Vol. 3 No. 2, Januari 2014
AL-HAYÂ’ SEBAGAI SOLUSI BAGI PERMASALAHAN MORAL BANGSA Rima Nasir Basalamah Mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto Email:
[email protected]
Abstrak Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk mengkaji mengenai konsep Al-haya’ atau malu yang positif dalam perspektif Islam, beserta manfaat, dan solusi yang ditawarkannya bagi permasalahan yang terkait dengan kemunduran moral masyarakat. Peneliti juga akan memberikan benang merah yang menunjukkan kaitan antara al-hayâ’ dengan kondisi moral. Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah studi literatur. Rasa malu banyak dikenal melalui perspektif umum yang cenderung berkiblat kepada teori barat dan banyak dimaknai secara negatif khususnya mengenai efek dari sifat tersebut bagi individu yang memilikinya. Dalam perspektif Islam, Al-haya’ justru dimaknai sebagai sifat malu yang positif yang tidak merugikan pemilik sifatnya dan bahkan akan membawakan kepada kebaikan perilaku. Bangsa Indonesia sejak dahulu telah dikenal dengan rasa malunya, namun belakangan terlihat bahwa rasa malu yang ada kian meluntur. Artikel ini akan mengungkap konsep malu yang positif dari perspektif Islam beserta manfaat dan solusi yang ditawarkan bagi permasalahan moral yang dihadapi oleh bangsa. Kata kunci: Al-haya’, Malu, Permasalahan Moral A. PENDAHULUAN Belakangan ini marak sekali dijumpai berbagai permasalahanpermasalahan terkait kemerosotan moral yang ada di masyarakat, mulai dari kejadian yang bisa dilihat secara langsung dilingkungan masyarakat maupun yang tidak langsung melalui media massa baik elektronik maupun cetak. Permasalahan yang ada meliputi banyaknya pejabat negara dan para pegawai yang melakukan korupsi, pergaulan anak muda yang semakin permisif dan bebas, tingginya angka kriminalitas, serta kian menjamurnya pornografi dan pornoaksi. Banyak sekali bukti yang menjelaskan bahwa telah terjadi penurunan rasa malu yang ada di masyarakat kita. Bangsa Indonesia yang pada Rima Nasir Basalamah
101
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
masa lalu dikenal sebagai bangsa yang santun, saat ini predikat tersebut semakin lama semakin memudar. Para pelaku tindakan tak bermoral tidak lagi merasa malu atas perbuatannya, bahkan ada saja yang merasa bangga dengan perbuatannya karena berhasil di ekspos oleh berbagai media. Kini permasalahan-permasalahan tersebut sudah menjadi hal umum di masyarakat dan hampir tidak pernah absen dari jangkauan disetiap harinya. Permasalahan yang bertentangan dengan moral ini kian merebak dan sudah semakin terbiasa didengar, hingga akhirnya masyarakat semakin mudah untuk memaklumi kasus-kasus tersebut. Salah satu penyebab utama dari permasalahan-permasalahan moral yang dihadapi adalah putusnya urat malu dari bangsa ini. Fenomena hilangnya rasa malu begitu jelas terlihat dalam tayangan media yang semakin rusak dan tidak layak tonton. Rasa santun yang biasanya ditunjukkan bangsa ini dalam proses interaksi dengan sesama, berubah menjadi perilaku kasar dan anarkis. Para pelajar juga turut mengambil peran dengan melakukan tindak kekerasan di sekolah (bullying). Maraknya fenomena pornografi dan pornoaksi yang terkadang membuat pelakunya digugat pun terus di tentang dengan dalih kebebasan berekspresi dan seni. Selain itu, generasi muda kita pun terus terhipnotis dengan bujukan sesat narkoba.1 Bangsa kita sudah terjangkit gejala “masochisme moral”, yaitu hilangnya rasa malu dan rasa sakit hati untuk mencederai/ melukai martabat bangsa sendiri. Gejala masochisme moral itu akhirnya menimbulkan