ºC, dan 550 ºC. Film tipis yang diuji struktur kristalnya adalah film tipis dengan ketebalan tiga lapisan. Pola difraksi terlihat pada puncak dengan sudut sekitar 33º, 36º, 39º, 49º, 53º, 58º, 61º, dan 68º. Gambar 16 juga menunjukkan indeks miller dari dua puncak tertinggi yaitu 36º (-111) dan 36º (200). Puncak-puncak yang dihasilkan bersesuaian dengan data ICDD JCPDS (PDF # 050661). Hal tersebut terjadi karena pada bidang tersebut merupakan bidang kristal dominan sehingga hasil difraksi sinar-X mengalami superposisi dengan fase yang sama. Superposisi dengan fase yang sama menghasilkan probabilitas membentuk CuO pada orientasi bidang-bidang tersebut semakin besar. Pada ketiga jenis film dengan perbedaan suhu annealing tersebut, masih terlihat fase amorf pada rentang 20º sampai 30º. Fase amorf tersebut muncul karena ada sebagian kecil struktur kristal yang terbentuk mempunyai pola perulangan (susunan) yang acak dan tidak seragam (Ray 2001). Hal tersebut dapat terjadi karena pelapisan kedua dan ketiga tidak rata dan belum optimalnya suhu annealing dan lama annealing yang diberikan.
26 Gambar 16 memperlihatkan puncak intensitas difraksi meningkat seiring dengan peningkatan suhu annealing. Peningkatan suhu annealing mengakibatkan sebagian besar puncak-puncak yang terbentuk semakin tinggi (Srivastava et al. 2013). Secara teknis, suhu annealing adalah suhu tahanan yang bertujuan untuk pembentukan struktur kristal dalam suatu bahan. Selama proses tersebut bahan mengalami deformasi ke struktur yang lebih setimbang dalam suhu tinggi. Proses annealing diawali dengan penyusunan kembali letak kristal maupun partikel. Proses selanjutnya adalah rekristalisasi tergantikannya kisi oleh kisi baru dalam matriks deformasi. Orientasi kristal yang baru berbeda dengan orientasi kristal yang digantikan. Laju rekristalisasi bergantung pada jumlah deformasi sebelumnya, suhu annealing, dan kemurnian bahan. Proses akhir adalah pertumbuhan partikel yang ditandai dengan ukuran partikel mendekati ukuran kristal. Tabel 3 Kristalinitas dan parameter kisi film tipis CuO Parameter kisi (Å) Suhu Kristalinitas annealing a B c 350 ºC 88.11% 4.664 3.412 5.108 450 ºC 89.93% 4.657 3.409 5.104 550 ºC 90.32% 4.661 3.410 5.107 * ICDD JCPDS 05-0661
Referensi* a = 4.684 b = 3.425 c = 5.129
Tabel 4 Ukuran kristal film tipis CuO annealing 350 ºC, 450 ºC, dan 550 ºC Suhu annealing
Puncak (2θ)
FWHM
Ukuran kristal (nm)
350 ºC 450 ºC 550 ºC
32.55 35.54 35.55
0.34 0.38 0.41
27.63 24.39 22.61
Pada Gambar 16 terlihat pola difraksi yang mengandung Cu2O. Pola ini menunjukkan bahwa film tipis tembaga oksida yang telah mengalami proses annealing terdapat dua fase. Pada proses suhu annealing tersebut, tembaga oksida mungkin tidak mengalami proses oksidasi sempurna. Puncak dengan orientasi bidang (202) bersesuaian dengan puncak Cu2O (Johan et al. 2011). Hal ini berdasarkan referensi dari ICDD JCPDS (PDF # 05-0667). Konversi Cu2O menjadi CuO merupakan hasil difusi oksigen ke dalam film. Reaksi tersebut dapat diungkapkan sebagai berikut: 2Cu2O + O2 → 4CuO
(24)
Pada kesetimbangan termodinamika, energi Gibbs yang diperlukan dalam reaksi diatas adalah -3.73 kkal/mol (Johan et al. 2011). Walaupun terdapat fase Cu2O, komposisi dalam bahan CuO sangat kecil. Hal ini ditandai dengan puncak intensitas yang kecil. Hasil perhitungan parameter kisi menghasilkan nilai parameter kisi yang bersesuaian dengan data ICDD JCPDS (PDF # 05-0661). Tabel 3 menunjukkan derajat kristalinitas dan parameter kisi film tipis CuO dengan perlakuan suhu annealing 350 ºC, 450 ºC, dan 550 ºC. Hasil karakterisasi XRD memperlihatkan kenaikan tingkat kristalinitas film tipis CuO akibat kenaikan suhu annealing.
27 Suhu annealing mengakibatkan stuktur kristal semakin teratur dan terpola dan fase amorf semakin kecil. Parameter kisi untuk ketiga perlakuan cenderung sama dengan menggunakan sudut β = 99.47º. Tabel 4 memperlihatkan ukuran krsital CuO pada suhu annealing 350º C, 450º C, dan 550º C. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, peningkatan suhu annealing mengakibatkan nilai FWHM semakin besar (Kidowaki et al. 2012). Parameter FWHM menjelaskan kualitas fase kristal yang terbentuk dalam sudut atau orientasi tertentu (Srivastava et al. 2013). Peningkatan nilai FWHM memperkecil ukuran kristal. Oleh karea itu, nilai FWHM, kristalinitas, dan parameter kisi mengindikasikan pembuatan film tipis CuO telah sesuai dan peningkatan suhu annealing meningkatkan kualitas kristalinitas. Selain itu, Semakin kecil ukuran kristal maka energi gap yang dimiliki semakin kecil pula. Karakterisasi Optik Karakterisasi Optik Film Tipis CuO
Gambar 17 Ketebalan film terhadap variasi suhu annealing Gambar 17 memperlihatkan ketebalan film tipis CuO pada 1 lapisan, 2 lapisan, dan 3 lapisan dengan variasi suhu annealing. Penambahan jumlah lapisan bertujuan untuk meningkatkan serapan cahaya dan variasi suhu annealing bertujuan untuk mengoptimasi ketebalan film CuO. Gambar tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan ketebalan film. Peningkatan ketebalan film sebagai hasil dari penambahan jumlah lapisan (Chauhan et al. 2006). Perhitungan menggunakan metode gravimetric. Selain itu, gambar diatas memperlihatkan penurunan ketebalan film seiring dengan bertambahnya suhu annealing. Pada film tipis CuO dengan satu lapisan, ketebalan film menurun dari 0.36 μm (350 ˚C) menjadi 0.14 μm (550 ˚C). Pada film tipis CuO dengan dua lapisan, ketebalan film menurun dari 0.62 μm (350 ˚C) menjadi 0.42 μm (550 ˚C). Pada film tipis CuO dengan tiga lapisan, ketebalan film film menurun dari 1.16 μm (350 ˚C) menjadi 0.65 μm (550 ˚C).
28
Gambar 18 Absorbansi CuO annealing (a) 350 °C, (b) 450 °C, dan (c) 550 °C
29 Penurunan ketebalan tersebut terjadi karena semakin teraturnya ukuran struktur kristal dan jarak antar atom yang semakin kecil. Semakin tinggi suhu suhu annealing maka tingkat keteraturan kristal semakin tinggi (Jundale 2011). Penurunan ketebalan film tidak mempengaruhi optimasi ketebalan film dengan penambahan jumlah lapisan. Hal ini terlihat pada film CuO tiga lapisan di suhu annealing 550 ˚C, ketebalan film lebih besar dari film CuO dua lapisan di suhu annealing 350 ˚C (0.65 μm > 0.42 μm). Hal yang sama terjadi film CuO dua lapisan di suhu annealing 550 ˚C, ketebalan film lebih besar dari film CuO satu lapisan di suhu annealing 350 ˚C (0.42 μm >0.36 μm). Karakterisasi sifat optik film tipis CuO bertujuan mengamati serapan maksimum dan lebar spektrum serapan dari CuO. Hal ini berlandaskan bahwa gelombang elektromgnetik dari radiasi matahari memiliki intensitas paling besar pada daerah cahaya tampak (black box radiation). Perlakuan dari pengujian optik ini adalah variasi suhu annealing. Suhu annealing adalah suhu ketika kristal atau butiran CuO mengalami penyusunan dan pensejajaran (allignment) sehingga mengalami keteraturan berjangkauan panjang. Perlakuan suhu annealing dilakukan dengan menjaga suhu tetap konstan. Gambar 18 menggambarkan kurva absorbansi film tipis CuO dengan variasi suhu annealing dan ketebalan film. Gambar 18 (a) menunjukkan absorbansi film tipis CuO pada suhu annealing 350 °C dengan variasi ketebalan. Puncak absorbansi CuO untuk satu lapisan berada pada panjang gelombang 423 nm dengan intensitas 0.308. Intensitas pada puncak maksimum kemudian meningkat menjadi 0.536 di panjang gelombang yang sama yaitu sekitar 423 nm pada film dengan dua lapisan. Film tipis CuO tiga lapisan memiliki absorbansi dengan puncak serapan 0.85 pada panjang gelombang 440 nm. Hal yang serupa terjadi pada film tipis CuO dengan suhu annealing 450 °C. Puncak serapan untuk film dengan satu lapisan terjadi pada panjang gelombang 439 nm dengan intensitas 0.413. Film dengan dua lapisan memiliki puncak serapan pada 430 nm dengan intensitas 0.649. Film tipis CuO dengan tiga lapisan memiliki puncak serapan pada 449 nm dengan intensitas 0.930. Film tipis CuO suhu annealing 550 °C untuk ketebalan satu lapisan memiliki puncak serapan pada pangjang gelombang 417 nm dengan intensitas 0.319. Film tipis dengan dua lapisan memiliki puncak serapan pada panjang gelombang 418 nm dengan intensitas 0.530. Film tipis dengan dua lapisan memiliki puncak serapan pada panjang gelombang 440 nm dengan intensitas 0.923. Secara umum, absorbansi film tipis CuO terletak pada cahaya tampak seperti beberapa penelitian sebelumnya. Penambahan lapisan menyebabkan tingkat intensitas semakin tinggi dan puncak serapan semakin spesifik. Hal ini dapat dilihat pada film tipis CuO suhu annealing 350 °C, 450 °C, dan 550 °C. Puncak serapan semakin spesifik karena jumlah kristal atau butiran semakin banyak yang menyerap foton. Absorbansi tinggi untuk ketiga variasi suhu annealing adalah 400 nm sampai 500 nm. Daerah dengan intensitas absorbansi kecil terletak pada rentang 500 nm sampai 750 nm. Penyerapan foton untuk setiap gelombang tertentu berbeda-beda tergantung jenis bahan. Semakin banyak butiran atau kristal CuO yang menyerap foton, semakin besar pula besarnya perbedaan intensitas untuk setiap panjang gelombang.
