Coping Stress Pada Remaja Korban Bullying Di Sekolah ”X”
COPING STRESS PADA REMAJA KORBAN BULLYING DI SEKOLAH ”X” Puspita Sari Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul, Jakarta Jln. Arjuna Utara Tol Tomang Kebon Jeruk, Jakarta 11510
[email protected]
Abstrak Bullying merupakan serangkaian kegiatan yang meliputi tingkah laku agresif yang dilakukan oleh remaja. Tindakan-tindakan seperti menghina, menebar gosip, memukul, menendang, dikunci di suatu ruangan, dan lain-lain sering terjadi di sekolah. Tindakan-tindakan tersebut dapat membuat para remaja merasa tertekan (stres). Untuk dapat mengatasi stres yang remaja rasakan, maka remaja melakukan coping stress. Coping stress menurut Lazarus dan Folkman (1984) adalah respon stres dan perubahan kognitif secara terus-menerus serta upaya-upaya dalam memenuhi tuntutan eksternal dan internal yang dinilai melebihi kemampuan individu. Berdasarkan fungsinya coping stress dibagi menjadi dua, yaitu problem focused coping dan emotional focused coping. Kata kunci : Coping Stress, Remaja, Bullying
konsentrasi di kelas karena hanya memikirkan bagaimana caranya untuk menghindari para pelaku bullying. Seperti peristiwa yang dialami oleh remaja kelas I SMU 82, remaja tersebut dikeroyok oleh seniornya. Akibat dari pengeroyokan, remaja tersebut mengalami trauma (www.solopos.com). Hasil survey yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1999 menunjukkan bahwa 1 dari 13 remaja SMU korban bullying melakukan usaha bunuh diri (Coloroso, 2003). Selain itu, dalam artikel berjudul 'Presecuted Even on the Playground' di majalah Liberation 2001, Richard Werly melaporkan bahwa 10 % dari pelajar korban bullying mengalami stres dan pernah berusaha bunuh diri. Apabila dibandingkan dengan data pada tahun 1998, data tahun 1999 tersebut menunjukkan peningkatan tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya. Stres pada remaja korban bullying tidak hanya berakibat buruk bagi remaja itu sendiri, akan tetapi bisa juga berakibat buruk pada lingkungan sekitarnya seperti peristiwa di Pennsylvania pada tahun 2001. Seorang remaja SMP yang menjadi korban bullying membawa senjata ayahnya dan menembaki serta melukai teman-temannya di sekolah. Peristiwa lainnya terjadi di Santee, USA pada tahun 2001. Seorang remaja SMU yang menjadi korban bullying di sekolah, melakukan pembalasan dengan menembaki serta membunuh beberapa teman sekolahnya. (Coloroso, 2003). Dari fenomena diatas dapat dilihat bahwa stres pada remaja korban bullying bisa menimbulkan berbagai dampak negatif, baik bagi remaja itu sendiri maupun bagi lingkungan di sekitarnya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang gambaran coping stress pada remaja korban bullying di sekolah.
