MENCURI UANG RAKYAT 16 Kajian Korupsi di Indonesia Buku 3
Bantuan Asing, Swasta, BUMN Editor Hamid Basyaib Richard Holloway Nono Anwar Makarim
Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia Buku 3: Bantuan Asing, Swasta, BUMN Editor: Hamid Basyaib, Richard Holloway Nono Anwar Makarim Cetakan 1, Februari 2002 Diterbitkan oleh Yayasan Aksara untuk Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for Good Governance Reform) Desain sampul: Aksara, Dolorosa Sinaga (Patung)
Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia Editor: Hamid Basyaib, Richard Holloway, Nono Anwar Makarim -Jakarta: Aksara Foundation, Cet. 1, Februari 2002; 4 Jilid; 18 cm. Isi: 1. Dari Puncak sampai Dasar. 2. Pesta Tentara, Hakim, Bankir, Pegawai Negeri. 3. Bantuan Asing, Swasta, BUMN. 4. Mencari Paradigma Baru. ISBN ISBN ISBN ISBN ISBN
979-3093-00-5 979-3093-01-3 979-3093-02-1 979-3093-03-X 979-3093-04-8
(No. Jil. Lengkap) (Jilid 1) (Jilid 2) (Jilid 3) (Jilid 4)
1. Korupsi (Dalam Politik) II. Holloway, Richard.
I. Basyaib, Hamid. III. Makarim, Nono Anwar.
364.132 3
Buku ini terbit dalam bahasa Idonesia dan bahasa Inggris, Isi keduanya adalah sama, kecuali pada beberapa bagian yang telah disesuaikan dengan budaya lingkungan pembaca, idiom bahasa, dan gaya penyuntingan yang berbeda.
Pengantar
Buku 3 dari empat buku tentang korupsi di Indonesia ini sekaligus memindahkan arah tuduhan turut bersalah atas korupsi kepada pihak lain kecuali pejabat pemerintah, tapi sekaligus juga memberi harapan. Dalam kekeruhan keadaan dewasa ini masih ada satu-dua contoh yang membesarkan hati. Contoh itu menunjukkan bahwa dengan kemauan kuat di kalangan pimpinan, dan penerapan beberapa pekiat manajemen, bisa diciptakan mutiara dalam lumpur. Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa dengan sedikit saja perubahan dapat dihasilkan perbaikan yang sangat besar. Mohamad Ikhsan menghadapi masalah dalam upayanya mengukur praktek korupsi karena secara empiris tidak ada indikator universal yang dapat diterima. Walaupun tentang definisi korupsi saja tidak ada konsensus, ia sendiri akhirnya memilih definisi terbatas Bank Dunia: “Penyelewengan jabatan publik untuk kepentingan pribadi”. Definisi ini tidak mencakup korupsi di kalangan swasta, dan korupsi politik. Dengan beraneka ragam formula hitungan dan mekanik yang tidak mudah dicerna orang awam, Ikhsan menunjukkan bahwa praktek korupsi di Indonesia secara konsisten lebih besar daripada di negara lain. Yang menarik perhatian adalah bahwa walaupun keadaan politik sudah transparan, namun praktek korupsi masih terus meningkat. Kesimpulan yang dapat ditarik dari keadaan seperti itu adalah bahwa ada semacam ketidakpedulian sektor politik terhadap praktek korupsi, atau bahwa sektor politik turut serta dalam praktek tersebut, atau bahkan melindunginya. Ada suatu hipotesis yang diuji oleh Ikhsan, yaitu bahwa korupsi menurunkan
i
tingkat investasi. Korupsi menaikkan biaya transaksi dan investasi; biasanya biaya proyek sudah membengkak sebelum proyek direalisasi. Untuk izin investasi saja para investor sudah musti bayar. Setelah proyek selesai dan mulai beroperasi para investor tetap harus bayar. Di sektor manufaktur menengah dan besar pembayaran suap mencapai 5% sampai 20% dari total pengeluaran. Semua ini sangat mempengaruhi keputusan calon investor dalam memilih negara lokasi investasinya. Lagi pula, korupsi menciptakan ketidakpastian yang mempersulit perhitungan tingkat pengeluaran dan pemasukan. Kualitas infrastruktur seperti jaringan jalan raya, aliran listrik, pelabuhan dan lain sebagainya merosot karena proyek dipilih atas dasar kemampuan suap ketimbang produktivitas. Menurut perhitungan dua guru besar ekonomi, Soemitro Djojohadikusumo dan Emil Salim, biaya investasi pemerintah di sektor prasarana bisa dikorup sampai 30%. Kerusakan infrastruktur sangat mempengaruhi keputusan investor menanam modalnya di negara lain. Di Asia Timur tidak ada negara yang keadaannya lebih buruk daripada Indonesia, kecuali Myanmar dan Rusia. Secara lebih terinci, Ikhsan juga meninjau dampak korupsi pada komposisi modal yang masih menetes masuk. Ditemukan bahwa semakin tinggi tingkat korupsi, makin rendah tingkat penanaman modal tunai (paid-up capital), dan kian tinggi pula tingkat utang (loan capital). Menurut perhitungan investasi yang hilang sebagai akibat korupsi sekitar 60%. Yang secara strategis membuat keadaan lebih parah adalah bahwa korupsi cenderung menurunkan pengeluaran pemerintah untuk bidang-bidang seperti kesehatan dan pendidikan. Alangkah banyaknya manfaat porsi yang hilang itu bagi perekonomian nasional Indonesia bila menetap di negeri ini. Padahal dengan perbaikan keadaan sedikit saja, sangat besar hasil yang dapat diperoleh. Dalam perhitungan Ikhsan, kalau Indonesia bisa menekan korupsi sampai tingkat korupsi di Malaysia, maka pendapatan per kapita bisa menjulang satu setengah kali pendapatan per kapita Indonesia pada 1995.
ii
Kalau Ikhsan memeriksa dampak korupsi pada penanaman modal swasta, Paul McCarthy menyoroti praktek korupsi pada proyek-proyek bantuan luar negeri. Para pembela korupsi di proyek-proyek yang dibiayai utang negara mengatakan bahwa para
pemimpin proyek terpaksa mencuri karena mereka tersinggung ketika mengetahui betapa mencoloknya perbandingan gaji manajer asing dengan gaji mereka. Dalam kerangka pembelaan ini argumen yang diajukan adalah bahwa arus masuk bantuan luar negerilah yang menyebabkan korupsi melonjak. McCarthy dengan tepat menyangkal adanya hubungan sebab-akibat antara bantuan luar negeri dan korupsi. Ia berpendapat bahwa mekanisme KKN yang rapi sudah lama terpancang sebelum arus bantuan luar negeri masuk ke Indonesia. Yang menyebabkan arus bantuan luar negeri mengalir masuk adalah kondisi ekonomi dan geopolitik Indonesia yang merangsang penanaman modal swasta. Bantuan luar negeri adalah akibat pertumbuhan ekonomi yang pesat dan stabilitas politik yang pro Barat dalam suasana perang dingin. Aspek yang menarik dalam makalah McCarthy adalah analisisnya tentang pendekatan yang berbeda antara pendana Barat dan Jepang. Donor Indonesia terbesar adalah pemerintah Jepang, Bank Dunia, dan Asia Development Bank (ADB). Mereka semua sadar bahwa proyek-proyek bantuan luar negeri dijarah secara besar-besaran oleh pejabat pemerintah dan pimpinan proyek. Untuk waktu yang agak lama Bank Dunia membisu tentang korupsi di proyek-proyek yang didanainya, tapi kemudian secara berangsur, dan kini amat kuat, mendesak agar pemerintah Indonesia berbuat sesuatu untuk mencegah penjarahan tersebut. Akan tetapi baik pemerintah Jepang maupun ADB, yang didominasi oleh pemerintah Jepang, tidak terlalu mempersoalkan masalah korupsi di proyek-proyek mereka. Bahwa mereka tidak mensyaratkan pengawasan atas pembiayaan proyek-proyek tersebut tidak mengherankan bila diingat bahwa staf mereka di Indonesia amat sedikit. McCarthy terkesan kesal ketika menulis tentang ADB yang menangani bantuan dalam jumlah-jumlah yang begitu besar sekadar seperti masalah administratif yang harus cepat-cepat diselesaikan, untuk kemudian bisa tutup buku. Ia lebih menyalahkan “sistem Jepang” ketimbang ADB sebagai pendana. Menurut McCarthy, sikap tak acuh terhadap korupsi ini mungkin disebabkan karena para wajib pajak Jepang tak terlalu rewel mempersoalkan apa yang dilakukan pemerintah dengan uang mereka. Yang kurang
iii
disinggung McCarthy adalah kemungkinan suatu pola budaya yang membuat mereka canggung untuk secara terbuka mengeluhkan cacat pemerintah yang sedang dibantu. Yang lebih menarik lagi adalah pendapat McCarthy mengapa para donor tidak pernah menggunakan, atau mengancam akan menggunakan senjata pamungkasnya, yaitu menghentikan bantuan bila Indonesia tidak menghentikan pencurian dana proyek. Sejak era perang dingin Indonesia adalah anak emas Barat dalam bantuan luar negeri. Politik Indonesia yang anti-komunis sejak akhir 1965, kemajuan ekonominya yang nyata, letak geografisnya dan jumlah penduduk serta kekayaan alamnya dianggap sangat strategis bagi kepentingan dunia Barat. Di samping itu, sudah banyak utang yang tertanam di bumi Indonesia. Bila keran kredit dihentikan, dikhawatirkan bahwa Indonesia akan berhenti membayar utang — kecemasan utama kreditur besar di mana pun di dunia ini. Lagi pula, negara besar lain yang strategis seperti India masih ditutup untuk bantuan luar negeri oleh Amerika Serikat karena kebijakan nuklirnya. Sedemikian besarnya kuasa Indonesia sebagai monopolis bantuan luar negeri di Asia, sampai Bank Dunia berhasil dipaksa oleh pemerintah Soeharto untuk memberi laporan tentang Indonesia yang bagus-bagus saja. Keadaan seperti ini tidak akan berlangsung terus. Sekarang pun sudah tampak akhir masa keemasan tersebut. Blokade terhadap India sudah diakhiri. Politik antikomunis Indonesia tidak ada harganya lagi setelah perang dingin dimenangkan oleh Amerika. Kongres Amerika makin lama makin enggan mengongkosi perekonomian negeri-negeri yang kian mengecil artinya dalam dunia yang sepenuhnya dikuasai oleh Amerika.
iv
Apalagi bila pemerintahan di negeri-negeri itu sarat dengan pencuri dana bantuan yang dimaksudkan untuk kesejahteraan rakyatnya, bukan untuk beberapa gelintir koruptor besar. Selain itu, anggaran bantuan luar negeri Amerika Serikat terus mengecil sejak kekalahan Uni Soviet dalam perang dingin. Kontribusi wajibnya ke PPB pun lama sekali “dikemplang”. Di sisi lain, perekonomian Jepang mengalami krisis berkepanjangan. Oleh karena faktor-faktor baru tersebut, menurut McCarthy, Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan posisinya sebagai anak manja bantuan luar negeri.
Tulisan Nasir Tamara memperkaya kita dengan serentetan nama pengusaha swasta yang sempat disusui negara dari jaman “Benteng” dan “importir aktentas” di tahun 1950-an sampai jaman “cukong” dan “konglomerat” Soeharto. Beberapa kasus spektakuler di masanya, kini terdengar biasa-biasa saja dibanding skala dan kekurangajaran cara mencuri uang rakyat yang sekarang kita saksikan. Ambil saja skandal Dasaad yang menerima komisi sebesar US$ 152.000.00 dari Lockheed. Atau Jusuf Muda Dalam yang mengantongi Rp 4 miliar dari Dana Revolusi. Sejak itu jumlah yang dikorup tumbuh pesat. Bendahara Pertamina, Almarhum Ahmad Thahir, misalnya, mencapai rekor saat itu dengan korupsi sebesar US$80 juta. Kasus-kasus Bulog dari jaman Budiadji sampai Beddu Amang, Rahardi Ramelan, dan Sapuan menyangkut jumlah-jumlah yang jauh lebih besar daripada yang diterima Dasaad dan Jusuf Muda Dalam. Nasir Tamara menunjukkan suatu aspek yang amat menarik dalam hubungan nasionalisme dan kebijakan yang diskriminatif, melanggar konstitusi, dan cenderung menciptakan kesempatan korupsi. Program “Benteng”, dan program-program lain yang membantu pengusaha berdasarkan kriterium keturunannya, dan bukan karena prospek suksesnya, adalah kebijakan seperti itu. Ginandjar Kartasasmita yang sering disebutsebut oleh media sebagai pejabat yang terlibat berbagai transaksi yang diduga mengandung unsur-unsur korupsi terkenal sebagai patron yang membesarkan banyak pengusaha muda. Nama-nama yang disebut dalam makalah Nasir Tamara antara lain Aburizal Bakrie, Abdul Latief, Fahmi Idris, Sugeng Sarjadi, Arifin Panigoro, Jusuf Kalla, dan Fadel Muhammad. Kebijakan etnik semacam ini dibenarkan dan dipuji secara luas. Tanri Abeng, seorang pengusaha yang pernah menjabat sebagai menteri berpendapat bahwa aliansi birokrasi dan dunia usaha untuk mengembangkan dan menumbuhkan wirausahawan nasional dapat diterima. Yang tidak disebut oleh Nasir Tamara adalah kecenderungan sebagian besar klien Ginandjar Kartasasmita menjembatani bisnis dan politik — suatu pengakuan implisit bahwa di Indonesia uang merupakan hasil dari kekuasaan, tidak sebaliknya. Makalah Nasir juga menyebut serentetan nama yang dibesarkan oleh sektor politik
v
di masa Soekarno. Antara lain Agoes Dasaad, Raden Mas Notohamiprodjo, Haji Abdulghani Azis, Rahman Tamin, Omar Tusin, Soedarpo Sastrosatomo, Panggabean, Titiheru, Markam, Aminuddin, Hasjim Ning, Tabrani, Wahab Affan, Pardede, Tambunan, Suwarma, Aslam, dan Mardanus. Dengan satu-dua pengecualian boleh dikatakan bahwa sebagian besar usaha mereka tidak berbekas. Bagaimana nasib perusahaan-perusahaan para pengusaha muda pribumi yang dibesarkan Ginandjar Kartasasmita kita nantikan dengan hati berdebar, sambil bertanya: Bila dikenakan analisis biaya-manfaat yang lurus, apakah kebijakan semacam ini tidak terlalu mahal dibanding hasil yang diperoleh dalam kurun lintas jaman? Daya tarik makalah Ahmad Habir terletak pada tema pesannya yang seakan berseru “Kalau mau, bisa!” betapa kuatnya pun oposisi yang terus dimenangkan pada jaman Soeharto. Mengulas sejarah BUMN dan upaya memperbaiki sistem dan kinerjanya, Habir menonjolkan tiga aspek yang menarik. Yang pertama adalah perebutan kontrol atas BUMN yang terus- menerus terjadi antara Departemen Keuangan, pemegang saham pemerintah di setiap perusahaan milik negara, dan departemen teknis yang mengatur bidang kegiatan usaha yang bersangkutan. Dalam banyak kasus yang memenangkan perebutan ini adalah departemen teknis, karena di situ terpasang jaringan dan mekanik KKN yang meliputi seluruh operasi BUMN. Sebagian dari “rejeki” BUMN dikirim ke Golkar, sebagian lagi untuk kesejahteraan bapak-bapak di Departemen Keuangan, sedangkan sebagian lagi masuk ke dalam kas yayasan tentara atau presiden. Mata anggaran tertentu dari para pejabat departemen teknis juga disediakan oleh BUMN sapi perah, di samping jabatan-jabatan manajemen di perusahaan negara tersebut.
vi
Yang kedua adalah periodisasi pasang-surutnya reformasi dan perbaikan struktur manajemen BUMN. Reformasi akan mengalami gelombang pasang pada saat keadaan ekonomi Indonesia buruk, atau keadaan BUMN yang bersangkutan berada dalam jarak dekat dari liang kubur kebangkrutan. Begitu keadaan membaik, begitu pula reformasi hanyut dibawa arus surut. Aspek ketiga yang ditunjukkan oleh Habir adalah gambaran terinci tentang oposisi dari pihak yang kepentingannya dirugikan oleh kebijakan
reformasi. Pada suatu ketika, di bawah bimbingan para teknokrat, Departemen Keuangan mengeluarkan kebijakan mengganti tunai paket gaji manajemen BUMN yang tadinya berbentuk natura. Di dalamnya termasuk biaya kendaraan, perumahan dan beras. Kebijakan ini ditambah dengan gaji US$1,000.00 sebulan untuk manajer BUMN perdagangan, manufaktur dan produk pertanian, dan satu bulan gaji ekstra sebagai bonus bila melebihi target penjualan dan laba yang ditetapkan sebelumnya. Hasil kebijakan ini menakjubkan. Penggantian gaji natura dengan uang tunai menyapu bersih berbagai modus korupsi yang berkaitan dengan pengadaan barang. Insentif bagi para manajer berdasarkan prestasi kerja mereka juga mengejutkan. Sejumlah besar BUMN mencapai target laba dan penjualan tahunan mereka dalam waktu kurang dari enam bulan. Prestasi ini menunjukkan dengan jelas jumlah dana yang hilang setiap tahun tanpa pertanggungjawaban sedikit pun. Oposisi timbul dengan keras, cepat dan masuk dari jajaran angkatan bersenjata. Soeharto langsung memberi respon positif atas perlawanan tersebut, dan memutuskan untuk mengakhiri program reformasi. Habir juga menunjukkan keterbukaan dan ketertutupan Pertamina terhadap reformasi BUMN tergantung pada naik atau anjloknya harga minyak di pasar dunia. Yang amat mengesankan dalam makalah Ahmad Habir adalah bahwa, dalam samudera kebobrokan yang mengepung semua perusahaan negara, dua BUMN sempat membenahi diri mereka secara gemilang tidak hanya di mata orang dalam negeri, melainkan juga di mata dunia. ***** Enam belas tulisan dalam empat jilid buku tentang korupsi di Indonesia merupakan laporan hasil penelitian para penulisnya. Buku ini memuat hal-hal yang sudah lama diduga, tetapi tidak persis diketahui: Bagaimana mereka mencuri uang rakyat? Dari istana presiden sampai markas besar tentara, dari BUMN sampai ke Bappenas, dari proyek bantuan luar negeri sampai pengadilan, dari bank sampai ke partai politik, seluruh sektor-sektor itu diperiksa. Hasilnya adalah suatu gambar korupsi sistemik, yaitu kejahatan korupsi yang
vii
dilakukan secara melembaga dan terorganisasi, serta mencakup seluruh sektor politik dan ekonomi. Pejabat tinggi pemerintah bersekongkol dengan pengusaha swasta, birokrasi pemerintah pusat dan daerah, pejabat bea-cukai, dan aparat keamanan agar dapat mempertahankan dan mengembangkan praktek mencuri. Tema pokok yang muncul dari 16 studi ini adalah bahwa pemerintah harus diawasi, bahwa pengawasan tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah sendiri, dan bahwa pihak yang paling berhak melakukan pengawasan tersebut adalah para korban korupsi, yaitu kita semua, tanpa kecuali. Peringatan yang tersimpul dalam 16 laporan tersebut adalah bahwa berita tentang korupsi di koran atau televisi bukan sekadar mengabarkan suatu kejahatan nun jauh di sana yang terjadi pada orang yang tiada hubungan apapun dengan diri kita. Berita-berita itu pada hakikatnya merupakan suatu pengumuman kepada khalayak ramai bangsa Indonesia bahwa sebentar lagi kita akan disodori rekening tagihan pengganti uang yang dicuri pejabat yang korup. Mencuri Uang Rakyat memperingatkan bahwa kebijakan tunggal tidak akan mampu menahan arus deras korupsi. Hanya membentuk komisi-komisi, satuan-satuan tugas, dan panitia-panitia pemantau anti-korupsi tidak akan berhasil. Bila tekanan politik cukup kuat, biasanya pemerintah berhasil menggembosi gerakan anti-korupsi dengan berpurapura ingin melawan korupsi secara sungguh-sungguh. Pemerintah cepat-cepat membentuk komisi dan satgas anti-korupsi. Pada 1997 pemerintah Kenya membentuk tidak kurang dari empat komisi antikorupsi dalam waktu satu tahun. Hasilnya nihil. Pada masa Soeharto sebanyak lima komisi anti-korupsi dibentuk. Ketika melantik komisi yang kedua pada 1970 Soeharto bahkan memproklamasikan tekad untuk memimpin sendiri perang melawan korupsi di Indonesia. Tolok-ukur kesungguhan pemerintah Soeharto melawan korupsi jelas tampak ketika Indonesia berhasil meraih posisi tertinggi di antara negara-negara yang paling korup di dunia.
viii
Satu hal lagi yang diingatkan 16 studi adalah bahwa menjebloskan koruptor ke dalam penjara saja juga tidak akan berhasil membendung arus korupsi. Memburu pejabat
yang korup di negara yang sistem hukumnya relatif beroperasi secara lancar, tidak membawa hasil yang memuaskan. Pada 1980-an dan 1990-an banyak pejabat korup di India, Pakistan dan Bangladesh diseret ke pengadilan dan dijebloskan ke penjara. Beberapa bulan kemudian, pejabat yang menggantikan posisi pendahulunya yang meringkuk di penjara menjalankan praktek korupsi yang sama. Itu yang terjadi dalam sistem hukum yang relatif baik. Mengejar koruptor sebagai kebijakan tunggal dalam suatu sistem hukum yang sudah tidak berfungsi lagi seperti halnya di Indonesia akan mengakibatkan dua jenis pemburukan yang lebih parah lagi. Ia tidak akan membawa hasil apa-apa karena seorang koruptor per definisi mempunyai banyak uang untuk menyelewengkan proses hukum. Ia juga menghancurkan sisa-sisa kepercayaan masyarakat pada azas Negara Hukum UndangUndang Dasar Indonesia, dan dengan itu juga pada persepsi kenegaraan Indonesia itu sendiri. Masyarakat ramai sudah lama bersaksi bagaimana seorang pejabat yang dituduh korupsi diperiksa, ditahan, diperas oleh pemeriksanya, kemudian dituntut, lalu dibebaskan oleh pengadilan. Penangkapan dan penahanan pejabat, baik mantan maupun yang masih menjabat, oleh aparatur penegak hukum sudah lama menjadi bahan lelucon umum. Seperti pada pertunjukan perwayangan, para penonton sudah tahu bagaimana cerita akan berkembang dan berakhir. Kebijakan penegakan hukum dan pembentukan komisi anti-korupsi dalam upaya melawan korupsi sistemik hanya akan berhasil bila digabung dalam satu paket kebijakan reformasi bersama kebijakan-kebijakan lain. Dalam paket kebijakan itu termasuk reformasi birokrasi, penciutan sektor publik, penjualan BUMN, dan peluncuran kampanye bersinambung untuk meningkatkan kesadaran bangsa akan pembusukan yang disebarkan KKN. Paket kebijakan tersebut memang terkesan “seram” dan “berat”, akan tetapi setelah diperiksa terbukti biasa-biasa saja, masuk akal dan praktis. Untuk reformasi birokrasi, misalnya, diperlukan serangkaian kriteria kemampuan yang harus dipenuhi setiap calon pegawai negeri. Cocok atau cakap tidaknya seseorang calon birokrat ditentukan oleh hasil suatu tes “fit and proper” yang diperiksa oleh suatu badan independen yang pengujinya diganti setiap tahun. Begitu pula untuk kenaikan
ix
pangkat. Bila mau dinaikkan pangkatnya, setiap pejabat harus menempuh ujian kecakapan dan kecocokan. Dalam program reformasi birokrasi juga termasuk penyadaran dan pendalaman jati diri birokrasi sebagai institusi pelayanan publik. Ini perlu terus-menerus diingatkan agar pegawai negeri dan pejabat negara dapat mengembalikan harkat dirinya yang sudah dirusak oleh pamor sebagai pencuri uang rakyat. Penegakan hukum, dan penghukuman mereka yang ditemukan melanggar hukum, bukan sekadar pembalasan sosial, melainkan bertujuan membangun kembali fondasi suatu moralitas dasar yang memberi petunjuk tentang apa yang halal dan apa yang haram, apa yang benar dan apa yang salah. Ini akan mengoreksi sikap masyarakat selama ini yang memuja-muja pejabat pemerintah yang kaya, dan menggali kembali rasa malu bergaul dengan orang-orang yang hartanya diduga merupakan hasil korupsi. Penciutan sektor publik tidak berarti bahwa pemerintah yang mengabdi pada masyarakat menyerah pada kapitalisme yang rakus. Ia sekadar upaya memperkecil ruang gerak para koruptor dan, sering kali, bahkan meningkatkan pendapatan negara. Contoh kebijakan seperti itu misalnya tampak pada pengambilalihan fungsi pabean Indonesia oleh suatu perusahaan survai yang berpusat di Swiss. Pemasukan pemerintah meningkat, apa yang sedianya akan hilang dicuri berhasil diselamatkan. Begitu pula dengan penjualan BUMN. Protes-protes yang banyak terdengar terhadap kebijakan semacam ini biasanya dibalut perban nasionalistik. Dalam kenyataannya ia hanya merupakan kedok politik yang menyembunyikan rasa cemas kehilangan sumber emas untuk membiayai korupsi beberapa koruptor, dan membeli loyalitas politik. Semua itu hendaknya didukung oleh suatu kampanye berkesinambungan untuk memperlebar front nasional dan internasional guna terus-menerus menuntut agar pemerasan terhadap rakyat dihentikan. Tekanan dari luar selalu diperlukan oleh suatu struktur kekuasaan birokratik-patrimonial yang gandrung mempertahankan status-quo. Bila terancam, sistem semacam itu cenderung melakukan sabotase dengan berpura-pura lumpuh, seperti yang kita saksikan sekarang; atau menggunakan kekerasan, seperti yang kita alami di masa lalu.
x
Itu sebabnya mengapa tekanan dari dalam saja tidak cukup untuk mencapai
perbaikan yang berarti. Suatu bagian penting dari kampanye semacam ini adalah menegaskan kepada setiap warga negara bahwa yang menjual bangsa bukan pemerintahan yang baik, melainkan korupsi. Mencuri itu jahat. Tidak peduli apakah pencurinya asing atau bangsa sendiri. ***** Mencuri Uang Rakyat diterbitkan oleh Kemitraan guna Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia (Kemitraan), yang bertujuan memajukan serta mendukung program reformasi tata pemerintahan. Kemitraan dikelola oleh suatu Badan Pengurus yang terdiri atas pejabat senior pemerintah, pengusaha swasta, dan beberapa warga negara Indonesia yang mempunyai pengertian jernih tentang makna dan tujuan tata pemerintahan yang baik. Bank Dunia (World Bank), Program Pembangunan PBB (UNDP), dan Bank Pembangunan Asia (ADB) turut sebagai pendiri dan sekaligus anggota. Buku ini merupakan persembahan kepada masyarakat Indonesia, suatu kumpulan laporan penelitian tentang bagaimana korupsi berlangsung, menyebar, dan menyandera seluruh jaringan sosial bangsa Indonesia. Buku ini juga bermaksud meyakinkan komunitas warga negara Indonesia yang sangat prihatin dan mendambakan reformasi bahwa di balik gunung kerja keras dan kerja cerdik masih ada harapan menyelamatkan bangsa. Gagasan tentang susunan karangan serta seleksi para sarjana yang diundang untuk menyajikan makalah penelitiannya berasal dari kalangan Kemitraan. Dalam hal ini penghargaan perlu disampaikan kepada dua orang, yaitu Richard Holloway, salah seorang editor buku ini, dan Merly Khouw, seorang konsultan Kemitraan. Holloway tanpa jemu mengejar-ngejar para penulis, para penerjemah, para pencetak, dan dua rekan editornya. Kelambatan terbitnya buku ini tak dapat dipersalahkan padanya. Tanpa Holloway penerbitan buku ini akan kekurangan energi dan usul yang terkesan pada setiap gerak dan katanya. Merly Khouw telah sangat mendorong kerincian dan kerapian rumusan kata dan kalimat hasil karya para editor.
xi
Ketelitian dan kecermatan Khouw sangat membantu dalam upaya mencapai tingkat akurasi naskah yang semaksimal mungkin. Terima kasih kami juga tertuju kepada Ratih Hardjono-Falaakh. Pertemuan simbiotik antara Kemitraan dan Yayasan Aksara tak akan terjadi tanpa perantaraannya yang amat berharga. Beberapa makalah dalam buku ini pada awalnya ditulis dalam bahasa Inggris sehingga perlu diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Para editor sangat menghargai jasa para penerjemah yang menyadari bahwa mengalihbahasakan suatu naskah bukan pekerjaan mesin yang mengkonversi kata demi kata ke bahasa lain. Masing-masing bahasa memiliki sintaks dan idiomnya sendiri, yang bila diterjemahkan secara harfiah akan menghasilkan konstruksi kalimat dan makna yang kocak. Gambar kulit muka buku merupakan reproduksi foto karya salah seorang pematung Indonesia terkemuka, Dolorosa Sinaga. Dengan spontanitas dan kemurahhatiannya yang hangat ia mengizinkan para editor meminjam ciptaannya untuk melambangkan rakyat Indonesia sebagai korban yang tiada jemunya menanti hari esok yang lebih baik. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada Khateeb Sarwar Lateef, Penasehat Senior Bank Dunia, dan Sri Urip, Direktur Eksekutif Kemitraan yang senantiasa menyediakan waktu setiap saat untuk konsultasi, dan untuk petunjukpetunjuk mereka yang arif dan bijaksana. Isi buku ini paling tidak aktual sampai bulan April 2001. Namun demikian, ditinjau dari kesungguh-sungguhan penegak hukum dalam menindak koruptor dan semakin ganasnya korupsi berlangsung, buku ini akan tetap aktual untuk waktu yang tidak ditetapkan. Enam belas karangan yang terhimpun dalam buku ini sepenuhnya merupakan hasil karya dan tanggung jawab para penulisnya. Baik Kemitraan, para anggota Badan Pengurusnya, organisasi ataupun pemerintah yang diwakilinya, atau organisasi mereka yang lain dan terafiliasi atau para kontraktornya, tidak bertanggung jawab atas akurasi fakta dan data dalam penerbitan ini, atau dampak apapun yang mungkin diakibatkan oleh penggunaannya.
xii
Teknik penyuntingan, perumusan dan tata rias buku diserahkan kepada Aksara , suatu yayasan penelitian yang berkegiatan di bidang pendidikan melalui kolokia berkala
dalam lingkungan terbatas, dan penerbitan. Tugas Aksara adalah menyajikan hasil akhir perumusan makalah yang ringkas, sederhana, dan jernih agar dapat mencapai lingkaran pembaca seluas mungkin.
Nono Anwar Makarim
Jakarta, Januari 2002
xiii
Daftar Isi Pengantar Oleh Nono Anwar Makarim Daftar Isi Mengukur Biaya ekonomi Akibat Korupsi di Indonesia Oleh Mohamad Iksan Pendahuluan Mengukur Korupsi Pengaruh Korupsi terhadap Investasi dalam Negeri Korupsi, PA dan Komposisi Arus Masuk Modal Pengaruh Korupsi Pertumbuhan Ekonomi Dampak Terhadap Kemiskinan Ke Mana Uang Korupsi Dilarikan? Kesimpulan Catatan Kepustakaan Korupsi Bantuan Luar Negeri: Kenaifan, Kepuasan Diri dan Keterlibatan Donor oleh Paul Mc Carthy Pendahuluan
i xv 1
1 3 11 14 17 19 21 21 22 23
33
33
xv
Makin Banyak Perubahan, Makin Sama Keadaan Mengukur Kerugian - Lingkup KKN dalam Program Bantuan Luar Negeri Menilai Lembaga Donor Korupsi dalam Program Bantuan Jepang Berapa Banyak yang Hilang? “Basah” dan “Kering”- Badan-badan Pelaksana Pemerintah Penerapan Pengawasan atas dasar Amanat Memastikan “Skenario Win-Win (Menguntungkan Semua Pihak)” Pura-pura Tidak Melihat _ Apa yang Diketahui Para Donor dan Kapan Mereka Mengetahuinya Pembelaan Indonesia Korupsi dalam Sorotan - KKN setelah Jatuhnya Soeharto Terlalu Sedikit, Sudah Terlambat - Mengapa Prakarsa Anti-Korupsi sebelumnya Gagal Adakah Harapan? Apa yang Harus Dilakukan Catatan Kepustakaan Korupsi di Sektor Swasta Oleh Nasir Tamara
xvi
Pendahuluan Pemerintah dan Sektor Bisnis Sumber-sumber Utama Modal pada Era Soeharto Ketika Pengusaha menjadi Konglomerat
34 36 38 39 42 44 48 55 57 62 63 68 70 74 77 87 91
91 97 105 123
Konglomerat dan Korupsi di Era Reformasi Kesimpulan Kepustakaan
130 140 144
Korupsi di Badan Usaha Milik Negara Oleh Ahmad D. Tabir
151
Pendahuluan Contoh Korupsi Sejarah BUMN BUMN dan Korupsi Awal Reformasi Krisis dan Lanjutannya Reformasi (1985 - 2001) Kesimpulan Rekomendasi Catatan
151 151 154 157 160 163 164 176 178 179
Tentang Penulis Tentang Editor Indeks
181 183 185
xvii
Mengukur Biaya Ekonomi Akibat Korupsi di Indonesia Oleh Mohamad Iksan
Pendahuluan Kajian terhadap korupsi selama beberapa tahun terakhir ini telah menarik perhatian para penyusun kebijakan dan pelaksana pembangunan di seluruh dunia. Karena tidak ada suatu indikator universal yang dapat digunakan untuk mengukur praktek korupsi, maka model-model (ekonometri) belum dapat menghasilkan informasi empiris dan meyakinkan atau sahih (robust) mengenai korupsi. Berbagai masalah empiris yang dihadapi dalam mengukur korupsi berasal dari definisi yang tidak jelas tentang fenomena korupsi itu sendiri. Klitgaard (1998) mendefinisikan korupsi sebagai suatu hasil dari manajemen pemerintah yang lemah, dan terjadi bilamana sejumlah individu dan organisasi tertentu menguasai monopoli atas barang, jasa, dan pengambilan keputusan, dalam kondisi di mana tidak ada tuntutan pertanggungjawaban, dan rendahnya tingkat pendapatan masyarakat. Bank Dunia mendefinisikan korupsi sebagai suatu penyalahgunaan jabatan publik untuk kepentingan pribadi (Bank Dunia, 1997). Definisi ini memberi implikasi bahwa korupsi hanya terjadi pada jabatan publik. Kita mengetahui bahwa korupsi juga terdapat pada sektor swasta. Namun kajian ini akan menggunakan definisi Bank Dunia tersebut. Dengan demikian pembahasan tentang korupsi akan terbatas pada penyalahgunaan
1
jabatan/kekuasaan dalam sektor publik. Selain itu, praktek korupsi juga merupakan suatu masalah yang mempengaruhi ketatalaksanaan yang bersih dan baik (good governance). Beberapa penulis sepakat bahwa korupsi adalah sesuatu yang tidak baik. Namun dalam berbagai literatur yang ada kita dapat menemukan dua pandangan yang berlawanan mengenai dampak korupsi terhadap ekonomi. Pandangan pertama yang diwakili oleh penulis seperti Leff (1964) dan Huntington (1968) menyatakan bahwa korupsi meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena beberapa alasan, antara lain:
• Korupsi berperan sebagai insentif finansial yang memungkinkan para pengusaha untuk menghindari keterlambatan. Dengan menggunakan game theory, Lui (1985) menunjukkan bahwa korupsi akan memperkecil biaya-biaya waktu tunggu (waiting costs), sehingga mengurangi inefisiensi dalam administrasi publik.
• Korupsi mengurangi distorsi pasar yang berhubungan dengan struktur gaji yang buruk dalam birokrasi, dan menghambat motivasi para pegawai negeri untuk bekerja dengan baik dan efisien (Rose-Ackerman, 1998).
• Korupsi dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi dengan terbentuknya pasar gelap dan kegiatan penyelundupan yang bisa jadi lebih efisien dibandingkan dengan jika proses transaksi ini melibatkan sektor publik (Bardhan, 1997).
• Korupsi dapat meningkatkan efisiensi apabila sektor swasta bersifat lebih efisien daripada sektor publik dalam mengalokasikan sumber-sumber melalui struktur pajak. Namun di sisi lain, beberapa karya teoretis dan fakta empiris menunjukkan bahwa korupsi dapat membahayakan perkembangan ekonomi. Berbagai studi empiris menunjukkan bahwa praktek korupsi dapat memperlemah kinerja perekonomian suatu negara karena korupsi dapat: - menurunkan tingkat investasi, baik dalam negeri maupun asing (Mauro, 1997 dan Wei, 1997)
2
- menimbulkan distorsi pada perkembangan perusahaan dan pertumbuhan sektor ekonomi non-formal (Johnson, Kaufmann, dan Zoido-Lobadon, 1999) - menimbulkan distorsi pada pengeluaran dan investasi publik serta memperburuk infrastruktur fisik (Tanzi dan Davoodi, 1997) - menurunkan pemasukan publik dan menghambat kesempatan untuk menegakkan hukum demi kepentingan umum (Johnson, Kaufmann, dan Zoido-Lobadon, 1999) - merugikan kaum miskin (Rose-Ackermann, 1997). Daftar tersebut tidak semuanya relevan bagi Indonesia, terutama pada masa lampau. Walaupun Indonesia dikenal sebagai negara di mana praktek korupsi terjadi secara luas dan intensif, rasio investasi terhadap GDP setara dengan negara-negara Asia Timur dan cukup tinggi dibanding dengan negara-negara Amerika Latin, di mana indeks persepsi korupsi (index of perceived corruption) relatif lebih baik dari Indonesia. Demikian pula, Indonesia relatif berhasil dalam memberantas kemiskinan di semua daerah pada periode 1970an sampai periode krisis ekonomi pada tahun 1997. Mengingat kedua pandangan yang berbeda mengenai dampak korupsi terhadap ekonomi, seperti yang telah diuraikan di atas, maka tulisan ini bertujuan a) mengkaji secara empiris dampak praktek korupsi terhadap beberapa variabel makro dari pertumbuhan ekonomi, investasi swasta dan investasi asing langsung; dan b) menilai dampak korupsi terhadap kaum miskin di Indonesia. Tulisan ini terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama membahas masalah cara mengukur korupsi. Bagian berikutnya adalah analisis tentang perkiraan biaya korupsi dan dampaknya terhadap perekonomian Indonesia, yang merupakan inti permasalahan yang dibahas. Bagian terakhir adalah ringkasan temuan dan kesimpulan.
Mengukur Korupsi Ada dua hal penting yang perlu diperjelas sebelum kita melakukan suatu estimasi terhadap biaya ekonomi atas praktek korupsi di Indonesia. Pertama, perlu ada
3
kesepakatan atas definisi korupsi. Kajian ini menggunakan definisi yang oleh Bank Dunia yaitu: korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Definisi ini cukup luas sehingga dapat melibatkan tidak hanya para pejabat publik yang secara sah memperoleh kekuasaan monopoli atas penyelenggaraan pemerintahan, tapi juga menyangkut sektor swasta yang menyalahgunakan hak yang diperoleh untuk kepentingan khusus mereka. Namun definisi Bank Dunia tersebut berbeda dengan korupsi politik serta penyuapan yang terjadi antar sektor swasta. Kedua, kalaupun kita telah sepakat dengan definisi korupsi secara umum seperti di atas, upaya memperoleh informasi mengenai korupsi serta dampaknya terhadap perekonomian hampir mustahil. Ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, korupsi adalah praktek yang bersifat rahasia dan melanggar hukum; kedua, definisi korupsi sangat bervariasi di sektor publik. Di beberapa negara, memberikan hadiah kepada seorang pejabat publik merupakan suatu tindakan yang umum dan dapat diterima, sementara di negara-negara lainnya praktek ini dianggap sebagai korupsi. Masalah lainnya berhubungan dengan indikator atau ukuran-ukuran korupsi. Sebagaimana dipaparkan oleh Wei (1997), korupsi sulit untuk dikuantifikasi, namun “kita mengetahuinya pada saat kita melihatnya.” Setiap studi yang berusaha mengkuantifikasi besarnya suatu korupsi pada akhirnya harus bersandar pada ukuranukuran persepsi tentang korupsi (perception of corruption). Beberapa organisasi telah melakukan kajian yang mengukur persepsi tentang korupsi berdasarkan survey, dan menghasilkan berbagai indeks mengenai persepsi tersebut, antara lain: Business International Index (BII) Indeks ini diperoleh berdasarkan berbagai survey atas persepsi terhadap praktek korupsi yang dilakukan oleh para ahli dan konsultan di beberapa negara. BII memeringkat negara-negara dalam skala 1 sampai 10, menurut “derajat di mana
4
suatu transaksi bisnis melibatkan korupsi atau pembayaran yang mencurigakan”. Survey ini dihentikan pada tahun 1983. International Country Risk Guide Index (ICRG) Indeks ICRG diterbitkan setiap tahun oleh Political Risk Service, sebuah perusahaan risiko investasi swasta. Seperti BII, indeks ini juga didasarkan atas pendapat dan persepsi para ahli terhadap permintaan pejabat publik akan pembayaran khusus serta pembayaran tak resmi lainnya. Global Corruption Report Index (GCR) Indeks korupsi GCR diperoleh berdasarkan persepsi para manajer perusahaan atas praktek korupsi di suatu negara. Indeks untuk suatu negara tertentu adalah rata-rata dari seluruh peringkat menurut para responden dari negara tersebut. Transparency International Index (TI) Sejak 1995, Transparency International, sebuah lembaga swadaya masyarakat berkedudukan di Jerman, telah menghasilkan indeks korupsi, berdasarkan bobot rata-rata dari sekitar sepuluh survey yang mencakup berbagai bidang. Indeks ini memberi peringkat negara-negara dalam skala 1 sampai 10. Contoh dari indeks-indeks tersebut dapat dilihat dalam Tabel 1 berikut ini dan dalam Tabel 2 (pada Aneks 1). Selanjutnya, Gambar 1 menunjukkan perkembangan indeks korupsi di Indonesia sejak 15 tahun terakhir, menurut TI.
Tabel 1. Peringkat Korupsi untukBeberapa Negara BI
TI97
ICRG97
1 3 2.25 4.25 5 5.25 9.5 6.5 n.a 5.75 9.5 7 7
2.34 3.72 4.43 5.98 5.99 6.71 2.34 7.95 8.12 8.25 8.28 8.47 9.20
1.77 2.17 2.96 4.60 5.67 6.20 1.77 7.94 5.86 7.30 7.94 n.a n.a
Kanada 1 Inggris 1.75 Jerman 1.5 AS 1 Prancis 1 Meksiko 7.75 Kenya 6.5 Kolombia 6.5 Rusia n.a Nigeria 8 Sumber: Wei 1998
1.90 2.72 2.77 3.39 4.34 8.34 8.70 8.77 8.73 9.24
2.37 1.93 2.61 2.41 3.51 6.24 n.a 7.41 7.61 n.a
Asia Singapura Hong Kong Jepang Taiwan Malaysia Korea Selatan Thailand Filipina Cina India Indonesia Pakistan Bangladesh Non-Asia
5
Namun demikian, angka-angka yang terdapat sebelum 1996 mungkin tidak dapat secara langsung dibandingkan dengan angka-angka pada periode setelah 1996 yang dihasilkan oleh berbagai survey yang berbeda. Berbagai kajian empiris menunjukkan bahwa menerapkan indeks persepsi apapun pada dasarnya cukup kuat, karena memasukkan indeks tertentu dalam suatu persamaan korupsi tampaknya tidak menghasilkan suatu perubahan dalam skala estimasi indeks korupsi. Hal ini disebabkan oleh karena semua indeks persepsi atas korupsi saling berkait. Tetapi terdapat perbedaan yang signifikan ketika rasio indeks persepsi atas korupsi antara dua negara diperbandingkan secara langsung. Sebagai contoh, jika kita menerapkan indeks TI pada Indonesia dan Singapura, dan membandingkannya dengan rasio dari ICRG, kita akan menemukan bahwa indeks TI itu mempunyai perbedaan yang lebih besar dibanding
Indeks (0= Korupsi rendah)
Gambar 1 Indonesia: Indeks Persepsi Korupsi, 1988-2000 (Sumber: Transparency International)
6
Periode
dengan indeks ICRG. Indeks TI akan menghasilkan suatu perbedaan sebesar 5 angka sementara ICRG menghasilkan perbedaan sebesar sekitar 2-3 angka. Perbedaan tersebut tentunya akan mempengaruhi estimasi kita atas biaya ekonomi akibat korupsi di Indonesia. Tabel 1 dan 2 serta Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa praktek-praktek korupsi di Indonesia secara konsisten lebih tinggi daripada di negara-negara lainnya. Gambar 1 dan 2 jelas menunjukkan bahwa praktek-praktek tersebut cenderung meningkat selama kurun tertentu — terutama selama tahun 1990an — walaupun Indonesia telah mulai bergerak menuju kepada suatu negara yang lebih transparan (secara politik). Hal ini menyiratkan bahwa suatu perbaikan yang lumayan terhadap pengurangan korupsi akan menghasilkan dampak yang signifikan terhadap kinerja ekonomi. Pendekatan yang lazim dilakukan, untuk menghitung secara kuantitatif besarnya dampak korupsi terhadap indikator-indikator ekonomi seperti pertumbuhan, investasi
Indeks (0= tanpa Korupsi)
Gambar 2 Korupsi 1992-1999 (Sejumlah Negara: Indeks ICRG, skala 0-10)
7
ataupun indikator sosial lainnya, adalah suatu analisis ekonometrik berdasarkan runtun waktu (time series). Namun, sebagaimana diutarakan secara implisit di atas, masalah kelangkaan data merupakan kendala untuk menggunakan analisis ekonometrik tersebut. Cara lain untuk mengukur biaya ekonomi akibat korupsi adalah menggunakan berbagai hasil temuan yang diperoleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas praktek-praktek penyalahgunaan anggaran negara secara tidak sah. Hasil temuan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai suatu estimasi kasar atas biaya korupsi di Indonesia. Suatu angka anekdot menunjukkan bahwa sebesar 30 persen dari anggaran negara telah dikorupsi di Indonesia. Angka ini kemudian dapat digunakan untuk menghitung Incremental Capital Output Ratio (ICOR) untuk memperoleh estimasi atas biaya-biaya ekonomi dari praktek korupsi di Indonesia.
Parameter korupsi dapat digunakan untuk menilai dampak korupsi terhadap ekonomi makro.
Sebagai contoh, jika rasio investasi adalah sekitar 20 persen dari GDP dan ICOR-nya dapat diturunkan sebesar 30 persen lebih rendah, maka pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 5,7 persen dibandingkan dengan 4 persen yang terdapat dalam suatu lingkungan yang korup. Namun, pendekatan ini mempunyai keterbatasan yang serius. Pertama, angka bahwa 30 persen dari anggaran negara telah dikorupsi berasal dari anekdot dan sangat sulit untuk diverifikasi. Kedua, ICOR-nya sendiri merupakan indikator yang kurang tepat untuk mengukur efisiensi keseluruhan. Angka rasio tersebut cenderung meningkat dengan pertumbuhan dan diversifikasi ekonomi. Ketiga, praktek korupsi tidak saja mempengaruhi cara kita menangani kegiatan-kegiatan ekonomi, tetapi juga akan mempengaruhi keputusan para investor untuk memilih lokasi ataupun metode produksi. Oleh karenanya, praktek korupsi akan berdampak terhadap variabel ex ante.
8
Model pertumbuhan ekonomi baru (augmented growth model) yang dikembangkan oleh Barro (1985) merupakan alternatif pendekatan ketiga. Pendekatan ini dirintis oleh Mauro (1995) dan kemudian dikembangkan oleh Wei (1997) dan Rahman et. al. (2000). Secara umum, kerangka yang dikembangkan oleh Barro menghubungkan
suatu variable terikat (dependent variable) dengan dua variabel lainnya, yaitu: variabel-variabel pada tahap awal dan variabel kebijakan vektor yang dipilih oleh pemerintah dan/atau sektor swasta. Kami memerlukan pendekatan dua tahap untuk memperkirakan biaya dari korupsi di suatu negara. Pada tahap pertama, perlu dilakukan estimasi antar negara untuk melihat hubungan antara korupsi dan pertumbuhan, dan antara korupsi dan investasi. Persamaan pertumbuhan dan/atau persamaan investasi dapat diuraikan (lihat pada Aneks 2) untuk memperoleh beberapa parameter korupsi. Parameter korupsi tersebut dapat digunakan untuk menilai dampak korupsi terhadap ekonomi makro jika suatu negara dapat meningkatkan indeks persepsi korupsinya ke tingkat yang lebih baik. Perbedaan antara tingkat hipotetis dan tingkat aktual dapat mencerminkan biaya korupsi terhadap perekonomian. Keuntungan dari pendekatan ini adalah bahwa temuannya dapat digunakan lebih lanjut untuk menilai dampak korupsi terhadap, misalnya, kaum miskin. Dengan mempertimbangkan elastisitas pertumbuhan (growth elasticity) dari suatu indeks kemiskinan, dampak terhadap pertumbuhan perekonomian akibat praktek korupsi dan kondisi kemiskinan dengan mudah dapat diukur. Untuk kajian ini, kami menggunakan karya empiris dari Rahman et. al. (2000) untuk mendapatkan parameter korupsi. Karya tersebut bermanfaat bagi kajian kami karena dua hal. Pertama, persamaan lintas-bagian (cross section equation) dirumuskan dengan menggunakan data terkini, termasuk Indonesia sebagai salah satu sampel. Menghitung kembali suatu persamaan pertumbuhan lintas-bagian yang baru tidak akan memberikan perbaikan yang signifikan pada kajian kita. Kedua, dibanding karya Mauro sebelumnya, persamaan lintas-bagian yang dihasilkan Rahman et. al. (2000) lebih dapat diandalkan. Persamaan yang mereka hasilkan telah diperbaiki dan diperkaya dengan memasukkan beberapa kombinasi variabel, yang kemudian dapat menjelaskan perbedaan yang terjadi dalam pertumbuhan perekonomian antar negara. Mereka juga berusaha untuk melakukan perkiraan dengan regresi menggunakan berbagai teknik
9
baru ekonometri. Mereka tidak saja menggunakan teknik “standard ordinary least square”, tapi juga metode lainnya seperti teknik “instrumental variable”. Rahman et. al. juga menerapkan indeks korupsi dari ICRG, sehingga mempermudah kita dalam melakukan pembandingan dengan data terbaru. Model yang dikembangkan Rahman et. al. juga telah diperluas dengan regional dummy variables dalam upaya memperhitungkan berbagai pengaruh wilayah yang bersifat kontekstual (yaitu the intercept heterogeneity in the regional context). Strategi tersebut selanjutnya diharapkan dapat mengurangi bias yang dapat terjadi karena perbedaan yang timbul karena unsur wilayah. Hasil dari regresi pertumbuhan atau investasi untuk berbagai spesifikasi
Tabel 4: Dampak Korupsi pada Pertumbuhan PNB (Produk Nasional Bruto) per Kapita, 1990-1997 Variabel Dependen
Variabel Dependen: Angka Pertumbuhan rata-rata per tahun, 1990-97 Base model Model 1 Model 2 Model 3 Model 4
Log PNBperkapita,1985 Pendaftaran masuk sekolah (kotor) angka 1985, Rasio murid/guru di sekolah menengah,1985 Rasio penanaman modal domestik bruto dan PDB, rata-rata, 1990-97 Nilai Indeks Korupsi ICRG, rata-rata untuk 1991-97 Konsumsi pemerintah sebagai % dari PDB, rata-rata, 1990-97 Angka rata-rata pertumbuhan penduduk, 1990-97 Asia Tenggara
10
-0.48 -0.96 5.33** -2.29 -0.03 -1.36 -0.14**
-1.31** -2.73 3.58** -2.12 -0.08** -2.67 -0.15** -0.66** -1.93
3.23** -3.96
4.25** -5.94
-1.14** -2.23 2.76 -1.56 -0.07* -1.9 -0.16** -2.71 -0.63** -2.19
2.35** -2.73
-1.08** -2.17 2.76 -1.58 -0.07** -1.88 -0.15** -2.83 -0.56** -2.07
2.12** -2.48
Model 5
-0.88* -1.76 2.38 -1.41 -0.07* -1.85
-1.11** -2.26 2.39 -1.44 -0.06* -1.78
-3.02 -0.61** -2.25 -0.08** -2.04
-2.89 -0.51** -1.82
1.62** -1.99
-0.31 -1.27 2.04** -2.41
Variabel Dependen
Variabel Dependen: Angka Pertumbuhan rata-rata per tahun, 1990-97 Base model Model 1 Model 2 Model 3 Model 4
Amerika Latin Timur Tengah & Afrika Utara Asia Selatan Konstan Adjusted R2 # of observations
0.90* -1.67 0.63 -0.98 2.10** -3.1 3.67** -0.98 0.23 90
1.78** -2.84 1.14* -1.67 2.02** -2.3 8.65** -2.32 0.31 79
1.51** -2.66 0.43 -0.67 2.02** -2.78 4.76 -1.09 0.42 78
Model 5
1.35** -2.43
0.94* -1.56
1.27** -2.29
1.91** -2.78 4.44 -1.03 0.42 78
1.59** -2.37 4.09 -0.95 0.44 78
1.69** -2.35 5.55 -1.23 0.43 78
Catatan: Angka-angka dalam tanda kurung adalah heteroskedasticity consistent white standard error based t-statitics. **Signifikan pada level 10 % ; *Signifikan pada level 5 %. Tepatnya, indeks ini signifikan pada level 5.8%
disajikan dalam Tabel 4-5. Kedua tabel tersebut menunjukkan bahwa tanda koefisien untuk variabel korupsi adalah positif sebagaimana diharapkan, dan secara marjinal bersifat signifikan pada tingkat kepercayaan 5 persen, dengan mempertimbangkan kondisi awal suatu negara maupun ciri-ciri geografi, demografi dan politik. Interpretasi atas hasil-hasil ekonometri akan dibahas secara rinci dalam bagian berikut.
Pengaruh Korupsi Terhadap Investasi Dalam Negeri Beberapa hipotesis bahwa korupsi akan mengurangi tingkat penanaman modal dapat diajukan sebagai berikut. Pertama, korupsi akan secara langsung menambah biaya-biaya transaksi dan penanaman modal. Menggelembungnya biaya-biaya suatu proyek sudah dimulai sebelum proyek itu mulai dibangun. Para penanam modal sudah harus membayar uang untuk memperoleh ijin investasi. 1 Setelah proyek mulai beroperasi, para produsen masih harus membayar berbagai ongkos, termasuk uang
11
Berapa Besar Suap yang Harus Dibayar suatu Perusahaan? Pertanyaan ini sulit dijawab karena langkanya informasi yang faktual. Ada berbagai sumber informasi yang potensial tentang pembayaran tidak sah yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di suatu negara tertentu. Sumber yang terpenting adalah survey industri tahunan negara tersebut. Survey semacam ini biasanya meminta gambaran terperinci dari biaya-biaya yang dibayar suatu perusahaan untuk tenaga kerja, energi, pajak dan biaya-biaya lain. Pembayaran tidak sah yang dilakukan perusahaan tertentu tampak dalam survey tahunan Indonesia sudah dimasukkan ke dalam biaya-biaya lain, termasuk biaya bunga, hadiah, royalti, biaya manajemen, biaya iklan dan promosi, biaya perjalanan, biaya penelitian dan pengembangan, biaya pelatihan, biaya-biaya representasi dan lainlain biaya. Kami menduga bahwa perusahaan Indonesia membukukan pembayaran-pemba- yaran tidak sah sebagai biaya hadiah atau biaya “lain”. Sungguh disayangkan bahwa sejak 1998 Biro Pusat Statistik tidak lagi mengeluarkan informasi tentang biaya “lain” yang diperinci. Semua biaya-biaya tersebut digabungkan ke dalam data biaya lain. Klasifikasi semacam ini tidak memungkinkan kami menilai berapa besar pembayaran tidak sah yang telah dikeluarkan oleh perusahaan. Kelemahan lain dari data survey industri adalah bahwa ia hanya menyangkut perusahaan-perusahaan manufaktur ukuran besar dan menengah. Sebenarnya ada juga sumber informasi lain yang dapat digunakan untuk menaksir besarnya pembayaran-pembayaran tidak sah tersebut, yaitu Survey Bank Dunia di tahun 1997 tentang daya saing. Dari survey tersebut, kita dapat menghitung secara lebih aku- rat berapa besar pembayaran tidak sah yang dilakukan oleh perusahaan di negara- negara tertentu. Sayang sekali bahwa Indonesia -walaupun telah masuk klasifikasi sebagai negara korupsi tinggi -tidak termasuk dalam survey tersebut.
