COPING STRESS ON MATERNAL AND CHILD AUTISMA. Leonilla Dwiari Hastuti, Ni Made Taganing K.,Mpsi., Psi Undergraduate Program, 2007 Gunadarma University http://www.gunadarma.ac.id key words: coping ABSTRACT : Children with autism can not be entered into a warm emotional relationships with others. Other people feel it is difficult to dive. Sometimes he likes to jump up and down for no reason that can be understood. In this case the parent is very difficult to persuade her to keep quiet because the child refused to be picked up or stroked (Budiman 1996). Formerly considered that the factor of interpersonal relationships within the family is one of the causes of autism disorders. Parents who are not prepared to deal with this issue feel very depressed, not unusual for parents to stress because observers of children with autism as a disorder called horrible and disgusting (abomination) (Budiman 1996). Community views about having a happy family with healthy and intelligent child who was hit in the inner parents accept their children who suffer from autism. Parents are members of more than one social group. Stress is experienced as a result of activities in every social group supporting each other and reinforce each other. As a result of or arising from the interaction with other social environment parents can experience stress that can develop and not infrequently this can make parents of autistic children are sick both physically and mentally so as not to be able to interact more optimally (Munandar 1995). Stress is a mental burden by the individual concerned would be reduced or eliminated. To reduce or eliminate stress, the individual doing the behavior adjustment (coping). If successful, the individual will return to a state homeostasis, but if not then the individual will return to again stress, that stress increases the possibility of even greater (Sarwono, 1997). Stress can trigger mechanisms that increase the risk of disease or weakened immune systems (www.Kompas.com). The subjects in this study is one person plus one other significant subjects. The approach used in research in this research is qualitative closes, which includes use of observation and interview methods. Observation made is when the subject is in school children, where the therapy, boutiques and homes have them. And interviews took place in a place agreed upon by the subject and writer, which were previously made the observation and interview guides in advance by the author. Based on theresults of research on the author, it is known that in having children autisma, the subjects were faced with various kinds of pressure that makes the subject experienced symptoms of stress and all kinds of things that create stress and coping in accordance with the problems experienced by the subject .
1
2
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah Autisma
adalah
salah
satu
dari
empat
besar
ketidakmampuan
perkembangan. Dari tahun ke tahun penderita autisma mengalami peningkatan yang drastis. Penelitian menunjukkan bahwa pada tahun 1987 penderita autisma 1:5000 anak. Sepuluh tahun kemudian, pada tahun 1997 penderita autis 1:500 anak. Sedangkan tahun 2000 penderita autis 1:150 anak. Terakhir tahun 2001 menunujukkan penderita autis 1:100 anak. (www.Penabur.org). Autisma lebih banyak disandang anak laki-laki daripada anak perempuan dengan perbandingan 1:4 tanpa batasan etnik, ras atau sosial. Tingkat sosial, gaya hidup dan tingkat pendidikan juga tidak mempengaruhi kemungkinan terjadinya autisma (Hadriami 2002). Hal ini disebabkan anak laki-laki memiliki daya tahan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak perempuan pada saat anak berada didalam kandungan (www.Penabur.org). Kata Autisma berasal dari bahasa yunani “Autos” yang berarti aku, dalam pengertian non ilmiah mudah menimbulkan interpretasi bahwa semua anak yang mengarah kepada dirinya sendiri karena sebab apapun disebut autis (dalam Monks 1996). Menurut Hadriami (2002) autis dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian gangguan perilaku, tetapi anak-anak dan orang dewasa dengan autis dapat menunjukkan kombinasi perilaku dengan tingkat keparahan yang berbeda. Dua anak yang didiagnosis dengan autis dapat berprilaku sangat berbeda satu sam lainnya. Budiman (2001) mengatakan autis merupakan kelainan disusunan syaraf pusat, diman jumlah sel pada otak kecil dibagian belakang berkurang. Sel yang berkurang tersebut merupakan sel penghasil hormon neurotransmitter. Ada beberapa definisi autis yang telah diberikan para ahli. Dalam Indrawati (2003) menyebutkan bahwa autis adalah sejenis gangguan bentuk pikiran yang ditandai egosentristas dan absorsi diri yang ekstrem sehingga faktor yang objektif dikaburkan, didistorsikan atau ditiadakan dalam berbagai tingkat.
3
Sedangkan Hendarto (2003) memasukkan autis sebagai jenis psikosa fungsional pada anak dengan gejala utama kegagalan perkembangan cinta kasih terhadap ibu, persepsi terhadap benda-benda mati, keinginan akan kesamaan pada lingkungan dan gangguan fungsi secara umum. Ciri khas autis adalah bahwa mereka sejak dilahirkan mempunyai kontak sosial yang terbatas. Perhatian mereka hampir tidak tertuju pada orang-orang lain melainkan hanya pada benda-benda mati. Mereka tenggelam dalam penghayatanpenghayatan taktil-kinestetis yaitu misalnya dengan bernafsu meraba-raba dirinya sendiri. Dalam bidang kognitif mereka mempunyai ingatan yang baik tetapi tegar, fantasi yang kurang, suatu pengamatan bentuk yang baik dan suatu perkembangan bahasa yang terhambat (dalam Monks 1996). Autis berkaitan dengan terganggunya perkembangan normal dari otak dalam area penalaran, interaksi sosial dan keterampilan komunikasi. Anak-anak dan orang dewasa dengan autis memiliki difensiensi dalam komunikasi verbal dan non-verbal,
interaksi
sosial
dan
aktivitas
bermain.
