PELAYANAN PUBLIK DI ERA DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH : DINAMIKA DAN PROBLEMATIKA Indra Mudrawan Pusat Inovasi Kelembagaan dan Sumber Daya Aparatur Deputi Bidang Inovasi Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran 10, Jakarta 10110, Indonesia E-mail: nda_me@yahoo,com
PENDAHULUAN Pelaksanaan Otonomi Daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah
sejak
tahun
2001
membawa
perubahan
dalam
pelaksanaan pemerintahan di daerah. Salah satu perubahan itu adalah pemberian wewenang yang lebih luas dalam penyelenggaraan beberapa bidang pemerintahan. Seiring dengan bertambah luasnya kewenangan ini, maka aparat birokrasi pemerintahan di daerah dapat mengelola dan menyelenggaraan pelayanan publik dengan lebih baik sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Sebagaimana dikemukakan Hoessein, (2001): Otonomi daerah merupakan wewenang untuk mengatur urusan pemerintahan yang bersifat lokalitas menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Dengan demikian desentralisasi sebenarnya menjelmakan otonomi masyarakat setempat untuk memecahkan berbagai masalah dan pemberian layanan yang bersifat lokalitas demi kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Desentralisasi dapat pula disebut otonomisasi, otonomi daerah diberikan kepada masyarakat dan bukan kepada daerah atau pemerintah daerah.
1
Dengan otonomi daerah diharapkan, pemberian pelayanan kepada masyarakat akan dapat terwujud secara efektif dan efisien. Namun, hingga sekarang ini kualitas pelayanan publik masih diwarnai oleh pelayanan yang sulit untuk diakses, prosedur yang berbelit-belit ketika harus mengurus suatu perijinan tertentu, biaya yang tidak jelas serta terjadinya praktek pungutan liar (pungli), merupakan indikator rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Di mana hal ini juga sebagai akibat dari berbagai permasalahan pelayanan publik yang belum dirasakan oleh rakyat. Di samping itu, ada kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik di mana masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki “uang“, dengan sangat mudah mendapatkan segala yang diinginkan. Untuk itu, apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terusmenerus
terjadi,
maka
pelayanan
yang
berpihak
ini
akan
memunculkan potensi yang bersifat berbahaya dalam kehidupan berbangsa. Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar antar yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, peningkatan ekonomi yang lamban, dan pada tahapan tertentu dapat meledak dan merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kemudian, terdapat kecenderungan di berbagai instansi pemerintah pusat yang enggan menyerahkan kewenangan yang lebih besar kepada daerah otonom, akibatnya pelayanan publik menjadi tidak efektif, efisien dan ekonomis, dan tidak menutup kemungkinan
unit-unit pelayanan cenderung tidak memiliki responsibilitas, responsivitas, dan tidak representatif sesuai dengan tuntutan masyarakat. Banyak contoh yang dapat diidentifikasi; seperti pelayanan bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, fasilitas sosial, dan berbagai pelayanan di bidang jasa yang dikelola pemerintah daerah belum memuaskan masyarakat, kalah bersaing dengan pelayanan yang dikelola oleh pihak swasta. Norman Flyn (1990) mengemukakan bahwa pelayanan publik yang dikelola pemerintah secara herarkhis cenderung bercirikan over bureaucratic, bloated, wasteful, dan under performing. Kejadian-kejadian tersebut lebih disebabkan karena paradigma pemerintahan yang masih belum mengalami perubahan mendasar. Paradigma lama tersebut ditandai dengan perilaku aparatur negara di lingkungan birokrasi yang masih menempatkan dirinya untuk dilayani bukannya untuk melayani. Padahal pemerintah seharusnya melayani bukan dilayani. Seharusnya, dalam era demokratisasi dan desentralisasi saat ini, seluruh perangkat birokrasi, perlu menyadari bahwa
pelayanan
berarti
pula
semangat
pengabdian
yang
mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang" (Mustopadidjaja, 2003). Agar
pelayanan
publik
berkualitas,
sudah
sepatutnya
pemerintah mereformasi paradigma pelayanan publik tersebut.
3
Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah penggeseran pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia, menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin mendengarkan suara publik itu sendiri. KONSEPSI DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Isu Desentralisasi dan otonomi daerah adalah isu yang paling aktual setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Daya tarik tersebut tidak hanya karena desentralisasi adalah lawan dari sentralisasi, tetapi lebih dititik beratkan pada kebijakan pemerintah
Orde
Baru
yang
sangat
sentralistik.
