SIMULASI PERAMBATAN GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK DALAM KRISTAL FOTONIK SATU DIMENSI DENGAN TIGA DEFEK DAN APLIKASINYA SEBAGAI SENSOR OPTIK
TEGUH PUJA NEGARA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Simulasi Perambatan Gelombang Elektromagnetik dalam Kristal Fotonik Satu Dimensi dengan Tiga Defek dan Aplikasinya Sebagai Sensor Optik adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Desember 2009
Teguh Puja Negara NRP G751070091
i
ABSTRACT TEGUH PUJA NEGARA. Study of Electromagnetic Wave Propagation in One Dimensional Photonic Crystal with Three Defect and Its Application for Optical Sensor. Under direction of HUSIN ALATAS dan IRZAMAN.
A numerical analysis by means of transfer matrix method has been performed of finite one-dimensional photonic crystals consisting of two-layer repeated cells and three non-identical defect cells for the normal incident transferse electric (TE) wave. The study reveals a remarkable new feature showing that transmittance peak of the resonance state is affected by the refractive index of the second and three defect while its position can be adjusted by changing the first defect refrective index. It is also shown that the photonic passband (PPB) peak transmittance is generally less than unity in the index range considered, except for the case with the grating segment lengths (M, N, L, R) satisfying the condition M+L+1=N+R. We found that sensitivity of the output response is affected by the second defect which inturn can be controlled by the third defect. Therefore the sensitivity can be adjusted simply by varying the refractive index of third defect. This feature offers interesting application for optical sensing device. Keywords : photonic pass-band, defect cells, transfer matrix method
ABSTRAK TEGUH PUJA NEGARA. Simulasi Gelombang Elektromagnetik dalam Kristal Fotonik Satu Dimensi dengan Tiga Defek dan Aplikasinya Sebagai Sensor Optik. Dibimbing oleh HUSIN ALATAS dan. IRZAMAN Telah dilakukan simulasi numerik melalui metode matriks transfer terhadap perambatan gelombang listrik transversal pada kristal fotonik satu dimensi yang terdiri atas empat buah segemen kisi regular yang diselingi dengan tiga buah lapisan defek. Hasil studi menunjukkan bahwa puncak transmitansi pada keadaan resonansi dipengaruhi oleh indeks bias defek kedua dan ketiga, sedangkan posisinya dapat diatur dengan mengubah indeks bias defek pertama. Puncak transmitansi pita lewat fotonik (photonic pass-band, PPB) secara umum lebih rendah dari satu kecuali untuk kasus dengan jumlah unit kisi segmen (M,N,L,R) memenuhi kondisi M+L+1=N+R. Diperoleh bahwa sensitifvitas perubahan transmitansi PPB dapat dikontrol dengan memvariasikan indeks bias defek kedua Hasil ini memiliki potensi untuk diaplikasikan sebagai sensor optik dengan sensitivitas terkontrol.
Kata kunci : pita fotonik, kristal fotonik dengan sel defek, metode matriks transfer
ii
RINGKASAN TEGUH PUJA NEGARA. Simulasi Gelombang Elektromagnetik dalam Kristal Fotonik Satu Dimensi dengan Tiga Defek dan Aplikasinya Sebagai Sensor Optik. Dibimbing oleh HUSIN ALATAS dan IRZAMAN. Berdasarkan hasil simulasi didapatkan bahwa kristal fotonik satu dimensi dengan tiga defek menghasilkan pita-lewat fotonik (photonic pass band, PPB) yang karakteristiknya dipengaruhi oleh parameter fisis (ketebalan dan indeks bias defek) dan sudut datang terhadap arah normal bidang. Perubahan indeks bias pada defek pertama dapat mempengaruhi puncak panjang gelombang (frekuensi) dari PPB, sehingga defek pertama dapat berfungsi sebagai regulator posisi. Pergeseran panjang gelombang terhadap perubahan indeks bias pada defek pertama menghasilkan hubungan yang linier sehingga dapat digunakan sebagai sensor. Untuk perubahan indeks bias defek kedua dan ketiga memberikan efek yang sama terhadap peak transmitansi, akan tetapi perubahan indeks bias pada defek kedua memberikan respon yang lebih sensitif dibandingkan defek ketiga, sehingga defek kedua dapat berfungsi sebagai reseptor. Sensitifitas dari defek kedua dapat dipengaruhi oleh parameter fisis, seperti jumlah lapisan (M-N-L-R), ketebalan defek kedua, serta indeks bias defek ketiga. Kontrol sensitifitas dengan variasi indeks bias defek ketiga lebih mudah dilakukan, sehingga defek ketiga dapat berfungsi sebagai regulator sensitifitas.
Kata kunci : : pita fotonik, kristal fotonik dengan lapisan defek, metode matriks transfer
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pandidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
SIMULASI PERAMBATAN GELOMBANG ELEKTROMAGNETIK DALAM KRISTAL FOTONIK SATU DIMENSI DENGAN TIGA DEFEK DAN APLIKASINYA SEBAGAI SENSOR OPTIK
TEGUH PUJA NEGARA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memeperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biofisika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Halaman Pengesahan Judul Tesis
Nama NRP
: Simulasi perambatan Gelombang Elektromagnetik dalam Kristal Fotonik satu Dimensi dengan Tiga Defek dan Aplikasinya Sebagai Sensor Optik : Teguh Puja negara : G751070091
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Husin Alatas Ketua
Dr. Irzaman Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Biofisika
Dr.Akhiruddin Maddu
Tanggal Ujian: 3 desember 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir.Khairil A. Notodiputro, M.S
Tanggal Lulus:
Penguji Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Irmansyah
iv
KATA PENGANTAR
Assalamualikum Wr.Wb Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas segala rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Simulasi Perambatan Gelombang Elektromagnetik dalam Kristal Fotonik satu Dimensi dengan Tiga Defek dan Aplikasinya Sebagai Sensor Optik. Penelitian ini sebagai salah satu
syarat kelulusan program pascasarjana di Departemen
Biofisika Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis ucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, kakak dan saudarasaudara penulis yang selalu memberikan doa, nasehat
dan semangat kepada
penulis. Kepada Bapak Dr. Husin Alatas sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Irzaman sebagai anggota komisi pembimbing yang selalu memberikan motivasi untuk segera menyelesaikan penelitian ini. Kepada Bapak Hendradi Hardhienata, M.Si yang telah memberikan saran dan menyempatkan waktunya untuk berdiskusi mengenai penelitian ini. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada kepada DIKTI karena penelitian ini didanai sepenuhnya melalui program beasiswa unggulan. Akhir kata, semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat untuk kita semua. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk kemajuan dari aplikasi material yang dikembangkan ini. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan karunianya untuk kita semua. Amiin.
Bogor, Desember 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 19 Januari 1984 dari pasangan alm. Bapak Hasannudin dan Ibu Maryati. Penulis merupakan putra kedua dari empat bersaudara. Penulis menempuh pendidikan di SD N 03Jakarta (1990 – 1996), SLTP N 134 jakarta (1996 – 1999), SMUN 112 Jakarta (1999 – 2002) dan tahun 2002 penulis masuk ke Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor melalui SPMB. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan sebagai mahasiswa Pascasarjana pada Program Studi Biofisika Institut Pertanian Bogor. Penulis aktif dalam kegiatan mengajar seperti: guru matematika Yayasan Eka Wijaya Cibinong, Guru Fisika MAN 2 Bogor, dan dosen Universitas Pakuan untuk mata kuliah: Fisika dasar, Elektronika, Dasar-dasar Instrumentasi, serta Sistem digital. Penelitian yang telah dilakukan telah menghasilkan beberapa prosiding internasional maupun nasional, diantaranya: International Conference on Mathematics and Natural Science (ICMNS), International Conference on Instrumentation Communication and Information Technology (ICICI), dan Seminar Sains Nasional (SNS) IPB.
v
vi
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL.........................................................................................viii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................ix DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................xiii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1 Latar belakang............................................................................................ 1 1.2 Tujuan Penelitian .......................................................................................3 1.3 Perumusan Masalah ...................................................................................3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................4 2.1 Kristal Fotonik ...........................................................................................4 2.2 Formulasi Matematika ...............................................................................5 2.3 Metode Matriks Transfer ...........................................................................8 2.4 Distribusi Medan lapisan Defek...............................................................10 2.5 Katakteristik Transmitansi dalam PBG....................................................12 2.6 Model Kristal Fotonik ..............................................................................16 2.7 Divais Sensing..........................................................................................18 BAB III METODOLOGI PENELITIAN.......................................................20 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................................20 3.2 Alat dan Bahan.........................................................................................20 3.3 Prosedur Penelitian ..................................................................................20 3.3.1 Studi Pustaka ...............................................................................20 3.3.2 Pembuatan Program.....................................................................20 3.3.3 Analisis Output ............................................................................19 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................21 4.1 Profil PPB Terkait dengan Variasi Jumlah Lapisan Bragg......................20 4.2 Profil PPB Terkait dengan Variasi Ketebalan Lapisan Defek (Physical Thickness) ................................................................................24 4.3 Profil PPB Terkait dengan Variasi Ketebalan optik Lapisan Defek (Optical Thickness) ..................................................................................27 4.4 Profil PPB Terkait dengan Sudut Datang ................................................29 4.5 Profil PPB Terkait dengan Variasi Indeks Bias Defek Pertama ..............31 4.6 Profil PPB Terkait dengan Variasi Indeks Bias Defek Kedua dan Defek Ketiga ............................................................................................32 4.7 Profil Distribusi Medan dalam Kristal Fotonik........................................36
vii
Halaman 4.8 Optimasi Hasil..........................................................................................40 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................43 5.1 Kesimpulan ..............................................................................................43 5.2 Saran.........................................................................................................43 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................44
viii
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Analogi persamaan nilai-Eigen untuk elektron dan foton................................6 2 Ciri buah manggis berdsarkan perbedaan warna ...........................................13 2 Nilai indeks bias material...............................................................................18
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Kristal fotonik satu, dua, dan tiga dimensi.......................................................5 2 Vektor gelombang TE pada medium ...............................................................8 3 Modus yang terbentuk pada kristal fotonik satu dimensi (a) level energi diskrit yang terjadi dalam PBG (b) distribusi medan listrik yang dihitung untuk tiga modus defek ...........................................................10 4 Distribusi medan dalam defek........................................................................11 5 Respon PPB pada (a) defek pertama (b) defek kedua....................................12 6 Add/dropp multiplexer menggunakan Fiber Bragg Grating (FBG) ...............14 7 Puncak transmisi untuk kristal fotonik tiga lapisan periodik dengan nilai
Δn yang berbeda.............................................................................................14 8 (a) Diagram elemen sensing yang telah diajukan (b) Set up proses sensitifitas sensor absorbsi struktur nano yang diprediksikan dan digunakan untuk menguji air..........................................................................15 9 Model kristal fotonik dengan tiga lapisan defek sebagai sensor optik...........16 10 Divais sensor menggunakan kristal fotonik .................................................18 11 Profil transmitansi terhadap panjang gelombang λ ( λ = 2π c / ω ) dengan jumlah lapisan M-N-L-R=6-8-2-1 dan ketebalan lapisan defek d d 1 = d d 2 = d d 3 = 7.6λ0 / 4 ..................................................................21 12 Profil transmitansi terhadap panjang gelombang λ ( λ = 2π c / ω ) dengan variasi jumlah lapisan Bragg: merah (4-6-2-1), biru (4-5-2-1), hitam (4-7-2-1) .............................................................................................22 13 Profil transmitansi terhadap panjang gelombang λ ( λ = 2π c / ω ) dengan variasi jumlah lapisan yang memenuhi M+L+1=N+R: merah (3-5-2-1) biru (4-6-2-1), hitam (6-8-2-1) ..........................................23 14 Plot hubungan nilai FWHM dari PPB terhadap konfigurasi M-N-L-R yang memenuhi M+L+1=N+R ....................................................................23 15 Profil transmitansi terhadap panjang gelombang λ ( λ = 2π c / ω ) terkait
x
Halaman variasi ketebalan lapisan defek untuk konfigurasi 6-8-2-1: (m=2.0), biru(m=2.2), hitam (m=2.8).........................................................................24 16 (a) Profil transmitansi terhadap panjang gelombang λ ( λ = 2π c / ω ) dengan konfigurasi 6-8-2-1 dan ketebalan lapisan 7.2λ0/4 (b) Plot hubungan lebar ketiga defek (m) terhadap jarak antara dua PPB ( Δλ ) pada konfigirasi 6-8-2-1 ..............................................................................25 17 Profil transmitansi terhadap panjang gelombang λ , ( λ = 2π c / ω ) dengan konfigurasi 4-6-2-1 dan variasi ketebalan (a) lapisan defek pertama (b) lapisan defek kedua (c) lapisan defek ketiga: merah ( d d = λ0 / 4 ), biru ( d d = 2λ0 / 4 ), hitam d d = 3λ0 / 4 ...................................26 18 Profil transmitansi terhadap panjang gelombang λ , ( λ = 2π c / ω ) dengan variasi ketebalan optik ketiga lapisan defek (a) m=bilangan genap: merah (m=2), biru (m=4), hitam (m=6) (b) m=bilangan ganjil: merah (m=1), biru (m=3), hitam (m=5) untuk konfigurasi 4-6-2-1 ............27 19 Plot hubungan kelipatan tebal lapisan optik ketiga defek terhadap λ ..........28 20 Profil transmitansi terhadap panjang gelombang λ ( λ = 2π c / ω ) dengan variasi ketebalan lapisan optik (a) pada lapisan defek pertama (b) pada lapisan defek kedua (c) pada lapisan defek ketiga untuk sistem 4-6-2-1 : merah (m=2), biru (m=4), hitam (m=4)..........................................29 21 (a) Profil transmitansi terhadap panjang gelombang λ ( λ = 2π c / ω ) terkait variasi sudut dating : merah ( θ 0 = 00 ), biru ( θ 0 = 300 ), hitam ( θ 0 = 450 ) (b) Plot hubungan variasi sudut datang terhadap puncak panjang gelombang untuk konfigurasi sistem 4-6-2-1 ....................30 22 Profil transmitansi terhadap panjang gelombang λ ( λ = 2π c / ω ) terkait indeks bias lapisan defek pertama : merah ( nd 1 = 2.1 ), biru ( nd 1 = 2.2 ), hitam ( nd 1 = 2.2 ) (a) untuk konfigurasi 4-6-2-1 (b) konfigurasi 6-8-2-1 ...31 23 Plot hubungan panjang gelombang puncak terhadap variasi indeks
xi
Halaman lapisan defek pertama untuk konfigurasi 4-6-2-1 (biru) dan 6-8-2-1(hitam) ..............................................................................................32 24 Profil transmitansi terhadap panjang gelombang terkait indeks bias (a) lapisan defek kedua : merah ( nd 2 = 2.1 ), biru ( nd 2 = 1.45 ), hitam ( nd 2 = 1.33 ) (b) lapisan defek ketiga: merah ( nd 3 = 2.1 ), biru ( nd 3 = 1.45 ), hitam.................................................................................33 25 (a) Plot hubungan indeks bias defek kedua terhadap puncak transmitansi (b) Plot hubungan indeks bias defek ketiga terhadap puncak transmitansi .34 26 Perbandingan sensitifitas untuk sistem dua defek dengan tiga defek (a) 2-4-2-1 dengan 2-4-2 (b) 4-6-2-1 dengan 4-6-2 .....................................35 27 Profil transmitansi terhadap panjang gelombang λ ( λ = 2π c / ω ) terkait variasi indeks bias lapisan defek pertama (a) untuk konfigurasi 4-6-2-1 (b) untuk konfigurasi 6-8-2-1 : merah ( nd 1 = 2.1 ), biru ( nd 1 = 2.2 ), hitam ( nd 1 = 2.2 ) ........................................................................................35 28 Distribusi medan dalam PPB dengan (a) nd 1 = nd 2 = nd 3 = 2.1 dan (b) nd 2 = 2.5 (c) nd 3 = 2.5 untuk konfigurasi 6-8-2-1 ................................36 29 Distribusi medan dalam PPB dengan (a) M-N-L-R=1-2-8-6 dan (b) M-N-L-R=4-6-2-1 ...................................................................................37 30 Distribusi medan dalam PPB untuk variasi lebar ketiga defek (a) 3λ0 / 4 dan (b) 4λ0 / 4 ................................................................................................38
31 Distribusi medan dalam PPB dengan variasi sudut datang (a) 300 dan (b) 450 ...........................................................................................................39 32 Profil tiga dimensi distribusi medan dalam PPB dengan (a) nd 3 = 2.1 dan (b) nd 3 = 2.5 ..........................................................................................39 33 (a) Plot hubungan indeks bias defek kedua terhadap puncak transmitansi dengan variasi indeks bias defek ketiga ( nd 3 = 2.1 ), biru ( nd 3 = 2.0 ), hitam ( nd 3 = 1.9 ) (b) plot sensitifitas lapisan defek kedua terhadap
xii
Halaman variasi defek ketiga .....................................................................................40 34 Plot hubungan indeks bias defek kedua terhadap puncak transmitansi dengan variasi ketebalan lapisan defek kedua: merah ( nd 3 = 2.1 ), biru ( nd 3 = 2.0 ), hitam ( nd 3 = 1.9 ) ..............................................................41 35 Plot hubungan indeks bias defek kedua terhadap puncak transmitansi dengan variasi sudut datang .........................................................................42
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Tahapan penelitian secara lengkap................................................................42 2 Penurunan persamaan nilai Eigen ..................................................................43 3 Program Matlab untuk Kurva Transmitansi...................................................51 4 Program Matlab untuk Distribusi Medan.......................................................54 5 Program Matlab untuk Kurva Indeks Bias.....................................................63
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam sistem telekomunikasi, keterbatasan utama yang sudah menjadi masalah umum adalah spektrum dan lebar-pita. Namun adanya keterbatasan tersebut tidak selalu berdampak buruk, khususnya pada perkembangan di bidang telekomunikasi karena mendorong lahirnya teknologi-teknologi terbaru. Meski selama berabad-aba cahaya telah menjadi alat penting dalam perkembangan teknologi, baru pada era 50-an setelah ditemukan transistor dan laser, manusia mulai melihat bahwa cahaya yang koheren dari laser mempunyai potensi aplikasi yang luar biasa untuk diterapkan dalam bidang komunikasi, pengolahan informasi, pengobatan, kedokteran, pengukuran, pengolahan material, pertahanan militer, dan lain sebagainya. Dipicu oleh penemuan laser dan potensinya tersebut, orang mulai tergoda untuk mengganti teknologi elektronik dengan teknologi optik (fotonik), yang ditandai dengan munculnya serat optik, WDM (Wavelength Division Multiplexing), fotodioda, modulator, dll. Semua teknologi optik tersebut menjanjikan adanya peningkatan dalam lebar-pita, kemampuan pengolahan dan penyimpanan informasi, dan sensor dengan sensitivitas yang tinggi. Pada tahun 80-an, telah dilakukan studi untuk memanipulasi foton, kuanta dari cahaya, dengan cara yang sama seperti semikonduktor mengendalikan elektron agar tercipta ”semikonduktor cahaya”. Alasannya sederhana, dibalik pengembangan ini kecepatan informasi yang dibawa akan meningkat pesat tak terbayangkan. Baru pada tahun 1987, Yablonovitch dan John di dalam paper mereka yang diterbitkan di jurnal bergengsi (Phys. Rev. Lett. 58, 2486 dan Phys. Rev. Lett. 58, 2059) menggunakan istilah Photonic Crystal atau Kristal Fotonik untuk semikonduktor cahaya tersebut. Dasar pemikiran Yablonovicth dan John adalah
terdapat analogi antara
karakteristik gelombang elektomagnetik struktur dielektrik periodik dengan gelombang elektron dalam kristal alami. Kristal fotonik secara teoritis dianalisis menggunakan solusi dari persamaan Maxwell dalam medium periodik sedangkan struktur elektronik dari kristal alami dianalisis melalui persamaan Schrodinger. Akan tetapi, terdapat analogi yang tidak lengkap, contohnya terdapat perbedaan pada struktur pita fotonik pada kristal fotonik dan pita elektronik pada semikonduktor, karena elektron bermassa sedangkan foton tidak. Oleh karena itu, relasi dispersi yang merupakan hubungan antara
2
vektor gelombang dan frekuensi untuk elektron adalah parabolik, sedangkan dalam fotonik adalah linear. Elektron memiliki spin 1/2, tetapi seringkali diabaikan dalam persamaan Schrodinger sehingga dibentuk aproksimasi gelombang skalar. Sebaliknya, foton memiliki spin 1, tetapi untuk sistem dua dan tiga dimensi tidak dilakukan aproksimasi sehingga tidak mengabaikan polarisasi dalam perhitungan kristal fotonik (K. Sevim, 2004).