perasaan bangga dan senang ketika bisa mengungkapkan sekian skandal korupsi, kolusi dan kejahatan lain yang dilakukan di kalangan elite birokrasi.2 Seolah-oleh dengan banyaknya jumlah kasus yang terjadi, kita memperoleh rekor dalam kebaikan. Bangsa Indonesia kini menghadapi tantangan untuk mengatasi berbagai penyimpangan dan permasalahan moral yang disebabkan oleh terkikisnya rasa malu dari jiwa penduduknya. Hilangnya rasa malu terjadi di setiap kalangan, baik pada generasi muda maupun yang tua. B. KONSEP MALU DAN AL-HAYÂ’ Collins & Bahar mengungkapkan bahwa rasa malu adalah representasi internal individu yang terbentuk dari tuntutan tuntutan budaya masingmasing.3 Rasa malu tidak dapat hanya di definisikan secara sempit sebagai kondisi yang dirasakan seseorang, tetapi juga mencakup pembentukan
102
Al-hayâ’ Sebagai Solusi Bagi Permasalahan Moral Bangsa
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
budaya dan identitas yang ditampilkan.4 Hal tersebut berarti bahwa malu dibentuk dan dimaknai secara berbeda oleh tiap orang tergantung kebudayaan yang dimiliki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah diamati melalui perbandingan kebudayaan, rasa malu di dunia barat dianggap sebagai sebuah sifat yang kurang penting dibandingkan dengan negara-negara timur dan non-barat.5 Menurut kebanyakan teori psikologi, rasa malu adalah suatu kondisi kegelisahan, kecemasan, tidak menyenangkan dan terhambat, disebabkan oleh kehadiran orang lain. Menurut Mc Dougall, rasa malu juga dapat merupakan ketidaknyamanan dalam kehadiran orang lain, yang timbul dari kesadaran diri yang kuat disebabkan oleh timbulnya perasaan diri yang positif dan negatif secara serentak.6 Sementara itu al-hayâ’ adalah rasa malu yang asal katanya diambil dari bahasa arab. Dalam bahasa arab dikenal juga beberapa istilah lain untuk menyebut rasa malu, namun pada hakikatnya setiap kata tersebut memiliki kandungan makna yang berbeda di dalam esensinya. Telah disepakati oleh para penutur bahasa arab bahwa al-hayâ’ secara resmi adalah sebuah perasaan yang baik, sehingga semakin kuat rasa hayâ’ yang dimiliki maka semakin baik pula bagi pemiliknya. Al-hayâ’ adalah sebuah rasa malu yang positif, namun kata malu dengan makna yang sama hampir tidak bisa dijumpai dalam bahasa Inggris sehingga cukup sulit untuk penterjemahannya.7 Jenis emosi hayâ’ sangat terkait dengan nilai-nilai sosial, normanorma, beserta adat dan kebudayaan yang ada. Bisa dikatakan bahwa hayâ’ adalah pengontrol dari perilaku seseorang. Berperilaku tidak baik menandakan kurangnya rasa malu yang dimiliki seseorang tersebut.8 Cara pandang seseorang mengenai sifat malu akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaannya. Menurut Geertz (dalam Jama’an), bagi orang-orang jawa belajar untuk merasa malu (ngerti isin) adalah langkah menuju kepribadian Jawa yang matang.9 Budaya jawa, memiliki nilai-nilai yang tertanam pada masyarakatnya. Beberapa nilai tersebut adalah wedi, isin dan sungkan. Geertz (dalam Dewi) menjelaskan bahwa wedi berarti memiliki rasa takut pada akibat dari tindakan yang dilakukan. Isin berarti memiliki rasa malu terlebih ketika melakukan suatu hal. Sungkan adalah perasaan yang biasanya digunakan untuk menghormati orang lain atau orang yang belum dikenal. Sungkan merupakan perasaan yang serupa dengan isin (malu), namun Rima Nasir Basalamah
103
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
