TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEKERJA/BURUH OUTSOURCING PADA BANK BUMN (Studi Penelitian pada Bank-Bank BUMN dikota Langsa) Wahyu Ramadhani Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien e-mail:
[email protected] Abstract: Working relationships between workers and employers arising out of an employment agreement are theoretically the right of the employer and the right of the worker to initiate or terminate. However, for legal relations workers who occur with employers are always in a subordinate relationship or relationship where the employer's position is lower than the employer or employer. This paper analyzes whether the use of outsourced workers in state-owned banks in Langsa city is in accordance with applicable law and whether it is treated inappropriately in accordance with its dignity as a human being in the absence of legal certainty and legal protection for outsourced workers who are reviewed From the point of view of Indonesian labor law, Namely Law Number 13 Year 2003. The research was conducted using empirical normative method. The data used in this study consist of primary data and secondary data. All data collected were analyzed using qualitative method. The author is aware of the limitations of the author's ability in completing this writing. But the author hopes with what the author gives in the writing of this law can be beneficial to the authors and the entire author. Keywords: Outsourced workers and Legal Protection Abstrak : Hubungan kerja yang terjadi antara buruh dengan pengusaha yang timbul karena adanya suatu perjanjian kerja sebenarnya secara teoritis merupakan hak pengusaha dan hak pekerja untuk memulai maupun mengakhirinya. Akan tetapi bagi pekerja hubungan hukum yang terjadi dengan pengusaha selalu berada dalam hubungan subordinatif atau hubungan di mana kedudukan pekerja lebih rendah dari pengusaha atau majikan.Tulisan ini menganalisa apakah penggunaan tenaga outsourcing pada bank BUMN dikota Langsa telah sesuai dengan hukum yang berlaku dan apakah benar bahwa pekerja/buruh tersebut diperlakukan tidak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia dengan tidak adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pekerja/buruh outsourcing yang ditinjau dari sudut hukum ketenagakerjaan Indonesia, yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003. Penelitian dilaksanakan dengan menggunakan metode normative empiris. Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Seluruh data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Penulis menyadari keterbatasan kemampuan penulis dalam menyelesaikan penulisan ini. Namun, penulis berharap dengan apa yang penulis berikan dalam penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi diri pribadi penulis dan seluruh pembaca. Kata Kunci : Pekerja/buruh outsourcing dan Perlindungan Hukum
Pendahuluan Hubungan kerja yang terjadi antara buruh dengan pengusaha yang timbul karena adanya suatu perjanjian kerja sebenarnya secara teoritis merupakan hak pengusaha dan hak pekerja untuk memulai maupun mengakhirinya. Akan tetapi bagi pekerja hubungan hukum yang terjadi dengan pengusaha selalu berada dalam
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
63
hubungan subordinatif atau hubungan di mana kedudukan pekerja lebih rendah dari pengusaha atau majikan. Kehadiran Negara yang semula diharapkan dapat memberikan jaminan perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh, malah justru terjadi sebaliknya, kehadiran Negara lebih terkesan represif bahkan eksploitatif terhadap kepentingan pekerja/buruh. Sementara peran Negara dalam hubungan industrial terkesan fasilitatif dan akomodatif terhadap kepentingan pemodal. Kesenjangan antara das sollen dengan das sain ini disebabkan adanya perbedaan pandangan dan prinsip antara kepentingan hukum (perlindungan terhadap pekerja/buruh) dan kepentingan ekonomi (keuntungan perusahaan), sementara hukum menghendaki terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh secara maksimal, bagi perusahaan hal tersebut justru dirasakan sebagai suatu rintangan karena akan mengurangi laba atau keuntungan. Indikasi lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja/buruh dapat terlihat dari problematika outsourcing (Alih Daya) yang akhir-akhir ini menjadi isu nasional yang aktual. Problematika outsourcing (Alih Daya) memang cukup bervariasi seiring akselerasi penggunaannya yang semakin marak dalam dunia usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur outsourcing yang telah berjalan ditengah kehidupan ekonomi dengan hegemoni kapitalisme financial yang beroperasi melalui “dis-solution subject”, yang tidak memandang pekerja/buruh sebagai subjek produksi yang patut dilindungi, melainkan sebagai objek yang bisa di eksploitasi. Praktik outsourcing sendiri sudah berlangsung sebelum pemerintah mengundangka nn Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebelum Undang-undang Ketenagakerjaan berlaku sebagai hukum positif, Undang-undang
bidang
perburuhan
tidak
mengatur
sistem outsourcing.