Pendahuluan Bullying bukan merupakan fenomena baru di lingkungan sekolah. Tindakan-tindakan seperti memaki, menebar gosip, menampar, menginjak kaki, mencibir, mengancam dan lain sebagainya sudah sering dilakukan oleh remaja, baik di Sekolah Dasar maupun di Sekolah Menengah (Olweus, 1993). Seperti peristiwa yang dialami oleh remaja kelas 1 SMU X di Bogor. Remaja tersebut dibawa ke suatu tempat (diculik) kemudian di maki-maki oleh kakak kelas dengan perkataan kotor, ditampar, dan dijambak rambutnya (Koran Tempo, 2004). Selain dilakukan secara individual bullying juga bisa dilakukan secara berkelompok. Seperti yang dilakukan oleh geng NERO (Neko-neko di Royok) pada tanggal 13 Juni 2008 di Pati, Jawa Tengah. Senior-senior geng tersebut menampar dan mencacimaki remaja junior dengan kata-kata yang tidak sopan. Kasus bullying ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara-negara lain juga terjadi sejumlah kasus, seperti di negara Australia sebanyak 2530 % populasi pelajar menjadi korban bullying setiap hari. Selain itu, pada tahun 2001, data dari Departemen Kehakiman Amerika menunjukkan bahwa 77 % populasi pelajar Amerika mengalami bullying secara verbal, fisik, dan psikologis. Menurut Baumeister & Kessler, (1991) tindakan bullying menempati peringkat pertama dalam daftar hal-hal yang menimbulkan ketakutan di sekolah. Hasil riset yang dilakukan oleh National Association of School Psychologist menunjukkan bahwa lebih dari 160.000 remaja di Amerika Serikat bolos sekolah setiap hari karena takut di bullying. Dampak lain namun berefek jangka panjang pada korban bullying adalah penyesuaian sosial yang buruk, ingin pindah atau keluar dari sekolah tersebut, sulit Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 2, Desember 2010
75
Coping Stress Pada Remaja Korban Bullying Di Sekolah ”X”
nunjukkan sikap positif dan 24 item unfavorable yang menunjukkan sikap negatif.
Metode Penelitian Dalam penelitian ini saya akan menggunakan metode kuantitatif deskriptif, karena dalam penelitian ini variabel yang ada akan dianalisa secara statistik dan hasilnya ditunjukan dengan angka-angka (Sugiono, 2002). Pada penelitian ini, penulis akan menggunakan metode deskriptif karena metode ini dianggap tepat untuk mendapatkan gambaran coping stress pada remaja korban bullying di sekolah. Selain itu, pada penelitian ini akan disamarkan nama sekolah yang akan diteliti dikarenakan untuk menjaga nama baik sekolah tersebut.
Alat Ukur Bullying Remaja yang memilih satu jawaban atau lebih yang ada pada daftar perilaku yang pernah dialami di sekolah, merasa menderita dengan memilih jawaban “YA”, Jika remaja tersebut memilih satu jawaban atau lebih yang ada pada daftar perilaku, tetapi tidak merasa menderita akibat dari tindakan tersebut dengan memilih jawaban “TIDAK”.
Uji Coba Alat Ukur Validitas Item Penghitungan validitas alat ukur dilakukan dengan menggunakan tipe construct validity. Setelah di uji cobakan ke lapangan kemudian data ditabulasikan, dan melakukan pengujian dengan analisis item total korelasi, yaitu dengan mengkorelasikan antar skor butir instrumen (Sugiyono, 2002) dengan menggunakan rumus Pearson Product Moment, Dari hasil uji coba yang dilakukan terhadap coping stress berdasarkan problem focused coping diperoleh 16 pernyataan yang valid dari 24 pernyataan dan berdasarkan emotional focused coping diperoleh 16 pernyataan yang valid dari 24 pernyataan, (nilai diatas 0,30).
Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini terdiri dari satu variabel yaitu coping stress yang diukur pada remaja korban bullying di sekolah.
Subjek Penelitian 1. Karakteristik Subyek Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian untuk melihat ” coping stress pada remaja korban bullying di sekolah”. Maka karakteristik subjek dalam pengambilan data, adalah sebagai berikut: a. Remaja korban bullying di sekolah ”X”. b. Berusia 15-17 tahun karena pada usia tersebut tergolong pertengahan remaja. c. Sekolah “X” yang berada di Bogor, lokasi ini dipilih karena jumlah siswa cukup banyak dan lokasi strategis sehingga lebih efisien dalam pengambilan data.
Reliabilitas Item Alat uji reliabilitas menggunakan teknik Alpha Cronbach karena rumus ini digunakan pada item yang diskor lebih dari 1 seperti pada skala Likert. Hasil analisis uji reliabelitas coping stres dengan menggunakan tehnik Alpha Cronbach diperoleh koefisien sebesar 0,906.
