CEMARAN MIKROBA PADA PRODUK PERTANIAN, PENYAKIT YANG DITIMBULKAN DAN PENCEGAHANNYA Titiek F. Djaafar dan Siti Rahayu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Jalan Rajawali No. 28, Demangan Baru, Yogyakarta 55281
ABSTRAK Akhir-akhir ini di Indonesia banyak terjadi kasus keracunan atau penyakit yang diakibatkan mengkonsumsi makanan yang tercemar oleh mikroba patogen seperti kasus salmonelosis atau makanan kedaluwarsa. Kasus keracunan makanan selama tahun 2003−2005 yang diberitakan oleh berbagai media massa, dapat memberikan gambaran tentang kondisi keamanan pangan di Indonesia. Dari 18 kasus keracunan makanan yang terjadi pada tahun 2003, 83,30% disebabkan oleh bakteri patogen, dan pada tahun 2004 dan 2005 masing-masing 60% dari 41 kasus dan 72,20% dari 53 kasus. Tulisan ini bertujuan untuk mengulas cemaran mikroba pada produk pertanian sebagai bahan pangan serta untuk memberikan pemahaman dan kesadaran tentang pentingnya menghasilkan produk pertanian yang bermutu, aman, bergizi, dan halal. Cemaran mikroba dapat terjadi pada semua produk pertanian, baik produk peternakan, tanaman pangan, hortikultura maupun perikanan. Oleh karena itu, proses produksi pertanian harus menerapkan sistem keamanan pangan mulai dari tahap budi daya hingga makanan siap santap (from farm to table). Penerapan sistem keamanan pangan nasional perlu didukung berbagai pihak, baik produsen, pemerintah maupun konsumen. Kata kunci: Produk pertanian, cemaran mikroba, keamanan pangan
ABSTRACT Microbial contamination on agricultural products, its pile disease and prevention There are a lot of poisoned cases or diseases in Indonesia caused by microbial contaminated food as the salmonellosis, even by expired food. The cases of food poisoning between 2003−2005 reported by mass media gave the information about condition of food safety in Indonesia. In 2003, from 18 cases, 83.30% was caused by bacterial pathogen, and in 2004 and 2005, the figures were 60% from 41 cases and 72.20% from 53 cases, respectively. This article reviewed the existence of microbial in the agricultural products as food and gave understanding and awareness to all of us about the importance to produce certifiable agricultural products, lowful nutritious and safety to be consumed. Microbial contamination occurred in all agricultural products, i.e. livestock and diary products, food crops, horticulture and also fisheries. Therefore, agricultural production processes have to apply food safety system starting from the farm to the table. Application of national food safety system requires support from producers, government, and consumers. Keywords: Agricultural products, microbial contamination, food safety
P
angan merupakan kebutuhan paling dasar bagi manusia. Oleh karena itu, ketersediaan pangan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya, terus diupayakan oleh pemerintah antara lain melalui program ketahanan pangan. Melalui program tersebut diharapkan masyarakat dapat memperoleh pangan yang cukup, aman, bergizi, sehat, dan halal untuk dikonsumsi. Produk pertanian sebagai sumber pangan, baik pangan segar maupun olahan, harus selalu terjamin keamanannya agar masyarakat terhindar dari bahaya
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
mengkonsumsi pangan yang tidak aman. Dengan menghasilkan produk pertanian atau bahan pangan yang aman dan bermutu maka citra Indonesia di lingkungan masyarakat internasional akan meningkat pula (Rahayu 2005). Perdagangan global memberikan dampak terhadap produk pertanian, baik produk hewani maupun tanaman pangan, yaitu munculnya isu keamanan pangan. Isu tersebut sering diberitakan media massa sehingga mempunyai pengaruh cukup besar terhadap kesadaran dan perhatian masyarakat Indonesia. Beberapa
isu tentang keamanan pangan produk pertanian yang meresahkan masyarakat adalah kasus antraks, keracunan susu, avian influenza (flu burung), cemaran mikroba patogen pada produk ternak, dan cemaran aflatoksin pada jagung dan kacang tanah (Wuryaningsih 2005; Dharmaputra 2006; Rahmianna 2006). Industri pangan di Indonesia berkembang pesat, baik industri kecil, menengah maupun besar, dengan orientasi ekspor maupun untuk memenuhi kebutuhan domestik. Perkembangan ini berdampak positif bagi sektor pertanian serta akan 67
mendorong terbukanya kesempatan kerja. Seiring dengan perkembangan tersebut, tuntutan konsumen akan pangan yang aman, sehat, utuh, halal, dan bermutu juga meningkat sesuai dengan makin membaiknya tingkat kehidupan masyarakat. Bahkan masyarakat di negara-negara maju telah menuntut adanya jaminan mutu sejak awal proses produksi hingga produk di tangan konsumen (from farm to table). Tulisan ini menyajikan ulasan tentang cemaran mikroba pada produk pertanian sebagai bahan pangan. Informasi yang disajikan diharapkan dapat memberikan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya menghasilkan produk pertanian yang bermutu, aman, bergizi, sehat, dan halal dalam upaya menerapkan pengamanan pada setiap mata rantai produksi pangan.
CEMARAN MIKROBA PADA PRODUK TERNAK Untuk menghadapi tantangan pasar global maka Indonesia harus mampu menghasilkan produk pangan hewani yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Keamanan pangan (food safety) merupakan tuntutan utama konsumen. Permintaan pangan hewani (daging, telur, dan susu) dari waktu ke waktu cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk, perkembangan ekonomi, perubahan pola hidup, peningkatan kesadaran akan gizi, dan perbaikan pendidikan masyarakat. Kasryno et al. (2004) menyatakan, dalam dasawarsa mendatang akan terjadi perubahan pola konsumsi masyarakat berupa peningkatan permintaan produk peternakan dan hortikultura. Permintaan produk ternak meningkat secara nyata dari 1.445.000 ton pada tahun 2000 menjadi 1.931.400 ton pada tahun 2004 (Yogaswara dan Setia 2005). Produk pangan asal ternak berisiko tinggi terhadap cemaran mikroba yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Beberapa penyakit yang ditimbulkan oleh pangan asal ternak adalah penyakit antraks, salmonelosis, brucellosis, tuberkulosis, klostridiosis, dan penyakit akibat cemaran Staphylococcus aureus (Supar dan Ariyanti 2005). Setelah ternak dipotong, mikroba yang terdapat pada hewan mulai merusak jaringan sehingga bahan pangan hewani cepat mengalami kerusakan bila tidak mendapat penangan-
68
an yang baik. Mikroba pada produk ternak terutama berasal dari saluran pencernaan. Apabila daging tercemar mikroba saluran pencernaan maka daging tersebut dapat membawa bakteri patogen seperti Salmonella. Menurut Rahayu (2006b), bakteri patogen dari daging yang tercemar dapat mencemari bahan pangan lain seperti sayuran, buah-buahan, dan makanan siap santap bila bahan pangan tersebut diletakkan berdekatan dengan daging yang tercemar. Oleh karena itu, penjualan daging di pasar sebaiknya dipisahkan dengan bahan pangan lain, terutama makanan siap santap.