Hal inilah yang mendasari Yablonovitch sehingga dapat berasumsi bahwa studi mengenai kristal fotonik dapat dilakukan dengan cara yang sama menggunakan cahaya. Seperti halnya semikonduktor yang memiliki pita-terlarang elektronik (electronic band-gap) pada tingkatan energi elektron, maka terdapat kemungkinan untuk membuat struktur dielektrik periodik yang memiliki pita-terlarang fotonik (photonic band-gap, PBG) dari frekuensi dimana tidak ada foton yang masuk atau merambat kedalam kristal. Ide inilah yang mendasari diusulkannya struktur kristal fotonik yang memiliki konstanta dielektrik termodulasi secara periodik dengan konstanta kisi sebanding terhadap panjang gelombang yang diinginkan. Struktur kristal fotonik terdiri atas susunan periodik dua atau lebih bahan dielektrik transparan dan non-dispersif dengan indeks bias berbeda dan ketebalan dalam panjang gelombang operasi (C. Sibilia, 2008). Meskipun aktivitas penelitian meningkat untuk kristal fotonik dengan dimensi yang tinggi, sistem satu dimensi tetap merupakan sebuah subjek yang sangat penting karena kesederhanaannya dari segi teori, komputasi maupun fabrikasi. Fabrikasi Kristal fotonik satu-dimensi telah umum dilakukan menggunakan medium dielektrik seperti TiO2, SiO2, dan CdS (H.Alatas et al, 2006). Karakteristik transmitansi dalam kristal fotonik satu dimensi dengan atau tanpa lapisan defek telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai divais optik, seperti: waveguide, filter, optical switches, distributed Bragg reflector (DBR), dan sensor. Pada penelitian ini, studi mengenai kristal fotonik satu dimensi dibatasi dan mengarah pada aplikasi sensor. Meskipun fenomena pada kristal fotonik satu dimensi telah banyak dikembangkan untuk sensor, seperti pergeseran fase pada pita-sisi fotonik (photonic band-edge, PBE) (A. O. Cakmak, 2005) dan pergeseran fase pada pita-lewat fotonik (photonic pass-band, PPB) (A. Banerjee, 2009), penelitian ini menggunakan sudut pandang yang berbeda, yakni perubahan transmitansi dari PPB.
3
Dalam penelitian ini, metode matriks transfer digunakan untuk melihat pola transmitansi dan distribusi medan yang terjadi dalam kristal fotonik dengan tiga lapisan defek. Perubahan pada transmitansi puncak sebagai respon atas perubahan parameter yang mempengaruhinya dianalisis dalam upaya mencari kondisi optimal agar sistem yang digunakan dapat diaplikasikan sebagai divais sensor dan filter panjang gelombang. Selanjutnya, optimalisasi sensitivitas dari divais terkait merupakan tahap terakhir yang penting sebelum fabrikasi dibuat.
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengetahui mempelajari karakteristik struktur kristal fotonik dengan defek ketiga dalam kristal fotonik satu dimensi terkait potensinya sebagai sensor optik. Secara khusus diteliti efek dari perubahan masingmasing lapisan defek terhadap transmitansi dari pita-lewat fotonik (photonic pass band, PPB). Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperoleh gambaran secara umum tentang fenomena yang terjadi pada kristal fotonik satu dimensi dengan tiga defek yang dapat diaplikasikan pada divais sensor dan filter panjang gelombang.
1.3 Perumusan Masalah Masalah penelitian ini difokuskan pada kajian teoritis tentang karakteristik PPB terhadap perubahan beberapa parameter fisis seperti lebar defek, indeks bias defek serta sudut datang untuk kristal fotonik dengan tiga defek tersebut. Respon PPB pada masing-masing defek dianalisis dalam upaya melihat fenomena yang memiliki potensi untuk dikembangkan kearah sensor. Sensitivitas transmitansi PPB sebagai respon dari perubahan indeks bias defek kedua untuk kasus kristal fotonik dengan tiga defek dapat dibandingkan dengan kristal fotonik dua defek. Berdasarkan karakteristik transmitansi PPB yang diperoleh dapat dilakukan optimasi ketebalan optik dari salah satu dari ketiga defek untuk memperoleh struktur dengan sensifitas yang tinggi.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kristal Fotonik Kristal fotonik satu dimensi yang pertama kali dipelajari oleh Lord Rayleigh tahun 1887 adalah struktur metalik atau periodik yang didesain untuk mengontrol perambatan cahaya. Ia telah menunjukkan bahwa perambatan cahaya bergantung pada sudut dan terlarang untuk range frekuensi tertentu. Banyak divais optoelektronik menggunakan kristal fotonik satu dimensi sebagai filter frekuensi atau cermin dielektrik (Kurt.H, 2006). Dengan kristal fotonik, seseorang dapat memanipulasi foton dengan cara yang menakjubkan karena memiliki sifat absorbsi yang sangat rendah pada frekuensi berapapun dan hal itu menjadikannya bahan yang baik yang dapat digunakan dalam laser dan telekomunikasi optik. Dengan menggunakan suatu cacat (defect), seseorang dapat memandu cahaya dengan berbagai cara, termasuk pembelokkan atau pelengkungan tajam. Bahkan lebih hebatnya lagi, seseorang dapat memerangkap cahaya dengan menggunakan suatu rongga yang sempit (microcavity), dimana cahaya tidak dapat lolos. Ketika cahaya mengenai lapisan, masing-masing permukaan merefleksikan sebagian dari medan. Jika ketebalan dari masing-masing lapisan dipilih untuk nilai yang sesuai, medan yang direfleksikan akan berkombinasi di dalam fase, menghasilkan interferensi konstruktif, dan reflektansi yang kuat, yang disebut sebagai refleksi Bragg. Telah dibuktikan bahwa hamburan Bragg dalam struktur dielektrik periodik menjadi penyebab munculnya PBG. Ketika periodisitasnya dirusak oleh adanya defek dalam kristal fotonik, lokalisasi modus defek akan muncul di dalam PBG karena perubahan interferensi dari cahaya yang disebut PPB (O. Schmidt et.al, 2007).
Dalam kasus kristal fotonik satu dimensi, dimana medium dielektrik memiliki indeks bias positif (disebut juga right-handed material), telah diketahui bahwa perubahan cahaya datang dari normal hingga membentuk sudut, panjang optik efektif dari semua lapisan medium termasuk lapisan defek menjadi tereduksi. Inilah pengaruh kuat timbulnya proses interferensi dalam kristal fotonik dan kemudian menyebabkan PBG dan PPB bergeser ke frekuensi yang lebih tinggi. Karena alasan
5
ini, fenomena PBG telah digunakan untuk cermin dielektrik hanya pada batas range frekuensi yang sempit untuk sudut tertentu atau sampai range sudut tertentu, sedangkan pada PPB telah digunakan untuk filter hanya pada batas insiden normal (Kun-yuan Xu et al, 2005). Untuk kristal fotonik satu dimensi dengan satu defek asimetrik, telah ditunjukkan bahwa puncak dari PPB bisa divariasikan oleh perubahan indeks bias medium luar (background) dengan tanpa perubahan dalam posisi (H. Mayditia et al, 2006). Secara numerik, telah ditunjukkan pula efek yang sama tetapi lebih fleksibel terdapat pada kristal fotonik satu dimensi dengan dua defek. Sifat dari PPB ini bisa diaplikasikan untuk membangun filter frekuensi dan divais sensor.
Gambar 1 Kristal fotonik satu, dua, dan tiga dimensi (C. Sibilia, 2005) Penelitian tentang kristal fotonik satu dimensi telah berkembang pesat tidak hanya terbatas pada material dielektrik. Sampai saat ini, telah banyak digunakan bahan metal yang transparan (metallo-dielectric) untuk manghasilkan transmisi maksimum pada semua range panjang gelombang, dari ultra-violet (UV) hingga gelombang radio (microwave). PPB yang dihasilkan menggunakan bahan metallo dielectric lebih baik dari segi transmisi dibandingkan semua bahan dielektrik (alldielectric) sehingga cocok digunakan sebagai filter untuk range yang panjang (Z. Jaksic, 2004).
2.2 Formulasi Matematika Pencarian metode terbaik untuk mengontrol perambatan cahaya selalu menjadi prioritas utama. Perhatian akan terpusat pada interaksi medan elektromagnetik dengan struktur padat seperti kristal fotonik. Persamaan Maxwell adalah yang
6
pertama dan benar-benar yang paling penting dalam teori ini. Langkah pertama adalah menurunkan semua formula dalam persamaan Maxwell. Komponen dalam gelombang elektromagnetik, medan listrik dan medan magnet merambat melalui medium yang bebas muatan dan arus bebas telah terhubung melalui 4 persamaan Maxwell, yakni:
G G G ∂ G G ∇ × E (r , t ) = − B(r , t ) ∂t
(1)
G G G G G ∂ ∇ × H (r , t ) = D(r , t ) + J (r , t ) ∂t
(2)
G G G ∇ ⋅ B(r , t ) = 0 G G G G ∇ ⋅ D(r , t ) = ρ (r , t )
(3) (4)
G G Notasi standar untuk medan listrik ( E ), medan magnet ( H ), perpindahan JG G listrik ( D ), dan induksi magnet ( B ) telah digunakan dalam persamaan ini. Dengan menggunakan aljabar vektor dan dua persamaan konstitutif, persamaan maxwell dapat dibentuk menjadi sebuah persamaan nilai-Eigen. 2 1 JG JG JG G ⎛ ω ⎞ JG G ∇ × [∇ × E (r , t )] = ⎜ ⎟ E (r , t ) ε (r ) ⎝c⎠
(5)
2 JG 1 JG JJG G ⎛ ω ⎞ JJG G ∇× [∇ × H (r , t )] = ⎜ ⎟ H (r , t ) ε (r ) ⎝c⎠
(6)
Persamaan (5) dan (6) memiliki beberapa kesamaan dengan persamaan nilaiEigen Schrodinger dalam mekanika kuantum sebagaimana terangkum dalam Tabel 1. Tabel 1 Analogi persamaan nilai-Eigen untuk elektron dan foton Teori kuantum
Teori elektromagnetik
Medan
ψ (r , t ) = ψ (r )ei ( k .r −ωt )
E (r , t ) = E (r )ei ( k .r −ωt )
Persamaan nilai-Eigen
Hψ = Eψ
ξ E = (ω / c ) E
Operator
H = −h2∇ 2 /(2m) + V (r )
ξ = (1× ε (r ) ) × ∇ × ∇ ×
2
Hamiltonian dari teori kuantum ( H ) menentukan energi-Eigen ( E ) untuk objek, sedangkan operator ξ menjelaskan frekuensi Eigen untuk gelombang EM ( ω ).
7
Persamaan gelombang elektromagnetik sebagai persamaan nilai-Eigen merupakan titik penurunan di dalam kristal fotonik. Mengingat kembali identitas tertentu dari aritmatika vektor: JG JG JJG JG JG JG JG 2 JG ∇ × ∇ × ( A) = ∇(∇. A) − ∇ A (7) JG dan menyesuaikan dengan persamaan Maxwell, dimana ∇.ε (r ) = 0 dan μ (r ) ≈ 1 , persamaan nilai-Eigen diatas menjadi: JG JG 2 JG ∂2 E ∇ E = μ 0 ε 0ε 2 ∂t JJG JG 2 JJG ∂2 H ∇ H = μ 0 ε 0ε 2 ∂t
(8) (9)
Salah satu solusi umum dari persamaan (9) adalah persamaan gelombang datar harmonis monokromatik yang bergantung waktu E ( r , t ) = E ( r ) e − iωt , yang jika dimasukkan kembali kedalam persamaan (9) menghasilkan gelombang EM dalam domain frekuensi
(∇
2
)
+ k 2 E ( r , ω ) = 0 . Dalam sistem koordinat kartesius,
persamaan tersebut tereduksi menjadi tiga persamaan skalar untuk masing-masing komponen medan listrik Ez , Ex , dan E y . Persamaan ini bisa dipecahkan melalui
(
separasi variabel. Untuk gelombang TE, medan listrik E = 0, E y , 0
)
adalah
terpolarisasi secara linear pada arah y dan digambarkan dalam bentuk fungsi skalar skalar E y ( z , y ) , sehingga dihasilkan: E ( z, y ) = E ( z ) e
ik y y
(10)
Dengan menggunakan teknik separasi variabel, didapatkan solusi umum persamaan gelombang datar harmonik
(
)
E = Aei ( kz z −ωt ) + Be −i ( kz z −ωt ) e
ik y y
(11)
Dari solusi persamaan gelombang yang dihasilkan ditambah dengan aturan syarat batas, dapat dibentuk matriks transfer yang menghubungkan medan yang ditransmisikan dengan medan input. Penelitian ini dibatasi hanya pada kasus grlombang TE (transverse-electric), dimana komponen medan listrik hanya ada pada arah sumbu-y dan merambat pada arah sumbu-z.
8
E' x
θi
z y
E H Gambar 2 Vektor gelombang TE pada medium
2.3 Metode Matriks Transfer Metode matriks adalah cara yang baik untuk menganalisis secara akurat transmisi gelombang EM dalam medium berlapis. Secara umum, formalisme matriks digunakan untuk menghubungkan komponen medan listrik dan medan magnet pada tiap lapisan (L.Carretero et al, 2006). Metode matriks transfer standar digunakan untuk meneliti transmitansi dari gelombang TE dan TM. Keuntungan dari metode matriks transfer adalah memberikan solusi numerik-eksak dari modus yang dibuat dan secara relatif mudah memodifikasi jika susunan model yang dibuat ingin diubah. Medan pada lapisan akhir fotonik kristal untuk kedua polarisasi bisa dihitung dari hubungan berikut:
⎛ Ei / Et ⎞ ⎛1⎞ ⎜ ⎟ = τ TE (TM ) ⎜ ⎟ ⎝0⎠ ⎝ Er / Et ⎠
(12)
dimana Ei , Er dan Et adalah medan listrik yang datang, yang direfleksikan, dan yang ditransmisikan. Matriks transfer yang menghubungkan medan listrik tersebut adalah: −1 −1 τ = P0 −1 ( PQ 1 1 P2Q2 )
( PQ 1
−1 1 2
P Q2
−1
) (P
M
L
D3
(P
)(
−1 −1 QD1−1 P2Q2 −1 PQ 1 1 P2 Q2
D1
−1
QD 3 P2Q2
−1
)( PQ 1
−1 1 2
P Q2
−1
)
R
) (P N
D2
QD 2 −1 P2Q2 −1
)
P0
Pi and Qi untuk polarisasi TE dan TM diberikan oleh: Pi
TE
⎛ 1 =⎜ ⎝ ki cos θi
ik d cosθ ⎛ e ii i ⎞ TE ⎟ , dan Qi = ⎜⎜ ik i di cosθi −ki cos θi ⎠ ⎝ ki cos θ i e
1
− ik i di cosθi
⎞ ⎟ − ik d cosθ − ki cos θ i e i i i ⎟⎠ e
(13)
9
Pi
TM
⎛ cos θi =⎜ ⎝ ki
⎛ cos θi eik i di cosθi cos θi ⎞ TM ⎟ , dan Qi = ⎜⎜ ik i di cosθi − ki ⎠ ⎝ ki e
cos θ i e − ki e
− ik i di cosθi
− ik i di cosθi
⎞ ⎟ ⎟ ⎠
dengan ki = niω / c , i = 0, 1, 2 Lapisan Bragg dan medium luar, sedangkan
kd 1 = nd 1ω / c ,
kd 2 = nd 2ω / c ,
kd 3 = nd 3ω / c
adalah untuk lapisan defek, θi
menunjukkan sudut datang pada masing-masing layer. Transmitansi medan listrik diberikan sebagai berikut: 2
T = Et / Ei
2
(14)
Nilai transmitansi antar lapisan dapat ditulis:
⎡ ⎤ 2eiki di ki ki +1 ⎥ Ti ,i +1 = ⎢ ⎢⎣ 2ki ki +1 cos(ki +1di +1 ) − i sin(ki +1di +1 ) ( ki 2 + ki +12 ) ⎥⎦
2
(15)
Transmitansi total untuk satu sistem kristal fotonik bias didapatkan dengan cara mengalikan seluruh transmitansi antar lapisan. Metode matriks transfer ini merupakan metode standar yang menggunakan beberapa asumsi sebagai bentuk idealisasi dari beberapa parameter dan penyederhanaan dari segi komputasi, yakni: a. Bahan bersifat isotropik homogen, sehingga tensor ε dan μ dianggap skalar. Sebenarnya ε (r ) merupakan bilangan kompleks ε (r ) = a (r ) + ib(r ) . Bagian imajinernya adalah atenuasi bahan yang akan merubah intensitas cahaya, namun pada tugas akhir ini dibatasi hanya pada bahan yang memiliki absorbsifitas rendah (low-loss dielectric), berarti ε (r ) berupa bilangan real. b. Bahan bersifat linier, sehingga respon bahan terhadap medan luar seperti P (polarisasi listrik) dan M (polarisasi magnetik) diabaikan. c. Bahan bersifat non-magnetik, sehingga μ = μ0 d. Indeks bias medium dianggap konstan yang dalam kenyataannya indeks bias merupakan fungsi dari panjang gelombang, sebagai contoh untuk perak (Ag) pada panjang gelombang diatas 350 nm memiliki nilai indeks bias yang berubah memenuhi persamaan n = e
b c ⎞ ⎛ ⎜ a+ 3 / 4 + 2 ⎟ λ ⎠ ⎝ λ
, dimana a = 0.48332493, b = 4.2648334,
dan c = 2.4317131 (Z.Jaksic et al, 2004).
