Buku ini ditulis dcngan tuju.in mcmbcrikan sumbangsih pemikiran kepad.i masyarakat luas rcntang sekelumit aspek di bidang hukum yang navkahnya dirulis cukup lama oleh karena substansinya merupak.m percikan percikan pernikiran penulis baik sebag,u akadenuvi, lawyer nuupun pergaulannya dengan dunia pers.
Kata log Dt1l11m lerblllm (KO r)
Perclkan Pemlldr•n T1111.. ng Hukum -Makassar: 2011 Hak CiptaC>20ll
poda Ptmulis
Hak penerbltan pada Pu~tokll Refleksi. Bagi merelca yang ingin memperbanyak sebaglan isl buku ini dalam bentuk atau cara apa pun, diperbolehkan selama mendapat izln tertulis dari penulis dan penerbit Pustaka Refleksl. Penulis: Dr. Nurul Qamar, SH.,MH. Tim Kreatif: Andi Wanua Tangke Anwar Nasyaruddln Pewajah lsi & Sampul: Mas Daeng Naba
REFltEKSI ~~ Perum. Swadaya Mas A/7 Makassar Telp. 0411-490338 - 5047064 Fax. 0411-490338, Hp. 081343888172 Email:
[email protected]
Redaksi & Pemasaran: (Rumah Buku) Perum. Tritura AS No.10 Jin. Tamangapa Raya Bangkala, Manggala, Makassar Telp. 0411-494086 Fax. 0411-494086, Hp. 081342183116 Hok Cipta dilindungi o/eh Undang-Undang All Right Reserved Anggota IKAPI Okatan Penerbit Indonesia) Sulsel Cetakan L 2011 ISBN: 978-979-3570-35-8
ISi BUKU
Kata Pengantar -
vi
Bab I.
Pendahuluan - 1
Bab D.
Supremasi Hukum Dan Penegakan Hukum - 10
Bab D!. Peran Etika dan Moral Dalam Profesi Hukum - 18 Bab IV. Pembentukan Hukum Oleh Hakim (RechtsvomUng) Melalui Penemuan Hukum (Rechtsvinding) - 39 Bab V.
Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi - 56
Bab VI. Prinsip-Prinsip Hukum Acara Mahkamah Konstitusi - 75 Bab Vil. Politik Hukum - 90
Bab VIII. Slstem Ekonomi Campuran (Mixed System Econom~ - 101 Bahan Bacaan - 112 Curriculum Vitae - 118
PERCl1'ANPEMIKlRANTENU\NGHUKUM
y
KATA PENGANTAR
"Blsmlllahir Rahmanir Rahiim'' Assalamu Alaikum Ww, Alhamdulillah segala pujian hanya untukNYA dan segala sesuatunya hanya milikNya. Kemullaan terjelma pada Rasu!Nya. Kecintaan dan kasih sayangNYA diterbarkan pada hamba-hambaNya. Buku ini ditulis dengan tujuan mernberikan stnnbangsih pemikiran kepada masyarakat luas tentang sekelumit aspek di bidang hukum yang naskahnya ditulls cukup Lama oleh karena substansinya merupakan percikan-percikan pemikiran penulis baik sebagai akademisi, Lawyer maupun pergaulannya dengan dunia pers. Lentera sebagai alat penerang penunjuk jalan dikala gelap gulita, kompas penunjuk arah di tengah hutan belantara. Moral ibaratnya lentera, sedangkan kompas ibaratnya hukum. Semoga buku ini ada manfaatnya bagi negeri dan bangsaku tercinta Indonesia Raya. Segala kekurangan di dalamnya ibarat tiada gading yang tak retak, keaslian gading dillhat dari keretakannya. WassaJam Makassar, 27 Juni 2011 Penulis
Dr. NURVL QAMAR,SH,MH
yj
llll NUll\11
{!AMAll '11..MH
BAB I
PENDAHULUAN
j{ukum ada dan ataupun adanya oleh karena sengaja diadakan oleh pemegang otoritas pembentuk hukum, secara hakekat sernua harus diperuntukkan bagi maksud tujuan-tujuan untuk kemanusiaan. Mengapa demikian? Jawabnya sederhana oleh karena manusia adalah subyek hukum pribedi/pribadi hukum (perzoonlijk) yang secara substansial merupakan pendukung hak dan kewajiban. Begawan Sosiologi Hukurn Indonesia Prof. Satjipto Rahardjo, dalam renungan-renungan pernikiran hukumnya dengan tegas mengulas tentang perlunya pengembalian keberpihakan hukum kepada manusia, oleh karena hukum secara hakekat adalah untuk tujuan-tujuan kemanusiaan. Hukum adalah sarana untuk pencapaian perwujudan harkat dan martabat kemanusiaan. Bukan justru sebaliknya, dipelesetkan, dipelintirkan untuk dan tujuan-tujuan kepentingan sesaat segelintir 01 ang yang hanya ingin maraut keuntungan dengan memanfaatkan hukum sebagai wadah dan tameng kepentingannya sembari tidak memedulikan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. 1
Manusia sebagai pribadi hukum mengalami perselingkuhan permanen clengan hak dan kewajiban, sehingga pada setiap prilakunya atau tindakannya sadar atau tidak sadar, sengaja maupun tidak disengaja selalu dapat ditengok dan diukur dari perwujudan hak dan kewajiban atau kemungkinan sebaliknya. Manusia sebagai perzoonlijk,secara naluriah memiliki hasrat dan kecenderungan untuk bersikap positif sesuai tata nilai sosial kemanusiaan. Hal ini dalam filsaf at moral clikenaldengan tuntunan suara hati, nurani, dalam bahasa agama disebut dengan bisikan qalbu, fuad, dalam bahasa adat dikenal clengan aclab. Dalam bahasa Lontarak Bugis, disebutnya dengan "Makiade "Makiampe".
,I
I
I·
Namun sayangnya hasrat dan kecenderungan positif dimaksudkan tersebut, pada saat berada pada lintasan prilaku nyata faktual tidak jarang telah mengalami infiltrasi berbagai kepentingan, sehingga yang terjadi clan muncul ke permukaan sebagai penampakan adalah dominasi penonjolan mempertahankan dan menuntut sesuatu yang dipandang sebagai haknya, dan di lain sisi menempatkan, menutupi, mengabaikan kewajibannya sebagai sesuatu yang tidak perlu diberi perlakuan yang sama dengan hak melalui berbagai cara. Mengapa demikian? Jawabnya enteng, itu pulalah tabiat rnanusla yang meskipun rnemiliki hasrat clan kecenderungan bersikap (attitude) positif, namun lakkale 10 •in,1sul
llllNlllUll()(\1-<\AllSllJvlH
terinfiltrasi dengan berbagai kepentingan sesaat, sehingga
didahulukanlahsesuatu yang menuruhlya menguntungkan dirinya meskipun hanya bersifat sesaat clan sangat relatif, temperer, dibanding sesuatu yang masih bersifat abstrak meskipun seharusnya menyandingkannya antara satu dengan yang lainnya. Pelaksanaan tabiat manusia dalarn wilayahpenerapan demikian itu perlu untuk diluruskan agar tercipta suatu harmoni antara hak dan kewajiban, maka untuk Itulah adanya hukum agama, hukum kebiasaan, clan diadakannya hukum positif, agar hak dan kewajiban yang terlekat pada diri manusia sebagai pribadi hukum dapat perlakuan yang sama demi kemanusiaan itu sendiri (£quality before the
L.a!M.
Hukum sebagai kaidah prilaku yang mengikat bagi manusia dalam berinteraksi dengan sesamanya dan lingkungannya dimanapun ia berada, bertujuan untuk menuntun manusia dalam realitas hidup agar berprilaku sesuai tabiat kemanusiaannya dengan hasrat untuk melakukan hal-hal yang positif dan supaya tetap memberi p rlakuan yang sama antar hak dan kewajiban dalam wllayah penerapan. Artinya dibalik hak itu selalu dan elalu ada kewajiban, dan demikian pula sebaliknya dibalik k wajiban itu ada hak-hak yang selalu menyertainya sebagai konsekuensi kemanusiaan sebagaimana selalu dilansir sebagai fundamental right and Humant right. Apa artinya, bahwa hak-hak kemanusiaan tidak
PERCIMN PE:.'Al(.;tRAN TENT.-\NG HUKUM
3
11
beridirl sendiri terlepas dart kewajiban-kewajiban kemanusiaan. Maka demikian pula sebaliknya, kewajibankewajiban kemanusiaan tidak dapat dipandang berdiri sendiri terlepas dari hak-hak kemanusiaan. Masalah yang krusial adalah hukurn itu yang secara substansial merupakan kaidah yang abstrak, hanya dapat dibuktikan keberadaannyadengan menengok pada sikap dan prilaku manusia. Pada sikap dan prilaku manusialah dapat diukur ada tidaknya hukum itu. Hal inilah yang melatari pemikiran Holmes dan Satjipto Raharjo sehingga mengatakan hukum itu tidak lain adalah prilaku. Hemat saya tentang hukum sebagai prilaku sesuai yang dikonsepsikan oleh teori the Critical Legal Study, lahir sebagai pilihan suatu keputusan, baik itu keputusan individual maupun dari kolektifitas individual. Bukankah hukum justru merupakan pilihan keputusan dari pribadt-pribedi hukum yang cakap, sehingga takkala salah memilih dan atau mengambil suatu keputusan, maka itulah corak dan warna hukum di rana empiris. Bersesuaian dengan hukum atau sebaliknya melawan hukum. Tidak dapat dilepaskan dari perselingkuhan antar hak dan kewajiban, karena manusia sejak lahirnya sudah merupakan pribadi hukum dan sebagai itu maka melekat predikat sebagai pendukung hak dan kewajiban. Untuk pemenuhan hak tidak selamanya dapat dengan sendirinya, akan tetapi adakalanya perlu bantuan dari
4
Dll NUllUl q~\MAR. \I I.Ml I
pihak lain. Demikian pula sebaliknya untuk pelaksanaan suatu kewajiban lebih-lebih
memerlukan
kontrol dan
keterlibatan pihak lain, bahkan dengan upaya paksa. Maka dalam hubunqannya dengan penerapan hukum
untuk mempertahankan, memulihkan dan atau menuntut hak-hak diperlukan peran negara dalam arti pemerintah. Demlklan pula sebaliknya dalam merealisasi kewajibankewajiban yang harus dijalankan. Prinsipnya adalah agar hukum menjadi nyata, maka harus disuarakan, dapat diterapkan, diimplementasikan den dlaplikaslkan. Untuk dapatnya hukum diterapkan, make harus ada yang menerapkan, yaitu manusia batk pribadi dan ataupun alat negara melalui aparatur P merintah yang telah diberi tugas dan fungsi di bidang llu
Dalam kehidupan sehari-hari yang sering dipersepsikan sebagai personifikasi yang mengemban tuqas dan fungsi di bidang penegakan dan penerapan hukum dalam arti sempit, adalah Polisi, Jaksa dan Hakim, lc•Mkhir juga Advokat. Bagaimana hukum menjadi kenyataan, maka sangat!,ltngat ditentukan oleh sejauhmana aktor-aktris hukum dlmaksodkan tersebut, memainkan peran sesuai dengan oturan main yang telah digariskan (fair play), sehingga dengan demikian hukum yang diterapkan itu bersesuaian dengan hukum, bukan justeru bersesuaian dengan kepentingankepentingan lain diluar hukum dan kemanusiaan. PERCIKAN PEMIKIRANTENTANG HUKUM
5
Apa artinya, bahwa hukum itu harus diterapkan sesuai dengan idealisme tujuan hukum itu sendiri yaitu untuk
