LAPORAN AKHIR PENELITIAN
PENANGGULANGAN TERINTEGRASI KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN RESERVOIR DI JAWA TENGAH
Sub Judul : I. Analisis Penanggulangan Peningkatan Kasus dan Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit Tular V ektor di Jawa teng ah, Tahun 2014
II. Metode Surveilans Leptospirosis Berbasis Pelayanan Kesehatan Masyarakat Di Kota Semarang, Jawa Tengah
BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN VEKTOR DAN RESERVOIR PENYAKIT BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN, R.I. 2014
LAPORAN AKHIR PENELITIAN PENANGGULANGAN TERINTEGRASI KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN RESERVOIR DI JAWA TENGAH
Sub Judul : I. Analisis Penanggulangan Peningkatan Kasus dan Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit Tular Vektor di Jawa tengah, Tahun 2014
BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN VEKTOR DAN RESERVOIR PENYAKIT BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN, R.I. 2014
SUSUNAN TIM PENELITI
Koordinator Peneliti : Ketua Pelaksana : Tim Peneliti:
Dr Vivi Lisdawati, M.Si., Apt. Triwibowo Ambar Garjito, S.S.i., M.Kes. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Prof. Dr. Damar Tri Boewono, MS. Dra. Blondine Ch P., M.Kes Dra. Widiarti, M.Kes Siti Alfiah, SKM, MSc. Riyani Setyaningsih, SKM, M.Sc. Esti Rahadyaningtyas, S.Si. Sri Wahyuni Handayani, ST. Arum Sih Johanna, S.Si.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Mujiyono Lasmiati Heru Priyanto Kusno Barudin Widiratno Valentinus Rima Tunjungsari Mega Tyas Prihatin
Tim Teknisi :
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas selesainya penyusunan Laporan akhir yang berjudul “Analisis Penanggulangan Peningkatan Kasus Dan Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit Tular Vektor Di Jawa Tengah Tahun 2014”. Penelitian ini disusun dengan tujuan untuk mengidentifikasi penyebab teijadinya kejadian luar biasa dan peningkatan kasus penyakit tular vektor di wilayah Provinsi Jawa Tengah sebagai tindak lanjut dari permintaan daerah. Di samping itu, hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan rekomendasi kebijakan upaya penanggulangan kejadian luar biasa penyakit tular vektor yang perlu dilakukan di Provinsi Jawa Tengah. Penulis menyadari masih banyak hal terkait dengan dukungan untuk penanganan kejadian luar biasa penyakit tular vektor yang belum dapat kami lakukan secara maksimal. Oleh karena itu, masukan, kritik dan saran tentunya sangat kami harapkan demi penyempurnaan laporan penelitian ini. Hasil dari studi ini diharapkan akan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan acuan program penanggulangan Dengue, Chikungunya, Japanese encephalitis dan Filariasis berbasis bukti terkini
(recent
evidence based) bagi pengelola program terkait; Sebagai bahan masukan dan pertimbangan di dalam pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan Dengue, Chikungunya, Japanese encephalitis dan Filariasis; dan, sebagai dasar sosialisasi kepada masyarakat berbasis bukti upaya penanggulangan dan pengendalian penyakit tular vektor, khususnya Dengue, Chikungunya, Japanese encephalitis dan Filariasis.
Salatiga,30 Desember 2014
Tim Peneliti
iii
RINGKASAN PENELITIAN
Meskipun berbagai upaya pengendalian berbagai penyakit tular vektor dengan berbagai pendekatan tersebut telah dilakukan, namun angka kesakitan dari beberapa penyakit tersebut justru meningkat dan penyebarannya semakin luas seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan perubahan tata guna lingkungan, bahkan seringkali menimbulkan kejadian luar biasa. Di Propinsi Jawa Tengah, beberapa penyakit tular vektor seperti Dengue, Chikungunya dan filariasis penularannya dilaporkan masih berlangsung dan bahkan mengalami peningkatan kasus pada beberapa tahun terakhir. Dengue merupakan penyakit yang menjadi salah satu prioritas utama pengendalian yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Sampai dengan akhir tahun 2013 tercatat sebanyak 27 kabupaten/kota masih memiliki angka kesakitan di atas 20 per 100.000 penduduk dan hanya 8 kabupaten/kota yang angka insidensinya kurang dari 20 per 100.000 penduduk. Filariasis juga masih menjadi masalah di Propinsi Jawa Tengah. Total kasus kronis elephantiasis di Propinsi Jawa Tengah sebanyak 358 orang dengan jumlah kasus terbesar terjadi di Kota Pekalongan, yaitu 109 orang. Chikungunya saat ini juga menjadi salah satu perhatian Seksi Pengendalian Penyakit Dinkes Propinsi Jawa Tengah. Pada awal tahun 2014, beberapa kejadian luar biasa Chikungunya terjadi di beberapa kabupaten, seperti Klaten, Salatiga, Banyumas, Solo, Wonogiri. Berbagai upaya pengendalian telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam rangka menurunkan angka kesakitan penyakit tular vektor di Jawa Tengah. Berbagai upaya pengendalian DBD telah dilakukan, dimulai dari pengasapan
thermal fogging, ultra-low volume, aplikasi
larvasida
themepos pada granule tanah, sampai dengan kebijakan nasional pada pengendalian jentik dengan menggunakan upaya masyarakat, penyuluhan kesehatan, kerja sama lintas sektoral dan pencanangan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) DBD dengan 3M plus. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, namun demikian hasilnya masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Di era otonomi daerah saat ini, kebijakan lebih banyak bertumpu pada kemampuan daerah, sehingga keberhasilan pengendalian juga sangat ditentukan oleh kebijakan daerah masing-masing o
Berdasarkan rekomendasi World Health Organization (WHO) , penanggulangan penyakit tular vektor haruslah berdasarkan pengetahuan epidemiologisnya, yaitu manusia (sebagai inang), nyamuk vektor dan lingkungan yang berpengaruh. Selama ini, upaya pengendalian baik secara komprehensif maupun terintegrasi telah banyak dilakukan, namun
iv
seringkali masih mengalami kendala dan bahkan gagal. Hal tersebut salah satunya dikarenakan kegiatan yang dilakukan kurang terukur, baik secara biaya, peran serta berbagai pihak, prediksi terjadinya penularannya maupun cakupan luas pengendaliannya. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam studi ini akan dilakukan identifikasi potensi dan permasalahan terjadinya penularan DBD, Chikungunya, Japanese encephalitis dan filariasis secara terkoordinasi (atas permintaan daerah), terukur dan terintegrasi dalam kondisi pada saat terjadinya peningkatan kasus maupun kejadian luar biasa di wilayah Provinsi Jawa Tengah Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi penyebab terjadinya kejadian luar biasa dan peningkatan kasus penyakit tular vektor di wilayah Provinsi Jawa Tengah sebagai tindak lanjut dari permintaan daerah; 2. Memberikan rekomendasi kebijakan upaya penanggulangan kejadian luar biasa penyakit tular vektor yang perlu dilakukan di Provinsi Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan di daerah endemis Dengue, Filariasis, Chikungunya dan Leptospirosis di Jawa Tengah yang saat ini sedang mengalami peningkatan kasus/Kejadian luar Biasa, yaitu: Dengue : Kabupaten Jepara dan Kudus; Chikungunya : beberapa kabupaten di Jawa Tengah; Japanese encephalitis : sampel tersimpan terkonfimasi negatif Dengue, Chikungunya, hantavirus dan filariasis di wilayah Jawa tengah tahun 2014; dan Filariasis : Kota Semarang dan Kota Pekalongan. Penelitian ini dilakukan atas permintaan dari dinas kesehatan/kota terkait bantuan diagnosis laboratorium, selama tahun 2014. Penelitian direncanakan dilakukan mulai Maret - Desember 2014. Penelitian dilakukan dengan dengan beberapa tahap. Dalam analisis Demam Berdarah Dengue (DBD), penelitian dilakukan dengan melakukan survey jentik di daerah terpilih, uji kerentanan vektor DBD (Ae. aegypti) terhadap 7 jenis insektisida dan analisis spasial sebaran kasus dan sebaran jentik
Ae. aegypti.
Analisis Chikungunya dilakukan dengan mengkonfmnasi sampel serum terkirim
dengan menggunakan pendekatan molekuler dengan one-step RT-PCR spesifik untuk Chikungunya. Analisis Japanese encephalitis dilakukan dengan mengkonfirmasi sampel serum terkirim dengan menggunakan pendekatan imunologis dengan IgM capture ELISA spsesifik JE, IgM capture ELISA spesifik Dengue dam IgM capture ELISA spesifik hantavirus. Konfirmasi Filariasis dilakukan dengan pendekatan parasitologis dengan pemeriksaan sediaan darah penderita terduga filariasis dan penduduk disekitarnya. Dari hasil studi menunjukkan bahwa seluruh kelurahan yang disurvey di wilayah Kabupaten Kudus dan Jepara merupakan daerah endemis DBD dengan potensi penularan \ang masih terjadi. Kelurahan Pasuruan lor merupakan daerah dengan potensi penularan
V
tinggi DBD. Sehingga perlu mendapat prioritas pengendalian DBD. Uji kerentanan insektisida menunjukkan bahwa
Ae. Aegypti asal Kabupaten Kudus dan Jepara resisten terhadap Permethrin
0,75 %, Bendiocarb 0,5 %, Etofenprox 0,5%, Malathion 0,8 %, Lambdasihalothrin 0,05 %, Deltametrin 0,05% dan Cypermetrin 0,05%. Dari hasil pemeriksaan Laboratorium Biologi Molekuler B2P2VRP, Chikungunya terkonfirmasi secara molekuler menjangkit di wilayah Boyolali, Kota Magelang dan Banyumas. Seluruhnya termasuk dalam genotipe
Asian. Hasil pemeriksaan sampel
serum tersimpan yang sebelumnya terduga Leptospirosis, Chikungunya, Dengue dan Hantavirus tahun 2014 menunjukkan adanya sampel positif Japanese encephalitis. Pasien diduga penderita kronis filariasis bukan merupakan penderita kronis filariasis Wilayah Kelurahan pandean lamper tidak menunjukkan sebagai daerah endemis filariasis, karena tidak ditemukan adanya warga yang positif mengandung mikrofilaria Biolaras B. thuringiensis H-14 Isolat Salatiga mempunyai potensi yang sama dalam mengendalikan larva nyamuk Cr.
quinquefasciatus, vektor utama filariasis di Jawa
Tengah Hal yang disarankan dalam penelitian ini adalah upaya pengendalian vektor DBD secara komprehensif, terarah dan terukur dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat diperlukan untuk dapat melakukan pengendalian yang tepat, dan efisien. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan dalam studi ini yang menunjukkan
Ae. Aegypti telah menunjukkan resistensi terhadap 7
jenis insektisida uji, pengguliran antar golongan insektisida sulit dilakukan karena seluruh golongan
Synthetic pyrethroid
(PY),
Carbamate
(C),
Organophosphate
(OP) termasuk dalam
pengujian ini .Peningkatan dosis terhadap insektisida yang biasa digunakan dengan berkoordinasi dengan sub direktorat pengendalian vektor merupakan langkah yang sangat perlu dipertimbangkan dalam upaya aplikasi insektisida program yang efektif dan efisien. Surveilans aktif Chikungunya perlu terus ditingkatkan mengingat sejak ditemukan pertama kali di Jawa Tengah, kejadian Chikungunya tidak menurun, namun justru meningkat. Pengendalian vektor secara komprehensif antara dengue dan chikungunya diperlukan guna upaya pengendalian penyakit vang lebih efektif dan efisien Penatalaksanaan kasus pada kasus terduga JE, laboratorium, penunjang yang mampu mengidentifikasi JE secara cepat dan tepat, serta kegiatan surveilans JE perlu dilakukan di Jawa Tengah. Rekomendasi kebijakan dari hasil penelitian ini adalah penguatan kapasitas sumber daya manusia dan unit sarana kesehatan di setiap kabupaten/kota dalam melakukan: Survey jentik dan analisis faktor risiko penularan DBD;Deteksi laboratorium Dengue, Chikungunya dan Japanese encephalitis untuk mendukung early diagnostic, prompt treatment (EDPT)
vi
dalam penemuan dan pengobatan penderita; Penemuan dan penentuan kasus Filariasis. Selain itu, penguatan kapasitas lokal untuk melakukan monitoring uji resistensi insektisida terhadap insektisida program pengendalian vektor secara berkala agar monitoring penggunaan jenis insektisida dapat dilakukan sehingga dapat memperlambat ataupun menanggulangi terjadinya resistensi insetisida yang diaplikasikan terhadap nyamuk vektor di lapangan. Koordinasi secara berkala antara Dinas Kesehatan kabupaten/kota, BBTKL-PM/BTKL-PM (sebagai laboratorium yang melakukan monitoring surveilans program); Sub direktorat Pengendalian vektor; Ditjen P2-PL dalam penentuan jenis insektisida dan dosis yang optimal dalam untuk digunakan di setiap daerah (berdasarkan spesifik kondisi lokal).
vii
STUDI PENANGGULANGAN PENINGKATAN KASUS DAN KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) PENYAKIT TULAR VEKTOR DI JAWA TENGAH TAHUN 2014 Vivi Lisdawati, Triwibowo Ambar Garjito, Widiarti, Blondine, Siti Alfiah, Riyani Setyaningsih, Esti Rahadyaningtyas, Sri Wahyuni Handayani, Arum Sih Joharina, Mujiyono, Lasmiati, Heru Priyanto, Kusno Barudin, Widiratno Valentinus, Rima Tunjungsari, Mega Tyas Prihatin, Damar Tri Boewono Balai Besar Litbang Vektor dan Reservoir Penyakit ABSTRAK
Di Propinsi Jawa Tengah, beberapa penyakit tular vektor seperti Dengue, Chikungunya dan filariasis penularannya dilaporkan masih berlangsung dan bahkan mengalami peningkatan kasus pada beberapa tahun terakhir. Studi ini dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya kejadian luar biasa dan peningkatan kasus penyakit tular vektor, khususnya Demam Berdarah Dengue, Chikungunya, Japanese encephalitis dan Filariasis di wilayah Provinsi Jawa Tengah sebagai tindak lanjut dari permintaan daerah. Selain itu, studi ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi kebijakan upaya penanggulangan kejadian luar biasa penyakit tular vektor yang perlu dilakukan di Provinsi Jawa Tengah. Dalam analisis Demam Berdarah Dengue (DBD), penelitian dilakukan dengan melakukan survey jentik di daerah terpilih, uji kerentanan vektor DBD (Ae. aegypti) terhadap 7 jenis insektisida dan analisis spasial sebaran kasus dan sebaran jentik Ae. aegypti. Analisis Chikungunya dilakukan dengan mengkonfirmasi sampel serum terkirim dengan menggunakan pendekatan molekuler dengan one-step RT-PCR spesifik untuk Chikungunya. Analisis Japanese encephalitis dilakukan dengan mengkonfirmasi sampel serum terkirim dengan menggunakan pendekatan imunologis dengan IgM capture ELISA spsesifik JE, IgM capture ELISA spesifik Dengue dam IgM capture ELISA spesifik hantavirus. Konfirmasi Filariasis dilakukan dengan pendekatan parasitologis dengan pemeriksaan sediaan darah penderita terduga filariasis dan penduduk disekitamya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh kelurahan yang disurvey di wilayah Kabupaten Kudus dan Jepara merupakan daerah endemis DBD dengan potensi penularan yang masih terjadi. Kelurahan Pasuruan lor merupakan daerah dengan potensi penularan tinggi DBD. Sehingga perlu mendapat prioritas pengendalian DBD. Uji kerentanan insektisida menunjukkan bahwa Ae. Aegypti asal Kabupaten Kudus dan Jepara resisten terhadap Permethrin 0,75 %, Bendiocarb 0,5 %, Etofenprox 0,5%, Malathion 0,8 %, Lambdasihalothrin 0,05 %, Deltametrin 0,05% dan Cypermetrin 0,05%. Dari hasil pemeriksaan Laboratorium Biologi Molekuler B2P2VRP, Chikungunya terkonfirmasi secara molekuler menjangkit di wilayah Boyolali, Kota Magelang dan Banyumas. Seluruhnya termasuk dalam genotipe Asian. Hasil pemeriksaan sampel serum tersimpan yang sebelumnya terduga Leptospirosis, Chikungunya, Dengue dan Hantavirus tahun 2014 menunjukkan adanya sampel positif Japanese encephalitis. Pasien diduga penderita kronis filariasis bukan merupakan penderita kronis filariasis Wilayah Kelurahan pandean lamper tidak menunjukkan sebagai daerah endemis filariasis, karena tidak ditemukan adanya warga yang positif mengandung mikrofilaria Biolaras B. thuringiensis H-14 Isolat Salatiga mempunyai potensi yang sama dalam mengendalikan larva nyamuk Cx. quinquefasciatus, vektor utama filariasis di Jawa Tengah Kata kunci : Kejadian luar biasa, Penyakit tular vektor, Jawa Tengah
viii
DAFTAR ISI Halaman Judul .................................................................................................................
i
Susunan Tim Peneliti .......................................................................................................
ii
Kata Pengantar ................................................................................................................
iii
Ringkasan Penelitian ......................................................................................................
iv
Abstrak ...........................................................................................................................
v
Daftar Isi .........................................................................................................................
vi
Daftar Tabel ....................................................................................................................
vii i
Daftar Gambar .................................................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................
1
M Latar Belakang ............................................................................................................
1
BAB II TUJUAN ...............................................................................................................
5
2.1. Tujuan Umum ...........................................................................................................
5
2.2. Tujuan Khusus .........................................................................................................
5
2 3 Manfaat Penelitian .....................................................................................................
6
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................
7
3.1. Upaya Pengendalian
DBD di Indonesia ...................................................................
7
3.2. Upaya Pengendalian
Chikungunya di Indonesia ......................................................
8
3.3. Upaya Pengendalian
Japanese encephalitis di Indonesia ........................................
9
3 4. Upaya Pengendalian
Filariasis di Indonesia ...........................................................
10
BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................................................
13
4.1. Kerangka Teori ........................................................................................................
13
4.2. Kerangka Konsep .....................................................................................................
14
4 3. Desain Penelitian ......................................................................................................
15
4.4. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................................
16
4.5. Populasi dan Sampel ................................................................................................
16
4 6. Estimasi besar sampel, cara pemilihan dan penarikan sampel....................................
17
4.7. Kriteria Inklusi dan Eksklusi .....................................................................................
18
4 8. Variabel Penelitian ...................................................................................................
18
4.9. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data Primer ..........................................................
20
4 10. Pengawasan Kualitas Data ......................................................................................
27
4 11. Manajmen Data .......................................................................................................
27
4.12. Analisis Data ..........................................................................................................
27
BAB V HASIL ..................................................................................................................
29
5 1. Analisis Situasu Penyakit Tular Vektor di Jawa Tengah ............................................
29
5 1.1. Demam Berdarah Dengue .......................................................................................
29
A.
Analisis Situasi Kabupaten Kudus ...........................................................................
30
B.
Analisis Situasi Kabupaten Jepara ..........................................................................
33
5.1.2. Chikungunya ..........................................................................................................
36
5.1.3. Filariasis ...............................................................................................................
38
5.2. Hasil Survey Jentik
Aedes spp dan Potensi Penularan DBD ....................................... 39 5.2.1. Hasil Survey jentik Aedes spp. di Kabupaten Kudus ............................................... 39 5.2.2. Hasil Survey Jentik Aedes spp. di Kabupaten Jepara .............................................. 41 5.3. Hasil Uji Kerentanan Aedes aegypti terhadap beberapa jenis Insektisida yang digunakan dalam Aplikasi C 'old Aerosol dan Thermal Togs di lapangan ............................................ 43 5.3.1. Hasil Uji Kerentanan Aedes aegypti dari Keluarahan Ujungbatu.Kabupaten Jepara .. 44 5.3.2. Hasil Uji Kerentanan Aedes aegypti dari Kelurahan Jepara. Kabupaten Jepara ........ 45 5.3.3. Hasil Uji Kerentanan Aedes aegypti dari kelurahanTanjungrejo, Kabupaten Kudus 46 5.3.4. Hasil Uji Kerentanan Acdes aegypti dari Kelurahan Undaan, Kabupaten Kudus 47
ix
5.3.5. Hasil Uji Kerentanan 5.4.
Aedes aegypti dari Kelurahan Pasuruan Lor, Kab Kudus..
48
Hasil Analisis Kejadian Luar Biasa Chikungunya di Jawa Tengah .......................................
49
5.4.1. Uji Konfirmasi Laboratorium terhadap Sampel diduga Chikungunya...................................
49
5.4.2. Analisis Genotipe Chikungunya sebagai Bagian dari Inisiasi Surveilans Virus Chikungunya di Jawa Tengah .......................................................................................................... 5.5.
Hasil deteksi kasus
50
Japanese encephalitis dari Sampel Serum Terduga KLB
Chikungunya, Dengue and Leptospirosis di Wilayah Provinsi Jawa Tengah ................................
52
5.6.
Hasil Investigasi Kasus Baru Filariasis di Kota Semarang ..................................................
52
5.6.1. Hasil Survey Darah Jari .........................................................................................................
53
5.6.2. Hasil Wawancara terhadap penderita diduga kronis filariasis .............................................
53
5.6.3. Analisis lingkungan ................................................................................................................
54
5.7.
Bacillus thuringiensis H-14 isolat Salatiga .....................................................
54
5.7.1. Uji Efikasi di Laboratorium ....................................................................................................
54
5.7.2. Uji Efektifitas di Lapangan.....................................................................................................
55
BAB VI PEMBAHASAN ....................................................................................................................
55
6 1. Potensi Penularan DBD berdasarkan Survey Jentik
Aedes aegypti........................................
57
Aedes aegypti terhadap 7 jenis insektisida yang digunakan dalam cold aerosol dan thermal fogs di lapangan ........................................................................
60
6.3.
Hasil Pemeriksaan sampel Chikungunya ...............................................................................
62
6.4.
Deteksi kasus JE dari sampel serum terduga KLB Chikungunya, Dengue, dan
6.2.
Hasi Aplikasi
Status kerentanan
aplikasi
Leptospirosis ....................................................................................................................................
63
6.5.
Hasil Wawancara terhadap penderita diduga kronis filariasis .............................................
63
6.6.
Uji efikasi
Bacillus thuringiensis H-14 isolat Salatiga terhadap Vektor Utama Filariasis
di Jawa Tengah ................................................................................................................................
65
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................................
67
7.1.
Kesimpulan ..........................................................................................................
67
7.2.
Saran ....................................................................................................................
68
BAB VIII. REKOMENDASI KEBIJAKAN ..........................................................................................
69
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................................................
70
x
DAFTAR TABEL Tabel 1. Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Kudus tahun 2012 ...................................................................................................... Tabel 2. Proporsi angkatan kerja dan bukan angkatan keija di wilayah Kabupaten Kudus tahun 2013 ...................................................................................................... Tabel 3. Penduduk usia di atas 15 tahun yang menduduki sektor kerja utama di wilayah Kabupaten Kudus tahun 2014 ..................................................................... Tabel 4. Beberapa desa dengan angka insidensi diatas 10/100.000 di wilayah Kabupaten Kudus pada periode Januari - Juni 2014 ................................................. Tabel 5. Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Jepara tahun 2013 ...................................................................................................... Tabel 6. Jumlah kasus Demam Berdarah Dengue per bulan di wilayah Kabupaten Jepara pada periode Januari - Juli 2014 .................................................................... Tabel 7. Penemuan kasus baru filariasis di wilayah Provinsi Jawa tengah pada periode 2008-2013 ..................................................................................................... Tabel 8. Indeks jentik Aedes aegypti di 3 desa/kelurahan di wilayah Kabupaten Jepara tahun 2014 ...................................................................................................... Tabel 9. Berbagai jenis tempat perkembangbiakan dan jumlah kontainer positif mengandung jentik Aedes di kelurahan Demaan, Ujung batu dan Bandengan yang dikoleksi pada bulan September tahun 2014 .................................................... Tabel 10. Indeks jentik Aedes aegypti di 3 desa/kelurahan di Kota Kudus tahun 2014.. Tabel 11. Berbagai jenis tempat perkembangbiakan dan jumlah kontainer positif mengandung jentik Aedes di kelurahan Tanjungrejo, Undaan dan Pasuruan lor pada November 2014 ........................................................................................... Tabel 12. Hasil uji kerentanan Aedes aegypti hasil koleksi dari Kelurahan Ujungbatu, Kabupaten Jepara terhadap beberapa jenis insektisida pada bulan November 2014 ........................................................................................................................... Tabel 13. Hasil uji kerentanan Aedes aegypti hasil koleksi dari Kelurahan Bandengan, Kabupaten Jepara terhadap beberapa jenis insektisida pada bulan November 2014 ........................................................................................................................... Tabel 14. Hasil uji kerentanan Aedes aegypti hasil koleksi dari Kelurahan Tanjungrejo, Kabupaten Kudus terhadap beberapa jenis insektisida pada bulan November 2014 ............................................................................................... Tabel 15. Hasil uji kerentanan Aedes aegypti hasil koleksi dari Kelurahan Undaan, Kabupaten Kudus terhadap beberapa jenis insektisida pada bulan Desember 2014 ........................................................................................................................... Tabel 16. Hasil uji kerentanan Aedes aegypti hasil koleksi dari Kelurahan Pasuruan Lor, Kabupaten Kudus terhadap beberapa jenis insektisida pada bulan Desember 2014 .......................................................................................................... Tabel 17. Hasil pemeriksaan sampel serum penderita akut diduga Chikungunya di 4 wilayah kabupaten/kota di Jawa Tengah pada periode Maret - Desember 2014 menggunakan metode pemeriksaan one-step RT-PCR .............................................
31 32 32 33 35 36 39 40
41 42
43
44
45
46
47
48
49
xi
Tabel 18.
Hasil konfirmasi Japanese encephalitis terhadap sampel terduga Leptospirosis Chikungunya dan Dengue negatif asal Jawa Tengah selama tahun 2014……………………………………………………………… 52 Tabel 18. Uji efikasi biolaras B. thuringiensis H-14 Isolat Salatiga terhadap larva Culex quinquefasciatus instar III akhir .................................................................. 54
xii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4.
Kerangka Teori Penanggulangan Penyakit Tular vektor/reservoir ............. Kerangka Konsep Penanggulangan Dengue dan Chikungunya .................. Kerangka Konsep Eliminasi Filariasis ........................................................ Angka insidensi (Incidence rule) Demam Berdarah Dengue per kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Tengah pada periode JanuariDesember 2013 (sumber : Dinkes Prov. Jateng, 2014).......................................................................................................... Gambar 5. Angka kesakitan dan kematian Demam Berdarah Dengue di Jawa Tengah pada tahun 2008 - 2013 ................................................................. Gambar 6. Rata-rata banyaknya hari hujan di wilayah Kabupaten Jepara pada tahun 2013 (sumber : Dinas Bina Marga Pengairan dan Energi Sumber Daya Mineral Kab. Jepara, 2014) ................................................. Gambar 7. Jumlah kasus Chikungunya per provinsi di Indonesia tahun 2013 (Subdit arbovirus. Ditjen P02PL, 2014) .................................................... Gambar 8 Distribusi kasus filariasis di Jawa Tengah sampai dengantahun 2013 (sumber : Dinkes Provinsi Jateng, 2014) ................................................... Gambar 9. Analisis filogenetik of Chikungunya ................................................................... Gambar 10. Prosentase kematian larva Culex quenquefasciatus pada selokan di Desa Simbang Wetan Kabupaten Pekalongan ........................................... Gambar 11. Prosentase kematian larva Culex quenquefasciatus pada kubangan di Desa Simbang Wetan Kabupaten Pekalongan ........................................... Gambar 12. Analisis spasial potensi penularan DBD berdasarkan data sebaran kasus positif DBD dan rumah positif ditemukan jentik Ae. aegypti beserta buffer zone potensi penularan di Kelurahan Pasuruan Lor, Kec. Jati, Kabupaten Kudus .......................................................................
10 11 12
26 27
33 37 38 50 54 54
57
xiii
BABI PENDAHULUAN
1.1.1. Latar Belakang Penyakit tular vektor di Indonesia mulai dikenal sejak dilaporkan adanya wabah malaria pertama kali pada tahun 1733 di Batavia. Sejak saat ini berbagai penyakit tular vektor lainnya juga ditemukan dan menyebar di Indonesia. Beberapa penyakit tular vektor yang utama tersebut diantaranya adalah Malaria, Demam Berdarah Dengue, Filariasis, Chikungunya, Japanese encephalitis dan West Nile Virus 1,2,3 4 Meskipun berbagai upaya pengendalian penyakit tular vektor dengan sejumlah pendekatan telah dilakukan, namun angka kesakitan dari beberapa penyakit tersebut justru meningkat dan penyebarannya semakin luas seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan perubahan tata guna lingkungan, bahkan seringkali menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Beberapa penyakit tular vektor seperti Dengue, Chikungunya dan Filariasis penularannya di Provinsi Jawa Tengah dilaporkan masih berlangsung dan bahkan mengalami peningkatan kasus pada beberapa tahun terakhir.' Dengue merupakan penyakit yang telah mendapatkan prioritas pengendalian sejak dilaporkan pertama kali di Indonesia pada tahun 1968 dan dikenal juga sebagai penyakit arbovirus kompleks yang dapat menyebabkan Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue (DBD) dan bahkan Dengue Shock Syndrome (DSS). Upaya pengendalian yang telah dilakukan mencakup pengasapan thermal fogging, ultra-low volume, aplikasi larvasida themepos pada granul tanah sampai dengan kebijakan nasional terhadap pengendalian jentik melalui pemberdayaan masyarakat (penyuluhan kesehatan, keija sama lintas sektoral dan pencanangan pemberantasan sarang nyamuk/PSN DBD dengan 3M plus). Namun demikian berbagai program tersebut belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Evaluasi dan monitoring kegiatan belum lengkap dilakukan/’’ 7 Di era otonomi daerah saat ini, beberapa kebijakan yang telah dikembangkan dari pusat bahkan banyak ditinggalkan dengan alasan kemampuan daerah yang
l
berbeda-beda. Upaya pengendalian kemudian dilakukan sesuai kemampuan daerah dan jarang dilakukan monitoring dan evaluasi, termasuk di dalam pemilihan dan penggunaan insektisida/' Dengue merupakan penyakit tular vektor yang menjadi salah satu prioritas utama pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Dengue dilaporkan telah menyebar ke seluruh kabupaten/kota dengan angka kesakitan dalam 3 tahun terakhir cenderung terus meningkat, yaitu dari 15,27 per 100.000 penduduk pada tahun 2011 menjadi 19,29 dan 45,52 pada tahun 2012 dan 2013.5Angka kematian yang disebabkan infeksi dengue dalam tiga tahun terakhir juga cenderung masih tinggi, yaitu 0,95 (2011), 1,52 (2012) dan 1,21 (2013). Sampai dengan akhir tahun 2013 tercatat sebanyak 27 kabupaten/kota masih memiliki angka kesakitan di atas 20 per 100.000 penduduk dan hanya 8 kabupatenlcota di provinsi Jawa Tengah yang angka insidensinya kurang dari 20 per 100.000 penduduk.
3
Chikungunya saat ini juga menjadi salah satu perhatian bagi Seksi Pengendalian Penyakit, Dinkes Provinsi Jawa Tengah. Pada awal tahun 2014, beberapa kejadian luar biasa Chikungunya terjadi di beberapa kabupaten, seperti kabupaten Klaten, Salatiga, Banyumas, Solo dan Wonogiri. Di Indonesia, Japanese encephalitis dilaporkan pertama kali pada tahun 1960, namun demikian hasil temuan tersebut tidak dilaporkan lebih lanjut. (Sumarmo & Suroso, 1995; Erlanger
et a!2009).
Setelah itu, kasus JE dilaporkan secara resmi
ditemukan pada manusia pada tahun 1972 oleh Kho
et al. (1972) berdasarkan gejala
klinis dan terdapatnya antibodi penghambat aglutinin (HI) virus Nakayama Japanese encephalitis dalam darah seorang penderita. Virus JE berhasil diisolasi pertama kali di Indonesia pada tahun yang sama dari pool nyamuk Culex tritaeniorhynchus yang dikoleksi dari suatu survey entomologi di sekitar kandang babi di Kapuk, Jakarta Barat. Di Jawa Tengah, penyakit ini dilaporkan pertama kali pada tahun 1973. Studi yang dilakukan oleh Koesharyono, et al. pada tahun tersebut menunjukkan bahwa babi yang ada di rumah pemotongan hewan di Jawa Tengah menunjukkan antibodi flavivirus yang tinggi. Pada tahun 1995, kasus terkonfirmasi JE
2
dilaporkan di rumah sakit yang disurvey di Jawa Tengah dengan persentase sampel positif dari spesimen serum pasien yang mengalami sindroma akut encephalitis sebesar 87,50%. Pada tahun 1994, survey pada ternak dilakukan kembali dengan persentase positif 67,23% dari total 235 sampel yang diperiksa. Pada tahun 1986, tujuh spesies vektor
Japanese encephalitis berhasil dikonfirmasi di Kabupaten Ungaran, Jawa Tengah, yaitu Cx. fuscocephalus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. vishnui, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. quinquefasciatus, An. vagus, An kochi, dan Armigeres subalhatus. Survey mengenai mengenai vektor juga dilakukan kembali pada tahun 2013 di Solo Jawa Tengah. Hasil survey menunjukkan Armigeres subalhatus terkonfirmasi sebagai vektor JE di Solo. Meskipun seluruh aspek epidemiologi JE berhasil diketahui di Jawa Tengah, namun surveilans aktif terhadap penyakit ini belum dilakukan. Hal ini disebabkan jumlah kasus yang relatif sedikit dibandingkan dengan infeksi arbovirus lainnya, di samping itu metode diagnosanya juga lebih kompleks dibandingkan diagnosa rbovirus lainnya. Filariasis termasuk bagian dari permasalahan kesehatan di provinsi Jawa Tengah. Program Eliminasi Filariasis telah melalui berbagai upaya, termasuk menjalankan 2 program utama The Global Programme to Eliminate Lymphatic Filariasis (GPELF) yang dicanangkan oleh WHO pada tahun 2000, yaitu memutus rantai penularan Filariasis limfatik dengan pengobatan massal dosis rendah dan manajemen penderita, baik masih akut maupun kronis, serta mencegah terjadinya kecacatan/ Kegiatan itu mulai dilaksanakan di salah satu daerah endemis tinggi filariasis, yaitu Kota Pekalongan pada tahun 2004. Namun demikian, dengan program tersebut, penularan filariasis masih terus terjadi. Habitat vektor penular filariasis yang cukup luas dan tidak dikendalikan dengan baik menjadi salah satu faktor resiko penularan filariasis di daerah tersebut. Berdasarkan laporan Program Pengendalian Penyakit, Dinkes. Provinsi Jawa Tengah, pada tahun 2013 telah ditemukan adanya kasus kronis baru di Kota Semarang, Kab. Pekalongan dan di Kota Pekalongan. Total kasus kronis elephantiasis di Provinsi Jawa Tengah sebanyak 358 orang dengan jumlah kasus terbesar terjadi di Kota Pekalongan, yaitu 109 orang. Pekalongan menjadi
3
prioritas pengendalian Filariasis, karena meskipun pemberian obat anti filariasis massal telah dilakukan selama 2 periode, namun penularan masih terus terjadi. 3 Berbagai upaya pengendalian dan penanggulangan penyakit tular vektor telah dilakukan oleh pihak-pihak terkait dalam rangka menurunkan angka kesakitan penyakit tular vektor di Jawa Tengah, namun demikian hasilnya masih belum sesuai yang diharapkan. Rekomendasi World Health Organization (WHO)8 untuk penanggulangan penyakit tular vektor adalah harus berdasarkan pengetahuan epidemiologisnya, yaitu manusia (sebagai inang), nyamuk vektor dan lingkungan yang berpengaruh. Untuk dapat melakukan hal tersebut, diperlukan upaya pengendalian yang komprehensif, terintegrasi namun tetap terukur. Selama ini, upaya pengendalian baik secara komprehensif maupun terintegrasi telah banyak dilakukan, namun seringkali masih mengalami kendala dan bahkan gagal. Hal tersebut salah satunya dikarenakan kegiatan yang dilakukan kurang terukur, baik secara biaya, peran serta berbagai pihak, prediksi terjadinya penularannya maupun cakupan luas pengendaliannya. Sehubungan dengan berbagai hal tersebut di atas dan berdasarkan permintaan daerah untuk melakukan berbagai upaya dalam rangka mengatasi Kejadian Luar Biasa atau Peningkatan Kasus di wilayah Provinsi Jawa Tengah, maka dilakukan penelitian “ Analisis Penanggulangan Peningkatan Kasus dan Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit Tular Vektor di Jawa Tengah, Tahun 2014 yang akan melakukan identifikasi potensi dan permasalahan terjadinya penularan DBD, Chikungunya, Japanese encephalitis dan Filariasis secara, terukur dan terintegrasi.
4
BAB II TUJUAN DAN MANFAAT
2.1.
Tujuan Umum
2.1.1.
Mengidentifikasi penyebab terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) dan Peningkatan Kasus penyakit tular vektor secara terukur dan terintegrasi di wilayah Provinsi Jawa Tengah sebagai tindak lanjut dari permintaan daerah.
2.1.2.
Memberikan rekomendasi kebijakan terkait upaya penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) dan Peningkatan Kasus penyakit tular vektor yang perlu dilakukan di Provinsi Jawa Tengah.
2.2.
Tujuan Khusus 1.
Melakukan analisis faktor resiko penularan dan potensi terjadinya Kejadian luar biasa (KLB) Demam Berdarah Dengue di wilayah Kabupaten Kudus dan Jepara dengan menggunakan parameter entomologis
2.
Melakukan uji kerentanan Aedes aegypti, vektor utama DBD terhadap 7 jenis insektisida yang direkomendasikan dalam pengendalian vektor dengan menggunakan thermal fogs
3.
Melakukan uji konfirmasi laboratorium terhadap kasus Chikungunya di Jawa Tengah
4.
Melakukan uji konfirmasi laboratorium terhadap kasus Japanese encephalitis dan analisis potensi penularannya di Jawa Tengah
5.
Mengkonfirmasi kasus diduga filariasis dengan melakukan kajian epidemiologis secara komprehensif di wilayah Kota Semarang
6.
Melaksanakan kegiatan intervensi pengendalian vektor filariais di daerah endemis filariasis dengan menggunakan bioinsektisida, Biolaras (Bacillus thuringiensis H-14 koleksi B2P2VRP)
5
2.3. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan beberapa rekomendasi terkait upaya pengendalian penyakit tular vektor secara terintegrasi dan terukur yang dapat dimanfaatkan oleh : 1.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah dan Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten sebagai bahan pertimbangan dan acuan program penanggulangan Dengue, Chikungunya, Japanese encephalitis dan Filariasis berbasis bukti terkini (recent evidence based).
2.
Direktorat P2B2, Ditjen P2PL Sebagai bahan masukan dan pertimbangan alternatif di dalam perencanaan kebijakan nasional penanggulangan Dengue, Chikungunya, Japanese encephalitis dan Filariasis.
3.
Pemberdayaan Masyarakat Sebagai dasar sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat berbasis bukti terkait upaya penanggulangan dan pengendalian penyakit tular vektor, khususnya Dengue, Chikungunya, Japanese encephalitis dan Filariasis.
6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1.
Upaya Pengendalian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia Demam Berdarah Dengue terus menjadi masalah kesehatan di Indonesia sejak
pertama kali ditemukannya pada tahun 1968. Upaya-upaya pengendalian yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia antara lain adalah pengendalian nyamuk dewasa dengan pengasapan perifokal udara menggunakan mesin thermal fogging dan ultra low-
volume. Selanjutnya pada tahun 1986 - 1991 kebijakan bertambah dengan dilakukannya pengendalian larva nyamuk menggunakan larvasida temephos secara intensif. Perlakuan larvasida ini hanya dilakukan di daerah endemis DBD tepat sebelum musim penularan. Pada tahun 1992 kebijakan lebih menekankan kepada pengendalian jentik oleh masyarakat, penyuluhan kesehatan, dan kerjasama lintas sektoral. Sedangkan mulai tahun 1995 pengendalian larva dilakukan di tingkat desa/RW/RT dengan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) oleh masyarakat dengan didampingi oleh kader. Keberhasilan program-program ini belum banyak dievaluasi serta dimonitoring, terbukti dengan angka kesakitan DBD di Indonesia tidak pernah turun, bahkan cenderung meningkat di beberapa daerah.6 Menurut Nalim & Satoto6, pengendalian vektor DBD hendaknya dilakukan secara terintegrasi dan terukur. Terintegrasi artinya upaya pengendalian dilakukan di semua aspek secara serentak, dan terukur artinya pengendalian dilakukan secara tepat sasaran dengan menetapkan sejumlah indikator tertentu dan menggunakan dosis yang tepat. Metode pengendalian nyamuk vektor DBD meliputi pengendalian secara fisik, biologis, dan kimiawi. Pengendalian secara fisik antara lain menggunakan autocidal
ovitrap, yaitu dengan menempatkan ovitrap yang telah diberi insektisida di tempat-tempat tertentu, pemasangan kelambu berinsektisida dan lain-lain. Pengendalian biologis yaitu upaya pengendalian dengan memanfaatkan agen biologis sebagai musuh alami vektor meliputi penggunaan predator, parasit, bakteri, jamur, dan sebagainya. Pengendalian kimiawi yaitu dengan penggunaan
7
insektisida kimia dengan dosis yang telah ditetapkan untuk dapat mematikan baik stadium dewasa maupun pra dewasa nyamuk. Semua metode pengendalian harus selalu dibarengi dengan manajemen lingkungan yaitu upaya pengelolaan lingkungan sehingga tidak kondusif untuk habitat perkembangbiakan nyamuk vektor, seperti program 3M plus (menguras, menutup dan mengubur, dan plus: menyemprot, memelihara ikan predator, menabur larvasida dll); dan menghambat pertumbuhan nyamuk vektor diantaranya dengan menjaga kebersihan lingkungan rumah, mengurangi tempat- tempat yang gelap dan lembab di lingkungan rumah, dll.11 Pada implementasi Dengue Integrated Vector Management, Western Pacific Region Office World Health Organization (WPRO WHO) menjelaskan tentang manajemen pengendalian vektor secara terintegrasi. Langkah aplikasi metode ini yang pertama adalah advokasi, mobilisasi sosial, dan legislasi. Pengendalian ditekankan pada upaya reduksi sumber-sumber penularan, dan kunci keberlangsungan upaya ini adalah adanya tanggung jawab personal masing- masing pihak. Suatu program yang intensif diperlukan untuk menggerakkan masyarakat dan mengedukasi pelayanan kesehatan masyarakat. Langkah kedua adalah kerjasama antar sektor kesehatan maupun kerja sama lintas sektor. Langkah ketiga, melakukan pendekatan pengendalian vektor secara terintegrasi meliputi pengendalian fisik, biologi, dan kimia. Kemudian langkah keempat yaitu menyusun kebijakan berdasarkan pada bukti-bukti data, seperti data entomologi, masyarakat, serta data resistensi tehadap insektisida. Terakhir adalah peningkatan kapasitas, suport dan pelatihan sumber daya manusia maupun finansial pada level nasional maupun lokal untuk mengelola metode pengendalian ini. 12
3.2.
Upaya Pengendalian Chikungunya di Indonesia Infeksi virus Chikungunya di Indonesia ditemukan pertama kali oleh seorang
dokter Belanda pada abad ke-18. Kejadian Luar Biasa (KLB) terjadi pertama kali di Kota Samarinda, Kalimantan Timur pada tahun 1973 11, di Jambi pada tahun 1982 dan di Yogyakarta pada tahun 198313. Kasus Chikungunya menghilang selama kurang lebih 20 tahun dan muncul lagi sejak 2001-2002
8
dengan frekuensi yang lebih besar. 13 Secara epidemiologis semua daerah di Indonesia berpotensi terhadap timbulnya KLB Chikungunya. 11 Vektor Chikungunya adalah Aedes aegypti dan Ae.albopictus, sama seperti vektor Demam Berdarah. Oleh karena vektor penyakit Chikungunya dengan DBD sama, maka program pengendalian penyakit Chikungunya dan DBD dapat dilakukan secara bersamaan. 11 Surveilans vektor dan pengendalian vektor pada KLB Chikungunya harus dilaksanakan secara terintegrasi (terpadu). Elemen utama menejemen pengendalian vektor secara terpadu meliputi advokasi, pemberdayaan masyarakat, dan legislasi, kolaborasi antar sektor kesehatan dan lintas sektor, pendekatan pengendalian vektor terintegrasi, menyusun kebijakan berbasis bukti data, dan kegiatan pembangunan kapasitas." Upaya pengendalian Chikungunya memerlukan promosi kesehatan yang komprehensif, yaitu meliputi kegiatan advokasi kesehatan, pembinaan suasana lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan membangun kemitraan Kelompok kerja. Advokasi kesehatan adalah kegiatan yang dilakukan secara sistematis untuk mempemgaruhi penentu kebijakan, pimpinan media masa, dan penyandang dana untuk proaktif dan mendukung berbagai kegiatan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan Chikungunya. Pembinaan suasana yaitu kegiatan yang menciptakan opini/lingkungan sosial yang mendukung individu melakukan penanggulangan
Chikungunya.
Pemberdayaan masyarakat
dalam pengendalian
Chikungunya dititikberatkan pada kegiatan mengenali perindukan nyamuk dan gerakan PSN."
3.3.
Upaya Pengendalian Japanese encephalitis di Indonesia Sampai saat ini Indonesia dikenal sebagai salah satu negara endemis tinggi JE.
US-C'DC (2014) memperkirakan bahwa penyakit ini tersebar di seluruh daerah dengan puncak penularan bervariasi di setiap pulaunya. Meskipun demikian, belum pernah dilaporkan terjadi epidemi terhadap penyakit ini. Data kasus encephalitis diperoleh berdasarkan hasil penemuan kasus secara klinis di rumah sakit, terutama melalui pemeriksaan laboratorium dari sampel
9
cerebrospinal fluid (CSF) untuk membedakan penyebab encephalitis, apakah berasal dari virus ataukah bakteri. Widarso,
et al!'1 melaporkan sebanyak 7.933 kasus encephalitis dilaporkan
selama periode waktu 1979 sampai 1986. Dari total jumlah kasus tersebut, 2.882 kasus (36,3%) dilaporkan meninggal dunia. Walaupun jumlah kasus selama periode ini cukup besar, namun sejauh belum ada surveilans rutin JE di level nasional. Surveilans rutin terhadap kasus JE di fasilitas kesehatan dan rumah sakit juga dilaporkan tidak dilakukan secara rutin. Namun demikian, berbagai studi dan survey mengenai penemuan kasus JE pernah dilakukan di Indonesia. Pada tahun 1981, studi mengenai kasus JE dilakukan di dua rumah sakit di Jakarta. Studi tersebut dilakukan pada 118 pasien anak-anak diduga JE berdasarkan kriteria WHO dengan melakukan diagnosis menggunakan Immune Adherence Hemaglutination (IAHA) test. Hasil studi tersebut menunjukkan terjadinya peningkatan 4 kali lipat terhadap antigen JE pada 29 pasien (25,4%).68
3.4.
Upaya Pengendalian Filariasis di Indonesia Filariasis atau disebut juga penyakit kaki gajah merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing parasit yaitu Wucheria brancrofti, Brugia timori, dan Brugia malayi. Ketiga jenis cacing ini menyebabkan penyakit filariasis dengan cara penularan dan gejala klinis yang sama. Larva cacing atau disebut mikrofilaria dapat menginfeksi tubuh manusia lewat gigitan nyamuk vektor. Cacing dewasa hidup di saluran getah bening dan menyebabkan kerusakan saluran. Hal ini menyebabkan cairan getah bening tersumbat sehingga terjadi pembengkakan. 1' Filariasis dapat ditularkan oleh semua spesies nyamuk. Di Indonesia spesies nyamuk yang menjadi vektor filariasis diperkirakan ada lebih dari 23 spesies yang terdiri atas genus Anopheles, Aedes, Culex, Mansonia, dan Armigeres.1" Hampir seluruh wilayah Indonesia adalah daerah endemis filariasis, terutama wilayah Indonesia Timur yang memiliki prevalensi lebih tinggi. Tingkat endemisitas Filariasis di Indonesia berkisar antara 0%-40%. Dengan endemisitas setiap provinsi dan kabupaten berbeda-beda.13 Endemisitas filariasis ditentukan dengan melakukan survei darah jari yang dilakukan di setiap kabupaten/kota. Dari hasil
10
survei tersebut, hingga tahun 2008, kabupaten/kota yang endemis filariasis adalah 335 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota yang ada di Indonesia (67%), 3 kabupaten/kota yang tidak endemis filariasis (0,6%), dan 176 kabupaten/kota yang belum melakukan survey endemisitas filariasis. Pengendalian filariasis telah ditetapkan WHO dalam The Global Goal of
Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year 2020. Program eliminasi dilaksanakan melaiui pengobatan masai dengan kombinasi diethyl
carbamazine (DEC) dan albendazole (Aib) yang direkomendasikan setahun sekali selama lima tahun.ir Di Indoneisa program eliminasi filariasis merupakan salah satu program prioritas nasional pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004 - 2009. Tujuan umum dari program eliminasi filariasis adalah filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020. Sedangkan tujuan khusus program adalah (a) menurunnya angka mikrofilaria (microfilaria rate) menjadi kurang dari 1% di setiap Kabupaten/Kota, (b) mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis.13 Strategi pengendalian filariasis limfatik secara umum yang telah dilakukan WHO (1997) dan telah diaplikasikan di berbagai negara adalah sebagai berikut: 1) Menurunkan angka penularan dengan cara mengobati inangnya agar terjadi penurunan jumlah mikrofilaria di dalam darah dan mencegah kontak antara inang dengan vektor dan menurunkan jumlah populasi vektor. Pengobatan masai pada penderita dianjurkan dengan berbagai macam cara yaitu: dosis tunggal diethylcarbamazine citrate (DEC) 6mg/kg berat badan/hari selama 12 hari, ivermectin 400 fig/kg berat badan sekali dalam satu tahun, kombinasi ivermectin 400 fig/kg berat badan + DEC 6 mg/kg berat badan sekali dalam satu tahun, DEC 400 mg sekali dalam setahun atau menggunakan garam-DEC (DEC
fortified-salt): 0,15%-0,3% jangka lama. Adapun untuk menurunkan jumlah populasi vektor dianjurkan untuk memanfaatkan toksin Bacillus sphaericus, poly stiren beads yang dapat menutup permukaan air sehingga sangat untuk membunuh stadium larva nyamuk yang berperan sebagai vektor, dan penyemprotan insektisida (jenis
11
pyretroid), insecticide-impregnated bed nets yang keduanya dapat membunuh stadium dewasanya. 2) melakukan perawatan penderita yang menunjukkan gejala akut atau kronik dan mencegah terjadinya infeksi samping. Obat yang dianjurkan adalah topikal antibiotika dan anti jamur. 3) melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan program pengendalian filariasis.17
12
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Kerangka Teori Kerangka teori penyakit tular vektor menggambarkan seluruh aspek/komponen penyebab terjadinya penularan penyakit tular vektor dan upaya yang dilakukan dalam rangka penanggulan penularan penyakit. Secara keseluruhan kerangka teori tersebut dapat dilihat dalam Gambar 1 berikut:
Keterangan
Kegiatan tidak dilakukan dengan haik/ tidak secara rutin Kegiatan dilakukan secara terintegrasi. komprehensif dan terukur
Gambar 1. Kerangka Teori Penanggulangan Penyakit Tular vektor/reservoir
13
4.2. Kerangka Konsep 4.2.1. Analisis Metode penanggulangan Dengue dan Chikungunya (Integrated Vector Management)
Gambar 2. Kerangka Konsep Penanggulangan Dengue dan Chikungunya
14
4.2.2. Analisis Metode penanggulangan peningkatan kasus Filariasis
Keterangan :
- Kegiatan yang diwamai dengan warna merah akan dilaksanakan dalam studi ini (data primer) - Kegiatan yang diwamai dengan warna biru akan dikoleksi dari data sekunder
Gambar 3. Kerangka Konsep Eliminasi Filariasis
4.3. Desain Penelitian Penelitian penanggulangan penyakit tular vektor dilaksanakan dengan menggunakan rancangan survei jangka pendek, sesaat atau cross-sectional, karena pengukuran faktor risiko dan efek diukur dalam waktu yang bersamaan 14
4.4. Tempat dan Waktu Penelitian 4.4.1. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah endemis Dengue, Chikungunya dan Filariasis di Jawa Tengah yang pada tahun 2014 sedang mengalami Peningkatan Kasus/Kejadian Luar Biasa (KLB), yaitu: -
Dengue : Kabupaten Jepara dan Kudus (berdasarkan surat Kepala Dinas Kabupaten Jepara No. 443/756/2014 tanggal 7 Juli 2014)
-
Chikungunya : beberapa kabupaten di Jawa Tengah (berdasarkan surat Kepala Dinas Kesehatan Kab. Banyumas No. 443.2/892/2014 tanggal 27 Februari 2014, Kepala Dinas Kesehatan Kota Magelang No. 045.2/1086/220 tanggal 2 April 2014, Kepala Dinas Kesehatan Kab. Boyolali No. 443.42/1859/15/2014 tanggal 23 April 2014)
-
Japanese encephalitis : sampel tersimpan terkonfimasi negatif Dengue, Chikungunya, hantavirus dan filariasis di wilayah Jawa tengah tahun 2014 (berdasarkan surat Direktur PPBB Ditjen P2PL No. TU.05.01/IV.5/1004/2014 tanggal 1 Oktober 2014 )
-
Filariasis : Kota Semarang dan KotaPekalongan (berdasarkan surat Kepala Dinas
Kesehatan Kota Semarang No. 443/5729/2014 tanggal 18 Juni 2014 ) 4.4.2. Waktu Penelitian Penelitian dilakukan mulai Maret - Desember 2014
4.5. Populasi dan Sampel 4.5.1. Populasi penelitian adalah : a.
Seluruh nyamuk yang tertangkap dari setiap lokasi penelitian.
b.
Habitat nyamuk dari setiap lokasi penelitian.
c.
Penduduk di daerah endemis Dengue, Chikungunya, Japanese encephalitis dan Filariasis di lokasi penelitian.
d.
Tenaga kesehatan di wilayah Provinsi Jawa Tengah yang terjadi KLB leptospirosis.
16
4.5.2. Sampel penelitian adalah : a. Seluruh nyamuk dewasa dan larva nyamuk yang berhasil dikoleksi dari setiap lokasi penelitian Dengue dan Filariasis. b. Tipe habitat nyamuk berdasarkan species tertangkap, baik nyamuk dewasa maupun larva dari setiap lokasi penelitian. c. Sampel darah dan serum darah dari penduduk yang terambil di daerah endemis Chikungunya di lokasi penelitian. d. Sampel darah dari penduduk yang diambil di daerah endemis Filariasis di lokasi penelitian. e. Seluruh Tenaga Sanitarian Puskesmas dan Dinas Kesehatan di daerah studi Leptospirosis.