Konsep
desentralisasi memiliki dua pengertian yaitu desentralisasi politik dan desentralisasi administratif. Desentralisasi politik diartikan sebagai penyerahan kewenangan yang melahirkan daerah-daerah otonom,
sedangkan
desentralisasi
administratif
merupakan
penyerahan kewenangan pelaksanaan implementasi program yang melahirkan wilayah-wilayah administratif, atau dengan kata lain pendelegasian sebagian dari wewenang untuk melaksanakan program terhadap tingkat yang lebih bawah. (Ichlasul Amal; 1990, 8). Kebutuhan terhadap desentralisasi menurut Cheema and Rondinelli (1983) didorong oleh beberapa faktor, yaitu:
(1) Kegagalan atau kurang efektifnya perencanaan yang terpusat dan pengawasan sentral dalam pembangunan (2) Lahirnya teori-teori pembangunan yang lebih berorientasi kepada kebutuhan manusia. (3) Semakin kompleksnya permasalahan masyarakat yang tidak mungkin lagi dikelola secara terpusat. Lebih lanjut Ryass Rasyid mengatakan tentang desentralisasi bahwa “negara yang sentralistik cenderung tidak mampu menjawab secara cepat dan tepat semua kebutuhan berbagai kelompok masyarakat dan daerah” Paradigma pemerintahan dewasa ini berubah dengan pesat dan ada 5 (lima) pokok perubahan itu, yaitu : (1) Sentralisasi ke desentralisasi perencanaan pembangunan. (2) Pemerintahan besar ke pemerintahan kecil (Big Goverment ke Small Government) (3) Peningkatan Tax ke penuntunan Tax (4) Privatisasi pelayanan (service), dan (5) Social capital ke individual Capital (Rasyid; 1997, 8) Pandangan tersebut adalah langkah antisipasi menyikapi perubahan (globalisasi dan demokratisasi) yang melanda kawasan dunia. Maka terhadap kekuatan tersebut bagi negara yang berbentuk kesatuan maupun federal jawabannya adalah “Desentralisasi”. Setiap makhluk hidup memerlukan otonomi, demikian juga kelompok termasuk negara dan daerah memerlukan otonomi. Jadi otonomi adalah: Suatu kesatuan sosial di namakan otonomi manakala terdapat suatu kesatuan tertentu, yang bebas bertindak atau memilih
5
untuk bertindak, atau tidak melakukan jika menyukai untuk melakukannya (Susilo; 2000, 8). Selanjutnya Tri Ratnawati mengklasifikasikan 4 (empat) tujuan utama desentralisasi, yaitu; (1) Bidang Ekonomi; dalam rangka mengurangi: cost dan menjamin pelayanan publik lebih tepat sasaran; (2) Bidang Politik; dalam upaya mengembangkan grassroots democracy dan mengurangi penyalahgunaan kekuasaan oleh pusat serta diharapkan mencegah disintegrasi nasional; (3) Bidang administrasi; dalam rangka red tape birokrasi dan pengambilan keputusan menjadi lebih efektif; (4) Bidang Sosial Budaya; mengembangkan kebhinekaan dan budaya lokal (Jurnal Otonomi Daerah; 2002, 2). Sementara itu menyangkut otonomi, secara filosofis ideologis dipandang
sebagai
suatu
mekanisme
yang
memungkinkan
tumbangnya partisipasi yang luas bagi masyarakat dan mendorong agar daerah mampu membuat keputusan secara mandiri tanpa harus tergantung kepada pemerintah pusat (Siti Zuhro; 1990, 18). Arti pentingnya otonomi juga dikemukakan oleh Kenichi Ohmae bahwa otonomi adalah kata kunci untuk memajukan perekonomian negara untuk masa-masa kedepan. Dan batas negara akan ditembus oleh 4 (empat) faktor yaitu investment, individual consumers, Industri and information. (Jurnal Otonomi Daerah; 1999, 18).