keadilan
kemanfaatan
kemanusiaan,
dan kepastian
sehingga
keadilan,
hukum dapat dirasakan
oleh masyarakat. Bukan tujuan-tujuan lain berdasarkan kepentingan,
misalnya kekuasaan, kekuatan ekonomi,
status sosial dan lain-lain. Tiga nilai dasar hukum plus skala prioritas pada tataran implementatifnya yang dikemukakan oleh Gustav Rudbrach, bukan berarti keadilan harus diabaikan, akan
tetapi bagaimana tujuan-tujuan hukum selain dari keadilan itu dalam skala tertentu harus diprioritaskan maka dikala itu harus tujuan itu berubah fungsi menjadi alat untuk perwujudan keadilan kemanusiaan. Hukum dalam wilayah penerapan jika kita jujur menengoknya, sepertinya hanya menjadi kehendak dari segelintir orang, yaitu pihak-pihak yang berperan sebagai aktor dan aktris hukum. Ya apa ia Polisi, Jaksa, Hakim dan Advokat. Bahkan diam-diam ternyata ada juga aktor dan aktrls figuran hukum yaitu markus. Jika markus saja hanya sebagai figuran hukum dapat berperan luas pada wilayah penerapan hukum, maka hal itu berarti pemeran utamanya lebih-lebih lagi mempunyai peran yang lebih luas dan juga dipastikan lebih intelek. Maka berhasillah sang Sutradara. Menengok hukum di ranah empiris/penerapan, tidak ubahnya hukum itu hanyalah sebagai orderan (/aw 6
nu Nllltlll
(lt\MAR. 'ii l..Ml-I
orderl. Hal ini terjadi baik pada ranah the Cryminal
Justice System proses perkara pidana maupun pada perkara-perkara perdata umum dan khusus serta administrasi. Dampaknya, maka wajah hukum yang nampak di permukaan adalah hanya penampilan yang sesuai dengan order atau pesanan. Bukan yang bersesuaian dengan hukum dan keadilan sebagai cerminan nyata nilai-nilai den rase keadilan yang didambakan masyarakat. Banyak contoh-contoh kasus di negeri ini, dimana p nernpakan hukum pada ranah penerapan justeru lx.'11entangandengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. l~111lrnana kasus Prita Mulyasari. Bagaimana perseteruan KPK dengan Mabes Polri. Bagaimana kasus Asung, ia, 1-ih•rt dan 1maknyadisiksa, ditahan, kemudian dinyatakan lwhn . n.,gr\lmana tiga pemuda yang ditangkap clltnlum d.ul dlslksa atas dakwaan, tuntutan dan vonis pt 111h11n11htl11, ternyata dikemudian hari ketahuan bukan In V•"'!I mclakukan semua itu, melainkan Riyan. (Kick A111lv, Mc>tro TV) clan banyak lain-lainnya yang mungkin klt1t "m"' rncngetahuinya. Bagaimana kasus Antasari v1111q llhn llb.1 menguak kembali dengan adanya indikasih 1tllk11 .. l 1 ·mcriksaan yang tidak fair bertentangan dengan i/1111 111occi;.;; of law. Penarnpakan wajah hukum yang cukup mengerikan, tldnk lwr.m jika Presiden SBY, (institusi kepresidenan d.1111111111qkln bukan pribadi) berkali-kalimeminta kepada
PLRO~N PEMllJMN TENTANGHUKUM
7
[I petinggi hukum di negeri ini, kiranya hukum itu tidak dilihat secara hltam putih (tex book) semata atau Law in books, melainkan hukum harus dilihat secara kompleks (komprehensif) sebagai suatu sistem nilai yang harus diimplementasikan dan diaplikasikan sesuai dengan nilai dan rasa keadilan yang hldup dalam masyarakat. Pertanyaan atas pernyataan tersebut, apakah sudah menjadi perhatian para aparat hukum? Kita masyarakat berhak memberikan penilaian obyektif masing-masing. Karenanya pengemban fungsi kewenangan di bidang hukum dituntut untuk mampu memaknai hukum bukan secara tex book dan atau Law in books semata sebagaimana teruntai pasal demi pasal dalarn suatu aturan hukum yang hanya seakan-akan merupakan rangkaian dari mata rantai yang setiap saat siap membelenggu. Pengembang fungsi hukum seharusnya memahami ratio legis maksud hukum itu, seraya selalu menghubungkan dengan nilai-nilai dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hukum tidak seharusnya menjadi alat penekan dan penzaliman kemanusiaan, akan tetapi hukum justru harus menjadi sarana pelayanan kepentingan-kepentingan kemanusiaan, oleh karena manusialah sentral kehidupan di muka buml lni, selainnya harus mampu dijadikan sarana bagl tujuan-tujuan kemuliaan manusia. Hukum harusnyo menjt1di kata yang sejuk didengar, bukan justeru seballknya mc>nj;i
8
I lll Nl!Rl II
Manusia
yang
tergelincir
dari sif at-sif at
alias diduga bersalah telah melakukan pelanggaran hukum, agar diproses dengan motivasi pemulihan kemanusiaannya, bukan dan jangan sampai sudah terhukum sebelum adanya putusan hukum yang menyatakan ia bersalah, prinsip asas praduga tak bersalah (Presemtion of innocence). kemanusiaannya
Dalam negara hukum hendaknya hukum dllmplementasikan dan ditegakkan dengan baik, bcn 1r dan jujur demi penghormatan terhadap hak-hak k •111c:1nusiaan (liberty), tuntutan ini di negara-negara I uikum modern populer dengan istilah due process of law.
PEROKANf>EMl"1RANTENTANGHUKUM
9
BAB II SUPREMASI HU KUM DAN PENEGAKAN HUKUM
A. Terminologidan Deskripsi tentang Supremasi hukum
lstilah supremasl hukum, adalah merupakan rangkaian dari selingkuhan kata supremasi dan kata hukurn, yang bersumber dari terjemahan bahasa lnggeris yakni kata supremacydan kata law, menjadi "supremacy of law" atau biasa juga disebut "law's supremacy". Hornby.A.S, mengemukakan bahwa secara etimologis, kata "suprernasi'' yang berasal dari kata supremacy yang diambil dari akar kata sifat supreme,
yang berarti "Hiqest in degree or higest rank" artinya berada pada tingkatan tertinggi atau peringkat tertinggi. Sedangkan supremacy berarti "Hiqest of authority" artinya kekuasaan tertinggi. Kata hukum diterjemahkan dari bahasa lnggeris dari kata "law", dari bahasa Belanda "recbt" bahasa Perancis "droit" yang diartikan sebagai aturan, peraturan perundang-undangan clan norrna-norma yang wajib ditaati.
10
Soetandyo Wignjosoebroto,
menyatakan
bahwa
secara terminology supremasi hukum, merupakan upaya untuk menegakkan
dan menempatkan
hukum pada
posisi tertinggi yang dapat melindungi seluruh lapisan ll}d5yarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun termasuk oleh penyelenggara Negara. Menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertlnggi tanpa adanya intervensi dari pihak eksternal
d"kun rangka melindungi seluruh lapisan masyarakat, oleh Ch. rles Hermawan disebutnya sebagai kiat untuk meruposlsikan hukum agar berfungsi sebagai komando 1111111
l')dngllma.
Abdul Manan, menyatakan bahwa berdasarkan 1w11gertian secara terminologis supremasi hukum t(•rc; but, maka dapat disimpulkan bahwa supremasi h11k11m edalah upaya atau kiat untuk menegakkan dan memoslslkan hukum pada tempat yang tertinggi dari ~·!111lu 9c;1lanya, menjadikan hukum sebagai komandan ''''"' panglima untuk mellndungi dan menjaga stabilitas lwlildupan berbangsa dan bernegara. Rumusan sederhana dapat diberikan bahwa xuprcmasi hukum adalah pengakuan dan penghormatan lc•nttlng superioritas hukum sebagai aturan main (rule of th' game) dalam seluruh aktifitas kehidupan berbangsa, I 1l'rnegara, berpemerintahan dan bermasyarakat yang dilakukan dengan jujur (lair pla~. Pengertian sederhana tersebut, telah terhubungkan PERCIKAN PENUKLRANTENTANG HUKUM
dengan
ide e tentang
teori
kedaulatan
hukum
(rechtssovereinitei~. Hukum adalah kedaulatan tertinggi
dalam suatu Negara, karenanya yang rnemerintah sesungguhnya adalah hukum, penyelenggara pemerintahan Negara hanya melaksanakan kehendak hukum, sehingga dalam konteks dernikian hukum sebagai komando clan panglima. Supremasi hukum (supremacy of law) dan penegakan hukurn (/aw enforcment) dua hal yang menjadi agenda utama bagi suatu Negara hukum. Artinya penyelenggara Negara dalam suatu Negara hukum harus menjalankan kebijakan pemerintahan Negara dalam arti seluas-luasnya dengan berpijak atas prinsip-prinsip hukum dan dijalankan berdasarkandengan kaidah-kaidah hukum yang responsive terhadap kepentingan Negara dan warga Negaranya melalui penegakan hukum dan pemberlakuan hukum yang atas dasar persamaan di hadapan hukum (equality before the la~.
Negara dapat dikatakan sebagai Negara Hukum (rule of la~ bilamana superioritas hukum telah dijadikan sebagai aturan main (fair p/a!) dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, terutama dalarn memelihara ketertiban dan perlindungan terhadap hak-hak warganya. Jhon Locke dalarn karyanya "Second Tratise of Government", telah mengisyaratkan tiga unsur minimal bagi suatu Negara hukum, sebagai berikut :
12
DR. NUllULQ..o\MAR.SH.MH
1.
Adanya hukum yang mengatur bagaimana anggota masyarakat dapat menikmati hak asasinya dengan darnai.
2.
Adanya suatu badan yang dapat menyelesaikan sengketa yang timbul di bidang pemerintahan
3.
Adanya badan yang tersedia diadakan untuk penyelesaian sengketa yang timbul di antara sesama anggota masyarakat.
Dalam Negara hukum menurut Jhon Lockce, warga mnsyarakat/rakyat tidak lagi diperintah oleh seorang r11Ja atau apapun namanya, akan tetapi diperintah bordasarkan hukum. Ide ini merupakan suatu isyarat bahwa bagi Negara hukum mutlak adanya penghormatan terhadap supremasi hukum. Bagalmana dengan negeri ini? Indonesia diidealkan I.Jim dlcita-cltakan oleh the founding fathers sebagai suatu N''!Jc1ra hukum (rechsstaat/ruleof la~. Hal ini dengan ll!lJ11S dirumuskan pada Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun '19'15, bahwa : Negara Indonesia adalah Negara hukum. Ada bermacam istilah yang biasa digunakan untuk sebutan Indonesia sebagai negara hukum. Negara hukum prokJamasi, negara hukum Pancasila, ada juga menggunakan negara hukum Indonesia. Apapun lstllahnya, yang pasti bangsa kita telah bersepakat memilih negaranya sebagai negara hukum.