2. Teknik Sampling Teknik pengambilan sampel yang dilakukan menggunakan Probability Sampling Adapun bentuk dari teknik Probability Sampling yang digunakan yaitu Simple Random Sampling. Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah remaja kelas X “X” di Bogor.
Pengkategorian Subjek Adalah mengelompokkan subjek kedalam kategori yang lebih dominan, yaitu problem focused coping atau emotional focused coping. Teknik statistik yang digunakan untuk melihat faktor dominan coping stres menggunakan Standardized Z-Score.
3. Populasi Penelitian Populasi dalam penelitian adalah remaja korban bullying di sekolah “X”. Jumlah populasi yang terdapat dalam sekolah “X” yang sesuai dengan karakteristik sampel sebanyak 325 remaja. Dengan tingkat kesalahan 5 %, maka sampel yang representatif berjumlah 167 remaja.
Teknik Analisis Data Pada penelitian ini alat pengumpul data digunakan adalah kuesioner. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik skala untuk mengambil data penelitian. Data yang akan diambil, meliputi : jenis kelamin, usia, urutan kelahiran, dan dukungan sosial. Perhitungan data identitas subyek dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS 13.0. Perhitungan untuk mengelompokan jenis coping stress pada korban bullying menggunakan Zscore seperti dijelaskan pada ringkasan subjek.
Alat Ukur Coping Stress Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner. Skala coping stress berisi 48 item yang terdiri dari 24 item favorable yang me-
Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 2, Desember 2010
76
Coping Stress Pada Remaja Korban Bullying Di Sekolah ”X”
Gambaran Umum Coping Stress Dari hasil analisis crosstabs terlihat bahwa remaja SMU X yang menyelesaikan masalah dengan menggunakan problem focused coping sebanyak 77 remaja (46,10 %), sedangkan emotional focused coping sebanyak 90 remaja (53,89 %). Pada tabel dibawah dapat dilihat remaja yang menggunakan emotional focused coping paling banyak dibandingkan dengan remaja yang menggunakan problem focused coping.
Hasil Dan Pembahasan Profil Siswa Korban Bullying Penelitian ini melibatkan 167 sampel penelitian yang diambil dari SMA X di Bogor. Berikut ini akan diuraikan gambaran mengenai profil remaja penelitian yang ditinjau dari jenis kelamin, usia, urutan kelahiran, dan bullying. Adapun gambaran sampel penelitian tersebut diperoleh hasil sebagai berikut: 1) Jenis Kelamin, Dalam penelitian ini yang menjadi remaja penelitian adalah berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Diperoleh informasi bahwa remaja korban bullying yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 85 orang (50,89%), sedangkan remaja korban bullying berjenis kelamin perempuan sebanyak 82 orang (49,10%). Dapat dikatakan bahwa jumlah korban bullying laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah perempuan. 2) Usia, Usia sampel penelitian berkisar antara 1518 tahun. Dapat dilihat dari grafik 4.2 bahwa remaja korban bullying pada usia 15 tahun sebanyak 40 orang (23,95%), pada usia 16 tahun sebanyak 56 orang (33,53%), pada usia 17 tahun sebanyak 41 orang (24,55%), sedangkan pada usia 18 tahun sebanyak 30 orang (17,96%). Dari uraian tersebut nampak bahwa remaja korban bullying yang paling banyak berusia 16 tahun sedangkan yang paling sedikit berusia 18 tahun. 3) Urutan Kelahiran, Berdasarkan data yang dikumpulkan, diperoleh informasi bahwa remaja korban bullying, pada urutan kelahiran sulung sebanyak 34 orang (20,35%), pada urutan kelahiran tengah sebanyak 73 orang (43,71%), pada urutan kelahiran bungsu sebanyak 46 orang (27,54%), sedangkan pada urutan kelahiran tunggal sebanyak 14 orang (8,38%). Dapat dikatakan bahwa remaja korban bullying yang paling banyak pada urutan kelahiran tengah, sedangkan yang paling sedikit pada urutan kelahiran tunggal. 4) Jenis Bullying, bentuk-bentuk bullying yang dialami oleh remaja dalam penelitian ini terdiri dari 2 jenis, yaitu fisik dan verbal. Remaja korban bullying yang mendapat perlakuan fisik sebanyak 332 orang (65,87%), sedangkan remaja korban bullying yang mendapat perlakuan verbal sebanyak 172 orang (34,12%). Dari uraian tersebut nampak bahwa remaja korban bullying yang paling banyak yang mendapat perlakuan fisik, sedangkan yang paling sedikit mendapatkan perlakuan verbal. Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 2, Desember 2010