12
Dalam batasan-batasan tersebut, survey industri tahun 1997 menunjukkan bahwa secara rata-rata perusahaan-perusahaan di sektor manufaktur membayar sekitar 5%- 25% dari total produksi mereka untuk biaya-biaya “lain” -termasuk pembayaran tidak sah.
suap. Survey industri terakhir menunjukkan bahwa biaya-biaya yang harus dikeluarkan mencapai 5-20% dari produksi sektor manufaktur menengah dan besar (Kotak 1). Angka-angka tersebut sebenarnya berjumlah lebih besar karena banyak sekali pembayaran yang melanggar hukum dianggap sudah termasuk dalam biaya-biaya transportasi. 2 Suatu penelitian yang baru dilakukan oleh Kuncoro (2000) menunjukkan bahwa biaya-biaya suap sangat mempengaruhi keputusan yang dibuat para investor pada saat memilih lokasi untuk penanaman modalnya. Kenyataan ini berlaku bagi setiap subsektor di dalam sektor manufaktur. Ia juga menciptakan ketidakpastian tentang arus pendapatan dan pengeluaran, suatu hal yang mempersulit para calon investor menghitung secara pasti nilai riil (net present value) suatu proyek. Dengan bertambahnya ketidakpastian, seorang investor akan menolak menanam modalnya walaupun ia tahu bahwa proyeknya akan menguntungkan. Akhirnya, korupsi juga memerosotkan mutu prasarana fisik, yang tentunya akan mempengaruhi lingkungan usaha di negeri tersebut (Tanzi & Davoodi, 1997). Sebagaimana telah disebut, agar dapat menggambarkan dampak praktek korupsi di Indonesia, kita telah menggunakan hasil karya empiris dari Rahman et. al. (2000). Ia menunjukkan bahwa perbaikan satu unit saja atas indeks korupsi ICRG akan meningkatkan rasio investasi sampai 1.63-1.97 unit persentase (point percentage) (tergantung pada spesifikasi model investasi yang digunakan). Dengan demikian, pada akhir Aneks 3 kami sajikan dampak rasio investasi seandainya kita dapat mencapai beberapa tingkatan persepsi tentang korupsi di beberapa negara perbandingan. Di sini kita telah memilih Malaysia, Cili, dan Korea sebagai negara perbandingan. Misalnya, bila kita dapat mencapai tingkat korupsi Malaysia — yang berarti suatu peningkatan 1.27 poin dalam indeks korupsi — maka rasio investasi kita akan menjadi 2.1-2.5 unit persentase lebih tinggi dari tingkat dewasa ini. Begitu pula, seandainya kita dapat mencapai tingkat korupsi Korea, maka rasio penanaman modal kita diperkirakan mencapai rata-rata 34% dari Produk Domestik Bruto (PDB) di sepanjang 1990-1997 atau sekitar 4% lebih tinggi ketimbang tingkat sekarang. Ini berarti bahwa laju pertumbuhan kita akan menjadi 1 unit persentase lebih tinggi dari yang telah kita capai dalam periode yang sama.3
13
Perhitungan tersebut juga sesuai dengan satu studi lain yang dilakukan oleh DRI (2001) yang menunjukkan probabilitas kehilangan investasi di Indonesia sebesar 60% sebagai akibat dari praktek korupsi (lihat akhir Aneks 4). Menurut studi tersebut Indonesia adalah kasus terburuk di Asia Timur, dan sedikit lebih baik dari Myanmar dan Rusia.
Korupsi, PMA dan Komposisi Arus Masuk Modal Korupsi berdampak buruk bagi penanaman modal asing langsung (foreign direct investors, atau FDI) dan kreditur internasional. Negara-negara debitur yang korup lebih besar kemungkinannya akan berhenti membayar utang, atau menasionalisasi aset-aset FDI. Ada banyak studi yang menunjukkan dampak negatif dari korupsi pada PMA. Pertama-tama, Rahman et. al. (2000) yang menunjukkan bahwa dampak korupsi pada penanam modal asing secara statistik cukup besar. Peningkatan satu unit saja dalam indeks persepsi korupsi akan menghasilkan penurunan 1 unit persentase dalam rasio antara investasi modal asing dan PDB. Berdasarkan perhitungan itu, Indonesia seharusnya dapat mencatat rasio antara investasi modal asing dan PDB sebesar 1.27 unit persentase seandainya kita sanggup memperbaiki indeks persepsi korupsi kita mencapai tingkat Malaysia. Wei (1997) menemukan bahwa titik estimasi (point estimate) penanaman modal asing langsung (PMA) atas korupsi dan tarif pajak marjinal adalah masing-masing -0.09 dan -1.92. Dengan cara menggunakan sekali lagi titik estimasi tersebut dan indeks BII dalam Tabel 1, kita menyaksikan bahwa seandainya Indonesia berhasil menurunkan tingkat korupsinya sampai ke tingkat Singapura, pengaruhnya pada daya tarik penanaman modal asing adalah sama dengan penurunan tarif pajak perseroan sebesar 40 unit persentase. Dengan kata lain, dan asumsi ceteris paribus, ini berarti bahwa Indonesia harus memberi subsidi sebesar 10% guna menarik PMA setingkat dengan rasio investasi PMA di Singapura.
14
Suatu studi baru lain (Wei, 2000) juga menemukan bahwa dampak korupsi yang menghambat arus masuk PMA tidak hanya besar dalam arti statistik, tapi juga pada ekonomi. Peningkatan satu langkah saja dalam indeks korupsi Transparency International
(TI) mengakibatkan penurunan 20% dalam arus masuk PMA. Bila Indonesia berhasil menurunkan indeks persepsi korupsinya (indeks TI pada tahun 1998 adalah 8) sampai ke tingkat indeks persepsi korupsi Singapura (nilai indeks TI 0.9) atau sampai ke tingkat Malaysia (indeks TI 5.3), PMA di Indonesia akan dapat meningkat sebesar 310% (bila sama dengan indeks TI Singapura) dan 71% (bila sama dengan Malaysia). Yang menarik adalah bahwa penelitian tersebut menunjukkan bahwa korupsi juga akan mengubah komposisi arus masuk modal. Penanaman modal langsung terdiri atas modal tunai dan modal yang diperoleh dalam bentuk kredit dari kreditur. Negara dengan tingkat korupsi yang tinggi menunjukkan arus masuk modal asing tunai lebih kecil ketimbang modal utang. Tabel Negara debitur yang korup 10 menunjukkan bahwa Selandia Baru dan Singapura (yang lebih besar kemungkinannya dianggap sebagai negara-negara yang tingkat korupsinya rendah) menunjukkan modal utang yang relatif rendah berhenti membayar utang, dibandingkan dengan modal tunai. Di lain pihak, Indonesia atau menasionalisasi dan Thailand — yang dianggap sebagai negara dengan aset-aset FDI tingkat korupsi tinggi — mempunyai komposisi utang dalam modal masuknya yang relatif tinggi dibanding dengan modal tunai. Ada dua penjelasan ekonomi atas gejala tersebut (Wei, 2000). Pertama, modal tunai yang sudah tertanam lebih mudah digerogoti oleh pejabat yang korup daripada utang dari kreditur luar negeri. Ditinjau dari segi penguasaan lapangan, penanam modal langsung biasanya mempunyai posisi yang lebih menguntungkan dibanding dengan penanam modal melalui pasar modal. Mereka menempatkan orang-orangnya dalam posisi manajemen dan mengumpulkan informasi tentang perekonomian negara tuan rumah. Akan tetapi, keuntungan itu menipis di negara-negara yang korup. Semakin sering penanam modal asing berhubungan dengan birokrasi lokal, semakin meningkat pula pemaksaan dan pemerasan mereka agar membayar uang sogok. Penanam modal langsung jelas berinteraksi lebih banyak dengan birokrasi lokal daripada penanam modal portofolio (melalui pasar modal). Lagi pula, penanaman modal langsung menyangkut
15
biaya yang tidak tertebus (sunk costs) lebih besar daripada pinjaman dari bank. Begitu modal tunai tertanam, maka para pejabat yang korup mulai mengeroyok proyek PMA dengan permintaan uang suap dan sumbangan paksa. Jelaslah bahwa penanam modal langsung mempunyai posisi tawar-menawar terhadap birokrasi lokal yang lebih lemah dari posisi penanam modal portofolio atau penanam modal utang. Jelas pulalah bahwa korupsi berdampak lebih parah pada penanaman modal langsung ketimbang bentuk lain dari arus masuk modal. Alasan lain adalah bahwa arsitektur pendanaan internasional dewasa ini lebih cenderung terjangkit perilaku tidak jujur (moral hazard behavior) dalam arus masuk modal portofolio dan modal utang daripada penanaman modal langsung. Gejala ini tampak baik pada krisis keuangan Meksiko maupun Asia ketika masyarakat internasional memobilisasi sejumlah besar dana masuk ke negara-negara tersebut. Maksudnya adalah guna mencegah, atau paling tidak memperkecil gagal bayar sistemik yang amat masif atas utang-utang bank. Contoh konkretnya adalah kasus Peregrine — sebuah perusahaan penanaman modal portofolio internasional yang berkedudukan di Hong Kong. Peregrine mengalirkan modal besar ke dalam Steady Safe, perusahaan Indonesia yang mempunyai reputasi buruk, tanpa evaluasi ataupun pengawasan yang wajar, hanya karena Komisaris Utama Steady Safe adalah Siti Hardiyanti Rukmana, anak Presiden Suharto. Kasus ini menjelaskan mengapa arus modal masih saja masuk ke negara tertentu walaupun dikenal bereputasi buruk dan marak korupsi. Penanaman modal langsung tidak diberi pertolongan ataupun perlindungan sebagaimana diberikan kepada modal utang. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa kita harus khawatir akan komposisi tertentu dari arus modal? Komposisi arus masuk modal merupakan penjelasan yang penting akan adanya kapitalisme “kroni” dan tanggung jawabnya atas terjadinya atau parahnya krisis ekonomi di negara tertentu (Wei, 2000). Beberapa penelitian seperti yang dilakukan
16
oleh Frankel & Rose (1996), Raveled & Sachs (1998), dan Rodrik & Velasco (1999) menunjukkan korelasi antara terjadinya krisis mata uang dan komposisi arus masuk modal internasional. Khususnya, semakin rendah bagian penanaman modal langsung dalam arus masuk modal, atau semakin tingginya rasio antara utang jangka pendek dan modal cadangan, semakin besar pula kemungkinan negara tersebut mengalami krisis moneter.
Pengaruh Korupsi Pertumbuhan Ekonomi Apabila penanaman modal dalam dan luar negeri sangat terhambat oleh korupsi yang merajalela, maka masuk akal bila hal tersebut juga menurunkan pertumbuhan ekonomi. Menurut karya ekonometrik Rahman et. al., maka poin estimasi korupsi atas pertumbuhan ekonomi adalah 0.51-0.66. Artinya, peningkatan satu unit saja dalam indeks persepsi korupsi suatu negara akan mengakibatkan, ceteris paribus, suatu kenaikan 0.51 sampai 0.66 unit persentase dalam pertumbuhan PNB (gross national product) per kapita. Penerapan parameter estimasi ini pada negara perbandingan seperti Malaysia atau Korea akan menghasilkan angka pertumbuhan PDB di sepanjang 1990-1997 lebih tinggi sebanyak 0.83 unit persentase atau 1.20 unit persentase bila tingkat korupsi Indonesia disesuaikan pada tingkat korupsi di negara-negara tersebut. Angka rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam periode yang sama adalah 6.4%. Dengan demikian, pendapatan per kapita pada tahun 1997 sebenarnya dapat mencapai angka 6% atau 8% lebih tinggi bila tingkat korupsi berhasil disamakan dengan tingkat korupsi Malaysia atau Korea. Yang menarik adalah (lihat Tabel 3 kolom 2) bahwa peningkatan satu unit dalam indeks persepsi korupsi adalah sama dengan peningkatan seperempat unit persentase dalam angka kotor pendaftaran masuk sekolah. Mengapa korupsi dapat mengakibatkan kerugian yang begitu besar pada perekonomian Indonesia? Ada beberapa penjelasan pokok yang menerangkan hal tersebut. Pertama, sebagaimana telah disebut, hilangnya kesempatan penanaman modal di dalam negeri telah mengakibatkan kemerosotan angka pertumbuhan per kapita sebesar kira-kira satu unit persentase. Dalam beberapa hal telah terjadi penurunan jumlah penanaman modal langsung yang disebabkan oleh praktek-praktek korupsi.
17
Kedua, kadang kala juga terjadi bahwa investor yang “avonturir” mengusir investor yang baik (bad investors drive good investor out phenomenon) . Menurut teori pertumbuhan baru (new growth theory), hal ini akan mengurangi pengaruh dari peningkatan perubahan dalam total produktifitas faktor-faktor produksi (kombinasi modal, tenaga kerja, teknologi dalam kegiatan produksi di sektor riil) (total factor productivity effect) di Indonesia, yang pada gilirannya akan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi per kapita jangka panjang.
18
Ketiga, korupsi dapat juga menurunkan mutu prasarana fisik, yang kemudian dapat menaikkan biaya-biaya transaksi dan mengurangi daya saing sektor swasta di pasaran dunia. Penelitian Tanzi & Davoodi (1997) menunjukkan hal ini pada lima macam infrastruktur (jalan raya, giliran mati lampu, gangguan Korupsi cenderung telekomunikasi, kebocoran dalam penyediaan air bersih, dan penggunaan disel dalam perkereta-apian). Negara yang mengurangi pengeluaran di marak korupsi biasanya mempunyai infrastruktur yang buruk. bidang sosial, termasuk Temuan penting dalam studi ini adalah bahwa kemerosotan mutu prasarana fisik berlangsung melalui investasi publik untuk kesehatan dan yang dilakukan oleh pemerintah. Ada banyak cara pendidikan. penggerogotan proyek investasi publik. Pertama, bila persetujuan atas proyek-proyek prasarana publik harus diperoleh dari pejabat-pejabat tinggi yang korup, maka seluruh proses pengambilan keputusan menjadi rusak. Para pejabat terkait akan memilih perusahaan pelaksana tidak atas dasar kemampuan, pengalaman, dan harga, melainkan berdasarkan kemampuan membayar uang suap dan uang hangus. Proyek-proyek dipilih atas dasar kapasitas suap, bukan berdasarkan potensi produktivitasnya. Ada kaitan positif antara korupsi dan rasio investasi publik. Makin besar investasi, kian besar pula jumlah manipulasi yang dilakukan oleh para pejabat yang korup. Hal ini biasa dipraktekkan di Indonesia. Dua pakar ekonomi terkemuka Indonesia, Dr. Soemitro Djojohadikusumo dan Dr. Emil Salim4 menyatakan bahwa di Indonesia terjadi pendongkrakan harga paling sedikit sebesar 30% dari pengeluaran investasi pemerintah.5 Kedua, penelitian Tanzi & Davoodi juga menunjukkan bahwa negara korupsi tinggi biasanya mempunyai pengeluaran operasional dan
pemeliharaan yang jumlahnya rendah. Hal ini menurunkan produktivitas pengeluaran publik dan mengakibatkan kemerosotan mutu infrastruktur. Keempat, studi lain oleh Mauro (1997) juga menunjukkan bahwa korupsi cenderung mengurangi pengeluaran di bidang sosial, termasuk pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan.6 Penurunan anggaran untuk dua pos anggaran ini pada gilirannya akan membatasi pertumbuhan potensial terutama dalam peningkatan produktivitas. Menurut teori pertumbuhan baru, dan pengalaman negara industri maupun negara industri baru, mutu modal manusia (human capital) memainkan peran penting tidak hanya dalam proses pertumbuhan, melainkan juga dalam mengurangi ketimpangan pendapatan (Birdsall, 2000). Praktek ini juga berlangsung di Indonesia di mana pengeluaran untuk bidang sosial lebih kecil dibanding pengeluaran rata-rata untuk pos serupa di negara industri maupun negara yang baru memasuki tahap industrial. Kelima, Johnson, Kaufmann, dan Zoido-Lobaton (1998) juga menunjukkan bahwa korupsi mengurangi potensi pemasukan dari pajak, terutama karena pertumbuhan kegiatan sektor ekonomi informal. Beban pungutan yang terlalu besar dan praktek jualbeli kewenangan jabatan di lingkungan perekonomian formal mendorong perusahaanperusahaan cenderung pindah ke sektor informal dan membayar pajak lebih sedikit. Merosotnya pendapatan pajak berkaitan dengan pengurangan pemberian jasa publik yang penting seperti penegakan hukum, pendapatan rendah bagi pejabat pemerintah. Hal ini memperbesar lingkungan sektor ekonomi informal, dan menambah insentif untuk korupsi. Gejala ini dibuktikan oleh studi yang dilakukan Van Rijckeghem & Weder (1997) yang menunjukkan hubungan negatif dalam rasio antara insentif publik maupun pribadi dan korupsi. Secara singkat, studi ini telah menunjukkan bahwa praktek korupsi telah mengakibatkan perbedaan antara laju pertumbuhan ekonomi aktual dan potensial di Indonesia sebesar 0.81 hingga 1.2 unit persentase. Biaya korupsi cenderung membesar karena dampak lipat-ganda dan kemerosotan prestasi Indonesia dalam menindak praktekpraktek korupsi.
19
Dampak Terhadap Kemiskinan Korupsi juga berdampak pada kaum miskin, dan kemiskinan dapat menjadi lebih sulit dibasmi karena beban korupsi. Hal ini terjadi karena orang miskin tidak punya uang untuk menyogok pejabat pemerintah. Lagi pula akses mereka pada arena politik hampir tidak ada. Rose-Ackerman (1998) secara khusus menyebut beberapa hal yang menunjukkan dampak buruk korupsi terhadap kaum miskin:
• membuat mereka cenderung menerima pelayanan sosial lebih sedikit; • investasi dalam prasarana cenderung mengabaikan proyek-proyek yang menolong kaum miskin;
• orang yang miskin dapat terkena pajak yang regresif;7 • kaum miskin menghadapi kendala dalam menjual hasil pertanian mereka akibat tingginya biaya pemasaran, terutama yang berhubungan dengan pungutan baik legal maupun tidak legal;
• menurunnya kemampuan untuk melepaskan diri dari kemelaratan akibat transmisi kemiskinan antar generasi yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk meningkatkan kapasitas untuk bersaing (tingkat pendidikan rendah atau nutrisi yang rendah atau keterpaksaan untuk menerima pekerjaan yang menghasilkan pendapatan yang rendah). Sekali lagi, dampak tersebut sangat kentara dalam kasus Indonesia. Banyak pengeluaran Indonesia yang cenderung anti-kaum miskin. Sebagai contoh, subsidi yang semula dimaksudkan untuk pemerataan pendapatan kepada kaum miskin terbukti menguntungkan mereka yang berada. Subsidi bahan bakar minyak (BBM), misalnya, 70%-90% dinikmati oleh orang kaya yang pada gilirannya menyebabkan porsi pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan ekonomi yang didominasi kelompok orang miskin menjadi berkurang.
20
Dampak korupsi terhadap kaum miskin dapat dihitung sebagai berikut. Sebagaimana telah dijelaskan, bila kita asumsikan elastisitas indeks kemiskinan terhadap
pertumbuhan ekonomi sebesar 1.53 untuk daerah pedesaan, dan 0.53 untuk wilayah perkotaan,8 maka tambahan peningkatan dalam pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto atau Gross Domestic Product) per kapita atau senilai 2.41 unit persentase (0.81% +1.61% dari pertumbuhan penduduk) dalam pertumbuhan PDB, dapat mengurangi kemiskinan dalam satu tahun sebesar 3.7% di daerah pertanian, dan 1.3% di perkotaan.
Ke Mana Uang Korupsi Dilarikan? Kalau kebocorannya begitu dahsyat, ke manakah dilarikannya uang hasil korupsi? Uang hasil curian itu bisa dilarikan ke luar negeri (pelarian modal), atau berputar di Indonesia melalui sektor perbankan, dan dapat juga digunakan untuk mendanai kegiatan korupsi yang lain. Suatu perkiraan kasar menunjukkan bahwa sekitar US$ 45-70 miliar telah dilarikan ke luar negeri.9 Seandainya sebagian dari dana tersebut digunakan di dalam negeri secara efisien, maka hal itu dapat menambah laju pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kesimpulan Laporan ini menunjukkan bahwa biaya ekonomi dari korupsi di Indonesia adalah sangat tinggi. Biaya tinggi ini tidak hanya mengurangi potensi pertumbuhan ekonomi, tapi juga menghambat pengurangan kemiskinan, dan mengakibatkan peningkatan dalam ketimpangan distribusi pendapatan. Perkiraan kami menunjukkan bahwa pendapatan per kapita Indonesia dapat meningkat 1.5 kali lebih tinggi dari nilainya sekarang bila kita mampu mengurangi tingkat korupsi sampai ke tingkat korupsi Malaysia. Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa ada banyak kerusakan yang diakibatkan korupsi terhadap perekonomian Indonesia, yaitu:
• Menurunkan tingkat investasi modal dalam negeri maupun asing (Mauro, 1997, dan Wei, 1997). Kita akan dapat mencapai suatu rasio investasi sebesar 2 unit persentase bila kita mampu menekan tingkat korupsi kita hingga mencapai tingkat korupsi di Malaysia.
21
• Distorsi pada pengeluaran dan investasi publik serta kemerosotan mutu infrastruktur fisik (Tanzi & Davoodi, 1997). Korupsi di sektor publik tidak hanya menggelembungkan biaya pemberian manfaat dan jasa publik, melainkan juga mengurangi mutu manfaat dan jasa tersebut.
• Mengurangi pemasukan negara dan penyelenggaraan negara hukum sebagai manfaat publik (Johnson, Kaufmann, dan Zoido-Lobadon, 1999).
• Merugikan kaum miskin (Rose-Ackermann, 1997). Sejumlah penelitian tentang kemiskinan di Indonesia — misalnya Warr (2000) — telah menunjukkan betapa pentingnya pertumbuhan ekonomi bagi pengurangan kemiskinan. Kemerosotan dalam pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh peningkatan dalam praktek korupsi jelas akan merugikan kaum miskin, terutama selama periode krisis. Kemudian, sebagai tambahan berdasarkan asumsi yang masih harus disempurnakan, kami telah menunjukkan bahwa biaya yang diakibatkan oleh penundaan perlawanan terhadap korupsi juga sangat tinggi dan cenderung berlipat-ganda. Oleh karena itu, adalah sangat mendesak dan penting bagi pemerintah untuk mengambil tindakan konkret dan masif terhadap korupsi bila pemerintah memang berkeinginan membangun dasar yang lebih kokoh bagi kelanjutan pembangunan ekonomi.
Catatan * Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Vikram Nehru atas masukan yang berharga. Namun penulis bertanggung jawab sepenuhnya atas isi tulisan ini. Studi LPEM (1994) menemukan bahwa walaupun pemerintah sudah menghapus semua biaya untuk memperoleh izin penanaman modal, para investor masih tetap harus membayar Rp 5-30 juta untuk setiap izin. 1
Sebagai contoh, harian Kompas menemukan bahwa para eksportir tekstil dan pakaian jadi harus mengeluarkan Rp 125.000-Rp 200.000,- untuk setiap kontener yang diangkut dari pabrik ke pelabuhan. Mereka juga harus mengeluarkan biaya besar untuk mengeluarkan dokumendokumen pabean. 2
22
Secara teoretis penurunan dalam tingkat korupsi tidak hanya meningkatkan rasio investasi, akan tetapi juga meningkatkan efisiensi penanaman modal. Dengan demikian, tingkat ICOR akan menurun bila kita mampu mengurangi praktek-praktek korupsi sehingga dapat mencapai laju pertumbuhan yang lebih tinggi. 3
Angka-angka anekdotal yang mereka sebut pada beberapa kesempatan ini telah dianggap sebagai pengetahuan umum dan biasa digunakan sebagai referensi. 4
Sudah merupakan kebiasaan bagi lembaga riset untuk mengembalikan 20% sampai 30% dari anggaran riset mereka kepada pejabat pemerintah agar mereka dimenangkan dalam tender. Beberapa lembaga riset bahkan “mendatangi” kantor anggaran untuk melancarkan pengeluaran dana. 5
Dalam pos pengeluaran tersebut memang tidak terlalu banyak kesempatan untuk penyalahgunaan kewenangan jabatan atau jual beli lisensi istimewa 6
Pengertian pajak yang regresif di sini adalah walaupun secara absolut beban orang miskin terhadap korupsi bisa lebih kecil dibanding dengan kelompok rumah tangga mampu tetapi dilihat dari persentase terhadap total pendapatan, semakin rendah tingkat pendapatan semakin tinggi pula rasio beban korupsi terhadap pendapatan rumah tangga. 7
Peter Warr, “Poverty Reduction and Economic Growth: Asian Experience”, makalah yang disampaikan pada “Asia and Pacific Forum on Poverty” atas undangan Asian Development Bank, Februari 2001. 8
Ikhsan (1989) menunjukkan bahwa sebesar US$ 12-20 miliar dilarikan dari Indonesia ke luar negeri di sepanjang 1970-1987. Ia menduga bahwa uang tersebut merupakan hasil korupsi. Baru-baru ini ia telah membarui perhitungan tersebut dan menemukan bahwa pelarian modal telah meningkat menjadi US$ 45-70 miliar dalam periode 1970-1999. 9
Kepustakaan Andvig, J.C, 1991, “ The Economics of Corruption: A Survey.” Studi Economici. 57-94. Bardhan, Pranab 1997, “Corruption and Development: A Review of Issues”, Journal of Economic Literature, Vol. XXXV (September): 1320-1346.
23
Elliot, Kimberly Ann, ed. 1997, Corruption and The Global Economy, Washington, DC: Institute for International Economics. Gray, Cheryl W., dan Daniel Kaufmann, “Corruption and Development,” Finance and Development, Maret 1998, h. 7-10. Gupta, Sanjeev, Hamid Davoodi, dan Rosa Alonso-Terme, 1998, “Does Corruption Affect Income Inequality and Poverty?” , IMF Working Papers, Mei. Ikhsan, Mohamad, 1989, “Pelarian Modal dari Indonesia: Estimasi dan Penyebabnya”, Ekonomi Keuangan Indonesia, XXXVII, 1, Maret. Kaufmann, Daniel, 1997b, “Corruption: Some Myths and Facts,” Versi awalnya diterbitkan dalam Foreign Policy, Summer 1997, h. 114-131. Kaufmann, Daniel, Shang-Jin Wei, 1998, “Does ‘Grease Payment’ Speed Up the Wheels of Commerce?” World Bank dan Harvard University, tak diterbitkan. Klitgaard, Robert, 1990, Tropical Gangsters, New York: Basic Books. Krueger, Anne O., 1974, “Economic Development Through Bureaucratic Corruption,” The American Behavior Scientist, November, 8 (2): 8-14. Kuncoro, Ari, 2000, “Decentralisation, Corruption and Economc Growth”, makalah pada ABCDE 2000, Bank Dunia, Washington. D. C. Leff, N. H. 1964, “Economic Development through Bureaucratic Corruption.” The American Behavioral Science, 8: 8-14. Mauro, Paolo, 1995, “Corruption and Growth,” Quarterly Journal of Economics, 110: 681-712. Mauro, Paolo, 1997, “The Effects of Corruption on Growth, Investment and Government Expenditure: A Cross-Country Analysis,” dalam Elliott (1997). Rahman, A, G. Kisunko, dan K. Kapoor, 2000, “Estimating the Effects of Corruption: Implication for Bangladesh”, World Bank Working Paper, Bank Dunia, Washington. D.C.
24
Rose-Ackerman, Susan, 1975, “The Economics of Corruption,” Journal of Public Economics, 5617, Juni. Rose-Ackerman, Susan, 1978, Corruption: A Study in Political Economy, New York: Academic Press.
Rose-Ackerman, Susan, 1998a, “Bribes and Gifts,” dalam Avner Ben-Ner dan Louis Putterman, eds., Economics, Values, and Organization, Cambridge University Press. Rose-Ackerman, Susan, 1998b. “Corruption and Development,” dalam Boris Pleskovi dan Stiglitz, Joseph eds., Annual World Bank Conference on Development Economics-1997, Washington, DC: The World Bank. Shleifer, Andrei dan Robert W. Vishny, 1993, “Corruption,” Quarterly Journal of Economics, 108: 599-617. Shleifer, Andrei dan Robert W. Vishny, 1994, “Politicians and Firms,” Quarterly Journal of Economics, November. Tanzi, Vito, 1995, “Corruption, Arm’s Length Relationships and Markets,” dalam The Economics of Organized Crimes, diedit oleh Gianluca Fiorentini dan Sam Peltzman, Cambridge: Cambridge University Press, h. 161-180. Tanzi, Vito, 1998, “Corruption Around the World: Causes, Consequences, Scope and Cures,” IMF Working Paper, Washington: International Monetary Fund. Tanzi, Vito, dan Hamid Davoodi, 1997, “Corruption, Public Investment, and Growth,” IMF Working Paper 97/139, Washington: International Monetary Fund. Van Rijckeghem, Caroline, dan Beatrice Weder, 1997, “Corruption and Rate of Temptation: Do Low Wages in Civil Service Cause Corruption?” IMF Working Paper 97/73, International Monetary Fund, Washington, DC. Van Roy, Edward, 1970, “On the Theory of Corruption,” Economic Development and Cultural Change, 19:1. Wei, Shang-Jin, 199-, “Does Corruption Relieve Foreign Investors of the Burden of Taxes and Capital Controls?” Development Research Group, Bank Dunia, Washington, DC. Wei, Shang-Jin, 1998, “Corruption in Economic Development: Beneficial Grease, Minor Annoyance, or Major Obstacle?”, Harvard University dan National Bureau of Economic Research. Kaufmann, Daniel, Aart Kraay, dan Pablo Zoido-Lobatón, 1999, “Governance Matters”, Policy Research Working Paper, The World Bank Development Research Group, Macroeconomics and Growth, World Bank Institute, Governance, Regulation and Finance.
25
Tabel 2. Indeks Korupsi ICRG, 1991-1997 Rata-rata19 Negara
26
Afrika Selatan Albania Aljazair Amerika Angola Arab Saudi Argentina Australia Austria Bahrain Bangladesh Belanda Belgia Bolivia Botswana Brazil Brunei Bulgaria Burkina Faso Ceko Cile Cina Costa Rica Cyprus Denmark Dominika Ekuador EI Salvador Ethiopia
Rata-rata Indeks Korupsi ICRG, 1991-19971)
Peringkat2)
5.00 3.43 3.15 4.85 2.91 2.00 3.18 5.00 4.92 3.74 1.76 6.00 4.63 2.56 3.36 3.40 4.44 4.14 3.08 4.38 3.26 3.57 5.00 4.73 6.00 3.19 3.12 2.83 2.09
107-112 69 59-60 99-100 34 15-Sep 61 107-112 104-105 78 6 118-123 96 24 67 68 94 89 57 91-92 66 73-75 107-112 97 118-123 62 58 32 17
Negara
Filipina Finlandia Gabon Gambia Ghana Guatemala Guinea Guinea-Bissau Guyana Haiti Honduras Hong Kong Hongaria India Indonesia Inggris Irak Iran Irlandia Islandia Israel Italia Jamaika Jepang Kamerun Kanada Kenya Kolombia Kongo
Rata-rata Indeks Korupsi ICRG, 1991-19971)
Peringkat2)
2.79 6.00 1.05 3.21 3.06 2.43 3.92 2.00 2.11 1.67 2.00 4.94 5.00 2.71 2.73 4.91 1.03 3.57 4.83 6.00 4.87 3.54 2.67 4.92 2.94 6.00 2.96 2.72 3.01
29-30 118-123 2 63 54-55 22 82 15-Sep 18 5 15-Sep 106 107-112 26 28 103 1 73-75 98 118-123 101 70-71 25 104-105 37 118-123 38-39 27 52
Negara
Korea Selatan Kuba Kuwait Lebanon Libya Luxemburg Madagaskar Malawi Malaysia Mali Malta Maroko Meksiko Mesir Mongolia Mozambique Myanmar Namibia Niger Nigeria Nikaragua Norwegia Oman Pakistan Panama Pantai Gading Papua New Guinea Paraguay Peru Polandia
Rata-rata Indeks Korupsi ICRG, 1991-19971)
Peringkat2)
4.55 2.96 2.80 2.39 3.86 5.82 4.00 3.06 4.00 2.49 3.97 3.00 2.84 3.00 4.00 4.00 1.83 4.41 2.93 2.00 4.85 5.79 3.00 2.13 2.00 3.55 3.05 2.02 3.00 5.00
95 38-39 31 21 79-81 117 84-88 54-55 84-88 23 83 41-51 33 41-51 84-88 84-88 7-8 93 36 15-Sep 99-100 114-116 41-51 19 15-Sep 72 53 16 41-51 107-112
Negara
Rata-rata Indeks Korupsi ICRG, 1991-19971)
Peringkat2)
4.88 5.04 2.00 3.73 3.07 5.79 3.00 1.44 4.00 4.18 1.51 4.38 3.23 1.83 3.00 6.00 5.79 3.57 3.86 3.70 2.99 2.00 3.00 3.00 3.15 2.79 2.14 3.00 3.00 2.92
102 113 15-Sep 77 56 114-116 41-51 3 84-88 90 4 91-92 64 7-8 41-51 118-123 114-116 73-75 79-81 76 40 9-15 41-51 41-51 59-60 29-30 20 41-51 41-51 35
Portugal Prancis Qatar Romania Rusia Selandia Baru Senegal Sierra Leone Singapura Slovakia Somalia Spanyol Sri Lanka Sudan Suriname Swedia Switzerland Syiria Taiwan Tanzania Thailand Togo Trinidad &Tobago Tunisia Turki Uganda Uni Emirat Arab Uruguay Venezuela Vietnam
27
Negara
Yaman Yordania Yunani Zambia Zimbabwe
Rata-rata Indeks Korupsi ICRG, 1991-19971)
Peringkat2)
3.00 3.86 5.00 3.24 3.54
41-51 79-81 107-112 65 70-71
Hanya negara-negara yang datanya tersedia untuk tahun-tahun tersebut yang disajikan di sini. Tingkat korupsi pada 1991-1997, menurut indeks ICRG untuk semua negara dalam sampel ini adalah antara 1 dan 6. 19
1) Rata-rata per tahun dihitung dalam dua tahap: (i) Nilainilai bulanan dirata-ratakan untuk setiap tahun; (ii) Nilainilai tahunan dirata-ratakan untuk mendapatkan angka rata-rata indeks korupsi ICRG per tahun. 2) Jika nilai rata-rata indeks korupsi ICRG adalah sama bagi sejumlah negara maka negara-negara ini dile- takkan pada interval yang sama, misalnya Uruguay dan Venezuela berada pada peringkat interval 41-51. Peringkat iebih tinggi berarti korupsi rendah. Sumber : Rahman, et.al (200)
28
Tabel 3. Kualitas Tata Pemerintahan dan Komposisi Arus Masuk Modal Selandia Baru Korupsi (Index Ti)
0.60
Singapura 0.90
(kurang korup)
Thailand 7.00
Indonesia 8.50
(Iebih korup)
Utang/FDI
0.11
0.44
5.77
0.61
Portofolio/FDI
0.07
0.09
1.76
0.95
Utang
920,000,000
10,500,000,000
2,500,000,000
2,790,000,000
Portofolio
610,000,000
2,200,000,000
761,000,000
4,390,000,000
Sumber: Wei, 1999 dan penulis
29
Tabel : Dampak Korupsi pada investasi Domestik Bruto (PNB), 1990,1997 Variabel Dependen: Rasio investasi domestik bruto-PDB, rata-rata untuk 1990-97 Variabel Dependen
Base model
PNB per kapita, 1985 Angka (kotor) daftar masuk sekolah menengah, 1985 Rasio murid/guru sekolah menengah, 1985 Jarak Nilai indeks korupsi ICRG, rata-rata untuk 1993-1997 Asia Tenggara Amerika Latin Timur Tengah & Afrika Utara Asia Selatan Konstan Adjusted R2 # of observations
Model 1
Model 2
Model 3 0.70 (0.65)
0.50 (0.35)
- 0.35 (0.31)
-0.60 (0.49)
6.03 (1.34)
3.09 (0.70)
2.66 (0.55)
0.02 (0.24) 0.39 (1.22)
0.06 (0.56) 0.28 (0.87)
0.26 (0.84)
0.17 (1.11) 0.26 (0.78)
13.51** (5.38) 1.27 (0.70) 7.03** (3.90) 4.08** (2.38) 8.28 (0.76) 0.49
1.97** (2.30) 14.20** (5.86) 3.39** (2.03) 8.78** (4.89) 5.03** (2.44) .71 (0.90) 0.54 63
1.92** (2.51) 14.69** (6.33) 3.36** (1.93) 8.81 ** (5.08) 5.04** (2.74) 12.29 (1.30) 0.52 69
1.63* (1.86) 12.87** (4.59) 2.94 (1.53) 7.88** (4.06) 4.67** (2.07) 1.89 (0.19) 0.44 65
Catatan: Angka-angka dalam tanda kurung adalah heteroskedasticity consistent white standard error based t-statitics. **Signifikan pada level 10 % ; *Signifikan pada level 5 %. Tepatnya, indeks ini signifikan pada level 5.8% Sumber : Rahman (2000)
30
Gambar 3. Asean: Anggaran-anggaran Pertahanan sebagai Persentase dari GDP, 1990-9916
Gambar 4 Indonesia: Rasio Investasi-GDP dan tingkat Korupsi
31
Gambar 5 PPPGNP Indonesia Per Kapita dan Tingkat Korupsi
32
Korupsi Bantuan Luar Negeri: Kenaifan, Kepuasan Diri dan Keterlibatan Donor Oleh Paul McCarthy
Pendahuluan Kebocoran dana proyek yang dibiayai dari “Anggaran Pembangunan” Pemerintah Indonesia sudah menjadi rahasia umum. Proyek yang didanai oleh utang pembangunan merupakan proyek yang amat rawan korupsi. Berikut ini disampaikan kajian sejarah korupsi proyek bantuan luar negeri, yang secara khusus meneropong tiga kreditur pembangunan Indonesia yang terbesar: pemerintah Jepang, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Penyelidikan menunjukkan bahwa tingkat kebocoran proyek bantuan luar negeri tidak sesederhana anggapan umum bahwa 30% dari seluruh dana bantuan luar negeri telah masuk ke saku pegawai negeri dan kontraktor yang korup. Pertanyaan yang timbul adalah: mengapa para donor utama, meskipun sadar bahwa korupsi terjadi, seakan-akan bersikap tidak acuh, atau mengambil tindakan yang kurang memadai untuk mencegah kebocoran dana proyek-proyek yang mereka biayai? Perlu pula disoroti bagaimana para pejabat sektor publik dan swasta berhasil mengelak dari hampir setiap upaya anti-korupsi yang diusulkan para donor.
33
Bagaimana skenario bantuan luar negeri dewasa ini? Berkurangkah korupsi dengan makin tajamnya sorotan umum dan peningkatan langkah-langkah yang diambil para donor untuk melindungi investasi-investasi pembangunan mereka? Bagaimana kemungkinan berhasilnya langkah-langkah tersebut? Apa yang harus dilakukan dalam perjuangan antikorupsi yang sedang berlangsung?
Makin Banyak Perubahan, Makin Sama Keadaan …Organisasi mahasiswa Indonesia turun ke jalan untuk memprotes korupsi dalam pemerintah mereka…. Pasukan khusus Angkatan Bersenjata menangani tantangan seketika semacam itu, namun sebagai pemanis jangka panjang Presiden membentuk sebuah komisi khusus…. Berbulan-bulan Komisi menyelenggarakan acara dengar pendapat dan menelaah tuntutan serta bukti yang berkaitan dengan praktek-praktek korup, sementara pers, mahasiswa dan tokoh politik nasional mengemukakan pandangan mereka sendiri. Kemudian, dalam pidato tahunannya pada Hari Kemerdekaan, Presiden menyinggung rekomendasi Komisi dan dengan lantang menyatakan bahwa, “Seharusnya tidak ada lagi keraguan tentang hal tersebut. Saya sendiri akan memimpin perang melawan korupsi.” Pernyataan pribadi semacam ini untuk sebagian berhasil meredakan permasalahan. Selanjutnya pemerintah dapat memindahkan perhatian dari masalah politik jangka pendek, dan kembali memusatkan pada pertimbangan-pertimbangan kebijakan ekonomi jangka panjangnya. Namun, mengingat betapa meluasnya perembesan masalah ini, korupsi akan menjadi masalah yang akan terus muncul.1
34
Hal ini kedengarannya biasa-biasa saja di telinga mereka yang mengikuti perkembangan sehari-hari di Indonesia. Padahal, ungkapan tersebut menyangkut serangkaian demonstrasi yang dipimpin mahasiswa pada bulan Januari 1970, lebih dari tiga dasawarsa yang lalu. Meski Presiden Soeharto telah mengutarakan tekadnya pada tahun 1970 — kepada satu dari serangkaian komisi anti-korupsi yang “ompong” — namun korupsi tetap merupakan tema yang terus muncul, dan warisan abadi yang terus menghantui masyarakat Indonesia.
Sejarah mencatat bahwa korupsi telah menancapkan akarnya di Indonesia sejak empat abad silam. Keparahan menjadi makin melembaga di bawah kekuasaan kolonial Belanda dan pendudukan Jepang. Meskipun korupsi dalam bentuk yang lebih kasar tidak tampak pada awal kemerdekaan, kelahiran Demokrasi Terpimpin pada 1959 semakin melemahkan kemandirian peradilan yang memang sudah goyah. Muncullah kembali polapola korupsi lama dan jaringan hubungan “bagi-bagi rejeki” (patronage) secara lebih meluas dari sebelumnya. “Dengan dihapuskannya sebagian besar kendali [hukum], kantor-kantor pemerintah memeras uang di mana saja, dan dari siapa saja yang memilikinya. Pada saat itulah para jaksa, kemudian para hakim dan akhirnya pada advokat mulai menggunakan jabatan mereka sebagai mesin penghasil uang, dan birokrasi pun lalu mengikuti jejak mereka.”2 Ketika Orde Baru berhasil mengkonsolidasi kekuasaannya di akhir 1960-an, mereka langsung menarik manfaat dari “sistem hukum yang lemah dan, terkait erat dengan kondisi itu, suatu kekayaan tradisi korupsi, nepotisme, penyelundupan dan patronase3. Presiden Soeharto mengembangkan jaringan korupsi dengan membina tiga kelompok kepentingan yang saling melengkapi dalam persaingan elit angkatan bersenjata, komunitas bisnis dan pemerintah. Tak lama kemudian sudah jelas tampak bahwa penghapusan korupsi bukan prioritas utama pemerintah Soeharto. Korupsi kian melembaga. Yang pertama-tama menikmatinya adalah para petinggi militer serta cukong-cukong mereka…. Soeharto telah mengunci kendali atas angkatan bersenjata dengan meningkatkan seni patronase ke puncak-puncak baru. Tak mungkin lagi ia melepaskan kendalinya.”4 Namun demikian, ditinjau dari segi ekonomi, dampak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) mulai dirasakan di sekitar tahun 1970, dengan munculnya dua gejala secara bersamaan: (1) masuknya penanam modal asing langsung ke dalam perusahaan yang menguntungkan di bidang bisnis dan industri; dan (2) masuknya dana bantuan asing untuk pembangunan — baik dalam bentuk grant maupun pinjaman kepada pemerintah — sebagai bagian dari paket bantuan luar negeri kepada pemerintah Orde Baru yang anti-komunis. Pada umumnya, investasi publik dan swasta menunjukkan hasil yang sangat
35
memuaskan. Namun aliran dana bantuan dan investasi juga memungkinkan elit bisnis/ militer yang kian rakus dan birokrasi pemerintah yang berkembang-biak secara cepat menyadap jaringan korupsi dan kolusi yang memang telah lama berkembang. Sebagaimana digambarkan oleh Prof. Daniel Lev: Pada awal 1970-an, uang masuk berlimpah-limpah, Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional telah menempati posisinya, KKN mulai berkembang pesat, dan melesat pada saat keuntungan dari investasi tampak sangat memuaskan. Bagi kebanyakan perusahaan asing, keuntungan jauh melebihi biaya, termasuk biaya suap. Perusahaanperusahaan besar berhasil menghindar dari pungutan jumlah yang cukup besar karena pengaruhnya mencapai Presiden secara langsung. Perusahaan-perusahaan lainnya terus saja membayar komisi dalam jumlah yang luar biasa besarnya karena… pada akhirnya pembayaran tersebut jauh lebih kecil dari keuntungan yang didapat. 5 Banyak pengamat kawakan bantuan luar negeri Indonesia yakin bahwa ada hubungan timbal-balik antara peningkatan Bantuan Pembangunan Luar Negeri (Overseas Development Assistance/ODA) dan peningkatan korupsi. Ada anggapan bahwa KKN meningkat sebagai hasil dari munculnya badan-badan donor luar negeri berikut paketpaket bantuan luar negeri mereka. Namun demikian, analisis yang lebih mendalam menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada hubungan sebab-akibat yang langsung di sana. KKN dengan berbagai perangkat mekanismenya sudah lama hadir dan dipraktekkan jauh sebelum modal asing masuk. Lagi pula, peningkatan arus bantuan tidak akan mengalir bila tidak terdapat kondisi ekonomi dan geo-politis yang sejak awal telah merangsang peningkatan investasi swasta. Dalam hal ini, bantuan luar negeri bukan penyebab pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik yang pro-Barat, melainkan sekadar akibat perkembangan tersebut.
Mengukur Kerugian — Lingkup KKN dalam Program Bantuan Luar Negeri
36
Bantuan luar negeri tetap merupakan sumber penting dari anggaran pendapatan pemerintah Indonesia. Meskipun mengalami penurunan secara drastis sebagai persentase
pendapatan (antara pertengahan 1970-an hingga pertengahan 1990-an), bantuan luar negeri tetap merupakan porsi yang penting dalam anggaran. Ini disebabkan karena ia cukup fleksibel dalam penggunaannya. Ia bahkan menjadi lebih penting dengan munculnya krisis ekonomi pada 1997, khususnya bila ditinjau dari latar belakang menurunnya pendapatan domestik non-migas. Sebagai ilustrasi, anggaran negara untuk Tahun Anggaran 1998/99 memproyeksikan bantuan luar negeri mencapai 30% dari seluruh jumlah pendapatan yang diharapkan. 6 Dengan meningkatnya proporsi bantuan, meningkat pula persentase relatif dari pinjaman dibandingkan dengan grant dari ODA. Dalam anggaran 2001, tak kurang dari 80% komitmen bantuan ((US$ 4,2 miliar dari keseluruhan paket bantuan senilai US$ 5 miliar) diberikan dalam bentuk pinjaman yang dijanjikan kepada pemerintah Indonesia. Dari pinjaman pembangunan tersebut, jumlah yang terbesar, yaitu 96%, diharapkan dari tiga sumber pokok: Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan ODA. Banyak pihak Barat yang terkejut bahwa, dalam hal KKN, pembiayaan Bantuan Pembangunan Luar Negeri diperlakukan Ide bahwa bantuan luar hampir sama dengan sumber modal lainnya. Pada umumnya, negeri seharusnya pihak Indonesia memperlakukan investasi swasta dan publik, baik dilindungi khusus terhadap asing maupun dalam negeri, sebagai bagian dari hal yang sama. Fakta bahwa sebagian besar dari bantuan luar negeri dibelanjakan KKN, terlalu abstrak dan dengan cara dan tujuan yang sama dengan penanaman modal terlalu mudah diabaikan. swasta — biasanya melalui sistem kontrak-mengontrak yang penuh korupsi — mengaburkan perbedaan yang tadinya mungkin masih dapat dibuat. Di dalam masyarakat di mana korupsi telah meluas sedemikian rupa, tiada satu pun argumen moral yang cukup kuat untuk lebih banyak melindungi bantuan luar negeri dari sumber dana investasi yang lain. Ide bahwa bantuan luar negeri seharusnya diberi perlindungan khusus terhadap KKN karena ia ditujukan untuk “mengurangi kemiskinan” terlalu abstrak untuk orang banyak dan terlalu mudah diabaikan oleh kebanyakan orang.
37
Menilai Lembaga Donor Seperti halnya pada sumber pendapatan pemerintah, yang kecil maupun besar, dana bantuan luar negeri telah rutin menjadi korban KKN. Fakta bahwa porsi terbesar dari anggaran bantuan luar negeri — lebih dari 80% pada 1999 — diterima dalam bentuk pinjaman kepada pemerintah Indonesia, yang kelak harus dibayar kembali oleh rakyat Indonesia, tidak menggugah pertimbangan moral sedikit pun. Bahkan, pinjaman dari ODA lebih mudah dijadikan sasaran korupsi karena pada umumnya berskala Jumlah pinjaman dari Jepang, besar, tidak terpusat, dan mendanai kegiatan — khususnya proyek prasarana besar dengan tender yang berlapis-lapis sekitar US$ 40 miliar, telah — yang telah lama dilanda praktek-praktek KKN. Itu pula sebabnya mengapa sorotan utama harus diarahkan secara menjadikan Jepang sebagai khusus pada program-program yang didanai oleh tiga kreditur kreditur asing terbesar terbesar Indonesia: Bank Jepang untuk Kerja Sama Indonesia. Internasional (Japan Bank for International Cooperation/ JBIC),7 Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia.8 Perlu dikemukakan bahwa data empiris yang kebenarannya dapat dipastikan sangat sulit diperoleh. Namun demikian, suatu survei informal di antara para konsultan yang berpengalaman9 mengindikasikan bahwa korupsi paling banyak terjadi pada proyek-proyek yang didanai utang dari pihak Jepang. Proyek-proyek ADB berada pada urutan kedua, sedangkan bantuan Bank Dunia menyusul tak jauh di belakangnya. Karena banyaknya proyek infrastruktur, pengaruh Jepang yang besar dan dugaan kurang ketatnya pengawasan, kegiatan yang didanai ADB dianggap lebih mudah menjadi korban KKN dibanding dengan proyek-proyek Bank Dunia. Akan tetapi sebagian besar konsultan setuju bahwa secara keseluruhan tidak ada perbedaan yang mencolok di antara keduanya.
38
Memang ada perbedaan pendapat dari sudut-pandang sejarah tentang pola-pola korupsi dulu dan sekarang di antara tiga donor terbesar tersebut. Sejumlah konsultan yang telah mengikuti survei merasa bahwa telah terjadi penurunan jumlah korupsi, sekalipun tidak mencolok, dalam proyek-proyek Jepang dan Bank Dunia. Muncul pula konsensus pendapat bahwa tiga kreditur besar tersebut, di bawah pimpinan Bank Dunia, kini
menangani masalah ini secara lebih serius, dan bahwa upaya pemerintah Indonesia untuk mengikutinya jauh ketinggalan.
Korupsi dalam Program Bantuan Jepang Sifat monolitis badan bantuan Jepang dan sulitnya memperoleh informasi mutakhir mengenai program Jepang mempersulit membuat gambaran jelas tentang korupsi di proyek-proyek Jepang. Analisis berikut ini didasarkan atas wawancara konfidensial dengan tiga sumber: seorang konsultan Indonesia yang telah bekerja untuk dua proyek bantuan Jepang di Sulawesi, dan dua warga negara Jepang yang telah lama tinggal di Indonesia dan akrab dengan mekanisme internal bantuan Jepang. Berdasarkan sintesis pandangan dan pengalaman mereka, tampak beberapa faktor penentu yang memungkinkan korupsi dalam tingkat yang relatif tinggi dalam proyek-proyek bantuan yang didanai oleh Jepang: Tekanan untuk Membayar: Bagian yang sangat besar dari program bantuan Jepang didasarkan atas utang proyek. Dengan lemahnya pengawasan masyarakat dalam negerinya (baik secara politis maupun di antara khalayak yang sebagian besar bersikap tak acuh), pemerintah Jepang merasa harus terus memberikan pinjaman-pinjaman guna pembenaran eksistensi program bantuan luar negerinya. Dengan penilaian kredit yang buruk atas negara-negara sub-Sahara Afrika, sejarah peminjaman di Amerika Latin yang lemah, kepekaan politis Jepang terhadap Cina dan embargo pemberian utang kepada India (sebagai konsekuensi kebijakan nuklir negeri itu), Indonesia telah menjadi nasabah yang sangat penting bagi JBIC. Ini membuat pihak Jepang kurang berminat untuk mengambil risiko menyinggung perasaan para pejabat pemerintah Indonesia dengan mengajukan topik yang “tidak enak” mengenai korupsi. Tekanan untuk Menagih Utang: Jumlah pinjaman pembangunan dari Jepang, yang saat ini mencapai sekitar US$ 40 miliar dari seluruh utang pembangunan sebesar US$ 70 miliar, telah menempatkan Jepang pada posisi sebagai kreditur asing terbesar Indonesia. JBIC makin gelisah ketika mendengar seruan-seruan masyarakat dan parlemen Indonesia tentang perlunya ada pembebasan utang. Mereka perlu menagih
39
utang tepat pada waktunya. Kerapuhan ekonomi Jepang berarti bahwa setiap kegagalan atau penundaan pembayaran atas utang Indonesia dapat berdampak cukup besar terhadap keuangan Jepang. Sekali lagi, hasilnya adalah keengganan untuk menekan para pejabat Indonesia tentang masalah KKN. Fokus pada Infrastruktur: Sebagian besar proyek bantuan Jepang memusat pada infrastruktur berskala besar (seperti saluran pipa gas, elektrifikasi, pembangunan jalan dan bendungan), yang justru paling rawan KKN. “Miyazawa Plan” yang dibuat pada 1998 sebagai upaya membantu negara-negara Asia untuk keluar dari krisis ekonomi (berjumlah hampir 70% dari anggaran bantuan kepada Indonesia pada Tahun Anggaran 2000), hampir seluruhnya untuk pembangunan infrastruktur yang penyalurannya cepat, bunganya rendah — dan karena itu sangat menarik. Rendahnya Pengawasan: Berbagai pihak menggambarkan pemantauan dan pengawasan proyek bantuan Jepang sebagai hal yang “sama sekali tidak memadai”. Kenyataan bahwa terdapat kurang dari 50 staf profesional pada kantor JBIC di Jakarta yang konon bertugas untuk memantau portofolio aktif atas lebih dari 150 proyek, disebut sebagai faktor penting penyebab KKN di proyek-proyek mereka. Orientasi Keuntungan: Ada semacam pengertian implisit di Jepang bahwa keuntungan finansial dari pelaksanaan suatu proyek pembangunan dapat dan sudah seharusnya ditingkatkan semaksimal mungkin. Meski syarat agar kontrak atas proyek-proyek bantuan Jepang diberikan kepada perusahaan-perusahaan Jepang secara resmi telah dihapus lebih dari sepuluh tahun lalu, namun masih saja terdapat ikatan erat antara badan-badan pemerintahan dan para kontraktor swasta Jepang. Hal ini cenderung mengukuhkan keterlibatan para kontraktor kesayangan tersebut dalam pelaksanaan proyek bantuan. Pola yang telah lama ada dalam kolaborasi (ada yang menyebutnya “kolusi”) antara perusahaan-perusahaan kesayangan ini dan jaringan kontraktor swasta di Indonesia memastikan terciptanya kestabilan keuntungan yang timbul dari pelaksanaan bantuan tersebut.