30 Selain itu, perbedaan suhu annealing film tipis CuO pada ketebalan yang sama menyebabkan terjadinya pergeseran panjang gelombang. Semakin besar suhu annealing maka puncak serapan bergeser ke arah panjang gelombang yang lebih besar. Semakin besar panjang gelombang maka energi radiasinya (energi foton) semakin kecil. Peningkatan suhu annealing, mengakibatkan energi foton yang diserap oleh puncak serapan semakin kecil. Penentuan energi gap film tipis CuO menggunakan karakteristik optik absorbansi, yaitu dengan melakukan plot (αhν)n dengan hν. Energi gap yang dihasilkan mengggunakan nilai transisi tidak langsung yaitu n = 2 (Lim et al. 2014 dan Dahrul et al. 2016). Hal ini dapat dijelaskan bahwa transisi elektron antara lembah pita konduksi dan puncak pita valensi tidak langsung terjadi melainkan menyerap atau memancarakan energi fonon. Energi gap memisahkan level energi konduksi dengan energi valensi bahan semikonduktor. Perhitungan energi gap menggunakan film tipis CuO dengan ketebalan tiga lapisan. Pemilihan tiga lapisan untuk perhitungan karena memiliki puncak serapan yang spesifik dan absorbansi tertinggi. Puncak serapan spesifik dapat menggambarkan transisi elekton yang berpindah. Selain itu, pemilihan film dengan ketebalan tiga lapisan karena tidak adanya pengaruh ketebalan terhadap perubahan energi gap (Timuda 2010 dan Lim et al. 2014). Ketebalan film hanya mempengaruhi tingkat absorbansi film tipis CuO. Rangkuman beberapa penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Beberapa penelitian energi gap CuO Metode Sol-gel, spin coating, annealing 1000 °C Sol-gel, spin coating, annealing 100 °C Sol-gel, spin coating, annealing 500 °C Sol-gel, spin coating, annealing 500 °C Sol-gel, dip coating, annealing 650 °C Sol-gel, dipping, annealing 400 °C Magneton sputtering Magneton sputtering Ultrasonic spray pyrolysis Thermal oxidation
Energi gap 3.54 eV 3.70 eV 1.98 eV 1.20 eV 1.79 eV 1.73 eV 2.05 eV 1.62 eV 1.60 eV 1.45 eV
Referensi Kayani et al. (2013) Kidowaki et al. (2012) Penelitian ini Lim et al. (2014) Chauhan et al. (2006) Johan et al. (2011) Ogwu et al. (2007) Mugwang et al. (2013) Li et al. (2008) Bushra et al. (2014)
Tabel 5 memperlihatkan metode sol-gel dan suhu annealing yang dipakai dalam penelitian ini memberikan nilai energi di bawah 2 eV. Penggunaan metode pelapisan fisis menghasilkan energi gap lebih kecil namun tidak memiliki kekurangan dalam kontrol stokiometri dibandingkan pelapisan secara kimia. Gambar 19 juga menunjukkan nilai energi gap sebagai perpotongan (intercept) plot (αhν)2 dengan hν. Ketiga gambar tersebut memperlihatkan energi gap film tipis CuO dengan suhu annealing 350 °C, 450 °C, dan 550 °C secara berturut-turut 2.05 eV, 2.01 eV, dan 1.98 eV. Peningkatan suhu annealing mengakibatkan penurunan energi gap (Chauhan et al. 2006). Nilai energi gap sesuai dengan referensi pada perlakuan serupa (Ray 2000; Hong et al. 2015; Jayakrishnan et al. 2016).
31 (a) (αhν)2 (108 cm-2 eV2)
2.4 1.8 1.2
0.6 2.05 eV
0.0 1.0
1.5
2.0 2.5 Energi foton (eV)
3.0
(b) (αhν)2 (108 cm-2 eV2)
6.0 4.5 3.0 1.5 2.01 eV
0.0 1.0
1.5
2.0 2.5 Energi foton (eV)
3.0
(c) (αhν)2 (108 cm-2 eV2)
28.0 21.0
14.0 7.0 1.98 eV
0.0 1.0
1.5
2.0 2.5 Energi foton (eV)
3.0
Gambar 19 Energi gap CuO suhu annealing (a) 350 °C, (b) 450 °C, dan (c) 550 °C
32 Film tipis CuO dengan suhu annealing 550 °C memiliki energi gap yang cukup baik untuk diterapkan pada sel surya. Penurunan energi gap menunjukkan peningkatan kualitas akibat keteraturan yang berjangkau\ panjang. Semakin tinggi suhu annealing mengurangi fase amorf film tipis CuO. Pergeseran nilai energi gap disebabkan efek ukuran kuantum (quantum size effect) dan keberadaan fase amorf dalam film (Jundale 2011). Fase amorf dalam film dapat dikurangi dengan meningkatnya suhu annealing sampai ke titik suhu optimalnya. Meningkatnya suhu annealing memberikan lebih banyak energi kepada atom untuk membentuk kristalnya. Beberapa penelitian telah dilakukan mengenai sifat optik dengan tujuan memperkecil energi gap. Absorbansi film tipis pada panjang gelombang tertentu bergantung pada ketebalan film. Semakin tebal film yang dibuat maka semakin besar nilai absorbansi yang dihasilkan. Pada pembuatan film tipis CuO, memungkinkan terjadinya permukaan yang tidak rata sempurna sehingga menghasilkan ketebalan yang tidak tepat sama walaupun perbedaan tersebut sangat kecil. Oleh karena itu perlu parameter lain untuk melihat dan mengamati tingkat serapan suatu bahan yaitu koefisien absorpsi. Koefisien absorpsi merupakan fungsi dari absorbansi dan ketebalan sehingga faktor ketebalan dapat diperhitungkan. Perhitungan koefisien absorpsi dilakukan pada kondisi yang sama yaitu di puncak absorbansi untuk mendapatkan nilai maksimum. Nilai koefisien absorbansi maksimum menunjukkan panjang gelombang dengan transmitansi minimum atau nilai absorbansi maksimum.
Gambar 20 Koefisien absorpsi CuO annealing 350 °C, 450 °C, dan 550 °C Gambar 20 memperlihatkan koefisien absorpsi film tipis CuO dengan perlakukan suhu annealing 350 °C, 450 °C, dan 550 °C. Film tipis yang diukur adalah film dengan ketebalan tiga lapisan agar memperlihatkan nilai koefisien maksimum. Gambar tersebut memperlihatkan film tipis CuO dengan suhu annealing 550 °C memiliki absorpsivitas tertinggi. Hal tersebut selaras dengan nilai absorbansi tertinggi yaitu film tipis CuO dengan suhu annealing 550 °C. Sebagaimana yang telah diketahui, film tipis dengan suhu annealing 350 °C memiliki permukaan yang lebih tebal sehingga seharusnya menghasilkan
33 absorbansi yang lebih tinggi. Namun, dengan memperhatikan faktor ketebalan dengan meggunakan koefisien absorpsi memperlihatkan film tipis suhu annealing 550 °C mempunyai kemampuan serapan yang lebih tinggi dari yang lain. Hal ini sangat penting dalam kaitannya penyerapan energi foton untuk keperluan sel surya. Nilai absorbansi suatu bahan bergantung juga pada karakteristik suatu bahan dalam menyerap atau meneruskan intensitas gelombang cahaya. Ketika gelombang cahaya yang masuk mengenai permukaan suatu bahan, intensitas gelombang cahaya tersebut akan diredam atau mengalami atenuasi pada jarak yang pendek. Amplitudo gelombang akan berkurang secara eksponensial. Penurunan amplitudo gelombang ditandai dengan penurunan intensitas cahaya. Parameter untuk mengetahui efek peredaman tersebut adalah koefisien peredaman.
Gambar 21 Koefisien peredaman CuO annealing 350 °C, 450 °C, dan 550 °C Berdasarkan Gambar 21 koefisien peredaman tertinggi terjadi pada film dengan suhu annealing 550 °C. Hal ini selaras dengan koefisien absorpsinya. Nilai koefisien memberikan informasi mengenai tingkat transmitansi gelombang cahaya. Tingkat transmitansi yang dimaksud adalah persentase intensitas yang diteruskan. Semakin kecil koefisien peredaman, maka semakin kecil intensitas peredaman dan intensitas yang diteruskan semakin besar. Nilai koefisien peredaman bersesuaian dengan literatur Bushra et al. (2014). Berdasarkan penampakan fisik, film tipis CuO suhu annealing 550°C dengan tiga lapisan memiliki warna cokelat gelap (warna logam tembaga). Oleh karena itu, memiliki serapan cahaya sangat baik. Selain terjadi proses absorbansi, film tersebut meneruskan gelombang cahaya yang tak diserapnya (proses transmitansi) ke lapisan dibawahnya. Transmitansi sisa gelombang cahaya mengharuskan reflektansi dan peredaman intensitas cahaya sekecil-kecilnya. Gambar 21 memperlihatkan film tipis CuO suhu annealing 550°C dengan tiga lapisan memiliki koefisien peredaman cukup kecil yaitu 0.12 pada serapan maksimum. Parameter lain dalam kaitannya sifat transmitansi adalah indeks bias seperti pada Gambar 22.
34
Gambar 22 Indeks bias CuO annealing 350 °C, 450 °C, dan 550 °C Indeks bias adalah karakteristik optik yang menentukan kemampuan film tipis dalam meneruskan energi foton dan sebagai anti refleksi. Penentuan indeks bias dilakukan pada puncak absorbansi sebagai awal dari transisis elektron. Pada Gambar 22 memperlihatkan indeks bias film tipis CuO suhu annealing 450 °C dan 550 °C memiliki indeks bias terkecil yaitu 1.7.Selain itu indeks bias mengalami kenaikan seiring kenaikan energi foton. Hal ini bersesuaian dengan beberapa literatur (Bushra et al. 2014 dan Usha et al. 2015). Semakin kecil indeks bias maka semakin baik film tersebut meneruskan energi foton dan semakin kuat sifat anti reflektansinya. Nilai indeks bias dengan metode berbeda dapat dilihat dari referensi Usha et al. (2015). Karakteristik optik indeks bias, koefisien absorpsi, dan koefisien peredaman akan menjadi data pendukung untuk nilai absorbansi dan energi gap dalam pemilihan film sebagai sel surya. Hal ini terkait dengan posisi film tipis CuO dalam sel surya yang terletak diatas film tipis BST. Selain berfungsi menyerap energi foton, film tipis CuO juga berfungsi dalam meneruskan energi foton kepada film tipis BST. Konsentrasi elektron (pembawa muatan mayoriyas pada tipe-n) terbesar berada pada film BST. Oleh karena itu, penyerapan energi foton oleh film tipis BST sangat menentukan nilai arus yang dihasilkan. Berdasarkan nilai energi gap dan absorbansi di cahaya tampak maka film tipis film tipis CuO suhu annealing 550 °C dengan tiga lapisan digunakan untuk sel surya yang akan dipasangkan dengan film tipis BST. Selain itu, berdasarkan koefisien absorpsi, maka film tipis CuO suhu annealing 550 °C dengan tiga lapisan memiliki absorpsivitas lebih tinggi dibandingkan kedua jenis film CuO lainnya. Koefisien peredaman dan indeks bias film tipis CuO suhu annealing 550 °C dengan tiga lapisan dapat menjelaskan tingkat transmitansi yang tinggi terhadap gelombang cahaya tidak terserap.
35 Karakterisasi Optik Film Tipis BST Karakterisasi sifat optik bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui rentang serapan (absorbansi) film tipis BST dan tingkat intensitas serapannya. Pengujian dilakukan pada rentang cahaya tampak (visible) yaitu 350-780 nm. Hal ini berlandaskan bahwa gelombang elektromgnetik dari matahari memiliki nilai paling besar pada daerah cahaya tampak (black box radiation). Perlakuan dari pengujian optik ini adalah variasi pendadah dan jumlah dopant. Dopant yang digunakan adalah litium dan tembaga serta persentase pendadah yang digunakan adalah 1%, 3%, dan 5%. Peristiwa absorbansi film tipis berdasarkan mekanisme terserapnya energi foton oleh elektron pada kulit terluar. Energi tersebut kemudian digunakan oleh elektron untuk proses eksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi. Syarat untuk terjadinya eksitasi adalah energi yang diserap lebih besar dari tingkat energi elektron. Oleh karena itu, absorpsi hanya terjadi jika panjang gelombang dari spektrum cahaya yang datang bersesuaian dengan energi yang dibutuhkan elektron yang terikat pada kulit terluar BST untuk bertransisi ke tingkat energi yang lebih tinggi.
Gambar 23 Absorbansi film tipis BST terhadap BLST Gambar 23 menunjukkan absorbansi film tipis BST dan film tipis BST dengan dopant litium (BLST). Gambar tersebut memperlihatkan bahwa dengan adanya pendadah litium maka serapan maksimum (puncak absorbansi) dari film akan bergeser ke arah panjang gelombang yang lebih besar. Puncak serapan untuk masing-masing film hampir sama yaitu mendekati nilai absorbansi 1. Hal ini menandakan bahwa ketebalan film yang dihasilkan melalui proses pelapisan spin coating tidak terjadi perbedaan yang signifikan. Pada film BST serapan maksimum (puncak absorbansi) terdapat di nilai 404 nm. Film tipis BLST dengan persentase pendadah 1% terletak pada panjang gelombang 431 nm. Selanjutnya untuk persentase pendadah 3% dan 5% secara berturut-turut terletak pada panjang gelombang 476 nm dan 510 nm. Pergeseran puncak absorbansi ke arah panjang gelombang yang lebih besar mengindikasikan bahwa penambahan pendadah dapat
36 memperkecil serapan energi cahaya tampak di puncak absorbansi. Pergeseran puncak serapan terjadi karena adanya perubahan lebar energi celah (band gap). Penjelasan energi celah akan dibahas pada pembahasan mengenai energi gap. Gambar 23 juga memperlihatkan rentang serapan optimal untuk film BST dan BLST 1% mempunyai rentang serapan 370 nm sampai 600 nm sedangkan untuk film BLST 3 dan BLST 5% mempunyai rentang serapan 400 nm sampai 700 nm.
