KOMPENSASI DAN RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN COMPENSATION AND RESTITUTION ON TRAFFICIKING CRIMINAL ACTION VICTIMS BASED ON ACTS NUMBER 13 YEAR 2006 CONCERNING WITNESSES AND VICTIMS’ PROTECTION
M. Chaerul Risal, Andi Sofyan, Muhadar
Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
Alamat Korespondensi M. Chaerul Risal Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 E-mail :
[email protected] HP : 085240745459
ABSTRAK Perdagangan orang kini menjadi permasalahan yang kian kompleks, sebab tidak hanya menjadi perhatian domestik, namun telah menjadi isu universal dan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui bagaimana upaya yang ditempuh dalam pemberian hak kompensasi dan restitusi bagi korban tindak pidana perdagangan orang (trafficking); 2) mengetahui kendala-kendala apa saja yang biasa ditemui dalam pemberian hak restitusi dan kompensasi bagi korban tindak pidana perdagangan orang (trafficking). Penelitian dilakukan di Kota Makassar, pada kantor Kepolisian Resort Kotabesar Makassar, Kejaksaan Negeri Makassar dan Pengadilan Negeri Makassar. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Populasi dalam penelitian ini adalah pihak kepolisian, jaksa penuntut umum dan hakim yang menangani perkara tindak pidana perdagangan orang di wilayah Kota Makassar yang meliputi Kepolisian Resort Kotabesar Makassar, Kejaksaan Negeri Makassar dan Pengadilan Negeri Makassar dengan menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukan: 1) Berbagai upaya yang dapat ditempuh dalam pemberian hak kompensasi dan restitusi kepada korban tindak pidana perdagangan orang, baik oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan maupun upaya korban melalui jalur litigasi dan non litigasi. Namun kenyataannya di lapangan, pemberian kompensasi dan restitusi belum sesuai dengan peraturan yang telah dibuat baik menurut undang-undang maupun peraturan pelaksananya. Dari studi kasus yang dilakukan penulis, tercatat sejak tahun 2010 hingga 2013, tidak ada satu pun putusan pemberian kompensasi dan restitusi melalui jalan litigasi (pengadilan). Sebab, korban lebih memilih melalui jalan non litigasi (luar pengadilan) yang jauh lebih cepat dan relatif mudah ditempuh oleh korban tindak pidana perdagangan orang di Kota Makassar; 2) Kendala yang dihadapi dalam upaya pemberian kompensasi dan restitusi bagi korban tindak pidana perdagangan orang antara lain: lemahnya peraturan perundang-undangan, kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terkait pemberian kompensasi dan restitusi sebagai salah satu bentuk perlindungan hukum bagi korban, dan kurangnya kesadaran hukum korban sendiri untuk menuntut dan memperoleh hak kompensasi dan restitusi sebagai korban tindak pidana perdagangan orang. Kata kunci: Kompensasi, Korban, Perdagangan Orang, Restitusi
ABSTRACT Human trafficking has become a complex problem, because it is not only of domestic concern, but it has become a universal issue and the incidents increasing over the years. The research aimed at finding out: 1) what effort taken in the delivery of the compensation and restitution rights for the trafficking criminal action victims; 2) what constraints which could be encountered in the delivery of the compensation and restitution rights for the trafficking criminal action victims. The research was carried out in Makassar City, particularly in Makassar City Police Resort, Makassar Office of the Counsel for Prosecution and Makassar Court of First Instance. Data used in the research were the primary and secondary data. Population in the research was the police, prosecutors and judges who handled the trafficking criminal action cases in Makassar City. Samples were selected by the purposive sampling technique. The research results indicates: 1) Various efforts which can be taken in the delivery of the compensation and restitution rights for the trafficking criminal action victims, either by the government through the regulation of acts or the victims effort through litigation non-litigation