STRESS DAN COPING STRESS PADA REMAJA PSK Isti. Oktavianti (10502124) Abstrak Tempat-tempat prostitusi pada era ini dapat dengan mudah kita jumpai di kota-kota besar maupun di kota-kota kecil. Di tempat prostitusi terdapat wanita yang menjajakan seks secara komersial. Wanitawanita ini biasa disebut Pekerja Seks Komersial (PSK). Para pekerja seks komersial rata-rata berasal dari kalangan remaja, karena perempuan muda selalu menjadi daya tarik bagi setiap tempattempat pelacuran. Profesi sebagai PSK merupakan salah satu pekerjaan alternatif untuk mendapatkan uang dengan cara cepat dan mudah. Para pekerja seks komersial menjalani pekerjaan ini demi memenuhi kebutuhan perekonomian dan menjadi tulang punggung keluarganya. Di satu sisi pekerjaan sebagai PSK merupakan pekerjaan yang sangat menyimpang dari norma-norma yang ada dan senantiasa menjadi masalah sosial. Tetapi di sisi lain para pekerja PSK juga harus bertahan hidup, terlebih pada saat seperti sekarang ini dimana lapangan pekerjaan semakin sulit didapat, khususnya para remaja PSK seperti mereka yang rata-rata tidak berpendidikan tinggi. Terkadang pekerjaan ini bertentangan dengan kata hati mereka, namun inilah cara mereka agar bisa bertahan hidup khususnya di kota besar. Pertentangan batin dengan kenyataan hidup yang ada, dapat menyebabkan stres pada remaja PSK dan hal tersebut dapat berkembang luas apabila tidak segera ditangani. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hal-hal apa saja yang melatar belakangi remaja menjadi PSK, dan untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk stres yang dialami remaja PSK dan strategi coping apa yang dilakukan remaja PSK untuk mengatasi stres dalam pekerjaan tersebut.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan teknik wawancara dan observasi. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja wanita yang bekerja sebagai PSK yang usianya antara 18-21 tahun. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah sebanyak dua orang remaja wanita yang bekerja sebagai PSK. Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat di peroleh kesimpulan bahwa hal-hal yang melatar belakangi remaja menjadi PSK adalah faktor ekonomi, permasalahan keluarga, ikut arus lingkungan dan seks pranikah. Bentuk stres yang dialami para remaja PSK berupa gejala suasana hati, gejala otot kerangka dan gejala organ dalam badan, contohnya seperti kecemasan, kegelisahan, sakit kepala dan lain-lain. Sedangkan macam-macam coping yang di lakukan oleh remaja PSK adalah dengan cara membicarakan masalahnya dengan orang yang terpercaya, melakukan aktivitas lain yang sifatnya menghibur untuk melupakan masalahnya sementara, mencari pekerjaan lain yang lebih halal, dan yang terakhir lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Kata kunci : Stres, Coping Stres, Remaja dan PSK. Pendahuluan Di Indonesia prostitusi sudah ada semenjak masa kerajaan-kerajaan Jawa dimana perdagangan perempuan pada saat itu merupakan pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Pada masa itu konsep kekuasaan raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia (Hull, 1997). Dengan kekuasaan ini berarti mereka menguasai tanah, benda, bahkan nyawa hamba sahaya mereka. Kekuasaan ini tercermin dari banyaknya selir yang mereka miliki. Hal ini terjadi karena rakyat menganggap bahwa dengan melahirkan anak-anak dari raja akan meningkatkan status yang dimiliki. Keadaan inilah yang membentuk landasan bagi perkembangan industri seks yang ada sekarang (Hull, 1997).
Di tempat-tempat prostitusi terdapat wanita yang menjajakan seks secara komersial. Wanita-wanita ini biasa disebut Pekerja Seks Komersial (PSK). Mukherji dan Kull (dalam Koentjoro, 2004), mendefinisikan seorang pekerja seks komersial adalah seorang perempuan yang menjual dirinya untuk kepentingan seks kepada beberapa pria berturut-turut yang dirinya sendiri tidak memiliki kesempatan untuk memilih pria mana yang akan menjadi langganannya. Menurut Feldman dan Culloch (dalam Koentjoro, 1999) mengatakan bahwa seorang pekerja seks komersial adalah seseorang yang menggunakan badannya sebagai komoditas dan menjual seks dalam satuan harga untuk memperoleh uang. Para pekerja seks komersial rata-rata berasal dari kalangan remaja. Perempuan muda selalu menjadi daya tarik bagi setiap tempattempat pelacuran. Monks dkk (2001) menjelaskan masa remaja berlangsung antara usia 12 tahun sampai 21 tahun dengan pembagian : 12-15 tahun sebagai masa remaja awal; 1518 tahun sebagai masa remaja pertengahan; dan 18-21 tahun sebagai masa remaja akhir. Remplein (dalam Monks dkk, 2001) mengemukakan bahwa remaja adalah masa dengan gejala-gejala krisis yang menunjukan adanya pembelokan dalam masa perkembangan, suatu kepekaan dan labilitas yang meningkat. Sesuai dengan namanya, pekerja seks komersial menjajakan tubuhnya demi mendapatkan sejumlah uang dari para pelanggannya yang merupakan para pria hidung belang. Bagi mereka pekerjaan seperti ini merupakan cara yang cepat dan mudah untuk mendapatkan uang. Para pekerja seks komersial menjalani pekerjaan ini demi memenuhi kebutuhan perekonomian dan menjadi tulang punggung keluarganya. Walau terkadang pekerjaan ini bertentangan dengan kata hati mereka, namun inilah cara mereka agar bisa bertahan hidup khususnya di kota besar. Satu sisi pekerjaan sebagai PSK merupakan pekerjaan yang sangat
menyimpang dari norma-norma yang ada dan senantiasa menjadi masalah sosial. Di banyak negara prostitusi itu dilarang bahkan dikenakan hukuman. Sejak zaman dahulu kala, para pelacur selalu dikecam atau dikutuk oleh masyarakat karena tingkah laku yang asusila dan dianggap mengotori sakralitas hubungan seksual. Mereka disebut sebagai orang-orang yang melanggar norma, moral, adat dan agama. Bahkan kadang juga melanggar norma negara (Chatmiwati, 2002). Tetapi di sisi lain para pekerja PSK juga harus bertahan hidup. Terlebih pada saat seperti sekarang ini, dimana lapangan pekerjaan semakin sulit didapat, khususnya para remaja PSK seperti mereka yang ratarata tidak berpendidikan tinggi. Kebanyakan para remaja PSK ini hanya lulusan Sekolah Menengah Atas bahkan ada juga diantara mereka yang putus sekolah dikarenakan perekonomian keluarga yang rendah. Bekerja sebagai PSK juga tidak beresiko kecil karena saat ini banyak terjadi pelecehan seksual pada wanita yang di lakukan oleh laki-laki kasar. Pertentangan batin dengan kenyataan hidup yang ada, dapat menyebabkan stres pada remaja PSK. Menurut Sarafino (dalam Smet, 1994), mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi yang disebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutantuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Secara psikologis, seseorang yang mengalami stres akan mencari jalan keluar untuk mengatasi perasaan-perasaan yang menekannya, seperti halnya pada remaja PSK. Mereka berupaya untuk mengatasi stres yang terjadi akibat pekerjaan yang bertentangan dengan hatinya dan kebutuhan hidup yang harus di penuhi. Dalam kondisi tertentu, situasi-situasi yang dinilai mengandung stresor dapat mengakibatkan respon-respon negatif baik secara fisik maupun emosional. Tentunya mereka tidak akan membiarkan hal ini berlarut-larut. Mereka akan melakukan berbagai cara untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Hal inilah yang dinamakan coping behavior.
