Promosi kesehatan....................(Ahmad Erlan)
peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan, serta pengembangan lingkungan sehat. Promosi kesehatan mencakup aspek perilaku, yaitu upaya untuk memotivasi, mendorong dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki masyarakat agar mereka mampu memelihara dan meningkatkan 2 kesehatannya. Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara di seluruh dunia. Di Indonesia dilaporkan 22 provinsi diperkirakan telah terinfeksi filariasis sebanyak 150 juta manusia dan tertinggi di Irian Jaya.3 Di daerah endemik, risiko terinfeksi filariasis sebesar 10-50% dan 10% diantaranya adalah wanita yang memberi dampak sosial dan psikologis.4 Filariasis mempunyai ciri dan kekhasan tersendiri, penyakit ini sifatnya menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran 5 kaki. Gejala klinis akut berupa limfadenistis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan kemudian mengalami penyembuhan dengan meninggalkan parut, terutama didaerah lipatan paha dan ketiak.6 Penyakit ini memberikan dampak sosial budaya yang cukup besar, dampak ekonomi serta mental secara psikhologis, sehingga tidak dapat bekerja secara optimal dan hidupnya selalu tergantung pada orang lain. Penularan filariasis terjadi apabila ada lima unsur utama yaitu sumber penular (manusia dan hewan sebagai reservoir), parasit (mikrofilaria), vektor (nyamuk), manusia yang rentan (host), lingkungan (fisik, biologik, ekonomi dan sosial budaya). Cara infeksi atau siklus dari mikrofilaria dalam tubuh sampai menimbulkan penyakit adalah dalam tubuh nyamuk betina, mikrofilaria masuk ke dinding lambung dan berkembang dalam thorax hingga menjadi larva infektif (L3) yang kemudian berpindah ke proboscis. Ketika nyamuk menghisap darah host, larva infektif (L3) akan ikut terbawa dan masuk melalui lubang bekas tusukan nyamuk di kulit. Larva infektif tersebut akan bergerak mengikuti saluran limfa kemudian akan mengalami perubahan bentuk sebanyak dua kali sebelum menjadi cacing dewasa. Masa inkubasi ekstrinsik pada parasit mikrofilaria sampai menjadi cacing dewasa adalah 3,5 bulan, cacing dewasa ini hidup dalam tubuh hospes 5-10 tahun.6 Pengendalian vektor adalah upaya yang paling utama, di daerah dengan tingkat endemisitas
90
tinggi, penting sekali mengetahui dengan tepat bionomik dari vektor nyamuk, prevalensi dan insidensi penyakit, dan faktor lingkungan yang 7 berperan dalam penularan di setiap daerah. Alternatif lain pengendalian vektor filariasis yang dapat dilaksanakan adalah melalui penyuluhan kesehatan masyarakat agar masyarakat di daerah endemik filariasis dapat mengurangi kontak dengan n y a m u k v e k t o r, s e h i n g g a m e m p e r k e c i l kemungkinan terjadinya penularan. Peran lintas sektor dan lintas program dalam pengendalian vektor sangat diperlukan, terutama dalam 8 mengurangi tempat perkembangbiakannya. Di Indonesia jumlah kabupaten/kota endemis filariasis sebanyak 335 kabupaten/kota (67%), 3 kabupaten/kota tidak endemis (0,6%), dan 176 kabupaten/kota belum dilakukan survei endemisitas filariasis. Pada tahun 2009 telah dilakukan survei pada kabupaten/kota yang belum melakukan survei tahun 2008. Jumlah kabupaten/kota yang endemis filariasis meningkat menjadi 356 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota di Indonesia atau sebesar 71,9%, sedangkan 139 kabupaten/kota (28,1%) tidak endemis filariasis. Bila dilihat per-kabupaten dari laporan tahun 2009, tiga kabupaten dengan Mf rate tertinggi adalah Bonebolango dengan Mf rate 40%, diikuti oleh Manokwari (Mf rate 38,57%) dan 9 Kota Cilegon (Mf rate 37,50 %). Penelitian tentang upaya promosi kesehatan untuk mencegah penularan filariasis belum banyak dilakukan di Indonesia, selama ini yang sudah dilakukan pemerintah adalah pengobatan massal (MDA) pada populasi yang berisiko dengan obat DEC, albendazole dan paracetamol, setahun sekali selama minimal 5 tahun berturut-turut. Upaya lainnya yang sudah dilakukan adalah dengan penyuluhan tetapi hasilnya belum efektif dalam menurunkan kasus filariasis. METODE Kajian dilakukan dengan studi literatur aspek promosi kesehatan dalam penanggulangan filariasis, faktor lingkungan, faktor perilaku dan faktor sosial budaya yang mempengaruhi kejadian filarisis di beberapa daerah endemis di Indonesia. Pengumpulan data dilakukan dengan cara penelusuran data sekunder dari jurnal dan laporan hasil penelitian serta penelusuran internet melalui google search. Data yang ditampilkan adalah hasil penelitian dari beberapa sumber dan dikaji aspek promosi kesehatan dalam penanggulangan filariasis
BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 2014: 65-70
EFEK PENDIDIKAN KESEHATAN DALAM UPAYA PENANGGULANGAN KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) LEPTOSPIROSIS DI KABUPATEN BANTUL TAHUN 2011 EFFECT OF HEALTH EDUCATION FOR CONTROLING LEPTOSPIROSIS OUTBREAKS IN BANTUL DISTRICT, 2011 Aryani Pujiyanti*, Wiwik Trapsilowati Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Jl. Hasanudin No.123 Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia *E_mail:
[email protected] Received date: 26/8/2014, Revised date: 30/10/2014, Accepted date: 04/11/2014
ABSTRAK Salah satu strategi untuk penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) leptospirosis di Kabupaten Bantul tahun 2011 adalah dengan pendidikan masyarakat. Tujuan penelitian adalah untuk mengukur efektifitas pendidikan kesehatan dengan ceramah terhadap tingkat pengetahuan dan sikap responden dalam pencegahan leptospirosis. Penelitian ini merupakan penelitian intervensi dengan rancangan one group pre-post design. Lokasi penelitian di Desa Sedayu dan Desa Wukirsari, Kabupaten Bantul. Pengumpulan data dilakukan dengan instrumen angket pada Bulan Maret 2011. Angket diisi oleh responden sebanyak 2 kali yaitu sebelum dan sesudah penyuluhan. Sampel diambil secara purposif yaitu penduduk tinggal di wilayah Rukun Warga yang terdapat kasus leptospirosis pada tahun 2011, usia minimal 18 tahun dan bersedia mengikuti kegiatan penyuluhan. Jumlah responden sebanyak 61 orang. Analisis data menggunakan uji Wilcoxon. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang signifikan (p<0,05) pada rerata pengetahuan responden sebelum dan sesudah intervensi, berarti ada peningkatan pengetahuan sesudah diberikan penyuluhan. Penerapan penyuluhan kesehatan efektif meningkatkan pengetahuan responden untuk pencegahan leptospirosis. Kata kunci : leptospirosis, pendidikan kesehatan, kejadian luar biasa ABSTRACT One of strategy for controlling leptospirosis outbreaks in Bantul District in 2011 was using public education. The purpose of the study was to measure effectiveness of health education with a combination of lectures for respondent knowledge and attitudes in leptospirosis prevention. This study was an intervention with one group pre-post design. The research location was Sedayu and Wukirsari Village, Bantul. Data was collected through questionnaire in March 2011. Questionnaire was filled in by respondents before and after participated in health education. Respondent were taken purposively which was residents living in the area with leptospirosis cases in 2011, at least 18 years old and willing to participate in research activities. Data were analyzed using Wilcoxon test. The respondents was 61 people. The results showed significant difference (p<0.05) in the average of knowledge before and after the intervention, there was an increase in knowledge after counseling. The implementation of effective health education increase knowledge of the respondent for the prevention of leptospirosis. Keywords: leptospirosis, health education, outbreak
PENDAHULUAN Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Leptospira sp. Penyakit ini dapat menimbulkan gejala (symptomatic) atau tidak menunjukan gejala sama sekali (asymptomatic). Leptospirosis memiliki gejala awal mirip dengan penyakit infeksi pada umumnya seperti demam tinggi, sakit kepala, menggigil, nyeri otot hingga munculnya tanda-tanda ikterus.1 Leptospirosis yang tidak tertangani atau terlambat diobati dapat berkembang menjadi komplikasi organ-organ dalam tubuh seperti kerusakan ginjal, kerusakan hati, gangguan pernafasan hingga kematian penderita.
Penularan leptospirosis pada manusia terjadi melalui kontak langsung ataupun tak langsung dengan urin, darah atau jaringan hewan yang terinfeksi bakteri 2 Leptospira patogen. Kasus leptospirosis di Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mulai terlaporkan pada tahun 2009 dengan jumlah kasus 10 orang dan 1 penderita meninggal dunia (Case Fatality Rate/CFR 10%). Kasus leptospirosis meningkat menjadi 116 kasus dengan 19 kasus meninggal dunia (CFR 16,37%) pada tahun 2010. Hingga Bulan Januari 2011 ditemukan tambahan kasus leptospirosis sejumlah 14 orang. Berdasarkan
65
Efek Pendidikan .............(Aryani Pujiyanti, dkk.)
data Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul tahun 2010-2011, kasus leptospirosis terdapat di 15 kecamatan dari 17 kecamatan di Kabupaten Bantul. Kecamatan dengan jumlah kasus leptospirosis paling banyak adalah Kecamatan Sedayu (29 kasus dan 1 penderita meninggal) dan Kecamatan Imogiri (19 kasus dan 3 penderita meninggal). Sebagian besar penderita adalah kelompok usia produktif. Seluruh kasus adalah kasus baru bukan jenis kasus relaps. Faktor risiko leptospirosis di Kabupaten Bantul adalah pekerjaan sebagai petani, terpapar air sawah atau genangan air kotor dan peningkatan populasi tikus sebagai hewan reservoir 3 Leptospira sp. Peningkatan kasus leptospirosis di Kabupaten Bantul tahun 2010-2011 dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) pada Surat Keputusan Bupati Kabupaten Bantul No.31 tahun 2011 tanggal 24 Januari 2011.4 Studi ini merupakan bagian dari tindakan kedaruratan untuk penanggulangan KLB leptospirosis tahun 2011 di Kabupaten Bantul. Hasil studi diharapkan menjadi salah satu strategi untuk menanggulangi leptospirosis melalui pendekatan komperehensif dan salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui sosialisasi pencegahan leptospirosis pada kelompok masyarakat yang berisiko tertular leptospirosis. Kegiatan tersebut bertujuan agar masyarakat mengetahui dan dapat melakukan upaya pencegahan secara mandiri. Pendidikan kesehatan adalah metode diseminasi informasi yang bertujuan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan mampu melakukan suatu anjuran yang berhubungan dengan kesehatan. Pendidikan kesehatan dapat dilakukan melalui metode ceramah, diskusi maupun demonstrasi. Metode ceramah memiliki keunggulan biaya rendah dan mampu menjangkau berbagai responden dengan perbedaan karakteristik demografi. Metode ceramah merupakan metode yang umum digunakan untuk kegiatan penyuluhan kesehatan pada masyarakat.4 Pelaksanaan metode ceramah dapat dikombinasikan dengan metode pendidikan kesehatan yang lain ataupun dengan menggunakan media/alat peraga.3 Pendidikan kesehatan dalam studi ini menggunakan teknik ceramah yang dikombinasikan dengan diskusi interaktif dan penggunaan alat peraga (demonstrasi). Berdasarkan latar belakang tersebut maka tujuan penelitian adalah untuk mengukur efektifitas pendidikan kesehatan masyarakat dengan
66
menggunakan metode ceramah terhadap tingkat pengetahuan dan sikap responden dalam pencegahan leptospirosis. Hasil penelitian dapat bermanfaat sebagai masukan bagi program promosi kesehatan nuntuk peningkatan upaya pencegahan leptospirosis. METODE Penelitian ini merupakan penelitian kuasi eksperimen one group pre and post-test design.5 Variabel terikat adalah pengetahuan dan sikap responden, sedangkan variabel bebas adalah pendidikan kesehatan dengan metode ceramah. Populasi penelitian adalah penduduk di Desa Argosari, Kecamatan Sedayu dan Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Pemilihan sampel dilakukan secara purposif dengan kriteria inklusi penduduk yang tinggal di wilayah RW yang terdapat kasus leptospirosis pada tahun 2011, usia minimal 18 tahun dan bersedia mengikuti kegiatan penyuluhan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-April tahun 2011. Nara sumber adalah tim peneliti bersama dinas kesehatan dan tim puskesmas. Penyuluhan menggunakan media slide presentasi dan alat peraga. Jenis alat peraga yang digunakan adalah alat untuk pengendalian tikus dan klorinasi badan air (chlorine diffuser). Materi penyuluhan berisi tentang etiologi dan bahaya leptospirosis, pencarian pengobatan, cara pencegahan leptospirosis, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), perlindungan diri dari kontak dengan bakteri Leptospira sp., serta teknik pengendalian tikus baik di lingkungan rumah maupun di lingkungan persawahan. Pengumpulan data melalui pengisian angket kuesioner oleh peserta penyuluhan. Data dikumpulkan 2 kali yaitu sebelum penyuluhan (pretest) dan sesudah penyuluhan (post-test). Pengisian angket dimonitoring oleh tim peneliti untuk menjamin kesahihan data. Kuesioner berisi pertanyaan tentang karakteristik responden, pengetahuan dan sikap tentang leptospirosis, upaya pengendalian tikus, upaya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan penggunaan desinfektan. Bentuk pertanyaan untuk pengetahuan adalah jawaban dengan pilihan benar-salah, sedangkan untuk sikap berupa pernyataan dengan jawaban dalam skala likert. Manajemen data meliputi verifikasi data setelah pre/post-test untuk meminimalisasi jawaban
BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 2014: 89-96
PROMOSI KESEHATAN DALAM PENGENDALIAN FILARIASIS HEALTH PROMOTION IN THE CONTROL OF FILARIASIS Ahmad Erlan* Balai Litbang P2B2 Donggala Jalan Masitudju No 58 Labuan Panimba, Labuan, Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia *E_mail:
[email protected] Received date: 26/8/2014, Revised date: 30/10/2014, Accepted date: 04/11/2014
