KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA PADA BAKSO DAGING SAPI DI KABUPATEN TANGERANG
KUSTRI WINDAYANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Kandungan Boraks dan Cemaran Mikroba pada Bakso Daging Sapi di Kabupaten Tangerang adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2010
Kustri Windayani NRP. B551034134
ABSTRACT
KUSTRI WINDAYANI. The Borax Content and Microbe Contamination on Beef Meatballs in The Regency of Tangerang. Under direction of IDWAN SUDIRMAN and IETJE WIENTARSIH.
Meatballs is a good media for the growth of microorganism , so it is easy to trough a damage if it is kept on a room temperature. To increase the storage time and improve the meatballs physical characteristic, the producer usually adds some food additional material into the the meatballs dough. The examination on meatballs samples which is from Tangerang Regency is to find out the borax and microbial contamination and also the implementation of sanitation and processing hygiene and the handling of meatballs in level of traders. As many as 196 samples of the meatballs examined base on microbial and borax contamination quantitatively and done by filling in questionaries about sanitation and hygiene implementation. Total Plate Count (TPC): >1 x 105 cfu/g (133 samples or 67,5%), Coliform : >10 MPN/g (80 samples or 40,8%), Staphylococcus aureus : and the amount of positive sample >1 x 102 cfu/g (49 samples or 25,0%). contains of borax are 25 out of 100 samples (25,0%); the lowest borax content was 5,56 mg/kg and the highest was 4660,40 mg/kg and with an average of 806,86 mg/kg. Result test with Chi Square that was not significant relation between borax content toward total microbial contamination. The implementation of sanitation-hygiene such as washing raw material, storage on low temperature, separated storeage with other commodity and storage in a package are significant to microbial contamination on level of confidence 95%. Keywords : borax, meatballs, microbial contamination, SNI 01-3818-1995
RINGKASAN KUSTRI WINDAYANI. Kandungan Boraks dan Cemaran Mikroba pada Bakso Daging Sapi di Kabupaten Tangerang. Dibimbing oleh IDWAN SUDIRMAN DAN IETJE WIENTARSIH.
Bakso daging sapi (bakso sapi) merupakan makanan jajanan yang sangat populer dan digemari banyak orang di Indonesia. Bakso biasanya disajikan sebagai menu makanan bersama dengan mie dan bahan pelengkap lainnya yaitu sayuran dan tahu., sehingga pada semangkok mie bakso sudah terkandung sumber gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Disamping itu mie bakso juga dapat mengandung bahan yang berbahaya bagi kesehatan seperti pengawet makanan yang dilarang seperti formalin dan boraks. Sebagai produk olahan yang berbasis daging, bakso sapi merupakan media yang baik bagi kuman untuk tumbuh dan berkembang biak, sehingga akan memiliki masa simpan yang pendek bila disimpan pada temperatur kamar. Untuk mengatasi hal tersebut para pembuat bakso biasanya membubuhkan bahan tambahan makanan sebagai pengawet ke dalam adonan bakso. Bahan tambahan tersebut selain dapat meningkatkan masa simpan juga dapat memperbaiki sifat fisik dari produk yang dihasilkan. . Penelitian ini bertujuan untuk menguji syarat mutu bakso sapi yang beredar di Kabupaten Tangerang dari aspek kandungan boraks dan cemaran mikroba apakah telah sesuai dengan SNI 01-3818-1995, menguji adanya asosiasi antara keberadaan boraks dalam bakso sapi terhadap jumlah cemaran mikroba dan menguji adanya asosiasi antara praktek penerapan sanitasi dan hygiene terhadap jumlah cemaran mikroba Populasi target sampling adalah pedagang bakso rumahan, pedagang bakso buatan pabrik di pasar tradisional dan pasar swalayan di kecamatan terpilih. Pemilihan lokasi kecamatan dilakukan secara proporsional. Kabupaten Tangerang secara geografis dan demografis dibagi dalam 3 wilayah yaitu wilayah Utara (11 kecamatan), wilayah Tengah (11 kecamatan) dan wilayah Selatan (4 kecamatan). Dari setiap wilayah dipilih secara acak masing-masing 3 kecamatan untuk wilayah Utara dan Tengah dan 1 kecamatan untuk wilayah Selatan. Selanjutnya dari ke-3 wilayah tersebut dipilih secara acak masingmasing 1 pasar tradisional dan 1 pasar swalayan sebagai lokasi pengambilan sampel. Pedagang bakso rumahan dipilih secara acak yang ada di setiap kecamatan. Banyaknya bakso yang diambil sebagai sampel adalah 197 sampel (ditentukan dengan menggunakan rumus n = 1,962 pq/L2), terdiri dari 166 sampel bakso buatan rumahan (C), 19 sampel bakso buatan pabrik yang dijual di pasar tradisional (B 1 ) dan 12 sampel bakso buatan pabrik di swalayan (B 2 ). Pemeriksaan cemaran mikroba mengacu kepada SNI 19-2897-1992 tentang Cara Uji Cemaran Mikroba. Cemaran mikroba yang diperiksa adalah Total Plate Count (TPC), bakteri bentuk coli (Coliform), Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Salmonella ssp. sedangkan pengujian boraks secara kuantitatif menggunakan metode spektrofotometri. Kandungan boraks 100 sampel bakso yang diperiksa secara kuantitatif menunjukkan 25 sampel positif mengandung boraks (25,0%) dan 75 sampel
negatif mengandung boraks (75,0%). Sampel positif terdiri dari 3 sampel (12,0%) bakso buatan pabrik dan 22 sampel (88,0%) bakso buatan rumahan. Kandungan boraks tertinggi adalah 4660,40 mg/kg dan terendah 5,56 mg/kg terdapat pada bakso buatan rumahan. Rata-rata kandungan boraks adalah 806,86 mg/kg. Total cemaran mikroba (TPC) di atas nilai SNI 01-3818-1995 yaitu 133 sampel (67,5%) terdiri dari 114 sampel C, 11 sampel B 1 dan 8 sampel (B 2 ). Bakteri Coliform di atas nilai SNI yaitu 80 sampel (40,8%) terdiri dari 75 sampel C, 2 sampel B 1 dan 3 sampel B 2 . Bakteri Staphylococcus aureus di atas nilai SNI yaitu 49 sampel (25,0%) terdiri dari 40 sampel C, 6 sampel B 1 dan 3 sampel B 2 . Persentase bakso berukuran kecil dan sedang dengan nilai TPC di atas nilai SNI lebih besar daripada bakso berukuran besar. Pada semua sampel bakteri E. coli di bawah nilai SNI dan negatif Salmonella ssp. Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa boraks pada sampel bakso tidak berpengaruh nyata terhadap TPC, jumlah Coliform dan Staphylococcus aureus (P > 0,05 ; α = 95%). Pencucian bahan baku, penyimpanan pada suhu dingin dan penyimpanan terpisah dengan bahan lain berpengaruh nyata terhadap TPC dan bakteri Coliform (P > 0,05 ; α = 95%).
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindumgi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
KANDUNGAN BORAKS DAN CEMARAN MIKROBA PADA BAKSO DAGING SAPI DI KABUPATEN TANGERANG
KUSTRI WINDAYANI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Surachmi Setyaningsih, M.Sc.
Judul Tesis Nama NRP Program Studi
: Kandungan Boraks dan Cemaran Mikroba pada Bakso Daging Sapi di Kabupaten Tangerang : Kustri Windayani : B551034134 : Kesehatan Masyarakat Veteriner
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. drh. Idwan Sudirman Ketua
Dr. Dra. Ietje Wientarsih, Apt. MSc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 29 Januari 2009
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan . Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilakukan sejak bulan April sampai Desember 2006 ini adalah syarat mutu bakso sapi , dengan judul tesis Kandungan Boraks dan Cemaran Mikroba pada Bakso Daging Sapi di kabupaten Tangerang. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh. H. Idwan Sudirman dan Ibu Dr. Dra. Hj. Ietje Wientarsih, MSc. Apt. atas bimbingannya dalam penyelesaian tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi., Ibu Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS., Ibu Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto, Ibu Ir. Etih Sudarnika, MSi., rekanrekan S2 KMV Kelas Khusus Angkatan I, para Teknisi di Laboratorium Kesmavet DKI Jakarta, rekan-rekan di Bidang Keswan dan Kesmavet Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami dan anak-anak tercinta Raka, Iman dan Rayi serta seluruh keluarga atas segala dukungan, kasih sayang dan do’anya.
Bogor, Agustus 2010
Kustri Windayani
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 19 Nopember 1964 sebagai anak ke empat dari delapan bersaudara dari bapak H. Ehman Soehardja dan ibu Hj. Siti Mariyah. Selepas SMA pada tahun 1983 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SIPENMARU dan memilih jurusan Fakultas Kedokteran Hewan Pada tahun 1987 lulus sebagai Sarjana Kedokteran Hewan dan tahun 1988 berhasil meraih gelar profesi Dokter Hewan di tempat yang sama. Sejak tahun 1992 penulis bekerja di Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Tangerang. Pada tahun 2004 penulis mendapat ijin belajar untuk melanjutkan ke Program S2 Kelas Khusus di Sekolah Pascasarjana Intitut Pertanian Bogor pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ..............................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………….............
xi
PENDAHULUAN Latar Belakang ……………………………………………………........... Perumusan Masalah..................................................................................... Hipotesis ..................................................................................................... Tujuan Penelitian ........................................................................................
1 3 3 4
TINJAUAN PUSTAKA Bakso Daging ............................................................................................. 5 Bahan Tambahan Makanan ........................................................................ 9 Boraks (Na 2 B 4 O 7 ,10H 2 O) …………………............................................... 11 Cemaran Mikroba ...................................................................................... 17 Higiene Sanitasi ........................................................................................ 22 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................... Metoda Sampling ........................................................................................ Pemeriksaan Boraks .................................................................................... Pemeriksaan Cemaran Mikroba .................................................................. Pengisian Kuisioner .................................................................................... Pengolahan Data ........................................................................................
25 25 26 27 28 28
HASIL DAN PEMBAHASAN Pendataan Pedagang dan Pengumpulan Sampel Bakso ............................. Pemeriksaan Boraks .................................................................................... Asosiasi Boraks dengan Cemaran Mikroba ............................................... Cemaran Mikroba ........................................................................................ Asosiasi Faktor Sanitasi dengan Cemaran Mikroba .................................... Penerapan Good Manufacturing Practice (GMP) .......................................
29 31 33 35 38 41
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ...................................................................................................... 45 Saran ............................................................................................................ 45 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 46 LAMPIRAN ........................................................................................................ 53
xi
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Kriteria mutu sensoris bakso daging ............................................................. 6 2. Peraturan perijinan penunjukan Food Antimicrobial di Uni Eropa (E Number)dan Codex Alimentarius (INS Number) ...................................... 10 3. Sifat fisik dan kimia dan beberapa senyawanya ............................................ 12 4. Toksisitas akut boraks dan asam borat............................................................ 15 5. LAOELs dan NAOELs boraon (asam borat) pada perkembangan dan reproduksi ........................................................................................................16 6. Sebaran jumlah pedagang bakso dan banyaknya sampel bakso per kecamatan terpilih .................................................................................29 7. Rekapitulasi sifat fisik dan organoleptik sampel bakso ................................ 30 8. Kandungan boraks*, TPC, Coliform, E. coli dan S. aureus ..........................32 9. Uji Chi Square asosiasi boraks terhadap total mikroba (TPC) .......................34 10. Uji Chi Square asosiasi boraks terhadap Coliform .....................................34 11. Uji Chi Square asosiasi boraks dengan S. Aureus.........................................34 12. Cemaran Mikroba pada bakso buatan rumahan , bakso buatan pabrik di pasar tradisional dan bakso buatan pabrik di pasar swalayan.....................36 13. Nilai Total Plate Count (TPC) sampel bakso berdasarkan ukurannya …….. 38 14. Uji Chi Square hubungan penanganan sanitasi dan higiene terhadap total cemaran mikroba (TPC) pada pembuatan bakso rumahan. ..................39 15. Uji Chi Square hubungan penanganan sanitasi dan higiene terhadap cemaran Coliform pada pembuatan bakso rumahan .....................................40
xii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Syarat Mutu Bakso Daging (SIN-01-3818-1995) ............................................54 2. Homogenisasi Contoh Bakso…………............................................................ 55 3. Cara Pemeriksaan Total Plate Count (TPC) .....................................................56 4. Cara Pemeriksaan Bakteri Coliform ………...……………………………… 57 5. Cara Pemeriksaan Escherichia coli....................................................................58 6. Cara Uji Salmonella.......................................................................................... 60 7. Cara Uji Staphylococcus aureus ..................................................................... 62 8. Kuisioner untuk Pedagang Bakso di Pasar Tradisional dan Swalayan ........... 63 9. Kuisioner untuk Pedagang Mie Bakso yang Membuat Bakso Sendiri........... 64 10. Rekapitulasi hasil pemeriksaan sampel bakso .............................................. 67
xiii
xiv
PENDAHULUAN
Latar Belakang Bakso daging sapi (selanjutnya disebut bakso) merupakan makanan jajanan yang sangat populer di Indonesia. Penggemar makanan ini merata mulai dari anak-anak sampai dewasa, laki-laki maupun wanita, dari desa sampai ke kota, dari kalangan bawah, menengah sampai
kalangan atas.
Maka tidak
mengherankan jika pedagang bakso dapat dijumpai di mana-mana, mulai dari tukang bakso keliling di kampung-kampung sampai ke restoran besar dan mewah di kota-kota. Bakso biasanya disajikan sebagai menu makanan bersama dengan mie dan bahan pelengkap lainnya seperti sayuran, tahu serta kuah kaldu yang diberi bumbu, sehingga untuk semangkok mie bakso sudah terdapat kandungan sumber gizi yang dibutuhkan oleh tubuh yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Tetapi disamping itu mie bakso juga dapat berbahaya bagi kesehatan karena mie bakso dapat mengandung bahan seperti pengawet makanan yang dilarang, serta penyedap makanan dalam jumlah berlebihan. Bakso daging adalah produk makanan berbentuk bulat atau lainnya yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan diizinkan (SNI
01-3818-1995).
Bakso
tambahan makanan yang
yang dijual di pasaran Kabupaten
Tangerang dapat dibedakan menjadi bakso buatan pabrik dan bakso buatan rumahan.
Bakso buatan pabrik terdiri dari bakso kemasan bermerek, bakso
kemasan tidak bermerek dan bakso curah, sedangkan bakso buatan rumahan adalah bakso yang diproduksi oleh usaha rumah tangga untuk keperluan sendiri. Sebagai produk olahan yang berbasis daging, bakso merupakan media yang baik bagi kuman untuk tumbuh dan berkembang biak, sehingga akan memiliki masa simpan yang pendek bila disimpan pada temperatur kamar.
Untuk
mengatasi hal tersebut para pembuat bakso biasanya menambahkan bahan tambahan makanan sebagai pengawet ke dalam adonan bakso. Bahan tambahan tersebut selain dapat meningkatkan masa simpan juga dapat memperbaiki sifat fisik dari produk yang dihasilkan. Bahan tambahan yang sering dicampurkan pada bakso adalah boraks.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI
2
No.722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanaan (BSN 1995a) pasal 3 dan 4 dikatakan bahwa salah satu
bahan tambahan yang dilarang
digunakan dalam makanan adalah asam borat dan senyawanya (termasuk boraks), dan makanan yang mengandung bahan tersebut dinyatakan sebagai makanan berbahaya. Boraks merupakan garam natrium dari boron (Na 2 B 4 O 7 ,10H 2 O) yang banyak digunakan pada industri non pangan , seperti pada industri gelas, enamel dan keramik. Sering mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks akan menyebabkan gangguan otak, hati, lemak, dan ginjal. Dalam jumlah banyak, boraks
menyebabkan
demam,
anuria,
merangsang
sistem
saraf
pusat,
menimbulkan depresi, apatis, sianosis, tekanan darah turun, kerusakan ginjal, pingsan, koma, bahkan kematian (EGVM 2003, Ellenhorn 1997). Bakso merupakan bahan pangan sumber protein hewani alternatif yang relatif murah, bila dibandingkan dengan daging sapinya sendiri sehingga harganya dapat terjangkau oleh masyarakat umum. Kualitas bakso ditentukan oleh daging yang digunakan sebagai bahan baku dan kandungan daging tersebut dibandingkan dengan patinya.
Pada umumnya bakso yang bermutu tinggi,
kadar patinya
rendah yaitu sekitar 15% dari total adonan. Semakin tinggi kandungan patinya semakin rendah mutu bakso yang dihasilkan, sehingga harganya akan semakin murah (Winarno 1997). Aspek keamanan pangan dari bakso harus dijaga agar masyarakat terlindungi dari mengkonsumsi makanan yang mengandung bahan-bahan yang dapat membahayakan kesehatan.
Menurut SNI 01-3818-1995 tentang Bakso
Daging, bahwa syarat mutu bakso daging antara lain tidak boleh mengandung boraks dan Angka Lempeng Total (Total Plate Count, TPC) maksimum 1 x 105 CFU/gram (BSN 1995). Kedua hal tersebut nampaknya belum dapat dipenuhi produk bakso yang dijual di pasaran saat ini. Hasil penelitian Novita (2003) pada 6 produsen (pabrik) bakso di Kota Tangerang menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam hal penggunaan boraks antara pabrik bakso berskala produksi rendah dengan pabrik bakso berskala produksi tinggi. Semua pabrik menggunakan boraks dalam produknya dengan kandungan terendah 0,197 ppm dan tertinggi 0,730 ppm (rata-rata 0,369 ppm).
Jenis bahan tambahan
makanan yang dipergunakan oleh ke-6 produsen adalah Monosodium Glutamat,
3
pemutih dan tawas. Pada pemeriksaan cemaran mikroba, TPC terendah adalah 7 x 104 CFU/gram dan tertunggi 7 x 105 CFU/gram, dan tidak ada pencemaran oleh bakteri E. coli. Isu penggunaan bahan pengawet berbahaya boraks di dalam bakso serta kondisi tempat berjualan bakso di pasar tradisional atau di pedagang mie bakso yang belum memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi, seperti tempat penjualan, tempat penyimpanan, suhu penyimpanan dan kebersihan pegawai serta kebersihan peralatan yang digunakan yang dapat menyebabkan bakso yang dijual rawan terhadap kontaminasi oleh mikroorganisme. Hal tersebut menjadikan keamanan produk bakso menjadi sangat rendah.
Dampak dari kondisi ini adalah
terancamnya kesehatan masyarakat yang mengkonsumsi produk tersebut. Di sisi lain akan timbul ketidakpercayaan masyarakat terhadap produk pangan asal ternak sehingga akan merugikan para pelaku usaha di sektor ini. Dari kondisi tersebut maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian tentang keberadaan boraks dan cemaran mikroba pada bakso buatan rumahan dan bakso buatan pabrik yang beredar di Kabupaten Tangerang.
Perumusan Masalah 1.
Masih adanya pemakaian bahan pengawet yang dilarang pada bakso yang dijual di Kabupaten Tangerang.
2.
Masih kurangnya sanitasi dan higiene penanganan bakso pada pedagang bakso di pasar tradisional dan pedagang mie bakso di Kabupaten Tangerang.
3.
Masih terbatasnya sarana tempat berjualan bakso di pasar tradisional yang dapat menjamin mutu.
Hipotesis Hipotesis yang dikemukakan pada penelitian ini adalah : 1.
H0
: Bakso di Kabupaten Tangerang tidak mengandung boraks
H1
: Bakso di Kabupaten Tangerang mengandung boraks.
4
2.
H0
: Penerapan praktek higiene dan sanitasi berpengaruh nyata terhadap cemaran mikroba bakso.
H1
: Penerapan praktek higiene dan sanitasi tidak berpengaruh nyata terhadap cemaran mikroba bakso.
3.
H0
: Keberadaan boraks pada bakso berpengaruh terhadap jumlah cemaran mikroba.
H1
: Keberadaan boraks pada bakso tidak berpengaruh terhadap cemaran mikroba.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Menguji syarat mutu bakso yang beredar di Kabupaten Tangerang dari aspek kandungan boraks dan cemaran mikroba dibandingkan dengan SNI 01-3818-1995 tentang bakso daging.
2.
Menguji adanya asosiasi antara keberadaan boraks dalam bakso terhadap jumlah cemaran mikroba.
3.
Menguji adanya asosiasi antara praktek penerapan sanitasi dan higiene terhadap jumlah cemaran mikroba.
5
TINJAUAN PUSTAKA Bakso Daging. Menurut SNI-01-3819-1995 (BSN 1995b) bakso daging adalah produk makanan berbentuk bulat atau lainnya yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Daging yang dapat digunakan untuk membuat daging diantaranya daging sapi, daging babi, daging kelinci, daging ayam, daging ikan, udang dan cumi (Sunarlim 1992). Bakso yang populer dan digemari sebagai makanan jajanan di Indonesia adalah bakso yang dibuat dari daging sapi. Kandungan gizi daging sapi yang tinggi protein dan kaya asam amino esensial, asam lemak, vitamin dan mineral diharapkan menjadikan bakso sapi dapat menjadi sumber gizi bagi masyarakat khususnya anak-anak dan remaja. Mineral yang banyak terdapat dalam daging sapi antara lain kalsium, fosfor, besi, natrium, dan kalium, sedangkan vitaminnya antara lain vitamin A, C, D, tiamin, riboflavin, piridoksin, sianokobalamin, niasin dan asam pantotenat (Muchtadi dan Sugiyono 1989). Kandungan protein bakso menurut SNI minimal 9,0% b/b dan lemak maksimal 2,0% b/b. Nilai gizi bakso ditentukan oleh kandungan dagingnya dibandingkan dengan bahan pengisi (pati) nya. Semakin tinggi kadar dagingnya maka nilai gizinya semakin baik. Bakso yang baik, kandungan patinya tidak boleh lebih dari 15% dari berat daging. Kandungan pati akan mempengaruhi mutu dan harga bakso tersebut (Winarno 1997). Hasil penelitian Anindita (2003) pada pedagang bakso di Desa Babakan dan Kelurahan Cibadak Bogor didapat bahwa kandungan protein bakso sapi yang dibuat sendiri oleh pedagang 75,0% di bawah nilai SNI sedangkan kandungan lemaknya seluruhnya di atas SNI. Bakso biasanya dijual dalam bentuk butiran untuk diolah kembali menjadi aneka jenis masakan, atau dijual dengan campuran mie dan kuah ditambah sayuran, bumbu, saos tomat dan sambal yang siap disantap oleh
pembeli.
Karakteristik bakso yang disukai konsumen adalah rasanya gurih (sedang, agak asin, mempunyai rasa daging yang kuat), beraroma daging rebus, tekstur empuk dan agak kenyal, berwarna abu-abu pucat, berbentuk bulat dan berukuran 3-5 cm
6
(Andayani
1999).
Cara paling mudah untuk menilai mutu bakso menurut
Wibowo (1999) adalah dengan menilai mutu sensorisnya. Ada lima parameter utama yang perlu dinilai, yaitu penampakan, warna, bau, rasa dan tekstur, seperti yang tercantum pada Tabel 1 .
Tabel 1. Kriteria mutu sensoris bakso daging. Parameter
Kriteria
Penampakan
Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan cemerlang, tidak kusam, sedikitpun tidak tampak berjamur atau berlendir. Cokelat muda cerah atau sedikit kemerahan atau cokelat muda agak keputihan atau abu-abu. Warna tersebut merata tanpa warna lainnya yang mengganggu.
Warna
Bau
Bau khas daging segar rebus dominan tanpa bau tengik, masam (basi) atau busuk. Bau bumbu cukup tajam.
Rasa
Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu cukup menonjol tetapi tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa asing yang mengganggu.
Tekstur
Tekstur kompak, elastis, kenyal tetapi tidak liat atau membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah berair dan tidak rapuh.
Sumber : Wibowo (1999).
