PROPOSAL PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA JUDUL PROGRAM
Cloud Family sebagai Solusi Permasalahan Pengungsian Korban Bencana Gunungapi di Indonesia
Bidang Kegiatan: PKM GAGASAN TERTULIS
Diusulkan oleh: Wahyu Kusdyantono Hastin Chandra Diantari Kurniawan Pratama Arifin
12/335275/PA/15075 12/331193/PA/14491 12/331447/PA/14701
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2016
(2012) (2012) (2012)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. ii DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii RINGKASAN ...................................................................................................... 1 PENDAHULUAN ............................................................................................... 2 Latar Belakang ............................................................................................ 2 Tujuan dan Manfaat Penulisan .................................................................... 3 GAGASAN .......................................................................................................... 4 Potret Dibalik Pengungsian ......................................................................... 4 Pergeseran Paradigma Sistem Pengungsian ................................................. 6 Pertalian Keluarga dalam Cloud Family ..................................................... 6 Pemangku Kepentingan Sistem Pengungsian Kebencanaan Gunungapi .... 8 Langkah-langkah Implementasi Gagasan .................................................... 8 KESIMPULAN .................................................................................................... 9 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 9 LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................... 11 Lampiran 1 Biodata Ketua dan Anggota ..................................................... 11 Lampiran 2 Surat Pernyataan Ketua ........................................................... 14
iii
RINGKASAN Tulisan ini merupakan refleksi dari kepekaan penulis terhadap permasalahan pengungsian korban erupsi bencana gunungapi yang masih banyak memberikan pekerjaan rumah dalam penyediaan kesejahteraan di dalam prosesnya. Melihat permasalahan yang terjadi pada kasus Merapi 2006 dan 2010 silam serta Sinabung pada 2013, penyediaan sarana dan prasarana penunjang kesejahteraan selama masa pengungsian adalah hal mutlak yang harus dipenuhi. Berangkat dari permasalahan tersebut, kami menawarkan sebuah gagasan yang dapat menjawab permasalahan kesejahteraan korban pengungsian erupsi gunungapi. Gagasan yang kami tawarkan bernama Cloud Family, dimana pertalian antara desa yang tidak terdampak erupsi gunungapi dengan desa yang terdampak erupsi akan menjadi solusi jangka panjang bagi permasalahan kesejahteraan pengungsi yang tak kunjung usai. Dengan melibatkan peran serta masyarakat yang tidak terdampak erupsi gunungapi, akan terbangun sinergisitas yang tidak hanya terjalin selama masa pengungsian berlangsung, namun juga dapat terwujudnya hubungan yang lebih baik antara elemen masyarakat di segala bidang. Kedepannya Cloud Family diharapkan tidak hanya berfokus pada permasalahan kesejahteraan pengungsian, namun juga dapat terbangun sebuah kerjasama yang kuat di bidang sosial, ekonomi, dan budaya.
