Catatan Mengikuti Studi Banding Internasional Malaysia dan Singapura 2011:
Pengalaman Berharga Untuk Menjadi Warga Dunia
Oleh:
Marjohan, M.Pd (Face Book:
[email protected])
Pemerintah Kabupaten Tanah Datar Dinas Pendidikan SMA Negeri 3 Batusangkar Tahun 2011
DAFTAR ISI BAB. I PROSES KREATIF A.Menulis untuk menciptakan kualitas pribadi…………………… 1 B.Peluncuran dan Reward Buku……………………………………. 4 C. Langkah-Langkah Menjadi Penulis…………………………….. 6 D. Jasa Penulis Dalam Mendidik dan Menghibur Jutaan Anak-Anak………………………………………………... 11
BAB.II IKUT SERTA DALAM PROGRAM STUDI BANDING A. Sebuah Kesempatan………………………………………………. 19 B. Pembekalan Pengalaman………………………………………… 21
BAB. III PENGALAMAN SELAMA PERJALANAN A. Keberangkatan…………………………………………………… 25 B. Bermalam di Islamic Centre Pagaruyung…………………….. 29 C. Kuala Lumpur Air Port………………………………………….. 35 D. Nilai University dan Istana Sri Menanti………………………… 47 E. Bapak Rusdi di Attase Budaya KBRI Kuala Lumpur………... 57 F. Genting Highland………………………………………………… 61 G. Johor Baru dan Singapura……………………………………… 71 H. Malaka……………………………………………………………. 83 I. Kembali Ke Sumatra……………………………………………… 86
BAB IV. MENERAPKAN PENGALAMAN STUDI BANDING A. Manfaat Studi Banding Bagi Siswa……………………………… 88 B.Manfaat Secara Umum…………………………………………… 90
Ucapan Terima Kasih Program studi banding internasional guru dan siswa berprestasi ke Malaysia dan Singapura bertujuan untuk memotivasi anak didik dan guru menjadi warga yang lebih berkualitas. Program ini juga memberi peserta pengalaman internasional untuk menjadi warga internasional. Laporan perjalanan ini berjudul :pengalaman berharga menjadi warga dunia. Laporan perjalanan ini dapat penulis selesaikan karena bantuan banyak puhak. Ucapan terima kasih atas terselenggaranya perjalanan studi banding internasional ke Malaysia dan Singapura terlaksana atas peran dari: 1. Bapak Bupati Kabupaten Tanah Datar 2. Anggota Dewan (DPRD) Kabupaten Tanah Datar 3. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Datar 4. Kepala Kementrian Pendidikan agama Kabupaten Tanah Datar 5. Kepala SMA N 3 dan Majlis guru Batusangkar. 7. Travel Biro JAP (Jalur Angkasa Prima). Terima kasih juga penulis aturkan kepada istri dan dua orang anak penulis (Fachrul dan Nadhilla). Tulisan dalam laporan ini diharapkan bisa memberi inspirasi dan motivasi bagi pembaca. Tidak ada gading yang tidak retak. Laporan perjalanan ini agaknya ada pembacanya.
Kritikan
kekurangan dan butuh kritikan positif dari
positif
dapat
disampaikan
melalui
email
[email protected]. Atas perhatian dari pembaca kami ucapkan terima kasih. Batusangkar, Desember 2011 Marjohan M.Pd
BAB. I PROSES KREATIF
A. Menulis untuk menciptakan kualitas pribadi Ada empat keterampilan berbahasa yang harus kita kuasai yaitu membaca, berbicara, menyimak (mendengar) dan menulis. Keempat keterampilan tersebut mutlak dimiliki secara optimal dan maksimal. Dari empat jenis keterampilan ini kita dapat mengelompokannya menjadi keterampilan bahasa yang bersifat reseptif (menerima) yaitu: membaca dan mendengar, serta keterampilan bahasa yang bersifat produktif (menghasilkan) yaitu: menulis dan berbicara. Keterampilan menulis sangat penting, namun keterampilan ini jarang diaplikasikan. Menulis yang dimaksud disini adalah mengarang. Kegiatan mengarang meliputi menulis surat, menulis dokumen, menulis proposal, cerita pendek, menulis novel dan sampai kepada menulis skripsi, tesis dan disertasi. Dalam kehidupan orang hanya banyak melakukan aktivitas berbicara dan mendengar, Sementara itu aktivitas membaca dan menulis bisa terabaikan. Kedua aktivitas ini perlu mendapat perhatian karena menentukan kualitas hidup seseorang. Orang-orang yang tekun dalam membaca dan menulis bisa menjadi orang-orang yang berkualitas. Agama Islam sendiri juga mengajarkan bahwa membaca (iqra’) sangat penting dan ayat pertama yang diturunkan Allah Swt kepada Rasul adalah ayat “iqra’ atau bacalah...!” Selanjutnya dari dua bentuk aktivitas: membaca dan menulis, maka “menulis” adalah keterampilan yang paling terabaikan. Dewasa ini lebih banyak orang yang suka membaca daripada menulis. Bila mereka disuruh menulis maka mereka akan mengeluh “wah aku tidak punya ide, kosa kata
terbatas, tidak punya motivasi”. Keluhan ini disebabkan menulis belum menjadi kebutuhan dalam hidup. Penulis juga menyadari bahwa menulis ini sangat penting. Ketika duduk di bangku sekolah dasar ia belum memiliki bakat menulis sampai suatu hari, saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama- SMP Negeri 1 Payakumbuh, ia membaca biografi tentang seorang penulis. Ia memahami bagaimana manfaat menulis dan bagaimana cara memulai untuk menulis. Saat duduk di bangku SMP, penulis mempunyai minat dalam bidang korespondensi atau bersahabat pena. Ia mempunyai banyak sahabat di nusantara dari Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Irian. Ia juga punya sahabat pena dari luar negeri: Pakistan, Srilangka, Malaysia dan Amerika Serikat. Saat duduk di bangku SMA, hobbi berkorespondensi penulis agak terganggu, namun ia punya hobbi baru yaitu menulis. Sering bila punya waktu luang penulis membuat cerpen dan ia sendiri sebagai tokoh utama. Bila cerpen-cerpennya selesai, ia menyuruh teman-temannya membaca dan ia sendiri memperoleh rasa senang, karena cerpen yang ia tulis mempunyai tujuan sebagai sarana untuk hiburan. Hobi menulis sangat mendukung jurusan yang ia pilih di Universitas. Ia memilih jurusan Bahasa Inggris. Begitu pula orang-orang yang memilih jurusan Bahasa, apakah Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Jepang, Bahasabahasa yang lain maka mereka idealnya memiliki hobi dalam menulis. Tentu saja menulis dalam bahasa asing akan mampu membuat kualitas pemahaman bahasa asing mereka menjadi sangat bagus.
Saat penulis menjadi guru di SMA Negeri 1 Lintau Buo- Kabupaten Tanah Datar, penulis mulai menulis dalam bentuk non fiksi yaitu artikel pendidikan. Ia menulis artikel bila punya waktu senggang dan ia mempublikasikannya pada koran-koran yang terbit di Sumatera setiap minggu. Tahun 1992, artikelnya yang pertama dengna judul “Tidak Perlu Frustasi bila Gagal ke Perguruan Tinggi” terbit pada koran Singgalang. Munculnya publikasi artikel pada koran menambah semangat dan motiviasi menulisnya. Saat zaman dengan sarana informasi dan teknologi datang maka ia menulis menggunakan komputer dan internet sehingga tulisannya bisa diakses oleh banyak orang. Ia juga memposkan tulisannya pada jejaring “Pak Guru Online” dan “E-newsletter disdik”. Samapai tulisannya juga terbaca oleh Prof. Dr. Jalius Jama, seorang dosen senior di Universitas Negeri Padang. Itu ia ketahui saat ia melakukan seminar untuk tesis pascasarjananya. Dan dalam acara pengujian tesis, profesor Jalius Jama berkomentar “ini rupanya saudara Marjohan tersebut, kalau tulisan anda sudah sering penulis baca. Tulisan anda banyak sekali dan sangat layak untuk dikompilasi menjadi buku”. Pernyataan tadi memberi gairah/ semangat bagi penulis untuk selalu menulis. Setelah menyelesaikan pendidikannya pada program pasca sarjana UNP ia segera mengkompilasi tulisannya menjadi sebuha buku. Pada mulanya ia mengalami kesulitan dalam mencari judul buku. Sebab judul cukup menentukan dalam memberikan daya tarik. Pada mulanya judul bukunya “Beranda Sekolah”, namun judul ini terasa kurang begitu menggigit, akhirnya
ia mengganti judul naskah buku menjadi “School Healing – menyembuhkan problem sekolah”, penulis juga mengalami kesulitan untuk mencari penerbit. Penulis mempostingkan naskah bukunya pada blogger pribadi yaitu pada http://penulisbatusangkar.blogspot.com. Agaknya blogger pribadinya terbaca oleh redaktur penerbit “Insan Madani Yogyakarta”. Akhirnya redaktur menelpon penulis dan membut MOU (Memorandum of Understanding) hingga buku School Healing bisa terbit dan beredaran di pasar terutama di Toko Buku Gramedia. Setahun kemudian (2010) penulis juga menyelesaikan buku yang ke dua dengan judul “Generasi Masa Depan- Memaksimalkan Potensi Diri Melalui Pendidikan”. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Bahtera Buku, Jogjakarta.
Buku pertama terbit
Buku yang ke dua
B.Peluncuran dan Reward Buku Bulan November 2009 adalah hari yang bersejarah bagi penulis sebenarnya pada bulan tersebut ada seminar yang diselenggarakan oleh program bermutu (Better Education Through Reformed Management and
Universal Teacher Upgrading) untuk mengadakan seminar. Penulis mengambil inisiatif untuk membagi-bagikan fotokopi buku school healing dalam kegiatan seminar tersebut Saat itu ada rombongan tim Bank Dunia (world bank) yang membiayai penyelenggaraan program “bermutu” tersebut. Tempatnya di gedung Indo Jolito dan di sana juga ada utusan yang berasal dari berbagai kota dan Kabupaten di Propinsi Sumatera Barat. Juga ada para pejabat seperti Wakil Bupati dan Kepala Sekolah se Kabupaten Tanah Datar. Dalam acara seminar tersebut, penulis memperkenalkan bukunya. Pertanyaan wakil bupati (Bapak Aulizul) yang masih berkesan adalah “Bagaimana pendapat anda tentang siswa yang nakal di dalam kelas?” Spontan penulis menjawab “Menurut penulis, tidak ada siswa yang nakal, yang ada hanyalah siswa yang mengalami fenomena skin hunger atau kulit yang haus akan sentuhan dan belaian guru. Jadi bila kita melihat seorang murid tampak nakal, sebetulnya ia hanya butuh sebuah sentuhan dan kata-kata yang menentramkan jiwanya. Semua pendengar memberi tepuk tangan pada penulis, Aulizul Syuib, Wakil Bupati dalam kesempatan tersebut menjanjikan reward kepada penulis untuk ikut comparative study (studi banding) bagi guru dan siswa berprestasi Tanah Datar ke negara Malaysia dan Singapura. Penulis berfikir apakah ia bisa berangkat studi banding dalam tahun 2010 (?) dan ternyata tidak. Ia memperoleh informasi bahwa jadwal studi banding untuk penulis adalah taun 2011, jadi ia harus menunggu satu tahun.
C. Langkah-Langkah Menjadi Penulis Menulis adalah aktifitas yang sulit bagi sebagian orang. Banyak orang mengatakan bahwa menulis itu sungguh sulit. Ada yang mengatakan tidak punya waktu untuk menulis, kalau menulis mata menjadi berair. Ada pula yang senang berlindung berlindung dibalik alas an dan kata “tapi”. Penulis ingin menulis tapi sibuk, penulis ingin menulis tapi anak sering mengganggu, penulis ingin …”tapi”, dan masih ada belasan alas an dibalik kata “tapi”. Bagi penulis sendiri pada mulanya juga beranggapan bahwa menulis itu juga sulit. Beruntung penulis berlangganan majalah Kawanku saat belajar di SMP Negeri 1 Payakumbuh di tahun 1980an. Ada profil Leila Chudori Budiman (yang kemudian sering menulis dalam Koran Kompas) pada majalah tersebut dan bercerita bagaimana ia bisa menjadi penulis. Saat itu penulis berfikir “wah enak sekali ya menjadi penulis, bisa menjadi orang ngetop, punya banyak teman dan mendapat bonus”. Rasa ingin tahu penulis tentang bagaimana menjadi penulis terobati saat ia berkenalan dengan berbagai buku biografi para penulis. Ada tetangganya, Bapak Maran mantan Camat di kota Payakumbuh yang bisa bermain biola dan memiliki koleksi buku-buku. Maka penulis sangat suka membaca biografi Ernest Hemingway, Zakiah Daradjat, Buya Hamka dan beberapa biografi penulis novel dan ia menjadi tahu bahwa untuk menulis memang butuh latihan. . Saat penulis remaja, tidak banyak godaan untuk tumbuh dan berkembang. Tidak banyak stasium televisi dan program yang mengganggu kosentrasi belajar, kecuali hanya tayangan televisi. Tidak ada HP kamera untuk diotak atik dan juga tidak ada VCD player untuk home theatre, apalagi computer, laptop dan internet
seperti zaman sekarang. Oleh karena itu televise bisa berlatih banyak dan ia mempunyai lusinan buku diari yang penuh dengan coretan-coretan mimpi dan pengalaman. Pulang sekolah televise terbiasa menulis. Ia merasa sebagai siswa yang paling jago dalam segala hal. Ia jago dalam bidang olah raga, jago matematik dan beberapa mata pelajaran lain, jago dengan bahasa Inggris dan semua teman kagum padanya. Penulis juga jatuh cinta dengan teman sekelas. Mimpi dan ilusi nya sebagai orang yang paling jago penulis paparkan dalam buku tulis. Apabila selesai menulis, maka ia serahkan pada teman yang gemar membaca namun tidak bisa menulis. Kadang-kadang penulis juga mengundang adik-adik dan anak tetangga untuk mendengar kisah kisa cinta yang penulis tulis. Bertambah umur tentu bertambah pula pengalaman hidup. Saat kuliah di UNP (saat itu IKIP Padang) penulis bekerja paroh waktu sebagai pemandu wisata. Ada pengalaman suka duka selama menjadi guide; dibentak oleh bule-bule, karena mereka tidak memakai bahasa Inggris, atau memperoleh uang tip dari perusahaaan. Pengalaman tersebut juga penulis tulis pada buku diari. Membaca banyak buku, artikel dan fikiran-fikiran orang lain tentu bisa membuat tulisan lebih berkualitas. Tahun 1997, penulis memutuskan untuk menjadi pembaca yang baik. Ia berlatih, membuat target untuk membaca 100 halaman setiap hari. Banyak membaca tentu akan membuat tulisan lebih menarik, penulis bisa memaparkan banyak ilustrasi dan contoh-contoh dalam kehidupan. Tahun 1990-an, penulis menajdi guru di SMAN 1 Lintau. Ia tidak ingin menjadi guru kebanyakan yang aktifitasnya sangat monoton dan tidak bervariasipulang ke sekolah, masuk kelas dan mengajar dengan metode konvensional. Ia
ingin menjadi guru dengan kepintaran berganda- guru, menguasai bidang studi, menguasai seni berkomunikasi, menguasai bahasa asing yang lain dan trampil dalam menulis. Untuk itu ia membaca banyak buku seputar paedagogy, psikologi, filsafat, biografi dan kisah kisah pencerahan dari orang lain. Akhirnya kemampuan dan energi menulis penulis makin meningkat. Setiap minggu penulis mampu menulis satu atau dua artikel per-minggu. Penulis memutuskan untuk mempublikasikanya pada Koran-koran di Sumbar. Saat itu ada tiga Koran yaitu Canang, Haluan dan Singgalang. Tahun 1992 tulisan penulis pertama terbit di Koran Singgalang engan judul “Melacak pergaulan remaja dan tidak perlu frustasi bila gagal masuk perguruan tinggi”. Ia sangat bahagia dan enerjik menulis semakin bertambah, penulis terus mengirim artikel ke Koran-koran. Bila dipublikasi penulis tentu senang dan kalau ditolak penulis berusaha untuk tidak kecewa apalagi sampai menjadi frustasi. Frustasi tentu bisa membunuh kreatifitas menulis dan energi untuk melakukan aktifitas lain. Di awal tahun 1990-an ada beberapa orang asing dari Perancis- Francoise Brouquisse, Anne Bedos dan Louis Deharveng. Mereka bertugas di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Jakarta dan melakukan penelitian tentang hutan tradisionil di Lintau. Orang- orang Perancis tersebut kemudian menjadi temn baik penulis dan mereka datang ke Sumatra dan berkunjung ke Rumah penulis. Mereka membatunya dalam mempelajari bahasa Perancis dan meminta penulis menulis untuk dipublikasi dalam. Dengan demikian tulisan penulis tentang parawisata juga dipublikasi pada journal mereka, speleologie,di kota Tarbes, Perancis.
Ternyata ada manfaat menulis dalam pengembangan karir penulis sebagai guru. Tahun 1998 ada seleksi guru teladan (sekarang guru berprestasi). Porto folio penuh dengan klipping artikel-artikel dan tulisan penulis dalam bentuk lain, seperti resensi buku. Kemampuan menguasai dua bahasa asing, Inggris dan Perancis, dan skor ujin tulis membuat penulis bisa mewakili kecamatan Lintau Buo dan selanjutnya untuk tingkat Kabupaten Tanah Datar untuk seleksi guru Teladan. Di tingkat Provinsi, penulis masuk nominasi dan akhirnya tahun 1998 penulis tercatat sebagai guru teladan Sumatera Barat dalam usia tiga puluh tahun. Tahun 2005, penulis mutasi ke kota Batusangkar dan bertugas di sekolah baru pada sekolah “Pelayan Unggul” satu atap SMP-SMA unggul, yang mana kemudian berubah nama menjadi SMP Negeri 5 Batusangkar dan SMA Negeri 3 Batusangkar. Berdomisili di kota batusangkar membuat penulis mudah bersentuhan dengan tekhnologi- computer dan internet. Ia terus menulis dan menyalurkan tulisan lewat internet, mengirim artikel ke berbagai Koran lewat email. Kemudian penulis juga membuat situs gratisan lewat blogspot. Sebetulnya ada beberapa bentuk blog gratisan lain seperti wordpress dan multiply. Namun penulis suka fitur blogspot. . Situs penulis sendiri ada pada alamat: http://penulisbatusangkar.blogspot.com. Tahun 2006, penulis memperoleh beasiswa untuk mengikuti program pascasarjana di Universitas Negeri Padang. Kemampuan menulis membuat kuliah lancar dan penulis bisa selesai pendidikan pada Pascasarjana. Kemampuan menulis membuat tesis penulis bisa selesai lebih cepat penulis wisuda pada pertengahan tahun 2008.
Issue sertifikasi untuk guru professional pun bergulir dan segera menjadi realita. Bagi yang mampu memenuhi angka atau skor porto folio bisa lulus dan memperoleh sertifikasi sebagai guru professional. Ia mengetik ulang semua artikel yang pernah diterbitkan pada Koran-koran. Artikel yang telah diketik ulang penulis kirim lagi ke Koran, tentu saja diedit lagi. Semuanya terbit lagi dan penulis memperoleh honorarium lagi. Ia juga mempostingkan tulisan tadi dalam blogspot penulis dan kumpulan artikel yang pernah dipublikasikan membuat nya bisa lulus sertifikasi lewat portofolio. Betul-betul dana sertifikasi yang telah penulis terima membuat penulis dan keluarga menjadi lebih sejahtera, bisa membeli laptop dan memperbaiki bangunan rumah. Penulis ingin menjadi penulis buku dan tidak harus menulis buku tebal dari awal sampai akhir sebanyak 250 halaman. Ia menseleksi beberapa tulisa yang sama temanya menjadi satu buku. Temanya tentang pendidikan dan penulis beri judul: SCHOOL HEALING MENYEMBUHKAN PROBLEM SEKOLAH. Bulan Februari 2009 ini penulis punya rencana untuk menyerahkan pada teman untuk diterbitkan di Provinsi Riau, namun lebih dahulu ada telepon dari Jogjakartapenerbit Pustaka Insan Madani- ingin mencetak dan meberbit naskah buku atau tulisannya. Penulis menyetujui. Insyaallah, menurut pihak penerbit bahwa dalam bulan Agustus 2009 ini buku penulis sudah siap cetak dan siap untuk diluncurkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Moga-moga bermanfaat oleh masyarakat. Kemampuan menulis ternyata adalah sebuah keterampilan. Semua orang bisa menjadi penulis asal dia banyak berlatih dan menyenangi aktifitas menulis. Menulis bisa mendatangkan manfaat. Penulis bisa berbagi ide dan opini dengan pembaca, bisa memperoleh honor dan sangat membantu bagi guru untuk
memperoleh skor portofolio untuk sertifikasi guru. Penulis artikel bisa mengembangkan diri menjadi penulis buku dan memperoleh royalty pada akhir tahun. Buku kedua penulis kemudian juga terbit pada penerbitan :Bahtera buku di Jogjakarta. Buku tersebut berjudul “Generasi Masa Depan- Memaksimalkan Potensi Diri Melalui Pendidikan”.
