Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
COMPLAIN MANAGEMENT SEBAGAI WUJUD AKUNTABILITAS DALAM PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH Arenawati, M.Si Prodi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Pakupatan-Serang, Banten E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Pelayanan publik adalah serangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Otonomi Daerah dengan azas desentralisasi yang dianutnya bertujuan untuk lebih mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Dalam tugasnya sebagai penyedia pelayanan penyelenggara pelayanan publik harus memperhatikan azas pelayanan, seperti transparansi, akuntabilitas, kondisional, partisipatif, tidak diskriminatif dan keseimbangan hak dan kewajiban. Namun pada kenyataannya penyelenggara pelayanan publik seringkali mengabaikan azas-azas tersebut. Banyak masyarakat yang harus kecewa atas pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik, dalam hal ini adalah pemerintah daerah. Penyelenggara pelayanan publik di daerah telah memberi kesempatan masyarakat untuk memberi saran lewat kotak pos, atau telepon interaktif sekedar hanya untuk dikatakan bahwa mereka aspiratif. Sebagian besar penyelenggara pelayanan tidak memanfaatkan komplain yang disampaikan untuk dikelola sebagai masukan penting guna perbaikan organisasi. Mengelola komplain bagi penyelenggara pelayanan publik di daerah adalah sangat penting di era otonomi daerah , karena salah satu prinsip otonomi daerah adalah otonomi yang bertanggungjawab, dimana wujud pertanggungjawaban tersebut dilakukan dalam bentuk peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Agar komplain dapat memperbaiki kinerja organisasi, maka beberapa hal perlu dilakukan diantaranya : merubah pandangan dan budaya organisas terhadap komplain, melakukan tindakan melalui pendekatan mekanistis dan pendekatan organis, menerapkan manajemen komplain dari Wensminster Social Service Department. Kata Kunci : Akuntabilitas, Complaint Management, Pelayanan Publik I.
PENDAHULUAN Otonomi daerah dan Daerah Otonom lahir sebagai konsekuensi dari adanya sistem desentralisasi karena desentralisasi menuntut penyerahan sejumlah fungsi pemerintahan kepada daerah otonom. Otonomi itu sendiri bertujuan mencapai efektivitas dan efesiensi dalam pelayanan kepada masyarakat, karena prinsip pelayanan publik yang paling efesien seharusnya diselenggarakan oleh otoritas yang memiliki kontrol geografis paling minimal (Cheema dan Rondinelli dalam Ambar, 2009 : 358). Kebijakan otonomi daerah ditempuh dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat masyarakat di daerah, memberikan peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah, peningkatan efisiensi pelayanan publik di daerah, peningkatan percepatan pembangunan daerah dan pada akhirnya diharapkan pula penciptaan cara berpemerintahan yang baik (good governance). Undang-undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Dalam penjelasan dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi seluas-luasnya adalah daerah diberi
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadikan prinsip Otonomi Nyata ,Luas dan Bertanggung Jawab dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dalam penjelasan dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi seluas-luasnya adalah daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.kecuali kewenangan absolute yang dimiliki oleh pemerintah pusat seperti politik luar negeri, Hankam, moneter, fiskal, yustisi dan agama. Konsekuensi prinsip otonomi nyata adalah adanya urusan wajib pemerintah daerah yang nyata ada dan dibutuhkan oleh masyarakat yang meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, [128]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Sejak dicanangkannya Otonomi Daerah pada tanggal 1 Januari 2001 otonomi daerah belum berjalan dengan mulus dan lancar. Berbagai isu implementasi yang muncul seperti terkait dengan pelaksanaan pemerintahan daerah, perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, dana perimbangan serta tata cara pertanggungjawaban kepada daerah perlu untuk dianalisis serta diantisipasi agar implementasi otonomi daerah berjalan dengan baik, efesien dan efektif untuk memberikan pelayanan kepada publik (Widjaja, 2007 :24). Begitu pula dalam pelaksaan urusan wajib pemerintah, masih banyak masyarakat yang mengeluhkan kualitas pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan. Terkait dengan pekerjaaan umum seperti kondisi jalan, terminal, jembatan yang rusak. Dalam