Status kekayaan Negara Pada BUMN
BI R
O
AN
AL
IS A
AN G
G
AR
AN
D
AN
PE
LA
KS AN AA N
AP
BN
–
SE
TJ
EN
D
PR
R
I
STATUS KEKAYAAN NEGARA PADA BUMN
BAGIAN ANALISA APBN, SEKRETARIAT JENDERAL DPR RI 2007
Status kekayaan Negara Pada BUMN
STATUS KEKAYAAN NEGARA PADA BUMN
R
I
Abstraksi
BI R
O
AN
AL
IS A
AN G
G
AR
AN
D
AN
PE
LA
KS AN AA N
AP
BN
–
SE
TJ
EN
D
PR
Kinerja BUMN dalam dua tahun terakhir tidak menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, termasuk BUMN yang memiliki tugas pelayanan publik (Public Service Obligation = PSO). Hal tersebut disayangkan karena dikhawatirkan semakin menjadi justifikasi untuk melanjutkan privatisasi yang sedang gencar dilakukan saat ini. Terlepas dari berbagai kelemahan dalam optimalisasi peran BUMN sebagai agent of growth, ada beberapa masalah penting yang harus segera diselesaikan, antara lain penetapan status bantuan modal pemerintah pada BUMN. Temuan BPK atas LKPP tahun 2005 menyebutkan bahwa terdapat Rp 35,6 triliun kekayaan negara di BUMN yang belum ditetapkan statusnya. Dengan demikian dapat diartikan bahwa terdapat kekayaan negara yang tidak berstatus sehingga pada akhirnya membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekayaan negara. Paper ini bertujuan untuk mengetahui mengapa pada tahun anggaran 2005 masih banyak bantuan pemerintah untuk BUMN yang belum jelas statusnya hingga tahun anggaran berakhir, dan apakah implikasi atau akibat dari keterlambatan penetapan status tersebut. Paper ini menyimpulkan bahwa dalam Undang-undang No. 19 tahun 2003 tentang BUMN maupun Peraturan pemerintah No. 44 tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas tidak diatur jangka waktu toleransi bagi Menteri Keuangan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah atas bantuan yang diberikannya kepada BUMN. Akibatnya banyak bantuan pemerintah pada BUMN yang menjadi tidak jelas statusnya. Hal tersebut berimplikasi pada tidak tercatatnya bantuan pemerintah sebagai ekuitas dan akhirnya tidak tercatat juga sebagai penyertaan modal negara. Penggunaan bantuan pemerintah kepada BUMN yang tidak jelas statusnya tersebut sangat rawan dengan penyalahgunaan dan manipulasi dana. Lebih jauh, ketidakjelasan ini dapat menyebabkan “hilangnya” kekayaan negara.
1
Status kekayaan Negara Pada BUMN
I.
PENDAHULUAN
I
1.1. Latar Belakang
fungsi
layanan
masyarakat.
Meski
demikian
tidak
D
melaksanakan
PR
R
BUMN dituntut dapat meningkatkan kualitas produk dan layanannya untuk
EN
seharusnya dianggap sebuah kewajaran bila banyak BUMN yang
SE
TJ
mengalami kerugian dan harus selalu dibantu dengan dana APBN.
–
Kinerja BUMN yang terus merosot termasuk BUMN yang memiliki tugas
AP
BN
pelayanan publik (Public Service Obligation = PSO) sangat disayangkan karena dikhawatirkan semakin menjadi justifikasi untuk melanjutkan
KS AN AA N
privatisasi yang sedang gencar dilakukan saat ini. Memang, bila dilihat dalam dua tahun terakhir ini, kinerja sejumlah BUMN tidak menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Berikut kinerja BUMN disajikan
AN
PE
LA
dalam tabel.