Gangguan
tersebut
menyebabkan anak penyandang autis sulit untuk berkomunikasi dengan orang lain dan berhubungan dengan dunia sekitarnya. Mereka bisa menunjukkan gerakangerakan yang berulang-ulang, respon yang aneh atau kelekatan dengan objek dan menolak adanya perubahan rutinitas (dalam Hadriami 2002). Pada autis, masalah perilaku berperingkat mulai dari yang keras sampai lembut. Masalah perilaku keras, terlihat dari perilaku yang aneh, agresif dan pada beberapa kasus bahkan menyakiti diri sendiri. Perilaku ini akan menetap dan sangat sukar di ubah. Pada perilaku lembut, autis mirip ketidakmampuan belajar. Biasanya, keterbatasan mereka adalah pada bidang komunikasi dan sosialisasi lain (www.Penabur.org). Penderita autis mengalami kesukaran untuk mempelajari bahasa dan keterampilan sosial dan dalam berhubungan dengan orang lain. Sebagai tambahan dari masalah bahasa dan sosialisasi, penderita juga berperilaku hiperaktif atau pasif dalam hubungannya dengan orang tua, anggota keluarga dan orang lain (www.Penabur.org).
4
Perjalanan hidup anak autis selanjutnya sangat dipengaruhi oleh taraf kecerdasannya, taraf perkembangan bahasanya dan juga oleh banyak gejala autis yang tampak. Namun biasanya mereka tetap canggung didalam pergaulan walaupun mereka sudah mendapatkan terapi yang sesuai. Anak autis dengan taraf kecerdasan yang rendah, dengan perkembangan bahasa yang minim lebih sulit untuk dididik dan biasanya tidak akan mampu hidup mandiri (Budiman 1996). Reaksi stres yang muncul mengikuti stres yang dihadapi dari kenyataan yang ada dapat berupa reaksi fisik, psikologis dan tingkah laku. Stres juga dapat berlangsung dalam jangka waktu pendek atau berkepanjangan. Bila pendek, biasanya tidak menjadi masalah besar namun bila panjang dan tidak dapat di kendalikan maka dapat muncul efek- efek negatif seperti depresi, sakit jantung, sesak nafas dan lain sebagainya (Pitaloka, 2003). Roan (1997) mengatakan stres yang terus-menerus dapat menimbulkan reaksi fisik kimiawi, hormonal, maupun psikis. Chaplin (1993) mengatakan stres adalah suatu keadaan tertekan baik secara psikis atau psikologis. Hadjam (1999) juga menyebutkan stres sebagai suatu ketegangan yang dirasakan seseorang ketika menghadapi situasi baru, tidak menyenagkan atau mengancam dan stres juga merupakan reaksi fisik yang muncul secara otomatis ketika seseorang menghadapi situasi yang berbahaya atau menuntut. Stres adalah beban mental yang oleh individu bersangkutan akan dikurangi atau dihilangkan. Untuk mengurangi atau menghilangkan stres, individu melakukan tingkah laku penyesuaian (coping). Jika berhasil, individu akan kembali pada keadaan homeostatis, tetapi kalau tidak maka individu akan kembali pada stres lagi, bahkan kemungkinan stres itu bertambah besar (Sarwono, 1997). Stres dapat memicu mekanisme yang meningkatkan risiko terkena penyakit atau melemahkan sistem kekebalan (www.Kompas.com). Swasono (1999) mengatakan permasalahan tentang strategi mengatasi masalah terjadi pada suatu situasi ketika seseorang menghadapi stres dalam kehidupannya, sehingga harus mencari cara-cara penanggulangan yang tepat. Menurut Russel (1988) coping sebagai istilah yang menggambarkan usaha untuk memperlakukan stres atau masalah dari beberapa tuntutan, kesukaran dan
5
tantangan. Sedangkan Sarafino (1994) mengatakan coping sebagai proses dimana individu berusaha untuk mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan dan sumber-sumber yang dimiliki individu dalam situasi yang stressfull. Lebih lanjut Taylor (1999) mengatakan bahwa penderita menemukan bahwa cara yang biasa mereka pergunakan untuk coping tidak dapat dipergunakan lagi atau paling tidak yang bersifat sementara; sehingga mereka merasakan keadaan tidak menentu (disorganization), kecemasan, takut dan emosi lain. Coping dapat dibedakan dalam dua kategori berdasarkan fungsinya, yaitu problem focused coping yang berfungsi untuk mengubah masalah yang menyebabkan stres
dan emotion focused coping yang berfungsi untuk
meregulasikan respon-respon emosi yang muncul (Lazarus, 1976). Hadriami (2002) mengatakan dari pengalaman yang ada menunjukkan bahwa coping pada
individu dengan autis merespon dengan baik terhadap
program modifikasi perilaku yang sangat terstruktur yang terkaitkan dengan kebutuhan orang tersebut. Pendekatan intervensi yang dirancang dengan baik akan melibatkan terapi komunikasi, pengembangan keterampilan sosial, terapi sensori dan modifikasi perilaku dalam taraf tertentu, dilakukan oleh professional yang terlatih dengan konsisten, komprehensif dan terkoordinasi. Semakin parah perilaku anak autis maka semakin dibutuhkan pendidikan atau program modifikasi perilaku yang semakin terstruktur dengan rasio guru dan anak 1:1 atau kelompok kecil. Agar efektif setiap pendekatan seharusnya fleksibel, berdasarkan
pada
positive reinforcement, direevaluasi dalam periode yang teratur dan memberikan transisi yang lembut dari rumah, ke sekolah, dan ke lingkungan masyarakat. Program yang baik juga akan memasukkan pelatihan dan dukungan bagi pengasuh atau pelatih. Berdasarkan dari uraian di atas maka permasalahan yang ingin dikaji didalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran stres dan coping pada orang tua anak autis.
