Coping Stress Orang Tua Yang Memiliki Anak Kecanduan Narkoba
Oleh: BADRU ZAMAN NIM : 103070028986
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010
i
COPING STRESS ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK KECANDUAN NARKOBA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh : BADRU ZAMAN NIM : 103070028986
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I.
Pembimbing II,
Dra. Netty Hartaty, M.Si
Gazi, M.Si
NIP. 195310021983032001
NIP. 197112142007011014
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M
ii
LEMBAR PENGESAHAN Skripsi yang berjudul COPING STRESS ORANGTUA YANG MEMILIKI ANAK KECANDUAN NARKOBA telah diujikan dalam sidang munaqosah fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Psikologi Jakarta, 13 Desember 2010
Sidang Munaqosah
Dekan/ Ketua Merangkap Anggota Anggota
Pembantu Dekan/ Sekretaris merangkap
Jahja Umar, Ph.D NIP. 130 885 522
Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 19561223 198303 2001
Anggota,
M. Avicenna, MHSc. Psy NIP. 19770906 200112 1004
Dra. Netty Hartaty, M.Si NIP. 1953100 2198303 2001
Gazi Saloom, M.Si NIP. 197112142007011014s
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Badru Zaman
NIM
: 103070028986
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Coping Stress Orangtua Yang Memiliki Anak Kecanduan Narkoba adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penysusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka. Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undangundang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan karya orang lain. Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya.
Jakarta, Desember 2010
Penulis
iv
MOTTO & DEDIKASI Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap. Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya. Uang juga bisa membeli Televisi yang sangat besar untuk menghibur anak, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas. (M. Fauzil Adhim)
Ya Allah jangan Kau bimbing aku pada jalan yang mudah dan lunak, biarkan Kau bawa aku dalam gelombang dan desak kesulitan tantangan hidup. Bimbinglah aku supaya aku mampu tegak berdiri di tengah badai, serta saling mengasihi pada mereka yang membutuhkan.
Karya ini kupersembahkan untuk para orangtua yang berjuang menyelamatkan hidup anak-anak mereka dari jeratan narkoba
v
Abstrak (A) (B) (C) (D) (E) (F)
Fakultas Psikologi Desember 1 2010 Badru Zaman Coping Stress Orangtua Yang memilki Anak Kecanduan Narkoba 152 halaman Latar Belakang Menjadi orangtua adalah tugas seumur hidup yang harus dijalani setiap manusia. Dari mulai melahirkan sampai ketika seorang anak telah tumbuh dewasa peran orangtua tetap dibutuhkan untuk mendidik anak agar menjadi anak yang baik dan bertanggung jawab untuk kehidupannya nanti. Namun pada praktiknya tidak semua orangtua mampu mendidik dan memberikan perhatian yang baik bagi anak-anak mereka. Di zaman modern sekarang ini kesibukan bekerja atau mencari nafkah untuk keluarga menjadi alasan para orangtua akan kurangnya memberikan perhatian dan kasih sayang bagi anakanak mereka. Padahal lingkungan tempat anak-anak bergaul semakin dewasa kian hari semakin banyak perubahan dari halhal positif dan yang negative. jika tidak dikontrol oleh orangtua maka besar kemungkinan anak-anak terjerumus dalam pergaulan bebas seperti sex bebas hingga pemakaian narkotika dan obat-obatan terlarang. Kondisi inilah yang membuat orangtua mengalami stress dan tekanan ketika anak mereka terlibat dalam pemakaian narkoba. Mau tidak mau orangtua harus bisa menghilangkan kondisi stress tersebut dengan melakukan berbagai usaha (coping) agar anak mereka terlepas dari jeratan narkotika. Dimana pada dasarnya usaha yang dilakukan oleh orangtua tersebut untuk menurunkan atau menghilangkan kondisi stress yang orangtua alami. Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang coping stress orangtua yang memiliki anak kecanduan narkoba. Adapun metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus, yang menggunakan metode wawancara terstruktur dan observasi untuk mendapatkan data penelitiannya. Pada penelitian ini terdapat dua responden; Pertama responden utama dimana subyek utama ini adalah para orangtua yang memiliki anak kecanduan narkoba dengan lama waktu pemakaian napza yang bervariasi. Kedua significant other
vi
respondent atau subyek sekunder yang akan memberikan data tambahan tentang responden utama. Dimana significant other responden atau subyek sekunder adalah kerabat dekat dari responden utama; kakak, adik, istri, teman, konselor yang telah mendampingi subyek utama menjalani pengobatan. Hasil penelitian ini, menunjukan adanya beberapa informasi penting tentang coping stress orangtua yang memiliki anak kecanduan narkoba. Dimana pada subyek pasangan A B dan C memiliki kesamaan dalam melakukan strategi coping. Subyek pasangan A, B dan C lebih melakukan problem focused coping. (coping terpusat pada masalah). Hal ini karena orangtua ingin menyembuhkan anak mereka dari ketergantungan napza. Salah satunya adalah dengan membawa anak mereka ke tempat rehabilitasi khusus yang menangani masalah ketergantungan napza atau juga ke pondok pesantren. Ada yang menarik dari kasus subyek pasangan C, dalam kondisi yang masih aktif menggunakan putau subyek pasangan C menyuruh anak mereka pergi umrah dengan istrinya, strategi ini dilakukan agar anak mereka bisa kembali ingat pada ajaran agama. Selain itu para subyek pasangan A, B dan C juga melakukan strategi emotion focused coping (coping terpusat pada emosi). Dalam hal ini para orangtua lebih mengontrol perasaan dan pikiran agar segala usaha yang mereka lakukan bisa memberikan hasi yang baik dan mampu mengubah pikiran negative menjadi pemikiran yang positif.
(G)
Bahan Bacaan: Al-Quran + 27 Buku + 2 Makalah + 4 Websites (1980-2008)
vii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya, yang telah memberikan jalan baik yang sulit maupun yang mudah, karena pada akhirnya penulis dapat menyelsaikan skripsi ini dengan baik, walaupun di dalamnya masih sangat banyak kekurangan.
Selama penyusunan skripsi ini, tidak sedikit penulis menghadapi kesulitan dan hambatan baik yang menyangkut pengaturan waktu, pengumpulan dan penulisan bahan, pelaksanaan penelitian dan lain sebagainya. Namun berkat kesungguhan disertai dorongan dan bantuan dari berbagai pihak (khususnya dukungan dari pembimbing I dan II), maka segala kesulitan dan hambatan tersebut menjadi suatu pengalaman yang berharga yang pada akhirnya penulis dapat melaluinya. Amin!
Selanjutnya penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu dan mendorong penulis dalam segala hal;
1. Bapak Jahja Umar, Ph.D selaku dekan fakultas psikologi beserta jajarannya 2. Bapak Prof. DR. Hamdan Yasun, M.si. dosen pembimbing akademik kelas A angkatan 2003. 3. Ibu Dra. Netty Hartaty, M.S.i selaku pembimbing pertama penulis dan penguji kedua dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas segala nasihat dan juga kesabaran ibu dalam membimbing saya selama ini, katakata penyemangat yang pernah ibu ucapkan akan saya ingat selalu. Terima kasih ya bu. 4. Bapak Gazi, M.Si sebagai pembimbing kedua. Terima kasih banyak atas dorongan motivasi, bimbingan juga kebaikan bapak selama membimbing saya dari awal sampai akhir penyusunan skripsi ini, makasih banyak bapak.
viii
5. Bapak M. Avicenna, MHSc. Psy. Penulis ucapkan terima kasih banyak atas kesediaannya karena menjadi penguji pertama dalam sidang munaqosah skripsi ini, makasih ya pak untuk segala masukannya semoga skripsi ini jadi bermanfaat untuk banyak orang. 6. Kepada semua dosen yang telah memberikan cahaya keilmuannya dalam berbagai bidang disiplin ilmu, yang juga sudah memberikan arahan dan tuntunannya selama penulis mengikuti perkuliahan di fakultas Psikologi ini. 7. Semua pihak akademik yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis dalam memenuhi kebutuhan administrasi selama proses perkuliahan dan penyusunan skripsi. Pa Ayung, Bu Sri, Bu Nur terima kasih banyak ya untuk semua bantuan dan doanya. 8. Perpustakaan Psikologi UIN, Perpustakaan UI Depok, Perpumda Gandaria Jaksel, Perpumda Kuningan Jaksel, terima kasih atas buku-buku dan semua literatur yang dibutuhkan penulis selam perkuliahan dan penyusunan skripsi ini. 9. Kepada Yayasan Madani Mental Health Care; yang telah mengizinkan dan membantu penulis dalam penelitian ini. Ust. Darmawan selaku pimpinan, Ust. Jamie dan seluruh staff, konselor maupun terapis. Penulis ucapkan terima kasih untuk waktu, saran dan nasihatnya. 10. Untuk Ibu dan Bapakku (Radiyallahu’anhuma), tanpa keridhaan dan kasih sayang kalian aku tidak akan pernah sampai pada titik ini. Gara-gara aku, kalian meng-ikhlaskan untuk menunda segala keinginan kalian demi anakmu. Semoga Allah selalu melindungi dan memuliakan kalian. Dan semoga Allah memberiku kesempatan untuk membalas jasa-jasa kalian 11. Untuk kakakku Khairul Umam, S.Kom. Makasih mas untuk segalanya (finally I made it!!). Mudah-mudahan rizki yang mas umam raih selalu berkah buat keluarga mas umam. Bule Nung, bule Ros, Aa makasih ya semuanya untuk segala bantuan baik moriil maupun materiil. Untuk si kecil Nia dan Haris yang jadi penghibur di rumah “yang kompak ya!!”
ix
12. Teman-teman Psikologi 2003 kelas A – D. terima kasih untuk persahabatan yang indah selama ini. Special thanks yang ga akan hentihentinya penulis ucapkan untuk Ramdan, Ikhca Maulidya, Iyus, Rini Haryani karena sudah terlalu banyak membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini, semoga Allah selalu memberkahi kehidupan kalian. Dani, Maya, Catur, Tika syukran ya untuk segala doanya. 13. Kepada tim Klinik Hati; Ust. Sukeri Abdillah beserta keluarga, Ust. Viqih Zulfikar dan Istri. Terima kasih yang tak terhingga karena sudah memberiku kesempatan menjadi bagian keluarga Klinik Hati. Bagiku berada diantara kalian adalah sebuah proses yang membuatku berubah untuk lebih baik lagi. Semoga Allah selalu meridhai setiap jejak langkah tim Klinik Hati dalam berdakwah, allahumma amiin. 14. Untuk seseorang yang mendukungku selama ini. Terima kasih karena sudah mewarnai hidupku. Banyak hal yang bisa kupelajari dari semua ini dan beginilah Allah memberiku pelajaran hidup. Terima kasihku untuk Della Wijayanti 15. Untuk para responden yang saya jaga kerahasiaan nama, alamat, dan semua hal yang terkait dengan anda semua, insya Allah saya akan menjaga semua amanat tersebut. Saya doakan semoga anak-anak bapak dan ibu diberikan kesembuhan total dan kembali pada ajaran agama yang baik dan benar. Kesabaran dan keikhlasan bapak dan ibu selama mendampingi anak-anak kalian akan jadi buah yang manis untuk keluarga kelak.
Ini bukanlah akhir perjalanan tetapi tantangan masa depan sudah ada di depan mataku. Segala kebaikan yang sudah kalian berikan menjadi bekal dalam perjalananku selanjutnya. (Duhai Allah, limpahkan rahmat, hidayah dan kasih-Mu untuk semua orang yang kusebutkan di atas dan berkahi kehidupan mereka). Amiin Jakarta, Desember 2010 Penulis
x
DAFTAR ISI Halaman Judul ...........................................................................
..i
Halaman Persetujuan……………………………………………………ii Halaman Pengesahan…………………………………………………..iii Lembar Pernyataan……………………………………………………..iv Motto dan Dedikasi……………………………………………………...v Abstrak…………………………………………………………………….vi Kata Pengantar………………………………………………………….viii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ...............................................................1 1.2. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................13 1.3.1. Batasan Masalah ..............................................................13 1.3.2. Rumusan Masalah ...........................................................14 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................14 1.4.1 Tujuan Penelitian ...............................................................14 1.4.2 Manfaat Penelitian ............................................................14 1.4. Sistematika Penulisan ................................................................15
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Coping ………..............................................................................17 2.1.1. Definisi Coping .................................................................17
xi
2.1.2. Proses Coping.………………… .......................................18 2.1.3. Strategi coping……………………………………………….19 2.2. Narkoba ……………....................................................................26 2.2.1. Pengertian Narkoba .........................................................26 2.2.2. Faktor-Faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkoba…….27 2.2.3. Karakteristik Pecandu Narkoba……………………………32 2.3. Orangtua Anak Penyalahguna Narkoba………………………….36 2.3.1. Peran dan Fungsi pada Orangtua .................................36 2.3.2. Peran dan Fungsi Orangtua Ketika Anak Terlibat Penyalahgunaan narkoba………………………………….40 2.4. Kerangka Berpikir ......................................................................42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.
Jenis Penelitian ......................................................................47 3.1.1. Pendekatan Penelitian ................................................. 47 3.1.2. Metode Penelitian ........................................................ 48
3.2.
Subyek Penelitian ................................................................... 49 3.2.1. Karakteristik Subyek .................................................... 49 3.2.2. Jumlah Subyek ............................................................ 49 3.2.3. Teknik Pengambilan Sampel .......................................49
3.3.
Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ............................. 50 3.3.1. Metode Pengumpulan Data .........................................50 3.3.2. Instrumen Pengumpulan Data .....................................52
xii
3.4.
Prosedur Penelitian……………………………………………….55
3.5.
Tekhnik Analisa Data ..............................................................56
BAB 4 PRESENTASI DAN ANALISIS DATA 4.1. Gambaran Umum Subyek…………………………………………..58 4.2. Hasil Penelitian dan Analisis Kasus Subyek……………………...59 4.2.1 Kasus Pasangan Subyek A……………………………………...59 4.2.2 Kasus Pasangan Subyek B……………………………………...75 4.2.3 Kasus Pasangan Subyek C……………………………………..99 Analisis Strategi Coping Antar Kasus……………………………........119
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN 5.1 Kesimpulan…………………………………………………………126 5.2 Diskusi………………………………………………………………129 5.3 Saran………………………………………………………………..131 5.3.1 Saran Teoritis……………………………………………….132 5.3.2. Saran Praktis…………………………………………….....133
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xiii
Daftar Lampiran
Lampiran 1.
Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 2.
Surat Izin Penelitian dari Fakultas Psikologi UIN Syahid
Lampiran 3.
Pedoman Wawancara
Lampiran 4.
Lembar Observasi
Lampiran 5.
Lembar Kesediaan Menjadi Responden Penelitian.
xiv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Menjadi orangtua adalah tugas seumur hidup, Bahkan ketika anak telah dewasa, peran orangtua tetap dibutuhkan dan diakui. Mendidik dan membesarkan anak agar menjadi manusia berguna adalah tanggung jawab orangtua. Namun untuk menjadi orangtua dalam kehidupan sehari-hari tidaklah mudah. (F. X Puniman, 2000). Ketika anak lahir orangtua sangat menginginkan anaknya berada dalam kondisi sehat secara jasmani (fisik) dan rohani (psikis). Memiliki anak dengan segala kesempurnaannya adalah satu harapan dari setiap orangtua di dunia ini. Anak sehat secara fisik dan psikis dan yang terpenting adalah bagaimana pendidikan terbaik yang nantinya akan didapat oleh anak dari orangtuanya. Kesempurnaan fisik dan psikis anak merupakan dambaan dari setiap orang tua. Jika kita perhatikan kondisi saat ini ada banyak keluarga (orangtua) yang memiliki anak dengan berbagai macam keterbatasan dan kekurangannya baik secara fisik maupun psikis. Kekurangan fisik yang dimaksud seperti kelainan jantung, mengidap kanker, bahkan banyak anak-anak yang terlahir dengan kondisi cacat yang
1
2
dibawa sejak lahir seperti kembar siam, mengidap tumor, dan ada yang mempunyai gangguan pada sistem syarafnya. Selain ketidaksempurnaan secara fisik ada pula anak yang dilahirkan memiliki kecenderungan gangguan secara psikis, seperti anak dengan dengan IQ rendah, anak memiliki gangguan pemusatan perhatian, hingga penyakit autis. Kondisi seperti ini membuat orangtua menjadi cemas dan khawatir akan masa depan anak-anak mereka. Sehingga orangtua melakukan berbagai usaha (coping) untuk membantu anaknya agar bisa tumbuh kembang seperti anak lain pada umumnya. Di lain pihak ada beberapa orangtua yang memiliki anak dengan segala kesempurnaannya, namun tidak memperlakukan anak mereka
secara sempurna.
Orangtua selalu memberikan fasilitas berbentuk materi namun tidak memberikan kasih sayang dan perhatian yang pada akhirnya mengakibatkan anak terlibat dengan permasalahan kenakalan-kenakalan sosial seperti tawuran, terlibat organisasi yang tidak bermanfaat atau terlibat penyalahgunaan narkotika. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mohammad Fauzil Adhim (2006) bahwa, uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah tapi bukan tidur yang lelap, uang bisa membeli rumah yang lapang tapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya, uang juga bisa membeli pesawat televisi yang besar untuk menghibur mereka tapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terhempas.
3
Oleh sebab itu, sebagai orangtua sudah seharusnya mengerti dan memperhatikan pendidikan bagi anak. Dan harus dipahami pula oleh orangtua bahwa pendidikan yang utama untuk anak dan pertama kali berasal dari keluarga yang berawal dari kasih sayang dan perhatian, sebagaimana yang diutarakan oleh Messwati (2000) yang berpendapat bahwa, pendidikan yang utama berasal dari keluarga, dibandingkan sekolah keluarga sangat berperan bagi perkembangan anak. Pendidikan dalam keluarga sangat menentukan sikap demokratis seseorang, karena orangtua menjadi basis nilai bagi anak, oleh karenanya orangtua harus meluangkan waktu dan menyiasatinya agar setiap waktu yang diberikan untuk anak-anak mereka menjadi bermakna. Saat ini kesibukan orangtua, khususnya orangtua yang keduanya bekerja menyebabkan anak kurang mendapatkan perhatian dan pendidikan pertama untuk mereka. Banyak orangtua yang bekerja tidak mampu membagi waktu mereka untuk keluarga sehingga yang terjadi anak sering merasa sendirian. Hal ini tentu akan membuat banyak permasalahan yang muncul dengan anak ketika terlalu sering ditinggal orangtuanya, bahkan jika dibiarkan terus-menerus seperti ini bisa jadi suatu saat anak mencari perhatian di luar rumah supaya mendapatkan pengakuan dari orang lain atas keberadaan dirinya, hal semacam ini akan membuat suasana di dalam keluarga tidak sehat dan bahkan komunikasi antara anak dan orangtua menjadi tidak harmonis.
4
Kartono (1991) mengemukakan, Anak-anak yang kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang orangtua itu selalu merasa tidak aman, merasa kehilangan tempat berlindung dan tempat berpijak. Anak-anak mulai ”menghilang” dari rumah, lebih suka bergelandangan dan mencari kesenangan hidup yang imaginer di tempattempat lain, dia mulai berbohong dan mencuri untuk menarik perhatian dan mengganggu orangtuanya. Namun demikian ada beberapa hal positif ketika anak ditinggal bekerja oleh orangtuanya. Salah satunya adalah seperti yang diungkapkan oleh seorang psikolog Shinto Adelar dalam Retno Bintarti (2000) yang mengemukakan, sisi positif meninggalkan anak adalah menjadi cepat mandiri dibanding dengan anak yang terusmenerus dibantu. Anak-anak yang biasa ditingggal orangtua menjadi terbiasa memenuhi kebutuhannya sendiri dan belajar mencari kesibukan sendiri dan mereka menjadi terbiasa memegang tangung jawab. Namun demikian dalam hal ini orangtua tetap melakukan kontrol jarak jauh terhadap anak-anak mereka. Seperti menelepon penjaga rumah atau pembantu, juga tetangga yang berdekatan untuk mengetahui keadaan anaknya. Ketika anak sudah mulai memasuki masa remaja akan timbul kenakalankenakalan yang dilakukan anak, seperti yang diungkapkan oleh Bryan Lask (1985) yang mengatakan bahwa ketika awal-awal usia remaja. pada usia-usia itu anak akan mengalami kebebasan yang baru ditemukan dan ingin mengekspresikannya. Sehingga adakalanya anak terlibat dengan kenakalan pada masa remaja, dalam hal ini
5
kenakalan remaja yang biasa terjadi adalah dalam masalah pergaulan. Seperti merokok, bolos sekolah, tawuran antar pelajar, kebut-kebutan dijalan atau yang lebih dikenal dengan istilah balapan liar,
juga bahkan bisa terjerumus dalam dunia
narkotika. A.W. Widjaya (1985) mengungkapkan, Kenakalan remaja merupakan gejala alamiah anak pada periode umur tertentu, meningkatnya kualitas kenakalan itu sendiri adalah akibat pengaruh lingkungan buruk yang ada disekitarnya. Jadi dapat dikatakan bahwa lingkungan memang memiliki pengaruh yang signifikan bagi perkembangan kepribadian mereka. Jika diteliti lebih dalam mengenai kenakalan remaja, sebenarnya yang menyebabkan kenakalan mereka adalah karena jiwa yang tertekan, jiwa menjadi tidak sehat disebabkan salahnya pendekatan orangtua, pendidikan disekolah, dan pengaruh lingkungan. Sebagaimana pendapat Widjaja (1985) yang mengemukakan bahwa remaja mencari identitas diri, apabila tidak ditemukan identitas ini maka remaja biasanya terganggu (tidak sehat), mereka merasa cemas, gelisah, resah, kecewa, frustasi yang ini disebut krisis remaja. jika tidak diarahkan kearah yang positif dan konstruktif akan mengakibatkan kenakalan remaja. Diantara banyak kenakalan-kenakalan remaja yang paling mengkhawatirkan bagi banyak orangtua adalah pemakaian narkotika atau zat kimia lainnya. Masalah kenakalan remaja yang terkait dengan penyalahgunaan narkotika dewasa ini disikapi
6
dengan
kecemasan oleh para orang tua. Kenakalan ini
jika tidak segera
ditanggulangi dengan segala usaha yang sungguh-sungguh maka ketentraman, kegelisahan, kecemasan dan gangguan mental lainnya telah menghantui orangtua dan para remaja yang terlibat penyalahgunaan narkotika tersebut. Perasaan cemas dan gelisah yang selalu membayangi setiap saat menjadi beban yang teramat berat untuk diterima. Masalah menjadi rumit ketika lingkungan masyarakat mengetahuinya, tentunya akan banyak stigma negatif seperti tidak becus (tidak mampu) mengurus anak, menelantarkan anak dsb. Yang muncul dimasyarakat sehingga membuat kondisi semakin tidak nyaman yang pada akhirnya menimbulkan stress bagi orangtua. Dalam kondisi yang penuh stress dan kekhawatiran akan anak, mereka (orang tua) memaksa terjadinya suatu perubahan-perubahan dalam berbagai hal. Seperti komunikasi, perhatian, perubahan peran dari ayah dan ibu, dan juga waktu. Jika sebelumnya jarang terjadi komunikasi yang baik pada anak sehingga membuat anak merasa tidak diperhatikan dan tidak diakui keberadaannya yang akhirnya menyebabkan anak mencari perhatian dan kesenangan di luar hingga sampai memakai narkotika, maka komunikasi menjadi lebih intensif pada anak agar anak merasa benar-benar diakui keberadaannya dan diperhatikan.
7
Kemudian memberikan waktu dan perhatian lebih agar selalu bisa berada dekat dengan anak, dan menjadi teman bagi anak, karena untuk memberikan support bagi anak yang kecanduan narkotika seorang ayah dan ibu harus mampu berperan sebagai seorang teman atau sahabat bagi anaknya, karena anak membutuhkan suatu kedekatan emosional seperti yang didapat dari sahabat-sahabatnya agar anak tetap merasa nyaman dan mendapat pengakuan akan keberadan dirinya dan juga dukungan moril untuknya. Terjadinya beberapa perubahan baik peran, komunikasi dsb dalam keluarga belum cukup untuk memberikan kesembuhan bagi anak yang kecanduan narkotika. Keadaan stress yang ditimbulkan dari permasalahan tersebut membuat orangtua harus melakukan berbagai macam usaha penanganan (coping) agar mampu keluar dari kondisi stress itu. Seperti mencari informasi mengenai tempat-tempat rehabilitasi narkotika, lalu mengajak anak untuk pergi ketempat rehabilitasi sampai dengan menjalani proses rehabilitasi tersebut. Berikut ini adalah sepenggal kisah tentang seorang mantan pesepakbola juga sebagai orangtua yang berjuang untuk kesembuhan anaknya dari ketergantungan narkotika. Kisah ini diambil dari buku kumpulan kisah inspiratif Kick Andy 2008. Ronny Pattinasarany mengawali kariernya sebagai pemain sepakbola pada 1970 saat terpilih sebagai anggota tim PSSI Yunior ke Manila.Ronny adalah pemain All Star Asia, olahragawan terbaik Indonesia. Medali perak SEA Games pernah dia sumbangkan untuk tim merah putih. Namun, dibalik kesuksesannya di dunia persepakbolaan, Ronny memiliki kenangan buruk tersendiri menyangkut dua anak laki-lakinya. Pada tahun 1985, dalam kesibukan kariernya. Ronny merasakan dirinya telah bersalah karena tidak memberikan perhatian yang baik buat keluarga
8
khususnya untuk anak-anaknya. Dimana pada tahun yang sama Ronny mulai mengetahui bahwa kedua anak laki-lakinya terlibat dengan penyalahgunaan narkoba, kedua anaknya tersebut mengalami kecanduan yang cukup parah. Akhirnya Ronny membuat keputusan untuk mendampingi kedua anaknya agar terlepas dari kecanduan tersebut, adakalanya Ronny harus mengantar salah satu anaknya untuk mempeoleh narkoba ke salah satu bandar, hal ini didorong oleh rasa kasihan Ronny ketika melihat anaknya mengalami sakaw........... (Kick Andy; Kumpulan Kisah Inspiratif, hal: 42-48).
Berbicara tentang sejarah keberadaan narkoba di Indonesia, menurut AKBP. Drs. Bambang Wasgito (2001) mengemukakan bahwa di Indonesia narkotika telah ada sejak zaman Hindia Belanda yang dipergunakan untuk mengikat buruh-buruh orang Cina yang dipekerjakan
di berbagai proyek Hindia Belanda seperti
perkebunan, pembuatan jalan raya dan jalan kereta api yang dimasukkan ke Indonesia dari India. Namun sekitar tahun 1968 gelombang narkotika meningkat di Indonesia. Pada saat itu yang disalahgunakan tidak lagi hanya Opium atau Candu, tetapi juga Morfina (zat kandungan dari candu) dan Heroin yaitu turunan dari Morfina yang memiliki kekuatan yang lebih besar, sehingga dengan dosis yang kecil mampu menghasilkan pengaruh (efek) yang lebih besar. Sebagai dampak dari gelombang penyalahgunaan Narkotika tersebut, maka di Indonesia pada tahun 1970-an bermunculan kasus-kasus penyalahgunaan Narkotika (Morfin, Heroin, dan Ganja).
Koran Tempo 21 Agustus 2008, mengungkapkan kasus peredaran narkotika pada tahun ini khususnya di Jakarta meningkat tajam, peningkatan itu mencapai 62,34 persen dari tahun lalu. Kepala Bagian Represi Badan Narkotika Provinsi DKI
9
Jakarta Ajun Komisaris Besar Sigit Gumantio menduga naiknya peredaran narkoba karena makin banyaknya pasokan dari luar negeri, contohnya narkotik heroin jenis brownsugar. Penyitaan teranyar heroin jenis itu dilakukan pada selasa lalu saat Badan Narkotika Provinsi (BNP) DKI Jakarta dan Kepolisian Metropolitan Jakarta Raya menggelar operasi gabungan di Kelurahan Menteng Tenggulun dan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat. Dari barang bukti yang disita, yaitu 55 paket heroin, 56 butir ekstasi, 3 paket ganja, dan 16 jarum suntik, terdapat heroin jenis brownsugar. Ditemukan pula heroin jenis white crystal yang berasal dari kawasan Segi Tiga Emas: Laos, Burma, dan Thailand.