D. Jasa Penulis Dalam Mendidik dan Menghibur Jutaan Anak-Anak Jutaan anak-anak di dunia bisa bermimpi dan berbagi cerita tentang tokoh cerita yang telah mereka baca. Jutaan anak-anak di dunia bisa terhibur dan bisa berhenti menangis setelah ibu, ayah , nenek mereka menceritakan tokoh-tokoh hebat yang tidak cengeng dan jutaan anak-anak terdidik, berubah karakter jadi baik, gara-gara tokoh cerita yang mereka kagumi. Itulah berkah karena adanya penulis cerita anak anak yang bisa berjasa mendidik dan mendatangkan kedamaian ke hati mereka. Anak-anak yang gemar dengan sastra (cerita anak-anak) lebih mengenal tokoh cerita daripada penulis cerita tersebut. Mereka lebih mengenal “kisah si kerudung merah dan Cinderella” dari pada penulisnya “Charles Perrault”, lebih mengenal cerita “Pinokio” dari pada penulisnya “Carlo Collodi”, cerita “Putri Salju” dari pada penulisnya “Hans Christian Andersen”, cerita “Harry Porter” dari penulisnya J.K Rowling, atau “Elisa di negeri ajaib” dari pada penulisnya Lewis Caroll. Pada umumnya cerita-cerita menarik tersebut banyak yang berasal dari daratan Eropa, seperti Ceko, Perancis, Jerman, Denmark, Italia, Swiss, Inggris, Irlandia, dan juga dari Amerika SErikat. Penyebabnya bisa jadi karena bahasa-
bahasa
Eropa menjadi bahasa Internasional seperti bahasa Inggris, Perancis,
Jerman, dan Spanyol. Karya sastra anak anak pun menyebar melalui bahasa ini Sekali lagi anak-anak sedunia begitu kagum dengan tokoh cerita-cerita yang telah disulap menjadi film film kartun yang lucu, menghibur dan mendidik. Kita juga perlu mengenal cerita tersebut namun juga perlu tahu siapa pengarangnya dan bagaimana latar belakang kehidupan mereka, agar kita juga bisa menimba pengalaman sukses mereka sebagai penulis hebat. 1) Putri Salju Hans Christian Andersen lahir di Odense, Denmark (1805), ia penulis dan penyair yang paling terkenal berkat karya dongengnya. Ayah Andersen adalah tukang sepatu yang miskin dan buta huruf (namun rajin), dan ibunya adalah seorang binatu (buruh cuci). Walau dari keluarga miskin, namun sejak kecil Hans Christian Andersen sudah mengenal berbagai cerita dongeng, sang ibunya yang membuat H.C Andersen berkenalan dengan certa-cerita rakyat. Di kemudian hari, H.C. Andersen sempat melukiskan sosok sang ibu dalam berbagai novelnya. Ayahnya juga seorang pencinta sastra, dan kerap mengajak Hans menonton pertunjukkan sandiwara (atau theater). Setiap Minggu ia membuatkan gambar-gambar dan membacakan certa-cerita dongeng untuk Andersen. Sikap dan pengalaman dari orang tua itulah yang membuat H.C. Andersen tertarik dengan dunia mainan, cerita, sandiwara termasuk karya sastra. Setelah ayahnya meninggal. H.C. Andersen yang belum lama mengenyam pendidikan formal, merasakan susahnya kehidupan. Akhirnya ia bekerja serabutan di antaranya pernah bekerja di sebuah pabrik, magang di sebuah penjahit dan bekerja sebagai penenun. Ia terpaksa memburuh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Anderson mencoba menjadi seorang penulis sandiwara. tetapi penulisng, semua karyanya ditolak dimana-mana. Hans Andersen beruntung bisa bertemu dengan Raja Denmark, Frederik VI, karena ia cerdas dan gagah, Raja tertarik dengan penampilan Hans muda dan mengirimkannya untuk bersekolah (memberinya
bea-siswa).
Andersen
melanjutkan
studi
ke
Universitas
Kopenhagen. Sambil kuliah, pada tahun 1828 Hans Christian menulis kisah perjalanan yang berjudul Fodreise fra Holmens Kanal Til Ostpynten af Amager (Berjalan kaki dari Kanal Holmen ke Titik Timur Amager). Hans Christian Andersen pergi berkelana ke luar negeri selain Jerman. ke Perancis, Swedia, Spanyol, Portugal, Italia bahkan hingga Timur Tengah. Dari berbagai kunjungan itu melahirkan setumpuk kisah perjalanan. Ketika melawat ke Paris, Andersen bertemu dengan Victor Hugo, Alexandre Dumas, Heinrich Heine dan Balzac. Di tengah perjalanan panjang ini pula, ia sempat menyelesaikan penulisan "Agnette and the Merman". Pada awal 1835, novel pertama Andersen terbit dan meraih sukses besar. Sebagai novelis, ia membuat terobosan lewat The Imrpvisator, karya yang ditulisnya pada tahun yang sama. Cerita yang mengambil setting Italia inimencerminkan kisah hidupnya sendiri; melukiskan upaya seorang bocah miskin masuk ke dalam lingkungan pergaulan masyarakat. Malah sampai akhir hayatnya, buku The Improvisatore inilah yang paling banyak dibaca orang banyak dibandingkan dengan karya karya Andersen yang lain. Sejak buku ini terbit, masa masa sulit Andersen mulai berubah. Sepanjang 1835, ia meluncurkan tujuh cerita dongeng yang disusun jauh hari sebelumnya.
Kendati novel-novelnya mendapat sambutan besar, nama Hans Christian Andersen di dunia justru menjulang sebagai penulis dongeng anak-anak. Pada 1835, ia meluncurkan cerita anak-anak Tales for Children dalam bentuk buku saku berharga murah. Lalu kumpulan cerita bertajuk Fairy Tales and Story digarapnya dalam kurun 1836-1872. Dua dari cerita dongengnya yang amat kesohor, The Little Mermaid dan The Emperor's New Clothes, diterbitkan dalam kumpulan cerita pada 1837. Tujuh dongengnya yang lain: Little Ugly Duckling, The Tinderbox, Little Claus and Big Claus, Princess and the Pea, The Snow Queen, The Nightingale dan The Steadfast Tin Soldier, juga dikenal di berbagai belahan dunia sebagai cerita yang kerap didongengkan pada anak-anak. Bisa dilihat dari kisah dongeng The Emperor's new Clothes. Pesan bahwa keserakahan itu tidak baik disampaikan Andersen lewat parodi raja lalim yang cukup menggelikan itu. Salah satu ciri lain yang menonjol dalam cerita dongeng Andersen adalah hadirnya kaum papa dan mereka yang tidak beruntung dalam hidup, namun juga punya semangat juang untuk hidup. 2) Pinokio Carlo Collodi (nama pena dari Carlo Lorenzini) adalah pengarang dari dongeng anak-anak yang sangat terkenal berjudul Pinokio. Dongeng Pinokia merupakan suatu cerita edukatif tentang boneka kayu yang berubah menjadi anak laki-laki bernama Pinokio karena bantuan peri. Pinokio memiliki petualangan yang merubahnya dari anak yang nakal dan suka berbohong menjadi anak yang baik dan patuh pada orang tua. Selain menjadi pengarang dongeng, dia juga dikenal sebagai penulis artikel di surat kabar, buku, dan novel.
Carlo Collodi merupakan anak pertama dari 10 bersaudara dengan orang tua bernama Domenico Lorenzini, seorang juru masak, dan Angela Orzali, seorang penjahit. Masa kecilnya dihabiskan di desa, menyelesaikan pendidikan sekolah dasar dan dikirim ke seminari selama 5 tahun. Setelah lulus dari seminari, dia bekerja menjadi penjual buku. Ketika pergerakan unifikasi atau persatuan Italia mulai penyebar, Collodi yang berusia 22 tahun menjadi jurnalis yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Italia. Semasa hidupnya, Collodi menulis komedi, koran, dan juga berbagai ulasan. Ketika Italia menjadi negara persatuan, Collodi berhenti dari dunia jurnalisme dan setelah tahun 1870 menjadi editor naskah teater dan editor majalah.
Kemudian
Collodi
beralih
ke
dunia
fantasi
anak-anak
dan
menerjemahkan dongeng karya penulis Perancis, Charles Perrault, ke dalam bahasa Italia. Sejak saat itu, Collodi banyak menghasilkan berbagai karya, terutama cerita anak-anak yang sukses dan disukai oleh masyarakat. 3) The Tale of Peter Rabbit Helen Beatrix Potter adalah seorang pengarang dan ilustrator, botanis dan konservasionis berkebangsaan Inggris. Ia terkenal karena buku ceritanya, yang menampilkan tokoh hewan seperti Peter Rabbit. Ia dilahirkan di Kensington, London pada tanggal 28 Juli 1866. Ia dididik dan belajar di rumah, sehingga ia mempunyai sedikit kesempatan untuk berkumpul bersama teman-teman sebayanya. Bahkan adik laki-laki Potter, Bertram, sangat jarang berada di rumah; dia disekolahkan di sekolah asrama, sehingga Beatrix hanya sendirian bersama hewan peliharaannya. Ia mempunyai katak dan kadal, dan bahkan kelelawar. Ia juga pernah memiliki dua ekor kelinci. Kelinci pertamanya adalah Benjamin, yang
ia gambarkan sebagai "benda kecil yang bermuka tebal dan kurang ajar", sedangkan kelinci keduanya adalah Peter, yang selalu dibawanya ke manapun ia pergi bahkan di dalam kereta api. Potter sering memperhatikan hewan-hewan ini selama berjam-jam dan membuat sketsa mereka. Sedikit demi sedikit, sketsa yang dibuatnya semakin baik, membuat bakatnya berkembang sejak usia dini. Ketika Potter beranjak dewasa, orang tuanya menunjuknya sebagai pengurus
rumah
dan
mengurangi
pengembangan
intelektualnya,
mengharuskannya untuk mengurusi rumah. Sejak umur 15 tahun sampai sekitar umur 30 tahun, ia mencatat kehidupan kesehariannya di sebuah jurnal, menggunakan kode rahasia (yang tidak terdekripsi sampai beberapa dekade setelah kematiannya). Hal yang mendasari kebanyakan proyek dan ceritanya adalah hewanhewan kecil yang menyelundup ke dalam rumah atau yang ia amati ketika liburan keluarga di Skotlandia dan Distrik Lake. Dia didorong untuk mempublikasi cerita The Tale of Peter Rabbit, dan ia pun berjuang untuk mencari penerbit sampai ia akhirnya diterima saat berumur 36 tahun pada 1902. Buku kecilnya dan karyakaryanya yang lain diterima masyarakat dengan baik dan ia memperoleh pendapatan dari penjualan karyanya tersebut. 4) Harry Porter Joanne Kathleen Rowling atau lebih dikenal sebagai J.K. Rowling dilahirkan tahun 1965 di Chipping Sodbury, dekat Bristol, Inggris. Sebagai seorang ibu tunggal yang tinggal di Edinburgh, Skotlandia, Rowling menjadi sorotan kesusasteraan internasional pada tahun 1999 saat tiga seri pertama novel
remaja Harry Potter mengambil alih tiga tempat teratas dalam daftar New York Times best-seller setelah memperoleh kemenangan yang sama di Britania Raya. Lulusan Universitas Exeter, Rowling berpindah ke Portugal pada tahun 1990 untuk mengajar Bahasa Inggris. Di sana dia berjumpa dan menikah dengan seorang wartawan Portugis. Anak perempuan mereka, Jessica dilahirkan pada tahun 1993. Selepas perkawinannya berakhir dengan perceraian, Rowling menghadapi masalah untuk menghidupi diri dan anaknya. Semasa hidup dalam kesusahan itu, Rowling mulai menulis sebuah buku. Dikatakan bahwa Rowling mendapat ide tentang penulisan buku itu sewaktu dalam perjalanan menaiki kereta api dari Manchester ke London pada tahun 1990. Menjadi penulis besar, apalagi penulis kaliber dunia, tidak mudah. Tidak semudah membalik telapak tangan. Untuk menjadi penulis besar butuh perjuangan dan persiapan diri. Mereka yang menjadi penulis besar selalu belajar dari pengalaman dan hasil karya pendahulu mereka. Tidak perlu mencari alas an, “wah bagaimana aku akan menjadi penulis besar, orang tua ku saja susah dan melarat”. Christian Andersen si penulis dongeng anak-anak yang hebat (Cinderella) juga punya orang tua yang melarat. Namun factor dukungan orang tua juga menentukan, bahwa sangat perlu setiap rumah juga menyediakan koleksi cerita dan sastra (novel dan biografi) untuk konsumsi anggota keluarga. Carlo Collodi, penulis Pinokio, juga berasal dari orang tua yang hidup susah-ayahnya cuma buruh masak (juru masak) dan ibunya buruh cuci (tukang cuci) dan ia sendiri juga tidak terbiasa bermalas-malas dan juga mencari kegiatan untuk menghidupi diri, maka jadi kayalah pengalaman emosionalnya.
Menjadi besar bukan berarti hidup cengeng (suka mengeluh) sebagaimana Andersen juga melakukan kerja serabutan dan sempat menjadi buruh untuk memenuhi kebutuhan hidup. Adalah isapan jempol bagi mereka yang cuma betah nongol di rumah untuk bisa menjadi hebat, untuk itu perlu melakukan penjelajahan- mengunjungi banyak tempat, berkenalan dan berdialog dengan banyak orang- mencari ribuan pengalaman hidup untuk menjadi bahan cerita. Menjadi penulis juga perlu banyak berlatih. Sebelum menjadi hebat seorang penulis tentuh telah menulis (berlatih) ribuan helai kertas dan menghabiskan lusinan tinta. Begitu karyanya selesai- apakah puisi, cerpen, cerbung (cerita bersambung), biografi atau novel, dikirim ke penerbit bukan langsung diterima (diterbitkan). Seringkali karya-karya mereka buat pertama kalinya ditolak, namun mereka tentu tidak mengenal kata “patah hati” apalagi frustasi dan berhenti menulis. Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis ingin pula memaparkan tentang rahasia pengajaran sastra yang menyenang seperti yang tertulis pada dinding Rumah Puisi- yang didirikan oleh Sastrawan Taufiq Ismail- berlokasi di Nagari Aie Angek, Kecamatan Sepuluh Koto, Padang Panjang. Bahwa cara pandang pengajaran sastra harus asyik, nikmat, gembira dan mencerahkan. Siswa harus membaca langsung karya sastra, dan perpustakaan sekolah musti punya koleksi buku-buku sastra yang menarik, kemudian kelas mengarang perlu menyenangkan dan selalu dikembangkan. Dan terakhir suasana belajar musti menyenangkanbebas dari suasana mengkritik apalagi penuh tekanan.
BAB.II IKUT SERTA DALAM PROGRAM STUDI BANDING A. Sebuah Kesempatan Penulis tidak memikirkan kalau ia harus ikut studi banding, suatu hari Bapak H. Rosfairil (Kepala SMA Negeri 3 Batusangkar) memberi sinyal kalau sudah waktu bagi penulis untuk tahu apakah ia berangkat atau tidak. Maka Bapak H. Rosfairil melakukan kontak telepon ke kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Datar. Namun saat itu ada sinyal buat penulis untuk bergabung, namun belum lagi diumumkan secara resmi, baru sebatas info dari mulut ke mulut (tidak resmi). Kemudian, suatu hari secara tiba-tiba, penulis diminta untuk melengkapi bahan yang diperlukan oleh kantor imigrasi seperti “kartu nikah, KTP, kartu keluarga, ijazah, akta kelahiran, surat izin dari istri dan juga materai Rp. 6.000 (tiga lembar)”. Semua bahan dokumen ini diserahkan ke Kantor Dinas Pendidikan di Pagaruyung. Di sana penulis juga berjumpa dengan beberapa orang guru yang juga mau berangkat studi banding. “Setiap dokumen yang asli harus ada fotocopinya”. Setelah dua atau tiga minggu, ada perintah untuk pengumpulan bahan dokumen- untuk verifikasi. Panitia studi banding mengirim pesan melalui SMS kepada semua peserta. Hingga semua peserta comparative study (studi banding) berkumpul di aula Dinas Pendidikan. Untuk memudahkan manajemen maka panitia studi banding membagi peserta atas 6 kelompok. Penulis sendiri berada dalam kelompok 3 dan sekaligus menjadi guru pembimbing. Saat itu semua peserta mengisi blanko
yang diminta oleh Kantor Imigrasi dan dibutuhkan tiga lembar materai untuk di tempel pada dokumen aslinya. Di antara peserta tentu saja sudah mulai bersosialisasi- saling berkenalan. Penulis saat itu baru mengenal beberapa orang anggota rombongan. Bersamanya juga ada dua orang siswanya sendiri (dari SMA Negeri 3 Batusangkar) yaitu Fauzi, reward sebagai siswa jago Kimia tingkat Sumbar dan Mayang Berliana, reward atas prestasinya sebagai juara umum di SMAN 3 Batusangkar. Ia juga tahu bahwa siswinya ‘Fitria Rahmadani” juga ikut dan ia telah memiliki passport. Suatu hari kami memperoleh SMS bahwa semua peserta grup 3 diminta untuk hadir jam 8.00 wib di Kantor Dinas Pendidikan. Mereka akan brangkat menuju kantor Imigrasi di Bukit Tinggi menggunakan bus Pemda Tanah Datar untuk menggurus penerbitan pass port secara kolektif. Saat itu peserta sudah mulai terlihat jelas “siapa saja dan dari mana saja”. Mereka adalah siswa yang berasal dari juara umum Kecamatan untuk siswa SD, terus dari MTsN, SMP, SMK, MA dan SMA di Kabupaten Tanah Datar. Juga ada guru berprestasi lainnya, siswa yang masih dibawah umur 17 tahun, musti didampingi oleh orang tua mereka. Setelah satu jam dari Batusangkar, akhirnya bus Pemda tiba di Kantor Imigrasi, Di Belakang Balok Bukittinggi. Gedung kantor imigrasi terlihat biasa-biasa saja, namun terlihat cukup bersih. Pengunjung yang datang, ada orang-orang desa, mereka datang untuk mengurus pasport buat pergi umrah ke Mekkah, juga ada rombongan anak-anak pramuka dari Pesantren Al-Hira (Padang Panjang) jumlah mereka cukup banyak. Mereka akan mengikuti
kegiatan pramuka di Malaysia dan setiap peserta membayar seribu dollar (apakah Dollar Amerika, Australia atau Dollar Singapura). Rombongan dari Tanah Datar (peserta Comparative study) juga cukup banyak di gedung tersebut. Saat rombongan kami tiba belum banyak aktivitas di kantor tersebut, namun kami datang lebih cepat dan berharap bisa urusan cepat selesai. Pertama kami antrian menunggu panggilan untuk pengambilan dokumen asli, setelah itu membayar biaya pembuatan paspor pada loket kasir. Kami harus menunggu beberapa saat untuk proses selanjutnya. Biaya pembuatan pasport ditanggung oleh Pemda Tanah Datar, masing-masing memperoleh Rp. 270.000, dengan rincian untuk biaya pembuatan pasport Rp. 255.000, dan sisanya buat beli minuman. Satu per satu anggota rombongan kami dipanggil untuk pemotretan dan setelah semua selsai rombongan mencari kuliner untuk mengisi perut yang lapar dan setelah itu kami kembali berangkat menuju Batusangkar. Katanya bahwa urusan passport dan dokumen lainnya sudah selesai. Kami semua kembali ke Batusangkar.