10
2.4 Distribusi Medan dalam Lapisan Defek Defek pada kristal fotonik satu dimensi bisa didapatkan dengan memodifikasi salah satu dari indeks bias atau ketebalan dari salah satu lapisan kristal. Modus elektromagnet bisa terjadi pada frekuensi yang diskrit di dalam PBG, bergantung pada modifikasi indeks bias yang diberikan atau pada panjang optik (optical
thickness) pada lapisan defek. Gambar 3a menunjukkan perubahan yang muncul pada diagram pita ketika katebalan dari salah satu lapisan yang memiliki indeks bias tinggi dinaikkan.dengan faktor 2, misalnya ketika d1' = 0.4a sebagai ganti d1 = 0.2a . Pada kasus ini, level energi diskrit ditemukan pada masing-masing dari tiga PBG yang pertama (J. M. Lourtioz, 2008).
Gambar 3 Modus defek yang terbentuk pada kristal fotonik satu dimensi ( d1 = 0.2a dan d 2 = 0.8a ). Ketebalan dari salah satu lapisan berindeks bias tinggi dinaikkan dengan faktor 2. (a) level energi diskrit yang terjadi dalam PBG (b) distribusi medan listrik yang dihitung untuk tiga modus defek. (J. M. Lourtioz, 2008) Pada kristal fotonik yang disisipkan defek, akan muncul modus resonansi dalam selang PBG dimana frekuensi gelombang EM yang datang sama dengan frekuensi modus defek kristal fotonik yang diberikan. Gelombang dengan modus atau frekuensi defek tersebut akan dipantulkan terus-menerus secara harmonik di sekitar modus defek oleh DBR (distributed Bragg reflector) sebelah kiri dan kanan lapisan defek yang berfungsi sebagai cermin PBG. Akibatnya, foton-foton akan terlokalisir di sekitar defek dan menimbulkan peningkatan medan yang besar. Peningkatan medan yang besar pada daerah defek mengakibatkan transmitansi penuh
11
dalam PBG pada frekuensi resonansinya.yang sering disebut modus defek atau atau frekuensi PPB. Resonansi yang terjadi pada defek yang berfungsi sebagai rongga (cavity) memiliki banyak aplikasi potensial yang menghasilkan respon spektra yang tajam dan intensitas medan yang sangat kuat ketika kondisi resonansi terpenuhi. Sifat ini bisa digunakan untuk filter lebar-pita yang tipis dan pemilih panjang gelombang terkopel yang keduanya dibutuhkan untuk sistem optik WDM (wavelength-division
multiplexing) untuk mengoperasikan kanal frekuensi tunggal. Intensitas medan yang tinggi karena cahaya terperangkap dalam rongga yang kecil bisa menguatkan interaksi cahaya dengan materi, menghasilkan aplikasi fotonik yang ideal seperti laser dan optik non-linier. Gejala ini juga bisa digunakan dalam aplikasi sensor dan penelitian yang lebih fundamental dalam emisi spontan terkendali.
Gambar 4 Distribusi medan dalam defek (A. Sopaheluwakan, 2003) Profil medan EM yang berpropagasi dalam lapisan kristal fotonik dapat dihitung dengan menggunakan metode matriks transfer dan mempertimbangkan kesimetrian translasi. Solusi medan EM yang masuk pada arah-z tegak lurus lapisan kristal dan merambat pada lapisan n1 dan n2 dapat ditulis sebagai berikut: En ( z ) = An e
ik j ( z − ( nd1 + ( n −1) d 2 ))
+ Bn e
− ik j ( z − ( nd1 + ( n −1) d 2 ))
(15)
dimana n =1, 2, 3,….dst, sedangkan An dan Bn merupakan amplitudo medan yang ditransmisikan dan direfleksikan tiap lapisan,yakni: An = Tij (1,1) dan Bn = Tij (2,1) . Tij merupakan matriks antar lapisan yang dapat ditulis: Tij = Pi −1.Q j .Tij −1
(16)
12
Indeks i = 0,1, 2 , j = 1, 2 sedangkan P dan Q merupakan matriks yang telah dirumuskan pada persamaan sebelumnya.
2.5 Karakteristik Transmitansi PPB dalam PBG Pada kristal fotonik dua defek dapat menghasilkan PPB yang memiliki karakteristik yang unik sebagai respon atas perubahan material pada lapisan defek tersebut. Untuk lapisan defek pertama, perubahan material memberikan efek pergeseran posisi PPB (pergeseran frekuensi) yang dapat dimanfaatkan sebagai filter optik, sedangkan untuk lapisan defek kedua, perubahan material memberikan efek perubahan transmitansi PPB yang dapat dimanfaatkan sebagai sensor optik. Selanjutnya defek pertama dapat disebut sebagai regulator dan defek kedua disebut sebagai reseptor.
Gambar 5 Respon PPB pada (a) defek pertama dan (b) defek kedua (H.Alatas et al, 2006) Efek pergeseran pada PPB dapat dimanfaatkan dalam sistem pemantau peningkatan mutu buah berdasarkan tingkat ketuaan dan dan kematangan (indeks warna). Alternatif baru dalam penentuan buah berdasarkan tingkat kematangannya adalah melalui interpretasi citra dengan bantuan piranti komputer dengan terlebih dahulu mengambil citra buah dengan alat perekam atau kamera. Citra yang ditangkap merupakan cahaya yang ditangkap merupakan cahaya yang direfleksikan dari sebuah objek. Sumber cahaya menerangi objek, objek memantulkan kembali sebagian dari berkas cahaya tersebut dan pantulan cahaya ditangkap ditangkap oleh sensor. Dengan memilih material yang sesuai untuk lapisan defek pertama dan mengatur ketebalannya, maka PPB dapat diatur agar jatuh pada panjang gelombang (warna)
13
yang sesuai dengan tingkat kematangan buah. Cara yang lebih fleksibel dapat pula dengan memilih ketebalan lapisan defek yang sembarang dan mengatur posisi sudut jatuhnya cahaya terhadap garis normal sehingga posisi PPB bisa diatur untuk memfilter panjang gelombang tersebut. Dibawah ini dapat disajikan contoh tingkat kematangan buah manggis berdasarkan perbedaan warna. Tabel 2 Ciri buah manggis berdasarkan perbedaan warna Gambar Ciri Warna buah kuning-kehijauan. Kulit buah masih banyak mengandung getah dan buah belum siap dipetik. Warna kulit buah hijau-kekuningan, buah belum tua dan getah masih banyak. Isi buah masih sulit dipisahkan dari daging. Buah belum siap dipanen. Warna kulit buah kuning-kemerahan dengan bercak merah hampir merata. Buah hampir tua dan getah mulai berkurang. Isi buah masih sulit dipisahkan dari daging. Warna kulit buah merah-kecoklatan. Kulit buah masih bergetah. Isi buah sudah dapat dipisahkan daging kulit. Buah disarankan dapat dipetik untuk tujuan ekspor. Warna kulit buah merah-keunguan. Kulit buah masih sedikit bergetah. Isi buah sudah dapat disahkan dari daging kulit dan buah dapat dikonsumsi. Buah dapat dipetik untuk tujuan ekspor. Warna kulit buah ungu-kemerahan. Buah mulai masak dan siap dikonsumsi . Buah dapat dipetik untuk tujuan ekspor. Warna kulit buah ungu-kehitaman. Buah sudah masak. Buah sesuai untuk pasar domestic dan siap saji.
Pengolahan citra pada dasarnya erat kaitannya dengan pengolahan warna, karena warna merupakan sifat cahaya yang ditentukan oleh panjang gelombang. Warna merupakan faktor penting dalam proses identifikasi dari suatu objek. Menurut Zaenul Arham, dkk. (2004), persepsi warna dalam pengolahan citra tergantung pada tiga faktor, yaitu: reflektansi spektral (menentukan bagaimana suatu permukaan
14
memantulkan warna), kandungan spektral (kandungan warna dari cahaya yang menyinari permukaan), dan respon spektral (kemampuan merespon warna dari sensor dalam imaging system). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa ada beberapa modus warna yang dapat digunakan sebagai dasar pengidentifikasian tersebut, yaitu: modus warna RGB, CMY, dan HSI. Kemampuan kristal fotonik sebagai filter banyak dikembangkan pada sistem komunikasi optik, khususnya menambah atau mengurangi panjang gelombang dari multi sinyal (multiplexed) menggunakan Fiber Bragg Grating (FBG). Pada Gambar 6, empat kanal yang ditunjukkan oleh empat warna melewati FBG melalui sirkular optik. FBG yang didalamnya terdapat kristal fotonik satu dimensi dapat di set agar merefleksikan salah satu kanal dimana untuk gambar ini adalah kanal empat. Sinyal dipantulkan kembali ke sirkulator dan keluar dari sistem bersamaan dengan masuknya sinyal yang lain pada titik yang sama dalam jaringan. Sistem ini dapat digunakan untuk sinkronisasi data dari salah satu kanal. Sensitivitas dari FBG terhadap regangannya ( ΔλB / λ ) berhubungan dengan perubahan dari temperatur (L. H Sheng et al, 2007).
Gambar 6 Add/drop multiplexer menggunakan Fiber Bragg Grating (FBG) Respon pergeseran PPB baru-baru ini juga telah dimanfaatkan untuk sistem yang lain, yakni kristal fotonik dengan tiga lapisan periodik yang ternyata menghasilkan respon pergeseran PPB terhadap perubahan indeks bias lebih sensitif dibandingkan kristal fotonik dengan dua lapisan periodik. Dalam (A. Benerjee, 2009) telah ditunjukkan bahwa kristal fotonik satu dimensi dengan tiga lapisan periodik lebih unggul dibandingkan kristal fotonik satu dimensi dengan dua lapisan defek untuk aplikasi omnidirectional reflector, tunable optical filter, dan refractomtric
optical sensing elements. Telah ditunjukkan pula kristal fotonik satu dimensi dengan
15
tiga lapisan periodik menghasilkan puncak transmitansi yang tipis mendekati PBE dengan pergeseran panjang gelombang sebesar 0.35 nm untuk masing-masing perubahan indeks bias lapisan defek pertama 0.01.
Gambar 7 Puncak transmisi untuk kristal fotonik tiga lapisan periodik dengan nilai Δn yang berbeda (A. Benerjee, 2009) Untuk efek penurunan transmitansi PPB dapat digunakan sebagai sensor, misalnya untuk mengontrol kualitas air. Sensor yang telah dikembangkan adalah kristal fotonik satu dimensi. Satu cara dibutuhkan untuk menyeleksi panjang gelombang yang merambat sebelum terserap oleh air murni, namun akan terserap terserap oleh pencemar organik dan inorganik. Cara terbaru untuk monitoring kualitas air adalah spektroskopi absorbsi berbasis kristal fotonik satu dimensi dengan satu defek. Untuk membentuk sensor yang lebih sensitif, sumber cahaya menggunakan dioda biru yang dipompa oleh laser (blue DPPS laser) dengan panjang gelombang 473 nm, yang akan diserap kuat oleh pencemar yang larut dalam air. Air dipompa melalui rongga dan pengaturan jarak secara mekanis sangat penting untuk penyempurnaan sistem secara permanen, yang terdiri atas pelapisan dua struktur lapisan nano pada substrat gelas. DPSS laser diemisikan pada panjang gelombang 473 nm melalui sampel air yang terkontaminasi menuju sensor yang terdiri atas dua lapisan tipis, masing-masing terdiri atas lapisan zinc-oxide dan silicon-oxide, 2xS(HL)6 dengan indeks bias yang telah ditentukan. Spektra dari cahaya yang ditransmisikan dalam puncak yang sempit dibentuk oleh rongga yang berisi air murni dan sampel yang telah terkontaminasi, dengan koefisien absorbsi A.
16
(a)
(b)
Gambar 8 (a) Diagram elemen sensing yang telah diajukan (b) Set-up proses sinyal dan sensitivitas sensor absorbsi struktur nano yang diprediksikan dan digunakan untuk menguji air (M. Vasiliev, 2008) Sensitivitas dari sensor ditunjukkan oleh Gambar 8 yang menunjukkan kedua spektrum cahaya yang melalui sensor dan mengalami perubahan puncak transmitansi disebabkan variasi absorbsi air dari A=0.0005/cm sampai 0.00055/cm (untuk air murni dan air yang terkontaminasi secara berturut-turut). Efek perubahan absorbsi (dibandingkan dengan absorbsi air murni) dalam rongga relatif kecil, meskipun demikian dapat diukur dengan mudah menggunakan rangkaian yang sensitif. Menggunakan transformasi Fourier untuk pemrosesan sinyal, perubahan absorbsi pada skala kecil masih dapat diukur.
2.6 Model Kristal Fotonik Model kristal fotonik 1D untuk kasus tiga lapisan defek terdiri atas lapisan Bragg yang merupakan bahan dielektrik berselang-seling disertai tiga lapisan defek,
17
yakni:
n0 ns ( n1 / n2 ) D1 ( n1 / n2 ) D2 (n1 / n2 ) L D3 (n1 / n2 ) R ns n0 sebagaimana struktur M
N
yang diilustrasikan pada Gambar 9. n1 and n2 menunjukkan indeks bias lapisan Bragg (n1 / n2 ) dan ketebalannya yang ditandai dengan (d1 / d 2 ) . Tiga lapisan defek ditandai oleh
( D1 ) ≡ ( nd 1 / n2 ) , ( D2 ) ≡ ( nd 2 / n2 ) ,
dihubungkan dengan ketebalannya
dan
( dd1 / d2 ) , ( dd 2 / d2 )
( D3 ) ≡ ( nd 3 / n2 ) dan
( dd 3 / d2 )
yang secara
berturut-turut. Indeks bias substrat dan medium latar berturut-turut adalah ns dan n0 .
Gambar 9 Model kristal fotonik dengan tiga lapisan defek sebagai sensor optik Jumlah lapisan sel disebelah kiri D1 , diantara D1 dan D2 , diantara D2 dan
D3 , dan disebelah kanan D3 diberikan oleh M, L, N, and R secara berturut turut. Dalam eksperimen numerik ini,
diasumsikan bahan yang digunakan memiliki
absorbsifitas yang rendah (low-loss media). Nilai parameter yang diberikan adalah sebagai berikut: n0 = 1 (udara), ns = 1.57 (BK7), n1 = 2.1 (Ta2O5), n2 = 1.38 (MgF2) dan ketebalan optik memenuhi kondisi quarter wave stack: n1d1 = n2 d 2 = λ0 / 4 , dimana panjang gelombang operasi λ0 diberikan oleh 550 nm. Tiga defek sel dipilih identik, dengan d d 1 = d d 2 = d d 3 = λ0 / 2 . Nilai parameter
semua itu
tidak akan
dinyatakan lagi, kecuali jika kita menggunakan nilai berbeda. Untuk fabrikasi, nilai indeks bias cacat dapat dipilih berdasarkan material yang memang sudah dikenal umum dan untuk aplikasi sensor, material yang akan disensing dapat ditempatkan pada layer defek kedua dengan indeks bias yang dapat dipilih pada Tabel 3.
18
Tabel 3 Nilai indeks bias material
Material
Nilai Indeks Bias
MgF2
1.38
SiO2
1.45
Al2O3
1.70
PASOII
1.80
Ta2O5
2.10
TiO2
2.21
TiO
2.40
ZnSe
2.50
ZnTe
2.78
GaAs
3.61
2.7 Divais Sensor Pada tahun terakhir beberapa aplikasi dari biosensor sudah muncul yang berbasis pada sifat pergeseran spektra transmisi dan refleksi pada permukaan atau objek. Sensor Surface Plasmon Resonance (SPR) telah digunakan secara luas untuk
screening interaksi biokimia, sedangkan grup peneliti yang lain mengembangkan biosensor optik berbasis pada rongga Fabry-Ferot (Fabry-Ferot cavities) dalam lubang silikon atau filter frekuensi resonansi modus terkopel (guided modus
resonance
reflectance filters). Aplikasi lain adalah menggunakan pergeseran
resonansi optik untuk menguji DNA (O.Schmidt et al, 2007). Karakteristik unik pada PPB selain digunakan sebagai filter, juga dapat dikembangkan sebagai sensor optik terkait dengan fungsi defek salah satunya sebagai regulator dan yang lainnya sebagai reseptor. Sensor optik yang mungkin dapat dikembangkan adalah sensor indeks bias yang dapat mengukur konsentrasi zat dalam suatu larutan, misalnya sensor konsentrasi gula atau konsentrasi garam. Sebagai contoh, indeks bias larutan gula untuk konsentrasi 30% adalah 1.37, sedangkan untuk konsentrasi 50% indeks biasnya 1.42 (Widada, 2008).