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Smet, 1994), coping adalah suatu proses di mana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutantuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi stressful. Uraian diatas menjelaskan, bahwa para remaja pekerja seks komersial dapat mengalami stres dan hal tersebut dapat berkembang luas apabila tidak segera ditangani. Maka peneliti tertarik untuk mengangkat permasalahan ini kepermukaan, dikarenakan sudah banyaknya kegiatan prostitusi di negara ini, sehingga terjadi permasalahan baru seperti pelecehanpelecehan seksual khususnya terhadap kaum remaja wanita. Pertanyaan Peneltian Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Mengapa remaja wanita menjadi PSK? 2. Bagaimana bentuk stres yang dialami remaja wanita yang menjadi PSK? 3. Bagaimana strategi coping yang dilakukan subjek untuk mengatasi stres? Tujuan Penelitian Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Hal-hal yang melatarbelakangi remaja menjadi PSK. 2. Bentuk stres yang dialami remaja yang menjadi PSK. 3. Strategi coping apa yang dilakukan remaja PSK untuk mengatasi stres dalam pekerjaan tersebut. Tinjauan Pustaka Sarafino (dalam Smet, 1994), mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi disebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang.
Everly dan Giardano (dalam Munandar, 2001), mengemukakan beberapa gejala-gejala stres. Menurut mereka stres akan mempunyai dampak pada suasana hati, otot kerangka, dan organ-organ dalam badan, gejala-gejala stres tersebut yaitu: a. Gejala-gejala suasana hati, yaitu menjadi overexcited, cemas, merasa tidak pasti, sulit tidur pada malam hari, menjadi sangat tidak enak dan gelisah, menjadi gugup. b. Gejala-gejala otot kerangka, yaitu jari-jari dan tangan gemetar, tidak dapat duduk diam atau berdiri di tempat, mengembangkan gerakkan tidak sengaja, kepala mulai sakit, merasa otot menjadi tegang atau kaku, menggagap jika berbicara. c. Gejala-gejala organ-organ dalam badan, yaitu perut terganggu, merasa jantung berdebar, menghasilkan banyak keringat, merasa kepala ringan atau akan pingsan, mengalami kedinginan, wajah menjadi panas, mulut menjadi kering, mendengar bunyi berdering dalam kuping. Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Smet, 1994), coping adalah suatu proses di mana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutantuntutan (baik itu tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan) dengan sumber-sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasi stressful. Definisi lainnya mengatakan bahwa coping adalah proses yang dilakukan oleh individu dalam mengatasi perbedaan yang ada antara tuntutan situasi dan sumber daya yang dimiliki pada situasi stressful (Sarafino, 1998). Lazarus dan Folkman (dalam Fausiah & Widury, 2003) membagi tipe coping menjadi 2, yaitu : a. Problem-focused coping Problem-focused coping adalah penanganan stres dengan cara mengurangi, atau memecahkan masalah yang menjadi sumber stres. Problem-
focused coping biasanya langsung mengambil tindakan untuk memecahkan masalah atau mencari informasi yang berguna untuk membantu pemecahan masalah. b. Emotion-focused coping Emotion-focused coping adalah penanganan stres dengan mengendalikan respon emosi yang diakibatkan oleh stressor. Emotion-focused coping lebih menekankan pada usaha untuk menurunkan emosi negatif yang dirasakan ketika menghadapi masalah atau tekanan. Smet (1994), emotion-focused coping, digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Pengaturan ini melalui perilaku individu, seperti penggunaan alkohol, bagaimana meniadakan fakta-fakta yang tidak menyenangkan, melalui strategi kognitif. Bila individu tidak mampu mengubah kondisi yang ‘stressful’, individu akan cenderung untuk mengatur emosinya. Pitaloka (2005) menyatakan kalau manusia tidak diciptakan hanya untuk merasakan kengerian atau ketakutan, setiap orang dibekali dengan kemampuan mekanisme coping sendiri-sendiri. Graham, Furr, Flowers, Burke (dalam Pitaloka, 2005) menayatakan bahwa agama dan spiritualitas hendaknya dilibatkan dalam proses konseling psikologis. Hal ini dikarenakan agama sangat penting dalam usaha mengatasi stress. Internalisasi religi yang kuat pada masyarakat merupakan potensi besar dan kuat. May (dalam Pitaloka, 2005) bahkan menyatakan kalau agama dilihat sebagai sebuah keuntungan asal atau tambahan modal dalam menjalani kehidupan. Spika, Shaver, dan Kirkpatrick (dalam Pitaloka, 2005) mencatat tiga peran religi dalam proses coping yaitu, menawarkan makna kehidupan, memberikan sense of control terbesar dalam mengatasi situasi, dan membangun kepercayaan diri. Belavich (dalam Pitaloka, 2005) menyatakan kalau agama juga memiliki strategi tersendiri dalam mengatasi stres, seperti berdoa dan berserah diri pada Tuhan.
