Coping Stress yang Digunakan Pada Narapidana Laki-laki di Lembaga Pemasyarakata Salemba
Nama
: Erma Triandani Nofri Julita
Tempat & Tanggal Lahir
: Jakarta, 14 September 1991 Ujung Pandang, 28 Juli 1991
Program Studi
: Psikologi
Jenjang
: S1
ABSTRAK Universitas Paramadina Program Studi Psikologi 2013
Erma Triandani (209000133) dan Nofri Julita (209000175) Coping Stress yang Digunakan Pada Narapidana Laki-laki di Lembaga Pemasyarakata Salemba 9 halaman,-, -,1 lampiran Seorang narapidana yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Salemba terkait kasus narkoba mendapat hukuman selama 4 tahun. Ruang gerak narapidana dibatasi dan terisolasi dari masyarakat. Keadaan seperti ini dapat menjadi stressor pada narapidana. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui coping stress yang dimiliki pada narapidana laki-laki yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Salemba terkait dengan kasus penggunaan narkoba. Coping melibatkan usaha aktif untuk mengatasi tuntutan yang membuat stres. Jenis-jenis coping diantaranya adalah menyelesaikan masalah (problem-focused coping) dan memfokuskan diri pada emosi-emosi yang disebabkan oleh masalah (emotion-focused coping). Cara ketiga adalah dengan memikirkan kembali masalah, melalui penilaian kembali (reappraisal). Subjek pada penelitian ini adalah narapidana laki-laki yang berusia 32 tahun dan baru menjalani masa tahanan selama 2 tahun 1 bulan. Berdasarkan hasil wawancara, pendekatan coping stress yang digunakan subjek yaitu emotion-focused coping, berupa mendegarkan MP3 dan membaca novel. Ketika subjek sedang mengalami tempramen yang tinggi, subjek juga memilih untuk menghindari kontak dengan orangorang agar emosinya tidak meluap.
Kata kunci : Narapidana, Coping Stress, Laki-laki, Lembaga Pemasyarakatan Daftar pustaka : 8, 2007-2012.
ABSTRACT Paramadina University, Psychology, 2013
Erma Triandani (209000133) and Nofri Julita (209000175) Coping Stress That Is Used On An Inmate Men In A Correctional Institution Salemba 9 pages,-, -,1 attachment An inmates who was in correctional institution Salemba related drug case sentenced for four years. Space is limites and isolated inmate from society. This situation can be stressor on inmate. The purpose of this research is to know coping stress have on inmates who are inside a correctional institution Salemba cases related to use of drugs. Coping involving active effort to overcome demands stressful. The types of coping are solve problems (problem-focused coping) and focusing on emotion (emotion focused coping). Third way is to rethink the problem through the revaluation (reappraisal). The subject at this research is the male inmates aged 32 years old and recently underwent a period of detention for two years and one month. Based on the interview approach coping stress used the subject, namely emotion focused coping, listening MP3 and reading novels. When subject is undergoing a high temprament, subject also chose to avoid contact with people so that his emotions are not overflowing.
Keyword : Inmate, Coping Stress, Male, Correctional Institution Bibliography : 8, 2007-2012.
Judul
: Coping Stress yang digunakan pada narapidana Laki-laki di Lembaga Pemasyarakatan Salemba.
Nama Penulis : Erma Triandani (209000133) Nofri Julita
(209000175)
Pendahuluan
Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum, maka seluruh tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memberi hukuman bagi yang bersalah. Selain memberikan hukuman bagi mereka yang bersalah negara juga memberi kewajiban untuk membina mereka yang telah melanggar hukum atau melakukan tindak kejahatan (Siswati & Abdurrohim, tth). Menurut Ndoen (2009) sebagian besar dari pelaku pelanggaran hukum sesungguhnya hanyalah orang-orang yang secara situasional (dalam keadaan khusus) melakukan pelanggaran hukum, dan kemungkinan pengulangan pelanggarannya kecil. Demikian juga banyak orang yang melakukan pelanggaran hukum secara tidak sengaja atau karena lalai (Mustofa, dalam Ndoen, 2009). Sudah menjadi harapan besar bagi setiap terpidana yang menjalani hukuman untuk dapat menghirup udara segar di luar penjara dan kembali ditengah masyarakat, namun predikat bekas narapidana ibarat beban yang amat berat, dan mendapat pandangan penuh curiga dari masyarakat (Ndoen, 2009). Warga negara yang bersalah dan menjalani masa pidananya di Lembaga Pemasyarakatan dinamakan narapidana (Sudirohusodo dalam Siswati & Abdurrohim (tth). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) narapidana adalah orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana. Narapidana merupakan populasi yang rentan terhadap timbulnya kejadian depresi. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan atau Lapas (Pasal1 UU No.12 Tahun 1995 tentang kemasyarakatan). Kehilangan kemerdekaan bagi seseorang dapat menyebabkan timbulnya penurunan martabat serta harga diri sehingga muncul stress pada individu tersebut (Saputri, Rujito & Kartika, 2011).