Data kasus penyalahgunaan narkotika dari tahun 2001 s/d 2006 : No
Kasus
2001
2002
2003
2004
2005
2006
1
NARKOTIKA
1.907
2.040
3.929
3.874
8.171
4.626
Sumber : Badan Narkotika Nasional Data terbaru yang penulis dapatkan dari sebuah stasiun televisi swasta pada tanggal 10 Juli 2010 pukul 14.00 yang bersumber dari Badan Narkotika Nasional menyebutkan bahwa pengguna narkoba pada tahun 2009 mencapai 26.768 (dua puluh enam ribu tujuh ratus enam puluh delapan orang) dengan pengguuna terbanyak berasal dari kalangan remaja. Sebuah peningkatan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan tabel di atas. Dari informasi tersebut menunjukkan bahwa kasus penyalahgunaan narkotika dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Yang lebih
10
mengkhawatirkan adalah sebagian besar pengguna narkoba adalah remaja dan dewasa muda yang rentang usia mereka antara 16 s/d 24 tahun, justru mereka yang sedang dalam usia produktif yang merupakan sumber daya manusia dan juga sebagai aset bangsa di kemudian hari. Hurlock (2004), Usia remaja juga merupakan usia yang tidak stabil secara emosi, usia yang menakutkan, dan usia perubahan.
Menurut Harboenangin (dalam Danny I Yatim dan Irwanto, 1991) mengemukakan bahwa semua sebab yang memungkinkan seseorang mulai menyalahgunakan obat pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam dua bagian besar. Pertama, sebab-sebab yang berasal dari faktor individu itu sendiri dan kedua, sebab-sebab yang berasal dari lingkungannya. Adapun faktor individu adalah kepribadian, inteligensi, usia, perasaan ingin tahu dan memecahkan persoalan. Sedangkan faktor lingkungan adalah, ketidakharmonisan keluarga, pekerjaan, kelas sosial-ekonomi dan tekanan kelompok. Sebagai orangtua yang memiliki anak pengguna narkotika sudah menjadi satu kewajiban untuk ikut berperan dalam membantu proses penyembuhan anaknya, bukan hanya dukungan materil yang harus diberikan untuk proses rehabilitasi akan tetapi dukungan moral dan spiritual yang sangat dibutuhkan oleh anak selama masa penyembuhan. Berbagai macam tindakan penanganan dapat dilakukan oleh orang tua untuk membantu melepaskan anak mereka dari ketergantungan narkoba seperti merujuk pada panti rehabilitasi, pondok pesantren yang khusus menangani masalah narkotika
11
dan obat-obatan terlarang.
Di dalam undang-undang nomor 22 Pasal 46
menyebutkan: “orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.” Dan jika dilihat dari segi agama, tiap-tiap agama baik Islam, Kristen, Hindu dan Budha melarang bahkan mengharamkan pemakaian obat-obatan dan minumminuman keras yang dapat menyebabkan seseorang menjadi mabuk atau menjadi rusak diri
karena pengaruh obat terlarang dan juga minuman keras. Didin
Hafiduddin (2001) mengungkapkan dalam agama islam segala sesuatu yang memabukkan (khamr) hukumnya haram. Sebagaimana dinyatakan dalam Al quran QS Al Maidah ayat 90-91:
☺
☺
☺ ☺ ☺ ☺ ☺ Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
12
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
Disadari atau tidak orang tua berusaha mengurangi atau bahkan menghilangkan sumber konflik yang memicu stres tersebut. Oleh karena itu intervensi untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan sumber stres tersebut bisa datang dari individu itu sendiri (intervensi individual) antara lain dengan strategi coping. Dalam melakukan usaha untuk menghilangkan dan mengurangi stres, setiap individu melakukan usaha yang melibatkan pikiran dan tindakan yang berbeda untuk menurunkan tingkat stress. Perbedaan usaha ini dikenal dengan istilah strategi coping. Seperti yang diungkapkan oleh Lazarus dan Folkman: “coping strategies are thought and actions that we used to deal with stressful situations and lower our stress level” (dalam Auerbach & Gramling, 1998:27) Strategi coping adalah usaha berupa pikiran dan tindakan yang berbeda untuk menurunkan tingkat stress.
Lazarus dan Folkman (dalam Auerbach dan Gramling, 1998) membedakan dua tipe strategi coping: a. coping terpusat pada masalah (problem focused coping) yakni usaha untuk menghilangkan emosi negatif yang dialami dengan melakukan sesuatu untuk memodifikasi, mengubah, atau meminimalkan situasi yang mengancam b. coping terpusat pada emosi (emotion problem focused coping)
13
usaha untuk menghilangkan emosi yang tidak menyenangkan dengan menggunakan beberapa mekanisme seperti penyangkalan (denial), harapan positif dan pikiran yang penuh harapan Oleh sebab itu dari uraian yang sudah dikemukakan diatas maka penulis merasa tertarik untuk meneliti bagaimana Coping Stres Orang Tua Yang Memiliki Anak Kecanduan Narkoba.
1.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.3.1 Pembatasan masalah Agar penelitian ini tidak meluas penulis membatasi masalah sebagai berikut : 1. Coping, dalam melakukan usaha untuk mengurangi dan menghilangkan stress tiap individu melakukan berbagai macam upaya yang melibatkan emosi, perasaan, pikiran dan tindakan. Coping memiliki dua strategi berbeda dalam mengatasi kondisi stress, yakni coping terpusat pada masalah (problem focused coping) dan coping terpusat pada emosi (emotion focused coping). Problem focused coping dibagi menjadi dua kategori yaitu: Confrontative coping, Planful problem solving. Sedangkan emotion focused coping dibagi menjadi lima kategori yaitu: Distancing, self control, accepting responsibility, escape avoidance, positive reappraisal. Kemudian Ada satu kategori yang termasuk dalam kedua strategi coping tersebut yakni seeking social support. Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui strategi coping manakah yang lebih utama digunakan oleh orangtua yang memiliki anak kecanduan narkoba.
14
2. Kecanduan narkoba adalah pemakaian obat yang sudah lanjut sehingga jika pemakaian itu dihentikan maka akan timbul gejala putus zat. Pada tahap ini penderita tidak dapat melepaskan diri dari narkoba dan terpaksa harus memakai narkoba karena ia tidak dapat menanggulangi gejala putus zat, sehingga ia akan memakai narkoba untuk jangka waktu yang lama. (Hawari, 1997)
1.3.2 Perumusan masalah Dari pembatasan masalah diatas dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini, yaitu bagaimana Coping Stress Orangtua Yang memiliki Anak Kecanduan Narkoba?
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran secara mendalam tentang perilaku coping stres orangtua terhadap anaknya yang kecanduan narkoba.
1.4.2 Manfaat Penelitian a. Manfaat teoritis Diharapkan penulis mampu memberikan sumbangan literatur bagi khazanah studi psikologi mengenai kajian tentang perilaku coping stres . Khususnya coping stres pada orang tua yang memiliki anak kecanduan narkoba.
15
b. Manfaat praktis Dengan mengetahui perilaku coping stres orang tua yang memiliki anak kecanduan narkoba, penulis berharap dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para guru/pendidik pada umumnya dan secara khusus terhadap orangtua yang memiliki anak pecandu narkoba.
1.5 Sistematika Penulisan Berdasarkan Pedoman Penyusunan dan Penulisan Skripsi, Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2010), pembahasan penelitian ini dibagi ke dalam lima bab. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN Secara keseluruhan, isi pendahuluan merupakan penjelasan-penjelasan yang erat hubungannya dengan masalah yang di bahas. Pada bab ini berisikan latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian baik secara teoritis maupun praktis serta sistematika penulisan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA Kajian pustaka memuat berbagai sumber dari teori-teori yang berkaitan dengan topik penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu coping, orang tua, narkoba, serta kerangka berpikir.
16
BAB III METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menguraikan secara terperinci bagaimana dan melalui pendekatan apa penelitian akan dilakukan. Antara lain, jenis penelitian, teknik pemilihan subyek, pengumpulan data, prosedur penelitian, dan analisis data, serta kode etik penelitian.
BAB IV PRESENTASI DAN ANALISIS DATA Bab ini terdiri dari tiga subbab. Subbab pertama membahas gambaran umum subyek penelitian, subbab kedua membahas gambaran dan analisis kasus, dan subbab ketiga membahas analisis antar kasus.
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Pada bab ini ada tiga hal yang perlu dikemukakan, yaitu kesimpulan yang mengemukakan uraian gambaran dari jawaban masalah yang diteliti, diskusi mengenai temuan-temuan dalam penelitian, dan saran untuk penelitian lanjutan, baik teoritis maupun praktis.
17
BAB 2 KAJIAN TEORI
2.1 Coping 2.1.1 Definisi coping Dalam kamus psikologi coping behavior
yaitu tingkah laku atau tindakan
penanggulangan; sembarang perbuatan, dalam mana individu melakukan interaksi dengan lingkungan sekitarnya, dengan tujuan menyelesaikan masalah. (dalam J.P. Chaplin, 2002) “constantly changing cognitive and behavioral efforts to manage specific external and or internal demands that are appraised as taxing or exceeding the resources of the person” (Lazarus & Folkman, 1984) Coping adalah proses mengatur tuntutan (external atau internal) yang dinilai melebihi kemampuan individu. coping melibatkan usaha, gabungan antara aksi bertujuan dan intrapsikis, untuk mengatur tuntutan lingkungan dan internal dan konflik di antara keduanya.
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa coping adalah proses yang dilakukan individu dalam mengatasi dan mengatur perbedaan yang ada antara tuntutan lingkungan dan sumber daya yang diterima dalam situasi stressful atau usaha-usaha yang dilakukan individu untuk menghadapi suatu situasi yang penuh stres, baik yang
17
18
timbul dari dalam maupun dari luar individu, tingkah laku yang ditimbulkan oleh situasi tersebut diwujudkan dalam perilaku-perilaku tertentu.
2.1.2 Proses coping Dalam menggunakan istilah coping berdasarkan definisi dari Lazarus dan Folkman di atas, perlu dibedakan antara coping sebagai suatu set proses (coping process) dan coping sebagai suatu set outcomes (coping outcomes). Coping process adalah perbedaan strategi atau taktik yang digunakan dalam menghadapi situasi yang stressful dan situasi yang dapat memunculkan emosi, sedangkan coping outcomes adalah seberapa efektif strategi yang digunakan dalam memenuhi tuntutan lingkungan atau mengurangi emosi yang stressful. (Lazarus dan Folkman dalam Auerbach dan Gramling, 1998).
Lazarus dan Folkman (dalam Auerbach dan Gramling, 1998) menekankan bahwa coping adalah suatu proses transaksional di mana kita secara berkelanjutan menilai arti sebuah situasi (apakah situasi tersebut mengingatkan kita pada suatu yang menyakitkan, menandakan sebuah ancaman, menandakan keuntungan atau bersifat netral). ia juga menambahkan bahwa kesadaran individu sangat berpengaruh dalam proses dan pilihan keputusan yang diambil. selain itu level stress dan emosi yang pernah dialami menentukan kesadaran dan efektivitas strategi coping yang digunakan.
19
2.1.3 Strategi coping Dalam melakukan usaha untuk menghilangkan dan mengurangi stres, setiap individu melakukan usaha yang melibatkan pikiran dan tindakan. Usaha ini dikenal dengan
istilah strategi coping. Seperti yang diungkapkan oleh Auerbach dan
Gramling (1998): “Coping strategies are thoughts and actions that we use to deal with stressful situation and lower our stress levels” (Auerbach & Gramling, 1998:27) Strategi coping adalah usaha yang melibatkan pikiran dan juga tindakan yang berbeda untuk menurunkan tingkat stress.
Lazarus dan Folkman (dalam Auerbach dan Gramling, 1998) membedakan tipe strategi coping:
a. Coping terpusat pada masalah (problem-focused coping) Adalah usaha untuk melakukan sesuatu yang terencana dalam menghadapi kondisi stressful yang menyakitkan, mengancam atau menantang bagi individu (Taylor, 1999). atau dengan kata lain coping terpusat pada masalah adalah usaha untuk menghilangkan permasalahan yang dialami dengan melakukan sesuatu untuk memodifikasi, mengubah atau meminimalkan situasi yang mengancam (Auerbach dan Gramling, 1998). Contoh: “begitu saya mengetahui anak saya mengunakan narkoba saya langsung mencari
20
informasi kepada teman ataupun tetangga untuk membawa anak saya berobat ke rumah sakit yang khusus menangani masalah napza”.
Jadi dengan menggunakan strategi ini individu melakukan suatu tindakan aktif atau modifikasi, untuk meminimalkan, mengubah atau menghilangkan situasi yang menimbulkan stress.
b. Coping terpusat pada emosi (emotion focused coping) Coping terpusat pada emosi adalah usaha untuk menghilangkan emosi yang tidak menyenangkan dengan menggunakan beberapa mekanisme seperti penyangkalan (denial), harapan positif dan pikiran yang penuh harapan (Auerbach dan Gramling 1998). Jadi dengan menggunakan strategi ini individu mencoba untuk mengurangi reaksi stress secara langsung tanpa mencoba melakukan sesuatu pada hal yang menjadi pemicu masalah. Dari kedua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedua strategi coping tersebut sama-sama mencoba untuk mengontrol level stress yang dialami individu, sehingga tidak tertutup kemungkinan bagi individu untuk menggunakan kedua strategi tersebut dalam menghadapi situasi stressfull.
Sementara itu pendapat lain diungkapkan oleh Copper dalam membagi strategi coping dimana dua strategi yang diungkapkan oleh Copper masuk pada
21
kategori coping terpusat pada masalah (dalam Rahmawati, 2004). Copper membagi coping menjadi dua bentuk, yaitu bentuk tingkah laku dan kognitif. Pada coping terpusat pada masalah bentuk tingkah lakunya berupa upaya untuk mengontrol situasi yang tidak menyenangkan dan memecahkan masalah. Sementara bentuk dari jenis coping cognitif adalah upaya yang ditujukan untuk mengubah cara mempersepsi dan menginterpretasi situasi, misalnya mengevaluasi ulang situasi atau menyusun kembali penilaian situasi. Strategi coping terpusat pada masalah ini muncul apabila individu merasa bahwa sesuatu yang konstruktif bisa dilakukan untuk mengatasi stress. Selain tipe strategi coping dari yang sudah disebutkan di atas ada jenis strategi coping lain yang diungkapkan oleh Chaffin (dalam Taufiq, 2008) yaitu: 1. Behavioral strategies of avoidance yaitu memisahkan perilaku dari situasi yang menekan dengan upaya menarik diri ataupun mengkonsumsi dan menggunakan secara berlebihan zat-zat seperti obat-obatan dan alcohol. Contoh: “saya mau pergi ke night club untuk bersenang-senang dan pesta miras supaya bisa melupakan masalah saya” 2. Cognitive strategies of avoidance dissociation yaitu mencegah masuknya pemikiran yang mengancam kesadaran. Coping jenis ini seperti tidak ingin menceritakan kejadian traumatis yang dialami kepada orang lain. Karena dengan menceritakan kejadian tersebut maka akan membuatnya semakin nyata. Contoh: “saya tidak mau mengungkit masalah pencurian yang pernah saya lakukan”
22
3. Internalized yaitu membiarkan semua terjadi tanpa harus melupakan kejadian tersebut. Contoh: “saya menjalani semua proses kehidupan ini dengan santai sekalipun saya pernah melakukan tindakan kriminal” 4. Anger and the release of pain yaitu reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh sejumlah situasi yang merangsang jiwa dan juga pikiran termasuk ancaman, agresi lahiriah, pengekangan diri, kekecewaan atau frustasi dan terkadang kemarahan tersebut dilampiaskan kepada benda-benda yang ada disekitarnya. Contoh: “ketika saya merasa tertekan dalam satu keadaan biasanya saya akan berteriak kencang untuk meluapkan perasaan tertekan itu” 5. Active yaitu pengambilan keputusan langkah untuk mencoba memindahkan atau menyiasati stressor. Active coping merupakan strategi yang dirancang untuk mengubah cara pandang individu terhadap sumber stress. Contoh: “saya langsung membawa anak saya ke dokter ketika suhu tubuhnya menjadi panas tinggi”.
Folkman dan Lazarus (dalam Auerbach dan Gramling, 1998) menambahkan bahwa strategi coping dibagi menjadi delapan sub-kategori, dimana dua diantaranya termasuk dalam strategi coping terpusat pada masalah (problem-focused coping). lima sub-kategori termasuk dalam strategi coping terpusat pada emosi (emotionfocused coping) dan satu sub kategori merupakan gabungan dari dua strategi tersebut.
23
usaha individu yang termasuk dalam strategi coping terpusat pada masalah (problem focused coping), yaitu: 1. Confrontative coping Kategori ini menggambarkan usaha yang agresif untuk merubah situasi, termasuk usaha yang dapat melibatkan resiko. Contoh: saya antar anak saya ke bandar narkoba untuk memperoleh putaw agar dia tidak sakau lagi. 2. Planful problem solving Kategori ini menggambarkan usaha-usaha yang sifatnya bertujuan untuk merubah situasi yang dapat menimbulkan stress dengan menggunakan pendekatan yang analitis untuk memecahkan masalah. Contoh: saya berpikir untuk langkah apa yang harus saya ambil untuk menghilangkan ketergantungan anak saya dari narkoba.
Usaha individu yang termasuk dalam strategi coping terpusat pada emosi (emotion-focused coping), yaitu: 1. Distancing Kategori ini menggambarkan usaha individu untuk melepaskan diri dari situasi yang dapat menimbulkan stress atau untuk mendapatkan hasil yang positif. Saya pergi dari rumah untuk menghindari pembicaraan masyarakat tentang anak saya yang terlibat penyalahgunaan narkoba 2. Self control
24
Kategori ini menggambarkan usaha individu untuk mengontrol perasaan atau tindakannya. Contoh: saya menahan diri untuk tidak marah atas pembicaraan masyarakat tentang anak saya yang kecanduan narkoba 3. Accepting Responsibility Kategori ini menggambarkan pengakuan individu bahwa ia berperan dalam masalah yang timbul dan juga meliputi usaha untuk meletakkan segala sesuatunya dengan benar. Contoh: saya mengakui bahwa saya ikut berperan dalam penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak saya 4. Escape avoidance Kategori ini menggambarkan harapan dan usaha-usaha untuk menghindar atau melarikan diri dari aktivitas orang lain. Contoh: saya pergi ke suatu tempat dimana keluarga dan orang-orang disekitar saya tidak dapat menemukan dan mengganggu saya. 5. Positive reappraisal Kategori ini menggambarkan usaha-usaha untuk menciptakan hal-hal yang positif dengan memfokuskan dalam pengembangan pribadi dan juga lebih taat mendalami agama. Contoh : saya mengambil hikmah atas apa yang sudah terjadi dengan anak saya Selain beberapa sub-kategori yang telah disebutkan di atas, ada sub-kategori terakhir yang termasuk dalam kedua strategi yang ada yaitu strategi coping terpusat
25
pada masalah (problem-focused coping) dan strategi coping terpusat pada emosi (emotion-focused coping), yaitu: - Seeking social support Kategori ini menggambarkan usaha-usaha untuk mencari informasi mengenai situasi yang dapat menimbulkan stress dan juga usaha untuk mendapatkan dukungan yang nyata (problem focused) atau dukungan emosional (emotional focused) dari orang lain. Contoh : saya ceritakan masalah saya pada sahabat saya mengenai anak saya yang terlibat penyalahgunaan narkotika. Strategi coping yang paling efektif adalah strategi yang sesuai dengan jenis stres dan situasi. Selain beberapa strategi di atas ada beberapa hal yang menjadikan sukses tidaknya seseorang mengatasi kondisi yang stressful. Sebagaimana yang diutarakan oleh Rosanthi (2004) bahwa cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah : 1. Kesehatan fisik, kesehatan merupakan hal yang penting, karena selama dalam usaha mengatasi stres, individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar 2. Keyakinan atau pandangan positif, keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting, seperti keyakinan akan nasib (Eksternal Locus of Control) yang mengerahkan individu pada penilaian ketidakberdayaan (Helplessness) yang akan menurunkan kemampuan strategi
26
3. Keterampilan memecahkan masalah, keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifikasi masalah dengan
tujuan
menghasilkan
alternatif
tindakan,
kemudian
mempertimbangkan alternatif tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat 4. Keterampilan
sosial,
keterampilan
ini
meliputi
kemampuan
untuk
berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat 5. Dukungan sosial, dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitar 6. Materi, dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang-barang, atau layanan yang biasanya dapat dibeli.
2.2 Narkoba 2.2.1 Pengertian narkoba Ahmadi Sofyan (2007) berpendapat, narkotika atau dalam istilah disebut sebagai drug adalah sejenis zat yang memiliki ciri-ciri tertentu. Narkoba adalah segolongan obat, bahan, atau zat yang jika masuk ke dalam tubuh berpengaruh terutama pada
27
fungsi otak (susunan syaraf pusat) dan sering menimbulkan ketergantungan (adiktif), terjadi perubahan pada kesadaran, pikiran, perasaan, dan perilaku pemakainya. Pramono U. Thantawi (2003) berpendapat bahwa narkoba terdiri dari dua zat, yakni narkotika dan psikotropika. Dan secara khusus dua zat ini memiliki pengertian, jenis (golongan), serta diatur dengan undang-undang no.22 tahun 1997, sedangkan Psikotropika diatur dengan undang-undang no.5 tahun 1997. dua undang-undang ini merupakan langkah pemerintah Indonesia untuk meratifikasi konvensi PBB tentang pemberantasan peredaran gelap Narkotika dan psikotropika tahun 1988. Narkotika, sebagaimana bunyi pasal I UU no. 22 didefinisikan sebagai zat obat yang berasal dari tanaman/bukan, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan/perubahan kesadaran, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan.
2.2.2 Faktor-faktor penyebab penyalahgunaan narkoba Ada banyak faktor yang bisa menyebabkan seorang remaja menggunakan narkoba, salah satunya adalah kondisi keluarga yang kurang kondusif (Disfungsi Keluarga) merupakan faktor kontribusi bagi terjadinya penyalahgunaan Naza.
28
Ada beberapa pendapat yang dikemukakan, mengapa seseorang dapat menggunakan narkotika. Rutter 1980 (dalam Dadang Hawari, 1997) mengemukakan penyebab seseorang menggunakan narkotika, diantaranya: a. Kematian orang tua (Broken Home by death) b. Kedua orang tua bercerai atau pisah (broken by separation) c. Hubungan kedua orang tua (ayah dan ibu) tidak harmonis (poor marriage) d. Hubungan antara orang tua dan anak tidak baik (poor parent-child relationship) e. Suasana rumah tangga yang tegang (high tension) f. Suasana rumah tanpa kehangatan (low warmth) g. Orang tua sibuk dan jarang dirumah (absence) h. Orang tua mempunyai kelainan kepribadian (personality disorder) Kemudian pendapat lain dikemukakan oleh Roebyantho (1991) yang mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan remaja menggunakan narkotika diantaranya: 1. Faktor intern, dimana faktor ini datang dari dalam diri remaja itu sendiri yang diartikan sebagai kepribadian remaja. dalam masa perkembangannya remaja banyak memiliki kebutuhan dibanding masa kanak-kanaknya, bergitu pula dalam hal proses penyesuaian diri mereka pada lingkungan masyarakat. Terkadang dalam bersosialisasi mereka dihadapkan pada beberapa masalah. Yaitu apa yang mereka pelajari dan mereka terima dari orangtua terkadang
29
tidak sesuai dengan kenyataan dimasyarakat, sehingga mereka merasa bimbang bahwa ada sesuatu yang kurang dan merasa salah satu dari kebutuhan mereka gagal dipenuhi. Akibatnya remaja mengalami suatu perasaan tertekan, sehingga mereka berusaha melepaskan diri dari rasa tertekan itu dengan jalan mengadakan kompensasi. 2. Faktor ekstern, faktor yang datangnya dari luar diri remaja yaitu faktor sekolah, keluarga, dan masyarakat. Keluarga juga bisa menyebabkan remaja menggunakan narkotika, yaitu karena anggota keluarga (ayah, ibu atau saudara kandung) gagal menjalankan peran dan kewajiban mereka di dalam keluarga, sehingga menyebabkan kekacauan di dalamnya. Contohnya perceraian orangtua, tidak adanya komunikasi antara orangtua dengan anak dsb.
Muchlis Catio (2006) dari Badan Narkotika Nasional mengemukakan, jika dicari informasi mengapa seseorang bisa ikut terlibat ke dalam pemakaian narkoba maka ditemukan beberapa faktor, yaitu : •
Rasa ingin tahu / coba-coba,
•
Ikut-ikutan teman yang mengunakan narkoba
•
Solidaritas kelompok
•
Biar terlihat gaya (terpengaruh oleh gaya hidup yang modern yang salah)
•
Mencari kegairahan atau excitemen
30
•
Agar merasa lebih enak
•
Bisa melupakan masalah dan menghilangkan stres
•
Menunjukkan kehebatan/kekuasaan
•
Ingin tampil menonjol dari teman-teman yang lain
•
Merasa sudah dewasa
•
Menunjukkan sikap berontak
•
Untuk mengurangi rasa sakit
•
Mengikuti tokoh idola Selain beberapa hal yang telah dikemukakan di atas, pola asuh keluarga yang
salah ternyata bisa menyebabkan anak menggunakan narkotika. Anny. A Affandi (1991) mengungkapkan pola asuh yang bersifat permisif menyebabkan anak menggunakan narkotika, karena pola asuh seperti ini memberi kebebasan pada anak tanpa batas untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri, dan orangtua tidak pernah memberikan arahan ataupun aturan juga penilaian benar atau salah yang dilakukan anak. Sehingga yang terjadi anak bertindak sendiri sesuai keinginannya, tidak peduli apakah itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak. Masih ada banyak faktor yang menyebabkan seorang anak menggunakan narkoba, yang terkadang tidak disadari khususnya bagi para orang tua. Kecenderungan anak menyalahgunakan narkoba atau menjauhinya, tidak terlepas dari peran dan tanggung jawab orang tua.
31
Bagi orang tua yang tidak mengetahui keadaan anaknya yang memakai narkotika sulit untuk percaya dan menerima kenyataan bahwa anaknya memang menggunakan narkotika, mereka (orangtua) tidak menyadari bahwa sesungguhnya anak-anak juga manusia yang membutuhkan cinta dan kasih sayang, serta bahwa yang terjadi dalam hubungan orang tua-anak juga sama dengan yang berlaku pada semua hubungan antar manusia lain.