Menurut Ellis dkk (dalam Koentjoro, 2004) pelacur adalah seorang yang berprofesi memuaskan nafsu seksual orang lain. Sedangkan Koentjoro (2004) mendefinisikan pelacur adalah seorang yang berjenis kelamin perempuan yang digunakan sebagai alat untuk memberikan kepuasan seksual kepada kaum laki-laki. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa PSK adalah wanita yang menjual dirinya dan menukar pelayanan seksual kepada siapa saja atau banyak laki-laki, untuk mendapatkan sejumlah uang. Remaja berasal dari bahasa latin adolescere yang mempunyai arti tumbuh atau tumbuh menuju kedewasaan. Remaja adalah periode transisi ketika seorang individu secara fisik dan psikologis berubah dari seorang anak-anak menjadi seorang dewasa (Hurlock, 1974). Berdasarkan beberapa pengertian remaja diatas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah masa transisi ketika individu secara seksual menjadi matang yang secara fisik dan psikologis berubah dari seorang anak-anak menjadi seorang dewasa. Para ahli memberikan batasan usia remaja yang berbeda. Monks dkk. (2001) menjelaskan masa remaja berlangsung antara usia 12 tahun sampai 21 tahun dengan pembagian : 12-15 tahun sebagai masa remaja awal; 15-18 tahun sebagai masa remaja pertengahan; dan 18-21 tahun sebagai masa remaja akhir. Hurlock (1973) membedakan masa remaja menjadi masa remaja awal yang berlangsung pada usia 13 – 14 tahun sampai dengan 17 tahun, tergantung pada kematangan individu secara seksual dan masa remaja akhir pada usia 17-18 tahun. Menurut Angel Success (dalam Monks dkk. 2001) memberikan pemisahan batasan antara adolensi (12 sampai 18 tahun) dan masa pemuda (19 sampai 24 tahun). Berdasarkan beberapa batasan usia remaja menurut para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa remaja adalah masa transisi antara masa anak-anak dan dewasa, dimana individu matang secara seksual yang
pada umumnya berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun. Metodologi Penelitian Dalam penelitian ini akan digunakan metode kualitatif dimana pendekatan ini dilakukan untuk mengembangkan pemahaman dalam mengintepretasi apa yang ada dibalik peristiwa, latar belakang pemikiran manusia yang terlibat di dalamnya serta bagaimana manusia meletakkan makna pada peristiwa yang terjadi tersebut (Sarantakos dalam Poerwandari, 1998). Menurut Peoewandari (1998) penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif. Seperti transkripsi wawancara, catatan lapangan, gambar foto, rekaman video, dan lain sebagainya. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja wanita yang bekerja sebagai PSK yang usianya antara 18-21 tahun. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif dengan teknik wawancara dan observasi. Menurut Banister (dalam Poerwandari, 1998) wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain. Menurut Banister dkk (dalam Poerwandari, 1998), istilah observasi diturunkan dari bahasa latin yang berarti “melihat dan memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi selalu menjadi bagian dalam penelitian psikologis, dapat berlangsung dalam konteks laboratorium atau eksperimental maupun konteks alamiah.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik observasi nonpartisipan, dimana peneliti tidak ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan subjek karena kondisi yang tidak memungkinkan. Peneliti berfungsi sebagai penonton dan pencatat langsung dimana pencatat hasil observasi segera setelah pengamatan dilakukan atau ketika pengamatan sedang berlangsung. Penulis menggunakan beberapa alat bantu dalam mengumpulkan data penelitian, yaitu: Pedoman Wawancara, Pedoman Observasi, Alat Perekam Hasil dan Analisis Kegiatan wawancara dan observasi dalam penelitian ini dilakukan mulai tanggal 17 Mei 2007 sampai dengan tanggal 30 Juni 2007. Wawancara dan observasi pada subjek (1) dilakukan secara dua kali, dan keduanya di lakukan kosan subjek dan pada subjek (2) wawancara dan observasi dilakukan di kosan significant other. Pada penelitian ini untuk subjek (1) di lakukan wawancara dan obsrvasi sebanyak dua kali, karena pada wawancara dan observasi pertama subjek terlihat tegang dan tidak terlalu terbuka dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, sehingga harus di adakan wawancara kedua demi melengkapi data-data yang diperlukan. Sedangkan pada subjek (2) wawancara dan observasi hanya dilakukan sekali, karena subjek termasuk terbuka dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan sehingga dapat memudahkan penelitian. Subjek 1 : Subjek adalah seorang mahasiswi yang saat ini sedang cuti. Subjek berperawakan tinggi dan langsing, subjek mempunyai rambut panjang dan berkulit tidak terlalu putih. Ketika pada wawancara pertama, subjek menggunakan kaos berlengan buntung berwarna merah muda dan celana pendek berbahan jeans. Subjek tersenyum dan menyapa peneliti, lalu mempersilahkan peneliti untuk masuk kedalam kamarnya. Tetapi pada wawancara pertama subjek sedikit gugup, ketika di observasi subjek terlihat gelisah dan berkali-kali melihat kearah jam, subjek
juga sesekali meremas-remas tangannya. Subjek menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban-jawaban yang pendek sehingga data-data yang di dapat tidak terlalu jelas, sehingga membuat peneliti merasa harus melakukan probbing dan akhirnya mengadakan wawancara untuk kedua kalinya. Pada wawancara kedua, subjek terlihat lebih santai, pakaian yang di kenakan kaos berwarna putih dan celana pendek berbahan katun. Rambut subjek di kuncir kuda. Subjek terlihat lebih ramah dan lebih tenang. Begitu juga dalam menjawab pertanyaan, subjek lebih terbuka dan banyak tertawa. Menurutnya pada wawancara pertama ia merasa gugup karena merasa baru pertama kali di wawancarai seperti ini. Pada saat observasi berlangsung, subjek tidak mengetahui bahwa dirinya sedang diamati. Subjek terlihat serius dalam menjawab pertanyaan yang diberikan peneliti. Pada saat observasi subjek tidak terlihat overexcited. Ketika di wawancara, subjek terlihat cemas, contohnya seperti meremas-remas tangannya. Subjek terliahat gelisah karena berkali-kali melihat kearah jam dinding yang terletak didalam dikamarnya. Pada awal wawancara subjek menjawab pertanyaan dengan sedikit gugup. Jari-jari dan tangan gemetar tidak muncul pada saat subjek di observasi. Ketika di wawancara, subjek dapat duduk tenang, hanya sekali subjek ijin untuk kekamar kecil, dan wawancara dihentikan sebentar. Subjek juga tidak terlihat melakukan gerakan tidak sengaja. Sesekali subjek menggagap ketika menjawab pertanyaan dan sedikit keringat terlihat pada kening subjek. Pada saat wawancara subjek pertama kali untuk Problem Focused Coping seperti melakukan suatu tindakan untuk mengatasi masalah, membicarakan masalah pada orang lain, menerima simpati dari orang lain, tidak muncul pada saat observasi. Untuk Emotion Focused Coping subjek justru melakukan hal yang biasa, seolah tidak terjadi apa-apa, karena subjek terlihat banyak tersenyum. Pada saat observasi, subjek tidak mencari kegiatan
untuk melupakan masalah. Subjek menghindari masalah dengan bersama orang lain tidak terlihat ketika observasi. Dalam Religi Focused Coping, subjek tidak terlihat sedang mencari pertolongan Tuhan, dan tidak terlihat berdoa lebih sering dari biasanya. Pada saat wawancara kedua kali ini, subjek terlihat lebih santai dan lebih terbuka dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari observer. Overexcited, cemas, gelisah gugup, tidak muncul pada saat observasi. Begitu juga pada gejala-gejala otot kerangka seperti, jari-jari dan tangan gemetar, tidak dapat duduk diam atau berdiri ditempat, dan mengembangkan gerakan tidak sengaja. Tetapi sesekali pada saat observasi, subjek menggagap ketika berbicara. Gejala-gejala organ dalam badan seperti mengeluarkan banyak keringat juga tidak muncul pada saat wawancara kedua tidak seperti pada saat wawancara pertama. Dalam Problem Focused Coping, pada saat observasi yang menunjukkan tindakan untuk mengatasi masalah, perlakuan itu tidak muncul. Subjek mau membicarakan masalah pada orang lain dan mau menerima simpati juga pengertian dari orang lain terlihat dari subjek yang terlihat sedang bercerita dengan teman sebelah kamarnya dan juga ketika observer memberikan sedikit nasehat pada subjek, subjek merespon nasehat tersebut. Untuk Emotion Focused Coping, subjek berbuat biasa dan banyak tertawa seolah tidak terjadi apa-apa. Subjek datang pada saat observasi menunjukkan kalau subjek tidak mencari kegiatan yang menyibukkan untuk melupakan masalah, namun subjek menghindari masalah dengan bersama orang lain, subjek yang terlihat bersama temantemannya. Pada saat observasi tidak muncul prilaku subjek untuk mencari pertolongan Tuhan, dan subjek juga tidak terlihat berdoa lebih sering dari biasanya. Subjek 2 : Subjek merupakan tamatan SMA. Subjek berbadan tinggi dan langsing. Rambut subjek berwarna cokelat ikal dan panjang di biarkan tergerai sepanjang punggung. Subjek mempunyai kulit kuning langsat. Pada saat wawancara,
subjek menggunakan celana jeans panjang dan kaos ketat berwarna kuning muda. Ketika bertemu dengan peneliti, subjek tersenyum ramah lalu langsung menjabat tangan peneliti dan memperkenalkan namanya. Pada saat wawancara berlangsung, subjek terlihat santai dan terbuka dalam menjawab semua pertanyaan, sehingga memudahkan dalam pengambilan data. Subjek juga banyak tertawa dan bercanda sehingga suasana dalam wawancara cukup menyenangkan. Pada saat wawancara subjek terlihat sangat santai dan tidak tegang walaupun wawancara ini merupakan wawancara pertama kali. Ini ditandai dengan tidak tampaknya Overexcited, cemas, gelisah dan gugup pada diri subjek. Subjek sering tertawa dan bercanda-canda dengan observer. Begitu juga dengan tidak tampaknya jari-jari dan tangan gemetar, tidak dapat duduk diam atau berdiri ditempat, mengembangkan gerakan tidak sengaja dan menggagap jika berbicara. Hanya pada saat pertama kali berkenalan, telapak tangan subjek sedikit berkeringat. Pada saat wawancara subjek pertama kali untuk Problem Focused Coping seperti melakukan suatu tindakan untuk mengatasi masalah, membicarakan masalah pada orang lain, menerima simpati dari orang lain, tidak muncul pada saat observasi. Untuk Emotion Focused Coping subjek melakukan hal yang biasa, seolah tidak terjadi apa-apa, karena subjek terlihat selalu tertawa dan bercanda pada saat wawancara. Subjek tidak terlihat mencari kegiatan untuk melupakan masalah karena dari kesehariannya subjek terkenal sebagai anak yang suka bercanda dan jail. Subjek menghindari masalah dengan bersama orang lain tidak terlihat ketika observasi. Dalam Religi Focused Coping, subjek terlihat sedang mencari pertolongan Tuhan dengan menjalankan solat ashar dan solat magrib seusai wawancara, tetapi tidak terlihat berdoa lebih sering dari biasanya.