Pengaturan tentang outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pertama kali diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 5 Tahun 1995 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 1993. Melihat subtansi Bab IX Undang-Undang Ketenagakerjaan khususnya mengenai Perjanjian
Kerja
Waktu
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
Tertentu
(PKWT),
pembentuk
Undang-undang
64
mengadopsi isi dari dua Permenaker di atas. Dalam perkembangannya, lantaran dianggap tak memberikan jaminan kepastian bekerja, tak lama setelah Undangundang Ketenagakerjaan diberlakukan, sebanyak 37 serikat pekerja/serikat buruh mengajukan perlawanan atas legalisasi sistem outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) ini. Problema outsourcing di Indonesia semakin parah seiring dilegalkannya praktik outsourcing dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang banyak menuai kontroversi itu. Ditengah kekhawatiran masyarakat akan lahirnya kembali bahaya kapitalisme, pemerintah justru melegalkan praktik outsourcing yang secara ekonomi dan moral merugikan pekerja/buruh. Kontroversi itu berdasarkan kepentingan yang melatar belakangi konsep pemikiran dari masing-masing subjek. Bagi yang setuju berdalih bahwa outsourcing bermanfaat dalam pengembangan usaha, memacu tumbuhnya bentukbentuk usaha baru (kontraktor) yang secara tidak langsung membuka lapangan pekerjaan bagi para pencari kerja, dan bahkan di berbagai negara praktik seperti ini bermanfaat dalam hal peningkatan pajak, pertumbuhan dunia usaha, pengentasan pengangguran dan kemiskinan serta meningkatkan daya beli masyarakat, sedangkan bagi perusahaan sudah pasti, karena setiap kebijakan bisnis tetap berorientasi pada keuntungan. Aksi menolak legalisasi system outsourcing dilatar belakangi pemikiran bahwa sistem ini merupakan corak kapitalisme modern yang akan membawa kesengsaraan bagi pekerja/buruh, dan memberikan kesempatan yang seluasluasnya bagi pengusaha mendominasi hubungan industrial dengan perlakuanperlakuan
kapitalis
yang
oleh
Karl
Marx
dikatakan
mengeksploitasi
pekerja/buruh1. Legalisasi outsourcing memang bermasalah jika ditinjau dari hal berlakunya hukum secara sosiologis yang berintikan pada efektivitas hukum, dimana berlakunya hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh 1
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembaangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Penerjemah: Nurhadi, Cetakan Kedua, 2009, 23
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
65
mereka kepada siapa hukum tadi tertuju. Nyatanya legalisasi system outsourcing ditolak oleh sebagian besar masyarakat, karena bertentangan dengan progesivitas gerakan pekerja/buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) yang selama ini menghendaki perbaikan kualitas secara signifikan terhadap pemenuhan standar hak-hak dasar mereka. Salah satu invasi konsep outsourcing yang tak wajar adalah di dunia perbankan. Demi laba yang maksimal, praktik outsourcing digalakkan untuk menekan biaya operasional. Hal ini terjadi terutama di bank-bank Badan Usaha Milik Negara yang telah di-persero-kan. Kegiatan yang termasuk pokok usaha justru di-outsourcing-kan. Customer Service (pelayan nasabah) dan Teller (kasir) misalnya, posisi mereka padahal menjadi aktor utama pelayanan jasa perbankan kepada nasabah. Pihak Bank berasalan ini untuk menekan biaya operasional agar tidak bengkak, karena jumlah mereka yang melimpah, terutama bank yang mengoperasikan banyak cabang. Selain itu, alasan lainnya terkait sistem kepegawaian, praktik outsourcing ini akan mempermudah bagian Sumber Daya Manusia mengelola dan mengawasi pegawai, karena sebagian tanggung jawabnya diserahkan pada perusahaan
outsorcing. Terkait
hal
itu mereka juga
menambahkan bahwa pekerja teller dan customer service di-outsourcing-kan karena kedua jenis pekerjaan tersebut tidak ada jenjang karier. Bank-bank semisal Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia dan Bank Mandiri selaku perusahaan Badan Usaha Milik Negara dalam usahanya menjalankan praktek Perbankan yang telah banyak melakukan aktivitas bisnis, juga masih menggunakan tenaga-tenaga Outsourcing, dalam beberapa posisi. Banyak masalah ketenagakerjaan yang menyelimuti perusahaan Badan Usaha Milik Negara, terutama soal outsourcing penyedia jasa pekerja. Misalnya, mengacu Permenakertrans tentang Outsourcing hanya ada lima jenis pekerjaan yang boleh di outsourcing. Serta jenis pekerjaan yang dapat di outsourcing bukan kegiatan utama. Namun, tak sedikit perusahaan Badan Usaha Milik Negara yang mempekerjakan outsourcing pada jenis pekerjaan di luar ketentuan tersebut.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
66
Persoalan outsourcing yang kerap dijumpai biasanya terkait dengan hak pekerja. Seperti tak ada kepastian kerja bagi pekerja outsourcing karena hubungan kerjanya tak jelas. Hal itu terjadi karena tidak ada hubungan hukum antara pekerja outsourcing dan perusahaan pemberi pekerjaan (user). Sehingga tak ada hak dan kewajiban yang berhubungan langsung antar keduanya. Contohnya, perintah berasal dari perusahaan outsourcing kepada pekerja outsourcing. Penggunaan tenaga-tenaga outsorcing pada Bank-bank BUMN di Kota Langsa terdapat ketidaksesuaian dengan apa yang telah disampaikan Bank Indonesia, selaku induk Perbankan di Indonesia dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/25/PBI/2011 tentang Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain. Dalam peraturan tersebut Bank Indonesia menegaskan bahwa penggunaan tenagatenaga Outsorcing haruslah membedakan dulu pekerjaan kedalam dua kelompok berdasarkan sifatnya, yakni pekerjaan pokok dan pekerjaan penunjang. Pekerjaan penunjang inilah yang diperbolehkan untuk di outsourcing kan atau dialih dayakan kepada pihak ketiga. Menurut Bank Indonesia, pekerjaan pokok adalah pekerjaan yang harus ada dalam alur kegiatan usaha atau alur kegiatan pendukung usaha bank. Artinya, jika pekerjaan itu tidak ada ataupun bermasalah, kinerja operasional inti bank juga akan kacau. Yang termasuk dalam kategori ini misalnya account officer dan credit analyst pada alur kegiatan pemberian kredit, serta customer service, customer relation dan teller pada alur kegiatan penghimpunan dana. Sementara pekerjaan penunjang adalah pekerjaan yang tidak harus ada dalam alur kegiatan usaha atau alur kegiatan pendukung usaha bank. Tanpa jenis pekerjaan ini, kinerja operasional bank tetap bisa berjalan lancar. Untuk masuk dalam kategori penunjang, suatu pekerjaan harus memenuhi tiga kriteria, yakni berisiko rendah, tidak membutuhkan kualifikasi kompetensi perbankan yang tinggi, dan tidak terkait langsung dengan proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi operasional bank. Yang termasuk dalam kategori ini misalnya call center, aktivitas pemasaran (telemarketing, direct sales/ sales