ABSTRAK Promosi kesehatan adalah cara yang efektif untuk mengubah perilaku masyarakat agar menjadi lebih sehat dan terhindar dari penyakit. Penularan filariasis dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu lingkungan, perilaku dan sosial budaya. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor yang memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian filariasis dari faktor lingkungan yaitu rawa-rawa di sekitar permukiman (OR=2,433); faktor perilaku seperti kebiasaan menggunakan kelambu, tidak menggunakan pakaian lengan panjang dan tidak menggunakan kasa di ventilasi (p<0,05); faktor pengetahuan dan stigma (p=0,07). Promosi kesehatan melalui penyuluhan ke masyarakat dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dan perubahan perilaku untuk memutuskan rantai penularan filariasis. Kata kunci: promosi kesehatan, filariasis, lingkungan, perilaku, sosial budaya ABSTRACT Health promotion is an effective way to change people's behavior to become more healthy and avoid illness. Filariasis transmission is influenced by three factors: environmental, social and cultural behavior. The results of several studies suggest that the factors that have a significant relationship with the occurrence of filariasis were environmental factors that marshes around settlements have (OR=2.433); behavioral factors such as the habit of using nets, do not use long-sleeved clothes and do not use gauze in ventilation (p <0.05); knowledge factor and stigma (p=0.07). Health promotion through counseling to the community was done to improve public knowledge and behavior change to cut the transmission of filariasis Keywords: health promotion , filariasis, environmental, behavioral, social and cultural
PENDAHULUAN Promosi kesehatan adalah ilmu dan seni membantu masyarakat menjadikan gaya hidup mereka sehat optimal. Kesehatan yang optimal didefinisikan sebagai keseimbangan kesehatan fisik, emosi, sosial, spiritual, dan intelektual. Hal ini bukan sekedar pengubahan gaya hidup saja, namun berkaitan dengan pengubahan lingkungan yang diharapkan dapat lebih mendukung dalam membuat keputusan yang sehat. Perubahan gaya hidup dapat difasilitasi melalui penggabungan, menciptakan lingkungan yang mendukung, mengubah perilaku, dan meningkatkan kesadaran.1 Promosi kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok, atau individu. Dengan adanya pesan tersebut diharapkan masyarakat, kelompok atau individu dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang
lebih baik. Promosi kesehatan menurut Leavel and Clark adalah upaya pencegahan penyakit dalam lima tingkatan yang dapat dilakukan pada masa sebelum sakit dan pada masa sakit. Pada masa sebelum sakit upaya yang dilakukan adalah mempertinggi nilai kesehatan (health promotion) dan memberikan perlindungan khusus terhadap sesuatu penyakit (specific protection). Pada masa sakit upaya yang dilakukan adalah mengenal dan mengetahui jenis pada tingkat awal, serta mengadakan pengobatan yang tepat dan segera (early diagnosis and treatment). Pembatasan kecacatan dan berusaha untuk menghilangkan gangguan kemampuan bekerja yang diakibatkan sesuatu penyakit (disability limitation), dan rehabilitasi (rehabilitation). Promosi kesehatan menurut piagam Ottawa 1986 adalah suatu proses memberdayakan atau memandirikan masyarakat untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya melalui
89
Efektivitas ekstrak......................(Murni, dkk.)
BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 201 : 65-70
yang kosong dari responden, skoring, entri data ke komputer dan analisis data. Skor pengetahuan diukur dengan kuesioner sebanyak 21 pertanyaan. Jawaban salah dinilai 0 dan benar dinilai 1. Skor minimal untuk pengetahuan adalah 0, sedangkan skor maksimal adalah 21. Skor sikap diukur dari 14 pernyataan, dengan bentuk jawaban dalam skala likert dengan 3 skala. Skor minimal untuk pernyataan sikap adalah 14 sedangkan skor maksimal adalah 42. Hasil uji normalitas data dengan menggunakan Kolmogorov Smirnov menunjukkan bahwa pada variabel pengetahuan p<0,05 yang berarti data berdistribusi tidak normal, sedangkan variabel sikap p>0,05 berarti bahwa data berdistribusi normal. Analisis data menggunakan uji Wilcoxon untuk mengetahui perbedaan rerata variabel pada pengukuran sebelum dan sesudah intervensi.6
HASIL Desa Argosari merupakan salah satu desa di Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul. Kecamatan Sedayu berada di sebelah barat laut dari ibukota Kabupaten Bantul dan berbatasan dengan Kabupaten Sleman. Secara keseluruhan Kecamatan Sedayu berada di dataran rendah. Iklim di wilayah Kecamatan Sedayu tergolong panas. Desa Wukirsari terletak di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Luas wilayah lebih kurang 15 km2, dibagi menjadi 16 dusun dan 91 rumah tangga (RT). Mayoritas penduduk di kedua wilayah tersebut bekerja sebagai petani. 7 Distribusi responden berdasarkan karakteristik demografi disajikan pada Tabel 1. Jumlah responden yang bersedia mengikuti penyuluhan sebanyak 61 orang yaitu 33 orang di Desa Argosari dan 28 orang di Desa Wukirsari.
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi Jumlah (sampel=61)
%
Umur 20- 40 tahun
39
63,9
> 40 tahun
22
36,1
Jenis kelamin Laki-laki
37
60,7
Perempuan
24
39,3
Rendah Menengah
47 13
77,1 21,3
Tinggi
1
1,6
Pekerjaan Petani
16
26,2
Peternak
1
1,6
. Pedagang Karyawan
3 8
4,9 13,1
Buruh tani
21
34,5
Ibu rumah tangga
11
18,1
Tidak bekerja
1
1,6
Karakteristik
Pendidikan
Tabel 2. Perbandingan Rerata Skor Pretest dan Post Test Variabel
Pre-test
Post-test
Rerata selisih mean
p value
34,74 ± 3,79
35,89 ±4,09
0,36
0,002
35,84 ±3,43
36,20 ± 3,23
1,15
0,311
Pengetahuan Mean ±SD Sikap Mean ±SD
88
67
Efek Pendidikan .............(Aryani Pujiyanti, dkk.)