Analisis Intra Kasus: (Subjek 1) : Subjek berasal dari keluarga ekonomi rendah. Di kampung bapak subjek bekerja sebagaipetani, dan ibu subjek bekerja sebagai pedagang sayuran di pasar. Setelah lulus SMA, subjek ikut dengan kakaknya ke Jakarta untuk kuliah dan bekerja. Subjek kuliah di biayai oleh kakaknya. Karena tidak ada biaya lagi akhirnya subjek cuti kuliah dan bekerja sebagai SPG. Untuk memenuhi kebutuhan hidup di Jakarta, subjek bekerja sebagai PSK, karena gaji dari SPG tidak menentu. Hubungan subjek dengan keluarga tidak terlalu dekat. Orang tua subjek sering bertengkar karena ekonomi, hal ini membuat subjek tidak betah tinggal di rumah dan ingin ikut kakaknya ke Jakarta. Subjek juga tidak terlalu dekat dengan kakaknya. Menurut subjek yang ia dengar dari tementeman SPG nya, kakak subjek juga berprofesi sebagai SPG dan PSK, tetapi diantara mereka tidak ada keterbukaan satu sama lain, kakak subjek tidak pernah bercerita tentang pekerjaannya selain menjadi SPG. SO juga kurang kenal dengan kakak subjek. Orang tua subjek di kampung tidak mengetahui pekerjaan subjek sebagai PSK di Jakarta. Subjek merupakan orang yang mudah bergaul baik dengan perempuan maupun laki-laki. Di Jakarta, subjek membuat tiga tatto ditubuhnya. Temanteman lingkungan subjek khususnya SPG, banyak yang berprofesi sebagai PSK. Ikut arus lingkungan merupakan salah satu penyebab subjek menjadi PSK. Subjek menonton film porno ketika subjek di Jakarta. Subjek menonton film porno bersama pacarnya yang menyebabkan subjek melakukan hubungan seksual pranikah pertama kali. Subjek suka menonton film porno bersama temantemannya. Setiap berpacaran, subjek selalu melakukan hubungan seksual. Sejauh ini belum ada dampak apapun yang menimpa subjek akibat dari seringnya melakukan hubungan seksual, karena pada saat melakuan seksual, subjek menggunakan alat kontrasepsi seperti kondom. Sebelumnya agar tidak hamil, subjek juga pernah
meminum pil KB atau pada saat melakukan seks, sperma laki-laki di keluarkan di luar. Seringnya subjek melakukan hubungan seksual bersama pacarnya, membuat subjek tidak tabu dalam menjalankan profesinya sebagai PSK. Subjek terkadang mengalami overexcited setelah berprofesi sebagai PSK karena Karena setelah melayani tamu, subjek bisa mendapatkan uang yang banyak dan bisa membeli apa yang ia inginkan yang selama ini belum pernah subjek dapatkan dari orang tuanya. Menurut SO, biasanya sehabis melayani tamu, subjek suka mentraktir teman-temannya. Berprofesi sebagai PSK membuat subjek cemas karena selalu teringat orang tuanya dan takut profesinya di ketahui. Subjek juga merasakan tidak pasti dalam menjalani profesinya sebagai PSK, ia tidak tahu harus sampai kapan ia bekerja seperti ini. Subjek sering begadang dan sulit tidur karena mengalami kegelisahan dan ketakutan dengan berprofesi sebagai PSK. Dan ketika menjalankan profesinya sebagai PSK subjek suka merasa gugup karena harus berhadapan dengan orang baru. Menurut subjek, tangannya gemetar ketika melayani tamu yang sudah berumur, karena subjek teringat oleh bapaknya dikampung. Sedangkan menurut SO, tangan subjek gemetar ketika sedang sakit. Sebelum melayani tamu, subjek tidak dapat duduk tenang. Menurut SO, subjek tidak dapat duduk tenang ketika sedang bingung. Subjek suka mengembangkan gerakan tidak sengaja, seperti menggaruk-garuk atau mengetuk-ngetuk tangan ke meja. Subjek mengalami sakit kepala karena subjek merasa terpaksa dalam melakukan pekerjaan sebagai PSK. Subjek mengalami otot tegang karena harus melayani beberapa tamu yang minta pelayanan ekstra walaupun sebenarnya kondisi badan subjek sudah letih. Subjek pernah mengalami gagap ketika berbicara dengan tamu, tetapi menurut SO, SO belum pernah melihat subjek berbicara dengan gagap. Subjek sangat berharap untuk mendapat pekerjaan yang lebih layak agar subjek bisa berhenti dari dunia prostitusi.