19
Untuk membentuk sebuah sensor optik, kristal fotonik bisa dioptimasi hingga menghasilkan modus resonansi yang sangat sempit dimana panjang gelombang sangat sensitif terhadap modulasi yang terinduksi oleh deposisi material biokimia pada lapisan defek. Sebuah struktur sensor terdiri atas material transparan yang memiliki indeks bias rendah dengan struktur permukaan periodik yang dicoating dengan lapisan tipis berindeks tinggi. Sumber cahaya yang terkolimasi mengenai kristal fotonik dan melewati lapisan defek yang dimasukkan fluida/larutan yang akan disensing. Cahaya yang dutransmisikan pada lapisan akhir kristal fotonik ditangkap detector cahaya dan masuk spektrometer UV-VIS yang diinterface dengan komputer sehingga dapat menampilkan pola PPB.
sumber cahaya
sampel
detektor cahaya
Spektrometer UV-Vis
Gambar 10 Divais sensor menggunakan kristal fotonik Mekanisme sensor optik yang banyak menarik perhatian adalah sensitivitas dan resolusi. Prinsip dari prosedur sensor menggunakan kristal fotonik telah dibangun menggunakan variasi indeks bias. Pergeseran spektrum optik, kopling panjang gelombang sangat berhubungan dengan perubahan indeks bias. Sensitivitas dari sensor dapat dipahami melalui bentuk relasi dispersi dan dengan pergeseran fase dari gelombang EM khususnya pada pita-sisi fotonik (photonic band-edge) (A. O. Cakmak, 2005).
20
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan januari 2009-Juni september 2009 di Laboratorium Fisika Teori dan Komputasi, Departemen Fisika, Institut Pertanian Bogor
3.2 Bahan dan Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebuah komputer berprosessor
AMD
Opteron
64
Bit
di
Laboratorium
Fisika
Teori
dan
Komputasi,Departemen Fisika, Institut Pertanian Bogor. Software yang digunakan untuk komputasi adalah bahasa pemrograman Matlab 7.5.0. Untuk mendukung penelitian ini, sumber referensi yang digunakan selain buku literatur, juga informasi yang diperoleh dari internet yang diakses dari Laboratorium.
3.3 Prosedur Penelitian 3.3.1 Studi Pustaka Studi pustaka diperlukan untuk mengembangkan metode matriks transfer kristal fotonik kasus tiga cacat serta menurunkan secara analitik distribusi nedan dalam lapisan cacat. Selain itu studi pustaka diperlukan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan yang telah dicapai dalam bidang yang diteliti.
3.3.2 Pembuatan Program Program dirancang untuk melihat karakteristik dari PPB dan pengaruh parameter fisis (lebar cacat dan indeks bias cacat), melihat distribusi medan dalam lapisan defek, serta optimasi sensitivitas melalui parameter fisis agar dapat diaplikasikan pada divais sensor dan filter.
3.3.2 Analisis Output
21
Analisis output dilakukan terhadap hasil simulasi yang diperoleh agar dapat mengetahui variabel-variabel yang mempengaruhi output. Optimasi juga dilakukan agar output meningkat mendekati dengan hasil eksperimen.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Profil PPB Terkait dengan Variasi Jumlah Lapisan Bragg Sebagaimana yang telah diketahui sebelumnya, bahwa adanya defek pada kristal fotonik menyebabkan munculnya PPB di dalam PBG. Untuk modus kristal fotonik 1D dengan dua defek, telah berhasil difabrikasi dan menghasilkan dua PPB dengan karakteristik yang bergantung pada indeks bias dan lebar lapisan. Fabrikasi modus kristal fotonik 1D dengan dua defek mengarah pada aplikasi sensor dan filter panjang gelombang. Akan tetapi, desain dan sensivitas masih sangat perlu dikembangkan mengingat keterbatasan material, minimnya alat, serta kesesuaian dengan output yang diharapkan.
Tω
λ (nm)
Gambar 11 Profil transmitansi terhadap panjang gelombang, λ ( λ = 2π c / ω ) dengan jumlah lapisan: M-N-L-R=6-8-2-1 dan ketebalan ketiga lapisan defek d d 1 = d d 2 = d d 3 = 7.6λ0 / 4 Simulasi modus kristal fotonik dengan tiga defek asimetrik menunjukkan adanya tiga PPB sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 11. Tiga PPB muncul pada tiga panjang gelombang yang berbeda, yakni: 499.75 (warna biru), 548.9 (warna
22
hijau), dan 608.96 (warna jingga). Munculnya tiga PPB dapat dipahami bahwa ketiga lapisan defek pada sistem kristal fotonik memiliki sifat yang sama, baik indeks biasnya maupun lebar defeknya, sehingga resonansi tepat terjadi pada tiga lapisan defek tersebut. Konfigurasi modus ini dapat digunakan untuk filter panjang gelombang sehingga untuk sumber cahaya polikromatik dapat melewatkan tiga panjang gelombang saja dengan pemilihan panjang gelombang yang dapat diatur, karena posisi dari tiga PPB tersebut dapat diatur dengan merubah nilai sudut datang atau lebar pada tiga lapisan defek tersebut. Salah satu contohnya adalah filter untuk gas tertentu yang memiliki indeks bias yang spesifik dan memiliki kebergantungan terhadap suhu dan panjang gelombang (N. J. Florous, 2006). Aplikasi lain adalah sistem ini dapat digunakan sebagai sensor untuk larutan yang terdiri atas tiga senyawa yang berbeda dan transparan pada panjang gelombang tertentu. Tiga puncak transmitansi dari PPB tersebut dapat berubah-ubah jika indeks bias pada lapisan defek kedua divariasikan.
Tω
λ (nm)
Gambar 12 Profil transmitansi terhadap panjang gelombang, λ ( λ = 2π c / ω ) dengan variasi jumlah lapisan Bragg: merah (4-6-2-1), biru (4-5-2-1), hitam (4-7-2-1) Konfigurasi jumlah layer sangat terkait dengan profil PPB yang dihasilkan. Untuk kristal fotonik dengan 2 defek asimetrik, PPB akan memiliki nilai transmitansi satu jika konfigurasi jumlah layer memenuhi kondisi N=M+L (H.Alatas et al, 2006), sedangkan untuk kristal fotonik dengan 3 defek asimetrik, PPB juga dapat memiliki nilai transmitansi satu jika konfigurasi jumlah layer memenuhi kondisi
M+L+1=N+R. Pada Gambar 12 terlihat bahwa kristal fotonik dengan tiga lapisan defek dapat memiliki satu PPB dan menghasilkan transmitansi penuh saat
23
konfigurasi M-N-L-R = 6-8-2-1. Dalam prakteknya, sistem tiga defek ini adalah gabungan dari sistem satu defek dengan menempatkan ruang kosong diantaranya sebagai tempat material yang akan disensing.
Tω
λ (nm)
Gambar 13 Profil transmitansi terhadap panjang gelombang, λ ( λ = 2π c / ω ) dengan variasi jumlah lapisan Bragg yang memenuhi kondisi M+L+1=N+R: merah (3-5-2-1), biru (4-6-2-1), hitam (6-8-2-1) Nilai Full Width at Half Maximum (FWHM) dari PPB juga dapat diatur melalui variasi M-N-L-R dengan memenuhi kondisi M+L+1=N+R. Dengan memperbesar nilai konfigurasi yang memenuhi M+L+1=N+R akan didapatkan PPB yang semakin tipis dengan nilai FWHM yang semakin kecil. Kontrol nilai FWHM dengan konfigurasi sistem ini memungkinkan untuk aplikasi filter panjang gelombang tunggal (single-wavelength filter) yang menggunakan kristal fotonik dalam fiber optik. Pada Gambar 13 terlihat bahwa PPB yang paling tipis terdapat pada konfigurasi 6-8-2-1 (warna hitam). Jika nilai FWHM diplot terhadap variasi konfigurasi sistem maka akan didapatkan plot kurva non-linier seperti pada Gambar 14. 2-4-2-1
FWHM (nm)
3-5-2-1 4-6-2-1 5-7-2-1
variasi konfigurasi
6-8-2-1
24
Gambar 14 Plot hubungan nilai FWHM dari PPB terhadap konfigurasi M-N-L-R yang memenuhi M+L+1=N+R
4.2 Profil PPB Terkait dengan Variasi Ketebalan Lapisan Defek (Physical Thickness) Ketebalan lapisan ketiga defek dapat menggeser posisi PPB (frekuensi puncak PPB) yang dapat dimanfaatkan untuk filter panjang gelombang tunggal (single-
wavelength filter). Dengan mengatur ketebalan lapisan ketiga defek saat fabrikasi, PPB dapat melewatkan warna yang sesuai dengan panjang gelombang puncaknya. Pada Gambar 15, PPB dapat muncul pada panjang gelombang 520 nm (warna hijau), 563 nm (warna kuning-hijau), dan 592 nm (warna orange). Aplikasi praktis dari filter panjang gelombang adalah penggunaan kristal fotonik pada Fiber Brag
Grating (FBG) untuk sistem add/drop multiplexer sebagaimana telah dijelaskan pada tinjauan pustaka.
Tω
λ (nm)
Gambar 15 Profil transmitansi terhadap panjang gelombang, λ ( λ = 2π c / ω ) terkait variasi ketebalan lapisan defek untuk konfigurasi 6-8-2-1: merah ( m = 2.0 ) , biru ( m = 2.2 ) , hitam ( m = 2.8 ) Kristal fotonik dengan konfigurasi lapisan N+1=M+L+R juga dapat menghasilkan dua PPB jika ketebalan lapisan defek (physical thickness) bernilai
25
sama antara 7λ0 / 4 sampai 7.5λ0 / 4 , antara 8λ0 / 4 sampai 8.4λ0 / 4 , antara 9λ0 / 4 sampai 9.3λ0 / 4 , 10λ0 / 4 sampai 10.2λ0 / 4 , dan antara 11λ0 / 4 sampai 11.1λ0 / 4 . Pada Gambar 16.a terlihat dua PPB yang muncul pada panjang gelombang 525.7 nm (panjang gelombang warna hijau) dan 584.3 nm (panjang gelombang warna kuning). Posisi dua PPB tersebut bisa diatur dengan menaikan tebal ketiga lapisan defek sehingga bisa jatuh pada panjang gelombang (warna) yang kita inginkan.
Δλ (nm)
Tω
λ (nm)
m
(a)
(b)
Gambar 16 (a) Profil transmitansi terhadap panjang gelombang λ ( λ = 2π c / ω ) dengan konfigurasi 6-8-2-1 dan ketebalan ketiga lapisan defek 7.2λ0 / 4 (b) Plot hubungan lebar ketiga defek (m) terhadap jarak antara dua PPB ( Δλ ) pada konfigurasi 6-8-2-1 Jarak antara dua puncak panjang gelombang dari PPB
( Δλ )
dapat diatur
secara fleksibel dengan merubah ketebalan ketiga lapisan defek yang merupakan kelipatan dari seperempat panjang gelombang dc = mλ0 / 4 . Untuk ketebalan tiga lapisan defek antara 7λ0 / 4 sampai 7.5λ0 / 4 , jarak antara dua PPB dapat diplot sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 16.b. Pada gambar tersebut, ketika tebal ketiga lapisan defek bernilai 7.5λ0 / 4 , jarak antara dua PPB 59.8 nm. Dua PPB tersebut jatuh pada panjang gelombang 543.1 nm (warna hijau) dan panjang gelombang 602.9 nm (warna jingga). Lebar ketiga defek masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Untuk lapisan defek kedua, ketika ketebalannya dinaikan menyebabkan posisi PPB bergeser
26
kekanan diiringi penurunan FWHM, sedangkan jika ketebalan lapisan defek pertama dan ketiga dinaikan tidak ada perubahan posisi, puncak transmitansi, maupun FWHM (Gambar 17.a, 17.b, dan 17.c). Hal ini berbeda dengan hasil yang didapatkan pada kasus dua defek, Jika ketebalan lapisan defek kedua dinaikan, terjadi penurunan FWHM tanpa perpindahan posisi sehingga bisa dihasilkan PPB dengan lebar yang tipis (H. Mayditia et al. 2005).
λ 0/4 2λ0 /4 3λ0 /4
Tω
Tω
λ (nm)
λ (nm)
(a)
(b) λ 0/4 2λ0 /4 3λ0 /4
Tω
λ (nm) (c)
Gambar 17 (a) Profil transmitansi terhadap panjang gelombang λ , ( λ = 2π c / ω ) dengan konfigurasi 4-6-2-1 dan variasi ketebalan (a) lapisan defek pertama (b) lapisan defek kedua (c) lapisan defek ketiga: merah ( d d = λ0 / 4 ), biru ( d d = 2λ0 / 4 ), hitam ( dd = 3λ0 / 4 ) Variasi ketebalan lapisan defek dapat pula dimodifikasi dengan mengganti material defek menggunakan bahan yang memiliki indeks bias negatif (left handed
material) seperti yang sedang dikembangkan oleh Xia Li dengan beberapa rekannya.
27
Kenaikan tebal lapisan defek yang linier dalam struktur periodik ternyata menghasilkan penambahan modus defek dalam PBG (X. Li, K. Xie, H. Jiang, 208).
4.3 Profil PPB Terkait dengan Variasi Ketebalan Optik Lapisan Defek (Optical Thickness) Variasi ketebalan optik untuk lapisan ketiga defek menyebabkan munculnya PPB atau menentukan posisi PPB tepat pada panjang gelombang (atau frekuensi) operasi. Berdasarkan hasil simulasi, posisi PPB akan tepat pada panjang gelombang operasi jika memenuhi hubungan: nd d d = m
λ0 4
dimana m adalah kelipatan bulat dari bilangan genap: 0, 2, 4, 6, 8,…,dst. Sedangkan untuk kelipatan nilai m ganjil, maka PPB tidak muncul. Hasil ini bisa dipahami, ketika ketebalan optik lapisan defek bernilai ganjil, maka kristal fotonik menjadi tidak berdefek, sesuai dengan ketebalan optik lapisan Bragg yang bernilai ganjil ( nd = λ0 / 4 ), sedangkan ketika lapisan defek bernilai genap, maka kristal fotonik akan menjadi defek geometri.
Tω
Tω
λ (nm) (a)
λ (nm) (b)
Gambar 18 Profil transmitansi terhadap panjang gelombang, λ ( λ = 2π c / ω ) dengan variasi ketebalan optik ketiga lapisan defek (a) m = bilangan genap: merah ( m = 2 ) , biru ( m = 4 ) , hitam ( m = 6 ) (b) m = bilangan ganjil: merah ( m = 1) , biru ( m = 3) , hitam ( m = 5 ) untuk konfigurasi 4-6-2-1
28
Berdasarkan Gambar 18, untuk nilai m genap terlihat posisi PPB pada puncak panjang gelombang tetap, yakni sama dengan panjang gelombang operasi (550 nm) dengan FWHM yang semakin mengecil, sedangkan untuk untuk nilai m ganjil, PPB hilang dan muncul PBG. Hal ini bisa dijelaskan bahwa nilai m genap merupakan modus yang menyebabkan
terjadinya interferensi konstruktif sehingga PPB
(penguatan medan) muncul dalam PBG, sedangkan untuk m bernilai ganjil berlaku hal sebaliknya. Untuk nilai m merupakan bilangan desimal (diantara dua bilangan bulat yang berdekatan), maka PPB dapat bergeser sama seperti respon yang dihasilkan karena variasi ketebalan lapisan defek. Plot hubungan antara ketebalan optik ketiga defek (kelipatan dari λ0 / 4 ) terhadap panjang gelombang dapat menunjukkan posisi PPB yang terkait dengan puncak panjang gelombang (warna). Untuk ketebalan optik ketiga defek bernilai antara
2λ0 / 4 sampai 2.5518λ0 / 4 , PPB dapat melewatkan warna kuning,
sedangkan ketebalan optik ketiga defek bernilai 2.5518λ0 / 4 , sampai 2.8λ0 / 4 PPB dapat melewatkan warna merah (Gambar 19).
λ (nm)
m
Gambar 19 Plot hubungan kelipatan tebal lapisan optik ketiga defek terhadap λ Untuk ketebalan optik salah satu defek diubah, didapatkan hasil yang berbeda. Jika
ketebalan optik lapisan defek kedua diubah, terjadi perubahan puncak
transmitansi, sedangkan jika ketebalan optik lapisan defek pertama dan lapisan defek ketiga dinaikkan, tidak terjadi perubahan puncak transmitansi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 20.a, 20.b, dan 20c
29
Dalam tujuan praktis dan aplikasi (seperti sensor dan filter), memvariasikan ketebalan optik cacat untuk memperoleh PPB pada panjang gelombang tertentu tentunya kurang efisien karena ketebalan optik cacat dibentuk saat proses fabrikasi kristal fotonik, sehingga diperlukan parameter lain yang dapat mengatur posisi PPB, yakni sudut datang.