PERON\N PEMIKIR.>.N TENTANG HUKUM
13
Namun bagaimana penjabaran
cetak biru dan desain makro
ide Negara hukum itu, selama ini belum
pemah dirumuskan secara komprehensif. Yang ada hanya pembangunan bidang hukum yang bersifat sektoral (Jimly Asshiddiqie). Penghormatan terhadap supremasi hukum tidak hanya dimaksudkan dengan galaknya pembangunan dan pembentukan hukum dalam arti peraturan perundangundangan, akan tetapi bagaimana hukum yang dibentuk itu benar-benar dapat diberlakukan clan dilaksanakan, sehingga hukum berfungsi sebagai sarana (too[) penggerak aktifitas kehidupan bemegara, pemerintahan dan kemasyarakatan. Untuk dapatnya hukum berfungsi sebagai sarana penggerak, maka hukum harus dapat ditegakkan dan untuk itu hukum harus diterima sebagai salah satu bagian dari sistem nilai kemasyarakatan yang bermanf aat bagi warga masyarakat, sehingga keberlakuan hukum benarbenar nyata pada rana empiris tanpa paksaan. Untuk itu semua maka pemegang otoritas pembentukan hukum di negeri ini harus terinspirasi dari nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagai asas fundamental yang nyata hidup dan mampu merekatkan kehidupan kemanusiaan dan kemasyarakatan dalam suasana aman, nyaman, tenteram dan berrnartabat.
14
DR. NURUL Q6MAR. H..MH
Supremasi penegakan
hukum hanya akan berarti bila ada
hukum,
dan penegakan
hukum hanya
akan mernpunyai nilai evaluatif jika disertai dengan
pemberlakuan hukum yang responsif. Artinya superioritas hukum akan terjelma dengan suatu penegakan hukum yang bersendikan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the laiM dengan dilandasi nilai dan rasa keadilan. B. Penegakan Hukum dan Faktor yang Mempengaruhi
Apa yang diartikan orang selama ini sebagai pcnegakan hukurn (/aw enforcement) sepertinya l'ldnya tertuju pada adanya tindakan represif dari aparat peneqak hukum dalarn melakukan reaksi tegas terhadap penlndakan pelaku criminal. Pemaknaan penegakan hukum secara demikian itu s.mgatlah sempit, oleh karena kewenangan penegakan hukum hanya seakan menjadi tanggungjawab aparat hukum semata, padahal tidak demikian halnya, oleh karena penegakan hukum konteksnya luas, termasuk 1.mggungjawab setiap orang dewasa yang cakap sebagai pt lbf'ldi hukum (perzoonlijk) melekat kewajiban untuk 11u•1u~gr1kkan hukum. Memang bagi orang awam, penegakan hukum "4•mala dilihatnya sebagai tindakan represif dari aparat hukurn, tindakan di luar dari aparat hukum hanya clipandangnya sebagai partisan hukum, misalnya tindakan
PERClf'AN PENUKIRAN TENTANG HUKUM
15
informative
terhadap aparat hukum adanya peristiwa
hukum atau gejala akan terjadinya peristiwa hukum. Sebenarnya penegakan hukum dalam konteks yang luas berada pada ranah tindakan, perbuatan atau prilalru nyata atau faktual yang bersesuaian dengan kaidah atau
norma yang mengikat. Pada perspektif akademik, Purnadi Purbacaraka, menyatakan bahwa penegakan hukum diartikan sebagai kegiatan menyerasikan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan mengejewantah dari sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Soerjono Soekanto, dalam kaitan tersebut, menyatakan bahwa sistem penegakan hukum yang baik adalah menyangkut penyerasian antara nilai dengan kaidah serta dengan prilaku nyata manusia. Liliana Tedjosaputro, menyatakan bahwa penegakan hokum tidak hanya mencakup law enforcement tetapi juga peace maintenance, oleh karena penegakan hokum merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai, kaidahkaidah dan pola prilaku nyata, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Tugas utama penegakan hukum, adalah untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan,
16
DR NURUI {WvlAR.Sf-f-MH
knrenanya dengan penegakan hukum itulah hukum menjadi kenyataan (Liliana). Penegakan hukum tidak lain adalah prilaku nyata delam memaknai dan menetapkan
pilihan keputusan
dari seseorang dalarn berhadapan dengan suatu peristiwa
hukum kongkritdalarn pergaulan kehidupan kemanusiaan dnlam arti yang luas. Prilaku dalam pemilihan suatu keputusan terhadap 'lllntu peristlwa hukum kongkrit, tidak terlepas dari l1t•rl~!li\l faktor, baik internal maupun eksternal. Internal llllllll(Mkan f aktor yang lebih bersifat individualistik,
"''"'''nl.ua Iaktor eksternal lebih dominan dari pengaruh cllh111r kcdirian rnanusia, ya lingkungannya, politik, sosial, ••knnoml, budaya dan lain sebagainya. • Ilka kedua faktor ini baik dan mampu bersekutu dl'11nan baik, maka wajah penegakan hukum uu-ncerminkan ketenteraman dan kesejukan. Namun dlkn~' kedua Iaktor ini tidak mampu bersekutu baik, maka w11jo'lh penegakan hukum tercermin buram clan suram. I ~1mlklan pula manakala kedua faktor tersebut tidak baik,
'"''k.' menampakkan wajah penegakan hukum yang lalim.
PERCl"-"N PEMIKlRANTENTANG HUKUM
17
BAB Ill
PERAN ETlKA DAN MORAL DALAM PROFESI HUICUM
A. Perspektif Umum
<.f'rofesi hukum sebagai salah satu pekerjaan keahlian hukum harus ditopang dengan etika dan moral sebagai dasar pijakan dalam pengembanan dan pelaksanaan profesi sebagai perwujudan nilai-nilai pengutamaan kemanusiaan sebagai subyek hukum yang harus dilayani oleh hukum sebagaimana hukum dibentuk untuk kepentingan kemanusiaan, sehingga pelaksanaan pelayanan hukum oleh para pelaku prof esi hukum tidak semata-mata merasa bertanggung jawab dari segi hukum yang berdimensi lahiriah semata akan tetapi melihat dimensi yang lebih luas yakni dimensi lahir dan bathin yang akan dipertanggung jawabkan bukan hanya di hadapan manusia akan tetapi juga di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Pada Negara berkembang dewasa ini tumbuh pertanyaan mendasar mengenai kemerosotan etik dalam proses kehidupan kemasyarakatan. Mulai tumbuh kecemasan akan tata nilai baru yang berkembang dalam
18
masyarakat
bahwa yang penting adalah hasil akhir (out
comel; yang penting adalah jumlah (quantum). Tentang cara (means) untuk mencapai hasil akhir tidaklah terlalu
penting, sehingga pertimbangan kualitas, profesional d411 etik tidak lagi menjadi ukuran, sepertinya tujuan rncnghalalkan segala cara (the end justifies the means) hldup kembali. Apa yang menyebabkan orang berlomba-lomba untuk mencapai hasil akhir (out come/? Dalam zaman I x-mbanqunan
ekonomi yang terbuka seperti sekarang
1111 ... ,L,h setu sif at atau nilai baru yang muncul adalah 1111111 ,,urcsivilas dalam arti orang-orang semakin aktif ""'' uwJ.1r sesuatu, tidak lagi "lambat asal selamat", "alonnlor1 ,,.,.,1 kelakon" atau "mangan ora mangan pokoke Nllai baru yang muncul mengajar orang untuk
11111u11p11l"
1,•hll1 .111qr<'.ssive, receptive dan impersonal (individualistik). K''""•llak.1wanan sosial memang menunjukkan gejala yang 11
i.•rc )'><>t ke titlk rendah dan semboyan "hidup sederhana"
""'' h 1q dltertawakan
oleh pelakon hidup mewah.
p,.r ...oalan-persoalan di ,,,,,.., tid.1k bermaksud 1 w1111ld1
111
pernikiran
dan pernyataan-pernyataan untuk membawa kembali ke
yang sederhana dengan pola-
1" 1111 hldup ye.mg seadanya. Tidak juga mempertanyakan lw11h• .. 1IMn pembangunan
ekonomi dan tata kehidupan
It.mi d.m modern. Namun yang perlu direnungkan d1111 dlllc1yatl adalah apakah semua itu dicapai dengan llll'llflln9galkan tata nilai yang telah ada dan melandasi
PERCIKAN PEMIKLRAN TENTANG HUKlJM
kehidupan bersama
kita?
Nilai-nilai etik itu tidak hanya milik satu dua orang atau segolongan orang saja, tetapi setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil, yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama. Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat pada umumnya, maupun dengan sesama anggotanya adalah masyarakat professional (advokat, dokter, jaksa, hakim, dan lain sebagainya). Golongan ini sering menjadi pusat perhatian karena adanya tata nilai yang diatur (secara tertulis) dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya. Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilakusebagian anggota para profesi tidak lagi didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang disepakati bersama, sehingga terjadi kemerosotan etik pada masyarakat prof esi tersebut. Sebagai contohnya adalah pada profesi hukum dikenal ada istilah mafi peradUan, demikian juga pada profesi dokter dengan pendirian kliniksuper spesialisdi daerah mewah, sehingga masyarakat miskin tidak mungkin menjamahnya. Menurut Mulya Lubis, golongan profesi ini disebut golongan menengah, karena dari golongan inilah terdapat jaminan akan keuntungan bisnis masa depan, karena pada umumnya mereka mempunyai tingkat pendapatan 20
111l NlJRlll 0.,V.lAlt SI l..MH
venu memadai. Selain itu, secara sosiologi dari golongan m ncngah ini ada juga rangsangan untuk melakukan ldontillkasi diri ke golongan atas dengan apa yang disebut whnH•ll "rnobilitas vertikal". Kehendak akan "mobilitas vartlkill" lnilah yang didayagunakan oleh para penjaja hldup mewah dan ini pulalah yang menjerat golongan m•lll\?ngah untuk menjadi sandera dari para penjaja hidup muwnh hat ini berarti tidak dapat dibantah tumbuhnya n Jnla komersialisasi profesi, bahkan kalau semakin harkcmbang dapat dikatakan adanya demoralisasi profesi. Untuk semua itu, perlu direnungkan kembali nilai hnklkl den peran etika dalam kehidupan masyarakat prof &•111 denqan mengacu nilai-nilai yang terkandung tlnln111 kod • etlknya. Etika pada hakikatnya merupakan pn11dn11!1 in hldup dan pedoman tentang bagairnana 111nllH ltu seyogyanya berperilaku. Etika berasal dari lwo;ndaron manusia yang merupakan petunjuk tentang pm buuton mana yang balk dan yang buruk. Etika juga uu-rupekan penilaian atau kualifikasiterhadap perbuatan "'""'or1mg. Dikaitkan dengan profesi yang merupakan .. u.uu pekerjaan dengan keahlian khusus, menuntut l>l'rlHClahuan dan tanggung jawab, diabdikan untuk kepentinqan orang banyak, mempunyai organisasi profesi dun mendapat pengakuan dari masyarakat, serta kode 1 ·t lk, maka etika merupakan alat untuk mengendalikan dlri bagi masing-masing anggota profesi. Secara lebih tcgas dapat dikatakan bahwa peran etika dalam profesi wbagai alat pengendali hati nurani/kode etik atau tidak. PERCtt.:AN PEMIKIRANTENTANG HUKUM
21
Oleh karena itu etika disini merupakan pencerminan ilmiah dalam perilaku manusia dari sudut norma-norma baik dan buruk. B. Pelaksanaan Profesi Hukum
Pelaksanaan profesi hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar profesinya, namun sangat mempengaruhi kelancaran pelaksanaan tugasnya. Faktor-faktor social, budaya, ekonomi, adat istiadat maupun lingkungandan teknologi sangat mempengaruhi cara bekerjanya para professional. Oleh sebab itu, para professional dituntut untuk selalu belajar dan mengembangkan dirinya, baik untuk kepentingan organisasi maupun kualitas keprofesionalisannya. Pemahaman terhadap lingkungan social masyarakat sangat penting, karena banyak masalah-masalah hukum yang ada dan berkembang di masyarakat, penanganannya seringkali tidak sesuai dengan jalur hukum yang ada. Pemahaman ini penting untuk lebih mengembangkan dan pemanf aatan prof esi hukum oleh masyarakat yang memerlukannya. Interaksi ini dapat digambarkan sebagai berikut : masyarakat memerlukan keahlian hukum para professional dan para profesional memerlukan masyarakat untuk keahliannya dan pada akhirnya berrnuara pada keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. lnteraksi antara masyarakat dengan para professional
22
nn,
NllRUL ~MAil .H ~H
mengandlUlQ unsur kepercayaan
yang besar, sehingga
I aktor perilaku para professional seringkali menjadi ulnh satu indikator di masyarakat.
