MENCURI UANG RAKYAT 16 Kajian Korupsi di Indonesia Buku 4
Mencari Paradigma Baru Editor Hamid Basyaib Richard Holloway Nono Anwar Makarim
Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia Buku 4: Mencari Paradigma Baru Editor: Hamid Basyaib, Richard Holloway Nono Anwar Makarim Cetakan 1, Februari 2002 Diterbitkan oleh Yayasan Aksara untuk Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for Good Governance Reform) Desain sampul: Aksara, Dolorosa Sinaga (Patung)
Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT) Mencuri Uang Rakyat: 16 Kajian Korupsi di Indonesia Editor: Hamid Basyaib, Richard Holloway, Nono Anwar Makarim -Jakarta: Aksara Foundation, Cet. 1, Februari 2002; 4 Jilid; 18 cm. Isi: 1. Dari Puncak sampai Dasar. 2. Pesta Tentara, Hakim, Bankir, Pegawai Negeri. 3. Bantuan Asing, Swasta, BUMN. 4. Mencari Paradigma Baru. ISBN ISBN ISBN ISBN ISBN
979-3093-00-5 979-3093-01-3 979-3093-02-1 979-3093-03-X 979-3093-04-8
(No. Jil. Lengkap) (Jilid 1) (Jilid 2) (Jilid 3) (Jilid 4)
1. Korupsi (Dalam Politik) II. Holloway, Richard.
I. Basyaib, Hamid. III. Makarim, Nono Anwar.
364.132 3
Buku ini terbit dalam bahasa Idonesia dan bahasa Inggris, Isi keduanya adalah sama, kecuali pada beberapa bagian yang telah disesuaikan dengan budaya lingkungan pembaca, idiom bahasa, dan gaya penyuntingan yang berbeda.
Pengantar
Ini adalah buku terakhir dalam serial empat buku Mencuri Uang Rakyat. Bagaikan gong penutup, empat tulisan dalam buku ini menyelam jauh ke dalam permasalahan korupsi, mengupas strategi perjuangan anti-korupsi, menilik peran LSM sebagai pejuang anti-korupsi di baris terdepan, dan meninjau korupsi dari sudut pandangan Syariah dan kebudayaan Islam. Indonesia adalah negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Segala sarana dan prasarana agama seperti masjid, majelis taklim, madrasah, pesantren, perayaan hari besar dan upacara keagamaan Islam lengkap berfungsi sebagaimana diniatkan penyelenggaranya. Kontingen jamaah haji dari Indonesia adalah yang terbesar jumlahnya, walaupun ongkos naik haji termahal di dunia. Dengan infrastruktur yang serba lengkap begitu dan umat yang jumlahnya meluap, bagaimana bisa terjadi bahwa Indonesia adalah negara terkorup di dunia? Begitu pertanyaan batin Masdar F. Mas’udi. Dugaan sementara adalah bahwa hal tersebut disebabkan karena pemuka agama dan ulamanya yang berpengaruh terlalu terpukau pada penafsiran harfiah atas teks suci Islam. Sebagai contoh dikemukakan masalah money politics. Istilah ini tidak ada dalam alam peristilahan Al-Qur’an dan hadith. Yang ada hanyalah istilah suap. Dalam Surah AlBaqarah ayat 188 dengan amat jelas dikemukakan bahwa suap dilarang. Akan tetapi tafsiran doktrin konvensional mengatakan bahwa yang dilarang dalam Al-Qur’an hanyalah suap yang diberikan kepada seorang hakim. Suatu interpretasi harfiah akan menghasilkan konstruksi bahwa memberi suap
i
kepada semua pihak, kecuali hakim, dibolehkan. Maka itu menyuap polisi, menteri, pejabat pemerintah, lurah, bupati, gubernur, dan anggota angkatan bersenjata, pejabat pabean atau imigrasi adalah sah belaka. Begitu pula menerima suap, kecuali yang menerimanya seorang hakim. Begitukah norma yang digariskan kaidah Al-Qur’an? Tentunya tidak. Di sini Masdar menggunakan metode penafsiran yang dalam ilmu hukum disebut doelmatig, yaitu interpretasi yang menggali faktor “tujuan” dari suatu ketentuan hukum. Dalam menelusuri ketentuan bahwa suap bertujuan mempengaruhi pihak yang disuap untuk menyelewengkan independensinya, dan kemudian mengambil keputusan yang menguntungkan si pemberi suap, Masdar mempersoalkan definisi “independensi”. Melepaskan diri sepenuhnya dari setiap pendekatan sekuler dalam interpretasi istilah “independen” atau “tidak terpengaruh” dalam sistem hukum Barat, ia beranjak ke dalil-dalil teologis Islam. “Independensi” diartikan “benar dan adil”, dan karena kebenaran dan keadilan bersumber pada Allah SWT, maka “independensi” diidentikkan dengan keadilan dan kebenaran sebagaimana difirmankan oleh Tuhan YME. Kemudian, karena manusia diciptakan untuk mengabdi padaNya dan berfungsi sebagai khalifahNya di dunia, maka identitas kebenaran dan keadilan itu seakan menyatu denganNya. Dengan demikian, suap dan keberpihakan pada pemberi suap dianggap sama dengan pengingkaran terhadap Allah. Betapa besar dosanya perbuatan yang mengakibatkan pelanggaran prinsip kebenaran dan keadilan.
ii
Contoh lain yang disajikan oleh Masdar adalah masalah kenegaraan. Bila orang berbicara tentang negara, maka hal-hal yang disinggung biasanya berkisar pada “sumber kedaulatan”, “bentuk pemerintahan”, “trias politica”, atau “distribusi kekuasaan”. Istilah-istilah ini tak akan kita temukan dalam jargon keagamaan Islam. Yang ada, dan digariskan secara tegas, adalah masalah keuangan negara. Singkatnya, tafsiran Masdar Mas’udi adalah bahwa uang negara merupakan uang yang diambil dari warga negaranya dalam bentuk “pajak”, dan disebut “zakat” dalam leksikon etika dan hukum Islam. Dengan mempertautkan ayat 103 dan 104 dari Surah Al-Taubah disimpulkan bahwa uang zakat, yaitu uang pajak yang dipungut dari rakyat, adalah uang Tuhan yang harus
dibagikan kepada lapisan-lapisan rakyat yang paling membutuhkannya. Stratifikasi dan skala prioritasnya sudah dirinci dalam Al-Qur’an. Interpretasi harfiah dari ketentuan tersebut dapat menghancur-luluhkan setiap arah kebaikan yang diniatkan oleh ketentuan itu. Misalnya, orang bisa berkata bahwa “pajak” tidak sama dengan “zakat”, dan oleh karena itu pajak boleh saja dicuri, dikorup, atau diperas dari para wajib pajak. Yang tidak boleh dicuri adalah zakat, karena hanya “zakat” yang disebut dalam Al-Qur’an. Seandainyapun zakat disamakan dengan pajak, maka di Indonesia itu hanya merupakan kira-kira 12% dari anggaran belanja negara, sehingga sisanya sejumlah 88% boleh saja dipesta-porakan oleh para pencoleng, maling dan koruptor. Dalam mengidentikkan pajak dengan zakat, dan dalam memasukkan keuangan negara ke dalam kategori “zakat” yang diamanatkan Allah SWT kepada pemerintah dan para pejabatnya, Masdar Mas’udi telah menggunakan metode interpretasi “logis”, suatu metode penafsiran hukum yang sah dan sudah mapan dalam ilmu hukum secara universal. Analisis Masdar Mas’udi sangat menarik karena persepsi agama tentang korupsi hampir tak pernah terdengar dari para sarjana Muslim atau para khatib di masjid. Di sebuah masjid di Jakarta Selatan, pada acara salat Idul Fitri tahun 2001, para jamaah agak terheran-heran girang. Untuk pertama kali terdengar ceramah khatib bahwa seorang Muslim yang setiap tahun menunaikan ibadah haji, memberi sumbangan kepada madrasah atau pesantren, atau membangun masjid, tidak akan membasuh dosa korupsi. Hal ini perlu dikumandangkan di ribuan masjid di seluruh Indonesia, sekadar untuk melawan doktrin “Islam” tidak resmi yang menyatakan bahwa mencuri dengan tangan kiri, dan membangun masjid dengan tangan kanan, akan memaafkan tangan kiri si pencuri. Suap dan korupsi uang negara dianggap begitu besar dosanya dalam agama Islam sampai dikonfrontasikan langsung dengan Allah SWT. Yang dipengaruhi oleh suap adalah independensi yang bersumber pada Tuhan. Mencuri uang negara adalah mencuri uang Tuhan. Ini tidak mengherankan bila kita tinjau kehancuran yang disebabkan oleh korupsi di dalam negara dan masyarakat bangsa. Gary Goodpaster dalam makalahnya
iii
mengikuti jejak korupsi sampai ke liangnya yang terdalam dan merekam pembusukan yang diakibatkannya. Korupsi itu normal. Yang tidak normal adalah bila tidak ada korupsi. Korupsi berlangsung di mana-mana, dan mereka yang mempraktekkannya tidak terlalu sadar bahwa kelakuannya itu sangat buruk dan jahat. Yang sama sekali tidak normal adalah korupsi yang disebut “struktural” oleh Goodpaster. Korupsi struktural adalah korupsi yang sudah tertenun dalam jaringan pemerintahan, sehingga kekuasaan pemerintah dipakai untuk menjalankan kegiatan korupsi. Korupsi struktural juga menjelujuri seluruh kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat. Gary Goodpaster mengambil satu contoh dan mengikuti dampaknya di berbagai sektor kehidupan. Ia berpendapat bahwa korupsi memangsa kemiskinan. Orang miskin gampang dieksploitasi karena ingin sekali mendapat pekerjaan. Penambangan emas yang ilegal di Kalimantan sudah mempunyai ciri-ciri korupsi sistematis. Yang digunakan sebagai tenaga kerja terutama kaum migran miskin dari Jawa dan Madura. Mereka dipinjami modal oleh pengusaha lokal yang harus dibayar kembali dalam bentuk separuh dari emas hasil penambangannya. Untuk menghindari razia, pejabat polisi, militer dan pemerintah lokal disuap. Akibat korupsi semacam ini pada lingkungan hidup amat mengerikan. Ladang yang ditinggalkan para penambang liar menyerupai medan yang baru saja dirampok habis dan kemudian dibakar; lahan yang tadinya hijau menjadi mandul, racun merkuri dan sianida membanjiri sungai-sungai, mematikan satwa dan ikan, mengeringkan mata pencarian berjuta penduduk di sepanjang alirannya. Di samping suasana penjarahan tampak suatu sistem harapan-harapan, perangsang, pengaturan bagi laba dan pembagian status kebal hukum. Tidak jarang korupsi sistematis seperti ini bergabung dengan kelompok penjahat yang terorganisasi, atau bahkan menciptakan kelompok semacam itu. Dalam sistem semacam ini pejabat pemerintah mendapat bayaran untuk melindungi kegiatan ilegal — pungutan mereka seperti pajak atas jasa pemerintah.
iv
Korupsi berkembang biak dan betah dalam masyarakat yang terbagi dalam hirarki kelas-kelas sosial, dan yang ekonominya didominasi oleh negara. Korupsi juga subur
berkembang dalam keadaan negara sedang melemah dan kehilangan otoritas yang semula dimiliki. Indonesia adalah masyarakat semacam itu. Birokrasinya membengkak, gaji ditekan rendah agar dapat mengakomodasi pegawai dalam jumlah besar. Ini menjelaskan pola kerja di kantor-kantor pemerintah. Kata orang, “pegawai negeri digaji untuk hadir, bukan untuk kerja”. Mereka mengharapkan pembayaran “ekstra” bila dimintai keterangan, bila diminta mengerjakan sesuatu, bahkan bila dimintai keputusan di bidang yang merupakan kewenangan mereka. Proyek dan penugasan baru sangat disukai karena menjanjikan bayaran ekstra. Pada dasarnya fungsi pemerintahan telah diswastakan secara diam-diam, dan tujuan awal suatu pemerintahan diselewengkan. Apa bedanya pegawai negeri yang minta dibayar untuk pekerjaan yang sejak awal sudah merupakan kewajibannya, dengan polisi yang minta bayaran ekstra untuk menjaga keamanan suatu toko atau kelab malam? Penyalahgunaan jabatannya tidak terletak pada pemberian jasa atau informasi atas bayaran ekstra, melainkan pada penyelundupan terhadap undangundang, aturan dan prosedur guna memperoleh keuntungan pribadi. Penyelahgunaan jabatan terjadi pada saat polisi, jaksa, petugas pajak dan tentara menggunakan monopoli negara atas kekerasan untuk kepentingan pribadi mereka. Korupsi mengakibatkan pemanfaatan dan penggunaan yang melewati batas. Bila korupsi itu bersifat struktural, maka setiap orang turut serta mempraktekkannya. Peserta perorangan tidak bisa mengerti bahwa pemanfaatan oleh semua orang akan menghabiskan rumput di lahan untuk makanan sapi, akan menghabiskan ikan yang ada di sungai dan laut, menghabiskan pohon di hutan. Bila sesuatu digunakan atau dimanfaatkan secara berlebihan, maka akibatnya berupa kehancuran. Menurut Goodpaster, itulah yang terjadi dengan dunia perbankan kita. Yang menarik dalam makalah Gary Goodpaster adalah laporannya tentang apa yang terjadi bila kontrak konstruksi yang digelembungkan melewati semua batas, dengan dana yang disedot dari bank-bank swasta untuk kepentingan pemegang sahamnya, dengan uang yang dijarah dari perusahaan negara. Tiada seorang pun yang merasa dirugikan secara jelas dan langsung karena kerugian yang mahabesar
v
itu dibagi rata ke semua lapisan rakyat dalam bentuk pajak lebih tinggi, dan anggaran sosial yang lebih rendah. Di mana korupsi menjulang tinggi, di situ pendidikan dan kesehatan dianaktirikan. Semua orang menderita sedikit demi sedikit. Penderitaan eceran ini tidak menimbulkan emosi yang meluap yang diperlukan untuk mobilisasi masyarakat secara besar-besaran guna melawan korupsi. Dalam kasus korupsi tingkat jalanan para korban membayar tunai dan menderita dalam bentuk kemerosotan tingkat hidup. Juga di sini Goodpaster tidak melihat kemungkinan perlawanan yang terorganisasi. Respon yang tampak atas pemerasan kecil-kecilan ini hanya kemarahan yang terpendam. Dan semua perbuatan ini ditegakkan oleh kaum militer, polisi, pejabat pemerintah, para hakim, dan jaksa. Tidak mengherankan; itu memang ladang garapannya. Dampaknya mengejutkan. Otoritas dan legitimasi pemerintah habis; hukum tidak berarti; di mana-mana berlangsung penyalahgunaan bakat dan warga negara. Goodpaster merupakan salah seorang dari dua penulis yang mengingatkan masyarakat donor bahwa mereka dapat banyak membantu mengatasi masalah korupsi di Indonesia apabila berani menahan dana bantuan bila pemerintah enggan melakukan reformasi. Jika korupsi skala besar tidak mengakibatkan mobilisasi masyarakat untuk menentang korupsi, dan korupsi pada tingkat jalanan hanya menimbulkan kegarangan yang bisu, lalu siapa yang harus mengibarkan panji-panji anti-korupsi? Masalah inilah yang dikaji dalam makalah Tim Lindsey mengenai peranan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia. Menurut Lindsey, LSM adalah kekuatan yang paling tepat untuk berada di baris terdepan dalam perjuangan anti-korupsi karena mereka mandiri dari pemerintah dan dunia bisnis. Setelah menyatakan pilihannya pada LSM untuk menjadi ujung tombak gerakan anti-korupsi di Indonesia, ia bertanya: Mampukah mereka? Lindsey lalu meninjau “budaya” para pemimpin gerakan anti-korupsi. Mereka biasanya berumur 30-an, bergelar sarjana, mampu berbicara bahasa Inggris, dan punya akses ke budaya Barat dan “internasional”.