channel. However, the fact in the field indicates that the delivery of the compensation and restitution has not been in accordance with the regulation that has been established either according to the acts or its implementation regulation. From then case study conducted, recorded since 2010 and 2013, none of the decisions of the delivery of the compensation and restitution are through the litigation channel (court). Because the victims prefer through the non-litigation channel (out of court) which is much faster and relatively easier taken by the trafficking criminal action victims in Makassar City; 2) the constraints encountered in the efforts of the delivery compensation and restitution for the trafficking criminal action victims, among others, are the weakness of the regulation of acts, lack of understanding of law enforcing apparatus related to the delivery of the compensation and restitution as one of the forms of legal protection for the victims, lack legal consciousness of the victims themselves to demand and obtain the compensation and restitution rights as the victims of the trafficking criminal action. Keywords: Compensation, Victim, Trafficking, Restitution
PENDAHULUAN Perdagangan orang kini menjadi permasalahan yang kian kompleks, sebab tidak hanya menjadi perhatian domestik, namun perdagangan orang juga telah menjadi isu universal yang melibatkan negara-negara lain. Kondisi ini tidak saja dialami oleh Indonesia. Laporan Survei Dunia IV tentang Perempuan dan Pembangunan pada tahun 1999 menyebutkan bahwa banyak negara berkembang di Asia seperti Vietnam, Srilangka, Thailand, dan Filipina mengalami hal yang sama, sebagai akibat dari ketidakpastian dan ketidakmampuan menghadapi persaingan bebas dari konsep liberalisme ekonomi di era globalisasi yang mempunyai dampak cukup kompleks, terutama terhadap peningkatan peran dan kedudukan perempuan dalam bidang ekonomi baik tingkat nasional maupun internasional (Syafaat, 2003). Perdagangan orang terkait erat dengan kriminalitas transnasional yang merendahkan martabat bangsa dan negara memperlakukan korban semata sebagai komoditi yang dibeli, dijual, dikirim, dan dijual kembali. Perdagangan orang yang mayoritas perempuan dan anak, merupakan jenis perbudakan pada era modern ini merupakan dampak krisis multidimensional yang dialami Indonesia. Dari waktu ke waktu praktik perdagangan orang semakin menunjukkan kualitas dan kuantitasnya. Bahkan menurut laporan International Labor Organization, setiap tahunnya diperkirakan dua juta manusia diperdagangkan dan sebagian besarnya adalah perempuan dan anak (ILO, 2005). Tidak hanya itu, Laporan UNICEF pada tahun 2012 menyebutkan bahwa anak yang dieksploitasi jumlahnya semakin bertambah setiap tahunnya (Rahman, 2011). Kenyataan bahwa yang lebih dominan korban adalah perempuan dan anak karena merekalah kelompok yang sering menjadi sasaran dan dianggap sebagai kelompok yang paling rentan. Korban perdagangan orang biasanya ditipu, diberlakukan tidak manusiawi, dan dieksploitasi. Bentuk-bentuk eksploitasi itu sendiri diantaranya dengan cara memperlakukan korban untuk bekerja yang mengarah pada praktik-praktik eksploitasi seksual, perbudakan atau bentuk-bentuk perbudakan modern, perbuatan transplantasi organ tubuh untuk tujuan komersial, sampai penjualan bayi yang dimaksudkan untuk tujuan dan kepentingan mendapatkan keuntungan besar bagi para pelaku perdagangan orang. Kasus perdagangan orang terutama terjadi di kota-kota besar, seperti Jakarta, bandung, Surabaya, Bali, Medan, Padang, Pontianak, Makassar, dan Manado. Perdagangan orang bertentangan dengan hak asasi manusia karena perdagangan orang melalui cara ancaman, pemaksaan, penculikan, penipuan, kecurangan, kebohongan dan penyalahgunaan kekuasaan serta bertujuan prostitusi, pornografi, kekerasan atau eksploitasi,
