RELEVANSI MODEL PSC MODIFIKASI REVENUE TO COST INDEX(R/C) PADA KERJASAMA MIGAS DI INDONESIA
TUGAS AKHIR
Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNIK pada Program Studi Teknik Perminyakan
PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN FAKULTAS TEKNIK PERTAMBANGAN DAN PERMINYAKAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2010
RELEVANSI MODEL PSC MODIFIKASI REVENUE TO COST INDEX(R/C) PADA KERJASAMA MIGAS DI INDONESIA
TUGAS AKHIR
Oleh: YUYUS BAHTIAR NIM 12203035
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar SARJANA TEKNIK pada Program Studi Teknik Perminyakan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung
Disetujui oleh: Dosen Pembimbing Tugas Akhir, Tanggal……………………………..
(Dr. Ir. Arsegianto)
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamiin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta petunjuk dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir dengan baik dan sekaligus mengakhiri masa studi penulis di Program Studi Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung.
Pengerjaan dan penulisan Tugas Akhir ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, pengarahan, dan motivasi berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak dan Ibu penulis tercinta, yang selalu ada di saat penulis membutuhkan mereka. Di saat penulis merasa telah begitu dalam mengecewakan mereka, ternyata mereka masih menaruh harapan dan kepercayaan kepada penulis. Ini yang selalu memotivasi penulis untuk senantiasa berusaha memberi yang terbaik kepada mereka, 2. Keluarga besar penulis yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan sehingga penulis bersemangat kembali dalam menjalankan hidup. 3. Mas Ir. Bambang Yasmadi, M.T. selaku pembimbing yang telah meluangkan banyak dari waktunya untuk senantiasa memberi petunjuk, motivasi, dan dengan sabar membimbing penulis hingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baikBapak Dr. Ir. Taufan Marhaendrajana. M.Sc. selaku Ketua Program Studi Teknik Perminyakan ITB yang selalu tersenyum ramah kepada penulis, 4. Bapak Dr. Ir. Arsegianto selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, memberi masukan, dan dorongan selama penulis menyelesaikan Tugas Akhir, 5. Seluruh staf pengajar di Program Studi Teknik Perminyakan yang telah membagi ilmu dan pengalaman-pengalaman kepada penulis, 6. Pak Oman, Pak Paryono, Pak Acep, Pak Haryanta, Teh Yuti, Bu Tuti, serta seluruh pegawai Tata Usaha Program Studi Teknik Perminyakan yang telah membantu administrasi penulis tanpa kenal lelah dan sabar sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di ITB,
7. Inspiring Movie seperti The Pursuit Of Happiness, dan para penulis buku ekonomi makro,mikro,perbankan,manajemen keuangan, serta perpajakan yang setiap jadi santapan. 8. Teman-teman perguruan taekwondo dan ilmu hikmah; Chaiq, Iwan, Iis,Ade, serta Ronny. 9. Master-master tenaga Reiki terutama yang tergabung dalam Waskita Reiki di seluruh indonesia, terima kasih atas segala bantuanya. 10. Teman-teman dekat yang selalu penulis repotkan; Mas’un, Duddy, Budi, Hida, Aul, Riza, Syukri, Epul, Bang Nanang, Tatul, Ari, Eka, Aep, dan banyak teman lainya yag tidak bisa penulis sebutkan. 11. Seluruh penggemar Barcelona, dan Arsenal yang bersemayam di se antero Indonesia, Mari dukung tim kesayangan kita supaya menjadi juara di dunia dan akherat.
Penulis menyadari bahwa hasil penulisan Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan. Karenanya, penulis mengharapkan kritik dan saran membangun dari semua pihak demi kesempurnaan Tugas Akhir ini. Akhir kata, penulis berharap semoga Tugas Akhir penulis ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun bagi setiap pembaca.
Bandung, Juli 2010 Penulis,
Yuyus Bahtiar
RELEVANSI MODEL PSC MODIFIKASI REVENUE TO COST INDEX(R/C) PADA KERJASAMA MIGAS DI INDONESIA Oleh : Yuyus Bahtiar, 12203035* Dr. Ir. Arsegianto dan Bambang Yasmadi, ST, MT
Sari Minyak dan gas bumi adalah salah satu sumber daya alam tidak terbarukan(Unrewenable Source) yang menjadi sumber devisa bagi negara serta pemasok utama kebutuhan energi dan bahan baku industri domestik di Indonesia. Akan tetapi, selama ini kontrak migas dinilai lebih menguntungkan investor terutama yang berasal dari luar negeri. Anggapan tersebut terjadi karena adanya berbagai term yang memberikan insentif bagi investor yang dirasa terlalu memanjakan investor sehingga negara mengalami kerugian secara financial. Term yang paling jadi sorotan dan berpotensi merugikan negara adalah Cost Recovery. Hal itu, karena sangat sulit untuk mengontrol Cost Recovery sehingga revenue yang dapat diperoleh oleh negara menjadi berkurang. Oleh karena itu, maka dilakukan kajian ini guna merumuskan sebuah skema yang dapat memberikan solusi mengenai masalah-masalah yang terkait dengan operasi migas di Indonesi. Term yang digunakan dalam kajian ini adalah Revenue to Cost Index sebagai piranti yang dapat mengontrol berbagai biaya khususnya Cost Recovery sehingga kemungkinan pembengkakkan biaya (Gold Plating) dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan sama sekali yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan pemerintah dari sektor migas. Formula tersebut sudah terbukti ampuh dalam memajukan sektor migas Malaysia, sehingga menjadi negara yang unggul serta kompetitif. Selain itu, penerapan term tersebut dapat menciptakan iklim investasi yang lebih baik dan memacu kontraktor untuk meningkatkan efisiensi sehingga revenue yang diperolehnya bertambah kareana ETBS yang berdasarkan pada R/C, dengan begitu kontrak kerja sama migas lebih memberikan keuntungan bagi negara serta tidak menjadikan investor enggan dalam menanamkan modalnya dengan menyesuaikan pada koridor hukum(legal) yang ada. Kata kunci : Revenue to Cost Index, investasi, kontrak kerjasama migas. Abstract Oil and gas is one of exhaustable / depleted natural resource that being a source of devizen for our country and also the major supplier for domestic energy need and even industry material in Indonesia. However, long period of time oil and gas contract is more give the profit for contractor than for government especially for foreign investor. Those assumption occured because of several insentif term from government for investor. The center of concern is Cost Recovery term couse it has potention to make government’s revenue decrease. Thereby it study is done to find a scheme to overcome problems that happen in our oil and gas industry. It’s ocured because controlling of Cost Recovery is very hard so as the concequencies government take is not optimum. So that, in this study term Revenue to Cost Index is used as a tool to control cost recovery, so it’s can minimaize or even diminish gold plating and finally government’s revenue increase. Besaid that, the application of term can create better investation climate and can also encourage contactor to increase their efficiency, so revenue’s contractor increase because of ETBS that based of R/C, so that oil and gas cooperation contract is more competitive and more has quality, not only make investor confertable to invest their money, but also suits of regulations(legal). Keywords : Revenue to Cost Index, investment, oil cooperation contract.
*
Mahasiswa Program Studi Teknik Perminyakan ITB.