4.6. Estimasi besar sampel, cara pemilihan dan penarikan sampel 4.6.1. Besar Sampel: Untuk studi potensi penularan DBD, seluruh nyamuk dan jentik yang berhasil dikoleksi dari setiap lokasi penelitian selama periode waktu penelitian, baik untuk pengukuran indeks jentik, pemeriksaan virus dalam nyamuk, maupun untuk kepentingan uji kaji insektisida. Untuk pemeriksaan Chikungunya sampel adalah serum darah dan darah penduduk yang berhasil di ambil di daerah endemis Chikungunya. Pada pelaksanaan investigasi epidemiologi filariasis, populasi sampel adalah warga yang diduga menderita filariasis dan seluruh warga di sekitar warga terduga filariasis yang bersedia diambil darahnya. 4.6.2. Cara Penarikan sampel: 4.6.2.1. Penentuan lokasi penelitian untuk penangkapan nyamuk dewasa Sampel lokasi penelitian diambil berdasarkan hasil analisis situasi pada saat penelitian di kelurahan/desa yang terpilih yang sedang mengalami peningkatan kasus DBD di Kudus dan Jepara, dan Filariasis di Pekalongan dan Chikungunya di beberapa kabupaten di Jawa Tengah.
17
4.6.2.2. Pengambilan sampel larva Pengambilan sampel larva vektor DBD dan filariasis dilakukan di berbagai tempat perkembangbiakan disekitar lokasi penangkapan nyamuk secara acak (.simple random sampling). 4.6.2.3. Pengambilan sampel nyamuk Penangkapan nyamuk
Aedes
spp. dilakukan pagi hari di tempat-tempat
peristirahatan nyamuk di dalam rumah. Penagkapan nyamuk vektor filariasis dilakukan pada malam hari dengan human landing collection, di dinding rumah dan sekitar kandang ternak. 4.6.2.4. Pengambilan sampel darah dan serum darah Pengambilan sampel darah dan serum darah untuk konfirmasi Chikungunya dilakukan oleh pihak rumah sakit/puskesmas setempat. Pengambilan darah untuk evaluasi filariasis dilakukan oleh analisis dari dinas kesehatan, puskesmas dan B2P2VRP di lokasi penelitian
4.7.
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.7.1.
Kriteria inklusi
i.
Seluruh nyamuk dewasa, larva, serum darah dan darah tersangka penderita Chikungunya yang berhasil dikoleksi di setiap lokasi penelitian.
ii. 4.7.2.
Habitat nyamuk dan larva famili Culidae yang berhasil dikoleksi di setiap lokasi penelitian. Kriteria eksklusi Eksklusi tidak diperlukan
4.8.
Variabel penelitian
4.8.1 Studi penanggul angan filariasis 4.8.1.1. Variabel bebas, yaitu: i). Karakteristik responden (jenis kelamin, posisi dalam rumah tangga/masyarakat, jumlah anggota keluarga, umur, pendidikan dan sosial ekonomi)
18
ii)
.
Kondisi rumah, lama waktu tinggal di daerah tersebut
iii)
.
Pengetahuan dan persepsi masyarakat mengenai penularan, pencegahan
dan pemberantasan Filariasis v)
.
Kondisi lingkungan berkaitan dengan filariasis
vi)
.
Cacing filariasis
vii)
.
Habitat vektor filariasis
4.8.1.2. i)
Variabel terikat, yaitu: .
Pendapat masyarakat mengenai gejala, penularan, riwayat penularan
penderita filariasis, lingkungan tempat berkembang biak nyamuk penular, cara pencegahan, pemberantasan, pengobatan dan pengendalian filariasis. ii)
.
Jenis cacing filaria
iii)
.
Jenis vektor filariasis
iv)
-
Perilaku cacing filaria di darah tepi
v)
.
Faktor resiko penularan filariasis
vi)
.
Penatalaksanaan kasus filariasis
vii)
.
Pengendalian vektor filariasis
viii)
.
Kerentanan vektor terhadap insektisida
4.8.2. Studi penanggul angan Dengue dan Chikungunya 4.8.2.1. i)
Variabel bebas .
Karakteristik penderita DBD (jenis kelamin, umur, alamat tempat tinggal, pendidikan dan pekerjaan)
ii)
.
Tipe tempat perkembangbiakan
iii)
.
Iklim dan musim
iv)
.
Kondisi lingkungan berkaitan dengan habitat vektor Dengue
v)
.
Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
vi)
.
Serotipe dan genotipe virus Dengue
4.8.2.2. i).
Variabel terikat Peran serta masyarakat dalam penanggulangan Dengue
19
ii)
Peran dan kebijakan pemerintah terkait dalam mendukung program penanggulangan Dengue
iii)
Peran lintas sektor dalam mendukung program penanggulangan Dengue
iv)
Pelaksanaan surveilans Dengue
v)
Pengendalian vektor secara kimiawi dan non kimiawi
vi)
Evaluasi pengendalian vektor/kerentanan vektor terhadap insektisida
4.9. Instrumen dan cara pengumpulan data primer
4.9.1. Bahan dan Cara Kerja 4.9.1.1. i)
Bahan dan alat studi penyakit tular vektor Bahan koleksi larva nyamuk Bahan yang digunakan untuk koleksi larva adalah nampan plastik, botol larva, pipet dan selang plastik dan logam, label, cidukan (dipper), senter dan saringan larva
ii)
Bahan koleksi nyamuk dewasa Bahan yang digunakan untuk penangkapan nyamuk adalah kloroform, papper cup, aspirator, batu baterai, kapas, cool box, kain kassa, karet, senter, pipet, pensil, sweep net, animal net (kelambu ternak).
iii)
Bahan uji suceptibility test Bahan yang digunakan untuk uji suceptibility tes adalah Impregnated paper berisi insektisida kelompok organofosfat (malathion 0,8 %), kelompok karbamat (bendiokarp 1 %), kelompok syntetik pyrethroid (permethrin 0,75 %, deltametrhin 0,05 %, Lamdasihalotrin 0,05%, Sipermetrin 0,005% dan Entofenprok 0,5%) (Widiarti, 2010).
iv)
Bahan pengambilan darah jari Filariasis dan pewarnaan sediaan darah Bahan pengambilan darah yang digunakan adalah blood lancets, mikro hamotokrit tubes (tabung pipa kapiler), kapas alkohol, kapas kering, sarung tangan, formulir pendaftaran, kartu pendaftaran, spidol permanen, pensil 2B, map slides, box slides, kaca sediaan/kaca slides
20
Bahan yang digunakan untuk pewarnaan adalah rak pewarnaan, tray pewarnaan, timer, gelas ukur, pipet, giemsa stock, metanol, buffer dengan pH mendekati 7,2, dan sarung tangan. v)
Bahan deteksi virus DBD Bahan untuk deteksi virus yang digunakan adalah microtipe, tube 1,5ml, PCR tube 0,2ml, RNA Isolation Kit, Primer spesifik DBD, One Step RT-PCR kit, RNAse Free water, Agarosa, TBE buffer.
vi)
Bahan deteksi virus Chikungunya Bahan untuk deteksi virus yang digunakan adalah microtipe, tube 1,5ml, PCR tube 0,2ml, RNA Isolation Kit, Primer spesifik chikungunya, RNAse Free water, One Step RT-PCR kit, Agarosa, TBE buffer
4.9.2. Cara Kerja 4.9.2.1. Studi Penanggulangan Dengue i)
Analisis Situasi Kejadian Dengue Analisis situasi dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder mengenai kejadian Dengue di daerah studi, komposisi penderita berdasarkan riwayat sakit, tingkat keparahan (Demam berdarah dengue (DBD) atau Dengue Shock Syndrome (DSS), golongan umur, alamat tempat tinggal, sekolah, tempat kerja dan waktu terinfeksi dan lokasi rumah sakit tempat dirawat. Dalam analisis ini juga dilakukan koleksi data dari data-data sebelumnya, yaitu data survey entomologi, uji resistensi terhadap insektisida tertentu,dsb. Analisis kebijakan terkait dengan kebijakan daerah, pembiayaan daerah, dukungan seluruh aspek infrastruktur daerah dalam penanganan kasus DBD.
ii)
Survey entomologi vektor Dengue
a). Penangkapan nyamuk dewasa Penangkapan nyamuk Aedes spp dilakukan di dalam dan sekitar rumah di tempat-tempat peristirahatan nyamuk Aedes spp. Kegiatan penagkapan
21
nyamuk dilakukan pada pagi hari antara jam 07.00-10.00 WIB dengan menggunakan
aspirator.
Nyamuk
yang
berhasil
dikoleksi
kemudian
diidentifikasi morfologinya dan kemudian dikonfirmasi adanya infeksi virus Dengue dalam tubuh nyamuk tertangkap tersebut. Penangkapan nyamuk dewasa untk identifikasi virus di daerah resiko penularan tinggi dengue dengan banyak kasus Dengue setempat dilakukan dengan menggunakan sticky ovitrap. Ovitrap ini dibuat dari ember plastik hitam dua buah. Satu ember diisi air sampai 3A nya, kemudian ember 1 lagi dilubangi bagian bawahnya dan setelah itu ditelungkupkan di atas ember 1 lagi yang dengan sebelumnya di bagian permukaan dalam diberi lem perekat terlebih dahulu untuk menjebak nyamuk dewasa yang hinggap di dinding supaya tidak terbang kembali. Data yang diperoleh dari kejadian luar biasa yang terjadi di Parramatta Park, Australia menunjukkan bahwa sticky ovitrap index (SOI) >1 persen menunjukkan adanya resiko penularan Dengue. SOI dilakukan dengan memasang 70 SOI di kelurahan yang menunjukkan adanya kasus dan penularan Dengue di daerah tersebut.1811 b). Koleksi Larva Aedes spp. Penagkapan larva Aedes spp di lakukan di kontainer-kontainer tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes spp baik di dalam dan luar rumah. Pengambilan larva dilakukan dengan menggunakan pipet dan selang plastik. Metode pengambilan larva dilakukan dengan single larva method untuk mengidentifikasi spesies nyamuk pada setiap kontainer yang ditemukan positif mengandung larva Aedes spp mengacu kepada metode yang digunakan oleh Ditjen P2M4 dan Kader, et. al Larva Aedes yang telah dikoleksi dan diidentifikasi kemudian dipelihara untuk selanjutnya dilakukan uji resistensi dan deteksi keberadaan virus Dengue dalam tubuh Aedes spp. c). Uji Suceptihihty nyamuk Aedes spp terhadap beberapa insektisida Uji suceptihihty dilakukan dengan menggunakan nyamuk hasil penangkapan pada malam hari di sekitar kandang ternak dan
22
penangkapan nyamuk yang istirahat di pagi hari.Identifikasi nyamuk dilakukan dengan menggunakan Stojonovich & Scott. 22 Nyamuk yang digunakan untuk studi resistensi adalah nyamuk yang kenyang darah. Uji resistensi dilakukan dengan mengunakan standart WHO dengan menggunakan impregnated paper. d) Deteksi Virus Dengue dan Chikungunya pada nyamuk Aedes spp dan sampel pasien I. Deteksi virus Dengue Isolasi RNA dari isolat virus RNA akan diisolasi dari nyamuk yang dikoleksi bersamaan dengan nyamuk yang digunakan dalam uji sebelumnya dengan menggunakan prosedur QIAmpK Vial Kit (QIAGEN Inc, Valencia, CA). Total 140µL dari tiap sampel nyamuk akan diinkubasikan dengan AVL, suatu lysis buffer yang telah disedakan di dalam QIAGEN kit selama 10 menit. Setelah partikel virus mengalami lysis, sampel kemudian akan dicampur dengan ethanol dan dimasukkan di dalam spin column yang telah disediakan, setelah itu dilakukan sentifugasi dan dicuci sebanyak 2kali dengan menggunakan buffer AW1 dan AW2. RNA kemudian diisolasi dari kolom menggunakan AVE elution buffer dan disimpan pada -70°C. 29 Sintesis cDNA Mengacu pada De Paula, et al. , untai cDNA akan disintesis dalam 20 µL volume akhir yang mengandung 0,1 nM dNTP (Amersham- Pharmacia, Piscataway, NJ), 7,5 U Superscript IM (GIBCO-BRL, Grand Island, NY), 5 µL of the 10 x buffer (GIBCO-BRL, Grand Island, NY), 25 pmol, and 11 µL (in average 2.4 µg) dari total RNA. Campuran tersebut kemudian akan diinkubasikan pada suhu 42°C selama 1 jam, diikuti dengan inkubasi selama 1 menit pada suhu 70°C. Reaksi Reserve Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) RTPCR akan dilakukan pada cDNA dengan menggunakan primer oligonucleotida EHD1 dan EHD2 menurut Harris (2006). RT-PCR akan dilakukan dengan menambahkan 3 jaL of cDNAs,menggunakan 0.1 mM
23
of dNTPs (Amersham-Pharmacia, Freiburg, Germany), 1 U of Taq DNA polymerase (GIBCO-BRL), 5 µL of 10 x buffer (GIBCO-BRL), 50 pmol dari bagian primer (AD3/AD4), and 40.75 µL aquadest dalam master mix. Tube kecil yang berisi PCR reaction master mix tersebut kemudian diletakkan pada thermocycler untuk selanjutnya dilakukan amplifikasi pada 94°C selama 5 menit, kemudian berturut-turut 94 °C selama 1 menit selama 35 putaran (denaturasi), 55 °C selama 1 menit (anneal), 72 °C selama 1 menit. Amplikon akan dideteksi pada 2% gel agarose elektroforesi yang dipersiapkan di dalam suatu Tris-borate electrophoresis buffer (TBE : 0,045 M, 0,001 M EDTA, pH 8,0) yang ditambah dengan 1 µg/ml ethidium bromide dan dianalisis dengan UVP® Vision Works software (UVP®, Cambridge, UK), e. Intervensi program penanggulangan DBD Intervensi ini dilakukan dengan mengacu pada hasil pengamatan data surveilans dan evaluasi program yang telah dilaksanakan. Kegiatan intervensi ini dilaksanakan dengan terlebih dahulu mendiskusikan hasil pengamatan dengan pihak DKK dan sektor lain yang terkait.
4.9.2.1. Studi penanggulangan peningkatan kasus filariasis i)
Pelaksanaan kegiatan analisis data sekunder dilakukan dengan mengumpulkan data mengenai keadaan wilayah (meliputi topografi, batas- batas wilayah dan iklim; perumahan, meliputi jumlah rumah dan letak rumah); penduduk, meliputi jumlah keluarga, nama kepala keluarga, jumlah anggota keluarga, pembagian penduduk menurut umur dan kelamin, serta jenis pekerjaan dan pendidikan.
ii) Pelaksanaan survei darah jari evaluasi dilaksanakan sbb. : a). Kaca benda (slide preparate) yang bersih (bebas kotoran dan lemak) diberi nomor dengan spidol waterproof sesuai dengan nomor penduduk yang telah didaftar dalam formulir pencatatan survei.
24
b)
Ujung jari kedua, ketiga atau keempat dibersihkan dengan kapas alkohol 70% dan kemudian setelah kering ditusuk dengan jarum lancet sampai darah menetes keluar.
c)
Tetesan darah pertama yang keluar
dihapus
dengan kapas kering,
kemudian darah berikutnya dihisap
dengan
tabung kapiler
tanpa
heparin, diambil darah sebanyak 20mm\ Darah kemudian ditiupkan ke atas kaca benda, dilebarkan sehingga membentuk sediaan darah tebal dengan diameter sekitar 2 cm. d)
Setelah dikeringkan selama 1 malam dengan cara penyimpanan yang aman dari serangga, kemudian keesokan harinya di-hemolisis dengan air selama beberapa menit sampai wama merah hilang, kemudian dibilas lagi dengan air dan dikeringkan.
e)
Setelah itu difiksasi dengan methanol absolut selama 1-2 menit dan dikeringkan, kemudian diwarnai dengan Giemsa yang telah dilarutkan di dalam cairan buffer pH 7,2 (1 tablet buffer dilarutkan dalam lOOcc air aqua Jest) dengan perbandingan 1:14 selama 15 menit. Kemudian dibilas dengan air bersih dan dikeringkan.
f)
Setelah kering sediaan diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran rendah (5x10) untuk menentukan jumlah mikrofilaria dengan pembesaran tinggi (5x40) untuk menentukan jenisnya. Identifikasi species cacing filaria dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi menurut P2M & PL. 23
g)
Jumlah cacing per unit volume darah yang diambil (20mnr) dihitung untuk mengetahui rata-rata kepadatan mikrofilaria dalam setiap 20 mm' sediaan darah. Hasil penemuan dicatat pada formulir untuk menentukan Microfilaria rate (Mf Rate), Microfilaria density (Mf. density). Angka Kesakitan Akut (ADR) dan Angka Kesakitan Kronis (CDR).23
iii). Survey entomologi filariasis Survey entomologi dilakukan dengan menggunakan cara landing collection dan light trap collection technique. Penangkapan dilakukan oleh
25
6 orang yang telah dilatih, dilakukan di dalam rumah rumah/indoor, di luar rumah/ outdoor, dinding dan sekitar kandang dari jam 18.00 -06.00. Semua nyamuk yang ditangkap diidentifikasi dan kemudian dilakukan determinasi mikrofilaria didalam tubuh nyamuk menggunakan metode menurut Leemingsawat, et. air1 Nyamuk yang berhasil ditangkap dikumpulkan per species, kemudian diletakkan didalam larutan garam (saline 0,6%) pada petri dish dan dilakukan mass examination. Larva filaria yang berhasil ditemukan kemudian langsung diidentifikasi. Identifikasi cacing filaria stadium infektif dilakukan menurut Leemingsawat, et. a l 2 1 Identifikasi nyamuk dilakukan menggunakan kunci identifikasi nyamuk Stojanovich & Scott22, O’Connor & Soepanto21 dan Ditjen PPM & PLP.24 Dalam survey ini juga dilakukan kegiatan survei habitat untuk stadium larva nyamuk vektor filariasis dengan menggunakan metode menurut WHO dan Apiwathnasom, et. al.26 iv).
Uji Suceptibility
Uji suceptibility dilakukan dengan menggunakan nyamuk hasil penangkapan pada malam hari di sekitar kandang ternak dan penangkapan nyamuk yang istirahat di pagi hari.Identifikasi nyamuk dilakukan dengan menggunakan Stojonovich, C.J, 1966. Nyamuk yang digunakan untuk studi resistensi adalah nyamuk yang kenyang darah. Uji resistensi dilakukan dengan mengunakan standart WHO dengan menggunakan impregnated paper (WHO, 1981). iv) Wawancara persepsi masyarakat terhadap Filariasis dan tatalaksana pengobatan massa! filariasis Dalam penelitian ini ingin diketahui apakah pengetahuan, sikap dan perilaku mengenai filariasis sudah berlangsung dalam masyarakat. Pengumpulan data dilakukan lewat wawancara secara mendalam tentang persepsi masyarakat terhadap pengobatan filariasis yang telah dilakukan terhadap warga masyarakat. Cara perhitungan sampel menggunakan rumus Lwanga & Lemeshow. 18
26
vi). Interpretasi Data Analisis data dilakukan secara diskriptif untuk memperoleh gambaran distribusi kasus menurut orang, tempat dan waktu. a)
. Bagaimana kondisi endemisitas filariasis di penelitian setelah diintervensi dengan pengobatan massal dosis rendah selama 2 siklus?
b)
. Bagaimana pendapat masyarakat tentang pengobatan filariasis yang telah dilakukan?
c)
4.10.
. Bagaimana tatalaksana pengobatan massal filariasis yang telah dilakukan?
Pengawasan Kualitas Data Pengawasan kualitas data dilakukan dengan beberapa cara, antara lain : 1.
Standarisasi petugas pengumpul data, khususnya kolektor larva dan nyamuk dewasa di setiap lokasi penelitian.
4.11.
2.
Standarisasi dalam evaluasi penggunaan insektisida di lapangan
3.
Supervisi dan mojiitoring
4.
Logbook dari ketua pelaksana penelitian dan anggota penelitinya
5.
Verifikasi data, edit data.
6.
Penyusunan naskah publikasi
Manajemen Data Koleksi data sekunder dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah dan data
primer dari hasil pemeriksaan laboratorium kemudian digunakan untuk menentukan lokasi penelitian di daerah endemis DBD, Filariasis dan Chikungunya. Seluruh data primer kemudian dianalisa untuk menentukan penanggulangan Dengue, Filariasis dan Chikungunya di Jawa Tengah. Dari hasil tersebut, kemudian akan dilakukan pembakuan penanganan ketiga penyakit tersebut dengan Standar Baku operasional
27
4.12. Analisis Data Analisa data dilakukan secara diskriptif. Data yang ditabulasi dari seluruh data vektor, peran serta masyarakat, agent dan lingkungan. Data sekunder juga dianalisis secara diskriptif dan dikompilasi dengan data primer yang ada.
28
BAB V HASIL
5.1 Analisis Situasi Penyakit Tular Vektor di Jawa Tengah 5.1.1. Demam Berdarah Dengue Berdasarkan profil kesehatan provinsi Jawa Tengah tahun 2013 30. seluruh kabupaten/kota dilaporkan pernah terjangkit penyakit DBD dengan angka insidensi sebesar 45,5/100.000 penduduk. Angka insidensi di wilayah kabupaten/kota rata-rata > 20/100.000 penduduk. Angka tersebut meningkat
dibandingkan tahun 2011
(19,29/100.000 penduduk) dan berada di atas target nasional, yaitu <20/100.000 penduduk. Angka kesakitan tertinggi di Kabupaten Jepara sebesar 169,53/100.000 penduduk, sedangkan angka kesakitan terendah dilaporkan di wilayah kabupaten Wonogiri sebesar 5,92/100.000 penduduk.
Gambar 4. Angka insidensi (Incidence rate) Demam Berdarah Dengue per kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa Tengah pada periode Januari-Desember 2013 (sumber: Dinkes Prov. Jateng, 2014) 31 Angka kematian (Case fatality rate CFR) dalam enam tahun terakhir dilaporkan cukup tinggi. Pada tahun 2011 CFR mengalami penurunan menjadi 0,95%, namun pada tahun 2012 dan 2013 CFR meningkat kembali berturut-turut menjadi 1,52% dan 1,21%. Kabupaten Jepara merupakan merupakan kabupaten dengan angka insidensi Demam Berdarah Dengue tertinggi di wilayah provinsi Jawa Tengah pada tahun 2013. Sedangkan Kabupaten Kudus merupakan kabupaten yang
29
mengalami peningkatan kasus DBD sangat signifikan dalam beberapa tahun terakhir dibandingkan dengan beberapa kabupaten lainnya.
Gambar 5. Angka kesakitan dan kematian Demam Berdarah Dengue di Jawa Tengah pada tahun 2008 — 2013.32 Berdasarkan permintaan kedua daerah tersebut (Kab. Kudus dan Kab. Jepara) terkait dengan adanya kejadian luar biasa DBD, maka pada tahun 2014 sebagai bagian dari penelitian ini, dilakukan “ Studi Potensi Penularan DBD dan Evaluasi Penggunaan Insektisida yang digunakan Dalam Pengendalian Vektor DBDdengan hasil sebagai berikut:
A. Analisis Situasi Kabupaten Kudus 1) Kondisi geografis Kabupaten Kudus merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang terletak antara 110°36' dan 110°50' bujur timur dan antara 6°51 dan 7°16' lintang selatan yang berbatasan dengan 4 (empat) kabupaten lainnya, yaitu Kabupaten Jepara dan (sebelah utara), Kabupaten Pati (sebelah utara, selatan dan timur), Kabupaten Grobogan (sebelah selatan) dan Kabupaten Demak (sebelah barat dan selatan). Wilayah kabupaten tersebut termasuk dataran rendah dengan ketinggian rata-rata ±55 m di atas permukaan air laut Berdasarkan data BPS Kabupaten Kudus tahun 2014 u, Kabupaten ini secara administratif terbagi menjadi 9 kecamatan dan 123 desa serta 9 kelurahan. Kabupaten ini mempunyai luas sebesar 42,516 hektar atau sekitar 1,31 persen dari luas Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Kudus bercurah hujan relatif rendah, dengan rata-rata di bawah 2000 mm/tahun dan berhari hujan rata-rata 97 hari. Berdasarkan data stasiun
30
meteorologi pertanian Kudus 2014, jumlah hari hujan terbanyak terjadi pada bulan Januari 2013, yaitu 18 hari dan curah hujan tertinggi pada bulan yang sama dengan nilai 572 mm. Suhu udara rata-rata di kabupaten tersebut pada tahun 2013 berkisar antara 21,3°C sampai dengan 30,2°C dengan kelembaban udara rata-rata dari 75,5% sampai dengan 81,4%. " 2) Kondisi Demografis Jumlah penduduk Kabupaten Kudus pada tahun 2013 tercatat sebesar 797.003 jiwa, terdiri dari 394.382 penduduk laki-laki (49,48%) dan 402.621 penduduk perempuan (50,52%). Kepadatan penduduk rata-rata di wilayah tersebut tercatat 1.875 jiwa per 1 km', namun demikian persebaran penduduk masih belum merata. Kecamatan kota merupakan kecamatan terpadat dengan jumlah penduduk 8.787 jiwa per km", sedangkan Undaan merupakan kecamatan paling rendah penduduknya dengan kepadatan rata-rata 990 jiwa per km2.33 Berdasarkan golongan umurnya, penduduk di wilayah Kabupaten Kudus didominasi oleh kelompok umur 15-19 tahun, diikuti dengan kelompok umur 30 - 34 tahun dan 20 - 24 tahun . Secara keseluruhan, jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Kudus berdasarkan pendataan BPS tahun 2012 dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Kudus tahun 201233
Catatan : Mulai tahun 2010 menggunakan data dasar hasil sensus penduduk 2010 Data tahun 2013 belum tersedia (Sumber BPS Kabupaten Kudus, 2014)
Berdasarkan proporsi angkatan kerja dan bukan angkatan keija, proporsi angkatan kerja di wilayah kabupaten tersebut lebih dari 2 kali lipat daripada bukan angkatan kerja. Namun demikian, proporsi angka pengangguran dari seluruh angkatan kerja sebesar 8,01% (Tabel 2.).
Tabel 2. Proporsi angkatan kerja dan bukan angkatan kerja di wilayah Kabupaten Kudus tahun 201333
Sumber : BPS Kab Kudus 2014 Berdasarkan hasil survey angkatan kerja nasional tahun 2013
Terkait dengan lapangan kerja utama, lapangan kerja di sektor sekunder (listrik, gas & air, industri, dan konstruksi) mendominasi lapangan kerja utama dibandingkan sektor primer (pertanian, pertambangan dan penggalian) dan sektor tersier (perdagangan, angkutan, keuangan dan jasa). Pada ketiga sektor tersebut, angkatan kerja laki-laki jumlahnya lebih banyak daripada angkatan kerja perempuan (53,72%).
Tabel 3. Penduduk usia di atas 15 tahun yang menduduki sektor kerja utama di wilayah Kabupaten Kudus tahun 2014 ' '
Sumber BPS Kab Kudus 2014 Berdasarkan hasil survey angkatan kerja nasional tahun 2013
3) Situasi Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Kudus Berdasarkan data endemisitas DBD di Kabupaten Kudus, total tercatat sebanyak 44 desa dinyatakan sebagai daerah endemis, 77 desa dinyatakan sebagai daerah sporadis dan 11 lainnya dinyatakan sebagai daerah potensial. Dalam tiga tahun terakhir, kasus DBD diseluruh kabupaten dilaporkan meningkat cukup drastis. Pada tahun 2011, jumlah kasus DBD dilaporkan sebanyak 148 jiwa, namun demikian pada tahun 2012 dan 20 mempunyai berturut-turut dilaporkan adanya 162 dan 501 kasus DBD tersebar di seluruh wilayah kelurahan/desa. Dari 19 puskesmas yang ada, wilayah puskesmas Bae merupakan daerah yang memiliki angka insidensi tertinggi (IR) pada periode Januari - Juni 2014 sebesar 5,58/100.000 penduduk. Namun demikian, desa dengan angka insidensi diatas 10/100.000 justru bukan dari wilayah puskesmas tersebut.
Tabel 4. Beberapa desa dengan angka insidensi diatas 10/100.000 di wilayah Kabupaten Kudus pada periode Januari - Juni 2014 '4 No. 1. 3. 2. 4. 5. 6.
Desa/Kelurahan
Puskesmas
Getas pejaten Undaan Tengah Tanjung rejo Panjang Glagah Kulon Getasrabi
Ngembal Kulon Ngemplak Tanjung rejo Dersalam Rejosari Gribig
Jumlah pddk 10.987 4.948 10.201 3.874 1.808 7.534
IR
CFR 14,56 10,11 10,78 10,33 11,06 10,62
6,25 0 0 0 0 0
Sumber : Dinkes Kabupaten Kudus, 2014
B. Analisis situasi Kabupaten Jepara (Data Sekunder) 1) Kondisi Geografis Jepara merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang terletak pada posisi 5°43,20,67” sampai 6°47’25,83" lintang selatan dan 110°9’48,02” sampai 110°58'37,40‘' bujur timur. Wilayah kabupaten ini di sebelah barat dan utara berbatasan dengan Laut Jawa. Di sebelah timur, wilayah kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Kudus dan Pati. Sedangkan sebelah selatan berbatasan dengan
33
Kabupaten Demak. Wilayah kabupaten Jepara mempunyai ketinggian 0 m sampai 1.301 m dari permukaan air laut. 35 Berdasarkan data BPS Kabupaten Jepara tahun 2014, Kabupaten ini secara administratif terbagi menjadi 16 kecamatan, 184 desa serta 11 kelurahan. Kabupaten ini mempunyai luas sebesar 100.413, 189 hektar.
0
Kabupaten Kudus bercurah hujan relatif tinggi, dengan rata-rata di 2.314 mm/tahun dan berhari hujan rata-rata 103 hari. Secara lebih lengkap, gambaran ratarata hari hujan pada periode 2011 - 2012 dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Rata-rata banyaknya hari hujan di wilayah Kabupaten Jepara pada tahun 2013 (sumber: Dinas Bina Marga Pengairan dan Energi Sumber Daya Mineral Kab. Jepara, 2014) 35 2) Kondisi Demografis Jumlah penduduk Kabupaten Kudus pada tahun 2013 tercatat sebesar 1.153.213 jiwa, terdiri dari 575.043 penduduk laki-laki (49,86%) dan 578.170 penduduk perempuan (50,14%). Kepadatan penduduk rata-rata di wilayah tersebut tercatat 1.148 jiwa per I km2. Penduduk terpadat berada di Kecamatan Jepara dengan jumlah penduduk 3.439 jiwa per km2, sedangkan Kecamatan Karimunjawa merupakan kecamatan paling rendah penduduknya dengan kepadatan rata-rata 127 jiwa per km2.35
Berdasarkan golongan umurnya, penduduk di wilayah Kabupaten Jepara didominasi oleh kelompok usia produktif (umur 15-64 tahun) dengan jumlah
34
penduduk sebanyak 776.665 jiwa (67,35 %), dan selebihnya 306.004 jiwa (26,53%) berusia di bawah 15 tahun dan 71.544 jiwa (6,20%) berusia diatas 65 tahun.
Tabel 5.
Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di Kabupaten Jepara tahun 201335
Sumber : BPS Kabupaten Jepara 2014
Terkait dengan ketenagakerjaan, jumlah pencari kerja sampai dengan tahun 2013 tercatat sebanyak 3.957 orang, sebagian besar dari pencari keija tersebut berpendidikan setingkat SLTA (49,03%), diploma ke atas (45,65%), selebihnya (5,32 %) berpendidikan setingkat SD dan SLTP.3" Berdasarkan lapangan usaha dari data hasil Sakemas 2013, sebagian besar penduduk Kabupaten Jepara bergerak di bidang usaha yang termasuk dalam sektor industri (44,53%) dan perdagangan (17,76%), selebihnya bekerja di sektor pertanian, pertambangan, listrik, konstruksi, perdangan, keuangan dan jasa-jasa.
35
3) Situasi Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Jepara Saat ini Kabupaten Jepara merupakan kabupaten dengan kasus DBD tertinggi di Jawa Tengah. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara tahun 2014, dalam tiga tahun terakhir, kasus DBD diseluruh kabupaten dilaporkan meningkat cukup drastis. Pada tahun 2011, jumlah kasus DBD dilaporkan sebanyak 154 orang dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 1 orang. Pada tahun 2012, jumlah kasus DBD meningkat menjadi 415 dengan jumlah kasus meninggal bertambah menjadi 11 orang. Pada tahun 2013, jumlah kasus DBD di kabupaten ini meningkat sangat drastis hampir lima kali lipatnya menjadi 1951. Kasus tersebut tersebar di seluruh wilayah kelurahan/desa. Wilayah puskesmas Jepara merupakan wilayah puskesmas dengan kasus tertinggi, yaitu mencapai 411 kasus selama tahun 2013. Sampai dengan bulan Juli 2014, tercatat sebanyak 480 kasus DBD dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 6. Jumlah kasus Demam Berdarah Dengue per bulan di wilayah Kabupaten Jepara pada periode Januari - Juli 2014
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli
Jumlah kasus 117 kasus 73 kasus 64 kasus 78 kasus 78 kasus 60 kasus 10 kasus
Kasus meninggal dunia 1 orang 0 0 1 orang 3 orang 0 0
Sumber Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara, 2014
5,1.2. Chikungunya Chikungunya telah menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di Jawa Tengah sejak tahun 2002. Pada tahun tersebut tercatat 5 kabupaten mengalami KLB penyakit yang disebabkan oleh virus Chikungunya (CHIKV) yang merupakan anggota alphavirus dari famili Togav iriti ae tersebut.36 Beberapa kabupaten/kota tersebut adalah :
36
a) Kabupaten Klaten, dengan jumlah kasus 127 orang b) Kabupaten Tegal, dengan jumlah kasus 78 orang c) Kabupaten Purworejo, dengan jumlah kasus 371 orang d) Kabupaten Boyolali, dengan jumlah kasus 73 orang e) Kabupaten Kudus, dengan jumlah kasus 187 orang. Pada tahun 2003, tiga kabupaten melaporkan adanya kasus Chikungunya. Ketiga kabupaten tersebut adalah : a) Kabupaten Klaten, dengan jumlah kasus 185 orang b) Kabupaten Tegal, dengan jumlah kasus 108 orang c) Kabupaten Jepara, dengan jumlah kasus 37 orang Pada tahun 2004, Kabupaten Klaten kembali terjangkit Chikungunya, bersama- sama dengan beberapa kabupaten lainnya, yaitu: a) Kabupaten Klaten, dengan jumlah kasus 368 orang b) Kabupaten Sragen, dengan jumlah kasus 246 orang c) Kabupaten Tegal, dengan jumlah kasus 108 orang d) Kabupaten Boyolali, dengan jumlah kasus 92 orang e) Kabupaten Purbalingga dengan jumlah kasus 6 orang Pada periode 2005 - 2006, di provinsi ini tidak dilaporkan adanya kasus Chikungunya, baru kemudian pada tahun 2007, kasus Chikungunya dilaporkan kembali di 4 kabupaten/kota pada 9 kecamatan.Sampai dengan bulan Maret 2007 tercatat 374 kasus di seluruh Jawa Tengah. Pada tahun 2009, KLB Chikungunya kembali dilaporkan di 17 kabupaten/kota di Jawa Tengah dengan total kasus sebanyak 5.095 orang. Kabupaten/kota tersebut meliputi Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Kendal, Grobogan, Kudus, Pekalongan, Kota Pekalongan, Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, Purworejo, Kebumen, Sukoharjo, Boyolali, Karanganyar, Sragen dan Wonogiri. Kasus Chikungunya tertinggi terjadi di Kendal (1.412 kasus), disusul Banyumas (945 kasus), Kebumen (768 kasus) dan Sukoharjo (518 kasus).37 Berdasarkan data dari Sub direktorat Arbovirus, Ditjen P2PL tahun 2014, jumlah total kasus Chikungunya tahun 2013 yang dilaporkan sebanyak 15.324
37
orang dengan jumlah kasus terlaporkan terbesar terjadi di Jawa Barat (9.801 kasus). Provinsi lain dengan kasus Chikungunya tinggi lainnya adalah Jawa Timur (4.228 kasus), Yogyakarta (745 kasus), Bali (185 kasus), Sulawesi Tengah (143 kasus), baru kemudian DKI Jakarta (54 kasus). Sebanyak 23 kasus Chikungunya dilaporkan di Jawa Tengah. Namun demikian, jumlah kasus Chikungunya yang sebenarnya kemungkinan lebih banyak karena banyak kasus yang tidak terpantau di puskesmas dan tidak terlaporkan di dinas kesehatan setempat. 31
Gambar 7.
Jumlah kasus Chikungunya per provinsi di Indonesia tahun 2013 (Subdit arbovirus, Ditjen P02PL, 2014)^ 1
5.1.3. Filariasis Filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di Provinsi Jawa Tengah. Penyakit ini dapat menyebabkan kecacatan, stigma, psikososial dan penurunan produktifitas penderita dan lingkungannya ini. Pada tahun 2010, 451 penderita filariasis dilaporkan di 25 kabupaten/kota di wilayah provinsi ini. Namun demikian, pada tahun berikutnya jumlah kumulatif penderita meningkat setelah ditemukan 141 kasus baru, sehingga total penderita filariasis pada tahun 2011 menjadi 537 penderita. “
Gambar 8. Distribusi kasus filariasis di Jawa Tengah sampai dengantahun 2013 (sumber: Dinkes Provinsi Jateng, 2014)
38
Pada tahun 2012, jumlah kasus Filariasis yang terlaporkan menjadi 565 kasus dengan 10 diantaranya merupakan kasus baru. Selanjutnya pada tahun 2013, jumlah kumulatif kasus filariasis dilaporkan menjadi 358 kasus. Dalam periode tahun 2008 2013, tercatat sebanyak 18 kabupaten/kota di Jawa Tengah yang dilaporkan menemukan kasus baru Filariasis.32 Secara lebih lengkap, penemuan kasus baru filariasis di provinsi Jawa Tengah periode 2008 - 2013 adalah sebagai berikut:
Tabel 7. Penemuan kasus baru filariasis di wilayah Provinsi Jawa tengah pada periode 2008 - 201352
Sumber Dinkes Prov. Jateng, 2014
5. 2. Hasil survey jentik Aedes spp. dan potensi penularan DBD 5.2.1. Hasil survey jentik Aedes spp. di Kabupaten Kudus Dalam studi in, survey jentik Aedes spp. yang merupakan indikator penting untuk mengetahui potensi penularan DBD telah dilakukan di wilayah Kabupaten Kudus. Tiga desa'kelurahan di survey dalam kegiatan ini. Adapaun hasil kegiatan survei ini secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 8. berikut:
39
Tabel 8. Indeks jentik Aedes aegypti di 3 desa/kelurahan di Kota Kudus tahun 2014 No
Kelurahan
Jumlah rumah disurvey
1. 2. 3.
Tanjungrejo Undaan Pasuruan lor
110 100 96
* berdasarkan kriteria WHO (1994) 38
Dalam (%) HI
Cl
17,3 31,8 43,8
10 19,1 22,8 31,8 39,9 55,2
BI
Tingkat risiko ABJ
penularan*
92.7 68.2 53
Risiko rendah Risiko sedang Risiko tinggi
& Brown (1977)39
Berdasarkan Tabel 8 menunjukkan bahwa 3 kelurahan di kabupaten Kudus termasuk daerah berisiko terjadi penularan Demam Berdarah Dengue. Hal tersebut ditunjukkan oleh angka Breteau index (BI) yang rata-rata ada di atas 5 dan angka bebas jentik (ABJ) yang berada di bawah 95%. Kelurahan Tanjungrejo saat ini merupakan kelurahan dengan potensi penularan rendah DBD, sedangkan kelurahan Undaan mempunyai potesi penularan sedang DBD. Kelurahan Pasuruan lor berpotensi tinggi terjadi terjadinya penularan DBD. Hal tersebut dapat dilihat dari indikator BI yang berada di atas 35% yang merupakan daerah potensi tinggi penularan berdasarkan kriteria WHO (1994).38
40
Tabel 9. Berbagai jenis tempat perkembangbiakan dan jumlah kontainer positif mengandung jentik Aedes di kelurahan Tanjungrejo, Undaan dan Pasuruan lor pada November 2014 No
Jenis kontainer
Kel. Tanjungrejo
Kel. Undaan
Total Positif Total Positif kontainer kontainer kontainer kontainer 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Bak mandi Bak WC Tempayan Ember Kaleng bekas Panci bekas Kolam/akuarium Tempat minum burung Tempurung kelapa drum Lubang pohon Jerigen kulkas Lain-lain
Kel. Pasuruan lor Total kontainer
Positif kontainer
93 6 11 61 1 1 5
14 1 1 1 1 1 0
73 9 2 61 0 0 2
29 3 0 0 0 0 0
74 4 5 34 0 0 0
41 2 1 4 0 0 0
3 1 0 0 0 0 0 29 211
0 0 0 0 0 0 0 2 21
0 0 0 0 0 0 0 2 149
0 0 0 0 0 0 0 2 34
0 0 4 2 1 1 8 134 265
0 0 0 2 0 0 0 50 98
Lain-lain : gelas bekas, padasan, dsb. Bak mandi merupakan tempat perkembangbiakan Aedes spp. dominan di 3 wilayah kelurahan studi di Kudus. Setelah itu tempat perkembangbiakan lainnya (gelas, bekas, padasan, dsb), diikuti bak mandi, ember, dan tempayan.
5.2.2. Hasil surv ey jentik Aedes spp. di Kabupaten Jepara Di Kabupaten Jepara, survey jentik Aedes spp. dilakukan di tiga desa/kelurahan, yaitu Kelurahan Demaan, Ujungbatu dan Bandengan. Adapun hasil kegiatan survei yang dilakukan pada bulan September 2014 ini secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 10. berikut:
41
Tabel 10. Indeks jentik Aedes aegypti di 3 desa/kelurahan di wilayah Kabupaten Jepara tahun 2014 No. Kelurahan
1
2. 3.
Demaan Ujungbatu Bandengan
Dalam (%)
Jumlah rumah disurvey 100 100 100
Tingkat risiko
HI
Cl
BI
ABJ
14 28 5
9,3 21,1 4,1
16 16 7
86 72 95
Penulara* Risiko rendah Risiko rendah Risiko rendah
* berdasarkan kriteria WHO (1994) & Brown (1977) Ketiga kelurahan tersebut merupakan daerah endemis DBD. Kelurahan Demaan dalam 3 tahun berturut-turut (201 - 2013) dilaporkan adanya peningkatan jumlah kasus. Jumlah kasus pada tahun 2011 dilaporkan sebanyak 2 orang. Pada tahun 2012, jumlah kasus DBD meningkat menjadi 11 orang. Pada tahun 2013, jumlah kasus di kelurahan tersebut menjadi 40 orang, namun demikian tingkat risiko penularannya rendah. Di Kelurahan Ujungbatu, jumlah kasus dalam periode 2011-2013 juga menunjukkan peningkatan kasus, berturut-turut dari l kasus pada tahun 2011 dan 6 kasus pada tahun 2012 menjadi 10 kasus pada tahun 2013. Sedangkan di kelurahan Bandengan. (BI >5, ABJ <95%). Berdasarkan
hasil
survey
tersebut,
bak
mandi
merupakan
tempat
perkembangbiakan Aedes spp. paling dominan di 3 wilayah kelurahan studi di Jepara. Setelah itu diikuti ember dan kemudian bak mandi. Ember dan tempat perkembangbiakan lainnya merupakan tempat perkembangbiakan Aedes spp. dominan lainnya.
42
Tabel 11. Berbagai jenis tempat perkembangbiakan dan jumlah kontainer positif mengandung jentik Aedes di kelurahan Demaan, Ujung batu dan Bandengan Yang dikoleksi pada bulan September tahun 2014 Kel. Demaan No.
Jenis kontainer
1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Bak mandi Bak WC Tempayan Ember Kaleng bekas Panci bekas Kolam/akuarium Tempat minum burung Tempurung kelapa drum Lubang pohon Jerigen kulkas Dispenser Lain-lain
9. 10. U. 12. 13. 14. 15.
Kel. Ujungbatu
Kel. Bandengan
Total kontainer 50 2 7 99 0 0 1
Positif kontainer 13 0 1 2 0 0 0
Total kontainer 79 12 0 35 0 0 2
Positif kontainer 20 4 0 3 0 0 0
Total kontainer 48 13 23 75 0 0 0
Positif kontainer 5 1 0 0 0 0 0
0
0
0
0
0
0
0 3 0 0 0 4
0 0 0
0 5 0 0 0 7
0 2 0 0 0 1
0 3 0
0
0 0 0 0
172
16
0
0
0
0 1 0 0 0 0 0
147
31
170
7
0 0 8
5.3. Hasil uji kerentanan Aedes aegypti terhadap beberapa jenis insektisida yang digunakan dalam aplikasi cold aerosol dan thermal fogs di lapangan Uji kerentanan Aedes aegypti dilakukan terhadap beberapa jenis insektisida yang memungkinkan untuk digunakan dalam aplikasi cold aerosol dan thermal fogs dalam pengendalian vektor DBD. Pengujian dilakukan dengan menggunakan nyamuk Aedes aegypti yang dikoleksi dari kelurahan Ujungbatu dan Bandengan yang berada di wilayah Kabupaten Jepara, dan kelurahan Tanjungrejo, Undaan dan Pasuruan Lor di wilayah Kabupaten Kudus. Jenis Insektisida yang digunakan dalam pengujian ini meliputi Permethrin 0,75%; Bendiocarh 0,1%; Etofenprox 0,5%; Mala t h ion 0,8%; Lamdasthalothrin 0,05%; Deltamethrin 0,05%; dan Cypermethrin 0,05%.
43
5.3.1 Hasil Uji Kerentanan Aedes aegypti dari Kelurahan Ujungbatu, Kabupaten Jepara Hasil uji kerentanan Aedes aegypti dari Kelurahan Ujungbatu, Kabupaten Jepara terhadap 7 jenis insektisida sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dapat dilihat pada tabel 12. Tabel 12. Hasil uji kerentanan Aedes aegypti hasil koleksi dari Kelurahan Ujungbatu, Kabupaten Jepara terhadap beberapa jenis insektisida pada bulan November 2014 Jenis insektisida
Permethrin 0,75% Bendiocarb 0,1%
Perlakuan
Kontrol
Gol
PY
Perlakuan Kontrol
C
Perlakuan Etofenprox 0,5% Malathion 0,8%
Kontrol
PY
Perlakuan Kontrol
OP
Perlakuan Lamdasiha lothrin 0,05% Deltamethrin 0,05%
Cypermethri n 0,05%
Kontrol
PY
Perlakuan Kontrol
PY
Perlakuan Kontrol Perlakuan
PY
Jml nyamuk uji/ ulangan
Jumlah ulangan
Jml kematian nyamuk stlh holding period
Status kerentanan
15
1
15
0
Resisten
15
4
60
9(15%)
15
1
15
0
15
4
60
14 (23,3%)
15
1
15
0
15
4
60
2 (3,3%)
15
1
15
0
15
4
60
17(28,3%)
15
1
15
0
15
4
60
18(30%)
15
1
15
0
15
4
60
20 (33,3%)
15
1
15
0
15
4
60
3 (5%)
Total nyamuk uji
Ket : P Y : Synthetic pyrethroid; OP : Organophosphate; C: Carbamate
Pada tabel 12 menunjukkan bawa seluruh insektisida uji menunjukkan status telah resisten semua terhadap 7 insektisida yang diuji.
Resisten
Resisten
Resisten
Resisten
Resisten
Resisten
5.3.2. Hasil Uji Kerentanan Aedes aegypti dari Kelurahan Bandengan Kabupaten Jepara Hasil uji kerentanan Aedes aegypti dari Kelurahan Bandengan, Kabupaten Jepara terhadap 7 insektisida dapat dilihat pada tabel 13.
Tabel 13. Hasil uji kerentanan Aedes aegypti hasil koleksi dari Kelurahan Bandengan, Kabupaten Jepara terhadap beberapa jenis insektisida pada bulan November 2014 Jenis insektisida
Perlakua n
Permethrin 0,75% Bendiocarb 0,1%
Jumla h ulanga n 1
Total nyamuk uji
Kontrol
Gol Jml nyamuk uji/ ulangan PY 15
Perlakuan
15
4
60
15
1
15
0
15
4
60
41 (68,3%)
15
1
15
0
15
4
60
15
1
15
15
4
60
15
1
15
15
4
60
15
1
15
15
4
60
15
1
15
15
4
60
Kontrol
C
Perlakuan Etofenprox 0,5%
Malathion 0,8%
Kontrol
PY
Perlakuan Kontrol
OP
Perlakuan Lamdasiha lothrin 0,05% Deltamethrin 0,05%
Cypermethrin 0,05%
Kontrol
PY
Perlakuan Kontrol
PY
Perlakuan Kontrol Perlakuan
PY
15
Jml kematian nyamuk stlh holding period 0
Status kerentana n Resisten
26 (43,3%) Resisten
Resisten
8(13,3%) 0
Resisten
0
Resisten
12(20%)
21 (35%) 0
Resisten
21 (35%) 0
Resisten
9(15%)
Ket P Y Synthetic pyrethroid; OP Organophosphate; C: Carbamate
Tabel 13 juga menunjukkan bahwa Aedes aegypti menunjukkan status telah resisten semua terhadap 7 insektisida yang diuji dengan persentase kematian masing-masing berturut-turut 43,3%, 68,3%, 13,3%, 20%, 35%, 35%, dan 15%
45
5.3.3.Hasil Uji Kerentanan Aedes aegypti dari Kelurahan Tanjungrejo, Kabupaten Kudus Hasil uji kerentanan Aedes aegypti dari Kelurahan Tanjungrejo, Kabupaten Kudus terhadap 7 insektisida adalah sebagai berikut :
Tabel 14. Hasil uji kerentanan Aedes aegypti hasil koleksi dari Kelurahan Tanjungrejo, Kabupaten Kudus terhadap beberapa jenis insektisida pada bulan November 2014
Jenis insektisida
Permethrin 0,75% Bendiocarb 0,1%
Perlakuan
Kontrol
Gol
PY
Perlakuan Kontrol
C
Perlakuan Etofenprox 0,5% Malathion 0,8%
Kontrol
PY
Perlakuan Kontrol
OP
Perlakuan Lamdasiha lothrin 0,05% Deltamethri n 0,05%
Cypermethri n 0,05%
Kontrol
PY
Perlakuan Kontrol
PY
Perlakuan Kontrol Perlakuan
PY
Jml nyamuk uji/ ulangan 25
Jumlah ulangan
Total nyamuk uj«
Jml kematian nyamuk stlli holding period
Status kerentana n
1
25
0
Resisten
25
4
100
25
1
25
0
Resisten
25
4
100
25
1
25
0
Resisten
25
4
100
25
1
25
0
Resisten
25
4
100
25
1
25
0
25
4
100
42 (42 %)
25
1
25
0
25
4
100
36 (36 %)
25
1
25
0
25
4
100
5 (5%)
43(43%)
4 (4%)
29 (29%) Resisten
Resisten
Resisten
6 (6%)
Ket P Y : Synthetic pyrethroid, OP : Organophosphate; C: Carbaate
Hasil pengujian kerentanan nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari kelurahan Tanjungrejo, Kabupaten Kudus juga menunjukkan satus resisten terhadap ketujuh jenis insektisida uji.
46
5.3.4. Hasil Uji Kerentanan Aedes aegypti dari Kelurahan Undaan, Kabupaten Kudus Hasil uji kerentanan Aedes aegypti dari Kelurahan Undaan, Kabupaten Kudus terhadap 7 insektisida adalah sebagai berikut:
Tabel 15. Hasil uji kerentanan Aedes aegypti hasil koleksi dari Kelurahan Undaan, Kabupaten Kudus terhadap beberapa jenis insektisida pada bulan Desember 2014 Jenis insektisida
Permethrin 0,75% Bendiocarb 0,1%
Perlakua n
Kontrol
Gol
PY
Perlakuan Kontrol
C
Perlakuan Etofenprox 0,5% Malathion 0,8%
Kontrol
PY
Perlakuan Kontrol
OP
Perlakuan Lamdasiha lothrin 0,05% Deltamethrin 0,05%
Cypermethri n 0,05%
Kontrol
PY
Perlakuan Kontrol
PY
Perlakuan Kontrol Perlakuan
PY
Jml nyamuk uji/ ulangan
Total nyamuk uji
Jml kematian nyamuk stlli holding period
Status kerentana n
10
Jumla h ulanga n 1
10
0
Resisten
10
4
40
10
1
10
0
Resisten
10
4
40
10
1
10
10
4
40
10
1
10
10
4
40
10
1
10
10
4
40
10
1
10
0
10
4
40
13 (32,5%)
10
1
10
0
10
4
40
2 (5%)
5(12,5%) 0
Resisten
0
Resisten
0
Resisten
4 (4%)
2(5%)
14(35 %) Resisten
Resisten
4(10%)
Ket : P Y : Synthetic pyrethroid, OP : Organophosphate; C: Carbaate
Hasil pengujian kerentanan nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari kelurahan Undaan, Kabupaten Kudus juga menunjukkan status resisten terhadap ketujuh jenis insektisida uji.
47
5.3.5. Hasil Uji Kerentanan Aedes aegypti dari Kelurahan Pasuruan Lor, Kabupaten Kudus Hasil uji kerentanan Aedes aegypti dari Kelurahan Pasuruan Lor, Kabupaten Kudus terhadap 7 insektisida dapat dilihat pada Tabel 16 berikut:
Tabel 16. Hasil uji kerentanan Aedes aegypti hasil koleksi dari Kelurahan Pasuruan Lor, Kabupaten Kudus terhadap beberapa jenis insektisida pada bulan Desember 2014 Jenis insektisida
Permethrin 0,75% Bendiocarb 0,1%
Perlakua n
Kontrol
Gol
PY
Perlakuan Kontrol
C
Perlakuan Etofenprox 0,5% Malathion 0,8%
Kontrol
PY
Perlakuan Kontrol
OP
Perlakuan Lamdasiha lothrin 0,05% Deltamethrin 0,05%
Cypermethri n ’ 0,05%
Kontrol
PY
Perlakuan Kontrol
PY
Perlakuan Kontrol Perlakuan
PY
Jml nyamuk uji/ ulangan 25
Jumla h ulanga n 1
Total nyamuk uji
Jml kematian nyamuk stlh holding period
Status kerentana n
25
0
Resisten
25
4
100
25
1
25
0
Resisten
25
4
100
25
1
25
0
Resisten
25
4
100
25
1
25
0
Resisten
25
4
100
25
1
25
0
Toleran
25
4
100
25
1
25
0
Resisten
25
4
100
25
1
25
25
4
100
29 (29%)
15(15%)
12 (12%)
21(21%)
83(83 %)
51 (51 %) 0
Resisten
7 (7%)
Ket PY ; Synthetic pyrethroid; OP : Organophosphate, C: Carbamate
Hasil pengujian kerentanan nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari Kelurahan Pasuruan Lor, Kabupaten kudus menunjukkan bahwa 6 dari 7 jenis insektisida menunjukkan status resisten, namun 1 diantaranya menunjukkan hasil toleran, yaitu Lamdasihalothrin 0,05% dengan kematian nyamuk uji sebesar 83%.
48
5.4. Hasil Analisis Kejadian Luar Biasa Chikungunya di Jawa Tengah 5.4.1. Uji Konfirmasi Laboratorium terhadap sampel diduga Chikungunya. Berdasarkan permintaan 4 kabupaten/kota di wilayah Jawa Tengah yang mengalami peningkatan kasus/kejadian luar biasa diduga Chikungunya pada periode bulan Maret sampai Desember 2014, Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas, KotaMagelang, Kabupaten Boyolali dan Kota Semarang telah mengirimkan sampel serum manusia kasus akut diduga Chikungunya ke B2P2VRP untuk dilakukan konfirmasi memastikan apakah sampel dengan gejala klinis tersebut merupakan Chikungunya atau penyakit infeksi virus/bakteri lainnya. Dari informasi dinas setempat menyebutkan bahwa KLB tersangka Chikungunya mempunyai gejala umum demam, nyeri sendi, bercak merah di kulit dan sakit kepala. Hasil konfirmasi dari seluruh sampel serum diduga kasus akut Chikungunya dapat dilihat pada tabel 17.