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
67
representative), penagihan, jasa kurir, sekuriti, messenger, office boy dan sekretaris. Dalam prakteknya pekerjaan dalam kategori pekerjaan pokok masih tetap seperti misalnya account officer dan credit analyst pada alur kegiatan pemberian kredit, serta customer service, customer relation dan teller masih juga menggunakan tenaga-tenaga outsorcing atau pihak ketiga, yang penggunaan nya telah dilarang oleh Bank Indonesia. Berdasarkan Penilitian sementara penulis pada Bank-Bank Badan Usaha Milik Negara di Kota Langsa terdapat pekerjaan dalam kategori pekerjaan pokok yang masih menggunakan jasa pihak ketiga, yakni posisi yang sebagaimana telah ditetapkan oleh pemerintah dilarang penggunaannya menggunakan jasa outsourcing, diantaranya adalah Account Officer, Teller, Account Officer Funding, Costumer Service dan Costumer loun. Pemberlakuan outsourcing sudah menjadi trend dan kebutuhan dalam dunia usaha, namun pengaturannya masih belum memadai, sehingga dapat mengakomodir kepentingan pengusaha dan melindungi kepentingan pekerja. Sudah seharusnya penerapan Peraturan Bank Indonesia diharapkan bisa secara bijak dijalankan pihak bank. Proses pengangkatan pekerja harus dilakukan secara menyeluruh. Bank harus siap mengangkat semua pekerja frontliner outsourcing menjadi pekerja kontrak tanpa perlu ada seleksi, agar tidak muncul pengangguran. Kemudian karir untuk menjadi pekerja tetap juga jangan sampai dihambat. Mengacu pada Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003, masa kerja maksimal pekerja kontrak adalah 2 tahun. Ini berarti setelah 2 tahun, pekerja kontrak berhak diusulkan menjadi pekerja tetap jika penilaiannya baik menurut perusahaan. Jangan sampai yang terjadi justru bank sengaja “mengabadikan” pekerja kontra melalui siasat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Mem-PHK mereka yang sudah bekerja 2 tahun, kemudian mengangkat kembali seolah menjadi pekerja kontrak baru. Kemudian terkait kesejahteraan, bank harus bijak mengatur pembagian upah sesuai masa kerja dan kinerja pekerja. Perlu ada transparasi juga agar tidak terjadi kecemburuan diantara semua lini pekerja.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
68
Penerapan Peraturan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud, harus berorientasi pada maksimalisasi kualitas pelayanan nasabah, bukan pada orientasi efisiensi biaya. Komposisi pekerja dalam satu kantor jangan sampai dibatasi, hanya demi efisiensi. Misalkan, suatu bank hanya menggunakan 1 (satu) pekerja teller atau customer service di kantornya, sementara jumlah nasabah yang datang banyak. Hal ini bisa berakibat pada kurang maksimalnya pelayanan kepada nasabah, terutama dari segi waktu dan sikap melayani. Selain itu, bagi pekerja, hal ini bisa mengakibatkan stres karena kapasitas kerjanya yang berlebih. Dalam hal komposisi pekerja suatu bank perlu mengukur tingkat kebutuhan pekerja sesuai standar operasional pelayanan. Indikator standarnya bisa dilihat dari jumlah nasabah yang datang dan jumlah aktivitas transaksi yang terjadi. Dengan demikian, pelayanan terhadap nasabah bisa maksimal dilakukan pihak bank. Rumusan Masalah Pada hakikatnya banyak permasalahan yang akan ditemukan dalam rangkaian uraian diatas maka penulis membatasi ruang lingkup permasalahan yang menjadi permasalahan bagaimana implementasi pada Bank Badan Usaha Milik Negara tenaga kerja dalam praktik outsourcing di Kota Langsa dan bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh outsourcing Menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ? Metode Penelitian 1. Objek Penelitian Objek penelitian ini yaitu Bank – bank BUMN di kota Langsa 2. Jenis Dan sumber data Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu data yang berupa hasil wawancara dari sejumlah karyawan pada Bank BUMN di Kota Langsa dan data dari keterangan – keterangan tambahan juga dikumpulkan dari pada informan terutama yang menyangkut outsourcing. Sumber data data yang digunakan yaitu data primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh di lapangan oleh penulis. Artinya data Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
69
primer ini diperoleh langsung dari sumber aslinya. Data primer berdasarkan hasil wawancara terhadap karyawan yang berstatus outsourcing di Bank-bank BUMN. Pada penelitian ini lebih mengutamakan sumber data primer di bandingkan data sekunder. Sedangkan data sekunder data yang di peroleh dalam bentuk yang sudah jadi, sudah dikumpulkan dan di olah oleh pihak lain, biasanya dalam bentuk publikasi. Data sekunder hanya berupa teori dari berbagai literatur kepustakaan maupun dokumen. 3. Metode Analisis Data Metode analisis data yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif, yaitu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah. Dalam penelitian kualitatif penulis menggunakan metode yang bersifat deskriptif,
yaitu
terlebih
dahulu
mengumpulkan
data,
mencatat
dan
menggambarkan fakta-fakta yang terjadi untuk selanjutnya dianalisis dan kemudian di hubungkan dengan teori pendukung. Kotraktual Outsourcing Pengaturan mengenai kontrak outsourcing terdapat dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan secara tegas bahwa perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh harus dibuat secara tertulis (kontrak) “dalam perkembangannya istilah kontrak telah diberi arti yang lebih khusus yaitu perjanjian tertulis, dengan demikian istilah kontrak selalu mengandung arti Perjanjian dan tulisan”2 Kontrak outsourcing merupakan kesepakatan antara principal dan vendor tentang bisnis outsourcing, yang mengakibatkan timbulnya hak dan kewajiban dalam praktik outsourcing. Bisnis outsourcing yang dilakukan oleh principal dan vendor tidak lagi hanya berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan secara lisan, tetapi sudah merupakan kehendak nyata yang sengaja dibuat secara tertulis yang 2
