GET R
edisi April 2014
Buletin Sastra ndonesia
Pa n d an g a Mere k
GET R
Buletin Sastra ndonesia
Diterbitkan oleh: Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Penanggung Jawab: V. Alangga Dwi Kusuma Pemimpin Umum: Donnie Trisfian Pemimpin Redaksi: Nafisah Penyunting: Achmad Muchtar Redaksi: Donnie Trisfian, Achmad Muchtar, Nafisah, Istiqomah, Dwi Nur Utami, Kiki Riskita, Kussmartia Dallinestri Penata Letak: Donnie Trisfian Ilustrator: Latifah Eka Pusparini, M. Muhrizul Gholy, Sinduk F, R. Dheo Bayu
Dok. KMSI
salam redaksi MENJADI AKRONIM GET R , buletin KMSI (Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia) FIB UGM, mengalami transformasi nama dari yang semula, Gema Tanah Air. Salah satu harapan dengan perubahan ini adalah agar dalam edisi-edisi selanjutnya, kami dapat menyuguhkan informasi-informasi yang membuat pembaca “bergetar”. Tidak hanya itu, dalam setiap edisi, kami juga menerima kiriman karya dari pembaca sehingga GETAR bisa menjadi fasilitator pembaca dalam berkarya. Dalam edisi ini, kami mengangkat tema “Kartini” dalam kehidupan masa kini. Tujuannya, agar semangat kekartinian tidak putus hingga masa-masa selanjutnya. GETAR akan terbit sekali dalam dua bulan. Produk getar bisa didapatkan di titik-titik strategis FIB UGM. Kami juga membuat edisi elektroniknya yang dapat diunduh di website kami di kmsi.fib.ugm.ac.id. Selamat membaca! Tim Redaksi
Alamat Redaksi: HMJ Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI) UGM. Jl. Sosio-Humaniora No. 1 Sekretariat Bersama Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
@kmsiugm KMSI UGM
e w
[email protected] kmsi.fib.ugm.ac.id 081280480215
Kussmartia Dallinestri
Etalase
FESTIVAL SASTRA 2014, SEGERA! Oleh
Istiqomah
@istiqsr
Dok. KMSI
SETELAH sukses dengan Festival Sastra 2013, tahun ini, Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada (KMSI UGM) akan menyelenggarakan Festival Sastra 2014. Festival yang diselenggarakan setiap tahunnya ini bertujuan untuk memperingati hari kematian salah satu sastrawan Indonesia, yaitu Chairil Anwar. Festival Sastra 2014 diketuai oleh Muarif Irsyad (Sastra Indonesia 2013) dengan mengangkat tema “Inspirasi Membangun Bangsa”. Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, Festival Sastra merupakan agenda tahunan KMSI yang berisi berbagai perlombaan yang berkaitan dengan bahasa dan sastra Indonesia. Pada tahun ini, ada empat macam perlombaan, yaitu Membaca Puisi, Menulis Cerpen untuk Kategori Umum dan Pelajar, Musikalisasi Puisi, dan Fotografi. Pendaftaran akan dibuka mulai awal April hingga akhir April 2014. Setiap lomba memiliki tema yang telah ditentukan oleh panitia, seperti Lomba Musikalisasi Puisi yang bertemakan ‘Palsu’, lomba Fotografi yang bertemakan ‘Inspirasi bagi Anda’, lomba Membaca Puisi yang bertemakan ‘Mengeja Indonesia’, dan khusus Lomba Cerpen tidak diberikan tema oleh panitia. Lomba Membaca Puisi akan dilaksanakan pada Sabtu, 17 Mei 2014 di Auditorium Fakultas Ilmu Budaya UGM. Pada Minggu, 18 Mei 2014 akan dilaksanakan Lomba Musikalisasi Puisi, acara puncak, serta pengumuman lomba-lomba. Acara Festival Sastra tahun ini diharapkan dapat menginspirasi bangsa Indonesia melalui karyakarya yang telah diciptakan agar menjadi Indonesia yang lebih baik. Informasi lebih lanjut dapat dilihat di blog Festival Sastra 2014 (www.festivalsastra.blogspot.com) atau follow akun Twitter @festivalsastra.
Edisi April 2014
3
Etalase
PANDANGAN MEREKA TERHADAP KARTINI PADA HARI INI Oleh
Kiki Riskita
@kikiriskita
Dok. Wikipedia
“Betapa jua, bagi orang sebangsa saya, nasib saya kemudian hari ini tiadalah yang melebihinya, karena bagus dan sangat diingini semua orang. Perkawinan itu sendiri sudah membawa kebaikan bagi usaha kami itu. Orang tua anak-anak gadis terbangkit hatinya, terdorong hati mereka akan memberi didikan kepada anakanak gadisnya. Perbuatan saya itu akan lebih banyak menarik hati orang sebangsa saya daripada seribu kata ajakan yang gembiragembira. Diketahui merekalah: keindahan dan kekayaan kalah oleh budi dan pikiran.” (1 Agustus 1903, RA Kartini kepada Nyonya Abendanon) Lembar demi lembar Surat Kartini menjadi bukti betapa kisahnya abadi. Kartini membuka mata dunia bahwa betapa terdiskriminasinya kaum perempuan Indonesia pada masa itu. Tubuhnya yang terkurung tidak membuat harapannya urung.
