Catatan Diskusi: Standar Kelompok Bank Dunia dan sektor kelapa sawit – menuju perubahan
Pendahuluan: Bulan Agustus 2009, International Finance Corporation (IFC),1 dan tak lama kemudian kelompok induknya, yaitu Kelompok Bank Dunia (KBD),2 menangguhkan pendanaan di sektor kelapa sawit. Langkah ini dilakukan sebagai respon terhadap pengaduan kritis dari NGO Indonesia, organisasi masyarakat adat dan NGO internasional3 yang telah memicu munculnya laporan audit yang penuh cela oleh lembaga pertimbangan IFC sendiri, yaitu Compliance Advisory Ombudsman.4 Membenarkan keprihatinan NGO, audit tersebut mendapati bahwa dalam pemberian bantuan keuangan kepada perusahaan kelapa sawit terbesar di dunia, yaitu Wilmar Group, staf IFC telah melanggar prosedur uji tuntas dan Standar Kinerja IFC dan telah mengijinkan pertimbangan keuangan mengalahkan pertimbangan sosial dan lingkungan. Dalam tanggapanya atas temuan-temuan ini, KBD telah membuat komitmen untuk mengadakan peninjauan kembali yang luas atas sektor ini untuk menyusun sebuah revisi strategi investasi dan sebuah “pendekatan umum” terhadap sektor kelapa sawit bagi seluruh KBD. Sementara itu, KBD tidak akan menyetujui investasi baru apa pun dalam pembangunan kelapa sawit sebelum strategi ini selesai disusun.5 Peninjauan kembali ini juga akan mempertimbangkan komoditas agrobisnis lainnya seperti coklat dan kacang kedelai. Saat ini peninjauan kembali tersebut sedang dalam proses.6 Makalah ini berupaya merangkum pandangan dan pendapat NGO, masyarakat lokal terkait dan organisasi masyarakat adat yang berkontribusi dalam penyusunan makalah ini, termasuk sebagian besar/seluruh penanda tangan surat pengaduan yang asli yang telah memicu munculnya peninjauan ulang ini.
1. Penyusunan Strategi Kelompok Bank Dunia lewat pelibatan terus menerus Sebagaimana telah dipastikan kembali oleh CAO IFC baru-baru ini,7 Presiden Bank Dunia menanggapi keprihatinan NGO
1
Surat dari Robert Zoellick kepada Marcus Colchester, 28 Agustus 2009: http://www.forestpeoples.org/documents/ifi_igo/ifc_wb_letter_pressrelease_sep09.pdf 2 Surat dari Robert Zoellick kepada Jennifer Kalafut, 25 Nopember 2009: http://www.forestpeoples.org/documents/ifi_igo/ifc_wb_palm_oil_let_nov09_eng.pdf 3 Penyerahan pengaduan: http://www.forestpeoples.org/documents/ifi_igo/ifc_wilmar_fpp_let_jul07_eng.pdf 4 Laporan audit: http://www.forestpeoples.org/documents/ifi_igo/ifc_wilmar_cao_audit_report_jun09_eng.pdf 5 Surat dari Robert Zoellick tertanggal 28 Agustus 2009 (lihat catatan kaki nomor 1) danCheng Hai Teoh, 2010, Key Sustainability Issues in the Palm Oil Sector: a discussion paper for multi-stakeholder consultations, World Bank and IFC, Washington DC. 6 http://www.ifc.org/palmoilstrategy 7 CAO, 2010, Monitoring and update of IFC’s response to the CAO Audit of IFC dated June 2009, Audit Monitoring Report (C-I-R6-Y08-F096, 22 April 2010), Office of CAO, IFC, Washington DC.
1
Dengan meyakinkan masyarakat sipil bahwa tidak ada investasi publik baru di sektor kelapa sawit yang akan disetujui KBD sebelum pendekatan umum yang menyeluruh atas investasi kelapa sawit tuntas berlaku di seluruh World Bank Group (penekanan ditambahkan). Sampai saat ini, IFC sendiri telah menanggapi komitmen ini dengan menyusun sebuah makalah isu dan proses konsultasi. Namun, proses IFC ini tidak menjelaskan bagaimana KBD akan terlibat untuk memastikan adanya “pendekatan umum”, dan, sepengetahuan kami, IBRD. IDA masih belum membuat pernyataan publik tentang bagaimana mereka akan terlibat dalam penyusunan revisi pendekatan terhadap sektor ini. Hal ini khususnya penting karena proyek kelapa sawit Bank Dunia (IDA) di Papua sedang menjadi sorotan pengaduan dewan inspeksi Bank Dunia (World Bank Inspection Panel).8 Dalam pandangan kami, seperti disepakati presiden Bank Dunia, strategi KBD yang baru untuk sektor kelapa sawit harus disusun baik untuk IFC maupun untuk KBD. Meskipun IFC lewat keikutsertaannya dalam RSPO dan keterlibatannya yang lebih besar di sektor swasta dapat membantu memastikan keterlibatan perusahaan kelasa sawit berpengaruh besar dan petani kecil (smallhoder) dalam reformasi sector ini, IFC gagal dalam membantu anggota KBD lainnya (IDA dan IBRD) dalam reformasi tata kelola, hukum dan prosedural yang efektif yang dibutuhkan agar kerangka nasional dapat mempromosikan hasil pembangunan yang baik dan memungkinkan terpenuhinya Standar Kinerja IFC dan Kebijakan Operasional IBRD. Kami prihatin, bahwa, berlawanan dengan yang dilakukan presiden Bank Dunia, IFC kini bertindak terlalu tergesa-gesa untuk menyusun kebijakan untuk dirinya sendiri, terpisah dari kelompok induknya (KBD). Kami juga mencatat bahwa makalah isu yang awalnya dijanjikan bulan Desember 2009 baru diedarkan sekarang. Makalah ini memang memberikan landasan untuk menerima masukan awal yang bermanfaat (yang memang menjadi tujuan makalah ini) namun hal ini tidak serta merta menjadikannya sebagai pengganti dialog tentang makalah strategi itu sendiri. Waktu yang dipadatkan yang disepakati untuk penyusunan Stategi ini - kami memahami bahwa draftnya sudah harus selesai di bulan Juni, penerimaan masukan lewat email dan website lalu diserahkan kepada Presiden Bank Dunia untuk disetujui bulan Juli – tidak memungkinkan untuk keterlibatan berulang dalam kebijakan tersebut seperti yang kami harapkan.9 Kami mendesak adanya ketentuan-ketentuan untuk: • •
Menjamin bahwa Strategi ini akan menjadi strategi yang komprehensif yang mengatur pendekatan bersama untuk seluruh KBD Memberikan waktu untuk bertemu dengan kelompok masyarakat sipil, masyarakat adat dan pihak yang berkepentingan lainnya untuk membicarakan draft Strategi itu sendiri (bukan sekedar makalah isu).
8
http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/EXTINSPECTIONPANEL/0,,contentMDK:22512209~ pagePK:64129751~piPK:64128378~theSitePK:380794,00.html. 9 Pertemuan antara IFC dan NGOs di Kuala Lumpur 2 November 2009; email dari Adam Sack kepada M. Colchester 30 Maret 2010 dan surat dari Oscar Chemerinski kepada M. Colchester 14 April 2010.