Tabel 17. Hasil pemeriksaan sampel serum penderita akut diduga Chikungunya di 4 wilayah kabupaten/kota di Jawa Tengah pada periode Maret - Des 2014 menggunakan metode pemeriksaan one-step RT-PCR Pengirim Dinkes Banvumas Dinkes Kota Magelang Dinkes Boyolali Dinkes Kota Semarang Jumlah sampel
Total sampel
Sampel positif
Persentase (%)
21 14 15 6 56
3 9 5 0 17
14,29% 64,29% 33,33% 0%
Pemeriksaan sampel chikungunya ini dilakukan dengan segera oleh Laboratorium Biologi Molekuler B2P2VRP untuk dapat memberikan informasi secepatnya kepada pengelola program di setiap daerah yang mengajukan permintaan pemeriksaan sampel.
49
5.4.2. Analisis genotipe Chikungunya sebagai bagian dari inisiasi surveilans virus Chikungunya di Jawa Tengah Hasil analisis genotype dari sampling sampel serum positif Chikungunya yang dikirim ke laboratorium Biologi Molekuler B2P2VRP yang berasal dari Banyumas, Kota Magelang dan Banyumas dibandingkan dengan sampel Chikungunya asal Indonesia lainnya, serta sampel yang berasal dari berbagai negara endemis Chikungunya di dunia dapat dilihat pada gambar 5. Analisis filogenetik dianalisis menggunakan maximum likehood menggunakan model general time reversible with proportion of invariant sites serta disimpulkan dengan menggunakan analisis bootstrap menggunakan 1000 ulangan. Panjang cabang dihitung dari jumlah substitusi per nukleotida. sebagaimana ditunjukkan dalam skala.
50
Gambar 9. Analisis filogenetik of Chikungunya. CHIKV mempunyai 3 genotipe utama : West african, Asian, dan East'Central'South African (ECSA). Sampel CHIKV isolat Jawa dan Nusa Tenggara Barat termasuk dalam genotipe Asian. Sampel CHIKV isolat Kalimantan Barat termasuk dalam genotipe ECSA. Sampel KLB Jawa Tengah dalam penelitian ini (ditandai dengan seuitiua merah) termasuk dalam genotipe Asian. 51
Hasil deteksi kasus Japanese encephalitis dari sampel serum terduga KLB Chikungunya, Dengue dan Leptospirosis di wilayah Provinsi Jawa Tengah tahun 2014 5.5.
Dalam investigasi
kasus
Japanese encephalitis dan
potensinya
untuk
menimbulkan kejadian luar biasa JE di Jawa Tengah. Tim KLB vektor B2P2VRP telah menginformasikan ke Dinas Kesehatan Jawa Tengah untuk menginformasikan ke dinas kesehatan kabupaten/kota untuk bisa membantu konfirmasi sampel sindroma enehepalitis akut di laoratorium B2P2VRP selama tahun 2014. Namun demikian sampai akhir tahun 2014 tidak ada permintaan dari dinas kesehatan kabupaten/kota untuk konfirmasi sampel. Sehubungan dengan sampel tersimpan terduga leptospirosis, hantavirus, chikungunya dan dengue negatif yang merupakan sampel kiriman dari dinas kesehatan kabupaten/kota di Jawa Tengah selama tahun 2014, sampel-sampel tersebut kemudian dipilih secara acak untuk diperiksa kembali untuk diagnosis JE. Hasil pemeriksaan sampel tersimpan tersebut lebih lanjut dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 18. Hasil konfirmasi Japanese encephalitis terhadap sampel terduga Leptospirosis, Chikungunya dan Dengue negatif asal Jawa Tengah selama tahun 2014
Jumlah sampel 10 16
Terduga Dengue, CHIKV Leptospirosis
MAT IgG dan IgM Hantavirus NA -
NA -
IgM capture Dengue -
IgM capture ELISA JE 2 positif
Hasil akhir 2 positif JE
Hasil konfirmasi terhadap sampel tersimpan tersebut menunjukkan adanya hasil 2 sampel serum positif Japanase encephalitis (JE). Hasil tersebut cukup kuat karena selain konfirmasi JE juga dilakukan konfirmasi Dengue dan Hantavirus.
5.6.
Hasil investigasi kasus baru Filariasis di Kota Semarang Dalam upaya penemuan kasus filariasis (penyakit kaki gajah) dan penentuan
daerah tersangka endemis filariasis sebagaimana surat Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang perihal permohonan kegiatan pengambilan sampel dan
52
pemeriksaan mirkrofilaria di wilayah Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, tim parasitologi B2P2VRP dengan dukungan penuh dari Dinas Kesehatan Kota Semarang, Puskesmas Gayamsari, Muspika Gayamsari, Ibu Lurah beserta warga Kelurahan Pandean Lamper dengan dihadiri oleh salah satu staf dari Bagian Mikrobiologi, RS Karyadi, Semarang telah melakukan survey cepat filariasis sebagaimana rekomendasi Kementerian Kesehatan dan WHO di wilayah Kelurahan Pandean Lamper, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang pada tanggal 11 Juli 2014. Survey yang dilakukan meliputi survey darah jari (SDJ) pada masyarakat di sekitar penderita yang diduga sebagai kasus kronis filariasis pada malam hari dan wawancara terhadap penderita diduga kasus kronis filariasis dengan menelusuri riwayat gejala akut yang mengarah infeksi filariasis.
5.6.1. Hasil Survey Darah Jari Dari pemeriksaan survey darah jari sejumlah 66 warga yang tinggal disekitar penderita terduga filariasis di Desa Pandean Lamper, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang pada tanggal 11 Juli 2014 didapatkan hasil : 1.
Pemeriksaan sediaan darah basah tebal yang dilakukan secara langsung saat pengambilan darah, didapatkan 66 sampel negatif dan 0 sampel positif (data hasil terlampir).
2.
Sampel kemudian di bawa ke laboratorium parasitologi B2P2VRP Salatiga untuk dilakukan pewarnaan giemsa dan di periksa di bawah mikroskop di dapatkan hasil 66 sampel negatif dan 0 sampel positif (data hasil terlampir).
5.6.2. Hasil Wawancara terhadap penderita diduga kronis filariasis Hasil wawancara terhadap penderita terduga kronis filariasis adalah sebagai berikut: 1.
Penderita telah mengalami pembengkakan dari mulai bayi
2.
Pada saat bayi, penderita mengalami demam berkali-kali
53
3.
Penderita merasa tidak pernah mengalami pembengkakan kelenjar limfe (limfadenitis) di daerah lipat paha, ketiak, lipat lutut, dada dsb dengan tanda kemerahan, sakit dan panas, tanpa disertai luka/peradangan di tempat lain.
4.
Penderita merasa tidak pernah menaalami peradangan saluran kelenjar limfe (limfangitis retrogade) yang terasa panas dan sakit, menjalar dari pangkal paha atau lengan ke arah ujung kaki/tangan
5.
Tidak ada gambaran bekas abses pecah di sekitar paha
5.6.3. Analisis lingkungan Hasil analisis lingkungan menunjukkan bahwa lingkungan di sekitar tempat tinggal penderita sangat bersih dan tertata, meskipun merupakan pemukiman yang padat. Sepanjang pengamatan, tidak ditemukan tempat perkembangbiakan potensial bagi Culex quinquefasciatus yang merupakan vektor Wuchereria bancrofti di wilayah utara pula Jawa .
5.7. Hasil aplikasi Bacillus thuringiensis H-14 isolat Salatiga 5.7.1. Uji efikasi di laboratorium Hasil uji efikasi biolaras hasil scale up terhadap larva Culex quinquefasciatus di laboratorium B2P2VRP, menunjukkan konsentrasi yang dibutuhkan untuk mematikan larva Culex quinquefasciatus 50% dan 90% berbeda pada formulasi cair dan bubuk (tabel 18).
Tabel 19. Uji efikasi biolaras B. thuringiensis H-14 Isolat Salatiga terhadap larva Culex quinquefasciatus instar III akhir Formulasi Biolaras
Bubuk
Kematian 50% dan 90% larva setelah 24 jam pengujian LC50 (ppm) 0,019
LC90 (ppm) 0,056 (0,043 - 0,052)*
(0,013-0,025)* Cair
4,660 (1,17-5,69)*
10,940 (9,99-27,16)*
* = range konsentrasi bubuk dan cair B. thuringiensis H-14 Isolat Salatiga
54
5.7.2. Uji efektivitas di lapangan Pelaksanaan penelitian dilakukan pada kubangan yang berada di sekitar rumah penduduk dan selokan sebagai habitat perkembangbiakan Cx. quinquefasciatus di Desa Sumbang Wetan, Desa Watusalam, Kabupaten Pekalogan. Formulasi bubuk B. thuringiensis H-14 isolat Salatiga yang digunakan dalam penelitian ini adalah formulasi bubuk dosis 5 ppm (100 x 0,05ppm, LC90), formulasi cair 900 ppm (100 x 9ppm, LC90). Bacillus thuringiensis israelensis (H-14) produk luar formulasi bubuk 300ppm (100 x 3 ppm (LC90) sebagai kontrol positif dan 1 kubangan kontrol negatif. Hasil penebaran biolaras formulasi bubuk maupun cair pada selokan di Desa Simbang Wetan dan kubangan di sekitar rumah penduduk di Desa Watu Salam menunjukkan bahwa prosentase kematian larva Culex quenquefasciatus mencapai 100 persen pada 2 hari setelah penebaran dan menurun hingga dibawah 50% pada 7 hari setelah penebaran hal ini dapat dilihat pada grafik 1&2.
Gambar 10. Prosentase kematian larva Culex quenquefasciatus pada selokan di Desa Simbang Wetan Kabupaten Pekalongan
55
Gambar 11. Prosentase kematian larva Culex quenquefasciatus pada kubangan di Desa Simbang Wetan Kabupaten Pekalongan
56
BAB VI PEMBAHASAN
6.1. Potensi penularan DBD berdasarkan survey jentik Aedes aegypti Hasil penangkapan nyamuk dan survei jentik di 3 tiga wilayah kelurahan di Kabupaten Jepara, yaitu di Kelurahan Demaan, Ujungbatu dan Bandengan Wilayah Kabupaten Jepara, serta tiga wilayah kelurahan di Kabupaten Kudus, yaitu Kelurahan Tanjungrejo, Undaan dan Pasuruan Lor Wilayah Kabupaten Kudus diperoleh jumlah yang sangat bervariasi, hal tersebut menggambarkan masyarakat belum berpartisipasi aktif dalam PSN (Pembersihan Sarang Nyamuk). Meskipun 5 wilayah kelurahan studi mempunyai potensi penularan DBD yang rendah, namun Angka Bebas Jentik (ABJ) rata-rata seluruhnya berada dibawah nilai yang ditetapkan Program pengendalian Menurut WHO (1997). Rendahnya ABJ yang terpantau saat dilakukan survei jentik menggambarkan kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalam melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Kurangnya partisipasi masyarakat dalam melakukan PSN akan makin meningkatkan populasi nyamuk Ae. aegypti. Peningkatan populasi Ae. aegypti merupakan penunjang untuk terjadinya penularan DBD di lokasi setempat. DBD Nasional, yaitu dibawah 95% kecuali Kelurahan Bandengan dengan nilai ABJ (95%). Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa rendahnya Angka Bebas Jentik karena didukung oleh banyaknya tempat-tempat penampungan air (TPA) yang tersedia di masyarakat yang dapat digunakan sebagai habitat berkembangbiakan Ae. aegypti. Hasil analisis jenis tempat perkembangbiakan menunjukkan bahwa jentik Ae. aegypti dominan pada pada bak mandi, tempayan, ember, bak WC dan lain-lain (pecahan gelas, padasan, tampungan plastik di tempat pembuangan sampah, dsb). Breteau Index (BI) dan House Index (HI) pada umumnya digunakan untuk menentukan daerah prioritas pengendalian. Menurut Suroso, dkk, (2003) Breteau Index merupakan index yang paling baik, karena menunjukkan hubungan antara kontainer positip dengan jumlah rumah. Breteau index juga akan mendapatkan profil dan karakter habitat jentik dan sekaligus
57
jumlah serta potensi macam kontainer, sehingga data tersebut dapat digunakan sebagai upaya mengarahkan pemberantasan atau eliminasi jentik. Menurut WHO 1994, suatu wilayah dengan BI = 2 atau kurang termasuk wilayah yang aman DBD, sedangkan untuk wilayah dengan BI = 5 atau lebih termasuk potensial (berisiko), suatu waktu disitu akan berisiko terjadi penularan DBD. Dengan demikian, kalau distratifikasikan berdasarkan BI-nya, maka BI = 5- 20 termasuk risiko rendah, BI =20-35 termasuk risiko sedang, sedangkan BI = 35- 50 termasuk risiko tinggi. Dengan menggunakan Density figure (DI) dan House index (HI) menurut Brown (1977), potensi penularan dapat diprediksi. Menurut Brown, penularan DBD efektif terjadi apabila HI>5 dan DI>3.38, 39 Dan 6 lokasi yang disurvei, terdapat 1 lokasi yang memiliki Breteau index (BI) diatas 35, yaitu Kelurahan Pasuruhan Lor (BI=55,21). Berdasarkan kriteria WHO (1994) dan Brown (1977) terkait nilai BI, HI dan DI, maka daerah tersebut mempunyai potensi penularan DBD yang tinggi. Selain itu, berdasarkan hasil analisis spasial sebaran kasus DBD berdasarkan alamat tempat tinggal dan hasil analisis spasial rumah yang menunjukkan positif terdapat jentik Ae. aegypti, menunjukkan bahwa daerah tersebut akan terus terjadi penularan DBD apabila tidak segera dikendalikan. Hal tersebut karena tersedianya beberapa kasus terkonfirmasi terinfeksi DBD dan tingginya BI, HI dan Cl dari larva Ae. aegypti di wilayah kelurahan tersebut. Selain itu, aspek entomologi yang penting yang dapat menyebabkan potensi tinggi penularan DBD adalah adanya fenomena penularan virus Dengue secara transovarial. Kelurahan Pasuruan Lor tersebut kami sarankan sebagai wilayah yang perlu mendapat prioritas penanggulangan DBD. Hasil penelitian Widiarti,dkk'' untuk mendeteksi antigen virus dengue pada Ae. agypti dengan uji imunohistokimia yang dilakukan di 10 kecamatan di Jawa Tengah membuktikan adanya penularan transovarial yang terjadi pada 6 kecamatan dari 3 kabupaten dengan persentase positip antigen berkisar 0,48 % - 8,77 %. Penularan virus Dengue secara transovarial inilah yang turut meningkatkan potensi penularan DBD di berbagai daerah endemis DBD di Indonesia. Penelitian lain yang dilakukan oleh Joshi, et al (2002) menghasilkan
58
persentase positip antigen virus yang rendah juga yaitu 2,4 % pada generasi pertama (Fl), namun persentase makin meningkat sampai generasi yang ke 7 dan selanjutnya stabil. Apabila penularan transovarial terbukti terjadi di suatu daerah, maka untuk mencegah terjadinya KLB perlu dilakukan PSN dengan baik dan benar. Pemberantasan sarang nyamuk yang baik dan benar adalah dengan melakukan menguras, menutup dan menimbun (3M +) dan perlu ditambah sikat telur yang menempel pada dinding kontainer (3 M + S), sehingga virus yang berada pada telur bisa rusak. Pengendalian lain yang dapat dilakukan dengan menitikberatkan pada stadium larva dengan larvasida atau jasad hayati (biolarvasida). Penyemprotan space spraying (fogging) dua (2) siklus dengan interval 1 minggu akan sangat efektif pada saat terjadi KLB untuk membunuh nyamuk dewasa yang mengandung virus, atau pada saat menularan sedang berlangsung (siklus I). Sedangkan siklus ke II dilakukan untuk membunuh jentik yang muncul menjadi nyamuk dewasa pada minggu berikutnya. Namun penurunan kasus akan lebih bermakna apabila diikuti dengan PSN.
Gambar 12. Analisis spasial potensi penularan DBD berdasarkan data sebaran kasus positif DBD dan rumah positif ditemukan jentik Ae. aegy'pti beserta buffer zone potensi penularan di Kelurahan Pasuruan Lor, Kec. Jati, Kabupaten Kudus.
59
6.2. Status kerentanan Aedes aegypti terhadap 7 jenis insektisida yang digunakan dalam aplikasi eold aerosol dan thermal fogs di lapangan Makin meningkatnya populasi nyamuk Ae. aegypti juga menunjukkan bahwa nyamuk tersebut kemungkinan sudah resisten terhadap insektisida yang digunakan untuk fogging. Terbukti dan hasil uji kerentanan nyamuk Ae. aegypti yang berasal dari 2 kelurahan di wilayah Kabupaten Kudus dan 2 kelurahan di wilayah Kabupaten Jepara terhadap 7 jenis insektisida yang direkomendasikan dalam thermal fogs menunjukkan hasil resisten terhadap Permethrin 0,75 %, Bendiocarb 0,5 %, Etofenprox 0,5%, Malathion 0,8 %, Lambdasihalothrin 0,05 %, Deltametrin 0,05% dan Cypermetrin 0,05%. Berdasarkan hasil uji kerentanan menggambarkan bahwa fogging yang telah dilakukan tidak dapat membunuh vektor setempat. Hasil uji kerentanan di Kelurahan Pasuruan Lor, Kabupaten Kudus menunjukkan Ae. aegypti di wilayah tersebut telah resisten terhadap 6 jenis insektisida uji, yaitu Permethrin 0,75 %, Bendiocarb 0,5 %, Etofenprox 0,5%, Malathion 0,8 %, Deltametrin 0,05% dan Cypermetrin 0,05%. Hasil uji Ae. aegypti terhadap Lambdasihalothrin 0,05 %, menunjukkan hasil toleran (83%). Kriteria WHO menetapkan bahwa insektisida masih layak digunakan untuk pengendalian vektor apabila kematian diatas 98,0 % (Herath,1997). Padahal insektisida kelompok sintetik pirethroid belum banyak digunakan oleh program untuk fogging, namun insektisida kelompok pyrethroid merupakan sebagian besar insektisida rumah tangga dan insektisida untuk kelambu celup.4' Terjadinya resistensi Ae. aegypti terhadap insektisida kelompok pyrethroid ini menunjukkan tingkat penekanan secara selektif cukup tinggi. Penelitian di Kepulauan Senegal dan Cape Verde masih peka/susceptible terhadap insektisida kelompok pyrethroid demikian juga Ae aegypti dari Port-au-Prince Haiti masih peka
terhadap
insektisida
Pyrethroid,
namun
sudah
terjadi
penurunan
kerentanan/susceptitibility pada insektisida propoxur, deltametrin dan lambdasihalotrin.44, 45 Berbeda dengan di daerah yang memang telah menggunakan insektisida kelompok pyrethroid untuk pengendalian, yaitu di daerah Timur Laut Thailand terjadi tingkat resistensi tinggi terhadap permetrin dan deltametrin serta di kota
60
metropolitan Bangkok telah terjadi resistensi terhadap permetrin dan deltametrin, namun masih peka terhadap Cyflutrin temephos. 40,47 Hasil pengendalian Ae. aegypti dan Singapore secara Ultra Low Volume Fogging dan Impregnated Bed net dengan insektisida pyrethroid sangat intensif meninmbulkan resistensi yang Jo tinggi. Insektisida kelompok sintetik pirethroid mempunyai target site sama dengan insektisida kelompok Organoklorin. Kelompok organoklorin salah satu contohnya adalah DDT, telah dilarang digunakan karena persisten di alam dan sulit terurai serta karsinogenik. Terjadinya resistensi sebagian vektor Demam Berdarah Ae. aegypti di beberapa daerah di Indonesia terhadap insektisida kelompok pirethroid menunjukkan adanya pengaruh besar paparan dari insektisida rumah tangga, karena hanya sebagian kecil Dinas Kesehatan yang telah menggunakan insektisida kelompok pirethroid (cynof/b.a cypermetrin dan icon/b.a lambdasihalotrin) untuk pengendalian Ae. aegypti secara fogging Resistensi Ae. aegypti terhadap malathion juga dilaporkan oleh Hidayati Hamdan dkk dari Malaysia dan Vincent, bahwa setelah paparan insektisida malathion, permetrin dan temephos selama 32 generasi telah terjadi resistensi. 30 Dengan demikian dapat digambarkan cepatnya terjadinya resistensi akibat paparan insektisida yang digunakan untuk pengendalian vektor. Berdasarkan kenyataan tersebut perlu dipikirkan adanya suatu strategi untuk mengantisipasi terjadinya resistensi serangga vektor dengan merotasi penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor. Menurut David & Gilles rotasi atau pergiliran kelompok dan jenis insektisida dilakukan berdasarkan cara kerja atau mode of action dan target site yang berbeda/2 Dengan makin tingginya populasi Ae. aegypti di daerah tersebut menyebabkan kemungkinan terjadinya peningkatan kasus (KLB), sehingga perlu diwaspadai apabila pada tahun yang akan datang belum/ tidak ada perubahan kebijakan penggunaan insektisida dalam pengendalian DBD. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan dalam studi ini, pengguliran antar golongan insektisida sulit dilakukan karena seluruh golongan telah diuji, baik Synthetic pyrethroid (P Y), Carbamate (C), Organophosphate (OP).Peningkatan dosis terhadap insektisida yang biasa digunakan merupakan
61
langkah yang sangat perlu dipertimbangkan dalam upaya aplikasi insektisida program yang efektif dan efisien.
6.3. Hasil pemeriksaan sampel Chikungunya. Hasil konfirmasi sampel telah ditindaklanjuti oleh dinas kesehatan setempat dengan melakukan : a.
Tata laksana pengobatan kasus terkonfirmasi laboratorium Chikungunya melalui pengobatan penderita
b.
Pelacakan penderita dan pencarian penderita baru, khususnya yang dilakukan di Kabupaten Banyumas
c.
Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) vektor Chikungunya, yaitu Aedes aegypti dan Aedes albopictus
d.
Koordinasi lintas sektor terkait
e.
Pemantauan hasil laporan Sampai saat ini Indonesia diketahui mempunyai 2 genotipe dari 3 genotipe
Chikungunya utama yang telah teridentifikasi di dunia, yaitu Genotipe Asian dan ECSA (East/Central/South African). Beberapa provinsi yang telah dilakukan analisis meliputi Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, NTB, dan Kalimantan Timur. Di provinsi Jawa Tengah sejauh ini belum dilaporkan genotipe yang mana yang bersirkulasi hingga saat ini. Berdasar hasil analisis filogenetik yang telah dilakukan diketahui bahwa sampel serum virus Chikungunya (CHIKV) asal Boyolali, Kota Magelang dan Banyumas termasuk dalam Genotipe Asian. Sampel asal Magelang menunjukkan satu clade dengan sampel CHIKV dari Jawa Timur, sedangkan sampel CHIKV asal Banyumas dan Boyolali membentuk clade yang terpisah dengan sampel CHIKV dari daerah lainnya (Jakarta, NTB, Bandung). Analisis sub-lineage terhadap genotipe Asian asal Indonesia diperlukan untuk mengetahui pola sebaran dan potensi introduksi sub-lineage baru yang akan berpengaruh pada manifestasi klinis dan keparahan infeksi CHIKV dimasa mendatang.
62
6.4. Deteksi kasus Japanese encephalitis dari sampel serum terduga KLB Chikungunya, Dengue dan Leptospirosis di wilayah Provinsi Jawa Tengah tahun 2014 Hasil konfirmasi positif 2 sampel serum terduga KLB Chikungunya. Dengue dan Leptospirosis asal Semarang, Provinsi Jawa Tengah tahun 2014 menunjukkan bahwa di Jawa Tengah penularan Japanese encephalitis masih terjadi. Hasil ini diperkuat oleh terkonfirmasinya vektor JE di Ungaran, Semarang, yaitu Armigeres subalhatus pada tahun 1993 64 Penatalaksanaan kasus pada kasus terduga JE, laboratorium, penunjang yang mampu mengidentifikasi JE secara cepat dan tepat, serta kegiatan surveilans JE nampaknya sudah perlu dilakukan mengingat kasus JE di Jawa Tengah telah diketahui bersirkulasi di Jawa Tengah sejak tahun 1973 dan sampai saat ini penularan masih terjadi.64
6.5. Hasil investigasi kasus baru Filariasis di Kota Semarang Seorang yang mengalami elepanthiasis adalah apabila penderita tersebut mengalami hal-hal sebagai berikut:
1. Gejala Klinis Akut Penyakit Kaki Gajah
65
Gambar 13. Gejala klinis akut penyakit kaki gajah meliputi demam berulang (a); Limfadenitis (b)Limfangitis; (c). Abses di ketiak; (d) Abses pecah
63
2. Tahapan limfademafo Gejala
Stadium 1
1. Bengkak Menghilang di kaki waktu bangun tidur pagi
Stadium 2 Menetap
Stadium 3 Menetap
Tidak ada
dangkal
Stadium 4 Menetap
Stadium 5 Menetap, meluas
Stadium 6 Menetap, meluas
dangkal
Dalam, Kadang Kadang dangkal
Dangkal Dalam
Dangkal, Dalam
Kadang kadang
Kadang kadang
Kadang kadang
Ada
Kadangkadang
2. Lipatan kulit
Tidak ada
3. Nodul
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Tidak ada 4. Mossy lesions *)
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
5. Hambatan Tidak berat
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Stadium 7 Menetap, meluas
ya
*) Gambaran seperti lumut 3.
Terdapat warga masyarakat yang positif mengandung mikrofilaria
4.
Kondisi lingkungan mendukung sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk penular
filariasis
Berdasarkan hal tersebut, tim belum menemukan adanya warga masyarakat yang positif mengandung mikrofilaria. Penderita terduga filariasis kronis juga tidak mengalami gejala akut filariasis dan tidak mengalami tahapan limfadema. Pembesaran tungkai telah teijadi sejak bayi (baru lahir). Terkait dengan lingkungan, kondisi lingkungan juga tidak mendukung adanya penularan filariasis dikarenakan kondisi lingkungan sekitar pemukiman bersih dan tertata dengan baik, sehingga sangat membatasi Culex quinquefasciatus untuk berkembang biak dengan baik di wilayah tersebut.
64
6.6. Uji efikasi Bacillus thuringiensis H-14 isolat Salatiga terhadap vektor utama filariasis di Jawa Tengah Biolaras merupakan biolarvasida yang mengandung Bacillus thuringiensis isolat salatiga. Bacillus thuringiensis menghasilkan kristal protein toksin pada masa pembentukan spora. Kristal protein toksin tersebut apabila termakan oleh larva maka akan menjadi aktif dan berikatan dengan sel epitel usus larva sehingga menyebabkan lubang pada usus larva yang mengakibatkan kematian larva.” 6 Pada uji efikasi di laboratorium menunjukkan perbedaan konsentrasi yang dibutuhkan biolaras formulasi cair dan bubuk untuk membunuh larva Culex quinquefasciatus 50% dan 90% , dapat disebabkan karena perbedaan konsentrasi Bacillus thuringiensis isolat Salatiga yang ada dalam formulasi. Hal lain mempenga pemaparanruhi adalah jenis dan komposisi bahan pengisi pada formulasi bubuk dan cair berbeda serta perbedaan teknologi pembuatan formulasi (Burges, H.D, 1998). Faktor-faktor seperti instar larva, makanan, periode pemaparan (exposure period), kualitas air, suhu air , formulasi dan kepekaan masing-masing larva yang diuj, khususnya tingkat sedimentasi/pengendapan dilaporkan sangat mempengaruhi efikasi B. thuringiensis terhadap larva nyamuk.58 Hasil pengujian di lapangan menunjukkan prosentase kematian larva Culex quinquefasciatus menurun setelah tujuh hari pengamatan. Kondisi lingkungan tempat perkembangbiakan seperti: suhu udara, radiasi, kekeruhan air, vegetasi, material organik terlarut dan suhu air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas biolarvasida/9'61 Pencemaran air pada selokan dan kubangan yang menjadi tempat perkembangbiakan juga merupakan faktor yang mempengaruhi aktivitas larvasida sehingga efek residu berkurang.6’ Air yang terdapat pada selokan dan kubangan yang digunakan pada penelitian ini merupakan air yang tercemar dengan limbah detergen dan limbah industri batik rumah tangga. Hal lain yang menyebabkan berkurangnya efek residu larvasida adalah penambahan volume air63 Kubangan rumah penduduk merupakan tampungan air limbah keluarga yang setiap harinya terjadi penambahan air sehingga konsentrasi larvasida semakin berkurang. Selokan yang dipakai dalam
65
penelitian ini juga merupakan saluran pembuangan limbah keluarga yang volumenya bertambah
setiap
harinya.
Pembuangan
dan
penambahan
air
pada
tempat
perkembangbiakan larva juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada aktivitas larvasida B. thuringiensis H-14.62 Hasil penebaran biolaras formulasi bubuk maupun cair pada selokan di Desa Simbang Wetan dan kubangan di sekitar rumah penduduk di Desa Watu Salam menunjukkan bahwa Efektivitas biolaras (formulasi cair dan bubuk B. thuringiensis H-14 isolat Salatiga) tidak berbeda dengan B. thuringiensis H-14 produk luar (kontrol positif) yaitu sudah menurun hingga dibawah 50% pada 7 hari pada selokan maupun kubangan. Hal ini didukung oleh Abbott, 199357 yang menyatakan bahwa Vectobas 12 AS (formulasi liquid) dan Vectobac G (formulasi powder) dapat mengendalikan semua instar larva, dan efikasinya dapat dievaluasi 1 - 4 jam sesudah aplikasi, tetapi tidak lebih dari 7 hari. Karena itu biolaras B. thuringiensis H-14 Isolat Salatiga mempunyai potensi yang sama dalam mengendalikan larva nyamuk Cx. quinquefasciatus.
66
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan 1.
Seluruh kelurahan yang disurvey di wilayah Kabupaten Kudus dan Jepara merupakan daerah endemis DBD dengan potensi penularan yang masih terjadi dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) antara 53% - 95%.
2.
Kelurahan Pasuruan lor merupakan daerah dengan potensi penularan tinggi DBD dengan BI {Breteau index) yang berada di atas 35%, ehingga perlu mendapat prioritas pengendalian DBD.
3.
Uji kerentanan insektisida menunjukkan bahwa Ae. aegypti asal Kabupaten Kudus dan Jepara resisten terhadap Permethrin 0,75 %, Bendiocarb 0,5 %, Etofenprox 0,5%, Malathion 0,8 %, Lambdasihalothrin 0,05 %, Deltametrin 0,05% dan Cypermetrin 0,05% .
4.
Hasil pemeriksaan Laboratorium Biologi Molekuler B2P2VRP, Chikungunya terkonfirmasi secara molekuler di wilayah Boyolali (sampel total 15, sampel positif 5), Kota Magelang (sampel total 14, sampel positif 9), dan Banyumas (sampel total 21, sampel positif 3). Seluruhnya termasuk dalam genotipe Asian.
5.
Hasil pemeriksaan sampel serum tersimpan yang sebelumnya terduga Leptospirosis, Chikungunya, Dengue dan Hantavirus tahun 2014 menunjukkan terdapat sampel positif Japanese encephalitis (dari total sampel tersimpan sejumlah 26, sampel positif sejumlah 2 ).
6.
Pasien diduga penderita kronis filariasis terbukti bukan merupakan penderita kronis filariasis (hasil laboratorium seluruhnya negatif).
7.
Wilayah Kelurahan pandean lamper tidak menunjukkan sebagai daerah endemis filariasis, karena tidak ditemukan adanya warga yang positif mengandung mikrofilaria.
8.
Biolaras B. thuringiensis H-14 Isolat Salatiga mempunyai potensi yang sama dalam mengendalikan larva nyamuk Cx. quinquefasciatus, vektor
67
utama filariasis di Jawa Tengah (LC50 = 0,019 mg/ml, sedangkan LCyo = 0,056 mg/ml ) 7.2. Saran 1.
Upaya pengendalian vektor DBD secara terintegrasi dengan mengikutsertakan faktor epidemiologi perlu dilaksanakan, antara lain dengan melakukan: analisis situasi terhadap berbagai faktor yang mendukung penularan, sistem pengawasan rutin terhadap indeks jentik, dan aplikasi pengendalian vektor yang efektif dan efisien berdasar kepada indeks jentik, kontainer target, sebaran kontainer target dan dominansi jentik terkoleksi.
2.
Perlu dilakukan evaluasi terhadap seluruh golongan dan dosis terhadap insektisida yang digunakan dalam program pengendalian vektor di wilayah Jawa Tengah dengan berkoordinasi bersama Sub Direktorat Pengendalian Vektor, Ditjen P2PL Kemenkes RI sebagai salah satu upaya yang sangat perlu dipertimbangkan untuk meningkatkan keberhasilan aplikasi insektisida program yang efektif dan efisien.
3.
Surveilans aktif Chikungunya perlu terus ditingkatkan mengingat sejak ditemukan pertama kali di Jawa Tengah, kejadian Chikungunya tidak menurun, namun justru meningkat.
4.
Pengendalian vektor secara komprehensif antara dengue dan chikungunya perlu dilakukan guna upaya pengendalian penyakit yang lebih efektif dan efisien, antara lain dengan mengikutsertakan diagnosis laboratorium untuk chikungunya untuk pelaksanaan tatalaksana.
5.
Perlu meningkatkan kapasitas sarana dan prasarana laboratorium yang memperkuat diagnosis Chikungunya di fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat secara umum, dan di Jawa Tengah khususnya.
6.
Perlu dibentuk jejaring laboratorium penunjang yang mampu mengidentifikasi JE secara cepat dan tepat dalam tata laksana kegiatan surveilans JE di Jawa Tengah.
68
BAB VIII REKOMENDASI KEBIJAKAN Berdasarkan hasil penelitian Analisis Penanggulangan Peningkatan Kasus dan Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit Tular Vektor di Jawa Tengah pada Tahun 2014, maka beberapa Rekomendasi Kebijakan diusulkan sebagai berikut: 1.
Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan unit sarana kesehatan di setiap kabupaten/kota mencakup penanggulangan penyakit tular vektor terutama dapat difokuskan pada: a.
Efektivitas survey jentik dan analisis faktor risiko penularan DBD;
b.
Kapasitas pemeriksaan laboratorium untuk uji Dengue, Chikungunya dan Japanese encephalitis secara cepat dan terstandar untuk mendukung early diagnostic, prompt treatment (EDPT) dalam penemuan dan pengobatan penderita.
c. 2.
Efektivitas penemuan dan penentuan kasus Filariasis
Perlu dilakukan upaya monitoring terhadap resistensi insektisida program pengendalian vektor secara berkala melalui uji resistensi insektisida menggunakan laboratorium terstandar untuk dapat memperlambat ataupun menanggulangi terjadinya resistensi insektisida yang diaplikasikan terhadap nyamuk vektor di lapangan.
3.
Perlu diupayakan pertemuan rutin antara Dinas Kesehatan kabupaten/kota, BBTKLPM/BTKL-PM (sebagai laboratorium yang melakukan monitoring surveilans program); Sub direktorat Pengendalian vektor; Ditjen P2-PL dalam penentuan jenis insektisida dan dosis yang optimal untuk digunakan di setiap daerah (berdasarkan spesifik kondisi lokal).
69
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam kesempatan ini, tim peneliti mengucapkan terima kasih sebesarbesarnya kepada : 4.
Kepala Badan Litbang Kesehatan atas kesempatan dan dukungan yang diberikan
untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka penanggulangan kejadian luar biasa Penyakit tular vektor di Jawa Tengah ini 5.
Bapak Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah dan seluruh jajarannya,
khususnya bidang pengendalian penyakit menular atas ijin dan dukungan yang telah diberikan kepada kami 6.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus, Kepala Dinas Kabupaten Jepara,
Kepala Dinas Kota Semarang, Kepala Dinas Kota Magelang, Kepala Dinas Kota Pekalongan, Kepala Dinas Kabupaten Boyolali dan Kepala Dinas Kabupaten Banyumas beserta seluruh jajarannya atas keija sama dan dukungan yang diberikan 7.
Seluruh Staf peneliti dan Teknisi B2P2VRO atas segala dukungannya selama
ini.
70
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Brug, V.D. 1997. Malaria iri Batavia. Tropical Medicine and International Health. 1997; 2(9) 892-902. 2. Myint KS, Kosasih H, Artika IM, Perkasa A, Puspita M, Ma’roef CN, Antonjaya U, Ledermann JP, Powers AM, Alisjahbana B. West Nile Virus Documented in Indonesia from Acute Febrile Illness Specimens. Am J Trap MedHyg. 2014; 90(2):260-2. 3. Erlanger TE, Weiss S, Keiser J, Utzinger J, Wiedenmayer K. Past, Present and Future of Japanese Encephalitis. Emerg infect Dis. 2009; 15(1): 1-7. 4. Sudomo M. Penyakit Parasitik yang Kurang diperhatikan di Indonesia. Diakses dari situs h ttp://www.litbang.depkes.go.id pada tanggal 30 Maret 2014. 5. Dinkes Jateng. Analisis Penyakit Tular Vektor di Jawa Tengah. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah 2014. 6. Nalim, S dan Satoto, T.B.T, Pengendalian Nyamuk Penular Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Vector Simposium. 2007. 7. Kustriastuti, R. Kebijakan Penanggulangan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Sub Dit Arboviruses, Ditjen P2M&PL Depkes RI. 2007. 8. WHO. Global Programme to Eliminate Lymhatic Filariasis : Monitoring and Epidemiological Assessment of Mass Drug Administration. World Health Organization, Swizeland. 2011. 9. Ditjen P2MPL. Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa, Depkes RI. 2004. 10. Ditjen P2MPL. Buku Saku Pemberantasan Penyakit DBD untuk koordinator DBD Puskesmas. Depkes RI. 2007. 11. Ditjen P2MPL. Pedoman Pengendalian Demam Chikungunya edisi 2. Kementerian Kesehatan RI. 2012. 12. Chang, M.S. Dengue Integrated Vector Management. WHO-WPRO 13. Wibowo. Sejarah Chikungunya di Indonesia, Suatu Penyakit ke Re- emerging?. Suplemen Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Vol .XX. 2010. 14. WHO-Regional Office of South East Asia. Guideline for Prevention and Control Chikungunya Fever. 2009 15. Subdit Filariasis dan Schistosomiasis, Direktorat P2B2, Ditjen PPPL, Kementerian Kesehatan RI. Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia. 2010. 16. Haryuningtyas, D dan Subekti, D.T. Dinamika Filariasis di Indonesia. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. 17. Soeyoko. Penyakit Kaki Gajah (Filariasis Limfatik): Permasalahan dan Alternatif Penanggulangannya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Univesitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 2002. 18. Ritchie SA, Rapley LP, Williams CW, Johnson PH, Larkman M, Silcock RM, Long S A, Russell RC. A Lethal Ovitrap-based Mass Trapping Scheme
71
19.
20. 21.
22.
23. 24.
25.
26.
27.
28.
29.
30. 31.
32.
for dengue control in Australia : I. Public Acceptability and Performance of Lethal Ovitraps. Med Veterin Entomol. 2009;23:295-302. Ritchie SA, Long S, Smith G, Pyke A, Knox TB. Entomological Investigations in a focus of Dengue Transmission in Cairns, Queensland, Australia using the sticky ovitrap. J Med Entomol. 2004; 41:1-4. Dirjen P2M&PL. Kebijaksanaan Program P2-DBD dan Situasi Terkini DBD Indonesia. Departemen Kesehatan RI., Jakarta. 2004 Kader, M.S.A., J. Fernando, J. Kiruba, G. Palani, T.D. Sarangapani, P. Kandasamy, N.C. Appavoo, L. Anuradha. Investigation of Aedes aegypti Breeding During Dengue Fever Outbreak in Villages of Dharmapuri District, Tamil Nadu, India. Dengue Bulletin. 1998(22): 1-5. Stojanovich, C.J., H.G.Scott. (1966). Illustrated Key to Mosquitoes of Vietnam. U.S. Department of Health, Education and Welfare, Publich Health service, CDC Atlanta, Georgia 30333. Ditjen P2M & PL. 2002. Pedoman Penentuan Daerah Endemis Penyakit Kaki Gajah (Filariasis), Buku 3. Direktorat Jenderal PPM & PL, Depkes RI, Jakarta. O’Connor, C.T., Soepanto, A. 1999. Kunci Bergambar Nyamuk Anopheles Dewasa di Indonesia. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Departemen Kesehatan, R.I. Ditjen P2M & PLP. 1989. Kunci Identifikasi Culex Jentik dan Dewasa di Jawa. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menuiar dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Departemen Kesehatan RI. Apiwathnasom, C., Komalamisra, N., Vutikes, S., Deesin, T. 1987. Mosquito Survey in Practical Entomology Malaria and Filariasis {Eds. Sucharit, S, Supavej, S.). The Museum and Reference Centre, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University. Leemingsawat, S., Deesin, T., Vutikes, S. 1987. Determination of Filariae in Mosquitoes, in Practical Entomology Malaria and Filariasis {Eds. Sucharit, S., Supavej, S.). The Museum and Reference Centre, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University. WHO. Instruction for Determining the Susceptibility or Resistance of Adult Mosquitos to Organochlorine, Organophosphate adn Carbamate InsecticidesDiagnostic Test. WHO/VBC/81.806 Corr. 1. De Paula SO, Pires Neto RJ, Correa JA, Assumpcao SR, Costa ML, Lima DM, Fonseca BA.The Use of Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RTPCR) for rapid Detection and Identification of Dengue Virus in an Endemic Region: A validation Study. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2002;96(3): 266-9. Dinkes Jateng. 2013. Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah tahun 2013. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Kemenkes. 2014. Pengendalian Arbovirosis : Situasi Terkini & Kebijakan Nasional Pengendalian DBD, Chikungunya dan Japanese Encephalitis. Subdit Arbovirosis, Ditjen P2PL, Kemenkes RI. Dinkes Jateng. 2014. Analisis Penyakit Tular Vektor Jawa Tengah. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.
72
33. 34. 35. 36. 37. 38. 39.
40.
41. 42.
43.
44
45.
46.
47.
48.
BPS Kabupaten Kudus. 2014. Kudus Dalam Angka 2014. http://kuduskab.bps.go.id/?hal=publikasi detil&id=62. Dinkes Kudus. 2014. Situasi Demam Berdarah Dengue Kabupaten Kudus. Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus. BPS Kabupaten Jepara. 2014. Jepara Dalam Angka 2014. http://jeparakab.bps.go. id/?hal=pubikasi detil&id=l. Serger S. 2014. Chikungunya and Zika : Global Status. Gideon E-book series. Gideon informatics, Inc. Dinkes Prov. Jateng. 2010. Situasi Chikungunya Provinsi Jawa Tengah tahun 2009. Dinas Kesehatan provinsi Jawa Tengah WHO 1994. Guidelines for Dengue surveillance and mosquito control. WHO Regional Office for the Western Pasific, Manila. Brown, AWA. 1977. Yellow Fever, Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. In : Howe GM, ed. A world Geography of Human Diseases. London, Academic Press : 271-316. Suroso, T ; S.R Hadinegoro; S. Wuryadi; G. Simanjuntak; A.I. Umar; P.D.Pitoyo; R Kusriastuti dan AR Ali izhar Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue Petunjuk Lengkap. 2003.Terjemahan dari WHO Regional publication SEARO No. 29 “ Prevention Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever”Dep Kes R.I.161 halaman World Health Organization. Dengue Haemorrhagic Fever, Diagnosis, Treatment, Prevention and Control, 2 nd Edition. 1997. WHO Geneva. 84 p. Herath, P.R.J. Insecticide Resistance Status in Disease Vectors and its Practical Implications. Intercountray Workshop on Insecticide Resistance of Mosquito Vectors. Salatiga Indonesia. 1997.5-8 August. 25 p. Ffrench - Constant, R. H.; Philip J. Dabom and Gaelle Le Goff. The genetics and genomics of insecticide resistance. TRENDS in Genetics. 2004. Vol. 20 No. 3. p. 163-170. Ibrahima, D; C.T, Diagne; B, Yamar; D, Diawo; K, Lassana and D, Mawlouth. Insecticide susceptibility of Aedes aegypti Populations from Senegal and Cape Verde Archipelago.2012. Parasites & Vectors. 5 : 238. 4p. Janet C. McA; S.G, Marvin; and L.S, Mariah. Pyrethroid resistance in Aedes aegypti and Aedes albopictus from Port-au-Prince, Haiti. 2012. Journal of Vector Ecology.Vol 37. No.2.p 325-332. Pimsamarn, S;W. Sompeng. S. Akksilp; P. Paepom and M. Limpawitthayakul. Detection of insecticide resistance in Aedes aegypti to organophosphate and synthetic pyrethroid compounds in the north-east of Thailand. 2009. Dengue Bulletin-^olume 33, 194-202. Narumon Komalamisra, Raweewan Srisawat, Theerawit Phanbhuwong and Sompis Oatwaree. Insecticide Susceptibility of The Dengue Vector, Aedes aegypti (L) in Metropolitan Bangkok. 2 0 1 1. Southeast Asian J. Trop Public Healthyol. 42 No. 4 July.814-822. Sinji Kasai, Osamu Komagata, Kentaro Itokawa, Toshio Shono, Lee Ching Ng, Mutsuo Kobayashi, Takashi Tomita. Mechanisms of Pyrethroid
73
49.
50.
51. 52. 53.
54.
55. 56. 57. 58. 59.
60. 61.
62.
Resistance in the Dengue Mosquito Vector, Aedes aegypti. Target Site Insensitivity, Penetration and Metabolism. 2014. PLOS Neglected Tropical Diseases, June. Volume 8, issue 6.e2948.p 1-23. Hidayati H, M.,Azirun, N.W. Ahmad and Lee. H.L. Insecticide resistance development in Culex quinguefasciatus (Say), Ae. aegypti (L.) and Aedes albopictus (Skutse) larvae against malathion, permetrin and temephos.2005. Tropical Biomedicine 22 (1): 45-52. Vincent, TK., Chow, YC., Chan Rita Yong, KM. Lee., LK. Lim, YK Chung. SG, Lam-Phua. An BT Tan. 1998. Monitoring of Dengue Viruses in Field-Cought Aedes aegypti and Aedes albopictus Mosquitoes by a Type Specific Polymerase Chain Reaction and Cycle Sequencing. Am. J. Trap. Med. Hyg. pp 578-586. David A.W & Gilles. H. M. ” Essential Malariology' International Student Edition. Fourth Edition, London, New York, New Delhi. 2002. p. 159-166. Brogdon, W.G. and Janet C. McAllister. Insecticide Resistance and Vector Control. Emerging Infectious Diseases. 1998. Vol 4, No. 4., Oktober- Desember. P. 605-613. Widiarti; Damar Tri Boewono dan MujionoDeteksi Antigen Virus Dengue Pada Progeni Vektor Demam Berdarah Dengan Metode Imunohistokimia. 2009. Buletin Penelitian Kesehatan Vol. 37. No. 3-2009. hal. 126-136. Joshi, V., Mourya, D.T., and R.C. Sharma,. 2002. Persistance of Dengue 3 Virus Through Transovarial Transmission Passage in Successive Generation of Aedes aegypti Mosquito. The American Society of Tropical Medicine and Hygiene. 67 (2):158-161. World Health Organization. 1997. Dengue Haemorrhagic Fever, Diagnosis, Treatment, Prevention and Control, 2 nt Edition. WHO Geneva. 84 p. Inswlasri, Agustina Lubis A. Dampak Proses Chlorinasi Air Pada Kesehatan. Cermin 40 Duma Kedokteran No. 82, 1993 Abbott Laboratories, 1993. Bt H-14 Life Cycle. The Sequence of Events Associated with Using B. thuringiensis israelensis (Bt i ) for Control of Mosquto Larvae. Becker N dan Margalit J. 1992. Control of Diptera with B. thuringiensis israelensis. Training in Tropical Diseases,Jenewa 4. Boisvert, Mario. 2005. Utilization of Bacillus thuringiensis var israelensis Based formulation for Biological Control of Mosquito in Canada. 6th Pacific Rim Conference of The Biotechnology of Bacillus thuringiensis and its environmental impact. Victoria BC: 89-93. Burges, H.D, 1998. Formulation of Microbial Biopestisides. Kuwer Academic Publiser. Lacey LA, 2007. Bacillus thuringiensis serovariety israelensis and Bacillus sphaericus for Mosquito Control. Journal of America Mosqoito Control Association. 23:133-163. Lee H.L, Pe T.H, dan Cheong W.H.1986. Laboratory Evaluation of Persistence of Bacillus thuringiensis var israelensis Against Aedes aegypti larvae. Mosq Born. Dis. Bull. 2(3)61-66.
74
63.
64.
65. 66. 67.
68.
Mulia, et al. 1999. Efficacy of New Formulation of Microbial Larvacide Bacillus thuringiensis against water mosqoitoes in Thailand. J. Vector Ecol.1999 Juni 24(1):100. Garjito, TA., Widiarti, Handayani, F., Joharina, AS. 2014. Virus Japanese Encephalitis dan Masalahnya di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Mikrobiologi : Keanekaragaman dan Pemanfaatan Sumberdaya Mikroba Tropika Indonesia, Salatiga, 4 Agustus 2014. Fakultas Biologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Jawa Tengah. Depkes RI. 2002. Pedoman Penentuan Daerah Endemis Penyakit Kaki Gajah (Filariasis): Buku 3. Departemen Kesehatan R.I. WHO, 1999. Microbial Pest Control Agent Bacillus Thuringiensis WHO, Jeneva. Widarso HS, Purba W, Suroso T, Ganefa S, Hutabarat T, Widyaningsih C, Endang B. 2002. Current Status on Japanese Encephalitis in Indonesia. Proceedings on The Annual Meeting of the Regional Working Group on Immunization in Bangkok, Thailand, 1 7 - 1 9 June 2002. Lubis I, Wuryadi S. 1981. Penyakit Japanese encephalitis pada anak-anak di dua rumah sakit Jakarta. Bull Pen. Kes. 1981;11:18-22.
75
VII.SlISUNAN TIM PENELITI PENANGGULANGAN KLB VEKTOR No
Nama
Jabatan
keahlian/ kesarjanaan
Uraian Tugas
Kedudukan dalam Tim Dr Vivi Lisdawati. M Si, Api Koordinator peneliti 1. 2 Ketua Pelaksana Trmibowo A Garjito. S.Si., M.Kes
Peneliti Muda
S3 Biomcdis S2 Kedokteran tropis
3
Peneliti
Profesor Riset
S3 Bidang Entomologi
Bersama ketua pelaksana merekonstruksi strategi penanggulangan KLB
Peneliti
Peneliti Madya
S2 Kedokteran Tropis
Bersama ketua pelaksana melaksanakan analisis evaluasi pengendalian vektor Bersama ketua pelaksana melakukan kajian bidang bioekologi nyamuk Bersama ketua pelaksana melakukan analisis peran serta masyarakat Bersama ketua pelaksana melakukan kajian dalam survey entomologi Bersama ketua pelaksana melakukan analisis peran serta mas> arakat Bersama ketua pelaksana melakukan kajian uji insektisida Membantu peneliti dalam identifikasi virus
4
Prof Dr Damar Tribocwono, MS Drs Widiarti. MKcs
Mengkoordinasi peneliti dalam pelaksanaan penelitian Bertanggung jawab terhadap seluruh aspek penelitian
5
Dra Umi Widyastuti, M Kes
Peneliti
Peneliti Madya
S2 Kedokteran Tropis
6
Wiwik Trapsilowati, SKM. MKcs
Peneliti
Peneliti Muda
S2 Promosi Kesehatan
7
Rivani Sctyaningsih. S.SLM.Sc
Peneliti
Peneliti Pertama
S2 Kedokteran Tropis
8
Aryani Pujiyanti. SKM. MPH
Peneliti
Peneliti Pertama
S2 Promosi Kesehatan
Peneliti
Peneliti Pertama
SI Teknik Kimia
10 Amm Sih Joharina, S.Si
Peneliti
Calon Peneliti
SI Biologi
II
Mujiyono
Pembantu Peneliti
Teknisi Litkayasa penyelia
SMA
Membantu peneliti dalam koleksi dan idenufikasi nyamuk dan larva
12
Lasmiati
Pembantu Peneliti
Teknisi Litkayasa penyelia
SMA D3- Kesehatan Lingkingan
9.
Sn Wahyuni H. S.T
12 RimaTunjungsari D A
Pembantu peneliti
13
Hcru Priyanto
Pembantu peneliti
Teknisi Litka\asa pelaksana lanjutan Teknisi Litkayasa penyelia
14
Mega Tyas Prihatin
Pembantu peneliti
Calon teknisi litkayasa
D3-Analis Kesehatan
Membantu peneliti dalam koleksi dan identifikasi nyamuk dan larva Membantu peneliti dalam pemeliharaan nyamuk di laboratorium Mcmantu peneliti dalam Survey larva dan nyamuk dewasa Membantu peneliti dalam identifikasi virus
15
Kusno Barudin
Pembantu peneliti
Teknisi Litkayasa Penyelia
STM
Membantu peneliti dalam survey parasit filariasis
16
Valentinus Ratno
Pembantu Peneliti
Teknisi Litkayasa Penyelia
SMA
Membantu peneliti dalam survev entomologi
SMA
..
76
VIII. JADWAL KEGIATAN URAIAN KEGIATAN
Pencapaian Tolok Ukur Per Triwulan (Target Kumulatif) Triwulan 1
Uraikan secara berurutan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam rangka penelitian ini Penjajagan dianggap sudah selesai, sehingga tidak ada studi Jumlah kepustakaan dan peninjauan daerah untuk pemilihan lokasi Penyusunan protokol juga sudah selesai
Satuan
Jumlah
%
0.8
80%
Triwulan II
Junilah
Triwulan III
%
Jumlah
%
Triwulan IV
Jumlah
%
1. Persiapan penelitian a Pembuatan proposal/protokol
1
Kali
b. Pengajuan ethical clearance
1
Kali
c Perijinan dan pemilihan lokasi
1
Kali
d Pengadaan barang
1
Kali
a Pertemuan dengan pemerintah daerah
3
Kali
b Pelaksanaan penelitian
10
Kali
8
10
Kali
8
1
0,2
100% 1
100%
1
100%
100%
2. Pelaksanaan Penelitian
3. Pengolahan dan analisa data
1
33,33%
2
66,67% 80% 80%
2
20% 20%
2
4. Pelaporan a. laporan triwulan
4
Kali
b Laporan akhir
1
Kali
1
25%
1
25%
1
25%
1
25%
1
100%
77
IX. BIODATA KETUA PELAKSANA
Nama
: Triwibowo Ambar Garjito, S.Si.., M.Kes.
Alamat
: Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit
(B2P2VRP), Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan R.I. Alamat instansi : Jalan Hasanuddin 123, PO BOX 200, Salatiga, Jawa Tengah, Telpon (0298)327096, 312107; Fax. (0298)322604, E-mail : / b2p2vrp V71 itbang.depkes. go. id. Kontak person : Telp. 08124163712, E-mail : triwibo woa@gmai 1.com Riwayat Pendidikan Formal : 1.
SI Biologi, Universitas Gadjah Mada (UGM) (2000)
2.
S2 Peminatan Imunologi dan Biologi Molekuler Penyakit Tropis, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada (2007)
Riwavat Pekerjaan : -
2012 - sekarang : Peneliti Muda pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP)
-
2011-2012 : o Peneliti Muda pada Balai Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang (B2P2) Donggala o Kepala Seksi Pelayanan Penelitian pada Balai Litbang P2B2 Donggala 2009-2011; o Peneliti Pertama pada Balai Litbang p2B2 Donggala o Kepala Seksi Program
dan Kerjasama pada Balai Litbang P2B2 Donggala Riwavat Pelatihan 1.
Spatial Epidemiology Methods and Applications in GPS and GIS. United States Department of Agriculture, January 25-29, 2010.