Subjek telah melamar pekerjaan di perusahaan lain, SO menyarankan subjek untuk melamar dengan menggunakan ijazah SMA. Subjek ingin sekali kerja di kantoran walaupun saat ini belum ada panggilan. Ketika ada masalah, subjek sering membicarakan masalahnya kepada teman dekatnya. Dan subjek menerima simpati yang orang lain berikan. Subjek percaya yang ia alami saat ini merupakan bagian dari nasibnya. Dengan profesinya sebagai PSK terkadang subjek merasa seolah berbuat biasa seolah tidak terjadi apa-apa, karena dengan sebagai PSK subjek merasa mudah mendapatkan uang. Ketika sedang ada masalah biasanya subjek mengajak temannya jalan-jalan untuk melupakan pikiran sesaat. Terkadang untuk masalah tertentu subjek menyimpan perasaannya sendiri tanpa ingin orang lain mengetahuinya. Subjek tidak menutup beberapa alternatif kesempatan terbuka untuk dirinya. Dengan keadaannya sekarang subjek sering mengkritik dirinya sendiri dan merasa malu terhadap Tuhan. Subjek juga berjanji pada diri sendiri bahwa segalanya akan berbeda di masa yang akan datang Subjek termasuk orang yang taat beribadah. Subjek memeluk agama protestan, dan setiap hari Minggu subjek rajin ke gereja. Subjek ke gereja untuk menenangkan hati walaupun sebenarnya subjek merasa malu kepada Tuhan dengan profesi yang ia jalankan sebagai PSK. Subjek memohon agar Tuhan selalu menuntun jalannya. Subjek terlihat lebih tenang setelah berdoa. (Subjek 2) : Ekonomi keluarga subjek menurun setelah perceraian orang tuanya. Setelah bercerai, ibu subjek membuka warung kelontong di rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Subjek bekerja sebagai SPG untuk membantu perekonomian keluarga. Karena penghasilan SPG yang tidak menentu, subjek lalu berkerja sebagai PSK. Orang tua subjek bercerai ketika subjek duduk di kelas 2 SMP. bapak subjek selingkuh dan kemudian menikah lagi dengan wanita selingkuhannya. Perselingkuhan bapaknya sempat membuat
subjek membenci ayahnya. Tetapi saat ini hubungan subjek dengan ayahnya sudah mulai membaik tidak seperti dulu. Subjek sangat sayang dengan ibunya, untuk saat ini subjek tidak mengijinkan ibunya untuk menikah lagi karena subjek tidak menginginkan ibunya sedih kembali. Hubungan bapak dan ibu subjek saat ini baik-baik saja, bapak subjek sering menelepon kerumah untuk menanyai kabar anak-anaknya. Subjek berprofesi sebagai PSK sejak SMA. Teman-teman sekolah dan SPG subjek banyak juga yang berprofesi sebagai PSK. Subjek terkenal riang dan mudah bergaul dengan siapa pun sehingga subjek mempunyai banyak teman. Subjek pertama kali melakukan seks pranikah ketika SMA. Awalnya subjek melakukan seks pranikah untuk bersenangsenang. Subjek sering menonton film porno bersama teman-temannya. Saat ini subjek tidak mempunyai pacar, karena perselingkuhan ayahnya membuat subjek trauma dan tidak lagi mempercayai laki-laki. Sampai saat ini tidak terdapat dampak apapu dari hubungan seksual pranikah yang sering subjek lakukan. Sering melakukan hubungan seks pranikah membuat subjek tidak terlalu tabu dalam menjalankan profesinya sebagai PSK Pekerjaan sebagai PSK membuat subjek sering mengalami stres. Subjek sering mengalami cemas karena subjek takut mengalami kekerasan seksual sepeti yang terjadi di berita-berita, walaupun selama ini subjek belum pernah mengalami kekerasan seksual. Ketika sedang takut subjek sering merasa gugup. Subjek juga sering merasa gelisah karena ia takut profesinya sebagai PSK di ketahui oleh ibunya. tetapi subjek tidak mengalami overexcited dalam menjalani profesinya. Berkeringat pada tangan merupakan salah satu bentuk dari kecemasan yang subjek rasakan. Subjek merasakan tidak pasti dalam menjalani profesinya sebagai PSK. Ketika sedang gugup subjek merasakan gemetar pada tangan. Terkadang ketika sedang menunggu tamu subjek tidak dapat duduk diam. Sehabis melayani tamu
subjek suka merasakan sakit pada kepala, karena telat makan. Ketika sedang stres subjek merasa tidak nafsu makan. Subjek juga merasakan pegal-pegal setelah melayani tamu karena subjek harus melayani tamunya dengan baik. Subjek merasakan sakit pada perutnya apabila penyakit maagnya kambuh dan ketika datang bulan. Jantung subjek berdebar-debar ketika sedang merasakan ketakutan. Subjek merasakan seakan-akan ingin pingsan ketika sedang sakit. Subjek tidak pernah merasakan panas pada wajah. Subjek juga tidak pernah merasakan mulut kering. Terkadang subjek merasakan berdering pada kuping. Saat ini subjek telah mencoba melamar di sebuah perusahaan tempat temannya bekerja. Subjek selama ini belum mendapat panggilan dari perusahaan tersebut. Subjek sangat mengharapkan agar bisa bekerja selain SPG. Subjek ingin bekerja dengan gaji yang layak agar bisa membantu perekonomian keluarga, walaupun saat ini belum mendapat panggilan di perusahaan lain. Subjek ingin berhenti menjadi PSK apabila telah mendapatkan pekerjaan yang jelas. Subjek sering membicarakan masalahnya kepada temannya yaitu IDS. Subjek sering menyesali nasibnya sendiri, terutama perceraian orang tuanya, subjek merasa keadaannya tidak akan seperti ini kalau orang tuanya tidak bercerai. Subjek selalu ingin terlihat riang di depan umum seolah-olah seperti tidak terjadi apa-apa dalam hidupnya walaupun sebenarnya dalam hati kecil subjek menangis. Untuk melupakan sedikit masalah subjek sering jalan-jalan bersama teman-temannya, dan untuk menghindari masalahnya biasanya subjek suka berkumpul dengan temantemannya. Subjek tidak pernah menyimpan perasaannya atau masalahnya sendiri, walaupun sudah berusaha menyimpan sendiri tetapi akhirnya pasti subjek menceritakannya pada orang terdekat, karena menurutnya dengan bercerita bisa membuatnya lega. Subjek sering mengkritik dirinya sendiri, merasa bahwa ia seorang yang tidak mempunyai kemampuan apa-apa,
