November 2013
Policy Paper
Menakar dan Mengoptimalkan Dampak Desentralisasi dan Otonomi Terhadap Pelayanan Publik dan Daya Saing (Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014)
A
Pengarah: Max Hasudungan Pohan Deputi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Supervisor: Wariki Sutikno, Direktur Otonomi Daerah Bappenas Tim Auracher, Former Team Leader of Fiscal Decentralisation Component-DeCGG/GIZ Mellyana Frederika, Project Manager PGSP/UNDP Task Force Team Leader: Astia Dendi Editor: Astia Dendi Faisar Jihadi Harry Seldadyo Penyusun/Perumus: Antonius Tarigan Daryll Ichwan Akmal Robert Endi Jaweng Roby Alexander Sirait Budi Raharjo Asep Saepudin Mohammad Roudo Ervan Arumansyah Alen Ermanita Pengumpul Data: Roby Alexander Sirait Budi Raharjo Umi Hanik Rizky Shantika Putrie Rufita Sri Hasanah Wawan Purwandi Yunior Rumanige Didukung oleh: Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH melalui program Decentralisation as Contribution to Good Governance (DeCGG) dan UNDP-Provincial Governance Strengthening Programme (PGSP)
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Direktorat Otonomi Daerah Jl. Taman Suropati 2 Jakarta 10310 Telp. (021) 31936207 Website: www.bappenas.go.id B
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
Policy Paper
Menakar dan Mengoptimalkan Dampak Desentralisasi dan Otonomi Terhadap Pelayanan Publik dan Daya Saing (Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014)
i
Kata Pengantar
Babak baru penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah yang telah berlangsung lebih dari satu dekade, dinilai banyak pihak telah berada pada jalur yang benar dan telah memberi banyak manfaat bagi masyarakat. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa implementasi desentralisasi dan otonomi daerah masih dihadang oleh berbagai kendala dan permasalahan. Di sisi lain, perubahan-perubahan regionalglobal yang terjadi dengan cepat pada akhir-akhir ini juga perlu disikapi dengan cermat agar sasaran-sasaran pembangunan nasional bisa dicapai sebagaimana diharapkan. Dengan dilatari pandangan di atas, Direktorat Otonomi Daerah BAPPENAS menggagas dilakukannya evaluasi implementasi RPJMN 2010-2014 bidang desentralisasi dan otonomi daerah. Hasil yang diharapkan dari evaluasi tersebut adalah informasi dan pemahaman tentang faktor-faktor pengungkit serta kendala pencapaian sasaransasaran implementasi desentralisasi dan otonomi daerah. Titik berat penilaian adalah pencapaian sasaran-sasaran pelayanan publik dan daya saing. Lebih jauh lagi, informasi dan pemahaman yang diperoleh dari evaluasi akan digunakan sebagai masukan dalam penyempurnaan atau pemantapan strategi perbaikan pelayanan publik dan daya saing daerah ke depan (RPJMN 2015-2019). Policy paper ini disusun berdasarkan hasil evaluasi RPJMN tersebut. Pelaksanaan evaluasi didukung oleh Deutsche Gesellschaft fuer Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH melalui program Decentralisation as Contribution to Good Governance (DeCGG), serta UNDP melalui Provincial Governance Strengthening Program (PGSP). Tim evaluasi bekerja selama lebih dari 12 bulan supervisi dari Kami. Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Direktur Program DeCGG/ GIZ serta kepada Manajer Proyek PGSP/ UNDP atas dukungan yang diberikan sehingga policy paper ini dapat dirampungkan. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh anggota Tim Evaluasi termasuk staf Direktorat Otonomi Daerah Bappenas. Kami juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Manfred Poppe atas masukanmasukannya dalam pengembangan metodologi.
ii
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
Kami juga menyampaikan penghargaan kepada perwakilan dari Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah Bangka Belitung, Gorontalo, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, dan Kalimantan Timur, serta kepada Lembaga Swadaya Masyarakat dan seluruh Mitra Pembangunan Internasional yang telah memberikan masukan bagi penyusunan dokumen ini. Akhir kata kami berharap policy paper ini bermanfaat dalam penyusunan kebijakan ke depan sebagaimana diharapkan. Jakarta, November 2013
Wariki Sutikno Direktur Otonomi Daerah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
iii
Daftar Isi
Kata Pengantar
ii
Daftar Isi
iv
Daftar Singkatan Prawacana
iv
vi viii
Bab 1 Kerangka Evaluasi
1
Latar Program
1
Dasar Pikir
2
Metode Kerja
4
Bab 2 Hasil-Hasil Evaluasi
7
Pencapaian Sejumlah Sasaran (Goals dan Overall Goals) RPJMN 20102014
7
Tipologi Masalah Sejumlah Elemen Desentralisasi dan Otonomi Daerah
23
Bab 3 Rekomendasi Kebijakan
37
Tata Kelola dan Kesejahteraan
37
Pembagian Urusan
38
Penataan Kelembagaan
40
Manajemen Aparatur
41
Perencanaan dan Penganggaran
42
DOB: Daerah Persiapan
44
Monitoring dan Evaluasi
44
Referensi
46
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
Daftar Gambar Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15.
Kerangka Evaluasi Tengah Periode RPJMN Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Pengangguran Perkembangan Capaian IPM Nasional, 2004-2011 Perkembangan Capaian IPM Regional (Provinsi), 2004 dan 2011 Komparasi Peningkatan IPM Regional, 2004 dan 2011 Nilai ILEGI dari 50 Kabupaten/Kota Tingkat Kemiskinan di Pedesaan dan Perkotaan Indonesia Pilar Penentu Daya Saing Indonesia (Global Competitiveness Report-WEF) Komposisi Belanja Daerah Kurun 2007-2011 Silpa APBD Kabupaten Kota Silpa APBD Provinsi Pembentukan Daerah OtonomBaru (DOB) Indeks Pembangunan Manusia Angka Harapan Hidup Produk Domestik Regional Bruto
Daftar Tabel Tabel 1. Capaian beberapa indikator RPJMN 2010 - 2014 Tabel 2. Daya Saing Provinsi di Indonesia, 2012 (studi ACI-LKY-NUS, Tabel 3. Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. Tabel 10. Tabel 11. Tabel 12.
2013) Hasil Regresi Pengaruh Daya Saing dan Pelayanan Publik terhadap IPM Capaian Proritas Sektor Kesehatan Pengaruh tata kelola (institusi) terhadap daya saing regional Pengaruh Daya Saing dan Pelayanan Publik terhadap Kemiskinan Pengaruh Daya Saing dan Pelayanan Publik terhadap IPM Pengaruh tata kelola (institusi) pemerintahan terhadap capaian bidang pendidikan Pengaruh tata kelola (institusi) pemerintahan terhadap capaian bidang kesehatan Pengaruh pengeluaran sektor pendidikan terhadap capaian pembangunan pendidikan Pengaruh pengeluaran sektor kesehatan terhadap capaian pembangunan kesehatan Perkembangan Opini LKPD (Provinsi, Kabupaten/ Kota) 20062011
4 9 9 10 10 13 15 16 29 30 31 31 32 33 33
8 11 12 14 17 18 19 20 21 21 22 30
Daftar Isi
v
Daftar Singkatan
AHH AKB AKI AKB APBD APK APM ASN Bappenas BPK BPS DeCGG DJ PK DOB DPR DPRD EDOB EKPOD EKPPD EPPD GIZ ILEGI IPM IPTEK K/L KAD KKN Korbinwas KPPOD LKPD
vi
Angka Harapan Hidup Angka Kematian Bayi Angka Kematian Ibu Angka Kematian Bayi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Angka Partisipasi Kasar Angka Partisipasi Murni Aparatur Sipil Negara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Pemeriksa Keuangan Badan Pusat Statistik Decentralisation as Contribution to Good Governance Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Daerah Otonomi Baru Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Evaluasi Daerah Otonomi Baru Evaluasi Kemampuan Penyelenggaraan Otonomi Daerah Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH Indonesia Local Education Governance Index Indeks Pembangunan Manusia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kementerian/Lembaga Kerjasama Antar Daerah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Koordinasi, Pembinaan dan Pengawasan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
MA MI Monev MP3EI MTs Musrenbang PDB PDRB Permendagri Permenpan Perpres PGSP PNS PTSP RAPBD RCI RKP RPJMD RPJMN RPJPD RUU SD SDLB SDM SILPA SKPD SMK SMP SOTK SPIP SPM SPPN UGM UU UNDP WEF
Madrasah Aliyah Madrasah Ibtidaiyah Monitoring dan Evaluasi Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia Madrasah Tsnawiyah Musyawarah Perencanaan Pembangunan Produk Domestik Bruto Produk Domestik Regional Bruto Peraturan Menteri Dalam Negeri Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Peraturan Presiden Provincial Governance Strengthening Programme Pegawai Negeri SIpil Pelayanan Terpadu Satu Pintu Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Regional Competitiveness Index Rencana Kerja Pemerintah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Rancangan Undang-Undang Sekolah Dasar Sekolah Dasar Luar Biasa Sumber Daya Manusia Sisa Lebih Penggunaan Anggaran Saatuan Kerja Pemerintah Daerah Sekolah Menengah Kejuruan Sekolah Menengah Pertama Struktur Organisasi dan Tata Kerja Sistim Pengendalian Intern Pemerintah Standar Pelayanan Minimal Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional Universitas Gajah Mada Undang-Undang United Nation Development Programme World Economic Forum
Daftar Singkatan
vii
Prawacana
Desentralisasi dan otonomi daerah merupakan instrument kebijakan yang bernilai strategis bagi pencapaian tujuan pembangunan: kesejahteraan! Keyakinan akan peran demikian mendorong Pemerintah pada paruh akhir 1990-an mentransformasi desentralisasi dan otonomi dari sebatas wacana reformasi yang menggema sebagai tuntutan publik pada setiap demonstrasi ke dalam ranah kebijakan dan menjadi agenda kerja Negara. Salah satu bentuk instrumen kebijakan yang mewadahi pengaturan agenda tersebut adalah perencanaan pembangunan: jangka panjang diatur dalam dokumen RPJP 2005-2025, jangka menengah diatur dalam penggalan RPJMN tiap 5 (lima) tahun, dan jangka pendek dalam wujud RKP yang disusun setiap tahun. Policy Paper1 ini berisi penilaian atas masalah, capaian dan dampak implementasi desentralisasi dan otonomi dalam kerangka Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010-2014. Kita tahu, Pemerintah juga membuat evaluasi periodik prihal realisasi atas perencanaan pembangunan yang disusun. Sebagai bentuk dukungan atas inisiatif tersebut, kami memandang penting melakukan evaluasi khusus soal desentralisasi dan otonomi: tidak saja bermaksud melengkapi hasil evaluasi dari Pemerintah tetapi juga guna memberikan fokus lebih spesifik-mendalam beserta kerangka pikir dan metode kerja yang lebih variatif. Disamping itu, hasil evaluasi ini selain tentu ditujukan bagi perbaikan secara umum implementasi desentralisasi/otonomi, secara khusus diarahkan pula pemanfaatannya oleh Direktorat Otonomi Daerah-KemenegPPN/Bappenas sehinga pilihan tema dan rekomendasi dikaitkan dengan portofolio kerja direktorat tersebut.
1
viii
Naskah ini adalah versi ringkas dari dua volum “Laporan Evaluasi Tengah Periode RPJMN 2010-2014” yang dibuat untuk menilai dampak implementasi desentralisasi/ otonomi kurun waktu 2010-2012. Kedua laporan tersebut saling melengkapi, baik sisi metode kerja maupun subtansi bahasan, sebagai turunan dari kerangka logis yang telah ditetapkan sebelumnya. Menyadari pentingnya informasi, data dan analisis pada kedua laporan tersebut, pembaca maupun pengambil kebijakan diharapkan tetap menempatkan Naskah ini sebagai versi ringkasan yang berorientasi kepada keperluan cepat mengenal peta masalah dan prioitas pilihan ke depan, sementara sumber informasi bagi sidang pembaca dan basis pertimbangan bagi para pengambil kebijakan secara lengkap mesti tetap didasarkan pada kedua laporan tersebut.
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
Dengan tujuan khusus tersebut, suatu kolaborasi multipihak diorganisir untuk menyiapkan riset dan penulisan Evaluasi. Di sini, KemenegPPN/ Bappenas memainkan peran sentral, bekerja sama intensif dengan Program Decentralisation as Contribution to Good Governance (DeCGG/ GIZ) dan Provincial Government Strengthening Program (PGSP/UNDP). Kerja kolaboratif semacam ini merupakan rangkaian lanjut dari berbagai skema kerja sejenis yang telah lama dibangun antar ketiga pihak guna menghasilkan masukan kebijakan berbasis riset ilmiah.
