Bungaran Saragih, Bapak Agribisnis Indonesia Prof. Bustanul Arifin Pada pertengahan Februari 2010, saya kembali berjumpa dengan Prof. Dr. Bungaran Saragih pada suatu kesempatan lokakarya tahap akhir rencana pendirian Program Pascasarjana Ilmu-Ilmu Agribisnis, yang diselenggarakan Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (FEM-IPB). Sampai kapan pun saya pasti menganggap Pak Bungaran sebagai guru saya, bukan mantan dosen, sebagaimana sering terdengar pada beberapa perbincangan tidak formal. Saya teringat almarhum Prof. Dr. Andi Hakim Nasoetion yang sangat amat tidak bahagia jika muridmuridnya hanya menganggap beliau sebagai mantan guru atau dosen karena konon tidak ubahnya dengan suatu barang bekas, yang mungkin harganya telah amat menurun atau anjlok. Mungkin, saya sendiri kelak tidak akan terlalu senang jika murid saya memperlakukan saya sebagai seorang mantan guru, yang maaf, tidak lagi berguna, apalagi berkesan. Setelah cit-cat sebentar tentang perjalanannya mengajar di Amerika Serikat, menjadi Guru Besar Tamu di Harvard University, Pak Bungaran dengan bangga memberikan kartu nama (nampaknya, versi baru). Kartu nama itu dicetak cukup bagus, berbahasa Inggris, lengkap dengan logo “gebukan kasur” IPB dan kop kartu Department of Agribusiness, Bogor Agricultural University. Sesuatu yang menarik di sana adalah titel yang dituliskan Pak Bungaran pada kartu nama itu: Professor of Agribusiness Economics. Barulah beliau berbicara panjang lebar, sampai pada forum lokakarya yang memang bertujuan untuk kembali mengingatkan falsafah agribisnis yang sebenarnya. Pada kesempatan itu saya kembali memperoleh penegasan bahwa agribisnis adalah suatu cara baru melihat, memandang dan memperlakukan sektor pertanian. Pak Bungaran seakan menegaskan kembali bahwa agribisnis tidak harus berkonotasi bisnis pertanian skala besar, tapi juga meliputi usaha pertanian skala kecil yang dijalankan oleh sebagian besar petani Indonesia. Pak Bungaran memiliki latar belakang ilmu ekonomi, atau tepatnya ilmu ekonomi pertanian, sehingga agribisnis sangat dekat hubungannya dengan salah satu cabang tertua dalam ilmu ekonomi tersebut. Pada kartu nama itu, Pak Bungaran memang sangat terlihat amat tulus, lurus dan percaya diri memperjuangkan agribisnis di Indonesia. Masyarakat awam kini lebih
R1_Refleksi AGB.indd 199
07/04/2010 19:04:51
200
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
banyak mengenal istilah agribisnis, dibanding misalnya, istilah usahatani yang semakin kehilangan nilai dan popularitasnya. Pada kartu nama baru Pak Bungaran itu, juga tersirat semacam klarifikasi terhadap kekhawatiran berbagai kalangan bahwa pendekatan agribisnis itu dianggap telah melenceng dari aspek budaya tani (agriculture) atau bahkan cara hidup petani dalam menjalankan teknik budidaya, bercocok tanam sekian macam tanaman, ternak, dan perikanan. Siapa pun paham, bahwa seorang petani adalah pelaku atau aktor ekonomi yang paling rasional, paling berani mengambil risiko, karena harus mengkombinasikan semua pengetahuan dan informasi yang dimilikinya, tentang petunjuk atau panduan mulai menebar benih, mulai menanam, mengalirkan air, menyiangi rumput, memanen hasil, mengolah sebagian dan menjualnya sebagian dari hasil panennya, untuk menjalankan dan mengurusi hidupnya. Petani yang tradisional sekalipun juga akan mampu membuat perencanaan dan melaksanakan agenda aksi yang telah dicanangkannya, baik yang berhubungan dengan usahataninya, maupun dengan aspek lain dalam kehidupan diri, keluarga dan masyarakatnya. Di sana pun juga tersirat bahwa satu macam bidang ilmu tentu tidak akan cukup untuk mengelola dan memajukan agribisnis. Agribisnis