Tω
Tω
λ (nm) (a)
λ (nm) (b)
Tω
λ (nm) (c)
Gambar 20 Profil transmitansi terhadap panjang gelombang, λ ( λ = 2π c / ω ) dengan variasi ketebalan optik (a) pada lapisan defek pertama (b) pada lapisan defek kedua (c) pada lapisan defek ketiga untuk konfigurasi 4-6-2-1: merah ( m = 2 ) , biru ( m = 4 ) , hitam ( m = 6 )
4.4 Profil PPB Terkait dengan Variasi Sudut Datang Variasi sudut datang dapat menggeser posisi PPB kearah panjang gelombang yang lebih kecil (frekuensi yang lebih besar). Dengan menetapkan nilai indeks bias dan ketebalan lapisan cacat, posisi PPB tetap dapat bergeser agar dapat meloloskan panjang sesuai dengan aplikasi yang diharapkan. Filter panjang gelombang
30
menggunakan kristal fotonik dengan variasi sudut ini dapat digunakan sebagai sistem pemantau tingkat kematangan buah. Berdasarkan hubungan antara perubahan sudut dengan pergeseran panjang gelombang, kita bisa mengatur panjang gelombang yang ditransmisikan sesuai dengan tingkat kematangan buah. Gambar 21.a menunjukkan pergeseran PPB untuk sudut datang 00 , 300 , dan
450 . Hasil ini berbeda dengan hasil yang telah dikerjakan oleh Kun-yuan Xu dan rekannya. Mereka menggunakan material dengan indeks bias negatif (Left handed
Material) pada lapisan defek dan tidak terjadi pergerseran PPB untuk sudut datang
00 − 300 . PPB baru bergeser kearah frekuensi yang lebih besar (panjang gelombang yang lebih kecil) ketika sudut datang diperbesar dari 300 (K. Xu et al, 2005). Berdasarkan Gambar 21.b, perubahan sudut datang 00 sampai 800, terjadi pergeseran puncak panjang gelombang, sehingga dapat digunakan sebagai filter panjang gelombang (warna), yakni: untuk sudut datang 00 sampai 23.50 dapat memfilter warna kuning (550 nm nm-564.1 nm), untuk sudut datang 23.50 sampai 58.40 dapat memfilter warna hijau (500 nm-550 nm, dan untuk sudut datang 58.50 sampai 800 dapat memfilter warna biru (477.3 nm-500 nm)
λ (nm)
Tω
λ (nm) (a)
θ (0) (b)
Gambar 21 (a) Plot Profil transmitansi terhadap panjang gelombang, λ ( λ = 2π c / ω ) terkait variasi sudut datang: merah ( θ 0 = 00 ), biru ( θ 0 = 300 ), hitam ( θ 0 = 450 ) hubungan variasi sudut datang terhadap puncak panjang gelombang untuk konfigurasi sistem 4-6-2-1 Pergeseran PPB yang dipengaruhi oleh variasi sudut datang dapat diatur secara sensitif dengan memvariasikan jumlah lapisan Bragg. Sifat ini menawarkan aplikasi
31
untuk sensor rotasi frekuensi tunggal (single-frequency rotation sensing) sebagaimana dapat dilihat pada H. Hardhienata et al, 2006.
4.5 Profil PPB Terkait dengan Variasi Indeks Bias Defek Pertama Adanya defek pada kristal fotonik 1D bersifat unik karena tiap lapisan defek memiliki fungsi yang berbeda terhadap karakteristik PPB. Untuk lapisan defek yang pertama, jika indeks biasnya diubah-ubah maka posisi dari PPB juga akan berubah diikuti penurunan transmitansi. Oleh karena itu, lapisan defek pertama dapat berfungsi sebagai regulator posisi dan dapat dimanfaatkan sebagai filter panjang gelombang.
Tω
Tω
λ (nm) (a)
λ (nm) (b)
Gambar 22 Profil transmitansi terhadap panjang gelombang, λ ( λ = 2π c / ω ) terkait variasi indeks bias lapisan defek pertama: merah ( nd1 = 2.1 ), biru ( nd 1 = 2.2 ), hitam ( nd1 = 2.3 ) untuk konfigurasi (a) 4-6-2-1 (b) 6-8-2-1 Pada Gambar 22.a dan 22.b terlihat bahwa PPB pada konfigurasi sistem 4-6-21 dan 6-8-2-1, bergeser kekanan ketika indeks bias lapisan pertama divariasikan. Jika puncak panjang gelombang diplot terhadap variasi nilai indeks bias defek pertama, maka akan didapatkan bahwa hubungan antara λ dengan nilai indeks bias defek pertama ( nd1 ) adalah linier, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sistem sensor. Pada Gambar 23 terlihat bahwa respon perubahan indeks bias defek pertama terhadap puncak panjang gelombang untuk konfigurasi yang berbeda adalah linier. Hasil ini memberikan gambaran bahwa kristal fotonik dengan sistem konfigurasi seperti yang
32
telah disebutkan diatas berpotensi sebagai sensor dengan menempatkan material yang akan disensing pada lapisan defek pertama, sedangkan defek kedua dan defek ketiga dibuat tetap. Pengaturan konfigurasi sistem dapat mempengaruhi sensitivitas dari respon yang dihasilkan. Jika konfigurasi sistem diperbesar, akan didapatkan PPB yang tipis dan perubahan sensitivitas. Untuk konfigurasi 6-8-2-1 dihasilkan puncak PPB terhadap nilai indeks bias defek pertama ( nd1 ) yang linier dengan gradien sebesar 143.49, sedangkan untuk konfigurasi 4-6-2-1 dihasilkan gradien sebesar 150.27.
λ (nm)
nd1
Gambar 23 Plot hubungan panjang gelombang puncak terhadap variasi indeks bias lapisan defek pertama untuk konfigurasi 4-6-2-1 (biru) dan 6-8-2-1 (hitam)
4.6 Profil PPB Terkait dengan Variasi Indeks Bias Defek Kedua dan Ketiga Telah dipublikasikan dalam (H.Alatas et al, 2006) bahwa untuk kristal fotonik satu- dimensi dengan dua defek menghasilkan PPB dengan dua karakteristik yang berbeda pada tiap lapisan defek tersebut, sehingga defek pertama dapat berfungsi sebagai regulator dan dan defek kedua sebagai reseptor pada aplikasi sistem sensor. Untuk kasus kristal fotonik 1 dimensi dengan tiga defek dapat menghasilkan PPB dengan tiga karakteristik sebagaimana hasil simulasi yang akan diberikan. Pada lapisan defek pertama, variasi indeks bias menyebabkan posisi dari PPB bergeser kekanan seiring penurunan transmitansi sebagaimana telah dijelaskan, sedangkan pada lapisan defek kedua dan defek ketiga hanya menyebabkan penurunan transmitansi tanpa perpindahan posisi. Pada Gambar 24 terlihat bahwa variasi indeks bias pada lapisan defek kedua dan defek ketiga menghasilkan profil PPB yang sama, yakni penurunan transmitansi
33
pada frekuansi tetap ω = 0.9702ω0 . Akan tetapi, penurunan, transmitansi pada lapisan defek ketiga lebih kecil dibandingkan defek kedua, sehingga defek kedua menghasilkan sensifitas yang lebih tinggi dibandingkan defek ketiga. Karena defek kedua dan defek ketiga memberikan efek yang sama, maka kedua defek tersebut dapat berfungsi sebagai reseptor, akan tetapi seberapa besar perbedaan sensitivitas kedua defek tersebut masih belum terlihat.
Tω
Tω
λ (nm)
λ (nm)
(a)
(b)
Gambar 24 Profil transmitansi terhadap panjang gelombang, λ (λ=2πc/ω) terkait indeks bias defek (a) lapisan defek kedua: merah ( nd 2 = 2.1 ), biru ( nd 2 = 1.45 ), hitam ( nd 2 = 1.33 ) (b) lapisan defek ketiga: merah ( nd 3 = 2.1 ), biru ( nd 3 = 1.45 ), hitam ( nd 3 = 1.33 ) Plot variasi nilai indeks bias defek kedua dan ketiga terhadap nilai transmitansi menghasilkan fungsi yang periodik untuk rentang indeks bias antara 0 sampai 5. Untuk aplikasi potensial, rentang panjang gelombang dapat diset antara 1.33 (air) sampai 1.5 (kaca) dengan pertimbangan lapisan defek kedua atau ketiga dapat diisi fluida (larutan dengan konsentrasi tertentu), sehingga kristal fotonik dapat berfungsi sebagai sensor indeks bias. Pada Gambar 25.a dan 25.b dapat dilihat perbandingan sensitivitas antara defek dua dan defek tiga untuk rentang indeks bias antara 1.33 sampai 1.5. Untuk variasi indeks bias ketiga, puncak transmitansi hampir mencapai maksimum, yakni 0.95 saat indeks bias defek kedua bernilai 1.38, kemudian turun dan mencapai 0.85 saat indeks bias defek kedua bernilai 1.5. Sedangkan untuk variasi indeks bias defek kedua, puncak transmitansi hanya mencapai 0.35 saat indeks bias defek ketiga bernilai 1.38, dan turun mencapai 0.24 saat defek ketiga
34
bernilai 1.5. Meskipun puncak transmitansi untuk variasi defek ketiga lebih besar dibandingkan dengan puncak transmitansi untuk variasi defek kedua, sensitivitas untuk variasi defek kedua ternyata lebih besar dibandingkan defek ketiga. Hasil ini menjadi cukup penting, bahwa ketika kita ingin menjadikan kristal fotonik berfungsi sebagai sensor dengan sensitivitas yang lebih tinggi, material/fluida yang akan disensing sebaiknya ditempatkan pada layer defek kedua, bukan pada layer defek ketiga.
Tω
Tω
nd2
nd3
(a)
(b)
Gambar 25 (a) Plot hubungan indeks bias defek kedua terhadap puncak transmitansi (b) plot hubungan indeks bias defek ketiga terhadap puncak transmitansi Secara umum, kristal fotonik dengan tiga defek memberikan respon yang lebih sensitif dibandingkan dengan dua defek. Pada Gambar 26 terlihat bahwa sensitivitas untuk sistem tiga defek 2-4-2-1 bernilai 1.6271, sedangkan untuk sistem dua defek 24-2 hanya bernilai 1.2918. Untuk sistem tiga defek 4-6-2-1, sensitivitas bernilai 1.4306, sedangkan untuk sistem dua defek 4-6-2 sensitivitas bernilai 1.1177. Hal ini bisa dijelaskan bahwa untuk kristal fotonik dengan tiga defek memiliki tiga derajat kebebasan yang menghasilkan sensitivitas
( dT / dnd 2 )
lebih besar dibandingkan
kristal fotonik dengan dua defek yang hanya memiliki dua derajat kebebasan. Nilai sensitivitas untuk simulasi ini tentunya berbeda dengan nilai setelah fabrikasi karena metode matriks transfer untuk perhitungan simulasi ini menggunakan beberapa asumsi sebagaimana dijelaskan dalam daftar pustaka.
35
Tω
Tω
nd2
nd2
(a)
(b)
Gambar 26 Perbandingan sensitivitas untuk sistem dua defek dengan tiga defek dengan konfigurasi (a) 2-4-2-1 (biru) dengan 2-4-2 (hitam) (b) 4-6-2-1 (biru) dan 4-6-2 (hitam) Untuk kasus larutan yang terdiri dari satu unsur/senyawa, dapat digunakan sistem yang menghasilkan dua atau tiga PPB dengan terlebih dahulu mengetahui unsur/senyawa tersebut transparan pada panjang gelombang berapa dan mengatur posisi PPB tersebut sehingga tepat pada panjang gelombang dimana unsur/ senyawa tersebut transparan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 27 (a) dan 27 (b). Masing-masing dari PPB tersebut dapat merespon perubahan dari indeks bias pada lapisan defek kedua.
Tω
Tω
λ (nm)
λ (nm)
(a)
(b)
36
Gambar 27 Profil transmitansi terhadap panjang gelombang, λ ( λ = 2π c / ω ) terkait variasi indeks bias lapisan defek kedua (a) d d 1 = d d 2 = d d 3 = 7.2λ0 / 4 (b)
d d 1 = d d 2 = d d 3 = 7.6λ0 / 4 : merah ( nd 2 = 2.1 ), biru ( nd 2 = 1.45 ), hitam ( nd 2 = 1.33 ) 4.7 Profil Distribusi Medan dalam Kristal Fotonik Adanya defek membuat medan terlokalisir disekitar defek sehingga terjadi peningkatan intensitas dalam lapisan defek. Intensitas yang tinggi pada lapisan defek memungkinkan adanya medan yang keluar dari lapisan defek tersebut dan dapat pula membentuk peningkatan intensitas medan yang baru pada lapisan defek berikutnya, bergantung pada konfigurasi sistem dan nilai indeks bias pada masing-masing lapisan defek. Untuk kasus tiga defek dengan nilai indeks bias ketiga defek sama dengan nilai indeks bias layer kedua ( nd 1 = nd 2 = nd 3 = n2 ) didapatkan peningkatan medan pada defek pertama D1 , dilanjutkan pada defek kedua D2 , dan berakhir pada defek ketiga D3 dengan puncak transmitansi berada pada frekuensi sekitar
ω = 0.9799ω0 (Gambar 28.a).
E Einc
z (μm) (a)
E Einc
E Einc
z (μm) (b)
z (μm) (c)
37
Gambar 28 Distribusi medan dalam PPB dengan (a) nd 1 = nd 2 = nd 3 = 2.1 (b)
nd 2 = 2.5 dan (c) nd 3 = 2.5 untuk konfigurasi 6-8-2-1 Defek pertama dapat berfungsi sebagai microcavity yang dapat mengalami “kebocoran” dan membentuk rongga yang baru pada defek kedua dan ketiga. Saat nilai indeks bias defek kedua dinaikkan menjadi 2.5 hanya terjadi sedikit terjadi perubahan penurunan puncak transmitansi pada defek pertama sekitar 2.98%, sedangkan jika indeks bias defek ketiga dinaikkan menjadi 2.5, maka terjadi penguatan medan pada defek kedua dan defek ketiga sebagaimana ditunjukkan pada Gambar (28.b dan 28.c). Sehingga dapat disimpulkan bahwa, agar terjadi resonansi baru pada defek kedua dan defek ketiga maka nilai indeks bias defek ketiga harus melebihi nilai indeks bias layer kedua ( nd 3 > n2 ). Untuk kasus konfigurasi sistem yang dibalik (M-N-L-R: 1-2-8-6) terjadi pembalikan distribusi medan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 29.a dengan puncak transmitansi maksimum ditemukan pada indeks bias defek ketiga nd 3 = 2.1 . Kasus ini sama artinya dengan mempertukarkan defek regulator dan defek reseptor sehingga peningkatan medan terjadi pada defek ketiga. Saat nilai M dinaikkan untuk konfigurasi M-N-L-R: 4-6-2-1, maka distribusi medan terjadi di defek pertama D1 dengan penurunan puncak transmitansi tetapi dengan frekuensi yang tetap ( ω = 0.9799ω0 ), sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 29.b. Hasil yang terpenting adalah ketika N+1/(M+L+R) ≥ 1, resonansi medan terkuat akan jatuh pada defek pertama sedangkan ketika N+1/(M+L+R) ≤ 1, resonansi medan terkuat akan jatuh pada defek ketiga.
E Einc
E Einc
z (μm) (a)
z (μm) (b)
38
Gambar 29 Distribusi medan dalam PPB dengan (a) M-N-L-R = 1-2-8-6 dan (b) M-N-L-R = 4-6-2-1 Intensitas medan yang terlokalisir dalam lapisan defek dapat dipengaruhi oleh ketebalan lapisan defek dan sudut datang sumber cahaya relatif terhadap arah normal bidang kristal. Pada Gambar 30.a dan 30.b terlihat bahwa terdapat perbedaan intensitas medan maksimum ketika ketebalan ketiga lapisan defek divariasikan. Ketika lebar ketiga lapisan defek dinaikkan, puncak intensitas medan menurun dan menggeser frekuensi puncak. Hal ini bisa dipahami bahwa, ketika lebar lapisan defek dinaikkan osilasi medan yang terkurung didalam defek menurun karena terjadi kebocoran lebih banyak dari lapisan defek yang berfungsi sebagai cavity. Gambar 30.a terjadi pergeseran puncak frekuensi dari ω = 0.9799ω0 (Gambar 26.a) menjadi
ω = 0.9754ω0 dengan ketebalan ketiga lapisan defek 3λ0 / 4 , sedangkan Gambar 30.b. terjadi pada puncak frekuensi ω = 0.9724ω0 dengan ketebalan ketiga lapisan defek 4λ0 / 4 .
E Einc
E Einc
z (μm)
z (μm)
(a)
(b)
Gambar 30 Distribusi medan dalam PPB untuk variasi lebar ketiga defek (a) 3λ0 / 4 dan (b) 4λ0 / 4 Untuk kasus sudut datang ke segala arah (omnidirectional), kenaikan sudut datang dapat menggeser PPB kearah frekuensi yang lebih besar (panjang gelombang yang lebih kecil), sehingga distribusi medan yang terlokalisasi dalam lapisan defek terjadi pada puncak frekuensi yang berbeda dibandingkan untuk kasus insiden normal. Pada Gambar 31.a distribusi medan dalam lapisan defek terjadi untuk
39
puncak frekuensi ω = 1.01690ω0 dan untuk Gambar 31.b terjadi sedikit penurunan intensitas medan untuk frekuensi puncak ω = 1.0584ω0 . Secara umum perubahan sudut datang menghasilkan efek yang sama dengan perubahan material pada leyer defek pertama, yakni pergeseran PPB dan sedikit penurunan transmitansinya.
E Einc
E Einc
z (μm) (a)
z (μm) (b)
Gambar 31 Distribusi medan dalam PBG dengan variasi sudut datang (a) 300 (b) 450 Profil distribusi medan dalam bentuk tiga dimensi dapat menggambarkan medan yang merambat pada arah sumbu-z dalam kristal fotonik dengan intensitasnya. Bentuk perumusan medan yang merambat pada arah sumbu-z dapat
(
)
ditulis sebagai berikut: E = Aei ( k z z −ωt ) + Be −i ( kz z −ωt ) e
Tω
ik y y
.
Tω
z (μm) (b)
z (μm) (a)
Gambar 32 Profil tiga dimensi distribusi medan dalam PPB dengan (a) nd 3 = 2.1 dan (b) nd 3 = 2.5
40
Gambar 32 a. dan 32.b menunjukkan profil 3 dimensi distribusi medan pada arah z dan y yang diputar dengan sudut 900 untuk sistem konfigurasi 6-8-2-1 dengan puncak frekuensi yang tetap, yakni ω = 0.9799ω0 . Intensitas terbesar ditunjukkan oleh garis warna merah (bernilai 10) dan intensitas terendah ditunjukkan oleh garis warna biru (bernilai 0.5).