Gambar 24 Absorbansi film tipis BST terhadap BCST Absorbansi film tipis BST dan film tipis BST dengan dopant tembaga (BCST) ditunjukkan pada Gambar 24. Gambar tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya pendadah tembaga maka serapan maksimum (puncak absorbansi) dari film akan bergeser ke arah panjang gelombang yang lebih besar atau ke arah spektrum energi yang lebih kecil. Puncak serapan setiap film hampir sama yaitu mendekati nilai absorbansi 1. Puncak absorbansi yang identik mengindikasikan bahwa ketebalan film yang dihasilkan melalui proses pelapisan spin coating tidak terjadi perbedaan yang signifikan. Puncak serapan film BST (absorbansi maksimum) terdapat di nilai 404 nm. Adapun film tipis BCST dengan persentase pendadah 1%, 3%, dan 5% secara berturut-turut terletak pada panjang gelombang 451 nm, 490 nm, dan 515 nm. Pergeseran puncak absorbansi ke arah panjang gelombang yang lebih besar mengindikasikan bahwa penambahan pendadah dapat memperkecil serapan energi cahaya tampak di puncak serapan. Gambar 24 juga memperlihatkan rentang serapan optimal untuk film BST dan BLST 1% mempunyai rentang serapan 360 nm samai 580 nm sedangkan untuk film BLST 3% dan BLST 5% mempunyai rentang serapan 400 nm sampai 700 nm. Nilai absorbansi bergantung pada ketebalan film. Semakin tebal film yang dibuat maka semakin besar nilai absorbansi yang dihasilkan. Pada pembuatan film tipis BST menggunakan spin coating perbedaan ketebalan film dengan proses yang sama menghasilkan ketebalan yang tidak tepat sama walaupun perbedaan tersebut sangat kecil. Oleh karena itu perlu parameter lain untuk melihat dan mengamati tingkat serapan suatu bahan yaitu koefisien absorpsi. Koefisien absorpsi merupakan fungsi dari absorbansi dan ketebalan sehingga faktor ketebalan dapat diperhitungkan. Perhitungan koefisien absorpsi dilakukan pada kondisi yang sama
37 yaitu di puncak absorbansi untuk mendapatkan nilai maksimum. Nilai koefisien absorbansi maksimum menunjukkan panjang gelombang dengan transmitansi minimum atau nilai absorbansi maksimum. Tabel 6 memperlihatkan ketebalan film yang tidak terlalu berbeda yaitu nilainya antara 5.43 x 10-5 sampai 9.77 x 10-5 cm dengan pencilan yaitu pada film BCST 3% dengan ketebalan film 13.0 x 10-5 cm. Hal ini mungkin disebabkan pada proses pengulangan pelapisan. Nilai absorbansi ketebalan film cukup seragam yaitu mendekati nilai satu. Nilai koefisien absorpsi untuk semua jenis film cenderung seragam. Film BCST 3% dengan ketebalan terbesar menghasilkan absorbansi yang besar sehingga nilai koefisien absorbsinya tidak terlalu berbeda dengan film yang lain. Oleh karena itu, nilai absorbansi dan koefisien absorpsi pada titik amatan serapan maksimum mengindikasikan proses pembuatan flm BST dengan teknik spin coating berhasil memperoleh sifat optik yang optimal. Tabel 6 Koefisien absorpsi dan koefisien peredaman pada serapan maksimum Jenis Film
Jumlah Pendadah
Ketebalan (10-5 cm)
BST BLST
1% 3% 5% 1% 3% 5%
7.41 6.98 8.93 9.77 7.91 1.30 5.43
BCST
Panjang Gelombang (nm) 404 431 476 510 451 490 515
Absorbansi (a.u.) 0.989 0.963 0.982 0.977 0.991 0.999 1.000
Koefisien Absorpsi (104 cm-1) 3.07 3.18 2.53 2.30 2.89 0.18 4.24
Koefisien Peredaman 0.099 0.109 0.096 0.935 0.104 0.069 0.174
Nilai absorbansi suatu bahan bergantung juga pada karakteristik suatu bahan dalam menyerap atau meneruskan intensitas gelombang cahaya. Ketika gelombang cahaya mengenai permukaan suatu material, maka intensitas gelombang cahaya tersebut akan diredam atau mengalami atenuasi pada jarak yang pendek. Amplitudo gelombang akan berkurang secara eksponensial. Pengurangan intensitas ini berbeda untuk material yang berbeda. Contohnya pada logam pengurangannya kuat, tetapi kurang kuat untuk material dielektrik seperti gelas (Timuda 2010). Parameter untuk mengetahui efek peredaman tersebut adalah konstanta peredaman. Berdasarkan Tabel 6 konstanta peredaman pada serapan maksimum memiliki nilai terbesar pada film BCST 5% dan terkecil pada film BCST 3%. Selain dari kedua film tersebut, konstanta peredaman cenderung seragam yaitu sekitar 0.1. Nilai kontanta peredaman yang cenderung seragam menunjukkan efek peredaman tidak berpengaruh signifikan pada film BST yang telah dibuat. Salah satu kajian sifat optik dan kelistrikan zat padat yang sangat penting dalam semikonduktor adalah pita energi. Meningkatnya rapat arus (arus netto) merupakan akibat dari bertambahnya muatan pembawa mayoritas baik elektron maupun hole dalam pita energi yang ditempatinya. Meningkatnya muatan pembawa mayoritas dapat disebabkan oleh adanya rangsangan energi eksternal seperti suhu dan cahaya yang menyebabkan elektron tereksitasi ke pita konduksi. Elektron yang mengalami eksitasi harus melewat energi terlarang (energi gap). Semakin kecil energi gap suatu bahan semikonduktor maka semakin mudah arus listrik mengalir. Perhitungan energi gap menggunakan absorbansi film tipis dan metode tauc plot sehingga dihasilkan nilai energi gap. Energi gap yang dihitung menggunakan
38 (a)
(αhν)2 (109 cm-2 eV2)
10
8 6 4
2 2.82 eV
0 2.4
2.6
2.8 3 Energi foton (eV)
3.2
(b)
(αhν)2 (109 cm-2 eV2)
8 6 4 2 2.65 eV
0 2
2.3
2.6 2.9 Energi foton (eV)
3.2
(αhν)2 (109 cm-2 eV2)
(c) 6
4.5
3
1.5 2.50 eV
0 1.8
2.1
2.4 2.7 Energi foton (eV)
3
Gambar 25 Energi gap film tipis (a) BST, (b) BLST, dan (c) BCST nilai transisi tidak langsung yaitu n = 2. Hal ini dapat dijelaskan bahwa transisi elektron antara di lembah pita konduksi dan puncak pita valensi tidak langsung terjadi melainkan menyerap atau memancarakan energi fonon. Film tipis BST seperti yang terlihat pada Gambar 25 (a) memperlihatkan nilai energi gap film tipis
39 BST sebesar 2.82 eV. Hal ini selaras dengan puncak serapan flm tipis BST yang berada pada daerah 405 nm. Adanya pendadahan seperti yang tampak pada Gambar 25 (b) dan 25 (c) menyebabakan energi gap mengalami penurunan. Film BLST dengan dopant 1% memiliki energi gap 2.65 eV dan film BCST dengan dopant 1% memiliki energi gap 2.50 eV.
Gambar 26 Hubungan jumlah dopant dengan nilai energi gap Film tipis BST pada Gambar 25 (a) memiliki energi gap 2.82 eV. Hasil tersebut lebih baik dibandingkan beberapa penelitian sebelumnya yang mendapatkan nilai energi gap 3 eV. (Leng et al. 2006; Irzaman et al. 2008; Nuayi et al. 2013). Gambar 26 memperlihatkan penurunan energi gap seiring dengan bertambahnya jumlah pendadah (dopant). Film tipis BST dengan energi gap 2.81 eV mengalami penurunan secara berturut-turut 2.50 eV, 2.28 eV, dan 2.25 eV ketika terdapat dopant pada film BLST 1%, 3%, dan 5%. Begitu pula dengan pemberian dopant tembaga pada film BCST 1%, 3%, dan 5% mengalami penurunan secara berturut-turut 2.65 eV, 2.31 eV, dan 2.15 eV. Penambahan dopant litium maupun tembaga menyebabkan penurunan energi gap. Penurunan energi gap dengan adanya pendadahan (penambahan sedikit jumlah dopant) dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada film tipis BLST (dopant litium), ion Li+ yang mempunya jari-jari ionik 0.76 Å menggantikan ion Ti4+ yang memiliki jari-jari ionik 0.68 Å. Ion Li+ berperan sebagai ion hard dopant karena muatannya lebih kecil daripada muatan ion yang digantikan (ion Ti4+). Ion Li+ mempunyai valensi kurang dari 4+, maka akan terjadi kekurangan muatan positif dalam struktur perovskite BST. Kekurangan muatan positif mengakibatkan terbentuknya ruang kosong di posisi ion O2- sebagai kompensasi untuk menjaga kenetralan muatan (electroneurality balance). Sebagaimana yang diketahui, posisi ion oksigen sebagai O vacancy terdapat di diagonal bidang struktur perovskite BST. Adanya dopant litium dalam senyawa BST menyebabkan sangat efektifnya pembangkitan dipole-dipole ion akibat penarikan muatan positif oleh ruang kososng (O vacancy). Ion O2- masih terus bergerak walaupun berada pada suhu
40 Curie karena Ion O2- dapat mudah melompat dari posisi O ke posisi ruang kosong O (O vacancy) yang jaraknya sangat berdekatan (Uchino 2000). Terbentuknya ruang kosong (O vacancy) dan adanya ion O2- menyebabkan lebar energi gap semakin kecil. Semakin banyak jumlah ion dopant litium maka semakin banyak terbentuk ruang kosong (O vacancy) dan ion O2- sehingga energi gap semakin kecil. Pada film tipis BCST (dopant tembaga), ion Cu+ yang mempunyai jari-jari ionik 1.35 Å menggantikan ion Ba2+ dengan jari-jari ionik 1.135 Å atau Sr2+ dengan jari-jari ionic 1.13 Å secara acak. Ion tersebut menempati posisi A pada struktur kristal (A2+B4+O32-). Ion Cu+ berperan sebagai ion hard dopant karena muatannya lebih kecil daripada muatan ion yang digantikan (ion Ba2+ atau Sr2+). Ion Cu+ mempunyai valensi kurang dari 4+ sehingga terjadi kekurangan muatan positif dalam struktur perovskite BST. Kekurangan muatan positif mengakibatkan terbentuknya ruang kosong di posisi ion O2- sebagai kompensasi untuk menjaga kenetralan muatan (electroneurality balance). Dopant tembaga dalam senyawa BST menyebabkan pembangkitan dipole-dipole ion akibat penarikan muatan positif oleh ruang kososng (O vacancy). Ion O2- masih terus bergerak seperti pergerakan hole atau elektron pada silikon semikonduktor walaupun berada pada suhu Curie karena Ion O2- dapat mudah melompat dari posisi O ke posisi ruang kosong O (O vacancy) yang jaraknya sangat berdekatan (Uchino 2000). Terbentuknya ruang kosong (O vacancy) dan adanya ion O2- menyebabkan lebar energi gap semakin kecil. Semakin banyak jumlah ion dopant tembaga maka semakin banyak terbentuk ruang kosong (O vacancy) dan ion O2- sehingga energi gap semakin kecil. Karakterisasi Fotokonduktivitas Pengukuran fotokonduktivitas bertujuan untuk mengetahui tingkat respon sel surya terhadap intensitas cahaya. Pengukuran dilakukan pada kondisi awal yaitu gelap, 0 lux sampai kondisi paparan sinar matahari siang hari yaitu kira-kira 12000 lux. Gambar 27 (a) dan (b) menunjukkan nilai perubahan konduktivitas listrik terhadap perubahan intensitas cahaya. Penambahan dopant pada film tipis BST, BLST, dan BCST memberikan peningkatan nilai konduktivitas listrik. Pada sel surya BLST/CuO dan BCST/CuO terlihat jelas peningkatan konduktivitas listrik walaupun tidak secara linier. Hal ini disebabkan oleh pengaruh dalam proses pelapisan film tipis. Penggunaan teknik spin coating dalam membentuk film BST dan CuO sekaligus memang sangat jarang dilakukan. Penggunaan teknik spin coating biasanya untuk melapiskan suatu material film pada substrat atau film lain yang telah fabrikasi atau dibuat dengan metode lebih baik pelapisannya seperti chemical vapour deposition (CVD). Namun, dalam penelitian ini pelapisan BST diatas kuarsa dan pelapisan CuO diatas BST, keduaduanya menggunakan spin coating. Penggunaan teknik tersebut sekaligus, cenderung menghasilkan permukaan yang kurang homogen, adanya crack, kebocoran arus, maupun terkontaminasi udara. Oleh karena itu, untuk mencegah hal tersebut, pelapisan BST dilakukan sebanyak 11 kali lapisan. Selain itu, pelapisan 11 kali bertujuan agar persambungan permukaan BST dan CuO dapat mengalami mekanisme p-n junction.