adalah suatu sistem yang perlu didekati dari sekian macam disiplin ilmu, dari ekonomi, sosial, manajemen, agronomi, proteksi tanaman, teknologi hasil dan pengolahan hasil, dan sebagainya. Pendekatan itu bisa multidisiplin, interdisiplin, atau bahkan transdisiplin yang merupakan bentuk atau format baru yang mungkin kelak akan mewarnai perjalanan agribisnis. Apabila format, sintesis atau tesis baru itu belum ditemukan, tidak terlalu salah apabila agribisnis dapat dilihat dan dikembangkan secara keroyokan dan terintegrasi dalam suatu keterpaduan “ilmu-ilmu agribisnis”. Sejarah suatu jurusan sosial ekonomi (SOSEK) pertanian yang saat ini telah melegenda di hampir seluruh universitas di Indonesia juga dimulai dari berhimpunnya sekian macam disiplin ilmu sosial dan ekonomi dalam bidang pertanian. Jika di IPB dikenal dengan nama jurusan “ilmu-ilmu sosial ekonomi pertanian”, di beberapa perguruan tinggi lain di Indonesia jurusan sejenis lebih banyak dikenal dengan nama “sosial ekonomi pertanian” saja. Perkembangan berlangsung demikian cepat, terutama dalam empat dasa warsa terakhir, sampai akhirnya terpolarisasi menjadi dua kubu yang sangat tajam, yaitu menjadi “ilmu ekonomi pertanian” dan “ilmu sosiologi perdesaan”. Di beberapa tempat, polarisasi bahkan menjadi tiga atau empat kubu yang meliputi “ilmu komunikasi pembangunan” dan “pengembangan atau pemberdayaan masyarakat”. Jika di beberapa universitas, legenda SOSEK itu
R1_Refleksi AGB.indd 200
07/04/2010 19:04:51
Prof. Bustanul Arifin
201
masih tetap bertahan karena dianggap memiliki perspektif historis yang tidak mudah dihapus begitu saja, tapi di IPB, legenda SOSEK itu kini telah hilang dan hanya menjadi sejarah. Dengan pandangan yang positif, pemisahan, penggabungan, dan pengembangan suatu bidang ilmu, memang diharapkan dapat berkontribusi pada kesejahteraan petani, kemajuan suatu bangsa dan kemaslahatan umat manusia secara keseluruhan. Selama lebih dari tiga dekade, Pak Bungaran senantiasa memperjuangkan agribisnis dalam setiap kesempatan, mulai dari memperkenalkan konsep dan definisinya, mengajarkannya kepada mahasiswa Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian di IPB pada waktu itu, melakukan penelitian dasar dan penelitian terapan tentang agribisnis, menjadi salah satu landasan pijak pada perjalanan lembaga yang dipimpinnya: Pusat Studi Pembangunan (PSP) IPB dan sebagainya. Ketika menjabat Menteri Pertanian pada masa administrasi Presiden Megawati Soekarnoputri, Pak Bungaran menyempurnakan konsep agribisnis itu dan menjalankannya sebagai suatu strategi kebijakan, dengan tambahan kosa kata penolong sehingga (seharusnya) mudah dimengerti, yaitu “sistem dan usaha agribisnis”. Agribisnis diperlakukan sebagai suatu sistem yang terdiri dari serangkaian subsistem, misalnya subsistem sarana produksi atau bahan baku di hulu, proses produksi biologis di tingkat bisnis atau usahatani, aktivitas transformasi berbagai fungsi bentuk (pengolahan), waktu (penyimpanan atau pengawetan), dan tempat (pergudangan) di tengah, serta pemasaran dan perdagangan di hilir, dan subsistem pendukung lain seperti jasa, permodalan, perbankan, dan sebagainya. Demikian pula, agribisnis dianggap sebagai suatu usaha atau ikhtiar yang berorientasi pada pencarian keuntungan, menggunakan prinsip-prinsip bisnis modern, bukan sekedar sistem pertanian tradisional yang berorientasi subsisten atau untuk pemenuhan konsumsi keluarga semata. Pendekatan sistem dan usaha agribisnis yang diusung dan dikembangkan oleh Pak Bungaran bukannya tanpa kritik dan kekhawatiran, baik dari internal pemikir dan praktisi di IPB, maupun dari kalangan lain yang lebih luas. Misalnya, banyak