ANALISA TERHADAP OPINI DISCLAIMER BPK-RI ATAS LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT (LKPP) TAHUN 2007
Abstrak
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kembali memberikan opini disclaimer atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2007. Opini tersebut merupakan ke empat kalinya semenjak LKPP Tahun 2004. BPK menilai opini hasil pemeriksaan BPK yang terus menerus buruk seperti ini menggambarkan bahwa hampir belum ada kemajuan pemerintah pusat dalam peningkatan transparansi dan akuntabilitas keuangan Negara. Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap LKPP Tahun 2007, BPK menyampaikan 34 temuan, terdiri dari 27 (dua puluh tujuh) temuan hasil pemeriksaan terhadap Sistem Pengendalian Intern (SPI) dan 7 (tujuh) temuan hasil pemeriksaan atas kepatuhan terhadap undang-undang. Secara umum, jumlah temuan BPK berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukannya terhadap LKPP 2004, 2005 dan 2006 menunjukkan trend yang semakin menurun, namun, temuan berulang cenderung lebih banyak dibandingkan dengan temuan-temuan baru. Sebagian besar temuan yang berulang dalam LKPP Tahun 2007 terjadi karena kelemahan dalam hal administrasi. Namun kelemahan administrasi ini berpotensi menyebabkan terjadinya penyalahgunaan, hilang, tertundanya pemanfaatan dana oleh pemerintah dan/ atau pemanfaatan dana yang tidak optimal. Selain itu, terdapat 3 (tiga) temuan yang belum ditindaklanjuti. Temuan tersebut adalah investasi permanen pada Bank Indonesia, pengendalian atas realisasi belanja bantuan sosial dan pengeluaran dari rekening pemerintah lainnya. Sementara itu juga terdapat dua temuan yang perlu untuk segera ditindaklanjuti yaitu temuan tentang pajak dan rekening pemerintah yang belum ditetapkan statusnya. Kedua temuan tersebut berpotensi menambah penerimaan negara.
I. Pendahuluan
Sejak tahun 2004 s.d tahun 2007, Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK RI)
telah
memberikan opini disclaimer atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Dalam sambutan pada rapat paripurna penyampaian hasil pemeriksaan LKPP Tahun 2007, Ketua BPK RI menyatakan bahwa opini hasil pemeriksaan BPK yang terus menerus buruk seperti ini menggambarkan bahwa hampir belum ada kemajuan pemerintah pusat dalam peningkatan transparansi dan akuntabilitas keuangan Negara.
Kelambanan
1
pembangunan sistem keuangan Negara sekaligus mencerminkan kurangnya upaya pemerintah untuk mengurangi terjadinya penyalahgunaan maupun korupsi keuangan dan aset Negara.
Ketua BPK lebih lanjut menyebutkan bahwa BPK yang tidak menyatakan pendapat atas LKPP selama empat tahun berturut-turut menunjukkan rendahnya tingkat perbaikan di sisi manajemen dan administrasi.
Adanya beberapa kelemahan dalam LKPP Tahun
2007 menyebabkan BPK tidak dapat memberikan opini tentang risiko fiskal pemerintah. Temuan BPK sehubungan dengan Sistem Pengendalian Intern keuangan negara menunjukkan bahwa proses penyusunan LKPP tidak sesuai dengan sistem akuntansi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah sendiri. Masih banyaknya jumlah temuan yang mengindikasikan pengelolaan keuangan negara yang tidak sesuai aturan perundangan, serta banyaknya temuan berulang, menunjukkan kelambatan pemerintah dalam memperbaiki administrasi keuangannya sesuai rekomendasi dan saran kebijakan BPK RI.
Box 1 : Opini BPK RI Terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2007 BPK memberikan opini “tidak menyatakan pendapat” atau disclaimer terhadap hasil pemeriksaan LKPP Tahun 2007 dengan tujuh alasan, yaitu : 1. Terbatasnya akses BPK RI atas informasi tentang penerimaan dan piutang pajak dan biaya perkara yang dipungut oleh Mahkamah Agung sehingga tidak dapat menyatakan pendapat mengenai 70 persen lebih dari sumber penerimaan Negara. 2. Adanya kelemahan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan Negara. Salah satu penyebab terjadinya kelemahan tersebut adalah karena terbatasnya sumber daya manusia yang handal dalam administrasi keuangan negara, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. 3. Belum tertibnya penempatan uang negara dan belum adanya single treasury account pemerintah. 4. Tidak adanya inventarisasi aset serta utang maupun piutang negara. 5. Belum handal dan terintegrasinya sistem teknologi informasi negara. 6. Kelemahan sistem pengendalian internal pemerintah yang belum mampu melakukan reviu kebenaran laporan keuangan sebelum diperiksa BPK RI. 7. ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan masih adanya penerimaan dan pengeluaran di luar mekanisme APBN. Sumber : sambutan ketua BPK RI pada Rapat Paripurna penyampaian pemeriksaan BPK RI atas LKPP Tahun 2007
hasil
2
Berikut beberapa hal penting yang harus diperhatikan berkaitan dengan Laporan keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2007 : Pertama, kelemahan pengelolaan keuangan pemerintah pusat terjadi baik pada sisi penerimaan maupun belanja.