B. Pembekalan Pengalaman Kami kembali berkumpul untuk memperoleh pembekalan pengalaman tentang keimigrasian dan melancong ke luar negeri. Pada umumnya peserta studi banding (guru dan siswa) belum pernah melakukan kunjungan ke Malaysia dan Singapore. Penyelenggara kegiatan ini adalah dari Dinas Pendidikan Tanah Datar dan dari biro perjalanan JAP (Jalur Angkasa Prima). Mereka merasa perlu untuk memberi pembekalan pengalaman bagaimana dan
mengapa dengan negara Malaysia dan Singapura- bagaimana kultur, politik dan budaya mereka. Bapak Mardalius, kepala sub bidang Dinas Pendidikan Tanah Datar, mengatakan bahwa Pemda Tanah Datar menyediakan anggaran sekitar Rp. 500 juta untuk membiaya studi comparative siswa dan guru berprestasi tersebut. Mereka terdiri dari anak-anak juara umum di Kecamatan, dan juara umum di sekolah bagi siswa tingkat SLTP dan SLTA dan juga guru-guru pilihan atau guru berprestasi. Dana yang dianggarkan tersebut merupakan reward bagi warga Tanah Datar dari segi pendidikan, tentu saja penganggaran ini telah disetujui oleh DPRD dan Pemerintah Tanah Datar. Dapat dikatakan bahwa dalam kegiatan tersebut guru-guru juga berfungsi sebagai unsur pembimbing dan mereka perlu memberikan perhatian atas keselamatan dan kesehatan siswa. Oleh karena ini dalam rombongan sekarang (studi banding yang ke 5) juga ikut seorang dokter yang berprestasi (Dr. Susi Julianti, dari Dinas Kesehatan Kecamatan Limo Kaum) untuk tingkat Sumatera Barat. Kegiatan studi banding kali ini, pada mulanya direncanakan sebelum lebaran haji yang jatuh tanggal 6 November 2011, namun diundur menjadi tanggal 17 November 2011. Dikatakan bahwa semua pasport sudah selesai dan siap dibagikan. Passport adalah sebagai dokumen atau identitas seseorang yang ingin berpergian ke negara lain dan paspor akan distempel di bahagian keimigrasian di Bandara Internasional Minangkabau dan bandara kedatangan Malaysia. Atau pasport distempel oleh pihak imigrasi saat keluar dan saat masuk suatu negara.
Diingatkan bahwa selama berada di luar negeri, paspor musti ada pada diri kita. Kalau paspor kita hilang (dokumen penting ini) maka kita tidak bisa meninggalkan suatu negara, kita malah akan ditahan oleh pihak imigrasi dan polisi dan dianggap sebagai warga illegal. Dewasa ini negara Malaysia sudah maju, dan Singapura lebih maju lagi. Orang-orang di negara tersebut lebih teliti dan disiplin. Fenomena teliti tersebut bisa cenderung menjadi karakter pencuriga. Kadang-kadang karakter curiga sering dijumpai pada petugas imigrasi di bandara terhadap orang-orang yang membawa barang/tentengan yang berlebihan. “Mereka bisa dicurigai, misalnya memperoleh titipan drug atau narkoba dari seseorang”. Untuk itu disarankan agar siapa saja yang berkunjung ke luar negeri dan melewati kantor atau petugas immigrasi agar tidak mudah menerima titipan tas/barang dari seseorang sebelum masuk bandara, karena dikhawatirkan akan menjadi titipan narkoba oleh pengedarnya. Sebab penerima titipan akan bisa terlibat kasus dan ikut berurusan dengan imigrasi dan polisi “sekali lagi diingatkan
bahwa
JANGAN
MENERIMA
BARANG
TITIPAN
DI
BANDARA”. Demikian pesan Pemda kepada kami semua. Merokok dilarang di Singapura, untuk itu jangan merokok selama berada di Singapura. Juga diingatkan bahwa bila kita pergi keluar negeri dalam bentuk grup maka kita harus memperhatikan keselamatan dan kesehatan anggotagrup. Terutama kesehatan dan keselamatan diri pribadi. Biasanya orang yang telah pergi ke luar negeri akan punya banyak cerita menarik yang akan bisa menjadi pengalaman bagi orang lain. Misalnya orang yang bernama “Salman dan Imam” bisa ditahan dan diinterogasi di
Bandara Singapura. Alasannya bahwa nama tersebut mirip dengan nama Salman Rusdie, penulis buku The Satamic Verses (ayat-ayat setan) dan Imam Samudra, gembong teroris yang ikut meledakkan bom di pulau Bali. Ditambahkan bahwa keberangkatan rombongan tidak sekaligus, namun dipecah menjadi dua kali dengan pesawat Air Asia yang terbang dari bandara Padang menuju Kuala Lumpur. Juga dinyatakan lagi bahwa di Sumatera Barat program reward studi banding bagi warga yang berprestasi hanya ada di Kabupaten Tanah Datar. Warga yang berprestasi di Tanah Datar akan diberi reward oleh Pemerintah.
BAB. III PENGALAMAN SELAMA PERJALANAN A. Keberangkatan Tanggal 16 November 2011 kami berkumpul di Aula Islamic Centre, pukul 13.00 siang peserta sudah datang dari seluruh kecamatan. Penulis sendiri tiba di Aula hampir pukul 14.00, karena harus menyelesaikan penulisan naskah ujian Bahasa Inggris untuk kelas XI. Kabupaten Tanah Datar (semester 1 tahun 2011/2012) dan ada sedikit problem dengan editing ukuran margin kertas ujian. Alhamdulillah akhirnya penulis bisa merampungkan penulsian dan pengaturan ukuran kertas ujian sesuai dengan ukuran standar. Ia kemudian harus menuju Griya Alam Segar –rumahnya- untuk shalat zuhur dan menyiapkan travelling bagnya. Ia sempat menitipkan pesan pada anak laki-lakinya (Muhammad Fachrul Anshar) untuk berkumpul di Islamic Center Pagaruyung dan seterusnya terbang menuju Kuala Lumpur.
Opening session bersama Bupati
Shalat berjamaah di Mesjid Nurul Amin
Penulis bergabung dengan peserta studi banding yang lain, setelah ditelpon oleh beberapa orang tua siswa peserta studi banding. Ppenulis menyusup dalam kerumunan orang tua yang mau melepas keberangkatan anaknya. Dalam aula di gedung Islamic Center telah terpajang pamflet “Selamat Jalan rombongan Studi
Banding Internasional Siswa/Siswi, guru, pengawas dan UPTD berprestasi Tanah Datar ke Malaysia dan Singapura, 17 sampai 22 November 2011, Penghargaan bagi yang berprestasi”. Semua peserta menunggu kedatangan Bupati Tanah Datar, Bapak Shadiq Pasadigoe, jam 15.15 sore. Penulis dan juga orang-orang lain menghilangkan ringtone phone cell, khawatir kalau mengganggu kekhidmatan acara di ruangan tersebut. Kami semua memberikan applause (tepuk tangan) dan Bupati begitu juga rombongan telah datang. Mereka bergegas dan melangkah menuju deretan kursi paling depan untuk memberikan arahan dan juga melepaskan keberangkatan kami secara formal. Kepala Dinas Pendidikan Tanah Datar, Bapak Drs. H. Darisman, adalah ketua pelaksana studi banding siswa berprestasi ke Singapura dan Malaysia. Dikatakan bahwa kegiatan studi banding telah menjadi kegiatan rutin sejak tahun 2006. Tanah Datar merupakan satu-satunya kabupaten di Sumatera Barat yang memberikan reward buat warga yang berprestasi, tentu saja sebagai cara terbaik dalam memotivasi warga. Program tersebut juga sangat bermanfaat untuk menambah wawasan peseta tentang budaya, etos belajar dan etos kerja masyarakat Malaysia dan Singapura yang negara mereka sudah maju tersebut. Jumlah peserta ada 137 guru, 107 siswa dan 30 orang guru pembimbing. Bapak Darisman memperkenalkan peserta per grup, mereka berdiri dan memperoleh applause. “Oh, sungguh memberi semangat dan keceriaan bagi semua peserta”.
Ada dua kloter penerbagangan, peserta nomor 1-95 ditambah dengan nomor 136, dan 137 musti bermalam di Islamic Centre. Mereka akan berangkat menuju BIM (Bandara Internasional Minangkabau) pada pukul 3.00 dini hari. Kemudian kloter kedua adalah nomor 96-135. Seterusnya, Bapak Darisman menjelaskan bahwa rencana perjalanan adalah pada tanggal 17-22 November. Esok hari kami terbang dari padang menuju Kuala Lmpur dan melakukan city tour, mengunjungi Putra Jaya dan masjid Negara.
Di Bandara BIM Padang
Di Bandara Kuala Lumpur
Thanks bahwa studi banding ini bisa terlaksana karena dukungan dana APBD (Anggaran Pengeluaran Belanja Daerah) tahun 2011. Ternyata jaket berwarna hitam dan bertulisan “peseta studi banding internasional Malaysia dan Singapura” yang kami pakai adalah sumbangan dari BPD (Bank Nagari) Batusangkar. Ada beberapa pengarahan yang kami peroleh. Bapak Yasman, S.Ag dari komisi I, anggota DPRD Kabupaten Tanah Datar juga menyampaikan beberapa arahan. Ia mengatakan bahwa Tanah Datar tidak memiliki pabrik dan tambang, maka SDM yang bagus juga merupakan aset berharga yang perlu untuk ditingkatkan. Di Kabupaten Tanah Datar, motto ajaran Islam yang berbunyi “Man
Jadda wa jadda” yang berarti
siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil
diwujudkan oleh pemerintah. “Pemerintah memberikan respon dalam bentuk program yaitu reward studi banding internasional ke Malaysia dan Singapura”. Tentu saja harapan dari program ini adalah pulang dari Malaysia dan Singapura, maka etos kerja dan etos belajar mereka menjadi lebih baiklagi”. Rombongan yang jumlahnya 137 orang ini bisa memberi citra Tanah Datar, andai kami punya citra yang jelek, maka tentu orang akan berfikir “o…begini ya, karakter orang Batusangkar”. Oleh sebab itu kami perlu selalu menjadi warga yang sopan santun selama berpergian. Bupati Tanah Datar, Bapak Shodiq Pasadigoe, mengatakan bahwa 60% dari APBD tersedot buat kebutuhan belanja pegawai. Anggaran studi banding juga termasuk ke dalam APBD, dimana setiap peserta diberi dana Rp. 3,7 juta, termasuk uang saku. Ia mengatakan tour ke luar negeri berbeda dengan tour dalam negeri, misalnya tour ke Jakarta. Tentu saja tour ke Jakarta tanpa pemeriksaan imigrasi, sementara tour ke Singapura dan Malaysia tentu melalui pemeriksaan. Melalui program studi banding ke luar negeri tentu saja akan ada pembelajaran yang bisa diperoleh. Harapan dari pemerintah “agar guru pembimbing memberi pengalaman buat siswa secara langsung”. Tanah Datar bukanlah kabupaten yang kaya, namun bisa menyediakan anggaran Rp. 580 juta untuk mendukung acara studi banding tersebut, sebuah doa agar siswa yang berprestasi bisa kuliah di Singapura dan Malaysia. “Dengan Bismillah, rombongan studi banding penulis lepas” ucap Bapak Bupati sambil memberikan
ketukan tiga kali. Dan kami semua memberikan tepuk tangan, beberapa saat kemudian acara pelepasan rombongan studi banding ini pun berakhir.
B. Bermalam di Islamic Centre Pagaruyung- Batusangkar Setelah Bupati meninggalkan aula Islamic Centre, kegiatan masih ada yaitu penyelesaian administrasi. Pembagian (pendistribusian) kokarde, pasport, buku petunjuk dan yang paling penting adalah penyerahan uang saku buat siswa dan guru pembimbing. Kami kemudian pergi ke lantai atas untuk mencari kamar, rupanya hanya ada dua kamar yang luas buat grup pria dan grup wanita. Penulis menuju ruangan 4, kamar besar buat grup pria. Ternyata bermalam bersama peserta studi banding di Islamic Centre juga asyik. Kami semua shalat di Masjid Nurul Amal yang terletak di samping Islamic Centre. Dinding masjid dicat putih, ruangannya luas dan bersih. Habis shalat kami merebahkan diri dan terasa sangat rileks, anak-anak lain saling berkenalan dan berbagi cerita. Penulis dan beberapa teman berfikir kalau panitia studi banding menyediakan makan malam ternyata tidak. Untuk mengatasi perut yang terasa keroncongan kami mencari makan dan susah sekali mencari warung malam itu. Penulis dan Febrianto (guru SMAN 3 Batusangkar) berjalan ke luar untuk mencari warung. Kami bisa membeli ketupat gulai nangka yang terletak persis di depan Istano Basa Pagaruyung. Rasa ketupat gulai nangka cukup lezat (mungkin perut lapar). Penulis juga melahap goreng tahu dan kerupuk, penulis memperkirakan harganya sama dengan hargama makanan di pasar, ternyata harganya cukup murah, yaitu separo harga pasar.
Menjelang tidur penulis duduk di antara siswa peserta, penulis berbagi cerita tentang cara belajar, tentang motivasi dan tentang kepribadian. Penulis juga membuat kalimat-kalimat lelucon, ternyata siswa peserta senang dan tampak rileks, mereka makin ramai. “Wah kita jam 3.00 dini hari harus bangun dan bertolak menuju Bandara Internasional Minangkabau di Padang, untuk itu
harus tidur”, kata penulis.
Mereka harus tidur dan ternyata tidur yang mudah adalah dikamar sendiri, dirumah sendiri. Namun penulis melihat bahwa sebagian masih sibuk dengan kebiasaan sendiri, otak atik HP, mendengar MP3, sampai ada membaca komik dan berbagi cerita. Penulis fikir bahwa sebagian besar peserta tidak tidur bisa dengan pulas, kecuali hanya sebagian, “oh..ternyata bagi anggota kloter 2 yang akan berangkat jam 3 sore dan fikiran mereka rileks hingga bisa tertidur”. Anak-anak pasti sibuk dengan pikiran mereka. Mereka tentu berfikir tentang bagaimana kegiatan selanjutnya, penulis sendiri juga tidak tidur dengan pulas, telinga dengan jelas mendengar percakapan demi percakapan orang-orang yang berada dalam ruangan tidur besar tersebut. Penulis sengajat menutup mata agak lama agar bisa memperoleh rasa istirahat yang lebih lama, meskipun tidak tertidur lelap. Paling kurang melalui cara tersebut penulis masih bisa memperoleh tidur atau istirahat yang lebih berkualitas. Anak-anak peserta studi banding ini tentu saja anak-anak pilihan di sekolah atau di Kecamatan mereka. Mereka amat mudah termotivasi untuk melakukan hal-hal positif, saat penulis berada di dalam aula Islamic Centre kemaren, penulis sibuk menuliskan pengalaman pada buku catatan dan sambil
berbagi cerita pada anak-anak yang duduk dekat penulis bahwa “menuliskan pengalaman adalah cara yang terbak buat menyelesaikan pengalaman”. Lagi pula nanti setelah acara “comparative study” selesai maka kita akan diminta untuk menulis laporan. Tentu saja kita akan dengan mudah dapat menyelesaikan laporan perjalanan.
Danau Singkarak Terlihat Dari Pesawat
Berfoto foto di Bandara
Mendengar penjelasan ini maka dengan serta merta beberapa siswa pergi ke luar ruangan Islamic Centre untuk mendapatkan (membeli) buku catatan dan pulpen. “Betapa mudah memotivasi anak-anak pilihat buat berhasil dalam hidup mereka, tinggal lagi kualitas pemberian motivasi dan mengarahkan mereka untuk melakukan aktivitas selanjutnya untuk menggenjot SDM (Sumber Daya Manusia) mereka”. Siswa peserta ternyata mampu mengurus diri dalam memanfaatkan waktu. Islamic Centre hanya memiliki dua kamar mandi, namun semua peserta mampu membersihkan diri. Di malamm itu (dini hari) penulis turun agak lambat dan ternyata orang-orang sudah siap berpakaian rapi. Mereka bisa mandi meski kamar mandi hanya dua, tidak sebanding dengan jumlah peserta yang lebih dari seratus orang.