sekali pandangan bahwa petani kecil akan sangat sulit menjalankan konsep dan paradigma baru tentang sistem dan usaha agribisnis, karena akan sulit diharapkan suatu perubahan nilai yang sangat mendasar pada seorang petani kecil yang hanya menguasai lahan seperempat hektar atau kurang. Petani kecil sampai saat ini masih berperan sebagai penerima harga (price taker), yang secara ekonomi senantiasa tidak lebih baik dibandingkan kehidupan pedagang pengumpul, apalagi pedagang besar. Pedagang besar dan penggilingan padi dengan modal besar tidak jarang melakukan upaya
R1_Refleksi AGB.indd 201
07/04/2010 19:04:51
202
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
penimbunan beras pada saat-saat sulit, dan bahkan menentukan jenis merk dagang beras sesuai dengan perkembangan dan kecenderungan pasar. Dalam sistem dan usaha agribisnis yang senantiasa memerlukan suatu tindakan diversifikasi usaha ke tingkat yang lebih tinggi, petani kecil yang terbiasa berpandangan dan berprilaku subsisten tentu agak sulit melakukan diversifikasi usaha itu. Akan tetapi, Pak Bungaran terus berfikir positif dan tidak henti-henti memacu semangat para murid, junior, staf, dan bahkan petani sendiri untuk mulai mencoba berkembang, termasuk jika harus mengusahakan komoditas lain yang memiliki nilai tambah sangat tinggi. Di satu sisi, kasus bergesernya usaha agribisnis petani tanaman pangan padi ke komoditas hortikultura, buah-buahan, tanaman keras dan lain-lain yang bernilai ekonomi tinggi tentu dapat dilihat dari kacamata positif dan kaca mata negatif. Kaca mata positif adalah apabila pergeseran usaha agribisnis itu disertai penyediaan akses dan tambahan modal kerja dan investasi untuk adopsi teknologi baru, akses informasi, intensitas tenaga kerja proses produksi, manajemen pengolahan, pemasaran, dan pascapanen, baik secara individual maupun secara kelompok sebagaimana disyaratkan dalam suatu sistem agribisnis. Kaca mata negatif adalah apabila pergeseran usaha agribisnis ke arah komoditas ekonomi bernilai tambah tinggi itu justru melupakan sistem produksi tanaman pangan pokok dan palawija sebagai penjaga garis belakang tingkat ketahanan pangan nasional. Dimensi lain dari sisi diversifikasi usaha agribisnis ini juga dapat menjadi amat positif dan berkontribusi bagi pembangunan agribisnis di Indonesia, terutama apabila hal tersebut mampu dilebarkan ke arah penanggulangan masalah-masalah lain yang lebih struktural. Selama ini, laju diversifikasi usaha agribisnis di Jawa dan Bali dari usaha agribisnis tanaman pokok ke komoditas lain dengan nilai tambah tinggi berjalan terlalu cepat. Membiarkan proses diversifikasi usaha itu berjalan sesuai dengan mekanisme pasar dan sistem kapitalistik tentu akan menghasilkan bencana baru karena akan terjadi akumulasi lahan dan kapital lain dalam genggaman satu-dua orang tuan tanah. Di sinilah sentuhan kebijakan pemihakan dari pemerintah masih amat diperlukan untuk hanya skedar melanjutkan dinamika diversifikasi usaha agribisnis ke arah peningkatan nilai ekonomi komoditas yang lebih tinggi. Dengan kata lain, pembangunan agribisnis Indonesia memang senantiasa mensyaratkan pengembangan sekian macam subsistem dari sistem agribisnis itu sendiri, terutama yang berhubungan dengan perangkat kebijakan dan aspek pemihakan, yang nota bene, bukan domain dari pelaku agribisnis, tetapi
R1_Refleksi AGB.indd 202
07/04/2010 19:04:51
Prof. Bustanul Arifin
203