bidang pendidikan masih banyak sekolah yang kondisinya rusak berat, daerah terpencil jumlah guru masih kurang, di bidang kesehatan pelayanan puskesmas dan RSUD masih dinilai lamban dalam melayani, kurangnya jumlah tenaga kesehatan, sikap sebagian perawat yang kurang ramah dan diskriminatif. Belum lagi yang terkait dengan pelayanan pemerintah yang bersifat administratif seperti dalam pelayanan pembuatan KTP, Akte Kelahiran, Sertfikat Tanah, Surat Ijin Mendirikan Bangunan, SIUP dan lain-lain. Pelayanan yang bersifat administrative tersebut bagi sebagian warga masyarakat dinilai lamban dan juga berbelit, terlalu banyak syarat dan prosedur yang panjang. Konsekuensi terakhir dari otonomi daerah adalah prinsip otonomi yang bertanggung jawab. Dalam menjalankan pemerintahan daerah harus disertai dengan tanggung jawab kepada publik sehingga memenuhi harapan masyarakat di daerah, salah satu wujud pertanggungjawaban pemerintah daerah adalah peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Agar harapan ini terwujud maka fungsi pengawasan yang dilakukan oleh legislatif dan masyarakat harus dilakukan (Widjaja, 2007 : 24). DPRD dan masyarakat memiliki kesempatan untuk mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, sehingga partisipasi aktif dari masyarakat dalam bentuk kritikan, masukan, saran atas pelayanan yang diberikan pemerintah merupakan masukan penting bagi perbaikan kinerja pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
II.
Masyarakat masih merasakan pelayanan pemerintah yang tidak efesien, prosedur yang yang panjang dan berbelit, pelayanan yang lamban, diskriminatif, tidak transparan. Pengalaman yang tidak menyenangkan terhadap pelayanan publik menyebabkan ketidakpuasan yang dituangkan dalam bentuk komplain. Bagi birokrasi pemerintah komplain seringkali tidak ditanggapi dan dikelola dengan baik, seringkali pemerintah menganggap komplain yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pelayanan yang diterimanya dapat mengurangi wibawa pemerintah di mata masyarakat. Padahal bagaimana pemerintah menanggapi komplain adalah wujud akuntabilitas pemerintah terhadap pelayanan yang mereka berikan kepada masyarakat. Oleh karena itu permasalahan yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah “ Bagaimanakah Complaint Management dapat meningkatkan akuntabilitas pelayanan publik ?”. III.
PEMBAHASAN Peranan pemerintah memang telah mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan dan dinamika masyarakat yang berkembang. Hal ini seiring dengan berubahnya paradigma dalam ilmu Administrasi publik, pada paradigma Old Public Administration menempatkan warga masyarakat sebagai clients, dimana posisi client lebih bersifat powerless, berada pada pihak yang harus nurut terhadap perlakuan pelayanan yang diberikan oleh provider (birokrat). Pada masa ini posisi warga negara sangat lemah karena sangat tergantung dengan pemerintah sebagai pemberi pelayanan. Paradigma kedua The New Public Management (NPM) adalah meletakkan mekanisme pasar sebagai pedoman dalam pelayanan publik. Pada dekade ini dikenal istilah “steer not row”. Disini peran pemerintah adalah mengarahkan . NPM menempatkan warga masyarakat sebagai customer, dimana konteks dan kualitas pelayanan sangat ditentukan oleh kemampuan ekonomi customer. Jika customer memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik maka ia akan mendapatkan pelayanan yang lebih baik pula. King dan Stivers (1998) dalam buku “ Government is Us “, mendesak para administrator melibatkan warga masyarakat, Mereka harus melihat rakyat sebagai warga masyarakat bukan sebagai pelanggan, sehingga dapat saling membagi otoritas dan melonggarkan kendali serta percaya pada keefektifan kolaborasi. Mereka harus membangun trust dan bersikap responsive terhadap kepentingan atau kebutuhan nasyarakat, bukan semata mencari efesiensi yang lebih tinggi sebagaimana dituntut dalam NPM. Keterlibatan masyarakat harus dilihat sebagai “ investasi” yang signifikan (Keban, 2008 : 247) Prinsip-prinsip yang disampaikan King dan Stiver memberikan pandangan baru terhadap administrasi pelayanan publik. Dimana paradigm
PERMASALAHAN
Otonomi Daerah yang sejak awalnya bertujuan untuk lebih meningkatkan efesiensi dan efektifitas pelayanan kepada masyarakat, pada kenyataannya tidak sepenuhnya tercapai. [129]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