berbeda. Sungkan muncul dalam diri individu karena adanya perasaan lebih rendah dari orang atau individu yang akan dihadapinya, entah terkait kedudukan di masyarakat, ilmu, status sosial, atau wibawa.10 Banyak orang menyangka bahwa malu dan sungkan adalah perasaan yang sama, padahal pada hakikatnya dua sikap itu sangat bertentangan. Sungkan sebagian besar disebabkan karena kurangnya rasa percaya diri, karena merasa lebih lemah dan merasa tidak mampu berhadapan dengan orang lain, walaupun sejatinya dia tidak melakukan kesalahan. Perasaan ini jelas sangat berbeda dengan hayâ’, yang timbulnya disebabkan oleh keagungan serta kemuliaan jiwa yang mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang hina. Hayâ’ dapat menyebabkan seseorang tidak terima jika jiwanya tercampak dalam perbuatan yang rendah. Sementara sungkan, jika ia memiliki kesempatan dan tidak ada orang yang melihatnya ia akan melakukan perbuatan rendah tersebut.11 Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan, al-hayâ’ ( ) atau malu ) yang artinya kehidupan. Hujan disebut berasal dari kata al-hayâh ( hayy (dengan alif maqsurah) karena ia merupakan sumber kehidupan bagi bumi, tanaman dan hewan ternak. Kehidupan dunia dan akhirat juga dinamakan al-hayah. Oleh sebab itu, siapa yang tidak memiliki hayâ’ ibarat mayat di dunia ini dan sungguh, dia akan celaka di akhirat. Dalam konteks ini, bisa juga berarti hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi hayâ’ yang dimiliki orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya hayâ’, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa hayâ’ menjadi lebih sempurna.12 Al-Junaid rahimahullah berkata, “Hayâ’ yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat hayâ’ ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya’”.13 Imam An-Nawawi dalam Riyadhush Shalihin menulis bahwa para ulama pernah berkata, “Hakikat dari hayâ’ adalah akhlak yang muncul dalam diri untuk meninggalkan keburukan, mencegah diri dari kelalaian dan penyimpangan terhadap hak orang lain.”. Selain itu dalam riwayat shahih Muslim, disebutkan sebuah hadits yang berbunyi,
احلياء خري لكه 104
Al-hayâ’ Sebagai Solusi Bagi Permasalahan Moral Bangsa
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
Artinya, “Al-hayâ’ seluruhnya adalah kebaikan” (HR. Muslim: no. 87). Jika al-haya’ seluruhnya adalah membawa kepada kebaikan, maka tidaklah seseorang kehilangan sifat hayâ’nya kecuali akan menyisakan keburukan semata dalam dirinya. Dalam arti jika seseorang memiliki hayâ’ yang dominan, maka segala perilaku dan tindakannya akan baik dan sebaliknya, jika hayâ’ itu melemah maka sikap buruk seseorang akan menguap dan menjadi lebih dominan serta kebaikan dirinya akan memudar. Rasulullah juga bersabda, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat hayâ’nya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa yang hilang rasa hayâ’nya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia; siapa yang dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti akan bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya dan tidak mendatangkan pahala. Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki hayâ’; tidak ada hayâ’ bagi orang yang tidak memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan. Siapa yang sedikit hayâ’nya, ia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa saja yang disukainya.” Dari beberapa hadits di atas dapat diketahui bahwa al-haya’ atau malu dalam perspektif Islam adalah suatu akhlak terpuji yang mendorong seseorang untuk meninggalkan segala perbuatan yang mencoreng jiwa dan martabat dirinya. Malu adalah suatu akhlak yang bisa mendorong seseorang untuk berbuat kebaikan dan menjauhi kemungkaran. Seseorang yang memiliki rasa