vi
Dari segi pengaruh lokal Lindsey mencatat pengaruh Islam reformis, tradisi
demokrasi liberal, dan radikalisme mahasiswa. Mereka cukup realistis terhadap keadaan dan pemeran politik, sinis terhadap Wahid, Megawati, Akbar ataupun Rais. Tak seorang pun di antara para pemimpin tersebut yang tampak secara serius berkeinginan membasmi korupsi. Para pimpinan LSM bahkan yakin bahwa elit politik akan keras melawan setiap gerakan anti-korupsi. Kembali Lindsey bertanya: Benarkah sikap seperti ini? Benar! Untuk mendukung pembenarannya terhadap sikap LSM, Lindsey menggambarkan Indonesia sebagai negara aspal (asli tapi palsu) atau negara gelap. Sistem hukum yang formal di negara aspal semacam itu canggih dan dikawal retorika publik yang meyakinkan. Undang-undang banyak dibuat, tapi penegakannya ditekuk bila sasarannya mengena orang yang kuat. Bagi yang lemah penegakan berlangsung dengan penggunaan kekerasan negara. Di negara gelap uang dan kekuatan ditempa oleh kultur kekerasan menjadi suatu simbiosis timbal balik. Kekerasan menjadi perekat sistem yang berlaku; tak seorang pun dapat mengelak bila mau hidup di negara gelap seperti itu. Yang tumbuh segar-bugar adalah dunia preman, dunia jawara. Semua yang bernilai diperdagangkan: informasi, jabatan, hak, hukum, dan segala yang agung nilainya. Negara yang didengung-dengungkan sebagai negara hukum dalam kenyataannya bukan saja suatu negara gelap, melainkan juga negara preman. Mengutip teori Ugo Mattei, Lindsey mengemukakan bahwa hukum tak dapat dipisah dari politik, sedangkan hasil pengadilan tergantung pada siapa yang diadili. Hukum formal tak mungkin dikenakan pada pejabat pemerintahan. Oleh karena itu, bila mau membasmi korupsi, harus terlebih dulu menyerbu benteng-bentengnya di birokrasi dan pengadilan. Karena negara tak mungkin mengubah dirinya sendiri, dan perubahan itu hanya mungkin bila landasan budaya bergeser, maka ia merupakan proses yang panjang, sulit, dan menyakitkan. Di situ LSM anti-korupsi melihat perannya. Masih tetap mengenai LSM, makalah Mushtaq H. Khan pada konferensi tentang korupsi di negara berkembang yang disponsori OECD dan UNDP di Paris menyoroti “masyarakat madani” dan LSM yang ramai dibicarakan orang. Makalah Khan yang disadur
vii
dalam laporan Jurnal Aksara di majalah Tempo edisi 11 Februari 2001 melihat “masyarakat madani” sebagai terjemahan dari istilah “civil society”, suatu konstruksi kaum liberal Barat. Konstruksi tersebut ditafsirkan secara sempit oleh Khan sebagai suatu taraf perkembangan ekonomi suatu masyarakat pasca-industrial, artinya di situ sudah harus muncul suatu kelas menengah yang bergerak di bidang profesi dan jasa. Konstruksi semacam ini tidak cocok bila diterapkan untuk menganalisis keadaan di suatu masyarakat negara berkembang yang baru saja beranjak dari pola budaya patron-client ke jaringan money politics. Pada masyarakat seperti itu masuknya kapitalisme belum didukung oleh suatu konsensus nasional. Gejala yang tampak dalam apa yang secara sembarangan disebut “masyarakat transisi” adalah peningkatan kejahatan, korupsi, kekerasan dan konflik antar-kepentingan. Di situ pemerintah gagal memegang kendali secara mantap. Suasananya terlalu kacau dan labil. Seperti keadaan di Indonesia, stabilitas itulah yang dibeli dengan uang yang dibagi-bagikan kepada preman-preman pengerah massa. Sistem ini meluas dan tertutup. Yang turut serta adalah masyarakat bisnis, pemerintahan, militer dan polisi. Kemudian tiba beberapa LSM yang menggedor pintu masuk masyarakat transisi tersebut, dan berbicara dalam bahasa “civil society” yang sudah biasa didengar para analis Barat. Menganggap bahwa LSM ini akan berhasil, menurut Mushtaq Khan, adalah menyesatkan. Pesimisme akan ketepatan analisis Barat tentang masyarakat madani karena tidak berpijak di bumi negara sedang berkembang, hendaknya dihadapkan pada realitas yang tidak kalah suramnya dalam masyarakat transisi: Tidak ada kelompok lain yang berminat melawan korupsi kecuali LSM. *****
viii
Enam belas tulisan dalam empat jilid buku tentang korupsi di Indonesia merupakan laporan hasil penelitian para penulisnya. Buku ini memuat hal-hal yang sudah lama diduga, tetapi tidak persis diketahui: Bagaimana mereka mencuri uang rakyat? Dari istana presiden sampai markas besar tentara, dari BUMN sampai ke
Bappenas, dari proyek bantuan luar negeri sampai pengadilan, dari bank sampai ke partai politik, seluruh sektor-sektor itu diperiksa. Hasilnya adalah suatu gambar korupsi sistemik, yaitu kejahatan korupsi yang dilakukan secara melembaga dan terorganisasi, serta mencakup seluruh sektor politik dan ekonomi. Pejabat tinggi pemerintah bersekongkol dengan pengusaha swasta, birokrasi pemerintah pusat dan daerah, pejabat bea-cukai, dan aparat keamanan agar dapat mempertahankan dan mengembangkan praktek mencuri. Tema pokok yang muncul dari 16 studi ini adalah bahwa pemerintah harus diawasi, bahwa pengawasan tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah sendiri, dan bahwa pihak yang paling berhak melakukan pengawasan tersebut adalah para korban korupsi, yaitu kita semua, tanpa kecuali. Peringatan yang tersimpul dalam 16 laporan tersebut adalah bahwa berita tentang korupsi di koran atau televisi bukan sekadar mengabarkan suatu kejahatan nun jauh di sana yang terjadi pada orang yang tiada hubungan apapun dengan diri kita. Berita-berita itu pada hakikatnya merupakan suatu pengumuman kepada khalayak ramai bangsa Indonesia bahwa sebentar lagi kita akan disodori rekening tagihan pengganti uang yang dicuri pejabat yang korup. Mencuri Uang Rakyat memperingatkan bahwa kebijakan tunggal tidak akan mampu menahan arus deras korupsi. Hanya membentuk komisi-komisi, satuan-satuan tugas, dan panitia-panitia pemantau anti-korupsi tidak akan berhasil. Bila tekanan politik cukup kuat, biasanya pemerintah berhasil menggembosi gerakan anti-korupsi dengan berpura-pura ingin melawan korupsi secara sungguh-sungguh. Pemerintah cepatcepat membentuk komisi dan satgas anti-korupsi. Pada 1997 pemerintah Kenya membentuk tidak kurang dari empat komisi antikorupsi dalam waktu satu tahun. Hasilnya nihil. Pada masa Soeharto sebanyak lima komisi anti-korupsi dibentuk. Ketika melantik komisi yang kedua pada 1970 Soeharto bahkan memproklamasikan tekad untuk memimpin sendiri perang melawan korupsi di Indonesia. Tolok ukur kesungguhan pemerintah Soeharto melawan korupsi jelas tampak ketika Indonesia berhasil meraih posisi tertinggi di antara negara-negara yang paling korup di dunia.
ix
Satu hal lagi yang diingatkan 16 studi ini adalah bahwa menjebloskan koruptor ke dalam penjara saja juga tidak akan berhasil membendung arus korupsi. Memburu pejabat yang korup di negara yang sistem hukumnya relatif beroperasi secara lancar, tidak membawa hasil yang memuaskan. Pada 1980-an dan 1990-an banyak pejabat korup di India, Pakistan dan Bangladesh diseret ke pengadilan dan dijebloskan ke penjara. Beberapa bulan kemudian, pejabat yang menggantikan posisi pendahulunya yang meringkuk di penjara menjalankan praktek korupsi yang sama. Itu yang terjadi dalam sistem hukum yang relatif baik. Mengejar koruptor sebagai kebijakan tunggal dalam suatu sistem hukum yang sudah tidak berfungsi lagi seperti halnya di Indonesia akan mengakibatkan dua jenis pemburukan yang lebih parah lagi. Ia tidak akan membawa hasil apa-apa karena seorang koruptor per definisi mempunyai banyak uang untuk menyelewengkan proses hukum. Ia juga menghancurkan sisa-sisa kepercayaan masyarakat pada azas Negara Hukum Undang-Undang Dasar Indonesia, dan dengan itu juga pada persepsi kenegaraan Indonesia itu sendiri. Masyarakat ramai sudah lama bersaksi bagaimana seorang pejabat yang dituduh korupsi diperiksa, ditahan, diperas oleh pemeriksanya, kemudian dituntut, lalu dibebaskan oleh pengadilan. Penangkapan dan penahanan pejabat, baik mantan maupun yang masih menjabat, oleh aparatur penegak hukum sudah lama menjadi bahan lelucon umum. Seperti pada pertunjukan pewayangan, para penonton sudah tahu bagaimana cerita akan berkembang dan berakhir. Kebijakan penegakan hukum dan pembentukan komisi anti-korupsi dalam upaya melawan korupsi sistemik hanya akan berhasil bila digabung dalam satu paket kebijakan reformasi bersama kebijakan-kebijakan lain. Dalam paket kebijakan itu termasuk reformasi birokrasi, penciutan sektor publik, penjualan BUMN, dan peluncuran kampanye bersinambung untuk meningkatkan kesadaran bangsa akan pembusukan yang disebarkan KKN. Paket kebijakan tersebut memang terkesan “seram” dan “berat”, akan tetapi setelah diperiksa terbukti biasa-biasa saja, masuk akal dan praktis.
x
Untuk reformasi birokrasi, misalnya, diperlukan serangkaian kriteria kemampuan yang harus dipenuhi setiap calon pegawai negeri. Cocok atau cakap tidaknya seseorang
calon birokrat ditentukan oleh hasil suatu tes “fit and proper” yang diperiksa oleh suatu badan independen yang pengujinya diganti setiap tahun. Begitu pula untuk kenaikan pangkat. Bila mau dinaikkan pangkatnya, setiap pejabat harus menempuh ujian kecakapan dan kecocokan. Dalam program reformasi birokrasi juga termasuk penyadaran dan pendalaman jati diri birokrasi sebagai institusi pelayanan publik. Ini perlu terus-menerus diingatkan agar pegawai negeri dan pejabat negara dapat mengembalikan harkat dirinya yang sudah dirusak oleh pamor sebagai pencuri uang rakyat. Penegakan hukum, dan penghukuman mereka yang ditemukan melanggar hukum, bukan sekadar pembalasan sosial, melainkan bertujuan membangun kembali fondasi suatu moralitas dasar yang memberi petunjuk tentang apa yang halal dan apa yang haram, apa yang benar dan apa yang salah. Ini akan mengoreksi sikap masyarakat selama ini yang memuja-muja pejabat pemerintah yang kaya, dan menggali kembali rasa malu bergaul dengan orang-orang yang hartanya diduga merupakan hasil korupsi. Penciutan sektor publik tidak berarti bahwa pemerintah yang mengabdi pada masyarakat menyerah pada kapitalisme yang rakus. Ia sekadar upaya memperkecil ruang gerak para koruptor dan, sering kali, bahkan meningkatkan pendapatan negara. Contoh kebijakan seperti itu misalnya tampak pada pengambilalihan fungsi pabean Indonesia oleh suatu perusahaan survai yang berpusat di Swiss. Pemasukan pemerintah meningkat, apa yang sedianya akan hilang dicuri berhasil diselamatkan. Begitu pula dengan penjualan BUMN. Protes-protes yang banyak terdengar terhadap kebijakan semacam ini biasanya dibalut perban nasionalistik. Dalam kenyataannya ia hanya merupakan kedok politik yang menyembunyikan rasa cemas kehilangan sumber emas untuk membiayai korupsi beberapa koruptor, dan membeli loyalitas politik. Semua itu hendaknya didukung oleh suatu kampanye berkesinambungan untuk memperlebar front nasional dan internasional guna terus-menerus menuntut agar pemerasan terhadap rakyat dihentikan. Tekanan dari luar selalu diperlukan oleh suatu struktur kekuasaan birokratik-patrimonial yang gandrung mempertahankan status-quo. Bila terancam, sistem semacam itu cenderung melakukan sabotase dengan berpura-
xi
pura lumpuh, seperti yang kita saksikan sekarang; atau menggunakan kekerasan, seperti yang kita alami di masa lalu. Itu sebabnya mengapa tekanan dari dalam saja tidak cukup untuk mencapai perbaikan yang berarti. Suatu bagian penting dari kampanye semacam ini adalah menegaskan kepada setiap warga negara bahwa yang menjual bangsa bukan pemerintahan yang baik, melainkan korupsi. Mencuri itu jahat. Tidak peduli apakah pencurinya asing atau bangsa sendiri. ***** Mencuri Uang Rakyat diterbitkan oleh Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia (Kemitraan), yang bertujuan memajukan serta mendukung program reformasi tata pemerintahan. Kemitraan dikelola oleh suatu Badan Pengurus yang terdiri atas pejabat senior pemerintah, pengusaha swasta, dan beberapa warga negara Indonesia yang mempunyai pengertian jernih tentang makna dan tujuan tata pemerintahan yang baik. Bank Dunia (World Bank), Program Pembangunan PBB (UNDP), dan Bank Pembangunan Asia (ADB) turut sebagai pendiri dan sekaligus anggota. Buku ini merupakan persembahan kepada masyarakat Indonesia suatu kumpulan laporan penelitian tentang bagaimana korupsi berlangsung, menyebar, dan menyandera seluruh jaringan sosial bangsa Indonesia. Buku ini juga bermaksud meyakinkan komunitas warga negara Indonesia yang sangat prihatin dan mendambakan reformasi bahwa di balik gunung kerja keras dan kerja cerdas masih ada harapan menyelamatkan bangsa.
xii
Gagasan tentang susunan karangan serta seleksi para sarjana yang diundang untuk menyajikan makalah penelitiannya berasal dari kalangan Kemitraan. Dalam hal ini penghargaan perlu disampaikan kepada dua orang, yaitu Richard Holloway, salah seorang editor buku ini, dan Merly Khouw, seorang konsultan Kemitraan. Holloway tanpa jemu mengejar-ngejar para penulis, para penerjemah, para pencetak, dan dua rekan editornya. Kelambatan terbitnya buku ini tak dapat dipersalahkan padanya. Tanpa Holloway penerbitan buku ini akan kekurangan energi dan usul yang terkesan pada setiap gerak dan katanya. Merly Khouw telah sangat mendorong kerincian dan kerapian
rumusan kata dan kalimat hasil karya para editor. Ketelitian dan kecermatan Khouw sangat membantu dalam upaya mencapai tingkat akurasi naskah yang semaksimal mungkin. Terima kasih kami juga tertuju kepada Ratih Hardjono-Falaakh. Pertemuan simbiotik antara Kemitraan dan Yayasan Aksara tak akan terjadi tanpa perantaraannya yang amat berharga. Beberapa makalah dalam buku ini pada awalnya ditulis dalam bahasa Inggris sehingga perlu diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Para editor sangat menghargai jasa para penerjemah yang menyadari bahwa mengalihbahasakan suatu naskah bukan pekerjaan mesin yang mengkonversi kata demi kata ke bahasa lain. Masing-masing bahasa memiliki sintaks dan idiomnya sendiri, yang bila diterjemahkan secara harfiah akan menghasilkan konstruksi kalimat dan makna yang kocak. Gambar kulit muka buku merupakan reproduksi foto karya salah seorang pematung Indonesia terkemuka, Dolorosa Sinaga. Dengan spontanitas dan kemurahhatiannya yang hangat ia mengizinkan para editor meminjam ciptaannya untuk melambangkan rakyat Indonesia sebagai korban yang tiada jemunya menanti hari esok yang lebih baik. Akhirnya kami mengucapkan terima kasih kepada Khateeb Sarwar Lateef, Penasihat Senior Bank Dunia, dan Sri Urip, Direktur Eksekutif Kemitraan yang senantiasa menyediakan waktu setiap saat untuk konsultasi, dan untuk petunjukpetunjuk mereka yang arif dan bijaksana. Isi buku ini paling tidak aktual sampai bulan April 2001. Namun demikian, ditinjau dari kesungguh-sungguhan penegak hukum dalam menindak koruptor dan semakin ganasnya korupsi berlangsung, buku ini akan tetap aktual untuk waktu yang tidak ditetapkan. Enam belas karangan yang terhimpun dalam buku ini sepenuhnya merupakan hasil karya dan tanggung jawab para penulisnya. Baik Kemitraan, para anggota Badan Pengurusnya, organisasi ataupun pemerintah yang diwakilinya, atau organisasi mereka yang lain dan terafiliasi atau para kontraktornya, tidak bertanggung jawab atas akurasi fakta dan data dalam penerbitan ini, atau dampak apapun yang mungkin diakibatkan oleh penggunaannya. Teknik penyuntingan, perumusan dan tata rias buku diserahkan kepada Aksara,
xiii
suatu yayasan penelitian yang berkegiatan di bidang pendidikan melalui kolokia berkala dalam lingkungan terbatas, dan penerbitan. Tugas Aksara adalah menyajikan hasil akhir perumusan makalah yang ringkas, sederhana, dan jernih agar dapat mencapai lingkaran pembaca seluas mungkin.