Perjalanan menuju Padang pada waktu dini, pukul 3.00 pagi terasa nyaman, mobil melaju dengan mulus. Tidak ada kendaraan dan transportasi lain yang mengganggu perjalanan kami. Cuaca pagi dini hari juga sejuk membuat semua penumpang ingin untuk menikmati tidur, apalagi mata pun masih mengantuk. Penulis sendiri juga enggan membuka mata, lebih enak untuk memejamkan mata, tidak merasa rugi untuk melihat pemandangan apalagi pemandangan yang akan dilihat sudah bisa dilalui sepanjang waktu. Hanya perjalanan sedikit terganggu setelah melewati pasar Sicincin. Terlihat polisi mengatur arus lalu lintas, ada sebuah mobil pecah ban, namun juga ada pemeriksaan terhadap mobil travel, khawatir kalau mobil travel yang lewat saat dini hari membawa barang-barang yang dicurigai polisi. Tak lama kemudian, ada kumandang azan subuh, rombongan mobil Pemda berhenti pada sebuah masjid di pinggir jalan di Kayu Tanam. Kami shalat subuh, dan rombongan kami segera membuat jamaah masjid menjadi ramai pada pagi subuh itu. Penulis tidak ingin berlama-lama duduk dalam masjid, ia lebih memilih duduk segera dalam bus deretan nomor dua dari depan, tentu saja kami selanjutnya menuju Padang Airport- BIM (Bandara Internasional Minangkabau). Mata kami tidak lagi mengantuk. Hari juga sudah mulai menyingsing, berkas sinar matahari mulai membersit di cakrawala. Memang masih terasa letih rasanya. Penulis menikmati pemandangan menuju BIM kembali. Dalam mobil yang penulis tumpangi, terdapat dua grup, yaitu grup 5 dan 6. Penulis sendiri menjadi grup pembimbing untuk grup 5 penulis duduk bersebelahan dengan seorang siswa asal Lintau, dia tinggal di Ujung Tanah, Tepi Selo. Penulis mengajak ia untuk bertukar fikiran dan melihat bagaimana gaya dan
pola berfikir. Tentu saja namanya anak-anak pikiran mereka masih dangkal. Namun untuk selanjutnya mereka perlu melatih diri lewat menulis, bertukar fikiran dan membaca untuk memiliki fikiran yang dalam dan berkualitas. Akhirnya rombongan mobil kami sampai pada jalan fly over dekat nagari Duku- Kabupaten Padang Pariaman dan terus menuju Bandara. Jalan raya menuju bandara sebagai beranda Sumatera Barat sudah sangat bagus dan terawat dengan baik. Tiang-tiang listrik dengan simbol Minangkabau memberi keanggunan tersendiri. Pada pos memasuki bandara juga ada jalan kecil yang disediakan buat sepeda motor atau ojek. Namun mereka hanya berada pada pinggiran hamparan halaman bandara. Ojek tentu saja kurang bagus berkeliaran di seputar Bandara, apalagi ini kan bandara standar Internasional. Kami semua turun, penulis sendiri membantu menurunkan bagasi para penumpang. Kami selanjutnya harus cek in, direncanakan kami akan terbang menuju Kuala Lumpur dengan pesawat Air Asia pukul 8.30 wib. Kami duduk-duduk sesaat. Ada yang menggunakan waktu ini untuk mengobrol ringan, juga untuk mengambil foto buat sweet memory nanti. Kami kemudian cek in, pemeriksaan barang-barang “Tentu saja itu sebuah pengalaman yang baru dan menarik bagi anak-anak untuk menjadi warga internasional”. Beberapa anak laki-laki barangkal belum memiliki valuta asing (ringgit Malaysia dan Singapura Dolar), mereka berdiri di depan money changer, “Oh masih pagi, tentu saja belum buka untuk money changer”. Akhirnya money changer, pukul 7.15 wib sudah open, namun peserta studi banding tampak bengong – mau tukar uang apa-. Apalagi pada billboard tidak ada tertulis mata uang Malaysia. Penulis mengambil inisiatif dan mulai menukar uang,
pada mulanya mau beli 200 ringgit dan harganya lebih dari Rp. 500.000,- “Wah kalau begitu 100 ringgit saja, dan penulis harus bayar Rp. 295.000,-. Setelah itu anak-anak juga tertarik mengikuti penulis, mereka juga menukarkan mata uang Rupiah dengan Ringgit Malaysia atau Dollar Singapura. Rombongan kami cukup banyak, jadi kami agak lama berada di depan pemeriksaan imigrasi untuk terbang menuju Kuala Lumpur. Hingga akhirnya pihak travel biro menyerahkan tiket dan kartu keberangkatan, kami antri dan menyerahkan kartu ini pada petugas imigrasi, kami masuk dan ada lagi pemeriksaan terakhir. Tubuh kita harus dilepaskan dari benda-benda logam untuk pemeriksaan metal detector. Ya akhirnya kami berada di ruangan tunggu pesawat. Di belakang penulis duduk ada satu grup warga asing, mereka ngobrol tentang Mentawai. Agaknya Mentawai menjadi tempat favorite bagi warga asing untuk berlibur. Pemerhati wisata perlu berfikir untuk mengembangkan pariwisata Mentawai yang juga memiliki ombak tinggi seperti ombak di Hawaii. Maklum ada ombak dari samudera lepas- Samudera Hindia yang sangat luas Penulis duduk pada bangku 16 F Pesawat Air Asia, AK 1371 dekat jendela, jadi dapat melihat pemandangan. Tentu saja terbang ke Kuala Lumpur, berarti kami melewati Sumatara Barat menuju timur. Penulis bisa melihat danau Singkarak dari ketinggian, begitu pula dengan Gunung Sago.....atau mungkin juga gunung yang lain “Wah aku tidak kenal gunungnya”. Matahari berada di sebelah kanan (jendela) penulis dan cuaca cerah. Samudra awan terbentang di bawah pesawat. Hamparan samudra awan di angkasa tentu memberi kesejukan bagi warga yang berada di bumi. Jauh di atas juga ada
awan tipis menghiasi angkasa yang lebih tinggi lagi. Wah penulis ingat dengan pelajaran geografi. Pesawat Air Asia memiliki attentant flight berusia muda dengan wajah dan penampilan ganteng. Juga ada seorang attendant flight wanita berwajah India. Peswat Air Asia yang kami tumpangi adalah jenis pesawat air bus. Penulis duduk pas pada bagian sayap atau bagian pinggang. Penumpang lain mencari kesibukan seperti membaca majalah yang mereka ambil dari kantong kursi, seperti majalah sky shop dan high flying fashion. Penulis mengintip pemandangan dan sekalisekali memotret ke arah luar jendela. Flight attendant menginformasikan bahwa suhu mendekati kuala lumpur 290 C. Pesawat kami terbang melewati daerah Riau dan terus selat Malaka. Lautan awan tampak agak tipis. Itu berarti cuaca memang agak panas di kawasan tersebut, ketinggian pesawat berpengaruh pada telinga penulis karena saraf-saraf pendengaran penulis sedikit sakit dan begitu pula dengan lobang telinga. Akhirnya pesawat turun, berarti kami akan mendarat di Kuala Lumpur. Menjelang mendarat penulis sempat melihat lalu lintas kapal di Selat Malaka.
C. Kuala Lumpur Air Port Daratan Malaysia terlihat jelas. Tidak banyak terlihat hutan, kecuali perkebunan dan lahan-lahan yang terhampar untuk dijadikan industri. Pesawat Air Asia AK 1371 akhirnya mendarat, kami turun dan harus berjalan melalui koridor yang cukup panjang. Papan billboard menggunakan empat bahasa yaitu bahasa Arab, Bahasa Melayu, Bahasa China dan Bahasa Inggris.
“Wah idealnya Bandara Internasional Minangkabau (BIM) juga demikian, musti menggunakan banyak bahasa, karena warga yang datang akan senang kalau melihat bahasa mereka juga dipakai pada billboard- munghkin nanti ada aksara China, Jepang, Thailand, India, Arab...dan lain-lain untuk mewujudkan bandaya yang benar benbar untuk banyak warga dunia”. Pekerja pada bandara antar bangsa Kuala Lumpur umumnya berwajah Melayu dan India. Kami pergi ke tumpukan barang-barang. Masing-masing menemui koper. Akhirnya kami bergerak menuju pintu exit. Suasana di luar bandara hampir mirip dengan suasana pada BIM Padang, penulis juga menemui ada warga yang merokok dan mobil-mobil keluaran tahun-tahun lalu. Hanya saja suasana bahasa, tentu saja bahasa Melayu dan juga mungkin bahasa Tamil, China dan bahasa Eropa. Kami sudah ditunggu oleh armada mobil pariwisata, mereka menyebutnya dengan “Bas Pesiaran”. Rombongan kami masih pada nomor mobil nomor 2, namun mobil ini untuk gurp 4, 5 dan 6. Bisnya cukup panjang dan besar. Pemandu kami bercerita panjang lebar tentang Malaysia, pendidikan, sosial dan budaya. Penulis juga merekam suara pemandu dan akan mendengarnya nanti lagi. Seperti dikatakan bahwa hari pertama kami adalah berada di Kuala Lumpur adalah acara untuk sight seeing city tour dengan rute kota Putra Jaya dan Kuala Lumpur. “Ya sesuai petunjuk buku perjalanan bahwa tanggal 17 November 2011, Rute kami Padang- Kuala Lumpur. Rombongan pertama berkumpul di BIM jam 06.00 WIB, rombongan ke dua jam 13.00 WIB untuk penerbangan ke Kuala Lumpur. Tiba di Malaysia, rombongan akan langsung melaksanakan City Tour ke
Putra Jaya, Dataran Merdeka, Mesjid Negara, kemudian check in di hotel agar peseta studi banding bisa bersitirahat”. Penulis menangkap pemahaman dari cerita pemandu bahwa Putra Jaya adalah sebuah Kota Baru. Dahulu merupakan desa penuh belukar, ide membuka wilayah ini menjadi Kota Baru, yang diberi nama dengan Putra Jaya atau cyber Jaya, oleh Perdana Menteri Dr. Mahatir Muhammad, sekarang Putra Jaya merupakan kota pusat pemerintahan, sementara Kuala Lumpur adalah ibu kota Malaysia. Penulis berfikir bahwa Putra Jaya akan merupakan kota satelit, atau kota penyangga dari Kota Kuala Lumpur. Putra Jaya merupakan kota dengan taman yang begitu luas, memiliki banyak pekerja taman untuk merawat taman setiap saat. Dibanding dengan daerah Tanah Datar atau Batusangkar, geografi Putra jaya tidak begitu menarik, gersang. Namun Batusangkar di lereng gunung, dikelilingi oleh bukit-bukit dan gunung, hamparan sawah dan kebun serta belantara tampak lebih cantik. Namun penata kota Putra Jaya membangun perkantoran pada tumpukan bukit kecil dan meniru gedung populer di dunia. Untuk bangunan gedung di kota ini, misalnya ada bangunan mirip Taj Mahal, ada bangunan mirip gedung di Australia, Eropa, Arab, Iran, Jepang, China. Begitu pula dengan jembatan, ada jembatan yang dibangun mirip dengan jembatan golden gate di Amerika Serikat, jembatan di Perancis dan di Australia. Akhirnya kota Baru ini bisa menjadi turis destination. “Pantaslah moto parawista Kerajaan Malaysia adalah Malaysia the truly Asia. Semua icon yang ada di asia terbentang dalam kota Putra Jaya”.
Penulis melihat kota Putra Jaya hanya ibarat kota dengan banyak perumahan elit. Gedungnya banyak namun kendaraan pada sepi, tentu saja kendaraan yang begini bisa membuat nyaman bagi banyak penumpang, karena kita tidak terjebak ke dalam kemacetan lalu lintas. Selama berada di Kota Putra Jaya, penulis tidak pernah menemui pohon kelapa sebagai ciri khas pohon di daerah tropis, yang terlihat hanyalah hamparan pohon kelapa sawit di pinggir kota.
Penulis dalam Mesjid Negara di Putra Wisatawan dalam Masjid Negara Putra Jaya Jaya
Dalam acara keliling kota, kami berhenti di depan Masjid negara Malaysia. Mesjidnya sangat besar dan megah. Masjid ini dirancang menyerupai masjid yang berada di Iran. Dikatakan bahwa tinggi masjid tersebut adalah 200 kaki dan menampung jamaah sebanyak 8.000 orang. Ruang tempat berwudhu ada pada ruang bawah tanah dan disana dekat gerbang halaman masjid. Di sana juga ada kulkas sistem koin untuk beli minuman. Penulis melaksanakan shalat jamak zuhur dan ashar. Usai shalat penulis
mengambil rekaman kamera dan juga ngobrol dengan Yusuf, seorang wistawan warga Saudi Arabia yang kuliah dan menuntut ilmu di Australia. Masjid tersebut selain tempat untuk shalat, juga menjadi tourist destination. Penulis meminta brochure tentang dakwah Islam dalam bahasa Inggris dan beberapa bahasa Eropa lain kepada pengurus masjid tersebut. Penulis tampak asyik dan selalu terlambat hadir kembali ke mobil wisata nomor dua. Kami kemudian dibawa ke sebuah restoran dengan masakan Malaysia. Tetapi cita rasanya mirip dengan masakan Padang karena di sana juga dengan cabe. Tentu saja masakanya rasa citarasa masakan Padang karena juru masaknya berasal dari Sumatera Barat. Siang tadi kami makan siang dengan hidangan dan sup serta goreng ikan. Usai makan siang tour kami terus menuju Kuala Lumpur. Kuala Lumpur ya langsung bersebelahan dengan kota Putra Jaya. Penulis melihat Ternyata Kuala Lumpur adalah bertetangga dengan Putra Jaya. Memang terlihat kondisi kedua kota juga berbeda, seperti kebersihan kota dan traffic jam sedikit ada di Kuala Lumpur. Di kota Kuala Lumpur ada jalur kereta api bawah tanah dan jalur di atas fly over (jalan jalur atas) sehingga bahaya tabrakan atau kecelakaan kereta api hampir tidak ada terdengar. Juga di Kuala Lumpur hampir tidak terlihat pengamen, anak jalanan dan pengemis. Begitu pula dengan ojek seperti yang ada di Tanah Air juga tidak ada. Gedung-gedung di Kuala Lumpur sebagian juga terlihat sudah tua. Barangkali kami tadi lewat melalui wilayah kota tua dan sebelumnya kami
berhenti di lapangan kota Kuala Lumpur sambil mengambil foto-foto. Di sana penulis dibantu mengambilkan foto oleh warga Kuala Lumpur yang cukup ramah. Orang-orang (penduduk Kuala Lumpur) hidup cukup rileks, tidak terburuburu. Penulis fikir bahwa kota Palembang mungkin lebih sibuk dari Kuala Lumpur. Perbandingan ini terasa karena penulis sendiri pernah tinggal di Palembang selama 10 hari. Namun pada beberapa bagian kota Kuala Lumpur ada yang terlihat gedung megah dan pada beberapa tempat tampak lain lagi corak gedungnya. Akhirnya rombongan bis pesiar kami menuju Grand Hotel Pasific, sebagai tempat menginap kami. Bis melewati jalan-jalan sempit dan kami turun. Sopirsopir bis di kota Kuala Lumpur sangat menghargai pejalan kaki sesuai dengan pesan yang pernah terlihat di bandara antar bangsa “Beri Laluan Buat Pejalan Kaki”. Bis pesiar berhenti, kami semua turun. Kami masuk dan berkumpul ke lobi hotel Grand Pasifik. Personalia hotel ini sebagian berwajah India. Dalam bis, pemandu sempat menceritakan bahwa penduduk Melayu dianggap penduduk asli atau disebut sebagai “bumi putra”. Mereka memperoleh perlakuan istimewa dari negara. Misal discount diberikan oleh Bank 20% untuk warga Melayu, sementara untuk keturunan Cina dan India tidak begitu, sehingga kedua etnis ini melalui politik (parlemen) meminta hak-hak persamaan. Pemerintah takut kalau ini menjadi perpecahan, maka pemerintah segera membentuk semboyan “one Malaysia for China, Melayu and India”.Atau juga ada semboyan untuk persatuan yang berbunyi “world under one roof atau dunia dibawah satu atap”
Salah seornag rombongan kami berbisik “kita tidur di hotel kelas Melati ya…”katanya, karena hotel Grand Pacific dari luar terlihat kecil, tidak punya halaman parker. Maklum karena hotel berlokasi persis di persimpangan jalan besar, penulis juga berfikir demikian. Akhirnya pihak travel biro membagi kami untuk tidur per kamar, group wanita berpisah dengan grup pria, penulis memperoleh teman grup rombongan anak 3 orang, yaitu David (David Al Azis dari SMPN 1 Batipuh, Raihan (Rayhan Fajar Matheza dari SMPN 1 Batusangkar dan Syandi (Shandi Alfajar dari SMPN 1 Tanjung Emas) ya mereka sekolah di SMP semuanya. Kami memperoleh kamar 428, kami segera menuju pintu lift. Petugas travel memberi petunjuk cara mengoperasikan lift untuk menuju kamar 428 “tekan tombol menjadi angka empat, tutup pintu, nanti lift menuju lantai empat. Kalau sampai di lantai 4 maka tekan tombol buka. Begitu pula kalau mau turun. Ya cukup praktis”. Anak anak dan penulis sendiri memperoleh pengalaman internasional dan sangat berharga yaitu bagaimana tinggal di hotel dan memanfaatkan fasilitas publik. Anak-anak yang satu grup dengan penulis cukup percaya diri untuk mencoba mengoperasikan tombol lift, dan penulis memberi pujian “kamu cukup pintar ya, tidak sia-sia satu grup dengan Mr. Joe” dan yang lain tentu saja tertawa dan juga jadi termotivasi. Ternyata Hotel Grand Pacifik bukan hotel kelas melati seperti yangh kami fikirkan sebelumnya. Karena begitu sampai di lantai 4 terlihat susunan kamar hotel yang begitu rapi dan bersih, lantai hotel dilapisi dengan karpet, ruang cukup terang dan juga sejuk oleh Air Conditioner. Kami terus masuk ke kamar 428,
kamarnya cukup luas. Juga
ada TV set dengan 4 tempat tidur bersih. “Oh
nyamannya..!” Kami langsung bersosialisasi satu sama lain. Teman kecil penulis yang bernama David membeli kartu Malaysia dan menukar kartu dengan kartu phone Indonesia.
Namun
ia
merasa
gagal
karena
kurang
mengerti
dalam
mengoperasikannya. Lagi lagi phonecell tidak punya baterai lagi dan setiap orang ingin mencharge baterai HP, tetapi susah karena charge outlet listrik pada dinding butuh socket listrik kaki tiga. Penulis berfikir bagaimana untuk mencari alat un tuk charger baterai. Iseng-iseng penulis masuk ke kamar lain, ada siswa yang bernama “Amru” (Amru Mufid dari SMPN 5 Batusangkar), cukup pendiam, ia sibuk sendirian dengan HPnya, “oo…lagi main internet ya.., bagaimana kamu main internet, kan mahal harga pulsa disini?’ “Tidak Mister, saya menggunakan wifi, tadi penulis minta password yaitu “grand hotel pacifik” Kata Amru Mufid. “Ya…bantu…dong…!!!” Akhirnya penulis juga bisa main facebook. Penulis bisa mengupload 3 foto dan juga membalas SMS teman lewat facebook. Penulis mohon maaf tidak bisa membalas SMS atau telepon langsung karena biaya roaming yang sangat mahal antara “my maxis dengan telkomsel” soalnya begitu masuk Kuala Lumpur kartu HP kita spontan berganti menjadi my maxis. “Penulis menerima SMS dari teman di Batusangkar dan penulis membalas SMS. Kemudia penulis cek biaya kirim ya ampun satu SMS biayanya Rp. 4.600,. Penulis juga pernah menerima telefon dari orang tua siswa peserta studi banding,
ya ampun biayanya Rp. 24.000. Jadi untuk biaya SMS sampai 400 %, mahal amat....biaya roaming mahal- so jangan telefon aku...jangan SMS aku...nanti kita dua-duanya rugi”. Penulis ingat dengan David yang masih kesulitan dalam mengoperasikan kartu baru Malaysianya. Penulis mengantarkannya ke kamar Amru, seorang siswa yang pendiam, namun ternyata cerdas dalam otak atik HP. Amru pun membantu David “Hei…akhirnya bisa, dan David pun senang, ia akhirnya bisa membalas SMS semua- orang tuanya dan familinya, dengan harga standar. Penulis pun nanti juga akan minta SMSnya untuk mengirim kabar ke sekolah penulis “SMAN 3 Batusangkar” tentang tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh siswa selama penulis berada di Malaysia dan Singapura. Malam itu TV di ruangan kamar hotel kami menyala “ohh…ada pertandingan sepak bola dalam Sea Game Jakarta-Palembang”. Penulis sendiri langsung percaya diri bahwa TIMNAS (tim nasional bolakaki Indonesia) bakal menang karena penampilan pemainnya cukup gagah dibanding pemain yang cukup bersahaja dari tim Malaysia. Apalagi komentar penonton TIMNAS yang cukup emosional, meniru ucapan Bung Karno “Ganyang Malaysia”- padahal ungkapan ini tidak perlu dipakai lagi karena bisa mengeruhkan suasana hubungan Indonesia dan Malaysia. Penulis menyaksikan kalimat dari spanduk illegal supporter TIMNAS yang disorot oleh TV 2 Malaysia. Dalam hati penulis yang menonton acara ini dari kamar hotel di Kuala Lumpur menjadi malu “wah supporter TIMNAS kita terlalu emosional dan kekanak-kanakan”. Namun komentar dari komentator TV 2 Malaysia cukup bersahaja dan tersenyum ringan (Maaf bukan maksud
merendahkan bangsa sendiri, namun demi perbaikan karakter segelintir dari bangsa kita). Dalam babak pertama tim sepakbola Malaysia dengan mudah menang 1-0. Aku menjadi enggan untuk mengikuti kelanjutan acara Sea Games ini dan berfikir bahwa ini gerangan akibat supporter TIMNAS kita yang cukup takabur alias sombong. “ya, doa orang sombong tidak didengar oleh Allah, bisa membuat kalah meskipun pemain timnas kita sudah menjadi pemain pilihan. Meskipun Indonesia memimpin perolehan medali, namun kalau tim sepak bola gagal, ya cukup sia-sia. Apalagi sepak bola adalah olah raga yang cukup bergengsi. Namun moga moga kita bisa koreksi diri untuk kemajuan sepakbola kita. Malam pun tiba. Untuk makan malam, buat pertama diantar oleh pihak travel biro dalam bentuk makanan box. Kami segera turun melalui lift dan kami memperoleh empat box makanan dan juga empat botol air mineral untuk anggota grup kami. Kami mengenal seisi kamar hotel, rupanya ada kopi, gula dan kream dalam kantong-kantong kecil dalam laci meja. Anak-anak dari grup penulis memanaskan air dan membuatkan kopi panas buat penulis. Kopinya masih panas, penulis menunda minum dan memutuskan untuk membals email lewat facebook. Mata terasa mengantuk dan kepala terasa berat, namun penulis masih punya kopi, dan mubazir kalau tidak diminum. Astaga, penulis menjadi sedikit susah tidur setelah minum kopi setelah jam 10.00 malam, anak-anak bisa tertidur pulas namun penulis tidak- gara-gara minum kopi mungkin. Penulis mengosongkan fikiran agar bisa tidur.
