CRITICAL REVIEW DARI BUKU: ILMU PERBANDINGAN AGAMA (THE COMPARATIVE STUDY OF RELIGIONS), JOACHIM WACH (1992), JAKARTA; CV. RAJAWALI Dra. PUJIATI MSc Fakultas Sastra Pog Universitas Sumatera Utara Buku ini sangat sesuai untuk membantu tesis saya yang bertajuk Suatu Kajian Perbandingan Tata Cara Bersuci Menurut Agama Islam Dan Budha, sebagaimana pada esei sebelumnya saya katakan bahwa penilitian dengan tajuk tersebut diatas merupakan penelitian awal, belum pernah dikaji sama sekali, makanya saya mengambil buku ini ilmu perbandingan agama sebagai kerangka acuan untuk research ini. Secara umum buku ini sangat menarik dimana menjelaskan perkembangan arti, metode dalam perbandingan agama pada bab 1, hakikat pengalaman pada bab 2, ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk pemikiran, ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk perbuatan,ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk persekutuan atau pengelompokkan umat beragama. Joachim Wach mengemban tiga tugas utama, pertama meneliti perkembangan dan masukkan paling mutahir dalam bidang ilmu agama. Kedua, menguraikan garis besar tiori agama yang dapat memberikan penilaian yang tepat terhadap segi-segi universal atau umum dari ungkapan–ungkapan pengalaman keagamaan didunia dan disetiap masa, tanpa prasangka terhadap ajaran tertentu yang mampu, Ketiga, menunjukkan garis-garis yang diikuti oleh hubungan antar berbagai agama Ilmu perbandingan agama modern sudah dimulai oleh Max Muller, lebih kurang satu abad yang lampau. Pada tahun 1856, terbit bukunya yang pertama yang berjudul Comparatif Mythology, menyusul pada tahun 1870 diterbitkan Introduction to the science of Religions. Penerbitan buku-buku tersebut diikuti dengan pemberian kuliah yang berjudul asal usul pertumbuhan agama sebagai mana digambarkan dalam agama–agama India Origin And Growth of Religion as Illustrated By The Religions of India di tahun 1878. Babak awal studi tersebut diwarnai oleh antusias yang sangat kuat, keinginan yang sungguh-sungguh untuk memahami agama lain. Dorongan tersebut dengan mulai memanfaatkan sumbersumber yang tersedia seperti teks-teks suci dalam beberapa hal menurut berbagai macam tradisi keagamaan, suku, Bangsa dan masyarakat yang berbeda.Usaha ini dengan penerbitan buku sacred Books of The East, pada tahun 1897. Kuliahkuliah Glifford yang menarik disampaikan sarjana Belanda Tielle antara tahun 1896 – 1898, telah diterbitkan buku yang berjudul element of Science Of Religion memperlihatkan masa transisi perkembangan ilmu perbandingan agama dari babak pertama menuju babak kedua. Babak pertama dengan penerapan teori evolusi dalam mempelajar agama, seperti karya-karya Tylor Primitive Culture (1871), Emile Durkheim Les Formes Elementaires de Lavie Religieuse (1912) dan Wilhem Wundt Volker Psychologio (1906). Ketika perang dunia pertama meletus terjadi perubahan penting yang disebut permulaan masa baru. Permulaan masa baru tersebut diwarnai oleh tiga hal yaitu;
©2003 Digitized by USU digital library
1
1. Keinginan untuk mengatasi perselisihan–perselisihan. 2. Keinginan penetrasi terhadap kedalaman hakikat pengalaman keagamaan 3. Perubahan masalah-masalah epistemologis
kedalaman
hakikat