Prawacana
ix
x
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
Bab 1
Kerangka Evaluasi
Latar Program Desentralisasi dan otonomi daerah merupakan konsep yang kompleks. Beragam teori dibangun untuk menjelaskan konsep tersebut, serta beragam pula versi kepentingan para pihak atas kehadirannya. Namun pada tingkat kebijakan, semua kalangan sepakat bahwa desentralisasi dan otonomi daerah adalah instrument Negara untuk mencapai tujuan paling penting dari pembangunan: kesejahteraan rakyat. Muara akhir (ultimate goal) segala upaya pembangunan adalah kesejahteraan; desentralisasi dan otonomi diyakini merupakan rute kebijakan untuk mempercepat proses dan menaikan kualitas pencapaian tujuan tersebut. Sebagai bagian dari agenda reformasi, Indonesia sudah memulai pelaksanaan desentralisasi dan otonomi sejak lebih dari satu dekade lalu. Pada tahun-tahun awal, kebijakan ini belum terintegrasi secara kuat dengan berbagai kebijakan pembangunan lainnya. Namun, sejak tahun 2004, misi pembangunan dalam kebijakan desentralisasi dan keterkaitannya dengan misi dan instrument kebijakan lainnya mulai terlihat kuat mengarah kepada kesejahteraan. Pertama, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan tujuan otonomi adalah peningkatan kesejahteraan, di mana upaya pencapaiannya adalah melalui perbaikan pelayanan publik dan penguatan daya saing daerah. Kedua, RPJMN 2004-2009 secara utuh memasukan desentralisasi dan otonomi sebagai bagian dari perencanaan nasional. Seperti halnya RPJMN tahapan pertama dalam kerangka RPJP 20052025 tersebut, dalam RPJMN 2010-2014 saat ini juga dijabarkan agenda desentralisasi dan otonomi, baik yang secara khusus diatur dalam buku I (Prioritas 1: Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola), Buku II (Prioritas 9: Wilayah dan Tata Ruang) maupun pada topik-topik bahasan terkait lainnya. Arti penting desentralisasi dan otonomi bertambah signifikan jika ditempatkan dalam kerangka pencapaian tujuan besar RPJMN
Bab 1 Kerangka Evaluasi
1
fase kedua ini: memantapkan proses reformasi, meningkatkan kualitas SDM, mengembangkan kapasitas IPTEK, serta memperkuat daya saing ekonomi. Turunan strategis dari tujuan besar tersebut adalah penetapan 11 plus 3 Prioritas Pembangunan Nasional di mana desentralisasi dan otonomi diwadahi secara luas dalam Prioritas 1# Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola Pemerintahan maupun dalam sejumlah prirotas terkait lainnya seperti pengurangan kemiskinan, perbaikan mutu pendidikan dan kesehatan, peningkatan investasi dan iklim usaha, dll. Dalam rangka menilai capaian kinerja dan gambaran masalah dari realisasi desentralisasi dan otonomi tersebut, Pemerintah melakukan Evaluasi Paruh waktu RPJMN 2010-2014, yang berarti meliputi kalender 2010-2012. Evaluasi ini penting dilakukan guna membaca secara pas kenyataan-kenyataan baru, dan pada gilirannya menyikapi lingkungan persoalan serta segala perkembangan yang bergerak cepat hari-hari ini. Pada saat yang sama, evaluasi ini jelas krusial dalam kerangka mengantisipasi arus perubahan di masa mendatang melalui peyusunan pilihan-pilihan kebijakan baru maupun memperkuat perencanaan yang sudah ditetapkan sebelumnya, baik dalam kurun dua tahun ke depan dalam rangka RPJMN 2010-2014 maupun lebih jauh lagi sebagai persiapan bagi penyusunan materi RPJMN 2015-2019.
Dasar Pikir Secara konseptual, desentralisasi dan otonomi jelas bukanlah konsep netral melainkan sarat dengan prinsip dan perangkat ideal bagi perbaikan tata kelola sektor publik di suatu negara. Namun, sejauh mana konsep itu mampu mengantarkan faedah nyata bagi kesejahteraan masyarakat jelas dipengaruhi, antara lain, kebijakan Pusat dalam mendesentralisasikan kewenangan kepada daerah dan kapasitas otonom Pemda mengelola pemerintahannya. Dalam Policy Paper ini, kualitas dari kedua faktor pengaruh tersebut hendak dilihat pada sejumlah elemen yang kami sebut sebagai outcomes area. Pada arena desentralisasi kami mengevaluasi elemen Penataan Urusan, Kerjasama Daerah, Efektivitas Pemda, Penataan DOB. Sementara pada arena otonomi kami mengevaluasi elemen Aparatur, Kelembagaan, Keuangan Daerah, Perencanaan dan Penganggaran. Porsi desentralisasi yang memadai dan kapasitas otonomi yang kuat merupakan modal bagi Pemda dalam mengelola berbagai elemen yang ada. Pada gilirannya, dalam rangka mencapai tujuan pembangunan (kesejahteraan), pengelolaan yang baik atas elemen-elemen tersebut akan mengalirkan kontribusi yang baik pula dari desentralisasi dan otonomi terhadap kualitas pelayanan publik dan daya saing suatu
2
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
daerah. Sebagaimana UU No.32 Tahun 2004 menetapkan pelayanan publik dan daya saing sebagai tolok ukur bagi pencapaian esensi kesejahteraan, studi ini melihat pelayanan publik dan daya saing itu sebagai goals yang harus diraih secara optimal oleh daerah untuk menghadirkan kesejahteraan sebagai overall-goal bagi rakyatnya. Dengen demikian, isu kunci di sini adalah kualitas tata kelola. Berbagai elemen yang mengisi outcome-area tadi bisa terealisasi dan/atau teroptimalisasi jika tata kelola pemerintahan juga berada pada derajat kualitas yang baik. Sebagaimana ditetapkan dalam RPJMN 2010-2012, tata kelola pemerintahan dimaksud paling kurang didukung oleh dua komponen: pemerintahan bersih (bebas KKN), serta kapasitas dan akuntabilitas birokrasi yang tinggi. Dengan pemerintahan bersih dan minim KKN, pengelolaan segala sumber daya Negara bisa berlangsung akuntabel dan bermnafaat nyata bagi rakyat. Sementara birokrasi berkapasitas tinggi merupakan dapur yang dipersyaratkan bagi produksi (manufacturing quality) segenap jasa/barang publik secara efisien dan efektif, baik yang dialirkan lewat instrumen pelayanan maupun mewujud dalam kegiatan pembangunan. Dasar pikir di atas meletakan kerangka logis yang cukup solid bagi pembahasan selanjutnya, sekaligus mendasari hipotesis kerja yang digunakan dalam Evaluasi ini, yakni: “Jika kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah terlaksana secara efektif yang didukung tata kelola pemerintahan baik, pelayanan publik dan daya saing nasional akan meningkat secara nyata. Meningkatnya pelayanan publik dan daya saing secara bersama-sama akan menyumbang terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat.”
Di sini, berulang ditegaskan, tata kelola pemerintahan yang baik merupakan prasyarat (necessary condition) bagi realisasi dan/atau optimalisasi elemen-elemn desentralisasi (Urusan, Kerjasama Daerah, Efektivitas Pemda, Penataan DOB) maupun elemen-elemen otonomi (Aparatur, Kelembagaan, Keuangan Daerah, Perencanaan dan Penganggaran) menuju peningkatan pelayanan publik dan daya saing. Pada gilirannya, pelayanan publik dan daya saing, selain satu sama lain saling berpengaruh secara horizontal, akan bersama-sama secara vertikal mempengaruhi muara akhir pembangunan: kesejahteraan rakyat!
Bab 1 Kerangka Evaluasi
3
Overall Goal
Kesejateraan Masyarakat Indeks Pembangunan Manusia Indeks Gini PDB/PDRB per Kapita Tingkat Pengangguran Angka Kemiskinan Daya Saing
Kepuasan masyarakat Tingkat pengaduan masyarakat Angka partisipasi SD/SMP/SMA Angka kematian bayi Angka kematian ibu
Pertumbuhan PDB/PDRB Indeks daya saing global Iklim investasi Pertumbuhan investasi
n ba g lem
a ra Ap
an
(K AD )
s ru
ah
nU
ae r
tu r
taa
aD
aa
na
Ke rja sa m
Otonomi Daerah
Pe
Outcomes AreaG
Desentralisasi
Ke
oals
Pelayanan Publik
Ke u
a ang
h aera n D
Perencanaan & Penganggaran
Penataan DOB
Tata Kelola Pemerintahan Baik Pemerintahan Bersih dan Bebas KKN
Birokrasi Kompeten dan Akuntabel
Gambar 1. Kerangka Evaluasi Tengah Periode RPJMN
Metode Kerja Fokus evaluasi ini diarahkan kepada uji hubungan/pengaruh implementasi desentralisasi (elemen-elemen terkait dalam Outcome Area) dan otonomi daerah (elemen-elemen terkait dalam Outcome Area) pada pelayanan publik dan daya saing, serta dampak peningkatan pelayanan publik maupun daya saing tersebut terhadap ikhtiar perwujudan kesejahteraan. Pengujian korelasi pada bagian ini sepenuhnya mengandalkan data-data sekunder yang dimiliki Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, World Economic Forum (WEF), United Nations Development Programme (UNDP), dan sejumlah sumber lainnya. Bersamaan dengan itu, studi ini juga memfokuskan evaluasinya kepada upaya identifikasi masalah dan capaian berbagai elemen dalam outcomearea, baik tingkat kinerjanya maupun faktor pengaruh di belakangnya. Guna memperoleh pemahaman prihal berbagai fenomena tersebut dipilih metode kualitaif dengan menggunakan sumber informasi dari
4
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
laporan-laporan studi terkait sebelumnya (data sekunder) dan sumber informasi langsung (data primer) melalui wawancara dan FGD di tingkat Pusat (K/L terpilih) maupun Daerah (SKPD terpilih) yang meliputi Provinsi Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo dan Bangka Belitung2. Merujuk proses kerja di atas, output yang diharapkan bisa terbaca dalam Naskah Kebijakan ini adalah: (i) Metodologi (instrumen, kriteria) untuk evaluasi; (ii) Penilaian perkembangan, permasalahan dan dampak kebijakan desentralisasi/otonomi terhadap pelayanan publik dan daya saing ekonomi; (iii) Data, informasi dan pelajaran penting untuk perencanaan program pembangunan masa mendatang; (iv) Rekomendasi perbaikan strategi dan sarana untuk mencapai segala sasaran pembangunan nasional bidang desentralisasi dan otonomi. Semua itu merupakan muatan isi yang tertuang dalam dalam laporan bertajuk “Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2009-2014”.
2
Pemilihan lokasi studi dilakukan secara purposif (purposive-sampling)--sesuai peruntukan/tujuan khusus atau berdasar alasan/pertimbangan tertentu. Pemilihan Jateng, Kaltim, dan NTB terkait pertimbangan sebagai daerah kerja GIZ-DeCGG; sementara NTT, Gorontalo, Babel dipilih lantaran menjadi daerah kerja PGSP/UNDP.
Bab 1 Kerangka Evaluasi
5
6
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
Bab 2
Hasil-Hasil Evaluasi
Pencapaian Sejumlah Sasaran (Goals dan Overall Goals) RPJMN 2010-2014 Secara nasional, evaluasi ini menemukan gambaran yang cukup baik dalam pencapaian sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan pembangunan yang ditetapkan dalam RPJMN 2010-2014. Tabel 1 memperlihatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai salah satu indikator kesejahteraan masyarakat ternyata semakin membaik selama dua dekade terkahir, meski pun laju perbaikannya relatif tertinggal dibanding dengan negara-negara tetangga. Angka kemiskinan terus menurun seiring dengan pertumbuhan ekonomi, namun tampaknya masih memerlukan kerja keras untuk mencapai target pada kisaran 8-10% tahun 2014. Angka pengangguran semakin turun seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dan diperkirakan akan mencapai target RPJMN pada kisaran 5-6% akhir 2014. Pencapaian indikator sasaran lainnya yang terlihat cukup baik dan diprediksi akan mencapai target 2014 adalah bidang pendidikan, yakni angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar dan sekolah sederajat, serta APM sekolah menengah pertama (SMP) dan sederajat. Target angka harapan hidup (AHH) juga memperlihatkan perbaikan dan diprediksi mencapai target 2014 (72 tahun). Di sisi lain, masih terdapat beberapa sasaran/ tujuan yang pencapaiannya kurang menggembirakan dan memerlukan kerja keras untuk pencapaian target 2014, yakni angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup, dan angka kematian bayi per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan di bidang pendidikan tampaknya masih diperlukan kerja keras untuk mencapai target angka partisipasi kasar (APK) sekolah menengah atas (SMA) dan sederajat serta APK perguruan tinggi.
Bab 2 Hasil-Hasil Evaluasi
7
Tabel 1.
Capaian beberapa indikator RPJMN 2010 - 2014
INDKATOR/TAHUN
2009 2010 2011 2012 Target
Kemiskinan (persen)
14.15 13.33 12.49 11.66 10
Status
7.87
7.14
6.56
6.14
0.37
0.38
0.41
-
8 Perlu Kerja ↘ Keras 5 Sesuai ↘ Target - Memburuk ↗
IPM
71.76 72.27 72.77
-
-
Membaik
↗
APM SD/SDLB/MI/ Paket A (persen) APM SMP/SMPLB/ MTs/Paket B (persen) APK SMA/SMK/MA / Paket C (persen) APK Perguruan Tinggi (persen) AHH (tahun)
95.50 95.58 95.72
-
96.00
↗
73.27 74.09 75.64
-
76.00
63.21 68.56 69.54
-
85
Sesuai Target Sesuai Target Perlu Kerja Keras Perlu Kerja Keras Sesuai Target Perlu Kerja Keras Perlu Kerja Keras
Pengangguran (persen) Gini Index
AKI (per 100.000 kelahiran hidup) AKB (per 1.000 kelahiran hidup)
6
22 26.34
27.1
-
30
70.70 70.90
71.1
-
72
228
228
-
118
34 34.00
34
-
24
228
↗ ↗ ↗ ↗ − −
Sumber: Badan Pusat Statistik, Kementerian Pendidikan Nasional dan Evaluasi 2 Tahun RPJMN 2010-2014.
Temuan penting lainnya dari analisis kuantitatif adalah bahwa meski pun pertumbuhan ekonomi masih berpusat di pulau Jawa dan Sumatera, ternyata muncul kekuatan ekonomi baru (emerging economy) yakni Sulawesi dan Kalimantan. Diprediksi kekuatan-keutan baru yang lain akan bermunculan apabila MP3EI (Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) terlaksana sesuai harapan. Pada tahun 2009, kontribusi Sulawesi terhadap PDB mencapai 4, 72%, dan pada tahun 2011 naik menjadi 4,87%. Kendati mengalami sedikit penurunan, Kalimantan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap PDB, yakni sebesar 8, 63% pada tahun 2009 dan 8, 46% pada tahun 2011. Namun, tidak bisa dipungkiri, bahwa ketimpangan (inequality) masih merupakan tantangan besar di Indonesia. Ketimpangan distribusi pendapatan, yang diukur dengan indeks gini, ternyata semakin melebar semenjak tahun 2009; pada tahun 2009 indeks gini sebesar 0,37, sedangkan pada tahun 2012 meningkat menjadi 0,41.