2.
Burden Assessment of Important Helminth Zoonoses in The 7th RNAS+ Workshop. September 5-6, 2007 in Lijiang, Yunnan Province, P.R. China.
3.
Regional Training Course on Comprehensive Vector Control. Vector and Reservoir Control Research Unit in Collaboration with the WHO, 29 December 2003 - 7 February 2004, Salatiga, Indonesia.
78
4. Training Of Trainer (TOT) Dinamika Penularan Malaria., 13 Juli - 11 Agustus 2003, di BPVRP, Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia.
Publikasi ilmiah : I. Yang terkait dengan materi permasalahan penelitian 5 tahun terakhir a.
b.
c.
d.
e.
f.
Widiarti, Triboewono, D., Garjito, T.A., Tunjungsari, R., Asih, P.B.S., Syafruddin. 2012. Identifikasi Mutasi Noktah pada ''Gen Voltage Gated Sodium Channel** Aedes aegypti resisten terhadap Insektisida Pyrethroid di Semarang. Jawa Tengah. Buletin Penelitian Kesehatan Vol4(l) :31 -37. Chadijah, S., Jastal, Garjito, T.A., Rosmini, Veridiana, N.N, Srikandi, Y., Risti, Puryadi. 2011. Epidemiological study of Lymphatic Filariasis in Bambalamotu. North Mamuiu District. West Sulawesi Province. Indonesia. Proceeding of Joint International Tropical Medicine Meeting 2011,1-2 December 2011, Bangkok, Thailand. Garjito, T.A, Jastal, Anastasia, H., Rosmini, Wijaya, Y., Maksud, M., Risti, Kumiawan, A., Nurjana, M.A. 2008. Comprehensive Study for Control of Aedes aesvpti in palu Municipality. Central Sulawesi province. Indonesia Proceedings of The second International Conference on Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever : Global Innovation to Fight Dengue. 15-17 October 2008. Hilton Arcadia Phuket, Thailand. Garjito, T.A. Jastal, Srikandi, Y., Labatjo, Y., Kumiawan, A., Octaviani, Maksud, M. An Update of Brief Illustrated Key to Adult Anopheles of Sulawesi. Modul pelatihan Entomologi Kesehatan, Balai Litbang P2B2 Donggala. Risti, Garjito, T.A., Rosmini, Srikandi, Y., Labatjo, Y., Maksud, M. 2008. Kunci Bergambar Singkat Bebebrapa Species Aedes di Asia tenggara. Modul pelatihan Entomologi Kesehatan, Balai Litbang P2B2 Donggala. Garjito, T.A, Rosmini, Hayani, Jastal., 2006. A Strategy to Strengthening Early- Warning System for Monitoring of Transmission of Dengue Using Geographical Information System (GIS) and Entomological Investigation in Palu Municipality Province of Central Sulawesi. Proceeding Seminar dan Simposium Nasional “Strategi Pengendalian Nyamuk Sebagai Vektor Tular Penyakit dalam Upaya Peningkatan Kualitas Kesehatan Masyarakat ” diselenggarakan oleh Universitas Diponegoro bekerja sama dengan Asosiasi Pengendalian Nyamuk Indonesia , Hotel Graha Santika, Semarang 31 Agustus 2006.
2. Publikasi lainnva 5 tahun terakhir g.
Garjito, T.A., Jastal, Mujiyanto, Udin, Y., Widoretno, Ridwan, Purbowasito, W., Widartono, B.S., Dharmayanti, NLPI., Misriah, Kustriastuti, R. 2012. High-potential transmission of highly-pathogenic form of avian influenza H5N1 in several areas of the Java Region in Indonesia. Proceedings of of the 5th Oxford InternationaI Influenza Conference, 11-13 September 2012, St. Hilda's College, Oxford, UK. h. Mujiyanto, Garjito, T.A., Widoretno, Udin, Y., Jastal, Sudomo, M., Kusnanto, H., Lazuardi, L. 2012. Spatial model of avian Influenza risk Areas in Major Cities of Indonesia. Proceedings of Joint International Tropical Medicine Meeting 2011,1-2 December 2011, Bangkok, Thailand. i. Garjito, T.A., Mujiyanto, Jastal, Widoretno, Udin, Y., Ridwan, Kustriastuti, Purbowasito, W., Sapta. B., Dharmayanti, NLPI. 2011. Spatial Epidemiological
79
Analysis of Human Avian Influenza (H5N1) using Molecular Apprach, Remote Sensing and Geographical Information System in Indonesia. Proceedings of Thephinet 6th Biregional Scientific Conference : Global Surveillance Networking for Global Health. 8-11 November 2011. Bali, Indonesia. j. Satrija, F., Retnani, E.B., Murtini, S., Jastal, Samarang, Garjito, T.A., Sudomo, M. 2011. Schistosomiasis Japonica in Central Sulawesi province : Country' Report on RNAS+ targeted Diseases Indonesia. Proceedings of the I I t h meeting of RNAS+, 17- 19 October 2011, Siem Reap, Cambodia k. Jastal, Garjito, T.A., Mujiyanto, Widoretno, Udin, Y., Kustriastuti, Purbowasito, Kustriastuti, R., Purbowasito, W., Sapta, B., Dharmayanti, NLPI. 2011. High Potential Transmission of Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) H5N1 virus in West Java Province. Indonesia. Proceedings of the 4 Oxford International Influenza Conference, 7-9 September 2011, St. Hilda's College, Oxford, UK. 1. Mujiyanto, Garjito, T.A, Jastal, Widoretno, Udin, Y., Widiarto, B.S, Purbowasito, W., Sudomo, M. 2011. Spatial-Temporal Pattern of Avian Influenza Using Geographical Information System (GIS) in Tangerang Region. Indonesia. Proceedings of the 4lh Oxford International Influenza Conference, 7-9 September 2011, St. Hilda 's College, Oxford, UK. m. Garjito, T.A., Jastal. Rosmini, Nurwidavati, Abdullah, Sudomo, M., Saktiyono. 2011. Reemerging Schistosomiasis in Indonesia (case report 2000-2010). Proceedings of The JSID-NTD Neglected Tropical Diseases Meeting. July 8-10, 2011. Boston, Massachusetts, USA. n. Jastal, Mujiyanto, Garjito, T.A., Anastasia, H., Chadijah, S., Nurwidayati, A., Nurjana, M.A., Rosmini, Widjaja, Y., Samarang, Veridiana, N., Udin, Y. 2011 Spatial Epidemiology of Schistosomiasis in Central Sulawesi province. Indonesia. Proceedings of The 1SID-NTD Neglected Tropical Diseases Meeting. July 8-10, 2011. Boston, Massachusetts, USA. o. Mujiyanto, Garjito, T.A. 2009. Geospatial of Avian Influenza H5N1 Based on Molecular Approach using Geographical Information System in Indonesia. Proceedings of GIS in Public Health Conference : Putting Health in Place with GIS, 5-8 June 2009, Providence, Rhode Island, USA. p. Sudomo, M., Garjito, T.A. Epidemiology and Control of Schistosomiasis in Indonesia. Proceedings of the ATTIth International Congress for Tropical Medicine and Malaria : Tropical Medicine and Welfare : From Bench to Field. September 29 - October 3, 2008, International Convention Center Jeju, Jeju Korea, q. Garjito, T.A., Dahlan, M., Sudomo, M., Widayat, A. 2007. Current Situation of Schistosomiasis in Indonesia. Proceedings of the / Meeting for the Regional Network on Asian Schistosomiasis and other Helminthec Zoonoses (RNAS+). 5-7 September 2007, Lijiang, Yunna Province, P.R. China. r. Garjito, T.A., Sudomo, M., Jastal, Rosmini, Anastasia, H., Hariadi, Suyasna, I. M., Sumardi. 2007. Studv of Lymphatic Filariasis in the Rural Community on Bangga and parigi-Moutong District. Central Sulawesi. Indonesia Proceedings of the Is' International Symposium on Geospatial Health. 8-11 September 2011, Lijiang, Yunna Province, P.R. China. s. Garjito, T.A., Sudomo, M., Abdullah, Dahlan. M., Nurwidayati, A. 2008. Schistosomiasis in Indonesia: past and present. Parasitology International 57:277- 280.
80
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Ketua Panitia Pembina Ilmiah (PPI) B2P2VRP dan Kepala Balai Besar Penelitian dan pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga menyatakan bahwa Model penanggulangan Terintegrasi penyakit tular vektor dan Leptospirosis di Jawa Tengah tahun 2014 telah mendapat persetujuan sesuai ketentuan.
Menyetujui : Ketua PPI B2P2VRP
Dra. Widiarti,.M.Kes. NlP: 195509281984122001
81
PROSEDUR OPERASIONAL BAKU (POB) PENANGGULANGAN TERINTEGRASI KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) LEPTOSPIROSIS DI JAWA TENGAH INFORMED CONSENT PERNYATAAN BERSEDIA TURUT
BERPARTISIPASI 1. Dalam rangka penanggulangan KLB leptospirosis di Provinsi Jawa Tengah, akan dilakukan penelitian yang berjudul “PROSEDUR OPERASIONAL BAKU (POB) PENANGGULANGAN TERINTEGRASI PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN LEPTOSPIROSIS DI JAWA TENGAH” partisipasi Bapak/ibu/Sdr sangat diharapkan dalam penelitian ini 2. Tujuan penelitian ini adalah Meningkatkan kesiapan penanggulangan Leptospirosis di Jawa Tengah 3. /ibu/’sdr. berupa : a) Kesediaan diwawancarai untuk pengisian kuesioner yang berkaitan tentang pengetahuan, sikap dan praktek serta pendapat Bapak ibu Sdr tentang penggunaan alat deteksi cepat leptospirosis, diagnosis leptospirosis, pengendalian tikus dan aplikasi desinfektan di lingkungan. b) Diucapkan terima kasih, kepada bpk/ibu/sdr. atas partisipasinya. 4 Keuntungan kepada bpk/ibu/sdr: Apabila bpk./ibu/sdr lebih memahami penggunaan alat deteksi cepat leptospirosis, diagnosis leptospirosis. pengendalian tikus dan aplikasi desinfektan di lingkungan.terbebas dari leptospirosis, maka dapat membantu menurunkan kasus leptospirosis di masyarakat. 5. Partisipasi bpk./ibu sdr. adalah sukarela, bila bpk./ibu/sdr. tidak ingin berpartisipasi, bpk./ibu sdr. tidak terkena sangsi apapun, atau kehilangan hak bpk./ibu/sdr sebagai warga. Dengan menandatangani memberi cap jari pada pernyataan ini, saya menyatakan keikutsertaan saya dalam penelitian ini. Nama
Tanggal :
/
/'2014.
Tanda tangan cap jari peserta
penelitian Nama dan tanda tangan
saksi :
82
LEPTOSPIROSIS PADA MANUSIA DAN PREVALENSI TIKUS TERINFEKSI LEPTOSPIRA INTERROGANS DI DAERAH KLB ,KOTA SEMARANG, JAWA TENGAH, TAHUN 2014 Vivi Lisdawati, Ristiyanto, Arief Mulyono, dan Farida D.H., Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit Jl. Hasanudin 123, Salatiga, Jawa Tengah ABSTRAK Leptospirosis merupakan zoonosis. Penyakit ini sering dijumpai di daerah perkotaan terutama yang sering dilanda banjir. Manusia terinfeksi bakteri Leptospira melalui air atau tanah yang terkontaminasi dengan urin atau cairan tubuh inang reservoir. Tikus adalah inang reservoir leptospirosis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah kasus leptospirosis dengan penemuan kasus secara aktif dan pasif di seluruh wilayah Puskesmas yang sering terjadi kejadian luar biasa (KLB) leptospirosis dan Rumah Sakit Kota Semarang, Jawa Tengah dan mengidentifikasi serovar Leptospira pada manusia dan tikus di Kota Semarang, Jawa Tengah. Jenis penelitian adalah potonglintang (cross sectional). Penelitian dilakukan pada bulan MeiNovember 2014. Besar sampel minimal adalah 68 kasus leptospirosis. Kasus leptospirosis ditemukan secara aktif dan pasif di wilayah Puskesmas didiagnosis dengan kriteria Faine dilanjutkan dengan pemeriksaan MAT (Microscopic Agglutination Test), sedangkan kasus leptospirosis di Rumah Sakit berdasarkan diagnosis Rapid Diagnostic Test (RDT) dengan leptoteks yang dilakukan oleh Rumah Sakit. Penangkapan tikus menggunakan perangkap hidup sejumlah 100 buah. Pemasang perangkap di dalam dan di luar rumah selama 3 hari. Tikus yang tertangkap diidentifikasi dan diambil serum darahnya untuk mengetahui serovar Leptospira dengan UJI MAT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penemuan kasus leptospirosis secara aktif dan pasif di 16 wilayah Puskesmas Kota Semarang diperoleh 119 tersangka kasus leptospirosis (kriteria Faine) dan 68 kasus leptospirosis (RDT laterral flow) dari Rumah Sakit di Kota Semarang dengan prevalensi tikus terinfeksi bakteri leptospira untuk tikus got (R. norvegicus) 33,43% dan tikus rumah (R. tanezumi) 13,69%. Serovar Leptospira yang diidentifikasi pada manusia (9 kasus leptospirosis) di Kota Semarang adalah serovar Bataviae (4 kasus), Icterohaemorhagiae (3 kasus), Canicola (1 kasus), dan Autumnalis (1 kasus) relatif sama dengan yang teridentifikasi pada tikus got (R. norvegicus) yaitu Djasiman (40,55% dan 27 ekor), Icterohaemorhagie (22,22% ), Autumnalis (20,35) dan Bataviae (16.68%) dan tikus rumah (R. tanezumi) terinfeksi serovar Autumnalis (66,67% dari 3 ekor) dan Bataviae (33,33%). Hal ini menunjukkan bahwa tikus merupakan reservoir penting dari leptospirosis. PENDAHULUAN Leptospirosis disebabkan oleh infeksi Leptospira patogenik. Secara global penyakit ini merupakan zoonosis penting, karena mempengaruhi kesehatan manusia di daerah pedesaan dan perkotaan, baik di negara-negara industri dan berkembang (Bharti dkk., 2003;. Levett, 2001;. McBride dkk 2005). Penularan Leptospira patogenik ke manusia terjadi melalui kontak langsung dengan air atau tanah yang tercemar oleh urin hewan terinfeksi Leptospira patogenik (Faine dkk. 1999). Leptospirosis telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Asia dan Amerika Latin Di daerah tropis, wabah leptospirosis sering terjadi setelah banjir, badai atau bencana lainnva Angka insidensi leptospirosis di negara beriklim tropis lebih tinggi daripada di
negara beriklim subtropis dan daerah beriklim dingin (Rocha, 2004). Menurut Fraga (2010) angka mortalitas leptospirosis di dunia melebihi 10% per tahun. Wabah atau kejadian luar biasa (KLB) leptospirosis di wilayah Asia Tenggara telah dilaporkan dari Indonesia (tahun 2002), Mumbai, India (tahun 2005), dan Sri Lanka (tahun 2008), sedangkan wabah leptospirosis musiman (setiap musim hujan) dilaporkan dari Thailand bagian Utara dan Gujarat, India (Fraga, 2010). Di Indonesia wabah leptospirosis tahun 2002-2012 dilaporkan dari beberapa propinsi di Indonesia yaitu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, D I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bengkulu, dan Kepulauan Riau (Widarso dkk., 2008). Di Propinsi Jawa Tengah, jumlah kasus dan kematian karena leptospirosis cenderung meningkat setiap tahunnya. Tahun 2002-2004, kasus leptospirosis relatif terbatas ditemukan di Kota Semarang. Tahun 2005-2006, kasus leptospirosis dilaporkan dari Kabupaten Demak dan Klaten. Tahun 2007, kasus leptospirosis menyebar di Kabupaten Purworejo. Tahun 2007-2012, kasus leptospirosis telah dilaporkan dari Kabupaten Boyolali, Banyumas, Cilacap, dan Magelang. Kota Semarang merupakan daerah paling sering ditemukan kasus leptospirosis berat, disertai dengan kematian daripada di daerah kabupaten/kota lain. Saat ini penyebaran dan peningkatan kasus leptospirosis sulit diprediksi dan dikendalikan. (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah, 2012 ). Wabah leptospirosis pada umumnya terjadi pada masyarakat kumuh miskin di perkotaan (Johnson dkk. 2004). Hasil penyelidikan epidemiologi Dinas Kota Semarang, menunjukkan bahwa kasus leptospirosis pada umumnya adalah para pekerja kasar (buruh, tukang sampah dll) dan pengangguran/tidak bekeija. Selain itu, ditemukan pula kasus leptospirosis yang memelihara anjing (Kasie P2M PL Din.Kes. Kota Semarang, 2013). Hewan peliharaan seperti anjing berpotensi sebagai sumber penular (Koizumi dkk., 2009). Hasil penelitian Husein dkk. (2002), menemukan bakteri Leptospira serovar Canicola pada pasien leptospirosis dan anjing peliharaannya. Sedangkan hasil penelitian Ramadhani dan Sholichah. (2010), menunjukkan bahwa tikus rumah (Rattus tanezumi) dan tikus got (R. norvegicus) positif mengandung bakteri Leptospira patogenik (Leptospira interogans) serovar Icterohaemorraghiae, Bataviae dan Autumnalis. Penanggulangan leptospirosis telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang adalah penyelidikan epidemiologi (PE) di sekitar tempat tinggal penderita, ceramah klinik leptospirosis bagi dokter Puskesmas dan Rumah Sakit, pertemuan leptospirosis bagi petugas Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang (P2B2) dan petugas Surveilans Puskesmas, penyediaan dan pelatihan rapid diagnostic test (RDT) bagi Puskesmas, penyuluhan kesehatan kepada masyarakat tentang leptospirosis, penapisan leptospirosis di tempat pembuangan sampah dan di daerah rawan banjir, serta rapat koordinasi di lokasi kejadian luar biasa (KLB) leptospirosis bagi Puskesmas. Walaupun telah dilakukan penanggulangan leptospirosis tersebut di atas, namun kasus leptospirosis masih sering ditemukan dan menimbulkan kematian. Makalah ini melaporkan tentang kasus leptospirosis pada manusia dan prevalensi tikus terhadap infeksi Leptospira patogenik di Kota Semarang, tahun 2014. METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Semarang, Jawa Tengah, meliputi 16 wilayah kecamatan. Waktu penelitian Mei-November 2014. Pengambilan sampel dan besar sampel Jenis penelitian epidemiologi analitik dengan rancangan penelitian potong lintang (Cross sectional study). Besar sampel dihitung berdasarkan estimasi proporsi kasus leptospirosis (Lemeshow dkk. 1990). Prevalensi leptospirosis di Kota Semarang dari data
Dinas Kesehatan Kota Semarang adalah 33,3%, presisi mutlak sebesar 10 % dengan derajat kepercayaan 95%, maka diperoleh jumlah sampel minimum 54 kasus leptospirosis. Pada penelitian ini diperoleh sampel 119 kasus tersangka leptospirosis (kriteria Faine termodifikasi) dari penemuan secara aktif dan pasif, di wilayah kerja Puskesmas dan 68 kasus leptospirosis terkonfirmasi dari Rumah Sakit di Kota Semarang. Pengambilan serum darah manusia Cara kerja deteksi serovar Leptospira patogenik pada manusia dengan serodiagnosis. Langkah awal serodiagnosis adalah pengambilan darah pasien leptospirosis, yaitu pengambilan darah vena. Cara pengambilah darah vena yaitu, membersihkan kulit diatas lokasi tusuk dengan alkohol 70% dan biarkan sampai kering. Pada lokasi penusukan harus bebas dari luka dan bekas luka/sikatrik. Darah diambil dari vena mediana cubiti pada lipat siku. Dipasang ikatan pembendungan (Torniquet) pada lengan atas dan responden diminta untuk mengepal dan mernbuka telapak tangan berulang kali agar vena jelas terlihat. Lokasi penusukan didesinfeksi dengan kapas alkohol 70% dengan cara berputar dari dalam keluar. Spuit disiapkan dengan memeriksa jarum dan penutupnya. Setelah itu vena mediana cubiti ditusuk dengan posisi sudut 45 derajat dengan jarum menghadap keatas. Darah dibiarkan mengalir kedalam jarum kemudian jarum diputar menghadap kebawah. Agar aliran bebas responden diminta untuk membuka kepalan tangannya, darah kemudian dihisap sebanyak 10 ml. Torniquet dilepas, kemudian jarum ditarik dengan tetap menekan lubang penusukan dengan kapas alkohol (agar tidak sakit). Tempat bekas penusukan ditekan dengan kapas alkohol sampai tidak keluar darah lagi. Setelah itu bekas tusukan ditutup dengan plester. Sampel darah disimpan dalam venoject untuk selanjutnya diambil serumnya.Pengambilan serum darah dengan mebiarkan darah membeku didalam tabung pada suhu kamar selama 1 jam. Sentrifuge darah tersebut dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit. Setelah disentrifuge, pisahkan serum / bagian cair dari bekuan menggunakan pipet kedalam tabung lain. Pengambilan Sampel Tikus Di setiap lokasi, penangkapan tikus menggunakan 100 perangkap tikus (live trap) yang dilakukan selama 3 hari berturut-turut selama penelitian. Penangkapan tikus dilakukan dengan memasang perangkap pada sore hari mulai pukul 16.00 WIB kemudian perangkapnya diambil keesokan harinya antara pukul 06.00 - 09.00 WIB. Penangkapan di dalam rumah, digunakan 2 buah perangkap. Peletakan perangkap di dapur atau di kamar perangkap diletakkan di tempat yang diperkirakan sering dikunjungi tikus. Penangkapan tikus di luar rumah/kebun (50 perangkap), tiap area luasnya lebih kurang 10 m2 dipasang 1 perangkap. Umpan yang digunakan adalah kelapa bakar yang diganti 2 hari sekali. Tikus yang tertangkap segera dimasukkan ke dalam kantong kain. Pengambilan Serum Darah Tikus Sebelum diambil darahnya tikus dianastesi terlebih dahulu menggunakan ketamine HC 1 dengan dosis 50-100 mg/kg berat badan. Obat anastesi tersebut diberikan secara intramuskular dengan syringe needle 21 G. Anestesi terjadi selama 20 - 40 menit setelah penyuntikan, dan recovery sempurna tercapai setelah 1,5 jam. Pengambilan darah tikus melalui jantung. Darah yang terambil dimasukkan ke dalam tabung dan disentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Serum yang terbentuk diambil dengan pipet steril dan dimasukkan dalam vial.
Cara kerja identifikasi tikus Tikus yang telah diambil darahnya diidentifikasi dengan kunci identifikasi dengan mengukur berat badan, menghitung jumlah putting susu, mengukur panjang total, panjang ekor, panjang telapak kaki belakang dan panjang telinga. Dilihat pula warna dan jenis bulu serta warna dan panjang ekor (Suyanto, 2000). Pemeriksaan MAT Secara umum pemeriksaan MAT dilakukan dengan melakukan pengenceran serum dari 1:10 sampai pengenceran 1:1280. Pembacaan hasil dengan melihat ada tidaknya aglutinasi. Pembacaan titer tertinggi dengan melihat aglutinasi dan Leptospira bebas masing- masing 50%. Serovar yang diujikan Bangkinang, Canicola, Djasiman, Gryppotyphasa, Hebdomadis, lcterohaemorrhagie, Robinsoni, Salinem, Bataviae, Mini, Sarmin, Hardjo, Pomona. Positi f Leptospira j i ka titer > 1:320 untuk manusia dan titer > 1:20 untuk tikus. Analisis Data Data dianalisis dengan menggunakan uji eksak Fisher untuk mengetahui hubungan antara kasus leptospirosis dengan keberadaan tikus. Sampel kasus leptospirosis yang diuji kurang dari 40 (n< 40) sampel yaitu, 25 kasus leptospirosis terkonfirmasi leptopsirosis dengan MAT (16 orang positif terinfeksi bakteri Leptospirosis interogans dari 119 kasus demam dan 9 kasus leptospirosis dari 65 kasus yang diperoleh dari Rumah Sakit). HASIL A. Karakteristik Kota Semarang, Jawa Tengah (Din. Kes. Kota Semarang, 2013) Kota Semarang terletak antara garis 6°50’ - 7° 10’ Lintang Selatan dan garis 109°35’ 110°50’ Bujur Timur. Dibatasi sebelah Barat dengan Kabupaten Kendal, sebelah Timur dengan Kabupaten Demak, sebelah Selatan dengan Kabupaten Semarang, dan sebelah Utara dibatasi oleh Laut Jawa dengan panjang garis pantai meliputi 13,6 Km. Ketinggian Kota Semarang terletak antara 0,75 sampai dengan 348,00 di atas garis pantai. Luas Wilayah Kota Semarang 373,67 km2, dan merupakan 1,15% dari total luas daratan Provinsi Jawa Tengah. Kota Semarang terbagi dalam 16 kecamatan dan 177 kelurahan. Secara geografis wilayah Kota Semarang terbagi menjadi dua yaitu daerah dataran rendah (Kota Bawah) dan daerah perbukitan (Kota Atas). Kota Bawah merupakan pusat kegiatan pemerintahan, perdagangan dan industri, sedangkan Kota Atas lebih banyak dimanfaatkan untuk perkebunan, persawahan, dan hutan. Penyebaran penduduk Kota Semarang tidak merata. Masyarakat Kota Semarang terbagi dua yaitu masyarakat dengan karakteristik perkotaan dan pedesaan. Kepadatan penduduk .358 jiwa per km'. B. Karakteristik Kota Semarang Kota Semarang merupakan ibu kota Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis, terletak diantara 109" 35‘ - 110° 50‘ Bujur Timur dan 6" 50’-7fl 10’ Lintang Selatan. Batas wilayah Kota Semarang adalah sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Selatan berbatasan dengan wilayahi Kabupaten Semarang, sebelah Timur berbatasan dengan wilayah kabupaten Demak dan Kabupaten Grobogan, serta sebelah Barat berbatasan dengan wilayah kabupaten Kendal (Gambar 1). Topografi Kota Semarang terdiri atas daerah pantai, dataran rendah, dan perbukitan. Kawasan bagian Utara Kota Semarang merupakan daerah pantai. Ketinggian tempat bervariasi antara 0-3,5 m dpi. Dataran rendah sangat sempit, yaitu sekitar 4 kilometer dan garis pantai dikenal dengan sebutan Kota Bawah. Kawasan tersebut sering dilanda banjir,
disebabkan luapan air laut (rob). Daerah perbukitan merupakan kawasan bagian Selatan, ketinggian tempat antara 90-200 m dpi, dikenal dengan sebutan Kota Atas. Kota Atas meliputi Kecamatan Candisari, Mijen, Gunungpati, Tembalang dan Banyumanik. Kota Semarang beriklim tropis dengan 2 musim, yaitu musim kemarau pada bulan AprilSeptember dan musim penghujan antara bulan Oktober-Maret. Curah hujan tahunan rata-rata sebesar 2.790 mm, suhu udara berkisar antara 23"C-34(’ C, dengan kelembaban udara tahunan rata-rata 77%. Kota Semarang dalam suatu sistem hidrologi, merupakan kawasan yang berada pada kaki bukit Gunung Ungaran, mengalir beberapa sungai yang tergolong besar seperti Kali Besole, Kali Beringin, Kali Silandak, Kali Siangker, Kali Kreo, Kali Kripik, Kali Garang, Kali Candi, Kali Bajak, Kali Kedungmundu, Kali Penggaron. Kota Semarang merupakan daerah hilir, daerah limpahan debit air dari sungai yang melintas. Karakteristik kontur wilayah berbukit dengan perbedaan ketinggian yang sangat curam, sehingga pada musim penghujan, air hujan di daerah hulu akan sangat cepat mengalir ke daerah hilir dan mengakibatkan banjir. Luas wilayah Kota Semarang 373,70 km" dan secara administratif terbagi menjadi 16 Kecamatan, terdiri dari 117 Kelurahan. Pola tata guna lahan terdiri dari perumahan, tegalan, kebun campuran, sawah, tambak, hutan, perusahaan, jasa, industri dan penggunaan lainnya. Luas area pemukiman sebesar 33,70%, tegalan sebesar 15,77%, kebun campuran sebesar 13,47%, sawah sebesar 12,96%. Luas tataguna lahan lainnya meliputi jalan, sungai, tanah kosong 8,25%, tambak 6,96%, hutan 3,69%, area perusahaan 2,42%, area bangunan jasa 1,52% dan industri 1,26%. C. Leptospirosis Di Kota Semarang Berdasarkan diagnosis dengan kriteria Faine diketahui 119 kasus demam yang diperoleh dari wilayah kerja Puskesmas tersebut terindikasi leptospirosis, tetapi hasil pemeriksaan MAT, dari 119 kasus demam, 16 orang positif terinfeksi bakteri Leptospirosis interogans, serovar Bataviae, Djasiman dan Bataviae (103 sampel serum darah masih dalam proses pemeriksaan MAT). Enam puluh lima kasus leptospirosis diperoleh dan Rumah Sakit telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan rapid diagnosis test RDT (lateralI flow). Dari 65 kasus, 9 kasus leptospirosis diperiksa dengan metode MAT. Hasil pemeriksaan MAT menunjukkan bahwa 9 kasus leptospirosis terinfeksi Leptospira interogans dengan serovar Bataviae, Icterohaemorhagiae, Canicola, dan Autumnalis. Satu orang kasus leptospirosis yang meninggal dunia teridentifikasi mengandung serovar Autumnalis. Kasus leptospirosis sebagian besar berumur 21-30 tahun (14 orang) dan 31-40 tahyn (13 orang). Puncak kasus leptospirosis terjadi pada bulan Maret-Juli 2013. Kasus leptospirosis paling banyak berasal dari Kecamatan Semarang Utara (13 kasus), Tembalang (9 kasus), Candisari (8 kasus), Genuk (7 kasus), Semarang Barat (6 kasus), dan Pedurungan (5 kasus). Hasil diagonsis tenaga medis Puskesmas dan Rumah Sakit (184 kasus leptospirosis) menunjukkan bahwa gejala leptospirosis utama yang muncul adalah demam (95%), sakit kepala (78%), menggigil (75%), badan lemah (75%), nyeri perut (65%), nyeri betis (63%) dan nyeri otot (63%). Kasus leptospirosis (184 kasus leptospirosis) menyatakan bahwa tikus berada di lingkungan tempat tinggal dan tempat bekerjanya (Tabel 1). Dua kasus leptospirosis yang berusia muda belum sekolah (3 tahun) dan pelajar (10 tahun), orang tuanya menyatakan bahwa di rumah banyak tikus dan kotoran atau urin senng dijumpai di lantai rumah, baik di ruang tamu, dapur atau kadang-kadang di kamar tidur. Kasus leptospirosis lain yang beraktivitas di dalam gedung, adalah pedagang kelontong, pedagang plat nomer. penjaga counter HP, mahasiswa, pekerja biro tiket, ibu rumah tangga, pegawai katering, pelajar, modin. Satpam, buruh pabrik, tukang las, dan pegawai negeri sipil. Sedangkan kasus
leptospirosis yang sering beraktivitas di luar gedung adalah tukang sampah, tukang batu, pedagang ketela, tukang becak, dan pedagang ayam. Hal ini menunjukkan bahwa rasio kontak dengan tikus antara kasus leptospirosis yang beraktivitas di dalam gedung secara signifikan berbeda bermakna tertular leptospirosis daripada di antara kasus leptospirosis yang beraktivitas di luar rumah di daerah Kota Semarang, Jawa Tengah (uji eksak Fisher, P, 0.01). Tabel 1. Kasus leptospirosis pada manusia di Kota Semarang, Jawa Tengah, tahun 2014. Jenis Umur Asal Kelamin Pekerjaan Hubungan dengan tikus (Kecamatan) P L Semarang Utara 3 12 3-67 • Belum sekolah • Di rumah banyak dijumpai tikus • Pedagang kelontong • Di toko banyak dijumpai tikus • Pedagang ayam • Lingkungan jualan basah dan banyak tikus • Tukang Batu • Tempat penampungan air ada bangkai tikus • Pedagang ketela • Kontak dengan tikus di rumah • Pegawai terminal • Membersihkan gol sekitar terminal • Pedagang plat nomer • Tikus sering dijumpai di tokonya • Pekerja serabutan • Kerja bakti di lingkungan RT • Pedagang Pasar • Membersihkan kotoran/unn tikus • Tukane becak • Tiduran di teras toko Tembalang 3 6 17-43 • Rumah makan • Di dapur, dijumpai ban>ak tikus • Pengangguran • Di rumah banyak dijumpai tikus • Pedagang • Kerjabakti membersihkan selokan • PNS • Di rumah banyak dijumpai tikus • Buruh Pabnk • Genangan air disekitar rumah dan • Ibu Rumah tangga bersampah 2 6 20-54 • Pengupas Bawang • Membersihkan Candisari Memegang tikuskotoran mati tikus di halaman •rumah Cici mobil di sungai • Sopir • Sering mandi di kolam sekitar bangunan • Buruh Bangunan • Bermain di kolam renang dan lapangan • Pelajar 2 5 18-42 • Mahasiswa Genuk • Setelah pulang dan praktek lapangan • Membuat batu bata • Senng kontak dengan tampungan air • PedagangTerminal bangunan • Catenng • Sampah dan genangan air ditempai • Counter HP berjualan • Tukane Las • Mencuci perabot dan membersihkan dapur Pedurungan 2 3 18-40 • Satpam Di rumah barnak dijumpai tikus •• Senng tidur dilantai • Senng kontak dengan air pendingin besi Berkebun • Modin • Di rumah barnak dijumpai tikus • Tukang las Semarang Barat 2 4 15-39 • Bekerja • Membersihkan selokan sekitar rumah • Mahasiswa • Menginap di tempat teman di luar kota • PedagangPlatNomer • Di rumah banyak dijumpai Ukus • Membual Tempe • Kontak dengan air dalam proses pembuatan • T idak bekerja tempe • Membersihkan lantai rumah. Semarang Selatan 2 2 15-28 • Bengkel • Kontak dengan tanah bccek di bengkel • Buruh • Membersihkan lantai, dan kamar mandi Gadjah Mungkur 1 2 20-33 • Tukang Sampah • Sampah terkontaminasi dengan unne tikus • Pelajar • Berenang di kolam Gunung Pati 1 2 19-31 • Pengebor Sumur • Kontak/terendam air di sekitar pengeboran Gayamsari 0 2 22-29 • Pedagang Bunga • Saluran air terkontaminasi unn tikus • Kontak dengan limbah air cucian bahan • Pembuat Tempe baku/air limbah R.T • Tidak bekerja • Kerjabakti membersihkan gorong-gorong Semarang Timur 1 1 24-35 • Biro Tiket • Kontak dengan genangan air hujan • Scrvice Komputer • Di rumah banyak dijumpai tikus 0 1 27 • Counter HP • Berenang di kolam renang umum Banyumanik 0 1 42 • Satpam • Di rumah banyak dijumpai tikus Ngaliyan Semarang Tengah 0 1 28 • Tukang sampah • Kontak dengan sampah
D. Prevalensi leptospirosis pada tikus di berbagai habitat di Kota Semarang Hasil penangkapan tikus selama penelitian diperoleh 507 ekor yang terdiri dari tikus rumah (R. tanezumi) 240 ekor: tikus got (Rattus norvegicus) 140 ekor, , tikus ladang R. exulans 32 ekor dan celurut S', mur mus, 95 ekor (Tabel 2).Tikus rumah (R. tanezumi) dan tikus got (R. norvegicus) merupakan tikus beraktivitas di lingkungan rumah manusia (Brooks dan Rowe, 1992). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tikus rumah (R. tanezumi), 198 ekor banyak ditemukan di dalam rumah daripada di luar rumah. 21 ekor. Sedangkan tikus got (R. norvegicus), 114 ekor banyak ditemukan di luar rumah daripada di dalam rumah 26 ekor. Hasil pemeriksaan bakteri L interrogans dengan metode MAT menunjukkan bahwa 31,43% tikus got (R. norvegicus) lebih banyak terinfeksi bakteri tersebut dibandingkan tikus rumah (R. tanezumi) 30 ekor (13,69%). Di habitat dalam rumah. 34,62% tikus got (R. norvegicus) dan 13,64% tikus rumah (R. tanezumi) terinfeksi bakteri L. interrogans. Sedangkan di habitat luar rumah 33,43% tikus got (R. norvegicus) dan 13,69% tikus rumah (R. tanezumi) terinfeksi bakteri leptospirosis. Di habitat dalam rumah, 33,33% tikus got (R. norvegicus) dan 6,97% tikus rumah (R.tanezumi) ditangkap di dapur paling banyak terinfeksi bakteri L. intterogans daripada tikus tertangkap di kamar tidur, ruang tamu/keluarga dan gudang. Sedangkan di habitat luar rumah, tikus got (R. norvegicus) tertangkap di halaman rumah/taman paling banyak terinfeksi L interrogans daripada tikus got yang tertangkap di kebun, tepi selokan, semak-semak, dan kandang temak/unggas. Di habitat rumah, serovar L interogans pada tikus rumah (R. tanezumi) adalah Djasiman (40,55% dari 27 ekor), Icterohaemorhagie (22,22% ), Autumnalis (20,35) dan Bataviae (16,68%), dan di habitat luar rumah, tikus rumah (R. tanezumi) terinfeksi serovar Autumnalis (66,67% dari 3 ekor) dan Bataviae (33,33%). Di habitat luar rumah, serovar L. interogans pada tikus got (R. norvegicus) adalah Icterohaemorhagie (42,85% dan 35 ekor), Djasiman (34,28%), dan Autumnalis (22,87%), dan di habitat luar rumah, tikus got (R. norvegicus) terinfeksi serovar Autumnalis (66,67% dari 9 ekor), Bataviae (22,22%). dan Djasiman (11,11%). Tabel 2. Prevalensi tikus rumah (R. tanezumi) dan tikus got (R. norvegicus) di Kota Semarang, Jawa Tengah, tahun 2014.
Tikus tertangkap Lokasi Penangkapan A.
1 2 3 4 B. 5 6 7
8 9
Dalam rumah Dapur Kamar tidur Ruang tamu/keluarga Gudang Sub total Luar Rumah Halaman rumah Kebun Tepi selokan Semak semak Kandang temak/unggas Sub Total Total
Tikus got (R. non'egicus)
Tikus rumah (R. tanezumi)
Jumlah tikus infektif Bakteri Leptospira (%), metode MAT Tikus Tikus got (R. rumah (R. norvegicus) tanezumi)
15 2 1 8 26
129 15 16 38 198
5(19,23) 1 (50.00) 0 (0,00) 3(11,53) 9 (34,62%)
9 (6.97) 5(33,33) 4( 9 27(13.64%)
23 23 39 18 11 114 140
5 4 1 2 9 21 219
11 (9,65) 4 (2.78) 7 (4,86) 6 (5,26) 5 (7.89) 35 (30.70%) 44 (33.43%)
1 (4,76) 1 (4,76) 0 (0,00) 1 (4,76) 2 (9,52) 3(14.26%) 30(13,69%)
PEMBAHASAN Semua kasus leptospirosis (68 orang) menyatakan bahwa di lingkungannya dijumpai tikus, baik di tempat tinggal maupun di tempat bekerja. Kasus leptospirosis yang beraktivitas di dalam gedung secara signifikan berbeda bermakna tertular leptospirosis daripada di antara kasus leptospirosis yang beraktivitas di luar rumah di daerah Kota Semarang, Jawa Tengah (uji eksak Fisher, P<0,05). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa indikasi penularan leptospirosis terjadi di dalam gedung atau sekitar tempat tinggal atau tempat bekerja kasus leptospirosis. Menurut Koizumi dkk. (2009), di Kota Tokio, semua pasien leptospirosis beraktivitas di dalam gedung, seperti di rumah, gedung tempat bekerja dan toko, sedangkan kasus leptospirosis di luar rumah biasanya berhubungan dengan kegiatan rekreasi di daerah endemik, atau di tempat yang banyak dijumpai tikus. Sebanyak 27 orang positif terinfeksi bakteri Leptospirosis interogans, dengan serovar Bataviae, Djasiman, Icterohaemorhagiae, Canicola, dan Autumnalis. Sedangkan satu kasus leptospirosis yang meninggal dunia diketahui terinfeksi serovar Autumnalis. Menurut Levett (2003) serovar-serovar tersebut mendominasi kasus leptospirosis di negara-negara Asia Tenggara. Serovar Djasiman merupakan serovar Leptospira asli Indonesia, serovar Djasiman juga ditemukan di negaranegara Asia Tenggara yang lain. Serovar ini dilaporkan banyak menginfeksi turis yang berkunjung ke Asia Tenggara (Dutta dan Christopher, 2005) Serovar Leptospira yang virulen bagi manusia dan ditemukan pada tikus dalam penelitian ini adalah Icterohaemorragie dan Autumnalis. Tikus merupakan inang reservoi bagi kedua serovar tersebut (Brook dkk., 2001). Serovar Canicola dan Bataviae juga ditemukan dalam penelitian ini. Serovar Canicolan dilaporkan banyak menginfeksi hewan piaraan. Inang reservoir serovar Canicola adalah anjing (WHO, 2011). Di inang reservoir Leptospira telah beradaptasi dan tidak menimbukan kerugian apapun terhadap inangnya tersebut. Inang reservoir terutama tikus merupakan pencemar Leptospira di lingkungan dan jadi sumber penular leptospirosis. Oleh karena pada penelitian ini serovar yang ditemukan pada tikus rumah (R. tanezumi) dan tikus got (R. norvegicus) relatif sama serovar bakteri Leptospira interogans ditemukan pada manusia. KESIMPULAN Penemuan kasus leptospirosis secara aktif dan pasif di 16 wilayah Puskesmas Kota Semarang diperoleh 119 tersangka kasus leptospirosis (kriteria Faine) dan 68 kasus leptospirosis (RDT laterral flow) dari Rumah Sakit di Kota Semarang dengan prevalensi tikus terinfeksi bakteri leptospira untuk tikus got {R. norvegicus) 33,43% dan tikus rumah (R. tanezumi) 13,69%. Serovar Leptospira yang diidentifikasi pada manusia (9 kasus leptospirosis) di Kota Semarang adalah serovar Bataviae (4 kasus), Icterohaemorhagiae (3 kasus), Canicola (1 kasus), dan Autumnalis (1 kasus) relatif sama dengan yang teridentifikasi pada tikus got (R. norvegicus) yaitu Djasiman (40,55% dari 27 ekor), Icterohaemorhagie (22,22% ), Autumnalis (20,35) dan Bataviae (16,68%) dan tikus rumah (R. tanezumi) terinfeksi serovar Autumnalis (66,67% dari 3 ekor) dan Bataviae (33,33%). SARAN Pencegahan penularan leptospirosis dilakukan dengan mempertimbangkan pengendalian tikus di sekitar pemukiman penduduk baik, dengan sanitasi, cara mekanis maupun biologi. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Badan Litbangkes yang telah mendanai penelitian ini, Kepala Dinkes Kota Semarang. Jawa Tengah yang telah memberikan bantuan selama proses penelitian berlangsung serta semua pihak yang telah membantu penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA 1. Bharti, A.R., Nally, J.E., Ricaldi, J.N., Matthias, M.A., Diaz, M.M., Lovett, M.A., Levett, P.N., Gilman, R.H., Willig, M.R., Gotuzzo, E. and Vinetz, J.M. Leptospirosis: a zoonotic disease of global importance. The Lancet Infectious Diseases, 3, Iss. 12, 757-771. 2003 2 Levett PN, Morey RE, Galloway RL, Steigerwalt AG. Leptospira hroomu sp. nov., isolated from humans with leptospirosis. Int J Syst Evol Microbiol 2006;56(Pt 3):671673. 3. McBride, A. J., Athanazio, D. A., Reis, M. G. & Ko, A. 1.Leptospirosis. Curr. Opin. Infect. Dis. 18, 376-386 (2005). 4. Faine, S., Adler, B., Bolin, C. & Perolat, P. Leptospira and Leptospirosis. MedScience, Melbourne, 1999. 5. Fraga. T. R., A. S. Barbosa and L. Isaac Leptospirosis: Aspects of Innate Immunity, Immunopathogenesis and Immune Evasion From the Complement System. Scandinavian Journal of Immunology 73, 408-419. 2010 6 Rocha. MTRB Equine Leptospirosis in Portugal; Serological, Immunological and Microbiological Studies. Unversidade de Ttras-Os-Montes E Alto Douro, Vila Real. Purtugal. 2004Ashford. D.A. et al. 2000. Asymtomatic infection and risk factors for leptospirosis in Nicaragua, American Journal Tropical Medicine and Hygiene, 249-254. 7. Widarso HS dan Wilfried. 2002. Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia, Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 8. Dinas Kesehatan Kota Semarang. Analisis Situasi Leptospirosis di Kota Semarang, Jawa tengah. Sosialisasi Pemberantasan Penyakit Menular di Kota Semrang., 2013. 9. Johnson, M.A.S., Hannah Smith, Priya Joseph, Robert H. Gilman, Christian T. Bautista, Kalina J. Campos, Michelle Cespedes, Peter Klatsky, Carlos V i d a l , H i l j a Terry, Maritza M. Calderon, Carlos Coral, Lilia Cabrera, Paminder S. Parmar, and Joseph M. Vinetz. Environmental Exposure and Leptospirosis, Peru. Emerging Infectious Diseases • www.cdc.gov/eid • 10: 6. 2004. 10 Suyanto. Jenis tikus di P. Jawa. LIPI. Bogor, 2001. 11 Koizumi, N, Maki Muto, Tsutomu Tanikawa, Hiroshi Mizutani, Yoshiko Sohmura, Eiji Hayashi, Nobuaki Akao, Mayu Hoshino, Hiroki Kawabatal and Haruo Watanabe. Human leptospirosis cases and the prevalence of rats harbouring Leptospira interrogans in urban areas of Tokyo, Japan. Journal of Medical Microbiology 58, 1227-1230. 2009. 12 Gasem MH, Dolmans WM, Keuter MM, Djokomoeljanto RR Poor food hygiene and housing as risk factors for typhoid fever in Semarang, Indonesia., Trop Med Int Health.6(6):484-90. 2001 13 Ramadhani, Tri And Sholichah, Zumrotus (2010) Studi Inang Reservoir Dan Kejadian Leptospirosis Di Daerah Endemis Kota Semarang. Seminar Nasional Mewujudkan Kemandirian Kesehatan Masyarakat Berbasis Preventif Dan Promotif, 13-03-2010, Semarang.
14. 15. 16.
17.
18. 19.
20.
21. 22. 23.
24.
Dutta, T. K., Christopher, M. 2005. Leptospirosis-An overview. JAPI, 53: 545-551. Cochran WG, 1977. Sampling Techniques. John Wiley & Sons, Inc. Brooks, G.F., J.S. Butel dan S.A Morse,. 2001. Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan, Mikrobiologi untuk profesi Kesehatan. Penerbit Buku Kedokteran. World Health Organization. Report of The Second Meeting of The Leptospirosis Burden Epidemiologic Reference Group. WHO. ISBN 9789241501521.NLM classification:WC 420. Geneva, Switzerland. 2011. Esen Saban et al., Impact of clinical and laboratory findings on prognosis in leptospirosis, Swiss Medical Weekly, 2004, pp 347-352. Setijowati H. 2011. Situasi penyakit bersumber binatang di Jawa Tengah 2007-2011. Seksi P2 Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Disampaikan pada Pertemuan Desiminasi Informasi Hasil Penelitian dan Kegiatan Loka Litbang P2B2 Banjarnegara. Tucunduva MT., Athanazio DA., Gonsalves Ramos EA. et al., 2007. Morphological alterations in the kidney of rats with natural and experimental Leptospira infection. J Comp Pathol, 137(4):231—238. Faine S, Adler B, Bolin C, Perolat P. 1999. Leptospira and leptospirosis. Melbourne, Australia: MediSci. Jawetz, J.L., Melmick dan E.A. Adelberg. 1991. Mikrobiologi untuk Profesi Kedokteran Edisi 16. EGC Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Hadi T.R., Ristiyanto, Ima N.I. dan Nina N. 1991. Jenis-Jenis Ektoparasit pada tikus di Pelabuhan Tanjung Mas Semarang. Proceeding Seminar Biologi VII, Pandaan Jawa Timur. WHO, FAO, OIE. 2011. Leptospira Serovar Data Sheet. www.health.qld.gov.au.qhcss.lepto.asp . Diunduh pada April 2012.
INVESTIGASI ENTOMOLOGI DAN POTENSI TERJADINYA KEJADIAN LUAR BIASA DENGUE DI WILAYAH KABUPATEN KUDUS DAN JEPARA, JAWA TENGAH Vivi Lisdawati1, Widiarti1, Riyani Setyaningsih1, Yusnita Mima Anggraeni1, Sitti Alfiah1, Sri Wahyuni Handayani1, Arum Sih Joharina 1, Triwibowo Ambar Garjito1* 1
Balai Besar Litbang Vektor dan Reservoir Penyakit, Salatiga
ABSTRACT We assessed epidemiological investigation of the dengue vectors in 6 villages of Kudus and Jepara districts. Central Java. We used Breteau indices to predict dengue transmission. All villages were surveyed in both districts are dengue endemic area. The transmission is still going on with larval free rates (ABJ) between 53 to 95%. We used Breteau indices (BI) to predict dengue transmission. Pasuruan Lor village is an area with high dengue potential transmission with BI >35%. This village should be a priority for dengue control in these area.
PENDAHULUAN Dengue merupakan penyakit tular vektor yang menjadi salah satu prioritas utama pengendalian penyakit di Provinsi Jawa Tengah. Penyakit ini dilaporkan telah menyebar ke seluruh kabupaten/kota dengan angka kesakitan dalam 3 tahun terakhir yang cenderung terus meningkat, yaitu dari 15,27 per 100.000 penduduk pada tahun 2011 menjadi 19,29 dan 45,52 pada tahun 2012 dan 2013.'Angka kematian yang disebabkan infeksi dengue dalam tiga tahun terakhir juga cenderung masih tinggi, yaitu 0,95 (2011), 1,52 (2012) dan 1,21 (2013). Sampai dengan akhir tahun 2013 tercatat sebanyak 27 kabupaten/kota masih memiliki angka kesakitan di atas 20 per 100.000 penduduk dan hanya 8 kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah yang angka insidensinya kurang dari 20 per 100.000 penduduk.1 Kabupaten Jepara merupakan merupakan kabupaten dengan angka insidensi Demam Berdarah Dengue tertinggi di wilayah provinsi Jawa Tengah pada tahun 2013. Di kabupaten ini, jumlah kasus DBD dilaporkan sebanyak 154 orang dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 1 orang pada tahun 2011. Pada tahun 2012, jumlah kasus DBD meningkat menjadi 415 dengan jumlah kasus meninggal bertambah menjadi 11 orang. Pada tahun 2013, jumlah kasus DBD di kabupaten ini meningkat sangat drastis hampir lima kali lipatnya menjadi 1951. Kasus tersebut tersebar di seluruh wilayah kelurahan/desa. Wilayah puskesmas Jepara merupakan wilayah puskesmas dengan kasus tertinggi, yaitu mencapai 411 kasus selama tahun 2013. Sampai dengan bulan Juli 2014, tercatat sebanyak 480 kasus DBD.2
HASIL Hasil survey jentik Aedes spp. di Kabupaten Kudus Tiga desa/kelurahan telah di survey di wilayah Kabupaten Kudus. Adapaun hasil kegiatan surv ei ini secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1. berikut: Tabel l.Indeks jentik Aedes aegypti di 3 desa/kelurahan di Kota Kudustahun 2014 No. Kelurahan
Dalam (%)
Junilah rumah disurvey HI
1. Tanjungrejo 2. Undaan
110 100
17,3 31,8
3. Pasuruan lor
96
43,8
Cl 10 22,8 39,9
Tingkat risiko
BI
ABJ
penularan*
19,1 31,8
92,7
Risiko rendah Risiko sedang
55,2
53
68,2
Risiko tinggi
*berdasarkan kriteria WH08& Brown9 Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa 3 kelurahan di kabupaten Kudus termasuk daerah berisiko terjadi penularan Demam Berdarah Dengue. Hal tersebut ditunjukkan oleh angka Breteau index (BI) yang rata-rata ada di atas 5 dan angka bebas jentik (ABJ) yang berada di bawah 95%. Kelurahan Tanjungrejo saat ini merupakan kelurahan dengan potensi penularan rendah DBD, sedangkan kelurahan Undaan mempunyai potesi penularan sedang DBD. Kelurahan Pasuruan lor berpotensi tinggi terjadi terjadinya penularan DBD. Hal tersebut dapat dilihat dari indikator BI yang berada di atas 35% yang merupakan daerah potensi tinggi penularan berdasarkan kriteria WHO (1994).8
Tabel 2.Berbagai jenis tempat perkembangbiakan dan jumlah kontainer positif mengandung jentik Aedes di kelurahan Tanjungrejo, Undaan dan Pasuruan lor pada November 2014 Kel. Tanjungrejo NO.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 .11 .12 . 13 .14 .15 .
Jenis kontainer Bak mandi Bak WC Tempayan Ember Kaleng bekas Panci bekas Kolam/akuarium Tempat minum burung Tempurung kelapa drum Lubang pohon Jerigen kulkas Lain-lain
Kel. Undaan
Kel. Pasuruan lor
Total Positif Total Positif kontainer kontainer kontainer kontainer
Total kontainer
Positif kontainer
93 6 11
14 1 1
73 9 2
29 3 0
74 4 5
41 2 1
61 1 1 5
1 1 1 0
61 0 0 2
0 0 0 0
34 0 0 0
4 0 0 0
3 1 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 4 2 1
0 0 0 2 0
0 0 29 211
0 0 2 21
0 0 2 149
0 0 2 34
1 8 134 265
0 0 50 98
Lain-lain : gelas bekas, padasan, dsb. Bak mandi merupakan tempat perkembangbiakan Aedes spp. dominan di 3 wilayah kelurahan studi di Kudus. Setelah itu tempat perkembangbiakan lainnya (gelas, bekas, padasan, dsb), diikuti bak mandi, ember, dan tempayan.
Hasil survey jentik Aedes spp. di Kabupaten Jepara Di Kabupaten Jepara, survey jentik Aedes spp. dilakukan di tiga desa/kelurahan, yaitu Kelurahan Demaan, Ujungbatu dan Bandengan. Adapun hasil kegiatan survei yang dilakukan pada bulan September 2014 ini secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3.1ndeks jentik Aedes aegypti di 3 desa/kelurahan di wilayah Kabupaten Jepara tahun 2014 No. Kelurahan
1. Demaan 2. Ujungbatu 3. Bandengan
Jumlah rumah disurvey 100 100 100
* berdasarkan kriteria WHO & Brown
Dalam (%) HI 14 28 5
Cl 9.3 21,1 4,1
BI 16 16 7
Tingkat risiko ABJ 86 72 95
penularan* Risiko rendah Risiko rendah Risiko rendah
Ketiga kelurahan tersebut merupakan daerah endemis DBD. Kelurahan Demaan dalam 3 tahun berturutturut (201 - 2013) dilaporkan adanya peningkatan jumlah kasus. Jumlah kasus pada tahun 2011 dilaporkan sebanyak 2 orang. Pada tahun 2012, jumlah kasus DBD meningkat menjadi 11 orang. Pada tahun 2013, jumlah kasus di kelurahan tersebut menjadi 40 orang, namun demikian tingkat risiko penularannya rendah. Di Kelurahan Ujungbatu, jumlah kasus dalam periode 2011-2013 juga menunjukkan peningkatan kasus, berturut-turut daril kasus pada tahun 2011 dan 6 kasus pada tahun 2012 menjadi 10 kasus pada tahun 2013. Sedangkan di kelurahan Bandengan. (BI >5, ABJ <95%). Berdasarkan hasil survey tersebut, bak mandi merupakan tempat perkembangbiakan Aedes spp. paling dominan di 3 wilayah kelurahan studi di Jepara. Setelah itu diikuti ember dan kemudian bak mandi. Ember dan tempat perkembangbiakan lainnya merupakan tempat perkembangbiakan ,4 edes spp. dominan lainnya.
