Corporate Power : Sadomasochstic Korporasi Oleh: Subagyo
Bukanlah sekedar cerita fiksi, jika seringkali terkabar ada korporasi yang melakukan kegiatan bisnis dengan merusak lingkungan atau mengakibatkan rusaknya lingkungan. Bukan pula suatu usaha men-dramatisasi jika yang dirusak dan rusak tersebut tidak hanya lingkungan biologis namun juga lingkungan sosial. Padahal lingkungan merupakan aset negara yang bermakna bagi kehidupan, sehingga semestinya merusak lingkungan dinyatakan sebagai suatu kejahatan terhadap aset negara dan merugikan negara. Sepadan dengan tindak pidana korupsi yang disebut sebagai suatu kejahatan luar biasa. Namun tampaknya, hal ini masih dianggap sebagai suatu kisah fiksi, semacam dongeng dan rekaan semata. Tidak bisa dipungkiri, dalam realitas saat ini, bahwa korporasi memiliki kekuasaan yang luar biasa. Tidak hanya kekuasaan ekonomi, namun juga memiliki kekuasaan pada aspek politik, budaya, sosial, hukum dan lain-lain. Jika hampir 50 tahun yang lalu, seorang Milton Friedman (Friedman, 1970) mengatakan bahwa “the social responsibility of business is to Increase It’s Profits”, sampai sekarang “sabda” Friedman ini masih dianut dan dipatuhi oleh sebagai besar korporasi. Satu-satunya tanggung jawab sosial korporasi adalah dan hanyalah meningkatkan keuntungan (profit). Selanjutnya Friedman mengatakan bahwa hanya manusia yang memiliki tanggung jawab, korporasi hanyalah artificial person yang hanya memilki tanggung jawab artificial. Sebagai suatu keseluruhan, korporasi tidaklah memiliki tanggung jawab. “Sabda” Friedman ini, tampak tidak hanya diiikuti (sampai sekarang) dalam ranah praktis, namun juga ranah teoritis dan ideologis. Theory of The Firm Dalam buku klasik “The Emergence of The Theory of The Firm” (Williams, 1978:19), ada 2 pendapat mengenai korporasi. Pendapatan pertama dikemukakan oleh Adam Smith, yang mengatakan bahwa korporasi sebagai kapitalis dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan serta didasari atas motif self-interest. Sedangkan pendapat kedua, dikatakan oleh J.S. Mill. Mill mengatakan bahwa korporasi berusaha memaksimalkan keuntungan disebabkan oleh oleh Abstinence, yaitu keuntungan merupakan penghargaan atas pengorbanan pemilik modal untuk tidak melakukan personal gratification. Indemnity for Risk, yaitu keuntungan sebagai ganti rugi atas risiko potensial, Remuneration for Superintendence, yaitu sebagai pembayaran upah atas pengawasan. (Williams, 1978:47) Dua pendapat inilah yang sampai sekarang masih menjadi kacamata memandang korporasi dengan tabiat-nya. Meskipun konsep self-interest dari Adam Smith, tidaklah semata self-interest namun selfinterest with moral considerations. Pertimbangan moral inilah yang tampaknya dikorupsi dalam tataran ideologis dan dicampakkan dalam tataran praktis.
subagyo.id
Secara teori, terdapat dua pemilahan sudut pandang mengenai korporasi, yaitu: korporasi sebagai hasil dari konstruksi hukum (companies as a legal construct) dan korporasi sebagai kelompok sosial (companies as a social group). (Chapple, 2014, 10-13). Korporasi sebagai konstruksi hukum memiliki adanya pemisahaan yang tegas antara pemilik dan manajemen. Atau dalam bahasa ilmu manajemen, dikatakan adanya pemisahan antara pemilik sebagai prinsipal dengan manajemen sebagai agent. Konsep inilah yang menghasilkan Teori Agensi. Sebagai konstruksi hukum, korporasi memiliki hak secara hukum seperti individu, namun tidak memiliki tanggung jawab dan kewajiban yang sama dengan individu. Principal memiliki agent yang bertindak untuk menggunakan aset yang dimiliki oleh principal untuk sebesar-besarnya memenuhi kepentingan principal. Separasi atau demarkasi yang tajam antara principal dengan agent, tidak hanya terjadi dalam legal status, namun juga dalam hal tanggung jawab atas risiko. Tanggung jawab principal hanyalah tanggung jawab terbatas (limited liability) sedangkan tanggung jawab agent merupakan tanggung jawab yang tidak terbatas. Padahal agent bertindak untuk memberikan kemakmuran kepada principal. Bagaimana mungkin principal dibebaskan dari tanggung jawab atas kaitan dengan agent yang dipilihnya? Sedangkan korporasi sebagai kelompok sosial, dikatakan bahwa korporasi merupakan kumpulan dari individu yang bertindak secara bersama-sama untuk suatu tujuan bersama. (Chapple, 2014:12). Dimana individu-individu yang melakukan tindakan bersama-sama tersebut diatur dalam rangkaian peraturan korporasi. Sebagai entitas kolekif, korporasi selayak suatu garis kontinum, dimana individu berada pada pangkal ujung garis sebelah kiri dan ujung garis sebelah kanan adalah entitas korporasi. Antara individu dengan korporasi diujung lain, diikat dengan aturan perusahaan, misalnya kodifikasi nilai, tujuan, struktur pengambilan keputusan serta hubungan antar invidivu dalam korporasi. (Chapple, 2014:13)
Sesungguhnya individu dalam suatu korporasi merupakan subjek atas kreativitas, diskresi, penilaian, penafsiran dan pengetahun. Namun individu sebagai subjek kemudian dimanipulasi dan diambil alih oleh manajemen atau korporasi untuk kepentingan modal dan pemodal. Sehingga kedudukan individu sebagai subjek telah ter-relokasi. (Hanlon, 2016:49). Yang menjadi pertanyaan adalah jika kedudukan individu telah direlokasi dan diambil alih, namun mengapa tanggung jawab korporasi masih tetap pada individu?