6
2. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana coping ibu yang stres memiliki anak autis? 2. Apa saja gambaran sumber-sumber stres pada ibu yang memiliki anak autis? 3. Bagaimana perkembangan coping ibu terhadap anak autis?
3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui secara mendalam coping stres pada ibu yang memiliki anak autis. 2. Untuk mengetahui secara mendalam sumber - sumber stres pada ibu yang memiliki anak autis. 3. Untuk mengetahui secara mendalam perkembangan coping yang digunakan oleh ibu yang memiliki anak autis.
4. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat diperoleh informasi atau masukanmasukan yang bermanfaat bagi ibu yang mengalami stres dan coping dalam menghadapi anaknya yang menderita autis. Hasil penelitin ini dapat memberi masukkan terhadap ibu yang mengalami stres dan coping sehingga dapat mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu serta melakukan tindakantindakan terarah untuk mengantisipasi timbulnya stres yang berlebihan pada ibu serta memberikan masukkan tentang coping yang bisa diambil agar ibu yang memiliki anak autis dapat mencari jalan keluar yang terbaik serta memberikkan informasi tentang autisma.
7
2. Manfaat Teoritis Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat ikut memperkaya wawasan dan teoriteori dari literatur yang sudah ada, dapat memberi masukan dan sumbangan yang berarti bagi ibu yang stres memiliki anak autisma dan mencari coping yang sesuai, serta dapat dijadikan dasar bagi penelitian-penelitian serupa selanjutnya agar penelitian yang dilakukan di masa mendatang hasilnya lebih baik lagi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Stres
1. Definisi Stres
Disimpulkan bahwa stres merupakan kondisi atau keadaan yang tidak menyenangkan yang dialami seseorang dikarenakan adanya ketidaksesuaian baik nyata maupun tidak antara tuntutan situasi dan sumber-sumber dari sistem biologis, psikologis dan sosial yang terdapat dalam dirinya.
2. Gejala-gejala Stres Ada beberapa tanda atau gejala yang dapat menunjukkan ada tidaknya seseorang sudah atau belum terkena stres. Menurut Davis dan Nelson (dalam Agoes, 2003) dapat disimpulkan bahwa tanda-tanda atau gejala stres yaitu : a. Perasaan (feelings) 1) Merasa khawatir, cemas atau gelisah 2) Merasa ketakutan atau ciut hati dan curiga 3) Merasa mudah marah 4) Merasa suka murung 5) Merasa tidak mampu menanggulangi b. Pikiran (thoughts) 1) Penghargaan atas diri yang rendah 2) Takut gagal 3) Tidak mampu berkosentrasi 4) Mudah bertindak memalukan 5) Susah atau cemas akan masa depannya 6) Mudah lupa
2
7) Emosi tidak stabil c. Perilaku (behavior) 1) Jika berbicara gagap atau gugup dan kesukaran bicara lainnya 2) Sulit bekerja sama 3) Tidak mampu rileks 4) Menangis tanpa alasan yang jelas 5) Bertindak menuruti kata hati 6) Mudah terkejut atau kaget 7) Ketawa dalam anggukan tinggi dan nada suara gelisah 8) Menggertakan gigi 9) Frekuensi merokok meningkat 10) Penggunaan obat-obatan dan alkohol meningkat 11) Mudah mendapat kecelakaan 12) Kehilangan nafsu atau selera makan berlebih-lebihan d. Tubuh 1) Berkeringat 2) Serangan jantung meningkat 3) Menggigil atau gemetar 4) Gelisah 5) Mulut dan kerongkongan kering 6) Mudah letih 7) Sering kencing 8) Mempunyai persoalan dengan tidur 9) Diare atau ketidaksanggupan mencerna atau muntah 10) Perut melilit 11) Sakit kepala 12) Tekanan darah tinggi 13) Leher sakit atau punggung agak turun 14) Nafsu makan hilang, menurun atau bahkan makan berlebihan 15) Rentan terhadap penyakit 16) Pencernaan bermasalah
17) Gelisah dan tegang 18) Sulit tidur 19) Kecemasan yang kronis
3. Tahapan Stres Untuk mendapatkan gambaran yang spesifik tentang bagaimana stres dapat menyebabkan timbulnya gejala fisik (Gatchel, dkk., 1989). Selye menemukan bahwa respon fight atau flight yang merupakan reaksi yang dibuat tubuh dalam menghadapi stres yang berkepanjangan dan ia menamainya dengan general adaptation syndrome (GAS) (Selye, dalam Sarafino, 1994). Selye menjelaskan tiga tahap dalam general adaptation syndrome (GAS) yaitu (Gatchel, dkk., 1989): a) Tahap alarm reaction Tahap ini dimulai ketika individu menjadi sadar akan adanya sumber stres. Pada umumnya reaksi awal manusia ketika menghadapi stres adalah reaksi fisiologis, seperti meningkatnya pengeluaran hormon oleh kelenjar adrenal, meningkatnya tekanan darah, dan percepatan detak jantung. Gordon (dalam Agoes, 2003) mengatakan individu yang berada dalam tahap alarm reaction akan berhadapan dengan ketegangan, suatu aspek dari situasi yang menyebabkan naiknya cairan adrenalin dalam tubuh dan kegelisahan akan semakin
meningkat.Reaksi
alarm
bersifat
adaptif
karena
mereka
menghasilkan reaksi darurat (emergency reaction) pada sistem saraf simpatik sehingga mempersiapkan tubuh untuk dapat menghadapi sumber stres secara lebih efektif. Pada saat inilah individu melakukan penilaian-penilaian terhadap kemampuan dirinya sendiri untuk menghadapi stres tersebut. b) Tahap resistansi (resistance) Ketika sistem fisiologis tubuh sudah cukup siap untuk melakukan perlawanan terhadap sumber stres, maka individu memasuki tahap resistansi. Pada tahap ini terjadilah mekanisme-mekanisme coping dan tubuh terusmenerus melakukan adaptasi. Cooper dan Davidson (dalam Meisia, 1998)
menyebut apa yang terjadi pada tahap ini sebagai maximum adaptation, dimana sistem ketahanan tubuh harus bekerja diatas tingkat normalnya. Selama berlangsung tahap ini, individu secara terus menerus melakukan perlawanan terhadap sumber stres, sehingga energi tubuh terpusat pada tindakan perlawanan tersebut. Hal ini menyebabkan pertahanan terhadap stimulus-stimulus yang lain menurun. Oleh karena itu pada tahap ini dapat pula timbul gejala-gejala stres yang disebut oleh Selye sebagai disease of adaptation.
