W
ra buletin
BERAUM
Edisi
1
, April-Juni 2011
APLIKASI DEMOKRASI
ai RAGAM SANGGAU
Wai
buletin
ra
merupakan media informasi sosialisasi demokrasi yang diterbitkan setiap 3 bulan oleh Elpagar (Lembaga Pemberdayaan Pergerakan Rakyat), bekerjasama dengan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) dan Kemitraan.
SUSUNAN REDAKSI Penanggung Jawab : Furbertus Ipur (Direktur Elpagar) Pemimpin Redaksi : Muhammad Isa Redaktur Pelaksana : Ar Irham Sidang Redaksi : Furbertus Ipur, Muhammad Isa, Ar Irham, Yuni Herlina, Dian Lestari, Rudy Fransiskus Tim Liputan : Ar Irham, Yuni Herlina, YK. Sekundus, Sekundus Ritih, Riska Cici Rutani, Hendra Kontributor : Peserta Sekolah Demokrasi Desain Visual : Rudy Fransiskus Alamat Redaksi : Jl. Urai Bawadi Gg. Budi Setia No. 25 Pontianak Email:
[email protected] Situsweb: sekolahdemokrasi.elpagar.org Redaksi menerima kiriman artikel/opini dan pemasangan iklan layanan masyarakat.
Salam Redaksi Belian Ibarat Pohon Demokrasi
P
uji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME karena akhirnya Rawai edisi perdana ini bisa terbit juga. Edisi pertama ini merupakan edisi yang paling berat buat kami kru redaksi, mulai dari pemilihan nama, penghimpunan bahan hingga penerbitan memerlukan diskusi yang panjang ditambah lagi para kru mempunyai kesibukan lain hingga kadang fokus menjadi terbagi-bagi. Mengapa akhirnya nama Rawai yang terpilih menjadi nama buletin ini, bukan tanpa alasan, dari banyak nama yang masuk setidaknya ada lima nama yang menjadi pertimbangan redaksi yaitu Nyala, Tereng, Lotos, Rawai dan Dangau Beraum. Muhammad Isa selaku pimred Rawai akhirnya memimpin diskusi dan memutuskan Rawai menjadi nama buletin tiga bulanan ini. Rawai sendiri bukan merupakan bahasa daerah namun merupakan bahasa Indonesia yang baku. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Rawai mempunyai arti alat untuk menangkap ikan yang dibuat dari tali atau rotan yang direntangkan dan diikatkan beberapa buah mata kail. Pemakaian nama Rawai ini kami maksudkan agar buletin ini bisa seperti rawai yang bisa memancing kreativitas, ide, dan menuangkan pendapat secara tertulis para peserta sekolah Demokrasi. Kami ingin menumbuhkan semangat dan kebiasaan untuk menuangkan kerangka pikir dalam wadah buletin. Di sini para peserta bisa proaktif dalam bertoleransi dan memahami sudut pandang orang lain. Mungkin pembaca akan bertanya tentang makna cover, yang ingin disampaikan redaksi pada edisi perdana Rawai. Kami memilih empat orang anak yang sedang merawat pohon belian ini sebagai gambar utama dengan makna semangat generasi penerus untuk terus memelihara dan menyuburkan demokrasi layaknya pohon belian. Kita tahu bahwa pohon belian adalah tanaman yang sudah langka keberadaannya, agar ia tidak punah maka harus terus dilestarikan, sama dengan demokrasi kita saat ini, yang harus terus dipupuk dan disirami agar makna demokrasi itu tidak menghilang dengan sendirinya. Laporan utama Rawai menampilkan Beraum sebagai aplikasi demokrasi yang sebenarnya sudah lama diterapkan masyarakat Sanggau dan sekitarnya. Beraum adalah diskusi sekaligus aplikasi demokrasi masyarakat pedesaan, saling bantu membantu dengan landasan semangat gotong royong. Inilah makna demokrasi sesungguhnya bagi masyarakat. Rawai juga menampilkan sisi-sisi menarik Sanggau, masyarakat dan kesehariannya serta kiprah Sekolah Demokrasi Sanggau, mulai dari outbond, kegiatan belajar di kelas, talk show hingga studium generale yang banyak dihadiri tokoh-tokoh penting di Sanggau. Akhir kata kami ucapkan mohon maaf jika dalam penyajiannya masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Kritik dan saran selalu kami nantikan, selamat membaca dan salam demokrasi. Redaksi
ISTIMEWA
Daftar Isi 3
LAPORAN UTAMA
Beraum Kearifan Lokal Aplikasi Demokrasi 4
SINOPSIS BUKU
Belajar Politik Santun Gus Dur 5
URANG SANGAU
Ir Sulaiman M.Si, Ketua Yayasan Perhutanan Sosial Bumi Khatulistiwa (YPSBK): Dibilang Kerja Bodoh 6
VOX POPULI
Apa Itu Sekolah Demokrasi? 7
RAGAM SANGGAU
Lestarikan Kapal Bandong Lewat Miniatur Menghabiskan Sore di Muara Kantu
8-9
10
Secercah Harapan di Sekolah Demokrasi Sanggau (Aep Mulyanto, S.Hum)
Televisi di Era Bisnis Sinetron: Tumbuhkan Penonton Setia hingga Tren Jilbab
RUANG PUBLIK
Demokrasi: The Voice of God (Rudi Hartono) Fanatisme dan Stereotipe Buta (Yuni Herlina, SH) Demokrasi Mulai dari Dalam Keluarga (Zaenuri, SH)
2
Wai
ra
KOLOM PEREMPUAN 11
STUDIUM GENERALE
Sekolah Demokrasi Sasar Kabupaten 12
GALERI FOTO
ISTIMEWA
Laporan Utama
Beraum Kearifan Lokal Aplikasi Demokrasi
S
ukarela mengerjakan lahan pertanian secara bergantian sebagai hasil kemufakatan merupakan khas cara bergotong royong ala masyarakat Sanggau, yang hingga kini masih terus terjaga. Seperti diungkapkan oleh Rupinus, warga Sanjan Kabupaten Sanggau ketika ditemui Rawai, Minggu (27/2/2011). “Sebelum membuka lahan ataupun membentuk kelompok tani biasanya dilakukan beraum, hasil keputusan beraum inilah yang akan dilaksanakan,” kata Rupinus. Beraum adalah istilah yang biasa digunakan oleh masyarakat dayak Sanggau, yang bisa berarti kerjasama, diskusi, gotong royong ataupun musyawarah. “ Beraum gotong royong biasanya saling bantu-membantu mengerjakan ladang atau sawah, baik milik pribadi maupun kelompok secara bergantian, ” lanjut Rupinus. Misalnya bulan ini Pak Ahmad akan membuka lahan pertanian baru, maka secara bersama-sama warga akan membantu Pak Ahmad secara sukarela. Begitu juga ketika ada warga lain yang akan membuka lahan, maka secara otomatis Pak Ahmad akan turun membantu. “Apa saja yang mau dibuat atau dipersiapkan, hal-hal penting ketika diputuskan dalam beraum maka harus dilaksanakan,” ungkap Rupinus. Beraum biasanya dilakukan malam hari karena di siang hari warga cenderung bekerja, belasan hingga puluhan orang biasanya berkumpul di balai desa atau balai kampung, namun tidak menutup kemungkinan beraum juga dilakukan di luar ruangan. “Prosesnya hampir sama dengan yang dilakukan di DPRD. Berdiskusi, mengajukan
“Masyarakat pedesaan cenderung lebih polos menyampaikan hal-hal yang mereka alami, beda dibandingkan diskusi di dunia politik dengan banyak kepentingan.” ROZA DEWI TAMBUNAN (Penyuluh Pertanian di Batang Tarang) pendapat dan mufakat dalam keputusan. Beraum merupakan proses demokrasi di dalam masyarakat yang sudah ada ratusan tahun lalu dan hingga kini masih terjaga, yang merupakan kearifan lokal,” jelas Rupinus. Martina (38) warga Dusun Temiangmali Desa Temiangmali Kecamatan Balai Kabupaten Sanggau menyatakan, model diskusi yang dibangun saat beraum sangat toleran. Warga satu dan lainnya saling menghormati dan menjalankan hasil keputusan yang telah disepakati bersama. “Perbedaan pendapat pasti ada, tapi pendapat paling baiklah yang akan dipakai. Awalnya berbeda pendapat tetap mengikuti hasil keputusan kalau tidak mereka akan dijauhi. Misalnya saja ada yang capek tapi ketika keputusan akan ada gotong royong maka mereka akan turun,” jelas Martina. Dalam beraum paling sedikit dihadiri 10 orang, namun itu pun sangat jarang terjadi ka
rena justru banyak datang sukarela mengikuti beraum. Dalam beraum mereka bisa menyampaikan pendapat, sekaligus mendapatkan informasi baru dan ikut andil dalam pengambilan keputusan untuk kepentingan mereka bersama. “Bentuk gotong-royongnya ada dua, yaitu kelompok dan pribadi. Untuk pribadi biasanya ada kesadaran dari yang mempunyai lahan untuk memberikan konsumsi. Jika ada yang berhalangan hadir maka digantikan oleh anggota keluarga lain,” lanjut Martina. Sementara itu, menurut Roza Dewi Tambunan, Penyuluh Pertanian di Batang Tarang, proses beraum umumnya sama dengan proses diskusi dalam forum resmi. Ada penyampaian pendapat, pertanyaan bahkan kadang perbedaan pendapat. Hanya saja proses beraum lebih sederhana dengan tema sederhana pula. “Ini adalah bagian demokrasi, walaupun yang bicara hanya satu atau dua orang dan lainnya cen derung mengikuti, namun nilai-nilai demokrasi sudah diterapkan. Masyarakat pedesaan cen derung lebih polos menyampaikan hal-hal yang mereka alami, beda dibandingkan diskusi di dunia politik dengan banyak kepentingan,” jelas Dewi. Ia menambahkan bahwa banyak kemajuan dari cara masyarakat dalam beraum di antaranya adalah peningkatan cara berdiskusi dan berkomunikasi, sudut pandang yang meluas dan lebih cepat mengakses informasi dari luar. “Beraum atau berdiskusi itu penting, karena kita sebagai penyuluh tahu apa permasalahan yang sedang dihadapi oleh para petani,” tambahnya.
