KESEHATAN MENTAL PADA ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK RETARDASI MENTAL Oleh : Hurul Ein
Latar Belakang Masalah Orang tua dengan anak retardasi mental akan mengalami banyak permasalahan. Orang tua dengan anak retardasi mental, khususnya ibu, akan mengalami tingkat stres yang sangat tinggi (Bromley, 1998). Kelahiran atau keberadaan bayi dengan kelainan tertentu juga akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap keluarga dan dalam berinteraksi satu sama lain. Hal ini juga membuat ibu mengalami trauma paling hebat dalam merespon kondisi yang diciptakan dengan kehadiran anak yang cacat (Hardman, dkk. 1984). Ibu dari bayi yang memiliki tingkah laku yang tidak normal (abnormal) namun selamat seringkali menderita perasaan berduka cita yang akut dibanding ibu yang bayi abnormal-nya tidak selamat (Hadman, dkk. 1984) dan lebih lama berada dalam periode berduka cita sebelum akhirnya pulih (D’Arcy, dalam Hardman, dkk. 1984). Bagaimanapun juga, orang tua adalah guru pertama bagi anak mereka, mereka selalu ada untuk memberikan dorongan, pujian maupun umpan balik (Heward, 1996). Tak terkecuali pada anak dengan retardasi mental yang memiliki keterbatasan intelektual dan perilaku adaptif, orang tua juga harus mengajarkan anak mereka tersebut agar dapat meneruskan kelangsungan hidupnya dan mandiri. Disini terlihat jelas bahwa peran orang tua dalam pengasuhan anak sangatlah penting dan membutuhkan dukungan penuh agar anak itu sendiri dapat hidup mandiri. Hubungan anak yang retardasi mental dengan orang tuanya sangat penting dibandingkan dengan hubungan anak yang inteligensinya normal dengan orang tuanya. Kepribadiannya, termasuk kestabilan atau ketidakstabilan emosinya, sampai pada batas tertentu mencerminkan kepribadian dan kestabilan emosinya, sampai pada batas tertentu mencerminkan kepribadian dan kestabilan atau ketidakstabilan emosional orang tuanya (Semiun, 2006). Sering kali reaksi-reaksi orang tua terhadap anak yang retardasi mental dapat menghalangi usaha-usahanya dalam mencapai kemampuan untuk menyesuaikan diri yang normal. Mereka mungkin tidak mau mengakui kekurangan-kekurangan anak itu dan
melemahkan dorongannya untuk mencapai sesuatu karena mereka tidak memperlihatkan kepuasan terhadap apa yang dapat dilakukannya. Mereka menekan anak itu untuk mencapai ukuran-ukuran yang melampaui taraf kemampuannya dengan cara yang halus, penuh kasih sayang atau terang-terangan menolak. Orang tua lain memanjakan anak yang retardasi mental itu dan membuatnya supaya tetap tergantung, dengan demikian orang tua menghalangi kemampuan anaknya walaupun sangat terbatas. Dalam kasus-kasus seperti itu diperlukan sekali bantuan konseling yang dapat diperoleh melalui badan-badan sosial yang sangat memperhatikan kebutuhan anak yang retardasi mental. Tenaga professional dari badan-badan sosial ini dapat berbuat banyak untuk mengurangi pengaruh dari sikapsikap orang tua yang keliru seperti yang telah diuraikan. Chamberlain dan Moss berkata: “Setelah menangani beratus-ratus anak di sekolah-sekolah kami, kami sampai pada kesimpulan bahwa anak-anak membawa masalah-masalah emosional dan sosial di rumah ke sekolah, mereka mencerminkan jauh lebih banyak sikap emosional para orang tua mereka dibandingkan dengan anak-anak normal.” (Chamberlain & Moss, 1953). Orang tua dari anak yang retardasi mental berada dalam situasi yang sulit. Karena sikap masyarakat, mereka mungkin merasa malu karena anak mereka cacat dan perasaan malu itu mungkin mengakibatkan anak itu ditolak secara terang-terangan atau tidak terang-terangan. Banyak keluarga yang secara drastis mengubah cara hidup mereka karena kehadiran anak yang cacat mental itu di dalam keluarga dan hampir sama sekali menarik diri dari kegiatan-kegiatan masyarakat. Dalam situasi yang demikian, anak terebut mungkin menyadari bahwa dia-lah yang menjadi penyebabnya (Semiun, 2006). Untung, tidak semua orang tua membuat respons negatif terhadap kehadiran anak retardasi mental itu di kalangan keluarga. Ada beberapa bukti bahwa orang tua yang kurang berpendidikan dari kelompok sosio-ekonomis bawah lebih berhasil dalam membantu anak-anak cacat mereka dibandingkan dengan orang tua yang berpendidikan baik dari kelompok sosio-ekonomis atas. Meskipun ini tidak seluruhnya benar, tetapi orang tua yang berpendidikan baik cenderung memandang anak yang retardasi mental itu sebagai suatu ancaman. Oleh karena itu, mereka mungkin menolaknya atau tidak mau menerima kekurangan-keurangan intelektualnya dan mencoba memaksanya untuk mencapai hasil pada taraf yang cukup jauh melampaui kemampuan-kemampuannya (Semiun, 2006).