Cemaran Mikroba pada Unggas dan Produk Olahannya Salah satu persyaratan kualitas produk unggas adalah bebas mikroba patogen seperti Salmonella sp., Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Campylobacter sp. Banyak kasus penyakit yang diakibatkan oleh cemaran mikroba patogen (foodborne diseases) pada daging unggas maupun produk olahannya. Sebagai contoh yang sering terjadi di Eropa dan Amerika Serikat adalah kasus penyakit yang disebabkan oleh Salmonella enteritidis yang ditularkan melalui daging ayam, telur, dan produk olahannya (Baumler et al. 2000). Daging unggas cocok untuk perkembangan mikroba, karena unggas dalam kehidupannya selalu bersentuhan dengan lingkungan yang kotor. Karkas ayam mentah paling sering dikaitkan dengan cemaran Salmonella dan Campylobacter yang dapat menginfeksi manusia (Raharjo 1999). Berdasarkan hasil penelitian, ketidakamanan daging unggas dan produk olahannya di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain tingkat pengetahuan peternak, kebersihan kandang, serta sanitasi air dan pakan. Menurut Nugroho (2005), cemaran Salmonella pada peternakan ayam di daerah Sleman Yogyakarta mencapai 11,40% pada daging dan 1,40% pada telur. Sanitasi kandang yang kurang baik dapat menyebabkan timbulnya cemaran mikroba patogen yang tidak diinginkan. Campylobacter jejuni merupakan salah satu bakteri patogen yang mencemari ayam maupun karkasnya. Cemaran bakteri ini pada ayam tidak menyebabkan penyakit, tetapi mengakibatkan penyakit
yang dikenal dengan nama campylobacteriosis pada manusia. Penyakit tersebut ditandai dengan diare yang hebat disertai demam, kurang nafsu makan, muntah, dan leukositosis. Sekitar 70% kasus campylobacteriosis pada manusia disebabkan oleh cemaran C. jejuni pada karkas ayam. Cemaran C. jejuni di Indonesia cukup tinggi. Menurut Poloengan et al. (2005), 20−100% daging ayam yang dipasarkan di Jakarta, Bogor, Sukabumi, dan Tangerang tercemar bakteri C. jejuni. Oleh karena itu, berkembangnya industri jasa boga di Indonesia perlu mendapatkan perhatian, terutama dalam kaitannya dengan penyediaan pangan yang berasal dari unggas. Produk olahan unggas seperti sate ayam, ayam panggang maupun ayam opor yang diproduksi oleh industri jasa boga juga berisiko tercemar mikroba. Pengolahan sate ayam yang memerlukan waktu penyiapan yang panjang menyebabkan produk ini rentan terhadap cemaran mikroba. Harmayani et al. (1996) menyebutkan karkas ayam mentah yang digunakan sebagai bahan sate pada suatu industri jasa boga telah tercemar S. aures sebanyak 1,60 x 106 CFU/g. Hal ini perlu mendapat perhatian karena S. aureus mampu memproduksi enterotoksin yang tahan terhadap panas. Bergdoll (1990) menyatakan, S. aureus 105 CFU/g merupakan pedoman terhadap kerawanan adanya toksin tersebut. Namun berdasarkan hasil penelitian, enterotoksin belum dapat terdeteksi pada total S. aureus >106 CFU/g. Pada kasus-kasus keracunan makanan, biasanya jumlah S. aureus mencapai 108 CFU/g atau lebih (Harmayani et al. 1996). Pemanasan dapat menurunkan total S. aureus menjadi 2,60 x 103. Oleh karena itu, dalam pengolahan sate ayam ada beberapa tahap yang perlu diperhatikan sebagai titik kendali kritis, yaitu tahap penyiapan (pemotongan dan penusukan), pembekuan, pemanggangan, serta pengangkutan dan penyajian (Harmayani et al. 1996). Produk lain dari industri jasa boga yang biasa disajikan dalam acara perkawinan atau pertemuan adalah ayam panggang bumbu sate. Berdasarkan hasil pengujian Harmayani et al. (1996), karkas ayam mentah yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan ayam panggang bumbu sate memiliki total bakteri 6,50 x 107 CFU/g dan total S. aureus 7,30 x 105 CFU/g. Karkas ayam mentah diproses
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
melalui tahap pencucian dan perebusan. Pada akhir tahap perebusan, total bakteri menurun menjadi 1,70 x 106 CFU/g dan total S. aureus < 103 CFU/g. Setelah pembakaran, total S. aureus berkurang lagi menjadi 5 x 102 CFU/g. Namun populasi S. aureus meningkat menjadi 1,50 x 104 CFU/ g selama proses pengangkutan dan menunggu waktu disajikan (pada suhu kamar selama 7,50 jam). Oleh karena itu, penyajian merupakan tahap penting yang perlu mendapat perhatian. Sebaiknya ayam panggang bumbu sate disajikan dalam keadaan panas sehingga dapat menekan populasi mikroba. Selain sate dan ayam panggang bumbu sate, di pasar juga banyak beredar bakso ayam, salah satu produk yang digunakan sebagai bahan pengisi sup pada industri jasa boga. Bakso ayam sering diproduksi sendiri oleh industri jasa boga. Menurut Harmayani et al. (1996), karkas ayam mentah yang digunakan untuk membuat bakso ayam tercemar S. aureus 1,40 x 105 CFU/g dengan total bakteri 1,90 x 107 CFU/g. Namun melalui proses pemanasan atau pengolahan, total S. aureus menurun menjadi 4,30 x 103 CFU/g dan total bakteri menjadi 6,40 x 105 CFU/g. Walaupun total mikroba selama pengolahan menurun, angka tersebut masih tinggi. Menurut SNI 01-3818-1995, cemaran S. aureus dalam produk bakso maksimal 1 x 102 CFU/g, total bakteri maksimal 1 x 105 CFU/g, dan negatif terhadap Salmonella. Bakteri patogen lain yang sering mencemari daging ayam dan produk olahannya adalah Salmonella. Keswandani (1996) menyatakan, karkas ayam yang digunakan dalam industri jasa boga di Daerah Istimewa Yogyakarta sudah tercemar bakteri Salmonella sp. 6,10 x 105 CFU/g dengan total bakteri > 3 x 108 CFU/ g. Padahal batas maksimum cemaran mikroba dalam karkas ayam mentah berdasarkan SK Dirjen POM No. 03726/8/SK/ VII/85 adalah 106 CFU/g dan harus negatif dari Salmonella sp. Jika mengacu pada peraturan itu maka kualitas karkas ayam yang digunakan dalam industri jasa boga tersebut sudah tergolong buruk. Apalagi tingkat cemaran Salmonella sp. sebanyak 105 CFU/g sudah dalam ambang yang membahayakan konsumen. Namun demikian, proses pemasakan atau pemanasan dapat menurunkan cemaran mikroba menjadi 103 CFU/g dan negatif terhadap Salmonella sp. (Keswandani 1996).