4
Getar: Buletin Sastra Indonesia
Ia menuangkan segala rasa dan asanya melalui surat-surat yang ia kirim kepada sahabatsahabatnya. Kesetaraan hak pendidikan pada masa itu hanyalah mimpi yang mahal bagi kaum perempuan. Namun, berkat Kartini, perempuan Indonesia tidak hanya berani bermimpi, tetapi juga mampu bangun dan mencapai pendidikan tinggi. Tidak hanya itu, kini perempuan mampu dengan bebas mengekspresikan segala rasa dan asanya. Oleh karena itu, pantaslah seluruh kaum perempuan di Indonesia mengenang keberadaan Kartini. Hari Kartini yang jatuh pada 21 April telah diperingati oleh warga Indonesia sebagai hari besar semenjak 1964. Kini, sudah setengah abad rakyat Indonesia merayakan Hari Kelahiran Kartini—salah satu pahlawan nasional yang perayaan hari kelahirannya paling diingat oleh rakyat Indonesia. Hal ini sangat beralasan karena sosoknya yang merupakan pejuang hak-hak perempuan. Tidak salah jika kemudian perempuan-perempuan Indonesia, dari berbagai usia, beramai-ramai merayakan peringatan hari kelahirannya. Penyematan gelar Pahlawan Nasional kepada Raden Ajeng Kartini pada 2 Mei 1964 tidak serta merta diberikan oleh Presiden Soekarno. Kartini bukan perempuan yang mengangkat senjata dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, melainkan pejuang ide-ide dan usaha dalam memerdekakan kaum perempuan yang kemudian membuatnya mendapatkan gelar pejuang kemerdekaan. Perjuangan untuk membuat kaumnya memperoleh pendidikan dan kebebasan sangat berdampak besar pada status perempuan sekarang. Berkat Kartini, perempuan Indonesia berhak mendapatkan pendidikan dan kebebasan menyampaikan pendapat. Akan tetapi, sekarang ini, tepatkah perayaan peringatan Hari Kartini? Perayaan Hari Kartini banyak dikenal sebagai hari mengenakan kebaya atau pakaian daerah, berdandan cantik, memakai sanggul, atau hari perlombaan menggulung setagen.
Etalase Hal tersebut kerap ditemui pada perayaan Hari Kartini di tingkat TK, SD, SMP, hingga SMA. Namun, peringatan Hari Kartini apakah berhenti sampai pada tingkatan mempercantik diri? Ibu Dra. Sugihastuti, M.S., salah seorang dosen di Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM, saat ditemui di kantornya menyampaikan bahwa peringatan Hari Kartini memiliki dua makna, yaitu makna denotatif dan konotatif. Makna denotatif hari Kartini jelas sebagai peringatan hari kelahiran Kartini. Sementara itu, makna konotatif yang terkandung di balik perayaan hari Kartini adalah guna memperingati, memaknai, memahami, mengaktualisasi, dan memproyeksikan pikiranpikiran Kartini pada masa kini. Pikiran-pikiran yang dimaksud adalah perjuangan kesetaraan pendidikan dan gender dalam hal perkawinan. Seharusnya, perayaan Hari Kartini dikembalikan pada konsep-konsep dasar ide-ide kemajuan pendidikan perempuan, kesetaraan gender , dan penentangan poligami. Namun, peringatan Hari Kartini, pada masa kini terasa bias. Tidak seluruh k a l a n g a n b e n a r- b e n a r t u r u t m e r a y a k a n peringatan hari kelahiran pejuang perempuan itu. Buktinya, di tingkat perguruan tinggi, hal-hal seperti ini kurang mendapatkan tempat. Tidak seperti di tingkat TK hingga SMA, seharusnya perayaan seperti ini disesuaikan dengan strata tingkatan sosial, ekonomi, budaya, dan politik kelompok-kelompok tertentu. Sosok Kartini sebagai pahlawan nasional layaklah dikenang dan diteruskan perjuangannya. Perjuangan yang Kartini lakukan tentulah guna memperbaiki kehidupan kaum perempuan yang sebelumnya terdiskriminasi. Namun, bukan berarti perjuangan dan niat baik Kartini ini tidak memunculkan dampak yang dirasa tidak baik bagi kaum perempuan. Ibu Wulan Tri Astuti, S.S, M.A., salah seorang dosen jurusan Sastra Roman FIB UGM saat ditemui di kantornya memaparkan pendapaat tentang dampak lain yang mencuat di balik usaha Kartini memajukan kaumnya. Perjuangan Kartini dalam memajukan kaumnya sangatlah berhasil. Kini, perempuan semakin cerdas dan kritis. Namun, kecerdasan yang diemban kaum perempuan memunculkan beban ganda yang harus dijalani, yaitu mencari nafkah bagi keluarga. Beban menjadi tulang punggung keluarga pun tampak jelas pada perempuanperempuan yang bekerja sebagai TKW (Tenaga Kerja Wanita) di luar negeri. Akan tetapi, Ibu Sugihastuti berpendapat berbeda.