hukum
baik buruknya profesi hukum
Dengan perkataan lain, bekerjanya
di masyarakat
sangat dipengaruhi oleh sikap
professional para penyandang
prof esi hukum. Selain
marMharni lingkungan sosialnya, para professional harus numghlndari perbuatan-perbuatan
d•nunn
yang bertentangan
etlka profesi, seperti : memuji diri sendiri,
p nerapen
pengetahuan
dan keterampilan
tanpa
liendnMnn ydng jelas dan tiadanya kebebasan profesi
.. ,,.,rt1 pengaruh kekuasaan dari pihak yang berkuasa, Jltlnnrlknn lmbelan jasa yang tidak layak, kerahasiaan kll•m\yn (tlnlMlkan, dan sebagainya. Sul JnUl11 c0t 1fldential profession (jabatan kepercayaan),
mnkn dnlnm pmfesl hukum perlu ditegakkan hukum disiplin (hk htr rcht), karena ada di antara para professional itu yn11u 11wll1kukan perbuatan-perbuatan
ku111n111puan, melakukan
tercela, kurangnya
penyimpangan, melakukan
kui.nlnhnn 1dnu kelalaian atau bertentangan dengan etika 11tc1fl 1th1Y
lM1rnturn11 ydng ada. Slk41p slkap tersebut di atas tidak saja mempengaruhi k~·1wrc ny.Mn masyarakat terhadap profesi hukum,
h•lnpl juc " mempengaruhi integrasi organisasi dan para 1"-''1vn1td
tl.111 pc•rn>gtlkan hukum disiplin oleh peradilan disiplin
PERCIKAN PEMIKlRAN TENTANG HUKUM
23
mutlak diperlukan,
selain keputusan
untuk perbuatan-perbuatan
peradilan hukum
yang bersilat
melawan
hukum. Untuk menjaga dan mempertahankan integritasnya,
maka professional hukum dapat berpegang pada enam hal, yaitu: a. Kebutuhan yang nyata ; b. Efisiensi ; c. Efektivitas; d. Menyesuaikan diri dengan kebenaran e. Menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah f. Tanpa memaksakan kemampuan fisik dan mental. Apabila keenam faktor ini diperhatikan, maka kepercayaan masyarakat akan semakin meningkat. Peningkatan ini akan mempengaruhi pula sikap kritis masyarakat yang berarti pula konkretisasi hukum di masyarakat semakin berjalan sebagaimana diharapkan. C. Etika Profesi dan Kaidah Hukum
Kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang seyogyanya atau seharusnya dilakukan. Pada hakikatnya kaidah hukum merupakan perumusan pendapat atau pandangan tentang bagaimana seharusnya/seyogyanya seseorang itu bertingkah laku. Sebagal pedoman, kaidah hukum itu bersifat umum dan pasil. Kaldah hukum berisi kenyataan normative ( pa yang seharusnva dilakukan= das sollen dan bukan
24
nu
Nlllll JI (){\MAil'H 1H
berl1l kenyataan ilmiah/peristiwa konkret= das sein).
I nnnn kaidah hukumlah maka peritiwa konkret menjadi 1>9rt1Hwa hukum. Untuk melindungi kepentingan masyarakat, perilaku
lndlvidll sebagai anggota masyarakat tidak cukup hanya dlntur dun dilindungi oleh kaidah-kaidah etika, tetapi juga
dlpcirlukan adanya kaidah-kaidah hukum. Dengan kaidah huk1UTI yang mempunyai sanksi yang tegas dan konkret, mnkn kepentinqan yang diatur serta dilindungi oleh kaidah I lkn d.1JXtt berlaku secar efektif. I l.11 lnl dikarenakan bahwa pada dasarnya tuntutan huk11111 1111 lcblh menitikberatkan
pada pengaturan
l"'tl111k11 "'''-''Orang agar menjadi manusia yang berbudi
luhur
Pt•1 •>tm1t1an etika dan hukum terdapat dalam
1111111111 •.n ... t 1lnyd, 111~•lrtk11k1111 1
yaitu menghendaki agar manusia
•1 buatan
yang baik/benar. Oleh karena itu,
tl111111t dlkat.1k._in bahwa pelanggaran hukurn merupakan 1k•1h1111t.1n y.Jng Udak etis.
, ,,,, bed annya adalah bahwa etika itu ditujukan p11tl11 •1lk.1p
battn manusia, dan sanksinya dari kelompok
11111wn1 ul(tll
prof esi itu sendiri, sedangkan
hukum
• 11111111k111) pada sikap lahir manusia, membebani manusia d1•11q1111 h.1k clan kewajiban, bersifat memaksa, sanksinya 11•1111·· (l.111 konkret yang dilaksanakan melalui wewenang 111•h ''l'"'/pernerintah.
M1•n11rut Sudarto bahwa : Penegakan cl11p.1I
hukum
h nslfat preventif, represif dan kuratif dan juga PERCli-;AN PEMtt.:l.RANTENTANG
HUKUM
25
dapat diterapkan pada bidang bukum pidana, hukurn perdata dan hukum administrasi. Kesemua sistem penegakan hukum tersebut masing-masing didukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau aparatur penegak hukum yang mernpunyai aturannya masing-masing pula. Penegakan hukurn yang bersifat preventif adalah usaha pencegahan kejahatan, upaya untuk menjaga agar orang yang bersangkutan serta masyarakat pada umurnnya tidak melakukan kejahatan. Penegakan hukurn represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukurn sesudah terjadi kejahatan. Penegakan hukum kuratif adalah penegakan hukum preventif dalam arti seluas-luasnya dalam usaha penanggulangan kejahatan yang lebih dititikberatkan pada tindakan terhadap orang yang melakukan kejahatan. D. Hubungan antara Etika Profesi dengan Norma Hukum
Nilai selalu menjiwai secara konsisten berbagai norma yang berlaku di dalam masyarakat, baik norma agama, moral (etika), kesopanan maupun hukum. Hubungan yang erat antara nilai, norma, sanksi dan peraturan-peraturan menjadi sangat penting. Norma dapat dilihat sebagai petunjuk-petunjuk atau isyaratisyarat abstrak yang memberikan pedoman bagaimana seyogyanya seseorang melakukan perbuatan dan tidak harus melakukan suatu perbuatan. Sanksi merupakan konsekuensi yang harus dirasakan oleh seseorang yang 26
Oil NURUL~MAR.
H..MH
tldak menaatl atau melanggar norma dan dalam hal-hal t8rtentu yang bersifat formal harus clipandang sebagai llklbat yang harus dihadapi oleh seseorang yang justru rnemenuhi n..musan perbuatan di dalam undang-undang. Dalam hal memandang sesuatu yang bersifat norrnatif, artlnya pemahaman terhadap apa yang sesungguhnya merupakan sesuatu yang ideal dalam kehidupan baik yang menyangkut hubungan antara individu dengan lndlvldu, indMdu dengan masyarakat, individu dengan n•gnra, wawasan harus berkembang sesuai dengan 1>9rkembangan social maupun perkembangan ilmu itu ndlrl. Cnra panclang yang menyimpang dari kedua hal t•r10hut aken menimbulkan permasalahan baik yang b.l'llfnt teonns maupun praktis. Secara teoritls tumbuh k ruulnn kerugian yang akan berkaitan erat dengan k&tunllnlnn dalam melaksanakan fungsi teori tersebut, ynknl gaga! untuk menggambarkan sesuatu yang t rjndl di masa depan. Secara praktis, cara pandang ynnu tldak menyesuaikan cliri dengan perkembangan, 11kn11 merugikan pencari keadilan, merugikan program 1•nhnharuan hukum, merugikan kepentingan umum yang hurknltan dengan organisasi prof esi dan kemungkinan tunn merugikan pendidikan dan penegakan hukum di mnM datang. l Ial-hal yang terakhir ini bisa terjadi mengingat I 1nl 1Wc\ umber hukum tidak hanya undang-undang,tetapi
PERCl"KAN PEMIKIRAN TENTANG HUKUM
27
juga doktrin, yurispru:lensi,
hukum kebiasaan, traktat
dan sebagainya. Pandangan yang ketinggalan zaman akan menyesatkan dirnensi-dimensi di atas, semakin besar makna hubungan clan transaksi hukum yang dilakukan, penyesatan praktik penegakan hukum dapat menimbulkan kerugian yang semakin besar, lmplementasi pandangan-pandangan tersebut di dalam kehidupan sosial tampak dari perkembangan falsaf ah antara hubungan manusia yang mengakui hakikat kernanusiaan dalam penegakan hukum. Hakikathakikat tersebut tidak hanya bersifat pragmatis sernatamata, tetapi sudah didukung oleh keahlian yang tumbuh bersama-sarna dengan tumbuhnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ini dalam penerapan hukwn mentampakkan diri dengan semakin diperhitungkannya non legal expertise dalam penegakan hukum dalam bentuk kesaksian ahli dan sebagainya. Pemahaman terhadap peranan profesionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta kehidupan hukum tampak dari analisis Philippe Nonet dan Philip Selznick, bahwa karakteristik organisasi sosial yang diharapkan di masa mendatang dapat digambarkan dalam perkembangan dari masyarakat yang prebirokratik ke masyarakat yang post birokratik (masyarakat yang semakin maju), dimana hukum bukan lagi unsystematic dan tidak hanya menitikberatkan pada kodifikasi seperti masyarakat yang beureaucratic melainkan berorientasi
28
Pll NURUI OL\MAR. 11..MH
p.da tujuan dan menghindarkan diri dari keterikatan yang
kaku terhadap peraturan-peraturan, sedang tipe hukum y.ng dlcita-citakan adalah hukum yang responsif yang bertu]\Wl dalarn substantive justice serta civic morality
atau morality of cooperation. Hukum tidak mengabdi kepada kepentingan 1>911gUM8 dan juga tidak terpisah dari kekuasaan, tetapi b.ralfat saling menunjang serta terpadu. Dalam hal MOrang professional hukum menjalankan jabatannya, mnklpun mempunyai kemampuan professional yang ttnyyl dengan memperhatikan norma-norma hukum, t•tapl harus juga dilandasi dengan integritas moral, lwluhuren martabat, clan etika profesi, sehingga profesi hukum mcrupakan jabatan kepercayaan clan terhormat.
tlka Profesl clan Penegakan Hukum Pencgakan hukum dalam bahasa lnggris sering dlwbut sebagai law enforcement, sedang dalam bahasa H lnnda disebut sebagai rechtshandhaving, yang ml!mpunyai arti lebih luas. Pada istilah law enforcement 111/11·1•1 dalam arti sempit hanyalah berarti polisi. Hal ini IKIJl
=
making sure that a law is obeyed.
