Bungaran Saragih, Guru dan Pemimpin Pembangunan Agribisnis Indonesia Dr. Delima Hasri Azahari Darmawan Pendahuluan Prof. Bungaran Saragih, adalah dosen IPB yang penulis kenal sebagai dosen di Jurusan Agribisnis, Departemen Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB). Beliau, penulis anggap sebagai “abang” yang penuh semangat dalam memperkenalkan konsep pembangunan agribisnis, bahkan kalau boleh diberi gelar sebagai Pejuang Agribisnis. Walaupun penulis tidak pernah secara langsung diajar beliau, tetapi penulis mendengar sepak terjang beliau dalam memperkenalkan “Konsep Agribisnis” melalui tulisan beliau sebagai kolomnis “Suara Dari Bogor”, makalah beliau dalam berbagai seminar terutama di KADIN dan tentu saja dari disertasi pak Bungaran tentang keyakinan beliau akan pengembangan kelapa sawit di Indonesia dengan pendekatan agribisnis. Dari semua itu, penulis yang pada tahun 1990, sekembali dari menyelesaikan studi program Doktor dari University of Illinois, Champaign-Urbana, USA, sebagai peneliti pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, yang dipekerjakan sebagai Ketua Kelompok Bidang Pertanian (Konsultan Ahli) di Center for Policy Implementation Studies (CPIS), sebuah lembaga penelitian di bawah Departemen Keuangan dan juga menjabat sebagai Pembantu Asisten Menteri Kordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) merasa mempunyai “chemistry” dengan pendekatan pembangunan pertanian yang tidak hanya menganggap produksi pertanian hanya untuk subsisten dan mencapai self-sufficiency, namun pembangunan pertanian harus dipandang sebagai suatu usaha komersial atau bisnis yang sangat menjanjikan dengan memandang bahwa pertumbuhan sektor pertanian sebagai mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia. Keyakinan pak Bungaran akan hal ini sangat sejalan dengan pemikiran kami pada saat di Ekuin membantu Prof. Saleh Afiff dan Dr. Djunaedi Hadisumarto, keduanya ekonom dari Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, sebagai atasan langsung penulis yang menugaskan penulis untuk memberikan pertimbangan teknis peninjauan kembali kebijakan pembangunan pertanian dengan pendekatan “at all cost” pada periode itu. Pemikiran Prof. Bungaran Saragih tentang konsep Agribisnis, dimana seluruh pelaku atau stakeholders
R1_Refleksi AGB.indd 207
07/04/2010 19:05:02
208
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
yang terlibat dalam proses produksi, pemasaran dan pengolahan produk pertanian haruslah memperoleh manfaat ekonomi secara adil merupakan pendekatan yang dirasakan penulis paling tepat untuk meninjau kembali kebijakan pembangunan pertanian pada saat itu yang dipandang oleh para ekonom baik di Kantor Menko Perekonomian, Bappenas dan Departemen Keuangan, sebagai kebijakan yang telah menghabiskan banyak uang negara melalui kebijakan subsidi input pertanian terutama pupuk, benih, dan pestisida dipandang terlalu banyak diintervensi oleh Pemerintah, sehingga sektor swasta tidak berminat terlibat dan sebagai akibatnya sektor pertanian menjadi tidak produktif.