Djoko Triyanto, Hubungan Kerja Pada Perusahaan Jasa Konstruksi, Edisi Revisi, 2008, halaman 56.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
70
menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak, termasuk kewajiban mereka dalam memenuhi hak-hak pekerja/buruh outsourcing. Dalam kontrak
outsourcing
tetap berlaku ketentuan Pasal 1320
KUHPerdata, yang menyatakan bahwa sebuah perjanjian sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak; b. Adanya kecakapan hukum untuk melakukan membuat perikatan/perjanjian; c. Adanya suatu hal atau obyek yang diperjanjikan; dan d. Adanya suatu sebab yang perbolehkan dan/atau tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesulilaan. Syarat pertama dan syarat kedua disebut sebagai syarat subjektif, karena menyangkut ”orang” atau para pihak, sedangkan syarat ketiga dan syarat keempat disebut sebagai syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Tidak terpenuhinya syarat subjektif berakibat dapat dibatalkannya sebuah perjanjian oleh salah satu pihak. Artinya sekalipun perjanjian telah ditanda tangani maka salah satu pihak yang merasa keberatan atas proses perjanjian itu dapat mengajukan pembatalan isi perjanjian ke Pengadilan. Sedangkan apabila syarat Objektif tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya isi perjanjian itu tidak membawa akibat apapun terhadap kedua belah pihak karena secara hukum perjanjian itu dianggap tidak pernah ada. Karena dalam perjanjian pemborongan pekerjaan juga berlaku syaratsyarat subjektif dan syarat objektif, maka principal dan vendor harus memperhatikan dan memenuhi syarat-syarat outsourcing sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan Pasal 64, Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Karena perjanjian outsourcing antara vendor dan principal dianggap tidak pernah ada, sesuai dengan ketentuan Pasal 65 ayat (8) maka segala hal yang berhubungan dengan ketenagakerjaan terutama status hubungan kerja termasuk segala
konsekwensi
atas
terjalinnya
hubungan
kerja
antara
pekerja/buruh dengan vendor beralih kepada principal selaku pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada saat itu.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
71
Kontrak outsourcing yang tidak jelas dan rinci mengenai sifat dan jenis pekerjaan yang diserahkan untuk di outsourcing inilah yang menyebabkan principal dengan bebas dan sewenang-wenang mempekerjakan pekerja/buruh outsourcing untuk kegiatan-kegiatan pokok perusahaan. Meskipun kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas dalam hukum kontrak, namun isi kontrak semestinya juga harus memenuhi unsur-unsur Esensialia (Essential Elements), Unsur Naturalia (Natural Elements) dan Unsur Aksidentalia (Accidential Elements) dari sebuah perjanjian. A. Unsur Esensialia (Essential Elements) Kontrak Outsourcing. Unsur Esensialia merupakan hal pokok dan syarat yang tidak boleh diabaikan oleh para pihak agar sah dan mengikatnya hubungan hukum. Dalam bisnis outsourcing, unsur esensialianya adalah jenis pekerjaan dan upah.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
72
Jenis
pekerjaan
yang
merupakan
unsur
esensialia
pada
kontrak
pemborongan pekerjaan tergantung pada sifat dan jenis kegiatan pokok (core business) dan
sifat maupun jenis kegiatan penunjang secara keseluruhan dari
perusahaan pemberi pekerjaan (principal), yang harus terurai dalam alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan. Ketentuan ini dapat dilihat dalam Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, yang menentukan bahwa perusahaan pemberi pekerjaan (principal) yang akan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan
pemborong pekerjaan (vendor) wajib membuat alur kegiatan
pelaksanaan pekerjaan, berdasarkan alur kegiatan tersebut principal menetapkan jenis-jenis pekerjaan utama dan penunjang. Unsur Esensialia sebagai hal pokok dari kontrak outsourcing juga menyangkut segala
hal
yang berhubungan dengan
ketenagakerjaan,
yaitu
tanggungjawab atas pemenuhan hak-hak dasar pekerja/buruh outsourcing. Artinya harus ada pernyataan bahwa vendor bersedia untuk memberikan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku serta pernyataan tentang kesediaan principal untuk bertanggungjawab terhadap pemenuhan hak-hak pekerja/buruh serta menjalin hubungan kerja dengannya apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan dan syaratsyarat outsourcing. Dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012
tentang
Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, disebutkan bahwa: “Setiap perjanjian pemborongan pekerjaan wajib
memuat ketentuan yang menjamin
terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan”.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
73
B. Unsur Naturalia (Natural Elements) Kontrak Outsourcing. Unsur Naturalia merupakan ketentuan hukum umum yang dapat dicantumkan atau tidak dicantumkan dalam kontrak. Ketentuan mana tidak boleh rendah nilanya dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti pembayaran upah, penerapan Waktu Kerja Waktu Istirahat, perhitungan upah kerja lembur, Jamsostek, Kompensasi kecalakaan kerja, pesangon dan lain-lain. Unsur naturalia biasa dicantumkan dalam kontrak apabila dalam kontrak tersebut ada jaminan pemenuhan hak-hak pekerja/buruh yang melebihi ketentuan sebagaimana tercantum dalam peraturan
perundang-undangan. Contoh unsur
naturalia dalam kontrak outsourcing adalah pembayaran upah yang langsung diberikan oleh principal kepada pekerja/buruh (tanpa melalui vendor), hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya pemotongan upah pekerja/buruh oleh vendor. Sebab dalam bisnis outsourcing ini ada kecenderungan vendor mengambil keuntungan dengan memotong penghasilan yang seharusnya diterima oleh pekerja/buruh. Hal ini pernah dikatakan oleh Karl Marx, bahwa Para kapitalis menjalankan tipuan yang agak sederhana dengan membayar pekerjanya lebih rendah dari pada yang seharusnya mereka terima.3 C. Unsur Aksidentalia (Accidential Elements) Kontrak Outsourcing. Unsur
Aksidentalia
merupakan ketentuan
khusus
(particular)
yang