Seorang narapidana selama berada di Lembaga Pemasyarakatan, ruang gerak narapidana dibatasi dan mereka terisolasi dari masyarakat. Keadaan seperti ini dapat menjadi stressor yang menyebabkan stress pada narapidana (Siswati & Abdurrohim, tth). Menurut Sholichatun (2011) menjalani
kehidupan di lembaga pemasyarakatan menghadapkan narapidana pada serangkaian risiko yang mungkin bersifat kronik jangka panjang terkait dengan masa depan hidup mereka selepas dari lembaga pemasyarakatan. Pembinaan narapidana mempunyai arti bahwa seseorang yang berstatus narapidana akan di ubah menjadi seseorang yang baik. Atas dasar pengertian tersebut, maka sasaran yang perlu dibina adalah pribadi dan budi pekerti narapidana, yang didorong untuk membangkitkan diri sendiri dan orang lain, serta mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tentram dan sejahtera dalam masyarakat dan selanjutnya berpotensi menjadi manusia yang berbudi luhur dan bermoral tinggi (Poernomo dalam Siswati & Abdurrohim, tth). Hal-hal yang membuat stres narapidana adalah masa hukuman narapidana yang satu dengan narapidana yang lainnya berbeda. Hal tersebut didasarkan atas berat ringannya tindak kejahatan yang dilakukan. Selain itu menjalani kehidupan sebagai narapidana di lembaga pemasyarakatan bukan merupakan sesuatu yang menyenangkan. Individu di tuntut melakukan penyesuaian terhadap kehidupan didalam Lembaga Pemasyarakatan. Situasi lingkungan yang terpaksa harus di sesuaikan yaitu lingkungan fisik dan sosial yaitu, ruangan sel, bangunan penjara, teman satu sel, sipir, tim medis penjara dan rohaniawan (Siswati & Abdurrohim, tth). Penilaian yang dilakukan oleh Ingram dan Luxton menjelaskan bahwa para narapidana terhadap kondisi lapas yang membuat mereka stres cukup beragam. Stres yang dialami para narapidana tersebut memiliki dampak yang berbeda terhadap masing-masing narapidana bergantung pada kemampuan individu dalam mengelola permasalahan mereka (dalam Sholichatun, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Evans (dalam Sholichatun, 2011) terhadap 105 narapidana remaja di Amerika menunjukkan bahwa mereka mengalami beberapa gejala gangguan pasca trauma, yaitu adanya ingatan-ingatan yang mengganggu (46%) dan 38% memiliki pikiran terus menerus terkait dengan perilaku kriminal yang mereka lakukan. Kondisi kehidupan di lapas sebagaimana gambaran di atas menuntut kemampuan para narapidana untuk bisa menyesuaikan diri secara memadai terhadap stres atau tekanan-tekanan yang mereka jumpai dalam kehidupan di lapas (Sholichatun, 2011). Whitehead dan Steptoe (dalam Sholichatun, 2011) menjabarkan bahwa pengalaman kehidupan di lapas merupakan pengalaman kehidupan manusia yang paling jenuh dengan tekanan dibandingkan dengan semua kejadian-kejadian hidup negatif lainnya. Hal ini disebabkan
adanya kombinasi deprivasi personal dan lingkungan dalam ketidaknyamanan dan juga lingkungan yang tidak jarang menakutkan serta mengkhawatirkan. Menurut Saputri, Rujito & Kartika (2011) perbedaan usia seseorang dapat menghasilkan sikap yang berbeda dalam menghadapi kejadian yang penuh tekanan di hidupnya. Orang dengan usia muda cenderung akan lebih reaktif dan agresif dalam menghadapi masalah sehingga akan sangat mudah timbul stres. Penilaian terhadap kondisi stres dalam psikologi berhubungan dengan konsep coping. Coping merupakan strategi-strategi sosial, personal, dan kontekstual yang digunakan oleh individu dalam menghadapi situasi yang dipersepsikan sebagai kondisi yang menyebabkan stres atau distress psikologi (Mohino, Kirchner, dan Forn, dalan Sholichatun, 2011). Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengkaji bentuk-bentuk coping pada narapidana lembaga pemasyarakatan. Aday (dalam Sholichatun, 2011) menjelaskan dengan menggunakan studi kasus telah menemukan penggunaan strategi coping pada narapidana yang terkategori tua, yaitu dengan keterlibatan terhadap aktifitas keagamaan, penyangkalan masalah serta mencari bantuan pada narapidana lain. Sedangkan Thies (dalam Sholichatun, 2011) menganalisa strategi coping pada narapidana yang menderita HIV/AIDS dengan menggunakan interview individual dan menyimpulkan adanya penggunaan coping berfokus pada emosi khususnya proses kognitif penyangkalan, atensi selektif dan pengambilan jarak, mobilisasi dukungan serta beberapa strategi behavioral. Berdasarkan latar belakang diatas maka tujuan dari penelitian ini adalah peneliti ingin mengetahui mengenai coping stress yang dimiliki pada narapidana laki-laki yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan Salemba terkait dengan kasus penggunaan narkoba. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara. Subjek yang berinisial A berusia 32 tahun telah menggunakan narkoba sejak SMA. Alasan subyek menggunakan narkoba karena mengikuti teman-teman. Subjek menggunakan narkoba jenis putaw.
Pembahasan Coping melibatkan usaha aktif untuk mengatasi tuntutan yang membuat stres. Salah satu cara untuk mengatasi stres itu adalah mengurangi efek fisik, misalnya melalui relaksasi bertahap, meditasi, pemijatan dan olahraga. Cara lain adalah dengan memfokuskan diri untuk menyelesaikan masalah (problem-focused coping) dan tidak memfokuskan diri hanya melampiaskan emosi-emosi yang disebabkan oleh masalah (emotion-focused coping). Cara ketiga adalah dengan memikirkan kembali masalah, melalui penilaian kembali (reappraisal), belajar dari menemukan arti dari pengalaman dan perbandingan sosial dengan orang lain yang
lebih buruk keadaannya atau yang dapat menyediakan contoh-contoh yang memberikan inspirasi bagaimana mengatasi masalah (Wade & Tavris, 2007). Larkin (dalam Sholichatun, 2011) menjelaskan respons stres individu terhadap stresor lingkungan dapat ditunjukkan dari kondisi fisiologisnya, kognitif, afektif serta perilakunya. Secara fisiologis, respons stres yang ditunjukkan oleh individu misalnya ketegangan otot serta kondisi imunitas yang rendah yang ditampakkan dalam bentuk terkenanya infeksi bakteri, virus atau jamur. Respons stres secara kognitif ditunjukkan dalam melemahnya konsentrasi, cemas, keputusasaan atau pesimisme. Respons stres secara perilaku tampak dalam kecenderungan agresi, mudah tersinggung serta menarik diri. Sedangkan respons stres secara afektif ditampakkan dalam bentuk kemarahan, rasa bersalah dan rasa takut. Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Sholichatun, 2011) istilah coping di istilahkan sebagai usaha secara kognitif dan perilaku yang terus berubah untuk mengelola tuntutan internal dan eksternal yang melebihi kapasitas seseorang. Lazarus dan Folkman (dalam Sholichatun, 2011) juga mendefinisikan coping stress sebagai proses seseorang untuk mengelola tuntutan serta menggunakan kemampuannya untuk menghadapi situasi yang penuh tekanan. Stressor kehidupan dan coping saling mempengaruhi satu sama lain (Mohino, dalam Sholichatun, 2011). Coping bukanlah sekedar pertanyaan untuk mengetahui apa yang dilakukan pada saat stres tetapi lebih mengimplikasikan sebuah penggunaan keterampilan kognitif, sosial, dan behavioral secara fleksibel untuk mengatasi situasi-situasi yang mengambang, sulit diprediksi, atau penuh tekanan (Bandura, dalam Sholichatun, 2011). Wade dan Tavris (2007) menjelaskan bagaimana seseorang dapat mengatasi stres. Berikut adalah beberapa strategi mengatasi stres: A. Strategi fisik Mendinginkan kepala, cara yang paling cepat untuk mengatasi tekanan fisiologis dari stress adalah dengan menenangkan diri dan mengurangi rasang fisik tubuh melalui meditasi atau relaksasi. Latihan relaksasi progresif belajar untuk secara bergantian menekan dan membuat otot-otot menjadi santai, menurunkan tekanan darah dan hormon stress. B. Strategi berorientasi pada masalah 1. Emotion focused coping Emotion focused coping berfokus pada emosi yang muncul akibat masalah yang dihadapi, baik marah, cemas, atau duka cita. 2. Problem focused coping Problem focused coping memfokuskan diri untuk menyelesaikan masalah. C. Strategi Kognitif a) Reappraising masalah
Reappraising masalah adalah pemikiran kembali masalah melalui penilaian kembali. Reappraisal dapat mengubah kemarahan menjadi simpati, kecemasan menjadi determinasi, dan perasaan kehilangan menjadi perasaan memiliki kesempatan ( Folkman & Moskowitz dalam Wade & Tavris, 2007) b) Belajar dari masalah Mereka yang mengambil pelajaran dari tragedi yang tidak dapat dihindari dalam hidup dan menemukan arti dari pengalaman tersebut adalah mereka yang berhasil sukses menghadapi masalah dan tidak hanya bertahan dari masalah ( Folkman & Moskowitz dalam Wade & Tavris, 2007) c) Membuat perbandingan sosial Orang yang sukses menghadapi masalah juga membandingkan diri mereka sendiri dengan orang lain yang mampu menghadapi masalah dengan lebih baik dibandingkan mereka sendiri (Collins dalam Wade & Tavris, 2007) D. Strategi sosial a) Mengandalkan teman dan keluarga b) Menemukan kelompok dukungan c) Membantu orang lain Mohino (dalam Sholichatun, 2011) mengemukakan beragam bentuk analisis terhadap coping telah dikembangkan, salah satunya adalah analisis berdasarkan fungsinya. Fungsi-fungsi coping merupakan sebuah hasil langsung dari dua pilihan yang digunakan individu ketika menghadapi situasi stres, yaitu: 1. Tindakan langsung terhadap situasi Pilihan pertama mengimplikasikan sebuah tindakan langsung yang bertujuan untuk mengeliminir atau mengurangi tuntutan-tuntutan situasi dan meningkatkan sumber daya seseorang untuk mengatasinya. Pilihan pertama ini dikenal dengan problem-focused coping, yang diwujudkan dalam bentuk penggunaan beragam strategi penyelesaian masalah yang dapat menghilangkan hubungan yang penuh tekanan antara individu dengan lingkungan. 2. Kontrol terhadap emosi Coping yang bertujuan untuk mengatur emosi yang disebabkan oleh stress. Coping jenis ini dikenal dengan emotion-focused coping yang diperoleh melalui penginderaan terhadap stressor, melakukan evaluasi ulang secara kognitif dan memperhatikan aspekaspek positif dari diri dan situasi. Wade & Tavris ( 2007) menjelaskan bahwa dukungan sosial dari teman, keluarga, dan orang lain sangat berperan dalam mempertahankan kesehatan dan kesejahteraan emosional.