Pada sisi penerimaan negara terutama terdapat
kelemahan pada sistem pencatatan dan pelaporan penerimaan yang tidak akurat, penerimaan yang tidak dilaporkan secara transparan bahkan tidak dilaporkan dalam laporan realisasi, dan realisasi penerimaan yang tidak disetor langsung sesuai mekanisme APBN. Sedangkan pada sisi belanja negara, BPK menemukan adanya kelemahan seperti tidak adanya bukti yang valid dari realisasi belanja Negara, pembelanjaan di luar mekanisme APBN serta sistem penyaluran, pencatatan, dan pelaporan realisasi belanja bantuan sosial tidak memadai. Kedua, di sisi penerimaan hambatan besar justru terjadi pada sumber penerimaan negara terbesar yakni penerimaan pajak, piutang dan penerimaan migas. Dari tahun 2004 sampai dengan 2007, BPK tidak meyakini kewajaran piutang pajak yang disajikan dalam LKPP. Selain itu, sistem pencatatan dan pelaporan penerimaan perpajakan tidak dapat menyajikan data realisasi penerimaan perpajakan yang akurat sehingga realisasi penerimaan perpajakan yang merupakan sumber penerimaan negara terbesar tidak dapat diyakini kewajarannya. Ketiga, meskipun jumlah temuan terus berkurang akan tetapi jumlah temuan berulang masih lebih banyak dari temuan baru. Lebih lagi temuan berulang ternyata terjadi pada pengendalian intern aset.
Rendahnya pengendalian terhadap aset berpotensi
menimbulkan penyimpangan/penyalahgunaan wewenang bahkan kehilangan aset tersebut.
II. Temuan BPK Atas LKPP Tahun 2007
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap LKPP Tahun 2007, BPK menyampaikan 34 temuan, terdiri dari 27 (dua puluh tujuh) temuan hasil pemeriksaan terhadap Sistem Pengendalian Intern (SPI) dan 7 (tujuh) temuan hasil pemeriksaan atas kepatuhan terhadap undang-undang. Temuan-temuan BPK terhadap LKPP tahun 2007 terlampir.
3
Jumlah temuan dalam LKPP Tahun 2007 sama dengan jumlah temuan pada tahun 2006.
Secara umum, jumlah temuan BPK berdasarkan hasil pemeriksaan yang
dilakukan terhadap LKPP 2004, 2005 dan 2006 menunjukkan trend yang semakin menurun. Tabel 1 menunjukkan jumlah temuan BPK dari tahun 2004 sampai dengan 2007. Namun, temuan berulang cenderung lebih banyak dibandingkan dengan temuantemuan baru. Temuan berulang cenderung menunjukkan trend meningkat sedangkan temuan baru cenderung menunjukkan trend yang menurun, seperti ditunjukkan dalam grafik 1. Berikut
beberapa catatan penting dari temuan BPK seperti dibahas pada
bagian berikut ini.
Tabel 1. Jumlah temuan, tindak lanjut dan jenis temuan LKPP Tahun 2004 s.d 2007* No.
LKPP
Jumlah Temuan
1. 2. 3. 4.
Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007
57 40 34 34
Tindak lanjut Jenis Temuan Belum Sedang Selesai Berulang Baru 0 31 26 0 57 1 33 6 16 24 2 30 2 20 14 19 15
Sumber : Laporan Pemantauan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Atas LKPP Tahun 2004-2006
* Catatan: Untuk tahun 2004 s.d 2006, jumlah temuan, tindak lanjut dan jenis temuan berdasarkan laporan pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan atas LKPP tahun 2004-2006 pada halaman ii. Sedangkan untuk jumlah temuan tahun 2007 berdasarkan hasil pemeriksaan LKPP tahun 2007, namun untuk jenis temuan merupakan inventarisir terhadap temuan BPK atas LKPP tahun 2007.