40
Tidak Mencampuri Urusan Dalam Negeri: Kebijakan lama pemerintah Jepang untuk
tidak mencampuri urusan dalam negeri atau politik negara-negara lain baru saja mulai berubah.10 Para pengkritik merasa bahwa kebijakan ini telah memberi alasan internal kepada para pejabat bantuan Jepang untuk tak terlalu menekan Indonesia berkenaan dengan tuduhan-tuduhan korupsi. Sikap Budaya terhadap Korupsi: Yang paling penting adalah faktor sikap. Di negara di mana “sistem itu sendiri secara serius telah tercemar korupsi”, 11 para konsultan serempak menyatakan bahwa orang Jepang pada umumnya lebih toleran atau lebih siap untuk menerima pola-pola korupsi yang telah dikenal secara luas. Kecemasan orang pada masa pasca-Soeharto bukanlah pada ancaman tindakan terhadap KKN, melainkan pada kebingungan yang meningkat Proyek-proyek bilateral ini tentang siapa dan berapa banyak orang yang harus disuap agar umumnya dianggap tak terlalu perusahaan dapat dijalankan secara “lancar”.
diganggu oleh KKN Sementara konon upaya-upaya telah dilakukan di balik layar, namun sedikit sekali bukti yang tampak bahwa pihak dibanding proyek yang Jepang telah mencoba menangani masalah korupsi dalam proyekdidanai pinjaman. proyek mereka atau merombak keseluruhan pola bantuannya. Kecuali pada forum donor internasional yang besar seperti Consultative Group on Indonesia (CGI) yang diketuai oleh Bank Dunia, para pejabat bantuan Jepang jarang hadir dalam rapat-rapat sektoral para donor yang membahas masalah-masalah seperti kemiskinan dan anti-korupsi. “Kebijakan pengucilan diri” ini (sebagaimana digambarkan oleh salah seorang wakil donor bilateral) mungkin dapat berubah secara berangsur, namun kemajuan dalam perlawanan terhadap korupsi tampak sangat lamban.
Selain pihak Jepang, sebagian besar donor bilateral yang lain12 memberi bantuan dalam bentuk hibah (grant). Proyek-proyek ini pada umumnya dianggap tak terlalu diganggu oleh KKN dibanding proyek yang didanai pinjaman. Hibah bilateral cenderung lebih kecil jumlahnya (dan oleh karenanya kurang “menguntungkan” dari sudut pandang para koruptor) dan tunduk pada pengawasan yang lebih ketat oleh para donor. Proyek hibah sering kali dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan swasta luar negeri atau LSM-
41
LSM yang bertanggung jawab secara lebih langsung kepada badan donor ketimbang kepada rekanan yang ditunjuk oleh pemerintah Indonesia. Ini mempersulit upaya menjerat manajer proyek dalam jaringan KKN. Para donor bilateral juga dapat dengan mudah menjauhkan dananya dari sektorsektor yang korup. Menurut seorang mantan anggota staf senior, USAID umumnya menghindari proyek-proyek infrastruktur sejak akhir 1980-an — dan dengan demikian menghalau Departemen Pekerjaan Umum, salah satu instansi pemerintah Indonesia yang terkenal paling korup, dari sumber pendapatan gelap yang penting. Tindakan ini dilakukan sebagai akibat dari tuduhan korupsi yang tersebar luas dan intimidasi terhadap beberapa staf dan konsultan yang berupaya menyingkap praktek-praktek korup. 13 Program bantuan Australia juga telah menjauh dari pendanaan proyek ke arah bantuan teknik khusus yang dapat dilindungi secara lebih baik dari ketidakpastian yang ditimbulkan oleh KKN. Meski perlindungan tersebut tidak dapat dijamin sepenuhnya, kewaspadaan donor bilateral membawa beberapa hasil. “Sangat sulit bagi mereka untuk menjarah proyek-proyek [bilateral] tersebut,” ujar seorang konsultan Bappenas. “(Bagi para penjarah) Terkadang hasilnya tidak seimbang dengan upaya yang dikerahkan.” 14
Berapa Banyak yang Hilang?
42
Semua orang ingin tahu berapa tepatnya uang yang dicuri dari proyek-proyek bantuan luar negeri dan masuk ke dalam saku para pejabat dan kontraktor yang korup. Akhir-akhir ini, angka 30% sering disebut orang dan sekarang tampaknya hal itu sudah diterima masyarakat luas sebagai hal yang biasa. Akan tetapi, sebagaimana halnya dengan semua data mengenai KKN, perhitungan tersebut lebih bersifat generalisasi ketimbang empiris. Angka ajaib 30% terlampau menyederhanakan suatu situasi yang sebenarnya jauh lebih kompleks. Dalam kenyataan, tidak ada apa yang disebut “tingkatan kebocoran rata-rata” yang dapat menggambarkan secara tepat lingkup korupsi dalam proyek-proyek ODA. Dengan beragamnya situasi dari satu proyek ke proyek lainnya, para anggota staf donor, para konsultan dan bahkan pegawai negeri
Indonesia sendiri, paling banyak, hanya dapat memberikan perkiraan mengenai apa yang terjadi. Upaya awal untuk mengukur korupsi dana bantuan telah dilakukan oleh Bank Dunia pada 1997. Hasil temuan telah diringkas dalam sebuah memorandum, yang selanjutnya disampaikan kepada media, dengan kesimpulan yang mengejutkan bahwa: Secara keseluruhan, kami memperkirakan bahwa minimal 20-30% dari dana anggaran pembangunan pemerintah Indonesia telah diselewengkan melalui pembayaranpembayaran tidak resmi kepada staf dan politisi pemerintah, dan tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa “kebocoran” proyek-proyek Bank Dunia adalah lebih kecil karena kendali kami berdampak praktis yang kecil pada metode-metode yang umumnya digunakan.15 Perkiraan inilah yang memungkinkan para ahli dan pengkritik Bank Dunia untuk mengambil tingkat kebocoran 30% sebagai pegangan. Padahal memo yang sama menyatakan bahwa “kompleksitas dan keragaman pola penyelewengan hingga saat ini telah menggagalkan setiap upaya untuk mengukur atau menganalisis masalah tersebut secara lebih pasti.”16 Namun demikian, hingga hari ini hal tersebut merupakan pernyataan paling jujur atas tingkat korupsi yang terlihat secara nyata dalam proyek-proyek yang didanai para donor. “Dice” memo yang bocor, bersamaan dengan lingkungan sosio-politik yang berubah secara radikal pada 1998, mencetuskan aksi anti-korupsi yang paling nyata selama ini di kalangan para donor besar. Tekanan publik yang timbul selanjutnya, baik nasional maupun internasional (termasuk intervensi Kongres Amerika Serikat) memaksa para donor untuk mengakui betapa seriusnya situasi yang dihadapi, dan mengharuskan mereka membarui seruan tentang perlunya merumuskan strategi nasional guna memberantas KKN.17 Betapa besarnya pun nafsu kita untuk melekatkan angka persentase pada tingkat korupsi, tapi tiada satu pun dari persentase tersebut yang dapat diverifikasi secara empiris. Yang bisa diasumsikan adalah bahwa baik lingkup maupun metode KKN sangat beragam antara proyek yang satu dengan proyek lainnya di sekitar tiga faktor utama:
43
• jumlah, jenis dan lokasi badan-badan pemerintah Indonesia yang terlibat dalam pelaksanaan proyek;
• tingkat dan mutu pemantauan proyek dan pengawasan yang nyata — bukan sekadar yang direncanakan; dan
• kualitas pengendalian amanat (fiduciary controls) oleh donor maupun pemerintah. “Basah” dan “Kering” - Badan-badan Pelaksana Pemerintah Meski bukan tujuan tulisan ini untuk menelaah skala prioritas reformasi birokrasi pemerintahan di Indonesia, namun tingkat korupsi dalam suatu proyek sebagian besar ditentukan oleh badan pemerintah yang diserahi tanggung jawab untuk melaksanakannya.18 Perlu diingat bahwa kebiasaan penganggaran pemerintah untuk membagi proyeksi penghasilan suatu badan dalam “anggaran rutin” dan “anggaran pembangunan”19 telah mengakibatkan penyalahgunaan dana bantuan luar negeri secara sistematis. Banyak instansi pemerintah yang akan bangkrut bila tak ada kesempatan menyelewengkan dana dari proyek-proyek ODA untuk menutupi kekurangan anggaran. Proses penganggaran sudah dengan sendirinya menganggap bahwa penyelewengan sistemik semacam itu akan terus berlangsung, dan menggalakkan persaingan antar-instansi (berikut “sabetan” ilegal antar-departemen) tentang siapa yang akan ditunjuk sebagai penanggung jawab pelaksana proyek ODA. Dengan demikian, juga karena dibedakan dari tindakan kriminal seperti penggelapan dan pencurian dana proyek untuk keuntungan pribadi, maka orang Indonesia tidak menganggap praktek-praktek seperti itu sebagai korupsi “sungguhan”.
44
Betapapun banyaknya perbedaan persepsi orang tentang kriminalitas, proyekproyek bantuan luar negeri secara luas dipandang oleh pegawai negeri sebagai “tambang emas”, demikian seorang konsultan asing menyebutnya. Itu disebabkan karena begitu mudahnya dana proyek dapat diselewengkan dalam jumlah-jumlah yang cukup besar. Tampaknya beberapa departemen berikut instansi-instansi di bawahnya telah memperoleh reputasi sebagai lingkungan yang sangat korup dan tempat yang tak terlalu korup, atau
dalam bahasa sehari-hari disebut tempat “basah” atau tempat “kering”. Reputasi-reputasi semacam ini sudah agak lama dikenal di kalangan mereka yang terlibat dalam bisnis bantuan luar negeri. Beberapa donor telah merekam peringkat-peringkat yang terinci dari instansiinstansi pelaksana yang “basah dan kering” dalam laporan rahasia mereka. Biasanya Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Dalam Negeri berada di peringkat atas dalam daftar tersebut.20 Beberapa donor cenderung tidak menyalahkan pegawai negeri atas meluasnya korupsi dalam proyek-proyek ODA atas dasar bahwa mereka telah terperangkap dalam sistem yang mensyaratkan mereka untuk terus mencari pendapatan tambahan. Orangorang Indonesia sendiri, yang makin sadar akan betapa tingginya gaji dan fasilitas yang diterima orang asing yang bekerja untuk badan-badan donor dan proyek-proyek bantuan, membenarkan KKN sebagai upaya Tekanan sesama rekan yang untuk memperkecil kesenjangan antara orang asing dan orangorang Indonesia yang menjalankan peran yang sama. amat kuat menjamin Namun demikian, fakta menunjukkan adanya terpeliharanya rahasia persaingan sengit untuk memperoleh pekerjaan “basah”. jaringan KKN di lingkungan Pegawai negeri senior dan yunior sering kali “membeli” posisiinstansi “basah”. posisi di sekitar proyek-proyek yang didanai oleh donor. Tekanan sesama rekan yang amat kuat menjamin terpeliharanya rahasia jaringan KKN di lingkungan instansi “basah” yang bersangkutan. Bahwa mereka yang berhasil “membeli” posisi “basah” dapat menjadi sasaran tuntutan dari atasan maupun bawahannya untuk memberikan “sumbangan” membuat praktek KKN lebih dapat diterima guna menutup biaya pembelian posisi “basah”. Pengawasan Proyek Semua proyek bantuan luar negeri secara formal mencakup komponen pemantauan, namun standar pengawasan keuangan dan manajemen cenderung sangat beragam sesuai dengan persyaratan lembaganya dan tingkat kepentingan manajer proyek dan kecenderungan kewaspadaannya.
45
Brosur Bank Dunia yang telah beredar luas dan berjudul “The Project Cycle”, mencatat persyaratan hukum untuk melakukan pemantauan proyek: Bank diwajibkan oleh Naskah Perjanjiannya [berlaku sebagai konstitusi Bank Dunia] untuk mengatur sedemikian rupa sehingga dapat menjamin bahwa setiap pinjaman hanya digunakan untuk tujuan pemberian pinjaman tersebut. Fungsi “penjagaan” ini telah membuktikan manfaatnya di masa lalu dan akan terus berperan penting. Akan tetapi, perlu diingat bahwa tujuan utama pengawasan adalah untuk memastikan bahwa proyek benar-benar mencapai tujuan pembangunannya dan, secara khusus, untuk bekerja dengan para debitur dalam mengidentifikasi dan menanggulangi masalah yang timbul selama pelaksanaan.21 Namun dokumen yang sama, dalam bagian yang menggambarkan fase “Pelaksanaan dan Pengawasan”, mengakui bahwa pengawasan proyek merupakan “bagian yang paling tidak menarik dari pekerjaan proyek” dan mengakui bahwa “Begitu suatu pinjaman untuk proyek tertentu ditandatangani, perhatian di negara peminjam berpindah ke proyek baru yang datang.”22 Sikap yang sama tampak pada ketiga donor terbesar hingga akhir-akhir ini. Sebagaimana dikatakan seorang konsultan insinyur sipil, dengan merujuk pada standar pengawasan Jepang yang dianggap lengah, “Pada saat perjanjian pinjaman ditandatangani, [pihak Jepang] hanya ingin mencuci tangan mereka dari hal-hal lain yang terkait dengan pinjaman tersebut. Mereka mengatakan kepada saya, ini adalah pinjaman. Pemerintah Indonesia harus mengembalikannya, sehingga tergantung kepada mereka untuk memantau bagaimana pinjaman tersebut dibelanjakan.”23
46
Logistik dan pengeluaran besar-besaran yang diperlukan untuk memantau dan memeriksa proyek dalam jumlah besar, yang sebagian besar berlokasi di daerah-daerah terpencil, membuat tugas pengawasan yang efektif terkesan mencemaskan. Kompromi tidak dapat dielakkan lagi. Seperti yang diucapkan seorang juru bicara ADB, “Kami akan membutuhkan kantor yang sangat besar, anggaran pemantauan yang jauh lebih besar dan jumlah staf yang banyak untuk melakukan pengawasan secara layak…. Yang dapat kita
harapkan adalah untuk melakukan pengambilan sampel inspeksi proyek secara acak”. 24 Setiap masalah penting yang terungkap dalam peninjauan semacam itu diserahkan kepada Unit Pengendalian Mutu — yang tidak berkedudukan di Jakarta, tapi di kantor pusat ADB di Manila. Di provinsi-provinsi, pengawasan yang dilaksanakan oleh para birokrat yang berkantor di Jakarta terkesan dilaksanakan secara asal-asalan. Salah seorang konsultan menggambarkan sebuah proyek penyediaan air yang didanai oleh ADB di Kalimantan (proyek RWSS) sebagai tipikal pola pengawasan yang biasa dilakukan dan oleh karenanya memungkinkan merajalelanya korupsi: “Tiada pengawasan dari [kantor ADB di] Jakarta. Selama dua tahun saya terlibat di dalamnya, manajer proyek tak sekalipun mengunjungi desa di mana proyek penyediaan air tersebut berlokasi. Tentu ia sesekali datang ke [ibukota provinsi], namun ia hanya bertemu dengan pejabat-pejabat pemerintah setempat, dan tidak pernah dengan pihak-pihak yang seharusnya menjadi penerima proyek tersebut.” Hasilnya Tekanan sesama rekan yang menurut konsultan tersebut kira-kira hampir 70% dari dana amat kuat menjamin proyek bocor atau dihambur-hamburkan. “Yang dapat terpeliharanya rahasia dibangun sebuah LSM yang terpercaya dengan biaya Rp 30 Juta, dikerjakan oleh proyek dengan harga Rp 100 juta per jaringan KKN di lingkungan desa…. Ini bukan sekadar korupsi secara terang-terangan instansi “basah”. namun juga soal pengawasan mutu yang buruk, dan bahan bangunan yang rongsok. Sama sekali tidak terlihat keinginan menghemat”.25 Bahwa banyak manajer proyek berkantor jauh di Manila, Tokyo atau Washington bukannya tidak diketahui oleh para personel yang bekerja di Indonesia (terlebih lagi orang-orang Indonesia sendiri): “Banyak staf kami, khususnya Manajer Tugas (Task Manager) dari Kantor Pusat dipandang sebagai tak peduli dan tidak memberikan perhatian (misalnya dikatakan ‘mereka benar-benar tidak mau tahu’) terhadap praktek-praktek lokal dan dengan demikian mudah disesatkan atau ditipu.” 26
47
Penerapan Pengawasan atas Dasar Amanat Dalam penerapan pengawasan atas dasar amanat (fiduciary controls) alat-alat utama para donor adalah progress report keuangan dan audit. Tak satu pun yang mujarab. Orang yang ahli dalam cara dan mekanisme KKN di Indonesia telah lama memiliki kelihaian untuk tidak meninggalkan jejak kertas. Dengan maraknya pemalsuan rekening dan manipulasi tarif tagihan, menurut banyak konsultan nilai progress report keuangan sebagian besar proyek “lebih rendah dari harga kertas yang digunakan”. Pada pokoknya laporan-laporan tersebut diajukan sekadar untuk memenuhi persyaratan formal dari pihak donor dan memperoleh angsuran berikutnya dari dana yang sudah dijanjikan. Permasalahan dengan audit yang juga menyebar luas, sebagaimana diakui dalam laporan internal Bank Dunia 1998: “Kami tidak dapat mengandalkan integritas pemeriksaan yang dilakukan oleh BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dan mitra lokal dari perusahaan auditor internasional.” 27 Namun demikian para donor berulang kali menyerah pada desakan pemerintah dalam dua bidang pertanggungjawaban amanat yang penting: (1) bahwa hanya biro pemeriksa pemerintah (BPKP) yang dibolehkan mengaudit proyek-proyek bantuan yang didanai oleh pinjaman kepada pemerintah; dan (2) bahwa pembukuan kontraktor tidak dimasukkan sebagai bagian dari pemeriksaan BPKP. Sebagaimana halnya dengan upaya lemah mereka dalam pengawasan atas proyekproyek, begitu pula upaya pemerintah dalam menerapkan pengendalian atas dasar amanat, yang pada kebanyakan kasus bahkan telah memperluas kesempatan korupsi. Begitulah status biro audit tersebut yang telah bertahun-tahun lamanya memperjualbelikan audit bersih. Sebagaimana digambarkan oleh seorang konsultan: BPKP adalah sebuah lelucon. Mereka mencari-cari kesalahan sehingga mereka dapat menghadapi pelakunya dan memperoleh bayaran agar tidak memasukkan hal-hal yang melanggar tersebut dalam laporan audit mereka. BPKP hanya menemukan dan kemudian melaporkan pelanggaran-pelanggaran jika pihak yang melanggar menolak untuk menyuap mereka.28
Selama ini upaya untuk memperluas pemeriksaan di luar BPKP selalu kandas tidak hanya karena perlawanan dari pemerintah namun juga oleh masalah mengenai siapa yang akan membayar biaya pemeriksaan yang benar-benar mandiri. Sekalisekali, ADB dan Bank Dunia mendesak agar dilakukan audit pasca-pelaksanaan dan diterbitkanlah apa yang dinamakan Management Letters manakala pelanggaran terbongkar. Hal ini dapat mengakibatkan beberapa tindakan tertentu — misalnya, pelaksanaan tender ulang, pembatalan beberapa komponen proyek, dimasukkannya beberapa perusahaan kontraktor dan tindakan-tindakan sejenisnya. Akan tetapi, tindakan-tindakan tersebut sekadar menangani gejala-gejala KKN, dan tidak menyentuh akar penyebabnya. Lagi pula, bentuk tindak-lanjut atas setiap proyek semacam ini memakan waktu dan biaya yang tak sedikit — suatu argumen yang masuk dalam perhitungan pimpinan senior. Naskah Perjanjian Bank Dunia (berfungsi sebagai anggaran dasar Bank), misalnya, secara khusus mensyaratkan dipertimbangkannya faktor-faktor penghematan dan efisiensi dalam melaksanakan tanggung jawab fidusiernya. Sebagaimana dijelaskan oleh seorang kritikus ternama Bank Dunia: Satu argumentasi yang layak dipertimbangkan secara hati-hati adalah bahwa pengawasan yang lebih ketat mahal harganya, dan bahwa biaya untuk memperoleh lebih banyak kepastian bahwa dana Bank tidak dicuri akan lebih mahal lagi bagi Bank dan klien-kliennya dibanding dana yang sedang dicuri. “Perimbangannya adalah antara efisiensi dan penghentian kebocoran,” ungkap seorang pejabat senior Bank Dunia. 29 Kesimpulannya adalah bahwa dengan KKN Indonesia yang sudah menjadi ciri aslinya dan sudah canggih pula, betapa cermatnya pun pengawasan dilakukan, betapa ketatnya pun kontrol fidusier yang dilakukan oleh pihak donor, proyek-proyek tak akan luput dari cengkeraman korupsi. Untuk masa mendatang, masalahnya adalah bagaimana cara membatasi korupsi dalam portofolio bantuan luar negeri, bukan pemberantasannya.
Ke mana Perginya Uang? Berjilid-jilid buku yang dapat ditulis tentang kecemerlangan di sekitar sejumlah metode yang telah menjadi bagian dari sistem KKN Indonesia yang makin canggih. Tidak mengherankan bila sangat sedikit yang ditulis mengenai hal itu — meskipun banyak mekanisme KKN yang sudah menjadi bagian dari perbendaharaan kementerian. Dari iklan palsu sampai pembentukan perusahaan kosong, dari daftar karyawan siluman (bait-and-switch staffing) sampai konferensi bohong-bohongan,30 taktik yang digunakan kadang-kadang cerdik, tapi sering kali pula menggelikan. Unit Lingkungan dan Pembangunan Sosial Asia Timur (East Asia Environment and Social Development Unit) Bank Dunia baru-baru ini menyusun buku pedoman untuk para manajer proyek Bank Dunia dengan panduan dan petunjuk yang berguna mengenai cara mencegah korupsi dalam proyek-proyek mereka atau untuk menindaknya bila hal itu terjadi.31 Buku itu menyoroti pelajaran dari peristiwa-peristiwa korupsi yang pernah terjadi dalam proyek-proyek Bank Dunia — yang, patut disayangkan, sebagian besar berasal dari Indonesia. Yang mengejutkan adalah bahwa begitu banyak korupsi, kolusi dan penggelapan yang nyata terjadi tanpa terdeteksi, meskipun proyek-proyek tersebut masih dianggap telah memenuhi kontrol finansial (financial controls) yang diterapkan oleh para donor. Sebagaimana diutarakan dalam sebuah laporan donor: Meskipun terlihat adanya kepatuhan pada panduan dan persyaratan dokumentasi Bank untuk pengontrakan, pengeluaran biaya, pengawasan dan pemeriksaan dari Bank Dunia, terlihat kebocoran yang nyata dari dana-dana Bank. 32 Berdasarkan hasil wawancara dengan staf donor dan para konsultan serta laporan internal donor,33 disimpulkan bahwa sebagian besar kebocoran dana dapat diikuti jejaknya melalui sejumlah langkah penting dalam pengembangan dan siklus pelaksanaan proyek:
50
Pembayaran Pra-Proyek: Sebelum suatu proyek memenuhi syarat untuk didanai, instansi pemerintah yang mensponsorinya diwajibkan melakukan pembayaran-
pembayaran pendahuluan untuk memastikan bahwa proyek tersebut menerima pengalokasian pada proses penganggaran tahunan. Biaya-biaya yang tidak dibukukan (off-record) ini umumnya dibayarkan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan pembayaran tambahan kepada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) untuk beberapa proyek lokal/provinsi. Untuk proyek-proyek yang mencari pendanaan dari donor asing, pembayaran tambahan kepada Bappenas dipersyaratkan agar proyek tersebut masuk dalam apa yang dinamakan Buku Biru. Dari Buku Biru itulah para donor memilih proyek mana yang akan mereka dukung. Begitu disetujui, 1-2% dari anggaran proyek harus dibayarkan kepada Departemen Keuangan. Baru kemudian diterbitkan anggaran yang dinamakan Daftar Isian Proyek (DIP). PemerintahPara konsultan pemerintah daerah biasanya harus memberi uang suap memperkirakan 5-8% dana kepada Departemen Dalam Negeri jika sesuatu proyek proyek sudah menguap mengandung komponen yang dibiayai dari sumber pemasukan dalam negeri. Singkatnya, para konsultan terlebih dulu hanya untuk memperkirakan bahwa 5-8% dari keseluruhan dana proyek memperoleh persetujuan. sudah menguap terlebih dulu hanya untuk memperoleh persetujuan dan menjamin bahwa kelak akan menerima alokasi anggaran dari pemerintah. Penawaran dan Penentuan Pemenang Tender: Rentetan penyuapan yang paling panjang terjadi dalam proses tender dan penentuan kontraktor pemenang proyek. Mengingat bahwa proyek-proyek besar dapat melibatkan ratusan sub-kontrak, kebocoran yang cukup besar — menurut perkiraan konsultan berkisar antara 5-30% dari seluruh dana proyek — dapat terjadi pada tahap ini. Tanpa merinci panjang-lebar metodemetode yang digunakan, ada tiga tahap utama di mana sebagian besar kebocoran terjadi:
• Pengikutsertaan dalam daftar kontraktor yang memenuhi syarat — Sejalan dengan kumpulan aturan-aturan pembelian pemerintah yang rumit, setiap proyek memiliki panitia seleksi konsultan (umumnya pegawai negeri dari instansi terkait). Panitia
51
inilah yang menentukan pemberian kontrak-kontrak, yang seolah-olah didasarkan pada sistem penilaian yang obyektif, ditentukan atas kriteria kualitas penawaran dan personel yang ditugaskan dalam proyek. Agar memenuhi syarat “pra-kualifikasi” untuk turut serta tender saja, dan dengan demikian meningkatkan kesempatan untuk muncul dalam daftar pendek tersebut, para kontraktor harus melakukan pembayaran terselubung kepada satu atau beberapa orang anggota panitia seleksi.34
• Pemilihan konsultan — Tender umumnya diberikan melalui salah satu dari dua cara. Melalui cara “pemenang mengambil semuanya”, termasuk lelang de facto di antara perusahaan-perusahaan yang namanya berhasil masuk ke dalam daftar pendek. Yang ditunjuk sebagai pemenang adalah perusahaan yang membayar suap paling tinggi. Atau, jika peserta tender tidak mau ambil risiko, mereka mengadakan rapat bersama yang diketahui, bahkan sering kali dihadiri, oleh salah seorang anggota panitia seleksi dan manajer proyek (disebut “Pimpro” — pemimpin proyek) yang diutus pemerintah, sebelum tender menetapkan siapa yang menjadi pemenang. Kolusi seperti ini sudah biasa dilakukan. Pembagian keuntungan ditetapkan melalui sistem rotasi tidak resmi di antara perusahaan-perusahaan konsultan yang besar, sering kali di bawah pengawasan Gapensi, gabungan para kontraktor nasional. Pemenang membayar suatu jumlah tertentu (umumnya 1-2% dari penawaran) kepada perusahaan-perusahaan yang “kalah tender” yang, demi kepatuhan pada peraturan pembelian oleh pemerintah, telah berbesar hati dengan cara mengajukan penawaran-penawaran pro forma yang sudah ditetapkan “pasti kalah”.
• Penandatanganan kontrak dan pemindahan dana — Pada saat seleksi telah
52
dikonfirmasi, muncul tagihan pembayaran tambahan oleh penandatangan kontrak (jumlahnya beragam, sesuai dengan besarnya kontrak)35 dan oleh Pimpro. Penyogokan ini dianggap sebagai faktor yang paling tak menentu di seluruh sistem kontrakmengontrak dengan contoh-contoh yang berkisar dari 0 hingga 35% dari nilai kontrak. Umumnya, perusahaan-perusahaan asing membayar jumlah yang lebih kecil dari perusahaan-perusahaan dalam negeri. Setelah kontrak akhirnya ditandatangani, tidak berarti pembayaran atau pemindahan dana segera dilaksanakan. Kantor bendahara
Departemen Keuangan (dan/atau pihak pembayar di daerah) yang tandatangannya diperlukan, harus dibayar. Bahkan setelah itu, pemindahan dana pun sering kali masih terhambat dan para kontraktor terpaksa menalangi dulu biaya-biaya pelaksanaan sebelum dana “turun”. Dengan demikian Departemen dapat menikmati bunga tambahan dengan menahan dana proyek tersebut dalam rekening depositonya.
• Masa Pelaksanaan Proyek — Pada saat pelaksanaan akhirnya dimulai, para kontraktor masih menghadapi berbagai pembayaran tidak resmi guna mengamankan pengembalian biaya-biaya yang telah mereka keluarkan. Proses tagihan, persetujuan laporan keuangan dan perkembangan proyek, penerimaan penggantian personel dan pemindahan dana yang berulang-ulang, semuanya perlu pembayaran agar pelaksanaan proyek dapat dilanjutkan. Untuk kontraktor swasta masih ada masalah pembayaran pajak yang harus “dinegosiasikan” — atau lebih umumnya dihindari. “Kesalahan-kesalahan” yang ditemukan selama pemeriksaan dan audit keuangan interim yang dilakukan oleh inspektorat provinsi atau departemen hampir selalu dapat “diatur” dengan pemberian suap yang layak. Masalah-masalah lain yang berkaitan dengan korupsi selalu berdampak pada proyek, tergantung pada sifat dan lokasi operasi. Tuntutan “sumbangan” politik sudah merupakan hal yang lazim — di masa lalu kepada aparatur partai Golkar, kini pada suatu jaringan yang membingungkan dari para politisi partai dan anggota DPR. Khususnya proyek-proyek yang menyangkut pembebasan tanah dan penyediaan permukiman bagi mereka yang tanahnya dibebaskan, merupakan proyek yang rentan terhadap pemalsuan — pernah dilaporkan terjadinya kebocoran dana hingga 80% yang dialokasikan untuk memperoleh lahan. 36 Proyek-proyek pengentasan kemiskinan yang menyangkut transfer dana langsung ke desa-desa (seperti proyek Inpres Desa Tertinggal) melalui saluran pemerintah, sering kali mengalami pemotongan sebagian besar dananya oleh pejabat yang korup baik di tingkat pusat, tingkat provinsi maupun tingkat desa. 37 Tampak jelas bahwa proyek yang dilaksanakan pemerintah lokal di lingkungan pedesaan,
53
umumnya melalui Departemen Dalam Negeri atau salah satu perwakilannya, pasti merupakan sasaran KKN pada tingkat yang lebih tinggi: Jelas bahwa tumpukan beban tuntutan pembayaran tersebut paling berat dirasakan proyek-proyek yang dilaksanakan pada tingkat pemerintah daerah, di mana kendali pemerintah pusat terasa paling lemah dan staf paling enggan menyoal instruksi-instruksi dari atasannya. 38 Sementara tidak mungkin menghitung secara akurat biaya “rata-rata” korupsi selama pelaksanaan proyek, beberapa pengamat sungguh heran bagaimana proyekproyek pada akhirnya masih bisa juga terlaksana. Di negara-negara berkembang lainnya, khususnya di sub-Sahara Afrika, dana untuk proyek bantuan secara rutin dicuri seluruhnya, tanpa upaya sedikit pun untuk membangun apa yang tercantum dalam perencanaan proyek. Seperti dikatakan dalam memo Dice, “Berbeda dengan praktek korupsi [di tempat lain], sistem pemerintah Indonesia masih berharap menghasilkan proyek yang dapat diterima. Begitu pula, tekanan dari sesama rekan serta pemeriksaan secara seksama oleh pihak lain di dalam sistem cenderung membatasi pendapatan (dari korupsi).”39 Namun betapapun rumitnya sistem pembayaran ilegal tersebut, sebagian besar perusahaan kontraktor yang melaksanakan proyek-proyek pembangunan yang dibiayai bantuan luar negeri di Indonesia masih dapat menghasilkan keuntungan yang lumayan besar. Hal ini dapat mereka lakukan tentunya dengan memasukkan biaya-biaya KKN dalam anggaran kontrak yang dimenangkan. Berikut ini digambarkan beberapa upaya cerdik yang umumnya digunakan para kontraktor untuk menjamin selisih laba yang sehat.
54
Perusahaan konsultan yang tidak dapat atau tidak bersedia mengikuti “aturanaturan” KKN umumnya tersingkir dari arena persaingan bisnis, atau bahkan gulung tikar sama sekali. Dalam suatu kasus yang menyangkut proyek besar Bank Dunia untuk penyediaan air dan sanitasi, misalnya, sebuah LSM internasional yang besar, CARE International Indonesia, terdesak keluar dari pelaksanaan kontrak lebih lanjut ketika menolak untuk membayar tuntutan yang kian berkembang dari panitia seleksi tingkat
provinsi. Dalam kata-kata seorang konsultan proyek, penyingkiran itu terjadi “betapapun semua pihak setuju bahwa kinerja [CARE] adalah yang terbaik dari konsultan yang ada dalam proyek tersebut.”40
Memastikan “Skenario Win-Win (Menguntungkan Semua Pihak)” Meski jarang terjadi, ada saat ketika tuntutan suap selama pelaksanaan tender dan pelaksanaan kontrak-kontrak bantuan luar negeri telah begitu berlebihan, sampai para kontraktor kehabisan dana sebelum mereka dapat menyelesaikan proyek menurut standar minimal pun. Sebenarnya sistem checks-and-balances secara informal biasanya dapat menghindari situasi seperti ini. Sistem tersebut Perusahaan konsultan yang menjamin beberapa hal. Bukan hanya kontraktor saja yang dapat menutup biaya suap, tapi baik mereka maupun tidak dapat atau tidak mau “sahabat-sahabat” mereka pada instansi pelaksana mengikuti aturanpemerintah akan menikmati keuntungan yang layak dari aturan KKN umumnya “investasi” mereka. Dalam hal ini, kerja sama dalam proyekproyek ODA menjadi skenario “Win-Win” (menguntungkan tersingkir. semua pihak) untuk para kontraktor swasta dan para pejabat pemerintah. Ada tiga cara utama yang saling berkait untuk memastikan diperolehnya keuntungan: 1) Manipulasi anggaran: Apa yang sebenarnya disajikan dan diterima sebagai anggaran yang disetujui untuk kontrak tertentu jarang menunjukkan biaya apa saja yang sebenarnya tercakup di dalamnya. Perancangan berlebihan yang terangkai dengan pencantuman harga yang berlebihan sudah menjadi hal yang biasa. Pada umumnya, anggaran digelembungkan berlebihan secara sadar, sering kali dengan sepengetahuan penuh dari Panitia Seleksi Konsultan. Hal ini terjadi baik pada skala yang besar (sebagai contoh, harga yang telah disetujui untuk perancangan atau pembangunan sistem penyediaan air setiap desa mungkin hanya 30-40% dari dana yang sebenarnya dikucurkan), maupun dalam skala kecil, yaitu apa yang disebut pengeluaran “lunak” yang sulit diperiksa, seperti misalnya biaya bantuan teknis, biaya perjalanan dan
55
pelatihan41 — yang dianggarkan dengan tarif yang tinggi namun dilaksanakan secara murah atau tidak dilaksanakan sama sekali. Ketika pemerintah memperkenalkan cara baru pelaksanaan tender atas suatu kontrak (melalui Keputusan Presiden No.16/1994)42 yang seakan-akan ditujukan untuk mengurangi kolusi antara para kontraktor, hal tersebut mencakup penetapan tarif untuk staf proyek dan beberapa jenis perlengkapan. Ketentuan-ketentuan ini dengan cepat diselewengkan, baik dengan memalsukan riwayat hidup personel (untuk menunjukkan pengalaman kerja yang lebih banyak sehingga patut dibayar lebih tinggi), dengan menukar personel proyek yang sudah diperjanjikan dengan karyawan yang kemampuan dan gajinya lebih rendah, maupun dengan cara membayar upah yang lebih rendah dari jumlah yang tercantum dalam Pegawai organisasi donor anggaran yang telah disepakati. “Uang yang tersisa” tentunya yang mengaku tidak tahu tidak dikembalikan ke proyek namun dikantongi, biasanya menurut perjanjian sebelumnya di antara para kontraktor adaanya korupsi yang dan kawan-kawannya di pemerintahan.
merajlela adalah orang yang tidak berakal.
2) Memalsukan tagihan: Untuk mendukung sistem manipulasi anggaran, dibutuhkan suatu upaya yang rumit — namun belum tentu canggih — guna menciptakan tagihan dan tanda-tanda terima palsu. Hal ini sering kali menyangkut sekadar pembuatan tanda-tanda terima palsu, serta pemalsuan atau membayar pembubuhan tanda tangan yang diperlukan. (Seorang konsultan yang telah berpengalaman panjang mengatakan kepada saya bahwa kantor direktur dari setiap perusahaan konsultan di mana ia pernah bekerja di Indonesia memiliki meja kaca yang dilengkapi lampu di bawah meja, untuk tujuan pemalsuan tanda tangan.)43 Untuk memperoleh penggantian atas pengeluaran-pengeluaran proyek, baik nyata maupun fiktif, hampir semuanya dapat dipalsukan: lembar rekaman waktu (time sheets), otorisasi perjalanan,44 kuitansi hotel dan uang harian (per diem), kursuskursus pelatihan, jumlah dan nama-nama penerima uang proyek. Daftar pemalsuan seperti ini terkesan tak terbatas panjangnya.
56
3) Mengkompromikan bahan bangunan dan perlengkapan proyek: Mengganti bahan bangunan
dan perlengkapan yang sudah diperjanjikan dengan yang mutunya lebih rendah sudah biasa dilakukan untuk menambah keuntungan. Sudah lumrah, umpamanya, untuk memasok sepeda motor atau mobil bekas sebagai ganti dari kendaraankendaraan baru yang disepakati — dan sudah dibayar — dalam anggaran proyek. Bahkan ketika jumlah keseluruhan untuk bahan-bahan dari barang-barang telah dibayar, suap dari pemasok sudah menjadi kebiasaan, bukannya pengecualian. Banyaknya bangunan sekolah yang ambruk, sistem penyediaan air yang tidak bisa dipakai, dan jalan-jalan yang rusak berat, banyak di antaranya dibangun dengan pinjaman dan hibah yang diterima dari bantuan luar negeri, menjadi saksi atas praktek kronis pengurangan jumlah semen, penggunaan pipa-pipa murah, dan perlengkapan atau material konstruksi yang berkualitas rendah. Tidak semua orang pada akhirnya menjadi pemenang dalam skenario “WinWin”. Bukan hanya para donor yang kecewa bila sebagian besar bantuan mereka diselewengkan, masyarakat Indonesia sendiri menjadi pihak yang paling banyak dirugikan bila proyek-proyek menghasilkan jasa yang buruk dan produk yang bermutu rendah. Sungguh tidak mengherankan apabila, di kalangan pegawai rendahan, banyak orang Indonesia yang tidak ingin melihat desa-desa atau lingkungan mereka “berpartisipasi” dalam apa yang disebut proyek pembangunan pemerintah Indonesia.
Pura-pura Tidak Melihat — Apa yang Diketahui Para Donor dan Kapan Mereka Mengetahuinya Terus-terang saja, setiap pegawai organisasi donor yang bekerja di Indonesia dan mengaku tidak mengetahui adanya korupsi dan kolusi yang merajalela di sektor pembangunan adalah orang yang sangat lugu atau tidak berakal. Walaupun demikian, tidak seorang pun yang diwawancarai untuk tulisan ini dapat menunjuk kasus di mana seorang anggota staf badan donor terbukti telah secara langsung terlibat dalam kasus KKN dalam proyek-proyek bantuan. (Ada pembicaraan samar-samar mengenai peristiwa yang terjadi jauh di masa lalu, namun hal itu tampak lebih merupakan desas-desus daripada fakta.) Jadi, meski staf organisasi donor kadang kala dipandang
57
sebagai lugu dan puas-diri, namun keterlibatan secara langsung tak terkesan sebagai masalah yang serius. Hanya sedikit pihak yang menyangkal bahwa mereka mengetahui betapa meluasnya jangkauan korupsi. Dalam pemaparan tajam yang disebut “Anatomy of a Bank Job”, seorang mantan pegawai ADB menggambarkan bagaimana korupsi secara konsisten diabaikan dalam serangkaian proyek ADB di Asia Tenggara selama masa jabatannya (yang diputus secara tiba-tiba). 45 Sebagaimana dikatakan oleh seorang anggota staf yang sudah lama bekerja di Bank Dunia, “Semua orang tahu situasi [KKN] praktis sejak saat mereka menginjakkan kakinya di negeri ini, jika tidak sebelumnya. Dan staf lokal [Indonesia] mengetahui lebih banyak [daripada para pekerja asing].” 46 Orientasi yang diberikan untuk staf yang baru datang, biasanya saat brifing resmi selesai, lazimnya mencakup “cerita-cerita horor” yang merinci betapa ganasnya KKN dalam kegiatan sektor swasta dan publik. Pada jaman Soeharto istilah “Madame Tien Per Cent (Ibu Sepuluh Persen)” sangat populer, walau diucapkan dengan berbisik. Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa para donor sudah beberapa tahun sadar akan sifat dan lingkup umum dari korupsi dana ODA. Sejak pertengahan 1970an, tidak lama sejak mereka kembali melaksanakan kegiatan di negara ini, para donor besar mengungkapkan keprihatinan mereka akan korupsi: Sejak sedini tahun 1973, Presiden Bank [Dunia] pada saat itu, Robert McNamara, membicarakan perlunya menangani korupsi dengan Soeharto; para pejabat senior Bank berulangkali memperingatkan pemerintah akan konsekuensi-konsekuensi terhadap ekonomi yang akan terjadi bila pemerintah gagal menangani masalah tersebut. 47
58
Dalam sebuah buku yang mendokumentasikan setengah abad pertama karyanya, Bank Dunia terlihat “jelas telah memandang masalah [korupsi] sejak awal hubungan yang diperbaruinya dengan negara ini.” Para pengarang mengutip sebuah memo dari Country Director Bank Dunia saat itu yang menyatakan bahwa Presiden Bank Dunia, pada kunjungannya di tahun 1979, telah mengatakan kepada para menteri pemerintah Indonesia dan Presiden Soeharto, dalam rapat-rapat yang terpisah, bahwa “juga perlu
untuk tetap menmpertahankan upaya pengurangan korupsi… hal ini banyak dibicarakan dan dunia berkesan bahwa, entah benar atau tidak, [korupsi] lebih banyak terjadi di Indonesia dibanding di negara lain dengan kemungkinan pengecualian satu negara.”48 Pihak Jepang juga mengeluhkan tingkat korupsi tersebut: Di sini semuanya serba tidak jelas: perpajakan, prosedur-prosedur, pembatasanpembatasan. Sering kali dirasa perlu untuk melakukan hal-hal di bawah meja. Di Cina terjadi korupsi, namun tidak sebanyak itu. Di sini hal tersebut terjadi di mana-mana. Sulit untuk menentukan biaya-biaya perusahaan manakala biayabiaya terselubung muncul terus menerus. 49 Namun selama hampir tiga puluh tahun, masalah ini Kami tahu pasti ke mana hanya dibicarakan secara sopan dan sebagian besar di belakang pintu tertutup. Secara terbuka, para donor dan pejabat uang kami pergi. Kami pemerintah Indonesia terus bersikap mengelak. Selama era tidak akan menoleransi Soeharto, hanya beberapa orang yang berani mengungkapkan korupsi dalam programhal yang memalukan tersebut secara terbuka. Orang awam pada intinya tidak berdaya untuk mengungkapkan KKN. LSM yang program kami. membicarakan isu korupsi secara terbuka merasa mereka menghadapi dinding batu dari pihak donor dan risiko intimidasi dari aparat keamanan pemerintah.50 Sesekali, bila tuduhan-tuduhan korupsi yang berkepanjangan tak dapat dibungkam, reaksi yang timbul, dari pihak donor dan para pejabat Indonesia, sering kali mengesankan marah karena merasa diperlakukan tidak adil. Setelah timbulnya cerita-cerita negatif yang membanjir di media selama tahun-tahun terakhir kekuasaan Soeharto, misalnya, sebuah siaran pers Bank Dunia menyangkal kebenaran laporan-laporan media mengenai kebocoran yang terjadi secara rutin dalam proyek-proyek yang didanai oleh Bank Dunia. Siaran pers tersebut mengutip pernyataan Wakil Presiden untuk Asia Timur dan Pasifik bahwa tuduhan-tuduhan tersebut “dapat dibuktikan ketidakbenarannya”, dan menambahkan, “Kami tahu pasti ke mana uang kami pergi. Kami tidak akan menoleransi korupsi dalam program-program kami”.51
59
Secara diam-diam, hampir setiap konsultan dan anggota staf yang dipekerjakan oleh badan-badan donor mengaku mengetahui praktek-praktek KKN yang tipikal terjadi dalam pembelian, penganggaran dan pemindahan dana yang berkaitan dengan proyekproyek pembangunan. Mereka terus menerus mengingatkan pihak Indonesia akan hal ini. Mereka bahkan mengambil tindakan pencegahan dengan membatalkan tendertender pembelian atau menolak untuk memperbarui subkontraktor-subkontraktor tertentu, namun tindakan ini kecil pengaruhnya dalam menghambat KKN yang kian meningkat. Pengabaian Peringatan Faktanya adalah bahwa sebagian besar pejabat pemerintah Indonesia secara rutin mengabaikan atau bersikap pura-pura terhadap peringatan berulang-ulang dari organisasi-organisasi para donor. Pertanyaannya: mengapa para donor membiarkan peringatan-peringatan mereka diabaikan secara terang-terangan, dan mengapa semua itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap jumlah bantuan ODA? Pertumbuhan ekonomi yang kuat dan konsisten membuat kebanyakan donor berpura-pura tidak melihat adanya KKN. Jawabannya terletak dalam kenyataan geo-politis dan ekonomi Orde Baru Indonesia yang kompleks. Sebagian besar pengamat bantuan menyebutkan sejumlah alasan berkenaan dengan kurang tegasnya tindakan donor dalam menghadapi masalahmasalah KKN:
• semasa perang dingin, Indonesia di bawah Soeharto sudah pasti dilihat sebagai kubu anti-komunis. Sungguh tak menguntungkan untuk menggoyang stabilitas politik antikomunis tersebut dengan memaksa dilakukannya tindakan terhadap masalah korupsi;
• dalam hal pinjaman pembangunan, Indonesia merupakan klien Jepang dan multilateral
60
yang penting, dan oleh karena itu menempati posisi yang kuat. Pinjaman yang berkelanjutan merupakan hal yang baik bagi semua pihak dan menciptakan hubungan ketergantungan ekonomi secara timbal-balik. Sebagaimana dikatakan oleh seorang
Direktur Jenderal Departemen Keuangan dalam sebuah resepsi pada 1995, “ADB dan Bank Dunia membutuhkan Indonesia lebih dari Indonesia membutuhkan mereka”; 52
• Indonesia memiliki sejarah panjang dalam menolak, sering kali secara bersemangat dan hingar-bingar, apa yang dianggapnya campur tangan dalam masalah dalam negeri;
• di masa lalu, pemerintah tidak takut untuk mendukung protesnya dengan tindakan, sebagaimana dialami oleh pihak Belanda pada 1992, ketika program mereka dihentikan secara tidak hormat. Menurut para pejabat Belanda, tindakan tersebut tidak menimbulkan protes apa pun dari para donor lainnya. Tindakan itu membuat para donor menjadi lebih lunak ketika berhadapan dengan pemerintah Indonesia mengenai masalah korupsi, hak azasi manusia dan isu sensitif lainnya;
• pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan konsisten membuat kebanyakan donor purapura tak melihat adanya KKN. Terdapat kemajuan nyata dalam pemberantasan kemiskinan menjadi lebih baik selama tiga dasawarsa terakhir. Beberapa pejabat organisasi dana bantuan mengakui bahwa memang sangat mudah untuk, sebagaimana dikatakan Presiden Bank Dunia James Wolfensohn, “terperangkap dalam antusiasme Indonesia”. Untuk para donor multilateral, cepatnya perkembangan tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara “permata mahkota”zzdan mengemukakan alasan yang menyenangkan untuk menutup mata terhadap beberapa bentuk korupsi yang menonjol;
• ada juga “faktor malu”; banyak manajer proyek yang tidak bersedia mengakui adanya korupsi dalam proyek-proyek mereka karena hal itu akan membuat mereka terlihat buruk. Dalam organisasi di mana secara tradisional terdapat tekanan kuat untuk mengeluarkan dana, pembatalan atau penundaan proyek, bagaimanapun kuatnya alasan untuk tindakan tersebut, tidak membantu kemajuan karir;
• dengan dialaminya masa korupsi besar-besaran yang berkepanjangan oleh sebagian besar negara Barat dalam sejarah mereka — Amerika selama era “robber barons”, misalnya — sejumlah staf senior badan donor merasa bahwa hal ini merupakan tahapan yang wajar dalam perkembangan Indonesia. Sebagaimana diutarakan oleh Dan Lev, para
61
donor terkemuka “berpendapat bahwa korupsi merupakan bagian yang wajar dalam suatu proses perubahan, bahwa pada akhirnya ‘perkembangan ekonomi’ akan mengarah kepada masyarakat ‘modern’, yang dipandu secara demokratis oleh kelas menengah yang berkecukupan. Model pemikiran seperti ini diambil dari pengalaman negaranegara Eropa dan Amerika Utara, atau bahkan mitos tentang pengalaman tersebut.”54 Apa pun rasionalisasi yang digunakan, sebagian besar badan donor memperhitungkan, dengan penuh kesadaran menurut kebanyakan anggota staf mereka, bahwa secara keseluruhan, “dengan menghitung faktor korupsi pun, [proyek-proyek mereka] masih merupakan investasi yang bermanfaat.” 55 Kesimpulannya adalah bahwa bagi sebagian besar donor, setidak-tidaknya selama periode Orde Baru, korupsi merupakan bagian dari kesempatan berkegiatan yang, walaupun tidak disukai, namun diterima secara diam-diam. Pihak-pihak yang tak menyukainya dapat berkemas dan pergi. Tidak satu pun melakukannya.56
Pembelaan Indonesia Sementara itu para pejabat Indonesia tidak hanya berpangku tangan manakala proyek-proyek dikecam. Mereka menangkis atau meredam tuduhan-tuduhan korupsi. Jika didesak, mereka sering kali membalas dengan menggunakan strategi pembelaan tiga lapis yang mereka ciptakan sendiri. Tanggapan yang paling tipikal adalah “Mana buktinya?” Dengan kelemahan sistem hukum Indonesia yang sudah terkenal dan kolusi endemis yang menjangkau setiap sudut jaringan peradilan, upaya menemukan bukti KKN yang legal dan layak dalam proyek-proyek pembangunan sungguh sulit dan rumit. Risiko dituntut oleh orang yang dituduh melakukan korupsi adalah risiko yang nyata, sebagaimana kemungkinan terjerat dalam proses peradilan yang panjang dan mahal. Dapat dimengerti bahwa risiko-risiko ini membuat para donor segan menempuh upayaupaya tersebut.
62
Kalau hal-hal itu belum cukup untuk menghentikan langkah pihak yang melemparkan tuduhan, para pejabat pemerintah terkadang menggunakan kartu
kedaulatannya, setidak-tidaknya berkenaan dengan ODA yang datang dalam bentuk pinjaman. Para manajer proyek pada beberapa badan donor kadang kala berhasil diyakinkan untuk mengabaikan praktek KKN karena pada akhirnya seluruh pinjaman bagaimanapun akan dikembalikan oleh pemerintah Indonesia. Akhirnya, jaringan gelap namun canggih dari para penjahat yang terorganisasi (dikenal sebagai preman), yang dikendalikan oleh para tokoh politik dan militer, dapat dikerahkan untuk mengintimidasi setiap orang yang diduga berniat membongkar KKN dalam proyek-proyek Para pejabat Indonesia tidak pembangunan. (Anehnya, hal yang sama dilakukan juga pada hanya diam jika proyeksetiap orang yang tuntutan suapnya melewati batas proyek dikecam. Mereka “praktek yang berlaku”.) Staf badan donor jarang diintimidasi, namun mereka merupakan ancaman nyata bagi sering kali membalas dengan para konsultan proyek dan pejabat muda sehingga terus strategi tiga lapis. memperkokoh budaya membisu dan membiarkan korupsi menancapkan akarnya makin jauh ke dalam program bantuan luar negeri.