D
Tabel 1. Kinerja BUMN Tahun 2004 – 2005 (non financial) Jml Tenaga Keuntungan Kerja (triliun Rp) (orang) 2004 158 733.200 44.155 2005 139 705.946 42.349 Sumber : Harian Suara Karya, 16 Desember 2006
AN
Jml BUMN
Kerugian (triliun Rp) 5.353 6.622
BI R
O
AN
AL
IS A
AN G
G
AR
Tahun
Kerugian BUMN pada tahun 2004 berasal dari 31 BUMN sedangkan kerugian pada periode tahun 2005 berasal dari 35 BUMN. Dengan alasan kontribusi dividen BUMN terhadap pendapatan negara yang semakin menurun, pemerintah berniat akan melangsingkan jumlah BUMN menjadi hanya 25 BUMN pada tahun 2015 melalui penggabungan (merger) maupun dijual (privatisasi). Langkah yang diambil pemerintah tersebut sebenarnya tidak terlepas dari ukuran kinerja yang digunakan untuk menilai efisiensi kerja BUMN. Ukuran
2
Status kekayaan Negara Pada BUMN
kinerja yang digunakan hingga saat ini cenderung
bersifat kapitalistik
karena hanya sebatas pada ukuran keuangan. Penilaian kinerja dengan menggunakan ukuran keuangan dinilai missleading oleh berbagai kalangan,
R
I
karena ukuran ini hanya mengandalkan laporan keuangan BUMN yang
D
PR
sangat mungkin direkayasa.
TJ
EN
Penggunaan ukuran kinerja yang bersifat kapitalistik ini juga bertentangan
Jika kita berpegang pada pasal tersebut, maka
–
undang Dasar 1945.
SE
dengan prinsip demokrasi ekonomi yang diusung oleh pasal 33 Undang-
demokrasi
ekonomi.
Dengan
demikian
AP
pada
BN
seharusnya penyelenggaraan perekonomian Indonesia harus berdasarkan ukuran
kinerja
yang
KS AN AA N
seharusnya digunakan dalam menilai kerja BUMN pun hendaknya lebih mengedepankan kepentingan rakyat dan tidak hanya melihat jumlah dividen yang
disumbangkan
BUMN
kepada
negara
serta
tidak
sekedar
PE
LA
membandingkan keuntungan dengan tingkat suku bunga bank.
AN
Ukuran kinerja BUMN juga harus mempertimbangkan tugas BUMN yang
D
sebagian besar masih sebagai PSO. Dengan paradigma tersebut maka
AN
strategi peningkatan kinerja BUMN bisa dilakukan tidak harus dengan
AR
privatisasi tetapi juga dengan berbagai strategi lain. Meskipun
tersebut harus
AN G
G
akhirnya privatisasi menjadi pilihan, maka privatisasi
pada
dilakukan secara teliti. Privatisasi juga tidak dilakukan pada BUMN-BUMN
BI R
O
AN
AL
IS A
yang mempunyai tugas sebagai PSO dan tidak bergerak pada sektor strategis. Terhadap BUMN-BUMN yang mempunyai fungsi PSO dan memiliki kepentingan nasional privatisasi harus menjadi pilihan akhir, karena BUMN-BUMN tersebut sangat dibutuhkan untuk memenuhi hak rakyat. Dengan kata lain, privatisasi semestinya tidak dinilai sebagai satusatunya jalan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi BUMN. Apabila ini terjadi maka strategi privatisasi sangat mungkin merupakan sekedar turunan (derivatif) dari defisit anggaran atau sebagai upaya menambah APBN semata, bukan sebagai strategi pengembangan BUMN.
3
Status kekayaan Negara Pada BUMN
Terlepas dari berbagai kelemahan dalam optimalisasi peran BUMN sebagai agent of growth, ada beberapa masalah penting yang harus segera diselesaikan, antara lain penetapan status bantuan modal pemerintah pada
R
I
BUMN. Hal tersebut tidak dapat diabaikan karena menyangkut kekayaan
PR
negara. Saat ini, banyak bantuan pemerintah pada BUMN yang belum
EN
D
ditetapkan statusnya dengan jelas, seperti dilaporkan BPK pada Laporan
TJ
Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2005. Temuan BPK atas LKPP
SE
tahun 2005 menyebutkan bahwa terdapat Rp 35,6 triliun kekayaan negara
–
di BUMN yang belum ditetapkan statusnya. Dengan demikian dapat
AP
BN
diartikan bahwa terdapat kekayaan negara yang tidak berstatus sehingga pada akhirnya membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekayaan
KS AN AA N
negara. Mengenai kekayaan BUMN yang dinilai sebagai kekayaan negara, sampai penulisan ini selesai, masih terjadi perdebatan sebagaimana
LA
dilampirkan dalam boks 1.