Laki-laki pada umumnya lebih kecil kemungkinannya dari pada perempuan untuk mencari dukungan sosial dan mencari bantuan untuk mengatasi masalah fisik dan emosional. Namun, beberapa kondisi meningkatkan kemungkinan laki-laki untuk mencari bantuan, seperti perasaan bahwa masalah mereka bukan merupakan sesuatu yang luar biasa dan perasaan bahwa mereka mampu membalas bantuan yang mereka dapatkan. Keluarga dan teman-teman dapat menjadi sumber stres, dalam pasangan dekat, pasangan yang bertengkar dengan cara yang kasar dan negatif menunjukkan kerusakan fungsi kekebalan tubuh. Memberikan dukungan kepada orang lain juga berhubungan dengan kesehatan dan mempercepat pemulihan dari pengalaman traumatis (Wade & Tavris, 2007). Beberapa ahli berpendapat coping berfokus pada masalah dapat lebih efektif dalam situasi yang dipercaya oleh individu dapat dirubah, sedangkan coping berfokus emosi digunakan dalam situasi-situasi yang dianggap sebagai situasi sulit atau tidak mungkin untuk dirubah (Folkman dan Lazarus, dalam Sholichatun, 2011). Berdasarkan hasil wawancara dengan subjek, peneliti berusaha untuk melihat bagaimana coping stress pada subjek.yang berada di Lembaga Permasyarakatan Salemba. Subjek mengatakan bahwa ia tidak senang berada dalam lapas. Subjek juga mengatakan bahwa kondisi lapas yang tidak layak membuat subjek stres. Subjek sering merasa bosan dengan kegiatan lapas. Coping stress melibatkan usaha aktif untuk mengatasi tuntutan yang membuat stres. Salah satu cara untuk mengatasi stres itu adalah mengurangi efek fisik, misalnya melalui relaksasi bertahap, meditasi, pemijatan, dan olahraga. Cara subjek untuk mengusir kebosanan yaitu dengan mendengarkan MP3 dan membaca buku atau novel. Cara tersebut juga dilakukan ketika subjek sedang mengalami tempramen yang tinggi. Subjek menghindari kontak dengan orang-orang agar emosinya tidak meluap. Selain membaca buku dan mendengarkan MP3, subjek juga melakukan olahraga futsal sebagai cara untuk mengatasi stres yang dialami. Hal tersebut karena pada umumnya laki-laki lebih kecil kemungkinannya mencari dukungan sosial dan mencari bantuan kepada orang lain untuk mengatasi masalah fisik serta emosional yang dialami. Tahanan yang baru berada didalam Lembaga Permasyarakatan mengalami tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan tahanan lama yang sudah menjalani masa hukuman (Picken, 2012). Castellano & Soderstrom (dalam Picken, 2012) menjelaskan bahwa narapidana yang menunjukkan tingkat kecemasan dan depresi yang tinggi dibandingkan dengan populasi secara umum, juga memiliki tingkat harga diri (self esteem) yang rendah. Pada wawancara yang dilakukan dengan subjek, subjek mengatakan bahwa dirinya merasa cemas terhadap penilaian masyarakat sekitar mengenai seorang mantan narapidana, apabila telah keluar dari Lembaga Permasyarakatan nanti. Subjek merasa cemas bahwa masyarakat akan menilai negatif tentang dirinya dan juga menjauhinya. Subjek juga mengatakan bahwa dirinya takut apabila tidak dapat diterima ditenga-tengah masyarakat. Picken (2012) menjelaskan bahwa sejak tahanan memiliki tingkat stres yang tinggi, kecemasan dan keinginan
untuk bunuh diri dibandingkan dengan individu yang lainnya. Hal ini penting bagi institusi untuk membantu mengatasi stres para tahanannya. Coping strategy mengacu pada usaha untuk “mengurangi atau mentolerir tuntutan yang dibuat oleh stres (Weiten dalam Picken, 2012). Coping yang dilakukan subjek lebih mengarah pada emotion focused coping dimana emotion focused coping merupakan salah satu strategi coping yang berfokus pada emosi yang muncul akibat masalah yang dihadapi. Strategi ini terlihat ketika subjek tidak melakukan kontak dengan orang-orang ketika tempramen subjek sedang tinggi. Wade & Tavris (2007) menjelaskan bahwa langkah-langkah spesifik dalam problemfocused coping tergantung dari sifat masalah itu, apakah keputusan tersebut mendesak atau hanya dibuat sekali saja; apakah kesulitan itu kesulitan yang berkelanjutan, seperti hidup dengan keterbatasan (fisik,psikologis) atau kejadian yang di antisipasi. Wade & Tavris (2007) menyebutkan bahwa laki-laki sering kali tidak menunjukkan kepada orang lain saat mereka memiliki masalah fisik atau emosional, sehingga memiliki kemungkinan yang lebih kecil dibandingkan dengan perempuan untuk mencari dan mendapatkan dukungan sosial dan bantuan praktis yang mereka butuhkan. Addis & Mahalik (dalam Wade & Tavris, 2007) mengatakan bahwa maskulinitas, bagi laki-laki memiliki arti berperilaku tegar, kompetitif, dan tidak ekspresif secara emosional. Hal tersebut merupakan anggapan bahwa laki-laki sejati mengalami semua hal sendirian.