41
Gambar 27 Konduktivitas listrik sel surya (a) BLST/CuO dan (b) BCST/CuO Pada Sel surya terlihat peningkatan nilai konduktivitas listrik seiring dengan meningkatnya intensitas cahaya. Pada kondisi gelap ketika tidak terjadi proses eksitasi elektron oleh foton, nilai konduktivitas listrik untuk semua jenis sel berbeda-beda. Nilai konduktivitas listrik sel surya BST/CuO, BLST/CuO 1%, BLST/CuO 3%, dan BLST/CuO 5% berturut-turut 0.6 x 10-7 S/cm, 1.1 x 10-7 S/cm, 0.9 x 10-7 S/cm, dan 2.1 x 10-7 S/cm. Hal ini juga terlihat pada sel surya BCST/CuO. Nilai konduktivitas listrik sel surya BST/CuO, BCST/CuO 1%, BCST/CuO 3%, dan BCST/CuO 5% berturut-turut 0.6 x 10-7 S/cm, 2.4 x 10-7 S/cm, 3.9 x 10-7 S/cm, dan 1.2 x 10-7 S/cm. Hal ini disebabkan adanya pengaruh doping yang mengakibatkan menurunnya energi gap dari film. Semakin tinggi konsentrasi dopant, semakin kecil energi gap film. Semakin kecil energi gap film maka nilai hambat jenis semakin kecil dan dan nilai konduktivitas listrik semakin besar. Nilai konduktivitas listrik terbesar untuk dopant litium pada intensitas 12000 lux adalah BLST/CuO 5% yaitu 9.1 x 10-7 S/cm sedangkan nilai nilai konduktivitas
42 listrik terbesar pada kondisi yang sama untuk BST/CuO yaitu 4.3 x 10-7 S/cm. Secara umum, sel surya BLST/CuO 1% memiliki nilai konduktivitas listrik lebih besar dari BLST 3% kecuali pada kondisi 11000 lux dan 12000 lux. Nilai konduktivitas listrik terbesar untuk dopant tembaga pada intensitas 12000 lux adalah film tipis BCST/CuO 3% yaitu 28.5 x 10-7 S/cm sedangkan nilai nilai konduktivitas listrik terbesar pada kondisi yang sama untuk BST/CuO yaitu 4.3 x 10-7 S/cm. Secara umum, sel surya BLST/CuO 1% memiliki nilai konduktivitas listrik lebih besar dari BLST 5% kecuali pada kondisi 3000 lux, 6000 lux, dan 7000 lux yang nilainya mendekati. Peningkatan nilai konduktivitas listrik ketika diberikan paparan sinar matahari disebabkan adanya penyerapan energi foton oleh elektron. Elektron yang tereksitasi melompat ke pita konduksi sekaligus menciptakan hole pada tempat pita valensi yang ditinggalkannya. Perpindahan elektron tersebut meningkatkan jumlah elektron sebagai pembawa muatan mayoritas pada tipe-n (BST) dan juga meningkatkan jumlah hole sebagai pembawa muatan mayoritas pada tipe-p (CuO). Peningkatan jumlah elektron secara langsung meningkatkan jumlah arus listrik yang mengalir sehingga nilai konduktivitas listrik juga mengalami peningkatan. Karakteristik I-V Sel Surya Karakteristik I-V dalam bentuk J-V merupakan parameter paling penting dalam sel surya. Faktor pengisian menggambarkan performa sel surya dan efisiensi menggambarkan kemampuan sel mengkonversi energi cahaya menjadi energi listrik. Berdasarkan hasil uji konduktivitas maka sel surya BLST/CuO 5% dan sel surya BCST/CuO 3% dilakukan uji fotovoltaik. Selain itu, sel surya BST/CuO digunakan juga sebagai kontrol. Pada pengukuran J-V arus yang dihasilkan sangat kecil dan kurang stabil. Oleh karena itu pengukuran arus menggunakan konsep arus sebagai nilai pembagian antara tegangan dengan arus. Hambatan yang dipakai adalah 1000 kΩ dan menggunakan voltmeter untuk membaca tegangan. Pengukuran arus mendapatkan 32 titik bacaan arus tegangan kemudian diplotkan untuk mendapatkan kurva J-V. Gambar 28 menunjukkan karakteristik J-V (fotovoltaik) sel surya BST/CuO, BLST/CuO, dan BCST/CuO tanpa kristal fotonik dan tergandeng kristal fotonik. Pengukuran fotovoltaik dilakukan dengan mengukur rapat arus (Jsc) dan tegangan keluaran (V) pada kondisi terang. Kondisi terang yang dimaksud adalah sel surya mengalami paparan radiasi cahaya sebesar 12.000 lux. Hasil dari karakterisasi fotovoltaik yang telah dilakukan pada sel surya BST/CuO, BLST/CuO, dan BCST/CuO sesuai dengan karakterisasi sel surya pada umumnya dimana hubungan antara arus dan tegangannya berbanding terbalik secara eksponensial. Artinya pada saat pengukuran arus yang terbaca pada multimeter mengalami kenaikan maka besar tegangan yang terukur di voltmeter mengalami penurunan dan begitu pula sebaliknya.
43
Rapat arus (10-2 mA.cm-2)
(a) Isc
14
Poly. (Tanpa kristal fotonik) Poly. (Gandeng kristal fotonik)
12
Imax
10 8 6 4
2
Vmax
Voc
0
0
10
20 Tegangan (mV)
30
40
(b) Rapat arus (10-3 mA.cm-2)
30
Isc
Poly. (Tanpa kristal fotonik)
25
Poly. (Gandeng kristal fotonik)
20
Imax
15 10 5 Voc
Vmax
0 0
20
40 Tegangan (mV)
60
80
(c) Rapat arus (10-3 mA.cm-2)
30
Isc
Poly. (Tanpa kristal fotonik)
25 20
Poly. (Gandeng kristal fotonik)
Imaks
15
10 5 Vmax
Voc
0 0
3
6 9 Tegangan (mV)
12
15
Gambar 28 Kurva J-V Sel Surya (a) BST/CuO, (b) BCST/CuO, dan (c) BLST/CuO Pada kurva tersebut tampak adanya perbedaan nilai rapat arus dan tegangan yang dihasilkan. Besar dan kecilnya tegangan yang dihasilkan pada masing-masing sel surya bergantung pada kombinasi antara semikonduktor BST dan CuO serta
44 persentase dopant. Semakin banyak dopant yang terdapat pada film BST maka semakin kecil energi gap dan semakin banyak pula hole maupu elektron bebas yang terbentuk. Karakteristik J-V yang diperoleh dari masing-masing sel surya tampak adanya perbedaan bentuk kelengkungan kurva. Pada Gambar 28 yaitu sel surya BLST/CuO memiliki bentuk kurva lebih ideal dibandingkan BST/CuO dan BCST/CuO. Sel surya BCST/CuO memiliki bentuk mendekati sifat resistor kurang walaupun memiliki kepekaan cahaya (sensivitas) paling tinggi yang terlihat pada pengujian fotokonduktivitas. Hal ini disebabkan pelapisan (penggabungan) BST dan CuO kurang baik sehingga memicu kebocoran dan rekombinasi prematur sehingga elektron jatuh sebelum sampai pada elektrodanya. Sel surya BST/CuO dan BLST/CuO memiliki bentuk kelengkungan kurva cukup mendekati karakteristik J-V walaupun nilai rapat arus (Jsc) dan tegangannya (V) sangat berbeda. Hal ini disebabkan pelapisan pada sel surya BST/CuO terbentuk lebih baik dibandingkan BLST/CuO karena pelapisan CuO pada BST sangat mempengaruhi mekanisme p-n junction pada sel surya. Tabel 7 Parameter fotovoltaik sel surya tanpa kristal fotonik Sel surya
Voc Isc Pin/A Vmax Imax Pmax/A (mV) (10-4 mA) (mW/cm2) (mV) (10-4 mA) (10-4 mW/cm2)
FF
η (10-3 %)
BST/CuO
30
39.21
1.7
14.1
35.02
15.72
0.42
92.45
BLST/CuO
60
6.99
1.7
36.6
5.89
6.86
0.51
40.37
BCST/CuO
12
7.99
1.7
8.42
5.23
1.39
0.46
8.20
Tabel 8 Parameter fotovoltaik sel surya gandeng kristal fotonik Isc Pin/A Vmax Imax Pmax/A 2 -4 -4 (10 mA) (mW/cm ) (mV) (10 mA) (10 mW/cm2)
η
Sel surya
Voc (mV)
BST/CuO
30
43.44
1.7
15.84
38.38
19.12
0.46
112.47
BLST/CuO
60
8.68
1.7
39.23
8.68
10.83
0.65
63.71
BCST/CuO
12
8.89
1.7
8.43
6.10
1.63
0.48
9.63
-4
FF
-3
(10 %)
Hasil pengukuran arus tegangan pada Tabel 7 memperlihatkan sel surya BST/CuO memiliki efisiensi paling besar disusul kemudian sel surya BLST/CuO dan BLST/CuO. Hasil tersebut berkorelasi linier dengan bentuk kurva J-V walaupun kedua faktor tersebut tidak selalu saling mempengaruhi. Ketiga jenis sel surya tersebut memiliki persentase faktor pengisian dalam kisaran 50%. Walaupun masih di bawah syarat 70% (menunjukkan performa sel cukup baik), ketiga jenis sel surya tersebut memiliki performa seragam (50%), artinya kualitas sel surya dengan metode sol-gel telah berhasil dilakukan. Hasil pengukuran arus tegangan pada Tabel 8 memperlihatkan peningkatan rapat arus ketika diberikan kristal fotonik. Sel surya BLST/CuO mengalami peningkatan efisiensi menjadi 0.12%. Hal ini disebabkan oleh kristal fotonik memantulkan kembali energi yang lepas sehingga diserap kembali oleh film tipis. Kristal fotonik berfungsi sebagai reflektror (pemantul radiasi cahaya) yang ditransmisikan oleh sel surya sehingga absorbansi sel surya menjadi optimal (Biswas et al. 2010; Chen et al. 2015). Reflektor kristal fotonik diletakkan dibawah
45 tipe-n dalam hal ini adalah BST. Cahaya polikromatik yang mengenai sel surya sebagian ada yang langsung terserap oleh CuO, kemudian sisanya diserap oleh BST dan sebagian langsung diserap oleh BST. Pada sel surya, lapisan tipe-n (lapisan CuO) sangat menentukan proses fotovoltaik karena merupakan lapisan tempat atau asal elektron tereksitasi. Oleh karena itu dalam proses pembuatan sel surya, BST (tipe-p) dibuat transparan dan CuO (tipe-n) berwarna coklat gelap. Cahaya yang diteruskan (ditransmisikan) baik BST maupun CuO akan dipantulkan kembali oleh kristal fotonik. Cahaya refleksi tersebut kemudian diserap kembali oleh BST dan CuO. Tabel 9 Peningkatan efisiensi sel surya Sel Surya
η (10-3 %) (tanpa kristal fotonik)
η (10-3 %) (gandeng kristal fotonik)
Peningkatan efisiensi (%)
BST/Si*
0.014
-
-
BST/CuO
92.45
112.47
21.66
BLST/CuO
40.37
63.71
57.82
BCST/CuO
8.20
9.63
17.45
*Efisiensi BST diatas substrat silikon (Irzaman et al. 2016) Hasil pengukuran arus tegangan (I-V) pada Tabel 7 dan 8 memperlihatkan peningkatan efisiensi ketika diberikan kristal fotonik. Hal ini disebabkan kristal fotonik memantulkan kembali energi yang lepas sehingga diserap kembali oleh film tipis. Daya input yang diberikan adalah 12.000 lux atau sekitar 1.7 mW/cm2. Data yang dihasilkan masih kurang stabil karena kecilnya arus yang dihasilkan. Oleh karena itu penentuan parameter menggunakan pendekatan trendline untuk mendapatkan pola kurva I-V. Tabel 9 memperlihatkan nilai peningkatan efisiensi sel surya BST/CuO sebesar 21.66%, BLST/CuO sebesar 57.82%, dan BCST/CuO sebesar 17.45%. Pemanfaatan BST sebagai sel surya telah dilakukan oleh Irzaman et al. (2016) dengan menggunakan silikon sebagai tipe-p sekaligus substrat. Namun efisiensi yang dihasilkan masih sangat kecil dibandingkan sel surya BST/CuO. Terdapat peningkatan sekitar 6000 kali. Adanya peningkatan efisiensi disebabkan semakin banyaknya foton yang terjerap oleh sel surya akibat pemantulan kembali oleh kristal fotonik. Oleh karena itu, jumlah elektron yang tereksitasi semakin banyak dan berdampak peningkatan arus listrik yang mengalir (Biswas et al. 2010; Dominguez et al. 2012; Sheng et al. 2014). Mekanisme kerja sel surya sebagai pemantul (reflektor) telah dijelaskan oleh Nuayi et al. (2013). Nuayi et al. (2013) menjelaskan peningkatan foton terjerap sebagai peningkatan absorbansi ketika menggunakan kristal fotonik. Puncak absorbansi dan lembah absorbansi mengalami kenaikan cukup signifikan. Kristal fotonik berfungsi sebagai reflektror (pemantul radiasi cahaya) yang ditransmisikan oleh sel surya sehingga absorbansi sel surya menjadi optimal (Biswas et al. 2010; Dominguez et al. 2012; Andreani et al. 2014). Reflektor kristal fotonik diletakkan dibawah tipe-n dalam hal ini adalah BST. Pada sel surya yang telah dibuat, lapisan tipe-n (lapisan BST) sangat menentukan proses fotovoltaik karena merupakan lapisan tempat atau asal elektron tereksitasi sebagai muatan pembawa mayoritas. Cahaya refleksi tersebut kemudian diserap kembali oleh BST dan CuO sehingga jumlah foton yang terjerap semakin banyak. Intensitas reflektansi sangat mempengaruhi peningkatan absorbansi dan