PE
BPK melaporkan bahwa kelambatan Departemen Keuangan dalam
AN
memproses penetapan atas status kekayaan negara pada BUMN-BUMN
D
menjadi penyebab besarnya kekayaan negara yang tidak jelas statusnya. ini, sangat penting dipertanyakan efektivitas Departemen
AR
AN
Dari fakta
AN G
G
Keuangan dalam pengelolaan kekayaan negara pada BUMN.
IS A
1.2. Masalah
BI R
O
AN
AL
Pada dasarnya bantuan yang diberikan pemerintah kepada BUMN adalah suatu konsekuensi logis dari kepemilikan negara pada badan tersebut. Namun hal itu tidak lantas menjadikan pemerintah lalai untuk menetapkan status hukum dari bantuan yang diberikannya.
Kelambatan pemerintah
dalam menetapkan status bantuannya pada BUMN adalah salah satu poin penyebab tidak diyakininya jumlah kekayaan negara pada neraca pemerintah pusat per 31 Desember 2005.
Implikasi lebih jauh, adanya
potensi terjadinya penyalahgunaan dana bantuan tersebut.
4
Status kekayaan Negara Pada BUMN
Seharusnya, untuk menciptakan iklim good corporate governance yang menuntut adanya transparansi dan kejelasan dalam hal keuangan termasuk kekayaan negara, maka temuan BPK atas ketidakjelasan status hukum dari
R
I
bantuan yang diberikan pemerintah pada BUMN tidak boleh terjadi. Untuk
D
PR
itu diperlukan dukungan peraturan yang jelas.
TJ
EN
1.3. Tujuan
SE
Paper ini dimaksudkan untuk melakukan analisis dalam rangka mengetahui
BN
–
(1) mengapa pada tahun anggaran 2005 masih banyak bantuan pemerintah
AP
untuk BUMN yang belum jelas statusnya hingga tahun anggaran berakhir,
KS AN AA N
(2) apakah implikasi atau akibat dari keterlambatan penetapan status tersebut.
LA
1.4. Metodologi Analisis
PE
Dalam penulisan paper ini, penyajian materi penulisan berpedoman kepada
AN
metode penelitian descriptive analysis yang bertujuan untuk mendapatkan
AR
AN
D
gambaran yang benar mengenai suatu obyek.
LANDASAN TEORI
AN G
G
II.
IS A
2.1. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
BI R
O
AN
AL
BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari 1 kekayaan negara yang dipisahkan . Kegiatan BUMN harus sesuai dengan
maksud dan tujuan pendiriannya serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum atau pun nilai kesusilaan. Maksud dan tujuan pendirian BUMN telah diatur dalam Undang-undang No.19 Tahun 2003, yaitu (1) memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada
1
Undang-undang Republik Indonesia No.19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara
5
Status kekayaan Negara Pada BUMN
khususnya, (2) mengejar keuntungan, (3) menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/ atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, (4) menjadi perintis
R
I
kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor
PR
swasta dan koperasi, (5) turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan
TJ
EN
D
kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat.
SE
2.2. Penyertaan Modal Negara (PMN) Pada BUMN.
BN
–
Penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN diatur dalam Peraturan
AP
Pemerintah No. 44 Tahun 2005. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut,
KS AN AA N
penyertaan modal negara didefinisikan sebagai pemisahan kekayaan negara dari APBN atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk dijadikan sebagai
modal BUMN dan/ atau Perseroan Terbatas
LA
lainnya, dan dikelola secara korporasi.