Wai
ra
3
Laporan Utama Demokrasi Kontekstual Beraum mesti dijaga dan dilestarikan keberadaannya, sebagai kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang sejak puluhan tahun lalu. Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas, yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat “local wisdom” atau pengetahuan setempat “local knowledge”atau kecerdasan setempat “local genious”. Demokrasi kontekstual sendiri adalah demokrasi yang berangkat dari kearifan lokal masyarakat setempat, yang pada dasarnya nilai demokrasi itu sudah tumbuh dan berkembang sejak zaman dahulu. “Contohnya persamaan hak dalam hukum secara kondisional sudah ada sejak dahulu dengan nama berbeda atau tidak ada namanya sama sekali,” ungkap Furbertus Ipur, Direktur Elpagar. Ia menambahkan beraum merupakan wujud dari demokrasi kontekstual yang berasal dari kearifan lokal, dengan semangat kerjasama dan musyawarah. “Nilai universal yang turun dari nilai lokal itulah dinamakan kontekstual. Kalau contoh lainnya adalah seperti balale’, sistem kerja gotong royong di petani. Hampir semua daerah mempunyai kearifan lokal, dengan nama berbeda-beda,” lanjut ipur. Menurutnya, contoh dalam hukum, bahwa
Sinopsis Buku:
T
Wai
ra
Jalan Beriringan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi atau KID merumuskan suatu konsep demokrasi yaitu nilai-nilai demokrasi haruslah dianggap dan dipertahankan sebagai nilai universal yang harus berlaku di semua tempat, akan tetapi perwujudan dan penghayatan nilai-nilai universal tersebut hanya dapat dilakukan dengan menggunakan simbol, idiom dan ekspresi kebudayaan-kebudayaan setempat.
Belajar Politik Santun Gus Dur
okoh bernama lengkap Abdurrahman Ad-Dakhil memang sudah tiada sekitar setahun lalu. Namun kisah kepeduliannya terhadap rakyat Indonesia, senantiasa dikenang bangsa. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari pejuang humanisme ini. Buku yang ditulis oleh Muhammad Zaki, mengajak kita menyelami jejak hidup Gus Dur, terutama di bidang politik. Bahasa dan penyajian buku ini terasa enak, karena mengetengahkan berbagai informasi dari media dengan ulasan dan rangkaian yang menarik. Selain ulasan media, terdapat pula beberapa tulisan singkat yang dibuat Gus Dur. Hal paling menarik dari catatan politik Gus Dur adalah politik santun, yang seringkali sulit dipahami berbagai pihak. Muncul ungkapan bukan Gus Dur namanya kalau tidak nyeleneh, bahkan dia pernah dinilai sebagai “pendekar mabuk” dalam mengeluarkan jurus politik. Padahal kalau kita mau mempelajari esensi pembelajaran dari Gus Dur, sesungguhnya silaturahmi politik yang dilakukannya ke sejumlah tokoh nasional senior berdampak positif terhadap pemerintahannya. Melalui kunjungan politik ini, Gus Dur ingin membangun tradisi politik baru, yakni politik santun yang memelihara hubungan baik antarpribadi. Ketika berziarah ke makam kakeknya (KH Hasyim Asy’ari) di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Gus Dur dan Megawati yang saat itu saling bersaing sebagai bakal calon presiden, keduanya sama-sama menangis. Mereka tidak membiarkan terjadinya perseteruan apalagi sampai menghancurkan hubungan pribadi. Sejak kemelut Mei 1998, sudah tidak terhitung lagi kelompok dan tokoh politik bertemu Gus Dur. Mulai dari Prabowo hingga Wiranto, yang keduanya dikesankan berada pada faksi yang berseberangan
4
semua orang itu sama dimata hukum, jika ada pemangku adat yang melanggar hukum maka ia juga dapat dihukum bahkan hukumnya bisa dua kali lipat. Sayangnya nilai lokal sudah mulai berkurang hal ini disebabkan kurangnya penghargaan terhadap kearifan lokal. “Misalnya saja pemerintah yang setengah hati mengakui hukum adat, padahal secara teoritik hukum adat membentuk hukum nasional. Dalam ilmu hukum, hukum adat disebut sumber hukum,” tambahnya. Jika masyarakat tidak punya niat atau kemauan dan tidak percaya lagi dengan kearifan lokal maka lambat laun ini akan punah. Yang harus dilakukan adalah kelompok masyarakat harus melestarikan dan menggali kearifan lokal tersebut. “Caranya melakukan revitalisasi musyawarah adat atau telaah kritis ditingkat daerah, yang bisa memajukan dan melestarikan adalah masyarakat setempat itu sendiri, mendorong agar kearifan lokal menjadi universal, ” lanjut Ipur.
dengan militer. Gus Dur pula yang memungkinkan Amien Rais dan Megawati bertemu, dua tokoh reformasi yang terkesa sulit bertemu. Gus Dur juga yang memfasilitasi pertemuan berbagai gagasan setelah Pemilu 1999 antara para pendukung Habibie di tubuh Golkar, pendukung Megawati di PDI Perjuangan, dan kalang Poros Tengah. Pada halaman 123 berjudul “Siasat Langit Menuju Istana”, yang diolah dari Suara Merdeka 19 Oktober 1999, diulas tentang sikap keterbukaan Gus Dur yang sepintas terkesan kanan-kiri oke. Dalam arti mau dicalonkan sebagai presiden, dan bersamaan dengan itu mendukung pencalonan Megawati sebagai pesaing. Barangkali sikap keterbukaan politik dan kemampuannya membangun rekonsiliasi dengan berbagai pesaing politik membuat Gus Dur tampil sebagai “penakluk” jagat politik di Indonesia. Gus Dur juga mengajari bangsa Indonesia agar tidak menyimpan dendam. Semasa pemerintahan Presiden Soeharto dia pernah dicekal tidak boleh berbicara di depan umum. Tetapi ketika Soeharto turun tahta, justru Gus Dur menjenguknya. Kyai dengan falsafah “gitu saja kok repot” ini benar-benar tak risau oleh berbagai isu spekulasi, tentang tindakannya mengunjungi orang yang sedang dihujat rakyat. Belum lagi ancaman dari Prabowo terhadap dirinya, tidak menjadi halangan baginya untuk melakukan dialog dengan mantan menantu Soeharto tersebut. “Kecelakaan misterius” yang menimpanya dan keluarga, juga tak dipermasalahkan oleh Gus Dur. Hingga akhir hayat, dia tetap bersuara lantang menyuarakan ketidakadilan terhadap kaum minoritas. Meski di satu sisi terkesan ”mudah memaafkan”, sepak terjang Gus Dur di dunia politik sering mengejutkan dan teguh memegang prinsip. Gus Dur berani memecat Kapolri waktu itu yang dijabat Roesmanha-