Sebagian besar responden berusia 20-40 tahun. Responden laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Pekerjaan responden paling banyak adalah buruh tani, petani, dan ibu rumah tangga. Sebagian besar responden memiliki latar belakang pendidikan rendah. Dari hasil uji statistik diketahui bahwa ada perbedaan yang signifikan (p<0,05) pada rerata pengetahuan responden sebelum dan sesudah intervensi. Hal ini berarti ada peningkatan pengetahuan sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan. Pada variabel sikap diketahui tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0,05) pada sikap responden baik sebelum maupun sesudah penyuluhan. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian, metode penyuluhan berhasil meningkatkan pengetahuan responden. Hal tersebut diketahui dari analisis statistik yang menunjukan ada perbedaan nyata pada skor variabel pengetahuan sebelum dan sesudah mendapat penyuluhan. Hasil studi ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang juga menunjukan peningkatan pengetahuan responden setelah menerima informasi dari metode penyuluhan.8, 9 Pada analisis uji beda diketahui tidak ada perbedaan yang signifikan pada variabel sikap sebelum dan sesudah responden mendapatkan metode penyuluhan dengan ceramah. Hasil tersebut berarti bahwa responden telah memiliki pengetahuan tentang tindakan pencegahan leptospirosis tetapi pengetahuan yang dimiliki belum mampu untuk mengubah sikap responden. Menurut teori taksonomi Bloom, ranah kognitif responden setelah mendapat penyuluhan masih berada dalam tahap dasar (lower order skills) yaitu tingkat mengetahui dan memahami informasi, belum sampai pada tingkat untuk menerapkan pengetahuan ke dalam praktek atau situasi yang baru.10 Berdasarkan survei pendahuluan, masyarakat di Desa Argosari dan Wukirsari baru mengenal penyakit leptospirosis setelah munculnya KLB sehingga upaya pencegahan leptospirosis dapat dianggap sebagai suatu inovasi untuk masyarakat di Desa Argosari dan Wukirsari. Pencegahan leptospirosis merupakan hal yang baru di masyarakat tersebut sehingga memerlukan peningkatan upaya promosi kesehatan agar
68
informasi yang disampaikan dapat berasimiliasi di masyarakat. Sikap terbentuk oleh pengaruh faktor 4 sosial budaya di masyarakat. Responden di lokasi penelitian adalah masyarakat perdesaan. Karakteristik masyarakat perdesaan adalah masyarakat tradisional yang memegang norma budaya leluhur, hubungan interpersonal kuat, butuh waktu untuk menerima hal baru, dan adanya tokoh 11 adat/agama yang menjadi panutan di masyarakat. Adopsi hal baru kepada masyarakat tradisional secara tidak langsung juga mengubah kebiasaan maupun pola pikir yang dilakukan secara turun temurun di lingkungan tempat tinggalnya. Hasil studi ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Provinsi Banten yang menyebutkan bahwa penggunaan metode penyuluhan mampu meningkatkan pengetahuan responden namun belum dapat mengubah sikap maupun perilaku 9 responden. Pengetahuan adalah hasil proses penginderaan manusia (panca indera) terhadap objek tertentu yang dipengaruhi oleh intensitas pesan dan persepsi terhadap objek. Pengulangan pesan kesehatan diperlukan untuk memperkuat 3 informasi pada ranah kognitif responden. Keterbatasan penelitian ini adalah ceramah kesehatan yang diberikan oleh tim peneliti kepada responden hanya sebanyak satu kali sehingga sangat memungkinkan responden dapat melupakan informasi yang diberikan atau terjadi salah persepsi dari isi pesan penyuluhan di masa mendatang. Di wilayah penelitian, sebagian besar responden memiliki latar belakang pendidikan rendah sehingga menyebabkan keterbatasan kemampuan responden dalam memahami informasi terutama tentang pencegahan leptospirosis yang dapat disebut sebagai hal baru di lokasi penelitian. Tingkat pendidikan mempengaruhi kemampuan individu dalam memahami pesan kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan lebih mudah 11 menerima suatu informasi. Tujuan awal kegiatan promosi kesehatan dalam penanganan KLB adalah untuk mengajak masyarakat agar lebih waspada terhadap bahaya penyakit dan melakukan tindakan pencegahan secara dini (early awareness). Studi di wilayah perdesaan di China menggunakan penyuluhan untuk menghilangkan salah persepsi masyarakat tentang pencegahan penyakit setelah terjadi peningkatan jumlah kasus yang cukup tinggi. Hasilnya terbukti mampu menarik perhatian masyarakat untuk ikut
BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 2014: 83-88
2. Hiswani. 2004. Gambaran penyakit dan vektor malaria di Indonesia [Diakses 15 September 2010]. Diunduh dari: http://repository.usu.ac.id//fkmhiswani11.pdf. 3. Wright, C. W. 2005. Traditional antimalarials and the development of novel antimalarial drugs [cited 2010 Sept 19]. Available from : http://digilib.unimus.ac.id/anikinaya.pdf. 4. World Health Organization. Initiative for vaccine research, state the art of vaccine research and development. 2005. [Cited 2010 Sept 19]. Available from http:/www.who.int/vaccinesdocuments/
5. Sandjaja B. Parasitologi kedokteran buku I: protozoologi kedokteran. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher; 2007.