** Dosen Pembimbing Program Studi Teknik Perminyakan ITB
Yuyus Bahtiar |12203035 1
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Minyak dan gas bumi merupakan salah satu sumber daya alam tidak terbarukan yang memegang peranan penting pada berbagai sektor kehidupan manusia di seluruh negara, termasuk Indonesia. Selain untuk meningkatkan devisa negara, minyak dan gas bumi masih merupakan pemasok utama kebutuhan energi dan bahan baku industri terbesar di Indonesia.Selama beberapa dasawarsa sektor minyak dan gas bumi telah memberikan kontribusi yang sangat besar, terutama sebagai sumber penerimaan bagi negara (APBN). Dengan peranya yang sangat vital tersebut, maka pengelolaanya diatur sedemikian rupa sehinggga dapat memberikan maafaat sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia sesuai dengan yang terkandung dalam pasal 33 ayat 1 dan 2 UUD 1945. Adanya perubahan peraturan perundang-undangan sektor minyak dan gas bumi, maka secara langsung berdampak pada terjadinya beberapa variasi bentuk kontrak kerja sama, khususnya di sector hulu(upstreamnya).Perubahan tersebut menjadikan bentuk kontrak kerja sama bagi hasil bukan satusatunya pilihan lagi dengan maksud memberikan opsi yang baik guna memaksimalkan keuntungan bagi pemerintah. Berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 Jo. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, model kontrak minyak dan mas bumi yang digunakan Indonesia adalah bentuk Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), dan setelah diberlakukanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, istilah yang digunakan adalah Kontrak Kerja Sama (KKS) yang pengertiannya yaitu Kontrak Bagi Hasil atau konrak jenis lain yang lebih menguntungkan bagi negara. Selama ini di Indonesia, model kontrak yang masih dianggap menguntungkan baik bagi Negara maupun Kontraktor adalah bentuk Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC). Ciri khas dari model kontrak kerja sama PSC adalah Cost Recovery, yaitu biaya yang dikembalikan kepada kontraktor oleh pemerintah pada tahun berjalan. Akan tetapi, dalam perkembangannya penerapan Cost Recovery 100% dinilai banyak kalangan berpotensi mengurangi pendapatan pemerintah, dengan kata lain lebih memihak pada kepentingan kontraktor. Hal dapat terjadi karena sulitnya mengontrol cost recovery, sehingga perlu dibuiat sebuah modifikasi supaya potensi kerugian Negara dapat dicegah. Salah satu bentuk Kontrak Kerja Sama PSC yang dapat menjadi alternatif untuk
mengatasi permasalahan tersebut diatas adalah Kontrak Kerja Sama PSC dengan formula Revenue to Cost(R/C) Index. Model tersebut adalah varian atau modifikasi dari bentuk PSC yang mencoba mengontrol penerapan Cost Recovery dalam PSC. Oleh karenanya, perlu dilakukan pengkajian dan evaluasi terhadap alternatif model Kontrak Kerja Sama PSC dengan formula R/C Index. 1.2. Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari kajian ini adalah mengkaji dan mengevaluasi secara konprehensif, baik dari aspek legal, teknis, dan ekonomi. Dengan begitu, dapat diketahui apakah model Kontrak Kerja Sama PSC Cost Recovery dengan forula R/C Index relevan untuk diterapkan di Indonesia sebagai alternatif baru penerapan model kontrak kerja sama pada sektor minyak dan gas bumi. Tugas akhir ini bertujuan guna memberikan model alternatif yang sesuai dengan kondisi saat ini sehingga negara mendapatkan keuntungan lebih bila dibandingkan dengan penerapan model kontrak kerja sama sekarang. 1.3
Lingkup Kegiatan
di Lingkup kegiatan ini mencakup: 1.
pengumpulan data dan informasi kontrak migas Indonesia dan Malaysia yang berlaku saat ini;
2.
melakukan perbandingan kontrak migas yang berlaku di Indonesia dan Malaysia saat ini;
3.
memformulasikan kontrak migas baru yang bisa diberlakukan di Indonesia
1.4. Sumber Data Data-data lapangan yang akan dipergunakan dalam analisis keekonomian model kontrak kerjasama yang menerapkan Revenue to Cost Index ini adalah data hipotetik untuk mengomparasikan berbagai model yang diujikan. 1.5. Metodologi Penyelesaian tugas akhir ini terdiri dari pengumpulan data-data yang dibutuhkan dan Analisis. Data-Data yang dibutuhkan yaitu informasi mengenai persaingan menarik investor di sektor hulu migas, UUD’45 Pasal 33 ayat (2) dan (3), Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, Model PSC saat ini serta mekanisme sharing profitnya, Model R/C, Undang-Undang Perpajakan di Sektor Migas,
Yuyus Bahtiar |12203035 2
Cadangan, produksi dan harga oil. Analisis dilakukan terhadap 2 aspek yaitu aspek legal dan ekonomik Dalam aspek legal dilakukan analisa terhadap Perundang-undangan yaitu UUD’45 Pasal 33 ayat (3), Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Dalam aspek ekonomik dilakukan analisa terhadap kelaikan suatu proyek. Indikator kelaikan proyek adalah parameter-parameter untuk dapat menilai kelayakan suatu proyek investasi secara objektif. II. PERKEMBANGAN INDUSTRI HULU MIGAS NASIONAL 2.1. Cadangan dan Produksi Migas 2.1.1. Cadangan Migas Pada 1 Januari 2006 jumlah cadangan minyak Indonesia memperlihatkan gambaran yang lebih optimis jika dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan cadangan sebanyak 6% dari tahun 2005 sebesar 8,17 miliar barel menjadi 8,68 miliar barel, yang terdiri dari 4,37 miliar barel cadangan terbukti dan 4,31 miliar barel cadangan potensial. Untuk gas bumi, cadangan Indonesia dalam periode 1999-2005 memperlihatkan pola pertumbuhan positif, yaitu meningkat 34% dari 134,5 tcf pada tahun 1999 menjadi 180 tcf pada 1 Januari 2005. Pada 1 Januari 2006, total cadangan gas turun sebanyak 6% menjadi 169,4 tcf, yang terdiri dari 93,9 tcf cadangan terbukti dan 75,5 tcf cadangan potensial.
Tabel 2.1 Cadangan Minyak Bumi Tahun 2005-2007 Tahun
2005 8,170 2006 8,928 2007 8,403 Sumber: Ditjen Migas, 2008
Perubahan (%) 09,28 -05,88
2.2. Sistem dan Sejarah Perkembangan Kontrak Bagi Hasil Sistem Production Sharing Contract (PSC) merupakan substitusi / pengganti dari sistem kontrak kerja (Contract of Work) sesuai dengan amanat UUD 1945. Dalam kontrak PSC, manajemen perusahaan dan kegiatan operasi minyak dan gas bumi berada di tangan Pemerintah. Kontrak bagi hasil yang dimulai pada tahun 1965 telah banyak mengalami perubahan dalam perkembangannya. Perubahan - perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan situasi dunia perminyakan yang selalu berubah. Secara umum perubahan tersebut dikelompokkan dalam 3 generasi yaitu: 2.2.1. PSC Periode I (Tahun 1964-1975) 1. 2.
3. 4.
2.1.2. Produksi Migas Produksi rata-rata minyak mentah dan kondensat pada tahun 2006 sebesar 1,006 juta bph atau mencapai 96% dari target APBN-P yang ditetapkan. Realisasi produksi ini lebih kecil 5,3% dari level produksi tahun 2005 sebesar 1,062 bph. Realisasi produksi gas bumi pada tahun 2006 sebesar 8,28 miliar kaki kubik per hari (bscfd), atau lebih tinggi 2,12% dari target produksi yang ditetapkan dalam Work Program and Budget (WP&B) 2006. Bila dibandingkan realisasi produksi tahun 2005 pencapaian tahun 2006 lebih tinggi 0,4%. Sedangkan dari cadangan minyak sendiri ternyata tahun 2007 mengalami penurunan 0,58 % bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, meski sempat naik dari tahun 2005 sebesar 8,170 milyar barel menjadi 8,928 milyar barel, atau mengalami peningkatan 0,928 % tahun 2006(lihat tabel 2.1).
Cadangan Minyak(miliar barel)
5. 6. 7.
Manajemen operasi dipegang oleh Pertamina. KPS menanggung resiko eksplorasi. Bila ditemukan hidrokarbon maka penggantian biaya dibatasi sampai maksimum 40% per tahun dari jumlah pendapatan minyak yang dihasilkan tersebut. Pendapatan setelah dipotong biaya operasi dibagi 65% / 35% untuk keuntungan negara. Kontraktor wajib menyerahkan 25% dari bagiannya kepada pemerintah sebagai DMO dengan menerima fee US $ 0,20/bbl. Kredit investasi adalah 20%. Semua peralatan dan fasilitas yang dibeli oleh kontraktor menjadi milik Pertamina. 10% dari interest kontraktor ditawarkan kepada perusahaan nasional Indonesia setelah lapangan minyak tersebut dinyatakan komersial.
2.2.2. PSC Periode II (Tahun 1976-1988) 1.
2.