4
Grafik 1. Jumlah Temuan Berulang dan Baru, Tahun 2004-2007
Jumlah Temuan
60 50
57
B
40 30 24
20 10 0
16
20 14
19 15
2005
2006
2007
A 0 2004
Tahun A : Temuan berulang
B : Temuan baru
Sumber : Tabel 1. Jumlah temuan, tindak lanjut, dan jenis temuan LKPP Tahun 2004-2007
a. Jumlah Temuan Berulang di Tahun 2007 Lebih Banyak Dalam sambutannya1, Ketua BPK RI menyatakan bahwa sebagian besar permasalahanpermasalahan dalam temuan-temuan atas LKPP Tahun 2007 merupakan temuantemuan yang berulang.
Hal ini mencerminkan kelambatan Pemerintah untuk
memperbaiki administrasi keuangannya sesuai dengan rekomendasi dan saran kebijakan hasil pemeriksaan BPK RI atas LKPP Tahun 2004-2006. (Temuan yang berulang pada LKPP Tahun 2007 terlampir). Dari tabel 1 di atas terlihat bahwa jumlah temuan yang berulang pada tahun 2007 memang relatif menurun setelah pada tahun-tahun sebelumnya cenderung meningkat. Namun bila dibandingkan dengan jumlah temuan baru, jumlah temuan yang berulang pada LKPP Tahun 2007 memang lebih banyak. Dilihat dari sebab dan akibat yang ditimbulkan, sebagian besar temuan yang berulang dalam LKPP Tahun 2007 terjadi karena kelemahan dalam hal administrasi seperti kelambatan penyetoran, kelemahan sistem informasi dan kelemahan pencatatan. Namun kelemahan administrasi ini selain mengakibatkan ketidakwajaran atau tidak dapat diyakininya realisasi atau pos dalam neraca per 31 Desember 2007,
1
Sambutan ketua BPK RI dalam Rapat Paripurna penyampaian hasil pemeriksaan BPK kepada DPR tanggal 3 Juni 2008.
5
juga berpotensi menyebabkan terjadinya penyalahgunaan, hilang, tertundanya pemanfaatan dana oleh pemerintah dan/ atau pemanfaatan dana yang tidak optimal. b. Temuan Yang Belum Ditindaklanjuti2
Tidak semua temuan telah ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan cepat. Dari tabel 1 di atas terlihat bahwa dari LKPP tahun 2004 sampai dengan LKPP tahun 2006 terdapat 3 (tiga) temuan yang belum ditindaklanjuti. Temuan tersebut adalah : 1. Investasi permanen lainnya pada Bank Indonesia yang tidak jelas statusnya padahal jumlahnya mencapai Rp 130 triliun. Sesuai Undang-undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang telah diubah dengan undang-undang No.3 tahun 2004, Modal awal BI ditetapkan sekurang-kurangnya Rp 2.000.000 juta. Hingga per 31 Desember 2005, nilai modal BI berkembang menjadi Rp130.226.559 juta. Mendasarkan pada Undang-undang BI, Pemerintah menganggap bahwa kekayaan negara yang dipisahkan di BI tersebut milik pemerintah dan menyajikannya sebagai investasi pemerintah di neraca Pemerintah pusat per 31 desember 2005 sebesar Rp130.226.559 juta. Hal tersebut mengakibatkan tidak ada kepastian hukum atas kekayaan negara yang dipisahkan. Padahal nilainya sangat besar yakni lebih dari Rp 130 triliun. 2. Pengendalian atas realisasi belanja bantuan sosial tidak memadai sehingga berpotensi merugikan masyarakat dan terjadi penyalahgunaan. Dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA) APBN untuk tahun yang berakhir 31 Desember 2006 menunjukkan realisasi Bantuan Sosial TA 2006 sebesar Rp 40.708.566,19 juta. Berdasarkan hasil pemeriksaan, pengendalian atas penyaluran bantuan sosial secara block grant tersebut mengandung kelemahan sebagai berikut: a. Bantuan sosial yang telah direalisasikan TA 2006 namun sampai dengan 31 Desember 2006 belum seluruhnya disalurkan.
2 Penulisan analisa ini didasarkan pada LKPP Tahun 2004 s.d 2007 dan sambutan Ketua BPK RI. Sesuai dengan mekanisme tindak lanjut BPK, maka Pemerintah akan menindaklanjuti temua-temuan yang dilaporkan BPK. Dengan demikian, setelah analisa selesai dilakukan dimungkinkan proses tindak lanjut terhadap temuan BPK tersebut sedang berjalan atau bahkan telah selesai ditindaklanjuti.