Kebanyakan sikap orang tua ketika dihadapkan pada seorang anak yang mempunyai masalah, adalah mengatakan sesuatu berupa : memberi perintah, mengingatkan, sok moralis, menggurui, memberi nasehat, mengkritik, mengejek, menganalisis, membesarkan hati, memuji, mengusut atau mengalihkan perhatian. Reaksi atau tanggapan seperti itu menjadi pembuntu komunikasi karena reaksi tersebut sering menghalangi komunikasi lebih lanjut dengan anak. Kalau sudah begitu, bisa jadi orang tua salah memperlakukan anak. (Supriyono, 2008) Oleh karena itu orang tua dituntut untuk mampu menjalin komunikasi yang baik dengan anak, bukan hanya itu saja tetapi juga harus bisa meluangkan waktu bersama anak, lalu memberikan perhatian lebih kepada anak, memberikan pujian, mengajak anak berdiskusi dan menyelesaikan masalah yang ada pada anak karena dengan demikian seorang anak tidak hanya menganggap orang tua sebagai seorang yang harus dihormati tetapi juga bisa menjadi seorang sahabat, guru dan tumpuan hidupnya. (Muchlis Catio. 2006)
32
2.2.4 Karakteristik pecandu narkoba Tiap-tiap jenis narkoba mempunyai sifat yang berbeda. Oleh karena itu dampaknya terhadap pemakai juga berbeda-beda. Namun demikian pemakai narkoba umumnya lama-lama kelamaan mengonsumsi semua jenis narkoba. Oleh karena itu ciri-ciri pecandu narkoba dapat dikenali secara umum. Ada beberapa pendapat yang dikemukakan dalam mengenali pecandu narkoba,
Ibnu
(2008)
mengungkapkan
beberapa
ciri-ciri
seseorang
yang
menggunakan narkoba: •
Perubahan fisik dan lingkungan sehari-hari
•
Jalan sempoyongan, bicara pelo, tampak terkantuk-kantuk
•
Kamar tidak mau diperiksa atau selalu dikunci
•
Sering didatangi atau menerima telepon orang-orang tidak dikenal
•
Ditemukan obat-obatan, kertas timah, jarum suntik, korek api di kamar/di dalam tas
•
Terdapat tanda-tanda bekas suntkan atau sayatan
•
Sering kehilangan uang/barang di rumah
•
Perubahan psikologis
•
Malas belajar Selain itu ada pendapat lain yang diungkapkan salah satu lembaga sosial
masyarakat (LSM) yakni Klub Partisipasi Kemanusiaan, (dalam Witarsa, 2006) terdapat enam belas tanda pecandu narkoba yaitu: Terlalu sensitif, cepat bosan, suka
33
berbohong, bicaranya tidak nyambung, kadang tertawa atau menangis tanpa alasan, tidak peduli pada kebersihan tubuh dan penampilan, malas mandi, prestasi belajar menurun, menjadi kasar dan tidak sopan, gampang curiga pada setiap orang/paranoid, suka menyendiri dan penuh rahasia, ekspresi wajah kuyu (lesu) muka pucat dan mata merah, sering batuk pilek dan menguap, nafsu makan hilang atau meningkat (tidak teratur), terkadang hiperaktif atau menarik perhatian, kebutuhan uang meningkat tapi sering pula kehabisan uang hingga mencuri. Adapun tahapan seseorang yang memakai narkoba dapat diidentifikasi melalui beberapatahapan, seperti yang diungkapkan dr. Subagyo (2006) tentang tahapan seseorang menggunakan narkoba, yaitu : • Tahap awal (coba-coba), dimana pada awalnya hanya coba-coba, kemudian karena terjebak oleh sifat-sifat jahat narkoba, ia menjadi mau lagi dan lagi. • Kemudian tahap kedua: yaitu adanya peningkatan dari coba-coba menjadi terbiasa karena pemakai sudah merasakan kenikmatan dari narkoba tersebut. • Tahap ketiga (tahap berkala), setelah beberapa kali memakai narkoba, pemakai terdorong untuk memakai lebih sering lagi, selain merasakan adanya kenikmatan ia juga mulai merasa sakaw kalau terlambat atau berhenti mengkonsumsi narkoba. • Tahap keempat tahap tetap (madat), setelah menjadi pemakai narkoba secara berkala, pemakai narkoba akan dituntut oleh tubuhnya sendiri untuk semakin sering memakai narkoba dengan dosis yang semakin tinggi. Pada tahap ini pemakai sama sekali tidak bisa lepas dari narkoba atau disebut juga Junkies.
34
Jadi secara umum penyalahgunaan narkoba dapat menimbulkan dampak yang merugikan terhadap kondisi kesehatan jasmani (fisik dan kejiwaaan) dan psikis bagi pemakainya. Perubahan psikis sering menimbulkan kendala hubungan sosial dari pengguna tersebut.
2.3 Orang Tua Anak Penyalahguna Narkoba Orang tua berperan besar dalam perkembangan kepribadian anak. Orang tua menjadi faktor penting dalam menanamkan dasar kepribadian seseorang setelah dewasa, gambaran kepribadian yang terlihat dan diperlihatkan seorang remaja, banyak ditentukan oleh keadaan dan proses-proses yang ada dan terjadi sebelumnya yang dialami dalam lingkungan keluarganya. (Ahmadi Sofyan, 2007:93) Senada dengan yang diungkapkan oleh Ahmadi Sofyan, Roebyantho (1986) (dalam Danny I Yatim dan Irwanto) mengatakan, Orang tua mempunyai peranan penting dalam proses sosialisasi anak sebagai anggota keluarga. Dari orang tualah anak belajar tentang nilai-nilai dan sikap yang terdapat dan dianut masyarakat di sekitar mereka, jadi pada dasarnya watak dan sikap seorang individu untuk pertama kali dibentuk oleh orang tua. Hurlock, 1975 (dalam Danny i yatim dan irwanto) mengemukakan, pada masa remaja anak mengalami perubahan secara fisik, emosi, dan pengetahuan. Saat itulah anak sangat membutuhkan perhatian dan bimbingan orangtua karena banyak sekali
35
perubahan yang terjadi pada diri mereka. Karena adanya perubahan seperti ini maka kebutuhan akan bimbingan dan petunjuk dari orangtua tentang norma-norma dan nilai yang berlaku di masyarakat sangat diperlukan. Jika bimbingan dan juga petunjuk dari orangtua tidak dapat terlaksana maka bisa menyebabkan hambatan bagi perkembangan kepribadian para remaja, dan biasanya mereka akan mencari sesuatu untuk dapat menghilangkan perasaan itu, salah satunya bisa dengan mengkonsumsi narkoba. Kedekatan antara orang tua dan anak merupakan salah satu faktor yang mendukung terhindarnya anak dari penyalahgunaan narkoba, perhatian dan kepedulian orangtua berperan besar bagi kehidupan mereka. Akan tetapi jika anak terlanjur menggunakan narkotika maka sebagai orangtua hendaknya mengoreksi diri dan tidak langsung menuduh anak bersalah. Ahmadi Sofyan (2007) mengemukakan, ada beberapa hal yang harus dilakukan orangtua jika anaknya menyalahgunakan narkoba, diantaranya adalah: tenang dalam menghadapi masalah, hadapi kenyataan dan ajak anak untuk berdialog, hargai kejujuran anak atas sebab ia menggunakan narkoba, cari pertolongan tenaga profesi seperti panti rehabilitasi, kemudian ajak anak untuk berobat atau mendatangi panti rehabilitasi yang sudah didapat. Pada dasarnya sebagai orangtua hendaknya bisa memahami gejolak emosi seorang anak. Sering kali yang terjadi orangtua memberikan kritik ataupun saran serta respon negatif terhadap apa yang sedang anak lakukan, padahal seorang anak
36
memberikan respon yang baik jika hal itu disampaikan oleh orangtua, guru ataupun orang dewasa lain dengan cara yang positif dan dengan cinta dan kasih sayang.
2.3.1 Peran dan fungsi pada orangtua Berbicara tentang peran dan fungsi orang tua berarti kita berbicara tentang salah satu tugas perkembangan pada masa dewasa madya. Hurlock (1980) ciri pertama dari usia madya adalah bahwa masa tersebut merupakan periode yang sangat menakutkan. semakin mendekati usia tua periode usia madya semakin terasa lebih menakutkan dilihat dari seluruh kehidupan manusia. Havighurst (dalam Hurlock 1980) mengemukakan tugas perkembangan masa dewasa madya dibagi menjadi empat kategori utama yaitu: a. Tugas yang berkaitan dengan perubahan fisik Tugas ini meliputi agar mau melakukan penerimaan dan penyesuaian dengan berbagai perubahan fisik yang normal terjadi pada usia madya, b. Tugas yang berkaitan dengan perubahan minat Orang yang berusia madya seringkali mengasumsikan tanggung jawab warga negara dan sosial, serta mengembangkan minat pada waktu luang yang berorientasi pada kedewasaan pada tempat kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada keluarga yang biasa dilakukan pada masa dewasa ini. c. Tugas yang berkaitan dengan penyesuaian kejuruan.
37
tugas ini berkisar pada pemantapan dan pemeliharaan standar hidup yang relatif mapan. d.
Tugas-tugas yang berkaitan dengan kehidupan keluarga. tugas yang penting dalam kategori ini meliputi hal-hal yang berkaitan dengan seseorang sebagai pasangan, menyesuaikan diri dengan orang tua yang lanjut usia, dan membantu anak remaja untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia. Dalam hal yang berkaitan dengan keluarga, usia madya memiliki tugas yang
salah satunya adalah mendidik anak-anak mereka terutama yang sudah menginjak masa remaja agar mampu menjadi anak yang bertanggung jawab dalam berbagai hal ketika dewasa nanti. Penerapan pola asuh orang tua berkaitan erat bagi perkembangan anak. Hoffman,
1989
(dalam
Mohammad
Ali
dan
Mohammad
Asrori,
2004)
mengemukakan tiga jenis pola asuh orang tua, yaitu : 1. Pola asuh bina kasih (induction) Adalah pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan senantiasa memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap setiap keputusan dan perlakuan yang diambil bagi anaknya. 2. Pola asuh unjuk kuasa (power assertion),
38
Pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan senantiasa memaksakan kehendaknya untuk dipatuhi oleh anak meskipun sebenarnya anak tidak dapat menerimanya. 3. Pola asuh lepas kasih (love withdrawal) Pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan cara menarik sementara cinta kasihnya ketika anak tidak menjalankan apa yang dikehendaki orang tuanya, tetapi jika anak sudah mau melaksanakan apa yang dikehendaki orang tuanya maka cinta kasihnya itu dikembalikan seperti sediakala Dalam konteks pengembangan kepribadian remaja, pola asuh bina kasih (induction) sangat cocok digunakan karena dalam pola asuh bina kasih setiap keputusan yang diambil oleh orang tua tentang anak remajanya atau setiap perlakuan yang diberikan orang tua terhadap anak remajanya harus senantiasa disertai dengan penjelasan atau alasan yang rasional. Sehingga remaja dapat mengembangkan pemikirannya untuk kemudian mengambil keputusan mengikuti atau tidak perlakuan orang tuanya (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2004) Kemudian interaksi antara orangtua dan anak juga sangat penting agar anak betul-betul mendapatkan kenyamanan di dalam keluarga. Interaksi yang baik antara orangtua dan anak harus dimiliki oleh setiap keluarga karena keluarga adalah tempat pembelajaran pertama bagi mereka, sedangkan
lingkungan teman-teman sebaya
adalah “rumah” kedua setelah keluarga. Jersild, Brook dan Brook (1998) dalam Mohammad Ali dan Mohammad Asrori (2004) mengatakan bahwa interaksi antara
39
remaja dengan orang tua dapat digambarkan sebagai drama tiga tindakan (three act drama). a. Drama tindakan pertama (the first act drama), interaksi remaja dengan orang tua berlangsung sebagaimana yang terjadi pada interaksi antara masa anakanak dengan orang tua. b. Drama tindakan kedua (the second act drama), disebut dengan istilah perjuangan untuk emansipasi, remaja memiliki perjuangan kuat untuk membebaskan dirinya dari ketergantungan dengan orang tuanya seperti pada masa anak-anak untuk mencapai status dewasa. c. Drama tindakan ketiga (the third act drama), remaja berusaha menempatkan dirinya berteman dengan orang dewasa dan berinteraksi secara lancar dengan mereka. Dalam hal lain yakni komunikasi, suatu hal sederhana tapi memiliki peran penting dalam menciptakan suasana hangat di dalam keluarga. Danny I Yatim dan Irwanto (1986) mengemukakan beberapa faktor penting yang menentukan jelas tidaknya informasi yang dikomunikasikan orangtua kepada anak, yaitu: 1. Konsistensi artinya informasi yang dikomunikasikan konsisten, jelas dan dapat dipercaya. Contoh: jika orangtua mengatakan bahwa “narkoba itu tidak baik bagi kesehatan”, tetapi mereka sendiri memakai narkoba, maka ia menyajikan informasi yang tidak konsisten.
40
2.
Keterbukaan Suatu komunikasi selalu terbuka untuk segala penafsiran. Keterbukaan untuk berdialog, membicarakan isi informasi mempunyai arti yang sangat penting dalam dalam mengarahkan perilaku penerima informasi sesuai dengan yang dikehendaki. Inilah esensi dari komunikasi dua arah.
3. Ketegasan Suatu ketegasan yang terbuka dengan contoh perilaku konsisten akan memperjelas nilai-nilai, sikap, dan harapan-harapan orangtua yang dikenakan pada anak-anaknya. Ketegasan tidak selalu bersifat otoriter, tetapi hanya meyakinkan anak bahwa si komunikator (orangtua) benar-benar yakin dengan sikapnya. Contoh: seorang ayah ingin agar anaknya tidak memakai narkoba seperti sang ayah, maka sang ayah harus memberi tahu bahaya dari narkoba.
2.3.2 Peran dan fungsi orangtua ketika anak terlibat penyalahgunaan narkoba Tidak semua orangtua mampu menciptakan kebahagiaan bagi anggota keluarganya, sering terjadinya konflik dan juga problem tertentu menjadikan keluarga tidak lagi harmonis sehingga menyebabkan perubahan komunikasi yang tadinya baik berubah menjadi buruk. Berhadapan dengan situasi seperti ini, anak merasa bimbang, bingung dan ketiadaan pegangan dalam hidupnya, sehingga anak pada akhirnya menjadi takut dan mencari sendiri pegangan hidupnya. Dalam pencaharian inilah, tidak mustahil seorang anak remaja menceburkan diri ke dalam kelompok narkotika.
41
Alfarisi (2008) dalam sebuah situs mengatakan, Keluarga berperan sangat penting dalam menciptakan suasana yang dapat menghindarkan atau setidaknya meminimalkan penyalahgunaan narkoba pada remaja. Dalam keluarga ada beberapa hal yang menjadi sumber kelemahan anggota keluarga dalam menghadapi penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Di antaranya yaitu kurangnya keakraban emosional, konflik dalam keluarga serta kurang lancarnya komunikasi yang berdampak pada kurangnya pemahaman disiplin dan norma-norma religius dalam keluarga. Jika anak sudah terlibat dalam penyalahgunaan narkotika sebagai orangtua hendaknya mengoreksi diri dan tidak langsung menuduh bahwa anaklah yang bersalah. Sebaliknya, orangtua harus memberikan dorongan terutama moriil dan juga bimbingan intensif untuk mengembalikan rasa percaya diri mereka. Banyak orangtua yang kurang paham bahkan cenderung tidak mengerti bagaimana harus bertindak ketika anaknya terlibat penyalahgunaan narkotika. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orangtua jika anak mereka telah kecanduan narkotika. Seperti yang diungkapkan oleh Ahmadi Sofyan (2006), yang mengatakan jika anak telah menyalahgunakan narkotika berusahalah untuk tenang dan yang terpenting adalah mengendalikan emosi, bicaralah pada anak dan dengarkan semua keluhannya usahakan agar anak betul-betul merasa aman dan nyaman dekat orangtua, bagi orangtua berusahalah untuk jujur terhadap diri sendiri dengan mengakui kelemahan dan kesalahan orangtua dalam mendidik anak agar tidak selalu
42
merasa benar sendiri, kemudian mintalah bantuan kepada tenaga ahli dibidang narkotika seperti panti rehabilitasi dsb. Yayasan Cinta Anak Bangsa dalam situsnya, mengemukakan beberapa hal untuk dapat membantu memulihkan anak bagi orangtua yang memiliki anak pengguna narkoba: 1. Berbicaralah pada anak dengan penuh kasih sayang, kemudian katakan pada mereka bahwa apapun yang telah mereka lakukan orangtua tetap menyayangi mereka dan ingin membantu mereka keluar dari masalah. 2. Meminta pada anak untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah ini 3. Membawa anak ke dokter atau rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan.
2.4 Kerangka Berpikir Orangtua bijak adalah orangtua yang dapat memberikan pendidikan yang baik dan benar bagi anak-anaknya. Pendidikan tersebut baru bisa diberikan jika orangtua memahami makna dan fungsi sebagai orangtua. Namun demikian orangtua seringkali lalai dalam memperhatikan perkembangan yang terjadi pada anak sehingga perubahan yang terjadi pada anak orangtuapun tidak mengetahuinya. Maraknya kriminalitas, seperti pelecehan sexual, tawuran dan narkotika yang dilakukan oleh banyak kalangan remaja merupakan kesalahan orangtua yang kurang memahami dan memperhatikan anak. Hal ini disebabkan karena sebagian orangtua sibuk mengejar karier, harta , popularitas, jabatan, politik, usaha dsb. Mereka terlalu
43
asik dengan kesibukkan mereka padahal sebetulnya anak
mereka membutuhkan
bimbingan dan pendidikan dari orangtuanya. Pada akhirnya tak jarang di saat-saat tertentu orangtua menjadi korban dari ulah anak mereka sendiri. Terlebih lagi saat anak memasuki usia remaja dimana masa remaja adalah masa-masa penuh keingintahuan, gejolak emosi yang selalu berubahubah, juga rentan pengaruh pergaulan. Yang paling dikhawatirkan bagi para orangtua adalah masalah pemakaian narkotika. Dikarenakan penggunaan narkotika saat ini kebanyakan adalah usia remaja yang terpengaruh oleh teman sebaya atau mereka adalah korban broken home yang melampiaskan rasa kekecewaan mereka terhadap orangtua mereka sendiri. Saat ini di kota-kota besar seperti Jakarta khususnya banyak orangtua yang memiliki anak kecanduan narkoba. Mereka para orangtua merasa sangat menyesal karena kelalaian mereka dalam mendidik dan memperhatikan anak-anak mereka, sehingga mereka tumbuh tanpa bimbingan yang baik dari orangtua. Dalam kondisi yang penuh stress dan kekhawatiran akan anak, mereka (orangtua) memaksa terjadinya suatu perubahan-perubahan dalam berbagai hal, seperti komunikasi dan juga perhatian pada anak. Jika sebelumnya jarang terjadi komunikasi yang baik pada anak sehingga membuat anak merasa tidak diperhatikan dan tidak diakui keberadaannya yang akhirnya menyebabkan anak mencari perhatian dan kesenangan di luar hingga sampai memakai narkotika, maka komunikasi menjadi
44
lebih intensif pada anak agar anak merasa benar-benar diakui keberadaannya dan diperhatikan. Terjadinya beberapa perubahan baik komunikasi, perhatian dsb dalam keluarga belum cukup untuk memberikan kesembuhan bagi anak yang kecanduan narkotika. Keadaan stress yang ditimbulkan dari permasalahan tersebut membuat orangtua harus melakukan berbagai macam usaha penanganan (coping) agar mampu keluar dari kondisi stress itu. Dalam menangani kondisi stress tindakan penanganan (coping) yang dilakukan oleh tiap orang melibatkan beberapa aspek emosi, perasaan dan juga pikiran. Karena dalam penanganan (coping) tersebut memiliki strategi yang biasanya banyak digunakan. Strategi yang dimaksud adalah coping (penanganan) berpusat pada emosi dan coping (penanganan) yang berpusat pada masalah. Ketika orangtua mengetahui bahwa anak mereka pecandu narkotika tentu saja orangtua berusaha untuk mengurangi dan menghilangkan perasaan cemas atau stressnya dengan menggunakan beberapa mekanisme yang mereka lakukan seperti penyangkalan (denial) bahwa anak mereka tidak terlibat penyalahgunaan narkotika dengan harapan hal tersebut dapat mengurangi kondisi stress, lalu memunculkan harapan-harapan positif agar reaksi stress bisa terus berkurang.
45
Setelah melakukan usaha dengan kontrol emosi atau perasaan, orangtua tentunya akan melakukan suatu tindakan yang lebih nyata untuk menyembuhkan anak dari ketergantungan narkotika Seperti mencari informasi mengenai tempat-tempat rehabilitasi narkotika, lalu mengajak anak untuk pergi ketempat rehabilitasi sampai dengan menjalani proses rehabilitasi tersebut. Dengan demikian coping stress orangtua yang memiliki anak kecanduan narkoba perlu diteliti dan dikaji. Dalam hal ini penanganan yang seperti apa yang dilakukan oleh orangtua ketika anak kecanduan narkotika. Sehingga nantinya masyarakat juga mengetahui apa yang seharusnya dilakukan jika memiliki anak pecandu narkotika.
46
Bagan Keerangka Beerpikir Strategi Copping
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi adalah model yang mencakup prinsip-prinsip teoritis maupun kerangka pandang yang menjadi pedoman mengenai bagaimana riset akan dilaksanakan dalam konteks paradigma tertentu, jadi metodologi penelitian adalah, metode/tekhnik yang berisi standard dan prinsip-prinsip yang digunakan (Poerwandari, 1998) Sesuai dengan permasalahan yang diajukan yaitu coping stress orangtua yang memiliki anak kecanduan narkoba, maka pada bagian ini peneliti akan merinci jenis penelitian, subyek penelitian, metode pengumpulan data, prosedur penelitian dan tekhnik pengolahan data.
3.1 Jenis Penelitian 3.1.1 Pendekatan penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif seperti wawancara, observasi, catatan lapangan dan lain sebagainya. (Poerwandari, 2001). Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2005) mengatakan bahwa dalam penelitian kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistic 47
48
(utuh). Individu atau subyek penelitian dipandang sebagai bagian dari suatu keutuhan. Pendekatan ini juga dikenal dengan istilah inkuiri naturalistic atau alamiah. Dengan dasar penelitian kualitatif tersebut maka untuk mengetahui coping stress orangtua yang memiliki anak kecanduan narkoba diperlukan data-data deskriptif yang diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam.
3.1.2 Metode penelitian Pada penelitian ini peneliti berusaha untuk menggali dan mengetahui strategi coping stress apa yang dilakukan, kenapa strategi coping stress tersebut yang dipilih, bagaimana coping stress itu dilakukan, dan bagaimana hasil dari strategi coping tersebut dari orang tua yang memiliki anak kecanduan narkoba. Dimana kondisi di atas merupakan suatu kasus yang perlu diungkap secara mendalam. Dengan demikian peneliti memutuskan untuk menggunakan penelitian kualitatif dengan metode penelitian studi kasus. Patton (dalam Kristi Poerwandari, 2001) mengemukakan bahwa studi kasus sangat bermanfaat ketika peneliti merasa perlu memahami suatu kasus spesifik, orang-orang tertentu, kelompok dengan karakteristik tertentu, kelompok dengan karakteristik tertentu, ataupun situasi unik secara mendalam. Dan dapat menggambarkan secara lengkap berbagai gejala dan proses perilaku manusia serta peristiwa-peristiwa khusus yang tidak mudah dijelaskan melalui pendekatan kuantitatif.
49
3.2 Subjek Penelitian 3.2.1 Karakteristik subjek Subjek atau responden yang dilibatkan dalam penelitian ini memiliki karakteristik sebagai berikut : a. - Subjek penelitian adalah orangtua (Ibu dan Bapak) yang anaknya kecanduan narkoba - Anak dari subjek penelitian telah kecanduan narkoba untuk jangka waktu yang lama atau lebih dari satu tahun b. Subjek bertempat tinggal di Jakarta dan sekitarnya, hal ini agar memudahkan peneliti memperoleh data.
3.2.2 Jumlah subjek Jumlah subjek sangat bergantung pada apa yang ingin diketahui peneliti, tujuan peneliti, konteks saat itu, apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia (Poerwandari, 2001). Berdasarkan hal tersebut di atas maka dalam penelitian ini ditetapkan jumlah subjek sebanyak 6 orang (3 pasangan orangtua).
3.2.3 Tehnik pengambilan sampel Tehnik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling yaitu sample yang bertujuan, maksud sampling dalam penelitian
50
kualitatif adalah untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul (Moleong, 2005). Dengan demikian tujuannya bukanlah memusatkan diri pada adanya perbedaan-perbedaan yang nantinya dikembangkan ke dalam generalisasi. Tetapi merinci kekhususan yang ada ke dalam ramuan konteks yang unik.
3.3 Tehnik dan Instrumen Pengumpulan Data 3.3.1 Metode pengumpulan data Dalam penelitian ini metode pengumpulan data menggunakan wawancara dan observasi. Wawancara Adapun tujuan wawancara adalah untuk mengetahui strategi coping apa yang dilakukan oleh orang tua untuk menangani anaknya yang kecanduan narkoba. Oleh sebab itu tekhnik pengambilan data pada penelitian ini menggunakan wawancara. Adapun tekhnik wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam. Dimana peneliti mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek secara utuh dan mendalam. Observasi Tujuan diadakannya observasi agar peneliti mendapatkan data tambahan berupa; gambaran fisik dan psikis dari setiap subyek (Bapak dan Ibu yang memiliki
51
anak kecanduan narkotika), respon subyek terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti, orang-orang yang terlibat selama proses wawancara, kenyamanan suasana dan lingkungan wawancara dan lain sebagainya. Ada beberapa alasan mengapa observasi sangat diperlukan dalam sebuah penelitian kualitatif. Lincoln dan Guba 1981 (dalam Moleong, 2005) mengemukakan sebagai berikut. 1. Tehnik observasi didasarkan atas pengalaman secara langsung 2. Tehnik observasi juga memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya. 3. Observasi memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proposisional maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data. 4. Sering terjadi ada keraguan pada peneliti. Ada kekhawatiran bahwa data yang telah diperoleh keliru atau bias yang disebabkan karena kurang dapat mengingat peristiwa atau hasil wawancara, kemudian ada jarak antara peneliti dan yang diwawancarai atau bisa jadi karena reaksi peneliti yang emosional pada suatu saat. 5. Tehnik observasi memungkinkan peneliti mampu memahami situasi-situasi yaang rumit. 6. Observasi dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat.
52
Jadi
bisa
disimpulkan
bahwa
secara
metodologis
observasi
mampu
mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan, dan lain-lain.
3.3.2 Instrumen Pengumpulan Data Adapun instrument pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, observasi dan juga alat bantu untuk merekam setiap pembicaraan yaitu Tape Recorder dan Kaset. Karena tiap alat ini bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam mengumpulkan data-data penelitian di lapangan.
53
54
55
3.4 Prosedur Penelitian Dalam setiap penelitian harus memiliki prosedur penelitian. Demikian juga pada penelitian ini, peneliti membuat rancangan prosedur penelitian. Dimana hal ini bertujuan untuk memberikan pedoman atau batasan dalam pelaksanaan penelitian. Selain itu rancangan prosedur penelitian ini membantu agar peneliti tetap fokus pada inti permasalahan penelitian, dan memberikan batasan yang jelas terhadap tindakan penelitian yang harus dilakukan oleh peneliti. Ada pun prosedur penelitian tersebut terdiri dari; tahap pra-lapangan (tahap perencanaan) yang di dalamnya mencakup pembuatan per-izinan sampai tahap persiapan penelitian. Tahap Penelitian (pelaksanaan) yang di dalamnya terkait dengan kesedian subyek untuk diwawancara sampai analisa data hasil penelitian, ada pun penjelasan dari kedua tahapan tersebut sebagai berikut; A. Tahapan Pertama 1. Meminta izin melakukan penelitian kepada salah satu intansi (rumah sakit atau panti rehabilitasi) yang dapat memberikan bantuan dalam menyediakan subyek penelitian. 2. Meminta izin (kesediaan) dari setiap subyek penelitian. Menentukan sample penelitian dan melakukan konfirmasi dengan pihak yang bersangkutan 3. Menyiapkan instrument pengumpulan data yang berupa pedoman wawancara dan pedoman observasi; Menyiapkan perlengkapan penelitian seperti; surat izin penelitian dari kampus, pensil, ballpoint, daftar pertanyaan, buku catatan,
56
alat perekam atau tape recorder dan beberapa hal lain yang berkaitan untuk melaksanakan penelitian
B. Tahap Penelitian (pelaksanaan) 1. Memberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian dan meminta kesediaan subjek untuk dijadikan responden penelitian 2. Membuat janji dan meminta kesedian kepada subyek untuk menentukan hari pelaksanaan wawancara yang akan dilakukan lebih dari satu kali. 3. Melaksanakn pengambilan data dengan menggunakan dan merealisasikan hal-hal dalam pedoman wawancara dan observasi. 4. Melakukan tahapan verbatim
atau pembuatan data mentah dari hasil
wawancara dan observasi pada setiap sesi penelitan dengan setiap subyek. 5. Menganalisa dan memverifikasi data mentah untuk mendapatkan gambaran dari hasil penelitian, yang pada akhirnya akan ditarik atau dijadikan kesimpulan dari penelitian.
