CATATAN ATAS LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT TAHUN 2011
D
PR
R
I
BPK memberikan opini “wajar Dengan Pengecualian (WDP)” atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2011. Opini tersebut diberikan terkait dengan adanya permasalahan dalam pelaksanaan dan pencatatan hasil IP atas aset tetap dan adanya kelemahan dalam pelaksanaan inventarisasi, perhitungan, dan penilaian terhadap aset eks BPPN.
TJ
EN
Jumlah temuan hasil pemeriksaan atas LKPP 2008
A.
KS AN AA N
AP
BN
–
SE
Hal yang membaik dari hasil pemeriksaan BPK atas LKPP 2011, antara lain jumlah temuan yang makin menurun. Jumlah temuan BPK berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap LKPP 2004 sampai dengan LKPP 2011 menunjukkan trend yang semakin berkurang (grafik1). Atas LKPP 2011, BPK menyampaikan 13 temuan terdiri dari 8 temuan hasil pemeriksaan sistem pengendalian intern dan 5 temuan hasil pemeriksaan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
Grafik 1.Perkembangan Jumlah Temuan BPK Atas LKPP Tahun 2004-2011
PE
LA
57
34
AN
D
34
AN
40
26
AR
18
18
IS A
AN
G
G
13
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
AN
AL
2004
BI R
O
Sumber: LKPP tahun 2007 - tahun 2011
B.
Hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Kementerian/ Lembaga (LKKL)
Jumlah Kementerian/ Lembaga (K/L) yang mendapat penilaian (opini pemeriksaan) yang lebih baik dari tahun sebelumnya meningkat tajam (ditunjukkan pada grafik 2). K/L yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP-termasuk dengan paragraf penjelasan) dari 53 pada tahun 2010 menjadi 64 pada tahun 2011. Delapan belas K/L dengan opini Wajar Dengan
1
Pengecualian (WDP), dan hanya 2 K/L yang mendapatkan opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP).
BN
–
SE
TJ
EN
D
PR
R
I
Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, maka dapat dirinci sebagai berikut: 51 K/L mampu mempertahankan kualitas laporan keuangannya, sehingga K/L tersebut tetap memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada tahun 2011. 13 K/L mampu memperbaiki kualitas laporan keuangannya sehingga mendapatkan opini yang lebih baik dari tahun sebelumnya. 5 K/L mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), sama dengan tahun sebelumnya. 1 K/L mengalami sedikit penurunan kualitas laporan keuangan, yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang mendapatkan opini WTP pada tahun 2010 sementara pada tahun 2011 mendapat opini WDP. 2 K/L mendapat opini Tidak Memberikan Pendapat (TMP), yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang masih tetap memperoleh opini TMP, dan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan yang baru diperiksa oleh BPK pada tahun 2011.
WDP
TMP
TW
KS AN AA N
WTP
AP
Grafik 2.Opini BPK atas LK Kementerian/Lembaga, 2007-2008
67
53
33
LA
45 30 28
26
1
18
8 0
2 0
2 0
AN
D
0
AN
15
11
29
PE
27
2008
2009
2010
2011
G
AR
2007
IS A
AN
G
Sumber : Diskusi hasil pemeriksaan atas LKPP Tahun 2008, 5 Okt 2009 Dan ringkasan eksekutif LHP BPK atas LKPP Tahun 2011
BI R
O
AN
AL
Dari fungsinya, K/L yang mendapatkan opini TMP pada tahun 2011 merupakan K/L yang secara langsung menentukan tingkat IPM Indonesia. Menjadi sesuatu yang ironis karena ketika upaya perbaikan pendidikan dengan mengalokasikan sejumlah anggaran yang cukup besar, namun dari sisi pengelolaan anggaran, K/L yang menangani bidang tersebut justru mengalami kelemahan dalam sistem pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundangan didalam mengelola keuangan dan penyajian laporan keuangannya.
C.
Permasalahan signifikan dalam LHP Sistem Pengendalian Intern dan kepatuhan tahun 2011
1.