Menurut Sunarlim (1992) bahan baku untuk pembuatan bakso terdiri dari bahan utama yaitu daging dan bahan tambahan yaitu bahan pengisi (tepungtepungan), garam, es atau air es, bumbu-bumbu seperti lada dan bahan penyedap. Daging yang baik untuk dibuat bakso adalah daging yang sesegar mungkin, yaitu segera setelah pemotongan tanpa mengalami proses penyimpanan (Sunarlim
1992).
Komponen daging yang penting dalam pembuatan bakso
adalah protein. Daging segar yang belum mengalami rigor mortis lebih disukai oleh para pedagang daripada daging yang sudah dilayukan atau daging beku. Daging segar mengandung protein aktin dan miosin yang belum berikatan (bebas) sehingga dapat diekstrak dalam jumlah banyak. Sebagaimana diketahui bahwa protein aktin dan miosin merupakan protein yang mudah larut dalam larutan garam encer
(Muchtadi dan Sugiyono 1989).
Pada proses penggilingan
daging, protein-protein ini akan terekstrak dan akan membentuk emulsi dengan
7
bahan-bahan lainnya. Semakin tinggi kadar protein yang bebas semakin baik emulsi yang dihasilkan (Sunarlim 1992). Bahan pengisi yang digunakan biasanya tepung berkadar protein rendah seperti tapioka atau sagu aren. Fungsi bahan pengisi adalah : (1) memperbaiki daya ikat air, (2) meningkatkan stabilitas emulsi (3) mengurangi penyusutan selama pemasakan, (4) memperbaiki sifat fisik dan cita rasa (5) mengurangi biaya produksi. Bahan tambahan yang terbanyak digunakan adalah air dalam bentuk es yaitu banyaknya kira-kira 15% dari berat daging. Fungsi es adalah untuk mempertahankan suhu daging tetap rendah selama penggilingan dan pembuatan adonan (emulsifikasi) (Sunarlim 1992). Penambahan garam dapur (NaCl) bertujuan untuk : (1) memberi cita rasa produk, (2) pelarut protein aktin, (3) sebagai pengawet karena dapat mencegah pertumbuhan mikroba (4) meningkatkan daya ikat air (Wilson et al. 1981). Proses pembuatan bakso pada prinsipnya dibagi menjadi empat tahap yaitu (1) tahap
penghancuran daging dengan alat atau tangan, (2) tahap
penambahan bahan-bahan lainnya seperti tepung, es, bumbu-bumbu dan garam sehingga membentuk adonan, (3) tahap pencetakan bakso dan (4) tahap pemasakan dengan cara merebus dalam air mendidih (Pandisurya, 1983). Untuk menghasilkan bakso yang kering, kesat dan kenyal biasanya ditambahkan bahan tambahan makanan. Para pembuat bakso komersial biasa menambahkan boraks ke dalam adonan bakso dengan kadar 0,1 – 05 % dari berat adonan (Winarno 1997). Beberapa pembuat bakso menambahkan bahan pemutih titanium oksida (TiO) untuk menghindari bakso yang berwarna gelap. Pada tahap perebusan biasanya ditambahkan tawas pada air rebusan agar bakso bertekstur kesat dan tidak lengket (Anindita 2003). Bakso yang dibuat oleh pedagang bakso rumahan menggunakan daging sapi yang dibeli di pasar. Daging ini kemudian dibawa ke tempat penggilingan daging di pasar untuk dijadikan adonan bakso.
Tempat penggilingan daging
tersebut juga menyediakan bahan tambahan pembuatan bakso seperti bumbubumbu, pati, bahan tambahan makanan, es batu, serta mie dan sayuran. Setelah itu adonan bakso dibawa pulang ke rumah, kemudian dibentuk menjadi bulatan
8
bakso, direbus, didinginkan dan dijual atau disimpan (Anindita 2003).
Diagram
alur proses pembuatan bakso sapi secara garis besar dapat dilihat pada gambar 1.
1. DAGING SAPI
2. STANDARISASI
3. PENGHANCURAN KASAR
Proses 1-4 dilaksanakan di tempat penggilingan daging di pasar
4. PENCAMPURAN DAN PENGGILINGAN (Es, bahan pengisi, bumbu-bumbu, garam, BTM)
5. PEMBENTUKAN BULATAN BAKSO
6. PEREBUSAN 70OC, 10 MENIT (hingga naik ke permukaan)
Proses 5-8 dilakukan di rumah
7. PEREBUSAN 100OC, 10-15 MENIT (hingga bakso matang)
8. PENDINGINAN DAN PENYIMPANAN
Gambar 1. Diagram alir proses pembuatan bakso sapi pada pedagang bakso (Surjana 2001).
9
Bahan Tambahan Makanan Bahan tambahan makanan adalah bahan yang tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada saat penyiapan,
pengolahan,
pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk
memperbaiki penampakan, cita rasa , tekstur atau sifat penyimpanannya (BSN 1995a). Bahan tambahan makanan yang diizinkan yang dapat digunakan pada makanan terdiri dari golongan antioksidan, antikempal, pengatur keasaman, pemanis buatan, pemutih dan pematang tepung, pengemulsi, pemantap, pengental, pengawet, pengeras, pewarna, penyedap rasa dan aroma, penguat rasa dan sekuestran.
Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah
atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Pengawet kimia adalah semua bahan yang bila ditambahkan pada pangan dapat mencegah atau menghambat kerusakan kimia maupun biologis makanan. Pengemulsi, pemantap dan pengental adalah bahan makanan tambahan yang dapat membantu terbentuknya atau memantapkan sistem dispersi yang homogen pada makanan. Garam dapur, gula cuka, rempah atau minyak rempah tidak termasuk pengawet kimia (BSN 1995a). Bahan tambahan makanan (Food Additives) diklasifikasikan berdasarkan fungsinya, yaitu sebagai pengawet (preservatives), memperbaiki atau menjaga nilai nutrisi makanan, menambah atau memberi warna makanan, menambah atau memberi aroma makanan, memperbaiki tekstur makanan dan membantu pada prosesing makanan (Branen dan Haggerty 2002). Pengawet makanan digunakan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan biologis dan kimia pada makanan. Untuk mencegah kerusakan kimia terdiri dari antioksidan ( mencegah autooksidasi dari pigmen, lemak, vitamin dan aroma), senyawa antibrowning (mencegah pencoklatan secara enzimatis maupun non enzimatis) dan senyawa antistaling (mencegah perubahan tekstur), sedangkan untuk mencegah kerusakan secara biologis dikenal sebagai antimikroba. Dalam memilih bahan antimikroba yang akan digunakan sebagai pengawet makanan harus memperhatikan beberapa faktor, yaitu spektrum
10
aktivitas antimikroba,
sifat
fisika-kimia
dan komposisi
makanan yang
diawetkan, jenis dan proses pengawetan serta sistem penyimpanan yang digunakan (Davidson dan Branen 2005). Pemakaian pengawet pada bakso pada umumnya bertujuan untuk memperpanjang masa simpan dengan cara mengurangi atau menghambat perkembangan mikroorganisme. Bahan pengawet yang diperkenankan dipakai pada bakso adalah asam sorbat, kalium sorbat, asam propionat, kalsium dan natrium propionat, asam benzoat, natriumbenzoat, kalium sulfit, natrium dan kalium bisulfit, silikon dioksida, asam sitrat dan nitrium karbonat, dan bahan pengemulsi yang dianjurkan adalah Sodium Tripolyphosphate (Surjana 2001). Beberapa senyawa kimia yang diizinkan sebagai bahan antimikroba pada makanan di negara-negara Uni Eropa dan tercantum dalam Codex Alimentarius (Tabel 2).
Tabel 2. Peraturan perizinan penunjukkan Food Antimicrobial di Uni Eropa (E Numbers) dan dalam Codex Alimentarius (INS Numbers) Senyawa Nomor E / INS Senyawa Nomor E / INS Sorbic acid 200 Natamycin 235 K sorbate 202 Dimethyl dicarbonate 242 Ca sorbate 203 K nitrit 249 Benzoic acid 210 Na nitrite 250 Na benzoate 211 Na nitrate 251 K benzoate 212 Ka nitrat 252 Ca benzoate 213 Acetic acid 260 Ethyl paraben 214 K acetate 261 Na Ethyl paraben 215 Na acetate 262 Propyl paraben 216 Na diacetate 262 Na propyl paraben 217 Ca acetate 263 Methyl paraben 218 Lactic acid 270 Na methyl paraben 219 Propionic acid 280 Sulfur dioxide 220 Na propionate 281 Na sulfite 221 Ca propionate 282 Na hydrogen sulfite 222 K propionate 283 Na methbisulfite 223 Boric acid 284 K methbisulfite 224 Na tetraborate 285 Ca sulfite 226 Na lactate 325 Ca hydrogen sulfite 227 K lactate 326 K hydrogen sulfit 228 Ca lactate 327 Niasin 234 Sumber : Verbrugen 2002
11
Boraks (Na 2 B 4 O 7. 10H 2 O) Boraks (Natrium tertaborat, Na 2 B 4 O 7. 10H 2 O) merupakan kristal lunak yang mengandung unsur boron, tidak berwarna, tidak berbau dan mudah larut dalam air. Bila terekspos di udara kering dan hangat sering dilapisi serbuk warna putih seperti kapur. Natrium tetraborat mengandung sejumlah Na 2 B 4 O 7 yang setara dengan tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih dari 105,0 % Na 2 B 4 O 7 .10H 2 O. Larutan boraks bersifat basa terhadap fenolftalein, mudah larut dalan air mendidih dan dalam gliserin; tidak larut dalam etanol (Ditjen POM 1995). Boron adalah unsur mineral alam yang terdapat pada kulit bumi dalam jumlah relatif kecil, yaitu kurang dari 10 ppm (Woods, 1994). Konsentrasi pada air laut berkisar antara 0,5 – 9,6 ppm dengan rata-rata 4,6 ppm, sedangkan pada air tawar berkisar antara <0,01 – 1,5 ppm.
Di alam boron tidak ditemukan
bebas tetapi selalu berikatan dengan oksigen, biasanya sebagai asam (boric acid, H 3 BO 3 ) atau garamnya yang disebut borates misalnya Natrium tetraborat (Na 2 B 4 O 7 .10H 2 O) atau yang dikenal dengan boraks. Asam borat dan garamnya
(utamanya boraks atau sodium tetraborat)
secara luas digunakan pada industri gelas, fiberglass, porselin, enamel, keramik glasur dan meta alloy. Senyawa ini juga digunakan sebagai fire retardant, pupuk, bahan laundry, herbisida dan insektisida (USEPA-IRIS 2004)
O
O B
O
O
B
B
O
O
Na
Na
O B
Gambar 2. Rumus bangun Boraks-anhidrat (Na 2 B 4 O 7 )
12
Tabel 3. Sifat fisik dan kimia Boron dan beberapa senyawanya
Nomor registrasi CAS Rumus molekul Berat Molekul
% Boron
Bentuk fisik Gaya berat spesifik (@ 20oC) Titik lebur (oC) pd ruang tertutup Titik lebur (oC) bentuk kristal Kelarutan dlm air (%w/w) Tekanan (mm Hg)
uap
Boron
Asam borat
Boraks
Boraks anhidrat
Boron oksida
7440-42-8
10043-35-3
1303-96-4
1330-43-4
1303-86-2
B
H 3 BO 3
Na 2 B4 O 7
B2 O 3
10,81
61,83
381,43
201,27
69,62
100
17,48
11,34
21,49
31,06
Kristal hitam atau kuningcoklat, serbuk amorf
Putih atau tdk berwarna, kristal granur atau serbuk
Putih atau tdk berwarna, kristal granur atau serbuk
Putih atau tdk berwarna, granul bening
Putih atau tdk berwarna, granul bening
2,34
1,51
1,73
2,37
2,46
2300
171
>62
t.a.d
t.a.d
2300
450
742
742
450
Tdk larut
4,72 @ 20oC 27,53@ 100oC
4,71 @ 20oC 65,63 @ 100oC
2,48 @ 20oC 34,5 @ 100oC
Cepat terhidrasi mjd asam borat
1,56 x.10-5 atm @ 2140oC
t.a.d
t.a.d
t.a.d
t.a.d
Na 2 B4 O 7 .10H 2 O
Sumber : USEPA-IRIS 2004.
Boraks dapat berubah dengan mudah menjadi asam borat atau borate (H 3 BO 3 ) bila dilarutkan dalam air.
Boraks ada dalam tubuh sebagai asam borat.
Pemakaian boron per oral diserap dengan mudah (> 90% ) di dalam saluran pencernaan manusia sebagai asam borat dan cepat terdistribusi melalui cairan tubuh secara difusi pasif ke dalam jaringan lunak dan tulang. Ratio asam borat dalam darah dan jaringan lunak adalah 1 : 1 dan ratio dalam darah dan tulang adalah 1 : 4 (Murray
1998).
Boron (asam borat) tidak diakumulasi dalam
jaringan lunak hewan dan manusia. Penelitian pada tikus menunjukan akumulasi boron 3000 sampai 9000 ppm pada tulang setelah waktu 1 minggu, kemudian menurun menjadi 10% setelah 8 minggu dan hanya 3 kali levelnya dari kelompok
13
kontrol
32 minggu
setelah pemberian dihentikan (Chapin et al. 1997).
Akumulasi boron pada tulang mungkin ada hubungannya dengan manfaat asam borat dalam kaitannya dengan metabolisme kalsium (Devirian dan Volpe 2003). Ekskresi asam borat terutama melalui ginjal dan asam borat adalah satusatunya senyawa yang dapat diidentifikasi dalam urin dan ditemukan dalam jumlah > 90% dari total boron yang dikonsumsi (WHO 1998). Asam borat diekskresi dari tubuh bersama urin dengan recovery rate antara 84% (Samman et al. 1998) dan 92% dalam 96 jam (Schou et al. 1984). Waktu paruh untuk eliminasi asam borat adalah sekitar 21 jam pada pemberian intra vena (Jansen et al. 1984a) maupun oral (Jansen et al. 1984b). Asam borat adalah asam lemah dengan nilai pK a = 9,2 dan terutama berada dalam bentuk tidak terdisosiasi (undissociated acid) yaitu H 3 BO 3 dalam larutan air pada pH fisiologis, seperti halnya garam borat (Woods 1994). Nilai pK a suatu asam adalah nilai pH dimana konsentrasi molekul asam yang terdisosiasi dan yang tidak terdisosiasi berada dalam jumlah yang seimbang. Ketika pH turun, konsentrasi asam yang tidak terdisosiasi akan meningkat. Asam kuat memiliki nilai pK a rendah ( ≤ 1) dan asam lemah memiliki nilai pKa tinggi (Brown dan Booth 1991). Asam lemah yang
berfungsi sebagai pengawet adalah yang tidak
terdisosiasi pada kondisi pH dari makanan.
Aktifitas antimikrobialnya tidak
hanya disebabkan oleh konsentrasi H+, tetapi juga karena efek penghambatan dari asam tidak terdisosiasi atau anionnya. Dalam bentuk tidak terdisosiasi beberapa asam lemah bersifat lipofilik, sehingga dapat dengan mudah menembus membran sel mikroba. Di dalam sel mikroba, asam akan terdisosiasi karena pH intraseluler lebih tinggi (bersifat basa) dari pada
pH ekstraseluler, dan akan terjadi
+
peningkatan H yang tidak terkendali di dalam sitoplasma sel sehingga terjadi pengasaman dan menghambat metabolisme dan transport intraseluler (Davidson et al. 2005;
Brown
dan Booth 1991).
Untuk mencegah penurunan pH
sitoplasma sel, maka mikroorganisme berusaha mengeluarkan proton-proton hasil disosiasi tersebut ke luar sel. Untuk mengeluarkan proton dari dalam sel dibutuhkan energi, sehingga pertumbuhan mikroorganisme menjadi terhambat bahkan berhenti sama sekali (Fardiaz 1992).
14
Dosis letal akut boraks atau asam borat pada manusia adalah 15 -20 gram untuk dewasa , 5 – 6 gram untuk anak-anak dan 2 – 3 gram untuk bayi (setara dengan 2,6 – 3,5 gram boron untuk dewasa). Keracunan akut pada dosis 5 mg/kg/hari ditandai dengan dermatitis, alopesia, anoreksia dan indigesti, sedangkan keracunan akut pada dosis tinggi ditandai dengan mual, muntah, diare, sakit kepala, rush di kulit, desquamasi, kerusakan ginjal, stimulasi syaraf pusat diikuti dengan depresi, ataksia, konvulsi dan kematian dalam 5 hari akibat kegagalan sirkulasi (Ellenhorn 1997, EGVM 2003).
Keracunan akut boron
menyebabkan gangguan ginjal dengan gejala mulai dari adanya sedimen pada urin sampai kepada proteinuria, oligouria, anuria dan azotemia (Pahl et al
2005)
Keracunan kronis dosis tinggi terutama dapat diamati pada hewan percobaan. Gangguan reproduksi dilaporkan terjadi pada anjing, tikus, mencit dan kelinci berupa atrofi testis, gangguan pembentukan sperma, hilangnya sel benih dan perubahan morfologi sperma epididimis. Pengaruh terhadap pertumbuhan antara lain penurunan berat badan fetus, malformasi kardiovaskuler fetus, malformasi skelet, malformasi susunan syaraf pusat, termasuk pembesaran ventrikel lateral otak, hidrosefalus dan peningkatan resorpsi. Efek tersebut terlihat pada dosis > 10 mg boron/kg/hari
(Ellenhorn 1997, EGVM 2003).
Produk pestisida yang mengandung boraks dan asam borat digunakan sebagai insektisida, fungisida dan herbisida.
banyak
Sebagai insektisida
boraks dan asam borat merupakan racun perut untuk semut, kecoa, ngengat dan rayap dan menyebabkan kerusakan eksoskeleton.
Sebagai herbisida boraks
menghambat fotosintesis tanaman dan sebagai fungisida digunakan sebagai pengawet kayu untuk menghambat pertumbuhan jamur dengan mencegah produksi konidia atau spora aseksual.
Asam borat dan boraks adalah juga
merupakan bahan tetap pada produk-produk pestisida sebagai sekuestran atau pengikat bahan logam (USEPA 2008). Toksisitas boraks dan asam borat pada beberapa hewan coba dapat dilihat pada Tabel 4.
15
Tabel 4. Toksisitas akut boraks dan asam borat Hasil
Kategori Toksisitas
= 3.450 mg/kg = 4.080 mg/kg betina
III
Jenis uji coba Asam Borat Toksisitas akut (Boric Acid) oral/tikus Toksisitas akut oral/anjing beagle Toksisitas akut kulit/kelinci Toksisitas akut inhalasi/tikus Toksisitas akut mata/kelinci Iritasi akut kulit/ kelinci Boraks Toksisitas akut (Sodium oral/tikus tetraborate Toksisitas akut decahydrate) oral/anjing Toksisitas akut kulit/kelinci Toksisitas akut mata/kelinci Iritasi akut kulit/ kelinci
LD 50 LD 50
jantan
LD 50 > 631 mg/kg
III
LD 50 > 2 g/kg
III
LD 50 > 0,16 mg/L
II
Iritasi konjuktiva, sembuh dlm 4 hari
III
Iritasi
III
LD 50 LD 50
= 4.550 mg/kg = 4.980 mg/kg betina
jantan
LD 50 > 974 mg/kg LD 50 > 2.000 mg/kg Korosif Non-iritasi
III III III I IV
Sumber : US EPA (2008)
Toksisitas akut yang disebabkan oleh boraks pada pemakaian peroral dan topikal (kulit) dikategorikan ke dalam Toksisitas Tingkat III (toksisitas sedang), sedangkan efek iritasi boraks pada mata dikategorikan sebagai Toksisitas Tingkat I (toksisitas tinggi) (USEPA 2008). Boraks diserap dengan cepat dan sempurna oleh tubuh dan tidak mengalami metabolisme ataupun akumulasi kecuali dalam jumlah kecil dapat dideposit di tulang. Penelitian pada manusia menunjukan bahwa lebih dari 90% boraks yang termakan oleh manusia dieliminasi dalam waktu 4 hari melalui urin, feses dan sedikit melalui keringat. Mengkonsumsi borat dalam waktu yang lama akan diakumulasi di testes dan menyebabkan atrofi. Pengamatan selama dua tahun pada manusia yang minum air dengan kandungan boron tinggi mengurangi jumlah sperma dan menurunkan libido (Sheftel 2000).
16
Lowest Observed Adverse Effect Levels (LOAELs) adalah level terendah boron (asam borat) yang memberikan efek negatif yang dapat diamati, dan Observed Adverse Effect Levels (NOAELs) adalah level boron (asam borat) yang memberikan efek negatif yang tidak dapat diamati. Nilai LOAELs dan NOAELs pada beberapa hewan coba dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. LOAELs dan NOAELs boron (asam borat) pada perkembangan dan reproduksi Jenis LOAELs NOAELs Efek Negatif Referensi Hewan (mg/kgbb/hr) (mg/kgbb/hr) Gangguan Heindel et al. Tikus 79 43 Tikus besar
26
-
52 50
26 25
13,3
9,6
25
12,9
Kelinci
43,8
21,9
Tikus besar
58,5
17,5
Anjing
29,0
8,75 4,4 3,6
Tikus besar Tikus besar Tikus besar
perkembangan Hambatan pengeluaran sperma Atrofi testis
1992 Ku et al. 1993
Aplasia tubular germinal Penurunan BB fetus
Lee et al. 1979
Gangguan perkembangan tulang rusuk XIII Malformasi fetus Penurunan berat testis, atrofi testis, peningkatan berat otak/tiroid Atrofi testis
Price et al 1996a Price et al. 1996a (phase II) Price et al. 1996b Weir dan Fisher 1972
Weir dan Fisher 1972 . EGVM 2003
Sumber : Health Canada (2007)
Boraks dalam bentuk tidak murni (dikenal sebagai air bleng, garam bleng atau pijer) sejak lama telah digunakan masyarakat untuk pembuatan gendar nasi atau kerupuk gendar yang secara lokal di beberapa daerah di Jawa disebut Karak. Disamping itu boraks ternyata digunakan untuk industri makanan lainnya, seperti pembuatan mie, lontong, ketupat, bakso, pempek, bahkan juga untuk pembuatan kecap
Berbeda dengan pembuatan karak, konon pembuatan mie pabrik dan
makaroni biasanya menggunakan asam borat murni (Winarno 1997). Pemakaian air bleng atau garam bleng membuat tekstur makanan menjadi kenyal.
17
Pada beberapa pembuat bakso komersial, penambahan boraks 0,1 – 0,5 % dari berat adonan menghasilkan bakso yang kering, kesat dan tekstur yang kenyal (Surjana 2001). Senyawa asam borat yang terdapat pada boraks memiliki sifat antiseptik, yaitu bersifat mencegah pertumbuhan mikroorganisme, oleh karena itu boraks juga digunakan pada makanan untuk tujuan sebagai pengawet terhadap pembusukan atau kerusakan akibat aktifitas mikroorganisme. Pengawetan bakso daging dengan boraks untuk penyimpanan pada suhu kamar telah dilakukan oleh industri
bakso
kecil
dan menengah
(Anindita
2003).
Penelitian
yang
dilakukan Novita (2003) pada pabrik bakso di Kota Tangerang menunjukkan bahwa semua pabrik bakso yang diperiksa positif menggunakan boraks dengan kandungan tertinggi 0.731 ppm dan terendah 0,197 ppm
Cemaran Mikroba Pengujian mikrobiologik pada pangan, baik pada bahan baku, selama proses maupun pada produk akhir, dilaksanakan dalam rangka pengawasan keamanan dan kualitas pangan. mengetahui
Pengujian mikrobiologik bertujuan untuk
jumlah mikroorganisme, keberadaan mikroorganisme tertentu,
jumlah mikroorganisme indikator, jumlah mikroorganisme patogen tertentu dan keberadaan mikroorganisme patogen tertentu (Lukman 2004). Perkembangan mikroorganisme bahan pangan dipengaruhi oleh faktorfaktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik yaitu faktor yang ada pada bahan pangan tersebut, yaitu : pH, aktivitas air (Aw), potensial oksidasi-reduksi, nutrisi, antimikroba dan struktur biologis. Faktor ekstrinsik yaitu faktor yang berada di luar bahan pangan tersebut, yaitu : temperatur, kelembaban relatif, ketersediaan oksigen dan proses pengolahan (Sanjaya et al. 2007).