c) Tahap kelelahan (exhaustion) Karena kemampuan adaptasi manusia terbatas, maka jika reaksi-reaksi perlawanan
terhadap
berkepanjangan
dan
sumber dilakukan
stres
pada
tahap
berulang-ulang
resistansi
maka
individu
tersebut dapat
mengalami kelelahan (exhaustion). Pada tahap ini kemampuan beradaptasi terhadap sumber stres menurun sampai suatu titik dimana konsekuensikonsekuensi dari stres mulai muncul. Konsekuensi-konsekuensi negatif ini menurut Feldman (dalam Meisia, 1998) berupa simtom-simtom fisik dan fisiologis dalam bentuk sulit berkosentrasi, cepat marah atau dalam kasuskasus yang parah, disorientasi, dan hilangnya kontak dengan realitas. Respon tubuh terhadap penyebab stres membuat sistem endokrin, perangkat kelenjar yang memproduksi hormon dibuat lebih siaga. Pusat kendali endokrin berada di hipothalamus otak yang menerima dan memonitor terus informasi dari luar yang masuk lewat seluruh panca indera. Dari setiap informasi yang masuk otak menyusun respon tubuh melalui sistem saraf dan hormon yang perlu dilepaskan (Wirakusumah, 2003). HPA (Hypothalamus – Pituitary – Adrenal) axis adalah kelompok respon terhadap stres oleh otak dan kelenjar adrenalin. Hypothalamus mengeluarkan senyawa yang dinamakan corticotrophin releasing factor (CRF). CRF ini kemudian masuk menuju kelenjar bawah otak dimana ia kemudian mengeluarkan hormon ACTH. ACTH ini kemudian masuk kedalam
aliran darah dan menyebabkan lapisan luar kelenjar adrenalin mengeluarkan hormon stres khususnya kortisol, dan ini disebut dengan corticosteroid. Kortisol berpengaruh terhadap ketersediaan pasok cairan karbohidrat, lemak, dan metabolisme glukosa diperlukan untuk merespon stres. Jika tingkat kortisol bertahan tetap tinggi untuk waktu yang cukup lama maka akan terjadi kerusakan pada otot dan respon inflammatory akan menurun dan pelemahan sistem kekebalan tubuh akan terjadi (Agoes, 2003). Kortisol mempunyai pengaruh yang penting dalam tubuh, termasuk menahan sistem imun (Sarafino, 1994). Lebih lanjut Sarafino (1994) mengatakan keefektifan sistem imun ini dapat dirusak oleh stres dan gizi yang buruk. Jika stres sudah memainkan perannya maka dapat menghalangi kemampuan sistem imun untuk melawan penyakit. Hal senada juga dikatakan oleh Sheridan dan Radmacker (1992) bahwa stres yang sudah kronis dapat menindas sistem imun.
4. Reaksi Stres Stresor menghasilkan ketegangan baik dalam biologis dan psikososial individu (Sarafino, 1994). Berikut ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai reaksi stres : a. Aspek biologis Seseorang yang mempunyai pengalaman yang menakutkan, seperti kecelakaan atau dalam keadaan darurat. Canon (dalam Saravino, 1994) memberikan deskripsi dasar bagaimana tubuh bereaksi dalam keadaan darurat. Saat manusia dan hewan merasakan keadaan bahaya maka mereka bereaksi. Reaksi ini dinamakan fight atau flight respon. Riyanti dan Prabowo (1998) memberikan contoh dalam dua situasi yaitu marah dan takut, dalam keadaan tersebut denyut jantung biasanya meningkat, pembuluh darah dalam otot melebar sehingga tubuh lebih siap untuk bertindak, gula darah dimobilasi dari hati, hormon epineprin dan
norepineprin dikeluarkan dari kelenjar adrenal, pupil mata melebar, pembuluh darah dari tepi mengkerut sehingga mengurangi pendarahan dan membuat darah lebih banyak digunakan oleh otot. Ketegangan otot dan tingkat pernapasan yang diperantai oleh sistem saraf somatis cenderung meningkat dalam keadaan takut dan marah. Lahey dan Cimiherol (dalam Adji, 1998) mengatakan bahwa reaksi biologis tampil dalam fungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah, sakit kepala (migren), sakit pada otot, tidak bisa tidur, gemetar, disfungsi pada saluran kencing.