PE
PMN pada BUMN dapat dilakukan pada keadaan tertentu untuk
AN
menyelamatkan perekonomian nasional dan dimaksudkan untuk lebih
AN
D
mengoptimalkan peran BUMN dalam memberikan pelayanan kepada
AR
masyarakat. Sumber penyertaan modal tersebut dapat berasal dari APBN,
G
Kapitalisasi cadangan dan/ atau sumber lainnya (keuntungan revaluasi aset
AN G
dan/ atau agio saham).
BI R
O
AN
AL
IS A
Dalam rangka memperbaiki struktur permodalan dan meningkatkan kapasitas usaha BUMN, maka pemerintah dapat menambahkan penyertaan modal negara ke dalam suatu BUMN. Dan dengan tetap memperhatikan kepentingan BUMN yang bersangkutan serta dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan kreditor, maka pemerintah juga dapat melakukan pengurangan PMN pada BUMN.
Pengurangan PMN tersebut dapat
dilakukan dengan cara (1) menjual saham milik negara pada persero atau perseroan terbatas, (2) mengalihkan aset BUMN untuk penyertaan modal negara pada BUMN lain atau perseroan terbatas, pendirian BUMN baru,
6
Status kekayaan Negara Pada BUMN
atau dijadikan kekayaan negara yang tidak terpisahkan, (3) Memisahkan anak perusahaan BUMN menjadi BUMN baru dan (4) merestrukturisasi
R
I
perusahaan.
dengan
Peraturan
Pemerintah,
sedangkan
PMN
D
ditetapkan
PR
Setiap PMN atau penambahan PMN yang dananya berasal dari APBN yang
TJ
EN
bersumber dari kapitalisasi cadangan dan sumber lainnya ditetapkan
SE
dengan keputusan RUPS untuk persero dan perseroan terbatas serta
–
keputusan menteri untuk perum. Dalam hal pengurangan PMN pada suatu
KS AN AA N
AP
BN
BUMN juga ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
2.3. Tata Cara Penyertaan Modal negara pada BUMN
LA
Rencana penyertaan modal negara dapat dilakukan atas inisiatif menteri
PE
keuangan atau menteri teknis. Selanjutnya dilakukan pengkajian bersama
AN
yang dikoordinasikan oleh menteri keuangan. Pengkajian tersebut dapat
D
mengikutsertakan menteri lain dan/ atau pimpinan instansi lain yang
AR
AN
dianggap perlu atau pun menggunakan konsultan independen.
G
Apabila hasil kajian tersebut menyatakan bahwa rencana penyertaan modal
AN G
negara
tersebut
layak
untuk
dilakukan
maka
menteri
keuangan
IS A
menyampaikan usul penyertaan modal negara dimaksud kepada persiden
BI R
O
AN
AL
untuk mendapatkan persetujuan.
2.4. Landasan Hukum yang Mengatur Penyertaan Modal negara pada BUMN Berikut adalah landasan hukum yang mengatur mengenai penyertaan modal negara pada BUMN.
7
Status kekayaan Negara Pada BUMN
Undang-undang No 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara Penyertaan modal negara adalah salah satu bentuk investasi yang
I
dilakukan pemerintah untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan sosial.
PR
R
Keterlambatan Departemen Keuangan dalam menetapkan status hukum
D
atas bantuan pemerintah menyebabkan adanya kekayaan negara yang
bertentangan dengan
TJ
Ketidakjelasan status kekayaan negara tersebut
EN
tidak tercatat dalam Laporan keuangan pemerintah Pusat di tahun 2005.
SE
Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Oleh
AP
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BN
–
karena itu penyertaan modal pemerintah pada perusahaan negara perlu
KS AN AA N
Pasal 41 ayat (1) :
Pemerintah dapat melakukan investasi jangka panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan/ atau manfaat lainnya.
LA
Pasal 41 ayat (3) :
D
pemerintah.
AN
PE
Investasi sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan Peraturan
AR
AN
Selain itu, penyertaan modal negara berarti ada aset negara yang Untuk barang milik negara selain tanah dan/ atau
G
dipindahtangankan.