merupakan tanggung jawab dari perumus kebijakan dan pelaksana kebijakan di tingkat pusat dan daerah. Indonesia memerlukan tambahan inovasi dan amunisi lain dalam menyelesaikan pengembangan diversifikasi usaha agribisnis, karena strategi pembangunan pada sektor strategis ini memang memerlukan suatu perencanaan yang matang. Walaupun telah cukup lama absen pada dunia administrasi pemerintahan sejak lima tahun terakhir, Pak Bungaran sebenarnya masih menaruh perhatian dan melihat dari dekat perkembangan dan kinerja agribisnis Indonesia. Perhatian Pak Bungaran untuk pembangunan agribisnis di Luar Jawa, terutama dalam kerangka pembangunan regional dan pemerataan pendapatan menjadi demikian sentral. Sebagaimana diketahui, di beberapa daerah di Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan bahkan Papua, pembangunan agribisnis di sektor perkebunan, seperti kelapa sawit, karet, kopi, kakao dan lain-lain terjadi demikian intensif (dan ekstensif). Tidak secara kebetulan apabila kini Indonesia telah menduduki posisi produsen minyak sawit terbesar di dunia, jauh meninggalkan Malaysia. Indonesia adalah salah satu produsen kopi keempat terbesar di dunia setelah Brazil, Kolumbia dan Vietnam. Indonesia adalah produsen kopi Robusta ketiga terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana di Afrika. Alangkah gemilangnya ekonomi pertanian Indonesia apabila beberapa komoditas unggulan tersebut mampu memberikan nilai tambah pada industri hilir yang lebih besar lagi. Salah satu subsistem penting dalam sistem agribisnis adalah subsistem agroindustri atau pengolahan hasilhasil pertanian. Saya ingat persis perjuangan Pak Bungaran dalam perumusan dan pelaksanaan strategi besar pembangunan agribisnis ketika menjadi bagian dari pemerintahan, karena agribisnis itu selain memerlukan strategi pemihakan, juga memerlukan langkah konkrit di tingkat lapangan. Perjuangan berupa pemberian insentif pajak, akses permodalan dan informasi bagi pelaku agribisnis yang akan melakukan investasi pada sektor pengolahan dan pemasaran di hilir tentu tidak akan begitu saja mampu diwujudkan. Sementara secara teoritis, hampir semua orang tahu bahwa esensi peningkatan nilai tambah komoditas agribisnis, mulai dari tanaman pangan, perkebunan, peternakan, dan perikanan amat sangat diperlukan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif atau daya saing agribisnis Indonesia pada kancah regional dan global. Logikanya, investasi di sektor hilir tersebut pasti akan menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja terampil dan berpendidikan tinggi. Aktivitas ini akan menggairahkan ekonomi pedesaan, tanpa harus bekerja keras membendung arus urbanisasi yang terkadang didominasi tenaga tidak
R1_Refleksi AGB.indd 203
07/04/2010 19:04:51
204
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
terampil dan berpendidikan rendah. Secara teori, stratregi seperti inilah yang seharusnya menjadi pilihan oleh setiap masa administrasi pemerintahan untuk menjalankan pembangunan ekonomi yang lebih berkualitas dan lebih produktif yang mampu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Sebagai penutup, Pak Bungaran senatiasa menekankan bahwa pembangunan agribisnis harus berada dalam suatu kerangka yang terpadu, terintegrasi dan menyeluruh. Memperlakukan suatu sistem dan usaha agribisnis dalam satuan yang terpisah hanya akan menimbulkan gangguan serius dalam seluruh rangkaian yang ada, dan tidak mustahil dapat menciptakan permasalahan tingkat berikutnya yang lebih dahsyat. Sistem dan usaha agribisnis mengedepankan suatu sistem budaya, organisasi dan manajemen yang amat rasional, dirancang untuk memperoleh nilai tambah yang dapat disebar dan dinikmati oleh seluruh pelaku ekonomi secara fair, dari petani produsen, pedagang dan konsumen dari segenap lapisan masyarakat. Sekali lagi, esensi utama suatu sistem agribisnis adalah suatu keterkaitan dari seluruh komponen dan sub-sistem