Undangan sebagai Tantangan Pertemuan penulis dengan Prof. Bungaran, terjadi pada bulan September 2000 setelah Rapat kordinasi terbatas Ketahanan Pangan yang diadakan oleh Kantor Menko Ekuin di ruang Serbaguna, Bappenas. Setelah memperkenalkan diri, penulis diundang Prof Bungaran yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pertanian, untuk menemui beliau di kantornya, seraya menyampaikan sudah saatnya penulis kembali ke Departemen Pertanian setelah selama 10 tahun menjabat Eselon 2 di kantor Menko Ekuin/Perekonomian. Pada bulan April 2001, penulis diangkat Prof. Bungaran Saragih, menjadi Staf Ahli Menteri Bidang Kerjasama Luar Negeri, dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian atau SK internal, alasan beliau mengeluarkan SK internal adalah karena beliau sedang mengusulkan penulis untuk diangkat pada posisi yang lebih tepat dengan SK Presiden. Pengangkatan penulis sebagai Staf Ahli Bidang Kerjasama Luar Negeri, menggantikan posisi Ir. Natigor Siagian, yang diposisikan beliau sebagai Sekretaris Menteri Pertanian. Penugasan pertama penulis adalah mendampingi Direktur Jenderal Pengolahan Hasil Pertanian Primer, pada waktu itu dijabat oleh Dr. Ir. Iskandar Andi Nuhung, menghadiri Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-IV di Qatar, Doha. Konferensi Tingkat Menteri di Doha, merupakan titik awal pembahasan Putaran Baru WTO yang meninjau kembali implementasi dari Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang dirasakan tidak adil bagi negara berkembang. Sekembali dari KTM tersebut, DirjenPengolahan Hasil Pertanian Primer dan penulis diminta melaporkan hasil KTM pada Rapat Pimpinan (Rapim) Departemen Pertanian. Penulis secara komprehensif melaporkan hasil KTM yang dikenal sebagai Doha Development Agenda (DDA) dan penulis menyampaikan bahwa pemikiran
R1_Refleksi AGB.indd 208
07/04/2010 19:05:02
Dr. Delima Hasri Azahari Darmawan
209
Prof. Bungaran Saragih yang disampaikan beliau pada pertemuan Menteri Perdagangan, G 20 di Punta Del Este, Uruguay, tentang keinginan Indonesia khususnya posisi Indonesia dalam Agreement on Agriculture (AoA) dalam putaran baru World Trade Organization (WTO) yaitu aturan perdagangan yang bebas dan adil (free and fair trade). Penulis menyampaikan kepada Menteri Perdagangan Republik Indonesia saat itu yaitu ibu Rini Suwandi, pesan pak Bungaran yaitu “ We (Indonesia) do not want to be a “good” boy anymore but we (Indonesia) do not want to be a “bad” boy either, we (Indonesia) just want to be “another” boy” who want to follow what developed countries did for their farmer and their agriculture sector”. Pesan Prof. Bungaran ini sangat melekat di hati dan pemikiran penulis dalam setiap negosiasi di forum internasional, yang belakangan menjadi salah satu tugas pokok penulis dalam beberapa jabatan strategis yang kemudian dipercayakan oleh Prof. Bungaran Saragih, sebagai Menteri Pertanian. Dalam periode jabatan penulis sebagai Staf Ahli Bidang Kerjasama Luar Negeri, Prof. Bungaran juga mengangkat penulis sebagai Ketua Emergency Center, yang bertugas membantu Direktur Jenderal Peternakan, yang dijabat oleh Prof. Drh. Sofyan Sudardjat, MS, pada saat itu. Tugas Tim Emergency adalah mengkoordinasikan Tim Teknis, dalam memberikan pertimbangan teknis kepada Menteri Pertanian bersama-sama dengan Dirjen Peternakan dalam mengamankan Indonesia dari ancaman masuknya penyakit zoonosis dan mempertahankan posisi Indonesia sebagai salah satu dari 5 negara yang “country free of Foot and Mouth Disease” atau negara yang secara menyeluruh (country) bebas dari Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang biasanya menyerang hewan ruminansia besar terutama sapi. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, sangat bangga dengan posisi Indonesia sebagai negara yang bebas PMK yang diakui oleh Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (OIE) yang berkantor pusat di Paris, Perancis. Hal ini dapat dimaklumi karena untuk mendapatkan pengakuan ini diperlukan waktu 100 tahun, dana dan pengorbanan yang sangat besar dari peternak serta dukungan ahli baik yang berasal dari domestik maupun internasional. Dalam hal status Indonesia sebagai negara yang bebas PMK, Indonesia sejajar dengan Amerika, Canada, Australia dan New Zealand, negara-negara yang diakui OIE sebagai negara-negara bebas PMK. Konsekuensi dari status ini, ekspor dan impor sapi hidup dan produk sapi hanya dapat diperdagangkan antar negara dengan status yang sama. Banyak cerita menarik dalam kedudukan penulis sebagai ketua emergency, dari mulai upaya “penyogokan” oknum yang berusaha melakukan pemasukan
R1_Refleksi AGB.indd 209
07/04/2010 19:05:02
210
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
daging asal India, sampai upaya kolaborasi oleh oknum pengusaha/importir yang ingin memonopoli importir daging dari suatu negara saja. Kejadian yang juga tidak bisa penulis lupakan adalah suatu ketika pengusaha asal Timur Tengah mendatangi kantor penulis, dengan menawarkan pemberian uang yang jumlahnya tentu sangat banyak, karena dalam bentuk US Dollar yang ditempatkan dalam tas ukuran medium, jika penulis dapat “membujuk” Menteri Pertanian, menerima bantuan daging dari Raja Saudi Arabia kepada masyarakat muslim Indonesia. Permintaan ini tentu menempatkan posisi Prof. Bungaran, sebagai Menteri Pertanian, yang kebetulan non-muslin, pada posisi yang serba salah. Beliau meminta penulis untuk memberikan masukan. Tentu saja penulis teringat akan pesan beliau pada saat pelantikan sebagai Staf Ahli Bidang Kerjasama Luar Negeri untuk selalu berpegang pada aturan yang berlaku dalam mengambil kebijakan. Kami sampaikan bahwa Saudi Arabia adalah negara yang belum bebas PMK, karenanya bantuan daging tersebut harus ditolak. Masalah ini, sampai kepada Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dijabat Prof. Amien Rais, saat itu yang mengundang Menteri Pertanian, secara khusus untuk menjelaskan hal ini secara langsung kepada beliau dengan dasar informasi pertimbangan teknis yang beliau pahami bahwa Tempat Pemotongan Hewan di Arafah lebih bersih dan hygiene dibandingkan Tempat Pemotongan Hewan di Indonesia. Pada kesempatan pertemuan dengan Ketua MPR tersebut, Prof. Bungaran sebagai Menteri Pertanian, mengajak penulis sebagai Ketua Tim Emergency, untuk memberikan penjelasan teknis terkait isu dimaksud. Penulis menyampaikan penjelasan teknis kepada Ketua MPR, bahwa bukanlah kebersihan dan kecanggihan tempat pemotongan hewan yang menjadi dasar penolakan bantuan daging dari raja Saudi Arabia yang menjadi dasar penolakan melainkan status negara Saudi Arabia yang belum bebas dari PMK. Penulis tambahkan juga bahwa penolakan tersebut tidak ada kaitannya dengan agama yang dianut oleh Menteri Pertanian dan hanya didasari pertimbangan teknis dan status Saudi Arabia yang menurut OIE belum bebas PMK. Penulis menambahkan apakah Ketua MPR berani menanggung resiko dunia akhirat jika karena kebijakan menerima bantuan daging raja Saudi, Indonesia terkena PMK kembali. Pada akhirnya, ketua MPR dapat memahami sikap penulis dan mendukung posisi yang diambil oleh Menteri Pertanian. Sikap terbuka (open-minded), mau mendengar, bahkan mau belajar, arahan yang tegas dan wejangan yang bijaksana dari Prof. Bungaran sebagai Menteri Pertanian, menjadikan para pembantu beliau menjadi nyaman dalam
R1_Refleksi AGB.indd 210
07/04/2010 19:05:02
Dr. Delima Hasri Azahari Darmawan
211
menjalankan tugas-tugas dan tidak pernah ragu terkait dengan posisi politik. Prof. Bungaran selalu menekankan bahwa bekerjalah dengan profesional, namun pintar saja tidak cukup, jadi harus pintar-pintarlah mengambil sikap. Alhamdulillah, penulis terhindar dari semua godaan tersebut dan sampai saat ini penulis tetap selalu menjaga profesionalisme dan integritas dengan baik.