3.5. Tehnik Analisa Data Data yang di dapatkan dari penelitian kualitatif adalah berupa tulisan atau hasil rekaman dari tape recorder (data mentah) yang perlu disusun sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan gambaran jawaban dari hasil penelitian. Selanjutnya data tersebut perlu dianalisa dan diverifikasi agar dapat ditarik kesimpulan dari hasil
57
penelitian ini. Namun sebelum ditarik suatu kesimpulan dari hasil penelitian kualitatif. Data penelitian kualitatif tersebut harus melalui beberapa tahapan. Miles dan Huberman (1992: 16) mengemukakan ada tiga tahapan sebelum membuat sebuah kesimpulan: •
Reduksi proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, peng-abstrakan dan transformasi data “kasar atau mentah” yang muncul dari catatan-catatan tertulis dan hasil rekaman wawancara di lapangan.
•
Penyajian data merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
•
Penarikan kesimpulan dan verifikasi pengujian dari makna-makna yang dimunculkan data sehingga diketahui kebenaran, kekokohan, dan kecocokan yang secara langsung menunjukan validitas dari hasil penelitian tersebut.
58
BAB 4 PRESENTASI DAN ANALISA DATA
Pada bab ini penulis ingin memberikan jawaban terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh setiap orangtua yang memiliki anak pecandu narkoba. Hal tersebut meliputi bagaimana perasaan orangtua ketika mengetahui anak mereka adalah pecandu napza, lalu apa saja yang dilakukan oleh para orangtua ketika mengetahui hal tersebut, sejak kapan orangtua mengetahui anak mereka terlibat napza, lalu apakah orangtua membawa ke tempat rehabilitasi atau tidak kalau iya rehabilitasi seperti apa yang orangtua inginkan kemudian siapa saja yang mendukung hal tersebut.
4.1 Gambaran Umum Subyek Subyek inti dalam dalam penelitian ini berjumlah 5 orangtua. Latar belakang pemakaian napza yang dilakukan oleh masing-masing anak mereka bermacammacam motifnya. Ada yang menggunakan napza karena ditawari teman/lingkungan sekitar. Ada juga karena rasa keingintahuan yang begitu besar dan mencoba-coba. Untuk mengetahui lebih jelas tentang subyek dapat dilihat pada table di bawah ini.
58
59
No
Kasus Subyek Pasangan
Lama Pemakaian Napza Pada Anak
1
A
2 3
Subyek
Keterangan
Pendidikan
4 tahun
Suami dan istri
2 orang
S1/S1
B
13 tahun
Istri
1 orang
S1
C
11 tahun
Suami dan istri
2 orang
D3/SLTA
Nama-nama subyek dalam penelitian ini sengaja disamarkan untuk menjaga kerahasiaan identitas subyek yang merupakan bagian dari kode etik penelitian.
4.2 Hasil Penelitian dan Analisis Kasus Subyek Selanjutnya akan dilakukan analisa kasus per subyek yang akan menginformasikan atau menjelaskan data hasil penelitian yang didapat dari hasil wawancara dan observasi selama penelitian. Adapun data tersebut menjelaskan tentang: Latar belakang keluarga, status responden dan jenis coping apa yang dipakai oleh tiap subyek.
4.2.1 Kasus pasangan subyek A A. Latar belakang subyek pasangan A Sebelumnya perlu dijelaskan tentang proses pertemuan dan perkenalan peneliti dengan subjek (pasangan A). peneliti pertama kali bertemu dan berkenalan dengan pasangan A tepatnya diacara buka puasa bersama di rumah keluarga pasangan
60
A yang diadakan oleh panti rehabilitasi yang menangani masalah penyalahgunaan naza dan skizofrenia yakni yayasan M pada tanggal 3 September 2009 pada jam 06.00 sore. Setelah acara buka puasa bersama dan sholat tarawih dilaksanakan maka peneliti meminta kesediaan pasangan A untuk menjadi responden dalam penelitian ini pasangan A pun bersedia untuk menjadi responden. Suasana wawancara cukup tenang walaupun beberapa kali terdengar suara bising motor yang lalu lalang karena letak rumah subyek persis berhadapan dengan jalanan umum yang memang untuk dilalui banyak kendaraan, namun demikian hal itu tidak mengganggu jalannya proses wawancara. Wawancara dilakukan di ruang tamu. Ruang tamu tersebut ber cat tembok warna putih juga terdapat sofa berjumlah tiga buah yang berwarna putih dan satu meja, jendela ruang tamu menggunakan tirai berwarna putih kecoklatan Lalu ada lemari
besar berwarna coklat yang menyekat antara ruang tamu dengan ruang
keluarga. Proses wawancara dimulai pada pukul 10.05 dan berakhir pada pukul 11.30. Pada saat itu subyek (Wa) mengenakan pakaian kaos warna putih dengan memakai sarung warna coklat motif kotak-kotak dan mengenakan kacamata. Sedangkan subyek (H) mengenakan jilbab warna coklat dengan baju muslimah lengan panjang berwarna biru tua dan celana panjang warna hitam. Adapun gambaran fisik dari subyek sebagai berikut: suami berusia 50 tahun memiliki kulit berwarna putih juga rambut pendek yang sudah mulai memutih. Tinggi badan kurang lebih 168 cm
61
dengan berat badan kurang lebih 70 kg. sedangkan subyek (istri) berusia 49 tahun dengan tinggi badan kurang lebih 165 cm dan berat badan 50 kg mengenakan jilbab warna coklat dan pakaian muslimah. Saat proses wawancara H tidak banyak merubah posisi duduk hanya saja beberapa kali bolak-balik ke ruang keluarga karena dipanggil anaknya yang ke tiga (terakhir) seorang anak perempuan yang masih berumur 5 tahun. Sedangkan Wa beberapa kali merubah posisi kaki dengan melipat ke atas sofa. Suara kedua subyek pun terdengar jelas selama proses wawancara. Selama proses wawancara H sambil memakan beberapa jenis makanan ringan yang ada di hadapannya di atas meja, sedangkan Wa beberapa kali meminum air mineral dalam kemasan gelas. Adapun Wawancara kedua dilakukan pada tanggal 27 september 2009 pukul 09.15 – 10.35. pada saat wawancara Wa mengenakan pakaian celana panjang bahan warna coklat dengan baju kaos lengan pendek polos berwarna hitam, sedangkan H mengenakan celana panjang bahan warna putih baju muslimah warna biru motif bunga dan berkerudung biru berpayet. Sedangkan wawancara ketiga dilakukan pada tanggal 2 September 2009. Karena keterbatasan waktu dan kesibukan subyek maka wawancara dilakukan via telepon. Wawancara dilakukan pukul satu siang sampai pukul 2.30. Wa seorang laki-laki berusia 50 tahun, lahir di kota K pada tanggal 12 Juni 1959. Wa adalah anak ke lima dari sebelas bersaudara dan telah menikah dengan
62
seorang wanita yang bernama H. H lahir pada tanggal 3 maret 1960, H adalah anak ke 5 dari sepuluh bersaudara dan saat ini mereka dikaruniai tiga orang anak. Wa dan H sama-sama berasal dari suku Sunda dan beragama islam. Saat ini Wa bekerja sebagai manajer marketing di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi bangunan yang memproduksi baja ringan di kota J. Wa menyelesaikan pendidikan S1 di sebuah perguruan tinggi swasta di kota J bidang ilmu akuntansi, sedangkan H bekerja sebagai ibu rumah tangga. H juga menyelesaikan pendidikan S1 di salah perguruan tinggi negeri di kota J pada bidang ilmu administrasi. Anak pertama pasangan Wa dan H bernama Wy berusia dua puluh dua tahun pernah mengenyam pendidikan D1 perhotelan lalu melanjutkan ke jenjang S 1 di salah satu perguruan tinggi negeri di kota J hingga saat ini. Wy sudah menikah dengan seorang wanita bernama N yang masih kuliah di perguruan tinggi swasta di kota J jurusan ilmu komunikasi. Mereka dikaruniai seorang anak perempuan saat ini berusia sepuluh bulan. Anak kedua pasangan A berusia sembilan belas tahun bernama T seorang laki-laki dan sedang menempuh kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di kota B. Sedangkan anak pasangan A yang ketiga bernama N berusia 5 tahun berjenis kelamin perempuan yang masih duduk dibangku sekolah dasar.
63
Silsilah Keturunan Subyek Pasangan A Suami (Wa)
Anak 1 ♂
Istri (H)
Anak 2 ♀
Anak 3 ♀
Gambar 4.1. Bagan Silsilah Keturunan Keluarga A
B. Analisis Pemakaian Napza Di Keluarga Subyek Pasangan A Kehidupan pasangan A tidak jauh berbeda dengan kehidupan pasangan keluarga lain pada umumnya. Dikaruniai anak, memiliki pekerjaan tetap serba berkecukupan (bahkan bisa dikatakan status sosial dan ekonominya di atas rata-rata), juga memiliki kendaraan pribadi yakni mobil. pasangan A dikategorikan keluarga yang mapan bahkan tergolong cukup kaya dilingkungan sekitar rumahnya. Masyarakat sekitar rumah pun memandang keluarga pasangan A adalah keluarga mampu yang tidak sombong, keluarga pasangan A selalu berbaur dengan masyarakat sekitar dan tidak memilih-milih dalam hal pergaulan. Pasangan A mulai mengalami masalah dengan Wy anak mereka diakhir-akhir tahun 2007, mereka curiga bahwa Wy adalah pengguna narkoba, mereka memperhatikan dari segi fisik nya yang mulai berubah. Wy juga sempat mengalami kecelakaan motor dimana saat itu Wy masih melanjutkan kuliah S1di salah satu
64
perguruan tinggi negeri di kota J. Akan tetapi Wy jarang sekali mengikuti perkuliahan “..Abis kecelakaan itu karena waktu kecelakaan itu dia masih di UNJ, dia itu eee mau dapet nilai semester petama akhirnya saya yg dateng kesana, baru saya tau dia tuh ga pernah masuk sejak abis lebaran 2007, keliatannya si dia mulai bergaulnya (maksudnya bergaul dengan para pemakai narkoba) mulai nyoba-nyobanya itu abis lebaran 2007, sampai mungkin itu kan kira-kira mungkin sekitar bulan oktober atau pertengahan oktober lebaran itu, jadi oktober november desember itu jadi dia udah kecanduan kayanya”. Kecurigaan dan keyakinan bahwa anak mereka menggunakan narkoba itu semakin kuat ketika mereka menemukan bungkusan plastik berwarna putih seperti kantong yang biasa digunakan untuk membungkus shabu-shabu dan putaw di kamar Wy, juga ada beberapa bekas lintingan ganja yang masih tergeletak di atas mejanya di kamar Wy. Akan tetapi pasangan A tidak mengetahui dimana dan kapan persisnya anak mereka memakai barang tersebut ..”Ya kita memang sering menemukan apa namanya barang-barang yang memang dicurigain, seperti umpamanya lintingan ganja pernah saya dapatkan cuman ketika saya klarifikasi ke dianya dia bilang bukan punya dia, ga tau katanya. Karena memang itu tergeletak di atas mejanya. Terus juga ada bekas kaya kantong-kantong shabu atau putaw itu juga kita menemukan. Tetapi yang ada isinya kita blum pernah menemukan, dan kapan dimana dia pakenya juga kita belum pernah ngeliat. Mungkin karena rumah ini kan agak gede (sambil memutarkan jari telunjuknya) dia juga kamarnya sendiri mungkin ketika kita tidur dia menggunakan di kamarnya ya wallahua’alam, tapi tanda-tanda kearah sana saya udah rada-rada curiga..” Pasangan A juga mengetahui beberapa jenis narkoba yang dipakai Wy dari beberapa informasi yang mereka peroleh melalui teman, tetangga, juga rekan kerja. Selain dari hasil temuan pasangan a sendiri di kamar Wy “Informasi aja , kalo saya ngeliat sendiri selain ganja ya itu, jenis jenis yang lain saya ga tau”
65
Ada rasa tidak percaya terhadap pasangan A bahwa anak mereka Wy memakai narkoba. Menurut penuturan Pasangan A anak mereka Wy adalah anak yang penurut dan pintar. Namun kecurigaan mereka semakin kuat dengan adanya perubahan perilaku Wy. Pola hidup yang tidak sehat, jadi sering begadang, berubah sifat menjadi temperamental, sering berbohong, juga menjadi boros dalam menggunakan uang. “Ya kaget lah, kita kan orang tua tadinya kan percaya ga percaya ya, perilakunya berubah terutama dari pola hidupnya dia. …Heu..euh jadi siang dibikin malam malam dibikin siang, terus juga di samping itu dia jadi temperamental mungkin karena pengaruh obat itu. Padahal Sebelum-sebelumnya sih dia cukup nurut cukup pinter anaknya gitu, tapi setelah kita tau dia make tadi satu, pola hidup, pola pikir, terus juga boros sering bohong ya itulah kira-kira yang kita tau, gitu Perubahan dari sisi emosional akibat penggunaan narkoba semakin terbukti ketika suatu hari tepatnya tanggal 27 Pebruari 2008 yang bertepatan dengan hari ulang tahun Wy memecahkan kaca meja yang ada di ruang tamu, Wy kesal karena hansfreenya hilang. Padahal menurut pengakuan pasangan A hansfree itu hilang karena Wy yang menghilangkan, tetapi Wy lalu mengamuk dan memarahi adiknya T dan memecahkan kaca meja ruang tamu “…Ini ada meja itu ada kacanya itu pas dia ulang tahun 27 Pebruari 2008 pecah ama dia. Ininya (sambil menunjuk meja yg ada di depan kami) kayu kan biasanya ada mejanya, dan itu waktu pebruari, lalu sekitar tanggal tujuhan gitu ya dia itu eee kehilangan ini pah hanspree, ingat ga? (sambil nanya ke suami) yang hanspreenya ilang, sampai dia ngamuk eee ngamuk sama si tommy dia bilang si tomy yang ngilangin dia yg dirugikan hansprenya ilang ko dia yg dia dimarahin itu persepsinya dia dah mulai berubah..” Perubahan tingkah laku Wy semakin menjadi-jadi, Wy juga sempat membawa barang-barang elektronik seperti mesin fax dan juga printer yang ada di rumah untuk
66
dijual. Pasangan A tidak mengerti mau diapakan barang-barang tersebut. Namun ketika ditanya oleh H barang-barang tersebut mau dijual “januari tuh pernah ribut sampe mesin fax (sambil menunjuk ke arah mesin fax) rusak, semua dibawain, itu lemari (sambil menunjuk kea rah lemari yg dimaksud) mau di robohin sama dia terus udah gitu eee ini ini apa (menunjuk kearah barang yg dimaksud) printer dibawa, mesin fax dibawa ga tau bawanya gimana, mau ditaro di motor semua ya ga mungkin, tapi saya udah punya analisa ada kemungkinan mau dijual gitu..” Dari beberapa temuan langsung oleh pasangan A barang-barang berupa bungkusan plastic bekas putaw dan ganja yang ada dikamar Wy tersebut serta perubahan tingkah laku yang terjadi pada Wy, mereka memang yakin bahwa anak mereka adalah seorang pecandu narkoba.
C. Strategi Coping Yang Dilakukan Subyek Pasangan A Pasangan A sadar bahwa keterlibatan Wy memakai narkoba bukan masalah yang mudah untuk di selesaikan. Mereka memahami bahwa ketika seseorang menjadi pecandu narkoba maka akan berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan juga psikisnya “..orang-orang yang sudah kecanduan atau menggunakan itu kan yang rusak itu bukan hanya fisiknya tapi mentalnya juga akan rusak gitu, jadi inilah yang apa namanya kita coba supaya jangan sampe ini keterlanjuran atau jangan sampe terlalu parah, karena kan kalo sakitnya sakit badan itu mengobatinya lebih gampang dibandingkan sakit jiwa, nah kalo penggunaan obat terlarang ini yang kena itu duaduanya bukan Cuma jiwa saja itu yang saya rasakan, seperti yang saya rasakan sekarang fisiknya otaknya atau umpamanya hatinya (liver) juga kan udah mulai kena nah itu kan diobatinnya kan tidak terlalu berat dibandingkan dengan mengobati mentalnya apalagi ini obat-obat begini kan gangguannya bukan cuma dari diri
67
sendiri dari lingkungan atau dari orang-orang yang sama-sama pemake, jadi ini pengobatannya sangat luar biasa..”
Problem Focused Coping a. Planful Problem Solving Ketika mengetahui bahwa Wy menggunakan narkoba pasangan A langsung membuat rencana untuk mengobati Wy anak mereka agar bisa lepas dari pemakaian narkoba. Pasangan a tidak ingin anak mereka sampai meninggal akibat pemakaian narkoba tersebut. “ya jadi kita langsung membuat rencana setelah tau bahwa willy itu make narkoba, Seperti misalnya berobat, kemudian kita datang ke prof Dadang dan prof Dadang juga menyarankan agar fokus untuk segera mengatasi ini dan kita berprinsip kalau penyakit ini harus segera diatasi harus langsung segera berobat dan ga boleh sampe ditunda-tunda” Namun demikian pasangan a sedikit mengalami kesulitan untuk merealisaikan rencana tersebut, kesulitan itu karena anak mereka Wy menolak untuk dibawa berobat. Wy mengaku takut karena bayangan akan proses pengobatannya itu sendiri “ada, kita mendapat kesulitan dari willy sendiri karena ada ketakutan dan juga penolakan dari dia untuk kita bawa berobat. kesulitannya ya itu tadi karena ada ketakutan dari willy untuk proses pengobatannya” b. Confrontative Coping Ketika anak mereka Wy mengalami gejala semacam sakau H hanya memberikan semacam obat untuk meredakan sakit kepala Wy dan memberikan pijatan supaya sakit yang dialami sedikit berkurang
68
“…ga sampe sakau sekali, Cuma sakit kepala terus saya kasih obat, dan dia juga ga tau kalau itu sakau. Pala willy sakit ya (katanya gitu). Terus saya pijitin saya kasih panadol. Akhirnya tidur waktu itu sore-sore. Kayanya sih waktu itu karena dia udah kecanduan dia berusaha untuk stop, gitu. Dia udah kerja di Tangerang waktu itu..” Peneliti juga sempat menanyakan apakah pasangan a pernah menyediakan narkoba untuk Wy ketika Wy merasakan sakau? Pasangan a pun menjawab tidak pernah “oh engga engga, ga pernah. Justru kalo kita sih kalaupun dia pake kita langsung bawa lagi ke Madani”
Emotion Focused Coping a. Distancing Siapapun orangtua yang memiliki anak pecandu narkoba memiliki rasa malu dan kemungkinan akan menjaga jarak dengan masyarakat sekitar karena malu dengan perilaku anak mereka yang menggunakan narkoba. Namun bagi pasangan a hal itu tidak membuat mereka menjadi jauh dan menjaga jarak dengan masyarakat. Pasangan A tetap bergaul seperti biasa dengan masyarakat yang lain pada umumnya, bahkan pasangan a menceritakan sendiri bahwa anak mereka adalah pemakai narkoba. “oh engga kita ngga pernah menjaga jarak dengan siapapun baik itu masyarakat maupun di keluarga sendiri. Bahkan saya sendiri malah yang cerita kalo anak saya itu make narkoba” Karena menurut pasangan a kalau mereka menghindari masyarakat pasangan A berpendapat tidak akan mendapat informasi apa-apa kalau hanya berdiam diri saja
69
“oh tidak akan menyelesaikan permasalahan malah. Justru kalo menghindar kita ga akan bisa dapet informasi apa-apa, kalo misalnya kita ceritakan itu kita jadi bisa tuker pikiran”
b. Self Control Pasangan A berusaha memahami akan bahaya dari pemakaian narkoba, pasangan a aktif untuk bertanya ataupun membaca buku yg berkaitan dengan narkoba. Mereka juga mengerti bahwa kondisi di lingkungan rumah mereka tidak bagus terutama untuk anak muda, yang kebanyakan kegiatan anak muda hanya kumpul dan nongkrong-nongkrong tidak jelas tiap harinya. Pasangan a mencoba membatasi Wy agar tidak sering-sering bergaul dengan anak-anak muda yang hanya bersenangsenang saja “…sepengetahuan/informasi yang kita dapet bahwa orang-orang yang sudah kecanduan atau menggunakan itu kan yang rusak itu bukan hanya fisiknya tapi mentalnya juga akan rusak gitu, jadi inilah yang apa namanya kita coba supaya jangan sampe ini keterlanjuran atau jangan sampe terlalu parah, karena kan kalo sakitnya sakit badan itu mengobatinya lebih gampang dibandingkan sakit jiwa, nah kalo penggunaan obat terlarang ini yang kena itu dua-duanya bukan Cuma jiwa saja itu yang saya rasakan, seperti yang saya rasakan sekarang fisiknya otaknya atau umpamanya hatinya (liver) juga kan udah mulai kena nah itu kan diobatinnya kan tidak terlalu berat dibandingkan dengan mengobati mentalnya apalagi ini obat-obat begini kan gangguannya bukan cuma dari diri sendiri dari lingkungan atau dari orang-orang yang sama-sama pemake, jadi ini pengobatannya sangat luar biasa. Tapi klo umpamanya orang kena jantung gitu kan ga mungkin ada orang yang nawarin supaya kena jantung lagi ya kan (sambil tersenyum) atau kena penyakit yang lain, tapi klo umpamanya yang menggunakan obat-obat terlarang itu dia sendiri klo tidak bener-bener dari hatinya dia atau dari eee niatnya dia itu agak sulit untuk ngobatinnya karena dia bisa beli lagi atau juga dianya kuat tapi godaan dari luar itu yang nawarin itu udah pasti ada karena ini udah bisnis masalahnya”
70
c. Accepting Responsibility Pasangan A sadar bahwa penggunaan narkoba yang dilakukan oleh Wy juga akibat kesalahan mereka. Pasangan a ternyata kurang memberikan perhatian lebih terhadap anak mereka, mereka terlalu sibuk mencari materi sehingga perhatian terhadap anakpun jadi tidak maksimal “saya bisa terima hal ini bahwa kita berperan kenapa anak kita akhirnya memakai narkoba. Ini semua karena kita ya kurang perhatian lah sama mereka” Dan pasangan A juga langsung bertindak ketika tahu bahwa anak mereka menggunakan narkoba “..saya dan istri menyadari bahwa hal ini adalah juga karena kelengahan kami sebagai orangtua, dan saya langsung fokus berpikir untuk segera menyembuhkan anak dengan berobat, lalu kita juga memperketat pengawasan pada anak terutama dari pergaulannya, kemudian juga masalah komunikasi juga kita koreksi dan perbaiki khawatir komunikasi yang kita lakukan selama ini salah sama anak-anak”
d. Escape avoidance Menghadapi masalah anak pengguna narkoba harus ditangani dengan serius, dan orangtua tidak bisa melepaskan tanggung jawab begitu saja. Karena bagaimanapun orangtua harus ikut andil untuk menyembuhkan anak yang pecandu narkoba. Pasangan a tidak pernah sedikitpun untuk lepas tangung jawab dalam mengatasi masalah anak mereka yang seorang pecandu (peneliti: pernahkah bapak/ibu mencoba untuk lepas tanggung jawab dari permasalahan yang menimpa anak ibu dan bapak?) “owh engga pernah, sebagai orangtua masalah ini adalah tanggung jawab kita juga”
71
Karena menurut mereka jika orangtua lepas tanggung jawab maka permasalahan tersebut tidak pernah terselesaikan “tentu tidak bisa , prinsipnya adalah ketika ada satu masalah dalam keluarga maka harus segera diselesaikan” e. Positive Reappraisal Pasangan a melakukan upaya untuk menciptakan hal positif dari kejadian ini dengan cara memperbaiki diri terutama dalam hal komunikasi kepada anak-anak mereka. Pasangan a juga menyadari pentingya agama sebagai pegangan dalam kehidupan mereka. Anak mereka Wy juga harus mendapatkan pendekatan secara agama, dan mereka mendapatkan hal tersebut di Madani Mental Health Care tempat dimana anak mereka Wy menjalani proses rehabilitasi “kita berusaha dengan pengobatan secara medis, lalu juga melalui pendekatan agama, untuk pendekatan agama ini kita dapat dari Madani sendiri karena mereka menggunakan metode dari prof Dadang, terus komunikasi yang dilakukan jadi lebih baik dan intens, memotivasi willy supaya tetap percaya diri biarpun dengan kondisi yang sedang sakit. Jadi kita konsen pada hal-hal yang semacam itu”
f. Seeking Social Support Selain membuat rencana pasangan A juga menyadari bahwa mereka butuh bantuan dari orang lain. Pasangan A tidak bisa menghadapi masalah ini sendiri oleh karena itu pasangan a mencari bantuan kepada para tetangga, saudara, teman kerja dan pihak-pihak yang sekiranya mampu membantu pasangan a dengan harapan masalah ini bisa terselesaikan. Adapun bantuan yang sangat dibutuhkan adalah dukungan moral
72
“oh iya, saya dan keluarga secara pribadi meminta bantuan kepada masyarakat sekitar dalam bentuk dukungan moral, motivasi, juga pengawasan terhadap lingkungan pergaulan di sini Dalam mencari bantuan kepada masyarakat pasangan a juga menghadapi kesulitan yakni karena tidak semua orang tahu mengenai narkoba dan juga apa dan bagaimana kehidupan para pemakai narkoba itu sendiri “ada beberapa kesulitan yang kita hadapi, satu tidak semua masyarakat di sekitar sini tau tentang narkoba jadi kita sulit untuk memperoleh informasi tentang apa dan bagaimana narkoba sebenarnya, jadi pengetahuan tentang masalah narkoba itu minim, kedua banyak juga masyarakat dan teman-teman kantor saya yang tdak tau seperti apa lingkungan orang-orang yang make narkoba” Dan untuk mengatasi kesulitan tersebut pasangan a mencari informasi dari siapapun mereka yang mengetahui tentang permasalahan narkotika “ya kita cari-cari informasi aja dari siapapun orang-orang yang tau tentang narkoba”
Kesimpulan wawancara Dari hasil wawancara di atas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan tentang strategi coping stress yang dilakukan subyek pasangan A. adapun aspekaspek yang dapat disimpulkan dari strategi coping stress subyek pasangan A ada dua. Yang pertama dilihat dari problem focused coping (coping terpusat pada masalah) yang memunculkan beberapa usaha untuk merubah situasi yakni confrontative coping dan planful problem coping. yang kedua yakni emotion focused coping (coping terpusat pada emosi) yang menimbulkan usaha untuk control pada emosi seperti distancing (melepaskan diri dari situasi yang menimbulkan stress), self control
73
(control diri dan perasaan), accepting responsibility (pengakuan individu), ecscape avoidance (harapan dan usaha untuk menghindar dari masalah), positive reappraisal (menciptakan hal positif), seeking social support (mencari dukungan social yang nyata). Pada aspek problem focused coping subyek pasangan A segera membuat rencana untuk membawa anak mereka berobat setelah mengetahui anak mereka adalah pecandu napza. Mereka membawa anak mereka berobat ke salah satu dokter ternama yang khusus menangani masalah penggunaan napza. Pada saat subyek pasangan A melihat anak mereka mengalami gejala semacam sakau subyek hanya memberikan semacam obat pereda sakit kepala, hal ini dilakukan atas keinginan anak mereka sendiri yang merasakan sakit yang teramat sangat pada bagian kepala dan kedinginan di sekujur tubuh anak mereka. Pada aspek emotion focused coping subyek juga melakukan beberapa usaha untuk tetap berkomunikasi dengan masyarakat sekitar dalam arti kata mereka tidak menghindar dari hubungan masyarakat sekitar, bahkan subyek sendiri yang bercerita pada masyarakat bahwa anak mereka itu pecandu napza. Hal itu subyek lakukan sekaligus untuk meminta bantuan kepada para tetangga berupa dukungan moral supaya anak mereka bisa tetap diterima di lingkungan masyarakat. Subyek pasangan A memahami bahaya dari penggunaan napza ini setelah anak mereka menjadi korban penyalahgunaan napza, karena itu mereka melakukan
74
tindakan antisipasi lebih ketat dan juga control pribadi dengan menggali informasi yang banyak tentang apa dan bagaimana napza. Selain itu subyek pasangan A menerima kenyataan bahwa apa yang menimpa anak mereka karena kurangnya pengawasan terhadap pergaulannya dan kurangnya perhatian terhadap anak mereka. Dari proses penerimaan, subyek pasangan A mengakui bahwa pemakaian napza yang dilakukan anak mereka Wy memang karena kurang mendapatkan perhatian dari subyek. Subyek sadar bahwa waktu untuk bersama anak itu sangat sedikit karena subyek lebih terfokus pada masalah materi atau urusan pekerjaan saja. Namun subyek tidak pernah sedikitpun lalai dalam memberikan pengawasan kepada Wy semenjak menjadi pecandu napza, subyek tidak ingin melepaskan tanggung jawab sebagai orangtua. Karena mereka ingin Wy sembuh dari penyakitnya tersebut. Dalam penilaian hal positif subyek pasangan A berusaha tetap berpikir positif dan mengambil makna positif dari setiap kejadian yang sudah menimpa anak mereka. Subyek lebih banyak mengoreksi factor intern (di dalam keluarga) khususnya baik dari segi komunikasi ke anak, lalu cara menyampaikan yang baik itu seperti apa dan sebagainya, sehingga subyek mampu memperbaiki kondisi keadaan keluarganya.
