MENCURI UANG RAKYAT 16 Kajian Korupsi di Indonesia Buku 2
Pesta Tentara, Hakim, Bankir, Pegawai Negeri Editor Hamid Basyaib Richard Holloway Nono Anwar Makarim
Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia Buku 1: Pesta Tentara, Hakim, Bankir, Pegawai Negeri Editor: Hamid Basyaib, Richard Holloway Nono Anwar Makarim Cetakan 1, Februari 2002 Diterbitkan oleh Yayasan Aksara untuk Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for Good Governance Reform) Desain sampul: Aksara, Dolorosa Sinaga (Patung)
Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia Editor: Hamid Basyaib, Richard Holloway, Nono Anwar Makarim -Jakarta: Aksara Foundation, Cet. 1, Februari 2002; 4 Jilid; 18 cm. Isi: 1. Dari Puncak sampai Dasar. 2. Pesta Tentara, Hakim, Bankir, Pegawai Negeri. 3. Bantuan Asing, Swasta, BUMN. 4. Mencari Paradigma Baru. ISBN ISBN ISBN ISBN ISBN
979-3093-00-5 979-3093-01-3 979-3093-02-1 979-3093-03-X 979-3093-04-8
(No. Jil. Lengkap) (Jilid 1) (Jilid 2) (Jilid 3) (Jilid 4)
1. Korupsi (Dalam Politik) II. Holloway, Richard.
I. Basyaib, Hamid. III. Makarim, Nono Anwar.
364.132 3
Buku ini terbit dalam bahasa Idonesia dan bahasa Inggris, Isi keduanya adalah sama, kecuali pada beberapa bagian yang telah disesuaikan dengan budaya lingkungan pembaca, idiom bahasa, dan gaya penyuntingan yang berbeda.
Pengantar
Buku 2 dalam seri empat buku Mencuri Uang Rakyat membawa kabar buruk bahwa hari ini mungkin lebih rusak dari kemarin. Riefqi Muna bilang bahwa meneliti korupsi saja sudah sulit karena semuanya bersifat serba rahasia, apalagi meneliti korupsi di kalangan TNI, lebih sulit lagi. Menurut Muna hal itu disebabkan karena mereka punya bedil, dan sang peneliti menjadi takut. Sang peneliti korupsi dalam tubuh tentara kita punya problem besar: Bagaimana prajurit bisa berfungsi sebagai penjamin keamanan bangsa kalau seluruh penghasilannya jauh tidak mencukupi kebutuhan hidup yang paling sederhana? Seorang sersan, dengan satu istri dan tiga orang anak, dan bermasa bakti 14 tahun, bergaji Rp 887.600 (termasuk uang saku). Keluarga harus dihidupi, dengan atau tanpa komandan. Dan bekerjalah si tentara sebagai penjaga malam, sebagai centeng nightclub, kafe, restoran, dan toko swalayan. Di mal-mal mereka berhambur, lima sampai enam ratus prajurit berkarya di situ sebagai penyelenggara keamanan. Semuanya cari makan tambahan; komandan tidak bisa melarang karena memang tidak bisa mencukupi. Sesekali terjadi bentrokan antara polisi dan TNI/AD, antara Brimob dan Marinir, antara oknum-oknum pasukan ini lawan oknum-oknum pasukan lain. Semuanya menyangkut “lahan”, perebutan ladang “garapan keamanan”, periuk nasi mereka. Apa yang bisa diharapkan dari mereka tentang profesionalisme angkatan perang, tentang disiplin prajurit, tentang jaminan keamanan bagi bangsa? Komandan tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan sulit bilang apa-apa. Riefqi Muna yang bilang bahwa dia cemas akan dampak itu pada fungsi pertahanan yang seharusnya mereka emban.
i
Suatu sumber kecemasan lain adalah ketidakseimbangan penghasilan di kalangan tentara sendiri. Kita tidak bicara tentang jenderal yang mondar-mandir naik mobil mewah dan mampu tinggal di Kebayoran Baru. Yang dicemaskan Riefqi Muna adalah seorang kolonel, dengan istri dan tiga anak dan telah berdinas 26 tahun, bergaji hanya Rp 1.815.800, sedangkan seorang brigadir jenderal, dengan jumlah anggota keluarga yang sama, dan masa dinas yang sama bergaji Rp 3.736.500. Hanya satu pangkat lebih tinggi, tapi bergaji lebih dari dua kali lipat. Bagaimana perasaan sang kolonel? Muna tidak terlalu khawatir bahwa anggaran belanja tentara kita jauh lebih kecil dari anggaran pertahanan negara tetangga yang jangkauan teritorial dan jumlah penduduknya jauh lebih kecil dari kita. Perbandingan itu tampak timpang karena anggaran TNI yang ditunjukkan hanya anggaran resmi yang merupakan bagian dari APBN kita. Anggaran yang tidak resmi, yang pada jaman Suharto disalurkan melalui Sekretariat Negara dan bersumber pada sejumlah besar yayasan, jauh lebih besar dari anggaran resmi. Sumber-sumber itu sama sekali lepas dari pengawasan keuangan negara. Muna tidak hanya bercemas-cemas. Ia juga merinci korupsi-korupsi yang spektakuler di kalangan TNI seperti pembelian tank yang harganya dua kali lipat dari harga tank yang sama yang dibeli tentara Thailand. Atau suatu dapur medan yang komplet dan sekarang menjadi berkarat karena tetap diimpor walaupun tidak diperlukan. Teknik-teknik korupsi yang digunakan sama saja seperti yang sudah meluas dikenal di kalangan pejabat non-militer. Yang mengkhawatirkan bagi Riefqi Muna adalah bahwa kelak, bila tentara semacam ini harus memilih antara bela negara atau melindungi bisnis, apa gerangan yang akan dipilih. Mardjono Reksodiputro sangsi apakah korupsi bisa ditekan jika tidak dimulai dari sektor hukum dan peradilan. Kita tahu bahwa polisi korup, bahwa jaksa korup, bahwa hakim korup, akan tetapi bila bidang-bidang yang korup itu dirangkai dan ditunjukkan bahwa korupsi telah menjalar di seluruh unsur penegakan hukum, perut kita mulas.
ii
Untuk setiap dokumen dan langkah ada tarif. Untuk proses verbal ada berbagai tarif, tergantung pasal apa yang mau dipasang, begitu pula untuk kunjungan tahanan,
tahanan luar atau tahanan dalam yang “istimewa”. Orang segan melaporkan kejahatan kepada polisi karena takut diperas. Pepatah “lapor ayam dicuri, kambing ikut hilang” sangat populer di kalangan rakyat lapisan bawah. Prosesnya harus diulang lagi pada tahap penuntutan oleh jaksa, dan pemerasan berlanjut terus. Begitu berkas perkara sampai di pengadilan, langsung panitera harus “dibujuk” agar perkaranya tidak dimasukkan ke bawah tumpukan di meja hakim atau, lebih buruk lagi, “disimpan” dulu karena “dibujuk” lebih besar oleh pihak lain. Pada tingkat polisi, pada tingkat jaksa, pada tingkat panitera, pada tingkat hakim, dan pada tingkat juru sita. Proses serupa harus dijalani, dan dibayar, pada tingkat banding, dan tingkat kasasi, bahkan mungkin pula pada tingkat pemeriksaan kembali. Mata rantai yang dironce oleh Mardjono tidak berhenti di situ. Ia bersayap ke kiri dan ke kanan. Para advokat turut main di medan peradilan sebagai juru bayar kliennya. Para notaris dan Pejabat Pembuat Akte Tanah, dan para hakim, semuanya wajib setor ke Departemen Kehakiman bila ingin ditempatkan di kota yang kegiatan bisnisnya ramai atau perkaranya banyak. Para konsultan hukum musti bayar bila pengesahan anggaran dasar PT-nya ingin cepat. Di mana diperlukan izin, di situ korupsi tumbuh subur. Ini mendorong Mardjono Reksodiputro untuk memperkenalkan istilah “paying for convenience” untuk membedakan korupsi sistemik yang kecil-kecilan dari skandal korupsi seperti Bank Bali, atau Badan Urusan Logistik. Membayar untuk menghindari antre berjam-jam di kantor imigrasi hanya untuk memperbarui paspor, membayar calo untuk SIM, atau KTP termasuk “paying for convenience” (membayar untuk menghindari kegiatan yang tidak menyenangkan). Yang disayangkan Mardjono adalah bahwa masyarakat dihebohkan hanya oleh korupsi yang spektakuler, tapi tidak memberi perhatian pada korupsi kecilkecilan namun sistemik. Mardjono meletakkan harapannya pada pendidikan hukum yang mendekat pada profesi hukum, penggantian aparatur yang bobrok secara berangsur dengan yang baru, dan peningkatan pengawasan untuk mulai memecahkan masalah korupsi.
iii
“Lain dulu, lain sekarang,” demikian Lin Che Wei ketika menggambarkan kekecewaan para investor pada keadaan dewasa ini. Menurut mereka, di bawah rezim Suharto keadaannya lebih jelas, dan hasilnya pun lebih pasti. Mereka bayar suap kepada pihak tertentu, lalu mendapatkan apa yang dikehendakinya. Sekarang, sudah bayar, hasilnya belum tentu tercapai. Menurut Lin, hilangnya kepercayaan publik pada dunia perbankan disebabkan karena hampir semua infrastruktur lunak di Indonesia lemah. Sistem hukum lemah, pers lemah, rekrutmen pegawai negeri dan pejabat serta manajemen dunia perbankan lemah, sistem gaji juga lemah. Semua itu ditopang oleh suatu budaya yang sangat toleran terhadap korupsi, bahkan lebih dari itu memuja pejabat yang korup dan memohon-mohon bagian dari harta hasil curian. Kehancuran dunia perbankan disebabkan oleh berbagai hal. Bank negara hancur karena terus dipaksa memberi kredit kepada proyek-proyek yang tidak layak seperti IPTN, Chandra Asri, Texmaco, atau Golden Key. Karena tingkat persaingan antar bank rendah sekali maka para manajernya lebih suka “rent seeking” ketimbang mengoperasikan banknya secara wajar dan sehat. Bank-bank yang sudah ambruk dan kini ditambah modalnya oleh pemerintah tampaknya akan mengulangi lagi kegagalan mereka karena dibiarkan terus di tangan manajemen para pemiliknya semula. Kurang jelas mengapa pemerintah, dalam hal ini Badan Penyehatan Perbankan Nasional, menyerahkan nasib bank-bank yang duitnya dihabiskan oleh manajemen pemilik lama. Duitnya ditambah, kemudian diserahkan lagi kepada mereka yang tadinya menghabiskan duit. Padahal, pasca rekapitalisasi, pemerintahlah pemegang saham terbesar, dan sudah sewajarnya menempatkan orang yang lebih cakap dan tepercaya pada posisi-posisi menajerial bank-bank tersebut. Latar belakang dan kinerja pejabat kredit, para direktur dan personel bank yang gagal bukan hanya tidak pernah diusut, mereka bahkan dipekerjakan di BPPN. Bank swasta nasional dalam pandangan Lin bukan institusi publik. Mereka hanya melayani kepentingan para pemegang sahamnya sendiri. Proyek-proyek para pemilik bank swasta tersebut biasanya yang megah-megah; tak lama kemudian semuanya ambruk.
iv
Anggapan bahwa kerusakan sektor perbankan Indonesia merupakan hasil krisis ekonomi dan keuangan yang melanda Indonesia sejak 1997 disangkal oleh Lin Che Wei. Kebobrokan sudah berlangsung sejak jaman Suharto, tapi tak kentara karena ditutupi selimut pertumbuhan ekonomi yang subur dan cepat. Kini, dengan munculnya krisis moneter, mulai tampak cacat-cacat yang tadinya tersembunyi. Namun demikian, kehancuran itu dilihat oleh Lin sebagai sesuatu yang positif. Bila sudah hancur baru bisa dilihat di mana saja yang perlu diperbaiki. Resepnya adalah restrukturisasi besarbesaran, rekapitalisasi, transparansi yang “kredibel”, dan pengawasan yang serius. Korupsi kecil-kecilan yang sistemik dan disebut “paying for convenience” oleh Mardjono Reksodiputro muncul dengan wajahnya yang buruk dalam makalah Donny Ardyanto tentang korupsi di sektor pelayanan publik. Ia memunculkan korupsi di perusahaan “public uitilities” seperti Perusahaan Air Minum dan Perusahaan Listrik Negara, dan dua kegiatan pelayanan publik lainnya, yaitu dalam perolehan SIM dan pemungutan pajak. Pola korupsi di PAM dan PLN hampir sama. Proses swastanisasi merupakan sumber yang amat basah untuk korupsi. Begitu pula dalam kegiatan tender, baik untuk proyek besar maupun untuk pengadaan material operasional. Pungutan liar di PLN dan PAM sudah dianggap lumrah, terutama dalam proses instalasi, dan manipulasi alat penghitung konsumsi air ataupun daya listrik. Dalam memperoleh SIM pola korupsi yang disebut sistemik tampak amat jelas: Percaloan, baik oleh polisi sendiri maupun melalui biro jasa dikendalikan oleh suatu pola bagi hasil ke bawah, ke atas, dan ke samping yang sudah melembaga. Pola ini didukung oleh seluruh jajaran Polri dan satelit-satelit usaha para calonya. Korupsi di PAM, PLN dan perolehan SIM bisa dikategorikan sebagai “convenience payments”. Jumlah suapnya memang tak terlalu besar, dan manfaat bagi yang membayarnya juga lumayan dan dapat dinikmati untuk jangka cukup panjang. Tidak demikian dengan pajak. Menurut Ardyanto, pemungutan upeti oleh pejabat pajak mengandung unsur pemerasan. Yang banyak dilakukan oleh para petugas pajak adalah memanfaatkan kekurangtahuan wajib pajak tentang kewajiban dan haknya, serta menakut-nakuti wajib pajak yang demikian itu guna memperoleh apa yang diingininya.
v
Orang takut menagih kembali kelebihan bayaran pajaknya karena diancam akan diaudit. Orang memilih “berdamai” ketimbang mengajukan keberatan atas penetapan pajak secara resmi. Prosesnya lama, hasilnya tidak pasti, dan sambil menanti putusan dari Badan Penyelesaian Sengketa Pajak jumlah tagihan pajak yang disengketakan harus dibayar dulu. Yang menarik dalam makalah Ardyanto adalah sinyalemen bahwa korupsi disebabkan oleh ketidakcocokan substansial antara sistem politik dan sistem ekonomi. Yang terjadi adalah tekanan saling berlawanan antara kapitalisme dan demokrasi. Untuk mengatasi ketegangan yang diciptakan oleh tekanan kontradiktor tersebut, dan sekaligus agar sistem yang ada tetap berjalan, maka para pemegang jabatan publik berkolusi dengan pelaku bisnis demi keuntungan bersama. Ditinjau dari sudut persepsi tersebut, dapat dimengerti mengapa sukses atau gagalnya upaya pemberantasan korupsi tergantung pada kuat atau lemahnya kemauan politik suatu pemerintah. ***** Enam belas tulisan dalam empat jilid buku tentang korupsi di Indonesia merupakan laporan hasil penelitian para penulisnya. Buku ini memuat hal-hal yang sudah lama diduga, tetapi tidak persis diketahui: Bagaimana mereka mencuri uang rakyat? Dari istana presiden sampai markas besar tentara, dari BUMN sampai ke Bappenas, dari proyek bantuan luar negeri sampai pengadilan, dari bank sampai ke partai politik, seluruh sektor-sektor itu diperiksa. Hasilnya adalah suatu gambar korupsi sistemik, yaitu kejahatan korupsi yang dilakukan secara melembaga dan terorganisasi, serta mencakup seluruh sektor politik dan ekonomi. Pejabat tinggi pemerintah bersekongkol dengan pengusaha swasta, birokrasi pemerintah pusat dan daerah, pejabat bea-cukai, dan aparat keamanan agar dapat mempertahankan dan mengembangkan praktek mencuri.
vi
Tema pokok yang muncul dari 16 studi ini adalah bahwa pemerintah harus diawasi, bahwa pengawasan tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah sendiri, dan bahwa pihak yang paling berhak melakukan pengawasan tersebut adalah para korban korupsi, yaitu kita semua, tanpa kecuali. Peringatan yang tersimpul dalam 16 laporan tersebut adalah bahwa berita tentang korupsi di koran atau televisi bukan sekadar mengabarkan
suatu kejahatan nun jauh di sana yang terjadi pada orang yang tiada hubungan apapun dengan diri kita. Berita-berita itu pada hakikatnya merupakan suatu pengumuman kepada khalayak ramai bangsa Indonesia bahwa sebentar lagi kita akan disodori rekening tagihan pengganti uang yang dicuri pejabat yang korup. Mencuri Uang Rakyat memperingatkan bahwa kebijakan tunggal tidak akan mampu menahan arus deras korupsi. Hanya membentuk komisi-komisi, satuan-satuan tugas, dan panitia-panitia pemantau anti-korupsi tidak akan berhasil. Bila tekanan politik cukup kuat, biasanya pemerintah berhasil menggembosi gerakan anti-korupsi dengan berpura-pura ingin melawan korupsi secara sungguh-sungguh. Pemerintah cepatcepat membentuk komisi dan satgas anti-korupsi. Pada 1997 pemerintah Kenya membentuk tidak kurang dari empat komisi antikorupsi dalam waktu satu tahun. Hasilnya nihil. Pada masa Suharto sebanyak lima komisi anti-korupsi dibentuk. Ketika melantik komisi yang kedua pada 1970 Suharto bahkan memproklamasikan tekad untuk memimpin sendiri perang melawan korupsi di Indonesia. Tolok ukur kesungguhan pemerintah Suharto melawan korupsi jelas tampak ketika Indonesia berhasil meraih posisi tertinggi di antara negara-negara yang paling korup di dunia. Satu hal lagi yang diingatkan 16 studi adalah bahwa menjebloskan koruptor ke dalam penjara saja juga tidak akan berhasil membendung arus korupsi. Memburu pejabat yang korup di negara yang sistem hukumnya relatif beroperasi secara lancar, tidak membawa hasil yang memuaskan. Pada 1980-an dan 1990-an banyak pejabat korup di India, Pakistan dan Bangladesh diseret ke pengadilan dan dijebloskan ke penjara. Beberapa bulan kemudian, pejabat yang menggantikan posisi pendahulunya yang meringkuk di penjara menjalankan praktek korupsi yang sama. Itu yang terjadi dalam sistem hukum yang relatif baik. Mengejar koruptor sebagai kebijakan tunggal dalam suatu sistem hukum yang sudah tidak berfungsi lagi seperti halnya di Indonesia akan mengakibatkan dua jenis pemburukan yang lebih parah lagi. Ia tidak akan membawa hasil apa-apa karena seorang koruptor per definisi mempunyai banyak uang untuk menyelewengkan proses hukum.
vii
Ia juga menghancurkan sisa-sisa kepercayaan masyarakat pada azas Negara Hukum Undang-Undang Dasar Indonesia, dan dengan itu juga pada persepsi kenegaraan Indonesia itu sendiri. Masyarakat ramai sudah lama bersaksi bagaimana seorang pejabat yang dituduh korupsi diperiksa, ditahan, diperas oleh pemeriksanya, kemudian dituntut, lalu dibebaskan oleh pengadilan. Penangkapan dan penahanan pejabat, baik mantan maupun yang masih menjabat, oleh aparatur penegak hukum sudah lama menjadi bahan lelucon umum. Seperti pada pertunjukan perwayangan, para penonton sudah tahu bagaimana cerita akan berkembang dan berakhir. Kebijakan penegakan hukum dan pembentukan komisi anti-korupsi dalam upaya melawan korupsi sistemik hanya akan berhasil bila digabung dalam satu paket kebijakan reformasi bersama kebijakan-kebijakan lain. Dalam paket kebijakan itu termasuk reformasi birokrasi, penciutan sektor publik, penjualan BUMN, dan peluncuran kampanye bersinambung untuk meningkatkan kesadaran bangsa akan pembusukan yang disebarkan KKN. Paket kebijakan tersebut memang terkesan “seram” dan “berat”, akan tetapi setelah diperiksa terbukti biasa-biasa saja, masuk akal dan praktis. Untuk reformasi birokrasi, misalnya, diperlukan serangkaian kriteria kemampuan yang harus dipenuhi setiap calon pegawai negeri. Cocok atau cakap tidaknya seseorang calon birokrat ditentukan oleh hasil suatu tes “fit and proper” yang diperiksa oleh suatu badan independen yang pengujinya diganti setiap tahun. Begitu pula untuk kenaikan pangkat. Bila mau dinaikkan pangkatnya, setiap pejabat harus menempuh ujian kecakapan dan kecocokan. Dalam program reformasi birokrasi juga termasuk penyadaran dan pendalaman jati diri birokrasi sebagai institusi pelayanan publik. Ini perlu terus-menerus diingatkan agar pegawai negeri dan pejabat negara dapat mengembalikan harkat dirinya yang sudah dirusak oleh pamor sebagai pencuri uang rakyat.
viii
Penegakan hukum, dan penghukuman mereka yang ditemukan melanggar hukum, bukan sekadar pembalasan sosial, melainkan bertujuan membangun kembali fondasi suatu moralitas dasar yang memberi petunjuk tentang apa yang halal dan apa yang haram, apa yang benar dan apa yang salah. Ini akan mengoreksi sikap masyarakat
selama ini yang memuja-muja pejabat pemerintah yang kaya, dan menggali kembali rasa malu bergaul dengan orang-orang yang hartanya diduga merupakan hasil korupsi. Penciutan sektor publik tidak berarti bahwa pemerintah yang mengabdi pada masyarakat menyerah pada kapitalisme yang rakus. Ia sekadar upaya memperkecil ruang gerak para koruptor dan, sering kali, bahkan meningkatkan pendapatan negara. Contoh kebijakan seperti itu misalnya tampak pada pengambilalihan fungsi pabean Indonesia oleh suatu perusahaan survai yang berpusat di Swiss. Pemasukan pemerintah meningkat, apa yang sedianya akan hilang dicuri berhasil diselamatkan. Begitu pula dengan penjualan BUMN. Protes-protes yang banyak terdengar terhadap kebijakan semacam ini biasanya dibalut perban nasionalistik. Dalam kenyataannya ia hanya merupakan kedok politik yang menyembunyikan rasa cemas kehilangan sumber emas untuk membiayai korupsi beberapa koruptor, dan membeli loyalitas politik. Semua itu hendaknya didukung oleh suatu kampanye berkesinambungan untuk memperlebar front nasional dan internasional guna terus-menerus menuntut agar pemerasan terhadap rakyat dihentikan. Tekanan dari luar selalu diperlukan oleh suatu struktur kekuasaan birokratik-patrimonial yang gandrung mempertahankan status-quo. Bila terancam, sistem semacam itu cenderung melakukan sabotase dengan berpurapura lumpuh, seperti yang kita saksikan sekarang; atau menggunakan kekerasan, seperti yang kita alami di masa lalu. Itu sebabnya mengapa tekanan dari dalam saja tidak cukup untuk mencapai perbaikan yang berarti. Suatu bagian penting dari kampanye semacam ini adalah menegaskan kepada setiap warga negara bahwa yang menjual bangsa bukan pemerintahan yang baik, melainkan korupsi. Mencuri itu jahat. Tidak peduli apakah pencurinya asing atau bangsa sendiri. ***** Mencuri Uang Rakyat diterbitkan oleh Kemitraan guna Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia (Kemitraan), yang bertujuan memajukan serta mendukung program reformasi tata pemerintahan. Kemitraan dikelola oleh suatu Badan Pengurus yang terdiri atas pejabat senior pemerintah, pengusaha swasta, dan beberapa warga
ix
negara Indonesia yang mempunyai pengertian jernih tentang makna dan tujuan tata pemerintahan yang baik. Bank Dunia (World Bank), Program Pembangunan PBB (UNDP), dan Bank Pembangunan Asia (ADB) turut sebagai pendiri dan sekaligus anggota. Buku ini merupakan persembahan kepada masyarakat Indonesia, suatu kumpulan laporan penelitian tentang bagaimana korupsi berlangsung, menyebar, dan menyandera seluruh jaringan sosial bangsa Indonesia. Buku ini juga bermaksud meyakinkan komunitas warga negara Indonesia yang sangat prihatin dan mendambakan reformasi bahwa di balik gunung kerja keras dan kerja cerdik masih ada harapan menyelamatkan bangsa. Gagasan tentang susunan karangan serta seleksi para sarjana yang diundang untuk menyajikan makalah penelitiannya berasal dari kalangan Kemitraan. Dalam hal ini penghargaan perlu disampaikan kepada dua orang, yaitu Richard Holloway, salah seorang editor buku ini, dan Merly Khouw, seorang konsultan Kemitraan. Holloway tanpa jemu mengejar-ngejar para penulis, para penerjemah, para pencetak, dan dua rekan editornya. Kelambatan terbitnya buku ini tak dapat dipersalahkan padanya. Tanpa Holloway penerbitan buku ini akan kekurangan energi dan usul yang terkesan pada setiap gerak dan katanya. Merly Khouw telah sangat mendorong kerincian dan kerapian rumusan kata dan kalimat hasil karya para editor. Ketelitian dan kecermatan Khouw sangat membantu dalam upaya mencapai tingkat akurasi naskah yang semaksimal mungkin. Terima kasih kami juga tertuju kepada Ratih Hardjono-Falaakh. Pertemuan simbiotik antara Kemitraan dan Yayasan Aksara tak akan terjadi tanpa perantaraannya yang amat berharga. Beberapa makalah dalam buku ini pada awalnya ditulis dalam bahasa Inggris sehingga perlu diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Para editor sangat menghargai jasa para penerjemah yang menyadari bahwa mengalihbahasakan suatu naskah bukan pekerjaan mesin yang mengkonversi kata demi kata ke bahasa lain. Masing-masing bahasa memiliki sintaks dan idiomnya sendiri, yang bila diterjemahkan secara harfiah akan menghasilkan konstruksi kalimat dan makna yang kocak.
x
Gambar kulit muka buku merupakan reproduksi foto karya salah seorang pematung Indonesia terkemuka, Dolorosa Sinaga. Dengan spontanitas dan kemurah-
hatiannya yang hangat ia mengizinkan para editor meminjam ciptaannya untuk melambangkan rakyat Indonesia sebagai korban yang tiada jemunya menanti hari esok yang lebih baik. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada Khateeb Sarwar Lateef, Penasehat Senior Bank Dunia, dan Sri Urip, Direktur Eksekutif Kemitraan yang senantiasa menyediakan waktu setiap saat untuk konsultasi, dan untuk petunjukpetunjuk mereka yang arif dan bijaksana. Isi buku ini paling tidak aktual sampai bulan April 2001. Namun demikian, ditinjau dari kesungguh-sungguhan penegak hukum dalam menindak koruptor dan semakin ganasnya korupsi berlangsung, buku ini akan tetap aktual untuk waktu yang tidak ditetapkan. Enam belas karangan yang terhimpun dalam buku ini sepenuhnya merupakan hasil karya dan tanggung jawab para penulisnya. Baik Kemitraan, para anggota Badan Pengurusnya, organisasi ataupun pemerintah yang diwakilinya, atau organisasi mereka yang lain dan terafiliasi atau para kontraktornya, tidak bertanggung jawab atas akurasi fakta dan data dalam penerbitan ini, atau dampak apapun yang mungkin diakibatkan oleh penggunaannya. Teknik penyuntingan, perumusan dan tata rias buku diserahkan kepada Aksara , suatu yayasan penelitian yang berkegiatan di bidang pendidikan melalui kolokia berkala dalam lingkungan terbatas, dan penerbitan. Tugas Aksara adalah menyajikan hasil akhir perumusan makalah yang ringkas, sederhana, dan jernih agar dapat mencapai lingkaran pembaca seluas mungkin. Nono Anwar Makarim Jakarta, Januari 2002
xi
Daftar Isi Pengantar Oleh Nono Anwar Makarim Daftar Isi
i xiii
Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru Oleh M Rifqi Muna
1
Pendahuluan Penjelasan tentang Korupsi “Ekonomi Prajurit” Citra Korupsi Bisnis Militer dan Korupsi TNI dan Bisnis Anggaran Belanja Militer Anggaran Resmi Anggaran Tidak Resmi Modus Operandi Kesimpulan Rekomendasi Catatan
1 3 4 6 7 8 12 13 13 15 19 21 22
xiii
Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru Oleh M Rifqi Muna Pendahuluan Penegakan Hukum Korupsi dan Beberapa Masalah Teoritis Sifat dan Lingkup Masalah Beberapa Contoh Korupsi Rekomendasi Kesimpulan Catatan Kepustakaan Korupsi di Sektor Perbankan Oleh M Rifqi Muna Pendahuluan Dampak Korupsi pada Sektor Perbankan Penyebab-penyebab Korupsi Sifat dan Lingkup Masalah Diskusi dan Analisis Siapa yang Harus Dipersalahkan? Korupsi dan Transparansi Cara Mengukur Transparansi Bank Apa yang Harus Dilakukan Kesimpulan Kepustakaan
xiv
25
25 27 29 32 44 46 46 52 53
53 54 57 59 62 72 72 77 79 84 86
Korupsi di Sektor Pelayanan Publik Oleh Dony Ardyanto Pendahuluan Masalah Pemahaman Ekonmi-Politik Pengelolaan SIM dan Kultur Birokratis - Militer Korupsi di Sektor Pajak Pola Korupsi di PLN dan PAM Jaya Kesimpulan dan Rekomendasi Catatan Kepustakaan
87 87 88 89 100 104 107 114 119 121
Tentang Penulis
127
Tentang Editor
129
Indeks
131
xv
Korupsi di tubuh Tentara Nasional Indonesia Oleh M. Riefqi Muna
Pendahuluan Perhatian masyarakat pada korupsi dalam tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI)1 timbul sejak munculnya slogan anti KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Perlawanan terhadap korupsi banyak dibicarakan, tapi sedikit dilaksanakan. Ini disebabkan masih lemahnya komitmen untuk menegakkan hukum. Upaya memerangi korupsi gagal dalam proses penuntutan. Para koruptor yang dituntut di pengadilan biasanya dinyatakan bebas. Mereka lolos tanpa hukuman yang layak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi di tubuh TNI telah mencapai tahap kronis, walaupun belum ada orang yang dapat mengungkapkannya. Dalam menelaah masalah korupsi TNI perlu diingat bahwa ia tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan gejala korupsi yang lebih luas di Indonesia. Korupsi dipraktekkan secara luas, baik di lingkungan departemen dan badan pemerintah maupun dalam proyek-proyek swasta yang terkait dengan pemerintah. Korupsi dalam angkatan bersenjata penting untuk dibicarakan karena ia bersangkutan dengan kekuasaan dan pelaksanaan fungsi militer. Doktrin dwifungsi angkatan bersenjata Indonesia yang diterapkan di masa Orde Baru memberi legitimasi kepada tentara untuk melaksanakan kebijakan kekerasannya tidak hanya di bidang militer, melainkan
1
juga di bidang sosial, politik dan, tidak jarang, di bidang ekonomi. Doktrin dwifungsi dalam pelaksanaannya didukung oleh struktur Komando Teritorial (Koter) militer. 2 Kombinasi antara doktrin dan struktur kekuasaan ini telah digunakan secara luas oleh oknum-oknum militer sebagai ruang praktek korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Permasalahan Penelitian atas korupsi di mana pun menghadapi banyak kesulitan karena perbuatan tersebut selalu terbungkus dalam kerahasiaan. Meneliti korupsi di kalangan angkatan bersenjata lebih sulit lagi, karena hambatan yang sudah ada ditambah dengan satu lagi rintangan: peneliti harus berhadapan dengan orang dan institusi yang diberi kewenangan untuk menggunakan senjata. Militer mempunyai kewenangan yang sah untuk menggunakan kekerasan (dan senjata) dan telah terlatih secara profesional untuk tujuan tersebut. Penelitian tentang korupsi ini tidak bersandar pada metodologi tertentu. Laporan investigatif yang menjelajahi korupsi dalam angkatan bersenjata secara terinci juga sulit dilakukan. Yang digunakan di sini adalah bahan-bahan yang dapat diakses oleh masyarakat. Masalah dalam meneliti korupsi mirip dengan sifat kerahasiaan dari korupsi itu sendiri, bahkan lebih rahasia lagi manakala berhadapan dengan pihak militer. Oleh karena itu penelitian ini merupakan hasil riset kepustakaan yang didukung oleh sejumlah wawancara. Masalah korupsi dalam tubuh militer tidak hanya berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri, melainkan juga menyangkut pertanggungjawaban pengguna bedil kepada pihak “tuna bedil”, atau kaum sipil.
2
Pada umumnya, korupsi membuat hubungan birokrasi dengan masyarakat tidak lagi didasarkan pada pelayanan, melainkan eksploitasi. Ia juga mengurangi kepercayaan masyarakat pada birokrasi dan aparat pemerintah. Ditambah dengan pengetahuan umum bahwa sebagian besar pegawai negeri harus membayar atau memiliki koneksi agar dapat bekerja di berbagai departemen, maka cukuplah alasan untuk membuat masyarakat luas bersikap skeptis akan itikad program pemerintah.
Di kalangan militer pemberian suap dan pemerasan tidak hanya dilakukan dalam pelayanan umum di bidang keamanan dan pertahanan, namun juga dalam seleksi dan pelatihan angkatan bersenjata. Penjelasan tentang Korupsi Korupsi mungkin kejahatan tertua dalam sejarah manusia. Walaupun ada beberapa jenis korupsi lain yang bersifat lebih merusak dibanding suap menyuap,3 perbincangan tentang korupsi biasanya terfokus hanya pada kegiatan sogok-menyogok. Begitu pula dengan definisi tentang korupsi. Meski ada berbagai definisi, tapi pada umumnya korupsi dikaitkan dengan tindakan yang merugikan kepentingan umum atau masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.4 Inisiatif memerangi korupsi secara terpadu sering kali diambil sebagai reaksi terhadap krisis ekonomi seperti yang melanda Indonesia dan Rusia menjelang akhir dasawarsa 1990-an. Kapitalisme yang korup biasanya mengalihkan sumber yang wajar bagi perusahaan yang sehat ke perusahaan yang berkoneksi.5
Strategi anti-korupsi yang paling berhasil bersifat komprehensif,yaitu melaksanakan tiga jurus terpadu.
Literatur baru mengenai korupsi memusatkan perhatian pada tiga masalah pokok dalam kampanye melawan korupsi. Pertama, membahas mengapa para pembuat kebijakan, pemimpin kegiatan usaha, dan warga negara harus memberi perhatian pada gejala dan pemberantasan korupsi. Kedua, menyangkut persoalan bagaimana dan kapan kekuatan politis, sosial dan ekonomi hendaknya mendukung upaya mengurangi korupsi. Fokus masalah ketiga adalah pada jenis kebijakan yang dapat melawan korupsi secara efektif. Ada tiga jurus perbaikan yang dapat digunakan sebagai instrumen anti-korupsi yang efektif: (1) mengubah kebijakan yang memberi kesempatan bagi korupsi politis; (2) memperbaiki struktur insentif yang berlaku dalam lembaga administratif dan politis; (3) memperbaiki institusi hukum untuk memperkuat ketentuan dan penegakan hukum. Selain itu, strategi anti-korupsi yang paling berhasil bersifat komprehensif, yaitu melaksanakan tiga jurus upaya perbaikan tersebut secara terpadu. Selama ini korupsi
3
dianggap semata-mata sebagai masalah dalam negeri yang pemecahannya diserahkan sepenuhnya kepada rezim-rezim yang berkuasa di negeri yang bersangkutan. Baru sekarang korupsi diangkat menjadi bagian dari keprihatinan internasional. Kampanye perdagangan bebas yang dikumandangkan oleh negara-negara kaya untuk pertama kalinya menciptakan suatu kampanye anti-korupsi secara global.6 Pengurangan korupsi di satu negeri merupakan pelancar perdagangan bebas, memperbesar penghematan dan laba perusahaan multinasional. Dalam masalah korupsi, Indonesia merupakan salah satu negara yang memperoleh perhatian utama dunia. Menurut majalah berita The Economist, sebuah memo dari Bank Dunia mengungkapkan bahwa mungkin 20%-30% dari pinjaman Bank Dunia kepada Indonesia telah masuk ke dalam saku para pejabat setempat dan konco-konco mereka.7 Pada Oktober 2000 Bank Dunia menengarai bahwa di Indonesia, “meskipun tampak patuh secara nyata pada panduan dan persyaratan dokumen Bank Dunia dalam hal pemasukan, pengeluaran, pengawasan dan pemeriksaan, namun masih saja terdapat kebocoran dana yang cukup besar.” Tampaknya antara upaya dan hasil masih terus terbentang jurang yang lebar. “Ekonomi Prajurit” Sebelum membahas korupsi di angkatan bersenjata, ada baiknya dibicarakan dulu kondisi sosial ekonomi para petugas yang diduga melakukan korupsi. Salah satu alasan korupsi adalah fakta amat rendahnya gaji prajurit. Bagaimana prajurit bisa hidup dari gaji minim tersebut? Sebagaimana halnya para jenderal yang terampil dalam menemukan sumber-sumber rejeki tambahan, para prajurit pun terpaksa mencari sumber nafkah alternatif guna bertahan hidup. Skala gaji resmi angkatan bersenjata Indonesia tercantum dalam Tabel 1.
4
Departemen Pertahanan, Indonesia, Angka-angka tertanggal Agustus 2000, sebagaimana dikutip dalam Leslie McCullach, “Tri Fungsi: Peranan Militer Indonesia Dalam Kegiatan Usaha (Tri Function: The Role of the Indonesian Military in Business)”, makalah dalam Konferensi Internasional Mengenai Prajurit dalam Kegiatan Usaha, IPCOS —BICC, Jakarta 17-19 Oktober 2000.
Tabel 1. Contoh Upah Prajurit Jabatan Brigadir Jenderal Kolonel Letnan Kolonel Mayor Kapten Letnan Satu Letnan Dua Sersan Sersan Satu Sersan Satu Sersan Dua
Tahun Masa Bakti
Tanggungan
Jumlah Keseluruhan (termasuk Uang Saku) RP
26 26 26 16 10 ? 9 14 4 14 4
3 anak + istri 3 anak + istri 3 anak + istri 3 anak + istri 2 anak + istri 2 anak + istri 0 anak + istri 3 anak + istri 0 2 anak + istri 0
3.736.500 1.815.800 1.435.900 1.276.500 1.097.600 1.080.800 983.900 887.600 757.800 877.800 725.000
Dari daftar gaji tersebut jelas tampak betapa tak mencukupinya imbalan seorang prajurit untuk hidup sebulan. Nasib pegawai negeri sipil sama saja. Mereka sudah terbiasa hidup dalam apa yang disebut “ekonomi defisit”. Akan tetapi, mengapa mereka mau tetap bekerja di sektor pemerintahan dan pertahanan bila upahnya begitu kecil? Jawabannya adalah bahwa betapapun rendahnya gaji mereka, selalu ada peluang mendapatkan tambahan dari sumber-sumber lain. Sungguh langka pegawai negeri yang tidak melakukan kegiatan di luar kegiatan dinasnya untuk mendapat nafkah tambahan. Hal yang sama berlaku juga bagi tentara. Gaji kecil dianggap sebagai pendorong korupsi di kalangan pemerintah dan angkatan bersenjata. Berlawanan dengan pandangan umum tersebut, hasil penelitian menunjukkan bahwa gaji kecil tidak mendorong orang untuk korupsi; begitu pula gaji besar tidak mengurangi nafsu memperkaya diri dengan cara menyalahgunakan kekuasaan jabatan.