tersebut disebut dengan paradigm New Public Service. Menurut Denhardt dan Denhardt (2007 : 4243 ) administrasi publik harus : 1. Service citizen not customers, public servant do not morely respond to demands of “customers” but rather focus on building relationships of trust and collaboration with among citizens. 2. Seek the public interest, public administrator must contribute to building a collective, shared notion of the public interest. The goal is not to find quick solution driven by individual choise. Rather it is the creation of shared interest and shared responsibility. 3. Value citizenship over entrepreneurship, The public interest is better advanced by public servants and citizens commited to making meaningful contributions to society than by entrepreuneurial managers acting as if public money were their own. 4. Think strategically, act democratically, Policies and programs meeting public needs can be mos effectively and responsibly achieved through collective efforts and collaborative processes 5. Recognize that accountability isn’t simple , Public servants should be attentive to more than the market; they should also attend to statutory and constitutional law, community values, political norms. Professional standards and citizens interest. 6. Serve rather than steer, It is increasingly important for public servants to use shared, value based leadership in helping citizens articulate and meet their shared interest rather than attemting to control or steer society in new directions. 7. Value people, not just productivity, Public organization and the networks in which they participate are more likely to be successful in the long run if they are operated through processes of collaboration and shared leadership based on respect for all people.
Value citizenship over entrepreneurship, nilai-nilai kemasyarakatan warga negara diatas nilainilai kewirausahaan (bisnis). Kepentingan publik lebih baik diutamakan oleh para pelayan publik dan warga negara diikutsertakan dan berkontribusi pada masyarakat daripada kepentingan para pelaku usaha. Think strategically, act democratically, berfikir strategis berbuat demokratis. Kebijakan dan program-programs yang dibutuhkan masyarakat akan lebih efektif dan lebih dipertanggungjawabkan diselesaikan melalui semangat kebersamaan dan proses yang kolaboratif. Recognize that accountability is not simple , mengakui bahwa pertanggungjawaban itu tidak sederhana. Pelayan publik seharusnya lebih memikirkan untuk menaati hukum dan konstitusi, nilai-nilai kemanusiaan, norma-norma politik , standar profesi dan kepentingan warga negara. Serve rather than steer, lebih pada melayani daripada mengarahkan. Sangatlah penting untuk meningkatkan pelayan publik dengan turut menggunakan nilai berbasis kepemimpinan dengan membantu warga negara mengutarakan pendapat dan menemukan keinginannya daripada mengawasi atau mengendalikan masyarakat dengan arahan yang baru. Value people, not just productivity, menerapkan nilai-nilai kemanusian, tidak sekedar produktivitas. Organisasi publik dan jaringan kerjanya akanlebih berhasil jika merekan dalam oprasionalnya melalui proses kolaborasi dan membagi kepemimpinan didasarkan pada menghormati semua orang. Paradigma ini menyebabkan perubahan pandangan terhadap warga negara sebagai pengguna pelayanan publik. Dengan prinsip service citizen not customer menempatkan warga negara tidak lagi sebagai pelanggan yang mendapatkan pelayanan berdasarkaan kemampuan ekonomi yang dimilikinya. Dalam New Public Service pengguna pelayanan publik adalah warga negara yang memiliki posisi sebagai owner atau pemilik pelayanan tersebut. Pergeseran pandangan ini mengisyaratkan bahwa masyarakat sejak awal harus dilibatkan dalam perumusan berbagai hal yang menyangkut pelayanan publik, misalnya mengenai jenis pelayanan yang mereka butuhkan, cara terbaik untuk menyelenggarakan pelayanan publik, mekanisme untuk mengawasi proses pelayanan dan yang tak kalah pentingnya adalah mekanisme untuk mengevaluasi pelayanan (Dwiyanto,2005 : 194).
Dari asas – asas dalam New Public Service di atas dapat dijelaskan satu persatu sebagai berikut Service citizen not customers, melayani warga negara bukan pelanggan, bahwa pelayan publik tidak hanya merespon keinginan dari pelanggan tetapi lebih fokus pada membangun hubungan , kepercayaan dan kolaborasi diantara warga negara. Seek the public interest, mengutamakan kepentingan publik. Administrator publik harus memikirkan untuk membangun sebuah kebersamaan, membagi gagasan akan kepentingan publik. Tujuannya tidak untuk mendapatkan solusi yang cepat yang diarahkan pada pilihan individual. Tetapi lebih kreasi untuk membagi kepentingan dan tanggung jawab.