Menurut beliau, tidak semua perempuan di masa ini merasa terbebani dengan pekerjaan yang mereka jalani. Kecerdasaan yang diemban perempuan memunculkan kebutuhan yang berbeda-beda setiap individunya. Ada yang menjadikan kecerdasaan tersebut sebagai jalan untuk mencari nafkah dan ada pula yang menjadikannya sebagai aktualisasi diri. Pengaruh Kartini, baik yang memberikan dampak baik maupun yang tidak, juga tampak pada kemunculan karya-karya sastra dari penulis perempuan. Perjuangan Kartini dalam hal pendidikan terhadap perempuan berhasil memunculkan penulis-penulis perempuan yang kaya berekspresi. Ibu Wulan Tri Astuti, S.S, M.A., berpendapat bahwa perempuan sekarang lebih ekspresif dalam menyuarakan rasa dan posisi kaumnya melalui tulisan. Sementara, mereka yang tidak menulis berperan sebagai pembaca karyakarya sastra. Dewasa ini, kaum perempuan, khususnya yang bergelut pada bidang sastra, seolah sedang “merayakan kebebasan”. Perayaan kebebasan diri tersebut bahkan kemudian dianggap terlalu vulgar karena terlalu mengekspos bagian tubuh. Pendapat miring tersebut banyak bermunculan dari kaum laki-laki. Tentunya, aksi nyata atas peringatan Hari Kartini tidak sebatas wacana saja, tetapi juga harapan terhadap penulis-penulis perempuan untuk menghasilkan karya yang lebih baik agar dapat bermanfaat dan menggugah banyak orang. Selain itu, aktualisasi, potensi, dan prestasi harus terus ditingkatkan. Memahami seorang Kartini, dapat dilihat dengan membaca dan memahami makna surat-suratnya yang ditulis dengan sangat indah. Begitu juga dengan memahami karya sastra dari pengarang perempuan. Di balik berbagai kemampuan kaum perempuan yang tertuang dalam karya sastra, terdapat konsepkonsep dasar pemikiran-pemikiran Kartini di baliknya, demikian yang disampaikan oleh Ibu Sugihastuti.
“Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.” - R. A. Kartini Edisi April 2014
5
Cerpen
Oleh
Pangestu Jati
@pangestujati
MALAM ini kau tak bisa tidur. Matamu terpejam, tapi aku tahu tanganmu masih belum juga bisa diam. Kau seperti sedang tidur dengan berbagai jenis ular beracun yang melingkar di sekelilingmu. Mereka menggodamu agar tetap terjaga seperti menggoda Hawa agar memakan buah pengetahuan. Tapi kau terjaga bukan karena merasa tergoda atau teperdaya, kau masih terjaga karena merasa terancam bak para cenayang yang begitu bodohnya melihat tongkat Musa sebagai ular. Dengan desis yang terus menerus terdengar tanpa henti, dan juga air liur yang terus menetes menjijikkan, mereka menjalari matamu, kakimu, dan sekujur tubuhmu. Seakan-akan mereka ingin segera menancapkan taringnya yang tajam pada kulitmu yang pejal itu, lalu melaluinya, mereka menyusupkan berliter-liter racun ke dalamnya. Aku terus memperhatikanmu dengan rasa heran yang terus mengganggu. Kau pasti tahu dan berusaha untuk mengendalikan air mukamu agar tetap tenang. Tapi aku tidak lengah, aku tidak mau diperdaya olehmu. Aku bukan anak kecil yang bisa dikecoh dengan boneka Barbie oleh ayahnya yang diam-diam sedang masturbasi. Karena aku telah mengenalmu bukan hanya sekadar bau tubuhmu, tapi aku mengenalmu seperti mengenal lekuk tubuhku sendiri.
6
Getar: Buletin Sastra Indonesia
Kau mulai merasa tidak nyaman, dan berpaling membelakangiku. Kau pasti berharap aku akan berhenti memperhatikanmu dan tidur mendengkur dengan rasa menyerah. Tapi kau salah, kudekatkan tubuhku pada punggungmu, dan mulai kubelai lembut. Aku berusaha menenangkanmu yang masih terlihat menyimpan gelisah. “Kamu belum tidur, Mas? Ada masalah?” tanyaku memecah keheningan. Kubiarkan kau berpikir sejenak untuk memutuskan bercerita atau tidak, karena aku tidak akan memaksamu menceritakan apa yang mungkin tidak ingin kaubagi. Karena masing-masing manusia mempunyai sebuah ruang untuk dirinya sendiri dan tidak akan dibagi meski pada istrinya sendiri. Kemudian kau membalikkan tubuhmu ke arahku. Lalu kau memandangiku sejenak, dan menundukkan kepala. Kau tak berani melihat mataku saat itu. Aku seperti sedang memperhatikan anak kecil yang kepergok memecahkan vas bunga oleh ibunya. “Aku memikirkan Norah,” jawabmu dengan suara yang terbata. Suara yang mengandung sesuatu yang berat di sana. Suatu beban untuk menjaga dan mengungkap kenyataan yang hadir bersamaan. “Ada apa dengan Norah?” tanyaku heran dengan nada bicara yang tetap tenang. Meyakinkanmu bahwasanya aku masih baik-baik saja. Kau tersenyum. Mungkin kau merasa lega. Lalu kau mulai bercerita.