8
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
Gambar 2 berikut ini mempertegas bahwa pengangguran dan kemiskinan berkurang seiring dengan pertumbhuan ekonomi. 16,00
14,15
13,33
14,00
12,49
11,66
12,00 10,00
7,87
7,14
8,00
6,56
6,14
6,11
6,50
6,20
2010
2011
2012
6,00 4,00
4,58
2,00 0,00 2009 Kemiskinan
Pertumbuhan Ekonomi
Penganggguran
Gambar 2. Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Pengangguran (BPS, diolah)
Dalam dua dekade terakhir, IPM secara nasional maupun regional meningkat dari tahun ke tahun. Secara nasional, BPS melaporkan IPM Indonesia 68.7 tahun 2004, naik menjadi 71.76 tahun 2009, dan terus meningkat hingga 72.77 tahun 2011(lihat Gambar 3). Dengan metode yang berbeda dari BPS, UNDP melaporkan IPM Indonesia 0,617 tahun 2011, lebih rendah dari negara tetangga seperti Malaysia (0.761) dan Thailand (0.682) serta dari negara berkembang lainnya seperti China (0.687) dan Brazil (0.718). Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 2004 4- 2011 74 73
71,76
72
72,77
71,17
71 69,57
70 69
72,27
70,1
70,59
68,7
68 67 66 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Gambar 3. Perkembangan Capaian IPM Nasional, 2004-2011 (BPS, diolah)
Bab 2 Hasil-Hasil Evaluasi
9
Secara regional index pembangunan manusia (IPM) di semua provinsi cendrung membaik, dengan nilai yang bervariasi (Gambar 4). Tetapi, berbeda dengan anggapan umum selama ini, ketimpangan pembangunan manusia (IPM) di Indonesia ternyata memiliki kecendrungan semakin mengecil (Gambar 5). Pada tahun 2011, IPM kawasan Sumatera, Jawa dan Bali pada umumnya berada di atas ratarata nasional (72,77). Sedangkan IPM kawasan di luar Jawa, Sumatera dan Bali (Indonesia Tengah dan Timur) pada umunya dibawah rata-rata nasional, kecuali Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara. Namun, analisis lebih jauh dari klaster regional sesuai MP3EI memperlihatkan (Gambar 5) bahwa daerah-daerah yang selama ini relatif tertinggal (NTB, NTT dan Papua) ternyata mampu memperbaiki IPM dengan laju yang lebih cepat dibanding daerah-daerah lain. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Kepulauan Riau Jambi Sumatera Selatan Kepulauan Bangka Belitung Bengkulu Lampung DKI Jakarta Jawa Barat Banten Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
0
IPM Provinsi 2004
IPM Provinsi 2011
IPM Nasional 2004
IPM Nasional 2011
Gambar 4. Perkembangan Capaian IPM Regional (Provinsi), 2004 dan 2011 (BPS, diolah) 75 73 Sumatra
71 69
Jawa dan Bali
67 65
NTB dan NTT
63
Kalimantan
61 Sulawesi dan Maluku Papua
59 57 55 IPM 2004
IPM 2011
Gambar 5. Komparasi Peningkatan IPM Regional, 2004 dan 2011 (BPS, diolah) 10
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
Sebagaimana ketertinggalan kualitas hidup pada provinsi-provinsi di Indonesia Timur tadi, konteks ketimpangan regional secara umum pada belahan timur tersebut memang patut menjadi agenda pembenahan serius ke depan. Karakter ketertinggalan regional tersebut menunjukan belum “selesainya” problem struktural pembangunan kita, serta pada sisi lain relatif lemahnya akselerasi pemerintah menyediakan pelayanan publik dan menggerakan ekonomi sebagai jalan menghadirkan kesejahteraan. Ketimpangan capaian kesejahteraan antar wilayah tersebut juga membawa tingkat daya saing yang tak sebanding antara wilayah Barat dan Timur dalam meraih investasi dan membangun perekonomiannya. Kesenjangan semacam ini acap terlihat maujudnya dalam pola konsentrasi geografis daya saing provinsi3, pertumbuhan wilayah (kontribusi PDRB terhadap PDB) maupun realisasi investasi saat ini. Tabel 2.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Daya Saing Provinsi di Indonesia, 2012 (studi ACI-LKY-NUS, 2013) 10 Teratas DKI Jakarta Jawa Timur Kalimantan Timur Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Banten Kepulauan RIAU Bali RIAU
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
10 Terbawah Papua Jambi Kalimantan Tengah Bengkulu Nusa Tenggara Barat Kepulauan Bangka Belitung Papu Barat Maluku Maluku Utara Nusa Tenggara Timur
Tingkat capaian dan ketimpangan kesejahteraan di atas membawa fokus lebih lanjut dari Evaluasi ini kepada penilaian atas elemen-elemen penting dalam pelayanan publik dan daya saing (Goals). Pada goal pelayanan publik, hasil regresi yang dipakai dalam Evaluasi ini membuktikan bahwa pendidikan dan kesehatan sebagai elemen inti dalam pelayanan publik berkorelasi positif secara signifikan terhadap peningkatan IPM. Pendidikan dan kesehatan akan menghela kesejahteraan masyarakat lantaran fungsi keduanya sebagai modal dasar dapat mengotimalkan
3
Tan Khee Giap, Mulya Amri, dkk. “Competitiveness Analysis and Development Strategies for 33 Provinces”, Asia Competitiveness Institute, Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, 2013. Studi ini menggunakan 4 indikator (Stabilitas Ekonomi Makro; Perencanaan Pemerintah dan Institusi; Kondisi Keuangan, Bisnis dan Tenaga Kerja; Kualitas Hidup dan Pembangunan Infrastruktur) untuk memeringkat dan memetakan tipologi daya saing provinsi di Indonesia.
Bab 2 Hasil-Hasil Evaluasi
11
produktivitas ekonomi masyarakat. Hal demikian juga terjadi pada goal daya saing: peningkatan kegiatan perekonomian (PDB) sebagai akibat peningkatan daya saing akan mendorong peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. Tabel 3.
Hasil Regresi Pengaruh Daya Saing dan Pelayanan Publik terhadap IPM4 IPM (Variabel Dependen)
Daya Saing
Koef .07*** (.04)
Pendidikan
1.5** (.64)
Kesehatan
2.9* (.96)
PDRB Perkapita (ln)
.25 (.29)
R-Square
.73
Probabilty
.00
F-statistics
31.26
No of observ RMSE
33 1.61
Ket: * Signifikansi 99 persen; ** Signifikansi 95 persen *** Signifikansi 90 persen.
Meskipun hasil uji hubungan pengaruh tadi menunjukan adanya korelasi signifikan, capaian kinerja pada sektor pelayanan dasar ternyata tak selalu mendukung. Sejumlah sasaran memang diperkirakan dapat memenuhi target 2014: untuk sektor pendidikan dalam hal peningkatan taraf pendidikan masyarakat seperti angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar (SD)/sederajat dan sekolah menengah pertama (SMP)/ sederajat. Peningkatan angka partisipasi tersebut diiringi turunnya persentase jumlah siswa putus sekolah: dalam kurun waktu 2010- 2011, angka putus sekolah turun dari 1,5 % menjadi 1,3 % untuk jenjang SD/ MI dan 4,3 % menjadi 4,0 % untuk jenjang SMA/SMK/MA. Selain itu, dalam kurun waktu yang sama, persentase lulusan tidak melanjutkan mengalami penurunan dari 8,6 % menjadi 7,2 % pada jenjang SD/MI dan 51,7 % menjadi 48,4 % pada jenjang SMA/SMK/MA5.
12
4
Regresi: Kemiskinan = 64 + 0.07 Daya Saing + 1.5Pendidikan + 2.9Kesehatan + 0.25 PDRB Perkapita (ln)
5
Kemeneg-PPN/Bappenas, “Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010-2014,” Jakarta, 2013.
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
Namun, kerja keras perlu dilakukan untuk sebagian sasaran lainnya. Pada sektor pendidikan, masalah serius terjadi pada partisipasi kasar (APK) sekolah menengah atas (SMA)/sederajat dan perguruan tinggi maupun masalah besar lainnya seperti akses pendidikan, kualitas dan daya saing lulusan, distribusi Guru. Capaian yang belum optimal ini, sebagaimana terlihat pada temuan ILEGI-Bank Dunia, menunjukan gambaran kinerja pemerintah yang belum mencapai tingkat yang diharapkan. Sebagaimana terlihat pada Gambar 6, nilai rerata lima parameter ILEGI Kabupaten/Kota menunjukan bahwa Pemda masih belum mampu menyelenggarakan komponen tata kelola pemerintahan yang baik (khususnya dalam sektor pendidikan), bahkan hanya 6% Kabupaten/ Kota saja yang memperoleh nilai tinggi. Transparansi dan Akuntabilitas 80 60 43 E siensi Penggunaan Sumberdaya
40 50
20
42
Standardisasi Layanan Pendidikan
0
33 Sistim Informasii Manajemen
47
Sistim Pengendalian Manajemen
Gambar 6. Nilai ILEGI dari 50 Kabupaten/Kota (World Bank, 2010)
Sementara untuk sektor kesehatan, perbaikan yang relatif signifikan terlihat pada angka harapan hidup (AHH) yang diprediksi bisa mencapai target 2014 (72 tahun). Meningkatnya usia harapan hidup tersebut diikuti penurunan angka kematian ibu melahirkan, penurunan angka kematian bayi, penurunan angka morbidity masyarakat dan meningkatkan kondisi gizi masyarakat. Namun demikian, sebagaimana terlihat dari hasil evaluasi Pemerintah sendiri, segala upaya serius wajib dilakukan ke depan mengingat sebagian besar sasaran menuju “peningkatan akses dan kualitas kesehatan” tidak tercapai.
Bab 2 Hasil-Hasil Evaluasi
13
Tabel 4.
Capaian Proritas Sektor Kesehatan
Indikator Usia Harapan Hidup Angka Kematian Ibu (AKI)
Status Awal (2009)
Target (2014)
Tahun
70,7
72
70,91)
71,1
71,1
Per 100.000 kelahiran hidup
228
118
n.a
n.a
n.a
%
84,3
90
Per 1000 kelahiran hidup
34
24
Persentase ibu bersalin yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih (cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan) Angka Kematian Bayi (AKB)
Capaian
Satuan
2010 2011 2012
Perkiraan Capaian 2014 (Notifikasi)
79,82 81,25 88,64
34
34
323)
Persentase bayi usia 0-11 bulan yang mendapat % 59 90 53,8 84,7 86,8 imunisasi dasar lengkap Prevalensi % 18,4 <15 17,94) n.a n.a kekurangan gizi Persentase balita ditimbang berat % 63,9 85 67,87 71,4 75,10 badannya (D/S) Total Feritility Per 1000 2,6 2,1 2,42) Rate (TFR): Angka n.a 2,63) wanita Kelahiran Total Prevalensi Persenmil 326 224 224 289 281 Tuberkulosis (pcm) Prevalensi Kasus HIV (% penduduk 15 tahun keatas % 66,3 95 57,5 n.a 79,5 yang memiliki pengetahuan) Menurunnya kasus malaria %-permil 1,85 1 1,96 1,75 1,69 (Annual Parasite Index - API) Persentase jangkauan akses % 47,7 68 44,19 55,04 n.a sumber air bersih Sumber: 1) Hasil SP tahun 2010, BPS (AKB sebesar 26, TFR sebesar 2,4); 2) Perhitungan SDKI 2012 belum selesai; 3) Berdasarkan hasil sementara SDKI 2012; 4) Riskesdes 2010. Sudah tercapai/on-track/on-trend Perlu kerja Keras Sangat sulit tercapai Sumber: Bappenas, 2013.
14
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
Prihal masalah kesehatan di atas, Evaluasi ini menelusuri sebab pengaruh pada aspek tata kelola pemerintahan, perencanaan dan penganggaran (pengeluaran publik). Hasil analisis menunjukan adanya korelasi positif antara capaian bidang kesehatan dengan aspek-aspek tersebut. Dengan demikian, banyaknya sasaran pembangunan kesehatan yang meleset jelas tak terlepas dari mutu tata kelola kesehatan yang kurang baik6, alokasi anggaran tidak dalam jumlah memadai, serta teknokrasi perencaan sektoral yang tidak tepat. Upaya peningkatan kesejahteraan melalui jalur pelayanan publik tidak hanya mendapat tantangan yang bersumber dari sektor pelayanan dasar di atas tetapi juga problem pada sektor ekonomi. Ketimpangan kesejahteraan antarwarga adalah masalah gawat, sekaligus tentu berdampak serius dalam konteks keadilan sosio-ekonomi. Diukur dari ketimpangan distribusi pendapatan, fakta menunjukan kesenjangan yang melebar semenjak tahun 2009 yang berada pada indeks gini sebesar 0,37 dan meningkat pada 2012 menjadi 0,41. Diangkat ke unit yang lebih kecil lagi, ketimpangan itu terjadi pula antara kota dan desa: kemiskinan mencapai 17,3% dari penduduk pedesaan, sedang di perkotaan sebesar 10,72%. Meski demikian, muncul harapan akan perbaikan dalam hal tingkat kemiskinan dan ketimpangan antara dua wilayah tersebut di mana tahun 2012 dilaporkan terjadinya penurunan tingkat kemiskinan di pedesaan menjadi 14,7% dan di perkotaan turun menjadi 8,6% dari jumlah penduduk di masing-masing kedua wilayah (BPS, 2012). 20 18
17,35
16,56
15,72
16
14,7
14 12 Persentase Penduduk 10 Miskin 8
10,72
9,87
9,23
8,6
6 4 2 0 2009
2010
Kemiskinan Perkotaan (%)
2011
2012
Kemiskinan Pedesaan (%)
Gambar 7. Tingkat Kemiskinan di Pedesaan dan Perkotaan Indonesia (BPS, diolah)
6
Uji analisis dilakukan melalui metode regresi linear dengan pendekatan cross section analysis. Tata kelola pemerintahan (variabel institusi) menggunakan data hasil EKPPD berdasar PP No. 6 Tahun 2008 sebagai proxy.