b. Aspek psikososial Stresor menghasilkan reaksi psikologis yang berubah tetapi faktor psikososial juga memainkan perannya. Psikososial
dibagi menjadi
cognition, emotional, dan social system. Dalam aspek cognition, kebisingan dapat menjadi stresor, apalagi bila individu tinggal ditempat yang bising. Lahey dan Cimihero (dalam Adji, 1998) mengatakan reaksi kognitif berupa kondisi sulit untuk berkosentrasi. Dalam aspek emotion, reaksinya berupa depresi, distres, ketakutan dan marah. Sedangkan Lahey dan Cimihero (dalam Adji, 1998) menyebutkan reaksi afektif berupa kecemasan, depresi, perasaan mudah tersinggung, marah dan bersalah. Pada aspek yang terakir yaitu sosial sistem, dimana dalam aspek ini stres menyertai kemarahan maka tingkah laku sosial menjadi negatif dan cenderung meningkat. Ini diketahui dalam penelitian Donnerstein dan Wilson (dalam Sarafino, 1994) yang mengemukakan bahwa stres dapat menghasilkan kemarahan yang meningkatkan perilaku agresif dan efek negatif ini berkelanjutan walaupun stresfull hilang.
5. Stresor Pada Ibu Anak Autisma Dari berbagai literature yang telah disarikan bahwa ada dua jenis stresor bagi orang tua penyandang autis yaitu stresor yang umum dijumpai pada anak luar biasa dan stresor khusus yang khas pada keluarga dengan anak autis (dalam Adam 2003) a.
Stresor Umum Berikut ini adalah sumber-sumber stres yang umum dan biasa ditemui pada
keluarga yang memiliki anak luar biasa diantaranya adalah keluarga anak penyandang autis: 1) Masalah pengasuhan anak. Anak dengan gangguan seperti autis memiliki berbagai kebutuhan perkembangan dan pendidikan yang khusus disamping bermacam hambatan dan kesulitan. Dalam mendidik dan mengasuh anak mereka,orang tua anak autis kerap mengalami kesulitan misalnya dalam memahami keinginan anak mereka yang tidak bisa mengungkapkan keinginan mereka secara verbal.
2) Masalah perkawinan. Masalah-masalah
yang
dihadapi
suatu
pasangan
dalam
perkawinannya dapat menimbulkan stres. Bahkan menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Ilfed (dalam Adam 2003), stres yang dialami dalam hubungan perkawinan paling erat kaitannya dengan gejala-gejala depresi bila dibandingkan dengan stresor sosial lainnya seperti masalah lingkungan tempat tinggal, pengasuhan anak dan lainlain. Sebagian peneliti berpendapat bahwa keluarga dengan anak luar biasa mengalami masalah perkawinan yang lebih berat. Disisi lain, pengasuhan dan tantangan yang ditemui dalam memiliki anak luar biasa bisa menciptakan ikatan yang memperkuat keluarga. Hal-hal yang dapat membuat keluarga dengan anak luar biasa menjadi sistem yang positif dan berfungsi secara efektif adalah dukungan yang positif dari masingmasing pasangan, termasuk pengertian yang diberikan pada pasangan
dan kemampuan untuk berkomunikasi dan menyelesaikan masalah bersama.
3) Masalah keuangan. Anak luar biasa membutuhkan biaya yang lebih besar dan perawatan yang lebih intensif dari pada anak normal. Keadaan ini menambah beban masalah yang ditanggung oleh keluarganya.
4) Hubungan dengan anggota keluarga lain. Cara untuk menurunkan tingkat stres antara lain adalah dengan strategi aktif coping dan memiliki jaringan dukungan sosial (Bristol dalam Adam 2003). Dukungan sosial ini terutama diberikan oleh suami/istri kepada pasangannya. Dengan pembagian tugas pengurusan anak yang lebih seimbang, maka para ibu yang pada umumnya berperan lebih besar dalam pengasuhan anak akan merasa diperlakukan lebih adil dan lebih puas dengan pengaturan yang lebih seimbang tersebut. Dukungan sosial juga perlu diberlakukan untuk dan oleh anggota keluarga yang lain, seperti saudara sekandung (sibling) anak autis, kakek-nenek dan anggota extended family yang (Berkell dalam Adam 2003).
5) Masalah emosi terhadap kelainan anak. Ada sebagian peneliti yang beranggapan bahwa orang tua dengan anak autis menghadapi stres yang luar biasa. Dalam penelitiannya, Hoppes & Harris (dalam Adam 2003) menemukan bahwa orang tua dengan anak autistik mendapat stres yang lebih besar dari orang tua denga anak tunagrahita karena kurangnya tanggapan interpersonal dari anak kepada orang tua. Pendapat ini juga didukung oleh Hobson (1993) dan Hundley (1971) yang menyampaikan bahwa perilaku anak autis yang tidak dapat dipahami oleh orang tua dan kurangnya respon mereka
dalam hal emosi yang mengakibatkan orang tua merasa diabaikan dan tidak dibutuhkan oleh anak. Hal lain yang juga menambah stres pada orang tua adalah tingkat keparahan gejala autisma. Dengan demikian semakin berat gejala autisma anak, semakin berat pula stres yang dihadapi orang tua. b.