Orang tua dari anak retardasi mental harus menerima cacatnya dan membantunya untuk menyesuaikan diri dengan cacatnya. Di samping itu, mereka harus menghindari tujuan-tujuan yang ditetapkan terlalu tinggi untuk dicapai dan mereka harus menyadari juga bahwa ada banyak hal yang dilakukan untuk membantu memenuhi kebutuhannya akan prestasi di dalam bidang-bidang kegiatan yang terbatas. Meskipun ia tidak mungkin bekerja dengan baik dalam bidang akademik, tetapi ada banyak jenis keterampilan yang dapat dikuasainya. Jika ia merasa aman dalam hubungannya dengan keluarganya, jika ia mengetahui bahwa orang tuanya benar-benar memperhatikannya dan mereka puas dengan prestasi sedikit yang dicapainya, maka dengan ini ia banyak dibantu dalam menyesuaikan diri dengan dunia luar. Menerima keterbatasan mental merupakan kunci utama bagi kesehatan mental dan perasaan adekuat dalam masyarakat bagi semua anak retardasi mental, terutama bagi yang sedikit cacat (Semiun, 2006). Pribadi yang sehat adalah pribadi yang matang, yaitu pribadi yang tidak dikontrol oleh trauma dan konflik masa lalu. Pribadi ini didorong ke depan oleh suatu visi dan misi itu mempersatukan kepribadiaannya serta membawanya melewati tantangan demi tantangan yang terus bertambah. Kebahagiaan bukan merupakan tujuan utama. Kebahagiaan hanyalah merupakan hasil sampingan dari proses mencapai tujuan. Pribadi ini akan terus berusaha mencari motif-motif dan tujuan baru begitu tujuan lamanya tercapai (Schultz, 1991). Adapun 7 kriteria kepribadian yang sehat menurut Allport (Schultz, 1991) yaitu: perluasan perasaan diri dengan mengembangkan perhatian-perhatian di luar diri seperti berinteraksi dengan sesuatu atau seseorang di luar diri ataupun dengan pekerjaan. Allport menamakan hal ini “partisipasi otentik” yang dilakukan oleh orang dalam beberapa suasana yang penting dari usaha manusia”. Orang harus meluaskan diri ke dalam aktivitas. Dalam hal ini biasanya orang tua dari anak retardasi mental yang memiliki kesehatan mental yang baik lebih banyak melakukan aktivitas ataupun mengikuti kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan informasi tentang menghadapi, memahami ataupun mendidik serta mengasuh anak-anak yang mengalami retardasi mental. Sedangkan orang tua yang yang tidak memiliki kesehatan mental yang baik kemungkinan adanya menutup diri dari aktivitas-aktivitas ataupun tidak ingin memiliki kegiatankegiatan yang banyak menghabiskan waktu diluar dari rumah.