KONSEPSI PELAYANAN PUBLIK Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa “pelayanan adalah suatu usaha untuk membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan orang lain. Sedangkan pengertian service dalam Oxford (2000) didefinisikan sebagai “a system that provides something that the public needs, organized by the government or a private company”. Menyimak pengertian tersebut, maka pelayanan berfungsi sebagai sebuah sistem yang menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sementara istilah publik, yang berasal dari bahasa Inggris (public), terdapat beberapa pengertian, yang memiliki variasi arti dalam bahasa Indonesia, yaitu umum, masyarakat, dan negara. Public dalam pengertian “umum” atau masyarakat dapat kita temukan dalam istilah public offering (penawaran umum), public ownership (milik umum), dan public utility (perusahaan umum), public relations (hubungan masyarakat), public service (pelayanan masyarakat), public interest (kepentingan umum) dll. Sedangkan dalam pengertian “negara” salah satunya adalah public authorities (otoritas negara), public building (bangunan negara), public revenue (penerimaan negara) dan public sector (sektor negara) . Dalam hal ini, pelayanan publik merujukkan istilah publik lebih dekat pada pengertian masyarakat atau umum. Namun demikian pengertian publik yang melekat pada pelayanan publik tidak sepenuhnya sama dan sebangun dengan pengertian masyarakat. Nurcholish (2005: 178) memberikan pengertian publik sebagai sejumlah orang yang
7
mempunyai kebersamaa berfikir, perasaan, harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Meneg
PAN)
Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003,
memberikan
pengertian pelayanan publik yaitu segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dalam Oxford (2000) dijelaskan pengertian public service sebagai “a service such as transport or health care that a government or an official organization provides for people in general in a particular society”. Fungsi pelayanan publik adalah salah satu fungsi fundamental yang harus diemban pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah. Fungsi ini juga diemban oleh BUMN/BUMD dalam memberikan dan menyediakan layanan jasa dan atau barang publik Pada prinsipnya pelayanan publik berbeda dengan pelayanan swasta. Namun demikian terdapat persamaan di antara keduanya, yaitu: a. keduanya
berusaha
memenuhi
harapan
pelanggan,
dan
mendapatkan kepercayaannya; b. Kepercayaan pelanggan adalah jaminan atas kelangsungan hidup organisasi. Sementara karakteristik khusus dari pelayanan publik yang membedakannya dari pelayanan swasta adalah:
a. Sebagian besar layanan pemerintah berupa jasa, dan barang tak nyata. Misalnya
perijinan, sertifikat, peraturan, informasi
keamanan, ketertiban, kebersihan, transportasi
dan lain
sebagainya. b. Selalu terkait dengan jenis pelayanan-pelayanan yang lain, dan membentuk sebuah jalinan sistem pelayanan yang bersaka regional, atau bahkan nasional. Contohnya dalam hal pelayanan transportasi,
pelayanan bis kota akan bergabung dengan
pelayanan mikrolet,
bajaj, ojek, taksi dan kereta api untuk
membentuk sistem pelayanan angkutan umum di Jakarta. c. Pelanggan internal cukup menonjol, sebagai akibat dari tatanan organisasi pemerintah yang cenderung birokratis. Dalam dunia pelayanan berlaku prinsip utamakan pelanggan eksternal lebih dari pelanggan internal. Namun situasi nyata dalam hal hubungan antar lembaga pemerintahan sering memojokkan petugas pelayanan agar mendahulukan pelanggan internal. d. Efisiensi dan efektivitas pelayanan akan meningkat seiring dengan peningkatan mutu pelayanan. Semakin tinggi mutu pelayanan bagi masyarakat, maka
semakin tinggi pula
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Dengan demikian akan semakin tinggi pula peran serta masyarakat dalam kegiatan pelayanan. e. Masyarakat secara keseluruhan diperlakukan sebagai pelanggan tak langsung, pengembangan
yang sangat berpengaruh kepada upaya-upaya pelayanan.
Desakan
untuk
memperbaiki
9
pelayanan oleh polisi bukan dilakukan oleh hanya pelanggan langsung (mereka yang pernah mengalami gangguan keamanan saja), akan tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat. f. Tujuan akhir dari pelayanan publik adalah terciptanya tatanan kehidupan
masyarakat
yang
berdaya
untuk
mengurus
persoalannya masing-masing. Secara umum, pelayanan dapat berbentuk barang yang nyata (tangible), barang tidak nyata (intangible), dan juga dapat berupa jasa. Layanan barang tidak nyata dan jasa adalah jenis layanan yang identik. Jenis-jenis pelayanan ini memiliki perbedaan mendasar, misalnya bahwa pelayanan barang sangat mudah diamati dan dinilai kualitasnya, sedangkan pelayanan jasa relatif lebih sulit untuk dinilai. Walaupun demikian dalam prakteknya keduanya sulit untuk dipisahkan. Suatu pelayanan jasa biasanya diikuti dengan pelayanan barang, misalnya jasa pemasangan telepon berikut pesawat teleponnya, demikian pula sebaliknya pelayanan barang selalui diikuti dengan pelayanan jasanya. Namun demikian, secara garis besar, pelayanan dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu barang dan jasa. Berikut ini adalah karakteristik pelayanan dari Gronroos (1990) yang menjelaskan perbedaan antara pelayanan barang dan jasa.