Pada waktu dini hari penulis terbangun. Di luar terdengar hingar bingar raungan musik. Mungkin ada suara karaoke dari klub malam. Penulis berfikir kalau-kalau waktu subuh sudah masuk, “ooh… ternyata baru jam 2.00 dini hari”. “wah mengapa aku tidur, lebih baik aku terus menyelesaikan tulisan tentang perjalanan ini”, bisik penulis dalam hati. Dibawah, dari balik jendela, terlihat jalan-jalan Kuala Lumpur yang cukup sepi, tidak ramai seperti di Jakarta. Antrian pada persimpangan jalan juga tidak begitu lama seperti di Jakarta, jadi Kuala Lumpur terlihat biasa-biasa saja. Hari pertama di Kuala Lumpur, penulis belum melakukan shopping yang berarti, kecuali baru dalam bentuk membeli cenderamata yaitu satu box miniatur “twin tower” sebagai ciri khas kota Kuala Lumpur yang harganya RM 30 (atau 30 x Rp. 2.900), atau hampir Rp. 90.000,- yang penulis beli dari sebuah kedai di komplek Masjid Negara di Putra Jaya. Mungkin termasuk mahal untuk ukuran cendera mata. “Ya…makanya penulis hati-hati untuk shopping di Malaysia”, ini cenderamata dibeli cukup penting sebagai simbol bahwa kita sudah kembali dari Malaysia. Penulis juga membeli tabloid, berbahasa Inggris “STAR, the people’s paper” atau korannya masyarakat, yang harganya sangat murah hanya hampir dua ringgit, sementara tabloid tersebut terdiri atas 72 halaman, ya murah sekali. Hal lain yang terasa, karena perubahan situasi adalah penulis merasa sulit untuk buang air besar, dalam hati penulis berfikir untuk membeli buah-buahan, kalau memesan buah-buahan atau juice lewat hotel terasa sangat mahal. Water melon
RM 8 (Rp. 24.000)
Honey
RM 8 (Rp. 24.000)
Papaya
RM 8 (Rp. 24.000)
Malah harga juice jauh lebih mahal lagi, seperti dalam daftar Orange/Mango
RM 10 (Rp. 30.000)
Juice nanas
RM 12 (Rp. 36.000)
“Oh ya.....harga di hotel jadi mahal karena meliputi pajak 6%, dan 10% untuk harga …., ini tertulis dalam daftar menu service, bagaimana harga diluar ya, lebih baik penulis beli di open place nanti”. Jam 4.00 pagi dini, bisa jadi jam 5.00 pagi karena penulis lupa mengubah waktu WIB menjadi waktu Malaysia. Ada suara ringtone dari intercome, ya pihak hotel membangunkan kami, ya masih dini hari, aku menjawab “good morning”, tapi masih pagi dan istirahat dulu sebentar. Kesan penulis terhadap orang Kuala Lumpur, mereka sangat ramah, tanpa bertanya, mereka sudah duluan berbicara. Kemaren ketika di restoran, wanita pemilik restoran berkata bahwa juru masak direstorannya adalah orang Indonesia. Saat berada di taman kota- lapangan terbuka- di Kuala Lumpur, seorang wanita Malaysia keturunan India juga menawarkan diri untuk memotret penulis, begitu juga dengan orang-orang yang penulis temui di hotel atau dalam box lift juga dengan mudah berbicara lebih duluan. Jadi berada di Kuala Lumpur ya seperti berada di kampung halaman sendiri. Penulis terbangun jam 2.00 dini hari, memutuskan tidak tidur, ya buat apa tidur, sebab datang ke Kuala Lumpur adalah untuk studi banding dan penulis merasa rugi kalau buang-buang waktu. Lebih baik memanfaatkan waktu buat menulis, menulis apa yang dilihat dan apa yang dirasakan selama berada di Malaysia dan Kuala Lumpur, bukankah menulis yang terbaik sesuai dengan
kondisi dan tempat kita berada. Apalagi kalau ditunda untuk menulis, memori perjalanan saat tiba kembali di Batusangkar maka tentu ada banyak hal penting tidak tercover oleh kapasitas memori kita, maka “jangan menunda waktu dalam menulis”.
Menara Kembar di Kuala Lumpur
Lapangan terbuka di Ibu kota- Kuala Lumpur
D. Nilai University College dan Istana Sri Menanti Hari kedua di Kuala Lumpur, penulis bangun lebih cepat jam dua pagi, tidak buang-buang waktu untuk tidur, tetapi untuk menulis. Penulis menulis dari jam 2 pagi sampai subuh, kemudian jam 5.00 waktu Kuala Lumpur, habis shalat subuh, penulis membangunkan anka-anak juga mencari channel berita yang menarik, tidak ada channel yang menarik. Anak-anak juga bangun, shalat dan mengurus diri sendiri. Oh…ternayta tidak begitu kami turun ke lantai bawah, orang-orang sudah pada selesai sarapan, namun kami belum. Mereka sudah siap naik bis melanjutkan perjalanan tour. Penulis menyempatkan diri untuk sarapan. Penulis mengambil sedikit sarapan dan
penulis butuh makan papaya, oh…juga orange juice. Orange juice dan pepaya sangat bagus untuk kesehatan perut, membuat BAB jadi lancar. David, salah seorang anak di kamar penulis masih tertinggal, entah apa yang diurusnya, ya…kami naik lagi kelantai atas. Dia sedang merapikan tempat tidur, namun dia harus segera turun, karena hanya dia saja yang ditunggu. Penulis membantu mengambil roti dan selai, David butuh waktu kalau menikmati sarapannya, maka ia membawa sarapannya ke mobil, karena waktu buat berangkat melanjutkan tour sudah datang. Masih ada sedikit waktu dalam bis sebelum berangkat, penulis masih punya sedikit ide untuk menulis. Iwan, peserta dari MTsN Tanjugn Barulak melihat penulis dalam menulis, ya…sambil bertukar pengalaman cara menulis dan belajar bahasa. Bis berangkat, pemandu kami bernama Azam. Ia berbicara tenrang Kuala Lumpur yang terletak di Selangor, wilayahnya cukup kecil, umumnya Malaysia memmpunyai 13 sultan, kecuali Sabah, Sarawak, Malaka dan Penang yaitu hanya gubernur. Nama “Kuala Lumpur...?” Kuala yaitu sungai bertemu sungai, kalau muara, sungai bertemu laut. Di Malaysia ada beberapa kota menggunakan kata “Kuala” seperti Kuala trengganu, Kuala Lumpur dan mungkin ada yang lain. Penulis masih ingat dengan kota “Putra Jaya” yang sekarang merupakan kawasan baru yang dibuka pada tahun 1999 atas ide Mahatir Mahmud. Saat itu kantor-kantor pemerintah dipindahkan ke Putra Jaya. Dengan demikian kemacetan di Kuala Lumpur bisa diatasi. Jarak Putra Jaya ke Kuala Lumpur hanya 25 km.
Pemandu wisata kami berganti dan pemandu kami yang kedua ini terlihat lebih cerdas. Ia berbicara tentang banyak hal seperti koin, nama kota, asal usul kota. Contoh Selangor berasal dari kata “seekor langor”. Wah terlalu banyak untuk dicatat dan untuk didengar dari pemandu yang kedua ini, namanya Azam.
Dekat Musem Minangkabau di Daerah Sri Menanti- Negeri Sembilan Di Nilai Universitas College Azam menambahkan tentang hal lain. Jalan tol, dalam bahasa Melayu “Lebuh Raya”, pusing berarti berputar, tetapi pusing dalam bahasa Indonesia berarti pening. Pemandu wisata kami menceritakan bahwa dahulu etnis Cina banyak yang kaya, namun sekarang etnis Cina ada yang kaya, tetapi juga banyak yang miskin, sudah seperti etnis India dan etnis Melayu. “dalam buku paduan bahwa tanggal 18 November, rute kami adalah Kuala Kumpur dan beberapa kunjungan. Setelah sarapan pagi rombongan melakukan kunjungan ke tempat yang telah ditentukan seperti Nilai University sampai selesai, mengunuungi Istana Sri Menanti sampai selesai, shalat Jum’at di masjid Tuanku Ja’far, setelah itu langsung menuju Keduataan Besar Indonesia di Kuala Lumpur, Bukit Bintang, makan malam dan kembali ke hotel dan istirahat”.
Kunjungan pertama di hari kedua di bumi Malaysia adalah berkunjung ke “Nilai Colloege Universiti”. Niilai adalah nama sebuah kota dekat Selangor. Jaraknya 70 km dari Kuala Lumpur. Universitas college di Kota Nilai ini adalah Universitas swasta, lokasinya berada di kawasan yang sepi. Penulis berfikir bahwa pasti universitas ini akan kekurangan mahasiswa. Apalagi mengingat jumlah pepulasi Malaysia yang juga relatif kecil yaitu hanya 27 juta orang. Namun universitas swasta ini mampu membawa lembaga ini menjadi universitas populer dan bertaraf internasional. Ia menjual program universitas ini ke luar negeri dan mengundang mahasiswa asing untuk menjadi mahasiswanya. Universitas terasa sepi karena saat kedatangan kami disana mungkin lagi liburan. Dan saat itu kami dipandu atau dilayani oleh mahasiswa Nilai College university asal Kenya. Promosi keluar negeri sangat penting, apalagi untuk meyakinkan dan sekaligus untuk menarik mahasiswa untuk datang kesana. Sebagai kawasan internasional, maka disana hanya dipakai bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Ini terjadi karena mahasiswa nya adalah multi bangsa dan secara tidak langsung bahasa Inggris menjadsi bahasa penghubung. Kemudian rekruitmen atau penerimaan mahasiwa juga menekankan penggunaan bahasa Inggris, wawancara dalam penerimaan bahasa Inggris. Penulis merasa, saat berada di lingkungan kampus Universitas Nilai College ini biasa-biasa saja. Mahasiswanya juga terkesan tidak begitu menonjol, ya biasa biasa saja. Yang diterima sebagai mahasiswa di sana mungkin tingkat kecerdasan mahasiswa asing yang juga biasa-biasa saja. Malah mahasiswa yang kuliah di Indonesia seperti di UI, ITB, UNPAD dan lain-lain terkesan lebih
cerdas. Penulis merasakan bahwa agar bisa diterima di Universitas Indonesia di ITB atau di UNPAD terkesan lebih sulit dan ada persaingan, malah lebih terasa bergengsi. Di Universitas Nilai terasa biasa-biasa saja. Itu karena ia tidak menekankan persyaratan pada standar nilai UAN (Ujian Akhir Nasional). Ia mengatakan bahwa nilai UAN (atau UN) hanya untuk sistem pendidikan nasional di Indonesia. Jadi masuk Universitas Nilai College itu mudah- kalau punya banyak uang ya...selesai urusan untuk jadi mahasiswa di sana. Universitas Nilai College hanya menekankan pada nilai raport saja. Persyaratan penerimaan mahasiswa di Universitas ini begitu mudah, nilai rata-rata rapor paling rendah 7.00, bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Sekali lagi, penulis berfikir bahwa itu adalah universitas internasonal untuk level mahasiswa biasa-biasa saja, asal bisa berbahasa Inggris, ada uang….ya langsung jebol”, namun persyaratan beasiswa 100%, 50%. 25% tentu lebih ketat, misalnya nilai rata-rata 85 dan TOEFL dengan skor yang lebih tinggi. Kunjungan kami di Nilai Universitas College disambut dalam ruangan kuliah umum oleh seorang wanita muda, berwajah Cina. Ia berkomunikasi dengan lincah dalam bahasa Melayu bercampur aksen Indonesia. Sebagaimana ia mengatakan bahwa ia pernah beberapa kali tinggal di Semarang. Pada mulanya penulis berfikir kalau ia adalah seorang dosen atau stake holder. Kemudian penulis tahu bahwa ia adalah tenaga khusus dalam bidang promosi kampus untuk internasional. Untuk informasi lebih lanjut, kami diberi buku panduan atau buku promosi dan juga kami diberi formulir pendaftaran dan mengisinya. Setelah itu mengumpulkannya kembali. Penulis berfikir bahwa
formulir itu berguna sebagai angket untuk melihat gambaran kami terhadap universitas tersebut. Universitas Nilai College memang luas kompleksnya dan terlihat rapi serta megah. Kompleknya dibangun pada kawasan seluas 14 kali lapangan bola kaki, lokasinya jauh di luar ibu kota negeri Selangor, 70 km dari Seremban. Untuk kerapian dan perawatan, Universitas ini merekrut banyak tenaga wanita mulai dari sekuriti depan, penjaga kebun, dan untuk kebersihan. Kebanyakan yang direkrut adalah wanita keturunan India. Penulis berasumsi bahwa wanita dalam bekerja lebih tekun dan lebih amanah dibanding laki-laki, tentu saja itu tergantung pada kualitas wanitanya. Sebelum mengakhiri kegiatan di kampus ini, kami diajak berjalan melihatlihat kampus namun ada komplain dari rombongan kami, “Wah kenapa pemandunya diam-diam saja”. Tidak ada cerita-cerita yang disampaikan oleh pendamping yang bernama “Elvie” berwajah Cina dan usianya sekitar 20 tahun. “Ya kami dipandu berkeliling oleh pemandu yang kurang dalam komunikasi dan kecuali ia masih muda dan berwajah cantik”. Yang sedikit mengesankan bahwa kami pergi ke bengkel perawatan pesawat. Di dalamnya ada satu pesawat kecil, ternyata rombongan kami datang untuk berfoto-foto, dan penulis menghampiri salah satu staf. Ternyata ia adalah dosen disana. Penulis bertanya jawab dengannya, ia menjelaskan bahwa bengkel itu untuk latihan perawatan pesawat. Universitas tersebut merujuk pada standar Eropa. Tidak banyak yang kami lihat di Universitas Nilai ini kecuali hanya sekedar melihat luasnya komplek dan bagusnya gedung, padahal yang perlu kami
lihat adalah suasana pendidikan dan ruangna belajar yang ada disana. Namun kami tetap berterima kasih atas sambutan mereka yang cukup ramah. Rombongan kami melanjutkan perjalanan menuju Istana Seri Menanti. Dalam fikiran penulis bahwa Seri Menanti itu apa (?). Ternyata seri Menanti adalah nama daerah yang pada mulanya nama dari seorang Raja Melayu. Dalam perjalanan guide kami bercerita apa-apa saja yang terlintas dalam fikirannya. Ia juga menjelaskan tentang populasi Kuala Lumpur yang luasnya 430 km persegi, penduduk 1,6 juta jiwa dan mobil yang beredar di jalan raya sebanyak 2 juta mobil. Dikatakan saat kami melewati daerah Nilai bahwa disana juga banyak dihuni oleh warga keturunan Minangkabau, orang-orang yang bekerja di Kuala Lumpur juga banyak yang tinggal di luar ibukota (Kuala Lumpur) yang jaraknya mungkin dua jam perjalanan, seperti di Kota Selangor, Ipoh, Pahang dan Perak. Alasan mereka bekerja dan bola-balik ke Kuala Lumpur adalah alasan lebih enak tinggal bersama orang tua, keluarga di kampung sendiri dan juga karena biaya beli rumah yang cukup tinggi di Kuala Lumpur. Di kawasan kota Nilai juga terdapat perumahan atau perkampungan warga keturunan Eropa, berkulit putih. Kalau di Indonesia, orang kulit putih disebut dengan bule, tetapi orang Melayu (Malaysia) menyebut orang berkulit putih dengan “Mat Saleh”. Asal kata “Mat Saleh” adalah “Mad Sailor” atau “Pelaut yang Gila”, dahulu kala dikatakan bahwa pelaut asal Eropa, mendarat di Melaka dan mereka memperkenalkan diri sebagai “Mad Sailor” atau pelaut yang gila, kata Mad Sailor disesuaikan dengan lidah orang Melayu menjadi “Mat saleh”. Namun sebutan ini
juga memberi kesan sebagai karakter yang baik yaitu “Mat Saleh juga dapat diterjemahkan menjadi “Mak yang sholeh, atau Mak yang taat”. Penulis melihat bahwa daerah Malaysia sudah sangat maju, jalan-jalan tol menghubungkan antar state (propinsi) cukup panjang dan lebar. Kedua sisi jalan diberi pagar, dan tentu saja sopir perlu membayar sesuai dengan standar mobil dan jarak jalan yang ditempuh. Penerangan jalan sangat memadai, kebutuhan listrik Malaysia menggunakan energi gas yang dikelola oleh Petronas, ya semacam Pertamina untuk Indonesia. Sekali lagi, pemandu kami juga menjelaskan asal kata “Selangor” yaitu “Seekor Langau” atau seekor lalat. Tentu saja ia menjelaskan anecdote yang cukup lucu buat menghibur kami semua. Terlihat bahwa untuk menjadi guide perlu memiliki wawasan luas, komunikasi, anecdote dan juga rasa humoris yang tinggi. Dalam memandu kami dalam bus, guide memajang peta Malaysia pada kaca depan bus. Jadi saat itu kami hanya berada di negara bagian Selangor dan sekitarnya (negeri Sembilan, Selangor dan juga Johor Baru). Terkesan bahwa daerah perkotaan dan juga perbukitan seputar ibu kota telah direkayasa, dan ditanam dengan pohon sawit, pohon akasia. Itulah mengapa alam Malaysia terasa monoton. Burung-burung jarang terlihat, dan setelah memasuki state Negeri Sembilan, yang warganya keturunan Minangkabau suasana terasa seperti di Sumatera Barat, hutan yang masih asli, rumah penduduk seperti penduduk Minang. Setelah duduk dalam kendaraan agak lama, mungkin dua atau tiga jam kami sampai pada persimpangan jalan. Di sana ada gerbang dengan ciri Minangkabau. “Ohh…ternyata jalan menuju Istana Seri Menanti”. Penulis merasa
mengantuk, namun enggan untuk tidur karena merasa rugi untuk melewati suasana Minang di Negeri Sembilan. Di daerah ini memang ditemukan pohon-pohon kelapa sebagai ciri khas yang banyak tumbuh di daerah panas. Disamping itu juga ada daerah pertanian sawah, pematang sawah terlihat bersih dan rapi. Mobil kami memasuki komplek istana Sri Menanti. Kami turun dan merasa terpesona melihat museum Sri Menanti. Namun museum ini tidak bercorak rumah Minang, namun lebih bercorak rumah adat Melayu Riau. Museum ini dicat hitam dan di depannya terdapat replika (duplikat) batu basurek dan juga batu kasur seperti yang terdapat di kota Batusangkar. Halaman yang luas terhampar di depan komplek istana dan museum ini. Kami disambut oleh ketua pengurus Istana Sri Menanti. Kami diberitahu tentang sejarah hubungan negeri Sembilan dengan Minangkabau. Terasa bahwa sistem raja masih dipelihara di Negeri Sembilan, malah kerajaan menguasai militer dan juga agama, sementara di Batusangkar, kerajaan Pagaruyung hanya tinggal nama saja lagi, rajanya sendiri entah dimana lagi. Pihak Istana Sri Menanti, mengizinkan kami untuk berfoto-foto, kecuali di dalam museum tidak boleh, kami kemudian diizinkan untuk memasuki gedung tempat penobatan raja, istananya megah dengan hamparan karpet persia dan kursikursi untuk tamu. Pada beberapa dinding terdapat potret keluarga raja. Penulis dan juga beberapa peserta studi banding memotret momen dalam istana, kita tidak boleh memasuki lantai yang dekat kursi tahta raja, disana terdapat tali pembatas. Kami dijanjikan untuk makan siang di sana setelah shalat jumat, usai dari ruang ini kami disuguhi tas kertas, ya tas promosi wisata Negeri Sembilan dengan
gambar cantik. Di dalamnya ada kue besar, seperti martabak ambon, sebotol air, buku atau brochure wisata, kartu-kartu pos, gelas dengan tadah keramik, terasa kami diberi pemanjaan. Tadinya perut terasa lapar dan bisa jadi kenyang setelah melahap bika ambon. Tiba-tiba hujan cukup lebat turun, walau hanya sesaat, namun kami batal untuk shalat jumat dan kami ganti dengan sholat Zohor yang dijamak dengan sholat Ashar, ya kamikan semua musafir di negeri Jiran. Para wanita pekerja dapur sudah menyuguhkan makan berjamba dalam ruang luas, namun terasa sempit karena jumlah kami cukup ramai yaitu 140 orang. Kami makan duduk dihamparan, yang datang dulu ya makan dulu, yang datang belakangan cari tempat untuk duduk. Di sana ada ciri khas dalam makan, bahwa (begitu juga di restoran) yaitu menyuguhkan minuman sirup. Penulis fikir bahwa minum sirup lebih sering berbahaya bagi kesehatan ginjal karena sirup punya zat pewarna dan zat penyadap”. Usai makan kami turun, masih sempat berfoto-foto, dalam beberapa menit kemudian kami sampai di komplek masjid, penulis melihat ada dua masjid, o…ternyata bangunan sebelah kiri yang mirip masjid adalah tempat makam (kuburan) raja, di depan (dalam ruang berbentuk masjid) juga ada tiga calon tempat kuburan buat raja-raja berikutnya kalau mangkat. Kami pun berlalu meninggalkan kompleks kerajaan Sri Menanti dan perut terasa kenyang, karena penulis menghabiskan kue bika (martabak) ambon yang berukuran jumbo ditambah pula dengan makan siang di kompleks istana. Penulis mencoba menikmati cita rasa masakan Melayu Negeri Sembilan, gulainya terasa bumbu sereh (sarai). Terasa agak manis dan kurang pas dalam
lidah Padang, sementara ada rendang bada, tetapi terlalu asin, hanya satu yang cocok untuk lidah Padang penulis yaitu “sambalado”. Kami kembali dan meninggalkan daerah Sri Menanti. Selanjutnya Kami menuju kota Kuala Lumpur, hari mulai gelap dan penulis memejamkan mata, karena tidak merasa penting lagi untuk melihat pemandangan, o…ternyata kami harus menuju kompleks KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia).