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
Cemaran Mikroba pada Telur dan Produk Olahannya Telur merupakan produk unggas yang selalu dihubungkan dengan cemaran Salmonella. Cemaran Salmonella pada telur dapat berasal dari kotoran ayam dalam kloaka atau dalam kandang. Secara alami, cangkang telur merupakan pencegah yang baik terhadap cemaran mikroba. Cemaran bakteri dapat terjadi pada kondisi suhu dan kelembapan yang tinggi. Cemaran pada telur bebek lebih banyak dibanding pada telur ayam. Apabila penanganan telur tidak dilakukan dengan baik, misalnya kotoran unggas masih menempel pada cangkang telur, maka kemungkinan Salmonella dapat mencemari telur, terutama saat telur dipecah. Cemaran mikroba tersebut dapat dikurangi dengan cara mencuci dan mengemas telur sebelum dipasarkan.
Cemaran Mikroba pada Daging Sapi dan Produk Olahannya Daging sapi banyak dikonsumsi oleh masyarakat setelah daging ayam. Daging sapi mudah rusak dan merupakan media yang cocok bagi pertumbuhan mikroba, karena tingginya kandungan air dan gizi seperti lemak dan protein. Kerusakan daging dapat disebabkan oleh perubahan dalam daging itu sendiri (faktor internal) maupun karena faktor lingkungan (eksternal). Daging yang tercemar mikroba melebihi ambang batas akan menjadi berlendir, berjamur, daya simpannya menurun, berbau busuk dan rasa tidak enak serta menyebabkan gangguan kesehatan bila dikonsumsi. Beberapa mikroba patogen yang biasa mencemari daging adalah E. coli, Salmonella, dan Staphylococcus sp. Kandungan mikroba pada daging sapi dapat berasal dari peternakan dan rumah potong hewan yang tidak higienis (Mukartini et al. 1995). Oleh karena itu, sanitasi atau kebersihan lingkungan peternakan maupun rumah potong hewan perlu mendapat perhatian. Proses pengolahan daging yang cukup lama juga memungkinkan terjadinya cemaran mikroba pada produk olahannya. Produk olahan daging seperti kornet dan sosis harus memenuhi syarat mutu yang
sudah ditetapkan. Berdasarkan SNI 013820-1995, cemaran Salmonella pada sosis daging harus negatif, Clostridium perfringens negatif, dan S. aureus maksimal 102 koloni/g.
Cemaran Mikroba pada Susu dan Produk Olahannya Susu merupakan bahan pangan yang berasal dari sekresi kelenjar ambing pada hewan mamalia seperti sapi, kambing, kerbau, dan kuda. Susu mengandung protein, lemak, laktosa, mineral, vitamin, dan enzim-enzim (Lampert 1980). Susu sapi yang berasal dari sapi yang sehat dapat tercemar mikroba nonpatogen yang khas segera setelah diperah. Pencemaran juga dapat berasal dari sapi, peralatan pemerahan, ruang penyimpanan yang kurang bersih, debu, udara, lalat dan penanganan oleh manusia (Volk dan Wheeler 1990). Untuk dapat dikonsumsi, susu harus memenuhi persyaratan keamanan pangan karena susu mudah terkontaminasi mikroba (bakteri, kapang, dan khamir), baik patogen maupun nonpatogen dari lingkungan (peralatan pemerahan, operator, dan ternak), residu pestisida, logam berat dan aflatoksin dari pakan serta residu antibiotik saat pengobatan penyakit pada ternak. Kandungan mikroba yang tinggi menyebabkan susu cepat rusak sehingga Industri Pengolahan Susu (IPS) kadangkadang tidak dapat menerima atau membeli susu dari peternak. Akibatnya, sebagian besar IPS menggunakan bahan dasar susu impor. Pertumbuhan mikroba dalam susu dapat menurunkan mutu dan keamanan pangan susu, yang ditandai oleh perubahan rasa, aroma, warna, konsistensi, dan penampakan. Oleh karena itu, susu segar perlu mendapat penanganan dengan benar, antara lain pemanasan dengan suhu dan waktu tertentu (pasteurisasi) untuk membunuh mikroba yang ada. Apabila tidak tersedia pendingin, setelah diperah susu dapat diberi senyawa thiosianat dan hidrogen peroksida untuk memaksimalkan kerja laktoperoksidase (enzim dalam susu yang bersifat bakteriostatik). Namun, penggunaan senyawa tersebut masih dikaji terutama efektivitas dan residunya (Thahir et al. 2005). Mikroba patogen yang umum mencemari susu adalah E. coli. Standar
69
Nasional Indonesia tahun 2000 mensyaratkan bakteri E. coli tidak terdapat dalam susu dan produk olahannya. Bakteri E. coli dalam air susu maupun produk olahannya dapat menyebabkan diare pada manusia bila dikonsumsi. Beberapa bakteri patogen yang umum mencemari susu adalah Brucella sp., Bacillus cereus, Listeria monocytogenes, Campylobacter sp., Staphylococcus aureus, dan Salmonella sp. (Adams dan Motarjemi 1999). Menurut Thahir et al. (2005), bahan dasar susu pasteurisasi pada beberapa produsen susu di Jawa Barat mengandung total mikroba 104−10 6 CFU/g susu, namun proses pasteurisasi dapat menurunkan kandungan mikroba hingga 0−103 CFU/g susu. Standar Nasional Indonesia (SNI 016366-2000) mensyaratkan ambang batas cemaran mikroba yang diperbolehkan dalam susu adalah 3 x 104 CFU/g sehingga susu pasteurisasi yang dihasilkan oleh produsen susu di Jawa Barat aman dikonsumsi. Proses pengolahan susu memungkinkan terjadinya cemaran mikroba pada produk olahannya. Syarat mutu produk olahan susu seperti keju dan susu bubuk ditetapkan dalam SNI 01-2980-1992 dan SNI 01-3775-1995.