Hubungan yang hangat dengan orang lain. Individu matang mampu memperlihatkan keintiman (cinta) terhadap orang-orang terdekat seperti orang tua, anak dan sahabat. Memperhatikan kesejahteraan mereka seperti memperhatikan dirinya sendiri. Individu neurotis menuntut cinta lebih banyak dari kemampuan mereka memberi. Individu matang juga memiliki perasaan terharu (memahami kondisi dasar manusia). Orang tua dari anak retardasi mental yang memiliki kesehatan mental yang baik terlihat lebih banyak memberikan rasa kasih sayang serta perhatiannya yang lebih terhadap anaknya. Namun orang tua yang memiliki kesehatan mental yang tidak baik akan memilih untuk menjauhi serta berusaha untuk tidak terlalu banyak berinteraksi dengan anaknya yang mengalami retardasi mental. Keamanan emosional. Individu matang mampu menerima dirinya dengan segala kelemahan dan kelebihannya, termasuk emosi-emosi yang dirasakan (mampu mengontrol). Sedangkan individu yang neurotik menyerah pada emosi-emosinya. Dalam keamanan emosional biasanya orang tua dari anak retardasi mental yang memiliki kesehatan mental yang baik akan menjaga serta mengimbangi emosinya dengan cara lebih mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa serta meminta bantuan dalam mengasuh serta mendidiknya dari ahlinya dalam menangani anak retardasi mental. Sedangkan orang tua dari anak retardasi mental yang tidak sehat mentalnya akan memiliki perasaan neurotik seperti hal yang berkecamuk dalam hati, mulai dari tak percaya, marah, sedih, merasa bersalah, lelah, cemas, bingung sampai putus asa. Persepsi yang realistik. Individu matang memandang dunianya secara objektif, sedangkan individu neurotis acapkali merubah realitas agar sesuai dengan keinginanya. Orang tua dari anak retardasi mental yang memiliki kesehatan mental yang baik akan menerima kekurangan dari keadaan anak yang berbeda dari anak normal lainnya. Bahkan mereka manganggap anak dengan kelainan tersebut merupakan suatu anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa seperti mereka menerima anak tersebut layaknya seperti anak normal lainnya. Sedangkan orang tua yang memiliki kesehatan mental yang tidak baik biasanya memiliki pemikiran yang neurotik seperti malu untuk mempunyai anak yang berbeda dari anak normal lainnya sehingga mereka lebih banyak tidak mampu menerima kenyataan bahwa anaknya mengalami retardasi mental.
Memiliki keterampilan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas. Individu yang matang mengerahkan keterampilannya pada pekerjaan mereka (komitmen terhadap pekerjaan). Biasanya orang tua yang memiliki anak retardasi mental yang berkarir lebih banyak mengalihkan perasaan-perasaan neurotik mereka dengan pekerjaan mereka. Sedangkan orang tua yang tidak matang akan merasa tidak memiliki keterampilan serta kemampuan karena merasa dirinya telah gagal dalam melaksanakan tugas-tugasnya dalam keluarga maupun pekerjaannya. Pemahaman diri. Individu matang menggambarkan dirinya secara objektif dan terbuka terhadap pendapat orang lain. Orang tua dari anak retardasi mental yang memiliki kesehatan mental yang baik akan lebih banyak ingin menerima pendapat orang lain serta terbuka untuk hal apapun itu tentang anaknya. Tapi bagi orang tua yang memiliki kesehatan mental yang tidak baik terkadang