Bab 2 Hasil-Hasil Evaluasi
15
Sementara pada jalur daya saing, elemen-elemen yang bekerja di dalamnya memberikan peta yang beragam menuju pencapaian kesejahteraan. Kinerja ekonomi Indonesia yang mengesankan hari ini bukan tak mungkin memudar jika daya saing di level regional/ global terus stagnan dan bahkan cenderung memburuk dari sisi daya saing investasi (ease of doing business). Padahal, sesuai Evaluasi ini, kemenarikan dari sisi investasi maupun penguasaan pangsa pasar yang berpengaruh kepada produktivitas bagi penciptaan kesejahteraan amat dipengaruhi oleh daya saing yang suatu negara/daerah. Hal ini yang patut dicemaskan jika melihat potret daya saing Indonesia dewasa ini yang masih sarat dengan masalah “klasik”: inefisiensi dan korupsi tetap saja menjadi tantangan utama berbisnis lantaran tak kunjung membaiknya faktor institusi, infrastruktur, dan inovasi teknologi. Institusi 7 Inovasi
6
Infrastruktur
5 Kualitas Dunia Usaha
4
Kondisi Makro ekonomi
3 2 Ukuran Pasar
Kesehatan dan Pendidikan Dasar
1
Pendidikan Tinggi dan Pelatihan
Teknologi Pengembangan Pasarr Keuangan E siensi Pasar Tenaga Kerj ra 2009 2010 2011
E siensi Pasar Barang
2012
Gambar 8. Pilar Penentu Daya Saing Indonesia (Global Competitiveness Report-WEF)
Untuk tataran daerah, hasil Evaluasi ini mengkonfirmasi pandangan dasar RPJP 2005-2025, bahwa tata kelola (institusi) merupakan instrumen penting dalam membangun daya saing. Peningkatan tata kelola yang berpengaruh pada pelayanan usaha akan mampu mendorong peningkatan investasi dan produktivitas ekspor sebagai cerminan menguatnya daya saing suatu daerah. Salah satu contoh penting dalam institusi ini adalah soal perijinan. Sayangnya, meski reformasi perijinan lewat pendirian PTSP menunjukan gambaran baik secara numerik (hari ini 444 dari 539 Daerah, sekitar 80%, memiliki PTSP--melampaui
16
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
target RPJMN sebesar 70% tahun 2014), namun masih terbatas dalam hal efektifitas kinerja. Demikian pula prihal informasi perijinan berbasis elektronik, hanya 138 Daerah (15%) yang sudah menerapkan SPIPISE (bandingkan dengan target RPJMN sebesar 83% tahun 2014). Selain institusi, faktor infrastruktur dan ketenegakerjaan juga memainkan peran signifikan. Namun, sebagaimana telah diulas di atas, sumber masalah daya saing dan inefisiensi bisnis di negeri ini, terutama iklim usaha di daerah sepanjang era otonomi ini, justru terletak pada faktorfaktor tersebut. Tabel 5.
Pengaruh tata kelola (institusi) terhadap daya saing regional789 RCI8
RCI29
Koef
Koef
Institusi
4.17*** (2.24)
.71* (.19)
Infrastruktur
.01*** (.00)
.08*** (.04)
Indeks Tenaga Kerja (ITK)
.12*** (.05)
.01* (.00)
.15
.00** (.00)
.51
.52
Variabel Dependen Daya Saing Regional
Indeks Keamanan Berusaha (IKB) R-Square Probabilty
.02
.00
F-statistics
3.46
8.26
No of observ RMSE
33
33
2.84
.24
Ket: * Signifikansi 99 persen; ** Signifikansi 95 persen; *** Signifikansi 90 persen.
7
Kinerja tatakelola pemerintahan merupakan nilai agregat kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah menggunakan seperangkat variabel yang dipergunakan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia dalam melaksanakan EKPPD (Evaluasi Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008. Model hasil regresi adalah RCI = - 1.9 + 4.17 Institusi + 0.01 Insfrastruktur + 0.12 ITK + 0.15 IKB dan RCI2 = -1.5 + 0.71 Institusi + 0.08 Infrastruktur + 0.01 ITK + 0.007 IKB
8
RCI merupakan nilai relatif dari ekspor regional dan investasi regional terhadap PDB Indonesia RCI= (Eksporj + inverstasij) / PDB
9
RCI2 merupakan nilai relatif dari ekspor dan investasi regional dan ekspor dan investasi nasional (Ekspor + investasi) (Eksporj + investasi) PDRBj
PDB
Bab 2 Hasil-Hasil Evaluasi
17
Akhirnya, suatu gambaran menyeluruh dari hasil uji hubungan pengaruh desentralisasi dan otonomi pada pelayanan publik dan daya saing, serta pada gilirannya pengaruh peningkatan pelayanan publik maupun daya saing tersebut terhadap perwujudan kesejahteraan adalah: (i) Indeks Pembangunan Manusia/IPM dan jumlah penduduk miskin amat dipengaruhi daya saing suatu daerah dan pelayanan publik; (ii) Pencapaian sasaran pembangunan bidang kesehatan dan pendidikan memiliki korelasi yang kuat dengan kinerja tata kelola pemerintahan (efektifitas institusi); (iii) Disamping kualitas tata kelola, capaian pembangunan bidang kesehatan dan pendidikan dipengaruhi secara positif-signifikan oleh belanja pemda untuk pendidikan dan kesehatan. (iv) Selain infrastruktur dan tenaga kerja, daya saing suatu daerah sangat dipengaruhi oleh kinerja tata kelola pemerintahan. (Lebih jauh lihat Tabel 6 hingga Tabel 10 di bawah ini). Tabel 6.
Pengaruh Daya Saing dan Pelayanan Publik terhadap Kemiskinan1011 Kemiskinan (Variabel Dependen)
Koef
Daya Saing11
-.45** (.19)
Pendidikan
-5.3* (1.6)
Pengangguran
.24 (.55)
PDRB Perkapita (ln)
-1.09 (.99)
R-Square
.50
Probabilty
.00
F-statistics
7.66
No of observ RMSE
33 5.38
Ket: * Signifikansi 99 persen; ** Signifikansi 95 persen; *** Signifikansi 90 persen.
Hasil analisis pada Tabel 6 selaras dengan kajian-kajian dinegara lain (World Bank 2004; Gan dan Sanyal, 2010). Pendidikan ternyata memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap penurunan kemiskinan. Para pakar tersebut beraguman bahwa pendidikan pada gilirannya akan menigkatkan produktifitas dan pendapatan masyarakat. 10 Model regresi: Kemiskinan = 55 - 0.45Daya Saing – 5.3Pendidikan – 0.84 PDRB Perkapita (ln) 11 Variabel daya saing menggunakan index iklim inverstasi menurut KPPOD sebagai proksi
18
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
Tabel 7.
Pengaruh Daya Saing dan Pelayanan Publik terhadap IPM12 IPM (Variabel Dependen)
Koef
Daya Saing
.07*** (.04)
Pendidikan
1.5** (.64)
Kesehatan
2.9* (.96)
PDRB Perkapita (ln)
.25 (.29)
R-Square
.73
Probabilty
.00
F-statistics
31.26
No of observ RMSE
33 1.61
Ket: * Signifikansi 99 persen; ** Signifikansi 95 persen; *** Signifikansi 90 persen.
Hubungan positif dan signifikan antara daya saing dan IPM barangkali terjadi karena meningkatnya investasi atau aktifias perekonomian sebagai efek langsung dari membaiknya daya saing. Peningkatan investasi, pada gilirannya mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan tarap hidup masyarakat.
12 Model regresi: Kemiskinan = 64 + 0.07Daya Saing + 1.5Pendidikan + 2.9Kesehatan + 0.25 PDRB Perkapita
Bab 2 Hasil-Hasil Evaluasi
19
Tabel 8.
Pengaruh tata kelola (institusi) pemerintahan terhadap capaian bidang pendidikan13 Variabel Pendidikan (Variabel Dependen)
Institusi
Model 1 Koef 1.32* (.47)
Model 2 Koef 1.00** (.37) .23* (.04) .29** (.11)
.23 .00 7.61 33 .59
.44 .00 16.74 33 .52
Jumlah Sekolah per km2 Rasio Guru - Siswa PDRB Perkapita (ln) R-Square Probabilty F-statistics No of observ RMSE
Model 3 Koef .92** (.37) .18* (.05) .31** (.11) .17 (.10) .48 .00 10.97 33 .51
Ket: * Signifikansi 99 persen; ** Signifikansi 95 persen; *** Signifikansi 90 persen.
Hasil analisis pada Tabel 8 dan Tabel 9 konsisten dengan temuan-temuan peneliti di negara lain. Weiss (2005) mengatakan bahwa tata kelola pemerintahan yang baik berkaitan dengan pemenuhan hak-hak sipil yang dicapai dengan transparansi, peraturan hukum serta pelayanan publik yang efisien. Wagener (2004) mengungkapkan bahwa tata kelola pemerintahan yang baik akan mampu menciptakan kesejahteraan. Pandangan Wagener dikonfirmasi oleh Pradhan dan Sanyal (2012), dengan mengunakan QGGI (Quality Good Governance Index) yang mengukur Good Governance berdasarkan parameter: peran serta masyarakat, penegakan hukum, transparansi, responsibilitas,keadilan dan inklusif, akuntabilitas dan efisiensi dan efektifitas, mengungkapkan bahwa tata kelola pemerintahan yang baik telah meningkatkan IPM di 15 (lima belas) negara bagian di India.
13 Variabel pendidikan merupakan indeks gabungan dari angka partisipasi kasar (APK) sekolah dasar dan menengah pertama, angka partisipasi sekolah usia sekolah dasar dan menengah pertama (APM SD dan APM SM), angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan angka kelulusan sekolah dasar dan menegah. Model regresi: Pendidikan = -2.4 + 0.92 Institusi + 0.18 Jumlah sekolah per km2 + 0.31 rasio guru siswa + 0.17 PDRB per kapita (ln)
20
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
Tabel 9.
Pengaruh tata kelola (institusi) pemerintahan terhadap capaian bidang kesehatan14
Variabel Kesehatan (Variabel Dependen) Institusi
Model 1
Model 2
Model 3
Koef
Koef
Koef
1.1* (.29)
1.3* (.37) .01* (.003) .11** (.05)
.33
.46
1.25* (.36) .007*** (.003) .12** (.05) .15** (.07) .52
Jumlah Puskesmas per km2 Tenaga Kesehatan per 1000 Penduduk PDRB Perkapita (ln) R-Square Probabilty
.00
.00
.00
F-statistics
14.83
59.22
42.71
No of observ
33
33
33
RMSE
.40
.37
.36
Ket: * Signifikansi 99 persen; ** Signifikansi 95 persen; *** Signifikansi 90 persen.
Tabel 10. Pengaruh pengeluaran sektor pendidikan terhadap capaian pembangunan pendidikan15 Variabel Pendidikan (Variabel Dependen)
Koef
Pengeluaran Sektor Pendidikan
.03** (.01)
Jumlah Sekolah per km2
.28* (.09)
Rasio Guru-Siswa
.32* (.09)
PDRB Perkapita (ln)
.29* (.12)
R Square
.49
F-statistics
6.87
No of observ
33
RMSE
.50
Ket: * Signifikansi 99 persen; ** Signifikansi 95 persen; *** Signifikansi 90 persen. 14 Variabel kesehatan merupakan indeks gabungan dari AHH, AKI, AKB, Angka Morbidity dan status gizi masyarakat. Model regresi: Kesehatan = -3.57 + 1.25 Institusi + 0.007 Jumlah puskesmas per km2 + 0.12 tenaga kesehatan per 1000 penduduk + 0.15 PDRB per kapita (ln) 15 Model regresi: Pendidikan = -1.4 + 0.28 Pengeluaran Sektor Pendidikan + 0.28 Jumlah sekolah per km2 + 0.32 rasio guru siswa + 0.29 PDRB per kapita (ln)
Bab 2 Hasil-Hasil Evaluasi
21
Hasil analisis pada Tabel 10 menunjukkan bahawa pengeluaran publik disektor pendidikan16 berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan capaian pembangunan (goals) pendidikan. Temuan ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilaporkan World Bank (2008) yang menyimpulkan bahwa pengeluaran publik dibidang pendidikan berpengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan angka partisipasi murni di Indonesia. Tabel 11. Pengaruh pengeluaran sektor kesehatan terhadap capaian pembangunan kesehatan17 Variabel Kesehatan (Variabel Dependen)
Koef
Pengeluaran Sektor Kesehatan
.15* (.04)
Tenaga Kesehatan per 1000 Penduduk
.02 (.04)
PDRB Perkapita (ln)
.17** (.07)
R Square
.41
F-statistics
6.98
No of observ
33
RMSE
.39
Ket: * Signifikansi 99 persen; ** Signifikansi 95 persen; *** Signifikansi 90 persen.
Tabel 11 mengungkap adalanya hubungan positif dan signifikan antara pengeluaran kesehatan18 dengan capaian pembangunan (goals) kesehatan dengan kata lain pengeluaran sektor kesehatan dalam jumlah yang memadai akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan usia harapan hidup masyarakat, penurunan angka kematian ibu melahirkan, penurunan angka kematian bayi, penurunan angka morbidity masyarakat dan menigkatnya kondisi gizi masyarakat. Kajian-kajian terdahulu menggunakan data 70 negara (Gupta et al., 2001) mengungkap hal serupa.
16 Variabel pengeluaran sektor pendidikan adalah rasio antara total pengeluaran sektor pendidikan (provinsi, kabupaten, kota) dengan rata-rata total APBD disuatu provinsi (APBD 2009) 17 Model regresi: Kesehatan = -3.3 + 0.15 Anggaran Kesehatan + 0.02 tenaga kesehatan per 1000 penduduk + 0.17 PDRB per kapita (ln) 18 Variabel pengeluaran kesehatan adalah nilai nominal rata-rata pengeluaran kesehatan disuatu perovinsi (penjumlahan anggaran kesehatan provinsi, kabupaten dan kota) dibagi dengan jumlah penduduk (data 2009)
22
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
Tipologi Masalah Sejumlah Elemen Desentralisasi dan Otonomi Daerah RPJMN 2010-2014 membagi agenda desentralisasi dan otonomi dalam dua bidang terkait. Pertama, Desentralisasi, Hubungan Pusat-Daerah, dan Antar Daerah yang berisi elemen pembagian urusan, peningkatan kerjasama daerah, penataan DOB, monev kinerja Pemda. Kedua, Tata Kelola dan Kapasitas Pemerintahan Daerah yang berisi elemen Kelembagaan, Aparatur, dan Keuangan Daerah. Dalam Gambar 1, bidang pertama disebut “Desentralisasi” yang terdiri atas sejumlah topik sebagai outcome areas seperti Penataan Urusan, Kerjasama Daerah, Efektivitas Pemda dan Penataan DOB; sementara bidang kedua disebut “Otonomi” yang berisi topik Aparatur, Kelembagaan, Keuangan Daerah, Perencanan dan Penganggaran. Evaluasi ini tentu bergerak dalam arah kebijakan prioritas bidang yang ditetapkan RPJMN. Baik elemen-elemen dalam “desentralisasi” maupun dalam “otonomi” adalah outcome dari proses penyelenggaraan pemerintahan yang ditujukan (goal) bagi perbaikan layanan publik dan penguatan daya saing yang--berdasar uji pengaruh/hubungan yang sudah dibuktikan di atas--pada gilirannya berkontribusi bagi penciptaan kesejahteraan (ultimate goal). Berbagai elemen tersebut bisa berkinerja optimal jika prasyarat keberadaan birokrasi yang reform dan tata kelola yang berorientasi pada good governance sudah terbentuk. Sayangnya, hasil evaluasi menunjukan bahwa prasyarat dari tata kelola yang berintikan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas Korupsi serta Birokrasi yang Kompeten dan Akuntabel justru belum terpenuhi secara memadai. Pemerintah mengakui bahwa pencapaian sasaran baik menyangkut perwujudan pemerintahan bersih, penguatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi maupun perbaikan pelayanan publik masih kurang menggembirakan19. Untuk itu, serupa dengan konstruksi berpikir dalam model evaluasi ini, Pemerintah memilih sejumlah prioritas perbaikan ke depan, antara lain: (i) penataan kelembagaan pemerintah yang didukung pelaksanaan reformasi birokrasi; (ii) penguatan otonomi melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas penataan daerah, penggunaan anggaran, pelaksanaan pemilukada; (iii) pengembangan manajemen SDM Aparatur berbasis merit; (iv) percepatan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan; serta (v) penetapan dan penerapan sistem indikator kinerja utama pelayanan publik.