malu akan memiliki batasan antara dirinya dengan perbuatan yang tercela. Selain itu dengan rasa malu pula manusia dapat dibedakan dari makhluk lain seperti hewan. Dapat disimpulkan pula bahwa hayâ’ dimaknai sebagai perasaan yang harus ditanamkan dan ditumbuh kembangkan sebagai satu nilai yang dapat mencegah perbuatan amoral. Hayâ’ dapat terwujud misalnya malu untuk berbuat kejahatan, malu yang seperti ini merupakan nilai alami dan merupakan salah satu nilai yang baik. Dengan definisi tersebut maka esensi al-hayâ’ adalah berbeda dari kebanyakan pengertian malu pada umumnya. Rima Nasir Basalamah
105
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
C. PEMBAGIAN AL-HAYÂ’ Setelah melihat konsep perbedaan hayâ’ dari rasa malu yang lain, maka perlu diketahui pula bembagian dari hayâ’. Hayâ’ dapat ditujukan kepada beberapa golongan berikut:14 1. Malu kepada Allah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
)فاهلل أحق أن يُستحيا منه (الرتمذي Artinya, “Sungguh Allah adalah Dzat yang paling berhak untuk kalian malu kepada-Nya.” (HR. At-Tirmidzi). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
َ ْ ْ َ َ ْ َّ َ َْ َّ ْ َ َ َ ْ َ ى ُْْ َْ َ َ ـحيَا ِء فليَحف ِظ هلل حق ال ا ن م ح ِ م ِن است،ِهلل حق الـحياء ِ ِ ِاستحيوا ِم َن ا َ ْ َ َ َ ْ َ َ ََّ ْ َ َ َ َ ىَ َ بْ ْ َ َ َ َ َ َ يْ ْ ُ ْ َ ْ َ َ بْ ى َأل ِخرة َ َ ومن أراد ا،الل ِ الرأس وما وع والطن وما حوى ولذك ِر الـموت و ْ َّ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ ْ َ َ َ ْ ُّ َ َ ْ َ َ .هلل حق الـحياء ِ فمن فعل ذلِك فق ِد استحيا ِم َن ا،ت َرك ِزينة ادلنيا
Artinya: “Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu. Barang-siapa yang malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu.” (HR. At-Tirmidzi no. 2458). Dari sari hadits di atas dapat dipetik bahwa konsekuensi dari rasa malu kepada Allah adalah timbulnya penjagaan diri terhadap apa-apa yang ada di pikiran kita, sehingga alat indera seperti mata, telinga, mulut, dan hidung hanya akan di fungsikan dengan baik tanpa melanggar ketentuan Allah yang mengakibatkan kerusakan bagi moral di masyarakat. Begitu juga terhadap penjagaan terhadap pikiran di kepala kita. Ketika pikiran terlindungi, maka tidak akan terlintas suatu niat pun untuk melakukan berbuatan yang buruk atau
106
Al-hayâ’ Sebagai Solusi Bagi Permasalahan Moral Bangsa
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
tercela. Seseorang yang tidak memiliki rasa malu kepada Allah, maka pikirannya akan tertutup sehingga hal-hal burukpun dapat terbersit di pikiran dan semakin mudah untuk menjadi suatu perbuatan buruk. 2. Malu Kepada Sesama Manusia Imam Ibnu Hibban Al-Busti rahimahullaah berkata, “Wajib bagi orang yang berakal untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara berkah yang mulia yang didapat dari membiasakan diri bersikap malu adalah akan terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela. Disamping itu berkah yang lain adalah selamat dari api neraka, yakni dengan cara senantiasa malu saat hendak mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Karena, manusia memiliki tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat berhubungan sosial dengan orang lain.” 3. Malu Kepada Diri Sendiri Malu kepada diri sendiri adalah malunya orang-orang yang berjiwa mulia. Seseorang malu karena telah membiarkan diri diliputi oleh kekurangan dan diselubungi oleh kehinaan. Ketika seseorang malu kepada dirinya sendiri, tentunya dia lebih malu kepada yang lain. Dengan kata lain, orang yang memiliki rasa malu akan selalu menjaga nama baik atau citra diri sehingga ia tidak akan merusaknya. D. FUNGSI