Tabel 4. Berbagai jenis tempat perkembangbiakan dan jumlah kontainer positif mengandung jentik Aedes di kelurahan Demaan, Ujung batu dan Bandengan Yang dikoleksi pada bulan September tahun 2014 Jenis kontainer No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Bak mandi Bak WC Tempayan Ember Kaleng bekas Panci bekas Kolam/akuarium Tempat minum burung Tempurung kelapa drum Lubang pohon Jerigen kulkas Dispenser Lain-lain
Kel. Demaan
Kel. Uji ungbatu Total Positif kontainer kontainer 79 20 12 4 0 0 35 3 0 0 0 0 2 0
Kel. Bandengan
Total kontainer 50 2 7 99 0 0 1
Positif kontainer 13 0 1 2 0 0 0
Total Positif kontainer kontainer 48 5 13 1 23 0 75 0 0 0 0 0 0 0
0
0
0
0
0
0
0 3 0 0 0 4 0 172
0 0 0 0 0 0 0 16
0 5 0 0 0 7 0 147
0 2 0 0 0 1 0 31
0 3 0 0 0 8 0 170
0 1 0 0 0 0 0 7
PEMBAHASAN Hasil koleksi survei jentik di 3 tiga wilayah kelurahan di Kabupaten Jepara, yaitu di Kelurahan Demaan, Ujungbatu dan Bandengan Wilayah Kabupaten Jepara, serta tiga wilayah kelurahan di Kabupaten Kudus, yaitu Kelurahan Tanjungrejo, Undaan dan Pasuruan Lor Wilayah Kabupaten Kudus diperoleh jumlah yang sangat bervariasi, hal tersebut menggambarkan masyarakat belum berpartisipasi aktif dalam PSN (Pembersihan Sarang Nyamuk). Meskipun 5 wilayah kelurahan studi mempunyai potensi penularan DBD yang rendah, namun Angka Bebas Jentik (ABJ) rata-rata seluruhnya berada dibawah nilai yang ditetapkan Program pengendalian Menurut WHO (1997).Rendahnya ABJ yang terpantau saat dilakukan survei jentik menggambarkan kurangnya partisipasi aktif masyarakat dalam melakukan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Kurangnya partisipasi masyarakat dalam melakukan PSN akan makin meningkatkan populasi nyamuk Ae. aegypti. Peningkatan populasi Ae. aegypti merupakan penunjang untuk terjadinya penularan DBD di lokasi setempat.DBD Nasional, yaitu dibawah 95% kecuali Kelurahan Bandengan dengan nilai ABJ (95%). Hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa rendahnya Angka Bebas Jentik karena didukung oleh banyaknya tempat-tempat penampungan air (TPA) yang tersedia di masyarakat yang dapat digunakan sebagai habitat berkembangbiakan Ae. aegypti. Hasil analisis jenis tempat perkembangbiakan menunjukkan bahwa jentik Ae. aegypti dominan pada pada bak mandi, tempayan, ember, bak WC dan lain-lain (pecahan gelas, padasan, tampungan plastik di tempat pembuangan sampah, dsb). Breteau Index (BI) dan House Index i HI) pada umumnya digunakan untuk menentukan daerah prioritas pengendalian. Menurut Suroso, dkk. (2003)Breteau Index merupakan index yang paling baik, karena menunjukkan hubungan antara kontainer positip dengan jumlah rumah. Breteau index juga akan mendapatkan profil dan karakter habitat jentik dan sekaligus jumlah serta potensi macam kontainer, sehingga data tersebut dapat digunakan sebagai upaya mengarahkan pemberantasan atau eliminasi jentik. Menurut WHO 19948, suatu wilayah dengan BI = 2 atau kurang termasuk wilayah yang aman DBD, sedangkan untuk wilayah dengan BI = 5 atau lebih termasuk potensial (berisiko), suatu waktu disitu akan berisiko terjadi penularan DBD. Dengan demikian, kalau distratifikasikan berdasarkan BI-nya, maka BI = 5-20 termasuk risiko rendah, BI =20-35 termasuk risiko sedang, sedangkan BI = 35-50 termasuk risiko tinggi. Dengan menggunakan
Density figure (DI) dan House index (HI) menurut Brown (1977)9, potensi penularan dapat diprediksi. Menurut Brown, penularan DBD efektif teijadi apabila HI>5 dan DI>3.38,39 Dari 6 lokasi yang disurvei,terdapat 1 lokasi yang memiliki Breteau index (BI) diatas 35, yaitu Kelurahan Pasuruhan Lor (BI=55,21). Berdasarkan kriteria WHO (1994) dan Brown (1977) terkait nilai BI, HI dan DI, maka daerah tersebut mempunyai potensi penularan DBD yang tinggi. Selain itu, berdasarkan hasil analisis spasial sebaran kasus DBD berdasarkan alamat tempat tinggal dan hasil analisis spasial rumah yang menunjukkan positif terdapat jentik Ae. aegypti, menunjukkan bahwa daerah tersebut akan terus teijadi penularan DBD apabila tidak segera dikendalikan. Hal tersebut karena tersedianya beberapa kasus terkonfirmasi terinfeksi DBD dan tingginya BI, HI dan Cl dari larva Ae. aegypti di wilayah kelurahan tersebut. Selain itu, aspek entomologi yang penting yang dapat menyebabkan potensi tinggi penularan DBD adalah adanya fenomena penularan virus Dengue secara transovarial. Kelurahan Pasuruan Lor tersebut kami sarankan sebagai wilayahyang perlu mendapat prioritas penanggulangan DBD.
Gambar 1. Analisis spasial potensi penularan DBD berdasarkan data sebaran kasus positif DBD dan rumah positif ditemukan jentik Ae. aegypti beserta buffer zone potensi penularan di Kelurahan Pasuruan Lor, Kec. Jati, Kabupaten Kudus. Hasil penelitian Widiarti.dkk10 untuk mendeteksi antigen virus dengue pada Ae. agypti dengan uji imunohistokimia yang dilakukan di 10 kecamatan di Jawa Tengah membuktikan adanya penularan transovarial yang terjadi pada 6 kecamatan dari 3
kabupatendengan persentase positip antigen berkisar 0,48 % - 8,77 %. Penularan virus Dengue secara transovarial inilah yang turut meningkatkan potensi penularan DBD di berbagai daerah endemis DBD di Indonesia. Penelitian lain yang dilakukan oleh Joshi, et al.11 menghasilkan persentase positip antigen virus yang rendah juga yaitu 2,4 % pada generasi pertama (Fl), namun persentase makin meningkat sampai generasi yang ke 7 dan selanjutnya stabil. Apabila penularan transovarialterbukti terjadi di suatu daerah, maka untuk mencegah teijadinya KLB perlu dilakukan PSN dengan baik dan benar. Pemberantasan sarang nyamuk yang baik dan benar adalah dengan melakukan menguras, menutup dan menimbun (3M +) dan perlu ditambah sikat telur yang menempel pada dinding kontainer(3 M + S), sehingga virus yang berada pada telur bisa rusak. Pengendalian lain yang dapat dilakukan dengan menitikberatkan pada stadium larva dengan larvasida atau jasad hayati (biolarvasida). Penyemprotan space spraying {fogging) dua (2) siklus dengan interval 1 minggu akan sangat efektif pada saat teijadi KLB untuk membunuh nyamuk dewasa yang mengandung virus, atau pada saat menularan sedang berlangsung (siklus I). Sedangkan siklus ke II dilakukan untuk membunuh jentik yang muncul menjadi nyamuk dewasa pada minggu berikutnya. Namun penurunan kasus akan lebih bermakna apabila diikuti dengan PSN.
KESIMPULAN 1.
Seluruh kelurahan yang disurvey di wilayah Kabupaten Kudus dan Jepara merupakan daerah endemis DBD dengan potensi penularan yang masih terjadi dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) antara 53% 95%.
2.
Kelurahan Pasuruan lor merupakan daerah dengan potensi penularan tinggi DBD dengan BI (Breteau index) yang berada di atas 35%, sehingga perlu mendapat prioritas pengendalian DBD.
SARAN Upaya pengendalian vektor DBD secara terintegrasi dengan mengikutsertakan faktor epidemiologi perlu dilaksanakan, antara lain dengan melakukan: analisis situasi terhadap berbagai faktor yang mendukung penularan, sistem pengawasan rutin terhadap indeks jentik, dan aplikasi pengendalian vektor yang efektif dan efisien berdasar kepada indeks jentik, kontainer target, sebaran kontainer target dan dominansi jentik terkoleksi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam kesempatan ini, tim peneliti mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada : 1.
Kepala Badan Litbang Kesehatan atas kesempatan dan dukungan yang diberikan untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka penanggulangan kejadian luar biasa Penyakit tular vektor di Jawa Tengah ini
2.
Bapak Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah dan seluruh jajarannya, khususnya bidang pengendalian penyakit menular atas ijin dan dukungan yang telah diberikan kepada kami
3.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kudus dan Kepala Dinas Kabupaten Jepara beserta seluruh jajarannya atas keija sama dan dukungan yang diberikan
4.
Prof. Dr. Damar Tri Boewono, MS. yang telah memberikan banyak masukan dan saran terhadap studi ini
5.
Seluruh Staf peneliti dan Teknisi B2P2VRP atas segala dukungannya selama ini.
DAFTAR RUJUKAN
1. 2. 3. 4. 5. 6.
7.
8. 9.
Dinkes Jateng. Analisis Penyakit Tular Vektor di Jawa Tengah. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah; 2014. Dinkes Jepara. Laporan Kasus Demam Berdarah Dengue di wilayah Kabupaten Jepara tahun 2013. Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara; 2014. Dinkes Kudus. Laporan Kasus Demam Berdarah Dengue di wilayah Kabupaten Kudus tahun 2013. Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara; 2014. WHO-Regional Office of South East Asia. Guideline for Prevention and Control Chikungunya Fever; 2009. Stojanovich, C.J., H.G.Scott. Illustrated Key to Mosquitoes of Vietnam. U.S. Department of Health, Education and Welfare. Publich Health service, CDC Atlanta. Georgia 30333; 1966. Mahadevan. S., W.H. Cheong. Kunci Identifikasi Nyamuk Aedes (Stegomyia) Group (terjemahan Dit.jen P2M, Depkes). Devision of Entomology, Institute for Medicai Research, Kuala Lumpur; 1974. Gionar, Y.R., S. Rusmiarto, D. Susapto, I. R. F. Elyazar, M. J. Bangs. Sumur Sebagai Habitat Yang Penting untuk Perkembangbiakan Nyamuk Aedes aegypti L. Buletin Penelitian Kesehatan 2001:29(1): 22-31. WHO. Guidelines for Dengue surveillance and mosquito control. WHO Regional Office for the Western Pasific, Manila; 1994. Brown, AW A. Yellow Fever, Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. In : Howe GM, ed. A world Geography of Human Diseases. London, Academic Press; 1977 : 271-
316. 10.
Widiarti, Tri Boewono, D., Mujiono. Deteksi Antigen Virus Dengue Pada Progeni Vektor Demam Berdarah Dengan Metode Imunohistokimia. 2009. Buletin Penelitian Kesehatan Vol. 37(3);2009: 126-136. 11. Joshi, V., Mourya, D.T., and R.C. Sharma. Persistance of Dengue 3 Virus Through Transovarial Transmission Passage in Successive Generation of Aedes aegypti Mosquito. The American Society of Tropical Medicine and Hygiene. 67 (2); 2002 :158- 161.
LAPORAN AKHIR PENELITIAN
PENANGGULANGAN TERINTEGRASI KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) PENYAKIT TULAR VEKTOR DAN RESERVOIR DI JAWA TENGAH
Sub Judul:
II. Metode Surveilans Leptospirosis Berbasis Pelayanan Kesehatan Masyarakat Di Kota Semarang, Jawa Tengah
BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN VEKTOR DAN RESERVOIR PENYAKIT BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN, R.I. 2014
RINGKASAN PENELITIAN Pendahuluan. Peretngah tahun 2014, Kota Semarang, Jawa Tengahtelah terjadi Kejadian Luar Biasa Leptospirosis, total kasus leptospirosis 11 orang dan meninggal 3 orang.Oleh karena itu untuk mencegah penyebaran dan peningkatan kasus leptospirosis dilakukan studi penanggulangan leptopspirosis berbasis pelayanan kesehatan (Puskesmas). Tujuan. Tujuan umum penelitian ini adalah menurunkan kasus leptospirosis dengan mengaplikasikan metode surveilans berbasis pelayanan kesehatan masyarakat (Puskesmas) di KotaSemarang, Jawa Tengah.Tujuan khusus adalah mengaplikasikan metode surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan masyarakat oleh Puskesmas dan mendeteksi faktor risiko kejadian luar biasa leptospirosis di Kota Seamarang, Jawa Tengah. Metode Penelitian. Studi penanggulangan leptospirosis di seluruh kecamatandi Kota Semarang, Jawa Tengah. Penelitian penanggulangan leptospirosis dilakukan pada bulan April-Oktober 2014.Jenis penelitian ini adalah penelitian ekperimental. Rancangan penelitian eksperimental semu menggunakan One group pretest posttest design. Metode penelitian yaitu,penemuan kasus leptospirosis secara aktif dan pasif di wilayah keija Puskesmas dan Rumah Sakit serta survei tikus. Diagnosis awal kasus leptospirosis pada manusia menggunakan kriteria faine termodifikasi, dilanjutkan dengan RDT dan MAT.Sedangkan indikator surveilans tikus di daerah leptospirosis dengan menghitung keberhasilan penangkapan.Penangkapan tikus menggunakan live trap untuk habitat rumah dan luar rumah (pekarangan). Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik random sederhana (.simple random sampling). Besar sampel minimum 100 sampel penduduk beresiko terpapar leptospirosis. Selain intervensi dengan surveilans leptospirosis, dilakukan pula deteksi faktor risiko kejadian luar biasa leptospirosis. Besar sampel 124 orang kasus leptospirosis dan 124 orang kontrol. Kriteria kasus leptospirosis adalah positif terhadap uji laboratorium (RDT), sedangkan kontrol adalah orang yang negatif terhadap pemeriksaan laboratorium RDT. Analisis data menggunakan uji univariat, bivariat dan multivariat. Untuk analisis data data penemuan kasus sebelum dan sesudah intervensi aplikasi surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan oleh Puskesmas digunakan uji t berbasangan. Hasil penelitian.Penemuan leptospirosis secara pasif didapatkan dari penderita demam berkunjung ke Puskesmas sebanyak 93,04%dari 115 orang untuk tahun 2013 dan 92,45 dari 53 orang untuk tahun 2014..Penemuan leptospirosis secara aktif dilakukan dengan surveilans aktif sebesar 6,7 % dari 8 orang untuk tahun 2013 dan 7,54% dari 4 untuk tahun 2014. Faktor risiko kejadian leptospirosis di Kota Semarang yang bermakna adalah Kondisi selokan yang buruk (OR=5,58; 95%CI: 1,55-20,01; p=0.008).Adanya tikus/ di dalam dan atau sekitar rumah (OR=4,52; 95%CI: 1,27-16.16; p=0.020).Adanya riwayat luka (OR=12,16; 95%CI: 2,99-49,37; pO.OOl).Adanya riwayat banjir (OR=4,99; 95%CI:1,5915,70; p=0.006) dan Ketidaktersediaan penampungan sampah. (OR=3,49; 95%CI:1,4916,70; p=0.001). Pada tahun 2014, bulan Januari-April, Dinas Kesehatan Kota Semarang, Jawa Tengah memantau kecenderungan terjadi
iii
peningkatan kasus leptospirosis. Atas permintaan Dinas Kesehatan Kota Semarang, Jawa Tengah, pada bulan April 2014 B2P2VRP bersama Dinas Kesehatan Kota Semarang mengaplikasikan metode surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan di seluruh wilayah Puskesmas Kota Semarang.Sebelum aplikasi metode surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan masyarakat di Puskesmas, jumlah kasus leptospirosis yang dirawat di rumah sakit bulan Januari, 2 kasus leptospirosis, bulan Pebruari, 7 kasus leptospirosis dan bulan Maret 11 kasus leptospirosis dengan 3 kasus meninggal dunia. Kondisi tersebut menyebabkan Dinas Kesehatan Kota Semarang menyatakan KLB leptospirosis. Setelah diaplikasikan metode surveilans leptospirosis berbasis pelayana kesehatan masyarakat di seluruh wilayah Puskesmas Kota Semarang, Jawa Tengah menunjukkan bahwa, pada bulan April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September dan Oktober 2014, jumlah penemuan kasus secara aktif dan pasif masisng-masing berturut-turut, 5,7.,6,10, 3, 15 dan 8 kasus tersangka leptospirosis, sedangkan yang dirawat di rumah sakit pada bulan yang sama adalah 4,3,5,4,3,2 dan 1 kasus leptospirosis. Angka tersebut menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan penurunan kasus leptospirosis dirawat di rumah sakit. Berdasarkan uji t berpasangan terdapat perbedaan yang bermakna antara jumlah kasus leptospirosis yang dirawat di rumah sakit sebelum dan sesudah aplikasi metode surveilans leptospirosis (p=0,05). Kesimpulan;Prediksi faktor risiko lingkungan yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian luarbiasa leptospirosis di Kota Semarang kondisi selokan yang buruk (OR=5,58; 95%CI: 1,55-20,01; p=0.008). Adanya tikus/ di dalam dan atau sekitar rumah (OR=4,52; 95%CI: 1,27-16,16; p=0.020).Adanya riwayat luka (OR=12,16; 95%CI: 2,99-49,37; p<0.001).Adanya riwayat banjir (OR=4,99; 95%C1:1,59-15,70; p=0.006) dan Ketidaktersediaan penampungan sampah. (OR=3,49; 95%CI: 1,49-16,70; p=0.001). Surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan masyarakat oleh Puskesmas di daerah KLB di Kota Seamarang berpengaruh terhadap jumlah kasus leptospirosis dirawat di rumah sakit. Sebelum dan sesudah aplikasi metode surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan ada perbedaan bermakna jumlah kasus leptospirosis yang di rawat di rumah sakit (p<0,05).
iv
ABSTRAK Pertengah tahun 2014, Kota Semarang, Jawa Tengah telah teijadi Kejadian Luar Biasa Leptospirosis, total kasus leptospirosis 11 orang dan meninggal 3 orang.Oleh karena itu untuk mencegah penyebaran dan peningkatan kasus leptospirosis dilakukan studi penanggulangan leptopspirosis berbasis pelayanan kesehatan (Puskesmas). Tujuan umum penelitian ini adalah menurunkan kasus leptospirosis dengan mengaplikasikan metode surveilans berbasis pelayanan kesehatan masyarakat (Puskesmas) di Kota Semarang, Jawa Tengah. Tujuan khusus adalah mengaplikasikan metode surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan masyarakat oleh Puskesmas dan mendeteksi faktor risiko kejadian luar biasa leptospirosis di Kota Semarang, Jawa Tengah.Studi penanggulangan leptospirosis di seluruh kecamatandi Kota Semarang, Jawa Tengah. Penelitian penanggulangan leptospirosis dilakukan pada bulan April-Oktober 2014. Jenis penelitian ini adalah penelitian ekperimental. Rancangan penelitian eksperimental semu menggunakan One group pretest posttest design. Metode penelitian yaitu.penemuan kasus leptospirosis secara aktif dan pasif di wilayah kerja Puskesmas dan Rumah Sakit serta survei tikus. Diagnosis awal kasus leptospirosis pada manusia menggunakan kriteria faine termodifikasi, dilanjutkan dengan RDT dan MAT.Sedangkan indikator surveilans tikus di daerah leptospirosis dengan menghitung keberhasilan penangkapan.Selain intervensi dengan metode surveilans leptospirosis, dilakukan pula deteksi faktor risiko kejadian luar biasa leptospirosis. Besar sampel 124 orang kasus leptospirosis dan 124 orang kontrol. Kriteria kasus leptospirosis adalah positif terhadap uji laboratorium (RDT), sedangkan kontrol adalah orang yang negatif terhadap pemeriksaan laboratorium RDT. Analisis data menggunakan uji univariat, bivariat dan multivariat. Untuk analisis data data penemuan kasus sebelum dan sesudah intervensi aplikasi surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan oleh Puskesmas digunakan uji t berbasangan.Prediksi faktor risiko lingkungan yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian luarbiasa leptospirosis di Kota Semarang kondisi selokan yang buruk (OR=5,58; 95%CI: 1,55-20,01; p=0.008). Adanya tikus/ di dalam dan atau sekitar rumah (OR=4,52; 95%CI: 1,27-16,16; p=0.020).Adanya riwayat luka (OR=12,16; 95%CI: 2,99- 49,37; p<0.001).Adanya riwayat banjir (OR=4,99; 95%CI: 1,59-15,70; p=0.006) dan Ketidaktersediaan penampungan sampah. (OR=3,49; 95%CI: 1,49-16,70; p=0.001). Surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan masyarakat oleh Puskesmas di daerah KLB di Kota Seamarang berpengaruh terhadap jumlah kasus leptospirosis dirawat di rumah sakit. Sebelum dan sesudah aplikasi metode surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan ada perbedaan bermakna jumlah kasus leptospirosis yang di rawat di rumah sakit (p<0,05). Kata kunci: Leptospirosis, Surveilans, Kota Semarang, Tikus
v
DAFTAR ANGGOTA TIM PENELITI No.
Kedudukan dalam Tim
1 2
Ketua Pelaksana Peneliti Utama
Nama DR. Vivi Lisdawati, M.Si.,Apt. Drs. Risiyanto, M.Kes Farida Dwi Handayani, S.Si., M.S
3
Peneliti
Arief Mulyono, S.Si, M.Kes
4
Peneliti
Wiwik Trapsilowati, SKM, M.Kes
5
Peneliti
Ariani Pujianti, SKM, M.PH
6
Peneliti
Drh. Dimas Bagus
7
Pembantu Peneliti
Muhidin, SKM
8
Pembantu Peneliti
B. Yuliadi
9
Pembantu Peneliti
Siska Indriyani
10
Pembantu Peneliti
Ika Martiningsih
vi
DAFTAR ISI Judul ................................................................................................................................................i Kata Pengantar ............................................................................................................................. i i Ringkasan Eksekutif..................................................................................................................... iii Abstrak .........................................................................................................................................i v Daftar Anggota Tim Peneliti .......................................................................................................... v Daftar Isi .......................................................................................................................................vi Daftar Tabel ................................................................................................................................... x Daftar Gambar...............................................................................................................................xi Daftar Lampiran .......................................................................................................................... xii I. PENDAHULUAN...................................................................................................................... 1 II TUJUAN DAN MAANFAAT ................................................................................................... 5 A. Tujuan Umum .................................................................................................................. 5 B. Tujuan Khusus ................................................................................................................. 5 C. Manfaat Penelitian............................................................................................................ 5 III. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................................. 6 A. Epidemiologi Leptospirosis .............................................................................................. 6 B. Surveilans Kesehatan Masyarakat (Surveilans Epidemiologi) ....................................... 11 IV. METODE PENELITIAN ......................................................................................................... 27 A. Kerangka Teori............................................................................................................... 27 B. Kerangka Konsep ........................................................................................................... 29 C. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................................................ 33 D. Jenis Penelitian ............................................................................................................... 33 E. Variabel .......................................................................................................................... 33 F. Populasi dan Sampel ...................................................................................................... 35 G. Cara Pemilihan dan Estimasi Besar Sampel ................................................................... 37 H. Cara Pengumpulan Data ................................................................................................. 40 I. Instrumen dan Cara Kerja............................................................................................... 42 J. Definisi Operasional ............................................................................................................ 56 K. Pengolahan dan Analisis Data ....................................................................................... 60 V. HASIL PENELITIAN .............................................................................................................. 64 VI PEMBAHASAN..................................................................................................................... 101 VII KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................ 107 VIII. DAFTAR KEPUSTAKAAN ............................................................................................... 108
vii
DAFTAR TABEL Tabel 1. Hasil perhitungan besar sampel pada beberapa faktor resiko............................................... 39 Tabel 2. Kegiatan Penelitian pengembangan metode surveilans yang dilakukan tempat pelayanan kesehatan di Kota Semarang, Jawa tengah, tahun 2013 ....................... 44 Tabel 3. Defini operasional, cara pengukuran dan skala variabel ...................................................... 56 Tabel 4. Perkembangan Kelahiran dan Kematian Penduduk Kota Semarang, 20082012 .................................................................................................................................... 65 Tabel 5. Prosentase tingkat pendidikan di Kota Semarang, tahun 2014 ............................................ 65 Tabel 6. Prosentase jenis mata pencaharian penduduk Kota Semarang , 2009-2014 ........................ 66 Tabel 7. Jumlah kasus leptospirosis pada setiap Kecamatan di Kota Semarang, Januari - Desember 2013.................................................................................................... 66 Tabel 8. Distribusi kasus dan control serta besar risiko berdasarkan faktor lingkungan .......................................................................................................................... 73 Tabel 9.Distribusi kasus dan control serta besar risiko berdasarkan faktor perilaku ....................... 76 Tabel 10.Hasil analisis regresi logistik ............................................................................................... 69 Tabel 11 .Penghitungan probabilitas kejadian leptospirosis dari beberapa kombinasi faktor resiko ........................................................................................................................ 78 Tabel 12. Sumber informasi kasus leptospirosis di Kota Semarang 2013-2014 ................................ 88 Tabel 13. Gejala klinis pada kasus demam di Kota semarang............................................................ 89 Tabel 14. Hasil pemeriksaan MAT pada serum darah manusia (6 sampel) ....................................... 90 Tabel 15. Tingkat pendidikan responden yang diwawancarai di Kota semarang .............................. 91 Tabel 16. Perilaku kontak dengan binatang ............................ ........................................................... 92 Tabel 17. Kontak antara responden dengan lingkungan sekitar ......................................................... 92 Tabel 18. Jenis kontak dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) .......................................... 93 Tabel 19. Jenis kontak dengan pola hidup bersih sehat (PHBS) ........................................................ 94 Tabel 20. Kondisi rumah responden ................................................................................................. 94 Tabel 21. Kondisi tempat kerja responden........................................................................................ 95
viii
DAFTAR GRAFIK/PETA/GAMBAR Gambar 1.
Kerangka Teori ............................................................................................................... 29
Gambar 2.
Kerangka Konsep ........................................................................................................... 32
Gambar 3.
Peta wilayah Kota Semarang Tahun 2013 .................................................................... 67
Gambar 4.
Distribusi responden berdasarkan kelompok umur ...................................................... 69
Gambar 5.
Distribusi responden berdasarkan pendidikan .............................................................. 69
Gambar 6.
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin .......................................................... 70
Gambar 7.
Alur kegiatan surveilans leptospirosis pada manusia berbasis pelayanan kesehatan (Puskesmas) .................................................................................. 86
Gambar 8.
Alur kegiatan surveilans leptospirosis pada tikus berbasis pelayanan kesehatan (Puskesmas) .................................................................................................... 87
Gambar 9.
Proporsi jenis kelamin kasus demam dalam surveilans aktif (SA) dan surveilans pasif (SP) leptospirosis di Kota Semarang ................................................... 89
Gambar 10.
Jenis kelamin responden yang diwawancarai di Kota Semarang ................................ 91
Gambar 11.
Distribusi responden berdasarkan kelompok umur ...................................................... 96
Gambar 12.
Distribusi responden berdasarkan pendidikan .............................................................. 96
Gambar 13.
Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin .......................................................... 97
Gambar 14.
Fluktuasi tersangka kasus leptospirosis ditemukan di seluruh wilayah puskesmas dan yang dirawat di semua rumah sakit, Kota Semarang, Jawa Tengah, Tahun 2013-201 ....................................................................................... 99
Gambar 15.
Keberhasilan penangkapan tikus di habitat rumah dan luar rumah Kota semarang, 2013-2014 ........................................................................................ 100
ix
PENDAHULUAN
Surveilans adalah suatu kegiatan sistematis berkesinambungan, mulai dari kegiatan mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasikan data, selanjutnya sebagai landasan esensial dalam membuat rencana, implementasi dan evaluasi suatu kebijakan kesehatan masyarakat. Sasaran penyelengaraan sistem surveilans kesehatan meliputi masalah-masalah yang berkaitan dengan program kesehatan berdasarkan prioritas yang ditetapkan secara nasional, bilateral, regional, penyakit potensial wabah, bencana dan komitmen lintas sektoral (Adler, 2010). Salah satu target surveilans dalam masalah kesehatan adalah pengendalian terhadap penyakit menular. Leptospirosis merupakan salah satu penyakit menular yang cenderung meningkat dan menjadi masalah kesehatan masyarakat serta menimbulkan dampak, baik sosial maupun ekonomi (Ahmed, 2006). Wilayah tropis merupakan daerah yang sesuai bagi perkembangan leptospirosis. Daerah endemis leptospirosis terdapat di beberapa wilayah Indonesia dan telah berulang kali menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) disertai kematian yang meresahkan masyarakat (Bahaman, 1999). Salah satu wilayah di Jawa Tengah yang sering ditemukan kasus leptospirosis dengan kematian cenderung tinggi adalah Kota Semarang. Sejak awal tahun 2002 telah ditemukan 3 kasus dengan 1 kasus meninggal dunia dan angka kematian/CFR (case fatality rate) 33,3%. Hingga saat ini kasus leptospirosis terus ditemukan dan menimbulkan kematian. Data dari RS Kariadi, Kota Semarang, menunjukkan bahwa pada tahun 2003 telah dilaporkan 12 kasus dan 2 kasus meninggal dunia (CFR = 16,67%), tahun 2004 ditemukan 37 kasus dan 13 kasus meninggal dunia (CFR = 35,14%), tahun 2005 terdiagnosis 11 kasus dengan 2 kasus meninggal dunia (CFR = 18,18%), tahun 2006 dilaporkan 3 kasus dan 1 kasus meninggal dunia (CFR = 33,3%), tahun 2007 ditemukan 8 kasus dan 1 kasus meninggal dunia (CFR = 13,3%), tahun 2008 dilaporkan 178 kasus dan 4 kasus meninggal (CFR
1
2,2%), tahun 2009 ditemukan 235 kasus dan 9 kasus meninggal dunia (CFR 3,8%), tahun 2010 ditemukan 71 kasus dan 6 kasus meninggal dunia (CFR 8,4%), tahun 2011 dilaporkan 70 kasus dan 25 kasus meninggal dunia (CFR 35, 7%) dan tahun 2012 dilaporkan 12 kasus tanpa kematian. Selama tahun 2009, Kota Semarang menduduki posisi tertinggi leptospirosis di Provinsi Jawa Tengah (Dinkes Kota Semarang, 2012). Pada tahun 2013, ditemukan 65 kasus dengan 5 orang meninggal dunia sementara pada tahun 2014, ditemukan 62 kasus dengan 9 orang meninggal dunia dan kondisi dinyatakan sebagai KLB. Berdasarkan hal tersebut maka surveilans leptospirosis menjadi penting di kota Semarang. Sebagai sebuah sistem pengamatan dan monitoring yang dilakukan secara berkesinambungan, maka sistem surveilans leptospirosis tersebut mempunyai beberapa persyaratan, antara lain kesederhanaan (Simplicity), kelenturan (flexibility), penerimaan (acceptability), kepekaan (sensitivity), kemampuan memberikan nilai duga positif (positive predictive value) yang cukup tinggi, keterwakilan (representativeness), kualitas data (data quality), stabilitas data (data stability) dan ketepatan waktu (timeliness) (Amirrudin, 2012). Hasil penyelidikan epidemiologi (PE) Dinas Kesehatan Kota Semarang tahun 2011 menunjukkan bahwa pekerjaan para penderita kasus leptospirosis adalah buruh (18,0% dari 70 kasus leptospirosis), tidak bekerja (16,0%), karyawan swasta (15,0%), pedagang (7,0%), tukang bati^angunan (7,0%), wiraswasta (6,0%), sopir (5,0%), ibu rumah tangga (5,0%), penjahit, pelajar, tukang las/patri, (masing-masing berturutturut 4,0%), tukang parkir, pensiunan, pengambil sampah, tukang, ojek, dan bengkel (masing-masing berturut-turut 2,0%). Sebaran kasus leptospirosis menurut umur paling banyak ditemukan pada umur di atas 50 tahun (28,0%), kemudian umur 41- 50 tahun (17,0%), 31-40 tahun (11,0%), 0-10 tahun (5,0%), 11-20 tahun (4,0%), dan2130 tahun (4,0%). Faktor resiko kejadian leptopsirosis, diduga kontak tikus (53,0%), banjir/lumpur (35,0%), kontak air tergenang (33,%), luka di kaki (31,0%), bersihkan di selokan (12,0%s), renang, memancing,
2
mencangkul, kontak anjing (masing-masing berturut-turut 4%) dan mandi di sungai (2,0%). Hasil PE tersebut mengindikasikan bahwa hampir semua kasus leptospirosis adalah orang yang kontak dengan tikus dan genangan air sekitar rumah. Selain itu hewan peliharaan seperti anjing berpotensi sebagai sumber penular (Ahmed, 2008). Hasil penelitian Gasem menemukan bakteri Leptospira serovar canicola pada pasien leptospirosis dan anjing peliharaannya (Adler, 2010). Sedangkan hasil penelitian Ramadhani dkk (2010), menunjukkan bahwa tikus rumah Rattus tanezumi dan tikus riul R norvegicus positif mengandung bakteri Leptospira patogenik (Leptospira interogans)
serovar
icterohaemorraghiae,
bataviae
dan
autumnalis.
Kasus
leptospirosis di Kota Semarang belum pernah ditemukan relaps, sehingga semua penderita leptospirosis adalah kasus baru (Barcellos, 2001). Kejadian leptospirosis dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti, lingkungan, iklim, demografi, sosial ekonomi dan perilaku. Oleh karena itu untuk mengembangkan sistem surveilans leptospirosis yang akurat, efektif dan efisien diperlukan indikator variabel. Tetapi saat ini belum ada sistem surveilans leptospirosis yang adekuat, sehingga antisipasi kejadian luar biasa leptospirosis, dengan banyak menimbulkan kematian belum dapat ditentukan (Athanazio, 2008). Latar belakang permasalahan yang dihadapi kota Semarang tersebut menurut (Amirrudin, 2012) dalam pelaksanaan pengendalian leptospirosis, menunjukkan perlu adanya
upaya
metode
surveilans
leptospirosis
yang
adekuat
dengan
mempertimbangkan keadaan spesifik lokal, terkait dengan adat dan budaya, kondisi lingkungan dan demografi serta kemampuan daerah, baik dalam pembiayaan maupun daya dukung aparaturnya. Berdasarkan uraian tersebut dan atas permintaan Dinas Kesehatan Kota Semarang dengan No. Surat 443.35 akan dilakukan suatu penelitian uji coba terhadap aplikasi model pengendalian penyakit menggunakan metode surveilans berbasis pelayanan kesehatan masyarakat di Kota Semarang, Jawa Tengah, untuk menanggulangi kejadian luar biasa leptospirosis. Rumusan penelitian ini adalah apakah uji coba penerapan model pengendalian penyakit
3
leptospirosis berdasarkan metode surveilans berbasis pelayanan kesehatan dapat menurunkan kasus leptospirosis di Kota Semarang.
4
I. TUJUAN DAN MANFAAT
A.
Tujuan umum : Uji coba “ Model Pengendalian Kejadian Luar Biasa Leptospirosis “ dengan intervensi menggunakan “ Metode Surveilans Leptospirosis Berbasis Pelayanan Kesehatan Masyarakat di Kota Semarang, Jawa Tengah “
B.
Tujuan khusus : 1.
Menetapkan faktor-faktor risiko Kejadian Luar Biasa Leptospirosis di Kota Semarang, Jawa Tengah berdasarkan model prediksi Metode Surveilans Berbasis Pelayanan Kesehatan Masyarakat.
2.
Mengaplikasikan Metode Surveilans Leptospirosis Berbasis Pelayanan Kesehatan Masyarakat di Kota Semarang, Jawa Tengah untuk mengendalikan Kejadian Luar Biasa Leptospirosis.
3.
Mengetahui implikasi yang diperoleh antara intervensi Metode Surveilans Leptospirosis Berbasis Pelayanan Kesehatan Masyarakat dengan Kejadian Luar Biasa Leptospirosis di Kota Semarang, Jawa Tengah.
C.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian berupa data uji coba terhadap aplikasi “ Metode Surveilans Leptospirosis Berbasis Pelayanan Kesehatan Masyarakat di Kota Semarang, Jawa Tengah yang dapat menjadi salah satu model alternatif yang diterapkan dalam perumusan kebijakan strategis pemberantasan leptospirosis di daerah endemis di Indonesia.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Epidemiologi Leptospirosis 1. Distribusi leptospirosis di Indonesia Di Indonesia teridentifikasi 170 serovar Leptospira yang berasal dari Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, dan Kalimantan Timur. Hasil spot survey yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan R.I. pada tahun 1994/1995 di Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Bali dan NTB menunjukkan bahwa 64,46-92,81% dari jumlah spesimen yang diperiksa memberikan hasil positif leptospirosis. Di Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara menunjukkan bahwa 10 spesimen (1,8%) dari 554 spesimen penduduk positif mengandung Leptospira .s/?.(Widarso, 2002). Di Jakarta selama tahun 1998 — 1999, ditemukan 51 orang penderita leptospirosis. Saat banjir melanda Jakarta tahun 2002, ditemukan lebih dari 100 orang menderita leptospirosis, dan 7 penderita diantaranya meninggal dunia. Tahun 2004 di daerah yang sama pasca banjir terindikasi 44 kasus leptospirosis dan 4 penderita diantaranya meninggal dunia, dan tahun 2005, ditemukan 7 kasus leptospirosis. Hasil uji serologi penderita leptospirosis menunjukkan bahwa, penyebab leptospirosis di Jakarta adalah bakteri Leptospira bataviae (Widarso, 2002). Di Jawa Tengah leptospirosis menyebabkan kematian penduduk di beberapa kabupaten/kota, seperti di Semarang, Demak, Purworejo dan Klaten. Tiga tahun terakhir ini di Kota Semarang dilaporkan teijadi peningkatan leptospirosis. Tahun 2002 dilaporkan 3 penderita dan 1 penderita meninggal (CFR = 33,33%), tahun 2003 dilaporkan terdapat 12 penderita dan 2 penderita meninggal (CFR = 16,67%), tahun 2004 terdapat 37 penderita dan 13 orang meninggal (CFR = 35,14%). Berdasarkan laporan yang diterima Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang dari berbagai Rumah Sakit hingga April tahun 2005 kasus leptospirosis di Kota Semarang yang dirawat sebanyak 11 orang dengan 2 kematian (CFR = 18,18%). Di Kabupaten
6
Demak, sejak tahun 2003-2005 terjadi peningkatan kasus leptospirosis. Tahun 2004
dilaporkan 6 penderita, 1 orang meninggal (CFR = 16,6%) dan tahun
2005
ditemukan 9 orang penderita leptospirosis dan 3 orang meninggal (CFR =
33,33%). Kasus leptospirosis tersebut tersebar di 9 desa dari 8 kecamatan. Pada bulan Mei tahun 2005, leptospirosis dinyatakan merupakan KLB (Kejadian Luar Biasa) di Kabupaten Klaten, karena menimbulkan kematian 1 orang dari 4 penderita (CFR = 25%) (Depkes, 2003).
2. Cara Penularan Leptospirosis Leptospirosis adalah direct zoonosis, karena tidak memerlukan vektor, dan digolongkan sebagai amfiksenosa karena jalur penularan dapat dari hewan ke manusia atau sebaliknya (Sarwani, 2005). Penularan Leptospira sp. dari tikus ke manusia melalui kontak kulit terluka dan membran mukosa dengan urine tikus, air atau tanah yang terkontaminasi jaringan atau cairan tubuh dan binatang yang terinfeksi bakteri tersebut. Penularan leptospirosis lebih sering terjadi akibat minum air atau makan makanan yang terkontaminasi bakteri Leptospira daripada masuk melalui selaput lendir atau luka pada kulit (Depkes, 2004). Penularan leptospirosis dari manusia ke manusia jarang namun dapat terjadi melalui hubungan seksual, air susu ibu dan sawar plasenta. Sementara tikus dapat tertular dari kencing penderita (Dwijo, 1989). Setelah masa inkubasi Leptospira sp. antara 4 - 1 9 hari, rata-rata 10 hari, terjadi demam yang waktu timbulnya bervariasi. Saat itu bakteri Leptospira sp. terdapat dalam aliran darah dan menetap dalam organ parenkhimatosa (terutama hati dan ginjal), menimbulkan perdarahan dan nekrosis jaringan dan mengakibatkan disfungsi organ tersebut (ikterus, perdarahan dan retensi nitrogen). Leptospirosis bersifat bifasik. Setelah nampak teijadi kesembuhan, timbul fase kedua, bila titer IgM meningkat. Gejala sering seperti meningitis aseptik dengan sakit kepala hebat, leher kaku, dan pleositosis dalam cairan serebrospinal. Dapat juga terjadi nefritis dan hepatitis, dan terdapat lesi kulit, otot dan mata, infeksi Leptospira sp. pada ginjal binatang sifatnya menahun
7
dan mengakibatkan pengeluaran bakteri dengan jumlah banyak dalam air kemih, sehingga menyebabkan sumber utama kontaminasi dan infeksi pada manusia. Air kemih penderita leptospirosis juga dapat mengandung bakteri Leptospira sp. pada minggu kedua dan ketiga (Lewet, 2001). Penyebarluasan bakteri Leptospira spp. dalam tubuh inang dengan cara menembus kulit terabrasi dan selaput lendir, kemudian membentuk infeksi sistemik dengan melewati hambatan jaringan dan dengan penyebaran hematogen (Bharti, 2003). Diperkirakan bahwa leptospira, seperti spirochaetes lainnya, menyebar melalui sambungan antar sel (Diarmita, 2005). Namun, secara invitro bakteri tersebut telah terbukti efisien memasuki sel inang dan dengan cepat mentranslokasi di sel monolayersm dan terpolarisasi tanpa mengubah ketahanan trans-epitel (Gunning, 2001). Leptospira bukan organisme fakultatif intraseluler. Bakteri ini jarang diamati dalam sel inang tetapi tampaknya hanya berada di dalam sel sementara saja, yaitu sel saat bakteri ini menyeberangi monolayers sel in vitro (Sarkar et a/..2012) Proses bakteri Leptospira masuk sel utama tersebut belum dipahami. Leptospira diinternalisasi telah diamati dalam sitoplasmadan kompartemen phagosomal dari sel inang non-fagositik menunjukkan bahwa leptospira menggunakan sel inang masuk dan cepat translokasi sebagai mekanisme untuk menyebar ke organ target dan menghindari respon imun (Athanazio et al., 2008). Infeksi menyebabkan leptospiraemia berkepanjangan sampai respon imun inang muncul pada satu hingga dua minggu setelah terpapar (Bharti, 2013). Leptospira dapat diisolasi dari aliran darah beberapa menit setelah inokulasi dan terdeteksi dalam beberapa organ pada hari ketiga setelah infeksi (Finlay dan Falkow, 1989). Jumlah bakteri Leptospira mungkin mencapai 106-107 organisme per ml atau per gram dalam darah dan jaringan pasien dan hewan yang terinfeksileptospira menghindari respon imun bawaan pada inangnya selama awal tahap infeksi (Segura, 2005). Leptospira bertahan pada alternatif jalur komplemen aktivasi (Guerreiro, 2001) dan memperoleh faktor H yang terkait dengan cairan fase regulator (Gunning, 1991) melalui ligan
8
seperti protein endostatin leptospira/Len (Haake et al., 1994) Fragmen inang C4bmengikat protein alpha rantai (C4bPA) mengikat ke permukaan leptospira (Haake et al., 1991) menunjukkan bahwa proses yang sama dapat memberikan perlindungan terhadap jalur klasik aktivasi komplemen. Komponen penting dari siklus hidup patogen Leptospira spp. adalah kemampuan mereka untuk menimbulkan persisten ginjal pada hewan reservoir. Pada tikus, leptospira menyebabkan infeksi sistemik tetapi kemudian bersih dari semua organ kecuali tubulus ginjal ( Hadisaputro et al., 1996) Ginjal pada bagian tubulus terdapat koloni Leptospira terpadat, agregat menjadi biofilm, seperti struktur yang tidak berbentuk. Tikus telah terbukti mengeluarkan leptospira dalam konsentrasi tinggi (107 organisme per ml (Ref. 39) selama 9 bulan setelah infeksi eksperimental. Leptospira terisolasi dari ginjal tikus yang terinfeksi kronis memiliki jumlah 1 i popol i sakarida (LPS) O antigen jauh lebih tinggi dari yang diisolasi dari hati hamster yang terinfeksi Leptospira secara akut, menunjukkan bahwa ekspresi antigen O memfasilitasi induksi transportasi Leptospira (Hovind-Hougen, 1989). Tubulus ginjal merupakan situs immunoprivileged, sebuah fitur yang mungkin akan menyebabkan Leptospira menjadi patogen yang efektif. Selain itu, leptospira yang ada dalam urin terekspresi pada protein yang dikenal oleh respon imun humoral pada tikus (Gassem et al., 2002) Perkembangan progresi leptospirosis dan penyakit dipengaruhi oleh faktor kerentanan inang, dosis bakteri yang terinokulasii dan karakteristik virulensi dari strain menginfeksi. Jenis Leptospira tertentu dan serovarian lebih sering ditemukan menyebabkan penyakit parah pada manusia dari pada binatang (Isogai, 1986).
3. Faktor Risiko Kejadian Leptospirosis a. Kejadian leptospirosis menurut u m u r d a n jenis kelamin Kasus leptospirosis terbanyak pada umur 15 tahun - 69 tahun (Jean, 2009). Kasus Leptospirosis pada anak jarang dilaporkan, karena tidak terdiagnosis atau manifestasi klinis yang berbeda dengan orang dewasa. Laki-
9
laki dan perempuan mempunyai peluang yang sama tertular leptospirosis. Menurut Brooks dkk (2001), anak-anak lebih sering terinfeksi Leptospira dari hewan domestik (anjing, kucing) daripada binatang lainnya (tikus).
b. Kejadian leptospirosis menurut pekerjaan Leptospirosis banyak ditemukan pada petani dan kalangan militer, selain pekeija perkebunan, tambang, selokan, rumah potong hewan juga kalangan penggemar olahraga renang dan mereka yang bermukim di wilayah kumuh serta mereka yang tidak memiliki WC sendiri ( Kasie, 2012).
c. Kejadian leptospirosis menurut keberadaan tikus di rumah Kualitas rumah adalah kondisi fisik rumah yang didasarkan atas keadaan dinding rumah dan plafon. Kualitas rumah mempengaruhi kejadian Leptospirosis, rumah yang berkualitas baik akan memungkinkan penghuninya tidak sering kontak dengan reservoar sedangkan rumah yang berkualitas buruk akan memberi peluang reservoar untuk selalu berada di dalam atau di sekitar rumah. Menurut Bovet dkk (1998), faktor risiko kejadian leptospirosis yang penting adalah keberadaan tikus di sekitar rumah, karena bakteri L. ichterohaemorrhagiae yang menginfeksi manusia merupakan bakteri yang sering dijumpai pada tikus domestik (tikus got R. norvegicus dan tikus rumah, R. tanezumi).
d. Kejadian leptospirosis menurut lingkungan abiotik dan biotik Lingkungan biotik yang mempengaruhi kejadian leptospirosis meliputi pola tanam, kepadatan tikus, jenis tikus dan vegetasi. Pola tanam yang intensif atau intensitas pertanaman yang terus menerus sepanjang tahun akan meningkatkan jumlah tikus, karena tersedianya pakan yang cukup sehingga tikus dapat berkembang biak aktif sepanjang tahun. Lingkungan demikian akan banyak peluang penularan leptospirosis, karena tingginya kepadatan dan jenis tikus (Ko et al., 2009). Keragaman vegetasi mempengaruhi kepadatan dan jenis tikus karena kelahiran tikus sawah sering pada musim pertanaman
10
ubi jalar, kacang tanah, bengkuang, ubi kayu, kedelai, kacang tunggak dan jagung. Kepadatan tikus pada vegetasi tersebut menjadi sumber penularan eptospirosis. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepadatan dan jenis tikus adalah ketersediaan pakan, tempat berlindung yang memadai, terhindar dari musuh alami serta kompetisi. Tikus senang bersarang terutama pada habitat yang memberikan perlindungan dan aman dari gangguan predator serta dekat dengan sumber pakan dan air. Tetapi ketika banjir tikus akan keluar meninggalkan sarangnya dan migrasi mencari tempat-tempat yang aman untuk berlindung, sehingga urin tikus dapat tersebar dan mengkontaminasi tempat-tempat yang dilalui dan ditempatinya,sehingga berpeluang terjadilanya penularan pada manusia. Lingkungan abiotik yang rentan terhadap kejadian leptospirosis adalah curah yang tinggi, suhu yang rendah, kelembaban yang relatif tinggi, udara yang hangat serta topografi tanah yang berupa lumpur atau tanah yang daya resapannya tinggi (Ko et al., 1999).
B. Surveilans Kesehatan Masyarakat (Surveilans Epidemiologi) 1. Pengertian Surveilans Kesehatan Masyarakat Menurut World Health Organization (1999), surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interprestasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk diambil tindakan atau di-diseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya (Koizumi, 2009). Kegiatan
surveilans
adalah
memantau
terus-menerus
kejadian
dan
kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi wabah/ kejadian luar biasai/ outbreak pada populasi, mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan reservoir. Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah pencegahan dan pengendalian penyakit (Kusriastuti, 2012).
11
Surveilans memungkinkan pengambil keputusan untuk memimpin dan mengelola dengan efektif. Surveilans kesehatan masyarakat memberikan informasi kewaspadaan dini bagi pengambil keputusan dan manajer tentang masalah-masalah kesehatan yang perlu diperhatikan pada suatu populasi. Surveilans kesehatan masyarakat merupakan instrumen penting untuk mencegah kejadian luar biasa penyakit dan mengembangkan respons segera ketika penyakit mulai menyebar. Informasi dari surveilans juga penting bagi kementerian kesehatan, kementerian keuangan, dan donor, untuk memonitor sejauh mana populasi telah terlayani dengan baik (Kolsky dan Blumenthal, 1995). Surveilans epidemiologi atau surveilans kesehatan masyarakat terintegrasi antara unit-unit penyelenggara surveilans dengan laboratorium, sumber-sumber data, pusat penelitian, pusat kajian dan penyelenggara program kesehatan, baik pada tingkat kabupaten/kota, propinsi dan Pusat (Last, 2001).
2. Jenis surveilans Dikenal beberapa jenis surveilans: (1) Surveilans individu; (2) Surveilans penyakit; (3) Surveilanssindromik; (4) Surveilans Berbasis Laboratorium; (5) Surveilans terpadu; (6) Surveilans kesehatan masyarakat global. a. Surveilans Individu Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor individuindividu yangmengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, dan sifilis. Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit menular selama periode menular.
12
b. Surveilans Penyakit Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terusmenerus terhadap distribusidan kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasiterhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu. Masalah kesehatan dapat disebabkan oleh beberapa sebab, oleh karena itu secara operasional diperlukan tata laksana secara integratif dengan ruang lingkup permasalahan sebagai berikut: 1.
Surveilans Epidemiologi penyakit Menular Merupakan analisis terus menerus dan sistematika terhadap penyakit menular danfaktor resiko untuk upaya pemberantasan penyakit menular.
2.
Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit tidak menular dan faktor resiko untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit tidak menular.
3.Surveilans
Epidemiologi penyakit Menular Surveilans Epidemiologi
Kesehatan Lingkungan dan Perilaku Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap penyakit dan faktor resikountuk mendukung program penyehatan lingkungan. 4.
Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan dan faktor resiko untuk mendukung program-program kesehatan tertentu.
5.
Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap masalah kesehatan danfaktor resiko untuk upaya mendukung program kesehatan matra (Lau, 2010).
13
c.
Surveilans Sindromik Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit, bukan masingmasing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-indikator individu sakit,seperti pola perilaku, gejala- gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat ditelusuri dari berbagai sumber, sebelum diperoleh konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional.
d.
Surveilans Berbasis Laboratorium Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan menonitor penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis,penggunaan sebuah laboratorium sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-klinik (Kolsky dan Blumenthal, 1995).
e.
Surveilans Terpadu Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua kegiatan surveilans disuatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersama.Surveilans terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan kebutuhan data khusus penyakit-penyakit tertentu. Karakteristik pendekatan surveilans terpadu: (1) Memandang surveilans sebagai pelavananbersama (common services);
(2)
Menggunakan pendekatan solusi majemuk; (3) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural; (4) Melakukan sinergi antara fungsi inti
14
surveilans (yakni; pengumpulan, pelaporan, analisis data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans (yakni; pelatihandan supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi, manajemen sumber daya); (5) Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit. Meskipun menggunakan pendekatan terpadu,surveilans terpadu tetap memandang penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yangberbeda (Levett, 2001). f. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modem, migrasi manusia dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-batas negara. Ancaman aneka penyakit menular merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit lama yang muncul kembali (re- emerging diseases), maupun penyakit-penyakit yang baru muncul (new emerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan SARS. Agenda surveilans global yang komprehensif melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi (Liao, 2009).
3. Manajemen Surveilans Surveilans mencakup dua fungsi manajemen: (1) fungsi inti; dan (2) fungsi pendukung. Fungsi inti (core activities) mencakup kegiatan surveilans dan langkah-langkah intervensi kesehatan masyarakat. Kegiatan surveilans mencakup deteksi, pencatatan, pelaporan data, analisis data,konfirmasi epidemiologis maupun laboratoris, umpan-balik (feedback). Langkah intervensi kesehatan masyarakat mencakup respons segera (epidemic type response) dan respons terencana (management type
15
response).
Fungsi
pendukung
(support
activities)
mencakup
pelatihan,
supervisi,penyediaan sumber daya manusia dan laboratorium, manajemen sumber daya, dan komunikasi (Liao, 2009). Hakikatnya tujuan surveilans adalah memandu intervensi kesehatan. Karena itu sifat dari masalah kesehatan masyarakat menentukan desain dan implementasi sistem surveilans. Sebagai contoh, jika tujuannya mencegah penyebaran penyakit infeksi akut, misalnya SARS, maka manajer program kesehatan perlu melakukan intervensi kesehatan dengan segera. Karena itu dibutuhkan suatu sistem surveilans yang dapat memberikan informasi peringatan dini dari klinik dan laboratorium. Sebaliknya penyakit kronis dan perilaku terkait kesehatan, seperti kebiasaan merokok, berubah dengan lebih lambat. Para manajer program kesehatan hanya perlu memonitor perubahan-perubahan sekali setahun atau lebih jarang dari itu. Sebagai contoh, sistem surveilans yang menilai dampak program pengendalian tuberkulosis mungkin hanya perlu memberikan informasi sekali setahun atau lima tahun, tergantung prevalensi. Informasi yang diperlukan bisa diperoleh dan survei rumah tangga.