6. Program pemberantasan malaria di Kalimantan dan Sulawesi. [Diakses 16 September 2010]. Diunduh dari: http://www.perdhaki.org/ 7. Kusmardi. 2007. Efek imunolator ekstrak daun ketepeng cina (Cassia alata L.) terhadap aktivitas dan kapasitas fagositosis makrofag. Makara Kesehatan. 2007; 11 (2): 27-30.
9.
Depkes RI. 2000. Parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat. Jakarta; 2000. h. 10-11.
10. Anonim. Tanaman obat-ketepeng kecil [Diakses 10 September 2010]. Diunduh dari: http:/www.tanamanobat.com/aneka_tanaman_obat/ 11. Mustofa. Aktivitas antiplasmodial in vivo dan mekanisme aksi senyawa turunan fenantrolin-1,10. [Diakses 2 Desember 2012]. Diunduh dari: http://mfi.farmasi.ugm.ac.id/files/news/MUSTOFA_ 142_-_149.pdf 12. Syamsudin. 2007. Aktivitas antiplasmodium dari dua fraksi ekstrak n-heksan kulit batang asam gandis (Garcinia parfivolia Miq.) [Diakses 28 Oktober 2010]. Diunduh dari: http://www.news-medical.net/ 13. Gunawan. Uji daya anthelmintika in vitro infusa daun ketepeng kecil (Cassia tora L.) serta skrining fitokimianya. [Diakses 21 Desember 2011]. Diunduh dari: http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/ 14. Lembaga Eijkman. Workshop: pewarnaan giemsa dan bioassays.
8. Aryanti. 2007. Uji daya antimalaria Artemisia spp. terhadap Plasmodium falciparum. [Diakses 1 S e p t e m b e r ] . D i u n d u h d a r i : http://mfi.farmasi.ugm.ac.id/files/news/5._17-22007-aryanti.pdf.
87
Efektivitas ekstrak......................(Murni, dkk.)
Tabel 1. Hasil Persentase Parasitemia Cassia alata L., Cassia tora L., Klorokuin dan Kontrol Bahan Uji Cassia alata L.
Cassia tora L.
Klorokuin
Konsentrasi 10 -4 10 -5 10 -6 10 -7 10 -8 10 -9 10 -4 10 -5 10 -6 10 -7 10 -8 10 -9 10 -4 10 -5 10 -6 10 -7 10 -8 10 -9
Kontrol
Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis, didapatkan bahwa baik ketepeng (Cassia alata L.) maupun ketepeng kecil (Cassia tora L.) tidak menunjukkan penghambatan terhadap pertumbuhan P. falciparum. Hal ini disebabkan oleh pengenceran bahan uji yang digunakan terlalu encer sehingga tidak mampu memberikan efek penghambatan terhadap P. falciparum. Selain itu, kondisi P. falciparum pada saat pengujian belum mencapai kondisi optimum, sehingga IC50 sulit ditentukan karena panghambatan pertumbuhan P. falciparum tidak mencapai 50%. Berdasarkan literatur, untuk menentukan IC50 dapat dilakukan dengan menarik garis axis pada angka 50 pada kurva linear dengan bantuan program microsoft excel.1 Bahan uji pembanding, klorokuin pada konsentrasi 10-9 menunjukkan angka pertumbuhan P. falciparum mencapai 100%. Namun, mengalami penurunan pada pengeceran 10-8, 10-7, 10-6, 10-5, 10-4 dengan pertumbuhan 91%, 76%, 65%, 55%, dan 37%. Berdasarkan penelitian sebelumnya, klorokuin dapat dibuktikan mampu memberikan efek penghambatan pertumbuhan P. falciparum. Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka nilai IC 50 adalah 2 x 10-4 ug/mL. KESIMPULAN Hasil uji laboratorium ekstrak etanol daun ketepeng (Cassia alata L.) dan ketepeng kecil
86
Parasitemia (%) P1 P2 0.78 0.76 0.76 0.74 0.64 0.7 0.68 0.66 0.6 0.64 0.7 0.6 0.7 0.72 0.74 0.72 0.7 0.84 0.8 0.56 0.82 0.54 0.7 0.68 0.3 0.28 0.4 0.46 0.52 0.5 0.62 0.56 0.7 0.72 0.8 0.76 0.76 0.8
Average (%) 0.77 0.75 0.67 0.67 0.62 0.65 0.71 0.73 0.77 0.68 0.68 0.69 0.29 0.43 0.51 0.59 0.71 0.78 0.78
Grow Rate (%) 98 96 86 86 79 83 91 94 98 87 87 88 37 55 65 76 91 100 100
(Cassia tora L.) tidak menunjukkan penghambatan pertumbuhan terhadap P. falciparum. SARAN Perlu dilakukan pengujian terhadap tanaman lain yang berpotensi sebagai anti malaria yang lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan dari P. falciparum.
BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 2014 : 65-70
serta dalam upaya pencegahan yang direkomendasikan oleh tenaga kesehatan setempat.12 Penerimaan perilaku baru yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap positif, akan menjamin perilaku tersebut dilaksanakan secara berkesinambungan. Perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.13 Peningkatan pengetahuan masyarakat diharapkan dapat menjadi domain untuk perubahan sikap maupun perilaku kesehatan. KESIMPULAN Penerapan pendidikan kesehatan dengan metode ceramah kombinasi efektif meningkatkan pengetahuan tentang pencegahan leptospirosis. SARAN Penyuluhan tentang pencegahan leptospirosis perlu dilaksanakan secara rutin di wilayah Desa Argosari dan Wukirsari untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pencegahan leptospirosis. UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga, Drs. Ristiyanto, M.Kes, Farida D. Handayani, M.Sc, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul beserta staf, Kepala Puskesmas Sedayu dan Imogiri II beserta staf, Kepala Desa Argosari dan Kepala Desa Wukirsari, tokoh masyarakat dan responden serta semua pihak yang telah berpartisipasi aktif terhadap pelaksanaan penelitian ini.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Badan Litbang Kesehatan atas dukungan dana sehingga penelitian ini dapat terlaksana, Sekretariat Risbinkes Pusat dan Kepala Balai Litbang P2B2 Donggala, atas disetujuinya usulan penelitian ini. Terima kasih kami ucapkan kepada Prof. Gemini Alam, kepala Laboratorium Fitokimia, Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin atas bimbingannya dalam pelaksanaan pengerjaan ekstrak tanaman uji. Terima kasih juga kami ucapkan kepada Bapak Dr. Mukh. Syaifuddin dan kawan-kawan di Laboratorium Biologi Molekuler, PTKMR, BATAN atas bimbingan dan arahannya dalam pelaksanaan uji in vitro.
4.
Azwar S. Sikap manusia teori dan pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2011.
DAFTAR PUSTAKA
5.
Sugiyono. Metode penelitian kuantitatif, kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta; 2008.
6.
Budiarto. Biostatistik untuk kedokteran dan kesehatan masyarakat. Jakarta: EGC; 2002.
8. Handayani TE, Purwanti OS. Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap tingkat pengetahuan dan sikap masyarakat tentang pencegahan tuberkulosis paru di Dusun Kayangan Kecamatan Karanganyar Kabupaten Karanganyar. [Diakses 1 Oktober 2014]. Diunduh dari: http://publikasiilmiah.ums.ac.id/ bitstream/handle/123456789/3636/TRI%20ETIK% 20-%20OKTI%20Fix.pdf?sequence=1. 9.
Sungkar S, Rawina W, Agnes K. Pengaruh penyuluhan terhadap tingkat pengetahuan masyarakat dan kepadatan Aedes aegypti di Kecamatan Bayah,Provinsi Banten. Makara Kesehatan. 2010; 14 (2): 81-5.
10. Utari R. Taksonomi Bloom: apa dan bagaimana menggunakannya. [Diakses 1 Oktober 2014]. Diunduh dari: http://www.bppk.depkeu.go.id/ webpkn/attachments/article/766/1Ta k s o n o m i % 2 0 B l o o m % 2 0 - % 2 0 R e t n o - o k mima+abstract. pdf. 11. Ircham M dan Eko S. Pendidikan kesehatan bagian dari promosi kesehatan. Yogyakarta: Fitramaya; 2008. 12. Pai HH, Hong YJ and Hsu HL. Impact of a ShortTerm Community-Based Cleanliness Campaign on the Sources of Dengue Vectors: An Entomological and Human Behavior Study. Journal of Environmental Health. 2006; 68 (6): 35-8. 13. Green L and Kreuter M. Health promotion planning: an educational and ecological approach. Mountain
View CA: Mayfield; 2005.
DAFTAR PUSTAKA 1. Levett PN. Leptospirosis. Clin Micribiol Rev. 2001; 14 (2): 296-326. 2. Assimina Z and Fotoula B. Leptospirosis: epidemiologi and preventive measures. HSJ-Health Science Journal. 2008; 2 (1): 78-82. 3. Notoatmojo S. Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: Rineka Cipta; 2007.
1. Kandun N. Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular lingkungan pemukiman. Jakarta: Departemen Kesehatan; 1995.
7. Pemerintah Kabupaten Bantul. Profil Kabupaten Bantul tahun 2011.
69
Efek Pendidikan .............(Aryani Pujiyanti, dkk.)