5
Terdapat sejumlah bukti bahwa korupsi dipraktekkan oleh mereka yang keadaannya sangat berkecukupan. Citra Korupsi Sebagai akibat kerja “ekstra” pegawai negeri dan tentara, ekonomi masyarakat Indonesia terbagi dalam dua sektor: Sektor resmi menyangkut upah resmi pegawai negeri sipil dan anggota angkatan bersenjata, sedangkan sektor tak resmi mencakup sabetan di luar jabatan. Istilah “upah” digunakan untuk gaji resmi, sedangkan “penghasilan” terdiri atas “gaji resmi” ditambah dengan apa yang diperoleh dari sumber lain. Penjelasan ini penting karena berkaitan dengan pandangan masyarakat terhadap status pejabat sipil maupun militer. Di kalangan masyarakat kemudian timbul ungkapanungkapan sinis seperti “Gaji sih kecil, sabetannya yang besar”. Istilah sabetan terkait dengan jenis kedudukan. Ada kedudukan yang “basah”, yaitu jabatan yang potensi hasil uang tambahannya besar, dan ada posisi yang “kering”. Masyarakat tampak toleran saja terhadap gaya hidup mewah para petugas yang kedudukan resminya tidak bergengsi. Dalam corak kegiatan ekonomi seperti ini sudah biasa tampak serangkaian aspek yang menarik. Banyak perwira TNI yang gaji resmi menurut pangkatnya tidak sesuai dengan gaya hidupnya sehari-hari. Banyak pula prajurit yang bergaji sangat kecil tapi memiliki banyak mobil dan rumah mewah. Tapi masih saja terdengar retorika keluhan perwira tinggi, yang keadaannya tampak sangat berkecukupan, bahwa banyak prajurit berpangkat tinggi (jenderal) yang upahnya rendah, dan bahwa anggaran militer Indonesia merupakan yang terkecil di Asia Tenggara. Yang amat mencemaskan adalah mencoloknya gaya hidup mewah para perwira tinggi di samping prajurit yang sulit mencari makan dua kali sehari.
6
Gambaran pola ekonomi ganda ini menunjukkan suatu misalokasi manfaat yang diperoleh dari perusahaan-perusahaan yang dimiliki atau berafiliasi dengan sektor militer. Rejeki yang secara eksesif masuk ke saku beberapa perwira tinggi itu bila
didistribusikan secara adil pada prajurit yang miskin akan mencegah serdadu turun derajat menjadi satpam, pengawal konglomerat, centeng dan penagih utang.
Tabel 2. Dugaan Korupsi Dalam Angkatan Bersenjata8 Pertanyaan: Apakah terdapat korupsi dalam yayasan yang dimiliki Kostrad? (22-29 September 2000)
Hasil pengumpulan pendapat dalam Tabel Jawaban Jumlah Responden 2 menunjukkan bahwa anggapan masyarakat tentang korupsi di Komando Strategis Angkatan Ya 613 Darat (Kostrad) sangat tinggi, meski proses Tidak 13 penyelidikannya masih terus berlangsung. Tidak Tahu 17 Sayangnya, masyarakat dikecewakan ketika Inspektur Jenderal Pemeriksaan Departemen Total 643 Pertahanan menyampaikan laporan bahwa yang terjadi bukanlah korupsi, melainkan “penyimpangan prosedur”. Laporan tersebut sangat merusak citra angkatan bersenjata, dan memperkuat kepercayaan orang bahwa upaya untuk memerangi korupsi di tubuh militer masih menghadapi banyak hambatan.
Persentase 95,3% 2,0% 2,6% 100%
Bisnis Militer dan Korupsi Tampaknya korupsi di kalangan militer bertalian erat dengan kegiatan bisnis mereka. Bisnis militer biasanya tumbuh subur di bawah rezim otoriter di negara-negara berkembang. Di Cina, kegiatan bisnis PLA (People’s Liberation Army/Tentara Pembebasan Rakyat) berkembang dari 200 perusahaan pada 1982 menjadi kurang lebih 15.000 perusahaan pada 1997.9 Penelitian lain menunjukkan bahwa antara 1978 dan 1998, PLA mengalami transformasi yang dramatis. Mereka mengubah dan memperluas ekonomi internal militernya menjadi produksi sipil yang berorientasi pasar. PLA telah menjadi salah satu pelaku ekonomi terpenting di Cina, dan mengendalikan kerajaan bisnis yang bernilai miliaran dolar, dari bidang pertanian hingga hotel-hotel berkelas dunia dan perusahaan-perusahaan transnasional. Peleburan kepentingan militer dan komersial ini, dikenal dengan istilah “PLA, Inc.,” telah menciptakan bentuk organisasi baru yang disebut “kompleks bisnismiliter” oleh seorang penulis.10
7
Di Nigeria, kolusi antara militer dan industri minyak telah lama terjalin. Pada 1 Juni 1999 tampuk pimpinan negara tersebut jatuh kembali ke tangan sipil. Diktator militer yang korup telah meninggalkan negara yang seharusnya menjadi negara terkaya di Afrika. Dengan cadangan minyaknya yang amat besar, tak kurang dari 30% penghasilan negara digunakan setiap tahun untuk membayar utang luar negeri sebesar lebih dari US$ 30 miliar. Di bawah diktator tersebut, perusahaan minyak nasional Nigeria yang dijalankan oleh pemerintah militer, dibantu lima perusahaan multinasional — Shell, AGIP, Elf Aquitaine, Chevron dan Mobil Oil — menguasai seluruh sumber alam negara. Shell, khususnya, telah dikecam keras oleh pejuang lingkungan hidup internasional atas praktek buruknya di Delta Ogoni yang dilakukan di bawah perlindungan militer Nigeria. Human Rights Watch telah mengimbau pemerintah Nigeria untuk menerapkan peraturan yang wajib dipatuhi oleh semua perusahaan minyak TNI juga terlibat dalam internasional, dengan tujuan agar dukungan militer pada kegiatan bisnis untuk kegiatan perusahaan swasta dan negara menjadi lebih menambah anggaran militer transparan.
yang tidak mencukupi.
Myanmar merupakan contoh bagaimana militer mengendalikan secara ketat seluruh kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Junta di Yangoon tak terkendalikan lagi, dan kegiatan bisnis militer diketahui terkait dengan bisnis narkotika. Sebagai negara yang terletak di Segitiga Emas opium dan heroin, kaitan ini tak mengherankan. TNI dan Bisnis
8
Seperti rekan-rekan mereka di Cina, Thailand dan Vietnam, TNI juga terlibat dalam kegiatan bisnis untuk menambah anggaran resmi militer yang tidak mencukupi. Sayangnya, keuntungan dari kegiatan bisnis militer kurang digunakan untuk membiayai proyek perumahan prajurit atau mendukung peran dwifungsi militer dalam meningkatkan keamanan nasional dan stabilitas sosial-politik. Para reformis, baik yang berada di dalam maupun di luar lingkungan militer, berpendapat bahwa kegiatan bisnis tersebut justru
merangsang praktek korupsi dan melanggar sumpah prajurit. “Dan kesenjangan antara mereka yang kaya [para perwira] dan yang miskin [prajurit] telah menimbulkan masalah.” 11 Kalau militer mengundurkan diri dari kegiatan bisnis, maka berbagai peluang akan terbuka bagi sektor swasta. Dewasa ini tentara terlibat hampir dalam setiap bidang bisnis. TNI mempunyai sebuah yayasan yang memiliki lebih dari 64 perusahaan, termasuk sebagian dari Central Business District Sudirman di Jakarta. Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Polri, sebagaimana Kostrad dan Kopassus, memiliki kerajaan bisnisnya masing-masing. Secara keseluruhan, kekayaan perusahaan militer di Indonesia diperkirakan melebihi US$ 8 miliar. Ini belum termasuk ribuan koperasi penyalur di seluruh negeri dan jasa keamanan serta penagihan utang yang merentang dari warung kecil hingga perusahaan-perusahaan besar. Masih ada pula penugasan tak resmi, misalnya tentara yang bertindak sebagai pelindung pribadi dan “beking” perusahaan. Pengaruh militer menjangkau hingga dewan perseroan yang kebanyakan dimiliki oleh etnis Cina, yang menyerap para jenderal pensiunan maupun yang masih aktif dan para perwira tinggi lainnya. Di masa lalu, badan usaha milik negara seperti Pertamina dijalankan oleh para mantan militer, di antaranya yang paling terkenal adalah Ibnu Sutowo, teman Soeharto yang dengan tenangnya hengkang d a r i Pe r t a m i n a s e t e l a h s k a n d a l k o r u p s i n y a s e n i l a i U S $ 1 0 m i l i a r n y a r i s menenggelamkan perusahaan tersebut. Ibnu Sutowo kemudian mengembangkan Nugra Sentana, konglomerasi pribadinya. Hubungan ABRI dan bisnis sudah lama menjadi rahasia umum. Namun demikian, baru setelah seruan reformasi menggema di media, perguruan tinggi dan sektorsektor masyarakat lainnya tingkat keterkaitannya digali. Pada September 1998, sebuah tim peneliti dari Pusat Penelitian Wilayah di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPW-LIPI) menerbitkan buku mengenai militer dan kegiatan bisnis. Para peneliti memusatkan perhatian pada sejumlah yayasan yang bebas-pajak dan sulit dipantau oleh insta nsi pemerintah. Salah satu yang terbesar adalah Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP) milik TNI Angkatan Darat (AD), yang didirikan pada 1972 oleh Kepala Staf Angkatan Darat
9
Jenderal Umar Wirahadikusumah. Tujuan yayasan tersebut adalah untuk memberi bantuan kepada prajurit dan keluarganya. YKEP telah mendirikan 13.700 rumah dan sejumlah sekolah, termasuk Universitas Ahmad Yani di Bandung. Yayasan tersebut memberi beasiswa sekolah menengah atas dan perguruan tinggi kepada anak-anak prajurit dan para veteran, serta tunjangan kepada pasukan pada perayaan Natal dan Lebaran. Mereka juga mengoperasikan sejumlah klinik kesehatan dan rumah sakit. Pada 1990-an, YKEP diperkirakan telah mengeluarkan US$ 11.5 juta untuk “kesejahteraan tentara.” 12 Korupsi dan Pertahanan Nasional Kemampuan pertahanan, salah satu elemen kekuatan nasional, menentukan keamanan bangsa. Militer dalam melaksanakan fungsinya sebagai penyelenggara pertahanan dan keamanan bangsa tidak hanya bersandar pada kecanggihan sistem persenjataan. Bukan semata-mata bedilnya yang menentukan. Peran orang yang memegang bedil pun sangat vital. Sumber daya manusia suatu organisasi militer yang keampuhannya diuji oleh efektifitas garis komando sangat tergantung pada kualitas pemimpinnya, baik dalam segi moral maupun kemahiran profesionalnya. Kemampuan pertahanan negara terdiri atas penilaian mutu personel berdasarkan patokan disiplin, pelatihan, moral, kepemimpinan dan juga kesiagaan. 13 Korupsi menghancurkan moral dan disiplin tentara di semua tingkat. Semakin korup suatu angkatan bersenjata, makin berkurang kemampuannya melaksanakan tugas. Korupsi menghancurkan patriotisme. Korupsi membuat tentara lebih mementingkan harta ketimbang tekad patriotik mereka untuk mempertahankan bangsa dan negara. Ketika patriotisme menjadi masalah, maka pertahanan negara pun terancam.
10
Keamanan nasional terdiri atas dua komponen, yaitu yang berwujud dan yang tidak berwujud. Kedua komponen ini merupakan aset nasional. Dalam aset berwujud termasuk kondisi geografis, sumber daya alam, sumber daya manusia, sistem pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kemampuan ekonomi dan kemampuan
pertahanan. Sementara aset tidak berwujud terdiri atas sistem politik, sistem sosial ekonomi, ideologi, dan kualitas pemimpin serta karakter bangsa. Kedua aset kekuatan nasional ini sangat menentukan semangat rakyat dan para prajurit dalam pembangunan pertahanan nasional. Secara teoretis, suatu angkatan perang harus didukung oleh semangat tinggi dan patriotisme yang kokoh. Militer berbeda dengan komunitas sipil karena kekhususannya dalam pelatihan dan tugas yang dilaksanakan dengan menggunakan senjata. Karena pemerintah dan rakyat bersandar pada militer sebagai pelindungnya, maka militer dibebani persyaratan yang tinggi dalam aspek profesionalisme dan tanggung jawabnya. Pr o f e s i o n a l i s m e d a n t a n g g u n g j a w a b i t u l a h y a n g dipercayakan rakyat pada pihak militer. Maka kini timbul Semakin korup suatu pertanyaan: Bagaimana rakyat dapat mempercayakan angkatan bersenjata, makin pertahanan dan keamanan bangsa kepada pihak militer bila mereka korup? berkurang kemampuannya Rasa bersalah karena melakukan korupsi juga melaksanakan merupakan ciri sikap bermoral. Berbagai bentuk korupsi seperti suap dan pemerasan pada dasarnya merupakan perbuatan mencuri. Praktek korupsi yang meluas di setiap tingkat birokrasi pemerintahan ditanggapi oleh masyarakat dengan sikap yang serba toleran. Kesalahan macam apa yang telah terjadi dalam masyarakat yang sedemikian toleran itu? Dampak korupsi pada jalannya pemerintahan sangat berat, baik ditinjau dari aspek dalam negeri maupun secara internasional, karena keterkaitannya dengan citra dan pengelolaan negara sehari-hari. Korupsi tidak hanya menyebabkan inefisiensi, tapi juga menciptakan budaya eksploitasi dan, yang terpenting, merusak struktur sosial harga diri manusia dan hilangnya kepercayaan. Dampak internasional yang dihasilkan oleh korupsi di Indonesia adalah citra sebagai salah satu negara yang paling korup di dunia, sebagaimana diungkap oleh studi Transparency International. Citra buruk tersebut melemahkan Indonesia dan berdampak negatif pada pemulihan ekonomi dan penanaman modal asing.
tugas.
11
Penyalahgunaan Kekuasaan & Korupsi Selama pemerintahan Orde Baru, akumulasi kekuasaan di tangan Presiden Soeharto dan elit di sekelilingnya sangat menonjol. Keluarga Soeharto melaksanakan KKN secara intensif dalam kegiatan bisnis mereka. Banyak bisnis milik keluarga Cendana diperoleh melalui proses yang curang. Mereka memanfaatkan keterkaitannya dengan kekuasaan dengan pendekatan stick and carrot (hukuman dan imbalan). Tidak mengherankan bahwa bisnis keluarga Soeharto telah pula menancapkan kukunya ke dalam tubuh angkatan bersenjata. Kekuasaan tersebut tidak hanya digunakan untuk tujuan politis namun juga buat meraup keuntungan. Kinerja Orde Baru sangat eksploitatif. Kekuasaan digunakan untuk mendukung kepentingan elit yang berada dalam lingkungan kecil yang memiliki koneksi terdekat dengan pemegang kekuasaan. Hal tersebut telah membudaya dalam praktek politik dan bisnis di Indonesia. Kekuasaan menentukan keberhasilan dalam memenangkan kontrak di kalangan angkatan bersenjata. Barangsiapa berkuasa dapat menentukan penunjukkan kontraktor dalam suatu tender di bidang pertahanan. 14 Penyalahgunaan kekuasaan dalam angkatan bersenjata tidak hanya berbentuk memo “atas-bawah”, tapi juga “telepon” pada pimpinan militer yang memegang kewenangan atas kontrak tersebut. Pimpinan militer atau siapapun yang menerima “telepon” dari kroni Soeharto tidak akan sanggup berkata “Tidak” — karena hanya akan berakibat buruk bagi karir dan masa depannya. Anggaran Belanja Militer Anggaran belanja ABRI termasuk yang terendah di Asia Tenggara. Dalam perbandingan dengan Produk Domestik Bruto (PDB), anggaran militer Indonesia sangat kecil. Jumlah prajurit Indonesia dalam bandingan dengan jumlah penduduk pun merupakan yang terendah di kawasan tersebut.
12
Anggaran “Resmi” Menurut laporan Departemen Pertahanan jumlah anggaran TNI untuk tahun 2000 adalah Rp 9.768.355.280.000, ditambah US$ 172 juta fasilitas kredit ekspor. Nilai keseluruhannya adalah Rp 11.058.355.280.000, dengan kurs US$ 1 = Rp 7.000 [selanjutnya lihat Tabel 5]. Jumlah ini merupakan 1,2% dari PDB. Sumber anggaran untuk angkatan bersenjata terdiri dari dana yang tercantum dalam anggaran belanja negara dan dana yang tidak tampak dalam anggaran belanja negara. Dana tersebut dibagi ke semua sektor angkatan pertahanan, dari markas besar hingga unit tugas terendah yang dinamakan Satker (Satuan Kerja) pada tingkat batalyon.
Tabel 5 Alokasi Anggaran rutin dan Anggaran Pembangunan Departemen Pertahanan, TNI dan Polri 17 Tahun
Rutin
Pembangunan Rupiah
1999/2000 2000
11.298.502.355,00 11.298.502.355,00 9.020.855.280,00 9.020.855.280,00
Jumlah Keseluruhan
Juta US$ CE (fasilitas Kredit Ekspor)
(Rupiah)
Juta US$
202,00 172,00
11.298.502.355,00 9.020.855.280,00
202,00 172,00
Dana anggaran tunduk pada pemeriksaan umum oleh dua lembaga, yaitu BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan). Di samping auditor luar, masih ada lagi sistem audit internal angkatan bersenjata sendiri yang dilakukan oleh para “inspektur”. Anggaran “Tidak Resmi” Dana yang tidak tercantum dalam anggaran belanja berasal dari dua sumber. Dari presiden, melalui Sekretariat Negara, dan dari kegiatan bisnis militer. Dana yang
13
tak tercantum dalam anggaran berada di luar jangkauan pertanggungjawaban publik. Tidak ada informasi tentang jumlah uang tersebut. Semua dana dirahasiakan. Bahkan angkatanangkatan pun tidak tahu berapa dana yang tersedia dan berapa yang dibelanjakan. Meski jumlahnya tidak diketahui, namun dapat diperkirakan bahwa persediaannya kurang lebih sama dengan harga pembelian perlengkapan pertahanan yang paling mahal. Dana yang tidak tercantum dalam anggaran juga disebut sebagai dana Atas. Kebanyakan sistem persenjataan atau Alutsista (Alat Utama Sistem Persenjataan) dibeli dengan uang tersebut. Proses transaksinya dilakukan secara langsung dari kantor Sekretariat Negara. Misalnya, amunisi yang disediakan oleh PT Pindad memakai anggaran Atas dari Sekretariat Negara. Uangnya dibayarkan langsung kepada kontraktor dengan sistem berputar (rolling).18 Untuk menjaga kesiapan dan kesinambungan dukungan logistik kepada angkatan bersenjata dibutuhkan pembelian beberapa perlengkapan tua yang tidak layak lagi untuk mengikuti RMA (Revolution in Military Affairs atau Revolusi Dalam Urusan Militer). Untuk memenuhi kebutuhan ini digunakan dana yang tidak tercantum dalam anggaran dengan mengikuti kontrak yang berliku. Transaksi berlangsung antara Sekretariat Negara dengan PT Pindad tanpa diketahui Angkatan Darat, Angkatan Udara, ataupun Angkatan Laut.
Tender pembelian perlengkapan strategis selalu dilakukan secara tertutup
Sejumlah transaksi perlengkapan pertahanan yang mahal juga menggunakan anggaran tak resmi ini, ditambah fasilitas kredit ekspor. Dalam pembelian perlengkapan militer ini umumnya anggota keluarga Soeharto bertindak sebagai perantara. Pembelian peluru kendali Rapier, pesawat tempur F-16, dan tank-tank Scorpion dilakukan dengan menggunakan dana tak resmi ini. Harga pembelian tank-tank Scorpion, misalnya, adalah dua kali lipat dari harga yang dibayar oleh angkatan bersenjata Thailand.
14
Di sini tampak beberapa fakta yang memperkuat dugaan tentang besarnya dana tak resmi dan kebocoran yang tidak kalah besarnya. Fakta pertama adalah bahwa pembelian perlengkapan strategis dibayar dari anggaran tak resmi. Fakta kedua adalah
bahwa perlengkapan militer yang strategis mahal sekali harganya; apalagi bila komisinya bisa berjumlah 100% dari harga-pasar perlengkapan tersebut. Akhirnya perlu diperhatikan fakta bahwa tender pembelian perlengkapan strategis selalu dilakukan secara tertutup. Secara administratif dewan pemeriksa internal angkatan bersenjata bertanggung jawab untuk memantau semua sumber dana anggaran. Pada tingkat tertinggi ada inspektorat jenderal. Kemudian di setiap angkatan terdapat juga inspektur jenderal. Struktur kepejabatan pemeriksa keuangan ini tersusun rapi dari tingkat Markas Besar sampai ke Kodam dan Kota madya. Namun demikian, perlu dicatat bahwa dana yang berasal dari anggaran tak resmi berada di luar jangkauan pemeriksaan para pemeriksa, baik yang terdapat di dalam organisasi militer itu sendiri, maupun badan-badan pemeriksa negara seperti BPK dan BPKP. Sebagian dari dana yang berasal dari sumber itu ditangani secara langsung oleh Presiden dengan bantuan Sekretariat Negara. Modus OperandiModus Operandi Sebagaimana di setiap institusi pemerintah, korupsi di angkatan bersenjata menggunakan logika yang sama. Berikut ini adalah beberapa cara yang selama ini digunakan dalam praktek korupsi di angkatan bersenjata. Pendongkrakan Nilai (Mark-up) Pendongkrakan nilai suatu proyek mungkin merupakan kesempatan korupsi terbesar dalam tubuh TNI.19 Biasanya hal ini dilakukan dengan cara intervensi oleh penguasa dalam proses tender yang umumnya melibatkan beberapa lini. Dengan memo khusus dari lingkungan di sekitar pusat kekuasaan, pendongkrakan berhasil karena rendahnya daya tahan godaan di kalangan angkatan bersenjata sendiri. Antara kontraktor dan pejabat tender yang berwenang juga terjalin hubungan khusus. Pendongkrakan nilai bisa mencapai 50% di atas harga normal. Contoh yang sangat mencengangkan adalah kasus pembelian tank-tank Scorpion yang tawar-menawarnya berlangsung pada 1993/94, dan barang dikirim tahun 1995.
15
Pendongkrakan nilai dalam pembelian tank yang canggih di kelasnya ini sangat tinggi, bahkan melampaui 50%. Menurut sumber yang dapat dipercaya di angkatan bersenjata sendiri, harga tank Scorpion yang dibeli Indonesia dua kali lebih mahal dari jenis serupa yang dibeli oleh angkatan bersenjata Thailand. Transaksi pembelian melibatkan keluarga Soeharto. Tender Curang Sebenarnya proses dan pelaksanaan tender kebutuhan angkatan bersenjata sudah dirancang rapi dengan harapan agar tercipta proses yang jujur dan terbuka. Panitia pembelian dan tender, yaitu Wantuda (Dewan Penentu dan Pengadaan) bertanggung jawab atas keseluruhan proses, dari seleksi barang-barang hingga pelaksanaan penawaran. Dewan dipimpin oleh Wakil Panglima Angkatan Bersenjata, sedangkan pelaksananya adalah Asisten Operasi (Asop). Asop inilah yang menentukan jenis barang yang perlu dibeli berdasarkan penilaian atas persyaratan dan kebutuhan pertahanan. Rancangan proses ini dirusak oleh keganasan praktek KKN di lingkungan teratas pemerintah. Kasus Scorpion merupakan contoh pelaksanaan tender yang curang. Seluruh proses tender dilakukan berdasarkan pendekatan atas-bawah, dan tidak mengikuti proses yang normal. Pemenang tender sudah ditunjuk langsung dari atas. Sebagian besar penawaran lain adalah palsu karena sudah berlangsung kolusi antara pihak penawar dan pejabat militer yang sengaja dipasang sebagai penentu pemenang tender. Pada umumnya, para kontraktor mempunyai jaringannya sendiri dan pengaruh atas karir dan masa depan pejabat militer yang bersangkutan. Pola tender semacam ini tidak hanya berlangsung dalam penyediaan barang-barang dan dukungan logistik, tapi juga dalam kegiatan rekrutmen dan pelatihan.
16
Proses dan piranti lunak untuk pelaksanaan tender dan pembelian di lingkungan angkatan bersenjata sudah menjadi standar sejak masa Orde Baru. Mekanisme resmi untuk menangani segala macam kontrak ada, tapi hanya di atas kertas, dan tidak berlaku dalam proses tender yang marak dengan pelbagai nuansa KKN.
Gambar 6. kemungkinan Lini Korupsi dalaam Angkatan Bersenjata dan Selebihnya
Membeli Bahan yang Tak Diperlukan Modus korupsi lainnya adalah pembelian bahan yang tidak dibutuhkan, atau yang hanya dibeli untuk memenuhi kebutuhan para kontraktor. Contohnya: Pada pertengahan 1980-an sebuah perangkat dapur khusus dari Korea Selatan dibeli tanpa proses tender yang normal. Perlengkapan dapur tersebut tak terpakai karena memang tidak dibutuhkan oleh pasukan. Laporan Fiktif
Intervensi Kekuasaan Kekuasaan
Sekretariat Negara
Badan Perencanaan & Pembangunan (Bappenas) Kekuasaan
Departemen Pertahanan/ dan KKN Bentuk korupsi yang lain lagi adalah Markas Besar Pertahanan pembuatan laporan palsu. Salah satu contoh dari kejahatan ini adalah suatu tender fiktif untuk pembelian Unit Militer (Angkatan Darat, Angkatan Laut perlengkapan pendaki gunung yang Angkatan Udara) dilakukan tiga tahun berturut-turut. Untuk menyembunyikan kejahatan tersebut dibuatlah laporan bahwa angkatan Kontraktor Pertahanan bersenjata telah membeli perlengkapan pendaki gunung dengan harga sekitar Rp 20 miliar. Ketika dilakukan pemeriksaan di gudang, barang-barang yang dilaporkan telah dibeli tidak ditemukan. Informasi yang diperoleh dari angkatan bersenjata, 20 adalah bahwa sudah sembilan anggota yang diinterogasi, sedang dua perwira tinggi dituduh telah bertindak sebagai pelaku utama dalam tender fiktif tersebut.
Kekuasaan dan KKN
17
“Yayasan” Salah satu kasus korupsi yang tersohor di lingkungan angkatan bersenjata adalah kasus Yayasan Kostrad Dharma Putra. Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi yang berlangsung hanya beberapa bulan di yayasan tersebut telah mencapai Rp 190 miliar. Kasus Kostrad ibarat gunung es korupsi perwira tinggi militer yang tampak di permukaan air. Yang tidak kelihatan, dan pasti lebih besar berlipat ganda, adalah yang tersembunyi di bawah permukaan air. Muncul kesan kuat bahwa hasil kegiatan yayasan diraup oleh para pemimpin TNI, dan sedikit sekali menetes ke lapisan-lapisan prajurit. Kasus Yayasan Kostrad Dharma Putra telah dipetieskan oleh Inspektur Jenderal Angkatan Darat yang menyatakan bahwa apa yang terjadi di situ merupakan “kesalahan prosedur”, bukan korupsi. Intervensi Kekuasaan Jaringan korupsi di lingkungan angkatan bersenjata tidak berdiri sendiri. Ia merupakan salah satu mata rantai korupsi yang panjang dan melingkar-lingkar di Indonesia. Selama proses penganggaran, tender, dan intervensi penguasa terus berlangsung, maka selama itu pula pejabat tender di lingkungan angkatan bersenjata tak akan berhasil menahan nafsu mereka untuk memperkaya diri dengan jalan melawan hukum. Kekuasaan Politik dan Politik Kekuasaan
18
Masalah kekuasaan berkait erat dengan masalah hubungan sipil-militer dan peningkatan pengendalian serta pengawasan terhadap administrasi pemerintah. Institusi militer adalah institusi yang paling rendah tingkat pengendaliannya oleh para auditor eksternal. Fakta ini membuka peluang yang amat luas bagi praktek korupsi. Di lain pihak, fungsi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih terbatas. Dalam laporan BPK tidak terdapat penilaian atas korupsi dalam angkatan bersenjata, dan banyak menggunakan kata-kata dan istilah kiasan. Eufimisme dalam laporan BPK ini dapat ditafsirkan bahwa tidak ada korupsi dalam TNI.
Struktur kekuasaan dan politik kekuasaan yang ada sekarang meningkatkan kerakusan korupsi. Masih bercokolnya orang-orang lama pendukung praktek korupsi, dan lambannya proses perbaikan kendali sipil yang obyektif dan demokratis terhadap pihak militer, jelas menghambat upaya memerangi korupsi di angkatan bersenjata. Hal ini terkait langsung dengan agenda reformasi dalam tubuh TNI yang harus dilaksanakan secara konsisten. Lebih dari itu, restrukturisasi menyeluruh dalam hubungan sipil-militer yang sesuai dengan prinsip-prinsip pengawasan yang demokratis dapat mengurangi praktek-praktek yang melanggar hukum ini. Di sini tampak jelas betapa mendesaknya tugas nasional mengurangi jumlah anggaran pertahanan yang tidak tercantum secara resmi dalam anggaran belanja negara. Seluruh anggaran militer hendaknya berasal dari satu pintu pemerintah. Pengendalian oleh rakyat dapat dilakukan oleh badan legislatif yang dalam alam demokrasi juga berfungsi sebagai Adanya anggaran pemegang kendali terhadap angkatan bersenjata.
Kesimpulan
TNI yang tidak resmi memberi peluang bagi korupsi dalam skala yang amat besar
Korupsi di angkatan bersenjata merupakan bagian dari gejala korupsi lebih besar yang meliputi seluruh birokrasi pemerintah Indonesia. Laporan Transparency International mengenai Indeks Persepsi Korupsi yang menempatkan Indonesia dalam kategori negara-negara terkorup di dunia mencerminkan betapa seriusnya masalah ini. Meski anggaran angkatan bersenjata Indonesia merupakan yang terendah di Asia Tenggara, baik jumlah keseluruhannya maupun persentase dari anggaran nasional, namun hal tersebut tidak menunjukkan seluruh anggaran pertahanan. Adanya anggaran TNI yang tidak resmi memberi peluang bagi korupsi dalam skala yang amat besar. Sumber dana angkatan bersenjata terdiri atas dua kategori yang berbeda: yang tercantum dalam anggaran dan yang tak tercantum. Dana yang tercantum terdiri dari dua bagian: dana untuk belanja rutin dan dana untuk proyek pembangunan.
19
Walaupun banyak terjadi, namun skala korupsi dalam dana rutin relatif kecil. Risiko korupsi pada proyek pembangunan cenderung lebih besar karena menyangkut prosedur berbagai titik pengambilan keputusan yang masing-masing menciptakan peluang bagi transaksi suap-menyuap. Struktur upah prajurit, sebagaimana pegawai negeri pada umumnya, sangat rendah. Rendahnya upah cenderung dijadikan alasan penyebab korupsi. Begitu pula halnya dengan penyalahgunaan kekuasaan. Ada juga pihak yang berpendapat bahwa upaya pemberantasan korupsi akan kandas kalau upah prajurit tidak ditingkatkan. Sementara penelitian membenarkan bahwa penyalahgunaan kekuasaan memang merupakan sumber korupsi, sedangkan gaji tinggi pun tidak mengurangi nafsu memperkaya diri secara melawan hukum. Korupsi di angkatan bersenjata merupakan ancaman terhadap keamanan nasional, karena menimbulkan kecenderungan menganggap kegiatan memperkaya diri lebih penting ketimbang tugas mempertahankan bangsa dan n e g a r a . Pr a j u r i t h a r u s m e m i l i k i d i s i p l i n d a n r a s a p a t r i o t i k . Pa d a s a a t patriotisme menipis karena nafsu memperkaya diri, pada saat itu pula perlindungan terhadap bangsa dan negara terancam. Di satu pihak tampak keterpaksaan mencari penghasilan tambahan agar anak dan istri prajurit bisa hidup layak. Di lain pihak kelihatan kehidupan perwira tinggi yang bergelimang dalam kemewahan yang mubazir. Kontras ini cenderung melemahkan disiplin pasukan, selain merusak apa yang disebut C3I dalam jargon militer — Komando, Kontrol, Komunikasi & Intelijen.
20
Adanya dana anggaran tidak resmi memicu praktek pendongkrakan nilai proyek dan pembelian, pelaksanaan tender secara curang, pembelian barangbarang yang tidak diperlukan, dan pembuatan laporan tender fiktif. Praktek mark-up diperkirakan membuat harga-harga lebih dari 50% lebih mahal. Ini merupakan pencurian dana publik yang terbesar, dana yang dapat digunakan untuk tujuan lebih produktif ketimbang memenuhi nafsu memperkaya diri kroni penguasa di pusat pemerintah dan kemewahan petinggi TNI.
Yayasan sebagai bagian dari sumber dana yang tidak tercantum dalam anggaran juga berisiko menjadi lahan korupsi. Masalah pertanggungjawaban dan kurangnya pengawasan membuka peluang untuk menggunakan keuntungan yayasan untuk kepentingan pribadi para komandan. Intervensi penguasa dalam menentukan harga dan peserta tender yang harus dimenangkan merupakan masalah laten yang turut menggalakkan praktek korupsi skala besar. Korupsi dalam angkatan bersenjata juga turut melibatkan para pejabat di lingkungan Bappenas dan Departemen Keuangan.
Rekomendasi • Korupsi di kalangan militer pada dasarnya berkait dengan masalah hubungan sipilmiliter. Strategi untuk memerangi korupsi akan lebih efektif jika kendali sipil terhadap militer lebih ditingkatkan.
• Intervensi penguasa di luar tubuh militer dalam proses tender yang curang hendaknya diatasi dengan memperkuat dan membuat terbuka mekanisme tender internal TNI seperti yang dirancang pengendaliannya oleh Wantunda.
• Tender pemasokan kebutuhan angkatan bersenjata harus dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh umum. Sistem pembatasan dan seleksi rekanan harus dihapuskan. Membuka penawaran kepada umum juga berarti memberikan kesempatan yang lebih luas pada TNI untuk menghemat biaya guna pembelian perangkat kebutuhan lainnya.
• Kontrak-kontrak untuk persediaan barang dan logistik angkatan bersenjata tidak boleh bersifat tertutup, dan harus memberi kesempatan kepada calon-calon baru yang mungkin memiliki sistem yang lebih baik dan lebih efisien.
• Karena korupsi dalam angkatan bersenjata juga melibatkan institusi pemerintah lainnya, maka harus dilakukan penggantian menyeluruh atas jajaran pejabat militer maupun sipil yang sebelumnya menduduki posisi kunci dalam menentukan alokasi bagi pertahanan
21
baik di Bappenas, maupun di Departemen Keuangan, khususnya di Direktorat Jenderal Anggaran. Dalam berbagai kasus mereka telah terlibat dalam kolusi dan telah menyebabkan kerugian keuangan negara dalam jumlah yang sangat besar.
• Harus diciptakan mekanisme untuk memeriksa yayasan-yayasan angkatan bersenjata yang dalam berbagai kasus telah digunakan untuk memperkaya komandan saat itu memegang kendali.
• Kegiatan bisnis militer merupakan sumber lain korupsi, meskipun terjadi di luar tubuh TNI. Kegiatan bisnis militer hendaknya dibatasi pada bidang-bidang kebutuhan militer dan kebutuhan sehari-hari anggota militer.
• Pada tingkat nasional, terdapat kebutuhan untuk menempatkan anggaran militer ke dalam APBN, sehingga dana yang tak tercantum dalam anggaran dapat dikurangi secara nyata.
• Institusi militer harus dimasukkan ke dalam wilayah kewenangan badan pemeriksa nasional sehingga prinsip pertanggungjawaban dan pengawasan dapat dijadikan bagian integral dari setiap kebijakan keamanan dan pertahanan nasional.
• Pemerintah hendaknya mempersiapkan program yang sistematis untuk meningkatkan anggaran militer. Namun demikian, peningkatan anggaran militer hanya dapat dilakukan jika prinsip pengawasan dan pertanggungjawaban terbukti dapat diterapkan dalam tubuh angkatan bersenjata. Catatan Angkatan Bersenjata Indonesia merubah namanya dari ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) setelah pemisahan kepolisian dari angkatan bersenjata.. 1
Struktur teritorial berarti bahwa struktur komando dan penyebaran anggota-anggota militer telah terstrukturisasi dalam kerangka Komando Teritorial —Koter. Koter merupakan hirarki dari setiap propinsi yang disebut KODAM (Komando Daerah Militer), KOREM (Komando Resor Militer) 2
22
pada tingkat karesidenan, KODIM (Komando Distrik Militer) pada tingkat Kabupaten, dan hingga KORAMIL dan Babinsa pada tingkat desa. Pada intinya, Koter merupakan tiruan dari administrasi politis setempat dan struktur komando yang berada di wilayah tersebut. Amanda L. Morgan, Corruption: Causes, Consequences, and Policy Implications: A Literature Review, The Asia Foundation, Working Paper (Makalah Kerja) No. 9, 1998, halaman 6. 3
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Maret 1999, halaman 257. 4
5
“A Global War Against Bribery”, The Economist, 16 Januari 1999.
6
Amanda L. Morgan, op. cit..
7
“A Global War..., loc. cit..
8
Sumber: Tempo http://www.tempo.co.id/harian/hasil-poll/hsl-indikator-29092000.html
9
www.bicc.de/milex/spotlights/china/china.html
Menggambarkan karya James C. Mulvenon, Soldiers of Fortune: The Rise and Fall of the Chinese Military — Business Complex, 1978 - 1998, pada http://www.bicc.de/budget/ paper15/paper15.pdf. Lihat juga Swaran Singh, Rise and Fall of the PLA’s Business Empire, Institute for Defense and Study Analysis, pada www.idsa-india.org/an-may9-4.html. 10
11
http://www.cnn.com/ASIANOW/asiaweek/99/0205/biz1.html.
Untuk penelitian mengenai kegiatan usaha yang lebih menyeluruh lihat: Indria Samego et. al., Bila ABRI Berbisnis, Bandung Mizan, 1998 12
Untuk penelitian-penelitian klasik mengenai elemen-elemen kekuasaan nasional yang masih dipergunakan secara luas, lihat: Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, New York: Alfred A. Knopf, 1966 (edisi keempat) 13
14
Wawancara dengan jenderal angkatan bersenjata berbintang tiga yang masih bertugas.