Nono Anwar Makarim
Jakarta, Januari 2002
xiv
Daftar Isi Pengantar Oleh Nono Anwar Makarim Daftar Isi Renungan tentang Korupsi di Indonesia Oleh Gary Goodpaster Penghasilan Tambahan yang Menonjol di Indonesia Korupsi di Pemerintah Daerah Catatan Kepustakaan Korupsi Bantuan Luar Negeri: Kenaifan, Kepuasan Diri dan Keterlibatan Donor oleh Paul Mc Carthy Pendahuluan LSM sebagai Media untuk Melawan Korupsi Bagian 1: LSM dan Upaya Melawan Korupsi LSM Advokasi LSM Penelitian LSM yang Berfokus pada Masalah Lokal Komisi Anti Korupsi Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK)
i xv 1
7 20 29 35
37
33 38 41 52 53 53 55 56
xv
Sinisme Generasi Bagian 2; korupsi dan Negara Indonesia Interprestasi Teoritis atas Korupsi dan Hukum “Hukum Politis” dan Korupsi Bagian 3: Menilai Upaya LSM Anti-Korupsi Dilema para Donor Masa Depan Kepustakaan Catatan: Korupsi di Sektor Swasta Oleh Nasir Tamara Siksa dan Pahala Nomenklatura Syariat Islam Serangan Fajar Mempertukarkan Allah SWT Alasan Kemiskinan Alasan tidak Tahu Alasan Rakus Money Politics Pakai Uang Negara Kewajiban Kontrol Sosial Menjelang Putus Asa Menghadapi Korupsi Oleh Hamid Basyaib, Ines Handayani, Nono Anwar Makarim, Daud Sinjal
xvi
Imperium Kleptokrasi tanpa Koruptor Kisah Penumpasan Korupsi Sapa Suru Biayai Koruptor? Mengukur “Political Will”
59 61 64 66 68 70 71 73 76 79
79 80 81 82 85 86 88 89 96 99
108 121 125 128
Adakah Manfaat Gerakan LSM? Stop “Kejar Maling” Sejarah dan Masa Depan Korupsi
131 132 134
Tentang Penulis
141
Tentang Editor
145
Indeks
147
xvii
Renungan tentang Korupsi di Indonesia Oleh Gary Goodpaster
Seperti mustahilnya bagi seseorang untuk tak merasakan madu ataupun racun yang ada di ujung lidahnya, mustahillah bagi seseorang yang berurusan dengan dana pemerintah untuk tak mencicipi, meski sedikit saja, kekayaan sang Raja.1 Para cendekiawan Indonesia sering menyatakan bahwa Indonesia punya “budaya korupsi”,2 atau bahwa masyarakat Indonesia permisif dan toleran terhadap korupsi. Biasanya pernyataan ini diikuti dengan usul-usul untuk menetapkan norma sosial terhadap korupsi.3 Ini merupakan bentuk upaya mereka untuk menjelaskan kenapa terjadi wabah korupsi yang begitu sistematik dan menyebar di Indonesia, dan kenapa ini berlangsung turun-temurun walau diketahui masyarakat dan selalu dihujat. Menyedihkan, karena penjelasan budayanya sering hanya berupa “memang sudah demikian keadaannya.” Kalaupun pernyataan ini ada benarnya, mestinya ini diberi penjelasan lebih lanjut. Penjelasan budaya juga membutuhkan penyembuhan budaya, misalnya pendidikan untuk anak-anak, yang daya serapnya belum bebal seperti orang dewasa. 4 Kita butuh analisis nyata, sesuatu yang tidak didapat dari penjelasan-penjelasan budaya yang digeneralisasi. Diperlukan analisis untuk memahami bagaimana korupsi
1
masuk dalam kehidupan orang, apa akibat korupsi bagi mereka, dan mengapa mereka bisa toleran, padahal tahu masyarakat menghujat korupsi. Kita tentu paham, apa yang kita sebut korupsi ini memenuhi kebutuhan manusia: memberi mata pencarian untuk bertahan hidup. Juga besar kemungkinan ada insentif yang kuat daya tariknya bagi orang untuk korupsi. Mari kita lihat bagaimana ini terjadi dan kenapa sulit benar melakukan tindakan apapun terhadap korupsi. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (singkatnya, korupsi)5 merupakan tingkah laku yang lazim, bukan penyimpangan. Perhatikanlah sejarah negara-negara dan pemerintah seluruh dunia. Pada beberapa tingkat perkembangan sebuah negara terlihat bahwa apa yang kita sebut korupsi ternyata suatu norma perilaku. Banyak sejarah yang berisi kisah-kisah tentang korupsi dan Dengan standar negara nepotisme. Mulai dari pengadilan Roma dan Byzantium, Barat, orang-orang Inggris kemudian istana-istana para paus, raja-raja dan tokoh-tokoh di masa Elizabeth dan orang abad renaissance, lalu para baron perampok jaman dulu, sampai ke perlindungan politik, transaksi gelap, mafia, Triad, Amerika pada akhir dan Yakuza di jaman sekarang. Dengan standar negara Barat, abad-19 sangat korup orang-orang Inggris di masa Elizabeth6 dan orang Amerika pada akhir abad ke-19 sangat korup. Korupsi juga tersebar luas di negara-negara yang sedang berkembang dan dalam ekonomi transisi — terutama negara-negara seperti Indonesia, yang ekonominya hampir seluruhnya dikendalikan negara.7 Korupsi ada di negara-negara bekas jajahan — ada “negara-negara” di Afrika yang korupnya sangat luar biasa — dan juga di banyak negara yang muncul dari kekaisaran Soviet yang sudah bubar.
2
Sepanjang sejarah, justru negara yang dianggap tidak korup atau yang berhasil mencegah korupsilah yang tidak normal. Tampaknya korupsi pada akhirnya menjadi keadaan normal sehari-hari, dan yang mesti dijabarkan bukanlah korupsinya, tetapi menjauh dari korupsi. Sejarah menunjukkan bahwa cepat atau lambat negara-negara bisa mengatasi korupsi, sadar bahwa korupsi adalah kejahatan yang harus diperangi dan dikalahkan. Dalam demokrasi, yang jadi katalisator dari proses penaklukan korupsi itu adalah perkembangan proses pemungutan suara secara demokratis, partai-partai oposisi
yang efektif dan kelompok-kelompok kepentingan, serta ekonomi pasar yang teratur tapi “bebas”. Namun, mereka yang mengatasi korupsi tidak selalu berhasil sepenuhnya memberantas, tapi hanya mampu menahan atau membatasinya. Skandal-skandal korupsi politik Prancis dan Jerman baru-baru ini serta kisah “politik uang” yang janggal di Amerika Serikat dan banyak negara Barat jadi bukti sulitnya membasmi korupsi secara menyeluruh. Apa yang kita sebut korupsi adalah bentuk pencarian keuntungan pribadi. Alamiah saja bagi individu untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri maupun bagi anggota keluarga atau saudara mereka. Jika pemerintah mengendalikan akses ke berbagai peluang ekonomi atau memiliki sumber-sumber daya besar yang bisa dieksploitasi, seseorang akan mendekati pemerintah untuk mendapatkan akses ke sana. Selama biaya untuk mendapatkannya bisa ia benarkan, akan masuk akal baginya untuk membayar demi akses tersebut. Dari sudut pandang individu, korupsi hanya suatu tindakan meraih keuntungan, dan adil saja, karena orang lain pun dapat melakukan apa yang kita lakukan. Malah, seseorang mungkin tidak melihat bagaimana keuntungan yang ia dapat bisa merugikan orang lain, kecuali mungkin para pesaing untuk transaksi tersebut. Jika bukan dia yang meraih keuntungan, maka orang lain yang dapat. Paling tidak orang merasa sama-sama layak mendapatkannya, dan tentu seseorang lebih suka kalau ia atau keluarganyalah yang memperoleh. Jika orang sejenis itu memegang suatu kedudukan yang produktif, atau lebih hebat lagi, menguasai alat kebijakan negara dan pengambilan keputusan, ia akan memakainya untuk keuntungan diri dan orang terdekat sebisanya. Untuk yang belakangan ini, orang akan merekayasa program-program yang ada untuk mendapatkan “penghasilan tambahan”nya. Bahwa manusia secara alamiah cenderung untuk korupsi bukan berarti hal itu baik, tidak pula menegaskan bahwa tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengatasinya, atau menghindari semua kegiatan yang korup. Menegaskan bahwa korupsi itu wajar sama dengan mengesahkannya, sebagaimana menyatakan bahwa perang sudah sewajarnya mengesahkan peperangan. Seperti kecenderungan manusia lainnya yang alamiah, kemungkinan orang akan suka memungkiri, katakanlah misalnya kecenderungan untuk mencaplok atau keinginan untuk bertingkah laku buruk dan korup dapat terbawa di bawah kendali bawah-sadar. Bagaimanapun, orang perlu belajar dan disiplin. Masalahnya,
3
korupsi harus dinyatakan buruk untuk Anda, atau — jika Anda sendirilah yang memetik keuntungan dari sana — kenapa hal itu buruk bagi orang lain dan masyarakat dan kenapa, dalam jangka panjang, korupsi itu buruk bagi Anda dan milik Anda. Bagi mereka yang hidup dari hasil korupsi, di mana banyak orang yang melakukannya, korupsi bukan hal yang sulit dilakukan. Yang lebih buruk lagi ialah jika tindakan kolektif, kalaupun dilakukan, tidak menemukan obat yang mujarab, meski semua orang sepakat bahwa korupsi itu jahat. Namun, mengandaikan bahwa manusia cenderung untuk berperilaku korup yang secara tepat kita kutuk, juga berarti bahwa pengutukan moral saja tidak akan berguna untuk membasmi korupsi dibanding kutukan yang dikenakan terhadap kejahatan-kejahatan manusia yang klasik ataupun yang merupakan wujud kebutuhan sejati manusia. Mungkin saja hal itu mengandung suatu ungkapan solidaritas dengan kebaikan dan kebenaran, tetapi seperti pernyataan Bertolt Brecht yang terkenal, “Erst kommt das Essen, denn die Morale.” (Makan dulu, soal moral belakangan.) Dengan kata lain, korupsi berkaitan erat dengan soal mempertahankan penghidupan untuk diri sendiri, baik lewat penghasilan yang diperoleh dari korupsi maupun melalui suap dan pajak-pajak untuk memperlancar bisnis seseorang. Orang dengan perut kenyang dan punya rumah tinggal cenderung untuk lebih bisa mendengarkan argumentasi moral daripada orang yang kelaparan dan tak punya rumah. Isu korupsi tidak dapat dipisahkan dari isu pemenuhan kebutuhan diri. Korupsi pertama-tama adalah suatu isu ekonomi dan sosial, baru setelah itu ada ruang untuk berkhotbah.
4
Ini berarti ada skala dan tingkatan korupsi. Korupsi bisa sempit atau luas, kecil atau besar, terbatas atau bebas, tak terorganisasi atau terorganisasi. Perembesan yang dalam pada prasarana negara, korupsi memberikan perubahan kualitatif dalam cara pengorganisasian dan mekanisme masyarakat. Sebut saja ini korupsi “terstruktur”, yaitu korupsi yang telah teranyam dalam jaringan pemerintah, sehingga seluruh kekuasaan pemerintah terkooptasi untuk memungkinkan kegiatan-kegiatan korupsi, dan ke dalam jaringan urusan-urusan sosial dan ekonomi. Korupsi bisa menjadi begitu menggerogoti sedikit demi sedikit sehingga, seperti parasit mikro yang ganas 8, menguasai mahluk tumpangannya, atau setidaknya menguasai beberapa fungsi untuk
memenuhi tujuannya sendiri. Memberantas korupsi yang terstruktur bukan main sulitnya sebab dia bekerja dalam suatu sistem sosial dan ekonomi dalam dirinya sendiri dan karena begitu banyak penghidupan yang tergantung padanya. Korupsi yang berkembang luas seperti di Indonesia dan beberapa negara berkembang lain, membentuk suatu sistem ekonomi dan sosial yang mirip parasit. Sistem ini terdiri dari tindakan-tindakan pencarian nafkah yang sifatnya adaptif dan saling terkait, berbagai jenis insentif, serta cara-cara khas dalam berhubungan dengan orang lain. Semua ini berlangsung terus turun-temurun. Korupsi bukan sistem lepas yang bisa menghidupi diri sendiri, tapi bergantung pada sistem-sistem ekonomi dan sosial yang hidup berdampingan. Ekonomi pertanian, pasar, perusahaan negara, usaha wiraswasta, perusahaan kecil dan menengah, Korupsi bukan sistem lepas, juga ekonomi informal atau gelap yang bergerak di luar hukum jadi makanan korupsi. Di Indonesia, korupsi menyerap ke tapi bergantung pada dalam sistem-sistem ini dan, bagai parasit, hidup dari sana.
sistem ekonomi dan sosial
Satu hal penting, korupsi bersifat eksploitatif. Artinya, yang hidup berdampingan. banyak kegiatan suap yang tidak produktif, dan orang-orang yang korup mencari nafkah dengan gaya rentier atau dengan kata lain: “tukang palak”, dengan mengeduk kekayaan dari orang lain. Korupsi dapat saja melibatkan kegiatankegiatan produktif, misalnya: kontrak penyediaan listrik, tapi biasanya kegiatan-kegiatan ini harganya lebih tinggi daripada harga pasar — di sinilah letak eksploitatifnya — atau korupsi bergantung pada pencurian, seperti penebangan kayu liar, atau kegiatan ilegal lain seperti penyelundupan. Korupsi juga terjadi dalam kegiatan-kegiatan usaha yang legal, seperti beberapa kegiatan yang dijalankan oleh militer Indonesia yang sering terlibat dalam kegiatan suap yang eksploitatif, sementara kegiatan itu sendiri produktif. 9 Kemiskinan dan besarnya pengangguran jadi lahan subur bagi korupsi. Banyak orang tahu bahwa mereka yang sangat butuh pekerjaan, paling gampang dieksploitasi. Misalnya, penambangan emas dengan sistem liar di Kalimantan sering mempekerjakan para migran yang miskin dari Jawa dan Madura.10 Para migran tersebut awalnya mendapat bantuan dari pengusaha setempat, yang nantinya menerima separuh dari pendapatan mereka. Untuk menjamin agar tidak ada razia tambang-tambang liar dari pemerintah,
5
pengusaha tersebut harus membayar polisi, tentara, serta pejabat-pejabat pemerintah. 11 Bukan hanya terkait dengan kriminalitas yang terorganisasi, korupsi bahkan turut menciptakannya. Di tingkat ini, korupsi akan menimbulkan bahaya besar bagi sistem sosial, seperti yang terjadi di Indonesia. Korupsi yang sistematis butuh suatu kerja sama dalam skala besar antar aktor-aktor yang berbeda. Korupsi bisa berjalan seperti sebuah pemerintahan gelap, tempat para pejabat melindungi kegiatankegiatan ilegal dengan meminta imbalan, minta jatah bagaikan menarik pajak untuk layanan pemerintah. Terakhir, jangan lupa dengan kerugian besar bagi lingkungan hidup. Lihat penambangan liar. Meski produktif, penambangan seperti ini menghabiskan biaya amat mahal dalam bentuk kerusakan lingkungan. Dampak buruknya berderet, dari mulai Korupsi berjalan seperti penjarahan, pembabatan hutan, sampai peracunan air sebuah pemerintahan gelap, raksa dan sianida pada sungai. Kerugian besar juga terjadi dalam sektor publik, seperti hukum serta wewenang dan tempat pejabat melindungi akuntabilitas pemerintah. Di sini terjadi pula suatu kondisi kegiatan ilegal. ketiadaan hukum yang mencengangkan. Tapi lucunya, dalam kondisi ketiadaan hukum ini juga tampak adanya keteraturan — ada suatu sistem yang terdiri dari harapan, insentif, dan perekayasaan yang menghasilkan profit dan memberikan kekebalan hukum.
6
Sebagaimana rincian di bawah ini, bangsa Indonesia mendukung kelas rentenir dan paria yang sangat tidak produktif. Kelas rentenir membentuk semacam aristokrasi, yang memposisikan diri sebagian pada keuntungan kaum kapitalis yang berasal dari hak istimewa yang diberi oleh pemerintah, dan uang sewa yang diperas dari pengusaha dan kelas bawahnya. Kelas paria terdiri dari para penjahat dan pegawai tingkat bawah serta petugas polisi yang memanfaatkan posisi jabatan mereka untuk meminta paksa kutipan dari masyarakat luas. Pada kedua kelas ini ada ikatan samar di antara mereka dengan pendahulunya yang sering kali mempekerjakan pengikutnya untuk berbagai tujuan gelap.
Sebagai suatu sistem ekonomi, hal baik dari korupsi adalah penyediaan nafkah. Sampai taraf tertentu saja, karena pembayaran suap untuk proteksi berjalan seperti pajak, korupsi juga bisa berfungsi sebagai peredam kegiatan-kegiatan tertentu yang tidak dikehendaki. Tapi ini cuma akibat yang tidak disengaja. Hampir semua pungutan liar itu bertujuan untuk memproteksi hal-hal yang harusnya tidak dilindungi, misalnya: prostitusi atau pengedaran obat bius. Bahkan, korupsi justru jadi mendukung kegiatan itu. Hal buruknya: korupsi pada dasarnya berisi perilaku yang sangat merugikan bagi lembaga bersangkutan. Dalam istilah ekonom, korupsi tidak efisien menggunakan sumber daya, juga tidak mendorong orang untuk melakukan kegiatan produktif. Studi ilmu ekonomi tentang korupsi menemukan bahwa kecenderungan para pejabat untuk memungut kutipan liar meningkat dan mengacaukan investasi masyarakat, 12 serta menimbulkan banyak kerugian bagi publik.13 Dalam istilah pemerintahan, korupsi tidak menyumbangkan apa pun untuk kebaikan bersama; sebaliknya, ia malah secara aktif merusaknya. Sebagai suatu sistem sosial, korupsi secara karakteristik tampak feodal, dengan adanya dukungan kelas bawah terhadap kelas atas. Dan tampaknya korupsi subur dalam masyarakat yang sangat kuat pembagian kelasnya, masyarakat yang kehidupan ekonominya dikendalikan negara. Yang menarik, kelihatannya korupsi juga tumbuh dalam kondisi seperti Rusia, yaitu ketika pemerintah pusat melemah lalu kehilangan kekuasaannya. Indonesia masuk ke dalam semua kategori ini.