Gambaran Umum Subjek Penelitian Gambaran Coping Stres Berdasarkan Jenis kelamin Responden Berdasarkan perhitungan statistik deskriptif menggunakan SPSS 13.0.0 terlihat bahwa remaja perempuan dengan problem focused coping sejumlah 32 orang (39,02%) dan remaja perempuan dengan emotional focused coping sejumlah 50 orang (60,97%). Sedangkan remaja laki-laki dengan problem focused coping sejumlah 45 orang (52,94%) dan remaja laki-laki dengan emotional focused coping sejumlah 40 orang (47,05%). Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa remaja perempuan lebih banyak menggunakan emotional focused coping dari pada remaja laki-laki.
Gambaran Coping Stress Berdasarkan Usia Responden Berdasarkan analisis crosstabs terlihat bahwa remaja usia 15 tahun dengan problem focused coping sejumlah 12 orang (30%) dan remaja usia 15 tahun dengan emotional focused coping sejumlah 28 orang (70%). Sedangkan remaja usia 16 tahun dengan problem focused coping sejumlah 25 orang (44,65%) dan remaja usia 16 tahun dengan emotional focused coping sejumlah 31 orang (55,35%). Remaja usia 17 tahun dengan problem focused coping sejumlah 20 orang (48,78%) dan remaja usia 17 tahun dengan emotional focused coping sejumlah 21 orang (51,21%). Sedangkan remaja usia 18 tahun dengan problem focused coping sejumlah 20 orang (66,66%) dan remaja usia 18 tahun dengan emotional focused coping sejumlah 10 orang (33,33%). Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa remaja usia 15-17 tahun lebih banyak yang menggunakan emotional focused coping dari pada remaja usia 18 tahun.
Gambaran Coping Stress Urutan Kelahiran Responden
Berdasarkan
Berdasarkan analisis crosstabs terlihat bahwa remaja urutan kelahiran sulung dengan problem 77
Coping Stress Pada Remaja Korban Bullying Di Sekolah ”X”
focused coping sejumlah 8 orang (23,52%) dan remaja urutan kelahiran sulung dengan emotional focused coping sejumlah 26 orang (76,47%). Sedangkan remaja urutan kelahiran tengah dengan problem focused coping sejumlah 35 orang (47,94%) dan remaja urutan kalahiran tengah dengan emotional focused coping sejumlah 38 orang (52,05%). Remaja urutan kelahiran bungsu dengan problem focused coping sejumlah 27 orang (58,69%) dan remaja urutan kelahiran bungsu dengan emotional focused coping sejumlah 19 orang (41,30%). Sedangkan remaja urutan kelahiran tunggal dengan problem focused coping dan emotional focused masing-masing sejumlah 7 orang (50%). Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa remaja untuk urutan kelahiran sulung dan tengah lebih banyak yang menggunakan emotional focused coping dari pada remaja urutan kelahiran bungsu. Sedangkan urutan kelahiran tunggal lebih banyak yang menggunakan kedua-duanya yaitu problem focused coping dan emotional focused coping.
orang (27,27%). Pada dimensi planfull problem solving sebanyak 25 orang (32,46%) dan dimensi seeking sosial support terdapat 31 orang (40,25%). Hasil perhitungan statistik ini didapat sebaran seperti pada tabel 5.0a sebagai berikut: Berdasarkan dimensi dari jenis emotional focused coping dapat dilihat bahwa remaja yang menggunakan dimensi accepting responsibility sebanyak 12 orang (13,33%), dimensi self control sebanyak 24 orang (26,67%). Sedangkan remaja dimensi escape avoidance sebanyak 18 orang (20%). Pada dimensi positif reappraisal sebanyak 29 orang (32,22%) dan pada dimensi distancing sebanyak 7 orang (7,78%). Secara keseluruhan tampak bahwa untuk problem focused coping yang paling tinggi adalah seeking sosial support. Sedangkan untuk emotional focused coping yang paling tinggi adalah positif reappraisal.