Karantina sebagai Tools of Trade Tidak sampai setahun, penulis menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Kerjasama Luar Negeri, suatu sore Prof. Bungaran menyampaikan bahwa sebagai Menteri Pertanian, beliau telah mengusulkan penulis kepada Presiden untuk diangkat sebagai Kepala Badan Karantina Pertanian, Unit Eselon 1 di lingkup Departemen Pertanian yang baru disetujui oleh Presiden Republik Indonesia yang dijabat oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, pada saat itu. Sebelumnya Karantina hanyalah Pusat Karantina Pertanian, unit eselon 2 dibawah Sekretariat Jenderal. Penulis, yang pada saat menjabat sebagai Pembantu Asisten Menko Ekuin dan Staf Ahli Menteri Pertanian Bidang kerjasama Luar Negeri dan Ketua Tim Emergency, merupakan salah satu pejabat yang ikut mengusulkan agar Pusat Karantina Pertanian harus diusulkan kenaikan eseloneringnya menjadi eselon 1. Berlandaskan konsep CIQ yang sudah banyak diterapkan di negara maju, penulis mendukung pemikiran agar Karantina diposisikan sejajar dengan Custom (Bea dan Cukai) dan Immigration (Imigrasi) yang sudah lebih dahulu diposisikan sebagai unit eselon 1 di Departemen Keuangan dan Departemen Kehakiman. Prof. Bungaran menyampaikan bahwa beliau mengusulkan penulis sebagai Kepala Badan Karantina, dengan pertimbangan bahwa selain latar belakang pendidikan penulis dalam bidang perdagangan internasional dan kebijakan pertanian, adalah juga karena kemampuan talenta komunikasi dan diplomasi yang penulis miliki dalam pandangan beliau sesuatu yang akan membantu pengembangan karantina sebagai “tools of trade” yang merupakan bagian dari perjanjian Sanitary and Phito Sanitary (SPS) sebagai perjanjian yang tidak terpisah dari Agreement on Agriculture (AoA). Alhamdulillah, Presiden menyetujui pertimbangan ini dan penulis menjadi Kepala Badan Karantina pertama di Indonesia. Sebenarnya ada alasan non-teknis lainnya yang disampaikan beliau belakangan tentang penugasan ini, yang belakangan juga baru diketahui penulis. Hal ini terkait dengan rasa “Spirit of the Corps” Karantinawan yang sangat militan, dan sangat sulit menerima “penyusupan” unsur baru di lingkungan ini, bahkan sempat disampaikan Karantina sebagai “ kerajaan sendiri di dalam kerajaan Departemen Pertanian” dengan
R1_Refleksi AGB.indd 211
07/04/2010 19:05:02
212
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
kantor pusat di Jalan Pemuda yang terpisah dari Kantor Pusat Departemen Pertanian di Pasar Minggu. Prof. Bungaran menyampaikan strategi beliau, bahwa diperlukan kelembutan sekaligus ketegasan seorang wanita untuk mendisiplinkan hal ini dan beliau melihat sosok itu ada pada diri penulis. Sebenarnya penulis sempat bertanya kepada beliau, tentang usulan ini, karena penulis tidak mempunyai pengalaman teknis di bidang perkarantinaan, namun Prof. Bungaran menyampaikan bahwa tidak perlu khawatir dengan pengalaman teknis, beliau sarankan agar penulis memanfaatkan tenagatenaga yang ahli di bidang ini, saat itu beliau memerlukan pembantu menteri yang dapat mengangkat citra Badan Karantina, dan membangun percaya diri para karantinawan dan karantinawati, agar sejajar dengan unsur Customs and Immigration, dengan catatan bahwa penulis tidak akan lama di tempatkan pada posisi/jabatan tersebut karena beliau telah merancang penugasan lainnya. Kepercayaan Prof. Bungaran, sebagai Menteri Pertanian, tidak penulis siasiakan, penulis segera melakukan beberapa program dan strategi, yang