Penghasilan Tambahan yang Menonjol di Indonesia Penghasilan Tambahan Pada Umumnya Karena gaji pokok orang Indonesia sangat rendah, wajar bila para pegawai menyambut baik tambahan penghasilan apa pun. Banyak orang Indonesia menjalani beberapa pekerjaan dan kebanyakan tetap mencari-cari sumber penghasilan tambahan lain. Ini terjadi juga pada pegawai negeri, suatu fakta yang sering kali membuat orang
7
asing heran, karena menganggap bahwa pegawai pemerintah telah dibayar untuk memberi layanan masyarakat. Namun birokrasi Indonesia telah menjadi penampungan kerja untuk negara, dan terkenal kelebihan pegawai. Gaji yang rendah menampung jumlah yang besar, ini bisa menjelaskan kebiasaan kerja mereka. Pepatah umum bilang, pegawai negeri digaji untuk kehadirannya, bukan untuk bekerja. Mereka berharap, jika mereka diberi tugas khusus, maka akan ada upah tambahan untuk melaksanakan tugas tersebut. Maka muncullah banyak “wiraswastawan” dalam kantor-kantor pemerintah. Proyek-proyek dikejar, karena akan ada pembayaran ekstra di luar gaji pokok. Ada harapan dibayar untuk tiap layanan yang diberikan. Hal ini seperti kebiasaan memberi tip, namun lebih bersifat wajib. Petugas pengiriman yang bersusah-payah membawa kulkas baru ke rumah Anda, meski ia pegawai upahan, tetap mengharapkan ada tambahan uang untuk layanannya. Para pembicara, presenter, moderator, organisator, dan para reporter di konferensi mengharapkan bayaran, dan secara rutin menerimanya. Memang, seperti yang kadang-kadang terjadi, jika seorang pembicara asing menolak “bayaran” tersebut, pihak organisator bingung dan khawatir karena mereka tidak memiliki prosedur untuk orang yang menolak pembayaran. Juga merupakan kebiasaan untuk menawarkan “uang transport” dan bahkan “uang hadir” kepada mereka yang hadir di konferensi, selain makan gratis. Bayaran ini biasanya kecil, namun menunjukkan sebuah sikap yang mendasar. Jika seseorang melakukan sesuatu atas permintaan Anda, Anda diharapkan untuk membayar. Dan jika Anda seorang pejabat pemerintah, Anda diharapkan memberi informasi serta layanan yang diinginkan seorang warga negara, jika ia mau membayar.
8
Dalam ekonomi transaksional ini, bisa atau tidak bisanya sebuah pembayaran jasa kepada pejabat pemerintah dianggap korupsi, tergantung pada tingkat “usaha” terorganisasi yang dilibatkan. Korupsi juga merupakan penyalahgunaan kekuasaan umum untuk keuntungan pribadi, dan “biaya transaksi dan pembayaran” yang dibebankan jadi cermin dari sebuah struktur administratif yang memberikan insentif-insentif yang merusak. Dalam struktur ini, insentif ekonomi dari pegawai negeri yang tugasnya melayani masyarakat adalah menjaga akses informasi dan layanan umum dan hanya
memberikannya jika mendapat bayaran. Fungsi-fungsi yang sudah sewajarnya dari pemerintah secara diam-diam “diswastakan” dalam bentuk menyimpang. Sebuah gaya ekonomi baru dan suatu model pencarian nafkah sedang berjalan di sini. Praktekpraktek ini tidak jauh dari apa yang kita anggap sebagai korupsi. Sebenarnya, apa perbedaan antara pegawai pemerintah yang mengharap pembayaran ekstra atas partisipasinya dalam proyek yang ditugaskan dengan seorang polisi yang mengharapkan pembayaran karena memberikan “proteksi” untuk suatu bisnis? Perbedaannya terletak pada apa yang “diswastakan” dan apa yang kita anggap sebagai penyalahgunaan wewenang. Penyalahgunaannya bukan pada penyediaan informasi dan layanan untuk mendapat bayaran, namun pada kesengajaan untuk menyimpang, menghindari hukum dan prosedur yang sah untuk memperoleh keuntungan pribadi. Korupsi juga terjadi ketika wewenang Polisi tidak memberi layanan negara dipakai untuk keuntungan. Misalnya, untuk hukum apapun, tapi perpanjangan paspor atau SIM, seorang warga negara harus membayar di luar biaya yang tercantum, untuk memperlancar malah mempermainkan perpanjangan. Dan jika seorang polisi memeras seorang warga warga negara semaunya. negara, dengan mengancam akan menggunakan kekuasaannya untuk menahan atau memanggil ke pengadilan kecuali jika membayar suap, polisi tersebut memakai wewenang negara untuk mengambil keuntungan. Penerapan hukum menjadi loket pembayaran ilegal. Polisi itu tidak memberikan layanan hukum apa pun, tapi malah mempermainkan warga negara semaunya.
Penghasilan Tambahan dari Hasil Korupsi Kita tidak dapat menganggap remeh semua bentuk pungutan liar dari jasa layanan birokrasi di tingkat bawah dan menengah, atau cuma menganggapnya sebagai fungsi administratif yang abnormal. Banyak jabatan dalam birokrasi yang dijualbelikan. Jabatanjabatan tersebut “didagangkan” karena menghasilkan uang. Jabatan-jabatan yang diincar itu termasuk polisi lalu-lintas, pejabat bea-cukai, imigrasi, dan pegawai pengadilan. Pejabat-pejabat junior harus membayar “jatah” dari
9
pendapatan mereka kepada atasan, untuk menjamin kedudukannya aman. Setiap kelebihan uang yang dihasilkan (diperoleh dengan menarik suap dari anggota masyarakat) sesuai perjanjian akan mereka ambil. Mereka yang lalai memenuhi jatahnya dipindahkan untuk diganti oleh mereka yang mampu memenuhi kesepakatan. 14 Praktek ini merupakan contoh dari hirarki atau piramida pembayaran yang tampaknya biasa, tetapi memperlihatkan perilaku mangsa-memangsa yang terorganisasi. Terlihat jelas terjadinya kebocoran dalam jumlah yang sangat besar dalam anggaran-anggaran departemen dan Banyak pemerasan serupa BUMN, terutama anggaran pembangunan, karena banyak menyangkut pajak dan aliran dana beralih ke tangan-tangan yang menadah dengan pungutan ilegal dalam tidak sabar, yang kemudian digunakan untuk tujuan pribadi.
pengangkutan hasil pertanian.
Di luar gedung-gedung dan kantor-kantor yang suram dari berbagai birokrasi negara, orang-orang yang setengah menganggur menunggu, para pejabat pemerintah berinteraksi dengan warga negara di jalan. Mereka menyalahgunakan wewenang mereka untuk terlibat dalam hal-hal kecil yang ilegal, dan memaksakan pajak terhadap masyarakat yang produktif.
10
Penduduk desa yang miskin di Jawa Barat bingung, ketika suatu saat persediaan beras dari pemerintah mereka tiba-tiba berkurang. Sementara para pemasok beras mengeluh kalau pembayaran mereka ditunggak sebanyak Rp 60 juta sehingga tidak ada biaya mendistribusikan beras. Padahal penduduk desa telah bersikeras bahwa mereka telah membayar tagihan pembelian, demikian menurut berita The Jakarta Post. Kemudian ditemukan letak masalahnya: seorang pejabat lokal telah menagih uang dari 4.000 keluarga miskin dan menggunakan uang itu untuk membangun rumah bagi dirinya sendiri. Lalu seorang kepala desa lain menghabiskan uang yang dipegangnya untuk membeli mobil. Sementara orang ketiga yang lain, menggunakan sebagian dana itu untuk membiayai pesta perkawinan. Sedangkan orang keempat, memakai sebagian dana untuk membiayai kebutuhan istri kedua. Para penyelidik menemukan bahwa hanya ada satu kepala desa yang telah menggunakan uang untuk membeli beras, yang sudah
semestinya ia lakukan. Namun kepala desa ini bukannya membagikan beras itu kepada penduduk desa yang membutuhkan, ia memberikan beras secara gratis kepada para pemilih, pada waktu pemilihan jabatan lurah berikutnya bagi dirinya. “Anehnya, tak satu pun dari pejabat-pejabat ini yang mendapat hukuman,” demikian laporan surat kabar. Menyedihkannya, di saat yang sama, satu artikel di halaman sama dari surat kabar yang sama memberitakan, suatu penelitian telah mengungkapkan 12.000 anak kekurangan gizi di beberapa daerah di Jawa Tengah. 15 Lihatlah juga kasus pos-pos jembatan penimbangan di jalan-jalan. Alasan utama dibentuknya pos penimbangan di jalan-jalan di seluruh provinsi adalah untuk mencegah cepatnya kerusakan jalan-jalan, yang disebabkan oleh truk-truk dengan muatan berlebih. Ironisnya, pos-pos penimbangan ini justru memastikan kemungkinan sebaliknya. Ini disebabkan karena para pejabat Departemen Perhubungan secara terang-terangan menyalahgunakan jembatan penimbangan. Mereka memaksa para pengemudi truk berhenti untuk mereka kutip. Untuk mengimbangi hal ini, dan pembayaran-pembayaran lain yang tidak sah yang diwajibkan polisi, para pengemudi dan pedagang justru akan membawa muatan berlebih untuk memastikan marjin yang cukup. 16 Banyak contoh pemerasan serupa lainnya yang menyangkut pajak dan pungutan ilegal dalam pengangkutan hasil-hasil pertanian. Misalnya, wawancara dengan para petani, pengemudi truk, pedagang dan perusahaan angkutan di Sulawesi Selatan menyingkap bahwa jajaran petugas mulai dari polisi udara/laut, pabean, otorita pelabuhan, Departemen Kehutanan, dan petugas polisi lokal memungut pungutan liar ini. 17
Penghasilan Tambahan Besar-besaran Banyak orang di dalam maupun di luar Indonesia, jika membicarakan korupsi Indonesia kelas kakap, yang segera mereka sebut adalah korupsi yang dilakukan Soeharto dan orang-orang pilihannya. Korupsi semacam itu berisi hak-hak ekonomi istimewa kepada anggota keluarga Soeharto dan sekutu-sekutunya, berupa pemberian monopoli, pembengkakan kontrak pemerintah, dan akses ke dana di luar anggaran
11
departemen. Masih banyak lagi fasilitas yang ditawarkan: izin untuk menyimpangkan dana BUMN, dana reboisasi maupun dana sosial. Memerintahkan pinjaman bank untuk pihak-pihak yang disenangi dan mempunyai hubungan baik, serta memberi wewenang pengalihan dana-dana pembangunan untuk penggunaan pribadi. Soeharto ternyata juga telah mendorong para menteri untuk menikmati “kewajiban kehormatan”, upeti, sambil tersenyum di belakang waktu mereka melakukannya. Sebuah laporan Bank Dunia menyatakan bahwa kurang-lebih 20-30% bantuan pembangunan telah dicuri atau “dialihkan melalui pembayaran-pembayaran tak resmi kepada para staf dan politisi pemerintah Indonesia.... Banyak lembaga dalam pemerintah Indonesia yang memiliki sistem informal canggih untuk mengalihkan sebesar 10-20% dari anggaran pembangunan di bawah pengelolaan mereka. Hasil yang telah dialihkan ini digunakan untuk menambah dana operasi mereka yang kurang, serta untuk kompensasi mereka sendiri.” 18 Baru-baru ini, audit terhadap Pertamina dan Bulog telah membuka adanya prosedur yang tidak efisien serta korupsi besar-besaran yang kebanyakan disebabkan oleh praktek pembuatan kontrak yang korup. Audit atas Pertamina oleh PriceWaterhouseCoopers yang selesai pada pertengahan 1999 ini telah mengungkap kerugian sebesar US$ 6,1 miliar selama periode dua tahun antara April 1996 dan Mei 1998.19 Demikian juga, audit atas Bulog oleh Arthur Andersen menemukan kerugian korupsi sebesar US$ 2 miliar selama periode empat tahun antara April 1993 dan akhir Maret 1998.20
12
Tapi perhatikan, ketika kaum elit yang korup itu mendapat keuntungan yang besar dari korupsi yang dilakukan, masih banyak hal yang terjadi di balik ini. Rumusnya: “ikuti uang!”. Ini bisa jadi alat untuk mengorek sistem ekonomi korupsi yang sesungguhnya di Indonesia. Coba pertimbangkan skandal Bank Bali. 21 Skandal ini melibatkan transfer sekitar US$ 80 juta dari dana US$123 juta yang diutangkan oleh Bank Bali — dalam kerangka jaminan pemerintah atas utang antarbank. Jumlah ini masuk ke satu perusahaan swasta sebagai ongkos untuk “bantuan” dalam penagihan jaminan. Skandal ini pertama kali diungkapkan pada waktu kampanye pemilu tengah
berlangsung. Diduga uang tersebut dimaksudkan untuk dana kampanye partai Golkar, dan Presiden Habibie serta anak buahnya terlibat di sini. Namun, salah satu hasil dari audit tersebut adalah pengungkapan bahwa US$ 80 juta telah dibagikan kepada sejumlah besar pengusaha dan pihak swasta.22 Sementara itu sulit untuk mengusut dengan tepat apakah pembagian tersebut seluruhnya atau tidak seluruhnya, karena kenyataannya sebagian besar dana telah dipakai untuk tujuan politik. Apa yang diperlihatkan dari bagan alur dana-dana Bank Bali ini adalah jaringan kerja pembayaran-pembayaran dan hubungan-hubungan suap yang sangat besar, yang dilakukan di bawah permukaan dari suatu pola korupsi tunggal yang besar. Terbukti ada piramida-piramida imbalan yang besar, yang dikaitkan dengan korupsikorupsi kelas kakap, piramida-piramida yang ternyata kebalikan dari piramida “pungutan liar” dalam birokrasi. Untuk kasus Bank Bali ini uang mengalir ke bawah; sedangkan pada “usaha pungli” itu arus uang ke atas. Namun, ke arah manapun uang bergerak, aliranaliran tersebut berimbas pada banyak orang. Kita bisa merasakan ekonomi Indonesia siluman yang diorganisasikan sebagai jaringan korupsi, jaringan-jaringan yang mungkin lebih daripada sekadar sistem distribusi. Pembayaran-pembayaran, terutama yang menuju ke bawah, pasti untuk membeli sesuatu, dan jaringan-jaringan yang berguna untuk satu tujuan bisa berguna untuk tujuan lain. Contoh-contoh di atas diambil dari masa Orde Baru, dan sayangnya masih banyak bukti bahwa korupsi kelas berat dan menengah masih berlanjut, dan semakin buruk.23 Kebiasaan, peluang-peluang bagi para pemula yang baru kenal korupsi, serta politik uang, merupakan alasannya. Kekuatan otoriter yang melemah, yang sebenarnya bisa mengendalikan korupsi-korupsi ini, merupakan satu alasan lagi kenapa korupsi berlanjut. Hal-hal ini dibicarakan terinci di bawah. Korupsi dalam Sistem Peradilan dan Hukum Secara luas telah dimaklumi, pengadilan Indonesia sangatlah korup. 24 Banyak pengacara korup yang bersedia membayar untuk memenangkan keputusan, dan korupsi yang parah juga terjadi di antara penuntut hukum maupun polisi Indonesia.