kerja paksa, perbudakan atau praktik-praktik serupa. Jika salah satu cara tersebut diatas terpenuhi, maka terjadi perdagangan orang yang termasuk sebagai kejahatan yang melanggar hak asasi manusia. Fungsi sosial terpenting suatu negara dalam masyarakat modern adalah meningkatkan citra kesadaran diri sosial. Penghargaan terhadap hak-hak individu merupakan asas yang paling utama dan penting secara moralitas sosial. Dengan demikian, jika seorang individu mempertahankan hak-haknya berarti melindungi juga kepentingan masyarakat dan jika hak-hak korban terpenuhi, maka terpenuhi juga kepentingan masyarakat. Sehubungan dengan korban kejahatan perdagangan orang, dimana kebanyakan korban perdagangan orang adalah anak dan perempuan yang merupakan tunas, potensi, dan kelompok strategis bagi keberlanjutan bangsa di masa depan, maka perlu diperhatikan. Korban kejahatan yang merasa kurang mendapat perhatian atau kurang mendapat perlindungan hukum hanya salah satu segi saja. Perlindungan hukum berkaitan dengan hakhak korban dan perlindungan yang diberikan bersifat reaktif. Ada beberapa bentuk perlindungan, yaitu restitusi, kompensasi, rehabilitasi, dan reintegrasi. Pada dasarnya perlindungan korban untuk mengatasi dampak yang dirasakan korban sebagai akibat dilakukannya tindak pidana terhadap yang bersangkutan (Abdussalam, 2010). Hak-hak asasi korban atau orang-orang yang diperdagangkan harus menjadi pusat dari seluruh upaya untuk mencegah dan memberantas perdagangan orang serta untuk melindungi, membantu, dan memberikan ganti rugi. Dari berbagai permasalahan dan uraian tersebut di atas, maka penulis lebih lanjut akan momfokuskan kajian pada tindak pidana perdagangan orang di Kota Makassar. Adapun tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan memahami upaya yang ditempuh dalam pemberian hak kompensasi dan restitusi bagi korban tindak pidana perdagangan orang (trafficking) dan menganalisis kendala-kendala yang ditemui dalam pemberian hak kompensasi dan restitusi bagi korban tindak pidana perdagangan orang (trafficking). METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Lokasi dalam tahap pengumpulan data tersebut berlokasi di Kepolisian Resort Kotabesar Makassar, Kejaksaan Negeri Makassar dan Pengadilan Negeri Makassar. Dengan pertimbangan bahwa masih banyaknya kasus tentang tindak pidana perdagangan orang yang terjadi di Kota Makassar.
Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini penulis mempergunakan dua jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer, yaitu data yang diperoleh dilapangan melaluli wawancara secara langsung dari pihak-pihak yang terkait dilapangan, di antaranya Kepala Desa, tokoh adat dan tokoh masyarakat. Adapun data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang relevan dengan materi kajian penelitian (Ali, 2011). Populasi dan Sampel Responden dalam penelitian ini adalah pihak Kepolisian, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim yang menangani perkara tindak pidana perdagangan orang di wilayah Kota Makassar yang meliputi Kepolisian Resort Kota Makassar, Kejaksaan Negeri Makassar dan Pengadilan Negeri Makassar. Dalam penarikan sampel menggunakan cara purposive sampling dari informan yang dianggap memahami masalah dan dapat dipercaya yaitu Polisi dan Jaksa Penuntut Umum yang menangani tindak pidana perdagangan orang serta Hakim di Pengadilan Negeri. Analisis Data Seluruh data yang diperoleh dalam penelitian, baik data primer dan data sekunder akan diolah dan dianalisis berdasarkan rumusan masalah yang telah diterapkan, sehingga diharapkan dapat diperoleh gambaran yang jelas (Nasution, 2008). Analisis data yang digunakan adalah analisis data yang berupaya memberikan gambaran secara jelas dan konkrit terhadap objek yang dibahas secara kualitatif dan kuantitatif dan selanjutnya data tersebut dideskripsikan dengan menelaah permasalahan yang ada, menggambarkan, menguraikan, hingga menjelaskan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini (Muhadjir, 2000). Penggunaan metode deskriptif ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas, dan dapat memberikan data sedetail mungkin tentang objek yang diteliti, dalam hal ini untuk menggambrakn bagaimana perlindungan hukum yang diberikan kepada korban tindak pidana perdagangan orang.