19 Kemeneg-PPN/Bappenas, “Evaluasi Paruh Waktu RPJMN 2010-2014,” Jakarta, 2013, hlm.49-51
Bab 2 Hasil-Hasil Evaluasi
23
A. Pembagian Urusan Desentralisasi selalu berintikan penyerahan urusan dari Pemerintah kepada Daerah. Elemen urusan juga berperan penting lantaran menjadi titik tolak penyusunan desain kelembagaan, manajemen aparatur, perimbangan keuangan dll. Namun, selama penerapan desentralisasi, elemen ini selalu menjadi pusat polemik antara Pemerintah dan Pemda. UU No.32 Tahun 2004 dan PP No.38 Tahun 2007 telah membagi 31 bidang urusan antar level pemerintahan, namun pihak Daerah tetap merasakan minimnya kewenangan substantif (mengatur) atas urusan urusan yang dibagi berdasarkan model kongkuren. Isu-isu lanjutan terkait elemen urusan, antara lain bahwa pembagian yang ditetapkan dalam regulasi pokok desentralisasi juga tidak sepenuhnya sinkron dengan regulasi sektoral20. Selain itu, keselarasan dengan sumber dan besaran pembiayaan atas urusan desentralisasi juga menjadi masalah lantaran Daerah merasa tak sepenuhnya urusan didukung pendanaan memadai (unfunded-mandate) yang berarti prinsip money follow function tak sepenuhnya dijalankan21. Isu terkait lainnya lagi adalah prihal metode dan efektifitas pengawasan atas urusan yang didesentralisasikan, termasuk prihal disfungsi Gubernur melakukan korbinwas.
B. Penataan Kelembagaan Elemen kelembagaan dalam evaluasi ini difokuskan kepada kelembagaan di daerah dalam rangka memperbaiki pelayanan publik. Sebagai basis legal pembentukan dan penataan kelembagaan di daerah, Pemerintah menerbitkan PP No.41 Tahun 2007. Peraturan ini dan sejumlah regulasi turunannya memandu daerah untuk mendesain jenis dan jumlah baik yang berbentuk Dinas, Badan, maupun Lembaga Teknis seperti Kantor, dll. Namun temuan di lapangan, penyusunan kelembagaan daerah tak semata berbasis kebutuhan/permintaan layanan masyarakat tetapi juga merespon “penawaran” skema pendanaan dan bantuan keuangan Pusat (seperti Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan). Maka, kelembagaan Daerah 20 Sikronisasi antara UU Pemda dengan sejumlah UU sektoral ini menjadi isu serius jika melihat wewenang atas sejumlah urusan sektoral dalam bidang pertambangan (minerba) dalam UU No.4 Tahun 2009, kehutanan (UU No.41 Tahun 1999), penanaman modal (UU No.25 Tahun 2007), kepegawaian (UU No.43 Tahun 1999). 21 Hal ini bahkan dikritik oleh Pemerintah sendiri. Mendagri Gamawan Fauzi, saat meberikan Pidato Pengantar Revisi UU Pemda di Sidang DPR-RI mengatakan bahwa penyerahan sekitar 70% urusan megelola negara ini ke Daerah justru tidak diikuti dengan perimbangan keuangan di mana hanya sekitar 30% dari belanja Negara dalam APBN menjadi transfer daerah.
24
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
lebih menunjang implementasi program Pusat dari pada kebutuhan riil daerah. Selain itu, pembentukan SKPD yang sejatinya ranah eksekutif juga tak terlepas dari “intervensi” DPRD melalui persetujuan atau pun penolakan mereka atas penyusunan Perda SOTK. Reformasi kelembagaan perijinan dilakukan lewat pembentukan institusi PTSP. Dalam rangka perbaikan layanan usaha dan tata kelola ekonomi, dewasa ini sekitar 80% Provinsi, Kabupaten dan Kota telah membentuk institusi pelayanan terpadu satu pintu bagi perijinan. Namun mayoritas institusi tersebut tidak berjalan efektif (efisiensi bisnis proses perijinan dalam hal waktu, biaya dan prosedur) dan bahkan menjauhkannya dari konsep ideal PTSP sebagai titik akses tunggal bermula-berproses-berakhirnya perijinan. Sebab pokok adalah materi urusan dan skala kewenangan PTSP yang tidak substantif (keputusan perijinan). Rendahnya komitmen Kepala Daerah dan dukungan SKPD sektoral membuat PTSP justru hanya memiliki kewenangan administratif, bahkan menyerupai kantor pos yang alih-alih berperan sebagai one stop service malah menambah red-tape lantaran kehadiran PTSP itu menimbulkan satu tahapan baru lagi dalam proses pengurusan ijin (another stop-service). Membangun daya saing kolektif lewat jejaring kerja atau kelembagaan kerjasama Daerah. Arah baru pengembangan regional di era otonomi ini adalah terbentuknya jejaring kerja sama antardaerah (KAD), baik yang mengadopsi kelembagaan Regional-Management atau Sekretariat Bersama (Sekber). Evaluasi ini menemukan bahwa kebutuhan bersama sebagai dasar pembentuk komitmen guna bekerja sama justru lemah atau tak teridentifikasi secara baik untuk diterjemahkan pada aras instrumentasi seperti halnya sejumlah contoh sukses KAD Kartamantul di Yogyakarta (urusan persampahan, air bersih) atau Jonjok Batur di NTB (pemasaran bersama komoditi). Padahal potensi manfaat dari kerjasama ini cukup besar untuk membangun daya saing kolektif atau pun guna mendorong efisiensi dalam peyediaan layanan publik dalam kerangka manajemen bersama. Selain itu, kerangka kebijakan nasional tak sepenuhnya solid: PP No.50 Tahun 2007 dan Permendagri No.22 Tahun 2009 mengatur KAD dan sumber pendanaan dari pos dana hibah APBD, namun Permendagri No.32 Tahun 2011 justru melarang alokasi dana hibah kepada pihak yang berkedudukan di luar jurisdiksi daerah bersangkutan. Ketidakjelasan ini membuat Pemda ragu, bahkan Barlingmascakeb di Jawa Tengah yang pernah menjadi eksperiment sukses Regional-Management di Indonesia terpaksa membekukan diri/ kegiatannya.
Bab 2 Hasil-Hasil Evaluasi
25
C. Manajemen SDM Aparatur Pemerintah mencanangkan empat fokus penataan manajemen SDM Aparatur dalam rangka program percepatan reformasi birokrasi: (1) Penataan jumlah dan distribusi PNS, (2) Sistem seleksi dan promosi secara terbuka, (3) Profesionalisasi PNS, (4) Peningkatan kesejahteraan pegawai. Pada tataran kebijakan, Pemerintah telah menerbitkan cukup banyak peraturan dan panduan kerja reformasi birokrasi, sementara sebagian lainnya masih dalam rancangan seperti RUU Aparatur Sipil Negara dan RUU Administrasi Pemerintahan yang saat ini berada dalam tahap pembahasan dengan DPR RI. Pada tataran implementasi, langkah sejumlah Pemda patut diapresiasi: pengadaan pegawai secara terbuka dan netral, rekruitmen yang melibatkan kerjasama dengan pihak ketiga yang netral (Pemda Kabupaten/Kota di NTB bekerja sama dengan UGM, Pemda Sragen di Jawa Tengah dengan UGM). Dari sisi jumlah, sesungguhnya jumlah total PNS di daerah sekitar 3 juta personel atau 1,3% dari jumlah penduduk tidak terbilang besar, apalagi kalau dibandingkan dengan rasio di negara-negara lain seperti Thailand (2,8%, Singapura (3,6%), Brunei Darussalam (13%). Masalah utama adalah daerah-daerah pada umumnya tidak memiliki analisis beban kerja, analisis kebutuhan aparatur dan analisis beban belanja untuk bisa secara tepat menetapkan jumlah PNS. Selain itu, distribusi yang tidak merata menimbulkan kesenjangan beban kerja yang mempengaruhi perbedaan ketersediaan dan mutu layanan publik antar daerah. Tidak heran, evaluasi ini menemukan bahwa 94% Kabupaten/Kota di Indonesia kekurangan guru Sekolah Dasar/SD. Demikian juga untuk bidang kesehatan di mana masih banyak Puskesmas atau Puskesmas Pembantu yang tidak memiliki tenaga medis secara memadai. Dari sisi profesionalisme, masalah utama aparatur/PNS kita masih berpusat pada kualifikasi yang rendah sebagaimana terlihat pada kompetensi dan integritas yang banyak mendapat kritikan publik. Hasil penilaian Indeks Kinerja Manajemen/IKM oleh Lembaga Administrasi Negara/LAN, misalnya, menunjukan rendahnya kualitas aparatur di level Kabupaten/Kota: dalam skala 0-100 terdapat 54% Kabupaten/ Kota mendapatkan nilai rendah (skor 41-60) dan 34% Kabupaten/Kota mendapatkan nilai sangat rendah (<40), sementara yang meraih nilai tinggi hanya hanya 7% Kabupaten/Kota. Terkait masalah integritas, selain korupsi yang dilakukan pejabat politik seperti Kepala Daerah dan anggota DPRD, kejahatan serupa juga melanda birokrasi di mana ratusan PNS tersangkut tindak pidana, bahkan sebagian masih tetap menjabat atau dipromosikan pada jabatan yang lebih tinggi. Melihat kondisi demikian, evaluasi ini menilai target RPJMN untuk meraih Indeks Persepsi Korupsi/IPK pada skor 5,0 tahun 2014 diperkirakan tak terpenuhi (2012 kita masih berada pada skor 3,2).
26
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
Evaluasi ini menemukan aneka sebab yang melatari masalah-masalah di atas. Sebagian sebab itu, antara lain, terkait kelemahan perencanaan dan pemetaan kebutuhan pegawai, proses promosi jabatan strategis yang didominasi Pejabat Pembina Kepegawaian/PPK dan menafikan Baperjakat, sistem penilaian kinerja (DP3) yang tidak menangkap situasi riil kualitas produktif pegawai (sementara sistem Penilaian Prestasi Kerja/PPK belum sepenuh-nya efektif ), sistem pengembangan sumber daya yang tidak terencana secara sistematis dan berkesinambungan, orientasi uji kompetensi yang memberat kepada kecakapan kognitif dan kesehatan fisik (menafikan aspek mental sebagai modal penting dalam mebentuk budaya unggul dan siakp kerja profesional birokrasi), tingkat kesejahteraan yang belum memadai (remunerasi yang baru terkendala keterbatasan dana pada banyak Daerah), pola pengawasan/ penegakan disiplin (reward and punishment) yang belum obyektif dan netral, dukungan sarana-prasarana kerja yang serba terbatas.
D. Perencanaan dan Penganggaran Seiring desentralisasi dan otonomi, perencanaan dan penganggaran didesain untuk memiliki dimensi keterkaitan horisontal dan integrasi vertikal secara kuat. Prihal kaitan horizontal, evaluasi ini menemukan bahwa meski antara perencanan dan penganggaran memiliki arus proses yang sinerjis tetapi hasil akhir justru berpisah jalan, setidaknya berbeda dalam hal besaran nominal (estimasi anggaran). RAPBD— sebagai ujung proses penganggaran yang dikoordinasi Sekda—tak selalu mendasarkan dirinya pada RKPD—sebagai ujung dari proses perencanaan yang dikoordinasi Bappeda. Sebaliknya, RAPBD lebih sejalan dan meresonansi perencanaan sektoral yang tertuang dalam Renja SKPD di mana dokumen yang mesti mnejadi pelengkap dan lampiran dari RKPD ini pada fakta uji-dokumen justru bisa berbeda. Masalahnya menjadi kian rumit lantaran penyusunan Renja SKPD yang mestinya hanya melibatkan proses teknokratik itu justru dalam praktiknya sarat muatan politik lantaran DPRD lebih sering mengadakan rapat-rapat komisi dengan mitra SKPD dalam pembahasan penyusunan perencanaan. Problem sinkronisasi tersebut juga terlihat pada perbedaan antar orientasi perencanaan daerah dengan prirotas perencanaan sektoral: belum serasinya level prioritas sasaran, level program dan level kegiatan antar daerah dengan sektoral di Pusat22. Suatu upaya revitalisasi sistem perencanaan pembangunan Nasional jelas perlu dilakukan untuk menjamin keserasian perencanaan pusat dan perencanaan daerah. 22 Masalah tidak adanya standarisasi indikator yang digunakan dalam sistem perencanaan sehingga tidak ada keserasian perencanaan ini diulas dalam Laporan, “Revitalisasi Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional: Penyerasian Perencanaan Pusat dan Daerah,” White Paper, Bappenas dan PGSP/UNDP, April 2013.