Kesimpulan Dari hasil wawancara dengan subjek tersebut, subyek mengalami stress dikarenakan masa hukuman yang diterima, proses adaptasi dengan lingkungan di penjara, kondisi sel, dan teman sesama narapidana. Hal tersebut membuat subyek menjadi seorang yang tempramen, cemas, mudah tersinggung dan merasa putus asa. Kesimpulan yang didapat dari hasil wawancara yaitu subjek menggunakan pendekatan emotion-focused coping, dimana emotion-focused coping adalah Coping yang bertujuan untuk mengatur emosi yang disebabkan oleh stres. Cara coping stress yang dilakukan oleh subjek yaitu dengan mendegarkan MP3 serta membaca novel serta mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara mengikuti kegiatan keagamaan yang diselenggarakan pihak Lembaga Pemasyarakatan. Ketika subjek sedang mengalami tempramen yang tinggi, subjek juga memilih untuk menghindari kontak dengan orang-orang agar emosinya tidak meluap.
Saran Saran untuk lapas yaitu dengan menyediakan fasilitas konseling bagi narapidana. Berada dalam lapas untuk waktu yang lama membuat mereka stres sehingga mereka memerlukan orang yang dapat mendengarkan keluhan mereka. Fasilitas untuk mengembangkan bakat yang tersedia masih sangat kurang, oleh karena itu para narapidana kurang untuk berpartisipasi. Perlakuan yang diberikan kepada narapidana sebaiknya memperhatikan bahwa mereka orang-orang yang memerlukan bantuan fisik dan mental agar mampu menjadi individu yang bertanggung jawab serta memiliki kesadaran atas kesalahan yang pernah mereka lakukan.
Daftar Pustaka Departement Pendidikan Nasional. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Ndoen, Leoni Fitriani. (2009). Jurnal Pengungkapan Diri pada Mantan Narapidana. (http://www.gunadarma.ac.id), diakses pada tanggal 12 Juli 2013. Papalia, Diane E., et al. (2009). Human Development: Perkembangan Manusia. Ed. 10. Buku ke2. Terjemahan: Marwendy, Brian. Jakarta: Salemba Humanika. Picken, Jordan. (2012). The Coping Strategies Adjustment And Well-Being Of Male Inmate In The Prison Environment. Internet Journal Of Criminology. Online. (www.internetjournalofcrimonology.com), diakses 30 April 2013. Saputri, Dian K D., Rujito, Lantip & Kartika, Anna. (2011). Perbedaan Kejadian Depresi Pada Narapidana Usia Muda Dan Usia Tua Beserta Gambaran Sidik Jadi Di Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto. Mandala of health. (Online), Vol.5 No.2, (http://www.kedokteran.unsoed.ac.id), diakses pada 12 Juli 2013. Sholichatun, Yulia. (2011). Stres dan Strategi Coping pada Anak Didik di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Jurnal Psikologi Islam, (Online), Vol. 8, No. 1, Hal. 23-42. (http://www.ejournal.uin-malang.ac.id), diakses pada 12 Juli 2013. Siswati, Triana Indah & Abdurrohim. (Tth). Masa Hukuman dan Stres Pada Narapidana. Online. (www.cyber.unisula.ac.id), di akses 1 Juli 2013. Wade , Carol & Tavris, Carol. (2007). Psikologi, Edisi Kesembilan. Jakarta : Erlangga.