Cerpen *** Tiga malam berturut-turut, aku bermimpi Norah menjadi seekor kelinci besar yang memiliki tinggi seratus delapan puluh sentimeter dan berat seratus dua puluh kilogram. Dengan memasang wajah yang sok imut dan dengan motivasi yang tidak aku ketahui, ia terus mengejarku. Aku ketakutan. Ia seperti ingin menangkapku dan memamahku. Kenapa kau tiba-tiba memimpikan Norah? Ini berawal dari seminggu yang lalu, ketika Norah meneleponku. Kau tahu, ia meneleponku pukul dua malam. Dan, kupikir seorang perempuan yang hidup sebatang kara, tak akan menelepon tetangganya selarut itu jika tidak dalam keadaan darurat. Norah bilang bahwa ia sedang mengumpulkan seprai-seprai yang ia punyai dan meminta beberapa seprai milik kita untuk diberikannya secara sukarela. Aku bertanya dalam hati, setan apa yang sedang bersemayam dalam kepalanya ketika jam dua pagi menelepon tetangganya untuk mengemis beberapa helai seprai. Aku sangat marah waktu itu. Tapi aku menahannya. Aku masih ingat bahwa ia adalah perempuan yang sangat kesepian dan mungkin memiliki tingkat depresi yang tinggi. Jika tidak, mungkin aku akan segera memakinya dan segera menutup teleponnya. Tapi itu semua tidak aku lakukan. “Aku akan menyambungnya, dan akan kugunakan untuk bunuh diri,” katanya ketika aku bertanya untuk apa seprai-seprai yang ia kumpulkan. Aku berusaha untuk mengatur napas dan bersuara tenang, meski di dalam dadaku bergemuruh hebat. “Aku tidak akan membujukmu atau berusaha menghentikan niatmu itu, karena aku atau Tuhan sekalipun tidak akan mampu menghentikannya. Tapi apa kau tidak mau belajar dari masa lalu?” tanyaku padanya. Berusaha mengingatkan bahwa ia selalu gagal untuk melakukan usaha bunuh dirinya. Kau pasti masih ingat bahwa beberapa bulan sebelum malam ia menelponku, warga sekompleks dihebohkan dengan ulahnya yang memanjat menara air miliknya sendiri. Semua orang berusaha untuk menenangkannya dan berusaha membujuknya—bahkan kau sendiri ikut membujuknya—agar mau turun dan mengurungkan niatnya itu. Tapi tak ada yang berhasil. Akhirnya ia melompat, tetapi tidak mati. Hanya menderita patah kaki kiri.
Lalu, dua hari ia berada di rumah sakit, kau pasti mendengar bahwa ia mencoba bunuh diri lagi dengan selang infus. Tapi entah ia terlalu goblok atau memang Tuhan masih ingin membiarkan ia tetap hidup, selang infus yang akan ia gunakan putus karena tidak mampu menahan berat tubuhnya yang kurus kering itu. “Tidak. Aku masih ingin terus mencoba. Mungkin kali ini Tuhan mengizinkan,” katanya ringan. Aku menghela napas panjang. “Bisakah kau menahan nafsumu untuk mengakhiri hidupmu dua hari ke depan? Aku ingin bertemu denganmu Sabtu ini di rumahku. Anggap saja ini ucapan selamat tinggal dari tetanggamu,” tanyaku dengan suara yang masih aku usahakan tenang. Aku sebenarnya merasa ini keputusan yang sangat buruk dengan mengundang ia datang ke rumah. Tapi rasa ingin tahuku atas alasan ia ingin bunuh diri telanjur menguasaiku. Ia diam lama. Dan aku juga diam. Aku ingin memberikan ia waktu untuk berpikir sejenak. Di luar perkiraan, ia mengabulkan permintaanku dengan mengajukan beberapa syarat. Pertama, saat bertemu, aku hanya diizinkan untuk diam. Kedua, aku diperbolehkan untuk berbicara ketika ia memintaku untuk berbicara. Dan akhirnya, di suatu sore, ketika kau dan anak-anak pergi ke rumah ibu untuk menanam bunga dan memetik duku, ia datang ke rumah. Karena kau tidak ada, aku hanya bisa menjamunya dengan segelas teh madu dan beberapa keping kue jahe. Aku sama sekali tidak berbicara selain hanya menyapanya ketika datang dan mempersilakan ia duduk saja. Setelah itu, aku biarkan ia menjadi ratu. Aku biarkan ia mengendalikan pertemuan ini. Pertemuan yang mungkin akan benar-benar menjadi pertemuan terakhirku dengannya. Ka u j a n g a n k h a w a t i r, i n i b u k a n pertemuan dua anak manusia yang beradu mata lalu jatuh cinta. Atau pertemuan diam-diam dengan alasan selangkangan. Ini hanyalah pertemuan untuk mendengarkan. Kembali pada cerita Norah, perempuan itu bercerita padaku bahwa ia punya suami dan satu anak laki-laki. Mereka hidup di rumah mertuanya di perbatasan kota. Ia memutuskan tidak tinggal dengan mereka karena tidak tahan dengan mulut mertuanya yang selalu memuntahkan berbagai macam kata yang mirip dengan tulah. “Sungguh menjijikkan. Mulutnya penuh dengan setan,” katanya berapi-api. Kemudian, ia minta pada suaminya untuk pindah rumah.