E. Prof. Rusdi di Attase Budaya KBRI Kuala Lumpur Bis pesiar berhenti dan kami bergegas masuk kompleks KBRI di Kuala Lumpur. Begitu memasuki gedung KBRI kami menyempatkan diri untuk berfotofoto. Latar belakang yang dipilih adalah merek KBRI Kuala Lumpur yang sebagai bukti bahwa kami memang benar-benar berada di KBRI Kuala Lumpur, rencananya kami juga akan diundang makan di KBRI. Kami semua duduk dalam aula KBRI dan menunggu kedatangan pejabat KBRI. “Subhanallah…dada penulis berdesir bahwa ternyata yang tampil itu adalah Prof. Rusdi, sebagai attase budaya Kuala Lumpur, Pak Rusdi adalah teman sekelas penulis saat kuliah di IKIP Padang (kini berganti nama jadi UNP Padang) dari tahun 1984 hingga 1988. Bapak Rusdi langsung disambut oleh Kepala Dinas Pendidikan Tanah Datar, penulis juga bergegas kedepan untuk menyalaminya, Bapak Rusdi menyapa nama penulis “Hello, Johan…” Ternyata ingat sekali dengan pribadi penulis. Tentu saja masih ingat karena kami penya pengalaman emosional. Saat mahasiswa dulu, kami sering pergi bersama dan penulis beberapa kali datang ke
rumah kosnya di seberang kompleks Ring-Dam tempat latihan militer di Air Tawar, Padang, membawa bahan makanan dan kami pun makan di rumah kos Rusdi yang sangat sederhana. Rusdi dan penulis membakar ikan dan membuat sambalado dan kami makan bareng-bareng. Kenangan inilah yang agaknya selalu terkenang dalam memori Bapak Rusdi hingga sekarang, ya sebagaimana ia paparkan dalam kata sambutannya. Setelah itu kami berpisah sejak tahun 1989 dan kami berjumpa lagi tahun 2006, ya penulis menjadi mahasiswa Bapak Rusdi pada program pasca sarjana UNP Padang, dan Bapak Rusdi menjadi dosen pasca sarjana dengan mata kuliah psikolinguistik dan sosiolinguistik. Tamat dari kuliah strata satu pada jurusan pendidikan Bahasa Inggris, Rusdi tidak memutuskan untuk menjadi guru, seperti yang penulis lakukan menjadi guru. Ia mencari beasiswa melalui yayasan Bunda yang dikelola oleh Gubernur saat itu (Gubernur Azwar Anas), ia melanjutkan pendidikan pascasarjana (S.2) di Australia. Selesai pascasarjana ia kembali ke Indonesia menjadi dosen pada IKIP (UNP) Padang, beberapa saat kemudian melanjutkan program Post Graduate di Curtin University, Australia Baratoard. Ia memperoleh Ph.D dan kembali menjadi dosen di UNP (tugas belajar). Rusdi membawa keluarganya sambil kuliah di Australi, malah dua orang anaknya lahir di Australia, komunikasi dengan kedua anaknya memakai bahasa Inggris, Rusdi memperkenalkan banyak pengalaman buat anak-anaknya. Rusdi ternyata menjadi dosen juga pada program pascasarjana dan program doktor di UNP. Penulis pernah menjadi mahasiswanya tahun 2006-2007
di pascasarjana. Pada umumnya mahasiswa Rusdi merasa senang belajar dengan Rusdi, karena ia mempunyai pribadi yang hangat, humoris dan selalu memberi kemudahan dalam perkuliahan. Posisi sebagai pembimbing tesis sangat menyenangkan, karena Rusdi memberi solusi, memberi kontribusi dan tidak membuat mahasiswa stress. Rusdi memiliki pribadi yang hangat, mudah berkomunikasi dan juga bisa tegas, dengan bahasa yang santun, inilah yang membuat Rusdi bisa meraih posisi demikian. Agaknya Rusdi, sebagai manusia, punya keinginan positif, tentu saja ia pingin untuk menjadi rektor, wah…penulis berfikir bahwa agak sulit untuk meraih posisi rektor, maka mungkin secara kebetulan ada posisi untuk mengisi attase budaya di luar negeri. Sebagaimana dijelaskan oleh Pak Rusdi, sesuai dengan pertanyaan dengan Pak Rusdi saat acara temu ramah di Aula KBRI, bahwa secara iseng-iseng ia ikut tes, mengisi formulir. Ia mengikuti beberapa kali seleksi dan lulus, saat ada beberapa orang attase yang akan ditempatkan pada beberapa perwakilan RI (KBRI) di luar negeri, agaknya diantara yang lulus tersebut barangkali Pak Rusdi wajahnya paling Melayu, maka ia ditempatkan di Kuala Lumpur. KBRI adalah ibarat rumah sendiri bagi warga Indonesia di luar negeri, jadi tidak layak kalau datang ke rantau orang untuk tidak singgah ke rumah sendiri” seloroh Rusdi. Dalam acara kunjungan pada KBRI Kuala Lumpur, rombongan kami menyuguhkan kesenian dalam bentuk tari Minang. Grup tari mempertunjukan tari kreasi yang baru, dengan kostum cerah, gerak lincah dan para penari juga menebarkan senyum ceria mereka. Penulis seolah-olah tidak percaya kalau semua
penari itu adalah anggota rombongan sendiri. Setelah itu juga ada pembacaan puisi oleh Fitria, jago baca puisi tingkat propinsi yang juga ikut lomba baca puisi tingkat nasional di Makasar, beberapa waktu yang lalu. Akhirnya lagu Mars Tanah Datar untuk mengingatkan kita kembali pada keelokan alam Tanah Datar. Perut kami masih kenyang, karena sebelumnya disuguhi makan siang dan makan martabak ambon dari istana Seri Menanti. Malam itu kami juga disuguhi makan oleh KBRI dalam bentuk hidangan mie rebus, pakai bakso, wah sangat enak….. Semua hidang rasa selera Indonesia jadi ludes- terasa lesat. Tiba-tiba Pak Rusdi menyeret penulis. Kami bergerak menuju lift untuk menuju ruang kantornya. Agaknya Rusdi berbagi kebahagiaan berdasarkan memori kami pada masa remaja bahwa ternyata ia masih merasa bermimpi bisa berkantor di KBRI Kuala Lumpur. Sepanjang jalan menuju kantornya Rusdi bercerita-cerita tentang masa lalu. Penjaga pintu dan ajudan mempersilahkan penulis untuk mengikuti langkah Pak Rusdi. Seperti mimpi saja perjalanan karir Pak Rusdi tersebut.
Prof. Rusdi dan Penulis di KBRI Kuala Lumpur
Penulis di KBRI Kuala Lumpur
Acara kami di KBRI Kuala Lumpur pun berakhir dan bis pesiar kembali membawa kami ke hotel. Lagi-lagi dihotel kami disuguhi makan malam, agaknya peserta tidak begitu berselera untuk makan malam, karena dari tadi siang perut sudah penuh. Penulis juga tidak menikmati makan malam kecuali hanya mengambil beberapa potong pepaya di ruang makan itu karena kebutuhan untuk mengkonsumsi buah-buahan segar dalam perut seperti pepaya, pisang apel atau minum juice, sangat memberi rasa segar dan nyaman pada perut sendiri. Penulis melihat ada satu atau dua orang peserta yang merasa kurang nyaman pada perut mereka. Mereka seharusnya makan papaya atau apel. Pada malam kedua di Kuala Lumpur, penulis sudah bisa tidur lebih nyenyak karena tidak lagi membuat kopi, memang minum koffee menjelang tidur bisa merusak kualitas tidur kita. Namun penulis masih bangun lebih cepat dan bisa menulis tentang beberapa pengalaman selama di Kuala Lumpur.
F. Genting Highland Hari ketiga dalam travelling, atau hari kedua di Kuala Lumpur, kami punya acara untuk mengunjungi objek wisata Genting Highland. Namun kami juga harus check out dan berkemas untuk keluar hotel. Agar dari Genting Highland bisa ke Johor. “Dalam buku petunjuk bahwa rute kami pada tanggal 19 November adalah Kuala Lumpur- Genting Highland dan Johor Baru. Perinciannya bahwa setelah sarapan rombongan check out hotel langsung menuju Istana Negara, Menara Kembar (Twin Tower), Batu Chave, Genting Highland dengan cable car, rombongan menuju puncak ke cloud city sampai selesai. Sore hari rombongan
melanjutkan perjalanan menuju Johor Baru, makan malam dan check in di hotel buat istirahat”. Kami berkemas dan berharap agar tidak ada yang tertinggal, apalagi kalaukalau sampai tertinggal atau hilang paspor ya akan bermasalah di imigrasi. Penulis sejak kemaren sudah kehabisan batterai pada kamera dan phone cell, penulis menuju front desk untuk meminjam kaki tiga untuk colokan charge HP dan kamera. Lagi-lagi sarapan pagi tidak begitu cocok untuk lidah penulis dan tentu saja bagi lidah anggota studi tour yang lain. Penulis hanya mengambil nasi goreng, pake sup dan yang paling penting juga ada buah, penulis tidak melupakan kesempatan untuk minum juice jeruk, karena makan buah dan minum juice sangat bagus untuk kesehatan perut. Lupa mengkonsumsi buah untuk beberapa hari bisa membuat seseorang menjadi demam atau paling tidak terkena sariawan. Mobil wisata kami cukup lama berdiri di depan Hotel Grand Pacifik untuk memuat barang kami semua, akhirnya kami berangkat. Sebelum bergerak menuju Genting Highland, kami melakukan tour kota dan sight seeing atau lihat-lihat pemandangan. Oh ya,..penulis masih teringat tentang pernyataan yang dilontarkan oleh peserta tour tentang syarat menjadi attase atau bekerja di KBRI, bahwa Sarjana Sosial seperti lulusan Ekonomi, Hukum, Politik, Komunikasi dan Hubungan Internasional bisa mendaftar di Departemen Luar Negeri, dengan syarat memiliki pribadi yang menarik, fasih berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan kalau boleh juga menguasai bahasa lain sebagai nilai plus. Informasi tentang Deplu dapat diakses pada www.deplu.org .
Berpose dekat gerbang Intana Negara Kereta kabel di Genting Highland Kuala Lumpur
Ditambahkan bahwa studi banding merupakan ajang memotivasi diri untuk menjadi lebih berkualitas, oh ya…persyaratan untuk mendaftar di Departemen Luar Negeri adalah usia maksimal 28 tahun dan semua applikasi dilakukan melalui internet. Tentu saja yang dibutuhkan adalah sarjana yang punya banyak prestasi, salah satu usaha yang dilakukan oleh KBRI agar orang asing mencintai Indonesia adalah melalui mengajar mereka seni dan bahasa Indonesia dan nanti mereka akan terbiata mengatakan “selamat pagi”. Rute pertama kami adalah mengunjungi istana Negara. Sepanjang jalan terlihat pemukiman penduduk, mereka umumnya tinggal dalam apartemen, bagi yang punya rumah tingkat satu terlihat mereka menggunakan antene parabol ukuran kecil. Dikatakan oleh pemandu kami bahwa istana negara dijaga oleh 2 penjaga berkuda untuk raja, yang dipertuan Agung. Raja diganti sekali dalam 5 tahun dan dipilih dari kerjaaan di negara bagian yang berjumlah 13 kerajaan, kecuali untuk Sabah, Sarawak, Penang dan Malaka yang tidak punya raja kecuali gubernur. Istana negara juga menjadi destinasi wisata dalam kota karena penulis melihat
banyak turis dalam berbagai ras/ bangsa berfoto-foto. Untuk mencapai tempat ini kami melalui kawasan bukit Bintang yang berlokasi dalam kota. Dalam kota Kuala Lumpur kami masih bisa menjumpai bangunan tua, Kubah bangunan tua mirip dengan bawang sementara bangunan lam tidak. Daerah China Town dimonopoli oleh gedung-gedung tua, namun mereka tidak boleh merenovasi sesuka hati, harus ada izin dari pemerintah. Armada mobil kami (Bis Pesiar atau Bis Wisata) berhenti di depan pabrik coklat “Berly’s chocolat kingdom” dan sekaligus sebagai butik coklat (atau toko coklat). Satpam butik coklat ini dijaga oleh satpam asal India, ia hanya bisa sedikit bahasa Inggris. Sebagaiman dikatakan oleh Azam, pemandu wisata kami, bahwa di Malaysia warga Melayu adalah warga kelas satu, ini terlihat dari perlakuan pemerintah seperti memberi potongan sampai 20% buat mereka sementara buat keturunan Cina dan India, potongan hanya 10%, penghargaan demikian membuat mereka punya harga diri, namun kedua suku bangsa yang lain juga menuntut persamaan hak layanan. Penulis berfikit “mengapa pabrik coklat ini bisa jadi populer, padahal di kampung penulis juga tumbuh ribuan atau jutaan batang coklat, seharusnya juga ada pabrik coklat yang hebat. Ya Indonesia juga harus pabrik coklat dengan cita rasa Indonesia dan populer di dunia, atau paling kurang di Asia Tenggara. Kunci untuk ini adalah SDM....SDM (Sumber Daya Manusia) yang berkualitas, punya inovasi dan kreasi. Pelayanan dari pihak butik coklat terhadap pengunjung, apakah mau beli atau tidak memberikan kepuasan pada kami sebagai pengunjung. Pelayanan dan
setting pabrik ini telah membuat tempat ini menjadi destinasi wisata, tentu saja ia melengkapi fasilitas layanan seperti ada pohon coklat tumbuh dua batang di depan, ada patung sapi frisian, dan patung buah coklat. Juga pelayanan informasi cara membuat coklat, nah..ini juga bisa ditiru oleh perusahaan industri rumah tangga di Batusangkar/Tanah Datar, seperti “Kawa Daun, Pisang Selai, Keripik Balado…” dan pelayanan pada pengunjung seperti menempelkan nomor atau tempel kertas berisi ucapan “selamat datang dan terima kasih” bisa membuat pengunjung jadi tersanjung. Coklat yang tumbuh di daerah panas (tropis) namun mengapa produksinya bisa dikuasai oleh orang Eropa (seperti Berly) ya pastilah ia memiliki karakter inovasi dan kreativitas. Oleh sebab itu kita perlu mengembangkan karakter positif: memiliki inovasi dan kreativitas generasi kita, misal mengajak mereka mengunjungi pabrik seperti ini. “Sangat penting anak didik kita berlomba memiliki jiwa (karakter) inovasi dan kreativitas, jadi tidak berlomba sekedar membuat skor/nilai yang tinggi dengan harapan ingin menjadi pegawai atau buruh”. Sepanjang perjalanan menuju Genting Highland penulis juga membaca banyak pesan buat publik, salah satu pesan buat warga adalah “Love Kuala Lumpur”. Ini bisa kita sadur menjadi “Love Batusangkar, Love your School, love your library”. Ini ditulis pada billboard untuk menanamkan karakter cinta lingkungan. Jalan-jalan antar kota, antar desa dan juga antar provinsi (negara bagian/ state) sudah dihubungi dengan jalan tol. Kita tidak melihat lagi rumah penduduk terpencar-pencar, kecuali sudah dalam bentuk kumpulan apartemen.
Tidak ada orang yang parkir kendaraan dengan bebas untuk istirahatmakan makan dan menebarkan sampah seenaknya. Atau orang yang menjajakan dagangan sepanjang jalan tol yang begitu banyak dan begitu panjang. Sepanjang jalan penulis melihat banyak baliho iklan dan juga baliho “rambu-rambu lalu lintas” yang memberi pesan yang penting bagi pengguna jalan. Baliho tersebut tidak sekedar lambang, tetapi juga diikuti oleh maksud yang harus dipahami oleh pengguna jalan seperti: dilarang memarkirkan mobil, dilarang membuang sampah, dilarang, memotong/mendahului mobil lain, truk berat harus berjalan pada jalur kiri”. Pesan tersebut ditulis dalam bahasa Melayu, bahasa Inggris dan bahasa lain, sehingga ada kesan bahwa pesan tersebut adalah buat warga internasaional. Di restoran juga ada pesan atau peringatan “dilarang merokok sembarangan (kecuali pada smooking corner), dilarang menjual rokok pada anak dibawah umur 18 tahun”. Sementara di kampung penulis warung dekat sekolah menjual rokoh pada pelajar atau pak guru minta tolong beli rokok pada siswa. Moga-moga ini bisa ditertibkan. Belum sampai di Genting highland, kami berhenti di desa Genting Sempah untuk makan siang di sebuah resto atau mall resto. Mall resto terdiri dari beberapa warung yang menjual aneka food and drink. Di sana ada dijual minuman dan makanan cita rasa India, Arab dan Melayu. Umumnya rombongan kami harus beradaptasi dengan cita rasa makanan yang sangat asing dengan lidah, Namun cukup banyak makanan yang mubazir atau terbuang percuma (ini tidak boleh menurut syariat Islam). Resto dilengkapi dengan Tandas (toilet) buat pria dan wanita, terpisah, yang sangat bersih untuk standar internasional, begitu juga tersedia surau
(mushalla/ praying room) terpisah antara surau pria dan surau wanita. Dekat surau hanya ada fasilitas untuk berwuduk sementara untuk toilet letaknya terpisah, mengapa fasilitas surau, toilet dan resto berskala internasional, ya karena berlokasi menuju Genting Highland, sebuah tour destination maka kawasan menuju kesana juga berkualitas standar internasional. Hal yang sama untuk di Batusangkar bahwa kalau Istano Basa Pagaruyung, Danau Singkarak atau Lembah Anai adalah sebagai tourist destination skala internasional, maka jalan-jalan di sana (seperti jalan Sutan Alam Bagagarsyah yang berasal di pasar Batusangkar sampai ke ujung di Nagari Saruaso) harus disulap menjadi jalan internasional pula. Warung-warung dan fasilitas umum harus ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dan karena Batusangkar adalah pusat budaya Melayu juga harus menggunakan huruf Arab Melayu. Akhirnya rombongan kami tiba di Area Genting Highland, sebelumnya kam melewati wilayah lembah dan berbukit dengan jalan tol yang panjang. Pintu tol banyak menggunakan tenaga perempuan, mungkin perempuan lebih rajin (yang dipilih yang rajin). Pinggang bukit sepanjang jalan tidak dibiarkan terjal tetapi dibuat miring dan diberi terrace/ sengkedan dan tempat peluncuran air untuk mencegah longsor dan erosi. Hutan-hutan yang gundul segera ditanami pohon yang mudah tumbuh seperti pohon akasia. Ternyata sampah Malaysia dibuang di isolased area. Sebelum dihancurkan dipisahkan antara sampah organik dan organik, ada kalanya sampah dibakar dan ditimbun. Tong sampahnya cukup kokoh, bukan terbuat dari plastik atau dari materi yang cepat hancur.