yang paling berbahaya bagi kesehatan manusia adalah aflatoksin B1. Berdasarkan keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.1.4057 tanggal 9 September 2004, batas maksimum kandungan aflatoksin B1 dan aflatoksin total pada produk olahan jagung dan kacang tanah masing-masing adalah 20 ppb dan 35 ppb. Sementara itu Codex Alimentarius Commission pada tahun 2003 menentukan batas maksimum kandungan aflatoksin total pada kacang tanah yang akan diproses sebesar 15 ppb. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan keamanan pangan di Indonesia masih jauh di bawah negaranegara maju. Cemaran A. flavus pada saat budi daya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain suhu tanah, lengas tanah, kandungan unsur hara dalam tanah (Zn dan Ca), serta hama dan penyakit (Rahmianna 2006). A. flavus akan lebih kompetitif jika lengas tanah rendah, kelembapan udara tinggi (90−98%), dan suhu tanah 17−42°C. Menurut Dharmaputra (2006), kandungan aflatoksin total pada jagung pipil lebih tinggi dibanding jagung tongkol.
Dari 35 sampel yang diuji, semua sampel tercemar oleh aflatoksin B1 serta 31% tercemar aflatoksin B2 dengan total aflatoksin berkisar antara 48,10–213,80 ppb. Cemaran aflatoksin pada jagung bergantung pada kondisi lingkungan dan perlakuan pascapanen (Gambar 1 dan 2). Jagung yang tercemar aflatoksin, apabila digunakan sebagai pakan maka aflatoksin akan masuk ke dalam tubuh ternak (unggas dan ruminansia) dan terakumulasi pada daging maupun hati (Rahayu 2006b). Cemaran aflatoksin juga sering dijumpai pada kacang tanah dan produk olahannya seperti bumbu pecel. Cemaran aflatoksin pada kacang tanah di tingkat petani maupun pengecer dapat mencapai lebih dari 100 ppb. Menurut Dharmaputra (2006), cemaran aflatoksin total pada olahan kacang tanah seperti bumbu pecel dapat mencapai rata-rata 41,60 ppb dan pada enting-enting gepuk 20,80 ppb. Selain aflatoksin, fumonisin juga merupakan salah satu mikotoksin yang dihasilkan kapang Fusarium moniliforme. Kapang ini umumnya menyerang produk pertanian seperti jagung, namun penelitian tentang mikotoksin belum banyak dilakukan.
Gambar 1. Cara panen dengan membiarkan tongkol mengering di lahan memungkinkan terjadinya cemaran kapang (dok. Rahayu 2006b).
Gambar 2. Cemaran Aspergillus pada tongkol jagung (dok. Rahayu 2006b).
CEMARAN MIKROBA PADA PRODUK TANAMAN PANGAN Produk tanaman pangan seperti serealia dan kacang-kacangan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroba, khususnya kapang (jamur/cendawan). Cemaran kapang dapat terjadi saat tanaman masih di lapang, yang dikenal dengan cemaran prapanen, maupun selama penanganan pascapanen. Kapang yang umum mencemari serealia dan kacangkacangan adalah Aspergillus flavus dan A. parasiticus yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Kedua jenis kapang ini dapat menghasilkan aflatoksin yang merupakan secondary metabolic products dan bersifat toksik bagi manusia. Aflatoksin merupakan molekul kecil yang tidak suka terhadap air, tahan terhadap perlakuan fisik, kimia maupun biologis dan tahan terhadap suhu tinggi (Rahayu 2006a). Aflatoksin yang umum dijumpai adalah aflatoksin B1, B2, G1, G2, M1, dan M2 (Agus et al. 2006; Silalahi 2006). Dari enam jenis aflatoksin tersebut, 70
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
CEMARAN MIKROBA PADA BUAH DAN SAYUR Buah dan sayur dapat tercemar oleh bakteri patogen dari air irigasi yang tercemar limbah, tanah, atau kotoran hewan yang digunakan sebagai pupuk. Cemaran akan semakin tinggi pada bagian tanaman yang ada di dalam tanah atau dekat dengan tanah. Mikroba tertentu seperti Liver fluke dan Fasciola hepatica akan berpindah dari tanah ke selada air akibat penggunaan kotoran kambing atau domba yang tercemar sebagai pupuk. Air irigasi yang tercemar Shigella sp., Salmonella sp., E. coli, dan Vibrio cholerae dapat mencemari buah dan sayur. Selain itu, bakteri Bacillus sp., Clostridium sp., dan Listeria monocytogenes dapat mencemari buah dan sayur melalui tanah. Namun, penanganan dan pemasakan yang baik dan benar dapat mematikan bakteri patogen tersebut, kecuali bakteri pembentuk spora. Hasil kajian tentang tingkat cemaran mikroba pada sayuran disajikan pada Tabel 1 dan 2, serta kisaran batas maksimum kontaminasi mikroba pada produk pangan pada Tabel 3. Tingkat cemaran mikroba pada beberapa jenis sayuran cukup tinggi. Menurut Sulaeman dan Nisa (2005), tingkat cemaran E. coli pada selada, wortel, dan tomat dari Bogor cukup tinggi, yaitu 5,80 x 101 hingga 1,80 x 103 CFU/g (Tabel 2), padahal persyaratan kontaminasi E. coli dalam produk pangan harus negatif (Badan Pengawasan Obat dan Makanan 2004).