Pelayanan Publik Dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan Publik , Pelayanan Publik didefinisikan sebagai berikut : Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-ndangan bagi setiap warga negara dan [130]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
pendudukatas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam hal ini yang dimaksud penyelenggara pelayanan publik adalah instansi pemerintah yang meliputi : 1. Satuan kerja/satuan organisasi Kementrian 2. Departemen 3. Lembaga pemerintah Non Departemen 4. Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, misalnya : secretariat dewan (Setwan), secretariat negara (Setneg) dan sebagainya. 5. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 6. Badan Hukum Milik Negara (BHMN) 7. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) 8. Instansi Pemerintah lainnya, baik Pusat maupun Daerah termasuk dinas-dinas dan badan. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, aparatur pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik dari pemerintah karena masyarakat telah memberikan dananya dalam bentuk pembayaran pajak, retribusi dan berbagai pungutan lainnya. Menurut Lewis (2005: 9) ruang lingkup pelayanan publik dapat dilihat dari pernyataan “ Public Service refers to agencies and activities tending toward the public side of the continuum. In actuality there is no clear division between public and private. Public service includes quasy governmental agencies and the many non profit organization devoted to community services and to the public interest”. Pelayanan publik mengacu pada agen dan serangkaian aktivitas yang diarahkan pada sisi publik. Sesungguhnya tidaklah jelas pembagian antara publik (umum) dan private. Pelayanan publik meliputi agen semi pemerintah dan banyak organisasi non profit yang mencurahkan perhatiannya pada pelayanan masyarakat dan kepentingan umum. Posisi pelayanan publik digambarkan sebagai berikut :
Pelayanan umum dapat juga dilakukan oleh pihak swasta, seperti rumah sakit atau pasar. Dalam memberikan pelayanan publik, instansi penyedia pelayanan publik menurut Mahmudi ( 2005 : 234 ) harus memperhatikan asas pelayanan publik, yaitu : 1) Transparansi, pemberian pelayanan publik harus bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. 2) Akuntabilitas, pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3) Kondisional, Pemberian pelayanan public harus sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas. 4) Partisipatif, mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat. 5) Tidak diskriminatif (kesamaan hak), Pemberian pelayanan publik tidak boleh bersifat diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agma, golongan, gender, status social dan ekonomi. 6) Keseimbangan Hak dan Kewajiban, pemberi dan penerima pelayanan harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Azas-azas pelayanan publik seharusnya dilaksanakan oleh setiap instansi pemberi pelayanan, sebagai wujud tanggung jawab pemerintah pada masyarakat akan pelayanan yang diberikannya. Kepuasan Pelayanan Kepuasan pelanggan akan berkaitan dengan harapannya atas pelayanan tersebut. Kepuasan Pelanggan menurut Kotler (1997) adalah : … a person’s feeling of pleasure or disappointment resulting from comparing a product’s received performance (or outcome) in relation to the person,s expectation “. Kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan antara kinerja yang ia rasakan/alami terhadap harapannya ( dalam Arief, 2007 : 167) . Menurut Levesque dan M Dougall (1996) “ Satisfaction is an overall customer attitude towards a service provider” sedangkan Zineldin (2000) mendefinisikannya “an emotional reaction to the differen between what customer anticipate and what they receive” ( dalam Hansemark, 2004 :41). Dari definisi diatas diungkapkan bahwa kepuasan seperangkat sikapsikap yang mengarah pada seorang penyedia layanan dan juga dapat dikatakan sebagai reaksi emosi yang berbeda antara apa yang pelanggan harapkan dan apa yang mereka terima. Sama dengan difinisi yang lain bahwa kepuasan itu akan berhubungan antara harapan dengan kenyataan yang diterima atau dirasakan oleh pelanggan. Dari
Gambar diatas menunjukkan bahwa pelayanan publik bersifat semi pemerintah dan swasta.