AN G
bangunan yang disertakan sebagai PMN dan bernilai lebih dari seratus miliar rupiah terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan DPR.
seratus miliar rupiah perlu mendapat persetujuan Presiden. Setelah mendapatkan persetujuan, pemindahtangan aset negara sebagai PMN kepada BUMN baru dapat dilaksanakan.
BI R
O
AN
AL
IS A
Sedangkan untuk yang bernilai antara sepuluh miliar rupiah sampai dengan
Pasal 46 ayat (1) huruf c : Persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (2) dilakukan untuk :
8
Status kekayaan Negara Pada BUMN
c. Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/ atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar
R
I
rupiah).
PR
Pasal 46 ayat (2) :
D
Pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/ atau bangunan
TJ
EN
yang bernilai lebih dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
SE
sampai dengan Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dilakukan
AP
BN
–
setelah mendapat persetujuan Presiden.
KS AN AA N
Undang-undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara Perlu adanya kejelasan status hukum atas kekayaan negara yang disertakan dalam suatu BUMN diatur dalam Undang-undang No.19 tahun Dalam Undang-undang tersebut diamanatkan bahwa setiap
LA
2003.
PE
penyertaan modal negara dalam BUMN ditetapkan dengan Peraturan
AN
Pemerintah, begitu pun bila terjadi perubahan penyertaan modal tersebut.
AN
D
Pasal 4 ayat (3) :
AR
Setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau
G
perseroan terbatas yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan
AN G
Belanja Negara ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BI R
O
AN
AL
IS A
Pasal 4 ayat (4) : Setiap perubahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham persero atau perseroan terbatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
9
Status kekayaan Negara Pada BUMN
Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas
R
I
Pada PP No.44 tahun 2005 juga diatur mengenai landasan hukum dari
sumber dananya berasal dari APBN
D
pemerintah pada BUMN yang
Setiap penyertaan modal
PR
penyertaan modal pemerintah pada BUMN.
TJ
EN
ditetapkan dengan APBN, kecuali yang sumber dananya berasal dari
–
SE
kapitalisasi cadangan dan/ atau sumber lainnya.
AP
BN
Pasal 3 :
Setiap penyertaan modal negara atau penambahan penyertaan modal
dari
KS AN AA N
negara ke dalam BUMN dan Perseroan Terbatas yang dananya berasal Anggaran
Pendapatan
dan
Belanja
Negara
sebagaimana
dimaksud.dalam pasal 2 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan Peraturan
D
ANALISIS
AR
AN
III.
AN
PE
LA
Pemerintah.
G
3.1. Status Bantuan Pemerintah Kepada BUMN Dalam LKPP Tahun 2005
AN G
Kekayaan Negara dalam bentuk pemberian bantuan pemerintah kepada
IS A
BUMN yang belum jelas statusnya dinilai BPK sebagai suatu pelanggaran BPK menilai adanya pelanggaran
terhadap Undang-undang No. 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara.
BI R
O
AN
AL
terhadap peraturan perundangan.
Dari hasil audit BPK, kekayaan negara senilai Rp35,6 triliun di BUMN yang belum jelas statusnya tersebut terdapat di Perum BULOG senilai Rp492,57 miliar, PT. Angkasa Pura I senilai Rp 1,.99 triliun, PT. Angkasa Pura II senilai Rp 72.932 juta, Perum Prasarana Perikanan Samudera senilai
10
Status kekayaan Negara Pada BUMN
Rp47.037 juta, PT. PLN senilai Rp23,85 triliun dan Pertamina senilai Rp 9,14 triliun. laporan
keuangannya,
BUMN-BUMN
tersebut
melakukan
R
I
Dalam
PR
pencatatan bantuan pemerintah secara berbeda-beda. PT. Angkasa Pura I
D
dan II mencatat bantuan pemerintah tersebut tidak sebagai ekuitas
TJ
EN
sehingga tidak tercatat sebagai Penyertaan Modal Pemerintah. Perum
SE
Prasarana Perikanan Samudera, PT. PLN dan Pertamina mencatatnya
–
sebagai bagian dari ekuitas, sehingga tercatat sebagai Penyertaan Modal
kewajiban
Pertamina,
Pertamina
AP
pada
bantuan
pemerintah
KS AN AA N
Khusus
BN
Pemerintah.