paling utama adalah merubah cara berfikir dan pandangan terhadap tugas pokok dan fungsi karantina sebagai garda terdepan wilayah NKRI dari ancaman masuk dan keluarnya hama dan penyakit tanaman dan hewan serta praktek perdagangan illegal dan menghindari wilayah NKRI menjadi pasar bagi komoditas pertanian yang tidak berkualitas dan tidak memenuhi persyaratan food safety baik untuk manusia dan hewan. Perubahan paradigma ini menuntut peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dan kemampuan peralatan dan fasilitas perkarantinaan yang memadai. Penulis mengusulkan perubahan anggaran dari karantina semula hanya Rp. 20 miliar menjadi lebih dari Rp. 200 miliar dengan catatan bahwa Karantina akan menyumbang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang lebih besar dari semula Rp 10 miliar per tahun menjadi lebih dari Rp. 100 miliar. Caranya, penulis memintakan dukungan Prof. Bungaran, sebagai Menteri Pertanian, untuk merubah tarif pemeriksaan karantina yang ditetapkan melalui SK Menteri Pertanian sejak tahun 1980-an diusulkan dirubah menjadi Peraturan Pemerintah, dengan meninjau kembali besaran tarifnya yang disesuaikan dengan biaya pemeriksaan pada saat itu dengan catatan bahwa sebagian besar dari PNBP tersebut dapat dikembalikan dan digunakan kembali oleh Badan Karantina melalui mekanisme APBN. Setelah pembahasan teknis di tingkat Departemen Teknis, dilanjutkan pembahasan di Departemen Keuangan dan di kantor Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet, atas dukungan Prof. Lambock Nathahan, SH, LLM, usulan ini ditetapkan sebagai PP No. 22 tahun 2002 oleh Presiden. Tentu saja Peraturan Pemerintah yang radikal ini mendapat tanggapan beragam ada
R1_Refleksi AGB.indd 212
07/04/2010 19:05:02
Dr. Delima Hasri Azahari Darmawan
213
yang positif namun lebih banyak yang menentangnya. Tidak kurang Ketua HKTI saat itu, Ir. Siswono Yudhohusodo, memberikan masukan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri, bahwa Karantina bukanlah lembaga yang dimaksudkan untuk memberikan pemasukan keuangan kepada negara, melainkan hanya lembaga teknis yang tujuannya adalah mencegah masuknya hama dan penyakit hewan dan tumbuhan. Penetapan PP ini, menyebabkan Prof. Bungaran Saragih, Menteri Pertanian periode itu, harus dipanggil khusus oleh Presiden Megawati. Namun pak Menteri, tidak kehilangan strategi, beliau mengajak penulis, sebagai Kepala Badan Karantina, untuk menjelaskan pertimbangan teknis secara langsung kepada Presiden. Penulis menyampaikan pertimbangan teknis dan juga pertimbangan non-teknis lainnya, diantaranya bagaimana penyimpangan pelaksanaan SK Menteri Pertanian, yang mencantumkan biaya pemeriksaan impor sapi hidup adalah Rp. 100,- per ekor, yang dalam pelaksanaannya importir harus membayar Rp. 10.000,- per ekor, karena biaya percetakan formulir karantinanya saja sudah Rp. 1000,- dan biaya fotocopi sudah Rp. 50,- per lembar. Penulis menjelaskan nilai positif dari PP No. 22, selain biaya resmi dan mudah dikontrol, petugas karantina dapat lebih nyenyak tidur karena mendapatkan penghasilan yang halal dan perbaikan fasilitas untuk bekerja seperti mobil dan motor. Alhamdulillah, Presiden Megawati dapat menerima penjelasan ini dan memberikan dukungan kepada Menteri Pertanian untuk dilaksanakan dengan catatan ada beberapa biaya seperti biaya pemasukan benih sayuran yang harus diturunkan. Kejadian ini menarik perhatian Presiden Megawati, untuk menyetujui pembukaan Rapat