75
76
126
BAB 5 Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Pada bab akhir ini peneliti akan menjelaskan tiga tahapan terakhir terkait dengan hasil penelitian yang telah dilakukan. Tahap pertama adalah menjelaskan tentang kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian. Tahap kedua adalah mendiskusikan hasil kesimpulan penelitian dengan teori-teori yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya. Tahap ketiga adalah saran-saran untuk pengembangan penelitian selanjutnya, dan saran-saran praktis untuk keluarga, masyarakat yang memiliki anak ataupun saudara yang pecandu narkoba.
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang didapat dari lapangan, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan tentang coping stress orangtua yang memiliki anak pecandu narkoba. Coping stress yang dilakukan dari ketiga pasangan subyek dapat dilihat dari strategi coping yang dilakukan, baik itu melalui strategi coping terpusat pada masalah atau dengan menggunakan coping terpusat pada emosi, dimana tiap pasangan subyek pada akhirnya melakukan tindakan-tindakan yang dirasa mampu untuk mengurangi tingkat permasalahan yang menyebabkan stress.
126
127
Dari hasil penelitian ketiga pasangan subyek telah melakukan berbagai strategi coping untuk mengurangi dan menghilangkan permasalahan yang menyebabkan stress disetiap pasangan subyek. Subyek pasangan A menggunakan problem focused coping dimana di dalamnya terdapat aspek confrontative coping dan juga planful problem solving. Selain itu subyek pasangan A juga menggunakan strategi emotion focused coping yang di dalamnya terdapat aspek distancing, self control, escape avoidance, positive reappraisal, accepting responsibility. Tetapi subyek pasangan A tidak melakukan distancing dan escape avoidance karena mereka tidak ingin lari dari masalah dan menghindari masyarakat Adapun Subyek pasangan B menggunakan kedua strategi coping yakni problem focused coping dan emotion focused coping. Akan tetapi subyek pasangan B tidak melakukan tindakan distancing dan escape avoidance. Karena tidak ingin menjauh dari lingkungan dan bagaimanapun juga orangtua tetap bertanggung jawab atas masalah anak. Begitu pula dengan subyek pasangan C, pasangan ini menggunakan kedua strategi coping tersebut. Yakni problem focused coping dan emotion focused coping. Termasuk dengan melakukan tindakan distancing yakni menjaga jarak dengan masyarakat dan juga keluarga. Dalam menangani kasus anaknya tersebut subyek pasangan C sempat ingin melepas tanggung jawab karena dirasa sudah tidak mampu untuk mengurusi anak mereka, tetapi niat itu tidak sampai terlaksana.
128
Jika dibandingkan dengan beberpa penilitian sebelumnya tentang coping stress penulis mengambil contoh penelitian terdahulu tentang; Stress dan Coping pada Penderita HIV/AIDS (Kurniawati, 2004). Didapatkan hasil yang juga tidak jauh berbeda. Hal ini dapat dilihat dari usaha strategi coping yang dilakukan oleh subjek penelitan yang dilakukan oleh Kurniawati, dimana dua dari tiga subyek yang diambil adalah mantan pecandu napza yang sering berganti-ganti pemakaian jarum suntik dan melakukan seks bebas, sehingga mereka terkena HIV/AIDS. Seorang penderita HIV/AIDS memiliki rasa takut akan kehilangan orangorang yang selama ini ada disekitarnya, masalah penerimaan dengan warga sekitar, yang akhirnya menimbulkan perasaan yang berbeda dan kondisi yang tidak menyenangkan. Dalam menghadapi suatu situasi yang tidak menyenangkan ini, odha cenderung melakukan coping dimana coping ini dapat membuat merasa nyaman. coping yang mereka lakukan seperti mencari informasi tentang HIV AIDS, mencari dukungan sosial, mendekatkan diri pada Allah dengan melakukan ritual ibadah dan mencari dukungan dari orang lain. Dalam penelitian lainnya tentang coping stress yang dilakukan oleh Siti Soraya, 2006 tentang Peranan Dukungan Sosial terhadap Perilaku Coping Ibu yang memiliki anak dengan HIV/AIDS. Didapat bahwa dalam hal ini coping pada emosi lebih ditekankan karena seorang ibu yang memiliki anak dengan HIV/AIDS awalnya sangat sulit menerima kenyataan tersebut. Namun demikian adanya dukungan sosial dari orang-orang terdekat baik itu tetangga ataupun saudara pada akhirnya mereka
129
lebih bisa menerima hal tersebut. Karena bagaimanapun mereka tidak ingin terlalu larut dalam kesusahan demi menyelamatkan anak-anak mereka. Coping yang ditunjukkan dalam penelitian ini lebih kepada emotion focused coping karena dukungan sosial lebih diutamakan untuk mensupport subjek agar tetap kuat dan sabar. Bagaimanapun bentuk coping yang dilakukan idak bisa dipisahkan hanya pada satu jenis strategi coping saja. karena setiap permasalahan memiliki tingkat ksulitannya sendiri-sendiri. Menggunakan dua jenis strategi coping yakni problem focused coping dan emotion focused coping adalah cara yang efektif untuk menghilangkan segala bentuk masalah yang mengakibatkan stress.
5.2 Diskusi Dari penelitian yang dilakukan dengan judul Coping Stress Orangtua Yang Memiliki Anak Kecanduan Narkoba peneliti ingin mendiskusikan beberapa hal terkait dengan coping (tindakan penanganan) yang dilakukan para subyek pasangan orangtua yang anaknya kecanduan narkoba. Pada dasarnya setiap subjek ketika mengetahui anak mereka menggunakan napza pada awalnya ada rasa tidak percaya atau penolakan dari dalam diri subyek dimana hal ini timbul dari emosi subyek. Hal ini menjadi usaha (coping) untuk meredakan stress dari sisi emosi. Sebagaimana pendapat yang diungkapkan oleh Auerbach dan Gramling (1998) bahwa coping terpusat pada emosi adalah usaha untuk menghilangkan emosi yang tidak menyenangkan dengan mengunakan beberapa mekanisme seperti denial (penolakan).
130
Namun pada akhirnya dengan adanya beberapa temuan atau bukti langsung berupa obat-obatan dan zat-zat berbahaya di kamar anak subyek mereka berusaha menerima segala kenyataan yang ada. Hal ini yang kemudian membuat para subyek membuat usaha mencari dukungan sosial dari saudara ataupun dari orang-orang terdekat lainnya. Tidak ada perbedaan mencolok dari coping yang dilakukan tiap subyek. Selain itu subyek juga melakukan beberapa usaha coping religius, seperti yang dilakukan oleh ketiga subyek A, B dan C. hanya saja mereka melakukannya dengan cara-cara yang berbeda. Subyek A membawa anak mereka ke panti rehabilitasi yang memiliki metode keagamaan, sedangkan subyek B pernah membawa anak mereka ke salah satu pesantren di Jawa Tengah untuk diobati secara keagamaan akan tetapi cara tersebut tidak berhasil karena menurut penuturan orangtua subyek lingkungan di daerah tersebut tidak mendukung untuk pengobatan yang dilaukan oleh pesantren. Sedangkan subyek C melakukan atas inisiatif sendiri dengan menyuruh anak mereka pergi umrah ditemani istri dari anak mereka, padahal kondisi anak mereka saat itu masih sering mengkonsumsi putau. Coping religious punya peran penting untuk membuat seseorang yang mengalami kondisi stress dan tertekan, seperti yang diungkapkan oleh Ardiningtyas Pitaloka (2005)
"Religion has been seen as providing resources for coping with situations that are perceived as harmful or threatening by affecting hoe individual assess their situations and their ability to cope."(Pargament 1990, dalam Graham, 2001)
131
“Agama telah dilihat sebagai sumber daya untuk mengatasi situasi yang dianggap berbahaya atau mengancam yang mempengaruhi individu dalam menilai situasi mereka dan kemampuan mereka untuk mengatasi.masalah”
Beberapa studi menunjukkan bahwa religi memainkan peran yang penting dalam mengatasi stress. Dua sumber coping yang biasanya dilakukan adalah prayer dan faith in God (berdoa dan berserah diri pada Tuhan) (Belavich, 1995 dalam Graham,2001).
5.3 Saran Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, tentunya masih terdapat kekurangan yang memerlukan perbaikan. Kekurangan dalam penelitian ini adalah kurang memfokuskan strategi coping orangtua pada coping keagamaan, kurangnya informasi dari significant other responden atau subyek sekunder yang memberikan informasi tambahan tentang coping stress orangtua yang memiliki anak kecanduan narkoba, kemudian keterbatasan waktu subyek untuk bisa di wawancarai secara langsung. Karena dalam penelitian ini ada proses wawancara yang dilakukan melalui telepon. Atas dasar ini peneliti menganjurkan beberapa saran yang sebaiknya dilakukan untuk pengembangan penelitian selanjutnya. Dengan kata lain anjuran tersebut berupa saran-saran teoritis untuk pengembangan penelitian selanjutnya. Selain itu peneliti menemukan beberapa saran praktis untuk menangani masalah penyalahgunaan narkoba pada anggota keluarga atau anak, sehingga para
132
keluarga/masyarakat yang memiliki anggota keluarga pecandu narkoba dapat mengoptimalkan/menggunakan saran tersebut untuk membantu proses penyembuhan anak ataupun anggota keluarga yang memang menyalahgunakan narkotika.
5.3.1 Saran teoritis 1. Memfokuskan pada pengkajian penerimaan diri pada setiap orang tua yang memiliki anak terlibat penyalahgunaan narkoba. 2. Memfokuskan pada pengkajian strategi coping keagamaan yang dilakukan oleh orangtua yang memiliki anak terlibat penyalahgunaan narkoba. 3. Memfokuskan pada pengkajian Motivasi dan usaha orangtua agar anaknya yang terlibat penyalahgunaan narkoba tetap dapat diterima dimasyarakat. 4. Memfokuskan pada pengkajian penerimaan masyarakat terhadap keluarga yang anggota keluarganya terlibat penyalahgunaan narkoba. 5. Mencari significant other responden yang berkaitan/berhubungan untuk memberikan informasi tambahan tentang bagaimana coping stress yang dilakukan orangtua yang memiliki anak pecandu napza. 6. Sebaiknya wawancara dilakukan secara langsung, atau dengan kata lain diusahakan tidak melakukan wawancara melalui pesawat telepon karena peneliti tidak mengetahui situasi tempat saat
diwawancara seperti apa, lalu ekspresi
wajahnya bagaimanadan tingkah laku apa saja yang muncul dari subyek ketika di wawancara.
133
5.3.2 Saran praktis 1. Kepada orangtua agar selalu memberikan; bimbingan perhatian dan kasih sayang, membangun komunikasi yang berkualitas sebagai langkah preventif agar anaknya tidak terlibat penyalahgunaan narkoba 2. Orangtua
yang memiliki anak terlibat penyalahgunaan narkoba. Sebaiknya
mereka meningkatkan kualitas komunikasi, keakraban dan kehangatan dari setiap anggota keluarganya. Khususnya kualitas komunikasi, keakraban dan kehatangan dengan anak yang terlibat penyalahgunaan narkoba. 3. Bagi orangtua agar lebih mengutamakan seeking social support (mencari informasi tentang penanganan, mencari dukungan baik dari saudara ataupun warga sekitar) ketika mereka mengetahui anaknya terlibat penyalahgunaan narkoba.
134
DAFTAR PUSTAKA Adhim,MF. 2006. Positive parenting. Bandung: Mizan Pustaka. Affandi, A.A. 1991. Kepribadian, keluarga dan narkotika. Jakarta: Arcan. Andy,K. 2008 . Kumpulan kisah inspiratif. Yogyakarta: Bentang Pustaka. Ali,M dan Asrori,M. 2004. Psikologi remaja. Jakarta: Bumi aksara. Auerbach, S.M & Gramling, S.E.1998 Stress management. New Jersey: Prentice Hall Bintarti,R. 2000. Keluarga, kunci sukses anak. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Catio,M. 2006. Pencegah dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba di lingkungan pendidikan. Jakarta: Badan Narkotika Nasional. Chaplin, JP. 2002. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo. Hawari, D. 1997. Al Quran ilmu kedokteran jiwa dan ilmu kesehatan jiwa. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa Hurlock,EB. 1980. Psikologi perkembangan. Jakarta: Erlangga. Kartono,K. 1992. Patologi sosial 2; Kenakalan remaja Jakarta:.Rajawali Lazarus,RS & Folkman,S.1984. Stress, apprasial, and coping. New York: Springer Publishing Company Lazarus,RS.1999. Stress and emotion. London: Free Association Books Lask,B. 1985. Memahami dan mengatasi masalah anak anda. Jakarta: Gramedia. Matthew,MB dan Huberman,MA. 1992, Analisis data kualitatif buku sumber tentang metode-metode baru. Jakarta: Universitas Indonesia (UI – Press). Ma’sum,S. 1987.Penanggulangan bahaya narkotika dan ketergantungan obat. Jakarta:Haji Masagung Mulyana,D. 2003.Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Moleong,LJ. 2005. Metodologi penelitian kualitatif Bandung: Remaja Rosdakarya Messwati,D. 2000. Keluarga, kunci sukses anak. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Partodihardjo,S. 2006. Kenali narkoba dan musuhi penyalahgunaannya. Jakarta: Erlangga.
Puniman,FX. 2000. Keluarga, kunci sukses anak Jakarta: Kompas Media Nusantara. Poerwandari,K. 1998. Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Universitas Indonesia: Fakultas Psikologi Poerwandari, K. 2001. Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Universitas Indonesia: Fakultas Psikologi Sofyan,A.2007. Narkoba mengincar anak anda. Jakarta: PT. Prestasi Pustakaraya. Thantawi,P. 2003. Narkoba, problem dan pemecahannya dalam perspekltif islam. Jakarta: PBB UIN Wasgito,B. 2001. Penyalahgunaan narkotika dan psikotropika serta upaya penanggulangannya. Cibinong: Polda Jabar Witarsa, 2006. Narkoba untuk dikenal untuk ditangkal. Jakarta: Media Pustaka. Widjaya,AW.1985. Masalah kenakalan remaja dan penyalahgunaan narkotika: Bandung: Armico Yatim, DI & Irwanto. 1991. Kepribadian, keluarga dan narkotika. Jakarta: Arcan.
Jurnal Gholib,A dan Fauzan. 2006. Narkoba dan penanggulangannya dalam perspektif islam. Jurnal Psikologi vol 4 no 1 hal 74-80. Jakarta
Skripsi Caesarie,DPZ. 2004. Strategi coping pada kodependen penyalahguna napza. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Rosanthi,D 2004. Perilaku coping suami/istri yang pasangannya menderita skizophrenia. Skripsi. Jakarta. UIN Syahid Rahmawati. 2004. Gambaran stress dan coping pada ibu rumah tangga yang belum dikaruniai anak. Skripsi. Jakarta. UIN Syahid Soraya,S. 2006. Peranan dukungan social terhadap perilaku coping pada ibu yang memiliki anak dengan HIV/AIDS. Skripsi. Jakarta. UIN Syahid
Putra,TS. 2008. Gambaran perilaku coping wanita yang mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Skripsi. Jakarta. UIN Syahid
Website Alfarisi,IK. 2008. Peranan orangtua dalam mencegah anak terlibat narkoba. Jumat, 29 Agustus 2008. http://www.google.com/wikimu.htm Ibnu, 2008, Penyalahgunaan narkoba. Senin http://www.google.com/kumpulanmakalahnarkotika.htm
13
Oktober
2008.
Gumantio,S.2008, Meningkatnya Jumlah Penyalahguna Narkoba. Tempo 21 Agustus. http://www.bnn.go.id/konten.php Yayasan Cinta Anak Bangsa, 2009. For a drug free Indonesia. 17 Juli 2009. http://www.Ycab.org Hawari,D. 2009. Terapi (detoksifikasi) narkoba/naza. 28 Juli 2009. http://www.dadang-hawari.net Ardiningtyas,P. 2005. Religi dan spiritualitas sebagai coping stres dalam penanganan psikologis korban tsunami. 11 Nopember 2010. www.epsikologi.com
53
3.3.3 Blue Print Blue print ini diperlukan sebagai panduan dalam melaksanakan wawancara yang dirancang sesuai dengan tujuan penelitian dan landasan teoritis sehingga jalannya wawancara lebih terarah dengan apa yang ingin diteliti.
No
1
Strategi Coping
Problem Focused Coping
Pedoman Wawancara Aspek- Aspek Coping Indikator
Confrontative coping
Usaha agresif
Planful problem solving
Usaha analitis
Seeking social suport
2
Mencari Dukungan
Distancing
Keluar dari stres
Self control
Mengontrol Perasaan dan Tindakan
Emotion Focused Coping
Akibat
Keterangan
Ada Resiko
10 pertanyaan
Ada Rencana secara 5 pertanyaan Sistematis Mendapat 13 pertanyaan dukungan Menjaga jarak dengan 8 pertanyaan lingkungan ada hal positif yang didapat dan 12 pertanyaan dihasilkan
54
Escape avoidance
Pengakuan untuk menerima dirinya terlibat dalam permasalahan yang menimbulkan stres menghindar dari kegiatan social (lingkungan sekitar)
Positive reappraisal
Penilaian positif atas kejadian yang dialami subyek
Accepting Responsibility
Akan muncul rasa bersalah dalam diri subyek Membuat masalah menjadi rumit dan dihantui rasa bersalah Muncul harapan baru yang positif dalam diri subyek
8 pertanyaan
7 pertanyaan
8 pertanyaan
55
Daftar Pertanyaan Strategi Coping
Pertanyaan Problem Focused Coping A. Confrontative Coping 1. Apa yang ibu lakukan ketika melihat anak ibu mengalami sakau (ketagihan atau membutuhkan narkoba)? 2. Perilaku apa yang muncul dari ibu ketika anak ibu mengalami sakau (ketagihan atau membutuhkan narkoba)? 3. Apakah ibu pernah menyediakan narkoba atau sejenisnya ketika anak ibu mengalami sakau atau ke tagihan? 4. Kenapa ibu melakukan hal tersebut? 5. Sejak kapan ibu melakukan hal tersebut?
B. Planful Problem Solving 1. Apakah ibu/bpk mencoba membuat rencana untuk membantu anak ibu/bpk terlepas dari narkoba? 2. Rencana apa saja yang telah ibu/bpk lakukan untuk membantu anak ibu/bpk terlepas dari narkoba? 3. Kapan ibu mulai membuat rencana tersebut? 4. Apakah terdapat kesulitan dalam melaksanakan rencana tersebut? 5. Kesulitan apa saja yang ibu/bpk alami? 6. Bagaimana ibu/bpk mengatasi kesulitas tersebut? 7. Apakah dengan membuat rencana tersebut, telah membantu ibu/bpk untuk membebaskan anak dari keterlibatannya dengan narkoba?
Seeking Social Support 1. Apakah ibu/bpk mencoba untuk mencari dukungan sosial (bantuan orang lain) untuk membantu anak ibu terlepas dari narkoba?
2. Usaha-usaha apa saja yang ibu/bpk lakukan untuk mendapatkan dukungan sosial (bantuan orang lain) agar permasalahan ini dapat selesai? 3. Siapa saja yang terlibat dalam mencari dukungan sosial (bantuan orang lain) ini? 4. Bantuan seperti apa yang ibu harapkan dari orang lain? 5. Bantuan seperti apa yang ibu dapatkan dari orang lain? 6. Adakah orang yang tidak mau membantu terhadap permasalahan yang sedang ibu/bpk hadapi? 7. Bagaimana bapak mensikapinya? 8. Kapan ibu mulai mencari dukungan sosial (bantuan orang lain) dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang ibu hadapi? 9. Kesulitan apa yang ibu/bpk hadapai ketika mencari bantuan dari orang lain? 10. Bagaimana ibu/bpk mengatasi kesulitan tersebut? 11. Adakah perasaan khusus (malu, takut dsb) yang ibu /bpk rasakan ketika mencari bantuan dari orang lain? 12. Apakah dengan cara mencari bantuan orang lain dapat membantu permasalahan yang sedang dihadapi oleh ibu/bpk/ 13. Dalam hal apa saja bantuan orang lain tersebut dapat membantu permasalahan yang sedang dihadapi oleh ibu/bpk?
Pertanyaan Emotion Focused Coping A. Distancing 1. Pernahkah Ibu/Bpk menjaga jarak dengan siapa pun (keluarga/Masyarakat) untuk membicarakan permasalahan penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh anak Ibu/bpk? 2. Kenapa Ibu/Bpk memilih untuk menjaga jarak dgn orang-orang (keluarga/masyarakat) karena permasalahan tersebut? 3. Bagaimana cara ibu/bpk menjaga jarak dengan (keluarga/masyarakat) karena permasalahan tersebut?
4. Apa yang Ibu/Bpk rasakan ketika ibu menjaga jarak dg permasalahan tersebut? Apa ibu merasa tenang, kecewa, sedih....? 5. Berapa lama ibu/bpk merasakan hal tersebut? 6. Menurut ibu/bpk dengan menjaga jarak dg permasalahan tersebut, dapat membantu menyelesaikan permasalahannya? 7. pernahkah ibu/bapak saling menyalahkan satu sama lain? 8. menurut ibu/bapak siapa yang paling bertanggung jawab atas permasalahan ini?
B. Self Control a. Kontrol Perasaan 1. Perasaan apa yang pertama kali muncul ketika mengetahui anak ibu/bpk terlibat penyalahgunaan narkoba? 2. Bagaimana ibu mengontrol perasaan ibu tersebut? 3. Seberapa lama ibu/bpk dapat mengontrol perasaan tersebut? 4. Menurut ibu/bpk dengan mengontrol perasaan tersebut dapat membantu menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi? 5. apakah ibu merasa marah ketika tahu bahwa anak ibu menggunakan narkoba? 6. kepada siapa marah itu ibu tujukan?
b. Kontrol Perilaku atau Tindakan 1. Perilaku/tindakan apa yang pertama kali muncul ketika mengetahui anak ibu/bapak terlibat penyalahgunaan narkoba? 2. Apakah ibu mencoba mengontrol perilaku ibu tersebut? 3. kenapa ibu/bpk mencoba untuk mengontrol perilaku tersebut? 4. Bagaimana ibu/bpk mengontrol perilaku tersebut? 5. Seberapa lama ibu/bpk bisa mengontrol perilaku tersebut? 6. Menurut ibu/bpk dengan mengontrol perilaku tersebut dapat membantu menyelesaikan permasalah yang sedang dihadapi?
C. Accepting Responsbility 1. Apakah ibu/bpk menerima bahwa ibu/bpk ikut berperan dalam penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oleh anak ibu/bpk? 2. Kenapa ibu menerima hal tersebut? 3. Kenapa ibu tidak mnerima hal tersebut? 4. Setelah menerima adakah tindakan yang ibu/bpk lakukan utk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi? 5. Setelah tidak menerima adakah tindakan yang ibu/bpk lakukan utk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi? 6. apakah ibu merasa bersalah karena anak ibu memakai narkoba? 7. Berapa lama ibu tidak bisa menerima bahwa ikut terlibat? 8. Apakah dgn penerimaan ini, dapat membantu menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi?
D. Escape Avoidance 1. Apakah ibu/bpk pernah mencoba untuk lepas tangan dari permasalahan yang menimpa anak ibu/bpk? 2. Kenapa ibu mencoba untuk lepas tangan dari permasalahan tersebut? 3. Bagaimana cara ibu lepas tangan dari permasalahan tersebut? 4. Berapa lama ibu/bpk mencoba untuk lepas tangan dari permasalahan tersebut? 5. Apakah dengan lepas tangan dg permsalahan ini dapat menyelesaikan permasalahan tersebut? 6. Usaha apa yang dilakukan ibu/bpk untuk berusaha tidak lepas tangan dari permasalahan yang sedang dihadapi? 7. Bagaimana hasil dari usaha tersebut?
E. Positif Reappraisal 1. Apakah ibu/bpk pernah mencoba untuk memfokuskan diri untuk menyelesaikan permasalahan penyalahgunaan yang dilakukan oleh anak ibu? 2. Pada hal apa saja ibu/bpk memfokuskan diri agar anak ibu/bpk bisa terlepas/terbebas dari narkoba? 3. Kapan ibu mulai memfokuskan diri untuk menyelesaikan permasalahan ini? 4. dalam hal apa saja (usaha-usaha apa saja) ibu/bpk memfokuskan diri untuk menyelesaikan permasalahan ini? 5. Kenapa ibu/bpk mencoba untuk memfokuskan diri untuk permasalahan ini? 6. Bagaimana ibu/bpk memfokuskan diri untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi ini? 7. Berapa lama ibu berusaha untuk memfokuskan diri untuk menyelesaikan permasalahan ini? 8. Bagaimana hasil dari usaha ibu/bpk memfokuskan diri dalam menyelesaikan permasalahan ini?
Latar Belakang Keluarga/Kerabat Pasien
1. Kapan bapak/ibu mengetahui anak anda menggunakan narkotika? 2. apakah ada kekhawatiran terhadap anak ibu karena terlibat narkoba? 3. Apa yang ibu khawatirkan, yang akan terjadi pada diri ibu? dan bagaimana mengatasinya? 4. Kapan bapak/ibu mengetahui adanya perubahan tingkah laku yang dialami anak? 5. Perilaku apa saja yang nampak pada saat itu? 6. Apakah anda mengenal jenis narkoba yang dipakai anak anda? 7. Dari siapa anda mengetahui jenis narkoba yang dipakai anak anda? 8. Bagaimana respon/reaksi dari anggota keluarga, saudara, dan masyarakat sekitar setelah mengetahui bahwa anak anda menggunakan narkoba? 9. Dampak apa saja yang anda rasakan? 10. Kesulitan-kesulitan apa saja yang anda alami sebelum dan sesudah anak anda menggunakan narkotika? (kesulitan dalam hal komunikasi dengan anak, masalah ekonomi) 11. Bagaimana peran anggota keluarga yang lain sebelum dan sesudah anak anda menggunakan narkoba? 12. Apakah ada perubahan dalam hubungan anda dengan anak karena anak anda menggunakan narkotika? Seperti apa perubahan tersebut? 13. Apakah ada perubahan dalam hubungan anda dengan anak-anak juga anggota keluarga yang lain sesudah anak anda sembuh dari ketergantungan narkoba? Seperti apa perubahan tersebut?