[131]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
beberapa pendapat tersebut disimpulkan bahwa secara umum pengertian kepuasan pelanggan dilihat dari kesesuaian antara harapan (expectation) pelanggan dengan persepsi, pelayanan yang diterima (kenyataan yang dialami). Moenir ( 2008: 197) menyatakan bahwa kepuasan adalah , sebagai sasaran utama manajemen pelayanan. Dimana didalamnya terdapat dua komponen besar yaitu komponen layanan dan komponen produk. Jadi kepuasan akan pelayanan dapat dilihat dari : a. Layanan, agar layanan dapat memuaskan kepada orang atau sekelompok orang yang dilayani, maka dengan ini si petugas harus memiliki 4 syarat pokok, ialah : (a)tingkah laku yang sopan,(b)cara penyampaian sesuatu yang berkaitan dengan apa yang seharusnya diterima oleh orang yang bersangkutan, (c) waktu menyampaikan yang tepat (d) keramahtamahan. b. Produk, produk yang dimaksud dalam hubungannya dengan sasaran manajemen pelayanan yaitu kepuasan berbentuk (a) barang, (b) jasa dan (c) surat-surat berharga. Berkaitan dengan jasa bahwa produk jasa ini akan dapat memuaskan pihak yang bersangkutan apabila hasil karya, penyelenggaraan, penyajian atau pelaksanaannya memenuhi spesifikasi, keterangan, janji atau kesanggupan tertulis dari pihak pembuat, penyelenggara atau pelaksana seperti yang biasanya disediakan (brosur, leaflet, owner’s guide book dan sebagainya). ( Moenir, 2008: 199-200)
customers resolve their complaint. Complaint handling is a customer oriented business process, consisting in front office .“ Aktivitas dari penanganan keluhan adalah pada tingkat operasional untuk membantu menyelesaikan keluhannya. Penanganan keluhan biasanya ditemui pada pelanggan yang berorientasi proses bisnis, dan depan kantor. Jadi penganan keluhan hanya diartikan pada proses bagaimana complain ditanggapi, diselesaikan pada level operasional yang berhadapan dengan pelanggan langsung. Selain penanganan keluhan kita juga menemui istilah manajemen keluhan (complaint management). Wogmana(2001), Ossel (2003), Strauss and Seidel (2005) mengartikan manajemen keluhan sebagai berikut : “ Complaint management refers to overall process.The objective of complaint management is therefore not only focused on customer rentetion by solving customer dissatisfaction, but also on ensuring a long term improvement of the services to customer and in this way building a customer oriented organization”( dalam Vos, 2008: 10). Manajemen komplain mengarah pada kesemua proses. Yang menjadi obyek dari manajemen komplain tidak hanya terfokus pada daya tahan pelanggan yang disebabkan ketidakpuasan penyelesaian komplain/keluhan, tetapi juga bagian dari serangkaian panjang pengembangan pelayanan pada pelanggan dan jalan membentuk organisasi yang berorientasi pelanggan. Jadi manajemen komplain tidak hanya di frontdesk yang membantu pelanggan menangani keluhannya, tetapi sampai pada proses bagaimana konflik tersebut di dikelola bagi pengembangan organisasi ke arah yang lebih baik. Johnson (2001) juga menyatakan hal yang sama “… that the complaint management not only result in customer satisfaction but also lead to operational improvement and improve financial performance “. Bahwa komplain manajemen tidak hanya berpengaruh pada kepuasan pelanggan tetapi juga mengarahkan pada pengembangan operasional dan peningkatan kinerja keuangan ( dalam Hansemark, 2004 :41). Penanganan Keluhan dan Manajemen Keluhan digambarkan sebagai berikut :
Penanganan Keluhan dan Manajemen Keluhan Komplain dari pengguna pelayanan terjadi apabila pengguna pelayanan tidak puas atas pelayanan yang diberikan, yaitu jika pelayanan yang ditemui atau diterima oleh pengguna tidak sesuai dengan harapannya. Seperti pernyataan berikut : “ Complaint satisfaction refers to degree to which the complainant perceives the company’s handling performance or meeting a exceeding his on her expectations “ (Gilly and Gelib, 1982 dalam Hamburg, 2005 :95). Menurut Barlow dan Moller (1996) “ A complaint can be considered as any form of expression of dissatisfaction by customer, either with without good reason “. Sebuah komplain dapat dianggap sebagai ekspresi dari ketidakpuasan pelanggan, tanpa disertai alasan yang baik. Seseorang bila keluhannya tidak ditanggapi dengan baik maka akan melakukan komplain. Sedangkan penanganan komplain ( complaint handling ) diartikan oleh Vos (2008 : 9) sebagai berikut : “ complaint handling is stand for operational activities direcly aimed at helping [132]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