sehingga ia harus bekerja menjadi PSK. Subjek berjanji di masa yang akan datang segalanya harus menjadi lebih baik . Subjek taat dalam menjalankan solat ketika dirumah, tetapi ketika di luar subjek jarang melakukan salat 5 waktu, karena menurut subjek di luar banyak sekali godaannya. Ketika sedang ada masalah biasanya subjek taat dalam menjalankan solat 5 waktu. Dalam berdoa subjek bisa samapai menangis. Setelah solat dan berdoa, perasaan subjek menjadi tenang karena subjek yakin Tuhan pasti menjaga ibu dan adiknya. Analisis Antar Kasus : Subjek 1 berasal dari keluarga ekonomi menengah kebawah, berbeda dengan subjek 2 sebelum orang tuanya bercerai ekonomi subjek tercukupi, karena bapaknya bekerja di sebuah perusahaan swasta. Setelah orang tuanya bercerai ekonomi keluarga subjek menurun. Subjek mengontrak rumah dan ibu subjek membuka warung kelontong untuk membiayai sekolah adik subjek yang masih kecil. Pada subjek 1, ibu subjek bekerja sebagai pedagang sayur di pasar, sedangkan bapak subjek bekerja sebagai petani. Penghasilan ibu Rp. 20.000 perhari kadang tidak tentu, gaji bapak Rp. 250.000 perbulan di tambah jatah beras perbulan. Sedangkan pada subjek 2, setelah orang tuanya bercerai, ibu subjek membuka warung di rumahnya. Pemasukan dari warung sekitar Rp.100.000 / hari, bisa kurang atau lebih tergantung keramaian pembeli. Bapak subjek jarang mengirim uang ke keluarga subjek. Bapak subjek hanya mengirim uang ketika di minta saja. Subjek 1 dan subjek 2 sama-sama bekerja sebagai PSK dan SPG untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga. Penghasilan subjek 1 menjadi SPG tidak pasti tergantung event dan kebijakan perusahaan sedangkan penghasilan sebagai PSK sekitar Rp. 300.000 / tamu. Penghasilan terbesar mencapai Rp. 800.000 / tamu. Pada subjek 2 penghasilan SPG sekitar Rp.120.000 / hari, tergantung kebijakan perusahaan, sedangkan penghasilan sebagai PSK Rp.250.000-
Rp.500.000 / tamu, paling besar bisa mencapai Rp.1.000.000 / tamu. Subjek 1 pernah merasakan kuliah kemudian cuti karena tidak ada biaya, sedangkan subjek 2 belum pernah merasakan kuliah. Dalam permasalahan keluarga, subjek 1 merasa tidak betah tinggal dirumah karena orang tua subjek sering bertengkar karena faktor ekonomi. Berbeda dengan subjek 2, Orang tua subjek cerai ketika subjek kelas 2 SMP. Orang tua subjek cerai karena bapak subjek selingkuh dengan wanita lain. Hubungan subjek 1 dengan keluarganya tidak terlalu dekat. Kakak subjek juga berprofesi sebagai PSK, tetapi antara subjek dengan kakak tidak ada keterbukaan. Pada subjek 2, Perceraian orang tua menyebabkan subjek trauma dan subjek sempat membenci bapaknya , tetapi saat ini hubungan subjek dengan bapaknya mulai membaik, tidak seperti dulu. Subjek sangat menyayangi ibunya dan hubungan subjek dengan ibu sangat baik. Sampai saat ini ibu subjek merupakan Single parent, dan subjek belum memperbolehkan ibunya menikah lagi dengan alasan takut ibunya tersakiti lagi. Hubungan bapak dengan ibu subjek saat ini baik-baik saja, bapak subjek sering telepon kerumah subjek untuk menanyai kabar. Orang tua subjek 1 dan subjek 2 sama-sama tidak mengetahui tentang profesi subjek menjadi PSK. Subjek 1 menjadi PSK semenjak tinggal di Jakarta, sedangka subjek 2 menjadi PSK semenjak duduk di bangku SMA. Teman-teman di lingkungan subjek 1 banyak yang berprofesi sebagai PSK, terutama di lingkungan SPG. Demikian juga dengan subjek 2, Subjek menjadi PSK pertama kali karena terbawa arus pergaulan. Teman-teman sekolahnya banyak berprofesi sebagai PSK. Teman-teman SPG subjek juga banyak yang berprofesi sebagai PSK. Subjek 1 dan subjek 2 merupakan orang yang mudah bergaul dengan siapa saja baik laki-laki maupun wanita, sehingga membuat mereka mempunyai banyak teman.
Salah satu penyebab subjek 1 dan subjek 2 menjadi PSK karena terbawa arus pergaulan lingkungan sekitar. Pada subjek 1, melakukan hubungan seksual praniakah di usia 18 tahun. Akibat menonton film porno, subjek melakukan hubungan seksual yang pertama kali dengan pacarnya. Sedangkan subjek 2 melakukan hubungan seksual pranikah pertama kali kelas 1 SMA dengan temannya di puncak karena terbawa suasana. Sebelum mendapat bayaran dari profesinya sebagai PSK, subjek melakukan seks bebas hanya untuk sekedar senang-senang. Subjek 1 telah mempunyai pacar, Subjek melakukan hubungan seks dengan pacarnya setiap kali bertemu. Berbeda dengan subjek 2, Subjek tidak mempuyai pacar. Perceraian orang tuanya membuat subjek tidak lagi mempercayai laki-laki. Intensitas subjek 1 menonton film porno tidak terlalu sering, berbeda dengan subjek 2, Subjek sering menonton film porno. Pertama kali subjek menonton film porno ketika masih kelas 1 SMA. Pada subjek 1 dan subjek 2 sampai saat ini tidak mengalami dampak apapun dari hubungan seksual yang sering mereka lakukan. Seringnya intensitas subjek 1 dan subjek 2 melakukan hubungan seks pranikah membuat subjek tidak tabu dalam menjalani profesinya sebagai PSK. Subjek 1 terkadang Overexcited setelah melayani tamu, karena ia bisa mendapatkan uang yang banyak sehingga bisa membeli barang-barang yang ia inginkan, yang selama ini belum pernah ia dapatkan dari orang tuanya. Berbeda dengan subjek 2, Subjek tidak mengalami overexcited dalam menjalankan profesinya sebagai PSK. Subjek 1 selalu merasakan cemas dalam berprofesi sebagai PSK karena selalu teringat dengan orang tuanya. Demikian dengan subjek 2, Subjek merasakan cemas dalam berprofesi sebagai PSK karena merasa takut disiksa seperti berita-berita di TV, walaupun selama ini subjek tidak pernah mengalami kekerasan seksual.Subjek 1 dan subjek 2, sama-sama Subjek merasakan tidak pasti dalam menjalani
profesinya sebagai PSK, mereka tidak tahu harus sampai kapan mereka bekerja seperti sekarang ini. Mereka juga sering merasakan gelisah dengan bekerja sebagai PSK. Terkadang mereka merasakan gugup dan gemetar dalam melayani tamu-tamunya. Subjek 1 dan subjek 2 juga terkadang tidak dapat duduk tenang ketika sedang menunggu tamunya. Subjek 1 suka mengembangkan gerakan tidak sengaja, seperti menggaruk-garuk atau mengetukngetuk tangan ke meja, sedangkan subjek 2 tidak pernah mengembangakan gerakan tidak sengaja. Subjek 1 dan subjek 2 terkadang merasakan sakit kepala setelah melayani tamu. Mereka juga pernah mengalami gagap dalam berbicara dengan tamu. Subjek 1 sering mengalami otot tegang dan kaku karena terkadang beberapa tamu meminta pelayanan ekstra. Sedangkan subjek 2 tidak merasakan otot tegang, subjek hanya merasakan pegal-pegal karena harus memberikan pelayanan terbaik pada tamunya. Subjek 1 dan subjek 2 mengalami sakit pada perut ketika sedang menstruasi. Mereka juga merasakan jantung berdebardebar ketika sedang berprofesi sebagai PSK. Subjek 1 mengeluarka keringat berlebih ketika gugup. Sedangkan subjek 2 mengeluarkan keringat berlebih pada telapak tangan ketika sedang merasa ketakutan. Subjek 1 dan subjek 2 pernah merasakan kepala berat seakan-akan ingin pingsan. Subjek 1 tidak pernah merasa kedinginan, panas pada muka, mulut kering dan bunyi berdering pada kuping. Sedangkan subjek 2 pernah merasakan kedinginan, dan bunyi berdering pada kuping, tetapi subjek tidak pernah merasakan panas pada wajah dan juga tidak pernah merasakan mulut kering. Subjek 1 dan subjek 2 berusaha ingin berhenti bekerja di dunia prostitusi, dengan cara mereka mencoba melamar pekerjaan yang lebih layak selain SPG. Tetapi sampai saat ini mereka belum mendapat panggilan dari perusahaan tersebut.