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Secara geografis, Indonesia didominasi oleh gunungapi yang terbentuk akibat zona subduksi antara Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik. Berada pada Sirkum Mediterania dan Sirkum Pasifik, terajut memanjang hingga jauh ke timur 129 kerajaan gunungapi yang membuat Indonesia dan lebih dari 200 juta penduduknya hidup pada wilayah cincin api Pasifik atau yang biasa dikenal sebagai Pacific Ring of Fire. Hidup di negara yang berada pada wilayah cincin api Pasifik membuat ratusan juta masyarakat Indonesia selalu berada dalam kewaspadaan. Menurut analisis risiko global oleh Bank Dunia (2009), Indonesia merupakan salah satu dari 35 negara yang memiliki risiko kematian tinggi yang diakibatkan oleh bencana alam. Tak ayal bila analisa tersebut mencuat ke permukaan karena Indonesia hampir selalu mengalami bencana setiap tahunnya, terutama bencana gunungapi. Tidak bisa dipungkiri bila gunungapi telah menjadi bagian penting bagi kehidupan masyarakat di Indonesia. Berdasarkan data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dalam perhitungan tahun 2004, sekitar 3% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia menghuni daerah-daerah yang dekat dengan gunungapi. Itu artinya ada sekitar 5,5 juta jiwa masyarakat Indonesia yang hidupnya sangat bergantung dari gunungapi dikarenakan beberapa faktor, baik dari sisi kesuburan tanahnya maupun dari sisi material tambang hasil erupsi gunungapi. Faktor itulah yang tentunya menjadi daya tarik bagi sebagian besar masyarakat untuk tetap bertahan di wilayah kawasan rawan bencana gunungapi walaupun mereka menyadari ancaman bahaya erupsi gunungapi yang dapat mengancam keselamatan mereka sewaktu-waktu. Pada kasus Gunung Merapi misalnya, survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sleman pada tahun 1983 dan tahun 2010 menunjukan bahwa perbandingan jumlah penduduk pada tiga kecamatan, yakni Turi, Cangkringan, dan Pakem mengalami kenaikan sebesar ±8 ribu jiwa dalam kurun waktu tersebut. Fakta tersebut telah menunjukan bahwa walaupun bencana erupsi gunungapi telah menerjang kawasan penduduk, namun ikatan antara manusia dan gunungapi yang telah terjalin begitu lama akan sulit untuk dipisahkan. Permasalahan pertumbuhan laju penduduk yang hidup di kawasan rawan bencana gunungapi seperti pada kasus Merapi telah membawa permasalahan yang berantai ketika erupsi menerjang. Tumpah ruahnya korban pengungsian, berhentinya aktivitas pendidikan dan ekonomi serta hilangnya pemukiman adalah sebagian kecil gambaran atas apa yang terjadi pada erupsi Merapi pada tahun 2006 dan 2010. Lalu, bagaimana dengan permasalahan penduduk yang hidup di sekitar 128 wilayah gunungapi lainnya? Kita tidak menutup mata bahwa masalah korban pengungsian adalah permasalahan utama yang harus diselesaikan pasca erupsi gunungapi menerjang.
2
Hilangnya harta benda dan anggota keluarga, mata pencaharian, serta dievakuasi ke tempat yang mungkin tidak nyaman adalah kenyataan pahit yang harus diterima oleh warga yang daerahnya terkena dampak akibat erupsi gunungapi. Berkaca pada erupsi Merapi tahun 2006 dan 2010 serta melihat keadaan erupsi Sinabung yang dari tahun 2013 hingga saat ini masih terus terjadi, penanganan korban pengungsian yang lebih “manusiawi” adalah tantangan yang harus dijawab. Tidak hanya untuk Merapi dan Sinabung, namun juga harus dipersiapkan untuk diterapkan di ratusan wilayah gunungapi yang ada di Indonesia. Tulisan ini sedari awal diniatkan untuk menjawab tantangan atas penanganan korban pengungsian yang lebih tepat. Kekhawatiran akan adanya erupsi yang berdampak lebih besar dari Merapi dan Sinabung seharusnya membentuk pola pikir jangka panjang untuk mempersiapkan diri akan bahaya erupsi tersebut. Terlebih lagi laporan oleh Smithsonian Institution pada tahun 2016 menunjukan bahwa setidaknya telah terjadi lima erupsi dalam kurun waktu lima tahun terakhir (selain