46 juga peningkatan arus sel (Nuayi et al. 2013). Oleh karena itu, posisi reflektansi maksimum kristal fotonik dan absorbansi maksimum BST sangat erat kaitannya dengan nilai efisiensi sel surya yang dihasilkan. Absorbansi Sel Surya
Gambar 29 Pola serapan BST dan CuO dengan kristal fotonik sebagai reflektor Seperti yang telah dijelaskan paragraf satu sampai empat pada halaman 45, fenomena peningkatan efisiensi sel surya oleh kristal fotonik dapat dijelaskan melalui hubungan absorbansi maksimum BST dan reflektansi maksimum kristal fotonik. Gambar 29 memperlihatkan pola absorbansi setiap lapisan sel surya dan pola reflektansi kristal fotonik. Kristal fotonik dibuat 22 lapisan dan defek-1. Ketika cahaya mengenai lapisan, masing-masing permukaan merefleksikan sebagian dari medan dan berkombinasi menghasilkan interferensi konstruktif dan reflektansi yang kuat (refleksi Bragg). Hamburan Bragg dalam struktur dielektrik menjadi penyebab munculnya photonic band gap (PBG) (Schmidt et al. 2007). Periodisitas kristal fotonik dapat diganggu dengan adanya defek sehingga memunculkan fenomena photonic pass band (PPB) (Alatas et al. 2006). Berdasarkan Gambar 29 terlihat rentang PBG dari 450 nm sampai 600 nm dengan reflektansi maksimum berada pada panjang gelombang 503 nm. Sel surya BLST/CuO memiliki absorbansi maksimum pada panjang gelombang 507 nm. Oleh karena itu, kristal fotonik akan memantulkan intensitas paling tinggi pada panjang gelombang absorbansi maksimum BST. Peristiwa tersebut akan memaksimalkan jumlah foton terjerap sehingga meningkatkan efisiensi. Hal yang sama terjadi juga pada sel surya BST/CuO dengan absorbansi maksimum 400 nm dan BCST/CuO absorbansi maksimum 490 nm. Namun, tidak bertepatan dengan reflektansi maksimum kristal fotonik sehingga efisiensi yang dihasilkan lebih kecil dari sel surya BLST/CuO.
47
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Film tipis BST dan CuO telah berhasil dibuat dengan metode sol-gel dan teknik spin-coating. Karakterisasi struktur kristal BST, BLST, dan BCST memperlihatkan struktur kristal tetragonal BST telah terbentuk dan pemberian dopant (film tipis BLST dan BCST) meningkatkan ukuran kristal. Karakterisasi struktur film tipis CuO memperlihatkan telah terbentuk struktur monoklinik CuO dan peningkatan suhu annealing menurunkan ukuran kristal serta meningkatkan fase kristal. Karakterisasi optik menunjukkan film tipis BST, BLST, dan BCST memiliki absorbansi pada daerah cahaya tampak dan pergeseran puncak serapan ke arah panjang gelombang lebih besar ketika diberikan dopant. Energi gap film tipis BST mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya jumlah dopant. Nilai koefisien peredaman yang sama memperlihatkan pelapisan BST terbentuk secara umum homogen dan koefisien absorpsi menunjukkan absorpsivitas yang tinggi. Ketiga jenis film tersebut digunakan sebagai tipe-n sel surya. Karakterisasi optik CuO menunjukkan film tipis CuO memiliki rentang absorbansi pada daerah cahaya tampak dan mengalami penurunan energi gap ketika suhu annealing ditingkatkan. Nilai indeks bias dan koefisien peredaman memperlihatkan film tipis CuO mentransmisikan panjang gelombang tak terserap dengan pengurangan intensitas yang kecil. Koefisien absorpsi menunjukkan absorpsivitas film tipis CuO yang tinggi. Berdasarkan karakteristik sifat optik, film tipis CuO annealing 550 °C dengan tiga lapisan digunakan sebagai tipe-p sel surya. Data fotokonduktivitas menunjukkan bahwa semua sel surya peka terhadap intensitas cahaya. Konduktivitas tertinggi yaitu adalah sel surya BLST/CuO 5% sebesar 9.1 x 10-7 S/cm dan sel surya BCST/CuO 3% sebesar 28.5 x 10-7 S/cm pada paparan radiasi 12000 lux. Sel surya dengan sensivitas tertinggi yaitu BLST/CuO dan BCST/CuO bersama BST/CuO sebagai kontrol dilakukan pengujian fotovoltaik. Karakteristik fotovoltaik memperlihatkan faktor pengisian yang sama untuk ketiga jenis sel surya yaitu 50%. Sel surya dengan efisiensi terbesar adalah BST/CuO yaitu 0,092% tanpa kristal fotonik dan 0.112% dengan gandeng kristal fotonik. Ketiga jenis sel surya mengalami peningkatan efisiensi ketika digandeng kristal fotonik. Sel surya BLST/CuO memiliki peningkatan efisiensi tertinggi 57.82% karena absorbansi maksimum lapisan BST berdekatan dengan reflektansi maksimum kristal fotonik pada rentang PBG. Saran Dibutuhkan teknik kombinasi pelapisan yang mampu mencegah kebocoran arus dan meningkatkan sifat optik permukaan lapisan. Kombinasi yang dimaksud adalah spin-coating dan sputtering. Fabrikasi BST dan CuO menggunakan teknik spin-coating sebaiknya terjadi pada ruang vakum.
48
DAFTAR PUSTAKA Adem U. 2003. Preparation of BaxSr1-xTiO3 Thin Films by Chemical deposition and their Electrical Characterization [Tesis]. Ankara (TR): The Middle East Technical University Akgul FA, Akgil G, Yildirin N, Hunalan HE, Turan R. 2014. Influence of thermal annealing on microstructural, morphological, optical properties and surface electronic structure of copper oxide thin films. Materials Chemistry and Physics. 147(2014): 987-995. Alatas H, Maydita H, Hardhienata H, Iskandar AA, Tjia MO. 2006. Single frequency refractive index sensor based on finite –one dimensional photonic crystal with two defects. Japanese Journal of Applied Phisics. 45(8b): 6754. Andreani LC, Bozzola A, Kowalczewski P, Liscidini M. 2014. Photonic light trapping and electrical transport in thin-film silicon solar cells. Solar Energy Materials & Solar Cells. Doi:10.1016/j.solmat.2014.10.012 Baydogan N, Odzurmusoglu T, Cimenoglu H, Tugrul AB. 2013. Refractive index extinction coefficient of znoal thin film derived by so-gel dip coating technique. Defect and Diffusion Forum. 334-335(2013): 290-293. Bhalachandran R, Ong BH, Wong HY, Tan KB, Rasat MM. 2012. Dielectric characteristics of barium strontium titanate based metal insulator metal capacitor for dynamic random access memory. International Journal of Electrochemical science. 7(2012): 11895-11903. Biswas R, Bhattacharya J, Lewis B, Chakravarty N, Dalal V. 2010. Enhanced nanocrystalline silicon solar cell with a photonic crystal back-reflector. Solar Energy Materials & Solar Cells. (2010) 94: 2337–2342. Bornside DE, Macosko CW, Scriven LE. 1987. Journal of imaging technology. 13: 122-129 Bushra, al-Maiyaly KH, Khudayer IH, Ibraheim AJ. Effect ambient oxidation on structural and optical properties of copper oxide thin film. International Journal of Innovative Research in Science, Engineering and Technology. 3(1): 8694 8700. Chaucan D, Satsangi VR, Dass S, Shrivastav H. 2006. Preparation and characterization of nanostructured cuo thin films for photolectrochemical splitting of water. Bulk Material Science. 29(7): 709-716. Chen P, Hou G, Fan Q, Ni J, Zhang J, Huang Q, Zhang X, Zhao Y. 2015. Combining randomly textured surfaces and one-dimensional photonic crystals as efficient light-trapping structures in hydrogenated amorphous silicon solar cells. Solar Energy Materials & Solar Cells. (2015) 143: 435–441. Chopra KL, Paulson PD, Dutta V. 2004. Thin film solar cells: An Overview and Progress in Photovoltaics: Research and Application. 12(2-3): 69-92. Cullity RD dan Stock RS. 2001. Element of X Ray Diffraction. New Jersey (US): Prentice Hall. Dahrul M, Syafutra H, Arif A, Irzaman, Indro MN, Siswadi. 2010. Manufactures and characterizations of photodiode thin film barium strontium titanate (BST) doped by niobium and iron as light sensor. AIP Conference Proceedings. 1325 (2010): 43-46.
49 Dahrul M, Alatas H, Irzaman. 2016. Preparation and optical properties study of CuO thin film as applied solar cell on LAPAN-IPB Satellite. Procedia Environmental Sciences. (2016) 33: 661–667. Dominguez S, Garcia O, Ezquer M, Rodriguez MJ, Lagunas AR, Perez-Conde Z, Bravo J. 2012. Optimization of 1D photonic crystals to minimize the reflectance of silicon solar cells. Photonics and Nanostructures – Fundamentals and Applications. 2012 (10): 46–53. Gurumurthy V. 2007. Barium Strontium Titanate Films for Tunable Microwave and Acoustic Wave Application [Tesis]. South Florida (US): University of South Florida. Ha GT, Kim SS, Kim JK. 2006. Cu-doping effects on the dielectric and insulating properties of sol-gel derived Ba0.7Sr0.3TiO3 thin film. Journal of Korean Physics Society. 49: 572-574. Hong MJ, Lin YC, Chao LC, Lin PH, Huang BR. 2015. Cupric and cuprous oxide by reactive ion beam sputter deposition ang the photosensing properties of cupric oxide metal-semiconductor-metal schottky photodiodes. Applied Surfce Science. 346(2016): 18-23. Iriani Y. 2009. Penumbuhan Lapisan Tipis Barium Strontium Titanat (BaxSr1-xTiO3) dengan Berbagai Doping Untuk Aplikasi Memori [Tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Irzaman, Syafutra H, Darmasetiawan H, Hardhienata H, Erviansyah R, Huriawati F, Akhiruddin, Hikam M, Arifin P. 2008. Electrical Conductivity of Ferroelectric Galium Doped Ba0,5Sr0,5TiO3 (BGST) Thin Films. Indonesia Journal of Physics. 19(4): 119-121. Irzaman, Syafutra H, Darmasetiawan H, Hardhienata H, Erviansyah R, Huriawati F, Akhiruddin, Hikam M, Arifin P. 2011. Electrical properties of photodiode Ba0.25Sr0.75TiO3 (BST) thin film doped ferric oxide on p-type Si (100) substrate using chemical solution deposition. Atom Indoneia. 37(3): 133-138. Irzaman, Putra IR, Aminullah, Syafutra H, Alatas H. 2015. Development of Ferroelectric Solar Cells of Barium Strontium Titanate (BaxSr1-xTiO3) for Subtituting Conventional Battery in LAPAN-IPB Satellite (LISAT). Proceedia Environmental Science. 33(2): 607-614. Irzaman, Siskandar R, Aminullah, Irmansyah, Alatas H. Characterization of Ba0.55Sr0.45TiO3 films as light and temperature sensors and its implementation on automatic drying system model. Integrated Ferroelectrics. 168: 130-150. Itskovsky MA. 1999. Kinetics of ferroelectric phase transition: nonlinier pyroelectric effect and ferroelectric solar cell. Jpn. J. Appl. Phys. 38(8): 48124817. Jayakhrisnan R, Kurian AS, Nair VG, Joseph MR. 2016. Effect of vacuum annealing on the photoconductivity of CuO thin films grown using sequential ionic layer adsorption reaction. Materials Chemistry and Physics. (2016): 1-7. Joannopoulos JD, Johnson SG, Win JN, Maede RD. 2008. Photonic Crystal Molding The Flow of Light. Princeton (US): Princeton University Press. Johan RM, Suan MSM, Hawari NL, Ching HA. 2011. Annealing effects on the properties of copper oxide thin films prepared by chemical deposition. International of Journal Electrochemical Science. 6(2011): 6094-6104.