1.
Coliform dan Escherichia coli Coliform atau bakteri bentuk koli adalah bakteri berbentuk batang, tidak
berspora, bersifat aerob atau fakultatif anaerob, gram negatif memfermentasi laktosa dengan membentuk asam dan gas pada suhu 35oC dalam 48 jam. Pada media Endo Agar membentuk koloni gelap dengan kilau logam. Bakteri Coliform
18
termasuk ke dalam famili Enterobactericeae yang terdiri dari empat genera, yaitu Citrobacter, Enterobacter, Escherichia dan Klebsiella (Jay et al 2005). Coliform umumnya ditemukan pada saluran pencernaan manusia dan hewan. Selain itu mungkin juga ditemukan di tanah, air dan tumbuhan. Coliform sering digunakan sebagai mikroorganisme indikator sanitasi,
terutama dalam
pengujian kualitas air dan untuk menilai sanitasi pada industri pengolahan pangan. Selain
itu
Coliform
sering
digunakan
sebagai
indikator
keberadaan
mikroorganisme patogen. Coliform dibagi menjadi Coliform fecal dan non-fecal. Salah satu Coliform fecal adalah Escherichia coli (Lukman 2004). Keberadaan E. Coli pada makanan menunjukan adanya penggunaan air yang terkontaminasi oleh feses hewan atau manusia (Todar 2008). Escherichia coli termasuk dalam grup Enterobacteriaceae, bersifat Gram negatif, aerob atau fakultatif anaerob, berbentuk kokoid atau kokus kadang motil dan tidak membentuk spora.
Semua spesies memfermentasi glukosa dengan
membentuk asam dan gas, mereduksi nitrat dan nitrit, oksidase positif dan katalase positif.
Bakteri ini hidup normal
sebagai mikroflora pada saluran
pencernaan manusia dan hewan berdarah panas, terutama di usus besar, walaupun beberapa spesies bisa terdapat di organ lain, pada tanaman dan tanah dan beberapa spesies adalah patogen (Bell dan Kyriakides 2002). Escherichia coli merupakan bakteri fecal indicator yang digunakan untuk mendeteksi adanya kontaminasi oleh feses pada air dan mendeteksi keberadaan pathogen usus. Kriteria sebagai fecal indicator adalah : (1) bakteri ini hanya terdapat pada saluran pencernaan manusia dan hewan, (2) harus ditemukan dalam jumlah yang sangat banyak di dalam feses, (3) harus memiliki daya tahan hidup yang
tinggi pada lingkungan di luar usus, (4)
relatif mudah diisolasi dan
dideteksi meskipun dalam jumlah yang sangat sedikit (Jay et al. 2005). Makanan yang sering terkontaminasi bisanya adalah daging ayam, daging babi, daging sapi, makanan hasil laut, telur dan produk olahan telur, sayuran, buah dan sari0 buah.
E. coli merupakan bakteri yang sensitif terhadap panas, dapat
tumbuh pada suhu antara 10 – 40oC dengan suhu optimum 37oC. Pertumbuhan optimum pada pH 7,0-7,5 dan A w minimum 0,96.
Untuk mencegah
19
pertumbuhannya sebaiknya makanan disimpan pada suhu rendah di bawah 10 oC (Fardiaz 1987). Strain E. coli patogen penyebab gastroenteritis adalah serotipe O157:H7. Strain ini banyak ditemukan dalam saluran intestin sapi, tumbuh optimal pada suhu 100C – 420C pH > 5 dan A w 0,92 (Cramer 2006). Strain E. coli serotipe O157:H7 sering dikaitkan dengan kejadian gastroenteritis akibat mengkonsumsi daging sapi terkontaminasi. Berdasarkan bukti epidemiologi dan hasil survey pada sapi diketahui bahwa sapi adalah reservoar paling penting bagi patogen penyebab food-borne disease ini
(Gonzales
2005).
Berdasarkan gejala dan
sifat penyakitnya serta grup serologinya dikenal 5 grup virulen E. Coli, yaitu enterotoxigenic E. coli (ETEC), enteroinvasive E. coli (EIEC), enteropathogenic E. coli (EPEC), enteroaggregative E. coli (EAEC) dan enterohaemorrhagic E. coli (EHEC) (Jay et al. 2005). Faktor-faktor yang
dihubungkan
dengan
resiko
infeksi E. coli
yaitu : adanya kontaminasi bahan baku oleh kotoran hewan; makanan dibuat tidak melalui proses pemasakan; makanan terkontaminasi setelah matang; dijual sebagai
menu siap
saji dan kontak dengan orang
atau hewan
sakit
(Bell dan Kyriakides 2002). Ternak sapi merupakan reservoar utama E. coli diantaranya daging mentah (Bach et al. 2002).
2.
Salmonella ssp Salmonella adalah bakteri dari famili Enterobacteriaceae berbentuk batang
halus, bersifat Gram negatif tidak membentuk spora dan umumnya motil, aerob/anaerob fakultatif, memfermentasi glukosa, umumnya tidak memfermentasi laktosa. Salmonella tumbuh pada suhu 2-47oC dengan pertumbuhan cepat pada 25-43oC, tahan pada pH 4 – 8 dan Aw 0,94 serta bertahan hidup pada pembekuan (Cramer 2006).
Genus Salmonella terdiri dari dua spesies yaitu Salmonella
enterica dan Salmonella bongori. S. enterica mempunyai 6 sub spesies dan tidak kurang 2449 serovar sedangkan S. bongori mempunyai 20 serovar (D’aoust 2001). Habitat normal adalah saluran gastrointestinal mamalia, reptil, burung dan insekta (Jay et al. 2005). Walaupun merupakan bakteri usus,
Salmonella
20
ditemukan kotoran
secara
manusia
luas
di lingkungan seperti
dan
tempat-tempat
yang
di peternakan, pembuangan terkontaminasi
oleh
feses
(Wray et al. 2003). Kejadian salmonellosis pada manusia sering berkaitan dengan kejadian salmonellosis pada hewan. Salmonella merupakan patogen saluran pencernaan yang potensial dan menyebabkan foodborne illness.
Pangan dapat bertindak
sebagai perantara terutama bahan pangan asal hewan di Amerika Serikat seperti daging ayam, telur, daging sapi, daging babi, susu , jus buah dan sayuran (Patterson dan Isaacson 2003). Salmonella dapat menimbulkan sindrom penyakit berbeda pada manusia, yaitu typhoid fever, bacteriemia dan enterocolitis. Typhoid fever disebabkan oleh S. enterica serotipe Typhi dan Paratyphi A, B dan C, bacteriemia disebabkan oleh S. enterica serotipe Dublin dan Cholerasuis dan enterocolitis disebabkan oleh
paling
S. enterica
tidak serotipe
5
seritipe, Enteritidis,
yaitu
S. enterica serotipe Typhimurium, S. enterica
serotipe
Hiedelberg,
S. enterica serotipe Newport dan S. enterica serotipe Hadar (Rabsch et al. 2003). Salmonella memiliki kemampuan bertahan hidup pada kondisi buruk (suhu tinggi), pH suboptimal dan nutrisi sedikit sehingga menjadi tantangan dalam keamanan pangan. Kemampuan salmonella untuk tumbuh pada suhu lemari es (4-10oC) merupakan hal yang harus diperhatikan dalam penyimpanan makanan. Makanan yang mudah rusak harus segera didinginkan segera setelah dimasak dan disimpan pada tempat yang berbeda dengan bahan makanan mentah di lemari es. Salmonella dihambat pertumbuhannya dengan NaCl > 3%. Peningkatan suhu pada kisaran 10-30oC akan meningkatkan toleransi organisme terhadap garam dan asam. Salmonella tumbuh pada pH 3,6-9 (optimum pada pH netral) dan a w 0,93 (D’aoust. 2001).
3.
Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif berbentuk shperic atau
coccoid, tidak membentuk spora, berukuran kecil + 1 mikrometer dan sering berkelompok membentuk seperti anggur, memfermentasi karbohidrat, katalase
21
positif, tumbuh pada temperatur 440F – 1150F, pH 5,2 dan A w 0,86. Koloni pada media tumbuh biakan memproduksi pigmen kuning 2002 dan
Cramer
2006).
(Sutherland dan Varnam
Kemampuan tumbuhnya pada media yang
mengandung 3,5 M NaCl dan bertahan hidup pada A w < 0,8 menjadi problem penting karena mikroorganisme lain tidak mungkin tumbuh atau
terhambat
tumbuh pada kondisi tersebut sehingga tidak ada kompetisi (Naim 2004). Staphylococcus aureus normal terdapat pada permukaan kulit seperti pada hidung, ketiak, daerah inguinal dan perineal.
Lebih kurang 30% orang sehat
membawa bakteri ini pada kulit dan rongga hidungnya. Sumber pencemaran makanan yang paling penting dari bakteri ini adalah discharge hidung dan tenggorokan, luka pada kulit, bisul dan jerawat dari orang yang menangani makanan (Sutherland dan Varnam 2002). Beberapa hewan domestik merupakan sumber bakteri ini , misalnya streptococcal mastitis pada sapi perah , dimana susu yang dihasilkan bila dikonsumsi atau diolah menjadi keju dapat menyebabkan intoksikasi (Jay et al. 2005). Staphylococcus aureus pada bahan pangan dan olahannya dapat mengancam kesehatan masyarakat karena beberapa galur dapat memproduksi enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan pangan (staphylococcal food poisoning). Keracunan oleh enterotoksin terjadi termakannya racun yang disintesa oleh kuman selama tumbuh dalam makanan.
Enterotoksin yang diproduksi oleh
Staphylococcus aureus pada makanan akan bertahan dalam makanan serta tidak rusak oleh pemanasan karena toksin ini lebih tahan panas dibandingkan sel bakterinya.
Keberadaan
kuman
penanganannya yang kurang
ini
pada
bahan
makanan
menandakan
baik dan kurang higienis oleh manusia.
Keracunan karena kuman ini lebih banyak disebabkan oleh daging yang telah dimasak. Staphylococcus menghasilkan sebelas macan toksin, yaitu A, B, C 1 , C 2 , C 3 , D, E, F, G, H dan I.
Enterotoksin A dan D dihasilkan pada saat fase
logaritmik dan enterotoksin B dan C dihasilkan pada akhir fase logaritmik sampai awal fase stasioner (Sutherland dan Varnam 2002). Manusia dapat mencemari bahan makanan atau olahannya melalui tangan, pakaian atau alat-alat yang dipergunakan.
Staphylococcus hidup optimal dan
dapat memproduksi toksin pada suhu 35-37oC, tetapi beberapa spesies dapat
22
tumbuh pada 10-45oC dengan pH optimaum 7-7,5. Keracunan pangan terjadi apabila kandungan Staphylococcus aureus dalam jumlah besar pada makanan dan menghasilkan toksin (Doyle 1989).
Higiene dan Sanitasi Pangan Higiene pangan menurut Codex Alimentarius Commission (CAC) adalah semua kondisi dan tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan kelayakan makanan pada setiap tahap dalam rantai makanan. Keamanan pangan (food safety) adalah jaminan agar makanan tidak membahayakan konsumen pada saat disiapkan dan atau dimakan menurut penggunaannya, sedangkan kelayakan pangan (food suitability) adalah jaminan agar makanan dapat diterima untuk konsumsi manusia menurut penggunaannya (FAO-WHO 1997). Menurut UU RI No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, sanitasi pangan adalah upaya pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembangbiaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia, sedangkan keamanan pangan
adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Keamanan bahan pangan harus diperhatikan mulai dari tahap budidaya hingga pangan tersebut siap disantap (safe from farm to table). Penerapan sistem keamanan pangan pada setiap tahap produkasi harus dilakukan dengan baik agar pangan yang dikonsumsi benar-benar aman.
Pada tahap budidaya perlu
diterapkan Good Farming Practices (GFP), selanjutnya pada tahap pascapanen dilakukan Good Handling Practices (GHP). Pada tahap pengolahan penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) atau Good Hygienic Practices (GHP) sangat diperlukan, sedangkan pada tahap distribusi harus diterapkan Good Distribution Practices (GDP) agar produk pangan sampai ke konsumen dalam keadaan aman (Djaafar dan Rahayu 2007). Praktek higiene dan sanitasi pada pengolahan pangan mencakup penerapan pada personal, bangunan, peralatan, proses produksi, penyimpanan dan distribusi (Luning et al. 2003). Dalam sistem jaminan keamanan pangan, penerapan praktek
23
higiene sanitasi
merupakan persyaratan dasar mutlak. Adanya cemaran
mikroorganisme pada pangan asal hewan umumnya terkait dengan
praktek
higiene sanitasi yang kurang baik selama proses penyediaan pangan tersebut. Untuk
menciptakan
pangan asal hewan yang ASUH (Aman, Sehat, Utuh,
Halal) maka perlu penerapan sistem jaminan keamanan dan mutu pangan asal hewan pada setiap tahapan dalam mata rantai penyediaannya secara bertahap, terencana dan berkesinambungan. Sistem jaminan keamanan pangan yang telah dikenal adalah sistem Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP), yaitu suatu sistem yang menjamin keamanan pangan dengan melakukan analisa terhadap kemungkinan terjadinya bahaya (hazard) pada sistem produksi, serta tindak pengawasan terhadap titik kendali kritis (CCP). Sistem HACCP yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan sistematika, mengidentifikasi bahaya dan tindakan pengendaliannya untuk menjamin keamanan pangan. HACCP adalah suatu piranti untuk menilai bahaya dan menetapkan sistem pengendalian yang memfokuskan pada pencegahan daripada mengandalkan sebagian besar pengujian produk akhir. Setiap sistem HACCP mengakomodasi perubahan seperti kemajuan dalam rancangan peralatan, prosedur pengolahan atau perkembangan teknologi. Pengendalian bahaya-bahaya (Hazards) dalam sistem HACCP dilaksanakan dengan penerapan dan pengawasan higiene dan sanitasi (GMP dan SSOP) yang dituangkan dalam SOP (BSN 1998). Pendekatan HACCP terdiri atas tujuh prinsip, yaitu : 1.
Analisis potensi bahaya , bertujuan untuk mengidentifikasi bahaya pada setiap tahapan produksi, menyeleksi bahaya atas dasar analisa resiko dan mengembangkan tindakan pencegahan / pengendalian (preventive / control measure).
2.
Penentuan titik kendali kritis (CCP), untuk mengendalikan bahaya-bahaya tersebut terutama pada tahapan dengan tingkat bahaya sedang dan tinggi.
3.
Penetapan batas kritis,
yaitu
batasan yang digunakan untuk menjamin
proses yang berlangsung menghasilkan produk yang aman.
24
4.
Penetapan sistem pemantauan, yaitu pemantauan terhadap CCP, apakah terjadi hilang kendali dan penyimpangan pada CCP.
Pemantauan harus
bersifat efektif dan mampu mendeteksi dengan cepat adanya penyimpangan CCP. 5.
Penetapan tindakan koreksi, jika hasil pemantauan pada CCP menyimpang atau mengarah kepada penyimpangan (out of control) melampaui batas kritis.
6.
Penetapan prosedur verifikasi, meliputi uji dan prosedur untuk memastikan bahwa sistem HACCP terpelihara dan berjalan dengan efektif. Langkah ini juga dapat menunjukan jika rencana HACCP memerlukan modifikasi.
7.
Penetapan dokumentasi dan penyimpanan dokumen untuk keperluan audit. dan inspeksi.
Untuk menjamin pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal dalam rangka mewujudkan kesehatan dan ketentraman batin masyarakat, setiap unit usaha pangan asal hewan wajib memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi pangan asal hewan.
Bagi setiap unit usaha pangan asal hewan yang telah
memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi diberikan sertifikat kontrol veteriner . Sertifikat Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan yang selanjutnya disebut Nomor Kontrol Veteriner (NKV) adalah sertifikat sebagai bukti tertulis yang sah telah dipenuhinyan persyaratan higiene sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal hewan pada unit usaha pangan asal hewan. Unit usaha pangan asal hewan yang wajib memiliki NKV adalah Rumah Pemotongan Hewan, Rumah Pemotongan Unggas, Rumah Pemotongan Babi, usaha budidaya unggas petelur, usaha pemasukan, usaha pengeluaran, usaha distribusi, usaha ritel dan usaha pengolahan pangan asal hewan.
Kebijakan
pembinaan dan pengawasan keamanan pangan asal hewan adalah penerapan sistem jaminan keamanan pangan pada unit usaha pangan asal hewan secara bertahap mulai dari penerapan praktek higiene sanitasi, pemberian NKV dan penerapan sistem HACCP (Ditkesmavet 2006).
25
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Tangerang pada bulan April 2006 sampai dengan bulan Desember 2006. Pemeriksaan sampel terhadap cemaran mikroba dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Dinas Peternakan Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta dan pemeriksaan boraks secara kuantitatif dilakukan di Pusat Pengjian Obat dan Makanan (PPOM) Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) RI di Jakarta.
Metoda Sampling Populasi target sampling adalah pedagang mie bakso, pedagang bakso buatan pabrik di pasar tradisional dan pasar swalayan di kecamatan terpilih. Pemilihan lokasi kecamatan dilakukan secara proporsional, di mana Kabupaten Tangerang secara geografis dan demografis dibagi dalam 3 wilayah yaitu wilayah Utara (11 kecamatan), wilayah Tengah (11 kecamatan) dan wilayah Selatan (4 kecamatan).
Dari setiap wilayah dipilih
secara
kecamatan untuk wilayah Utara dan Tengah dan Selatan.
acak masing-masing 3
1 kecamatan untuk wilayah
Selanjutnya dari ke-3 wilayah tersebut dipilih secara acak masing-
masing 1 pasar tradisional dan 1 pasar swalayan sebagai lokasi pengambilan sampel. Pedagang mie bakso dipilih secara acak yang ada di setiap kecamatan terpilih. Besarnya sampel bakso ditentukan dengan menggunakan rumus dari Martin (Thrusfield, 1995)
n = 1,962 pq/L2 dimana n : besar sampel, p : prevalensi dugaan pemakaian boraks (15%), q : (1 – p) L : tingkat kesalahan (5%). Berdasarkan rumus tersebut maka jumlah sampel adalah 196. Pengambilan sampel bakso di pasar tradisional, swalayan dan pedagang mie bakso dilakukan secara higienis dengan menggunakan sendok atau sarung tangan plastik. Banyaknya bakso yang diambil per sampel adalah 250 gram.
26
Pemeriksaan Boraks Pemeriksaan kandungan boraks secara kuantitatif dengan metode Spektrofotometri (Mujamil, 1997). Jumlah sampel yang diperiksa adalah 100 sampel. Perlakuan terhadap sampel sebagai berikut: Ke dalam ± 100 gram sampel ditambahkan 300 ml aquadest panas, kemudian dihaluskan, ditambahkan 20 ml asam klorida 4 N dan dipanaskan di atas penangas air selama 10 menit sambil diaduk, kemudian disaring, sisa penyaringan dibilas dengan 100 ml aquadest panas. Filtrat yang diperoleh dicukupkan volumenya sampai 250 ml dalam labu ukur. Dipipet sebanyak 50 ml ditambah 75 m1 metanol kemudian didestilasi pada suhu 85°C – 90°C selama 110 menit dan destilat ditampung dengan 10 ml gliserin 3%. Destilat yang diperoleh dipanaskan pada pelat pemanas sampai kering. Panaskan pada tungku listrik 600°C, kemudian dinginkan. Ditambahkan 10 ml larutan kurkumin dan panaskan pada suhu 55°C – 57°C sampai kering, kemudian tambahkan etanol sampai 25 ml (dalam labu ukur 25 ml).
Secara kuantitatif larutan yang terbentuk diukur
serapannya menggunakan spektrofotometer pada λ-maksimum. Kadar boraks dalam sampel dapat dihitung berdasarkan kurva kalibrasi yang dibuat dari larutan standar boraks.
Berdasarkan regresi linier kurva kalibrasi dan faktor
pengenceran, maka kadar boraks dalam sampel dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut Kadar Boraks (ppm) = K.ABS + B+FP.1000 Gram sampel K ABS B FP
= slope = Absorban = Intercept = faktor pengenceran
27
Pemeriksaan Cemaran Mikroba Pemeriksaan cemaran mikroba mengacu kepada SNI tentang Cara Uji Cemaran Mikroba.
19-2897-1992
Cemaran mikroba yang diperiksa adalah
Total Plate Count (TPC), bakteri bentuk coli (Coliform), Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Salmonella ssp. Jumlah bakso yang diperiksa adalah 196 sampel..
1.
Pemeriksaan Total Plate Count (TPC) Pertumbuhan bakteri mesofil aerob setelah contoh diinkubasikan dalam
media pembenihan yang cocok selama 24 – 48 jam pada suhu 35
± 1oC.
Sebelum dilakukan pemeriksaan sampel dihomogenisasi dahulu pada larutan pengencer Buffered Peptone Water (BPW).
Bahan dan alat yang digunakan
antara lain sampel bakso, media Plate Count Agar (PCA), cawan petri steril, pipet steril berbagai ukuran, inkubator. 2.
Pemeriksaan Bakteri Coliform Pertumbuhan bakteri Coliform ditandai dengan terbentuknya gas dalam
tabung Durham setelah contoh diinkubasikan dalam media pembenihan yang cocok pada suhu 36 ± 1oC selama 24 dan 48 jam dan selanjutnya dirujuk ke tabel Angka Paling Mungkin (APM). Pemeriksaan menggunakan metoda Most Probable Number (MPN) dengan 3 tabung.. Bahan dan alat yang digunakan yaitu media Lauryl Sulphate Tryptose Broth (LST) atau Lactose Broth, Brilliant Green Lactose Bile Broth 2% (BGLB 2%). blender, penangas air, inkubator, pipet, ose, Erlenmeyer dan tabung reaksi..
3.
Pemeriksaan Escherichia coli Pertumbuhan E. coli yang ditandai oleh terbentuknya gas di dalam tabung
Durham setelah diinkubasi dalam media pembenihan yang cocok pada suhu 44oC selama 24 -48 jam yang diikuti dengan uji biokimia dan selanjutnya dirujuk pada tabel APM. Bahan dan alat yang digunakan yaitu media Escherichia coli Broth (EC broth), Eosin Methylene Blue (EMB), Nutrient Agar (NA), Pewarna Gram,
28
media INVIC (Indol, Merah Red, Voges-Proskauer
dan
citrate), blender,
penangas air, inkubator, pipet, Ose, erlenmeyer, dan tabung reaksi.
4.
Pemeriksaan Salmonella Pertumbuhan Salmonella pada media pembenihan selektif yang dilanjutkan
dengan uji biokimia dan uji serologi. media
Lactose Broth,
Bahan dan alat yang digunakan yaitu
Selenite Cystine Broth,. Tetrathionat Brilliant Green
Broth, Brilliant Green Agar (BGA), Bismuth Sulfit Agar (BSA), Nutrient Agar, Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Urea Agar, Lysine Decarboxylation Medium, VP Medium, Indol Medium, dan antisera, botol pengencer, tabung reaksi, gelas ukur, pipet , cawan Petri, gelas sediaan, inkubator, pengering cabinet, penangas air, pengaduk gelas, Ose, dan sterilisator filter.
5.
Pemeriksaan Staphylococcus aureus Pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada media pembenihan khusus
setelah diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24-48 jam dan dilanjutkan dengan uji koagulase. Metoda diperkirakan mengandung
Plate Count (Angka Lempeng)
untuk contoh yang
lebih dari 100 Staphylococcus aureus. Bahan dan
alat yang digunakan yaitu media Baird Parker Agar, Brain Heart Infusion Broth (BHIB), spreader gelas, tabung reaksi, cawan petri, pipet inkubator, penangas air, laminar flow cabinet . Pengisian Kuisioner Kuisioner tentang penerapan praktek higiene - sanitasi yang dilakukan oleh para pedagang mie bakso yang membuat sendiri baksonya dilakukan pada saat yang bersamaan dengan pengambilan sampel bakso.