kepada
pemerintah
yang
tersebut
merupakan
direncanakan
akan
ditetapkan statusnya sebagai tambahan penyertaan modal pemerintah
LA
pada Pertamina. Namun peraturan pemerintah tentang penyertaan modal
PE
pemerintah kepada Pertamina sebesar Rp 9,14 triliun belum ditetapkan. pemerintah
AN
Bantuan
yang
belum
jelas
statusnya
tersebut
belum
AR
AN
D
diungkapkan dalam Catatan LKPP Tahun 2005.
AN G
G
3.2. Analisis atas Peraturan yang Mengatur Penyertaan Modal Negara pada BUMN Peraturan-peraturan yang ada sehubungan dengan penyertaan modal, baik
BI R
O
AN
AL
IS A
dalam bentuk perundang-undangan maupun Peraturan Pemerintah dinilai memiliki beberapa kelemahan. 3.2.1.
Tidak Diaturnya Jangka Waktu Penerbitan Aturan Hukum Mengenai Penyertaan Modal Negara Dalam pengaturan mengenai penyertaan modal negara, Undangundang No.19 tahun 2003 menyebutkan bahwa setiap penyertaan modal negara yang berasal dari APBN dan setiap perubahan penyertaan
modal
negara
baik
penambahan
maupun
pengurangan modal ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
11
Status kekayaan Negara Pada BUMN
Undang-undang tersebut
dalam pelaksanaannya dijabarkan
dengan Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2005 tentang Tata
Pemerintah
Negara tersebut
dan juga
Perseroan
Terbatas.
Peraturan
PR
Milik
mengamanatkan
bahwa
D
Usaha
R
I
Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan
setiap
TJ
EN
penyertaan modal negara pada BUMN yang dananya berasal dari Dari kedua
SE
APBN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
guna menetapkan status dari setiap
BN
penting keberadaannya
–
peraturan tersebut jelas bahwa Peraturan Pemerintah sangat
AP
bantuan yang diberikan pemerintah kepada BUMN sebagai
KS AN AA N
penyertaan modal negara. Bantuan tersebut merupakan kekayaan negara, terutama yang bersumber dari APBN.
LA
Namun baik dalam Undang-undang No.19 Tahun 2003
PE
maupun dalam Peraturan Pemerintah No.44 tahun 2005 tidak
AN
diatur mengenai jangka waktu toleransi penerbitan peraturan menetapkan bantuan pemerintah kepada
D
pemerintah yang
AR
AN
BUMN sebagai penyertaan modal negara.
BI R
O
AN
AL
IS A
AN G
G
Ketiadaan Peraturan
pengaturan mengenai jangka waktu diterbitkannya Pemerintah
tersebut
menjadikan
tidak
adanya
kewajiban bagi Menteri Keuangan untuk sesegera mungkin menetapkan status atas bantuan pemerintah kepada BUMN, oleh karena itu wajar saja jika sampai dengan tahun anggaran 2005 berakhir masih terdapat bantuan pemerintah kepada BUMN senilai Rp 35, 6 triliun yang belum jelas statusnya.
Dampak dari hal
tersebut adalah tidak tercatatnya bantuan pemerintah sebagai ekuitas dan akhirnya tidak tercatat juga sebagai penyertaan modal negara. Hal ini terjadi pada kasus PT. Angkasa Pura I dan PT. Angkasa Pura II.
12
Status kekayaan Negara Pada BUMN
Bantuan pemerintah kepada BUMN telah diberikan dalam jumlah yang cukup besar.
Namun penggunaan dana APBN kepada
BUMN yang seharusnya menjadi kekayaan negara ternyata
R
I
sangat rawan dengan penyalahgunaan dan manipulasi, baik untuk
PR
kepentingan pribadi pengguna maupun untuk kepentingan umum
EN
D
tetapi bukan pada pos yang direncanakan. Implikasi lebih jauh dari
TJ
kelemahan peraturan adalah “hilangnya” kekayaan negara.
