Agribisnis dan Prof. Bungaran Saragih: Konsep dan Implementasinya Prof. Achmad Suryana
Ketika saya sedang dalam perjalanan menuju Desa Nunkurus, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, masuk sebuah email, isinya menyampaikan surat Dr. Bayu Krisnamurthi sebagai pemrakarsa Panitia Purna Bakti Profesor Bungaran Saragih. Surat tersebut meminta saya untuk turut menyumbang tulisan berisi refleksi, kesan atau komentar mengenai perjalanan Profesor Bungaran Saragih dalam pengembangan agribisnis di Indonesia. Pada saat itu saya akan mengunjungi sebuah LM3 (lembaga mandiri yang mengakar di masyarakat), yang mendapat kegiatan pemberdayaan masyarakat dari Kementerian Pertanian dan kementerian lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar LM3. Kegiatan yang secara khusus akan saya tinjau adalah pengembangan lumbung pangan masyarakat dan usaha mikro/rumah tangga pengolahan pangan. Kedua kegiatan ini berkaitan erat dengan pemberdayaan ketahanan pangan masyarakat. Secara seketika, dalam pemikiran saya muncul sebuah pertanyaan: Apakah kegiatan di LM3 yang akan saya kunjungi ini dapat dikategorikan sebagai agribisnis? Lalu, saat Pak Set Malelak sebagai juru bicara Kelompok Masyarakat (Pokmas) menerangkan berbagai kegiatan di LM3 tersebut, saya menyimaknya secara sungguh-sungguh dan berupaya meletakkan berbagai kegiatan yang dijelaskannya pada suatu kerangka atau bingkai khusus, seperti halnya menyusun potongan-potongan “puzzle” untuk membentuk suatu gambar khusus, dalam bingkai konsep dan paradigma agribisnis, yang menjadi salah satu “trademark” Prof. Bungaran Saragih. Pak Set dengan lancar menjelaskan dan menjawab pertanyaan dari anggota rombongan yang mengunjunginya tentang berbagai kegiatan di kelompoknya; sebagian sudah berjalan dengan baik, sebagian masih dalam perencanaan yang sudah mendapat janji/tawaran dari pihak-pihak yang akan membantu, dan sebagian lagi masih dalam pemikiran atau angan-angannya. Kalau diruntutkan berdasarkan kerangka sistem agribisnis (dengan mencampurkan rencana dan kegiatan yang sudah berjalan), LM3 tersebut sedang dan akan melaksanakan berbagai kegiatan ekonomi produktif. Pertama, usahatani terintegrasi antara jagung-penggemukan ternak sapi.
R1_Refleksi AGB.indd 89
07/04/2010 19:03:27
90
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Dalam proses produksi ini, selain kegiatan produksi komoditas pangan, juga terdapat upaya untuk meningkatkan efisiensi sumberdaya, yaitu pemanfaatan limbah tanaman sebagai sumber pakan dan kotoran ternak sebagai sumber pupuk organik. Kedua, usaha pengolahan pangan skala mikro. Dengan alat dan mesin penggiling kapasitas kecil dikombinasikan dengan sortasi secara konvensional, jagung pipilan kering diproses menjadi berbagai bentuk jenis bahan baku, yaitu beras jagung yang dapat dimanfaatkan menjadi jagung bose (makanan pokok khusus penduduk NTT); bahan untuk bubur jagung, dengan ukuran butiran yang lebih kecil dari yang pertama; tepung jagung untuk bahan olahan pangan lanjutan; dan limbahnya masih dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak. Ketiga, kegiatan pemasaran hasil jagung olahan. Pada saat ini beras jagung dan bahan baku bubur jagung, baru dapat masuk ke pasar tradisional sampai ke Kota Kupang, dengan harga jual Rp. 5000/kemasan 0,5 kg (harga lebih tinggi dari harga beras kualitas medium). Kedua produk ini telah dikemas dengan proses pengemasan yang cukup memadai (dengan sistem vakum dan disain kemasan yang menarik), sehingga produk ini dapat disimpan relatif lama dan dapat menarik minat pembeli. Menurut Pak Set, pasar lokal ini masih belum jenuh. Pak Set mengemukakan angan-angannya suatu saat produk bahan baku olahan pangan dari jagung dapat menembus pasar modern, tidak saja di Kupang, tetapi juga ke Jawa (Surabaya, Jakarta) atau Sulawesi (Makasar), bahkan juga ke negara tetangga Timor Leste. Sewaktu diskusi kenapa anganangan tersebut belum dipraktekkan? Lantas teridentifikasi bahwa upaya Pak Set ini masih bersifat rintisan dan baru menggeliat berkat adanya inisiasi dan dukungan dari berbagai program pemerintah (Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan) dan inisiatif swasta/lembaga non pemerintah. Jadi masih berupa embrio yang perlu mendapat berbagai insentif dan pendampingan. Menurut saya, itulah salah satu penerapan konsep agribisnis dalam skala mikro/kecil dalam realitasnya di lapangan, pada kondisi Indonesia yang didominasi oleh usaha skala kecil, keterbatasan kemampuan menerapkan teknologi, keterbatasan akses modal kerja, dan juga lemahnya kemampuan menjangkau jaringan pemasaran. Hal inilah yang sering diingatkan oleh Prof Bungaran Saragih. Dalam pengembangan agribisnis, terutama skala kecil, agar mereka mempunyai daya saing, perlu dukungan pemerintah berupa kebijakan “proteksi dan promosi” secara simultan.
R1_Refleksi AGB.indd 90
07/04/2010 19:03:27
Prof. Achmad Suryana
91
Agribisnis, dalam konteks ilmu pengetahuan dan pemikiran teori ekonomi dan bisnis, bukan konsep yang lahir di Indonesia. Pernyataan ini pernah dibahas dalam suatu seminar yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian tahun 1998. Untuk keperluan tulisan ini, makalah yang ditulis dan disajikan 12 tahun lalu tersebut saya manfaatkan kembali dengan mengutip secara intensif pada beberapa bagiannya1). Dengan merujuk pada buku Drillon (1971)2), agribisnis sebagai suatu konsep ilmu dilahirkan di Harvard University tahun 1957 melalui penerbitan buku “A Conception of Agribusiness” yang ditulis John H. Davis dan Ray A. Goldberg. Menurut kedua penulis tersebut, pengertian agribisnis adalah : “Agribusiness is the sum total of all operation involved in the manufacturing and distribution of farm supplies; production activities on the farm; and the storage, processing and distribution of farm commodities and item made from them“, Dalam pengertian seperti itu, agribisnis mengandung makna tidak hanya kegiatan produksi pertanian, tetapi juga meliputi kegiatan manufaktur (industri) serta distribusi input pertanian, penyimpanan, dan pengolahan, serta distribusi hasil-hasil pertanian. Secara sektoral, Drillon (1971) mengemukakan agribisnis meliputi seluruh sektor pertanian dan sebagian sektor industri yang menghasilkan agro input seperti benih, pupuk, pestisida dan yang mengolah produk pertanian, baik barang setengah jadi, bahan baku lanjutan, ataupun barang jadi untuk konsumen akhir. Dilihat dari luasnya cakupan sektoral, maka agribisnis sebagai suatu totalitas kegiatan dari ekonomi suatu negara mempunyai peranan penting, baik bagi pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, pengentasan kemiskinan, bahkan relevan dengan kondisi saat ini bagi keberlanjutan otonomi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Uraian di atas menegaskan bahwa sebagai suatu sistem, agribisnis dibentuk oleh beberapa subsistem yang terkait secara berangkai satu dengan lainnya. Struktur vertikal dari suatu sistem agribisnis menurut Drilon (1971) adalah (vertikal dari atas ke bawah): (i) pemasaran, (ii) pengolahan, (iii) produksi, (iv) input pertanian, (v) penelitian dan penyuluhan, dan (vi) kebijaksanaan dan program pembangunan. Dari konsep Drillon ini, yang seringkali dilupakan dalam diskusi implementasi agribisnis adalah pentingnya subsistem penelitian dan penyuluhan. Agribisnis tanpa dukungan teknologi (yang semestinya terus menerus diperbaharui melalui penelitian, terlebih lagi saat ini adanya perubahan iklim global), dan tanpa adanya sistem diseminasi atau penyampaian teknologi tersebut secara tepat kepada para penggunanya
R1_Refleksi AGB.indd 91