Batasan cost recovery ditiadakan dan capital expenditure dapat diperoleh kembali melalui depresiasi dalam waktu 7 tahun menggunakan sistem double declining balance dan non capital cost termasuk intangible cost, dapat diexpense. Produksi setelah dipotong biaya operasi : a. Minyak : 65,91% untuk Pertamina, 34,09% untuk kontraktor.
Yuyus Bahtiar |12203035 3
b.
3.
4.
5.
Gas
: 31,82% untuk Pertamina, 68,18% untuk kontraktor. Berdasarkan pembayaran pajak sebesar 45% pajak pendapatan dan 20% pajak deviden yang menghasilkan 85% dan 15%, bagi keuntungan pemerintah dan kontraktor untuk minyak, sedangkan untuk gas 70% dan 30%. Berdasarkan UU Pajak 1984 maka untuk tetap menghasilkan equity split 85% dan 15%, maka pembagian pendapatan setelah dipotong biaya operasi dibagi 71,15% bagian pemerintah dan 28,85% bagian kontraktor untuk minyak dan 42,31% bagian pemerintah dan 57,69% bagian kontraktor untuk gas. Untuk new field, KPS diberi invesment credit terhadap capital expenditures yang dikeluarkan untuk fasilitas produksi sebesar 20%. Untuk kontrak yang diperpanjang atau kontrak baru, domestic market obligation (DMO) crude setelah 5 tahun pertama ditetapkan dengan nilai US $ 0,20/bbl. Kontraktor mendapat insentif : Harga ekspor penuh untuk DMO setelah lima tahun pertama produksi. Insentif pengembangan 20% dari modal yang dikeluarkan untuk fasilitas produksi.
2.
3. 4. 5. 6. 7.
Pembagian untuk produksi di daerah Pre-Teritary dan laut dalam pembagian tambahan untuk produksi frointer (lihat 1). Invesment Credit untuk laut dalam sebesar 110% untuk minyak dan 55% untuk gas. Perpanjangan masa eksplorasi 6 tahun menjadi 1 x 14 tahun. Harga gas diorientasikan pada komersialitas untuk pengembangan lapangan. Akses data tidak terbatas pada lahan yang ditenderkan. Perolehan data lapangan dilakukan oleh Pertamina dan terbuka bagi kontraktor.
2.2.3. PSC Periode III (tahun 1988-sekarang) 1.
2.
3. 4.
5.
6.
Paket Insentif 31 Agustus 1988 : Pemberian invesment credit, dengan syarat bahwa pemerintah harus memperoleh 49% dari pendapatan kotor tidak berlaku lagi. Pendapatan komersialitas, jaminan minimum 25% dari pendapatan kotor untuk pemerintah tidak diperlukan. Harga DMO 10% dari harga ekspor setelah selesai 60 bulan pertama. Penyisihan minyak pertama, 20% dari produksi disisihkan sebelum dikurangi biaya operasi kemudian dibagi antara Pertamina dan kontraktor. Pembagian Produksi Daerah Frontier Sampai dengan 50 MBOPD = 80/20 50-150 MBOPD = 85/15 150 MBOPD = 90/10 Tatacara perizinan diserahkan.
2.2.4. PSC Periode III (tahun 1989-sekarang) lanjutan 1.
Paket Insentif 22 Februari 1989 : Pembagian untuk lapangan marjinal dan tertiary EOR pada wilayah konvensional 80/20 dan wilayah frointer 75/25.
Gambar 2 1. Model PSC Standard Prosedur dan rumus yang digunakan perhitungan cash flow adalah sebagai berikut: 1. 2. 3.
dalam
Revenue (R) = Produksi x harga minyak Investment = Capital (Cap) + Non Capital (NC) Depresiasi (Dep), metode yang digunakan adalah metode declining balance 4. Operating cost (OC) = Biaya produksi x produksi 5. FTP = R x 20% 6. Investment Credit (IC) = 16.8% x Cap 7. Unrecovered (UR) untuk tahun pertama adalah biaya capital pada tahun sebelumnya. Untuk tahun selanjutnya, digunakan rumus: Jika IC + Cost recovery > Recovered, maka UR = Cost recovery + IC - Recovered 8. Cost recovery (CR), jika R > 0, maka CR = NC + Dep + OC + UR 9. Recovery (Rec), jika IC + CR > R – FTP maka Rec = R – FTP, jika tidak, maka Rec = IC + CR 10. Equity to be Split (ES) = R – FTP – Rec
Yuyus Bahtiar |12203035 4
11. Contractor Share (CS) = %ShareContractor / (1 %Tax) x ES + %ShareContractor / (1 - %Tax) x FTP 12. Domestik Market Obligation (DMO) sampai tahun ke-5 = 0, sedangkan tahun ke-6 dihitung dengan rumus: Jika 25% x %ShareContractor x R / 0.56 > CS, maka DMO = CS, jika tidak, maka DMO = %25 x %ShareContractor x R / 0.56 13. DMOfee = 10% x DMO 14. Contractor Taxable Income (CTI) = CS + IC – DMO + DMOfee 15. Government Tax (GT) = %Tax x CTI 16. Net Contractor Share (NCS) = CTI – GT 17. Total Contractor Income (TCI) = NCS + Rec – IC 18. Expenditure (Exp) = Cap + NC + OC 19. Contractor Cash Flow (CCF) = TCI – Exp 20. Indonesia Take (IT) = (R – CS) + DMO – DMOfee + GT – Rec 2.3. Elemen – Elemen Dalam Kontrak Bagi Hasil Dalam kontrak bagi hasil terdapat beberapa elemen yang digunakan dalam perhitungan indikator keekonomian suatu proyek. 2.3.1. Investasi Kapital dan Non-Kapital Istilah kapital dan non-kapital digunakan untuk mendefinisikan nilai suatu barang atau modal sebagai fungsi dari waktu. Barang-barang yang digolongkan sebagai kapital adalah barang-barang yang dianggap memiliki pengurangan nilai atau depresiasi terhadap waktu, sedangkan barang-barang non-kapital dianggap tidak memiliki nilai depresiasi. Istilah barang / aset kapital didefinisikan sebagai nilai uang dari suatu modal (asset) yang tangible, hal ini meliputi bangunanbangunan, peralatan pemboran dan produksi, mesinmesin, fasilitas produksi konstruksi dan alat transportasi yang mengalami depresiasi nilai karena pemakaian. Sedangkan istilah barang non kapital adalah modal yang meliputi semua tipe dari mineral, biaya-biaya operasi dan pemeliharaaan. Tidak ada nilai yang dapat ditetapkan pada saat pemeriksaan dan modal tidak mengalami depresiasi terhadap waktu. Penggolongan suatu barang apakah termasuk kapital atau non-kapital bersifat tidak pasti, tergantung pada perjanjian yang dilakukan. 2.3.2. Depresiasi Suatu barang atau modal kapital akan mengalami pengurangan nilai karena waktu atau pemakaian. Faktor-faktor yang harus diperhitungkan dalam menghitung periode depresiasi dari suatu barang atau modal adalah biaya awal (initial cost), harga/biaya
yang dapat diperoleh (recoverable cost) pada waktu barang-barang selesai atau tak dapat dipakai lagi dan lama waktu pemakaian. Beberapa metode depresiasi yang sering dipakai adalah straight line, declining balance, dan double declining balance with cross over dan write off, yang mempergunakan kombinasi dari metode double declining balance dan straight line. Metode Straight Line Pada metode ini depresiasi dihitung dengan menganggap penurunan nilai barang tiap tahunnya dianggap konstan dari awal tahun sampai akhir periode depresiasi. Secara matematis, metode ini dapat ditulis sebagai berikut : Depresiasi
Investasi Waktu Depresiasi
(1)
Metode Declining Balance Pada metode ini depresiasi dihitung dengan menganggap penurunan nilai barang tidak sama dari tahun ke tahun. Pada awal penurunan nilai barang lebih besar dibanding pada tahun berikutnya. Secara matematis, metode ini dapat ditulis sebagai berikut : 1 ( Investasi T
(2) Depresiasi i 1 ) Dimana : subskrip i = waktu perhitungan T = lama waktu depresiasi Metode Double Declining Balance Metode ini hampir sama dengan metode declining balance, hanya saja nilai suatu barang akan berkurang dua kali lebih cepat daripada metode declining balance. Secara matematis, metode ini dapat dituliskan sebagai berikut : ( Depresiasi )i
( Depresiasi )i
2 ( Investasi T
Depresiasi i 1 )
(3)
2.3.3. Cost Recovery Cost recovery terdiri atas: Non-capital cost tahun tersebut. Depresiasi capital cost tahun tersebut. Operating cost tahun tersebut. Unrecovered cost (uncovered operating cost tahun sebelumnya). Non-capital cost merupakan operating cost yang berhubungan dengan operasi selama tahun yang bersangkutan termasuk di dalamnya biaya pekerja, material, survey seismik dan intangible cost dari peralatan pemboran meliputi lumpur pemboran dan bahan kimia, bit, casing serta work over. Operating cost untuk tiap volume hidrokarbon yang dihasilkan merupakan pembagian biaya-biaya yang berlangsung dengan jumlah hidrokarbon yang dihasilkan. Biaya yang dapat dibayarkan pada tahun yang bersangkutan