PNBP sebesar Rp331.940,17 juta dan USD2.013.020,61 di 28 K/L terlambat/belum disetor, kurang/belum dipungut, dan digunakan langsung di luar
2
SE
TJ
EN
D
PR
R
I
mekanisme APBN, dengan rincian sebagai berikut : a. Sebesar Rp69.296,56 juta PNBP yang terlambat disetor ke kas negara minimal yang terjadi pada 15 KL. Selain itu, terdapat juga PNBP yang belum disetor ke Kas negara hingga akhir tahun 2011 sebesar Rp89.545,07 juta dan USD1,000,00.00 pada 12 KL. Pungutan PNBP yang belum disetor tersebut telah disetorkan ke kas negara hingga pemeriksaan berakhir sebesar Rp63.961,96 juta dan USD1,000,000.00 pada sembilan KL. b. PNBP yang kurang/belum dipungut/dibayar sebesar Rp12.357,66 juta dan USD1,013,020.61 juta yang terjadi pada sembilan KL. c. PNBP dan pungutan lainnya yang digunakan langsung di luar mekanisme APBN sebesar Rp159.405,87 juta pada sebelas KL d. Terdapat PNBP yang dipungut melebihi tarif yang ditetapkan sebesar Rp1.335,02 juta, tetapi telah disetor ke kas negara. Hal ini terjadi pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir. Penetapan Pajak Bumi dan Bangunan Minyak dan Gas Bumi (PBB Migas) atas areal Onshore Sebesar Rp3,96 Triliun Tidak Sesuai Dengan UU PBB dan UU Migas. Pada tahun 2011, DJP telah menerbitkan ketetapan rampung PBB Migas tahun 2011 sebesar Rp20,463.861,21 juta dan DJA melakukan pembayaran dengan mengajukan pemindahbukuan kepada DJPB dari Rekening 600.000411 ke Rekening Bank Operasional III melalui bank persepsi sebesar Rp20.276.871,77 juta. Hasil pemeriksaan terhadap penetapan PBB Migas atas permukaan bumi menunjukkan : a) Pemerintah mengenakan PBB Migas atas permukaan bumi pada areal onshore yang bukan objek pajak PBB dan yang telah dikenakan PBB sektor lainnya. b) Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang digunakan dalam perhitungan PBB Migas atas areal onshore tidak ditentukan melalui perbandingan harga tanah sekitarnya. Permasalahan di atas mengakibatkan: a. Realisasi PBB Migas atas permukaan bumi tahun 2011 sebesar Rp3.956.379,24 juta tidak menggambarkan perhitungan PBB yang sebenarnya; b. Adanya risiko pengalokasian Dana Bagi Hasil PBB dan PNBP Migas tidak sesuai dengan yang seharusnya; dan c. Adanya risiko biaya pemungutan atas penerimaan PBB yang diterima DJP tidak sesuai dengan yang seharusnya.
3.
Terdapat perbedaan realisasi penerimaan hibah yang dilaporkan dalam LRA LKPP dengan yang dilaporkan dalam LK BA 999.02 sebesar Rp183.943,45 juta yang tidak dapat dijelaskan. Dan penerimaan hibah langsung sebesar Rp292.429,29 juta dan USD781,985.00 pada 15 KL clan belanja yang bersumber dart hibah sebesar Rp311.297,3 juta dan USD776,963.23 pada 14 KL belum dilaporkan kepada BUN. Pemerintah Belum Menetapkan Status Pengelolaan Keuangan atas tujuh Perguruan Tinggi yang Status BHP-nya Telah Dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sampai dengan tahun 2011 berakhir, PP tentang PT BHMN belum dicabut dan peraturan penetapan sebagai BLU atas tujuh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) BHMN belum diterbitkan, tetapi pendapatan dan belanjanya menerapkan pola pengelolaan keuangan BLU yaitu dengan telah dilakukan pengesahan pendapatan dan belanja PNBP melalui penerbitan Surat Permintaan Pengesahan Pendapatan dan Belanja BLU (SP3B BLU) dan proses revisi DIPA, sedangkan pelaporan neraca menerapkan pola satker biasa. Ketidakkonsistenan pola pengelolaan keuangan dengan status hukum tujuh PT tersebut juga tergambar dari mekanisme pertanggungjawabannya. Untuk dua PT yang telah ditetapkan kekayaan awalnya, yaitu IPB dan UNAIR, kekayaan bersih per 31 Desember 2010 dilaporkan sebagai
BI R
O
4.