Edisi April 2014
7
Cerpen Ia tidak tahan setiap hari mendapat hunjaman kata-kata kotor yang tidak seharusnya diucapkan oleh manusia. Tapi sayang, suaminya tidak sepakat karena ibunya hampir mati dan tidak ada yang tahan merawatnya selain suami Norah sendiri. Tapi, Norah tetap bersikeras untuk pergi dari rumah mertuanya itu. Ia pun pergi sendiri. “Aku tidak sedih ketika memutuskan pergi meninggalkan anak dan suamiku untuk tinggal di kota ini. Bukannya manusia berhak memilih untuk tidak menahan?” katanya. Tapi aku tidak menjawabnya, aku hanya mengangguk. Aku masih diam dan menghargai peraturan yang ia buat. Norah tidak pernah menyesal berpisah dari anak dan suaminya. Ia malah merasa ada sebuah beban yang dilepas. Tapi ia seperti selalu dikejar. Pada sebuah malam, ia terbangun. Ia merasa ada tangan suaminya yang membelai rambutnya dan mencium keningnya. Ia juga seperti mendengar suara anak laki-laki satusatunya terus memanggil namanya. Dan ia merasa tersiksa karena kejadian itu harus terus terulang setiap malam. Ia pun mulai sadar bahwa ia kesepian. Ia ingin sekali berbagi kepada teman kerjanya, tetangganya, atau pun siapa saja. Tapi, ia tidak bisa. Ia merasa tidak menarik di mata mereka. “Mungkin mereka—termasuk kamu—memandangku sebagai perempuan kurus kering yang hampir tak mengerti bagaimana. berpakaian dan selalu merasa dikelilingi bencana1 Tapi, bukankah aku manusia yang butuh untuk didengar pula?” tanyanya dengan isak yang berusaha ia endapkan dan air mata yang mulai menganak sungai secara perlahan. Saat itu, serasa ada tangan raksasa menamparku dengan kerasnya. Aku limbung dan jatuh. Lalu, malu menenggelamkanku di depan perempuan itu. Aku ingin menepi, tapi aku tidak bisa karena mengumpulkan tenaga untuk bernapas saja aku kesulitan. Aroma teh yang masih menyeruak di hidung kami, membuat suasana semakin tampak ganjil. Aku salah tingkah di hadapannya. Ia mulai membaca gerak gerikku yang tidak lagi nyaman. Ia tersenyum dan memaafkan sikapku selama ini kepadanya. Ia lalu berpamitan dan berterima kasih atas telinga dan jamuan yang aku berikan tanpa memberikan aku kesempatan untuk bertanya sedikit pun. Tidak lupa ia meminta beberapa lembar seprai kita dan aku memberikannya dua.
8
Getar: Buletin Sastra Indonesia
Kulepas perempuan aneh itu dengan banyak sekali pertanyaan menggantung di kepala. Tentang suami, tentang anak laki-laki, dan tentang b u n u h d i r i . Ta p i a k u s a d a r, a k u h a n y a diperkenankan untuk mendengarkan. Beberapa malam ini aku terus diganggu pertanyaan yang tidak bisa kuajukan untuk Norah. Aku juga merasa turut andil atas depresi yang ia derita. Aku merasa tidak ada gunanya menjadi manusia karena kurang peka. Siapa pun ingin didengarkan, karena dengan itu ia dikuatkan.
1 “….kurus kering, aseksual, hampir tak mengerti bagaimana berpakaian, dan selalu merasa dikelilingi bencana….” Pamuntjak, Laksmi, (2006), Perang, Langit, dan Dua Perempuan, Jakarta: Freedom Institute.
Yogyakarta, 3/7/2014 7:03:27 PM
Ilustrator:
M. Muhrizul Gholy
Pangestu Jati
@pangestujati
Mahasiswa Sastra Indonesia UGM 2012. Penikmat malam dan hujan. Tinggal di Yogyakarta.
Puisi SEPARUH DUNIA Afid Baroroh Adakah dunia, dengan ditiadakannya manusia dapat menghidupkan dunia pada setiap langkahnya? Paruh, telah menghunjam semesta alam. Namun, hilang bersama kabut kelam dalam langitan dan separuh hidupku adalah separuh dunia yang membakar separuh rembulan. Bersinar bersama kehidupan yang menghidupkan semua kepalan. Separuh gelap—benderang Setan dan Tuhan.
SEGI BERSUDUT, WAYANG Afid Baroroh Berwujud. Legam sedang matamu tersayat, perlahan dan kembali terlihat hingga permukaan yang hadir, tak kelabu dan redup menghuni. Tenanglah hingga terbuka indahnya dari wujud, legam sedang matamu tersayat, hadir dan terlihat suatu saka dengan seksama kami rangkul merona oleh siapa berada di antara; warna yang mengalun nada jemari —lensa. Sentuhlah dengan jemari kasihmu, dunia kawan. Kami, telah isi seluruhnya dengan wujud getir ketulusan udara inilah satu yang tak sempurna dan bernapaslah di antaranya; gaya dan seni bermakna. Lihatlah lebih hidup kembali dengan cinta dan inilah yang terindah dari warna pelangi dan seluruh angkasa ini —sehingga, terbukalah segi bersudut dari segala citra Empunya Jagat Bayang Semesta SAJAK FAJAR KEPADA IBU Afid Baroroh Biarlah tubuhmu menyelimuti malam dengan ketakutan muda harum tubuhmu. Tubuhku tubuhmu tubuhnya tumbuh ku-kauselimuti dengan surya sampai pagi tiba. Di sisiku, di antara daku merayap damai seperti mentari. Di ujung sunyi kami akan siap membangunkan manusia itu di pagi hari. Merdekalah di antara kata biarlah fajar menjadi doa. Biarlah kepada Ibu kau hidup daku merdeka kepada...