4. Pendekatan Surveilans Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis: (1) Surveilans pasif; (2) Surveilans aktif (Ma dan Li, 2009). Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Kelebihan surveilans pasif, relatif murah dan mudah untuk dilakukan. Negara-negara anggota WHO diwajibkan melaporkan sejumlah penyakit infeksi yang harus dilaporkan, sehingga dengan surveilans pasif dapat dilakukan analisis perbandingan penyakit internasional. Kekurangan surveilans pasif adalah kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Data yang dihasilkan cenderung underreported, karena tidak semua kasus datang ke fasilitas pelayanan kesehatan formal. Selain itu,
16
tingkat pelaporan dan kelengkapan laporan biasanya rendah, karena waktupetugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan perlu dibuat sederhana dan ringkas. Surveilans aktif menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan berkala kelapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks. Kelebihan surveilans aktif, lebih akurat daripada surveilans pasif, sebab dilakukan olehpetugas yang memang dipekerjakan untuk menjalankan tanggungjawab itu. Selain itu, surveilansaktif dapat mengidentifikasi outbreak lokal. Kelemahan surveilans aktif, lebih mahal dan lebih sulituntuk dilakukan daripada surveilans pasif.Sistem surveilans dapat diperluas pada level komunitas, disebut community survei/ance. Dalam community surveilance, informasi dikumpulkan langsung dari komunitas oleh kader kesehatan, sehingga memerlukan pelatihan diagnosis kasus bagi kader kesehatan. Definisi kasus yang sensitif dapat membantu para kader kesehatan mengenali dan merujuk kasus mungkin(probable cases) ke fasilitas kesehatan tingkat pertama. Petugas kesehatan di tingkat lebih tinggi dilatih menggunakan definsi kasus lebih spesifik, yang memerlukan konfirmasi laboratorium. Community surveilans mengurangi kemungkinan negatif palsu.
5. Surveilans Efektif Karakteristik surveilans yang efektif: cepat, akurat, reliabel, representatif, sederhana, fleksibel,akseptabel, digunakan (Matos et al. 2001). a. Kecepatan. Informasi yang diperoleh dengan cepat (rapid) dan tepat waktu (timely) memungkinkan tindakan segera untuk mengatasi
17
masalah yang diidentifikasi. Investigasi lanjut hanya dilakukan jikadiperlukan informasi tertentu dengan lebih mendalam.Kecepatan surveilans dapat ditingkatkan melalui sejumlah cara: (1) Melakukan analisissedekat mungkin dengan pelapor data primer, untuk mengurangi “lag” (beda waktu) yang terlalupanjang antara laporan dan tanggapan; (2) Melembagakan pelaporan wajib
untuk
sejumlah
penyakittertentu
(notifiable
diseases);
(3)
Mengikutsertakan sektor swasta melalui peraturan perundangan;(4) Melakukan fasilitasi agar keputusan diambil dengan cepat menggunakan hasil surveilans; (5)Mengimplementasikan sistem umpan balik tunggal, teratur, dua-arah dan segera. b.
Akurasi. Surveilans yang efektif memiliki sensitivitas tinggi, yakni sekecil mungkin terjadi hasil negative palsu. Aspek akurasi lainnya adalah spesifisitas, yakni sejauh mana terjadi hasil positif palsu. Pada umumnya laporan kasus dari masyarakat awam menghasilkan “false alarm” (peringatan palsu). Karena itu sistem surveilans perlu mengecek kebenaran laporan awam ke lapangan, untuk mengkonfirmasi apakah memang tengah terjadi peningkatan kasus/ outbreak.Akurasi surveilans dipengaruhi beberapa faktor: (1) kemampuan petugas; (2) infrastruktur laboratorium. Surveilans membutuhkan pelatihan petugas. Contoh, para ahli madya epidemiologi perlu dilatih tentang dasar laboratorium,
sedang
teknisi
laboratorium
dilatih
tentang
prinsip
epidemiologi,sehingga kedua pihak memahami kebutuhan surveilans. Surveilans memerlukan peralatan laboratorium standar di setiap tingkat operasi untuk meningkatkan kemampuan konfirmasi kasus. c.
Standar, seragam, reliabel, kontinu. Definisi kasus, alat ukur, maupun prosedur yang standar penting dalam sistem surveilans agar diperoleh informasi yang konsisten. Sistem surveilans yang efektif mengukur secara kontinu sepanjang waktu, bukannya intermiten atau sporadis, tentang insidensi kasus penyakit untuk mendeteksi kecenderungan. Pelaporan rutin data penyakit yang harus dilaporkan (reportable diseases) dilakukan seminggu sekali.
18
d.
Representatif dan lengkap. Sistem surveilans diharapkan memonitor situasi yang sesungguhnyaterjadi pada populasi. Konsekuensinya, data yang dikumpulkan perlu representatif dan lengkap. Keterwakilan, cakupan, dan kelengkapan data surveilans dapat menemui kendala jika penggunaan kapasitas tenaga petugas telah melampaui batas, khususnya ketika waktu petugas surveilans terbagiantara tugas surveilans dan tugas pemberian pelayanan kesehatan lainnya.
e.
Sederhana, fleksibel, dan akseptabel. Sistem surveilans yang efektif perlu sederhana dan praktis,baik dalam organisasi, struktur, maupun operasi. Data yang dikumpulkan harus relevan dan terfokus.Format pelaporan fleksibel, bagian yang sudah tidak berguna dibuang. Sistem surveilans yang burukbiasanya terjebak untuk menambah sasaran baru tanpa membuang sasaran lama yang sudah tidak berguna, dengan akibat membebani pengumpul data. Sistem surveilans harus dapat diterima olehpetugas surveilans, sumber data, otoritas terkait surveilans, maupun pemangku surveilans lainnya. Untuk memelihara komitmen perlu pembaruan kesepakatan para pemangku secara berkala pada setiap level operasi.
f.
Penggunaan (uptake). Manfaat sistem surveilans ditentukan oleh sejauh mana informasi surveilans digunakan oleh pembuat kebijakan, pengambil keputusan, maupun pemangku surveilans padaberbagai level. Rendahnya penggunaan data surveilans merupakan masalah di banyak negara berkembang dan beberapa negara maju. Salah satu cara mengatasi problem ini adalah membangun network dan komunikasi yang baik antara peneliti, pembuat kebijakan, dan pengambil keputusan.
6.
Komponen Surveilans Komponen-komponen kegiatan surveilans menurut Depkes RI, (2004) seperti dibawah ini: a. Pengumpulan data, data yang dikumpulkan adalah data epidemiologi yang jelas, tepat dan ada hubungannya dengan penyakit yang
19
bersangkutan. Tujuan dari pengumpulan data epidemiologi adalah: untuk menentukan kelompok populasi yang mempunyai resiko terbesar terhadap serangan penyakit; untuk menentukan reservoir dari infeksi; untuk menentukan jenis dari penyebab penyakit dan karakteristiknya; untuk memastikan keadaan yang dapat menyebabkan berlangsungnya transmisi penyakit; untuk mencatat penyakit secara keseluruhan; untuk memastikan sifat dasar suatu wabah, sumbernya, cara penularannya dan seberapa jauh penyebarannya. b.
Kompilasi, analisis dan interpretasi data. Data yang terkumpul selanjutnya dikompilasi, dianalisis berdasarkan orang, tempat dan waktu. Analisa dapat berupa teks tabel, grafik dan spot map sehingga mudah dibaca dan merupakan informasi yang akurat. Dari hasil analisis dan interpretasi selanjutnya dibuat saran bagaimana menentukan tindakan dalam menghadapi masalah yang baru.
c.
Penyebaran hasil analisis dan hasil interpretasi data. Hasil analisis dan interpretasi data digunakan untuk unit-unit kesehatan setempat guna menentukan tindak lanjut dan disebarluaskan ke unit terkait antara lain berupa laporan kepada atasan atau kepada lintas sektor yang terkait sebagai informasi lebih lanjut (McBride et al., 2005). Komponen- komponen dalam pelaksanaan sistem surveilans adalah sebagai berikut: 1. Pengumpulan Data. Pengumpulan data merupakan komponen yang sangat penting karena kualitas informasi yang diperoleh sangat ditentukan oleh kualitas data yang dikumpulkan. Data yang dikumpulkan harus jelas, tepat dan ada hubungannya dengan penyakit yang bersangkutan. Oleh karena itu untuk dapat menjalankan surveilans yang baik pengumpulan data harus dilaksanakan secara teratur dan terus-menerus. Tujuan pengumpulan data: a). Menentukan kelompok atau golongan populasi yang mempunyai resiko terbesar terkena penyakit seperti jenis kelamin, umur, suku, pekeijaan dan lain-lain.
20
b)
Menentukan jenis agent atau penyebab penyakit dan karakteristiknya.
c)
Menentukan reservoir infeksinya
d)
Memastikan keadaan yang menyebabkan kelangsungan transmisi penyakit.
e)
Mencatat kejadian penyakit, terutama pada kejadian luar biasa. Sumber data yang dikumpulkan barlainan untuk tiap jenis penyakit. Sumber data sistem surveilans terdiri dari 10 elemen yaitu: 1) Pencatatan kematian 2) Laporan penyakit, merupakan elemen yang terpenting dalam surveilans. Data yang diperlukan : nama penderita, umur, jenis kelamin, alamat, diagnosis dan tanggal mulai sakit. 3) Laporan kejadian luar biasa atau wabah. 4) Hasil pemeriksaan laboratorium. 5) Penyelidikan peristiwa penyakit menular. 6) Penyidikan kejadian luar biasa atau wabah. 7) Survey : memerlukan tenaga, biaya dan fasilitas. 8) Penyelidikan tentang distribusi vektor dan reservoir penyakit pada hewan. 9) Data penggunaan obat-obatan, serum dan vaksin. 10) Data kependudukan dan lingkungan.
2.
Pengolahan, analisa dan interpretasi data. Data yang terkumpul segera diolah, dianalisa dan sekaligus diinterpretasikan berdasarkan waktu, tempat dan orang, kemudian disajikan dalam bentuk teks, tabel, spot map dan lain-lain agar bisa menjawab masalah-masalah yang ada, sehingga segera dilakukan tindakan yang cepat dan tepat. Berdasarkan hasil analisa dan interpretasi data, dibuat tanggapan dan saran-saran dalam menentukan tindakan pemecahan masalah yang ada.
21
3.
Penyebarluasan Informasi dan umpan balik. Hasil analisa dan interpretasi data selain terutama dipakai sendiri oleh unit kesehatan setempat untuk keperluan penentuan tindak lanjut, juga untuk disebarkluaskan dengan jalan dilaporkan kepada atasan sehagai infomasi lebih lanjut, dikirimkan sebagai umpan balik (feed back) kepada unit kesehatan pemberi laporan. Umpan balik atau pengiriman informasi kembali kepada sumber-sumber data (pelapor) mengenai arti data yang telah diberikan dan kegunaannya setelah diolah, merupakan suatu tindakan yang penting, selain tindakan /^//ow up (Mims, 1987).
7. Aktifitas Inti Surveilans Aktivitas surveilans kesehatan masyarakat meliputi delapan aktivitas inti yaitu. a. Pendeteksian kasus (case detection): proses mengidentifikasi peristiwa atau keadaan kesehatan. Unit sumber data menyediakan data yang diperlukan dalam penyelenggaraan surveilans epidemiologi termasuk rumah sakit, puskesmas, laboratorium, unit penelitian, unit program-sektor dan unit statistik lainnya. b. Pencatatan kasus (registration): proses pencatatan kasus hasil identifikasi peristiwa atau keadaan kesehatan. c. Konfirmasi (confirmation):
evaluasi dari ukuran-ukuran
epidemiologi sampai pada hasil percobaan laboratorium. d. Pelaporan (reporting): data, informasi dan rekomendasi sebagai hasil kegiatan surveilans epidemiologi disampaikan kepada pihak-pihak yang dapat melakukan tindakan penanggulangan penyakit atau upaya peningkatan program kesehatan, pusat penelitian dan pusat kajian serta pertukaran data dalam jejaring surveilans epidemiologi. Pengumpulan data kasus pasien dan tingkat yang lebih rendah dilaporkan kepada fasilitas kesehatan yang lebih tinggi seperti lingkup daerah atau nasional.
22
e. Analisis data (data analysis): analisis terhadap data-data dan angka- angka dan menentukan indikator terhadap tindakan. f. Respon
segera/
kesiapsiagaan
wabah
(epidemic
preparedness)
kesiapsiagaan dalam menghadapi wabah/kejadian luar biasa. g. Respon terencana (response and control): sistem pengawasan kesehatan masyarakat hanya dapat digunakan jika data yang ada bisa digunakan dalam peringatan dini dan munculnya masalah dalam kesehatan masyarakat. h. Umpan balik (feedback): berfungsi penting dari semua sistem pengawasan, alur pesan dan informasi kembali ke tingkat yang lebih rendah dari tingkat yang lebih tinggi.68(52)
8. Surveilans leptospirosis a. Alasan Pelaksanaan Surveilans Leptospirosis Menurut World Health Organization (1999), surveilans leptospirosis direkomendasikan untuk dilaksanakan di negara-negara tropis dan subtropis, karena sering menimbulkan wabah di negara tersebut, terutama pada musim hujan, dan sering mewabah diantara para pekerja, wisatawan/rekreasi, tentara, dan olahragawan (triathlon). Jenis binatang liar (tikus) dan hewan domestik (ternak atau piaraan) dapat berperan sebagai sumber infeksi dengan salah satu serovar Leptospira. Infeksi ditularkan ke manusia melalui kontak langsung dengan (air seni) hewan yang terinfeksi atau lingkungan terkontaminasi dengan air seni, terutama genangan air dan tanaman. Perjalanan penyakit pada manusia berkisar dari ringan sampai mematikan. Leptospirosis mungkin belum dilaporkan di banyak negara karena diagnosis gejala klinis sulit dan kurangnya layanan diagnostik laboratorium. Surveillance memberikan dasar untuk strategi intervensi dalam kesehatan masyarakat manusia atau hewan (Mishra, 2007).
23
b. Rekomendasi Definisi Kasus Pada Surveilans Leptospirosis 1. Gambaran klinis Gejala utama leptospirosis Penyakit demam akut dengan sakit kepala, mialgia dan namaskara yang terkait dengan salah satu gejala berikut: a)
Suffusion konjungtiva
b)
Iritasi meningeal
c)
Anuria atau oligouria dan / atau proteinuria- ikterus
d)
Pendarahan (dari usus, perdarahan paru terkenal di beberapa daerah)
e)
Aritmia jantung atau kegagalan
f)
Ruam kulitdan riwayat pajanan terhadap hewan yang terinfeksi atau lingkungan terkontaminasi dengan air kencing hewan.
g)
Gejala umum lainnya termasuk mual, muntah, sakit perut,diare, dan arthralgia
2. Kriteria diagnosis laboratorium a)
Isolasi (dan typing) dari darah atau bahan klinis lain dengan kultur Leptospira patogen
b)
Uji aglutinasi mikroskopis (MAT), menggunakanberbagai strain Leptospira untuk mewakili antigen strain lokal. Tersangka: Sebuah kasus yang kompatibel dengan gambaran klinis. Probable: Tidak dipakai. Konfirmasi : Kasus tersangka dikonfirmasi di laboratorium Catatan: Leptospirosis sulit didiagnosis secara klinis, terutama di daerah banyak dijumpai penyakit dengan gejala mirip dengan leptospirosis sering teijadi.
3. Jenis surveilans yang dirokemdasikan Pelaporan kasus leptospirosis berbasis rumah sakit/dokter/ laboratorium umum, segera dilacak atau dikonfirmasi di rumah
24
sakit yang berkompeten untuk deteksi Leptospira patogenik. Semua kasus harus dilakukan penyelidikan epidemiologi.. Surveilans berbasis rumah sakit dapat memberikan informasi tentang kasus leptospirosis berat. Serosurveillans dapat memberikan informasi infeksi leptospiral terjadi atau tidak di daerah-daerah tertentu atau populasi. 4.
Recomendasi data Minimum Catatan pelaporan dan investigasi pada kasus leptospirosis minimal meliputi; 1) Usia, jenis kelamin, informasi geografis, pekerjaan 2) Gejala klinis (morbiditas, mortalitas) 3) Rawat Inap (Y / N) 4) Sejarah dan tempat paparan (kontak hewan, lingkungan) 5) Mikrobiologi dan serologi Data 6) Tanggal diagnosis 7) Curah hujan, banjir Data agregat untuk pelaporan 1) Jumlah kasus 2) Jumlah rawat inap 3) Jumlah kematian 4) Jumlah kasus menurut jenis (penyebab serovar / serogrup) leptospirosis
5.
Rekomendasi Analisis Data, Presentasi, Laporan Jumlah kasus menurut: umur, jenis kelamin, pekerjaan, area, tanggal onset, serovars/serogrup penyebab, sumber infeksi(dugaan), dan analisis situasi lingkungan (grafik, tabel, peta). Distribusi frekuensi kasus leptospirosis dengan tanda- tanda atau gejala, dan serovar Leptospira
(tabel).
Laporan
wabah,
laporan
langkah-langkah
pencegahan, surveilans dari populasi manusia dan populasi hewan liar dan domestik.
25
6. Pemanfaatan Data Surveilans Untuk Pembuat Keputusan Menilai besarnya masalah kasus leptospirosis di daerah yang berbeda dan kelompok berisiko/daerah/kondisi 1)
Mengidentifikasi wabah
2)
Mengidentifikasi sumber hewani infeksi
3)
Memantau munculnya leptospirosis di daerah baru dan kelompok risiko baru (kerja)
4)
Metode pengendalian atau pencegahan
5)
Desain rasional
6)
Mengidentifikasi serovars baru dan distribusinya
7)
Menginformasikan serovar-serovar leptospira iokal dan hasil MAT
c. Aspek Khusus 1)
Uji aglutinasi mikroskopis (MAT) dapat memberikan Informasi tentang serogrup Leptospira.
2)
Upaya mengisolasi leptospira harus dilakukan, dan isolat harus dikultur untuk mengetahui serovar lokal.
3)
Penyelidikan epidemiologi pada pasien untuk mengetahui sumber infeksi dan kondisi lingkungan.
4)
Serologi pada hewan dapat memberikan informasi mengenai status serogrup dari Isolasi infeksi diikuti dengan mengetik memberikan informasi pasti tentang serovar.
26
III.
METODE PENELITIAN
A. Kerangka Teori Penyusunan model prediksi untuk pengendalian leptospirosis dengan metode surveilans berbasis pelayanan kesehatan masyarakat di Kota Semarang, Jawa Tengah adalah berdasarkan: 1.
Leptospirosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Leptospira spp,. famili Treponemataceae, ordo Spirochaetales. Pada awal tahun 2002, di Kota Semarang, leptospirosis cenderung meningkat. Sejak saat itu, setiap tahun ditemukan kasus leptospirosis dan menimbulkan kematian. KLB cenderung sering terjadi pada lokasi secara random, dan sulit untuk diprediksi.
2.
Hasil penyelidikan epidemiologi menunjukkan bahwa kasus leptospirosis pada umumnya adalah pada para pekeija kasar (buruh, tukang sampah dll) dan pengangguran/tidak bekerja. Selain itu, ditemukan pula kasus leptospirosis pada pemelihara anjing. Hewan peliharaan seperti anjing berpotensi sebagai sumber penular.Tikus rumah (Rattus tanezumi) dan tikus %o\(R. norvegicus) telah menunjukkan hasil positif mengandung bakteri Leptospira patogenik (Leptospira interogans) serovar Icterohaemorraghiae, Bataviae dan Autumnalis.
3.
Pemantauan leptospirosis selama ini dilakukan secara intermiten atau episodik. Surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan masyarakat belum dilakukan, karena keterbatasan alat diagnosis dan belum ditetapkan komponen pengumpulan data kegiatan surveilans leptospirosis.
4.
Komponen pengumpulan data pada surveilans leptospirosis dapat ditetapkan, yaitu pengumpulan data epidemiologi yang jelas, tepat dan ada hubungannya dengan penyakit yang diamati. Pengumpulan data epidemiologi bertujuan menentukan kelompok populasi berisiko terbesar terhadap kejadian penyakit; menentukan reservoir penyakit; menentukan jenis penyebab penyakit dan karakteristiknya; memastikan keadaan yang
27
dapat menyebabkan berlangsungnya transmisi penyakit; mencatat penyakit secara keseluruhan; dan memastikan sifat dasar suatu wabah, sumber, cara penularan dan seberapa jauh penyebarannya. 5. Kegiatan surveilans adalah memantau terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi dan memprediksi KLB pada populasi, mengamati faktorfaktor yang mempengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan-perubahan biologis pada agen, dan inang reservoir leptospirosis. 6. Surveilans leptospirosis berbasis rumah sakit telah dapat memberikan informasi tentang kasus leptospirosis berat. Serosurveilans dapat memberikan informasi tempat infeksi leptospira terjadi di daerah atau populasi tertentu, tetapi surveilans leptospirosis berbasis rumah sakit hanya ditujukan pada manusia, sedangkan pada reservoir leptospirosis dan lingkungan belum dilaksanakan. 7. Surveilans leptospirosis bukan hanya perlu dilakukan terhadap manusia tetapi juga pada inang reservoir dan lingkungan, sehingga dapat diperoleh informasi epidemiologi leptospirosis tentang hubungan leptospirosis pada manusia, hewan, dan kondisi lingkungan. 8. Surveilans leptospirosis diprediksi dapat menjadi alat yang efektif dalam mendeteksi dan mencegah wabah.
28
Gambar 1. Kerangka Teori
B. Kerangka Konsep Surveilans leptospirosis adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis daninterprestasi data kasus leptospirosis secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasikepada Unit yang membutuhkan untuk diambil tindakan. Oleh karena itu perludikembangkan suatu definisi Surveilans leptospirosis yang lebih mengedepankan analisisatau kajian epidemiologi leptospirosis serta pemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa melupakanpentingnya kegiatan pengumpulan dan pengolahan data. Sistem Surveilans leptospirosis merupakan tatanan prosedur penyelenggaraan surveilans epidemiologi leptospirosis yang terintegrasi antara unit-unit penyelenggara surveilansdengan laboratorium, sumber-sumber data, pusat penelitian, pusat kajian danpenyelenggara program kesehatan, meliputi
29
hubungan Surveilans epidemiologi antarwilayah kabupaten/kota, propinsi dan Pusat. Masalah Leptospirosis dapat disebabkan oleh beberapa sebab, oleh karena itusecara operasional diperlukan tatalaksana secara integratif, baik manusia, binatang reservoir, agent penyakit dan lingkungan. Penyelenggaraan Sistem Surveilans Leptospirosis dilakukan oleh setiapinstansi
kesehatan
Pemerintah,
instansi
Kesehatan
Propinsi,
instansi
kesehatankabupaten/kota dan lembaga masyarakat dan swasta baik secara fungsional ataustruktural. Mekanisme kegiatan Surveilans epidemiologi Kesehatan merupakan kegiatanyang dilaksanakan
secara
sistematis
dan
terus
menerus
dengan
mekanisme
sebagaiberikut;identifikasi kasus leptospirosis,perekaman, pelaporan dan pengolahan data, analisis dan intreprestasi data, studi epidemiologi leptospirosis, penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkannya, membuat rekomendasi dan alternatif tindak lanjut dan umpan balik. Jenis penyelenggaraan surveilans leptospirosis berdasarkan metode pelaksanaan surveilans epidemiologi surveilans
sentinel, adalah penyelenggaraan surveilans
epidemiologi leptospirosis padapopulasi dan wilayah terbatas (pada penelitian ini di daerah KLB) untuk mendapatkan signal adanya masalah leptospirosis pada suatu populasi atau wilayah yang lebih luas padaperiode tertentu serta populasi atau wilayah tertentu untuk mengetahui lebihmendalam gambaran epidemiologi leptospirosis, permasalahan dan atau faktorresiko leptospirosis. Penyelenggaraan surveilans leptospirosis berdasarkan aktifitas pengumpulan data yaitu untuk surveilans aktif dan pasif. Surveilans leptospirosis secara aktif ialah penyelenggaraan surveilans leptospirosis dengan unit surveilans mengumpulkan data secara mendatangi unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya. Surveilans Pasif, adalah penyelenggaraan surveilans leptospirosis dengan unit surveilans mengumpulkan data dengan cara menerima data tersebut dari unit, pelayanan kesehatan, masyarakat atau sumber data lainnya. Penyelenggaraan surveilans leptospirosis berdasarkan kualitas pemeriksaan, yaitu bukti labortorium atau dengan peralatan khusus, adalah kegiatan surveilans
30
dengan data diperoleh berdasarkan pemerksaan laboratorium atau peralatanpendukung pemeriksaan lainnya. Setiap Penyelenggaraan Surveilans leptospirosis erdiri dari beberapa komponen yang menyusun bangunan sistem Surveilans Leptospirosis yang terdiri atas komponen sebagai berikut: tujuan yang jelas dan dapat diukur dan unit surveilans leptospirosis terdiri dari kelompok keija Surveilans Leptospirosis dengan dukungan tenaga profesional. Konsep surveilans leptospirosis dapat mendapat dukungan advokasi peraturan perundang-undangan, sarana dan anggaran. Sumber data surveilans leptospirosis adalahdata kesakitan yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan danmasyarakat, data kematian yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan serta laporan, dari kantor pemerintah dan masyarakat,data demografi yang dapat diperoleh dan unit statistik kependudukan dan masyarakat. Data geografi yang dapat diperoleh dari Unit meteorologi dan Geofisika. Data laboratiorium yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat. Data Kondisi lingkungan diperoleh dengan survei lingkungan abiotik (suhu, pH air, dan Curah hujan). Data hewan dan vektor sumber penularan penyakit yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat. Data, informasi dan rekomendasi sebagai hasil kegiatan Surveilans Leptospirosis disampaikan kepada pihak-pihak yang dapat melakukan tindakan penanggulangan penyakit atau upaya peningkatan program kesehatan, pusat-pusat penelitian dan pusat-pusat kajian serta pertukaran data dalam jejaring Surveilans epidemiologi
31
Gambar 2. Kerangka konsep
32
C. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian uji coba penerapan metode surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan masyarakat dilakukan di Kota Semarang, Jawa Tengah. Penelitian dilakukan pada bulan Mei -Oktober 2014.
D. Jenis dan Desain Penelitian 1.
Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk epidemiologi analitik yaitu mengamati danmenganalisis hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat melaluipengujian hipotesis yang dirumuskan. Kemaknaan hubungan antara variabel tersebut digunakan untuk menentukan pengaruh intervensi yang diaplikasikan.
2.
Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah rancangan kuasi eksperimen, non equivalen kontrol group. O1
X
02
Keterangan : O1: pengukuran variabel sebelum perlakuan (sebelum aplikasi metode surveilans leptospirosi) pada kelompok intervensi X: intervensi O2: pengukuran variabel sesudah perlakuan (sesudah aplikasi metode surveilans leptospirosi)pada kelompok intervensi.
E.
Variabel 1.
Variabel terikat Kejadian leptospirosis
2.
Variabel bebas: a. Faktor Perilaku Masyarakat 1. Kebiasaan mandi/mencuci di sungai 2. Kebiasaan tidak menggunakan sabun/deterjen merupakan faktor risikokejadian leptospirosis.
33
3. Kebiasaan tidak memakai alat pelindung diri ketika bekerja merupakanfaktor risiko kejadian leptospirosis. 4. Adanya riwayat kontak dengan tikus/bangkai tikus merupakan faktorrisiko kejadian leptospirosis. 5. Kebiasaan membersihkan lingkungan sekitar rumah merupakan faktorrisiko kejadian leptospirosis 6. Adanya riwayat luka merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis. 7. Umur merupakan faktor risikokejadian leptospirosis 8. Lama pendidikan yang kurang atau sama dengan 9 tahun merupakanfaktor risiko kejadian leptospirosis. 9. Pekerjaan yang berisiko merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis. b. Faktor Lingkungan 1. pH air 2. Salinitas 3. Curah hujan 4. Adanya riwayat banjir merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis. 5. Kondisi selokan yang buruk merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis. 6. Kondisi lingkungan rumah yang kurang baik merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis. 7. Adanya tikus di dalam dan atau sekitar rumah merupakan faktorrisiko kejadian leptospirosis. 8. Adanya hewan piaraan/temak merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis. 9. Tidak tersedianya pelayanan pengumpulan limbah padat merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis. 10. Tidak tersedianya sistem distribusi air bersih dengan saluran perpipaan merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis.
3d
c. Faktor inang reservoir leptospirosis (tikus) 1.
Jenis tikus
2.
Habitat
3.
Umur
4.
Kepadatan relatif
d. Faktor hewan ternak/piaraan 1. Jenis ternak/piaraan 2. Jumlah ternak
F. Populasi dan Sampel 1. Populasi dan Sampel Pada Kelompok Kasus Leptospirosis a)
Populasi Sasaran (Target Population, Reference Population) Populasi sasaran adalah semua penderita leptospirosis di Kota Semarang. Merupakan keseluruhan subyek, item, pengukuran, yang inginditarik kesimpulan oleh peneliti melalui inferensi.
b)
Populasi Sumber (Source Population, Actual Population) Pada penelitian ini yang dimaksud populasi sumber adalah semua penderita leptospirosis yang ditemukan secara aktif dan pasif dari seluruh Puskesmas Kota Semarang dan yang dirawat di RS Dr. Kariadi Semarang. Semua penderita leptospirosis didiagnosis secara klinis dan laboratorismenderita leptospirosis dan tercatat dalam medical record. Merupakan himpunan subyek dari populasi sasaran yang digunakansebagai sumber pencuplikan subyek penelitian
c)
Sampel (Study Population) Merupakan sebuah subset yang dicuplik dari populasi sumber, yang akan diamati atau diukur peneliti. Pada penelitian ini yang dimaksud populasi sumber adalah semuapenderita leptospirosis yang ditemukan secara aktif dan pasif dari seluruh Puskesmas Kota Semarang dan yang dirawat di RS Dr. Kariadi Semarang. Semua penderita leptospirosis didiagnosis secara klinis dan laboratorismenderita
35
leptospirosis dan tercatat dalam medical record,serta terpilih untukditeliti dan memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. d)
Kriteria Inklusi Kelompok Kasus: 1.
Semua golongan umur dan jenis kelamin.
2.
Bertempat tinggal tetap minimal selama 5 tahun di wilayah Kota Semarang.
e)
Kriteria Eksklusi Kelompok Kasus: 1.
Sakit berat sehingga tidak memungkinkan diambil darahnya
2.
Sakit dan tidak berasal dari Semarang
2. Populasi Dan Sampel Pada Kelompok Kontrol a)
Populasi Sasaran (Target Population, Reference Population) Semua orang yang merupakan tetangga penderita leptospirosis yang ada di Kota Semarang dan tidak pernah didiagnosis secara klinis maupun laboratoris menderita leptospirosis ataupunmerasakan gejala- gejala leptospirosis.
b)
Populasi Sumber (Source Population, Actual Population) Semua orang yang merupakan tetangga dari penderita leptospirosis yang ditemukan secara aktif dan pasif dari seluruh Puskesmas Kota Semarang dan yang dirawat di RSDr. Kariadi Semarang, serta tidak pemahdidiagnosis secara klinis maupun laboratoris menderita leptospirosis ataupun merasakan gejalagejala leptospirosis.
c)
Sampel (Study Population) Semua orang yang merupakan tetangga dari penderita leptospirosis yang ditemukan secara aktif dan pasif dari seluruh Puskesmas Kota Semarang dan yang dirawat di RSDr. Kariadi Semarang, serta tidak pemahdidiagnosis secara klinis maupun laboratoris menderita leptospirosis ataupun merasakan gejalagejala leptospirosis, terpilih untuk diteliti serta memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi:
d)
Kriteria Inklusi Kelompok Kontrol: 1.
Memiliki umur yang sama atau ± 5 tahun dengan umur kasus.
2.
Memiliki jenis kelamin yang sama dengan kasus.
36
3.
Bertempat tinggal tetap minimal selama 5 tahun di daerah yang sama dengan pasien leptospirosis di wilayah Kota Semarang danmerupakan tetangga pasien.
4.
Tidak pernah didiagnosis secara klinis ataupun laboratoris menderita leptospirosis ataupun mengalami gejala sakit yang mengarah kepada terkena leptospirosis. Konfirmasi ini diketahui melalui wawancara dengan responden mengenai gejala-gejala leptospirosis.
e) Kriteria Eksklusi Kelompok Kontrol: 1.
Tidak bersedia menjadi peserta penelitian.
2.
Sakit berat sehingga tidak memungkinkan diambil darahnya
3.
Tidak berasal dari Semarang
G. Cara Pemilihan dan Estimasi Besar Sampel 1. Cara Pemilihan Sampel untuk Kelompok Kasus Kelompok kasus diambil melalui Hospital Based (berbasis rumah sakit) dan Community Health CareBased (berbasis Puskesmas). Pengambilan sampel berbasis rumah sakit karena penentuankasus pada penelitian ini diambil dari pasien yang tercatat dalam medicalrecord (catatan medik) RS Dr. Kariadi Semarang dan sudah didiagnosisklinis serta laboratoris menderita leptospirosis. Sampel diambil dari populasi secara purposive sampling, yaitupengambilan sampel dilakukan dengan cara mengambil subjek bukandidasarkan strata, random, atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu. Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapapertimbangan, misalnya alasan keterbatasan waktu, tenaga, dan danasehingga tidak dapat mengambil sampel yang besar dan jauh. Kasus leptospirosis yang cukup jarang dari tahun ke tahun danuntuk menghindari terjadinya recall bias (bias mengingat) atau bias informasi yang terlalu tinggi maka proses penentuan sampel untuk kasus diambil secara terbalik yaitu kasus diambil di bagian rekam medik RS dr. Kariadi berdasarkan kasus yang ada pada bulan dan tahun terkini kemudian baru
37
melihat kasus dari tahun-tahun sebelumnya untuk mencukupi jumlah sampel kasus yang telah diperoleh berdasarkan rumus sampel. 2.
Cara Pemilihan Sampel untuk Kelompok Kontrol Pengambilan sampel untuk kelompok kontrol dilakukan secara teknik purposive sampling. Upaya untuk mendapatkan kontrol yangsepadan dengan kasus dalam penentuan sampel kontrol yang memenuhi syarat (ieligible), maka sampel kontrol diperoleh dengan melakukan upaya matching terlebih dahulu berdasarkan umur dan jenis kelamin yang sama dengan kasus dan diberikan pertanyaan pendahuluan mengenai gejalaklinis leptospirosis yang mungkin pernah mereka alami pada waktu yang bersamaan dengan kasus untuk meyakinkan bahwa mereka minimal secara klinis tidak pernah diduga menderita leptospirosis. Penentuan kelompok kontrol dengan upaya laboratoris dilakukan dengan pertanyaan kriteria Faine dan diperiksa darah tepinya dengan Lateral Flow SD.
3.
Estimasi Besar Sampe Untuk menentukan besar sampel dalam penelitian ini, diperoleh n(jumlah sampel) terbesar dalam pembacaan besar sampel pada buku besarsampel dalam penelitian kesehatan menurut Lemeshow (1997). Apabila dilakukan perhitungan maka memakai rumus sebagai berikut.
38
Keterangan: 1. P2 = perkiraan proporsi paparan pada kontrol 2. OR = Odds Ratio 3. PI = proporsi paparan pada kelompok kasus, dari 1 dan 2dihitung 4. dengan rumus:
5. 6.
Z a = standard deviasi pada tingkat kesalahan 5% (1,96) Z j3 = power ditetapkan oleh peneliti sebesar 80% (0,842)
Jumlah sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan uji hipotesissatu arah dengan menggunakan tingkat kemaknaan (Z|.a)5% dan kekuatan sebesar 80% dengan OR antara 2,86 - 7,10 dan proporsiterpapar pada kelompok kontrol adalah 0,2
Tabel 1. Hasil Perhitungan Besar Sampel pada Beberapa Faktor Risiko Faktor Risiko Pekerjaan Tempat tinggal dekat selokan Kontak dengan air selokan Adanya tiksu dalam rumah Kontak dengan air banjir Ada genangan air di sekitar rumah saat musimhujan Melihat 5 kelompok tikus atau lebih di rumah Mandi sungai Bekerja di sawah tanpa sepatu Berjalan di air
OR
n
2,86 5,15 3,36 4,49 3,23 2,92 5,00 3,00 7,10 4,80
11 22 14 28 54 11 52 8
57
12
Dari tabel 1, maka digunakan jumlah sampel yang paling besar yaitu 57 kasus. Penelitian ini menggunakan perbandingan kasus dan kontrol
39
1:1 maka jumlah kasus dan kontrol secara keseluruhan berjumlah 114 sampel.
H. Cara Pengumpulan Data 1.
Sumber Data Penelitian a)
Data primer Diperoleh dengan cara wawancara, observasi dan pengukuran langsungdi lapangan.
b)
Data sekunder Data
yang
diperoleh
dari
berbagai
sumber
yaitu
dari
Dinas
Kesehatan,Rumah Sakit, dan sumber lain. 2.
Pengumpulan Data a)
Tahap Persiapan, meliputi: Pelatihan cara pelaksanaan pengukuran baik dengan wawancara maupundengan alat ukur.
b)
Tahap Pelaksanaan, meliputi: 1. Pemilihan
subyek penelitian kelompok kasus yang memenuhi kriteria
leptospirosis berdasarkan penemuan pasif dan aktif di rumah Puskesmas dan medical record rumah sakit dr. Kariadi Semarang 2. Subyek
penelitian yang terpilih kemudian dilakukan kunjungan
rumahuntuk mendapatkan data penelitian termasuk mendapatkan data darikontrol. 3. Pengumpulan
Data Serovar Leptospira patogenik pada manusia, tikus,
hewan ternak;piaraan dan lingkungan air/tanah dilakukan dengan menggunakan metode microscopic agglutination test (MAT). 4. Pengumpulan
data lingkungan meliputi data primer (pengukuran suhu,
pH air, salinitas, intensitas cahaya dan lewat wawancara pada responden dengan menggunakan kuesioner terstruktur) dan data sekunder (curah hujan).
40
5. Pengumpulan data manusia sebagai kasus leptospirosis meliputi data
pengetahuan, sikap, tindakan dan kebiasaan manusia/masyarakat yang berisiko terpapar leptospirosi dengan wawancara menggunakan kuesioner terstruktur meliputi kebiasaan sehari-hari, riwayat luka, riwayat kontak dengan binatang, umur, pendidikan, pekerjaan. 6. Pengumpulan
data hewan temak/piaraan sebagai inang bakteri
Leptospira patogenik di lingkungan rumah kasus leptospirosis dan kontrol dengan melakukan observasi meliputi identifikasi jenis hewan temak/piaraan, menghitung jumlah dan lama memelihara temak/hewan piaraan tersebut, serovar bakteri Leptospira patogenik, serta menaksir jarak kandang ternak dan rumah. 7. Pada penelitian ini juga dilakukan pengumpulan data binatang liar yang
dianggap sebagai inang reservoir utama leptospirosis, yaitu tikus. Cara pengumpulan data dengan penangkapan di habitat rumah dan luar rumah (kebun, ladang). Data tikus meliputi habitat, kepadatan relatif, umur tikus, dan leptospirosis dan kontrol. 8. Pengumpulan data pengembangan metode surveilans leptospirosis
dirancang berdasarkan variabel-variabel penelitian yang telah dianalisis, kelembaban, suhu, salinitas dan pH air) menggunakan metode susceptible, infected, recovered (SIR). c) Tahap Penulisan Dilaksanakan setelah data terkumpul kemudian dilakukan analisis datasecara univariat, bivariat maupun multivariat berdasar pengaruh variabel variabel yang diteliti.
41
I. Instrumen dan Cara Kerja 1. Instrumen Penelitian a.
Bahan dan alat pengumpulan data kasus leptospirosis
1. Alat tulis 2. checklist b.
Bahan dan alat pengumpulan data PSP
1. Kuesioner 2. Alat tulis c.
Bahan dan alat pengumpulan data kasus leptospirosis
1. Alat tulis 2.
Formulir data
d.
Bahan dan alat pengumpulan data lingkungan abiotik
1. Kuesioner
e.
2.
Alat tulis
3.
Pedoman wawancara mendalam untuk toma
4.
Alat perekam data
5.
GPS
6.
Kamera
7.
Formulir
Bahan dan alat pengumpulan data kepadatan populasi tikus 1.
Perangkap kawat
2.
Kantong kain putih
3.
Alat bedah
4.
Kawat halus
5.
Kapas
6.
Timbangan
7.
Penggaris, 15cm&60cmt
8.
Formulir data
9.
Papan tripleks, 20x60cm
10.
Paku payung / paku kecil
11.
Kertas label & benang
42
f.
12.
Kantong plastik kecil (7 /2 x 15 cm)
13.
Tali rafia
14.
Baterai lengkap
15.
Umpan (khusus untuk kelapa)
Bahan dan alat pengumpulan data sebaran bakteri Leptospira spp. pada tikus, lingkungan air dan tanah.
g.
h.
i.
1.
GPS
2.
Formulir
Bahan dan alat pengumpulan data bakteri Leptospira pada tikus 1.
Alat suntik (3cc, 5cc, lOcc)
2.
Jarum suntik (21 G, 22 G, 23 G)
3.
Leptotek Dri Dot
Bahan dan alat pengumpulan data bakteri Leptospira pada hewan reservoir 1.
Alat suntik (3cc, 5cc, lOcc)
2.
Jarum suntik (21 G, 22 G, 23 G)
3.
Vial 5 cc
4.
eppendorf
Bahan dan alat pengumpulan data bakteri Leptospira pada badan air dan tanah 1.
Pipet
2.
Botol kecil, 5 cc (1 dram )
3.
Label tempel
4.
Formulir data
5.
Kantong plastik, 20x40cm
6.
Bunsen
7.
Ice box
j. Bahan dan alat mengukur kandungan klor dengan Free Clorine test Kit 1.
Tabung komparator warna, bentuk kubus
2.
Reagen 1
43
3.
Reagen 2
4.
Reagen 3
2. Cara Kerja a) Persiapan Penelitian Sosialisai penelitian ke seluruh tempat pelayanan kesehatan di Kota Semarang, meliputi Puskesmas, poliklinik dan RS (Tabel 2).
Tabel 2. Kegiatan penelitian pengembangan metode surveilans yang dilakukan tempat pelayanan kesehatan di Kota Semarang, Jawa Tengah, tahun 2013. No. Koord
Kegiatan
Metode
Sampel Asal sampel Jenis sampel
1 B2P2VRP
Pem laboratorium
PCR
Studi Persepsi masyarakat dan petugas kesehatan
Wawancara
Puskesmas RS Poliklinik Lokasi penelitian Kota Semarang
FGD Survei rodent dan hewan temak/hewan piaraan Survei lingkungan
Pemetaan
2 RS Kariadi
Pem. Laboratorium
3 RS
Penemuan Kasus leptospirosis
Trapping
Lokasi penelitian Kota Semarang
Pengukuran faktor Abiotik Stop and go (penentuan koordinat) MAT
Lokasi penelitian Kota Semarang
Surv Pasif
Kasus leptospirosis Puskesmas RS Poliklinik Penderita demam dari Kota Semarang
Darah
Penduduk setempat Tokoh masyarakat Ginjal tikus, darah dan serum Suhu, kelembaban. curah hujan Koordinat rumah kasus Serum darah
Darah
44
No.
Koord.
Kegiatan
4
Puskesmas
Penemuan leptospirosis
Kasus
Metode
Sampel Asal sampel Jenis sampel
Survei Pasif
Penderita demam dari Kota Semarang
Darah
Survei Aktif
Penderita demam
Darah
dari Kota Semarang Pemandu
Studi
Wawancara
Persepsi masyarakat dan nakes
Lokasi penelitian (4
FGD Pemandu
Survei
Trapping
Survei
Pemandu Pemetaan 5
Poliklinik
Penemuan
Kasus
Tokoh masyarakat Lokasi penelitian (4
Tikus, darah dan
lokasi penelitian terpilih) Lokasi penelitian
serum darah
Kasus leptospirosis di kota Semarang
Koordinat rumah kasus
Surv. Pasif
Penderita demam
Darah
Surv. Pasif
Penderita demam
Darah
Survei Pasif
Penderita demam
Darah
Wawancara
Lokasi penelitian
Penduduk setempat
rodent Pemandu lingkungan
Penduduk setempat
lokasi penelitian terpilih)
Pengukuran faktor Abiotik penentuan koordinat)
Suhu, kelembaban. curah hujan
leptospirosis 6
Dinkes.
Koordinator
Kota Semarang
Penemuan leptospirosis
Koordinator
Kasus
Studi
Persepsi masyarakat dan nakes Koordinator Pemandu Survei rodent dan hewan ternak Koordinator Pemandu Survei lingkungan Koordinator Pemandu Pemetaan 7
Dinpertan Kota Semarang
Koordinator Hewan ternak
Survei
8
Bappeda
Penyediaan
data
Kota Semarang FGD Trapping, kunjungan ke pemilik ternak Pengukuran faktor Abiotik Stop and go (penentuan koordinat) Kunjungan ke pemilik ternak/piaraan
Lokasi penelitian Kota Semarang
Tokoh masyarakat Tikus, jenis hewan. ternak darah dan serum darah
Lokasi penelitian Kota Semarang
Suhu, kelembaban. curah hujan
Kasus leptospirosis di seluruh kota Semarang Lokasi penelitian Kota Semarang
Koordinat rumah kasus Darah
u
profil dan peta kota
45
No.
Koord.
Kegiatan
Metode
Asal sampel
9
BMKG
Penyediaan data faktor abiotik
Pengukuran faktor abiotik
Kota Semarang
10
Dinkes
Koordinator
Prop. Jawa Tengah
kegiatan penelitian di Kota Semarang
Sampel Jenis sampel Suhu, kelembaban. curah hujan
Selain kegiatan, pada sosialisasi penelitian juga diinformasikan sebaran alat dan jumlah yang diperoleh setiap pelayanan kesehatan yang ada di Kota Semarang, Jawa Tengah (Tabel 3). Pada tahap persiapan, selain sosialisasi pada mitra kerja juga melakukan penjinan dan permohonan elical cleamace di instansi yang berwenang. Perijinan dilakukan dari tingkat pemerintah daerah tingkat propinsi, kota, kecamatan, dan kelurahan wilayah Puskesmas yang diteliti. Pertimbangan etik penelitian akan ajukan ke komisi etik Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI.
b) Tahap Pelaksanaan. 1.
Cara Kerja Penemuan kasus Leptospirosis di Rumah Sakit Melakukan pemilihan subyek penelitian kelompok kasus yang memenuhi kriteria leptospirosis (kriteria Faine) dengan pemeriksaan gejala klinis oleh dokter dan pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratoris oleh perawat. Sampel kasus leptospirosis dari Rumah Sakit Kariadi dipilih terdaftar dalam rekam medis.
2.
Cara penemuan kasus leptospirosis di Puskesmas dilakukan secara aktif dan pasif. Penemuan kasus leptospirosis di lapangan bekerja sama dengan pihak Puskesmas yaitu, petugas Puskesmas (mantri kesehatan) dan kader Posyandu yang telah dilatih. Penemuan kasus leptospirosis secara aktif yaitu, melakukan pencarian orang yang sedang menderita demam (suhu badan > 39°C) kurang dari
46
2 hari dan gejala klinis sesuai dengan Kriteria Faine. Pengumpulan secara pasif yaitu, orang terdiagnosis gejala klinis leptospirosis sesuai kriteria faine. Pada penemuan kasus leptospirosis secara aktif dan pasif dilakukan pengambilan darah vena. Cara pengambilah darah vena yaitu, membersihkan kulit diatas lokasi tusuk dengan alkohol 70% dan biarkan sampaikering. Pada lokasi penusukan harus bebas dari luka dan bekas luka/sikatrik.Darah diambil dari vena mediana cubiti pada lipat siku. Dipasang ikatan pembendungan (Torniquet) pada lengan atas dan respondendimintauntuk mengepal dan membuka telapak tangan berulang kali agar vena jelasterlihat.Lokasi penusukan didesinfeksi dengan kapas alkohol 70% dengan cara berputardari dalam keluar. Spuit disiapkan dengan memeriksa jarum dan penutupnya. Setelah itu vena mediana cubiti ditusuk dengan posisi sudut 45 derajat denganjarum menghadap keatas. Darah dibiarkan mengalir kedalam jarum kemudian jarum diputar menghadapkebawah. Agar aliran bebas responden diminta untuk membuka kepalan tangannya, darah kemudian dihisap sebanyak 10 ml. Torniquet dilepas, kemudian jarum ditarik dengan tetap menekan lubang penusukan dengan kapas alkohol (agar tidak sakit). Tempat bekas penusukan ditekan dengan kapas alkohol sampai tidak keluar darah lagi. Setelah itu bekas tusukan ditutup dengan plester. Sampel darah disimpan dalam venoject untuk selanjutnya diperiksa dengan metode PCR dan MAT. Pemeriksaan cepat deteksi leptospirosis pada sampel kasus leptospirosis dan kontrol dilakukan menggunakan lateral flow, dari jumlah darah 5cc dengan mikropipet sebanyak 10 µL, kemudian diteteskan pada Leptotek lateral flow (lubang A),
47
selanjutnya diteteskan 2-3 tetes larutan buffer di lubang B. Dibaca tepat 15 menit setelah ditetesi larutan buffer. Interpretasi hasil test;darah dinyatakan positif mengandung antibodi bakteri Leptospira, jika terdapat garis merah pada daerah T dan C.Sampel darah yang dinyatakan positif mengandung bakteri Leptospira dinyatakan sebagai kasus Leptospira, dan mendapatkan perawatan dan pengobatan dari Puskesmas. Sedangkan sampel darah yang negatif mengandung antibodi bakteri Leptospira patogenik dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR. 3. Cara kerja deteksi bakteri Leptospira patogenik dalam darah manusia dengan metode PCR Cara kerja isolasi DNA adalah Cell lysis solusion 900p 1 dimasukan kedalam sterile microsentrifuge tube l,5ml.Tambahkan 300µl sampel whole blood,Vortex hingga homogen. Inkubasi 10 menit pada room temperature, invert 2-3 kali selama inkubasi. Sentrifuge dengan kecepatan 16.000G selama 10 menit. Pipet dan buang supematan, sisakan pelet dan cairan residu sekitar 10-20µl. Ulangi tahap ini l-4x. Jika sampel darah membeku sampai pellet berwarna putih. Vortex 1015 detik. Tambahkan nuclei lysis solution 300pl pipetting selama 5-6 kali. Vortex hingga homogen. Inkubasi 37 derajat celcius 1 jam, atau sampai gumpalan larut. Tambahkan l,5µl RNAse solution, campur sampel dg inverting selama 3-5 kali. Inkubasi 15 menit pada suhu 37 derajat celcius. Tambahkan protein presipitation solution 100pl, vortex selama 10-20 detik. Sentrifuge dengan kecepatan 16.000G selama 5 menit. Diambil supematan, pindahkan ke microsentrifuge l,5ml yang baru. Tambahkan isopropanol absolute 300µ1. Invert sampai terbentuk benang-benang DNA. Sentrifuge dengan kecepatan 16.000G selama 5 menit. Buang supematan, dan tambahkan
48
50µl ethanol 70% dingin untuk mencuci DNA. Sentrifuge 16.000G, 5 menit (pencucian dilakukan maksimal 3x) Buang ethanol dengan menjaga agar pellete tidak ikut terbuang. Keringkan pellete DNA. Tambahkan DNA rehidrasion solution l00µI. (simpan DNA pada suhu 2-8 derajad celcius). Setelah isolasi DNA pada sampel darah, melakukan amplifikasi DNA, yaitu hasil isolasi DNA sampel (16 sampel DNA) diambil masingmasing sebanyak 5µL (ke dalam PCR tube), kemudian ditambahkan berturut-turut dengan Go Taq Green Master Mix sebanyak 12,5 µL, Primer F (upstream primer) 10 M sebanyak 10 µL, Primer R (downstream primer) 10 M sebanyak 10 µL, Nuclease Free Water sebanyak 5,5 µL. Kemudian dilakukan spinning down (disentrifuge) sebentar untuk menghilangkan gelembung. Tube dimasukkan dalam mesin PCR.Amplifikasi PCR dilakukan dengan pengaturan sebagai berikut Cycle 1 (tahap 1) dilakukan satu kali dengan pengaturan suhu 93 °C selama 3 menit (denaturasi protein). Tahap ke dua dilakukan tigapuluh lima kali siklus (35 kali) dengan pengaturan suhu 93°C selama 1 menit, dilanjutkan pengaturan suhu suhu 48 °C selama 1 menit (anneling). Tahap ke tiga pengaturan suhu suhu 72°C selama 1 menit untuk extension, dilanjutkan final ekstensi yaitu, pengaturan suhu 72 °C selama 10 menit. Tahap empat dilakukan satu kali dengan pengaturan suhu suhu 4 °C selama co (tak terhingga). Sampel DNA diamplifikasi untuk gen Hap-1 dengan prosedur menurut Branger et.al (2005).
Menggunakan
5’GCAAGCATTACCGCTTGTGG3' 5’CTGTTGGGGAAATCATACGAAC3’
primer dan Amplifikasi
Forward Reverse hap-1
dilakukan dengan 1 step PCR dengan suhu denaturasi 95°C selama 5 menit, 45 siklus denaturasi 94°C selama 15 detik, annealing pada 56°C selama 35 detik and extension pada 72°C
49
selama 40 detik, dan final extension pada 72°C selama 10 menit. Total reaction mix 20µL dan DNA template 3µl. Visualisasi DNA dengan menggunakan sinar UV (Elektroforesis Gel), yaitu membuat larutan TBE 1 x dari larutan stok 10x ( 10ml TBE ditambahkan aquades hingga volume lOOml). Membuat larutan agarosa 1,5% dalam TBE lx (1,5 gr agarosa dalam 100ml aquades). Memanaskan larutan agarosa dengan hotplate/ mikrowave sampai semua agarosa larut. Biarkan agarosa sampai suhu sekitar 70°C. Tambahkan Ethidium bromide l0µL. Cetak agarosa di dalam caster, tunggu hingga mengeras. Product PCR dikeluarkan dari mesin PCR. Masukan DNA ladder ke dalam sumuran pertama agarosa. Masukan kontrol positif (DNA bakteri Leptospira patogenik), samples dan kontrol negatif secara berurutan ke ke dalam sumuran selanjutnya. Alirkan aliran listrik dari negatif menuju positif (dengan voltase tertentu dan waktu tertentu). Setelah elektroforesis selesai, ambil agarosa dari chamber elektroforesis. Mennyalakan mesin Gel Doc. Memasukan agarosa ke dalam mesin geldoc. Running elektroforesis pada 110 Volt selama 45 menit. Capture agarosa untuk membaca ada tidaknya DNA target (DNA Leptospira patogenik). Membaca dan analisa hasil, hasil dinyatakan positif jika basepair band DNA didapat sesuai dengan target primer. Ukuran panjang basepair dilihat dari marker-nya. Untuk penggunaan gen hap-1, sampel positif ditandai dengan munculnya band DNA pada 262 bp. Sampel yang positif menunjukkan bahwa terdapat ekspresi gen hap 1 yang berasal dari leptospira patogen. 4. Cara kerja deteksi bakteri Leptospira patogenik dalam darah manusia dengan metode MAT
50
Cara kerja metode MAT diawali dengan menyiapkan cryotube yang sudah ditempelkan stiker kasus leptospirosis berupa nama dan usia pada badan cryotube. Centrifuge diletakkan di atas meja atau pada permukaan yang datar dan tidak bergelombang. Sambungkan dengan aliran listrik (220 V). Darah didiamkan terlebih dahulu selama kurang lebih 30 menit sebelum di centrifuge. Dipastikan tutup vacutainer plain dalam keadaan rapat, tutup centrifuge dibuka dan dimasukkan dengan posisi seimbang, centrifuge ditutup kembali. Kecepatan putaran diatur pada 2000 rpm (putar penunjuk kecepatan sampai angka 6) dan waktu pada timer diatur selama 10 menit. Tidak diperkenankan untuk membuka tutup centrifuge selama alat bekeija. Setelah selesai, vacutainer plain diambil dengan hati-hati agar serum tidak bercampur kembali dengan komponenen darah yang lain. Serum (lapisan atas) dipisahkan segera dengan menggunakan pipet pasteur dan dimasukkan ke dalam cryotube yang sudah ditempel stiker pasien. Satu spesimen harus menggunakan satu pipet pasteur. Serum yang diperoleh kemudian simpan di medical refrigerator (suhu 2-80C). Selanjut sampel darah diperiksa dengan metode MAT, diawali dengan semua sumuran plate diisi dengan larutan PBS sebanyak 50 µL, kecuali sumuran pada kolom kedua diisi 140 µL. Sumuran kolom kedua ditambahkan 10 µL serum yang akan diuji (pengenceran 1:20) dicampur dan dibuang sebanyak 50 µL. Selanjutnya dilakukan seri pengenceran dengan cara memipet 50 µL dari sumuran no 2 dicampurkan ke sumuran no 3, dari no 3 ke no 4 dan seterusnya ( 2 —►3 —►4 —►5 —►6 —►7 —►8 —►9 — ► 10—► 11 —► 12). Volume akhir setiap sumuran 50 mL. Semua sumuran di tambahkan kultur Leptospira sebanyak 50 µL (kepadatan kultur Leptospira minimal 1-2 x 108/ml). Dicampur dan diinkubasi selama 2 jam pada suhu 370 C. Pembacaan hasil dilakukan
51
dibawah mikroskop lapang gelap. Penentuan titer dengan melihat adanya aglutinasi dan Leptospira masing-masing sebanyak 50%. Dibandingkan dengan kontrol (sumuran kolom 1). 5.