AN
AL
IS A
AN
G
G
AR
AN
D
AN
PE
LA
KS AN AA N
AP
BN
–
2.
3
kekayaan negara yang dipisahkan yaitu Investasi Permanen PMN BHMN dalam LKPP TA 2011. Sedangkan peningkatan nilai aktiva bersih pada tahun 2011 dikonsolidasikan seperti BLU pada umumnya melalui Laporan Keuangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (LK BA 023). Sementara itu, atas lima perguruan tinggi lainnya, DJPB meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengkonsolidasikan seluruh aset dan kewajiban dalam Neraca LK BA 023 per 31 Desember 2011. Penyelesaian Kesepakatan antara Pemerintah, BI, dan Perum Jamkrindo atas Risk Sharing Tunggakan KUT Tahun Penyediaan 1998/1999 Pola Channeling Sebesar Rp5,71 Triliun Berlarut-larut. Berdasarkan LHP BPK Nomor 091/LHP/XV/12/2010 tanggal 31 Desember 2010 diketahui dari nilai tunggakan sebesar Rp5.708.469,42 juta terdapat penyaluran yang tidak didukung dokumen lengkap sebesar Rp1.539.052,03 juta dan tunggakan yang komoditas serta biaya per hektar pada Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK) tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp510.225,57 juta. Sehingga sisanya sebesar Rp3.659.191,82 juta telah didukung dokumen lengkap serta komoditas dan biaya per hektar pada RDKK telah sesuai dengan ketentuan. BI melalui surat Nomor 13/3/GBI/DKBU tanggal 22 Juni 2011 meminta pemerintah untuk menindaklanjuti LHP BPK atas tunggakan KUT tersebut. Selanjutnya, dengan mendasarkan rapat konsultasi antara DPR dan Pemerintah c.q. Kementerian Keuangan dan Menteri Negara Koperasi & UKM dan Gurbenur BI tanggal 19 Mei 2004, Kementerian Keuangan mengkonfirmasi atas tindak lanjut verifikasi debitur KUT TP 1998/1999 kepada Menteri Negara Koperasi & UKM melalui surat Nomor S111796/PB/2011 tanggal 23 Desember 2011, surat Nomor S-696/PB/2012 tanggal 20 Januari 2012, dan terakhir dengan surat Nomor S-2493/MK.5/2012 tanggal 15 Maret 2012. Namun sampai dengan saat pemeriksaan BPK berakhir, belum terdapat tanggapan dari Kementerian Negara Koperasi & UKM.
6.
Terdapat Inkonsistensi Penggunaan Tarif Pajak dalam Perhitungan Pajak Penghasilan Minyak dan Gas Bumi (PPh Migas) dan Perhitungan Bagi Hasil Migas Sehingga Pemerintah Kehilangan Penerimaan Negara Minimal Sebesar Rp2,35 Triliun. Hasil pemeriksaan secara uji petik terhadap penerapan tarif PPh oleh KKKS dalam perhitungan bagi hasil dan kewajiban PPh Migas menunjukkan masih adanya ketidakkonsistenan KKKS dalam menggunakan tarif PPh, dengan rincian sebagai berikut. a. Praktik inkonsistensi penggunaan tarif pajak pada 23 KKKS untuk periode Januari s.d. November 2011 sehingga kontraktor memperoleh share lebih dari yang seharusnya dan Pemerintah memperoleh pendapatan yang lebih rendah sebesar selisih tarif PPh sesuai PSC sebesar USD80,707,298.66 (ekuivalen Rp731.853,78 juta). b. Berdasarkan hasil rekonsiliasi antara Financial Quarterly Report (FQR) dengan Laporan PSC 7.1 dan 7.2 yang dilakukan BPMIGAS, terdapat tujuh KKKS untuk Tahun Pajak 2009 dan 27 KKKS untuk Tahun Pajak 2010 yang kurang bayar PPh Migas karena adanya penggunaan tax treaty dalam penyetoran pajaknya sehingga pendapatan Pemerintah lebih rendah minimal sebesar USD136,192,984.51 (ekuivalen Rp1.234.997,98 juta) untuk Tahun Pajak 2010 dan USD42,720,455.06 (ekuivalen Rp387.389,09 juta) untuk Tahun Pajak 2009.