Kerja Nasional Badan Karantina Pertanian tahun 2002 untuk dibuka secara resmi oleh Presiden Republik Indonesia di Istana Merdeka, yang memberikan kesempatan kepada seluruh pimpinan unit kerja Badan Karantina di Indonesia, untuk bertatap muka dan berdialog langsung dengan Presiden Republik Indonesia. Pada kesempatan tersebut, presiden menyampaikan apresiasi kepada keluarga besar Karantina atas dedikasi yang tinggi dalam menjaga wilayah NKRI dari ancaman bahaya asymetrik termasuk serangan biologis seperti penyakit antrax dan penyakit zoonosis lainnya baik yang berasal dari hewan maupun dari tanaman. Pengalaman penulis lainnya yang menarik dalam era sebagai Kepala Badan Karantina adalah ketika menolak importasi jagung dari Argentina, dimana Prof. Bungaran, sebagai Menteri Pertanian, menyampaikan bahwa beliau mendapat telepon bahwa impor jagung dari Argentina telah mendapat restu dan didukung oleh Bapak Taufik Kiemas, suami Presiden Megawati. Prof. Bungaran yang menyadari hubungan kekerabatan penulis dengan
R1_Refleksi AGB.indd 213
07/04/2010 19:05:02
214
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Bapak Taufik Kiemas, menugaskan penulis untuk mengecek kebenaran informasi tersebut sekaligus menjelaskan pertimbangan teknis terhadap penolakan pemasukan impor jagung dari Argentina tersebut kepada bapak Taufik Kiemas. Penugasan Menteri ini, sebenarnya menempatkan penulis pada posisi yang sangat tidak enak, namun tetap penulis laksanakan, dan alhamdulillah, bapak Taufik Kiemas menyampaikan agar disampaikan kepada pak Bungaran, lakukan sesuai dengan aturan yang berlaku dan insya Allah beliau tidak akan pernah memberikan dukungan terhadap hal yang melanggar aturan apalagi mengancam keamanan wilayah NKRI dari serangan bahaya asimetrik. Dengan informasi ini, Prof. Bungaran sebagai Menteri Pertanian mengambil sikap tegas dan memerintahkan penulis sebagai Kepala Badan Karantina untuk melakukan penolakan pemasukan impor jagung dari Argentina tersebut. Belakangan penulis mengetahui bahwa impor jagung karantina telah ditolak pemasukannya ke beberapa negara antara lain Singapura karena alasan kekhawatiran telah terkontaminasi PMK yang virusnya bersifat “airborne”. Karantina akan menjadi lembaga yang besar dan diakui jika dikaitkan dengan fungsinya sebagai “tools of trade” di era perdagangan bebas, hal itulah yang ditanamkan Prof. Bungaran kepada penulis. Strategi lain yang diambil penulis dalam menjalankan tugas sebagai Kepala Badan Karantina adalah penguatan kapasitas internal terutama dalam kemampuan intelejen pasar. Dengan dukungan Prof. Bungaran, sebagai Menteri Pertanian, penulis merintis kerjasama dengan Badan Intelejen Nasional (BIN) dan mengirimkan staf untuk memperdalam kemampuan intelejen di Pusat Pelatihan Intelejen di Cilendek Bogor, pelatihan kemampuan penyidikan dengan mengirimkan staf karantina mengikuti pelatihan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bawah Pusat Pelatihan Penyidik Kepolisian Republik Indonesia di Megamendung. Untuk meningkatkan rasa percaya diri para karantinawan dan karantinawati, penulis mengusulkan penggantian seragam petugas karantina. Prakasa ini mendapat dukungan Prof. Bungaran, sebagai Menteri Pertanian, dan atas bantuan DR. Ir. Rachmat Pambudi, penulis meminta perancang nasional terkemuka ibu Poppy Dharsono, untuk membuatkan rancangan busana seragam untuk petugas Karantina Pertanian. Sampai saat ini rancangan seragam ini masih terus digunakan.