Tanpa menerjemahkan nilai-nilai besar tersebut ke dalam ekspresi budaya setempat demokrasi akan menjadi sulit dipahami dan sulit pula diterima. Karena itu ekspresi dan nilai-nilai lokal dianggap sangat penting untuk mengejawantahkan demokrasi. Disadari bahwa tidak semua nilai-nilai lokal dengan sendirinya sejalan dengan nilai-nilai demokrasi, kalau terjadi konflik antara nilai-nilai lokal dan nilai-nilai universal demokrasi, maka harus memihak nilai-nilai universal sambil mendorong perubahan nilai-nilai lokal agar semakin sejalan dengan nilai-nilai universal demokrasi. “Untuk saat ini sepertinya belum ada per tentangan yang signifikan, secara faktual masih berjalan beriringan, andaipun ada harus merujuk ke nilai universal,” tutur Ipur. Konsep tersebut dikalangan KID disebut demokrasi kontekstual yang berarti bahwa konteks sosial tidak membuat demokrasi menjadi partikular tetapi menjadi syarat yang penting untuk mewujudkan nilai-nilai universal secara kongkret dalam sebuah konteks. Demokrasi tercapai jika diciptakan keseim bangan ideal antara luas atau besaran partisipasi dan mutu atau kualitas wacana demokrasi. Hu bungan di antara besaran partisipasi dan tingkat wacana demokrasi bersifat asimetris. Ini artinya partisipasi politik yang meluas atau meluas dengan sangat cepat dapat menurunkan mutu wacana demokrasi. Sebaliknya, semakin baik penguasaan demokrasi semakin besar pula kemungkinan seseorang menciptakan akses pada partisipasi politik. (yuni herlina)
Penulis : H. Muhammad Zakki Penerbit : Masmedia Buana Pustaka Jumlah halaman : 267 Ukuran : 13 x 20,5 cm Edisi : Soft cover Harga : Rp 45.000
di. Seorang sumber menjelaskan, Roesmanhadi dinilai lambat mengantisipasi pembakaran STT Doulos di Cipayung, Jakarta Timur, yang menewaskan seorang mahasiswa dan membumihanguskan sekolah Kristen tersebut. Mungkin bisa kita bandingkan dengan situasi Indonesia sekarang ini di bawah pimpinan Presiden SBY, tidak pernah ada pencopotan Kapolri, padahal terjadi berulangkali konflik antargolongan dan antarpenganut agama. Tindakan berani Gus Dur lainnya adalah memecat Mayjen Sudrajat, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI yang pernah menyebutkan bahwa presiden bukan Panglima Tertinggi TNI. Kemudian keputusan Gus Dur yang paling menyentak TNI adalah memberhentikan Wiranto dari jabatannya sebagai Menko Polkam, yang disebut-sebut terlibat dalam pembumihangusan Timor Timur. Gus Dur merupakan sosok yang mengajarkan humanisme, menerapkan politik santun, sekaligus berani menindak tegas petinggi negeri ini yang hanya diam ataupun bermainmain dalam penindasan terhadap kaum minoritas. (dian lestari)
Urang Sangau Ir Sulaiman M.Si, Ketua Yayasan Perhutanan Sosial Bumi Khatulistiwa (YPSBK)
Dibilang Kerja Bodoh
S
osoknya yang ramah dan low profile membuat bapak tiga anak ini dikenal luas di masyarakat Kabupaten Sanggau bahkan hingga ke desa-desa yang letaknya puluhan kilometer dari ibukota kabupaten. Menyelesaikan kuliah di Fakultas Pertanian di Universitas Tanjungpura, membawanya terjun langsung ke masyarakat sebagai tenaga teknis pertanian. “Ada tujuh lokasi binaan saya, Sungai Kosak, daerah Mukok SP1 dan SP2, Parindu, Pemodis, Kedakas, Sanjan,” ungkap bapak yang akrab disapa Pak Man ini, saat bertemu Rawai, Selasa (22/2/2011) lalu. Berbekal semangat, Pak Man muda melakukan tugasnya dengan penuh dedikasi untuk membuat masyarakat binaannya lebih maju. Ayah tiga anak ini menuturkan bahwa penghasilannya sebagai tenaga teknis saat itu berkisar Rp 125 ribu perbulannya ditambah de ngan uang jalan. “Tiga bulan pertama gajinya Rp 125 ribu, setelah itu naik menjadi Rp 350 ribu, ya harus pandai-pandailah membagi,” lanjutnya sambil tersenyum mengingat perju angannya dulu. Banyak tantangan yang dihadapi bapak yang murah senyum ini, diantaranya adalah infrastruktur jalan yang tidak semulus sekarang, belum lagi jarak yang ditempuh tak juga bisa dikatakan dekat. “Jalannya tidak seperti seka-
rang, yang paling jauh adalah Pemodis, kalau yang jalannya jelek di SP1 dan SP2,” ceritanya. Belum lagi ketika ia harus mulai beradaptasi dengan penduduk wilayah binaannya yang mempunyai suku beragam. “Kalau di wilayah sungai Kosak itu umumnya Melayu, kalau Mukok Jawa, Kedakas Dayak. Namun kalau tantangan terberat sih ketika berhadapan dengan orang-orang yang kurang percaya pada kita,” tuturnya. Menurut ceritanya, masyarakat pernah mengatakan bahwa proyek yang dijalankannya adanya proyek bull akronim dari proyek bula’ (proyek bohong) ini disebabkan masyarakat tidak ingin mengetahui lebih jauh tujuan dari proyek yang dijalankan tersebut. “Seperti menanam kayu Sengon, dibilang kerja bodoh padahal tujuannya adalah untuk konservasi,” jelasnya. YPSBK Sulaiman menjabat sebagai ketua YPSBK sejak tahun 2005 lalu, lulusan Magister Sosial Universitas Tanjungpura ini menuturkan bahwa yayasan ini mempunyai visi untuk pengem bangan desa dalam kawasan hutan. “Kami membantu pemerintah dalam pe ningkatan sumber daya manusia dengan melakukan kegiatan pelatihan maupun pendampingan di bidang kehutanan dan pertanian, sebagai konsultan survei dan membantu memfasilitasi
“
masalah yang terjadi antara masyarakat dan pemerintah,” ujar bapak kelahiran 24 Desember 1967. Selain itu mereka juga sedang fokus ter hadap perlindungan tembawang yang merupakan warisan keluarga yang harus diperta hankan. Tembawang merupakan satu di antara sumber ketahanan pangan masyarakat sekitar. Saat ini tembawang sudah mulai habis dijual oleh pemiliknya. “Kami mencoba membantu mencarikan solusi masalah mereka yang paling ringan se perti pekerjaan untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari lalu sambil fokus ke tembawang,” jelasnya. Alasan paling mendasar masyarakat menjual tembawang adalah karena alasan ekonomi. Suami dari Suparsih ini mempunyai kei nginan agar YPSBK bisa menjadi pusat pendi dikan kehutanan dan konservasi. Suka Mancing “Mancing itu bisa membuat orang melihat bahwa alam itu bagus,” jawabnya ketika ditanyakan apa hobinya. Disela-sela kesibukannya, ia selalu menyempatkan diri untuk memancing sambil menikmati alam. Pak Man selalu menyempatkan dirinya untuk keluarga, satu hal yang paling ditekankannya pada ketiga anaknya yaitu agama. “ Untuk karier biarlah mereka tentukan sendiri sesuai dengan kemampuannya yang penting adalah agama,” tuturnya. Sebagai pribadi Pak Man mempunyai keinginan untuk membangun lembaga profit. “Satu keinginan pribadi saya yang belum tercapai saat ini yaitu mendirikan lembaga profit sebagai konsultan pemberdayaan non fisik,” katanya sembari tersenyum. (yuni herlina)
Menanam kayu sengon dibilang kerja bodoh, padahal tujuannya untuk konservasi.”