Cara kerja pengumpulan data sosial kasus leptospirosis dan kontrol, meliputi data pengetahuan, sikap, tindakan dan kebiasaan
manusia/masyarakat
yang
berisiko
terpapar
leptospirosis. Wawancara menggunakan kuesioner terstruktur meliputi kebiasaan sehari-hari, riwayat luka, riwayat kontak dengan binatang, umur, pendidikan, dan pekerjaan. Peneliti berkunjung ke kasus leptospirosis yang terpilih sebagai sampel. Kontrol merupakan tetangga kasus. Wawancara dilakukan oleh enumerator dengan menggunakan kuesioner. 6.
Cara kerja pengumpulan data tikus Pada penelitian ini juga dilakukan pengumpulan data binatang liar yang dianggap sebagai inang reservoir utama leptospirosis, yaitu tikus. Cara pengumpulan data tikus yaitu, penangkapan tikus. Perangkap tikus dipasang pada rumah kasus leptospirosis dan kontrol dalam wilayah dusun. Jumlah perangkap yang digunakan untuk menangkap tikus sebanyak 200 perangkap. 100 perangkap di pasang di dalam rumah dan 50 perangkapdipasang di luar rumah (kebun). Penangkapan tikus dilakukan 5 hari berturut-turut selama penelitian. Penangkapan tikus dilakukan dengan memasang perangkap pada sore hari mulai pukul 16.00 WIB kemudian perangkapnya diambil esok harinya antara pukul 06.00 - 09.00 WIB. Untuk penangkapan di dalam rumah, digunakan 2 perangkap. Peletakan perangkap di dapur atau di kamar. Perangkap diletakkan di tempat yang diperkirakan sering dikunjungi tikus, misalnya dengan melihat bekas telapak kaki, kotoran. Untuk memikat masuknya tikus ke
52
dalam perangkap, dipasang umpan kelapa bakar yang diganti 2 hari sekali. Tikus yang terperangkap segera dimasukkan ke dalam kantong kain. Untuk penangkapan tikus di luar rumah/kebun (50 perangkap), tiap area luasnya lebih kurang 10 m2 dipasang 1 perangkap. Peletakan perangkap dilakukan secara transek. 7. Cara pengambilan darah tikus adalah tikus dan dalam kantong diambil, kemudian dianastesi menggunakan ketamin dan atropin, didiamkan selama 5 menit, sampai tikus pingsan. Kemudian tikus dipegang punggungnya dengan tangan kiri, sedang tangan kanan memegang jarum suntuk untuk pengambilan darah. Sebelum mengambil darah, kapas beralkohol 70% dioleskan di bagian dada, selanjutnya jarum suntik ditusukkan di bawah tulang pedang-pedangan (tulang rusuk) sampai masuk lebih kurang 50 - 75 % panjang jarum. Posisi jarum membentuk sudut 45° terhadap badan tikus yang dipegang tegak lurus. Setelah posisi jarum tepat mengenai jantung, secara hatihati darah dihisap sampai diusahakan alat suntik terisi penuh. Pengambilan darah dari jantung tikus dapat diulang maksimal 2 kali, karena apabila lebih dari 2 kali biasanya darah mengalami hemolisis. Darah dalam alat suntik diteteskan pada filter strip (kertas Nobuto) sebanyak lebih kurang 3 tetes atau dimasukkan ke dalam tabung hampa udara yang telah diberi label sesuai dengan kode sampel tikus. Filter strip yang telah ditetesi darah dikeringkan pada suhun kamar dan diletakan pada rak khusus. Untuk mencegah kerusakan, kertas ini dihindarkan dari sinar matahari secara langsung atau panas api. Filter strip yang telah kering ditempelkan sedemikian rupa pada karton 5 x 1 0 cm, dimasukkan ke dalam amplop dan disimpan di dalam almari es sebelum pemeriksaan serologi. Bila menggunakan darah dalam tabung hampa udara,
53
maka didiamkan terlebih dahulu selama 2-3 jam, atau disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit. Serum yang telah terpisah dari darah dihisap dengan pipet yang telah disucihamakan, kemudian dimasukkan ke dalam tabung serum yang telah berlabel, disimpan di dalam termos es atau almari es (freezer) sebelum pemeriksaan selanjutnya (serologi).Serum darah diperiksa dengan metode MAT untuk menentukan serovar bakteri Leptospira patogenik. Cara kerja uji MAT sama dengan pada uji MAT untuk pemeriksaan serum darah manusia.
8.
Cara kerja identifikasi tikus. Tikus yang telah diambil darahnya diidentifikasi dengan kunci identifikasi dengan mengukur berat badan, menghitung jumlah mammae, mengukur panjang total, panjang ekor, panjang telapak kaki belakang dan panjang telinga. Dilihat pula warna dan jenis bulu serta warna dan panjang ekor. Setelah tikus diidentifikasi, dilakukan pengambilan darah dan ginjal utnuk deteksi bakteri Leptospira patogenik secara MAT (untuk serum darah) dan PCR (untuk ginjal).
9.
Cara pengambilan sampel ginjal dari tikus Tikus yang telah dibunuh dengan cara anastesi. Memosisikan tubuh tikus telentang pada papan bedah menggunakan pins. Memastikan tubuh tikus terfiksasi denganbaik. pada papan sehingga memudahkan tahap pembedahan. Membedah mulai dari bagian perut ataupun uterus menggunakan gunting bengkok. Mengambil dan memisahkan masingmasing organ menggunakan gunting lurus. Mengambil organ ginjal, membersihkan organ dari lemak-lemak. Kemudian organ ginjal dimasukkan dalam botol berisi garam fisiologis untuk dibawa ke laboratorium. Di laboratorium, sampel organ ginjal dipotong sebanyak ± 20 mg, dimasukkan ke dalam tube 1,5 mL.
54
Potongan ginjal dihancurkan dengan pellet pastle lalu divortex, dimasukkan dalam tube 1,5 mL ditambahkan secara berturut- turut 300 µL Nuclei Lysis Solution dan 1,5 µL Protein Kinase K, kemudian divortex & spinning down. Untuk langkah keqa isolasi DNA, amplifikasi DNA, denaturasi protein, dan anneling sama dengan cara kerja deteksi Leptospira patogenik pada darah manusia. 10. Cara kerja mengaplikasikan metode surveilans leptospirosis
Menentukan surveilans
tujuan untuk
spesifikasi
surveilans,
dikumpulkan,
mendefinisikan
seleksi
metode
data
surveilans,
mengembangkan prosedur pengumpulan data, mengumpulkan dan tabulasikan
data,
analisa
data,
pengambilan
tindakan
dan
mempersiapkan dan sajikan laporan.Pada penelitian ini pengembangan metode surveilans leptospirosis bertujuan mengamati kecenderungan leptospirosis
dan
identifikasi
wabah.
Pengguna
surveilans
leptospirosis berbasis Puskesmas adalah petugas Puskesmas. Ruang lingkupnya layanan program. Kelompok sasaran laki-laki dan wanita, untuk semua golongan umur. Surveilans leptospirosis berbasis Puskesmas akan menentukan morbiditas leptospirosis pada periode 12 bulan. Frekuensi pelaksanaan surveilans leptospirosis bulanan.Definisi data surveilans leptospirosis berbasis Puskesmas adalah jumlah total kasus leptospirosis dengan penyebarannya menurut jenis kelamin, kelompok umur, tempat timggal, tanggal kejadian, dan menurut kondisi lokal, serta penyebab kematiannya.Seleksi metode surveilans leptospirosis yaitu, seleksi terhadap prosedur pengumpulan data untuk tiap
-
tiap
indikator,
yang
artinya
akan
diputuskan
apakah
mengumpulkan data dari pelaporan rutin, menyusun suatu sistem sentinel atau melakukan sesuatu survei khusus untuk mengumpulkan data. Mengembangkan prosedur
55
pengumpulan data yaitu, memperbaiki perlengkapan pengumpulan dan pencatatan data, serta pengujian perlengkapan. Pengumpulan dan pelaporan data meliputi mengklasifikan gejala penyakit, merekam data pada registrasi klinik dan lapangan, merangkum dan melaporkan data berbasis mingguan atau bulanan, dan menentukan penyelidikan epidemiologi. Analisa data dilakukan pada setiap tingkatan sistem surveilans, data surveilans bisa di sampaikan dalam beberapa bentuk sebelum di analisa yaitu tabel-tabel, ringkasan, bagan penyakit, dan pemetaan:
J. Definisi Operasional
Tabel 3. Definisi Operasional, Cara Pengukuran dan Skala Variabel Variabel
Kejadian leptospirosis
Definisi Operasional
Penderita yang ditemukan secara aktif dan pasif oleh petugas Puskesmas di seluruh wilayah di Kota Semarang dan pasien yang dirawat di rumah sakit Dr. Kariadi Semarang, yang telah didiagnosis oleh dokter melalui pemeriksaan klinis menderita gejala klinis leptospirosis (kriteria Faine) dan dikonfirmasi melalui pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan metode Rapid test diagnostic (lateral flow Merk SD), PC R dan Microscopic Agglutination Test (MAT).
Cara Pengukuran
Skala
Data dari penemuan aktif dan pasif Nominal serta, medical record rumah sakit Kriteria: 1. Sakit, bila uji laboratorik dengan pemeriksaan MAT positif jika terdapat serokon versi. Berupa kenaikan titer > 4 kali atau > 1 : 320 tanpa kenaikan titer dengan satu atau lebih antigen, juga positif atau negatif pemeiksaan RDT dan PCR, untuk selanjutnya disebut kasus 2. Tidak sakit, bila tidak pernah didiagnosis secara klinis ataupun laboratoris menderita leptospirosis ataupun mengalami gejala sakit yang mengarah kepada terkena leptospirosis. Konfirmasi ini diketahui melalui pemeriksaan PCR dan MAT, untuk selanjutnya disebut kontrol.
56
Variabel
Definisi Operasional
Cara Pengukuran
Skala
Adanya riwayat banjir
Ada tidaknya suatu peristiwa yangmenimbulkan genangan air baik di sekitar dan atau di dalam rumah responden dalam 14 hari sebelum sakit, dengan ketinggian air minimal setinggi mata kaki orang dewasa
Wawancara denganresponden Kriteria : 1 ada 2 tidak ada
Nominal
Kondisi selokan
Suatu keadaan-keadaan fisik dari lingkungan sekitar rumah responden yang diduga memiliki peran sebagai jalur penularan leptospirosis dalam 14 hari sebelum sakit Cara penilaian: Indikator keadaan fisik lingkungan rumah terdiri dari adanya genangan air disekitar rumah, ada timbulan sampah di sekitar rumah, jarak rumah ke tempat pembuangan sampah < 500 m, tempat pengumpulan sampah tergenang, air di tempat pengumpulan sampah meluap ke rumah saat hujan, terdapat sungai, jarak rumah ke sungai < 500 m, dan kondisi. Saluran Pembuangan Air Limbah Indikator-indikator kemudian diberi skor
Wawancara dengan responden Kriteria : 1. kurang baik, bila skor > 3 2. baik, bila skor < 3
Ordinal
Sumber air untuk kebutuhan seharihari
Asal air yang digunakan untuk Wawancara dengan memenuhi kebutuhan responden dan responden keluarga seharihari yaitu untuk mandi, Kriteria : mencuci, minum dsb, dalam 14 hari 1 air permukaan 2. air PDAM sebelum sakit.
Nominal
Keberadaan tikus/wirok di dalam dan atau sekitar rumah
Ada tidaknya tikus di dalam dan atau Wawancara dengan responden sekitar rumah ditandai dengan ada dan observasi Kriteria : bekas jalan tikus, lubang tikus, kotoran 1. ada tikus atau melihat tikus lebih dari 2 2. tidak ada ekor dalam 14 hari sebelum sakit
Nominal
Keberadaan hewan piaraan sebagai hospes perantara
Ada tidaknya hewan piaraan dalam 14 Wawancara dengan responden hari sebelum sakit, seperti anjing, Kriteria : lembu, babi, kerbau, kambing, domba, 1. ada kucing, burung maupun binatang liar 2. tidak ada seperti musang dan tupai dll di rumah atau sekitar rumah yang bisa menjadi sumber penularan leptospirosis.
Nominal
Lama Pendidikan
Lama waktu yang ditempuh untuk mengikuti sekolah formal dalam satuan tahun sampai dengan saat sakit
Wawancara dengan responden Kriteria : 1. dasar (< 9 thn) 2. lanjutan (> 9 thn)
Ordinal
57
Variabel
Pekerjaan
Ketersediaan Pelayanan untuk pengumpulan limbah padat
Definisi Operasional
Cara Pengukuran
Skala
Kegiatan yang dilakukan responden Wawancara dengan responden secara rutin sebagai mata pencaharian Kriteria : untuk mencari nafkah maupun hanya 1 berisiko untuk mengisi waktu luang dan memiliki 2 tidak berisiko risiko untuk terjadinya kontak dengan air, tanah, tanaman atau binatang yang kemungkinan terkontaminasi atau terinfeksi bakteri leptospira dalam 14 hari sebelum sakit. Pekerjaan terdiri dari 2 indikator yang diberi skor yaitu jenis pekerjaan dan kondisi tempat bekerja Jenis pekerjaan berisiko apabila memiliki risiko terkena leptospirosis antara lain petani, pekeija rumah pemotongan hewan, peternak, pembersih selokan, personil militer, penebang kayu hutan, nelayan. Kondisi tempat keija berisiko apabila tempat kerja memungkinkan terjadi kontak dengan jalur penularan leptospirosis yaitu tempat keija tergenang air, banjir, atau tanah yang basah/lembab. Pekerjaan tidak berisiko apabila jenis pekerjaan serta kondisi tempat kerja responden tidak termasuk dalam keadaankeadaan dari pekerjaan berisiko
Nominal
Ada tidaknya pelayanan dari pihak pemerintah atau pihak swasta untuk upaya pengumpulan dan pengangkutan limbah padat (sampah) baik ke tempat pembuangan sampah sementara maupun tempat pembuangan akhir sampah dalam upaya menghindari terjadinya penumpukan sampah di lingkungan pemukiman penduduk dalam 14 hari sebelum sakit.
Nominal
Wawancara dengan responden Kriteria 1. tidak tersedia 2. tersedia
58
Variabel
Definisi Operasional
Cara Pengukuran
Skala
dengan Nominal
Ada tidaknya suatu sistem penyediaan air bersih dalam 14 hari sebelum sakit yang dialirkan dengan pipa tertutup untuk memenuhi kebutuhan air bersih seharihari bagi responden dan masyarakat lainnya. Tidak adanya pelayanan air bersih dengan sistem perpipaan ini dapat meningkatkan kontaminasi air yang digunakan untuk konsumsi manusia dan kebutuhan sehari-hari sehingga berisiko teijadi penularan leptospira.
Wawancara responden Kriteria : 1. tidak tersedia 2 tersedia
Kebiasaan Aktifitas membersihkan diri (seluruh mandi/mencuci di badan) atau membersihkan pakaian sungai dengan air yang berasal dari badan sungai dan dilakukan di badan sungai tersebut serta dilakukan secara rutin (setiap hari, dua hari sekali, dsb) dalam 14 hari sebelum sakit
Wawancara dengan responden Kriteria : 1. ya 2. tidak
Nominal
Kebiasaan menggunakan sabun/deterjen
Suatu aktifitas yang dilakukan secara berulang-ulang dalam 14 hari sebelum sakit yaitu menggunakan sabun mandi yang mengandung zat anti kuman/bakteri untuk membersihkan badan saat mandi dan atau menggunakan deterjen pada saat mencuci pakaian atau alat rumah tangga yang dilakukan di tempat yang diduga sebagai jalur penularan leptospirosis (sungai, sendang, sumur gali).
Wawancara dengan responden Kriteria : 1. tidak 2. ya
Nominal
Kebiasaan menggunakan desinfektan
Aktifitas yang dilakukan secara berulang untuk menggunakan bahan kimiawi atau sejenisnya (misalnya Chlor) yang ditambahkan ke dalam bak mandi atau tempat penampungan air minum dan berfungsi sebagai pembunuh bakteri leptospira di air dalam 14 hari sebelum sakit.
Wawancara dengan responden Kriteria : 1. tidak 2. ya
Nominal
Ketersediaan sistem distribusi air bersih dengan saluran perpipaan
59
Variabel
Definisi Operasional
Cara Pengukuran
Skala
Kebiasaan menggunakan Alat Pelindung Diri ketika bekerja
Aktifitas yang dilakukan secara berulang untuk menggunakan peralatan yang dapat melindungi diri pada saat bekerja dalam 14 hari sebelum sakit untuk menghindari terjadinya kontak langsung maupun tidak langsung dengan semua hal yang berisikoterkena leptospirosis, misalnya memakai sepatu boot, sarung tangan anti air, dsb
Wawancara responden Kriteria : 1 tidak pakai 2 pakai
Riwayat luka
Adanya goresan, sobekan, atau lecet pada kulit atau bagian tubuh responden yang dapat memungkinkan masuknya bakteri leptospira ke dalam tubuh pada saat teijadi kontak langsung maupun tidak langsung dengan lingkungan yang diduga terkontaminasi urin hewan yang terinfeksi bakteri leptospira dalam 14 hari sebelum sakit
Wawancara dengan responden Kriteria : 1. ada 2. tidak ada
Nominal
Riwayat kontak dengan bangkaitikus
Adanya peristiwa berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan jaringan tubuh tikus mati dan diduga terinfeksi bakteri leptospira serta berisiko sebagai salah satu jalur penularan leptospirosis dari hewan kepada manusia yang terjadi dalam 14 hari sebelum sakit
Wawancara dengan responden Kriteria : 1. pernah 2. tidak pernah
Nominal
dengan
Nominal
K. Pengolahan dan Analisis Data 1.
Pengolahan Data
Tahap pengolahan data: a. Cleaning,
60
Data yang telah dikumpulkan kemudian dilaksanakan
cleaning data( pembersihan
data) yang berarti sebelum data dilakukan pengolahan, datadicek terlebih dahulu agar tidak terdapat data yang tidak perlu.
b. Editing Setelah data dikumpulkan kemudian dilakukan editing untukmengecek kelengkapan data, kesinambungan dan keseragaman datasehingga validitas data dapat terjamin.
c.
Coding
Dilakukan untuk memudahkan dalam pengolahan termasuk dalampemberian kode.
d. Scoring Memberikan skor pada variabel yang akan dianalisis berdas arkanskor yaitu pemberian skor 1 untuk
index category (kategori indeks) danskor 0 untuk referent
category (kategori pembanding). e.
Entry data
Memasukkan data dalam program komputer SPSS
for WindowsRelease 10.0 untuk
proses analisis data.
2. Analisis Data Data dianalisis dan diinterpretasikan dengan menguji hipotesismenggunakan program komputer a)
SPSS for Windows Release 10.0 dengantahapan analisis sebagai berikut:
Analisis Univariat Dilakukan pada masing-masing variabel untuk mengetahui proporsidari masing masing kasus dan kontrol, ada/tidaknya perbedaan antarakedua kelompok penelitian.
b)
Analisis Bivariat Untuk mengetahui hubungan 2 variabel dengan menggunakan uji menghitung 0,05 dan
Chi Square dan
Odds Ratio (OR) berdasarkan tabel 2 x 2 pada tingkat kepercayaan
confidence interval 95% (α = 0,05).
61
c)
Analisis Multivariat Analisis multivariat dilakukan untuk melihat hubungan variabelbebas dengan variabel terikat dan variabel bebas mana yangpaling besar hubungannya terhadap variabel terikat. Analisis multivariatdilakukan dengan cara menghu bungkan beberapa variabel bebas dengansatu variabel terikat secara bersamaan. Anal isis regresi logistik untuk menjelaskan pengaruh variabel bebasterhadap variabel terikat. Prosedur yang dilakukan terhadap uji regresi logistik yaitu apabila dalam analisis bivariat masing-masing variabelbebas mendapatkan nilai p < 0,25 maka variabel
tersebut
dapatdilanjutkan
dalam
model
multivariat
(uji
regresi
logistik).Analisis multivariat dilakukan untuk mendapatkan model yangterbaik. Semua variabel kandidat yang memenuhi syarat analisismultivariat dimasukkan bersama-sama untuk dipertimbangkan menjadimodel dengan hasil menunjukkan nilai (p < 0,05). Variabel terpilihdimasukkan ke dalam model dan nilai p yang tidak signifikandikeluarkan dari model, berurutan dari nilai p ter tinggi. Adapun rumusregresi logistik sebagai berikut;
Keterangan; P(X)
: Probabilitas untuk terjadinya ‘‘peristiwa” dari v ariabel respons (dependen,terpengaruh, tak bebas) “y” yang berskala biner dan berdistribusi binomial
α βp
: Konstanta, yang lazim disebut intersep : Koefisien regresi variabel prediktor (independen, bebas, pengaruh, kovariat) yang biasa disebut lereng (slope).
Xp
: Variabel prediktor yang pengaruhnya akan diteliti
62
E
:
e
Inverse dari logaritma natural (nilai
=
2,7182818) Penentuan
Index Category dan Refferent Category dibuat sebel urn
variabel dimasukkan ke dalam model prediksi dengan menggunakan ujiLogistik
Regresi.
Index Category dalam studi kasus kontrol
adalahkelompok kasus serta diberi kode 1 dan adalahkelompok
kontrol
atau
pembanding
Refferent Category
dan
diberi
kode
0.
Berdasarkankepada ketentuan tersebut, maka untuk variabel bebas yang berskalanominal maupun ordinal ditentukan untuk kategori terpapar diberi kode ldan kategori tidak terpapar diberi kode 0. Hasil pengamatan jumlah kasus leptospirosis sebelum dan sesudah aplikasi surveilans
leptospirosis
berbasis
pelayanan
kesehatan masyarakat
dianalisis menggunakan paired t test. Keberhasilan penangkapan (trap success) dihitung berdasarkan jumlah tikus tertangkap dibagi dengan jumlah perangkap dan hari pemasangan dikalikan 100%.
63
IV.
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran llmum Lokasi Penelitian A.1. Letak dan Luas Kota Semarang terletak antara garis 6°50’ - 7° 10’ Lintang Selatan dan garis 109°35’ 110°50’ Bujur Timur. Dibatasi sebelah Barat dengan Kabupaten Kendal, sebelah Tim ur dengan Kabupaten Demak, sebelah Selatan dengan Kabupaten Semarang, dan sebelah Utara dibatasi oleh LauUawa dengan panjang garis pantai meliputi 13,6 Km (Gambar 3). Ketinggian Kota Semarang terletak antara 0,75 sampai dengan 348,00 di atas garis pantai. Luas wilayah Kota Semarang sebesar 373,70 km2, terbagi dalam 16kecamatan dan 177 kelurahan. Kecamatan yang memiliki wilayah palingluas yaitu kecamatan Mijen (57,55 km2) dan kecamatan Gunungpati (54,1 lkm2) yang sebagian besar wilayahnya berupa persawahan dan perkebunan. Sedangkan kecamatan dengan luas terkecil adalah Semarang Selatan (5,93 km2) dan kecamatan Semarang Tengah (6,14 km2) yang sebagian besarwilayahnya berupa pusat perekonomian dan bisnis Kota Semarang, sepertibangunan toko/mal 1, pasar, perkantoran dan sebagainya.
A.2. Keadaan Iklim Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika Balai Wilayah UStasiun Klimatologi Semarang, suhu udara rata-rata di Kota Semarangpada tahun 2013 berkisar antara 25 -30°C. Kelembaban udara berada diantara 62 -84%. Letak Kota Semarang hampir berada di tengah bentanganpanjang Kepulauan
Indonesia dari
arah
Barat
ke Timur.
Akibat
posisi
letakgeografi tersebut, Kota Semarang termasuk beriklim tropis dengan 2 (dua)musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau yang silih berganti sepanja ng tahun.
A.3. Jumlah Penduduk, Kelahiran dan Kematian Jumlah penduduk Kota Semarang menurut Registrasi sampaidengan akhir Desember tahun 2013 sebesar: 1.558.380 jiwa, terdiri dari775.331 jiwa penduduk laki -laki dan 783.049 jiwa penduduk perempuan.Selama periode 6 tahun terakhir perkembangan kelahiran dankematian penduduk di Kota
64
Semarang terlihat cukup berfluktuasi. Hal ini dilihat bahwa untuk Crude Birth Rate (CBR) pada periode 2008-2009 mengalami kenaikan, kemudian pada periode 2009-2010 mengalami penurunan dan pada periode 2010-2011 mengalami kenaikan dan pada akhir tahun 2004 kembali mengalami penurunan sebesar 0,31. Sedangkan Crude Death Rate (CDR) juga mempunyai pola yang sama berfluktuasi selama periode 2009 -2014, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2012 (Tabel 4) Tabel 4.
Perkembangan Kelahiran dan Kematian Penduduk Kota Semarang, 2008-2012
Tahun
Jumlah penduduk
CBR (/1000 penduduk)
CDR (/1000 penduduk)
2009
1.480.630
24.472
10.012
2010
1.505.909
25.262
10.454
2011
1.526.398
22.724
10.275
2012
1.54.557
24.910
10.373
2014
1.558.380
23.634
10.018
A.4. Pendidikan Tingkat pendidikan penduduk Kota Semarang paling banyak adalahSD/MI (23,42%) dan SLTA/MA (23,27%). Sedangkan tamatanAkademi/Universitas hanya sebesar 7,82%. Data selengkapnya dapatdilihat pada tabel 5. Tabel 5. Prosentase tingkat pendidikan di Kota Semarang, Tahun 2014 Ting kat Pendidi kan
No. 1
Tidak/belum pernah sekolah
2 3
Jumlah
%
75.147
6,10
Tidak/belum tamat SD
267.719
21,73
SD/MI
241.701
19,61
4
SLTP/MTs
264.451
21,46
5
SLTA/MA
286.721
23,27
6
Akademi
47.530
3,86
7
Universitas
48.968
3,97
Jumlah
1.232.237
100
A.5. Sosial Ekonomi Tingkat sosial ekonomi sebagian besar penduduk Kota Semarang tahun 2014 bermata pencaharian sebagai buruh baik buruh tani/industri/bangunan (4 2,29%) dan nelayan (27,59%). Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel
6
.
65
Tabel 6. Prosentase Jenis Mata Pencaharian Penduduk Kota Semarang, 2009 2014 No.
Tingkat Pendidikan
J u ml a h
%
1
Petani sendiri
24.815
2
Buruh tani
21 699
2,60
3
Buruh in dustri
191.818
23,00
4
Buruh bangunan
139 157
16,69
5
Nelayan
2 301
0,28
6
Pengusaha
18.819
2,26
7
Pedagang
77.603
9,31
Angkutan
28.197
PNSnWPOLRI
92.559
3,38 11,10
Lain-lain
236925
Jumlah
833.893
2.98
28,41 100
B. Angka Insidensi Leptospirosis di Kota Semarang, Jawa Tengah Jumlah responden dalam penelitian ini yaitu sebanyak 152 orang, vang terdiri dari 76 kasus leptospirosis dan 76 kontrol (tetangga kasus). Jumlah kasus terbanyak terdapat di Kecamatan Candisari, Kecamatan Genuk dan Semarang Utara dan yang paling sedikit adalah Kecamatan Tugu dan Mijen. Angka insidensi leptospirosis di Kota Semarang adalah 3,69. Selengkapnya data dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7. Jumlah Kasus Leptospirosis pada setiap Kecamatan Kota Semarang, Januari -Desember 2013
66
67
Gambar 3. Peta wilayah Kota Semarang, Jawa Tengah, tahun 2013
C. Prediksi Faktor Risiko Kejadian Luar Biasa Leptospirosis Di Kota Semarang
1.
Distribusi Responden Berdasarkan Umur
Rata-rata umur responden pada kelompok kasus leptospirosis adalah 40,32± 15,49 tahun, sedangkan rerata umur responden pada kelompok kontroladalah 41,12 ± 15,02 tahun. Tidak ada perbedaan bermakna antararata-rata umur antara kelompok kasus dan kelompok kontrol (p=0.806). Kasus leptospirosis banyak ditemukan pada kelompokumur >50 tahun, Sedangkan kasus palingsedikit terdapat pada kelompok umur 0-10 tahun (Gambar 4).
Gambar 4. Distribusi responden berdasarkan kelompok umur
2.
Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan responden pada baik pada kelompok kasus maupunpada kelompok kontrol sebagian besar berpendidikan dasar yaitu masing-masing61,4% dan 56,1% (Gambar 5).
Gambar 5. Distribusi responden berdasarkan pendidikan
69
Gambar 6 menunjukkan karakteristik jenis kelamin responden pada kelompok kasus dankelompok kontrol sebagian besar adalah laki -laki (73,7%).
Gambar 6. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
3.
Analisis Bivariat Analisis bivariat untuk mengetahui hubunganvariabel bebas dan variabel terikat dan cara
seleksi
variabel
dalam
analisismultivariat.
Hubungan
antara
faktor
risiko
dengan
kejadianleptospirosis ditunjukkan dengan nilai p < 0,05; nilai OR > 1 dannilai 95% Cl tidak mencakup 1. Faktor-faktor risiko yang dianalisis yaitu faktor lingkungan danfaktor peri laku.Faktor Risiko Lingkungan dengan Kejadian Leptospirosis ditunjukkan pada tabel 8.
4.
Distribusi Kasus dan Kontrol serta Besar Risiko BerdasarkanFaktor Lingkungan Faktor risiko lingkungan diteliti meliputi riwayat banjir,kondisi selokan, kondisi
lingkungan rumah, sumber air kebutuhan sehari -hari, keberadaan tikus di dalam dan atau sekitar rumah,keberadaan hewan piaraan/temak, lama pendidikan,pekerjaan, ketersediaan pelayanan untuk pengumpulan sampah padat, dan ketersediaan sistem distribusi air bersih/air PAM (Tabel 21). Proporsi responden menyatakan terpapar banjir padakelompok kasus (63,2%) lebih besar dibandingkan proporsi responden yang menyatakan adanya riwayat banjir pada kelompok kontrol (42,l%).Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan bermakna antara adanya riwayat banjir dengan
70
kejadian leptospirosis (p=0.019). Adanya riwayat banjir mempunyai risi ko 2,36 kali lebih besar untuk terjadinya leptospirosis dibandingkan tidak ada riwayat banjir (OR=2,36; 95%CI=1,11 5,00). Proporsi responden memiliki kondisi selokan buruk pada kelompok kasus (86,0%) lebih besar dibandingkan proporsi responden memiliki kon disi selokan buruk pada kelompok kontrol (50,9%). Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan bermakna antara kondisi selokan dengan kejadian leptospirosis (p<0.001). Kondisi selokan buruk mempunyai risiko 5,91 kali lebih besar untuk terjadinya leptospirosis dibandingkan kondisi selokan baik(OR=5,91; 95%CI=2,38 14,69). Proporsi responden memiliki kondisi lingkungan rumah kurang baik pada kelompok kasus (78,9%) hampir sama dengan proporsi responden memiliki kondisi lingkungan rumah kurang baik padakelompok kontrol (70,2%). Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara kondisi lingkungan rumah dengan kejadian leptospirosis (p=0.195) dan kondisi lingkungan rumah bukan faktor risiko terjadinya leptospirosis (OR= 1,59;95%CI=0,68-3,74). Proporsi responden menggunakan sumber air permukaan pada kelompok kasus (57,9%) lebih besar dibandingkan dengan proporsi responden menggunakan sumber air permukaan pada kelompok kontrol (49,1%). Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan ber makna antara sumber air digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dengan kejadian leptospirosis (p=0.226) dan sumber air digunakan untuk kebutuhan sehari-hari bukan faktor risiko terjadinya leptospirosis (OR=l,42; 95%CI= 0,68-2,98). Proporsi responden yang ada tikus pada kelompok kasus(89,5%) lebih besar dibandingkan proporsi responden yang ada tikus pada kelompok kontrol (59,6%). Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan bermakna antara keberadaan tikus/ di dalam dan atau sekitar rumah dengan kejadian leptospirosis (p<0.001). Adanyatikus di dalam dan atau sekitar rumah mempunyai risiko 5,75 kalilebih besar untuk terjadinya leptospirosis dibandingkan tidak adanya tikus di dalam dan atau sekitar rumah (OR=5,75; 95%CI=2,12-15,59).
71
Proporsi responden mempunyai hewan ternak/piaraan pada kelompok kasus (14,0%) hampir sama dengan proporsi responden yang ada hewan ternak/piaraan pada kelompok kontrol (15,8%). Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara keberadaan hewan
temak/piaraan
dengan
kejadian
leptospirosis
(p=0.500)
dan
keberadaan
hewan
temak/piaraan bukan faktor risiko terjadinya leptospirosis (OR=0,87; 95%CI=0,31-2,44). Proporsi responden yang berpendidikan dasar (< 9 tahun) pada kelompok kasus (61,4%) hampir sama dengan proporsi responden yang berpendidikan dasar (< 9 tahun) pada kelompok kontrol (56,1%). Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antaralama pendidikan dengan kejadian leptospirosis (p=0.352) dan lama pendidikan bukan faktor risiko teijadinya leptospirosis(OR=l,24; 95%CI=0,59-2,62). Proporsi pekerjaan berisiko pada kelompok kasus (64,9%)jauh lebih besar dibandingkan proporsi pekerjaan yang berisiko pada kelompok kontrol (28,1%). Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan yang ber makna antara pekerjaan dengan kejadian leptospirosis(p<0.001). Pekeijaan berisiko mempunyai risiko 4,74 kali lebihbesar untuk teijadinya leptospirosis dibandingkan pekerjaan yang tidak berisiko (OR=4,74; 95%CI=2,14-10,48). Proporsi responden tidak tersedia pelayanan untuk pengumpulan sampah padat pada kelompok kasus (26,3%) sama dengan proporsi responden tidak tersedia pelayanan untuk pengumpulan sampah padat pada kelompok kontrol (26,3%). Hasil analisis bivariate menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara ketersediaan pelayanan untuk pengumpulan sampah padat dengan kejadian leptospirosis (p=0.500) dan ketersediaan pelayanan untuk pengumpulan sampah adat bukan faktor risiko terjadinya leptospirosis (OR=1,00;95%CI=0,43-2,30). Proporsi responden tidak tersedia sistem distribusi air bersih pada kelompok kasus (14,0%) hampir samadengan proporsi responden tidak tersedia sistem distribusi air bersih dengan saluran perpipaan pada kelompok kontrol (15,8%). Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan sistem distribusi air bersih dengan saluran perpipaan (air PAM) dengan kejadian leptospirosis (p=0.500) dan ketersediaan sistem distribusi
72
airbersih dengan saluran perpipaan bukan faktor risiko untuk teijadinya leptospirosis (C)R=0,87; 95%CI=0,31-2,44).
Tabel 8. Distribusi Kasus dan Kontrol serta Besar Risiko Berdasarkan Faktor Lingkungan Kasus Lingkungan
F
Kontrol %
F
OR
95%CI
P value
%
Adanya riwayat banjir • Ada
36 21
63,2 36,8
24 33
42,1 57,9
2,36
1,11-5,00
49
86,0
29
50,9
5,91
2,38-14.69
8
14,0
28
49,1
rumah
45
70,2
1,59
0,68-3,74
0,195
12
78,9 21,1
40
• Kurang baik
17
29,8
33
57,9
28
49,1
1,42
0,68-2,98
0,226
24
42,1
29
50,9
51
89,5
34
59,6
6
10,5
23
40,4
8 49
14,0 86,0
9 48
15,8 84,2
• Dasar (< 9 th)
35
61,4
32
56,1
• Lanjut (>9 th)
22
38,6
25
43,9
• Berisiko
37
64,9
16
28,1
• Tidak berisiko
20
35,1
41
71,9
• Tidak tersedia
15
26,3
15
26,3
• Tersedia
42
73,7
42
73,7
8
14,0
9
15,8
49
86,0
48
84,2
• Tidak ada
0,019
Kondisi Selokan • Buruk • Baik
<0,001
Kondisi Lingkungan
• Baik Sumber air yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari • Air permukaan • Air PDAM Keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah • Ada • Tidak ada
5,75
2,12-15,59
<0,001
Keberadaan hewan piaraan/temak • Ada • Tidak ada
0,87
0,31-2,44
0,500
Lama pendidikan 1,24
0,59-2,62
0,352
4,74
2,14-10,48
<0,001
1,00
0,43-2,30
0,500
0,87
0,31-2,44
0,500
Pekerjaan
Ketersediaan pelayanan untuk limbah padat
Ketersedaan sistem distribusi air bersih dengan saluran perpiaan • Tidak tersedia • Tersedia
73
5. Distribusi Faktor Risiko Perilaku terhadap Kejadian Leptospirosis Tabel 9 menunjukkan distribusi kasus dan kontrol serta besar risiko berdasarkan faktor perilaku. Faktor perilaku meliputi kebiasaan mandi/mencuci disungai, kebiasaan menggunakan sabun/deterjen, kebiasaan menggunakan desinfektan, kebiasaan memakai a lat pelindung diri ketika bekerja,kegiatan membersihkan lingkungan sekitar rumah, riwayat luka, dan riwayat kontak dengan bangkai tikus. Proporsi responden yang memiliki kebiasaan mandi/mencuci di sungai pada kelompok kasus (1,8%) sama dengan proporsi responden memiliki kebiasaan mandi di sungai pada kelompok kontrol (1,8%). Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara kebiasaan mandi/mencuci di sungai dengan kejadian leptospirosis (p=0.500) dan kebiasaan mandi/mencuci di sungai bukan faktor risiko terjadinya leptospirosis (OR=1,00; 95%CI=0,06- 16,39). Proporsi responden memiliki kebiasaan tidak menggunakan sabun/deterjen pada kelompok kasus (15,8%) lebih besar dibandingkan proporsi responden memiliki kebiasaan tidak menggunakan sabun/deterjen pada kelompok kontrol (8,8%). Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan
bermakna
antara
kebiasaan
menggunakan
sabun/deterjen
dengan
kejadian
leptospirosis(p=0.196) dan kebiasaan menggunakan sabun/deterjen bukan faktor risiko untuk terjadinya leptospirosis (OR=1,95;95%CI=0,61-6,23). Proporsi responden memiliki kebiasaan tidak menggunakan desinfektan pada kelompok kasus (84,2%) hampir sama dengan proporsi responden memiliki kebiasaan tidak menggunakan desinfektan pada kelompok kontrol
(78,9%). Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak
adahubungan bermakna antara kebiasaan menggunakan desinfektan dengan kejadian leptospirosis (p=0.315) dan kebiasaan menggunakan desinfektan bukan faktor risiko untuk terjadinya leptospirosis(OR=l ,42; 95%CI=0,55-3,70). Proporsi responden tidak memakai alat pelindung diri ketikabekerja pada kelompok kasus (84,2%) hampir sama dengan proporsi responden tidak memakai alat pelindung diri ketika bekerja pada kelompok kontrol (80,7%). Hasil analisis
74
bivariat menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara pemakaian alat pelindung diri ketika bekerja dengan kejadian leptospirosis (p=0.403) dan pemakaian alat pelindung diri ketika bekerja bukan faktor risiko untuk terjadinya leptospirosis (OR=l,28; 95%CI= 0,48-3,36). Proporsi responden melakukan kegiatan membersihkan lingkungan sekitar rumah pada kelompok kasus (63,2%) lebih kecil dibandingkan proporsi responden melakukan kegiatan membersihkan lingkungan sekitar rumah pada kelompok kontrol (84,2%). Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan bermakna antara kegiatan membersihkan lingkungan sekitar rumah dengan kejadian leptospirosis (p=0.009). Responden yang melakukan kegiatan membersihkan lingkungan sekitar rumah mempunyai risiko 0,32 kali lebih besar terjadi nya leptospirosis dibandingkan responden tidak melakukan kegiatan membersihkan lingkungan sekitar rumah (OR=0,32;95%CI=0,13-0,79). Proporsi responden mengalami riwayat luka pada kelompok kasus (45,6%) jauh lebih besar dibandingkan proporsi responden mengalami riwayat luka pada kelompok kontrol (7,0%). Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan bermakna antara riwayat luka dengan kejadian leptospirosis (p<0.001) dan adanya riwayat luka mempunyai risiko 11,11 kali lebih besar untuk terjadinya leptospirosis dibandingkan tidak adanya riwayat luka (OR= 11,11; 95%CI= 3,55 34,82).Proporsi responden yang memiliki riwayat kontak dengan bangkai tikus pada kelompok kasus (45,6%) hampir 4 kali lebih besar dibandingkan proporsi responden memiliki riwayat kontak dengan bangkai tikus pada kelompok kontrol (12,3%). Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan bermakna antara riwayat kontak dengan bangkai tikus dengan kejadian leptospirosis (p<0.001). Ada riwayat kontak dengan bangkai tikus mempunyai rrsiko 5,99 ka li lebih besar untuk terjadinya leptospirosis dibandingkan tidak ada riwayat kontak dengan bangkai tikus (OR=5,99; 95%CI=2,32-15,45).
75
Tabel 9. Distribusi Kasus dan Kontrol Perilaku Perilaku
Kasus F
serta Besar Risiko Berdasarkan Faktor Kontrol
%
F
OR
95%CI
P value
1,00
0,006-16,39
0,500
1,95
0,61-6,23
0,196
1,42
0,55-3.70
0,315
1,28
0,48-3,36
%
Kebiasaan mandi/mencuci di sungai • Ya
1
1,8
1
1,8
• Tidak
56
98,2
56
98,2
• Tidak
9
15,8
5
8,8
• Ya
48
84,2
52
91,2
• Tidak
48
84,2
45
• Ya
9
15,8
12
• Tidak pakai
48
84,2
46
80,7
• Pakai
9
15,8
11
19,3
rumah
36
63,2
48
84,2
• Berisiko
21
36,8
9
15,8
26 31
45,6 54,4
4 53
• Ya
26
45,6
• Tidak
31
54,4
• Berisiko
37
64,9
16
28,1
• Tidak berisiko
20
35,1
41
71,9
• Tidak tersedia
15
26,3
15
26,3
• Tersedia
42
73,7
42
73,7
8 49
14,0 86,0
9 48
15,8 84,2
Kebiasaan menggunakan sabun deterjen
Kebiasaan menggunakan desinfektan 78,9 21,1
Kebiasaan menggunakan APD ketika bekerja 0,403
Kegiatan membersihkan lingkungan sekitar 0,32
0,13-0,79
0,009
7,0 93,0
11,11
3,55-34,82
<0,001
7
12,3
5,99
2,32-15,45
<0,001
50
87,7
4,74
2,14-10,48
<0,001
1,00
0,43-2,30
0,500
0,87
0,31-2,44
0,500
• Tidak berisko Riwayat luka • Ya • Tidak Riwayat kontak dengan tikus atau bangkai tikus
Pekerjaan
Ketersediaan pelayanan untuk limbah padat
Ketersedaan sistem distribusi air bersih dengan saluran perpiaan • Tidak tersedia • Tersedia
6. Analisis Multivariat Analisis multivariat untuk mengetahui variabel bebasyang dapat menjadi prediktor untuk kejadian leptospirosis diKota Semarang dan variabel surveilans
76
leptspirosis. Selain itu juga untuk mengetahui probabilitas kejadian leptospirosis pada kondisi adanyavariabelbebas yang menjadi prediktor. Analisis ini menggunakan uji regresi logistik ganda dengan metode tingkat kepercayaan 95% serta menggunakan perangkat
backward, dengan
software SPSS for Windows J0.00.
Alasan penggunaan uji ini yaitu agar dapat dipilih variabel bebas yang paling berpengaruh dan sekaligus dapat menentukan prediktor jika diuji bersama-sama dengan variabel bebas lain terhadap kejadian leptospirosis di Kota Semarang. Variabel bebas yang tidak berpengaruh secara otomatis akan dikeluarkan dari perhitungan.Variabel bebas yang dapat dimasukkan dalam uji regresi logistik ini adalah variabel yang dalam analisis bivariat mempunyai nilai p<0,25 yaitusebanyak 10 variabel. Variabel-variabel tersebut adalah adanya riwayat banjir, kondisi selokan, kondisi lingkungan rumah, sumber air yang digunakan untuk kebutuhan sehari -hari, keberadaan tikus di dalamdan atau sekitar
rumah,
pekerjaan,
kebiasaan
menggunakan
sabun/deterjen,kegiatan
membersihka n
lingkungan sekitar rumah, riwayat luka dan kontak dengan bangkai tikus. Hasil analisis multivariat menunjukkan ada 4 (empat) variabel bebas yang secara statistik dapat menjadi prediktor untuk kejadian leptospirosis di Kota Semarang. Keempat variabel tersebut yaitu kondisi selokan, keberadaan tikus/ di dalam dan atau sekitar rumah,riwayat luka, dan kontak dengan bangkai tikus/. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada tabel 11.
Tabel 10. Hasil Analisis Regresi Logistik Faktor Risiko 1 Kondisi selokan
B
Adjusted OR
95%CI
P
1,718
5,58
1,55-20,01
0,008
1,509
4,52
1,27-16,16
0,020
2,498
12,16
2,99-49,37
,0,001
1,608
4,99
1,59-15,70
0,006
(buruk) 2. Keberadaan tikus di dalam dan atau di sekitar rumah 3. Riwayat luka 4. Riwayat kontak dengan tikus Constan
-3,856
Hasil analisis multivariat menghasilkan model prediksi dengan persamaan regresi logistik sebagai berikut:
77
Hal ini berarti bahwa jika seseorang dengan kondisi selokan buruk,adanya tikus di dalam dan atau sekitar rumah, ada riwayat luka, dan ada riwayat kontak dengan bangkai tikus mempunyai probabilitas untuk terkena leptospirosis sebesar 97,00%. Berikut ini penghitungan probabilitas untuk terkena leptospirosis dari beberapa kombinasi faktor risiko: Tabel 11. Penghitungan Probabilitas Kejadian Leptospirosis dari Beberapa Kombinasi Faktor Risiko
78
Faktor Faktor Faktor Faktor
B.
Risiko Risiko Risiko Risiko
1 2 3 4
: : : :
Kondisi Selokan Buruk Ada tikus di dalam dan atau Ada riwayat luka Ada riwayat kontak dengan
sekitar rumah tikus/bangkai
tikus
Aplikasi Metode Surveilans Leptospirosis Berbasis Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Kota Semarang 1. Spesifikasi Surveilans Leptospirosis Berbasis Puskesmas Kota Semarang, Jawa Tengah Berdasarkan hasil, analisis faktor resiko lingkungan air, maka tuj uan surveilans
leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan masyarakat (Puskesmas), Kota Semarang, Jawa Tengah adalah menemukan tersangka kasus leptospirosis (morbiditas) di masyarakat. Kegunaan masyarakat
surveilans
(Puskesmas),
Kota
leptospirosis Semarang,
berbasis
Jawa
Tengah
pelayanan adalah
kesehatan mengidentifikasi
/rm^/kecenderungan kejadian leptospirosis di masyarakat, karena leptospirosis teijadi musiman, dan mengidentifikasi kejadian luar biasa leptospirosis secara cepat dan tepat, sehingga dapat dilakukan suatu pencegahan dan pengendalian leptospirosis. Pengguna
surveilans
leptospirosis
berbasis
pelayanan
kesehatan
masyarakat adalah Kepala Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Semarang. Sistem surveilan leptospirosis termasuk dalam sistem nasional, maka temuan kasus leptospirosis diinformasikan ke pusat penyakit menular (P2M &PL). Ruang lingkup surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan masyarakat yaitu sistem sentinel yaitu mewakili atau pengamatan penyakit di area tertentu. Hasil penelitia n pola sebaran dan insidensi penyakit, bersifat random dan jumlah kasus leptospirosis sedikit (< 5/100.000 penduduk), dan terbatas lingkup area pada desa/dusun/RW/RT, maka daerah surveilans leptospirosis leptospirosis dikota semarang dibagi 4 kategori daerah epidemiologis yaitu Daerah KLB adalah daerah kejadian luar biasa leptospirosis (1 kasus leptospirosis meninggal dunia atau tiga kalilipat dari kasus pada bulan yang sama pada tahun sebelumnya. Lingkup area desa/dusun/RW; Daerah fokus leptospirosis adalah daerah setiap bulan/tahun ditemukan leptospirosis dan atau
79
pemah terjadi KLB.; Daerah sporadis leptospirosis yaitu, daerah kadang-kadang ditemukan leptospirosis (lebih dari 1 tahun) dan Daerah bebas leptospirosis daerah belum pemah ditemukan kasus leptospirosis dalam tiga tahun terakhir atau lebih. Kelompok sasaran adalah kelompok umur diatas 10 tahun atau orang dewasa. Kasus leptospirosis adalah orang mengalami demam akut minimal 2 hari, baik yang berada di daerah banjir atau terpapar faktor risiko dan menunjukkan setidaknya dua dari gejala berikut: mialgia, sakit kepala, nyeri betis,
suffusion konjungtiva, menggigil, sakit perut, sakit kuning, harus
dianggap sebagai tersangka kasusleptospirosis, dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium menggunakan rapid test diagnosis (RDT) atau polymerase chain reaction (PCR) atau microsscopic agglutination test (MAT). Apabila salah satu dari ketiga metode tersebut menunjukkan hasil positif, maka disebut: kasus leptospirosis. Urutan diagnosis tersebut tercantum dalam Kriteria Faine (Lampiran). Nilai Kriteria Faine > 26
point dikatakan sebagai kasus leptospirosis. Kriteria Faine
tersedia di Puskesmas. Kasus Leptospirosis ditetapkan menjadi 3 (tiga) kriteria yaitu, kasus suspek adalah demam akut dengan atau tanpa sakit kepala disertai, nyeri otot, lemah (Malaise) dan/atau conjungtival suffusion (mata merah tanpa eksudat) dan ada riwayat luka kulit, musim hujan, riwayat banjir, kontak dengan tikus dan lain- lain.Kasus probable yaitu kasus suspek dengan minimal 2 gejala/tanda klinis nyeri betis, ikterus, oliguria/anuria, manifestasi perdarahan, sesak nafas, aritmia jantung, batuk dengan atau tanpa hemoptisis dan ruam kulit atau kasus suspek dengan RDT (untuk mendeteksi IgM anti Leptospira) positif, atau kasus suspek dengan 3 dari gambaran laboratorium dibawah ini trombositopenia <100 000 sel/mm, lekositosis dengan neutropilia >80%, kenaikan bilirubin total > 2gr%, atau amilase atau CPK dan pemeriksaan urine proteinuria dan/atau hematuria. Kasus Konfirmasi yaitu, kasus suspek atau kasus
probable disertai salah satu dari
berikut ini isolasi bakteri Leptospira dari spesimen klinik, PCR positif, Sero konversi MAT dari negatif menjadi positif atau adanya kenaikan titer 4x dari pemeriksaan awal dan Titer MAT 320 (400) atau lebih pada pemeriksaan satu sampel.
80
Periode
waktu
dan
frekuensi
kegiatan
surveilans
disesuaikan
dengan
kategori
daerahDaerah KLB, penemuan kasus dilakukan secara aktif dan pasif selama 3 bulan berturut -turut di sekitar kasus leptospirosis (desa/dusun/RW/RT). Apabila tidak ditemukan dilakukan penemuan secara pasif setiap bulan sepanjang tahun. Daerah fokus leptospirosis, penemuan kasus dilakukan secara aktif selama 3 bulan sekali per tahun berturut-turut selama dan setelah musim hujan (bulan Mei-Juli) dan secara pasif sepanjang tahun. Apabila ditemukan kasus leptospirosis atau meninggal dunia karena leptospirosis diperlakukan seperti daerah KLB. Daerah sporadis leptospirosis, penemuan kasus secara pasif dilakukan sepanjang tahun. Apabila ditemukan kasus leptospirosis atau KLB dilakukan surveilans seperti pada daerah fokus atau daerah KLB. Daerah Bebas Leptospirosis,pemantauan kasus leptospirosis melalui rumah sakit atau pusat- pusat pelayanan kesehatan. Apabila di daerah bebas leptospirosis ditemukan kasus leptospirosis atau KLB dilakukan surveilans seperti pada daerah fokus atau daerah KLB.
2. Data Surveilans Leptospirosis Berbasis Pelayanan Kesehatan
Masyarakat/Puskesmas Kota Semarang, Jawa Tengah.
Data surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan masyarakat adalah data morbiditas yaitu, jumlah total kasus leptospirosis pada waktu dan tempat tertentu (insidensi) per 1.000 penduduk dan penyebarannya, menurut tempat/desa, jenis kelamin, kelompok umur, tanggal kejadian, kondisi lokal dan faktor risiko (Kriteria Feine termodifikasi). Data morbiditas dicatat di semua kategori daerah leptospirosis (daerah KLB, Fokus, Sporadis dan Bebas). Selain angka morbiditas, disurvei juga data faktor risiko lingkungan biologi yaitu, jenis tikus per habitat. Indikator
faktor
risiko
lingkungan
biologi
(tikus)
yang
digunakan
adalah
keberhasilan
penangkapan tikus yaitu, jumlah jenis tikus per habitat/periode penangkapan/jumlah perangkap digunakan. Angka keberhasilan penangkapan lebih dari 7% di habitat rumah dan lebih 2% untuk di habitat luar rumah menunjukkan resiko rawan penularan untuk daerah KLB, dan Fokus. Sedangkan di daerah sporadis dan bebas tidak dilakukan pengamatan tikus.
81
3. Metode Surveilans Leptospirosis Bebasis Pelayanan Kesehatan (Puskesmas) di Kota
Semarang, Jawa Tengah Sumber data berasal penemuan kasus secara aktif dan pasif dari unit pelayanan kesehatan yang berada di wilayah keija Puskesmas, seperti puskesmas pembantu (Pustu), bidan desa, mantri, dokter praktek swasta, klinik swasta, dan unit lain yang ditunjuk dengan memperhatikan keterwakilan terhadap suatu kelompok masyarakat. Sedangkan sumber data keberhasilan penangkapan tikus berasal dari survei tikus yang dilakukan di sekitar rumah kasus leptospirosis oleh Puskesmas setempat, khususnya daerah KLB dan Fokus. Di daerah KLB, kegiatan penemuan kasus leptospirosis secara aktif dan pasif diawali dengan persiapan meliputi persiapan administrasi (surat tugas, biaya, surat menyurat), persiapan logistik (APD, RDT, form isian, pedoman), dan persiapan peralatan medik dan laboratorium. Pelaksanaan penemuan kasus leptospirosis secara aktit oleh Puskesmas adalah menerima laporan adanya laporan kasus suspek leptospirosis atau kasus leptospirosis atau kematian akibat leptospirosis dari Rumah Sakit, atau unit pelayanan kesehatan di wilayah Puskesmas tersebut atau hasil penemuan kasus secara pasif, maka segera dilakukan pencatatan di buku catatan harian penderita leptospirosis dan buku laporan kasus rutin mingguan diteruskan untuk laporan bulanan ke Dinas
Kesehatan
Kota/Kabupaten.