Tabel. 1 Perbedaan Karakteristik antara Barang dan Jasa Barang Sesuatu yang berwujud
Jasa Sesuatu yang tidak berwujud
Satu jenis barang dapat Satu bentuk pelayanan kepada berlaku untuk banyak seseorang belum tentu sesuai /sama orang (homogen) dengan bentuk jasa pelayanan kepada orang lain (heterogen) Proses produksi dan Proses produksi dan distribusi distribusinya terpisah pelayanan berlangsung ber-samaan dengan proses pada saat dikonsumsi konsumsi Berupa barang/benda Berupa proses/kegiatan Nilai utamanya Nilai utamanya dihasilkan dalam dihasilkan di proses interaksi antara penjual dan perusahaan pembeli. Pembeli pada Pembeli terlibat dalam proses umumnya tidak terlibat produksi dalam proses produksi Dapat disimpan sebagai Tidak dapat disimpan persediaan Dapat terjadi Tidak ada perpindahan kepemilikan perpindahan kepemilikan Sumber: Gronroos (1990) Lebih lanjut Savas (1987) mengelompokkan jenis-jenis barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dan individu
ke dalam 4
(empat) kelompok berdasarkan konsep exclusion dan consumption dalam hal pengelolaan penyedian pelayanan publik. Ciri dari exclusion akan melekat pada barang/jasa jika pengguna potensialnya dapat ditolak menggunakannya kecuali kalau yang bersangkutan
11
dapat
memenuhi
persyaratan-persyaratan
yang
ditentukan
penyedianya. Barang/jasa tersebut hanya dapat dipindah tangankan apabila terjadi kesepakatan antara pembeli dan pemasok. Sedangkan dari segi consumption adalah bahwa barang konsumsi merupakan barang atau jasa yang dapat dipergunakan secara bersama-sama atau kolektif oleh banyak orang tanpa ada pengurangan kualitas maupun kuantitasnya. Tabel. 2 Pengelompokan Barang dan Jasa berdasarkan Ciri Dasar Exclusion dan Consumption Exclusion
Consumption Konsumsi Konsumsi Individual Kolektif
Mudah mencegah Barang orang lain untuk ikut privat menikmati Sulit mencegah orang Barang lain untuk ikut semi privat menikmati Sumber : Savas, (1987)
Barang semi publik Barang publik
Barang Privat. Barang dan jasa jenis ini dikonsumsi secara individual dan tidak dipeoleh oleh si pemakai tanpa persetujuan pemasoknya. Bentuk persetujuan biasanya dilakukan dengan penetapan dan negosiasi harga tertentu, serta transaksi pembelian. Contoh : makanan, pakaian. Barang semi privat. Barang dan jasa jenis ini dikonsumsi secara
individual,
namun
sulit
mencegah
siapapun
untuk
memperolehnya meskipun mereka tidak mau membayar, atau biasa
disebut juga sebagai barang semiprivat. Contoh dari barang semiprivat ini adalah pembelian radio ketika dinyatakan, si pemilik tidak dapat mencegah orang lain untuk tidak ikut mendengarkan. Barang semi publik. Barang dan jasa jenis ini umumnya digunakan secara bersama-sama, namun si pengguna harus membayar dan mereka yang tidak dapat/mau membayar dapat dengan mudah dicegah dari kemungkinan menikmati barang tersebut. Semakin sulit atau mahal mencegah seseorang konsumen potensial dari pemanfaatan toll goods semakin serupa barang tersebut dangan ciri barang publik (Collective Goods). Atau biasa disebut juga dengan barang semi publik. Misal: jalan Toll, Jembatan Timbang. Barang publik. Barang dan jasa ini umumnya digunakan secara bersama-sama dan tidak mungkin mencegah siapapun untuk menggunakannya, sehingga masyarakat (pengguna) pada umumnya tidak bersedia membayar berapapun tanpa dipaksa untuk memperoleh barang ini. Misal: jalan raya, taman Dari keempat pengelompokan barang tersebut, penyediaan jenis barang privat dan semi privat, dapat murni dilakukan oleh swasta. Sedangkan penyediaan barang semi publik dapat dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta. Khusus untuk penyediaan jenis barang publik haruslah oleh pemerintah. Selanjutnya Nurcholis (2005: 180) secara rinci membagi fungsi pelayanan publik ke dalam bidang-bidang sebagai berikut: a. Pendidikan.
13
b. Kesehatan. c. Keagamaan. d. Lingkungan: tata kota, kebersihan, sampah, penerangan. e. Rekreasi: taman, teater, musium, turisme. f. Sosial. g. Perumahan. h. Pemakaman/krematorium. i.
Registrasi penduduk: kelahiran, kematian.
j.
Air minum.