13
Akibatnya, orang Indonesia memiliki tingkat kepercayaan yang sangat rendah terhadap integritas dan kompetensi sistem peradilan mereka. Korupsi merajalela, keputusan dapat dibeli, pengadilan tergantung dari campur-tangan politik, dan transparansi hukum kurang. Dalam berbagai kasus hukum, penggugat tidak mencari keadilan, namun lebih menggunakan sistem peradilan untuk memeras pihak ketiga. Masalah seperti ini sama sekali tidak terbatas pada sistem peradilan, namun juga meluas ke profesi hukum, kantor jaksa agung, badan-badan administratif dan, terutama, kepolisian.25 Korupsi dari begitu banyak aktor dalam sistem hukum menunjukkan bahwa sistem hukum sangat tidak mampu jadi alat pemerintahan yang baik, juga tidak sebagai sarana yang adil untuk penyelesaian masalah. Mereka yang ingin keluar dari masalah hukum dengan jalan menyuap, harus mendekati banyak penjaga pintu gerbang. Polisi, penuntut hukum, pengacara, dan beberapa lapis hakim masing-masing dapat menyingkirkan atau menyimpangkan kasus. Jika yang satu tidak bisa, yang lain bisa. Korupsi dalam sistem hukum telah melemahkan usaha-usaha reformasi di Indonesia, karena seluruh sistemnya tidak dapat dipercaya, bahkan tidak dapat digunakan, untuk menghasilkan keputusan yang jujur. Sebaliknya, sistem hukum ini justru bisa dipercaya untuk melindungi kegiatan-kegiatan korup. Kerugian dari sistem hukum yang korup di Indonesia tidak terhitung. Di samping hilangnya wewenang pemerintah dan adanya sikap anti dari masyarakat karena tidak dapat menggunakannya untuk menyelesaikan masalah, ada kerugian ekonomi yang nyata. Para donor, kreditur dan calon investor asing melihat sistem tersebut dengan kekecewaan yang sangat besar, terutama terhadap kecurangan yang secara terang-terangan dipraktekkan di pengadilan.26 Investasi asing saat ini tidak berarti, membatasi kemampuan Indonesia untuk tumbuh sehat secara ekonomi. Sementara ketidakstabilan politik dinyatakan sebagai alasan utama, para investor juga melihat sistem hukum Indonesia mengerikan, karena mereka tahu dalam kondisi saat ini, mereka tidak memiliki jaminan investasi apapun. Lebih buruk lagi, mereka sadar bahwa kalaupun mereka melakukan investasi, ada kemungkinan mereka bisa ditahan karena tuduhan seorang debitor palsu yang mungkin telah menyogok polisi.27
14
Korupsi di Kalangan Militer Menurut sumber-sumber rahasia yang dapat dipercaya, polisi terlibat dalam tiga tingkat korupsi yang terorganisasi. Pertama, terdapat kegiatan perlindungan skala besar. Di sini polisi memberikan perlindungan kepada usaha-usaha yang memberikan pembayaran. Perlindungan itu dapat berupa pengamanan dari polisi lain yang mencari mangsa atau perlindungan dari pungli yang diminta kelompok lain. Bisa juga dalam bentuk menangani masalah buruh. Kedua, ada juga korupsi di tingkat jalanan, pemerasan uang dari warga biasa melalui ancaman penahanan atau surat panggilan. Polisi juga meminta bayaran bila seseorang meminta surat laporan polisi, seperti untuk pencurian mobil. Polisi tahu bahwa pihak asuransi Untuk menjadi polisi membutuhkan laporan polisi sebelum mau membayar tuntutan dibutuhkan pembayaran ganti rugi pencurian, dan mereka dapat menuntut biaya gaji “dua tahun” di muka “membuat arsip” dalam kasus-kasus seperti itu. Sedangkan yang ketiga, korupsi dalam angkatan kepolisian itu sendiri. Untuk menjadi polisi dibutuhkan pembayaran gaji “dua tahun” di muka. Seorang prajurit baru berharap pengeluaran ini bisa tertutup kembali dalam waktu enam bulan kerja. Jabatan-jabatan tingkat yang lebih tinggi dijual, dan posisi-posisi itu menawarkan kesempatan luar biasa untuk meraup keuntungan. Gaji bulanan sebesar Rp 4,5 juta yang diperoleh jenderal polisi tidak bisa menjelaskan rumah-rumah dan armada mobil mewah yang dimiliki beberapa jenderal polisi. Semua ini diorganisasikan dengan baik, dan ada piramida pembayaran dalam departemen kepolisian yang digerakkan oleh petugas-petugas yang berfungsi sebagai tukang kutip, mengumpulkan dan membagikan pembayaran. Karena alasan keberadaan (raison d’être) kepolisian adalah menghasilkan uang dan mengutip pungli, tidak ada niat untuk menjamin keamanan dan ketertiban masyarakat. Rakyat Indonesia sangat paham hal ini dan secara terbuka menyatakan bahwa mereka benci polisi. Rakyat melihat mereka sebagai kekuatan kriminal yang memangsa warga. Pemilik toko dan pedagang, pengendara bis dan bajaj, pemilik klub malam dan diskotek semua harus membayar uang perlindungan kepada polisi. Kalau
15
masih ada yang meremehkan, polisi dapat mengirim preman untuk mengajarkan apa yang akan terjadi jika uang perlindungan tidak dibayar. Surat kabar Jakarta sering melaporkan “kunjungan-kunjungan” oleh kelompok-kelompok misterius dan tak bernama — kunjungan yang kadang-kadang menyebabkan kerusakan harta benda yang sangat besar. Bagaimana dengan TNI? Meski diduga terlibat dalam kebiasaan serupa dengan polisi, tapi kasusnya lebih sulit. Mereka menjalankan banyak usaha, sah dan tidak sah. Kerajaan bisnis militer ini punya alasan: anggaran untuk militer tidak cukup! Pendapatan militer diperoleh dari usaha-usaha dan yayasan-yayasannya, yang tidak masuk dalam catatan anggaran belanja resmi. Tidak ada pengamat luar Ada dugaan, militer membuat yang bisa memperkirakan berapa banyak uang yang diperoleh militer, dan berapa banyak tepatnya yang kerja sama dengan dibagikan. Sebagian besar uang itu tampaknya pengusaha kaya, dan militer diperuntukkan bagi personel militer, dengan para komandannya yang menuntut bagian besar dari uang itu. 28 memberi layanan. Militer juga mempunyai hubungan dekat, tapi tidak jelas, dengan banyak konglomerat Indonesia. Paling tidak beberapa pemilik saham dari banyak perusahaan, dan konglomerat di masa lampau, telah dicurigai turut memberikan dana untuk beberapa operasi gelap militer.29 Militer memang masih membutuhkan dana di luar yang diberikan negara, tapi pengendalian terhadap sumber dana yang amat besar, yang diambil dari sumber legal maupun ilegal dan tanpa pertanggungjawaban itu merupakan korupsi sejenis mafia. Misalnya, terdapat dugaan bahwa militer mendanai kekerasan di kepulauan Maluku. 30 Juga ada dugaan, militer membuat kerja sama luas dengan pengusaha-pengusaha kaya, dan di sini militer memberikan layanan: “tenaga kerja militer dan peralatan yang murah, ancaman dan intimidasi bagi para pesaing bisnis, pengusiran petani kecil dari lahan, serta penyiksaan dan pembunuhan bagi orang-orang yang mengancam sistem.” 31
16
Premanisme, atau penjahat lokal dengan kegiatan mirip mafia merupakan fenomena yang berhubungan. Gerombolan preman menuntut biaya bulanan bisnis untuk menjamin bahwa tidak akan ada “kerusuhan” yang mengganggu operasi-operasi bisnis.
Tentu saja, karena gerombolan preman itu sendiri yang merupakan sumber kerusuhan ini, jaminan ini efektif. Kelompok-kelompok seperti itu juga lazim di pasar-pasar tertentu dan terminal angkutan, memungut kutipan dari pemilik toko, pedagang kaki lima, dan pengendara taksi serta bajaj, sebagai biaya untuk beroperasi di wilayah itu. Satu contoh dari Medan menunjukkan tingkat keseriusan masalah preman. Pada 21 Agustus 2000, sejumlah 17.000 pengendara angkutan lokal melakukan mogok untuk memprotes kegiatan preman. Para pengendara menyatakan bahwa mereka harus membayar para preman sebesar Rp 5.000 setiap hari atau kendaraan mereka dirusak, dan mereka menuntut tindakan aparat kepolisian.32 Aksi-aksi protes seperti ini adalah biasa.33 Tentunya gerombolan-gerombolan preman dapat beroperasi di tempat polisi tidak efektif atau memilih untuk tidak efektif. Juga terdapat bukti bahwa di beberapa tempat, gerombolan preman bersekutu dengan aparat kepolisian,34 dan preman itu juga disewa untuk melakukan demonstrasi dan tindakan-tindakan kekerasan massa.35 Militer terlibat mungkin saja, dan tentunya ada suatu piramida pembayaran. Selain kerugian yang diderita rakyat akibat pungutan liar ini, dan perhatikan, pajak keamanan makin mencekik bagi rakyat miskin, terdapat kerugian-kerugian sosial dan moneter lain yang tak dapat diukur. Hal ini timbul dari kegagalan polisi dan angkatan bersenjata dalam memberikan keamanan, keselamatan, ketertiban, serta pertahanan; bahkan sebaliknya mereka melakukan hal-hal yang seharusnya tidak mereka lakukan. Cerita penuh skandal ini masih ditambah dengan kegiatan-kegiatan gelap yang dilindungi atau dilakukan mereka sendiri: obat bius, prostitusi, judi, penebangan hutan dan penambangan liar, penyelundupan, dan sejenisnya. Di samping kejahatan keji dan biaya sosial yang ditimbulkan, dilihat dari kerugian materi: penebangan dan penambangan liar adalah pencurian langsung kepada negara dan rakyat melalui perusakan alam dan mempercepat kelangkaan sumber daya alam. Penyelundupan barang-barang seperti minyak tanah dan bensin yang disubsidi, ke tempattempat seperti Singapura, sama dengan mencuri subsidi yang ditujukan untuk rakyat jelata. Keterlibatan polisi dan militer dalam penebangan, penambangan liar, dan penyelundupan juga membentuk jaringan korupsi yang lebih besar. Keterlibatan itu mengharuskan militer
17
dan polisi mengeluarkan “biaya tutup mulut” atau “biaya kemudahan” bagi para birokrat, pengawas, dan pejabat setempat, atau melakukan ancaman kekerasan, bahkan kekerasan nyata, bagi yang ikut campur atau mencoba mengungkapkan.
Money Politics? “Politik uang” (money politics) adalah istilah untuk pembelian pilihan politik atau pengaruh politik. Ini masalah di semua negara, bahkan yang paling demokratis sekalipun, dan upaya-upaya reformasi yang ditujukan pada politik uang hanya polesan belaka, belum dapat melenyapkannya. Muncul pertanyaan: Bagian politik uang manakah yang masuk dalam golongan korupsi? Tentu saja ada tingkatannya. Membeli suara legislatif atau membayar untuk memperoleh sebuah jabatan pemerintahan berbeda dengan memberi sumbangan untuk kampanye politik. Meskipun politik uang merupakan masalah yang rumit, politik uang yang “biasa” tidak seharusnya dianggap sebagai korupsi. Politik adalah kekuasaan, termasuk cara memperolehnya dan menggunakannya. Uang dan politik tidak bisa dipisahkan. Yang saya maksudkan dengan politik uang “biasa” adalah penggunaan uang untuk mendukung calon-calon atau partai-partai tertentu. Sedangkan politik uang yang abnormal adalah penggunaan uang untuk membeli suara atau jabatan, transaksi di bawah tangan untuk mengatur keputusan pemerintah, dan sejenisnya.
18
Wa l a u I n d o n e s i a p u n y a b a d a n l e g i s l a t i f y a n g d i p i l i h s e c a r a c u k u p “demokratis”, demokrasi belum benar-benar ada. Dianggap belum ada karena belum dianggap pentingnya suara rakyat, serta tidak dipercayanya para pejabat oleh rakyat. Para pemegang kekuasaan politik mendapatkan kekuasaan itu bukanlah karena menawarkan program-program lalu didukung oleh suara rakyat. Pada tingkat nasional, pemilihan untuk lembaga tinggi tidak langsung, karena rakyat memberikan suara untuk partai dan bukan individu. Ini artinya partaipartai yang mengatur kursi. Jika para pemilih memberikan suara untuk partai dan bukannya individu, siapa pun yang menginginkan kedudukan cukup membayar partai itu untuk memilihnya sebagai pejabat yang dipilih — dan itulah yang
terjadi. Lagi pula tidak ada partai dalam badan legislatif yang memegang mayoritas mutlak, dan setiap pengambilan keputusan membutuhkan pembentukan koalisi, dan koalisi lebih mudah dibangun dengan uang dan bukannya dengan ideologi atau kepentingan bersama. Dengan cara ini, sifat politik uang di Indonesia erat kaitannya dengan sistem pemilihannya, dan “politik uang” memang banyak terjadi. Sebenarnya, jika kita menganggap berbagai petunjuk yang muncul dari waktu ke waktu sebagai referensi, dan tidak menganggap remeh berbagai kecurigaan dan desas desus yang ada, politik Indonesia pada dasarnya merupakan politik uang dari jenis yang paling jelek. Rakyat, jabatan, dan suara, dibeli dan Setiap orang dijual.
mencurigai kuatnya permainan politik di sekitar sapi perah seperti BPPN atau BUMN.
Bagi mereka yang berkuasa dan yang mencari kekuasaan, untuk serius memainkan sebuah permainan kekuasaan politik, akses ke sumber-sumber uang adalah kebutuhan mutlak. Dan mereka yang punya uang akan menggunakannya dengan mahir untuk mempertahankan kepentingannya. Partai-partai politik Indonesia pun mencoba setiap jalan yang dapat mereka pakai untuk memperoleh dana. Setiap orang mencurigai kuatnya permainan politik di sekitar “sapi perah” (cash cow) seperti BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), atau BUMN sebagai indikasi upaya partai-partai mencari sumber uang untuk kegiatan politik sekarang dan mendatang. Sangat lambannya pejabat Indonesia dalam merestrukturisasi utang dan privatisasi, pasti bisa dipercepat dengan politik uang. Ada kecurigaan kuat, sikap pilih kasih pemerintah terhadap tiga debitornya yang terbesar,36 yang diungkapkan melalui pemberian jaminan dan keputusan BPPN yang sungguh manis untuk tidak menjatuhkan hukuman itu, juga merupakan hasil politik uang. Kenyataannya, suatu asumsi lebih jauh menjelaskan banyak perilaku petugas yang misterius, aneh, dan membingungkan.
19
Korupsi di Pemerintah Daerah Jenis-jenis Bandit Saat Mancur Olson membicarakan insentif pemerintah dari pajak atau pencurian aset publik, ia menekankan perbedaan antara bandit yang “menetap” dan bandit “keliling”. Misalnya terjadi situasi anarki di sebuah daerah, para pemenang perang yang melewati daerah itu akan mengambil apapun yang bisa mereka ambil, di mana pun juga. Karena mereka memang mencuri, dan mencuri apa pun yang dapat mereka curi, tidak peduli jika hal itu mengganggu kegiatan produktif yang tengah berlangsung. Ketika kekayaan suatu daerah sudah ludes, mereka cukup Biaya untuk layanan ini pindah ke daerah lain, dan membuka kesempatan untuk menjarah di daerah lainnya. ditentukan oleh komandan
dan para atasan. Kadang aparatlah yang menyulut pertikaian buruh.
Sebaliknya, ketika seorang pendekar perang memenangkan suatu daerah dan menetap di sana, ia mempunyai kepentingan dalam kegiatan produksi daerah itu dan juga hasilnya. Ia dapat mencuri, atau “menarik pajak”, dari orang yang sama secara terus menerus. Karena sumber pendapatannya telah terjamin oleh rakyat, ia bahkan bisa punya keinginan untuk melindungi rakyat dari pemangsa-pemangsa lainnya. Lama kelamaan, tindakan memangsanya ini sendiri dapat berubah bagai sebuah layanan keamanan yang diberikan pemerintah, dan bahkan kebutuhan rakyat dicukupi. Logikanya, ia mendapat persentase dari tiap keuntungan yang dihasilkan wilayah itu, dan jika rakyat menghasilkan keuntungan lebih banyak, ia akan memperoleh persentase yang lebih banyak lagi. Dengan kata lain, kepentingannya dalam meningkatkan kekayaannya seiring dengan kepentingan-kepentingan rakyat dalam meningkatkan kekayaan mereka. Ia mempunyai apa yang disebut Olson sebagai kepentingan “silang”. (Ini sekadar kisah angsa bertelur emas dengan akhir yang kemungkinannya berbeda-beda).
20
Soeharto adalah bandit menetap yang menghasilkan rezim bandit yang juga menetap. Di bawah pemerintah Soeharto, usaha-usaha bisnis yang menjalankan praktek
suap atau membagikan kekayaan mendapatkan kesempatan atau perlindungan sebagai imbalan. Bisnis-bisnis ini memperoleh izin, lahan dan konsesi lingkungan, jaminan investasi, kontrak yang lancar, dan bantuan dalam mengurus masalah perburuhan. Sistem pemerintahan Soeharto yang sangat terpusat tidak mengurangi ketidakpastian dan penghinaan yang dialami para pengusaha yang berusaha menanamkan modal di daerah. Pejabat lokal dari berbagai departemen yang berpusat di ibu kota menguasai berbagai aspek iklim usaha, dari lingkungan sampai ke masalah perburuhan, ke masalah penggunaan lahan dan perpajakan, dengan peraturan yang sering kali didasarkan praktek suap. Aparat polisi dan militer juga aktif mengontrol masalah buruh, tentu ini ada harganya. Biaya untuk layanan ini ditentukan oleh komandan-komandan dan para atasan tempat mereka berbakti. Kadang-kadang aparatlah yang menyulut pertikaian buruh. Perusahaan yang tidak punya koneksi bagus di Jakarta akan menderita disulitkan oleh praktek-praktek ilegal ini. Upeti-upeti ini mengalir ke birokrat-birokrat setempat (wakil-wakil pemerintah pusat), dan bukannya kepada para politisi setempat. Dorongan Jakarta terhadap penanaman modal swasta didasari pada kepentingan pusat dalam meningkatkan keuntungannya sejalan dengan peningkatan aliran modal swasta ke provinsi.37 Dengan kepergian Soeharto, pemerintahan bandit “menetap” telah pergi, dan wilayah itu terbuka untuk bandit-bandit keliling. Dengan desentralisasi fiskal dan birokrasi pemerintahan, kekuasaan telah mengalir ke daerah dan kabupaten. Ini membuka kesempatan lebih besar untuk korupsi lokal melalui kegiatan pemerintahan. Kebebasan bandit-bandit “keliling” dan mental “sekarang giliran kami” juga mendorong tindakan memangsa dan korupsi. Politik demokrasi semu, munculnya partai-partai politik dari kendali pemerintahan yang sebelumnya diatur dengan keras, dan munculnya kebijakan desentralisasi, telah menciptakan kompetisi lokal dalam pengaruh dan kekuasaan. “(Proses-proses ini) telah mempolitisasi semua aspek operasi bisnis. Perusahaan-perusahaan sekarang harus lebih banyak melakukan pembayaran di bawah meja untuk politisi yang makin banyak
21
jenisnya...”38 Dengan adanya desentralisasi, ketergantungan dunia bisnis pada izin-izin, peraturan dan kontrak-kontrak pemerintah setempat, sekarang telah beralih “dengan membagi-bagikan uang mereka ke partai-partai yang berbeda di sekitar mereka, atau jika tidak, mereka bergabung dengan satu partai atau partai yang lain di dewan perwakilan daerah. Ini menjadikan para pengusaha ada di mana-mana: di bidang pembangunan perumahan, konstruksi, dan berbagai tindakan kriminal...” 39
Mengapa Korupsi Sulit Dihentikan: Berbagai Masalah Kolektif Korupsi semakin merajalela. Hal ini telah menciptakan masalah kolektif. Pertama masalah penggunaan sumber-sumber secara berlebihan, yang kedua: masalah aji mumpung. Ketika setiap orang dapat menggunakan sumber daya secara bebas, sumber tersebut akan digunakan secara berlebihan. Pengguna perorangan, yang persentasenya secara keseluruhan mungkin kecil, tidak melihat itu secara kumulatif. Padahal, jika semua menggunakan sumber seperti yang ia lakukan, lahan milik umum akan penuh sesak — dirumputi secara berlebihan jika tempat itu merupakan lahan peternakan sapi, dipancing secara berlebihan jika tempat itu merupakan lahan perikanan, digunduli jika tempat itu adalah hutan. Sudah jelas terlihat, ada lahan untuk korupsi. Lahan yang isinya uang rakyat, mayoritas masyarakat kelas miskin, dan sumber-sumber alam negeri ini, yang semuanya dieksploitasi habis-habisan. Ini tentu bisa berarti hancurnya kekayaan bersama. Krisis keuangan dan kemerosotan ekonomi yang tajam di Indonesia pada tahun 1998 merupakan buktinya. Dengan cara-cara korup, sebagian besar bank di Indonesia menguras kredit likuiditas bank, yang secara bebas diberikan oleh Bank Indonesia untuk meringankan krisis. Bersama dengan faktor lainnya, ini menyebabkan jatuhnya sistem perbankan Indonesia, bencana yang belum pulih sampai sekarang.