Kebijakan Proteksi dan Promosi Bulan April 2003, Prof. Bungaran Saragih, Menteri Pertanian pada kabinet Gotong Royong, melantik penulis menjadi Direktur Jenderal Bina
R1_Refleksi AGB.indd 214
07/04/2010 19:05:02
Dr. Delima Hasri Azahari Darmawan
215
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Salah satu dasar pertimbangan Menteri Pertanian mengusulkan penulis pada posisi tersebut karena Menteri Pertanian memandang perlunya penguatan dalam negosiasi dan diplomasi di bidang Pertanian baik secara bilateral, regional, dan multilateral. Prof. Bungaran yang mempunyai perhatian khusus dalam hal negosiasi dan diplomasi merasakan perlunya memperkuat pilar negosiasi ini, mengingat banyaknya Duta Besar negara sahabat yang mendatangi beliau untuk membicarakan secara khusus diplomasi bidang pertanian. Tercatat, duta besar Amerika Serikat yang secara khusus menegosiasikan kemungkinan dibukanya importasi Chicken Leg Quarter (CLQ); duta besar Australia yang ingin mengamankan pasar produk peternakannya termasuk live cattle dan produk daging dan susu lainnya, duta besar New Zealand yang ingin tetap menjaga pangsa pasar susu; duta besar Jepang yang menginginkan dukungan Indonesia terhadap proposal multifunctionality serta duta besar Uni Eropa yang mengkampanyekan konsep Euro Good Agriculture Practice (GAP). Ada juga duta besar Brazil dan duta besar negara negara ASEAN seperti Thailand dan Malaysia yang melakukan diplomasi untuk produk peternakan dan produk perkebunan lainnya. Pada posisi penulis sebagai Direktur Jenderal Pengolahan Pemasaran, penulis juga menjadi Ketua Perundingan Perdagangan dalam bidang Pertanian, yang membuat penulis mendapat julukan “The Flying DG” karena seringnya penulis mendapat penugasan dari Menteri Pertanian menghadiri sidangsidang dan pertemuan baik bilateral, regional, dan multilateral. Atas arahan Prof. Bungaran Saragih, selaku Menteri Pertanian, penulis melaksanakan diplomasi kebijakan “Proteksi dan Promosi” dan mengkampanyekan konsep “Special Product” sebagai perjuangan kelompok negara berkembang di forum perundingan WTO. Kepedulian Prof Bungaran dalam penguatan diplomasi dan negosiasi di bidang pertanian tercermin dari dukungan beliau dalam pendirian sekretariat Satuan Tugas G-33 di Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian. Sekretariat Satgas G-33 bertujuan memberikan pertimbangan dan masukan teknis dalam menyusun posisi delegasi Indonesia dalam perundingan perdagangan di bidang pertanian. Konsep Kebijakan Proteksi dan Promosi yang merupakan ide murni Prof. Bungaran, penulis implementasikan dengan koordinasi yang erat secara internal bersama Direktur Jenderal Tanaman Pangan yang saat itu dijabat oleh Dr. Ir. Jafar Hafsah dan Direktur Jenderal Perkebunan yang saat itu dijabat oleh Dr. Ir. Soebagyono, dan koordinasi eksternal dengan Direktur
R1_Refleksi AGB.indd 215
07/04/2010 19:05:03
216
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Jenderal Perdagangan Dalam Negeri yang saat itu dijabat oleh Ir. Ardiansyah dan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, yang saat itu dijabat oleh Ir. Rifana Erni. Salah satu keberhasilan kebijakan proteksi ini adalah adanya kenaikan tarif bea masuk beras dan gula dari semula 0 persen menjadi 10 persen dan pembatasan waktu impor pada saat musim paceklik, ternyata berhasil meningkatkan produksi beras dan gula nasional secara signifikan. Kebijakan promosi diimplementasikan dalam bentuk mempromosikan keunggulan produk perkebunan Indonesia di ajang pameran internasional. Penulis