Perhitungan Kerusakan dan Kerugian dalam Perspektif Ekonomi dan Sosial dengan Metode ECLAC pada Bencana Banjir Bandang Panti, Kabupaten Jember-Jawa Timur oleh
Adhitya Wardhono, Ph.D. dan Mohammad Rondhi, MP. Pusat Penelitian Kebencanaan - Lembaga Penelitian - Universitas Jember Jl.Kalimantan 37 Bumi Tegal Boto - Jember 68121 Seminar Nasional dengan tema Bahaya Banjir Sedimen Direktorat Sungai dan Pantai Direktorat Jenderal (Ditjen) Sumber Daya Air (SDA) Kementerian PU bekerjasama dengan Magister Pengelolaan Bencana Alam Fakultas Teknik UGM Magelang, 21 Oktober 2010
A. Pendahuluan Secara geografis Indonesia terletak tepat pada episentrum kawasan bencana yang dikenal dengan cincin api (ring of fire). Kawasan bencana ini membentang-melingkar mulai dari perairan dan daratan Jepang, memutar searah jarum jam ke Australia, Papua Nugini, Timor Leste, kepulauan Nusantara, daratan Asia hingga kembali ke Jepang. Lebih dari itu secara geologis Indonesia juga terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu: (1) lempeng Eurasia (meliputi Benua Eropa dan Asia), (2) lempeng Indo-Australia (meliputi Benua Australia dan Samudera disekelilingnya), dan (3) lempeng Samudera Pasifik (Wagener, 1915). Sebagai episentrum kawasan tersebut, hampir semua potensi bencana melekat dan terdapat di Indonesia mulai dari tanah longsor, banjir, angin puting beliung, badai gurun, badai salju, tornado, kebakaran hutan, letusan gunung, tsunami. Jelasnya wilayah Indonesia adalah wilayah rawan bencana yang hampir berpotensi terjadi diseluruh provinsi di Indonesia. Dalam perspektif konsepsional,
Undang-undang Kebencanaan memaparkan bahwa
bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu 1
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Undang-Undang No. 24 Tahun 2007). Bencana sering diklasifikasikan sesuai dengan cepatnya serangan bencana tersebut (secara tiba-tiba atau perlahan-lahan), atau sesuai dengan penyebab bencana itu (secara alami atau karena ulah manusia) (UNDP, 1992). Mencermati masalah kebencanaan maka konsep penanggulangan bencana perlu dikaji lebih dalam. Pergeseran paradigma telah terjadi yaitu dari konvensional menuju ke holistik. Pandangan konvensional menganggap bencana itu suatu peristiwa yang tak terelakkan dan korban harus segera mendapatkan pertolongan, sehingga fokus dari penanggulangan bencana lebih bersifat bantuan (relief) dan kedaruratan (emergency). Maka pandangan semacam ini disebut dengan paradigma Relief atau disebut juga Bantuan Darurat dimana lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan darurat berupa: pangan, penampungan darurat, kesehatan dan pengatasan krisis. Sementara pandangan holistik lebih pada pendekatan Paradigma Mitigasi, yang tujuannya lebih berorientasi pada identifikasi daerah‐daerah rawan bencana, mengenali pola‐pola yang dapat menimbulkan kerawanan, dan melakukan kegiatan‐kegiatan mitigasi yang bersifat struktural (seperti pembangunan konstruksi) maupun non‐struktural seperti building code, penataan ruang dan sebagainya. Tindak lanjut dalam menghadapi perubahan paradigma tersebut diselenggarakan Konferensi Pengurangan Bencana Dunia (World Conference on Disaster Reduction) pada bulan Januari tahun 2005 di Kobe ‐ Jepang, yang menghasilkan beberapa substansi dasar dalam mengurangi kerugian akibat bencana, baik kerugian jiwa, sosial, ekonomi dan lingkungan yang tertuang dalam kerangka aksi Hygo (Hyogo Framework for Action 2005-2015).
Jika melihat pada data tahun 2002 hingga 2006 menunjukkan bahwa secara komprehensif bencana mengambil bentuk yang beragam dan mengakibatkan korban yang tidak sedikit.
2
Paling tidak bencana banjir begitu dominan terjadi di Indonesia dalam kurun waktu tersebut diatas (lihat Gambar 1).