“Defense Economic Trend in the Asia-Pacific”, Defense Intelligence Organisation, Departemen Pertahanan Australia, Canberra. 15
16
Ibid.
23
17
Departemen Pertahanan, Kebijakan Pertahanan Negara 2000, Jakarta 2000.
Dalam pandangan logistik militer, amunisi harus menyediakan enam dukungan dasar karena setiap persenjataan memiliki enam dukungan materiil (misalnya peluru-peluru). Hal tersebut berarti bahwa amunisi yang harus disiapkan adalah 6 kali dari kebutuhan mereka. Contohnya bedil membutuhkan 450 peluru, pistol (30 peluru), 72 untuk peluncur, dst. 18
Wawancara dengan pejabat militer berpangkat tinggi di Kantor Pertahanan pada tanggal 23 Maret 2001. 19
20
24
Informasi yang diterima dari jenderal berbintang tiga dalam Angkatan Bersenjata.
Korupsi dalam Sistem Hukum Oleh Mardjono Reksodiputro
Pendahuluan Korupsi di Indonesia dalam 30 tahun pemerintahan Soeharto dapat kita baca cukup lengkap dalam buku Adam Schwarz.1 Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dipraktekkan keluarga Soeharto dan kroninya membuat masyarakat sangat tercengang (lihat Bab 6 buku Schwarz: “Family Rules”, h. 133-161). Pada awal Februari 2001 kembali masyarakat dikejutkan oleh DPR, yang memutuskan akan mengirim memorandum kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Memorandum tersebut meminta pertanggungjawaban Presiden tentang keterlibatannya dalam skandal keuangan di Yayasan Pensiun Bulog dan dana zakat Sultan Brunei (umum dikenal sebagai kasus “Buloggate” dan “Bruneigate”). Hal ini mengejutkan, meski kasusnya sudah dibicarakan sejak hampir setahun lalu, karena peralihan dari Soeharto ke Abdurrahman Wahid (melalui pemerintahan transisi Habibie) diharapkan menjadi awal pembersihan pemerintahan Indonesia dari korupsi. Masalah korupsi di suatu negara dapat dibaca dalam berbagai berita surat kabar. Pada awal tahun ini Filipina mengalami krisis yang disebabkan korupsi dalam pemerintahannya. Akibatnya Mahkamah Agung negara tersebut “mengganti” Presiden Joseph Estrada dengan Presiden Gloria Macapagal Arroyo. Dalam keadaan krisis serius ini,
25
hukum Filipina melalui putusan Mahkamah Agungnya berhasil mencapai penyelesaian. Memang sebaiknya dalam masalah korupsi, apalagi bila menyangkut seorang presiden, hukum menentukan prosedur yang harus ditempuh untuk mencapai penyelesaiannya. Di Indonesia keadaannya tidak semudah itu. Sistem hukum kita lemah, lagi pula masyarakat tidak percaya pada pengadilan. Kelemahan sistem hukum Indonesia telah dilaporkan dalam hasil penelitian Bappenas dengan bantuan dana Bank Dunia (IDF Grant No. 28557) pada 1996.2 Penelitian itu bertujuan mengantisipasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang “menggembirakan” (pertumbuhan GDP 6-7% per tahun dengan perkiraan 9% dalam tahun 2020). Laju pertumbuhan semacam ini memerlukan sistem hukum modern untuk menghadapi Tidak ada tanda-tanda globalisasi pasar. Penelitian tersebut melaporkan kelemahan sumber daya manusia (SDM) bidang hukum dan lembaga hukum kesadaran pemerintah kita (studi pertama dan kedua, h. 37-87). Studi ketiga bahwa di samping “krisis membicarakan sistem peradilan, dan kelemahannya dalam ekonomi”, terdapat pula pelayanan pengadilan (h. 106-141). Kelemahan sistem hukum dan sistem peradilan disimpulkan sebagai “menyedihkan, “krisis hukum”. namun bukan tanpa harapan”. Keadaan pemerintahan empat tahun kemudian (2000-2001) sudah sangat berubah. Akan tetapi tidak ada tanda-tanda kesadaran pemerintah bahwa di samping “krisis ekonomi” yang dirasakan “nyata” oleh masyarakat, terdapat pula “krisis hukum”. Ketidakpercayaan masyarakat pada hukum dan pengadilan sudah lebih meluas bila dibanding tahun 1996. Masalah korupsi besar yang terungkap meresahkan masyarakat. Ia harus diselesaikan melalui sistem peradilan. Hanya dengan cara ini tuntutan mahasiswa dan masyarakat agar KKN dihapuskan dapat terwujud dengan memuaskan. Penyelesaian melalui pengadilan akan memberi isyarat kepada masyarakat bahwa pemerintah memang berusaha membangun pemerintahan yang bersih. Putusan pengadilan pun akan merupakan simbol dari dianutnya azas supremasi hukum dan penegasan bahwa Indonesia memang negara hukum seperti dinyatakan dalam konstitusinya.
26
Pada pemerintahan Presiden Wahid belum terlihat kesungguh-hatian pemerintah menggunakan pengadilan (proses hukum pidana) untuk menyelesaikan kasus korupsi.
Yang membuat masyarakat makin kecewa adalah “tuduhan” tentang terjadinya suap di kejaksaan dan pengadilan dalam kasus korupsi Bank Bali.3 Laporan The International Commission of Jurists tentang Indonesia (Mission to Indonesia) antara lain menyatakan: “Kami sangat khawatir ketika mendengar bahwa korupsi di kalangan hakim Indonesia tampaknya meluas. Tiada seorang pun percaya bahwa suatu negara diselenggarakan berdasarkan hukum bila putusan para hakimnya dapat dibeli.” 4 Korupsi dalam sistem hukum tentu tidak hanya menyangkut sistem peradilan. Korupsi dalam sistem peradilan juga tidak hanya menyangkut hakim. Dalam tulisan ini dibahas pula korupsi yang menyangkut izin kerja sebagai profesional hukum, korupsi di kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan korupsi oleh para advokat dan notaris serta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Kelemahan sistem hukum tidak terlepas dari keadaan sarjana hukum di Indonesia, seperti dikatakan dalam sebuah laporan: 5 “Studi diagnostik ini menemukan kelemahan yang mendasar pada sistem hukum dan sarjana hukum di Indonesia. Kinerja sistem hukum dan sarjana hukum di Indonesia tidak memadai. Kritik utama adalah mengenai profesional hukum yang tidak mampu mengimbangi perubahan yang muncul dari pembangunan ekonomi. Masyarakat juga menilai anggota profesi hukum (pengacara, penasihat hukum, notaris, konsultan hukum, jaksa dan hakim) tidak sepenuhnya memahami tugas utama mereka sebagai ‘pelayan hukum dan masyarakat’. Justru sebaliknya, mereka mulai mengartikan pekerjaan mereka sebagai bagian dari industri yang dikendalikan oleh keuntungan (profit-driven industry).” Penegakan Hukum Korupsi dan Beberapa Masalah Teoretis Salah satu alasan gagalnya penegakan hukum terhadap “merajalelanya korupsi” adalah tidak adanya konsensus tentang perbuatan apa yang merupakan korupsi yang patut dipidana. Berikut ini diajukan beberapa pendekatan yang mungkin dapat menerangkan mengapa ketiadaan konsensus tersebut terjadi. Pendekatan pertama melihat hukum pidana sebagai sumber ketertiban sosial yang berfungsi menyelesaikan dan mencegah konflik. Hukum dilihat sebagai hasil konsensus.
27
Penegakannya bertujuan mempertahankan konsensus. Pendekatan kedua menganggap hukum pidana sebagai “alat” dalam konflik sosial, dan terutama dipakai untuk mempertahankan kekuasaan ataupun hak-hak istimewa dari kelompok yang memegang kekuasaan terhadap kelompok (-kelompok) lainnya. Hukum dilihat sebagai hasil konflik antara berbagai kelompok yang berbeda kepentingan. 6 Dalam pendekatan pertama, hukum dianggap bagian dari norma sosial, yang tumbuh-berkembang dari aturan tatakrama, adat-istiadat, dan kebiasaan. Karena itu kita pun bicara mengenai kejahatan korupsi sebagai perbuatan anti-sosial. Korupsi dianggap kejahatan, dan harus diberantas. Akan tetapi Kelompok pendukung reformasi kesepakatan penilaian ini tidak bersifat final. Dalam antara berbagai kelompok kepentingan sering hukum dan pemberantasan KKN pertentangan terjadi perbedaan paham tentang moralitas. Kadang kala menganggap masalah dan skala suatu perumusan konsensus hanya mencerminkan kepentingan kelompok atau golongan tertentu, walaupun korupsi adakalanya juga bertujuan melindungi kepentingan sudah sangat serius. masyarakat umum. Perumusan kejahatan korupsi dilihat sebagai tata cara yang mengatur perilaku warga dalam hidup bermasyarakat. Penyimpangannya dianggap perbuatan anti sosial, malahan oleh kelompok (-kelompok) tertentu dipandang sebagai anti moral. Bagaimanapun juga perbuatan menyimpang ini merupakan tanggung jawab individual, dan kriminalisasi perbuatan merupakan dasar dan alasan utama penggunaan hukum pidana. 7
28
Pendekatan kedua menunjukkan perspektif yang berbeda. Persepsi tentang keseriusan kejahatan korupsi berbeda di kalangan berbagai kelompok kepentingan dalam masyarakat. Kelompok pendukung reformasi hukum dan pemberantasan KKN menganggap masalah dan skala korupsi sudah sangat serius. Namun ada juga kelompok kepentingan yang berpendapat bahwa perbuatan yang umum dianggap korupsi sebenarnya sekadar kemahiran merebut kesempatan saja. Misalnya, memenangkan tender berdasarkan koneksi dengan penentu kebijakan tidak dianggap korupsi, melainkan kecerdikan memanfaatkan peluang. Definisi perbuatan yang dinamakan korupsi dirumuskan oleh kelompok-kelompok dominan ini sebagai perbuatan yang secara
nyata menimbulkan kerugian bagi negara. Dengan cara ini kelompok yang dekat pada pembuat kebijakan (penguasa) dapat melindungi kepentingan ekonomi mereka, dengan alasan bahwa perbuatan mereka tidak merugikan negara secara nyata. 8 Perbuatan yang dikategorikan kejahatan korupsi oleh UU No. 31/1999, cenderung dilihat masyarakat dari sudut tingkat sosial pelakunya. Sebagai contoh dapat dibedakan antara kejahatan korupsi ringan (polisi yang menerima uang untuk tidak menegakkan hukum), agak berat (jaksa yang menerima uang agar menuntut hukuman yang ringan), dan berat (hakim yang menerima uang untuk membebaskan seorang terdakwa). Perbedaan ringan, agak berat dan berat ini dilihat dari derajat keseriusan perbuatan korupsi dan meskipun semuanya dapat dikategorikan “pemberian suap”, namun ada “konflik” dalam penentuan kerugian atau cidera sosialnya. Dapat dikatakan bahwa moralitas masyarakat menentukan perbedaan persepsi ini. Timbulnya masalah penegakan hukum dalam perkaraKorupsi dalam sistem hukum perkara korupsi karena perbedaan pendekatan di kalangan masyarakat mungkin dapat dijelaskan melalui pendekatan Indonesia adalah korupsi teoretis tersebut.9
Sifat dan Lingkup Masalah
dalam birokrasi. Ini harus dibedakan dari korupsi dalam politik
Korupsi dalam sistem hukum Indonesia adalah korupsi dalam birokrasi. Ini harus dibedakan dari korupsi dalam kegiatan politik. Dalam korupsi birokrasi, seseorang dapat membayar dengan tujuan mengungkapkan rasa terima kasih atas jasa seorang pejabat, ataupun untuk mengatasi suatu kesulitan. A memerlukan paspor tapi tidak punya waktu cukup (atau kesabaran) untuk antri menunggu gilirannya. Untuk bantuan yang diberikan ini, A bersedia memberi imbalan uang sebagai tanda terima kasih kepada pegawai imigrasi yang membantunya. Peristiwa semacam ini dianggap “biasa” dalam birokrasi Indonesia. Bagaimana dengan contoh berikut ini: B merasa perlu untuk mendapat pengurangan atas tagihan pajak yang dikenakan pada perusahaannya. Dengan membayar sejumlah uang, maka petugas pajak yang berwenang — tanpa melanggar ketentuan pajak yang berlaku — berhasil mengurangi 50% pajak atas perusahaan B. Dalam kasus seperti ini petugas pajak dapat disangka merugikan negara.
29
Makin tinggi nilai bantuan yang diminta, kian tinggi pula jumlah pembayaran kepada pegawai negeri pemberi bantuan. Nilai tinggi bantuan seperti untuk memperoleh izin praktek hukum, izin tidak dideportasi dalam pelanggaran imigrasi, menutup perkara pidana biasa atau pembebasan terdakwa, fasilitas istimewa di lembaga pemasyarakatan dan sebagainya, mengisyaratkan pembayaran tinggi pula. Contoh A dan B, baik dalam transaksi nilai rendah maupun tinggi, adalah pembayaran untuk mendapat “kenyamanan”, atau “kemudahan”.10 Dalam kasus nilai rendah A dan B yang diminta hanyalah suatu “bantuan”. Dalam kasus dengan nilai transaksi tinggi, pembayar berharap agar pejabat bersangkutan akan melanggar “sumpah jabatan”nya. Tetapi masyarakat menganggap kasuskasus seperti ini tidak perlu mendapat penegakan hukum yang serius atau keras.11 Mungkin karena itulah korupsi dalam bentuk “paying for convenience” ini dapat meluas seperti kanker. Bukan hanya warga masyarakat yang terlibat dalam pembayaran kepada pejabat, advokat pun membayar demi kemenangan perkara kliennya. Perhatian masyarakat terhadap korupsi dalam sistem hukum dan sistem peradilan tidak besar. Salah satu ukuran perhatian publik adalah pemberitaan di media massa. Pemberitaan pada umumnya hanya menyangkut korupsi “proyek besar” (Bank Bali, Pertamina, dll.), atau menyangkut mantan penguasa atau pengusaha “terkenal” (mantan presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra, dll). Jika kasus-kasus tidak dapat diproses melalui sistem peradilan pidana, barulah timbul “tuduhan korupsi” dalam kejaksaan dan pengadilan. Tuduhan Persatuan Advokat Indonesia (dan Ikatan Advokat Indonesia) tentang “mafia peradilan” atau laporan tentang pengadilan yang korup dalam studi diagnostik perkembangan hukum 1996, tidak pernah mendapat tanggapan pers secara meluas dan dalam waktu yang cukup lama. Hal ini tentunya juga disebabkan tidak adanya “kasus nyata” yang dibawa ke kejaksaan dan pengadilan. Upaya Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) membawa perkara beberapa hakim agung pun mulai surut beritanya di media.
30
Apakah hal ini harus diartikan bahwa korupsi dalam sistem hukum dan sistem peradilan sebenarnya tak terlalu luas? Tidak dapat dikatakan demikian. Tidak adanya kasus yang dibawa ke pengadilan adalah karena:
(a) “pembayaran untuk kenyamanan” selalu berlangsung di balik pintu tertutup; kalau pembayar “puas”, pintu akan tetap tertutup; jika pembayar “tidak puas” jarang pula pintu dibuka; (b) korupsi di pengadilan, misalnya penyuapan kepada hakim, secara teknis-yuridis sulit dibuktikan karena yang harus dibuktikan adalah keberpihakan (loss of impartiality) hakim; (c) sifat pembayaran kepada polisi atau jaksa biasanya disebabkan oleh “pemerasan” oleh polisi atau jaksa yang bersangkutan terhadap tersangka atau terdakwa; (d) pembayaran oleh atau melalui advokat sudah pasti dilakukan secara “rapi” agar tidak mudah dibuktikan kepada kedua belah pihak; (e) undang-undang pemberantasan korupsi lebih ditujukan pada pegawai negeri yang menyalahgunakan jabatan dan merugikan keuangan negara, bukan pada jenis korupsi di sistem peradilan. Sukarnya memakai undang-undang korupsi yang lalu (UU No. 3/1971) maupun sekarang (UU No. 31/1999) terlihat kalau kita perhatikan apa yang dinamakan “korupsi dalam sistem peradilan”: 12 (1) apabila sesuatu perbuatan atau kelalaian untuk berbuat diperkirakan akan, atau secara nyata berakibat dalam hilangnya ketidakberpihakan hakim; (2) apabila seorang hakim atau pejabat pengadilan berupaya memperoleh atau menerima sesuatu manfaat, atau janji pemberian manfaat dalam bentuk apapun, sehubungan dengan pelaksanaan kewenangannya atau tindakan yang lain (penyuapan, pemalsuan, kesengajaan mengubah berkas-berkas pengadilan, dlsb.); (3) apabila acara pengadilan tidak dilangsungkan berdasarkan bukti dan hukum, dan hasilnya ditentukan oleh pengaruh yang tidak wajar, bujukan, tekanan, ancaman, atau campur tangan, secara langsung atau tidak langsung, dari pihak mana pun atau dengan alasan apa pun (antara lain bayangan kenaikan pangkat);
31
(4) dengan sengaja memperlambat suatu perkara yang diajukan ke pengadilan demi menguntungkan kepentingan salah satu pihak.” Penyuapan seorang penegak hukum — polisi, jaksa, atau hakim — bertujuan menggerakkan mereka melakukan perbuatan yang diinginkan si pemberi suap. Pembenaran oleh penerima “hadiah” dalam bentuk uang atau barang, ataupun oleh si pemberi hadiah, adalah bahwa hadiah tersebut sekadar tanda terima kasih. Sering kali sukar dibedakan antara hadiah yang diberikan dengan tujuan menggerakkan penerimanya melakukan perbuatan korupsi dan hadiah tanda terima kasih. Mungkin juga pemikiran berikut ini turut menyebabkan masyarakat Indonesia “toleran” kemungkinannya, terhadap korupsi:13
Apa pun ia memberi semata-mata untuk menjinakkan si pejabat
“Pemberi hadiah kepada seorang pejabat atau instansi mungkin bertujuan memperoleh suatu perlakuan istimewa yang dalam keadaan normal bukan merupakan haknya.... Mungkin si pejabat memang benar menduduki posisi yang menentukan, tapi mungkin pula si pemberi hadiah hanya menduga bahwa si pejabat tersebut benar-benar berkuasa. Dari sudut pandangan si pemberi hal itu tidak relevan. Apapun kemungkinannya, ia memberi semata-mata untuk menjinakkan si pejabat. Ditinjau dari sudut pandangan si penerima hadiah, ia mungkin sudah mengetahui jalan pikiran si calon pemberi; dan, sama sekali terlepas dari kasus di mana ia diharapkan memberi suatu perlakuan istimewa, terbukalah peluang besar baginya untuk menarik keuntungan dari kecemasan yang tidak rasional para calon pemberi....”
Beberapa Contoh Korupsi Tulisan ini tidak menelaah korupsi di proyek pembangunan pemerintah karena hal itu terjadi di semua kantor pemerintah. Yang dibicarakan di sini adalah korupsi yang khas dan umum terjadi secara luas dalam sistem hukum Indonesia.
32
Memberi contoh perbuatan korupsi tidaklah mudah. Tak banyak kasus korupsi dibawa ke pengadilan Indonesia. Kasus yang telah selesai disidangkan pun susah dicari berkasnya.
Cara lain adalah menggunakan sumber surat kabar dan majalah. Ini lebih mudah, tapi juga memakan waktu untuk memilah-milah berbagai berita itu, karena laporannya bersifat fragmentaris dan perlu dirangkai. Sumber lain lagi adalah para “informan orang dalam” atau mereka yang mengetahui dari pengalaman: pengguna jasa, pengusaha, perantara, pelanggar hukum, dan lain-lain. Contoh-contoh berikut diperoleh dari sumber media massa, “orang dalam”, dan mereka yang mengalami transaksi jual beli perlakuan istimewa. Departemen Kehakiman Kegiatan yang membuka kesempatan korupsi di departemen ini sama seperti di departemen lain. Di mana orang memerlukan izin, di situ korupsi berkembang biak: penempatan notaris, pengesahan perseroan terbatas, pengurusan kewarga negaraan atau orang asing, keimigrasian, fasilitas istimewa bagi narapidana dalam lembaga pemasyarakatan, dan rekrutmen calon hakim serta mutasi hakim. Pemberi “hadiah” menginginkan perlakuan istimewa, sedangkan penerima hadiah berwenang memberi perlakuan istimewa yang dimintakan. Umumnya “imbalan” yang diinginkan si pemberi hadiah adalah sesuatu yang dalam keadaan normal tidak seharusnya diberikan kepadanya, atau bukan merupakan haknya. Misalnya, seorang notaris yang baru saja mendaftar diberi penempatan mendahului notaris yang sudah lama mendaftar. Atau, seorang notaris memperoleh penempatan pertama di kota madya, dan bukan di kecamatan sesuai peraturan, atau diberi izin pindah ke kota dagang yang besar.14 Urusan pengesahan atau pengubahan anggaran dasar perseroan terbatas merupakan lahan korupsi yang amat subur. Hadiah diberikan untuk mempercepat proses pengesahan. Hubungan yang “manis” dibina dengan hadiah-hadiah, baik pada hari ulang tahun pejabat, menjelang Lebaran, pada akhir tahun, maupun pada waktu suatu permohonan sedang diproses. Usaha komputerisasi yang dimaksudkan untuk memungkinkan penyelesaian online belum tampak menghilangkan “budaya memberi hadiah” ini.15 Di bidang kewarga negaraan dan keimigrasian, para petugas dan pejabat berhadapan langsung dengan warga masyarakat yang awam akan syarat-syarat dokumen dan prosedur
33
yang harus dijalani. Di sinilah timbul “perantara” (process-brokers). Perantara ini telah menguasai segala persyaratan legal dan ilegal yang diperlukan untuk mempercepat proses atau, jika perlu, “menghindari aturan yang sebenarnya wajib dipenuhi” (misalnya surat kependudukan, surat kelahiran, surat kawin, surat perubahan kewarga negaraan). Mereka telah menjadi profesional dan memberi pelayanan kepada publik dengan pembayaran jasa. Pembayaran yang diminta kepada warga yang perlu bantuannya mencakup pembayaran “hadiah” untuk para pejabat dan petugas di kantor yang bersangkutan. Imbalan yang diberikan petugas beraneka ragam, dari percepatan proses, “pelanggaran aturan”, sampai ke “pelanggaran ketentuan hukum” oleh pejabat yang berwenang memberi disposisi. 16 Pemberian perlakuan istimewa kepada seorang narapidana juga banyak terjadi di lembaga pemasyarakatan. Penempatan narapidana di “kamar yang nyaman” (tidak penuh sesak narapidana, tidak banyak gangguan dari narapidana lain, bersih,) sebagai imbalan dari petugas atas “hadiah” yang diterimanya sudah merupakan pengetahuan umum. Fasilitas tambahan (kompor, alat dapur, kasur, kelambu, peralatan menulis, dll.) juga dapat diperoleh dalam sel yang nyaman; bisa pula dirundingkan antara advokat atau keluarga dan pejabat penjara. Beredar pula di kalangan masyarakat bahwa perdagangan narkotika juga merupakan fasilitas yang diberikan kepada narapidana tertentu melalui petugas. 17
34
Untuk menjadi calon hakim diperlukan tambahan “biaya tidak resmi”. Pemasukan tambahan ini umumnya dikatakan untuk menambah anggaran pemerintah yang tidak cukup untuk menutup biaya pemeriksaan berkas permohonan, ujian dan proses seleksi akhir. Pada seleksi akhir ini biasanya diedarkan “informasi” bahwa peserta seleksi, jika ingin lulus, harus bersedia “mengeluarkan ongkos” kepada panitia melalui orang-orang tertentu. Berita yang berkembang di masyarakat adalah bahwa calon hakim peserta seleksi akhir sering kali bersedia membayar agar lulus. Mereka umumnya berharap bahwa kalau sudah menjadi hakim kelak, bukan hanya akan “balik modal”, bahkan juga akan menerima “bonus-bonus” yang cukup besar untuk beli rumah, mobil, dan jalan-jalan ke luar negeri.
Seperti angan-angan para notaris, seorang hakim juga bercita-cita agar ditempatkan di kota yang memungkinkannya hidup nyaman dengan keluarganya. Keadaan seperti ini disebabkan pula oleh tidak meratanya prasarana kesehatan, pendidikan, hiburan, dan kesejahteraan masyarakat di kota-kota Indonesia. Mutasi seorang hakim dari kota kecil ke kota besar atau ke pengadilan negeri yang tingkatnya lebih tinggi, juga berarti peningkatan status dirinya di mata keluarga dan masyarakat. Hal itu mencerminkan penghargaan dari atasannya, dan membuka peluang karirnya menjadi hakim tinggi dan hakim agung. Semua ini membuat seorang hakim sangat bergantung pada penilaian pejabat yang berkuasa melakukan mutasi. Budaya memberi hadiah pemanis hubungan dengan pejabat dapat disalahgunakan untuk mencari keuntungan pribadi. “Ketakutan” seorang hakim, baik beralasan atau tidak, dimanfaatkan oleh pejabat pengatur lowongan agar memberinya “upeti” yang lebih besar sesuai dengan persepsi kenyamanan tempat yang lowong. Mekanisme seperti ini membuka peluang “lelang” tempatSeorang hakim juga bercitatempat yang nyaman bagi kesejahteraan keluarga hakim dan jenjang karirnya. Ada hakim yang telah “menabung” — bukan cita agar ditempatkan dari gajinya sebagai pegawai negeri — untuk keperluan ini di kota yang memungkinkannya jauh-jauh hari. Mereka yang tabungannya belum cukup hidup nyaman terpaksa berutang pada keluarga. Pengembalian utang ataupun pengisian kembali tabungan diperoleh dari “bonus” dengan keluarganya jabatannya sebagai hakim di tempat baru. Khalayak percaya bahwa praktek semacam ini sangat banyak terjadi di Indonesia saat ini. Namun masih ada optimisme di sana-sini. Pasti tidak semua hakim berperilaku demikian. Ada hakim yang tetap jujur dan mempunyai integritas moral yang baik, dan ada pula yang tidak dapat, meskipun berkeinginan, mencari peluang.18 Polisi Dalam berbagai bahan pustaka di bidang kriminologi, korupsi di sistem peradilan pidana selalu mengacu pada “korupsi di kepolisian”. Bahan pustaka Barat jarang sekali membicarakan adanya korupsi di kejaksaan atau kantor penuntut umum maupun di
35
pengadilan atau para hakim. Kalaupun ada literatur yang membicarakannya, maka “korupsi kejaksaan” atau “korupsi pengadilan atau hakim” dikaitkan dengan “korupsi politik”, di mana “campur tangan politik yang tidak patut, atau tekanan, dorongan dan ancaman” digunakan untuk mempengaruhi jalannya perkara. Korupsi di kepolisian tampak jelas di jalanan dan tempat pemberian izin yang berhubungan dengan kendaraan bermotor seperti izin mengemudi, balik nama setelah jual beli, dan pembayaran pajak kendaraan. Yang tidak jelas terlihat oleh masyarakat adalah pemberian hadiah untuk mendapatkan “perlakuan khusus” dalam penanganan perkara pidana, seperti fasilitas untuk tahanan polisi dan penutupan perkara kriminal. Yang lebih terselubung dan merupakan dugaan kuat masyarakat Ada dugaan kuat tentang adalah “persekongkolan” antara oknum polisi dan para preman yang menguasai daerah-daerah tertentu di kota-kota, serta keterlibatan tentara dalam jaringan perdagangan barang selundupan dan narkotik.19
melindungi pemerasan dan bisnis narkotika
Polisi merupakan penegak hukum utama perkara kriminal. Sebelum tahun 1999 polisi merupakan bagian dari angkatan bersenjata. Karena itu ada dugaan kuat di kalangan masyarakat tentang keterlibatan tentara dalam melindungi praktek pemerasan dan perdagangan narkotika oleh organisasi preman.20
“Prit-Jigo” Yang sering diperbincangkan warga masyarakat adalah korupsi di kalangan polisi lalu-lintas. Keluhan yang sudah klasik adalah bahwa pengemudi yang melanggar rambu atau aturan lalu-lintas dapat “berdamai” dengan memberikan uang dalam jumlah tertentu. Para pengemudi truk, bis dan angkutan barang, sudah paham akan tarif yang berlaku umum. Mereka bahkan sudah menyiapkan kotak korek api berisi uang untuk pemberian hadiah di pos-pos penjagaan jalan raya di luar kota. Meski hal ini sering “diributkan” sebagai contoh korupsi di kepolisian, umumnya masyarakat menerimanya sebagai bagian dari risiko menggunakan jasa jalan raya.
36
Keadaan lain ditemui di kantor perizinan dan pembayaran pajak kendaraan bermotor.
Situasinya sama saja seperti di kantor imigrasi. Banyak “perantara” yang menyediakan jasa profesional guna mempercepat proses atau mengatasi kekurangan dokumen dalam proses. Ada dugaan kuat di kalangan masyarakat bahwa sebagian dari perantara tersebut turut terlibat dalam “pemutihan” kendaraan bermotor mewah hasil selundupan atau curian. Sama seperti di kantor imigrasi, honor yang dipungut para perantara ini sudah mencakup pemberian hadiah kepada para petugas kantor yang bersangkutan. Langkanya kepercayaan pada polisi terungkap dalam pepatah sinis “lapor ayam hilang, akhirnya kambing turut hilang”. Maksudnya: warga yang melaporkan bahwa ia telah menjadi korban suatu kejahatan, ternyata harus membiayai sendiri pengusutan kejahatan yang menimpa dirinya. Biaya yang harus dikeluarkan korban-pelapor tidak seimbang dengan kerugian yang telah dideritanya. Dalam banyak kasus, hal ini tidak dapat sepenuhnya dipersalahkan pada kepolisian. Biaya operasional yang disediakan pemerintah memang sangat kecil. Isu yang juga beredar di masyarakat adalah tentang pemberian “hadiah” untuk memperoleh “fasilitas” (tempat dan perlindungan) dalam tahanan polisi. Yang penting bukan hanya kasur empuk, makanan enak, dan minuman yang nikmat, melainkan juga perlindungan dari ancaman fisik dan mental oleh sesama tahanan. Tuduhan berat dalam penanganan perkara kriminal oleh polisi adalah bahwa “imbalan” yang dapat diminta termasuk “tutup mata” terhadap kejahatan dan pelakunya. Lebih berat dari itu adalah bahwa “penutupan perkara” yang sedang disidik, dengan alasan tidak cukup bukti, juga diperdagangkan. Ini menimbulkan kehebohan terutama bila menyangkut perkara tersangka koruptor “kakap”.21 Narkotika Indonesia sudah lama dikenal sebagai daerah transit narkotika. Umumnya dikatakan bahwa narkotika dibawa untuk diteruskan ke Australia, Eropa dan Amerika Serikat lewat Indonesia. Tetapi sejak tahun 1990-an Indonesia telah cukup berhasil dalam pembangunan ekonomi, dan kini dikenal sebagai negara konsumen narkotika.
37
Di bar, kelab malam dan diskotek-diskotek Indonesia, narkotika yang dilaporkan banyak beredar adalah jenis yang disebut ecstasy. Menurut laporan, para penggunanya adalah para eksekutif muda yang setelah tutup kantor menjadi pengunjung tetap tempat-tempat hiburan tersebut. Instansi pemerintah yang secara ex-officio diketuai oleh kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), dan dikenal dengan nama “Bakolak Inpres” tidak mampu menghambat penyebaran narkotika ini sampai jauh ke daerah-daerah Beberapa daerah kejahatan di luar ibu kota. Masyarakat menduga keras bahwa para pejabat negara pun terlibat dalam “transaksi gelap” di Jakarta maupun di kotanarkotika ini. Keterlibatan keluarga Presiden Soeharto, kota besar lainnya telah sebagai “pelindung” jaringan distribusi dan pemasukan dikapling oleh berbagai bahan terlarang ini, mulai terdengar di kalangan masyarakat ketika seorang pilot Garuda Indonesia organisasi preman penyelundup ecstacy tertangkap di Amsterdam. Pembelaan dan protes keras oleh kedutaan besar Indonesia di Belanda serta kegagalan polisi Indonesia membongkar identitas penerimanya di Indonesia memperkuat dugaan bahwa polisi turut melindungi dan menarik manfaat dari perdagangan narkotika di Indonesia. 22
38
Kelab malam di Jakarta dan kota-kota besar lainnya diperkirakan tidak hanya terlibat dalam pelacuran kelas tinggi dan perjudian, melainkan juga berfungsi sebagai pasar gelap narkotika. Di mana pun di dunia, bisnis semacam ini dilakukan oleh sindikat kriminal yang beroperasi sebagai kejahatan terorganisasi (organized crime). Pelaku organisasi kejahatan ini di tingkat bawah adalah para preman. Beberapa daerah kejahatan di Jakarta maupun di kota-kota besar lainnya telah “dikapling” oleh berbagai organisasi preman. Mereka menagih uang perlindungan, tidak hanya di tempat-tempat perdagangan tanpa izin, tapi juga pada pengusaha-pengusaha yang sah. Ketidakmampuan kepolisian mencegah pemerasan ini menimbulkan dugaan bahwa polisi, atau oknum-oknumnya, telah terlibat dan memanfaatkannya. 23
Kejaksaan Perebutan kewenangan menyidik perkara dugaan korupsi (di masa lalu termasuk perkara subversi dan tindak pidana ekonomi) antara kejaksaan dan kepolisian sudah timbul sebelum tahun 1981. Di era Reformasi, kewenangan kejaksaan menyidik perkara korupsi yang terjadi pada masa Soeharto membawa pula risiko tuduhan bahwa penghentian penyidikan merupakan “imbalan” terhadap “hadiah” yang diberikan oleh pihak tersangka. Di samping itu masyarakat juga menduga kemungkinan adanya “korupsi politik”. Partai politik yang berkuasa di jaman Soeharto tidak ingin kasus-kasus dugaan korupsi tokohtokohnya “dibuka” di pengadilan. Mekanisme penghentian penyidikan perkara karena kurang bukti diduga masyarakat dilakukan dengan cara yang sama seperti praktek di kepolisian. Selain itu masyarakat menduga bahwa jaksa melakukan tawar-menawar tentang beratnya tuntutan pidana, dakwaan kejahatan yang diajukan ke sidang pengadilan dan bukti-bukti yang digunakan sebagai dasar dakwaan. Dalam sistem hukum Amerika Serikat memang dikenal institusi yang disebut plea bargaining, yaitu tawar-menawar dakwaan dan tuntutan hukuman. Bedanya: di Amerika Serikat proses plea bargaining itu diketahui oleh hakim yang menyidangkan perkara tersebut. Di samping itu, hadiah yang Ketakutan sorang tersangka diberikan oleh pihak terdakwa adalah “pengakuan bersalah” atas dakwaan yang lebih ringan, bukan uang, barang, atau dalam pemeriksaan oleh janji memberi keuntungan pribadi kepada jaksa.
jaksa dapat dimanfaatkan
Sama halnya dengan di kepolisian, ketakutan seorang untuk memeras tersangka kejahatan korupsi dalam pemeriksaan oleh jaksa dapat dimanfaatkan untuk melakukan “pemerasan” keluarga tersangka. terhadap keluarga tersangka. Tersangka perkara korupsi umumnya orang kaya, sering pula berkedudukan terhormat dalam masyarakat. Dugaan kuat masyarakat bahwa negosiasi terjadi dalam setiap perkara korupsi, dan bahwa setiap negosiasi menguntungkan pribadi jaksa secara material, dapat dimengerti. Dugaan kuat tersebut disanggah pihak kejaksaan berdasarkan adanya kewajiban prosedural penuntut umum untuk selalu mengajukan “rencana penuntutan” kepada
39
atasannya, sebelum diajukan secara resmi ke sidang pengadilan. Namun, hal ini dianggap tidak menghambat negosiasi yang koruptif. Dalam persepsi seorang terdakwa, pengetahuan dan persetujuan atasan tentang surat dakwaan dan tuntutan hukuman itu hanya mengisyaratkan “beban” tambahan nilai hadiah yang harus ia berikan kepada jaksa penuntut.24 Pengadilan Tuduhan adanya korupsi di pengadilan dimulai oleh kalangan advokat dengan ungkapan “mafia peradilan”. Tuduhan ini sudah dilontarkan oleh PERADIN sejak 1970an. Yang dimaksud dengan istilah itu adalah kolusi antara advokat dan “pokrol” dengan para hakim untuk memenangkan suatu pihak yang berperkara, dengan cara memberi hadiah kepada hakim. Hanya sedikit kasus hakim yang menerima “hadiah” diajukan ke pengadilan di Jakarta Pusat (antara lain kasus Hakim Loudou/Loedoe). Sinyalemen keras adanya praktek korupsi hakim mulai terdengar lagi pada 1990an. Ini dilaporkan dalam studi diagnostik perkembangan hukum di Indonesia 1996 (terbit 1997). Pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie, Menteri Kehakiman Muladi (1998) menyatakan tekadnya Tuduhan korupsi di untuk memberantas “mafia peradilan”. Menteri Yusril Ihza pengadilan dimulai kalangan Mahendra yang menggantikan Muladi (1999) mengambil advokad dengan ungkapan tindakan nyata dengan “memindahkan” hampir semua ketua pengadilan negeri di Jakarta dan menggantikannya dengan mafia peradilan. hakim-hakim dari pengadilan negeri di daerah. Menteri Kehakiman Baharuddin Lopa yang menggantikan Menteri Yusril (2001) mengeluarkan “maklumat” yang mengingatkan hakim untuk bertindak jujur. Menteri Lopa juga telah menonaktifkan beberapa hakim yang dituduh menerima “hadiah”.