Afid Baroroh @AfidBaroroh Memiliki prinsip dalam perjalanan hidup. Menciptakan suatu yang tidak mungkin dengan kesederhanaan hati. Murah, berbagi walaupun kecil.
Ilustrator:
Reinardus Dheo B.S. @reinardusdheo
Edisi April 2014
9
Kritik Sastra
ANTARA PERLAWANAN DAN KUATNYA DOMINASI: KAJIAN FEMINISME CERPEN “TUKANG CUCI” KARYA MARDI LUHUNG Oleh
Kukuh Luthfi Syamsiar
@kukuhluthfi
ISTILAH feminisme merujuk pada suatu paham atau gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak antara kaum perempuan dengan laki-laki. Di sini digunakan istilah perempuan untuk menghindari makna kata wanita yang berasal dari kata Jawa wani ditoto ‘berani ditata’, yang dapat dimaknai dengan ketundukan seorang wanita. Feminisme memberikan pandangan tentang pembelaan atas hak-hak perempuan dalam masyarakat yang selama ini dianggap lemah dan tidak memiliki kekuatan yang sama dengan laki-laki. Dalam kesusastraan Indonesia, geliat isu feminisme telah berkembang sejak kesusastraan Indonesia modern lahir, yakni ketika novel Sitti Nurbaya diterbitkan. Feminisme dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap kekakuan budaya patriarkat yang menghegemoni kehidupan sosial. Dalam Sitti Nurbaya, terekam jelas bahwa perempuan dieksploitasi sebagai makhluk yang hanya patut dinikmati. Perempuan berwajah cantik, berbadan menarik, tetapi bersifat lemah, dan tunduk kepada lakilaki. Dalam novel ini, digambarkan perlawanan seorang perempuan terhadap adat-adat yang membelenggu. Di Indonesia, feminisme semakin memuncak sejak tahun 2000-an ketika isu sastra wangi merebak. Tokoh-tokohnya, sebut saja Ayu Utami, Dewi Lestari, Rieke Diah Pitaloka, dan segenap penulis perempuan lainnya. Mereka merupakan sastrawan yang berani mengungkap ketabuan seksualitas dalam bentuk karya sastra. Karya mereka tidak lagi menutup-nutupi seksualitas yang selama ini cenderung ditutupi. Bahasa yang digunakan sangat vulgar. Namun, yang menjadi pertanyaan mendasar, mengapa harus seksualitas yang menjadi bahan untuk memperjuangkan eksistensi? Atau mungkin mereka memanfaatkan ketertindasan itu dengan menggali aspek sensitif yang jarang diungkapkan agar karya mereka laku di pasaran? Atau seksualitas hanyalah salah satu aspek saja di luar esensi cerita? Akankah ketika perempuan menuntut hak yang sama dengan laki-laki kemudian ia berstatus sama dengannya? Bagaimana, misalnya, ketika seorang istri (sebut saja perempuan) mampu bekerja dengan tangannya sendiri lalu membiarkan suaminya bersantai di rumah? Tampaknya, beberapa pertanyaan di atas mengilhami ditulisnya sebuah cerpen oleh Mardi Luhung yang berjudul “Tukang Cuci”. Dalam cerpen ini, pengarang justru memosisikan tokoh laki-laki (suami), seolah-olah sebagai budak. Perempuan yang biasanya diposisikan sebagai seorang yang mengerjakan semua pekerjaan rumah, justru menjadi orang yang berkuasa di rumah.
10
Getar: Buletin Sastra Indonesia
Kritik Sastra
Cerpen “Tukang Cuci” ini merupakan salah satu cerpen dalam kumpulan cerpen Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009. Pengarang mengisahkan sebuah keluarga yang memiliki keanehan-keanehan dalam kehidupannya. Seorang suami memiliki istri yang berbadan besar dan memiliki kebiasaan buruk. Setiap hari, sang istri hanya tidur di atas kasur. Setiap kali hendak berhubungan intim, mereka bertengkar, sedangkan sang suami harus mencuci semua jenis pakaian istrinya itu, mulai baju, rok, hingga celana dalam setelah istrinya selesai memporak-porandakan pakaian. Dan paginya, seluruh pakaian istriku berserakan. Kotor. Lecu dan mengenaskan. Sedangkan istriku, seperti biasa, cuma tidur di atasnya (Pambudy, 2010:99).
Banyak simbol-simbol yang dituangkan dalam cerpen ini, misalnya, tokoh istri menyukai kembang merah. Oleh karena kesukaannya pada kembang merah, maka gambar kembang itu tidak hanya tertempel pada baju-bajunya, bahkan di celana dalam suaminya juga ada. Selain itu, sang suami harus mencuci kutang yang berukuran besar dan berwarna-warni. Jika diperhatikan dengan saksama, kembang merah, celana dalam, rok, kutang, dan lainnya merupakan simbol seksualitas. Simbol seksualitas itu kemudian dihubungkan dengan permasalahan sosial yang tengah berkembang saat itu. Misalnya, kutang dikorelasikan dengan kasus perzinaan seorang pejabat dengan seorang artis di sebuah pantai. Tokoh suami justru terlihat berkuasa dengan posisinya yang seolah lemah itu. Ia dengan bebas mencibir istrinya dengan banyak perkataan yang kasar. “Sudahlah. Ayo, kita berangkat!”. Selaku pada istriku. Selaan itu yang aku pikir sangat penting daripada dia kembali ke orangtuanya yang ada di penampungan. Dan istriku tertawa. Memang, meski kini telah menjelma ikan paus yang gemuk, tetapi tertawanya tetap manis. Dan tertawa itulah yang dari dulu sampai kini membuat aku jatuh hati kepadanya. Tertawa yang lebih indah daripada matahari sore (Pambudy, 2010:102).