SE
Dikatakan hilang karena bantuan tersebut tidak tercatat sebagai
–
penyertaan modal negara sehingga tidak menjadi kekayaan
AP
BN
negara.
Kelemahan Teknis dalam Perundang-undangan yang Ada
KS AN AA N
3.2.2.
Permasalahan lain yang timbul dari peraturan yang mengatur penyertaan modal pemerintah adalah adanya
ketidaktepatan
Seperti disebutkan sebelumnya, Undang-undang No.
PE
berbeda.
LA
dalam pemilihan kata sehingga menimbulkan makna yang
AN
19/ 2003 maupun dalam PP No.44/ 2005 mengamanatkan bahwa
AN
D
setiap penyertaan modal pemerintah kepada BUMN yang sumber
AR
dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
karena peraturan pemerintah hanya bersifat mengatur, jadi kata ‘ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah’
tidak tepat karena
seharusnya ‘diatur dengan Peraturan Pemerintah’ .
AN
AL
IS A
AN G
G
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Hal tersebut tidak lazim
Walaupun secara substansi masih dapat dilaksanakan, namun
BI R
O
penulisan tersebut dinilai menyalahi teknis peraturan perundangundangan.
Dikhawatirkan kelemahan ini akan menghambat
pelaksanaan peraturan tersebut. Selain
kelemahan-kelemahan
tersebut
di atas,
beberapa
kalangan
berpendapat bahwa cara pandang Undang-undang No.19 tahun 2003 terhadap BUMN yang cenderung bertentangan dengan pasal 33 Undang-
13
Status kekayaan Negara Pada BUMN
undang Dasar 1945 juga merupakan salah satu masalah dalam pengembangan BUMN.
Undang-undang No.19 tahun 2003
lebih
memandang BUMN sebagai entitas bisnis. Padahal dalam pasal 33 UUD
R
I
1945, keberadaan BUMN terutama didasarkan atas pengakuan terhadap
PR
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat
EN
D
hidup orang banyak, sehingga harus dikuasai oleh negara. Jadi semestinya
TJ
BUMN dalam tataran teori maupun pelaksanaannya harus benar-benar
SE
ditujukan untuk mewujudkan amanat pasal 33 UUD 1945. Oleh karenanya
–
langkah yang diambil pemerintah dalam memecahkan masalah yang
KESIMPULAN DAN SARAN
KS AN AA N
IV.
AP
BN
dihadapi BUMN tidak melulu pada pilihan privatisasi.
4.1. Kesimpulan
LA
1. Keterlambatan pemerintah dalam menetapkan landasan hukum bagi
PE
bantuan yang diberikannya kepada BUMN disebabkan oleh lemahnya
AN
aturan-aturan yang mengatur penyertaan modal negara.
Dalam
AN
D
Undang-undang No. 19 tahun 2003 tentang BUMN maupun Peraturan
AR
pemerintah No. 44 tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan
G
Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan
AN G
Perseroan Terbatas tidak diatur jangka waktu toleransi bagi Menteri
diberikannya kepada BUMN. Akibatnya banyak bantuan pemerintah pada BUMN yang menjadi tidak jelas statusnya.
BI R
O
AN
AL
IS A
Keuangan untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah atas bantuan yang
2. Ketidakjelasan status bantuan pemerintah kepada BUMN sebagai kekayaan
negara
berimplikasi
pada
tidak
tercatatnya
bantuan
pemerintah sebagai ekuitas dan akhirnya tidak tercatat juga sebagai penyertaan modal negara. Penggunaan bantuan pemerintah kepada BUMN yang tidak jelas statusnya tersebut sangat rawan dengan
14
Status kekayaan Negara Pada BUMN
penyalahgunaan dan manipulasi dana. Lebih jauh, ketidakjelasan ini
I
dapat menyebabkan “hilangnya” kekayaan negara.