k. Legalitas (hukum), seperti KTP, paspor, sertifikat, dll. Dalam Kep. Menpan
No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, pengelompokan pelayanan publik secara garis besar adalah sebagai berikut: 1. Pelayanan administratif 2. Pelayanan barang 3. Pelayanan jasa Dari berbagai jenis pengelolaan pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah tersebut, timbul beberapa persoalan dalam hal penyediaan pelayanan publik. Persoalan-persoalan tersebut diidentifikasi Wright (dalam LAN, 2003: 16) sebagai berikut: 1. Kelemahan yang berasal dari sulitnya
menentukan atau
mengukur output maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. 2. Pelayanan yang diberikan pemerintah memiliki ketidakpastian
tinggi dalam hal teknologi produksi sehingga hubungan antara output dan input tidak dapat ditentukan dengan jelas. 3. Pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line” artinya seburuk apapun kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut. 4. Berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam memecahkan masalah eksternalities, organisasi pelayanan pemerintah menghadapi masalah berupa internalities. Artinya, organisasi pemerintah sangat sulit mencegah pengaruh nilainilai dan kepentingan para birokrat dari kepentingan umum masyarakat yang seharusnya dilayaninya. Di sisi lain, sektor swasta berperan dalam hal penyediaan barang dan jasa yang bersifat privat. Situasi persaingan selalu timbul dalam penyelenggaraan penyediaan barang dan jasa oleh sektor swasta. Ada kalanya pemerintah juga menyediakan layanan barang privat. Untuk menghindari crowding out effect, dimana pemerintah lebih berperan sebagai kompetitor pemain pasar lainnya, perlu diatur secara jelas, mana barang dan jasa yang harus diserahkan ke swasta, mana yang dapat dikerjakan secara bersama-sama, dan mana yang murni dikerjakan oleh pemerintah PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH : DINAMIKA DAN PROBLEMATIKANYA Di era otonomi daerah saat ini, seharusnya pelayanan publik menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik, di mana paradigma pelayanan publik beralih dari pelayanan yang sifatnya
15
sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan (customer-driven government) dengan ciri-ciri: 1. lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada masyarakat; 2. lebih memfokuskan
diri pada
pemberdayaan
masyarakat
sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama; 3. menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas; 4. terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil (outcomes) sesuai dengan masukan yang digunakan; 5. lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat; 6. memberi akses kepada masyarakat dan responsif terhadap pendapat dari masyarakat tentang pelayanan yang diterimanya; 7. lebih
mengutamakan
antisipasi
terhadap
permasalahan
pelayanan; 8. lebih mengutamakan desetralisasi dalam pelaksanaan pelayanan dan ;
9. menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan. Namun dilain pihak, pelayanan publik juga memiliki beberapa sifat antara lain: a. memiliki dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya; b. memiliki wide stakeholders; c. memiliki tujuan sosial; d. dituntut untuk akuntabel kepada publik; e. memiliki complex and debated performance indicators, serta ; f. seringkali menjadi sasaran isu politik (Mohamad, 2003) Pada dasarnya pemerintah telah melakukan berbagai upaya agar menghasilkan pelayanan yang lebih cepat, tepat, manusiawi, murah, tidak diskriminatif, dan transparan. Selain itu, pemerintah juga
sedang
menyusun
Rancangan
Undang-Undang
tentang
Pelayanan Publik yang isinya akan memuat standar pelayanan minimum.
Namun,
upaya-upaya
yang
telah
ditempuh
oleh
pemerintah nampaknya belum optimal. Salah satu indikator yang dapat dilihat dari fenomena ini adalah pada fungsi pelayanan publik yang banyak dikenal dengan sifat birokratis dan banyak mendapat keluhan dari masyarakat karena masih belum memperhatikan kepentingan masyarakat penggunanya. Kemudian, pengelola pelayanan publik cenderung lebih bersifat direktif yang hanya memperhatikan/mengutamakan kepentingan pimpinan/organisasinya saja. Masyarakat sebagai pengguna seperti tidak memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suka, mau tidak mau, mereka harus tunduk kepada pengelolanya.
17
Seharusnya, pelayanan publik dikelola dengan paradigma yang bersifat supportif di mana lebih memfokuskan diri kepada kepentingan masyarakatnya, pengelola pelayanan harus mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani. Menurut hasil survey yang dilakukan UGM pada tahun 2002, secara umum stakeholders menilai bahwa kualitas pelayanan publik mengalami perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah; namun, dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif) masih jauh dari yang diharapkan dan masih memiliki berbagai kelemahan. Berkaitan dengan hal-hal tersebut, memang sangat disadari bahwa pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan, antara lain (Mohamad, 2003): 1. Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap
berbagai
keluhan,
aspirasi,
maupun
harapan
masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali. 2. Kurang
informatif.
Berbagai
informasi
yang
seharusnya
disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat. 3. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.
4. Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait. 5. Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan di lain pihak kemungkinan
masyarakat
untuk
bertemu
dengan
penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan. 6. Kurang mau mendengar keluhan/saran /aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu. 7. Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.