6
b. Penerima bantuan sosial tidak menyampaikan pertanggungjawaban atas bantuan yang telah diterimanya antara lain terjadi pada Departemen Pendidikan Nasional. Hal
ini
mengakibatkan
:
a.
Penyaluran
belanja
sosial
belum
diketahui
penggunaannya dan menyulitkan pengendalian dan pengawasannya; b. Timbul potensi penyalahgunaan penggunaan dana bantuan sosial; dan c. Realisasi belanja bantuan sosial tidak dapat diyakini kewajarannya.
3. Pengeluaran dari rekening pemerintah lainnya tidak melalui mekanisme APBN. Dalam LKPP Tahun 2006 disajikan saldo Rekening Pemerintah Lainnya (RPL) di BI per 31 Desember 2006 sebesar Rp12.331.109,27 juta. Dari hasil pemeriksaan atas transaksi RPL, yaitu rekening nomor 600.000411 (Rekening Migas) dan rekening nomor 508.000084 (Rekening Panas Bumi), selama tahun 2006 menunjukkan adanya pengeluaran di luar mekanisme APBN sebesar Rp9.414.963,76 juta yaitu: a. Pembayaran reimbursement Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kepada para kontraktor Kontrak Production Sharing (KPS) sebesar Rp5.286.031,26 juta. b. Pembayaran Dana Cadangan Operasional BP Migas sebesar Rp397.659,23 juta c. Pembayaran fee pemasaran migas tahun 2005 kepada Pertamina sebesar Rp3.716.833,43 juta. d. Pembayaran reimbursement PPN kepada para kontraktor pengusaha panas bumi sebesar Rp14.439,84 juta. Hal ini mengakibatkan pengeluaran-pengeluaran dari Rekening Migas dan Rekening Panas Bumi senilai Rp9.414.963,76 juta tidak dipertanggungjawabkan. Permasalahan pertama merupakan temuan pada LKPP Tahun 2005, sedangkan dua permasalahan terakhir merupakan temuan pada LKPP tahun 2006. Ketiga temuan yang belum ditindaklanjuti tersebut berakibat signifikan terhadap keuangan negara karena berpotensi mengakibatkan penyalahgunaan penggunaan.
c. Temuan yang Perlu Segera Ditindaklanjuti sehingga Berpotensi Meningkatkan Penerimaan Negara Temuan yang perlu segera ditindaklanjuti merupakan temuan yang sudah berulang terjadi dari Tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 serta berpotensi signifikan terhdap keuangan negara. Temuan-temuan tersebut antara lain :
7
1. Temuan tentang pajak. Salah satu permasalahan yang dihadapi BPK adalah pembatasan terhadap ruang lingkup pemeriksaan objek pajak sehingga BPK tidak dapat menerapkan prosedur pemeriksaan yang memadai atas penerimaan perpajakan dan piutang pajak, padahal lebih dari 70 persen sumber penerimaan negara berasal dari pajak.
Sesuai Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, BPK dapat memperoleh dokumen perpajakan setelah mendapat izin
dari
Menteri
Keuangan.
Untuk
itu,
BPK
dengan
Surat
Nomor
59/ST/IVXII.1/03/2007 tanggal 2 Maret 2007 telah meminta izin kepada Menteri Keuangan untuk mendapatkan keterangan dan bukti tertulis mengenai perpajakan. Namun Menteri Keuangan belum memberikan izin sehingga BPK tidak dapat menerapkan prosedur pemeriksaan yang memadai atas penerimaan dan piutang pajak tahun 2005 dan 2006. Hal yang sama juga terjadi untuk tahun 2007. Dengan adanya pembatasan tersebut maka nilai penerimaan perpajakan dan piutang pajak untuk tahun 2005, 2006 dan 2007 senilai Rp1.353,93 triliun tidak dapat diyakini kewajarannya. Dimungkinkan adanya potensi penerimaan yang lebih besar jika ruang lingkup pemeriksaan terhadap penerimaan dan piutang perpajakan tidak lagi dibatasi3.
2. Rekening Pemerintah yang belum ditetapkan statusnya Hasil pemeriksaan BPK terhadap LKPP Tahun 2004 dan Tahun 2005 menunjukkan adanya 1.303 rekening senilai Rp8.537.735,91 juta yang belum diungkapkan dalam 35 Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga dan LKPP. Rekening tersebut terdiri dari 680 rekening giro senilai Rp7.220.263,83 juta dan 623 rekening deposito senilai Rp1.317.472,08 juta.
Untuk itu Departemen Keuangan melakukan tindak lanjut dengan melakukan klarifikasi kepada 35 Kementerian/ Lembaga tersebut pada Agustus 2006 sampai 3
Angka tersebut merupakan penjumlahan piutang dan penerimaan perpajakan berdasarkan temuan BPK atas LKPP tahun 2005 s.d 2007.