Pengolahan Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini berupa kandungan boraks, cemaran mikroba dan penerapan sanitasi-higiene diuji ada tidaknya asosiasi di antara ketiganya dengan uji χ2 pada tingkat kepercayaan 95%. (Walpole, 1982)
29
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendataan Pedagang dan Pengumpulan Sampel Bakso Target penelitian dan pengambilan sampel adalah pedagang bakso buatan pabrik di pasar tradisional, swalayan yang menjual bakso buatan pabrik dan pedagang mie bakso yang membuat sendiri baksonya.
Pengumpulan sampel
dilakukan di 7 kecamatan terpilih di Kabupaten Tangerang dengan total sampel sebanyak 197 sampel . Sebaran jumlah pedagang dan banyaknya sampel bakso yang dikumpulkan dari setiap kecamatan dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.
Tabel 6. Sebaran jumlah pedagang bakso dan banyaknya sampel bakso per kecamatan terpilih. No I
Wilayah/ Kecamatan Wil. Utara : 1.Kec. Teluknaga 2. Kec. Kosambi 3. Kec. Sepatan
Total Sampel
-
15 17 6
1 7
-
19 17 6
20 17 13
3
-
38
8
-
42
50
2 -
1 -
36 22 15
7 -
3 -
38 22 16
48 22 16
2
1
73
7
3
76
86
1
1
44
4
9
48
61
Jumlah III
1
1
44
4
9
48
61
Jumlah I+II+III
6
2
155
19
12
166
197
Wil. Tengah : 1. Kec. Curug 2. Kec. Balaraja 3. Kec. Tigaraksa Jumlah II
III
Banyaknya Sampel B1* B2* C*
1 2
Jumlah I II
Jumlah Pedagang bakso B1* B2* C*
Wil. Selatan : 1.Kec.Pondok Aren
Keterangan : B1* : Pedagang bakso buatan pabrik di pasar tradisional B2* : Swalayan C* : Pedagang bakso rumahan (pedagang mie bakso)
Untuk wilayah Utara tidak ada sampel bakso yang diambil dari swalayan dikarenakan di wilayah tersebut tidak ada swalayan yang menjual bakso. Sampel bakso buatan pabrik di pasar tradisional dan di swalayan diambil dari berbagai merek dan jenis bakso dijual sehingga tidak ada bakso dengan spesifikasi yang sama. Sedangkan bakso buatan rumahan berhasil dikumpulkan 166 sampel dari
30
155 pedagang. Hal tersebut karena beberapa pedagang yang memiliki beberapa kios bakso di
tempat yang berbeda.
Umur bakso buatan rumahan yang
disampling adalah antara 0 – 1 hari (bakso buatan hari itu dan kemarin). Pedagang bakso di Kabupaten Tangerang yang membuat bakso sendiri rata-rata perhari mengghabiskan daging sapi antara 2 kg – 50 kg /pedagang.
Jumlah
butiran bakso yang dihasilkan per kilo daging tergantung kepada ukuran bakso yang dibuat dan jumlah bahan tambahan yang digunakan. Hasil pemerian terhadap sampel bakso yang meliputi sifat fisik dan organoleptik yaitu warna, bau, tekstur, bentuk dan ukuran bakso ditampilkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Rekapitulasi sifat fisik dan organoleptik sampel bakso No
Pemerian
1.
Ukuran
2.
Bentuk
3. 4.
Bau Tekstur
5.
Warna
: Besar Sedang Kecil : Bulat Gepeng : Khas daging rebus : Padat kenyal Padat keras Lembek : Abu-abu Coklat muda Putih Krem Kuning
Jumlah 36 79 82 194 2 196 196 68 57 43 26 2
Ukuran bakso yang disampling dikelompokan menjadi 3 jenis, yaitu bakso ukuran kecil, ukuran sedang dan ukuran besar. Bakso kecil berukuran sebesar kelereng atau lebih besar, bakso sedang berukuran sebesar bola pingpong dan bakso besar berukuran sebesar bola tenis. Besar kecilnya bakso akan berpengaruh terhadap luasnya permukaan bakso yang kontak dengan lingkungan. Semakin kecil ukuran bakso semakin luas permukaannya yang kontak dengan lingkungan sehingga kemungkinan terkontaminasi oleh mikroba lebih besar . Bau bakso dominan bau daging rebus dengan bau lemak sapi serta bau bumbu terutama bawang putih. Tidak ada bau yang menyimpang seperti tengik,
31
asam atau busuk. Hal tersebut disebabkan sampel bakso yang diambil rata-rata berumur 1 hari.
Bau asam dan bau busuk disebabkan oleh kerja bakteri
pembentuk asam dan bakteri proteolitik.
Hasil penelitian Surjana (2001)
menunjukan bahwa mikroba yang tumbuh pada bakso sebagian besar merupakan bakteri asam laktat dan mulai terlihat pada hari ke-0 penyimpanan. Pada bakso kontrol bau asam muncul pada hari ke-2 penyimpanan dan bau busuk muncul pada hari ke-3 penyimpanan, sedangkan pada bakso yang diberi pangawet bau asam baru muncul pada hari ke-5 penyimpanan. Konsistensi dan tekstur bakso sampel adalah kenyal, kesat, tidak lengket dan tidak berlendir. Tekstur bakso yang kenyal, kesat dan kering bisa diperoleh bila ke dalam adonan bakso ditambahkan bahan tambahan makanan seperti Sodium Tripolyphosphate (STTP). Beberapa pembuat bakso masih menggunakan boraks untuk mendapatkan hasil yang sama.
Bakso yang
menunjukkan adanya aktivitas bakteri pembusuk.
lembek dan berlendir
Lendir pada bakso tanpa
pengawet muncul pada hari pertama penympanan, sedangkan tekstur lembek dan mengelupas terjadi pada hari ke-2 (Surjana 2001).
Pemeriksaan Boraks Pemeriksaan kandungan boraks pada bakso
sebanyak 100 sampel yang
terdiri dari 17 sampel bakso buatan pabrik dan 83 sampel bakso buatan rumahan. Bakso yang positif mengandung boraks sebanyak 25 sampel (25%), terdiri dari 3 sampel (3%) bakso buatan pabrik dan 22 sampel (22%) bakso buatan rumahan . Pada Tabel 8 dapat dilihat tingkat kandungan boraks tertinggi yang terdeteksi adalah 4660,40 mg/kg dan terendah sebesar 5,56 mg/kg, dengan rata-rata 806,86 mg/kg dan keduanya. berasal dari bakso buatan rumahan. Jumlah boraks yang dipakai oleh para pedagang tersebut pada umumnya lebih rendah dari dosis boraks yang biasa dipakai oleh pembuat bakso komersial (pabrik bakso) yaitu 0,1 – 0,5 % (1 – 5 gram) per kg adonan, dan jauh lebih rendah dari dosis letal akut bila termakan oleh manusia , yaitu 2-3 gr pada bayi, 5-6 gr pada anak-anak dan 15-20 gr pada dewasa (EGVM 2003, USEPA-IRIS 2004). Sampel yang mengandung boraks di atas 1 gram/kg sebanyak 8 sampel (32%) dan di bawah 1 gram/kg sebanyak 17 sampel (68%). Walaupun dosis boraks yang ada pada sampel bakso
32
lebih rendah dari dosis letal, dari sisi keamanan pangan bakso yang mengandung boraks dalam jumlah banyak maupun sedikit merupakan bahan pangan yang tidak aman untuk dikonsumsi oleh manusia.
Tabel 8. Kandungan boraks*, TPC, Coliform, E. coli dan S. aureus No.
Kode Sampel
Boraks (mg/kg) 82,68 29,56 11,86 4.660,40 701,61 31,08 57,54 13,84 5,65 18,21 59,75 67,46 6,63 3345,41 1804,56 31,38 1104,80 1046,30 2221,00 1247,41 1212,06 556,31 781,22 964,27 110,41
TPC
Coliform
E.coli
S. aureus
4
1 3,0x10 23 ** <3 < 1,0x10 B 22 2 2,0x105 ** 9 <3 < 1,0x10 B 33 3 6,0x104 <3 <3 < 1,0x10 B 42 4 5,0x105 ** 9 <3 < 1,0x10 C 09 5 4,3x105 ** <3 <3 < 1,0x10 C 12 6 2,1x104 <3 <3 < 1,0x10 C 28 7 6,6x104 4 <3 < 1,0x10 C 47 8 1,1x103 <3 <3 < 1,0x10 C 51 9 TBUD ** 1100 ** <3 < 1,0x10 C 53 10 1,1X105 ** <3 <3 < 1,0x10 C 57 11 1,8X104 <3 <3 < 1,0x10 C 59 12 TBUD ** 23 ** <3 < 1,0x10 C 62 13 C 133 5,8X106 ** 9 <3 < 1,0x10 14 C 134 TBUD ** 23 ** <3 < 1,0x10 15 C 137 1,9X106 ** <3 <3 >1,0x102 ** 16 C 143 1,1X107 ** 9 <3 < 1,0x10 17 C 151 TBUD ** 23 ** <3 < 1,0x10 18 C 154 4,2X103 9 <3 < 1,0x10 19 C 155 TBUD ** <3 <3 < 1,0x10 20 C 161 1,2X105 ** <3 <3 < 1,0x10 21 C 165 TBUD ** > 2400 ** <3 < 1,0x10 22 C 167 4,1X105 ** <3 <3 < 1,0x10 23 C 168 TBUD ** 9 <3 < 1,0x10 24 C 172 TBUD ** 43 ** <3 < 1,0x10 25 C 198 1,7X105 ** 43 ** <3 < 1,0x10 Kode sampel B : Bakso buatan pabrik * Boraks hanya diperiksa pada 100 sampel Kode sampel C : Bakso buatan rumahan ** Diatas nilai SNI yang diperkenankan TBUD : Tidak Bisa Untuk Dihitung
Adanya boraks (asam borat) dalam sampel bakso dengan kadar yang bervariasi bukan berasal dari bahan baku yang digunakan seperti daging sapi, air es atau pati, namun adalah karena senyawa kimia tersebut dengan sengaja ditambahkan pada proses pembuatannya. Meskipun boraks (asam borat) secara luas terdapat di alam seperti pada tanah, batuan, tumbuhan, air laut, air tawar, daging hewan, air susu, udara dan lainnya, namun konsentrasinya relatif kecil. Kandungan asam borat dalam daging hewan adalah 0,05 – 0,6 mg/kg, biji-bijian 1 – 5 mg/kg sayuran hijau 2- 20 mg/kg buah segar 0,3 – 3 mg/kg, kacang > 14 mg/kg berat kering dan legume 25 -50 mg/kg (EGVM 2003, USEPA-IRIS 2004).
33
Kandungan asam borat dalam air minum untuk masyarakat di Kanada adalah 0,1 mg/L atau lebih rendah (Health Canada, 1991). Alasan yang menyebabkan para pembuat bakso menggunakan boraks pada produknya, yaitu untuk mendapatkan produk bakso yang kenyal, tidak lembek, kesat dan lebih tahan lama.
Pengetahuan yang terbatas tentang jenis bahan
tambahan makanan yang diijinkan dan
yang dilarang
mereka menggunakan boraks dalam produknya.
digunakan membuat
Pembuat bakso rumahan
biasanya mendapatkan boraks di tempat penggilingan daging yang juga menyediakan bahan-bahan lain yang diperlukan untuk membuat bakso seperti bumbu-bumbu, pati, es batu, bahan tambahan makanan, serta mie dan sayuran. Beberapa jenis bahan tambahan yang biasanya disediakan di tempat penggilingan daging dinamakan sesuai dengan kegunaannya, seperti pemutih, pengembang, pengeras, pengenyal, dan sebagainya.
Dengan demikian
mereka tidak
mengetahui bahwa bahan yang mereka gunakan sebagai pengenyal kemungkinan adalah boraks.
Dalam hal ini yang perlu ditingkatkan
adalah pengawasan
terhadap peredaran bahan-bahan kimia yang dilarang tersebut mulai dari tingkat distributor, pedagang pengecer sampai ke pengguna akhir. Ketentuan tentang distribusi dan pengawasan bahan berbahaya ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/2/2006. Disamping itu perlu sosialisasi
yang lebih baik lagi kepada para pedagang dan
pelaku usaha
penggilingan daging tentang pemakaian bahan tambahan makanan pengganti boraks seperti STTP dan pengawet makanan seperti Na-karbonat, K-karbonat dan Ca-propionat (Winarno 1997)..
Asosiasi Boraks dengan Cemaran Mikroba Salah satu tujuan pemakaian boraks adalah untuk mencegah perkembangan mikroorganisme sehingga bakso yang mengandung borak akan lebih tahan lama disimpan. Pada tabel 8 terlihat bahwa bakso yang mengandung boraks ternyata masih mengandung cemaran mikroba yang tinggi seperti TPC, Coliform dan Staphylococcus aureus. Untuk melihat apakah keberadaan boraks dalam sampel bakso berpengaruh nyata terhadap cemaran mikroba, maka dilakukan uji Chi Square (χ2) pada tingkat kepercayaan 95%.
34
Tabel 9. Uji Chi Square asosiasi boraks terhadap TPC _________________________________________________________ Faktor
≤105
Total Plate Count (TPC) . % >105 %
χ2
P
0,039
0,844
.
Boraks : - Positif
8
25,0
18
26,9
- Negatif 24 75,0 49 73,1 _______________________________________________________________ (P > 0,05; α = 95%)
Tabel 10. Uji Chi Square asosiasi boraks terhadap Coliform _________________________________________________________ Faktor
≤10
Coliform % >10
%
χ2
P .
21,1
0,864
0,352
Boraks : - Positif
18
29,5
8
- Negatif 43 70,5 30 78,9 _____________________________________________________________ (P > 0,05; α = 95%)
Tabel 11. Uji Chi Square asosiasi boraks dengan Staphylococcus aureus _________________________________________________________ Faktor
≤102
Staphylococcus aureus % >102 %
χ2
P
3,007
0,083
.
Boraks : - Positif
24
30,0
2
0,5
- Negatif
56
70,0
17
89,5
_________________________________________________________ (P > 0,05; α = 95%)
Hasil uji Chi Square pada tabel 9, 10 dan 11 menunjukkan bahwa boraks pada sampel bakso tidak berpengaruh nyata terhadap TPC, jumlah Coliform dan Staphylococcus aureus (P > 0,05). Tujuan penambahan boraks ke dalam adonan bakso antara lain sebagai antimikroba sehingga diharapkan akan menekan perkembangbiakannya dan dapat memperpanjang masa simpan bakso pada suhu kamar.
Dari tabel di atas, sampel yang mengandung boraks dan cemaran
mikrobanya di bawah SNI 01-3818-1995 Coliform dan 30% untuk Staphylococcus
hanya 25% untuk TPC, 29,5% untuk aureus, sedangkan yang cemaran
35
mikroba di atas SNI adalah 26,6% untuk TPC, 21,1% untuk Coliform dan 10,5% untuk Staphylococcus aureus. Hal tersebut mungkin disebabkan jumlah boraks yang diberikan terlalu sedikit sehingga tidak mampu menghambat perkembangan mikroorganisme. Boraks bila dilarutkan dalam air akan menjadi asam borat, suatu senyawa asam lemah yang mempunyai kemampuan sebagai antiseptika. Boraks dan asam borat bukan merupakan bahan tambahan makanan yang diizinkan sehingga dosis pemakaiannya sebagai pengawet pada makanan tidak diketahui. Asam borat sebagai antiseptika yang sering digunakan sebagai obat pencuci mata (boorwater) adalah larutan asam borat 3%, sedangkan talcum powder mengandung 5% boron. Mekanisme kerja boraks atau asam borat sebagai pengawet adalah karena asam akan menurunkan pH sel bakteri, sehingga untuk tetap mempertahan pH konstan dalam sel, bakteri diperlukan energi yang banyak, akibatnya energi yang tersedia untuk sintesa komponen-komponen sel berkurang, oleh karena itu pertumbuhan sel menjadi sangat lambat, bahkan berhenti sama sekali pada pH yang sangat rendah.
Pada kecepatan pertumbuhan yang sangat lambat maka
persediaan energi untuk mempertahankan hidup sangat terbatas, akibatnya sel-sel menjadi mati karena reaksi-reaksi pengasaman di dalam sel (Fardiaz 1992).
Cemaran Mikroba Cemaran mikroba pada makanan dapat berasal dari kontaminasi primer, yaitu
bahan baku pangan tersebut sebelum dipanen atau disembelih,
dan pencemaran dari luar (kontaminasi sekunder). Sumber pencemaran antara lain hewan, tanaman, tanah, air, udara, manusia, limbah dan peralatan (Sanjaya
et al.
2007).
Bakso daging adalah bahan pangan
yang telah
mengalami proses perebusan sebelum dijual atau digunakan. Selayaknya bakso mengandung cemaran mikroba yang relatif rendah karena sebagian besar mikroba mesofilik yang berasal dari bahan mentah tersebut telah mati pada proses perebusan. Daging sapi sebagai bahan baku pembuatan bakso setelah 5 jam pemotongan memiliki nilai TPC 1,9 x 108 dan setelah diolah dan direbus menjadi bakso nilai TPC-nya sebesar 4,1 x 102 (Surjana
2001).
Lamanya proses
perebusan butiran adonan bakso pada pedagang bakso sektor informal di Kota
36
Bogor berlangsung 2 tahap, yaitu tahap pertama direbus dalam air panas dan tahap kedua direbus dalam air tawas. Lama perebusan selama 15 – 25 (Anindita 2003). Hasil pemeriksaan cemaran mikroba pada sampel bakso yang meliputi TPC, cemaran Coliform, cemaran E. coli, cemaran Samonella sp dan cemaran Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Tabel 12. Total Plate Count sampel bakso 67,5% diatas SNI, bakteri Coliform 40,8% di atas SNI dan Staphylococcus aureus 25% di atas SNI, sedangkan E. coli dan Salmonella sp 0% di atas SNI.
Tabel 12. Cemaran Mikroba pada bakso buatan rumahan , bakso buatan pabrik di pasar tradisional dan bakso buatan pabrik di pasar swalayan. Jenis Sampel Bakso
Jml smpl
1.
Bakso buatan rumahan (C)
166
TPC (>1x105) Jml % 114 68,7
2.
Bakso buatan pabrik di pasar tradisional (B1 )
19
11
57,9
2
10,5
6
31,6
0
0,0
0
0,0
12
8
66,6
3
27,3
3
27,3
0
0,0
0
0,0
197
133
67,5
80
40,8
49
25,0
0
0,0
0
0,0
No.
3. Bakso buatan pabrik di pasar swalayan (B2 ) Jumlah
Coliform (>1x101) Jml % 75 44,2
S.aureus (>1x102) Jml % 40 24,1
E. coli ( >3 ) Jml % 0 0,0
Salmonella ( positif) Jml % 0 0,0
Tingginya TPC pada B 1 , B 2 maupun C merupakan gambaran tingginya populasi
mikroorganisme
aerobik
mesofilik
pada
sampel
Mikroorganisme mesofilik akan mati pada proses perebusan
tersebut.
bakso pada air
mendidih. Keberadaan mikroorganisme dalam bahan pangan berkaitan dengan keberadaan mikroorganisme tersebut pada bahan mentah, atau berkaitan dengan penanganan
yang tidak higienis pada waktu pengolahan, penyimpanan dan
distribusi, atau dapat pula berkaitan dengan daya tahan mikroorganisme selama proses pengolahan dan penyimpanan (Lukman 2004). Pada bakso yang telah mengalami proses perebusan,
cemaran mikroba bukan
berasal dari
mentah, melainkan berasal dari kontaminasi setelah bakso matang, kontaminasi dari tangan, pakaian, wadah tempat penyimpanan,
bahan seperti
udara, debu,
sayuran, kemasan pembungkus, botol minuman dan sebagainya. Untuk mencegah
37
kontaminasi dan perkembangan mikoorganisme pada bakso setelah perebusan adalah dengan menerapkan sanitasi dan higiene pada proses pengemasan, penyimpanan , distribusi dan penjualan dan
penerapan sistem rantai dingin
selama distribusi dan penyimpanan. TPC pada bakso di swalayan lebih tinggi dibandingkan dengan bakso dari pasar tradisional antara lain karena di swalayan
bakso disimpan dalam waktu
yang cukup lama pada temperatur tempat penyimpanan yang dingin tetapi tidak beku (± 10 0C). Pada temperatur dingin mikroorganisme mesofilik menjadi tidak aktif atau dihambat pertumbuhannya. Disamping itu show case yang terbuka dimana pembeli mengambil sendiri baksonya dapat menambah kontaminasi dari tangan pemberi dan lingkungan sekitarnya. umumnya
Bakso di pasar tradisional pada
habis terjual dalam waktu satu hari, sehingga walaupun tingkat
kontaminasinya lebih tinggi tetapi mikroorganisme belum berkembang terlalu banyak
Pertumbuhan mikroorganisme berbanding lurus dengan pertambahan
waktu. Pada kondisi ideal satu sel bakteri akan tumbuh menjadi 2 sel setiap 15 30 menit. Nilai TPC pada sampel bakso yang bervariasi mungkin dipengaruhi oleh besar kecilnya ukuran bakso.
Nilai TPC bakso ukuran kecil 63,4% diatas SNI,
bakso ukuran sedang 77,2% di atas SNI dan bakso ukuran besar 58,8% di atas SNI (Tabel 13). Perentase bakso ukuran kecil dan sedang yang memiliki nilai TPC di atas SNI, lebih tinggi dibandingkan dengan persentase bakso berukuran besar. Hal tersebut karena sampel bakso kecil dan bakso sedang yang akan diuji per berat sampel yang ditentukan, diambil dalam bentuk butiran utuh tanpa pemotongan, sedangkan sampel bakso ukuran besar harus mengalami pemotongan untuk mendapatkan berat yang ditentukan. Besar kecilnya bakso berpengaruh terhadap luas permukaan bakso yang kontak dengan lingkungan. Semakin kecil bakso semakin luas permukaannya yang kontak dengan lingkungan sehingga semakin tinggi kemungkinannya mengalami kontaminasi. Sampel bakso ukuran kecil dan sedang memiliki luas permukaan yang kontak dengan lingkungan (yang terkontaminasi) yang lebih besar sehingga nilai TPC-nya lebih tinggi dibandingkan dengan bakso berukuran besar.
38
Tabel 13. Nilai Total Plate Count (TPC) bakso berdasarkan ukurannya Persentase (%)
82
TPC >1x105 (sampel ) 52
Sedang
79
61
77,2
Besar
36
21
58,8
No
Ukuran Bakso
1.
Kecil
2. 3.
Bakteri Coliform menunjukkan bahwa
Jumlah sampel
pada bakso buatan rumahan kontaminasi
63,4
yang cukup tinggi
dapat berasal dari manusia dan dari
lingkungan.
Coliform umumnya ditemukan pada saluran pencernaan manusia
dan hewan.
Selain itu ditemukan juga di tanah, air dan tumbuhan yang
terkontaminasi oleh feses. Bakso buatan rumahan terkontaminasi Coliform dari debu atau bahan mentah seperti sayuran karena pada umumnya disimpan pada tempat terbuka dan bercampur dengan bahan lain. Persentase Staphylococcus aureus terbesar terdapat pada bakso pabrik yang dijual di pasar tradisional. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya intensitas kontak bakso dengan kulit atau tangan penjual dan pembeli yang tidak bersih, karena di pasar tradisional bakso diambil langsung menggunakan tangan telanjang.
S. aureus hidup secara
komensal pada kulit, rambut, rongga hidung dan tenggorokan pada lebih dari 50% orang sehat (Whitt et al. 2002).
Penyebab lainnya adalah lingkungan
pasar yang tidak bersih dan tempat berjualan yang terbuka dan bersatu dengan komoditi lainnya. S. aureus berpotensi menghasilkan toksin pada makanan yang dapat menyebabkan keracunan (food poisoning).
Pengolah makanan dapat
menjadi sumber kontaminasi pada kasus keracunan makanan oleh S. aureus (Carmo et al. 2003). Asosiasi Faktor Sanitasi dengan Cemaran Mikroba Hasil pemeriksaan cemaran mikroba seperti yang ditampilkan Tabel 12 di atas
mengindikasikan bahwa bakso sangat rawan tehadap kontaminasi oleh
mikroorgnisme.