agribisnis. Tantangan tindak lanjut dan pengejawantahan dari konsep yang terpadu tersebut tentu sangat besar, terutama jika terdapat gangguan atau ketidakseimbangan faktor eksternal yang sukar sekali dikendalikan. Tantangan inheren dari komoditas agribisnis yang mengandung risiko dan ketidakpastian, tentu memerlukan suatu kearifan ekstra bagi pemikir, pengajar, pelaksana, dan pekerja administrasi suatu sistem agribisnis. Para hadirin yang hadir pada lokakarya agribisnis di IPB pada bulan Februari 2010 memang sangat beragam, mulai dari kalangan internal di departemen, pejabat fakultas, petinggi universitas, sampai pada para alumni dan pelaku agribisnis atau calon pengguna dari intelektual yang dihasilkan oleh Departemen Agribisnis, IPB. Nuansa atau tone dari lokakarya itu sendiri sebenarnya telah menurun, tidak meninggi seperti pada pertama kali diselenggarakan sekian tahun yang lalu. Seperti dapat diduga, pokok diskusi pada masa awal rencana pendirian program pascasarjana agribisnis tersebut terpusat pada kekhawatiran redundansi dengan Program Magister Manajemen Agribisnis yang bernaung di bawah Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis di Institut Pertanian Bogor (MB-IPB). Namun, setelah Dr. Arief Daryanto sebagai Direktur MB-IPB memberikan penjelasan dan klarifikasi tentang perbedaan karakter program keilmuan dan program profesi, semuanya menjadi jelas dan nampaknya akan berakhir menyenangkan (happy ending). Di IPB, agribisnis tidak hanya dapat didekati dan dipelajari sebagai sains, tapi juga dapat dipelajari sebagai profesi. Kedua pendekatan ini
R1_Refleksi AGB.indd 204
07/04/2010 19:04:51
Prof. Bustanul Arifin
205
seharusnnya membawa kesejahteraan petani, sebagai pelaku utama agribisnis, dan kemaslahatan umat secara keseluruhan. Akhirnya, catatan ini tentu saja masih jauh dari lengkap untuk menggambarkan betapa pemikiran, tindakan, dan dedikasi Pak Bungaran memang sangat tinggi untuk memajukan agribisnis di Indonesia. Tapi, sebagai catatan dari seorang murid, nampaknya tidaklah terlalu berlebihan untuk menyebutkan bahwa Pak Bungaran adalah salah satu (jika memang lebih dari seorang) Bapak Agribisnis Indonesia. Terima kasih atas semua jasa, pelajaran, pengorbanan dan perjuangan Bapak membangun agribisnis Indonesia. Saya dan beberapa murid Bapak akan meneruskan perjuangan itu.
R1_Refleksi AGB.indd 205
07/04/2010 19:04:51
R1_Refleksi AGB.indd 206
07/04/2010 19:04:53
Bungaran Saragih, Guru dan Pemimpin Pembangunan Agribisnis Indonesia Dr. Delima Hasri Azahari Darmawan Pendahuluan Prof. Bungaran Saragih, adalah dosen IPB yang penulis kenal sebagai dosen di Jurusan Agribisnis, Departemen Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). Beliau, penulis anggap sebagai “abang” yang penuh semangat dalam memperkenalkan konsep pembangunan agribisnis, bahkan kalau boleh diberi gelar sebagai Pejuang Agribisnis. Walaupun penulis tidak pernah secara langsung diajar beliau, tetapi penulis mendengar sepak terjang beliau dalam memperkenalkan “Konsep Agribisnis” melalui tulisan beliau sebagai kolomnis “Suara Dari Bogor”, makalah beliau dalam berbagai seminar terutama di KADIN dan tentu saja dari disertasi pak Bungaran tentang keyakinan beliau akan pengembangan kelapa sawit di Indonesia dengan pendekatan agribisnis. Dari semua itu, penulis yang pada tahun 1990, sekembali dari menyelesaikan studi program Doktor dari University of Illinois, Champaign-Urbana, USA, sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, yang dipekerjakan sebagai Ketua Kelompok Bidang Pertanian (Konsultan Ahli) di Center for Policy Implementation Studies (CPIS), sebuah lembaga penelitian di bawah Departemen