19
Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien (Mohamad, 2003). Terkait dengan itu, berbagai pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah tersebut masih menimbulkan persoalan (Suprijadi, 2004). Beberapa kelemahan mendasar antara lain: pertama, adalah kelemahan yang berasal dari sulitnya menentukan atau mengukur output maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Kedua, pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line” artinya seburuk apapun kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut. Ketiga, berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam memecahkan masalah eksternalities, organisasi pelayanan pemerintah menghadapi masalah berupa internalities. Artinya, organisasi pemerintah sangat sulit mencegah pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat dari kepentingan umum masyarakat yang seharusnya dilayaninya. Sementara karakteristik pelayanan pemerintah yang sebagian besar bersifat monopoli sehingga tidak menghadapi permasalahan persaingan
pasar
menjadikan
lemahnya
perhatian
pengelola
pelayanan publik akan penyediaan pelayanan yang berkualitas. Lebih
buruk lagi kondisi ini menjadikan sebagian pengelola pelayanan memanfaatkan untuk mengambil keuntungan pribadi, dan cenderung mempersulit prosedur pelayanannya. Akibat permasalahan tersebut, citra buruk pada pengelolaan pelayanan publik masih melekat sampai saat ini sehingga tidak ada kepercayaan masyarakat pada pengelola pelayanan. Kenyataan ini merupakan tantangan yang harus segera diatasi terlebih pada era persaingan bebas pada saat ini. Profesionalitas
dalam
pengelolaan
pelayanan
publik
dan
pengembalian kepercayaan masyarakat kepada pemerintah harus diwujudkan. Selain itu, terdapat lima gap yang perlu diperhatikan dalam setiap pelayanan publik, (Parasuraman, 1985) yaitu: (1) kesenjangan antara jasa yang dipersepsikan oleh manajemen dengan jasa yang diharapkan oleh konsumen, (2) persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dengan apa yang ditangkap oleh bawahan/ karyawannya, (3) konsep pelayanan yang dimengerti oleh karyawan dengan komunikasi dan aktifitasnya dalam memberikan pelayanan kepada konsumen, (4) tindakan dari pemberi layanan dengan jasa yang dipersepsikan oleh konsumen, dan (5) Kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan pelanggan (Expected Service) dengan pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan (Percieved service). Bagaimana kesenjangan pelayanan tersebut dapat dilihat pada model berikut ini.
21
KESENJANGAN PELAYANAN
Marketing Research Orientation Upward Communication
GAP 1
Levels of Management Management Commitment to Service Quality
Tangibles
Goal Setting GAP 2 Task Standardization
Reliability
Perception of Feasibility
GAP 5 (Service Quality)
Teamwork
Responsiveness
Employee-Job Fit Technology-Job Fit Perceived Control
GAP 3
Assurance
Supervisory Control System Empathy
Role Conflict Role Ambiguity Horizontal Communication Propensity to Overpromise
GAP 4
Sumber: Delivering Quality Service, Parasuraman, et. al., (1985)
Penjelasan terhadap kelima kesenjangan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kesenjangan antara harapan pelanggan (Expected Service) dengan persepsi manajemen (Management Perception of Customer
23
Expectation).
Hal
ini
terjadi
disebabkan
karena
kurang
dilakukannya survey akan kebutuhan pasar atau kurang dimanfaatkannya hasil penelitian secara tepat serta kurang terjadinya interaksi antara penyedia pelayanan dan pelanggan. Penyebab lainnya adalah kurang terjadinya komunikasi antara pihak manajemen dengan petugas penyedia pelayanan (customer contact personel), padahal dari merekalah paling banyak diperoleh informasi tentang hal-hal yang menjadi harapan pelanggan. Terakhir adalah faktor klasik dari terlalu banyaknya jenjang birokrasi dalam unit pelayanan juga merupakan salah satu faktor munculnya kesenjangan ini. 2. Kesenjangan
antara
persepsi
manajemen
(Management
Perception of Customer Expectation) dengan spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality Specification). Kesenjangan ini terjadi ketika komitmen manajemen kurang dalam mewujudkan kualitas pelayanan, serta kurang tepatnya persepsi manajemen terhadap kualitas pelayanan yang diinginkan pelanggan, demiian pula dengan tidak adanya standarisasi dalam penyediaan pelayanan, dan tidak adanya penetapan tujuan yang jelas dalam penyediaan pelayanan. 3. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas pelayanan (Service Quality Specification) dengan penyampaian pelayanan (Service Delivery). Kesenjangan ini terjadi karena muncul konflik peran dalam diri pegawai dalam hal keinginan untuk memenuhi harapan pelanggan dengan keinginan untuk memenuhi harapan pimpinan.
Selain itu juga adalah teknoloi yang tidak sesuai dalam mendukung pelayanan, tidak ada evaluasi dan penghargaan, serta kurang kerjasama internal. 4. Kesenjangan antara komunikasi eksternal kepada pelanggan (External
Communication
to
Customers)
dengan
proses
penyampaian pelayanan (Service Delivery). Penyebab kesenjangan ini adalah tidak adanya komunikasi horizontal dalam organisasi. 5. Kesenjangan antara pelayanan yang diharapkan pelanggan (Expected Service) dengan pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan
(Percieved
service).