CEMARAN MIKROBA PADA PRODUK PERIKANAN Ikan merupakan sumber pangan yang mudah rusak karena sangat cocok untuk pertumbuhan mikroba baik patogen mau-
pun nonpatogen. Kerusakan ikan terjadi segera setelah ikan keluar dari air. Kerusakan dapat disebabkan oleh faktor internal (isi perut) dan eksternal (lingkungan), maupun cara penanganan di atas kapal, di tempat pendaratan atau di tempat pengolahan. Kerusakan ditandai dengan adanya lendir di permukaan ikan, insang memudar (tidak merah), mata tidak bening, berbau busuk, dan sisik mudah terkelupas. Ikan dari perairan pantai sering kali tercemar oleh bakteri Vibrio parahaemoly-
Tabel 2. Tingkat kontaminasi E. coli pada sayuran dari Bogor. Produsen
Jumlah koloni (CFU/g)
Selada
1 2 3
1,50 x 102 1,80 x 103 2,30 x 102
Wortel
1 2 3
2,40 x 102 5 x 102 4,50 x 101
Tomat
1 2 3
2,50 x 101 4,20 x 102 5,80 x 101
Jenis sayuran
Sumber: Sulaeman dan Nisa (2005).
Tabel 3. Batas maksimum cemaran mikroba pada produk pangan. Batas maksimum (sel/g)
Jenis mikroba Escherichia coli Staphylococcus aureus Clostridium perfringens Vibrio cholerae V. parahaemolyticus Salmonella Enterococci Kapang Khamir Coliform faecal
0−10 3 0−5 x 103 0−10 2 Negatif Negatif Negatif 10 2−10 3 50−10 4 50 0−10 2
Sumber: Badan Pengawasan Obat dan Makanan (2004).
Tabel 1. Tingkat cemaran mikroba pada beberapa jenis sayuran di Jawa Barat dan Jawa Timur (CFU/g). Jawa Barat
Jawa Timur
Jenis sayuran
Petani
Pasar tradisional
Swalayan
Petani
Pasar tradisional
Swalayan
Kubis Tomat Wortel
3,14 x 107 1,70 x 106 4,20 x 106
4,60 x 107 2,50 x 107 5,70 x 107
2,80 x 107 2 x 10 6 1,90 x 107
1,40 x 107 5,40 x 104 1,80 x 105
4,30 x 105 1,40 x 105 6,10 x 105
4,50 x 105 3,30 x 104 7,40 x 105
Sumber: Misgiyarta dan Munarso (2005).
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
ticus yang dapat menular pada saat transportasi maupun pemasaran. Bakteri yang sering mengkontaminasi produk perikanan umumnya merupakan bakteri air seperti V. vulnificus dan V. cholerae (Adams dan Motarjemi 1999). Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (2004), cemaran bakteri Vibrio sp. dalam produk pangan harus negatif. Bakteri patogen lain di perairan yaitu Proteus morganii, Klebsiella pneumoniae, dan Hafnia alvei (Atmadjaja et al. 1995). Tiga spesies bakteri tersebut sering mencemari ikan laut dari famili Scombroidei yang banyak terdapat di perairan Indonesia. Kasus keracunan histamin pada mulanya lebih dikenal sebagai keracunan scombroid karena melibatkan ikan dari famili Scombroidei, yaitu tuna, bonito, tongkol, mackerel, dan seerfish. Jenis ikan tersebut mengandung histidin bebas dalam jumlah besar pada dagingnya, yang pada kondisi tertentu dapat diubah menjadi histamin karena adanya aktivitas enzim histidine dekarboksilase dari bakteri yang mencemari ikan tersebut. Gejala keracunan histamin dimulai beberapa menit sampai beberapa jam setelah ikan dikonsumsi. Gejalanya berupa muntah-muntah, diare, pembengkakan pada bibir, kejang-kejang, dan kerongkongan terasa terbakar. Gejala ini berlangsung kurang dari 12 jam dan dapat diobati dengan terapi antihistamin.
PENYAKIT AKIBAT CEMARAN MIKROBA PATOGEN PADA PANGAN Foodborne disease merupakan penyakit yang diakibatkan karena mengkonsumsi makanan yang tercemar mikroba patogen (Riemann dan Bryan 1979). Lebih dari 90% kejadian penyakit pada manusia disebabkan mengkonsumsi makanan yang tercemar bakteri patogen, seperti penyakit tipus, disentri, botulisme, dan intoksikasi bakteri lainnya seperti hepatitis A (Winarno 1997). Mikroba terutama bakteri yang bersifat patogen dapat ditemukan di mana saja, di tanah, air, udara, tanaman, binatang, bahan pangan, peralatan untuk pengolahan bahkan pada tubuh manusia. Pangan membawa berbagai jenis mikroba, yang dapat berasal dari mikroflora alami tanaman atau hewan, baik yang berasal dari lingkungan maupun yang masuk selama pemanenan atau penyembelihan, 71
pusing-pusing bahkan pada kondisi yang parah dapat menyebabkan kematian (Rahayu 2006b). Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh A. flavus atau A. parasiticus dan bersifat hepatokarsinogen. Apabila termakan dan terakumulasi dalam jumlah yang berlebihan, aflatoksin dapat menyebabkan kerusakan hati pada manusia (Rahayu 2006b). Sama halnya dengan aflatoksin, histamin yang merupakan racun dari produk perikanan akibat cemaran mikroba patogen dapat menyebabkan keracunan. Gejala keracunan histamin dimulai beberapa menit sampai beberapa jam setelah makanan dikonsumsi, antara lain berupa sakit kepala, kejangkejang, diare, muntah-muntah, kulit bergaris merah, pembengkakan pada bibir, dan kerongkongan terasa terbakar. Gejala ini umumnya berlangsung kurang dari 12 jam dan dapat diobati dengan terapi antihistamin (Atmadjaja et al. 1995). Patogen bawaan dari makanan seperti Clostridium botulinum sangat berkaitan dengan penyakit ekstraintestinal akut, yang dapat menyebabkan sindrom neuroparalisis dan sering kali berakibat fatal. Penyakit ekstraintestinal juga dapat
