Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(2); Mei 2013
Pemberdayaan Masyarakat Korban Bencana Di Daerah pengungsian Dalam Rangka Pencegahan KLB (Kejadian Luar Biasa) Penyakit Menular Titi Indriyati¹, Abdullah Antaria² 1 2
STIKes MH. Thamrin Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
Alamat korespondensi: STIKes MH. Thamrin, Jln. Raya Pondok Gede No. 23-25 Kramat Jati Jakarta Timur 13550 Telp: 021 8096411 ext 1218; email:
[email protected]
ABSTRAK Bencana yang diikuti dengan pengungsian berisiko menimbulkan masalah kesehatan. Masalah yang sering terjadi di tempat pengungsian adalah timbulnya penyakit menular, seperti : Diare, ISPA, Malaria, DBD, penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, keracunan, penyakit kulit dan lain-lain. Penyakit menular tersebut disebabkan oleh : kerusakan lingkungan dan pencemaran; jumlah pengungsi yang banyak, menempati suatu ruangan yang sempit sehingga harus berdesakan; pada umumnya tempat penampungan pengungsi tidak memenuhi syarat kesehatan; ketersediaan air bersih yang seringkali tidak mencukupi jumlah maupun kualitasnya; diantara pengungsi banyak ditemui orang-orang yang memiliki risiko tinggi seperti balita, ibu hamil, lanjut usia; pengungsian berada pada daerah endemis penyakit menular; dan kurangnya PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat). Untuk mengantisipasi kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular yang berpotensi wabah tersebut, maka perlu dilakukan berbagai upaya kesehatan. Kondisi lingkungan, faktor perilaku masyarakat pengungsian dan terbatasnya pos pelayanan kesehatan dapat berisiko meningkatkan angka kejadian penyakit menular.Dengan demikian masyarakat di tempat pengungsian perlu diberdayakan untuk ikut serta berperan aktif melakukan upaya promotif dan preventif. Memberikan gambaran tentang pemberdayaan masyarakat di tempat pengungsian untuk mencegah kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular. Dengan metode literatur review akan diuraikan tentang bentuk-bentuk pemberdayaan masyarakat korban bencana, yang dapat dilakukan di tempat pengungsian untuk pencegahan KLB penyakit menular. Dari literatur review akan menghasilkan suatu rekomendasi atau rumusan tentang langkah-langkah yang praktis yang dapat dilakukan oleh kelompok masyarakat koban bencana. Upaya yang dapat dilakukan dalam proses pemberdayaan masyarakat membutuhkan suatu kajian dan analisis yang mendalam, mengingat seringkali masyarakat korban bencana yang berada di tempat pengungsian akan merasa dirinya sebagai korban yang perlu ditolong. Sehingga diperlukan dorongan atau motivasi yang kuat dari provider (petugas kesehatan) untuk meyakinkan masyarakat pengungsi bahwa mereka dapat menolong dirinya sendiri terutama dalam upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit menular. Kata Kunci : Pengungsian, kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular, Pemberdayaan Masyarakat Pendahuluan Indonesia memiliki kondisi geografis, geologi, hidrologis dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh faktor alam, faktor non-alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional. Semua kejadian bencana dapat menimbulkan krisis kesehatan, antara lain : lumpuhnya pelayanan kesehatan, korban mati, korban luka, pengungsian, masalah gizi, masalah ketersediaan air bersih, masalah sanitasi lingkungan, penyakit menular, gangguan kejiwaan dan gangguan pelayanan kesehatan reproduksi. Setiap bencana yang diikuti dengan pengungsian dapat menimbulkan masalah kesehatan, disebabkan oleh padatnya jumlah pengungsi serta ditunjang dengan tempat
tinggal pengungsi yang tidak memenuhi syarat kesehatan, seperti : kurangnya air bersih, buruknya sanitasi lingkungan, persediaan pangan yang tidak mencukupi, dapat berisiko tinggi munculnya penyakit menular. Potensi munculnya penyakit menular sangat erat kaitannya dengan faktor risiko, khususnya di lokasi pengungsian dan masyarakat sekitar penampungan pengungsi, seperti: campak, diare, DBD, penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, keracunan, pneumonia, malaria dan penyakit menular lain spesifik lokal. Pengendalian penyakit menular pada saat bencana dilakukan untuk mencegah kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular yang berpotensi wabah. Sebuah penelitian yang dilakukan setelah bencana banjir di Indonesia antara tahun 2001 dan 2003 menunjukkan peningkatan empat kali lebih besar jumlah pasien dengan kasus diare Salmonella paratyphi enterik serotipe A. Sedangkan dari hasil survey cepat yang dilakukan di 30