Kesenjangan
kelima
ini
menunjukkan dan menggambarkan ukuran dari tingkat kepuasan masyarakat terjadap kinerja organisasi pelayanan. Berbeda dengan kesenjangan sebelum-nya, kesenjangan kelima ini menitikberatkan pada sisi pelanggan Dengan melihat masih buruknya kinerja pelayanan publik di negara kita ini, kiranya harus dicarikan jalan keluar yang terbaik antara
lain
dengan
memperhatikan
gap-gap/kesenjangan-
kesenjangan tersebut di atas sehingga permasalahan-permasalahan tersebut di atas dapat diminimalisir; sehingga ke depan, kinerja pelayanan publik diharapkan dapat memenuhi keinginan masyarakat yaitu terciptanya pelayanan publik yang prima. Dalam hal untuk menggali pandangan masyarakat terhadap mutu pelayanan yang diberikan oleh aparatur yang didasarkan pada beberapa kategori, aspek-aspek yang dijadikan dasar pengukuran meiliputi beberapa unsur, di antaranya: Pertama, tangibility, yaitu
25
berupa kualitas pelayanan yang dilihat dari sarana fisik yang kasat mata, dengan indikator-indikatornya yang meliputi sarana parkir, ruang tunggu, jumlah pegawai, media informasi pengurusan, media informasi keluhan, dan jarak ke tempat layanan. Kedua adalah reliability, yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari sisi kemampuan dan kehandalan dalam menyediakan layanan yang terpercaya, meliputi proses waktu penyelesaian layanan dan proses waktu pelayanan keluhan. Ketiga, bertitik tolak dari kemampuan dan kehandalan yang dipunyai, untuk selanjutnya indikator kualitas pelayananpun harus ditunjang dari sisi responsiveness-nya, yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari sisi kesanggupan untuk membantu dan menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat, serta tanggap terhadap keinginan konsumen. Keempat adalah assurance, yaitu kualitas pelayanan yang dilihat dari sisi kemampuan petugas dalam meyakinkan kepercayaan masyarakat. Adapun indikator-indikatornya adalah dengan adanya kejelasan mengenai mekanisme layanan dan kejelasan mengenai tarif layanan. Kelima adalah empathy, yaitu kualitas pelayanan yang diberikan berupa sikap tegas tetapi penuh perhatian terhadap masyarakat (konsumen). Dalam konteks ini, indikator yang dilihat adalah adanya sopan santun petugas selama pelayanan berlangsung dan bantuan khusus dari petugas selama proses pelayanan berlangsung. Namun demikian, berbagai cara yang diusulkan di atas, tidak dapat terlaksana dengan sempurna apabila prasyarat utama
diabaikan. Prasyarat tersebut meliputi 5 (lima) aspek seperti di bawah ini yaitu (Parasurarman, 1985): a. Proses dan prosedur. Proses dan prosedur pelayanan dapat meliputi prosedur pelayanan langsung kepada pelanggan, dan proses pengolahan pelayanan yang merupakan proses internal dalam menghasilkan pelayanan. Dalam proses dan prosedur ini meliputi seluruh aktifitas kegiatan pelayanan secara berurutan dimulai dengan aktifitas yang dilakukan ketika pertama kali pelanggan datang, dan bahkan setelah pelayanan itu selesai (after service.) b. Persyaratan pelayanan. Persyaratan pelayanan merupakan halhal yang harus dipenuhi oleh pelanggan untuk mendapatkan pelayanan. Persyaratan pelayanan dapat berupa dokumen atau surat-surat. Persyaratan pelayanan perlu diidentifikasi dari tiap aktifitas pelayanan sehingga untuk keseluruhan persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelanggan termasuk biaya total yang harus dibayar oleh pelanggan. c. Sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Sarana pelayanan merupakan berbagai fasilitas yang diperlukan dalam rangka memberikan pelayanan. Sarana yang digunakan dapat merupakan sarana yang utama dan sarana pendukung. Sarana utama merupakan sarana yang disediakan dalam rangka proses pelayanan yang meliputi antara lain berbagi fomulir, fasilitas pengolahan data. Sedangkan sarana pendukung adalah fasilitas yang pada umumnya disediakan dalam rangka memberikan
27
pelayanan pendukung antara lain seperti penyediaan fasilitas ruang tunggu yang nyaman, pemyediaan layanan antaran dan lain-lain. Sedangkan prasarana merupakan berbagai fasilitas yang mendukung sarana pelayanan anatara lain berupa jalan menuju kantor pelayanan. d. Waktu dan Biaya Pelayanan. Dengan ditentukannya waktu dan biaya yang terpakai untuk setiap aktifitas yang dilakukan pada proses pengolahan, maka akan dapat ditentukan waktu dan biaya yang akan digunakan untuk melayani satu jenis pelayanan sejak awal pelanggan menemui petugas pelayanan sampai pelayanan selesai dilakukan. e. Pengaduan Keluhan. Pengaduan keluhan merupakan mekanisme yang dapat ditempuh oleh pelanggan untuk menyatakan ketidakpuasannya terhadap pelayanan yang diterima.Pengaduan keluhan merupakan hal yang sangat penting mengingkat perbaikan kualitas pelayanan terus menerus tidak lepas dari masukan pelanggan yang biasanya dalam bentuk keluhan. PENUTUP Di era demokratisasi dan desentralisasi saat ini, seluruh perangkat birokrasi, perlu menyadari bahwa pelayanan berarti pula semangat