Ternyata kami tidak perlu membeli karcis untuk naik kereta kabel karena pihak travel biro JAP (Jalur Angkasa Prima) sudah membooking buat program kami. Kami dibagi atas empat grup, sesuai dengan grup mobil. Kami naik escalator untuk menuju tempat antrian cable car (kereta kabel). Kami ikt antrian cukup lama untuk mencapai counter kereta kabel. Antriannya tidak dalam bentuk deretan lurus, tetapi kami harus memasuki handrail (susunan) berliku-liku agar antrian tidak panjang garisnya. Dalam antrian kami tidak hanya terlihat orang Melayu, namun juga etnik India, Cina, Arab, Iran dan Eropa, penulis mendengar banyak orang berbicara dalam berbagai bahasa. Akhirnya kami sampai pada counter/ terminal kereta kabel. Masing-masing kereta kabel memuat enam orang yaitu tiga dimuka dan tiga dibelakang, pintunya terbuka atau tertutup secara otomatis bila ingin lepas dan saat mau berhenti. Di objek wisata Genting Highland terdapat komplek hotel, plaza dan juga sarana perjudian casino ala Las Vegas (Amerika Serikat) yang disediakan buat penggemar judi. Ini berlaku untuk wisatawan dan orang Malaysia yang beragama Islam dilarang untuk masuk. Kereta kabel kami melintasi ketinggian sekitar 2000 meter di atas permukaan laut dan panjangnya sekitar 13 km, dan jarak tempuh 20 menit. Kami bisa melihat lembah dan puncak puncak pepohonan terbentang di bawah. Jalan jalan yang ada dekat tiang tali kereta bukan untuk diakses oleh umum, tetapi diakses untuk perawatan dan keselamatan tiang. Menurut pemandu bahwa tiap bulan selama 4 hari kereta kabel berhenti untuk beroperasi, karena butuh perawatan dan pemeriksaan kondisi demi keselamatan operasionalnya. Saat kami
meluncur tiba tiba angin kencang datang dan kereta terhenti dan kami berayunayun di udara. Penumpang yang phobi ketinggian tentu akan menjerit ketakutan. Kami sampai pada ujung stasiun kereta kabel. Kami melihat lokasi hotel memang tinggi, makanya genting juga disebut “negeri diatas awan – country above the cloud”. Akhirnya semua rombongan turun dari kereta kabel. Tentu saja rombongan kami menggunakan 26 kereta kabel, karena jumlah kami 137 orang dan muatan per-kereta adalah 6 orang. Sebagian rombongan berpencar, namun kami diberi waktu untuk explorer selama dua jam. Penulis tidak tertarik untuk melihat apa dan bagaimana itu kasino. Penulis dan teman (dalam rombongan kecil) hanya jalan berputar-utar untuk menelusuri kompleks plaza dan hotel. Tentu saja harga makanan dan minuman mahal dan juga banyak yang tidak halal. Untuk itu ada baiknya membawa makan sendiri, atau cari makanan yang kita yakini itu adalah halal. Di sana terlihat berbagai karakter orang. Ada yang tampak kesepian, yang sedang lagi dilanda asmara, anak-anak, ada pengunjung yang tertutup purdah (tertutup wajah), dan juga ada yang memakai pakaian sangat minim dan seksi, wah…di Genting Highland tidak terasa suasana Melayu yang Islam. Anak-anak yang sudah terbiasa dengan suasana heterogen dan suasana internasional terlihat santai, ceria dan menikmati suasana, sementara rombongan kami yang baru pertama kali datang belajar untuk beradaptasi dalam mengenal situasi. “ada yang cemas dan takut hilang dalam keramaian). Di sana ada banyak tulisan dalam aksara Melayu, China, English dan India.
Kesempatan untuk pergi ke Genting Highland tentu saja amat langka, maka penulis sempat mengambil video dan beberapa foto dengan HP. Rasa ingin tahu bagaimana kereta kabel datang, pintunya terbuka dan tertutup secara otomatis juga penulis abadikan lewat video dan sudah dapat ditonton lewat youtube dengan alamat Youtube di:
[email protected] .Sebelum kembali pulang, penulis mencari dimana lokasi toilet umum. Akhirnya kami kembali keterminal awal menggunakan kereta kabel lagi. Kali ini rasa takut kami tidak begitu besar atau malah sudah hilang karena kami sudah mengenal dan mencoba berayun dalam rute datang tadi. Selain datang dengan kereta kabel, ternyata untuk datang ke lokasi hotel juga bisa menggunakan mobil carteran melalui jalan berkeliling. Tentu saja tidak semua mobil boleh masuk, publik menggunakan armada transpor yang juga dikelola oleh pihak perusahaan industri wisata Genting Highland. “Good bye Genting Highland. Bis pesiar kami meluncur menuju Johor Baru lagi, kami meninggalkan Genting Highland yang terletak dalam kawasan Gunung Ulu Kali”. Kami melaju turun. Mobil melaju menuju negara bagian Johor Baru. Perut sudah terasa keroncongan dan mobil pesiar kami berhenti di rumah makan Melayu “Wakomo” yang berada di daerah Muar. Makan di daerah ini agak cocok dengan selera kami, namun masih terasa bumbu yang agak manis (daging ayam dipotong agak besar, tapi banyak anak-anak tidak menghabiskan makanan mereka). Air syrup menjadi ciri khas minuman pada banyak restoran. Sebagai catatan bahwa mengkonsumsi sirup lebih sering tidak bagus untuk kesehatan karena sirup punya zat pewarna dan penyedap.
Penulis berjalan untuk mengenal lokasi seputar trestoran. Rupanya ada penjaja buah yang sudah dipotong-potong dan dibungkus dalam plastic. Penulis membeli guava (jambu biji), karena buah-buahan berguna untuk kesegaran dan kesehatan perut. Salah seorang anak (rombongan kami) dari sekolah satu atap di Kecamatan Lintau susah beradaptasi dengan makanan yang ada dalam perjalanan. Ia cenderung tidak mengkonsumsi makanan dan mengalami mual sepanjang jalan, praktis ia tidak merasakan indahnya pengalaman studi banding internasional Malaysia dan Singapura. Adalah penting untuk bisa beradaptasi dengan jenis makanan yang ada di internasional, selagi halal, untuk menjadi warga internasional. Semua orang naik bis pesiar. Mobil kami melaju lagi di atas jalan yang mulus. Kami dalam bus cukup lama mungkin sekitar dua atau tiga jam, kami melewati jalan yang gelap gulita, “ya...lebih baik tidur saja). Pemandu (Bapak Azam) membangunkan kami “oke....cik abang....cik gu.., cik adek....semua boleh buka mata”, katanya dalam bahasa Malaysia. Karena kami telah berada dalam kota Johor Baru, kota terbesar keemapt di Malaysia. Kotanya tidak seramai kota-kota di Indonesia, kami tidur malam itu dihotel Tropical Inn, menjelang tidur dan mimpi indah kami shalat lagi, arah kiblat tertera pada loteng kamar.
G. Johor Baru dan Singapura Kami berempat, penulis sebagai guru pembimbing dan anak-anak (David, Raihan dan Syandi) memperoleh kamar 2206, yang berarti kami harus naik lift
mencapai lantai 22
di hotel Tropical Inn. Sekarang kami sudah sangat mahir
dalam menggunakan lift hotel.
Tidur nyenyak di hotel
Berpose di learning science centre Singapore
Pemandu kami menjelaskan bahwa Johor berasal dari kata “Jauhar”. Ibukota Johor adalah Johor Baru, yang merupakan sebuah kota besar. Negara Singapura terlihat jelas dari hotel kami karena jarak Singapura dan Johor hanya satu kilometer saja, dihubungi oleh sebuah jembatan panjang. Ketika kami sampai di kota ini sudah lewat tengah malam, Johor Baru masih terlihat ramai. Kami harus tidur, walau tidak lama dan bangun untuk shalat subuh dan kami boleh tidur lagi hingga pukul 9.00 pagi karena kami harus bertolak ke Singapura jam 10.00 pagi. Dini hari itu kami diberi kartu dan penulis minta kunci, dan dijawab bahwa “kartu itu adalah kunci untuk hotel”. Wah penulis masih ketinggalan info tentang teknologi, ya…kartu tersebut ternyata berfungsi untuk kunci pintu kamar yang harus diselipkan pada kunci pintu. Kartu tersebut juga berguna untuk diselipkan untuk menghidupkan lampu kamar. Salah seorang teman penulis
mencabut kartu tersebut dari socket lampu dan ternyata lamu kamar jadi mati semua. “Menurut jadwal perjalanan kami tanggal 20 November bahwa rute kami adalah Johor Baru- Singapura- Malaka. Setelah sarapan pagi rombongan check out hotel dan langsung masuk nergara Singapura setelah melewati pemeriksaan imigrasi, rombongan mengikuti Singapore City Tour- mengunjungi The Merlion Park, Rafless, Singapore Science Centre, melewati KBRI di Singapura, menaiki kereta api bawah tanah, terakhir shopping di Mustafa Center, Orchad dan selanjutnya rombongan melanjutkan perjalanan ke Melaka, ya bermalam dalam mobil saja”. Pagi hari di Tropical Inn hotel di Johor Baru, kami punya sedikit waktu untuk bersenang-senang. Penulis melepaskan pandangan jauh ke Pulau Singapore melalui jendela kamar hotel dan sempat mengabil foto. Pagi itu kami segera turun untuk sarapan. Penulis agak ragu untuk masuk ke ruangan makan karena disana ada satu grup pelajar-pelajar SD dari Singapura. Penulis berfikir apakah itu masih jam sarapan buat grup anak-anak di Singapura, hingga salah seorang pemandu menyuruh penulis segera untuk bergabung untuk sarapan. Pelajar-pelajar Singapura yang berlokasi dekat dengan Johor Baru, tentu mereka selalu pergi ke Johor Baru untuk pergi rekreasi, sementara orang Singapura yang berlokasi dekat ke Batam juga sering pergi ke Batam. Pastilah sebagai sebuah negara kota, semua warga Singapura memiliki pasport buat ke Johor Baru atau ke Batam.
Rupanya kami tidak lama di tropical inn, kami berkemas dan harus check out dari hotel. Semua koper dan bagasi lain kami titip pada salah satu gudang di hotel tersebut, souvenir yang dibeli di Kuala Lumpur juga dititip. Jadi hotel ini hanya sebagain tempat transit dan menitip barang-barang...bagus juga ya manajemen biro perjalanan JAP ini. Kami diberi tahu bahwa kelak bila sampai di Singapura, guide atau pemandu
wisata
juga
berganti
dengan
guide
warga
Singapura.
Juga
diinformasikan bahwa di imigrasi nanti dilarang mengambil foto, merekam, karena nanti bisa dirampas oleh pihak Imigrasi. Imigrasi Malaysia-Singapura berada dikawasan woodland. Petugas imigrasi Malaysia banyak berwajah India, mereka punya motto dalam melayani yaitu: Smile, Greet, Look, Serve and Thanks” dalam memeriksa dokumen kami. Selesai pemeriksaan di imigrasi Malaysia kami harus melewati jembatan sepanjang satu kilometer untuk mencapai imigrasi Singapura. Di samping jembatan penulis melihat tiga buah pipa besar yang berfungsi sebagai saluran air untuk memenuhi kebutuhan air minum negara Singapura. Jadi air minum warga Singapura berasal dari Johor- Malaysia. Memasuki wilayah Singapura, pemandu kami memberi pengarahan tentang “some do’s dan some don’ts- atau beberapa anjuran dan larangan”. Kami bergegas menuju imigrasi. Di area imigrasi tertulis peringatan “no drugs, no photos, no records dan no litter”, dilarang membawa drug, dilarang mengambil foto, dilarang mengambil rekaman, dan dilarang membuat sampah”.
Ternyata ada antrian yang panjang. Petugas imigrasi Singapura suka mencurigai orang yang dianggapnya mencurigakan. Tiga orang dari rombongan kami “Pak Erman, Pak Muslim dan Pak Fuad” ditahan dulu untuk interogasi, mereka naik lift menuju ruang petugas. Mereka menyerahkan paspor dan menunggu setengah jam dan dalam ruangan ada delapan orang, mereka dengan sabar untuk “waiting call”, petugas bertanya tentang apa dan mengapa pergi ke Singapura”. Mereka duduk lagi dan menunggu lagi hingga dipanggil untuk cek sidik jari. “ya…pokoknya cukup ribet untuk dipanggil…duduk lagi dan dipanggil lagi…”. Juga ada siswa yang ditahan karena fotonya pada passport sedikit berbeda dari wajahnya. Namun ini juga termasuk pengalaman internasional- menghadapi pemeriksaan dengan sabar dan tertib. “Namun juga ada pengalaman internasional yang terpantau di pelintasan imigrasi Singapura, bahwa anak-anak kecil dari Singapura melintasi pemeriksaan dengan enjoy dan penuh percaya diri. Mereka mematuhi antrian...tidak rewel, begitu tiba giliran ia menyerahkan passport dan menjawab pertanyaan seperti orang dewasa. Luar biasa gentklemen nya, tentu berbeda dengan anak anak kami ...yang pertama kali melewati immigrasi, sedikit khawatir, dan waspada..pasti mereka juga memperoleh pengalaman internasional dalam usia emas ini dan tidak terlupakan sepanjang umur”.
Patung Perlion di Singapura
Restoran di Singapura menganjurkan tidak mubazir makanan
Lepas dari kantor imigrasi Singapura kami dipandu oleh guide Singapura keturunan India. Ia sangat humoris dan pintar, ia memiliki wawasan yang luas, ia menguasa bahsa Malaysia/Indonesia, bahasa Inggris dan juga bahasa Tamil. Dia mengatakan bahwa kalau di Singapura jarak ditempuh dalam hitungan menit, kalau di Malaysia dan Indonesia, jarak ditempuh dalam hitungan jam. Rute pertama kami tentu saja menuju Restoran karena perut sudah mulai keroncongan. Pemandu kami bernama “Muhammad”, keturunan India Muslim. Ternyata rute pertama kami menuju “Sain centre” yang kami capai dalam waktu 25 menit dari kantor imigrasi. Dalam perjalanan Muhammad berbicara banyak, membandingkan penduduk Indonesia 250 juta dengan penduduk Singapura 5,1 juta orang, penduduk asli Singapura hanya 3,6 juta, yang lainnya adalah pendatang, menikah dengan warga Singapura, ya akhirnya menjadi warga Singapura. Dari total
penduduk Singapura tersebut, 74% adalah etnik Cina. Dahulu penduduk Singapura ini berasal dari warga Majapahit dan Sriwijaya, namun sekarang mayoritas etnik China. Namun semua warga hidup damai berdampingan. Singapura tidak punya sawah dan ladang (sumber daya alam), maka semua orang harus peduli dengan pendidikan, (kualitas pendidikan), pekerjaan sesuai dengan standar pendidikan. Pemerintah menghargai semua “ras” dan juga agama, juga peduli pada pendidikan. Kalau ada anak usia sekolah yang tidak pergi ke sekolah, maka pemerintah akan pergi menemui orang tua sang anak, kalau ternyata karena masalah ekonomi, maka petugas pendidikan memberi bantuan dan membina mereka. Tidak ada konflik agama disana. Semua agama dihargai. Singapura tidak saja mengharapkan anak-anak jadi pintar, tetapi juga menjadi sehat, maka anakanak dianjurkan untuk tidak gemuk, oleh sebab itu pemerintah terus menambah pusat-pusat aktivitas fisik (olahraga), jadi dimana ada tempat kegiatan belajar, juga ada tempat aktivitas gerak badan. Di Singapura anak laki-laki lulusan SLTA wajib untuk mengikuti wajib militer. Anak-anak kaya dan miskin diperlakukan sama, mereka hidup membaur dan dilatih beberapa kegiatan fisik dan melepaskan unsur-unsur kemewahan. Mereka dilatih mandiri dan juga mampu mengurus diri sendiri, wajib militer lamanya dua tahun berguna untuk membuat warga tidak cengeng. “Sekali lagi bahwa tujuan wajib militer tentu saja untuk melatih mereka jadi mandiri dan tidak cengeng. Wajib militer tidak ada buat anak perempuan, namun kalau mereka ingin bergabung itu lebih baik”.
Di Singapura ada 181 TK, 187 SD, 141 SMP, 8 SMA dan ada 3 universitas popular. Sekolah internasional Singapura tidak punya subsidi, guruguru Singapura punya otoriter, tanpa campur tangan dari pihak orang tua, tetapi tentu saja mereka harus bekerja sama untuk memajukan pendidikan. “no negotiation” untuk disiplin, anak yang terlambat dicatat, telat yang kedua dipanggil orang tua, ya pokoknya disiplin tak butuh ditawar atau negosiasi. Di Singapura, NO litter, dilarang merokok, dilarang meludah, no free smooking area”, wilayah ini diawasi polisi sebagian tak memakai pakaian seragam, kalau ada yang melanggar, maka langsung didenda 500 dollar Singapura, kalau tidak ada uang denda ya bersedia untuk ditahan dalam penjara, malah kalau ketahuan dalam negosiasi disiplin, yang menyogok dan yang memberi sogok, dua-duanya kena denda. Denda yang besar juga bisa jadi income bagi nagara Singapura. Lingkungan kota Singapura cukup lestari, ada hutan kota dan Singapura memang kaya dengan teknologi, namun miskin dengan sumber daya alam. Pohonpohon yang ada di Singapura ada yang asli, tumbuh di Singapura sejak dulu dan juga ada yang diimpor. Ukuran luas wilayah Singapura adalah 42 km dari timur ke barat, 23 km dari utara ke selatan, ya wilayah Singapura sangat aman. Undang-undang cukup keras, namun kualitasnya juga tergantung orangnya dan setiap orang tentu punya karakter sendiri-sendiri. Biaya hidup di Singapura sangat mahal, harga barang akan menjadi 200% lebih mahal di Malaysia dan di Singapura bisa menjadi 300% lebih mahal. Tidak
semua orang punya mobil di Singapura, orang Singapura tidak suka memaksakan diri untuk mencari gaya hidup- kalau ujung ujungnya bikin diri jadi melarat. Tempat tinggal penduduk adalah pada flat-flat, dan blok-blok flat menggunakan nomor yang terlihat dari jalan raya. Ternyata juga terlihat warga Singapura menjemur kain lewat jendela flat mereka. Jalan raya Singapura tidak terlihat ramai, karena transportasi hanya dikuasai oleh pemerintah. Di jalan raya juga ada jalur sepeda motor di pinggir jalan. Selama di Singapura rombongan kami melakukan “walk, see and learn atau berjalan, lihat dan belajar. Sekolah di Singapura selama 6 hari, kami sempat melewati kawasan Jurong, asal kata “jurang”. Perilaku pekerja atau pegawai di Singapura yang ideal adalah adalah “no smooking, no woman, no drink, and no gambling”. Jadi mereka dilarang merokok, main perempuan, minum keras, dan dilarang berjudi”. Tanah di Singapura adalah milik pemerintah, negara Singapura persis dilalui oleh khatulistiwa. Kalau begitu Singapura ini mudah kering maka pemerintah menjaga kelembaban taman melalui petugas taman yang sangat rajin. Di Singapura pajak dipungut 2 kali dalam satu tahun. Rombongan kami memasuki lokasi sain center atau pusat sain buat anakanak. Tertulis science learning centre. Di depan gedungnya ada taman air (water park) buat anak-anak kecil. Mereka bermain bola dengn semprotan air, mereka terlihat ceria. Orang tua mereka memperkenalkan mainan air, sementara di Suamtera kita punya air yang berlimpah, anak-anak jarang atau dilarang main air, dengan alasan nanti basah, atau masuk angin, “bukankah bermain membuat anak lebih cerdas dan lebih creative” Yuk kita perkaya pengalaman anak-anak kita.