Gambar 1. Korban Bencana Tahun 2002 - 2006
Sumber: Bakornas,2007 Konstelasi kebencanaan dalam tataran kewilayahan juga terjadi di Kabupaten Jember, salah satu kabupaten di Jawa Timur, yang rentan dan rawan bencana sedimen. Paling tidak data tahun 2006 menunjukkan bahwa di Kabupaten Jember secara beruntun telah terjadi banjir yang berakibat kerusakan dan kerugian baik material maupun non material (lihat Tabel 1). Satu bencana yang berdampak traumatis pada tahun 2006 adalah banjir bandang di Kecamatan Panti. Bagi sebagian besar masyarakat disana kejadian ini baru pertama kali dan memiliki dampak traumatis, baik secara psikologis, sosial dan ekonomi. Secara geologis, banjir bandang di Kecamatan Panti tersebut merupakan dampak dari kerusakan hutan di Pegunungan Argopuro, yang terletak di bagian utara Jember. Kondisi ini ditambah dengan hujan deras dan bentuk permukaan tanah yang curam menyebabkan longsor. Longsoran tanah bercampur air hujan menerjang dan membawa balok-balok kayu. Selain itu, penyebab banjir bandang yang lain adalah hilangnya penutup tanah 3
akibat perubahan tata guna lahan dari lahan hutan menjadi lahan perkebunan. Kondisi ini mempermudah pencucian tanah (run off) saat hujan turun. Tabel 1. Beberapa Wilayah di Kabupaten Jember yang Terkena Banjir Bandang Tahun 2006 No
Tempat
1
Kecamatan Panti (desa Kaliputih, Kemiri,
Meninggal : 59 orang
Rumah hanyut : 36
Suci)
Luka berat : 2 orang
Rumah rusak : 2.400
Luka ringan : 8 orang
Jembatan putus : 6
Gugut, Rowotamtu, Curahmalang)
Hilang : 16 orang
Sawah rusak : 140 Ha
Kecamatan Balung (desa Gumelar)
Terisolir : 300 orang
Ternak hanyut : 100
3
Kecamatan Jenggawah (desa Jatimulyo,
Mengungsi : 1.900 orang
Listrik : padam
4
Cangkring)
2
Kecamatan
Kecamatan 5
Rambipuji
Korban
(desa
Kaliwining,
Kerugian
Akses Jelbuk
(desa
Sumbercandi,
transportasi
:
terputus
Panduman) Kecamatan Kaliwates (desa Mangli)
6
Kecamatan
Tanggul
7
perkebunan Gondang)
(desa
Manggisan,
Kecamatan Silo (desa Pace, Garahan) 8
Kecamatan
9
Seputih)
Mayang
(desa
Tegalrejo,
Sumber : data BPS Jember tahun 2006
Berangkat dari paparan diatas maka tulisan ini berusaha untuk memaparkan kejadian banjir bandang di Kecamatan Panti Kabupaten Jember dalam perspektif perhitungan kerusakan dan kerugian secara ekonomi dan sosial yang dialami oleh masyarakat setempat. Pendekatan yang digunakan dalam menghitung kerugian dan kerusakan adalah pendekatan metode ECLAC yang telah diadaptasi dari realitas yang ada pada wilayah bencana banjir bandang.