22
Korupsi juga menimbulkan masalah penumpang gelap. Selain dari dana yang telah berpindah tangan, terdapat biaya-biaya korupsi yang dibayar satu pihak, tapi orangorang yang memperoleh keuntungan bukanlah mereka yang membayar. Dalam kasus normal korupsi tingkat tinggi — kontrak jauh menggelembung, uang mengalir dari
perusahaan-perusahaan milik negara — rakyatlah yang membayar biaya ekstra itu dalam bentuk kerugian, pengalihan dana atau melalui pajak yang lebih tinggi. Tak ada yang menderita kerugian dengan cara yang jelas dan langsung, dan kerugian-kerugian kecil yang dapat dialokasikan pada setiap orang itu tidak cukup jadi alasan kuat bagi banyak orang untuk bersatu dan melawan. Dalam kasus korupsi kelas jalanan, orang-orang yang menjadi korban membayar langsung dan terpaksa menjalani tingkat kehidupan yang lebih rendah dengan pajak yang semakin tinggi.40 Tapi korupsi kelas ini mencari korban lapisan masyarakat yang hanya bisa diam menderita, dan tidak bisa melawan secara terorganisasi.
Program anti-korupsi
Ada juga biaya-biaya yang besar, tapi tidak berwujud atau untuk kebaikan bersama, tidak bisa dihitung — seperti kehilangan wewenang dan legitimasi pemerintahan, tidak adanya kekuatan hukum, salah tapi soal pilihan kolektif menempatkan orang, dan pelecehan terhadap warga negara. menyulitkan pencegahan Orang-orang yang terlibat dalam korupsi, tentunya, memperoleh korupsi. jauh lebih banyak daripada “jatah” kerugian mereka, dan untuk praktisnya, anggap saja kerugian mereka sudah ditanggung orang lain. Dalam kasus seperti ini, korupsi seperti polusi lingkungan, aktor-aktor perorangan tidak merasa ikut rugi dan tidak mempertimbangkan faktor-faktor eksternal dari tindakan mereka. Program anti-korupsi memang untuk kebaikan bersama, tapi masalah pilihan kolektif ini membuat tugas mencegah korupsi jadi sangat sulit. Sedikit orang yang mengambil keuntungan ini yang melihat kesalahan dalam perilaku mereka, kesalahan tersebut — terlepas dari kerugian finansial langsung saat itu juga — tersebar, kadangkadang tidak jelas, dan sering kali sulit diukur. Untuk melakukan perbaikan butuh komitmen kuat dari pemerintah dan memerlukan konsensus sosial yang luas. Ini tidak bisa muncul secara alami. “Dalam kelompok yang benar-benar besar, seorang individu hanya menerima keuntungan yang sangat kecil dari tindakan yang diambilnya untuk kepentingan kelompok. Bagian yang sangat kecil ini tidak cukup memotivasi individu dalam kelompok besar untuk secara
23
sukarela melakukan hal yang sejalan dengan kepentingan kelompok itu.” 41 Sebaliknya, jauh lebih mudah bagi kelompok-kelompok kecil untuk mengkoordinasi kegiatankegiatan di antara anggotanya. Tidak hanya masalah komunikasi yang jadi lebih mudah, tapi keberhasilan kelompok bisa lebih besar didapat tiap anggotanya. Orang-orang korup membentuk kelompok kecil seperti ini. Sebagai anggota berbagai jaringan, para koruptor ini jauh lebih efektif dalam mencapai tujuan-tujuan korupnya dibanding masyarakat umum atau korban korupsi lain yang tidak ada hubungan. Karena bagian keuntungan perorangan dari suatu tindakan kolektif sangat kecil, tindakan kolektif sukarela hampir selalu gagal dalam kelompok-kelompok besar. Sedangkan, tindakan kolektif dari kelompok-kelompok kecil lebih berhasil dan menjanjikan keuntungan besar, khususnya dalam menyelamatkan diri dari upaya anti-korupsi. Bisa ditambahkan satu alasan penting lain kenapa korban-korban korupsi Indonesia gagal bertindak. TNI, polisi, pejabat pemerintah, kehakiman, dan preman memaksakan korupsi struktural berjalan di Indonesia. Secara langsung atau tidak langsung, melalui ancaman, kekerasan, suap, menutupi kejahatan, semua ramairamai melindungi sistem tempat mereka memperoleh nafkah ini.
Hanya Indonesia sendiri yang dapat mengatasi korupsi dalam sistem ekonomi, politik, dan sosial mereka.
Mengatasi Korupsi di Indonesia
24
Korupsi dalam skala konteks di Indonesia sangat mahal bagi negara dan membebani masyarakat. Terdapat kerugian efisiensi ekonomi yang sangat besar, dan biaya-biaya yang sangat mahal yang timbul dari pengalokasian sumber daya yang salah. Terdapat tambahan biaya-biaya daya saing, karena korupsi adalah alasan paling utama bagi timbulnya ekonomi biaya transaksi yang terkenal tinggi di Indonesia. Juga ada biaya kehilangan kesempatan yang tinggi dari semua penanam modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, yang kemudian menarik kembali atau meninggalkan penanaman modal di Indonesia karena korupsi dan hal-hal yang berkaitan dengan itu. Ada biaya yang sangat besar yang mustahil diukur untuk kesejahteraan individu dan masyarakat, dan kerugian dalam kepemilikian barang-barang milik publik.
Hanya Indonesia sendiri yang dapat mengatasi korupsi dalam sistem ekonomi, politik, dan sosial mereka. Saat ini, kecuali untuk beberapa LSM dan tuntutan masyarakat yang terbatas, mengakhiri korupsi bukan benar-benar merupakan masalah prioritas di Indonesia. Di samping masalah-masalah pilihan kolektif yang serius, kurangnya kejelasan dalam kampanye anti-korupsi, dan sejauh mana hasil yang akan dapat dicapai, mungkin merupakan suatu alasan kurangnya penanganan korupsi di sini. Bahkan para pendosa yang telah berhasil direformasi dan masuk penjara pun, betapapun penuh penyesalan, kurang peduli pada hilangnya kekayaan dan reputasi mereka. Kepentingan kuat kekuasaan dan jaringan ahli waris korupsi yang memperoleh keuntungan dari status quo terus menggagalkan usaha-usaha anti korupsi. Sementara para pengacara anti-korupsi telah membuat kasus moral dalam melawan korupsi — di tengah ketidakseriusan orang Indonesia untuk memeriksa secara mendalam dan menjelaskan ekonomi korupsi — para pengacara pun tidak mengungkapkan biayabiaya sosial dan politik dari korupsi dengan cara yang cermat dan meyakinkan. Lagi pula, kajian-kajian korupsi tidak cukup terfokus pada akibat-akibat korupsi yang berlanjut di masa mendatang, kerugian dan biaya antar generasi: kerusakan pada rakyat Indonesia, penjarahan sumber daya alam, kerugian dan dampaknya pada kerusakan lingkungan. Ekonomi korupsi mahal yang berjalan saat ini juga merupakan ekonomi pemborosan yang menghancurkan banyak penghidupan di hari esok. Hanya orang-orang Indonesia yang dapat mengatasi korupsi di Indonesia. Mereka akan melakukannya bila dibujuk bahwa mereka harus melakukannya. Beberapa studi yang memaparkan secara terinci sistem, jaringan, dan biaya sosial dan ekonomi korupsi merupakan sarana utama dalam kampanye anti-korupsi. Sebagaimana ditulis Budha, kemauan menyertai pengetahuan. Bagaimanapun studi dan bujukan tidak harus dilakukan. Sikap mental yang berpengaruh baru-baru ini tentang korupsi, memandang korupsi sebagai masalah pemerintah. 42 Memang, program pemerintah yang baik merupakan sebagian resep donor untuk Indonesia. 43 Program itu membutuhkan perbaikan-perbaikan besar,
25
meliputi kompetisi dalam ekonomi melalui demonopolisasi dan deregulasi, mempromosikan pertanggungjawaban kepemimpinan politik melalui pengungkapan publik dan peraturan-peraturan yang transparan. Juga harus diciptakan sistem administrasi publik yang berorientasi pelayanan, transparansi dan pertanggungjawaban dalam manajemen pembelanjaan, serta meningkatkan kekuatan hukum. Walau banyak pihak akan setuju bahwa hal-hal ini merupakan perubahan yang sempurna dan penting, tapi hal-hal tersebut juga kontroversial karena mengabaikan realita politik. Beberapa kritikus melihat pihak-pihak yang memperjuangkan program pemerintahan yang baik, terutama Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, membawa masuk pandangan-pandangan dunia yang tidak cocok dengan kebutuhan dan kenyataan pada negara-negara berkembang. Misalnya, mereka menyatakan bahwa paradigma baru untuk donor-donor pembangunan ialah untuk peningkatan kemampuan pengaturan di negara itu. Ini artinya negara itu tidak perlu berusaha menjalankan ekonominya sendiri, tapi hanya perlu menciptakan lembaga-lembaga yang akan mengatur pengoperasian pasar. Konstitusionalisme ekonomi... mengacu pada upaya memperlakukan pasar sebagai urutan konstitusi yang memiliki peraturan, prosedur, dan lembaga sendiri. Konstitusi ini berjalan untuk melindungi aturan pasar dari interferensi politik. Meskipun demikian, bentuk-bentuk konstitusionalisme ekonomi ini menuntut konstruksi jenis organisasi dan struktur negara yang spesifik: negara pengaturan, yang bertujuan untuk melindungi aturan pasar.44 Jayasuriya mengkritik paradigma baru yang berusaha mengisolasi pasar dari politik. Dalam buku ini pula, Dick sependapat. 45 Keduanya percaya bahwa tidak mungkin memisahkan pasar atau reformasi ekonomi dari konstelasi kekuasaan yang ada dan kepentingan-kepentingan yang membentuk politik.
26
Supaya sukses, reformasi ekonomi memerlukan dukungan politik dari sekelompok aktor yang signifikan. Reformasi menghantam jantung kepentingan politik dan ekonomi sampai ke akar-akarnya; oleh karena itu, supaya sukses, program reformasi ekonomi harus menggembleng pendukung politik mereka sendiri. Dari perspektif ini, reformasi ekonomi bukan hanya sekadar latihan teknis untuk
menerapkan kebijakan-kebijakan yang “benar”, tapi sebuah proyek politik yang dilakukan oleh para pemenang proses reformasi. Untuk alasan ini, transformasi pasar kemungkinan menjadi suatu proses yang sangat diperjuangkan dan lama. 46 Korupsi di Indonesia pada hakikatnya memang masalah pemerintah karena korupsi Indonesia memang selalu mesra dengan pemerintah Indonesia. Memang benar, seperti dikatakan oleh para kritikus paradigma pemerintah bahwa Anda tidak dapat memisahkan politik pasar dan Saat ini, politik uang serta ekonomi dari politik. Tapi kadang-kadang, suatu hal mampu membuat politik reformasi berhasil melawan cara-cara korup dalam korupsi secara serius. Sejarah punya bukti, negara-negara mencari nafkah menguasai dapat tumbuh menjauh dari korupsi yang sudah lingkungan Indonesia. tersistematisasi. Amerika Serikat bisa melakukannya selama 50 tahun, kira-kira antara tahun 1870 dan 1920. Semua benda yang berkembang, berkembang karena keragaman dan karena “tekanan pilihan” — ini istilah para teoretisi. Lingkungan tempat hidup suatu mahluk, yang meliputi mahluk-mahluk lain yang memangsanya dan mahluk-mahluk lainnya lagi yang menjadi mangsanya, memilih variasi tertentu. Tentunya tidak dengan sengaja. Tapi memang begitu caranya. Rayap yang kebetulan mempunyai kamuflase yang lebih baik, yang tampak seperti batang pohon ketika rayap itu hinggap di pohon, akan lebih mungkin berkembang biak dan menghindar dari burung-burung pemangsa. Rayap-rayap ini akan berhasil berkembang biak, dibanding dengan yang lain, bahkan dari spesies yang sama. Dan selama pohon-pohon tempat mereka bersembunyi tetap sama, dan selama pemangsanya tidak mengembangkan detektornya secara lebih baik, rayap-rayap itu akan tetap hidup dan menjadi makmur. Saat ini, politik uang dan semua yang diakibatkannya dalam pengertian terburuk, serta cara-cara korup dalam mencari nafkah, menguasai lingkungan Indonesia. Tampaknya untuk yang ingin bertahan hidup dalam lingkungan ini perlu melakukan permainan politik dengan sungguh serius, bagai pentas gladiator, dan
27
uang merupakan senjata utamanya. Di luar permainan politik, mereka yang mau bertahan hidup perlu melakukan apa pun untuk menjalani kehidupan serta melindunginya, dan korupsi menjadi cara yang bisa diterima. Jika pengamatan ini benar, merupakan kesalahan untuk memandang paradigma “pemerintah yang baik” sebagai suatu upaya melepaskan diri dari politik. Korupsi Indonesia merupakan masalah kepemerintahan, dan kita tidak bisa menangani korupsi yang besar atau kecil serta semua bentuk variannya, tanpa melibatkan politik dan aktoraktornya. Jika dalam meningkatkan paradigma pemerintahan yang baik, para donor berpikir bahwa mereka dapat menghindarkan diri dari politik, atau mengisolasi dunia ekonomi dari politik, mereka jelas salah. Kita harap mereka tidak berpegang pada pandangan ini. Kegagalan para donor adalah ketidaksabaran, kerangka waktu yang pendek dan ketidakmampuan untuk terus bertahan sampai selesai. Tuntutan donor akan pemerintahan yang baik, melalui nota-nota kesepakatan, tinjauan-tinjauan ulang, pemberian atau penahanan surat berharga tergantung pada dipenuhinya janji, telah menciptakan “tekanan pilihan” yang sangat besar di Indonesia. Tuntutan-tuntutan donor itu secara perlahan akan mengubahnya. Para donor mengatakan: lakukan ini. Indonesia lalu setuju untuk melakukannya agar mendapatkan uang donor. Indonesia tidak memenuhi janjinya, dan para donor berkata: baiklah, Anda tidak memperoleh uang itu. Lalu Indonesia kembali pada janji-janji reformasi dan tugastugasnya, dan akhirnya patuh, jarang menyelesaikannya, tetapi cukup untuk memperoleh surat berharga itu kembali.
28
Tujuan cerita di atas adalah: ada pergerakan ke arah yang benar. Mungkin tidak ada perubahan yang mencengangkan, tidak ada baptisan massal dalam kepercayaan anti korupsi, tapi ada perubahan yang tidak bisa didapat dengan cara lain. Melalui tekanan pilihan yang terus berlanjut, dengan perubahan yang diujikan terhadap para pemain, keterlibatan donor merupakan bagian dari politik ini. Silakan saja Indonesia menjalankan politiknya dengan cara yang diinginkan, tetapi jika Indonesia menganggap penting uang yang dibutuhkan dan persetujuan para donor, dengan beberapa syarat Indonesia akan berubah dan berkembang ke arah yang diinginkan oleh donor.
Kita juga harus ingat bahwa ada kekuatan reformis di Indonesia, baik di luar maupun di dalam pemerintahan, dan mereka merupakan bagian dari perkembangan politik Indonesia. Persyaratan, anjuran, dan gagasan pemerintahan yang baik, donor menyokongnya dan membantunya untuk memperoleh keuntungan-keuntungan yang tidak bisa diperoleh melalui jalan lain. Pembasmian korupsi di Indonesia, yang hanya dapat dilakukan oleh rakyat Indonesia, kemungkinan butuh waktu lama, barangkali paling tidak satu generasi.47 Kekuatiran yang muncul adalah bukan soal paradigma atau program pemerintahan yang baik, tetapi kelelahan donor, menyerah setelah beberapa tahun melakukan upaya-upaya yang lambat atau terhalang. Permainannya adalah tekanan pilihan, tekanan pilihan yang konsisten dan terus menerus selama jangka waktu yang panjang, dan bukannya perintah-perintah untuk memisahkan ekonomi dari politik. Politik Indonesia sekarang harus memperhitungkan apa yang donor bersedia lakukan. Dan juga harus memperhitungkan tekanan pilihan apa pun yang muncul akibat globalisasi. Tekanan pilihan dari globalisasi ini memang sangat besar. Dalam jangka panjang, Indonesia akan belajar dan berkembang lalu menentang korupsi yang secara serius telah menghancurkan ekonomi dan politiknya, menghalangi pembangunannya, dan mengorbankan rakyatnya. Jagalah keyakinan itu.