Kesalahan dalam penanganan pada pra produksi, pada saat
produksi dan pasca produksi memberikan andil terhadap tingkat kontaminasi tersebut. Aspek yang harus diperhatikan dalam setiap tahapan produksi tersebut
39
adalah penerapan
faktor-faktor sanitasi dan higiene untuk menjamin bahan
pangan tersebut aman sejak dari pra produksi sampai dikonsumsi oleh manusia (safe from farm to table). Penerapan faktor sanitasi dan higiene pada pedagang bakso rumahan sejak dari proses produksi sampai pasca produksi diuji asosiasinya terhadap cemaran mikroba yaitu terhadap TPC dan Coliform (Tabel 14).
Tabel 14. Uji Chi Square hubungan penanganan higiene dan sanitasi terhadap TPC pada pembuatan bakso rumahan. __________________________________________________________________ Faktor
≤105
1. Pencucian bahan baku a. Ya 23 b. Tidak 18 2. Baso didinginkan a. Ya 39 b. Tidak 2 3. Disimpan pada wadah tertutup a. Ya 14 b. Tidak 27 4. Disimpan pd lemari es a. Ya 15 b. Tidak 25 5. Penyimpanan terpisah a. Ya 25 b. Tidak 16
* berbeda nyata (P ≤ 0,05) pada α = 95%.
TPC % >105
. %
χ2
P
.
22,3 40,9
80 26
77,7 59,1
6,921*
0.021
28,5 20,0
98 8
71,5 80,0
0,332
0,564
25,0 29,7
42 64
75,0 70,3
0,376
0,540
19,2 36,8
63 43
80,8 63,2
5,615*
0,018
61,0 15,1
16 90
39,0 30,945* 0,000 84,9___________________
Pada tabel 14 terlihat bahwa pencucian bahan baku, penyimpanan pada suhu dingin dan penyimpanan terpisah dengan bahan lain berpengaruh nyata terhadap total cemaran mikroba (TPC). Jumlah mikroorganisme pada produk akhir
ditentukan oleh jumlah mikrooorganisme awal (bahan baku). Proses
pencucian
bahan baku daging
bertujuan untuk mengurangi
jumlah
mikroorganisme awal. Daging hewan setelah proses pemotongan mengandung bakteri mesofilik aerobik 103-105/cm2 dan bakteri Enterobacteriaceae (E.coli) < 10/cm2. (Grau
1986) dan pencucian dengan air bersih akan mengurangi
kontaminan tersebut. Penggunaan air pencuci yang tidak layak atau kotor akan meningkatkan cemaran mikroba sehingga total mikroorganisme awal semakin banyak.
Jumlah sel mikroorganisme yang tinggi akan meningkatkan
40
ketahanannya terhadap panas pada proses perebusan. Diduga bahwa mekanisme perlindungan sel terhadap panas di dalam suatu populasi sel yang tinggi disebabkan karena sel memproduksi komponen pelindung, diantaranya protein yang diketahui mempunyai sifat pelindung terhadap panas (Fardiaz 1992). Penyimpanan pada lemari es berpengaruh nyata terhadap TPC, dimana bakso yang disimpan pada lemari es TPC-nya tinggi (80,8%). dimungkinkan bila suhu lemari es lebih tinggi dar 4oC.
Hal tersebut
Suhu adalah faktor
ekstrinsik terpenting yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba. Pada suhu rendah mikroba tidak mati, tapi dihambat pertumbuhannya. Penyimpanan bahan makanan pada suhu dingin (tidak beku) akan mengawetkan mikroba yang telah ada pada bahan makanan tersebut sebelumnya. Suhu lemari es yang baik adalah antara 0oC – 4oC, dimana pada suhu tersebut mikroba tidak tumbuh tetapi masih tetap hidup.
Suhu lebih tinggi dari 4oC sampai 60oC
merupakan zona yang baik bagi pertumbuhan dan perkembangan bakteri sehingga makanan tidak boleh disimpan lebih dari 4 jam pada suhu tersebut. Kondisi tersebut dapat lebih buruk lagi bila penyimpanan dalam lemari es tersebut dicampur dengan bahan-bahan lain seperti sayuran mentah, minuman botol dan sebagainya yang dapat menyebabkan kontaminasi silang. Tabel 15. Uji Chi Square hubungan penanganan sanitasi dan higiene terhadap cemaran Coliform pada pembuatan bakso rumahan. _______________________________________________________________ Faktor
≤10
1. Pencucian bahan baku a. Ya 55 b. Tidak 23 2. Baso didinginkan a. Ya 75 b. Tidak 3 3. Disimpan pada wadah tetutup a. Ya 22 b. Tidak 27 4 Disimpan pd suhu dingin a. Ya 38 b. Tidak 39 5. Penyimpanan terpisah a. Ya 32 b. Tidak 46
* berbeda nyata (P ≤ 0,05) pada α = 95%.
%
Colifom >10
. %
χ2
P .
53,4 52,3
48 21
46,6 47,7
0,016
0,900
54,7 30,0
62 7
45,3 70,0
2,291
0,130
39,3 29,7
34 64
60,7 70,3
6,892*
0,009
48,7 57,4
40 29
51,3 42,6
1,087
0,297
78,0 43,4
9 60
22,0 14,254* 0,000 56,6__________________
41
Pada tabel 15 terlihat bahwa penyimpanan pada wadah tertutup dan penyimpanan terpisah dengan bahan lain berpengaruh nyata terhadap Coliform. Bakso yang disimpan pada tempat terbuka mengandung Coliform yang tinggi. Hal tersebut mudah dimengerti karena bakso yang disimpan pada wadah atau tempat terbuka mudah terkontaminasi mikroba dari debu, udara, atau bahan lainnya. Penyimpanan produk pangan jadi atau matang yang tidak dipisahkan dengan bahan lain, terutama bahan mentah, seperti sayuran, daging mentah dan ikan mentah, beresiko terjadi kontaminasi oleh mikroorganisme yang terdapat pada bahan mentah tersebut.
Bakteri Coliform banyak terdapat pada bahan mentah
terutama yang tidak dicuci dengan baik dengan air yang bersih. Kasus food borne disease yang disebabkan oleh mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi pada saat penyimpanan telah sering dilaporkan.
Untuk mencegah hal tersebut
dianjurkan untuk menyimpan makanan jadi dalam wadah tertutup dan terpisah dalam lemari pendingin.
Penerapan Good Manufacturing Practice (GMP) Penerapan Good
Manufacturing Practice (GMP) atau Good
Hygienic
Practice (GHP) pada pembuatan, penjualan , penyimpanan dan penyediaan bakso di Kabupaten Tangerang secara umum nampaknya belum dilaksanakan oleh para produsen , pedagang dan konsumen. Pada tingkat pedagang eceran di pasar tradisional terlihat bahwa penanganan bakso yang dijual tidak memperhatikan aspek higiene dan sanitasi, seperti tempat berjualan yang bercampur dengan komoditi lain, tempat penyimpanan terbuka dan tidak dingin, mengambil bakso dengan tangan telanjang, pembeli ikut memegang produk serta pedagang tidak menggunakan pakaian yang khusus.
Pada pedagang mie bakso penerapan
higiene dan sanitasi juga belum dilaksanakan dengan baik.. Penyimpanan bakso di gerobag atau pada keranjang terbuka dan bercampur dengan bahan lain seperti sayuran dan mangkok bakso, penggunaan kuah bakso yang tidak mendidih, air pencuci mangkok tidak mengalir serta penggunaan bahan tambahan berbahaya seperti boraks merupakan gambaran belum dilaksanakannya GMP
42
Praktek higiene dan sanitasi pada pengolahan pangan mencakup penerapan pada personal, bangunan, peralatan, proses produksi, penyimpanan dan distribusi (Luning et al. 2003). Higiene personal merupakan bagian yang penting karena manusia adalah reservoar juga vektor bagi mikroorganisme dan dapat menjadi sumber kontaminasi bagi produk pangan. Pada suatu usaha/ industri pengolahan pangan pengertian personal bukan hanya orang yang bekerja di bagian produksi saja, tetapi juga mencakup semua orang yang berada di tempat tersebut termasuk manager, mekanik dan pengunjung, sehingga aturan higiene personal harus diterapkan pada setiap orang (Holah et al. 2003). Penjamah makanan (food handler) harus bertanggung jawab terhadap kesehatan pribadinya dan kebersihan dirinya sedang perusahaan (manajer) harus bertanggungjawab agar masyarakat terhindar dari praktek yang tidak higienis yang dapat menyebabkan penyakit masyarakat. Higiene personal merupakan suatu tahapan dasar yang harus dilaksanakan untuk menjamin produksi makanan yang aman. Higiene personal yang harus diterapkan pada tempat pembuatan dan penjualan bakso adalah kebiasaan menjaga kebersihan diri dan berperilaku dan bekerja sesuai peraturan, yaitu: 1.
Pegawai yang sakit atau yang diduga sakit atau yang baru sembuh dari sakit menular tidak diperbolehkan menangani langsung pangan.
2.
Pegawai yang menangani makanan harus menjaga kebersihan diri (mandi, mencuci rambut).
3.
Memakai pakaian kerja, penutup rambut, masker, alas kaki yang bersih.
4.
Selama bekerja kerja, tangan harus dicuci setelah menggunakan toilet, menangani sampah atau bahan-bahan yang kotor, menangani bahan mentah, memegang uang, merokok, batuk atau bersin.
5.
Bila mempunyai luka harus ditutup dengan plester yang kedap air.
6.
Kuku tangan harus senantiasa pendek dan bersih.
7.
Selama menangani bahan pangan, pekerja harus meninggalkan kebiasaan yang dapat mencemari bahan pangan seperti meludah, merokok, menggigit kuku, menyentuh hidung, wajah, mulut, telinga, rambut serta batuk dan bersin di depan makanan.
43
Tempat pembuatan, penjualan dan penyimpanan bakso di pasar dan di pedagang mie bakso harus selalu dalam kondisi bersih, bebas bau, debu dan asap, tidak dekat tempat sampah, lantai bersih, kering dan tidak becek, penerangan memadai, sistem drainase baik dan tidak ada hama (lalat, kecoa, semut, tikus, kucing). Bahan baku bakso harus aman, sehat, utuh dan halal (ASUH), air bersih dan layak minum serta bahan tambahan makanan (BTM) yang diperkenankan. Sarana dan peralatan untuk pembuatan bakso harus mudah dibersihkan dan disanitasi, bahan kuat, tidak korosif dan tidak toksik. Tempat penjualan dan penyimpanan bakso juga harus bersih, tidak untuk menyimpan bahan mentah dan barang lainnya dan harus bersuhu dingin atau beku. Sarana transportasi dari pasar ke rumah harus pada bersuhu dingin, bersih, tidak beracun dan tertutup. Kemasan yang dipergunakan harus bersih, baru dan tidak mengandung bahan beracun berbahaya. Untuk menjamin pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal dalam rangka mewujudkan kesehatan dan ketentraman batin masyarakat, maka setiap unit usaha pangan asal hewan wajib memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi, karena hal tersebut merupakan dasar bagi terciptanya mutu dan keamanan pangan asal hewan.
Higiene dan sanitasi adalah bagian penting dari sistem keamanan
pangan terpadu dengan kaitan yang erat kepada pelaksanaan peraturan, HACCP, GMP dan pengedalian hama. Higiene dan sanitasi adalah syarat mutlak untuk HACCP dan ditujukan untuk mengurangi bahaya-bahaya secara mikrobilogi, kimiawi dan fisik pada suatu unit usaha pangan. Program sanitasi yang paling efektif akan sia-sia bila para pekerja tidak mengikuti tatacara produksi yang baik, justru akan mencipatakan kontaminasi.
Sebaliknya, program sanitasi yang
tangguh, campur tangan dari semua bagian dan dipadukan dengan sistem jaminan keamanan pangan, akan meningkatkan keamanan pangan (Cramer 2006). Sesuai
dengan
Peraturan
381/Kpts/OT.140/10/2005 (Ditkesmavet
Menteri
pertanian
Nomor
2006). tentang Pedoman Sertifikasi
Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan, bahwa setiap usaha pangan asal hewan wajib memiliki NKV, dan untuk mendapatkan NKV, unit usaha tersebut harus memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi. Bagi unit usaha yang belum dapat diberikan NKV dilakukan pembinaan paling lama 5 (lima) tahun oleh
44
dinas Kabupaten/Kota yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan sampai terpenuhinya persyaratan higiene dan sanitasi, dan selanjutnya wajib memiliki NKV.
Dinak Kabupaten/Kota dalam melakukan pembinaan harus
mengikuti ketentuan yang berlaku. Untuk unit usaha pangan asal hewan, penerapan higiene dan sanitasi secara bertahap, terecana dan berkesinambungan harus dimulai. Penerapan higiene dan sanitasi pada industri pengolahan pangan berskala besar telah dilaksanakan di Indonesia,
namun untuk industri skala
rumah tangga , tahapan-tahapan tersebut belum dilaksanakan. Apabila peraturan atau sistem NKV dapat diterapkan dengan baik pada praktek budidaya maupun pengolahan pangan asal hewan di Indonesia, maka akan meningkatkan keamanan pangan asal hewan di Indonesia.
45
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
Pada penelitian ini masih ditemukannya sampel bakso yang mengandung boraks
(25%),
serta
nilai
TPC
(67,3%),
Coliform
(40,8%)
dan
Staphylococcus aureus (25,0%) melebihi batas maksimum yang ditetapkan dalam SNI 01-3818-1995. Persentase bakso berukuran kecil dan sedang dengan TPC di atas nilai SNI, lebih besar daripada bakso berukuran besar. 2.
Keberadaan boraks pada sampel bakso yang diperiksa tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah cemaran mikroba. Kandungan boraks terendah yang terdeteksi adalah 5,56 mg/kg, dan tertinggi sebesar 4660,40 mg/kg dengan rata-rata 806,86 mg/kg.
3.
Pedagang bakso skala rumah tangga dan pedagang pengecer di pasar tradisional belum melaksanakan praktek higiene dan sanitasi pada tahap pembuatan, penjualan, penyimpanan dan penyediaan bakso.
Saran Untuk meningkatkan kualitas produk bakso di Kabupaten Tangerang dapat dilakukan melalui : 1.
Pembinaan kepada para pedagang bakso dan usaha jasa penggilingan daging dalam pemilihan dan penanganan bahan baku, pemakaian bahan tambahan makanan dan menerapan sanitasi-higiene pada proses pengolahan, penyimpanan dan penyajian bakso. Pembinaan tersebut diarahkan kepada terpenuhinya persyaratan higiene dan sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan pangan untuk mendapatkan Sertifikat Kontrol Veteriner.
2.
Penataan tempat penjualan bagi produk pangan asal hewan di pasar tradisional yang terpisah dengan tempat penjualan bahan lainnya.
46
DAFTAR PUSTAKA Andayani RY. 1999. Standarisasi Mutu Bakso Sapi Berdasarkan Kesukaan Konsumen (Studi Kasus di Wilayah DKI Jakarta). [skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Anindita S. 2003. Keamanan Pangan dan Nilai Gizi Bakso Pedagang Sektor Informal di Desa Babakan dan Kelurahan Cibadak Bogor selama Penjualan. [skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bach SJ, Mc.Alister TA, Veira DM, Gannon VPJ, Holley RA. 2002. Transmission and Control of Escherichia coli O157:H7. Canadian Journal of Animal Science 82: 475-490. Dec. 2002. Bell C, Kyriakides A. 2002. Pathogenic Escherichia coli. Di dalam : Blackburn CW dan Mc.Clure PJ, editor. 2002. Foodborne Pathogens : hazards, risk analysis and control. Cambridge England. Woodhead Publishing Limited. Hlm 280-303. Branen AL, Haggerty RJ. 2002. Introduction to Food Additives. Di dalam : Branen AL, Davidson PM, Salminen S dan Thorngate JH, editor. 2002. Food Additives. Ed ke-2. New York. Marcel Dekker. Hlm 1-9. Brown MH, Booth IR. 1991. Acidulants and Low pH. Di dalam : Russel NJ dan Gould GW. editor. 1991. Food Preservatives. London. Blackie. Hlm 22-43. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1992. SNI-19-2987-1992 tentang Cara Uji Cemaran Mikroba. Jakarta. BSN. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1995a. SNI-01- 0222-1995. tentang Bahan Tambahan Makanan. Jakarta. BSN. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1995b. SNI-01-3818-1995 tentang Bakso Daging. Jakarta. BSN. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1998. SNI-01-4852-1998 tentang Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP) serta Pedoman Penerapannya. Jakarta. BSN. Carmo LS, Dias RS, Linardi VR, Sena MJ, Santos DA. 2003. An Outbreak of Staphylococcal Food Poisoning in the Municipality of Passos, MG, Brazil. Brazillian Arch. of Biol. and Tech. vol..46 no. 4. Curitiba. Des 2003.
47
Chapin RE, Ku WW, Kenney MA et al. 1997. The Effects of Dietary Boron on Bone Strength in Rats. Fund. Appli. Toxicol. 35:205-215. Di dalam : [USEPA-IRIS] United State Environmental Protection Agency – Intergrated Risk Information System. 2004. Toxicological Review of Boron and Compounds (CAS No. 7440-42-8). Washington DC. EPA 635/04/052. http://www.epa.gov/iris/toxreviews/0410-tr.pdf [19-022009]. Cramer MM. 2006. Food Plant Sanitation, Design, Maintenance and Good Manufacturing Practice. New York. Taylor & Francis. Djaafar TF, Rahayu S. 2007. Cemaran Mikroba pada Produk Pertanian, Penyakit yang Ditimbulkan dan Pencegahannya. Jurnal Litbang Pertanian 26(2): 67-75. D’aoust JY. 2001. Salmonella. Di dalam : Labbe RG dan Garcia S, editor. 2001. Guide to Foodborne Pathogens. New York. A John Wiley & Sons Inc. Publication. Hlm 163-191. Davidson PM, Branen AL. 2005. Food Antimicrobial - An Introduction. Di dalam : Davidson PM, Sofos JN dan Branen AL, editor. 2005. Antimicrobials in Food. Ed ke-3. Boca Raton. Taylor & Francis. Hlm1-10. Devirian TA, Volpe SL. 2003. The Physicological Effects of Dietary Boron. Crit. Rev. Food. Sci. Nutr. 43(2):219-231. Di dalam : [USEPA-IRIS] United State Environmental Protection Agency – Intergrated Risk Information System. 2004. Toxicological Review of Boron and Compounds (CAS No. 7440-42-8). Washington DC. EPA 635/04/052. http://www.epa.gov/iris/toxreviews/0410-tr.pdf [19-02-2009]. Doyle MP. 1989. Foodborne Bacterial Pathogens. Food Research Institute. University of Wisconsin-Madison. New York and Basel : Marcel Dekker Inc. [EGVM] Expert Group on Vitamins and Minerals. 2003. Safe Upper Levels for Vitamins and Minerals. Food Standards Agency. United Kingdom. http://www.foog.gov.uk/multimedia/pdfs/vitamin2003.pdf [05-02-2007]. Ellenhorn MJ. 1997. Ellenhorn’s Medical Toxicology : Diagnosis and Treatment of Human Poisoning. Ed ke-2.. Baltimore MD. Williams & Wilkins. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product : boron as a medical ingredient in oral natural hHealth product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-022009].
48
[FAO] Food and Agricultural Organization and [WHO] World Health Organization. 1997. Food Hygiene Basic Texts. Rome. FAO and WHO. Fardiaz S. 1987. Mikrobiologi dalam Keamanan Pangan. Bogor. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. [Ditkesmavet] Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner. 2006. Buku Pedoman Nomor Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan. Jakarta. Direktorat Kesehatan Masyrakat Veteriner, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian. [Ditjen POM] Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan makanan. 1995. Farmakope Indonesia Ed ke-4. Jakarta. Departemen Kesehatan RI . Gonzales FD. 2005. The Use of Diet to Control Pathogens in Animals. Di dalam : Sofos JN, editor. 2005. Improving the Safety of Fresh Meat. Cambridge. England. Woodhead Publishing Limited. Grau FM. 1986. Microbial Ecology of Meat and Poultry. Di dalam : Pearson AM and TR Dutson, editor. Advances in Meat Research : meat and poultry microbiology. Basingstoke. England. Mc.Millan Publisher. Hlm 1-47. Health Canada . 2007. Drug and Health Product : boron as a medical ingredient http://www.hc-sc.gc.ca/dhpin oral natural health product. mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-2009]. Heindell JJ, Price CJ, Field EA, et al. 1992. Developmental Toxicity of Boric Acid in Mice and Rats. Fundam. Appl. Toxicol. 18:2266-277. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product : boron as a medical ingredient in oral natural health product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhpmps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-2009]. Hollah JT, Taylor J. 2003. Personal Hygiene. Di dalam : Lelieveld HLM, Mostert MA, Holah J dan White B, editor. 2003. Hygiene in Food Processing. Cambridge England. Woodhead Publishing Limited. Hlm 288-308. Jansen JA, Andersen J, Schou JS. 1984a. Boric Acid Single Dose Pharmacokinetics afer Intravenous Administration to Man. Arch. Toxicol. 55:64-67. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product : boron as a medical ingredient in oral natural health product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-022009].
49
Jansen JA, Schou JS, Aggerbeck A. 1984b. Gastro-intestinal Absorption and in vitro Release of Boric Acid from Water-emulsifying Oinments. Food Chem. Toxicol. 7:305-319. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product : boron as a medical ingredient in oral natural health product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-2009]. Jay JM, Loessner MJ, Golden DA, editor. 2005. Modern Food Microbiology. Ed ke-7. Springer. Ku WW, Chapin RE, Wine RN. 1993. Testicular Toxicity of Boric Acid Relationship of Dose to Lesion Development and Recovery in the F344 Rat.. Reprod. Toxicol. 7:305-319. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product : boron as a medical ingredient in oral natural health product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-boreeng.php. [21-02-2009]. Lee IP, Sherins RJ, Dixon RL. 1978. Evidence of Germinal Aplasia in Male Rats by Environmental Exposure to Boron. Toxicol Appl. Pharmacol. 45:271298. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product : boron as a medical ingredient in oral natural health product. http://www.hcsc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-2009]. Lukman DW. 2004. Pengujian Jumlah Bakteri pada Pangan Asal Hewan. Laboratorium Kesmavet Departemen Penyakit Hewan dan Kesmavet. Fakultas Kedokteran Hewan. IPB. Lunning PA, Marcelis WS, Jongen WMF. 2003. Food Management Quality – a Techno-Managerial Approach. Wageningen. Wageningen Pers. Muchtadi TR dan Sugiyono. 1989. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Mujamil J. 1997. Deteksi dan Evaluasi Keberadaan Boraks pada Beberapa Jenis Makanan di Kotamadya Palembang. Cermin Dunia Kedokteran No. 120. ISSN : 125 – 913X. Murray FJ. 1998. A Comparative Review of The Pharmacokinetics of Boric Acid in Rodents and Human. Biol. Trace Elem. Res. 66:331-341. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product : boron as a medical ingredient in oral natural health product. http://www.hcsc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-2009].