Yuyus Bahtiar |12203035 5
disebut Recoverable Cost (Recovery). Recovery dari kontraktor dapat diperoleh kembali dari pendapatan kotor hasil penjualan hidrokarbon (gross revenue) pada tahun bersangkutan. Bila cost recovery kontraktor melebihi pendapatan (gross revenue) kontraktor, maka kekurangan tersebut dapat diperoleh pada tahun berikutnya. Kekurangan pada tahun yang bersangkutan disebut dengan carry forward, sedangkan kekurangan pada tahun sebelumnya disebut sebagai unrecovered prior year. Secara matematis, kondisi diatas dinyatakan sebagai berikut : Jika (Cost Recovery + Invesment Credit) Revenue , maka : Recovery = Revenue (4) Unrecovered = Cost Recovery + Invesment Credit – Recovery (5) Jika tidak, maka : Recovery = Cost Recovery + Invesment Credit (6) Unrecovered = 0 (7) 2.3.4. First Trench Petroleum (FTP) Pada tahun 1987 telah terasa timbulnya gejala permasalahan dalam perjanjian Production Sharing Contract yang berlaku saat itu, terutama dari sudut pandang keekonomiannya. Permasalahan tersebut muncul akibat : Tingkat pemasaran dan harga minyak bumi yang rendah dan tak menentu. Ukuran penemuan cadangan yang semakin mengecil. Peraturan pelaksanaan perundangan yang kemudian dikeluarkan tidak mendukung kelancaran operasi dan cenderung mengabaikan sifat strategis minyak dan gas. Dengan latar belakang permasalah tersebut, timbul kekhawatiran akan terjadi hal-hal yang menghambat kelangsungan industri perminyakan, sehingga mempengaruhi penerimaan Indonesia dari sektor minyak dan gas bumi. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, maka dilakukan modifikasi terhadap bentuk perjanjian Production Sharing Contract. Konsep yang diajukan sebagai hasil modifikasi PSC adalah First Trench Petroleum (FTP). FTP adalah bagian dari minyak yang diproduksi, yang akan dibagi antara pemerintah dan kontraktor sebelum dikurangi dengan Cost Recovery. Besar FTP ini adalah 20% dari gross revenue dan mulai diberlakukan untuk kontrak lapangan-lapangan baru ataupun kontrak perpanjangan yang diadakan sejak deregulasi pada bidang perminyakan bulan Agustus 1988. Secara sistematis perhitungan FTP adalah sebagai berikut : FTP = 20% x Gross Revenue FTP Pertamina = (1 – SH) x FTP
(8) (9)
FTP Kontraktor = SH x FTP
(10)
2.3.5. Domestic Market Obligation (DMO) DMO adalah kewajiban kontraktor menyerahkan sebagian minyak yang dihasilkan kepada pemerintah untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. Jumlah yang diserahkan ini besarnya ditetapkan secara merata terhadap seluruh kontraktor yang beroperasi di Indonesia dan dibatasi maksimum 25% dari minyak yang dihasilkan pada tahun yang bersangkutan. Minyak yang diserahkan sebagai DMO diambil dari bagian kontraktor. Berdasarkan kontrak bagi hasil, perhitungan DMO adalah sebagai berikut : Jika (25% x Revenue x Share ) > Contractor Share, maka: DMO = Contractor Share (11) Jika tidak, maka : DMO = 25% x Revenue x Share (12) Sedangkan perolehan kontraktor atas minyak yang dijual kepada pemerintah dengan harga domestik tersebut disebut dengan fee DMO. Untuk 5 tahun pertama produksi fee DMO sama dengan DMO, yang mana keadaan ini disebut five years holidays. Sedangkan untuk berikutnya 10% dari DMO. 2.3.6. Net Contractor Share Net Contractor Share dihitung berdasarkan persamaan berikut : Jika Taxable Share > 0, maka : Net Contractor Share = Taxable Income – Tax (13) Jika tidak, maka: Net Contractor Share = 0 (14) 2.3.7. Cash Flow Contractor Cash Flow Contractor dihitung dari hasil pengurangan Contractor Share dengan Total Cost (Capital + Non Capital + Operating Cost), atau dinyatakan : Cash Flow Contractor = Contractor Share – Total Cost III. TINJAUAN KONTRAK MIGAS MALAYSIA Model kontrak migas Malaysia merupakan sistem PSC yang tergolong progresif dan telah mengalami beberapa perubahan yang signifikan, mulai dari PSC 1976, PSC 1985, sampai akhirnya menerapkan PSC deepwater dan R/C Index yang berlaku sampai sekarang. Beberapa fase transformasi tersebut dipengaruhi pula dengan perubahan fiscal term di dunia yang lebih mengarah pada profitability oriented base(orientasi keuntungan), dan kemudian diciptakan model PSC dengan formula R/C.
Yuyus Bahtiar |12203035 6
Pada dasarnya R/C adalah kumulatif revenue dibagi dengan kumulatif cost. Revenue disini yaitu cash inflow kontraktor, yang terdiri dari cost oil dan profit oil. Dengan demikian, apabila harga dari R/C =1, maka dapat kita anggap sebagai Undiscounted Payback. Seperti lazimnya suatu perhitungan aliran dana (Cash Flow), dimana cash inflow sama dengan cash outflow, maka bila ingin mengetahui discounted payback kita tinggal memakai harga discounted cash flow, sehingga hasil R/C berkisar 1.4. Sistem R/C Malaysia memgandung konsekuensi logis, dimana makin menguntungkan suatu proyek, maka bagian pemerintah akan semakin besar, begitu pula sebaliknya dengan makin kecilnya keuntungan suatu proyek, maka bagian pemerintah otomatis berkurang. Kedua aspek tersebut, ditunjukan dengan adanya mekanisme Tranche/Sliding Scale, yang mengandung pengertian bahwa apabila keuntungan kontraktor semakin besar yang ditunjukkan oleh harga R/C Indeks, maka makin rendah cost tranche dan pembagian keuntungannya, serta hal tersebut berlaku pula sebaliknya. Dengan metoda tersebut Malaysia telah berhasil menciptakan iklim investasi yang kompetitif dimana kontraktor terpacu guna melakukan investasi terus dengan ekspektasi mengharapkan gain yang baik. Di sisi yang lain, kontraktor juga secara tidak langsung dituntut untuk meningkatkan efisiensi usahanya sehingga penghematan expenditure bisa dilakukan yang pada akhirnya dapat menjaga atau bahkan meningkatkan R/C index. Gross Revenue
Royalty 10%
Rec. Cost
pemberlakuan term royalty sebesar 10 % dari Gross Revenue, dan besaran biaya yang harus diganti oleh pemerintah(Recoverable Cost). Jumlah penggantian tersebut berbeda-beda (Sliding Scale) tergantung dari besarnya R/C. Hal lain yang berbeda dengan sistem yang dianut oleh Indonesia adalah tidak adanya pengaturan mengenai kewajiban memenuhi kebutuhan pasar domestik (DMO). Spirit dari sistem yang progresif ini adalah pada saat produksi awal dikala keadaan cash flow kontraktor masih kurang baik karena perlu waktu untuk mengembalikan modal dahulu, maka pemerintah Malaysia memberikan insentif berupa pembagian(Share) yang lebih besar untuk pihak kontraktor. Akan tetapi, apabila proyek semaakin profit bagian kontraktor dengan berjalannya waktu, maka pada saat itu negara memperoleh bagian yang lebih besar. Tabel 3.1 Ketentuan R/C, Cost Ceiling, dan Profit Oil Split. Prod Oil and Gas Split Cont R/C Index
0
3
Cost Ceilling
70% 60% 50% 30% 30% 30%
Cum Prod & Below Cum THV
Cun Prod & Above THV
Aticle 5.1.1 Split(if any)
Remainig Split Portion
Article 5.1.1 Split (if any)
Remaining Spilt Portion
Per : Cont
Per : Cont
Per : Cont
Per : Cont
0% 20% 30% 40% 50% 60%
20% 30% 40% 50% 60% 70%
0% 60% 60% 60% 60% 80%
60% 70% 70% 70% 70% 90%
Ketentuan-ketentuan merupakan hal yang mendasari pembatasan biaya yang akan dikembalikan oleh pemerintah kepada pihak kontraktor berdasarkan nilai R/C yang diperoleh. Sehingga kontraktor dipaksa seefisien mungkin dalam menghabiskan biayanya. Dengan begitu, jumlah unused cost meningkat dan akan dikembalikan lagi oleh pemerintah dalam bentuk dengan share yang lebih berpihak pada kontraktor.