HASIL Upaya yang saat ini dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam rangka untuk menjamin kepentingan korban dalam mengajukan permohonan pemberian kompensasi dan restitusi selain dengan cara penggabungan tuntutan ganti kerugian adalah dengan menetapkan Peraturan Pemerintah, yang kemudian disingkat dengan PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban sebagai aturan pelaksana dari UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pemerintah Indonesia memang telah merujuk pada standar hukum internasional yang termuat dalam Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan 1985. Namun upaya yang telah ditempuh dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan dan pemberian kompensasi dan restitusi, namun dari apa yang tertera dalam undang-undang (law in text) sangat berbanding terbalik dengan kenyataan yang terjadi di lapangan (law in action). Dari hasil penelitian yang dilakukan penulis di Kepolisian, Kejaksaan Negeri dan Pengadilan Negeri terdapat beberapa kasus tindak pidana perdagangan orang yang terjadi di kota Makassar sepanjang tahun 2010-2013 (Tabel 1). Data pada Tabel 1 tersebut menunjukkan bahwa terdapat beberapa laporan kasus tindak pidana perdagangan orang yang diterima, namun tidak semuanya yang ditindaklanjuti sampai ke tahap penuntutan, baik karena tidak cukup bukti maupun pemahaman penanganan dengan pihak kejaksaan yang mengakibatkan berkas bolak-balik. Ataupun adanya pencabutan laporan oleh korban karena telah mencapai kata sepakat dalam memperoleh ganti kerugian. Berbagai cara dapat ditempuh korban untuk mendapatkan ganti kerugian. Selain tentunya melalui putusan pengadilan yang dijatuhi kepada terdakwa, korban juga dapat mengupayakan haknya melalui cara non litigasi (di luar pengadilan). Dalam hal korban mengupayakan hak restitusinya, jalur yang sering kali dilakukan oleh korban adalah jalur non litigasi dengan cara meminta langsung ganti kerugian kepada pelaku. Berikut beberapa petikan putusan di Pengadilan Negeri Makassar terakit kasus tindak pidana perdagangan orang yang diuraikan dalam Tabel 2. Tabel 2 tersebut menunjukkan bahwa dari beberapa kasus yang diputus oleh hakim dalam sidang pengadilan, hakim hanya fokus pada penghukuman kepada para terdakwa dan cenderung memberikan hukuman yang ringan yaitu di bawah lima tahun. Selain itu, Dalam dakwaan yang didakwakan kepada pelaku tindak pidana perdagangan orang jaksa hanya memberikan dakwaan untuk menjerat pelaku dengan hukuman penjara dan denda. Sedangkan untuk ganti kerugian (restitusi) Jaksa tidak mencantumkan tuntutan restitusi kepada pelaku yang seharusnya dibayarkan kepada korban tindak pidana perdagangan orang.
PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa pada tataran praktis, pemberian kompensasi dan restitusi pada korban perdagangan orang memang tidaklah mudah. Meski dalam beberapa peraturan perundang-undangan mengatur mengenai hak kompensasi dan restitusi terhadap korban (law in text), namun pada penerapannya di lapangan (law in action) terdapat berbagai
kendala dihadapi oleh penegak hukum. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya para korban kejahatan atau tindak pidana perdagangan orang mendapatkan hak kompensasi dan restitusi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, dari beberapa tahun terakhir ini terdapat beberapa kasus tindak pidana perdagangan orang yang terjadi di kota Makassar. Dari kasus-kasus tindak pidana perdagangan orang tersebut masih sangat sulit diterapkan pemberian restitusi kepada korban, begitupun halnya dengan pemberian kompensasi. Beranjak dari uraian permasalahan di atas, sedikitnya terdapat 4 (empat) aspek yang masih menjadi kendala dalam pemberian atau pelaksanaan kompensasi dan restitusi: Pertama, kelemahan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini dapat dilihat dari adanya polarisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pemberian restitusi kepada korban kejahatan yang cenderung saling bertentangan. Sebagai contoh pada pengaturan kompensasi dan restitusi dalam UU No. 13 Tahun 2006 Tentang PSK, yang didelegasikan secara teknis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Dalam beberapa hal, aturan itu bertentangan dengan Pasal 98 KUHAP mengenai penggabungan perkara, khususnya terkait dengan hukum acara yang akan digunakan. Praktis hal ini membuat penegak hukum cenderung memilih menggunakan ketentuan KUHAP karena aturan hukumnya dianggap lebih pasti dan aplikatif. Kedua, tumpang-tindihnya pengaturan mengenai kompensasi dan restitusi terhadap korban kejahatan. Setidaknya