2
2. Menentukan sasaran yang jelas: Mengentaskan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan lewat sector kelapa sawit: Sebagaimana dijelaskan oleh laporan audit dan dinyatakan oleh makalah isu, KBD memiliki keterlibatan yang panjang dalam sector kelapa sawit. Bagi IBRD dan IDA, sejarah ini menjadi problematic, dan khususnya di Indonesia, peninjauan kembali berturut-turut telah menunjukkan hasil yang tidak optimal atau negatif dalam hal dampak social dan lingkungan. Sampai sati ini, keterlibatan IFC di sector kelapa sawit adalah untuk mendukung perusahaan raksasan dan mempromosikan perdagangan internasional dan pemrosesan kelapa sawit. Seperti yang disimpulkan CAO hal ini dilakukan dengan cara “yang tidak sejalan dengan peran nyata IFC, mandat untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas kehidupan serta komitmen untuk pembangunan berkelanjutan.“10 Meskipun kelapa sawit merupakan tanaman pangan yang produktif dan menguntungkan secara ekonomi dan awalnya ditanam sebagai bagian dari ekonomi pertanian campuran di Afrika Barat, saat ini kelapa sawit sedang dikembangkan sebagai monokultur berskala industri dengan cara yang menimbulkan dampak sosial dan lingkugan jangka panjang yang serius bagi mereka yang paling tidak mampu mengusahakannya, namun memberikan keuntungan besar bagi mereka yang sdecara ekonomi memang sudah mapan. Perombakan besar perlu dilakukan pada sektor ini jika pola konsentrasi lahan dan kekayaan ini tidak hendak ditingkatkan. Strategi KBD mana pun untuk keterlibatan kembali di sektor kelapa sawit harus ditujukan untuk mencapai manfaat yang jelas bagi masyarakat miskin dan lingkungan yang terancam dan harus mampu menjamin bahwa investasi yang diadakan diprioritaskan pada kebutuhan dan hak-hak masyarakat lokal. Dengan demikian, Strategi tersebut haruslah: • • • •
Menetapkan sasaran yang jelas dan terukur; Menjelaskan standar, landasan dan indikator yang digunakan untuk mengkaji pemenuhan persyaratan; Mencakup strategi negara (paling tidak untuk negara-negara penghasil kelapa sawit) yang dapat menyelsaikan hambatan-hambatan yang teridentifikasi dalam surat pengaduan dan audit pemenuhan dan hasil konsultasi; Menetapkan proses yang dapat memonitor perkembangan secara inklusif dan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan.11
Elemen-elemen ini merupakan persyaratan pokok jika peninjauan kembali sektor ini di masa depan hendak menunjukkan efektifitas perkembangan. Sebagai NGO dari dan yang bekerja di Indonesia, kami secara khusus memohon pembentukan badan monitoring multi-stakeholder yang inklusif yang akan memastikan adanya kajian (real time assessment) terhadap keterlibatan KBD di sektor kelapa sawit di Indonesia. KBD harus bertanggung jawab untuk dampak-dampak negatif langsung dan tidak langsung terhadap masyarakat pedesaan terkait dengan investasinya dalam sektor sawit 10
CAO 2010:2. Terkait hal ini kami lihat bahwa Badan Penasehat Eksternal (External Advisory Group) yang dibentuk untuk proses ini tidak mencakup lingkup pelaku dan TOR yang benar untuk tugas seperti ini.
11
3
30 tahun terakhir dan menyediakan restitusi sesuai dengan cakupan kerusakan yang disebabkan terhadap masyarakat terkena dampak12.
3. Penggolongan Investasi Kelapa Sawit: Salah satu alasan bahwa staf IFC tidak menerapkan Standar Kinerja dengan ketat dalam investasi kelapa sawit sebelumnya adalah karena mereka cenderung menggolongkan sektor kelapa sawit sebagai golongan C atau B, yang berarti bahwa prosedur dan standar-standar diterapkan secara minimal. Di masa depan perlu ada praduga umum bahwa seluruh investasi di sektor kelapa sawit adalah investasi di golongan A yang berarti perlu melibatkan uji tuntas dan penerapan Standar Kinerja IFC dan Kebijakan Operasional Bank Dunia secara maksimal.
4. Mengaktifkan Standar Kinerja dan Kebijakan Operasional: Hampir semua proyek pembangunan kelapa sawit menyiratkan perluasan daerah tanam kelapa sawit dan, secara langsung maupun tak langsung, akan berdampak pada pengguna lahan yang ada dan menimbulkan perubahan pada vegetasi alam atau menggantikan tanaman lainnya. Dengan demikian sebuah investasi kelapa sawit perlu mengaktifkan seluruh atau sebagian besar Standar Kinerja IFC dan Kebijakan Operasional Bank Dunia. Strategi kelapa sawit perlu mengusulkan sebuah praduga bahwa investasi di sektor ini harus memenuhi Standar Kinerja IFC. Secara khusus, menurut Standar Kinerja IFC/Kebijakan Operasional Bank Dunia klien harus: • • • • • • • •
Memenuhi undang-undang nasional yang berlaku, termasuk kewajiban negara tuan rumah menurut undang-undang inernasional yang telah diratifikasi; Melakukan dan mengimplementasikan kajian dampak sosial dan lingkungan yang komprehensif; Menghindari segala bentuk penggusuran secara paksa; Mengambil alih tanah lewat proses yang layak dan lewat kesepakatan; Menghindari konflik tanah dan menyelesaikan konflik tanah yang utama; Menghormati hak-hak masyarakat adat; Mendukung terciptanya negosiasi yang dilandasi niat baik dengan mereka dan memastikan adanya konsultasi (persetujuan?) yang bebas, dini dan terinformasi; dan mengembangkan sebuah rencana pembangunan masyarakat adat; Menaruh perhatian khusus terhadap habitat, spesies dan ekosistem yang terancam, dan menghindari konversi habitat kritis.
12
The World Bank’s Integrity Vice Presidency (INT) memeriksa dugaan penyimpangan dan korupsi dalam operasi-operasi yang didanai Kelompok Bank Dunia atau melibat staf Kelompok Bank Dunia (http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/EXTABOUTUS/ORGANIZATION/ORGUNITS/EXT DOII/0,,menuPK:588927~pagePK:64168427~piPK:64168435~theSitePK:588921,00.html; Jika terbukti ada pelanggaran dan/atau kerusakan terjadi karena pelanggaran, korupsi dan pengabaian kebijakan, sanksi harus tidak terbatas pada staf yang berbuat tetapi juga melibatkan tanggung gugat Kelompok Bank Dunia dengan memulihkan kerusakan.
4
Staf KBD harus bertanggung jawab atas setiap kegagalan mematuhi Standar Kinerja IFC dan Kebijakan Operasional Bank Dunia atau hukum dan peraturan dan hukum nasional yang berlaku13.
5. Mencapai koherensi antara Standar Kinerja dan Prinsip dan Kriteria RSPO: IFC juga menjadi anggota aktif Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), yang telah mengembangkan sendiri serangkaian standar yang komprehensif yang dinyatakan dalam Prinsip dan Kriteria RSPO, Kode Etik Anggota, dan Protokol Sertifikasi. Sebagai anggota RSPO, IFC terikat kewajiban untuk mempromosikan kelapa sawit berkelanjutan sebagaimana didefinisikan lewat pemenuhan Prinsip dan Kriteria RSPO. Ada ketidakjelasan tentang bagaiamana standar investasi IFC saat ini yang dinyatakan dalam Standar Kinerjanya akan sesuai dengan standar RSPO untuk produser dan pabrik. Namun, kami mencatat pernyataan Presiden Bank Dunia dalam suratnya tertanggal 28 Agustus 2009 yang mengatakan bahwa ‘IFC hanya akan bekerja dengan klien yang memiliki komitmen untuk mencapai sertifikasi yang diakui dunia internasional untuk operasinya’. Strategi KBD dengan demikian perlu menjelaskan bagaimana KBD akan menjunjung tinggi standar RSPO. Kami sarankan agar diadakan pertemuan sebuah kelompok kerja khusus untuk mengkaji poin-poin yang melengkapi dan yang bertentangan antara Standar Kinerja IFC/Kebijakan Operasional Bank Dunia dengan standar RSPO. Dengan demikian Strategi yang sedang disusun ini perlu menjelaskan bagaimana KBD akan memastikan bahwa, di mana Standar Kinerja IFC atau Kebijakan Operasional Bank Dunia lebih lemah dari standar RSPO, operasi yang didukung oleh proyek-proyeknya tidak akan melemahkan, namun malah mendukung standar RSPO. Di lain pihak, kami mencatat bahwa RSPO masih dalam proses membangun dirinya sendiri. RSPO tidak memiliki prinsip dan kriteria yang sesuai untuk menjawab tantangan perubahan iklim. Prosedur sertifikasi petani kecil (smallhoders) sedang disusun dan perlu diteguhkan. Ada banyak pengaduan tentang kekurangan dengan audit awal oleh badan sertifikasi. Perlu adanya diskusi-diskusi untuk menyelesaikan bagaimana Strategi KBD dan RSPO akan saling melengkapi. Strategi KBD tidak dapat bergantung pada RSPO untuk menjamin implementasi, efektifitas pengembangan, monitoring atau pemenuhan persyaratan.