Merapi dan Sinabung) yang dapat mengancam permasalahan kependudukan sewaktu-waktu, yakni Kelud (Jawa, 2014), Gamalama (Halmahera, 2015), Lokon (Sulawesi, 2015), Raung (Jawa, 2015), dan Rinjani (Nusa Tenggara Barat, 2015). Maka dari itu, gagasan untuk membentuk pola penanganan korban pengungsian ketika erupsi dan pasca erupsi gunungapi dengan sistem pertalian keluarga antara desa yang terdampak dengan desa yang tidak terdampak dapat menghapuskan kekhawatiran masyarakat untuk bisa hidup lebih layak ketika erupsi terjadi dan dapat membangun kembali kehidupan ekonomi masyarakat ketika masa evakuasi telah berakhir. Tertuang dalam konsep Cloud Family, harapannya tidak hanya pemerintah yang mengambil peran dalam menangani permasalahan korban erupsi gunungapi, namun juga masyarakat sebagai objek utama permasalahan ini. Melibatkan daerah dan masyarakat yang tidak terdampak erupsi gunungapi untuk turut ambil bagian diharapkan dapat membentuk penanganan korban pengungsian erupsi gunungapi yang lebih manusiawi. Kedepannya akan terbangun sebuah pemikiran bahwa tidak hanya korban pengungsian yang menanggung segala dampak yang ditimbulkan oleh erupsi gunungapi, namun peran daerah dan masyarakat yang tergabung dalam program Cloud Family memiliki andil dalam membangun kembali kehidupan sosial dan ekonomi para korban pengungsi. Selain itu, peran yang besar dari pemerintah pusat untuk mendukung sistem pertalian keluarga dalam program Cloud Family dapat memberikan harapan yang baru bagi para pengungsi untuk hidup bersama sebagai “keluarga” yang baru. Tujuan dan Manfaat Penulisan Beberapa tujuan yang diharapkan dari sistem Cloud Family sebagai solusi permasalahan pengungsian korban bencana gunungapi di Indonesia adalah:
3
a. Memberikan strategi manajemen korban pengungsi bencana erupsi gunungapi yang lebih mandiri dan terstruktur b. Mampu memberikan sebuah solusi jangka panjang bagi kebijakan pemerintah terkait permasalahan penanganan korban bencana erupsi gunungapi Sedangkan manfaat yang diharapkan dari terciptanya pertalian keluarga dalam sistem Cloud Family adalah: a. Terbentuknya mitra pemerintah dalam pelaksanaan mitigasi kebencanaan gunungapi di Indonesia b. Terwujudnya proses mitigasi bencana erupsi gunungapi yang lebih mandiri dan terkoordinasi c. Memberikan solusi bagi permasalahan sosial dan ekonomi yang dihadapi oleh korban pengungsi bencana erupsi gunungapi GAGASAN Potret Dibalik Pengungsian Menilik kembali keadaan ketika erupsi Merapi 2006 dan 2010 serta Sinabung 2013, sistem pengungsian yang selama ini dilakukan adalah dengan mengungsikan warga dari suatu desa menuju tempat yang relatif aman dari dampak erupsi, dimana tempat tersebut dapat menampung banyak orang. Tempat yang biasa digunakan untuk pengungsian itu sendiri misalnya adalah stadion, tanah lapang, dan gedung olahraga, dan terkadang tempat-tempat hunian pengungsi tersebut adalah tempat yang kurang layak huni. Kehidupan barak tidak pernah menjamin bahwa korban pengungsian dapat betah berlama-lama tinggal di dalamnya dikarenakan berbagai persoalan, mulai dari masalah keleluasaan sampai dengan pemenuhan kebutuhan yang bersifat privasi bagi kehidupan keluarga. Hal ini sudah berulang kali terjadi pada kasus erupsi gunungapi. Sejak dari kejadian-kejadian masa lalu, kelihatannya tidak ada pemikiran baru untuk menempatkan para pengungsi kedalam keadaan yang lebih manusiawi (Susetiawan, 2011 dalam Wasito dkk). Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Penanganan bencana yang seharusnya difokuskan untuk menolong para korban justru dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk mencari keuntungan. Seperti yang dituliskan oleh Kompas (20 September 2013), para pengungsi erupsi Gunung Sinabung di pos pengungsian Kecamatan Payung terpaksa menolak bantuan ikan teri dari pemerintah karena jumlahnya tidak sesuai. Penerima harus menandatangani sejumlah bantuan sebanyak 24 kg, padahal yang diserahkan hanya 15 kg. Selain itu, pengungsi juga enggan makan beras bantuan pemerintah sebab berasnya tidak layak dikonsumsi (Hartini Retnaningsih, 2013). Sistem pendistribusian yang tidak bersih ini juga bertambah buruk dengan tidak meratanya bantuan yang diberikan. Sebagai contoh, distribusi bantuan logistik
4
pada erupsi Gunung Merapi 2010 yang tidak berjalan baik dikarenakan adanya distribusi bantuan logistik yang belum memenuhi kebutuhan korban bencana. Azizah Aisyati, dkk (2014) mengungkapkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan korban bencana juga diperlukan adanya alokasi bantuan yang tepat dan sesuai agar distribusi merata dan tidak menumpuk di barak tertentu. Di sisi lain, para petani memandang kehidupan di barak adalah kehidupan yang menghambat produktivitas mereka. Sebagai seorang petani yang selalu beraktivitas setiap hari di lahan pertanian, merupakan hal yang tidak menyenangkan dan timbul rasa malu untuk hidup di pengungsian karena tidak bekerja dan hanya makan tidur semata, sambil menunggu uluran tangan pihak lain (Nyak Ilham). Sebuah dilema bagi para pengungsi. Keinginan untuk bekerja seperti sedia kala masih belum dapat dilakukan karena kondisi ladang yang tidak aman. Sedangkan untuk mencari pekerjaan di sekitar lokasi pengungsian juga tidak memungkinkan. Pada akhirnya, mereka seolah hanya berpangku tangan dan menunggu bantuan datang, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat umum. Tidak hanya dirasakan oleh orang tua, anak-anak mereka yang masih bersekolah juga merasakan hal yang sama. Aktivitas pendidikan yang biasa mereka lakukan di sekolah terpaksa harus diliburkan. Seperti pada kasus yang terjadi di Sinabung misalnya. Hartini Retnaningsih (2013) menuliskan, bahwa akibat letusan Gunung Sinabung, sebanyak 22 sekolah diliburkan, terdiri dari 15 Sekolah Dasar, 6 Sekolah Menengah Pertama, dan 1 Sekolah Menengah Atas, dengan total siswa sebanyak 4.686 siswa. Permasalahan yang juga muncul di pengungsian adalah masalah air bersih, sanitasi, dan privasi. Endah Raharjo (2010) mengungkapkan bahwa pelayanan khusus untuk kaum wanita masih jauh dari apa yang seharusnya. Wanita dengan kebutuhan khusus seperti ketika sedang datang bulan, menyusui, atau bahkan harus tidur berjejer dengan lelaki yang tidak dikenal adalah potret yang sangat memprihatinkan bagi mereka ketika berada di pengungsian. Kondisi gunungapi yang berubah-ubah statusnya juga membuat warga semakin merasa kerepotan jika harus berpindah-pindah pengungsian dari satu lokasi ke lokasi lain yang lebih jauh. Bahkan pengungsi Merapi tahun 2010 ratarata berpindah tempat pengungsian sebanyak 3 hingga 7 kali menuju daerah yang semakin jauh dari Merapi. Kondisi proses evakuasi yang mereka alami juga kacau, tanpa perencanaan yang jelas, baik jalur yang harus dilalui, tempat yang dituju maupun kendaraan yang digunakan (Joko Sudibyo, 2010). Hal ini tentunya menjadi sesuatu yang sangat memprihatinkan bagi para pengungsi. Permasalahan-permasalahan yang ada di pengungsian ini terus berulang saat bencana erupsi gunungapi terjadi. Pengungsi harusnya mendapat hal yang lebih layak dan diperlakukan dengan lebih baik. Jika kita memposisikan diri menjadi pengungsi, tentunya berada di kondisi pengungsian yang seperti itu merupakan kondisi yang sangat merugikan.