07/04/2010 19:03:27
92
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
(melalui sistem penyuluhan yang efektif dan efisien), hampir mustahil untuk dapat dikembangkan dengan baik. Dari sisi kegiatan pendidikan tinggi, ilmu agribisnis mulai dikembangkan di Amerika Serikat pada awal 1960-an, dengan membuka program studi agribisnis yang lebih terstruktur, khususnya untuk tingkat S-1. Di Philipina, agribisnis mulai dikenal pada lingkungan perguruan tinggi tahun 1966, ketika University of The Philippines membuka program studi agribisnis. Di Indonesia buku Drilon tersebut mulai diperkenalkan secara intensif kepada para mahasiswa Jurusan Sosek Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) program S-1, terutama angkatan awal program sarjana 4 tahun pada pertengahan 1970-an3). Sejalan dengan perkembangan pemikiran di perguruan tinggi di Indonesia, agribisnis mulai masuk juga ke dalam pemikiran para penentu kebijakan di pemerintahan. Sebagai suatu kebijakan pemerintah, secara formal kata agribisnis mulai masuk ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 19934), namun selalu digandengkan dengan kata agroindustri. Agribisnis sebagai suatu pendekatan pembangunan dinyatakan secara eksplisit dalam Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) VI di Departemen Pertanian. Pengertian sistem agribisnis dijelaskan dalam dokumen resmi Departemen Pertanian tersebut, sebagai suatu sistem yang meliputi semua aktivitas mulai dari pengadaan dan penyaluran sarana produksi sampai pada pemasaran produk-produk yang dihasilkan oleh suatu usahatani atau suatu usaha agroindustri. Dengan demikian, menurut versi pemerintah Indonesia sistem agribisnis merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai subsistem, yaitu: (1) subsistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi, teknologi dan pengembangan sumberdaya pertanian, (2) subsistem produksi pertanian atau usahatani, (3) subsistem pengolahan hasil-hasil pertanian atau agroindustri, (4) subsistem distribusi dan pemasaran hasil pertanian, dan (5) subsistem penunjang, berupa penelitian, penyuluhan, dan informasi pasar. Oleh karena sistem ini merupakan suatu runtut kegiatan yang berkesinambungan mulai dari hulu sampai hilir, maka keberhasilan pengembangan agribisnis ini sangat tergantung kepada kemajuan-kemajuan yang dapat dicapai pada setiap simpul yang menjadi subsistemnya. Untuk mengimplementasikan kebijakan agribisnis tersebut pada Kabinet Pembangunan VI (1994-1998), salah satu langkah yang diambil Departemen Pertanian adalah membentuk unit kerja eselon I dengan nomenklatur Badan Agribisnis. Pada prinsipnya, institusi baru ini diharapkan dapat menjadi
R1_Refleksi AGB.indd 92
07/04/2010 19:03:27
Prof. Achmad Suryana
93
lembaga pemikir, baik secara konsepsional ataupun disain implementasinya, bagi pengembangan agribisnis di Indonesia. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa secara keilmuan, IPB telah memprakarsai pengembangan agribisnis ini sejak pertengahan 1970-an, diasuh oleh beberapa dosen senior dari Jurusan Sosek Pertanian, seperti Prof. Rudolf Sinaga, Prof. Suharjo, Prof. Teken, Prof. Sjarifuddin Baharjah, dll. Pengembangan lebih lanjut dari ilmu agribisnis ini sehingga menjadi bidang studi yang populer dan sangat diminati oleh mahasiswa sampai sekarang dilaksanakan oleh para dosen generasi berikutnya, dengan salah satu motor penggeraknya Prof. Bungaran Saragih. Proses ini dimulai dekade 1980 dan terus terjadi estafet sampai sekarang, dimana mencapai titik optimumnya pada dekade 1990. Di sisi lain, melalui prakarsa Prof. Sjarifudin Baharjah, dosen senior Sosek IPB yang juga berkesempatan berkiprah di Departemen Pertanian cukup lama dan mencapai karier puncaknya sebagai Menteri Pertanian, konsep agribisnis tersebut