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(2); Mei 2013 Indonesia setelah bencana tsunami tahun 2004 menunjukkan bahwa 85% dari para korban di kota Calang menderita penyakit diare setelah meminum air sumur yang tercemar, morbiditas dan mortalitas Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah yang tertinggi di antara para korban tsunami serta selain itu terjadi pula wabah meningitis. Untuk mengantisipasi kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular yang berpotensi wabah, maka perlu dilakukan berbagai upaya kesehatan. Kondisi lingkungan, factor perilaku masyarakat tempat pengungsian dan terbatasnya pos pelayanan kesehatan dapat berisiko meningkatkan angka kejadian penyakit menular. Dengan demikian masyarakat di tempat pengungsian perlu diberdayakan untuk ikut serta berperan aktif melakuan upaya promotif dan preventif. Metodologi Metode yang digunakan adalah literature review, untuk mendapatkan gambaran yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat korban bencana yang berada di tempat pengungsian untuk mencegah kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular. Metode ini dilakukan dengan cara penelusuran pustaka sebagai langkah awal untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan: bencana, pengungsian, penyakit menular, kejadian luar biasa (KLB) dan pemberdayaan masyarakat. Beberapa sumber pustaka yang berkaitan dengan topik ini didapat dari: buku, artikel penelitian, slide, informasi dari internet dan lain-lain. Langkah selanjutnya adalah membaca tulisan-tulisan dari sumber tersebut, kemudian mengevaluasi semua tulisan yang dibaca, membuat summary dengan menggabungkan ide-ide yang sesuai dengan topik tersebut. Hasil Pemberdayaan masyarakat adalah upaya meningkatkan peran, fungsi dan kemampuan masyarakat termasuk swasta sedemikian rupa sehingga dapat mengatasi masalah kesehatan yang ada dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara keseluruhan (Depkes, 2004). Tujuan pemberdayaan masyarakat adalah untuk meningkatkan potensi masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik melalui kegiatan swadaya serta untuk membentuk masyarakat yang mandiri, berswadaya dan mampu mengadopsi inovasi. Peran serta masyarakat dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana merupakan faktor penting. Upaya khusus harus dilakukan masyarakat korban atau pengungsi untuk mengambil peran dalam pembuatan keputusan, hal tersebut dapat membantu menegakkan kembali rasa percaya diri dan rasa bermartabat setelah dilanda bencana. Langkah-langkah pemberdayaan masyarakat secara partisipatif, meliputi : 1) perumusan konsep, 2) penyusunan model, 3) proses perencanaan, 4) pelaksanaan
gerakan pemberdayaan, 5) pemantauan dan penilaian hasil pelaksanaan, 6) pengembangan pelestarian gerakan pemberdayaan pengungsian dalam perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). 2. Penyusunan model Beberap model pemberdayaan masyarakat yang dapat dikembangkan adalah : a) penanggulangan penyakit berbasis keluarga, b) pelatihan calon fasilitator, c) pengembangan kemitraan untuk penanggulangan penyakit. a. Penanggulangan penyakit berbasis keluarga. Keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan. (Salvion G. Bailon & A. Maglaya, 1989). Keluarga memiliki tugas-tugas dalam pemeliharaan kesehatan, menurut Friedman, yaitu : 1) Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggota keluarganya, 2) mengambil keputusan untuk tindakan kesehatan yang tepat, 3) memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit, 4) mempertahankan suasana rumah yang menguntungkan untuk kesehatan dan perkembangan kebribadian anggota keluarganya dan 5) mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan fasilitas kesehatan. Dalam keadaan harus berada di tempat pengungsian, diharapkan keluarga tetap dapat menjalankan tugas-tugas tersebut seoptimal mungkin. Diawali dari kesadaran kepala keluarga (ayah) dan juga ibu untuk tetap mempertahankan kesehatan keluarganya. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh keluarga dalam upaya pencegahan penyakit menular di tempat pengungsian, antara lain : 1) melaksanakan PHBS (Perilaku hidup bersih dan sehat), yaitu sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang atau keluarga dapat menolong diri sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakatnya. Indikator PHBS yang dapat diterapkan di tempat pengungsian : a) Indikator perilaku : tidak merokok, mencuci tangan dengan sabun, menjaga kebersihan lingkungan, menjaga kebersihan kamar mandi, ada poster kesehatan, ada penyuluhan kesehatan. b) Indikator lingkungan : ada jamban, ada air bersih, ada tempat sampah, ada SPAL, ventilasi cukup, ada tempat cuci tangan, ada upaya pengendalian vector, bebas jentik nyamuk. 2) Melaksanakan tugas kesehatan keluarga di tempat pengungsian. 31
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(2); Mei 2013 b. Pelatihan calon fasilitator. Fasilitator yang dimaksud disini adalah seseorang yang membantu sekelompok orang untuk memahami tujuan bersama mereka dan membantu mereka membuat rencana guna mencapai tujuan tersebut tanpa mengambil posisi tertentu dalam kelompok. Dalam rangka mencegah terjadinya kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular di tempat pengungsian, maka dirasa perlu mempersiapkan fasilitator yang akan menjadi kader kesehatan untuk mengikuti pelatihan sehingga memiliki kemampuan dan ketrampilan melaksanakan tugas pencegahan penularan penyakit di tempat pengungsian. Tujuan umum pelatihan fasilitator adalah tersedianya tenaga terlatih yang mampu melaksanakan upaya pencegahan penyakit menular di tempat pengungsian, terbangunnya motivasi dan kesadaran serta peran serta masyarakat di tempat pengungsian sehingga kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular dapat dicegah. Tujuan khusus yang ingin dicapai pada pelatihan fasilitator adalah : meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan fasilitator sebagai kader kesehatan guna memfasilitasi masyarakat dalam upaya menganalisa masalah-masalah kesehatan sampai dengan menentukan pemecahannya; terselenggaranya upaya promotif dan preventif terhadap masalah-masalah kesehatan (khususnya penyakit menular) di tempat pengungsian; masyarakat mampu mengambil inisiatif untuk menyelesaikan masalah-masalah kesehatan yang ada; dengan adanya fasilitator dapat memudahkan koordinasi antara petugas kesehatan dengan masyarakat dalam upaya-upaya pencegahan penularan penyakit. Hasil yang diharapkan dari pelatihan calon fasilitator adalah : terbentuknya para kader / fasilitator yang lebih handal, mampu dan terampil serta siap dalam membantu menanggulangi masalah kesehatan di tempat pengungsian; kader mengetahui dan memahami tehnik-tehnik memfasilitasi masyarakat dalam upaya promosi kesehatan untuk memberdayakan masyarakat sehingga mampu melaksanakan perilaku sehat. Petugas promkes puskesmas maupun tenaga kesehatan dapat mengetahui potensi yang ada di masyarakat melalui fasilitator yang sudah terlatih. Fasilitator yang sudah terlatih harus mampu berkoordinasi dan bekerjasama dengan petugas kesehatan. Untuk itu peran petugas kesehatan sangat penting dalam beberapa hal, seperti : 1) Mendampingi dan mengarahkan fasilitator dalam pelaksanaan kegiatan baik secara langsung maupun tidak langsung 2) Sebagai penghubung masyarakat pada pos-pos pelayanan kesehatan 3) Menjadi contoh dan motivator dalam kegiatan 4) Menjaga/ mempertahankan kelangsungan kegiatan