dinyatakan dan disetujui oleh para pihak yang dapat dicantumkan atau tidak dicantumkan dalam kontrak outsourcing. Aksidentalia adalah suatu syarat yang tidak harus ada, karena tidak diharuskan dalam peraturan perundang-undangan. Seperti tanggungjawab rentang antara vendor dan principal untuk membayar kompensasi kecelakaan kerja bagi pekerja/buruh outsourcing, atau kesediaan principal untuk membayar kompensasi atas kecelakaan kerja sebagai dalam
menjaga 3
keselamatan
dan
akibat kelalaiannya
kesehatan kerja (K3)
di lingkungan
Ibid
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
74
kerja/perusahaannya. Resiko kecelakaan kerja dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, dan risiko itu semakin besar apabila perusahaan tidak menyediakan sarana K3, dan tidak memelihara lingkungan kerja dengan baik. Peraturan Perundang-Undangan memang tidak mengaturm engenai pertanggung jawaban principal atas pekerja/buruh outsourcing yang mengalami Kecelakaan Kerja atau Penyakit Akibat Kerja yang terjadi dilingkungan perusahaannya. Sebelum principal menentukan mitra bisnis outsourcing, mereka harus membaca kemampuan pinansial maupun kualifikasi perusahaan rekanannya itu, “Yang perlu dipertimbangkan dalam memilih mitra bisnis dalam outsourcing adalah kualifikasi perusahaan yang harus memenuhi standar minimum yang ditetapkan perusahaan sesuaidengan kebutuhan”4. Menurut Djoko Triyanto, ”Dalam penyusunan kontrak pertama-tama harus diperhatikan tentang kewenangan dan kemampuan berbuat hukum masing-masing pihak kewenangan melakukan perbuatan hukum sangat terikat oleh asas nemo plus yang maksudnya orang dilarang mengikatkan sesuatu yang bukan haknya”5 Khusus mengenai kewenangan dan kemampuan perusahaan penerima pekerjaan (vendor) untuk menjalankan bisnis outsourcing diatur dan dibatasi oleh Pasal 65 ayat (3) dan Pasal 66 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Ketentuan diatas menetapkan bahwa perusahaan yang dapat melakukan pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
pekerja/buruh
adalah perusahaan yang berbadan hukum.”Latar belakang penetapan syarat ini adalah agar perusahaan-perusahaan outsourcing tidak terlalu mudah melepaskan tanggungjawab dan kewajibannya terhadap pihak pekerja/buruh maupun pihak ketiga lainnya”6 Dengan statusnya sebagai perusahaan yang berbadan hukum maka 4
Sehat Damanik, Sehat Damanik, Outsourcing & Perjanjian Kerja menurut UU. No.13Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.(Penerbit: DSS Publishing, 2006), 22 5 Ibid. 66. 6 Ibid, .87.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
75
perusahaan tersebut juga merupakan subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan tindakan hukum. ”Disamping manusia pribadi sebagai pembawa hak, terdapat badan-badan (kumpulan manusia) yang oleh hukum diberi status ”persoon” yang mempunyai hak dan kewajiban seperti manusia yang disebut Badan Hukum”7 Menurut bentuknya badan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu badan hukum publik (publiek rechtpersoon) dan badan hukum privat (privat rechtpersoon). Badan hukum publik (publiek rechtpersoon) merupakan badan hukum yang didirikan untuk kepentingan publik, orang banyak atau negara pada umumnya, badan hukum ini merupakan badan-badan hukum negara yang mempunyai kekuasaan wilayah atau merupakan lembaga yang dibentuk oleh penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan, seperti Negara, Pemerintah Daerah, Bank Umum, Perusahaan Negara dan Pertamina. Sedangkan badan hukum privat (privat rechtpersoon) merupakan badan hukum yang didirikan oleh pribadi pribadi sesuai dengan tujuannya untuk kepentingan pribadi dengan tujuan tertentu seperti yayasan, koperasi dan Perseroan Terbatas (PT). Badan hukum yang terakhir inilah (kecuali yayasan) yang diberikan hak oleh hukum untuk bertindak sebagai subyek dalam perjanjian outsourcing. Penerapan syarat berbadan hukum ini menghendaki adanya tanggungjawab penuh dari pengusaha (vendor) berupa jaminan pemenuhan hak-hak dasar pekerja/buruh yang oleh undang-undang telah ditetapkan setidak-tidaknya harus sama dengan pekerja/buruh yang bekerja pada perusahan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pelanggaran atas syarat berbadan hukum ini merupakan pelanggaran syarat-syarat objektif dalam syarat sahnya kontrak outsourcing, sehingga secara yuridis perjanjian antara principal dan vendor yang tidak berbadan hukum ini 7
Soeroso, Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Penerbit: Sinar Grafika, Cetakan Kedelapan, 2006),. 27.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
76
batal demi hukum. Konsekwensinya principal bertanggungjawab atas pemenuhan hak-hak pekerja/buruh outsourcing, karena sejak tidak dipenuhinya syarat tersebut maka sejak itu pula pekerja/buruh secara hukum terikat dalam hubungan kerja dengan principal. Salah satu faktor yang menyebabkan maraknya vendor-vendor yang tidak berbadan hukum karena adanya kontradiksi antara Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syaratsyarat Penyerahan sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain dengan Pasal 65 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Berdasarkan Pasal 65 ayat (5) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan seharusnya Menakertrans hanya boleh merubah dan/atau menambah syarat-syarat sebagaimana dimaksud ayat (2) saja. Nyatanya dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012, disamping menambah syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam ayat (2) Undang- undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Menteri juga memberikan pengecualian atas ketentuan Pasal 65 ayat (3), yaitu pengecualian-pengecualian atas syarat berbadan hukum bagi perusahaan yang menerima pekerjaan (vendor). Kontradiksi pengaturan outsourcing ini disamping membuka peluang bagi pengusaha dalam mengenyampingkan ketentuan dan syarat-syarat outsourcing, juga bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar, karena apabila kita berbicara mengenai hukum sebagai suatu system norma, maka suatu norma dibuat menurut norma yang lebih tinggi yang disebut Grundnorm atau Basic Norm (Norma Dasar). Dalam tata susunan norma hukum tidak dibenarkan adanya kontradiksi antara norma hukum
yang lebih
8
rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi.