Dalam ketiga periode yang telah dikemukakan diatas, banyak terjadi kerjasama internasioanal di kalangan para sarjana Eropah, Asia dan Amerika. Penelitian sejarah perkembangan ilmu perbandingan agama yang dilakukan oleh Jordan, Lehmann, Pinard de la boulaye et all, telah melihatkan keluasan kerjasama ini. Lagi pula peneliti barat menyadari pentingnya dukungan para peneliti lain yang betul-betul mengkaji tradisi keagamaan yang ada ditimur dalam rangka sumbangan berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi dipakai untuk menjelaskan bidang-bidang seni,hukum, agama dan sebagainya. Pendiri aliran ini adalah Edmund Husserl pada tahun 1922, yang memandang fenomenologi sebagai suatu disiplin filsafat.Tujuan pendekatan ini adalah untuk memahami hal-hal sebagai berikut : 1. Pemikiran–pemikiran 2. Tingkat laku 3. Bentuk–bentuk persekutuan Ada tingkatan–tingkatan tertentu dalam pemahaman. Yang satu merupakan pemahaman yang bersifat sebagian (partial), dan yang lainnya bersifat menyeluruh (integral). Jadi, dapat diperkirakan bahwa kita akan mampu menilai dengan tepat pemikiran atau tingkah laku keagamaan tertentu tanpa memiliki kesanggupan memahami lain-lainnya yang muncul dalam konteks yang sama atau untuk memahami konteks tersebut sebagai suatu keseluruhan. Masyarakat-masyarakat agama mengakui hal ini melalui pelapisan kelompok-kelompok keagamaannya, terutama masyarakat agama yang mempunyai sipat esoteris seperti masyarakat mistis dimana keragaman tingkat dikaitkan dengan tingkat pemahaman yang beragam pula. Dalam pemahaman agma ini , ada juga hukumnya . Menurut hukum tersebut adalah mungkin bagi pihak yang lebih tinggi untuk memahami pihak yang lebih rendah dan pihak yang lebih tua (guru) merasakan apa yang sedang terjadi di pihak yang lebih muda(murid). Kelengkapan itu sebagian akan bersipat intelektual agar dapat memahami suatu agama atau suatu gejala keagamaan dengan memperoleh informasi yang cukup luas. Karena itu kaedah substantif yang digunakan sebagai metode pengumpulan data yaitu ; 1. Studi perpustakaan 2. Temubual dengan pakar-pakar agama. Metodologi tersebut terdiri atas dua syarat. Syarat pertama adalah bahwa metode tersebut harus terpadu. Sebagaimana yang dikehendaki Aristoteles, Aquinas, Leibniz, dan Whitehead. Semua faham idealisme dan semua aliran naturalisme termasuk materialisme tegak dan runtuh dengan metode monisme. Tetapi membayangkan adanya satu kebenaran adalah satu hal yang tersendiri, dan memiliki atau memahaminya adalah hal yang lain. Kita hendaknya realistis dalam melihat kebijaksanaan yang mulai pada kata-kata rasul bahwa di dunia ini kita hanya mengetahui sebahagian saja, sehingga harus dikatakan bahwa hanya Tuhan sendirilah yang dapat memahami keseluruhan.Syarat yang kedua ialah bahwa metode tersebut harus sesuai dengan persoalan yang di teliti. Agar supaya metode
©2003 Digitized by USU digital library
2
tersebut dapat sesuai dengan persoalan yang sedang di teliti, maka harus di pahami fenomena kepribadian, hakekat nilai dan pengertian kebebasan. Dalam sebuah kalimat yang sangat berpengaruh dalam buku Nature, Man and God, temple menunjuk pada kenyataan bahwa pikiran itu sendiri berkembang di tengah-tengah proses yang di sadari.Ini berarti, kesadaran bukanlah suatu prioritas tertentu yang mengatur prinsip-prinsip pengalaman yang mungkin akan terjadi. Sebaliknya kita harus memandang pikiran tersebut sebagai suatu yang muncul dari latar belakang dunianya sendiri dan yang secara progresif menyusun konsepnya sendiri menurut macam hubungan yang di temuinya ataau yang diharapkan ditemuinya dalam dunianya.Pikiran berusaha mengungkapkan hubungan ini dalam bentuk simbolis. Karena itu, kita teringat kepada prinsip Platonis bahwa apabila menginginkan adanya suatu pemahaman rasional yang tepat, maka logos yang ada dalam diri kita harus akrab dengan logos yang terdapat