Filsafat Utilitarianism dalam Korporasi Utilitarianism merupakan buah pemikiran dari seorang filsuf klasik yang bernama Jeremy Bentham (1748-1832). Buah pikiran, lebih 2 abad yang lalu ini, diduga masih mendominasi ideologi, teori serta praktek manajemen dewasa ini. Utilitarianism memiliki kharakteristik (Horison, 2005:80), yaitu: Consequentialist, dimana suatu perbuatan atau tindakan dikatakan benar jika memiliki akibat yang baik, tidak mempedulikan proses
subagyo.id
apalagi motif. Hedonistic, lebih menekankan pada kesenangan. Particularist, analisis atas sesuatu dilakukan secara parsial bukan general. Universalistic, hasil analisis yang partikular tersebut diterapkan dimanapun dan kapanpun baik untuk individu maupun kelompok. Agregative, menitikberatkan pada the total consequential effect. Maximising, berusaha melakukan tindakan dengan konsekuensi terbaik. Konsekuensi terbaik tersebut diukur dengan utilitas maksimum. Impartial, memberi titik tekan yang sama, baik individu atau kelompok dalam kesenangan maupun penderitaan. Dari paparan kharakteristik utilitarianism diatas, maka bisa dilihat bahwa konsep utilitarianism tidak mempertimbangkan motif atau pamrih, menolak melakukan pertimbangan moral serta hanya berfokus pada hasil/akibat/konsekuensi yaitu memaksimalkan utilitas. Jika utilitarianism dijadikan kacamata dalam memandang realitas saat ini, tampaknya kharakteristik ini masih menempel kuat pada ilmu ekonomi, ilmu manajemen dan praktek bisnis dari korporasi. Memaksimalkan utilitas menjadi jargon sampai saat ini.
Korporasi (ber-) Politik Ekonomi pada dasarnya adalah produksi sosial dan reproduksi hubungan kekuasaan diantara aktoraktor yang memiliki beragam akses dan dana dalam berbagai bentuk modal. (Achwan, 2013). Produksi sosial dan reproduksi hubungan antara pemegang kekuasaan kapital-ekonomi, politik dan hukum seringkali berkelindan sampai pada akhirnya terbentuk kolaborasi antara kekuatan bisnis dengan birokrasi demi mencari rente atau perlakukan khusus untuk menjalankan bisnis. (Aspinall, 2013). Sesungguhnya hukum bisa menjadi pelindung negara atas kesejahteraan warganya, lingkungan yang menjadi aset-nya maupun masa depan-nya. Hukum memiliki 2 kekuatan dalam sisi founding maupun reinforcing. (Hanlon, 2016:50). Namun, bukanlah kabar burung jika ada kekuatan-kekuatan bisnis yang turut terlibat dalam sisi founding maupun reinforcing hukum untuk meneguhkan kepentingan bisnisnya. Terlebih saat ini, setiap panggung dan jabatan politik selalu membutuhkan dana yang luar biasa besar. Pebisnis dan korporasi-lah yang bisa “membantu” dengan pamrih yang luar biasa mengerikan sekaligus menyebalkan. Djani dan Putut (2013:110) memberikan beberapa terminologi kapitalis yang mengambil dari penyebutan beberapa pakar seperti Richard Robison, Yoshihara Kunio dan Paul Hutchcroft. Menurut Robison, terdapat Kapitas Dependen (Dependent Capitalist), yaitu kapitalis yang selalu memiliki ketergantungan dengan derajad sangat tinggi pada pemerintah yang sedang berkuasa, Kunio menyebut Kapitalis Konco (Crony Capitalist), yaitu kapitalis yang memperoleh keuntungan sangat besar dari hubungan erat mereka dengan penyelenggara negara. Kunio menyebut penyelenggara negara seperti ini sebagai Kapitalis Birokrat, yaitu mereka yang pernah atau sedang memegang jabatannya untuk mengakumulasi kekayaannya. Sedangkan Hutchcroft, menyebut dengan Kapitalis Penjarah (Booty Capitalism), dengan kekuatan finansial dan jaringan sosial yang dimiliki, kapitalis penjarah mampu mempengaruhi aparatur pemerintah guna membuka akses (lebih besar) untuk mengeruk sumber daya. Dan Kapitalis Pariah (Pariah Entrepreneurs) adalah kapitalis yang tidak memiliki kekuataan finansial yang cukup dan tidak pula memiliki jaringan untuk membuka akses apapun.