5) Melaksanakan pembinaan dan pelatihan rutin terhadap fasilitator 6) Melaksanakan koordinasi antara fasilitator dengan pemberi pelayanan kesehatan 7) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan fasilitator 8) Melaksanakan evaluasi kegiatan bersama-sama fasilitator. c. Pengembangan kemitraan untuk penanggulangan penyakit menular. Kemitraan pada intinya adalah dikenal dengan istilah gotong-royong atau kerjasama dari berbagai pihak, baik secara individual maupun kelompok. Menurut Notoatmodjo (2010), kemitraan adalah suatu kerjasama formal antara individu-individu, kelompokkelompok atau organisasi-organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan tertentu. Dalam keadaan bencana, biasanya pada fase pasca bencana membutuhkan upaya pemulihan dan rekonstruksi. Upaya-upaya tersebut tentunya bertujuan untuk mengembalikan kondisi daerah yang terkena bencana ke kondisi normal yang lebih baik, perbaikan kesehatan lingkungan dan sanitasi, perbaikan fasilitas dan fungsi pelayanan kesehatan serta pemulihan kondisi psiko social. Bencana dapat memperbesar risiko dan penyebaran penyakit. Peningkatan kasus penyakit akan sangat tinggi pada saat dan pasca bencana dan dapat juga meningkat sampai tahap kejadian luar biasa (KLB). Untuk menghindari terjadinya KLB penyakit menular, perlu sesegera mungkin dilakukan upaya kesehatan. Upaya-upaya tersebut di atas membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, sehingga perlu dikembangkan kemitraan di bidang kesehatan, agar masalah-masalah kesehatan yang terjadi akibat bencana dapat ditangani dengan baik. 3. Proses Perencanaan Sebelum menyusun rencana pemberdayaan masyarakat di tempat pengungsian, para praktisi (khususnya tenaga kesehatan) harus mempunyai ketrampilan dalam rangka menciptakan kemampuan masyarakat, antara lain: a. Negosiasi, yaitu keahlian meningkatkan kemampuan masyarakat dalam penawaran program dan kegiatan yang diusulkan masyarakat b. Pengambilan keputusan, yaitu keahlian untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengambil keputusan secara demokratis, transparan dan memperhatikan akuntabilitas masyarakat. Langkah-langkah dalam perencanaan, meliputi : a. Identifikasi masalah (kebutuhan) di tempat pengungsian b. Identifikasi kemampuan masyarakat dalam melaksanakan program 32
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(2); Mei 2013 c. Menetapkan tujuan, yaitu untuk mencegah penularan penyakit, mencegah terjadinya kejadian luar biasa (KLB), mengurangi angka kesakitan dan kematian. d. Memilih strategi pemberdayaan masyarakat yang mungkin dapat diterapkan di tempat pengungsian, antara lain : pendidikan masyarakat, fasilitasi kegiatan yang berasal dari masyarakat, mendorong swadaya masyarakat, fasilitasi upaya pengembangan jejaring masyarakat, serta advokasi pada pengambil keputusan. e. Strategi pemberdayaan masyarakat juga dapat disesuaikan dengan model pemberdayaan masyarakat yang digunakan. 4. Pelaksanaan gerakan pemberdayaan Berikut ini dijelaskan bentuk-bentuk pelaksanaan gerakan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan model-model yang telah diuraikan di atas : a. Model penanggulangan penyakit berbasis keluarga 1) Melaksanakan upaya PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat) dalam bidang pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan lingkungan meliputi : a) menghuni rumah (tempat tinggal) yang sehat b) menggunakan air bersih c) mencuci tangan menggunakan sabun d) mengadakan saluran pembuangan air limbah (SPAL) e) menggunakan jamban sehat 2) Melaksanakan tugas kesehatan keluarga untuk mencegah penyakit menular : a) Mengenal atau mengidentifikasi adanya tanda dan gejala penyakit menular pada anggota keluarganya. Disini diharapkan peran orang tua untuk mengenal keadaan kesehatan dan perubahan - perubahan yang dialami anggota keluarga. Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara langsung maupun tidak langsung menjadi perhatian orang tua atau keluarga. b) Mengambil keputusan untuk tindakan kesehatan yang tepat. Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa di antara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga. Tindakan kesehatan yang dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi. c) Memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit. Dengan segala keterbatasan yang ada di tempat pengungsian, keluarga diharapkan mampu merawat anggota keluarga yang sakit walaupun dengan bantuan tenaga kesehatan dan dapat melakukan upaya pertolongan pertama seoptimal mungkin.