40
Rentetan kejadian sepanjang 1996-2001 menunjukkan bahwa tuduhan masyarakat dan kalangan hukum tentang pemberian “hadiah” kepada hakim untuk memperoleh putusan yang menguntungkan pemberi hadiah bukanlah suatu “dongeng”. Tuduhan adanya hakim yang koruptif tidak saja ditujukan pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi,
tapi juga pada Mahkamah Agung. Hal ini dipersoalkan oleh Adi Andojo Sutjipto ketika ia menjabat sebagai hakim agung pada 1996, dan sekali lagi semasa ia menjadi ketua TGPTPK pada tahun 2000. 25 Tuduhan sistem pengadilan yang koruptif juga dicanangkan oleh dunia internasional, antara lain oleh The International Commission of Jurist (1999) dan Bank Dunia, yang menyelenggarakan “Anti-Corruption Tuduhan adanya hakim yang Workshop” di Jakarta (Oktober 2000) dengan topik antara lain “Corruption and the Judicial System”. Bank Dunia koruptif juga melanda prihatin atas perkembangan Pengadilan Niaga di Jakarta Mahkamah Agung (dibentuk tahun 1999) yang menyidangkan gugatan permintaan kepailitan perusahaan debitor oleh perusahaan kreditor. Alasan hukum penolakan gugatan kepailitan oleh majelis hakim Pengadilan Niaga di Jakarta sering tak dapat diterima para kreditor. Tuduhan yang dilontarkan adalah bahwa hakim tidak menguasasi hukum (incompetent judges) dan hakim koruptif (corruptive judges). Dua-duanya sangat mencemarkan citra sistem pengadilan Indonesia. Tuduhan ICJ lebih parah lagi: “Kami antara lain diberitahu tentang kasus-kasus di mana para hakim mengubah perkara pidana menjadi perkara yang lebih ringan berkat pemberian hadiah uang. Begitu pula, para pihak yang berperkara diancam dengan kemungkinan diubahnya perkara perdata menjadi perkara pidana apabila mereka tidak melakukan pembayaran secara diam-diam. Dalam kasus lain, seorang hakim menyatakan akan bersikap lebih keras dalam menghadapi seorang tersangka pidana bila ia meminta bantuan seorang pengacara untuk mendampinginya. Ancaman serupa juga dilontarkan untuk mencegah pengajuan saksi-saksi... korupsi di kalangan para hakim, jaksa dan advokat cenderung berdampak langgeng. Pada saat orang menerima bahwa penyuapan telah menjadi ciri khas proses peradilan, dan bahwa tidak turut sertanya seseorang dalam pemberian uang dan perangsang akan merugikan orang tersebut dan pihak yang diwakilinya, maka pada saat itu pula akan berkembang budaya kepalsuan dan persekongkolan. Dewasa ini tampak seakan budaya semacam itu telah hadir di lingkungan hukum dan pengadilan Indonesia.” 26
41
Advokat dan Konsultan Hukum Meski persatuan advokat telah memprakarsai pemberantasan korupsi di pengadilan dengan tuduhannya tentang “mafia peradilan”, tetapi sekarang para advokat pun telah dicemari tuduhan sebagai salah satu penyebab meluasnya korupsi. Para advokat tampaknya menganggap tak ada gunanya melawan “budaya kepalsuan dan persekongkolan jahat”, karena bila tidak turut serta dalam praktek pemberian hadiah dan insentif, maka mereka akan merugikan diri sendiri dan pihak-pihak yang diwakilinya.27 Masyarakat kini cenderung melihat advokat dan konsultan hukum tidak lebih dari makelar perkara, seperti para perantara lain di kantor imigrasi dan kantor polisi. Kalau memang demikian halnya, maka sia-sialah pendidikan hukum di universitas yang mencetak “sarjana” hukum semacam itu. kini cenderung
Masyarakat melihat advokad dan konsultan hukum tidak lebih dari makelar perkara.
Keterlibatan advokat dalam “mafia peradilan” untuk sebagian disebabkan lemahnya kemampuan organisasi profesi advokat dalam mendisiplinkan anggotanya. Kelemahan ini disebabkan langkanya para advokat senior yang diakui integritasnya oleh masyarakat. Akan tetapi sebab utama kelemahan tersebut terletak pada para sarjana hukum yang memilih profesi advokat sebagai bidang pengabdiannya pada hukum dan masyarakat. Jika ini benar, maka pendidikan hukum di Indonesia telah turut serta dalam pelecehan profesi hukum sebagai suatu pengabdian pada tegaknya keadilan dan kebenaran. Sudah waktunya para advokat mencanangkan untuk Indonesia, bahwa benteng terakhir perjuangan keadilan adalah para advokat dan organisasi profesinya, dan bukan lagi pada pengadilan. Penegasan ini disarankan untuk menggugah rasa tanggung jawab profesi advokat tentang keadaan yang buruk di pengadilan Indonesia, dan bahwa mereka adalah salah satu penyebab keadaan ini. Karena itu komunitas advokat Indonesia harus siap bertanggung jawab atas perbaikannya. Notaris dan PPAT
42
Para notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diketahui luas turut serta dalam praktek pemberian “hadiah” di Departemen Kehakiman. Selain itu, mereka
menyumbang pula pada lahirnya “budaya yang penuh kepalsuan dan persekongkolan melakukan kejahatan” melalui akta-akta yang kadang kala tidak mengungkapkan fakta yang benar tentang identitas seseorang, tentang luas tanah, dan tentang harga transaksi jual beli. Tidak jarang akta semacam itu dibuat secara palsu untuk merugikan orang lain, seperti dalam kasus surat wasiat palsu atau akta jual beli tanah palsu. 28 Seperti organisasi advokat, organisasi notaris dan PPAT juga lemah dalam menerapkan sanksi disipliner pada anggotanya yang melanggar kode etik jabatan. Kelemahan organisasi dan etika ini pun disebabkan langkanya notaris senior yang diakui integritasnya, dan dijadikan teladan bagi para notaris baru. Pendidikan dan Rekrutmen Profesi Hukum Sering dikeluhkan bahwa lulusan fakultas hukum di Indonesia tidak “siap pakai” untuk bekerja dalam profesi hukum. Meski kemahiran hukum mereka dapat diasah lebih lanjut di tempat mereka bekerja, tapi tidak semua kantor advokat dan konsultan hukum mengajarkan kemahiran (skills) yang diiringi penanaman etika profesi dalam melakukan pekerjaannya sebagai seorang profesional. Ketakmampuan seorang advokat menggunakan pengetahuannya dapat menyesatkan kliennya. Ketakpahaman seorang yuris profesional akan kode etik profesi cenderung mendorongnya menempuh jalan pintas dan berkelakuan sebagai “calo” yang menjanjikan “hadiah” pada penegak hukum dan hakim demi kemenangan perkaranya. Antara pendidikan hukum di fakultas dan organisasi profesi tidak terjalin hubungan timbal balik yang menguntungkan. Ketimpangan ini hendaknya segera diatasi dengan suatu program pelatihan kemahiran hukum (legal skills training) dan pendidikan etika profesi serta standar kerja yang wajib dipertahankan dalam praktek profesional. Upaya ke arah ini sudah seharusnya dirintis melalui Komisi Disiplin Ilmu Hukum di Departemen Pendidikan Nasional, bekerja sama dengan Departemen Kehakiman.
43
Rekomendasi 29 Presiden hendaknya memaklumatkan kebijakan pemerintah di hadapan DPR/ MPR bahwa langkah pertama reformasi hukum adalah pemberantasan korupsi dalam sistem hukum dan sistem peradilan. Harus dinyatakan bahwa pemberantasan perbuatan koruptif akan dilakukan di bidang kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Departemen Kehakiman, serta menyangkut pula perbuatan koruptif oleh profesi hukum (advokat, notaris dan PPAT). Pemerintah harus menyediakan dana yang cukup untuk memperbaiki sistem hukum, sistem peradilan dan pendidikan hukum di universitas, untuk menunjang pemberantasan perbuatan koruptif dalam sistem hukum dan sistem peradilan Indonesia. Pelaksanaan kebijakan tersebut dilakukan melalui berbagai program, yang utama adalah: (1) Perlu dibangun konsensus di antara para hakim, jaksa, polisi, advokat, notaris, PPAT, kalangan pemerintah dan DPR, serta anggota masyarakat pada umumnya bahwa korupsi dalam sistem hukum dan sistem peradilan kita adalah memalukan dan tidak dapat lagi ditoleransi. Melalui berbagai forum pertemuan (seminar dan lokakarya) dengan dibantu oleh media massa, harus dinyatakan secara keras dan jelas bahwa korupsi akan diberantas dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah sekarang. Forum pertemuan ini dilakukan oleh Komisi Hukum Nasional dengan bantuan Departemen Kehakiman, kepolisian, kejaksaan dan Mahkamah Agung.
44
(2) Perlu disusun strategi yang jelas tentang penyelesaian kasus korupsi “besar” di masa lalu dan cara menangani kasus-kasus di masa mendatang dalam sistem hukum, sistem peradilan maupun sistem pemerintahan. Strategi ini tidak cukup dengan hanya membentuk Tim Gabungan dan Komisi berdasarkan UU No. 31/1999. Mekanisme penyampaian laporan oleh masyarakat tentang korupsi harus diatur secara terinci dan terbuka (corruption complaint procedure). Mekanisme ini perlu menyertakan publik melalui wakil-wakil LSM dan media massa, serta mewajibkan penyampaian laporan tertulis setiap tiga bulan kepada Komisi II (Hukum) DPR.
Penanganan kasus tetap dilakukan melalui jalur penyidikan dan penuntutan yang ada berdasarkan peraturan yang berlaku. Kepolisian, kejaksaan serta Tim Gabungan dan Komisi berdasarkan UU No. 31/1999, dan pengadilan juga harus menyampaikan laporan tertulis setiap tiga bulan tentang status perkara-perkara korupsi yang mereka tangani. Dalam semua laporan tertulis tersebut nama tersangka dan terdakwa dicantumkan dengan inisial saja, tapi tetap dengan jabatan atau kedudukan yang bersangkutan. Strategi dasar ini disusun bersama oleh Komisi Hukum Nasional bekerja sama dengan LSM dan instansi pemerintah. (3) Di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, dibentuk komisi pengawas yang berstatus independen dengan anggotanya 50% pensiunan dari masing-masing kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, 25% wakil dari universitas negeri dan 25% wakil LSM. Komisi pengawas ini memantau mekanisme penyampaian laporan korupsi tersebut dalam butir (2) dan berwenang menerima laporan masyarakat, khusus tentang korupsi di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Komisi-komisi ini hanya dibentuk di ibu kota provinsi dan memberikan laporan setiap tiga bulan kepada DPRD dengan tembusan ke DPR (Komisi II). Komisi Ombudsman Nasional menyusun peraturan perundang-undangan untuk pembentukan komisi pengawas ini. (4) Pada setiap ibu kota provinsi dibentuk Badan Pengawas Profesi Hukum. Badan ini merupakan suatu forum komunikasi antara Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi dan asosiasi-asosiasi profesi hukum advokat, notaris dan PPAT di wilayah pengadilan tinggi atau provinsi yang bersangkutan. Ia berfungsi sebagai forum komunikasi untuk mengatasi friksi, benturan, dan keluhan antara kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan profesi advokat, notaris dan PPAT. Badan ini juga bertindak sebagai lembaga banding terakhir dalam kasus sengketa mengenai penerapan sanksi disiplin oleh asosiasi profesi advokat, notaris dan PPAT dalam kasus pelanggaran standar kerja dan etika profesi terhadap anggotanya. Badan ini beranggotakan 25% pensiunan hakim atau jaksa yang tidak menjalankan praktek advokat, notaris atau PPAT, 25% pensiunan advokat, 25% pensiunan notaris dan 25% pensiunan PPAT. Laporan tertulis tiga bulan sekali disampaikan kepada DPRD dengan tembusan ke DPR (Komisi II). Komisi Hukum Nasional bekerja
45
sama dengan Komisi Ombudsman Nasional, Mahkamah Agung dan asosiasi profesi akan menyusun peraturan perundang-undangan untuk hal ini. (5) Di setiap ibu kota provinsi dibentuk Badan Akreditasi Pendidikan Profesi Hukum yang bertugas membina dan mengawasi pelatihan kemahiran hukum (legal skills training) serta pendidikan etika dan profesi hukum di fakultas-fakultas hukum. Badan ini juga membina dan mengawasi pendidikan untuk menjadi jaksa, hakim, advokat, notaris dan PPAT. Badan ini beranggotakan wakil-wakil dari pengadilan, kejaksaan dan asosiasi-asosiasi profesi hukum advokat, notaris dan PPAT, serta dipimpin oleh seorang dosen fakultas hukum. Laporan tertulis tiga bulan sekali disampaikan kepada DPRD dengan tembusan kepada DPR (Komisi II) dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Komisi Disiplin Ilmu Hukum pada Departemen Pendidikan Nasional akan menyusun peraturan perundangundangan untuk hal ini.
Kesimpulan Agar berhasil, pemberantasan korupsi di Indonesia harus dimulai dengan pemberantasan korupsi di dalam sistem hukum dan sistem peradilannya.
Catatan Schwarz, Adam, 1994. A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. St. Leonards, NSW 2065 Australia: Allen & Unwin Pty. Ltd. 1
Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (Kerja sama dengan Mochtar, Karuwin & Komar) 1999. Reformasi Hukum di Indonesia: Hasil Studi Perkembangan Hukum — Proyek Bank Dunia. Jakarta: CYBERconsult. 2
Skandal Bank Bali adalah kasus korupsi tipikal di mana tekanan politik dan campur tangan penguasa mewajibkan pengusaha memberi “hadiah” (gift) untuk memperoleh “imbalan” (favour). Pemberi imbalan adalah Bank Indonesia yang memanfaatkan ketakutan pengusaha (Bank Bali). 3
46
International Commission of Jurist. October 1999. Ruler’s Law: Mission to Indonesia. Chatelaine, Switzerland: International Commission of Jurist (ICJ), h. 53. 4
5
Reformasi Hukum di Indonesia. op. cit., h. 147.
Uraian teoretik disini antara lain dapat dibaca, misalnya dalam: Hagan, John, 1985. Modern Criminology: Crime, Criminal Behavior, and Its Control. New York: McGraw-Hill Book Company, dan Van Dijk, J.J.M. et. al. Pebruari 1999. Kriminologi Aktual (terjemahan Soemitro, SH dari judul asli: Actuele Criminologie). Surakarta: Sebelas Maret University Press. 6
Lihat juga Robert Klitgaard, 2001. Membasmi Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia (terjemahan Harmoyo dari judul asli: Controlling Corruption), yang mengkritik pendapat bahwa “korupsi disebabkan karena orang-orangnya tidak bermoral... dan yang dilakukan... pendidikan moral generasi demi generasi.” (h. xxi). 7
Dalam kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) terdapat perbedaan persepsi antara kalangan BI (hanya mengikuti peraturan yang berlaku) dan kalangan pengusaha (hanya menyelamatkan perusahaan mereka dalam keadaan krisis moneter yang sangat serius) dengan kalangan “reformasi” (telah terjadi kolusi yang sangat merugikan keuangan negara). 8
Pendekatan berbeda ini tentunya juga disebabkan oleh “politik”: siapa yang dirugikan dan siapa yang diuntungkan oleh korupsi serta oleh berbagai langkah memerangi korupsi? Lihat Robert Klitgaard, op. cit., h. 245-247. 9
Lee, Rance P.L., (editor), 1981. Corruption and Its Control in Hong Kong. Hong Kong: The Chinese University Press, h. 133 dst. 10
Moralitas masyarakat (Indonesia) menganggap bahwa bantuan dari orang yang lebih ahli (dokter atau dosen), meskipun dalam tugas pelayanan publik (public service) sepatutnya diberikan tanda terima kasih berupa hadiah; bandingkan dengan pendapat Robert Klitgaard, op. cit., h. 25-26 tentang pembayaran untuk jasa-jasa wajib (payment for licit service) dan pembayaran bagi jasa-jasa yang tidak halal (payment for illicit services), serta pungutan uang untuk menjamin agar langganan tidak dirugikan (extortion of bribes for refraining doing harm to the client). 11
Dikutip dari sumber International Bar Association (IBA-14 April 2000) oleh Mardjono Reksodiputro dalam presentasi dengan judul “Corruption and the Judicial System”. 12
47
12 Oktober 2000, dalam Indonesia: Anti Corruption Workshop yang diselenggarakan oleh World Bank di Jakarta. Lee, Rance P.L. (ed). op. cit., h. 22; bandingkan pula dengan Robert Klitgaard, op. cit., h. xix-xx, yang tidak ingin “membuang waktu untuk membahas... penyebab-penyebab dasar korupsi.” 13
Beberapa waktu yang lalu (±1998/1999) terjadi heboh besar karena Menteri Kehakiman “melepaskan” semua nama yang menunggu giliran ditempatkan sebagai notaris di berbagai kota kabupaten di Indonesia. Termasuk yang beruntung adalah anak dan menantu Menteri bersangkutan. Di samping penempatan ini dianggap “tidak adil” (nepotisme), keputusan melepaskan itu mendapat banyak kritik, a.l. karena hilangnya sumber utama negosiasi dengan hadiah dan imbalan di departemen yang bersangkutan, dan karena persaingan antar notaris dalam pasar yang dianggap sudah jenuh. 14
Mekanisme on-line dalam melakukan permohonan pengesahan atau pengubahan anggaran dasar PT, menimbulkan masalah baru, yaitu pembayaran biaya pengesahan resmi menjadi tinggi (kenaikan delapan kali), karena diurus oleh perusahaan swasta, dan adanya pengakuan Dirjen kepada wartawan: “...dalam penyelesaian proses pengesahan badan hukum... telah terhadi praktek suap, korupsi dan kolusi... dilaksanakan secara terorganisasi selama 30 tahun....” (Pos Kota, 7 Maret 2001). 15
Ada dugaan kuat bahwa salah satu sumber terjadinya korupsi dalam kantor pelayanan publik adalah tidak adanya ketentuan yang transparan, jelas, dan rinci tentang bagaimana cara mengajukan permohonan dan syarat-syarat memperoleh izin. Kemungkinan hal ini disengaja untuk memberi kewenangan pejabat memberikan “diskresi” (istilah Indonesia: “kebijaksanaan”) sebagai “imbalan” dari “hadiah” yang diberikan. Yang juga merupakan sumber korupsi adalah tidak adanya tata cara pengaduan (complain procedure) yang jelas untuk mereka yang merasa diperlakukan tidak adil. 16
Pe r d a g a n g a n b a r a n g n a r k o t i k s u d a h s a n g a t m e l u a s d i l e m b a g a - l e m b a g a pemasyarakatan besar. Kalau pada tahun 1970-an sampai 1980-an masih berupa ganja (marijuana) sekarang sudah sampai pada “hard drugs” (heroin, dsb.). (Informasi ini diberikan oleh beberapa ex-narapidana dan diperoleh secara konfidensial). Berbeda dengan petugaspetugas lainnya, maka perlu diperhatikan bahwa hubungan petugas dengan narapidana 17
(guard-inmate interaction) adalah sangat khusus. Petugas sangat bergantung pada narapidana dalam melakukan pekerjaannya secara baik. Kerja sama narapidana diperlukan. Karena itu petugas sering pula berusaha mencari “favor” dari komunitas narapidana dengan memberi “hadiah” menutup mata terhadap pelanggaran-pelanggaran oleh tokoh-tokoh narapidana. Hubungan “giver” dan “receiver” (yang punya “power”) menjadi terbalik (lihat catatan 13 di depan). Diskusi yang pernah dilakukan tentang korupsi di sistem peradilan menghasilkan pendapat yang menarik a.l. seperti berikut: (a) hakim yang menerima hadiah tidaklah salah, asal dia menerimanya setelah putusan diucapkan dan dia jangan berlaku tidak jujur atau tidak adil dalam putusannya; (b) hakim yang ditempatkan di pengadilan negeri yang terpencil, dengan rumah yang sederhana dan tidak ada sekolah yang baik untuk anak-anaknya, wajar mengusahakan “tambahan pemasukan”; semua pegawai negeri melakukannya; (c) adalah wajar apabila advokat yang dapat memperoleh penghasilan yang besar dari kliennya, juga mau membagi hasil itu dengan para penegak hukum dan hakim (a dan b dinyatakan oleh hakim agung dan c oleh seorang advokat senior yang sangat sukses prakteknya). Bandingkan dengan pendapat Robert Klitgaard, op. cit., h. 82-85, yang mengkritik pendapat tentang faktor kebudayaan yang menguntungkan korupsi dengan alasan bahwa perbedaan budaya dapat disalahgunakan sebagai penjelasan mendukung korupsi (lihat pula bab 6, h. 177-207, pembenturan antar kebudayaan). 18
Keadaan kepolisian Hong Kong pada awal tahun 1970-an adalah pula seperti ini, seperti diuraikan dalam laporan Sir Alastair Blair-Kerr (1973) yang dikutip Robert Klitgaard, op. cit., h. 6-7 (dalam bab 4, h. 130-160 diuraikan bagaimana Hong Kong mengatasinya melalui Independent Commission Against Corruption/ICAC). 19
Lihat pula, International Crisis Group, 20 Pebruari 2001. Indonesia: National Police Reform. Jakarta/Brussels: ICG Asia Report No. 13, yang melaporkan bahwa polisi sering menerima... “tokens of appreciation from tycoons who have benefited from police protection.” (h. 10-11). Juga dalam Van Zorge, Heffernan & Associates. September 25, 2000, dikatakan adanya “...extensive network of private arrangements between military commanders and Indonesia’s wealthy businessmen” (h. 6). 20
Masyarakat yang ingin sekali adanya tokoh pengusaha atau kroni dekat mantan Presiden Soeharto di bawa ke pengadilan atas dasar kasus korupsi besar (proyek pembangunan jalan raya, kontrak pembangkit listrik, perbankan) sangat kritis (marah), seperti terbaca di surat 21
kabar atau terdengar dalam acara diskusi interaktif di televisi, karena melihat ketidakmampuan sistem peradilan pidana Indonesia. Pilot yang membawa “pil ecstacy” dalam jumlah banyak dalam rompi baju yang dipakainya, akhirnya harus dibebaskan oleh pengadilan Belanda karena ada kesalahan teknis penangkapan dan interogasi oleh polisi Belanda. Di Indonesia tidak ada “celaan” atas perbuatan pilot ini, malahan duta besar Indonesia di Belanda sibuk membela si pilot. Polisi Indonesia “menutup mata”; kabar di masyarakat: keluarga Cendana merupakan “stakeholder” dalam perdagangan narkotika di Indonesia (tentunya dengan perlindungan dari perwira angkatan bersenjata, termasuk perwira kepolisian). 22
Seperti dapat terlihat dari sumber-sumber dan catatan no. 20 dan no. 22, polisi (termasuk unsur-unsur angkatan bersenjata lain) bekerja sangat erat dengan “big-business”, tetapi imbalan yang diminta oleh pengusaha dari polisi dan tentara adalah “perlindungan”, yang sering termasuk pula tindakan: “...threats and intimidation of business competitors, eviction of small holders from land and beatings and murder of those who might threaten the system” (Van Zorge, h. 7). Contoh “kerja sama” ini bukan tidak mungkin terjadi antara (oknum) polisi dengan organisasi preman yang menguasai tempat-tempat perdagangan tertentu di kota-kota. Perhatikan pula apa yang sedang (akan) terjadi di DKI Jaya tentang “pemberantasan mafia-preman”, dengan keterangan-keterangan pejabat yang saling bertentangan di media massa. 23
Di bawah pimpinan Jaksa Agung Marzuki Darusman telah (sedang) dilakukan pada awal 2001 ini, audit kelembagaan dengan bantuan ADB. Ini adalah kebijaksanaan yang berani. Diharapkan bahwa lembaga-lembaga lain: kepolisian, Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman juga berani melakukan hal yang sama. Melalui cara yang berbeda mantan — Kapolri Drs. Kunarto telah mencoba pembaruan di Kepolisian dengan menerjemahkan sejumlah buku ke dalam bahasa Indonesia. Melalui buku-buku itu (diterbitkan dalam bahasa Indonesia tahun 1998/1999) kepolisian Indonesia dapat menemukan jati dirinya dalam era reformasi; a.l. buku-buku iu adalah: Het Blauwe Recht — Op Weg naar een Beroepscode van de Politie (Tentang Kode Etik Polisi; asli 1986); Thomas Barker dan David L. Carter, 1986. Police Deviance. David H. Bayley, 1994. Police for the Future. 24
Adi Andojo Sutjipto baru saja (Maret 2001) mengundurkan diri sebagai Ketua Tim Gabungan karena tidak melihat manfaat Tim ini dalam memberantas korupsi. 25
50
26
International Commission of Jurist, op.cit., h. 49.
Ujian Pengacara Praktek yang diselenggarakan oleh pengadilan tinggi setiap tahunnya (3 hari berturut-turut) adalah salah satu pengalaman pertama seorang calon advokat menemui negosiasi “hadiah” dengan “imbalan” lulus ujian, dalam kariernya yang akan datang. 27
Kasus nyata adalah adanya perkara pidana tentang seorang notaris yang dituduh memalsukan dokumen surat wasiat bersama-sama beberapa orang ahli waris, pegawai pengadilan negeri dan Seksi Wasiat pada Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. 28
Rekomendasi ini tidaklah terlepas dari persepsi penulis yang ingin menggiatkan pengawasan ekstern dengan keterlibatan komunitas hukum sendiri (pemberantasan korupsi harus dimulai dari pengakuan yang terlibat: polisi, jaksa, hakim, advokat, notaris/PPAT dan pegawai departemen kehakiman bahwa memang korupsi dalam tubuh organisasi mereka sudah memalukan). Sebagai bahan perbandingan dapat pula dipertimbangkan pemikiran dalam buku Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Maret 1999. Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Bab 2: 31-80, yang membaginya dalam strategi: preventif, detektif dan represif (BPKP juga sudah mengedarkan kuesioner kepada masyarakat, untuk dikembalikan sebelum 30 Juni 1999, untuk mengetahui tanggapan tentang strategi ini. Hasilnya belum dipublikasikan). Buku Robert Klitgaard, op. cit., juga membahas strategi pelaksanaan dalam bab 7: 208-251 dan menawarkan 7 langkah termasuk mencari seorang Mr. Clean dan memberikan dukungan padanya. 29
Kepustakaan Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (Konsultan Hukum) (1999). Reformasi Hukum di Indonesia: Hasil Studi Perkembangan Hukum - Proyek Bank Dunia. Jakarta: CYBERconsult. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (1999). Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional. Jakarta: BPKP. Hagan, John (985). Modern Criminology: Crime, Criminal Behavior, and Its Control. New York: Mc.Graw-Hill Book Company.
51
International Commission of Jurists (1999). Ruler’s Law: Mission to Indonesia. Chatelaine, Switzerland: International Commission of Jurists (ICJ). International Crisis Group (2001). Indonesia: National Police Reform. Jakarta/Brussels: ICG Asia Report No. 13. Klitgaard, Robert (2001). Membasmi Korupsi (terj. Harmoyo dari judul asli Controlling Corruption). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Lee, Rance P.L., ed. (1981). Corruption and Its Control in Hong Kong. Hongkong: The Chinese Univesity Press. Reksodiputro, Mardjono (2000). “Corruption and the Judicial System” (presentasi slide). Jakarta: World Bank’s Anti-Corruption Workshop. Schwarz, Adam (1994). A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990’s. St. Leonards, NSW 2065 Australia: Allen & Unwin Pty. Ltd. Van Dijk, J.J.M. et. al. (1999). Kriminologi Aktual (terj. Soemitro, SH dari judul asli Actuele Criminologie). Surakarta: Sebelas Maret University Press. Zorge, Van, Heffernan & Associates (2000). Van Zorge Report on Indonesia. Jakarta: Report II/16.
52
Korupsi di Sektor Perbankan Oleh Lin Che Wei
Pendahuluan Riset atas praktek korupsi dalam sistem perbankan di Indonesia merupakan suatu kegiatan yang lumayan baru. Dalam upaya untuk menentukan penyebab dan akibat korupsi dalam sistem perbankan, kita perlu memusatkan perhatian pada akibat, penyebab dan modus operandi seperti apa yang terdapat dalam praktek korupsi tersebut. Hal-hal ini secara garis besar didasarkan pada observasi secara profesional dan rujukan dari riset percobaan yang sedang dilakukan dalam bidang-bidang perbankan. Karena data untuk membuktikan suatu praktek korupsi kurang tersedia bagi publik, saya kadang kala mengumpulkan dan mengamati praktek korupsi untuk menentukan sistem perbankan dan risiko-risiko negara, selain menggunakan data-data tersebut untuk memberikan saran kepada para investor kami. Sumber-sumber lainnya, seperti survei, telah kami kumpulkan dalam beberapa tahun belakangan ini untuk menilai kualitas suatu bank dan memperkirakan sejauh mana korupsi mempengaruhi integritas lembaga-lembaga keuangan. Data-data ini telah terbukti berguna untuk investigasi sebagaimana diuraikan di sini secara terinci. Dalam banyak hal, data mengenai korupsi merupakan penilaian subyektif, sebab persepsi tersebut secara umum merupakan indikator yang bagus untuk mengetahui tingkat korupsi yang sebenarnya.
53
Namun sayang, kami tidak dapat memakai pendekatan Goel dan Nelson [1998] serta Fisman dan Gatti [1999], yang menggunakan jumlah pejabat publik yang terbukti menyelewengkan jabatan di berbagai negara bagian di Amerika Serikat, dengan asumsi bahwa hal tersebut dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui tingkat korupsi yang sebenarnya karena data ini tidak secara luas dilaporkan, dan fakta bahwa pemecatan pejabat publik karena korupsi bukanlah praktek yang umum dilakukan. Kami akan memberikan gambaran dan sifat serta sejauh mana masalah ini terdapat di sektor tersebut. Kami berusaha memberi penekanan pada masalah yang ada di bank sentral, Badan Penyehatan Perbankan Indonesia (BPPN), bank-bank negara, bank-bank swasta dan bank-bank yang telah direkapitalisasi.
Dampak Korupsi pada Sektor Perbankan Dampak 1: Berkurangnya Kepercayaan pada Sistem Perbankan yang Secara Langsung akan Mengurangi Investasi Berkurangnya kepercayaan publik terhadap sistem perbankan domestik secara jelas tercermin dalam biaya deposito yang lebih tinggi yang harus dibayar oleh bank lokal dibanding bank asing. Tanda lainnya yang sangat jelas adalah makin banyaknya cabang bank-bank asing swasta yang menawarkan jasa perbankan kepada deposan lokal.
54
Secara tidak langsung, terkikisnya kepercayaan publik ini juga mengurangi investasi secara keseluruhan. Investigasi pertama atas dampak korupsi terhadap investasi dalam a cross-section negara-negara, dilakukan oleh Mauro [1995]. Ia menggunakan indeks korupsi yang lebih tua yang disajikan oleh Business International (BI), suatu firma swasta yang menjual indeks tersebut beserta indikator-indikator terkait dari negara-negara yang berisiko kepada bank, perusahaan multinasional, dan investor-investor lainnya. Saya menemukan bahwa dalam suatu sampel atas 67 negara, korupsi berdampak negatif terhadap rasio investasi dan produk nasional bruto (GDP).
Yang menarik, argumen Mauro mungkin tidak berlaku pada rezim Soeharto — arus investasi relatif tetap tinggi meski terdapat korupsi dalam tingkat tinggi. Dalam Laporan Perkembangan Dunia [1997: 34] ada kutipan pendapat seorang pengusaha yang menyadari bahwa “ada dua macam korupsi. Yang pertama adalah di mana Anda membayar harga biasa dan Anda mendapatkan apa yang Anda inginkan. Yang kedua, Anda membayar apa yang Anda telah setujui untuk membayarnya dan Anda pulang lalu terjaga setiap malam, mencemaskan apakah Anda akan mendapatkannya atau mungkin seseorang malah akan memeras Anda.”
Transparansi yang buruk dan Hal ini sangat membedakan korupsi antara sebelum dan sesudah rezim Soeharto. Selama rezim Soeharto, meski tingkat korupsi yang tinggi tingkat korupsi sangat tinggi dalam sistem perbankan, baik meningkatkan risiko-risiko investasi domestik maupun asing memperlakukan korupsi kredit sebagai suatu biaya untuk mencapai suatu hasil dalam bisnis. Setelah rezim Soeharto jatuh, korupsi tetap merajalela, namun para investor menjadi frustrasi karena kendati mereka telah membayar sejumlah uang untuk “melicinkan” kegiatan bisnis mereka, mereka mungkin tidak akan mendapatkan manfaat secara penuh. Perubahan ini jelas mengakibatkan kecenderungan menurunnya investasi. Fons (1999) menunjukkan hubungan yang signifikan antara Indeks TI dan peringkat kekuatan finansial bank-bank versi Moody. Indeks Moody bertujuan menyajikan kepada para investor dan kreditor antarbank suatu patokan mengenai keamanan dan kemapanan suatu bank, seraya mengesampingkan faktor-faktor yang berkaitan dengan risiko negara (country risk). Indeks TI mengungkapkan risiko default yang dikeluarkan oleh suatu pemerintah bagi kewajiban-kewajiban utang. Fons menyatakan bahwa transparansi yang buruk dan tingkat korupsi yang tinggi meningkatkan risiko-risiko kredit. Mereka yang memegang deposito atau memberi pinjaman kepada bank-bank tersebut, sangat mungkin untuk mengundurkan diri. Maka, kita harus memperhatikan dampak korupsi terhadap pergerakan modal. Ini jelas dapat dilihat oleh publik pada sulitnya bank lokal menarik modal asing untuk membangun kembali sistem perbankan.
55
Dampak 2: Penundaan Bantuan Asing dan Pinjaman Bilateral Lainnya Pembatalan atau penundaan pencairan dana Dana Moneter Internasional (IMF) untuk membangkitkan ekonomi Indonesia jelas menunjukkan pentingnya pemberantasan korupsi dalam sistem perbankan. Contoh mutakhirnya adalah kasus Bank Bali. Alesina dan Weder [1999] melakukan investigasi untuk mengetahui apakah pemerintahan yang korup menarik atau merintangi bantuan dari negara-negara OECD. Dalam studi empiris itu, mereka memakai berbagai ukuran korupsi dan melakukan investigasi atas sampel negara-negara yang berbeda. Dengan menguji pelbagai spesifikasi regresi, mereka tidak menemukan bukti bahwa negara-negara yang korup diperlakukan secara diskriminatif oleh para donor asing. Negara-negara korup malah Justru kebalikannya: negara-negara korup malah mungkin mungkin lebih lihai dalam lebih lihai dalam menarik bantuan dari negara-negara OECD.
menarik bantuan dari negaranegara OECD.
Akan tetapi, kasus Indonesia menunjukkan perubahan dari sikap tersebut. Mari kita perhatikan komentar Bank Dunia yang menekankan betapa pentingnya pemberantasan korupsi dalam sistem perbankan. Dalam sebuah surat kepada Presiden B.J. Habibie, Direktur Bank Dunia Wolfensohn menegaskan: “Sangat jelas bahwa Indonesia perlu mereorganisasi diri secara internal untuk dapat terus tumbuh. Jika Anda ingin memastikan bahwa terdapat stabilitas dalam negara Anda, Anda memerlukan pertumbuhan dan... perlu menyediakan sumber-sumber untuk itu. Tetapi, tidak akan masuk akal untuk menyediakan sumber-sumber sebelum Anda memperbaiki fondasi dan (sebelum) mereka berhenti mencuri seluruh uang yang telah disediakan untuk menghasilkan pemulihan.” Dampak 3: Hilangnya Fungsi Perantara Keuangan
56
Akibat terburuk dari praktek korupsi adalah hilangnya fungsi perantara keuangan bank-bank. Perusahaan-perusahaan tidak akan mendapat pembiayaan untuk proyek mereka yang layak, sementara para deposan tidak akan menerima hasil yang baik atas deposito mereka.
Penyebab-penyebab Korupsi Rendahnya semangat kompetisi dan kurangnya persaingan di kalangan bank telah menyebabkan munculnya korupsi dalam sistem perbankan. Kurangnya Kebebasan Pers selama Rezim Soeharto Ini jelas menggarisbawahi studi Brunetti dan Weder [1998b]. Mereka menunjukkan bahwa pers yang bebas dapat efektif menangkal korupsi. Variabel-variabel untuk hal itu terdiri atas “hukum dan perundang-undangan yang mempengaruhi isi media”, “pengaruh politik atas isi media”, “pengaruh ekonomi atas isi media” dan “tindakan-tindakan represif” sebagaimana dikumpulkan oleh Freedom House. Keempat indeks ini dan sebuah indeks agregasi tentang kebebasan pers, semuanya berdampak negatif terhadap tingkat korupsi dalam berbagai bentuk. Brunetti dan Weder [1998c] meneliti dampak keterbukaan dan demokrasi terhadap tingkat korupsi di sejumlah negara dalam berbagai masa. Dengan menggunakan urutan waktu (time series) untuk tingkat demokrasi, mereka melaporkan menurunnya tingkat korupsi di Korea Selatan, Paraguay dan Bolivia, sebagaimana diukur oleh indeks korupsi PRS. Kami yakin bahwa hasil-hasil ini dapat pula terjadi di Indonesia, karena kita lihat bahwa tumbuhnya kebebasan pers telah menghasilkan beberapa hal positif untuk menangkal praktek korupsi. Sistem Hukum yang Lemah
Tumbuhnya kebebasan pers menghasilkan beberapa hal positif untuk menangkal praktek korupsi.
Sistem hukum yang sangat lemah juga turut menyebabkan tingginya tingkat praktek korupsi di Indonesia. Sebagaimana ditunjukkan dengan jelas oleh kasus Manulife dan Panca Overseas Finance (POFI), sistem hukum yang sangat lemah telah menggoda banyak pihak yang tak bermoral untuk memanfaatkannya guna melakukan korupsi. Sebuah pendekatan dalam Laporan Perkembangan Dunia [1997: 104 dan 168] memusatkan perhatian
57
pada kualitas suatu sistem hukum. Selain dapat mengontrol variabel-variabel penjelas lainnya, indeks tentang tingkat kepastian sistem hukum dari WB/UB mempengaruhi tingkat korupsi di 59 negara secara signifikan. Korelasi serupa antara korupsi dan kemandirian sistem hukum diajukan dalam Ades dan Di Tella [1996]. Proses Pengangkatan, Gaji dan Sistem Hukum Tiadanya meritokrasi dalam sistem perbankan Indonesia juga turut menyebabkan tingginya tingkat korupsi. Dampak rekrutmen berdasar merit sistem terhadap korupsi di 35 negara telah diteliti oleh Evans dan Rauch [1996]. Nilai-nilai yang lebih tinggi dalam indeks rekrutmen berdasar sistem merit dikaitkan dengan proporsi para pegawai tingkat tinggi yang lebih besar di lembaga-lembaga penting ekonomi, baik dalam hal pemilikan gelar universitas maupun untuk menjadi pegawai negeri melalui sistem ujian formal. Dengan pendapatan dipertahankan pada tingkat yang sama, hasilnya menunjukkan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan, makin rendah kecenderungan untuk terlibat dalam praktek korupsi. Tingkat pendidikan rata-rata Negara-negara korup malah pagawai bank-bank pemerintah di Indonesia sangat lebih rendah dibanding di bank-bank asing. mungkin lebih lihai dalam
menarik bantuan dari negaranegara OECD.