Stresor Khusus Sumber-sumber yang khusus pada orang tua penyandang autis adalah sebagai berikut (Markuset al dalam Adam 2003): 1) Kebingungan dalam mendapatkan diagnosa. Walaupun akhir-akhir ini banyak berita dan perhatian media terhadap autis, sering kali orang tua tidak mendapatkan gambaran dan definisi yang jelas, tepat dan informasi mengenai masalah/gangguan anak mereka. Biasanya orang tua sudah dapat menduga sejak awal bahwa anak mereka mengalami gangguan perkembangan yang signifikan, tetapi seringkali hal ini tidak didukung oleh dokter anak dan ahli lainnya. Kegagalan menentukan dan mengkomunikasikan diagnosis ini menambah stres dalam melakukan coping terhadap perilaku anak yang menyulitkan masalah anak dalam mempelajari sesuatu. 2) Arah perkembangan yang tidak merata dan lazim. Autisma
adalah
sebuah
gangguan
yang
ditandai
dengan
keterlambatan dan penyimpangan yang meliputi berbagai area kemampuan anak. Profil perkembangan anak yang tidak merata bisa menimbulkan frustasi bagi orang tua, yang merasa bahwa anak mereka akan bisa mengejar ketinggalan secepatnya. Misalnya, anak autis yang secara akademis tidak bermasalah tetapi cara berinteraksinya sangat kaku dan minimal. Orang tua anak ini merasa bahwa anak mereka akan bisa segera mengejar ketinggalan itu. 3) Dilema “tidak bisa” vs “tidak mau”. Para orang tua autis kadang mempertanyakan alasan anak mereka tidak melakukan sesuatu. Mungkin karena ia memang tidak mau. Kadang-kadang orang tua beranggapan anak tidak mengikuti instruksi
karena anak tidak termotivasi atau sekedar keras kepala. Pemahaman ini diperberat dengan respon yang tidak konsisten dari anak sehingga ada kesan anak autis memahami apa yang diminta. 4) Penampilan yang menarik. Karena biasanya anak penyandang autis tampak normal, berwajah menarik dan secara fisik tidak berbeda dari anak lain yang sebaya, orang tua mengalami stres dan frustasi tambahan bila anak bertingkah tidak wajar atau bertingkah seperti anak yang lebih muda dari usiannya. 5) Perilaku ditempat umum. Perilaku penyandanga autis di tempat umum yang terkadang memalukan adalah sumber stres yang menetap bagi orang tua mereka. Perasaan cemas paling tinggi adalah bahwa anak akan berperilaku memalukan ada pada orang tua yang belum mendapat diagnosa anak atau yang belum menumbuhkan sikap ‘tebal muka’ (thick skin) yang diperlukan untuk mengatasi berbagai situasi memalukan dimuka umum. 6) Pertentangan diantara profesional. Kompleksitas autisma dan efeknya terhadap berbagai aspek perkembangan menimbulkan macam-macam pendapat yang berbedabeda dari para ahli mengenai penanganan yang tepat dan juga tujuan dari terapi. Pertentangan ini
muncul karena para profesional
tersebut
memiliki perspektif yang berbeda terhadap autis. Pada akhirnya orang tua lah yang terpaksa memilih apa yang terbaik untuk anaknya. Hal ini disebabkan karena para profesional itu tidak bekerja sama melainkan memaksakan metode dan sudut pandang mereka.
7) Terapi yang tidak memiliki bukti ilmiah. Saat ini, anak-anak autis diidentifikasikan dalam usia yang lebih awal (Marcus & Stone dalam Adam 2003). Efek negatif dari hal ini adalah bahwa ada berbagai orang yang mengaku-aku ahli dan memberikan janji-janji muluk dan terapi yang tidak berguna itu :
a) Tehnik yang dipakai memberi kesan masuk akal pada awalnya atau berguna
untuk
kondisi
tertentu
saja
dan
dianggap
bisa
digeneralisasikan ke semua anak. b) Laporan tingkat efektivitasnya bersifat anekdot (hanya cerita beberapa orang) dan tidak didasari oleh riset-risek empiris yang teliti. c) Tehniknya sering kali memiliki efek yang negatif dan mahal.
B. Coping
1.
Definisi Coping Dapat disimpulkan bahwa coping merupakan suatu usaha individu untuk
mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan dan sumber-sumber yang dimiliki individu dalam situasi yang stressfull atau menghindari situasi stres. 2. Bentuk Coping a) Active coping Proses pengambilan langkah secara aktif dengan cara memindahkan atau
menghilangkan
sumber
stres
secara
mengurangi
atau
mengantisipasi efek yang ditimbulkannya. Active coping berupa pengambilan tindakan secara langsung, meningkatkan usaha untuk mengatasi stres, dan melakukan usaha coping langkah demi langkah. Active coping terjadi selama fase coping. b) Planning Memikirkan cara-cara yang mungkin dilakukan untuk menghadapi atau mengatasi stresor. Planning meliputi perencanaan strategi dan langkah-langkah yang akan diambil, merancang siasat untuk bertindak, dan memilih cara terbaik untuk mengatasi masalah. Planning biasanya terjadi selama secondary appraisal.
c) Seeking social support for instrumental reasons Mencari dukungan sosial untuk alasan instrumental, mencari saran atau nasehat, mencari bantuan, dan informasi dari orang-orang yang dianggapnya dapat membantu dalam menangani stres. d) Suppresion of competing activities Memberikan
prioritas
dalam
menangani
stres
dengan
cara
mengesampingkan aktivitas yang lain dan menghindari gangguan dari kejadian atau situasi lain. e) Restraint coping Menunggu kesempatan yang tepat untuk bertindak, menahan diri, tidak tergesa-gesa dalam mengambil tindakan. Kelihatannya coping ini merupakan strategi pasif karena hanya menunggu dan bertindak, namun sebenarnya juga merupakan coping aktif karena tingkah laku yang digunakan lebih difokuskan pada penanganan stresor secara lebih efektif.