50
Naim R. 2004. Intoksikasi Mikrobial pada Pangan. Bahan Kuliah. Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner. Program Master Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Novita R. 2003. Keamanan Produk Bakso di Kota Tangerang. [skripsi]. Bogor. Jurusan Gizi dan Sumber Daya Keluarga Fakultas Pertanian. Instutut Pertanian Bogor. Pahl M, Culver D, Vaziri ND. 2005. Boron and the Kidney. J.Ren. Nutr. 15:362-370. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product : boron as a medical ingredient in oral natural health product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-022009]. Pandisurya C. 1983. Pengaruh Jenis Daging dan Penambahan Tepung terhadap Mutu Bakso. [skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Patterson S, Isaacson R. 2003. Genetics and Pathogenesis of Salmonella. Di dalam Torrence M dan Isaacson RE. editor. 2003. Microbial Food Safety in Animal Agriculture : current topics. Iowa. Iowa State Press. Hlm 89-96. [DEPDAG] Departemen Perdagangan. 2006. Peraturan Mnteri Perdagangan Nomor 04/M-DAG/PER/2/2006 tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Jakarta. Departemen Perdagangan. Price CJ, Strong PL, Marr MC, Myers CB, Murray FJ. 1996a. Developmental Toxicity NOAEL and Postnatal Recovery in Rats Fed Boric Acid during Gestation. Fund. Appl. Toxicol. 32:179-193. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product : boron as a medical ingredient in oral natural health product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boronbore-eng.php. [21-02-2009]. Price CJ, Marr MC, Myers CB, et al. 1996b. Developmental Toxicity of Boric Acid in Rabbits. Fund. Appl. Toxicol. 34:176-187. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product : boron as a medical ingredient in oral natural health product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhpmps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-2009]. Rabsch W, Altier C, Tschape H, Baumler AJ. 2003. Foodborne Salmonella Infections. Di dalam : Torrence M dan Isaacson RE. editor. 2003. Microbial Food Safety in Animal Agriculture : current topics. Iowa. Iowa State Press. Hlm 97 -107.
51
Samman S, Naghii MR, Lyons WPM, Verus AP. 1998. The Nutritional and Metbolic Effects of Boron in Humans and Animals. Bio. Trace Elem. Res. 66:227-235. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product : boron as a medical ingredient in oral natural health product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhp-mps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-022009]. Sanjaya AW, Sudarwanto M, Soejoedono RR, Purnawarman T, Lukman DW, Latif H. 2007. Higiene Pangan. Bogor. Bagian Kesmavet Departemen IPHK Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Schou JS, Jansen JA, Aggerbeck A. 1984. Human Farmacokinetics and Safety of Boric Acid. Arch. Toxicol. 7:232-235. Di dalam : [USEPA-IRIS] United State Environmental Protection Agency – Intergrated Risk Information System. 2004. Toxicological Review of Boron and Compounds (CAS No. 7440-42-8). Washington DC. EPA 635/04/052. http://www.epa.gov/iris/toxreviews/0410-tr.pdf [19-02-2009]. Sheftel
VO. 2000. Indirect Food Additives and Polymers. Migration and Toxicology. Washington D.C. Lewis Publishers.
Sunarlim R. 1992. Karakteristik Mutu Bakso Daging Sapi dan Pengaruh Penambahan Natrium Klorida dan Natrium Tripolifosfat terhadap Perbaikan Mutu. [tesis]. Bogor. Program Pasca Sarjana Instutut Pertanian Bogor. Surjana W. 2001. Pengawetan Bakso Daging Sapi dengan Bahan Additif Kimia pada Penyimpanan Suhu Kamar. [skripsi]. Bogor. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Sutherland J, Varnam A. 2002. Enterotoxin-producing Staphylococcus, Shigella, Yersinia, Vibrio, Aeromonas and Plesiomonas. Di dalam : Blackburn CW dan Mc.Clure PJ, editor. 2002. Foodborne Pathogens : hazards, risk analysis and control. Cambridge England. Woodhead Publishing Limited. Hlm 387-413. Todar K. 2008. Pathogenic E. coli. http://www.textbookofbacteriology.net/ e.coli.html. Online Textbook of Bacteriology. University of Wisconsin. Madison. Departement of Bacteriology. Thrusfield M . 1995. Veterinary Epidemiology. Ed ke-2. London. Blackwell Science Ltd,. [USEPA-IRIS] United State Environmental Protection Agency – Intergrated Risk Information System. 2004. Toxicological Review of Boron and Compounds (CAS No. 7440-42-8). Washington DC. EPA 635/04/052. http://www.epa.gov/iris/toxreviews/0410-tr.pdf [19-022009].
52
[USEPA] United State Environmental Protection Agency. 2008. Report of the Food Quality Protection Act (FQPA) Telerance Reassessment Eligibility Decision (TRED) for Boric Acid / Sodium Borate Salt, approved by Edwards D. United States Environmental Protection Agency. http://www.epa.gov/boric_acid_tred[1]. [20-11-2008]. Verbruggen R. 2002. Food Additive Regulations in The European Community. Di dalam : Davidson PM, Branen AL, Sofos JN. editor. 2005. Antimicrobials in Food. Ed ke-3. New York. Taylor & Francis. Walpole RE. 1983. Pengantar Statistika Ed ke-3. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. Weir RJ, Fisher RS. 1972. Toxicologic Studies on Borax and Boric Acid. Toxicol. Appl. Pharmacol. 23(3):351-364. Di dalam : Health Canada. 2007. Drug and Health Product : boron as a medical ingredient in oral natural health product. http://www.hc-sc.gc.ca/dhpmps/pubs/natur/boron-bore-eng.php. [21-02-2009]. [WHO] World Health Organization. 1998. Environmental Health Criteria 204 : Boron. Geneva, Switzerland: WHO. . Di dalam : [USEPA-IRIS] United State Environmental Protection Agency – Intergrated Risk Information System. 2004. Toxicological Review of Boron and Compounds (CAS No. 7440-42-8). Washington DC. EPA 635/04/052. http://www.epa.gov/iris/toxreviews/0410-tr.pdf [19-02-2009]. Whitt DD, Salyers AA. 2002. Bacterial Pathogenesis : A Molecular Approach, Ed ke-2. USA. ASM Press. ISBN 1-55581-171-X. Wibowo S. 1999. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Jakarta. Penebar Swadaya. Wilson
NRP, Diyet EJ, Hughes RB, Jones CRV. Products. London. Applied Science Publisher.
1981.
Meat and Meat
Winarno FG. 1997. Keamanan Pangan. Naskah Akademik. Bogor. Institut Pertanian Bogor. Woods WG. 1994. An Introduction to Boron : History, Sources, Uses and Chemistry. Environ Health Perspect 102 (Suppl 7):5-11, . Di dalam : [USEPA-IRIS] United State Environmental Protection Agency – Intergrated Risk Information System. 2004. Toxicological Review of Boron and Compounds (CAS No. 7440-42-8). Washington DC. EPA 635/04/052. http://www.epa.gov/iris/toxreviews/0410-tr.pdf [19-022009]. Wray C, Davies RH. 2003. Salmonella spp. Di dalam : Torrence M dan Isaacson RE. editor. 2003. Microbial Food Safety in Animal Agriculture : current topics. Iowa. Iowa State Press. Hlm 73-82.
53
LAMPIRAN
54
Lampiran 1. Syarat Mutu Bakso Daging (SNI-01-3818-1995) No 1
Kriteria Uji
Satuan
Persyaratan
Keadaan :
1.1
Bau
-
Normal khas daging
1.2
Rasa
-
Gurih
1.3
Tekstur
-
Kenyal
2
Air
% b/b
Maks 70,0
3
Abu
% b/b
Maks 3,0
4
Protein
% b/b
Min 9,0
5
Lemak
% b/b
Maks 2,0
6
Boraks
-
7
Bahan tambahan makanan
8
Cemaran logam :
Tidak boleh ada
Sesuai dengan SNI 01-0222-1995
8.1
Timbal (Pb)
mg/kg
Maks 2,0
8.2
Tembaga (Cu)
mg/kg
Maks 20,0
8.3
Seng (Zn)
mg/kg
Maks 40,0
8.4
Timah (Sn)
mg/kg
Maks 40,0
8.5
Raksa (Hg)
mg/kg
Maks 0,03
9
Cemaran arsen (As)
mg/kg
Maks 1,0
10
Cemaran mikroba :
10.1
Angka Lempeng Total
koloni/g
Maks 1 x 105
10.2
Bakteri bentuk koli
APM/g
Maks 10
10.3
Escherichia coli
APM/g
≤3
10.4
Enterococci
Koloni/g
Maks 1 x 103
10.5
Clostridium perfringens
Koloni/g
Maks 1 x 102
10.6
Salmonella
10.7
Staphylococcus aureus
koloni/g
Negatif Maks 1 x 102
55
Lampiran 2 Homogenisasi Contoh Bakso
Homogenisasi adalah cara persiapan contoh makanan untuk memperoleh distribusi bakteri sebaik mungkin di dalam contoh makanan yang ditetapkan. Tujuan : Membebaskan sel sel bakteri yang mungkin terlindungi oleh partikel makanan, dan untuk menggiatkan kembali sel-sel bakteri yang mungkin viabi litasnya berkurang karena kondisi yang kurang menguntungkan di dalam makanan. Cara Kerja : a. Timbang sejumlah 25 gr cuplikan ke dalam wadah blender. b. Tambahkan 225 ml larutan pengencer hingga diperoleh pengenceran 1 : 10 . c. Homogenkan dengan kecepatan 11500-20000 per menit. d. Lakukan pengenceran bertahap sesuai keperluan masing-masing uji
Homogenisasi contoh bakso untuk uji Salmonella : a. Timbang 25 gr cuplikan ke dalam wadah blender, tambahkan 225 ml Lactose Broth, b.
Homogenkan dengan diblender.
disarikan dari : SNI -19-2987-1992
56
Lampiran 3. Cara Pemeriksaan Total Plate Count (TPC)
Prinsip : Pertumbuhan bakteri mesofil aerob setelah contoh diinkubasikan dalam media pembenihan yang cocok selama 24 – 48 jam pada suhu 35 ± 1oC.
Cara Kerja 1. Lakukan persiapan dan homogenisasi contoh sesuai lampiran 3. 2. Pipet 1 ml dari masing-masing pengenceran ke dalam cawan Petri steril secara simplo dan duplo. 3. Ke dalam setiap cawan Petri tuangkan sebanyak 12 -15 ml media PCA cair yang bersuhu 45 ± 1oC dalam waktu 15 menit dari pengenceran pertama. 4. Goyangkan cawan Petri dengan hati-hati hingga contoh tercampur rata dengan media PCA. 5. Biarkan hingga campuran dalam cawan Petri membeku. 6. Masukkan semua cawan Petri dengan posisi terbalik ke dalam inkubator dan inkubasikan pada suhu 35 ±1oC selama 24 - 48 jam. 7. Catat pertumbuhan koloni pada setiap cawan yang mengandung 25 – 250 koloni setelah 48 jam. 8. Hitung Total Plate Count dalam 1 gram contoh dengan mengalikan jumlah ratarata koloni pada cawan dengan faktor pengenceran yang digunakan.
disarikan dari : SNI -19-2987-1992
57
Lampiran 4 Cara Pemeriksaan Bakteri Coliform Metoda :
Most Probable Number(MPN) atau APM (Angka Paling Mungkin)
menggunakan 3 tabung. Prinsip : Pertumbuhan bakteri Coliform ditandai dengan terbentuknya gas dalam tabung Durham setelah contoh diinkubasikan dalam media pembenihan yang cocok pada suhu 36 ± 1oC selama 24 dan 48 jam dan selanjutnya dirujuk ke tabel APM. Cara Kerja : 1. Uji Sangkaan a. Lakukan homogenisasi contoh seperti pada lampiran 3. b. Pipet 1 ml contoh pengenceran 10-1 ke dalam masing-masing 3 tabung yang berisi 5 ml Lauryl Sulphate Tryptose Broth (LST) atau Lactose Broth yang di dalamnya terdapat tabung Durham terbalik. c. Lakukan juga dengan cara yang sama terhadap pengenceran 10-2 (1:100) pada 3 tabung kedua dan pengenceran 10-3 (1:1000) pada 3 tabung ketiga.(tiap pengenceran gunakan pipet yang baru dan steril) d. Simpan semua tabung dalam inkubator pada suhu 36 ±1oC selama 24 dan 48 jam. e. Setelah 24 jam catat jumlah tabung yang membentuk gas pada masing-masing pengenceran dan simpan lagi tabung yang tidak membentuk gas dalam inkubator pada suhu 36 ±1oC selama 24 jam lagi, kenudian catat jumlah tabung yang membentuk gas. 2. Uji Penegasan (comfirmed test) a. Pindahkan sebanyak 1 ose dari tiap tabung yang membentuk gas pada media LST ke dalam tabung yang berisi 10 ml Brilliant Green Lactose Bile Broth 2% (BGLB 2%). b. Masukkan semua tabung ke dalam inkubator pada 36 ± 1oC selama 24 – 48 j jam. Adanya gas pada tabung BGLB memperkuat adanya bakteri koliform dalam contoh. c. Catat tabung yang positif gas pada uji penegasan. d. Angka Paling Mungkin (APM) dari koliform dilihat pada tabel.
disarikan dari : SNI -19-2987-1992
58
Lampiran 5 Cara Pemeriksaan Escherichia coli
Metode : Angka Paling Mungkin ( APM ) Prinsip : Pertumbuhan E. coli yang ditandai oleh terbentuknya gas di dalam tabung Durham setelah diinkubasi dalam media pembenihan yang cocok pada suhu 44oC selama 24 48 jam yang diikuti dengan uji biokimia dan selanjutnya dirujuk pada tabel APM. Cara Kerja : 1. Masukkan 1 ose biakan yang positif pada LST broth dari angka paling mungkin bakteri Koliform ke dalam tabung berisi Escherichia Coli Broth (EC broth) yang di dalamnya terdapat tabung Durham terbalik. 2. Inkubasikan dalam penangas air pada suhu 44-45oC selama 24-48 jam. 3. Catat tabung yang di dalamnya terbentuk gas (E.coli dianggap positif jika di dalam tabung terbentuk gas). 4. Lanjutkan penetapan E.coli dengan menginokulasikan biakan yang membentuk gas ke pembenihan Eosin Methylene Blue (EMB) atau Violet Red-Bile Agar (VRBA) dalam cawan Petri. Inkubasikan pada 35oC selama 18-24 jam. 5. Pilih koloni berwarna merah gelap (pada VRBA) yang berdiameter 0,5 mm atau lebih, atau koloni berwarna kilap logam (pada EMB) dan inokulasikan pada Nutrient Agar (NA) miring dalam tabung. Inkubasikan pada suhu 35oC selama 18-24 jam. Pada waktu yang sama lakukan pewarnaan Gram sebagai berikut : Buat sediaan di atas gelas objek. Keringkan di udara dan fiksasi dengan panas. Warnai sediaan dengan larutan crystal violet selama 1 menit. Cuci dengan akuadest dan tiriskan. Bubuhkan larutan Lugol (Gram’s iodine) selama 1 menit. Cuci dengan akuadest dan tiriskan. Cuci (hilangkan warna) dengan alkohol 95% selama 30 detik. Cuci dengan akuadest, tiriskan. Bubuhkan larutan Safranin (Hucker’s counterstain) selama10-30 detik. Cuci dengan akuades, tiriskan, serap dengan kertas saring, keringkan dan periksa di bawah mikroskop. 6. Lakukan pengujian IMVIC ( indol, merah metil, Voges-Proskauer dan sitrat) dari biakan Nutrient Agar pada butir 5.
Pengujian IMVIC 1. Uji Indol Dari biakan murni Nutrient Agar miring inokulasikan 1 ose biakan ke dalam Ttryptone broth. Inkubasi pada 35 ±1oC selama 18-24 jam. Setelah 18-24 jam tambahkan 0,2-0,3 pereaksi indol ke dalam tabung dan kocok selama 10 menit. Warna merah tua pada permukaan menunjukkan reaksi indol positif, warna jingga menunjukkan reaksi indol negatif.
59
2. Uji Merah Metil (Methyl red) Dari biakan murni Nutrien agar miring inokulasikan 1 ose ke dalam media MR-VP. Inkubasikan pada suhu 35oC selama 48 jam. Dengan menggunakan pipet pindahkan 5 ml ke tabung reaksi dan tambahakan 5 tetes merah metil lalu dikocok. Warna kuning menunjukkan reaksi negatif dan warna merah menunjukkan reaksi positif. 3. Uji VP (Voges Proskauer) Dari biakan murni Nutrient Agar miring inokulasikan 1 ose biakan ke dalam media MR-VP. Inkubasikan pada 26 ±1oC selama 48 jam. Dengan menggunakan pipet tambahkan 0,6 ml larutan alfa naftol dan 0,2 ml larutan kalium hidroksida dan kocok. Diamkan sekama 2-4 jam. Warna merah muda hingga merah tua menunjukkan reaksi positif, warna tidak berubah menunjukkan reaksi negatif. 4. Uji Sitrat Dari biakan murni Nutrient Agar miring inokulasikan 1 ose biakan ke dalam media Simmons Citrate atau Koser’s Citrate. Inkubasikan pada suhu 35oC selama 48-96 jam. Warna biru menunjukkan reaksi positif, warna hijau menunjukkan reaksi negatif (pada media Simmons Citrate) dan adanya kekeruhan pada media Koser’s citrate menunjukkan reaksi positif.
disarikan dari : SNI -19-2987-1992
60
Lampiran 6 Cara uji Salmonella Prinsip : Pertumbuhan Salmonella pada media pembenihan selektif yang dilanjutkan dengan uji biokimia dan uji serologi. Cara Kerja 1. Penyiapan dan homogenisasi contoh : Lakukan homogenisasi contoh seperti diuraikan pada lampiran 3. 2. Pra-pengkayaan (pre-enrichment) a. Pindahkan contoh yang telah dihomogenisasi secara aseptik ke dalam botol kapasitas 500 ml steril. b. Inkubasikan pada 36 ±1oC selama 16-20 jam. 3. Pengkayaan (enrichment) a. Pipet 10 ml biakan pra-pengkayaan ke dalam 100 ml Selenite Cystine Broth. b. Inkubasi pada suhu 35-37oC selama 24 jam c. Pipet 10 ml biakan pra-pengkayaan ke dalam 100 ml Tetrathionat Brilliant Green Broth. d. Inkibasikan pada suhu 43oC selama 24 jam. 4. Penanaman pada media pembenihan selektif a. Pindahkan biakan pengkayaan dengan cara menggoreskan masing- masing biakan dengan ose ke dalam cawan Petri yang berisi Brilliant Green Agar (BGA) dan Bismuth Sulfit Agar (BSA) atau media selektif lainnya. b. Inkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. c. Amati tersangka koloni Salmonella pada media dengan ciri-ciri sebagai berikut : BGA : koloni berwarna merah muda hingga merah atau bening hingga buram dengan lingkaran merah muda sampai merah. BSA : koloni berwarna coklat, abu-abu sampai hitam dan kadang-kadang kilap logam. Warna media di sekitar koloni mula-mula coklat dan kemudian menjadi hitam jika masa inkubasi bertambah. Pada beberapa strain koloni berwarna hijau dengan daerah sekelilingnya ber-warna lebih gelap. 5. Konfirmasi atau penegasan (uji biokimia) a. Pilih 2-5 koloni tersangka, goreskan pada permukaan Nutrient Agar dalam cawan Petri yang sudah disiapkan terlebih dahulu dan inkubasikan pada suhu 37oC selama 24-48 jam. b. Dari koloni yang diisolasi pada Nutrient Agar, pindahkan ke dalam media sebagai berikut : 1) Triple Sugar Iron Agar (TSIA) a. Tersangka koloni Salmonella dipindahkan ke media miring TSIA dengan cara digoreskan pada bagian miringnya dan ditusukkan pada bagian tegaknya. b. Inkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam.
61
c.
Amati terjadinya perubahan-perubahan sebagai berikut : Pada bagian tegaknya Salmonella akan : - Memfermentasi glukosa , warna media berubah dari ungu menjadi kuning. - Tidak memfermentasi sakarosa, media tetap ungu. - Dapat membentuk gas H2S, warna media berubah dari ungu menjadi hitam. Pada bagian miringnya Salmonella akan : - Dapat memfermentasi laktosa atau sakarosa media menjadi kuning. - Tidak memfermentasikan laktosa atau sukrosa, warna media tetap merah atau tidak berubah. 2) Urea Agar a. Goreskan tersangka koloni Salmonella pada permukaan Urea Agar miring. b. Inkubasikan selama 24 jam pada suhu 37oC. Timbulnya warna merah muda menunjukkan reaksi positif dan warna tidak berubah reaksi negatif. 3) Lysine Decarboxylation Medium a. Inokulasikan tersangka koloni Salmonella pada media cair Lysine decarboxylation Broth. b. Inkubasikan pada suhu 37oC selama 48 jam. Timbulnya warna ungu menunjukkan reaksi positif. 4) VP Medium a. Masukkan masing-masing 1 ose tersangka koloni ke dalam 2 tabung reaksi yang berisi 0,2 ml media VP. b. Inkubasikan tabung ke-1 pada suhu kamar dan tabung ke-2 pada suhu37oC selama 48 jam. c. Pada tiap tabung tambahkan 2 tetes larutan kreatin, 3 tetes larutan alfanaftol dan 2 tetes pereaksi KOH. Lakukan pengocokan tiap kali menambahkan pereaksi. d. Amati dalam waktu 15 menit. Warna merah jambu sampai merah tua menunjukkan reaksi positif, dan bila tidak berubah berarti negatif 5) Indol Medium a. Masukkan 1 ose koloni tersangka ke dalam tabung.media indol b. Inkubasikan pada 37oC selama 24 jam. Tambahkan 1 ml pereaksi indol. c. Terbentuknya cincin merah menunukkan reaksi positif. Bila tidak ada perubahan warna atau warna kuning kecoklatan reaksi negatif. 6. Uji Serologi Lakukan uji serologi bila reaksi biokimia menunjukkan ada Salmonella. Ambil 1 ose biakan dari TSIA dan oleskan pada gelas sediaan. Kemudian teteskan sedikit antisera di samping biakan. Dengan menggunakan ose campurkan tetesan antisera dengan biakan hingga homogen. Penggumpalan yang terjadi menunjukkan uji positif.
disarikan dari : SNI -19-2987-1992
62
Lampiran 7. Cara uji Staphylococcus aureus Metoda : Plate Count (Angka Lempeng) untuk contoh yang diperkirakan mengandung lebih dari 100 Staphylococcus aureus. Prinsip : Pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada media pembenihan khusus setelah diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24-48 jam dan dilanjutkan dengan uji koagulase. Cara kerja : 1. Lakukan homogenisasi contoh seperti pada lampiran 3. 2. Pipet 0,1 ml suspensi dari setiap pengenceran ke atas permukaan Baird Parker Agar dan sebarkan merata dengan menggunakan spreader. Keringkan permukaan sebelum diinkubasi. 3. Inkubasikan pada suhu 36 ±1oC selama 30-48 jam. 4. Pilih cawan Petri yang mengandung koloni 20-200 dan hitung tersangka koloni Staphylococcus aureus yaitu koloni berwarna hitam mengkilat dengan lingkaran cerah di sekelilingnya. 5. Lanjutkan pemeriksaan dengan uji koagulase.
Uji Koagulase 1. Pindahkan koloni tersangka ke dalam tabung berisi 5 ml Brain Heart Infusion Broth (BHIB). 2. Inkubasikan pada suhu 36 ±1oC selama 20-24 jam. 3. Siapkan dalam tabung steril plasma darah kelinci sebanyak 0,3 ml dan tambahkan0,1 ml biakan dalam BHIB yang berumur 1 malam. 4. Inkubasikan campuran (3) pada 36 ±1oC selama 2-6 jam. 5. Amati ada tidaknya koagulasi. Bila tidak terjadi koagulasi lanjutkan inkubasi pada suhu kamar selama 24 jam, dan amati kembali ada tidaknya koagulasi. 6. Hitung jumlah Staphylococcus aureus dalam 1 gram atau 1 ml contoh yang memberikan reaksi koagulasi positif (jumlah koloni dalam cawan dikalikan faktor pengenceran).
disarikan dari : SNI -19-2987-1992
63
Lampiran 8 . KUISIONER UNTUK PEDAGANG BAKSO DI PASAR TRADISIONAL DAN SWALAYAN I.
II.