Baseed on R/C
IV. HASIL KAJIAN MODEL USULAN ETBS
Base on R/C
4.1.1 Aspek Legal
Gambar 3.1. Model kontrak R/C Malaysia
Lahirnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2001 Tentang Minyak da Gas Bumi pada akhir tahun 2001(selanjutnya disebut Undang-undang Migas) dianggap sebagai tonggak kegiatan hulu dan hilir migas. Jiwa Undang-undang tersebut sesuai dengan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Undang-undang Migas secara tegas disebutkan bahwa Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan migas yang terkandung di bumi NKRI.
Apabila kita perhatikan perbedaan skema kontrak Malaysia di atas dengan model PSC dipergunakan di Indonesia. Perbedaan tersebut terletak pada
Selain dari itu, pada Undang-Undang Migas no 22 tahun 2001 pasal 20, bahwasanya bentuk kontrak yang diterapkan di Indonesia adalah PSC atau bentuk
Government Share
Contractor Share
Tax(45%)
Government Take
Contractor Take
Yuyus Bahtiar |12203035 7
kontrak lain yang lebih menguntungkan bagi Negara. Maksud dari menguntungkan tersebut adalah memberikan keuntungan(Government Take) yang lebih besar dengan tidak menimbulkan kerugian bagi investor sehingga enggan untuk menanamkan modalnya
Tabel 4.1 Data Laju Produksi Hipotetik
4.1.2 Model Hasil Kajian Merujuk pada Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 maka dikaji model kontrak baru(modifikasi) yang merupakan hasil dari modifikasi PSC dengan system kontrak kerjasama migas yang diterapkan di Indonesia Gross Revenue FTP Rec. Cost
IC
Based on R/C
ETBS
Government Share
Based on R/C
Contractor Share DMO DMO Fee Taxable Income Tax(44%)
Government Take
Contractor Take
Gambar 4.1. Model Modifikasi
4.2 Komparasi Model Kontrak PSC dan Model Hasil Kajian(Modifikasi) Dengan Menggunakan Indikator-indikator Keuntungan
4.2.1
Data yang Digunakan
Dalam melakukan perbandingan kontrak PSC Standar dengan kontrak PSC usulan(modifikasi), diperlukan data - data produksi, data harga - harga, dan data - data lain yang disesuaikan dengan peraturan dan kondisi di Indonesia. Asumsi yang digunakan untuk project life yaitu selama 25 tahun. Untuk data laju produksi selama kontrak diperoleh secara hipotetik. Data dan asumsi - asumsi yang digunakan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3 di bawah ini.
Year
Production(MMBBL)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
18.9 19.1 19.2 19.4 19.5 19.6 19.8 20 20.1 20.2 20.4 20.5 20.6 20.3 20.1 19.9 19.8 19.6 19.5 19.3 19.1 18.8 18.4 17.9 17.5
Tabel 4.2 Asumsi Formulasi Model Usulan Asumsi Keterangan Recoverable Reserve Price Price Excalation Operating Cost Operating Cost Excalation Contractor Share Government Share Contractor Tax FTP Investment Credit DMOi
487.5 55 0% 15
MBBL US$/BBL
15% 85% 44% 20% 17.00% 25%
After Tax After Tax
DMOfee
10%
Production-success ratio
100%
US$/BBL
60 month after production
Yuyus Bahtiar |12203035 8
Depreciation Loan Loan Period Interest Discount Factor Project Life
5
years(DDB)
9.0% 12% 25
Years
Tabel 4.3 Indikator Keekonomian(Base Case). PSC NON COST Indikator STANDAR RECOVERY Contractor NPV @ 12% Rate of Return (ROR) Pay Out Time, year Government NPV @ 12%
326.00
2001.94
20%
20%
3.43
4.08
5386.42
5305.24
Gambar 4.4 Perubahan Harga(Price) Terhadap ROR Proyek pada Model PSC, dan Modifikasi.
4.2.2 Analisa Sensitivitas Model Kontrak
Gambar 4.5 Perubahan Operating Cost(OC) Terhadap ROR Proyek pada Model PSC, dan Modifikasi.
Gambar 4.2 Perubahan Harga(Price) Terhadap NPV Kontraktor Model PSC, dan Modifikasi.
Gambar 4.6 Perubahn Harga(Price) Terhadap NPV Pemerintah(Government) pada Metode PSC, dan Modifikai.
Gambar 4.3 Perubahan Operating Cost(OC) Terhadap NPV Kontraktor Model PSC, dan Modifikasi.
Yuyus Bahtiar |12203035 9
Gambar 4.7 Perubahan Operating Cost(OC) Terhadap NPV Pemerintah(Goverrment) pada Model PSC, dan Modifikasi.
Gambar 4.8 Perubahan Investasi terhadap NPV kontraktor pada Model PSC, dan Modifikasi.
Gambar 4.9 Perubahan Investasi terhadap ROR pada Model PSC, dan Modifikasi.
Gambar 4.10 Perubahan Investasi terhadap NPV Pemerintah(Government) pada Model PSC, dan Modifikasi.
Gambar 4.11 Perubahan harga(Price) terhadap POT pada Model PSC, dan Modifikasi.
Gambar 4.12 Biaya Operasi(OC) terhadap Pay Out Time(POT) pada Model PSC, dan Modifikasi.
Yuyus Bahtiar |12203035 10
Pada grafik antara perubahan harga(price) terhadap NPV Pemerintah, tampak dengan jelas bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara model yang diujikan meski model modifikasi tampak sedikit lebih baik. Hal yang serupa terlihat pula pada grafik antara Biaya Operasi(OC) terhadap NPV Pemerintah. Pada grafik tersebut model Modifikasi sedikit lebih curam bila dibandingkan dua kompetitornya karena penerapan sistem itu yang lebih progresif dari PSC standard dengan piranti-piranti tambahan berupa Ceiling Cost, R/C index, Unused Cost, Sliding Scale Split, terbukti ampuh dalam mengontrol cost recovery dan menjaga stabilitas Cashflow kontraktor. Gambar 4.13 Investasi terhadap POT pada Model PSC, dan Modifikasi V . ANALISIS 5.1 Aspek Ekonomi Berdasarkan grafik antara perubahan harga(price) terhadap NPV kontraktor terlihat dengan jelas bahwa apabila model Modifikasi diberlakukan, maka secara ekonomi jauh lebih menguntungkan (profitable) bila dibandingkan dengan metode yang lain. Disamping itu, model itu ternyata dapat bertahan bila harga minyak mengalami kontraksi. Hal itu desebabkan karena dengan asumsi harga yang terus naik(running) dan variable lain dianggap konstan(cateris paribus), maka R/C makin besar sehingga unused cost terus bertambah yang akan dibagi dengan porsi yang lebih berpihak bagi kontraktor, dan pada akhirnya menjadikan arus kas kontraktor lebih positif Selain itu, tax rate 44% dan share bagi kontraktor yang lebih besar pada awal proyek menambah besar contractor take dibanding ke dua model kontrak migas lainnya. Kenyataan yang serupa didapat pada grafik antara Biaya Operasi(OC) terhadap NPV kontraktor, karena pada harga biaya operasi yang relatif rendahl maka kontraktor mendapatkan keuntungan lebih dari hasil pembagian unused cost sebagai kompensasi dari pemerintah atas kinerja kontraktor yang berhasil menekan direct expenditure(OC), sebaliknya ketika biaya operasi meningkat dimana harga serta variabel lain diasumsikan stagnan, ternyata ROR kontraktor tidak turun secara tajam. Hal tersebut lebih desebabkan oleh keberadaan FTP dalam skema kontrak, sehingga kontraktor tidak begitu merugi karena paling tidak masih ada yang diperoleh meskipun terdapat pembatasan penggantian biaya(ceiling cost). Perbedaan yang relatif tipis tampak pada gambar 7, dimana model kontrak PSC sedikit lebih baik manakala terjadi kenaikkan harga karena tidak adanya pembatasan cost recovery.