75
4.2.2 Kasus Subyek Pasangan B Peneliti diperkenalkan dengan subyek (yang selanjutnya ditulis; BH) oleh seorang teman yang bekerja disebuah panti rehabilitasi khusus menangani narkoba dan pasien schizophrenia. Dimana teman peneliti ini mengenal dekat dengan BH yang juga sebagai wali santri (pasien) ditempat rehabilitasi tersebut. Selanjutnya peneliti meminta bantuan pada teman peneliti untuk meminta kesediaan BH menjadi responden peneliti. BH pun menyambut baik permintaan tersebut. Pada hari rabu tanggal 9 desember 2009 peneliti melakukan perjanjian melalui telepon untuk melakukan sesi wawancara. Perjanjian ini dilakukan peneliti melalui anak kandung subyek BH yang memang pernah menjadi pasien di tempat rehabilitasi M karena keterlibatan narkotika. Lalu disepakati waktu untuk bisa wawancara dengan orangtuanya pada hari minggu tanggal 13 desember 2009 pukul 09.00 pagi dengan membawa surat pengantar dari kampus. Anak kandung subyek BH meminta peneliti untuk bertemu terlebih dahulu disalah satu panti rehabilitasi M di daerah J, dengan tujuan menjelaskan maksud dari kepentingan penelitian ini, lalu peneliti menyanggupi untuk bertemu pada keesokan harinya yakni hari kamis tanggal 10 desember 2009 pukul 11 siang. Dihari kamis peneliti datang ke panti rehabilitasi M di daerah J lalu peneliti langsung bertemu dengan anak kandung subyek BH yang mantan pecandu narkoba itu. kemudian peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian sambil menunjukkan surat pengantar dari kampus bahwa
76
peneliti adalah benar sedang melakukan penelitian. Setelah anak kandung subyek BH mendengar penjelasan dari peneliti dia langsung menghubungi subyek BH di rumah melalui telepon selulernya dan menjelaskan bahwa akan ada mahasiswa dari UIN yang akan melakukan sesi wawancara untuk penelitian. Setelah dijelaskan oleh anaknya itu subyek BH menyepakati untuk waktu wawancara yaitu hari minggu tanggal 13 desember 2009 jam 09.00 pagi. Hari minggu 13 desember 2009 peneliti tiba di rumah subyek BH jam 09.10 menit. Peneliti memperhatikan bentuk design rumah yang masih mempertahankan bentuk asli rumah gedongan ciri arsitek bangunan belanda membuat peneliti merasa seperti di zaman Indonesia masih dalam jajahan belanda, ditambah lagi halaman rumah yang luas dan garasi mobil yang juga cukup besar. Kedatangan peneliti disambut oleh anak kandungnya yakni W yang mengenakan baju kaos oblong putih dipadu dengan celana panjang warna hitam. Rambutnya tipis dengan bagian jidat agak lebar. lalu peneliti dipersilahkan masuk dan langsung duduk di ruang tamu. Kemudian W memanggil subyek BH. sambil menunggu peneliti mempersiapkan surat pengantar dari kampus lalu peralatan wawancara seperti tape recorder, alat tulis, dan papan jalan. BH datang dan menyalami peneliti dan saling mengenalkan diri, lalu peneliti menjelaskan maksud dan tujuan dari kedatangan peneliti sambil kemudian menyodorkan surat keterangan dari kampus. Setelah membaca surat pengantar tersebut subyek BH pun akhirnya mempersilahkan peneliti untuk memulai proses wawancara.
77
Subyek BH memiliki tinggi badan ± 165 cm dan berat badan ± 60 kg dengan bentuk wajah yang oval dan kulit yang sudah mulai mengeriput, subyek mengenakan
daster warna dasar kuning motif bunga-bunga, rambut ikal berwarna putih seluruhnya sepanjang leher dan menggunakan kaca mata. Subyek memakai sandal jepit dan duduk di atas kursi persis menghadap peneliti dengan batas meja yang ada dihadapan kami, meja yang berbahan dasar kayu jati dengan tambahan kaca dan dilapisi taplak warna merah di atasnya. Di atas meja ada tape recorder yang peneliti siapkan untuk merekam pembicaraan selama wawancara, juga ada asbak bentuk bulat dari tanah liat dan minuman yang disediakan oleh pembantu rumah tangga subyek untuk peneliti. Disekitar ruang tamu yang cukup luas itu terdapat jam dinding lalu ada satu set sofa, kemudian foto-foto keluarga yang terpajang di dinding dan lemari pajangan terutama foto almarhum suami subyek BH seorang purnawirawan TNI AD yang berpangkat Mayjen. Ruang tamu tersebut bisa langsung menuju ruang keluarga, jadi saat itu ada beberapa orang yang juga sedang menonton televisi di ruang keluarga. Diawal sesi wawancara anak kandung subyek BH yang mantan pecandu narkoba tersebut duduk di samping BH, tapi hanya sebentar saja untuk kemudian masuk ke ruang keluarga, lalu kembali duduk di samping subyek BH menjelang akhir wawancara. Dipertengahan proses wawancara subyek BH sempat menerima telepon yang letak teleponnya tidak jauh dari tempat subyek duduk persis dibelakang pintu menuju ruang keluarga. Selama proses wawancara sempat terdengar beberapa kali suara bising kendaraan baik motor maupun mobil yang
78
berlalu-lalang, hal ini dikarenakan posisi rumah subyek yang menghadap ke arah jalan raya utama. Selain itu ketika proses wawancara berlangsung anak kandung perempuan subyek BH yang pertama yang kebetulan hari itu datang, berpamitan untuk pergi bersama suaminya, subyek BH pun sempat mengenalkan ke peneliti anak kandungnya tersebut dan juga suaminya, lalu peneliti juga memperkenalkan diri. Subyek BH juga memberitahu peneliti tentang pekerjaan suami dari anaknya itu yang berprofesi sebagai ahli ortopedi yang bekerja disalah satu rumah sakit di kota J. Selain itu tidak ada hal lain yang terlalu mengganggu selama proses wawancara berlangsung. Adapun wawancara kedua dilakukan pada tanggal 20 desember 2009, dimana peneliti mendatangi kembali rumah subyek yang berada di daerah M. saat itu subyek mengenakan pakaian baju lengan panjang motif bunga dipadu dengan celana warna putih dan mengenakan sandal. Anak subyek pun turut menemani sang ibu selama proses wawancara. Ada kalanya sesekali anak subyek juga ikut memberikan pengakuan dan informasi tentang keterlibatannya dalam pemakaian narkoba itu.
A. Latar Belakang Keluarga Pasangan A Subyek BH berusia 75 tahun sudah menikah dan mempunyai 5 orang anak. 3 perempuan, 1 laki-laki dan 1 perempuan, dan mempunyai 10 orang cucu.
79
BH adalah anak ke 5 dari 7 bersaudara yang lahir di kota P yang sangat kental dengan adat melayunya. Sebetulnya lebih dari tujuh akan tetapi beberapa diantaranya meninggal dunia, sedangkan untuk anak tertua adalah laki-laki. BH memang berasal dari keluarga mapan di kotanya di daerah P namun demikian mereka tidak selalu menunjukkan kemewahan dari kehidupan mereka. Seluruh keluarga diajarkan untuk hidup secara sederhana. Keluarga BH berasal dari suku melayu, dimana adat melayu dikenal dengan kesopanan dan menjunjung tinggi norma-norma agama. Saat ini sehari-hari BH bekerja sebagai ibu rumah tangga dan mengikuti beberapa kegiatan seperti gathering (arisan) yang dilakukan rutin satu bulan sekali dihari minggu bersama teman-teman istri purnawirawan TNI. Sekalipun dalam usia yang sudah tua tetapi subyek tetap berusaha menyibukkan diri dengan berbagai macam aktivitas. Menurut subyek dengan adanya aktivitas rutin dirinya tidak menjadi jenuh. Silsilah Keturunan Keluarga Subyek Pasangan B Suami
Anak 1 ♀
Anak 2 ♀
Istri
Anak 3
Anak 4
♀
♂
Bagan silsilah keluarga subyek pasangan B
Anak 5 ♀
80
Di dalam keluarganya BH adalah anak cerdas yang bercita-cita menjadi dokter, itu sebabnya ketika selesai menamatkan sekolah tingkat atas BH melanjutkan studi ke jenjang S1 dan memilih fakultas kedokteran yang ada di kota S. keluarga pun mendukung keinginan tersebut. Dengan penuh harapan dan citacita menjadi seorang dokter BH rela pindah dan berpisah untuk sementara waktu dengan keluarga. Adapun suami subyek BH yakni H adalah seorang TNI AD berpangkat Mayjen (Purnawirawan). H sendiri adalah anak kedua dari tujuh bersaudara, dan hanya ada dua orang anak lelaki di keluarga H. keluarga H adalah keluarga yang mempunyai background militer, itu sebabnya H waktu kecil bercita-cita menjadi tentara. Ketika H selesai menamatkan pendidikan sekolahnya atas saran keluarga H mengikuti wajib militer saat itu.karena H juga ingin menjadi tentara maka H pun mengikuti saran kedua orangtua. Segala proses dan kegiatan di dalam wajib militer tersebut H jalankan hingga beberapa tahun kemudian H betul-betul menjadi seorang tentara yang mendapatkan jabatan penting di TNI. Suatu hari subyek BH dan H bertemu di satu kota J pada suatu acara. Saat itu BH sudah menjadi mahasiswi fakultas kedokteran semester 2. Rupanya dari pertemuan tersebut hubungan mereka terus berlanjut hingga akhirnya H mengajak BH menikah. Namun itu menjadi sebuah dilema bagi BH karena dihadapkan dengan dua pilihan yang sulit antara menikah atau tetap melanjutkan kuliah.
81
BH pada khirnya memilih menikah dengan H dan sejak menikah BH tidak lagi melanjutkan kuliahnya. Dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai 5 orang anak. 4 orang anak perempuan, dan 1 orang anak lelaki. Saat itu dengan status H yang masih sebagai anggota TNI AD mereka berpindah-pindah tempat tinggal karena urusan tugas dinasnya. Mereka juga sempat tinggal di negara Jepang selama kurang lebih satu setengah tahun karena saat itu H mendapat tugas ke Jepang. Dalam hal mendidik anak BH lebih fokus karena memang 24 jam selalu bersama mereka. Tidak ada perbedaan kasih sayang yang diberikan BH sebagai seorang ibu untuk ke lima anaknya itu. namun tidak demikian halnya dengan H sebagai seorang bapak tidak mampu mendampingi anak-anak mereka setiap hari karena kesibukannya bekerja. Hal ini pula yang mungkin menyebabkan anak lelaki mereka akhirnya terjerumus ke dalam dunia narkotika Ketika anak lelaki mereka yakni W tumbuh dewasa disitu mulai terjadi kenakalan yang dilakukan. Memasuki masa sekolah menengah pertama (SMP) W sudah mengenal dan mengkonsumsi ganja. Barang tersebut didapat dari seorang teman. Ketika itu BH dan H tidak mengetahui sama sekali jika anak mereka menggunakan ganja. Ketika subyek memperhatikan tingkah laku W muncul perilaku yang tidak biasa dari W seperti sering keluar rumah bahkan pulang hingga larut malam. Ketika teman-temannya datang ke rumah pun W tidak menemani mereka W lebih memilih keluar rumah entah pergi kemana.
82
Subyek BH dan H sangat memperhatikan kesejahteraan W, apapun kebutuhannya selalu jadi prioritas diantara saudara-saudara perempuannya. maklum saja W adalah anak lelaki satu-satunya yang diharapkan. Terutama ayahnya yakni H yang selalu memenuhi segala kemauan W. bahkan H juga membelikan mobil untuk keperluan mobilitas W ketika kuliah. Begitu pula untuk urusan uang subyek tidak segan-segan untuk mengirimkan uang dengan jumlah banyak supaya kebutuhan W selalu tercukupi. Suatu saat W meminta menikah ketika masih semester dua perkuliahan, subyek sempat menolak permintaan W. Namun demikian akhirnya subyek mengabulkan keinginan anak mereka W untuk menikah. Setelah menikah W tinggal di rumah kontrakan yang tidak jauh dari kampusnya di daerah D bersama istrinya. Untuk menghidupi istrinya W dibantu kiriman uang dari subyek BH dan H karena saat itu W masih kuliah dan belum mempunyai pekerjaan. Dari pernikahan inilah ternyata subyek baru mengetahui bahwa selama ini W anak mereka pengguna narkotika. Subyek mengetahui hal ini dari istri W sendiri yang menemukan beberapa bungkus ganja di rumah kontrakan mereka. Mengetahui hal ini subyek langsung membawa W berobat ke beberapa rumah sakit, bahkan juga membawa W ke sebuah pesantren di Jawa Tengah untuk dilakukan terapi. Akan tetapi usaha itu tidak membuahkan hasil bahkan akhirnya W sempat mengalami gangguan kejiwaan sering berhalusinasi. Lalu subyek kembali membawa pulang W ke rumah untuk diobati. Subyek diberitahu suatu tempat untuk pengobatan yakni di rumah sakit HMC selama 4 bulan, di rumah sakit T 3 hari. Akan tetapi tetap saja tidak berhasil karena W
83
masih saja mengalami gangguan halusinasi. Atas beberapa informasi dari temanteman juga rekan-rekan subyek, pada tahun 2003, W pun dibawa berobat ke dokter D yang juga seorang psikiater. Disana W dirawat inap selama 9 bulan di yayasan M. Satu sampai dua bulan perawatan pertama di yayasan M, W menunjukan perilaku menarik diri dari lingkungan pergaulan di yayasan M. Dimana W lebih banyak menghabiskan waktu kesehariannya seperti makan, minum, buang air besar dan juga buang air kecil. Selama perawatan B menjalani terapi terpadu; Farmakoterapi, psiko-sosial, pelatihan kerja, Religius (belajar sholat, dzikir, berdoa) dan sebagainya. Analisis pemakaian narkoba di keluarga pasangan B Subyek menyadari bahwa pilihan menikah adalah jalan hidup yang harus dilalui dengan segala macam resiko terlebih lagi suami adalah seorang anggota TNI yang setiap saat harus selalu siap ketika dibutuhkan untuk tugas negara. Pernikahan BH dan H dikaruniai 5 orang anak, 4 orang anak perempuan dan 1 orang anak laki-laki. kehadiran anak laki-laki sangat diharapkan saat itu oleh subyek, karena tiga orang sebelumnya adalah anak perempuan. …Yaa yang diharap-harapkan lah (sambil tersenyum). Waktu itu saya berpikir “Ko ga ada anak laki-laki , ko saya ga bisa dikasih anak laki-laki, haduuh”! (kenang subyek saat itu, sambil tersenyum)” Tenyata Allah menghendaki keinginan subyek untuk mempunyai anak laki-laki. setelah anak ketiga lahir satu tahun kemudian lahirlah anak laki-laki yang diberi nama W dan setelah beberapa tahun juga lahir anak perempuan
84
subyek yang ke lima. Anak-anak subyek tumbuh seperti anak-anak yang lain pada umumnya. Mereka mendapatkan fasilitas pendidikan dan bahkan ada beberapa fasilitas yang tidak semua orangtua bisa kasih untuk anak-anaknya. Diantara kelima orang anak subyek yang menjadi harapan adalah anak lelaki subyek, karena memang itu adalah anak lelaki satu-satunya. Ketika anak-anak subyek memasuki usia dewasa subyek pun mulai menaruh harapan besar terutama pada anak lelaki mereka W untuk bisa menjadi pengganti ayahnya di dalam keluarga. “jadi bapanya itu memang penuh harapan sama dia. Karna kakanya semua perempuan 3 perempuan di atasnya dia dan satu perempuan dibawahnya dia. Jadi kita memang mendidik anak-anak supaya belajar..” Karena rasa sayang subyek kepada anak lelakinya subyek juga tidak segan-segan untuk memberikan fasilitas lebih pada W
disaat kuliah, subyek
membelikan mobil untuk keperluan sehari-hari W dengan harapan subyek bisa lancar dalam aktifitas kesehariannya. Ketika W memasuki masa kuliah disalah satu perguruan tinggi negeri di kota D subyek semakin yakin bahwa W akan menjadi pengganti subyek seperti yang diharapkan selama ini. Walaupun dalam hal akademik prestasinya biasa-biasa saja tetapi W punya semangat belajar yang tinggi. “..Bahkan dia sudah diberikan mobil untuk yaa mobilisasi ya kalo dia pergi kuliah gitu ya karna anak laki-laki satu-satunya, jadi bapanya itu memang penuh harapan sama dia. Karna kakanya semua perempuan 3 perempuan di atasnya dia dan satu perempuan dibawahnya dia. Jadi kita memang mendidik anak-anak supaya belajar” Ditahun pertama tepatnya pada semester kedua kuliahnya W meminta kepada subyek untuk menikah, subyek menolak permintaan itu karena W belum
85
mempunyai bekal yang cukup seperti pekerjaan dan hal-hal lainnya. Tetapi subyek berusaha mengerti keinginan anaknya itu dan mengizinkan menikah. “..karena dia masih kuliah kan waktu itu. Baru masuk tahun pertama, nah waktu itu dia minta kawin ya sebenernya kita (orgtua) tidak setuju ya karna dia blum punya pencaharian dia blm punya kerjaan, tp waktu itu memang eee.. kita sebagai orangtua kayanya harus ngerti karna dia sudah mau berumah tangga”
Ketika W sudah menikah subyek sering berpesan agar W bisa menghidupi istrinya karena subyek merasa khawatir W tidak mampu memenuhi kewajiban sebagai seorang suami kepada istri. Diawal-awal kehidupan berumah tangganya subyek membekali dengan memberikan uang kepada W sebagai bekal untuk menghidupi istri dan biaya kuliah saat itu, bahkan sebelum pernikahan itu subyek memang sudah memberikan bekal uang yang lumayan banyak untuk bekal kehidupannya juga termasuk untuk biaya kuliah “Sebelum berumah tangga itu memang dibekali eee..uang ya barangkali untuk membiayai perkuliahan gitu, jadi untuk saat itu jumlah uang yang diberikan lumayan banyak (subyek tidak memberitahu kepada peneliti berapa jumlah uang yang diberikan)” Semenjak menikah ternyata perilaku W tidak mencerminkan pria yang bertanggung jawab terhadap istri, W bahkan lebih suka pergi bersama temantemannya bahkan terkadang lupa waktu. Hal itu pun dilaporkan istri W kepada subyek “oo itu saya dengar dari istrinya ya, waktu itu sering keluar rumah ya sering pergi bersama teman-temannya waktu itu, dan itu setiap hari dan selalu ketika pulang itu selalu tengah malam” Kecurigaan subyek bertambah manakala ketika W pulang ke rumah tapi tidak pernah mau berlama-lama di dalam rumah, W selalu pergi entah kemana dan
86
disaat teman-teman kampusnya datang berkunjung k rumah W lebih memilih pergi keluar rumah. Subyek juga tidak pernah tahu kemana W pergi. Hal ini semakin membuat subyek menjadi semakin curiga karena W tidak seperti itu sebelumnya. Ketika ada teman yang datang W biasanya selalu menemani temannya itu. “tapi kadang-kadang kalau ada teman kuliahnya kumpul di rumah dia malah pergi. Teman-temannya lagi belajar di rumah tapi ee dianya malah pergi cuma ga tau ibu kemana perginya (sambil tertawa ringan)” Hingga suatu hari istri W menemukan sebuah bungkusan plastik di dalam rumah kontrakan mereka. Istri W terkejut karena ternyata isi dari bungkusan itu adalah ganja. Menemukan benda tersebut istri W langsung melaporkan ke subyek. Mendengar laporan tersebut awalnya subyek tidak percaya sampai akhirnya istri W menunjukkan barang tersebut barulah subyek benar-benar yakin kalau anak subyek seorang pemakai. “jadi yang di temukan waktu itu ganja, trus dia (istri W) buang di closet.saya tau dari istrinya saat itu ya karena saya tidak punya pengalaman tentang narkotika dan juga tidak begitu mendengar suara-suara lain (maksudnya dari omongan masyarakat) dan ibu juga heran aja, tapi itu sampe kesana saya pikir anak saya tidak akan berbuat itu, tapi sesudah ada ditemukan yang ditemukan barang itu baru saya positip percaya” Mengetahui bahwa W seorang pengguna narkotika subyek menjadi khawatir akan masa depan anaknya terlebih lagi saat itu W baru masuk perguruan tinggi negeri. Bagaimana tidak, sebagai anak laki-laki satu-satunya di dalam keluarga W sangat diharapkan untuk menjadi pengganti ayahnya kelak. Apapun yang diminta W selalu diberi.
87
“ya kekhwatiran akan masa depannya dia, karena dia masih kuliah kan di (salah satu unversitas negeri di kota D) waktu itu. Baru masuk tahun pertama.. bahkan dia sudah diberikan mobil untuk yaa mobilisasi ya kalo dia pergi kuliah gitu ya karna anak laki-laki satu-satunya, jadi bapanya itu memang penuh harapan sama dia. Karna kakanya semua perempuan, 3 perempuan di atasnya dia dan satu perempuan dibawahnya dia.”
Subyek semakin merasa cemas ketika istri W meminta cerai karena faktor kesulitan ekonomi dan kelakuan W yang semakin parah penggunaan narkotika ditambah obat-obatan waktu itu. padahal W sudah berusaha untuk membuka usaha dibidang percetakan akan tetapi tidak membantu mencukupi kebutuhan hidup. Perceraian itu yang membuat W semakin menjadi stress “Yang jadi beban terberat anak saya adalah ketika itu karna dia sudah berkeluarga dan sudah punya anak juga itu uang yang dititipkan untuk anak saya waktu itu sangat tidak cukup. ee lalu dia mencoba membuka usaha untuk mencukupi kebutuhan keluarga dia dibidang percetakan namun tapi ya itu nda bisa mencukupi kebutuhannya karena tiap hari kebutuhan bertambah, dan akhirnya istrinya meminta pisah, karena kesulitan ekonomi saat itu, ya mungkin jika istrinya kerja sendiri bisa lebih mencukupi kebutuhannya, jadi tidak dipusingkan dengan kelakuan suami” Karena pemakaian napza yang sudah semakin parah mantan istri menyarankan subyek untuk membawa W ke pesantren supaya bisa diobati kecanduannya sekaligus mengaji, dan subyek pun membawa W ke sebuah pesantren M di kota JT. Namun di pesantren itu tidak membawa perubahan sedikitpun sampai akhirnya W sering mengalami halusinasi “Tapi baiknya istrinya itu membantu dengan mencari kerjaan untuk anak saya, dan juga mencarikan tempat pesantren untuk membawa anak saya supaya ditaro di dalam pesantren. Biar anak saya bisa belajar agama dan tidak lagi mengingatingat obat-obatan itu. Tapi ya ternyata ya kurang menolong setelah beberapa lama di dalam pesantren, lalu sempat pindah pesantren lagi beberapa kali sampai akhirnya ke pesantren M di J T, naa disitu jadi makin parah keadaan anak saya. Itu tidak ada perbaikan sama sekali, malah dia jadi sering berhalusinasi
88
Melihat tidak ada perubahan terhadap W subyek akhirnya membawa kembali pulang W dan mencari psikiater di Jakarta, tapi sempat ada penolakan dari W yang tidak mau di bawa ke psikiater. Ketika sudah di Jakarta subyek membawa W berobat ke salah satu rumah sakit HMC dimana pengobatan ini pasien hanya mengkonsumsi makanan nabati saja. Juga ada pengobatan dengan cara diestrum dan di massage. “Terus saya usaha untuk pergi ke psikiater waktu itu tapi engga mau dia waktu itu, “untuk apa ke psikiater” anak saya bilang waktu itu. Karena memang dari hari ke hari di pesantren anak saya itu ga ada perubahan maka kami tarik kembali terus pergi ke ini pengobatan Holistik di Jakarta, jadi melalui terapi dengan hanya memakan makanan nabati saja n juga ada pengobatan ini juga seperti eee berobat di apa setrum lalu ada di massage juga” Di tempat tersebut tidak ada perkembangan yang baik dan W masih terus ketagihan napza, akhirnya W kembali dibawa pulang oleh subyek sambil mencari tempat
rehabilitasi
yang
lain.