BI R
O
AN
AL
IS A
AN
G
G
AR
AN
D
AN
PE
LA
KS AN AA N
AP
BN
–
SE
TJ
EN
D
PR
R
I
5.
7.
Pengelolaan PPh Migas Tidak Optimal Sehingga Hak Pemerintah atas PPh Migas dan Sanksi Administrasi Sebesar Rp747,08 Miliar Belum Dapat Direalisasikan. Permasalahan di atas mengakibatkan belum direalisasikannya hak Pemerintah dari PPh Migas dari basil rekonsiliasi FQR dan Laporan PSC 7.1 dan 7.2 sebesar
4
USD10,152,399.48 (USD5,140,839.07 + USD5,011,560.41) atau ekuivalen Rp92,061,96 juta dan sanksi administrasi sebesar USD72,233,933.00 (ekuivalen Rp655.017,31 juta). Aset Tetap dalam Neraca LKPP Senilai Rp4,13 Triliun Belum D il a k uk a n I nv e n t a ri s a s i dan P e n il a i a n ( IP ) di S e p ul u h K e m e nt e ri a n Negara/Lembaga (KL), Masih Selisih Senilai Rpl,54 Triliun dengan Laporan Hasil IP di 40 KL, Dicatat Ganda Senilai Rp3,88 Triliun di Tiga KL, Tidak Diketahui Keberadaannya Senilai Rp6,89 Triliun di 14 KL, dan Tanah Jalan Nasional yang Dicatat Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Senilai Rp109,06 Triliun Tidak Dapat Diyakini Kewajarannya. Permasalahan di atas mengakibatkan Aset Tetap dalam Neraca LKPP Tahun 2011 belum disajikan secara wajar sebesar Rp125.494.716,51 juta (Rp4.129.675,61 juta + Rp1.535.138,21 juta + Rp109.056.654,13 juta + Rp3.883.163,12 juta + Rp6.890.085,44 juta) dan berpotensi menjadi sengketa dikemudian hari senilai Rp82.061.289,72 juta (Rp81.058.386,57 juta + Rp1.002.903,15 juta).
9.
Pelaksanaan IP atas Aset KKKS Belum Memperhitungkan Kelayakan Kapitalisasi Subsequent Expenditure dan Kewajaran Penilaian Aset Scrap serta Pengelolaannya Belum Sesuai Aturan. Sampai dengan akhir tahun 2011, Pemerintah telah menyelesaikan IP aset atas 76 KKKS (seluruh KKKS), dengan rincian 26 KKKS pada tahun 2010 dan 50 KKKS pada tahun 2011. Hasil pemeriksaan BPK atas pengelolaan Aset KKKS Tahun 2011 mengungkapkan kelemahan dalam penatausahaan aset KKKS dan pengendalian terkait pelaksanaan IP Aset KKKS Pengelolaan dan penatausahaan aset KKKS tidak optimal; dan Cost Recovery atas biaya pemeliharaan aset-aset yang siap dihapuskan meningkat.
LA
KS AN AA N
AP
BN
–
SE
TJ
EN
D
PR
R
I
8.