Pembahasan Dalam penelitian ini remaja korban bullying paling banyak menggunakan emotional focused coping yaitu sebanyak 90 remaja (53,89%). Sedangkan remaja yang menggunakan problem focused coping sebanyak 77 remaja (46,10%). Perbedaan ini berkaitan dengan karakteristik remaja penelitian yang sebagian besar berusia 15 sampai 17 tahun (176,56%). Menurut Ebata & Moos (1994) remaja berusia 15 tahun sampai 17 tahun lebih banyak menggunakan emotional focused coping karena remaja yang lebih muda mudah merasa tertekan, dan mengalami stres. Selain itu, mereka juga kurang memiliki pengalaman dalam menghadapi berbagai masalah yang dihadapi terlihat pada jawaban subjek yang menyatakan sering mengabaikan masalah tersebut (item 31). Pada gambaran coping stress berdasarkan jenis kelamin (Tabel 4.6), terlihat bahwa coping stress pada dimensi problem focused coping lebih banyak pada laki-laki yaitu 45 remaja (52,94%). Sedangkan dimensi emotional focused coping lebih banyak pada perempuan yaitu 50 siswa (60,97%). Hasil penelitian ini sesuai dengan teori dari Baron dan Byrne (1994) yang mengatakan bahwa laki-laki lebih sering menggunakan problem focused coping. Laki-laki cenderung merespon masalah yang dihadapi dengan menggunakan persepsi berdasarkan pemikiran-pemikiran seperti melakukan pembalasan ketika dianiaya, dan meminta bantuan kepada ahlinya, dapat dilihat pada jawaban subjek yang menyatakan sering membela diri (item 1). Sedangkan perempuan lebih sering menggunakan emotional focused coping karena cenderung mempersepsikan masalah yang dihadapi dengan emosi-emosinya, se-
Gambaran Coping Stress Remaja Korban Bullying Berdasarkan Dukungan Sosial Berdasarkan analisis data crosstabs terlihat beberapa macam dukungan sosial yang di peroleh masing-masing remaja. Dukungan tersebut bisa berasal dari ayah, ibu, saudara, teman, dan lain-lain (pacar, kakek/nenek, dan paman/bibi). Remaja yang mendapatkan dukungan dari ayah sebanyak 52 orang. Sedangkan yang mendapatkan dukungan dari ibu sebanyak 76 orang. Remaja yang mendapatkan du-kungan dari saudara sebanyak 80 orang, dan yang mendapatkan dukungan dari teman sebanyak 124 orang. Sedangkan yang mendapatkan dukungan sosial dari yang lain (pacar, kakek/nenek, dan paman/bibi) sebanyak 81 orang. Apabila dibandingkan antara keseluruhan dukungan tampak bahwa yang terbanyak diperoleh dari teman. Sebaliknya dukungan yang paling sedikit diperoleh dari ayah. Berdasarkan pendapat Webb & Colette (1975) bahwa individu yang memperoleh jumlah dukungan sosial yang lebih banyak akan menggunakan problem focused coping. Oleh karena itu, dalam penelitian ini remaja yang mendapatkan dukungan sosial kurang dari tiga dukungan termasuk kedalam kategori Emotional Focused Coping, sedangkan remaja yang memiliki dukungan sosial lebih dari tiga dukungan termasuk kedalam kategori Problem Focused Coping.