6. Kebijakan rencana pemanfaatan lahan/tata ruang: Umum: Penerapan yang ketat dari Standar Kinerja IFC/ Kebijakan Operasional IBRD dan P&C RSPO selayaknya berdampak pada pergeseran lahan kelapa sawit dari habitat kritis dan bernilai tinggi ke wilayah yang tidak terlalu penting bagi sumber penghidupan dan keanekaragaman hayati. Namun, kebijakan nasional tentang penetapan zona 13
World Bank’s Integrity Vice Presidency (INT) memeriksa dugaan penyimpangan dan korupsi dalam operasi-operasi yang didanai Kelompok Bank Dunia atau melibat staf Kelompok Bank Dunia (http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/EXTABOUTUS/ORGANIZATION/ORGUNITS/EXT DOII/0,,menuPK:588927~pagePK:64168427~piPK:64168435~theSitePK:588921,00.html;
5
pemanfaatan lahan, tata ruang dan/atau alokasi lahan sering kali memiliki sasaran yang amat berbeda dengan sasaran dari kebijakan sebelumnya tentang pembukaan “lahan tidak produktif” untuk pembangunan, dan sering kali mengincar hutan dan tanah masyarakat adat. Strategi yang sedang disusun haruslah mensyaratkan koherensi antara pendekatan KBD/RSPO dan revisi kebijakan tata ruang nasional sesuai dengan tata kelola hak masyarakat adat dan masyarakat lokal sebelum dilakukan investasi kembali di negara bersangkutan. Indonesia dan Sarawak: Di Indonesia 26 juta hektar lahan telah dialokasikan dalam rencana tata ruang propinsi untuk pembangunan kelapa sawit. Prosedur rencana tata ruang tidak berupaya untuk mengidentifikasi dan melindungi daerah dengan nilai konservasi tinggi, tidak mengidentifikasi atau melindungi daerah yang menjadi wilayah adat masyarakat adat atau wilayah kelola adat dan tidak mengidentifikasi atau melindungi daerah dengan “nilai karbon tinggi”. Selain itu, proses perencanaan tata ruang di Indonesia menggunakan definisi lahan “terdegradasi” dan “hutan konversi” yang tidak jelas dalam pembukaan hutan dan lahan sehingga sering kali membuka hutan atau lahan yang dikelola atau dimiliki masyarakat hukum adat. Lebih jauh lagi, rencana tata ruang Indonesia dan penetapan zona pembangunan di Sarawak saat ini dalam kenyataannya mendorong penanaman kelapa sawit di lahan gambut, dan menimbulkan emisi CO2 yang besar. Selayaknya tidak ada investasi KBD lebih lanjut di sektor kelapa sawit di Indonesia dan Sarawak sebelum adanya perombakan radikal dalam proses perencanaan tata ruang untuk memastikan bahwa rencana tata ruang tersebut tidak melegitimasi pembukaan hutan, konversi lahan gambut dan perampasan tanah masyarakat adat. Sama halnya, selayaknya ada moratorium terhadap ekspansi perkebunan kelapa sawit sampai pelanggaran HAM, konflik tanah dan hutang turun-temurun (debt bondage) dalam perkebunan yang ada diselesaikan.
7. Akusisi Lahan Umum: Salah satu isu yang paling ramai diperdebatkan tentang pengembangan sektor kelapa sawit adalah masalah akusisi lahan, di mana kami telah melakukan studi rinci tentang itu.14 Standar Kinerja IFC tidak menganjurkan penggusuran secara paksa dan mendorong klien untuk mengambil alih tanah lewat kesepakatan. Namun, Standar Kinerja IFC menyatakan bahwa saat tanah diambil alih secara sepihak, klien harus memberikan kompensasi, mengadakan konsultasi, menetapkan mekanisme pengaduan 14
Marcus Colchester, Norman Jiwan, Andiko, Martua Sirait, Asep Yunan Firdaus, A. Surambo and Herbert Pane, 2006, Promised Land: Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia – Implications for Local Communities and Indigenous Peoples, Forest Peoples Programme, Sawit Watch, HuMA and ICRAF, Bogor; Marcus Colchester and Norman Jiwan, 2006, Ghosts on our own land: oil palm smallholders in Indonesia and the Roundtable on Sustainable Palm Oil, Forest Peoples Programme and SawitWatch, Bogor; Serge Marti, 2008, Losing Ground: the human rights impacts of oil palm plantation expansion in Indonesia, SawitWatch, Life Mosaic and Friends of the Earth, Bogor; Marcus Colchester, Wee Aik Pang, Wong Meng Chuo and Thomas Jalong, 2007, Land is Life: Land Rights and Palm Oil Development in Sarawak, Forest Peoples Programme and SawitWatch, Bogor.
6
dan menyusun rencana aksi pemindahan. Mengingat adanya kontroversi atas lahan (dan lihat juga 11 di bawah) kami lihat bahwa panduan ini membingungkan. Kami merekomendasikan secara tegas bahwa, sejalan dengan standar RSPO, revisi Strategi harus secara jelas mensyaratkan bahwa seluruh lahan harus dialihkan lewat kesepakatan dan tidak boleh ada lahan yang diambil atau digunakan tanpa adanya persetujuan dari pemegang hak dan keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan dari pemilik adatnya. Strategi KBD haruslah mencakup larangan yang menyeluruh terhadap lahan apa pun untuk proyek kelapa sawit KBD yang diperoleh lewat paksaan. Indonesia: Di Indonesia, proses akuisisi lahan diperrumit oleh kurangnya pengakuan hak-hak adat atas tanah (lihat bagian 8.), kurangnya proses yang memungkinkan pengambilan keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan (lihat bagian 9.), penerapan wewenang negara yang berlebihan dalam proses pengambilalihan lahan (lihat bagian 10.) dan kebijakan alokasi konsesi lahan yang mengabaikan atau melibas hak-hak dan kepentingan pemegang hak lainnya. Secara teori, berdasarkan rencana tata ruang (meskipun dalam praktek dilakukan secara serampangan), hutan dan lahan dialokasikan kepada perusahaan sebagai ijin lokasi tanpa konsultasi dengan pengguna lahan lainnya.15 Pemegang konsesi, kadang kala bersama tim dari Badan Pertanahan Nasional dan pemerintah lokal, lalu diharapkan untuk mengambil alih lahan dari masyarakat lokal (atau dapat mengabaikan pemegang hak setempat sama sekali). Begitu 51% dari lahan yang mendapatkan ijin lokasi telah dibebaskan, maka mereka mengubah konsesi mereka menjadi Hak Guna Usaha (HGU) selama 35 tahun. Dalam proses-proses ini, umum terjadi masyarakat kehilangan kuasa atas lahan yang luas tanpa mendapatkan apa-apa atau tanpa ganti rugi. Studi lapangan tentang berbagai konsesi di empat propinsi menunjukkan bahwa masyarakat tidak pernah diberitahu bahwa dengan melepaskan tanah mereka untuk skema pembangunan kelapa sawit dukungan negara berarti mereka secara permanen menyerahkan tanah mereka, karena menurut UU Pokok Agraria pada akhir masa berlaku HGU tanah yang diberi ijin akan dikembalikan kepada negara dan bukan kepada pemilik aslinya. Selama prosedur yang tidak adil dari pengambilalihan lahan terus berlanjut, tidaklah mungkin bagi perusahaan perkebunan untuk memenuhi standar RSPO. KBD tidak perlu menginvestasikan dana lebih lanjut di sektor kelapa sawit Indonesia sampai proses pengambilalihan lahan yang tidak adil ini direvisi dan hak masyarakat lokal dan masyarakat adat mendapatkan jaminan.
8. Kurangnya jaminan bagi masyarakat adat Umum: Masyarakat adat secara khusus menderita akibat sistem hukum yang diterapkan, yang sering kali berasal dari perundangan-undangan jaman kolonial, yang memungkiri atau membatasi hak-hak masyarakat adat atas lahan. Kebijakan negara juga umumnya mendiskriminasikan masyarakat adat.
15
Untuk penjelasan lebih lengkap tentangg prosedur perijinan ini, lihat studi ‘Promised Land’ dan Study HCV oleh Marcus Colchester, Patrick Anderson, Norman Jiwan, Andiko and Su Mei Toh, 2009, HCV and the RSPO: report of an independent investigation into the effectiveness of the application of High Conservation Value zoning in palm oil development in Indonesia. Forest Peoples Programme, HuMA, SawitWatch and Wils Asia, Moreton-in-Marsh.
7
Sejalan dengan Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat dan dengan memperhatikan Pasal 41 dan 42 Deklarasi tersebut, Strategi KBD haruslah mengadopsi ketentuan-ketentuan yang kuat yang melampaui ketentuan dalam Standar Kinerja No. 7 / Kebijakan Operasional No. 4.10 untuk melindungi hak-hak masyarakat adat. Ketentuanketentuan ini haruslah sedikitnya mencakup: • • • •
Hak-hak masyarakat adat untuk memiliki tanah dan wilayah yang sudah secara turun temurun mereka miliki, huni atau manfaatkan; Perwakilan lewat institusi mereka sendiri; Penerapan undang-undang adat mereka dan; Sejalan dengan hak mereka untuk memutuskan sendiri, menerima atau menolak memberikan keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan terhadap rencana operasi di tanah mereka.