IS A
AN
G
G
AR
AN
D
AN
PE
10. Pelaksanaan Inventarisasi dan Perhitungan Aset Eks Badan enyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Tidak Berdasarkan Dokumen yang Valid Sehingga Aset Eks BPPN Senilai Rp38,12 Triliun Tidak Dapat Diyakini Kewajarannya. Pada tahun 2011, DJKN melakukan inventarisasi dan perhitungan ulang berdasarkan Keputusan Dirjen Kekayaan Negara Nomor KEP-144/KN/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Inventarisasi Aset Kredit, Inventarisasi dan Penilaian Aset Properti Eks BPPN. Pelaksanaan inventarisasi dan perhitungan ulang tersebut mengakibatkan nilai Aset Eks BPPN yang disajikan dalam Neraca LKPP Tahun 2011 menjadi sebesar Rp67.543.984,47 juta atau meningkat sebesar Rp38.340.937,27 juta.
BI R
O
AN
AL
11. Penetapan PP Penyertaan Modal Negara (PMN) atas Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS) Berlarut-larut dan Metode Penetapan Nilainya dalam PP PMN Dapat Berbeda dengan Nilai Penyerahan Awal. BPK menemukan permasalahan-permasalahan BPYBDS sebagai berikut. a. Nilai BPYBDS terus menerus bertambah dari tahun ke tahun dan belum ada mekanisme yang memadai untuk mempercepat penetapan BPYBDS dalam PP PMN. b. DJKN selaku Unit Akuntansi Pembantu Bendahara Umum Negara (UAP-BUN)- Investasi Pemerintah tidak dilibatkan pada tahap perencanaan kebutuhan dan penganggaran, tahap pengadaan, penggunaan, dan pemanfaatan pada proyek-proyek pengadaan BMN pada KL yang diperuntukkan sebagai PMN pada BUMN. Selain itu, DJKN sering terlambat memperoleh informasi mengenai proyek-proyek KL yang diperuntukkan sebagai PMN pada BUMN; c. Terdapat proyek yang tidak tepat dianggarkan sebagai BMN yang akan diserahkan kepada
5
SE
TJ
EN
D
PR
R
I
BUMN karena bersifat multiyears dan multifinancing. Sifat tersebut menyulitkan pencatatan BMN di KL dan proses serah terima kepada BUMN, serta perbedaan perlakuan akuntansi sebagai ekuitas di LK BUMN; d. Nilai proyek Induk Pembangkit dan Jaringan (Inkitring) sebesar Rp9.798.755,87 juta dilaporkan sebagai KDP pada Laporan Keuangan Kementerian ESDM dan dilaporkan sebagai BPYBDS pada Laporan Keuangan BUMN PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Proyek tersebut belum diserahterimakan dari Kementerian ESDM kepada PT PLN karena bersifat multiyears. Proyek Inkitring merupakan proyek multiyears dan multifinancing dari APBN, loan dan anggaran PT PLN. e. Mekanisme belanja dalam rangka BPYBDS adalah Kementerian ESDM memberikanfresh money kepada PT PLN untuk menyelenggarakan proyek Inkitring. Proses perencanaan, pengadaan, pelaksanaan dan penatausahaan administrasi dikerjakan oleh PT PLN; dan f. Terdapat perbedaan nilai basil reviu BPKP dibanding nilai BASTO.
KS AN AA N
AP
BN
–
Permasalahan di atas disebabkan Pemerintah dhi. DJKN selaku pengelola barang dan UAPBUN - Investasi Pemerintah tidak mempunyai kontrol yang memadai terhadap BUMN dan Kementerian terkait yang mempunyai proyek yang diperuntukkan menjadi PMN pada BUMN.