subagyo.id
Dari gambaran Djani dan Putut (2013) ini, tampaknya memang sulit dipisahkan perselingkuhan antara pemerintah dengan korporasi. Dan korporasi akan selalu memainkan strategi politik dibelakang panggung dan sangat dimungkinkan bahwa korporasi memiliki agent politik yang bermain dipanggung yang formal. Korporasi mendapatkan agent dengan memanfaatkan kekuatan finansial yang dimiliki-nya.
Tanggung Jawab Korporasi Jika Friedman menulis bahwa tanggung jawab satu-satunya korporasi adalah “the social responsibility of business is to Increase It’s Profits”, sesunguhnya ada Peter F. Drucker yang lebih humanis mengatakan bahwa manajemen memiliki tanggung jawab moral. Menurut Drucker, tanggung jawab moral ini dilatari oleh: (1). Kewajiban dan kemestian manajemen bertanggung jawab atas seluruh manusia dalam korporasi, dan (2). Dampak dari keputusan dan tindakan yang diambil oleh manajemen akan mengimbas pada masyarakat. Karena itu korporasi memiliki tanggung jawab. (Kurzynski, 2009:360). Tidak hanya bertanggung jawab atas “to Increase It’s Profits”. Tanggung jawab tersebut, menurut Sen (1993), tidak hanya kepada shareholder dan owner namun juga tanggung jawab pada the rest of the world. Amartya Sen adalah salah seorang penerima Nobel Ekonomi. Pendapat dari Drucker dan Sen, dari sisi yang “agak” sempit sesungguhnya sudah diadaptasi dalam Hukum Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Sehat. Sudah terbukti beberapa korporasi dihukum karena pelanggaran yang dilakukannya. Namun, wilayah ini masih terlalu sempit jika dibandingkan dengan kemungkinan korporasi menjarah dan melakukan pelanggaran dan kejahatan diluar wilayah Persaingan Sehat. Meskipun persaingan sehat adalah nilai asasi dalam konstitusi ekonomi (Soemardi, 2013), namun semestinya jangan hanya pada wilayah ini saja korporasi dibatasi kekuasaannya.
Ten Precepts for 21st Centurty Business Googins (2007:70) telah merumuskan 10 aturan untuk bisnis dibad 21. Kesepuluh aturan tersebut adalah: Compliance is not enough, size invites scrutiny, transparency is a requirement, cutting costs can raise risks, reducing risk means engaging society, stakeholder are a link to society, society’s needs are growth opportunities, gobal growth requires global gains, sustainable corporations need sustainable societies, society need business, NGOs and government. Kesepuluh aturan ini, bisa menjadi harapan agar korporasi tidak terus menerus memiliki kekuasaan yang tak terbatas, serta tidak berperilaku sadomasochstic yang menyakiti masyarakat banyak demi sebuah kesenangan semata !
Daftar Pustaka Achwan, Rochman, Hidup Bersama Ologarki: Bisnis Pakaian Jadi di Daerah, Prisma, Vol. 32, No. 1, 2013
subagyo.id
Aspinall, Edward, Kemenangan Modal? Politik Kelas dan Demokratisasi Indonesia, Prisma, Vol. 32, No. 1, 2013 Chapple, Chris, The Moral Responsibilities of Companies, Palgrave Macmillan, London, 2014 Djani, Luki dan Putut Aryo Saputro, Membaca Relasi Negara dan Kapital di Tingkat Lokal: Sebuah Tawaran Kerangka Analisis, Prisma, Vol. 32, No. 1, 2013 Friedman, Milton, The Social Responsibility of Business is to Increase its Profits, The New York Times Magazine, September 13, 1970 Googins, Bradley K, Beyond Good Company: Next Generation Corporate Citizenship, Palgrave Macmillan, London, 2007 Hanlon, Gerard, The Dark Side of Management, A Secret History of Management Theory, Routledge, New York, 2016 Horison, Mike, An Introduction to Business and Management Ethics, Palgrave Macmillan, London, 2005 Kurzynski, Marcia, Peter Drucker: modern day Aristotle for the business community, Journal of Management History, Vol. 15, No. 4. 2009, p. 357-374 Sen, Amartya, Modey and Value: On The Ethics and Economics of Finance, Economics and Philosophy, 9 (1993), 203-227 Soemardi, Tresna P, Persaingan Sehat adalah Nilai Asasi, Majalah Kompetisi KPPU, Edisi 43, 2013 Williams, Philip L, The Emergence of The Theory of The Firm, The Macmillan Press LTD, London, 1978
Penulis adalah Penjaga Portal subag
yo.id
subagyo.id