dalam benda-benda. Memang prinsip hermeneutika terasa valid dalam mempelajari agama . Walaupun begitu buku ini juga memiliki dari sisi metodologi penelitian agama yang kurang di sentuh. Penelitian agama menjadi topik bahasan metodologi (Prof.DR.Noeng Muhadjir (1990:198)) merupakansatu soalan penting, apakah agama dapat di teliti? sementara ahli dan ulama mendudukkan bahwa ilmu dan wahyu itu memiliki otonomi dibidangnya masing-masing. Ekstrimistisnya tampil mentabukan filsafat diantara para ulama dan mentabukan filsafat diantara para ilmuwan. Metodologi penelitian agama itu luas sekali, ada yang berada dikawasan naqli (wahyu) dan ada yang aqli (produk budaya manusia). Metodologi penelitian agama yang ditampilkan disini bermaksud menjembatani para pakar ilmu agama dengan pakar-pakar ilmu non agama. Penulis dalam hal ini coba menyajikan penelaahan metodologi penelitian qualitatif ilmu-ilmu sosial. Metodologi penelitian agama yang telah disini lebih difungsikan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi yang lebih beriorentasi teistik atau difungsikan untuk mengembangkan studi testual agama menjadi lebih memberi makna kepada terapan Kontekstualnya akan dikaji keterhubungan integratif dengan alquran dan hadist bagi agama Islam dan kitab Tripitaka bagi agama Budha, dipelihara keterhubungan integratif antara yang aqliyah (rasional) dengan naqliyah (doktrin agama). Dasar ontology dan Oksology dipakai untuk mengembangkan epistemelogi dan metodologi penelitiannya. Bagi yang mampu membangun konseptualisasi metodologi penelitian yang kokoh (solid) sekaligus bermakna “meaningfull” dapat diharapkan mampu memberi sumbangan bagi studi agama yang lebih prospektif. Metodologi penelitian fenolmenologi haruslah value bound, mempunyai hubungan dengan nilai, teknologi demikian pula, harus berlandaskan dan diorentasikan pada nilai-nilai seperti kemanusiaan, keadilan, dan juga nilai efisien serta efektif. Bagi pendekatan fenomelogiperlu mempelajari aspek penting dari ethnometologi. Ethnometologi mengandung hal-hal berikut; Pertama, objek ditelaah secara holistik (keseluruhan sebagaimana adanya ). Kedua, berangkat dari empiridi lapangan, teori dikonstruksi dilapangan, dan bukan berdasarkan konseptualisasi kita, melainkan berdasarkan konseptualisasi kita, melainkan berdasar konseptualisasi masyarakat yang diteliti itu sendiri. Ketiga, mengambil sampel yang diduga memiliki ekstrimistis tertentu dengan harapan hal esiensil lebih jelas muncul meskipun tujuan penelitian Ethnometodologi itu idiografik, yaitu membatasi diri untuk membuat kesimpulan pada kasus yang diteliti saja, tetapi dengan mengambil sampel yang ekstrim, diharapkan kesimpulan kasusnya memiliki komparabilitas yang tinggi. Keempat, hendaknya luwes terhadap rencana sendiri,
©2003 Digitized by USU digital library
3
yang secara terus menerus menyesuaikan pada empiri di lapangan. Objek yang diteliti mungkin bergeser, responden yang lebih komunikatif dan imformatif yang lebih dicari, hasil analisis perlu dicheck apakah memang sesuai dengan persepsi masyarakat yang diteliti Studi tekstual menggunakan pendekatan formal legalistik, mencari kebenaran dengan mengembalikan pada teks alqur’an bagi agama islam dan kitab Tripitaka bagi agama Budha. Sedangkan studi kontekstualnya dengan menggunakan pendekatan empirik phenomenologik, mencari kebenaran dengan berupaya memahami konteksnya. Mukti Ali memaknai pendekatan kontekstual sebagai upaya mempelajari kitab suci sebagai pusat ide, sebagai sentralnya dan sejarah agama sebagai