enggan menerima pendapat orang lain terhadap anaknya. Filsafat hidup yang mempersatukan. Individu matang memiliki arah kedepan. Arah ini membimbing semua segi kehidupan menuju tujuan-tujuan hidup. Bimbingan ini dapat berupa nilai-nilai dan suara hati. Namun tidak dapat dipungkiri bagaimanapun juga orang tua yang memiliki anak retardasi mental biasanya akan memikirkan bagaimana kehidupan kedepannya anak mereka. Bagi orang tua yang sehat mentalnya akan selalu menyiapkan apapun untuk masa depan sang anak sehingga kelak anak tersebut mendapatkan jaminan hidup yang layak seperti apabila orang tuanya sudah tidak ada ataupun meninggal dunia mungkin masa kecilnya anak tersebut telah ditanamkan pendidikan serta kegiatan-kegiatan ataupun menggali bakat-bakat yang ada untuk membuat anak tersebut lebih mandiri serta punya nilai lebih untuk hidupnya kelak. Sedangkan orang tua yang tidak sehat mentalnya akan pasrah begitu saja tanpa melakukan apapun untuk anaknya, sehingga anak tersebut akan lebih banyak berpatokan pada orang tuanya sampai kapanpun itu. Biasanya orang tua mungkin merasa sangat terbebani secara fisik maupun mental saat harus merawat anak yang mengidap retardasi mental sehingga banyak menutup diri dari pekerjaan maupun kegiatan-kegiatan yang banyak menghabiskan waktu diluar yang terlihat dalam aspek perluasan perasaan diri. Namun terlihat pada aspek hubungan yang hangat dengan orang lain, orang tua yang matang mampu memperlihatkan keintiman
(cinta) terhadap anaknya. Memperhatikan kesejahteraan mereka seperti memperhatikan dirinya sendiri. Sehingga dalam aspek filsafat hidup yang mempersatukan akan lebih utama dalam hidup anaknya untuk masa depan sang anak. Namun konsultasi orang tua sangat penting untuk mengatasi stres serta bisa membantu mengidentifikasi rasa marah dan bersalah yang mungkin timbul dalam situasi seperti ini (Yulius & Iva, 2000). Kesehatan mental pada orang tua yang memiliki anak retardasi mental tergantung dari tindakan, tingkah laku ataupun perasaan. Sesungguhnya ketenangan hidup, ketentraman jiwa atau kebahagiaan batin, tidak banyak tergantung kepada faktor-faktor luar. Yang terlihat pada semua aspek dari kriteria kesehatan mental diatas. Akan tetapi lebih tergantung kepada cara dan sikap menghadapi faktor-faktor tersebut. Kita tidak meniadakan pengaruh faktor-faktor luar itu, karena memang ada pengaruhnya. Misalnya pada aspek keamanan emosional dalam menghadapi anak retardasi mental, orang tua menjadi kecewa dan sedih namun bukan kehadiran dari anak retardasi mental itu secara langsung, akan tetapi karena ketidakmampuannya menghadapi faktor tersebut pada aspek persepsi yang realistik dengan wajar serta tidak dapat memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk menghadapi masalah itu. Akibatnya dihinggapi oleh rasa gelisah yang sangat, yang kadang-kadang membawa kepada tindakan dan sikap yang tidak normal dalam hidupnya. (Daradjat, 1992). Jadi yang menentukan ketenangan dan kebahagiaan hidup adalah kesehatan mental. Kesehatan mental itulah yang menentukan tanggapan seseorang terhadap suatu persoalan dan kemampuannya menyesuaikan diri. Kesehatan mental pulalah yang menentukan apakah orang akan mempunyai kegairahan untuk hidup atau akan pasif dan tidak bersemangat (Daradjat, 1992).