perilaku pegawai dimana pendekatan tersebut sangat berhubungan dengan penanganan komplain dalam pernyataan berikut : “… several approaches for influencing employee behavior, two such approaches are particularly relevant for complain handling . First, companies can influence individual behavior by developing guidelines example : standar operating procedures. Second, organization can influence behavior by focusing on training and motivating employees and by providing them with sares value and norms “. Dari pernyataan tersebut diketahui bahwa dalam penanganan komplain terdapat dua hal penting yang perlu dilakukan oleh organisasi, yaitu : pertama, mengembangkan panduan, seperti disediakannya standar operasional prosedure. Kedua, dengan memberikan pelatihan dan dorongan pada tenaga kerja dan menyiapkan mereka dengan mensosialisasikan nilai-nilai dan norma perilaku. Hamburg dan Andreas dalam tulisannya di Jurnal of Marketing yang berjudul “ How Organizational Complaint Handling Drives Customer Loyalty: An Analysis of The Mechanistic and The Organic Approach “ menjelaskan bagaimana kerangka kerja dari pendekatan mekanistis dan pendekatan organis meningkatkan kepuasan pelanggan yang kemudian menimbulkan sikap loyal pelanggan terhadap pelayan atau produk kita. Bagaimana kerangka kerja tersebut dapat dilihat pada gambar berikut :
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa customer atau pelanggan memiliki fungsi kontrol. Bila harapannya tidak terpenuhi maka ia akan melaporkan keluhannya pada orang-orang yang diberi tanggung jawab menangani komplain. Komplain kemudian ditangani dan direspon dan dikembalikan pada pelanggan, kemudian pelanggan menerima atau tidak menerima alasan atau jawaban atas komplain yang diajukan. Dalam gambar juga terlihat bahwa skope manajemen komplain lebih luas, tetapi manajemen komplain tidak berhadapan langsung dengan pelanggan. Manajemen lebih pada bagaimana mengelola agar komplain menjadi potensial dan berguna untuk memperbaiki keadaan yang lebih baik. Pernyataan diatas sejalan dengan pernyataan Carney (1996 : 20) sebagai berikut : “ The information from these complaint has been used to plan future service provision and inform policy making. As result major areas of complaint have been addressed and high percentage of solution to customer dissatisfaction the department service identified “. Jadi informasi yang diperoleh dari keluhan yang disampaikan pelanggan digunakan untuk merencanakan pelayanan di masa datang dan bahan masukan bagi pembuatan kebijakan sehingga penanganan komplain mendapatkan perhatian lebih sebagai solusi atas ketidak puasan pelanggan. Jadi apabila masyarakat menyampaikan complain atas pelayanan yang diterimanya maka sebenarnya masyarakat sudah turut membantu instansi pemberi layanan untuk memperbaiki kinerjanya di masa yang akan datang. Perbaikan kenerja pelayanan inilah sebagai bentuk pertanggung jawaban organisasi publik pada masyarakat. March (1994) dalam Homburg (2005 : 96) menyampaikan dua pendekatan yang mempengaruhi
Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa pada pendekatan mekanistis dalam menangani komplain dengan berdasarkan pada tiga hal yakni yang pertama adanya kualitas panduan proses yang [133]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
mengarahkan perilaku sehingga terdapat prosedur yang adil, kedua kualitas dari panduan prilaku individu sehingga terjadi interaksi yang adil dan yang ketiga kualitas atas keluaran sehingga terjadi distribusi yang adil. Sedang pada pendekatan organis adalah dengan adanya dukungan dari lingkungan didalam organisasi yang tanggap untuk menangani konflik. Hal ini akan mengarahkan kepada prosedur yang adil, interaksi yang adil dan distribusi yang adil. Ketiga hal ini yang menyebabkan kepuasan pelanggan akan penanganan komplain. Setelah terjadi komplain semua pelanggan menjadi puas. Kepuasan atas penanganan tersebut akhirnya berdampak pada loyalitas pelanggan sebuah institusi. Kunci keberhasilan dalam penyelesaian komplain adalah kemampuan organisasi untuk mempengaruhi perubahan budaya dan keluar dari pikiran tradisional , hal tersebut disampaikan oleh Carney ( 1996 : 21 )dengan pernyataannya sebagai berikut : “ Key to success of any complaints procedure is the ability of an organization to effect cultural change and move away from the ideas of blame opportioment traditionally associates with complain work ; a) to promote a positive imege of complaints, b) information is shared at every level “
d.
e.