Kemudian
beberapa
teman
subyek
menginformasikan tentang seorang terapis dokter D yang spesialis menangani masalah ketergantungan napza. Lalu subyek membawa W ke dokter tersebut ..”tapi ga begitu maju jadi ga tuntas masih juga ketagihan nah terus kita ambil anak kita untuk kita bawa pulang saja. Lalu kita usaha lagi untuk mencari tempat rehabilitasi lagi, dan ada teman saya yang menginformasi tentang Prof. D, nah kita langsung tanya ke anak saya “kamu mau sembuh ga?” “mau (jawab anak saya)”. Baru kemudian saya bawa ke Prof. D”
Strategi Coping yang dilakukan subyek pasangan B dalam mengatasi anak mereka yang pecandu narkoba
Emotion focused coping
89
a. Distancing Bagaimanapun parahnya keadaan W terhadap pemakaian napza tetapi subyek BH tidak ragu untuk meminta pertolongan pada orang-orang yang bisa diharapkan menolong. Bh tidak merasa malu untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitar rumah. Karena dengan mendekati orang-orang yang mengerti dunia napza itu akan membantu proses penyembuhan W “…ya kita dekati orang-orang yang bisa menolong kita. Kalau untuk orang lain yang punya masalah lebih berat dari kita ya jangan kita dekati, karena mereka juga punya masalah sendiri” Subyek BH sempat merasa kecewa dan menyalahkan atas sikap dan tindakan yang dilakukan oleh suami, hingga mengakibatkan W memakai napza. Itu semua karena H sebagai seorang bapak tidak mampu memberikan bimbingan dan kasih sayang kepada W. justru H hanya memenuhi secara materi saja tanpa memberikan ketulusan kasih sayang seorang bapak kepada anak. “iya saya kadang suka menyalahkan bapak karena saat itu terlalu memenuhi segala materi anak saya itu. Tapi ya sebetulnya yang anak saya perlukan adalah bimbingan atau komunikasi tapi justru itu yang tidak bisa dilakukan, karena bapak ini orangnya pendiam. Dan maunya bapak anak itu harus ngerti gitu loh maksudnya bapak gimana. Kan dia mencontohkan kehidupannya sendiri untuk anak-anak. Jadi apa yang bapak jalankan itu jadi contoh bagi anak-anak” Apa yang sudah BH berikan untuk anak-anak mereka dirasa sudah sama dalah hal kasih sayang, akan tetapi W sebagai seorang membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari sosok bapaknya “Kalo saya pikir, ini saya ya sebagai seorang ibu. Perhatian saya untuk anakanak itu sama tapi mungkin dia mengharapkan sesuatu yang lebih dari seorang bapak seperti misalnya perhatian lah untuk dia”
90
b. Self Control 1. Kontrol perasaan Ketika pertama kali subyek mengetahui bahwa W anak mereka memakai napza subyek merasa tidak percaya dan kaget bahwa anak mereka menggunakan napza, namun mereka berusaha tetap tenang supaya bisa berpikir positif untuk mencari jalan keluar dari masalah dan berdoa pada Allah untuk yang terbaik “ya menurut saya anak saya kan sudah saya didik sedemikian rupa ga akan mungkin dia melakukan hal itu. (peneliti:Ga percaya ya bu?) Iya, tapi kalo itu sudah jadi fakta ya gimana. Kecewa yang pasti kecewa banget. ya saya melihat keadannya saja, selanjutnya akan seperti apa dan bagaimana nanti. Dan saya selalu serahkan sama Allah, hanya melalui solat saya mengadu” Dalam mengontrol perasaan ini subyek juga merasa marah terhadap pergaulan anaknya, karena pergaulan yang terlalu bebas akhirnya W menggunakan napza “ya mau marah ya barang kali ya dalam hati ada, tetapi ya ya gimana (sempat diam sebentar) (Peneliti: ada ya bu sedikit rasa marah?) Ya ada pasti. (peneliti: kepada siapa marah itu ibu tujukan?) ya pergaulannya dia, lingkungannya (Peneliti: jadi Ibu marah terhadap lingkungan?) Iya, karena pergaulannya yang terlalu bebas” 2. Kontrol perilaku atau tindakan Mengetahui bahwa anaknya menggunakan napza subyek sempat bingung mau bertindak bagaimana karena keterbatasan pengetahuan akan napza, juga karena masih ada rasa tidak percaya bahwa anaknya memakai napza. “yaa mau apa ya (sambil tertawa) ya didengar aja informasi itu kalo anak saya make narkoba. Mau menindak bagaimana. Saya juga masih terus menyelidiki apa betul anak saya pemakai. Jadi tidak langsung percaya begitu saja atas omongan yang ada”
91
Kontrol tindakan yang dilakukan oleh subyek berupa mencari informasi dan juga menyelidiki kebenaran tentang pemakaian napza terhadap W dengan harapan kalaupun informasi itu betul adanya bahwa W seorang pemakai napza subyek juga mencari jalan keluar apa dan bagaimana yang harus dilakukan untuk W “iya saya selalu selektif dalam mengumpulkan informasi yang ada. Mengenai kebenaran tentang anak saya. Apakah betul seorang dia itu pemakai atau tidak. Lalu untuk cari jalan keluarnya. Apa dan bagaimana tindakan yang harus saya ambil gitu”
Subyek juga berkonsultasi dengan psikiater yang memang pernah menangani orang-orang bermasalah dengan napza dan sudah berpengalaman di bidang napza saya juga berkonsultasi dengan psikiater. Dan setiap kali saya menghadapi suatu problem saya pergi ke psikiater
Menurut subyek dengan adanya kontrol tindakan seperti itu diharapkan bisa membantu untuk menyelesaikan permasalahan yang ada saat itu, setidaknya ada tindakan aktif untuk pencegahan pemakaian lebih lanjut kepada W “Ya sangat membantu sekali dengan tindakan itu” c. Accepting Responsibility Subyek BH menerima dan bertanggung jawab atas penyalahgunaan napza yang dilakukan anak mereka W. hal itu karena sebetulnya W butuh perhatian dari bapaknya dan juga sebagai panutan untuk W
92
“Ya saya waktu itu menerima, karena memang keadaan ya yang membuat akhirnya anak saya menggunakan narkoba. Dan mungkin karena kondisi keluarga, karena W ini kan anak lelaki satu-satunya sedangkan 3 kakaknya itu perempuan semua. Jadi dia juga butuh sosok ayah untuk jadi panutan. Sedangkan ayahnya itu kan sangat sibuk bekerja ya jadi hanya sedikit sekali waktu ayahnya untuk kumpul sama anak” Rasa menyesal juga subyek rasakan karena W memakai napza karena pada dasaranya W kurag perhatian dari figure seorang bapak “Ya sesekali ada juga ya perasaan seperti itu, karena anak saya ini kurang perhatian dari kita sebagai orangtua terutama perhatian dari sosok bapak”
d. Escape Avoidance Subyek berusaha tidak lepas tangan untuk menangani W yang ketergantungan napza, karena menurutnya kalau bukan keluarga siapa lagi yang akan menolong anak kita “Ya ga bisa! Masa orang lain yang perhatikan (sambil tertawa kecil) . orang lain nda akan perhatikan kalo nda kita sendiri, masa kita mau menghancurkan anak kita sendiri (Peneliti: Ngga pernah ya bu ya? Jadi selalu konsen untuk menyelesaikan masalah ini?) Iya dong harus” Supaya tetap tidak lepas tangan dari permasalahan tersebut subyek melakukan beberapa hal agar anak subyek bisa lepas dari ketergantungan napza seperti berkonsultasi terus dengan psikiater. Dan dari usaha tersebut ada kemajuan kearah kesembuhan dari ketergantungan napza “Ya saya hubungan sama anu saja hubungan dengan psikiater, saya mendengarkan apa yang psikiater sarankan, kemudian kalo dikasih obat ya saya kasihkan anak saya untuk dikonsumsi anak saya”
93
e. Positive Reappraisal Subyek selalu menaruh harapan positif pada anak mereka W yang pengguna napza. Subyek yakin anak mereka bisa sembuh dan bisa kembali normal seperti anak laki-laki yang lain. Hal itu terbukti karena W perlahan dan pasti terlepas dari jeratan napza dan pada akhirnya W bisa melanjutkan kuliah lagi walaupun di universitas yang berbeda “Iya, pasti. Nyatanya dia sampe mau kuliah lagi, pokonya saya terus support dia” Dengan adanya harapan-harapan positif tersebut membuat subyek menjadi termotivasi dan fokus dalam usaha menyembuhkan W dari ketergantungan napza. Dan bahkan ketika sudah tidak lagi mengkonsumsi napza subyek tidak lagi mengantar W untuk konsultasi ke salah satu psikiater ternama di kota J, W yang langsung pergi untuk konsultasi atas kesadaran dan inisiatifnya. “Ya saya kedokter selalu dan psikiater juga. Dan selalu kontak dengan psikiater, apalagi sekarang kan dia sudah anu ditangani oleh dokter prof D. Jadi saya sudah terbantu dengan ditanganinya anak saya oleh seorang psikiater. Dan yang lebih membantu saya adalah W sendiri yang selalu kontak dengan prof D, jadi saya tidak perlu repot lagi untuk mengantar ke prof D” Problem focused coping a. Confrontative coping Subyek BH pernah melihat W sakau, namun subyek tidak berani bertindak sesuatu untuk mengatasi hal itu. subyek hanya menangis dan menghubungi dokter via telepon “saya pernah melihat dia sakau tapi saya ga bisa apa-apa karena ga tau harus melakukan tindakan apa (peneliti: ibu ga melakukan sesuatu gitu
94
bu?) Ya saya Cuma telpon dokter saja waktu itu. yaa anu sedih ya pokoknya, nangis. ya ini harus gimana paling-paling saya telpon dokter”
b. Planful Problem Solving Subyek BH melakukan beberapa rencana ketika W menjadi seorang pecandu napza salah satu diantaranya ialah dengan berobat ke dokter “ya hanya merencanakan untuk berobat ke dokter saja, hanya itu” Subyek sempat kesulitan untuk membawa W berobat itu karena ada penolakan dari W sendiri yang tidak mau diajak berobat. Namun pada akhirnya W mau juga berobat karena keinginannya untuk sembuh. “ya ada sedikit kesulitan ketika W tidak mau di ajak untuk berobat, hanya itu saja. Tapi pada dasarnya dia berkeinginan kuat untuk sembuh, akhirnya dia mau diajak berobat dan ngikuti tahap-tahapnya.Terapi di prof D itu kan ada tahapnya dia mau ngikuti itu juga. sampe akhirnya dibawa ke MHC itu”
Menurut subyek adanya rencana-rencana dan tindakan seperti itu dalam menangani anaknya yang pecandu napza sangat membantu untuk menyembuhkan W, disisi lain W juga memiliki dasar agama kuat sehingga membantu proses penyembuhannya “ya..ya.. sangat membantu di samping itu juga karena dia sendiri juga sudah punya dasar agama, jadi dia cepat saja mendapatkan pertolongan itu. Merasakan pertolongan lewat terapi yang dilakukan itu juga iya” c. Seeking Social Support Menjalani pengobatan ini subyek BH betul-betul fight sendiri, baik mengantar ke dokter, pergi mencari tempat rehabilitasi dan sebagainya.
95
Subyek BH juga tidak meminta bantuan kepada anak-anaknya yang sudah berkeluarga karena takut menggangu keluarga mereka. Sedangkan suami H juga tidak pernah menangani secara langsung karena kesibukkannya bekerja. “ engga, saya usaha dengan keluarga saja, saya tidak meminta bantuan orang lain. dari awalnya memang ibu sendiri ya dan dirasa berat saat itu. Sedangkan kakak-kakanya sudah sibuk dengan keluarga masing-masing. saya berpikir kalau meminta bantuan kaka-kakanya saya khawatir merusak rumah tangga mereka. Bapak juga sangat sibuk di kantor, jadi ibu memikirkan sendiri aduh gimana ini! (kenangnya saat itu), ya itu tadi kembali ke sajadah (maksudnya adalah beribadah solat dan mengadu kepada Allah)” Seandainya ada bantuan dari orang lain subyek hanya mengharapkan bantuan itu berupa informasi tempat-tempat rehabilitasi pengguna napza, kemudian juga subyek berpendapat bahwa nasihat untuk subyek sangat diperlukan untuk dirinya “ya informasi saja ya tentang tempat-tempat pengobatannya dimana, lalu juga nasihat itu juga saya kira perlu sekali”
Dalam mencari dukungan terhadap keluarga subyek tidak merasa malu atau takut karena menurut subyek ketika kita minta bantuan kita seharusnya meminta kepada orang yang tepat dan mengerti masalah kita. “hmm engga. (Peneliti:ga ada rasa malu atau gmana gitu?) Ya tergantung pada siapa kita minta bantuan. Orang yg mengerti anu kita problem kita tentu kita tidak akan merasa malu ya”
96
Kesimpulan wawancara Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan strategi coping apa saja yang digunakan oleh subyek pasangan B dalam menangani anak mereka yang pecandu napza. Dari strategi emotion focused coping pada aspek distancing subyek lebih berhati-hati dalam memilih hubungan dengan masyarakat. Menurut subyek sebetulnya tidak perlu untuk menjaga jarak dengan tetangga jika anak kita punya aib, kalau perlu kita dekati orang-orang yang sekiranya bisa membantu kita tapi jangan dekati orang yang sudah punya masalahnya sendiri. Dan di sisi lain subyek Bh sebagai seorang istri merasa kecewa dengan tindakan suami pada saat itu yang selalu memanjakan W dengan memberikan segala fasilitas dan kebutuhan berupa materi. Menurut Bh walaupun anak lelaki satu-satunya tidak semestinya diperlakukan seperti itu terus-menerus karena yang dibutuhkan seorang anak adalah bimbingan dan komunikasi yang baik dan intens antara ayah dan anak. Dari aspek self control subyek Bh sempat merasakan kekecewaan yang berujung pada marah karena W anak subyek terlalu bebas dalam bergaul, sehingga terjerumus dalam dunia narkotika. Sebagai orangtua yang belum mengerti banyak tentang dunia narkotika subyek banyak bertanya kepada psikiater atau dokter-dokter yang pernah menangani pecandu napza. Karena bagi subyek dengan adanya control diri pribadi subyek bisa membantu untuk meredam rasa kecewa dan kemarahan subyek supaya berpikir lebih jernih untuk bisa bertindak lebih baik menangani W anak subyek. Dalam aspek escape avoidance subyek tetap focus untuk mendampingi W
97
supaya bisa tetap sembuh total. Tidak ada keinginan untuk meninggalkan anak mereka sekalipun W sudah dalam keadaan mengalami schizophrenia (gangguan kejiwaan) akibat penggunaan narkotika dan obat-obatan terlarang tersebut. Subyek selalu mendampingi kapan dan dimanapun W berada terutama mendampingi ketika berobat, usaha itu tidak sampai disitu saja subyek juga secara berkelanjutan konsultasi pada psikiater dan dokter. Dari problem focused coping pada aspek confrontative coping. subyek pernah mengalami suatu masa dimana W mengalami sakau yang membutuhkan obat, akan tetapi pada saat itu subyek dalam posisi sendiri hanya berdua dengan W maka subyek tidak bisa berbuat apapun karena tidak tahu harus bertindak bagaimana. Pada akhirnya subyek hanya bisa menelepon dokter saja saat itu. Dalam kondisi seperti itu subyek hanya bisa menangis sambil memeluk W anaknya. Sedangkan dari aspek planful problem solving, subyek membuat langkahlangkah penyelesaian masalah untuk melepaskan W dari jeratan narkotika. Diantaranya membawa w berobat ke tempat-tempat yang dirasa mampu untuk menyembuhkan W. dari mulai membawa ke salah satu pondok pesantren di daerah Jawa tengah sampai kemudian kembali ke Jakarta karena tidak membawa perubahan apa-apa selama berada di pesantren itu, bahkan kondisi W semakin memburuk sampai mengalami gangguan kejiwaan (schizophrenia). Kemudian kembali ke Jakarta berobat ke dokter Holistik sampai pada akhirnya berobat ke salah satu psikiater ternama di Jakarta.
98
Dalam melakukan proses pengobatan itu subyek melakukan sendiri tanpa ditemani siapapun hanya subyek seorang diri. Subyek tidak meminta bantuan kepada tetangga ataupun sodara, kalaupun meminta bantuan hanya berupa saran dan nasihat saja supaya subyek tetap diberikan kesabaran dan semangat untuk tetap menyembuhkan anaknya. Kondisi anak subyek yang lain yang semuanya perempuan sudah menikah karena itu subyek tidak ingin mengganggu urusan mereka jadi biar saja mereka memiliki urusannya masing-masing.
99
4.2.3 Kasus Subyek Pasangan C Sebelumnya perlu dijelaskan pertemuan peneliti dengan subyek ketiga (yang selanjutnya disebut N dan D). peneliti diperkenalkan dengan subyek N dan D oleh seorang teman yang kebetulan mengenal baik subyek. Rumah mereka tinggal saling berdekatan satu sama lain di kota Bekasi. tanggal 8 januari 2010 peneliti menghubungi subyek via telepon dan menjelaskan maksud dan tujuan peneliti. Setelah menyetujui disepakati waktu untuk wawancara tanggal 10 januari 2010 hari minggu pukul 10.00 Tanggal 10 Januari 2010 peneliti bertemu dengan subyek didampingi teman peneliti yang memang mengenal subyek, kami bertemu di rumah kediaman N dan D di kota Bekasi. wawancara dilakukan sebanyak dua kali, wawancara pertama tanggal 10 januari 2010, wawancara kedua tanggal 24 januari 2010. Proses wawancara dilakukan didua tempat, di rumah kediaman subyek dan di warung internet (warnet) milik subyek yang berada di daerah pertokoan dekat rumah subyek. Warnet tersebut memiliki dua orang karyawan yang saling bergantian menjaga dari pagi hingga tengah malam, bahkan sering menjelang pagi baru tutup jika pengguna (user) warnet sedang ramai. Observasi dan Status Subyek C Wawancara pertama dilakukan di rumah N tepatnya di ruang tamu, rumah N memiliki dua lantai dan memiliki sebuah garasi. Tembok ruang tamu tersebut bercat putih yang memberikan kesan bersih dan nyaman bagi siapapun yang
100
berada di ruangan tersebut. dinding tersebut dihiasi dengan beberapa foto keluarga dan satu lukisan bertema alam pedesaan. Kemudian ada meja dan 3 buah sofa juga ada hiasan pohonan kering yang menghiasi sudut ruang tamu tersebut. Lalu ada juga lemari yang di dalamnya dilengkapi hiasan cangkir dan piring kecil terbuat dari keramik dan pernak-pernik lainnya. Lalu di depan ruang tamu ada satu ruangan untuk khusus untuk sholat, sedangkan disebelah ruang tamu adalah ruang keluarga tempat berkumpul sambil menonton televisi. Lalu ada tangga yang menuju ke lantai dua rumah tersebut. Di samping tangga yang disekat oleh tembok adalah ruang dapur. Wawancara dilakukan pukul 10.15 s/d 12.00. Saat proses wawancara berlangsung tidak ada kejadian apapun yang menyebabkan proses wawancara jadi terganggu. Hanya saja ketika sedang menjawab beberapa pertanyaan dari peneliti subyek sempat memainkan handphone miliknya untuk melihat dan membalas pesan, namun hal itu tidak terlalu mengganggu jalannya wawancara. Saat wawancara pertama N mengenakan baju kaos lengan panjang warna coklat berkerudung hitam dengan motif payet bunga dan bercelana jeans biru. Tinggi badan N ± 160 cm dan berat badan ± 60-65 kg. N memiliki kulit putih. Secara tampilan keseluruhan N terlihat rapih. Sedangkan suami ( D ) mengenakan kemeja warna biru motif kotak-kotak dan mengenakan celana panjang bahan warna biru. D memiliki tinggi badan ± 180-185 cm dengan berat badan ± 65-70 kg. rambut D pendek dan ikal dengan warna kulit sawo matang. Postur D memang
101
cukup tinggi apalagi dengan fisik yang agak kurus jadi lebih terlihat semakin tinggi, Saat ini N dan D memiliki usaha di bidang jasa teknologi informasi atau lebih tepatnya warnet (warung internet). Adapun yang bertugas untuk menjaga adalah dua orang karyawan yang saling bergantian. Sekalipun memiliki karyawan namun N juga tetap memantau jalannya aktifitas warnet tersebut. Sedangkan D masih bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Sedangkan proses wawancara ke 2 dilakukan tanggal 24 januari 2010 di warung internet (warnet) milik N dan D di daerah pertokoan yang tidak jauh dari rumah mereka. wawancara kali ini juga ditemani oleh istri M yang memberikan informasi tambahan tentang pemakaian napza yang dilakukan M. Wawancara dilakukan di lantai 2 karena lantai dasar adalah tempat warnet. Dilantai 2 adalah ruangan yang masih kosong yang menurut N dan D nantinya akan diisi oleh ± 8 komputer (PC) yang digunakan khusus untuk permainan online (games online). Saat wawancara ke dua N memakai busana muslimah (baju lengan panjang warna putih dengan motif bunga-bunga, dipadu dengan celana jeans warna biru dan berkerudung warna putih polos). Sedangkan D mengenakan baju kaos warna hitam dan celana bahan pendek sebatas lutut warna coklat. Adapun istri M mengenakan baju kaos lengan panjang warna coklat tua berkerudung hitam dan mengenakan celana jeans warna biru. Wawancara dilakukan duduk lesehan dengan alas tikar, posisi duduk peneliti berhadapan dengan D sedangkan N bersandar tembok.
102
Tahap kedua wawancara dilakukan di warnet atas permintaan N dan D, mereka sengaja mengajak peneliti wawancara di warnet milik mereka supaya bisa sekaligus mengontrol keadaan warnet. Ketika sedang proses wawancara peneliti disuguhkan dengan beberapa makanan ringan dan minuman oleh istri M. Selama proses wawancara tidak ada kejadian apapun yang mengganggu jalannya wawancara. Hanya saja subyek D sempat dua kali ke lantai bawah karena dipangil oleh penjaga warnet. Latar belakang keluarga pasangan subyek C N adalah seorang ibu rumah tangga berumur 60 tahun, saat ini kesibukan N selain memiliki usaha bersama suami dibidang warnet N juga bekerja sebagai seorang bidan. N menikah dengan D, saat ini D berusia 69 tahun dan dikaruniai 2 orang putra. Saat ini N tinggal bersama D di Bekasi bersama dua orang putra mereka juga menantu (istri dari M, putra pertama mereka). Keluarga mereka adalah keluarga bahagia apalagi ditambah dengan hadirnya dua orang cucu dari pernikahan anak pertama mereka M. Silsilah Keturunan Keluarga Subyek C Ayah
Anak 1 ♂
Ibu
Anak 2 ♂
Bagan silsilah keluarga subyek C
103
Pendidikan terakhir N adalah D3 sedangkan suami lulusan sekolah tingkat atas di Jakarta. N adalah anak pertama dari satu saudara dimana adik N juga seorang perempuan. Sedangkan suami yakni D adalah anak pertama dari dua bersaudara yang semuanya adalah laki-laki. Awal mula pemakaian napza oleh anak pertama mereka M yakni ditahun 1998 ketika kuliah di perguruan tinggi swasta di Jakarta. M tipikal orang yang selalu ingin mencoba hal-hal baru, begitu juga dengan kasus ini awalnya M hanya mencoba-coba saja menggunakan jenis ganja sampai pada jenis putau yang akhirnya lama-kelamaan menjadi pecandu napza. Menurut mereka M mengalami perubahan tingkah laku ketika di semester kedua. M menjadi sering sekali mengalami perubahan emosi. Terkadang tiba-tiba menjadi seorang yang sangat periang, tertawa terbahak-bahak tanpa ada sebab yang jelas, dan suatu saat menjadi sangat pendiam, jika bercanda terkadang begitu kasar dengan adiknya. Padahal sebetulnya M ini anak laki-laki yang tidak suka bercanda dengan adiknya, namun demikian M punya kelebihan mudah bergaul, dia juga anak yang penurut. Ketika N dan D pergi bekerja M suka mengajak teman-temannya untuk berkumpul di rumah, disaat seperti inilah M merasa bebas untuk melakukan apa saja di dalam rumah. Dan sebagai orangtua selama tidak melakukan hal-hal buruk itu sah-sah saja. Pada awalnya mereka tidak menaruh rasa curiga sedikitpun dengan apa yang dilakukan oleh anak mereka karena hal itu biasa dia mengajak teman berkumpul. Akan tetapi suatu hari ketika N memeriksa kamar M dia terkejut dengan apa yang ditemukannya. N menemukan sebuah bungkusan kertas
104
yang dilipat jadi beberapa lipatan yang sudah berbentuk berbentuk paket di atas tas travel milik M, kemudian juga ada jarum suntik. Semakin curiga dengan hal itu beberapa hari kemudian N memeriksa mobil yang sering digunakan oleh M, di dalam mobil itu juga N menemukan barang yang sama yang ditemukan di dalam kamarnya. Sebagai seorang bidan yang juga mengetahui dunia obat-obatan N tentunya sudah mengerti dan tau apa saja yang selama ini M gunakan ketika berada dikamar bersama teman-temannya Setiap orangtua pasti sangat kecewa dan merasa sedih menemukan barangbarang tersebut begitu juga N dan D seketika membenci teman-teman M. ada rasa tidak percaya dalam diri mereka bahwa M pengguna narkotika. Ketika M berada di rumah N dan D langsung menanyakan tentang barang temuannya itu. dan M mengakui bahwa itu adalah miliknya dan ia gunakan tidak sendiri tapi bersamasama teman ketika berada di kamar. N dan D pun tidak lagi mengizinkan M untuk bergaul dengan temanteman kampusnya, bagi mereka itu adalah sebuah kesalahan besar yang harus M terima resikonya. Dari itu kemudian N dan D langsung mengambil tindakan untuk memindahkan M ke luar kota sekaligus pindah kuliah dengan tujuan supaya anak mereka tidak lagi bertemu dan bergaul dengan teman-temannya itu, dan berharap M juga berubah supaya tidak lagi menggunakan narkotika. M dipindahkan ke luar kota ke daerah Jawa Tengah di Yogyakarta. Di Yogya M tinggal dengan sepupu ibunya. Di kota Yogyakarta M melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta.
105
Selama berada di kota Yogya, N dan D selalu menyempatkan diri untuk control anak mereka, sekurang-kurangnya 2 kali dalam sebulan untuk memantau perubahan yang terjadi pada M. selama tinggal dengan saudara di Yogya M menunjukkan perilaku baik. Ketika perkuliahan sudah berjalan dan masuk tahun ke 2 kuliah M memiliki seorang kekasih dan hal ini M beritahu kepada orangtuanya. Sebagai orangtua tentu ada rasa senang karena ada seseorang yang mau menerima dan mendampingi anak mereka. Di lain hal kehadiran kekasih M membawa harapan baru bagi N dan D sebagai orangtua agar supaya menjaga M dari pergaulan yang tidak baik. Hubungan emosional terjalin semakin kuat antara sang kekasih dengan orang tua M karena setiap ada hal apapun yang terjadi pada M kekasihnya ini selalu kontak dengan orangtua M, bahkan N dan D menganggap kekasih M ini sebagai anak mereka sendiri. Selama berada di kota Yogyakarta ini ternyata M tidak memiliki perubahan yang signifkan, ternyata dari informasi yang diperoleh dari kekasihnya M tetap menggunakan napza dan tidak bisa berhenti mengkonsumsi barang haram tersebut. Pada awal perkenalannya M juga tidak malu untuk memberitahu kekasihnya itu bahwa ia seorang pemakai napza. Bahkan menurut pengakuan kekasihnya (saat ini sudah menjadi istri M) waktu itu M sendiri yang memberitahu jenis-jenisnya. Hingga akhirnya sampai lulus kuliah M tidak juga berhenti memakai putau.
106
Di tahun 2003 M menikahi kekasihnya tersebut, hal ini didukung oleh N dan D sebagai orangtua karena mereka berharap dengan menikah maka M akan betul-betul berhenti menggunakan napza. Setelah menikah mereka tetap tinggal di rumah orangtua M. Pernikahan tidak memberi perubahan pada M, pemakaian napza itu masih terus dilakukannya bahkan ketika M sudah mulai bekerja. Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika M sudah memiliki anak pertama M tetap menggunakan napza. Hal itu terbukti dengan ditemukannya beberapa bungkus jenis putau di atas kusen pintu oleh N ketika N membersihkan rumah. Dan menurut istri M dia juga selalu menemukan bungkus plastik bekas putau dikantong celana kerjanya. Selama ini M mengkonsumsi putau itu di kamar mandi sepulang kerja. Oleh karena itu istrinya selalu curiga jika M berlama-lama di kamar mandi maka dipastikan dia mengkonsumsi putau. Kondisi semakin memburuk ketika perilaku buruk M muncul. Saat itu orangtua M kehilangan beberapa handphone sekaligus, namun mereka tidak menaruh curiga pada M ataupun adiknya. Ketika mereka bertanya pada M dia pun mengakui bahwa handphone milik orangtuanya itu dijual untuk membeli putau. Perbuatannya tidak berhenti sampai disitu, M juga mengambil handphone milik istrinya sendiri untuk kemudian dijual demi mendapatkan beberapa bungkus putau. Tindakan itu terus dilakukan M bahkan tidak hanya handphone, barangbarang berharga lain milik N dan D juga istrinya diambil untuk membeli putau itu, seperti kartu ATM milik istrinya yang kemudian menguras semua uang tabungan sang istri dan juga beberapa barang berharga lainnya.
107
Sebagai orangtua N dan D sangat prihatin dan begitu kecewa dengan kejadian yang menimpa anaknya. N dan D sudah berusaha untuk mencari solusi supaya anak mereka bisa berhenti memakai napza. Suatu hari istri M berbicara pada N dan D untuk mencari tau darimana M mendapatkan napza itu. hingga mereka mendapat ide untuk mengikuti kemana M pergi setelah pulang kantor. Yang bertugas untuk mengikuti M adalah N dan istri M. Suatu hari tanpa disengaja istri M mendengar percakapan M melalui telepon selulernya, inti dari percakapan itu adalah bahwa M mau melakukan transaksi dengan seseorang. M membuat janji dan bertemu dengan seseorang di suatu tempat di daerah Cibubur sepulang kerja. Tanpa diketahui M setelah jam pulang kantor ibu dan istrinya sudah menunggu disuatu tempat dekat kantor M bekerja, dan ketika M keluar dari kantor mereka mengikuti M dari belakang menggunakan mobil mereka. Ketika sampai disuatu tempat d daerah Cibubur M turun dari mobil dan bertemu dengan seorang pria lalu mereka melakukan percakapan. Ketika sedang berbicara itu, ibu dan istri M langsung menghampiri mereka, M sangat kaget karena kedatangan ibu dan istrinya. Ternyata pria yang ditemui oleh M adalah bandar narkoba yang selama ini menjualnya kepada M. Dengan nada marah ibu dan istrinya mengatakan pada bandar tersebut “jika masih mensuplai barang untuk M maka mereka akan melaporkan pada polisi”. Mendengar perkataan N dan istri M bandar tersebut langsung pergi dan lari.
108
Sebagai orangtua N dan D betul-betul ingin memutus hubungan M dengan teman-temannya yang memakai napza, karena jika hal ini terus-menerus dibiarkan maka M bisa mengalami kehancuran dimasa depan. Suatu hari mereka mengajak M untuk berobat pada salah satu rumah sakit di Jakarta, akan tetapi pengobatan tersebut tidak menyembuhkan M karena hanya mengkonsumsi obat saja tanpa adanya terapi. Setelah obat yang dikonsumsi habis M tidak juga berhenti memakai putau, ternyata selama proses pengobatan itu M masih menyimpan beberapa bungkus putau disuatu tempat di dalam rumah. Ketika N mengetahui itu N langsung mencari barang haram itu dan mengatakan bahwa putau yang ditemukan ini sebagai “obat” karena ternyata obat dari dokter tidak bisa menyembuhkan. N mengambil langkah yang mau tidak mau harus dilakukannya walaupun dirasa berat. Ketika M membutuhkan putau atau dalam istilahnya sakau N dengan terpaksa memberikannya namun dengan takaran yang sedikit demi sedkit, ketika N memberikan putau tersebut ada rasa bersalah dan sedih karena ia merasa telah menjerumuskan anaknya menggunakan putau. Namun ia meyakini jika putau tetap diberikan pada M dengan kadar yang sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu sampai M betul-betul berhenti mungkin akan membantu supaya M tidak lagi memakai putau tersebut. Tindakan yang dilakukan N itu membuat M tidak lagi ketagihan. Setidaknya untuk sementara waktu, lalu kemudian N dan D membawa ke salah satu dokter berpengalaman yang menangani masalah napza di Jakarta. Oleh dokter tersebut M disarankan untuk melakukan proses rehabilitasi. Dan M mau menjalankan proses rehabilitasi itu, selama menjalani proses rehabilitasi dan
109
tinggal di dalam lingkungan panti rehabilitasi tersebut, istri M selalu mendampinginya. Di dalam lingkungan rehabilitasi ini M menjalani berbagai macam terapi seperti terapi sosial juga terapi keagamaan. Dan sampai saat ini M masih mengkonsumsi obat yang dianjurkan dari dokter untuk proses penyembuhan. Analisis kasus subyek pasangan C Coping Stress yang dilakukan subyek pasangan C dalam menangani anak mereka yang pecandu narkoba Problem focused coping a. Confrontative coping Ketika N melihat M membutuhkan napza (sakau), M tidak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya menemaninya dan berada di sampingnya saja. Rasa sakit karena sakau itu bisa sampai tiga hari. “Pernah saya ngeliat dia sakau tapi waktu itu bingung gimana ini ya sakit kan dia, terus tidur. Mau ngapai-ngapain juga ga bisa. Ya gimana ya saya nemenin dia aja. karena sakit sakau itu biasanya tiga hari, nanti setelah itu hilang sakitnya nah untuk kedepannya hari-hari berikutnya itu kita harus selalu ngedampingin dia, kalo engga kita bakal kecolongan lagi nanti. Sakau lagi begitu lagi setersunya begitu itu” N bahkan pernah melakukan jatah putau untuk M karena M tidak juga bisa berhenti memakai putau. Putau itu didapat dari M langsung. Proses jatah putau itu sedikit membantu mengurangi M mengkonsumsinya bahkan sempat berhenti memakai.