perifernya. Pendekatan fenomelogik seperti diuraikan diatas mengakui bahwa kebenaran itu ganda. Sebagian pemikir islam ada pula yang menampilkan pemikiran bahwa kebenaran itu ganda, terapanya; kebenaran Allah lain dengan kebenaran manusia, urusan ibadah lain dengan urusan politik dan budaya. Konsekuensi lanjutnya akan dapat menumbuhkan kontradiksi ekstren, yaitu kontradiksi antara kebenaran aqidah dengan kebenaran nilai sebagai kriteria kebenaran dapat berbeda-beda, dan bukan mustahil menjurus kerelativisme dalam nilai. Konsep ontologik yang kami tawarkan dalam membangun ilmu yang bersifat agama haruslah dikontruksikan atas pengakuan terhadap kebenaran. Kebenaran dalam aktualisasi tertinggi memang kebenaran ilahinya, kebenaran yang diajarkan Tuhan kepada manusia. Kebenaran dalam aktualisasi keseharian atau empirik tampil relepan dengan masalahnya. Masalah aktualnya:Biologi atau fisika, kebenaran yang muncul dominana adalah kebenaran empirik sensual, kadang berkembang menjadi masalah logik, sering masalah ini berkembang menjadi seperti etik bayi tabung,masalah etik alat perang muklir, semua kebenaran yang empirik sensual dan yang logik harus dikonsultasikan kepada kebenaran etik. Adapun alternatif model pengembangan ilmiah yang pertama kami sebut sebagai model postulasi. Bangunan pokok model ini adalah deduktif. Bertolak dari aksioma, postulat, hukum yang bersumber dari agama atau konstruksi teoritik holistik membangun keseluruhan sistematika disiplin ilmu itu. Model ini akan lemah kontruksinya bila postulasinya dirumuskan atau dibangun secara apriori atau spekulatif, dan akan kuat bila dibangun lewat penelitian empirik atau lewat proses berfikir reflektif. Model pengembangan ilmu yang kedua kami tawarkan adalah model pengembangan multi dan interdisipliner. Yang kami maksudkan dengan kerja multi disiplin adalah cara bekerjanya seseorang ahli disesuatu displin dan berupaya membangun disiplinnya dengan berkonsultasi pada ahli-ahli disiplin lain. Untuk membangun teori hukumnya, seorang ahli hukum berkonsultasi pada ahli kebudayaan,Ahli sosiologi , ahli hukum Islam dan lainnya. Keputusan konsep mana yang diambil terserah kepada ahli hukum yang bersangkutan. Sedangkan yang kami maksudkan dengan kerja interdisipliner adalah cara kerja sejumlah ahli dari beragam keahlian dan spesialisasi untuk menghasilkan secara bersama atau membangun suatu teori atau merialisasikan suatu proyek.
©2003 Digitized by USU digital library
4
KESIMPULAN Kajian perbandingan agama merupakan suatu kajian yang menarik untuk diteliti dalam rangka sumbangan berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan, dan agama dalam kehidupan masyarakat sudah membudaya, tidak pernah punah sepanjang abad dan waktu. Ilmu perbandingan agama modern dimulai oleh Max Muller pada tahun 1856. Pendekatan fenomenologi merupakan yang sesuai untuk meneliti dan menjelaskan bidang agama dalam hal memahami pemikiran masing-masing umat beragama, karena itu metodologi yang digunakan adalah: Temubual dan studi literatur.
BIBLIOGRAFI Berg,Bruce L. (1989). Qualitative Research Methode. Massachusetts: Allyin and Bacon, Adivision of Simon & Schuster. Bouquet,A.C(1971).Comparative of Relegion London: Cox & Wyman LTD. Andresky, Stanislav(1969). The Uses of Comparative Sociology. Los Angeles University of California Press. James E.O(1961) Comparative of Religion London : Cox & Wyman LTD. Muhadjir, Prof.DR. Noeng.(1992). Metodologi Penelitian Kualitatif Yogyakarta: Penerbit Rake Sarasin.
©2003 Digitized by USU digital library
5