The central complaint service produces a quarterly complaints news letter which distribution to all social services staff. The central complaint service is involved in daily net working with local service points chasing action on complaint recommendation and informing them of central action in matters of local complaint (Carney, 1996:22).
Hal-hal yang telah dilakukan oleh Departemen Pelayanan Masyarakat adalah : a. Setiap minggu mengadakan pertemuan untuk meng update komplain antara pusat pelayanan komplain dengan direktur pelayanan masyaraka. b. Menyebarluaskan good practice dan mengembangkan standard konsistensi untuk komplain. c. Mendistribusikan statistik komplain dan bahan –bahan analisis setiap minggu kepada manager/pimpinan. d. Pusat Penanganan Keluhan setiap tiga bulan sekali menghasilkan newsletter yang didistribusikan untuk semua staf pelayanan masyarakat. e. Pusat Pelayanan Komplain setiap hari dilibatkan dalam jaringan kerja dengan bentuk aksi dalam merekomendasikan dan menginformasikan tindakan-tindakan dalam penyelesaikan komplain.
Jadi pandangan tradisional yang menganggap bahwa komplain itu buruk, dapat merusak tatanan harus diubah dengan menyampaikan image positif dari komplain, bahwa komplain dapat memajukan organisasi. Selain itu juga membagikan informasi tersebut pada semua level. Membagikan informasi kepada setiap level sudah diterapkan pada Westminster Social Services Department, dengan beberapa mekanisme dengan menekankan komunikasi dalam menyampaikan informasi komplain melalui setiap level organisasi, yang meliputi : a. A monthly complaints update meeting between the central complaints service and the director of social services. This provides the chies officer with contemporary information on complaints issues and trends and informs service delivery planning and policy development b. Used to disseminate good practice and developed consistence standards of complaints c. The distribution of monthly complaints statistic and analysis materials to service manager within the Social Services Departement. This information is then used locally to inform debate about customer care, complaint and quality issues. Service manager disseminate this information to staff through their minthly meetings.
Mekanisme ini memungkinan pegawai di semua level dapat mengetahui permasalahan organisasi dan menangani setiap komplain yang diajukan. Dengan informasi yang dimiliki oleh setiap pegawai baik tentang komplain apa saja yang sering ditemui dan pengetahuan tentang standar konsistensi komplain diharapkan tidak ada lagi pegawai yang tidak bisa menjelaskan dan mengarahkan kemana dan bagaimana si pengguna pelayanan menyampaikan komplainnya. Dengan mekanisme ini komplain yang disampaikan pelanggan akan dijadikan bahan masukan untuk dianalisis oleh pimpinan sehingga komplain menjadi potensial, karena dengan adanya complain diharapkan akan terjadi perbaikan kinerja terutama dalam pelayanan publik. Berdasarkan pada konsep dan teori diatas maka agar komplain menjadi potensial sebagai sarana untuk memperbaiki kinerja pelayanan publik, maka perlu adanya “Complaint Management”, Complaint Management harus diawali dengan mengubah pandangan tradisional yang semula negatif terhadap komplain menjadi image positif terhadap komplain. Kemudian mengelola konflik berdasarkan pada pendekatan mekanistik dan organis, dan menggunakan mekanisme yang diterapkan oleh Westminster Social Service Departement. [134]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
IV.