Tinjauan Pustaka Kesehatan Mental Secara singkat dapat dikatakan ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang memperhatikan perawatan mental atau jiwa. Sama seperti ilmu pengetahuan yang lain, ilmu kesehatan mental mempunyai objek khusus untuk diteliti dan objek tersebut adalah manusia. Manusia dalam ilmu ini diteliti dari titik tolak keadaan atau kondisi mentalnya. Ilmu kesehatan mental merupakan terjemahan dari istilah mental hygiene. Mental (dari
kata latin: mens, mentis) berarti jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat, sedangkan hygiene (dari kata Yunani: hugiene) berarti ilmu tentang kesehatan. Mental hygiene sering juga disebut psikohygiene. Psyche (dari kata Yunani: psucho) berarti nafas, asas kehidupan, hidup, jiwa, roh, sukma, semangat. Ada orang yang membedakan antara mental hygiene dan psikohygiene. Mental hygiene menitikberatkan kehidupan kerohanian, sedangkan psikohygiene menitikberatkan manusia sebagai totalitas psikofisik atau psikosomatik. Di sini, kedua istilah tersebut disamakan karena dalam uraian selanjutnya, ilmu kesehatan mental itu adalah ilmu yang membicarakan kehidupan mental manusia dengan memandang manusia sebagai totalitas psikofisik yang kompleks (Semiun, 2006 a). Ada banyak definisi yang diberikan oleh para penulis terhadap ilmu kesehatan mental. Beberapa di antaranya akan dikemukakan di bawah ini. Alexander Schneiders mengatakan bahwa: “Ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mengembangkan dan menerapkan seperangkat prinsip yang praktis dan bertujuan untuk mencapai dan memelihara kesejahteraan psikologis organisme manusia dan mencegah gangguan mental serta ketidakmampuan menyesuaikan diri“ (Schneiders, 1965 dalam Semiun, 2006 a). Samson, Sin dan Hofilena mendefinisikan ilmu kesehatan mental sebagai “ilmu yang bertujuan untuk menjaga dan memelihara fungsi-fungsi mental yang sehat dan mencegah ketidakmampuan menyesuaikan diri atau kegiatan-kegiatan mental yang kalut“. (Samson, Sin & Hofilena, 1963 dalam Semiun, 2006 a). Definisi-definisi yang lebih singkat tentang ilmu kesehatan mental telah dikemukakan oleh beberapa penulis lain. Howard Bernard menyatakan bahwa ilmu kesehatan mental adalah suatu program yang dipakai dan diikuti seseorang untuk mencapai penyesuian diri (Bernard, 1957 dalam Semiun, 2006 a). D.B. Klein mengemukakan bahwa ilmu kesehatan mental itu adalah ilmu yang bertujuan untuk mencegah penyakit mental dan meningkatkan kesehatan mental (Klein, 1955 dalam Semiun, 2006 a). Suatu defnisi terakhir diberikan oleh Louis P. Thorpe yang mengemukakan bahwa “ilmu kesehatan mental adalah tahap psikologi yang bertujuan untuk mencapai dan memelihara kesehatan mental“ (Thorpe, 1960 dalam Semiun, 2006 a).
Analisis terhadap berbagai cara mendefinisikan ilmu kesehatan mental menunjukkan bahwa ilmu tersebut pertama-tama berbicara mengenai pemakaian dan penerapan
seperangkat
prinsip
kesehatan
yang
bertujuan
untuk
mencegah
ketidakmampuan menyesuaikan diri serta meningkatkan kesehatan mental.
Retardasi Mental Retardasi mental ataupun dengan kata lain tuna grahita. Grahita dalam bahasa Jawa berarti pikir atau memahami, jadi tuna grahita adalah ketidakmampuan dalam berpikir. Pengertian cacat mental atau retardasi mental pada mulanya memang mengacu pada aspek kognitif yang rendah ini juga akan berpengaruh dalam fungsi-fungsi psikolgi yang lain sehingga definisi-definisi retardasi mental mengalami perkembangan (Prabowo & Puspitawati, 1997). Pengertian mengenai retardasi mental terus berkembang. Pada tahun 1973, AAMD (American Association on Mental Deficiency) memberikan definisi (dalam Payne & Patton, 1981) bahwa retardasi mental berhubungan dengan fungsi intelektual umum yang secara signifikan berada di bawah rata-rata yang muncul bersamaan dengan deficit pada perilaku adaptif dan terlihat saat masa perkembangan. Batasan ini diperbaharui dengan definisi yang diberikan oleh AAMR (American Association on Mental Retardation) mengenai retardasi mental adalah sebagai berikut: “Keterbelakangan mental (retardasi mental) menunjukkan adanya keterbatasan dalam fungsi intelektual yang dibawah rata-rata, dimana berkaitan dengan keterbatasan pada dua atau lebih dari keterampilan adaptif seperti komunikasi, merawat diri sendiri, keterampilan sosial, kesehatan dan keamanan, fungsi akademis, waktu luang dan lainlain. Keadaan ini tampak sebelum usia 18 tahun.” (Hallahan dan Kauffman, dalam Mangunsong, 1998) Kemudian, pada tahun 2002, AAMR mengeluarkan revisi ke-10 mengenai retardasi mental (dalam www.aamr.org., 2002) bahwa retardasi mental merupakan bagian dari disability yang ditandai dengan keterbatasan yang signifikan baik pada fungsi intelektual dan perilaku adaptif dan terekspresi baik dalam kemampuan adaptif secara konseptual, social dan praktikal.