Korupsi dalam Sorotan — KKN setelah Jatuhnya Soeharto Seperti hal-hal lain di Indonesia, jatuhnya rezim Orde Baru secara tiba-tiba membolehkan cahaya baru menyinari realitas politik, sosial dan ekonomi yang telah lama tak dilaporkan secara resmi. Dalam waktu semalam tirai “industri” korupsi tersingkap. Dalam beberapa hari setelah pengunduran diri Soeharto, akronim KKN yang sekarang telah terkenal muncul di bibir hampir setiap pengayuh becak dan pedagang kaki lima di seluruh nusantara. Ini tidak berhenti pada tingkat jalanan, namun masuk ke kantor-kantor pemerintah, ruang rapat perusahaan swasta, dan lorong-lorong kantor setiap lembaga donor yang ada di kota. Apa yang hampir tidak dapat diungkapkan selama hampir tiga puluh tahun, sekarang jelas menjadi topik pembicaraan yang serius (dan populer). Media yang baru dilepas dari kekangan, berbagai organisasi masyarakat madani — yang baru maupun lama — dan lusinan orang yang bercita-cita menjadi
63
politisi menggunakan kesempatan ini untuk mengungkapkan semua yang mereka ketahui tentang KKN. Lembaga-lembaga donor mengalami tekanan yang kian bertambah untuk bertindak terhadap korupsi, baik dalam proyek-proyek mereka dan sebagai bagian dari agenda reformasi pemerintahan yang lebih besar. Ironisnya, dibutuhkan “kebocoran” jenis lain untuk memicu tindakan anti-korupsi yang paling berarti yang pernah diambil oleh badan donor di Indonesia. Ketika memo berjudul “Summary of RSI Staff Views Regarding the Problem of ‘Leakage’ from World Bank Project Budgets” (Ringkasan Pandangan Staf RSI tentang Masalah ‘Kebocoran’ dari Anggaran Proyek Bank Dunia) dibocorkan ke media,57 tekanan terhadap Bank Dunia, dan terhadap badan-badan donor lain yang semua kegiatannya menjadi sasaran praktek KKN yang sejenis, sangat besar.58 Dalam beberapa hari, serangan-serangan masyarakat dan pers — banyak yang berlebihan dan tak semuanya akurat — mengecam Bank Dunia (secara tidak adil, sebagaimana disetujui oleh kebanyakan pengamat, karena keadaan tersebut juga menimpa para donor besar lainnya) untuk sikapnya yang dituduh mendua. Editorial Washington Times merupakan sesuatu yang tipikal: Memang, Bank Dunia telah menghabiskan waktu selama satu generasi dengan sikapnya yang sama sekali tidak menunjukkan minat terhadap korupsi yang menjarah sebagian besar pinjaman-pinjamannya yang bernilai miliaran dolar. Dalam ungkapan yang gamblang mengenai hubungan bank tersebut dengan Indonesia dan klan Soeharto yang telah berlangsung beberapa dekade, yang di sepanjang masa itu Bank Dunia memberi pinjaman sebesar US$ 25 miliar kepada Indonesia, The Wall Street Journal baru-baru ini memberitakan bagaimana pemerintah Indonesia berulang kali menggertak Bank Dunia untuk membuat keadaan ekonomi Indonesia tampak bagus dan tidak mempedulikan korupsi yang merajalela. Indonesia menggunakan laporan bank yang bagus itu untuk meredam kritik dan untuk memperoleh peringkat kredit yang kokoh, dan yang menarik investasi asing yang bernilai miliaran dolar, yang sebagian besar telah lari ketika menjadi jelas bahwa landasan Indonesia tidaklah sekokoh yang diberitakan.59
64
Di tengah gelombang kritik tersebut, bahasa donor bergeser, meski terlambat,
ke arah bagaimana gelombang tersebut dapat diubah arahnya menjadi perlawanan terhadap korupsi. Dalam sebuah tanggapan atas tekanan media yang meningkat, Wakil Presiden Bank Dunia yang sama, yang sebelumnya tak mengakui adanya korupsi dalam proyek-proyek yang didanai oleh Bank Dunia, menulis: Kampanye melawan korupsi mengambil bagian besar dalam dialog kami dengan Pemerintah… [dan] dengan seluruh masyarakat madani Indonesia, pada saat munculnya kesempatan yang tak terduga untuk melakukan debat terbuka dan bersemangat. Hal ini terjadi dengan latar belakang timbulnya kesadaran bahwa korupsi di Indonesia telah merasuk sedemikian dalamnya sehingga akan dibutuhkan waktu yang lama untuk memperbaikinya — termasuk perubahanperubahan besar terhadap cara pegawai negeri menjalankan fungsinya.” 60 Tanpa menunjukkan ironi sedikit pun, para pejabat senior pemerintah Indonesia, baik yang baru maupun lama, turut serta dalam gelombang upaya melawan korupsi. Dalam sebuah surat kepada Country Director Bank Dunia, bertanggal 21 Agustus 1998, Ginandjar Kartasasmita, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri pada saat itu (yang saat ini menghadapi tuduhan-tuduhan korupsi), dengan jujur menulis: Masyarakat Indonesia sebagaimana para pengamat internasional, termasuk Bank Dunia, telah lama mengkhawatirkan masalah KKN yang makin berkembang. Dengan adanya perubahan dalam lingkungan politik yang terjadi akhir-akhir ini, pemerintah saat ini berada dalam posisi untuk mengatasi masalah-masalah KKN secara langsung. Anda mungkin ingat bahwa Anda dan saya mulai mengupayakan beberapa cara baru untuk memerangi korupsi di sektor-sektor publik ketika saya masih menjabat Menteri Perencanaan; ketika kita mulai membicarakan pendekatan-pendekatan baru guna mengurangi korupsi dalam pemerintah dan proyek-proyek yang didanai oleh donor, sesaat sebelum akhirnya terjadi krisis moneter di Indonesia pada bulan Agustus yang lalu. Ketika krisis moneter menjadi makin parah, fokus kita bergeser dari masalah-masalah umum mengenai korupsi ke arah isu-isu KKN
65
tertentu, termasuk yang berkaitan dengan monopoli-monopoli yang dilindungi pemerintah dan kebocoran-kebocoran yang terjadi pada saat dana-dana dipindahkan melalui tingkatan pemerintah yang berlapis-lapis… sekaranglah waktunya untuk kembali ke masalah-masalah yang lebih luas mengenai bagaimana merumuskan sebuah strategi untuk menciptakan lingkungan di mana KKN tidak dapat hidup …Saya akan sangat berterima kasih jika Bank Dunia bisa memberi bantuan kepada Menteri Hartarto [Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara] dan pemerintah dalam mencari cara-cara untuk menghambat praktekpraktek KKN selama-lamanya.61 Surat ini memicu serangkaian tindakan yang cepat dan berskala besar, yang dimulai oleh misi Bank Dunia yang banyak disoroti. Tampak jelas bahwa aturan main tentang bongkar-membongkar korupsi di muka umum berubah. Tiba-tiba menjadi mode bagi para donor untuk mengakui tingginya tingkat korupsi dan untuk mengisyaratkan tindakan apa yang mereka rencanakan terhadap masalah ini. Selama misi Bank Dunia dan beberapa pekan setelahnya, liputan utama media di Indonesia 62 berfokus pada krisis korupsi dan memperingatkan konsekuensinya yang menakutkan jika masalah ini tidak segera dikendalikan. Sementara Aide Memoire yang dihasilkan misi ini lebih bersifat hati-hati, dan merumuskan temuan-temuannya dengan peristilahan yang “lembut”, ia jelas memaparkan permasalahannya: Korupsi yang sistemik ini diduga telah menghinggapi hampir semua proyek pembangunan, termasuk investasi Bank Dunia dan yang didanai oleh donor lain. Hendaknya ditandaskan bahwa misi tidak ditujukan untuk mengevaluasi tuduhan apapun, dan tidak memiliki kemampuan atau mandat untuk melakukan hal tersebut. Begitu pula, dan dengan sebab-sebab yang sama, ia tidak berupaya menilai secara kuantitatif skala korupsi, atau kerugian keuangan atau ekonomi yang diakibatkannya.63 Aide Memoire selanjutnya mencatat keprihatinan yang berkembang tentang kegiatan bantuan:
66
Kepercayaan kian menipis bahwa dana publik dan swasta, dari Indonesia maupun luar negeri, yang dikerahkan untuk program-program pembangunan benar-benar
telah digunakan dengan baik untuk tujuan yang dimaksudkan semula, dan dengan hasil yang efektif. Keprihatinan misi selanjutnya adalah bahwa, sehubungan dengan krisis ekonomi dan sosial, korupsi bisa menjadi lebih parah di masa mendatang.64 Walaupun bernada memperingatkan, tim Bank Dunia mengusulkan dilakukannya tindakan mendesak di berbagai front: melindungi program jaringan keamanan sosial yang berprioritas tinggi dengan “memaklumatkannya sebagai prioritas nasional yang tertinggi dan tak boleh disentuh penundaan atau korupsi”; segera mencapai kemajuan dalam transparansi dan informasi, termasuk tindakan konkret untuk membuat undang-undang “kebebasan informasi” dan “perlindungan bagi pemberi informasi”; dan, memulai “proses bersinambung untuk merumuskan dan memajukan suatu strategi antikorupsi nasional” yang dapat dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan didirikannya suatu Satuan Tugas atau Komisi Reformasi Pemerintahan (Governance Reform Task Force or Commission).65 Di muka umum, para pejabat senior pemerintah menyambut rekomendasi Misi dengan sepenuh hati, menjanjikan pemberantasan segala bentuk korupsi. “Pemerintah akan melindungi pihak yang melapor kasus korupsi terhadap ancaman atau pembalasan”, kata Menteri Hartarto pada konferensi pers sewaktu misi Bank Dunia dimulai.66 Namun demikian, secara pribadi banyak pegawai negeri yang menggerutu bahwa mereka diserang secara tidak adil pada saat terjadinya kerawanan politik dan ekonomi. Mereka tidak suka menyaksikan apa yang mereka anggap sebagai upaya donor untuk memaksa pemerintah menghamba — semacam “menendang pada saat kami terjatuh”, sebagaimana diucapkan seorang pejabat senior.67 Anehnya, hal ini seakan menimbulkan sentimen agar rekomendasi donor tentang KKN tidak perlu dianggap terlalu serius. Para pengamat masyarakat madani juga memandang proses tersebut dengan sangat skeptis. Sebagaimana diucapkan oleh Rizal Ramli (jauh sebelum ia menempati jabatan penting di kabinet): “Sungguh naif mengharapkan sebuah tim internal untuk menyelidiki kasus korupsi secara transparan dan obyektif.”68
67
Bila kita menoleh ke belakang, dapat dikatakan bahwa Misi Bank Dunia yang ini — berikut misi-misi sebelumnya, dan peringatan-peringatan dari banyak kunjungan yang dilakukan, beserta laporan dan rekomendasi dari donor-donor lain — secara praktis berdampak kecil terhadap KKN di dalam maupun di luar proyek-proyek bantuan luar negeri. Sementara tingkat pengungkapan korupsi secara publik telah berubah, aturanaturan dasar yang melandasi jaringan KKN yang kompleks tak berubah. Keadaan memang berubah sepanjang ia menyangkut Bank Dunia, ODA dan ADB yang sekarang berperan kritis dalam perekonomian Indonesia, namun hal ini tidak dengan sendirinya mengisyaratkan perubahan sikap. Masalah yang timbul dalam mempertontonkan profil KKN adalah bahwa ia meningkatkan harapan masyarakat bahwa tindakan konkret akan diambil untuk melawannya. Kalau hal itu tidak terjadi, maka ia akan meningkatkan sinisme, suatu faktor penting dalam memicu krisis sosial dan politik yang menghantui Indonesia hingga hari ini.
Terlalu Sedikit, Sudah Terlambat — Mengapa Prakarsa Anti-Korupsi Sebelumnya Gagal Mengapa dibutuhkan waktu begitu lama sebelum komunitas donor melakukan upaya bersama untuk memerangi korupsi dalam program bantuan luar negeri? Kalau staf badan donor secara jelas mengetahui bahwa semua itu terjadi dalam proyekproyek yang berada di bawah pengawasan mereka, mengapa mereka tampak tak mampu melakukan sesuatu mengenai hal tersebut?
68
Ada berbagai jawaban atas pertanyaan tersebut, tapi yang jelas adalah bahwa walaupun korupsi berdampak sangat merusak terhadap perekonomian sebagaimana dibuktikan oleh banyak penelitian yang mereka lakukan sendiri, para donor tetap gagal mengembangkan suatu strategi anti-korupsi yang efektif. Menyadari inti masalah ini, laporan Bank Dunia tahun 1998 mengakui:
Misi kami mengkonfirmasi laporan-laporan sebelumnya mengenai korupsi di Indonesia: bahwa hal tersebut telah merajalela, melembaga, dan merupakan penghambat yang signifikan terhadap keseluruhan pertumbuhan ekonomi dan manfaat bantuan Bank.69 Sejarah mencatat bahwa upaya para donor telah gagal untuk menciptakan dampak yang nyata pada sistem korupsi dan kolusi yang merajalela. Karena berbicara mengenai KKN merupakan hal yang tabu selama era Soeharto, maka banyak badan donor cenderung membatasi upaya anti-korupsi mereka pada tindakan yang lebih bersifat defensif ketimbang ofensif. Upaya yang sering dilakukan adalah untuk memperketat kendali dan bukan untuk membuktikan telah terjadinya suatu pelanggaran. Tiada seorang pun anggota staf donor yang diwawancarai selama penelitian ini, misalnya, yang dapat mengingat adanya suatu upaya untuk mengajukan tuntutan hukum atau upaya hukum lainnya — bahkan untuk kasus-kasus yang luar biasa sekalipun — untuk memperoleh kembali dana-dana proyek Upaya para donor kurang yang masuk ke saku pemerintah atau kontraktor. Walau efektif dalam keengganan tersebut dapat dimengerti, mengingat betapa ganjilnya persyaratan pembuktian dalam suatu sistem peradilan membendung kerugian. yang amat korup, namun ia juga menghalalkan budaya kebal Beberapa di antaranya hukum yang merupakan hambatan utama dalam perang melawan dilakukan setengah hati KKN. Dengan beberapa pengecualian, upaya yang ditempuh para donor tidak terlalu efektif dalam membendung kerugian. Beberapa di antaranya dilakukan setengah hati dan oleh karena itu tidak dipandang terlalu serius (baik oleh para donor maupun para pejabat pemerintah), namun sebagian besar upaya tersebut gugur sebagai korban kecerdikan dan ketangguhan jaringan KKN di Indonesia. Memasukkan perusahaan-perusahaan konsultan atau orang-orang yang diduga korup merupakan upaya yang dimaksudkan untuk membatasi KKN. Namun hal ini telah dilaksanakan dengan terlalu hati-hati (para donor tidak mau terjerat dalam proses
69
gugat-menggugat di pengadilan), dan tanpa kriteria yang jelas. Sampai sekarang, para donor besar tidak pernah mempublikasikan ataupun berbagi daftar hitam mereka. Lagi pula, mudahnya suatu perusahaan konsultan mengubah nama mereka atau dengan cara lain menciptakan badan hukum baru untuk meneruskan pekerjaan mereka patut dicatat. “Mereka seperti hydra (naga berkepala lima)”, ujar seorang konsultan asing. “Dipenggal satu kepalanya, dalam beberapa minggu muncul penggantinya. Orang-orangnya sama, hanya namanya yang diubah.”70 Para donor sering kali terbukti kurang waspada dalam membarui daftar hitam mereka, suatu tugas yang menjadi makin rumit bila pelaksanaan tender untuk pembelian dan pemborongan dipecah berdasarkan daerah. Sebuah proyek besar Bank Dunia untuk penyediaan air, misalnya, mendaftarhitamkan salah satu dari perusahaan konsultan teknik terbesar di Indonesia karena kinerjanya yang buruk dan dugaan Konsultan IMF berpendapat, korupsi di Maluku. Tak sampai dua bulan kemudian perusahaan yang sama telah diberi (oleh panitia penilaian provinsi) kontrak pergantian pegawai negeri serupa di provinsi lain.
senior yang sangat cepat dua tahun terakhir ini meningkatkan kerakusan dalam sistem penjarahan.
Kita bisa mengasumsikan bahwa pimpinan Indonesia dewasa ini tidak dapat diandalkan untuk mengatasi penyakit KKN yang sudah meruyak ke mana-mana. Meski banyak organisasi masyarakat madani dan wartawan yang berani membongkar banyak kasus, baik yang mencolok maupun yang biasa, pengungkapan tersebut tak berhasil membendung penyalahgunaan dana publik untuk tujuan pribadi. Seperti sudah dijelaskan, mekanisme yang diterapkan oleh para birokrat untuk mengendalikan korupsi cenderung menjadi bagian dari masalah, bukan solusi.
Adakah Harapan?
70
Ini merupakan cerita tentang “kabar baik/kabar buruk”. Kabar baiknya adalah bahwa para donor tengah menyerang isu korupsi dengan lebih bersemangat daripada sebelumnya. Lebih banyak informasi proyek dan kebijakan telah diumumkan dan disebarkan kepada lingkungan masyarakat yang lebih luas. Pengawasan proyek diberi bagian yang
lebih besar dari anggaran dan dilakukan dengan lebih serius. Staf berkebangsaan Indonesia yang bekerja pada badan-badan donor telah mendeteksi adanya sikap yang lebih serius dari para manajer proyek berkenaan dengan pengawasan pembelian dan manajemen yang mereka lakukan. Donor lebih banyak bekerja sama, terutama antara ADB dan Bank Dunia, dalam langkah-langkah melawan korupsi. Mereka, umpamanya, secara bersama mendesak pemerintah untuk mendirikan “Biro Pembelian Umum Nasional” untuk mengatasi banyak masalah yang terkait dengan proses tender yang terdesentralisasi. 71 Audit dilaksanakan lebih tekun dan diteliti secara lebih hati-hati dibanding di masa lalu. Ada isyarat bahwa biro audit pemerintah telah berangsur memperbaiki cara kerjanya. Hotline Korupsi dan unit-unit penyelidikan internal telah didirikan. Bahkan petunjuk samar-samar pun mengenai KKN dalam proyek diperiksa secara sungguh-sungguh. Semuanya pasti akan berpengaruh dalam mengurangi korupsi, meski masih terlalu dini untuk mengukur dampak kebijakan ini. Kabar buruknya adalah bahwa tidak ada sektor publik maupun swasta di Indonesia yang mengikuti langkah tersebut. Komisi-komisi dan satuan tugas anti-korupsi, yang sebagian besar diberi anggaran jauh di bawah kebutuhan minimal, telah dibentuk tanpa menunjukkan tindakan efektif. Yang tampak adalah bahwa “tidak hanya korupsi tingkat tinggi dan tingkat menengah yang terus berlangsung, namun masalahnya telah menjadi makin memburuk. Kebiasaan mencuri, kesempatan bagi pendatang baru untuk datang ke kenduri KKN, dan politik uang adalah satu sebab. Sebab yang lain adalah ambruknya pemerintahan otoriter, yang selama ini boleh dikatakan mengendalikan dan memimpin KKN.”72 Pendapat di kalangan para konsultan bantuan luar negeri yang disurvei untuk tulisan ini saling berbeda. Seorang di antara mereka berpendapat bahwa beberapa administrator proyek pemerintah yang dikenal sangat korup dalam bulan-bulan terakhir ini tampak tersingkir. Pelaksanaan tender kelihatannya berlangsung secara jujur dan terbuka. Namun sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa semuanya berjalan seperti semula (business as usual) di kebanyakan kantor-kantor pemerintah dan kontraktor.
71
Seorang konsultan IMF berpendapat bahwa pergantian pegawai negeri senior (eselon I dan II) yang sangat cepat dua tahun terakhir ini tampak sebagai faktor yang menyebabkan “meningkatnya kerakusan dalam sistem penjarahan”. Kian banyak anggota DPR dan pejabat partai politik berupaya untuk masuk ke dalam sistem tersebut dan turut serta dalam pesta KKN. Tak diragukan lagi bahwa kelompokkelompok politik pasca Orde Baru yang saling bersaing telah menggantikan sistem patronase politik Orde Baru yang lebih jelas. Akibatnya, pihak-pihak yang mau membeli koneksi terpaksa membagi-bagi uang sogokannya di kalangan lebih luas. Para konsultan Indonesia, misalnya, memberitakan kabar angin yang tersebar luas tentang “sungai uang yang membanjir ke DPR” untuk mencegah pengesahan undangundang yang merugikan. 73 Beberapa konsultan melaporkan banyaknya pegawai negeri dalam posisi “basah” yang strategis mulai khawatir bahwa tindakan keras terhadap korupsi kali ini akan menunjukkan hasil. Kendati buktinya masih berupa cerita, namun dikatakan bahwa kekhawatiran ini telah meningkatkan KKN di beberapa proyek. Dalam suasana “mumpung”, orang-orang pemerintah dan kontraktor yang korup meraup apa yang dapat mereka jarah selagi bisa. Kekhawatiran tambahan yang diungkapkan oleh staf donor dan para konsultan adalah bahwa undang-undang otonomi dapat melunturkan dampak potensial dari upaya-upaya baru dalam memerangi korupsi. Mereka cemas akan munculnya “Soeharto-Soeharto kecil” dalam jumlah besar, dengan daerah kekuasaan dan jaringan kroninya masing-masing. Para pengamat yang obyektif dan menilai masalah korupsi terutama dari sudut pandang bisnis, tidak melihat adanya perubahan yang berarti — suatu resep mujarab untuk kesinambungan pesimisme yang berkelanjutan. The Political and Economic Risk Consultancy (PERC), misalnya, masih menilai Indonesia sebagai negara paling korup di peringkat kedua dalam survei “Indeks Persepsi Korupsi” (“Perception of Corruption Index”) yang diterbitkannya setiap tahun. 74
72
Berkenaan dengan langkanya kemajuan di front anti-KKN ini, pertanyaan yang sulit dijawab adalah apa yang harus lebih dulu terjadi sebelum para donor
siap mengenakan sanksinya yang terberat, yakni menghentikan bantuan? Sudah beberapa tahun lamanya para pengkritik organisasi multilateral para donor dari lingkungan masyarakat madani menganjurkan suatu moratorium semacam itu. Namun bagi kebanyakan donor bantuan luar negeri yang besar, khususnya mereka yang memberi bantuan pembiayaan dalam bentuk utang, penundaan sementara pun dari program bantuan mereka, sebagaimana diungkap oleh seorang anggota staf ADB adalah, “hampir tidak dapat dibayangkan”. 75 Proyek-proyek tertentu dapat dan memang telah dibatalkan, namun ADB mengindikasikan bahwa sanksi paling keras yang dapat mereka bayangkan hanyalah penundaan bantuan sektoral. Dengan ekonomi Indonesia yang parah, dan makin besarnya peran bantuan luar negeri untuk mengurangi defisit anggaran pemerintah, para ekonom memperingatkan akan konsekuensi-konsekuensi makroekonomi potensial yang serius bila moratorium bantuan diterapkan. Mungkin lebih penting lagi, pemberian bantuan yang berkelanjutan, Para pengamat yang obyektif sekalipun dengan maksud baik untuk mengurangi dan menilai masalah korupsi kemiskinan, merupakan dasar bagi eksistensi kebanyakan organisasi-organisasi donor. terutama dari sudut pandang
Pe n u n d a a n p e m b e r i a n b a n t u a n t i d a k h a n y a bisnis, tidak melihat membawa risiko kehilangan pengaruh terhadap kebijakan perubahan berarti. pemerintah Indonesia, ia juga dapat membuat badanbadan bantuan kehilangan arti. Ada juga kekhawatiran bahwa hal tersebut bisa membuat pemerintah Indonesia enggan mengembalikan pinjaman-pinjaman yang terutang. Itulah sebabnya mengapa pemerintah Indonesia tampak menganggap enteng kemungkinan terjadinya penundaan bantuan. Seperti dijelaskan oleh Sebastian Pompe, seorang konsultan IMF, berkenaan dengan reformasi hukum, “Pihak Indonesia terus mengandalkan anggapan bahwa pihak Barat akan menolong mereka atas dasar pertimbangan geopolitik, betapapun parahnya keadaan KKN.” 76
73
Apa yang Harus Dilakukan? Sebagian besar informasi yang dimuat dalam laporan ini bukan merupakan hal baru bagi pihak yang pernah terlibat dalam perencanaan atau pelaksanaan proyekproyek bantuan luar negeri di Indonesia. Mereka juga mungkin sudah hafal isi sejumlah besar daftar rekomendasi mengenai cara memerangi korupsi yang telah dipersembahkan oleh para donor sebagai hasil misi-misi kunjungan mereka. Seperti halnya dengan sumber-sumber pendapatan yang lain, program bantuan luar negeri akan terus dihantui oleh KKN. Kemajuan pada front anti-korupsi kemungkinan akan tetap berlangsung sangat lambat. Sinisme masyarakat terhadap kemungkinan akan ada penindakan koruptor akan terus meninggi selama tidak ada perubahan dalam tiga komponen saling berjalin yang memfasilitasi jaringan KKN:
• sistem birokrasi kepegawaian negeri yang merekrut dan memberi gaji kepada para pegawainya di bawah garis biaya kehidupan layak, dengan harapan agar mereka mencari sendiri tambahan untuk upah dasar dan uang saku mereka untuk dapat hidup secara layak;
• sistem hukum dan peradilan di mana para hakim dan para penegak hukum sering kali secara terus terang mengakui memiliki “integritas moral yang buruk,” 77 di mana putusan-putusan dapat dibeli dan di mana sanksi-sanksi yang kredibel begitu langka, dan setiap orang yang mempunyai sumber dana yang besar dapat bertindak seolaholah kebal hukum; dan
• yang paling gawat, suatu sistem nilai yang terpelintir setelah dirusak selama empat puluh tahun, sedemikian rupa sehingga siapa pun yang menduduki posisi kewenangan, walaupun hanya secara formal, sudah terbiasa dan kecanduan akan penghasilan tambahan yang diperoleh dari korupsi. Bagi banyak orang, hal tersebut bukan lagi soal korupsi, melainkan masalah hak, suatu hak istimewa yang melekat pada posisi yang diduduki.”78
74
Yang terakhir inilah yang merupakan tantangan terbesar — perubahan sikap selalu paling sulit dicapai. Sebelum ketiga faktor yang merupakan soko guru korupsi ini ditangani oleh orang Indonesia sendiri — di sektor publik, swasta dan kewargaan —
niscaya KKN akan terus merajalela. Kesimpulan bahwa perang melawan KKN harus dipimpin oleh orang Indonesia sudah jelas, bahkan boleh dikatakan “basi”. Namun demikian, meski badan-badan donor tak mungkin sendiri mengalihkan arus, mereka hendaknya tidak meninggalkan tanggung-jawabnya. Para donor perlu terus melibatkan diri dalam dua hal penting:
• selalu bersikap waspada dalam mengamankan proyek-proyek mereka dari ancaman korupsi dan menerapkan sanksi-sanksi nyata manakala bukti adanya KKN terungkap; dan
• mempertahankan dan bahkan meningkatkan tekanan — dengan menggunakan pemikat dan hukuman — untuk mencapai perbaikan kebijakan secara nyata dalam pengelolaan yang baik, termasuk langkah-langkah dan mekanisme khusus untuk melawan korupsi. Dalam hal pengamanan proyek-proyek, banyaknya misi anti-korupsi yang dilaksanakan para donor dalam tiga tahun terakhir ini telah menghasilkan banyak sekali rekomendasi yang, bila diterapkan secara sungguh-sungguh, pasti akan memberi lapisan pengaman teknis yang lebih kokoh bagi berbagai inisiatif proyek. Bersama dengan mekanisme penyelidikan seperti Unit Korupsi, Penipuan dan Penyelidikan yang dibentuk oleh Bank Dunia yang baru dan kemauan yang lebih besar untuk mengenakan sanksi-sanksi secara nyata, kemajuan pasti tercapai, meski secara bertahap. Apa yang kurang dalam kebanyakan gagasan anti-korupsi yang diprakarsai donor adalah upaya mengikutsertakan para warga masyarakat sendiri — masyarakat yang diharapkan memperoleh manfaat dari proyek-proyek bantuan dan melalui masyarakat madani pada umumnya (LSM, perguruan tinggi, gerakan massa, organisasi-organisasi kontrol sosial, dan lembaga pemikir yang independen) — dalam upaya melawan korupsi. Secara khusus, para donor harus meningkatkan keikutsertaan masyarakat dan masyarakat madani dengan memasukkan tiga tema yang terus-menerus muncul dalam rancangan proyek: 79
75
1. Meningkatkan akses publik pada Informasi: Pegawai negeri Indonesia “berkecenderungan endemis untuk menghindari pemberian informasi [proyek], atau membatasi aksesnya hanya kepada petugas dan elit.” 80 Meningkatkan transparansi proyek berkaitan langsung dengan pertanggungjawaban yang lebih besar atas penggunaan dana publik. Para donor harus berusaha lebih keras lagi untuk memastikan bahwa informasi keuangan, mekanisme pengambilan keputusan, dan proses kontrak-mengontrak mudah diakses oleh publik dan terutama oleh mereka yang akan menarik manfaat dari hasil proyek. Bila informasi tentang proyek dibuka untuk diperiksa oleh publik, maka hal itu akan memberdayakan masyarakat untuk melakukan pemantauan sendiri. Ini harus didampingi oleh pemantauan independen organisasi masyarakat madani yang dapat dipercaya. Para donor harus menyediakan biaya dan mekanisme khusus untuk kedua jenis pemantauan tersebut dalam setiap rancangan proyek. 2. Menyederhanakan transaksi proyek: Kerumitan transaksi pendanaan dan transaksi kontrak-mengontrak telah menciptakan perisai yang justru melindungi, bukan membongkar, jaringan KKN yang telah menyedot sebagian besar dari dana ODA. Sedapat mungkin, keputusan tentang alokasi dan penggunaan dana pembiayaan proyek diserahkan pada tingkatan kecamatan atau desa, paling tidak untuk program-program pembangunan masyarakat yang berfokus pada pengurangan kemiskinan. 3. Menyelidiki keluhan: Dengan tidak menanggapi tuduhan-tuduhan korupsi dalam proyek-proyek bantuan secara efektif dan segera, para donor telah secara nyata mendorong praktek KKN. Proyek-proyek harus mempunyai mekanisme penanganan keluhan yang tepercaya dan yang dapat mengenakan sanksi yang tepat bila penyelidikan menemukan bukti terjadinya korupsi. Melindungi orang-orang yang mengeluh dari bahaya pembalasan sama pentingnya dengan menyelidiki keluhankeluhan mereka.
76
Perlu diingat bahwa walaupun kebijakan yang lebih efektif untuk mengurangi korupsi dalam program bantuan dilaksanakan, namun keseluruhan kerangka
pengelolaan (governance framework) yang mendukung KKN akan melawan langkahlangkah khusus pada tingkat proyek. Pada tingkat makro ini, penanggulangan korupsi akan berupa perang jangka panjang dan sering kesepian. Meski tak terlalu membesarkan hati, orang Indonesia perlu menyadari bahwa banyak negara “maju” melalui periode yang sama dan pada akhirnya berkembang menjauh dari pola-pola korupsi yang sistematis. 81 Betapapun besarnya rasa patah-semangat, para donor harus tetap melibatkan diri pada front yang lebih luas ini. Bila tekanan donor melenyap, peluru yang tersisa bagi para pemimpin gerakan reformasi di dalam negeri hanyalah slogan-slogan moralitas yang hampa. Meski hanya sedikit ruang tersisa untuk optimisme, beberapa pengamat mendeteksi adanya gerak bertahap ke arah yang benar: Permintaan donor agar diselenggarakan sistem pengelolaan yang sehat, serangkaian perundingan LoI (letters of intent), kajian-kajian, pemberian atau penundaan angsuranangsuran dana (tranches) yang bergantung pada penepatan janji-janji, menciptakan suatu kumpulan besar tekanan yang digunakan terhadap lingkungan Indonesia… tampak gerak ke arah yang benar. Mungkin tidak terlihat perubahan yang mencolok, dan tiada ekspansi besar-besaran dalam barisan anti-korupsi, tapi perubahan jelas ada, dan tidak akan terjadi tanpa tekanan-tekanan tersebut.82 Cerita ini pasti bersambung.
Catatan 1
Smith, Theodore M, “Corruption, Tradition and Change”, Stensilan yang tidak diterbitkan,
1970. Wawancara dan korespondensi e-mail dengan Dr. Daniel Lev, Profesor Emeritus, Department of Political Science, University of Washington, Oktober 2000 - Maret 2001. 2
Schwarz, Adam, A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability, St. Leonard’s, Australia: Allen & Unwin, 1999, h. 3. 3
4
Ibid, h. 33. Buku Schwartz memuat analisis terperinci mengenai bagaimana korupsi semakin
77
menjadi-jadi melalui sistem yang dinamakan “kroni-kapitalisme”. (Lihat Bab 2 hingga 6 dari buku ini). 5
Wawancara dan korespondensi e-mail dengan Prof. Daniel Lev, op. cit.
Sumber: data Bank Dunia dan wawancara dengan Bert Hofman, Ekonomis, Bank Dunia/ Jakarta. 6
Dua badan Jepang yang tadinya terpisah, yaitu Overseas Economic Cooperation Fund (OECF) dan Japan Export-Import Bank (JEXIM) telah dilebur menjadi Japan Bank for International Cooperation (JBIC) pada tahun 2000. 7
Karena dokumentasi Bank Dunia lebih mudah diakses dibandingkn dengan JBIC atau ADB, kebanyakan proyek yang muncul dalam tulisan ini merujuk pada kegiatan yang didanai oleh Bank Dunia. Hal ini juga mencerminkan hubungan penulis dengan Bank Dunia yang telah berlangsung lama, dan fakta bahwa ia anggota Misi Anti-Korupsi Bank Dunia yang diselenggarakan pada bulan September 1998. Banyaknya kutipan dari staf atau dokumen Bank Dunia tidak dimaksudkan untuk mengesankan bahwa korupsi yang terjadi dalam proyekproyek Bank Dunia lebih parah dibandingkan dengan yang terjadi pada proyek donor-donor lainnya. Sebagaimana telah dinyatakan, bukti menunjukkan bahwa hal itu tidak selalu demikian. 8
Sejumlah konsultan lama, baik Indonesia maupun asing, telah diwawancarai pada bulan Februari dan Maret 2001, dalam rangka riset untuk makalah ini. Jawaban-jawaban sama atas pertanyaan-pertanyaan yang sudah standar dalam wawancara menunjukkan adanya suatu konsensus yang meluas mengenai masalah-masalah pokok dalam KKN. Walaupun banyak konsultan bersedia — dan bahkan bersemangat — mengemukakan pandangannya, mereka jelas tidak menginginkan pandangan diumumkan dengan menyebut nama dalam tulisan ini. Untuk melindungi sumber-sumber tersebut dari kemungkinan pembalasan , informasi dari wawancarawawancara ini kadang kala diringkas di bawah judul “survei informal”. Kutipan langsung dari konsultan yang diwawancarai disebut sebagai “Wawancara konfidensial”. 9
Contohnya, pemerintah Jepang merupakan pendukung utama upaya pendidikan pemilih dan pemantauan pemilihan umum yang dipimpin oleh UNDP untuk pemilihan umum bulan Juni tahun 1999. 10
78
11
Dikutip dari Perceptions of Corruption Index bulan Februari/2001 yang dibuat oleh
Political and Risk Consultancy yang berbasis di Hong Kong. Diambil dari situs web PERC pada <www.asiarisk.com> Secara relatif hanya sedikit informasi yang diungkapkan tentang proyek-proyek yang didanai oleh Perserikatan Bangsa Bangsa. Untuk sebagian, hal ini disebabkan karena program UNDP dan banyak badan-badan PBB lainnya belum beroperasi dalam jangka waktu yang cukup panjang. 12
Wawancara dengan Peter Gajewski, mantan Kepala Bagian Ekonomi (Chief Economist) pada kantor USAID di Jakarta; Februari 2001. 13
14
Wawancara konfidensial, Februari 2001.
“Summary of RSI Staff Views Regarding the Problem of ‘Leakage’ from World Bank Project Budgets”; memorandum internal Bank Dunia. Memo ini disusun pada bulan Oktober 1998 oleh Steven Dice, mantan koordinator Sektor Perkotaan (Urban Sector) untuk kantor Bank Dunia di Jakarta, dibuat pada bulan Oktober 1997. Memo tersebut tidak disiarkan untuk umum hingga bulan Juli 1998. 15
16
Ibid.
Para pejabat ADB juga memperkirakan, berdasarkan informasi dari para konsultan bantuan mereka sendiri, bahwa rata-rata 15-20% dari sumber-sumber proyek disedot keluar akibat KKN, namun juga mengakui bahwa hal ini dapat secara mudah dapat melonjak sampai 40% dalam beberapa proyek. Sumber: Wawancara konfidensial; Februari/Maret 2001. 17
Sebagian besar data ini didasarkan atas laporan (yang pada saat tulisan ini masih dirahasiakan) tentang reformasi birokrasi pemerintahan yang dibuat oleh Bank Dunia, dalam kerja sama dengan ADB, pada bulan Maret 2000. 18
Biaya-biaya “rutin” berasal dari sumber-sumber Pemerintah Indonesia dan dianggarkan dalam mata uang Rupiah namun hanya mencakup “upah para pegawai untuk mencukupi nafkah hidup mereka dan pengeluaran-pengeluaran untuk keperluan operasional dan pelaksanaan yang sangat tidak mencukupi jumlahnya” bagi badan-badan pelaksana. “Anggaran pembangunan” didasarkan pada proyeksi pendapatan yang akan diterima dari sumber-sumber eksternal, termasuk proyek-proyek bantuan luar negeri. Sumber: “Summary of RSI Staff Views Regarding the Problem of ‘Leakage’ from World Bank Project Budgets” 19
79
Contohnya, sebuah laporan Bank Dunia yang masih belum diterbitkan ( Maret 2000) meliputi sebuah Lampiran berjudul, “Wet, Moderate and Dry Agencies - Assumptions and Sources” yang membuat daftar dari 53 badan kementerian, departemen, dan badan-badan usaha milik negara dari Pemerintah Indonesia menurut dugaan derajat korupsi dalam badanbadan tersebut. 20
Baum, Warren C. The Project Cycle The World Bank: Washington DC, 1996 (Original edition, 1982), halaman 8 21
22
Ibid, halaman 7.
23
Wawancara konfidensial; Jakarta, Februari 2001.
24
Wawancara dengan staf ADB yang berbasis di Jakarta; Maret 2001.
25
Wawancara konfidensial; Jakarta, Pebruari 2001.
“Summary of RSI Staff Views Regarding the Problem of ‘Leakage’ from World Bank Project Budgets”; memorandum intern Bank Dunia, Oktober 1997. 26
“Options to Reduce Negative Impact from Corruption on Bank-Financed Activities” memorandum intern Bank Dunia dari Jane Loos, Manajer Regional, EAPCO kepada Jean-Michel Severino, Wakil Presiden untuk Asia Timur & Pasifik; 19 Oktober 1998. 27
28
Sumber: Korespondensi konfidensial dengan seorang konsultan teknik asing.
Winters, Jeffrey A. “Criminal Debt in the Indonesian Context” Makalah akademis yang dipersiapkan untuk konperensi INFID; Juli 2000. Prof. Winters adalah seorang kritikus yang terkenal — banyak yang mengatakan “keras” — dari Bank Dunia. Sebuah lampiran makalah ini yang berjudul “Project Supervision in Theory and Practice” banyak mengutip staf Bank Dunia mengenai kekurangan pengawasan dan pemeriksaan terhadap proyek-proyek Bank Dunia. 29
Konferensi hantu merupakan insiden yang luar biasa legendarisnya. Instansi pemerintahan yang melaksanakan sebuah protek pertanian yang didanai Bank Dunia “bahkan mengambil langkah yang jauh untuk menciptakan konferensi hantu di suatu resor yang terletak di daerah perbukitan lengkap dengan poster-poster dan spanduk-spanduk, lembar penilaian, dan makalah-makalah diskusi. Biaya konferensi tersebut dibebankan kepada proyek, termasuk akomodasi-akomodasi, transportasi, dan pembayaran per diem untuk 30
80
suatu jumlah staf yang besar” — tidak seorang pun di antara mereka yang menghadiri apa pun. (Sumber: The Anti-Corruption Handbook, Bank Dunia, 1999)
The Anti-Corruption Handbook, Rangkaian Makalah Diskusi EASES. Bank Dunia: Washington DC, 1999. 31
“Options to Reduce Negative Impact from Corruption on Bank-Financed Activities” memorandum intern Bank Dunia, op. cit. 32
Sebagian besar informasi ini diambil dari lampiran-lampiran pada dua laporan Bank Dunia: “Standard Methods of Funds Diversion and Kickbacks” yang dipersiapkan seorang konsultan teknik (“engineering”) untuk Kepala Sosio-Ekonomis (Principal SocioEconomist) Bank Dunia pada bulan Maret 2000. Sebagai tambahan, apa yang dinamakan Dice memo melampirkan sebuah nota terpisah yang dinamakan “Typology of Informal Payments in GOI Development Projects (including World Bank Funded Investments)”. 33
Para anggota panitia seleksi biasanya sudah tahu cara-cara yang telah disepakati sebelumnya untuk membagi uang suapan tersebut. Komplikasi terkadang timbul bila jumlah kontraktor yang sudah bayar suap pada tahap prakwalifikasi (biasanya 0.5 hingga 1% dari harga kontrak) lebih banyak dari tempat yang ada dalam daftar pendek. Dengan kata lain, “…pembayaran tidak dengan sendirinya berarti bahwa nama pembayar terjamin masuk dalam daftar pendek. Di lain pihak, tidak membayar pasti berakibat tidak masuk dalam daftar pendek. Dalam proses pembuatannya, daftar pendek dapat diubah beberapa kali untuk mengakomodasi pembayaran tambahan oleh para calon penawar yang namanya tidak tercantum dalam daftar yang terdahulu.” Sumber: “Standard Methods of Funds Diversion and Kickbacks” Laporan intern Bank Dunia; Maret 2000. 34
Sebelum merosotnya nilai Rupiah, Pimpro dapat menyetujui penunjukan langsung atau tender terbatas untuk kontrak-kontrak yang bernilai hingga Rp 50 juta — sebuah insentif langsung untuk membagi proyek besar ke dalam beberapa kontrak kecil. Bupati memiliki kewenangan untuk menandatangani kontrak yang bernilai hingga Rp 5 miliar, sementara Menteri atau Gubernur yang terkait akan menandatangani kontrak yang memiliki nilai antara Rp 5 dan Rp 10 miliar. Diluar itu, kewenangan dipegang oleh Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri. Sumber: “Standard Methods of Funds Diversion and Kickbacks”. 35
81
Sumber: “Typology of Informal Payments in GOI Development Projects (including World Bank Funded Investments)”. Memo ini menggambarkan bagaimana hal ini terjadi: “…baik dengan pembuatan dokumen-dokumen yang dipalsukan untuk menunjukkan jumlah yang lebih tinggi dari apa yang sebenarnya dibayarkan maupun dengan menggunakan ‘perantara’ untuk memperoleh lahan dengan harga yang rendah yang kemudian dijual kembali kepada Pemerintah Indonesia dengan harga yang telah digelembungkan.” 36
Sebuah laporan Bank Dunia mengenai upaya anti-korupsi di Proyek Pembangunan Kecamatan (masih dipersiapkan pada saat makalah ini ditulis) mengutip sebuah penelitian yang dilakukan Bank Dunia pada tahun 1999 yang menemukan bahwa kurang dari 50% dari dana program IDT (Inpres Desa Tertinggal) diterima di desa. Bahkan pada saat itu, sekitar 15% diterima dalam bentuk tunai dan sebagian besar dari sumbangan berupa barang dianggap berkualitas buruk. 37
“Summary of RSI Staff Views Regarding the Problem of ‘Leakage’ from World Bank Project Budgets”, op. cit. 38
39
Ibid.
40
Wawancara konfidensial dengan mantan konsultan proyek.
Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah laporan: “Mengantongi uang dari pelatihan yang didanai proyek merupakan tradisi yang telah membudaya disini, dan menguntungkan bagi konsultan atau Pegawai Negeri yang kreatif. Ada beberapa alasan untuk hal ini: Hampir semua donor sangat mendukung perlunya pelatihan (siapa pula yang akan keberatan terhadap kebutuhan untuk ‘pembangunan kapasitas lembaga’ [dan] cukup sulit untuk memantau secara teliti materi dan hasil dari pelatihan.” Sumber: Lampiran laporan Bank Dunia yang berjudul “Standard Methods of Funds Diversion and Kickbacks”, op. cit. 41
Selanjutnya diganti dengan Keppres 18/2000, meskipun banyak pengamat merasa bahwa ketentuan-ketentuan yang baru hanya sedikit memperbaiki cara memerangi KKN. 42
43
Tipu muslihat yang biasa digunakan oleh para pegawai negeri, dan katanya masih terus dipraktekkan, adalah penagihan ganda atas pengeluaran untuk pemantauan proyek. 44
82
Wawancara konfidensial, Februari, 2001.
Staf pemerintah Indonesia mendapat ongkos perjalanan, hotel, dan per diem — dari anggaran pemerintah sendiri, tetapi juga mengajukan tagihan kepada perusahaan kontraktor atas biayabiaya yang sama. Untuk meningkatkan keuntungan, mereka sering kali menguangkan tikettiket pesawat, dan melakukan perjalanan dengan kereta api atau bis yang lebih murah biayanya. (Sumber: Wawancara konfidensial dengan para konsultan Indonesia dan mantan pegawai negeri.) 45
Nelson, Peter. Anatomy of a Bank Job, Nelson International Limited: Dar es Salaam,
1995. Sebagaimana halnya dengan para konsultan bantuan luar negeri yang diwawancarai untuk penelitian ini, staf badan donor umumnya menolak untuk direkam pembicaraannya. Dengan pengecualian bilamana izin secara tegas diberikan, kutipan-kutipan yang disebut berasal dari sumber-sumber ini tidak dimaksudkan untuk penyebar-luasan. 46
“The World Bank’s Anti-Corruption Efforts in Indonesia”, memorandum yang belum diterbitkan, 18 Juni 1999. 47
Diambil dari “Criminal Debt in the Indonesian Context”, Jeffrey Winters, Associate Professor untuk Economi Politis, Northwestern University. Makalah ini dipersiapkan untuk Seminar INFID Mengenai Utang Luar Negeri Indonesia di bulan Juli 2000. Ringkasan yang digunakan disini diambil dari buku karangan Devesh, Kapur, et. al., The World Bank: Its First Half Century, Washington DC: Brookings Institution Press, 1997. 48
Sumber: Schawrz, Adam; op.cit. h. 158. Kutipan ini merupakan hasil wawancara dengan Tn. Tomiyasu Nakamura, direktur urusan umum di kantor Jakarta dari Organisasi Perdagangan Luar Negeri Jepang (Japan External Trade Organization) pada tahun 1992. 49
Konsorsium pembela, INFID, melakukan penelitian terhadap sejumlah proyek-proyek pembangkitan listrik yang didanai oleh ADB, Bank Dunia dan Bank Ekspor/Impor Jerman pada tahun 1993/94. Ketika menyampaikan keprihatinan mereka mengenai permasalahan lingkungan dan KKN dengan para donor yang bersangkutan mereka diberitahu bahwa hal-hal tersebut merupakan tanggungjawab tunggal badan pelaksana dari Pemerintah Indonesia (dalam hal ini, PLN, yang mengurus penyediaan energi). Sumber: Wawancara dengan bekas staf INFID. 50
51
Siaran Pers No. 98/1426/EAP, Bank Dunia, 28 Juli 1997.
83
52
Ingatan pribadi penulis.
Kapur dkk, menggunakan istilah ini dalam buku mereka The World Bank: Its First Half Century, op.cit. Mereka mencatat bahwa Soeharto menyadari fakta bahwa “Indonesia terpilih untuk ditempatkan sebagai permata dalam mahkota operasional Bank” yang membiarkan pemimpin Indonesia untuk “tidak menunjukkan keinginan untuk menanggapi desakan agar mengambil tindakan terhadap korupsi.” 53
54
Korespondensi E-mail dengan Prof. Daniel Lev; op. cit.
55
Wawancara konfidensial dengan task manager Bank Dunia; Maret 2001.
Beberapa donor menerangkan bahwa mereka telah mengurangi tingkatan bantuan pembangunan mereka sebagai akibat dari korupsi. Namun pertimbangan ini jarang diumumkan — yang sering dinyatakan adalah bahwa kemajuan ekonomi Indonesia membuat pengurangan bantuan semakin layak dilakukan. 56
Apa yang dinamakan Memo Dice (menggunakan nama penulisnya) ditulis pada bulan Oktober 1997 namun baru dibocorkan kepada media sembilan bulan kemudian. Berita awal pers “World Bank Memo Depicts Diverted Funds, Corruption in Jakarta” muncul di halaman depan Asian Wall Street Journal, 19 Juli 1998. 57
Beberapa pengamat memberikan keterangan yang menarik mengenai Dice memo selama wawancara untuk makalah ini. Walaupun masih bersifat retoris pada tahap ini, perlu ditanyakan tindakan apa yang akan diambil para donor seandainya memo ini tidak muncul ke permukaan, meskipun secara diam-diam. Atau, apakah kecenderungan mengambil tindakan keras terhadap korupsi tidak dapat dihindari, meskipun isi memo tersebut tak terungkap? 58
“Deep shoveling in the World Bank cleanup”, Washington Times (halaman opini); 27 Juli 1998. 59
Dikutip dari memo tertanggal 20 Agustus 1998 dari Wakil Presiden Jean-Michel Severino kepada seluruh staf Bank Dunia yang bekerja untuk Indonesia. Memo tersebut memuat rancangan jawaban Bank Dunia terhadap tulisan the Wall Street Journal yang terbit pada bulan sebelumnya. 60
84
61
Surat yang dikirimi melalui faksimili dari Menteri Ginandjar kepada Dennis de Tray,
Country Director Bank Dunia untuk Indonesia; 21 Agustus 1998. Dalam selang waktu beberapa hari, liputan halaman depan Jakarta Post mencakup liputan utama seperti “Fight against graft ‘key to RI recovery” (21 September 1998) dan “Corruption threatens continued aid: WB” (24 September 1998). 62
Dikutip dari “Combating Corruption in Indonesia: Aide Memoire of the World Bank Team, September 13-20, 1998”. 63
64
Ibid.
65
Ini merupakan tiga dari rekomendasi utama yang diringkas dari Aide Memoire.
Dikutip dalam “WB sets up teams to address corruption in RI”. The Jakarta Post, 16 September 1998. Yang menarik adalah tambahan Hartarto bahwa pemerintah “juga akan melindungi hak-hak dari mereka yang dituduh korupsi”. 66
Beberapa dari pendapat ini merupakan bagian dari ingatan pribadi penulis yang pernah menjadi anggota misi Bank Dunia. 67
68
Artikel Jakarta Post tertanggal 16 September 1998; op.cit.
69 “Options to Reduce Negative Impact from Corruption on Bank-Financed Activities”; memorandum intern Bank Dunia dari Jane Loos ke Wakil Presiden Jean-Michel Severino, op. cit. 70
Wawancara konfidensial dengan mantan konsultan BAPPENAS.
Pada bulan Augustus 2000, Bank Dunia dan ADB telah menyelesaikan suatu “Country Procurement Assessment Report (CPAR))” yang memuat seperangkat informasi yang terperinci dan menyeluruh mengenai betapa perlunya Pemerintah Indonesia memperbaiki sistem pembeliannya. CPAR sekarang digunakan sebagai cetak-biru untuk mengukur kesediaan Indonesia untuk melakukan reformasi. 71
“Reflections on Corruption in Indonesia” oleh Prof. Gary Goodpaster, University of California Law School. Dikutip dari Van Zorge Report, Maret 2001. 72
Dikutip dari serangkaian wawancara konfidensial yang dilakukan pada bulan Februari dan Maret 2001 dengan konsultan asing dan Indonesia yang menyediakan bantuan teknis untuk berbagai proyek yang didanai oleh donor dan diperbantukan pada menteri-menteri departemen yang bersangkutan atau perusahaan konsultan swasta. 73
85
“Asian crisis does not spur anti-graft fight: Survey”, The Jakarta Post, 7 Maret 2001. Survei PERC mencatat bahwa tidak ada perubahan yang berarti di Indonesia selama beberapa tahun belakangan ini — dari 9.88 pada tahun 2000 menjadi 9.50 pada tahun ini, dalam skala antara 1 hingga 10, dengan 10 mewakili “yang paling korup”. Lebih nyata lagi, peringkat Indonesia jatuh dari 7.30 pada tahun 1995 menjadi 9.50 pada tahun 2001. 74
Untuk adilnya, Bank Dunia — dengan ADB yang mengikuti jejaknya — pernah menunda pembayaran untuk program pinjaman penyesuaian (namun bukan untuk proyek-proyek yang sedang dilaksanakan) setelah skandal korupsi Bank Bali pada tahun 1999. Namun hal ini terjadi karena kekhawatiran terhadap “politik uang” selama kampanye pemilihan umum nasional sebagaimana halnya disebabkan oleh kekhawatiran-kekhawatiran yang berkaitan dengan korupsi. 75
Wawancara dengan Sebastian Pompe, Konsultan Hukum dari Dana Moneter Internasional; Jakarta, Maret 2001. 76
Istilah ini digunakan oleh hakim yang baru diangkat Artidjo Alkostar, pada saat peluncuran organisasi Masyarakat Madani yang dinamakan Indonesia Judicial Watch. Dikutip dari “Real actions needed to thwart corruption: Experts”, The Jakarta Post; 16 Januari 2001. 77
78
Korespondensi e-mail dengan Professor Daniel Lev; Februari 2001.
Tema-tema ini didasarkan pada upaya-upaya untuk memerangi korupsi dalam Proyek Pembangunan Kecamatan yang didanai oleh Bank Dunia dan digambarkan dalam rancangan makalah “KDP and Corruption”. 79
80
Ibid.
Amerika Serikat, misalnya, mengalami korupsi endemis dan patronase selama setengah abad antara 1870 dan 1920. Sumber: Reflections on Corruption in Indonesia” oleh Prof. Gary Goodpaster, University of California Law School. Tulisan dalam Van Zorge Report, Maret 2001. 81
82
86
Ibid.
Kepustakaan Goodpaster, Dr. Gary. Reflections on Corruption in Indonesia. Jakarta: Van Zorge Report, Maret 2001. Kapur, Devesh, et.al. The World Bank: Its First Half-Century. Washington D.C: Brookings Institution Press, 1997. Nelson, Peter. Anatomy of a Bank Job. Dar es Salaam: Nelson International, 1995. Rooke, Peter. “National Integrity, the Enemy of Corruption, Collusion and Nepotism: a Transparency International Perspective”. Mimeograf yang tidak diterbitkan, disiapkan untuk Konferensi INFID ke- 12, September 1999. Schwarz, Adam. A Nation in Waiting: Indonesia’s Search for Stability. St. Leonard’s, Australia: Allen & Unwin, 1999. Smith, Theodore M. “Corruption, Tradition and Change”. Mimeograf yang tidak diterbitkan, 1970. Winters, Jeffrey A. “Criminal Debt in the Indonesian Context”. Center for International and Comparative Studies, Northwestern University, Juli 2000. ————— “Kebocoran Utang Luar Negeri Indonesia”. Jakarta: makalah INFID, Mei 2000. ————— “A Review of Current Initiatives on Anti-Corruption in Indonesia”. Laporan untuk ADB, dibuat oleh De Speville and Associates. Jakarta: Oktober 2000. ————— “Helping Countries Reduce Corruption: The World Bank’s Role”. Issue Briefing yang disiapkan oleh Transparency International untuk Sidang Tahunan World Bank/IMF, Agustus 2000. ————— “Perceptions of Corruption Index.” Survei Tahunan yang dibuat oleh Political and Economic Risk Consultancy. Website: www.asiarisk.com ————— “World Bank Policies Encourage Corruption”. Issue Briefing yang disiapkan oleh Corner House, untuk Sidang Tahunan World Bank/IMF, Agustus 2000.
87
Dokumen-Dokumen World Bank, Washington D.C & Jakarta “The Anti-Corruption Handbook”. Seri Makalah Diskusi EASES. “Combating Corruption in Indonesia: Aide Memoire Tim World Bank, September 13-20, 1998”. Laporan yang tidak diterbitkan, Oktober 1998. “Controlling Corruption in World Bank-Financed Projects”. Laporan untuk pertemuan Consultative Group for Indonesia, Februari 2000. “Corruption Doesn’t Pay: A Proposal to Strengthen Anti-Corruption Sanctions in Indonesia”. Rancangan Usul, Januari 1999. “Corruption in the East Asia and the Pacific Region: Strategic Framework and Action Plan.” Rancangan Usul, September 1998. “GOI and the World Bank Agree to Develop Anti-Corruption Programs”. Joint Press Statement, 14 September 1998. “Indonesia and the World Bank”. Press release No. 98/1426/EAP. 17 Juli 1998. “KDP and Corruption”. Rancangan Laporan, Februari 2001. “Options to Reduce Negative Impact from Corruption on Bank-Financed Activities”. Memorandum internal dari Jane Loos, Regional Manager, EAPCO, Oktober 1998. “The Project Cycle”. Brosur informasi umum oleh Warren C. Baum, 1996. “Reforming the Public Procurement System”. Ringkasan dari “Country Procurement Assessment Report”, disusun bersama oleh World Bank dan ADB, Agustus 2000. “Standard Methods of Fund Diversions and Kickbacks”. Annex pada laporan yang disusun oleh Resident Principal Socio-Economist, Maret 2000. “Summary of RSI Staff Views Regarding the Problem of ‘Leakage’ from World Bank Project Budgets”. Memorandum Internal, Oktober 1997. “Typology of Informal Payments in GOI Development Projects.” Addendum pada Memorandum Internal, Oktober 1997.
88
“The World Bank’s Anti-Corruption Efforts in Indonesia”. Memorandum Internal, Juni 1998.