Penegakan hukum pada masyarakat modern tidak
PEROi.AN PEMIKl.RAN TENTANG HUKUM
saja diartikan dalam arti sempit, tetapi juga dalam .arti
luas, seperti di Indonesia, penegakan hukum dikaitkan dengan WlSUr manusia dan lingkungan sosialnya. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukurn menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukwn itu. Perlunya pernbicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai kepada perbuatan hukum, kini sudah rnulai agak jelas. Perumusan pemikiran pembuat hukum yang dituangkan dalarn peraturan hukum akan turut menentukan bagairnana hukum itu dijalankan. Usaha penegakan dilaksanakan sejalan dengan prinsip negara, yaitu negara yang berdasarkan Pancasila. Tegaknya hukum merupakan suatu prasyarat bagi sebuah negara hukum. Penegakan hukum selalu melibatkan manusia-manusia di dalamnya dan dengan demikian akan melibatkan perilaku manusia juga. Perilaku manusia dalam masyarakat tidaklah bersifat bebas, melainkan didisiplinkan oleh jaringan kaidahkaidah yang terdapat di dalam masyarakat termasuk di dalamnya para pejabat penegak hukum. Dalam arti yang lebih luas atau hukum pada umumnya adalah keseluruhan kumpulan peraturanperaturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan 30
[)It
NURUL Clt-MAR. H ..M H
benama. Keseluruhan peraturan mengenai perilaku
vmnu berlaku dalam suatu kehidupan bersama yang dapat
dtpeksakan pelaksanaannya dengan sanksi. Dalam kehidupan sekarang ini, penegakan hukum ptrdana hukum perdata maupun hukum administrasi rlngkali berhubungan erat clan didukung oleh nilai-nilai rtn kaidah-kaidah yang terkandung dalam etika profesi. Etlkn profesi tersebut c:lalarn fungsinya yang internal dapat mengntur hubungan antarsejawat. Fungsi etika dalam hnl Int dapat merupakan mekanisme organisasi untuk monyuntrol perbuatan anggota, mengoreksi apabila perhuntnn anggota dipandang kurang etis clan dapat 11wn1pnknn sarana penyelaras hubungan antarsejawat. • tlnp profesi harus dijalankan sesuai dengan dua tuntutan •tis, yaitu di satu pihak harus dijalankan secara b11rtnnyyung jawab dalam arti pekerjaan dan hasilnya l11mJ11 hcrmutu dan akibat terhadap rnanusia-manusia lnln horns selalu dipertimbangkan untuk tidak boleh m ruqlkan orang lain. Di lain pihak tujuan profesi tidak hokih dlusahakan apabila atau sejauh pelaksanaannya nllllnnggar hak orang lain. Agar orang lain menjalankan profesi sesuai dengan tuntutan-tuntutan etika profesi itu, ia harus memiliki tiga c lrl moral sebagai berikut : Herus menjadi orang yang tidak diselewengkan dan tekadnya oleh segala macam perasaan seperti takut, malas, malu, emosi dan sebagainya. Artinya harus PERCIKAN
PE.MIKIRAN
TENTANG
HUKUM
31
memiliki kepribadian/moral yang kuat; 2.
Harus sadar bahwa mempertahankan tuntutan etika prof esi merupakan suatu kewajiban yang berat;
3.
Harus memilikiidealisrne. Hubungan antara hukum, peraturan hukum dan ahli hukum dapat dikaji dari suatu pendapat Sudikno Mertokusumo sebagai berikut :
Dapatlah dikatakan bahwa pada umurnnya setiap hukum melihat hukum sebagai kumpulan peraturanperaturan. Pada umumnya orang datang pada seorang sarjana hukum dengan masalah hukum untuk dipecahkan. Kepada sarjana hukum dihadapkan masalah-maselah hukum. Sebagai ahli hukum, ia diharapkan dapat memecahkan dan menemukan hukumnya. Hukumnya terdapat dalam peraturan-peraturan hukum. Hakim, jaksa, pengacara, dosen hukum, notaries, pegawai biro hukum pelbagi instansi tidak dapat lepas dari peraturanperaturan hukum dalam menemukan hukumnya. Penegakan hukum juga berkaitan dengan penemuan hukum. Untuk mendapatkan hukum yang konkret antara pihak-pihak, penerapan hukum bukanlah kata yang tepat, juga bukan pembentukan hukum atau penciptaan hukum, melainkan kata lama "penemuan hukum". Hukum itu ada tetapi harus diketemukan, dalam apa yang diketemukan itulah terletak yang baru. Menegakkan hukum berarti melaksanakan atau mempertahankan hukum terutama yang telah dilanggar. lni harus diartikan 32
DR. NURUL Q.bMAR. H.MH
juga mengembangkan hukurn, yaitu menyesuaikan hukum terutama yang tertulis dengan perkembangan dari masyarakat. Jadi, penegakan hukum sering juga merupakan penernuan hukum clan tidak sekadar penerapan hukurn. Dalarn rnenernukan hukum ada beberapa metode penafsiran seperti dinyatakan oleh Sudikno Mertokusumo, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Interpretasi menurut bahasa; Interpretasi teleologis atau sosiologis; Interpretasi sistematis atau logis; lnterpretasi historis; Interpretasi komparatif (perbandingan hukum); Interpretasi futuristis.
Pemakaian metode-metode tersebut tergantung peristiwa konkretnya, karena tidak ada pedoman bahwa unsur yang satu harus didahulukan dari unsur yang lain. Para penegak hukum melaksanakan tugas san wewenangnya mendasarkan pada peraturan hukum yang berlaku, namun penegakan hukum bukanlah sematamata berarti pelaksanaan perundangan-undangan tetapi juga melakukan penemuan hukum, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungan demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu popular. Ada juga kecenderungan untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan hakim.
l'ERCll;AN l'EMJKIRANTENTANG HUKUM
Penegakan hukum tidak hanya dalam arti sempit, tetapi penegakan hukum dapat mencakup bidang sangat luas, dan tidak hanya terhadap perbuatan melawan hukum yanh sungguh-sungguh terjadi onrecht in ectie tetapi juga terhadap perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi onrecht in potentie.121 F. Kewajiban Profesi dan Kewajiban Hukum
Kewajiban profesi tidak identik dengan kewajiban hukum, tetapi jelas tidak bertentangan satu sama lain. Dalam beberapa hal, kewajiban profesi itu sama dengan kewajiban hukum, sehingga terhadap setiap pelanggar ada sanksi hukum di samping sanksi profesi. Hanya saja, kewajiban profesi itu sering di anggap sebagai perangkat bimbingan etik (ethical guidelines), sehingga pelanggaran atas kewajiban profesi itu berada di luar jalur hukum. Namun demikian, pelanggaran profesi yang tidak jelas sanksinya akan menghambat perkembangan profesi itu sendiri. Pengembangan profesi termasuk profesi hukum sebenamya tergantung dari probadi yang bersangkutan karena mereka secara pribadi mempunyai tanggung jawab penuh atas mutu pelayanan profesinya dan harus secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan warga masyarakat yang memerlukan pelayanan dalam bidang hukum, untuk itu tentunya memerlukan keahlian yang berkeilmuan serta dapat dipercaya.
34
OR. NURUL~
H..MH
Penemuan nilai-nilai yang terkandung dalarn etika profesi berupa kesediaan rnemberikan pelayanan professional di bidang hukurn terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian sebagai pe)ayanan dalarn rangka me1aksanakan tugas yang berupa kewajiban terhadap rnasyarakat yang membutuhkan pelayanan hukum yang disertai refleksi yang saksama merupakan wujud dari kewajiban profesi. Di dalam melaksanakan prof esi terdapat kaidah-kaideh pokok berupa etika profesi, yaitu sebagai berikut: 1.
Profesi harus dipandang (dan dihayati) sebagai suatu pelayanan karena itu, maka sifat tanpa pemrih menjadi ciri khas dalam mengembangkan profesi. Yang dimaksud dengan "tanpa pamrih" disini adalah bahwa pertimbangan yang menentukan dalam pengambilan keputusan adalah kepentingan pasien atau klien dan kepentingan umum, dan bukan kepentingan sendiri (pengembangan profesi). Jika sifat tanpa pamrih itu diabaikan, maka pengembangan prof esi akan mengarah pad a pemanf aatan (yang dapat menjurus kepada penyalahgunaan) sesame menusia yang sedang mengalami kesulitan atau kesusahan.
2.
Pelayanan professional dalam mendahulukan kepentingan pasien atau klien mengacu kepada kepentingan atau nilai-nilai luhur sebagai norma kritik yang memotivasi sikap dan tindakan.
PERCIKAN PEMllJRANTENTANGHUKUM
35
3.
Pengemban
profesi harus selalu berorientasi pada
masyarakat sebagai keseluruhan. 4.
Agar persaingan da.lam pelayanan berlangsung secara sehat, sehingga dapat menjamin mutu dan peningkatan mutu pengemban profesi, maka pengembangan profesi harus bersemangat solidaritas antar sesame rekan seprofesi.
Untuk rnenilai profesi, prof essional adan perilakunya. Hukum sendiri dapat dilihat dari aspek nilai, yaitu pad.a aspek ide dasar yang menjiwai norma-norma substantif hukum itu sendiri. Etik ditujukan kepada manusia sebagai individu, sedangkan hukum ditujukan kepada manusia sebagai makhluk sosial. Dilihat dari segi kepentingan, antara kepentingan profesi dan hukum terdapat persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan. Di dalarn kepentingan ini terdapat unsur tanggung jawab yang merupakan beban moral. Dengan demikian terdapat pertautan antara kepentingan, tanggung jawab, dan kewajiban, karena di dalamnya terdapat lU1SUr kebaikan yang dibebankan pada kehendak kita untuk dilaksanakan. Di dalam profesi, terdapat beberapa kepentingan, yaitu: 1.
36
Kepentingan klien, yang dapat bersifat individual atau bersifat kolektif. Kepentingan klien ini langsung terkait apabila terjaclimelpraktik professional. Dalam hubungannya dengan professional, kedudukan klien DR. NURUL ~MAR. SH ..MH
bersifat dependen
dan dalam kondisi konfidensial
dalam kerangka memberikan pelayanan. 2.
Kepentingan dengan
yang terkait
erat
sifat prof esi, karena sifat profesi
haru
mengedepankan
masyarakat pelayanan
kepentingan
hukum
(sifat alturistik). Pelayanan professional yang ceroboh
akan merugikan kepentingan masyarakat yang harus dilayani. 3.
Kepentingan negara. Sepanjang yang menyangkut kepentingan negara, masalahnya akan banyak berkaitan dengan kebijaksanaan sosial dalam bentuk program-program pembangunan, khususnya pembangunan di bidang hukum dan lebih khusus lagi peningkatan kualitas penegak hukum.
4.
Kepentingan organisasi profesi. Peranan organisasi profesi tidak hanya berusaha untuk pembinaan sumber daya manusia tetapi juga peran untuk pemantapan organisasi profesi hukum.