Terlihat dari ketiga pengertian di atas sama-sama menjelaskan bahwa retardasi mental merupakan kecacatan dan ditunjukkan dengan keterbatasan fungsi intelektual dan perilaku adaptif selama masa perkembangan atau sebelum usia 18 tahun.
Metode Penelitian Dalam penelitian ditentukan sejumlah karakteristik bagi subjek penelitian, antara lain: 1. Orang tua yang memiliki anak retardasi mental Karakteristik subjek adalah pasangan suami istri dan juga orang tua tunggal yang memiliki anak retardasi mental. 2. Jumlah subjek penelitian Menurut Patton (dalam Poerwandari, 1998) tidak ada aturan pasti dalam jumlah sampel yang harus diambil dalam penelitian kualitatif. Jumlah sampel sangat tergantung pada apa yang ingin diketahui peneliti, tujuan penelitian, konteks saat itu, apa yang dianggap bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Poerwandari (1998) juga mengatakan bahwa dengan fokus penelitian kualitatif pada kedalaman dan proses maka penelitian kualitatif cenderung dilakukan dengan jumlah kasus sedikit. Dalam penelitian subjek berjumlah 5 orang yakni 4 orang tua yang berpasangan dan 1 orang tua tunggal yang memiliki anak retardasi mental. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dengan pedoman umum. Dalam pedoman wawancara umum tersebut dicantumkan isu-isu yang akan diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (checklist) apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaaan tersebut akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung.
Dalam studi kasus ini peneliti menggunakan bentuk observasi non partisipan, dimana observer tidak berperan serta ikut ambil bagian dalam kehidupan observee.
Hasil Analisis Berdasarkan dari kelima responden menunjukkan adanya kesehatan mental yang berbeda-beda, kesehatan mental yang baik banyak ditemukannya ada pada subjek I, IV dan V, sedangkan subjek II termasuk memiliki kesehatan mental yang kurang baik dan subjek III memiliki kesehatan mental yang cukup baik. Selanjutnya dari hasil responden kelima subjek terlihat bahwa mereka memiliki kriteria kepribadian sehat yang berbedabeda yaitu dengan adanya kesehatan mental yang baik dan kesehatan mental yang tidak baik.
Kriteria Kepribadian Sehat a. Perluasan perasaan diri Secara teoritis pada subjek I, III, IV dan V memiliki kesehatan mental yang sangat baik, dimana mereka ingin tahu serta mengetahui banyak tentang anak-anak yang mengalami retardasi mental. Hal ini sesuai dengan Allport (1991) menamakan hal ini “partisipasi otentik yang dilakukan oleh orang dalam beberapa suasana yang penting dari usaha manusia“. Orang harus meluaskan diri ke dalam aktivitas-aktivitas. Sedangkan pada subjek II memiliki kesehatan mental yang kurang baik, dimana subjek tidak ingin tahu tentang anak yang mengalami retardasi mental. b. Hubungan diri yang hangat dengan orang-orang lain Secara teoritis pada subjek I, III, IV dan V memiliki kesehatan mental yang baik, dimana mereka masih memiliki hubungan yang hangat dengan keluarga, anak-anak serta orang-orang di sekitar subjek. Hal ini sesuai dengan menurut Allport (1991) orang yang sehat secara psikologis mampu memperlihatkan keintiman (cinta) terhadap orang tua, anak, pasangan dan teman akrab. Sedangkan pada subjek II memiliki kesehatan mental yang kurang baik, dimana subjek kurang memiliki hubungan yang baik dengan anaknya yang mengalami retardasi mental. c. Keamanan emosional