PR
R
4.2. Saran
EN
D
Pemerintah perlu melakukan revisi atas Undang-undang No. 19 tahun 2003
TJ
tentang BUMN dan Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara
SE
Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara
–
dan Perseroan Terbatas, dengan menambahkan pengaturan mengenai jangka
BI R
O
AN
AL
IS A
AN G
G
AR
AN
D
AN
PE
LA
KS AN AA N
modal negara pada suatu BUMN.
AP
BN
waktu penerbitan Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai penyertaan
15
Status kekayaan Negara Pada BUMN
R
I
Kontroversi atas Fatwa Mahkamah Agung
AP
BN
–
SE
TJ
EN
D
PR
Pada tanggal 16 Agustus 2006, Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa dengan nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006. Fatwa tersebut dikeluarkan atas permintaan Menteri Keuangan sehubungan dengan adanya ketidaksesuaian pengaturan mengenai penyertaan kekayaan negara dalam UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.19 tahun 2003 tentang BUMN. Fatwa tersebut dinilai memberi angin segar bagi rencana revisi atas PP No.14 tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/ Daerah.
AN
PE
LA
KS AN AA N
Fatwa MA tersebut menuai pro dan kontra. Pihak yang sependapat menyatakan bahwa fatwa MA tersebut memberi ruang gerak yang lebih luas dan dukungan positif bagi manajemen BUMN untuk lebih berani mengambil keputusan strategis dan inovatif dalam mengembangkan BUMN. Selama ini manajemen seringkali ragu untuk mengambil keputusan karena khawatir kerugian yang mungkin terjadi dinilai sebagai suatu tindak korupsi karena telah merugikan negara.
BI R
O
AN
AL
IS A
AN G
G
AR
AN
D
Di sisi lain, pihak yang kontra dengan adanya fatwa MA tersebut menilai bahwa fatwa MA tidak dapat diterapkan di Indonesia dan tidak dapat dijadikan landasan hukum. Fatwa MA ini memang berimplikasi hukum terutama pada pemotongan kredit macet di bank-bank BUMN. Namun kelompok ini berkeyakinan bahwa pemisahan antara kekayaan negara dengan kekayaan pada perusahaan negara tidak dapat dibenarkan. Fatwa tersebut juga menghalangi usaha pemberantasan tindak pidana korupsi, karena dengan keluarnya fatwa tersebut, UU tindak pidana korupsi dinilai tidak lagi efektif dalam melindungi kekayaan negara. Bila dicermati, ujung pangkal dari permasalahan ini adalah adanya perbedaan cara pandang dalam memperlakukan kekayaan negara yang ditempatkan sebagai modal BUMN. Seharusnya fatwa MA ini tidak perlu dianggap sebagai masalah yang menakutkan karena harus disadari bahwa BUMN adalah juga sebuah entitas bisnis yang padanya berlaku perilaku pasar yang sangat dinamis. Disamping itu perlu adanya komitmen dari semua pihak untuk lebih mengembangkan BUMN. Disarikan dari berbagai sumber
16
Status kekayaan Negara Pada BUMN
Referensi
R
I
Undang-undang Republik Indonesia No.19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara.
EN
D
PR
Undang-undang Republik Indonesia No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara.
–
SE
TJ
Peraturan Pemeritah Republik Indonesia No.44 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.
AP
BN
Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-undangan. Yogyakarta : Kanisisus, 1998.
KS AN AA N
Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan, Fatwa Mahkamah Agung No.WKMA/ Yud/ 20/ VIII/ 2006 mengenai Usulan Perubahan Peraturan Pemerintah Pemerintah No.14 Tahun 2005.
LA
Pradana, Rifky. BUMN, Punya Siapa?, 10 Oktober 2006.
BI R
O
AN
AL
IS A
AN G
G
AR
AN
D
AN
PE
Suara Karya, Suntik BUMN Merugi Pemerintah Siapkan Rp 1,955 Triliun, 13 Desember 2006.
17
I R PR D EN TJ SE – BN AP KS AN AA N LA
BI R
O
AN
AL
IS A
AN G
G
AR
AN
D
AN
PE
This document was created with Win2PDF available at http://www.win2pdf.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only. This page will not be added after purchasing Win2PDF.