Di dalam kewajibanhukum sendiri, kepentingan tidak semata-mata pada kesadaran terhadap kewajiban untuk taat pada ketentuan undang-undang saja, tetapi juga kepada hukum yang tidak tertulis. Bahkan kesadaran akan kewajiban hukum ini sering timbul dari kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang nyata. Keterkaitan hubungan antara kewajiban hukum dengan kewajiban prof esi terletak pada kesadaran akan kewajiban pada orang lai, yaitu mengingat,
PERCIKAN PEMIKIRANTENTANG
HUKUM
memperhatikan, dan menghormati serta tidak merugikan kepentingan orang lain tanpa mengabaikan kepentingan sendiri atau organisasi profesinya. Dalam perkembangan sekarang, adalah tidak lagi tepat menarik garis pisah yang tajam, antara kewajiban profesi dengan kewajiban hukum. Selama kewajiban profesi itu dibuat atas dasar atika prof esi, maka hampir tidak mungkin membuatnya terpisah sama sekali dari kewajiban hukum. Pada intinya biasa dibahasakan bahwa tanggung jawab profesi adalah tanggung jawab moral etik profesi yang berdimensi lahir maupun bathin, sementara tanggung jawab hukum hanya berdimensi lahir saja.
38
DR. NURUL(Wv1AR.SH
..MH
BAB IV PEMBENTUKAN HUKUM OLEH HAKIM (RECHTSVORMING ) MELALUI PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING)
A. PERSPEKTIF UMUM
f>erkembangan
konsep Negara hukum pada tataran teoritis menunjukkan harapan-harapan yang baik yakni dari Negara hukum formil ke Negara hukum materil. Namun demikian, harapan itu hanya akan terwujud bilamana pilar-pilar negara hukum benar-benar ditegakkan secara utuh, antara lain pilar peradilan yang dimainkan oleh hakim-hakim yang konsis demi hukum dan keadilan dalam mengemban fungsi yudisialnya memeriksa, mengadili dan memutus perkara, melahirkan putusan yang berrnartabat dan berwibawa oleh karena telah melakukan pembentukan hukum setelah melalui proses penemuan hukum. Salah satu karakter Negara Hukum (state law) di negara-negara penganut sistem Eropa Kontinental atau civil law system populer dinamai rechststaat dan di
39
negara-negara penganut common Jaw system, atau di negara-negara anglo saxon, menamainya dengan sebutan rule of law, adalah penegakan supremasi hukum (law enforcement)dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat, pemerintahan dan kenegaraan, dengan menjadikan hukum sebagai aturan mainnya. Bukan hukum dalam arti yang sempit (hukum perundangan) akan tetapi hukum dalam arti yang luas. Untuk menegakkan hukum yang bersendikan nilainilai keadilan atas segala aspek dalam tatanan kehidupan sosial, maka dalam Negara Hukum menjadikan salah satu elemen atau unsurnya yakni independensi dan kemerdekaan badan-badan peradilan dalam menjalankan tugas di bidang kekuasaan kehakiman. Independensi itu artinya adanya kemandirian dari badan-badan peradilan Negara terlepas dari badan kenegaraan lainnya. Kemerdekaan diwujudkan oleh hakim yang dalam menjalankan fungsi yudisialnya terlepas dan bebas dari pengaruh-pengaruh dan campur tangan baclan kekuasaan lainnya. lmplementasi tugas di bidang kekuasaan kehakiman termasuk di dalamnya pelaksanaan pengawasan dan atau control oleh badan peradilan, yang tidak terbatas hanya pada aspek-aspek penegakan hukum tertentu, akan tetapi lebih luas dan tidak terbatas termasuk pengawasan terhadap perbuatan atau tindakan pemerintah dalam berinteraksi dengan rakyat yang rentang dengan
40
Oil NURlJLQ.o\MAll H..MH
penyalahgunaan wewenang, perbuatan melawan hukum, bertentangan
dengan prinsip pemerintahan
yang merugikan dengan
kepentingan
konsep pemerintahan
yang baik,
rakyat. Hal ini sejalan modern
yang dikenal
dengan good goverment dan governance.
Kekuasaan badan peradilan sebagai kekuasaan kehakiman dijalankan oleh hakim-hakim pada semua lingkungan badan peradilan Negara baik sebagai judeks fakti dan maupun sebagai judeks juris. Karena itu peran hakirn sangat besar dalarn rangka penegakan supremasi hukum. Bahkan hakim tidak boleh menolak memeriksa suatu perkara hanya dengan alasan hukumnya tidak ada atau kurang jelas, Melainkan hakim dituntut untuk menyelesaikan setiap persoalan hukum yang diajukan kepadanya dengan memberikan putusan yang adil, Peran hakim yang besar tersebut, telah melahirkan konsekuensi bahwa hakim agar dapat mengakomodir persoalan-persoalan hukum yang cliajukan kepadanya untuk diberikan penyelesaian, dituntut memiliki wawasan ilmu clan pengetahuan hukum yang luas agar mampu menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat baik itu hukum dalam arti aturan perundangan maupun cliluar dari pada itu, supaya putusan yang clijatuhkan dalam rangka penyelesaian perkara konkrit yang diaiukan kepaclanya terselesaikan dengan tidak mengabaikan pencerminan idealieme hukum clan keadilan. Hakim dalam menjalankan tugas kehakiman clengan
PERO MN PEMIKlRANTENTANG HUKUM
41
fungsi yudisialnya, dalam hal memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara atau sengketa yang diajukan kepadanya sadar atau tidak, paham atau belum paham telah melakukan penemuan hukum dari suatu sumber hukurn baik itu dari sumber hukurn yang tertulis maupun yang tidak, sehingga bilamana putusan yang dicetuskannya dari hasil penemuan hukum itu mengandung asas-asas hukum dan memperoleh kekuatan berlaku umum, maka lahirlah hukum sebagai hukum bentukan hakim (judge made law) yang dalam istilah lain biasa pula disebut rechstvorming. Dengan demikian hukum bentukan hakim adalah hukum yang dibentuk oleh hakim setelah melalui proses penemuan hukum (rechtsvinding) dalam rangka penyelesaian suatu peristiwa hukum konkrit yang telah dihadapkan dan diputus oleh hakim. B. KEWENANGANPEMBENTUKAN HUKUM
Persoalan menarik yang terbahas diseputar pembicaraan tentang pembentukan hukum, adalah menyoal tentang pemegang kewenangan dalam pembentukan hukum. Apakah hanya badan legislatif sebagai pemegang otoritas satu-satunya dalam membentuk hukum? ataukah ada yang memilikikewenangan serupa dalam pembentukan hukum? Merujuk pada Konstitusi dalam arti UUDN RI Tahun 1945, maka sistem yang dianut di lndonesia
42
DR. NURUI QNv\AR. H.J.1H
tidak sepenuhnya
berpegang
pada Teori Pemisahan
Kekuasaan yang dicetuskan oleh Montesqueu dan John Locke. Melainkan dalam sistem Ketatanegaraan
yang
dikonsepsikan sebagai Negara Hukum Pancasila, mengenal adanya kemungkinan kewenangan pembentukan hukum diluar dari hanya satu badan kekuasaan
kenegaraan,
dalarn hal ini oleh kekuasaan Eksekutif yang diperankan
oleh Presiden, oleh kekuasaan legislatifyang diperankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan oleh kekuasaan yudikatif yang diemban oleh kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung) dan badan-badan peradilan negara. Menurut Achmad Ali, bahwa sejak masa lampau hingga kini, senantiasa menjadi bahan polemik tak kunjung usai tentang siapa yang membentuk hukum? Apakah pembuat undang-undang dapat dikatakan membentuk hukum atau tidak? Dan kalau benar, apakah pembuat undang-undang satu-satunya pembentuk hukum? Lantas bagaimana dengan hakim? Apakah hakim hanya menerapkan hukum atau juga termasuk pembentuk hukum? Lalu siapa lagi yang termasuk pembentuk hukum? Dalam kaitan tersebut, W Van Gerven (Achmad Ali), memperkenalkan adanya tiga jenis model pembentukan hukum sebagai berikut : 1.
Pembentukan hukum preventifadalah yang diJakukan oleh pakar hukum perusahaan, notariat dan pakar hukum pemerintahan.
PERO KAN PENUKIRAN TENTANG HUKUM
43
2.
Pembntukan hukum reflektif yang dilakukan oleh ilmuan hukum dan guru besar hukurn.
3.
Pembentukan hukum confiichtif adalah yang dilakukan oleh praktisi hukum, seperti halnya; hakim, jaksa, dan advokat.
J.J. Bruggink, mengemukakan bahwa di dalam masyarakat yang memiliki kewenangan pembentukan hukum, termasuk di dalamnya adalah sebagai berikut :
1. Sadan pembentuk undang-undang
(legislative);
2. Sadan kehakiman (yudikative); 3. Sadan pemerintahan (eksekutive) Kepada para pengemban kewenangan hukum tersebut diberikan kewenangan (tugas)untuk berdasarkan kesadaran hukum mereka memberikan suatu bentuk yang positif berkepastian pada hukum. Tanpa mempersoalkan pendapat pertama dan yang kedua di atas, namun yang pasti dapat disimak bahwa ketiga jenis model pembentukan hukum dilihat dari segi sumbemya tersebut, maka yang menjadi sasaran perhatian adalah pembentukan hukum conilichtil, yang oleh pendapat J ,J Bruggink disebutnya badan kehakiman atau yudikatif ,yakni antara lain adalah pembentukan hukum oleh hakim.
J.J. Bruggink, mengulas masalah hukum tertulisdan hukum tidak tertulis dalam kaitannya dengan positivitas hukum. Bahwa hukum positif adalah hukum yang tertulis, 44
DR. NURUL Ot)MAR. H ..MH
sementara hukum yang tidak tertulis bukan merupakan hukum positif,
namun dapat dipositifkan
menjadi hukum positif bilamana satu pengemban
kewenangan
dalam arti
hakirn sebagai salah hukum mendasarkan
putusannya pada aturan hukum yang tidak tertulis. Pandangan
J .J Bruggink, tersebut di atas
diulasnya dengan menyatakan bahwa : Hal ini lebih sering terjadi pada karya pengernbangan kewenangan hukum yang lain, para hakirn. Hakim dapat mendasarkan keputusannya baik pada aturan perundang-undangan pada aturan hukum tertulis, maupun pada aturan hukum yang tidak ditetapkan oleh pengemban kewenangan hukum. Jika hakim dalam keputusannya merumuskan aturan hukum itu sebagai demikian (assuch), dengan itu ia menetapkannya. Dan dengan itu maka aturan itu termasuk dalam hukum tertulis. Teta pi dalarn putusan hakim (rechtelijk uitspraak) hal itu tidak selalu terjadi demikian. Juga disini aturan hukum tidak tertulis dapat digunakan oleh hakirn sebagai pra anggapan (voorondestelling),tanpa diungkapkan secara eksplisit. Dengan dernikian maka aturan itu tetap tidak tertulis dan tidak termasuk dalarn hukum positil, walaupun aturan itu untuk hukum positif tetap memainkan peranan yang sangat penting. Pembentukan hukum berbeda halnya dengan istilah pelaksanaan hukum, penerapan hukum, penciptaan hukum dan terlebih penemuan hukum. Hal ini dengan
PEROMN PEMIKIRAN TENTANG HUKUM
45
cermat Sudikno Mertokusumo membedakannya pengertian
dari istilah yang satu dengan yang lainnya
tentang hal itu. Menurut Sudikno Mertokusumo, sering dipermasalahkan
mengenai
hukum, apakah tidak lebih tepat pelaksanaan
antara
hukum, penerapan
bahwa
istilah penemuan digunakan
istilah
hukum, pembentukan
hukum atau penciptaan hukum. Agar dipahami perbedaan
untuk tidak membingunkan
tentang istilah-istilahtersebut di atas, maka perlu diketahui pembedaan maknanya, yaitu : (1) lstilah pelaksanaan hukurn, dapat berarti mengimplementasikan hukum tanpa adanya sengketa atau pelanggaran. Ini di dalamnya meliputi pelaksanaan hukum oleh setiap warga dalarn aktifitas kesehariannya yang sering tidak disadari dan juga oleh aparat Negara, misalnya Polisi Lalulintas di perempatan jalan berdiri sedang mengatur arus kendaraan. (2) lstilah penerapan hukum, berarti aplikasi suatu peraturan hukum yang abstrak sifatnya kepada peristiwa konkrit. Untuk menerapkan aturan hukum pada peristiwa konkrit, maka peristiwa itu terlebih dahulu harus dijadikan/dirumuskan sebagai peristiwa hukum, agar peraturan hukumnya dapat diterapkan. (3) lstilah penciptaan hukum, berarti menciptakan sesuatu hukum yang baru yang semula tidak/belum ada menjadi ada. Sementara hukum itu sudah ada, hanya saja perlu dicari agar ditemukan untuk diterapkan. (4) lstilah pembentukan hukum, berarti perumusan suatu peraturan-peraturan abstrak yang berlaku umum pada setiap orang yang 46
OR. NURUI ~R.Slf..MH
dilakukan oleh pembentuk undang-undang dan hukum. Pembentuk undang-undang kewenangan
adalah badan yang diberi
untuk itu (legislasi}.