Secara teoritis pada subjek I, IV dan V memiliki kesehatan mental yang baik, dimana dalam keamanan emosional subjek yang masih dapat mengontrol emosi-emosi mereka, sehingga emosi-emosi ini tidak menganggu aktivitas-aktivitas antar pribadi. Kualitas lain dari keamanan emosional ialah apa yang disebut Allport (1991) “sabar terhadap kekecewaan“. Hal ini menunjukkan bagaimana seseorang berinteraksi terhadap tekanan dan terhadap hambatan dari kemauan-kemauan dan keinginankeinginan. Sedangakan pada subjek II dan III memiliki kesehatan mental yang kurang baik dimana subjek terkadang kurang bisa mengontrol emosi mereka. d. Persepsi realistis Secara teoritis pada subjek I, III, IV dan V memiliki kesehatan mental yang baik, dimana mereka menerima kenyataan hidup dengan menerima semua kekurangankekurangan yang dimiliki dari anak mereka yang mengalami retardasi mental. Hal ini juga sejalan dengan Schneiders (1965) yang menilai kesehatan mental yang baik mengacu secara khusus pada sikap seseorang terhadap kenyataan, sedangkan kontak mengacu pada cara bagaimana atau sejauh mana seseorang menerima kenyataan – menolaknya atau melarikan diri pada-Nya. Sedangkan pada subjek II memiliki kesehatan mental yang kurang baik, dimana subjek masih kurang bisa menerima kekurangan-kekurangan yang dimiliki dari anak subjek yang mengalami retardasi mental. e. Keterampilan-keterampilan dan tugas-tugas Secara teoritis pada subjek I, II, III, IV dan V memiliki kesehatan mental yang sangat baik dimana mereka memiliki keterampilan serta perkerjaan yang dapat membantu mereka dalam menajalankan tugas serta kewajiban mereka. Allport (1991) mengutip apa yang dikatakan Harvey Cushing ahli bedah otak yang terkenal, “satu-satunya cara untuk melangsungkan kehidupan adalah menyelesaikan suatu tugas“ f. Pemahaman diri Secara teoritis pada subjek I, II, III, IV dan V memiliki kesehatan mental yang sangat baik dimana mereka masih mau berpendapat dan menerima pendapat terhadap anaknya yang mengalami retardasi mental. Hal ini sesuai dengan pendapat Allport (1991), orang yang memiliki suatu tingkat pemahaman diri (self-objectification) yang
tinggi atau wawasan diri tidak mungkin memproyeksikan kualitas-kualitas pribadinya yang negatif kepada orang-orang lain. g. Filsafat hidup yang mempersatukan Secara teoritis pada subjek I, IV dan V memiliki kesehatan mental yang sangat baik dimana mereka merasa optimis dan telah menyiapkan masa depan untuk anak mereka yang mengalami retardasi mental. Hal ini sesuai dengan pendapat Allport (1991) menyebut dorongan yang mempersatukan ini “arah” (directness) dan lebih kelihatan pada kepribadian-kepribadian yang sehat daripada orang-orang yang neurotis. Arah itu membimbing semua segi kehidupan seseorang menuju suatu tujuan (atau rangkaian tujuan) serta memberikan orang itu suatu alasan untuk hidup. Sedangakan pada subjek II dan III memiliki kesehatan mental yang kurang baik, dimana subjek merasa pesimis dengan memiliki anak yang mengalami retardasi mental. Faktor-faktor Yang Mendukung Dalam Mengasuh Anak a. Saudara Secara teoritis pada subjek I menilai bahwa peran saudara yaitu adik kandung subjek sangat besar dalam pengasuhan anak subjek yang mengalami retardasi mental. b. Pengasuh Secara teoritis pada subjek IV dan V menilai bahwa peran pengasuh sangat membantu subjek dalam mengasuh anaknya yang mengalami retardasi mental, dikarenakan subjek IV dan V merupakan orang tua yang bekerja. c. Sekolah Secara teoritis pada subjek I, II, III, IV dan V menilai bahwa peran sekolah sangat penting dan membantu subjek dalam mengasuh serta memberikan suatu pelajaran yang berarti untuk anaknya yang mengalami retardasi mental. Proses Terbentuknya Kesehatan Mental Pada Orang Tua Yang Memiliki Anak Retardasi Mental Secara teoritis pada subjek I, IV dan V membentuk kesehatan mental yang baik, dimana subjek banyak berserah diri pada Tuhan Yang Maha Esa serta kepada yang