Dokumen-Dokumen Asia Development Bank, Manila dan Jakarta “Anti-Corruption Policy”. Laporan yang disusun oleh ADB Strategy and Policy Office, Juni 1998. “Good Governance and Anti-corruption: The Road Forward for Indonesia”. Makalah pada Rapat CGI Ke-8, Juli 1999.
Tulisan di Suratkabar The Jakarta Post “WB sets up teams to address corruption in RI”, 16 September 1998. “Fight against graft ‘key to RI recovery’”, 21 September 1998. “Corruption threatens continued aid: WB”, 24 September 1998. “Real actions needed to thwart corruption: Experts”, 16 Januari, 2001. “Asian crisis does not spur anti-graft fight”, 07 Maret, 2001.
Surat Kabar Lain “World Bank Memo Depicts Diverted Funds, Corruption in Jakarta”. Asian Wall Street Journal, 19 Juli 1998. “Skandal Bank Bali dan Politik Bank Dunia.” Kompas, 13 September 1999. “Indonesia warned of aid cutoff”. The Washington Post, 25 Agustus 1999. “Deep shoveling in the World Bank cleanup”. The Washington Times, 23 Juli 1998.
89
Korupsi di Sektor Swasta Oleh Nasir Tamara
Pendahuluan Ada persepsi kuat di kalangan internasional bahwa Republik Indonesia adalah salah satu negara paling korup di antara seluruh negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada Indeks Persepsi Korupsi tahun 1999 yang dikeluarkan oleh Transparency International yang berpusat di Jerman, Indonesia berada di peringkat ke-3 terkorup dari 99 negara yang disurvei. Korupsi selalu dikeluhkan sebagai pengganggu ekonomi Indonesia oleh Bank Dunia, kalangan bisnis internasional dan para ekonom liberal aliran free market. Seorang peneliti Australia menulis setelah Orde Baru berusia 20 tahun: “Korupsi telah menyebabkan bocornya banyak dana yang mestinya dapat diinvestasikan. Pada saat yang sama, korupsi memaksa pengeluaran biaya yang besar dan membuat frustrasi kalangan investor, khususnya di departemen-departemen strategis seperti Pabean dan BKPM sendiri, di mana dilaporkan bahwa izin investasi “dihargai” sampai 20% dari nilai proyek. Korupsi juga menimbulkan hambatan besar bagi kegiatan pengumpulan pajak yang efektif, sesuatu yang amat penting dalam setiap upaya untuk meningkatkan pendapatan domestik nonmigas.” Kenyataannya korupsi di Indonesia sudah sangat meluas merasuki seluruh segmen
91
masyarakat dan komunitas, pemerintah, dunia usaha, kalangan pendidik dan civil society. Ada ungkapan bahwa korupsi sudah menjadi budaya bangsa Indonesia. Akibatakibat korupsi sungguh merugikan ekonomi, seperti terlihat pada runtuhnya ekonomi Indonesia dewasa ini. Setiap tahun selama Orde Baru, dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dikorupsi adalah 30%. Korupsi dalam tulisan ini didefinisikan sebagai perbuatan melanggar hukum yang dilakukan secara sengaja dan terpola untuk mendapatkan keuntungan bisnis bagi pengusaha. Perbuatan melanggar hukum itu bisa berbentuk penyogokan berupa pembayaran uang dan barang berharga terhadap birokrasi, pemberian cendera mata berlebihan kepada pegawai negeri, penggelembungan nilai proyek, atau dengan menekan atau mempengaruhi pihak lain dengan kekuatan uang atau kekuasaan. Sejak zaman penjajahan tindakan korupsi di Hindia Belanda sudah sangat banyak terjadi, meski di Negeri Belanda sendiri praktek itu bisa diatasi. Korupsi di masa itu berlangsung di kalangan pemerintahan dan sektor swasta, biasanya dengan menggunakan jasa para perantara, yang kebanyakan adalah pengusaha dari etnis Cina, sebab keterbatasan jumlah militer dan birokrat dari Negeri Belanda menyulitkan kontak langsung dengan penduduk. Kedudukan etnis Cina sebagai perantara sangat dimanfaatkan oleh Belanda, tidak hanya karena keterampilannya yang sudah menjadi tradisi, akan tetapi juga karena status sosialnya sangat memungkinkan peranan tersebut. (Sartono, h. 80). Selain golongan “peranakan” Cina, yang diberi monopoli dan konsesi bisnis serta hak memungut berbagai pajak dan menerapkan kerja paksa, para penguasa lokal pribumi juga berperan sebagai perantara, dengan porsi peran yang jauh lebih kecil. Mereka yang berstatus “gusti” — raja dan kalangan priyayi — mengatur nasib para “kawula”. Para “gusti” umumnya diberi pangkat setingkat bupati, sedang kepala golongan Cina diberi pangkat mayor, kapten, atau letnan.
92
Ketika hak-hak istimewa para pedagang Cina itu dihapus, setelah negara memutuskan untuk mengelola sendiri pemungutan berbagai pajak, pengelolaan rumah gadai dan mengontrol ketat perdagangan opium, maka tampaknya peluang korupsi di
kalangan birokrasi pemerintah kolonial juga hilang. Hubungan feodal prakolonial yang sudah menjadi sistem di masyarakat Jawa, di mana rakyat takluk dan tunduk pada masing-masing pejabat yang ditunjuk raja, dimanfaatkan sebagai cara menguasai masyarakat oleh pemerintah kolonial dengan memakai perantaraan para bupati dan pedagang Cina. Hubungan ini tidak mudah diputus ketika Indonesia merdeka. Kekuasaan penguasa dalam masyarakat feodal tak terbatas dan tidak memerlukan akuntabilitas. Tidak Dalam kerajaan tradisional ada pemisahan antara keperluan pribadi dengan keperluan Jawa, setiap orang yang jabatan. Menurut seorang sejarawan Indonesia, dalam kerajaan untuk sesuatu harus tradisional Jawa, “Setiap orang dari kalangan rakyat yang untuk sesuatu harus berhubungan dengan pejabat diharuskan berhubungan dengan memberikan ‘persen’.”
pejabat diharuskan persen.
Sejarah munculnya kelas pengusaha dari zaman Hindia memberi Belanda hingga Republik Indonesia memang terkait dengan hubungan erat dan ketundukan mereka secara politik kepada para penguasa, termasuk kepada penguasa Belanda yang dimulai dari masa VOC. Keadaan di Jawa sejak sebelum 1800, menurut seorang sejarawan Eropa: “Hanya orang-orang yang menggantungkan nasibnya pada perusahaan itulah (VOC) atau yang plundered it from within yang mampu mengumpulkan kekayaan; ini berlaku baik bagi orang Belanda maupun para penduduk lain kota itu (Batavia), termasuk warga Cina”. Sektor ekonomi dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Belanda, Inggris, Amerika serta Jepang. Kegiatan ekonomi yang semula berupa hasil pertanian seperti padi kemudian menjadi ekonomi komoditas perkebunan untuk ekspor seperti gula dan kopi, lalu dikembangkan dengan tembakau dan karet. Lalu memasuki sektor pertambangan timah, perminyakan serta kegiatan manufaktur yang ketika membesar memerlukan modal dari negeri asing di luar Belanda. Pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran di Hindia Belanda kemudian juga memunculkan kelas pengusaha swasta yang cukup besar, namun terutama dimiliki oleh orang-orang Barat dan etnis Cina.
93
Tidak ada seorang pun pengusaha pribumi yang relatif besar pada zaman kolonial, apalagi ketika para bupati dan priyayi sudah menjadi pegawai gajian Belanda, dan ketika tanah-tanah mereka dikuasai pemerintah kolonial, sehingga akumulasi modal melalui tanah tak terjadi di Hindia Belanda. Sebabnya mudah diduga: supaya mereka tidak menjadi kekuatan politik penentang penjajah. “Menurut sejarah, masyarakat Filipina, Jawa dan Melayu mempunyai golongan pedagang. Apa yang terjadi dengan golongan pedagang ini? telah dihancurkan oleh kolonialisme Eropa. Proses Monopoli Belanda memakan Ini pemusnahan tersebut berawal pada permulaan abad ke-16 korban pedagang pribumi dengan datangnya orang-orang Portugis” (Alatas 1988, h. 255).
yang mandiri, bertingkat tinggi, berjangkauan internasional.
Praktek-praktek monopoli Belanda dalam perdagangan berbagai komoditas utama memakan korban hilangnya golongan “pedagang pribumi yang mandiri, bertingkat tinggi, berjangkauan internasional”. Fungsi mereka sebagai pedagang diambil alih Belanda. “Perubahan besar lainnya yang dilakukan oleh Belanda — yang bertentangan dengan pengembangan golongan pedagang pribumi yang kuat — adalah perubahan para penguasa dan pemimpin pribumi menjadi leveransir dan pengawas perusahaan Belanda. Para penguasa dan bangsawan dijadikan alat perusahaan Belanda” (idem, h. 274). Sementara di kalangan pedagang etnis Cina muncul seorang pengusaha yang tumbuh menjadi konglomerat terbesar pertama di Asia Tenggara pada perempat terakhir abad ke19, bernama Oei Tiong Ham dan lahir di Semarang (1861-1924). Ia mengelola bisnisnya secara modern, dan cabang-cabang perusahaan dagangnya tersebar di Singapura, Malaysia, Tiongkok, Inggris, Filipina, Muangthai, Hong Kong, India dan Belanda. Pada periode yang sama, Nitisemito, seorang suku Jawa, berhasil membangun bisnisnya sehingga ia dikenal sebagai “Raja Kretek”. Kedua tokoh itu saling mengenal (Nitisemito, h. 90).
94
Dimulai dengan berdagang gula, perusahaan Oei Tiong Ham memasuki berbagai bisnis dan menjadi konglomerasi yang menguasai industri hulu dan hilir di berbagai negara.
Bisnis mereka di Indonesia berlangsung selama satu abad kurang dua tahun. Perusahaannya mati karena seluruh bisnis Oei Tiong Ham di Indonesia disita oleh pemerintah Soekarno yang menjadi semakin nasionalis-sosialistis dan anti-kapitalis. Ketimpangan kedudukan ekonomi itu dirasakan oleh para pengusaha pribumi, yang kemudian membentuk Sarekat Dagang Islam, lalu diubah menjadi Sarikat Islam, dengan tokoh-tokoh seperti H. Samanhudi, Raden Mas Tirtoadisoerjo dan H. Omar Said Tjokroaminoto. Pemahaman sejarah perlu untuk mengetahui masalah korupsi, termasuk di Indonesia. Seperti dikatakan oleh sejarawan Fernand Braudel, bisnis adalah sebuah subset of a greater set. Salah satu elemen terpenting dari “greater set” itu adalah bagaimana kebijakan, sikap dan perhatian pemerintah terhadap sektor bisnis. Seberapa besar kebebasan dan bantuan yang diberikan kepada mereka serta bagaimana pemerintah mengaitkan kebijakan politik dengan kebijakan bisnis. Tulisan ini akan membahas praktek korupsi di sektor swasta. Untuk memberikan tinjauan mendalam, dikupas juga secara umum problem-problem di sekitar korupsi sejak Indonesia menjadi negara merdeka, yang bagi bangsa Indonesia kemerdekaan itu dicapai pada 17 Agustus 1945, namun bagi penjajah Belanda dan PBB tahun 1949. Tetapi tekanan pada contoh-contoh diambil dari kasus-kasus korupsi di masa Orde Baru (1966-1998), diteruskan oleh masa Reformasi di bawah Presiden B.J. Habibie (1998-1999), dan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001). Meski korupsi terjadi juga pada bisnis kecil dan menengah, namun karena skala dan pengaruh perusahaanperusahaan besar berdampak amat luas pada ekonomi nasional dan regional maka contoh-contoh difokuskan pada bisnis para konglomerat, yang umumnya menjadi besar berkat negara. Pertimbangan atas pilihan ini juga karena umumnya perusahaan para konglomerat sudah masuk ke bursa saham, baik di Bursa Efek Jakarta (BEJ), Bursa Efek Surabaya (BES), maupun bursa-bursa internasional seperti Wall Street, Nasdaq, London, Singapura, dan lain-lain. Dengan demikian mereka sudah memasuki bisnis yang memobilisasi dana masyarakat maupun perusahaan, baik nasional maupun
95
internasional, yang memerlukan transparansi, akuntabilitas dan kontrol terus-menerus dari publik melalui badan-badan independen maupun mekanisme pasar yang sempurna. Secara prinsip, seperti lazimnya berlaku di dunia internasional, sebelum sebuah perusahaan melakukan Initial Public Offering (IPO) seluruh kinerja dan laporan keuangan mereka diperiksa oleh perusahaan akuntan publik internasional, umumnya Lima Besar seperti PriceWaterhouseCooper, Arthur Andersen, Ernst & Young, KPMG and Peat Marwick, dan Deloitte & Touche. Selanjutnya perusahaan itu harus disetujui oleh Badan Penyelenggara Pasar Modal (Bappepam) sebelum terdaftar di pasar modal. Kemudian, secara teoretis, selama masih terdaftar perusahaan itu berada di bawah pengawasan pengelola pasar-pasar modal. Tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama membahas hubungan antara pemerintah dan sektor bisnis swasta; bagaimana pemerintah yang korporatis bekerja sama dengan dunia Barat mengendalikan kebijakan pembangunan sektor swasta yang kuat dengan tangan besi atas prinsip “stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi”, yang berdampak pada tergantungnya swasta pada pemerintah sehingga menyuburkan praktek-praktek yang kemudian menjadi kultur korupsi. Bagian kedua mengulas sektor swasta ketika mereka menjadi konglomerat pada Orde Baru; menguraikan praktek-praktek korupsi konglomerat dalam menjalankan bisnis mereka. Contoh-contohnya adalah perusahaan dan lembaga negara, sektor swasta nasional dan internasional yang dituduh atau dibuktikan melakukan korupsi, seperti Pertamina, PLN, Bulog, Departemen Pertambangan dan Energi, Freeport, Balongan, proyek “mobil nasional” Timor, Lippo, Bappepam, BPPC, kasus tanah Cimacan dan peternakan Tapos, TPI. Bagian ketiga membahas kehancuran dan kebangkitan kembali konglomerat di era Reformasi dan praktek-praktek korupsi mereka; bagaimana pada era demokrasi dengan segala kebebasannya dan telah terbitnya berbagai undang-undang dan peraturan, ternyata korupsi berjalan terus.
96
Pemerintah dan Sektor Bisnis Periode Presiden Soekarno: Sejak Kemerdekaan sampai 1965 Sejak Indonesia merdeka, berbagai pemerintahan telah membuat bermacammacam kebijakan ekonomi, meski prinsip-prinsipnya pada dasarnya meneruskan kebijakan ekonomi kapitalis atau ekonomi pasar yang dijalankan oleh negara penjajah Hindia Belanda dengan segala variasinya, tergantung apakah keadaan ekonomi dalam krisis atau sedang makmur. Para ahli ilmu sosial Barat, dengan melihat sejarah mereka sendiri, menyatakan bahwa transformasi ekonomi dan politik di Eropa terjadi berkat adanya kelompok kapitalis yang kuat, diawali dengan majunya perdagangan dan diperbesar melalui industrialisasi. Setelah kaum kapitalis menguat, mereka Kelangkaan ekonom berhasil menjatuhkan penguasa kelas bangsawan. Lama terdidik... membuat kelamaan mereka berhasil membangun sistem kapitalis yang pemerintah mengeluarkan maju yang melahirkan sebuah demokrasi politik. “Tetapi proses ini pada umumnya tak terjadi di Dunia kebijakan untuk membantu Ketiga. Dalam kasus Indonesia, kekuatan ekonomi kelas pengusaha pribumi. pedagang pribumi selalu terlalu lemah untuk menjadi kekuatan politik yang dominan, sementara golongan Cina, sebagai minoritas kecil, tak mampu mengubah kekuatan ekonomi mereka menjadi kekuatan politik” (Crouch dalam Chandler, h. 41). Sebelum masa Demokrasi Terpimpin (1945-1959), kelangkaan ekonom terdidik dan cakap namun berkehendak memenuhi aspirasi rakyat — yang setelah berjuang ingin mendapatkan keuntungan dalam ekonomi — membuat pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan khusus untuk membantu pengusaha pribumi. Ini dimaksudkan sebagai penyeimbang atas orang Belanda dan Barat lainnya serta etnis Cina, yang di masa penjajahan menempati posisi istimewa. Misalnya melalui Program Benteng, yang memberi berbagai fasilitas seperti lisensi impor, kredit murah dan fasilitas fiskal kepada pengusaha pribumi. Periode ini memunculkan sejumlah pengusaha pribumi yang cukup kuat.
97
Dengan segala kekurangannya pemerintah mencoba membangun ekonomi nasional yang terbuka terhadap dunia internasional. Interupsi besar pada ekonomi pasar itu terjadi ketika Presiden Soekarno menjalankan pemerintahan nasionalis dan ekonomi sosialistis yang anti kapitalis dan etnis Cina pada periode 1959-1966. Pada masa itu campur tangan negara dalam pengaturan ekonomi, yang sebelumnya pun sudah cukup besar — namun secara lebih subtil sehingga memungkinkan sektor swasta terus tumbuh pada masa transisi — menjadi lebih total melalui pengambilalihan seluruh perusahaan-perusahaan utama swasta menjadi Perusahaan Negara (PN) sebagai cikal bakal Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
si: nan,
Berbagai konsensi bisnis diberikan kepada para pengusaha yang dekat dengan Sukarno.
Setelah perusahaan-perusahaan besar internasional dinasionalisasi (eks Belanda 1957, eks Inggris 1963, eks Amerika Serikat 1965), para pemilik, manajer dan profesional diusir atau meninggalkan Indonesia. Posisi mereka digantikan oleh orang-orang yang tidak berpengalaman dan tak cakap yang ditunjuk oleh pemerintah. Banyak di antara mereka yang berasal dari kalangan militer, apalagi ketika Soekarno menerapkan kebijakan konfrontatif terhadap Malaysia yang baru dibentuk. Keadaan ini fatal bagi dunia bisnis dan ekonomi. Perekonomian dan sektor bisnis pada zaman Soekarno, terutama saat-saat akhir kekuasaannya, menjadi amat buruk. Sektor swasta macet. Inflasi sangat tinggi. Di berbagai daerah mata uang sudah tak digunakan lagi oleh masyarakat karena nilainya tidak bisa dipegang. Berbagai konsesi bisnis diberikan kepada para pengusaha yang dekat dengan Soekarno.
98
Kalangan bisnis yang paling maju pada waktu itu adalah Agoes Dasaad, R.M.Notohamiprodjo, H. A.Ghany Aziz, Rahman Tamin, Omar Tusin, Soedarpo Sastrosatomo, Panggabean, Titiheru, Markam, Ir. Aminuddin, Hasyim Ning, Moh. Tabrani, Wahab Affan, Pardede, Bram Tambunan, Suwarma, Aslam, dan Mardanus. Ketiga orang yang disebut terakhir kemudian dipenjara dengan tuduhan korupsi. Yang terbesar di antara mereka adalah Agoes Dasaad. Ia dituduh korupsi dengan mempengaruhi pengambil keputusan di Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) untuk pembelian pesawat terbang dari Lockheed.
Komisi-komisi dan pembayaran khusus yang diterimanya dari Lockheed antara lain sebesar US$152.000. Kejatuhan Soekarno juga ditandai dengan jatuhnya para pedagang yang dekat dengan dirinya. Berbagai tuduhan korupsi diarahkan kepada mereka, dan perusahaanperusahaan mereka disita. Namun, para pengusaha favoritnya seperti Dasaad — yang dikenal Soekarno sejak ia keluar dari penjara Sukamiskin tahun 1929 — dan Hasyim Ning yang digunakan oleh Soeharto untuk mempengaruhi Soekarno dalam melimpahkan kekuasaannya kepada Jenderal Soeharto (Alamsjah, h. 167). Kasus korupsi terbesar yang dibawa ke pengadilan yang melibatkan pejabat tinggi negara ialah kasus Jusuf Muda Dalam, mantan menteri Bank Sentral. Dia dipersalahkan atas empat tuduhan, yaitu mengeluarkan lisensi impor sebesar US$ 270 juta dengan cara deferred payment kepada beberapa perusahaan, memberi kredit khusus sebesar Rp 338 miliar, memanipulasi Dana Revolusi sebesar Rp 97 miliar yang dipinjamkannya kepada perusahaan-perusahaan sahabat, dan mengantongi Rp 4 miliar untuk dirinya sendiri. Dalam tuntutannya, jaksa menuduh bahwa Jusuf Muda Dalam “dengan kekuasaan dan wewenang-wewenangnya, tindakan-tindakannya berakibat luas bagi masyarakat kita, istimewa di bidang ekonomi moneter telah menyebabkan bertambah lebarnya jurang yang dalam antara kaum vested interest dengan sebagian terbesar masyarakat Indonesia yang merupakan penghasil-penghasil tetap/nominal yang penghasilannya hampir-hampir tidak mempunyai nilai riil yang minimum bagi kehidupan yang layak, yang langsung/tidak langsung memaksa mereka untuk berpikir, bersikap, dan bertindak yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku” (Nasution, h. 285). Kejatuhan menteri kabinet Soekarno disusul dengan runtuhnya kekuasaan sang proklamator setelah mendapat memorandum dari Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) mengenai pertanggungjawaban dan kepemimpinannya dalam Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Soekarno dituduh bertanggung jawab atas kemerosotan ekonomi dan terjadinya korupsi besar-besaran akibat dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 18/1964 mengenai izin DPC (deferred
99
payment chusus). DPC adalah “lisensi istimewa yang diberikan kepada badan-badan resmi, perusahaan-perusahaan swasta atau perorangan untuk atas nama badan negara membuat utang kepada luar negeri”. Memorandum DPRGR menyatakan: “Pengeluaran izin DPC yang didalihkan oleh cara-cara untuk memupuk Dana Revolusi tidak mencapai sasarannya, disebabkan oleh kekacauan prosedur dan administrasinya, sehingga tidak ada kontrol mengenai penerimaan-penerimaan dan pengeluaran-pengeluaran dana tersebut, baik yang berupa rupiah mau pun devisa, antara lain: (a) penetapan besarnya penyetoran bagi dana sebagai imbalan pemberian izin DPC tidak menentu, dan sama sekali tergantung pada Presiden Soekarno atau eks-Menteri Bank Sentral Jusuf Muda Dalam; (b) ada yang dikenakan wajib setor dan ada yang dibebaskan dari wajib setor tanpa ada ukuran objektif atas alasan-alasan pemberian dispensasi itu; (c) penyetoran dana ada kalanya dilakukan di bank-bank, ada yang langsung diterima oleh Presiden Soekarno; (d) pengeluaran-pengeluaran dari dana juga secara sembarangan menurut kehendak Presiden Soekarno sendiri” (Nasution, h. 327). MPRS, setelah mengemukakan berbagai pertimbangan lainnya, di bawah pimpinan Jenderal A.H. Nasution, akhirnya memutuskan untuk: “(1) memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS yang menurut pendirian DPRGR terbukti dengan nyata kesalahannya (sesudah pendirian ini dibenarkan MPRS), dan memilih/mengangkat pejabat sesuai dengan pasal 3 ketetapan MPRS No. XV/ MPRS/1966; dan (2) memerintahkan kepada Badan Kehakiman yang berwenang untuk mengadakan pengusutan, pemeriksaan dan penuntutan secara hukum” (Idem, h. 329). Jusuf Muda Dalam kemudian dihukum mati oleh pengadilan. Tak lama kemudian, Soekarno, setelah SI MPRS itu, kehilangan kekuasaannya melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Super Semar) yang ditandatanganinya, yang menyatakan bahwa ia melimpahkan tanggung jawab kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna memulihkan keamanan dan ketertiban.
100
Pada tahun kejatuhan Soekarno (1965), seorang sarjana Belanda menulis tentang korupsi di Indonesia: “Pertama-tama kita harus memperhitungkan bahwa
bentuk-bentuk sesudah perang dari apa yang disebut korupsi acap kali masih menyembunyikan peninggalan struktur sosial tradisional. Para kepala desa, misalnya, masih tetap tidak digaji, sehingga mereka harus bertahan hidup dengan pungutanpungutan yang sebagian legal, sebagian ilegal, atas para penduduk. Substruktur birokrasi patrimonial masih mempengaruhi bagian lain masyarakat, sementara ikatanikatan keluarga tradisional terus berbenturan dengan konsep konsep moralitas modern tentang masalah-masalah publik” (Wertheim, p. 125).
Tekad Memberantas Korupsi dari “Orde Baru” Ketika Soeharto berkuasa bersama para ekonom yang mendukung Orde Baru, ia menerapkan kebijakan ekonomi baru yang liberal dengan maksud memodernisasi Republik Indonesia, dan dengan tekad kuat untuk memberantas korupsi. Yang menjadi panglima adalah ekonomi, bukan lagi politik seperti era Soekarno. Sistem politik yang mengekang kebebasan diteruskan. Pemulihan ekonomi diprioritaskan untuk diintegrasikan kembali secepatnya dengan jaringan kapitalis dunia, dengan pengendalian ketat ekonomi dan seluruh sektor bisnis oleh para teknokrat, dibantu oleh negara-negara Barat antiVisi negara korporatis komunis melalui kerja sama bilateral maupun multilateral adalah mengontrol seluruh dengan seluruh institusi mereka seperti Bank Dunia dan Dana kekuatan politik dan Moneter Internasional (IMF) serta Bank Pembangunan Asia (ADB). ekonomi. Visi negara korporatis adalah mengontrol seluruh kekuatan politik dan ekonomi. Pemerintah memberi strategi, teknologi, jaringan, kebijakan fiskal dan bantuan dana serta pasar bagi para pebisnis yang dipilih. Bahayanya adalah ketika tidak ada kekuatan politik pluralis dan independen yang menjalankan negara, maka para pejabat menjadi pemilik negara sekaligus manajer ekonomi dan seluruh kegiatan bisnis berkat penguasaan sumber-sumber modal dari mana pun asalnya. Ada tiga sektor yang dipelihara dan dijaga keseimbangannya. Pertama, sektor bisnis negara melalui BUMN atau perusahaan jawatan maupun
101
Perusahaan Daerah, kedua adalah sektor swasta, dan ketiga adalah koperasi yang kemudian dikaitkan dengan pengkelolaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Visi Orde Baru lainnya adalah: pemerintah tidak bisa salah dan kekuasaan presiden tidak terbatas, seperti terlihat dari tiadanya pembatasan tentang periode kekuasaannya. Soeharto berkuasa selama 32 tahun, tanpa kontrol. Panjangnya masa kekuasaan inilah yang turut memunculkan banyaknya kasus-kasus korupsi sehingga menciptakan budaya korupsi di Indonesia. Soeharto mempunyai minat terhadap bisnis, yang dimulainya ketika ia menjadi pemimpin militer di Semarang, bekerja sama dengan Liem Soei Liong, yang kemudian menjadi taipan nomor satu dan simbol pengusaha Orde Baru. Pada dasawarsa pertama pemerintahan Pemerintahan Soeharto tidak Soeharto, istrinya terlibat dalam pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang pelaksanaannya banyak dikritik berusaha meningkatkan dan dituduh mengandung korupsi cukup besar.
penghasilan pegawai negeri setara dengan penghasilan dunia swasta.
Meski secara pribadi menghargai bisnis, pemerintahan Soeharto sendiri tidak berusaha meningkatkan penghasilan pegawai negeri dan militer setara dengan penghasilan dunia swasta. Disparitas ini dipertahankan terus dengan alasan tidak ada cukup uang untuk membayar gaji mereka dengan benar. Tampaknya sikap semacam ini berakar pada tradisi kerajaan di Jawa, di mana para pejabat priayi tidak digaji oleh raja tapi mereka dibolehkan memungut upeti dan memerintahkan kerja paksa pada rakyatnya untuk kepentingan keuangan si pejabat. Dan hal ini dianggap bukan korupsi atau pemerasan. Yang terjadi kemudian sepanjang Orde Baru adalah pegawai negeri menggunakan kekuasaan mereka dalam perizinan dan pengawasan, antara lain untuk meminta bayaran tak resmi kepada para pengusaha atau rakyat biasa yang memerlukan berbagai fasilitas dan izin pemerintah. Praktek ini meluas menjadi kebiasaan yang akhirnya menciptakan kultur korupsi Orde Baru yang dampaknya masih terasa sampai sekarang.
10 2 102
Seorang sarjana Jerman mengaitkan kebudayaan dan praktek-praktek korupsi
yang umum berlaku di Indonesia, terutama di Jawa, dengan “landasan moral masyarakat Jawa” yang menggunakan norma-norma kekeluargaan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam pemerintahan. Cirinya adalah bersifat hirarkis, tolong menolong, musyawarah dan gotong royong. Tolong menolong itu diwujudkan melalui permintaan sumbangan untuk kampung, untuk kematian, pembangunan dan sebagainya, dan orang tidak boleh menolak. Di awal Orde Baru, pada 1971, sarjana Jerman itu menulis: “Guru-guru negeri tidak diberi gaji yang cukup dan mereka harus ditolong oleh orang tua murid-muridnya. Mereka boleh menjual buku-buku tulis dan meminta uang pendaftaran, uang lulus dan sebagainya. Lembaga-lembaga dan para pegawai boleh menjual formulir. Di pasar satu ons menjadi 80 gram, sebab harga per ons sudah ditetapkan. Di mana-mana ada sumbangan dan potongan. Orang yang berpangkat harus memelihara orang banyak sambil bawahannya mengharapkan bahwa Bapak mereka menunjukkan statusnya. Untuk menjalankan kewajibannya, sang Bapak tergantung dari pendapatan yang ‘halus’. Di manakah batasbatas suatu sistem yang didasarkan pada moralitas yang subyektif-hirarkis? Apakah suatu perbuatan masih bersifat sokongan/gotong-royong, sementara hal itu telah menjadi semir, eksploitasi, bahkan korupsi? Jelaslah bahwa orang yang berlebih-lebihan, yang mengambil lebih daripada yang sudah menjadi ‘hak’ mereka guna status dan kewajiban mereka, adalah orang yang salah. Lebih salah lagi bila mereka kikir dan mementingkan diri mereka sendiri saja. Kewajiban utama mereka justru adalah untuk memelihara yang tergantung daripada mereka.” Ia kemudian menyimpulkan: “Norma tersebut adalah norma yang paling penting, apa pun sumber pendapatannya. Dengan demikian korupsi bisa menjadi bagian dari kebudayaan Indonesia, sebab batas antara korupsi dan tolong-menolong tidak jelas dalam suatu masyarakat yang terlalu luas untuk saling mengawasi” (Mulder, h. 37-38). Sikap mental demikian, menurut pengarang, karena masyarakat Indonesia masih tradisional dan belum modern. Selama belum terjadi perubahan, tidak mungkin akan terjadi rule of law yang mensyaratkan kemampuan masyarakat untuk berpikir secara
103
objektif dan modern. Para pengusaha dalam kebudayaan yang demikian tradisional, jika mereka ingin maju, mesti mengikuti aturan-aturan main semacam ini. Mereka harus berani menyogok pejabat, memberi komisi, sering memberi hadiah atau membagi saham. Bila tidak, jangan harap mereka bisa hidup. Karena itu untuk mengetahui kasus-kasus korupsi pada sektor swasta di Indonesia kita harus tahu siapa saja pengusaha utama dan perusahaan-perusahaan yang mereka miliki, dalam rezim-rezim yang berkuasa. Pemerintah Orde Baru, meski dipimpin oleh banyak teknokrat yang terdidik di universitas Barat, tampaknya tidak menganggap penting dan memprioritaskan usaha membuat undang-undang dan mencegah praktek-praktek koruptif para birokrat dan pengusaha. Ini mencerminkan bahwa prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan didasarkan pada pelaksanaan undang-undang secara konsisten tidak dijadikan pedoman. Pemberantasan korupsi diupayakan pada masa Orde Baru, seperti terlihat dari pembentukan Tim Pemberantas Korupsi (TPK), Komisi Empat, Operasi Tertib (Opstib, 1977) dan Komite Anti Korupsi dan sejenisnya. Usaha-usaha itu selalu lebih dipusatkan kepada aspek represi, tuntutan hukum yang lebih banyak dan penjatuhan keputusan yang berat. Komisi Empat, misalnya, menyimpulkan dalam laporan mereka bahwa korupsi merajalela disebabkan oleh tiga hal: gaji tidak mencukupi lalu orang terpaksa korupsi, terjadinya penyalahgunaan kesempatan, dan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan material sang pelaku. Komisi menyarankan untuk menerapkan sanksi seberat-beratnya bagi pelaku korupsi, selain menganjurkan pemerintah agar membuat peraturan yang baik dan juga undang-undang anti korupsi.
104
Kekurangan dalam usaha pemberantasan korupsi itu ialah tiadanya perhatian terhadap usaha pendidikan rakyat tentang korupsi dengan menjelaskan apa akibat buruknya dan bagaimana rakyat berpartisipasi memberantas korupsi. Upaya pencegahan dengan menutup celah-celah yang memungkinkan orang melakukan korupsi pun amat kurang dilakukan. Dari ketiga aspek tersebut, yaitu pendidikan, pencegahan dan penegakan hukum, yang terakhirlah yang harus lebih diperhatikan.
Sumber-sumber Utama Modal pada Era Soeharto: Domestik dan Internasional Kebangkitan Orde Baru berarti juga penggantian para pengusaha yang terkait dengan Orde Lama, istilah untuk menyebut masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno. Bisnis mereka yang besar di saat itu, seperti Hasyim Ning dan Dasaat, kemudian merosot. Lalu muncullah para pengusaha besar baru yang dekat dengan istana seperti Liem Soei Liong, atau seperti William Soeryadjaya dengan PT Astra yang berkembang berkat order dari pemerintah, entah berupa pengadaan terigu ataupun otomotif. Penanaman Modal Asing (PMA) merupakan prioritas pemerintah. Kedatangan pengusaha asing diharapkan menjadi lokomotif bagi tumbuhnya kegiatan ekonomi. Dari mereka datang uang, teknologi, pasar, kemampuan manajemen serta etos kerja keras dan standar mutu internasional. Setelah pada awal Orde Baru hampir seluruh kebutuhan rakyat yang mempunyai kandungan teknologi diimpor, berkat PMA pemerintah berhasil melakukan substitusi impor di banyak bidang sehingga banyak devisa yang dihemat.
Untuk mengetahui kasus korupsi pada sektor swasta kita harus tahu pengusaha utama dan perusahaanperusahaan mereka.
Industri tekstil merupakan sektor pertama yang banyak diminati PMA, terutama Jepang. Banyak pabrik didirikan untuk memenuhi keperluan ekspor maupun dalam negeri. Pertumbuhan industri tekstil yang cukup besar melahirkan pula industri pakaian jadi untuk eskpor, dengan menggunakan merk-merk rumah mode atau prêt-à-porter terkenal. Tak sedikit bisnis di Indonesia yang tumbuh dari industri tekstil, misalnya Texmaco atau Indorayon. Berbagai kebijakan yang menguntungkan PMA diberikan, seperti pembebasan pajak, pemberian lahan, kemudahan izin dan berbagai fasilitas lainnya yang kompetitif. Namun mereka diwajibkan untuk bekerja sama dengan perusahaan lokal dalam bentuk jointventure. Mencari mitra lokal bukanlah hal yang mudah, apalagi di kalangan pribumi. Bisnis mereka umumnya kecil, kekurangan modal dan hanya punya jaringan dan pengalaman
105
lokal. Di sinilah lalu terjadi pemilihan secara subjektif terhadap mereka yang ditunjuk untuk bermitra dengan asing. Polanya adalah memberikan proyek kepada perusahaan yang dimiliki atau bekerja sama dengan sanak keluarga pejabat yang terdekat dengan Cendana, atau yang mendapat informasi pertama tentang usaha bisnis yang akan dibuka. Sejak awal berdiri, Orde Baru juga mendapatkan modal pinjaman luar negeri dari negara-negara Barat dan Jepang dalam jumlah besar (yakni US$ 2,6 miliar, sementara blok komunis hanya mendapat US$ 1,13 miliar), dengan bunga amat rendah dan berjangka panjang, guna membiayai perbaikan dan penciptaan infrastrukturinfrastruktur baru ekonomi seperti jalan raya, jembatan, pelabuhan, perkapalan, kapal terbang, bandar udara, satelit, telekomunikasi, listrik mitra lokal tidaklah dan persenjataan.
Mencari mudah, apalagi di kalangan pribumi
Antara April 1966 September 1968 Amerika Serikat memberi bantuan uang sebesar US$ 282,2 juta. Richard Nixon, presiden AS yang mengunjungi Indonesia pada Juli 1969, menjadi simbol dukungan Barat terhadap pemerintah yang mengambil jarak terhadap negara-negara komunis baik Uni Soviet maupun Republik Rakyat Cina (RRC). Nixon menjanjikan dukungan penuh kepada Indonesia dalam usaha perbaikan ekonominya: “Rakyat AS ingin berbagi dengan Anda dalam perjalanan menuju kemajuan ini,” katanya (Jones, h. 409). Dana dari dalam negeri sendiri didapat dari pengelolaan sumber daya alam berupa pertambangan, minyak dan gas bumi, kehutanan dan usaha perkebunan serta pemungutan pajak dan cukai. Boom minyak di awal tahun 1970-an menambah besar modal yang terakumulasi di Indonesia. Semua sumber dana itu kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah untuk membantu para pengusaha yang mereka sukai. Di antara pengusaha pribumi yang sukses di sektor ini adalah Arifin Panigoro, selain Ponco Sutowo, putra mantan Direktur Utama Pertamina, Ibnu Sutowo.
106
Korupsi di Pertamina Pertamina sebagai perusahaan minyak dan gas bumi merupakan monopoli negara, namun kenyataannya menjadi sapi perah penguasa untuk keperluan pribadi atau politik pada saat pemilihan umum. Untuk itu Pertamina diberi status khusus dan pengelolaannya langsung di bawah Presiden. Semua keputusan tentang penggantian dan pengangkatan direksi tidak bisa berlangsung tanpa persetujuan Soeharto. Akhirnya Pertamina yang dikelola secara tak transparan menjadi sumber KKN ketika ia bermitra dengan swasta. Korupsi besar di Pertamina kemudian terbongkar dan mengguncang ekonomi nasional. Pertamina diduga berutang sebesar US$ 10,5 miliar. Tentang hal ini, Ibnu Sutowo menjawab: “Pertamina memakai pinjaman itu untuk membangun antara lain pabrik baja Krakatau Steel, Bina Graha, dan lain-lain. Pertamina juga mendanai event-event olahraga di Ibnu Sutowo menolak tuduhan provinsi-provinsi, membangun stadion-stadion olahraga korupsi terhadap dirinya. Dia, seperti di Palembang dan beberapa kota lain. Pertamina melakukan itu atas permintaan Presiden Soeharto” (M. katanya, sudah kaya sebelum Karma, h. 267)
menjadi direktur Pertamina.
Ternyata lingkungan Pertamina penuh koruptor. utama Bendaharanya, Ahmad Thahir, menggelapkan US$ 80 juta dari perusahaannya. Komisi Empat yang terdiri dari empat tokoh nasional yang dihormati yaitu Wilopo, Kasimo, Johannes dan A. Tjokroaminoto dengan penasihat mantan wakil presiden Hatta, membuat dua laporan tentang korupsi di Pertamina dalam masa kerja Komisi yang hanya lima bulan, selain sebuah laporan tentang Bulog, masalah kehutanan, Kejaksaan Agung dan administrasi negara. Ibnu Sutowo sendiri menolak tuduhan korupsi terhadap dirinya. Dia, katanya, sudah kaya sebelum menjadi direktur utama Pertamina, meski banyak yang meragukan apakah ia dan keluarganya dapat sekaya itu seandainya ia tidak memimpin sebuah perusahaan minyak raksasa. Sutowo lalu mengaku dipecat oleh Presiden pada 1976 karena menolak “proposal dari Soeharto untuk sebuah bisnis yang saya pikir salah”. Ia mengaku tidak berani melawan. “Seandainya saya ungkapkan secara terbuka di depan
107
publik, saya bisa lenyap,” katanya. “Setidak-tidaknya, anak-anak saya akan berada dalam keadaan bahaya” (Jakarta Post, 4/5/1999). Ibnu Sutowo tidak menyembunyikan fakta bahwa telah terjadi korupsi besarbesaran di perusahaan yang dipimpinnya. Ketika santer muncul isu-isu tentang korupsi di Pertamina, ia memberi penjelasan: “Korupsi itu memang harus diberantas. Tetapi sayangnya, korupsi itu sudah menghinggapi setiap lapisan masyarakat sampai tingkat tertentu. Apakah kita akan berhenti bekerja karenanya? Dari itu, bangunlah sesuatu terlebih dahulu, lalu kemudian ambil langkah-langkah untuk memperbaiki atau membersihkannya” (M. Karma, h. 242).
Salim dan Monopoli Bulog Selain Pertamina, Badan Urusan Logistik (Bulog) merupakan sumber proyek bisnis yang amat penting bagi swasta. Pengusaha etnis Cina yang dekat dengan Presiden Soeharto seperti Liem Soei Liong, tokoh utama bisnis Salim, diberi konsesi untuk menjadi pemasok kebutuhan negara, termasuk menjadi rekanan Bulog dalam pengadaan terigu dan sembilan bahan pokok. Tentang riwayat perkenalannya dengan Soeharto, Liem bercerita: “Saya kenal Pak Harto baru tahun 50-an di Semarang. Ketika saya pertama bertemu dengannya, beliau belum jadi Panglima Diponegoro. Walaupun saya aktif memasok Kodamnya, saya tak ingat benar apa pangkatnya waktu itu — mungkin Kolonel.” Dua tahun setelah Soeharto menjadi presiden, Liem mendapat monopoli impor cengkeh dari Zanzibar dan Madagaskar. Hak monopoli inilah yang membuatnya mampu mengumpulkan modal besar sehingga sanggup melebarkan usahanya menjadi konglomerasi.
108
Bulog sendiri, sebagai instrumen pengadaan bahan-bahan kebutuhan pokok seperti beras dan gula, dikelola secara tak transparan. Yang ditunjuk menjadi pimpinannya pun selalu mereka yang dekat dengan Presiden. Mitra-mitra swastanya dipilih berdasar kriteria arbitrer dan terutama adalah mereka yang dekat dengan Istana. Berbagai kasus korupsi akhirnya mencuat di Bulog. Yang terbesar adalah kasus
mantan Kabulog Beddu Amang, dan Wakil Kabulog Sapuan dalam kasus “Buloggate”, dan kasus Kepala Daerah Logistik (Kadolog) Kalimantan Barat, Budiadji.
Bob Hasan dan Bisnis Kayunya Hutan merupakan sumber uang yang luar biasa. Pembukaan bisnis hutan besarbesaran dimanfaatkan oleh orang dekat Soeharto lainnya seperti Bob Hasan, atau yayasanyayasan militer serta tokoh-tokoh yang dekat dengan pimpinan pemerintah. Konsesi tanpa kontrol diberikan untuk mengelola Perusahaan amerika itu wilayah-wilayah yang besarnya bisa seluas Pulau Jawa. Banyak dituduh melakukan KKN yang kemudian menjual lisensinya kepada pengusaha swasta atau bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan asing seperti dari untuk memperpanjang Taiwan, Jepang, Korea Selatan atau Malaysia. Berbagai kasus kontrak kerjanya di masa korupsi kemudian terbongkar; yang paling baru adalah kasus Bob Menteri Ginanjar. Hasan. Bisnis pertambangan juga amat menguntungkan, namun memerlukan modal sangat besar dan keahlian teknis tertentu. Untuk itu pemerintah memberikannya kepada perusahaan asing seperti Freeport (April 1967), perusahaan pertama yang menggunakan Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) yang punya hubungan dengan orang pemerintah. Perusahaan Amerika Serikat itu kemudian dituduh melakukan KKN untuk memperpanjang kontrak kerjanya di masa Menteri Ginanjar, dengan menguntungkan Ginanjar dan dua pengusaha yang dekat dengannya yaitu Aburizal Bakrie dan Abdul Latief (kemudian menjadi Menteri Tenaga Kerja yang dituduh terlibat dalam kasus korupsi Jamsostek), dan kemudian Bob Hasan.
Kasus MNC Pertambangan Umum Putra-putri Soeharto sendiri amat berminat pada bisnis pertambangan, dan mereka saling berebut, seperti terlihat dalam skandal perusahaan Busang yang melibatkan Kanada. Selain oleh Pertamina, bisnis minyak dan gas bumi berada di tangan perusahaan-perusahaan raksasa AS sejak zaman penjajahan, dan terus dikelola mereka, meski perusahaan-
109
perusahaan asing (MNC) dari negeri lain seperti Total (Prancis) juga diberi konsesi eksplorasi. Tidak sedikit pengusaha swasta yang ikut dalam bisnis yang juga mengandung unsur-unsur KKN ini. Ada tuduhan bahwa perusahaan minyak AS, Exxon, menyuap untuk mendapat proyek pembangunan kilang minyak di Cilacap. Julius Tahija, mantan perwira tentara kolonial Belanda yang kemudian masuk TNI, punya bisnis dengan Freeport. Ia juga bekas pemilik Bank Niaga, dan juga lama menjadi Managing Director Caltex (sampai 1997) di Indonesia. Ia mengakui bahwa korupsi sudah sangat mendalam di negara berkembang. Berkat hubungan eratnya dengan multinasional Barat, ia menjadi jembatan antara dunia bisnis Barat dengan pemerintah Soeharto, juga kalangan bisnis Indonesia baik pribumi maupun etnis Cina. Mengenai korupsi di Indonesia, ia menulis: “Ketika saya bergabung dengan Caltex, banyak orang Barat yang menganggap Ada tuduhan bahwa bahwa semua bisnis di Asia ‘korup’. Sebagian orang menyatakan Exxon menyuap untuk bahwa Indonesia sedang bergerak cepat ke arah itu (korupsi - NT). mendapat proyek kilang Cukup banyak orang Amerika yang bersikap tidak jujur, sebab hal itu (korupsi) memang lazim. Pengalaman pertama saya dengan hal minyak di Cilacap ini terjadi tak lama setelah Caltex menempatkan saya pada suatu jabatan senior dalam manajemen. Seorang pejabat sebuah perusahaan asing mendekati saya dan berkata bahwa ia siap membayar ‘komisi’ yang lazim. Ia mengira saya mengharapkan imbalan” (Tahija, h. 213-214).
Diskriminasi Etnis: Pribumi vs Etnis Cina
110
Pemerintah Orde Baru, sebagaimana Orde Lama, melanjutkan tradisi zaman penjajahan berupa diskriminasi dalam politik dan identitas etnis, serta kebudayaan dan bahasa kaum minoritas Cina. Sebagai “kompensasi”, mereka diberi peluang sebesarbesarnya untuk berbisnis. Praktek-praktek percukongan berlangsung besar-besaran. Bagi pejabat pemerintah, lebih menguntungkan bekerja sama dengan para cukong karena, selain mereka memiliki dana yang likuid dan jaringan yang baik di Asia Tenggara, mereka tidak punya kekuatan politik sehingga gampang diperas.
Berlangsunglah persaingan antara pengusaha pribumi dan Cina. Mereka punya “patron” masing-masing, namun “patron” terbesar tetaplah Soeharto. Kristalisasi organisasi dalam bisnis sektor swasta terjadi. Para pengusaha besar pribumi bergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin) yang pernah lama diketuai oleh Sukamdani Sahid Gitasardjono. Tokoh dari Solo ini, yang dekat dengan mendiang Tien Soeharto, istri mantan presiden yang juga berasal dari Solo, punya hubungan akrab dengan pengusaha etnis Cina. Dialah yang pertama kali diutus pemerintah secara tak resmi untuk menjajaki pembukaan kembali hubungan diplomatis dengan Republik Rakyat Cina (RRC) yang terputus sejak 1965. Bagi Salim, putranya Anthony Salim, Ciputra, Eka Tjipta Widjaja, Mochtar Riyadi, Sjamsul Nursalim, Sofyan Wanandi: “Pak Kamdani adalah sedikit dari kelompok pribumi yang mau dekat dengan kami, tidak berjarak, mau memahami dan menerima, serta merangkul kami.” Pada masanya, Sukamdani menjadi jembatan antara pengusaha pribumi dan Cina. Adapun etnis Cina berkumpul dalam Grup Prasetya Mulya, dengan tokoh utama Liem Sioe Liong dan Sofyan Wanandi. Mereka secara teratur bertemu dan saling membantu dalam bisnis. Kelompok ini tertutup sehingga menimbulkan kesan ekslusif dalam persepsi masyarakat yang menimbulkan kecemburuan sosial. Pengusaha muda pribumi dikumpulkan pemerintah dalam wadah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi). Tokoh-tokoh bisnis pribumi yang berhasil kemudian menjadi pimpinan Kadin, misalnya bekas Ketua Umum Hipmi, Aburizal Bakrie. Di bawah pimpinannya, kristalisasi antara pengusaha pribumi dan etnis Cina menjadi lebih terbuka.
Ginanjar sebagai Patron Pengusaha Pribumi Tidak dapat diabaikan peran Ginanjar Kartasasmita, seorang nasionalis yang ketika menjabat Menteri Muda urusan Pengadaan Produksi Dalam Negeri memberi banyak proyek kepada para tokoh Hipmi, sehingga mereka kemudian menjadi pengusaha besar. Misalnya Aburizal Bakrie, Abdul Latief, Fahmi Idris, Sugeng Sarjadi, Arifin Panigoro,
111
Jusuf Kalla dan Fadel Muhammad. Usaha kecil dan menengah (UKM) bukan merupakan prioritas. Namun, untuk membantu UKM, pemerintah mengimbau kelompok Kadin dan Prasetya Mulya untuk melakukan kemitraan dan menerapkan kebijakan “bapak angkat” bagi UKM. Kenyataannya yang dibantu adalah perusahaan-perusahaan UKM yang dimiliki dan diciptakan oleh para konglomerat untuk menjaga supaya dana tetap berada di tangan mereka, selain guna menjaga citra bahwa mereka peduli terhadap UKM. Salah satu peluang besar korupsi adalah ketika terhadap setiap BUMN diterapkan peraturan untuk menyisihkan 2% keuntungan mereka guna membantu UKM. Kenyataannya, dana itu terutama digunakan untuk kepentingan para direksi dan komisaris sendiri, karena lemahnya kontrol. Dana itu menjadi sumber baru korupsi. Salah satu modus operandinya adalah membuat perusahaan pribadi dengan memakai uang BUMN. Sejak awal Orde Baru, koperasi diperhatikan secara khusus. Untuk koperasi dibentuk kementerian guna membuat kebijakan dan menyalurkan dana bagi pembangunan sektor ini. Namun, selama 32 tahun Orde Baru tidak ada perkembangan berarti di sektor ini. Dana yang ada lebih banyak hilang dalam pengelolaan para pejabat koperasi atau lenyap dalam koperasi-koperasi fiktif. Kelemahan ini banyak dimanfaatkan oleh sektor swasta untuk mendapat dana, proyek dan pasar sektor koperasi.
Korupsi Merajalela
1 12
Ketika Orde Baru memasuki usia 16 tahun, seorang ekonom Australia pendukung kebijakan ekonomi Orde Baru melihat bahwa korupsi sudah mencapai tahap yang amat mengkhawatirkan. Ia menulis: “Pimpinan atas harus memberi perhatian yang lebih serius terhadap masalah korupsi dan perlunya pembasmian korupsi dengan mengadakan penunjukan yang tegas di hadapan masyarakat. Setiap beberapa tahun, telah diambil usaha untuk menghilangkan atau setidak-tidaknya menahan korupsi, yang paling akhir dan paling energetik dalam bentuk kampanye Opstib yang dimulai Juli 1977. Namun tidak satu pun dari tindakan tersebut yang tegas, malahan Opstib menjadi kurang
bergairah sesudah setahun atau lebih. Orang terpaksa mempercayai bahwa keinginan pihak atas sangat kurang sementara keinginan tersebut sangat dibutuhkan” (Arndt, p. 127, 128). Modal yang terus tumbuh menciptakan lebih banyak kue korupsi. Sementara kompetisi untuk mendapatkan kapital dengan berbagai cara, termasuk menggunakan KKN, makin hebat antara modal asing melawan modal dalam negeri. Antara swasta dengan sektor BUMN dan koperasi, antara pengusaha pribumi dan pengusaha etnis Cina, bahkan sesama pemodal asing seperti antara Jepang dan Amerika, pun terjadi persaingan. Kasus-kasus korupsi, tidak hanya pada sektor swasta, cukup banyak dibahas di dalam dan luar negeri. Terutama tuduhan terhadap mantan presiden Soeharto dan putraputrinya, mantan presiden B.J. Habibie serta keluarganya, para mantan menteri utama dan pejabat negara seperti Kompetisi untuk mendapatkan bekas menteri keuangan Ali Wardhana, mantan menteri kapital, termasuk keuangan Sumarlin, mantan menteri pertambangan dan menggunakan KKN, energi Ginanjar Kartasasmita, dan mantan ketua Bulog Beddu Amang. Beberapa pengusaha swasta juga disebutmakin hebat antara sebut. Umumnya pemeriksaan kasus-kasus Orde Baru itu modal asing dan domestik masih berlangsung sampai tulisan ini disusun. Pejabat pemerintah punya banyak cara dalam melakukan korupsi, yang berdampak besar, namun menurut penelitian seorang ekonom ada dua jenis utama yang mereka lakukan: “Pertama, penggelapan langsung dana negara dalam arti menyelewengkan kekayaan negara. Kedua, perbuatan yang menimbulkan apa yang disebut corruption tax (pengenaan pajak tidak resmi atas rakyat atau yang disebut dengan istilah populer pungutan liar) dalam berbagai bentuk dan prosesnya.” Kedua perbuatan ini membentuk apa yang disebut corruption revenue, yaitu pemasukan sebagai akibat perbuatan korupsi kepada orang-orang pemerintah pelaku korupsi” (Arief, h. 143).
113
Sikap Soeharto terhadap Uang dan Kekuasaan Ada baiknya kita bahas dulu sikap Soeharto terhadap kekuasaan dan harta negara. Dia menjadi presiden yang merasa amat berjasa menyelamatkan Indonesia setelah menang “perang” melawan Orde Lama yang didukung oleh Partai Komunis Indonesia. Dalam kultur suku dari mana ia berasal, seorang penakluk yang umumnya menang melalui kekerasan mempunyai sifat-sifat yang absolut. Meski kedudukannya presiden, namun pola memerintah Soeharto mirip dengan raja-raja Jawa yang juga umumnya rakyat biasa yang ahli kemiliteran kemudian menjadi raja setelah menang perang. Sebagai penakluk, penggunaan para priayi sebagai birokrat menyebabkan timbulnya “pandangan bahwa penguasaan terhadap rakyat adalah juga penguasaan dalam bidang ekonomi seperti yang dinyatakan lewat upeti dan, dalam kedudukan sosial, lewat ikatan kerja bakti” (Ong, h. 83). Ia tidak Pola ini terjadi pada mengerti prinsip-prinsip pemerintahan demokrasi di mana Bruneigate dan Buloggate korupsi merupakan perbuatan yang harus dipidana berat. Dengarlah kata Soeharto, di Mekkah pada 1991, ketika ia yang dituduhkan kepada menunaikan ibadah haji: “Hanya secara kebetulan kok beberapa tahun, artinya sampai lima kali kok yang dipilih Presiden Wahid, yang juga (sebagai presiden) orangnya sama saja. Seolah-olah itu berasal dari kultur sama. tidak ada mekanisme dan tidak ada sistemnya” (Tim penulis, h. 227). Negara adalah saya, seperti juga prinsip Raja Louis XIV. Pemahaman ini penting, karena pola ini juga terjadi pada kasus “Bruneigate” dan “Buloggate” yang dituduhkan kepada Presiden Abdurrahman Wahid, yang juga berasal dari kultur sama.