5
Pergeseran Paradigma Sistem Pengungsian Kebencanaan Erupsi Gunungapi Permasalahan mengenai sistem mitigasi bencana telah menjadi perhatian serius pemerintah untuk bisa ditangani. Hal ini tercermin dengan adanya suatu sistem manajemen kebencanaan yang diatur dalam UU No. 24 tahun 2007 tentang Manajemen Kebencanaan dan UU No. 26 tahun 2007 tentang Perencanaan Tata Ruang. Berlandaskan hukum ini, paradigma sistem manajemen kebencanaaan berubah menjadi upaya preventif sistem pengurangan risiko bencana. Belajar dari apa yang telah terjadi di Sinabung pada 2013 dan Merapi pada 2006 dan 2010, sepertinya perhatian utama justru teralihkan pada sistem mitigasi sebelum terjadinya suatu bencana dan seakan mengabaikan nasib masyarakat setelah sistem tersebut berjalan. Tujuan untuk menyelamatkan masyarakat dapat terpenuhi, namun kesejahteraan masyarakat korban pengungsi yang telah terdampak erupsi masih memberikan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Padahal, kenyamanan dan kesejahteraan masyarakat selama masa evakuasi adalah salah satu bahan pertimbangan utama baik atau tidaknya suatu sistem manajemen kebencanaan gunungapi. Mengingat kompleksnya permasalahan ini, dibutuhkan peran dan dukungan aktif banyak pihak untuk menangani permasalahan pengungsian yang masih menjadi pekerjaan rumah hingga sekarang. Peran terpusat pemerintah masih mendominasi berjalannya sistem manajemen kebencanaan. Seharusnya, partisipasi aktif berbagai pihak khususnya elemen masyarakat, sebagai objek dalam hal ini, bisa berubah untuk ikut menjadi subjek aktif penggerak sistem mitigasi yang lebih baik. Masyarakat bukanlah pemeran figuran yang hanya bisa menerima perlakuan, tetapi juga harusnya terlibat menentukan apa yang harus dilakukan. Penegasan peran masyarakat inilah yang harus lebih diberdayakan dan dilibatkan. Pertalian Keluarga dalam Cloud Family Belajar dari apa yang terjadi pada korban pengungsian erupsi Merapi serta Sinabung, pergeseran paradigma dalam menanggulangi permasalahan korban pengungsian menjadi prioritas utama yang harus diselesaikan. Cloud Family merupakan gagasan yang diusung untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Sederhananya, Cloud Family merupakan sebuah ide untuk menjadikan wilayah yang tidak terdampak oleh erupsi gunungapi sebagai rumah singgah sementara bagi para korban bencana erupsi gunungapi. Pertalian keluarga yang terjalin antara desa yang terdampak erupsi gunungapi dan daerah yang tidak terdampak, dapat dibangun melalui sistem yang ditawarkan ini. Adapun untuk wilayah yang akan dijadikan sebagai desa singgah adalah wilayah yang memiliki kemiripan karakteristik dengan desa yang terdampak, baik dari sisi budaya, karakteristik mata pencaharian, dan juga kesanggupan desa yang akan disinggahi serta wilayah tersebut merupakan wilayah yag jauh dari area terdampak erupsi gunungapi. Sistem pertalian yang diusung dalam Cloud Family ini dimaksudkan agar setiap keluarga yang menjadi korban erupsi gunungapi dapat diasuh oleh keluarga yang menjadi anggota dalam sistem pertalian ini. Dengan begitu, permasalahan 6
sosial dan privasi tidak akan muncul ke permukaan karena diharapkan setiap keluarga dapat melindungi kebutuhan sosial dan kebutuhan yang bersifat pribadi keluarga yang diasuhnya. Dari sisi ekonomi, sistem pertalian yang diusung dalam sistem ini adalah sistem sharing profit atau bagi hasil antara keluarga korban pengungsi dan keluarga asuh. Sistem bagi hasil dapat dilakukan antara kelompok tani dari desa pengungsi dan kelompok tani dari desa singgah. Sistem bagi hasil yang dimaksudkan dapat berupa pengolahan bersama ladang pertanian dan hewan ternak yang dimiliki antara kelompok tani dari desa pengungsi dengan kelompok tani dari desa yang disinggahi dimana hasil dari pertanian dan peternakan tersebut dapat dibagi secara adil antara dua kelompok tani tersebut. Hal ini dimaksudkan agar para korban terdampak erupsi gunungapi tidak ada kekhawatiran terhadap nasib hewan ternak yang dimiliki karena ada jaminan bahwa hewan ternak yang menjadi harta bagi para petani dirawat sepenuhnya dan dapat diberdayakan selama masa