ada tiga peraturan yang mengatur tentang pemberian restitusi terhadap saksi dan korban kejahatan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban; Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat; serta UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. Ketiga peraturan tersebut pada dasarnya mengatur aspek yang sama tapi dengan obyek yang berbeda. Implikasinya secara yuridis formal, justru menghambat pelaksanaan kompensasi dan restitusi dan cenderung menimbulkan masalah baru karena tidak ada standar dan prosedur yang sama serta cenderung memunculkan ego sektoral. Ketiga, dalam UU No. 13 Tahun 2006 Tentang PSK, jangkauan restitusi dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan ataupun penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang ganti kerugian hanya terfokus pada kerugian yang nyata akibat tidak pidana. Jadi, dalam prakteknya, hanya kerugian-kerugian materiil yang
bisa diperiksa oleh Hakim. Tuntutan ganti rugi atas kehilangan bagi korban dianggap sebagai bersifat imateriil sehingga harus menggunakan mekanisme hukum perdata. Keempat, lemahnya daya paksa dan eksekusi pelaksanaan restitusi. UU No. 13 Tahun 2006 Tentang PSK tidak mengatur tentang daya paksa untuk melakukan pembayaran dan lembaga mana yang berwenang mengeksekusi pelaksanaan restitusi tersebut. Artinya, jika pelaku tidak mampu dan tidak mau membayar restitusi kepada korban, hal itu tidak berakibat hukum dan menimbulkan implikasi apa pun bagi pelaku. Praktis hal ini telah mencederai hak korban untuk memperoleh ganti kerugian. Maka dari itu, lemahnya peraturan perundang-undangan dalam mengawasi dan melindungi hak-hak korban merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kurang efektifnya pelaksanaan kompensasi dan restitusi. Padahal sebenarnya telah banyak sumber hukum yang mengatur masalah penerapan dan pemberian kompensasi dan restitusi baik dalam KUHAP, UU No. 13 Tahun 2006 Tentang PSK, UU No. 21 Tahun 2007 Tentang PTPPO, namun masih jarang dan sulit diterapkan dalam beberapa kasus yang terjadi. Untuk mengatasi kendala dalam memenuhi hak kompensasi dan restitusi bagi korban, perlu menggunakan pendekatan sistemik dalam penegakan hukum agar lebih optimal, yaitu melalui pembenahan struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Hal ini sejalan dengan sistem hukum yang dikemukakan oleh Friedman dalam Khozim (2009), bahwa penegakan hukum dapat berjalan efektif jika struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum ditelaah sebagai satu kesatuan dan selayaknya dilakukan secara simultan. Penegakan hukum sendiri merupakan bagian dari seluruh akitivitas kehidupan yang pada hakikatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama dalam suatu peraturan yang berlaku, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Pengaturan bersama secara tertulis yang tertuang dalam suatu produk perundang-undangan dimaksudkan dalam rangka mengatur tata kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara agar lebih tertib dan berkepastian hukum (Yulia, 2010). Penegakan hukum yang konsisten merupakan bagian dari upaya pencapaian tujuan hukum bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yaitu tegaknya keadilan dan kepastian hukum secara seimbang, serta terwujudnya ketertiban (Mulyadi, 2007). Dalam pelaksanaan penegakan hukum, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, mengingat adanya problematika lain yang ikut mempengaruhi proses penegakan hukum itu sendiri, antara lain terkait dengan substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
KESIMPULAN DAN SARAN Berbagai upaya yang dapat ditempuh dalam pemberian hak kompensasi dan restitusi kepada korban tindak pidana perdagangan orang, baik oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan maupun upaya korban melalui jalur litigasi dan non litigasi. Namun kenyataannya di lapangan, pemberian kompensasi dan restitusi belum sesuai dengan peraturan yang telah dibuat baik menurut undang-undang maupun peraturan pelaksananya. Maka dari itu, hendaknya aparat penegak hukum memberikan pemahaman kepada korban tindak pidana perdagangan orang untuk menuntut haknya dalam memperoleh kompensasi dan restitusi sebagai salah satu bentuk perlindungan hukum bagi korban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Selain itu, dibutuhkan ketegasan pemberian hukuman oleh aparat penegak hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dan sebaliknya, mempermudah korban untuk menuntut haknya agar dalam prosesnya tidak berbelit-belit dan korban lebih mudah untuk memperoleh kompensasi dan restitusi.