distribusi, penanganan pascapanen, pengolahan, serta penyimpanan produk. Pertumbuhan mikroba terjadi dalam waktu singkat dan pada kondisi yang sesuai, antara lain tersedianya nutrisi, pH, suhu, dan kadar air bahan pangan. Kelompok mikroba pembusuk akan mengubah makanan segar menjadi busuk bahkan dapat menghasilkan toksin (racun), yang kadang-kadang tidak menunjukkan tandatanda perubahan atau kerusakan fisik (bau busuk kurang nyata) sehingga bahan pangan tetap dikonsumsi. Pada Gambar 3 disajikan infeksi mikroba patogen ke dalam pangan dan dampaknya terhadap kesehatan manusia. Saluran pencernaan manusia merupakan sistem yang terbuka. Apabila mikroba patogen yang terdapat pada makanan ikut termakan maka pada kondisi yang sesuai mikroba patogen akan berkembang biak di dalam saluran pencernaan sehingga menyebabkan gejala penyakit atau sering disebut infeksi. Racun atau toksin yang dihasilkan oleh mikroba patogen yang ikut termakan menyebabkan gejala penyakit yang disebut keracunan atau intoksikasi. Gejala akut yang disebabkan oleh mikroba patogen adalah diare, muntah, dan
Mikroba t
t
t
t
t
t
Pertumbuhan t
Lingkungan Suhu
t
t
Pembusuk
Patogen
t
Pembusukan
t
t
Toksin
Biomassa patogen
Bahan pangan (nutrisi, pH, Aw) Bakteri patogen
Toksin t
Tanda-tanda kerusakan tidak muncul atau diabaikan
Makanan rusak tidak dikonsumsi t
t
Intoksikasi
Infeksi
Makanan tetap dikonsumsi
Tubuh manusia Saluran pencernaan
disebabkan oleh cemaran Listeria monocytogenes yang menyebabkan penyakit ringan seperti flu hingga penyakit berat seperti meningitis dan meningoensefalitis. E. coli penghasil verotoksin umumnya mengakibatkan diare berdarah dan dapat menyebabkan uremia hemolitik, yang ditandai dengan trombositopenia, anemia hemolitik, dan gagal ginjal akut terutama pada anak-anak. Salmonelosis merupakan penyakit yang diakibatkan oleh cemaran Salmonella dan dapat menyebabkan rematik, meningitis, abses limpa, pankreatitis, septikemia, dan osteomielitis.
PENCEGAHAN CEMARAN MIKROBA PADA PRODUK PERTANIAN Produksi dan pemasaran produk pertanian melibatkan berbagai pihak yang saling berinteraksi (Gambar 4). Sumber bahan pangan adalah produsen (petani, peternak, nelayan) dan pengolah. Pengolah mengubah bahan dasar (produk pertanian) menjadi produk akhir yang siap dikonsumsi atau mengawetkan produk agar masa simpannya lebih lama. Dalam menghasilkan bahan pangan, produsen dan pengolah diharapkan dapat menerapkan cara-cara berproduksi yang baik (good manufacture practices) sehingga produk yang dihasilkan aman dan sehat dikonsumsi. Distributor berfungsi memindahkan bahan pangan dari satu tempat ke tempat lain, dan kadang-kadang menyimpan bahan pangan untuk digunakan lebih lanjut. Bahan pangan sampai ke konsumen melalui pengecer (pedagang) atau food service (rumah makan, pengusaha jasa boga, restoran, warung makan dan sebagainya). Dalam jaringan bahan pangan tersebut, setiap individu mempunyai peran yang penting dalam menjaga keamanan pangan. Dengan kata lain, keamanan pangan merupakan tanggung jawab
Produsen t
t
Gejala penyakit Diare, muntah-muntah, sakit kepala, gejala penyakit lainnya
72
t
Distributor s
t
Konsumen
s
s
t
Pengolah
Gambar 3. Mikrobia patogen pada makanan dan dampaknya pada kesehatan manusia (Rahayu 2006b).
Pengecer
Food service
Gambar 4. Jaringan bahan pangan manusia. Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
an-tahapan tersebut telah dilaksanakan oleh industri pengolahan pangan berskala besar. Namun, untuk industri skala rumah tangga, tahapan-tahapan tersebut belum dilaksanakan. Apabila sistem atau peraturan tentang sanitasi dan higiene bahan pangan telah diterapkan dengan baik maka peraturan tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam melakukan praktek budi daya maupun pengolahan pangan untuk meningkatkan keamanan pangan. Pendekatan lainnya adalah dengan melakukan pengendalian atau pencegahan terhadap munculnya potensi bahaya, baik biologis, kimia maupun fisik selama proses produksi hingga penyiapan pangan. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa pencegahan terhadap munculnya risiko bahaya lebih baik daripada mengatasi bahaya yang telah muncul. Pada tahun 1993, Codex Alimentarius Commission (CAC) dari Badan Dunia FAO/WHO telah menetapkan sistem Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) (Wuryaningsih 2005). HACCP merupakan suatu evaluasi sistematis terhadap prosedur pengolahan atau penyiapan pangan untuk mengidentifikasi potensi bahaya yang berkaitan dengan bahan atau prosedur pengolahan bahan pangan. Penerapan HACCP juga bertujuan untuk mengetahui cara mengendalikan risiko bahaya yang mungkin muncul. Melalui sistem tersebut, selanjutnya ditetapkan langkah-langkah pengolahan yang tepat untuk mencegah dan mengendalikan risiko bahaya.