Indonesia: Di Indonesia istilah ‘indigenous peoples’ umumnya digunakan untuk menyebut mereka yang mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat dan diterapkan secara umum kepada seluruh masyarakat yang hak-hak atas tanahnya didasarkan lebih kepada adat dari pada hukum positif. Studi-studi yang dilakukan Bank Dunia menunjukkan bahwa lahan yang memiliki hak formal di Indonesia hanya mencapai kurang dari 40%, dengan sisanya dikuasai oleh penguasaan secara informal atau adat. Sejak proklamasi kemerdekaan, Indonesia secara progresif telah menanggalkan institusi adat dan menyusun kebijakan yang ditujukan untuk mengintegrasikan “masyarakat terisolasi dan asing” atau “masyarakat terasing” ke dalam aras utama nasional lewat pemindahan penduduk, pendidikan kembali dan lewat pelarangan agama tradisional. Meskipun dampak terburuk dari kebijakan-kebijakan ini semakin reda sejak tahun 1998, undang-undang dan kebijakan lain yang mendasarinya masih amat membatasi hak-hak dan adat istiadat masyarakat adat. Meskipun hak-hak adat mendapatkan perlindungan dari UUD RI, hak-hak tersebut sangat dibatasi dalam UU Kehutanan dan UU Pokok Agraria. UU Pokok Agraria memperlakukan hak-hak adat (hak ulayat) sebagai hak penguasaan yang lemah di atas tanah milik negara yang harus mengalah demi proyek pembangunan. Sama halnya, UU Kehutanan mendefinisikan ‘hutan adat’ sebagai bagian dari hutan negara, yang didefinisikan sebagai ‘hutan tanpa hak di atasnya’. Kedua UU ini menimbulkan hambatan yang sulit diatasi oleh masyarakat adat saat berhadapan dengan penerapan skema pembangunan kelapa sawit. Sarawak: Malaysia memiliki rejim hukum yang plural, yang berarti bahwa negara ini mengakui wewenang beberapa badan hukum pada saat yang bersamaan, dan adat ditegakkan di bawah Konstitusi Negara Bagian. Penegak hukum dan pengadilan adat diakui secara resmi di Sarawak dan masih terus digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah di masyarakat dan untuk menegakkan hukum di sana, yang berarti bahwa adat merupakan sumber hak yang hidup dan aktif di Sarawak, baik di mata hukum maupun dalam praktek. Namun, sejak masa penjajahan dan secara progresif di masa-masa sesudahnya, lewat serangkaian perundangan-undangan dan peraturan, pemerintah Sarawak telah berupaya pembatasi penerapan ‘Hak Adat Asli’ atas tanah, membekukan perpanjangannya tanpa ijin dan menginterpretasikan hak-hak ini sebagai hak milik yang lemah atas tanah negara. Lebih jauh, meskipun pemerintah mengakui bahwa sekitar 1,5 sampai 2,8 juta
8
hektar tanah berada di bawah hak adat, pemerintah tidak menyatakan di mana keberadaan tanah-tanah tersebut, yang berarti bahwa sebagian besar masyarakat tidak pernah yakin apakah atau bagian mana dari tanah mereka yang diakui menurut interpretasi pemerintah atas hak-hak ini. Dalam serangkaian kasus di pengadilan tingi di Sarawak dan Malaysia, hakim telah menjunjung tinggi klaim-klaim tanah masyarakat adat karena sesuai dengan Konstitusi Malaysia dan hukum adat. Kasus-kasus ini mengimplikasikan bahwa interpretasi pemerintah Sarawak yang terbatas akan hak-hak adat tidaklah benar. Sejalan dengan undang-undangn HAM internasional, pengadilan-pengadilan ini telah menerima bahwa masyarakat adat memiliki hak atas tanah mereka berdasarkan adat istiadat mereka dan bukan sebagai hibah dari negara. Strategi KBD haruslah melarang investasi di sektor kelapa sawit Indonesia dan Sarawak sampai undang-undang yang diskriminatif ini dicabut dan digantikan oleh undangundang yang sejalan dengan norma-norma hukum internasional.
9. Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan (FPIC) Umum: Merupakan prinsip hukum internasional dan prinsip praktek terbaik bisnis yang semakin diterima bahwa masyarakat adat dan masyarakat lokal memiliki hak untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan tanpa paksaan mereka atas proyek yang akan diberlakukan di tanah mereka. P&C RSPO dengan jelas mensyaratkan penghormatan atas hak ini. Standar Kinerja IFC dan Kebijakan Operasional IBRD tidak terlalu jelas tentang masalah ini sehingga mensyaratkan pihak peminjam atau klien untuk memastikan proses yang memungkinkan adanya – menurut Standar Kinerja IFC No. 7 – ‘konsultasi bebas, didahulukan dan diinformasikan dan ekspresi pandangan mereka sendiri setelah proses pengambilan keputusan bersama tanpa adanya paksaan atau manipulasi dan intimidasi. Dibutuhkan langkah-langkah khusus untuk melindungi kelompok masyarakat ini ketika tanah mereka diambil alih.’ Untuk menghindari pelemahan P&C RSPO dan sejalan dengan undang-undang internasional, revisi Strategi KBD harus dengan jelas mensyaratkan penghormatan terhadap hak atas persetujuan tanpa paksaan. Tidak ada skema pendanaan KBD yang boleh dilaksanakan tanpa adanya persetujuan dari pemegang hak tanah dan persetujuan tanpa paksaan pemilik adat. Indonesia: Di Indonesia, tidak ada mekanisme untuk mengefektifkan hak atas persetujuan tanpa paksaan. Tidak hanya tidak ada pengakuan atas hak-hak masyarakat adat (lihat bagian 7 di atas) namun institusi adat mereka juga tidak memiliki personalitas hukum yang memadai. Institusi tingkat desa yang diakui pemerintah umumnya bertindak dengan cara yang berpihak pada penguasaan negara dan tidak diijinkan untuk secara independen mewakili kepentingan masyarakat. Juga penting untuk dicatat bahwa kegagalan pemerintah Indonesia untuk memberikan penghormatan terhadap hak masyarakat adat adalah bertentangan dengan kewajiban Indonesia menurut undangundang internasional yang wajib dijunjung perusahaan menurut Standar Kinerja IFC No. 1. Di tahun 2008, dalam tanggapannya terhadap keprihatinan masyarakat sipil atas rencana pemerintah Indonesia untuk membuka 1,8 juta hektar kebun kelapa sawit di sepanjang perbatasan Indonesia–Malaysia, Komite PBB tentang Penghapusan
9
Diskriminasi Rasial secara jelas telah menyerukan pemerintah Indonesia untuk mengamandemen undang-undangnya untuk mengakui hak-hak masyarakat adat. Secara khusus, Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial yang mengawasi penerapan Konvensi PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial yang telah ditandatangani pemerintah Indonesia dengan jelas merekomendasikan agar: Negara pihak melakukan peninjauan kembali atas undang-undangnya, khususnya UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, serta bagaimana UU ini diinterpretasikan dan diimplementasikan, untuk memastikan bahwa UU ini menghormati hak-hak masyarakat adat untuk memiliki, mengembangkan, menguasai dan memanfaatkan tanah komunal mereka. Sambil mencatat bahwa mega proyek Plantation Kelapa Sawit di Perbatasan Kalimantan sedang dipelajari lebih lanjut, Komite ini merekomendasikan agar Indonesia sebagai negara anggota Konvensi menjamin milik dan hak kepemilikan masyarakat lokal sebelum meneruskan rencana ini. Indonesia juga perlu memastikan dilakukannya konsultasi yang bermakna dengan masyarakat terkait, yang ditujukan untuk mendapatkan persetujuan dan partisipasi mereka.16 Sarawak: Sama halnya, kerangka kerja hukum untuk akusisi tanah saat ini di Sarawak tidak memberikan landasan yang adil untuk penerapan persetujuan tanpa paksaan. Sesungguhnya, sudah ada prosedur-prosedur yang secara jelas ditujukan untuk membatasi penguasaan atas tanah mereka bahkan atas tanah yang pemerintah akui memiliki hak adat. Menurut apa yang disebut sebagai Konsep Baru, pemilik tanah adat dengan hak adat yang diakui negara diharapkan untuk menyerahkan tanah mereka kepada negara selama 60 tahun untuk dikembangkan sebagai usaha patungan dengan perusahaan swasta, di mana pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai penjamin mewakili pemilik adat. Ada ketidakjelasan tentang bagaimana persisnya pemilik tanah adat ini akan mendapatkan manfaat lewat skema ini dan bagaimana mereka dapat mengklaim kembali tanah mereka setelah hak guna itu berakhir. KBD selayaknya tidak menanamkan investasi di sektor kelapa sawit Indonesia dan Sarawak sampai undang-undang dan prosedur negara direvisi untuk menjamin masyarakat dapat menerapkan persetujuan tanpa paksaan mereka dan mempertahankan kontrol atas tanah mereka jika itu yang mereka inginkan.
10. Hak Menguasai Negara: membatasi pengambilalihan lahan secara paksa Umum: Standar Kinerja IFC dengan jelas mencatat bahwa ‘klien didorong untuk sedapat mungkin mengambil alih lahan lewat kesepakatan, bahkan meskipun mereka memiliki sarana hukum untuk mengakses lahan tersebut tanpa persetujuan penjualnya; namun, seperti yang disebutkan di atas, Standar Kinerja ini lalu mengubah preferensi ini dengan memberikan opsi pengambilalihan lahan secara paksa untuk kepentingan nasional.