Bab 2 Hasil-Hasil Evaluasi
27
Dimensi persoalan lain berkenan partisipasi masyarakat. Rekognisi atas eksitensi dan peran publik dalam instrumen regulasi yang mengatur perencanaan dan penganggaran berbeda: UU No.25 Tahun 2004 tentang SPPN terlihat memberi ruang partisipasi yang luas; UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemda hanya mengatur partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan secara umum; sementara dua instrumen terkait pengaturan keuangan dan pengganggaran (UU No.17 Tahun 2003 dan UU No.33 Tahun 2004) tidak memberikan kerangka jelas dalam mewadahi pengaturan partisipasi publik. Diskoneksi antara ranah pengaturan pemerintahan, ranah perencanaan dan ranah penganggaran sebagaimana terlihat dalam masing-masing UU di atas membuat setiap proses yang mestinya saling terkait justru berjalan terpisah. Evaluasi ini mencatat: diskrepansi pengaturan eksistensi dan peran publik antara instrumen perencanaan dari instrumen pemerintahan dan terutama lagi dengan instrumen penganggaran membuat partisipasi warga di level basis (Musrenbang Desa/Kelurahan) hingga level Kabupaten/Kota menjadi kurang bermakna23. Dalam dimensi vertikal, alur hubungan antara perencaaan nasional (RPJMN) dengan daerah (RPJMD) tidak mengalir lancar, bahkan muncul sumbatan dan bias yang serius. Evaluasi ini menemukan antara RPJMN, RPJMD Provinsi dengan RPJMD Kabupaten/Kota relatif selaras pada tingkat arah kebijakan, tapi berbeda pada pilihan prioritas di level RKP dengan RKPD. Prioritas Nasional 1# (Reformasi Birokrasi dan Tata kelola), misalnya, selalu berada di papan bawah dalam daftar prioritas di daerah. Latar sebabnya bukan karena faktor kapasitas para perencana yang tidak bisa menangkap arah kebijakan nasional tetapi lantaran Kepala Daerah yang memang memiliki “janji prioritas tersendiri”. Para pimpinan lokal yang terpilih lewat Pemilukada tersebut lebih sering memprioritaskan agenda yg terkait langsung dgn upaya memenangkan hati rakyat (kemisiknan, pelayanan dasar, dll) ketimbang reformasi birokrasi yang dianggap hanya sebagai urusan internal pemerintah—sesuatu yang keliru karena reformasi birokrasi dan tata kelola justru merupakan prsayarat sukses pelaksanaan program-program kerakyatan lainnya.
23 Ada sejumlah contoh inisiatif pembangunan berbasis Desa, termasuk yang direncanakan lewat Musrenbang. Di Bali terdapat Gerakan Pembangunan Desa Terpadu (Gerbang Sadu) Mandara sejak 2012. Dana dalam bentuk bantuan keuangan Gerbang Sadu Mandara dibagikan ke tiap desa sebesar 1 Milyar 20 Juta rupiah: 20 Juta untuk operasional, 200 Juta untuk pembangunan sarana ekonomi desa, 800 Juta untuk pengembangan ekonomi produktif yang dikelola aparat desa. Di Kutai Kartanegera ada program Gerbang Dayaku di mana dialokasikan Rp. 2 Milyar per desa/tahun untuk mebiayai aneka kegiatan yang diusulkan melalui Musbangdes.
28
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
Khusus terkait keuangan daerah, evaluasi ini menemukan beberapa bentuk mismanajemen anggaran di daerah yang cukup serius. Pertama, proporsi alokasi yang memberat kepada alokasi belanja pegawai dari pada belanja publik (pos belanja modal dan barang/jasa). Selain reformasi birokrasi yang tidak sukses mendorong efisiensi anggaran, ketimpangan besar tersebut lantaran daerah tidak memiliki satu simpul prioritas dan standar pelayanan yang harus dipenuhi pendanaannya (SPM). Meski UU No.32 Tahun 2004 mewajibkan Pemda membuat SPM, termasuk sebagai simpul acuan penyusunan perencanaan dan pengangaran, namun tak semua daerah mengadopsi instrumen strategis bagi perbaikan layanan publik ini, bahkan daerah masih menganggap SPM hanya sebagai “barang” Pusat. 50,0 45,0 40,0 35,0 30,0 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0 Pegawai Barang/Jasa Modal Lain-lain
2007 39,9 18,9 30,0 11,2
2008 42,0 18,8 27,7 11,5
2009 43,1 19,3 26,3 11,3
2010 46,5 19,2 22,5 11,7
2011 46,3 21,0 22,9 9,8
Gambar 9. Komposisi Belanja Daerah Kurun 2007-2011 (Diolah dari DJ PK Kementerian Keuangan, 2011)
Kedua, bentuk lain mismanajemen keuangan Daerah terkait mutu administrasi pelaporan di mana masih sebagian besar daerah tidak mendapat opini bagus berdasarkan penilaian BPK. Dari hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemda, yang memperoleh opini bagus (Wajar Tanpa Pengecualian/WTP) masih minoritas (Lihat Tabel 12) jika dibandingkan dengan total daerah (539 Daerah) maupun dengan mayoritas daerah yang memperoleh opini lain. Buruknya laporan keuangan ini tentu tidak saja mencerminkan problem teknis akuntansi tetapi secara pasti membuktikan buruknya penegakan prinsip tata kelola keuangan yang baik di daerah. Meski sistem pelaporan dan pengelolaan keuangan sudah disiapkan Pusat, masih lemahnya kapasitas SDM Aparatur dan manajemen anggaran di daerah ditengarai sebagai sebab utama dibalik buruknya tata kelola dan administrasi APBD saat ini.
Bab 2 Hasil-Hasil Evaluasi
29
Tabel 12. Perkembangan Opini LKPD (Provinsi, Kabupaten/ Kota) 20062011 LKPD WTP
%
WDP
%
TW
%
TMP
%
Jumlah Daerah (LKPD)
3
1%
327
70%
28
6%
105
23%
463
2007
4
1%
283
60%
59
13%
123
26%
469
2008
13
3%
323
67%
31
6%
118
24%
485
2009
15
3%
330
65%
48
10%
111
22%
504
2010
34
7%
341
66%
26
5%
115
22%
516
2011
67
16%
316
75%
32
7,6%
6
1,4%
421
2006
Opini
Ket.: WTP= Wajar Tanpa Pengecualian, WDP= Wajar Dengan Pengecualian, TW= Tidak Wajar, TMP= Tidak Memberikan Pendapat Sumber: BPK, 2012, diolah.
Ketiga, daya serap Anggaran yang tidak optimal, sebagian daerah seolah berkelebihan dana atau mengesankan diri telah sukses melakukan efisiensi anggaran. Kapasitas penyusunan anggaran, politik saling sandera DPRD dengan Kepala Daerah yang berimbas pada molornya pembahasan RAPBD, alur tahun anggaran antara Pusat dan Daerah yang tidak pas dari sisi siklus anggaran ditengarai menjadi sebagian sebab yang menghambat mesin birokrasi untuk berkekuatan penuh menyerap APBD dan menyisakan anggaran pada tahun anggaran berikutnya (Silpa). Meski gambaran umum di daerah masih adanya masalah, namun pengecekan lebih jauh menunjukan perkembangan positif: Silpa di Kabupaten/Kota secara agregat mulai mulai menunjukan trend menurun selama periode 2008-2012. Sementara provinsi tidak menunjukan tendensi penurunan serupa Kabupaten/Kota dan lebih berpola fluktuatif meski kita tetap memberi apresiasi lantaran pada tahun terakhir (2012) terlihat angka Silpa yang lebih rendah dari dua tahun sebelumnya. 50.000 40.000 30.000 20.000 10.000 2008
2009
2010
2011
2012
Silpa Kabupaten/Kota
Gambar 10. Silpa APBD Kabupaten/Kota (DJ PK Kementerian Keuangan 2013, diolah)
30
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
25.000 20.000 15.000 10.000 5.000 2008
2009
2010
2011
2012
Silpa Provinsi
Gambar 11. Silpa APBD Provinsi (DJ PK Kementerian Keuangan 2013, diolah)
E. Pembentukan Daerah Otonom Baru RPJMN 2010-2014 tidak lagi menenggang adanya pembentukan Dearah Otonom Baru (DOB) sebagai hasil dari proses pemekaran wilayah, bahkan secara tegas ditetapkan suatu jeda sementara (moratorium) selama kurun waktu tersebut. Namun fakta menunjukan, setelah kita sempat menjalani jeda selama dua tahun (2010 dan 2011), pada tahun 2012 hingga 2013 Pmeerintah an DPR kembali membuka “kran” pemekaran di mana sebanyak 15 DOB (1 Provinsi dan 14 Kabupaten/Kota) lahir secara bertahap dan menambah daftar panjang DOB pada tahun-tahun sebelumnya (Lihat Gambar 12). Dengan kehadiran DOB selama tiga belas tahun terakhir maka hari ini Indonesia sudah memiliki total 34 Provinsi dan 505 Kabupaten/ Kota--suatu angka yang tampaknya belum “final” jika melihat dinamika tuntutan pemekaran yang terus menggema di berbagai belahan wilayah negeri ini. 522 524 524 524 529 539 492 491 491 491 495 505 466 467 467 467 459 489 417 434 434 434 434 385 364 367 379 348 319 336 336 293
26
28
31
31
32
32
Kumulatif Kab/Kota
33
33
33
33
33
Kumulatif Provinsi
33
33
33
34
34
Jumlah Daerah
Gambar 12. Pembentukan Daerah Otonom Baru (Bappenas 2013, tidak dipublikasikan, diolah)
Bab 2 Hasil-Hasil Evaluasi
31
Evaluasi yang diakukan Bappenas24 atas kinerja DOB yang lahir tahun 2007-2010 menunjukan gambaran persoalan serius. Sebagai kebijakan yang sering dianggap sebagai rute khusus/alternatif bagi percepatan perbaikan pelayanan publik dan pembangunan ekonomi, ternyata ratarata pencapaian indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2007-2010 pada DOB tidak lebih baik daripada rata-rata pencapaian IPM pada Daerah Non-DOB. Hasil serupa juga terlihat pada rata-rata pencapaian kinerja dari Indikator komposit IPM (Angka Harapan Hidup (AHH), Angka Melek Huruf, dan Angka Lama Sekolah) tahun 2007-2010 di mana kinerja DOB tidak lebih baik dibandingkan rata-rata pencapaian pada Daerah Non-DOB. Pada sisi kinerja pembangunan dan kesejahteraan, dengan menggunakan indikator PDRB sebagai proxy kinerja pembangunan ekonomi di daerah ditemukan bahwa rata-rata PDRB pada DOB lebih rendah dibandingkan rata-rata PDRB pada daerah non-DOB. Ini berarti, kinerja pembangunan ekonomi pada DOB tidak lebih baik dibandingkan kinerja pembangunan ekonomi pada Daerah Non-DOB. Sejalan pula dengan kinerja pencapaian kesejahteraan masyarakat, dengan menggunakan indikator persentase penduduk miskin, terlihat bahwa rata-rata angka kemiskinan pada Daerah Otonom Baru (DOB) pada tahun 2005-2010 lebih tinggi daripada rata-rata angka kemiskinan pada daerah Non-DOB. semua itu membawa Evaluasi ini pada kesimpulan generik bahwa berdasarkan indikator pembangunan dan kesejahteraan masyarakat yang digunakan di atas, kondisi dari Daerah Otonom Baru (DOB) pada tahun 2007 -2010 tidak lebih baik dibandingkan dengan Non-DOB. IPM 73 72 71
70,8
71,3
70
68,86
69 68
71,76
70,27 68,41 68,54
68,45
2007
2008
67 66 DOB
2009
2010 Tahun
Non DOB
Gambar 13. Indeks Pembangunan Manusia
24 Bappenas secara umum melakukan analisis evaluatif dengan menggunakan enam indikator kinerja pembangunan: Indeks Pembangunan Manusia (IPM); Angka Harapan Hidup (AHH); Angka Melek Huruf (AMH); Angka Lama Sekolah (ALS); Produk Domestik Bruto (PDRB); dan Persentase penduduk miskin.
32
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
AHH 80 70 60 50 40 30 20 10 0
55,24 50,29
2007
68,61 67,71
68,17 67,51
2008 DOB
68,83 67,79
2010 Tahun
2009 Non DOB
Gambar 14. Angka Harapan Hidup (Bappenas 2013, tidak dipublikasikan, diolah) PDRB 6.000.000,00 5.000.000,00
4.812.144,00 3.954.433,00
4.181.801,00
4.181.801,00
1.236.620,00
1.300.655,00
1.401.642,00
4.000.000,00 3.000.000,00 2.000.000,00
1.439.258,00
1.000.000,00 2007
2008 DOB
2009
2010 Tahun
NonDOB
Gambar 15. Produk Domestik Regional Bruto (Bappenas 2013, tidak dipublikasikan, diolah)
Pembahasan lebih jauh mengenai DOB disajikan dalam topik efektifitas Pemda dan peran monitoring & evaluasi berikut ini.
F. Efektivitas Pemda: Peran Monev Pemerintahan Daerah yang efektif adalah prasyarat bagi hadirnyanya pelayanan publik ber- kualitas. Pemerintahan lemah hanya membuat mesin birokrasi mandek dan layanan publik bisa terbengkelai. Faktanya, evaluasi Bank Dunia menunjukan bahwa target RPJMN prihal Indeks efektifitas Pemerintahan pada angka 0,5 tahun 2014 sulit terwujud. Dalam skala -2,5 hingga 2,5 kita meraih indeks -0,19 Tahun 2010 dan -0,24 Tahun 2011 sehingga perwujudan target RPJMN tersebut terasa mustahil. Sebagian masalah berasal dari kapasitas birokrasi yang lemah dan tidak mendukung pemerintahan yang efektif-efisien, tekanan politik yang kuat terhadap birokrasi sehingga sulit indpenden dan produktif, dan penerapan manajemen kinerja pada berbagai lini pemerintahan masih tidak efektif.