pengabdian
yang
mengutamakan
efisiensi
dan
keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan
menghambat",
"mempermudah,
bukan
mempersulit",
"sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang". Pemerintah harus merubah paradigma lamanya dari yang dilayani menjadi pelayanan dan pengabdi masyarakat. Peningkatan kualitas pelayanan publik yang dilakukan di daerah-daerah seyogyanya dapat diwujudkan melalui terbentuknya komitmen moral yang tinggi dari seluruh aparatur daerah dan dukungan stakeholders lainnya. Kuatnya komitmen kepemimpinan khususnya para kepala daerah dengan didukung oleh staf atau tim internal yang berfungsi sebagai pemikir dan mitra dialog kepala daerah,
secara
signifikan
akan
mampu
mengoptimalisasi
terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik di daerahnya. Tim internal pemerintah daerah yang bersangkutan berposisi sebagai pembaharu dalam sistem birokrasinya. Tim tersebut dapat terdiri dari para kepala dinas atau pejabat-pejabat yang memiliki visi dan misi serta strategis yang sama dengan Kepala Daerah yang bersangkutan. Selain tim internal pemerintah daerah, seyogyanya keterlibatan stakeholder lainnya (tim eksternal) perlu dilibatkan guna memberikan masukan, evaluasi dan saran-saran yang berguna bagi terwujudnya peningkatan kualitas pelayanan publik. Sumber daya yang ada merupakan daya dukung yang signifikan demi lancarnya pelayanan yang berkualitas. SDM atau karyawan yang terampil, memiliki wawasan serta sisi kemanusiaan yang kuat misalnya emphaty adalah faktor utama dari sumber daya yang harus dimiliki terlebih dahulu. Guna menjalankan organisasi memerlukan
29
daya dukung keuangan dan teknologi maju terutama di bidang ICT dan tampilan fisik seperti gedung yang feasible dapat mempengaruhi citra kuatnya komitmen pemerintah dalam memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakatnya. Melibatkan
masyarakat
untuk
secara
aktif
mengawasi,
mengevaluasi, dan memberi masukan akan menumbuhkan suasana hubungan antara warga dengan pemberi pelayanan terbina secara harmonis di mana sikap birokrasi menjadi lebih terbuka, jujur, transparan, serta tidak diskriminatif.
DAFTAR PUSTAKA Atep, Adya Barata, 2003, Dasar-Dasar Pelayanan Prima, Gramedia, Jakarta. Berry, Leonard, L., A, Parasuraman., 1991, Marketing Services : Competing Through Quality, 1th ed. New York; The Free Press. Direktorat Aparatur Negara, Bappenas, 2004, Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik, Jakarta. Dwiyanto, Agus, 2002, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. Flyn, N, 1990, Public Sector Management, Harvester Wheatsheaf, London. Hanif, Nurcholis, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT. Grasindo, Jakarta. Hoessein, Benyamin, 2001, Prospek Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah dari Sudut Pandang Hukum Tata Negara : Seminar dan Lokakarya Nasional Strategi Resolusi Kebijakan dan Implementasi Otonomi Daerah
Dalam Kerangka Good Governance, Lembaga Administrasi Negara. Leach S., Stewart, J., Walsh,K. 1994, The Changing Organization and Management of Local Government, McMillan Press Ltd, London. Lovelock., Christopher., 1994, Product Plust, Mc Graw-Hill, New York Mohammad, Ismail, 2003, Aktualisasi Pelayanan Prima dalam Kapasitas PNS sebagai Abdi Negara dan Abdi Masyarakat, Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel Optimalisasi Peran PNS pada Pelaksanaan Tugas Pokok sebagai Abdi Negara dan Abdi Masyarakat yang diselenggarakan oleh Unit KORPRI POLRI Pusat, 23 Oktober 2003, Jakarta. Mustopadidjaja, AR, 2002, Kompetensi Aparatur Dalam Memikul Tanggung Jawab Otonomi Daerah Dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Ceramah Perdana pada Program Magister Manajemen Pembanggunan Daerah, Kerjasama STIA-LAN, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Universitas Mulawarman, 15 Januari 2002, Samarinda. Osborne, David & Ted Gaebler, 1992, Reinventing Government : How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector Reading, Massachussetss : A William Patrick Book. Parasuraman, A., Valerie A. Zeithmal, and Leonard L. Berry, 1985. A conceptual Model of Service Quality and It’s Implication for Future Research, Journal Marketing. Suprijadi, Anwar, 2004, Kebijakan Peningkatan Kompetensi Aparatur dalam Pelayanan Publik, disampaikan pada Peserta DiklatpimTingkatII Angkatan XIII Kelas A dan B,Jakarta. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur NegaraNo. 63/KeP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
31