Gambaran Umum Remaja Berdasarkan Dimensi Coping Stress Berdasarkan dimensi dari jenis problem focused coping dapat dilihat bahwa remaja yang menggunakan dimensi confrontive coping sebanyak 21 Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 2, Desember 2010
78
Coping Stress Pada Remaja Korban Bullying Di Sekolah ”X”
membagikan masalahnya kepada orang lain sehingga menghadapinya dengan menangis, mengisolasikan diri dan bentuk-bentuk emotional focused coping lainnya. Pada gambaran umum remaja berdasarkan dimensi problem focused coping, terlihat bahwa remaja paling banyak menggunakan dimensi seeking sosial support, yaitu sebanyak 31 orang (40,25%). Hal ini didukung oleh pendapat Bonner dalam Gunawan (2010) yang menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan suatu interaksi antara dua orang atau lebih dimana individu yang satu membutuhkan masukan-masukan yang bermanfaat dari individu yang lain ketika menghadapi berbagai macam masalah. Di Indonesia, pada umumnya orangtua sudah melatih remaja-remajanya untuk saling membantu dan tolong-menolong di dalam keluarga seperti membantu adik mengerjakan tugas, menjaga saudara yang sedang sakit dan sebagainya. Oleh karena itu, remaja Indonesia terlatih untuk mencari bantuan ketika sedang menghadapi masalah terlihat pada jawaban subjek yang menyatakan sering menelepon teman (item 19). Pada gambaran umum remaja berdasarkan dimensi emotional focused coping, terlihat bahwa remaja paling banyak menggunakan dimensi positif reappraisal sebanyak 29 orang (32,22%), seperti berdoa, pergi ketempat ibadah, dan mendengarkan ceramah. Hal ini berkaitan dengan karakteristik remaja yang seluruhnya beragama Islam. Menurut Broom dan Selznick (1981) agama berperan penting dalam memberikan dorongan psikologis dan membantu individu yang mengalami kesulitan serta memberikan jawaban mengenai berbagai masalah. Pada umumnya, para pemeluk agama Islam telah diajarkan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan seperti sholat, puasa, membaca Al-Quran, berdoa ketika menghadapi masalah. Selain di rumah, aktivitas rohani tersebut juga diajarkan di sekolah-sekolah terlihat pada jawaban subjek yang menyatakan sering mendekatkan diri padaTuhan (item 22).
perti menangis, mengisolasikan diri, berusaha untuk sabar dan menerimanya. Pada gambaran coping stress berdasarkan urutan kelahiran terlihat bahwa remaja sulung dan tengah lebih banyak menggunakan emotional focused coping masing-masing sebanyak 26 dan 38 siswa (76,47% dan 52,05%). Sedangkan remaja bungsu lebih banyak menggunakan problem focused coping, yaitu sebanyak 27 remaja (58,69%) terlihat pada jawaban subjek yang menyatakan sering mencari informasi tentang masalah tersebut (item 18). Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian Roslina Veruli, Mpsi dalam Aditrock (2009) bahwa urutan kelahiran turut mempengaruhi perbedaan reaksi individu terhadap stres. Remaja sulung pada umumnya mengatasi permasalahannya karena mendapatkan banyak tuntutan dari orangtua dan lingkungan, sehingga sering merasa tertekan. Roslina Veruli, Mpsi dalam Aditrock (2009) juga menyatakan bahwa remaja tengah memiliki karakteristik antara lain sangat membutuhkan kasih sayang karena orangtua sibuk dengan remaja sulung dan remaja bungsu. Akibatnya remaja tengah tidak terlatih untuk mengekspresikan emosinya. Mereka cenderung merasa tidak disayang orang tua dan merasa tidak lebih baik dari pada kakaknya. Hal tersebut membuat remaja tengah merasa tertekan dan merasa tidak mampu mengatasi stressor. Berbeda dengan remaja sulung dan tengah, remaja bungsu yang mempunyai tuntutan untuk lebih baik dari kakaknya karena tidak adanya tekanan dan adanya banyak dukungan sehingga mereka sangat percaya diri dalam mengatasi masalahnya terlihat pada jawaban subjek yang menyatakan sering mencari pemecahan masalah tersebut (item 27). Pada gambaran coping stress berdasarkan dukungan sosial terlihat bahwa remaja yang mendapatkan banyak dukungan sosial menggunakan problem focused coping. Sedangkan remaja yang mendapatkan sedikit atau tidak mendapatkan dukungan sosial manggunakan emotional focused coping. Hal ini sesuai dengan pendapat Webb & Colette (1975) yang mengatakan bahwa individu yang memiliki banyak dukungan sosial cenderung menggunakan problem focused coping terlihat pada item menelepon teman. Efek positif dari dukungan sosial mempengaruhi individu untuk menyelesaikan permasalahannya. Semakin banyak dukungan yang diperoleh individu maka akan semakin mudah untuk menyelesaikan permasalahannya. Oleh karena itu, suatu permasalahan dapat dianggap sebagai suatu tantangan bagi individu sehingga dia siap untuk menghadapi dan menyelesaikan permasalahan tersebut. Sedangkan efek negatif dari tiadanya dukungan sosial adalah individu menjadi tidak dapat menyelesaikan permasalahannya karena tidak dapat Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 2, Desember 2010