AL-HAYÂ’ BAGI PERMASALAHAN MORAL BANGSA Al-hayâ’ merupakan salah satu sifat terpuji karena sifat ini mampu menghindarkan seseorang dari berbuat kesalahan dan dosa, berbuat perbuatan buruk dan juga kemaksiatan. Barangsiapa yang tidak memiliki hayâ’ dalam hatinya, tentu ia akan seenaknya untuk melakukan perbuatan yang buruk ataupun terjatuh dalam perbuatan dosa tanpa mempedulikan pandangan manusia akan dirinya dan kelakuannya; dan juga tidak mempedulikan nilai-nilai moralitas yang berlaku, seolah ia tidak mempunyai hati nurani lagi.15 Al- hayâ’ adalah sebuah konsep malu yang tidak mengurangi kebaikan apapun dalam kehidupan, bahkan justru meningkatkan kebaikan yang dimiliki. Sifat hayâ’ dapat diibaratkan sebagai rem atas perbuatan negatif pada diri manusia, sehingga sifat ini sangat dianjurkan dalam ajaran agama Islam maupun agama-agama sebelumnya yang dibawakan oleh para nabi. Dalam sebuah hadits disebutkan,
Rima Nasir Basalamah
107
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
إن مما أدرك انلاس من كالم انلبوة االوىل اذا لم تستح فاصنع ماشئت Artinya, “Sesungguhnya termasuk yang pertama diketahui manusia dari ucapan kenabian adalah ‘jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu!’” (Shahih Bukhari: 5769). Dalam menjelaskan maksud hadits di atas, Ibnul Qayyim berkata:
واملقصود ان اذلنوب تضعف احلياء من العبد حىت ربما انسلخ منه باللكية حىت ربما انه اليتأثر بعلم انلاس بسوء حاهل وال باطالعهم عليه بل كثري منهم خيرب عن حاهل وقبح ما يفعله واحلامل ىلع ذلك انسالخه من احلياء وإذا وصل العبد .اىل هذه احلالة لم يبق يف صالحه مطمع Maksudnya yaitu, dosa-dosa akan melemahkan rasa malu seorang hamba, bahkan bisa menghilangkannya secara keseluruhan. Akibatnya, pelakunya tidak lagi terpengaruh atau merasa risih saat banyak orang mengetahui kondisi dan perilakunya yang buruk. Lebih parah lagi, banyak di antara mereka yang menceritakan keburukannya. Semua ini disebabkan hilangnya hayâ’. Jika seseorang sudah sampai pada kondisi tersebut, tidak dapat diharapkan lagi kebaikannya.16 Dari hadits yang telah dijelaskan sebelumnya dapat kita renungkan bahwa rasa malu sifatnya adalah opsional/ pilihan. Ketika seseorang lebih memilih untuk tidak mempunyai rasa malu, maka seolah-olah ia bebas untuk berbuat sesuka hatinya tanpa memikirkan apakah hal tersebut baik atau tidak dan tanpa perlu memikirkan apakah ia merampas hakhak milik orang lain atau tidak, sehingga semuanya tidak lagi dihiraukan. Akan tetapi, ketika seseorang lebih memilih untuk memiliki rasa malu tentu ia tidak akan berlaku sewenang-wenang, karena ia masih memiliki sandaran pedoman berupa nilai baik-buruk. Rasûlullâh bersabda, “Seseorang tidak akan mencuri bila ia beriman, tidak akan berzina bila ia beriman.” Al-hayâ’ adalah benteng bagi seseorang untuk mencegah dirinya dari perbuatan dosa yang melanggar nilai moral, jika seseorang tidak lagi memiliki hayâ’ maka dia akan melakukan perbuatan apapun dengan mudahnya. Maknanya, seseorang yang tidak
108
Al-hayâ’ Sebagai Solusi Bagi Permasalahan Moral Bangsa
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