8
Esmi, Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Editor: Karolus Kopong Medan dan Mahmutarom, HR. ( Penerbit PT. Suryandaru Utama, Semarang, 2005). 33.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
77
Dengan
demikian
Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Syarat-Syarat
Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan lain, harus dikesampingkan pemberlakuannya.Terkait dengan
kepastian hukum
hukum dalam praktik outsourcing, adalah
ketentuan sebagaimana
yang
Pasal
mengenai syarat berbadan
dipakai sebagai
syarat bagi vendor
65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Guna meminimalisir dan menertibkan maraknya bisnis outsourcing yang melibatkan perusahaan yang tidak berbadan hukum seperti Perusahaan Perseorangan dan CV, sudah sepantasnya apabila Pemerintah Daerah melalui Dissosnakertrans Kota Langsa mengambil langkah-langkah sebagai berikut: a. Mengadakan sosialisasi dan atau penerangan kepada pengusaha- pengusaha baik principal maupun vendor-vendor yang tidak berbadan hukum mengenai legalisasi praktik outsourcing dan manfaatnya bagi principal, vendor dan pekerja/buruh. Pengusaha-pengusaha yang melaksanakan bisnis outsourcing harus mengetahui dampak dan akibat hukum dari praktik outsourcing illegal yang melibatkan perusahaan perseorangan maupun CV yang secara institusional tidak berbadan hukum dan tidak memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundangundangan Ketenagakerjaan. b. Mengadakan pengawasan ketenagakerjaan secara rutin dan berkelanjutan, dan memberikan teguran baik lisan maupun tertulis berupa Nota Pemeriksanan kepada principal dan vendor yang tidak berbadan hukum, dan jika perlu menghentikan untuk sementara kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan pekerjaan outsourcing sampai terpenuhinya syarat-syarat dan
ketentuan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. c. Menganjurkan kepada perusahaan-perusahaan (principal) koperasi
yang memiliki
perusahaan berbadan hukum, untuk menyerahkan pelaksanaan
outsourcing tersebut kepada koperasinya. Karena dengan melakukan langkah
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
78
ini principal akan
mendapatkan
keuntungan
ganda.
Pertama, dengan
penyerahan sebagaian pekerjaan kepada koperasi pekerja/buruh, mereka tentunya akan mendukung langkah yang dilakukan
pengusaha, sehingga
principal merasa aman dalam pelaksanaannya. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Jafarian Agusman salah satu Kepala Cabang Bank BUMN di Kota Langsa beliau menuturkan sejak diundangkan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang ketenagakerjaan yang didalamnya mengatur mengenai outsourcing maka Bank-bank BUMN perlu untuk melakukan penataan ulang outsourcing di lingkungan Bank-bank BUMN. Penataan ulang ini sekaligus sebagai kontrol terhadap keberadaan tenaga kerja di lingkungan Bank-bank BUMN sehingga pelaksanaannya akan sesuain dengan undang-undang yang berlaku serta tercapai keselarasan untuk meningkatkan kinerja secara keseluruhaan.9 Syarat-Syarat Pekerjaan yang Boleh di Outsourcing. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 65 ayat (2), pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama. Artinya
bahwa
pengerjaan/proses produksinya tidak dilakukan
secara
bersama-sama dengan bisnis pokok/utama principal. Ketentuan ini dimaksudkan antara lain: untuk meningkatkan fokus bisnis, untuk menghindari kesemarautan dalam lingkungan kerja principal, dalam rangka membuka lapangan kerja baru, suatu strategi untuk menghindari tumpang- tindih perizinan/badan hukum perusahaan yang terkait dengan masalah pajak,serta menghindari adanya penyalahgunaan principal dalam mempekerjakan pekerja/buruh outsourcing. 2. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan. 9
Wawancara dengan Zakaria Usman, Kepala cabang salah satu bank BUMN Kota langsa, Langsa, Tanggal 8 Maret 2017 (diolah)
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
79
Artinya, kegiatan outsourcing dapat dikerjakan ditempat vendor atau di tempat principal, sesuai dengan sifat pekerjaan yang di-outsource. Untuk pekerjaan yang sifatnya membuat suatu produk tertentu, pengerjaannya biasa dilakukan dilingkungan perusahaan vendor, dan perintah kerja bisa diberikan oleh principal melalui vendor. Sedangkan untuk
pekerjaan- pekerjaan yang sifatnya melakukan
suatu jasa tertentu biasanya dikerjakan di lingkungan perusahaan principal, dan perintah dapat diberikan langsung oleh principal. Ketentuan ini untuk memberikan dasar bagi principal dalam memberikan
perintah kerja kepada pekerja/buruh
outsourcing sesuai dengan jenis pekerjaannya, sesuai dengan kontrak outsourcing agar adanya kepastian mengenai siapa-siapa yang memberikan perintah kerja. 3. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan. Jika ditafsirkan
berdasarkan
ketentuan
Pasal 66
ayat
(1) beserta
penjelasannya, maka yang dimaksud dengan kegiatan penunjang disini adalah kegiatan
diluar
usaha
berhubungan langsung
pokok
(core
business)
atau
kegiatan
yang tidak
dengan proses produksi. Sifat dan jenis pekerjaan diluar
usaha pokok itu menurut penjelasan Pasal 65 antara lain; pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), tenaga pengamanan (security), jasa penunjang dipertambangan dan perminyakan, serta penyediaan angkutan pekerja/buruh saja, artinya diluar kegiatan itu, tetap menjadi kegiatan pokok perusahaan apalagi jika berpengaruh langsung terhadap proses produksi. Sebagai referensi untuk menentukan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan,
dapat
diambil
contoh
seperti
yang
dikatakan
oleh Sehat
Damanik10 bahwa jenis-jenis pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain misalnya: a. Bidang
logistik
dalam
perusahaan manufaktur yang meliputi; pembayaran
pengeluaran-pengeluaran dan audit, pengoperasian dan pengurusan/perawatan 10
Sehat Damanik, Op.Cit. Hal.51
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
80