4
B. KERUSAKAN DAN KERUGIAN AKIBAT BENCANA BANJIR BANDANG DI KECAMATAN PANTI – KABUPATEN JEMBER JAWA TIMUR Fenomena bencana banjir bandang di Kabupaten Jember adalah fenomena yang relatif baru. Artinya masyarakat secara spesifik baru memahami apa dan bagaimana banjir bandang itu. Kenyataan ini menyadarkan masyarakat akan kejadian banjir bandang di Jember terjadi tahun 2006 di Panti (Jember sebelah utara). Dari sisi aliran, banjir bandang adalah banjir yang diikuti dengan aliran debris (aliran lumpur, kayu dan batu-batuan yang berasal dari hutan). Banjir ini terjadi karena kondisi rawan di Pergunungan Argopuro daerah yang terletak di utara Kabupaten Jember dipicu oleh adanya hujan dan tanah longsor. Adanya bencana tersebut berakibat berupa kerusakan dan kerugian baik secara fisik, ekonomi, sosial maupun lingkungan. Kerusakan dan kerugian tersebut dialami oleh masyarakat terdampak secara langung pada sisi mikro dan juga dialami oleh pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten pada skala yang lebih luas. Secara ekonomis adanya bencana banjir bandang tersebut berpengaruh terhadap keuangan pemerintah daerah karena adanya anggaran untuk penanganan bencana tersebut. Oleh karenanya ketepatan perhitungan merupakan suatu keharusan. Berikut ini sekilas akan dipaparkan metode yang digunakan dalam penaksiran kerusakan dan kerugian, kondisi makro kabupaten Jember, Kecamatan Panti dan juga Kerusakan serta Kerugian Akibat Banjir Bandang. SELAYANG PANDANG KONSEPSI METODE DALAM DaLA (Damage and Lossess Asasement) Kerusakan dan kerugian akibat bencana merupakan akibat baik secara langsung maupun tidak langsung (dampak) yang dirasakan oleh masyarakat, pemerintah setempat maupun pihak-pihak yang terkena bencana banjir bandang. Akibat secara langsung lebih 5
ditekankan pada hal-hal yang secara fisik, ekonomi, infrastruktur dan sosial terlihat pada waktu sesaat setelah terjadi bencana. Sedangkan akibat secara tidak langsung adalah akibat yang tidak nyata secara langsung akan tetapi dampaknya akan berpengaruh pada masyarakat dan berpengaruh pada akses untuk sumberdaya tersebut. Sebagai contoh, adanya bencana banjir bandang mempunyai efek langsung pada rusaknya jembatan, sawah, pasar dan sarana infrastruktur yang ada. Selain itu, karena adanya kerusakan sarana tersebut, bencana banjir bandang berdampak secara tidak langsung berupa terputusnya akses masyarakat untuk mendapat sumber daya ekonomi, sosial dan lainnya. Terkait dengan hal tersebut, satu hal penting adalah bagaimana melakukan proses penghitungan dan penilaian kerusakan dan kerugian akibat bencana tersebut. Penghitungan kerusakan dan kerugian ini bermanfaat untuk menghitung adanya kerusakan yang disebabkan oleh adanya bencana. Hal ini merupakan efek langsung bencana yang dirasakan oleh masyarakat, pemerintah dan lainnya. Sejurus dengan hal tersebut adanya penghitungan ini akan bermanfaat untuk rencana rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana. Selanjutnya, pertanyaan yang penting adalah kapan dan bagaimana perhitungan kerusakan dan kerugian tersebut dilakukan. Mengingat, bencana merupakan satu hal yang datang secara tiba-tiba, dalam waktu yang relatif singkat dan memiliki efek yang dahsyat. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Tahun 2009, menyebutkan bahwa penghitungan kerusakan dan kerugian dilakukan dilakukan sesaat setelah kondisi tanggap darurat selesai seperti digambarkan sebagai berikut.
6
Gambar 2. Penghitungan Kerugian dan Kerusakan dalam upaya Rehab-Rekon. Sumber: Maarif, 2009. Gambar 2. tersebut menjelaskan bahwa perhitungan kerusakan dilakukan sesaat setelah keadaan tanggap darurat. Hal ini mengingat hal awal terpenting sesaat setelah bencana adalah bagaimana mengurusi pengungsi terkait dengan pemenuhan kebutuhannya. Setelah kebutuhan dasar pengungsi terpenuhi, maka langkah selanjutnya adalah mengatur bagaimana pemulihan kondisi pengungsi terkait dengan sumberdaya yang dimiliki dan akses-akses lainnya. Terkait dengan bagaimana perhitungan tersebut dilakukan, maka ECLAC (Economic Comission for Latin American and Carribean) pada tahun 1972 memperkenalkan salah satu metode yang disebut dengan metode ECLAC. Metode ini digunakan untuk menghitung kerusakan dan kerugian bencana yang terjadi di Amerika latin pada saat itu dan diadopsi serta diadaptasi oleh pemerintah Indonesia untuk menghitung kerusakan dan kerugian akibat bencana tsunami di Aceh tahun 2004. Lebih dari pada itu, dalam paparan konsepsional Jovel (2007) menjelaskan bahwa ECLAC mencakup stok fisik dan aliran (flow) yang mengukur kerusakan aset dan perubahan/kerugian dalam aliran 7
ekonomi, menggunakan sistem neraca pendapatan nasional, pendekatan asesmen atas dasar sektoral (“bottom up”) yang dijumlahkan untuk mendapatkan nilai total dampak bencana, analisis dampak bencana pada variabel-variabel makroekonomi dan pendapatan perseorangan. Metode ECLAC adalah metode menghitung kerusakan dan kerugian secara komprehensif dan dilakukan tiap sektor. Menurut metode ini pembagian sektor dan kriteria dikelompokkan sebagai mana Tabel 2 berikut. Tabel 2. Pembagian sektor dan kriteria menurut metode ECLAC No 1.