memiliki rasa malu, maka ia akan berbuat apapun sekehendak hatinya dan tidak memperhatikan kemaslahatan tindakannya bagi diri sendiri dan juga orang lain. Dengan demikian, malu yang menyebabkan pelakunya menyianyiakan hak Allah Azza wa Jalla sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah malu yang tercela karena pada hakikatnya sifat tersebut adalah kelemahan dan ketidakberdayaan.17 Dalam hadits shahih disebutkan kelebihan dari memiliki sifat hayâ’, Rasulullah bersabda yang artinya, “Sesungguhnya Allah Maha Malu dan Maha Tertutup, Dia meyukai ketertutupan dan rasa malu.” (HR. Imam Abu Dawud dan Imam an-Nasaa’i). Dengan arti serupa disebutkan pula dalam riwayat lain suatu hadits yang artinya, “Sesungguhnya Allah mencintai orang yang pemalu (memiliki sifat hayâ’) dan menjaga kehormatan” (Shahih Al-Jami’ Al-Shaghir no. 1.711). Dari kedua hadits tersebut diketahui bahwa rasa malu pada esensinya juga dimiliki oleh Allah, bahkan Allahlah Sang Maha Pemalu. Dengan memiliki rasa malu sebagai Rabb yang menciptakan manusia, sudah tentu bahwa sifat tersebut adalah sifat yang agung. Dengan memiliki hayâ’ maka kita juga akan mendapatkan kemuliaan diri dan kecintaan dari Allah Ta’ala. Kecintaan Allah adalah sebuah anugrah yang tertinggi. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan,
ََّ َ َ ْ َ ْ ُ ُ ُ ْ ُ َ ْ َ ُ لذ ُ ََّ َ رَ َ ُ لذ ُ ُ ْ َ َّ ُ َ َ َ ْ َ ْ َ ُ ُ ويده ال يِت يبطش، وبصه ا ِ ى يب رِص بِ ِه،ف ِإذا أحببته كنت سمعه ا ِ ي يسمع بِ ِه َ َّ ُ َ ْ . َو ِرجله ال يِت ي ْم يِش بِ َها،بِ َها
Artinya, “Jika Aku mencintai seorang hamba maka Akulah yang memberikan taufiq, menjaga telinganya, menjaga pandangannya, menjaga tangannya, dan menjaga kakinya” (HR. Al-Bukhari 5/2384, no. 6137). Seseorang yang memiliki hayâ’ sudah tentu akan menjaga segala tindakannya karena memiliki kesadaran yang baik akan pentingnya nilai positif. Orang yang memiliki hayâ’ akan selalu menjaga segala tindakan yang dilakukannya baik disaat ada yang melihat ataupun tidak, karena ia mengimani bahwa Allah-lah yang Maha Melihat. Apabila masyarakat Indonesia terus menanamkan nilai hayâ’ kepada generasinya maka Rima Nasir Basalamah
109
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
martabat diri, keluarga dan bangsa akan senantiasa terjaga. Dengan demikian, Indonesia pun akan mejadi bangsa yang menjunjung tinggi moral dan lebih dikenal sebagai bangsa berkebudayaan yang santun dan terhormat. Tidak akan lagi ditemukan orang yang dengan bangga melakukan korupsi dan berbagai jenis perbuatan kriminal lainnya karena rasa malu yang positif tersebut sudah tertanam kuat. Dengan mengetahui banyaknya manfaat untuk memiliki sifat al-haya, seseorang hendaknya belajar untuk memiliki sifat positif ini. Ath-Thahir menjelaskan bahwa untuk memiliki sifat Al-hayâ’ terdapat beberapa langkah yang dapat ditempuh18: 1. Hendaknya sebagai hamba terus mengingat bahwa Allah Ta’ala senantiasa memperhatikannya, sehingga tidak akan ada keberanian untuk melakukan perbuatan maksiat atau dosa. 2. Hendaknya seorang hamba selalu mengingat nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepadanya agar mampu mensyukuri semua nikmatNya. 3. Hendaknya seorang hamba terus mengingat bahwa Allah akan meminta pertanggungjawaban atas segala sesuatu yang telah dilakukan, baik yang besar maupun yang kecil, dan juga baik yang sedikit maupun yang banyak. Jika penanaman sifat tersebut berhasil, maka seseorang tentu dapat memiliki sifat hayâ’ yang terpuji. E. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Al-hayâ’ adalah sebuah konsep malu dari sudut pandang Islam dengan pengertian positif yang jauh berbeda dari sifat malu lain yang selama ini dipelajari dan dipahami. Al-hayâ’ tidak seharusnya disalah artikan dengan makna malu yang lain, karena al-hayâ’ adalah rasa malu yang tidak mengurangi kebaikan apapun dalam kehidupan, bahkan justru meningkatkan kebaikan pemilik sifatnya. Jika penanaman sifat hayâ’ berhasil, maka seseorang tentu akan memiliki sifat yang terpuji. Berbagai manfaat akan diperoleh seseorang dengan memiliki sifat al-haya, yaitu tidak merugikan pemilik sifatnya, dapat melindungi seseorang dari melakukan perbuatan buruk, dan yang lebih utama adalah dicintai dan akan dijaga oleh Allah Ta’ala. Al-hayâ’ merupakan prasyarat bagi orang yang ingin memiliki