58
Kecenderungan lainnya untuk melakukan korupsi adalah rendahnya gaji. Rijckeghem dan Weder (1997) menyatakan bahwa gaji yang rendah di lingkungan pegawai negeri memaksa mereka untuk menambah penghasilannya dengan cara yang tidak halal, sementara jika gaji mereka tinggi mereka akan takut melakukan korupsi, sebab bila ketahuan itu berarti suatu kehilangan yang besar. Kurangnya penjatuhan hukuman, sebagaimana dapat kita lihat dari sangat sedikitnya kasus pemecatan pejabat publik karena korupsi, jelas menunjukkan bahwa kombinasi antara gaji rendah dan kurangnya sanksi telah mendorong terjadinya korupsi dalam sektor perbankan di Indonesia. Dalam suatu sampel yang kecil terdiri dari 28 negara berkembang, mereka menemukan pengaruh negatif yang sangat berarti atas tingkat korupsi dengan membandingkan gaji pegawai negeri dengan gaji karyawan di bidang manufaktur. Pelipatgandaan gaji pegawai negeri, yaitu dari 1 menjadi 2, akan memperbaiki indeks korupsi
sebanyak 2 angka pada indeks TI. Kalau kita perhitungkan juga adanya pengaruh-pengaruh yang kurang langsung, dampaknya mungkin lebih besar lagi. Namun, saya ingin membedakan antara penyebab dan akibat: Apakah rendahnya gaji disebabkan oleh praktek korupsi, karena negara-negara yang korup cenderung kekurangan sumber untuk membayar gaji pegawai negeri mereka, ataukah rendahnya gaji yang menjadi penyebab utama terjadinya korupsi? Studi-studi yang lebih baru dari Swamy dan kawan-kawan [1999] dan [Treisman 1999a], yang antara lain meneliti dampak korupsi terhadap gaji rata-rata pegawai negeri sebagai suatu perkalian dari GDP per kapita, juga mengamati berbagai pengaruh lainnya. Hasilnya tidak jelas dan umumnya tak signifikan. Unsur-unsur Penentu dari Segi Budaya (Determinan Budaya) Beberapa masyarakat dicirikan oleh tingkat praktek korupsi yang tinggi. Unsurunsur budaya secara jelas berdampak sangat penting terhadap praktek korupsi dalam sistem perbankan.
Sifat dan Lingkup Masalah Korupsi di Bank Indonesia dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional “Bank Indonesia adalah sarang penyamun,” kata pengamat ekonomi yang kini menjabat Deputi Gubernur Bank Indonesia, Anwar Nasution. Pernyataan ini memunculkan pertanyaan mengenai integritas dari otoritas moneter tertinggi di Indonesia itu. Fungsi Bank Indonesia sebagai benteng terakhir kreditor yang sekaligus memiliki kewenangan penuh telah menjadi subyek perdebatan sengit. Baru-baru ini, IMF juga meminta agar prinsip restrukturisasi utang di BPPN, dan seluruh alasan di baliknya, diungkapkan. Kedua kasus ini menunjukkan betapa seriusnya korupsi di Indonesia serta implikasinya pada sistem perbankan. Dua tahun lalu, kedua lembaga tersebut terlibat dalam skandal keuangan yang menggemparkan. Inilah bagian ringkasan atas audit oleh PriceWaterhouseCoopers terhadap
59
penanganan BI dan BPPN dalam skandal Bank Bali itu: “Selama berlangsungnya penyelidikan kami, diperoleh bukti-bukti yang sangat banyak dari Bank Indonesia dan BPPN yang membuktikan pandangan bersama mereka bahwa tagihan-tagihan Bank Bali secara administratif tidak berlaku (ineligible). Meskipun terdapat ineligibilitas ini, Bank Indonesia dan BPPN kemudian memproses tagihan-tagihan Bank Bali. Akibatnya, mereka mencuri uang tersebut tanpa niat untuk mengembalikannya.” Karena itu saya ingin menegaskan kembali pentingnya transparansi untuk memerangi korupsi dalam sistem perbankan di Indonesia. Dalam hal ini perlu diingat bahwa transparansi hanya dapat membantu mencegah suatu krisis keuangan, dan tidak boleh dipandang sebagai obat bagi sistem-sistem yang sudah berada dalam keadaan gawat. Tetapi, dalam jangka yang lebih jauh, upaya untuk meningkatkan transparansi yang dipadukan dengan metode rekapitalisasi yang benar, akan mampu memulihkan industri perbankan. Dalam suatu sistem yang sudah gawat, transparansi malah mungkin akan mempercepat proses kehancuran. Namun, saya menyebutnya sebagai proses “kehancuran yang positif”, karena transparansi akan memberi kesempatan kepada pihak yang berwenang untuk mengkaji, membersihkan dan menerapkan sebuah sistem baru. Dengan kerangka inilah tulisan ini disusun. Tujuannya bukan untuk menuding siapapun, tapi merupakan refleksi guna memperbaiki sistem perbankan. Transparansi dan Sistem Perbankan Transparansi yang lemah meningkatkan biaya-biaya pendanaan, terutama pada masa krisis finansial. Transparansi yang buruk di Indonesia dicirikan oleh kekuatan ekonomi yang tak terkendali dari para konglomerat, kaum birokrat teras atau mereka yang biasa korup. Karena korupsi adalah praktek budaya yang sudah sangat mengakar di Indonesia, maka mungkin diperlukan waktu bertahun-tahun untuk membiasakan praktek transparansi.
60
Krisis keuangan yang mempengaruhi semua bidang termasuk mata uang, obligasi dan pasar saham di Indonesia, turut berperan pada mengecilnya pasok kredit ke Indonesia.
Suatu solusi yang permanen bagi krisis perbankan di Indonesia akan memerlukan pemulihan kepercayaan publik dan juga kepercayaan bank-bank internasional terhadap bank-bank Indonesia. Ini bukan hanya memerlukan restrukturisasi besarbesaran, rekapitalisasi tambahan dan transparansi yang kredibel dalam proses perbankan. Syarat pertama dan kedua telah dilakukan, namun kita melihat sedikit sekali perbaikan yang diupayakan pemerintah untuk meningkakan transparansi perbankan yang kredibel. Kita lihat bahwa jaminan-jaminan luas yang tak realistis, yang sangat sumir dan hanya sedikit memperbaiki transparansi, tidak akan cukup untuk menarik para deposan, investor asing dan kreditur antarbank untuk kembali memberikan kepercayaan pada sistem perbankan Indonesia. Para stakeholders potensial ini bukan hanya menuntut laba dan kemampuan untuk melunasi (solvency), namun yang lebih penting... transparansi. Karena korupsi
adalah praktek budaya yang sudah mengakar, mungkin diperlakukan bertahun-tahun untuk membiasakan transparansi
Sayangnya, transparansi yang berlaku selama ini mengungkapkan aspeknya yang buruk, yang justru menunjukkan rendahnya solvensi, buruknya kualitas aset dan jeleknya praktek perbankan, dan semua ini cenderung makin menggoyahkan kepercayaan para kreditur, dan melenyapkan basis ekuiti para pemegang saham yang ada. Meski telah dilakukan restrukturisasi dan rekapitalisasi atas bank-bank, sayangnya beberapa di antaranya yang baru-baru ini menjalankan operasi-operasi pengumpulan modal (seperti BII, Bank Lippo, dll.), kembali mengalami masalah lama. Kita juga melihat para investor asing (misalnya Standard Chartered Bank dalam skandal Bank Bali) makin dicederai, dan dengan demikian kredibilitas Indonesia kian terpuruk. Dan yang terpenting, pengungkapan tentang buruknya kualitas aset dan insolvensi yang disebabkan oleh kurangnya modal, sangat mungkin menunjukkan korupsi dan ketidakcakapan di lapisan manajer, yang membutuhkan perubahan lebih lanjut terhadap manajer yang ada. Inilah penyebab utama mengapa manajemen bank di Indonesia kurang mendukung peningkatan transparansi di bank-bank mereka.
61
Secara teoretis, transparansi yang kredibel dapat dijalankan jika pemeriksaan bank dilakukan secara lugas dan oleh pihak yang dapat dipercaya. Sebagai contoh, penilaian Bank Indonesia bahwa pinjaman Grup Sinar Mas telah diklasifikasi sebagai kasus pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan bukan pelanggaran BMPK, jelas merupakan contoh bagaimana pemeriksaan bank seharusnya dilakukan atas dasar yang lebih kredibel. Definisi ini (“Pelampauan BMPK”) memungkinkan BII untuk ikut dalam skema rekapitalisasi, meski pada pemeriksaan berikutnya terungkap jelas bahwa bank tersebut tidak dapat memenuhi kriteria rekapitalisasi. Maka, sangat penting bahwa kebijakan klasifikasi utang diterapkan dan dijalankan oleh para birokrat yang independen dan tidak korup. Perbaikan sistem perbankan Pertanyaan besarnya adalah bagaimana kita menemukan para birokrat semacam ini. tidak dapat dicapai tanpa
perbaikan kualitas pegawai negeri.
Perbaikan sistem perbankan tidak dapat dicapai tanpa perbaikan kualitas pegawai negeri. Para pegawai negeri yang bersih dan independen dapat berperan penting dalam memperbaiki sistem perbankan. Karena itu saya sangsi bahwa transparansi dan solvensi dapat dicapai di Indonesia dalam jangka dekat. Maka dalam beberapa tahun mendatang, tantangan besar bagi Indonesia adalah bagaimana memulihkan kepercayaan publik, para deposan dan investor asing. Diskusi dan Analisis Korupsi di Bank Indonesia dan BPPN merupakan isu besar, dan saya hanya mencoba untuk menekankan beberapa kasus yang sangat signifikan dan berdampak luas. Kasus 1: Skema Jaminan Umum atas Deposito
62
Seluruh bank yang ditutup, dilikuidasi dan diambil alih oleh pemerintah menerima suatu jaminan umum (blanket guarantee scheme) atas semua deposito. Ketika mereka bangkrut atau menghadapi kesulitan keuangan, para pembayar pajak Indonesia-lah yang
membayarnya. Karena Bank Indonesia merupakan regulator keuangan, bank-bank tersebut hanya dapat ditutup oleh BI. Jelas pula bahwa BI dan BPPN telah mulai mengajukan gugatan terhadap beberapa pemilik bank, sementara yang lainnya mendapatkan perlakuan yang lebih ringan, tergantung pada afiliasi politik mereka. Berdasarkan pengamatan saya, jelas bahwa sistem ini telah sangat disalahgunakan dan telah terjadi penggelapan dana lantaran skema jaminan umum ini. Jaminan umum, walaupun mungkin merupakan alat yang berguna dilihat dari sudut risiko sistemis, bisa mengarah ke masalah bahaya moral (moral hazard). Dilihat dari keterbatasan sumber-sumber yang tersedia, jaminan-jaminan tersebut jelas menambah beban terhadap sistem yang sudah amat tertekan. Kasus 2: Skandal Bank Bali - Mencoreng Reputasi BI dan BPPN Kontroversi ini berkisar di seputar pembayaran lebih dari US$70 juta oleh PT Bank Bali kepada sebuah perusahaan yang dikelola oleh Setya Novanto — tokoh terkemuka partai Golkar yang berkuasa — untuk mencairkan pembayaran utang dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Mantan direktur utama Bank Bali, Rudy Ramli, mengatakan bahwa ia telah berusaha berbulan-bulan untuk menagih kredit-kredit tersebut melalui jalurjalur resmi sebelum berpaling ke Novanto, yang menawarkan untuk mendapatkan kembali uang tersebut — dengan komisi sebesar 60%, suatu jumlah yang lazim dicuri oleh para pejabat pemerintah dari proyek-proyek domestik maupun proyek-proyek pembangunan bantuan asing. Kasus 3: Kerahasiaan Bank dan Transaksi Restrukturisasi Utang Dengan cara-cara yang tipikal, Bank Indonesia berusaha menghalangi penanganan skandal tersebut dengan bersembunyi di balik kerahasiaan bank dan kerahasiaan transaksi restrukturisasi utang. Pada 20 September 1999 BI menyatakan bahwa undang-undang kerahasiaan bank melarang mereka untuk menerbitkan hasil audit independen terhadap suatu skandal perbankan yang sedang terjadi, meski donor-donor internasional meminta agar investigasi atas kasus ini dilakukan secara transparan. Pejabat Divisi Manajemen Aset Kredit BPPN terus berusaha mencegah pemberian penjelasan mengenai prinsip transaksi restrukturisasi utang, yang amat sering muncul
63
sebagai transaksi yang patut dipertanyakan dalam kaitannya dengan aspek bisnis, dan kadang kala mengarah pada kesan bahwa pemerintah menggunakan uang rakyat untuk menyelamatkan konglomerat ataupun pihak tertentu. IMF telah meminta BPPN untuk lebih transparan dan menjelaskan prinsip restrukturisasi utang yang dianutnya. Saya mencoba membuat daftar sejumlah praktek di BPPN yang bisa menunjukkan potensi terjadinya praktek-praktek korupsi:
• Jadwal pembayaran kembali — suatu kecenderungan yang bisa menimbulkan masalah di masa depan. Sebagai contoh: Grup Sinar Mas (GSM) dan Texmaco mendapatkan jadwal pembayaran baru dengan struktur pembayaran tanpa alasan komersial yang jelas bahwa pengutang akan dapat memenuhi kewajiban mereka di kemudian hari.
• Kegagalan untuk merealisasikan jaminan karena debitor mengajukan perlawanan hukum. • Pejabat tinggi terlalu dominan dalam mendorong terjadinya transaksi restrukturisasi utang.
• Kegagalan BPPN dalam mengatasi masalah atau untuk segera menguasai jaminan ketika kebobrokan menjadi semakin parah.
• Kegagalan BPPN dalam menindaklanjuti kebijakan dan prosedur tertulisnya sendiri; contoh: menurut misi badan tersebut, BPPN hanya dapat memberikan jaminan kepada BTO (bank yang diambil alih) dan BBO (bank yang dilikuidasi), dan bukan kepada bankbank yang direkapitalisasi. Pada kasus mutakhir, BPPN telah setuju untuk memberikan suatu jaminan Pemerintah kepada BII.
64
Sangat ironis bahwa pemerintah tidak pernah sungguh-sungguh mengkaji latar belakang, kinerja para pejabat kredit, para direktur dan personel bank lainnya yang bertanggung jawab atas kegagalan perbankan Indonesia. Ironisnya lagi, personel yang terlibat dalam bank-bank bermasalah juga dipekerjakan di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Tanpa berburuk sangka, kebijakan yang patut dipertanyakan ini bukan hanya memunculkan suatu konflik kepentingan, tapi juga menimbulkan keraguan tentang kredibilitas badan ini untuk menangani restrukturisasi bank. Berdasarkan contoh
restrukturisasi utang yang telah dilaksanakan sejauh ini, jelas bahwa sering kali transaksi restrukturisasi utang didasarkan pada hal-hal yang sangat “mekanis”. Penulis juga menyayangkan “pendekatan minimalis” dalam pengungkapan informasi yang sedang berlangsung tentang persoalan yang sedang dihadapi oleh bank-bank, dengan alasan kekhawatiran akan larinya bank secara besar-besaran. Kesalahan nyata BPPN dan BI adalah melibatkan diri dalam suatu “budaya turun tangan”, yang memungkinkan terjadinya promosi atas suatu bank Pemerintah tidak pernah yang berisiko sangat tinggi. Budaya “penyelamatan” bank telah dianggap sebagai hal yang sangat bisa diterima, dan sejauh ini mengkaji latar belakang, sangat kurang dilakukan penilaian atas biaya real bagi kinerja para pejabat kredit, penyelamatan bank itu. Ini menghambat proses pendidikan direktur dan personel masyarakat dalam memilih bank yang baik, dan proses ini menimbulkan bahaya moral bagi bank. bank lainnya Korupsi dalam sistem perbankan Indonesia merupakan topik yang berdampak sangat luas. Untuk tetap berfokus pada tema tulisan ini, saya hanya akan memusatkan perhatian pada praktek-praktek korupsi yang berimplikasi paling membahayakan terhadap sistem perbankan. Saya mencoba menekankan praktek korupsi yang umum dilakukan di bank-bank negara, bank-bank yang telah direkapitalisasi, dan bank-bank swasta nasional. Korupsi di Bank-bank Negara Pembelaan yang paling sering kita dengar dari para bankir bank-bank negara adalah bahwa mereka hanya menjalankan instruksi pemerintah untuk menempatkan uang dalam proyek milik pemerintah, badan usaha milik pemerintah ataupun proyek kesayangan yang dimiliki oleh pihak yang punya hubungan dekat dengan kekuatan politik. Sering kali kita dengar bahwa kebijakan ini telah menyediakan ribuan lapangan kerja di Indonesia — kadang kala mereka lupa bahwa kerugian bank akan menelan uang para wajib pajak dalam jumlah lebih besar dibanding harga lapangan kerja yang disediakan itu.
65
Korupsi di bank-bank negara juga sangat marak. Praktek korupsi yang paling umum adalah menyangkut pemberian kredit yang patut dipertanyakan untuk proyek yang tidak layak. Contohnya: skandal Grup Golden Key, skandal Texmaco, dan skandal-skandal lainnya. Profesionalisme para bankir negara juga selalu menjadi perhatian masyarakat. Para bankir yang bergabung dalam bank negara biasanya tidak mengharapkan gaji tinggi, karena gaji para bankir negara tidak sebanding dengan gaji bankir swasta. Namun, dari perbandingan analisis kredit, jelas terlihat bahwa kredit yang Gaji di bank negara harus diberikan kepada pihak-pihak ketiga — kualitas rata-rata dari kredit dan jangka waktu yang ditetapkan oleh bank negara — berada di bersaing dengan gaji bawah ketentuan serupa di bank swasta dan bank asing.
bank swasta, jika mereka ingin menarik bankir
Untuk memperbaiki sistem perbankan negara, secara teori bank-bank Indonesia perlu untuk melakukan “pembedahan” atas kredit-kredit yang telah mengakibatkan kerugian bagi bank-bank tersebut. Langkah-langkah ini niscaya merupakan tindakan terpenting yang mungkin dilakukan untuk memperkuat efektifitas kebijakan-kebijakan pemberian kredit, dokumentasi, pejabat kredit dan fungsi pengkajian kredit. Penting pula bahwa gaji di bank negara harus bersaing dengan gaji bank swasta, jika mereka ingin menarik bankir yang baik. Tetapi, motivasi utama para bankir itu hendaknya adalah semangat untuk mengabdi kepada bangsa. Pentingnya peningkatan kompensasi bagi lembaga-lembaga milik pemerintah juga berlaku bagi BPPN dan Bank Indonesia. Praktek korupsi lainnya yang lazim di bank-bank negara adalah penyalahgunaan dana dari lembaga-lembaga pemerintah untuk menyelamatkan proyek-proyek tertentu. Guna mendukung suatu proyek kesayangan atau proyek yang tak layak secara bisnis, para manajer bank negara sering kali meminta lembaga keuangan milik negara seperti dana pensiun pemerintah dan badan usaha milik negara (BUMN) agar memasukkan dana ke bank negara dengan tingkat suku bunga jauh di bawah harga pasar.
66
Bank-bank negara tidak transparan karena mereka tidak ingin memperlihatkan kebijakan permintaan pinjaman atau pemberian kredit untuk membiayai proyek yang
dianggap proyek negara (sering kali proyek kesayangan seperti IPTN, Chandra Asri, Texmaco). Karena umumnya perusahaan-perusahaan ini tidak punya akses ke pasar modal, bank-bank negara digunakan sebagai alat kebijakan ekonomi. Sering kali bankbank negara menyalurkan dana ke industri-industri yang dimaksudkan untuk mendapatkan pijakan di pasar internasional (misalnya, tanpa pendanaan dari bank negara, banyak megaproyek Indonesia yang tidak akan mendapat pembiayaan.) Penyebab utama lainnya bagi korupsi di bank-bank negara adalah tingkat persaingan yang rendah. Secara teori, persaingan seharusnya mengurangi kegiatankegiatan pengejaran rente (rent seeking) dalam memberikan layanan perbankan. Ini akan mengurangi para bankir negara dalam berusaha melakukan pemerasan dan korupsi. Korupsi di Bank-bank Rekapitalisasi Dengan skema rekapitalisasi, sejumlah bank swasta yang telah memenuhi syarat diperbolehkan ikut dalam program rekapitalisasi, di mana pemerintah menanggung maksimum sebesar 80% dari biaya Praktek yang lazim di rekapitalisasi dan para pemegang saham menanggung minimum sebesar 20% biaya tersebut. Potensi bagi praktek korupsi adalah bank-bank negara fakta bahwa manajemen bank tetap dipertahankan oleh para adaalah penyalahgunaan pemegang saham yang lama. Ini memberikan dorongan yang dana lembaga untuk sangat besar bagi bank-bank tersebut untuk melakukan usaha yang berisiko, karena secara teori pemerintah berkewajiban menyelamatkan proyekuntuk berusaha menyelamatkan investasi mereka. Bahaya moral proyek tertentu ini semakin jelas ketika beberapa bank rekapitalisasi terlibat dalam pembiayaan perusahaan-perusahaan afiliasi mereka dan melakukan transfer pricing dengan perusahaan-perusahaan itu. Praktek korupsi yang lebih serius adalah dialihkannya kredit-kredit yang tak bermasalah ke BPPN. Dengan skema rekapitalisasi, bank-bank direkapitalisasi disyaratkan untuk mengalihkan seluruh kredit macet mereka ke BPPN. Sayangnya,
67
skema ini membuka celah yang cukup besar, ketika para pemegang saham yang tak bermoral bukan hanya mengalihkan kredit macet mereka, tapi juga beberapa kredit lancar (milik perusahaan-perusahaan afiliasi mereka). Harap dicatat bahwa beban atas setiap penghapusan utang akan ditanggung oleh pemerintah (80% dari biaya rekapitalisasi). Akibatnya, para pemegang saham yang tak bermoral ini bisa dengan bebas menunggangi pemerintah. Praktek korupsi lainnya melibatkan kontrol atas manajemen bank oleh para pemegang saham pendiri. Secara teori, karena pemerintah memegang saham terbesar dalam bank, manajemen seharusnya Kebijakan bank-bank mewakili kepentingan seluruh pemegang saham (yakni masyarakat atau stakeholders). Sayangnya, dalam kenyataan tersebut belum tentu sebagian besar dari bank rekapitalisasi tetap dikontrol oleh para mewakili kepentingan pemegang saham pendiri. Akibatnya, sebagian besar kebijakan seluruh stakeholders, tapi bank-bank tersebut belum tentu mewakili kepentingan seluruh stakeholders, tetapi sering kali mewakili kepentingan para mewakili kepentingan pemegang saham pendiri.
pemegang saham pendiri
Korupsi di Bank-bank Swasta Nasional
Masalah paling serius di bank-bank swasta nasional adalah praktek korupsi berkenaan dengan pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Umumnya bank swasta nasional didirikan bukan untuk memberikan layanan keuangan kepada masyarakat atau pihak ketiga, namun buat melayani kepentingan para pemegang saham mayoritas ataupun kelompok-kelompok afiliasi. Sebagai lembaga keuangan, bank hanya perlu modal yang sangat kecil, dengan Rasio Kecukupan Modal (CAR) sebesar 4%, namun secara teori bank dapat meminjam sampai 25 kali modal mereka untuk disimpan sebagai deposito. Dan dengan persyaratan cadangan dana (saldo) sebesar 5%, mereka dapat meminjamkan sampai 95% dari dana pinjaman ini sebagai utang kepada pihak ketiga.
68
Sayangnya, peraturan tentang BMPK tidak dipatuhi secara ketat, dan pemanfaatan pinjaman atas-nama (nominee), pinjaman dengan cara “saling
mendukung” (back-to-back loan) dan praktek perbankan lainnya untuk menyamarkan pemberian pinjaman kepada kelompok-kelompok afiliasi, sangat sering terjadi. Kendati Bank Indonesia telah berusaha mengurangi praktek korupsi seperti ini, analisis terhadap bank-bank terlikuidasi dan bank-bank rekapitalisasi menunjukkan indikasi bahwa praktek korupsi ini tetap merupakan masalah terbesar bagi bank-bank swasta nasional. Yang dilakukan oleh deregulasi perbankan pada tahun 1980 adalah menurunkan biaya pendirian bank dan meningkatkan kemampuan orang untuk meminjam dari dana masyarakat (dengan memakai bank sebagai kendaraan finansial) — dan ini telah mendorong banyak orang untuk mendirikan bank supaya bisa meminjam dana publik tanpa pertanggungjawaban yang memadai. Sangat banyak bankir Indonesia yang merupakan “penjudi”. Karena praktek semacam ini tak pernah berujung pada dakwaan kriminal, maka sebagian dari masalah keuangan kronis yang melilit Indonesia disebabkan oleh para bankir, yang melihat peluang sangat besar untuk kaya tapi akhirnya melakukan salahhitung besar-besaran. Beberapa Praktek Korupsi Lazim di Perbankan
• Kelemahan dalam mengkaji kondisi keuangan debitor dan kemampuannya membayar • kebijakan kredit yang tidak konsisten • persyaratan keamanan yang tidak lengkap atas jaminan • tidak tampaknya prospek keuntungan. • tiadanya kepatuhan terhadap hukum dan peraturan • jaminan dinilai lebih tinggi; sering kali dengan tingkat yang kelewatan dan • tidak ada dokumentasi yang lengkap sebelum pencairan kredit • pejabat kredit menyalurkan kredit berdasarkan instruksi dari “atas” dan menerima tekanan politik atau imbalan untuk melakukannya
• pembaruan utang untuk menaikkan jumlah pinjaman
69
• mengabaikan sinyal “kredit bermasalah” • memberikan pinjaman berdasarkan nilai buku fiktif atas suatu bisnis, sangat sering tanpa audit atau verifikasi
• Penipuan yang sering terjadi dalam perbankan di Indonesia: • laporan keuangan palsu — atau salah pengklasifikasian pinjaman • penggelembungan nilai jaminan untuk kepentingan peminjaman • dokumen, saham dan judul palsu untuk jaminan • praktek yang paling lazim dan paling luas di bank-bank negara adalah: pemberian suap kepada pejabat kredit atau direktur bank. Pemberian pinjaman atas dasar politik, tanpa latar belakang komersial yang memadai
• pelanggaran batas maksimum pemberian kredit, dan pemberian pinjaman kepada kelompok-kelompok afiliasi; bank-bank umumnya menyamarkan pinjaman kepada perusahaan-perusahaan afiliasi melalui berbagai macam bentuk penyaluran: - perjanjian pinjaman yang saling mendukung (back-to-back loan) antara dua atau lebih bank. (“Saya menggaruk punggung Anda, Anda menggaruk punggung saya”). - menggunakan pihak yang ditunjuk untuk mewakili kepentingan (nominee) guna menghindari pendeteksian; analisis setelah kejadian atas bank-bank yang diambil alih (BTO) dan bank-bank yang direkapitalisasi menunjukkan bahwa terdapat banyak bank yang memakai teknik ini; biasanya dana disalurkan melalui perusahaan-perusahaan kosong untuk menyamarkan jumlah uang yang masuk ke satu debitor tunggal/kelompok. - transaksi curang di mana uang bank disalurkan ke pengusaha yang mencurigakan, yang membayar komisi kepada bankir negara, kemudian menyembunyikan hasil pinjaman tersebut — sering kali dengan memasukkannya ke rekening bank di Swiss, dan selanjutnya tak terlacak lagi; teknik ini akan membuat bank dilanda kredit-kredit macet yang tak mungkin tertagih.
70
- berlawanan dengan kebijakan konvensional mengenai kepemilikan negara, yang bukan hanya manajemennya direcoki oleh campur tangan politik dan birokrasi, tapi juga
kerap memberi pinjaman dengan keberanian yang luar biasa — dalam hal ini masalah utamanya adalah tidak adanya pengecekan secara benar sebagaimana lazimnya dalam sistem perbankan modern dewasa ini; sering kali menteri keuangan sebagai pemegang saham dan juga Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan menganut “prinsip bungkam”, bukannya mempertanyakan kompetensi dan keputusan yang diambil oleh pejabat senior bank-bank negara. - sangat umum di Indonesia bahwa lembaga-lembaga perbankan dan keuangan yang besar merekayasa angka-angka mereka dengan tujuan untuk melindungi kepercayaan yang diberikan kepada sistem perbankan di Indonesia; dalam banyak hal saya mendapati bahwa untuk mengumpulkan bukti yang cukup mengenai korupsi dalam sistem perbankan selalu merupakan kegiatan yang lamban dan pelik — akibatnya, proses peradilan bakal berlangsung lama dan berbelit-belit. - baru-baru ini dalam dengar pendapat terbuka antara DPR dan Bank Mandiri sebagai bank terbesar negara, terungkap bahwa kelompok Texmaco telah meminta tambahan dana segar; sungguh sulit dimengerti bagaimana mungkin sebuah bank negara memutuskan untuk bekerja sama begitu erat dengan kelompok Texmaco, padahal semua bank di Indonesia telah diperingatkan tentang risiko kredit terhadap kelompok bisnis tersebut. - dana digunakan bukan untuk tujuan yang tercantum; dan pada banyak kasus, pinjaman dialihkan ke penggunaan pribadi oleh debitor (sementara bank tidak berusaha melakukan verifikasi mengenai maksud permohonan dana yang diajukan). Indonesia Corruption Watch (ICW) telah memberikan laporan kepada Presiden Abdurrahman Wahid mengenai potensi keterlibatan menteri keuangan yang sekarang dalam pemberian kredit fiktif kepada pengusaha The Nien King, ketika dia menjabat sebagai direktur sebuah bank negara. * Indonesia bukan hanya tidak punya undang-undang pencucian uang; yang dimiliki cuma peraturan-peraturan perbankan yang amat sangat sederhana.
71
Siapa yang Harus Dipersalahkan? Jadi, bagaimanakah akhir dari seluruh babak cerita ini? Setelah menerbitkan begitu banyak tulisan mengenai skandal bisnis yang besar dan kegagalan-kegagalan finansial di Indonesia, saya menyimpulkan bahwa skandal-skandal itu sering memperbesar kecurigaan masyarakat dan menciptakan ketakpercayaan yang makin tinggi terhadap penguasa moneter dan badan pemerintah seperti BPPN dan Bank Indonesia serta sistem perbankan pada umumnya. Namun biasanya pemerintah Indonesia cenderung meremehkan skandal-skandal itu, kecuali jika kepentingannya sendiri tersangkut. Sering kali orang kurang peduli pada total biaya ekonomi suatu skandal.
Korupsi dan Transparansi Karena rendahnya transparansi dalam sistem perbankan, maka analis bank (khususnya analis kredit) harus bergantung pada naluri dan sumber-sumber data yang lemah. Sesungguhnya, rendahnya transparansi di kalangan bank-bank memaksa para analis untuk mendasarkan pendapat mereka atas kriteria yang didapat melalui cara-cara yang tidak langsung, dan Kadang kala metode ini menghasilkan informasi yang kurang tepat. Data yang subyektif biasanya jauh lebih langka dan lebih mahal untuk didapat, dan sering kali para analis, pejabat keuangan publik dan antarbank hanya bersandar pada reputasi para bankir. Selain itu, dalam keadaan tertentu, biasanya orang masih harus menafsirkan jaminan pemerintah untuk mempercayai suatu bank, yang tanpa didasarkan alasan jelas.
72
Dalam keadaan tiadanya transparansi, lazimnya orang cenderung untuk memilih pandangan yang lebih konservatif mengenai suatu situasi. Akibatnya, para analis bank dan analis kredit terpaksa mempercayai sumber data yang lemah ini sepanjang data tersebut sudah dikonfirmasi oleh sumber-sumber lain. Dan konfirmasi ini sering kali sangat mahal — misalnya, bank asing selalu meminta Surat Kredit (L/C) yang dikeluarkan oleh bankbank Indonesia untuk dikonfirmasi oleh bank-bank asing, dan konfirmasi ini menambah biaya yang cukup besar dalam praktek perbankan di Indonesia. Karena para analis, bankir asing, dan deposan sering kali disesatkan atau dibohongi, kepercayaan yang telah hancur itu akan sulit untuk dipulihkan.
Definisi Transparansi Definisi transparansi yang berlaku dalam konteks keuangan sangatlah gamblang: polos (bebas dari kebohongan, kelicikan atau kecurangan), jujur, terbuka. Ini berarti bank harus memberikan suatu gambaran keuangan yang benar mengenai suatu bank. Transparansi menjamin bahwa data keuangan yang dilaporkan mencerminkan realitas. Jika terdapat perubahan pada status keuangan dalam laporan suatu lembaga, transparansi penuh mensyaratkan bahwa perubahan itu harus diungkapkan secara sebenarnya dan dengan segera kepada semua pihak yang bersangkutan. Dalam suatu kurun, transparansi berpeluang untuk membangun keyakinan dan kepercayaan serta pengambilan keputusan ekonomi yang lebih baik. Dalam jangka panjang, keyakinan dan kepercayaan ini akan menurunkan biaya total pendanaan, dan hal ini akan membuahkan keuntungan yang lebih tinggi bagi bank. Karena bank-bank bergerak dari suatu Transparansi berpeluang praktek tradisional menjadi praktek-praktek yang lebih membangun kepercayaan canggih, kebutuhan akan transparansi pun akan meningkat. Dan karena bank terlibat dalam praktek perbankan yang dan pengambilan lebih rumit — seperti investasi perbankan, investasi ekuitas, keputusan yang lebih baik. pinjaman marjinal (margin lending) — yang semuanya sangat rentan terhadap kejutan-kejutan ekonomi, maka kebutuhan akan transparansi pun meningkat. Tanpa memperbaiki transparansi, bank mungkin akan punya seribu dorongan untuk menyembunyikan kabar buruk. Tanpa transparansi yang benar, para deposan, kreditor antarbank dan para analis akan memerlukan biaya pendanaan yang lebih tinggi bagi suatu transaksi, dan ini akan menambahkan beban yang lebih berat bagi bank-bank Indonesia. Contoh-contoh Transparansi yang Buruk Kami telah menemukan banyak contoh transparansi yang buruk di Indonesia. Salah satu masalah terbesar bukanlah terletak pada kuantitas informasi, melainkan
73
pada kualitas informasi yang sangat buruk. Meski tak terlalu panjang, daftar berikut memberikan contoh mengenai isu-isu yang dihadapi oleh pihak yang berkepentingan dalam upaya mereka untuk mengungkapkan kebenaran status keuangan bank-bank tersebut:
• tidak ada konsolidasi atas hasil-hasil finansial dari perusahaan-perusahaan terkait; sering kali obligor memecah pinjaman mereka ke berbagai rekening terpisah untuk menyamarkan masalah ini.
• penundaan dalam laporan keuangan atau tidak adanya pembaruan laporan triwulanan atau per semester; sering kali bank-bank cenderung menunda kabar buruk dan tidak menerbitkan laporan triwulan mereka ketika keadaan memburuk.
• struktur perusahaan yang rumit, tiadanya data kepemilikan yang jelas dan tersembunyinya pinjaman kepada pihak afiliasi; penyalahgunaan perusahaan-perusahaan dengan memakai pihak yang ditunjuk untuk mewakili kepentingan (nominee).
• plafondering — penumpukan bunga yang berkelanjutan atas pinjaman-pinjaman yang bermasalah.
• penyembunyian data atau sangat kurangnya informasi mengenai transaksi derivatif. • tiadanya direktur yang independen, auditor luar dan komisi audit. • tak tersedianya data tentang informasi material dan buruknya penyebaran informasi. • auditor yang tidak independen dan dipengaruhi oleh manajemen atau pemegang saham mayoritas.
• buruknya praktek akuntansi, terutama yang berkaitan dengan kerugian dan definisi aset-aset finansial; laporan tentang kinerja pasar (market exercise) jarang tersedia. Transparansi dalam Sistem Perbankan
74
Transparansi akuntansi sangat penting bagi kesehatan sistem perbankan. Tanpa transparansi, sering kali bank-bank bermasalah yang tidak sanggup membayar utangnya
dalam pengertian ekonomi, dinyatakan sehat dalam pengertian akuntansi oleh para auditor dan Bank Indonesia. Harga yang harus ditanggung dengan membiarkan praktek ini terus berjalan adalah bahwa bank-bank bermasalah bisa mengacaukan seluruh sistem perbankan (misalnya, munculnya masalah antara Bank Mandiri dan Bank Internasional Indonesia baru-baru ini). Jika sistem perbankan transparan, bank-bank bermasalah akan secara alami tersisih dari sistem, dan dengan demikian mengurangi jumlah bank dan menciptakan suatu sistem perbankan yang lebih sehat. Namun, karena Indonesia terus menegosiasikan standarnya dalam hal transparansi, maka sistemnya yang kabur telah memungkinkan suatu bank yang lemah untuk tetap bertahan; dan sebaliknya, penerapan peraturan yang kelewat sabar telah melemahkan bank-bank yang kuat. Jelasnya, bank-bank yang sehat menjadi terinfeksi karena kesabaran pemerintah terhadap bank yang lemah, dan hal ini meningkatkan biaya total pemulihan sistem perbankan keseluruhan. Untuk masa depan, biaya guna mengatasi masalah masing-masing bank akan jauh lebih rendah dibanding biaya pemulihan keseluruhan sistem perbankan melalui skema jaminan umum. Selain itu, cara ini juga akan membuat bank yang bermasalah dikenal oleh para deposan, pelaku pasar dan bank-bank lainnya (seperti BII akhir-akhir ini). Meskipun BI, BPPN dan para pejabat bank berupaya menyembunyikan masalahnya, keseluruhan sistem perbankan telah dihukum melalui biaya pendanaan yang lebih tinggi. Bank yang terkena dampak juga menghadapi tekanan untuk mempertahankan basis deposito mereka. Biaya penyelamatan dalam situasi seperti ini akan sangat mahal bagi pemerintah. Dalam pandangan kami, transparansi bank-bank Indonesia tetap buruk. Mereka umumnya memberikan banyak rincian yang tak diperlukan, tapi informasi tersebut nyaris tak punya makna ekonomi sama sekali. Sebagai contoh, ketika kami mengajukan pertanyaan tentang rincian pinjaman yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan afiliasi dari sebuah bank rekapitalisasi, informasi yang sangat penting itu tidak diberikan. Meski banyak bank yang telah mengikuti peraturan Bank Indonesia tentang pengklasifikasian pinjaman yang bermasalah, mereka tidak memenuhi tujuan sejati dari
75
peraturan-peraturan tersebut. Sebagai contoh, dalam kasus BII, Bank Indonesia sebagai auditor tetap mengklasifikasikan pinjaman yang kepada Grup Sinar Mas (GSM) sebagai lancar dan berjalan. Dalam pengertian akuntansi yang ketat, pinjaman tersebut memang berjalan karena mereka tetap membayar bunga. Tetapi, karena pinjaman itu telah diberikan kepada para debitor yang berkecenderungan default, dan penilaian atas obligasi dari para penerbitnya menunjukkan bahwa GSM mengidap masalah keuangan yang serius (seperti tecermin dari peringkat S & P dan Moody), maka pinjaman-pinjaman tersebut merupakan pinjaman bermasalah. Dalam pengertian ekonomi, pinjaman-pinjaman itu seharusnya diklasifikasikan sebagai pinjaman bermasalah. Ini merupakan salah satu pelajaran terpenting yang
Transparansi bank-bank seharusnya dipetik dari krisis perbankan di Indonesia, ketika Indonesia tetap buruk. Indonesia berusaha untuk meyakinkan para deposan dalam negeri, investor dan bank-bank korespondensi. Namun rupanya masalah Mereka memberikan para pokok bank-bank Indonesia belum juga dikenali. Persoalannya jadi rincian yang nyaris tak makin rumit ketika bank-bank yang telah direstrukturisasi umumnya punya makna ekonomi. mulai kembali melakukan kegiatan dengan memberikan pinjaman baru kepada debitor yang tidak mempunyai solvabilitas, untuk membantu mereka membayar pinjaman-pinjaman masih ada.