Sektor Utama Sektor sosial
2.
Sektor Infrastruktur
3.
Sektor Produktif Dampak Global
4.
Sumber: BNPB (2009).
Subsektor - Perumahan - Pendidikan - Sosial - Keluarga - Transportasi dan energi - Energi - Sarana air dan pembuangan - Barang: Pertanian, industri, dll - Jasa: Perdagangan, jasa - Lingkungan - Jender - Ketenagaan dan kondisi sosial - Penilaian Ekonomi Makro
Kriteria Ringan : < 30% Sedang : 30-60% Berat : >60% Ringan : < 30% Sedang : 30-60% Berat : >60% Menghitung luas dan nilai yang ada di dalamnya
Pengelompokan sektor tersebut merupakan upaya menyederhanakan kondisi lapangan dengan posting untuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Oleh karenanya terkadang dalam perhitungan pengelompokan dapat dilakukan lebih komplek dan lengkap. Tahap penghitungan dikaitkan dengan masa sebelum dan sesudah adanya bencana. Hal ini dimaksudkan agar tahap rehabilitasi dan rekonstruksi lebih baik dibandingkan dengan periode sebelumnya. Selain itu perhitungan kerusakan dan kerugian juga harus dilakukan 8
dengan cepat. Hal ini mengingat proses rehabilitasi dan rekonstruksi harus sesegera mungkin dilakukan setelah proses tanggap darurat selesai. KONDISI MAKRO KABUPATEN JEMBER Kabupaten Jember merupakan Kabupaten yang berbasis pada sektor sektor pertanian. Lebih dari 44% pendapatan regional bruto dihasilkan dari sektor ini (BPS, 2009). Tidak kurang dari 4 triliun rupiah pendapatan yang disumbang dari sektor ini. Selanjutnya, sektor tanaman bahan pangan dan perkebunan merupakan sektor andalan yang mampu menyerap tenaga kerja secara dominan. Perkembangan dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa sektor pertanian masih mampu menyumbang pendapatan terbesar di Kabupaten ini (tabel 3). Tabel 3. Perkembangan Produk Domestik Bruto menurut Sektor dari tahun 2005 – 2007. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor/Subsektor Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, hotel dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, persewaan bangunan dan jasa perusahaan Jasa-jasa
Sumber: BPS, 2009
2005
2006
2007
3,642,812.92 373,973.97 596,768.04 71,467.28 256,396.22 1,573,877.91 364,523.22
3,839,516.41 386,466.21 620,399.32 77,441.93 273,122.08 1,687,146.92 381,753.24
4,066,679.48 408,812.67 658,977.22 82,545.87 289,478.95 1,788,879.22 403,878.91
543,189.60 813,267.52 8,236,276.68
581,559.88 858,590.40 8,705,996.39
619,871.41 907,644.15 9,226,767.88
Selanjutnya, sektor perdagangan merupakan sektor yang menyumbang terbesar kedua pada perekonomian Kabupaten Jember lebih khusus lagi adalah perdagangan komoditas perkebunan seperti tembakau, karet, kopi dan kakao yang lebih berorientasi pada ekspor. Perlu dijelaskan bahwa tembakau yang dihasilkan sebagaian besar digunakan sebagai bahan baku rokok cerutu yang diekspor ke negara-negara Eropa, begitu juga karet 9
merupakan bahan baku untuk produk ban yang sekarang ini kecenderungannya beralih untuk menggunakan karet alam. Secara geografis, komoditas perkebunan tersebut (kecuali tembakau) dikembangkan di wilayah perkebunan yang memiliki kemiringan lebih dari 45 0. Hal ini dikarenakan tanaman tersebut membutuhkan kecocokan iklim dan tanah untuk komoditas tersebut. Dalam dimensi kebencanaan kemiringan lahan yang sangat curam tersebut sangat rawan terhadap bencana (Bensonn dan Twigg, 2007).