Pemilik pusat learning centre pintar sekali dalam mengundang publik untuk dating. Semua pengunjung membeli tiket dan kemudian antrian, kami diberi selebaran untuk panduan tentang ada apa dan mengapa di dalam ruangna learning centre. Melihat antrian begitu panjang maka penulis berfikir bahwa dalamnya bakal ada pertunjukan yang serba waaah. Setelah masuk ternyata biasa-biasa saja. “Pusat learning centre adalah museum belajar untuk anak-anak, untuk memahami dunia matematika, biologi, kimia, fisika, geografi, astronomi, dan ada beberapa ruangan untuk memahami tokoh para ahli. Dalam ruangan itu pengunjung bisa bereksperimen tentang bagaimana bunyi terjadi, bagaimana terjadi gelombang, bagaimana terjadi gempa, jadi sain learning centre Singapura itu adalah paduan dari labor sain untuk bereksperimen dan sekaligus ruangan untuk melakukan eksplorasi dengan model learning by trying atau learning by doing”. Usai dari pusat sain Singapura, kami terus ke restoran dan bis melaju lagi. Ternyata ruangan restoran terlalu sempit untuk menampung jumlah kami yang cukup banyak. Kami pun antri untuk memesan makanan Indonesia. Sup jagung, sup sayur dan sepiring nasi goreng. Toilet sangat bersih dan dilengkapi drier listrik untuk mengeringkan air pada tangan. Kebutuhan listrik Singapura menggunakan energi gas. Pelayan di restoran ini semua keturunan Indonesia. Untuk menggunakan MRT (mass rapid transport) sejenis kereta api masal bawah tanah, kami dipandu oleh guide agak tua, tapi lucu dan ramah, ternyata semua orang senang dengan suasana humoris. Ia mengatakan bahwa pengguna MRT harus cpeat, agar tidak ketinggalan, sebab kereta api hanya berhenti sebentar, kalau lalai ya...tertinggal dan setelah itu berangkat lagi dengan
kecepatan 120 km per jam untuk menghubungkan ujung-ujung sudut Singapura. Ternyata benar bahwa Singapura lebih ramai dibawah tanah dari pada di atas tanah. “Bila tertinggal oleh MRT, ya jangan panik sebab akan mudah ditemui, apalagi wilayah Singapura cukup kecil, kalau tertinggal di Sumatera sangat repot bisa terpisah puluhan atau ratusan kilometer”. Kami berjalan dan berhenti untuk mencari tempat sholat. Kami berhenti pada masjid Al Falah (Al Falah mosque). Masjidnya bersih, tempat wudhu bersih, di pintu depan terdapat rak panjang untuk informasi seputar Islami, agaknya buletin disana gratis, penulis mengambil satu lembar. Kami tidak begitu menikmati jalan-jalan di Singapura karena kemudian hujan turun lebat, saat mengunjungi patung Singa (merlion) hujan sudah mengguyur tubuh kami, karena kunjungan sangat langka, maka penulis melawan takut basah dengan cara mengmbil foto-foto yang cukup eksotik. Menjelang pergi shopping bis melaju ke dekat taman merlion. Hujuan turun mengguyur, kami tidak begitu menikmati liburan, namun karena berada di Taman Merlion atau The Merlion Park, makanya kami merasa rugi kalau tidak mengambil foto-foto. Patung Merlion adalah gabungan separoh singa dan badan ikan yang dibangun pada pinggir sungai Singapura, tingginya sekitar 8 meter. Kecil Cuma dan ada semburan air dari mulut patung Merlion. Jauh di belakang patung merlion yang besar juga ada patung merlion yang kecil, hanya sedikit lebih tinggi dari tubuh manusia. Penulis dan juga pengunjung yang lain bergaya dengan latar belakang the merlion. Ini bisa menjadi kenangan. Tanah air kita malah punya situs situs yang
jauh lebih menarik, nah tinggal lagi bagaimana kita bisa mengemas, mempromosikan dan menghidupkan klegiatan di sana. Kami kemudian dibawa ke pusat belanja (shopping centre). Penulis melihat para imigran dan warga keturunan india berkumpul disana untuk sekedar ngobrol dan melepas kangen pada kampung halaman mereka, kami diberi waktu 2 jam untuk pergi shopping.
Penulis dalam kereta kabel di Genting Highlan
Penulis dalam kota Singapore
Penulis dan anak-anak peserta studi banding berjalan bareng. Yang lain mengikuti langkah penulis dari belakang, kami melintasi jalan berhujan dan bergabung ke dalam keramaian warga India, kami pergi ke lantai 3. Di sana ada mall untuk souvenir atau cendera mata kami mencari asesoris Singapura dan juga mempelajari harganya. “Ohh…rupanya penulis harus membeli 20 dollar Singapura yang harganya kira-kira Rp. 150 ribu, asesoris harganya mahal, penulis mengatakan pada anakanak bahwa kita mesti beli asesori sebagai tanda dari Singapura, tetapi mesti
memikirkan penghematan dalam membeli, ya jangan asal beli mendingan kalau ada di Indonesia, ya kita beli saja nanti di Dumai karena harga jauh lebih murah”. Usai berbelanja beberapa souvenir sebagai tanda telah berkunjung dari Singapura kami kembali berkumpul dan naik bis. Kami bertolak kembali menuju wordland, daerah imigrasi terasa lebih mudah keluar Singapura dari pada masuk ke Singapura. Kami kembali mengikuti prosedur keluar imigrasi Singapura dan masuk imigrasi Malaysia dengan mudah. Mobil membawa kami kembali ke “hotel tropical inn” untuk mengambil barang-barang, karena kami harus menuju Malaka. Dalam perjalanan ke Johor Baru kami masih sempat berhenti lagi di sebuah restoran untuk makan malam, Mata sudah lelah dan penulis tidak perlu lagi melihat pemandangan wah, lebih baik tidur saja. Berarti penulis dan juga anggota rombongan tidak mandi untuk satu atau dua hari. Menjelang subuh kami berhenti di daerah Plus (mungkin ini nama sebuah kampung) tempat beristirahat dan sarapan. Kami shalat subuh disana dan terus sarapan, hidangan disana terasa enak. Perjalanan berlanjut menuju Malaka.
H. Malaka Penulis bertanya pada pemandu “kenapa Melaka lebih popular dibanding daerah lain sepanjang pesisir barat semenanjung Malaysia ?”. Katanya dahulu ada raja Melaka yang sangat populer di kerajaan melayu, ya maka namanya menjadi populer saat itu. “Menurut bahwa rute kami tanggal 22 November adalah Malaka- Dumai. Pagi hari rombongan sampai di Malakas, sholat subuh, sarapan dan masndi.
Setelah itu langsung menuju pelabuhan laut Malaka, rombongan menyeberang selat Malaka dengan Ferri ekspress untuk menuju pelabuhan Dumai. Di Dumai kami dijemput dan melanjutkan perjalanan menuju Batusangkar”. Kami hanya sekedar lewat saja di Malaka, tidak aktivitas keliling kota, ya badan sudah terasa letih dan Malaka mungkin tidak memiliki banyak objek wisata, kecuali taman- taman yang sudah dirancang dan dirawat dengan bersih, namun sepi oleh pengunjung. Gedung-gedung di Malaka mirip dengan suasana gedung di Riau. Ada gedung modern dan juga gedung-gedung kuno. Kami turun mobil dan kami farewel dengan tour travel selama di Malaysia. Tour leader kami dari Sumatera Barat memandu kami untuk menuju pelabuhan.
Goh Hendry, Supervisor Pelabuhan Di dermaga pelabuhan Melaka Malaka
Kami mengumpulkan pasport dan akhirnya kami memperoleh tiket Ferry Malaka-Dumai. Penulis mengenal daerah sekitar dan menemukan bahwa penjaga toilet di Melaka adalah warga keturunan China, dan ada warga sakit jiwa keturunan India. Terlihat bahwa warga Malaysia sebagai warga kelas satu. Di sana tidak ada simbol One Malaysia.
Di pelabuhan penulis berkenalan dengan supervisor pelabuhan Goh Choon Keng (Henry). Orangnhyas easy to say hello, orangnya sangat ramah. Dalam sekejap mata kami sudah bersahabat dan saling berbagi cerita. Penulis juga menceritakan tentang kampung sendiri. Hendry punya niat untuk berlibur ke Sumatra dan berkunjung ke rumah tahun depan. Penulis juga berkenalan dengan Alexander, seorang mahasiswa asal Rusia. Tampaknya ia sudah berhenti kuliah. Ia telah berjalan dan meninggalkan rumahnya sejak tahun 2001. Prenulis tanya tentang kampung dan orang tuanya. Ia menjawab ia benci ayahnya namun masih kontak dengan ibunya lewat e-mail yang tinggal di kota Krasnovyark. Ia adalah anak broken home atau juga senang menjelajah dengan uang dan bekal hidup apa adanya. Ia ingin pergi ke pelabuhan Dumai dan dibantu oleh Henry (supervisor pelabuhan) yang baik hati. Agaknya Hendry juga memberi dia beberapa ringgit dan Alex tidak punya uang. Penulis tanya tujuannya dan ia mau menuju Bali karena temannya dari Rusia bakal datang tanggal 12 Desember. Alex akan ke Bali melalui cara yang murah saja, ia tidak punya banyak uang untuk membeli tiket. Mungkin ia hanya naik truk barang dari Pelabuhan Dumai menuju Pelabuhan ujung Sumatra. Pada bahunya tertera tattoo “world”s largest biker bar’. Mungkin ini nama grupnya yaitu keliling dunia lewat nebeng mobil saja. Sebelumnhya ia pernah singgah di Thailand. Ia banyak berbagi cerita dengan penulis, penulis merasa simpati dan sempat memberi dia sedikit uang buat beli makan di jalan “Kasihan itu anak muda”. Alex mau ikut dengan penulis, namun sayang penulis tidak punya kesempatan untuk mengajak dia untuk ke Batusangkar. Moga-moga ia selamat dalam perjalanan dan bisa berjumpa dengan temannya di Pulau Bali.
Di pelabuhan Malaka ada kapal “Malaysia Express, Indonesia Express dan Ferry Service”, penulis dan penumpang lain naik kapal dan duduk dekat jendela dan bisa melihatkan gelombang laut, kapal dan pulau-pulau kecil. Goodbye Malaysia....penulis juga ingat dengan senandung lagu semalam di Malaya.
I. Kembali Ke Sumatra Welcome back to Sumatera, kapal merapat di pelabuhan laut Dumai jam 12.00, ya kami turun lagi, mengambil barang dan melewati imigrasi Indonesia, terasa suasana bersahaja beda dengan suaasana di Singapura, tentu saja. Suasana terasa sangat informal, kami keluar pelabuhan dan tidak beberapa lama kami dijemput oleh armada bis menuju rumah makan Pak Datuk Bundo Kanduang di Dumai, disana kami disambut oleh perantau Tanah Datar sebanyak 5000 kepala keluarga.
Di Indojolito....come Batusangkar
back
to Di pelabuhan laut, Dumai
Makan kami terasa enak lagi selama dalam perjalanan Malaysia dan Singapura, umumnya tidak menghasilkan makan kalau makan sementara makan di rumah makan Pak Datuk terasa sangat nikmat, semua hidnagnan habis ludes, kami melakukan shalat jamaah qasar zuhur dan ahar, sebelum melanjutkan
perjalanan ke Tanah Datar, kami juga sempat singgah untuk membeli oleh-oleh di swalayan Ramayana, harganya beda, sangat murah, dibandingkan dengan harga di Singapura dan Malaysia. Lagi-lagi kami berhenti di rumah makan di kota kecil, Kandis, sebelum masuk kota Pekanbaru, kami melaju lagi, mencari posisi tidur pada bangku mobil yang keras, hingga subuh kami sampai di Batusangkar diterima lagi oleh Bupati di gedung Indojelito, disana ada sedikit acara mendengar kesan-kesan dari peserta studi banding internasioinal Malaysia-Singapura, siswa, guru dan pegawai berprestasi Tanah Datar, semoga kegiatan ini bermanfaat untuk membangun mental dan karakter kami menjadi mental orang yang cerdas, taat dan berwawasan internasional.
BAB IV. MENERAPKAN PENGALAMAN STUDI BANDING A. Manfaat Studi Banding Bagi Siswa Mengikuti program studi banding internasional ke Malaysia dan Singapura tentu memberikan manfaat yang besar bagi para siswa berprestasai dari Kabupaten Tanah Datar. Program ini bisa memotivasi mereka, sekaligus sangat bermanfaat untuk menambah wawasan mereka tentang budaya, etos belajar dan etos kerja masyarakat Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang sudah maju tersebut. Peserta studing ini mayoritas adalah siswa, mulai dari tingkat SD sampai SLTA- jumlahnya 107 orang- , yang nota benenya adalah mereka yang masih berada dalam Golden Age atau usia emas. Pengalaman positif yang mereka alami dalam usia ini akan membekas sepanjang hidup mereka. Pengalaman dalam usia ini akan membentuk karakter positif. Mereka bisa menghargai waktu, senang bersosialisasi, suka mengambil inisiatif dan terbiasa berkompetisi untuk maju. Penulis melihat bahwa para siswa peserta studi banding adalah anak anak cerdas yang gampang untuk dimotivasi. Untuk itu adalah tugas kita bersama (orang dewasa: guru dan orang tua) untuk meningkatkan tingkat kualitas kecerdasan mereka. Kalau sudah cerdas mereka akan gampang untuk dimotivasi, malah mereka juga
akan mampu memotivasi diri sendiri.
“Betapa mudah
memotivasi anak-anak pilihan buat berhasil dalam hidup”. Guru adalah pembimbing bagi siswa dan sekaligus sebagai orang tua mereka. Maka guru atau pembimbing perlu meluangkan waktu untuk bertukar pikiran agar mereka punya pengalaman bertukar fikiran dengan orang dewasa.
Mengikuti program studi banding ke hingga ke Malaysia dan Singapura jauh dari rumah/ orang tua akan memberikan efek positif bagi para siswa. Mereka akan belajar mengambil inisiatif, dan beradaptasi dengan hal baru dan suasana baru. Mereka akan terbiasa dengan budaya antri dan menghargai kesempatan yang diperoleh oleh orang lain. Juga mereka melihat banyak jenis karakter orang dan ini membuat mereka akan mudah beradaptasi dengan orang-orang baru. Mereka akan mampu menggunakan uang secara effisien dan mampu bertransaksi secara internasional. Jadi mereka akan menghargai nilai mata uang dan tidak akan asal beli saja. Selanjutnya mereka akan mengetahui bermacam macam bentuk profesi, jadi tidak hanya tahu dengan profersi PNS saja, tetapi juga ada “money changer, worker, flight attendant, pilot, driver, guide, pelaut, pemandu wisata, manager...dll. Mengunjungi negara lain berarti berhubungan denghan passport dan dokumen lain. Pengalaman ini akan membuat mereka menghargai dokumen, seperti passsport, visa , KTP, SIM. Juga mereka akan mengerti apa itu imigrasi, juga bagaiman tata cara bepergian dalam pesawat terbang dan dalam kapal laut. Selanjutnya mereka akan mampu mengagumi keagungan Ilahi lewat udara, laut dan darat. Para siswa juga punya pengalaman bagaimana tinggal jauh dari orang tua, tinggal di hotel moderen bagaimana mengoperasikan fasilitas hotel, hidup disiplin waktu, dan menikmati makanan yang kadang kala berbeda dengan hidangan di rumah sendiri. Juga bagaimana mandi pakai shower dengan air panas dan dingin, salah putar bisa membuat kulit terbakar oleh air panas, untuk itu harus cerdas.
Akhir kata siswa juga tahu
bagaimana tinggal bareng dengan orang
berbeda karakter. Kalau tidak terbiasa bersosialisasi ...wah bakal kesulitan dalam beradaptasi. Perlu diketahui agar kita perlu memiliki
kelebihan (misal tahu
dengan musik, tahu dengan komputer, banyak wawasan) pasti kita bakal menjadi orang yang disenangi.
B.Manfaat Secara Umum Mengikuti studi banding
ke negara yang lebih maju bisa memberi
inspirasi bagi negeri kita- bandara, jalan raya, fasilitas publik menggunakan bahasa bahasa internasional untuk warga dunia dan peduli dengan makna bersih. Kalau sudah begini maka orang akan betah berada pada
tempat (restoran,
mushola, fasilitas umum) karena bersih dan rapi. Problem bila kita berpergian jauh untuk waktu yang cukup lama (misal satu minggu) adalah seperti susah makan dan susah BAB (buang air besar), ini terjadi karena kurang mengkonsumsi buah- buahan yang bagus untuk pencernaan seperti papaya, jeruk, pisang, apel (buah yang mudah diperoleh).
Banyak
mengkonsumsi bumbu dan daging membuat perut panas dan akhirnya demam. Maka ini perlu untuk diperhatikan. Bila kita ingin menjadikan daerah kita sendiri sebagai daerah tujuan wisata internasional maka kita perlu selalu memelihara karakter ramah tamah. Ramah tamah tidak harus milik orang desa. Kemudian maka tiap kota perlu punya city map, buku paduan wisata yang praktis tapi lengkap untuk menjawab kebutuhan wisatawan. Masyarakatnya- apalagi pelayan publik perlu memiliki pribadi yang
menyenangkan dan suka memberi kemudahan (memberi pelayanan) pada orang lain.
Seorang anak peserta studi banding berdoa dengan khusu’
Gerbang bercorak Minangkabau di Negeri Sembilan
Jalan raya-jalan raya di negara tetangga yang sudah maju tersebut bisa memberi inspirasi bagi negara kita. Jalan- jalan yang penuh dengan pesan dalam berbagai bahasa untuk masyarakat internasional. Kalau ingin membuat Sumatra Barat, khususnya Kabupaten Tanah Datar sebagai daerah tujuan wisata buat orang manca negara atau buat warga dunia. Seharusnya jalan rayanya tidak hanya penuh dengan rambu-rambu yang pakai lambang, kalau boleh juga rambu rambu dengan kata-kata yang bisa dibaca dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, “No parking except for emergency- dilarang berhenti kecuali fdalam kjeadaan darura, bila butuh bantuan mekanik telpon ke nomor berikut...., bila butuh bantuan polisi kontak nomor berikut. Restoran juga memajang peringatan dilarang merokok pada sembarang tempat. Juga peringatan dilarang menjual tembakau atau rokok kepada yang
berusia di bawah 18 tahun. Juga perlu menjaga kebersihan dan melengkapi kebutuhan tempat sholat dan MCK yang selaku bersih. Mengapa orang barat memiliki karakter inovasi dan kreativitas yang tinggi karena mereka suka melakukan eksplorasai, sementara itu kita terlalu suka mengurung diri dalam kamar atau dalam rumah meskipun atas nama belajar. Agama saja menyuruh kita untuk bertebaran di muka bumi. Kita perlu untuk “banyak berbagi pengalaman, berbagi cerita, banyak mengunjungi tempat baru dan objek baru”. Antrian ala di Genting Highland, untuk menghindari antrian lurus yang panjang, diganti dengan antri zigzag memakai handrail- pagar telusur ini berguna untuk mencegah kebosanan. Fasilitas umum, seperti toilet, harus jelas tempatnya. Restoran
kita
perlu
meniru
restoran
Singapura
yang
menganjurakan
pengunjungnya agar tidak mubazir- membuang makanan – menyisakan makanan yang banyak.
Bio Data Penulis Marjohan Usman, Guru SMA Negeri 3 Batusangkar, Program Pelayanan Keunggulan Kabupaten Tanah Datar. Sumatera Barat. Penulis freelance
Menulis pada koran
Singgalang, Serambi Pos, Haluan dan Sripo (Sriwijaya Post). Menulis buku dengan judul “School HealingMenyembuhkan
Problem
Sekolah
(Pustakan
Insan
Madani, Yogyakarta)” Dan “Generasi Masa Depan- Memaksimalkan Potensi Diri Melalui Pendidikan (Bahtera Buku, Yogyakarta)”.