110
“Dulu pernah sampe saya jatah putaunya, (P: Ibu yang pegang putau itu?) iya saya jatah sendiri waktu itu. (P: Dani ngasih gitu aja atau ibu yang ambil diem-diem?) Saya yang ambil langsung dari dia jadi ga diemdiem. Ini buat “obat”, kalo emang obat dokter ga mempan nyembuhin putau ini sebagai gantinya. Saya kasih putaunya tapi dosisnya saya kurangi tiap kali dia make sampe betul-betul berhenti” Setelah melewati masa sakau tiga hari tersebut N juga melakukan tindakan yang bertujuan untuk mengingatkan M pada agama. Cara yang dilakukan oleh N atas pemikirannya sendiri supaya M pelan-pelan ingat dengan agama. “Setelah sakau itu kan dia tidur ya karena sakit badannya, nah setelah beberapa saat bangun tidur saya ajak dia jalan-jalan ke masjid, ya sekitar masjid aja. Maksud saya begitu supaya dia inget sama agama. Tapi caranya pelan-pelan gitu. Jadi lebih banyak ke agama”
b. Planful problem solving N dan D melakukan suatu rencana untuk membebaskan M dari ketergantungan napza. Mereka menantang M beserta istrinya untuk melakukan umroh ke tanah suci Mekkah. Hal itu dimaksudkan supaya M betul-betul bisa sadar dan kembali mengingat Allah. “...Itu kita ditantang sama orangtuanya, (N dan D: kamu besok umroh kamu pergi umroh), akhirnya yaudah kita terima. Sebelum umroh saya (istri) bilang sama M, (istri M: tinggal sebulan lagi kita umroh kamu masih make, besok setelah umroh begini lagi mau kamu apa? saya bilang gitu ke dia, Setelah itu kamu mati apa kamu siap mati dalam kedaan kaya gitu? Nah dengan tantangan kya gitu kita jadi ada motivasi. Ampe sekarang si Alhamdulillah ga jebol lagi) Dan insya allah taun depan kita mau naik haji” Dalam melakukan rencana itu bahkan sampai terlaksananya umrah tersebut N dan D tidak menemui kesulitan atau penolakan rencana tersebut baik dari M ataupun istrinya
111
“(P: apakah terdapat kesulitan dalam melaksanakan rencana tersebut?), Engga ada ya semua biasa aja berjalan baik”
Emotion focused coping a. Distancing Ketika masalah pemakaian napza oleh M muncul N dan D berusaha menjaga
jarak
dengan
keluarga
masing-masing.
N
berusaha
menghindar dari keluarganya begitu pula dengan D berusaha menghindar dari keluarga D sendiri baik itu dengan adiknya ataupun dengan keluarga yang lain. Hal itu mereka lakukan karena mereka merasa malu karena anak mereka M memakai napza “Kita Pernah ngejaga jarak ya sama keluarga kita sama ade saya sendiri. Jauh-jauhan ya gitu. Pernah ade saya itu selalu bilang sama anak saya “kamu ngapain pake gitu-gituan lagi mau sampe kapan?” (kenangnya). Kan malu ya semenjak itu saya agak jaga jarak dengan keluarga saya”
Berbagai cara dilakukan N dan D untuk menjaga jarak dengan keluarga sendiri, karena merasa malu dengan perilaku M. mereka tidak suka datang ketika ada acara kumpul keluarga “Kalo ada misalnya kumpul keluarga ya selalu kita ga pernah dateng. Selalu ada alasan kalo kita pergi entah kemana gitu”
N dan D juga merasakan ketidak tenangan hati ketika harus menjaga jarak dengan keluarga, mereka merasa sendiri karena seakan tidak ada yang mau perduli terhadap persoalan mereka. “…Kayanya engga ada temen ga ada siapa-siapa. Pengen curhat sama temen tapi nanti pasti ga ada jalan keluarnya mending diem aja deh saya”
112
Terkadang N dan D juga saling menyalahkan satu sama lain karena antara mereka tidak mampu mengurus anak “Pernah juga ya ngalamin hal kaya gitu saling nyalahin. Saya dibilang ga bisa ngurus anak lah dan saya juga berbalik nyalahin suami saya bilang kalo dia itu ga bisa ngarahin anak sebagai pemimpin rumah tangga” b. Self control • Kontrol perasaan Sebagai orangtua N dan D sangat membenci teman-teman M. mereka menganggap jika M tidak bergaul dengan mereka maka M tidak akan menjadi seorang pengguna napza. Ada pula keinginan untuk melarang M bergaul dengan teman-teman yang menggunakan napza tersebut. “…Sebel benci banget sama temen-temennya itu, soalnya ini anak kalo ga nyampur sama temennya itu ni anak engga bandel. Gimana si biar dia bener, kadang ada keinginan mau ngelarang dia supaya ga bergaul sama temen-temen yang pemakai itu. tapi ya namanya temen itu kan ada yang baik ada yang engga gitu” Dalam mengontrol perasaan benci tersebut N dan D lebih banyak bersabar, karena menurut mereka dengan control perasaan seperti itu sangat membantu terutama untuk berpikir. “Sabar ya, saya lebih banyak bersabar aja. Dengan begitu bisa ngebantu berpikir baik” •
Kontrol perilaku dan tindakan Waktu pertama kali mengetahui bahwa anak mereka menggunakan napza mereka berusaha untuk segera mengobatinya. Dan merekapun selalu berusaha hati-hati dalam mengambil tindakan supaya tidak salah dalam mengobati M
113
“..Saya berpikir kalau anak saya harus segera disembuhin karna kalo engga masa depan anak saya bisa hancur. Saya berusaha cari tempat pengobatan buat dia. Dan saya juga hati-hati ambil tindakan, karena saya ga mau tindakan yang saya ambil buat ngobatin dia jadi salah” Dalam mengambil tindakan N selalu mendiskusikan hal tersebut dengan suami. Karena mereka merasakan dengan control perilaku seperti itu sangat membantu untuk menyelesaikan masalah “Biasanya saya selalu diskusi dulu sma keluarga dan suami saya sebelum saya ambil tindakan. Dan itu sangat ngebantu ya ngebantu banget”
b. Accepting responsibility N dan D menerima kenyataan bahwa anak mereka menjadi pecandu napza itu juga karena kekurangan dan kelalaian mereka sebagai orangtua yang kurang memberikan perhatian mereka terhadap anak “..Yah kita sebenernya menerima walaupun kita juga sebetulnya malu sama keluarga dan tetangga dengan perbuatan dia yang ngonsumsi narkoba, tapi itu dah jadi jalan kita ujian buat kita sebagai orangtua kalo ternyata kita ini masih kurang merhatiin dia, terutama kasih sayang dan perhatian. Dan karena kita sadar sebagai orangtua kita kurang merhatiin dia dari pergaulannya bagaimana di luar kita ga pernah tau” Dan dengan adanya rasa penerimaan seperti ini mereka bisa berpikir lebih positif daripada harus saling menyalahkan “Iya karena kita jadi bisa berpikir lebih positif ketimbang nyalahin satu-sama lain”
c. Escape avoidance Ketika M sedang dalam kondisi yang parah pemakaian napzanya N dan D sempat merasa putus asa untuk menangani hal tersebut. bahkan
114
istri M pun ingin meninggalkannya lantaran tidak tahan dengan perilaku suaminya itu. “…pernah dulu waktu dia masih parah-parahnya make gitu. Dalam hati saya (istri) bilang rasanya mau pergi aja mau kabur, ga perduli bodo amat. Tapi ngeliat dia tuh gimana ya saya jadi berpikir ah masa ditinggalin! Giliran sakit masa ditinggalin.” Namun sebagai orangtua mereka juga tidak mau melepas tanggung jawab, mereka mencoba melakukan tindakan-tindakan agar M berusaha ingat dengan agama dan keluarga. N dan D menyarankan kepada istri M untuk mengikuti zikir yang dilakukan tiap malam jumat di masjid dekat rumah mereka “Ya M selalu datang berdua sama istrinya ke masjid tiap malam jumat untuk zikir bareng-bareng, ikut pengajiannya juga bersama jama’ah masjid dan solat berjam’ah bareng. Jadi kita arahkan kepada agama”
Dan hal itu membuahkan hasil bagi M, dia jadi lebih perhatian sama keluarga dan juga anak-anaknya “Sampe saat ini dia jadi lebih tentram di rumah, terus perhatian sama keluarga. Kalo dulu itu kan dia ga ada perhatian sama sekali sama anak istrinya. Sekarang beda 180 derajat deh pokonya” d. Positif reappraisal Dengan adanya kejadian ini N dan D beserta istri M jadi mengerti dan mengambil sisi positif bahwa mereka harus selalu mendampingi M dalam setiap kesempatan. Karena jika tidak maka bisa saja mereka kecolongan “Mungkin saya harus selalu sering sama dia dalam setiap kesempatan kemanapun dia pergi dan apapun yang jadi tujuan hidup dia saya selalu dukung untuk kearah yang lebih baik”
115
Dengan adanya istri M yang selalu dekat dengannya hal itu mencegah agar supaya M tidak lagi terpengaruh dan menggunakan napza, karena ketika memakai napza proses penyembuhannya sangat lama dan memakan biaya yang sangat banyak “Ya biar dia ga kambuh lagi ya, karena kalo kena narkoba gitu kan belum tentu dalam waktu lima taun bisa sembuh mas, jadi kalo gitu kemungkinan kambuh itu masih ada. Nah caranya saya dengan selalu ada deket dia terus” e. Seeking social support Dalam menghadapi masalah seperti ini N dan D bahkan istri M melakukan tindakan-tindakan untuk membantu M terlepas dari napza itu semua dilakukan atas inisiatif sendiri, tidak ada bantuan dari orang luar ataupun masyarakat sekitar. “(P: apakah ibu/bpk mencoba untuk mencari dukungan sosial atau bantuan orang lain untuk membantu anak ibu terlepas dari narkoba?) Engga, itu semua dari diri saya, suami dan juga istrinya M” Dan menurut istri M ketika masalah ini muncul hanya orang tua sajalah yang dilibatkan untuk membantu, baik orangtua M ataupun orangtua dari istri M sendiri (P: siapa saja yang terlibat dalam mencari dukungan sosial atau bantuan orang lain ini?) istri M: hanya orangtua saja. Tidak ada orang lain di luar itu
Kesimpulan Wawancara
Dari hasil proses wawancara ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari strategi coping yang dilakukan subyek pasangan C dalam menangani anak mereka
116
yang pecandu napza. Yakni problem focused coping yang bisa dilihat dari aspek confrontatavie coping, planful problem solving dan seeking social support dimana subyek melakukan beberapa aksi untuk bisa memecahkan permasalahan anak mereka yang pecandu napza, bahkan ada beberapa tindakan yang dilakukan subyek dan istri dari M yang bisa dikatakan penuh resiko untuk mengehntikan pemakaian napza pada M. Selain itu ada juga strategi emotion focused coping dalam hal ini subyek lebih memfokuskan diri untuk memecahkan masalah dari sisi emosional dengan beberapa aspek yakni distancing, self control dan accepting responsibility. Dalam strategi problem focused coping pada aspek confrontative coping subyek melakukan penjatahan putau untuk M, karena menurut subyek setiap obat yang diberikan oleh dokter tidak pernah diminum secara rutin kalaupun diminum itu tidak sampai habis jadi pengobatan yang dilakukan menjadi sia-sia saja. Sampai akhirnya subyek menjatah putau yang diperoleh dari M langsung, hal ini dilakukan dengan harapan bahwa M akan betul-betul berhenti mengkonsumsi putau secara perlahan-lahan. Dan ketika M mengalami masa sakau subyek tidak tahu harus berbuat apa karena memang tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang dunia narkoba. Dalam masa sakau seperti itu subyek hanya menemani saja dengan tetap berada di sampingnya. Menurut subyek masa sakau itu berlangsung selama tiga hari dan setelah itu orang terdekat harus selalu berada disisi si pengguna karena jika ditinggalkan maka kekambuhan akan sakau itu akan datang lagi.
117
Pada aspek planful problem solving subyek “menantang” M beserta istri untuk bisa membebaskan M dari jeratan napza. Subyek menyuruh M dan istri untuk melaksanakan umrah ke tanah suci Mekkah. Dalam kondisi M yang masih aktif menggunakan putaw istri M merasa ragu untuk menjalankan tantangan dari orangtua M (subyek) karena kondisi M masih seperti itu dirasa tidak mungkin bisa melaksanakan ibadah dengan baik. Namun akhirnya M beserta istri berkeyakinan mereka bisa melaksanakan ibadah itu dengan baik, dan pada akhirnya mereka tetap melaksanakan ibadah umrah itu. Sedangkan pada aspek seeking social support subyek tidak mencari bantuan kepada orang-orang di luar keluarga, kepada tetangga subyek lebih banyak diam karena menurut subyek hal ini tidak selalu harus diketahui oleh banyak orang terutama masyarakat sekitar. Subyek hanya meminta bantuan hanya kepada keluarga terdekat saja baik orangtua subyek sendiri ataupun kepada saudara-saudara kandung subyek. Sedangkan strategi coping yang terpusat pada emosi (emotion focused coping) pada aspek distancing subyek justru menjaga jarak dengan keluarga sendiri pada awalnya, karena subyek merasa malu anak kandungnya seorang pecandu napza. Seperti jika ada moment berkumpul 2 keluarga besar baik itu gathering atau hajat apapun subyek tidak pernah hadir untuk menghindari pembicaraan di dalam keluarga sendiri. Berbagai alasan subyek katakan untuk bisa menghindari perkumpulan keluarga itu. Dalam kondisi menghindar seperti itu subyek merasakan kesepian, subyek merasa tidak seorangpun yang peduli dengan
118
kondisi yang dihadapinya, Menanggung beban berat yang menimpa anak subyek sendirian. Sedangkan pada aspek self control dari sisi emosional subyek sempat menaruh rasa benci yang teramat sangat kepada teman-teman M, karena menurut subyek jika M tidak bergaul dengan anak-anak pengguna napza maka M tidak akan menjadi seorang pemakai. Namun demikian semua sudah terjadi subyek hanya mencoba untuk tetap mengontrol emosi dengan baik supaya bisa berpikir lebih positif yakni dengan banyak bersabar. Pada aspek accepting responsibility subyek berusaha untuk menerima walaupun sebetulnya diselimuti perasaan malu yang sangat terhadap keluarga subyek sendiri. Bagaimanapun juga M bisa terjerumus ke dalam dunia napza karena kurangnya pengawasan dari subyek sebagai orangtua. Kelalaian orangtua dalam memperhatikan pergaulan anak sehingga anak menjadi terlalu bebas dalam menjalani pergaulan. Pada aspek escape avoidance subyek sempat merasa putus asa, putus harapan karena tidak tau harus diapakan lagi supaya anak mereka M bisa sembuh. Karena sudah melakukan beberapa usaha baik itu pengobatan maupun usaha dibidang agama tapi tetap saja masih kambuhan memakai. Bahkan istri M pun mengatakan juga sempat ingin meninggalkan M atau dalam arti kata lain ingin bercerai karena tidak tahan melihat perilaku M yang masih menggunakan napza. Tapi sebagai orangtua, subyek tetap memiliki rasa optimisme supaya M bisa cepat disembuhkan.
119
Sedangkan dari aspek positif reappraisal subyek banyak melakukan introspeksi diri bahwa subyek ingin lebih memberikan pengawasan pada anak dan juga selalu mendampingi setiap kesempatan dan lebih dari itu subyek berusaha untuk selalu mendukung segala perubahan yang diinginkan M untuk jadi lebih baik dan lebih maju dalam segala hal. Subyek tidak ingin M kembali relapse (kambuh) karena menurut subyek masa penyembuhan seseorang yang terkena napza tidak cukup waktu lima tahun bahkan bisa lebih dari itu.
4.3
Analisa Antar Kasus Setelah melakukan analisa kasus per subyek pada pembahasan
sebelumnya. Tahapan selanjutnya peneliti melakukan analisa antar kasus, dimana hal ini dilakukan untuk mendapatkan ada atau tidaknya gambaran perbedaan dan persamaan coping stress yang dilakukan orangtua yang memiliki anak pecandu narkoba pada tiap subyek penelitian. Dari hasil analisa antar kasus yang dilakukan pada penelitian ini terdapat perbedaan dan persamaan coping stress orangtua yang memiliki anak pecandu narkoba. Adapun perbedaan dan persamaan terdapat pada strategi coping yang dilakukan dari tiap pasangan subyek. Strategi coping terpusat pada masalah (problem focused coping) memiliki beberapa aspek yakni confrontative coping, planful problem solving dan seeking social support. Sedangkan strategi coping terpusat pada emosi (emotion focused coping) yakni distancing, self control, escape avoidance, accepting responsibility, dan positif reappraisal.
120
Yang akhirnya tiap-tiap subyek mampu mengatasi permasalahan anak mereka. Subyek pasangan A melakukan usaha dengan memfokuskan diri pada masalahnya seperti membawa anak mereka ke panti rehabilitasi, sedangkan subyek pasangan B melakukan usaha dengan membawa anak mereka ke pondok pesantren di luar kota untuk mendapatkan pengobatan sekaligus memperoleh ilmu agama. Walaupun pada akhirnya anak pasangan subyek b justru mengalami gangguan skizophrenia namun mereka memliki usaha membawa pada seorang psikiater. Lain halnya dengan subyek pasangan a dan b,subyek pasangan c justru memindahkan anaknya ke salah satu kota di Jawa tengah begitu tahu anaknya menggunakan napza. Anak subyek pasangan b tinggal bersama saudaranya. Hal tersebut dilakukan untuk memutus hubungan dengan teman-temannya yang sesama pemakai. Selain itu supaya anak subyek pasangan b menjadi lebih dekat kepada agama subyek menyuruh anaknya untuk berangkat umrah ditemani dengan istrinya. Pada aspek coping masalah emosi subyek pasangan a tetap berusaha menjaga hubungan baik dengan lingkungan masyarakat agar supaya anak mereka tetap diterima ditengah masyarakat sekalipun seorang pemakai napza. Dan subyek tetap menerima kondisi mereka dan anak mereka saat ini dan berusaha menilai positive dari tiap masalah tersebut. Sedangkan pasangan b dalam hal ini berusaha mengatasi kekecewaan terhadap anaknya dan mencoba kontrol rasa marahnya terhadap lingkungan pergaulan anaknya.
121
Dan subyek pasangan c lebih banyak bersabar dalam setiap kejadian yang menimpa anak mereka. Yang subyek ingin hilangkan adalah rasa kebencian terhadap kawan-kawan anak mereka. Karena anak subyek pasangan c bisa menjadi seorang pecandu karena faktor teman yang mengajak berbuat tidak baik dan membahayakan diri. Untuk memudahkan dalam menganalisa perbedaan dan persamaan tersebut. Peneliti membuat tabel analisa antar kasus pada penelitian ini, seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:
122
123
124
125
126
Pernyataan Kesediaan Untuk Menjadi Responden Penelitian Nama Bapak/Ibu Tempat, Tgl Lahir Pekerjaan Agama Alamat No Telp/Hp
: : : :_______________________ : :
Wawancara ke: 1/2/3........
Salam Sejahtera Saya menyatakan kesediaan saya untuk diwawancara dan memberikan keterangan sebenar-benarnya dalam penelitian ini. Yang hasilnya digunakan untuk keperluan penyusunan skripsi dengan judul “Coping Stress Orang Tua Yang Memiliki Anak Kecanduan Narkoba” yang dilakukan oleh Saudara Badru Zaman (Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta). •
Adapun data pribadi saya dan hasil wawancara merupakan rahasia dan terjamin kerahasiaannya, dan digunakan semata-mata untuk keperluan penyusunan skripsi ini.
•
Selanjutnya saya bersedia diwawancara kembali jika ditemukan data yang kurang lengkap.
•
Dan atas dasar kepercayaan maka saya akan memberikan data yang selengkap-lengkapnya.
Wassalam
Interviewee
(
Interviewer
)
( Badru Zaman )
Pernyataan Kesedian Untuk Menjadi Responden Penelitian Wawancara ke: 1/2/3........ : : : :_______________________ : :
Nama Bapak/Ibu Tempat Tgl Lahir Pekerjaan Agama Alamat No Telp/Hp Salam Sejahtera
Saya menyatakan kesediaan saya untuk diwawancara dan memberikan keterangan sebenar-benarnya dalam penelitian ini. Yang hasilnya digunakan untuk keperluan penyusunan skripsi dengan judul “Coping Stress Orang Tua Yang Memiliki Anak Kecanduan Narkoba” yang dilakukan oleh Saudara Badru Zaman (Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta). •
Adapun data pribadi saya dan hasil wawancara merupakan rahasia dan terjamin kerahasiaannya, dan digunakan semata-mata untuk keperluan penyusunan skripsi ini.
•
Selanjutnya saya bersedia diwawancara kembali jika ditemukan data yang kurang lengkap.
•
Dan atas dasar kepercayaan maka saya akan memberikan data yang selengkap-lengkapnya.
Wassalam
Interviewee
(
Interviewer
)
( Badru Zaman )
Lembar Observasi Tanggal
:
Jam
:
Subjek
: 1,2,3,.............
Wawancara ke
: 1,2,3,.............
Tempat
:
s/d
Catatan Observasi
1. Keadaan tempat wawancara, cuaca dan kehadiran pihak lain selama proses wawancara. 2. Gambaran fisik, dan penilain kondisi psikis subjek 3. Ringkasan awal dan akhir proses wawancara (suara, intonasi, sikap, bahasa tubuh, antusiasme selama proses wawancara dsb). 4. Ringkasan sikap subjek selama proses wawancara (kegiatan atau perilaku yang dimunculkan selama proses wawancara). 5. Gangguan dan Hambatan yang muncul selama proses wawancara 6. Catatan selama proses wawancara a. Observasi umum. b. Observasi khusus.
Tertanda
(Badru Zaman)
Pedoman Wawancara Data Responden Nama Bapak/Ibu
:________________
Tempat dan Tanggal Lahir
:________________
Suku
:________________
Agama
:________________
Pekerjaan
:________________
Pendidikan
:________________
122
122
Analisis Strategi Coping Stress Antar Kasus No
Subyek Pasangan
Problem focused coping Planful Problem Coping Apa yang dilakukan subyek untuk membebaskan anak dari jeratan memakai napza
Apa ada kesulitan untuk mengajak berobat dan menjalani pengobatan 1 Dengan adanya rencana dan tindakan mengobati si anak, apa itu membantu persoalan Seeking Social Support Apakah subyek mencari dukungan/bantuan orang lain. baik itu tetangga, saudara dan lingkungan sekitar Jiika ada orang yang ingin membantu
A
B
C
1. Memutus hubungan 1. Membuat rencana 1. Merencanakan dengan teman-teman berobat dan konsultasi pengobatan ke dokter pergaulan dan pindah ke salah satu dokter 2. Membawa ke pondok kuliah ke luar kota. yang menangani pesantren di Jawa 2. Menyuruh anak dan masalah napza Tengah untuk diobati istrinya untuk pergi 2. Membawa ke panti umrah ke tanah suci rehabilitasi Makkah Ada, faktor ketakutan Ada, karena ada Tidak, si anak tetap anak akan proses penolakan dari anak mau diajak untuk pengobatan yang akan untuk menjalani proses berobat di jalani pengobatan Sangat membantu Sangat membantu untuk Sangat membantu meringankan beban masalah Ya, walaupun ada beberapa kendala karena banyak masyarakat yang kurang mengetahui napza Dukungan. Supaya anak
-
-
Tidak sama sekali, hanya mengatasi seorang diri
Tidak
Informasi mengenai
Nasihat dari orang-
123
apa yang subyek harapkan
bisa tetap diterima di masyarakat
-
Confrontative Coping
2
tempat pengobatan dan tempat rehabilitasi. Juga nasihat para tetangga dan teman kerja
orang terdekat. Terutama orangtua
-
-
Ketika anak mengalami sakau tindakan yang dilakukan subyek terhadap anak
Hanya memberikan obat Tidak tau harus berbuat untuk meredakan rasa apa. Hanya menangis sakit pada bagian kepala dan menelepon dokter
Tidak mampu berbuat apapun hanya menemani sampai rasa sakau hilang
Pernah memberikan napza untuk dikonsumsi pada anak
Tidak pernah
Tidak pernah
Pernah. Diberikan secara bertahap untuk mengurangi intensitas pemakaiannya. Karena subyek sudah putus asa, obat dari dokter tidak dihiraukan oleh si anak
Emotion Focused Coping
-
-
-
Distancing Apakah subyek menjaga jarak dengan lingkungan sekitar atau keluarga sendiri Apakah dengan menjaga jarak bisa menyelesaikan masalah
-
-
-
Tidak
Tidak
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
124
Self Control - Kontrol Perasaan Cara mengontrol perasaan/emosi menghadapi kondisi sulit anak
- Kontrol Diri Bagaimana mengontrol diri subyek supaya tetap bisa berpikir positif dan benar dalam bertindak
Accepting Responsibility Apakah subyek menerima kondisi anak mereka yang menjadi pecandu napza
Escape Avoidance Apakah subyek mencoba lepas tanggung jawab dari masalah penyalahgunaan napza pada anak
Bersabar
-
-
Berusaha menghilangkan marah terhadap lingkungan pergaulan anak dan kekecewaan pada anak
Lebih banyak bersabar
1. Menggali informasi 1. Selektif dalam tentang dunia narkotika menyaring informasi 2. Membatasi pergaulan tentang narkotika anak 2. Konsultasi dengan psikiater
Ya, karena kurangnya kontrol pergaulan dari subyek sebagai orangtua
Ya, karena subyek dalam hal ini terutama bapak sebagai seorang pemimpin tidak bisa memberikan perhatian dan kasih sayang pada anak
-
-
Tidak pernah
Tidak pernah
Saling berdiskusi dan bertukar pikiran dengan pasangan dalam segala hal sebelum bertindak khususnya yang berkaitan dengan anak Ya, sebab subyek tidak memberikan perhatian dan komunikasi yang baik pada anak
Pernah terpikirkan untuk lepas dari tanggung jawab
125
Seandainya melepaskan tangung jawab akankah hal itu menyelesaikan masalah
Tidak akan menyelesaikan masalah
Positive Reappraisal
-
Tindakan yang dilakukan subyek untuk tetap berpikir positif dan mengambil pelajaran berharga dari permasalahan anak
Tidak
Tidak
-
-
1. Memperbaiki 1. Koreksi diri apakah 1. Memberikan perhatian komunikasi dan sudah benar menjadi hubungan yang lebih pada anak orangtua 2. Mendukung setiap dirasa kurang baik 2. Memperbaiki setiap hal kegiatan dan keinginan dengan anak dalam keluarga baik itu anak yang mengarah 2. Sediakan waktu lebih komunikasi dan pada pengambangan untuk anak ketika bimbingan ke anak diri membutuhkan saran dari orangtua