ahlinya dalam menangani anak yang mengalami retardasi mental. Sedangkan pada subjek II dan III dalm membentuk kesehatan mental terlihat tidak baik, dimana subjek II merasa kecewa dan tidak perduli dengan memiliki anak yang mengalami retardasi mental dan sedangkan subjek III masih merasa sedih dengan memiliki anak yang mengalami retardasi mental
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Dari hasil analisis data yang telah diperoleh, maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan yang berhubungan dengan kesehatan mental pada orang tua yang memiliki anak retardasi mental, yaitu : 1. Keadaan kesehatan mental pada orang tua yang memiliki anak retardasi mental Tidak dapat dipungkiri lagi, orang tua sangat menentukan dalam setiap aspek perkembangan anak. Pengasuhan sehari-hari sangat memegang peranan pada perkembangan individu retardasi mental. Tidak mudah menjadi orang tua penyandang retardasi mental. Berbagai perasaan berkecamuk dalam hati, mulai dari tak percaya, marah, sedih, merasa bersalah, lelah, cemas, bingung sampai putus asa. 2. Faktor-faktor yang menyebabkan kesehatan mental orang tua menjadi baik ataupun tidak baik Faktor-faktor yang menyebabkan para orang tua memiliki kesehatan mental yang baik yaitu dimana para orang tua mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat serta banyak berdoa dan pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan orang tua yang memiliki kesehatan mental yang tidak baik akan merasa dengan memiliki anak yang mengalami retardasi mental adalah suatu masalah yang berat sehingga orang tua akan merasa pesimis dengan kehidupannya kelak. 3. Proses perkembangan kesehatan mental subjek Dalam hal ini proses perkembangan kesehatan mental yang baik pada orang tua akan beranggapan dengan memiliki anak yang mengalami retardasi mental sama halnya dengan memiliki anak yang normal lainnyakarena sama-sama merupakan
suatu anugerah dan titipan dari Tuhan Yang Maha Esa. Namun dalam proses perkembangan kesehatan mental yang tidak baik akan beranggapan dengan memiliki anak retardasi mental adalah suatu masalah maka para orang tua tersebut akan membentuk suatu kesehatan mental yang tidak baik kelaknya nanti.
Saran Dari hasil penelitian tentang kesehatan mental pada orang tua yang memiliki anak retardasi mental, maka saran yang diajukan peneliti terhadap penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk Subjek Dalam penelitian ini subjek diharapkan lebih bisa menerima kenyataan hidup dengan memiliki anak retardasi mental. Dengan adanya kesehatan mental yang baik maka akan membuat subjek dalam menjalankan hidupnya dengan baik pula. Namun hal lain tidak dapat dipungkiri, mungkin subjek merasakan hal-hal yang seperti sedih, kecewa dan perasaan neurotik lainnya. Tetapi dengan perasaan itu mungkin akan membangun kehidupan subjek dengan optimis ke depan untuk nantinya. 2. Untuk Penelitian Selanjutnya Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian dengan menggali lebih dalam dengan menambah beberapa teori dari tokoh lain sebagai pembanding dan menambah jumlah subjek penelitian yang memiliki anak retardasi mental. 3. Untuk Para Orang Tua Yang Memiliki Anak Retardasi Mental Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk para orang tua yang memiliki anak retardasi mental. Untuk para orang tua lainnya, supaya dapat menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya dan memandang apa yang terjadi sebagai hal positif dan bukan akhir dari segala-galanya. Bahwa memiliki anak yang mengalami retardasi mental bukanlah hal yang buruk jika masing-masing dapat menjalani perannya masing-masing tentunya untuk anak-anak yang membutuhkan peran kedua orang tuanya sebagai pendorong dalam kehidupannya kelak.