Profil Singkat Nama : Ir. Sulaiman, M.Si. Profesi : Ketua Yayasan Perhutanan Bumi Khatulistiwa (YPSBK) Tempat, Tanggal Lahir : Sanggau, 24 Desember 1967
YUNI HERLINA
Istri : Suparsih Anak : 1. Ira Mayda 2. Fitri Januarti 3. Ilham
Wai
ra
5
Vox Populi
P
endidikan non formal tentang demokrasi yang berfungsi untuk meningkatkan nilai, pengetahuan, keterampilan tentang demokrasi, dan merupakan proses untuk menemukan makna demokrasi yang sejati. ROZA DEWI TAMBUNAN, SP, PEGAWAI NEGERI SIPIL
Apa Itu Sekolah Demokrasi? Sekolah yang bersifat kebebasan mengeluarkan pendapat dalam pemerintahan rakyat, yang adil dan transparan untuk perubahan yang lebih baik di negara ini. KUWADI, PENGURUS KUD
S
ekolah Demokrasi memberikan pemahaman demokrasi bukan sematamata pemerintahan rakyat. Namun esensi terpenting adalah bagaimana demos (rakyat) bisa merasa terjamin hak-hak dasarnya (human right) dan sadar akan kewajibannya sebagai demos. LISNAWATI, PEGAWAI NEGERI SIPIL Sekolah Demokrasi adalah proses pembelajaran politik agar masyarakat, lebih kritis, toleran, dan tentunya demokrasi menuju masyarakat yang lebih sejahtera. MARSONO MUSTIKA, PENGURUS PARTAI POLITIK
Cikal bakal untuk menuju kebebasan, pola kemandirian masyarakat, hak berbicara dan mengutarakan pendapat dari masing-masing individu masyarakat madani. MARIA DOMINIKA, PEKERJA SWASTA Wadah untuk berorganisasi, saling menghargai, berpendapat dan men dengar pendapat, kerja sama, dan yang terpenting adalah bersatu dalam keberagaman. EDI RAHMANSANA, SP
S
ekolah Demokrasi memberikan pengetahuan bahwa demokrasi itu luas, dan Pemilu hanya sebagian kecil dari proses demokrasi . Demokrasi ternyata juga ada dalam keluarga, misalnya kesepakatan bahwa anak tidak boleh pulang terlalu malam. Kesepakatan ini juga merupakan bentuk demokrasi. HAMKA SURKATI, SE, ANGGOTA KPU SANGGAU Sekolah untuk pengembangan diri dan pengetahuan, tempat berdebat, dan mengomunikasikan ide serta cara pandang. RUDI HARTONO, PENGUSAHA Sekolah Demokrasi adalah tempat untuk menambah pengalaman, dan memperdalam tentang demokrasi. SUSI, A.Md, PENYULUH PERTANIAN
W
adah pendewasaan kita dalam berfikir berdemokrasi dan berfaham. SULAIMAN, KARYAWAN SWASTA
6
Wai
ra
Ragam Sanggau Lestarikan Kapal Bandong Lewat Miniatur Senang Dipuji Pujianlah yang membuat Pak Long semakin memotivasi diri untuk membuat karya semakin baik dan ia mengakui itu. “’Hebat eh pak Long’ itu kalimat yang selalu kunantikan,” beber pak Long sembari tertawa. Ia sangat senang jika ada yang memuji hasil kerjanya, “Semakin dipuji semakin bersemangat,” lanjutnya. Banyak penghargaan yang telah diterima pak long, diantaranya Inacraft Award 2007, dan pada Desember 2010 lalu terpilih menjadi satu dari lima orang pengrajin di Indonesia yang mendapatkan upakarti dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Kalau ditanyakan apakah saya bahagia mendapatkan upakarti saya menjawab, ya bahagia tapi saya berfikir apakah saya mendapatkan atau meminta,” ungkapnya penuh dengan kekecewaan. Ia merasa kecewa karena untuk mendapatkan penghargaan ini pengrajin sendiri yang harus mendaftar bukan pihak pemerintah yang terjun langsung untuk mencari bakat dan betul-betul mempunyai keinginan dan motivasi yang tulus untuk melestarikan barang-barang tradisional. “Mestinya pemerintah memikirkan kembali syarat perajin untuk bisa mendapatkan upakarti. Kalau harus mengikuti tahapan penyisihan seperti yang dilakukan maka ketulusan seseorang untuk melestarikan kerajinan daerah menjadi tidak penting. Maka dari itu upakarti ini tak membuat saya bangga,” jelasnya. Selain itu ia juga merasa kurangnya apresiasi pemerintah daerah Sanggau dalam menghargai apa yang telah di lakukannya sebagai bentuk untuk membesarkan nama daerah. “Saya tidak berharap mereka (Pemerintah Dae rah) datang ke rumah saya dan memberikan ucapan selamat, tapi setidaknya ada ucapan selamat yang diberikan dari kepala daerah atau perwakilannya, karena sudah bisa mengangkat nama Sanggau dalam upaya melestarikan kerajinan tradisional,” pungkasnya. (yuni herlina)
A
Pernah Jadi Tempat Main Bola
ngin sepoi-sepoi berhembus, sinar matahari mulai meredup dan segera menuju peraduannya. Aneka ragam hidangan menemani, menikmati pemandangan ditepian sungai di Muara Kantu. Seperti biasa kala sore hari Muara Kantu selalu dipadati pengunjung, tak hanya muda-mudi mereka yang sudah bekeluarga pun senang bersantai di sana. Bercakap-cakap sekadar untuk menghilangkan penat setelah beraktivitas seharian. Menurut cerita di kala musim surut tiba, Muara Kantu bisa dijadikan lapangan untuk bermain bola. “Tahun 2003, Muara Kantu pernah mengalami surut total hingga bisa dijadikan tempat main bola masyarakat setempat,” ungkap Sulaiman, satu diantara pengunjung Muara Kantu, Saat bertemu Rawai, Minggu (27/2/2011). Menurut ceritanya, sebelum kejadian surut tersebut, di seberang muara kantu belum ada pemukiman dan aktivitas ekonomi seperti sekarang. “ketika air surut penduduk berbondongbondong pindah dan berjualan di seberang sana,” lanjutnya. Hal senada juga di ungkapkan oleh Samsia (43), ketika air muara surut, para pengunjung semakin ramai, bahkan mereka membawa perlengkapan permainan untuk menghabiskan waktu di sana. “Di sini ramai dikunjung, kalau air kering mereka biasanya bawa perlengkapan sendiri untuk main dipasir kayak bawa bola,” kata Samsia. Selain bisa bersantai ditepian sungai, pengunjung juga bisa menyeberangi sungai dengan membayar Rp 5000,-. (sekundus/hendra) YUNI HERLINA
J
ajaran miniatur kapal Bandong tertata rapi di pojok ruangan, di bagian depan seorang pemuda sedang asik mengamati replika mini gereja Katedral sambil sesekali membenahi bagian yang belum terselesaikan. Ketika kami menyapa, senyum ramah bapak paruh baya ini mulai mengembang mempersilahkan masuk dan melihat-lihat kios tempat mereka bekerja. Tak lama kami diajak mengobrol di rumah miliknya yang berlantaikan kayu, hampir sama de ngan galeri tempatnya bekerja, di pojok ruangan pun tampak lemari kaca yang menyimpan replika mini kapal bandong dengan berbagai ukuran, lalu ada pula beberapa penghargaan dan foto ketika menerima Upakarti dari orang nomor satu di Indonesia. Muhammad Riva’i Navis nama panjangnya namun lebih akrab disapa pak Long, tubuhnya masih tampak segar tak menyiratkan kalau usianya kini telah menginjak 71 tahun. Semangatnya masih membara ketika bercerita tentang hobinya membuat miniatur bandong, melukis bahkan menciptakan lagu daerah. Asal muasal ia membuat miniatur kapal Bandong adalah karena hobi, sedari kecil bapak empat anak ini sudah gemar membuat mainan dari kayu. “Mungkin dari keturunan juga ya, karena bapak saya dulu pembuat kapal bandong yang asli,” kata Pak Long bercerita pada Rawai saat berkunjung di rumahnya di Tanjung Sekayam, Rabu (23/2/2011) lalu. Kegemaran Pak Long membuat mainan berlanjut hingga ia dewasa, dari kayu pelaik dan kebaca ia rangkaikan hingga terbentuklah pajangan kapal bandong yang unik dan menarik, mulai dari yang kecil hingga besar ada yang dimasukkan ke dalam mika dan ada pula yang tidak. “Lalu ada teman yang melihat dan tertarik untuk membeli, semakin hari semakin banyak yang memesan,” ungkap kakek delapan cucu ini. Merasa banyak yang menyenangi membuat pak Long berfikir bahwa ini merupakan peluang bisnis, ditambah lagi ketika mengingat kalau di Sanggau masih kurang souvenir untuk dibawa pulang sebagai oleholeh. Hari demi hari berlalu hingga miniatur kapal Bandong pak Long pun semakin terkenal, bahkan ia mendapat pesanan dari luar negeri seperti Malaysia dan Singapura. Menurut Ceritanya, pak Long pernah mendapatkan tawaran kerjasama pengusaha Malaysia. “Permodalan dan semuanya ditanggung, bahkan saya juga pernah diajak ke Malaysia agar usaha saya lebih menguntungkan dari segi bisnis, namun semuanya saya tolak,” katanya. Ia mengaku masih ingin mengerjakan pembuatan miniaturnya secara manual tanpa mesin, begitu pula dengan bahan yang digunakan masih alami tanpa penggunaan pewarna kimia. Warna yang ada pada miniatur kapal bandongnya adalah warna asli dari kayu yang ia gunakan. “Saya ingin melestarikan kekayaan tradisional, dengan mencari keunikan-keunikan yang mungkin sudah mulai ditinggalkan, intinya berangkat dari barang tradisional,” tuturnya bersahaja. Selain kapal Bandong, pak Long juga membuat miniatur rumah adat, Dedauk atau kapal besar tidak menggunakan tenaga mesin namun tenaga manusia, dan miniatur gereja Katedral. “Kalau Katedral itu agak klasik, pesanan dari Gubernur Kalbar,” akunya.
Menghabiskan Sore di Muara Kantu
Riva’i Navis menunjukkan koleksi kapal Bandong yang dibuatnya. Buah karya ini telah mendapatkan pengakuan hingga memperoleh upakarti tahun 2010 lalu.