mendapat penugasan untuk mempromosikan produk pertanian Indonesia di pameran dunia di Rostock, Jerman; pameran produk hotikultura di Shenchen, China dan Pattaya, Thailand; pameran produk peternakan di Kuala Lumpur,Malaysia. Sementara itu, implementasi kebijakan promosi di dalam negeri, penulis implementasikan dalam bentuk dukungan dan penyelenggaraan Pameran Pertanian yang berskala nasional dan internasional serta Pameran Pertanian di tingkat daerah seperti Jawa Timur Expo dan Soropadan Expo di Jawa Tengah. Koordinasi erat dan harmonis dengan berbagai instansi Pemerintah seperti Badan Peningkatan Ekspor Nasional (BPEN), Departemen Perdagangan dan Direktorat Jenderal Industri Hasil Pertanian, Departemen Koperasi dan UKM, serta KADIN, menambah upaya implementasi kebijakan promosi ini semakin lancar dan hampir tanpa kesulitan. Upaya pelaksanaan kebijakan promosi dilaksanakan melalui pembentukan Dewan Komoditi. Atas arahan Prof. Bungaran, penulis mengkoordinasikan pembentukan Komisi Minyak Sawit Indonesia (KMSI), cikal bakal pembentukan Dewan Minyak Sawit Indonesia, yang menyatukan organisasi yang bergerak di bidang persawitan seperti GAPKI, AMNI dan APOLIN; pembentukan Dewan Minyak Atsiri Indonesia dan Dewan Kakao Indonesia. Pembentukan dewan komoditi ini, bertujuan agar pelaku usaha dibidang komoditi pertanian dapat mengorganisasikan diri, menyamakan langkah dan strategi dalam menghadapi persaingan di era perdagangan bebas. Untuk meningkatkan daya saing produk pertanian, Prof. Bungaran, selaku Menteri Pertanian, memberikan arahan agar melakukan pembangunan industri pedesaan dan pembenahan atau modernisasi pasar tradisional. Dukungan Menteri Pertanian, penulis implementasikan dalam program rehabilitasi dan modernisasi penggilingan padi, dan bantuan alat-alat pengolahan serta pembangunan subterminal dan terminal agribisnis. Beberapa terminal agribisnis seperti Jetis dan Soropadan serta Pasar Jakabaring di Sumatera Selatan, sampai hari ini menjadi model pasar tradisional modern.
R1_Refleksi AGB.indd 216
07/04/2010 19:05:03
Dr. Delima Hasri Azahari Darmawan
217
Dukungan Prof. Bungaran, selaku Menteri Pertanian, terhadap penguatan pilar negosiasi dan diplomasi di bidang pertanian disambut hangat oleh rekannya, Menteri Luar Negeri yang saat itu dijabat oleh DR. Hasan Wirayudha dan Menteri Perdagangan saat itu, ibu Rini Suwandhi. Pertemuan koordinasi para Duta Besar republik Indonesia di negara-negara penghasil beras dan gula dilaksanakan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Bangkok, dan untuk Kelapa Sawit dilaksanakan di hotel Grand Hyatt, Jakarta. Kegiatan ini membuktikan pemikiran prof Bungaran bahwa diplomasi yang harus dilakukan saat ini bukanlah hanya diplomasi politik saja, melainkan juga diplomasi ekonomi dan diplomasi komoditi.
Penutup Penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada prof. Bungaran Saragih, yang telah memberi kesempatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menimba ilmu secara langsung dari beliau selama menjadi pembantu, staf, murid beliau terutama pada periode dimana beliau menjabat sebagai Menteri Pertanian pada Kabinet Gotong Royong. Nasihat, arahan dan wejangan dan keikhlasan Prof. Bungaran dalam membagi ilmu dan pengalaman, akan penulis amalkan selama meneruskan perjuangan beliau dalam pembangunan agribisnis di Indonesia. Selamat menikmati masa Purna Bakti pak Menteri, tetap sehat, semangat dan Tuhan memberkati.
R1_Refleksi AGB.indd 217
07/04/2010 19:05:03
R1_Refleksi AGB.indd 218
07/04/2010 19:05:04