16
UN Doc. CERD/C/IDN/CO/3 15th August 2007.
10
Seperti disebutkan di atas, dalam hal pembangunan kelapa sawit kami mendesak agar Strategi KBD melarang KBD untuk mendukung akuisisi lahan untuk kepentingan pembangunan kelapa sawit berdasarkan kuasa untuk pengambilalihan secara paksa. Indonesia: Di Indonesia, konstitusi memberikan kuasa atas sumber daya alam kepada negara untuk mendayagunakan mereka untuk kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana berkali-kali dibenarkan oleh studi Bank Dunia dan studi-studi lainnya, kuasa ini diterapkan (atau disalahgunakan) untuk memberi negara wewenang yang nyaris tidak terbatas untuk mengabaikan atau menegasikan hak-hak masyarakat dan masyarakat adat atas tanah. Sering kali ditegaskan bahwa proyek Repelita apa pun atau proyek yang akan diberlakukan di atas tanah yang dialokasikan untuk keperluan tersebut lewat perencanaan tata ruang atau bahkan tanah yang sudah diberi HGU secara definisi telah disahkan pemerintah dan karenanya ditujukan untuk kepentingan nasional, yang berarti bahwa pemilik lokal dan pemegang hak harus mengalah saat dihadapkan pada rencana pembangunan tersebut. Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dengan jelas merekomendasikan agar Indonesia: Perlu mengamademen undang-undang nasional, peraturan dan praktek dalam negerinya untuk memastikan bahwa konsep kepentingan nasional, modernisasi dan pembangunan ekonomi dan sosial didefinisikan secara partisipatif, mencakup pendangan internasional dan kepentingan seluruh pihak yang tinggal di daerah tersebut, dan tidak digunakan sebagai pembenaran untuk menggilas hak-hak masyarakat adat, sesuai dengan rekomendasi umum Komite No. 23 (1997) tentang masyarakat adat. Komite, seraya mencatat bahwa tanah, air dan sumber daya alam dikontrol negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan bangsa Indonesia berdasarkan perundang-undangan Indonesia, mengingatkan kembali bahwa prinsip tersebut harus diterapkan secara konsisten bersama hak-hak masyarakat adat.17 Sebelum reformasi-reformasi ini dilakukan untuk memenuhi CERD, KBD harus menunda pendanaan lebih lanjut di sektor kelapa sawit Indonesia. 11. Konflik tanah dan pelanggaran HAM: Umum: Proses alokasi dan akuisisi lahan yang tidak adil serta kurangnya penghormatan terhadap hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat tidak hanya mengakibatkan marginalisasi dan pemiskinan namun juga menimbulkan konflik tanah yang berkepanjangan, yang sudah terlalu sering bereskalasi menjadi konflik yang disertai pelanggaran HAM akibat tindakan represif perusahaan atau aparat militer. Untuk menghindari masalah-masalah ini, Strategi KBD – selain ketentuan-ketentuan untuk menjamin akuisisi lahan yang adil, penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat, penghormatan terhadap hak atas keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan dan pembatasan yang ketat atas hak menguasai negara untuk mengambil alih tanah secara paksa – harus mensyaratkan seluruh klien untuk menyelesaikan konflik-konflik
17
Ibid.
11
besar yang ada bersama masyarakat lokal dan masyarakat adat sebelum mendapatkan dukungan KBD. Indonesia: Dalam catatan terbarunya, NGO pemerhati kelapa sawit Sawit Watch lewat jaringan kontak independennya telah mengidentifikasi 630 konflik tanah antara perusahan kelapa sawit dan masyarakat lokal di seluruh Indonesia. Jumlah konflik yang sebenarnya bisa lebih tinggi lagi. Menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam presentasinya untuk RSPO di Kuala Lumpur tanggal 1 Nopember 2009, saat ini ada sekitar 3.500 konflik tanah yang terkait dengan kelapa sawit di Indonesia. Sarawak: Sebuah peninjauan kembali atas pengalaman setempat dengan pembangunan kelapa sawit di Sarawak menunjukkan bahwa sekitar sepertiga dari 150 konflik tanah yang saat ini sedang ditangani pengadilan berkaitan dengan kelapa sawit. Banyak dari kasus-kasus ini sudah berada di pengadilan selama 15 sampai 20 tahun. Meskipun kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan didapati berpihak pada penggugat adat dan menjunjung hak-hak adat mereka atas lahan, pemerintah Sarawak menolak untuk mengamandemen undang-undang untuk memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap hak-hak mereka. Sama halnya, pihak perusahaan terus membantah keputusankeputusan pengadilan ini. Jangan ada investasi lebih jauh KBD di Sarawak dan Indonesia sebelum konflik-konflik besar atas tanah ini diselesaikan dan sebelum ada mekanisme untuk menghormati hakhak masyarakat lokal dan masyarakat adat, dan dengan demikian dapat menghindari munculnya konflik tanah lebih lanjut.
12. Kelompok Rentan: Perempuan, buruh paksa dan anak-anak Umum: Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan, dampak-dampak perkebunan kelapa sawit terhadap perempuan dapat mencakup (1) meningkatnya curah waktu dan upaya untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga akibat hilangnya akses atas air bersih dan memadai dan bahan bakar kayu serta meningkatnya biaya kesehatan akibat hilangnya tanaman obat-obat dari lahan perkarangan dan hutan. (2) hilangnya pangan dan pendapatan dari kebun perkarangan rumah dan lahan tanaman kebun lainnya; (3) hilangnya pengetahuan asli dan sistem sosial budaya; dan (4) meningkatnya kekerasan rumah tangga terhadap perempuan dan anak-anak akibat meningkatnya tekanan ekonomi.18 Contoh-contoh kondisi dari kelompok rentan terkait dengan sektor kelapa sawit adalah: •
Diperkirakan antara 40,000 dan 50,000 anak-anak pekerja migran tanpa status warga negara di perkebunan kelapa sawit di Sarawak dan Sabah19.
18
Pemaparan Powerpoint dalam seminar nasional tentang dampak makro bahan bakar nabati oleh Dr. Ir. Hertomo Heroe, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 12 Agustus 2009, Jakarta. 19 http://www.necf.org.my/newsmaster.cfm?&menuid=45&parentid=144&action=view&retrieveid=978; Populasi migrant Sabah diperkirakan berkisar dari 600,000 sampai 1.7 juta (November 2007). Hubungan politis dan ikatan sejarah telah menciptakan masalah pendatang ilegal di Sabah. Tidak memiliki dokumentasi yang sah dan tidak ada akses peluang pendidikan, anak-anak tanpa status warga negara sedang menghadapi masa depan yang suram. Sebagian besar lahir di Sabah dan menjadi anak jalanan ketika orang tua mereka dideportasi.
12
•
• •
Istri dan anak-anak pekerja perkebunan membantu para suami dan ayah mereka untuk mencapai target kewajiban produksi akibat sanksi, tetapi kerja mereka tidak pernah diperhitungkan dan tidak mendapatkan manfaat kerja atau jaminan keselamatan. Kasus-kasus perdagangan manusia dimana perempuan dilacurkan dan eksploitasi seksual terkait dalam perkebunan kelapa sawit. Kemiskinan dan kriminalisasi terkait dengan sektor kelapa sawit dalam kasus ketika individu yang kehilangan tanah dan sumber penghidupan mereka dikiriminalkan karena memungut berondolan sawit dari perkebunan.