Wai
ra
7
Ruang Publik Secercah Harapan di Seko lah Demokrasi Sanggau Aep Mulyanto S.Hum (Peserta Sekolah Demokrasi Sanggau)
L
angkah besar dan mulia dilakukan oleh Lembaga Pemberdayaan Pergerakan Rakyat (Elpagar), bekerjasama dengan Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) dan Kemitraan Indonesia, dengan menyelenggarakan pendidikan untuk masyarakat yang diberi nama Sekolah Demokrasi. Ya, sebuah proses pendidikan yang luar biasa, bermaksud dan bertujuan, membumikan demokrasi di negeri Indonesia tercinta. Sekolah Demokrasi merupakan wujud nyata dari KID dan Kemitraan Indonesia, dalam membumikan demokratisasi di Indonesia, khususnya di Kalimantan Barat, yang diwakili oleh Kabupaten Sanggau. Sehingga kegiatan ini diberi nama Sekolah Demokrasi Sanggau. Elpagar sebagai penyelenggara teknis Sekolah Demokrasi Sanggau, berkomitmen untuk berbagi tentang ilmu demokrasi. Masyarakat Kabupaten Sanggau sangat beruntung, karena tidak semua masyarakat di Indonesia bisa mendapatkan kesempatan menikmati pendidikan berkualitas seperti ini. Suatu pendidikan yang akan melahirkan demokrat-demokrat ulung, unggul, dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Karena perkembangan demokratisasi di Indonesia secara umum dan Kabupaten Sanggau khususnya, masih jauh panggang dari api. Demokrasi tidak pernah selesai untuk dibahas dan dikaji oleh seluruh umat manusia, sebab demokrasi menjadi bagian bagian terpenting dalam kehidupan manusia modern. Selain dalam pemerintahan, demokrasi merupakan kebebasan berekspresi dan berkarya, kebebasan menyatakan pendapat dan berbicara, kesempatan yang sama dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, masih sebatas teori yang melangit. Bukti nyata adanya perbedaan makna dan pelaksanaan demokrasi adalah banyak kebijakan-kebijakan pemerintah (eksekutif) yang tidak berpihak pada masyarakat. Pemerintah mestinya mengambil keputusan dalam sebuah kebijakan berorientasi pada rakyat, karena rakyat adalah subjek yang menjadikan demokratisasi berjalan. Namun pada kenyataannya, rakyat hanya dijadikan objek demokrasi – kalau boleh dikatakan objek politik - karena politik merupakan bagian dari demokrasi. Selain pemerintah yang tidak apresiasif, lembaga perwakilan rakyat (DPR, sebagai lembaga legislatif), yang semestinya mewakili rakyat dalam arti menyeluruh, karena memiliki tugas dan fungsi kontrol, legislasi, dan budget pada lembaga eksekutif, ternyata hanya memiliki hubungan bisnis semata. Dalam bahasa ekstrem belum ada tanggung jawab moral
Demokrasi: The Voice of God Rudi Hartono (Peserta Sekolah Demokrasi Sanggau)
S
ering kita mendengar kata demokrasi, ada yang mengartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dan pengertian tersebut diterima oleh masyarakat luas. Namun hanya sebatas itukah demokrasi? Bila kita berangkat dari pengertian tersebut maka kita akan melihat bahwa demokrasi adalah miliknya elite politik, miliknya dunia politik, dan digunakan untuk kekuasaan. Demokrasi tidaklah sesempit itu, demokrasi tidak dapat diartikan semudah merangkai kata-kata menjadi kalimat. Bila kita melihat kembali unsur-unsur demokrasi, dan faktor faktor yang terlibat di dalamnya, dan ranah-ranah kehidupan yang bersinggungan dengan demokrasi, maka dapat kita katakan bahwa demokrasi merupakan gaya hidup, cara berpikir dan bertindak, serta cita cita bersama (bukan sebagai manusia suatu kelompok,
8
Wai
ra
lembaga legislatif terhadap rakyat, yang senyatanya telah memberikan kepercayaan untuk mewakili mereka dalam menentukan kebijakan. Supaya rakyat merasa menjadi manusia bermartabat. Demokratisasi di Indonesia, bagaikan sinetron di televisi, penuh intrik dan kemunafikan. Adegan-adegan sandiwara yang ditampilkan tidak sesuai dengan idealitas kehidupan manusia. Demikian pula demokratisasi di Indonesia, penuh dengan perilaku-perilaku elit politik yang mengaku sebagai demokrat ulung, politikus handal, hanya mampu berbuat untuk partai politiknya, golongannya, orang-orang yang berada di lingkungannya. Semestinya, seorang politikus ulung, demokrat yang handal, anggota DPR yang intelek, yang benar-benar sanggup menjadi manusia se tengah dewa, yang keberadaannya menjadi rahmatan lil ‘alamin, sebagai penyejuk hati rakyat dalam nyata. Namun sebagian besar – karena ada sebagian kecil - elit politik yang hanya bersuara lantang dalam membela partai dan kekuasaannya. Contoh nyata dari sinetron politik yang ada di Indonesia, adalah isu reshuffle kabinet. Hampir setiap saat, surat kabar, televisi, dan media massa lainnya, memberitakan adanya reshuffle kabinet. Reshuffle kabinet yang diartikan penggantian menteri-menteri yang membantu kerja presiden, menjadi wacana dan silang pendapat yang hanya menghabiskan waktu dan menguras pikiran. Sebagai presiden yang memiliki hak prerogatif, mestinya SBY tampil tegas dan bijaksana. Resuffle kabinet dilakukan berdasarkan kebutuhan, berdasarkan kemampuan dan keahlian menteri yang dipilih. Bukan hanya karena pertimbangan politik. Isu reshuffle belum selesai, karena tarik ulur kepentingan, muncul lagi isu penggantian sekretaris gabungan parta-partai koalisi, Abu Rizal Bakrie, yang juga Ketua Partai Golkar. Kedua permasalahan ini mengaburkan penyelesaian seluruh permasalahan bangsa, yang seyogyanya menjadi prioritas kerja, karena menjadi kepentingan seluruh anak bangsa. Bagaimana menteri-menteri mau bekerja maksimal, karena ada sebagian atau secara keseluruhan menunggu adanya reshuffle. Carut-marutnya demokratisasi di Indonesia benar-benar menjadi momok dan ancaman terbesar kehancuran bangsa. Elit politik yang menyatakan dirinya demokrat ulung, benar-benar ulung dalam memperdayai rakyat, yang semetinya rakyat adalah pemegang kekuasaan ter tinggi. Namun ada secercah harapan dengan langkah dan gerakan nyata dilakukan oleh Elpagar, dengan support dari KID dan Kemitraan Indonesia, untuk setidaknya mampu berbuat nyata dalam memperbaiki dan menempatkan demokrasi pada teori dan pelaksanaan sesuai prosedur dan subtansinya. Masih ada sedikit keyakinan dalam hati rakyat untuk bisa berbuat semaksimal mungkin dalam memperjuangkan kehidupan demokrasi humanis, demokrasi yang tidak terkotori oleh nafsu pribadi elit politik. Sekolah Demokrasi Sanggau oleh Elpagar dengan 36 peserta dari berbagai elemen masyarakat di Kabupaten Sanggau, bisa mewarnai demokra tisasi di Indonesia, minimal di Kalimantan Barat. Semoga!
wilayah atau negara tetapi sebagai masyarakat dunia). Demokrasi juga bukanlah ideologi, bila ia adalah ideologi maka ia akan bersifat statis, namun demokrasi dalam penerapannya bersifat dinamis, ia bergerak mengikuti perkembangan Demokrasi dapat menyesuaikan dengan culture suatu wilayah, ia dapat membaur didalam masyarakat terasing sekalipun. Hal ini disebabkan karena di dalam diri manusia demokrasi itu sendiri hidup di dalamnya. Setiap manusia menginginkan kebebasan, menginginkan jati-dirinya, dan memiliki mimpi. Demokrasi tidak menghapus kebebasan tetapi ia menciptakan kebebasan, kebebasan yang terkontrol, kebebasan yang tidak menghalangi kebebasan manusia lain, kebebasan dalam artian sebenarnya. Demokrasi tidak menghapus jati diri seorang manusia, justru ia mengangkat harkat dan martabat manusia. Demokrasi bercita-citakan suatu tatanan kehidupan yang teratur di mana setiap manusia dapat hidup sesuai hakekat kehidupan dan kodrat sebagai manusia seutuhnya, dimana cita-cita tersebut merupakan mimpi setiap manusia. Luasnya ranah kehidupan yang dimasuki oleh demokrasi, maka tidak dapat kita katakan bahwa demokrasi miliknya dunia politik. Demokrasi merupakan gaya hidup modern, karena demokrasi tidak hanya hidup di dalam ranah politik tetapi lebih kepada makna kehidupan itu sendiri, bersumber, bergerak dari oleh dan untuk manusia yang bersumber dari Tuhan, dan mencita-citakan tatanan kehidupan yang manusiawi. Democracy is the voice of God.