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa penelitian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar remaja di sekolah X Bogor menggunakan emotional focused coping. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar remaja di sekolah tersebut belum memiliki kemampuan menghadapi stressor yang dialaminya. Oleh karena itu, keterampilan dalam menggunakan problem focused coping perlu segera dilatih dan dikembangkan agar kelak para remaja tersebut siap menghadapi stressor. Remaja yang menggunakan problem focused coping sebagian besar berjenis kelamin laki-laki. Hal ini sesuai dengan pendapat Baron dan Byrne 79
Coping Stress Pada Remaja Korban Bullying Di Sekolah ”X”
remaja. Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi para guru dan orangtua dalam menangani masalah remaja korban bullying di sekolah “X”.
(1994) yang menyatakan bahwa laki-laki cenderung menggunakan logika dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan perempuan cenderung lebih menggunakan emosi-emosinya. Oleh karena itu, remaja perempuan perlu mendapatkan pengarahan dari orangtua dan guru tentang cara-cara efektif untuk mengatasi masalah. Pada penelitian ini, remaja yang berusia 18 tahun cenderung menggunakan problem focused coping ketika menghadapi stres. Hal ini sesuai dengan pendapat Ebata & Moos (1994) yang menyatakan bahwa stressor sebagai suatu pengalaman dan tantangan yang dapat dikendalikan berdasarkan pemikiran-pemikirannya. Oleh karena itu, remaja yang berusia di bawah 18 tahun masih membutuhkan banyak informasi dari lingkungannya sehinga mendapat penjelasan yang tepat dan bagi para orangtua untuk menciptakan hubungan keluarga yang dekat dan terbuka serta tidak terlalu mengekang remajaremajanya dalam menghadapi stressor. Berdasarkan urutan kelahiran remaja dengan urutan kelahiran bungsu sebagian besar menggunakan problem focused coping dibandingkan dengan urutan kelahiran yang lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Roslina Veruli, Mpsi dalam Aditrock (2009) yang menyatakan bahwa urutan kelahiran turut mempengaruhi perbedaan reaksi individu terhadap coping. Oleh karena itu, remaja dengan urutan kelahiran sulung dan tengah perlu mendapatkan masukan-masukan tentang cara-cara menyelesaikan masalah dari orangtua agar mereka siap dalam menghadapi stressor. Remaja yang mendapatkan banyak dukungan sosial cenderung untuk menggunakan problem focused coping. Hal ini sesuai dengan pendapat Webb dan Colette (1975) yang menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan resource yang berpengaruh terhadap coping. Oleh karena itu, sangat bermanfaat apabila keluarga dan sekolah dapat membangun suasana yang saling peduli dan saling membantu dalam mengatasi kesulitan hidup. Pada penelitian ini remaja paling banyak menggunakan seeking sosial support dan paling sedikit menggunakan confrontive coping. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar remaja di sekolah tersebut membutuhkan model yang dapat memberikan contoh-contoh tentang confrontive coping seperti bagaimana cara mempertahankan diri ketika diserang, diolok-olok, di ancam dan lain-lain, dengan cara membalas memukul, menendang, mendorong, dan sebagainya. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa coping stress yang digunakan remaja merupakan hasil pengaruh dari faktor jenis kelamin, usia, urutan kelahiran, dan dukungan sosial. Latar belakang yang berbeda membentuk coping yang berbeda pula pada Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 2, Desember 2010
Daftar Pustaka Apa
Itu Bullying?, dalam www.nirwanalife.multiply. com liputan6.com, 16 Juli 2005 dan kompas, 17 Juli 2005).