Hasil sensitivitas investasi terhadap NPV Kontraktor, dan NPV Pemerintah menunjukkan bahwa model kontrak modifikasi lebih baik karena di satu sisi terdapatnya alat kontrol biaya yang harus diganti pemerintah(recoverable cost), tapi di sisi lain kontraktor juga diuntungkan tax rate dari model Malaysia dan ditambah lagi insentif lain berupa DMO holiday. Selain itu, dengan pemberlakuan model modifikasi kontraktor “dipaksa” untuk berhemat dalam menjalankan operasinya, sehingga memperoleh share lebih besar yang ditunjukkan dengan indikator unused cost. Dengan begitu, kontraktor terpacu untuk meningkatkan eksplorasi dilapangan lain. Berbeda dengan sistem Indonesia(PSC) awal produksi merupakan masa yang berat karena besarnya biaya yang dikeluarkan dan belum mengalami penggantian (Recovery), ditambah lagi dengan pemberlakuan investment credit yang justru memberatkan kontraktor pada masa awal. Di lain pihak, terlihak bahwa grafik POT Model Modifikasi terhadap Total Produksi , dan Biaya Operasi(OC) kalah landai bila dibandingkan dengan Model PSC Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena asumsi harga minyak, dan parameter-parameter lain tetap(cateris paribus), maka kenaikan jumlah produksi akan meningkatkan revenue kontraktor, akan tetapi biaya operasional per bbl akan meningkat pula yang pada akhirnya menambah POT sebagai akibat sistem progresif yang diberlakukan. Dengan kennyataan itu, maka dapat dimengerti kalau POT PSC lebih stabil daripada model R/C Malaysia dan Modifikasi. Dengan sebab yang serupa tedapat pada grafik antara Biaya Operasi(OC) dan Pay Out Time(POT) dimana efek dari penberlakuan sistem progresif menimbulkan berkurangnya keuntungan kontraktor bila tidak bisa melakukan efisiensi(saving money), sehingga pengembalian modal menjadi lebih lama tercapai. Dengan, kata lain makin bertambahnya biaya operasi(OC) menimbulkan konsekuensi logis rasio R/C makin kecil, yang pada akhirnya berpengaruh pada berkurangnya split untuk kontraktor dan unused cost.
Yuyus Bahtiar |12203035 11
Melalui sistem tersebut Pemerintah sebagai pemegang kuasa pertambangan guna melakukan fungsi pengontrolan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh kontraktor sehingga potensi hilangnya keuntungan dapat dieliminir.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1.
Penerapan R/C Index dalam sistem modifikasi dapat memacu kinerja kontraktor karena adanya unused cost yang akan dibagi dengan porsi yang menguntungkan kontraktor. Pembagian unused cost untuk kontraktor nilainya 10% lebih tinggi dari profit split yang berlaku. Dapat dikatakan, semakin efisien kontraktor dalam menjalankan produksi maka akan semakin besar pula pendapatan yang diperolehnya.
2.
Ceiling Cost yang tinggi adalah hasil dari modifikasi pemberlakuan DMO. Efek dari ceiling cost yang tinggi ini adalah semakin kecilnya porsi equity to be split yang akhirnya memperkecil porsi yang akan didapat oleh pemerintah dari ETBS. Pada modifikasi ini pendapatan nominal total kontraktor tidak mengalami perubahan yang berarti. Kondisi ini sesuai dengan prinsip dasar hukum kontrak internasional, dimana harus ada penyesuaian terhadap dua pihak yang berkontrak – win-win solution. Dimana pemerintah bisa menaikkan arus kasnya tanpa merubah pendapatan nominal total kontraktor. Pemberlakuan DMO pada strategi modifikasi ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan domestik akan minyak bumi yang didapat dari tiap Wilayah Kerja. Dengan pemberlakuan sistem kontrak modifikasi yang lebih progresif daripada model PSC standar Indonesia, diharapkan tidak akan ada lagi kisruh tentang cost recovery dan sekaligus juga dapat mencegah praktek MarkUp.
5.2 Impilikasi Logis Penerapan Model Kontrak PSC Modifikasi R/C Terhadap BP Migas(implementing body) Sejak ditetapkannya UU No.22 tahun 2001 tentang Migas dan PP No.42 tahun 2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas, pengawasan dan pembinaan kegiatan Kontrak Kerjasama atau Kontrak Productions Sharing yang sebelumnya dilaksanakan oleh PERTAMINA kini dilaksanakan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas atau BPMIGAS. Tugas BP migas antara lain: 1. Memberikan pertimbangan kepada Menteri untuk penyiapan dan penawaran WK serta KKS 2. Menandatangani Kontrak Kerja Sama 3. Mengkaji dan menyampaikan POD lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu WK kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan; 4. Memberikan persetujuan POD berikutnya 5. Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran 6. Melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan KKS 7. Menunjuk penjual Migas bagian negara
Dengan diberlakukanya sistem kontrak migas PSC modifikasi R/C, maka mengandung konsekuensi logis yaitu BP migas sebagai badan pelaksanan (implementing body) beban tanggung jawab akan berkurang atau terdeliverikan dengan para operator minyak. Makna dari tanggung jawab yang terdeliverikan adalah operator baik NOC maupum IOC akan secara serta merta melakukan efisiensi biaya operasionalnya sehingga keuntungan (contractor take) yang diperoleh akan lebih besar. Di sisi yang lain kegiatan eksplorasipun akan semakin karena share yang didapatkan perusahaan lebih besar manakala cash inflow masih negatif. Kemudian guna lebih meningkatkan kualitas implementasi sistem kontrak tersebut, maka harus ada perwakilan pemerintah yang ditempatkan di setiap perusahaan. Maksudnya adalah agar mencegah praktek – praktek yang berpotensi merugikan negara, yakni dengan melakukan penggelembungan biaya.
3.
4.
5.
6.2 Saran 1.
2.
3.
Menerapkan metoda R/C Index pada PSC Indonesia dengan tetap memberlakukan DMO serta FTP guna menjaga stabilitas ketersediaan sumber energi untuk warga negara yang ada di NKRI. Memodifikasi pembagian hasil antara pemerintah dan kontraktor dengan meningkatkan bagian pemerintah dalam pembagian equity to be split berdasarkan R/C Index. Dengan Pemberlakuan Unused Cost, maka kontraktor terpacu untuk saving, dengan begitu Markup(Gold Platting) dapat dihindari.
Yuyus Bahtiar |12203035 12
4.
5.
6.
Memangkas rantai birokrasi, dan penegakkan supremasi hkum supaya tidak ada lagi keengganan(reluctant) yang pada akhirnya dapat meningkatkan investasi khussnya di sektor migas. Pengenaan pajak 44 % dapat dikurangi(Tax Deduction) sebagai insentif, supaya iklim investasi menjadi lebih kompetitif lagi. Guna meningkatkan pendapatan pemerintah maka terdapat alternative lain yaitu dengan mekanisme participation interest. Dengan begitu pembagian kue terasa lebih adil.