Di satu sisi suami ini menghina istrinya, tetapi di lain sisi ia tetap mengagumi kecantikannya lewat senyuman istrinya. Hal ini memang kontradiktif, tetapi meskipun wanita kadang menyebalkan, lelaki tetap mengaguminya dari sisi kelebihannya yang lain, seperti menjadi sasaran eksploitasi seksual. Pada kenyataannya, seorang laki-laki tetap saja berlaku menguasai. Seperti disinggung di atas, terjadinya kasus hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang pejabat dan artis adalah bentuk konkret adanya dominasi yang sulit diubah atau setidaknya sulit dilawan. Dapat dikatakan, cerpen ini merupakan respons terhadap feminisme. Pengarang, secara tersembunyi, Dok. Kompas (Agus Triyanto) memberikan pendapatnya bahwa bagaimana pun status perempuan atau laki-laki, tidak ada yang disudutkan maupun yang menyudutkan. Semua ada karena saling melengkapi pada berbagai kekurangannya masing-masing. Dalam konteks kultur Indonesia, sistem patriarkat cukup sulit untuk diubah karena sudah mengakar kuat di setiap sendi kehidupan. Kendati demikian, feminisme merupakan salah satu gerakan yang mampu menginspirasi para penulis perempuan yang hingga saat ini semakin terlihat eksistensinya di masyarakat, lebih-lebih justru mendominasi dunia kepenulisan. Daftar Pustaka: Pambudy, Ninuk Mardiana (peny.). 2010. Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Rahadian: Cerpen Kompas Pilihan 2009. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Edisi April 2014
11
Siluet
SUGIHASTUTI, PEMERHATI PEREMPUAN DAN ANAK Dok. Sugihastuti
Oleh
Nafisah
@Uni_nafisah
MENULIS dan meneliti tidak pernah terpisah dari kehidupannya. Semenjak menamatkan pendidikan pada Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, tulisan-tulisannya tentang bahasa, sastra, wanita, pendidikan, dan cerita anak-anak sudah dimuat pelbagai media massa. Perempuan kelahiran Solo, 2 Januari 1959 ini merupakan salah satu dosen di Jurusan Sastra Indonesia UGM. Mata kuliah yang diajarnya berkaitan dengan anak, perempuan, dan bahasa. Sesuai dengan kegemarannya menulis, ia sudah menerbitkan sedikitnya 30 buku, antara lain: Serba-serbi Cerita Anak; Wanita di Mata Wanita: Perspektif Sajak-Sajak Toety Heraty; Bahasa Laporan Penelitian; Kritik Sastra Feminis: Teori, Metode, dan Aplikasinya; Sekolah Alternatif untuk Anak; Bahasa Indonesia: Dari Awam, Mahasiswa, sampai Wartawan; Rona Bahasa dan Sastra Indonesia; Editor Bahasa; Gender dan Inferiotas Perempuan; Teori Fiksi Robert Stanton; Glossarium Seks dan Gender; Beautiful E-mail from Seoul; Perempuan Berhaji; Pelangi Kalimat Mutiara; Bianglala Perempuan dalam Sastra; Belenggu Ideologi Seksual; Membongkar Androsentrisme dalam Prosa Lirik; Struktur Novel; Peribahasa Indonesia; Metode Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD; Posparagam Budaya dan Sastra Korea; Politik dan Kekuasaan dalam Sastra Indonesia; Teori dan Apresiasi Sastra; dan Spektrum Bahasa Indonesia. BELAJAR DARI PENGALAMAN Keahlian Sugihastuti dalam menulis dan menjadi pembicara di forum-forum tentu tidak didapat secara instan. Ia belajar berdasarkan pengalaman dari tahun ke tahun. “Membaca tulisan-tulisan saya pada zaman dahulu membuat tertawa, bahasanya hancur,” akunya. Selain belajar dari praktik menulisnya sendiri, ia juga menimba ilmu lewat mengajar. Sugihastuti pernah menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan pada tahun 2002—2004.