Ruang Publik Fanatisme dan Stereotipe Buta
T
Yuni Herlina, SH (Reporter Buletin Rawai)
idak ada yang salah dengan perbedaan dan apa yang kita miliki, terkadang yang keliru adalah sudut pandang kita yang membuat kita merasa berbeda dan terlalu istimewa dibanding yang lain. Kadang mulut dan perbuatan memang tak sinkron sama halnya ketika hati dan pikiran tak sejalan. Memang mudah ketika kita bicara bahwa perbedaan itu tidak menjadi masalah, karena memang kita dilahirkan berbeda, tapi pada kenyataanya ketika pendapat kita ditentang oleh orang yang kebetulan agama atau sukunya berbeda, kita langsung bereaksi keras ataupun menyerang dari “belakang”. Sebenarnya tak ada yang meminta ketika si A dilahirkan menjadi seorang muslim atau si B dilahirkan dari orang tua yang beragama Khatolik. Lalu apa yang dipermasalahkan sekarang, bukankah semua agama meyakini bahwa yang menciptakan manusia itu adalah Tuhan dan Tuhan itu Esa. Lalu jika akhirnya ada yang merasa tak suka dengan agama yang dianut seseorang, bukankah itu pikiran yang picik apalagi ketika agama itu
Demokrasi Mulai dari Dalam Keluarga
D
Zaenuri, SH (Peserta Sekolah Demokrasi Sanggau)
emokrasi adalah pemerintahan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman sederhana tentang demokrasi yang hampir diketahui semua orang. Demokrasi juga adalah bentuk pemerintahan politik dimana kekuasaan pemerintahan berasal dari rakyat, baik secara langsung maupun secara perwakilan. Demokrasi juga diartikan kebebasan untuk menyampaikan pendapat baik secara lisan atau tulisan, serta persamaan hak didalam hukum dan pemerintahan. Dalam proses implementasinya ternyata sejak dulu pola-pola demokrasi ini sudah tercermin dalam musyawarah kampung maupun dalam rembug desa, guna membahas kepentingan umum masyarakat desa. Demokrasi dapat dimulai dalam sebuah keluarga sebagai bagian terkecil dari masyarakat, dimana dalam membuat keputusan, seorang kepala keluarga perlu meminta pendapat dari semua anggota keluarga, semua bebas berbicara, tidak ada pengekangan untuk mengeluarkan pendapat, bahkan seorang anak kecil sekalipun juga pendapatnya benar, patut juga dihargai, dengan demikian kita sudah menanamkan nilainilai demokrasi dari sejak usia dini. Di beberapa daerah, seorang anak sudah dibekali kemampuan untuk beragumentasi, bahkan terkadang dalam keluarga terjadi pedebatan antara ayah dan anak. Saya pernah berdiskusi dengan teman dari etnis Batak, sejak kecil kemampuan beragumentasi mereka sudah diasah, dan ini membuat mereka sangat cakap dalam beragumentasi, sehingga tidak mengherankan kalau banyak pengacara terkenal dari etnis Batak seperti Adnan Buyung Nasution dan Ruhut Sitompul. Selanjutnya pola-pola demokrasi terakomodasi dalam lingkungan RT, seperti musyawarah pemilihan Ketua RT, meskipun RT adalah pekerjaan sukarela, terkadang suksesi kepemimpinannya juga berjalan alot, bahkan teman saya pernah bercerita kalau dilingkungan tempat tinggalnya, pernah pemilihan Ketua RT diulang kembali, karena adanya protes sekelompok warga yang tidak diundang pada saat pemilihan. Di tingkat desa terutama di Pulau Jawa pemilihan kepala desa merupakan pesta demokrasi cukup meriah, karena setiap kandidat biasanya
merupakan agama keturunan, yang didapatkan seseorang ketika ia dilahirkan. Bahkan orang itu sendiri tidak dapat memilih atau meminta, dari orang tua beragama atau bersuku apa ia dilahirkan. Ketika Pemilu atau Pemilukada misalnya kenapa masih saja ada yang memandang jangan memilih si A karena agamanya beda dengan kita, atau jangan memilih si B karena ia dari suku ini. Bukankah itu streotipe buta. Memang tak ada yang bisa merubah pikiran seseorang kecuali orang itu sendiri yang mau merubahnya. Setidaknya manusia itu diciptakan dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Jadi ketika seseorang mempunyai kompetensi dalam memimpin atau menjalankan sesuatu maka pilihlah dia bukan dengan embel-embel agama, suku, ataupun ras, tapi atas dasar kemampuannya. Jangan mencap orang dengan streotipe buta, menilai bahwa orang suku ini kasar, suku itu pelit, suku anu malas atau apalah stereotipe negatif lainnya. Karena pada hakikatnya manusia itu lahir dengan fitrah, lingkungan dan ajaran dari orangtua yang akan membentuknya menjadi seseorang yang berkarakter. Fanatisme yang berlebihan akan sesuatu juga akan membawa orang sesat dan menyakiti orang lain. Lihatlah kisah bom bunuh diri yang dilakukan sekelompok orang di Indonesia, Bom Bali, Marriott, dan lainnya, atau teror bom buku yang marak belakangan ini, bukankah itu bentuk keegoisan. Ingin masuk surga tapi mengorbankan orang lain. Tidakkah terpikirkan oleh mereka (para pengebom) bagaimana keluarganya harus menjalani sisa hidup di dunia dengan cap sebagai keluarga teroris, belum lagi korban dan keluarganya. Inilah fanatisme buta, tanpa dasar yang jelas dan berpikir jernih. Tuhan selalu mengajarkan umatnya untuk saling mengasihi dan menyayangi, bukan untuk saling menyakiti dan menghakimi. rela mengeluarkan dana yang besar untuk memenangkan pemilihan kepala desa, bahkan sampai mendatangkan orkes dangdut. Di Kalimantan Barat, persaingan dalam Pilkades ini semakin ketat, semenjak adanya anggaran dana desa (ADD) langsung dikelola oleh pemerintah desa dengan jumlah yang lumayan besar. Ini menjadi magnet yang menarik warga maju dalam pemilihan kepala desa. Dari beberapa contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa demokrasi sesungguhnya telah tercermin dalam kehidupan masyarakat. Sayangnya selama ini masa Orde Baru kebebasan untuk menyampaikan pendapat, sebagai bagian dari demokrasi sangatlah tertutup. Euforia kebebasan berpendapat mulai terbuka luas sejak era reformasi yang dimulai pada tahun 2008, bahkan banyak bermunculan koran dan tabloid baru, meskipun akhirnya terjadi seleksi alam dan hilang dengan sendirinya. Kita pun sudah melihat bahwa media tidak segan-segan lagi mengritik pemerintah, bahkan DPR semakin memperlihatkan eksistensi sebagai sebuah lembaga pengawas dan pengontrol pemerintah, walaupun terkadang kebablasan. Unjuk rasa menyampaikan pendapat didepan umum pun hampir tiap hari kita lihat di televisi. Pertanyaannya apakah negara kita benar-benar sudah demokratis, atau hanya demokrasi semu karena euphoria reformasi?
Humor Politik
S
Jenderal dan Wartawan
eorang jendral militer mengundang para wartawan guna memberi arahan apa yang boleh diberitakan dan apa yang tidak boleh diberitakan. “Berita suksesi tidak boleh ditulis, Presiden tidak suka. Pemogokan buruh, jangan ditulis, nanti terjadi konflik. Berita korupsi tidak boleh dipolitisir, wibawa pemerintah rusak. Monopoli tidak boleh menyebut keluarga Presiden, itu tidak etis. Politik tidak boleh memihak rakyat, nanti resah. Kenaikan harga tidak boleh dijadikan berita utama, rakyat nanti marah.” Seorang wartawan muda yang tidak sabar lalu menyela, “Kalau begitu, Jendral, apa yang boleh kami beritakan?” Si Jendral menjawab dengan tenang, “Kalian beritakan apa yang barusan saya ucapkan!” (yuni herlina/net)
Wai
ra
9
Kolom Perempuan Televisi di Era Bisnis Sinetron Tumbuhkan Penonton Setia hingga Tren Jilbab
D
isadari atau tidak, tayangan televisi meme ngaruhi banyak sisi kehidupan kita, satu di antaranya adalah memunculkan tren busana dan perilaku. Seperti sinetron Ketika Cinta Bertasbih (KCB) yang baru saja selesai tayang di RCTI, telah berhasil memunculkan trademark gaya berjilbab. Lewat tayangan secara kontinyu, para pemeran di sinetron ini menumbuhkan tren jilbab kepada penonton. Dampaknya, secara alamiah lambat laun muncul keinginan para penonton untuk memiliki jilbab seperti dikenakan si tokoh pemeran. Bisa diperkirakan tidak sedikit jumlah penonton sinetron di Indonesia. Minat berjamaah tersebut diartikan pebisnis sebagai permintaan pasar. Mereka sengaja membuat dan menamakan “jilbab KCB”. Kaum ibu dan remaja putri jadi mudah dibujuk membeli jilbab itu, dengan embel-embel mirip gaya jilbab pemain sinetron. Eliza, ibu satu anak, meski tak selalu mengikuti tren jilbab terkini, mengaku punya koleksi jilbab seperti yang dikenakan pemain sinetron KCB. Dia memang senang menonton sinetron bernuansa agama Islam tersebut. Sedangkan Endang Kurniawati Hermawan pegawai Setda Mempawah, walau tak menggemari sinetron, dari rumpian tetangga dia tahu sekarang berkembang tren jilbab sinetron Islam KTP. “Iya, sekarang memang ada istilah jilbab Islam KTP, di kalangan ibu-ibu jadi tema pembicaraan. Tapi saya tidak pernah nonton sinetron Islam KTP, jadi tak nyambung kalau mereka ngobrol tentang sinetronnya,” kata Endang kepada Rawai beberapa waktu lalu. Dia tak senang menonton sinetron, tapi bisa tahu sinetron apa yang sedang tayang, karena iklan dan sinopsisnya sering diputar SCTV. Banyak alasan mengapa fashion yang digunakan para pemain sinetron banyak diminati oleh penonton. Antara lain karena pakaian atau kerudung yang dipakai para bintang tersebut bervariasi, dan pastinya banyak dijual di pasaran. Endang menilai mungkin karena penonton tertarik melihat bentuk dan warna busana pemain sinetron.