4.8 Optimasi Hasil Sebagai optimasi, nilai dari indeks bias defek ketiga dapat diatur untuk selang indeks bias tertentu dari defek kedua. Nilai gradien hubungan antara transmitansi terhadap indeks bias defek kedua menunjukkan sensitivitas untuk aplikasi sensor yang akan dikembangkan. Pada gambar 33.a terlihat bahwa nilai sensivitas (gradien dari kurva) berubah akibat variasi nilai indeks bias defek ketiga. Defek ketiga memiliki indeks bias masing-masing: 2.1 (merah), 2.0 (biru),
dan 1.9 (hitam)
memiliki sensitivitas berurut-turut: 1.6271, 1.0139, dan 0.70291. Berdasarkan hasil pada gambar 32.a, kita dapat memfungsikan defek ketiga sebagai kontrol sensitivitas (regulator sensitivitas) yang dapat digunakan untuk meningkatkan sensitivitas dengan cara memilih material yang sesuai pada lapisan defek ketiga.
2.15
Tω dTω/dnd2
nd2
nd2
(a)
(b)
Gambar 33 (a) Plot hubungan indeks bias defek kedua terhadap puncak transmitansi dengan variasi indeks bias defek ketiga: ( nd 3 = 2.1 ), biru ( nd 3 = 2.0 ), hitam ( nd 3 = 1.9 ) (b) plot sensitivitas lapisan defek kedua (dTω / dnd 2 ) terhadap variasi defek ketiga
41
Perubahan nilai indeks bias defek ketiga menghasilkan sensitivitas yang periodik sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 33.b. Untuk rentang indeks bias defek ketiga antara 1 sampai 2.5 menunjukkan sensitivitas maksimum untuk nilai indeks bias defek ketiga bernilai 2.15. Hasil ini menjadi cukup penting bahwa untuk mencapai kondisi sensitivitas maksimum, nilai-nilai parameter yang mendukung dapat digunakan saat fabrikasi. Variasi ketebalan salah satu lapisan defek juga dapat memberikan efek pada sensitivitas. Karena material/fluida yang akan disensing ditempatkan pada layer defek kedua, maka ketebalan layer defek kedua dapat divariasikan agar menghasilkan perubahan sensitivitas. Gambar 34 menampilkan variasi indeks bias defek kedua terhadap puncak transmitansi untuk nilai ketebalan layer defek kedua
d d 2 yang berbeda, pada konfigurasi 2-4-2-1. Sensitivitas untuk untuk ketebalan 2λ0 / 4 , 2.1λ0 / 4 , dan 2.2λ0 / 4 berturut-turut adalah 1.6271, 10916, dan 0.68951. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan mengubah ketebalan layer defek kedua, kita bisa memanipulasi divais agar bekerja pada range yang diinginkan dari indeks bias yang telah ditentukan berdasarkan pengetahuan tentang beberapa indeks bias dari sampel yang akan disensing, dan terlebih lagi divais dapat beroperasi pada kondisi optimal.
Tω
nd2
Gambar 34 Plot hubungan indeks bias defek kedua terhadap puncak transmitansi dengan variasi ketebalan lapisan defek kedua: merah ( nd 3 = 2.1 ), biru ( nd 3 = 2.0 ), hitam ( nd 3 = 1.9 )
42
Untuk kasus ke segalah arah (omnidirectional), variasi sudut datang menyebabkan perubahan indeks bias terhadap transmitansi menjadi tidak linier. Akan tetapi, data perubahan indeks bias terhadap transmitansi ini dapat dijadikan data baku untuk menentukan indeks bias material yang dapat dihubungkan dengan konsentrasi zat dalam suatu larutan. Pada sudut datang 300, PPB bergeser pada frekuensi ω = 3.456880ω0 dan menghasilkan grafik nd 2 − T yang hampir linier untuk sudut datang 450 dan sudut datang 600 menggeser PPB ke frekuensi
ω = 3.603672ω0 dan ω = 3.760479ω0 serta menghasilkan grafik yang tidak linier sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 35
Tω
nd2
Gambar 35 Plot hubungan indeks bias defek kedua terhadap puncak transmitansi dengan variasi sudut datang
43
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil simulasi didapatkan bahwa kristal fotonik satu dimensi dengan tiga defek menghasilkan PPB yang karakteristiknya dipengaruhi oleh parameter fisis (ketebalan dan indeks bias defek) dan sudut datang terhadap arah normal bidang. Perubahan indeks bias pada defek pertama dapat mempengaruhi puncak panjang gelombang (frekuensi) dari PPB, sehingga defek pertama dapat berfungsi sebagai regulator posisi. Pergeseran panjang gelombang terhadap petubahan indeks bias pada defek pertama menghasilkan hubungan yang linier sehingga dapat digunakan sebagai sensor. Untuk perubahan indeks bias defek kedua dan ketiga memberikan efek yang sama terhadap puncak transmitansi, akan tetapi perubahan indeks bias pada defek kedua memberikan respon yang lebih sensitif dibandingkan defek ketiga, sehingga defek kedua dapat berfungsi sebagai reseptor. Sensitivitas dari defek kedua dapat dipengaruhi oleh parameter fisis, seperti jumlah lapisan (M-N-L-R), ketebalan defek kedua, serta indeks bias defek ketiga. Kontrol sensitivitas dengan variasi indeks bias defek ketiga lebih mudah dilakukan, sehingga defek ketiga dapat berfungsi sebagai regulator sensitivitas.
5.2 Saran Pada penelitian ini masih banyak parameter yang belum dipertimbangkan salah satunya seperti: sifat absorbsivitas bahan dan nilai indeks bias bahan yang bergantung pada panjang gelombang. Parameter tersebut mempengaruhi respon PPB dan sensitivitas yang dihasilkan setelah fabrikasi.
44
DAFTAR PUSTAKA A. Sopaheluwakan. 2003. Defect States and Defect Modes in 1D Photonic Crystal. [Thesis] Netherlands: University of Twente. Banerjee, A. 2006. Enhanced Refractometric Optical Sensing by using OneDimensional Ternary Photonic Crystals. Progress In Electromagnetics Research, PIER 89. hlm 11–22. Cakmak, A.O. 2005. Photonic Crystals Based Sensing using Band Edge Modulation. [Thesis] Spring: Sabancii university. C. Sibilia, T. M. Benson, M. Marciniak, T. Szoplik. 2008. Photonic Crystal: Physics and Technology. Italia: Spinger-Verlag. Hendradi, T. P. Negara, B. Sulistiyo, H. Alatas. 2006. Photonic Pass-Band Characteristics of a Finite One Dimensional Photonic Crystal with Two Defects at Omnidirectional Ligth Incident. Proceedings of the International Conference on Mathematics and Natural Science (ICMNS); ITB, 29-30 November 2006. Bandung. hlm 907-910. H. Mayditia, H. Hardhienata, H. Alatas. 2005. Analysis of One Dimensional Photonic Crystals with Defect and Asymmetric Edges for Sensor Application. Proceedings of the International Conference on Instrumentation Communication and Information Technology (ICICI); ITB, 3-5 Agustus 2005. Bandung. hlm 740-744. H. Alatas, H. Mayditya, H. Hardhienata, A. Iskandar, M. O. Tjia. 2006. SingleFrequency Refractive Index Sensor Based on a Finite One-Dimensional Photonic Crystal With Two Defects. Jpn. J. Appl. Phys. 45(8B): 6754-6758. J. M, Lourtioz. 2008. Photonic Crystal. Berlin: Spinger-Verlag. Kun-Yuang Xu, Xiguang Zheng, Cai-Lian Li, Wei-Long She. 2005. Design of Omnidirectional and Multiple Channeled Filters using One-Dimensional Photonic Crystals Containing a Defect Layer with a Negative Refractive Index. Phys. Rev. E. 85(25): 6089-6091.
45
Kurt, H. 2006. Photonic Crystal: Analysis, Design, and Biochemical sensing Aplications. [Thesis] Georgia: School of Electrical and Computer Engineering. L. Carretero, M. Perez-Molina, P. Acebal, S. Blaya, A. Fimia. 2006. Matrix Method for The Study of Wave Propagation in One-Dimensional General Media. J. Opt. Soc. Am. 23(14): 11385-11391 . L. H. Sheng, C. Y. Ju, W. Likarn. 2007. Photonic Crystal Based Optical Add/Drop Multiplexer using Narrow-Band reflection Filters. J. Appl. Phys. 46(10A): 6898-6902. Maksimovic, M. 1976. Optical Resonance in Optical Multilayer. [Dissertasi]: Netherlands: University of Twente. N. J. Florous, K. Saitoh, S. K, Varsheney, M. Khosiba. 2006.Fluidic Sensors Based on Photonic Crystal Fiber Gratings: Impact of The Ambient Temperature. IEEE Photonics Technology Letters. 21(18): 2206-2208. O. Schmidt, P. Kiesel, S. Mohta, N. M. Johnson, 2007. Resolving pm Wavelength Shifts in Optical sensing. J. Appl. Phys. B 86, 593-600. Sevim, K. 2004. One Dimensional Photonic Crystal Waveguide. [Dissertasi] Turkey: Izmir Institute of technology. Widada. 2008. Design of Boundary Light Refraction Between Air and Fluid Experiment Apparatus and Determination of Fluid Refraction Index for Teaching in SMU/MA. [Thesis] Bandung: Bandung Technology Institut. X. Li, K. Xie, H. Jiang. 2008. Transmission Properties of One-Dimensional Photonic Crystal Containing Double-Negative and Single-Negative Materials. Chinesse. Opt. Lett. 2(6): 130-132. Zainul Arham, Usman Ahmad, Suroso. 2004. Evaluasi Mutu Jeruk Nipis (Citrus Aurantifolia Swingle) Dengan Pengolahan Citra Digital Dan Jaringan Syaraf Tiruan. Prosiding Semiloka Teknologi Simulasi Dan Komputasi Serta Aplikasi; IPB, 27 November 2004. Bogor. hlm 1-4. Z. Jaksic, Maksimovic, M. sarajlic, 2004. Metallodielectric Photonic Crystal as Transparent Metal Pass-Band Filters Near 320 nm. Proceedings Telecommunication Forum XII; Institute of Microelectronic Technologies and Single Crystals, Serbia. hlm 25-27.
46
Lampiran 1. Tahapan penelitian secara lengkap
Penelusuran literatur
Membentuk perumusan matriks transfer dan distribusi medan untuk modusl kristal fotonik satu dimensi dengan tiga defek
Simulasi dengan program matlab
tidak Berhasil/Tidak
ya
Analisis Output
Optimasi hasil
penulisan
47
Lampiran 2. Penurunan Persamaan Nilai-Eigen Persamaan Maxwell pertama: G G G ∂ G G ∇ × E (r , t ) = − B(r , t ) ∂t
G G G G ∂ JJG G ∇ × E (r , t ) = − μ (r ) H (r , t ) ∂t bagi kedua ruas dengan μ ( rG ) dan operasikan curl G G G 1 ∂ JJG G H (r , t) G ∇ × E (r , t) = − ∂t μ (r ) G ⎛ 1 G G G ⎞ G ∂ JJG G ∇ × ⎜ G ∇ × E (r , t ) ⎟ + ∇ × H (r , t ) = 0 ∂t ⎝ μ (r ) ⎠
gunakan identitas vektor: G ⎛ 1 G G G ⎞ G G G ⎛G 1 ⎞ G G G 1 G ∇ × ⎜ G ∇ × E (r , t ) ⎟ = G ∇ × ∇ × E (r , t ) + ⎜ ∇ G ⎟ × ∇ × E (r , t ) ⎝ μ (r ) ⎠ μ (r ) ⎝ μ (r ) ⎠ G karena ⎛⎜ ∇ 1G ⎞⎟ = 0 , maka: ⎝ μ (r ) ⎠ G G G G G ∂ JJG G 1 G ∇ × ∇ × E ( r , t ) + ∇ × H ( r , t ) = 0 ............................................................ 1 ∂t μ (r )
(
(
)
(
)
)
Persamaan Maxwell kedua:
G G G G G ∂ D (r , t ) + J (r , t ) ∇ × H (r , t ) = ∂t
G
Asumsi pada bahan tidak terdapat rapat muatan dinamis , J (r , t ) = 0, sehingga: G G G ∂ G G ∇ × H (r , t ) = E ( r , t )ε ( r ) ∂t
differensialkan kedua ruas; G ∂ G G ∂2 G ∇ × H ( r , t ) = ε 2 E ( r , t ) ........................................................................... 2 ∂t ∂t
subtitusikan persamaan (2) ke persamaan (1) G G G 1 G ∂2 G G ∇ × ∇ × E (r , t ) + ε 2 E (r , t ) = 0 ∂t μ (r ) kalikan kedua ruas dengan μ (rG)
(
)
48