50 Jundale D, Pawar S, Chougule M, Godse P, Patil S, Raut B, Sen S, Patil V. 2011. Nanocrystalline CuO thin films for H2S monitoring: microstructural and optoelectronic characterization. Journal of Sensor Technology. 2011(1): 36-46. Kanareykin A, Nenasheva E, Kozyrev A, Kazakov S, Yakovlev V. Observation of an anomalous tuning range of a doped BST ferroelectric material developed for accelerator application. Proceeding of IPAC 2010. 07: 3896-3898. Kao FC, Yang WD. 1999. Preparation of barium stronsium titanate powder from citrate precursor. Apll. Organometal Chem. 13: 383-397. Kidowaki H, Oku T, Akiyama T, and Suzuki A. 2012. Fabrication and Characterization of CuO-based Solar Cells. Journal of Materials Science Research. 1(1):138-139. Kirchartz T, Bisquert J, Mora-Sero I, Garcia-Belmonte G. 2015. Classification of solar cells according to mechanisms of charge separation and charge collection. Physics Chemistry Chemistry Physics. 2015 (17): 4007-4014. Kocanda M, Mohiudin SF, Abdel-Motaleb I. 2012. An investigation of PLDdeposited barium strontium titanate (BaxSr1-xTiO3) thin film optical properties. Crystal Structure Theory and Applications. 12(3): 17-20. Jiang HT, Zhai JW, Chou XJ, Yao X. 2009. Influence of Bi2O3 and CuO addition on low-temperature sintering and dielectric properties of Ba0.6Sr0.4TiO3 ceramics. Materials Research Bulletin. 44 (2009):566–570. Lahiry S, Mansingh A. 2008. Dielectric properties of sol–gel derived barium strontium titanate thin films. Thin Solid Films. 516: 1656-1666. Leng WJ, Yang CR, Zhang JH, Chen HW, Ji H, Fu CL, Liao JX. 2006. Structural and Optical Properties of BaxSr1-xTiO3 thin films on indium tin oxide/ quartz substrates prepared by radio-frequency magneton sputtering. Joournal of Applied Phisucs. 99: 114904 (1-5). Li X, Liang J, Kishi N, Soga T. Synthesis of cupric oxide nanowires on spherical surface by thermal oxidation method . Materials Letters. 96(2013): 192–194. Lim YF, Chua CS, Lee CJJ, Chi D. Solgel deposited Cu2O thin films for photocatalytic water splitting. Physics Chemistry. 14(3): 241-250. Lun KW. 2012. Preparation and Dielectric Properties Of MgTiO3-Modified (Ba0.6Sr0.4)Tio3 Multilayer Thin Films by Sol-Gel Processing [Disertasi]. Hong Kong (RRC): City University of Hong Kong. Manavala SG. Structural and Electrical Properties of Barium strontium titanate thin films for tunable microwave application [Tesis]. South Florida (US): University of South Florida. Maulina W. 2012. Rancang Bangun dan Uji Kinerja Sensor Kristal Fotonik Satu Dimensi Untuk Pengukuran Indeks Standar Pencemaran Udara [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mugwang’a FK, Karimi PK, Njoroge WK, Omaiyo O, Waita SM. Optical characterization of copper oxide thin films prepared reactive dc magneton sputtering for solar cell applications. International Journal of Thin Film Science and Technology. 2(1): 15-24. Nuayi AW, Alatas H, Irzaman, Rahmat M. 2013. Enhancement of photon absorption on BaxSr1-xTiO3 thin film semiconductor using photonic crystal. International Journal of Optics. 2014: 8 hal.
51 Okatan MB, Cole MW, Alpay SP. 2008. Dielestric tenability ofgrade barium strontium titanate multilayers: effect of thermal strains. Journal of Applied Physics. 104:104-107. Papadimitropoulos G, Vourdas N, Vamvakas VE, Davazoglou D. 2005. Deposition and characterization of copper oxide thin film. Journal of Physics: Conference Series 10 dalam Second Conference on Microelectronics, Microsyystem and Nanotechnology. 10(2005): 182-185 Pimpabute N, Burinprakhon T, Somkhunthot W. 2011. Determination of optical constants and thickness of amorphous GaP thin film. Optica Applicata. 41 (1):257-268 Putra IR. 2012. Sel Surya Berbasis Semikonduktor BaxSr1-xTiO3 dengan x = 0,5; 0,6; 0,7; 0,8 [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Poelman D dan Smet FP. Methods for the determination of the optical constants of thin film from single transmission measuremet: a critical review. Journal Physics D: Applied Physics. 36(2003): 1850-1857. Rahman SASM, Islam MA, Shorowordi KM. 2015.Electrodeposition and characterization of copper oxide thin films for solar cell application. Procedia Engineering. 105(2015): 679-685. Rahmat M. 2013. Pengembangan Sistem Pengukuran Indeks Standar Pencemaran Udara Berbasis Sensor Kristal Fotonik Satu Dimensi [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ray SC. 2001. Preparation of copper oxide thin by the sol-gel-like dip technique and study of their structural and optical properties. Solar Energy Materials & Solar Cell. 68(3):307-312. Schmidt OP, Kiesel S, Mohta N, Johnson M. 2007. Resolving pm wavelength shift in optical Sensing. Journal Applied Physics. B(86): 593-600. [SERI] Solar Energy Research Institute. 1982. Basic Photovoltaic Principles and Methods. Colorado: Solar Energy Research Institute. Shaaban ER, Yahia IS, El- Metwally EG. 2012. Validity of swanepoel's method for calculating the optical constants of thick films. Acta Physica Polonica A. 121 (3): 628-635. Sheng X, Broderick Z, Kimerling LC. 2014. Photonic crystal structures for light trapping in thin-film Si solar cells: Modeling, process and optimizations. Optics Communications. (2014) 314: 41–47 Soga T. 2006. Nanostructured Materials for Solar Energy Conversion. Oxford (UK): Elsevier. Srivastava S, Kumar M, Agrawal A, Dwivedi SK. 2013. Synthesis and characterization of copper oxide nanoparticles. IOSR Journal of Applied Physics. 5(4): 61-65. Sugianto. 2014. Sl Surya Hibrid nanopartikel ZnO/Klorofil Termodifikasi Ion Logam (Zn2+ dan Cu+). [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Swanepoel R. 1983. Determination of thickness and optical constants of amorphous silicon. Journal Physics E: Science Instrumentation. 16: 1214-1222. Sze SM, Kwok K. 2007. Physics of Semiconductor Devices, 3rd Edition. New Jersey (US): John Wiley and Sons, Inc. Timuda GE, Maddu A. 2010. Pengaruh ketebalan terhadap sifat optik lapisan semikonduktor Cu2O yang dideposisikan dengan Metode Chemical Bath Deposition. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Telaah. 28: 1-5.
52 Tran TH dan Nguyen VT. 2016. Phase transition of Cu2O to CuO nanocrystals by selective laser heating. Materials Science in Semiconductor Processing. 46(2016): 6-9. Uchino K. 2000. Ferroelectric Devices. New York (US): Marcel Deker, Inc. Usha V, Kalyanaraman S, Tangavel R, Vettumperumal R. 2015. Effect of the catalyst on the synthesis of CuO nanoparticle: structural and optical properties by sol-gel method. Superlattices and Microstructures. 2015: 18 hal. Vikraman D, Park HJ, Kim SI, Thaiyan M. 2016. Magnetic, structural and optical behavior of cupric oxide layers for solar cells. Journal of Alloys and Compounds. 686(2016) 616 – 627. Wang L. 2006. Preparation and Characterization of properties of Electrodeposited Copper Oxide Films [Disertasi]. Texas (US): The University of Texas At Arlington. Xie K, Guo M, Huang H. Enhanced efficiencies in thin and semi-transparent dyesensitized solar cells under low photonflux conditions using TiO2 nanotube photonic crystal. Journal of Power Sources. 293 (2015):170-177. Xu Y. 1991. Ferroelectric Materials and Their Application. California (US): University of Calofornia. Yun SW dan Koh JH. 2012. The ac conductivity and complex impedance of CuO doped (Ba0.5Sr0.5)TiO3 ceramic. Journal of Physics and Chemistry of Solids. 73 (2012):568–572. Zhang C, Qu Y. 2009. Influence antimony oxide on the dielectric properties of barium strontium titanate based ceramics. Material Science-Poland. 27(2): 443452.