KESIMPULAN Konsep New Public Service (NPS) telah menempatkan warga negara tidak hanya sebagai pelanggan pengguna pelayanan publik tetapi juga pemilik pelayanan itu sendiri. Seiring dengan konsep otonomi daerah yang bertujuan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, maka masyarakat memiliki andil dalam melakukan control terhadap pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Fungsi control masyarakat terhadap pelayanan publik dapat dituangkan dalam bentuk penyampaian keluhan atau complain kepada pemberi pelayanan, apabila warga negara merasakan ketidakpuasan atas pelayanan yang diberikan pemerintah. Sebagai wujud pertanggungjawaban pemerintah kepada masyarakat atas pelayanan yang telah dilakukan, maka pemerintah wajib untuk membuka diri menerima keluhan, kritikan, saran yang berasal dari masyarakat serta menindaklanjuti komplain disampaikan oleh masyarakat tersebut. Agar komplain dapat menjadi masukan dalam rangka memperbaiki kinerja pelayanan atau organisasi/birokrasi, maka komplain harus di manage dengan baik dan benar. Hal pertama yang dilakukan untuk mengelola komplain adalah dengan mengubah pandangan negatif terhadap complain, melakukan pendekatan mekanistis dan organis . pendekatan mekanistis dapat dilakukan dengan cara : pertama adanya kualitas panduan proses yang mengarahkan perilaku sehingga terdapat prosedur yang adil, kedua kualitas dari panduan prilaku individu sehingga terjadi interaksi yang adil dan yang ketiga kualitas atas keluaran sehingga terjadi distribusi yang adil. Pendekatan organis dilakukan dengan cara menciptakan dukungan dari lingkungan didalam organisasi yang tanggap untuk menangani konflik dengan melakukan perubahan budaya organisasi yang lebih responsive dan inisiatif. Pengelolaan complain dapat menerapkan mekanisme complain yang dibuat oleh Westminster Social Service Departmen, yaitu dengan melakukan hal berikut ini : a. Setiap minggu mengadakan pertemuan untuk meng update komplain dilakukan oleh pusat pelayanan komplain dengan direktur pelayanan masyarakat (Humas) b. Menyebarluaskan good practice dan mengembangkan standard konsistensi untuk komplain. c. Mendistribusikan statistik komplain dan bahan –bahan analisis setiap minggu kepada manager/pimpinan. d. Pusat Penanganan Keluhan setiap tiga bulan sekali menghasilkan newsletter yang didistribusikan untuk semua staf pelayanan masyarakat. e. Pusat Pelayanan Komplain setiap hari dilibatkan dalam jaringan kerja dengan bentuk aksi dalam merekomendasikan dan
menginformasikan tindakan-tindakan dalam penyelesaikan komplain.
DAFTAR PUSTAKA Arief.
2007, Pemasaran Jasa dan Kualitas Pelayanan, Bayumedia Publishing, Malang Denhardt, Janet V, Robert B. Denhardt. 2007, The New Public Service Serving, Not Steering, M.E. Sharpe Armonk, New York Dwiyanto, Agus. 2006, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Lewis, W. Carol and Stuart C. Gilman. 2005, The Ethics Challenge in Public Service : A Problem Solving Guide Second Edition, Josey Bass A Willey Imprint, San Fransisco Mahmudi. 2005, Manajemen Kinerja Sektor Publik, YPKN, Yogyakarta Moenir, H.A.S.,2008, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta Widaningrum, Ambar. 2009, Reformasi Manajemen Pelayanan Kesehatan : Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan Publik, Gava Media Yogyakarta Jurnal Carney,
Steve. 1996, Celebrate and Record Westminster City Council : Improving Quality Through Complaint Management, Managing Service Quality Volume 6 Number 4 Hamburg, Christian and Andreas Furst. 2005, How Organizational Complaint Handling Drive Customer Loyalty An Analysis of The Mechanistic and The Organics Approach, Journal Of Marketing, July 2005 Hansemark, Ove C dan Marie Albinsson. 2004, Customer Satisfaction and Retention : the experience of individual employees, Managing Service Quality Journal, Volume 14 No. 1 Tahun 2004 Lapidus, S Richard and John A. Schibrowsky. 1994, A Procedure for Developing Customer Service Satisfaction, Journal of Services Marketing Vol 8 No.4, MCB University Vos, J.F.J and G.B. Huitema and E.De. Lange. Ros. 2008, How Organisations Can Learn From Complaint, The TQM Journal Vol 20 No. 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
[135]
Proceeding Simposium Nasional Otonomi Daerah 2011 LAB-ANE FISIP Untirta
ISBN: 978-602-96848-2-7
Identitas Penulis Arenawati, Lahir di Jogjakarta; menempuh Program Sarjana Ilmu Administrasi Negara di FISIP UNSOED Purwokerto; selanjutnya menempuh Magister Ilmu Administrasi Publik di almamater yang sama. Aktif sebagai peneliti di Laboratorium Administrasi Negara FISIP Untirta. Saat ini aktif mengajar di Prodi Ilmu Administrasi Negara FISIP Untirta Serang Banten.
[136]