d) Mempertahankan suasana rumah (tempat pengungsian) yang menguntungkan untuk kesehatan dan perkembangan kebribadian anggota keluarganya. Dengan kemampuan memodifikasi lingkungan keluarga mampu melakukan tindakan preventif maupun rehabilitatif dalam upaya peningkatan kesehatan keluarga. e) Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan fasilitas kesehatan. Diharapkan keluarga dapat memanfaatkan tenaga kesehatan/ tempat / pos-pos pelayanan kesehatan dalam mengatasi masalah kesehatan keluarganya. b. Model pelatihan calon fasilitator Dengan menggunakan metode pelatihan orang dewasa, para calon fasilitator dilatih untuk mengembangkan kapasitas dan kemampuan untuk merencanakan, mengelola dan menyelenggarakan pelatihan singkat yang terkait dengan upaya pencegahan penyakit menular. Pelatihan harus dilengkapi dengan panduan/pedoman, sarana penunjang untuk simulasi/role play dan brosur. Contoh rincian kegiatan pelatihan calon fasilitator : Sessi 1 : Perkenalan Sessi 2 : Penjelasan panduan pelatihan Sessi 3 : Identifikasi masalah-masalah kesehatan yang dapat terjadi di tempat pengungsian, khususnya penyakit menular Sessi 4 : Pencegahan dan penanggulangan penyakit diare Sessi 5 : Pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA Sessi 6 : Pencegahan dan penanggulangan penyakit Campak Sessi 7 : Pencegahan dan penanggulangan penyakit kulit Sessi 8 : Pencegahan dan penanggulangan keracunan makanan Sessi 9 : Pencegahan dan penanggulangan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi Sessi 10 : Kesehatan lingkungan di tempat pengungsian Sessi 11 : Membuat laporan sederhana tentang kejadian menyakit menular c. Model pengembangan kemitraan untuk penanggulangan penyakit Dalam pengembangan kemitraan, pada umumnya terdapat 3 institusi utama organisasi yang terlibat : 1) Unsur pemerintah yang terkait dengan kesehatan dan bencana serta penanganan korban di tempat pengungsian 2) Dunia usaha atau unsur swasta atau kalangan bisnis/pengusaha
33
Jurnal Ilmiah Kesehatan, 5(2); Mei 2013 3) Unsur organisasi non pemerintah, seperti : lembaga swadaya masyarakat (LSM), ormas termasuk yayasan kesehatan, organisasi profesi dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan untuk membangun kemitraan antara lain melalui : pertemuanpertemuan untuk membuat kesepakatan bersama, seminar, lokakarya, pelatihan dan lain-lain.
b. Upaya memperbaiki kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan masyarakat untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik c. Pemberdayaan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, sehingga prinsip to help the community to help themselve dapat menjadi kenyataan.
Hasil yang diharapkan dari kegiatan tersebut adalah : 1) Terbentuknya jejaring kerja (networking), aliansi, forum dari berbagai unsur tersebut di atas. 2) Tersusunnya program dan pelaksanaannya berupa kegiatan bersama dalam rangka pemecahan masalah kesehatan. 3) Tersusunnya urian tugas dan fungsi untuk masingmasing anggota (mitra).