bersama antara produsen, pengolah, distributor, pemerintah, dan konsumen. Pemerintah dalam hal ini berfungsi sebagai penentu kebijakan yang berkaitan dengan keamanan pangan serta mengawasi pelanggaran atau penyalahgunaan peraturan yang sudah ditetapkan. Berkaitan dengan keamanan pangan, Pemerintah telah mengeluarkan UndangUndang No. 7 tahun 1996 yang menyatakan makanan yang beredar haruslah tidak membahayakan konsumen. Undangundang tersebut diikuti dengan Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu, dan gizi pangan. Pangan yang aman, bermutu, dan bergizi sangat penting peranannya bagi pertumbuhan, kesehatan, dan peningkatan kecerdasan masyarakat. Keamanan bahan pangan harus diperhatikan mulai dari tahap budi daya hingga pangan tersebut siap disantap. Penerapan sistem keamanan pangan pada setiap tahap produksi harus dilakukan dengan baik agar pangan yang dikonsumsi benar-benar aman (Gambar 5). Pada tahap budi daya perlu diterapkan Good Farming Practices (GFP), selanjutnya pada tahap pascapanen dilakukan Good Handling Practices (GHP). Begitu pula pada tahap pengolahan, penerapan Good Manufacture Practices (GMP) sangat diperlukan, dan pada tahap distribusi harus diterapkan Good Distribution Practices (GDP) agar produk pertanian maupun makanan sampai ke konsumen dalam keadaan aman. Di Indonesia, tahap-
Budi daya pertanian
Konsumen
s
s
t t
Sarana produksi
Pasar
s
s
Penanganan (pascapanen)
t
Produksi pertanian
t
Distribusi
s
s
GFP
Pengolahan hasil
GHP
Prapanen
GMP
GDP
Pascapanen s
t s
t
Gambar 5. Skema penerapan sistem keamanan pangan pada tiap tahapan produksi. Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
Pada prinsipnya, HACCP merupakan sistem manajemen untuk menghindarkan atau mencegah makanan dari bahaya biologis (termasuk mikrobiologis), kimia, dan fisik. Secara sederhana, sistem ini dapat diterapkan dengan langkah awal mengidentifikasi potensi bahaya dan dilanjutkan dengan tahapan pengendalian agar risiko yang muncul dari bahaya tersebut dapat dihilangkan atau ditekan. Pendekatan HACCP terdiri atas tujuh prinsip, yaitu: 1. Analisis potensi bahaya. Tindakan ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi potensi bahaya yang diperkirakan dapat terjadi pada setiap langkah produksi makanan, mulai dari penanaman (budi daya), pemanenan atau penyembelihan, pengolahan, distribusi dan penyiapan makanan sampai konsumen akhir. Pada setiap langkah tersebut, kemungkinan munculnya bahaya dan tingkat keparahan efek buruknya terhadap kesehatan dikaji dan diukur sehingga tindakan pengendalian dapat diidentifikasi. 2. Penentuan titik kendali kritis. Setiap potensi bahaya yang teridentifikasi pada analisis pertama harus diikuti dengan satu atau lebih Critical Control Point (CCP) untuk mengendalikan bahaya tersebut. Pada langkah ini, tindakan pengendalian diterapkan dan merupakan tindakan yang penting sehingga potensi bahaya dapat dicegah, dihilangkan atau dikurangi ke tingkat yang masih dapat diterima. 3. Penetapan batas kritis. Batas kritis adalah kriteria yang memisahkan antara penerimaan dan penolakan. Batas kritis mencerminkan batasan yang digunakan untuk menjamin proses yang berlangsung menghasilkan produk yang aman. Dalam proses pengolahan, suhu tertentu, kombinasi suhu-waktu, nilai pH atau kadar garam dapat mengendalikan potensi bahaya jika hal tersebut dipenuhi dengan baik. Sebagai contoh, pada pH < 4,50 pertumbuhan C. botulinum dapat dicegah karena nilai pH tersebut merupakan batas kritis yang apabila dipenuhi dapat mengendalikan bahaya yang ditimbulkan oleh patogen tersebut. 4. Penetapan sistem pemantauan. Bagian penting dari sistem HACCP adalah pemantauan terhadap parameter kendali (misalnya suhu-waktu, pH) pada titik kendali kritis (CCP) untuk memastikan bahwa pengendalian 73
terhadap bahaya tengah diterapkan dan batas kritis diamati. Dalam pengolahan makanan komersial, tindakan tersebut memerlukan jadwal pengujian atau observasi. Pada tahapan ini dilakukan serangkaian pengamatan atau pengukuran untuk memeriksa apakah CCP di bawah kendali dan untuk memperoleh catatan yang akurat untuk digunakan dalam verifikasi. 5. Penetapan tindakan korektif. Jika hasil pemantauan menunjukkan bahwa CCP melampaui batas kritis maka segera diketahui tindakan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki situasi tersebut dan untuk menangani makanan yang diproduksi bila titik kendali kritis tidak berada dalam kendali. Sebagai contoh, jika suhu untuk pemasakan tidak mencapai batas kritis maka makanan mungkin perlu dipanaskan kembali. Meskipun bukan persyaratan yang mutlak, tindakan perbaikan harus ditetapkan sebelum rencana HACCP. 6. Penetapan prosedur verifikasi. Verifikasi meliputi uji dan prosedur
tambahan untuk memastikan bahwa sistem HACCP berjalan dengan efektif. Langkah ini juga dapat menunjukkan jika rencana HACCP memerlukan modifikasi. 7. Penetapan dokumentasi dan penyimpanan dokumen. Langkah ini harus mencakup semua dokumentasi dan catatan yang sesuai untuk rencana HACCP, seperti rincian analisis bahaya, penentuan CCP dan batas kritis, pemantauan dan verifikasi. Dokumentasi dan penyimpanan catatan harus sesuai dengan jenis rencana tersebut.
KESIMPULAN Makanan dari produk pertanian merupakan sumber gizi bagi tubuh. Setiap individu berhak mendapatkan makanan yang bergizi dan aman agar dapat hidup sehat. Kesalahan dalam memilih makanan justru dapat menuai penyakit bahkan berujung pada kematian. Kasus keracunan makanan dapat disebabkan oleh faktor manusia karena
kurangnya pengetahuan tentang penanganan maupun pengolahan makanan yang baik, serta praktek sanitasi dan higiene yang belum memadai. Sering kali cemaran berasal dari pengolah makanan maupun dari peralatan yang digunakan dalam pengolahan dan lingkungan tempat pengolahan. Cemaran dapat terjadi karena kontak langsung antara anggota tubuh orang yang sedang sakit dengan makanan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Cemaran mikroba patogen seperti S. aureus, E. coli, C. botulinum, C. perfringens, dan L. monocytogenes yang berbahaya bagi kesehatan manusia harus dikurangi mulai dari tahap budi daya, panen, pascapanen, pengolahan hingga distribusi. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk menerapkan Good Agriculture Practices, Good Farming Practices, Good Handling Practices, dan Hazard Analysis and Critical Control Point sehingga menghasilkan pangan yang aman, bermutu, dan bergizi.