Perilaku coping dilakukan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Cohen dan Lazarus (dalam Taylor 1995) mengatakan bahwa usaha perilaku coping berpusat pada 5 tugas utama yaitu : a. Untuk mengurangi kondisi-kondisi lingkungan yang menyakitkan dan memperbesar kemungkinan untuk memulihkannya b. Untuk menerima atau menyesuaikan diri dengan peristiwa atau kenyataan yang tidak menyenangkan c. Untuk mempertahankan citra diri yang positif d. Untuk mempertahankan keseimbangan emosional e. Untuk terus melanjutkan hubungan yang menyenangkan dengan orang lain
4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Coping Dalam pemilihan strategi coping, individu dipengaruhi sumber-sumber internal dan eksternal yang dimiliki (dalam Taylor 1999), yaitu :
a) Sumber Internal, diantaranya adalah kepribadian dan coping style. b) Sumber eksternal, diantaranya adalah waktu, keuangan, pendidikan, pekerjaan, dukungan sosial dari teman dan keluarga, dan kehadiran sumber stres lain dalam kehidupan.
C. Autis
1. Definisi Autis Disimpulkan bahwa autis merupakan sejenis gangguan perkembangan yang ditandai oleh egosentris dan absorsi diri yang ekstrim sehingga faktor yang objektif dikaburkan, didistorsikan atau ditiadakan dalam berbagai tingkat. 2. Ciri Autisme a. Kelainan yang disebabkan oleh autisme (www.Puterakembara.org): 1) Komunikasi: 2) Bersosialisasi (berteman) 3) Kelainan penginderaan 4) Bermain 5) Perilaku 3. Penyebab Autisme Sebagian penelitian lain menyatakan bahwa autis muncul karena suatu sel penyebab respon ilmu terhadap antigen otak (Weizman dalam Adam 2003). Ditemukan antibodi beberapa ibu dalam antigen lekosit anak mereka dapat secara langsung merusak jaringan saraf otak janin sehingga menyebabkan munculnya autis (Widyawati dalam Adam 2003).
4. Pengaruh Autisma Terhadap Reaksi Orang Tua Reaksi orang tua yang memiliki anak luar biasa terhadap keadaan anaknya tergantung pada apa yang menurut mereka merupakan penyebab dari kondisi anak mereka yang tidak normal. Faktor penyebab ini tidak hanya mempengaruhi sikap
dan pendekatan orang tua terhadap anaknya tapi juga dalam kadar keaktifan orang tua dalam berpartisipasi program pendidikan anak mereka selanjutnya Lavelle & Keogh (dalam Adam 2003).
D. Coping Stres Pada Ibu Anak Autisme Anak-anak Autism Spectrum Disorder termasuk Children At Risk, dan mereka berhak mendapatkan kesempatan untuk meraih masa depan yang lebih baik. Selain itu, dalam penelitian dari Dohrenwend dan Belle (dalam Adam, 2004) menunjukan perbedaan jender dalam menempatkan dirinya dalam hubungan dengan orang-orang yang penting bagi dirinya (significant other). Ditemukan perbedaan yang signifikan dalam jawaban dari pria dan wanita. Wanita cenderung memberi proporsi yang lebih besar terhadap peristiwa-peristiwa yang dialami oleh anggota keluarga atau teman dibandingkan dengan diri sendiri. Sementara jawaban responden pria sebaliknya, dimana peristiwa yang terjadi pada diri sendiri lebih banyak disebutkan. Penemuan seperti ini mengindikasikan adanya perbedaan pola hubungan wanita dengan orang-orang dalam lingkungan sosial mereka bila dibandingkan dengan pria.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan kualitatif disini berupa studi kasus. Studi kasus yaitu studi yang mempelajari fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi. Kasus ini dapat berupa individu, peran, kelompok kecil. Organisasi, komunitas atau bahkan suatu bangsa (Poerwandari 1998). Menurut Moleong (2004) studi kasus adalah studi yang berusaha memahami isu-isu yang rumit atau objek yang dapt memperluas pengalaman atau menambah kekuatan terhadap apa yang telah dikenal melalui hasil penelitian yang lalu. B. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah: a. Seorang ibu yang memiliki anak autis. b. Berdomisili di daerah Jakarta. Kriteria ini diambil untuk memudahkan peneliti dalam mengambil data. c. Berpendidikan minimal SMU atau setara.
C. Tahap-tahap Penelitian
Tahap-tahap dalam penelitian dalam studi kasus ini, meliputi persiapan dan pelaksanaan penelitian sebagai berikut: 1. Persiapan 2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
21
D. Teknik Pengumpulan Data
Metode yang dipakai dalam studi kasus ini adalah penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong 2000) mendefinisikan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orangorang dan perilaku yang dapat diamati. Metode penelitian kualitatif sendiri memiliki berbagai cara dalam mengumpulkan data, yang terdiri dari: 1. Wawancara Wawancara adalah suatu proses yang meliputi interaksi verbal anatara orang per orang atau antara dua kelompok. Percakapan dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong 2000). Patton (dalam Poerwandari 2001) membagi wawancara menjadi: a. Wawancara Informal b. Wawancara dengan Pedoman Terstandar yang Terbuka 2. Observasi Observasi
adalah
kegiatan
pengamatan
di
mana
peneliti
memperhatikan dan mencatat aktivitas-aktivitas yang berlangsung serta orang-orang yang terlibat dalam aktivitas itu.
E. Alat Bantu Penelitian
Menurut Poerwandari (2001) peneliti sangat berperan dalam seluruh proses penelitian, mulai dari memilih topik, mendekati topik, peneliti sebagai instrument kunci,
mengumpulkan data hingga menganalisis, menginterpretasikan dan
menyimpulkan hasil penelitian.