Catatan Kautilya, The Arthashastra, dikutip dari World Bank, The Quality of Growth, 135 (Oxford University Press, 2000). 1
Wapres Indonesia yang pertama, Mohammad Hatta, sudah lama melontarkan hal ini dan sering kali dikutip. Belum lama ini, T. Mulya Lubis, seorang reformis dan ahli hukum terkemuka, mengatakan hal yang sama dalam sebuah pidato di Washington, D.C. di hadapan masyarakat AmerikaIndonesia. USINDO Brief,
[email protected], 18 Januari 2001. 2
Interpretasi baru mengenai pencarian hukum memerangi korupsi, Jakarta Post, 30 Januari 2001, h. 2, kol. 8. 3
29
Pendidikan memang bisa mengajarkan aturan-aturan pada masyarakat, tapi pengetahuan yang didapat ini bisa segera luntur oleh pemahaman kontekstual yang didapat orang dari teman-teman, dari orang-orang lain di dekatnya, dalam menjalani hidup di dunia ini. 4
Kolusi merupakan kerja sama mencari untung dalam arti negatif. Kolusi ini bukan hal baru, seperti telah diamati oleh Adam Smith dua abad lalu: “Orang yang memiliki keterampilan yang sama jarang berkumpul, bahkan untuk bersenang-senang, tapi jika bertemu, selalu berakhir dengan persekongkolan melawan masyarakat.” Untuk nepotisme, penjelasannya begini: teori-teori evolusi akan gen egois dan seleksi keturunan memberi dasar biologis dan evolusi untuk tindakan mementingkan diri sendiri. Sebenarnya, seseorang hanya perlu melihat perilakunya sendiri untuk membayangkan bagaimana alaminya nepotisme itu. Jika harus membuat pilihan antara saudara dengan orang-asing, kebanyakan akan memilih saudara. Satu contoh bisa membuktikan hal ini. Pada tahun 1997, di Amerika Serikat, dari 4.000 donor ginjal, hanya satu yang memberikan ginjal kepada orang yang bukan saudara. Burnham, Terry & Phelan, Jay, Mean Genes, h. 204 (2000). 5
Para Raja mengakui monopoli atau pemberian hak istimewa agar mendapatkan pajak atau memberi jasa “mencapai klimaks selagi Elizabeth berkuasa. Sebuah daftar dana bantuannya mencakup paten yang memberikan hak-hak tunggal untuk menjual atau menghasilkan kismis, garam, besi, mesiu, kartu, kulit anak sapi, feels, ouldavies, tulang sapi kering, minyak kereta, beragam baju, kalium karbonat, adas manis, cuka, batu bara, botol, timbal, accidences, minyak, batu kalamina, lemak, kacamata, kertas, kanji, timah, sulfur, bahan gorden, sejenis ikan haring kering, bir, tanduk, kulit, benang rajut, wol Spanyol impor, dan ordonansi pengangkutan besi.” Miller, The Case of the Monopolies, 6 Mich. L. Rev. 1, 2 (1907). 6
7
Quality of Growth, supra, n. 1, h. 151.
Parasit mikro adalah parasit yang menjangkiti semut. Semut memakan larva parasit ini, yang kemudian membuat jalan menuju ke saraf dasar semut. Dari sana, dengan cara tertentu parasit memaksa semut memanjat tangkai rumput. Ternak pemamah biak rumput memamah semut berikut parasit tadi, yang lalu pindah ke tahap berikutnya dalam siklus hidupnya di dalam usus hewan tersebut. 8
30
9
Ini contohnya: di Medan, truk-truk yang mempunyai stiker dari suatu yayasan militer
secara rutin melewati titik-titik pemeriksaan, dan ditariklah uang dari pengemudi truk yang tidak menempelkan stiker. Pernah terjadi, para pengemudi truk yang hilir-mudik lewat jalan Banda Aceh mogok untuk memprotes pungutan liar yang diminta pada tiap titik antara sepuluh sampai lima belas titik pemeriksaan yang berlainan. Salah satu pengemudi mengatakan: “Kami kesal dengan pungutan yang diminta buaya darat di sepanjang jalan. Setiap hari kami harus mengeluarkan jutaan rupiah untuk kutipan-kutipan ini.” “Truck drivers strike against extortion”, The Jakarta Post, Sabtu, Feb. 2, 2001, h.2, kol. 4. Anzis Kleden. “Illegal miners, transient merchants thrive amid extortion culture”, Indonesian Observer, 25 November 2000. 10
11
Id.
12
Quality of Growth, supra, n. 1, h. 145.
13
Mauro, Paolo, Why Worry About Corruption, 6-7 (1997).
Backman, Michael, Asian Eclipse: Exposing the Dark Side of Business in Asia, 31 (John Wiley & Sons, 1999). 14
15
Nury Vittachi, “Travellers’ Tales”, Far Eastern Economic Review 96 (7 Des. 2000).
Tetapi jika tidak ada jembatan penimbangan pada rute yang telah direncanakan, para pengemudi akan mengurangi muatannya. Meskipun mereka jarang melakukannya. Untuk satu provinsi dengan penduduk yang relatif sedikit, provinsi Sulawesi Selatan misalnya, memiliki banyak pos penimbangan. Contohnya, dari jalan Kabupaten Luwu Utara, di bagian utara provinsi, sampai Makassar, ibu kota provinsi di bagian selatan, ada 6 pos penimbangan. Termasuk dua pos yang berjarak kurang dari 25 km satu sama lain (yaitu di kota Datae, Kabupaten Sidrap dan di Lumpue, dekat pelabuhan Pare-Pare). Besarnya pembayaran untuk tiap truk yang lewat antara Rp 5.000-20.000, tergantung pada jumlah kelebihan berat. Kanwil Departemen Perhubungan menetapkan kapasitas berat truk maksimum, dengan cara yang justru memastikan bahwa semua kendaraan angkutan produksi bermuatan lebih. Contohnya, kendaraan roda enam dengan kapasitas 6-7 ton mempunyai batasan 4 ton, kendaraan berkapasitas 12-13 ton mempunyai batasan 8 ton. Para pengemudi menuntut, batasan di bawah ketentuan maksimum yang selayaknya dari tiap truk itu adalah peraturan yang sangat tidak ekonomis. Tentu saja mereka kemudian tidak mau mematuhi batas-batas yang ditetapkan. Menurut peraturan, setiap 16
31
angkutan kendaraan yang ditemukan bermuatan lebih di satu pos penimbangan, seharusnya muatan itu dibongkar. Hal ini tidak pernah terjadi. Pengemudi tahu meskipun melanggar batas muat, mereka tinggal bayar untuk menghindari panggilan denda ke pengadilan, dan tetap bisa melanjutkan perjalanan. Contohnya, dari wilayah produksi beras Kabupaten Sidrap ke kota pelabuhan Pare-Pare (kurang lebih satu jam perjalanan darat) biasanya ada 2 pos polisi yang harus dibayar. Pembayaran selanjutnya diwajibkan polisi ketika memasuki kawasan pelabuhan Pare-Pare. Setiap pos mewajibkan pembayaran antara Rp 3.000-Rp 5.000 (meskipun beberapa pengemudi mengeluh bahwa mereka sering diminta membayar lebih besar). Dari Kabupaten Sidrap ke ibu kota Provinsi Makassar, kurang-lebih perjalanan selama 4 jam ke selatan, ada tujuh pos polisi dan tiga jembatan penimbangan. Pengemudi dan pedagang yang mengangkut hewan dari Kabupaten Bone (di pantai timur semenanjung) ke Makassar telah melaporkan bahwa 5 jam perjalanannya mungkin memerlukan pembayaran untuk sekitar 20 pungutan liar. Para pedagang sudah menghitung tambahan biaya ini, lalu menambahkan besarnya tarif kerugian dari pungutanpungutan liar ini untuk dibebankan ke para petani dalam bentuk penawaran harga produksi pertanian yang rendah. Perjalanan lapangan ke Sulawesi Selatan, April 2000: David Ray dan Rahim Darma, lihat Ray and Darma (2000). File laporan ada di “Partnership for Economic Growth Central Office, Jakarta”, Indonesia. 17
18
Dikutip dari Schwarz, Adam, A Nation in Waiting 316 (1999).
Gatra, 36/V, 24 Juli 1999. Pemerintah Indonesia tidak lama kemudian merevisi angkaangkanya. 19
20
www.suarapembaruan.com/News/1999/10/111099/Headline/h103/h103.html.
Pemaparan lengkap dan kronologi skandal Bank Bali bisa dibaca di : http:// www.tempo.co.id/harian/fokus/16/2,1,4,id.html. 21
Bagan aliran dana bbscandal_1f_fundsflows.asp 22
Bali
di:
http://www.thejakartapost.com/
“Di sisi lain, praktek korupsi yang menjadi penyebab ambruknya perekonomian hingga saat ini tidak ada yang diusut secara tuntas. Bahkan, praktek korupsi itu kembali terulang dalam pemerintahan Gus Dur dalam skala dan kualitas yang makin tersistem. ‘Kroniisme kini 23
32
Bank
merebak di seluruh jajaran kabinet. Dan kantor kepresidenan agaknya mulai berubah menjadi bursa KKN,’ tandasnya.” http://www.suarapembaruan.com/News/2000/10/23/Utama/ut01/ ut01.html. Politik Uang di DPR Makin Marak, http://www.hukumonline.com/ cetak_artikel.asp?code=1733&artikel=berita. Ruler’s Law, “The Report of the International Commission of Jurists Mission to Indonesia” 24 (April 1999); T. Mulya Lubis, “The Rechstaat and Human Rights” dalam T. Lindsey (ed.), Indonesia, Law and Society 181 (Federation Press, 1999). 24
“Transforming The Legal System: From Rulers’ law to Rule-of-law”, Van Zorge Report on Indonesia, Vol. I, No. 28, h. 4. 25
Sekurang-kurangnya dalam dua kasus, kreditur ..... muncul dalam prosiding berisi daftar orang-orang Indonesia yang pailit untuk menggagalkan tuntutan kreditor yang sah. 26
“Indonesian Stake Leads to Legal Mess for Canadian Insurer”, Wall Street Journal, 6 Desember 2000. 27
28
“Indonesia’s Army: Friend or Foe?”, Van Zorge Report on Indonesia, Vol. II, No. 16, h. 7.
Aditjondro, George, “Financing Human Rights Abuses in Indonesia”, http:// www.koteka.net.part2.htm. 29
30
“Indonesia’s Army”, supra, n. 28. id.
31
Id.
32 “ 33
17.000 Armada Angkot di Medan Mogok Total”, Kompas, 22 Agustus 2000.
“Tanah Abang. ‘Emang Abang yang Punye’?”, Kompas, 29 Juni 2000.
“Pemicu Bentrokan Preman di Blok M Diduga Oknum Polisi dan TNI”, Kompas, 15 November 2000; “Pungutan Preman Palembang Mengganas”, Kompas, 8 Februari 2000. 34
35
“Political Gangster”, 53 Inside Indonesia. (Jan.-March, 1998)
“Pada tanggal 2 Oktober 2000, Komisi Kebijaksanaan Sektor Keuangan menyetujui perjanjian restrukturisasi hutang besar-besaran antara BPPN dan lima obligor yang paling top, yaitu: Texmaco Group (US$ 2,1 miliar), Tirtamas Majutama (US$ 596 juta), PT Kiani Kertas (US$ 275 juta), Sinar Mas Group (Rp 1,2 triliun), dan Banten Java Persada (Rp 1,4 triliun, kompensasi 36
33
atas pengembalian aset). Meskipun beberapa analis melihat perjanjian ini sebagai hal terbaik yang bisa diharapkan oleh pemerintah, pihak lain mengkritiknya sebagai uang jaminan mahal yang berisiko tinggi bagi pemerintah. Kesepakatan dengan Texmaco dan Tirtamas sangat kontroversial, karena nama baik pemerintah dipertaruhkan lewat dua holding company ini dan besarnya jumlah uang dalam perjanjian tersebut. Menurut laporan pers, perwakilan IMF dan Bank Dunia menulis kepada Pemerintah segera setelah perjanjian itu diumumkan, meminta agar perjanjian itu ditinjau kembali. Tetapi, mantan Menteri Koordinasi Ekuin Rizal Ramli, dengan keras mempertahankan perjanjian itu.” Kedutaan Besar Amerika Serikat, Jakarta, Indonesia, “Recent Economic Reports: Economic and Financial Highlights” — Oktober-November 2000. 37
“Oxford Analytica Asia Pacific Brief”, Desember, 2000; salinan file pada penulis.
38
Id.
39
Id.
“Keluarga miskin di Ekuador membelanjakan penghasilan mereka tiga kali lebih banyak dalam penyuapan untuk mendapatkan jasa publik dibandingkan dengan keluarga dengan penghasilan lebih besar ....” Quality of Growth, supra, n. 1, h. 146. 40
41
Olson, Mancur, Power and Prosperity 77 (2000).
Quality of Growth, supra, n. 1, h. 135-168; Asian Development Bank, “Good Governance and AntiCorruption: the Road Forward for Indonesia”, makalah disajikan pada The Eight Meeting pada The Consultative Group on Indonesia (Paris, 27-28 Juli 1999). 42
43
Quality of Growth, supra, n. 1, h. 152-159.
Jayasuriya, Kanishka, Governance, Post Washington Consensus and The New Anti Politics. 44
[Teoritisi dan pembuat keputusan pembangunan] tetap berpendapat ... bahwa perkembangan lembaga dan ekonomi akan maju tanpa politik (yang kotor dan kacau). Dick, Howard, Corruption and Good Governance, the New Frontier in Social Engineering. 45
34
46
Id.
47
Walaupun terbukti bahwa untuk beberapa negara, seperti Singapura dan Hong Kong.
mereka berhasil mengatasi persoalan korupsi dalam jangka waktu relatif singkat. Namun kondisi kedua negara tersebut sangat berbeda, yaitu sistem kekuasaan yang kuat dan terpusat, serta daerah jurisdiksi yang kecil dan non-demokratis. Kondisi ini tidak ada di Indonesia.
Kepustakaan Asian Development Bank, Good Governance and Anticorruption: The Road Forward for Indonesia, 1999. Backman, Michael, Asian Eclipse: Exposing the Dark Side of Business in Asia. John Wiley & Sons, 1999. Burnham, Terry & Phelan, Jay, Mean Genes. Perseus Publishing, 2000. Delhaise, Phillipe F., Asia in Crisis: The Implosion of the Banking and Finance Systems. John Wiley & Sons (Asia), 1998. Mauro, Paolo, Why Worry About Corruption. International Monetary Fund, 1997. Olson, Mancur, Power and Prosperity. Basic Books, 2000. Pope, Jeremy, ed., The TI Source Book. 3rd ed., 1999. Schwarz, Adam, A Nation in Waiting. Allen & Unwin, 1999. World Bank, The Quality of Growth, Oxford University Press, 2000. World Bank, World Development Report 2000/2001/, Oxford University Press, 2001.
35
36
Anti Korupsi dan Lembaga Swadaya Masyarakat Oleh Tim Lindsey
Pendahuluan Tampaknya saja “semua orang sudah tahu apa itu LSM”, tapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Steiner dan Alston (2000: 938) mendefinisikan LSM secara umum sebagai: ...para pelaku nonpemerintah yang aktivitasnya merupakan bagian dari apa yang sekarang sering disebut “civil society” atau masyarakat madani, “jaringan advokasi antarnegara” serta “gerakan-gerakan sosial”. Sebelum tembok Berlin runtuh, konsep masyarakat madani ini hanya suatu benda yang sedikit lebih penting dari sebuah subjudul dalam alur sejarah gagasan-gagasan.... Kini, istilah ini ada di mana-mana, walaupun definisinya sendiri masih diperdebatkan. Menurut Cohen dan Arato (1992: ix), pelaku-pelaku langsung kekuasaan negara serta produksi ekonomi tidak termasuk dalam masyarakat madani. 1 Mereka mengatakan: ...area interaksi sosial antara ekonomi dan negara, yang terutama terdiri dari lingkungan intim (tentu di dalamnya: keluarga), area kelompok/ikatan (khususnya kelompok sukarela), gerakan-gerakan sosial, serta berbagai bentuk komunikasi publik, termasuk dalam masyarakat madani itu. 2
37
Organisasi-organisasi yang membentuk masyarakat madani itu amat beragam, dan terminologinya sama beragamnya dan sering kali membingungkan. 3 Ada LSM, INGO (LSM Internasional), CSO (civil society organisations, organisasi-organisasi masyarakat madani), CBO (community based organisations, organisasi yang berbasis komunitas), PVO (private voluntary organisations, organisasi swasta sukarela), QUANGO (LSM quasiautonomous, LSM dengan otonomi semu), GONGO (government organised NGO, LSM bentukan pemerintah), BINGO (business and industry NGO, LSM bisnis dan industri), DONGO (donor organised NGO, LSM yang dibentuk donatur), dan DNGDO (domestic nongovernmental development organisations, LSM pembangunan dalam negeri nonpemerintah). Untuk tulisan ini, istilah LSM dipakai dalam arti luas, seperti yang dipakai dalam pasal 71 Piagam 5 PBB.4
LSM sebagai Media untuk Melawan Korupsi Dengan menempatkan pelaku-pelaku langsung kekuasaan negara dan produksi ekonomi di luar definisi LSM, Cohen dan Arato mengajukan dua alasan mengapa LSM tepat sebagai wadah perlawanan korupsi. Yang pertama, secara nominal struktural, independensi LSM dari pemerintah dan bisnis relatif memungkinkan mereka memiliki lebih banyak kebebasan untuk mengkritik penyelenggara negara dan sektor komersial. Sering kali pada sisi inilah legitimasi sebuah LSM justru diuji. Hal kedua, karena LSM tidak bergantung pada lembaga negara ataupun masyarakat bisnis untuk sumber dana maupun wewenang, biasanya sulit bagi kedua kelompok itu untuk mengontrol para aktifis LSM.