SEKILAS GAMBARAN KECAMATAN PANTI Kecamatan Panti merupakan salah satu wilayah yang terletak di sebelah utara Kabupaten Jember. Secara administratif Kecamatan Panti dibagi menjadi tujuh desa yang meliputi Desa Kemuningsari Lor, Desa Glagahwero, Desa Serut, Desa Panti, Desa Pakis, Desa Suci, Desa Kemiri dan ibukota kecamatan terletak di Desa Glagahwero. Luas wilayahnya sebesar 93,96 km2 dengan ketinggian 2.425 m dpl. Jumlah penduduk Kecamatan Panti dari tahun ke tahun semakin meningkat. Data BPS Kabupaten Jember (2008) menginformasikan pada tahun 2007 jumlah penduduk Kecamatan Panti sebanyak 57.652 jiwa, dengan luas wilayah sebesar 9.396 km2 dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 57.679 jiwa, dengan luas wilayah yang sama. Dengan kata lain kepadatan penduduknya tidak jauh berbeda dari tahun ke tahunnya yaitu 0,614 jiwa/km 2. Dilihat dari segi perekonomian masyarakat, kondisinya sebagian masih tergolong rendah. Menurut data BPS Kabupaten Jember (2008) jumlah rumah tangga miskin mencapai angka 7.552 jiwa dan penduduk miskin sebesar 18.690 jiwa.
10
Kecamatan Panti merupakan kecamatan yang menerima dampak langsung adanya banjir bandang tersebut. Secara geografis kecamatan panti terletak pada ketinggian antara 130 m hingga 600 m di atas permukaan laut dengan daerah yang paling tinggi adalah desa Suci dan Desa Kemiri. Rata-rata tanaman pada ketinggian paling bawah (rendah) adalah tanaman padi dan jagung, sedangkan rata-rata tanaman pada ketinggian atas adalah tanaman perkebunan seperti kopi, kakao dan karet. Rata-rata masyarakat bekerja sebagai petani dan juga buruh tani dan ada sebagian kecil yang bekerja sebagai karyawan kantor di Kota Jember. Berikut ini kondisi kecamatan Panti dari jumlah penduduk, ketinggian, luas wilayah, rata-rata pekerjaan, rata-rata komoditas yang diusahakan pada masing-masing desa di Kecamatan Panti. Tabel 4. Jumlah Penduduk, Ketinggian, Luas Wilayah, Rata-rata Pekerjaan, Rata-rata Komoditas yang diusahakan pada masing-masing desa. No
Desa/ Keluarahan
Ketinggian
Luas 2
(km )
Sawah
Tegalan
Perke-
Jumlah
bunan
penduduk
SD
SMP
SMK
Sekolah
Penduduk miskin
1
Kemuningsari Lor
130
4.79
353.9
39.3
-
6,181
4
3
-
1,454
2
Glagahwero
180
2.88
219.8
14.7
-
4,999
3
-
-
1,641
3
Serut
200
10.64
452
288.4
120
11,947
9
2
-
3,043
4
Panti
175
11.22
409
80
421
9,498
6
3
1
3,127
5
Pakis
450
26.97
318.5
53.1
270
6,553
3
-
-
3,380
6
Suci
510
22.8
379
100.1
1273
10,087
6
2
2
2,257
7
Kemiri
600
14.66
278
184.2
11.6
8,414
5
1
2
3,788
Sumber: BPS Jember, 2008
Dari tabel 4 diketahui bahwa beberapa desa di Kecamatan Panti (Pakis, Suci dan Kemiri) memiliki ketinggian > 400m dengan kemiringan rata-rata > 450 . Hal ini berpotensi untuk longsor saat ada pemicu (trigger) hujan. Kondisi persawahan juga merupakan hal yang perlu diperhatikan mengingat jika terjadi bencana banjir bandang dari Daerah Aliran Sungai Kaliputih, persawahan tesebut dapat terpengaruh. Dampak langsung adanya banjir 11
bandang dapat menyebabkan sawah rusak. Selain itu adanya banjir bandang menyebabkan aliran berjalan tidak seperti biasanya dan sebagai dampaknya pengarian ke sawah juga terganggu. Begitu juga fasilitas-fasilitas yang lain seperti sekolah dan juga adanya jumlah penduduk miskin dan lainnya.