gedung perusahaan, penyeleksian tenaga kerja dan negosiasi gaji, membangun sistem informasi perusahaan, pengiriman barang, pengapakan produk, mengurus produk yang dikembalikan pelanggan dan bidang-bidang lain. b. Bidang Pembukuan Perusahaan, proses data, audit internal, pembayaran gaji, perhitungan pajak, manajemen kas, laporan keuangan, dan penagihan hutang. c. Bidang Manufaktur. d. Bidang Pemeliharaan dan pembersihan gedung. e. Bidang Sumber Daya Manusia, yaitu orang-orang ahli dibidangnya seperti pelatihan, audit, sistim pemasaran dan lain-lain. Dalam studi Kasus dikota Langsa, principal telah menyerahkan sifat dan jenis pekerjaan pokok kepada vendor-vendornya, di Bank-bank Badan Usaha Milik Negara yang berada dikota Langsa mungkin sama seperti di daerah-daerah lain banyak pekerjaan pokok yang di outsourcing kan. Pelanggaran atas syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (2) hurub c ini banyak dilakukan oleh principal dalam praktik outsourcing,
tidak
adanya batasan yang jelas antara bentuk-bentuk usaha/pekerjaan pokok (core business) dan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan (non core business) dalam peraturan perundang-undangan membuat orang menafsirkan sendirisendiri perbedaan
itu. Sebab dalam setiap kegiatan perusahaan selalu
akan
berhubungan dengan proses produksi, baik mengenai barang maupun jasa, oleh karena itu sangat sulit untuk memilah dan mengklasifikasikan pekerjaan pokok dan pekerjaan penunjang tersebut. 4. Tidak menghambat proses produksi secara langsung. Syarat terakhir sebagai batas sebuah pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain adalah bahwa pekerjaan yang diserahkan tersebut tidak berpengaruh langsung terhadap proses produksi, sehingga apabila terjadi kendala yang dialami vendor dalam memenuhi prestasinya, tidak akan
menghambat proses produksi
secara langsung dan/atau tidak mematikan aktivitas perusahaan principal yang juga
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
81
berpengaruh terhadap perkembangan dunia usaha maupun jaminan kelangsungan hidup pekerja/buruh yang lain. Ketentuan mengenai batasan pelaksanaan outsourcing sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (2) ini merupakan persyaratan yang bersifat kumulatif, artinya harus dipenuhi secara bersama-sama pada saat pelaksanaan kegiatan outsourcing. Apabila salah satu dan/atau keseluruhan syarat-syarat
itu
tidak
terpenuhi, maka pekerjaan yang di outsourcing tidak dapat diserahkan dan kontrak outsourcing batal demi hukum. Kesulitan dalam membedakan antara sifat dan jenis pekerjaan pokok/utama dan kegiatan penunjang
perusahaan secara keseluruhan/kegiatan yang boleh di
outsourcing, karena sejak awal perusahaan (principal) tidak membuat alur proses produksi perusahaan, perusahaan juga tidak
menyampaikan Wajib Lapor
Ketenagakerjaa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 Tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan setiap tahunnya kepada Dissosnakertrans Kota Langsa, yang memuat data-data ketenagakerjaan termasuk datadata pekerjaan utama perusahaan sesuai dengan bidang usahanya dimasing-masing. Outsourcing dilakukan oleh perusahaan karena perusahaaan merasa iklim Persaingan dalam dunia bisnis antara perusahaan semakin ketat, membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran. Oleh karena itu perusahaan berusaha untuk melakukan efesiensi biaya produksi (cost of production). Dengan salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing,dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan bersangkutan. Disisi lain, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, memberikan peluang kepada perusahaan untuk dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan di dalam perusahaan, kepada perusahaan lainnya melalui: 1) pemborongan Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
82
pekerjaan, atau 2) perusahaan penyedia jasa pekerjaan (PPJP). Dalam Undangundang Ketenagakerjaan, kedua bentuk kegiatan dimaksudkan dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat dimaksud antara lain, wajib dilaksanakan melalui perjanjian yang dibuat secara tertulis. Sedangkan perusahaan penerima pekerjaan
tersebut
harus
berbadan
hukum,
juga
terdaftar
pada
instansi
ketenagakerjaan. Menurut Hendro Purnama salah satu pegawai Bank BUMN yang ada di kota Langsa berpendapat tentang pekerja Outsourcing masa depan dan karier yang tidak jelas, karyawan tidak merasa aman dalam hidup dan pekerjaannya. Meskipun diberikan kesempatan untuk menjadi karyawan tetap atau menduduki level yang lebih tinggi tetapi resikonya harus ditanggung bila tidak lolos sangat merugikan, tidak sesuai dengan realisasi pengalaman mereka (misalanya sudah lima tahun bekerja dianggap masih baru), atau bahkan resiko kehilangan pekerjaan.11 Dalam
menjalankan
kegiatannya,
perusahaan
pemborong
memiliki
hubungan kerja dengan pekerja, sedangkan hubungan antara perusahaan pengguna dan perusahaan pemborong hanyalah terkait dengan pekerjaan yang diborongkan tersebut. Di perusahaan penyedia pekerja, pekerja menjalankan tugas-tugas yang diberikan perusahaan pengguna, sedangkan sistem pembayaran upah dilakukan. Hubungan antara perusahaan pemberi kerja, perusahaan penyedia pekerja/perusahaan pemborong dan pekerja itu sendiri seharusnya menciptakan triple alliance (suatu hubungan yang saling membutuhkan). Namun dalam kenyataannya, sering kali terdapat perselisihan. Hal ini bisa dihindari jika para pihak menyadari hak dan kewajibannya. Hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah jenis perjanjian apa yang mengikat para pihak. Kharul Rahmadsyah berpendapat sangat merugikan bagi karyawan, baik moril maupun materil. Karyawan Outsourcing merasa dianak tirikan, mereka yang berjuang di front office, langsung berhadapan dengan nasabah, banyak masalah, 11
Wawancara dengan Hendro Purnama karyawan Outsourcing salah satu bank BUMN Kota langsa, Langsa, Tanggal 8 Maret 2017 (diolah)
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
83
namun kesejahteraan dan penghargaan lebih kecil. Sementara karyawan tetap yang biasanya di back office lebuh santai, gaji tunjangan jauh lebih banyak, serta masa depan yang lebih aman, muncul kecemburuan antara karyawan, muncul semacam kasta yang berbeda di suatu perusahaan, ketidak adilan dan akhirnya bisa menuruni motivasi kerja.12 Model outsourcing dapat dibandingkan juga dengan bentuk perjanjian pemborongan
bangunan
walaupun
sesungguhnya
tidak
sama.