G G G G G ∂2 G ∇ × ∇ × E ( r , t ) + εμ ( r ) 2 E ( r , t ) = 0 ∂t
(
)
karena bahan bersifat non magnetik maka μ (rG ) = μ0 G G G G ∂2 G ∇ × ∇ × E ( r , t ) + ε ( r )ε 0 μ 0 2 E ( r , t ) = 0 ∂t 1 2 mengingat bahwa c =
(
)
ε 0 μ0
G G G G 1 ∂2 G ∇ × ∇ × E (r , t ) + ε (r ) 2 2 E (r , t ) = 0 c ∂t G G solusi umum persamaan gelombang standar yaitu: E = E 0 e i ( k . r − ω t ) , maka persamaan menjadi: G G G G ω2 G ∇ × ∇ × E (r , t ) + ε (r ) 2 E (r , t ) = 0 c bagi kedua ruas dengan ε (r ) G G G 1 G ω2 G ∇ × ( ∇ × E (r , t ) ) + 2 E (r , t ) = 0 c ε (r )
(
)
(
)
49
Lampiran 3. Penurunan Matriks Transfer Matriks Transfer untuk satu lapisan:
A0
A1
A2
B0
B1
B2
B
B
B
Pada z = 0 A 0 + B0 = A1 + B1
k0 z ( A 0 − B0 ) = k1z ( A1 − B1 )
Jika dua persamaan diatas dibentuk matriks: 1 ⎞⎛ A0 ⎞ ⎛ 1 1 ⎞⎛ A1 ⎞ ⎛ 1 ⎜ ⎟⎜ ⎟ = ⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎝ k0 z −k0 z ⎠⎝ B0 ⎠ ⎝ k1z −k1z ⎠⎝ B1 ⎠ −1
1 ⎞ ⎛ 1 ⎛ A0 ⎞ ⎛ 1 ⎜ ⎟=⎜ ⎟ ⎜ ⎝ B0 ⎠ ⎝ k0 z − k0 z ⎠ ⎝ k1z ⎛ A0 ⎞ ⎛ A1 ⎞ −1 ⎜ ⎟ = P0 P1 ⎜ ⎟ ⎝ B1 ⎠ ⎝ B0 ⎠
1 ⎞ ⎛ A1 ⎞ ⎟⎜ ⎟ − k1z ⎠ ⎝ B1 ⎠
(1)
Pada z = d1 A 1 eik1 z d1 + B1e− ik1 z d1 = A2eik2 z d1 + B2 e− ik2 z d1
(
)
(
k1z A 1 eik1 z d1 − B1e − ik1 z d1 = k2 z A2 eik2 z d1 − B2 e − ik2 z d1 Jika dua persamaan diatas dibentuk matriks:
)
50
⎛ eik1 z d1 ⎜ ik1 z d1 ⎝ k1z e
⎞ ⎛ A1 ⎞ ⎛ eik2 z d1 ⎟⎜ ⎟ = ⎜ −k1z e− ik1 z d1 ⎠ ⎝ B1 ⎠ ⎝ k2 z eik2 z d1 e− ik1 z d1
⎛ A1 ⎞ ⎛ eik1 z d1 ⎜ ⎟=⎜ ik d ⎝ B1 ⎠ ⎝ k1z e 1 z 1
e −ik2 z d1 − k2 z e
−1
⎞ ⎛ eik2 z d1 ⎟ ⎜ −k1z e− ik1 z d1 ⎠ ⎝ k2 z eik2 z d1 e− ik1 z d1
−1
e− ik1 z d1 ⎞ ⎛ 1 ⎛ A0 ⎞ ⎛ eik1 z d1 = ⎟ ⎜ ⎜ ⎟ ⎜ ik1 z d1 −k1z e− ik1 z d1 ⎠ ⎝ k2 z ⎝ B0 ⎠ ⎝ k1z e ⎛ A0 ⎞ ⎛ A2 ⎞ −1 ⎜ ⎟ = Q1 P2 R21 ⎜ ⎟ ⎝ B2 ⎠ ⎝ B0 ⎠
− ik2 z d1
⎞ ⎛ A2 ⎞ ⎟⎜ ⎟ ⎠ ⎝ B2 ⎠
⎞ ⎛ A2 ⎞ ⎟⎜ ⎟ −k2 z e− ik2 z d1 ⎠ ⎝ B2 ⎠ e− ik2 z d1
1 ⎞ ⎛ eik2 z d1 ⎟⎜ −k2 z ⎠ ⎝ 0
0 e
− ik2 z d1
⎞ ⎛ A2 ⎞ ⎟⎜ ⎟ ⎠ ⎝ B2 ⎠ (2)
Subtitusi persamaan kedua kedalam persamaan pertama: ⎛ A0 ⎞ ⎛ A2 ⎞ −1 −1 ⎜ ⎟ = P0 PQ ⎟ 1 1 P2 R21 ⎜ ⎝ B2 ⎠ ⎝ B0 ⎠ Pada z = d1 + d2 A2 eik2 z ( d1 + d2 ) + B2 e− ik2 z ( d1 + d2 ) = A 1 eik1 z ( d1 + d2 ) + B1e− ik1 z ( d1 + d2 )
k2 z ( A2eik2 z ( d1 + d2 ) − B2 e− ik2 z ( d1 + d2 ) ) = k1z ( A 1 eik1 z ( d1 + d2 ) − B1e−ik1 z ( d1 + d2 ) )
Jika dua persamaan diatas dibentuk matriks: ⎛ eik2 z ( d1 + d2 ) e− ik2 z ( d1 + d2 ) ⎞ ⎛ A2 ⎞ ⎛ eik1 z ( d1 + d2 ) ⎜ ⎟=⎜ ik2 z ( d1 + d 2 ) ik2 z ( d1 + d 2 ) ⎟ ⎜ ik1 z ( d1 + d 2 ) B − k e k e ⎝ ⎠ 2 ⎝ 2z ⎠ ⎝ k1z e 2z
⎛ A2 ⎞ ⎛ eik2 z ( d1 + d2 ) ⎜ ⎟=⎜ ik ( d + d ) ⎝ B2 ⎠ ⎝ k2 z e 2 z 1 2 ⎛ A2 ⎞ ⎛ ⎛ eik2 z d2 ⎜ ⎟ = ⎜⎜ ⎜ ik d ⎝ B2 ⎠ ⎝ ⎝ k2 z e 2 z 2 ⎛⎛ 1 ⎜⎜ ⎜ ⎝ ⎝ k1z
−1
e −ik2 z ( d1 + d2 ) ⎞ ⎛ eik1 z ( d1 + d2 ) ⎟ ⎜ −k2 z eik2 z ( d1 + d2 ) ⎠ ⎝ k1z eik1 z ( d1 + d2 ) ⎞ ⎛ eik2 z d1 ⎟⎜ − k2 z e− ik2 z d2 ⎠ ⎝ 0 e− ik2 z d1
1 ⎞ ⎛ eik1 z d1 ⎟⎜ −k1z ⎠ ⎝ 0 −1
⎞⎞ − ik2 z d1 ⎟ ⎟ ⎟ e ⎠⎠
0 ⎞ ⎛ eik1 z d2 ⎟⎜ e− ik1 z d1 ⎠ ⎝ 0
0
e−ik1 z ( d1 + d2 ) ⎞ ⎛ A1 ⎞ ⎟⎜ ⎟ −k1z eik1 z ( d1 + d2 ) ⎠ ⎝ B1 ⎠ e−ik1 z ( d1 + d2 ) ⎞ ⎛ A1 ⎞ ⎟⎜ ⎟ −k1z eik1 z ( d1 + d2 ) ⎠ ⎝ B1 ⎠
−1
⎞ ⎞ ⎛ A1 ⎞ ⎟⎟⎜ ⎟ e− ik1 z d2 ⎠ ⎠⎟ ⎝ B1 ⎠ 0
−1
e − ik2 z d2 ⎞ ⎛ A2 ⎞ ⎛ eik2 z d1 0 ⎞ ⎛ eik2 z d2 ⎟ ⎟ ⎜ ⎜ ⎟=⎜ e −ik2 z d1 ⎠ ⎝ k2 z eik2 z d2 −k2 z e − ik2 z d2 ⎠ ⎝ B2 ⎠ ⎝ 0 1 ⎞ ⎛ eik1 z d1 ⎛ 1 0 ⎞ ⎛ eik1 z d2 0 ⎞ ⎛ A1 ⎞ ⎟ ⎜ ⎟⎜ ⎟ ⎜ ⎟⎜ e − ik1 z d1 ⎠ ⎝ 0 e − ik1 z d2 ⎠ ⎝ B1 ⎠ ⎝ k1z − k1z ⎠ ⎝ 0 ⎛ A2 ⎞ ⎛ A1 ⎞ −1 −1 ⎜ ⎟ = R21 Q2 PR ⎟ 1 11 R12 ⎜ ⎝ B2 ⎠ ⎝ B1 ⎠
Subtitusi persamaan ketiga kedalam persamaan kedua: ⎛ A0 ⎞ ⎛ A1 ⎞ −1 −1 −1 −1 ⎜ ⎟ = P0 PQ ⎟ 1 1 P2 R21 R21 Q2 PR 1 11 R12 ⎜ ⎝ B1 ⎠ ⎝ B0 ⎠
(3)
51
⎛ A0 ⎞ ⎛ A1 ⎞ −1 −1 −1 ⎜ ⎟ = P0 PQ ⎟ 1 1 P2 Q2 PR 1 11 R12 ⎜ ⎝ B1 ⎠ ⎝ B0 ⎠
Lampiran 3. Program Matlab untuk Kurva Transmitansi clear; %parameter input% c=3*10^8; lambda0=550*10^-6; w0=2*pi*c/lambda0; M=6; N=8; L=2; R=1; K=1000; dwr=0.0008; wr0=0.5; omega0=w0*wr0; counter=0; %indeks bias% n0=1; n1=2.1; n2=1.38; nd1=2.1; nd2=2.1; nd3=2.1; %lebar defek% d1=lambda0/4/n1; d2=lambda0/4/n2; D1=2*lambda0/4; D2=2*lambda0/4; D3=2*lambda0/4; %sudut% p0=0; p1=asin((n0/n1)*sin(p0)); p2=asin((n1/n2)*sin(p1)); pd1=asin((n2/nd1)*sin(p2));
52
pd2=asin((n2/nd2)*sin(p2)); pd3=asin((n2/nd3)*sin(p2)); for k=1:K counter=counter+1 wr(k)=dwr*k+wr0; omega(k)=w0*wr(k); lambda(k)=2*pi*c/omega(k); %vektor propagasi% k0(k)=n0*omega(k)*cos(p0)/c; k1(k)=n1*omega(k)*cos(p1)/c; k2(k)=n2*omega(k)*cos(p2)/c; kd1(k)=nd1*omega(k)*cos(pd1)/c; kd2(k)=nd2*omega(k)*cos(pd2)/c; kd3(k)=nd3*omega(k)*cos(pd3)/c; %komponen matriks% P0_11(k)=1; P0_12(k)=1; P0_21(k)=k0(k); P0_22(k)=-k0(k); P1_11(k)=1; P1_12(k)=1; P1_21(k)=k1(k); P1_22(k)=-k1(k); P2_11(k)=1; P2_12(k)=1; P2_21(k)=k2(k); P2_22(k)=-k2(k); Pd1_11(k)=1; Pd1_12(k)=1; Pd1_21(k)=kd1(k); Pd1_22(k)=-kd1(k); Pd2_11(k)=1; Pd2_12(k)=1; Pd2_21(k)=kd2(k); Pd2_22(k)=-kd2(k); Pd3_11(k)=1; Pd3_12(k)=1; Pd3_21(k)=kd3(k); Pd3_22(k)=-kd3(k); M1_11(k)=exp(i*k1(k)*d1); M1_12(k)=exp(-i*k1(k)*d1); M1_21(k)=k1(k)*exp(i*k1(k)*d1); M1_22(k)=-k1(k)*exp(-i*k1(k)*d1); M2_11(k)=exp(i*k2(k)*d2); M2_12(k)=exp(-i*k2(k)*d2); M2_21(k)=k2(k)*exp(i*k2(k)*d2);
53
M2_22(k)=-k2(k)*exp(-i*k2(k)*d2); Md1_11(k)=exp(i*kd1(k)*D1); Md1_12(k)=exp(-i*kd1(k)*D1); Md1_21(k)=kd1(k)*exp(i*kd1(k)*D1); Md1_22(k)=-kd1(k)*exp(-i*kd1(k)*D1); Md2_11(k)=exp(i*kd2(k)*D2); Md2_12(k)=exp(-i*kd2(k)*D2); Md2_21(k)=kd2(k)*exp(i*kd2(k)*D2); Md2_22(k)=-kd2(k)*exp(-i*kd2(k)*D2); Md3_11(k)=exp(i*kd3(k)*D3); Md3_12(k)=exp(-i*kd3(k)*D3); Md3_21(k)=kd3(k)*exp(i*kd3(k)*D3); Md3_22(k)=-kd3(k)*exp(-i*kd3(k)*D3); P0(:,:,k)=[P0_11(k) P0_12(k);P0_21(k) P0_22(k)]; P1(:,:,k)=[P1_11(k) P1_12(k);P1_21(k) P1_22(k)]; P2(:,:,k)=[P2_11(k) P2_12(k);P2_21(k) P2_22(k)]; Pd1(:,:,k)=[Pd1_11(k) Pd1_12(k);Pd1_21(k) Pd1_22(k)]; Pd2(:,:,k)=[Pd2_11(k) Pd2_12(k);Pd2_21(k) Pd2_22(k)]; Pd3(:,:,k)=[Pd3_11(k) Pd3_12(k);Pd3_21(k) Pd3_22(k)];
M1(:,:,k)=[M1_11(k) M1_12(k);M1_21(k) M1_22(k)]; M2(:,:,k)=[M2_11(k) M2_12(k);M2_21(k) M2_22(k)]; Md1(:,:,k)=[Md1_11(k) Md1_12(k);Md1_21(k) Md1_22(k)]; Md2(:,:,k)=[Md2_11(k) Md2_12(k);Md2_21(k) Md2_22(k)]; Md3(:,:,k)=[Md3_11(k) Md3_12(k);Md3_21(k) Md3_22(k)];
% matriks n1/n2% TBragg(:,:,k)=P1(:,:,k)*inv(M1(:,:,k))*P2(:,:,k)*inv(M2(:,:,k)); % matriks n2'/n1% TDefect1(:,:,k)=Pd1(:,:,k)*inv(Md1(:,:,k))*P2(:,:,k)*inv(M2(:,:,k)); % matriks n2"/n1% TDefect2(:,:,k)=Pd2(:,:,k)*inv(Md2(:,:,k))*P2(:,:,k)*inv(M2(:,:,k)); % matriks n2"/n1% TDefect3(:,:,k)=Pd3(:,:,k)*inv(Md3(:,:,k))*P2(:,:,k)*inv(M2(:,:,k));
% Transmitansi Init=[1; 0]; h(:,:,k)=inv(P0(:,:,k))*TBragg(:,:,k)^M*TDefect1(:,:,k)*TBragg(:,:,k )^N*TDefect2(:,:,k)*TBragg(:,:,k)^L*TDefect3(:,:,k)*TBragg(:,:,k)^R* P0(:,:,k)*Init; s(k)=abs(1/h(1,1,k)); T(k)=s(k).^2
54
end figure(1); plot(lambda,T,'-k','LineWidth',2); grid hold on;
Lampiran 4. Program Matlab untuk Distribusi Medan clear; %parameter input% wr=0.000003; c=3e14; lambda0=0.55; w0=2*pi*c/lambda0; M=6; N=8; L=2; R=1; K=250; wr0=0.9799; omega0=w0*wr0; counter=0; omega=omega0; %indeks bias% n1=2.1; n2=1.38; nd1=2.1; nd2=2.1; nd3=2.1; n0=1; %lebar lapisan% d1=lambda0/4/n1;d2=lambda0/4/n2; D1=2*lambda0/4; D2=2*lambda0/4; D3=2*lambda0/4; %vektor gelombang% k0=n0*omega/c; k1=n1*omega/c; k2=n2*omega/c;
55
kd1=nd1*omega/c; kd2=nd2*omega/c; kd3=nd3*omega/c;
%komponen matriks% P0_11=1; P0_12=1; P0_21=k0; P0_22=-k0; P1_11=1; P1_12=1; P1_21=k1; P1_22=-k1; P2_11=1; P2_12=1; P2_21=k2; P2_22=-k2; Pd1_11=1; Pd1_12=1; Pd1_21=kd1; Pd1_22=-kd1; Pd2_11=1; Pd2_12=1; Pd2_21=kd2; Pd2_22=-kd2; Pd3_11=1; Pd3_12=1; Pd3_21=kd3; Pd3_22=-kd3; M0_11=exp(i*k0*d1); M0_12=0; M0_21=0; M0_22=exp(-i*k0*d1); M1_11=exp(i*k1*d1); M1_12=0; M1_21=0; M1_22=exp(-i*k1*d1); M2_11=exp(i*k2*d2); M2_12=0; M2_21=0; M2_22=exp(-i*k2*d2); Md1_11=exp(i*kd1*D1); Md1_12=0; Md1_21=0; Md1_22=exp(-i*kd1*D1);
56
Md2_11=exp(i*kd2*D2); Md2_12=0; Md2_21=0; Md2_22=exp(-i*kd2*D2); Md3_11=exp(i*kd3*D3); Md3_12=0; Md3_21=0; Md3_22=exp(-i*kd3*D3); P0(:,:)=[P0_11 P0_12;P0_21 P0_22]; P1(:,:)=[P1_11 P1_12;P1_21 P1_22]; P2(:,:)=[P2_11 P2_12;P2_21 P2_22]; Pd1(:,:)=[Pd1_11 Pd1_12;Pd1_21 Pd1_22]; Pd2(:,:)=[Pd2_11 Pd2_12;Pd2_21 Pd2_22]; Pd3(:,:)=[Pd3_11 Pd3_12;Pd3_21 Pd3_22]; M0(:,:)=[M0_11 M0_12;M0_21 M0_22]; M1(:,:)=[M1_11 M1_12;M1_21 M1_22]; M2(:,:)=[M2_11 M2_12;M2_21 M2_22]; Md1(:,:)=[Md1_11 Md1_12;Md1_21 Md1_22]; Md2(:,:)=[Md2_11 Md2_12;Md2_21 Md2_22]; Md3(:,:)=[Md3_11 Md3_12;Md3_21 Md3_22]; % lapisan n1/n2% TBragg(:,:)=inv(P0(:,:))*P2(:,:)*M2(:,:)*inv(P2(:,:))*P1(:,:)*M1(:,: )*inv(P1(:,:))*P0(:,:); % lapisan n2'/n1% TDefect1(:,:)=inv(P0(:,:))*Pd1(:,:)*Md1(:,:)*inv(Pd1(:,:))*P1(:,:)*M 1(:,:)*inv(P1(:,:))*P0(:,:); % lapisan n2"/n1% TDefect2(:,:)=inv(P0(:,:))*Pd2(:,:)*Md2(:,:)*inv(Pd2(:,:))*P1(:,:)*M 1(:,:)*inv(P1(:,:))*P0(:,:); % lapisan n3"/n1% TDefect3(:,:)=inv(P0(:,:))*Pd3(:,:)*Md3(:,:)*inv(Pd3(:,:))*P1(:,:)*M 1(:,:)*inv(P1(:,:))*P0(:,:);
% Transmitansi% Init=[1; 0]; dz1=d1/K; dz2=d2/K; Dz1=D1/K; Dz2=D2/K; Dz3=D3/K; % R Segments for k=1:K+1 counter=counter+1 z(k)=(k-1)*dz1; L110(:,:)=inv(P1(:,:))*P0(:,:)*Init; Field(k)=(L110(1,1)*exp(i*k1*z(k))+L110(2,1)*exp(-i*k1*z(k))); end
57
for k=K:2*K counter=counter+1 z(k)=d1+(k-K)*dz2; L121(:,:)=inv(P2(:,:))*P1(:,:)*M1(:,:)*L110(:,:); Field(k)=(L121(1,1)*exp(i*k2*(z(k)-d1))+L121(2,1)*exp(-i*k2*(z(k)d1))); end % D3 Layer for k=2*K:3*K counter=counter+1 z(k)=(k-2*K)*dz1+(d1+d2); D31(:,:)=inv(P1(:,:))*P2(:,:)*M2(:,:)*L121(:,:); Field(k)=(D31(1,1)*exp(i*k1*(z(k)-(d1+d2)))+D31(2,1)*exp(i*k1*(z(k)-(d1+d2)))); end for k=3*K:4*K counter=counter+1 z(k)=(k-3*K)*Dz3+(2*d1+d2); D32(:,:)=inv(Pd3(:,:))*P1(:,:)*M1(:,:)*D31(:,:); Field(k)=(D32(1,1)*exp(i*kd3*(z(k)-(2*d1+d2)))+D32(2,1)*exp(i*kd3*(z(k)-(2*d1+d2)))); end % L Segments for k=4*K:5*K counter=counter+1 z(k)=(k-4*K)*dz1+(2*d1+d2+D3); L11d(:,:)=inv(P1(:,:))*Pd3(:,:)*Md3(:,:)*D32(:,:); Field(k)=(L11d(1,1)*exp(i*k1*(z(k)-(2*d1+d2+D3)))+L11d(2,1)*exp(i*k1*(z(k)-(2*d1+d2+D3)))); end for k=5*K:6*K counter=counter+1 z(k)=(k-5*K)*dz2+(3*d1+d2+D3); L121(:,:)=inv(P2(:,:))*P1(:,:)*M1(:,:)*L11d(:,:); Field(k)=(L121(1,1)*exp(i*k2*(z(k)-(3*d1+d2+D3)))+L121(2,1)*exp(i*k2*(z(k)-(3*d1+d2+D3)))); end for k=6*K:7*K counter=counter+1 z(k)=(k-6*K)*dz1+(3*d1+2*d2+D3); L212(:,:)=inv(P1(:,:))*P2(:,:)*M2(:,:)*L121(:,:); Field(k)=(L212(1,1)*exp(i*k1*(z(k)-(3*d1+2*d2+D3)))+L212(2,1)*exp(i*k1*(z(k)-(3*d1+2*d2+D3)))); end for k=7*K:8*K counter=counter+1 z(k)=(k-7*K)*dz2+(4*d1+2*d2+D3); L221(:,:)=inv(P2(:,:))*P1(:,:)*M1(:,:)*L212(:,:); Field(k)=(L221(1,1)*exp(i*k2*(z(k)-(4*d1+2*d2+D3)))+L221(2,1)*exp(i*k2*(z(k)-(4*d1+2*d2+D3))));