Pembentuk
hukum
antara lain, adalah hakim dari hasil penemuan hukumnya yang telah ditetapkan dalam putusannya. Sudikno Lasimnya
Mertoksumo,
mengemukakan
pembentukan
hukum
pembentuk undang-undang, pula membentuk
hukum,
dilakukan
bahwa oleh
maka hakim dimungkinkan kalau
hasil penemuan
hukumnya itu kemudian merupakan yurisprudensi tetap
yang diikuti oleh para hakim dan merupakan pedoman bagi masyarakat, yaitu putusan yang mengandung asasasas hukum yang dirumuskan dalam peristiwa konkrit, tetapi memperoleh kekuatan berlaku umum. Jadi satu putusan dapat sekaligus mengandung dua unsur, yaitu di satu pihak putusan merupakan penyelesaian atau pemecahan suatu peristiwa konkrit clan di pihak lain merupakan peraturan hukum untuk waktu mendatang. Pembentukan hukum oleh hakim, yang oleh penulis diistilahkan dengan hukum bentukan hakim, lahir melalui proses penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam penyelesaian suatu perkara atau sengketa yang diputuskannya. Untuk melahirkan putusan itulah hakim menemukan hukum. Kemudian dari putusan hakim itulah, hakim telah membentuk hukum. Berkenaan pemikiran tersebut, Peter Mahmud Marzuki, mengatakan bahwa : Terlepas dari tidak
PEROIV\N PEMIKLRAN TENli\NG
HUKUM
47
wajibnya mengikuti preseden, diacunya yurisprudensi kuat bagi penyelesaian sengketa serupa menunjukkan
bahwa tugas hakim bukan sekedar menerapkan undangundang. Melalui putusannya yang menjadi yurisprudensi kuat, hakim juga membuat hukum. Hal itu dalam praktik penyelesaian sengketa tidak dapat dihindari manakala terminology yang digunakan undang-undang tidak jelas, undang-undang tidak mengatur masalah yang dihadapi atau undang-undang yang ada bertentangan dengan situasi yang dihadapi. Oleh karena itulah hakim dalam ha! ini lalu melakukan pembentukan hukum (rechtsvorming). Menurut Sudikno Mertokusumo, undang-undang itu tidak sempurna, memang tidak mungkin undang-undang itu mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Adakalanya undang-undang itu tidak lengkap dan adakalanya undang-undang itu tidak jelas. Meskipun tidak lengkap atau tidak jelas undang-undang harus dilaksanakan. Hukum perundangan adalah merupakan kumpulan dari kaidah hukum abstrak yang tidak serta merta dapat diterapkan clan diperlakukan pada setiap peristiwa hukum konkrit yang timbul di tengan-tengah masyarakat, sehingga untuk menerapkannya butuh kreasi clan kreatifitas hukum untuk menyelami makna hukum yang dikandungnya dalam hubungannya dengan peristiwa hukum konkrit yang timbul di tengah masyarakat. Semakin jauh kedalaman penyelaman hakim 48
DR. NUR\Jl (4\MAR. J !..Ml l
terhadap kaidah hukum abstrak dapat dilakukan dalam hubungannya tengah
dengan
masyarakat
peristiwa
hukum
konkrit
yang butuh penyelesaian,
di
maka
temuan hukum hakim untuk penyelesaian suatu kasus konkrit semakin
sesuai dengan
tuntutan
nilai-nilai
keadilan. Sebaliknya semakin dangkaJ hakim melakukan penyelaman,
maka semakin jauh pula harapan akan
lahirnya putusan yang bersesuaian dengan tuntutan nilai
nilai keadilan. Penyelaman hukum hakim terhadap kaidah hukum abstrak, tidak terbatas hanya pada hukum perundangan saja, akan tetapi terliputi pada hukum diluar perundangan (hukum tertulisclanyang tidak tertulis). Dalarn penyelaman itulah dimaksudkan untuk menemukan hukum yang tepat (hukum konkrit), guna diberlakukan pada suatu peristiwa hukum yang konkrit, maka terjadilah pembentukan hukum (rechtsvorming). Hakim dalam melakukan penyelaman hukum pada kedalaman yang belum dapat terprediksi sejauhmana kedalamannya, agar tidak tersesat, maka membutuhkan peralatan yang baik, yaitu tak lain adalah menggunakan metode-metode penemuan hukum, sehingga dengan alat itu sasaran (hukum) dapat ditemukan clan lalu kemudian dipersembahkan (pembentukan), maka lahirlah hukum bentukan hakim Oudge made law). Metoede yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam menyusuri kaidah-kaidah hukum abstrak untuk
PERO KAN PEMIKIRAN TENTANG HUKUM
peristiwa hukum konkrit, dapat berupa interpretasi juga konstruksi. Interpretasi dipergunakan hal rnenafsirkan
kaidah hukum perundang-undangan,
sedangkan konstruksi dipergunakan hal mengembankan perundangan
oleh hakim dalam oleh hakim dalam
lebih lanjut tentang kaidah hukum
tanpa harus bersandar
pada rumusan
tekstual dari kaidah hukum perundangan. Berkenaan dengan metode tersebut, Achmad Ali, menyatakan bahwa metode penemuan hukum oleh hakim dapat dibedakan atas dua jenis :
1. Metode interpretasi; 2. Metode konstruksi. Perbedaan antara interpretasi dan konstruksi, adalah : (1) Pada interpretasi, penafsiran terhadap teks undang-undang, masih tetap berpegang pada bunyi teks itu. (2) Pada konstruksi, hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, dimana hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks itu, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukuim sebagai suatu sistem. lnterpretasi sebagai metode penemuan hukum dapat dibedakan kedalam beberapa jenis sebagai berikut : a.
Metode subsumtif Adalah metode penerapan kaidah hukum perunclangan terhadap suatu peristiwa hukum konkrit dengan penggunaan sillogisme.
b.
lnterpretasi granmatikal adalah penafsiran kata-
50
DR.NURUL(Wv\AR. H ..MH
kata dalam
suatu kaidah
hukum
perundangan
sesuai kaidah-kaidah hukum tata bahasa. Dapat juga dikatakan sebagai penafsiranmenurut kaidah bahasa. c.
Interpretasi historis lnterpretasi historis, dibagai kedalam dua jenis, yakni menurut sejarah undangundang (Wetshistorisch)dan menurut sejarah hukum (Rechthistorisch). Penafsiran menurut sejarah undang-undang adalah mengacu pada maksud pembuat undang-undang sewaktu pembentukan undang-undang. Penafsiran menurut sejarah hukum, adalah mengacu pada penafsiran yang mendasari lahirnya kaidah hukum dengan mempertautkan dengan konteks masa lalu, masa pembentukan dan konteks kekinian dan masa mendatang.
d.
Interpretasi sistematis adalah penafsiran undangundang dengan cara melihatnya sebagai satu kesatuan dalam suatu system hukum dan perundangundangan.
e.
Interpretasi sosiologos atau teleologis adalah menfasikan suatu kaidah hukum perundangan dengan melihat tujuan dan kepentingan kemasyarakatan.
f.
lnterpretasi komparatif adalah penafsiran dengan cara memperbandingkan antara pelbagai system hukum.
g.
Interpretasi futuristis adalah penafsiran dengan cara penjelasan atas suatu undang-undang yang sedang berlaku dengan berpedoman pada suatu undang-
PERCll>AN PEMIKlRANTENli\NG
HUKUM
51
undang (rancangan) yang akan diberlakukan. h.
lnterpretasi restriktif adalah penafsiran yang bersifat mengadakan pembatasan makna dari kaidah hukum perundangan.
i.
lnterpretasi ekstenssif adalah penafsiran yang bersifat memperluas makna dari bunyi teks yang dikandung kaidah hukum perundangan.
Jenis interpretasi tersebut, dapat dipergunakan oleh hakim sesuai dengan kecermatan hakim dalam melihat jenis metode mana yang tepat digunakan untuk menghubungkan dengan peristiwa hukum konkrit yang dihadapkan kepadanya. Sedangkan metode konstruksi tergolong kedalam beberapa jenis sebagai berikut :
1. Argumentum PerAnalogian Metode argumentum peranalogian (analogi) digunakan apabila menghadapi peristiwa-peristiwa hukum yang analog atau ada kemiripan, dan kepentingan masyarakat menuntut penilaian yang sama. Jadi pertiwa hukum yang berbeda akan tetapi mirip antara satu dengan yang lainnya, sehingga digunakan peranalogian. Sudikno Mertokusumo, mengemukakan bahwa adakalanya peraturan perundang-undangan terlaJu sempit ruang lingkupnya, sehingga untuk dapat menerapkan undang-undang pada peistiwanya hakim akan memperluasnya dengan metode argumentum
52
DR. NURUl~AR.SH
..MH
peranalogian atau analogi. Dengan analogi peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang dalarn undangundang diperlakukan sama. Pada analogi, suatu peraturan khusus dalarn undangundang dijadikan umumyang tidak tertulis dalarn undangundang, kemudian digali asas yang terdapat di dalarnnya dan disimpulkan dari ketentuan yang umum itu peristiwa yang khusus. Peraturan umum yang tidak tertulis dalarn undang-undang
diterapkan
terhadap peristiwa tertentu
yang tidak diatur dalarn undang-undang,
tetapi mirip
atau serupa dengan peristiwa yang diatur dalam undangundang. 2. Argumentum
A'Contrario
Metocle argumentum a 'contrario,menitik beratkan pada ketidaksamaan suatu peristiwa hukumnya. Jadi hakim menerapkan suatu peraturan hukum terhadap suatu peristiwa hukum yang tidak diatur dalam peraturan hukum.