Masalah terbesar yang dihadapi oleh bank-bank Indonesia, sebagaimana ditunjukkan dengan jelas dalam penanganan kasus BII dan Grup Sinar Mas, adalah ketidaksediaan pemerintah (BI, BPPN, Menteri Keuangan) untuk melihat bahwa bank-bank tersebut gagal. Pendekatan ini merupakan cerminan dari persepsi yang tak realistis mengenai harga kegagalan suatu bank. Akibatnya, dana masyarakat telah digunakan untuk membiayai inefisiensi. Para pemegang saham dan manajemen tidak dimintai pertanggungjawaban atas praktek pemberian pinjaman mereka yang buruk, dan kesalahan-kesalahan mereka dibiarkan saja tanpa hukuman.
76
Dampak sampingan dari masalah ini adalah merosotnya rupiah, dan turunnya harga saham bank yang membuat investor asing enggan berurusan dengan bank-bank
rekapitalisasi, dan larinya para deposan ke bank-bank yang lebih berkualitas (sebagian besar bank-bank asing). Semua ini akhirnya ikut berperan dalam memperpanjang krisis ekonomi. Transparansi juga dapat dikatakan tidak ada dalam hal kebijakan resmi menyangkut perlindungan terhadap kreditor. Sebagai contoh, penanganan pinjaman-pinjaman Grup Sinar Mas telah mengakibatkan berbagai pejabat — dari Menteri Keuangan, BPPN dan Bank Indonesia — membuat pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan. Tampaknya pemerintah memusatkan diri pada upaya penyelamakan kepentingan mereka sendiri dengan mengambil seluruh aset tetap, meski terdapat risiko sengketa hukum dengan berbagai pemegang saham dan para kreditor. Cara penguasa memperlakukan para kreditor asing, warga senior yang rentan yang memegang obligasi, pemegang obligasisubordinat ataupun para pemegang saham minoritas, akan berdampak luas pada kepercayaan investor terhadap Indonesia. Perlu diingat bahwa suatu pernyataan yang konsisten, patut dan otoritatif, sangat penting dalam dalam memulihkan kepercayaan.
Transparansi juga dapat dikatakan tidak ada dalam kebijakan resmi menyangkut perlindungan terhadap kreditor.
Cara Mengukur Transparansi Bank Karena kurangnya kajian di bidang ini, dan menurut kami tingkat korupsi di perbankan Indonesia merupakan cerminan dari tingkat korupsi secara umum, kami merekomendasikan penggunaan indeks korupsi yang biasa diterapkan oleh masyarakat internasional. Kami percaya bahwa ada kaitan erat antara korupsi di suatu negara dan transparansi dalam sistem perbankannya. Kami percaya, dalam kondisi ceteris paribus, transparansi yang lebih tinggi akan menurunkan risiko, dan ini akan berarti berkurangnya biaya pendanaan bagi bank-bank Indonesia dalam jangka lebih panjang. Pertanyaannya: apakah kita punya keberanian untuk meningkatkan pengungkapan demi manfaat dalam jangka panjang, sementara dalam jangka pendek hal itu mungkin akan memberikan kejutan tambahan kepada sistem? Ini sama
77
dengan menanyakan apakah kita berani membakar hutan untuk menghilangkan pohonpohon tua guna memberi tempat bagi pohon-pohon baru yang lebih kuat. Mengapa Beberapa Bank, Bank Indonesia, dan BPPN Mungkin tidak Menginginkan Transparansi Dari diskusi kita, aspek-aspek positif dari transparansi telah dirumuskan dengan baik. Panik yang mengguncang dan kegemparan yang dialami oleh bank-bank Indonesia telah mendorong suatu bentuk kerahasiaan (terutama mengenai isu-isu sensitif). Ini jelas memperlihatkan kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap instrumen dan sistem itu sendiri. Meski ada jaminan umum, pemerintah tetap menganggap para deposan umumnya tidak mampu bertindak secara rasional berdasarkan suatu data keuangan (atau kekhawatiran bahwa para deposan akan bertindak secara rasional berdasarkan kondisi bank yang buruk). Jelas bahwa Bank Indonesia dan BPPN lebih memilih perahasiaan bank sebagai alat untuk menangkal opini masyarakat yang timbul dari kegagalan mereka dalam menangani bank-bank bermasalah. Yang lebih penting, ini merupakan contoh yang jelas tentang ketakmauan pemerintah untuk mengakui bahwa program rekapitalisasi telah gagal, dan rekapitalisasi kedua tampaknya tak terhindarkan. Jelas bahwa BI, BPPN dan pemerintah telah sepakat bahwa peningkatan transparansi adalah penting untuk memulihkan kepercayaan. Namun jelas pula bahwa para regulator itu takut akan akibat dari suatu transparansi. Setelah melihat para regulator itu, kami mencoba menyajikan alasan-alasan mengapa para manajer bank menentang transparansi: 1. transparansi itu sangat mahal, dan penerapan sistem ini berarti keharusan menyediakan sumber-sumber tambahan; untuk bank yang kecil, biaya pemasangan sistem informasi guna memberikan transparansi mungkin akan sangat mahal
78
2. transparansi membatasi para pemegang saham dan manajemen untuk terlibat dalam suatu transaksi dengan pihak afiliasi; pinjaman kepada perusahaan-perusahaan afiliasi,
pinjaman berdasarkan lobi politik, pinjaman kepada keluarga serta pinjaman-pinjaman lainnya yang mencurigakan, akan dengan mudah dideteksi; sering kali BMPK dilakukan untuk membiayai kegiatan-kegiatan spekulatif tersebut, selain dimanfaatkan untuk mendukung bisnis-bisnis yang tidak efisien dan korup; di bank-bank negara tertentu, hal ini berarti seorang pejabat kredit tidak akan menerima “imbalan” atas pemberian pinjaman kepada debitor-debitor tertentu; kegiatan-kegiatan ini secara teori akan lenyap dalam sistem yang transparan 3. manajer bank juga terdorong untuk tidak melakukan transparansi, karena berdasarkan undang-undang perbankan yang baru, komisaris dan manajer dapat dimintai pertanggungjawaban, dan mereka dapat digugat secara perdata maupun pidana, jika mereka bertanggung jawab atas perilaku bisnis yang korup dan tak bertanggung jawab 4. manajer bank juga sangat enggan untuk melakukan transparansi, sebab transparansi mungkin akan memperlihatkan kerentanan bank mereka karena besarnya posisi valuta asing mereka yang tak dilindungi (unhedge); beberapa bank juga sangat rentan terhadap penurunan dalam industri-industri tertentu.
Apa yang Harus Dilakukan Dalam suatu sistem perbankan yang makin kompleks peningkatan transparansi harus makin ditekankan. Tidak bisa tidak, perbaikan transparansi ini harus diupayakan oleh semua pihak yang berkepentingan, termasuk BPPN, BI, dan para manajer bank. Harus pula diterapkan suatu sistem analisis kredit yang benar, terutama terhadap mereka yang ingin meminjam dari bank. Perhatian besar harus dipusatkan pada penetapan standar-standar perbankan internasional, untuk mendapatkan perjanjian-perjanjian pertukaran informasi, untuk menjalin hubungan kerja sama investigasi, dan guna mengatasi perlawanan politik dalam memperbaiki transparansi dan menghapuskan korupsi dalam sistem perbankan. Pemerintah perlu menetapkan undang-undang yang meningkatkan transparansi dan perangkat guna menghapus praktek-praktek korupsi di bank dan lembaga-lembaga keuangan
79
nonbank, yang diterapkan bagi segala macam transaksi keuangan, dan memungkinkan pertukaran informasi keuangan dan kepemilikan perusahaan di kalangan badan-badan penegakan hukum dan kekuasaan kehakiman. Pemerintah juga sangat perlu menerapkan strategi-strategi tertentu. Dewasa ini sejumlah tindakan perlu dilakukan secara terus menerus untuk tetap sejalan dengan dinamika transparansi yang dibutuhkan di kalangan bank-bank internasional. Berikut adalah daftar tindakan yang diperlukan guna memperbaiki transparansi dan mencegah meruyaknya praktek korupsi dalam sistem perbankan Indonesia: 1. Persyaratan pendahuluan untuk memperkenalkan tindakan-tindakan transparansi. Penerapan bertahap untuk meningkatkan derajat transparansi (berdasarkan standar transparansi internasional). 2. Pemantauan konstan atas penerapan transparansi, pola, tren dan metodologi korupsi keuangan. Teknik-teknik yang makin canggih yang melibatkan bank dan lembaga-lembaga keuangan nonbank, dalam pusat-pusat keuangan tradisional dan nontradisional yang makin luas, telah semakin menyulitkan identifikasi, pelacakan dan investigasi atas praktek korupsi yang menggerogoti sistem perbankan Indonesia. Pertukaran informasi telah membaik, tapi celah-celah teknis yang sangat rawan harus ditutup, seiring dengan kian baiknya kerja sama tersebut. Kebutuhan untuk berbagi data, bahkan informasi intelijen yang penting, sangat mendesak di kalangan pelbagai lembaga pemerintahan seperti Bank Indonesia, BPPN, kejaksaan agung dan kepolisian, namun korupsi yang kronis di sektor-sektor tertentu dalam tubuh lembaga-lembaga itu sendiri tetap menjadi hambatan terbesar untuk saling berbagi informasi
80
3. Penerapan nomor Kartu Tanda Penduduk untuk transaksi perbankan. Bank of International Settlement telah merekomendasikan persyaratan penggunaan nomor Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk melakukan transaksi perbankan. Penerapan ketentuan ini dapat membantu membangun suatu basis data guna mencegah praktek perbankan yang buruk, dan data ini dapat diintegrasikan untuk kepentingan keseluruhan sistem perbankan.
4. Analisis atas praktek-praktek korup perbankan. Kita memerlukan informasi yang lebih baik dari lebih banyak bank, tentang faktor-faktor apa saja yang mendorong praktek korupsi di Indonesia. Sering kali gaji yang tidak mencukupi atau sangat rendah dijadikan alasan untuk melakukan korupsi. Analisis mendalam atas kredit macet dan kerugian dapat menghasilkan gambaran terinci atas skema-skema korupsi di perbankan. Sejauh ini, data terbaik adalah yang digunakan oleh BPPN dalam program restrukturisasinya 5. Pemetaan kekuatan ekonomi berdasarkan pengaruh politik. Pemusatan kekayaan yang semakin besar di kalangan kelompok-kelompok bisnis di Indonesia — yang sayangnya juga merupakan debitor terbesar negara — perlu mendapat perhatian, bukan hanya karena hal ini mungkin berdampak terhadap iklim investasi, legitimasi integritas kaum bisnis dan pemerintah, tapi juga karena para konglomerat tersebut punya kekayaan untuk memberi kontribusi besar bagi kampanye kekuatan politik, yang dapat memberi imbalan berupa bantuan atau perlindungan terhadap praktek korupsi dalam sistem perbankan. Danadana haram dan pejabat korup selalu merupakan ancaman terhadap demokrasi Indonesia. 6. Meningkatkan fungsi pengawasan perbankan dan menghapuskan kelemahan sistemik. Kita memerlukan bank-bank data untuk menyimpan catatan serupa atas klien-klien — yang juga merupakan lembaga-lembaga keuangan — sebagaimana mereka lakukan untuk para nasabah mereka, dan untuk melaporkan transaksi yang mencurigakan yang dilakukan oleh klien-klien tersebut ketika nama mereka disebut berulang kali dalam setiap investigasi. Sekarang ini tersedia beberapa mekanisme namun jarang digunakan, termasuk pencabutan izin, pergantian kepemilikan dan manajemen, penerapan denda serta gugatan hukum; tetapi, mungkin kelemahan yang paling lekat adalah kurangnya personel yang andal, bukan hanya di lembaga-lembaga regulator pemerintah, namun juga di kebanyakan bank sendiri, yang perlu dididik bukan cuma dalam penerapan dan pengelolaan sistem-sistem pengawasan semacam itu, tapi juga dalam menangani transaksi-transaksi keuangan yang makin rumit dewasa ini.
81
7. Pemisahan tegas antara kreditor dan debitor. Bagian terbesar dari korupsi yang timbul dalam sistem perbankan Indonesia adalah pelanggaran atas prinsip pemberian kredit yang benar, terutama disebabkan oleh fakta bahwa hampir semua pemilik bank juga melakukan peminjaman, dan ini jelas menimbulkan moral hazard dan konflik kepentingan. Peraturan-peraturan mengenai pemberian pinjaman kepada para debitor dari afiliasi tunggal, untuk mencegah pemusatan aset-aset suatu bank, benar-benar penting untuk dipatuhi secara tegas. Meski proses rekapitalisasi telah selesai, kita masih selalu melihat bukti bahwa prinsip-prinsip ini telah berulang kali dilanggar. Pemerintah perlu mencontoh Undang-Undang Lembaga Penyimpanan Amerika Serikat, yang menetapkan suatu mekanisme yang rumit untuk membatasi pemberian pinjaman kepada debitor tunggal atau gabungan para debitor di kelompok usaha yang sama atau yang secara finansial saling tergantung. Indonesia seharusnya juga menerapkan peraturan yang lebih ketat atas pemberian pinjaman kepada orang dalam (pejabat eksekutif, para direktur dan pemegang saham utama). 8. Mencegah tindakan tak etis dan konflik kepentingan. Kunci sukses terpenting suatu bank sangat bergantung pada kepercayaan para deposannya atas manajemen bank itu, dan bahwa pemilik tidak akan memanfaatkan kepercayaan tersebut untuk melakukan kegiatan bisnis yang tidak etis. 9. Menganalisis dampak penipuan dalam perbankan, praktek korupsi atas biaya pemerintah dan situasi ekonomi keseluruhan. Kita perlu mengidentifikasikan faktor-faktor utama yang dapat mempengaruhi para bankir dan manajer keuangan lainnya di beberapa sektor yurisdiksi yang lebih berpeluang untuk menerima uang yang patut mereka duga tidak sah. Karena sebaiknya kita mengidentifikasikan di sektor mana praktek korupsi dalam perbankan yang paling mungkin menimbulkan dampak makroekonomi ataupun dampak politik, maka kita perlu mengevaluasi cara-cara yang potensial untuk menangkalnya secara ekonomi.
82
10. Memusatkan usaha-usaha melalui pendirian lembaga untuk memerangi kejahatan kerah putih (white-collar crime). Tugas untuk mengungkapkan praktek
perbankan yang korup seharusnya dilakukan oleh suatu badan pemerintah yang bertanggung jawab atas praktek korupsi komersial (serupa dengan ICAC di Hong Kong). Di Indonesia, kecuali Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan, tidak ada organisasi yang efektif dalam menerapkan peraturan. Kita perlu mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk memerangi korupsi yang kadang kala didanai secara rapi oleh para konglomerat atau perusahaan-perusahaan besar. 11. Mengupayakan strategi yang terus tumbuh. Saya mengamati bahwa para bankir, pejabat dan pelaku bisnis yang korup terus mempercanggih teknik guna menutupi jejak mereka. Mereka memakai semua cara untuk bertahan: mulai dari memanfaatkan sistem hukum, mengarahkan pihak-pihak yang korup untuk melindungi hasil-hasil haram mereka, sampai menggunakan intervensi kekuatan politik tingkat tertinggi. Peraturan keuangan, pengawasan dan penegakan hukum perlu diperluas hingga mencakup transaksi-transaksi yang melewati batas-batas nasional, serta untuk meliput jenis-jenis bisnis layanan finansial yang makin luas. Masalahnya bukan hanya bagaimana mendeteksi praktek korupsi, tapi yang penting juga bagaimana praktek korupsi itu ditangani ketika ia telah teridentifikasi dengan baik. 12. Pentingnya pembentukan satuan tugas tindakan finansial terhadap praktek korup demi integritas sistem perbankan. Bekerja sama dengan Perhimpunan Bank-bank Swasta Nasional dan juga perhimpunan bank-bank negara serta organisasi-organisasi lainnya yang berkepentingan, untuk mempromosikan kegiatan perbankan yang etis. 13. Penerapan sistem informasi kredit nasional oleh pemerintah. Sistem informasi kredit nasional seperti yang dikembangkan oleh jaringan informasi perbankan SWIFT adalah sangat penting. Seluruh pengguna seharusnya dapat memberi kontribusi dan turut berbagi informasi mengenai kredit para debitor mereka; jika sistem ini dapat diterapkan secara tepat, maka akan terbangun suatu catatan kredit yang rapi. 14. Pemerintah dan perbankan harus lebih waspada dalam upaya mendeteksi praktek korupsi. Skema-skema yang melibatkan jaminan mengindikasikan
83
kebutuhan akan lembaga penilai internasional yang independen di luar lembagalembaga besar untuk membantu sistem perbankan dan keuangan dalam menentukan nilai jaminan tersebut. Pemerintah dan perbankan harus mengerahkan upaya lebih keras untuk mengidentifikasi dan mencegah meluasnya kejahatan-kejahatan keuangan. 15. Pengawasan yang terkonsolidasi atas sistem perbankan internasional harus diwujudkan demi komunitas finansial dunia.
Kesimpulan Perbankan Indonesia telah beroperasi dalam suatu sistem transparansi yang sangat buruk, di mana sebagian besar bank dikelola secara buruk dan mengidap masalah yang sangat besar menyangkut kualitas aset mereka. Akan tetapi, sampai 1997, kemakmuran ekonomi dapat menyembunyikan masalah fundamental ini. Selama periode itu, para analis, bankir investasi, para deposan dan pembuat peraturan tak terlalu mempersoalkan transparansi yang buruk tersebut. Namun, setelah krisis ekonomi 1998, seluruh masalah ini mulai muncul ke permukaan dan semua pihak yang berkepentingan mulai kehilangan kepercayaan. Mereka cemas, jangan-jangan ada kebusukan yang disembunyikan. Setelah IMF, Bank Dunia dan lembaga-lembaga multinasional lainnya mengusulkan pengupayaan cara-cara untuk mengatasi masalah kredit macet yang melanda perbankan, para regulator mulai mencanangkan program perbaikan transparansi. Tujuan utamanya adalah mengatasi masalah kredit macet tanpa adanya upaya nyata untuk memajukan semangat transparansi penuh. BI, BPPN dan para regulator lainnya khawatir bahwa “transparansi sejati” bakal meningkatkan ketakutan pasar dan makin memerosotkan tingkat kepercayaan. Masalah kredit macet pun makin parah dan krisis ekonomi berlanjut.
84
Yang paling merisaukan adalah bahwa hal ini mungkin bisa memulai kembali seluruh lingkaran setan, dan krisis ekonomi kedua sangat mungkin terjadi karena keseluruhan sistem telah nyaris hancur. Ironi nyata bagi Indonesia adalah bahwa usaha untuk memperbaiki transparansi malah mungkin memperparah situasi.
Ada mazhab pemikiran yang menyatakan bahwa transparansi seharusnya diperkenalkan ketika kepercayaan meningkat dan reaksi pasar kemungkinan besar akan diimbangi dengan harapan-harapan yang positif. Secara teori, transparansi seharusnya diperkenalkan ketika kepercayaan terhadap Indonesia sedang meningkat. Dalam pandangan kami, saat Presiden Abdurrahman Wahid baru memulai masa jabatannya merupakan waktu yang tepat untuk memperkenalkan transparansi. Kita berharap saat yang tepat tersebut akan datang lagi, karena kita sedang menantikan suatu pemerintahan yang baru, dan semoga mereka dapat memanfaatkan momentum tersebut untuk memperbaiki transparansi. Tulisan ini jelas menekankan pentingnya memperbaiki transparansi dalam perbankan sehingga dapat dibangun sistem yang lebih kuat. Jelas bahwa transparansi yang buruk telah turut berperan terhadap krisis perbankan di Indonesia. Kita telah membahas contoh-contoh transparansi yang buruk, praktek perbankan yang cacat, praktek korupsi dan juga menunjukkan biaya yang tergerogoti oleh korupsi dan transparansi yang buruk dalam biaya total pendanaan dan operasi bisnis perbankan di Indonesia. Kami menyimpulkan bahwa transparansi yang lemah meningkatkan biaya pendanaan — dan transpransi hanya dapat membantu mencegah suatu krisis keuangan, tidak boleh dipandang sebagai obat untuk menyembuhkan sistem yang sudah gawat, dan kami menekankan pentingnya pemanfaatan kondisi pasar yang positif untuk memperbaiki transparansi dalam sistem perbankan. Melihat beratnya masalah yang dihadapi dan kokohnya budaya korupsi, kami berpendapat diperlukan waktu lama untuk memperbaiki transparansi dan menghapus korupsi dalam sistem perbankan Indonesia.
Kepustakaan Alesina, A. dan B. Weder (1999), “Do Corrupt Governments Receive Less Foreign Aid?”, National Bureau of Economic Research Working Paper 7108, Cambridge MA. Brunetti, A. dan B. Weder (1998b), “A Free Press is Bad News for Corruption”. Wirtschaftswissenschaftliches Zentrum der Universität Basel Discussion Paper, No. 9809.
85
Evans, P.B. dan J.E. Rauch (1996), “Bureaucratic Structures and Economic Performance in Less Developed Countries”, Mimeograf, UC San Diego. Goel, R.K. dan M.A. Nelson (1998), “Corruption and Government Size: A Disaggregated Analysis.” Public Choice, XCVII, 107-20. Lambsdorff, J. Graf (1999), “The Transparency International Corruption Perceptions Index. 1. Edition 1995” Transparency International (TI) Report 1996, h. 51-53; “2 Edition 1996”, Transparency International (TI) Report 1997, h. 61-66; “3. Edition 1997”, Transparency International (TI) Newsletter, September 1997; “4 Edition”, September 1998; “5 Edition”, Oktober, 1999. Mauro, P. (1995), “Corruption and Growth”, Quarterly Journal of Economics, CX, 681-712. Rijckeghem, C. Van dan Weder, B. (1997), “Corruption and the Rate of Temptation: Do Low Wages in the Civil Service Cause Corruption?”, Interbational Monetary Fund Working Paper, 97/73. Korupsi dalam Sektor Perbankan di Indonesia 1/1 8/29/01
86
Korupsi di Sektor Pelayanan Publik Oleh Donny Ardyanto
Pendahuluan Persoalan korupsi di Indonesia, juga di belahan dunia lainnya, masih menjadi p e r d e b a t a n . Pe r d e b a t a n i n i m e n y a n g k u t i m p l e m e n t a s i p r a k t i s m e n g e n a i pemberantasan korupsi, hingga ke perdebatan teoretis tentang akar dan definisi korupsi itu sendiri. 1 Perbedaan teoretis ini terlihat dari adanya beberapa pendekatan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Misalnya, ada pendekatan yang memusatkan perhatian pada suprastruktur politik, dan ada pula pendekatan pada tingkat masyarakat. Kedua pendekatan ini berbeda dalam memprioritaskan subyek pemberantasan korupsi. Pada pendekatan pertama, subyek utama pemberantasan adalah pemerintah. Pada pendekatan kedua, subyeknya masyarakat, yang selama ini menjadi korban korupsi itu sendiri, sehingga kerja-kerja pemberantasan korupsi lebih bersifat bottom up. Perubahan di tingkat suprastuktur politik, seperti perubahan Undang-Undang anti-korupsi, penegakan hukum, dan sebagainya, mensyaratkan dukungan besar masyarakat. Sebaliknya, pendekatan sosial, berupa penguatan kesadaran masyarakat, memerlukan ruang demokrasi yang memadai. Artinya, kedua pendekatan tersebut tidak bertolak belakang, dan harus dilakukan secara bersama-sama. Untuk mencapai
87
sinergi dari kedua pendekatan tersebut, perlu kajian yang membongkar masalah-masalah yang muncul dalam relasi di antara kedua elemen tadi.
Masalah Relasi yang cukup intens antara pemerintah dan masyarakat berlangsung dalam kerangka pelayanan publik, suatu fungsi yang dipegang oleh negara. Dengan tumbuhnya ekonomi, industrialisasi dan perubahan politik, maka makin luas pula kebutuhan rakyat yang harus dipenuhi oleh negara. Dengan sumber daya yang dikuasai oleh negara, negara wajib mendistribusikan kebutuhan masyarakat tersebut secara adil dan merata. Lahirlah institusi pelayanan publik yang diberi wewenang untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan, kegiatan Negara wajib mendistri pemberian berbagai pelayanan umum maupun fasilitas sosial kepada masyarakat, seperti penyediaan pendidikan, kesehatan, busikan kebutuhan pengurusan sampah, air minum, dan sebagainya.2
masyarakat secara adil dan merata.
Korupsi yang terjadi dalam relasi rakyat-negara dalam pelayanan publik ini menjadi penting karena dua alasan. Pertama, karena korupsi tersebut langsung menyentuh kepentingan rakyat. Kedua, kajian terhadap korupsi dalam pelayanan publik ini mencoba mengelaborasi argumen bahwa korupsi yang dilakukan oleh kalangan menengah ke bawah, yang tentunya merugikan rakyat secara langsung, tetap tidak dapat diterima dengan justifikasi-justifikasi yang bersifat ekonomis. Korupsi adalah korupsi. Rendahnya kesejahteraan tidak dapat dijadikan justifikasi bagi perbuatan itu.
88
Dalam tulisan ini, sektor pelayanan publik yang sangat luas akan dibatasi pada bidang yang secara rutin berinteraksi dengan rakyat, yaitu PLN (Perusahaan Listrik Negara), PAM/PDAM (Perusahaan Air Minum/Perusahaan Daerah Air Minum), pembuatan SIM (Surat Izin Mengemudi) dan Perpajakan. Keempat sektor ini dipilih dengan asumsi bahwa ada perbedaan karakter dalam struktur pelayanan publik di Indonesia. PLN dan PAM/PDAM merupakan representasi dari BUMN (Badan Usaha Milik Negara), sektor pelayanan publik yang sedang menjalani proses swastanisasi. Perpajakan mewakili
pelayanan publik dari kalangan birokrasi. Sedangkan karakter birokrasi militer diwakili oleh kepolisian dalam urusan pembuatan SIM. Karakteristik yang relatif berbeda antar lembaga-lembaga itu, bahkan menyangkut perbedaan struktural antara masing-masing sektor, membuat penelitian ini memiliki keterbatasan dalam memandang pola korupsi di sektor pelayanan publik secara umum. Listrik dan air bersih relatif sama, dalam arti bahwa dalam relasi antara masyarakat dengan lembaga-lembaga pelayanannya terdapat hubungan konsumen-produsen yang tegas; ketika masyarakat membayar rekening listrik atau air, maka mereka memperoleh barang berupa air/listrik. Dan di sini konsumennya adalah rumah tangga. Untuk urusan SIM, relasi produsenkonsumen juga relatif sama, hanya konsumennya adalah individu. Yang karakteristiknya paling berbeda adalah pajak, karena di sini masyarakat bukanlah konsumen; artinya relasinya juga bukan konsumsi-produksi seperti halnya pelayanan publik yang lain. Dalam perpajakan, membayar pajak merupakan kewajiban warga negara sebagai timbal balik dari hak rakyat untuk memperoleh perlindungan dan terpenuhinya hak-hak dasarnya.
Pemahaman Ekonomi-Politik Korupsi didefinisikan secara minimal sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.3 Sejauh ini definisi tersebut masih bersifat fungsional untuk dapat menjelaskan berbagai bentuk, jenis dan tingkat korupsi. Menurut UU No. 31/1999 tentang tindak pidana korupsi, yang termasuk pelaku korupsi adalah “Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Sosiolog Syed Husein Alatas mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi. Esensinya adalah bahwa korupsi merupakan pencurian yang dilakukan melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan.4 Mark Philip memberikan tiga definisi berdasarkan orientasinya, yaitu public office-centered, public interest-centered dan market-centered.5 Definisi yang berpusat pada dinas publik (public office-centered) memandang korupsi sebagai tindakan menyimpang yang dilakukan oleh pejabat publik untuk kepentingan pribadi. Definisi yang berpusat pada kepentingan
89
publik (public interest-centered) melihat korupsi sebagai perilaku yang merugikan kesejahteraan publik. Sedangkan definisi yang berpusat pada pasar (market-centered) berdasar pada penggunaan metode ekonomi dalam analisis politik, di mana korupsi merupakan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pegawai negeri untuk memperoleh pendapatan ekstra dari publik. Dalam tulisan ini korupsi dipahami bukan sekadar “penyimpangan” dalam masyarakat dan diidentifikasi oleh institusi hukum. Lebih dari itu, korupsi merupakan implikasi dari adanya ketidakcocokan antara sistem politik dengan sistem ekonomi. 6 Dalam situasi di mana korupsi dianggap sudah menyebar luas (endemik), kita tetap perlu membedakannya berdasarkan karakteristik tertentu di mana korupsi terjadi, seperti antara negara satu dengan yang lain, antar institusi merupakan implikasi yang berbeda dalam negara yang sama, dan lain-lain.
Korupsi dari ketidakcocokan antara sistem politik dengan sistem ekonomi.
Selain itu fokus tulisan ini bukanlah menyajikan suatu teori korupsi yang dapat memuaskan. Oleh karena itu yang dipilih adalah pendekatan politik, untuk melihat bagaimana peran negara dalam menyediakan kondisikondisi bagi terciptanya korupsi sehingga mempengaruhi perilaku para pemegang jabatan publik. Akan dilihat apakah korupsi hanya merupakan ekses dari seluruh proses pembuatan suatu kebijakan. Dengan demikian intervensi politik dipakai oleh pendekatan ini sebagai sarana utama dalam usaha-usaha pencegahan korupsi. 7
90
Di samping itu gabungan pendekatan struktural-historis dan interpretatif lebih memadai untuk melakukan studi pada masyarakat tertentu. 8 Teori umum korupsi dari pendekatan ekonomi-politik korupsi yang digunakan sebagai alat analisis muncul dari premis adanya ketidakcocokan secara substansial antara sistem politik dengan sistem ekonomi, yang dalam peristilahan ilmu sosial disebut “tekanan-tekanan yang kontradiktoris antara kapitalisme dan demokrasi”. 9 Untuk mengatasi keteganganketegangan tersebut, atau “untuk membuat sistem tetap berjalan”, maka para pemegang jabatan publik melalui sarana kelembagaan berkolusi dengan pelaku bisnis
atau masyarakat pada umumnya guna mencapai keuntungan-keuntungan bersama. Seperti telah diungkapkan, derajat potensi korupsi dipengaruhi oleh karakteristik khusus yang dimiliki suatu negara atau komunitas. Di Jepang dan Italia pasca-Perang Dunia II, misalnya, kesempatan bagi munculnya kekuasaan yang tak terkontrol pada periode yang sangat lama telah menciptakan benih budaya korupsi. Di sisi lain, pihak pemerintah, kalangan bisnis, dan birokrasi bersatu membentuk aliansi segitiga guna menyusun strategi yang sangat menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi. Pada titik itulah muncul situasi yang kondusif bagi perluasan bentuk manipulasi politik, berupa korupsi. Dalam pandangan teoretisi institusionalis, dua faktor yang diduga secara signifikan turut menyumbangkan kondisi tersebut adalah lemahnya Derajat potensi korupsi faksionalisasi partai politik, dan ketiadaan serta ketidakmatangan birokrasi pemerintah yang profesional dalam dipengaruhi oleh karakteristik pemahaman Weberian.10
khusus suatu negara atau komunitas
Sementara teoretisi yang lebih revisionis melihat korupsi dari sudut pandang apakah korupsi membuat sub-sub sistem yang ada menjadi fungsional bagi keseluruhan sistem atau justru membuat sistem itu tak berfungsi. Para ahli yang menekankan bahwa korupsi fungsional bagi sistem yang lebih luas berargumen bahwa dalam kondisi pasar tak sempurna, atau terjadi intervensi politik yang berlebihan, maka korupsi dapat memperbaiki kinerja ekonomi negara tersebut, selain menghindari efek yang merugikan dari kontrol negara. Sementara ahli yang menekankan korupsi itu disfungsional menyatakan bahwa tindakan tersebut akan mendistorsi mekanisme pasar.11
Kedua pandangan tersebut dirasakan masih kurang menjawab kompleksitas masalah korupsi. Karena itu John Girling memberikan dimensi-dimensi analitis yang dapat dipergunakan:12 1. Luas penyebaran korupsi, yaitu:13 a) Insidental-Individual: Korupsi insidental/individual ini dilakukan oleh si pelaku secara individual pada suatu lingkungan/lembaga tertentu yang sebenarnya relatif “bersih”
91
dari korupsi. Korupsi semacam ini hanya dikenal pada negara-negara yang tingkat korupsinya sangat rendah, misalnya Selandia Baru, Denmark, dan Swedia. b) Institusional-Kelembagaan: Korupsi disebut institusional jika melanda suatu lembaga atau sektor kegiatan tertentu di mana sebenarnya keseluruhan sektor atau lembaga tersebut tidak korup. c) Sistemik-Sosial: Pada kasus ini korupsi sudah menyerang seluruh lapisan masyarakat dan sistem kemasyarakatan; korupsi menjadi rutin dan diterima sebagai alat untuk melakukan transaksi sehari-hari. Ini disebut korupsi sistemik karena sudah mempengaruhi lembaga dan perilaku individu pada semua tingkat sistem politik, sosial, dan ekonomi. Korupsi jenis ini mempunyai beberapa ciri, yaitu : * inklusif dengan lingkungan sosial-budayanya, sehingga diterima sebagai kenyataan pada konteks sosial-budaya masyarakat itu sendiri; * cenderung monopolistik; korupsi sudah menguasai semua sistem kerja masyarakat itu sehingga masyarakat sulit untuk mendapatkan atau menentukan sistem kemasyarakatan yang wajar tanpa korupsi; * terorganisasi dan sulit dihindari, karena korupsi sudah menjadi proses rutin dalam kehidupan sosio-ekonomi sehingga korupsi itu sendiri menjadi terorganisasi, baik secara sadar ataupun tidak, dalam seluruh sistem perilaku individu. 2. Locus perilaku korupsi adalah : a) Fungsi pemegang jabatan publik, dalam hal ini para birokrat, berdasarkan orientasi pelaksanaan fungsi institusi tersebut, seperti: apakah pejabat publik merupakan tuan atau pelayan, sebagai pejabat yang independen atau sebagai alat; jika sebagai alat, kepentingan siapakah yang dapat dilayani oleh alat tersebut? b)
92
Hubungan pertukaran antara kesejahteraan dan kekuasaan, atau tujuan dari kepentingan publik. Ketiganya dapat disintesiskan dan bukan merupakan alternatif, karena sangat tergantung dari konteks dan temuan yang diperoleh. Dengan dimensi
ini maka korupsi dapat diturunkan menjadi tiga sudut-pandang definisi, yaitu berpusat pada pengabaian atas kewajiban pemegang jabatan publik, hubungan pertukaran antara kesejahteraan dan kekuasaan, atau konteks di mana korupsi terjadi dengan memanfaatkan apa yang menjadi perhatian kepentingan publik. Secara lebih spesifik maka definisinya adalah sebagai berikut: * Korupsi adalah perilaku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi dalam jabatan publik karena alasan-alasan pribadi (personal, kerabat dekat, klik pribadi) untuk meraih status pecuniary, atau melanggar aturan dengan menerapkan bentuk-bentuk tertentu karena pengaruh pribadi tersebut. Ini mencakup perbuatan-perbuatan seperti menyuap (pemberian imbalan untuk menyimpangkan penilaian orang yang berada dalam posisi yang dipercaya; nepotisme (menerapkan patronase dengan alasan hubungan kekerabatan ketimbang prestasi); dan penyalahgunaan (penggunaan secara ilegal atas sumber-sumber publik untuk pemanfaatan-pemanfaatan yang bersifat pribadi).14 * Korupsi adalah pranata ekstralegal yang digunakan oleh orang atau kelompok untuk mendapatkan pengaruh melalui tindakan birokrasi. Dengan demikian keberadaan korupsi itu sendiri mengisyaratkan bahwa hanya kelompok-kelompok ini yang berperan dalam proses pengambilan keputusan sampai derajat yang lebih tinggi daripada sebenarnya.15 * Korupsi adalah penghancuran bangunan politik melalui kebejatan moral.16 Definisi pertama berada pada wilayah analisis perilaku individu, yang kedua menekankan institusi dan definisi, dan yang ketiga menekankan tataran yang lebih makro yaitu sistem. Definisi yang digunakan sebagai pijakan pengembangan tulisan ini adalah definisi ketiga. Rumusan premisnya: Korupsi merupakan titik kulminasi dari proses hubungan kolusi yang sistemik antara pelaku institusi politik (politisi maupun birokrat) dengan pelaku ekonomi (ekonomi privat maupun masyarakat biasa) yang relatif kontinu sehingga menghasilkan semacam situasi dilematis (re-confusion) dalam menentukan batas-batas ruang lingkup ‘publik’ dan ‘privat’.17
93
Kata kolusi tersebut merujuk pada pengertian adanya kesepakatan rahasia untuk kepentingan kedua pihak yang biasanya bersifat ilegal atau pemalsuan, 18 sementara bentuk titik kulminasi yang dimaksud misalnya adalah skandal terbuka, kebangkrutan ekonomi negara, bahkan kudeta, atau revolusi sosial. 19 Artinya kolusi adalah prakondisi bagi kemunculan korupsi, karena kolusi dilakukan untuk membuat sistem yang sudah ada tetap berjalan baik di sektor publik maupun bisnis. 3. Tingkat toleransi, nilai-nilai, gagasan-gagasan yang diperkenankan oleh publik terhadap korupsi. Dalam kata lain, faktor-faktor tertentu untuk menggambarkan integritas publik suatu negara pada waktu-waktu tertentu telah dimiliki, kalaupun korupsi telah menjadi kebiasaan para pemegang jabatan publik. Dimensi ini muncul karena korupsi beroperasi melalui celah-celah di antara ketidakcocokan kekuasaan ekonomi dan kekuasaan politik, terlepas apakah itu terjadi di negara-negara kapitalis ataupun komunis.20 4. Konsekuensi-konsekuensinya pada ekonomi dan politik. Untuk membantu melihat dimensi konsekuensi itu maka paling tidak ada dua sudut pandang, yaitu: 21 * Dasar pemikiran bahwa korupsi “memperkenankan” adanya komunitas bisnis berdasarkan etnis atau kelompok minoritas tertentu untuk dapat memotong langsung hambatan politik yang didesakkan kepada mereka. Di sini analisis mengenai kelompok-kelompok yang terlibat dalam formasi modal dan korupsi dikemukakan. * Dasar pemikiran bahwa korupsi “menyediakan” semacam jasa yang menguntungkan bagi klien ketika berhadapan dengan rezim politik yang opresif. 5. Signifikansi sosial suatu tindak korupsi. Hal ini terletak dalam dimensi simbolik yang ada pada publik.