evakuasi. Sistem bagi hasil ini juga dapat memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi dimana masyarakat tidak memiliki pekerjaan dan juga simpanan harta ketika bencana gunungapi melanda. Harapannya, ketika masa evakuasi telah usai, masyarakat pengungi masih memiilki harta berupa hewan ternak dan juga harta tambahan berupa bagi hasil antara kelompok tani desa yang terdampak dengan kelompok tani desa yang disinggahi. Dari sisi pendidikan, program Cloud Family juga menerapkan sistem pertalian antar sekolah dari desa yang rawan terdampak erupsi dengan desa yang tidak terdampak erupsi. Hal ini ditujukan agar anak-anak masih dapat memperoleh pendidikan yang layak selama masa evakuasi kebencanaan berlangsung. Lalu, apa yang didapatkan dari desa yang disinggahi? Desa yang disinggahi akan mendapatkan dana subsidi pemerintah selama masa evakuasi berlangsung. Dana tersebut dapat berupa dana yang ditujukan kepada satu desa atau juga ditujukan kepada satu kepala keluarga. Dana ini terlepas dari biaya tanggungjawab pemerintah terhadap jaminan hidup para pengungsi selama masa evakuasi. Ini dimaksudkan agar desa yang disinggahi dan tergabung dalam program Cloud Family memperoleh manfaat yang besar selama memberikan ruang singgah yang layak bagi para pengungsi korban bencana erupsi gunungapi. Selain itu, keuntungan yang lain yang didapatkan oleh desa yang disinggahi adalah adanya pendapatan tambahan yang diperoleh dari sistem bagi hasil dengan desa pengungsi. Kedepannya, sistem Cloud Family selain memberikan jaminan keselamatan dan kelayakan bagi para korban bencana erupsi gunungapi, pertalian keluarga yang terus terjalin akan membentuk sebuah kerjasama jangka panjang di bidang ekonomi, sosial, dan budaya antara kedua desa tersebut.
7
Pemangku Kepentingan Sistem Pengungsian Kebencaan Gunungapi Kolaborasi aktif antara Pemerintah, masyarakat, dan LSM menjadi kunci utama dalam merintis Cloud Family. Pemerintah Peran Pemerintah dalam hal ini dipegang oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai aktor utama selama sistem evakuasi berlangsung dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai perpanjangan tangannya di Provinsi/Daerah. Kementerian sosial juga berperan dalam penyediaan data kependudukan yang nantinya membantu pendataan peserta Cloud Family. Selain itu, peran penting pemerintah adalah sebagai mediator dalam proses Momenrandum of Understanding (MoU) antara desa yang akan disinggahi dengan desa pengungsi. Masyarakat Masyarakat dalam konteks ini adalah masyarakat yang berdomisili pada wilayah yang jauh dari ancaman terdampak erupsi gunungapi. Masyarakat tersebut dapat menjadi mitra bagi pemerintah sebagai aktor utama dalam program Cloud Family dimana selama masa evakuasi berlangsung masyarakat yang desanya tidak terdampak dapat menjadi tuan rumah bagi para korban bencana erupsi gunungapi. Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) LSM dapat menjadi perpanjangan tangan dari BPBD dan BNPB dalam urusan mitigasi bencana erupsi gunungapi. Selain itu, peran LSM dapat memberikan tenaga tambahan berupa sosialisasi atau peneyebaran informasi kepada masyarakat terkait program Cloud Family yang telah diusung. Terlebih, LSM dapat menjadi pihak yang mengakomodasi para penyalur dana bantuan selama masa evakuasi berlangsung. Langkah-langkah Implementasi Gagasan Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari desa dengan karakteristik yang hampir serupa dengan desa pengungsi, baik dari sisi sosial maupun budaya. Hal ini dimaksudkan agar para pengungsi tetap merasa nyaman selama masa pengungsian berlangsung dengan proses adaptasi yang lebih mudah, karena kesamaan latar belakang dan tidak terlarut dalam suasana yang kelam selama bencana erupsi masih terus terjadi. Langkah kedua adalah sosialisasi kepada masyarakat tentang program Cloud Family sekaligus melakukan pendataan jumlah warga yang akan diungsikan ke desa pengungsian. Sosialisasi ini tidak hanya berlaku bagi desa pengungsi, namun juga bagi desa penerima. Diharapkan dengan sosialisasi yang baik maka tidak akan muncul permasalahan selama masa pengungsian berlangsung.