53
LAMPIRAN
54 Lampiran 1 Data ICDD-JCPDS BST dan CuO
55 Lampiran 2 Penampakan film tipis dan sel surya
56
Lampiran 3 Perhitungan nilai parameter kisi BST Puncak 1 2 3 4 5
2θ
Θ
sin² θ
22.50 32.04 39.48 45.90 57.11
11.25 16.02 19.74 22.95 28.555
0.038 0.076 0.114 0.152 0.228
s 1 2 3 4 6
h 1 1 1 2 2
k 0 1 1 0 1
l 0 0 1 0 1
Perhitungan parameter kisi BST
1 h2 k 2 l 2 Jarak antar bidang (d) 2 2 d a c
Nilai Z, Y, dan X didapatkan 3 persamaan
hukum Braag 2d sin maka
sin 2
2 4a 2
h
2
k
2
2 4c 2
l d sin 2 2
2
sin Z Y X dimana Z
2 2 2 d , h k , Y 2 , l , X , dan 2 10 4c 4a
10 sin 2 2
2 2 2
Z 2 Y X
Z Y 2 X Z Y X 2
Penyelesaian persamaan menggunakan matriks
2
2
sin sin sin
2
sin 2 2 2 sin = 2 sin
Z Y X 2
2
Puncak 2θ θ sin² θ 22.5 11.25 0.04 1 32.04 16.02 0.08 2 39.48 19.74 0.11 3 45.9 22.95 0.15 4 57.11 28.56 0.23 5 Jumlah
sin² 2θ 1 2 3 4 6
h 1 1 1 2 2
k 0 1 1 0 1
l 0 0 1 0 1
α²
γ²
δ²
1 4 4 16 25 50
0 0 1 0 1 2
2.14 7.92 16.34 26.59 49.72 102.72
αδ 1.46 5.63 8.08 20.63 35.26 71.06
αγ
γδ 0 0 2 0 5 7
α sin² θ
0 0 4.04 0 7.05 11.09
γ sin² θ
0.04 0.15 0.23 0.61 1.14 2.17
2 A0 = 2 2 71.06 50 7 A0 = 7 11.09 2 71.06 11.09 102 .72
sin 2 2 A1 = sin 2 2 2 sin 71.06 2.16 7 0.34 11.09 2 A1 = 3.12 11.09 102 .72
2 A2 = 50 A2 = 7 71.06
Determinan matriks [A0] = 22.4
Determinan matriks [A1] = 0.858
Determinan matriks [A2] = 0.859
Nilai Y =
A2 A0
Y = 0.0383275 Nilai Z =
A1 A0
Z = 0.0383707
Sehingga parameter kisi c
sin sin sin
0 0 0.11 0 0.23 0.34
7 2 11.09
2
2
2
δ sin² θ 0.06 0.21 0.46 0.78 1.61 3.12
2
71.06 11.09 102 .72
2 4Y 2
c 3.934 Å
2 Sehingga parameter kisi a 4Z 2 a 3.932
57
58
Lampiran 4 Perhitungan parameter kisi CuO Data sudut 2θ dan hkl (indeks miller) CuO 2θ 32.53 35.55 38.92 48.75 53.42 61.57 68.14
Puncak 1 2 3 4 5 6 7
Β 99.47 99.47 99.47 99.47 99.47 99.47 99.47
sin² θ 0.08 0.09 0.11 0.17 0.20 0.26 0.31
sin² β 0.99 0.99 0.99 0.99 0.99 0.99 0.99
h 1 -1 2 -2 0 -1 2
k 1 1 0 0 2 1 2
Perhitungan parameter kisi CuO
l 0 1 0 2 0 3 0
D hl cos l2 A Q , , , , 10 sin 2 2 10 2ac sin 2 sin 2 2
Nilai P, Q, R, S, dan T didapatkan dari lima persamaan:
sin T S R Q P sin T S R Q P sin T S R Q P sin T S R Q P 2
2
2
2
2
Jarak antar bidang (d) 1 1 2 d sin 2
h 2 k 2 sin 2 l 2 2hl cos 2 2 ac b2 c a
2
sin
Hukum Bragg 2d sin h 2 k 2 sin 2 l 2 2hl cos maka sin 2 ac 4 sin 2 a 2 b2 c 2
2
sin 2 T S R Q P 2 2 h2 2 2 R k T 2 , ,S 2 , , 4c 2 4a 4b sin 2
2
2
2
T S R Q P
2
Penyelesaian dalam matriks menggunakan metode Cramer sin 2 2 2 sin 2 sin = 2 sin sin 2
2
2
T S R Q 2 P 2
Pengolahan data input matriks Puncak 1 2 3 4 5 6 7
2θ 32.53 35.55 38.92 48.75 53.42 61.57 68.14
sin2 θ 0.08 0.09 0.11 0.17 0.20 0.26 0.31 Jumlah
sin2 β 0.99 0.99 0.99 0.99 0.99 0.99 0.99
cos β 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16
α² 1.06 1.06 16.9 16.9 0.00 1.06 16.9 53.9
αγ 1.03 1.03 0.00 0.00 0.00 1.03 16.5 19.5
αδ αφ 0.00 0.00 1.06 -0.17 0.00 0.00 16.9 -2.78 0.00 0.00 9.51 -0.52 0.00 0.00 27.5 -3.48
ατ 2.97 3.47 16.2 23.2 0.00 7.95 35.4 89.3
γ2 1.00 1.00 0.00 0.00 16.0 1.00 16.0 35.0
γδ 0.00 1.06 0.00 16.9 0.00 9.51 0.00 27.5
γφ 0.00 -0.17 0.00 0.00 0.00 -0.51 0.00 -0.68
γτ 2.89 3.38 0.00 0.00 25.9 7.73 34.5 74.3
δ2 0.00 1.06 0.00 16.9 0.00 85.6 0.00 104
δφ 0.00 -0.17 0.00 -2.78 0.00 -4.69 0.00 7.65
δτ 0.00 3.47 0.00 23.2 0.00 71.5 0.00 98.3
φ2 0.00 0.03 0.00 0.46 0.00 0.26 0.00 0.74
φτ 0.00 -0.57 0.00 -3.82 0.00 -3.92 0.00 -8.32
τ2 8.36 11.4 15.5 31.9 41.6 59.8 74.2 243
Pengolahan data input matriks (lanjutan) Puncak 1 2 3 4 5 6 7
2θ 32.53 35.55 38.92 48.75 53.42 61.57 68.14
sin2 θ 0.08 0.09 0.11 0.17 0.20 0.26 0.31
sin2 β 0.99 0.99 0.99 0.99 0.99 0.99 0.99
cos β 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 0.16 Jumlah
Α 1.03 1.03 4.11 4.11 0.00 1.03 4.11
γ 1.00 1.00 0.00 0.00 4.00 1.00 4.00
δ 0.00 1.03 0.00 4.11 0.00 9.25 0.00
φ 0.00 -0.17 0.00 -0.68 0.00 -0.51 0.00
τ 2.89 3.38 3.95 5.65 6.45 7.73 8.61
α sin2 θ 0.08 0.10 0.46 0.70 0.00 0.27 1.29 2.89
γ sin2 θ 0.08 0.09 0.00 0.00 0.81 0.26 1.26 2.49
δ sin2 θ 0.00 0.10 0.00 0.70 0.00 2.42 0.00 3.22
φ sin2 θ 0.00 -0.02 0.00 -0.12 0.00 -0.13 0.00 -0.26
τ sin2 θ 0.23 0.32 0.44 0.96 1.30 2.03 2.70 7.97
59
60
2 A0 =
53.87 19.53 A0 = 27.47 3.47 89.27
2
2
2 2
19.53 27.47 3.48 89.27 35 10.28 0.68 74.25 10.28 103 .5 7.65 98.25 8.32 0.68 7.65 0.74 74.25 98.25 8.32 243
Determinan matriks [A0] = 22.4
2 A2 =
sin sin sin sin sin 2
2
2
2
2
2
sin 2 2 sin A1 = sin 2 2 sin sin 2
2.89 2.49 A1 = 3.22 0.26 7.97
2
2
2 2
19.53 27.47 3.48 89.27 35 10.28 0.68 74.25 10.28 103 .5 7.65 98.25 8.32 0.68 7.65 0.74 74.25 98.25 8.32 243
Determinan matriks [A1] = 0.858
2 2
2 A3 =
2
sin sin sin sin sin 2
2
2
2
2
2
2
53.87 19.53 = A2 27.47 3.47 89.27
27.47 3.48 89.27 2.49 10.28 0.68 74.25 3.22 103 .5 7.65 98.25 8.32 0.26 7.65 0.74 7.97 98.25 8.32 243
53.87 19.53 = A3 27.47 3.47 89.27
2.89
Determinan matriks [A2] = 22.4
Nilai T =
A1 A0
T = 0.027
Nilai S =
A2 A0
S = 0.051
Nilai
R=
A3 A0
R = 0.023
3.48 89.27 35 2.49 0.68 74.25 10.28 3.22 7.65 98.25 8.32 0.68 0.26 0.74 74.25 7.97 8.32 243 19.53 2.89
Determinan matriks [A3] = 0.858
Sehingga parameter kisi a
2 T
a 2.664 Å
Sehingga parameter kisi b
2 S b 3.412 Å
Sehingga parameter kisi c
2 R c 5.108 Å
61
62
Lampiran 5 Penentuan energi gap BST Penentuan energi gap BST (tanpa dopant) menggunakan metode Tauc Plot Panjang gelombang (nm)
Absorbansi (a.u.)
Ketebalan ( 10-5 cm)
Energi foton (eV)*
Koefisien absorpsi (104 cm-1)
αhν (10 cm-1 eV)
(αhν)2 (10 cm-2 eV2)**
402.92 407.42 412.32 418.85 422.52 426.18 429.83 433.49 437.34 440.78 444.43 448.06 451.70 455.33 458.95 462.57 466.19 469.81 473.41 477.02 480.62 484.22 487.81 491.40 494.98 496.78
0.98 0.96 0.90 0.78 0.71 0.65 0.59 0.54 0.49 0.44 0.40 0.36 0.32 0.29 0.26 0.23 0.20 0.18 0.16 0.15 0.14 0.12 0.11 0.10 0.09 0.09
7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41 7.41
3.08 3.05 3.01 2.97 2.94 2.92 2.89 2.87 2.84 2.82 2.80 2.77 2.75 2.73 2.71 2.69 2.66 2.64 2.62 2.60 2.58 2.57 2.55 2.53 2.51 2.50
3.06 2.97 2.79 2.42 2.19 2.01 1.83 1.68 1.51 1.37 1.23 1.12 1.00 0.89 0.79 0.71 0.63 0.57 0.51 0.46 0.42 0.38 0.35 0.32 0.29 0.28
9.42 9.07 8.39 7.18 6.45 5.87 5.28 4.80 4.28 3.86 3.44 3.10 2.75 2.43 2.15 1.90 1.69 1.50 1.34 1.21 1.08 0.98 0.89 0.81 0.73 0.70
8.88 8.23 7.04 5.16 4.16 3.45 2.79 2.31 1.83 1.49 1.18 0.96 0.76 0.59 0.46 0.36 0.29 0.23 0.18 0.15 0.12 0.10 0.08 0.07 0.05 0.05
A** sebagai sumbu x
A** sebagai sumbu y
4
9
Lampiran 6 Penentuan energi gap CuO Penentuan energi gap CuO suhu annealing menggunakan metode Tauc Plot Panjang gelombang (nm) 380.12 386.09 392.26 398.41 404.56 410.69 416.81 422.92 429.02 435.11 441.19 447.26 453.31 459.36 465.39 471.41 477.42 483.42 489.41 495.38 501.35 509.28 515.22 521.14 527.06 532.37
A** sebagai sumbu x
Absorbansi (a.u.)