VII. DAFTAR PUSTAKA 1.
Arsegianto.,Ekonomi Minyak dan Gas Bumi, Diktat Kuliah Teknik Perminyakan ITB, 2000 2. Partowidagdo, W, Manajemen dan Ekonomi Migas, Program Pascasarjana Studi Pembangunan ITB, Bandung, 2002 3. Undang – Undang Republik Indonesia No.22 tentang Minyak, dan Gas Bumi, 2001 4. Peraturan Pemerintah No.35 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas, 2004 5. Simamora, Rudi.,Hukum Perminyakan,2000 6. Johnston, Daniel., International Petroleoum Fiscal Systems and Production Sharing Contracs, PennWell Publishing Company, New York, 1979 7. Seba R.D., Economics of Wordwide Petroleoum Production, Oil & Gas Consultants International., Tulsa, Oklahoma, 1998 8. Taverne, Bernard., An Introdoction to Regulation of The Petroleoum Industry, Professor of Mining and Petroleoum Law, Delf University of Technology, Netherlands, 1994 9. Hutagaol, John., Kapita Selekta Perpajakan, Salemba Empat, 2006 10. Www.esdm.go.id 11. Www.bpmigas.com 12. Benny Lubiantara, blogspot.
Yuyus Bahtiar |12203035 13
Tabel 7. Cash Flow Model Kontrak PSC Indonesia Asumsi Recoverable Reserve Price Price Excalation Operating Cost Operating Cost Excalation Contractor Share Government Share Contractor Tax FTP Investment Credit DMOi DMOfee Production-success ratio Depreciation Loan Loan Period Interest Discount Factor Project Life No
Year
Prod
Oil(Remark) MMBBL US$/BBL
487.5 55 0% 15
Economic Evaluation Result Indicator MMUS$ Total Investment 1000 NPV Contractor@12% 326.00 Rate Of Return(ROR) 20% Pay Out Time(POT), year 3.43 NPV Government@12% 5386.42 Unit Oil MMBBL Financial MMUS$
US$/BBL
15% After Tax 85% After Tax 44% 20% 17.00% 25% 10% 60 month after production 100% 5 years(DDB)
9.0% 12% 25
Years Inv
Rev
Tot Inv Dep
C
NC
500
500
OC
FTP
IC
UR
Int
CR
Rec
ETBS
CS
DMO
DMO Fee
Cont
Tax
CI
TCI
Expend
CCF
CCCF
GT
TI
0
2007
0
0
1
2008
18.9
1039.5
1000 200
283.5
207.9
85
1000
2
2009
19.1
1050.5
120
286.5
210.1
3
2010
19.2
1056
72
288
4
2011
19.4
1067
43.2
5
2012
19.5
1072.5
64.8
6
2013
19.6
7
2014
8
(1,000.00)
(1,000.00)
983.5
831.6
0
55.7
140.7
61.9
78.8
825.4
283.5
541.89
(458.12)
214.1
-
406.5
406.5
433.9
172.5
172.5
75.9
96.6
503.1
286.5
216.60
(241.52)
547.4
211.2
-
360
360
484.8
186.4
186.4
82.0
104.4
464.4
288
176.40
(65.12)
591.6
291
213.4
-
334.2
334.2
519.4
196.3
196.3
86.4
109.9
444.1
291
153.12
88.01
622.9
292.5
214.5
-
357.3
357.3
500.7
191.6
191.6
84.3
107.3
464.6
292.5
172.08
260.09
607.9
1078
294
215.6
-
294
294
568.4
210.0
72.2
7.2
145.0
63.8
81.2
375.2
294
81.22
341.30
702.8
19.8
1089
297
217.8
-
297
297
574.2
212.1
72.9
7.3
146.5
64.5
82.0
379.0
297
82.05
423.35
710.0
2015
20
1100
300
220
-
300
300
580
214.3
73.7
7.4
148.0
65.1
82.9
382.9
300
82.88
506.22
717.1
9
2016
20.1
1105.5
301.5
221.1
-
301.5
301.5
582.9
215.4
74.0
7.4
148.7
65.4
83.3
384.8
301.5
83.29
589.51
720.7
10
2017
20.2
1111
303
222.2
-
303
303
585.8
216.4
74.4
7.4
149.5
65.8
83.7
386.7
303
83.70
673.22
724.3
11
2018
20.4
1122
306
224.4
-
306
306
591.6
218.6
75.1
7.5
151.0
66.4
84.5
390.5
306
84.53
757.75
731.5
12
2019
20.5
1127.5
307.5
225.5
-
307.5
307.5
594.5
219.6
75.5
7.6
151.7
66.7
84.9
392.4
307.5
84.95
842.70
735.1
13
2020
20.6
1133
309
226.6
-
309
309
597.4
220.7
75.9
7.6
152.4
67.1
85.4
394.4
309
85.36
928.06
738.6
14
2021
20.3
1116.5
304.5
223.3
-
304.5
304.5
588.7
217.5
74.8
7.5
150.2
66.1
84.1
388.6
304.5
84.12
1,012.18
727.9
15
2022
20.1
1105.5
301.5
221.1
-
301.5
301.5
582.9
215.4
74.0
7.4
148.7
65.4
83.3
384.8
301.5
83.29
1,095.47
720.7
16
2023
19.9
1094.5
298.5
218.9
-
298.5
298.5
577.1
213.2
73.3
7.3
147.3
64.8
82.5
381.0
298.5
82.46
1,177.93
713.5
17
2024
19.8
1089
297
217.8
-
297
297
574.2
212.1
72.9
7.3
146.5
64.5
82.0
379.0
297
82.05
1,259.97
710.0
18
2025
19.6
1078
294
215.6
-
294
294
568.4
210.0
72.2
7.2
145.0
63.8
81.2
375.2
294
81.22
1,341.19
702.8
19
2026
19.5
1072.5
292.5
214.5
-
292.5
292.5
565.5
208.9
71.8
7.2
144.3
63.5
80.8
373.3
292.5
80.80
1,421.99
699.2
20
2027
19.3
1061.5
289.5
212.3
-
289.5
289.5
559.7
206.8
71.1
7.1
142.8
62.8
80.0
369.5
289.5
79.97
1,501.97
692.0
21
2028
19.1
1050.5
286.5
210.1
-
286.5
286.5
553.9
204.6
70.3
7.0
141.3
62.2
79.1
365.6
286.5
79.15
1,581.11
684.9
22
2029
18.8
1034
282
206.8
-
282
282
545.2
201.4
69.2
6.9
139.1
61.2
77.9
359.9
282
77.90
1,659.02
674.1
23
2030
18.4
1012
276
202.4
-
276
276
533.6
197.1
67.8
6.8
136.2
59.9
76.2
352.2
276
76.25
1,735.26
659.8
24
2031
17.9
984.5
268.5
196.9
-
268.5
268.5
519.1
191.8
65.9
6.6
132.5
58.3
74.2
342.7
268.5
74.17
1,809.43
641.8
25
2032
17.5
962.5
262.5
192.5
-
262.5
262.5
507.5
187.5
64.5
6.4
129.5
57.0
72.5
335.0
262.5
72.52
1,881.95
487.5
26812.5
7312.5
5362.5
85
8160.6
13289.4
3783.7
1664.8
2118.8
10194.4
8312.5
1,881.95
Sum
500
500
1000
500
500
500
8312.5
4996.0
1,442
627.5 16618.1
Yuyus Bahtiar | 12203035
1 4
Tabel 8. Cash Flow Model Kontrak Modifikasi Asumsi Price Price Excalation Operating Cost Operating Cost Excalation Contractor Share Government Share Contractor Tax FTP Investment Credit DMOi DMOfee Production-success ratio Depreciation Loan Loan Period Interest Discount Factor Project Life THV