Subjek 1 dan subjek 2 sering membicarakan masalah mereka pada teman yang menurut mereka dapat membantu. Subjek 1 dan subjek 2 sangat menerima simpati dan perhatian dari orang lain, terutama teman dekat mereka. Subjek 1 percaya pada nasib, kadang-kadang subjek merasa sedang mengalami kesialan. Dan subjek 2 sering menyesali nasibnya sendiri, terutama perceraian orang tuanya, subjek merasa keadaannya tidak akan seperti ini kalau orang tuanya tidak bercerai. Subjek 1 tekadang berbuat biasa seolah tidak terjadi apa-apa, karena dengan berprofesi sebagai PSK, subjek mudah mendapatkan uang. Sama dengan subjek 2, subjek selalu ingin terlihat riang di depan umum seolah-olah seperti tidak terjadi apaapa dalam hidupnya walaupun sebenarnya dalam hati kecil subjek menangis. Untuk melupakan sedikit masalah subjek 1 dan subjek 2 sering jalan-jalan bersama teman-temannya, dan untuk menghindari masalahnya biasanya mereka suka berkumpul dengan teman-temannya. Terkadang subjek 1 mencoba untuk menyimpan perasaannya sendiri. Berbeda denga subjek 2, Subjek tidak pernah menyimpan perasaannya atau masalahnya sendiri, walaupun sudah berusaha menyimpan sendiri tetapi akhirnya pasti subjek menceritakannya pada orang terdekat, karena menurutnya dengan bercerita bisa membuatnya lega. Dengan keadaannya seperti sekarang ini, subjek 1 sering mengkritik dirinya sendiri dan merasa malu terhadap Tuhan. Begitu juga dengan subjek 2, Subjek sering mengkritik dirinya sendiri, merasa bahwa ia seorang yang tidak mempunyai kemampuan apa-apa, sehingga ia harus bekerja menjadi PSK, subjek merasa iri dengan keluarga yang masih utuh dan bahagia. Subjek 1 berjanji pada diri sendiri bahwa segalanya akan berbeda di masa yang akan datang. Dan subjek 2 juga berjanji di waktu yang akan datang subjek ingin berubah menjadi orang sukses, subjek ingin membahagiakan ibunya dan ingin membantu
ibunya, subjek tidak ingin ibunya kembali sedih. Subjek 1 rajin beribadah ke gereja hampir setiap minggu. Subjek ke gereja untuk menenangkan hati, walaupun sebenarnya subjek merasa malu kepada Tuhan dengan pekerjaan yang ia jalankan saat ini. Sedangkan Subjek 2 taat dalam menjalankan solat ketika dirumah, tetapi ketika di luar subjek jarang melakukan salat 5 waktu, karena menurut subjek di luar banyak sekali godaannya. Ketika sedang ada masalah biasanya subjek taat dalam menjalankan solat 5 waktu. Dalam berdoa subjek bisa sampai menangis. Setelah lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, subjek 1 dan subjek 2 merasa lebih tenang. Penutup Dari hasil analisis data yang di peroleh, maka dapat di peroleh beberapa kesimpulan yang berhubungan dengan stres dan coping stres pada remaja PSK. Kesimpulan yang ditarik mengacu pada pertanyaan penelitian yang dipaparkan sebelumnya. Hal-hal yang melatarbelakangi remaja menjadi PSK: Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa hal-hal yang melatarbelakangi subjek menjadi PSK adalah ekonomi, permasalahan keluarga, ikut arus lingkungan dan seks pranikah. Ekonomi : Subjek 1 dan subjek 2 berasal dari keluarga yang berekonomi menengah kebawah. Pekerjaan orang tua subjek 1 pedagang dan petani sedangkan pada subjek 2, pasca perceraian orang tuanya, ibu subjek membuka warung kelontong di rumahnya. Penghasilan orang tua masing-masing subjek yang tak menentu, meyebabkan kedua subjek harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membantu perekonomian keluarganya. Kedua subjek memilih terjun kedalam dunia prostitusi karena dengan berprofesi sebagai PSK, subjek bisa mendapatkan uang yang cukup besar dengan cara yang cepat.
Permasalahan Keluarga : Permasalahan keluarga yang dialami subjek pertama seperti pertengkaran orang tua atau pada subjek kedua seperti perceraian orang tua juga melatarbelakangi subjek untuk berprofesi sebagai PSK. Pertengkaran orang tua di rumah menyebabkan subjek 1 merasa tidak betah tinggal di rumah, begitu juga dengan perceraian orang tua yang dapat menyebabkan subjek 2 trauma akan adanya sebuah hubungan serius dan timbulnya krisis kepercayaan kepada lawan jenis. Ikut Arus Lingkungan: Lingkungan sekitar masing-masing subjek sangat mempengaruhi pergaulan mereka. Banyaknya teman-teman subjek 1 dan subjek 2 yang berprofesi sebagai PSK terutama di lingkungan SPG di mana tempat mereka bekerja, merupakan salah satu faktor pendukung untuk kedua subjek berprofesi sebagai PSK. Seks Pranikah: Sebelumnya subjek 1 dan subjek 2 sering melakukan hubungan seksual pranikah dengan pacar atau temannya. Hal ini menyebabkan mereka tidak tabu lagi dalam menjalankan profesinya sebagai PSK, sehingga untuk melakukan hubungan seksual dengan orang lain atau orang yang baru dikenal, sudah merupakan hal yang biasa. Bentuk-bentuk stres yang di alami remaja yang berprofesi sebagai PSK: Berbagai gejala bentuk stres yang dialami subjek berkaitan dengan profesinya sebagai PSK. a. Gejala-gejala suasana hati Berprofesi sebagai PSK menyebabkan kedua subjek sering merasakan kecemasan, kegelisahan, ketidak pastian dan gugup dalam menjalankan profesinya. b. Gejala-gejala otot kerangka Sebelum melayani tamu, kedua subjek tidak dapat duduk tenang. ketika melayani tamu, terkadang mereka merasakan gemetar pada tangan. Setelah melayani tamu, kedua subjek sering merasakan otot tegang dan kaku atau pegal-pegal. Kedua subjek juga sering merasakan sakit kepala sehabis melayani tamu.
c. Gejala-gejala organ dalam badan Kedua subjek terkadang merasakan jantung berdebar-debar dan seakan ingin pingsan ketika terlalu pusing. Kedua subjek juga merasakan gangguan pada perut ketika sedang datang bulan. Strategi coping yang di lakukan remaja PSK dalam menangani stres : Dalam menangani stres pada remaja yang berprofesi sebagai PSK terdapat berbagai cara, yaitu problem focused coping, emotion focused coping dan religi focused coping. a. Problem Focused Coping Untuk berhenti dari dunia prostitusi, kedua subjek mencoba melamar pekerjaan di perusahaan lain selain SPG. Mereka sangat berharap untuk bisa bekerja di tempat yang layak walaupun sampai saat ini kedua subjek belum mendapat panggilan dari perusahaan tersebut. Subjek 1 dan subjek 2 sering membicarakan masalahnya kepada orang terpercaya atau teman dekatnya yang menurutnya dapat membantu secara konkrit dan mereka juga menerima simpati dan pengertian dari orang lain yang membantunya. b. Emotion Focused Coping Kedua subjek percaya pada nasib, profesi sebagai PSK yang sedang mereka jalankan di yakini sudah merupakan dari nasibnya, tetapi terkadang kedua subjek berbuat biasa di depan umum seolah tidak terjadi sesuatu dalam hidupnya walaupun sebenarnya dalam hatinya menangis dengan keadaanya seperti ini. Untuk melupakan masalahnya, subjek 1dan subjek 2 mencari kegiatan lain seperti jalan-jalan atau berkumpul dengan teman- temannya. c.ReligiFocused Coping Dalam menghadapi masalah, kedua subjek berusaha lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, subjek 2 dengan cara solat dan subjek 1 pergi ke gereja setiap minggu. Setelah beribadah mereka merasa lebih tenang dari sebelumnya dan mereka meyakini bahwa Tuhan akan selalu menjaganya.