Strategi KBD dan investasinya dalam sektor kelapa sawit harus memasukan tindakan keberpihakan untuk mendukung kelompok-kelompok rentan tersebut. 13. Mengamankan Habitat Nilai Konservasi Tinggi (NKT) dan Habitat Kritis: Umum: Standar Kinerja IFC No. 6 mengacu pada perlunya mengidentifikasi dan melindungi ‘habitat kritis’ sementara Prinsip dan Kriteria RSPO melarang pembukaan daerah yang penting untuk kelangsungan ‘Nilai Konservasi Tinggi’.. Strategi KBD perlu menjelaskan bagaimana merujukkan gagasan-gagasan ini secara prosedural dan setiap kontradiksi perlu dikaji secara cermat, didiskusikan dan dicari pemecahannya lewat cara yang dapat diterima. Kami mendesak agar perhatian khusus diberikan atas identifikasi dan perlindungan daerah yang memiliki nilai sosial tinggi seperti daerah yang memberikan jasa lingkungan penting (HCV3), daerah yang penting bagi sumber penghidupan setempat (HCV5) dan penting bagi identitas budaya (HCV6). Indonesia: Sebuah studi baru-baru ini telah menunjukkan bahwa perusahaan anggota RSPO yang beroperasi di Indonesia telah gagal untuk mengamankan daerah dengan NKT yang terletak dalam konsesi mereka karena daerah dengan NKT yang belum ditanami yang terletak dalam konsesi mereka telah dialokasikan oleh pejabat setempat kepada perusahaan lain untuk dibuka dan/atau perusahaan anggota RSPO secara rutin mengembalikan daerah dengan NKT kepada pemerintah, yang tidak memiliki perundang-undangan dan prosedur yang memadai untuk melindungi daerah-daerah tersebut.20 Studi tersebut menunjukkan bahwa tanpa adanya reformasi hukum dan prosedural standar RSPO tidak akan efektif untuk melindungi daerah dengan NKT di Indonesia. Di bulan Nopember 2010, Dewan RSPO akan melakukan pertemuan dengan Kelompok Kerja Ad-Hoc RSPO untuk Daerah Bernilai Konservasi Tinggi dengan mandat untuk menjajaki reformasi hukum yang dapat dilakukan untuk mengamankan daerah dengan nilai konservasi tinggi lewat pelibatan multi stakeholder. Strategi KBD harus mengusulkan pelibatan sistematik di Indonesia untuk memastikan bahwa daerah dengan nilai konservasi tinggi (atau ‘habitat kritis’ jika pengertiannya sama) dilindungi secara efektif oleh undang-undang dan dalam praktek, sebagai pra kondisi untuk perpanjangan investasi di sektor ini. Sebelum adanya reformasi itu, KDB sebaiknya tidak mendanai pembangunan kelapa sawit di Indonesia karena sistem yang ada saat ini tidak mampu melindungi daerah-daerah tersebut secara efektif. 20
Marcus Colchester, Patrick Anderson, Norman Jiwan, Andiko and Su Mei Toh, 2009, HCV and the RSPO: report of an independent investigation into the effectiveness of the application of High Conservation Value zoning in palm oil development in Indonesia. Forest Peoples Programme, HuMA, SawitWatch and Wils Asia, Moreton-in-Marsh.
13
14. Kurangnya kapasitas penegakan hukum dan lemahnya tata kelola: Umum: Ada perbedaan yang jelas namun penting yang harus dibuat antara keberadaan undang-undang dan peraturan dengan penegakannya secara efektif. Strategi KBD perlu memastikan adanya pendekatan bertahap sehingga reformasi hokum dan procedural dilengkapi oleh langkah-langkah untuk meningkatkan kapasitas penegakan hukum, sebelum investasi lebih lanjut dilakukan di sektor ini. Indonesia: Undang-undang dan peraturan sudah ada di Indonesia yang ditujukan untuk melindungi lingkungan dan mencegah pembukaan lahan dan penggunaan api secara illegal, melindungi daerah pinggiran sungai dan yang mewajibkan perusahaan untuk melakukan analisa dampak lingkungan dan menerapkan langkah mitigasi. Namun, peninjauan kembali di lapangan menunjukkan adanya pelanggaran terus menerus atas standar-standar ini oleh perusahaan kelapa sawit, termasuk perusahaan anggota RSPO yang sedang mengajukan sertifikasi.21 Pelanggaran-pelanggaran tersebut antara lain meliputi: • • • • • • • • • •
Penggunaan api secara illegal dalam pembukaan hutan Pembukaan hutan sebelum ijin didapat Pembukaan hutan dan penanaman sebelum AMDAL diselesaikan dan/atau disetujui Membuka perkebunan tanpa ijin (HGU) Pembukaan daerah tepian sungai secara illegal Penanaman secara illegal di lahan gambut dalam Pembukaan hutan dan penanaman kelapa sawit di luar derah konsesi Tidak membayar pajak Tidak memberikan ganti rugi kepada pemilik lahan atau pemegang hak adat Tidak mengalokasikan lahan untuk petani kecil22
Mengingat pola pelanggaran undang-undang yang meluas dan kurangnya kapasitas penegakan hukum, Strategi KBD untuk Indonesia perlu memprioritaskan reformasi hukum dan peningkatan kapasitas penegakan hukum. Hanya setelah kajian independen menunjukkan bahwa reformasi-reformasi tersebut telah dijalankan dan kapasitas penegakan hukum telah berhasil ditingkatkan barulah pembicaraan tentang investasi lebih lanjut di sektor ini dapat dilakukan.
15. Tidak ada penaatan aturan hukum
21
Lihat contoh: Milieudefensie, Lembaga Gemawan and KONTAK Rakyat Borneo, 2007, Policy, Practice, Pride and Prejudice: review of legal, environmental and social practices of oil palm plantation companies of the Wilmar Group in Sambas District, West Kalimantan (Indonesia), Milieudefensie (Friends of the Earth Netherlands), Amsterdam. 22 Lihat juga: John McCarthy and Zahari Zen, 2010, Regulating the Oil Palm Boom: Assessing the Effectiveness of Environmental Governance Approaches to Agro-industrial Pollution in Indonesia, Law and Policy 32(1):153-179.
14
Umum: Salah satu keprihatinan utama di banyak negara adalah bahwa meskipun ada undang-undang yang melindungi hak masyarakat dan lingkungan, masyarakat dan NGO tidak mampu melawan lembaga negara dan perusahaan swasta karena tidak adanya akses kepada hukum. Indonesia: Masalah ini khususnya merupakan masalah akut di Indonesia di mana berbagai kajian independen, termasuk oleh Bank Dunia, dan juga oleh lembaga negara, telah mendokumentasikan masalah serius dalam prosedur peradilan dan pengadilan kriminal di Indonesia. Tidak hanya kurangnya independensi pengadilan namun juga terdapat bukti-bukti yang banyak akan tindak korupsi. Studi-studi belakangan ini telah menarik perhatian khusus pada masalah ‘Politcally Exposed Persons’ yang menyalahgunakan jabatannya untuk keuntungan pribadi. Dalam konteks ini, masyarakat dan masyarakat adat yang dilanggar hak-haknya dan dirampas tanahnya oleh perusahaan kelapa sawit tidak mendapatkan bantuan hukum. Strategi KBD untuk sektor minyak sawit harus menghadapi permasalahan-permasalahan ini. Apabila terjadi kontradiksi antara standar KBD dan hukum dan peraturan nasional, KBD harus mengikuti standar yang paling berpihak terhadap masyarakat korban.
16. Masalah yang dihadapi petani kecil Umum: Kebijakan pembangunan kelapa sawit nasional umumnya berpihak kepada perusahaan besar dan, meskipun dalam teori kebijakan-kebijakan ini bersifat netral, economies of scale umumnya menguntungkan dominasi sektor ini oleh perkebunan dan pabrik-pabrik besar. Selain itu, fakta bahwa buah kelapa sawit harus diproses dalam 48 jam setelah masak untuk mendapatkan hasil yang baik amat membatasi opsi pemasaran independen petani kecil. Strategi KBD harus mengadopsi pendekatan yang jelas yang berpihak pada petani kecil dan bukannya perusahaan besar dan pendekatan yang dapat menjamin: • • • • • •
Pilihan tanaman Kontrol petani atas tanah dan modal ketentuan dukungan yang tidak menyimpang Dukungan pasar yang memadai Fasilitas kredit dan penetapan harga yang transparan dan adil Kebebasan untuk berorganisasi
Indonesia: Kondisi petani kecil di Indonesia telah diketahui amat problematik. Menurut beberapa survey lapangan serta kesaksian petani di berbagai pertemuan RSPO, petani kecil di Indonesia mengalami kerugian dari: • • • •
Hubungan monopsonik (cuma ada satu pembeli) dengan pabrik setempat Alokasi lahan untuk petani kecil yang tidak adil Proses penetapan status tanah yang tidak transparan Hutang yang banyak dan dimanipulasi
15
• •
Penetapan harga yang tidak adil Kerja untuk melunasi hutang.
Studi-studi belakangan ini menunjukkan semakin besarnya kesenjangan antara kaya dan miskin di daerah petani kecil terutama di Sumatra.23 Perombakan besar-besaran dalam sektor petani kecil perlu dilakukan sebelum kerangka kerja yang dapat menjamin hasil pembangunan yang baik untuk petani kecil dapat diciptakan.