DATA USAHA 1. Nama Pedagang 2. Alamat /Tempat Usaha
: :
3.. Jumlah Pegawai 4.. Kapasitas jual per hari (kg)
: :
DATA PRODUK 1. Asal bakso sapi / nama pabrik 2. Jenis bakso yang dijual a. b. c. d. e. 3. Umur bakso pada saat disampling 4. Jenis Kemasan 5. Ciri-ciri / karakteristik
No
Karakteristik
1
Penampakan
2
Warna
3
Ukuran
4
Tekstur
5
Bau
Bakso Jenis 1
:
: : :
Bakso Jenis 2
Bakso Jenis 3
Bakso Jenis 4
64
III. PENERAPAN HIGIENE DAN SANITASI
1. Tempat penjualan bakso tersendiri dan dalam ruangan : 1. Ya 2. Tidak 2. Bakso ditempatkan dalam lemari pendingin : 1. Ya 2. Tidak 3. Tempat menyajikan bakso bersih dan tertutup : 1. Ya 2. Tidak 4. Tempat berjualan bersih dari sampah, lalat atau serangga lainnya : 1. Ya 2. Tidak 5. Pelayan mengambil bakso memakai sendok/penjepit/sarung tangan : 1. Ya 2. Tidak 6. Pelayan memakai baju bersih : 1. Ya 2. Tida k 7. Pembungkus bakso baru : 1. Ya 2. Tidak 8. Pembeli ikut memilih dan memegang bakso : 1. Ya 2. Tidak 9. Bakso yang tidak terjual disimpan di lemari pendingin : 1. Ya 2. Tidak 10. Ada masa kadaluarsa dari bakso yang dijual : 1. Ada 2. Tidak ada
(1) (0) (1) (0) (1) (0) (0) (1) (1) (0) (1) (0) (1) (0) (0) (1) (1) (0) (1) (0)
65
Lampiran 9. KUISIONER UNTUK PEDAGANG MEI BAKSO YANG MEMBUAT BAKSO SENDIRI I.
DATA USAHA 1. Nama warung 2. Nama Pemilik / penanggungjawab 3. Lokasi /Tempat Usaha 4. Alamat Tempat Usaha 5. Jumlah Pegawai 6.. Kapasitas penjualan per hari (kg)
II.
DATA PRODUK 1. Umur bakso pada saat disampling 2. Asal daging sapi 3. Jenis daging yang digunakan 4. Tempat menggiling daging 5. Mencetak bakso menggunakan 6. Sifat bakso yang dihasilkan
: : : : : :
: : : segar / sudah dilayukan / beku * : : tangan / cetakan bakso * : - Penampakan : - Ukuran : - Warna : - Bau : - Tekstur :
6 Bahan-bahan yang digunakan :
No 1. 2. 3. 4. 5.
6.
7.
Bahan - bahan Daging sapi Es batu Sagu aren atau lainnya (sebutkan) Bumbu-bumbu : - Lada - Bawang putih - Bawang goreng - Garam - Penyedap rasa Bahan-bahan kimia : - Pemutih - Soda kue - Tawas - Boraks/pijer/bleng Bahan lainnya (sebutkan) : …………………… …………………… .…………………..
Banyaknya ………………………… ........................................ ………………………… ………………………… ……………………….... ………………………… ………………………… …………………………
………………………… ………………………… ………………………… …………………………
66
………………………… ………………………… …………………………
* Coret yang tidak perlu III.
HIGIENE DAN SANITASI PENGOLAHAN BAKSO
1. Daging dibersihkan dan dicuci dahulu sebelum diolah atau digiling : 1. Ya 2. Tidak 2. Es yang digunakan dicuci dulu sebelum dipakai : 1. Ya 2. Tidak 3. Bumbu-bumbu dibersihkan dan dicuci sebelum digunakan : 1. Ya 2. Tidak 4. Membawa adonan dari tempat penggilingan adonan diberi es : 1. Ya 2. Tidak 5. Sebelum membuat /mencetak bakso terlebih dulu mencuci tangan : 1. Ya 2. Tidak 6. Setelah direbus bakso didinginkan dulu sebelum disimpan : 1. Ya 2. Tidak
(1) (0) (1) (0) (1) (0) (1) (0) (1) (0) (1) (0)
7. Menyimpan bakso dalam kemasan atau wadah tertutup : 1. Ya (1) 2. Tidak (0) 8. Bakso disimpan pada lemari es : 1. Ya (1) 2. Tidak (0) 9. Disimpan terpisah dengan bahan lain 1. Ya (1) 2. Tidak (0) 10. Sebelum dijual atau sajikan, bakso dimasak kembali dalam air mendidih 1. Ya (1)
67
2. Tidak
(0)
.
Lampiran 10. Rekapilulasi hasil pemeriksaan sampel bakso Mikrobiologi
Kode Sampel
Fisik
1
2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
No
E.coli
Salmonella spp.
Boraks (mg/kg)
6
7
8
9
<3
<1,0 x 10
<3
Negatif
Negatif
<3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 9 <3 15 <3 <3 <3 <3 <3 1100 <3 <3 <3 <3 23 9 >2400
<1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 >1,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10
<3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif t.a.d Negatif t.a.d Negatif t.a.d 4.660,40 Negatif t.a.d 701,61 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif t.a.d t.a.d t.a.d Negatif 82,68 t.a.d Negatif
TPC
Coliform
3
4
5
B 01
kecil
B 03 B 03 B 04 B 05 B 06 B 07 C 08 C 09 C 10 C 11 C 12 C 13 C 14 C 15 C 16 C 17 C 18 C 19 C 20 C 21 B 22 B 23 C 24
kecil kecil besar kecil kecil kecil kecil sedang besar kecil besar kecil kecil besar sedang sedang kecil sedang sedang besar sedang kecil sedang
TBUD 6,0x104 6,0x104 5,1x104 4,0x106 2,8x105 1,1x106 2,8x104 5,0x105 4,8x104 1,1x104 4,3x105 6,0x104 TBUD 5,2x105 2,0x105 TBUD 4,6 x104 1,0x105 1,7x105 TBUD 3,0x104 3,2x104 4,0x106
S.aureus
68
25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 1 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78
C 25 C 26 C 27 C 28 C 29 C 30 C 31 B 32 B 33 C 34 C 35 C 36 B 37 C 38 B 39 B 40 B 41 B 42 B 43 B 44 B 45 2 B 46 C 47 C 48 C 49 C 50 C 51 C 52 C 53 C 54 C 55 C 56 C 57 C 58 C 59 C 60 C 61 C 62 C 63 C 64 C 65 C 66 C 67 C 68 C 69 C 70 C 71 C 72 C 73 C 74 C 75 C 76 C77 C 78
kecil sedang kecil besar besar sedang kecil sedang sedang sedang sedang besar sedang besar sedang sedang kecil kecil kecil kecil sedang 3 kecil kecil besar sedang besar besar kecil kecil besar kecil sedang sedang sedang sedang kecil sedang sedang sedang sedang besar sedang kecil sedang kecil sedang besar sedang kecil kecil sedang besar besar sedang
4,0x106 3,3x105 1,5x105 2,1x104 2,2x103 3,2x106 3,0x103 1,0x106 2,0x105 3,0x103 2,6x106 5,9x104 <1,0x10 1,6 x 105 1,3x104 TBUD 2,4x106 6,0x104 2,4x106 3,9x104 3,4x106 4 3,2x104 6,6x104 1,3x104 1,2x106 1,0x105 1,1x103 9,6x105 TBUD TBUD 5,0x104 1,7x103 1,1x105 4,4x104 1,8x104 TBUD TBUD TBUD 2,8x105 1,0x104 1,0x106 2,8x106 8,0x102 2,8x106 3,5x106 6,0x106 TBUD 2,1x106 2,8x104 TBUD 2,4x105 1,0x102 TBUD 2,6x106
21 <3 4 <3 <3 15 <3 43 9 23 15 <3 <3 <3 <3 <3 4 <3 <3 <3 11 5 <3 4 9 150 93 <3 93 1100 240 23 <3 <3 <3 <3 93 > 2400 23 93 240 <3 <3 <3 4 <3 460 23 150 <3 <3 <3 <3 <2400 93
>1,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 2,0x102 2,0x102 <1,0x10 <1,0x10 3,3x103 <1,0 x 10 <1,0x10 2,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 6 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 6,0x102 <1,0 x 10 5,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 4,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 1,6x103 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 >1,0x102 <1,0x10 >1,0x102
<3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 7 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 8 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
t.a.d t.a.d t.a.d 31,08 Negatif t.a.d t.a.d t.a.d 29,56 Negatif t.a.d t.a.d t.a.d Negatif t.a.d t.a.d t.a.d 11,86 Negatif t.a.d Negatif 9 t.a.d 57,54 t.a.d t.a.d t.a.d 13,84 t.a.d 5,65 Negatif t.a.d t.a.d 18,21 t.a.d 59,75 t.a.d t.a.d 67,46 t.a.d Negatif Negatif t.a.d t.a.d Negatif t.a.d t.a.d Negatif t.a.d t.a.d Negatif t.a.d Negatif t.a.d t.a.d
69
79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 1 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132
C 79 C 80 C 81 C 82 C 83 C 84 B 85 B 86 B 87 B 88 B 89 B 90 B 91 C 92 C 93 C 94 C 95 C 96 C 97 C 98 C 99 2 C 100 C 101 C 102 C 103 C 104 C 105 C 106 C 107 C 108 B 109 C 110 C 111 C 112 C 113 C 114 B 115 B 116 C 117 C 118 C 119 C 120 C 121 C 122 C 123 C 124 C 125 C 126 C 127 C 128 C 129 C 130 C 131 C 132
besar sedang besar besar besar besar besar kecil kecil kecil kecil kecil kecil besar kecil besar besar besar besar kecil kecil 3 kecil kecil kecil kecil kecil kecil sedang kecil kecil kecil sedang sedang sedang kecil kecil sedand kecil sedang kecil sedang besar sedang besar besar besar sedang besar sedang kecil sedang sedang sedang sedang
TBUD 8,3x105 2,4x106 TBUD 4,6x106 1,1x106 2,1x104 8,1x106 2,5x105 TBUD 1,8x105 TBUD 6,0x104 1,4x106 1,7X106 1,4x105 2,7x106 2,9x103 1,6x102 5,0x102 6,4x105 4 1,6x105 1,2x105 2,2x105 3,6x104 3,4x105 1,8x106 1,0x106 5,7x104 1,8x105 1,0x106 1,5x107 6,4x105 2,8x106 1,2x107 TBUD TBUD 2,4x105 3,7x103 1,0x106 4,0x105 1,2x104 2,9x103 4,2x104 2,5x104 1,0x104 ,3x107 2,7x104 1,9x107 1,8x107 1,6x106 2,4x106 3,5x105 1,2x106
>2400 460 240 240 1100 43 9 <3 9 240 <3 75 9 43 460 23 460 23 23 43 20 5 <3 23 43 93 240 > 2400 <3 4 <3 <3 460 4 43 43 > 2400 <3 <3 <3 <3 21 <3 <3 <3 <3 <3 460 23 4 43 4 15 4 <3
<1,0 x 10 2,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 >1,0x102 2,0x102 3,0x102 2,0x102 >1,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 >1,0x102 2,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 >1,0x102 <1,0 x 10 >1,0x102 <1,0 x 10 2,0x102 <1,0 x 10 6 >1,0x102 2,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 >1,0x102 3,0x102 <1,0 x 10 2,0x102 5,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 1,3x103 >1,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 2,0x102 >1,0x102 <1,0 x 10 >1,0x102 >1,0x102 >1,0x102 <1,0 x 10 2,0x102 <1,0 x 10 3,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 >1,0x102 <1,0 x 10 2,0x102 3,0x102
<3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 460 <3 <3 <3 <3 7 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 8 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif t.a.d Negatif t.a.d Negatif t.a.d t.a.d Negatif t.a.d Negatif Negatif Negatif Negatif t.a.d t.a.d t.a.d Negatif t.a.d Negatif 9 t.a.d t.a.d Negatif Negatif t.a.d Negatif t.a.d t.a.d Negatif Negatif t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d Negatif Negatif t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d Negatif t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d Negatif t.a.d t.a.d Negatif Negatif t.a.d
70
133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 1 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186
C 133 C 134 C 135 C 136 C 137 C 138 C 139 C 140 C 141 C 142 C 143 C 144 C 145 C 146 C 147 C 148 C 149 C 150 C 151 C 152 C 154 2 C 155 C 156 C 157 C 158 C 159 C 160 C 161 C 162 C 163 C 164 C 165 C 166 C 167 C 168 C 169 C 170 C 171 C 172 C 173 C 174 C 175 C 176 C 177 C 178 C 179 C 180 C 181 C 182 C 183 C 184 C 185 C 186 C 187
sedang kecil sedang kecil kecil sedang sedang kecil kecil kecil besar kecil sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang 3 sedang sedang kecil kecil sedang kecil sedang kecil sedang kecil sedang sedang kecil kecil kecil kecil sedang sedang kecil kecil kecil kecil kecil kecil kecil kecil kecil kecil kecil kecil kecil sedang sedang
5,8x106 TBUD 1,2x106 3,0x103 1,9x106 4,8x106 1,5x107 1,1x107 1,1x106 TBUD 1,1x107 TBUD 1,4x105 2,2x106 3,6x103 2,4x106 7,4x105 2,4x105 TBUD 1,1x106 4,2x103 4 TBUD 1,7x104 TBUD 2,0x105 1,1x106 TBUD 1,2x105 6,2x103 TBUD 1,7x104 TBUD 4,4x103 4,1x105 TBUD 1,0x104 TBUD 2,3x104 TBUD 6,3x104 TBUD 8,2x103 3,11x104 TBUD TBUD 7,7x103 9,4x105 TBUD 8,2x103 TBUD 7,0x105 1,3x105 2,7x104 TBUD
9 23 43 43 <3 <3 21 <3 9 23 9 150 <3 460 <3 4 4 4 23 9 9 5 <3 <3 > 2400 <3 43 > 2400 <3 <3 9 <3 > 2400 <3 <3 9 <3 > 2400 <3 43 9 460 <3 <3 <3 <3 <3 15 9 23 <3 <3 <3 <3 43
<1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 >1,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 6,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 2,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 6 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 7,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10
<3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 7 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif 8 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
6,63 3345,41 t.a.d t.a.d 1804,56 Negatif t.a.d Negatif t.a.d t.a.d 31,38 t.a.d t.a.d Negatif t.a.d Negatif t.a.d Negatif 1104,8 t.a.d 1046,3 9 2221 Negatif t.a.d t.a.d t.a.d Negatif 1247,41 Negatif t.a.d t.a.d 1212,06 t.a.d 556,31 781,22 Negatif t.a.d Negatif 964,27 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif t.a.d Negatif Negatif Negatif
71
187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197
C 188 C 189 C 190 C 191 C 192 C 193 C 194 C 195 C 196 C 197 C 198
sedang sedang kecil sedang besar sedang sedang sedang sedang kecil sedang
1,8x106 7,3x105 4,9x104 9,4X104 1,0x106 2,0x105 1,7x105 TBUD 3,2x103 TBUD 1,7x105
23 <3 <3 21 > 2400 <3 <3 240 93 43 43
<1,0 x 10 <1,0 x 10 5,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 8,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 5,0x102 4,0x102 <1,0 x 10
<3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
Keterangan : Angka yang dicetak tebal menunjukan nilai tersebut berada di atas nilai maksimun SNI t.a.d : tidak ada data (tidak dilakukan pemeriksaan kandungan boraks)
Negatif t.a.d Negatif Negatif t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d Negatif t.a.d 110,41
Lampiran 1. Syarat Mutu Bakso Daging (SNI-01-3818-1995) No 1
Kriteria Uji
Satuan
Persyaratan
Keadaan :
1.1
Bau
-
Normal khas daging
1.2
Rasa
-
Gurih
1.3
Tekstur
-
Kenyal
2
Air
% b/b
Maks 70,0
3
Abu
% b/b
Maks 3,0
4
Protein
% b/b
Min 9,0
5
Lemak
% b/b
Maks 2,0
6
Boraks
-
7
Bahan tambahan makanan
8
Cemaran logam :
Sesuai dengan
Tidak boleh ada SNI 01-0222-1995
8.1
Timbal (Pb)
mg/kg
Maks 2,0
8.2
Tembaga (Cu)
mg/kg
Maks 20,0
8.3
Seng (Zn)
mg/kg
Maks 40,0
8.4
Timah (Sn)
mg/kg
Maks 40,0
8.5
Raksa (Hg)
mg/kg
Maks 0,03
9
Cemaran arsen (As)
mg/kg
Maks 1,0
10
Cemaran mikroba :
10.1
Angka Lempeng Total
koloni/g
Maks 1 x 105
10.2
Bakteri bentuk koli
APM/g
Maks 10
10.3
Escherichia coli
APM/g
≤3
10.4
Enterococci
Koloni/g
Maks 1 x 103
10.5
Clostridium perfringens
Koloni/g
Maks 1 x 102
10.6
Salmonella
10.7
Staphylococcus aureus
koloni/g
Negatif Maks 1 x 102
Lampiran 2 Homogenisasi Contoh Bakso
Homogenisasi adalah cara persiapan contoh makanan untuk memperoleh distribusi bakteri sebaik mungkin di dalam contoh makanan yang ditetapkan. Tujuan : Membebaskan sel sel bakteri yang mungkin terlindungi oleh partikel makanan, dan untuk menggiatkan kembali sel-sel bakteri yang mungkin viabi litasnya berkurang karena kondisi yang kurang menguntungkan di dalam makanan. Cara Kerja : a. Timbang sejumlah 25 gr cuplikan ke dalam wadah blender. b. Tambahkan 225 ml larutan pengencer hingga diperoleh pengenceran 1 : 10 . c. Homogenkan dengan kecepatan 11500-20000 per menit. d. Lakukan pengenceran bertahap sesuai keperluan masing-masing uji
Homogenisasi contoh bakso untuk uji Salmonella : a. Timbang 25 gr cuplikan ke dalam wadah blender, Broth, b.
Homogenkan dengan diblender.
disarikan dari : SNI -19-2987-1992
tambahkan 225 ml Lactose
Lampiran 3. Cara Pemeriksaan Total Plate Count (TPC)
Prinsip : Pertumbuhan bakteri mesofil aerob setelah contoh diinkubasikan dalam media pembenihan yang cocok selama 24 – 48 jam pada suhu 35 ± 1oC.
Cara Kerja 1. Lakukan persiapan dan homogenisasi contoh sesuai lampiran 3. 2. Pipet 1 ml dari masing-masing pengenceran ke dalam cawan Petri steril secara simplo dan duplo. 3. Ke dalam setiap cawan Petri tuangkan sebanyak 12 -15 ml media PCA cair yang bersuhu 45 ± 1oC dalam waktu 15 menit dari pengenceran pertama. 4. Goyangkan cawan Petri dengan hati-hati hingga contoh tercampur rata dengan media PCA. 5. Biarkan hingga campuran dalam cawan Petri membeku. 6. Masukkan semua cawan Petri dengan posisi terbalik ke dalam inkubator dan inkubasikan pada suhu 35 ±1oC selama 24 - 48 jam. 7. Catat pertumbuhan koloni pada setiap cawan yang mengandung 25 – 250 koloni setelah 48 jam. 8. Hitung Total Plate Count dalam 1 gram contoh dengan mengalikan jumlah rata-rata koloni pada cawan dengan faktor pengenceran yang digunakan.
disarikan dari : SNI -19-2987-1992
Lampiran 4 Cara Pemeriksaan Bakteri Coliform Metoda :
Most Probable Number(MPN) atau APM (Angka Paling Mungkin)
menggunakan 3 tabung. Prinsip : Pertumbuhan bakteri Coliform ditandai dengan terbentuknya gas dalam tabung Durham setelah contoh diinkubasikan dalam media pembenihan yang cocok pada suhu 36 ± 1oC selama 24 dan 48 jam dan selanjutnya dirujuk ke tabel APM. Cara Kerja : 1. Uji Sangkaan a. Lakukan homogenisasi contoh seperti pada lampiran 3. b. Pipet 1 ml contoh pengenceran 10-1 ke dalam masing-masing 3 tabung yang berisi 5 ml Lauryl Sulphate Tryptose Broth (LST) atau Lactose Broth yang di dalamnya terdapat tabung Durham terbalik. c. Lakukan juga dengan cara yang sama terhadap pengenceran 10-2 (1:100) pada 3 tabung kedua dan pengenceran 10-3 (1:1000) pada 3 tabung ketiga.(tiap pengenceran gunakan pipet yang baru dan steril) d. Simpan semua tabung dalam inkubator pada suhu 36 ±1oC selama 24 dan 48 jam. e. Setelah 24 jam catat jumlah tabung yang membentuk gas pada masing-masing pengenceran dan simpan lagi tabung yang tidak membentuk gas dalam inkubator pada suhu 36 ±1oC selama 24 jam lagi, kenudian catat jumlah tabung yang membentuk gas. 2. Uji Penegasan (comfirmed test) a. Pindahkan sebanyak 1 ose dari tiap tabung yang membentuk gas pada media LST ke dalam tabung yang berisi 10 ml Brilliant Green Lactose Bile Broth 2% (BGLB 2%). b. Masukkan semua tabung ke dalam inkubator pada 36 ± 1oC selama 24 – 48 j jam. Adanya gas pada tabung BGLB memperkuat adanya bakteri koliform dalam contoh. c. Catat tabung yang positif gas pada uji penegasan. d. Angka Paling Mungkin (APM) dari koliform dilihat pada tabel.
Lampiran 5 Cara Pemeriksaan Escherichia coli
Metode : Angka Paling Mungkin ( APM ) Prinsip : Pertumbuhan E. coli yang ditandai oleh terbentuknya gas di dalam tabung Durham setelah diinkubasi dalam media pembenihan yang cocok pada suhu 44oC selama 24 -48 jam yang diikuti dengan uji biokimia dan selanjutnya dirujuk pada tabel APM. Cara Kerja : 1. Masukkan 1 ose biakan yang positif pada LST broth dari angka paling mungkin bakteri Koliform ke dalam tabung berisi Escherichia Coli Broth (EC broth) yang di dalamnya terdapat tabung Durham terbalik. 2. Inkubasikan dalam penangas air pada suhu 44-45oC selama 24-48 jam. 3. Catat tabung yang di dalamnya terbentuk gas (E.coli dianggap positif jika di dalam tabung terbentuk gas). 4. Lanjutkan penetapan E.coli dengan menginokulasikan biakan yang membentuk gas ke pembenihan Eosin Methylene Blue (EMB) atau Violet Red-Bile Agar (VRBA) dalam cawan Petri. Inkubasikan pada 35oC selama 18-24 jam. 5. Pilih koloni berwarna merah gelap (pada VRBA) yang berdiameter 0,5 mm atau lebih, atau koloni berwarna kilap logam (pada EMB) dan inokulasikan pada Nutrient Agar (NA) miring dalam tabung. Inkubasikan pada suhu 35oC selama 18-24 jam. Pada waktu yang sama lakukan pewarnaan Gram sebagai berikut : Buat sediaan di atas gelas objek. Keringkan di udara dan fiksasi dengan panas. Warnai sediaan dengan larutan crystal violet selama 1 menit. Cuci dengan akuadest dan tiriskan. Bubuhkan larutan Lugol (Gram’s iodine) selama 1 menit. Cuci dengan akuadest dan tiriskan. Cuci (hilangkan warna) dengan alkohol 95% selama 30 detik. Cuci dengan akuadest, tiriskan. Bubuhkan larutan Safranin (Hucker’s counterstain) selama10-30 detik. Cuci dengan akuades, tiriskan, serap dengan kertas saring, keringkan dan periksa di bawah mikroskop. 6. Lakukan pengujian IMVIC ( indol, merah metil, Voges-Proskauer dan sitrat) dari biakan Nutrient Agar pada butir 5. Pengujian IMVIC 1. Uji Indol Dari biakan murni Nutrient Agar miring inokulasikan 1 ose biakan ke dalam Ttryptone broth. Inkubasi pada 35 ±1oC selama 18-24 jam. Setelah 18-24 jam tambahkan 0,2-0,3 pereaksi indol ke dalam tabung dan kocok selama 10 menit. Warna merah tua pada permukaan menunjukkan reaksi indol positif, warna jingga menunjukkan reaksi indol negatif.