Saran: Dari hasil penelitian tentang stres dan coping stres pada remaja PSK, maka saran yang diajukan peneliti terhadap penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi Subjek Disarankan kepada subjek untuk lebih bersabar dalam menghadapi permasalahan yang melanda, seperti masalah ekonomi dan terutama masalah keluarga. Untuk permasalahan pekerjaan, di sarankan lebih baik subjek mencari pekerjaan yang lebih layak dan halal, dengan cara terus berusaha melamar di perusahaanperusahaan yang berkompeten. Subjek pun di sarankan agar lebih berhati-hati dalam memilih pergaulan, agar tidak terus terjerumus dalam dunia prostitusi karena profesi sebagai PSK merupakan pekerjaan yang sangat menyimpang dari normanorma yang ada dan senantiasa menjadi masalah sosial. 2. Bagi Orang Tua Untuk pihak orang tua agar lebih memperhatikan perkembangan anakanaknya, khususnya remaja. Karena masa remaja merupakan periode transisi ketika seorang individu secara fisik dan psikologis berubah. Pada masa ini anak mengalami gejala-gejala krisis yang menunjukan adanya pembelokan dalam masa perkembangan dan labilitas yang meningkat. Anak sebaiknya di beri perhatian yang lebih khususnya dalam bidang agama, pendidikan dan lingkungan pergaulan anak. Orang tua mempunyai andil dalam memberikan filter bagi remaja agar tercegah dari kasus-kasus yang negatif. Bila orang tua memahami tentang remaja dan proses tumbuh kembangnya, orang tua dapat menjadi pendukung remaja dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya dengan baik. 3. Bagi Remaja Untuk para remaja yang hidup di kota besar, di sarankan untuk lebih berhati-hati dalam bergaul dan tidak terbawa dalam arus lingkungan yang telah terkontaminasi pengaruh negatif budaya barat. Lingkungan berpengaruh cukup besar dalam perkembangan remaja. Pada era ini
khususnya di kota metropolitan banyak tempat-tempat hiburan yang melegalkan segala cara untuk dapat menarik perhatian para pengunjung yang rata-rata pengunjungnya adalah remaja dan hiburan ini dapat menjerumuskan para remaja ke arah yang negatif. 4. Bagi Penelitian Selanjutnya Untuk penelitian selanjutnya, agar dapat mengembangkan penelitian tentang permasalahan lain yang di alami oleh para remaja PSK seperti harga diri, konsep diri dan lain-lain, bukan hanya stres dan coping stres yang dialami oleh remaja PSK. Daftar Pustaka Aldwin, C. N & Reverson, T. A. (1987). Does coping help? A reexamination of the relation between coping & mental health. Journal of Personality & Social Psychology, 53 (2), 337-348 Atwater, E. (1983). Psychology of adjusment 2nd : Personal in a changing world. USA: Precentice Hall. Chatmiwati, D. P. (2002). Konsep diri remaja pelacur & bukan pelacur. Skripsi (tidak diterbitkan). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Emery, R. E & Oltmans, T. F. (2000). Abnormal psychology in changing world. 4th ed. USA : Precentice Hall, Inc Fausiah, F & Widury, J. (2003). Bahan ajar mata kuliah psikologi abnormal. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Gatchel, J. R; Baum, A. & Krantz, D. S. (1989). An introduction to health psychology. 2nd ed. USA. Mc Graw Hill Publishing Companies Haber, A. & Runyon, R. P. (1984). Psychology of adjusment home wood. The Doorsey Press Holahan, C. J & Moss, R. H. (1987). Personal an contextual determinants of
coping strategis. Jurnal of Personality & Social Psychology, 52 (5), 946-955
Munandar, A. S. (2001). Psikologi industri & organisasi. Depok: Universitas Indonsia
Hull, T. H, Sulistyaningsih, E, & Jones, G.W. (1997). Pelacuran di Indonesia : Sejarah & perkembangannya. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Narbuko, C. & Achmadi, A. (2003). Metodelogi penelitian. Cet. Ke-5. Jakarta: Bumi Aksara
Hurlock, E. B. (1973). Adolescence development. Fourth editor. Tokyo : Mc Graw Hill Kogakusha, Ltd
Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Depok: Universitas Indonesia
Hurlock, E. B. (1974). Personality development. New Delhi : Mc Graw Hill Publishing Company
Prabowo, H. (1998). Pengantar psikologi lingkungan seri diktat kuliah. Depok: Universitas Gunadarma
Hurlock, E. B. (2000). Psikologi perkembangan:Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta. Erlangga.
Sarafino, E. P. (1998). Health psychology biopsychosocial interactions. 2nd ed. New York : John Willey & Sons, Inc
Kaplan, R. M; James, F. S & Patterson , R. L. (1993). Health & human behavior. New York : Mc Graw – Hill, Inc
Sarafino, E. P. (1990). Health psychology. New York : John Willey & Sons, Inc
sosial.
Sarwono, S. W. (2001). Psikologi remaja. Jakarta : PT Grafindo Persada
Kartono, K. (2001). Patologi sosial. Jakarta: PT Grafindo Persada
Sedyaningsih, E. R. M. (1999). Perempuanperempuan Kramat Tunggak. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
Koentjoro. (1999). Melacur sebagai kewajiban kerja : Sebuah ketidakadilan gender sistematik. Jurnal Perempuan, No 11, 53-59
Sheridan, C. L & Radmacher, S. A. (1992). Health psychology : Chalenging the biomedical model. USA : John willey & Sons
Koentjoro. (2004). On the spot : Tutur dari sarang pelacur. Yogyakarta : Tinta (kelompok penerbit kolom)
Siregar, S. K. S. (1998). Gigolo : Suatu studi kasus terhadap kehidupan gigolo di kota madya Medan. Skripsi. (Tidak diterbitkan). Medan : Fisip Usu
Kartono, K. (1981). Psikologi Jakarta: PT Grafindo Persada
Lazarus, R & Folkman, S. (1984). Stres apprasial & coping. New York. Springe Publishing Marshall, C & Rossman. (1995). Designing qualitative research. London: Sage Publication. Monks, F. J, Knoers, A. M. D & Haditono, S. R. (2001). Psikologi perkembangan : Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Smet, B. (1994). Psikologi kesehatan. Jakarta. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia Yin, R. (1994). Case study research design and method. London: Sage Publication