17. Tanggung jawab iklim: Umum: Pembukaan hutan yang meluas, pembakaran hutan dan pembukaan dan pengeringandrainase lahan gambut merupakan kontributor utama perubahan iklim global (terdapat perkiraan yang berbeda-beda namun umumnya menunjukkan angka 16% sampai 30% emisi gas rumah kaca berasal dari perubahan tata guna lahan). Ekspansi sektor kelapa sawit besar-besaran beberapa tahun belakangan ini telah menjadi salah satu penyebab utama emisi ini. Saat ini baik Standar Kinerja IFC dan Prinsip dan Kriteria RSPO tidak mencantumkan upaya perlindungan yang memadai dan tidak pula mensyaratkan penggunaan metodologi yang kredibel untuk membatasi emisi-emisi ini. Upaya untuk menginterasikan metode dan perlindungan seperti itu ke dalam Prinsip dan Kriteria RSPO ditolak mentah-mentah oleh industri Malaysia dan Indonesia di tahun 2009.24 Strategi KBD perlu melarang perluasan kebun kelapa sawit di daerah-daerah yang digolongkan sebagai hutan dan perlu melarang penanaman di lahan gambut. Suatu prosedur yang efektif dan kredibel perlu dikembangkan untuk menyaring kebijakan pemanfaatan lahan nasional, menjamin adanya audit karbon dan menghindari ‘kebocoran’. Indonesia: Di Indonesia, perluasan kelapa sawit umumnya terjadi di daerah yang digolongkan sebagai hutan dan antara sepertiga dan setengah dari rencana perluasan kelapa sawit akan dilakukan di lahan gambut dalam. Sampai 80% emisi CO2 Indonesia berasal dari perubahan peruntukan lahan, dan konversi hutan dan drainase lahan gambut merupakan penyebab utamanya. Tidak ada kontrol procedural dan hokum yang memadai untuk memberantas perluasan ini dan kebijakan nasional sendiri pada hakikatnya bertentangan, di satu sisi berpihak pada perluasan perkebunan kelapa sawit secara cepat untuk keperluan bahan bakar nabati dan minyak goreng, di sisi lain teikat pada komitmen untuk mengurangi emisi CO2e secara signifikan. KBD sebaiknya tidak terlbat di sektor kelapa sawit di Indonesia sebelum ada kebijakan nasional yang kredibel yang melarang penanaman kelapa sawit, dan pembukaan perkebunan monokultur besar di atas lahan gambut, dan yang melarang pembukaan hutan. 23
http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/8534031.stm Meskipun demikian, sejak saat itu perusahaan anggota RSPO telah membuat komitmen publik bahwa mereka akan menghindari pembukaan hutan dan penanaman di lahan gambut di luar persyaratan RSPO.
24
16
18. Kedaulatan pangan: Umum: Pelapor Khusus PBB mengenai Hak atas Pangan telah menyatakan keprihatinannya bahwa ekspansi bahan bakar nabati telah membawa risiko besar terhadap keamanan pangan. Indonesia: Dalam pertemuan khusus Pelapor Khusus PBB mengenai Hak atas Pangan yang diselenggarakan di Kuala Lumpur di bulan Maret 2010, ekspansi kelapa sawit di Indonesia untuk ekspor minyak goreng dan untuk produksi bahan bakar nabati menjadi fokus beberapa pengajuan keberatan. Terdapat keprihatinan yang semakin besar di Indonesia bahwa kelapa sawit terus diperluas dengan mengorbankan keamanan pangan, akan menggantikan pangan subsisten, yang kemudian memperlemah kedaulatan dan tanaman pangan setempat dan telah berkontribusi atas lonjakan harga pangan. Strategi KBD tentang kelapa sawit perlu mengembangkan metode yang kredibel untuk menjamin bahwa tidak ada investasi bahan bakar nabati/minyak sawit menggantikan sumber pengidupan, tanaman pangan atau meningkatkan harga makanan pokok.
19. Menelusuri Rantai Penyalur: Umum: Audit yang dilakukan tim audit menemukan bahwa Standar Kinerja IFC diterapkan pada seluruh rantai penawaran. Jadi, dalam kasus konkrit yang diadukan, tim audit menemukan bahwa dalam investasi IFC di pabrik pengolahan kelapa sawit di Ukraina (Delta Wilmar), dan fasilitas perdagangan kelapa sawit di Singapura (Wilmar International), staf IFC seharusnya menerapkan Standar Kinerja IFC pada sumbersumber penawaran/suplai kelapa sawit. Strategi IFC untuk investasi kelapa sawit harus menjamin penerapan Standar Kinerja IFC pada seluruh rantai penyalur secara penuh. Prosedur yang sama perlu dikembangkan untuk IBRD/IDA. Hal ini merupakan tantangan bagi KBD. Kelapa sawit merupakan komoditas yang diperdagangkan secara internasional di ‘spot market’ (pasar di mana barang yang dibeli atau dijual langsung atau segera dikirim) dan juga merupakan salah satu turunan dari ‘pasar masa depan’. Para pembeli dipasar-pasar ini nyaris tidak memiliki cara untuk mengetahui dari mana sumber kelapa sawit yang mereka beli. Konkritnya, Wilmar Group, anggota Dewan RSPO, merupakan konglomerasi yang terintegrasi secara vertikal yang tidak hanya merupakan penjual kelapa sawit nomor satu dunia namun juga pemilik pabrik pengolahan, penyulingan, pelabuhan dan gudang penyimpanan, pabrik kelapa sawit dan ratusan ribu hektar kebun kelapa sawit di tiga benua dan di banyak negara. Wilmar memperkirakan hanya 30% dari kelapa sawit yang diperdagangkannya yang berasal dari kebun miliknya sendiri, sisanya berasal dari berbagai pemasok lewat pasar-pasar ini. Sampai saat ini, perusahaan tersebut belum mampu mengajukan mekanisme uji tuntas yang sesuai di mana Standar Kinerja IFC dan Prinsip dan Kriteria RSPO dapat diterapkan pada 70% kelapa sawit yang diperdagangkannya.
17
Sebelum dan kecuali ditemukan sarana yang kredibel yang memungkinkan kelapa sawit ditelusuri sumbernya dan jaminan atas penerapan Standar Kinerja IFC dan Kebijakan Operasional Bank Dunia dalam seluruh rantai penyedia, Strategi KBD sebaiknya tidak mendanai perdagangan besar, penyulingan, pemrosesan dan ‘produk hilir’ dari pemasok utama.
20. Kesimpulan keseluruhan: menuju pendanaan sektor kelapa sawit yang bertanggung jawab dan bertanggung gugat Kesimpulan kami dari apa yang dinyatakan di atas adalah bahwa saat ini, dikarenakan kurangnya tanggung jawab dan mekanisme untuk penelusuran rantai penawaran, KBD selayaknya hanya menanamkan investasi pada produsen lokal, terutama produksi petani kecil. Secara khas, IFC cenderung untuk bekerja dengan perusahaan besar lewat pengucuran kredit besar, investasi besar-besaran atau jaminan kredit. Untuk benar-benar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat lokal dan terlibat dalam realita lokal, Strategi KBD perlu mempromosikan model identifikasi dan pendanaan alternatif yang dapat memungkinkan pengucuran dana yang tidak terlalu besar untuk produsen lokal. Perlu adanya diskusi berulang bersama kelompok masyarakat sipil untuk menjajaki bagaimana hal ini dapat dicapai dalam praktek. Di Indonesia dan di Sarawak, khususnya, hambatan hukum dan prosedural terhadap praktek yang baik dari dan sesuai dengan Standar Kinerja IFC/IBRD OPs dan P&C RSPO saat ini begitu besar sehingga pertama-tama perlu adanya reformasi hukum dan prosedural sebelum investasi dapat dijalankan dengan layak. Revisi Strategi KBD harus menyelesaikan persoalan tata kelola, kendala hukum dan kelembagaan agar jelas, sampai reformasi hukum dan prosedural terjadi, KBD tidak akan menanamkan modal dalam di sektor kelapa sawit di daerah-daerah ini. Masih banyak peninjauan kembali atas sektor ini dan atas masalah hukum yang dibutuhkan sebelum sebuah Strategi yang jelas dapat dikembangkan dengan baseline yang kredibel dan dalam sebuah kerangka kerja hukum, kebijakan dan kelembagaan yang berkerja dengan baik. Sektor industri minyak sawit jelas membuktikan berbagai permasalahan sistemik investasi KBD tetapi sektor ini bukan merupakan satu-satunya sektor dimana investasi KBD telah berdampak buruk terhadap ekonomi, sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, kami merekomendasikan KBD tanpa menunda, segera melakukan peninjauan sektor lainnya dimana KBD telah investasi dan sedang merencanakan investasi termasuk sektor hutan tanaman industri, pertambangan, bendungan dan energi, dengan menggunakan proses yang iteratif, partisipatif dan mendalam.