Bab 2 Hasil-Hasil Evaluasi
33
Namun, satu faktor penting lain dibalik efektivitas Pemda adalah monitoring dan evaluasi (Monev) dari Pusat. Faktanya, di era otonomi ini justru Monev belum terlihat optimal dalam siklus kebijakan publik. Kita belum sepenuhnya melakukan pengukuran kinerja secara reguler, evaluasi dilakukan sebagai formalitas tanpa tindak lanjut jelas sebagai umpan balik perbaikan kebijakan, dan otonomi dipersepsikan secara keliru sebagai pengurangan otoritas (kontrol) Pusat atas Daerah. Dalam konstruksi perwilayahan dan susunan pemerintahan kita sesungguhnya terdesain suatu sitem ideal: Pusat memilki kewenangan kebijakan (NSPK), sementara Provinsi menjalankan fungsi manajerial untuk mengawasi dan mengkoodinasi Kabupaten/Kota dalam mnejalankan urusan pemerinthan yang sudah didesentralisasikan. Namun, menyitir PGSP-UNDP (2011), Provinsi justru serupa the missing-link dalam rantai pemerintahan dan Gubernur mengalami disfungsi dalam mengemban korbinwas dalam rangka pelaksanaan asas dekonsentrasi dan berkedudukan sebagai Wakil Pemerintah. Disfungsi Gubernur atau “hilangnya” provinsi itu bisa kita lihat pada penyusunan dokumen perencanaan pembangunan. Kabupaten/Kota memiliki ketaatan yang cukup kuat terhadap arah kebijakan nasional, tapi sering lupa atau sengaja mengabaikan kerangka perencanaan regional (Provinsi). Selain itu, evaluasi ini menemukan bahwa dalam manajemen sistem informasi Pusat dan Daerah terungkap bahwa aliran data/informasi dari Kabupaten/Kota kepada Kementerian terkait di pusat berjalan baik, sehingga pusat bisa merespon dengan cepat dan menggunakan data daerah bagi penyusunan kebijakan. Namun, aliran informasi tersebut ternyata melangkahi (by pass) pemerintah Provinsi yang hanya menjadi pihak penerima terakhir setelah data tersebut diunggah pada situs Pusat. Hal ini melemahkan kapasitas Provinsi dan tentu mengganggu koherensi kebijakan yang berdampak pada tidak efektinya penyelenggaraan pemerintahan dalam pemberian layanan publik. Evaluasi ini menemukan bahwa sebab utama dari masalah tersebut terletak pada desain administrasi/pemerintahan yang tertuang dalam pengaturan otonomi saat ini. Pada tingkat kebijakan (UU No.22/1999 hingga UU No.32/2004) maupun jabarannya dalam intrumentasi kebijakan terlihat jelas kalau hirarki antar pemerintahan memang dibuat terputus. Provinsi, sebagai intermediate government, kehilangan peran dan seakan tak lagi bertaut secara kuat dengan Kabupaten/Kota, sementara pada sisi lain jalur relasi Jakarta—Kabupaten/Kota justru sering bersifat langsung. Status Provinsi sebagai wilayah administrasi dan kaitannya dengan status sebagai daerah otonom tidak ditata secara sistematis. Implikasinya, basis kewenangan dan pranata pendukung operasionalisasi kewenangan juga tidak dibanguna secara solid/kuat
34
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
sehingga dalam praktik yang terjadi justru disfungsi Gubernur dan sindrom inferioritas (minder) Pemda provinsi saat berhubungan dengan pihak Kabupaten/Kota. Efektivitas penyelenggaraan pemerintahan juga jelas membutuhkan dukungan pengawasan internal dari pemerintahan itu sendiri. Evaluasi ini menemukan bahwa peran Inspektorat Daerah (Bawasda) yang merupakan pranata pengawasan internal dimaksud nyaris lumpuh. Selain kedudukan Inspektorat Daerah yang hanya menjadi unsur penunjang pemerintahan, ruang lingkup pengawasan juga terbatas. Secara legal, PP No.79/2005 menggariskan ranah pengawasan mencakup pelaksanaan urusan pemerintahan namun dalam praktiknya terjadi penyempitan wilayah: hanya terkait keuangan dan aset daerah, seperti pelaksanaan APBD, penerimaan daerah dan usaha daerah, pengadaan barang/jasa, penyelesaian ganti rugi, dll. Selain itu, sebab mandulnya pranata tersebut juga terkait kaburnnya mekanisme sanksi. Hasil temuan pengawasan dari Inspektorat hanya sebagai masukan yang tidak jelas tindak lanjutnya, dan belum menjadi sumber bagi umpan balik perbaikan kebijakan atau sebagai dasar pemberian sanksi atas kesalahan dan peyimpangan. Sebagai suatu masukan, tindak lanjut atas temuan tersebut belum bersifat imperatif dan sangat tergantung pada kemauan baik pimpinan daerah dan ketaatan setiap instansi terkait untuk menjalankannya. Dari kapasitas personil, muncul pula fenomena bahwa lantaran Inspektorat bukanlah lembaga strategis jika dibandingkan SKPD lainnya maka instansi ini hanya menjadi tempat “parkir“ bagi staf/pejabat yang kurang potensial atau menjelang pensiun.
Bab 2 Hasil-Hasil Evaluasi
35
36
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
Bab 3
Rekomendasi Kebijakan
Bab terakhir Policy Paper ini berisi sejumlah prioritas kebijakan yang direkomendasi kepada Direktorat Otonomi Daerah-Bappenas maupun kepada institusi-institusi pemerintahan lain yang memiliki keterkaiatan portofolio kerja otonomi sebagai masukan perbaikan kebijakan dua tahun ke depan atau pun sebagai bahan dasar untuk penyusunan RPJMN 2015-2019.
Tata Kelola dan Kesejahteraan Hasil analisis masalah—termasuk melalui uji ekonometrik—di depan telah membuktikan hubungan pengaruh antara kualitas tata kelola atau kinerja Pemerintah dengan pencapaian sasaran pembangunan. Namun, pada tingkat capaian kerja, Evaluasi ini menemukan pula gambaran kinerja Pemerintah yang secara umum belum mencapai target yang ditetapkan. Sejumlah indikator makro ekonomi, terutama angka pertumbuhan, memang cukup impresif sepanjang 2010-2012 tetapi trend yang mulai membayang akhir-akhir ini menunjukan bahwa stabilitas ekonomi dan daya saing kita sesungguhnya dihadang oleh rapuhnya pilar-pilar tertentu. Pertumbuhan ekonomi masih menyisakan jumlah penduduk miskin dan hampir miskin (vulnerable) dalam jumlah yang tidak bisa diabaikan. Sebagian pilar tersebut bersifat struktural yang, antara lain, mewujud dalam ketimpangan kesejahteraan antar wilayah maupun antar lapisan sosial masyarakat. Konsentrasi kekuatan ekonomi pada wilayah Barat, kemiskinan dan pengangguran, ketimpangan IPM dan akses ke keadilan melalui instrument pelayanan dasar adalah raut muram fondasi pembangunan kita.
Bab 3 Rekomendasi Kebijakan
37
Namun yang tidak penting pula adalah pilar yang bersifat institusional: tata kelola pemerintahan yang baik sebagai basis daya saing perekonomian bangsa dan perbaikan pelayanan publik. Dengan dua lapis masalah tersebut, evaluasi ini berpendapat bahwa arah besar penataan ke depan diprioritaskan kepada agenda pokok redesain kebijakan ekonomi yang mendorong pertumbuhan berkualitas sekaligus pemerataan antarwilayah (pembangunan pedesaan), antarsektor (pembangunan pertanian) dan antarlapisan sosial (kelompok rentan/miskin) sebagai bentuk tindak lanjut kebijakn propoor dan pro-job. Selain itu, arah besar yang lain, berupa peningkatan pelayanan publik melalui peningkatan alokasi anggaran yang memadai; menjamin kestersediaan dan kualitas infrastruktur dan tenaga kerja produktif; optimalisasi tata kelola pemerintahan bagi perbaikan kinerja layanan publik dan daya saing. Dalam kerangka reformasi tata kelola, desentralisasi dan otonomi daerah dilihat sebagai instrument kebijakan Negara bagi pencapaian tujuan inti pembangunan: kesejahteraan. Namun, seperti disimpulkan sebelumnya, kinerja dari elemen-elemen yang mengisi ruang desentralisasi maupun otonomi (outcome area) tidak bergerak dalam kekuatan penuh. Realisasi capaian target dalam penataan urusan, desain kelembagaan, manajemen aparatur dll yang masih rendah tersebut jelas menyisakan banyak agenda lanjutan yang mesti ditata, baik pada tingkat implementasi maupun konstruksi kebijakannya (policy problem).
Pembagian Urusan Masalah ketikdajelasan pembagian urusan ada pada tingkat kebijakan (policy problem). Untuk itu, perbaikan kerangkal egal lewat revisi UU No.32 Tahun 2004 direkomendasikan sebagai agenda priroitas dua tahun ke depan dalam kerangka RPJMN 2010-2014. Sejauh yang terpantau dari persiapan revisi UU tersebut25, keterlibatan Direktorat OtonomiBappenas amat minim, bahkan tidak cukup well-informed dengan poses yang ada. Padahal amanat RPJMN menekankan pentingnya pengaturan ulang pembagian urusan Pemerintahan, di mana pihak Bappenas berkepentingan dalam memberikan perpsektif dari segi perencanaan. Urgensi keterlibatan Bappenas dimaksud adalah terkait dorongan kepada suatu pengaturan baru di mana jenis urusan yang membutuhkan perencanaan lintas wilayah menjadi domain provinsi sehingga terjamin 25
38
Hal ini juga diakui Direktur Otonomi Daerah-Bappenas, Wariki Sutikno, dalam Seminar “Revisi UU No.32 Tahun 2004”, April 2013, yang diadakan atas Kerjasama Pokja Otda dan PGSP-UNDP.
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
integrasi, skala ekonomi dan jangkauan dampaknya. Urusan berbasis lahan luas seperti kehutanan, pertambangan dan kelautan pada dasarnya memiliki karakter kewilayahan fungsional yang tidak bisa dibatasi jurisdiksi administrasi. Sementara urusan pelayanan publik atau yang membutuhkan perencanaan berbasis lokal diberikan kepada Kabupaten/kota. Keterlibatan Bappenas ini kian krusial jika kita melihat masalah lanjutan lain dari urusan Pemerintahan—sebagaimana telah diurai di depan. Dorongan pembagian urusan menurut skala wilayah ini tidak saja menjamin kejelasan kewenangan pengaturan/pengurusannya tetapi juga penting untuk meletakan dasar bagi pengaturan sektoral (antar Kementerian) maupun memperkuat Provinsi sebagi simpul perencanaan atas urusan berbasis regional. Sinkronisasi dengan sektor teknis dan keuangan (unfunded-mandate) serta sinkronisasi perencanaa secara vertikal-kewilayahan adalah masalah nyata dalam soal urusan. Sejalan dengan perspekstif penataan urusan diatas, lebih jauh kami menganjurkan: 1. Penguatan fungsi Korbinwas Gubernur: Evaluasi mengungkap bahwa koordinasi dan sepervisi masih merupakan tantangan penting menuju perbaikan pelayanan publik dan daya saing. Simpul perbaikan koordinasi vertikal pusat-daerah tentunya Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Oleh sebab itu, upayaupaya penguatan fungsi koordinasi, pembinaan dan pengawasan (Korbinwas) Gubernur seyogianya diperkuat. Penguatan fungsi tidak hanya memerlukan kejelasan batasan peran atau “job description” dan dukungan sarana/ prasarana sesuai kebutuhan, tetapi juga dukungan SDM yang kompeten. Faktor yang tearkhir (SDM) memerlukan upaya yang sistematis dan berkesinambungan dalam pengembangan kapasitas (capacity building). Upaya revisi PP 38/ 2007 yang sekarang sedang berjalan hendaknya memerhatikan trade-off antara penentuan job-description yang terlalu umum (beresiko multi-tafsir) dengan penentuan tugas-tugas yang terlalu rinci atau kaku (beresiko menghambat ketanggapan atau responsiveness dan inovasi). 2. Pemerintah Provinsi sebagai fasilitator perencanaan: Pemerintah provinsi sudah seharusnya mengurangi perannya sebagai pelaksana program pembangunan yang sudah menjadi tanggungjawab pemerintah kabupaten/ kota. Pemerintah pusat seyogianya memberkan peran yang lebih besar kepada pemerintah provinsi dalam proses perencanaan pembangunan. Dengan demikian, pemerintah provinsi berperan sebagai fasilitator dalam mengupayakan keselarasan dan sinergi program dan kegiatan pembangunan antar daerah dalam provinsi;
Bab 3 Rekomendasi Kebijakan
39
3. Perbaikan sistim informasi manajemen: Evaluasi mengungkap bahwa pemerintah provinsi tidak jarang menjadi penerima informasi terakhir. Di sektor pendidikan, misalnya, pemerintah provinsi menerima informasi dari kementerian Pendidikan (bukan dari kabupaten/ kota) setelah data diunggah pada situs web kementerian tersebut. Praktek semacam ini menyulitkan pemerintah provinsi dalam upaya menciptakan sinergi pembangunan antar daerah. Hemat kami, pemerintah perlu mengembangkan sistim informasi yang tidak melangkahi pemerintah provinsi. Pemerintah pusat (K/L) semestinya menerima informasi dari provinsi, bukan sebaliknya.
Penataan Kelembagaan Analisis masalah dalam Evaluasi ini menunjukan dua tantangan pokok elemen kelembagaan adalah sinkronisasi organisasi perangkat Daerah dengan urusan (institution follows function) dan peningkatan kapasitas kelembagaan agar efisien dan efektif dalam penyelenggaraan palayanan publik dan peningkatan daya saing. Dalam isu pertama, revisi kerangka regulasi (PP No.41 Tahun 2007) dari orientasi luas wilayah dan jumlah penduduk semata kepada analisa kebutuhan daerah berbasis potensi riil, sektor prioritas dan tekanan masalah. Simpul pengikat dari orientasi baru tersebut adalah arsitektur urusan yang mencerminkan kondisi setempat dan pada gilirannya urusan ini menjadi basis rekonstruksi kelembagaan. Tantangan kedua mesti dijawab dengan agenda audit organisasi (menuju postur ramping, relevan), penajaman kompetensi inti, dan membangun kapasitas institusi. Dalam soal kelembagaan perijinan, misalnya, efisiensi dan efektivitas pelayanan publik sulit tercapai jika institusi yang dibangun tidak mencerminkan tingkat permintaan layanan masyarakat (PTSP lebih banyak berbentuk Kantor disbanding Badan/Dinas) dan sumber daya yang bekerja melayani perijinan tidak mendapat orientasi kultur baru (service delivery culture) dan pelatihan keahlian melayani secara profesional dan dilengkapi sarana modern. Untuk itu, agenda tindak lanjut dalam dua tahun ke depan atau periode RPJMN baru adalah mewajibkan daerah melakukan analisis kondisi riil dari sisi ekonomi maupun kebutuhan layanan warga, serta memprioritas pembentukan kelembagaan dan peningkatan kapasitas institusi pemerintahan yang terkait langsung dengan pelayanan publik tersebut. Sementara pada kelembagaan KAD, sinkronisasi melalui revisi Permendagri No.32 Tahun 2011 merupakan agenda mendesak 2 tahun ke depan. Arahnya adalah pengaturan sumber pembiayaan (dana hibah) bagi kegiatan kerja sama dengan memasukannya dalam
40
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
pos SKPD/Unit di Sekda yang membidangi kerjasama. Namun, dalam jangka panjang, Evaluasi ini merekomendasikan pembiayaan KAD ini pada Pemda Provinsi atau menjadi jenis belanja koordinasi dalam belanja Dekonsentrasi mengingat skala kegiatan yang dibiayai memang lintaswailayah. Tentu, karakter KAD-desentralistik tidak boleh hilang oleh KAD-birokratik karena inisiatif, pengelolan, pemetaan kebutuhan kerja sama, dan koordinasi harian diserahkan kepada wadah bersama Sekber) atau melalui Regional-Management (RM) yang dibentuk oleh para partisipan (daerah).