94
Singkatnya, korupsi bukan hanya sejenis “penyimpangan” dalam masyarakat dan diidentifikasi oleh institusi hukum, melainkan tumbuh dari adanya ketidakcocokan, dalam tingkat tertentu, antara sistem kelembagaan politik dan sistem kelembagaan ekonomi. Kolusi antarelit politik dan elit ekonomi, dengan potensi korupsinya, berusaha untuk “mengatasi” ketidakcocokan tersebut. Ketika muncul menjadi suatu “skandal”,
korupsi menandakan bahwa tindakan itu lebih daripada sekadar kesalahan individu atau masalah kriminal belaka: ia lebih merupakan patologi sosial. 22 Definisi yang disajikan tadi pada umumnya ditempatkan dalam kerangka sektor pelayanan publik sebagai titik di mana fenomena korupsi dapat diamati. Gambaran tentang korupsi dapat berbeda-beda antara tataran institusi politik, pada tingkat birokrasi sektor pelayanan publik, atau pada sektor privat. Korupsi juga dapat didefinisikan sesuai dengan derajat intensitas, misalnya apakah sistemik atau terisolasi (sporadis), korupsi besar-besaran atau kecil-kecilan, berlingkup lokal atau nasional, pelakunya personal atau institusional, dan sifatnya tradisional atau modern. 23 Sebagai alat untuk membantu melihat pola-pola korupsi sektor pelayanan publik maka tipologi korupsi yang digunakan tulisan ini didasarkan pada tipologi Syed Hussein Alatas, yang dianggap dapat menggambarkan variasi mengenai fenomena korupsi. Alatas juga menawarkan definisi korupsi yang lebih mengena, tanpa terlalu terikat pada aspek-aspek legalitas ataupun pada kecenderungan konvensi norma atau moral sosial tertentu. Kelebihan kerangka pemikiran ini dirasa penting mengingat bahwa dalam tulisan ini tipologi dan definisi ditempatkan secara relatif netral dalam memandang suatu fenomena, sehingga proses analisis menjadi lebih berhati-hati, terutama dalam menelaah kompleksitas aspek yang terkait dengan korupsi. Alatas mengembangkan dan mengidentifikasi korupsi dari definisinya yang terlihat minimalis 24 ke dalam beberapa tipe, 25 yaitu : 1. Korupsi transaktif, yaitu korupsi yang menunjukkan adanya kesepakatan timbal balik antara pihak yang memberi dan menerima demi keuntungan bersama, dan kedua pihak sama-sama aktif menjalankan perbuatan tersebut. 2. Korupsi ekstortif, yaitu korupsi yang menyertakan bentuk-bentuk koersi tertentu di mana pihak pemberi dipaksa untuk menyuap guna mencegah kerugian yang mengancam diri, kepentingan, orang-orangnya, atau hal-hal yang dihargainya. 3. Korupsi investif, yaitu korupsi yang melibatkan suatu penawaran barang atau jasa
95
tanpa adanya pertalian langsung dengan keuntungan tertentu bagi pemberi, selain keuntungan yang diharapkan akan diperoleh di masa datang. 4. Korupsi nepotistik, yaitu korupsi berupa pemberian perlakuan khusus kepada pertemanan atau yang mempunyai kedekatan hubungan dalam rangka menduduki jabatan publik. Dengan kata lain perlakuan pengutamaan dalam segala bentuk yang bertentangan dengan norma atau peraturan yang berlaku. 5. Korupsi autogenik, yaitu korupsi yang dilakukan individu karena mempunyai kesempatan untuk mendapat keuntungan dari pengetahuan dan pemahamannya atas sesuatu yang hanya diketahuinya seorang diri. 6. Korupsi suportif, yaitu korupsi yang mengacu pada penciptaan suasana yang kondusif untuk melindungi atau mempertahankan keberadaan tindak korupsi. 7. Korupsi defensif, yaitu suatu tindak korupsi yang terpaksa dilakukan dalam rangka mempertahankan diri dari pemerasan. Dengan tipologi tersebut kita akan mampu, dalam derajat tertentu, untuk mengidentifikasi fenomena korupsi yang muncul pada sektor pelayanan publik. Namun, meski tipologi ini cukup membantu, kemunculannya tergantung pula pada faktor-faktor penentu terjadinya korupsi yang berbeda di antar negara-negara, pada ramuan-ramuan kebijakan nasional yang ada, tradisi birokrasi, perkembangan dinamika politik, dan sejarah sosial.26 Tipologi ini juga bukan tanpa kekurangan. Salah satu kekurangannya ialah sifatnya yang relatif statis. Korupsi sering kali tak terbatas pada satu tipe saja, karena tipe tertentu muncul sebagai variabel-antara bagi tujuan korupsi selanjutnya. Maka pada kasus-kasus tertentu suatu tipe lebih diposisikan sebagai medium bagi kemunculan tipe lainnya.
96
Kemunculan sektor pelayanan publik berhubungan dengan peningkatan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan yang dianggap pokok bagi seluruh masyarakat. Konsep kebutuhan pokok terus berkembang seiring tingkat perkembangan sosio-ekonomi masyarakat. Misalnya, suatu jenis barang atau jasa yang sebelumnya dianggap barang mewah dan terbatas kepemilikannya, dapat berubah menjadi barang pokok yang diperlukan oleh sebagian besar lapisan masyarakat. Dengan demikian,
perkembangan konsep kebutuhan pokok terkait erat dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, serta perubahan politik suatu negara. Hasil-hasil pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi pada gilirannya harus didistribusikan dan dialokasikan kepada tiap anggota masyarakat yang turut berpartisipasi dalam mendorong pertumbuhan tersebut. Fungsi distribusi dan alokasi ini dijalankan oleh birokrasi lembaga-lembaga pemerintah sebagai wujud fungsi pelayanan berdasarkan kepentingan publik yang dilayaninya. Konsep kepentingan publik itu sendiri didefinisikan sebagai berikut: Sesuatu yang terhadapnya publik, masyarakat pada umumnya, memiliki kepentingan tertentu (pecuniary), atau beberapa kepentingan yang dengannya hak hukum ataupun kebutuhan-kebutuhan (liabilities) mereka terpengaruh. Ini tidak berarti sesuatu yang sangat sempit seperti misalnya sekadar keingintahuan, ataupun kepentingan terhadap hal-hal sangat khusus. 27 Dari rumusan ini kita melihat adanya hak dan tanggung jawab yang melekat pada masyarakat. Perwujudan kepentingan umum (public interest) itu muncul dalam kaitannya dengan sumber daya dan alokasinya. Proses pengalokasiannya terwujud dalam jasa pelayanan publik demi terciptanya pemenuhan kebutuhan masyarakat, sehingga pelayanan publik didefinisikan sebagai berikut: Usaha-usaha oleh jenis perusahaan-perusahaan tertentu, yang secara khusus melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat umum ataupun memungkinkan kenikmatan dan kenyamanan bagi segenap masyarakat.... Suatu perusahaan pelayanan publik atau kuasi-publik bersifat swasta dalam kepemilikannya, tapi yang memperoleh wewenang yang cukup dari negara untuk menyediakan kebutuhan atau kenyamanan masyarakat umum ...harus menjalankan tugas bagi publik yang dapat menuntut agar tugas itu dilaksanakan dengan sebaikbaiknya. 28 Karena pelayanan publik terkait erat dengan jasa dan barang dipertukarkan, maka penting pula untuk memasukkan definisi public utilities sebagai pelayanan atas komoditi berupa barang atau jasa dengan menggunakan sarana milik umum yang
97
dapat dilakukan oleh orang/badan keperdataan. 29 Pengelolaan alokasi sumber daya bagi kepentingan publik dapat dilakukan oleh badan birokrasi, baik negara maupun swasta, melalui kedudukan dan wewenang jabatan publik, yang merupakan bentuk pendelegasian kekuasaan pemerintahan negara kepada pejabat publik tertentu; sebagai orang yang menjalankan kedudukan pada jabatan tersebut sebagai bagian dari penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara. 30 Di Indonesia, dinas-dinas pelayanan publik umumnya masih berada di bawah birokrasi pemerintah, sehingga birokrasi yang dirujuk di sini lebih kepada birokrasi pemerintah. Secara teoretis ada tiga fungsi yang dijalankan oleh birokrasi, yaitu fungsi pelayanan, fungsi pembangunan, dan fungsi pemerintah umum. 31 Fungsi pelayanan berhubungan dengan unit organisasi pemerintahan yang pada Ada tiga fungsi birokrasi: dasarnya merupakan bagian atau berhubungan dengan masyarakat, dan fungsi utamanya adalah pelayanan langsung pelayanan, pembangunan, kepada masyarakat. Fungsi pembangunan berhubungan dengan organisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang dan pemerintah umum sektor khusus guna mencapai tujuan pembangunan. Fungsi pemerintah umum berhubungan dengan rangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum, termasuk memelihara ketertiban dan keamanan, dan fungsinya lebih pada pengaturan. Dalam tulisan ini yang akan dilihat adalah sektor yang merupakan bagian dari fungsi pelayanan, mengingat pelayanan publik merupakan sektor tempat fenomena korupsi dapat diamati. Sektor pelayanan publik berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan, kegiatan pemberian berbagai pelayanan umum maupun fasilitas sosial kepada masyarakat, seperti penyediaan pendidikan, kesehatan, pengurusan sampah, air minum, dan sebagainya. 32 Singkatnya, pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur, metode tertentu dalam usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya.33
98
Mengacu pada aturan pemerintah, pelayanan umum didefinisikan sebagai segala
bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di tingkat pusat, daerah, dan di lingkungan BUMN dalam bentuk barang atau jasa, baik guna memenuhi kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.34 Stiglitz mengemukakan dua elemen yang selalu ada pada setiap pelayanan publik. Pertama, adanya ketidakmungkinan untuk menjatah (rationing) barang atau jasa-jasa publik bagi tiap individu. Kedua, kalaupun hal tersebut mungkin dilakukan, amatlah sulit. Hal penting yang menunjang pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut adalah kemampuan birokrasi dalam mengelola dan menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang ekonomis, efektif, efisien, dan akuntabel kepada seluruh masyarakat. Pelaksanaan fungsi ini idealnya didasarkan pada prinsip equity, artinya birokrasi tidak boleh memberikan pelayanan secara diskriminatif, yaitu memandang masyarakat yang dilayani atas dasar status, pangkat, dan golongan. 35
Pelayanan umum adalah
Secara ekonomi, pelayanan dan jasa-jasa publik terdiri segala bentuk kegiatan dari kategori yang mencakup barang-barang publik dan barangbarang privat. Jika barang dan jasa tersebut masuk dalam pelayanan oleh instansi ketegori privat tapi merupakan bagian dari jasa-jasa publik, pemerintah di tingkat maka ia merupakan publicly provided private goods atau barangbarang privat yang disediakan negara seperti SIM, air minum, pusat, daerah, dan BUMN dan listrik. 36 Bila barang dan jasa masuk kategori publik dan merupakan bagian dari jasa-jasa publik, ia disebut pure public goods. Baik barang publik maupun privat di sektor permintaan (demand) ditentukan oleh selera konsumen. Bedanya, persediaan (supply) atas barang privat tersebut ditentukan oleh produsen yang bertujuan mencari laba, sedang persediaan barang publik ditetapkan melalui proses politik. 37 Pada pelaksanaannya tidak semua fungsi tersebut harus dikerjakan oleh pemerintah; ada bagian yang dilaksanakan oleh swasta dengan pola kemitraan. Pola kerja sama antara pemerintah dengan swasta dalam memberikan berbagai berbagai pelayanan publik ini sejalan dengan gagasan reinventing government yang
99
dikembangkan Osborne dan Gaebler.38 Oleh karenanya pola kemitraan dalam pelayanan publik tetap memperhatikan kepuasan publik dalam mengkonsumsi barang atau jasa yang disediakan, baik oleh swasta maupun pemerintah, seperti gagasan dasar Osborne dan Gaebler: ...Suatu perusahaan pelayanan publik atau kuasi-publik bersifat swasta dalam kepemilikannya, tapi yang memperoleh wewenang yang cukup dari negara untuk menyediakan kebutuhan atau kenyamanan masyarakat umum ...harus menjalankan tugas bagi publik yang dapat menuntut agar tugas itu dilaksanakan dengan sebaikbaiknya.39 Karena posisi mitra atau rekanan tersebut diletakkan sebagai bagian dari seluruh proses pemenuhan kebutuhan sektor pelayanan umum, maka dalam tulisan ini pihak swasta diletakkan sebagai bagian dari seluruh sistem formal birokrasi pelayanan umum.
Pengelolaan SIM dan Kultur Birokratis-Militer Kepolisian yang baru saja lepas dari struktur TNI/ABRI masih menyisakan kultur birokratis-militeristik. Dalam kultur yang menonjol di Orde Baru umumnya dan militer khususnya, karakter organisasi yang tertutup dan eksklusif cukup banyak mewarnai polapola korupsi pada tubuh kepolisian, khususnya dalam posisi mereka sebagai pengelola SIM. Meski ada juga pegawai negeri sipil (PNS) yang dilibatkan dalam pengelolaan SIM, namun posisi mereka tidak mempengaruhi hirarki yang lazim berlaku pada struktur militer, di mana bawahan harus sepenuhnya patuh kepada atasan. Sebagian dari mereka juga memiliki posisi tawar yang lemah karena hanya menjadi karyawan bantuan, sehingga mereka dapat dipecat setiap saat, bahkan bisa dilakukan secara lisan.
100
Pola korupsi dominan yang terdapat dalam pengelolaan SIM ini terutama pada segi percaloan, yang bisa dilakukan oleh aparat kepolisian sendiri, biro jasa, maupun calo-calo individual yang punya jaringan dengan para pejabat pengelola SIM. Siapa pun calo tersebut, dalam struktur pengelolaan SIM ada mekanisme bagi-hasil yang relatif mapan. Harus ada distribusi “pendapatan” yang memadai, terutama kepada atasan.
Seperti halnya upeti, para calo dan bawahan yang memperoleh penghasilan tambahan ini harus memberikan sebagian perolehan tersebut kepada atasan masing-masing. Biaya ekstra yang lazim untuk calo berkisar antara Rp 100.000 hingga Rp 150.000. Jumlah inilah yang dibagi-bagi. Mekanisme ini tidak akan lancar tanpa dukungan seluruh jaringan yang ada. Jika ada salah satu bagian yang menyimpang dari mekanisme tersebut, ia akan dipaksa keluar atau mengikuti “aturan main”. Dan ketentuan ini ditunjang oleh struktur yang hirarkis dan jenjang kepangkatan yang terbangun secara sistematis, sehingga kecil kemungkinan sistem ini berubah tanpa adanya kebijakan yang cukup radikal. Kontrol internal di dalam kepolisian umumnya dan pengelolaan SIM khususnya juga makin lemah karena struktur semacam ini. Dari segi pembiayaan SIM, sebenarnya ada dua jenis korupsi yang terjadi. Korupsi yang melibatkan calo merupakan jenis yang pertama, yaitu korupsi yang terjadi dalam proses pembuatan SIM oleh masyarakat. Yang kedua adalah korupsi yang menyangkut produksi SIM di internal kepolisian sendiri, karena biaya resmi sebesar Rp 52.500 kepatutan alokasinya meragukan.
Kontrol internal di dalam kepolisian umumnya dan pengelolaan SIM khususnya juga makin melemah
Secara keseluruhan, korupsi dalam pengelolaan SIM terjadi karena adanya tiga kondisi. Pertama, keberadaan calo yang sulit diberantas karena memang ada relasi yang saling menguntungkan antara masyarakat, calo dan petugas Kepolisian. Kedua, prosedur resmi pembuatan SIM yang memakan waktu cukup lama membuat masyarakat cenderung untuk memanfaatkan jasa calo agar prosesnya dipercepat. Ketiga, kebutuhan masyarakat akan SIM begitu besar, sementara kalau mereka mengurus SIM tanpa bantuan calo kemungkinan untuk gagal dalam ujian sangat besar, sehingga mereka memilih jalan pintas dengan membayar biaya ekstra melalui calo. Maka, selama kerja percaloan ini memberikan penghasilan yang memadai, maka calo-calo pasti akan selalu ada. Dan selama tidak ada ketegasan dari atasan untuk menolak praktek percaloan oleh “orang dalam”, maka “calocalo intern” pun akan tetap ada.
101
Berdasarkan pemberitaan media massa40 dan temuan di lapangan, diketahui pengalokasian biaya resmi pembuatan SIM di Kepolisian Daerah Jakarta Raya (Polda Jaya) sebesar Rp 52.500 tersebut. Dari jumlah ini, yang masuk ke kas negara sebesar Rp 4.000, dan untuk PT CPP sebagai pelaksana pembuat kartu SIM sebesar Rp 48.499. Dari dana yang diterima PT CPP tersebut, dialokasikan sebagai pendapatan Polri sebesar Rp 11.000, yang disebut “Dana Operasional SIM” (DOS). DOS dibagi antara Markas Besar Polri dan Polda, masing-masing mendapat Rp 4.500 dan Rp 6.500. Jatah Mabes Polri itu dialokasikan kepada Mabes Polri sendiri sebesar Rp 2.000, Mabes TNI Rp 500, Direktorat Lalu Lintas Polri Rp 1.000, dan Induk Koperasi Polisi (Inkopol) Rp 1.000. Sedangkan jatah Polda disesuaikan dengan tipe Polda masing-masing. Pada kasus Polda Metro Jaya dialokasikan kepada Kapolda sebesar Rp 3.000, Kaditlantas Rp 2.000, dan Kasubbag SIM Rp 1.500. Pada kasus Polda yang tidak memiliki struktur organisasi Kepolisian Wilayah (Polwil), pengalokasiannya adalah: Kapolda sebesar Rp 1.500, Kadilantas Rp 1.000, dan Kapolres Rp 4.000. Untuk Polda yang memiliki Polwil pembagiannya: Kapolda sebesar Rp 1.300, Kaditlantas Rp 700, Kapolwil Rp 650, Kapolres Rp 2.000, Kasatlantas Polres Rp 1.500, dan institusi Polwil Rp 350. Sedangkan pengalokasian dana SIM yang di luar biaya resmi memiliki pola sendiri. Calo berfungsi menggantikan giliran antre pemohon, dan memasukkan berkas-berkas dan “dana tambahan” ke sejumlah loket dengan jumlah bervariasi di tiap loket. Uang dari tiap loket dikumpulkan oleh perwira urusan masing-masing, sambil mencocokkan dengan catatan jumlah berkas SIM yang telah dikerjakan oleh anak buah masing-masing. Para perwira kemudian menyisihkan sebagian uang pendapatan kepada anak buah yang bertugas di tiap loket.41 Sebagian pendapatan di luar biaya resmi tersebut disetorkan kepada bagian Tata Usaha dan Urusan Dalam (Taud), yang kemudian dialokasikan oleh perwira Taud kepada Kasubbag SIM.42 Selain untuk pimpinan, bagian Taud juga mengalokasikan pendapatan ke dalam dua jenis kas, yaitu: * Dana bagi “Kas Subbag SIM”: ini diperuntukkan bagi kebutuhan yang berhubungan dengan operasional penerbitan SIM, seperti pembuatan papan-papan petunjuk proses
10 2 102
SIM, alat tulis kantor, pemasangan pesawat telepon, pembayaran rekening listrik dan telepon Subbag SIM, hingga penambahan dan pemeliharaan fasilitas gedung Satpas SIM. * Dana “cadangan operasional” Polda: ini untuk kegiatan operasional Polri seperti biaya makan pasukan anti-huru hara, pengoperasian truk pengangkut penumpang akibat aksi mogok kendaraan umum, pembelian onderdil mobil operasional Polri, hingga kepentingan pribadi pejabat dan para kroninya, seperti pembelian ban mobil pimpinan dan biaya main golf para pimpinan.
TABEL 1 Tipe Pola Korupsi Pengelolaan dan Penertiban SIM Polda Metro Jaya No 1
Cakupan
Bentuk Kegiatan
Tingkatan Manajemen
Tipe Pola Korupsi
Internal
Kerjasama Swasta
Tinggi
a. Patronese Institusi secara transaktif lewat pencurian aset. b. Suportif a. Nepotis-Investif lewat suap b. Suportif a. Patronase Individual secara ekstortif lewat upeti. b. Suportif Ekstortif-Autogenik lewat pungutan liar
Personalia
a. Menengah b. Bawah/operasional
2
Pengurusan SIM
Menengah
Eksternal
Pengurusan SIM
Bawah/operasional
Alokasi dana tersebut juga untuk mensubsidi biaya penerbitan SIM bagi kategori “pemohon SIM yang diprioritaskan”, seperti keluarga/kerabat para pejabat tinggi serta wartawan. Agar jumlah nilai yang dialokasikan tidak berubah karena adanya subsidi ini, maka tiap Kasubbag harus mempertahankan jumlah nilai alokasi tersebut, dan caranya berbeda-beda.
103
Tipe pola korupsi dalam pengelolaan pembuatan SIM dapat diringkas dalam Tabel 1. Tipe korupsi pada tabel ini dapat dibaca dengan merujuk pada tipologi Alatas yang diuraikan di bagian awal. Penggunaan dua tipe korupsi Alatas dalam mengkategorikan pola korupsi tersebut didasarkan pada argumentasi bahwa perubahan-perubahan tipe korupsi mungkin saja terjadi sebagai tindakan-antara bagi tipe korupsi lainnya. Dalam proses kerja sama dengan swasta terjadi korupsi yang bersifat suportif, yaitu korupsi yang mengacu pada penciptaan suasana yang kondusif untuk melindungi atau mempertahankan keberadaan tindak korupsi, di mana mekanisme koruptif semakin dilanggengkan bahkan diperkuat dengan adanya kerja sama dengan swasta tersebut. Tipe korupsi serupa juga terjadi pada proses Seorang bawahan harus rekrutmen dan pengurusan SIM. Sistem yang hirarkis turut berperan dalam tipe suportif ini, karena upaya untuk saling memberi upeti kepada melindungi sebagai sebuah korps sangat besar.
atasannya setelah ia mendapat hasil dari SIM.
Dalam proses rekrutmen dan relasi antar pegawai juga terjadi korupsi yang bersifat nepotis-investif, yaitu selain pemberian kemudahan untuk masuk dalam struktur pengurusan SIM berdasarkan kedekatan-kedekatan tertentu, juga terkait dengan kebutuhan jangka panjang yang memang memiliki prospek bagus di lingkungan pengurusan SIM ini. Di tingkat internal pengurusan SIM, juga terdapat tipe korupsi patronase individual secara ekstortif, di mana seorang bawahan harus memberikan “upeti” kepada atasannya setelah ia memperoleh pemasukan dari SIM. Masyarakat sebagai pengguna jasa SIM juga menjadi korban ketika ada unsur pemaksaan untuk memberikan dana tambahan untuk memperoleh SIM, dan juga karena mekanisme mengenai pengurusan SIM hanya dipahami oleh para calo dan petugas kepolisian, sehingga dalam relasi ini terjadi korupsi yang bersifat ekstortif-autogenik.Z
Korupsi di Sektor Pajak
104
Seperti sudah disebut, sektor perpajakan memiliki ciri yang lebih kompleks dibanding sektor-sektor lain. Di sektor ini ada berbagai jenis pungutan pajak, prosedur
teknis serta lembaga-lembaga yang berwenang memungut pajak. Maka secara keseluruhan di tubuh Direktorat Jendral Pajak terdapat beberapa masalah, yaitu di tingkat personel, dalam pembayaran jasa-jasa wajib, dalam proses negosiasi pajak, celah-celah bagi terjadinya korupsi akibat sistem pemungutan yang berlaku, model pemeriksaan pajak, serta adanya model “daftar nominatif” di Ditjen Pajak. Korupsi di tingkat personel di sektor perpajakan banyak berkaitan dengan proses rekrutmen dan penempatan. Dalam kedua proses ini biasanya terjadi transaksi antara “calon pekerja” dengan “calon atasan”, agar bisa diterima bekerja atau ditempatkan di salah satu bagian yang dianggap “basah” di Ditjen Pajak. Sedangkan pada pembayaran jasa-jasa wajib, korupsi biasanya terjadi dalam interaksi antara subjek wajib pajak dengan petugas pajak, di mana subjek “dipaksa” memberikan “uang pelicin” untuk memperlancar jasa yang seharusnya diberikan tanpa biaya atau dengan biaya resmi yang kecil. Salah satu penyebab hal ini adalah kurangnya pengetahuan wajib pajak, sehingga mudah “digertak” oleh petugas pajak. Dalam proses negosiasi terdapat pola korupsi yang Pada negosiasi pajak terjadi khas dalam sektor perpajakan. Sebagai kelanjutan dari korupsi dalam interaksi proses pembayaran jasa-jasa wajib namun dalam bentuk yang lebih spesifik, pada negosiasi pajak juga terjadi korupsi petugas dan wajib pajak. dalam interaksi antara petugas dan wajib pajak. Ada dua bentuk korupsi yang terjadi dalam negosiasi ini. Pertama, posisi petugas bersifat aktif, dengan meminta biaya tambahan berdasarkan ketidaktahuan wajib pajak, sehingga wajib pajak berharap proses pengurusan pajaknya bisa dipercepat. Kedua, posisi wajib pajak bersifat aktif, dengan maksud jumlah pajak yang harus dia bayar bisa dikurangi, dengan memberi “biaya khusus” kepada petugas. Dalam sistem perpajakan di Indonesia, ada beberapa celah yang menurut hasil penelitian ini membuka peluang korupsi. Pertama, menyangkut metode pemungutan pajak yang berlaku, yaitu metode official assesment system. Sistem ini membuat kekuasaan petugas pajak amat besar, sehingga memungkinkannya berbuat sewenangwenang. (Sebelumnya diterapkan metode self assesment system, namun karena pihak
105
Dirjen Pajak sendiri tak mampu menangani sistem ini, akhirnya diubah menjadi official assesment system). Kedua, menyangkut model pemeriksaan pajak; yang dipakai sekarang adalah model yang ditujukan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Penggunaan model ini membuat wajib pajak kesulitan untuk membela diri ketika jumlah pajaknya ditetapkan. Bahkan ketika wajib pajak bermaksud meminta restitusi, sangat mungkin ia dicurigai berniat curang, dan prosesnya dipersulit. Ketiga, berkenaan dengan daftar nominatif, yang cenderung membuka peluang korupsi di luar institusi perpajakan. Dalam hal ini petugas biasanya tidak mau meneliti lebih jauh pengeluaran wajib pajak (perusahaan) berupa “dana entertainmen”, dan biasanya dimasukkan ke dalam bagian “hibah perusahaan”, sedangkan penerima “dana entertainmen” tersebut dalam laporan pajaknya dimasukkan ke dalam penghasilan. Padahal, bentuk-bentuk transaksi “dana entertainmen” sangat kental nuansa korupsi dan kolusinya. Pada proses pemungutan pajak, seperti tergambar dalam Tabel 2, terdapat lima tipe korupsi. Tipe transaktif-nepotis, yaitu korupsi yang menunjukkan adanya kesepakatan timbal balik antara pemberi dan penerima — dan keduanya sama-sama aktif melakukannya serta diwarnai oleh nuansa pengistimewaan pada pihak tertentu karena adanya kedekatan personal — terjadi dalam proses rekrutmen. Sedangkan pada proses pencarian data, terjadi korupsi autogenik, yaitu pemerasan oleh petugas berkat pengetahuan dan pemahaman mengenai perpajakan.
106
Pada proses pembayaran jasa-jasa wajib, terjadi korupsi autogenik-ekstortif di tingkat manajemen operasional. Dengan senjata pengetahuan dan pamahaman, petugas pajak dapat melakukan tekanan-tekanan tertentu sehingga terjadi transaksi yang koruptif. Tipe transaktif-autogenik maupun ekstortif-autogenik juga terjadi dalam negosiasi pajak. Terjadinya transaksi koruptif melalui mekanisme timbal balik (transaktif) maupun koersif (ekstortif) tergantung situasi dalam relasi antara petugas dengan wajib-pajak. Untuk korupsi yang terjadi karena keaktifan wajib pajak, pola korupsinya termasuk tipe transaktif-defensif.
TABEL 2.Tipe Pola Korupsi Pemungutan Pajak No 1
2
Cakupan
Bentuk Kegiatan
Tingkatan Manajemen
Tipe Pola Korupsi
Internal
Personalia
a. Menengah
Pencari Data
b. Bawah/operasional Bawah/operasional
Transaktif-Nepotis lewat suap
Pembayaran untuk jasa-jasa wajib
Bawah/operasional
Negosiasi Pajak
a. Tinggi
Eksternal
b. Menengah c. Bawah/operasional Wajib Pajak*
Autogenik lewat pungutan liar terhadap sesama petugas pajak Autogenik-Ektrortif lewat suap Transaktif-Autogenik atau EkstortifAutogenik lewat komisi Transaktif-Defensif lewat suap
*Terjadi ketika wajib pajak berupaya menghindari beban risiko pajak yang akan dikenakan kepadanya
Pola Korupsi di PLN dan PAM Jaya Masalah umum di tubuh BUMN adalah menyangkut profesionalitas dalam melaksanakan pelayanan publik. Untuk meningkatkan profesionalitas mereka, pemerintah menswastakan beberapa BUMN, termasuk PLN dan PAM. Dalam kasus PLN, swastanisasi dilakukan dalam bentuk penyediaan tenaga listrik oleh swasta untuk kemudian dibeli oleh PLN. Pada kasus PAM Jaya, bentuk swastanisasinya adalah kerja sama dengan beberapa perusahaan asing dalam menyediakan air minum di Jakarta. Di kedua BUMN tersebut, ada dua masalah utama berkenaan dengan korupsi, yaitu dalam proses swastanisasinya serta kasus korupsi internal.
107
PLN: Swastanisasi dan Korupsi Pola umum korupsi di PLN adalah menyangkut pengadaan listrik itu sendiri, yang biasanya berupa penggelembungan anggaran (mark up). Selain itu, di tingkat internal korupsi juga terjadi dalam proses pengadaan kebutuhan barang operasional. Namun ada juga korupsi yang terjadi dalam relasi antara PLN dengan masyarakat, yaitu terjadinya pencurian listrik besar-besaran oleh konsumen industri, baik untuk pabrik maupun gedung. Dalam pengadaan listrik berskala besar, kasus utama di PLN adalah menyangkut listrik swasta. Pencetusnya adalah kebijakan pemerintah untuk mengantisipasi lonjakan kebutuhan listrik akibat meningkatnya investasi di sektor manufaktur. Karena PLN diasumsikan tidak mampu Ada juga korupsi yang kebutuhan tersebut, diupayakanlah adanya terjadi dalam relasi antara memenuhi pasok listrik oleh swasta. Dalam proses pengadaannya, PLN dengan masyarakat: muncul banyak masalah, mulai dari perencanaan, perolehan izin, pembiayaan, pelaksanaan produksi, hingga ketika PLN pencurian listrik oleh harus membeli listrik swasta tersebut. Semuanya berkait konsumen industri. dengan banyaknya kemudahan yang diberikan pemerintah kepada produsen listrik swasta, sehingga banyak merugikan negara. Kemudahan-kemudahan inilah yang diduga kuat diperoleh melalui korupsi, kolusi dan nepotisme karena melibatkan keluarga Soeharto, presiden Indonesia waktu itu.
108
Pada proses perencanaan, PLN sering meleset dalam menentukan proyeksi listrik. Alasannya karena PLN hanya mau memperluas jaringannya di suatu wilayah jika prospek kawasan itu sudah jelas sebagai kawasan industri. Maka industri-industri baru yang muncul sering harus memenuhi sendiri terlebih dulu kebutuhan listrik mereka. Namun, di sisi lain, dalam perencanaan pengembangan sistem kelistrikan sering terjadi rekayasa melalui manipulasi-manipulasi perhitungan, sehingga seolaholah kebutuhan listrik Indonesia sangat besar. Inilah yang kemudian dijadikan alasan untuk membuka peluang bagi swasta untuk memproduksi listrik yang nantinya harus dibeli oleh PLN.
Kemudian, dalam tender penentuan pihak swasta yang akan diberi lisensi untuk memproduksi listrik, terjadi pula manipulasi, sehingga yang lolos tender adalah kronikroni Soeharto. Untuk lebih memperkuat pembenaran terhadap kebutuhan dan keberadaan listrik swasta ini, pemerintah kemudian mengeluarkan beberapa peraturan, guna memperlancar investasi listrik swasta. Dan peraturan-peraturan itu bertentangan dengan UU. Bahkan dalam prakteknya, hubungan PLN dengan pihak swasta tersebut juga tak seimbang: PLN harus tetap membeli listrik produksi swasta itu, dengan harga tinggi pula, terlepas dari berapa sebenarnya kebutuhan real listrik di Indonesia. Padahal, akibat krisis ekonomi sejak 1997, kebutuhan listrik Indonesia masih bisa dipenuhi oleh PLN. Kasus di seputar listrik swasta ini juga terkait dengan lembaga-lembaga internasional keuangan seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), dan lain-lain. Banyak proyek pengadaan listrik yang dibiayai oleh lembaga-lembaga itu, dengan kompensasi berupa penggunaan barang-barang hasil produksi negara-negara anggotanya dalam proyek pembangunannya. Terlihat pula peran besar pemerintah, sehingga masalah ini makin kusut dan makin merugikan keuangan negara.
Kerugian negara akibat Korupsi juga terjadi dalam pengadaan listrik skala menengah dan kecil. Jika dilihat kasus per kasus, kerugian negara mark up dalam yang muncul memang tak terlalu besar. Namun secara pengadaan material keseluruhan, meski angka pastinya belum didapat, kerugian negara akibat mark up dalam pengadaan material operasional operasional sangat besar seperti gardu induk, jaringan tegangan menengah, hingga Kwh meter, juga sangat besar. Di tingkat ini yang terlibat adalah para pegawai menengah ke bawah, yang bekerja sama dengan pihak ketiga, yaitu pemborong. Mark up biasa terjadi dalam proses perencanaan, yang tentunya berjalan dengan sepengetahuan pejabat teras, seperti pihak manajemen di kantor wilayah atau distribusi serta biro perencanaan di kantor pusat. Dalam perencanaan juga terdapat nuansa politis, terutama berkaitan dengan pembukaan jaringan di suatu wilayah/desa tertentu. Ini biasanya terjadi menjelang
109
pemilihan umum, sehingga PLN sering merugi karena perluasan jaringan tersebut di luar perencanaan, dengan akibat membengkaknya beban anggaran akumulatif per tahun yang harus ditanggung PLN. Pola lainnya adalah korupsi eksternal, yaitu dalam hubungan PLN dengan konsumen. Selain melibatkan masyarakat sebagai konsumen, pola korupsi ini tentunya juga melibatkan pejabat PLN, terutama di lapis tengah dan bawah. Korupsi yang terjadi berupa manipulasi terhadap pembayaran listrik dan pencurian langsung. Manipulasi pembayaran biasanya dilakukan dengan merekayasa alat penghitung daya listrik (meteran), yang biasanya juga melibatkan orang ketiga (kontraktor listrik), namun tentunya juga dengan sepengetahuan petugas PLN. Sedang pencurian langsung biasanya lebih mudah dideteksi, karena pemakaian listrik dalam suatu wilayah memiliki batas atas dan bawah. Namun ada potensi kolusi antara konsumen dan PPAL yang bertugas memeriksa ketika terjadi ketidaksesuaian dengan batas atas dan batas bawah tersebut. Secara ringkas, pola korupsi pada penyediaan listrik, dengan berpijak pada kerangka teoretis Alatas, digambarkan dalam Tabel 3. Pada manajemen tingkat bawah dalam hubungan PLN dan masyarakat terdapat dua tipe korupsi, yaitu korupsi transaktif, berupa pungutan liar atau suap dalam bentuk pencurian listrik, dan korupsi ekstortif-autogenik, berupa pungutan liar yang biasa terjadi dalam proses instalasi listrik. Sedangkan dalam relasi internal di dalam tubuh PLN sendiri terdapat tiga tipe korupsi, yaitu yang bersifat patronase institusi secara transaktif lewat pencurian aset, dan tipe suportif (keduanya terjadi pada manajemen tingkat tinggi dan berlangsung dalam proses pengadaan sumber daya strategis); serta tipe autogenik-transaktif (terjadi pada level manajemen menengah dan tinggi, yang biasanya belangsung dalam pengadaan perangkat operasional). PAM Jaya: Kolusi Negara - Modal
110
Ada banyak kemiripan dalam pola korupsi di PAM Jaya dan PLN. Bedanya, lingkup PLN lebih luas, karena PAM Jaya hanya mencakup wilayah DKI Jakarta.
TABEL 3. Tipe Pola Korupsi Pada Penyediaan Kelistrikan No 1
2
Cakupan
Bentuk Kegiatan
Tingkatan Manajemen
Tipe Pola Korupsi
Internal
Pengadaan sumber daya strategis
Tinggi
Pengadaan operasional
a. Patronase Institusi secara transaktif lewat pencurian aset b. Suportif
a. Tinggi
Instalasi
b. Menengah Bawah/operasional
Autogenik-Transaktif lewat pungutan liar
Pencurian sumber daya strategis
a. Menengah
Eksternal
b. Bawah
Ekstortif-Autogenik lewat pungutan liar Transaktif lewat pungutan liar
Korupsi di PAM Jaya bisa dikelompokkan dalam dua bidang besar, yaitu yang menyangkut proses swastanisasi dan yang di luar swastanisasi. Pada swastanisasi, korupsi terjadi karena adanya intervensi kekuasaan yang membawa kepentingan modal. Keterlibatan Soeharto dan para kroninya dalam proses swastanisasi ini terlihat dari disposisi Soeharto pada 12 Juni 1995 tentang arahan untuk mempercepat proses penyediaan air bersih di Jakarta, yang berhubungan dengan peran swasta. Kebijakan untuk melakukan swastanisasi diawali dengan upaya rasionalisasi bahwa swastanisasi merupakan satu-satunya jalan keluar bagi masalah yang dihadapi PAM Jaya. Dilakukan pula justifikasi ilmiah dengan menggunakan hasil penelitian yang diwujudkan dalam Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework. Penentuan pemenang tender tidak dilakukan secara terbuka dan transparan,
111
Gambar 13. Proses Korupsi PAM Jaya Calon Konsumen
Kegiatan Instalasi di Rumah Calon Konsumen
Pengiriman Tukang sambung dan Pasang Pipa
Pengajuan Permohonan Instalasi Baru
Kantor Rayon
Survey Lokasi dan Negosiasi Harga
Pengiriman Petugas Survey
namun berdasarkan penunjukan langsung dan tanpa pengujian memadai terhadap kelayakan peserta tender tersebut dalam memenuhi butir-butir persyaratan kerja sama. Di tingkat pelaksanaan, pihak swasta tidak hanya menjadi pelaksana proyek pasokan air waduk Jatiluhur ke instalasi pengolahan air di Jakarta, tetapi bahkan kemudian mengambil alih hampir seluruh operasi PAM Jaya.