1 14
Namun, di mata cukup banyak orang, termasuk manajer profesional seperti Tanri Abeng, kepemimpinan tradisional Soeharto dianggap berhasil karena “karakteristik kepemimpinan dan manajerial yang berlaku universal di atas lalu diperkuat dengan kejujuran atau integritas profesional (bloko) serta ketaqwaan” (Abeng, h. 240). Memang, di kalangan elit Indonesia ada pandangan bahwa belum tentu pemerintahan yang bersih dapat membangun ekonomi yang maju. Mereka mengambil contoh RRC dan Korea,
yang tingkat korupsinya amat tinggi tapi terjadi pembangunan yang hebat. Karenanya, kata mereka, korupsi dapat ditoleransi sepanjang tidak berlebihan. “Sebagai pemimpin dan sekaligus manajer puncak, Pak Harto telah dua kali mentransformasikan sebuah organisasi besar, yaitu negara-bangsa Indonesia yang sedang membangun. Mula-mula dari posisi terkebelakang (underdeveloped atau undermanaged) menjadi negara yang relatif telah termanajemeni dengan baik (well-managed); kemudian dalam proses kemajuan dan perkembangan selanjutnya di sekitar tahun-tahun take-off pembangunannya, Pak Harto kembali mengangkat status Indonesia sebagai negara berpendapatan menengah” (Abeng, h. 231). Orang menilai Soeharto secara kontroversial. Namun bagi tokoh ini hubungan yang harmonis dan prinsip keseimbangan penting. Dalam sektor ekonomi ia menginginkan terjadinya hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan antara BUMN, koperasi dan swasta. Pada sektor-sektor ini di awal Orde Baru banyak sekali yang berasal dari militer dan sipil terdekat Soeharto. Di kalangan para jenderal, misalnya, ada Soedjono Humardani, Sofjar, Soerjo, Alamsjah, Ahmad Tirtosudiro, dan Suhardiman, sedangkan dari kalangan sipil ada Liem Soei Liong dan adik tiri Soeharto, Probosutedjo. Ketika putra-putri Soeharto menjadi dewasa, mereka semua menjadi pengusaha.
Swasta, BUMN dan Koperasi Pada awalnya, BUMN dan koperasi merupakan instrumen utama bagi pemerintah untuk membangun sektor bisnis yang tangguh dan bisa mereka kontrol lebih baik dari sektor swasta. Kedua sektor ini merupakan anak emas yang terus dipelihara. Investasi yang tak mungkin diberikan kepada swasta karena terlalu mahal ataupun tidak menguntungkan secara bisnis diberikan kepada BUMN. Dalam perjalanannya, hubungan ketiga sektor ini memang terkait namun tidak selalu mulus. Banyak terjadi kompetisi dan konflik, tapi lebih banyak lagi hubunganhubungan yang berbau KKN di antara ketiganya. Ada yang mengandaikan hubungan bertahun-tahun yang sangat erat itu telah menimbulkan situasi bagaikan mafia yang sulit diberantas. Sebagaimana mafia, praktek-praktek culas dan curang berbentuk kriminal
115
yang tersamar, menyangkut penggunaan kekerasan, insider tradings, seks, narkotika, pencucian uang dan pelarian modal ke luar negeri. Munculnya pengusaha-pengusaha yang melakukan monopoli, oligopoli dan monopsoni tanpa ada undang-undang yang mengatur dan mengontrol telah membuat ekonomi dan bisnis Indonesia tak terkontrol. Keadaan ini bahkan melahirkan suatu perilaku dan moralitas yang menjadi sorotan publik, yaitu sikap tak bertanggung jawab terhadap kewajiban-kewajiban mereka seperti utang. Perusahaan utama para konglomerat sudah bangkrut atau ditempatkan di bawah BPPN, tapi gaya hidup mereka tidak berubah karena mereka sudah menyimpan kekayaan pribadi yang “cukup untuk tujuh turunan”. Mereka tidak peduli pada kerusakan ekonomi dan terjadinya pemiskinan masal serta pengangguran hebat di Indonesia. Kesetiaan kepada pemerintah, terutama terhadap Soeharto, sekali lagi disyaratkan jika pengusaha ingin besar pada Orde Baru. Mereka yang beroposisi, misalnya Ali Sadikin yang memimpin kelompok Petisi 50, diberi sanksi sehingga bisnisnya tidak bisa berkembang pada masa Orde Baru. Kemudian ketika seorang pengusaha swasta seperti William Soeryadjaya mulai membiayai kepentingan bisnis kelompok politik Nahdatul Ulama, bisnisnya diganggu sehingga ia kemudian terpental dari kursi kepemilikan dan kepemimpinan perusahaan yang dibangunnya sendiri. Di bawah Soeharto, para perwira tinggi dan berbagai korps militer juga diberi peluang untuk berbisnis dengan diberikan berbagai konsesi bisnis. Sebelum terjadi berbagai deregulasi, monopoli oleh pemerintah di berbagai sektor perizinan perdagangan menjadi peluang yang besar bagi mereka yang ingin kaya tapi tak punya kemampuan sebagai pengusaha. Lalu terjadilah praktek-praktek penjualan lisensi, umumnya kepada para pengusaha swasta.
116
Seperti sudah disebut, campur tangan pemerintah hampir absolut dalam menentukan siapa-siapa yang diberi kesempatan untuk menjadi besar. Namun kemudian terjadi seleksi alam. Mereka yang punya keahlian bisnis dan lobi yang bagus dengan petinggi pemerintah menjadi besar dan jadi pemain penting di sektor swasta nasional maupun regional, berkat order dan berbagai fasilitas dari negara yang mereka nikmati.
Faktor kemampuan dan lobi bagus itu menjadi pertimbangan utama bagi para penyandang modal internasional dan perusahaan multinasional (MNC) dalam memilih mitra bisnis di Indonesia. Dibantu oleh negara, didukung modal, teknologi dan kemampuan manajemen internasional, perusahaan-perusahaan swasta Indonesia yang muncul sejak Orde Baru berhasil menjadi konglomerat. Sukamdani, yang pernah menjadi pegawai di Departemen Dalam Negeri, menjawab berbagai tuduhan (dari Richard Robison dan Yahya Muhaimin) bahwa dia maju sebagai pengusaha karena mendapat fasilitas dari pemerintah, menjelaskan: “1 April 1969 pada waktu pertama kali Pelita dimulai, pemerintah melalui Bank Indonesia memperkenalkan Skim Kredit Investasi kepada para usahawan, khususnya kepada pengusaha pribumi dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Melalui pinjaman kredit berbunga rendah 12%, ditambah syarat yang ringan yaitu tersedianya equity sebesar 25%, maka banyak Melalui kredit berbunga pengusaha pribumi, termasuk saya mendapatkan rendah... banyak pengusaha fasilitas tersebut.”
pribumi, termasuk saya,
Tatkala sebuah perusahaan mencoba mendapatkan menjauh, berkompetisi dan mengkritik bisnis keluarga Cendana, mereka diganggu. Seperti fasilitas tersebut. terjadi pada Aburizal Bakrie dan kemudian pada Arifin Panigoro, yang pada suatu masa bisnis-bisnis mereka dipotong. Beruntung keduanya tergabung dalam organisasi yang ditunjang oleh pemerintah, dan mereka mendapat jaminan dari beberapa menteri senior sehingga berhasil tetap melakukan bisnis. Sejak Orde Baru sampai sekarang, ketidakjelasan undang-undang, hubunganhubungan yang bersifat KKN, tidak adanya transparansi, kerja sama perusahaanperusahaan internasional dalam praktek-praktek korupsi seperti suap, manipulasi harga, monopoli, oligopoli dan monopsoni, menyebabkan banyak pelaku kriminal tidak tersentuh. Berbagai kasus korupsi memang diajukan ke pengadilan, tapi pelakunya jarang yang masuk penjara. Bahkan yang masuk pun kemudian mendapat keringanan luar biasa sehingga mendekam di sana hanya dalam tempo singkat.
117
“Kerja sama” Pejabat dan Pengusaha Umumnya dan awalnya para pengusaha menjadi besar karena mendapat proyekproyek raksasa dari pemerintah. Informasi tentang proyek-proyek itu didapat dari menteri dan pejabat penting yang terkait dalam bidang perencanaan dan pembangunan infrastruktur. Para pengusaha lazim menyebut kementerian-kementerian yang memiliki banyak proyek besar sebagai “departemen basah”. Dari awal Orde Baru, perencanaan pembangunan berlangsung dalam siklus lima tahun (Pelita) yang merupakan bagian siklus panjang berjangka 25 tahun. Perencanaan pembangunan ekonomi itu awalnya dilakukan dan dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Beberapa kasus korupsi (Bappenas) yang banyak dipimpin oleh para teknokrat lulusan membuat Bappenas Amerika Serikat. Bappenas punya banyak konsultan, baik asing maupun nasional, selain mendapat masukan dan bantuan dari kehilangan giginya dan badan serupa di tingkat Daerah Tingkat I (Bappeda).
dikurangi perannya pada era Reformasi.
Bappenas kemudian memainkan peran amat penting. Tidak ada proyek pembangunan yang berlangsung tanpa “buku biru” dan persetujuan dari para birokrat Bappenas selama 32 tahun. Masa yang begitu lama, kepemimpinan hanya dipegang oleh beberapa orang saja, serta kekuasaan yang terlalu besar, telah menimbulkan peluang korupsi. Beberapa kasus korupsi yang mencuat telah membuat Bappenas kehilangan giginya dan dikurangi perannya pada era Reformasi.
118
Kemudian, diadakan pengkhususan untuk pembangunan di bidang teknologi dengan menyerahkan perencanaan dan koordinasinya pada Badan Perencanaan dan Penerapan Teknologi (BPPT) di bawah Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie yang memimpinnya selama 20 tahun. Menteri yang sama memimpin 9 industri strategis di bawah payung Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang melakukan investasi amat besar dalam industri pesawat terbang, perkapalan, persenjataan dan elektronika serta perkeretaapian. Kekuasaan BPPT dan BPIS pada 15 tahun terakhir Orde Baru menjadi besar sekali seiring meningkatnya kekuasaan B.J. Habibie. Pembelian persenjataan,
pesawat udara, kapal perang, misil untuk keperluan TNI harus melalui persetujuan BPPT. Sebuah peristiwa yang berdampak besar adalah ketika Habibie mengimpor kapalkapal perang bekas Jerman Timur untuk Angkatan Laut. Ketika hal itu diprotes, Soeharto langsung membredel majalah Tempo. Hampir seluruh proyek raksasa seperti industri penerbangan (IPTN) di Bandung dan perkapalan di Surabaya (PT PAL) adalah di bawah BPIS. Semuanya atas nama kebijakan transfer teknologi ke Indonesia. Dalam semua bisnis itu, banyak sekali pengusaha swasta yang dilibatkan. Catatan publik merekam tak sedikit penyelewengan yang terjadi, baik di BPPT maupun BPIS. Para pengusaha Indonesia yang umumnya berskala kecil dan menengah, serta lebih merupakan para pedagang dengan perusahaan berbentuk usaha keluarga pada awal Orde Baru, kemudian mendapat kesempatan untuk menggarap proyek-proyek berskala besar dan bermacam ragam jauh di luar kemampuan mereka untuk mengerjakannya sendiri. Namun karena ada kebijakan melindungi para pengusaha dalam negeri, mereka diberi peluang untuk mendapat proyek-proyek besar yang umumnya dibiayai oleh utang luar negeri. Dari sinilah mereka menjadi besar.
IGGI-CGI, Bank Dunia, IMF dan Bank-bank Asing Setiap tahun, pemerintah Indonesia mencari dana pembangunan dengan berutang pada para donor bilateral dan multilateral melalui Inter Government Group for Indonesia (IGGI) yang kemudian menjadi Consortium of Government for Indonesia (CGI). Sampai dengan kejatuhan Soeharto, proses peminjaman itu begitu gampang karena Indonesia selalu didukung oleh Bank Dunia dan IMF. Indonesia dipuji sebagai murid terbaik dari kedua lembaga internasional tersebut karena keberhasilannya dalam pembangunan. Pada periode itu, para konglomerat juga sangat mudah mendapat pinjaman untuk berbagai proyek mereka. Proyek baru berbentuk proposal, selalu sudah ada bankir dan fund manager yang menyiapkan dana. Bahkan, sering kali para konglomerat mendapat tawaran dari perusahaan multinasional, bankir dan fund manager untuk
119
membangun proyek-proyek raksasa yang mereka sodorkan. Para konglomerat hidup dalam euforia pembangunan yang tak pernah henti. Azas kehati-hatian ditinggalkan ketika begitu mudah mendapat uang. Mereka mengalami lompatan luar biasa, tidak siap mental menghadapi kekayaan dan kekuasaan yang begitu besar dalam tempo relatif singkat, yaitu 1966-1998. Pengusaha yang berasal dari keluarga pejabat tidak memiliki kultur, kemampuan dan jaringan maupun keuletan. Namun mereka memiliki akses pada informasi dan pengaruh, sehingga gampang mendapatkan izin dalam ekonomi yang teregulasi ketat dan dikuasai para birokrat. Sementara pengusaha yang datang dari keluarga bisnis, tidak harus bermodal besar, tapi mereka merupakan mitra yang ideal dan komplementer bagi kesuksesan usaha. Untuk kepentingan bersama kedua jenis pengusaha itu bekerja sama. Setelah setuju untuk berpatungan, dibuatlah sebuah perusahaan. Para keluarga pejabat dimasukkan dalam Perseroan Terbatas (PT) yang mereka buat sendiri. Mereka diiberi saham cukup besar, meski minoritas, tanpa perlu menyetor modal, dan diberi kedudukan sebagai direktur atau presiden komisaris yang tidak aktif. Mereka diberi gaji dan berbagai fasilitas. Tugas utama mereka adalah mendapatkan proyek. Setelah proyek didapat, langkah berikutnya adalah mendapatkan pembiayaan. Sebelum deregulasi, dunia perbankan dikuasai oleh lima bank besar milik negara, yaitu BNI ‘46, BBD, BDN, BRI dan Bapindo. Untuk mendapat kredit lagi-lagi lebih mudah apabila ada kombinasi dukungan seorang pejabat yang berpengaruh dan adanya uang pelicin bagi para pejabat yang memberi izin kredit.
120
Begitu modal didapat, dicarilah biro konsultan atau perusahaan yang punya kemampuan untuk melaksanakan proyek. Sepanjang teknologinya sederhana, seperti pembuatan jalan raya dan jembatan serta bangunan yang tidak terlalu tinggi, dapat dikerjakan oleh perusahaan dalam negeri. Namun jika modal yang diperlukan sangat besar dan teknologinya tinggi, diperlukan kerja sama dengan perusahaan asing. Mereka ini akan senang hati datang karena mendapat jaminan asuransi dari pemerintah negara asal mereka. Perusahaan awal yang bermodal dengkul dan tenggorokan mendapat fee, komisi dan capital gain melalui penggelembungan nilai proyek.
Tetapi, sejarah Orde Baru menunjukkan sedikit sekali pengusaha yang berasal dari keluarga pejabat itu yang sukses. Mereka kalah oleh pengusaha yang memang berasal dari kalangan bisnis. Celah lain untuk mendapat keuntungan adalah memanfaatkan peluang ekonomi biaya tinggi dengan seluruh pungutan silumannya, di mana untuk setiap transaksi diminta komisi. Siklus ini berjalan terus sehingga akhirnya terjadi akumulasi modal yang cukup besar bagi seorang pengusaha untuk mendapat economic of scale yang berarti dalam usaha mereka. Setelah sekitar Perusahaan yang bermodal limabelas tahun mendapat bisnis dengan cara demikian, tak sedikit di antara mereka yang menjadi besar dan independen. dengkul mendapat fee, Mereka lalu berekspansi dan melakukan berbagai kegiatan komisi dan capital gain konglomerasi, mengerjakan proyek-proyek yang bukan fokus melalui penggelumbungan utama usaha mereka.
nilai Seorang pengusaha yang mantan menteri menulis: “Aliansi birokrasi dan dunia usaha yang dilandasi oleh suatu konsep pembinaan yang terarah dapat diterima dan dianggap positif karena pada akhirnya akan menimbulkan golongan masyarakat pengusaha yang populasinya perlu terus berkembang. Contoh yang konkret adalah pembinaan pengusaha dari golongan ekonomi lemah serta usaha-usaha peningkatan produksi dalam negeri yang telah berhasil membuka peluang bagi pengembangan dan pertumbuhan wirausahawan nasional.” (Abeng, h. 87-88).
proyek.
Globalisasi dan Konglomerat Indonesia Saat para konglomerat menjadi besar juga berbarengan dengan tren ekonomi internasional di Amerika Serikat dan Eropa yang menghendaki perdagangan bebas internasional, yang dimulai dengan Putaran Uruguay sampai terciptanya World Trade Organization (WTO); juga pembuatan organisasi kerja sama ekonomi dan politik baru seperti APEC. Pada saat yang sama, pemerintah Indonesia juga mengalami kekurangan dana untuk mengelola berbagai proyek. Muncullah deregulasi yang bermakna privatisasi
121
atas berbagai kegiatan ekonomi dan bisnis yang selama ini dikontrol negara. Tekanan-tekanan politik internasional terhadap Indonesia, selain melalui perdagangan bebas, juga makin gencar melalui isu-isu hak azasi manusia (HAM), lingkungan hidup dan demokratisasi. Dalam banyak hal, berbagai keuntungan bagi sektor swasta didapat. Apalagi ketika terjadi sorotan terhadap bisnis keluarga Presiden dan pejabat yang selama ini menjadi kompetitor mereka. Para konglomerat berniat lebih jauh lagi memasuki bisnis yang menguntungkan yang selama ini dimonopoli oleh kerabat pejabat. Peran pemerintah yang makin kecil membuat peluang para konglomerat untuk membuat agenda kerja sendiri yang lebih properti terjadi menguntungkan menjadi lebih besar lagi.
Di sektor korupsi besar-besaran... tanah masyarakat dibeli murah, lalu dijual dengan harga ratusan kali lipat.
Para pengusaha yang dinamis dan kreatif itu lalu menjadi konglomerat yang memiliki serta mengelola bisnis dari hulu sampai hilir. Tidak adanya undang-undang anti-monopoli dan undang-undang perlindungan usaha kecil dan menengah menyebabkan mereka leluasa merambah ke segala bidang. Dua sektor bisnis kemudian berkembang luar biasa hampir berbarengan yaitu sektor perbankan dan sektor properti. Deregulasi perbankan, gebrakan Sumarlin, membuat orang begitu mudah untuk mempunyai bank sendiri. Sektor properti juga melonjak karena adanya kebutuhan perumahan, bangunan, pabrik dan kawasan industri. Pada sektor ini terjadi korupsi besar-besaran berupa pemalsuan perizinan peruntukan pemakaian tanah, dan juga spekulasi dan perampasan tanah-tanah masyarakat yang dibeli dengan amat murah tapi kemudian dijual lagi dengan harga ratusan kali lipat. Untuk “membebaskan”, istilah membeli tanah rakyat dengan harga murah secara paksa atau setengah paksa, terjadi juga korupsi berbentuk pemakaian alat-alat negara dan preman untuk mengintimidasi atau menakut-nakuti rakyat yang menolak untuk menjual tanah atau tidak setuju dengan harga teramat amat rendah yang dipaksakan.
12 2 122
Dalam deregulasi dan restrukturisasi ekonomi, pemerintah akhirnya membuka peluang bagi dana masyarakat dan swasta nasional dan internasional untuk investasi di
perusahaan-perusahaan melalui bursa saham. Namun, membuka pasar modal dengan tujuan menggali dana seluas-luasnya tapi tak dibarengi dengan membuat undang-undang dan perangkat pengawasan terhadap praktek-praktek bisnis, menjadikan bursa saham sebagai ajang manipulasi bisnis dan insider tradings. Terjadi pula manipulasi informasi perusahaan dengan menyogok perusahaan-perusahaan akuntan supaya diberi label fit and proper.
Ketika Pengusaha menjadi Konglomerat Para pengusaha yang tadinya berada di belakang layar, setelah menjadi konglomerat mengubah gaya hidup mereka menjadi jet-set. Mereka membangun gedunggedung bertingkat untuk perkantoran dan apartemen di Segi Tiga Emas Sudirman, Thamrin, Rasuna Said dengan utang. Mereka membeli atau membangun rumah-rumah mewah di penghunian elite di Menteng, Kebayoran, Pondok Indah, Permata Hijau dan Kemang. Mereka mulai membeli pesawat terbang pribadi dan helikopter, kapal pesiar, pulau, rumah-rumah peristirahatan di dalam dan luar negeri. Anak-anak mereka disekolahkan di luar negeri. Upacara perkawinan dan ulang tahun keluarga mereka dilakukan secara besar-besaran di hotel-hotel berbintang lima atau convention hall dengan undangan sering kali mencapai lima ribu orang. Pengaruh mereka yang besar dan kedekatan mereka pada kekuasaan menjadi perhatian publik. Mereka menjadi bagian dari kekuasaan represif Orde Baru. Soeharto mengajak mereka berkumpul di peternakannya di Tapos. Kemudian mereka juga diajak berkumpul di Bali. Mereka diminta membantu pembangunan nasional, kegiatan olahraga, kegiatan sosial dan pembangunan sekolah, universitas dan rumah-rumah ibadah. Sebagai contoh kekuatan, para konglomerat juga menghadirkan para menteri untuk berbagai kegiatan mereka dari yang berbentuk bisnis sampai sosial. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para konglomerat membantu para pejabat sipil dan militer dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sumbangan besar selalu diberikan ketika ada promosi jabatan, acara ulang tahun dan berbagai resepsi serta kegiatan yang dibuat oleh para pejabat. Kiriman hadiah berupa mobil mewah, rumah, perhiasan, arloji
123
mahal, perjalanan berlibur ke luar negeri, pembiayaan sekolah anak di luar negeri, sudah merupakan praktek umum. Tidak pernah kemewahan, kekayaan, kesombongan material dipamerkan begitu hebat dalam sejarah Republik Indonesia sejak kemerdekaan. Sebuah kebudayaan telah berubah, dari mentalitas petani dan ingin menjadi pegawai negeri, lalu bernafsu menjadi orang kaya dan konglomerat — namun secara cepat, tanpa harus kerja keras, melalui manipulasi, spekulasi serta korupsi, seperti dicontohkan oleh “kisah sukses” para pengusaha dan pejabat yang semula hidup biasa-biasa saja lalu menjadi konglomerat “kelas dunia’. Pengusaha Orde Baru umumnya memperlakukan buruh dan karyawan mereka bukan sebagai mitra, tapi sebagai alat produksi yang harus dimanfaatkan maksimum dengan ongkos minimum. Mendapat dukungan dari pemerintah dan alat negara, pengusaha selalu menang dalam setiap kasus perburuhan. Apalagi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), yang merupakan wadah tunggal, juga berada di bawah naungan pemerintah. Melihat pentingnya media sebagai wacana pembentuk opini publik di samping mempunyai prospek bisnis yang menguntungkan, tak sedikit konglomerat yang memasuki bisnis media cetak dan elektronik, seperti Ciputra, Sukamdani, Tommy Winata, Grup Bimantara, Peter Sondakh, Tutut Soeharto, Grup Lippo dan Grup Bakrie. Dengan menguasai media, posisi mereka di masyarakat makin kuat, selain bisa mengontrol arus informasi yang negatif terhadap perusahaan-perusahaan mereka. Ketua Kadin, Aburizal Bakrie, peka terhadap kritik-kritik yang muncul di masyarakat, kemudian mendirikan Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha Indonesia (LSPEU) di Jakarta. Tujuannya agar para pengusaha menganut etika bisnis dalam melakukan pekerjaan mereka. Namun lembaga ini sulit berkembang menjadi badan yang mempunyai otoritas moral dan sanggup mengubah perilaku-perilaku buruk seperti KKN yang sudah mewabah di masyarakat.
12 4 124
Berbagai skandal muncul menjadi laporan utama berbagai media internasional dan studi berbagai buku. Namun, sampai saat kejatuhan Soeharto, jarang yang memberi
perhatian terlalu serius karena sudah tahu bahwa semua itu bisa ditutupi dan diselesaikan secara cepat dan mudah. Hubungan erat antara pengusaha dan penguasa membuat mereka bekerja sama dalam melindungi kepentingan bersama, antara lain dengan cara saling menjaga diri. Padahal kasus-kasus yang melibatkan mereka tergolong besar. Pinjaman dari Bank Dunia, misalnya, 30%-nya menguap oleh korupsi. Daftar kasus pun amat panjang, misalnya kasus Lippo dan Presiden Clinton; monopoli tepung terigu dan industri mi Bogasari dan Indofood; kasus penyelewengan Pertamina; berbagai kasus “kongkalikong” menyangkut kemitraan Bakrie dan A. Latief Sampai kejatuhan dengan Freeport yang menyeret-nyeret nama Ginanjar; kerja sama Soeharto, jarang yang PT Dharmala dengan anak perusahaan Bank Dunia (IFC) dalam asuransi Manulife; kemitraan Bulog dan PT Goro yang merupakan kerja sama memberi perhatian serius antara Tommy Soeharto dan Ricardo Gelael; kasus mobil nasional karena tahu semua itu Timor; monopoli cengkeh oleh Badan Pengadaan dan Pembelian bisa ditutupi. Cengkeh (BPPC) yang dikendalikan Tommy Soeharto; penjualan kopi Timor Timur; kasus pertambangan emas Busang di Kalimantan; pengadaan buku pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; kasus pemerasan gaji buruh wanita yang bekerja di luar negeri (TKW); pengadaan mobil mewah tanpa pajak; kilang minyak Balongan di mana nama Ginanjar muncul lagi; perusakan dan pemetaan hutan oleh Bob Hasan; perampasan tanah petani Cimacan dan Tapos untuk dijadikan lapangan golf dan lahan pertanian; kasus Bank Bali; kasus “Buloggate” dan “Bruneigate”.
Kejatuhan Soeharto dan Krisis Besar Para Konglomerat Pada musim panas 1997, krisis ekonomi Asia Tenggara dimulai dari Thailand. Krisis yang awalnya menyangkut moneter itu merembet ke Korea Selatan, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Krisis itu, yang berhasil diatasi di negara-negara tersebut, dalam waktu tiga tahun di Indonesia malah meluas menjadi krisis ekonomi total dan krisis politik yang mengancam disintegrasi wilayah Republik.
125
Pada Mei 1998, setelah 32 tahun berkuasa, Presiden Soeharto mengundurkan diri menyusul demonstrasi besar-besaran mahasiswa dan masyarakat prodemokrasi. Setelah kejatuhannya, makin lama makin terbuka keterlibatan tokoh ini dalam berbagai bisnis yang telah memperkaya diri pribadi, anak-anak, menantu, cucu dan semua orang yang dekat dengan keluarganya. Muncullah sebuah istilah baru, yaitu KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Berbagai studi kemudian terbit tentang harta korupsi keluarga Soeharto. Majalah Time menuduh bahwa selama berkuasa Soeharto melakukan korupsi hingga sebesar US$ 30 miliar. Soeharto menggugat Time, tapi pengadilan memutuskan bahwa majalah itu benar dan Soeharto kalah dalam perkara besar tersebut. agung Soejono
Jaksa menyimpulkan, Soeharto sudah pantas menjadi tersangka. Lima jam kemudian ia dipecat.
Seperti Soekarno, Soeharto jatuh karena masalah uang, meski mantan presiden Soekarno juga dituduh oleh SI MPRS sebagai penyebab rusaknya akhlak bangsa karena kesukaannya yang berlebihan pada perempuan. Jaksa Agung Soejono C. Atmonegoro setelah menyerahkan laporan setebal tiga buah buku kepada Presiden Habibie yang menggantikan Soeharto, menyimpulkan bahwa “Soeharto sudah pantas menjadi tersangka” kasus korupsi. Lima jam setelah itu Soejono dipecat, digantikan oleh A.M. Ghalib. Tuduhan Kejaksaan Agung terhadap Soeharto dipusatkan dengan mengaudit tujuh yayasan yang dipimpinnya yaitu Supersemar, Amal Bhakti Muslim pancasila (ABMP), Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Dharma Bakti Sosial (Dharmais), Trikora dan Dana Gotong Royong. Seluruh harta diperkirakan Rp 4 triliun, namun yang tersisa tinggal Rp 2,5 triliun. Dana yayasan-yayasan itu tersebar dalam bentuk deposito, saham, pinjaman, dan sebagainya. (Forum, 14/12/1998, h. 83).
126
Contoh korupsi dapat dilihat pada Yayasan Supersemar. Ia memiliki Rp 1,2 triliun dan menggunakan 16% dananya untuk pendidikan, tapi lebih dari Rp 1 triliun dipakai untuk membeli tanah di Citeureup, membeli saham Indocement, hibah ke Bank Duta, membeli saham PT Citra Marga Nusaphala, serta meminjamkan uang kepada PT Kiani Lestari, PT Kiani Sakti, PT Granadi, PT Sempati Air, PT Kemgas Tama dan PT Nusamba.
Contoh lainnya adalah Yayasan Dharmais, yang memiliki Rp 1,1 triliun dan meminjamkan uang kepada para kroni Soeharto di PT Kiani Kertas, PT Barito Pasific dan Bank Ifi, selain melakukan penyertaan modal di Bank Duta, Bank Muamalat, PT Sempati, Indocement, PT Citra Marga Nusaphala dan PT Nusamba. Demikianlah, kejayaan Soeharto telah membuat orang-orang bisnis di sekitarnya pun menjadi konglomerat raksasa. Namun kejatuhan Soeharto bukan saja telah meruntuhkan mereka yang bisnisnya dibangun di atas kejayaan Soeharto, melainkan juga memicu bangkrutnya ekonomi nasional. Hampir semua konglomerat besar, yang masuk daftar 21 obligor terbesar di BPPN, terkait dengan bisnis Soeharto dan keluarganya. Sebagian besar dari mereka dimiliki oleh etnis Cina, berbeda dengan di zaman Soekarno di mana hampir semua pengusaha terkemuka yang dekat dengan dirinya adalah pribumi. Berbeda dengan Soekarno, Soeharto dibawa ke pengadilan. Namun atas alasan sakit berat, ia tidak dihadirkan di persidangan — malah kemudian pengadilan menyatakan ia bebas. Ironisnya, negara dibebankan biaya pengobatan bekas presiden tersebut. Sedangkan sahabat karibnya, pengusaha yang pernah diangkatnya menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan, kemudian diadili dan ditahan dengan tuduhan korupsi uang negara sebesar US 87 juta dari Departemen Kehutanan dalam proyek pemetaan hutan dari udara yang dilakukan oleh perusahaannya, PT Mapindo.
Kehancuran Ekonomi Indonesia Ekonomi Indonesia yang dibangun atas KKN telah menjadi bubble economy yang setiap saat bisa pecah. Ini terbukti ketika terjadi krisis moneter Asia di tahun 1997. Dalam tempo relatif singkat, seluruh bisnis sektor swasta Indonesia ambruk. Seluruh perusahaan para konglomerat yang sudah memasuki bursa saham ambruk dan terpaksa masuk ke dalam Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), yang diperkirakan menangani 80% aset total nasional perusahaan-perusahaan di Indonesia. Aset perusahaan para konglomerat disita oleh BPPN, tapi ironisnya sebagian besarnya adalah aset yang kurang berharga. Sementara yang bernilai tinggi tetap dikuasai para pemiliknya.
127
Ketika Soeharto jatuh, banyak konglomerat yang lari ke luar negeri. Mereka menunggu saat yang menguntungkan untuk kembali. Tampilnya Habibie sebagai presiden baru menenteramkan mereka. Habibie adalah orang yang mereka kenal, dekat dengan Soeharto dan juga tokoh Golkar, partai yang berkuasa pada Orde Baru. Tak sedikit dari konglomerat yang diangkat oleh Habibie untuk menjadi duta besar keliling atau diberi jabatan-jabatan strategis dengan alasan agar modal asing mau kembali ke Indonesia. Krisis ekonomi dan politik juga menyebabkan investor asing meninggalkan Indonesia. Apalagi setelah Bank Dunia dan IMF dilihat sudah kritis terhadap pemerintah Indonesia. Bankir asing menekan perusahan-perusahaan Indonesia untuk segera membayar utang mereka. Berbagai negosiasi dibuat. Namun sulit bagi perusahaan Indonesia untuk membayar utang dengan dolar sementara penghasilan mereka umumnya dalam rupiah, padahal nilai rupiah merosot lima kali lebih rendah dibanding sebelum krisis. Perusahaan-perusahaan asing yang tetap tinggal di Indonesia hanyalah yang sudah mempunyai bisnis yang sudah jalan dan telah beroperasi lama di Indonesia. Tidak ada investor baru yang berminat menanam modal di dalam negeri. Keadaan ini memperparah kondisi ekonomi. Sudah menjadi rahasia umum di Jakarta bahwa para konglomerat itu masih hidup seperti di masa sebelum krisis: penuh kemewahan — mengindikasikan bahwa mereka masih punya uang yang tidak disimpan di dalam negeri tapi di bank-bank yang aman dan terjaga kerahasiaannya di luar negeri. Atau bahwa uang itu sudah dijadikan modal bisnis di Singapura, Hongkong, Australia ataupun Cina.
128
Beribu macam persoalan muncul di BPPN, yang memegang mandat untuk membereskan seluruh utang para konglomerat. Tuduhan korupsi besar-besaran terhadap BPPN santer di masyarakat; beredar pula isu adanya permainan dan persekongkolan antara orang-orang BPPN dengan para konglomerat dalam penanganan masalah yang merugikan negara sekaligus menguntungkan konglomerat. Tersebar pula kabar tentang ketakmampuan para profesional di organisasi itu dalam menangani masalah-masalah teknis dan nonteknis. BPPN memang berjalan sangat
lambat. Proses penjualan aset-aset berlangsung lama, berbelit-belit dan sering kali BPPN tak mampu menentukan harga pasar yang tepat. Perusahaan yang mestinya dibiarkan hancur masih terus dibela oleh BPPN, seperti Texmaco dan Candra Asri. Sedangkan penjualan berbagai aset konglomerat juga sarat dengan kontroversi harga dan prosesnya tak transparan atau tidak melalui tender, seperti terjadi pada penjualan perkebunan Salim kepada Guthrie dari Malaysia. Yang juga mencolok adalah bahwa dalam setiap sengketa para konglomerat selalu bebas dari tuntutan hukum. Dalam setiap kasus gugatan pailit terhadap perusahaan konglomerat, pihak tergugat selalu menang, seolah para konglomerat itu kebal hukum.
Apa yang Salah dengan Sistem Ekonomi dan Usahawan Indonesia? Apa yang salah dengan Indonesia sehingga berbarengan dengan jatuhnya Soeharto ekonomi juga ambruk? Padahal, bukankah selama 32 tahun Orde Baru telah menjadikan pembangunan ekonomi sebagai satu-satunya tujuan? Ada empat pendapat yang mencoba memberi jawaban terhadap pertanyaan besar ini.
Dalam setiap kasus gugatan pailit terhadap perusahaan konglomerat, tergugat selalu menang, seolah mereka kebal hukum.
Pertama, bahwa kebudayaan “tradisional” Indonesia menjadi penghalang bagi munculnya keberhasilan pembangunan ekonomi modern (pendekatan psikologi kebudayaan). Pandangan kedua, berdasar teori Weber tentang birokrasi rasional dan patrimonial, menyatakan bahwa Indonesia berada dalam lingkaran yang kedua di mana negara birokrasi yang punya kekuasaan absolut karena tidak terkontrol kuat oleh oposisi terus menguasai negara, dengan mendistribusikan peluang ekonomi bagi berbagai kelompok ekonomi yang saling bersaing (pendekatan struktural domestik).
Pendapat berikutnya menyatakan bahwa keterbelakangan (underdevelopment) Indonesia disebabkan oleh ketergantungan terhadap kekuatan-kekuatan imperialis, di mana ekspor mereka berupa hasil pertambangan dan perkebunan dimiliki oleh para kapitalis
129
dari negara-negara imperialis. Dan ketergantungan itu diperparah karena negara-negara berkembang mengimpor barang-barang pabrik dan teknologi dari negara-negara imperialis yang lebih maju (pendekatan dependensia). Pandangan terakhir menyebut bahwa “kekuatan paling revolusioner yang bergerak di Dunia Ketiga dewasa ini bukanlah komunisme atau sosialisme, tapi kapitalisme”. Di Indonesia transformasi berlangsung karena terjadinya akumulasi kapital cukup besar yang berasal dari penanaman modal asing, boom minyak dan bantuan luar negeri. Pemerintah menjadi pengatur semua hal memperkuat negara, dan kelas kapitalis domestik mengubah perdagangan yang spekulatif di awal Orde Baru menjadi konglomerat yang menguasai hulu dan hilir (pendekatan dependensia-pembangunan).
Konglomerat dan Korupsi di Era Reformasi Periode Presiden B.J. Habibie Ketika terpilih sebagai presiden, B.J. Habibie menghadapi masalah yang amat besar untuk membangun kembali ekonomi dan menegakkan landasan-landasan hukum demokrasi di Indonesia. Langkah-langkah pemberantasan KKN menjadi tantangan utama. Undang-undang Anti Korupsi dibuat di masa pemerintahannya. “Korupsi, kolusi dan nepotisme,” kata Habibie, “justru terjadi akibat kerja sama antara para penguasa dengan pengusaha swasta atau badan usaha negara, yang merugikan rakyat. Tujuan yang hendak dicapai dari penghapusan KKN adalah terwujudnya ekonomi nasional yang efisien serta pemberian pelayanan aparatur pemerintah yang baik kepada masyarakat” (Habibie, h. 23). Namun, ironisnya, KKN juga terjadi pada pemerintahannya.
130
Dalam negara birokrasi patrimonial, hubungan antara politik dan bisnis amat dekat. Habibie pun, yang sudah berada di pusat kekuasaan, tak terhindar dari keadaan itu. Secara pribadi ia juga dekat dengan banyak pengusaha pribumi maupun etnis Cina seperti Eka Tjipta Wijaya, bos grup Sinar Mas. Mereka dilibatkan dalam berbagai proyeknya, baik di BPPT maupun IPTN, sehingga hubungan ini memunculkan tuduhan terhadap dirinya.
Setiap zaman melahirkan orang-orang kayanya sendiri. Kebangkitan sebuah kekuatan politik selalu diiringi dengan munculnya para pengusaha baru, sahabat para penguasa rezim yang baru muncul. Pada masa Presiden Habibie, karena kedekatannya dengan Orde Baru dan singkatnya masa pemerintahannya yang hanya 18 bulan, boleh dikata tidak ada konglomerat baru atau orang kaya baru yang muncul di era ini. Namun sebaliknya, para pengusaha swasta dari zaman Soeharto terus memainkan peran utama dan mendekati presiden baru ini. Salah seorang yang dekat dengan Habibie adalah pengusaha yang berasal dari Sulawesi Selatan seperti dirinya, yaitu A.A. Baramuli. Tokoh yang kemudian menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Agung ini awalnya pegawai tinggi Departemen Dalam Negeri, dan pernah menjadi kepala Kejaksaan Tinggi dan kemudian gubernur Sulawesi Utara. Setelah pensiun (1974) ia menjadi pengusaha yang sukses dan anggota Komisi VII DPR mewakili Golkar.
Para pengusaha dari era Adalah Baramuli yang membongkar kasus korupsi Edy Tansil melalui perusahaannya Golden Key, yang memanfaatkan kredit Soeharto terus berperan dan US$ 430 juta yang jatuh tempo November 1993 dari Bank mendekati Presiden Pembangunan Indonesia (Bapindo). Kredit macet itu dengan bunganya kemudian mencapai US$ 650 juta. Para mantan direksi Habibie. Bapindo dan Edy Tansil masuk penjara, namun dia berhasil lari dari LP Cipinang melalui kerja sama dengan orang dalam. Sementara Laksamana Sudomo dan mantan Menteri Keuangan Prof. J.B. Sumarlin yang juga diduga terlibat sama sekali tak tersentuh. Ironisnya, sebagai orang yang pernah membongkar kasus korupsi ternyata Baramuli sendiri disebut terlibat dan malah dalang skandal besar korupsi senilai Rp 904,6 miliar dalam kasus Bank Bali. Skandal ini, bersama kasus penyelesaian Timor Timur yang merugikan bangsa Indonesia, menyebabkan Habibie sulit dipilih kembali sebagai presiden. Kasus ini melibatkan orang-orang dekat Habibie di istana dan para tokoh Golkar seperti pengusaha Manimaren dari Texmaco, konglomerat Djoko Tjandra dan mantan menteri BUMN Tanri Abeng, yang semula juga seorang pengusaha dan
131
pernah menjabat presiden direktur di Grup Bakrie. Namun setelah pengadilan berjalan, semua yang terlibat dalam kasus Bank Bali bebas. Awal Juli 1999, pemerintah Habibie mengungkap 27.865 kasus KKN di Indonesia yang merugikan negara sebesar Rp 1,9 triliun dan US$ 133,7 juta atau total Rp 2,8 triliun dengan kurs waktu itu. Jumlah ini jauh lebih kecil dibanding dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang mencapai Rp 150 triliun. KKN yang terjadi di 12 departemen itu juga melibatkan sektor swasta yang menjadi mitra mereka. KKN itu terjadi di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pekerjaaan Umum, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Keuangan, Departemen Pertambangan dan Energi, Departemen Agama, Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Setelah pengumuman oleh Habibie, tidak ada tindak lanjut sampai dengan kejatuhannya pada Oktober 1999.
Teoritis, Habibie merupakan satu-satunya presiden RI yang modern dan rasional. Kenyataannya tidak
Namun, ironisnya, pada masa pemerintahan Habibie itu pula dibuat sejumlah undang-undang yang menjamin demokrasi seperti kebebasan pers, kebebasan berserikat, kebebasan mengemukakan pendapat dan berbagai usaha mengakhiri diskriminasi. Pemerintah juga berhasil menyelenggarakan pemilihan umum yang bersih dengan pengawasan internasional.
Secara teoretis, berdasar teori Weber tentang tipe negara birokrasi-rasional yang memerlukan hukum dan aturan main yang perlu ditaati untuk mencegah penyelewengan negara, Habibie merupakan satu-satunya presiden RI yang modern dan rasional serta yang paling mungkin menjalankan pemerintahan yang bersih. Kenyataannya tidak. Mungkin karena ia hanya berkuasa selama 18 bulan.
Periode Presiden Abdurrahman Wahid
132
Presiden yang menggantikan Habibie, dilihat dari latar belakang kultur, pengalaman kenegaraan dan pendidikannya, merupakan seorang presiden yang lebih nyaman bekerja dalam sebuah sistem birokrasi patrimonial. Mengamati pemerintahannya selama 18 bulan, tampaknya kecenderungan memang ke arah sana. Karena itu usaha keras membangun
birokrasi yang rasional dan menjalankan hukum harus terus dilakukan, sebab tidaklah mungkin membangun kapitalisme industri tanpa undang-undang dan kebijakan yang dapat menyediakan infrastruktur yang rasional dan dapat diukur serta diprediksi. Kejaksaan Agung pada masa pemerintahan Wahid menyatakan telah memeriksa 1.040 kasus korupsi di tahun 2000 di mana 256 kasus selesai diberkas, sedangkan 290 kasus lainnya telah diajukan ke pengadilan dengan 79,31%-nya sudah diputus. Kerugian negara akibat korupsi diperkirakan Rp 3,29 triliun, sedang yang dapat dikembalikan ke negara hanya sekitar Rp 1,9 miliar (Jakarta Post, 4/4/01). Sebelum menjadi presiden, Wahid dikenal sebagai tokoh yang secara terbuka membela hak-hak minoritas etnis di Indonesia. Ketika ia berkuasa, ia menghapuskan diskriminasi terhadap etnis Cina. Seluruh identitas kebudayaan, kesenian dan bahasa serta tulisan Cina diizinkan hidup lagi. Dengan demikian, secara teoretis, di mata hukum tidak ada lagi perbedaan antara pribumi dan etnis Cina, yang dikenal sebagai pedagang yang berhasil. Sikap semacam ini diharapkan dapat membuka era baru dalam hubungan yang lebih sehat antara minoritas etnis Cina dengan kaum pribumi. Kesetaraan di mata hukum dan politik akan menimbulkan keterbukaan dan sikap saling percaya, toleransi dan empati antara kedua golongan yang sejak zaman penjajahan mempunyai masalah. Era baru itu, yang membuat etnis Cina merasa dipercaya dan menjadi bagian dari bangsa Indonesia sepenuhnya, diharapkan akan menimbulkan rasa tanggung jawab sosial, ekonomi dan moral yang lebih besar di kalangan mereka, sehingga mungkin saja akan dapat mengurangi peluang korupsi dan praktek-praktek KKN. Pada 1999, DPR melahirkan dua undang-undang yang berkaitan langsung dengan korupsi, yaitu UU tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi (UU No. 28/1999) dan UU tentang Pemberantasan Perbuatan Kriminal Korupsi (UU No. 31/1999). Yang terakhir ini menyebut perlunya dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, yang diharapkan independen dari campur tangan politik dan kekuatan negara melalui pertanggungjawaban langsung kepada DPR, pengadilan maupun rakyat.
133
Namun sampai tulisan ini dibuat, komisi tersebut belum terbentuk, sejalan dengan belum tuntasnya pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Anti Korupsi di DPR. Nantinya direncanakan akan ada pengadilan khusus korupsi di setiap ibukota provinsi. Pengadilan ini akan dilekatkan pada lingkungan peradilan umum di pengadilan negeri. Sementara di setiap kabupaten pengadilan sejenis dapat juga dibentuk. Prinsipnya setiap perkara harus sudah diputus dalam 90 hari, peradilan banding harus selesai dalam 30 hari, dan peradilan kasasi harus sudah diputus dalam 60 hari. Belum lagi terbentuk, sudah ada pemalsuan pembentukan Komisi Anti Korupsi di Sulawesi Utara pada awal 2001. Juga untuk mencegah korupsi, UU No. 28/99 menghendaki dibuatnya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), guna memeriksa laporan kekayaan yang diisi oleh para pejabat negara. Komisi ini juga berhak memeriksa mereka yang diduga memperoleh kekayaan dengan cara yang tidak layak. Diketuai Yusuf Syakir, KPKPN mulai secara berkala menerbitkan daftar kekayaan pejabat. Yang menarik adalah bahwa separuh dari kekayaan pribadi yang didaftarkan oleh Abdurrahman Wahid berasal sejak ia menjadi presiden, dan terkait dengan jabatan kepresidenan meski dikatakan sebagai hibah. Sejauh ini tidak banyak yang dilakukan oleh panitia persiapan Komisi Anti Korupsi (KAK) itu. Dalam menjalankan tugas-tugasnya Panitia Komisi mengalami banyak hambatan, baik dari pemerintah sendiri maupun dari orang-orang tertentu yang berkemungkinan untuk disidik. Ada dinding-dinding tebal yang menghambat usaha mereka sehingga Panitia Komisi itu sendiri terpental. Salah satu sebabnya, selain karena sulitnya mendapatkan anggota dan pimpinan komisi yang berani dan betul-betul bersih, adalah karena kurangnya dukungan masyarakat. Orang masih takut melaporkan kasuskasus korupsi. Kerahasiaan para pelapor tidak bisa dijamin, sehingga mereka bisa diancam oleh orang-orang yang terancam menjadi terdakwa, sementara insentif bagi pelapor tidak memadai.
134
Sebab lainnya ialah adanya keraguan besar bahwa polisi dan kejaksaan, setelah menerima laporan, tidak akan mampu menanganinya karena di institusi-institusi itu
pun terjadi korupsi. Konflik kepentingan, persaingan wewenang antara Komisi dengan kepolisian dan kejaksaan menyebabkan lumpuhnya upaya pemberantasan. Diperlukan koordinasi dan kerja sama serta penerapan unsur pencegahan, penegakan dan pendidikan hukum secara serempak dan tersinergi. Sebab yang lain lagi adalah karena rencana pembentukan komisi itu masih sentralistis. Sebaiknya dibuat juga cabang-cabang di setiap provinsi dan kabupaten. Akan lebih kuat lagi seandainya setiap provinsi atau kabupaten membentuk komisi serupa secara independen, dengan memanfaatkan Undangundang Otonomi Daerah secara maksimum. Desentralisasi dan Orang takut melaporkan perluasan jaringan Komisi akan memperkuat otoritas mereka.
kasus korupsi. Kerahasiaan dijamin.
Tampaknya diperlukan juga sikap fleksibel tentang pelapor tidak hukuman. Misalnya, mungkinkah seandainya seluruh hasil korupsi dikembalikan maka pelakunya tak perlu lagi masuk penjara? Bolehkah suatu penyidikan dihentikan untuk perkara yang sudah terlalu lama berlangsung, kecuali jika kasus itu sudah memasuki tahap berikutnya? Tidakkah seharusnya perhatian diberikan kepada kasus-kasus yang baru muncul? Ketika usaha-usaha hendak dilakukan, hambatan muncul dari sulitnya mendapatkan para petugas anti-korupsi yang cakap secara teknis dalam menemukan, menyelidiki dan membuktikan kasus-kasus korupsi yang hendak ditangani. Diperlukan kerja sama internasional yang lebih erat, efisien dan lebih luas. Sementara para koruptor adalah orang-orang yang punya daya dan dana melimpah, jaringan dan pasukan pengacara tangguh yang berpengalaman dan berhasil menang dalam berbagai kasus.
Ekonomi dan Korupsi pada Zaman Megawati Ekonomi mendapatkan lingkungan yang sangat buruk selama 18 bulan pemerintahan Wahid. Inflasi memang dapat ditekan, tapi nilai tukar rupiah terhadap dolar turun drastis, sementara indeks BEJ dan BES makin terpuruk. Dan boleh dikata tidak ada investasi asing yang masuk ke Indonesia. Penjualan aset-aset BPPN amat lambat sedangkan privatisasi BUMN pada titik nol. Infrastruktur ekonomi negara tak terawat
135
dan dari hari ke hari keadaannya terus memburuk. Pada saat yang sama, keadaan politik dan keamanan sehari-hari di seluruh Indonesia makin parah. Gerakan separatisme kian meningkat di Aceh dan Irian Jaya serta mulai muncul di Riau. Bebagai konflik agama seperti di Maluku Selatan dan konflik etnis seperti di Kalimantan terus berlangsung. Sementara pemberlakuan otonomi daerah makin memperkuat kecenderungan disintegrasi nasional. Muncul pula beberapa peraturan baru di berbagai daerah yang sering bertentangan dengan undang-undang ekonomi yang telah dilahirkan DPR. konglomerat yang
Sejumlah dibangkrutkan oleh Soeharto mulai kembali memanfaatkan kedekatan dengan rezim baru.
Meski kegiatan ekonomi besar terpuruk, untungnya pengusaha kecil dan menengah yang berorientasi ekspor cukup solid sehingga kegiatan ekspor masih berlangsung, terutama dalam hasil perkebunan seperti kopi, cengkeh dan sebagainya. Subsidi besar pemerintah untuk minyak dan gas membuka peluang bagi pengusaha yang “kreatif” untuk menyelundupkan bahan bakar minyak (BBM) ke luar negeri, terutama melalui Singapura. Berlangsung pula berbagai peluang impor barang mewah dan modal kerja tanpa membayar pajak. Tidak sedikit konglomerat yang melobi dan berhasil meyakinkan pemerintah untuk kembali membantu mereka melalui pemberian kredit, penundaan maupun pemangkasan utang-utang mereka. Contoh paling baru adalah bos grup Texmaco, Marimutu Sinivasan, dan bos grup Barito, Prajogo Pangestu. Sejumlah konglomerat yang dibangkrutkan oleh Soeharto pun mulai kembali ke Indonesia, memanfaatkan kedekatan mereka dengan rezim baru, misalnya Edward Soeryadjaya. Beberapa konglomerat Orde Baru pun mulai bangkit kembali dengan berbagai cara.
136
Para konglomerat, seperti terlihat pada era Reformasi, ternyata sangat ulet dan kuat. Mereka pandai membangun benteng-benteng pertahanan sehingga sulit sekali untuk dibawa ke pengadilan. Sebagian konglomerat besar malah sudah menjalin hubungan dan Presiden dan anggota kabinet yang punya posisi kuat, sehingga mereka tak tersentuh hukum meski ada bukti bahwa mereka melakukan korupsi. Bahkan mereka sanggup
membuat Menteri dan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan terjungkal dari kursi mereka. Dan hal ini bukan baru pertama kali terjadi. Mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie, yang dikenal sebagai musuh para konglomerat “hitam”, disebut dipecat berkat “bisikan” mereka pada Presiden. Pada era Reformasi ini pola korupsi juga berubah. Memang lebih sulit bagi pemerintah untuk memberi monopoli terbuka kepada pengusaha yang mereka sukai seperti dalam kasus Candra Asri, Bogasari, Paiton, atau “mobil nasional” Timor yang juga diberi pembebasan pajak, cukai dan berbagai fasilitas dan kemudahan. Meski demikian tidak ada usaha dari pemerintah untuk mematahkan monopoli yang sudah ada seperti yang dilakukan oleh beberapa perusahaan, misalnya Indofood dalam industri makanan di Indonesia.
Politik Uang dan Korupsi Dalam beberapa tahun ini sejumlah pengusaha baru dan sebagian muka-muka lama akan besar dan menjadi pengusaha utama. Namun sebagian dari praktek-praktek korupsi Orde Baru terus berlangsung. Korupsi tidak terhapuskan meski MPR telah membuat beberapa Ketetapan MPR yang luar biasa kerasnya bagi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan terbuka, dan meski dengan berkembangnya demokrasi, kebebasan pers dan kompetisi antar partai politik yang memperlancar dan meragamkan arus informasi. Ironis pula bahwa korupsi yang dulunya terpusat di istana presiden, kantor gubernur dan bupati, kini bergeser juga ke DPR dan DPRD — dari sangat tersentralisasi menjadi desentralisasi. Banyak partai politik yang sampai sekarang tidak punya cukup dana untuk membiayai kegiatan mereka. Lalu partai dan pengusaha swasta bekerja sama untuk mencari uang. Partai-partai berkompetisi memperebutkan sumber ekonomi. Misalnya dengan menempatkan orang-orang mereka di BUMN dan “departemen basah” atau bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan Orde Baru. Namun terjadi perubahan besar dalam skala dan cara. Jumlah transaksi menyusut pada krisis. Kalau di masa lalu kerja sama harus dilakukan dengan Soeharto dan para
13 1377
pembantu utamanya, kali ini mereka harus berkolaborasi dengan kekuatan-kekuatan politik yang lebih banyak; dengan mereka yang sudah berkuasa dan juga dengan orangorang yang berpeluang akan mendapat kekuasaan. Kini lebih banyak pintu yang mesti dilalui, selain harus pergi ke kabupaten untuk menggarap bupati dan anggota DPRD guna mendapat berbagai proyek. Saat ekonomi menurun, volume transaksi dan tingginya mark-up pun berkurang. Korupsi dilakukan dengan justifikasi membiayai kegiatan partai politik yang ironinya ikut dalam gerakan demokrasi. Ketika partai-partai merasa harus mendapatkan uang, tanpa memikirkan terlalu jauh bagaimana caranya, maka praktek-praktek korupsi sungguh sulit diberantas. Akuntabilitas terhadap rakyat hampir tidak ada, kecuali penyelenggaraan melalu Pemilu baru. Gerakan reformasi mendapat tantangan dari partai politik dalam memberantas korupsi. Sementara gerakan di masyarakat sendiri belum cukup kuat, seperti dirasakan oleh lembaga swadaya Indonesian Corruption Watch (ICW). Demikian pula Tim Gabungan Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (TGPPK) buatan pemerintah yang dipimpin mantan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto, yang kemudian mengundurkan diri karena frustrasi tidak dapat memberantas korupsi. Korupsi sulit diberantas, menurut ICW, karena tidak ada elit politik di pemerintahan maupun DPR yang punya komitmen untuk memberantasnya, selain mereka sendiri berkepentingan memelihara korupsi untuk membiayai kegiatan politik mereka. ICW percaya bahwa secara teknis dan perundang-undangan seharusnya korupsi sudah bisa diberantas. Ironisnya, laporan kasus-kasus korupsi yang dikumpulkan ICW dan diberikan ke Kejaksaan Agung malah menjadi bahan korupsi baru oleh para pejabat hukum untuk memeras tertuduh yang diinformasikan oleh ICW. Tidak ada satu pun laporan itu yang ditindaklanjuti sehingga pelakunya dipenjara dan uang hasil korupsi disita. Karena itu ICW bertukar taktik, tidak lagi memberi laporan per kasus, melainkan lebih sistemik.