Dampak Emosional
Bimbing Anak Anda
yang sedang ditonton anak. Namun begitu, usahakan juga letak televisi tidak menjadikannya sebagai pusat aktivitas keluarga. Jangan menempatkan televisi di kamar anak.
• Berikan teladan Sikap orangtua akan ditiru anak. Sebaiknya orang tua lebih dulu menentukan batasan bagi dirinya sen diri dulu sebelum membuat batasan bagi anaknya. • Hindari televisi sebagai “pengasuh anak” Di tengah kesibukan kerja, biasanya para orangtua lebih merasa aman dan tenang jika anak duduk manis di depan televisi ketimbang main di luar. Ubah pola pikir seperti ini yang tidak akan membuat anak menjadi kreatif. Berikan aktivitas positif seperti ikut kursus, olahraga, berkebun, mewarnai, memancing, membantu memasak, dan sebagainya sesuai minat anak. • Ajak anak bersama-sama membuat jadwal kegi atan anak pulang sekolah Yang penting beri porsi tidak lebih dua jam untuk menonton televisi dengan tayangan sesuai usianya. • Letakkan televisi di tempat terbuka Dengan begitu Anda bisa memantau acara apa
10
Wai
ra
Simpatik penonton terhadap tokoh dalam sinetron, sangat menentukan keterikatan emosional yang dibangun. Seperti Eliza, sangat menggemari tokoh Husna di KCB sebagai sosok perempuan cantik, pintar, sabar, dan taat menjalankan perintah agama. “Sinetron favorit saya KCB dan Amira, sangat jarang saya ketinggalan menonton meskipun satu episode. Selepas salat magrib stand by di depan televisi,” katanya. Bagi Eliza sinetron KCB bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan agama Islam, karena para pemeran mengucapkan banyak hadits dan doa. “Kalau Amira itu sih awalnya bagus, ceritanya kadang lucu, buat penasaran dan kesal. Tapi karena jam tayang lama, ceritanya jadi monoton. Sinetron Amira jadi pengantar tidur.” Sebaliknya Endang Kurniawati Hermawan merasa tidak tertarik dengan alur cerita sinetron. “Enggak banget, adegannya penuh emosi, makanya malas nonton sinetron. Apalagi Cinta Fitri ceri tanya cuma mutar-mutar di situ aja.” Menurutnya banyak adegan sinetron yang tidak mendidik serta membuat anak meniru adegan yang ditampilkan. Seperti adegan marah-marah, menampar, dan lainnya. Lain lagi dengan Andi Rina Amelia, ibu rumah tangga ini walau menggemari sinetron namun berusaha selektif terhadap sinetron yang ditonton bersama keluarga. “Hanya beberapa sinetron yang aku suka, enggak nonton tiap hari sih,” ungkapnya. Sinetron yang biasa ditontonnya adalah Islam KTP ataupun KCB. Menurutnya sinetron itu masih menunjukkan sisi positif dengan memasukkan unsur pendidikan. Berbeda dibandingkan sinetron lain yang hanya mementingkan sisi komersial, tanpa memikirkan dampak buruk bagi penonton terutama anak-anak. “Banyak sinetron hanya kejar rating tapi ndak ada unsur mendidik, nontonnya malah bikin stres. Kalau Islam KTP masih ada unsur pendidikan Islam,
• Pakailah televisi untuk mendidik Ada beberapa acara televisi yang bagus ditonton bersama seperti program dokumentasi, edutainment (tayangan edukatif yang menghibur), kuis, olahraga, konser musik klasik, atau talk show. • Diskusikan adegan anti sosial di televisi Ajaklah anak membahas: Apakah kata-kata kasar yang diucapkan patut ditiru? Apakah perilaku ke kerasan itu layak dicontoh? Apakah setiap masalah harus diselesaikan dengan berkelahi? Diskusikan dan bandingkan nilai-nilai yang ada dalam televisi dengan nilai agama dan moral. • Terangkan antara fakta dan fiksi Anak masih kesulitan membedakan antara fiksi dan fakta. Tokoh drakula yang Anda anggap biasa saja, bisa membuat anak ketakutan dan susah tidur. Terangkan proses pembuatan film/sinetron laga dan misteri, termasuk trik-trik pembuatannya. Apakah
tapi ada beberapa kalimat seperti makian yang kelihatannya tidak disensor,” tutur Rina, panggilan akrabnya. Dia berpendapat, ada banyak hal yang perlu diperbaiki dari sinetron indonesia terutama isi dan kualitas tayangan. Televisi Bukan Pengasuh Anak Elly Risman Psi, Direktur Yayasan Kita dan Buah Hati Jakarta prihatin dengan pola asuh orangtua di Indonesia saat ini. Kebanyakan orangtua menjadikan televisi sebagai “pengasuh anak”. “Supaya anaknya tidak rewel atau main di luar rumah, sengaja diberi tontonan televisi. Padahal dampak tayangan televisi sangat besar, karena anak akan cenderung meniru adegan,” kata psikolog yang pernah tampil sebagai narasumber di talk show Kick Andy Metro TV, yang ditemui dalam seminar parenting di Pontianak belum lama ini. Dia menekankan bahwa sangat penting bagi orangtua mengatur jam menonton bagi anggota keluarga. Jangankan tayangan sinetron berdurasi panjang, iklan beberapa menit saja bisa sangat gampang ditiru anak. Dalam seminar parenting tersebut, seorang ibu bahkan mengakui perilaku anak balitanya mendadak agak berubah karena meniru iklan. “Biasanya dia cium pipi, saya kaget tiba-tiba jadi cium bibir karena mencontoh iklan, yang menunjukkan bahwa ada anak mencium bibir ibunya.” Dia khawatir kebiasaan mencium bibir akan terbawa anaknya hingga dewasa. Menanggapi pernyataan ibu tersebut, Elly menyarankan bahwa orangtua harus memberi pengertian kepada anak terhadap tindakan yang dilakukannya. Dengan bahasa yang dimengerti anak, sampaikan bahwa ciuman tanda kasih sayang adalah ciuman di pipi. Elly meminta sesibuk apapun orangtua harus memprioritaskan anak. “Kelalaian orangtua adalah tidak mempunyai waktu yang cukup dengan anak. Menyerahkan tanggung jawab pendidikan kepada guru sekolah,” katanya. Dia mengingatkan pentingnya diskusi orangtua dan anak, untuk mengenalkan dan memilih program tayangan televisi yang baik dan buruk. (yuni herlina/ dian lestari)
darah yang muncrat itu sungguhan? Mengapa jagoannya bisa terbang? Jelaskan bahwa untuk adegan yang berbahaya dilakukan pemeran pengganti yang terlatih. Ada teknik kromaki untuk memuat pemainnya bisa mengecil, menghilang dan menembus tembok. Jelaskan juga tali (sling) yang dipakai untuk membuat pemainnya bisa melayang. • Diskusikan tayangan iklan Mengapa ada iklan di televisi? Apa tujuan iklan? Mengapa iklan selalu tampak menarik? Apakah iklan pernah menunjukkan kekurangan barang yang diiklankan. Apakah iklan yang bagus berarti barang yang diiklankan pasti bagus? Tunjukkan barangbarang yang paling sering diiklankan di televisi. Ajak anak membandingkan lebih bagus mana penampilan sebenarnya dengan yang di televisi? • Rumuskan bersama aturan menonton televisi Aturan ini berlaku untuk semua anggota keluarga, juga pembantu, baby-sitter, famili, teman, tamu atau tetangga yang nebeng menonton. (yuni herlina/ net)
Studium Generale Sekolah Demokrasi Sasar Kabupaten SEKUNDUS
A