Manajemen Aparatur Semboyan “Aparatur yang Melayani” selalu tercemin pada kompetensi dan intergitas unggul, didukung lingkungan oganisasi dan makroeksternal yang kondusif. Sikap mental, kultur, produktivitas dan akuntabilitas merupakan tantangan perbaikan ke depan. Untuk itu, semua siklus manajemen kepegawaian kita harus ditata kembali: sistem rekruitmen dan promosi terbuka, penilaian kinerja obyektif (adanya Kontrak Kinerja dan Penilaian Prestasi Kerja/PPK) yang disertai pergeseran insentif materialis ke insentif memberdayakan26, pengembangan tools pembinaan modern (assessment center, computer assisted test/CAT, dll) ketimbang pembinaan konvensional dan politis, dan dukungan kesejahteraan yang memadai. Evaluasi ini berpandangan bahwa pintu masuk ke berbagai upaya teknokratik di atas mesti dimulai dari kerangka kebijakan. UU No.41 Tahun 1999 adalah perubahan pardial UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menganut paradigm lama (power-culture) dan menciptakan comfort-zone bagi PNS. Agenda mendesak setahun ke depan adalah memastikan disahkannya perubahan yang saat ini dipersiapkan sebagai RUU Aparatur Sipil Negara untuk membawa aparatur dan institusi birokrasi ke paradigma baru (service-delivery culture) dalam competitive-zone dan integrity-zone sejak rekruitmen hingga purnatugas. 26 Insentif bagi peningkatan kinerja pegawai dalam rangka penguatan tiga komponen manajemen SDM Aparatur (Kinerja Pegawai, Pengembangan Pegawai, dan Infrastruktur) mestinya tidak selalu bersifat materialist (uang sesungguhnya tidak memberikan kontribusi nyata pada kinerja) namun yang jauh lebih penting adalah insentif memberdayakan (kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi dan lingkungan sebagaimana terlihat pada formula P = ƒ (A, M, E) di mana P=Performance, A=Ability, M=Motivation, dan E=Environment). Di sini, Pemerintah berupaya menempatkan pegawai sebagai manusia yang harus dipenuhi kebutuhan dasar dan pengembangan kapabilitasnya sehingga pegawai memiliki peluang untuk terus memperbarui kinerjanya sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.
Bab 3 Rekomendasi Kebijakan
41
Disamping itu daerah perlu pendampingan untuk memangkas hambatan struktural: Peningkatan efektifitas kelembagaan dan kualitas paratur perlu dipercepat. Salah satu pendekatan yang patut dipertimbangkan adalah melalui pendampingan berorientasi kebutuhan. Secara berjenjang turun, pemerintah pusat memberikan pendampingan kepada pemerintah provinsi, sedangkan pemerintah provinsi memberikan pendampingan kepada pemerintah kabupaten/ kota. Daerah-daerah yang paling memerlukan pendampingan kelihatannya adalah daerah otonom baru (DOB). Namun, daerahdaerah lain yang memerlukan pendampingan juga perlu diidentifikasi. Disamping memerhatikan kebutuhan, pendampingan semestinya juga memerhatikan prinsip partisipasi, mempertimbangkan dampak (multiplyer effect) dan strategi penyelesaian (exit strategy).
Perencanaan dan Penganggaran Perencanaan dan penganggaran yang berorientasi publik dan melayani kebutuhan rakyat mesti meresonansi secara nyata dalam susbtansi dan proses penyusunannya. Evaluasi ini merekomendasikan perlunya database serta simpul yang jelas dan generic sebagai orientasi perencanaan dan penganggaran di daerah, yakni pencapaian sasaransaran IPM dan SPM. Untuk itu, sembari mempertahankan indikatorindikator IPM yang memang masih relevan dan baku, perbaikan mesti dilakukan pada indikator-indikator SPM dari semata berorientasi outcome ke indikator output sehingga selaras dengan model anggaran berbasis kinerja. Prihal proses penyusunan, agenda mendesak adalah mengintegrasikan secara horizontal antara mekanisme perencaan dan penganggaran: menjadikan RAPBD sebagai dokumen induk penyusunan RKPD, bukan lagi Renja SKPD yang sejatinya hanya lampiran atas RKPD. Sementara integrasi vertikal dilakukan dalam dua arah: arah bottom-up (proses partisipatif ) dengan memastikan bahwa kebutuhan warga yang dibahas melalui Musrenbang menjadi bahan dasar yang disandingkan sejajar dengan dokumen hasikl proses teknokratik dari SKPD dan bukan malah ditandingkan untuk dimenangkan oleh dokumen hasil kerja birokrasi. Lalu, pada alur integrasi vertikal top-down, acuan RPJMD/RKPD Kabupaten/Kota adalah dokumen sejenis di tingkat provinsi, dan bahkan dalam hal perencanaan sektor ekonomi lintaswilayah hanya dikenal satu jenis perencanaan (Perencanaan Provinsi); atau setidaknya menjadikan Provinsi sebagai fasilitator perencaanan untuk semua daerah di wilayah jurisdiksinya.
42
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
Dalam kerangka besar, upaya penyeserasian Perencanaan Pembangunan secara Nasional (baik dalam dimensi hubungannya dengan penganggaran, dimensi keterkaitan perencanaan PusatProvinsi-Kabupaten/Kota, dimensi keterkaitan prioritas perencanaan sektoral dengan orientasi perencanaan regional) kita membutuhkan suatu revitalisasi sistem perencanaan Pembangunan Nasional. Dengan demikian, paling tidak dalam RPJMN 2015-2019 kelak, diharapkan muncul keserasaian dan konsistensi antar level prioritas sasaran, level program dan level kegiatan pada setiap jenis perencanaan maupun kaiatannya dengan penganggaran dalam kerangka besar perencanaan nasional. Sejalan dengan reorientasi perencanaan dan penganggaran tersebut, diperlukan pengembangan kapasitas aparatur di bidang pengelolaan keuangan daerah, serta perencanaan dan penganggaran secara terencana dan berkesinambungan. Disamping itu, Perencanaan partisipatif aras bawah (desa dan kecamatan) perlu disederhanakan, dan didisain lebih informal daripada musyawarah pembangunan yang berlaku sekarang guna memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi seluas-luasnya. Peran para perencana dari dinas teknis seyogianya memperkuat hasil perencanaan partisipatif dengan analisis teknokratis yang memadai (sebagai fasilitator), bukan menjadi kompetitor masyarakat desa dalam mengajukan usulan-usulan. Disamping itu, desa seyogianya memiliki rencana jangka menengah (RPJM Desa) yang disusun melalui proses partisipatif. Dengan adanya RPJM Desa yang sudah disusun secara parisipatif, pemangku kepentingan dari sektor terkait akan lebih mudah membantu analisis teknokratis. Tanpa adanya RPJM Desa sebagai acuan semua pemangku kepentingan, usulan-usulan tahunan dari desa masih saja dianggap sebagai “shopping list” dan sering “dipatahkan” atau ditolak pada forum perencanaan yang lebih tinggi di tingkat kecamatan dan kabupaten/ kota. Lebih jauh lagi, pemerintah dan masyarakat desa seyogianya diberi/ memiliki kewenangan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan serta didukung dengan anggaran yang memadai. Inovasi dan praktek cerdas mengenai kewenangan anggaran seperti di provinsi Kalimantan Timur dan NTT adalah sebagian contoh dari sekian banyak yang telah dilakukan di Indonesia. Oleh sebab itu, Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa yang sekarang sedang dibahas di DPR hendaknya memerhatikan kewenangan tersebut.
Bab 3 Rekomendasi Kebijakan
43
DOB: Daerah Persiapan Analisis evaluatif yang telah dilakukan Bappenas di atas menunjukkan bahwa bagi persiapan penguatan kapasitas kerja di DOB maka kebijakan pemekaran perlu mempertimbangkan suatu pendekatan manajemen transisi berupa pembentukan daerah persiapan (secara legal bernama daerah administrasi) sebelum ditetapkan sebagai Daerah Otonom Baru (DOB). Dengan itu diharapkan kinerja pembangunan dapat lebih optimal lantaran persiapannya dilakukan terlebih dahulu oleh daerah induk atau Provinsi. Selain itu, dalam masa persiapan tersebut, berbagai problem transisi administrasi (peralihan personil, dokumen, perlatan, aset, peletakan garis batas) dapat dibereskan sebelum suatu daerah secara defenitif menjadi daerah otonom. Dalam hal persiapan kinerja, Evaluasi ini mencatat bahwa khusus untuk meningkatkan PDRB, DOB memerlukan persiapan yang lebih lama dan lebih matang. Dengan demikian, selain perlu konsisten dengan amanat RPJMN prihal moratorium pemekaran, agenda mendesak ke depan adalah menyusun strategi yang komprehensif dan matang sebagai upaya mengendalikan pemekaran daerah serta meningkatkan efektivitas pembangunan di daerah-daerah otonom baru (DOB). Desain besar penataan daerah perlu diperbaiki untuk mengakomodir segala strategi persiapan dalam rangka manajemen transisi tersebut, sekaligus memperkuat dasar hukum ke suatu bentuk yang bisa mengikat DPR dan Pemerintah (seperti menjadikannya sebagai bagian dari klausul UU Pemda yang baru atau dalam RPJMN 2015-2019).
Monitoring dan Evaluasi Efektvitas penyelenggaraan pemerintahan daerah di Kabupaten/Kota tak saja mensyaratkan tingkap kapasitas memadai kelembagaan dan aparatur setempat tetapi juga kemampuan pengawasan (monitoring) dan evaluasi Provinsi. Untuk itu, Provinsi yang terbatas pada sisi otonomi harus dibuat sangat efektif pada sisi sebagai Wilayah Administrasi. Implikasinya, Gubernur mesti memiliki kewenangan manajerial yang dilapisi basis kewenangan kuat dan berotoritas final dalam memutuskan pembatalan kebijakan Kabupaten/Kota (RPJMD/RKPD, APBD, perijinan, pungutan) yang tertuang dalam bentuk dasar hukum tertentu (Keputusan Gubernur) di mana gugatan keberatan hanya mungkin dilakukan melalui jalur yudikatif. Dalam kerangka itu perlu diwujudukan konsep satu pintu pembinaan dan pengawasan (KISS: koordinasi, inetgrasi, sinerjitas dan sinkronisasi) baik secara horisontal (instansi Pusat di daerah seturut pola integrated
44
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
field administration) maupun vertikal (Kabupaten/Kota seturut pola integrated perfectoral system). Basis kewenangan yang diperkuat tersebut mesti pula dilapisi dengan penguatan pada elemen administrasi: keberadaan SKD dan Dana Dekonsentrasi yang optimal dan dialokasikan hanya melalui pintu Gubernur untuk menjalankan pembinaan dan fasilitasi penguatan kapasitas atas Pemda Kabupaten/Kota. Selain itu, efektvitas penyelenggaraan pemerintahan daerah di Kabupaten/Kota yang tidak saja ditandai capaian kinerja tetapi juga akuntabilitas yang kuat tentu membtuhkan pengawasan internal pemerintahan itu sendiri. Inspektorat Daerah (Bawasda) harus direvitalisasi atas dasar pertimbangan: Pertama, Inspektorat menjadi lembaga preventif dan jaring pengaman internal sebelum pihak pengawas eksternal (BPK, KPK, dll) masuk. Kedua, sebagai unit pengawas internal, Inspektorat Daerah memiliki peluang terlibat sejak tahapan perencanaan (input), pelaksanaan, capaian (out put) dan evaluasi kebijakan. Hal ini tidak dimiliki oleh pengawas eksternal yang biasanya baru mulai dilibatkan pada ujung kegiatan. Agenda penguatan pranata pengawasan ini adalah prihal kedudukan (lembaga yang kuat di depan SKPD lain), kewenangan (lingkup tugas secara luas), dan sumber daya (tenaga unggulan dan dukungan perangkat kerja modern dalam pengawasan).
Bab 3 Rekomendasi Kebijakan
45
Referensi
Anonim (2013). “Laporan Evaluasi Tengah Periode RPJMN 2010-2014”, Kementerian Negara PPN/Bappenas, Decentralisation as Contribution to Good Governance (DeCGG/GIZ) dan Provincial Governance Strengthening Program (PGSP/UNDP). Gan, C., & Sanyal, A (2010). The Determinants of Urban Household Poverty in Malaysia. Gupta, Sanjeev., Verhoeven, Marjin & Tiongson, Erwin R (2001). The effectiveness of government spending on education and health care in developing and transition economies, European journal of political economy, 18, 717-737. Kementerian Negara PPN/Bappenas (2010). “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014”. Jakara. Kementerian Negara PPN/Bappenas (2013). “Evaluasi Paruh Waktu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20102014”. Jakarta. PGSP/UNDP (2009). “The Missing Link: The Province and It’s Role in Indonesia’s Decentralization”. Policy Issues Paper, Jakarta. Weiss, T.G (2005). Governance, Good Governance, and Global Governance: Conceptual and Actual Challenges, the Global Governance Reader, New York. World Bank (2010). Index Tata Kelola Pendidikan Pemerintah Daerah di Indonesia (ILEGI): Repor 50 Pemerintah Daerah. Jakarta. World Bank (2008). Kajian pengeluaran publik indonesia 2007: memaksimalkan peluang baru. Jakarta. World Bank (2004). World Development Report 2004. World Economic Forum (2012). Global Competitiveness Report 20122013.
46
Policy Paper Berdasarkan Evaluasi RPJMN 2010-2014
Didukung oleh Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH Decentralisation as Contribution to Good Governance (DeCGG) Menara BCA, 46th Floor Jl. MH.Thamrin No.1 Jakarta 10310 - Indonesia Telp. (021) 23587 121 Fax. (021) 23587 120 Website: www.giz.de
Provincial Governance Strengthening Programme (PGSP) Gedung Graha Mandiri, Lantai 21 Jl. Imam Bonjol No.61 Jakarta Pusat 10310 Indonesia Telp. (021) 3917284 3918554 Fax. (021) 3153461 Website: http://pgsp-agi.org/pgsp