Keuangan dan juga menjabat sebagai Pembantu Asisten Menteri Kordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) merasa mempunyai “chemistry” dengan pendekatan pembangunan pertanian yang tidak hanya menganggap produksi pertanian hanya untuk subsisten dan mencapai self-sufficiency, namun pembangunan pertanian harus dipandang sebagai suatu usaha komersial atau bisnis yang sangat menjanjikan dengan memandang bahwa pertumbuhan sektor pertanian sebagai mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia. Keyakinan pak Bungaran akan hal ini sangat sejalan dengan pemikiran kami pada saat di Ekuin membantu Prof. Saleh Afiff dan Dr. Djunaedi Hadisumarto, keduanya ekonom dari Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, sebagai atasan langsung penulis yang menugaskan penulis untuk memberikan pertimbangan teknis peninjauan kembali kebijakan pembangunan pertanian dengan pendekatan “at all cost” pada periode itu. Pemikiran Prof. Bungaran Saragih tentang konsep Agribisnis, dimana seluruh pelaku atau stakeholders
R1_Refleksi AGB.indd 207
07/04/2010 19:05:02
208
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
yang terlibat dalam proses produksi, pemasaran dan pengolahan produk pertanian haruslah memperoleh manfaat ekonomi secara adil merupakan pendekatan yang dirasakan penulis paling tepat untuk meninjau kembali kebijakan pembangunan pertanian pada saat itu yang dipandang oleh para ekonom baik di Kantor Menko Perekonomian, Bappenas dan Departemen Keuangan, sebagai kebijakan yang telah menghabiskan banyak uang negara melalui kebijakan subsidi input pertanian terutama pupuk, benih, dan pestisida dipandang terlalu banyak diintervensi oleh Pemerintah, sehingga sektor swasta tidak berminat terlibat dan sebagai akibatnya sektor pertanian menjadi tidak produktif.
Undangan sebagai Tantangan Pertemuan penulis dengan Prof. Bungaran, terjadi pada bulan September 2000 setelah Rapat kordinasi terbatas Ketahanan Pangan yang diadakan oleh Kantor Menko Ekuin di ruang Serbaguna, Bappenas. Setelah memperkenalkan diri, penulis diundang Prof Bungaran yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertanian, untuk menemui beliau di kantornya, seraya menyampaikan sudah saatnya penulis kembali ke Departemen Pertanian setelah selama 10 tahun menjabat Eselon 2 di kantor Menko Ekuin/Perekonomian. Pada bulan April 2001, penulis diangkat Prof. Bungaran Saragih, menjadi Staf Ahli Menteri Bidang Kerjasama Luar Negeri, dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian atau SK internal, alasan beliau mengeluarkan SK internal adalah karena beliau sedang mengusulkan penulis untuk diangkat pada posisi yang lebih tepat dengan SK Presiden. Pengangkatan penulis sebagai Staf Ahli Bidang Kerjasama Luar Negeri, menggantikan posisi Ir. Natigor Siagian, yang diposisikan beliau sebagai Sekretaris Menteri Pertanian. Penugasan pertama penulis adalah mendampingi Direktur Jenderal Pengolahan Hasil Pertanian Primer, pada waktu itu dijabat oleh Dr. Ir. Iskandar Andi Nuhung, menghadiri Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-IV di Qatar, Doha. Konferensi Tingkat Menteri di Doha, merupakan titik awal pembahasan Putaran Baru WTO yang meninjau kembali implementasi dari Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang dirasakan tidak adil bagi negara berkembang. Sekembali dari KTM tersebut, DirjenPengolahan Hasil Pertanian Primer dan penulis diminta melaporkan hasil KTM pada Rapat Pimpinan (Rapim) Departemen Pertanian. Penulis secara komprehensif melaporkan hasil KTM yang dikenal sebagai Doha Development Agenda (DDA) dan penulis menyampaikan bahwa pemikiran
R1_Refleksi AGB.indd 208
07/04/2010 19:05:02