8
Langkah ketiga adalah melakukan perjanjian atau Memorandum of Understanding (MoU) antara kedua desa. MoU ini dilakukan secara kekeluargaan dan atas kesepakatan bersama. Kesepakatan ini dapat berupa kesanggupan selama menerima para korban pengungsi dan juga kerjasama sistem bagi hasil selama para pengungsi singgah di desa tersebut. Langkah keempat yang dilakukan adalah melakukan investasi infrastruktur terhadap desa yang tergabung dalam program Cloud Family. Langkah kelima adalah melakukan ujicoba dan simulasi, sekaligus mengadakan acara yang dapat meningkatkan keakraban antara kedua desa. Keakraban antar masyarakat ini harus dibangun sejak dini sehingga timbul jalinan kekeluargaan yang erat antara desa pengungsi dan desa penerima. Dengan semakin akrabnya hubungan antar warga, diharapkan akan timbul juga rasa kepercayaan diantara mereka. KESIMPULAN Melihat pengalaman dari sistem penanganan korban bencana erupsi gunungapi yang ada di Indonesia, kesejahteraan masyarakat korban pengungsi yang telah terdampak erupsi masih memberikan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Padahal, kenyamanan dan kesejahteraan masyarakat selama masa evakuasi adalah salah satu bahan pertimbangan utama, baik atau tidaknya suatu sistem manajemen kebencanaan gunungapi. Belajar dari hal tersebut, gagasan untuk menjadikan masyarakat yang berada di luar wilayah terdampak erupsi gunungapi sebagai mitra pemerintah dalam penanganan masalah pengungsian dapat menjadi jawaban atas permasalahan kondisi pengungsian. Dengan mempertalikan desa yang terdampak erupsi gunungapi dengan desa yang tidak terdampak, kedepannya Cloud Family akan menjadi solusi jangka panjang bagi permasalahan pengungsian bilamana erupsi gunungapi melanda. DAFTAR PUSTAKA Aisyati, A., Respati, A., Jauhari, W., dan Laksono, P. 2014. Model Kebijakan Distribusi Bantuan dan Penentuan Jalur Evakuasi Korban Bencana Gunung Merapi. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Ilham, N. 2011. Dampak Erupsi Gunung Merapi Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Petani. Bogor: Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Lenzun, H. W. 2015. Peran Pemerintah dalam Pengurangan Risiko Bencana di Kota Tomohon. BPBD Kota Tomohon. Raharjo, E. 2010. Derita Perempuan di Pengungsian. Jakarta: Buletin Cipta Karya. Retnaningsih, H. 2013. Letusan Gunung Sinabung dan Penanganan Bencana di Indonesia. Jakarta: P3DI.
9
Simamarmata, H. 2009. Faktor Kebencanaan Dalam Penataan Ruang. Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional. Sudibyo, J. 2010. Sister Village Sebuah Konsep Pengurangan Risiko Bencana Terintegrasi. Yogyakarta: Jurnal Erupsi Gunung Api Merapi 2010. Surono. 2015. Belajar dari Erupsi Merapi 2010. Kementerian ESDM Republik Indonesia. Wasito, T., Siti. S., dan Bustaman, S. Dampak Erupsi Gunung Merapi Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Petani Desa Umbulharjo Kabupaten Sleman. Bogor: Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Widiarto, M. 2010. Desa Bersaudara Penanggulangan Bencana Lewat Persaudaraan Desa. Yogyakarta: Jurnal Erupsi Gunung Api Merapi 2010. [online] Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman. Data Kependudukan di Area Sleman. http://www.slemankab.go.id/1260/data-sebaran-penduduk-krb-iiiii-gunung-merapi.slm [online] Smithsonian Institution. Global Volcanism Program: Worldwide Holocene Volvcano and Eruption Information. www.volcano.si.edu
10
LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1 Biodata Ketua dan Anggota Ketua A. Identitas Diri 1 2 3 4 5 6 7