F. Keakuratan Penelitian
Untuk mengetahui apakah keakuratan penelitian ini, harus menggunakan cara triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dari luar data yang diperoleh untuk keperluan pengecekan atau sebagi pembanding terhadap data yang telah diperoleh. Teknik Triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya.
G. Tehnik Analisis Data
Adapun proses analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini akan dianalisa dengan tehnik data kualitatif yang diajukan oleh Marshall & Rossman. Menurut Marshall & Rossman (1995) dalam menganalisa penelitian kualitatif terdapat beberapa tahapan yang perlu dilakukan.
BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL
A. Pelaksanaan Penelitian
Pada penelitian ini, kegiatan wawancara dan observasi dilakukan beberapa kali dengan subjek dan secara terpisah dengan significant other (terapisnya). Pelaksanaan wawancara ini dilakukan dengan subjek pada sore hari setelah subjek pulang atau pada saat ia menjalani bisnis butiknya subjek meluangkan banyak waktu untuk wawancara ini. Pada wawancara pertama subjek didampingi oleh ibundanya. Sedangkan wawancara dengan significant other dilaksanakan dua kali pada saat ia selesai bekerja.
B. Hasil Wawancara dan Observasi 2. Subjek a) Identitas Subjek Inisial
: RP
Tempat Tanggal Lahir
: 23 Desember 1971
Usia
: 35 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Anak ke
: 6 dari 8 bersaudara
Agama
: Kristen Protestan
Alamat
: Perumahan CP Jakarta Timur
Suku Bangsa
: Batak
Pendidikan Terakhir
: D3 Sekretaris
Pekerjaan
: Wirausaha
Jumlah Anak
: 3 orang
Kondisi Sosial Ekonomi
: Menengah ke atas
24
C.
Analisis
1. Rangkuman Biogafi Subjek Mempunyai keluarga yang bahagia, selalu menghabiskan waktu bersama dengan anak kembar dan suaminya. Subjek merasa sangat senang karena saat ini merupakan masa-masa yang paling indah dalam hidupnya.
2. Gambaran Stres pada Subjek yang Memiliki Anak Autis Stres bisa diketahui dari gejala-gejalanya. Stres menimbulkan perubahanperubahan, baik kejiwaan maupun fisik. Perubahan ini bisa meliputi seluruh tubuh atau hanya satu atau beberapa bagian tubuh saja. Secara garis besar terdapat empat kelompok gejala yang terjadi pada tubuh yang menunjukkan kalau seseorang dilanda stres.
3. Sumber-Sumber Stres pada Subjek yang Memiliki Anak Autis Stres juga diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar dan dalam diri seseorang. Kombinasi efek dari faktor-faktor dalam dan luar menentukan peringkat stres psikologis seseorang.
4. Coping yang Digunakan Subjek untuk Mengatasi Stres Coping merupakan usaha yang dilakukan seseorang untuk menangani beban emosional atau tuntutan yang dapat membuat stres. Pengertian coping lebih merujuk pada kesimpulan total dari metode personal, dapat digunakan untuk menguasai situasi yang penuh stres. Coping termasuk rangkaian dari kemampuan untuk bertindak pada lingkungan dan mengelola gangguan emosional, kognitif serta psikis. Dapat dikatakan bahwa subjek menggunakan Problem-Focused Coping yaitu, ditujukan pada problem solving atau melakukan sesuatu untuk merubah sumber stres dan Emotion-Focused Coping ditujukan pada mengurangi atau
mengolah distres emosi yang diasosiasikan ataupun disebabkan oleh situasi tertentu. Dapat dikatakan demikian karena dari data-data diatas terlihat bahwa subjek mengalami stres yang disebabkan oleh perilaku anaknya, suami serta keluarga besarnya lebih menggunakan Problem Focused Coping.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Gambaran Sumber Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Perilaku anaknya di tempat umum maupun di rumah terkadang memalukan sehingga menjadi sumber stres yang menetap bagi orang tua. Perasaan cemas akan terlihat jika anak subjek memperlihatkan perilaku yang memalukan. 2. Gambaran Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Gejala kognitif yang nampak dari subjek yaitu; konsentrasi menurun dan pikiran menjadi kacau. Sedangkan gejala emosional dan mental yaitu; ketegangan fisik dan psikologis meningkat, meningkatnya keluhan-keluhan, bayangan yang ditambahkan pada gejala sakit sebenarnya, adanya rasa marah yang terus menerus, mudah cemas, mudah gugup dan mudah bingung 3. Gambaran Coping pada Ibu yang Memiliki Anak Autis Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan coping diambil subjek didasari pada faktor instrinsik, yaitu faktor yang berasal dari dirinya sendiri, dapat dikatakan demikian karena subjek mengalami stres yang disebabkan oleh perilaku anaknya, suami serta keluarga besarnya subjek lebih menggunakan problem focus coping. B. Saran
Dari hasil penelitian tentang gambaran stres dan coping pada ibu yang memiliki anak autis, maka saran yang diajukan peneliti terhadap penelitiam ini adalah: 1. Bagi seorang ibu yang memiliki anak autis, ia dapat berserah diri sepenuhnya pada Tuhan dan meminta bantuan pada orang-orang yang ahli dan berpengalaman sehingga subjek dapat menerima dan dapat mengatasi masalahnya dengan tepat.
27
2. Bagi keluarga dan suaminya, subjek sangat membutuhkan dukungan untuk dapat mengatasi masalah ini. 3. Bagi konselor, supaya dapat membantu seorang ibu yang mempunyai anak autis untuk mencari strategi coping yang tepat agar masalahnya dapat terselesaikan. 4. Untuk peneliti selanjutnya, agar lebih dapat mengembangkan penelitian mengenai autis, stres dan coping