No
Year
Prod
Cumm
Oil 55 0% 15
Inv NC
Years
500
500
OC
IC
FTP
Cum Prod & Below Cum THV Aticle 5.1.1 Split(if any)
years(DDB)
Tot Inv Dep
C
Cost Ceilling
After Tax After Tax
9.0% 12% 25 400
Rev
Prod
Cont R/C Index
US$/BBL
15% 85% 44% 20% 0.00% 25% 10% 100% 5
UR Int
2007
0
0
0
1
2008
18.9
18.9
1039.5
200
283.5
-
207.9
2
2009
19.1
38
1050.5
120
286.5
-
3
2010
19.2
57.2
1056
72
288
4
2011
19.4
76.6
1067
43.2
5
2012
19.5
96.1
1072.5
64.8
6
2013
19.6
115.7
7
2014
19.8
8
2015
9
Indicator
Cun Prod & Above THV
Remainig Split Portion
Article 5.1.1 Split (if any)
Remaining Spilt Portion
Per : Cont
Per : Cont
Per : Cont
Per : Cont
MMUS$
Total Investment
1000
NPV Contractor@12%
2,001.94
Rate Of Return(ROR)
20%
0
70%
0%
20%
0%
60%
1
60%
20%
30%
60%
70%
1.4
50%
30%
40%
60%
70%
2
37%
40%
50%
60%
70%
Oil
MMBBL
2.5
37%
50%
60%
60%
70%
Financial
MMUS$
R/C>3
37%
60%
70%
80%
90%
CR
R/C Ceiling
Cost
Rec
Tranch
0
Economic Evaluations Result
Prod Oil and Gas Split
US$/BBL
Unused
Unitized
Cost
Cost
ETBS
GS
GS
%
USD
CS
DMO
DMO
Cont
Fee
TI
Pay Out Time(POT), year
4.08
NPV Government@12%
5,305.24
Unit
Tax
CI
TCI
CCF
CCCF
GT
1,000
(1,000.0)
(1000.0)
983.5
1.1 60%
623.70
623.7
0
0.6
207.9
0.3
62.4
145.5
145.5
64.0
81.5
705.2
284
421.7
(578.3)
334.3
210.1
406.5
2.6 37%
383.98
384.0
0.0
0.6
456.4
0.6
273.9
182.6
182.6
80.3
102.2
486.2
287
199.7
(378.6)
564.3
-
211.2
360
2.9 37%
385.99
370.4
26.0
0.6
474.4
0.6
295.0
205.4
205.4
90.4
115.0
485.4
288
197.4
(181.2)
570.6
291
-
213.4
334.2
3.2 37%
390.01
356.5
55.8
0.6
497.1
0.7
370.3
182.6
182.6
80.3
102.3
458.8
291
167.8
(13.4)
608.2
292.5
-
214.5
357.3
3.0 37%
392.02
371.2
34.7
0.6
486.8
0.7
354.7
166.9
166.9
73.4
93.4
464.6
293
172.1
158.72
607.9
1078
294
-
215.6
294
3.7 37%
394.03
334.0
100.0
0.6
528.4
0.7
409.9
218.5
72.2
7.2
153.6
67.6
86.0
420.0
294
126.0
284.7
658.0
135.5
1089
297
-
217.8
297
3.7 37%
398.05
337.4
101.0
0.6
533.8
0.7
414.1
220.8
72.9
7.3
155.1
68.3
86.9
424.3
297
127.3
412.0
664.7
20
155.5
1100
300
-
220
300
3.7 37%
402.07
340.8
102.1
0.6
539.2
0.7
418.2
223.0
73.7
7.4
156.7
68.9
87.8
428.6
300
128.6
540.6
671.4
2016
20.1
175.6
1105.5
301.5
-
221.1
301.5
3.7 37%
404.08
342.5
102.6
0.6
541.9
0.7
420.3
224.1
74.0
7.4
157.5
69.3
88.2
430.7
302
129.2
669.8
674.8
10
2017
20.2
195.8
1111
303
-
222.2
303
3.7 37%
406.09
344.2
103.1
0.6
544.6
0.7
422.4
225.2
74.4
7.4
158.3
69.6
88.6
432.9
303
129.9
799.7
678.1
11
2018
20.4
216.2
1122
306
-
224.4
306
3.7 37%
410.11
347.6
104.1
0.6
550.0
0.7
426.6
227.5
75.1
7.5
159.8
70.3
89.5
437.1
306
131.1
930.8
684.9
12
2019
20.5
236.7
1127.5
307.5
-
225.5
307.5
3.7 37%
412.12
349.3
104.6
0.6
552.7
0.7
428.7
228.6
75.5
7.6
160.6
70.7
89.9
439.3
308
131.8
1062.6
688.2
13
2020
20.6
257.3
1133
309
-
226.6
309
3.7 37%
414.13
351.1
105.1
0.6
555.3
0.7
430.8
229.7
75.9
7.6
161.4
71.0
90.4
441.4
309
132.4
1195.1
691.6
14
2021
20.3
277.6
1116.5
304.5
-
223.3
304.5
3.7 37%
408.10
345.9
103.6
0.6
547.3
0.7
424.5
226.3
74.8
7.5
159.0
70.0
89.1
435.0
305
130.5
1325.6
681.5
15
2022
20.1
297.7
1105.5
301.5
-
221.1
301.5
3.7 37%
404.08
342.5
102.6
0.6
541.9
0.7
420.3
224.1
74.0
7.4
157.5
69.3
88.2
430.7
302
129.2
1454.8
674.8
16
2023
19.9
317.6
1094.5
298.5
-
218.9
298.5
3.7 37%
400.06
339.1
101.6
0.6
536.5
0.7
416.2
221.9
73.3
7.3
155.9
68.6
87.3
426.4
299
127.9
1582.7
668.1
17
2024
19.8
337.4
1089
297
-
217.8
297
3.7 37%
398.05
337.4
101.0
0.6
533.8
0.7
414.1
220.8
72.9
7.3
155.1
68.3
86.9
424.3
297
127.3
1710.0
664.7
18
2025
19.6
357
1078
294
-
215.6
294
3.7 37%
394.03
334.0
100.0
0.6
528.4
0.7
409.9
218.5
72.2
7.2
153.6
67.6
86.0
420.0
294
126.0
1836.0
658.0
19
2026
19.5
376.5
1072.5
292.5
-
214.5
292.5
3.7 37%
392.02
332.3
99.5
0.6
525.7
0.7
407.8
217.4
71.8
7.2
152.8
67.2
85.6
417.9
293
125.4
1961.4
654.6
20
2027
19.3
395.8
1061.5
289.5
-
212.3
289.5
3.7 37%
388.00
328.9
98.5
0.6
520.3
0.7
403.6
215.2
71.1
7.1
151.2
66.5
84.7
413.6
290
124.1
2085.5
647.9
21
2028
19.1
414.9
1050.5
286.5
-
210.1
286.5
3.7 37%
383.98
306.0
97.5
0.8
534.4
0.9
500.5
131.4
70.3
7.0
68.1
30.0
38.1
344.1
287
57.6
2143.1
706.4
22
2029
18.8
433.7
1034
282
-
206.8
282
3.7 37%
377.94
301.2
95.9
0.8
526.0
0.9
492.6
129.4
69.2
6.9
67.0
29.5
37.5
338.7
282
56.7
2199.8
695.3
23
2030
18.4
452.1
1012
276
-
202.4
276
3.7 37%
369.90
294.8
93.9
0.8
514.8
0.9
482.1
126.6
67.8
6.8
65.6
28.9
36.7
331.5
276
55.5
2255.4
680.5
24
2031
17.9
470
984.5
268.5
-
196.9
268.5
3.7 37%
359.85
286.8
91.4
0.8
500.8
0.9
469.0
123.2
65.9
6.6
63.8
28.1
35.7
322.5
269
54.0
2309.4
662.0
17.5
487.5
262.5
-
192.5
262.5
3.7 37%
351.81
280.4
89.3
0.8
489.6
0.9
2362.2
7312.5
-
5362.5
10044.15
8682.2
16
12767.8
25
2032 Sum
487.5
1000
Expend
962.5 26812.5 500
500
1000
500
500
500
8312.5
2,114
458.5
120.4
64.5
6.4
4855.4
4855.4
1441.5
144.2
62.4
27.5
34.9
315.3
263
52.8
3,558.0
1,565.5
1,992.5
10,674.7
8,312.50
2,362.2
647.2 16,137.8
Yuyus Bahtiar | 12203035
1 4