Pengembangan dan pelestarian gerakan pemberdayaan masyarakat dengan segala kegiatannya dalam pembangunan menghindari metode kerja "doing for the community", tetapi mengadopsi metode kerja "doing with the community". Metode kerja doing for, akan menjadikan masyarakat menjadi pasif, kurang kreatif dan tidak berdaya, bahkan mendidik masyarakat untuk bergantung pada bantuan pemerintah atau organisasi-organisasi sukarela pemberi bantuan. Sebaliknya, metode kerja doing with, merangsang masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu mengidentifikasi mana kebutuhan yang sifatnya - real needs, felt needs dan expected need . Hal penting untuk diketahui oleh pembuat kebijakan publik dan pejabat kesehatan adalah memahami konsep bahwa bencana tidak menularkan penyakit, namun bahwa terjadinya wabah penyakit menular adalah sebagai akibat sekunder dari penggabungan faktor risiko penyakit. Implementasi yang cepat dari tindakan pengendalian harus menjadi prioritas di masyarakat pengungsi akibat bencana. Intervensi yang tersedia harus dilaksanakan dengan cara yang lebih sistematis dan terkoordinasi oleh pemerintah dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Pemberdayaan masyarakat di tempat pengungsian bertujuan untuk memandirikan masyarakat agar mampu memelihara dan meningkatkan status kesehatannya menjadi lebih baik.
Dampak (outcome) dari kegiatan kemitraan terhadap peningkatan kesehatan masyarakat adalah : 1) Menurunnya angka kesakitan dan kematian. 2) Meningkatnya status kesehatan masyarakat. 3) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya mencegah terjadinya kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular di tempat pengungsian 5. Pemantauan dan penilaian hasil pelaksanaan Pemberdayaan masyarakat dapat berlangsung lambat dan lama, bahkan boleh dikatakan tidak pernah berhenti dengan sempurna. Sering terjadi, hal-hal tertentu yang menjadi bagian dari pemberdayaan masyarakat baru tercapai beberapa tahun setelah kegiatan selesai. Oleh karena itu lebih tepat jika pemantauan dan evaluasi diarahkan pada proses pemberdayaan masyarakatnya daripada hasilnya. Hal-hal yang di evaluasi : a. Jumlah anggota masyarakat yang terlibat atau berpartisipasi dalam kegiatan b. Jumlah kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan c. Jumlah pelaku kegiatan yang mendapat manfaat belajar sambil bekerja (learning by doing) 6. Pengembangan pelestarian gerakan pemberdayaan masyarakat Pada prinsipnya pengembangan dan pelestarian gerakan pemberdayaan masyarakat lebih berkonotasi dengan pembangunan masyarakat desa. Namun secara teknis dapat diterapkan di lingkungan masyarakat yang tinggal di tempat pengungsian korban bencana. Pengembangan dan pelestarian gerakan pemberdayaan masyarakat dapat berupa : a. Suatu proses pembangunan yang berkesinambungan, artinya kegiatan itu dilaksanakan secara terorganisir dan dilaksanakan tahap demi tahap dimulai dari tahap permulaan sampai pada tahap kegiatan tindak lanjut dan evaluasi.
Daftar Pustaka Agribisnis Departemen, 2002. Tehnik Pemberdayaan Masyarakat Secara Partisipatif, FEM, Institut Pertanian Bogor. Cannaly, Maire A, et al, 2004. Communicable Diseases in Complex Emergencies : Impact and Challenges, The Lancet 27 – Nov 2004. Departemen Kesehatan RI, 2011. Pedoman Teknis Penanggulagan Krisis Kesehatan Akibat Bencana, Depkes RI Jakarta. Kauadio, K. Isidore, et al, 2012. Infectious Diseases Following Natural Disasters: Prevention and Control Measures, Expert Review, www.expert-reviews.com Notoatmodjo, Soekidjo, 2010. Promosi Kesehatan, Teori dan Aplikasi, edisi revisi, Rhineka Cipta Jakarta.
34