Perjanjian
pemborongan bangunan dapat disamakan dengan sistem kontrak biasa sedangkan outsourcing sendiri bukanlah suatu kontrak. Pekerja/buruh dalam perjanjian pemborongan bangunan dapat disamakan dengan pekerja harian lepas seperti yang diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-100/Men/Vi/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Pekerja Harian Lepas adalah pekerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dan dapat berubah-ubah dalam hal waktu maupun volume pekerjaan dengan menerima upah yang didasarkan atas kehadiran pekerja secara harian.Perjanjian pemborongan bangunan akan berakhir antara pengusaha dengan pekerja apabila obyek perjanjian telah selesai dikerjakan. Misalnya pembangunan jembatan, dalam hal jembatan telah selesai maka masa bekerjanya pun menjadi berakhir, kecuali jembatan tersebut belum selesai dikerjakan. Sedangkan dalam outsourcing masa bekerja akan berakhir sesuai dengan waktu yang telah disepakati antara pengusaha dengan perusahaan penyedian jasa tenaga kerja. Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Praktik outsourcing dengan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan 12
Wawancara dengan khairul rahmadsyah, karyawan Outsourcing bank BUMN Kota langsa, Langsa, Tanggal 09 Maret 2017 (diolah)
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
84
kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan di Kota Langsa secara umum tidak mengimplementasikan ketentuan dan syarat-syarat outsourcing sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, karena: a. Pekerjaan yang diserahkan oleh perusahaan (principal) kepada perusahaan lain (vendor) merupakan bentuk-bentuk pekerjaan pokok (core business) bukan pekerjaan
penunjang
perusahaan secara keseluruh. Praktik seperti ini
bertentangan dengan Pasal 65 ayat (2). b. Perusahaan (principal) telah menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan kepada perusahaan lain (vendor) yang tidak berbadan hukum seperti CV, yang secara
yuridis
memiliki kecakapan bertindak sebagai subyek hukum dalam
tidak praktik
outsourcing. Praktik seperti ini bertentangan dengan Pasal 65 ayat (3). 2. Bahwa pelaksanaan perlindungan kerja
dan
syarat-syarat
kerja
seperti
persyaratan hubungan kerja, persyaratan pengupahan, persyaratan waktu kerja waktu istirahat dan upah kerja lembur, persyaratan jamsostek, kompensasi kecelakaan kerja, serta persyaratan keselamatan dan kesehatan bagi pekerja /buruh outsourcing di Kota Langsa tidak diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga pekerja/buruh merasa dirugikan secara ekonomi dan sosial, merasadiperlakukan tidak adil serta tidak manusiawi sebelum, selama dan setelah mereka bekerja. BIBLIOGRAFI Books
Djoko Triyanto, Hubungan Kerja di Perusahaan Jasa Konstruksi, Mandar Maju, Bandung, 2004 Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Editor: Karolus Kopong Medan dan Mahmutarom, HR. Penerbit PT. Suryandaru Utama, Semarang, 2005
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
85
George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi, Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembaangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Penerjemah: Nurhadi, Cetakan Kedua, 2009 Sehat Damanik, Outsourcing & Perjanjian Kerja menurut UU. No.13Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Penerbit: DSS Publishing, 2006 Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit: Sinar Grafika, Cetakan Kedelapan, 2006 Laws -
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Peraturan Bank Indonesia Nomor No 13/25/PBI/2011 tentang Prinsip Kehatihatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain
Website dan Internet Resource http://economicsjurnal.blogspot.com/2011/12/pengertian-tenaga-kerja-danWawancara dengan
Jafarian Agusman, Kepala cabang salah satu bank
BUMN Kota Langsa, Langsa, Tanggal 8 Maret 2017 angkatan.html. Diunduh tanggal 28 Februari 2014. Mohamad faiz, “Outsourcing Dan Pengelolaan Tenaga Kerja Pada Perusahaan”Jurnal Hukum (Online), (http ://jurnal hukum.blogspot.com/2007/05/outsourcing dan tenaga kerja.html, diakses 31 Maret 2008) Wawancara dengan Hendro Purnama karyawan Outsourcing salah satu bank BUMN Kota langsa, Langsa, Tanggal 8 Maret 2017 Wawancara dengan khairul rahmadsyah, karyawan Outsourcing bank BUMN Kota Langsa, Langsa, Tanggal 09 Maret 2017
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
86