2. Uji Merah Metil (Methyl red) Dari biakan murni Nutrien agar miring inokulasikan 1 ose ke dalam media MR-VP. Inkubasikan pada suhu 35oC selama 48 jam. Dengan menggunakan pipet pindahkan 5 ml ke tabung reaksi dan tambahakan 5 tetes merah metil lalu dikocok. Warna kuning menunjukkan reaksi negatif dan warna merah menunjukkan reaksi positif. 3. Uji VP (Voges Proskauer) Dari biakan murni Nutrient Agar miring inokulasikan 1 ose biakan ke dalam Dengan media MR-VP. Inkubasikan pada 26 ±1oC selama 48 jam. menggunakan pipet tambahkan 0,6 ml larutan alfa naftol dan 0,2 ml larutan kalium hidroksida dan kocok. Diamkan sekama 2-4 jam. Warna merah muda hingga merah tua menunjukkan reaksi positif, warna tidak berubah menunjukkan reaksi negatif. 4. Uji Sitrat Dari biakan murni Nutrient Agar miring inokulasikan 1 ose biakan ke dalam media Simmons Citrate atau Koser’s Citrate. Inkubasikan pada suhu 35oC selama 48-96 jam. Warna biru menunjukkan reaksi positif, warna hijau menunjukkan reaksi negatif (pada media Simmons Citrate) dan adanya kekeruhan pada media Koser’s citrate menunjukkan reaksi positif.
disarikan dari : SNI -19-2987-1992
Lampiran 6 Cara uji Salmonella Prinsip : Pertumbuhan Salmonella pada media pembenihan selektif yang dilanjutkan dengan uji biokimia dan uji serologi. Cara Kerja 1. Penyiapan dan homogenisasi contoh : Lakukan homogenisasi contoh seperti diuraikan pada lampiran 3. 2. Pra-pengkayaan (pre-enrichment) a. Pindahkan contoh yang telah dihomogenisasi secara aseptik ke dalam botol kapasitas 500 ml steril. b. Inkubasikan pada 36 ±1oC selama 16-20 jam. 3. Pengkayaan (enrichment) a. Pipet 10 ml biakan pra-pengkayaan ke dalam 100 ml Selenite Cystine Broth. b. Inkubasi pada suhu 35-37oC selama 24 jam c. Pipet 10 ml biakan pra-pengkayaan ke dalam 100 ml Tetrathionat Brilliant Green Broth. d. Inkibasikan pada suhu 43oC selama 24 jam. 4. Penanaman pada media pembenihan selektif a. Pindahkan biakan pengkayaan dengan cara menggoreskan masing- masing biakan dengan ose ke dalam cawan Petri yang berisi Brilliant Green Agar (BGA) dan Bismuth Sulfit Agar (BSA) atau media selektif lainnya. b. Inkubasikan pada suhu 37oC selama 24 jam. c. Amati tersangka koloni Salmonella pada media dengan ciri-ciri sebagai berikut : BGA : koloni berwarna merah muda hingga merah atau bening hingga buram dengan lingkaran merah muda sampai merah. BSA : koloni berwarna coklat, abu-abu sampai hitam dan kadang-kadang kilap logam. Warna media di sekitar koloni mula-mula coklat dan kemudian menjadi hitam jika masa inkubasi bertambah. Pada beberapa strain koloni berwarna hijau dengan daerah sekelilingnya ber-warna lebih gelap. 5. Konfirmasi atau penegasan (uji biokimia) a. Pilih 2-5 koloni tersangka, goreskan pada permukaan Nutrient Agar dalam cawan Petri yang sudah disiapkan terlebih dahulu dan inkubasikan pada suhu 37oC selama 24-48 jam. b. Dari koloni yang diisolasi pada Nutrient Agar, pindahkan ke dalam media sebagai berikut : 1) Triple Sugar Iron Agar (TSIA) a. Tersangka koloni Salmonella dipindahkan ke media miring TSIA dengan cara digoreskan pada bagian miringnya dan ditusukkan pada bagian tegaknya.
b.
Inkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam.
c.
Amati terjadinya perubahan-perubahan sebagai berikut : Pada bagian tegaknya Salmonella akan : - Memfermentasi glukosa , warna media berubah dari ungu menjadi kuning. - Tidak memfermentasi sakarosa, media tetap ungu. - Dapat membentuk gas H2S, warna media berubah dari ungu menjadi hitam. Pada bagian miringnya Salmonella akan : - Dapat memfermentasi laktosa atau sakarosa media menjadi kuning. - Tidak memfermentasikan laktosa atau sukrosa, warna media tetap merah atau tidak berubah. 2) Urea Agar a. Goreskan tersangka koloni Salmonella pada permukaan Urea Agar miring. b. Inkubasikan selama 24 jam pada suhu 37oC. Timbulnya warna merah muda menunjukkan reaksi positif dan warna tidak berubah reaksi negatif. 3) Lysine Decarboxylation Medium a. Inokulasikan tersangka koloni Salmonella pada media cair Lysine decarboxylation Broth. b. Inkubasikan pada suhu 37oC selama 48 jam. Timbulnya warna ungu menunjukkan reaksi positif. 4) VP Medium a. Masukkan masing-masing 1 ose tersangka koloni ke dalam 2 tabung reaksi yang berisi 0,2 ml media VP. b. Inkubasikan tabung ke-1 pada suhu kamar dan tabung ke-2 pada suhu37oC selama 48 jam. c. Pada tiap tabung tambahkan 2 tetes larutan kreatin, 3 tetes larutan alfanaftol dan 2 tetes pereaksi KOH. Lakukan pengocokan tiap kali menambahkan pereaksi. d. Amati dalam waktu 15 menit. Warna merah jambu sampai merah tua menunjukkan reaksi positif, dan bila tidak berubah berarti negatif 5) Indol Medium a. Masukkan 1 ose koloni tersangka ke dalam tabung.media indol b. Inkubasikan pada 37oC selama 24 jam. Tambahkan 1 ml pereaksi indol. c. Terbentuknya cincin merah menunukkan reaksi positif. Bila tidak ada perubahan warna atau warna kuning kecoklatan reaksi negatif. 6. Uji Serologi Lakukan uji serologi bila reaksi biokimia menunjukkan ada Salmonella. Ambil 1 ose biakan dari TSIA dan oleskan pada gelas sediaan. Kemudian teteskan sedikit antisera di samping biakan. Dengan menggunakan ose campurkan tetesan antisera dengan biakan hingga homogen. Penggumpalan yang terjadi menunjukkan uji positif.
Lampiran 7. Cara uji Staphylococcus aureus Metoda : Plate Count (Angka Lempeng) untuk contoh yang diperkirakan mengandung lebih dari 100 Staphylococcus aureus. Prinsip : Pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada media pembenihan khusus setelah diinkubasikan pada suhu 37oC selama 24-48 jam dan dilanjutkan dengan uji koagulase. Cara kerja : 1. Lakukan homogenisasi contoh seperti pada lampiran 3. 2. Pipet 0,1 ml suspensi dari setiap pengenceran ke atas permukaan Baird Parker Agar dan sebarkan merata dengan menggunakan spreader. Keringkan permukaan sebelum diinkubasi. 3. Inkubasikan pada suhu 36 ±1oC selama 30-48 jam. 4. Pilih cawan Petri yang mengandung koloni 20-200 dan hitung tersangka koloni Staphylococcus aureus yaitu koloni berwarna hitam mengkilat dengan lingkaran cerah di sekelilingnya. 5. Lanjutkan pemeriksaan dengan uji koagulase.
Uji Koagulase 1. Pindahkan koloni tersangka ke dalam tabung berisi 5 ml Brain Heart Infusion Broth (BHIB). 2. Inkubasikan pada suhu 36 ±1oC selama 20-24 jam. 3. Siapkan dalam tabung steril plasma darah kelinci sebanyak 0,3 ml dan tambahkan0,1 ml biakan dalam BHIB yang berumur 1 malam. 4. Inkubasikan campuran (3) pada 36 ±1oC selama 2-6 jam. 5. Amati ada tidaknya koagulasi. Bila tidak terjadi koagulasi lanjutkan inkubasi pada suhu kamar selama 24 jam, dan amati kembali ada tidaknya koagulasi. 6. Hitung jumlah Staphylococcus aureus dalam 1 gram atau 1 ml contoh yang memberikan reaksi koagulasi positif (jumlah koloni dalam cawan dikalikan faktor pengenceran).
disarikan dari : SNI -19-2987-1992
Lampiran 8 . KUISIONER UNTUK PEDAGANG BAKSO DI PASAR TRADISIONAL DAN SWALAYAN I.
II.
DATA USAHA 1. Nama Pedagang 2. Alamat /Tempat Usaha
: :
3.. Jumlah Pegawai 4.. Kapasitas jual per hari (kg)
: :
DATA PRODUK 1. Asal bakso sapi / nama pabrik 2. Jenis bakso yang dijual a. b. c. d. e. 3. Umur bakso pada saat disampling 4. Jenis Kemasan 5. Ciri-ciri / karakteristik
No
Karakteristik
1
Penampakan
2
Warna
3
Ukuran
4
Tekstur
5
Bau
Bakso Jenis 1
:
: : :
Bakso Jenis 2
Bakso Jenis 3
Bakso Jenis 4
III. PENERAPAN HIGIENE DAN SANITASI
1. Tempat penjualan bakso tersendiri dan dalam ruangan : 1. Ya 2. Tidak 2. Bakso ditempatkan dalam lemari pendingin : 1. Ya 2. Tidak 3. Tempat menyajikan bakso bersih dan tertutup : 1. Ya 2. Tidak 4. Tempat berjualan bersih dari sampah, lalat atau serangga lainnya : 1. Ya 2. Tidak 5. Pelayan mengambil bakso memakai sendok/penjepit/sarung tangan : 1. Ya 2. Tidak 6. Pelayan memakai baju bersih : 1. Ya 2. Tida k 7. Pembungkus bakso baru : 1. Ya 2. Tidak 8. Pembeli ikut memilih dan memegang bakso : 1. Ya 2. Tidak 9. Bakso yang tidak terjual disimpan di lemari pendingin : 1. Ya 2. Tidak 10. Ada masa kadaluarsa dari bakso yang dijual : 1. Ada 2. Tidak ada
(1) (0) (1) (0) (1) (0) (0) (1) (1) (0) (1) (0) (1) (0) (0) (1) (1) (0) (1) (0)
Lampiran 9. KUISIONER UNTUK PEDAGANG MEI BAKSO YANG MEMBUAT BAKSO SENDIRI I.
DATA USAHA 1. Nama warung 2. Nama Pemilik / penanggungjawab 3. Lokasi /Tempat Usaha 4. Alamat Tempat Usaha 5. Jumlah Pegawai 6.. Kapasitas penjualan per hari (kg)
II.
DATA PRODUK 1. Umur bakso pada saat disampling 2. Asal daging sapi 3. Jenis daging yang digunakan 4. Tempat menggiling daging 5. Mencetak bakso menggunakan 6. Sifat bakso yang dihasilkan
: : : : : :
: : : segar / sudah dilayukan / beku * : : tangan / cetakan bakso * : - Penampakan : - Ukuran : - Warna : - Bau : - Tekstur :
6 Bahan-bahan yang digunakan :
No 1. 2. 3. 4. 5.
6.
7.
Bahan - bahan Daging sapi Es batu Sagu aren atau lainnya (sebutkan) Bumbu-bumbu : - Lada - Bawang putih - Bawang goreng - Garam - Penyedap rasa Bahan-bahan kimia : - Pemutih - Soda kue - Tawas - Boraks/pijer/bleng Bahan lainnya (sebutkan) : …………………… …………………… .…………………..
* Coret yang tidak perlu
Banyaknya ………………………… ........................................ ………………………… ………………………… ……………………….... ………………………… ………………………… ………………………… ………………………… ………………………… ………………………… ………………………… ………………………… ………………………… …………………………
III.
HIGIENE DAN SANITASI PENGOLAHAN BAKSO
1. Daging dibersihkan dan dicuci dahulu sebelum diolah atau digiling : 1. Ya 2. Tidak 2. Es yang digunakan dicuci dulu sebelum dipakai : 1. Ya 2. Tidak 3. Bumbu-bumbu dibersihkan dan dicuci sebelum digunakan : 1. Ya 2. Tidak 4. Membawa adonan dari tempat penggilingan adonan diberi es : 1. Ya 2. Tidak 5. Sebelum membuat /mencetak bakso terlebih dulu mencuci tangan : 1. Ya 2. Tidak 6. Setelah direbus bakso didinginkan dulu sebelum disimpan : 1. Ya 2. Tidak
7. Menyimpan bakso dalam kemasan atau wadah tertutup : 1. Ya 2. Tidak 8. Bakso disimpan pada suhu dingin (lemari es) : 1. Ya 2. Tidak 9. Disimpan terpisah dengan bahan lain 1. Ya 2. Tidak 10. Sebelum dijual atau sajikan, bakso dimasak kembali dalam air mendidih 1. Ya 2. Tidak
(1) (0) (1) (0) (1) (0) (1) (0) (1) (0) (1) (0)
(1) (0) (1) (0) (1) (0) (1) (0)
Lampiran 10. Tabel 16. Rekapilulasi hasil pemeriksaan sampel bakso Mikrobiologi
Kode Sampel
Fisik
1
2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
B 01 B 03 B 03 B 04 B 05 B 06 B 07 C 08 C 09 C 10 C 11 C 12 C 13 C 14 C 15 C 16 C 17 C 18 C 19 C 20 C 21 B 22 B 23 C 24 C 25 C 26 C 27 C 28 C 29 C 30 C 31 B 32 B 33 C 34 C 35 C 36 B 37 C 38 B 39 B 40 B 41
No
TPC
Coliform
S.aureus
E.coli
Salmonella spp.
Boraks (mg/kg)
3
4
5
6
7
8
9
kecil kecil kecil besar kecil kecil kecil kecil sedang besar kecil besar kecil kecil besar sedang sedang kecil sedang sedang besar sedang kecil sedang kecil sedang kecil besar besar sedang kecil sedang sedang sedang sedang besar sedang besar sedang sedang kecil
TBUD 6,0x104 6,0x104 5,1x104 4,0x106 2,8x105 1,1x106 2,8x104 5,0x105 4,8x104 1,1x104 4,3x105 6,0x104 TBUD 5,2x105 2,0x105 TBUD 4,6 x104 1,0x105 1,7x105 TBUD 3,0x104 3,2x104 4,0x106 4,0x106 3,3x105 1,5x105 2,1x104 2,2x103 3,2x106 3,0x103 1,0x106 2,0x105 3,0x103 2,6x106 5,9x104 <1,0x10 1,6 x 105 1,3x104 TBUD 2,4x106
<3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 9 <3 15 <3 <3 <3 <3 <3 1100 <3 <3 <3 <3 23 9 >2400 21 <3 4 <3 <3 15 <3 43 9 23 15 <3 <3 <3 <3 <3 4
<1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 >1,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 >1,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 2,0x102 2,0x102 <1,0x10 <1,0x10 3,3x103 <1,0 x 10 <1,0x10 2,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10
<3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3
Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
Negatif Negatif Negatif t.a.d Negatif t.a.d Negatif t.a.d 4.660,40 Negatif t.a.d 701,61 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif t.a.d t.a.d t.a.d Negatif 82,68 t.a.d Negatif t.a.d t.a.d t.a.d 31,08 Negatif t.a.d t.a.d t.a.d 29,56 Negatif t.a.d t.a.d t.a.d Negatif t.a.d t.a.d t.a.d
1 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90
2 B 42 B 43 B 44 B 45 B 46 C 47 C 48 C 49 C 50 C 51 C 52 C 53 C 54 C 55 C 56 C 57 C 58 C 59 C 60 C 61 C 62 C 63 C 64 C 65 C 66 C 67 C 68 C 69 C 70 C 71 C 72 C 73 C 74 C 75 C 76 C 78 C 79 C 80 C 81 C 82 C 83 C 84 B 85 B 86 B 87 B 88 B 89 B 90 B 91
3 kecil kecil kecil sedang kecil kecil besar sedang besar besar kecil kecil besar kecil sedang sedang sedang sedang kecil sedang sedang sedang sedang besar sedang kecil sedang kecil sedang besar sedang kecil kecil sedang besar sedang besar sedang besar besar besar besar besar kecil kecil kecil kecil kecil kecil
4 6,0x104 2,4x106 3,9x104 3,4x106 3,2x104 6,6x104 1,3x104 1,2x106 1,0x105 1,1x103 9,6x105 TBUD TBUD 5,0x104 1,7x103 1,1x105 4,4x104 1,8x104 TBUD TBUD TBUD 2,8x105 1,0x104 1,0x106 2,8x106 8,0x102 2,8x106 3,5x106 6,0x106 TBUD 2,1x106 2,8x104 TBUD 2,4x105 1,0x102 2,6x106 TBUD 8,3x105 2,4x106 TBUD 4,6x106 1,1x106 2,1x104 8,1x106 2,5x105 TBUD 1,8x105 TBUD 6,0x104
5 <3 <3 <3 11 <3 4 9 150 93 <3 93 1100 240 23 <3 <3 <3 <3 93 > 2400 23 93 240 <3 <3 <3 4 <3 460 23 150 <3 <3 <3 <3 93 >2400 460 240 240 1100 43 9 <3 9 240 <3 75 9
6 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 6,0x102 <1,0 x 10 5,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 4,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 1,6x103 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 >1,0x102 >1,0x102 <1,0 x 10 2,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 >1,0x102 2,0x102 3,0x102 2,0x102 >1,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 >1,0x102 2,0x102
7 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3
8 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
9 11,86 Negatif t.a.d Negatif t.a.d 57,54 t.a.d t.a.d t.a.d 13,84 t.a.d 5,65 Negatif t.a.d t.a.d 18,21 t.a.d 59,75 t.a.d t.a.d 67,46 t.a.d Negatif Negatif t.a.d t.a.d Negatif t.a.d t.a.d Negatif t.a.d t.a.d Negatif t.a.d Negatif t.a.d Negatif Negatif Negatif t.a.d Negatif t.a.d Negatif t.a.d t.a.d Negatif t.a.d Negatif Negatif
1 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140
2 C 92 C 93 C 94 C 95 C 96 C 97 C 98 C 99 C 100 C 101 C 102 C 103 C 104 C 105 C 106 C 107 C 108 B 109 C 110 C 111 C 112 C 113 C 114 B 115 B 116 C 117 C 118 C 119 C 120 C 121 C 122 C 123 C 124 C 125 C 126 C 127 C 128 C 129 C 130 C 131 C 132 C 133 C 134 C 135 C 136 C 137 C 138 C 139 C 140 C 141
3 besar kecil besar besar besar besar kecil kecil kecil kecil kecil kecil kecil kecil sedang kecil kecil kecil sedang sedang sedang kecil kecil sedand kecil sedang kecil sedang besar sedang besar besar besar sedang besar sedang kecil sedang sedang sedang sedang sedang kecil sedang kecil kecil sedang sedang kecil kecil
4 1,4x106 1,7X106 1,4x105 2,7x106 2,9x103 1,6x102 5,0x102 6,4x105 1,6x105 1,2x105 2,2x105 3,6x104 3,4x105 1,8x106 1,0x106 5,7x104 1,8x105 1,0x106 1,5x107 6,4x105 2,8x106 1,2x107 TBUD TBUD 2,4x105 3,7x103 1,0x106 4,0x105 1,2x104 2,9x103 4,2x104 2,5x104 1,0x104 ,3x107 2,7x104 1,9x107 1,8x107 1,6x106 2,4x106 3,5x105 1,2x106 5,8x106 TBUD 1,2x106 3,0x103 1,9x106 4,8x106 1,5x107 1,1x107 1,1x106
5 43 460 23 460 23 23 43 20 <3 23 43 93 240 > 2400 <3 4 <3 <3 460 4 43 43 > 2400 <3 <3 <3 <3 21 <3 <3 <3 <3 <3 460 23 4 43 4 15 4 <3 9 23 43 43 <3 <3 21 <3 9
6 <1,0 x 10 <1,0 x 10 >1,0x102 <1,0 x 10 >1,0x102 <1,0 x 10 2,0x102 <1,0 x 10 >1,0x102 2,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 >1,0x102 3,0x102 <1,0 x 10 2,0x102 5,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 1,3x103 >1,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 2,0x102 >1,0x102 <1,0 x 10 >1,0x102 >1,0x102 >1,0x102 <1,0 x 10 2,0x102 <1,0 x 10 3,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 >1,0x102 <1,0 x 10 2,0x102 3,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 >1,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10
7 <3 <3 <3 460 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3
8 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
9 Negatif Negatif t.a.d t.a.d t.a.d Negatif t.a.d Negatif t.a.d t.a.d Negatif Negatif t.a.d Negatif t.a.d t.a.d Negatif Negatif t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d Negatif Negatif t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d Negatif t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d Negatif t.a.d t.a.d Negatif Negatif t.a.d 6,63 3345,41 t.a.d t.a.d 1804,56 Negatif t.a.d Negatif t.a.d
1 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189
2 C 142 C 143 C 144 C 145 C 146 C 147 C 148 C 149 C 150 C 151 C 152 C 154 C 155 C 156 C 157 C 158 C 159 C 160 C 161 C 162 C 163 C 164 C 165 C 166 C 167 C 168 C 169 C 170 C 171 C 172 C 173 C 174 C 175 C 176 C 177 C 178 C 179 C 180 C 181 C 182 C 183 C 184 C 185 C 186 C 187 C 188 C 189 C 190 C 191
3 kecil besar kecil sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang kecil kecil sedang kecil sedang kecil sedang kecil sedang sedang kecil kecil kecil kecil sedang sedang kecil kecil kecil kecil kecil kecil kecil kecil kecil kecil kecil kecil kecil sedang sedang sedang sedang kecil sedang
4 TBUD 1,1x107 TBUD 1,4x105 2,2x106 3,6x103 2,4x106 7,4x105 2,4x105 TBUD 1,1x106 4,2x103 TBUD 1,7x104 TBUD 2,0x105 1,1x106 TBUD 1,2x105 6,2x103 TBUD 1,7x104 TBUD 4,4x103 4,1x105 TBUD 1,0x104 TBUD 2,3x104 TBUD 6,3x104 TBUD 8,2x103 3,11x104 TBUD TBUD 7,7x103 9,4x105 TBUD 8,2x103 TBUD 7,0x105 1,3x105 2,7x104 TBUD 1,8x106 7,3x105 4,9x104 9,4X104
5 23 9 150 <3 460 <3 4 4 4 23 9 9 <3 <3 > 2400 <3 43 > 2400 <3 <3 9 <3 > 2400 <3 <3 9 <3 > 2400 <3 43 9 460 <3 <3 <3 <3 <3 15 9 23 <3 <3 <3 <3 43 23 <3 <3 21
6 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 6,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 2,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 7,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 <1,0 x 10 5,0x102 <1,0 x 10
7 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3
8 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
9 t.a.d 31,38 t.a.d t.a.d Negatif t.a.d Negatif t.a.d Negatif 1104,8 t.a.d 1046,3 2221 Negatif t.a.d t.a.d t.a.d Negatif 1247,41 Negatif t.a.d t.a.d 1212,06 t.a.d 556,31 781,22 Negatif t.a.d Negatif 964,27 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif t.a.d Negatif Negatif Negatif Negatif t.a.d Negatif Negatif
1 190 191 192 193 194 195 196
2 C 192 C 193 C 194 C 195 C 196 C 197 C 198
3 besar sedang sedang sedang sedang kecil sedang
4 1,0x106 2,0x105 1,7x105 TBUD 3,2x103 TBUD 1,7x105
5 > 2400 <3 <3 240 93 43 43
6 <1,0 x 10 8,0x102 <1,0 x 10 <1,0 x 10 5,0x102 4,0x102 <1,0 x 10
7 <3 <3 <3 <3 <3 <3 <3
8 Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
9 t.a.d t.a.d t.a.d t.a.d Negatif t.a.d 110,41
Keterangan : Angka yang dicetak tebal menunjukan nilai tersebut berada di atas nilai maksimun SNI t.a.d : tidak ada data (tidak dilakukan pemeriksaan kandungan boraks)