BALABA Vol. 10 No. 02, Desember 2014: 83-88
digunakan adalah ekstraktor, inkubator, oven, gelas desikator, dan mikroskop. Uji aktivitas anti malaria Uji aktivitas anti plasmodium in vitro dilakukan dengan metode mikroskopis yang dikembangkan oleh Desjardins.11 Parasit dengan kadar parasetimia 1% diambil dengan cara disentrifus selama 15 menit dengan kecepatan 1500 rpm. Supernatan dibuang dengan pipet pasteur dan menghitung sisa endapan lalu menambahkan growthmedium yang volumenya disesuaikan dengan jumlah parasit yang akan digunakan. Slide apusan darah tipis dibuat untuk mengetahui jumlah parasit sebelum diberikan perlakuan. Uji anti plasmodium dilakukan dengan memakai lempeng sumur mikro (plate) 96 lubang. Setiap sumur berisi 200 ìL medium lengkap dengan eritrosit 5 %. Memasukkan sediaan ekstrak etanol daun ketepeng (Cassia alata L.) dan ketepeng kecil (Cassia tora L.) masing-masing sebanyak 25 uL dan dilakukan pengenceran bertingkat (10-4, 10-5, 10-6, 10-7, 10-8, 10-9). Kemudian 50 ul suspensi P. falciparum dengan kadar parasetimia 1 % dimasukkan ke dalam setiap sumur. Kultur yang mengandung senyawa uji selanjutnya diinkubasi selama 48 jam pada desikator berisi lilin (candle jar) yang nantinya akan dimasukkan dalam inkubator. Setelah diinkubasi selama 48 jam, kultur dipanen dan dibuat apusan darah tipis. Sebanyak 20 uL (1 tetes) pada slide, tetesan darah digeser dengan kaca slide lain. Apusan tipis dicelup dalam metanol 1 % (fiksasi) selama 1 detik, kemudian dikeringkan. Larutan Giemsa dibuat dengan perbandingan 1:10 dalam syringe, bolakbalik. Setelah slide kering, melakukan pewarnaan (slide diteteskan Giemsa sampai seluruh permukaan slide tertutup). Slide kemudian diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang. Setelah 30 menit, membilas Giemsa dengan air mengalir dan slide dikeringkan. Minyak imersi (immerse oil) diteteskan pada daerah monolayer (apusan darah tipis) untuk memudahkan pengamatan pada mikroskop dengan perbesaran 1000x. Nilai parasitemia dihitung dari pengamatan mikroskopis. Nilai parasitemia ini selanjutnya digunakan untuk menghitung persentase penghambatan pertumbuhan P. falciparum dengan
70
cara jumlah eritrosit yang terinfeksi terhadap 1000 eritrosit. Sebagai kontrol digunakan kultur P. falciparum tanpa senyawa uji dan dianggap mempunyai pertumbuhan 100%. Aktivitas antiplasmodium dinyatakan sebagai IC50 (Inhibitory Concentration) yaitu kadar yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan parasit hingga 50% .12 HASIL Ekstrak kental daun ketepeng dan ketepeng kecil yang diperoleh dari proses ekstraksi dengan metode maserasi. Sebanyak 150 gram ketepeng dan 150 gram ketepeng kecil digunakan sebagai bahan anti plasmodium terhadap P. falciparum. Uji anti plasmodium dilakukan dengan pengenceran bertingkat ekstrak kental daun ketepeng (Cassia alata L) dan ketepeng kecil (Cassia tora L). Sebagai pembanding, digunakan klorokuin sebagai kontrol positif dan sebagai kontrol negatif yaitu pengujian tanpa adanya bahan uji untuk melihat pertumbuhan parasit 100 %. Hasil persentase parasitemia dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan ekstrak etanol daun ketepeng (Cassia alata L.), menunjukkan penurunan jumlah pertumbuhan P. falciparum pada pengenceran 10-8, sedangkan pada pengenceran yang lainnnya tidak menunjukkan penghambatan pertumbuhan terhadap P. falciparum. Ketepeng kecil (Cassia tora L.) menunjukkan hasil serupa dengan ketepeng (Cassia alata L.), yaitu -4 -5 -7 -8 -9 pengenceran 10 , 10 , 10 , 10 , 10 tidak memberikan efek penghambatan terhadap pertumbuhan P. falciparum. PEMBAHASAN Daun ketepeng (Cassia alata L.) dan ketepeng kecil (Cassia tora L.) merupakan tanaman perdu yang tingginya sampai 3 meter. Tumbuh liar di ladang-ladang atau di tempat-tempat lain yang tanahnya agak lembab sampai setinggi kira-kira 1.400 meter di atas permukaan laut. Daun ketepeng (Cassia alata L.) berkhasiat sebagai obat kudis dan obat malaria. Kandungan daun ketepeng (Cassia alata L.) mengandung alkaloid, saponin, flavonoida, tanin, dan antrakuinon. Daun ketepeng kecil (Cassia tora L.) berkhasiat sebagai obat kudis, obat malaria, dan obat panu. Daunnya mengandung saponin, flavonoida, dan polifenol. Kedua tanaman ini secara empiris digunakan oleh masyarakat sebagai obat penurun panas pada anak yang sedang sakit.13
85