Disampaikan oleh: Forest Peoples Programme Sawit Watch
18
Lembaga Gemawan Scale Up Lestari Negri, Provinsi Riau Serikat Tani Serumpun Damai (STSD), Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat SAD Kelompok 113 Sungai Bahar, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi DebtWatch Indonesia Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Jaringan kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) ELAW Indonesia Setara, Jambi Yayasan PADI Indonesia, Provinsi Kalimantan Timur
Didukung oleh: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Nordin, Save Our Borneo, Provinsi Kalimantan Tengah Rivanni Noor, CAPPA Hendi Blasius Candra, WALHI Kalimantan Barat Andi Kiki, Individu Korinna Horta, Ph.D., Urgewald, Germany Nasahar, Dewan AMAN NTB Jelson Garcia, Asia Program Manager, Bank Information Center Erwin Usman, WALHI Eksekutif Nasional/Ketua Badan Pengurus Nasional Koalisi Anti Utang-KAU) 9. Victor Mambor, Koordinator PJIK Foker LSM Papua 10. Dadang Sudardja, Aliansi Rakyat Untuk Citarum – ARUM 11. Rebecca Tarbotton, Executive Director (Acting), Rainforest Action Network 12. M. Zulficar Mochtar, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia 13. Virginia Ifeadiro, Nigeria 14. Titi Soentoro, Manila 15. Hisma Kahman, Individu 16. Kamardi, Direktorat Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat, AMAN 17. Natalie Bridgeman, Accountability Counsel, USA 18. Dedi Ratih, WALHI Eksekutif Nasional 19. Khalid Saifullah, Direktur Eksekutif WALHI Sumatra Barat 20. Among, KRuHA 21. Bustar Maitar, Forest Campaign, Team Leader, GREENPEACE South-east Asia 22. Tri Wibowo, individu 23. Anuradha Mittal, the Oakland Institute, Oakland, CA, USA 24. Molly Clinehens, International Accountability Project 25. Yon Thayrun, Executive Editor, Voice of Human Right Media 26. Kristen Genovese, Senior Attorney, Center for International Environmental Law 27. Edy Subahani, POKKER SHK, Kalimantan Tengah 28. Nasution Camang, Yayasan Merah Putih (YMP) Sulawesi Tengah 29. Ibrahim A. Hafid, Institut Transformasi Lokal (INSTAL) 30. Rizal Mahfud, Individu 31. Sirajuddin, Ketua BPH AMAN Sulawesi Selatan 32. Mahir Takaka, Wakil Sekretaris Jendral, AMAN 33. Haitami, Pengurus AMAN Bengkulu 34. Suryati Simanjuntak, KSPPM Parapat, Sumatra Utara
19
35. Arifin Saleh, Pengurus AMAN 36. Shaban Stiawan, Individu, Kalimantan Barat 37. Fien Jarangga, Individu, Papua 38. Frida Klasin, Individu, Papua 39. Anike Th Sabami, Individu, Papua 40. Bernadetha Mahuse, Individu, Papua 41. Bata Manurun, BPH Wilayah AMAN Tana Luwu 42. Irsyadul Halim, Kaliptra Sumatera, Riau 43. Don K. Marut, Direktur Eksekutif INFID 44. Arie Rompas, Walhi Kalimantan Tengah 45. Ahmad SJA, PADI Indonesia, Balikpapan, Kalimantan Timur 46. Thomas Wanly, Sampit, Kalimantan Tengah 47. Datuk Usman Gumanti, Ketua BPH AMAN Wilayah Jambi 48. Itan, Mitra Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah 49. Chabibullah, Serikat Tani Merdeka (SeTAM) 50. Asmuni, Sekretaris Jendral, SPKS Paser, Kalimantan Timur 51. Jazuri, Sekretaris Jendral, SPKS Tanjabar 52. Lamhot Sihotang, Sekretaris Jenrdal, SPKS Rokan Hulu Riau 53. Zuki, Sekretaris Jendral, SPKS Kabupaten Sekadau 54. Riko Kurniawan, Perkumpulan Elang Riau 55. Rano Rahman, Yayasan Betang Borneo, Kalimantan Tengah 56. Risma Umar, Solidaritas Perempuan (SP), Jakarta 57. Abdi Hayat, PERKUMPULAN SERABUT (SEKOLAH RAKYAT BUTUNI) 58. Mohammad Djauhari, Koordinator KpSHK, Bogor 59. Diana Gultom, Debtwatch Indonesia 60. Suzanne Jasper, First Peoples Human Rights Coalition, United States of America. 61. Jaya Nofyandry, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Lingkungan, Jambi 62. Jason Pan, TARA-Ping Pu, Taiwan 63. Thaifa Herizal, ST, Direktur Eksekutif, Atjeh Int'l Development 64. Hegar Wahyu Hidayat, Eksekutif Daerah WALHI Kalimantan Selatan 65. Fabby Tumiwa, Institute for Essential Services Reform (IeSR) 66. Puspa Dewy, Solidaritas Perempuan 67. Giorgio Budi Indrarto, Koordinator, Indonesia Civil Society Forum on Climate Justice 68. The Environment and Conservation Organisations of Aotearoa/NZ 69. Puspa Dewy, Solidaritas Perempuan 70. Leonardus Bagus, lPPSLH purwokerto 71. Chandra, WALHI Riau 72. Heny Soelistyowati, Program Manager - Komunitas Indonesia untuk Demokrasi 73. Agung Wardana, Nottingham 74. Haryanto, Belitung 75. M. Ali Akbar, Eknas WALHI 76. Mardiyah Chamim, Tempo Institute 77. Tandiono Bawor Purbaya, PHR Perkumpulan Huma 78. Arif Munandar, WALHI Jambi 79. Wirendro Sumargo, Forest Watch Indonesia 80. TM Zulfikar, individu 81. Hariansyah Usman, Direktur Eksekutif WALHI Riau 82. Ida Zubaidah, Direktur, Wahana peduli Perempuan Jambi/WPPJ 83. Ismet Soelaiman, Direktur, WALHI MALUT
20
84. Koesnadi Wirasapoetra, Sekretaris Jendral, Sarekat Hijau Indonesia 85. Teddy Hardiyansyah, Kabut Riau 86. Edo Rakhman, Direktur WALHI Sulawesi Utara 87. Asman Saelan, LBH Buton Raya 88. Wilianita Selviana, Direktur WALHI Sulawesi Tengah 89. R. Yando Zakaria, Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria./KARSA, Yogyakarta 90. Adrian Banie Lasimbang, President, Jaringan Orang Asal SeMalaysia (JOAS)/ Indigenous Peoples’ Network of Malaysia 91. Ramananda Wangkheirakpam, North East Peoples Alliance, North East India 92. Joan Carling, Asia Indigenous Peoples Pact, Thailand 93. Sandra Moniaga, Jakarta, Indonesia 94. Muliadi SE, Diretktur PETAK DANUM Kalimantan Tengah 95. Idham Arsyad, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 96. Mukri Friatna, Eksekutif Nasional WALHI 97. Sanday Gauntlett, PIPEC (Pacific Indigenous Peoples Environment Coalition) 98. Rizki Anggriana Arimbi, Deputi WALHI Sulawesi Selatan 99. Javier M. Claparols, Director, Ecological Society of the Philippines 100. Agustinus Agus, LBBT, Pontianak 101. Endah Karyani, individu 102. Happy Hendrawan, Komunitas Transformatif Kalimantan Barat 103. Maharani Caroline, Direktur, YLBHI - LBH Manado 104. Budi Karyawan, AMAN-NTB 105. Taufiqul Mujib, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) 106. Giring, Perkumpulan Pancur Kasih, Pontianak, Kalimantan Barat 107. Hironimus Pala, Yayasan Tananua Flores Ende NTT 108. Philipus Kami, JAGAT, NTT 109. Nikolaus Rima, AMATT Ende, NTT 110. Agus Sarwono,TiLe, Individu 111. Dickson Aritonang, Yayasan Ulayat Bengkulu 112. Mina Susana Setra, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 113. Alma Adventa, PhD, University of Manchester, UK 114. Marianne Klute, Watch Indonesia!, Jerman 115. Aidil Fitri, Yayasan Wahana Bumi Hijau - Sumatera Selatan, Indonesia 116. Anja Lillegraven, Rainforest Foundation Norway (RFN) 117. Judith Mayer, Ph.D., Coordinator, The Borneo Project, Earth Island Institute 118. Septer Manufandu, Forum Kerjasama LSM di Tanah Papua 119. Andik Hardiyanto, The Indonesian Social and Economic Rights Action Network 120. Hartono, WALHI Sulawesi Utara 121. Stephanie Fried, `Ulu Foundation 122. Sarah Lery Mboik, Individu (Anggota DPD RI Daerah Pemilihan NTT) 123. Julia Kam, Pontianak-Indonesia 124. Jupran Abbasri, Ketua Lembage Jurai Tue-Semende 125. Agapitus, AMAN Kalimantan Barat 126. Sainal Abidin, Perkumpulan WALLACEA Palopo 127. Macx Binur, Belantara Papua-Sorong 128. Sri Hartini, Walhi Kalimantan Barat 129. Ecologistas en Acción (Spain) 130. Muhammad Juaini, GEMA ALAM NTB 131. Budi Arianto, Banda Aceh, Indonesia 132. Solihin, Individu
21
133. 134. 135. 136.
Aylian Shiau, Kahabu Culture and Education Association of Nantou County Sultan Darampa, Sulawesi Channel Thomas Irawan Sihombing, Perkumpulan KABAN, KalBar Yohanes RJ, Sintang, Kalbar Indonesia
22