danya depolitisasi politik merupakan alasan mengapa KID (Komunitas Indonesia untuk Demokrasi) sebagai penyelenggara Sekolah Demokrasi di Indonesia memilih Kabupaten sebagai lokasi dibuatnya Sekolah Demokrasi, ini di sampaikan Ignas Kleden, ketua pengurus KID saat studium generale Sekolah Demokrasi Sanggau di Grand Narita Hotel, Jumat (18/2/2011). Menurutnya, pemilihan lokasi sekolah demokrasi telah mengalami perdebatan di kalangan badan pengurus, apakah akan diselenggarakan di tingkat propinsi ataukah kabupaten, namun akhirnya diputuskan bahwa tempat sekolah demokrasi adalah di kabupaten. “Alasannya adalah warga negara Indonesia di bawah tingkat kabupaten telah mengalami proses depolitisasi politik yang meluas dan mendalam selama pemerintahan orde baru. Depolitisasi ini terlahir dari kebijakan pemerintah orde baru yang dinamakan kebijakan massa mengambang (floating mass policy), yang menetapkan bahwa kegiatan politik oleh partai politik hanya terbatas pada tingkat kabupaten dan dilarang untuk tingkat di bawah kabupaten,” jelas Ignas. Ia manambahkan, kemudian dalam memikirkan konsep yang sesuai dengan keperluan sekolah demokrasi, KID juga dihadapkan pada pertanyaan awal, apakah demokrasi itu di mana sama-sama, ataukah berbeda dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Ini artinya apakah kita harus menganggap demokrasi di Indonesia harus sama dengan demokrasi di Thailand atau di Jepang? Atau harus diandaikan bahwa demokrasi di Indonesia berbeda atau sangat berbeda dari demokrasi di kedua negara tersebut. Dengan lain perkataan, apakah nilai-nilai demokrasi itu bersifat universal atau partikular. Menganggap bahwa nilai-nilai demokrasi adalah bersifat partikular mengandung bahaya bahwa demokrasi yang dianggap khas dan spesifik itu dapat dimanfaatkan sebagai dalih oleh pemerintah yang otoriter untuk membenarkan tindakan-tindakan yang anti demokratis bahkan membenarkan kekerasan politik yang dilakukan. Alasannya adalah bahwa demokrasi di Indonesia memang berbeda dari demokrasi di Amerika atau Eropa dan karena itu praktik-praktik demokrasi di sini tidak bisa dinilai dengan kriteria-kriteria yang umum berlaku di sana. “Contohnya adalah pelarangan oposisi politik selama pemerintahan Orde Baru, dengan alasan bahwa oposisi mengandaikan konflik sedangkan budaya politik di Indonesia tidak mengenal konflik dan kehidupan sosial berjalan secara harmonis,” ungkap Ignas. Ia menambahkan, karena itu KID memutuskan untuk merumuskan suatu konsep demokrasi sebagai berikut: Pertama, nilai-nilai demokrasi haruslah dianggap dan dipertahankan sebagai nilai universal yang harus berlaku di semua tempat. Kedua, akan tetapi perwujudan dan penghayatan nilai-nilai universal tersebut hanya dapat dilakukan dengan menggunakan simbol, idiom dan ekspresi kebudayaankebudayaan setempat. Tanpa menerjemahkan nilai-nilai besar tersebut ke dalam ekspresi budaya setempat demokrasi akan menjadi sulit dipahami dan sulit pula diterima. Karena itu ekspresi dan nilai-nilai lokal dianggap sangat penting untuk mengejawantahkan demokrasi. Ketiga, disadari
Ignas Kleden (KID) sedang memberikan materi pada studium generale 1 Sekolah Demokrasi Sanggau beberapa waktu lalu. Studium generale ini selain dihadiri para peserta Sekolah Demokrasi Sanggau, juga dihadiri oleh para tokoh penting di Kabupaten Sanggau. bahwa tidak semua nilai-nilai lokal dengan sendirinya sejalan dengan nilai-nilai demokrasi. Keempat, kalau terjadi konflik antara nilai-nilai lokal dan nilainilai universal demokrasi, maka KID berpendapat bahwa kita khususnya Sekolah Demokrasi harus memihak nilai-nilai universal sambil mendorong perubahan nilai-nilai lokal agar semakin sejalan dengan nilai-nilai universal demokrasi. Konsep ini di kalangan KID dikenal sebagai demokrasi kontekstual yang berarti bahwa konteks sosial tidak membuat demokrasi menjadi partikular tetapi menjadi syarat yang penting untuk mewujudkan nilai-nilai universal secara konkrit dalam sebuah konteks. “Contoh soal dalam banyak komunitas kita masih sering terjadi bahwa kaum perempuan dianggap tidak mempunyai tempat di ruang publik. Demikian pun hak-hak yang terpenting di dalam keluarga masih ada di tangan pria (suami atau bapak). Dalam urusan-urusan tanah misalnya, perempuan tidak mempunyai hak suara karena
keputusan-keputusan mengenai tanah diambil alih oleh tetua adat yang semuanya adalah laki-laki. Ini adalah praktik-praktik dalam kebudayaan yang masih berorientasi patriarkis,” Jelasnya. Praktik tersebut jelas bertentangan dengan azas kesamaan semua orang di depan hukum dan juga azas kesamaan kesempatan dalam demokrasi. Karena itu KID berpendapat bahwa praktik tersebut dalam penerapan demokrasi harus diubah perlahan-lahan agar memberi tempat yang lebih wajar dan partisipasi yang lebih luas kepada kaum perempuan dalam politik yang demokratis. Perlu ditekankan bahwa demokrasi harus dilihat dalam dua aspek yang berbeda tetapi berhubungan yaitu: substansi demokrasi berupa kebebasan, persamaan, keadilan dan kesejahteraan yang merupakan tujuan-tujuan demokrasi dan prosedur demokrasi berupa lembaga-lembaga politik dan produk-produk hukum yang menjamin tercapainya semua tujuan. (yuni herlina/cici/ sekundus)
Sanggau Pilihan Strategis
K
etika Sanggau terpilih sebagai tempat penyelenggaran Sekolah Demokrasi banyak timbul pertanyaan, mengapa Sanggau yang dipilih, bahkan sempat ada pernyataan menggelitik bahwa terpilihnya Sanggau karena proposal tembusnya di situ. Furbertus Ipur, selaku Direktur Elpagar sebagai lembaga penyelenggara Sekolah Demokrasi Sanggau menerangkan bahwa banyak alasan mengapa daerah Sanggau yang terpilih, diantaranya adalah letak geografis yang berbatasan langsung dengan Malaysia, dinamika politik yang dinamis maupun aspek pengembangan ekonomi berbasis agro industri. “Kestrategisan tersebut ternyata tidak ditunjang oleh kualitas sumber daya manusia yang memadai. Hal ini ditunjukan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masyarakat Sanggau. yaitu pada pointers 67.0, jauh lebih rendah dari IPM Kabupaten atau Pemkot tertinggi yaitu Pontianak 71,0,” jelas bapak yang akrab disapa Ipur ini. Data lain yang dapat menjadi acuan adalah fakta kemiskinan absolut. Kabupaten Sanggau memiliki 111 desa miskin (BPS Kalbar 2008). Hal ini berarti 69% desa yang ada di Sanggau adalah desa miskin.
Hal ini dapat dimaklumi karena kondisi infrastruktur pedesaan yang serba terbatas menyebabkan sebagian besar desa di Kabupaten Sanggau mengalami keterbatasan akses dan dikategorikan masih tertinggal. Tidak semua berlangsung tak baik, nyatanya Pemilihan Umum, baik Pilgub, Pilbup, Pilpres dan Pileg, kabupaten Sanggau memiliki catatan prestasi yang membanggakan. Partisipasi pemilih rata-rata di atas 75 % . Hal ini paling tidak menunjukan bahwa masyarakat Sanggau memahami pentingnya Pemilu sebagai proses berdemokrasi. Sementara itu, Paolus Hadi, Wakil Bupati Kabupaten Sanggau, mengatakan bahwa hadirnya Sekolah Demokrasi Sanggau, tidak boleh di sia-siakan karena sebagai ajang transfer ilmu pengetahuan. “Banyak pengalaman yang kita dapat dengan ramainya para tokoh dan akademisi yang datang ke tempat ini, berbicara soal dukungan pemahaman bersama tentang demokratisasi di kabupaten ini tentu kita masiih banyak pembelajaran, jika dilihat dengan pengalaman yang lalu pileg dan lainnya keadaannya cukup baik, “ tutur Paolus Hadi. (yuni herlina)
Wai
ra
11
Galeri Foto
Outbond
I
nilah kisah kebersamaan peserta Sekolah Demokrasi Sanggau, mulai dari wawancara, hingga outbond yang berlangsung tiga hari. Kegiatan inilah yang membuat kami saling membaur satu sama lain, mengenal sifat dan karakter hingga timbul rasa kebersamaan. Lalu masa sekolah, yang diwarnai dengan perbedaan pendapat, talkshow radio yang merupakan satu di antara penilaian bagi para peserta sekolah Demokrasi. Masih banyak moment lain yang akan diabadikan, baik berupa foto ataupun kenangan di hati yang tak mungkin terhapus sampai kapan pun. (yuni herlina)
Wawancara 12
Wai
ra
Talkshow