DAFTAR PUSTAKA Adams, M. and Y. Motarjemi. 1999. Basic Food Safety for Health Workers. World Health Organization of the United Nations, Rome. Agus, A., Nuryono, S. Wedhastri, Maryudani, Sardjono, dan C.K. Noviandi. 2006. Aflatoksin dalam pakan. Makalah disampaikan dalam Pertemuan Forum Aflatoksin Indonesia, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 24 Februari 2006. Atmadjaja, J.S., S. Sudarmadji, E. Sugiharto, and E.S. Rahayu. 1995. Isolation and identification of histamine-farming bacteria from Indonesian little-tuna. Indonesian Food and Nutrition Progress 2(1): 36−40. Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2004. Status regulasi cemaran dalam produk pangan. Buletin Keamanan Pangan, Nomor 6. hlm.4−5. Baumler, A.J., B.M. Hargis, and R.M. Tsolis. 2000. Tracing origin of Salmonella outbreaks. Science 287(5450): 50−52. Bergdoll, M.S. 1990. Staphylococcus food poisoning. p. 145−168. In Foodborne Disease. Academic Press, San Diego. Dharmaputra, O.S. 2006. Aflatoksin pada bahan pangan dan produk olahannya di Indonesia. Makalah disampaikan dalam Pertemuan Forum Aflatoksin Indonesia, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 24 Februari 2006.
74
Harmayani, E., E. Santoso, T. Utami, dan S. Raharjo. 1996. Identifikasi bahaya kontaminasi S. aureus dan titik kendali kritis pada pengolahan produk daging ayam dalam usaha jasa boga. Agrotech, Majalah Ilmu dan Teknologi Pertanian 16(3): 7−15. Kasryno, F., W. Rosegrant, C. Ringler, S. Adiwibowo, R. Beresford, M. Bosworth, G.M. Collado, I. Gonarsya, A. Gulati, B. Isdijo, Natasukarya, D. Prabowo, E.G. Sai’id, S.M.P. Tjonronegoro, dan P. Tjitropranoto. 2004. Strategi pembangunan pertanian dan pedesaan Indonesia yang memihak masyarakat miskin. Laporan ADBTA No. 3843-INO. Agricuture and Rural Development Strategy (ARDS) Study. AARD-CASER, ADB, SEAMEO-SEARCA in association with CRESCENT, Bogor. Keswandani, R. 1996. Identifikasi titik pengendalian kritis pengolahan produk daging dan ikan dari industri jasa boga golongan A2 terhadap cemaran bakteri Salmonella sp. Skripsi Jurusan Pengolahan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 96 hlm. Lampert, C.M. 1980. Modern Dairy Product. New York Publishing, Co. Inc, p. 234−255. Misgiyarta and S.J. Munarso. 2005. Microbe contaminant at fresh vegetables. Paper presented in the 9th ASEAN Food Conference, Jakarta 8−10 August 2005.
Mukartini, S., C. Jehne, B. Shay, and C.M.L. Harper. 1995. Microbiological status of beef carcass meat in Indonesia. J. Food Safety 15: 291−303. Nugroho, W.S. 2005. Tingkat cemaran Salmonella sp. pada telur ayam ras di tingkat peternakan Kabupaten Sleman Yogyakarta. Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Bogor, 14 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 160−165. Poloengan, M., S.M. Noor, I. Komala, dan Andriani. 2005. Patogenosis Campylobacter terhadap hewan dan manusia. Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Bogor, 14 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 82−90. Raharjo, S. 1999. Teknik dekontaminasi cemaran bakteri pada karkas dan daging. Agrotech, Majalah Ilmu dan Teknologi Pertanian 19(2): 8. Rahayu, W.P. 2005. Jejaring Intelijen Pangan (JIP) dalam Sistem Keamanan Pangan Terpadu (SKPT). Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Bogor, 14 September. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 3−5. Rahayu, E.S. 2006a. Hasil-hasil penelitian aflatoksin. Makalah disampaikan dalam Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
Pertemuan Forum Aflatoksin Indonesia, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 24 Februari 2006. Rahayu, E.S. 2006b. Amankah produk pangan kita: Bebaskan dari cemaran berbahaya. Makalah disampaikan dalam Apresiasi Peningkatan Mutu Hasil Olahan Pertanian. Dinas Pertanian Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kelompok Pemerhati Keamanan Mikrobiologi Produk Pangan, Yogyakarta, 1 April 2006. Rahmianna, A.A. 2006. Aflatoksin pada kacang tanah dan usaha untuk mengendalikannya. Makalah disampaikan dalam Pertemuan Forum Aflatoksin Indonesia, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 24 Februari 2006. Riemann, H. and F.L. Bryan. 1979. Foodborne Infection and Intoxication. 2 nd edition, Academic Press, Inc., San Diego. Silalahi, B.E. 2006. Pengendalian cemaran aflatoksin di Garuda Food. Makalah disampaikan
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007
dalam Pertemuan Forum Aflatoksin Indonesia, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 24 Februari 2006. Sulaeman, A. and K. Nisa. 2005. Microbiological safety of organic vegetables and the effect of postharvest handling. Paper presented in the 9th ASEAN Food Conference, Jakarta 8− 10 August 2005. Supar dan T. Ariyanti. 2005. Keamanan pangan produk peternakan ditinjau dari aspek prapanen: permasalahan dan solusi. Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Bogor, 14 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 27−29. Thahir, R., S.J. Munarso, dan S. Usmiati. 2005. Review hasil-hasil penelitian keamanan pangan produk peternakan. Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Bogor, 14 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 18−26.
Volk, W.A. dan M.F. Wheeler. 1990. Mikrobiologi Dasar. S. Adisoemarto (Ed.). Edisi ke-5. Penerbit Erlangga, Jakarta. Winarno, F.G. 1997. Keamanan Pangan. Institut Pertanian Bogor. Wuryaningsih, E. 2005. Kebijakan pemerintah dalam pengamanan pangan asal hewan. Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Bogor, 14 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 9− 13. Yogaswara, Y. dan L. Setia. 2005. Kajian hasil monitoring dan surveilans cemaran mikroba dan residu obat hewan pada produk pangan asal hewan di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan Pangan Produk Peternakan, Bogor, 14 September 2005. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. hlm. 144−148.
75