KERUSAKAN DAN KERUGIAN AKIBAT BENCANA BANJIR BANDANG DI PANTI Banjir tahun 2006 di Kecamatan Panti berdampak pada kerusakan beberapa sarana ekonomi produktif antara lain sarana perumahan, pendidikan, tempat ibadah, sarana transportasi, sumber energi dan sarana perairan. Selain itu, adanya banjir bandang juga berakibat pada rusaknya
sektor ekonomi produktif seperti sawah, perkebunan dan
tempat usaha, baik berupa jasa secara umum ataupun sektor perdagangan. Lebih dari itu, secara makro adanya bencana banjir bandang berakibat pada rusaknya ketersediaan lingkungan di sekitar bencana dan juga lingkungan makro lainnya. Lebih dari 300 rumah mengalami kerusakan akibat bencana tersebut, baik dalam kategori rusak ringan hingga rusak berat dengan jumlah kematian warga sebanyak 73 orang. Adanya kerusakan tersebut secara ekonomi senilai dengan 22,5 M. Kerusakan rumah ini merupakan efek terbesar yang ada di Kecamatan Panti. Sesaat setelah banjir bandang terjadi masyarakat diungsikan ke Lapangan Dusun Kemiri dan Dusun Tenggiling (Desa Kemiri), Desa Suci dan ada juga yang diungsikan ke Kecamatan Sukorambi (Kecamatan yang berada di sebelah Selatan Desa Panti). Dalam kondisi tersebut masyarakat dalam kondisi tidak berdaya, baik untuk tempat tinggal maupun untuk sumber daya ekonomi. Salah seorang warga yang bernama Pak Sair sebagai korban bencana banjir bandang Panti menceritakan dengan lugas bahwa: ”banjir tahun 2006 menyebabkan semuanya jadi rusak, harta benda yang saya kumpulkan mulai tahun 1972 – 2005 baik sebagai supir Jember-Jakarta 12
(1972-2001) dan 2001-2005 sebagai supir sayur di Jember semuanya ludes (habis tanpa bekas)”. Kini kami harus mulai semuanya dari nol, SIM (surat ijin mengemudi) yang saya gunakan sebagai alat untuk mencari nafkahpun ikut hanyut dalam banjir itu. Setelah menunggu selama enam bulan masyarakat pengungsi akhirnya mendapatkan tempat tinggal baru yang ada di Dusun Kantong, Dusun Tenggiling dan Desa Suci yang sebagian merupakan tanah kas (tanah kekayaan) desa dan sebagian tanah miliknya PTP (Perkebunan Negara). Di perumahan tersebut, masyarakat mulai menjalankan aktivitas seperti biasanya. Pada saat awal-awal, mereka merasa tidak biasa dan canggung, karena harus tinggal berdekatan dalam rumah yang tersusun tersebut. Akan tetapi setelah dua tahun penyesuaian, mereka akhirnya dapat membaur satu dengan lainnya. Berikut ini foto perumahan masyarakat yang baru.
Gambar 1. Perumahan relokasi untuk Pengungsi di Desa Kemiri, Kec.Panti Kabupaten Jember 13
Fasilitas umum seperti musholla, masjid dan pondok pesantren juga terdampak hebat dengan adanya banjir ini. Terdapat empat sekolahan yang rusak saat banjir bandang terjadi. Murid-murid yang ada di sekolah tersebut diungsikan ke tempat yang aman sehingga dalam waktu beberapa saat, kegiatan belajar-mengajar sempat libur (sekitar seminggu) dan dibuka kembali di tenda-tenda pengungsian. Bagi anak-anak yang keluarganya mengungsi di desa dan kecamatan lain, pemerintah memberikan fasilitas kendaraan antar jemput untuk itu. Kegiatan tersebut berlangsung kurang lebih selama enam bulan. Rusaknya musholla dan masjid berdampak pada kegiatan kehidupan keagamaan. Sebelum terjadi bencana, khusus masyarakat muslim melakukan kegiatan mengaji bersama setiap malam senin dan malam jum’at. Pengajian ini dilakukan di musholla dan juga di rumah-rumah warga secara bergiliran. Adanya banjir bandang tersebut menyebabkan kegiatan ini tidak pernah dilakukan selama di pengungsian. Mereka baru memulai setelah di pengungsian. Pak Asto salah satu Ketua RT di Dusun Kantong memaparkan kisahnya sebagai berikut: ”Adanya banjir