LAMPIRAN Nama
: Arianto
Umur
: 32 Tahun
Agama
: Katolik
Anak ke`
: 2 dari 3 bersaudara
Pendidikan Akhir
: D3 Akutansi
Cita-cita
: Pilot
Suku
: Ayah Ibu
: Makassar : Jogyakarta
Subjek mengatakan bahwa awalnya ia tertangkap karena adanya aduan dari seorang teman yang disebutnya sebagai "pengkhianat". Awalnya subjek bercerita bahwa pertama kali ia menggunakan narkoba adalah karena terbujuk rayuan temannya. Saat itu juga subjek belum mengetahui dampaknya saat hendak menggunakan narkoba jenis putaw, namun, karena sering menggunakan putaw lama kelamaan subjek menjadi ketagihan. Subjek mengatakan bahwa apabila dia tidak menggunakan obat tersebut dia merasa badan dan tulangnya sakit, pilek, temperamen tinggi dan tidak punya perasaan takut dengan orang lain. Subjek juga pernah mengalami overdosis sampai 2x. Subjek pertama kali menggunakan narkoba saat ia duduk di bangku kelas 1 SMA awalnya subjek memakai barang tersebut hanya untuk gaya gayaan saja. Saat itu subjek menggunakan putaw. Subjek bertahan menggunakan putaw selama sekolahnya dari kelas 1 SMA sampai dia selesai kuliah. Subjek mengatakan bahwa tidak ada guru yang mengetahui bahwa dirinya merupakan seorang pemakai. Namun, beberapa teman dekatnya disekolah mengetahui bahwa subjek adalah seorang pemakai namun, respon dari teman teman subjek terhadap subjek biasa saja. Saat kuliah, subjek sudah pasif untuk memakai putaw namun, ia beralih memakai shabu shabu. Subjek memakai shabu shabu dalam seminggu 2 sampai 3 kali. Barang ini dia dapatkan dari seorang temannya seharga Rp.80.000,Reaksi orang tuasubjek sangat marah saat mengetahui bahwa subjek menggunakan narkoba. Lingkungan sekeliling subjek pun saat mengetahui bahwa subjek adalah pemakai menjadi menjaga jarak terhadap subjek. Subjek pun pernah tidak keluar rumah selama 2 bulan. Subjek juga mengatakan bahwa ia pernah masuk rehab, namun hanya beberapa bulan saja. Subjek mengatakan bahwa ibu, adik dan pacarnya sering mengunjunginya dalam beberapa bulan sekali. Namun, subjek mengatakan bahwa ia tidak ingin keluarga besarnya mengetahui bahwa ia berada di dalam lapas saat ini.
Subjek mengatakan bahwa hampir semua orang yang berada dalam lapas ini perasaannya sensitif namun, semuanya tetap berteman baik dan saling menjaga perasaan satu sama lainnya. Terkadang jika subjek merasa jenuh, ia memilih untuk mendengarkan MP3 atau membaca buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer. Subjek membaca buku tersebut karena cerita yang ada dalam buku tersebut mirip dengan kehidupan yang dialaminya Kondisi sel subjek yaitu satu kamar di isi oleh 12 orang dan itu sangat sempit, terkadang hal tersebut dapat memicu keributan sesama temannya. Subjek juga mengatakan bahwa selama berada di Rutan, ia sempat memakai narkotika tersebut. Hal tersebut karena di Rutan mudah untuk mendapatkan barang-barang tersebut. Subjek mendapatkan total masa kurungan yaitu 4 tahun. Tetapi, subjek baru menjalaninya 2 tahun 1 bulan.Kegiatan subjek selama berada didalam lapas adalah membantu pengurus, bersih bersih dan kegiatan olahraga lainnya. Subjek juga rajin beribadah kegereja setiap minggunya. Perubahan yang subjek dapatkan selama berada didalam lapas yaitu subjek jadi lebih bertanggung jawab terhadap dirinya dan lingkungan sekitarnya. Subjek juga mengatakan bahwa ia menjadi tambah banyak informasi dan pengalaman. Namun, sifat negatif yang masih berada dalam diri subjek adalah temperamen yang tinggi, hal ini menurut pengakuannya karena dipicu oleh banyaknya pikiran dan rasa bosan. Harapan subjek kedepannya yaitu, subjek tidak mau menjadi orang yang gagal dan ingin hidup seperti yang lainnya. Subjek juga mengatakan bahwa apabila ia telah keluar dari lapas, ia ingin membuka usaha agar dapat membahagiakan orang tuanya.