Ketebalan ( 10-4 cm)
0.22 0.23 0.24 0.24 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.24 0.24 0.24 0.23 0.23 0.22 0.21 0.21 0.20 0.20 0.19
Energi foton (eV)* 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16 1.16
3.27 3.22 3.17 3.12 3.07 3.03 2.98 2.94 2.90 2.86 2.82 2.78 2.74 2.70 2.67 2.64 2.60 2.57 2.54 2.51 2.48 2.44 2.41 2.38 2.36 2.33
Koefisien absorpsi (103 cm-1)
αhν (10 cm-1 eV) 4
4.30 4.58 4.74 4.83 4.87 4.95 4.99 5.03 5.03 5.03 5.01 5.01 4.97 4.93 4.87 4.79 4.72 4.66 4.56 4.48 4.38 4.22 4.12 4.00 3.88 3.78
1.41 1.47 1.50 1.51 1.50 1.50 1.49 1.48 1.46 1.44 1.41 1.39 1.36 1.33 1.30 1.26 1.23 1.20 1.16 1.12 1.09 1.03 0.99 0.95 0.92 0.88
(αhν)2 (10 cm-2 eV2)** 9
1.97 2.17 2.25 2.27 2.24 2.25 2.21 2.19 2.12 2.06 1.99 1.94 1.86 1.78 1.69 1.60 1.51 1.43 1.34 1.26 1.18 1.06 0.99 0.91 0.84 0.78
A** sebagai sumbu
63
64 Lampiran 7 Penentuan ukuran kristal Ukuran kristal BST λ = 1.5406 Å K=1 Puncak dengan orientasi bidang (110) Film tipis BST FWHM = 0.29
L
K B rad cos B
1 1.5406 x 10 10 m 0.005 cos 32.04
Film tipis BLST FWHM = 0.32
L
31.67 nm
K B rad cos B
1 1.5406 x 10 10 m 0.006 cos 32.02
Film tipis BCST FWHM = 0.16
L
28.69 nm
K B rad cos B
1 1.5406 x 10 10 m 0.003cos 32.02
57.39 nm
Ukuran kristal CuO λ = 1.5406 Å K=1 Puncak dengan orientasi bidang (111) Film tipis CuO annealing 350 °C FWHM = 0.34
L
K B rad cos B
1 1.5406 x 10 10 m 0.005 cos 17.78
27.63 nm
Film tipis CuO annealing 450 °C FWHM = 0.38
L
K B rad cos B
1 1.5406 x 10 10 m 0.007 cos 17.78
24.39 nm
Film tipis CuO annealing 550 °C FWHM = 0.41
L
K B rad cos B
1 1.5406 x 10 10 m 0.007 cos 17.78
22.61 nm
65 Lampiran 8 Data fotokonduktivitas sel surya (3 lapisan CuO) Data fotokonduktivitas sel surya BLST/CuO (3 lapisan CuO) A Intensitas Konduktivitas listrik (10-7 S·cm-1) Cahaya (lux) Litium 0% Litium 1% Litium 3% Litium 5% 1000 2.76 2.29 1.69 3.67 2000 3.30 2.77 2.05 4.34 3000 3.91 3.32 2.47 4.52 4000 4.83 3.63 3.01 5.36 5000 5.71 4.11 3.50 6.19 6000 7.62 5.10 4.23 7.03 7000 9.42 5.29 4.71 8.07 8000 11.64 6.42 5.85 9.74 9000 14.15 7.23 6.73 10.03 10000 15.50 8.26 7.68 10.45 11000 15.70 8.88 8.69 12.43 12000 16.01 9.50 9.25 13.64
Data fotokonduktivitas sel surya BCST/CuO (3 lapisan CuO) A Intensitas Konduktivitas listrik (10-7 S·cm-1) Cahaya (lux) Tembaga 0% Tembaga 1% Tembaga 3% Tembaga 5% 1000 2.35 2.62 1.78 3.24 2000 3.75 2.95 2.92 4.36 3000 3.83 3.72 2.67 4.66 4000 4.83 3.76 3.99 5.91 5000 5.42 4.26 3.87 6.53 6000 7.76 5.87 4.24 7.88 7000 9.26 5.53 4.97 8.83 8000 11.48 6.88 5.56 9.85 9000 14.82 7.10 6.63 10.11 10000 15.37 8.87 7.72 10.44 11000 15.86 8.11 8.83 12.73 12000 16.72 9.57 9.55 13.12
66 Lampiran 9 Data fotokonduktivitas sel surya (2 lapisan CuO) Data fotokonduktivitas sel surya BLST/CuO (2 lapisan CuO) A Intensitas Konduktivitas listrik (10-7 S·cm-1) Cahaya (lux) Litium 0% Litium 1% Litium 3% Litium 5% 1000 2.06 2.24 1.75 3.44 2000 3.10 2.78 2.12 4.12 3000 3.45 3.11 2.71 4.97 4000 4.45 3.83 3.51 5.34 5000 5.75 4.58 3.99 6.65 6000 7.46 5.45 4.54 7.19 7000 9.91 5.11 4.57 8.88 8000 11.55 6.68 5.48 9.19 9000 14.61 7.89 6.86 10.54 10000 15.46 8.21 7.61 10.12 11000 15.76 8.88 8.67 12.53 12000 16.77 9.35 9.12 13.32
Data fotokonduktivitas sel surya BCST/CuO (2 lapisan CuO) A Intensitas Konduktivitas listrik (10-7 S·cm-1) Cahaya (lux) Tembaga 0% Tembaga 1% Tembaga 3% Tembaga 5% 1000 2.88 2.56 1.92 3.67 2000 3.89 2.32 2.45 4.34 3000 3.26 3.65 2.85 4.52 4000 4.82 3.13 3.53 5.36 5000 5.23 4.14 3.50 6.19 6000 7.01 5.17 4.55 7.03 7000 9.41 5.18 4.91 8.07 8000 11.34 6.40 5.56 9.74 9000 14.89 7.67 6.92 10.03 10000 15.54 8.17 7.79 10.45 11000 15.73 8.78 8.64 12.43 12000 16.67 9.96 9.23 13.64
67 Lampiran 10 Data dan perhitungan fotovoltaik sel surya Sel Surya BST/CuO Tegangan (mV) 30 29.5 29 28 27 26 25 24 23 22 21 20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Tanpa kristal fotonik Rapat arus Rapat daya (10-2 mA·cm-2) (10-3 mW·cm-2 ) 0.00 0.02 0.06 0.09 0.32 0.28 0.96 0.62 2.23 0.86 3.18 1.19 4.56 1.39 5.57 1.63 6.80 1.68 7.32 1.64 7.46 1.78 8.50 1.87 9.34 1.76 9.27 1.87 10.38 1.77 10.43 1.77 11.05 1.63 10.86 1.59 11.36 1.68 12.94 1.45 12.10 1.39 12.63 1.23 12.29 1.12 12.45 0.98 12.22 0.90 12.85 0.82 13.61 0.63 12.68 0.50 12.38 0.38 12.51 0.25 12.71 0.13 12.71 0.00
Gandeng kristal fotonil Rapat arus Rapat daya (10-2 mA·cm-2) (10-3mW·cm-2 ) 0.00 0.14 0.46 0.27 0.92 0.58 1.99 1.02 3.63 1.35 4.98 1.50 5.76 1.65 6.58 1.84 7.67 1.98 8.62 1.97 8.96 1.97 9.40 2.11 10.56 2.05 10.77 2.10 11.69 2.00 11.74 2.04 12.75 1.87 12.46 1.78 12.68 1.59 12.24 1.61 13.40 1.47 13.33 1.33 13.29 1.22 13.59 1.08 13.52 0.96 13.65 0.83 13.81 0.70 13.98 0.54 13.60 0.42 13.95 0.27 13.31 0.14 13.81 0.00
Intensitas daya input (Pin) = 12000 lux ≈ 1.7 mW·cm-2 (555 nm) Luas kawat ukur (A) = 1 mm2 Persamaan garis dan data kuva mendapatkan nilai: Tanpa kristal fotonik Gandeng kristal fotonik
Voc = 30 mV Vmax = 14.1 mV Voc = 30 mV Vmax = 15.8 mV
Isc = 3.9 x 10-3 mA Imaks = 3.5 x 10-3 mA Isc = 4.3 x 10-6 mA Imaks = 3.8 x 10-3 mA
68 Sel Surya BLST/CuO Tegangan (mV) 60 58 57 55 53 51 49 47 45 43 39 37 35 33 31 29 27 25 23 21 19 17 15 13 11 9 7 5 3 0
Tanpa kristal fotonik Rapat arus Rapat daya (10-3 mA·cm-2) (10-4 mW·cm-2) 0.00 0.00 2.49 0.14 4.30 0.25 6.50 0.36 9.04 0.48 11.02 0.56 13.12 0.64 13.55 0.64 16.15 0.73 17.17 0.74 17.54 0.68 18.98 0.70 19.89 0.70 21.29 0.70 20.97 0.65 20.76 0.60 20.18 0.54 21.31 0.53 20.62 0.47 21.66 0.45 21.78 0.41 21.85 0.37 22.07 0.33 22.97 0.30 23.10 0.25 23.17 0.21 22.23 0.16 22.23 0.11 22.26 0.07 22.26 0.00
Gandeng kristal fotonil Rapat arus Rapat daya (10-3 mA·cm-2) (10-4mW·cm-2) 0.00 0.00 4.49 0.26 6.30 0.36 8.97 0.49 13.14 0.70 14.92 0.76 16.12 0.79 17.55 0.83 22.15 1.00 23.57 1.01 23.64 0.92 23.81 0.88 24.19 0.85 24.79 0.82 24.17 0.75 25.76 0.75 26.08 0.70 27.23 0.68 26.43 0.61 26.53 0.56 26.83 0.51 26.93 0.46 28.03 0.42 27.13 0.35 27.23 0.30 27.33 0.25 27.43 0.19 27.53 0.14 28.00 0.08 27.63 0.00
Intensitas daya input (Pin) = 12000 lux ≈ 1.7 mW·cm-2 (555 nm) Luas kawat ukur (A) = 1 mm2 Persamaan garis dan data kuva mendapatkan nilai: Tanpa kristal fotonik Gandeng kristal fotonik
Voc = 60 mV Vmax = 36.6 mV Voc = 60 mV Vmax = 39.2 mV
Isc = 8.68 x 10-6 mA Imaks = 5.89 x 10-3 mA Isc = 8.68 x 10-6 mA Imaks = 8.68 x 10-3 mA
69 Sel Surya BCST/CuO Tegangan (mV) 12.0 11.6 11.5 11.0 10.5 10.1 9.9 9.4 9.0 8.6 8.2 7.8 7.4 7.0 6.6 6.2 5.8 5.4 5.0 4.6 4.2 3.8 3.4 3.0 2.6 2.2 1.8 1.4 1.0 0.6 0.0
Tanpa kristal fotonik Rapat arus Rapat daya (10-3 mA·cm-2) (10-4 mW·cm-2 ) 0.00 0.00 2.23 4.78 4.62 8.44 6.50 9.36 9.14 12.01 11.02 13.57 13.12 15.99 14.55 17.10 16.15 19.01 17.17 19.71 17.68 20.64 18.54 21.40 18.34 21.53 19.59 22.45 20.29 23.47 20.67 23.54 20.76 24.27 20.54 24.04 21.31 24.17 21.62 24.49 21.66 24.81 22.39 25.25 22.71 25.57 23.34 26.21 22.71 25.89 23.38 26.24 23.69 27.52 23.98 26.85 25.10 26.37 25.45 28.31 25.45 28.31
Gandeng kristal fotonik Rapat arus Rapat daya (10-3 mA·cm-2) (10-4mW·cm-2 ) 0.00 0.00 0.03 0.30 0.05 0.61 0.07 0.79 0.10 1.01 0.11 1.12 0.13 1.29 0.14 1.29 0.15 1.31 0.15 1.27 0.14 1.19 0.14 1.13 0.14 1.00 0.14 0.96 0.13 0.88 0.13 0.79 0.12 0.70 0.11 0.60 0.11 0.53 0.10 0.46 0.09 0.38 0.09 0.32 0.08 0.26 0.07 0.21 0.06 0.15 0.05 0.11 0.04 0.08 0.03 0.05 0.03 0.03 0.02 0.01 0.00 0.00
Intensitas daya input (Pin) = 12000 lux ≈ 1.7 mW·cm-2 (555 nm) Luas kawat ukur (A) = 1 mm2 Persamaan garis dan data kuva mendapatkan nilai: Tanpa kristal fotonik Gandeng kristal fotonik
Voc = 12 mV Vmax = 8.42 mV Voc = 12 mV Vmax = 8.43 mV
Perhitungan parameter fotovoltaik
Isc = 8.89 x 10-4 mA Imaks = 5.2 x 10-4 mA Isc = 8.89 x 10-4 mA Imaks = 6.10 x 10-4 mA
70 1. Sel surya BST/CuO Tanpa kristal fotonik V I FF m aks m aks VOC I SC
14.1 mV 3.5 x 10 3 mA 30 mV 3.9 x 10 3 mA 0.422
Gandeng kristal fotonik V I FF ' m aks m aks VOC I SC
15 mV 3.8 x 10 3 mA 30 mV 4.34 x 10 3 mA 0.462
Pmaks A
1
Pin A 1
x 100%
1.57 x 10 3 mW cm 2 x 100 % 1.7 mW cm 2
0.092%
'
Pmaks A 1 Pin A 1
x 100 %
1.91 x 10 3 mW cm 2 x 100% 1.7 mW cm 2
0.112%
2. Sel surya BLST/CuO Tanpa kristal fotonik V I FF m aks m aks VOC I SC
36.6 mV 5.89 x 10 4 mA 60 mV 6.99 x 10 4 mA
0.513
Pmaks A
Gandeng kristal fotonik V I FF ' m aks m aks VOC I SC
39.2 mV 8.68 x 10 4 mA 60 mV 8.68 x 10 4 mA
0.653 1
Pin A 1
x 100%
'
Pmaks A 1 Pin A 1
x 100 %
6.86 x 10 3 mW cm 2 x 100 % 1.7 mW cm 2
1.08 x 10 3 mW cm 2 x 100 % 1.7 mW cm 2
0.040%
0.064%
3. Sel surya BCST/CuO Tanpa kristal fotonik V I FF m aks m aks VOC I SC
8.42 mV 5.20 x 10 4 mA 12 mV 7.99 x 10 4 mA 0.457
Pmaks A
8.43 mV 6.10 x 10 4 mA 12 mV 8.89 x 10 4 mA 0.482
1
Pin A 1
x 100%
1.39 x 10 4 mW cm 2 x 100 % 1.7 mW cm 2
0.008%
Gandeng kristal fotonik V I FF ' m aks m aks VOC I SC
'
Pmaks A 1 Pin A 1
x 100 %
1.64 x 10 4 mW cm 2 x 100 % 1.7 mW cm 2
0.009%
71
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Watampone pada tanggal 6 januari 1987 sebagai anak kedua dari pasangan Abdul Azis Ibrahim dan Ira Saturi. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB, lulus pada tahun 2011. Pada tahun 2013, penulis diterima di Program Studi Biofisika pada Program Pascasarjana IPB. Penulis bekerja sebagai instruktur olimpiade sains fisika di LP3 Diagnostiq dan pengajar fisika di Bintang Pelajar. Selama mengikuti program pascasarjana Magister Sains, penulis telah menyajikan karya ilmiah yang berjudul Preparation and Optical Properties Study of CuO Thin Film as Applied Solar Cell on LAPANIPB Satellite di acara The 2nd International Symposium on LAPAN-IPB Satellite for Food Security and Environmental Monitoring 2015 (LISAT-FSEM 2015) pada tahun 2015. Selain itu, karya ilmiah lain yang berjudul Optimization of BST/CuO Solar Cell Efficiency Coupled to Photonic Crystal akan diterbitkan pada Journal Modern of Optics pada tahun 2016. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari tesis penulis.