110
Al-hayâ’ Sebagai Solusi Bagi Permasalahan Moral Bangsa
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
akhlak mulia dan pendidikan nilai yang baik. Darinya muncul kebencian pada kelalaian, kesalahan, kejahatan dan juga perilaku buruk.19 Secara tidak langsung, seseorang yang memiliki sifat hayâ’ akan menjauhkan dirinya dari segala perbuatan tercela sebagaimana orang yang memiliki benteng diri dari hal negatif. Orang yang memiliki hayâ’ akan membenci segala bentuk kerusakan moral terlebih lagi yang diakibatkan oleh perbuatannya. Dengan memiliki dan penanaman sifat hayâ’ permasalahan-permasalahan moral yang terjadi di masyarakat dapat teratasi dengan baik, karena adanya kesadaran diri yang tinggi dari pemiliki sifatnya. 2. Saran Himbauan bagi para muslimin dan muslimat untuk mengkaji kembali Al-Qur’an dan Al-hadits khususnya yang membahas esensi al-hayâ’ sehingga dapat menerapkankannya secara tepat dan akan terhindar dari perbuatan yang tercela dan bertentangan dengan moral. Budaya malu bangsa yang semakin terkikis harus ditanamkan kembali dalam diri bangsa, hal tersebut bisa diawali dari lingkungan terkecil yaitu keluarga. Oleh karena itu penulis menghimbau adanya penyebaran hakikat al-hayâ’ beserta keutamaan dan keindahan memiliki sifat tersebut. Para orang tua harus bisa menanamkan nilainilai positif dan juga menerapkannya dengan contoh nyata agar anak dapat mengikuti jejak yang konkrit. Berbagai media massa baik cetak maupun elektronik harus lebih menampilkan nilai yang menjunjung tinggi moral sehingga penanaman hayâ’ akan semakin mudah untuk digencarkan. Peran pemerintah juga dibutuhkan dalam pengendalian media tersebut dengan memperketat sistem sensor yang dirasa masih terlalu longgar dan masih banyak menyajikan hal-hal yang bertentangan dengan nilai moral dan akhlakul karimah. Dengan media yang terjamin mutunya, maka contoh yang ada akan membantu untuk membentuk kebudayaan di masyarakat yang lebih baik. Endnotes 1
Muhammad Idrus, Pendidikan Karakter Pada Keluarga Jawa, Jurnal Pendidikan Karakter, Vol. II, No. 2, Juni 2012, hlm. 124.
2
Komaruddin Hidayat, The wisdom of life: menjawab kegelisahan hidup dan agama, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008), hlm.131-132.
3
Collins & Bahar, To Know Shame: Malu and Its Uses in Malay Societies, Crossroads Journal, Rima Nasir Basalamah
111
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
Vol. 14, No. 1, 2000, hlm. 37. 4
Susie Scott, Shyness and Society: The Illusion of Competence, (New York: Palgrave Macmillan, 2007), hlm. 35.
5
Daniel M. T. Fessler, Shame in Two Cultures: Implication for Evolutionary Approaches, Journal of Cognition and Culture, Vol. 4, No. 2, 2004, hlm. 211.
6
Retno Kumolohadi, Efektivitas Pelatihan Komunikasi Interpersonal Untuk Mengurangi Rasa Malu (Shyness), Naskah Publikasi Universitas Islam Indonesia, 2007, hlm. 8-9.
7
Nader Al-Jallad, The concept of “shame” in Arabic: bilingual dictionaries and the challenge of defining culture-based emotions, Language Design Vol. 12, 2010, hlm. 37.
8
Nader Al-Jallad, The concept of “shame” in Arabic: bilingual dictionaries and the challenge of defining culture-based emotions, Language Design Vol. 12, 2010, hlm. 38.
9
H.R. Chalifah Jama’an, Potensi Selametan dalam Mempersatukan Masyarakat Jawa Abangan, Wahana Akademika, Vol. 6, No. 2, September 2004, hlm. 191.