ini menyebabkan pengajian rutin terhenti untuk beberapa waktu terutama pada saat di pengungsian. Jangankan untuk pengajian rutin, untuk memenuhi kebutuhan makan aja susah. Saya biasanya ngaji sendiri di pengungsian. Akan tetapi setelah pindah ke perumahan pengajian rutin kembali dilakukan” Selain perumahan, sektor infrastruktur juga terdampak dengan hebat. Terdapat 3 jembatan yang rusak dengan kategori rusak berat. Salah satu jembatan tersebut menghubungkan Dusun Delima dengan Dusun Bunot yang ada di bawahnya. Jembatan tersebut tidak aktif dalam dua hari. Kerusakan jembatan tersebut secara fisik senilai dengan Rp 260 juta. Adanya kerusakan jalan tersebut secara ekonomis memutuskan roda 14
perekonomian warga. Hal ini berkaitan dengan akses yang terputus akibat rusaknya jembatan tersebut. Jembatan tersebut tidak dapat memfasilitasi pengangkutan barang dari hasil perkebunan kopi dan kakao yang ada di atas selama seminggu. Kerugian yang ditimbulkan karena rusaknya jembatan tersebut sebesar Rp 800 juta. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan nilai jembatan itu sendiri.
Gambar 2. Jembatan yang sudah diperbaiki sebagai penghubungan Dusun Delima dan Bunot. Sektor produktif merupakan sektor di mana masyarakat bekerja untuk mendapatkan manfaat ekonomi. Sektor produktif ini dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu barang dan jasa. Berdasarkan perhitungan dengan metode ECLAC, kerusakan di sektor produktif sebesar Rp 2,045 M untuk sektor barang dan jasa masing-masing sebesar Rp 670 dan untuk jasa sebesar Rp 1,375M. Sedangkan kerugian sektor produktif ini sebesar Rp 3,125 M. Nilai kerugian ini meliputi keuntungan dari hasil usaha sawah dan keuntungan jasa serta perdagangan baik di rumah maupun di pasar. Kerugian sawah karena adanya nilai dari hasil persawahan akibat adanya banjir tersebut.
15
Gambar 3. Adanya Batu-batu yang masuk ke lahan sawah dan perkebunan menyebabkan nilai ekonomis lahan tersebut berkurang.
16
Tabel 5. Kerusakan dan Kerugian Akibat Bencana Banjir Bandang di Panti dengan Pendekatan Metode ECLAC No 1
2
3
Sektor Utama
Subsektor
Sektor sosial
Sektor Infrastruktur
Sektor Produktif
Kerusakan (jumlah) Ringan
Sedang
Berat
- Perumahan
100
56
226
- Pendidikan
0
2
- Musholla(Pondok Pesantren) - Masjid
0
Dampak Global
Kerugian (Rp)
Ringan
Sedang
Berat
2,500,000,000
2,240,000,000
18,080,000,000
2
0
100,000,000
200,000,000
3
2
0
120,000,000
160,000,000
0
0
1
0
0
90,000,000
0 0 0 0
0 0 0 0
3 2 1 1
0 0 0 0
0 0 0 0
260,000,000 400,000,000 50,000,000 50,000,000
0
100
0
0
0
200,000,000
0
235
0
0
0
470,000,000
0
50
0
0
0
1,250,000,000
0
0
1
0
0
1
0 0
0 0
125,000,000 30,000,000
0
0
0
0
0
0
2,500,000,000
2,460,000,000
21,365,000,000
Ringan
Sedang
Berat
0
0
0
0
90,000,000
0
0
0
0
0
0
0
0 0 0 0
0 0 0 0
800,000,000 200,000,000 100,000,000 100,000,000
0
0
0
0
0
0
0 0
0 0
0
0
0
0
-Transportasi - Jembatan - Jalan - Energi - Sarana air - Barang - lahan sawah perkebunan - Jasa
4
Nilai Kerusakan (Rp)
lahan
Perdagangan(pasar) - Lingkungan
- Ketenagaan dan kondisi sosial - Penilaian Ekonomi Makro Total masing-masing Total
Ada ada
0 0
0 0
0
0
0
90,000,000
500,000,000 1,175,000,000 250,000,000 400,000,000 800,000,000
4,325,000,000
30,740,000,000
Sumber: Data Sekunder dan Primer, 2010
17
Khusus untuk pasar sebagai tempat pertukaran antara penjual dan pembeli terhadap suatu barang sempat terhenti selama dua bulan. Hal ini berpengaruh pada aktivitas ekonomi warga yang menjual produk-produknya. Adanya stagnasi kegiatan tersebut secara ekonomi dapat merugikan semua pihak baik penjual maupun pembeli dan juga pemerintah daerah yang ada di dalamnya.