138
Korupsi juga terjadi di lingkungan Bapepam, badan pemerintah yang mengawasi pasar modal di Jakarta dan Surabaya. Yang luput dari pemeriksaan di antaranya adalah
kasus Bumi Modern dan Lippo serta pembelian saham sebuah hotel dan ladang minyak di Yaman, yang rencananya akan diserahkan kepada BPPN oleh sebuah bank yang dilikudasi (ICW, 19/1000).
Kasus Buloggate dan Bruneigate yang Menjatuhkan Wahid Presiden Abdurrahman Wahid dianggap tidak memperhatikan masalah korupsi. Bahkan ia sendiri oleh DPR dituduh melakukan korupsi dalam skandal Buloggate dan Bruneigate, menyebabkan turunnya Memorandum I dan Memorandum II. Jawaban Presiden terhadap Memorandum dalam sidang pleno DPR dianggap tidak memuaskan. Presiden tampaknya kesulitan dalam membedakan milik publik dan milik pribadi, padahal itulah salah satu esensi dari pemerintahan yang bersih. Misalnya, dalam hal bantuan dari Sultan Brunei sebanyak US$ 2 juta, apakah itu akan diberikan bila Wahid bukan presiden yang punya kekuasaan besar? Presiden juga dituduh berusaha melakukan deal bisnis dengan Tommy Soeharto serta beberapa konglomerat yang sedang dalam pemeriksaan Kejaksaan Agung. Berbagai tuduhan korupsi juga menerpa beberapa mantan menterinya, seperti Menteri Kehutanan Nur Machmudi Ismail yang bersama sekretaris jenderal departemennya, Suripto, amat gencar dalam mengungkap kasus-kasus korupsi.
Presiden dituduh berusaha melakukan deal bisnis dengan Tommy dan beberapa konglomerat yang sedang diperiksa Kejaksaan.
Berbeda dari pendahulunya, Abdurrahman Wahid, terlebih ketika mulai terjepit, terlihat menjadi lebih tegas dalam pemeriksaan korupsi, paling tidak ia berani mengancam menangkap sepuluh koruptor terbesar zaman Orde Baru sampai akhir Maret 2001. Untuk menambah kredibilitasnya, ia mengangkat seorang tokoh berani, keras dan jujur, Baharuddin Lopa, menjadi menteri kehakiman. Pada saat yang sama Presiden juga mengancam akan mengganti Jaksa Agung Marzuki Darusman jika ia gagal memberantas korupsi. Pengusaha kakap Bob Hasan masuk penjara dan kemudian dipindahkan ke penjara Nusa Kambangan sebagai tembakan peringatan dan shock therapy bahwa Lopa bersungguh-
139
sungguh, meski Tommy Soeharto masih buron. Citra konglomerat yang makin buruk di era Reformasi membuat mereka bereaksi. Mengapa semua kesalahan ditimpakan kepada para pengusaha besar? Bukankah para pejabat tinggi, dan banyak mantan menteri, pun ikut melakukan dan malah mendalangi banyak perbuatan KKN? Dan tidak satu pun di antara mereka yang dijebloskan ke penjara, meski ada usaha untuk menyeret beberapa dari mereka ke pengadilan.
Citra konglomerat yang makin buruk membuat mereka bereaksi. Mengapa semua kesalahan ditimpakan kepada mereka?
Beberapa mantan pejabat tinggi dan BUMN sudah masuk tahap pemeriksaan terakhir atas tuduhan KKN. Puluhan lainnya menunggu nasib yang sama. Usaha ini, meski kata orang dilakukan Wahid untuk mengalihkan perhatian, jelas didukung masyarakat yang ingin melihat para pelaku korupsi — entah dari sektor swasta maupun pejabat pemerintah — benar-benar di hukum untuk memenuhi rasa keadilan.
Kesimpulan Sejak ekonomi prakapitalis pada zaman Hindia Belanda praktek-praktek korupsi sudah terjadi. Ketika akumulasi modal yang terbentuk melalui masuknya modal asing dan kegiatan ekonomi domestik membesar, ternyata praktek-praktek korupsi tidak berhenti. Namun tekanan terhadap Indonesia untuk menghentikan korupsi makin lama makin besar, seiring terintegrasinya kapital di Indonesia dengan kekuatan modal internasional. Korupsi bagi modal internasional Barat dianggap kejahatan berat dan perintang besar kemajuan ekonomi. Namun di Indonesia sendiri pengaruh kultural lokal menyebabkan korupsi masih dianggap sesuatu yang bisa diterima, meski mulai terjadi perubahan pandangan mengikuti pengaruh Barat.
140
Tampaknya hambatan terbesar dalam pemberantasan korupsi ada pada diri negara, sebab merekalah yang berhak membuat regulasi, undang-undang dan penerapannya, sehingga korupsi bisa dicegah dan para koruptor dihukum berat. Negara wajib pula menyelenggarakan pendidikan yang mengajarkan keburukan-keburukan korupsi.
Masalahnya menyangkut moralitas para penyelenggara negara sendiri, di samping tentunya harus ada sistem dan institusi yang dapat menggentarkan orang untuk melakukan korupsi. Ketika kemampuan negara untuk mengatasi korupsi tidak cukup, maka masyarakat harus berperan aktif dalam memantau korupsi, dan mengawasi negara agar ia menjalankan peran yang sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi. Korupsi di sektor swasta bersumber dari keinginan orang bisnis untuk mendapat laba maksimum. Karena sebagian besar ekonomi masih dikuasai negara dan diatur melalui para birokratnya, maka peran negara dalam kemajuan dan kejatuhan sektor swasta di Indonesia amat penting. Negara bisa memilih pengusaha yang mereka inginkan untuk tumbuh, entah itu pribumi ataupun etnis Cina, India atau Arab. Kepada mereka yang dipilih negara memberi modal, pasar, jaringan, teknologi serta berbagai fasilitas lainnya sehingga mereka dapat berkembang. Para pengusaha swasta diwajibkan pula bekerja sama dengan BUMN dan koperasi, membantu perusahaan kecil dan menengah, serta pada zaman Orde Baru diminta menyediakan dana bagi partai politik dan berbagai lembaga yang mendukung kelangsungan hidup orde tersebut. Banyak pejabat tinggi Orde Baru dan era Reformasi yang meneruskan praktekpraktek korupsi dari masa-masa sebelumnya. Dalam sistem masyarakat feodal Indonesia, di mana orang di bawah mencontoh orang di atas, perbuatan tadi ditiru oleh masyarakat seakan-akan sesuatu yang benar dan sudah semestinya. Moralitas para pemimpin negara dan pejabat birokrasi mutlak harus diperbaiki. Namun ini hanya akan berhasil kalau pegawai negeri sipil dan militer mendapat gaji layak yang dapat bersaing dengan sektor swasta, sehingga mereka tidak punya alasan untuk melakukan korupsi guna memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Orde Baru, yang memakai paradigma stabilitas dan pembangunan ekonomi baru kemudian demokrasi, telah menekan pengusaha swasta dengan politik uang atau kekerasan. Namun ketika pada 1980-an dunia melihat paradigma baru yang berdasarkan demokratisasi sebagai syarat globalisasi ekonomi pasar, seperti terlihat dari runtuhnya
14 1411
Uni Soviet dan Blok Timur, maka angin perubahan pun melanda Indonesia. Republik Indonesia mencoba membuka diri untuk bersaing dengan modal internasional. Namun, dalam membuka pasar ini, temponya terlalu cepat dan dosisnya kelewat besar. Padahal Indonesia sendiri belum cukup membangun industri nasional yang kokoh dan sanggup bersaing dalam globalisasi. Krisis moneter 1997 dan krisis politik yang menenggelamkan nakhoda Orde Baru akhirnya membuat pemerintah jatuh dan krisis berkepanjangan. Keadaan ini menghancurkan sektor swasta, yang selama ini sangat tergantung pada negara. Negara tidak bisa berbuat lain dari mengambil alih seluruh beban konglomerat itu melalui BPPN. Namun situasi di mana pengusaha swasta dan negara berkolaborasi, saling terlibat dalam persekongkolan yang disebut pembangunan versi Orde Baru, membuat BPPN sangat kesulitan menjalankan tugasnya. Para pengusaha yang dianggap simbol kejahatan oleh masyarakat dan tak dapat dipertahankan lagi, ditangkapi. Tapi karena pemerintah setengah hati, ditambah sistem peradilan yang tidak independen dan bisa dibeli, upaya pemberantasan korupsi menghadapi hambatan yang amat besar. Korupsi hukum (judicial corruption) yang bukan hanya melibatkan hakim dan jaksa, tapi juga pengacara, notaris dan calo perkara, menjadi problem besar dalam pemberantasan korupsi. Sering kali mereka yang memenangkan perkara adalah yang paling sanggup memberikan harga terbaik (K, 16/1/01). Kontrol terhadap lembaga kehakiman lemah. Integritas moral dan personal di lembaga peradilan pun rapuh, sehingga mudah diintervensi oleh kepentingan pihak lain melalui uang.
142
Mutu para hakim juga dipertanyakan. Di Indonesia, lulusan terbaik fakultas hukum umumnya lebih tertarik bekerja di perusahaan swasta dan MNC. Mereka yang memilih jalur hakim dan birokrasi hukum biasanya lulusan yang kurang menonjol, sehingga kemampuan teknis mereka menghadapi berbagai perkara yang makin lama kian rumit pun terbatas. Keadaan ini mendorong dibentuknya Judicial Watch Indonesia (JWI) oleh masyarakat, dipimpin pengacara terkemuka Todung Mulya Lubis. Kita belum tahu akan seberapa efektif organisasi ini.
Bank Dunia, pada sidang ke-10 CGI di Tokyo, Oktober 2000, mengungkapkan pandangan negatif: “Sistem hukum, mulai dari para hakim hingga ke bawah, dianggap sangat korup, sementara para jaksa dipandang sebagai fasilitator pemerasan dan penyuapan.” Hambatan lain pemberantasan korupsi adalah karena ketiga strategi pemberantasan yaitu penegakan hukum, pencegahan dan pendidikan hukum, belum berjalan serentak. Sementara Komisi Anti Korupsi dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang independen dan dibuat pada masa Reformasi belum berhasil menunjukkan gigi mereka. Terjadi persaingan antara kepolisian dan kejaksaan dalam menangani kasus-kasus korupsi. Ironisnya, di tengah-tengah upaya penanganan kasusDikhawatirkan era Reformasi kasus korupsi, ada pula sikap diskriminatif terhadap para tak akan berhasil pengusaha itu, sehingga ada yang tak tersentuh hukum, malah dalam banyak hal mendalangi perlawanan. Meski jumlahnya memberantas korupsi tidak banyak, mereka selamat dari keruntuhan Orde Baru. Mereka ini berhasil membangun kerja sama dengan rezim baru dan muncul kembali sebagai pengusaha besar. Ini turut dimungkinkan karena adanya kebutuhan partai-partai politik akan sumber dana yang independen guna membiayai kegiatan politik mereka, sehingga terjadi kolaborasi antara partai politik dengan pengusaha. Keadaan di mana peran negara masih sangat dominan dalam proyek-proyek bisnis merupakan lahan subur bagi berbagai permainan berbau korupsi. Karena itu usaha pemberantasan harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh seluruh masarakat. Usaha ini akan lebih berhasil bila negara juga terkontrol oleh dunia internasional. Jika usaha-usaha tersebut tidak dilakukan secara sungguh-sungguh dan diprioritaskan, sangat dikhawatirkan bahwa era Reformasi tak akan berhasil dalam memberantas korupsi. Dan jelas, hal itu akan berpengaruh besar dalam sukses atau gagalnya usaha menciptakan zaman baru anti-KKN, menegakkan demokrasi dan membangun kembali ekonomi Indonesia.
143
Kepustakaan Abeng, Tanri, 1997: Dari Meja Tanri Abeng (Jakarta, PSH). Abeng, Tanri dalam Elza Peldi Taher, 1994: Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi (Jakarta, Paramadina). Aditjondro, George Junus 1999: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari (Jakarta, Pijar). ————— ,1999: Tangan-tangan Berlumuran Minyak (Jakarta, Solidamor). ————— ,1998: Harta Jarahan Soeharto (Jakarta, Pustaka Demokrasi) Alatas, Syed Hussein, 1991: Corruption: Its Nature, Causes and Functions (Kuala Lumpur, S. Abdul Majeed & Co). ————— ,1988: Mitos Pribumi Malas (Jakarta, LP3ES). ————— ,1981: Sosiologi Korupsi (Jakarta, LP3ES). Antlov, Hans dan Cederroth, Sven, ed.,1994: Leadership of Java (Surre, Curzon). Arief, Sritua, 1990: Dari Prestasi Pembangunan Sampai Ekonomi Politik (Jakarta, UI Press). Arndt, H. W dan Hill, Hal, 1999: Southeast Asia’s Economic Crisis (Singapore, ISEAS). Arndt, H. W., 1991: Pembangunan Ekonomi Indonesia (Yogyakarta, Gajah Mada University Press). Asian Wall Street Journal, 2 Nov., 1993: “Businessmen Bet on Remote Island Casino”. Bachriadi, Dianto dan Lucas, Anton, 2001: Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan (Jakarta, KPG) Bangun, Tridah, 1981: T. D. Pardede: Wajah Seorang Pengusaha (Jakarta, Gunung, Agung). Backman, Michael, 1999: Exposing the Dark Side of Business in Indonesia (Singapore, John Wiley & Sons). Baramuli, A.A., 2000: Menggugat Politik Zaman (Jakarta, PSH) Booth, Anne et.al, 1988: Sejarah Ekonomi Indonesia (Jakarta, LP3ES). Boxer,C.R., 1983: Jan Romein: Sejarah VOC (Jakarta, PSH).
144
————— , ed., 1992: Ledakan Harga Minyak dan Dampaknya (Jakarta, UI Press).
Blusse, Leonard, 1986: Strange Company: Chinese Settlers, Mestizo Women and the Dutch in VOC Batavia (Dordrecht, Foris). Budiman, Arief et. al., 1999: Reformasi: Crisis and Change in Indonesia (Melbourne, Monash). Butler, Charlotte dan Laserre, Philippe, 1994: The Story of William Soeryadjaya and PT Astra International (Paris, Insead). Braudel, Fernand, 1979: The Wheel of Commerce: Civilization and Capitalism: 15th-18th C (New York, Harper & Row). Azis, Iwan J., 1997: The Indonesian Economy and Policy Dynamics in the 1990s (Washington, Usindo). Castles, Lance,1982: Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa (Jakarta, LP3ES). Chandler, David P. dan Ricklefs, M.C, ed.,1986: XIXth and XXth Century Indonesia (Melbourne, Monash). Dahm, Bernhard, 1987: Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan (Jakarta, LP3ES). Day, Clive, 1966: The Policy and Administration of The Dutch in Java (Kuala Lumpur, Oxford University Press). Eksekutif, 1995: The Executive Interview, Vol. I & 2 (Jakarta, PT Trend Media). Forrester, Geoff, ed., 1999: Post Soeharto Indonesia: Renewal or Chaos? (Singapore, ISEAS). Godement, Francois,1996: La Renaissance de l’Asie (Paris, Odile Jacob). —————, 1999: The Downsizing of Asia (London, Routledge). Golkar, 1989: Rapat Kerja Nasional Pengusaha Indonesia (Jakarta, Golkar). Green, Marshal, 1990: Indonesia: Crisis and Transformation 1965-1968 (Washington, Compass Press). Gysmar, Najib A., 1999: Insider Trading dalam Transaksi Efek (Bandung, Citra Aditya Bakti). Hadiz, Vedi R., 1997: Workers and the State in New Order Indonesia (London, Routledge). Halilintars, Imam, 1986: Motik: Tokoh Perintis Ekonomi Nasional (Jakarta, Gunung Agung). Hill, Hal, 1988: Foreign Investment and Industrialization in Indonesia (Singapore, OUP).
145
Hollinger, William C., 1996: Economic Policy Under Presiden Soeharto (Washington, Usindo). Hussaini, Adian, 1996: Soeharto 1998 (Jakarta, Gema Insani Press). Hutabarat, Arifin, 1989: Padamu Negeri: Perjalanan Garuda Indonesia (Jakarta, Ganesia PR). IREP, 1988: Etat et Marche en Asie du Sud-Est et Orientale (Paris, IREP). ISAI, 1997 : Tentang Nepotisme (Jakarta, ISAI). Iswandi, 1998: Bisnis Militer Orde Baru (Bandung, Rosda). Jahja, Junus, 1990: Silaturahmi Muhammadiyah & Pengusaha Nasional (Jakarta, LPMP). Jones, h. P.,1971: Indonesia the Possible Dream (Jakarta, Gunung Agung). Kamar, Ahmad, 1984: Malay and Indonesian Leadership (Petaling Jaya, Ahmad Kamar). KAMI, 1966: Jalur Baru Sesudah Runtuhnya Ekonomi Terpimpin (Jakarta, PSH). Karma, Mara, 2001: Ibnu Sutowo Mengemban Misi Revolusi (Jakarta, PSH). Kartasasmita, Ginanjar, 1996: Kartodirjo, Sartono, 1987: Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 (Jakarta, Gramedia) Kimberley, Ann Elliot, 1999: Korupsi dan Ekonomi Dunia (Jakarta, YOI) KIPP, 2000: Uang dan Kekuasaan dalam Pemilu 1999 (Jakarta, KIPP). Kontan, 1999: Dialog Ekonomi dan Politik (Jakarta, Elex Media Komputindo). KSBH & LBH, 1982: Suara dari Borobudur (Yogyakarta, KSBH & LBH). Kunio, Yoshihara, 1988: The Rise of Ersatz Capitalism in South East Asia (Oxford University Press, New York). —————, 1989: Oei Tiong Ham Concern: The First Business Empire of Southeast Asia (Kyoto, CSEASy). Kwik Kian Gie, 1999: Saya Bermimpi Jadi Konglomerat (Jakarta, Gramedia). —————,1999: Gonjang-ganjing Ekonomi Indonesia (Jakarta, Gramedia). —————,1999: Ekonomi Indonesia dalam Krisis dan Transisi Politik (Jakarta, Gramedia).
146
LKiS, Ed., 1998: Soeharto Lengser (Yogyakarta, LKiS).
Lohanda, Mona, 1994: The Kapitan Cina of Batavia:1837-1942 (Jakarta, Djambatan). Muhammad, Fadel 2000: Saya Pilih Jadi Pengusaha (Jakarta, PSH). Mas’oed, Mohtar, 1989: Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru (Jakarta, LP3ES). MacIntyre, Andrew, 1990: Business and Politics in Indonesia (Sydney, Allen & Unwin). Manning, Chris dan van Diermen, Peter, 2000: Indonesia in Transition (Singapore, ISEAS). McCulloch, Lesley, 2000: Trifungsi: The Role of the Indonesian Military in Business (Bonn, BICCo). MGP, Ed., 1995: Peta Uang 1995 (Jakarta, MGP). Mills, Edwin S., 1995: Growth and Equity in the Indonesia Economy (Washington, Usindo). Mintz, Jeanne S.,1965: Mohammed, Marx and Marhaen (New York, Praeger). Mubyarto, 1988: Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia (Jakarta, LP3ES). Muhammad, Mar’ie, 1996: “Penciptaan Kader Pengusaha Tangguh, Profesional, dan Berwawasan Kebangsaan, dalam Menyongsong Era Liberalisasi Ekonomi”, Surabaya, Mulder, Niels, 1981: Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional (Jakarta, UGM-PSH). Nasution, A.h. ,1988: Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 7: Masa Konsolidasi Orde Baru (Jakarta, Masagung). Nishihara, Masashi, 1976: The Japanese and Sukarno’s Indonesia (Honolulu, East West Center). Nitisemito, A.S, 1980: Raja Kretek Nitisemito (Kudus, Nitisemito). Noer, Rosita S., 1997: Menggugah Etika Bisnis Orde Baru (Jakarta, PSH). Onghokham, 1983: Rakyat dan Negara (Jakarta, PSH). Pardede, Marulak, 1998: Likuidasi Bank dan Perlindungan Nasabah (Jakarta, PSH). Perwiranegara, Alamsjah Ratu 1995: Perjalanan Hidup Seorang Anak Yatim Piatu (Jakarta, PSH). Pohan et. al., 1992: Achmad Bakrie (Jakarta, Bakrie). Pope, Jeremy, 1999: Pengembangan Sistem Integritas Nasional (Jakarta, Grafiti). Prasetiantono, A. Tony, 2000: Keluar Dari Krisis (Jakarta, Gramedia). Pratiknya, Ahmad Watik et.al. (Ed), 1999: Pandangan dan Langkah Reformasi B.J. Habibie,
14 1477
(Jakarta, Rajawali). Radjab, Suryadi A., 1999: Praktik Culas Bisnis Gaya Orde Baru (Jakarta, Grasindo). Ricklefs, M.C., 1981: A History of Modern Indonesia (London, Macmillan). Robison, Richard, 1986: Indonesia: The Rise of Capital (Sydney, Allen & Unwin). Robison, Richard dan Goodman, David S.G., 1996: The New Rich in Asia (London, Routledge). Samego, Indria et al., 1998: Bila ABRI Berbisnis (Bandung, Mizan). Santoso, Priyo Budi, 1993: Birokrasi Pemerintah Orde Baru (Jakarta, Rajawali Pers). Saydam, Gauzali, 1999: Skandal Bank Bali: Tragedi Perpolitikan Indonesia (Jakarta, Raja Prasindo Persada). Schwarz, Adam, 1994: A Nation in Waiting (Australia, Allen & Unwin). Sjahrir, 1998: Krisis Ekonomi Menuju Reformasi (Jakarta, Obor). —————, 1999: Masuk Krisis Keluar Krisis (Jakarta, Erlangga). SKEPHI, 1994: Delapan Perusahaan Perusak Lingkungan (Jakarta, SKEPHI). Soemarto, Winarto, 1997: Catatan Perjalanan Seorang Bankir (Jakarta, Grafiti). Soeropranoto, Rachmat Basuki, 2000: Kasus Peledakan BCA 1984: Menggugat Dominasi Etnik Cina di Indonesia (Jakarta, Fame Press). Soetriyono, Edi, 1989: Kisah Sukses Liem Sioe Liong (Jakarta, Indomedia). Subagja, Guntur, Ed., 2000: Politik dan BLBI (Jakarta,x-Biz@2000) Suharto, 1983: Pikiran, Ucapan dan Tindakan. Sulaiman, Irchami et.al., 1988: Perdagangan, Pengusaha Cina, Perilaku Pasar (Jakarta, Pustaka Grafika Kita). Sukamdani, Sahid Gitosardjono, 1993: Wirausaha Mengabdi Pembangunan (Jakarta, Masagung). Sulistyo, Bambang, 1995: Pemogokan Buruh (Yogyakarta, Tiara Wacana). Suryadinata, Leo, 1981: Eminent Indonesian Chinese (Singapore, Gunung Agung).
148
Tahija, Julius, 1995: Horizon Beyond (Singapore, Times).
Tamara, Nasir, 1998: Aburizal Bakrie: Bisnis dan Pemikirannya (Jakarta, PSH). —————,1997: Mengkaji Indonesia (Yogyakarta, Bentang). Tanter, Richard dan Young, Kenneth, 1993: Politik Kelas Menengah Indonesia (Jakarta, LP3ES). Tim Penyunting, 1994: Perjalanan Ibadah Haji Pak Harto (Jakarta, Gunung Agung). Wardhana, Veven SP dan Barus, Herry, 1998: Para Superkaya Indonesia (Jakarta, Galang Press). Winarno, Bondan, 1996: Manajemen Transformasi BUMN: Pengalaman PT Indosat (Jakarta, Grafiti). Wiwoho, B., 1991: Kebangkitan Pengusaha Muslim (Jakarta, Bina Rena Pariwara). Vatikiotis, Michael R.J, 1993: Indonesia Politics Under Soeharto (Routledge, London). Zastrouw Ng. al, 1999: Gus Dur Siapa Sih Sampeyan (Jakarta, Erlangga). Weber, Max, 1974: The Theory of Social and Economic Organisation (New York). Wibisono, Christianto, 1998: Menelusuri Akar Krisis Indonesia (Jakarta, Gramedia). Winters, Jeffrey A., 1996: Power in Motion (Jakarta PSH). —————, 1999: Dosa-dosa Politik Orde Baru (Jakarta, Djambatan). Wrath, Ronald dan Simpkins, Edgar, 1963: Corruption in Developing Countries (London, Allen & Unwin).
149
Korupsi di Badan Usaaha Milik Negara Oleh Ahmad D. Habir
Pendahuluan Saat ini Direktorat Jenderal Badan Usaha Milik Negara Departemen Keuangan (Ditjen BUMN) mengelola tidak kurang dari 176 BUMN. Bidangnya mencakup berbagai sektor: dari jasa keuangan, asuransi, konstruksi, pembangunan, jalan tol, semen, kertas, tekstil, farmasi, perdagangan dan distribusi, sampai ke pariwisata; dari kawasan industri, telekomunikasi, penerbangan dan bandar udara serta pelabuhan, sampai tenaga listrik, baja, pembangunan kapal, pengapalan, pertambangan, perkebunan, pupuk, perikanan dan kehutanan. Ada BUMN yang besar dan memegang monopoli atau infrastruktur umum, dan ada yang kecil di sektor jasa. Ditjen BUMN juga turut mengelola 19 perusahaan swasta di mana pemerintah menjadi pemegang saham minoritas.
Contoh Korupsi Contoh berikut diambil dari sektor pertambangan. Sebelum 1990, orang sudah tahu bahwa gaji yang kecil di sebuah perusahaan pertambangan milik negara ditambah dengan “uang daging” dan “uang rokok”. Tambahan ini dinikmati oleh pejabat dari tingkat teratas sampai karyawan di lapis terendah. Dana diambil dari kegiatan korupsi
15 1511
yang dilakukan secara sistemik dan melibatkan seluruh lapisan organisasi. Dalam kegiatan ini termasuk pendongkrakan harga pada proyek-proyek besar (mark-up), penagihan yang jumlahnya sengaja dinaikkan, dan penahanan dana yang sudah harus dibayarkan kepada pihak luar di rekening deposito guna mengambil bunganya. Untuk naik pangkat harus setor uang. Berbagai sumbangan disalurkan ke Golkar secara teratur. Pejabat pemerintah yang mau mengadakan perjalanan ke luar negeri diberi “bekal” dalam bentuk uang tunai. Suatu dana taktis (rekening A) diadakan untuk “keperluan tak terduga”.
Para subkontraktor yang ikut tender mengabaikan kontraktor pemesan barang dan menyogok pejabat yang terkait.
Para pegawai sering menandatangani absensi masuk, tapi kemudian keluar lagi untuk melakukan kegiatan bisnis pribadi. Mereka kembali sekadar untuk menandatangani absensi pulang.1
Perusahaan-perusahaan minyak kontraktor bagi-hasil perlu mendapat persetujuan Pertamina bila mereka ingin melakukan perubahan personel. Mereka dipaksa membayar sumbangan wajib atas hal-hal seperti izin kerja, kenaikan pangkat dan perubahan organisasi. Namun sumbangan paksa itu tidak seberapa dibanding biaya yang telah melembaga dalam hal pembelian barang-barang modal dan non-modal guna kebutuhan operasional yang harus disetujui Pertamina, dan Menteri Koordinasi Ekonomi, Keuangan dan Industri (Menko Ekuin) bila harga mencapai jumlah tertentu. Kewajiban mendapatkan persetujuan tersebut diatur dalam Keputusan Presiden No. 14A yang sudah beberapa kali mengalami perubahan.
15 2 152
Untuk proyek apapun semua pembelian harus ditenderkan. Namun demikian, Pertamina dan Departemen berhak untuk mengubah pemenang tender. Oleh karena itu para subkontraktor yang ikut tender mengabaikan kontraktor pemesan barang dan langsung saja menyogok pejabat yang terkait di Pertamina dan Ekuin guna menjamin kemenangan atas kontrak. Sampai belakangan ini, untuk pembelian barang-barang modal yang harganya sangat tinggi, perusahaan-perusahaan yang tendernya dimenangkan cenderung digilir di antara perusahaan anak-anak atau teman-teman akrab mantan presiden Soeharto. Konon sebagian besar dana yang terakumulasi di Ekuin disalurkan ke
Golkar. Menurut perhitungan perusahaan-perusahaan minyak, harga barang modal di Indonesia rata-rata 30% lebih tinggi daripada di Teluk Meksiko. Mereka yakin hargaharga tersebut akan turun drastis kalau peraturan yang mewajibkan persetujuan dari Pertamina dan pemerintah dihapus.2 Suatu audit oleh PriceWaterhouseCoopers (PWC) yang dibocorkan pada Juli 1999, melaporkan bahwa pada tahun fiskal 1996/1997 dan 1997/1998 Pertamina merugi sebesar US$ 6,5 miliar dolar atau sekitar Rp 45,5 triliun (dengan kurs saat itu Rp 7000 per dolar). Rinciannya: kerugian di Kantor Pusat sebesar US$ 2,4 miliar, di Direktorat Eksplorasi dan Produksi mencapai US$ 2,2 miliar, Dana Pensiun US$ 0,7 miliar, Dinas Perkapalan dan Pelabuhan kehilangan US$ 0,4 miliar, di Penyulingan sebesar US$ 0,3 miliar, dan Badan Pembinaan Pengusahaan Kontraktor Asing (BPPKA) merugi US$ 0,1 miliar (Kompas, 12/7/1999). Tiada satu pun pertanggungjawaban terhadap kerugian yang sedemikian besar. Angka tersebut kemudian diralat menjadi antara US$ 3,994 miliar dan US$ 4,694 miliar, tergantung pada asumsi mana yang digunakan untuk biaya eksplorasi (Kompas, 11/10/1999). Faktor-faktor penyebab kerugian tersebut meliputi intervensi politik pihak luar, dan rantai prosedural yang panjang untuk memperoleh izin yang diwajibkan. Manajemen dan para pejabat tidak disebut karena mereka tak termasuk bagian yang harus diaudit. Menurut seorang anggota Komisi V DPR, Priyo Budi Santoso, berita mengenai korupsi di Pertamina tidak mengejutkan. Hal tersebut hanya membenarkan apa yang sudah diketahui umum. Ia menambahkan bahwa audit tersebut hanya menyangkut dua tahun fiskal; jumlah kebocoran pasti akan lebih besar bila periode yang diaudit lebih dari dua tahun. Selain itu, audit belum menyebut praktek penggelembungan harga pada proyek-proyek skala besar seperti penyulingan Balongan atau proyek pipanisasi gas dari Natuna Barat ke Singapura (Kompas, 12/10/1999). Kasus-kasus tersebut menggambarkan berbagai bentuk korupsi yang oleh Morgan3 dikategorikan menjadi lima berdasarkan urutan keseriusannya: suap, curi, distorsi, bagi-rejeki dan kroni. Unsur-unsur ini tidak saling eksklusif dan dapat berkaitan satu sama lain. Penyuapan, pencurian dan distorsi terjadi pada sistem manajemen yang
153
lemah dan dapat diatasi dengan cara memperkuat sistem tersebut. Tujuan utama sistem “bagi rejeki” dan kroni yang terjadi pada manajemen yang lemah itu sematamata untuk mempertahankan kekuasaan politik. Memecahkan masalah korupsi memerlukan suatu sistem manajemen pemerintah yang transparan dan sekaligus mewajibkan pejabat bertanggung jawab atas perbuatannya. Untuk itu perlu diciptakan sistem hukum yang kuat. Kedua kondisi itu tidak ada di Indonesia. Di Indonesia, korupsi di BUMN mencakup semua bentuk korupsi. Hal ini menggarisbawahi kesulitan yang timbul dalam melaksanakan reformasi di sektor perusahaan negara. Yang patut ditanyakan bukan apakah ada korupsi di BUMN. Berdasarkan kasus-kasus yang diketahui umum di masa lalu maupun sekarang, ada asumsi luas bahwa korupsi sudah merupakan gejala biasa, bukan pengecualian. Meski asumsi ini tidak adil bagi sebagian besar orang yang bekerja secara profesional di sektor tersebut, namun sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa korupsi di BUMN berlangsung secara sistemik.
Sejarah BUMN BUMN sudah ada di Indonesia sejak jaman Belanda. Sepanjang akhir abad ke19 dan awal abad ke-20, pemerintah kolonial mendirikan sekitar 20 BUMN di bidangbidang strategis seperti kereta api, pelabuhan, pegadaian, percetakan, penerbitan, listrik, dan air minum. Pada 1925 perusahaan-perusahaan ini diatur oleh UndangUndang Perbendaharaan Hindia Belanda 1864. Undang-undang tersebut menempatkan mereka secara langsung di bawah pengawasan departemen-departemen. Yang beroperasi di bawah undang-undang ini adalah, antara lain, Penerbit Balai Pustaka, Perusahaan Air Negara, Perusahaan Transportasi Bis Negara dan Perusahaan Listrik Negara.
154
Pada 1927, dikeluarkan suatu peraturan yang menempatkan perusahaan negara yang lain di bawah pengawasan Departemen Keuangan. Berbeda dari perusahaanperusahaan yang diatur oleh undang-undang perbendaharaan, perusahaan negara yang lain itu diwajibkan beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi biaya dan
harus membayar bunga atas modal yang mereka peroleh dari pemerintah. Namun, aspek anggaran dan operasional mereka tetap dikendalikan oleh departemen teknis masingmasing. Contoh perusahaan yang tunduk pada peraturan ini adalah: Jawatan Pegadaian, Perusahaan Garam dan Soda Negeri, Pusat Perkebunan Negara, Percetakan Negara, Jawatan Pos Telepon dan Telegraf (PTT), Jawatan Kereta Api, Otorita Pelabuhan Surabaya dan Perusahaan Tambang Timah Bangka. Pengawasan ketat oleh pemerintah atas BUMN berdasarkan kedua peraturan ini seyogyanya dilanjutkan setelah Indonesia merdeka, dan perusahaan-perusahaan tersebut dialihkan kepada pemerintahan Indonesia yang baru. Pada 1954, para penyusun kebijakan ekonomi yang dipengaruhi oleh ide-ide sosialis dan semangat nasionalis yang anti-dominasi asing dan Cina atas perekonomian, mulai merundingkan dan melaksanakan nasionalisasi beberapa perusahaan Belanda. Javasche Bank dijadikan Bank Indonesia, yaitu bank sentral pada 1953, dan Garuda Indonesian Airways. Nasionalisasi besar-besaran Sulit untuk tidak dianggap belum mungkin karena kurangnya dana untuk menyimpulkan bahwa korupsi pembayaran ganti rugi kepada pemilik semula dan kurangnya di BUMN berlangsung secara manajer Indonesia untuk menggantikan manajer-manajer asing. sistemik. Pemerintah baru Indonesia juga mendirikan beberapa perusahaan lain di bidang perbankan (Bank Negara Indonesia 1946), perdagangan (Central Trading Corporation - CTC tahun 1947 dan Usindo, 1956), industri (Semen Gresik, 1953) dan pariwisata (Natour, 1957).
Pada awal 1950-an, kebijakan ekonomi pemerintah diarahkan terutama pada penciptaan dan pengembangan sektor bisnis pribumi. Kebijakan ini dinamakan “Program Benteng” dan dilaksanakan dengan pemberian kredit murah yang mudah diperoleh, serta izin impor secara eksklusif. Tujuannya adalah untuk menggantikan dominasi asing dan Cina di sektor ekonomi. Agar “Program Benteng” berjalan lancar, pemerintah mendirikan Bank Industri Negara sebagai badan usaha pengembangan industri yang memberi pinjaman kepada perusahaan industri dan dagang.
155
Ketika pemerintah mengambil alih sejumlah perusahaan yang tak mampu membayar utang, tanpa disengaja terjadi perluasan sektor negara. Karena hukum melarang bank negara memiliki saham di perusahaan swasta, maka diubahlah perusahaan-perusahaan tersebut menjadi BUMN, antara lain PN Iglas (gelas), PN Intirub (ban) dan PN Gaja (baca “Gaya”) Motor (perakitan mobil). Pada 1961, Bank Industri Negara menjadi Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan anak-anak perusahaannya dialihkan ke departemen teknis yang bersangkutan. Upaya mengembangkan pengusaha pribumi gagal, kecuali beberapa kisah sukses kecil-kecilan. Penyalahgunaan “Program Benteng” menimbulkan kekecewaan: orang kemudian mengharapkan tumbuhnya sektor perusahaan negara yang kuat, dikelola oleh pribumi dan mampu bersaing dengan perusahaan asing dan Cina. Kendati ada beberapa perusahaan negara yang penting, ekonomi nasional masih tetap didominasi oleh perusahaan swasta asing, terutama Belanda — mengembangkan yang telah kembali sejak 1950 — dan oleh bisnis Cina.
Upaya pengusaha pribumi gagal, kecuali beberapa kisah sukses kecil-kecilan.
Titik balik perkembangan sektor negara terjadi sebagai akibat kegagalan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui suatu resolusi yang menyerukan pihak Belanda untuk merundingkan penyelesaian masalah Irian pada 29 November 1957. Setelah itu serikat buruh mulai mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda. Pada 10 Desember 1957 Angkatan Darat memerintahkan nasionalisasi semua perusahaan milik Belanda yang berada di Indonesia. Sekitar 600 perusahaan Belanda secara resmi diambil alih; hampir separuhnya merupakan perusahaan perkebunan, lebih dari seratus di bidang industri dan pertambangan, sedang sisanya di bidang perdagangan, keuangan, telekomunikasi, gas dan listrik, serta konstruksi. Perkembangan ini menandai awal pelembagaan militer sebagai salah satu kekuatan ekonomi utama. Sejak itu militer memiliki sumber dana untuk mengayomi pendukungnya dan kemampuan keuangan yang mandiri. Dengan itu pula muncul kebiasaan salah urus dan korupsi yang kemudian melembaga.
156
BUMN dan Korupsi Sebuah undang-undang dikeluarkan pada 30 April 1960, yang mengubah status semua perusahaan yang telah dinasionalisasi menjadi Perusahaan Negara (PN). Berdasarkan undang-undang ini, kepemilikan tak berbentuk saham sehingga pihak swasta tidak dapat turut serta. Undang-undang tersebut juga menandakan timbulnya suatu pola pengendalian pemerintah yang kelak terus membebani pengelolaan BUMN. Undang-Undang 1960 tersebut merupakan kemenangan bagi sebagian besar pejabat pemerintah di badan-badan pemerintah yang baru terbentuk dan yang berupaya menambah jumlah perusahaan yang berada di bawah pengawasannya. Sebagai contoh, delapan perusahaan dagang besar yang berintegrasi secara vertikal telah dipecah menjadi unit perdagangan, produksi, pemasaran dan jasa yang terpisah-pisah. Masing-masing kelompok perusahaan yang telah dipecah-pecah tersebut selanjutnya ditempatkan di bawah pengawasan Departemen Perdagangan, Departemen Industri dan Departemen Pertanian. Tak terhindarkan, keunggulan bersaing yang semula dinikmati oleh perusahaanperusahaan ini berkat integrasi vertikal dan hubungan bisnis yang dibangun di masa lalu menjadi hilang. Faktor-faktor lainnya, termasuk manajemen dan staf yang tak berpengalaman serta ekonomi yang memburuk, turut berperan pada kian lemahnya sektor BUMN. Perusahaan negara yang menguntungkan menjadi sumber keuangan bagi departemennya, sementara BUMN yang kurang menguntungkan tidak dapat memperoleh modal kerja yang memadai. Merajalelanya praktek bagi-bagi rejeki dan jabatan di antara para “konco” dan pendukung, dan dijejalinya perusahaan dengan jumlah pegawai yang terus membesar, membuat biaya operasi menjadi mahal. Akibatnya, perusahaan terus merugi, dan hanya mampu bertahan berkat subsidi pemerintah, proteksi pasar dan monopoli. Gejolak politik memuncak pada saat terjadinya percobaan kudeta tahun 1965, sedangkan ketidakstabilan ekonomi ditandai inflasi yang tak terkendali, tingkat perdagangan yang sangat rendah, dan cadangan devisa yang hampir nol. Kemudian Soekarno jatuh, dan diganti oleh Soeharto pada 1966.
15 1577
Kebijakan ekonomi di jaman Soeharto disusun oleh sekelompok sarjana ekonomi Universitas Indonesia yang dididik di Barat. Kebijakan tersebut mengarah pada reformasi ekonomi yang mencakup rasionalisasi sektor BUMN yang sudah bobrok itu. Pasal 40 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXIII/1966 menyatakan: “Dalam melaksanakan perannya di bidang ekonomi, pemerintah harus menitikberatkan pada pengawasan ekonomi dan, sejauh dimungkinkan, tidak melakukan campur tangan dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Untuk melaksanakan hal tersebut, maka penting untuk melakukan debirokratisasi sistem pengawasan dan desentralisasi pengelolaan BUMN.” Pada mulanya, sejumlah BUMN yang telah dinasionalisasi dikembalikan ke pemiliknya semula. Sebagian besar pegawai negeri diberhentikan. Kemudian sebuah tim khusus di bawah Menteri Tenaga Kerja Dr. Awaluddin Djamin, seorang jenderal polisi, dibentuk untuk mengkaji dan menata sektor BUMN ini. Pengkajian disusul oleh restrukturisasi. Perusahaan Negara (PN) yang beroperasi sebagai pemberi jasa kepada masyarakat umum dan dibiayai dari anggaran pemerintah diubah statusnya menjadi Perusahaan Jawatan (Perjan). Ada pula perusahaan negara yang diberi status Perusahaan Umum (Perum), yaitu perusahaan yang sepenuhnya dimiliki pemerintah, modalnya tidak terbagi atas saham, tetapi diharapkan dapat menghasilkan pemasukan yang cukup untuk menutup biaya operasinya. Akhirnya ada perusahaan negara yang diberi status Perusahaan Persero (Persero) yang modalnya terbagi atas saham, tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dan kini juga pada Undang-Undang Tentang Perseroan Terbatas (PT). Sebagian besar dari sekitar dua ratus BUMN yang ada pada saat itu diatur sebagai PT. Saham-sahamnya dimiliki sebagian atau semuanya oleh Departemen Keuangan sebagai wakil pemerintah. Perusahaan-perusahaan tersebut diharapkan beroperasi sebagai usaha mencari laba dan tunduk pada ketentuan hukum yang sama seperti PT swasta.
158
Sejumlah BUMN yang penting tetap berada di luar struktur tersebut. Pertamina diatur dalam undang-undang tersendiri (UU No. 8/1971). Perusahaan ini dikuasai oleh
direktur utamanya yang pertama, Ibnu Sutowo, nyaris sebagai lahan usaha pribadi, menyebarkan hasilnya secara meluas kepada para pendukung Soeharto, dan hanya bertanggung jawab kepada Presiden. Sebuah BUMN lainnya yang penting dan mandiri tidak disertakan dalam daftar resmi badan usaha milik negara, yaitu Badan Urusan Logistik (Bulog). Didirikan dengan Instruksi Presiden No. 11/1969 sebagai lembaga pemerintah, Bulog dipimpin khusus oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Bank-bank negara juga diatur oleh undang-undang tersendiri (UU No. 14/1967). Komisi Empat melaporkan bahwa situasi korupsi berada pada taraf kritis. Pada akhir 1969, korupsi menjadi isu nasional. Tekanan publik memaksa Presiden membentuk sebuah komisi untuk memeriksa berbagai tuduhan yang, antara lain, diarahkan kepada BUMN, termasuk Pertamina dan Bulog. Komisi yang lebih Komisi menyertakan dua dikenal dengan sebutan “Komisi Empat” itu melaporkan bahwa situasi korupsi berada pada taraf kritis. “Komisi laporan kritis mengenai Empat” mendesak agar perhatian diutamakan pada sejumlah Pertamina dan satu laporan kasus yang mencolok. Dalam daftar kasus tersebut termasuk skandal devisa, pengelolaan jamaah haji oleh Departemen tentang Bulog. Agama, direktorat kehutanan dan CV Waringin, sebuah perusahaan dagang yang para direkturnya antara lain Liem Sioe Liong, sahabat Presiden sejak lama, dan Sudwikatmono, adik angkat Presiden. Sebagai tambahan, komisi menyertakan dua laporan terinci dan kritis mengenai Pertamina dan satu laporan tentang Bulog. Laporan tersebut, yang mengkonfirmasi skala korupsi beserta rekomendasi untuk menempatkan Pertamina di bawah Departemen Keuangan, tidak digubris oleh Presiden Soeharto. Hal ini tidak mengherankan bila diingat bahwa Pertamina merupakan sumber dana yang sangat besar yang bisa digunakan untuk tujuan politik. Karena tidak diawasi oleh Departemen Keuangan, maka sangat mudah bagi Pertamina untuk menahan sebagian besar penghasilannya untuk kepentingan di luar anggaran, khususnya untuk menyalurkan dana kepada para pendukung penting rezim, misalnya pihak militer.
159
Awal Reformasi Pada awal 1970-an, inisiatif untuk membendung ekses-ekses sektor negara berasal dari Departemen Keuangan, terutama menterinya, Prof. Ali Wardhana, dan juga dari Bappenas yang saat itu dipimpin Prof. Widjojo Nitisastro. Strateginya adalah untuk memisahkan BUMN dari departemennya masing-masing dan menempatkan mereka di bawah pengawasan langsung Departemen Keuangan, yang sebenarnya secara de facto sudah dilakukannya selaku pemegang saham perusahaan-perusahaan tersebut. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1, mengubah status sebagian besar BUMN yang berada di bawah penguasaan departemen-departemen lain menjadi persero. Kemudian, suatu direktorat pengembangan BUMN didirikan untuk menjaga kepentingan pemerintah selaku pemegang saham tunggal. Tim-tim dibentuk untuk mengevaluasi badanbadan usaha tersebut dan mempersiapkan mereka untuk berubah status menjadi persero, dengan bantuan para Pengawasan atas dari Harvard Advisory Group melalui Departemen pembayaran tak resmi oleh penasihat Keuangan dan Bappenas.
BUMN kepada departemen teknisnya sulit dikontrol.
Departemen-departemen yang mengayomi perusahaanperusahaan negara tersebut tampak enggan memindahkan pengendalian BUMN mereka ke Departemen Keuangan karena hal itu akan membuat badan usaha tersebut terbuka bagi evaluasi eksternal. Salah satu langkah Departemen Keuangan adalah melarang praktek “biaya manajemen” yang biasa diberikan oleh BUMN yang bersangkutan kepada departemen teknis mereka. Pembayaran ini dilakukan secara rutin untuk menunjang anggaran departemen teknis mereka. Departemen Keuangan memang dapat melarang bentuk pembayaran yang dilakukan secara terbuka tersebut, namun pengawasan atas pembayaran tak resmi yang dilakukan BUMN kepada departemen teknisnya sulit dikontrol.
160
Perlawanan dari departemen teknis menjadi lebih terbuka ketika program reformasi mulai melaksanakan pemberian insentif kinerja yang diharapkan akan meningkatkan pemasukan Departemen Keuangan. Program tersebut mencakup (1) mengganti pembayaran nonmoneter kepada manajemen seperti kendaraan, perumahan
dan beras dengan pembayaran tunai; (2) menawarkan gaji sekitar nilai US$ 1.000 per bulan kepada para manajer BUMN perdagangan, manufaktur dan produk pertanian yang lebih besar; dan (3) menawarkan satu bulan gaji ekstra sebagai bonus bagi mereka yang perusahaannya berhasil melebihi target penjualan dan keuntungan yang telah ditetapkan sebelumnya. Di luar dugaan, program insentif tersebut berhasil ketika sejumlah besar perusahaan mencapai target setahun penjualan dan keuntungan dalam waktu kurang dari setengah tahun. Kenyataan ini menunjukkan bahwa uang dalam jumlah-jumlah yang besar tidak pernah dipertanggungjawabkan di masa lalu. Program reformasi ini ditentang keras oleh sejumlah besar manajer BUMN, terutama pejabat militer berpangkat tinggi. Mereka memprotes penggantian tunjangan dalam bentuk natura dengan pembayaran tunai dan persyaratan untuk memenuhi target. Menanggapi protes-protes itu, kabinet memutuskan untuk mengakhiri program reformasi BUMN. Protes-protes tersebut juga mengakibatkan perubahan Instruksi Presiden No. 11/ 1973, yang sedianya dimaksudkan untuk memperkuat penguasaan Departemen Keuangan atas BUMN. Peraturan tersebut memberi wewenang kepada Menteri Keuangan, yang mewakili pemerintah sebagai pemegang saham, untuk mengangkat para komisaris dan direktur. Pengubahan peraturan tersebut menentukan bahwa selain melakukan pengawasan dan pemberian saran teknis-operasional, departemen-departemen teknis juga diberi pendelegasian wewenang tunggal untuk mencalonkan para komisaris dan direktur. Menteri Keuangan sekadar diberi hak veto dalam pemilihan calon-calon, dan hanya dapat meminta pencalonan baru apabila tejadi perbedaan pendapat. Karena para komisaris dan direktur dicalonkan oleh perwakilan dari departemen teknisnya, maka departemen-departemen itulah yang mengendalikan kegiatan sehari-hari perusahaan dan perumusan kebijakan perseroan BUMN bersangkutan. Program reformasi BUMN dihentikan karena mengancam kekuasaan departemen teknis atas perusahaan negara mereka dan mengancam eksistensi pembiayaan di luar anggaran. Garis komando ganda yang merepotkan ini, yang dalam praktek dilipatgandakan oleh badan-badan pemerintah lainnya serta pengaruh-pengaruh di luar jalur resmi,
161
membuat para manajer BUMN menjadi birokrat departemen. Bahkan kadang kala timbul keadaan aneh di mana para manajer bekerja tanpa kontrol apa pun. Program reformasi BUMN dihentikan karena mengancam kekuasaan departemen teknis atas perusahaan mereka dan mengancam eksistensi pembiayaan di luar anggaran. Ini dapat menggoyahkan eksistensi dana politik yang merupakan landasan utama rezim Presiden Soeharto. Di sepanjang periode ini, militer tetap memegang kekuasaan atas banyak BUMN, termasuk yang terbesar, yaitu Pertamina, PT Timah, dan Bulog. Yang disebut di sini hanya sebagian dari perusahaan-perusahaan besar yang diandalkan oleh pihak militer dan dan departemen-departemen teknis untuk tambahan anggaran mereka. Pemulihan ekonomi Indonesia pada akhir 1960-an dan awal 1970-an dimulai dengan pertumbuhan sektor minyak. Pada akhir 1973, kebijakan rasionalisasi dikesampingkan karena melonjaknya harga minyak di pasar dunia. Euforia “oil boom” ini merangsang untuk kembali ke kebijakan “melihat-ke-dalam” dan ekonomi nasionalistik. Pemerintah menggunakan penghasilan minyak yang meningkat untuk memulai program investasi besar-besaran di sektor industri. Di dalamnya termasuk sektor logam dasar, yaitu kompleks Krakatau Steel dan proyek peleburan Asahan Aluminium; industri kimia, khususnya tiga kompleks pupuk besar di Jawa Barat, Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan; gas alam dan penyulingan minyak; dan berbagai kegiatan lainnya seperti kertas, semen dan perakitan pesawat terbang serta manufaktur. Pertamina di bawah Ibnu Sutowo telah membangun konglomerasi besar. Selain perminyakan, Pertamina juga menanam modal dan menangani banyak proyek, antara lain armada tanker, pabrik baja, gedung-gedung perkantoran, resor pariwisata, pabrik pupuk, perusahaan penerbangan dan beberapa proyek persawahan.
16 2 162
Ada tiga faktor ideologis yang mendukung legitimasi politik Pertamina dan, dengan demikian, juga BUMN lainnya. Pertama adalah dirasakan perlunya membangun suatu sektor bisnis pribumi yang kuat (pribumi-isme). Kedua, asumsi bahwa hanya perusahaan besar yang dapat menarik manfaat dari skala ekonomi sehingga mampu menopang kerugian awal yang biasanya diderita upaya pengembangan industri baru (industrialisme). Faktor ketiga adalah kepercayaan bahwa hanya konglomerat besar
nasional yang mampu mencegah penetrasi perusahaan multinasional yang dianggap eksploitatif (nasionalisme ekonomi).
Krisis dan Lanjutannya Untuk menghadapi keengganan presiden menindak Pertamina dan ekseseksesnya sebagaimana dilaporkan oleh Komisi Empat, para teknokrat menggunakan tekanan eksternal dalam bentuk perjanjian siaga (standby) dengan Dana Moneter Internasional (IMF) pada 1972. Perjanjian siaga menetapkan batas maksimum utang eksternal jangka menengah sebesar US$ 14 juta untuk tahun 1972-73. Para teknokrat kemudian berhasil mendesak dikeluarkannya sebuah keputusan presiden yang mengharuskan BUMN untuk Para teknokrat mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan dan Gubernur menggunakan tekanan Bank Indonesia sebelum melakukan negosiasi pinjaman eksternal dalam bentuk jangka menengah dan jangka panjang untuk membiayai pengeluaran modal mereka. Ketika penghasilan minyak perjanjian siaga dengan IMF. mulai turun pada semester kedua 1974, Pertamina tidak mampu mengembalikan pinjaman jangka pendeknya sebesar US$ 40 juta. Pemerintah terpaksa mengambil alih tanggung jawab atas utang-utang Pertamina guna menjamin kesinambungan akses Indonesia ke pasar uang eksternal. Perebutan kontrol antara Departemen Keuangan dan departemen-departemen teknis atas BUMN akan terus berlanjut. Pada 1975 Pertamina hampir bangkrut. Para teknokratlah yang peras otak dan tenaga untuk mengatasi krisis yang timbul akibat ulah Pertamina. Sukses mengatasi krisis itu pula yang memulihkan pengaruh mereka. Tetapi ketidakpuasan umum atas seluruh kinerja BUMN terus berlanjut. Kerugian terus “masuk buku”. Seorang anggota DPR dan mantan menteri perdagangan, Rachmat Muljomiseno, seperti mewakili banyak pihak ketika ia meminta dilakukannya audit manajemen atas BUMN. Ini diharapkan dapat menanggapi meningkatnya kritik dari masyarakat ramai dan DPR. Ia juga menambahkan bahwa BUMN telah menjadi arena permainan kotor, salah-urus,
163
manipulasi, penipuan dan korupsi orang dalam dan kelompok-kelompok lain, baik secara terorganisasi maupun tidak (Sinar Harapan, 3/3/1980). Namun demikian, perebutan kontrol antara Departemen Keuangan dan departemen-departemen teknis atas sektor BUMN terus berlanjut hingga kini. Sebagai contoh, maksud dari Peraturan Pemerintah No. 3/1983 ketika dirancang adalah untuk memperkuat peran pengawasan oleh Departemen Keuangan. Hal ini akan mengurangi intervensi dari departemen-departemen teknis. Namun peraturan ini tidak diberlakukan terhadap Pertamina dan bank-bank pemerintah yang beroperasi di bawah undang-undang khusus. Akibat pengecualian-pengecualian ini, departemendepartemen teknis berhasil menjinakkan peraturan tersebut dan mengukuhkan garis komando ganda — yang satu dari Departemen Keuangan, yang lain dari departemen teknis terkait. Merosotnya harga minyak pada periode 1982-1986 membuat pemasukan pemerintah turun tajam. Pemerintah menanggapinya dengan kebijakan penghematan, meningkatkan pemasukan non-minyak dalam negeri, dan promosi ekspor non-minyak dan gas bumi. Yang termasuk dalam kebijakan penghematan adalah pemotongan alokasi untuk penyertaan modal dalam BUMN. Pada saat bersamaan, keuntungan BUMN pada sektor-sektor penting seperti perkebunan dan pertambangan menurun pada awal 1980-an, sementara perusahaan pemasok listrik, gas dan air merugi. Lalu sekali lagi BUMN menjadi sasaran reformasi.