DAFTAR PUSTAKA Abdussalam. (2010). Prospek Hukum Pidana Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta: Restu Agung. Ali Zainuddin. (2011). Metode Penelitian Hukum. Edisi 1. Cetakan Ketiga. Jakarta: Sinar Grafika. International Labor Organization/ILO. (2005). Upaya Pemberantasan Perdagangan Orang. (Available from: http://www.jurnalhet.com/dokumen/upaya-pemberantasan-perda gangan-orang-maslihati. Diakses pada 10 April 2014). Khozim Muh. (2009). Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial. Cetakan pertama. Bandung: Nusa Media. Muhadjir Noeng. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rake Sarasin. Mulyadi Lilik. (2007). Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi. Jakarta: Djambatan. Nasution Bahder Johan. (2008). Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju. Rahman Astriani. (2011). Eksploitasi Orang Tua Terhadap Anak Dengan Mempekerjakan Sebagai Buruh. Jurnal Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret, 2(1):1-10 Syafaat Rachmad. (2003). Dagang Manusia; Kajian Trafficking terhadap Perempuan dan Anak di Jawa Timur. Yogyakarta: Lappera Puataka Utama. Yulia Rena. (2010). Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
LAMPIRAN Tabel 1. Jumlah Laporan Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang di Kota Makassar 2010-2013 No. 1 2 3 4
Tahun 2010 2011 2012 2013 Jumlah
Jumlah kasus 3 5 4 4 16
Persentase 18.75% 31.25% 25% 25% 100
Sumber Data : Polrestabes Kota Makassar
Tabel 2.
No
Beberapa Sampel Petikan Putusan Pengadilan Negeri Makassar Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang
No. Perkara
Pasal Yang Didakwakan
Ket.
1
- Nomor: - Pasal 10 jo. Pasal 2 (1) Undang- - Putusan Pengadilan Penjara 2 980/Pid.B/201 undang Nomor 21 tahun 2007 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan 0/PN. Mks. Tentang Pembe-rantasan Tindak denda Rp. 120.000. 000, Pidana Perdagangan orang jo. (seratus dua puluh juta rupiah) Pasal 83 Undang-undang Nomor sub-sidair 1 (satu) bulan 23 Tahun 2003 Tentang kurungan Perlindungan Anak
2
- Nomor: 2024/Pid.B/20 12/PN. Mks.
- Pasal 10 jo. Pasal 2 (1) Undang- - Putusan pengadilan Penjara 4 undang Nomor 21 tahun 2007 (tiga) Tahun dan denda Rp. Pemberantasan Tindak Pidana 60.000.000, (enam puluh juta Perdagangan orang jo. Pasal 83 rupiah) Subsidair 1 (satu) Undang-undang Nomor 23 Tahun bulan kurungan. 2003 Tentang Perlindungan Anak
3
- Nomor: 597/Pid.B/20 13/PN. Mks.
- Pasal 2 (1) Undang-undang Nomor - Putusan pengadilan Penjara 3 21 Tahun 2007 Tentang (tiga) Tahun 6 (enam) bulan Perlindungan Anak jo. Pasal 55 dan denda Rp. 120.000.000, ayat (1) KUHP (Seratus dua puluh juta rupiah) Subsidair 3 (tiga) bulan kurungan
4
- Nomor: 1404/Pid.B/2 013/PN. Mks
- Pasal 2 (1) Undang-undang Nomor - Putusan pengadilan Penjara 4 21 Tahun 2007 Tentang (empat) Tahun dan denda Rp. Perlindungan Anak dan Undang60.000.000, (enam puluh juta undang Nomor 8 Tahun 1981 Rupiah) Subsidair 3 (tiga) (KUHAP) bulan kurungan
Sumber Data : Pengadilan Negeri Makassar, Tahun 2010-2013.