8
dengan Februari 2007. Hasil klarifikasi mendapatkan tambahan sebanyak 1.892 rekening senilai Rp9.057.189,18 juta. Tindak lanjut penyelesaian dilakukan berdasarkan karakteristik rekening, dan rekening-rekening yang telah ditutup digunakan sebagai sumber pembiayaan APBN TA 2006 sebesar Rp5.055.462,94 juta. Departemen Keuangan juga telah mengungkapkan 3.195 rekening4 dalam Catatan Atas laporan Keuangan Tahun 2006.
Selanjutnya dalam pemeriksaan LKPP Tahun 2006, BPK melakukan konfirmasi kepada 88 bank. Berdasarkan konfirmasi tersebut, sebanyak 50 bank telah memberikan jawaban konfirmasinya yaitu selain rekening yang sudah diungkapkan dalam LKPP Tahun 2006, terdapat 2.136 rekening giro milik Pemerintah senilai Rp2.560.469,62 juta dan 260 rekening deposito milik Pemerintah senilai Rp144.316,88 juta yang juga belum dilaporkan dalam LKPP Tahun 2006. Untuk permasalahan tersebut BPK rekening-rekening terkait.
menyarankan agar Pemerintah menertibkan
Pemerintah menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK
tersebut dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menerbitkan
PP
Nomor
39
Tahun
2007
tentang
Pengelolaan
Uang
Negara/Daerah sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. b. Menerbitkan tiga peraturan Menteri Keuangan, yaitu: 1) PMK
Nomor
57/PMK.05/2007
tentang
Pengelolaan
Rekening
Milik
Kementerian Negara /Lembaga/Kantor/Satuan Kerja. 2) PMK Nomor 58/PMK.05/2007 tentang Penertiban Rekening Pemerintah Pada Kementerian Negara/Lembaga. 3) PMK Nomor 67/PMK.05/2007 tentang Pengenaan Sanksi Dalam Rangka Pengelolaan dan Penertiban Rekening Pemerintah Pada Kementerian Negara/Lembaga/Kantor/Satker. c. Untuk mengimplementasikan langkah penertiban tersebut, Menteri Keuangan telah membentuk Tim Penertiban Rekening Pemerintah sesuai Keputusan Menteri Keuangan No. 254/KMK.05/2007.
4
3.195 rekening merupakan penjumlahan dari 1.303 rekening di tahun 2004 dan 2005 dan 1.892 rekening hasil klarifikasi.
9
Berdasarkan Laporan Akhir Tim Penertiban Rekening Pemerintah per 31 Desember 2007, diketahui bahwa terdapat 2.086 rekening yang telah ditutup, 26.553 rekening yang disetujui untuk digunakan sementara/permanen dan masih terdapat 3.931 rekening dengan nilai Rp10.228,26 miliar dan US$391,45 ribu yang belum selesai pembahasannya, sehingga rekening-rekening tersebut belum dapat ditetapkan statusnya saat ini. Penetapan status rekening-rekening tersebut berpotensi mempengaruhi posisi kas dan Bank di neraca.
Selanjutnya, terhadap LKPP Tahun 2007, BPK melakukan pemeriksaan atas pengelolaan rekening Pemerintah pada 32 kementerian negara/lembaga setelah dilakukan penertiban oleh Pemerintah. Hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan adanya kelemahan-kelemahan pengendalian intern.
Jika kelemahan-kelemahan
pengendalian intern terkait dengan pengelolaan dan penertiban rekening secara komprehensif dapat diselesaikan maka dimungkinkan terdapat sekitar Rp3.887,45 miliar; US$17,096 juta; AUS$0,45 juta dan DKK3,00 juta yang dapat menambah kas negara selain Rp16.276,20 miliar yang ditempatkan di luar Bank Indonesia serta Rp180,17 miliar dan US $1,87 juta yang belum memperoleh ijin BUN5.
Masih banyak rekening-rekening pemerintah yang belum ditentukan statusnya dan adanya kelemahan-kelemahan pengendalian intern terkait pengelolaan dan penertiban rekening pemerintah mengakibatkan posisi Kas dan Bank yang dilaporkan dalam Neraca Pemerintah Pusat per 31 Desember 2007 tidak dapat diyakini kewajarannya.
5
Angka tersebut merupakan penjumlahan dari hasil pemeriksaan BPK atas LKPP tahun 2007 terhadap temuan rekening pemerintah yang belum ditertibkan (hal 46).
10