Ada pun korupsi di luar soal swastanisasi biasanya terjadi seputar pengadaan barang kebutuhan operasional : Kemungkinan kegagalan Negosiasi PAM Jaya, pada pengiriman barang Catatan : Bagan ini menunjukkan proses korupsi sebelum swastanisasi. kebutuhan operasional, serta pada instalasi Perubahan setelah swastanisasi hanya terjadi pada bagian Pengajuan pipa air minum oleh PAM Jaya untuk PermohonanInstalasi Baru (PPIB). Calon Konsumen (CK) menghubungi op- konsumen. Pada pengadaan, korupsi terjadi erator di pusat - TPJ atau Plyja (jadi nukan di Rayon seperti dalam (Bagan), pusat akan menghubungi operator telepon kantor wilayah, lalu operator ketika dilakukan tender; biasanya, meski akan mengirim petugas instalasi ke rumah CK. tender diumumkan secara terbuka, pihak pemasok berkolusi dengan petugas bagian logistik untuk mengetahui harga yang diinginkan oleh PAM Jaya. Pada proses pengiriman barang kebutuhan logistik, pemasok barang diharuskan memberi uang sekitar Rp 50.000Rp 100.000 kepada para petugas bagian gudang, bagian laboratorium dan bagian pencairan uang. Dalam pemasangan pipa PAM untuk konsumen, baik secara langsung maupun tak langsung, petugas instalasi meminta tambahan biaya dengan beberapa alasan, misalnya bahwa pipa induknya jauh sehingga pipa perlu disambung.
1 12
Petugas Survei menanyakan luas tanah berdasarkan PBB, luas bangunan, dan jumlah penghuni, kemudian memeriksa apakah terdapat pipa induk di sekitar lokasi instalasi. Bila survei selesai, dilakukanlah “negosiasi”. Caranya: Pertama, petugas beralasan bahwa pipa
induknya berada jauh dari lokasi instalasi, sehingga perlu dilakukan penyambungan pipa (crossing). Akibat metode instalasi ini biaya penyambungan menjadi mahal. Biasanya dikemukakan pula alasan-alasan geografis dan teknis instalasi.
TABEL 4. Tipe Pola Korupsi Pada Penyediaan Air Minum No 1
2
Cakupan
Bentuk Kegiatan
Tingkatan Manajemen
Tipe Pola Korupsi
Internal
Pengadaan sumber daya strategis
Tinggi
Instalasi
Bawah/operasional
a. Patronase Institusi secara transaktif lewat pencurian aset b. Suportif Ekstortif-Autogenik lewat pungutan liar
Eksternal
* Cara kedua terdiri dari dua tahap. Tahap pertama, petugas menyatakan rincian komponen biaya resmi kepada calon konsumen (biaya instalasi, hasil survei, jarak dengan pipa induk, panjang pipa yang dibutuhkan, dan sebagainya). Tahap kedua, petugas menegaskan bahwa konsumen tidak dibebani biaya tambahan, tapi ada dua tukang yang akan bekerja selama tiga hari, dan masing-masing harus dibayar Rp 50.000 per hari; terutama kalau calon konsumen ingin pemasangan instalasi cepat beres. Ini akan memancing simpati terhadap “kerja keras” petugas, sehingga calon konsumen mungkin mau mengeluarkan biaya lebih besar daripada biaya resmi yang telah diinformasikan dengan terinci. Dengan demikian petugas tidak melakukan korupsi, melainkan mendapatkan uang “pemberian secara sukarela” dari konsumen. Masalah kontrol dapat dikatakan merupakan sumber utama korupsi. Kontrol internal yang selama ini dijalankan oleh inspektorat jenderal dan lembaga-lembaga pengawas lainnya terbukti tak efektif, karena karakter koruptif sudah sistemik. Karena korupsi banyak terjadi di lembaga-lembaga pemerintah, yang notabene adalah pelayan
113
masyarakat, maka masyarakat harus dilibatkan secara maksimal dalam mekanisme kontrol ini. Bagaimanapun mekanisme kontrol internal yang diterapkan, masyarakat tetap merupakan lembaga kontrol yang utama. Dan supaya kontrol masyarakat bisa efektif, masyarakat harus terorganisasi. Ini bukan niscaya berarti pembentukan sebuah organisasi (seperti organisasi-organisasi pemantau yang banyak muncul akhir-akhir ini), namun lebih pada membuat masyarakat sadar akan haknya dan mau memperjuangkannya ketika hak-haknya dilangggar. Dapatlah disimpulkan bahwa ada tiga tipe korupsi pada penyediaan air minum. Yaitu tipe patronase institutif dan tipe suportif (terjadi pada tingkat manajemen tinggi PAM Jaya, terutama dalam proses pengambilan kebijakan swastanisasi, yang tidak memberikan keuntungan signifikan bagi konsumen pelayanan publik), dan tipe ekstortifautogenik (terjadi dalam interaksi antara petugas dengan pelanggan/calon pelanggan PAM Jaya).
Bagaimanapun mekanisme kontrol internal yang diterapkan, masyarakat tetap merupakan lembaga kontrol yang utama.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Pada prinsipnya, contoh-contoh kasus korupsi yang digambarkan secara ringkas tersebut membentuk suatu jaringan sosial yang lebih luas. Dalam hal ini birokrasi pelayanan publik menggambarkan suatu mata rantai yang menyatukan konfigurasi hubungan-hubungan yang berbeda antara satu dan lain individu, atau antara satu dan lain posisi sosial. Pola-pola korupsi tersebut juga menunjukkan bahwa tindakan individu yang tertanam di dalam dan dipengaruhi oleh ikatan-ikatan sosial yang menyatukan aktoraktor dalam suatu pola interaksi telah meletakkan individu sebagai aktor pasif dari tekanan-tekanan lingkungan sosialnya. Akhirnya jaringan sosial tersebut lebih merupakan rambu-rambu yang bersifat membatasi suatu diskresi.
1 14
Banyaknya aturan perundangan yang sangat luas penafsirannya dan saling berbenturan menunjukkan bahwa aturan tersebut hanya diperkenankan ada sejauh berguna bagi jaringan tersebut. Di sini hukum disubordinasikan di bawah kepentingan
kelompok dalam jaringan. Selain itu lemahnya individu dalam berhadapan dengan institusi mencerminkan lemahnya masyarakat terhadap negara akibat proses depolitisasi kekuatan sosial berikut institusinya selama puluhan tahun. Rekomendasi ini akan dibagi berdasarkan sektor-sektor yang menjadi obyek penelitian. Pengurusan SIM Sebagai bagian dari upaya untuk memberantas korupsi dalam pengelolaan SIM, perlu dibangun kultur baru di tubuh kepolisian setelah mereka keluar dari struktur militer. Ini terutama agar terbuka peluang mekanisme kontrol internal, karena dalam struktur yang militeristik dan birokratis, kontrol dari bawah tidak dimungkinkan. Kepolisian harus mulai transparan dengan memberikan pertanggungjawaban kepada publik mengenai pengalokasian dana SIM, dan biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk memperoleh SIM perlu dihitung ulang. Boleh diterapkan penerapan subsidi silang antara pemohon SIM umum dengan pemohon SIM biasa, dengan asumsi bahwa SIM umum digunakan untuk mencari nafkah sehingga biayanya perlu ditekan serendah mungkin. Percaloan SIM harus diberantas. Selain sarat korupsi, percaloan melahirkan supirsupir “tembak” yang sebenarnya belum layak untuk mengemudi mobil dan dapat membahayakan keselamatan orang lain. Mekanisme ujian untuk memperoleh SIM juga harus diperbaiki hingga seobyektif mungkin, sehingga orang yang memiliki SIM merupakan orang yang betul-betul mampu mengemudi dan tidak membahayakan orang lain. Reaksi masyarakat yang menolak kebijakan ini tidak bisa dijadikan justifikasi untuk melonggarkan mekanisme pengurusan SIM. Masyarakat justru harus sadar bahwa SIM bukan sesuatu yang mudah diperoleh karena di dalamnya terdapat tanggung jawab yang berat. Mekanisme pengurusan SIM itu harus dipersingkat dengan meningkatkan sarana dan prasarana yang memadai. Teknologi yang ada harus dioptimalkan. Tender kerja sama dengan swasta harus dilaksanakan secara terbuka dan obyektif, sehingga masyarakat tidak dirugikan.
115
Akhirnya, kepolisian harus mendesak pemerintah agar menaikkan gaji polisi. Dukungan masyarakat pasti akan muncul jika polisi berusaha meningkatkan penghasilan dengan perjuangan yang demokratis, bukan dengan tindakan-tindakan yag merugikan masyarakat. Perpajakan Untuk mengikis potensi korupsi di sektor perpajakan, perlu dilakukan sosialisasi yang hendaknya tidak hanya berupa propaganda bahwa membayar pajak adalah kewajiban masyarakat, tapi juga menyangkut teknis perhitungan dan pembayaran pajak yang sederhana. Sosialisasi juga perlu mencakup informasi bahwa uang hasil pajak dikembalikan kepada masyarakat berupa pelayanan publik. Dan ini baru bisa efektif bila pembenahan pelayanan publik sudah dilakukan dan langsung menyentuh kebutuhan masyarakat banyak. Pemerintah perlu menegaskan bahwa posisi kewarga negaraaan seseorang adalah penuh jika dia membayar pajak, sehingga hak-hak seseorang akan dijamin sepenuhnya oleh negara apabila dia membayar pajak. Kewenangan pemungutan pajak harus diperjelas, terutama dalam kaitannya dengan otonomi daerah. Harus dibangun mekanisme kontrol internal berupa pembentukan kode etik petugas pajak serta pembentukan dewan independen yang mengawasi pelaksanaan kode etik tersebut. UU No. 17/1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) harus segera direvisi, sehingga wajib-pajak yang mengajukan permohonan banding tidak harus melunasi segala utang pajaknya terlebih dulu sebelum BPSP ini bersedia bersidang. Sistem restitusi pajak hendaknya diperbaiki sehingga prosesnya lebih mudah dan tidak bertele-tele. Ini akan meminimalisasi kemungkinan kolusi antara petugas pajak dengan wajib pajak.
116
Sistem perpajakan harus disusun berdasarkan perhitungan yang lebih strategis. Perubahan-perubahan peraturan pelaksanaan yang terjadi karena kepentingan taktis
pejabat tinggi pajak harus dihindari, karena melanggengkan pola korupsi yang sudah sistemik di kantor perpajakan. Peraturan-peraturan pelaksanaan mengenai perpajakan harus ditinjau ulang karena banyak tumpang-tindih, misalnya dicabutnya hak yang mengatur wajib pajak sehingga secara teoretis sistem yang digunakan adalah self assesment, namun pada prakteknya berlaku sistem official assesment. Untuk menunjang sistem kerja dengan mengubah pola hubungan antara negara dengan pembayar pajak, interaksi langsung antara petugas dengan wajib pajak harus dikontrol penuh. Untuk ini harus dibangun jaringan informasi on-line antar kantor pajak di seluruh Indonesia. Hasil pemeriksaan petugas harus dikonfirmasikan kepada wajib pajak tidak secara personal, untuk menghindari terjadinya transaksi koruptif. Seluruh hasil pemeriksaan pajak harus diaudit oleh pihak luar yang independen, sehingga akuntabilitasnya di mata publik terjamin. Perlu ditumbuhkan kesadaran dan pengetahuan yang memadai dari wajib pajak/ masyarakat, agar masyarakat dapat lebih tegas menolak ajakan kolusi oleh petugas pajak. Akhirnya, Direktorat Jenderal Pajak harus segera dibersihkan sehingga bisa menjadi garda depan dalam pemberantasan korupsi.
Direktorat Jenderal Pajak harus dibersihkan agar bisa menjadi garda depan dalam pemberantasan korupsi.
PLN Sebagai lembaga pengelola barang/jasa yang menyangkut hajat hidup orang banyak, PLN harus bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam kasus listrik swasta, pertamatama aparat penegak hukum harus menegaskan bahwa dalam proses negosiasinya terjadi penyalahgunaan kekuasaan, lalu dilakukan negosiasi ulang, atau bahkan dicabut karena sektor listrik merupakan public utilities dan tidak bisa diserahkan kepada swasta, apalagi asing. Lembaga-lembaga keuangan internasional harus dituntut untuk ikut bertanggung jawab terhadap masalah ini, karena mereka juga terlibat, bahkan sejak tahap perencanaan. Pengawasan internal harus lebih tegas, karena baik kasus korupsi di tingkat atas,
117
menengah maupun bawah, selalu melibatkan petugas PLN. Perencanaan program penyediaan listrik harus sesuai dengan strategi industrialisasi dan pembangunan yang lebih luas. Harus pula dihindari terjadinya manipulasi yang dapat merugikan PLN, negara maupun masyarakat, baik manipulasi yang didasari kepentingan pribadi maupun kelompok/golongan. Dalam hal ini sebisa mungkin masyarakat dilibatkan dalam perencanaan, sehingga perhitungan mengenai kebutuhan pasok listrik akan lebih akurat karena masyarakat lebih tahu kebutuhan-kebutuhan mereka. Hasil audit BPKP yang menunjukkan adanya rekayasa dalam perencanaan pengembangan sistem ketenagalistrikan harus ditindaklanjuti dan ditelusuri sebabnya, sehingga taksiran yang kelewat tinggi tak terulang.
PAM Jaya Seperti kasus PLN, masalah utama PAM adalah swastanisasi. Maka proses swastanisasi tersebut harus ditinjau ulang, dan bila terdapat penyalahgunaan kekuasaan, perjanjian bisa dinegosiasi ulang atau dibatalkan, dan orang-orang yang terlibat harus diadili. Setelah proses swastanisasi berjalan sekitar tiga tahun, perlu dilakukan evaluasi dengan melibatkan masyarakat, sehingga bisa terlihat apakah swastanisasi tersebut memang perlu atau tidak. Dalam pengadaan barang operasional, sistem tender harus dilakukan secara lebih ketat dan transparan. Pengawasan internal juga harus diperketat; mengingat di PAM ada serikat pekerja, organisasi ini perlu dilibatkan. Sosialisasi mengenai syaratsyarat administratif dalam prosedur permohonan sambungan baru perlu ditingkatkan, sehingga masyarakat paham betul mekanismenya dan tak mudah terlibat dalam transaksi yang koruptif.
Catatan Perdebatan yang cukup komprehensif mengenai hal ini dapat dilihat dalam Amanda L. Morgan, Corruption: Causes, Consequences, and Policy Implications, Working Paper #9, The Asia Foundation 1
118
Working Paper Series, October 1998, hal 9-26. M. Nawir Messi et. al., Birokrasi, Korupsi dan Reformasi: Kasus Pelayanan KTP, Indef, 1999, Jakarta, h. 12 2
3
Amanda L. Morgan, op. cit., h. 12.
4
Syed Hussein Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi, LP3ES, Jakarta, 1987.
5
Amanda L. Morgan, op. cit., h. 10-11
6
John Girling, Corruption, Capitalism and Democracy, Routledge, London, 1997 h. 30.
7
Mark Robinson, 1998, loc. cit., h. 5
Corruption is such a diverse phenomenon, occuring in so many different forms in so many diverse setting, that is extremely unlikely that all its manifestation have some irreducible set of shared consequences as implied by abstract formulations, or models. Lihat John Girling, Corruption, Capitalism, and Democracy, Routledge, London, 1997, h. 12 8
9
John Girling, 1997, Ibid., h. 30
10
John Girling, 1997, Ibid., h. 13
11
John Girling, 1997, Ibid., h. 13
12
John Girling, 1997, Ibid., h. 14
Lihat Revrisond Baswir et.al., Persepsi Masyarakat Atas Korupsi di Kota madya Yogyakarta dan Surakarta, laporan penelitian (tidak diterbitkan), IDEA dan PACT Indonesia, Yogyakarta, 1999, h. 20-21 dan Mark Robinson (ed.), loc. cit.. 13
J.S Nye, Political Corruption: A Cost-Benefit Analysis, dalam Heidenheimer, et.al. (ed.), Political Corruption: A Handbook, New Brunswick Transaction, 1997, h. 966 14
Nathaniel Leff, Economic Development through Corruption, dalam Heidenheimer, et.al. (ed.), op. cit., hal 389 15
16
John Girling, 1997, op. cit., h. 20
17
Terjemahan bebas dari penulis. Lihat John Girling, 1997, Ibid., h. 1
18
Victoria Neufeldt dan David B. Guralnik, Webster’s New World Dictionary, 3rd College
119
Edition, Simon and Schuster Inc., 1988, New York. Didalamnya kata collusion disinonimkan dengan conspiracy atau persekongkolan. “Masalah itu (korupsi) merupakan permasalahan penting bagi pemerintahan di kawasan Asia Selatan karena kebiasaan melakukan penyuapan dan ketidakjujuran telah membuka jalan bagi lahirnya penguasa otoriter yang membenarkan dirinya dengan jalan mengangkat isu korupsi ke permukaan dan kemudian mengambil jalan penyelesaiannya dengan menghukum si pelanggar. Pemberantasan korupsi biasanya dijadikan pembenar utama terhadap kup militer.” Lihat Gunnar Myrdal, Asian Drama, An Inquiry into the Poverty of Nations, Vol.II, Pantheon Books, New York, 1968, h. 938. Terjemahan bebas dan kata dalam kurung tambahan dari penulis. 19
20
John Girling, 1997, op. cit., h. 22
21
John Girling, 1997, Ibid., h. 24
22
John Girling, 1997, op. cit., h. 30
Paul Heywood, Political Corruption: Problem and Perspectives, dalam Political Studies, Vol. 45, No. 3, Edisi khusus, 1997. 23
Korupsi menurut Syed Hussein Alatas dimaksudkan sebagai penyalahgunaan kepercayaan dalam rangka kepentingan pribadi si pelaku. Lihat Amanda L. Morgan, op. cit., h. 12. 24
25
Terjemahan bebas oleh peneliti.
World Bank, Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank, Poverty and Economic Management Network of the World Bank, September 1997, h. 12 26
27
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co., St Paul-Minn,
28
Ibid.
1979. Ibrahim R, Prospek BUMN dan Kepentingan Umum, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997, h. 19 29
30
120
Ibid., h. 38-39
31 J.W Schoorl, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Berkembang, Gramedia, 1984, Jakarta, h. 175
M. Nawir Messi et. al., Birokrasi, Korupsi dan Reformasi: Kasus Pelayanan KTP, Indef, 1999, Jakarta, h. 12 32
33
Ibid., h. 14
34
Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 tahun 1993.
35
M. Nawir Messi et. al., op. cit., h. 13
Joseph E. Stiglitz, Economics of the Public Sector, 1st edition, W.W Norton Co., New York, 1986, h. 107 36
Syahrir, Pelayanan dan Jasa-jasa Publik: Telaah Ekonomi serta Implikasi Sosial Politik, dalam Prisma, No.12, LP3ES, Jakarta, Desember 1986, h. 4 37
38
M. Nawir Messi et. al., op. cit., h. 13
39
Ibid.
40
Suara Pembaruan, 19 Agustus 1998
Dengan sistim desentralisasi pungutan, Rata-rata pendapatan tambahan yang diperoleh setiap petugas loket berstatus PNS-Polri sekitar Rp 100.000 per hari dan kepala loket bisa mendapat hingga sekitar Rp 250.000 per hari. 41
Semakin tinggi jabatan maka upeti yang diperolehnya pun semakin besar, misalnya seorang Kasubbag SIM bisa mendapatkan 5 juta rupiah per hari. 42
Kepustakaan Buku Adrianus Meliala (ed.), Quo Vadis Polisi, Jurusan Kriminologi UI dan Majalah Forum, Jakarta, 1996. Alexander Irwan, Jejak-jejak Krisis di Asia: Ekonomi Politik Industrialisasi, Kanisius, Yogyakarta, 1999. Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Weber, UI Press, 1986, Jakarta.
121
Bambang Subianto, “Peningkatan Efisiensi BUMN, Swastanisasi atau Cara Lainnya”, dalam Prospek Ekonomi Indonesia 1988/89, UI Press, Jakarta, 1990. BPKP, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional, Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawasan BPKP, Jakarta, 1999. Christianto Wibisono, Profil dan Anatomi BUMN, Edisi I, PDBI, Jakarta, 1987. Direktorat Lalu Lintas Polri, Vademikum Polisi Lalu Lintas, 1999. Gary S. Green, Occupational Crime, Nelson-Hall, Chicago, 1990. George A. Theodorson et.al, A Modern Dictionary of Sociology, Thomas Y. Crowell Co., New York, 1969. Guillermo O’Donnell, Modernization and Bureaucratic Authoritarianism, Institute of International Studies, Berkeley, 1973. Gunnar Myrdal, Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations, Vol.II, Pantheon Books, New York, 1968. Hans-Dieter Evers dan Tilman Schiel, Kelompok-Kelompok Strategis: Studi Perbandingan tentang Negara, Birokrasi, dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992. Heidenheimer, et.al (ed.), Political Corruption: A Handbook, New Brunswick Transaction, 1997. Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, edisi keenam, West Publishing, St. Paul, Minnestota, 1990. Ibrahim R, Prospek BUMN dan Kepentingan Umum, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1997. J.W Schoorl, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Berkembang, Gramedia, Jakarta, 1984. Jeffrey A Winters, Power In Motion: Modal Berpindah, Modal Berkuasa, Mobilitas Investasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999. Jeremy Pope (ed.), The Transparency International Sourcebook, Transparency International, Berlin, 1990.
12 2 122
John Girling, Corruption, Capitalism, and Democracy, Routledge, London, 1997.
Joseph E. Stiglitz, Economics of the Public Sector, W.W Norton Co., New York, 1986. Kiki Pranasari dan Adrianus Meliala (ed.), Praktek Pemberian Keterangan Yang Tidak Benar (Fraudulent Misrepresentation): Suatu Modus Penyimpangan Ekonomi, UI Press, Jakarta, 1991. Kimberly Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999. M. Nawir Messi et.al, Birokrasi, Korupsi dan Reformasi : Kasus Pelayanan KTP, Indef, Jakarta, 1999. Marshall B. Clinard dan Richard Quinney, Criminal Behavior System: A Typology, Holt, Rinehart, and Winston Inc, New York., 1973. Martin Albrow, Bureaucracy, Macmillan and Company Ltd, London, 1970. Mochtar Lubis dan James C. Scott, Korupsi Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993. Pasuk Phongpaichit dan Sungsidh Piriyarangsan, Corruption and Democracy in Thailand, Silkworm Books, Bangkok, Thailand, 1996. Richard Robison, Indonesia: The Rise Of Capital, Allen and Unwin Pty Ltd, Australia, 1986. Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1998. Suparno, Sedjarah Perkembangan Kepolisian dari Zaman Klasik-Modern, Dephankam RI, Pusat Sedjarah ABRI, 1971. Suryadi A. Radjab, Praktik Bisnis Culas Gaya Orde Baru, Grasindo, Jakarta, 1999. Syed Hussein Alatas, Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi, LP3ES, Jakarta, 1987. Tjahjono dan Husain, Perpajakan, edisi pertama, UPP AMP YKPN, Yogyakarta, 1997. Vedi R. Hadiz, Workers and State in Indonesia’s New Order, London, Routledge, 1997. Victoria Neufeldt dan David B. Guralnik, Webster’s New World Dictionary, 3rd College Edition, Simon and Schuster Inc., 1988, New York. Yahya Muhaiman, Bisnis dan Politik, Jakarta: LP3ES, 1991.
123
Artikel Christianto Wibisono, “Profil dan Anatomi BUMN”, dalam Prisma, No. 2, LP3ES, Jakarta, 1992. Didik J. Rachbini, “Peran Ekonomi Negara”, dalam Prisma, No. 2, LP3ES, Jakarta, 1992. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, “Pendekatan Politik Ekonomi (Political-Economy): Jembatan di Antara Ilmu Ekonomi dan Ilmu Politik”, dalam Jurnal Ilmu Politik, No. 8, Gramedia, Jakarta, 1991 Hussen Kartasasmita, “Pemeriksaan Pajak dan Reformasi”, dalam Jurnal Hukum Bisnis, vol. 7, YPHB, 1999. Michael Johnston, “Pejabat Pemerintah, Kepentingan Swasta, dan Demokrasi yang Berkelanjutan: Ketika Politik dan Korupsi Bertemu”, dalam Kimberly Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999. Onghokham, “Tradisi dan Korupsi”, dalam Prisma, 2 Februari 1983. Patrick Glynn et. al., “Globalisasi Korupsi”, dalam Kimberly Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999. Paul Heywood, “Political Corruption: Problem and Perspectives”, dalam Political Studies, Vol. 45, No. 3, Edisi khusus, 1997. Sjahrir, “Pelayanan dan Jasa-Jasa Publik: Telaah Ekonomi serta Implikasi Sosial Politik”, dalam Prisma No. 12, 1986. Susan Rose-Ackerman, “Ekonomi Politik Korupsi”, dalam Kimberly Ann Elliott, Korupsi dan Ekonomi Dunia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999.
Koran/Majalah Suara Pembaruan, 19 Agustus 1998 Majalah Listrik Indonesia, April 2000, h. 23. Suara Pembaruan, 3 Juni 1998.
12 4 124
Tempo, 17 Mei 1986.
Makalah tak Diterbitkan Alain Lacussol, “Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework”, Indonesia Discussion Paper, ERASUR, 30 Oktober 1997. Amanda L. Morgan, “Corruption: Causes, Consequences, and Policy Implications (A Theoritical Review)”, World Bank Working Paper, Oktober 1998. Bibit S.R, “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan Masyarakat dan Perilaku Menyimpang Anggota POLRI”, makalah dalam Seminar “Menuju Budaya Pelayanan POLRI”, 2 Februari 2000. Farouk Mohammad, “Strategi Pengubahan Perilaku dan Budaya dalam Rangka Peningkatan Kualitas Pelayanan POLRI”, makalah dalam Seminar “Menuju Budaya Pelayanan POLRI”, 2 Februari 2000. Mohammad Irvan Olii, “Percaloan SIM di Polda Metro Jaya”, skripsi S1 Jurusan Kriminologi FISIP UI, 1998. Revrisond Baswir et. al., “Persepsi Masyarakat Atas Korupsi di Kota madya Yogyakarta dan Surakarta”, laporan penelitian, IDEA dan PACT Indonesia, Yogyakarta, 1999. World Bank, “Helping Countries Combat Corruption: The Role of the World Bank”, Poverty and Economic Management Network of the World Bank, September 1997. Yoon Hwan Shin, “Demystifying The Capitalist State: Political Patronage, Bureaucratic Interest, and Capitalist-In-Formation in Soeharto’s Indonesia”, disertasi di Yale University, 1989.
Jurnal American Sociological Review, No. 5, Februari 1940. Asiamoney, Vol. VI, No. 6, Hongkong, Juli-Agustus 2000. Jurnal Hukum Bisnis, vol. 7, YPHB, 1999. Jurnal Ilmu Politik, No. 8, Gramedia, Jakarta, 1991. Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial (JIIS), Kejahatan Kerah Putih, PAU-IS-UI dan Gramedia, Jakarta, 1994. Political Studies, Vol. 45, No. 3, Edisi khusus, 1997.
125
Prisma, No. 2, 1983. Prisma, No. 12, 1986. Prisma, No. 2, 1992.
Laporan Annual Report PLN, 1996. BPKP, “Laporan Hasil Pemeriksaan BPKP Khusus Listrik Swasta PLTU Paiton I”. Direktori Perpamsi 1998. Hadi Sutanto & Rekan-PriceWaterhouse, “Independent Auditor’s Report To The Shareholder of PT PLN (Persero) and Subsidiaries”, 1997. ICW, “Laporan Investigasi Swastanisasi PAM Jaya”. Laporan Tahunan PLN, 1995 Masyarakat Transparasi Indonesia, “Keppres-Keppres Bermasalah”, MTI, 1999.
Surat Keputusan Keputusan Menteri Keuangan No. 625/KMK.04/1994 tentang Tata Cara Pemeriksaan Di Bidang Perpajakan. SK Menteri Pertambangan dan Energi No. 0666.K/702/M.PE/1990. Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 tahun 1993.
126
Te n t a n g P e n u l i s
M. Riefqi Muna adalah Direktur Pelaksana pada Research Institute for Democracy and Peace di Jakarta. Ia peneliti bidang hubungan intemasional dan kebijakan pertahanan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Politik dan Kewilayahan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan dosen tamu pada Program Magister Hubungan Internasional, dan Program Magister Studi Strategis (Ketahanan Nasional) Universitas Indonesia. Memperoleh Gelar S1 dari Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta, sedangkan gelar Master of Defence Studies diberikan kepadanya oleh Australian Defence Force Academy di Canberra. Studi di bidang hubungan internasional, serta pertahanan dan keamahan telah ditempuhnya di University of Tasmania, Asia-Pacific Center for Security Studies, Hawaii, dan European Peace University, Austria. Mardjono Reksodiputro adalah Guru Besar Ilmu Hukum dan Ketua Program Pasca Sarjana (S-2) Ilmu Kepolisian pada Universitas Indonesia. Sebagai yuris Indonesia yang sangat dihormati ia merangkap jabatan-jabatan tersebut dengan kedudukannya selaku: anggota Badan Akreditasi Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Ketua Komisi Ilmu Hukum, Departemen Pendidikan Nasional, Sekretaris Komisi Hukum Nasional, dan partner di kantor pengacara Ali Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR).
127
Lin Che Wei adalah Direktur Utama SG Securities Indonesia dan Direktur Riset & Strategi Pasar SG Global Securities dengan fokus Thailand, Indonesia dan Filipina, dan Analis Perbankan Asia yang mencakup Thailand, Korea, Indonesia, Malaysia, Singapura dan Hong Kong. Ia lulus dari Universitas Trisakti, Jakarta, sebagai Insinyur Teknik Industri, dan memperoleh gelar Master of Business Administration dari National University of Singapore atas beasiswa Asian Development Bank Pemerintah Jepang. Ia mengajar di Institut Pengembangan Analisa Finansial (IPAF), dan pada 1997 dinobatkan sebagai “Best Analyst” di Indonesia oleh Asia Money Survey Donny Ardyanto adalah seorang peneliti, antara lain, pada Indonesian Corruption Watch (ICW), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Ia juga mengkoordinasi proyek penelitian tentang Pola Korupsi atas Pelayanan Publik di Indonesia dan pendiri organisasi Pemuda Sosialis Jakarta. Gelar sarjana diperolehnya dari Jurusan Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia.
128
Te n t a n g E d i t o r
Hamid Basyaib adalah peneliti dan ketua dewan redaksi Yayasan Aksara. Ia memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, dan melanjutkan studi pada program Pasca Sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada (tidak tamat). Semasa mahasiswa, ia memimpin majalah kampus Himmah dan Premis, tabloid ilmu sosial; kemudian editor majalah Kiblat dan harian Masa Kini, staf LitBang Redaksi dan redaktur harian Republika, serta Redaktur Pelaksana dan Asisten Pemimpin Redaksi majalah mingguan Ummat. Ia juga menerjemahkan, menyunting dan menulis sejumlah buku, antara lain Berkaca ke Mancanegara: Kumpulan Artikel Politik Internasional (1998), dan Agar Indonesia Tetap Bernyanyi: Pergolakan menjelang dan Pasca Reformasi (1999). Richard J. V. Holloway adalah Penasihat Program Masyarakat Madani/AntiKorupsi, Kemitraan Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, suatu prakarsa multilateral beranggotakan Dewan Indonesia, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Ia memperoleh gelar kesarjanaan dari Oxford University dengan catatan “terpuji” khusus untuk bahasa dan sastra Inggris, dan meraih master dalam Administrasi Sosial (Luar Negeri) dari London School of Economics and Political Science. Selama 33 tahun ia bergiat dalam upaya mengentaskan kemiskinan bersama dengan pemerintah dan organisasi nonpemerintah di Asia, Afrika, Karibia, dan Pasifik Selatan; ia juga penasihat pemerintah
129
dan LSM untuk organisasi-organisasi Inggris, Amerika, Kanada, Swiss, PBB dan Bank Dunia. Ia menulis banyak karangan, makalah, brosur, dan buku, antara lain Assessing the Health of Civil Society: A Handbook for Using the CIVICUS Index on Civil Society as a SelfAssessment Tool. Bukunya tentang bagaimana mencapai kemandirian dana (Towards Financial Self-reliance: A Handbook for Civil Society Organizations in the South, telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia) menjadi buku pedoman bagi banyak LSM. Dalam bukunya The Unit of Development is The Organization, Not the Project: Strategies and Structures for Sustaining the Work of Southern NGOs, yang menunjukkan keberpihakannya pada para aktivis LSM di Dunia Ketiga, ia mengecam para penyandang dana yang hanya mau mendanai proyek, bukan pelaksananya. Nono Anwar Makarim adalah salah seorang pendiri dan penasihat kantor konsultan hukum Makarim & Taira S. Ia juga turut mendirikan Yayasan Aksara, dan kini Ketua Badan Pelaksana yayasan tersebut. Tiga organisasi non-pemerintah yang juga turut didirikannya adalah Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), Yayasan Lingkungan Bambu, dan Lembaga Penelitian, Penerangan, dan Pendidikan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Gelar S.H. diperolehnya dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pada 1973 ia menjadi Fellow di Center for International Affairs, Universitas Harvard dan menulis naskah tentang dinamika hubungan antara penanam modal Asing dan Negara tuan rumah di sektor pertambangan tembaga. Master of Laws (1975) dan Doctor of Juridical Science (1978) didapatnya dari Harvard Law School. Ia melanjutkan studinya selama dua tahun sebagai sarjana tamu pada New York University School of Law. Ia pernah menjadi anggota DPR-GR, pemimpin redaksi Harian KAMI, direktur LP3ES, dan berpraktek sebagai penasihat hukum selama lebih dari 20 tahun. Beberapa bulan menjelang akhir perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay, ia ditunjuk sebagai penasihat hukum sekaligus anggota delegasi Indonesia, dan kemudian diangkat sebagai penasihat hukum Menteri Perindustrian & Perdagangan untuk urusan di World Trade Organization (WTO).
130
Index A ABRI9, 12, 22, 23, 100, 108, 123 Ades 58 Afiliasi 63, 67-69, 70, 74, 75, 79, 82 Afrika 8, 129 AGIP 8 Alatas, Syed Hussein 89, 95, 104, 110, 119,120,123 Alutsista 14 Amerika 38,39,54,82, 130 Andojo Sutjipto, Adi 51 Angkatan Bersenjata 1-7, 10-24,36,50 Angkatan Darat 7, 9, 10, 14, 18 Angkatan Laut 9, 14 Angkatan Perang 11 Angkatan Udara 9, 14 Anti-Corruption 41, 48, 52 Anti-Korupsi 3, 4 Anti-Moral 28 Anti-Sosial 28 Anwar Nasution 59 APBN 22 Arroyo, Gloria Macapagal 25 Asop 16
B Badan Akreditasi 46, 127 Bali, Bank 27, 30, 47, 56, 60, 61, 63 Bappenas 21, 22, 26 BBO 64 BI 47,54,60,63,65,76,78,79,84 BII 61, 62, 64, 75, 76 Bilateral 56 Birokratis-Militer 100 BMPK 62 Bolivia 57 BPK 13, 15, 18 BPKP 13,15,51,52,118,122,126 BPPN 54, 59, 60, 62-68, 72, 75-81 BPSP 116 Brunei 25 Bruneigate 25 Brunetti 57 BTO 64, 70 Bulog 25 Buloggate 25 BUMN 66, 88, 99, 107, 120, 122, 124
131
C Cendana 12, 50 Chandra Asri 67 Chevron 8 Cina 7, 8, 9 CPP, Pro 102 D Delta Ogoni 8 Denmark 92 Divisi 63 DOS 102 Dunia, Bank 4, 26, 41 Dwifungsi 1, 2, 8 E Ecstasy 38 Elf 8 Estrada, Joseph 25 F F-1614 Filipina 25, 26, 128 Fons 55
132
G Garuda 38
GDP 26, 54, 59 Golden Key 66 Golkar 63 Grant 26 GSM 64, 76 H Habibie, B.J. 25,40, 56 Hakim Agung 31,35,41,49 Human Rights Watch 8 I ICAC 49, 83 ICJ 41, 47,52 IMF 56, 59, 64, 84 Indonesia, Bank 47 IPCOS 4 IPTN 67 Italia 91 J Jaksa Agung 50 K Kapolda 102 Kapolres 102 Kapolwil 102
Kartika Eka Paksi, Yayasan 9 Kasatlantas 102 Kasubbag 102, 103, 121 Kejaksaan Agung 80 Kepolisian 101, 123, 127 King, The Nien 71 KKN 1, 12, 16, 25, 26, 28 Kodam 15, 22 Kopassus 9 Korea Selatan 17, 57, 128 Kostrad 7, 9, 18 Kostrad Dharma Putra, Yayasan 18 L Lebaran 10, 33 Lippo, Bank 61 Listrik 50, 89, 99, 103, 107-110, 117, 118, 124, 126 Locus 92 LSM 45, 130 M Mafia Peradilan 30, 40, 42 Mahendra, Yusril Iza 40 Mahkamah Agung 25, 41, 44, 45, 46, 50 Manulife 57 Mark Philip 89
Mark up 15, 20, 108, 109 Markas Besar 13, 15, 102 Mauro 54, 55, 86 Metro Jaya 102, 103, 125 Militer 1-16, 18-24, 89, 100, 115, 120 Moody 55, 76 Muladi 40 Myanmar 8 N Narkotika 8, 34, 36, 38, 50 Natal 10 Nepotis-Investif 103, 104 Nepotisme 1, 25, 48, 93, 108, 117 Nepotistik 96 Nigeria 8 0 OECD 56 Osborne 100 P PAM, PDAM 88, 107, 111, 112, 114, 118,126 PBB 113, 130 PDB 12, 13 Pengadilan Niaga 41
133
PERADIN 40 Perwira 6, 9, 17, 18, 20, 50, 102 PLA 7,23 PLN 88,107,108-111,117,118,126 Polda 102, 103, 125 Polres 102 Polwil 102 PPAL110 PPAT 27, 43, 44-46, 51 Prajurit 4-6, 8, 9, 10, 11, 12, 18, 20 PriceWaterhouseCoopers 60 Public Utilities 98, 117 R RMA 14 Rusia 3 S Satpam 7 Satpas 103 Schwarz, Adam 25, 46, 52 Scorpion, Tank 14, 15, 16 SIM 88, 89, 99-104, 115, 121 Standard Chartered, Bank 61
134
T Tentara 1,5,6,7,9,10,22
Texmaco 64, 66, 67, 71 TGPTPK 31, 41 The Economist 4, 23 TI, Indeks 55, 59, 86 TNI 1,6,8,9, 13, 15, 18, 19,20,21,22, 100, 102 Tri Fungsi 4 U Upeti 35, 101, 103, 104, 121 Urban 112, 125 Utang 7, 8, 9, 35, 55, 59, 62, 63, 64, 65, 68,69, 116 V Variabel-Antara 96 Verifikasi 70, 71 Veteran 10 Vietnam 8 W Wahid, Abdurrahman 25, 27, 71, 85 Wajib-Pajak 105, 106, 116, 117 Wantuda 16,21 WB/UB 58 Weberian 91 Weder 56, 57, 58, 86 Wirahadikusumah, Umar 10
Wolfensohn 56 Y Yangoon 8 Yayasan 7,9, 10, 18,21,22,25,47 YKEP 9, 10 Z Zakat 25
135