Gambar 4. Pasar Bunot yang digunakan Aktivitas Perdagangan di Panti Akhirnya, secara total kerusakan dan kerugian akibat adanya bencana banjir bandang tersebut bernilai ekonomi sebesar Rp 30,74 M. Nilai ini termasuk dalam kategori tinggi mengingat Nilai PDRB Kecamatan Panti sebesar Rp 184,47 M atau dengan kata lain kerusakan dan kerugian akibat bencana banjir bandang 16,66%. Hal ini belum termasuk adanya dampak sosial dan psikologis akibat bencana. 18
Dalam skala makro Kabupaten Jember adanya bencana banjir bandang ini berpengaruh terhadap struktur ekonomi terutama sektor perkebunan dan persawahan yang rusak dan hilang karena adanya banjir tersebut. C. PENUTUP Pelajaran dari bencana banjir bandang Panti menyisakan rasa kemanusian dan pertanyaan empiris yang tidak kering hingga saat ini. Bencana sedimen menjadi ancaman yang relatif laten jika tidak segera terindentifikasi sebagai upaya mitigasi bencana sedimen. Bencana alam banjir bandang terjadi masih diyakini karena aspek alam dan manusia sebagai penyebabnya. Efek atau akibat bencana merupakan risiko yang ditanggung oleh manusia yang ada di sekitar lokasi bencana tersebut baik berupa kerusakan sarana sosial, infrastruktur, sumberdaya produktif maupun kondisi makro. Penghitungan kerusakan dan kerugian yang cepat dan tepat dapat digunakan sebagai dasar perencanaan tahap rehabilitasi dan rekonstruksi untuk memulihkan masyarakat untuk kembali normal dan dapat menjalankan aktivitasnya. Kedepan upaya adopsi dan adaptasi metode perhitungan kerusakan dan kerugian harus menjadi kajian yang sistematis sehingga ketepatan dan kecepatan akan semakin jelas sebagai upaya pemulihan kerugian dan kerusakan ekonomi dan sosial sebagai akibat bencana.
19
DAFTAR PUSTAKA Bakornas, 2007, Data Bencana Indonesia 2006, Jakarta Benson C., dan Twigg J., 2004. Measuring Mitigation: Methodoloes for Assing Natural Hazard Risk and The net benefitof Mitigation, Geneva: Provention Consortium. Benson C., dan Twigg J., 2007. Perangkat untuk Mengarusutamakan Penanganan Risiko Bencana, Kerjasama Provention Consortium, HIVOS People Unlimited, Circel Indonesia, Published in Jakarta BPS, 2008, Jember dalam Angka 2008, BPS Jember BPS, 2008, Kecamatan Panti dalam Angka 2008, BPS Jember. Maarif, 2009, Manajemen penanggulangan bencana Di Indonesia: Kuliah Umum program Pascasarjana Universitas Jember pada tanggal 8 Mei 2009, Jember Naryanto dkk. 2007. Potensi Longsor dan Banjir Bandang serta Analisis Kejadian Bencana 1 Januari 2006 di Pegunungan Argipuro: Jurnal Alami Volume 12 Nomor 2 ISSN:0853-8514, Kabupaten Jember Provention
Consortium, Community Risk Assessment Toolkit:http://www.proventionconsortium.org/?pageid=39
(CRA)
United Nations Development Programme. 1992. Tinjauan Umum Manajemen Bencana. Edisi ke-2. Program Pelatihan Manajemen Bencana, United Nations Development Programme (UNDP), Jakarta. Jovel J.R, 2007, Prosedur Umum Untuk Melakukan Penilaian Kerusakan dan Kerugian: Langkah-langkah dalam mengaplikasikan Metodologi ECLAC, Disampaikan dalam Pelatihan DaLA, 26-30 April 2009 Wagener, A. 1915. The Origin of Continents and Ocean. Translated by John Biram. Dover Publication, USA.
20