Sudikno Mertokusumo, mengemukakan bahwa adakalanya suatu peristiwa tidak secara khusus diatur oleh undang-undang, tetapi kebalikan dari peristiwa tersebut diatur oleh undang-undang. Bagaimanakah menemukan hukumnya? Cara menemukan hukumnya ialah dengan pertirnbangan bahwa apabila undang-undangmenetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, maka peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan untuk peristiwa diluarnya berlaku kebalikannya. PERCll;AN PEMIKIRANTENTANG
HUKUM
53
3.
Rechtsvervijning
(pengkokritan hukum/penyempitan
hukurn) Menurut Achrnad Ali, bahwa metode pengkonkritan hukum (rechtsvervijning) ini bertujuan untuk mengkonkritkan suatu aturan hukum yang terlalu abstrak. Sudikno Mertokusumo, menyatakan bahwa penyempitan hukum adalah terjemahan dari kata dalam bahasa Belanda "rechtsvervijinq" Fijn" berarti halus. Oleh karena itu ada yang menerjemahkannya dengan penghalusan hukum. Penyempitan hukum bukan merupakan argumentasi untuk membenarkan rumusan peraturan perundangundangan. Rumusan ini terdiridari rumusan pengecualian terhadap peraturan perundang-undangan karena jika tidak maka dirumuskan terlalu luas. Kadang-kadang peraturan perundang-undangan itu ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap peristiwa konkrit. Dalam penyempitan hukum dibentuklah pengecualian-pengecualian atau penyimpangan-penyimpangan baru dari peraturan yang bersifat umum. Peraturan yang bersifat umum diterapkan terhadap peristiwa atau hubungan hukum yang khusus dengan penjelasan atau konstruksi dengan memberi ciriciri (Sudikno Mertokusumo), Dari dua model metode penemuan hukum tersebut dengan aneka jenisnya masing-masing, maka bagi hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara dengan Oil NURULOlYvlAR.
1-1..MH
pemahamannya
atas metode-metode
tersebut, leluasa
menggunakannya dengan menyesuaikan kebutuhan akan peristiwa hukum konkrit yang dihadapkan sehingga dapat menemukan
kepadanya,
hukum yang tepat untuk
melakukan pembentukan hukum konkrit dengan putusan yang ditetapkannya. Hukum bentukan hakim (rechstvorming) adalah hukum konkrit yang lahir dari putusan hakim setelah melalui proses penemuan hukum (rechstvinding). Hukum konkrit dimaksud dapat berubah sifat menjadi hukum abstrak, bilamana di dalamnya telah diletakkan (terkandung) asas-asas hukum yang dapat diberlakukan secara universaldan menjadi preseden untuk diberlakukan pada peristiwa hukum konkrit lainnya.
PERCll'AN PEMIKIRAN TENTANG HUKUM
BABY KEWENANGAN JUDICIAL REVIEW MAHKAMAH KONSTITUSI
A. DOKTRIN JUDICIAL REVIEW
©oktrin tentang Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi sebagai suatu peranata hukurn untuk melakukan peninjauan clan atau pengujian kembali tentang peraturan perundang-undangan dalam arti Wet terhadap Grondwet (pengujian konstitusionalisme), konstitusi atau WO meskipun relatif baru dalam sistem ketatanegaraan namun telah tumbuh dan berkembang pesat baik pada negara-negara penganut Common Law System maupun negara-negara penganut Civil Law System, bahkan juga di negara-negara penganut Mixed Law System yang mengklaim negaranya sebagai Rule of Law State termasuk di Indonesia, sehingga fungsi utamanya sebagai Pengadilan Ketatanegaraan dan atau Pengadilan Konstitusi telah memberi ruang bagi rakyat untuk menuntut hak-hak konstitusionalnya. Salah satu tugas dan kewenangan yang diemban oleh Mahkamah Konstitusi Negara Republik Indonesia
56
sebagai bagian dari pelaksana
kekuasaan
kehakirnan,
adalah melakukan Judicial Review, peninjauan dan atau pengujian kembali terhadap putusan badan legislasi dan atau eksekutif. Apa yang dimaksudkan
Judicial Review?,
tidak
lain adalah suatu pranata hukum yang memberikan kewenangan kehakiman
kepada
badan pelaksana
kekuasaan
dan atau badan lainnya yang ditunjuk oleh
konstitusi (Grondwet) untuk dapat melakukan peninjauan dan atau pengujian kembali
dengan cara melakukan
interpretasi hukum dan atau interpretasi konstitusi untuk memberikan penyelesaian yuridis. Dalam lintasan sejarah hukum di beberapa negara, doktrin tentang Judicial Review ditemukan adanya perbedaan antar satu negara dengan negara lainnya. Misalnya di Inggeris dan Amerika Serikat meskipun termasuk satu rumpun keluarga hukum Common Law system, akan tetapi berbeda sudut pandangnya terhadap doktrin Judicial Review. Pula demikian juga halnya pada beberapa negara lain, seperti misalnya pada negara Perancis, Belanda, Austria, Belgia, Amerika Latin, dan lainnya.
Doktrin Ilmu Hukum memperkenalkan dua model Judicial Review, sebagai berikut : 1.
Judicial Review bidang Pengadilan
2.
Judicial Review bidang Konstitusi
PEROf.:AN PEMJKIRAN TENTANG HUKUM
57
Judicial Review bidang Pengadilan, adalah pengujian kembali oleh suatu lembaga peradilan tertinggi terhadap putusan peradilan di bawahnya dengan alasan-alasan antara lain adanya kesalahan dalam penerapan hukum oleh hakim peradilan di bawahnya, sehingga hakim pada peradilan tertinggi dapat menguji secara materil dari penerapan hukum. Mahkamah Agung NRI memiliki kewenangan
Judicial Review namun terbatas hanya
kewenangan
pengujian materil terhadap peraturan
perunclang-undangan
di bawah undang-unclang.
Judicial Review biclang Konstitusi, adalah peninjauan kembali dan atau pengujian oleh suatu badan kekuasaan negara
untuk dapat membatalkan
pembuat
undang-unclang
Pemerintahan
(legislasi)
putusan badan clan atau baclan
(eksekutif). Judicial Review biclang ini di
lnclonesia menjadi kompetensi dari Mahkarnah Konstitusi. Kompetensi Mahkamah Konstitusi Indonesia di biclang Judicial Review ditujukan terhadap pengujian UU terhaclap UUD baik dari segi formil maupun dari segi materil, yang
biasa diistilahkan clengan pengujian konstitusionalisme. Dasar Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian konstitusionalitas, ditemukan pada Pasal 24C UUD NRI 1945 clan pula cliatur lebih lanjut pada Pasal 10 UU. No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkarnah Konstitusi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi lndonesia clalam melakukan Judicial Review dibatasi hanya terhadap peraturan perundang-unclangandalam arti Wetyanglahir 58
DR NU RUl Q\MAll SH..M.H
setelah dilakukannya amandemen
WD
NRI, undang-
undang yang sebelumnya itu tidak merupakan kewenangan Mahkarnah Konstitusi untuk melakukan Judicial Review, namun demikian dalam f akta empirisnya Mahkamah
Konstitusi telah melakukan terobosan-terobosan dengan alasan demi penegakan konstitusionalisme. Bahkan menurut Abdul Latif, (Hakim Tipikor Mahkamah Agung Republik Indonesia) dalam perbincangan di ruangan Dekan Fakultas Hukum UMI (Jumat, 15 April 2011) dalam rangka kuliah umum Hukum Acara Mahkarnah Konstitusidan IlmuPerundangUndangan, dikatakan bahwa sebenarnya Mahkamah Konstitusitidak hanya kewenangannya semata pengujian W terhadap WO, akan tetapi MK pula dapat melakukan pengujian produk legislasi Pemerintah Oaerah berupa Peraturan Oaerah (PERDA) terhadap WO, hal ini dasar konstitusionalnya ditemukan pada Pasal 18 UUO NRI Tahun 1945 dan sebagai Ration de Troinya atau Ratio Legis nya adanya substansi hukum PERDA yang sumber lahirnya kewenangan pengaturan dari konstitusi. Konsep pemikiran tersebut, Ratio Legis nya adalah bagaimana mungkin suatu produk legislasi dapat dibatalkan oleh keputusan eksekutifdalam hal ini Menteri. A. KEWENANGANJUDICIAL REVIEW 1.
Perspektif Historis Judicial Review Judicial Review di bidang hukum konstitusi dalam
PEROIV\N PEMIKl.AAN TENTANG HUKUM
perspektif sejarah
historis terlekat dan berseiringan Mahkamah
utamanya
Konstitusi
adalah rnelakukan
dengan
yang kewenangan pengujian
terhadap
keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi. Sejarah modern Judicial Review yang merupakan ciri utama kewenangan Mahkamah Konstitusi di Amerika Serikat yang dilaksanakan
oleh Mahkamah
Agung
(Supreme Court), dapat dicatat sebagai perkembangan
yang berlangsung selama 250 tahun, yang diawali dengan rasa kebencian sampai dengan penerimaan secara luas (Maruarar Siahaan). Revolusi Perancis dan konsep Separation of Powers dari JJ. Rosseau dan De la Montesquieu merupakan cikal bakal pengembangan Judicial Review kedepan. Bahkan keberhasilan awal pemerintahan Napoleon dan pengaruh yang berkelanjutan dari hukum dan budaya Perancis, telah membawa sikap dan pendekatan Judicial Review menyebar ke seluruh Eropa dengan sistem hukumnya yang berbeda (H. Schwarts, in Abdul Latif). Dalam tradisi hukum Anglo Saxon dapat dikatakan bahwa Negara Amerika Serikat lah yang paling proaktif mengembangkan doktrin Judicial Review. Meski tidak dapat disangkal bahwa lnggeris memiliki latar belakang sejarah ketatanegaraan yang serupa dengan Amerika Serikat, namun lnggeris tidak mengembangkan doktrin Judicial Review sebagaimana Amerika Serikat 60
DR. NUR.ULQ\MAR.SH..MH
mengembangkannya
dengan proaktif.
Bahkan doktrin Judicial Review yang modem yang pesat perkembangannya
di negara-negara
penganut
Anglo Saxon, merupakan buah kreasi pemikiran bangsa Amerika Serikat yang dipersembahkan
bagi negara
penganut Common law system dan bahkan juga diluar
penganut sistem itu. Konsep Amerika Serikat tentang doktrin Judicial Re terutama setelah mengemukanya kasus Marbury versus Madison (tahun 1803), kemudian muncul kasus Dred Scott (tahun 1857), telah melatari pemikir-pemikir Eropa untuk mengembangkan pula konsep-konsep Judicial Review untuk dikembangkan di negara penganut Civil law system. Hans Kelsen, salah seorang ilmuan hukum yang berpengaruh pada abad XX diminta untuk merancang konstitusiRepublikAustria, sebagai negara baru yang lahir dari runtuhnya kekaisaran Austro Hungarian tahun 1919. Ada dua konsep dasar pemikiran Hans Kelsen yang berkenaan dengan diperlukannya dibentuk suatu badan kenegaraan yang mempunyai kewenangan pengujian atau Judicial Review, sebagai berikut : 1.
Konstitusi harus didudukan sebagai norma hukum yang superior dari undang-undang biasa dan harus ditegakkan menurut superioritasnya.
2.
.Adanya ketidak percayaan luas terhadap badan
PERCllV\N PEMIKl.RAN TENl)\NGHUKUM
61