Nama Lengkap (dengan gelar) Jenis Kelamin Program Studi NIM Tempat dan Tanggal Lahir E-mail Nomor Telepon/HP
Wahyu Kusdyantono Laki-Laki Geofisika 12/335275/PA/15075 Jakarta, 26 November 1993
[email protected] 085213744488
B. Riwayat Pendidikan Nama Institusi Jurusan Tahun Masuk-Lulus
SD SDN Kaliabang Tengah III 2000 – 2006
SMP
SMA
SMPN 19 Bekasi
SMAN 2 Bekasi
2006 – 2009
IPA 2009 – 2012
C. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) No
1
Nama Pertemuan Ilmiah / Seminar
Judul Artikel Ilmiah
Waktu dan Tempat
Geophysics Workshop Explore and Seminar (GWES)
Geothermal Desalination : Ketika Panas Bumi dan Air Laut Memberikan Harapan Hidup yang Baru bagi Nusa Tenggara Timur
Lampung, 2016
D. Penghargaan dalam 10 tahun terakhir (dari pemerintah, asosiasi atau institusi lainnya) No
Jenis Penghargaan
1
OSIS Terfavorit Bekasi Delapan Besar Lomba Debat Politik se - Yogyakarta
2
Institusi Pemberi Penghargaan Ikosi (Ikatan OSIS Bekasi) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Tahun 2011 2014
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidaksuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi. Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan Hibah PKM-DIKTI. Yogyakarta, 10-04-2016 Pengusul,
11
Wahyu Kusdyantono Anggota 1 A. Identitas Diri 1 2 3 4 5 6 7
Nama Lengkap (dengan gelar) Jenis Kelamin Program Studi NIM Tempat dan Tanggal Lahir E-mail Nomor Telepon/HP
Hastin Chandra Diantari Perempuan Geofisika 12/331193/PA/14491 Semarang, 08 Agustus 1994
[email protected] 085647206474
B. Riwayat Pendidikan SD Nama Institusi
SMP SMPN 1 Pasarkemis 2006 – 2009
SDN 1 Pasarkemis
Jurusan Tahun Masuk-Lulus
2000 – 2006
SMA SMAN 4 kab. Tangerang IPA 2009 – 2012
C. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) No
1
Nama Pertemuan Ilmiah / Seminar
Judul Artikel Ilmiah
Waktu dan Tempat
International Conference Cities On Volcanoes 8
“Souvenir Village: The Solution for Employment’s Change as Impact of Merapi Eruption 2010 in KRB II and III Sleman Regency”
Yogyakarta, 2014
D. Penghargaan dalam 10 tahun terakhir (dari pemerintah, asosiasi atau institusi lainnya) No
Jenis Penghargaan
-
-
Institusi Pemberi Penghargaan -
Tahun -
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidaksuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi. Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan Hibah PKM-DIKTI. Yogyakarta, 10-04-2016 Pengusul,
Hastin Chandra Diantari
12
Anggota 2 A. Identitas Diri 1 2 3 4 5 6 7
Nama Lengkap (dengan gelar) Jenis Kelamin Program Studi NIM Tempat dan Tanggal Lahir E-mail Nomor Telepon/HP
Kurniawan Pratama Arifin Laki-Laki Geofisika 12/331447/PA/14701 Banyuwangi, 20 Desember 1993
[email protected] 085749753752
B. Riwayat Pendidikan SD Nama Institusi
SMP SMPN 1 Rogojampi 2006 – 2009
SDN 1 Rogojampi
Jurusan Tahun Masuk-Lulus
2000 – 2006
SMA SMAN 1 Rogojampi IPA 2010 – 2012
C. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) No
1
Nama Pertemuan Ilmiah / Seminar Trapspot AAPG UNPAD – SC
Judul Artikel Ilmiah
Waktu dan Tempat
Dim Spot as Future Seismic Interpretation Technique to Optimize Hydrocarbon Discoveries
Bandung, 2015
D. Penghargaan dalam 10 tahun terakhir (dari pemerintah, asosiasi atau institusi lainnya) No
Jenis Penghargaan
-
-
Institusi Pemberi Penghargaan -
Tahun -
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidaksuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi. Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam pengajuan Hibah PKM-DIKTI. Yogyakarta, 10-04-2016 Pengusul,
Kurniawan Pratama Arifin
13
14