10
Windy Chintya Dewi, Nilai Anak pada Ibu Dewasa Madya Etnis Jawa Ditinjau Dari Tingkat Pendidikan, Calypta: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, Vol. 2, No.1, 2013, hlm. 3.
11
Amru Khalid, Suara Hati: Jalan Menuju Tobat, (Cirebon: Embun Publishing, 2004), hlm. 147.
12
Ibn Qayyim Al Jawziyyah, Kiat Membersihkan Hati Dari Kotoran Dan Maksiat, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), hlm. 58
13
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari jilid X (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002) hlm. 522
14
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), 2009) hlm. 129.
15
Musfir bin Said Az-Zahrani, Konseling Terapi, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 222.
16
Dr. Amin Abdullah Asy-Syaqawy, Sifat Malu, 2009, http://d1.islamhouse.com/data/id/ ih_articles/single/id_rasa_malu.pdf (diunduh pada 7 Mei 2014)
17
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Malu: Akhlak Islam, Majalah As-Sunnah, Edisi 12, Tahun XII, 2009.
18
Dr. Hamid Ahmad Ath-Thahir, Nasehat Rasulullah untuk Anak Berakhlaq Mulia, (Bandung, Irsyad Baitus Salam, 2006), hlm. 27-29.
19
Musfir bin Said Az-Zahrani, Konseling Terapi, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hlm. 224.
DAFTAR PUSTAKA Amru Khalid, Suara Hati: Jalan Menuju Tobat, (Cirebon: Embun Publishing, 2004), hlm. 147. Collins & Bahar, To Know Shame: Malu and Its Uses in Malay Societies, Crossroads Journal, Vol. 14, No. 1, 2000, hlm. 37. Daniel M. T. Fessler, 2004. Shame in Two Cultures: Implication for Evolutionary Approaches. Journal of Cognition and Culture Vol. 4 No. 2. UCLA. Los Angles. Dr. Amin Abdullah Asy-Syaqawy,
112
Sifat Malu, 2009, http://d1.islamhouse.
Al-hayâ’ Sebagai Solusi Bagi Permasalahan Moral Bangsa
Vol. 3 No. 2, Januari 2014
com/data/id/ih_articles/single/id_rasa_malu.pdf (diunduh pada 7 Mei 2014) Hamid Ahmad Ath-Thahir, 2006. Nasihat Rasulullah untuk Anak agar Berakhlaq Mulia. Bandung: Irsyad Baitus Salam. H.R. Chalifah Jama’an, 2004. Potensi Selametan dalam Mempersatukan Masyarakat Jawa Abangan. Wahana Akademika, Vol. 6, No.2 Ibn Qayyim Al Jawziyyah, Kiat Membersihkan Hati Dari Kotoran Dan Maksiat, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2008), hlm. 58 Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari jilid X (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002) hlm. 522 Komaruddin Hidayat, 2008. The Wisdom of Life: Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Muhammad Idrus, 2012. Pendidikan Karakter Pada Keluarga Jawa. Jurnal Pendidikan Karakter, Volume II, Nomor 2. FAI Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Musfir bin Said Az-Zahrani, 2005. Konseling Terapi. Jakarta: Gema Insani Nader Al-Jallad, 2010. The concept of “shame” in Arabic: bilingual dictionaries and the challenge of defining culture-based emotions. Language Design Vol. 12. University of Cordoba. Retno Kumolohadi, 2007. Efektivitas Pelatihan Komunikasi Interpersonal Untuk Mengurangi Rasa Malu (Shyness). Naskah Publikasi. Universitas Islam Indonesia: Yogyakarta. Susie Scott, 2007. Shyness and Society: The Illusion of Competence. New York: Palgrave Macmillan. Windy Chintya Dewi, 2013. Nilai Anak pada Ibu Dewasa Madya Etnis Jawa Ditinjau Dari Tingkat Pendidikan. Calypta: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, vol.2, no.1. Yazid bin Abdul Qadir Jawas, 2009. Malu: Akhlak Islam. Majalah As-Sunnah Edisi 12. Yunahar Ilyas, 2009. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI).
Rima Nasir Basalamah
113