Untuk
penyelidikan
awal
dilakukan
oleh
Puskesmas
berkoordinasi dengan Dinkes Kabupaten/ Kota. Pelaksana penemuan kasus leptospirosis secara aktif adalah perawat/sanitarian di Puskesmas yang telah mengikuti pelatihan/mempunyai kompetensi khusus. Pemberitahukan kepada Kades/Lurah dan Ketua RW/RT setempat bahwa wilayahnya ada penderita Leptospirosis dan akan dilaksanakan pencarian tersangka atau kasus leptospirosis di wilayahnya.Petugas Puskesmas dan atau Dinas Kesehatan Kota Semarang melakukan pencarian penderita baru, di wilayah yang ada Kasus Leptospirosis.Pencarian kasus leptospirosis baru setiap hari dari rumah ke rumah wilayah desa/dusun/RW/RT selama tiga bulan berturut-turut. Sedangkan penemuan kasus secara pasif dilakukan pengamatan penduduk yang berkunjung
82
ke Puskesmas dan unit pelayanan kesehatan lainnya, seperti bidan desa, polindes dan lain -lain. Apabila ditemukan suspek dengan gejala klinis leptospirosis, lakukan wawancara dengan keluarga terdekat penderita yang mengetahui peijalanan penyakit penderita, isi formulir penemuan kasus leptospirosis secara aktif Identifikasi adanya kasus lain yang menunjukkan gejala suspek yang sama dengan kasus leptospirosis positip yang dirawat. Catat nama, alamat dan kapan mulai sakit serta keadaan pada saat wawancara dilakukan. Apabila diantara kontak ada yang menderita sakit demam, nyeri kepala, myalgia, malaise dan conjunctival suffusion lakukan pengambilan serum darah untuk dilakukan pemeriksaan RDT dan PCR, dan segera mendapatkan pengobatan di Puskesmas, tetapi apabila menunjukkan gejala leptospirosis berat seperti kasus leptospirosis probable dengan perdarahan dan gagal ginjal.segera rujuk ke Rumah Sakitk. Identifikasi penduduk yang mempunyai keterpaparan faktor risiko yang sama dengan penderita teru tama yang tinggal serumah, teman bermain, tetangga terdekat, dan lingkungan sekitar. Catat nama -nama suspek tersebut dalam formulir Pelacakan kasus tambahan. Penjelasan kepada semua masyarakat di lingkungan kasus leptospirosis memantau kondisi diri sendiri, jika menunjukkan gejala dengan demam atau sama dengan kasus suspek leptospirosis segera ke Puskesmas terdekat untuk dilakukan pemeriksaan dan pengobatan lebih lanjut.Catat nama dan nomor telepon Kontak Person dari keluarga penderita serta Tim Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Semarang. Observasi lingkungan sekitar tempat tinggal, adakah faktor risiko seperti banjir, daerah kumuh dengan banyak genangan air, dan sanitasi lingkungan buruk. Ambil foto -foto yang dianggap penting. Jika di sekitar rumah tidak ditemukan adanya faktor risiko, tanyakan lebih jauh tempat penderita main/pergi dalam 2 minggu terakhir. Survei tikus tikus di habitat rumah dan luar rumah dilakukan 1 kali/bulan selama 5 hari berturut-turut selama 3 bulan di lingkungan desa/dusun/RW/RT di sekitar kasus leptospirosis. Pengamatan tikus dilakukan pada 50 rumah (2 perangkap/rumah) dan 30 perangkap di luar rumah. Khusus untuk daerah KLB, dilakukan pengambilan spesimen darah dan serum tikusuntuk dilakukan pemeriksaan PCR atau MAT. Penghitungan indikator
83
keberhasilan penangkapan tikus sebagai deteksi kerawanan penularan leptospirosis di daerah KLB. Kegiatan di daerah fokus adalah penemuan kasus secara aktif setiap tiga bulan sekali dalam l tahun selama dan setelah musim hujan (Januari-Maret, Mei- Juli, dan SeptemberDesember), sedangkan penemuan kasus leptospirosis secara pasif dilakukan sepanjang tahun. Survei tikus dilakukan setiap tiga bulan sekali dalam 1 tahun. Kegiatan Daerah Sporadis dilakukan penemuan kasus leptospirosis secara pasif sepanjang tahun dan tidak melakukan survei tikus. Untuk daerah bebas leptospirosis tidak melakukan kegiatan penemuan aktif dan pasif, serta survei tikus. Kategori daerah endemis leptospirosis (daerah KLB, Fokus, Sporadis dan Bebas) dapat berubah apabila ditemukan kasus leptopsirosis meninggal dunia atau terjadi peningkatan kasus yang signifikan. Pelaporan data daerah KLB, dilakukan secara rutin dan berkesinambungan dengan periode mingguan selama 3 bulan berturut-turut, baik penemuan kasus secara aktif maupun pasif sampai tidak ditemukan kasus leptospirosis. Unsur data yang dikumpulkan sekurang-kurangnya meliputi kelompok umur, jenis kelamin, pekerjaan, dan informasi tempat tinggal serta kontak yang bisa dihubungi, gejala klinik yang muncul, waktu/tanggal pertama kali gejala klinik muncul (onset), waktu/tanggal didiagnosis leptospirosis, riwayat dirawat di rumah sakit atau tidak, riwayat paparan dari faktor risiko (kontak dengan binatang, genangan air atau banjir). Demikian juga tentang indikator keberhasilan penangkapan tikus dilakukan secara rutin dan berkesinambungan dengan periode mingguan selama 3 bulan berturut-turut. Data yang sudah diperoleh, selanjutnya diolah sehingga mendapatkan informasi sekurang kurangnya sebagai berikut: Jumlah kasus suspek dan kasus konfirmasi leptospirosis, Jumlah kasus berdasarkan waktu, tempat dan lain-lain. Data yang sudah diolah, kemudian dilakukan analisis dan interpretasi untuk mendapatkan informasi selengkapnya mengenai karakteristik kasus leptospirosis di wilayah tersebut berdasarkan kriteria waktu, tempat, orang, cara penularan dan lain -lain. Informasi tersebut bisa disajikan dalam bentuk table, grafik, dan atau
spot map area.
84
Analisis data sekurang-kurangnya bisa menghasilkan informasi sebagai berikut: distribusi kasus menurut: golongan umur, jenis kelamin, pekerjaan, area infeksi, tanggal onset, kausatif serovar atau serogroup, dugaan sumber infeksi, cara penularan. Distribusi kasus menurut trend waktu, untuk mengetahui adanya potensi terjadinya KLB dari waktu ke waktu. Distribusi kasus menurut gejala dan tanda yang muncul. Pemetaan sebaran lokasi kasus dan rekomendasi sertaaltematif tindak lanjut. Tujuan disusunnya rekomendasi dan alternative tindak lanjut ini adalah untuk menyampaikan hipotesis sementara agar dilakukan pencegahan dan pengendalian teijadinya kasus leptospirosis di masyarakat sejak dini. Usulan rekomendasi dan tindak lanjut ini biasanya ditujukan kepada pihak- pihak yang terkait dengan upaya pengendalian Leptospirosis sesuai tugas dan fungsinya, misalnya unit zoonosis, unit logistik, dinas peternakan, dinas pertanian, dinas lingkungan hidup, dan sebagainya. Rekomendasi dan alternative tindak lanjut sebaiknya bersifat praktis, terukur, dan mudah diterapkan dalam upaya pengendalian kasus di lapangan. Hasil surveilans yang berkesinambungan tidak akan bermanfaat bila setelah dianalisis dan dibuat rekomendasi tidak didistribusikan kepada pihak - pihak terkait yang membutuhkan informasi tersebut. Cara diseminasi informasi yang umum adalah melalui buletin mingguan, majalah dinding, serta media informasi dan komunikasi lainnya. Hasil surveilans sebaiknya disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami dan disertai grafik dan tulisan yang mudah dimengerti. Umpan balik bertujuan untuk menciptakan komunikasi antara sumber pelapor dan penerima laporan. Umpan balik juga berfungsi untuk perbaikan bila terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian data yang telah dikumpulkan atau dilaporkan sehingga dapat diperbaiki sebelum dianalisis lebih lanjut.
85
Gambar 7. Alur kegiatan surveilans leptospirosis pada manusia berbasis pelayanan kesehatan (Puskesmas)
86
Gambar 8. Alur kegiatan surveilans leptospirosis pada tikus berbasis pelayanan kesehatan (Puskesmas)
87
C. Hasil Aplikasi Komponen Surveilans Leptospirosis Berbasis Puskesmas 1. Penemuan kasus Leptospirosis Pada Manusia secara aktif dan pasif di wilayah Puskesmas di Kota Semarang, Jawa Tengah, a) Penemuan kasus leptospirosis secara aktif dan pasif Dalam penelitian leptospirosis di Kota Semarang digunakan 2 metode untuk menemukan kasus leptospirosis yaitu penemuan secara pasif dan aktif. Penemuan leptospirosis secara pasif didapatkan dari penderita demam berkunjung ke Puskesmas sebanyak 93,04% untuk tahun 2013 dan 92,45 untuk tahun 2014, informasi dari kader 3,4 persen, keluarga 3,4 persen dan data Rumah sakit 1,7 persen. Penemuan leptospirosis secara aktif dilakukan dengan surveilans aktif sebesar 6,7 persen untuk tahun 2013 dan 7,54 untuk tahun 2014 (Tabel 13).
Tabel 12. Sumber informasi kasus leptospirosis di Kota Semarang 203-2014 No Sumber informasi
Jumlah
Persentase(%) Keterangan
2013 2014
2013
1 Penemuan pasif/kunjungan puskesmas
107
49
93,04
92,45
2. Penemuan aktif/pelacakan
8
4
6.7
7,54
115
53
100
Jumlah
2014
100
b) Penemuan kasus leptospirosis secara aktif dan pasif menurut jenis kelamin Pada penemuan secara aktif pada kasus demam mengarah ke gejala leptospirosis dengan kriteria Faine diperoleh bahwa jenis kelamin laki-laki lebih banyak
daripada
Bandarhaijo
perempuan.
diperoleh
2
Pada
kasus
penemuan demam
secara
laki-laki
aktif dan
dari 1
Puskesmas
kasus
demam
perempuan.Puskesmas Sekaran ditemukan 2 kasus demam laki -laki, Puskesmas Tembalang ditemukan 2 kasus demam laki-laki,dan Puskesmas Kedungmundu ditemukan 1 kasus demam perempuan. Penemuan leptospirosis secara pasif didapatkan paling banyak di Puskemas Bandarharjo 12 kasus demam laki-laki dan 9 kasus
88
demam perempuan, Puskesmas Candi lama 10 kasus demam laki-laki dan 9 kasus demam perempuan. Puskesmas Tembalang, 7 kasus demam laki -laki dan 4 kasus demam perempuan (Gambar 9).
Gambar 9. Proporsi jenis kelamin kasus demam dalam surveilans akif (SA) dan surveilans pasif (SP) leptospirosis di Kota Semarang.
c) Penemuan kasus leptospirosis secara aktif dan pasif menurut gejala klinis Pada pemeriksaan gejala klinis dari kasus demam diperoleh dari penemuan kasus demam secara aktif dan pasif, didapatkan bahwa demam berada paling banyak 98,3 persen. Pada penelitian ini sebagai kriteria untuk penemuan kasus leptospirosis menggunakan kasus demam, sehingga semestinya persentase demam adalah 100 persen. Hanya saja karena terdapat data yang tidak lengkap maka terdapat 2 data responden yang tidak dilakukan analisis. Kemudian berturut -turut gejala sakit kepala sebesar 95,8 persen, nyeri otot, suhu diatas 39”C dan terendah adalah gejala meningismus sebesar 16,0 persen (Tabel 14).
Tabel 13. Gejala Klinis pada kasus demam di Kota Semarang Jumlah
Persentase
1.
Demam
117
98.3
2.
Sakit kepala
114
95.8
3.
Nyeri otot
110
92.4
4.
Suhu 39°C
45
37.8
5.
Nyeri betis
72
60.5
No
Gejala Klinis
Keterangan
89
6.
Konjungtiva
30
25.2
kemerahan 7.
Kulit kekuningan
34
28.6
8.
meningismus
19
16.0
9.
Proteinuria
37
31.1
d)
Penemuan kasus leptospirosis pada manusia secara aktif dan pasif menurut hasil pemeriksaan laboratorium (metode MAT) Hasil pemeriksaan laboratorium dengan metode MAT menunjukkan bahwa dari 119 sampel yang telah diperiksa dengan metode MAT sebanyak 6 sampel. Hasil pemeriksaan dari pemeriksaan metode MAT menunjukkan bahwa titer sampel serum darah manusia terhadap antibodi bakteri Leptospira relatif rendah (Tabel 15). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa ke enam sampel tersebut negatif terhadap bakteri
Leptospira. Sisa sampel 109 serum darah masih dalam proses pemeriksaan.
Tabel 14. Hasil pemeriksaan MAT pada serum darah manusia (6 sampel)
Hasil MAT Manusia Serovar SMG 8
SMG 9
SMG 10
SMG 11
Titer
Autumnalis
1:20
Icterohaemorragie
1:40
Pomona
1:80
Djasiman
1:80
icterohaemorragie
1:40
Pomona
1:40
Djasiman
1:40
Autumnalis
1:20
Icterohaemorragie
1:40
Salinem
1:20
Pomona
1:80
Djasiman
1:20
Robinsoni
1:40
Bataviae
1:40
Mini
1:80
Djasiman
1:40
Mini
1:40
90
e) Analisis Univariat terhadap kasus demam pada manusia dari penemuan kasus secara aktif dan pasif 1)
Kasus demam menurut jenis kelamin Responden yang diwavvacarai dalam penelitian ini adalah
laki-laki sebesar 52,1 persen dan perempuan 47 persen (Gambar 10).
Gambar 10. Jenis kelamin responden yang diwawancarai di Kota Semarang
2)
Kasus demam menurut pendidikan Data
responden
dengan
kasus
demam
yang
diperiksa
dan
diwawancarai adalah berjumlah 119 orang. Data yang masuk setelah diinventaris, hanya 115 responden yang hasil pemeriksaan dan wawancara dapat dilakukan analisis. Berdasarkan tingkat pendidikan responden, tamat SD tercatat terbanyak sebesar 29,4 persen, tamat SLTP sebesar 26,9 persen dan terendah belum sekolah sebanyak 1,7 persen (Tabel 16).
Tabel 15. Tingkat pendidikan responden yang diwawancarai di Kota Semar ang No
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Persentasi
Keterangan
1.
tidak sekolah tidak tamat SD tamat
2
1.7
2.
SD tamat SLTP tamat SLTA tamat
15
12.6
tetapi hanya 115
3.
PT
35
29.4
responden yang dapat
4.
32
26.9
5.
23
19.3
8
6.7
115
96.6
Jumlah responden keseluruhan 119,
6. Total
dianalisis
91
3)
Kasus demam menurut faktor risiko kepemilikan hewan Hasil wawancara terhadap responden dengan demam terdapat riwayat
kontak dengan binatang. Riwayat kontak dengan 7 jenis hewan di sekitar responden, terdapat 2 hewan yang memiliki persentase kontak yang tinggi yaitu tikus sebesar 17,6 persen dan kucing sebesar 20,2 persen (Tabel 17).
Tabel 16. Perilaku kontak dengan binatang No
1. 2. 3. 4. 5.
3. 7.
Jenis Binatang Tikus anjing kucing sapi kambing kuda kerbau
4)
Jumlah yang kontak binatang 21
1
24 1 5
1 1
Persentase
Jumlah yang tidak kontak binatang
17,6 0,8 20,2 0,8 4,2 0,8 0,8
95 114 91 114 110 114 114
Persentase
79.8 95.8 76,5 95.8 92,4 95.8 95.8
Kasus demam menurut faktor risiko llingkungan Dari berbagai jenis lingkungan sekitar responden, untuk jenis
kontak terbesar adalah kontak dengan air kotor sebanyak 52 responden atau 43,7 persen. Kontak dengan lingkungan terbesar kedua adalah kontak dengan sampah sebanyak 51 responden atau 42,9 persen. Kontak dengan lingkungan terendah adalah kontak dengan bangkai sebanyak 14 responden atau 11,8 persen (Tabel 18).
Tabel 17. Kontak antara responden dengan lingkungan sekitar No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8 9 10 11.
Jenis kontak Bersihkan kandang Kontak urin Kontak bangkai Kontak rob Kontak air kotor Kontak hujan Kontak banjir Kontak tanah becek Kontak sampah Olah raga air Luka terbuka
Kontak lingkungan 20 31 14 28 52 48 24 31 51 11 23
persentase 79,8 26,1 11,8 23,5 43,7 40,3 20,2 26,1 42,9 9,2 19,3
Tidak kontak lingkungan 95 84 100 85 2 67 91 82 62 62 104 92
persentase 16,8 70,6 84.0 71.4 52.1 56.3 76.5 68,9 52.1 87.4 77,3
92
5)
Kasus demam menurut penggunaan APD Hasil wawancara responden dari berbagai jenis kontak dengan
kemungkinan sumber penularan leptospirosis menunjukkan bahwa kontak tertinggi adalah dengan air kotor sebesar 48 responden dengan pemakaian APD hanya 21 responden. Kontak dengan kemungkinan sumber penularan kedua terbesar adalah dengan sampah sebanyak 47 responden dengan hanya memakai APD sebanyak 12 responden. Kontak dengan kemungkinan sumber penularan terkecil adalah olah raga air sebesar 8 responden dengan hanya memakai APD sebanyak 2 responden (tabel 19).
Tabel 18. Jenis kontak dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) No
1. 2. 3. 4. 5. 6 7. 8 9. 10 11. 12 13 14.
Jenis kontak
Tikus kucing kambing Bersihkan kandang Kontak urin binatang Kontak bangkai Kontak rob Kontak air kotor Kontak air hujan Kontak banjir Tanah becek Sampah Olah raga air Luka terbuka
6)
Memakai APD
6 3 1 4 6 4 7 21 17 8 11 12 2 3
Tidak memakai APD 18 20 4 15 24 9 18 27 26 14 17 35 6 14
Tidak kontak 92 93 111 97 86 103 91 68 73 94 88 69 108 99
Total
116 116 116 116 116 116 116 116 116 116 116 116 116 116
Kasus demam menurut perilaku PHBS Wawancara dengan responden menunjukkan bahwa setelah kontak
dengan kemungkinan sumber penularan dikaitkan dengan PHBS adalah kontak tertinggi adalah dengan air kotor sebesar 48 responden dengan PHBS hanya 25 responden. Kontak dengan kemungkinan sumber penularan kedua terbesar adalah dengan sampah sebanyak 48 responden dengan PHBS sebanyak 28 responden. Kontak dengan kemungkinan sumber
93
penularan terkecil adalah kontak dengan kambing sebesar 5 responden dengan PHBS sebanyak 1 responden (tabel 20).
Tabel 19. Jenis kontak dengan pola hidup bersih sehat (PHBS) No
1. 2. 3 4. 5. 6. 7. 8 9 10 11 12 13 14
Jenis kontak
Memak ai APD
Tikus kucing kambing Bersihkan kandang Kontak urin binatang Kontak bangkai Kontak rob Kontak air kotor Kontak air hujan Kontak banjir Tanah becek Sampah Olah raga air Luka terbuka
Tidak kontak
Total
11 13 4 12
92 90 109 95
114 114 114
13
16
85
4 9 25 17 7 13 28 5 4
8 16 23 26 15 15 20 4 12
102 89 66 71 92 86 66 105 98
Tidak memakai APD
11 11 1 7
114 114 114 114 114 114 114 114 114 114 114
7) Kasus demam menurut kondisi lingkungan rumah Data kondisi rumah rumah responden menunjukkan bahwa terdapat tikus di dalam rumah pada 111 dari 116 responden atau sebesar 93,3 persen. Aktivitas tikus di dalam rumah responden terdapat pada 90 responden dari 115 respon atau sebesar 75,6 persen. Kondisi rumah responden terkena rob adalah sebesar 37 dari 115 responden at au sebesar 31,1 persen dan rumah responden terkena banjir terdapat 23 dari 115 responden atau sekitar 19,3 persen (Tabel 21)
Tabel 20. Kondisi rumah responden No
Kondisi rumah
1.
kena banjir kena rob Tempat sampah terbuka dalam rumah Tempat sampah terbuka luar
2. 3.
4.
mengalami
persentase
Tidak mengalami
persentase
23 37
19,3 31,1
92 78
77,3 65,5
70
58,8
45
37,8
84
70,6
30
25,2
94
5. 6 7. 8
9.
rumah Pencahayaan kurang Rumah ada tikus Rumah ada aktivitas tikus ada bahan makanan terbuka ada sisa makanan terbuka Parit kurang lancer
61
51.3
53
44,5
111
93.3
5
4,2
90
75.6
25
43
36,1
72
21,0 60,5
73
61.3
41
34,5 52
43.7
62
52,1
8) Kasus demam menurut kondisi lingkungan kerja Kondisi tempat keija responden menunjukkan bahwa terdapat aktivitas tikus sebanyak 56 dari 84 responden atau sebesar 47,1 persen. Pada kondisi tempat keija dengan pencahayaan kurang terdapat 51 dari 82 responden atau 42,9 persen. Kondisi tempat keija responden yang terkena rob terdapat 23 dari 85 responden atau 19,3 persen dan kondisi tempat kerj a yang terkena banjir terdapat 18 dari 66 responden atau sebesar 15,1 persen (Tabel 22).
Tabel 21. Kondisi tempat kerja responden No 1. 2. 3. 4. 5. 1. 7. 8 9.
Kondisi rumah kena banjir kena rob Tempat sampah terbuka dalam rumah Tempat sampah terbuka luar rumah Pencahayaan kurang Rumah ada tikus Rumah ada aktivitas tikus ada bahan makanan terbuka ada sisa makanan terbuka Parit kurang lancer
mengalami 18 23
% Tidak mengalami 15.1
persentase
Responden tidak bekerja 35 34
66 62
55.5 52.1
53
44.5
36
30
19,3 25.2
51
42,9
31
26.1
37
25 56
21,0 47,1
58 28
48.7 23.5
36 34
50
42,0
35
36
30.3
46
28
23,5
55
29,4
34
38.7
37
46,2
36
95
D. Penemuan kasus Leptospirosis Pada Manusia di Rumah Sakit (RSU Kariadi) Kota Semarang, Jawa Tenga 1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur Rata-rata umur responden pada kelompok kasus leptospirosis adalah 40,32± 15,49 tahun, sedangkan rerata umur responden pada kelompok kontroladalah 41,12 ± 15,02 tahun. Tidak ada perbedaan bermakna antararata -rata umur antara kelompok kasus dan kelompok kontrol (p=0.806).Kasus leptospirosis banyak ditemukan pada kelompokumur >50 tahun, Sedangkan kasus palingsedikit terdapat pada kelompok umur 0 -10 tahun (Gambar 11).
Gambar 11. Distribusi responden berdasarkan kelompok umur 2.
Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Pendidikan responden pada baik pada kelompok kasus maupunpada kelompok kontrol sebagian besar berpendidikan dasar yaitu masing- masing 61,4% dan 56,1% (Gambar 12).
Gambar 12. Distribusi responden berdasarkan pendidikan
96
3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Gambar 13 menunjukkan karakteristik jenis kelamin responden pada kelompok kasus dankelompok kontrol sebagian besar adalah laki -laki (73,7%).
Gambar 13. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
E. Perbandingan jumlah kasus leptospirosis sesudah dan sebelum aplikasi surveilans leptospirosis di Kota Semarang, Jawa Tengah. Gambar 15 menunjukkan fluktuasi kasus leptospirosis ditemukan di Rumah Sakit dan penemuan kasus leptospirosis di seluruh wilayah Puskesmas Kota Semarang, tahun 2012-2014, setelah dan sebelum aplikasi metode surveilans leptospirosis berbasis pelayan kesehatan di Puskesmas. Metode surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan telah dirancang pada tahun 2013. Dalam aplikasinya, metode surveilans ini diujicobakan untuk penanggulangan kasus leptospirosis di Kota Semarang tahun 2014. Sebelum aplikasi metode surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan di Puskesmas
tahun,
2012,
menunjukkan
bahwa
pada
bulan
Januari -Maret
kasus
leptospirosis cenderung menurun, tetapi bulan April- Juni, jumlah kasus leptospirosis cenderung meningkat, demikian pulan bulan Nopember -Januari. Tahun 2013, penemuan kasus secara aktif dan pasi f di seluruh wilayah Puskesmas Kota Semarang, telah dilakukan oleh B2P2VRP dalam
97
merancang metode surveilans letospirosis di Kota Semarang, Jawa Tengah. Penemuan kasus secara aktif dan pasif tersebut dimulai pada bulan Mei -Desember 2013. Hasil pengamatan kasus leptospirosis tahun 2013 tersebut menunjukkan bahwa pada bulan Mei Agustus penemuan kasus leptospirosis secara aktif dan pasif cenderung meningkat yaitu 13- 56 kasus tersangka leptospirosis, dan diikuti penurunan kasus dirawat di rumah sakit, yaitu pada Mei 2013, 22 kasus, menjadi Juni-Agustus, 0-6 kasus leptospirosis. Bulan September-Desember, hasil penemuan secara aktif dan pasif di wilayah Puskesmas 3 -13 kasus leptospirosis dan kasus leptospirosis dirawat di rumah sakit pada bulan yang sama berkisar antara 0-6 kasus leptospirosis. Berdasarkan uji t berpasangan terdapat perbedaan yang bermakna antara jumlah kasus leptospirosis yang dirawat di rumah sakit sebelum dan sesudah aplikasi metode surveilans leptospirosis (p=0,05). Pada tahun 2014, bulan Januari-April, Dinas Kesehatan Kota Semarang, Jawa Tengah
memantau
kecenderungan
terjadi
peningkatan
kasus
leptospirosis.
Atas
permintaan Dinas Kesehatan Kota Semarang, Jawa Tengah, pada bulan April 2014 B2P2VRP bersama Dinas Kesehatan Kota Semarang mengap likasikan metode surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan di seluruh wilayah Puskesmas Kota Semarang. Sebelum aplikasi metode surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan masyarakat di Puskesmas, jumlah kasus leptospirosis yang dirawat di rumah sakit bulan Januari, 2 kasus leptospirosis, bulan Pebruari, 7 kasus leptospirosis dan bulan Maret 11 kasus leptospirosis dengan 3 kasus meninggal dunia. Kondisi tersebut menyebabkan Dinas Kesehatan Kota Semarang menyatakan KLB leptospirosis. Setelah diaplikasikan metode surveilans leptospirosis berbasis pelayana kesehatan masyarakat di seluruh wilayah Puskesmas Kota Semarang, Jawa Tengah menunjukkan bahwa, pada bulan April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September dan Oktober 2014, jumlah penemuan kasus secara aktif dan pasif masisng-masing berturut-turut, 5,7,6,10,3,15 dan 8
98
kasus tersangka leptospirosis, sedangkan yang dirawat di rumah sakit pada bulan yang sama adalah 4,3,5,4,3,2 dan 1 kasus leptospirosis. Angka tersebut menunjukkan bahwa terdapat
kecenderungan
penurunan
kasus
leptospirosis
dirawat
di
rumah
sakit.Berdasarkan uji t berpasangan terdapat perbedaan yang bermakna antara jumlah kasus leptospirosis yang dirawat di rumah sakit sebelum dan sesudah aplikasi metode surveilans leptospirosis (p=0,05).
Gambar 14. Fluktuasi tersangka kasus leptospirosis ditemukan di seluruh wilayah Puskesmas dan yang dirawat di semua Rumah Sakit, Kota Semarang, Jaw'a Tengah, Tahun 2013-2014
F. Surveilans tikus di daerah kasus leptospirosis Gambar 16 menunjukkan keberhasilan penangkapan tikus di wilayah Puskesmas dalam rangka surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan di Kota Semarang, Jawa Tengah. Angka keberhasilan penangkapan tikus di habitat rumah di wilayah Kecamatan Semarang Utara (26,25%) paling tinggi dibandingkan dengan keberhasilan penangkapan di wilavah kecamatan lainnya. Pada umumnya angka
99
keberhasilan penangkapan di habit at rumah di kecamatan Kota Semarang di atas 7% (ambang batas normal penangkapan di habitat rumah). Keberhasilan penangkapan tikus di habitat luar rumah (pinggir got, kandang temak/ayam, tempat sampah dan taman pekarangan) paling tinggi diperoleh di Kecamatan
Semarang
Selatan
(27,50%).
Pada
umumnya
angka
keberhasilan
penangkapan di habitat luar rumah di kecamatan Kota Semarang di atas 2% (ambang batas normal penangkapan di habitat luar rumah).
Gambar 15. Keberhasilan penangkapan tikus di habitat rumah dan luar rumah Kota Semarang, 2013-2014.
100
V. PEMBAHASAN
A. Deteksi dan penetapan faktor risiko KLB leptospirosis di Kota Semarang, Jawa Tengah Faktor-faktor
lingkungan
yang
terbukti
berpengaruh
terhadapkejadian
luarbiasa
leptospirosis di kota semarang yaitu kondisi selokan, keberadaan tikus/di dalam dan atau sekitar rumah, ketersediaan sampah dan riwayat luka.
1. Kondisi Selokan Selokan sering menjadi tempat tinggal tikus sertasering juga dilalui oleh hewan -hewan peliharaan seperti kucing, anjing,dan kambing sehingga selokan ini dapat menjadi salah satu jalur untuk penularan penyakit leptospirosis. Peran selokan sebagai jalur penularan penyakit leptospirosis terjadi ketika air selokan terkontaminasi oleh urin tikus atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri leptospira dan aliranair selokan tidak lancar atau tergenang sehingga meluap ke lingkungansekitar rumah. Analisis statistik secara multiv ariat mendapatkan hasil kondisiselokan yang buruk mempunyai risiko 5,58 kali lebih besar untukterjadinya leptospirosis dibandingkan kondisi selokan yang baik(OR=5,58; 95%CI: 1,55-20,01; p=0.008). Sehingga hipotesis yang menyatakan kondisi selokan yang buru k merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis terbukti. Hasil penelitian Barcellos C dan Sabroza PC, (2000) menyatakan keberadaan saluran pembuangan terbuka dan keberadaan kotoran didalam rumah dapat meningkatkan jumlah infestasi tikus. Kondisi tersebut memungkinkan teijadinya kontak langsung maupun tidak langsung dengan kotoran binatang yang terkontaminasi leptospira (Dinas Kesehatan Propinsi, Jawa Tengah, 2005). Selain itu hasil penelitian Urmimala Sarkar (2002) menyebutkan bahwa kondisi selokan yang banjir selama musim hujan mempunyai risiko 4 kali lebih besar terkena leptospirosis (OR=4,21; 95%CI: 1,51-12,83) dan tempat tinggal yang dekat dengan selokan air mempunyai risiko 5 kali lebih tinggi terkena leptospirosis (OR=5,15; 95%CI: 1,80-14,74) (Burriel, 2010). Hasil ini memperkuat dugaan bahwa kondisi selokan yang buruk dan disertai keberadaan tikus/ di dalam dan atau sekitar rumah dapat berpengaruh terhadap kejadian leptospirosis. Sehingga
101
peran selokan untuk menjadi salah satu jalur penular leptospirosis bisa berjalan secara optimal jika tikus/ mengkontaminasi air selokan dengan urin yang mengandung bakteri leptospira dan air yang sudah terkontaminasi tersebut meluap ke lingkungan sekitar rumah.
2.
Keberadaan Tikus di Dalam dan atau Sekitar Rumah Hasil analisis statistik secara multivariat menunjukkan bahwa adanya tikus/ di dalam dan
atau sekitar rumah mempunyai risiko 4,52 kali lebih besar untuk terjadinya leptospirosis dibandingkan tidak ada tikus/ di dalam dan atau sekitar rumah (OR=4,52; 95%CI: 1 ,27-16,16; p=0.020). Hasil ini membuktikan hipotesis yang menyatakan bahwa adanya tikus/ di dalam dan atau sekitar rumah merupakan faktor risiko terjadinya leptospirosis. Hasil penelitian ini mendukung penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Sarwani D, (2 005) yang menyatakan bahwa adanya tikusdi dalam dan sekitar rumah mempunyai risiko 38,7 kali untuk terjadi leptospirosis. Penelitian Sarkar Urmimala (2000) menyebutkanmelihat tikus di dalam rumah mempunyai risiko 4,5 kali lebih besaruntuk terjadi leptospirosis. Bovet P. et al (1998) di Seychellesmendapatkan hasil adanya tikus dalam rumah mempunyai risiko 2,0 kalilebih besar untuk terjadi leptospirosis.
3.
Riwayat Luka Jalan masuk leptospira yang biasa pada manusia adalah kulit yang terluka lecet, terutama
sekitar kaki dan kelopak mata, hidung, dan selaput lendir yang terpapar. Konsep yang ada sebelumnya bahwa organisme dapat menembus kulit yang utuh sekarang dipertanyakan (Adler, 2010). Hasil analisis statistik secara multivariat menunjukkan bahwaadanya adanya riwayat luka mempunyai risiko 12,16 kali lebih besaruntuk terjadinya leptospirosis dibandingkan tidak ada riwayat luka(OR=12,16; 95%CI: 2,99-49,37; p<0.001). Hasil ini membuktikan hipotesis yang menyatakan bahw-a adanya riwayat luka merupakan faktor risiko terjadinya leptospirosis. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wiharyadi (2004) yang menyebutkan adanya riwayat luka di antara kurun waktu 4 minggu sebelum sakit mempunyai risiko 44,38 kali lebih besar untuk terjadi leptospirosis dibandingkan tidak adanya riwayat luka di antara kurun waktu 4 minggu sebelum sakit. Sebagian besar responden mengalami luka di bagian kaki,
102
sedangkan bagian tubuh responden lainnya yang luka adalah tangan danjari tangan. Hal ini semakin meningkatkan risiko masuknya bakteri
Leptospira ke dalam tubuh pada saat terjadi
kontak dengan air, tanah, atautanaman yang diduga terkontaminasi urin yang mengandung bakteri
Leptospira dan atau pada saat terendam banjir ataupun air rob yang diduga terkontaminasi urin tikus atau hewan yang terinfeksi bakteri
Leptospira. Pada kelompok responden yang memiliki
riwayat luka,proporsi responden yang tidak merawat luka pada kelompok kasus(26,9%) hampir sama dengan proporsi yang tidak merawat luka pada kelompok kontrol (25,0%). Walaupun se cara prosentase dalam hal perawatan luka antara kelompok kasus dan kelompok kontrol hampir sama, akan tetapi responden yang sakit leptospirosis dan diawali oleh ada nwayat luka sangat jauh lebih besar berada pada kelompok kasus(45,6%) daripada kelompok kon trol yang hanya 7,0%.Analisis lebih lanjut dengan cara menghubungkan variabel riwayat luka dengan variabel kontak dengan bangkai tikus/menunjukkan proporsi responden yang mempunyai riwayat luka dan adariwayat kontak dengan bangkai tikus/ (30,3%) lebih besar dibandingkan dengan proporsi responden yang mempunyai riwayat luka tetapi tidak ada riwayat kontak dengan bangkai tikus/ (24,7%). Hasil ini diperkuat dengan hasil wawancara lebih mendalam dengan responden yang bercerita bahwa beberapa hari sebelum sakit leptospirosis telah terjadi luka dan pada saat luka pemah membuang bangkai tikus dengan tidak menggunakan sarung tangan maupun pelindung kaki yang luka, setelah kejadian tersebut badan mulai terasapanas tinggi disertai gejala -gejala lain yang mirip demam. Responden baru tahu terkena leptospirosis setelah mereka dirawat di Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang.
4. Adanya Riwayat Banjir Analisis bivariat menunjukkan adanya riwayat banjir mempunyai risiko 2,36 kali lebih besar untuk terjadinya leptospirosis dibandingkan tidak ada riwayat banjir (OR=2,36; 95%CI= 1,1 l-5,00;p=0.019). Sedangkan dengan analisis multivariat, variabel ini tidak berpengaruh. Sehingga hipotesis tentang adanya riwayat banjir merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis tidak terbukti. Hal ini sesuai dengan penelitian (Wiharvadi 2004). Akan tetapi Bovet P et al. (1998)
103
yang menyatakan hal yang sebaliknya bahwa adanya banjir di sekitar rumah di antara kurun waktu 4 minggu sebelumsakit mempunyai risiko sebesar 3,24 kali untuk teijadinya leptospirosis dibanding tidak adanya banjir di sekitar rumah (OR = 3,24:95%CI: 1,56-6,76). Selain itu tidak adanya pengaruh variabel adanya riwayat banjir bertentangan dengan teori yang mengatakan kejadian leptospirosis telah banyak dilaporkan seiring dengan bencana alam seperti banjir dan angin topan. Banjir setelah hujan deras di daerah tropis terutama sekali menguntungkan bagi leptospira. Hal itu dapat menaikkan
water table, mengijinkan penjenuhan
lingkungan oleh leptospira di bawah permukaan tanah sehing ga dapat mencegah urin binatang untuk menguap ataupun masuk ke dalam tanah yang mengakibatkan leptospira dapat secara langsung berada di air permukaan. Beberapa analisis kejadian kasus menunjukkan puncak kasus leptospirosis setiap tahun berhubungan dengan adanya riwayat banjir di daerah tropis dan angka rata-rata kasusselama periode banjir lebih tinggi daripada periode tidak ada banjir. Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan adanya riwayat banjir sebagai faktor risiko kejadian leptospirosis pada saat adanya kejadian Luar Biasa leptospirosis di DKI Jakarta pada bulan Februari sampai April 2002, setelah pasca banjir yang berkepanjangan tercatat penderita leptospirosis yang dirawat di rumah sakit beijumlah 103 orang penderita leptospirosis dengan kematian 21 orang (20%) dan data tersebut meningkat menjadi 144 kasus leptospirosis sampai dengan bulan Juni 2002. Tidak adanya pengaruh yang bermakna kemungkinan disebabkan kondisi geografis kelompok kasus dan kelompok kontrol yang hampir sama sehingga mempunyai pengalaman ada tidaknya riwayat banjir yang juga hampir sama, selain itu kemungkinan disebabkan oleh adanya variabel lain yang lebih kuat mengingat variabel yang berpengaruh dianalisis sekaligus sehingga kemungkinan dikontrol variabel yang lebih besar.
S. Pengumpulan Limbah Padat Indikator-indikator kesehatan dipengaruhi oleh kondisi -kondisi rumah tangga misalnya, penyediaan air bersih, ketersediaan saluran pembuangan limbah, dan pengumpulan limbah padat dan jugakarakteristik-karakteristik individu seperti
104
kebiasaan dan perilaku. Hasil analisis bivariat maupun multivariat menunjukkan tidak adapengaruh ketersediaan pelayanan untuk pengumpulan limbah padat terhadap kejadian leptospirosis. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa tidak tersedianya pelayanan untuk pengumpulan limbah padat merupakan faktor risiko kejadian leptospirosis. Tidak bermaknanya variabel ketersediaan pelayanan untuk pengumpulan limbah padat disebabkan proporsi responden yang tidak tersedia pelayanan untuk pengumpu lan limbah padat pada kelompokkasus (26,3%) sama dengan proporsi responden yang tidak tersedia pelayanan untuk pengumpulan limbah padat pada kelompok kontrol (26,3%). Menurut Barcellos C and Sabroza PC (2000) tidak adanyapelayanan pengumpulan limbah padat memungkinkan akumulasi limbah organik dan meningkatkan perkembangbiakan binatang pengerat sepertitikus.
B.
Hasil aplikasi metode surveilans leptospirosis di Kota Semarang, Jawa Tengah Aplikasi metode surveilans berbasis pelayanan kesehatan masyarakat oleh Puskesmas di
daerah KLB leptospirosis Kota Semarang, Jawa Tengah menunjukkan bahwa sebelum dan setelah aplikasi metode penemuan secara aktif dan pasif di wilayah Puskesmas terdapat pengaruh jumlah kasus leptospirosis dirawat di rumah sakit. Berdasarkan uji t berpasangan terdapat perbedaan yang bermakna antara jumlah kasus leptospirosis yang dirawat di rumah sakit sebelum dan sesudah aplikasi metode surveilans leptospirosis (p=0,05). Menurut
World Health Organization (1999)
menyatakan bahwa, surveilans leptospirosis untuk mendeteksi kasus atau memantau insiden leptospirosis yang konformatif melalui diskripsi klinis dan kriteria diagnosis laboratorium. Diskripsi klinis digunakan kriteria Faine yang telah dimodifikasi (Shivakumar, 2013), sedangkan kriteria
diagnosis
laboratorium
menggunakan
pemeriksaan
serologi
seperti
microscopic
agglutinations test/MAT, dan uji serologi penyaring, seperti menggunakan leptoteks laterall flow (WHO 1999) dan pemeriksaan langsung secara biologi molekular (Singh dan Vijayachari, 20 12). Surveilans pada hewan domestik dan peridomestik meliputi kepadatan hewan, prevalensi, perawatan dan pengambilan sampel darah hewan, sedangkan surveilans lingkungan meliputi, sanitasi, faktor
105
abiotik (pH dan suhu) dan cuaca (Jena dkk, 2004). Surveilans leptospirosis dapat bermanfaat dalam penanggulangan leptospirosis di masyarakat (Jena dkk., 2004). Surveilans leptospirosis telah terbukti menjadi alat yang efektif dalam mendeteksi dan mencegah wabah (Jena dkk., 2004). Selain itu, surveilans leptospirosis dapat memprediksi insidensi dan prevalensi leptospirosis, dan memantau sebaran leptospirosis (Rocha, 2004).
106
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Uji Coba model pengendalian Leptospirosis menggunakan metode surveilans berbasis pelayanan kesehatan masyarakat menunjukkan hasil bahwa: 1.
Prediksi faktor risiko lingkungan terbukti berpengaruh terhadap kejadian luar biasa leptospirosis di Kota Semarang , yaitu: a)
Kondisi selokan yang buruk (OR=5,58; 95%CI: 1,55-20,01; p=0.008).
b)
Adanya tikus/ di dalam dan atau sekitar rumah (OR=4,52; 95%CI:1,27-16,16;
p=0.020).
2.
c)
Adanya riwayat luka (OR=12,16; 95%CI: 2,99-49,37; p<0.001).
d)
Adanya riwayat banjir (OR=4,99; 95%CI: 1,59-15,70; p=0.006)
e)
Ketidaktersediaan penampungan sampah. (OR=3,49; 95%CI:1,49 - 16,70; p=0.001)
Surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan masyarakat oleh Puskesmas di daerah KLB di Kota Semarang berpengaruh terhadap jumlah kasus leptospirosis dirawat di rumah sakit. Sebelum dan sesudah aplikasi metode surveilans leptospirosis berbasis pelayanan kesehatan ada perbedaan bermakna jumlah kasus leptospirosis yang di rawat di rumah sakit (p<0,05).
107
DAFTAR PUSTAKA
Leptospira and leptospirosis. Vet Microbiol 2010; 140(3— 4):287-296. Leptospira and how recent progress in genetic research will contribute to our understanding of Leptospira pathogenesis.
Adler B, Moctezuma A.
Overview of the biology of
Ahmed N, Devi SM, Valverde M, de L, dkk.. Multilocus sequence typing method for identification and genotypic classification of pathogenic Leptospira species. Ann Cl in Microbiol Antimicrob 2006;5:28. Ahmed N, Dobrindt U, Hacker J, Hasnain SE. Genomic fluidity and pathogenic bacteria: applications in diagnostics, epidemiology and intervention. Nature Rev Microbiol 6: 387-394. 2008 Amirrudin R., Surveilans Kesehatan Masyarakat. IPB Press dan Hasanudin Univ. Press. Bogor. 2012. Athanazio, D A. Everton F. Silva, Cleiton S. Santos, Gustavo M. Rocha, Marcos A. Vannier Santos, Alan J.A. McBride, Albert I. Ko, Mitermayer G. Reis.2004. Rattus norvegicus as a model for persistent renal colonization by pathogenic Leptospira interrogan.Acta Tropica 105 (2008) 176-180. Bahaman, A.R. Leptosspiral infection in domestic animals in Malaysia : its importance, epidemiology and control. Proceedings of the 6th International Symposium on Veterinary Epidemiology and Economics. 1991 www.sciquest.org.nz . 2012 Barcellos C and Sabroza P.C. The place behind the case: Leptospirosis risks and associated environment conditions in a flood-related outbreak in Rio de Jeneiro. San Saude Publica. Brazil;, p.59-67. 2001 Bharti, A.R., Nally, J.E., Ricaldi, J.N., Matthias, M.A., Diaz, M.M., Lovett, M.A., Levett, P.N., Gilman, R.H., Willig, M.R., Gotuzzo, E. and Vinetz, J.M. Leptospirosis: a zoonotic disease of global importance. The Lancet Infectious Diseases, 3, Iss. 12, 757 -771. 2003 Bovet. P., Yersin, C., Merien, F., Davis, C.E., dan Perolat, P., 1999, Factor associated with clinical leptospirosis : a population based-control study in Seychelles (indian Ocean), Int. Epid. Ass Brooks, G.F., J.S. Butel dan S.A. Morse, 2001. Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Data Dinas Kesehatan Kota Semarang, Jawa Tengah. 2012. Depkes RI, 2004. Sistem Kesehatan Nasional 2004, Jakarta Diarmita, I.K., 2005. Prevalensi Leptospirosis pada Sapi Bibit di Pulau Lombok. Program Pascasarjana Sains Veteriner, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
108 108
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. Situasi Penyakit Leptospirosis dan Pes DI Propinsi Jawa Tengah, Tahun 2010-2012. Pertemuan Pengembangan Jejaring Surveilans Epidemiologi Penyakit Zoonosa (Pes & Leptospirosis) Lintas Propinsi Jateng & DIY. Tanggal 28 April 2012 Dinas Kesehatan Propinsi, Jawa Tengah. Spot survey Leptospirosis di Kabupaten Demak dan Semarang, April 2005 Dwijo, B. ;Distribusi Dan Faktor-faktor Resiko Penderita Leptospirosis Di Kodya Semarang Yang Dirawat Di Rumah Sakit Dr. Kariadi. Tesis Fak. Kedokteran. UGM, Yogyakarta. 1989 Faine, S., Adler, B., Bolin, C. & Perolat, P. Leptospira and Leptospirosis. MedScience, Melbourne, 1999. Finlay, B.B and S.Falkow. Common Themes in Microbial Pathogenicity. Microbiology in Review. P. 210-230. 1989 Guerreiro, H., Croda, J., Flannery, B., Mazel, M., Matsunaga, J., Galvao Reis, M., Levett, P.N., Ko, A.I. and Haake, D A. Leptospiral Proteins Recognized during the Humoral Immune Response to Leptospirosis in Humans. Infection and Immunity, Vol. 69, No. 8, 4958 2001. Gunning JJ. Leptospirosis. In: Hunter GW, Swartzwelder JC, Clyde DF, editors. Tropical Medicine. 8th ed. Philadelphia. WB Saunders Company;, p.235- 240. 1991 Haake, D.A., Marc A. Suchard, Melissa M. Kelley, Manjula Dundoo, David P. Alt,4 and Richard L. Zuemer Molecular Evolution And Mosaicism Of Leptospiral Outer Membrane Proteins Involves Horizontal DNA Transfer. Journal Of Bacteriology, Vol. 186, No. 9. P. 2818-2828. 1994 Haake, D.A., Walker, E.M., Blanco, D R., Bolin, C.A., Miller, J.N. and Lovett, A.M. Changes in the surface of Leptospira interrogans serovar grippotyphosa during in vitro cultivation. Infection and Immunity 59 (3), 1131-1140. 1991 Hadisaputro, Sudarjito, dan Rahaijo. Studi faktor risiko leptospirosis di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Jou. Pen. Mikrobio. 6 ( 4 ) : 123-28. 1996 Hovind-Hougen, K. Morphology of leptospires: electron microscopic studies in relation to the classification of Leptospira. In: The present state of leptospirosis diagnosis and control [edited by W.A.Ellis and T.W.A.Little], Martinus Nijhoff publishers, Dordrecht, the Netherlands; 1-11.1986 Hussein Gasem, M., Henk, L.S., Marga, G. A.G., Dolmans, Wil M. V. D. (2002). Evaluation of simple and rapid dipstick assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J. Med. Microbiol. Vol. 51: 173-177.
109
Isogai, E, Isogai, H. and Ito, W. (1986a). Decreased lipopolysaccharide content and enhanced susceptibility of leptospiras to serum leptospirocidal action and phagocytosis after treatment with diphenylamine. Zentralblatt Fiir Bakteriologie, Mikrobiologie und Hygiene, 262 (4), 438-447. Jean Gaudart dkk. Modelling malaria incidence with environmental dependency in a locality of Sudanese savannah area, Mali. Malaria Journal 8:61, 2009. Jena, A.B., Kailash C. Mohanty and N. Devadasan. An outbreak of leptospirosis in Orissa, India: the importance of surveillance. Tropical Medicine and International Health. Vol.9 no 9 pp 1016-102. 2004 Kasie. P2M Dinas Kesehatan Kota Semarang. Analisis Leptospirosis Kota Semarang Tw I Tahun 2012. Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2012. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1479/Menkes/ Sk/X/2003 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu; 2003. Ko A. I., Cyrille Goarant and Mathieu Picardeau. Leptospira: the dawn of the molecular genetics era for an emerging zoonotic pathogen. Nature Review, Microbiology. 7:737. Macmillan Publishers Limited. 2009 Ko, A. I., dkk.. Urban epidemic of severe leptospirosis in Brazil. Lancet 354, 820-825(1999). Koizumi, N, Maki Muto, Tsutomu Tanikawa, Hiroshi Mizutani, Yoshiko Sohmura, Eiji Hayashi, Nobuaki Akao, Mayu Hoshino, Hiroki Kawabatal and Haruo Watanabe. Human leptospirosis cases and the prevalence of rats harbouring Leptospira interrogans in urban areas of Tokyo, Japan. Journal of Medical Microbiology 58, 1227 -1230. 2009. Kolsky PJ. and Blumenthal UJ. Environmental health indicators and sanitationrelated disease in developing countries: Limitations to the use of routine data. World Health Statistic Q. 48; 1995. p. 132-139. Kusriastuti, R. Situasi dan Kebijakan Nasional Pengendalian Leptospirosis. Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang. Ditjen PP dan PL, Kemenkes RI. Jakarta. 2012 Lameshow S, et al. Besar sampel dalam penelitian kesehatan. Gadjah Mada University Press: 1990 Last, JM. A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc. 2001 Lau, C. Urbanisation, climate change, and leptospirosis: environmental drivers of infectious disease emergence. School of Population Health, University of Queensland
110
Last, JM. A dictionary of epidemiology. New York: Oxford University Press, Inc. 2001 Lau, C. Urbanisation, climate change, and leptospirosis: environmental drivers of infectious disease emergence. School of Population Health, University of Queensland. Leptonet: [ http://www.leptonet.net ]. Royal Tropical Institute, Amsterdam, The Netherlands Levett PN, Morey RE, Galloway RL, Steigerwalt AG. Leptospira broomii sp. nov., isolated from humans with leptospirosis. Int J Syst Evol Microbiol 2006;56(Pt 3):671 -673. Levett, P. N. Leptospirosis. Clin. Microbiol. Rev. 14, 296-326. 2001 Liao S, Sun A, Ojcius DM, Wu S, Zhao J, Yan J. Inactivation of the fliY gene encoding a flagellar motor switch protein attenuates mobility and virulence of Leptospira interrogans strain Lai. BMC Microbiol 2009;9:253. Liu, Y., Wei Zheng, Liwei Li, Yafei Mao and Jie Yan. Pathogenesis of leptospirosis: interaction of Leptospirainterrogans with in vitro cultured mammalian cells. Med Microbiol Immunol 196:233-239. 2007 Ma, Z. dan Li, J. 2009. Dynamical Modeling and Analysis of Epidemics.Singapore: World Scientific Publishing. Ma’at, S. Toll-Like Receptor. Pusat Penerbitan dan Percetakan (AUP) Kampus C Unair. 2009. Matos ED, Costa E, Sacramento E, Caymmi AL, Neto CA, Lopes MB et al. Chest Radiograph Abnormalities in Patients Hospitalized with Leptospirosis in the City of Salvador, Bahia, Brazil. The Brazilian Journal of Infectious Diseases ;5(2):73 -77.2001 McBride, A. J., Athanazio, D. A., Reis, M. G. & Ko, A. I.Leptospirosis. Curr. Opin. Infect. Dis. 18, 376-386 (2005). Mims, C.A. The Pathogenesis of Infectious Disease. 3th edition. Academic Press, London and Grune & Stratton, New York. 1987 Mishra, S.K., Panigrahi, P. Misra., R., and Mohanty, S. Prediction of outcome in adults with severe falciparum malaria; a new scoring system. Malaria Journal 6:24. 2007. Ramadhani, T. dan Zumrotus Sholichah Studi Inang Reservoir Dan Kejadian Leptospirosis Di Daerah Endemis Kota Semarang. Seminar Nasional Mewujudkan Kemandirian Kesehatan Masyarakat Berbasis Preventif dan Pro motif. Jakarta. 2010 Rocha, MTRB Equine Leptospirosis in Portugal; Serological, Immunological and Microbiological Studies. Unversidade de Ttras-Os-Montes E Alto Douro, Vila Real. Purtugal. 2004.
Ill
Sarkar U, Nascimento SF, Barbosa R, Martins R, Nuevo H, Kalofonos I, dkk.. Population-based case-control investigation of risk factors for leptospirosis during an urban epidemic. Am J Trop Med Hyg.;66(5):605- 10. 2002 Segura, E. R., Ganoza, C. A., Campos, K., Ricaldi, J. N., Torres, S., Silva, H., Cespedes, M. J., Matthias, M. A, Swancutt, M. A. & other authors. Clinical spectrum of pulmonary involvement in leptospirosis in a region of endemicity, with quantification of leptospiral burden. Clin Infect Dis 40, 343-351.2005 Shivakumar S. Indian Guidelines for the Diagnosis and Management of Human Leptospirosis. API Medicine Update 2013;23:23-29. 2013 Singh, S.H and P.Vijayachari, Leptospirosis. Clinical Spectrum and Case management. Regional Medical research Centre, ICMR. Dept.of Health Research Suryanto dkk. 2012 Widarso HS, Husen G., Wilfried P., Tato S., dan Siti G. Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan Kasus Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Sub Direktorat Zoonosis, Dirjen.P2 & PL., Dep. Kesehatan, R.I., Jakarta. 2008. Wiharyadi, D.. Faktor Risiko Leptospirosis Berat di Kota Semarang, Jawa Tengah. Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat UNDIP, Semarang. 2004 World Health Organization. Leptospirosis worldwide. Wkly Epidemiol. Rec;74:237-42. 1999 World Health Organization. Report of The Second Meeting of The Leptospirosis Burden Epidemiologic Reference Group. WHO. ISBN 978924150152l.NLM classification:WC 420. Geneva, Switzerland. 2011 . World Health Organization. WHO Recommended Surveillance Standards. WHO/C D S/C SR/I SR/99.2. 1999. World Health Organization: Human leptospirosis: guidance for diagnosis, surveillance and control. World Health Organization, Geneva; 2003
112