Reformasi (1985-2001) Pada pertengahan 1980-an, terjadi debat publik mengenai untung-rugi privatisasi sebagai suatu jalan reformasi BUMN.
164
Pada 1988, Instruksi Presiden No. 5/1988 menetapkan suatu klasifikasi atas BUMN dalam kategori “sangat sehat”, “sehat”, “kurang sehat” dan “tidak sehat”, berdasarkan beberapa kriteria keuangan. Ini kemudian disusul oleh Keputusan Menteri Keuangan No. 740/KMK.00/1989 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 741/KMK.00/
1989. Keputusan menteri yang pertama mencakup tindakan-tindakan yang dapat diambil untuk memperbaiki kinerja BUMN. Tindakan tersebut mencakup: (1) pengubahan status hukum BUMN menjadi perseroan terbatas; (2) kerja sama operasional dan kontrak manajemen dengan pihak ketiga; (3) konsolidasi atau peleburan; (4) memecah menjadi unit-unit yang lebih kecil; (5) menjual saham di pasar modal; (6) menjual saham langsung kepada pihak luar; (7) mendirikan usaha patungan; atau (8) likuidasi. Keputusan menteri yang kedua mensyaratkan setiap BUMN membuat rencana perusahaan jangka panjang untuk lima tahun, dan menyusun anggaran rencana kerja tahunan sehingga kontrol oleh manajemen dan pemerintah dapat ditingkatkan. Pada April 1990, dilakukan penyertaan langsung ketika 70% PT Intirub, perusahaan ban yang merugi, dijual kepada PT Bimantara Citra, kelompok bisnis besar yang dipimpin oleh Bambang Trihatmodjo, putra Presiden Soeharto. Bimantara kemudian menjual 32,5% sahamnya kepada PT Astra International, yang saat itu merupakan konglomerat terbesar kedua di Indonesia. Sifat tertutup penjualan tersebut dikritik oleh beberapa anggota DPR dan pers, namun penjualan jalan terus. Deregulasi yang berkesinambungan telah meningkatkan kinerja ekonomi Indonesia di akhir 1980-an. Ini menyebabkan melemahnya gairah reformasi BUMN. Beberapa faktor turut menyebabkan berkurangnya gairah tersebut. Salah satunya adalah ketakutan bahwa privatisasi hanya akan menguntungkan kelompok bisnis Cina Indonesia atau bisnis keluarga Presiden. Faktor lain adalah perlawanan yang makin meningkat dari departemendepartemen teknis. Mereka berhasil mengelak dari pengawasan Departemen Keuangan dengan didirikannya Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang menempatkan sepuluh BUMN penting di bawah kontrol B. J. Habibie, saat itu Menteri Riset dan Teknologi. Akhirnya keadaan ekonomi yang membaik sekali lagi memperlemah perasaan krisis yang pada awalnya telah mendorong upaya reformasi. Pada pertengahan 1990-an, pemerintah memperoleh hampir US$ 4,3 miliar melalui beberapa penawaran umum dan penjualan paket-paket saham minoritas di enam BUMN kepada investor strategis. Kelompok enam BUMN tersebut terdiri atas dua perusahaan
165
telekomunikasi (PT Indosat dan PT Telkom), satu perusahaan perbankan (PT BNI), dua perusahaan pertambangan (PT Tambang Timah dan PT Aneka Tambang) dan satu perusahaan semen (PT Semen Gresik). Sebagian besar dari pendapatan tersebut ditanamkan kembali ke dalam badan-badan usaha tersebut untuk pembiayaan modal dan perluasan usaha. Sebelum 1998, BUMN dikendalikan oleh Departemen Keuangan sebagai pemegang saham. Pada awal 1998, pemerintah mendirikan Departemen Badan Usaha Milik Negara, yang mengambil alih tanggung jawab dari Departemen Keuangan dan diberi mandat untuk melakukan restrukturisasi, meningkatkan keuntungan, dan mempercepat privatisasi 144 BUMN. Sasaran Departemen BUMN tersebut mencakup:
• menghasilkan pendapatan untuk anggaran negara dengan cara privatisasi dan peningkatan dividen serta pajak dengan membuat perusahaan menjadi lebih sehat dan menguntungkan;
• memperbaiki kinerja BUMN dengan cara memperbaiki praktek pengelolaan perusahaan, beroperasi secara lebih efisien, dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada publik;
• memperbaiki nilai BUMN dengan jalan akses pada teknologi baru, keterampilan manajemen, pasar dan sumber-sumber keuangan;
• menarik investasi asing ke dalam BUMN; hal ini akan meningkatkan kepercayaan pasar, dan dengan demikian menarik investasi jangka panjang ke dalam perekonomian Indonesia;
• diversifikasi kepemilikan dalam BUMN.
166
Pada awal 1998, dalam suatu perjanjian dengan IMF, pemerintah memilih 12 BUMN besar untuk diswastakan sebagian dalam waktu selambat-lambanya hingga Maret 1999. Target penghasilan sebesar US$ 1,5 miliar direncanakan atas penjualan saham melalui tender dan penawaran umum di sektor telekomunikasi, pertambangan, semen, pelabuhan udara dan laut, jalan tol, baja dan perkebunan. Sampai tanggal yang ditargetkan, hanya lima transaksi privatisasi berhasil dirampungkan dan menghasilkan
pendapatan kotor lebih dari US$ 1 miliar untuk anggaran negara. Dalam lima perusahaan tersebut termasuk empat BUMN dari daftar 12 yang semula, ditambah dengan PT Indofood Sukses Makmur Tbk., di mana pemerintah merupakan pemegang saham minoritas. Transaksi-transaksi tersebut adalah:
• Cemex, perusahaan semen multinasional dari Meksiko, menanam investasi US$ 122,1 juta ke dalam PT Semen Gresik dan juga membeli saham-saham BUMN tersebut.
• Terminal peti kemas Jakarta dijual (51% sahamnya dijual sedangkan pemerintah memperoleh satu saham emas yang diberi hak veto) seharga US$ 215 juta.
• Terminal peti kemas Surabaya (49%) dijual seharga US$ 175 juta. • Saham PT Telkom (9,62%) dijual melalui Bursa Efek Jakarta seharga US$ 409 juta. • Kepemilikan saham minoritas oleh pemerintah sebesar 10,18% di PT Indofood dijual melalui Bursa Efek Jakarta seharga US$ 115 juta. Dari 12 BUMN tersebut, yang belum diprivatisasikan sebagian besar adalah perusahaan perkebunan, pengelola bandar udara Jakarta, perusahaan telekomunikasi internasional dan perusahaan pertambangan multi-mineral. Semuanya sedang dalam proses restrukturisasi pra-penjualan. Pada pertengahan 2000, sesuai perjanjian dengan IMF, pemerintah menentukan sembilan BUMN besar untuk privatisasi sebagian sampai Desember 2000, dan satu BUMN di bidang perdagangan untuk dilikuidasi. Target penjualan badan-badan usaha yang bergerak di sektor pertambangan, semen, bandara udara, baja, perkebunan, pupuk, surveyor dan farmasi ini secara keseluruhan ditetapkan sebesar Rp 6,5 triliun. Namun, pada akhir Desember 2000, kesembilan transaksi tersebut tidak terjadi, sebagian karena perubahan kabinet. Pada Agustus 2000 pemerintah membubarkan Kementerian Negara untuk BUMN sebagai pemegang saham badan usaha milik negara. Empat bulan kemudian pemerintah kembali mendirikan Direktorat Jenderal BUMN di bawah Departemen Keuangan sebagai pemegang saham BUMN.
16 1677
Kementerian Negara untuk BUMN telah dilalui tiga menteri: Tanri Abeng dari Partai Golkar, Laksamana Sukardi dari PDI Perjuangan, yang beberapa saat kemudian diganti oleh Rozy Munir dari Partai Kebangkitan Bangsa, yang dipimpin oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Pembubaran Kementerian BUMN dan kembalinya pengawasan perusahaan negara ke Departemen Keuangan merupakan pertanda jelas bahwa perebutan kontrol atas perusahaan negara untuk kepentingan politik dan uang akan terus berlanjut. Pada awal 2001, tetap dalam rangka perjanjian dengan IMF, pemerintah mengidentifikasi 16 BUMN untuk diprivatisasi sampai Desember 2001. Penghasilan sebesar Rp 6,5 triliun diharapkan dapat terkumpul dari penjualan saham melalui tender atau penawaran umum atas dua Pembubaran Kementerian perusahaan farmasi, perusahaan perkebunan, pupuk, surveyor, BUMN... merupakan hotel, perdagangan, baja dan telekomunikasi. Sampai April pertanda perebutan kontrol 2001, hanya satu transaksi privatisasi dirampungkan dan menghasilkan pendapatan kotor sebesar Rp 150 miliar. atas perusahaan negara
akan terus berlanjut.
Implikasi dari sejarah reformasi BUMN tersebut adalah bahwa diperlukan perubahan struktural yang besar di bidang politik dan ekonomi sebelum sektor BUMN dapat keluar dari nasib peran BUMN sebagai sumber pembiayaan politik dan pribadi. Akan tetapi, meski terdapat banyak hambatan dalam upaya reformasi, ada beberapa kasus yang menunjukkan bahwa korupsi bisa dikurangi dengan perbaikan manajemen, baik dalam perusahaan maupun dalam struktur “bagi-bagi rejeki” pemerintah. Pada 31 Mei 2000, muncul sebuah Keputusan Menteri sebagai pedoman pelaksanaan pengelolaan perusahaan yang baik untuk BUMN. Sejumlah BUMN telah dipilih sebagai proyek contoh untuk menguji dan menerapkan pengelolaan perusahaan yang baik. Yang dipilih adalah PT PLN, PT Timah, PT Jasa Marga (jalan tol), PT Pelni (perkapalan) dan PT PN VIII (perkebunan).
168
Dua kasus berikut menggambarkan pengalaman PT Timah, yang sudah mulai mengalami pengelolaan perusahaan yang baik jauh sebelum dikeluarkannya keputusan
menteri tersebut. PT Rekayasa Industri (“Rekayasa”) tidak menjadi bagian dari proyek percontohan BUMN. Namun demikian, Rekayasa tetap merupakan kasus menarik mengenai perubahaan organisasi berkat prakarsa pimpinan yang menerapkan praktek pengelolaan perusahaan yang baik.
PT Tambang Timah PT Tambang Timah 4 (“Timah”) merupakan contoh BUMN yang telah merestrukturisasi diri, dari perusahaan yang hampir pailit lantaran sistem bagi-rejeki menjadi perusahaan publik yang efisien dan dikelola secara baik. Proses restrukturisasi dimulai pada 1990 ketika direktur utama yang baru, Dr. Kuntoro Mangkusubroto, melihat bahwa Timah berada di ambang pailit. Peralatan produksi sudah tua dan tak terawat. Laporan keuangan merupakan campuran dari sistemsistem yang acak-acakan. Ongkos yang dikeluarkan tinggi dan motivasi kerja rendah. Ada perbedaan besar dalam sistem pemberian gaji dan kompensasi pada tingkat operasional, staf dan manajemen. Korupsi, kolusi dan nepotisme merajalela. Keadaan menjadi lebih parah karena selama periode ini harga timah rendah. Semua ini mengakibatkan ongkos produksi per ton timah menjadi lebih tinggi dari harga jual. Walaupun situasinya jelas sangat parah, tidak banyak pimpinan perusahaan yang ada sadar akan keparahan tersebut. Sebagian besar karyawan Timah tetap yakin bahwa masa kejayaan Timah akan tetap berlanjut. Pada saat itu banyak pula kepentingan yang terkait menentang ide perubahan dan restrukturisasi perusahaan serta implementasinya yang panjang dan melelahkan. Pada umumnya, proses yang berjalan adalah menekankan tindakan dan mengurangi diskusi tentang konsep. Beberapa faktor yang membantu Timah untuk merestrukturisasi diri adalah:
• kemampuan para pemimpinnya untuk melihat masalah dalam lingkup yang lebih luas, baik secara internal maupun eksternal, sehingga dapat memperkirakan risiko yang dihadapi dan serangkaian tindakan yang diperlukan;
169
• kemampuan para pemimpin perusahaan untuk mengambil risiko yang berkaitan dengan perubahan-perubahan besar serta kontroversi yang ditimbulkannya;
• kemampuan untuk menanamkan pengertian di kalangan pegawai Timah bahwa yang diperlukan bukanlah sekadar perubahan drastis, namun juga suatu sikap bahwa perubahan itu sangat mendesak untuk dilakukan; maka sangat penting untuk memberikan informasi mengenai situasi yang dihadapi oleh Timah kepada seluruh pegawai di semua tingkat;
• perusahaan menerapkan perubahan budaya dan struktural secara serempak; perubahan budaya meliputi perubahan nilai dan sikap para pegawai; perubahan struktural mencakup sistem manajemen, struktur organisasi, dan sistem keuangan, termasuk pelaksanaan kegiatan perbankan secara elektronik di dalam perusahaan untuk mengurangi peluang penyalahgunaan pemindahan dana;
• mengidentifikasi para pendukung upaya perubahan dan menggunakan mereka sebagai penggerak perubahan dan mempengaruhi yang lain untuk bergabung dalam upaya tersebut; hal ini penting karena di dalam perusahaan ada yang menentang perubahan secara terang-terangan, ada yang menentang diam-diam, ada yang skeptis, ada yang menerima dengan syarat, dan ada pula yang menerima secara pasif;
• kemampuan untuk mendapatkan dukungan dari pihak-pihak di perusahaan; dilema besar yang dihadapi oleh perusahaan adalah perlunya memberhentikan pegawai secara besar-besaran; ini ditentang oleh para pegawai dan pemerintah daerah; perusahaan kemudian melobi DPR, Departemen Pertambangan dan Energi, Departemen Keuangan dan partai-partai politik untuk mendukung kebijakan PHK tersebut.
• kemampuan untuk mengungkapkan dan mengkomunikasikan visi dan nilai baru
170
sehingga dapat diterima oleh para karyawan perusahaan; hal-hal ini dikomunikasikan secara intensif oleh pimpinan perusahaan, baik secara verbal maupun tindakan mereka sehari-hari; contohnya adalah semboyan 3K (Kebersamaan, Keterbukaan dan Kebersihan) dan PTPRS (Percaya, Terbuka, Positif, Rasional dan Sadar Biaya).
• mengembangkan budaya perusahaan melalui simbol-simbol dan tindakan; misalnya pemindahan kantor pusat dari Jakarta ke Pangkalpinang, yang bukan hanya mengurangi biaya rutin tapi juga dilihat oleh karyawan sebagai isyarat simbolis dari solidaritas manajemen dengan karyawan; simbol-simbol lainnya termasuk seragam yang sama dan akses pada fasilitas perusahaan serta acara sosial yang santai, yang kesemuanya dihargai oleh para karyawan.
• komitmen yang tinggi dari pimpinan untuk mengubah perusahaan, yang ditunjukkan dengan memberi contoh kepada para pegawai. Sejak restrukturisasi dimulai pada 1990, perusahaan telah diubah baik secara struktural maupun kultural. Restrukturisasi telah meningkatkan daya saing perusahaan. Kini Timah merupakan salah satu perusahaan pertambangan timah terbesar di dunia dan salah satu yang beroperasi dengan biaya terendah. Timah merupakan perusahaan Indonesia pertama yang terdaftar di Bursa Efek London. Sistem manajemen serta budaya perusahaannya telah membuat Timah menjadi relatif bebas korupsi.
PT Rekayasa Industri5 PT Rekayasa Industri (“Rekayasa”) didirikan oleh pemerintah pada 12 Agustus 1981 untuk meningkatkan kemampuan nasional di bidang rekayasa dan konstruksi pabrik industri besar menjadi kemampuan bertaraf internasional. Posisi keuangan perusahaan sedemikian buruknya sehingga pemerintah mempertimbangkan untuk menutup Rekayasa. Sampai 1994, Rekayasa mempunyai pangsa pasar yang terjamin. Perusahaan ini hanya bekerja untuk proyek pembangunan pemerintah dan bertindak sebagai tangan pemerintah dalam melaksanakan proyek-proyek tersebut. Tetapi, ketika makin banyak perusahaan yang masuk ke pasar, Rekayasa mulai merasakan tekanan persaingan untuk mendapatkan proyek. Kebutuhan akan praktek kerja yang lebih profesional dalam mengelola proyek sangat dirasakan ketika pada 1994, salah satu proyek terbesar dalam sejarahnya mengalami kesalahan manajemen yang mengakibatkan kerugian besar, dan menciptakan utang yang lebih besar dari nilai seluruh aset Rekayasa.
17 1711
Posisi keuangan perusahaan sedemikian buruknya sehingga pemerintah mempertimbangkan untuk menutup Rekayasa. Namun pemerintah tetap menganggap secara strategis perlu ada suatu perusahaan rekayasa dan konstruksi yang dimiliki pemerintah untuk pembangunan pabrik-pabrik industri yang besar. Karena itu, daripada menutup perusahaan ini, tim manajemen tingkat atas diganti, dan pemimpin perusahaan yang baru, Heri Suparto, diberi kebebasan untuk melakukan apapun yang perlu guna menghidupkan kembali perusahaan. Rekayasa menghadapi situasi yang mengerikan. Pasar telah mengecil karena perusahaan-perusahaan kimia dan petrokimia tidak meningkatkan kapasitas produksi mereka dan tidak mendirikan pabrik-pabrik baru. Rekayasa tidak mampu bersaing di pasar lain seperti pembangunan pabrik minyak dan gas bumi atau pembangkit tenaga listrik. Produk dan jasa perusahaan tidak dirumuskan secara baik, dan proses pelaksanaan bisnisnya tidak distandardisasi. Sebagai contoh, saat itu Rekayasa tidak punya sistem manajemen sumber daya manusia atau sistem manajemen informasi. Akhirnya, Rekayasa mencatat kerugian Rp 24 miliar. Sejak perubahan manajemen, Rekayasa tumbuh menjadi salah satu perusahaan rekayasa, kontraktor dan konstruksi (engineering, procurement and construction atau EPC) yang terbesar dan paling andal di Indonesia. Manajemen perusahaan bertekad mencapai keunggulan dalam jasa manajemen proyek yang terinci, dalam rekayasa, dan kontrol mutu yang ketat serta aplikasi teknologi rekayasa yang canggih. Walaupun Indonesia dilanda krisis moneter dan ekonomi, penghasilan Rekayasa pada 1998 mencapai Rp 608 miliar, dengan laba bersih Rp 80 miliar. Perusahaan ini berhasil mengukuhkan diri sebagai pemimpin dalam industri tersebut. Rekayasa juga merampingkan organisasinya, yang kini terdiri dari Direksi, DivisiDivisi Rekayasa, Kontraktor dan Manajemen Proyek. Selain itu perusahaan juga sudah mempunyai Prasarana Keuangan dan Bisnis serta Divisi Pengembangan Bisnis yang terdiri atas Unit-unit Kontrak yang laku keras, Unit Pemasaran & Teknologi, Unit Aliansi Strategis Internasional dan Unit Bisnis Strategis.
172
Ruang lingkup bisnis EPC perusahaan termasuk pabrik-pabrik semen, mineral,
pembangkit energi, migas, kertas dan bubur kertas, serta kimia dan petrokimia, ditambah dengan studi kelayakan dan pemeliharaan pabrik. Sejak partisipasi perusahaan dalam konstruksi pabrik Pupuk Iskandar Muda, Pupuk Kalimantan Timur III dan proyek EPC secara penuh, pabrik Pupuk Sriwidjaja-1B pada 1989/1990, pertumbuhan dan kemampuan Rekayasa di bidang EPC telah dirangsang melalui kerja sama dengan sejumlah perusahaan internasional terkemuka. Di industri semen, salah satu bisnis intinya yang semula, Rekayasa telah menyelesaikan pabrik-pabrik Tuban I, II, III dan Tonasa IV yang berkapasitas total lebih dari 4 juta ton semen per tahun. Rekayasa telah mulai menembus pasar internasional dengan Rekayasa telah mulai dua proyek di Malaysia, yaitu pabrik pupuk Asean Bintulu dan pabrik menembus pasar pencampuran minyak pelumas. Perusahaan telah melakukan diversifikasi ke arah pekerjaan rekayasa pipanisasi, kelistrikan dan internasional dengan dua peralatan untuk proyek kertas dan bubur kertas Musi, dan juga proyek di Malaysia. beberapa proyek optimalisasi dan perbaikan kemacetan pada beberapa pabrik gas alam di Kalimantan Timur. Keberhasilan lainnya adalah memenangkan pelayanan EPC bagi proyek geothermal terbesar di dunia serta proyek biji urea pertama di Indonesia. Prioritas utama Rekayasa adalah penekanan pada manajemen mutu, sebagaimana tercermin dalam efisiensi, efektifitas biaya dan laba. Tujuannya adalah agar Rekayasa menjadi pemain andal di pasar internasional. Salah satu tonggak prestasi penting dalam mencapai tujuan ini adalah diraihnya Sertifikasi ISO 9001 Standard for Quality Management and Quality Assurance, yang diterima dari Lloyds Register Quality Assurance pada 1996. Kelompok insinyur perusahaan yang berpendidikan tinggi merupakan aset penting perusahaan dalam perubahan-perubahan yang akan terjadi. Heri Suparto yakin bahwa pemberdayaan, pendelegasian dan partisipasi, dengan sesedikit mungkin intervensi dari manajemen tingkat atas, adalah sangat penting. Pendekatan ini serta perubahan organisasi itu sendiri siap diterima oleh manajemen lapis tengah serta para karyawan yang memang telah lama mendambakan perubahan tersebut. Sikap ini membantu kecepatan dan kelancaran perubahan, betapapun radikalnya.
17 3 173
Langkah-langkah strategis yang ditempuh Rekayasa diawali dengan analisis SWOT, dan dilanjutkan dengan pelaksanaan perubahan-perubahan radikal (diukur dari manajeman sebelumnya) yang dimulai dari basis titik nol. Langkah-langkah tersebut adalah (1) mendefinisikan misi, visi, maksud dan tujuan; (2) menetapkan struktur organisasi dan sistem sumber daya manusia; (3) mendefinisikan kembali proses bisnis; (4) menentukan kriteria dan standar; (5) mengukur kinerja; dan (6) menerapkan sistem informasi manajemen.
Pengembangan dan penerapan sistem manajemen SDM memakan waktu masing-masing sekitar enam bulan.
Untuk mempercepat proses perubahan, pada 1995 diterapkan beberapa proyek internal secara serentak:
1. Meningkatkan Sistem Kompensasi: Heri Suparto percaya bahwa karyawan yang andal dalam suatu bisnis berteknologi tinggi merupakan aset utama dan terpenting bagi perusahaan. Karena itu, untuk meningkatkan produktivitas, manajemen harus membuktikan kepercayaan terhadap orang-orangnya dengan memberi mereka kompensasi yang bersaing, walaupun posisi keuangan perusahaan kurang menguntungkan dan standar gaji di BUMN sangat rendah dibanding di sektor swasta.
2. Menetapkan Sistem Kompensasi Berdasarkan Pengetahuan: Karena pesatnya perkembangan unsur-unsur teknologi canggih dalam bisnis Rekayasa, para karyawan dipacu agar selalu mampu mengikuti perkembangan yang terjadi. Tingkat pengetahuan, kemampuan memecahkan masalah dan pertanggungjawaban menjadi persyaratan minimal dalam kriteria pemeringkatan personel. Untuk naik pangkat, seorang calon harus diuji oleh suatu tim pemeriksa. Tingkat gaji tergantung pada hasil evaluasi atas pekerjaan yang diselesaikan.
17 4 174
Setelah menerapkan peringkat berdasarkan persyaratan minimal tadi, ditentukanlah perbedaan pengetahuan antara “apa yang seharusnya diketahui” dan “apa yang sebenarnya diketahui”. Untuk menjembatani perbedaan ini, perusahaan mengembangkan program pelatihan yang mencakup (1) bidang spesialisasi; (2) manajemen proyek; (3) manajemen umum; dan (4) pengembangan pribadi (kepemimpinan, motivasi
keberhasilan, kerja sama dalam tim, dll.). 3. Proyek-proyek Pengembangan Internal: Satuan tugas dibentuk untuk mengembangkan dan menerapkan infrastruktur bisnis seperti sistem manajemen sumber daya manusia, sistem manajemen informasi dan sistem akuntansi. Kecuali sistem akuntansi, yang dikembangkan dengan bantuan konsultan dari luar, seluruh sistem lainnya dikembangkan dengan memanfaatkan pengetahuan internal dari orang dalam perusahaan yang kemudian dijadikan modal awal suatu organisasi belajar. Kesulitan keuangan telah mendorong pembentukan organisasi belajar internal. Konsultan luar sulit dibiayai dari dana yang serba terbatas. Pengembangan dan penerapan sistem manajemen sumber daya manusia memakan waktu masing-masing sekitar enam bulan. Hasil-hasil yang positif terjadi hampir seketika, seperti terlihat dari meningkatnya rasio antara kegiatan operasional dan kegiatan nonoperasional dari 1:1 menjadi 2:1. Pengembangan sistem manajemen informasi menciptakan cara komunikasi yang lebih cepat. Hal ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi, dengan menjadikannya suatu “perusahaan tanpa kertas” melalui komunikasi intranet. Rekayasa juga bertekad untuk menjadi organisasi yang terbuka dengan memberitahukan seluruh aspek perusahaannya melalui intranet. Sebagai contoh, visi Suparto dari hari ke hari atas perusahaan dan juga posisi aliran uang sehari-hari dapat diakses oleh seluruh karyawan. Implikasi dari reformasi suatu sistem politik yang didasarkan atas “pembagian rejeki” kepada keluarga, para pendukung dan sahabat untuk mempertahankan kekuasaan adalah bahwa sistem tersebut harus dibongkar. Rekayasa secara sadar berusaha untuk menjadi suatu organisasi belajar yang efektif dengan: 1. Belajar dari pengalaman para karyawan dalam pekerjaan mereka; misalnya dengan mengadakan diskusi mingguan pada jam makan siang di mana para anggota dari berbagai proyek bersilih-ganti berbagi pengalaman mereka (baik keberhasilan maupun kegagalan), dan belajar untuk membenarkan tindakan-tindakan mereka dengan menjawab
175
pertanyaan-pertanyaan dari rekan-rekan mereka. Diskusi juga dilangsungkan melalui intranet pada jaringan internal milik Rekayasa. 2. Mengadakan pertemuan mingguan pada hari Jumat di mana para karyawan yang telah menghadiri seminar/lokakarya di luar membahas hasil-hasilnya bersama karyawan-karyawan lain. 3. Pertemuan bulanan manajemen menyampaikan berita terakhir dari perusahaan kepada seluruh anggota penting. Kegiatan ini juga merupakan forum yang penting di mana pertanyaan-pertanyaan diajukan dan rencana kegiatan dikaji.
Kesimpulan Dampak reformasi atas suatu sistem politik yang didasarkan pada “pembagian rejeki” kepada keluarga, pendukung, dan sahabat demi mempertahankan kekuasaan adalah bahwa sistem tersebut harus dibongkar. Karena kesejahteraan para pembagi dan penerima rejeki serta para kroni tergantung pada bertahannya rezim “bagi rejeki” itu, maka setiap perubahan terhadap rezim tersebut akan ditentang. Reformasi tak mungkin terjadi tanpa perubahan dalam rezim tersebut. Perubahan itu sendiri harus disertai perubahan sasaran politik — dari pembagian rejeki ke pembagian pelayanan publik. Setiap pergeseran, tidak bisa tidak, akan merupakan proses berjangka panjang. Pengembangan suatu sistem hukum yang tepercaya, dan menjamin bahwa segala sesuatu akan berlangsung sesuai dengan ketentuan hukum, memang memakan waktu. Sejarah proses reformasi badan usaha milik negara dan kisah sukses dua BUMN tadi memberikan landasan bagi kebijakan untuk mengurangi atau mencegah korupsi di sektor perusahaan negara.
176
Korupsi di BUMN telah merangsang perumusan suatu kebijakan reformasi. Tinjauan terhadap upaya reformasi BUMN menunjukkan bahwa sepanjang beberapa tahun berbagai macam kebijakan telah dijalankan. Di dalamnya termasuk restrukturisasi, peleburan, kerja sama operasi dan privatisasi dengan cara penawaran umum di pasar
modal dan penjualan saham langsung kepada pihak luar. Dalam tahun-tahun belakangan ini, privatisasi telah menjadi bagian dari program IMF untuk pemulihan ekonomi Indonesia. IMF juga telah mengusulkan beberapa cara guna menanamkan azas pertangungjawaban dengan memakai metode pengawasan tertentu untuk meraih kinerja yang tinggi (must be clarified) beserta perangkat pengawasannya. Akhir-akhir ini, pemerintah mulai berusaha untuk secara lebih sistematis mendorong praktek pengelolaan perusahaan yang baik. Pada skala yang lebih makro, pengawasan atas BUMN telah berlangsung secara bersilih-ganti antara Departemen Keuangan dan departemen-departemen teknis, tergantung siapa yang lebih kuat secara politis pada saat perebutan kewenangan tersebut. Di saat kekuatan politik berimbang, pengawasan dibagi rata di antara dua pihak yang bertarung itu. Terakhir, suatu kementerian yang khusus mengawasi BUMN telah didirikan, lalu dibubarkan beberapa tahun kemudian.
Di saat kekuatan politik berimbang, pengawasan dibagi rata di antara dua pihak yang bertarung itu.
Proses reformasi telah berlangsung secara sepotong-potong dan secara ad hoc, tidak sistematis dan strategis. Alasannya terletak pada perkembangan historis BUMN, yang lebih berfungsi sebagai sumber dana politik ketimbang suatu usaha bisnis. Mereka yang menentang reformasi di masa lalu termasuk para penganut ide ekonomi nasionalistik, yang secara ideologis cenderung melawan setiap gerakan ke arah sistem orientasi persaingan pasar. Perlawanan juga muncul dari mereka yang memandang BUMN sebagai alat pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu, seperti stabilisasi harga, penciptaan kesempatan bekerja, promosi pembangunan daerah, dan penguasaan sektor-sektor strategis. Mereka dan pihak-pihak lain mungkin juga memandang BUMN sebagai pengimbang yang diperlukan terhadap sektor swasta yang didominasi oleh bisnis Cina Indonesia dan modal asing. Reformasi, khususnya privatisasi, juga ditentang oleh departemen-departemen yang terkait dan meraih keuntungan finansial dari BUMN yang mereka kontrol. Begitu pula para
17 1777
birokrat yang mendapat penghasilan tambahan dengan duduk di Dewan Komisaris, para manajer senior BUMN itu sendiri yang merasa posisi mereka terancam, perusahaan swasta yang takut kehilangan status “anak emas” mereka pada BUMN tertentu, serta partai politik yang melihat BUMN sebagai penyumbang rutin pundipundi mereka.
Rekomendasi Reformasi yang efektif mengandung implikasi perlunya suatu pemutusan hubungan secara total dengan praktek-praktek terdahulu, dan penciptaan kebijakankebijakan baru. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat mencakup: 1. Menghidupkan kembali suatu departemen atau instansi yang mandiri dengan tanggung jawab untuk melakukan restrukturisasi dan privatisasi BUMN. 2. Suatu rencana induk privatisasi dengan dukungan politik dari pemerintah, termasuk DPR. Privatisasi tersebut hendaknya diterapkan dalam suatu lingkungan persaingan. Menjual BUMN kepada swasta akan menghilangkan sebagian besar intervensi politik dan administratif dari departemen-departemen teknis. Divestasi sebagian saja akan kurang efektif. Penjualan langsung harus dilakukan secara transparan untuk mencegah pilih-kasih kroni. Belajar dari pengalaman Bulgaria, Panama dan Ekuador 6, suatu kelompok ahli dapat dibentuk; dalam kasus Indonesia, oleh Masyarakat Transparansi Indonesia misalnya, untuk menilai apakah proses privatisasi berlangsung sesuai dengan ketentuan hukum dan apakah prosedurnya cukup transparan. 3. Mengembangkan pengelolaan perusahaan yang baik pada BUMN. Ini mencakup penerimaan karyawan baru dan kenaikan pangkat berdasarkan sistem merit di badan-badan pemerintah dan BUMN untuk menghalau intervensi politik. Bidang lain yang tak kalah penting adalah penerapan pengawasan keuangan yang dapat dipercaya dan skala gaji serta upah yang wajar.
178
4. Mengurangi wewenang tunggal pada tingkat industri dan badan usaha. Perusahaanperusahaan kontraktor minyak, misalnya, tidak perlu mendapat persetujuan
Pertamina untuk membeli peralatan. Untuk menghapus kebutuhan akan persetujuan ini dapat digunakan sistem perbankan elektronik, sebagaimana dilakukan oleh PT Tambang Timah. 5. Mengontrak perusahaan swasta, baik nasional maupun asing, untuk menyediakan jasa yang sebelumnya diberikan oleh institusi atau badan usaha pemerintah. Sebagai contoh, SGS, perusahaan surveyor dari Swiss, telah dikontrak oleh pemerintah Indonesia untuk mengambil alih fungsi badan pabean yang terkenal korup. 6. Pengawasan oleh kelompok masyarakat madani yang mandiri dan punya reputasi seperti Indonesian Corruption Watch, Masyarakat Transparansi Indonesia dan lain-lain. Organisasi-organisasi tersebut dapat membentuk unit-unit spesialis BUMN, atau mendirikan lembaga yang khusus memusatkan perhatian pada BUMN. 7. Menciptakan sistem pemeringkat bagi BUMN berdasarkan kriteria pengelolaan perusahaan yang baik, yang hasil-hasilnya diumumkan kepada masyarakat guna mendesak pemerintah dan manajemen untuk bekerja lebih baik di bidang-bidang tersebut. Organisasi pemeringkat seperti Pefindo seharusnya dapat menerbitkan peringkat ini. 8. Audit dilakukan oleh auditor eksternal. 9. Pelatihan untuk Dewan Komisaris dan Direksi mengenai praktek-praktek pengelolaan perusahaan yang baik yang berlaku secara internasional. 10. Menerapkan undang-undang anti monopoli dan kepailitan. 11. Pada tingkat yang lebih umum, pengembangan sistem hukum yang kokoh merupakan keharusan untuk membasmi korupsi.
Catatan 1
Wawancara tertutup tanggal 26 Maret 2001.
Wawancara tertutup dengan seorang mantan pimpinan (Chief Executive Officer) suatu perusahaan minyak pada tanggal 2 April 2001. 2
179
Morgan, Amanda L., Corruption: Causes, Consequences, and Policy Implications, A Literature Review, Working Paper 9, October 1998, The Asia Foundation . 3
Kasus ini berdasarkan Gede Rake “Restrukturisasi Sebagai Landasan Penerapan Good Corporate Governance Di PT Timah Tbk” yang disampaikan pada seminar Implementing Good Corporate Governance in PT Timah, Jakarta 9 November 2000. Prof. Gede Rake adalah konsultan Timah pada awal upaya restrukturisasi perusahaan tersebut. 4
180
5
Berdasarkan penelitian pada bulan September 2000.
6
Transparency International, Laporan Tahunan 1999, halaman 6.
Te n t a n g P e n u l i s
Mohamad Ikhsan adalah Kepala Lembaga penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI). Ia menekuni Ekonomi Pembangunan, Ekonomi Makro, Perdagangan dan Keuangan Intemasional, serta Ekonomi Regulasi dan Institusi. Mengajar di FEUI sejak 1987, ia memberi kuliah pada Program Extension FEUI, Program Pasca-Sarjana Jurusan Ekonomi, Jurusan Akuntansi, serta Jurusan Perencanaan dan Kebijakan Publik. Ia meraih Sarjana Ekonomi dari UI, MA dari Vanderbilt University (AS), dan Ph.D. dari University of Illinois (AS), dengan disertasi “Desegregation of Indonesian Poverty: Policy and Analysis”. Hampir seluruh studinya dibiayai oleh beasiswa, antara lain dari Sanwa Bank (Tokyo), Ikatan Alumni FEUI, dan World Bank. Selain banyak menulis di sejumlah besar majalah, jurnal dan buku, ia sering membawakan makalah pada seminar-seminar di dalam maupun luar negeri. Paul McCarthy adalah pejabat penghubung Bank Dunia dengan berbagai segmen masyarakat madani di Indonesia. Sejak lulus dari Trent University, Peterborough, Kanada, pada 1977, ia bekerja sebagai Koordinator Program Relawan Kanada di Costa Rica, terutama dalam upaya meningkatkan kesejahteraan anak di Amerika Latin. Sejak 1980 ia aktif dalam kegiatan World University Service of Canada (WUSC), khususnya di bidang pendidikan, pelatihan dan kerja sama teknis intemasional dalam rangka mengaitkan civitas academica Kanada dengan instansi-instansi yang berpikiran searah di negaranegara berkembang. Dalam kapasitas ini ia memimpin dan mengawasi proyek- proyek bantuan di Afrika Selatan, Namibia, Bhutan, Bangladesh, Sierra Leone, Birma, Peru,
181
Swaziland, dan Zimbabwe. Ia pernah menetap di Srilanka, Pakistan, Nepal dan Bangladesh dalarn rangka kerja sama dengan LSM setempat untuk membantu komunitas lokal mengembangkan kegiatan pembangunan masyarakatnya sendiri. Ia juga pernah bekerja di CARE, organisasi nirlaba terbesar di dunia yang bergerak di bidang pembangunan internasional dan bantuan keadaan darurat. Nasir Tamara Tamimi adalah Pemimpin Redaksi Capital, majalah mingguan ekonomi berbahasa Inggris, selain pemimpin redaksi versi Indonesia majalah itu dan Ketua Pimpinan Eksekutif GlobalTV. Ia memperoleh dua gelar Master of Arts di bidang Antropologi dan Ilmu Politik, dan satu gelar Doctor of Philosophy dari Universitas Paris, Prancis. Ia tiga kali menempuh studi bebas selaku fellow, masing-masing di Center for International Affairs Harvard University, di Oxford University, dan di East-West Center, Hawaii. Ia pernah menjadi wakil pemimpin redaksi harian Republika, koresponden harian Sinar Harapan, dan banyak menulis di koran dan majalah Indonesia, baik sebagai reporter, editor maupun pengarang, selain tampil di berbagai seminar di dalam dan luar negeri. Ahmad D. Habir adalah Wakil Direktur Institut Pengembangan Manajemen Indonesia (IPMI), dan pendiri serta Direktur Pelaksana &oLink Center for Business and Environment IPMI, suatu pusat penerbitan dan pendidikan yang berupaya mengintegrasikan lingkungan hidup ke dalam ilmu manajemen. Ia salah seorang pendiri, dan kini Direktur IPMI Center for Corporate Governance and Empowerment. Ia memperoleh Bachelor of Arts dalarn Ilmu Politik dari Ohio State University, Columbus (AS), dan Master of Arts dalarn International Affairs dari Ohio University, Athens; dan Master of Business Administration dalam Bisnis Internasional dari George Washington University, Washington D.C. Pada 1997 ia meraih Doctor of Philosophy di bidang Ilmu Politik dan Hubungan Internasional dari Australian National University, Canberra. Sebelumnya ia bekeIja di sektor swasta, sebagai Corporate Finance di PT ASEAM Indonesia, Senior Product Manager pada PT Richardson-Vicks Indonesia, dan Kepala Divisi SDM di PT Price Waterhouse Siddik.
182
Te n t a n g E d i t o r
Hamid Basyaib adalah peneliti dan ketua dewan redaksi Yayasan Aksara. Ia memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, dan melanjutkan studi pada program Pasca Sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada (tidak tamat). Semasa mahasiswa, ia memimpin majalah kampus Himmah dan Premis, tabloid ilmu sosial; kemudian editor majalah Kiblat dan harian Masa Kini, staf LitBang Redaksi dan redaktur harian Republika, serta Redaktur Pelaksana dan Asisten Pemimpin Redaksi majalah mingguan Ummat. Ia juga menerjemahkan, menyunting dan menulis sejumlah buku, antara lain Berkaca ke Mancanegara: Kumpulan Artikel Politik Internasional (1998), dan Agar Indonesia Tetap Bernyanyi: Pergolakan menjelang dan Pasca Reformasi (1999). Richard J. V. Holloway adalah Penasihat Program Masyarakat Madani/AntiKorupsi, Kemitraan Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, suatu prakarsa multilateral beranggotakan Dewan Indonesia, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Ia memperoleh gelar kesarjanaan dari Oxford University dengan catatan “terpuji” khusus untuk bahasa dan sastra Inggris, dan meraih master dalam Administrasi Sosial (Luar Negeri) dari London School of Economics and Political Science. Selama 33 tahun ia bergiat dalam upaya mengentaskan kemiskinan bersama dengan pemerintah dan organisasi nonpemerintah di Asia, Afrika, Karibia, dan Pasifik Selatan; ia juga penasihat pemerintah
183
dan LSM untuk organisasi-organisasi Inggris, Amerika, Kanada, Swiss, PBB dan Bank Dunia. Ia menulis banyak karangan, makalah, brosur, dan buku, antara lain Assessing the Health of Civil Society: A Handbook for Using the CIVICUS Index on Civil Society as a Self-Assessment Tool. Bukunya tentang bagaimana mencapai kemandirian dana (Towards Financial Self-reliance: A Handbook for Civil Society Organizations in the South, telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia) menjadi buku pedoman bagi banyak LSM. Dalam bukunya The Unit of Development is The Organization, Not the Project: Strategies and Structures for Sustaining the Work of Southern NGOs, yang menunjukkan keberpihakannya pada para aktivis LSM di Dunia Ketiga, ia mengecam para penyandang dana yang hanya mau mendanai proyek, bukan pelaksananya. Nono Anwar Makarim adalah salah seorang pendiri dan penasihat kantor konsultan hukum Makarim & Taira S. Ia juga turut mendirikan Yayasan Aksara, dan kini Ketua Badan Pelaksana yayasan tersebut. Tiga organisasi non-pemerintah yang juga turut didirikannya adalah Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), Yayasan Lingkungan Bambu, dan Lembaga Penelitian, Penerangan, dan Pendidikan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Gelar S.H. diperolehnya dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pada 1973 ia menjadi Fellow di Center for International Affairs, Universitas Harvard dan menulis naskah tentang dinamika hubungan antara penanam modal Asing dan Negara tuan rumah di sektor pertambangan tembaga. Master of Laws (1975) dan Doctor of Juridical Science (1978) didapatnya dari Harvard Law School. Ia melanjutkan studinya selama dua tahun sebagai sarjana tamu pada New York University School of Law. Ia pernah menjadi anggota DPR-GR, pemimpin redaksi Harian KAMI, direktur LP3ES, dan berpraktek sebagai penasihat hukum selama lebih dari 20 tahun. Beberapa bulan menjelang akhir perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay, ia ditunjuk sebagai penasihat hukum sekaligus anggota delegasi Indonesia, dan kemudian diangkat sebagai penasihat hukum Menteri Perindustrian & Perdagangan untuk urusan di World Trade Organization (WTO).
184
Index A Abeng, Tanri 114, 115, 121, 131, 144, 168 ABMP 126 ADB 38, 46, 47, 49, 58, 61, 68, 71, 73, 78, 79, 80, 83, 85-89, 101, 183 Affan, Wahab 98 Alamsjah 99, 115, 147 Alatas, Syed Hussein 94, 144 Amang, Beddu 109, 113 Aminuddin 98 Andersen, Arthur 96 Andojo, Adi 138 APBN 92 APEC 121 Arndt 113, 144 Asian Wall Street Journal 84, 89, 144 Aslam 98 Astra International. PT 105, 145, 165 AURI 98 Australia 26, 42, 112, 128 Aziz. Ghany 98
B Bakrie, Aburizal 109, 111, 117, 124, 125, 149 Bakrie, Achmad 147 Bakrie, Grup 124. 132 Bali, Bank 86, 89, 125, 131, 132, 148 Balongan 96, 125. 153 Bank Indonesia 132, 155, 163 Bapepam 138 Bapindo 120, 131, 156 Bappeda 51, 118 Bappenas 42, 51, 85, 118, 160 Bappepam 96 Baramuli, A. A. 131, 144 Bardhan. Pranab 23 Barito Pasific, PT 127 Barito. Grup 136 BBD 120 BBM 20, 136 BDN 120 BEJ 95, 135 Belanda, Hindia 92-94, 97, 140, 154 BII, Business Intemational Index 4, 5,14 Bimantara Citra, PT 165
185
Bina Graha 107
Ciputra 111, 124
BKPM 91
Citra Marga Nusaphala, PT 126, 127
BNI ’46 120, 166
CTC 155
Bogasari 125, 137
186
BPIS 118, 119, 165
D
BPK 8
Dakab 126
BPKP 8, 48, 49
Darusman, Marzuki 139
BPPC 96, 125
Dasaad, Agoes 98
BPPKA 153
Deloitte 96
BPPN 116, 127-129, 135, 139, 142
Dharmais 126, 127
BPPT 118, 119, 130
Dhannala, PT 125
BRI 120
DIP 51
Bruneigate 114, 125, 139
Djamin , Awaluddin 158
Budiadji 109
Djojohadikusumo, Soemitro 18
Bulog 96, 107, 108, 113, 125, 159, 162
DPRD 137, 138
Buloggate 109, 114, 125, 139
DPRGR 99, 100
Bursa Saham 95, 123, 127
DRI 13
Busang 109, 125
Duta, Bank 126, 127
C
E
Caltex 110
Edward, Soeryadjaya 130, 136
Candra Asli 129, 137
Ekuin 152
Cemex 167
EPC 172, 173
Cendana 106,117 CGI 41, 119, 143
Era Reformasi 96, 118, 130, 137, 140, 141, 143
Chandler 97, 145
Era Soeharto 59, 69, 105
Cilacap 110
Exxon 110
F
Hatta 107
FDI 14, 15, 29
Hipmi 111
Filipina 5, 26, 94, 125
Hong Kong 5, 16, 26, 79, 94
Fiorentini 25
Humardani, Soedjono 115
Freeport 96. 109, 110, 125
Huntington 2 Hutan 109, 125, 127
G Gapensi 52 Garuda Indonesian Airways 155 GCR 5 GDP 3, 8 Gelael, Ricardo 125 Ghalib, A.M. 126 Gie, Kwik Kian 137, 146 Gitasardjono. Sahid 111 Golden Key 131 Golkar 53, 128, 131, 145, 152, 153, 168 Granadi, PT 126 Guthrie 129
I ICOR 8. 22 ICRG 5, 6, 9, 10, 13, 26-28, 30 ICW 138, 139 Idris, Fahmi 111 IFC 125 Ifi, Bank 127 IGGI 119 IMF 163,166-168,177 Indocement 126, 127 Indofood, PT 125, 137, 167 Indorayon 105 Indosat, PT 149, 166 Inpres 53, 82
H
Intirub, PT 156, 165
Habibie, B.J. 95, 113, 118, 1 26, 128,130,131,132
IPTN 119, 130
Haji, Ibadah, Jamaah 114, 159
Ismail, Nur Machmudi 139
Ham, Oei Tiong 94, 95, 146
Irian Jaya 136, 156
Hartarto 66, 67, 85 Hasan, Bob 109, 125, 139
187
J
Klitgaard, Robert 1, 24
Jaksa Agung 126, 139
Koperasi 102, 112, 113, 115, 141
Jamsostek 109
Kopi 93, 125, 136
Jasa Marga, PT 168
KPKPN 134
Javasche, Bank 155
KPMG 96
JBIC 38-40, 78
Krakatau Steel 107, 162
Jepang 5,26,33,35,38-41,46,59,60, 78, 83, 93, 105, 106, 109, 113
Kroni 16, 78, 127, 153, 154, 176, 178 Kuncoro, Ari 13, 24
Jennan 5, 83, 91, 102, 103, 119 Johnson 2,3, 19, 21
L
Judicial Corruption 142
Latief, Abdul 109, 111, 125
Judicial Watch 86, 142
Leff, N.H. 2, 24
JWI 142
Lev, Daniel 36, 77, 78, 84, 86
K
Liong, Liem Soei 102, 105, 108, 111, 115, 159
Kabulog 109
Lippo 96, 124, 125,
Kadin 111, 112, 124
Lisensi 23, 97, 99, 100, 116
Kadolog 109
Lloyds 173
KAK 134
Lockheed 99
Kalla, Jusuf 112
LoI 77
Kalimantan 47, 109, 125, 136, 162, 173
Lopa. Baharuddin 139
Kamdani 111
LPEM 22
Karma, Mara 107, 108, 146
LSM 41, 47, 54, 59, 75, 182, 184
Kartasasmita, Ginandjar 65
LSPEU 124
Kaufmann, Daniel 23, 24
Lubis, Todung Mulya 142
Kejaksaan Agung 107, 126, 133, 138, 139
188
Kiani Kertas, PT 127
139
M
N
Madagaskar 27, 108
Nahdatul Ulama 116
Mafia 115
Nasdaq 95
Malaysia 5, 13, 14, 15, 17, 21, 27, 94, 98, 125, 129, 173
Nasution. A.H. 99, 100, 147
Mangkusubroto, Kuntoro 169
Natuna 153
Manimaren 131
Niaga, Bank 110
Manulife 125
Ning, Hasyim 98, 99, 105
Mapindo, PT 127
Nitisastro, Widjojo 160
Markam 98
Nitisemito 94, 147
McNamara. Robert 58
Nixon, Richard 106
Meksiko 5, 16, 27, 153, 167
Notohamiprodjo, Raden Mas 98
Miyazawa Plan 40
Nursalim, Sjamsul 111
MNC 109,110.117,142
Nusamba, PT 126, 127
Natour 155
Monopsoni 116, 117 MPR 137 MPRS 99, 100, 126
0
Muamalat, Bank 127
ODA 36-38, 42, 44, 45, 55, 58, 60, 63, 68, 76
Muangthai 94
Oligopoli 116, 117
Muda Dalam, Jusuf 99, 100
Opstib 104, 112
Muhaimin, Yahya 117 Muhammad, Fadel 112, 147
P
Muhammad, Mar’ie 147
Pabean 22. 91. 179
Mulder, Niels 103, 147
Patton 137
Muljomiseno, Rachmat 163
Pajak 2, 12, 14, 19, 20, 23, 53, 91, 92, 105, 106, 113, 125, 136, 137, 166
Munir, Rozy 168
PAL, PT 119 Pangestu, Prajogo 136
189
Panggabean 98
Rekayasa Industri, PT 169, 171-176
Pangkalpinang 171
Riyadi, Mochtar 111
Panigoro, Arifin 106, 111, 117
Robison, Richard 117, 148
PBB 79, 91, 95, 184
Rose-Ackerman, Susan 2, 19,24
PDB 10, 13, 14, 17,20,30
RRC 106, 111, 114
PDI Perjuangan 168
RSI, Summary of 64, 79, 80, 82, 88
Pefindo 179
Rukmana, Siti Hardiyanti 16
Peregrine 16
RWSS 47
Pertamina 96, 106-109, 125, 152, 153, 158, 159, 162-164, 179
S
Peter, Sondakh 124
Sadikin, Ali 116
Petrokimia 172, 173
Said, Omar 95, 129
PLN 83, 96, 168
Salim 108, 111
PMA 14, 15, 105, 109
Salim, Anthony 111
PN 98, 156, 157, 158, 168
Salim, Emil 18
PNB 10, 17,30
Sapuan 109
Prasetya Mulya, Grup 111, 112
Sarekat Dagang Islam 95
PriceWaterhouseCoopers 153
Sarikat Islam 95
Probosutedjo 115
SaIjadi, Sugeng 111
PIT 155
Sartono 92
Pupuk Iskandar Muda 173
Sastrosatomo, Soedarpo 98
Pupuk Sriwidjaja 173
Selandia Baru 15, 27, 29 Semen Gresik 155, 166, 167
190
R
Sempati Air, PT 126
Raja Kretek 94
SGS 179
Ramli, Rizal 67
Singapura 5, 6, 14, 15, 27, 29, 94, 95,128, 136, 153
Rasuna Said 123
Sinivasan, Marimutu 136
Tapos 96, 123, 125
Soeharto, Tommy 125, 139, 140
Telkom, PT 166, 167
Soejono C. Atmonegoro 126
Texmaco 105, 129, 131, 136
Soeryadjaya, William 105, 116, 145
TGPPK 138
Sofjar 115
Thahir, Ahmad 107
SPSI 124
Timor, mobnas 96, 125, 131, 137
Steady Safe 16
Tirtoadisoerjo, Raden Mas 95
Sudwikatmono 159
Tirtosudiro, Ahmad 115
Suhardiman 115
Tjandra, Djoko 131
Sukardi, Laksamana 168
TMII 102
Sultan Brunei 139
TNI 110, 119
Sumarlin, J.B. 113, 122, 131
TPI 96
Suparto, Heri 172-174
TPK 104
Surabaya 119, 138, 147, 155, 167
Trihatmodjo, Bambang 165
Suripto 139
Tuban 173
Sutowo, Ibnu 106, 107, 108, 159, 162
Tusin, Omar 98
Sutowo, Ponco 106 Syakir, Yusuf 134
U UKM 102, 112
T
Uruguay 27, 28, 121, 184
Tabrani 98
USAID 42, 79
Tahija, Julius 110
Usindo 145, 146, 155
Tambang Timah, PT 155, 162, 166, 168171,179
V
Tambunan, Bram 98
Van Rijckeghem, Caroline 19, 25
Tamin, Rahman 98
Vishny, Robert W. 25
Tanzil, Edy 131
VOC 93, 144, 145
191
W
Z
Wahid, Abdurrahman 95, 114, 132, 134, 139, 168
Zanzibar 108
Wall Street 95 Wall Street Journal, The 64, 84 Wanandi, Sofyan 111 Wardhana, Ali 113, 160 Waringin, CV 159 Washington Post, The 89 Washington Times, The 64, 84, 89 Washington, George 182 Weber, Max 129, 132, 149 Wei, Shang-Jin 24, 25 Wertheim 101 Widjaja, Eka Tjipta 111 Wilopo 107 Winata, Tommy 124 Wolfensohn, James 61 World, Bank 24, 25, 64, 79-85, 87, 88, 89, 181 WTO 121, 184 Y Yaman 28, 139 Young, Kenneth 96, 149
192
Zoido-Lobadon 2, 3, 21