58
end % D2 Layer for k=8*K:9*K counter=counter+1 z(k)=(k-8*K)*dz1+(4*d1+3*d2+D3); D21(:,:)=inv(P1(:,:))*P2(:,:)*M2(:,:)*L221(:,:); Field(k)=(D21(1,1)*exp(i*k1*(z(k)-(4*d1+3*d2+D3)))+D21(2,1)*exp(i*k1*(z(k)-(4*d1+3*d2+D3)))); end for k=9*K:10*K counter=counter+1 z(k)=(k-9*K)*Dz2+(5*d1+3*d2+D3); D22(:,:)=inv(Pd2(:,:))*P1(:,:)*M1(:,:)*D21(:,:); Field(k)=(D22(1,1)*exp(i*kd2*(z(k)-(5*d1+3*d2+D3)))+D22(2,1)*exp(i*kd2*(z(k)-(5*d1+3*d2+D3)))); end % N Segments for k=10*K:11*K counter=counter+1 z(k)=(k-10*K)*dz1+(5*d1+3*d2+D3+D2); N11d(:,:)=inv(P1(:,:))*Pd2(:,:)*Md2(:,:)*D22(:,:); Field(k)=(N11d(1,1)*exp(i*k1*(z(k)(5*d1+3*d2+D3+D2)))+N11d(2,1)*exp(-i*k1*(z(k)-(5*d1++3*d2+D3+D2)))); end for k=11*K:12*K counter=counter+1 z(k)=(k-11*K)*dz2+(6*d1+3*d2+D3+D2); N121(:,:)=inv(P2(:,:))*P1(:,:)*M1(:,:)*N11d(:,:); Field(k)=(N121(1,1)*exp(i*k2*(z(k)(6*d1+3*d2+D3+D2)))+N121(2,1)*exp(-i*k2*(z(k)-(6*d1++3*d2+D3+D2)))); end for k=12*K:13*K counter=counter+1 z(k)=(k-12*K)*dz1+(6*d1+4*d2+D3+D2); N212(:,:)=inv(P1(:,:))*P2(:,:)*M2(:,:)*N121(:,:); Field(k)=(N212(1,1)*exp(i*k1*(z(k)(6*d1+4*d2+D3+D2)))+N212(2,1)*exp(-i*k1*(z(k)-(6*d1+4*d2+D3+D2)))); end for k=13*K:14*K counter=counter+1 z(k)=(k-13*K)*dz2+(7*d1+4*d2+D3+D2); N221(:,:)=inv(P2(:,:))*P1(:,:)*M1(:,:)*N212(:,:); Field(k)=(N221(1,1)*exp(i*k2*(z(k)(7*d1+4*d2+D3+D2)))+N221(2,1)*exp(-i*k2*(z(k)-(7*d1+4*d2+D3+D2)))); end for k=14*K:15*K counter=counter+1 z(k)=(k-14*K)*dz1+(7*d1+5*d2+D3+D2); N312(:,:)=inv(P1(:,:))*P2(:,:)*M2(:,:)*N221(:,:);
59
Field(k)=(N312(1,1)*exp(i*k1*(z(k)(7*d1+5*d2+D3+D2)))+N312(2,1)*exp(-i*k1*(z(k)-(7*d1+5*d2+D3+D2)))); end for k=15*K:16*K counter=counter+1 z(k)=(k-15*K)*dz2+(8*d1+5*d2+D3+D2); N321(:,:)=inv(P2(:,:))*P1(:,:)*M1(:,:)*N312(:,:); Field(k)=(N321(1,1)*exp(i*k2*(z(k)(8*d1+5*d2+D3+D2)))+N321(2,1)*exp(-i*k2*(z(k)-(8*d1+5*d2+D3+D2)))); end for k=16*K:17*K counter=counter+1 z(k)=(k-16*K)*dz1+(8*d1+6*d2+D3+D2); N412(:,:)=inv(P1(:,:))*P2(:,:)*M2(:,:)*N321(:,:); Field(k)=(N412(1,1)*exp(i*k1*(z(k)(8*d1+6*d2+D3+D2)))+N412(2,1)*exp(-i*k1*(z(k)-(8*d1+6*d2+D3+D2)))); end for k=17*K:18*K counter=counter+1 z(k)=(k-17*K)*dz2+(9*d1+6*d2+D3+D2); N421(:,:)=inv(P2(:,:))*P1(:,:)*M1(:,:)*N412(:,:); Field(k)=(N421(1,1)*exp(i*k2*(z(k)(9*d1+6*d2+D3+D2)))+N421(2,1)*exp(-i*k2*(z(k)-(9*d1+6*d2+D3+D2)))); end for k=18*K:19*K counter=counter+1 z(k)=(k-18*K)*dz1+(9*d1+7*d2+D3+D2); N512(:,:)=inv(P1(:,:))*P2(:,:)*M2(:,:)*N421(:,:); Field(k)=(N512(1,1)*exp(i*k1*(z(k)(9*d1+7*d2+D3+D2)))+N512(2,1)*exp(-i*k1*(z(k)-(9*d1+7*d2+D3+D2)))); end for k=19*K:20*K counter=counter+1 z(k)=(k-19*K)*dz2+(10*d1+7*d2+D3+D2); N521(:,:)=inv(P2(:,:))*P1(:,:)*M1(:,:)*N512(:,:); Field(k)=(N521(1,1)*exp(i*k2*(z(k)(10*d1+7*d2+D3+D2)))+N521(2,1)*exp(-i*k2*(z(k)(10*d1+7*d2+D3+D2)))); end for k=20*K:21*K counter=counter+1 z(k)=(k-20*K)*dz1+(10*d1+8*d2+D3+D2); N612(:,:)=inv(P1(:,:))*P2(:,:)*M2(:,:)*N521(:,:); Field(k)=(N612(1,1)*exp(i*k1*(z(k)(10*d1+8*d2+D3+D2)))+N612(2,1)*exp(-i*k1*(z(k)(10*d1+8*d2+D3+D2)))); end for k=21*K:22*K counter=counter+1 z(k)=(k-21*K)*dz2+(11*d1+8*d2+D3+D2);
60
N621(:,:)=inv(P2(:,:))*P1(:,:)*M1(:,:)*N612(:,:); Field(k)=(N621(1,1)*exp(i*k2*(z(k)(11*d1+8*d2+D3+D2)))+N621(2,1)*exp(-i*k2*(z(k)(11*d1+8*d2+D3+D2)))); end for k=22*K:23*K counter=counter+1 z(k)=(k-22*K)*dz1+(11*d1+9*d2+D3+D2); N712(:,:)=inv(P1(:,:))*P2(:,:)*M2(:,:)*N621(:,:); Field(k)=(N712(1,1)*exp(i*k1*(z(k)(11*d1+9*d2+D3+D2)))+N712(2,1)*exp(-i*k1*(z(k)(11*d1+9*d2+D3+D2)))); end for k=23*K:24*K counter=counter+1 z(k)=(k-23*K)*dz2+(12*d1+9*d2+D3+D2); N721(:,:)=inv(P2(:,:))*P1(:,:)*M1(:,:)*N712(:,:); Field(k)=(N721(1,1)*exp(i*k2*(z(k)(12*d1+9*d2+D3+D2)))+N721(2,1)*exp(-i*k2*(z(k)(12*d1+9*d2+D3+D2)))); end for k=24*K:25*K counter=counter+1 z(k)=(k-24*K)*dz1+(12*d1+10*d2+D3+D2); N812(:,:)=inv(P1(:,:))*P2(:,:)*M2(:,:)*N721(:,:); Field(k)=(N812(1,1)*exp(i*k1*(z(k)(12*d1+10*d2+D3+D2)))+N812(2,1)*exp(-i*k1*(z(k)(12*d1+10*d2+D3+D2)))); end for k=25*K:26*K counter=counter+1 z(k)=(k-25*K)*dz2+(13*d1+10*d2+D3+D2); N821(:,:)=inv(P2(:,:))*P1(:,:)*M1(:,:)*N812(:,:); Field(k)=(N821(1,1)*exp(i*k2*(z(k)(13*d1+10*d2+D3+D2)))+N821(2,1)*exp(-i*k2*(z(k)(13*d1+10*d2+D3+D2)))); end % D1 Layer for k=26*K:27*K counter=counter+1 z(k)=(k-26*K)*dz1+(13*d1+11*d2+D3+D2); D11(:,:)=inv(P1(:,:))*P2(:,:)*M2(:,:)*N821(:,:); Field(k)=(D11(1,1)*exp(i*k1*(z(k)(13*d1+11*d2+D3+D2)))+D11(2,1)*exp(-i*k1*(z(k)(13*d1+11*d2+D3+D2)))); end for k=27*K:28*K counter=counter+1 z(k)=(k-27*K)*Dz2+(14*d1+11*d2+D3+D2); D12(:,:)=inv(Pd1(:,:))*P1(:,:)*M1(:,:)*D11(:,:);
61
Field(k)=(D12(1,1)*exp(i*kd1*(z(k)(14*d1+11*d2+D3+D2)))+D12(2,1)*exp(-i*kd1*(z(k)(14*d1+11*d2+D3+D2)))); end %M Segments for k=28*K:29*K counter=counter+1 z(k)=(k-28*K)*dz1+(14*d1+11*d2+D3+D2+D1); M11d(:,:)=inv(P1(:,:))*Pd1(:,:)*Md1(:,:)*D12(:,:); Field(k)=(M11d(1,1)*exp(i*k1*(z(k)(14*d1+11*d2+D3+D2+D1)))+M11d(2,1)*exp(-i*k1*(z(k)(14*d1++11*d2+D3+D2+D1)))); end for k=29*K:30*K counter=counter+1 z(k)=(k-29*K)*dz2+(15*d1+11*d2+D3+D2+D1); M121(:,:)=inv(P2(:,:))*P1(:,:)*M1(:,:)*M11d(:,:); Field(k)=(M121(1,1)*exp(i*k2*(z(k)(15*d1+11*d2+D3+D2+D1)))+M121(2,1)*exp(-i*k2*(z(k)(15*d1+11*d2+D3+D2+D1)))); end for k=30*K:31*K counter=counter+1 z(k)=(k-30*K)*dz1+(15*d1+12*d2+D3+D2+D1); M212(:,:)=inv(P1(:,:))*P2(:,:)*M2(:,:)*M121(:,:); Field(k)=(M212(1,1)*exp(i*k1*(z(k)(15*d1+12*d2+D3+D2+D1)))+M212(2,1)*exp(-i*k1*(z(k)(15*d1+12*d2+D3+D2+D1)))); end for k=31*K:32*K counter=counter+1 z(k)=(k-31*K)*dz2+(16*d1+12*d2+D3+D2+D1); M221(:,:)=inv(P2(:,:))*P1(:,:)*M1(:,:)*M212(:,:); Field(k)=(M221(1,1)*exp(i*k2*(z(k)(16*d1+12*d2+D3+D2+D1)))+M221(2,1)*exp(-i*k2*(z(k)(16*d1+12*d2+D3+D2+D1)))); end for k=32*K:33*K counter=counter+1 z(k)=(k-32*K)*dz1+(16*d1+13*d2+D3+D2+D1); M312(:,:)=inv(P1(:,:))*P2(:,:)*M2(:,:)*M221(:,:); Field(k)=(M312(1,1)*exp(i*k1*(z(k)(16*d1+13*d2+D3+D2+D1)))+M312(2,1)*exp(-i*k1*(z(k)(16*d1+13*d2+D3+D2+D1)))); end for k=33*K:34*K counter=counter+1 z(k)=(k-33*K)*dz2+(17*d1+13*d2+D3+D2+D1); M321(:,:)=inv(P2(:,:))*P1(:,:)*M1(:,:)*M312(:,:); Field(k)=(M321(1,1)*exp(i*k2*(z(k)(17*d1+13*d2+D3+D2+D1)))+M321(2,1)*exp(-i*k2*(z(k)(17*d1+13*d2+D3+D2+D1))));
62
end for k=34*K:35*K counter=counter+1 z(k)=(k-34*K)*dz1+(17*d1+14*d2+D3+D2+D1); M412(:,:)=inv(P1(:,:))*P2(:,:)*M2(:,:)*M321(:,:); Field(k)=(M412(1,1)*exp(i*k1*(z(k)(17*d1+14*d2+D3+D2+D1)))+M412(2,1)*exp(-i*k1*(z(k)(17*d1+14*d2+D3+D2+D1)))); end for k=35*K:36*K counter=counter+1 z(k)=(k-35*K)*dz2+(18*d1+14*d2+D3+D2+D1); M421(:,:)=inv(P2(:,:))*P1(:,:)*M1(:,:)*M412(:,:); Field(k)=(M421(1,1)*exp(i*k2*(z(k)(18*d1+14*d2+D3+D2+D1)))+M421(2,1)*exp(-i*k2*(z(k)(18*d1+14*d2+D3+D2+D1)))); end for k=36*K:37*K counter=counter+1 z(k)=(k-36*K)*dz1+(18*d1+15*d2+D3+D2+D1); M512(:,:)=inv(P1(:,:))*P2(:,:)*M2(:,:)*M421(:,:); Field(k)=(M512(1,1)*exp(i*k1*(z(k)(18*d1+15*d2+D3+D2+D1)))+M512(2,1)*exp(-i*k1*(z(k)(18*d1+15*d2+D3+D2+D1)))); end for k=37*K:38*K counter=counter+1 z(k)=(k-37*K)*dz2+(19*d1+15*d2+D3+D2+D1); M521(:,:)=inv(P2(:,:))*P1(:,:)*M1(:,:)*M512(:,:); Field(k)=(M521(1,1)*exp(i*k2*(z(k)(19*d1+15*d2+D3+D2+D1)))+M521(2,1)*exp(-i*k2*(z(k)(19*d1+15*d2+D3+D2+D1)))); end for k=38*K:39*K counter=counter+1 z(k)=(k-38*K)*dz1+(19*d1+16*d2+D3+D2+D1); M612(:,:)=inv(P1(:,:))*P2(:,:)*M2(:,:)*M521(:,:); Field(k)=(M612(1,1)*exp(i*k1*(z(k)(19*d1+16*d2+D3+D2+D1)))+M612(2,1)*exp(-i*k1*(z(k)(19*d1+16*d2+D3+D2+D1)))); end for k=39*K:40*K counter=counter+1 z(k)=(k-39*K)*dz2+(20*d1+16*d2+D3+D2+D1); M621(:,:)=inv(P2(:,:))*P1(:,:)*M1(:,:)*M612(:,:); Field(k)=(M621(1,1)*exp(i*k2*(z(k)(20*d1+16*d2+D3+D2+D1)))+M621(2,1)*exp(-i*k2*(z(k)(20*d1+16*d2+D3+D2+D1)))); end % Left Background
63
for k=40*K:41*K counter=counter+1 z(k)=(k-40*K)*dz1+(20*d1+17*d2+D3+D2+D1); Left(:,:)=inv(P0(:,:))*P2(:,:)*M2(:,:)*M621(:,:); Field(k)=(Left(1,1)*exp(i*k0*(z(k)(20*d1+17*d2+D3+D2+D1)))+Left(2,1)*exp(-i*k0*(z(k)(20*d1+17*d2+D3+D2+D1)))); end g=1/(Left(1,1)); z0=R*(d1+d2)+(d1+D3)+L*(d1+d2)+(d1+D2)+N*(d1+d2)+(d1+D1)+M*(d1+d2) figure(1); plot(z0-z,abs(g*Field),'-k','LineWidth',2); grid hold on;
Lampiran 5. Program Matlab untuk Kurva Indeks Bias clear; %parameter input% c=3*10^8; A=564.05*10^-6; lambda0=550*10^-6; w0=2*pi*c/lambda0; M=6; N=8; L=2; R=1; omega=2*pi*c/A; counter=0; nd2i=1.33; nd2f=1.5; K=100; ddn2=(nd2f-nd2i)/K; %indeks bias% n0=1; n1=2.1; n2=1.38; nd1=2.1; nd3=2.1; %lebar defek% d1=lambda0/4/n1; d2=lambda0/4/n2; D1=2*lambda0/4; D2=2*lambda0/4; D3=2*lambda0/4;
64
for k=1:K nd2=nd2i+k*ddn2; nD2(k)=nd2; counter=counter+1 %vektor propagasi% k0=n0*omega/c; k1=n1*omega/c; k2=n2*omega/c; kd1=nd1*omega/c; kd2(k)=nD2(k)*omega/c; kd3=nd3*omega/c; %komponen matriks% P0_11=1; P0_12=1; P0_21=k0; P0_22=-k0; P1_11=1; P1_12=1; P1_21=k1; P1_22=-k1; P2_11=1; P2_12=1; P2_21=k2; P2_22=-k2; Pd1_11=1; Pd1_12=1; Pd1_21=kd1; Pd1_22=-kd1; Pd2_11(k)=1; Pd2_12(k)=1; Pd2_21(k)=kd2(k); Pd2_22(k)=-kd2(k); Pd3_11=1; Pd3_12=1; Pd3_21=kd3; Pd3_22=-kd3; M1_11=exp(i*k1*d1); M1_12=exp(-i*k1*d1); M1_21=k1*exp(i*k1*d1); M1_22=-k1*exp(-i*k1*d1); M2_11=exp(i*k2*d2); M2_12=exp(-i*k2*d2); M2_21=k2*exp(i*k2*d2); M2_22=-k2*exp(-i*k2*d2);
65
Md1_11=exp(i*kd1*D1); Md1_12=exp(-i*kd1*D1); Md1_21=kd1*exp(i*kd1*D1); Md1_22=-kd1*exp(-i*kd1*D1); Md2_11(k)=exp(i*kd2(k)*D2); Md2_12(k)=exp(-i*kd2(k)*D2); Md2_21(k)=kd2(k)*exp(i*kd2(k)*D2); Md2_22(k)=-kd2(k)*exp(-i*kd2(k)*D2); Md3_11=exp(i*kd3*D3); Md3_12=exp(-i*kd3*D3); Md3_21=kd3*exp(i*kd3*D3); Md3_22=-kd3*exp(-i*kd3*D3); P0=[P0_11 P0_12;P0_21 P0_22]; P1=[P1_11 P1_12;P1_21 P1_22]; P2=[P2_11 P2_12;P2_21 P2_22]; Pd1=[Pd1_11 Pd1_12;Pd1_21 Pd1_22]; Pd2(:,:,k)=[Pd2_11(k) Pd2_12(k);Pd2_21(k) Pd2_22(k)]; Pd3=[Pd3_11 Pd3_12;Pd3_21 Pd3_22];
M1=[M1_11 M1_12;M1_21 M1_22]; M2=[M2_11 M2_12;M2_21 M2_22]; Md1=[Md1_11 Md1_12;Md1_21 Md1_22]; Md2(:,:,k)=[Md2_11(k) Md2_12(k);Md2_21(k) Md2_22(k)]; Md3=[Md3_11 Md3_12;Md3_21 Md3_22];
% matriks n1/n2% TBragg=P1*inv(M1)*P2*inv(M2); % matriks n2'/n1% TDefect1=Pd1*inv(Md1)*P2*inv(M2); % matriks n2"/n1% TDefect2(:,:,k)=Pd2(:,:,k)*inv(Md2(:,:,k))*P2*inv(M2); % matriks n2"/n1% TDefect3=Pd3*inv(Md3)*P2*inv(M2);
% Transmitansi Init=[1; 0]; h(:,:,k)=inv(P0)*TBragg^M*TDefect1*TBragg^N*TDefect2(:,:,k)*TBragg^L *TDefect3*TBragg^R*P0*Init; s(k)=abs(1/h(1,1,k)); T(k)=s(k).^2 end
66
figure(1); plot(nD2,T,'-k','LineWidth',2); grid hold on;