Dampak dari korban bullying, http://www.pikiranrakyat.com.
dalam
Ubah Cara Berfikir Untuk Hindari Stres. Diakses pada tanggal 22 Februari 2009, Dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=35081 Afrian, Desi. (2008). Setahun Beraksi, Genk Nero Banyak Makan Korban. http://M.okezone.com Averbach & Gramling. “Stress Management: Psychological Foundations”, 1988 Baron, Robert. A. & Byrne, Donn “Social Psycholgy Understanding Human Interaction, 7thed”. Allyn & Bacon, Massachusetts, 1994. Buchanan, Paula. “Bullying In Schools: Children’s Voices”, The University of Lethbridge, http://www.internationalsped.com/documen ts/BULLYING IN SCHOOLS.doc.31Jan2009. Coloroso, Barbara, “Stop Bullying”, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2003. Feldman, R.S. “Adjustment Applying Psychology in a Complex World (International ed)”, McGraw-Hill Book Company, Singapore,1989. Greenberg, J.S., “Comprehensive Stress Management. 7thed”, McGraw-Hill. Highter Educations, Boston, 2002. Gunawan, Ary. H, “Sosiologi Pendidikan, Suatu Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan”, Rineka Cipta. Jakarta, 2010. Hurlock. “Psikologi Perkembangan”, Erlangga, Jakarta. 1980.
80
Ed
5.
Coping Stress Pada Remaja Korban Bullying Di Sekolah ”X”
Kaplan, S.J.et. al, “ Adolescence Physical Abuse and Suicide Attempts”, Journals of the American Academy of Child and Adolescent Psychiatry,1997. Lazarus, R. & Susan, F.S, “Stress Appraisal and Coping”, Springer Publishing Company. New York, 1984. Narwoko, J. Dwi. & Bagong, Suyanto, “Sosiologi, Teks Pengantar dan Terapan”, Ed 1. Prenada Media, Jakarta, 2004. Olweus, Dan. “Bullying at School”,Blackwell Publishing, United Kingdom, 1993. Papalia, D., Olds, S.W. & Feldman, R.D, “Human Development, 9thed”, Mc Graw: Hill, New York. 2002. Santrock. “Adolescence: Perkembangan Remaja”, Ed 6. Erlangga, Jakarta, 2003. Sarafino, E.P, “Health Psychology: Biopsychosocial Interaction”, 3rd ed, John Willey and Sons, Inc. New York, 2002. Septiyaning, Indah, “Korban Bullying, Orangtua Ngotot Pindah Sekolah”, Diakses pada tanggal 7 November 2009, Dari http://www.solopos.com. 2009. Subekti Doelhadi, “Strategi Dalam Pengendalian Dan Pengelolaan Stres”, Anima Indonesian Psychological Journal Vol XII No. 48, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya, Surabaya, 1997 Sugiyono. “Metode Penelitian Bisnis”, CV Alfabeta. Bandung, 2007. Yulianto, Aries., “Psikometri”,Fakultas Psikologi, Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta, 2005.
Jurnal Psikologi Volume 8 Nomor 2, Desember 2010
81