dibawa ke tataran implementasi menjadi kebijakan pembangunan pertanian, dan dilaksanakan di lapangan dalam bentuk program/kegiatan pembangunan, termasuk salah satunya pembentukan Badan Agribisnis di Departemen Pertanian. Dari sini kita dapat melihat ada kegiatan yang paralel (walaupun mungkin tidak disengaja) pengembangan agribisnis pada dekade 1990, yaitu pengembangan ilmu di IPB dan implementasinya di Departemen Pertanian. Interaksi pertama kali saya dengan Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec terjadi pada saat mengikuti mata ajaran Sejarah Pemikiran Ekonomi (History Economic Thought), sebagai mata ajaran pilihan untuk program studi S2 Jurusan Ekonomi Pertanian IPB pada tahun 1980. Melalui pelajaran itu, kami dikenalkan secara lebih intensif mengenai berbagai perkembangan paham dalam ilmu ekonomi, yang dimulai dari pemikiran Adam Smith dalam buku klasiknya The Wealth of Nations yang pertama kali terbit tahun 1776, teori klasik dan neo-klasik sampai dengan yang mutakhir (waktu itu tahun 1980) tentang pendekatan rational expectation. Interaksi kedua dengan Pak Bungaran Saragih pada saat saya baru pulang dari Raleigh, North Carolina, Amerika Serikat tahun 1986. Sebagai adik kelas satu almamater di North Carolina State University (NCSU) dan juga mempunyai pembimbing utama penulisan disertasi yang sama5), saya menemui beliau di kantornya di Departemen Sosek IPB untuk menyampaikan pesan dan salam dari pembimbing disertasi kami kepada Pak Bungaran.
R1_Refleksi AGB.indd 93
07/04/2010 19:03:27
94
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Walau cukup singkat, dalam pertemuan tersebut ada dua hal yang dapat dipetik sebagai pelajaran dari senior untuk juniornya. Pertama, as young PhD, you have to prove that you are capable of doing the things excellently. Dalam era yang semakin kompetitif ini, good is not enough, you have to be an excellent one. Pada akhir pertemuan, Pak Bungaran menyodorkan sebuah buku tebal konsep laporan penelitian tentang pembangunan berwawasan lingkungan di DAS Citanduy, dimana pada saat itu beliau memimpin proyek penelitian tersebut. Beliau meminta saya untuk memberikan critical review atas isi laporan tersebut. Seminggu kemudian saya menghadap beliau lagi, menyampaikan beberapa lembar tulisan critical review yang diminta. Setelah dilihat beberapa menit saja, beliau menulis cek untuk saya dengan nilai yang cukup besar untuk ukuran saat itu. Uang tersebut sangat bermanfaat bagi staf muda yang baru pulang sekolah dan belum dapat pekerjaan tambahan untuk memperbaiki neraca keuangannya. Beliau pasti tahu itu, apalagi pada tahun 1986 belanja pemerintah sangat terbatas. Terima kasih Pak Bungaran. Pelajaran kedua, Pak Bungaran memberi nasihat perlunya pencitraan yang prima, baik dalam pelaksanaan pekerjaan ataupun penampilan diri. “Kalau kau datang menemui pimpinan suatu lembaga atau perusahaan dengan baju lusuh dan bermandi keringat, misalnya karena untuk sampai ke kantornya naik bis kota (saat itu belum ada Trans Jakarta), kesan awal kau sudah tidak akan meyakinkan. Akan susah untuk selanjutnya kau dapat meyakinkan yang diajak bicara bahwa kau punya sesuatu yang berharga atau kemampuan yang lebih”. Pencitraan merupakan bagian dari salah satu strategy marketing yang harus selalu diperhatikan apabila kita ingin tetap exist, apabila kita ingin sukses menjual suatu produk, apapun produknya. Dan itu adalah bagian dari ilmu bisnis, dan juga ilmu agribisnis, bila itu terkait dengan produk-produk pertanian. Kedua pepatah tersebut bermanfaat bagi saya dalam meniti karier selanjutnya, walau mungkin Pak Bungaran pada saat itu menyampaikannya sambil lalu, dan barangkali sekarang sudah tidak ingat lagi. Interaksi ketiga, sangat intensif serta dalam waktu yang relatif lama, saat Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, MEc menjadi Menteri Pertanian di era Kabinet Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan dilanjutkan dengan Kabinet Megawati Soekarnoputri, mulai tahun 2000 sampai 2004. Pada tahun 2000,