BI R
O
AN
AL
IS A
AN
G
G
AR
AN
D
AN
PE
LA
12. Sistem Pertanggungjawaban dan Pelaporan Lembaga Non Struktural, Yayasan, dan Badan Lainnya dalam LKPP Belum Diatur Secara Konsisten dan Komprehensif. Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat diketahui bahwa Sistem Akuntansi Badan Lainnya (SABL) belum mengatur seluruh transaksi lingkup UBL, dengan penjelasan sebagai berikut. a. Pemerintah perlu mengaji pengakuan aset UBL sebagai investasi pemerintah karena sifatnya tidak sesuai dengan kriteria investasi sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004. b. Identifikasi/inventarisasi atas entitas/organisasi yang memenuhi kriteria UBL belum selesai dilaksanakan. c. SABL belum mengatur pertanggungjawaban dan pelaporan penerimaan dan belanja Non APBN TA 2011 pada beberapa UBL berbentuk satker yang juga mengelola dana di luar APBN; d. BPMIGAS merupakan salah satu badan yang ditetapkan sebagai UBL, tetapi kekayaan BPMIGAS merupakan kekayaan Negara yang dipisahkan berdasarkan PP Nomor 42 Tahun 2002 tentang BPMIGAS; e. Terdapat lima badan lainnya yang sudah dilaporkan dalam ILK pada LKPP TA 2011, tetapi per 31 Desember 2011 belum ditetapkan sebagai UBL yaitu Dewan Ketahanan Pangan (DKP), Komite Privatisasi Perusahaan, Otorita Asahan, Yayasan Gedung Veteran "Graha Purna Yudha", dan Yayasan Bumi Bakti; dan f. Penyajian Aset UBL sebagai aset yang dibatasi penggunaannya belum dikonsistenkan dengan pengelolaan dana sejenis. Permasalahan di atas mengakibatkan penyajian Unit Badan Lainnya (UBL) pada LKPP belum memberikan informasi yang jelas atas unit organisasi pada Pemerintah Pusat yang termasuk dalam UBL.
13. Terdapat Selisih Nilai Saldo Anggaran Lebih (SAL) antara Fisik dengan Catatan Tahun 2011 Sebesar Rp17,43 Miliar Berdasarkan Catatan C.2.46, SAL setelah penyesuaian hasil pemeriksaan atas saldo kas,
6
Penyusun : Titik Kurnianingsih
BI R
O
AN
AL
IS A
AN
G
G
AR
AN
D
AN
PE
LA
KS AN AA N
AP
BN
–
SE
TJ
EN
D
PR
R
I
saldo fisik kas per 31 Desember 2011 adalah sebesar Rp105.341.875,06 juta sehingga lebih besar sebesar Rp17.425,25 juta dari catatannya. Selisih antara fisik dan catatan SAL tersebut diantaranya terjadi karena hal-hal sebagai berikut. a. Terdapat akumulasi Uang Persediaan (UP) yang sudah digunakan oleh Kementerian Luar Negeri sebesar Rp99,879,81 juta, tetapi belum dipertanggungjawabkan. b. Saldo Kas di Bendahara Pengeluaran yang disajikan pada Neraca tidak dapat dibandingkan dengan nilai mutasi anggaran transito. Saldo Kas di Bendahara Pengeluaran per 31 Desember 2011 mengalami penurunan sebesar Rp226.127,25 juta, tetapi mutasi transito selama tahun 2011 sebesar Rp219.674,49 juta sehingga terdapat perbedaan sebesar Rp6.452,76 juta; c. Belum efektifnya rekonsiliasi realisasi belanja antara Sistem Akuntansi Umum (SAU) dan Sistem Akuntansi Instansi (SAI) sehingga masih terdapat selisih sebesar Rp47.504,35 juta. d. Masih terdapat selisih kurang antara nilai transaksi penerimaan KU dengan transaksi pengeluaran KU sebesar Rp12,521,44 juta. Jumlah SAL menurut catatan yang disajikan dalam LKPP seharusnya sama dengan rincian saldo rekening-rekening tempat penyimpanan dana SAL. Permasalahan di atas mengakibatkan nilai SAL yang disajikan pada Neraca LKPP per 31 Desember 2011 tidak dapat diyakini kewajarannya.
7