12
Getar: Buletin Sastra Indonesia
Ketika masih menjadi mahasiswi, dosen ini aktif di Kelompok Karawitan UGM. Ia mengaku hanya memiliki indeks prestasi yang biasa-biasa saja. Menurutnya, kemampuan lain selain akademik juga tidak kalah penting. “Saya mendapat pendamping hidup di tempat menari, bukan sesama dosen,” seloroh wanita yang sekarang menjadi Editor Bahasa dan Konsultan Penulis Buku yang profesional ini. PENELITI PEREMPUAN DAN ANAK Dalam tulisan-tulisannya, Sugihastuti fokus membahas perempuan dan anak-anak. Menurutnya, anak adalah insan muda praremaja yang dalam perkembangan fisik dan kepribadiannya diperlukan aneka hal agar kelak menjadi insan dewasa yang tangguh dan bertanggung jawab demi diri dan masyarakatnya (Sugihastuti, 1996:1). Salah satu hal pemasok kebutuhan sosialisasi anak adalah buku bacaan anak-anak. Dari buku bacaan anak-anak, dapat diperoleh pengalaman batin secara terus menerus, yang dapat dipakai sebagai salah satu sarana membahagiakan anak (Sugihastuti, 1996:4). Selanjutnya, mengenai perempuan, Sugihastuti (2007:84) menjelaskan bahwa perempuan membutuhkan aktualisasi diri dalam masyarakat tempat ia tinggal, bukan sebagai individu yang menjalankan fungsinya dalam lingkup rumah tangga saja. Akan tetapi, lebih dari itu perempuan memerlukan sarana dalam pergaulan sosial dengan masyarakat tempat ia tinggal dengan tidak memperhitungkan berbagai perbedaan seperti agama, ras, etnis, dan sebagainya. Meski sudah bertahun-tahun memfokuskan diri dalam melakukan penelitian tentang perempuan dan anak, Sugihastuti masih haus ilmu pengetahuan. Sekarang ia sedang menyelesaikan beberapa bukunya untuk diterbitkan pada tahun ini. Daftar Pustaka: Sugihastuti. 1996. Serba-serbi Cerita Anak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. -------------. 2007. Gender dan Inferioritas Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Resensi
Perempuan yang Menulis Perempuan Oleh
Ranti Fajria
@ranfajri
Judul buku: SAIA Pengarang: Djenar Maesa Ayu Cetakan: I, Januari 2014 Tebal: 144 halaman Penerbit: Gramedia Pustaka Utama ISBN:
978-602-03-0170-9
Dok. Goodreads
SAIA merupakan buku ketujuh Djenar Maesa Ayu yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama. Dalam kumpulan cerpen ini, cerita yang ditulis berfokus pada perempuan sebagai inti cerita, seperti bagaimana para perempuan merasakan dan mengatasi masalah yang mereka alami, mulai dari masalah sepele seperti menjadi korban iklan obat herbal dalam cerpen “Qurban Iklan” sampai masalah KDRT dalam cerpen “Sementara”. Dalam kumpulan cerpen ini, digambarkan pula bagaimana para perempuan menjadi kuat untuk membela diri sendiri menghadapi berbagai permasalahan. Cerpen “SAIA”, yang diangkat menjadi judul buku, menceritakan seorang siswi SD yang mendapatkan penyiksaan dari orang tuanya. Gadis kecil yang tak berdaya tersebut bisa bertahan dengan menghadirkan kepribadian lain dalam dirinya tanpa dia sadari.
Cerita-cerita Djenar Maesa Ayu dalam kumpulan cerpen ini terkesan suram dan kejam, tetapi sebenarnya merupakan realitas di sekitar kita yang jarang diperhatikan dan dipikirkan. Cerita-cerita dalam kumpilan cerpen ini kurang menghibur untuk dibaca ketika bersantai. Keseluruhan cerita adalah tentang perempuan yang selalu bersalah mendapat perlakuan tidak baik dari lingkungan sekitar. Di sisi lain, ceritacerita ini menyadarkan kita untuk lebih memperhatikan lagi masalah perempuan di sekitar kita. Di zaman ini, masih banyak perempuan yang belum mendapatkan hak yang seharusnya di dalam masyarakat. Ternyata, emansipasi perempuan masih belum dipahami dan diterapkan sepenuhnya. “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang dicita-citakan Kartini belum sepenuhnya terwujud karena Djenar Maesa Ayu masih bisa menemukan banyak kegelapan yang diceritakan lewat tulisannya.
Edisi April 2014
13
Komik
Selamat Hari Kartini Oleh
Sinduk Farhanatul F
@sindu_ff
14
Getar: Buletin Sastra Indonesia
STRUKTUR ORGANISASI KMSI 2014
TELAH hadir struktur kepengurusan KMSI yang baru tahun 2014. Pada 27 Desember 2013, Viktorikus Alangga Dwi Kusuma telah resmi menggantikan Imam Fatkhurrozi sebagai Ketua. Adapun pengurus baru yang lain, seperti Hendy Pradiska sebagai Sekretaris Jenderal, Faradila Nurbaiti sebagai Sekretaris, dan Suci N. Wulandari sebagai Bendahara. KMSI, sebagai salah satu himpunan mahasiswa di Fakultas Ilmu Budaya UGM terdiri atas empat departemen. Berikut keempat departemen tersebut beserta para stafnya.
Departemen RPPM Riset Penelitian & Pengembangan Mahasiswa
Departemen PSDM Pengembangan Sumber Daya Manusia
Shanty Dewi Mashita Latifah Eka Pusparini Galih Pangestu Jati Atika Silma Nabila Yenny Kurniawati
oleh:
Dwi Nur Utami Foto: Dok. KMSI
Wahyu Puji Ardianto Hikmah Aprilia Tito July Haryanto Nur Ainun Anintya Aulina Tantia
Departemen KOMINFO Komunikasi & Informasi
Departemen SENOL Seni & Olahraga
Donnie Trisfian
Afid Baroroh
Kiki Riskita Sari Istiqomah Nafisah Kussmartia D. Achmad Muchtar Dwi Nur Utami
Alfiyan Huda Deswara Syanjaya Yuniardi Fadilah M. Muhrizul Gholy Kukuh Lutfi Syamsiar Andy Caesar Shidqi Dheo Bayu Sadewa Hafidh Kurnia SP Sinduk Farhanatul F Christofer Joseph
Dokumentasi Festival Sastra 2013
dok. KMSI