R1_Refleksi AGB.indd 94
07/04/2010 19:03:27
Prof. Achmad Suryana
95
saya sudah menjadi Kepala Badan Urusan Ketahanan Pangan di Departemen Pertanian. Pak Bungaran Saragih mempunyai kesempatan untuk mengimplementasikan konsep-konsepnya mengenai agribisnis. Pada era Pak Bungaran, Dewan Ketahanan Pangan diperankan sangat aktif sebagai lembaga koordinasi antar instansi di pusat dan daerah untuk merumuskan kebijakan dan mengevaluasi pengembangan ketahanan pangan, dengan mensinergikan berbagai subsistem agribisnis pangan. Kami staf di Badan Ketahanan Pangan juga didorong untuk mengkomunikasikan berbagai pemikiran, kebijakan, dan capaian pembangunan pertanian dan ketahanan pangan kepada publik, antara lain dengan melanjutkan rubrik “Suara dari Bogor”-nya Pak Bungaran di koran Suara Pembaruan, dengan tema khusus ketahanan pangan. Sekali lagi, ini menunjukkan betapa pentingnya masalah komunikasi dan pencitraan. Pak Bungaran paham sekali peran dan psikologi pasar, dan karena itu beliau pandai memanfaatkan perilaku pasar untuk mencapai salah satu tujuan pembangunan ketahanan pangan, yaitu stabilitas pasokan dan harga pangan pokok dan strategis. Sebagai contoh, setiap tahun dalam tugasnya sebagai Menteri Pertanian, pada saat menjelang bulan puasa dan hari raya lebaran, natal, serta tahun baru, beliau rajin mengunjungi sentra-sentra produksi pangan pokok strategis seperti ke Brebes untuk sentra bawang atau ke RPH (Rumah Potong Hewan) Cakung untuk daging sapi. Beliau juga rajin mengunjungi pasar-pasar, termasuk pasar tradisional baik di Jakarta atau di kota besar lainnya, bertanya tentang harga telur, daging ayam, gula, bertanya tentang kelancaran pasokan cabe merah, bawang merah, dan sayuran lainnya. Di setiap akhir acara, beliau berbicara kepada wartawan, bahwa pasokan pangan pokok cukup, distribusi sedikit terganggu karena (misalnya: cuaca) tetapi pemerintah akan segera mengatasinya, dan harga-harga memang mulai naik namun masih wajar. “Naik sedikit ga’ apa-apa toh, agar petani dapat menikmati jerih payahnya, sehingga mereka juga dapat berlebaran dengan senang hati”. Upaya tersebut membuahkan hasil, yaitu relatif stabilnya harga-harga kebutuhan pangan pada hari-hari besar keagamaan tersebut. Itulah komunikasi yang efektif dengan publik, itulah pencitraan positif mengenai ketersediaan pasokan dan keseriusan pemerintah, dan itulah agribisnis dalam prakteknya. Sewaktu saya mendapat kepercayaan dari Pak Bungaran untuk memimpin Badan Litbang Pertanian di awal tahun 2004, beliau berpesan agar: Pertama, hasil-hasil penelitian yang sudah banyak segera dipilah dan dipilih yang layak
R1_Refleksi AGB.indd 95
07/04/2010 19:03:27
96
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
untuk diimplementasikan dalam rangka menciptakan manfaat dari penelitian yang sudah dilakukan selama ini. Kedua, Badan Litbang Pertanian dan penelitinya perlu didorong menuju frontier untuk menghasilkan teknologi terapan yang dapat meningkatkan produktifitas dan efisiensi usaha guna mendukung pembangunan agribisnis komoditas. Catatan akhir dari tulisan ini, saya boleh mengemukakan pendapat bahwa Bapak Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, MEc sangat beruntung dapat mengembangkan ilmu agribisnis di IPB, mendidik mahasiswanya memahami dan memperkaya ilmu tersebut, dan pada saat yang tepat dapat mengimplementasikannya di Departemen Pertanian. Saya juga sangat beruntung karena dapat menjadi saksi dan terlibat aktif dalam proses yang sangat berharga ini.
R1_Refleksi AGB.indd 96
07/04/2010 19:03:29