Bukan berarti tidak ada LSM yang dimanipulasi oleh pemerintah ataupun kalangan bisnis.
38
Tentu saja, ini bukan berarti tidak ada LSM yang dimanipulasi atau bahkan diselenggarakan oleh pemerintah ataupun kalangan bisnis; misalnya berupa “LSM boneka” yang dibuat untuk kepentingan pihak penguasa atau pribadi. Dalam sebuah sistem yang sangat korup seperti Indonesia, normal saja bagi lawan LSM-LSM yang kerjanya memerangi
korupsi itu untuk membuat organisasi-organisasi tandingan yang secara terselubung didanai oleh sasaran perang dari LSM-LSM antikorupsi itu, baik dari pemerintah ataupun swasta (Holloway dan Anggoro, 2000: 34-6). Lihat saja, dalam soal penciptaan GONGO (LSM yang diorganisasikan oleh pemerintah), Soeharto itu ahlinya. Kelompok kepemudaan gaya milisi seperti Pemuda Pancasila merupakan contoh dari sindrom ini. Begitu pula dengan LSM pelat merah, 5 LSM tipuan atau LSM untuk mencari keuntungan pribadi (Fowler, 1997), yang kini bertaburan di Indonesia. Inilah LSM yang diciptakan oleh orang-orang atau kelompok yang punya hubungan erat dengan pemerintah, untuk melancarkan akses mereka mendapatkan kucuran dana dari program Jaring Pengaman Sosial Bank Dunia. Bahkan ditemukan bahwa separuh dari LSM se-Jawa Barat merupakan LSM “pelat merah” (Holloway dan Anggoro, 2000: 35). BONGO (LSM yang dimiliki satu usaha bisnis) juga merupakan hal lumrah. Lagilagi, Soeharto bermain di sini. Berbagai wajah yayasannya yang tak tersentuh pajak itu berfungsi sebagai wadah bagi dana yang tidak terlacak hukum — misalnya untuk menampung “sumbangan-sumbangan” politik. Bertahun-tahun, yayasan bisa luput dari jangkauan hukum karena tidak ada kewajiban untuk memberikan laporan. Meski sudah ada RUU untuk ini, sebagian besar bisa menyelamatkan diri dari pantauan publik, walau yayasan-yayasan ini mengundang banyak kontroversi politik karena kaitan eratnya dengan Soeharto (Holloway dan Anggoro 2000: 35-6). LSM yang beroperasi relatif secara independen dari sentuhan pemerintah atau dunia bisnis, dan yang dikatakan Holloway dan Anggoro (2000: 15, 31-4) sebagai organisasi “kepentingan umum”, dianggap sebagai LSM yang sejati. Ada pendapat yang menganggap LSM-LSM sejati ini berada dalam posisi yang jauh lebih baik dibanding badan sosial lainnya sebagai pemrakarsa kegiatan-kegiatan antikorupsi. Yang bisa menandingi kebebasan yang dimiliki LSM-LSM “baik” ini adalah perorangan (para “individu penggerak”). Tapi tentunya mereka tidak punya sumber daya serta dukungan institusi seperti yang dimiliki LSM. Sebagai media untuk melawan korupsi, kelebihan LSM dalam mengutamakan
39
kepentingan publik ini sungguh penting di Indonesia, negara yang hampir tiap bagiannya bisa dikatakan telah tercemar, dan dengan sendirinya dunia bisnisnya pun demikian. Berikut ini dipaparkan bagaimana merasuknya watak korup dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, sampai-sampai segala upaya negara untuk melawan korupsi hampir pasti selalu menemui hambatan dari birokrasi. Contoh yang menyedihkan antara lain ketika Mahkamah Agung menolak keputusan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) bentukan Jaksa Agung saat tim ini menunjukkan niat kuat untuk mengusut para hakim agung. Reaksi seperti ini memang tidak mengejutkan. Jika para birokrat bertopang pada akses untuk memperoleh pendapatan ekstra, atau “penghasilan di atas jumlah yang wajar” seperti didefinisikan Krueger (1974, dalam Khan & Jomo, 2000: 5-6), untuk apa mereka mau-maunya “menyuplai sekian lembaga yang akan menghentikan kegiatan pungli mereka sendiri”? (Jayasuriya, 1999: 111). Budiman (1990: 6, 13) menyatakan, Indonesia yang dibangun Soeharto ini adalah negara birokratis dan otoritarian yang sempurna. Dan sistem ini terus berfungsi meski pendirinya sudah jatuh (Lindsey, 2000b). Jika negara merupakan pemungut uang sewa, maka tentu saja uang sewa terbanyak datang dari mereka yang paling mampu membayar, yaitu dunia bisnis. Di bagian lain nanti akan dibahas skandal-skandal korupsi seperti kasus Bank Bali (Sulistyadi, 2000), yang menunjukkan jaringan rumit antara dunia politik dan bisnis serta “tangan rahasia” negara dalam menjalankan kegiatan-kegiatan keuangan dan perdagangan.
Masalah
40
Agar aksi melawan korupsi di Indonesia berhasil, upaya itu harus digerakkan secara luas oleh mereka yang berada di luar pemerintahan maupun sektor bisnis. Dan itu artinya LSM-LSM independen. Tentu ini memunculkan pertanyaan: apakah LSM-LSM Indonesia sanggup melakukannya? Bisakah mereka memimpin dan menjalankan tindakantindakan antikorupsi secara efektif?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, bagian pertama tulisan ini akan merangkum perkembangan terbaru dan kondisi terkini dari LSM-LSM antikorupsi di Indonesia, dengan fokus khusus pada GeRAK, Jaringan Nasional Gerakan Anti Korupsi. Bagian kedua membicarakan tantangan-tantangan yang dihadapi LSM yang kerjanya berperang melawan korupsi, serta juga menawarkan kerangka-kerangka analisis yang luas untuk memahami korupsi di Indonesia. Pada bagian ketiga diajukan pengujian apakah LSM Indonesia benar-benar mampu menciptakan perubahan, dengan memakai analisis di bagian kedua. Tulisan ini ditutup dengan beberapa saran praktis untuk membantu LSM antikorupsi di Indonesia.
Bagian 1: LSM dan Upaya Melawan Korupsi LSM dan Pemerintah Charnovitz (1997) mengamati adanya pola yang berulang dalam hubungan LSM dengan pemerintah, yaitu: peran LSM yang jadi bersinar saat pemerintah merasa butuh. Ketika bantuan mereka membawa hasil, dan “birokrasi pemerintah maupun internasional mendapatkan rasa percaya diri” (Charnovitz, 1997), pengaruh LSM menurun, tidak dianggap lagi.
Sejak krisis ekonomi
Sejak krisis ekonomi menghantam Indonesia pada 1997, menghantam indoesia pada kebijakan dalam negeri berantakan. Hal serupa terjadi juga 1997, kebijakan dalam dengan analisis-analisis luar negeri terhadap Indonesia, yang sering kali keliru membuat penilaian, khususnya berkaitan negeri berantakan. dengan situasi, taraf keparahan, dan lama krisis itu sendiri. Kepastian yang stabil dan juga tak menyamankan dari masa Orde Baru tidak ada lagi, dan digantikan oleh perubahan yang tidak teraba dan penuh gejolak. Perasaan tak pasti yang berlarut-larut dalam politik, bisnis, dan administrasi negara ini mendorong badan-badan pemerintah Indonesia dan penyandang dana asing untuk meminta bantuan pada masyarakat madani, khususnya pada para akademisi, profesional, dan LSM, untuk analisis dan penentuan kebijakan. Di sinilah LSM berhasil mendapatkan peran utamanya. Alasan pertama, karena
41
telah lama LSM tidak dilibatkan dalam dialog publik di bawah Soeharto, dan hal ini justru merupakan penyebab gagalnya rezim itu (Budiman, 1990). Kedua, karena LSM dilihat memainkan peran penting dalam menyatukan kekuatan-kekuatan lepas dari kelompok oposisi yang akhirnya menjatuhkan rezim Soeharto dan menjadikan slogan “reformasi” mempunyai bobot kebijakan (INFID, 1999). Titik sentral “reformasi” itu adalah kritik terhadap korupsi di sektor publik. KKN6 sudah terbangun sampai ke puncaknya selama kekuasaan Soeharto dan tentunya sedikit banyak terwarisi oleh penggantinya7. Antikorupsi memang selalu menjadi topik utama dalam agenda-agenda LSM di Indonesia sejak 1997 (INFID, 1999: “Statement on Corruption”).
Jumlah dan Kepemimpinan Charnovitz (1997: 268) juga mengajukan dua variabel untuk mengukur apakah pembuatan kebijakan publik oleh LSM itu signifikan atau tidak. Variabel pertama adalah tingkat penetrasi LSM ke dalam pertemuan-pertemuan pemerintah organisasi internasional. Fokus variabel ini berada pada “Pentolan” dalam sektor atau proses, penyerahan petisi, kehadiran dalam pertemuan, anti-korupsi paling hanya partisipasi dalam dewan penasihat, dan sejenisnya.
sekitar 50 organisasi.
Yang kedua adalah besar pengaruh LSM terhadap pemerintah. Ini merupakan pengujian substansi: perubahan apa yang telah mereka lakukan? Pengukuran pertama adalah satu hal yang paling sering diandalkan: sebagian besar LSM berorientasi pada proses dan bukannya pada substansi. Ini membuat mereka mengukur keberhasilan mereka berdasarkan akses ke pemerintah, walaupun saran mereka tidak didengar (Ibid).
42
Meski begitu, di Indonesia jelas LSM-LSM pernah meraih keberhasilan, baik dalam hal akses maupun pengaruh. Meningkatnya LSM-LSM di masa pasca-Soeharto telah memicu berkembangnya upaya-upaya melawan korupsi yang dramatis dan berkelanjutan, bagaikan “jamur di musim hujan”. Pertumbuhan dalam sektor LSM ini memunculkan organisasi-organisasi yang berorientasi pada pengawasan negara secara
besar-besaran. LP3ES mencatat ada 450 LSM terkemuka (Holloway dan Anggoro, 2000: 33), tapi jumlah keseluruhannya mungkin mencapai ribuan, meski ini belum pasti karena belum ada proses registrasi resmi yang bisa dijadikan data yang tepercaya. Bentuk legal sebuah organisasi masyarakat bisa berupa yayasan, asosiasi/ikatan, atau koperasi. Hanya koperasi yang mendapat pengesahan hukum dari pemerintah, ini membuatnya kurang populer. Sebaliknya, terdapat: ...banyak organisasi dalam berbagai bentuk yang terdaftar secara hukum sebagai yayasan, dan tidak ada data lengkap tentang ini, (sehingga) orang tidak tahu apa yang mereka kerjakan selain bahwa mereka cukup peduli untuk mempublikasikan kegiatan mereka... mereka tidak punya kewajiban untuk melaporkan pada pemerintah atau rakyat Indonesia akan apa yang mereka lakukan.... Selain itu juga banyak organisasi yang terdaftar secara legal sebagai asosiasi dan tidak ada yang tahu apakah anggotanya masih menjalankan asosiasi itu dan apakah organisasi tersebut masih menyampaikan laporan kepada anggotanya (Holloway dan Anggoro 2000: 37) Selanjutnya, bila proposal-proposal untuk perubahan yang ada sekarang tidak menghasilkan prasyarat untuk pembuatan laporan yang benar, dan tidak diterapkan pada asosiasi serta yayasan-yayasan itu (Holloway dan Anggoro, 2000: 36-7), maka mustahil untuk mengetahui ada berapa banyak LSM antikorupsi tersebut. Itu saja sulit, apalagi untuk mengetahui berapa banyak yang aktif dan merupakan organisasi masyarakat yang “baik”. Lepas dari ketidakpastian akan jumlah yang tepat, banyak pengamat sepakat bahwa “pentolan” dalam sektor anti-korupsi itu paling hanya sekitar 50 organisasi. Identitasnya pun bisa berubah seiring dengan perubahan dalam jumlah yang kerap naik-turun dari waktu ke waktu. Forum LSM Internasional dalam Konferensi Pembangunan Indonesia pada 1999, misalnya, mendata ada 43 LSM Indonesia yang ikut sebagai pendukung “Pernyataan Anti-Korupsi” (1999), sebagian besar berprinsip memperjuangkan hak azasi manusia dan isu-isu daerah. Ada lagi data yang mungkin lebih bermanfaat, yaitu dari MTI. Masyarakat Transparansi Indonesia ini telah mendata 43 LSM dari seluruh Indonesia yang khusus peduli
43
pada perang melawan korupsi. Data ini dicatat dari kehadiran mereka pada pertemuan LSM anti-korupsi bulan Agustus 2000 di Cisarua, Jawa Barat. Lepas dari kesamaan yang kebetulan dalam hal jumlah, LSM-LSM Cisarua itu agak tumpang-tindih dengan LSM dari daftar INFID. Mereka adalah (diurut menurut lokasi dari Indonesia Barat ke Timur): Peka (Aceh), Samak (Aceh), Simalungun Corruption Watch (Sumatera Utara), Sumatera Corruption Watch (Sumatra Utara), Badan Anti Korupsi (Sumatera Barat), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Riau), Bengkulu Corruption Watch, (Sumatera Selatan), Corruption Watch (Lampung), Gerak (Lampung), Komite Anti Korupsi (KAK, Lampung), ICW (Jakarta), LBH (Jakarta), MTI (Jakarta), KKN Watch (Bekasi), KRAB (Jawa Barat), Konstan (Jawa Barat), Sukabumi Corruption Watch, West Java Corruption Watch, Cirebon Corruption Watch, Akarrumput (Ambarawa, Jawa Tengah), KP2KKN (Jawa Tengah), Solo Corruption Watch (SCW), IDEA (Yogyakarta), Yogyakarta Corruption Watch (YCW), Forum Kota Surabaya, Komite Anti-Korupsi Malang, Bantuan Hukum Surabaya, Madiun Corruption Watch, Malang Corruption Watch, Bali Corruption Watch, Kompak Bima (Nusa Tenggara Barat), Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi - Nusa Tenggara Barat), Conet (Nusa Tenggara Timur), Pusat Informasi dan Bantuan Hukum (FITRA - Nusa Tenggara Timur), Gemawan (Kalimantan Barat), Konsorsium LSM Kalimantan Tengah, Fakta (Kalimantan Timur), Pokja 30 (Kalimantan), Anti-Corruption Committee (ACC - Sulawesi Selatan), YPR Bulu Kumba (Sulawesi Selatan), Dopalak Indonesia (Sulawesi Tengah), Yayasan Merah Putih (Palu), Komite Anti Korupsi Sulawesi Tenggara (KAK ‘S), Warrak (Sulawesi Utara). Kalau dilihat hanya dari jumlah memang sangat mencengangkan. Tapi satu hal yang lebih menarik lagi, dalam pandangan Charnovitz, makin mencuatnya sekelompok kecil LSM yang terkelola dengan sangat baik serta dijalankan dengan efisien. Mereka ini mulai mempunyai pengaruh yang positif, dan juga tidak proporsional, terhadap pemerintah dalam area anti-korupsi.
44
Kebanyakan LSM yang aktif memerangi korupsi sekarang ini bisa dikategorikan sebagai LSM “hukum”. Tentu saja, hampir semua LSM pernah terlibat dengan urusanurusan legalitas. Inilah yang terjadi dalam masa pasca Soeharto, saat gerakan reformasi
menitikberatkan perhatian pada reformasi dalam bidang hukum dan tata negara. Bantuan advokasi atau dukungan reformasi terhadap perbaikan dalam hukum dan kebijakan adalah kegiatan sehari-hari sebagian besar LSM. Tapi ada juga LSM yang melihat hukum lebih dari hanya satu aspek dalam kerja mereka. Mereka adalah LSM-LSM yang dipimpin oleh para ahli hukum, sudah menganggap LSM mereka dengan sendirinya “bernafaskan hukum”, atau sangat peduli dengan aspek-aspek hukum dari korupsi, seperti peraturan, penyidikan, tuntutan dan hukuman. Kini, makin dianggap hal biasa jika pemerintah, khususnya departemen-departemen yang terkait seperti Departemen Ke h a k i m a n d a n H A M , m e l i b a t k a n L S M - L S M i n i d a l a m Kepemimpinan pengambilan kebijakan, merancang undang-undang dan pensosialisasian (pendidikan, penyebarluasan dan penumbuhan reformasi kepedulian).
dalam hulum dipegang oleh LSM.
Maka kita perlu mengamati lebih mendalam LSM-LSM tipe ini sebelum melanjutkan ke masalah yang lebih luas, yaitu usaha untuk mengkoordinasikan upaya LSM-LSM dalam memerangi korupsi.
LSM Hukum dan Anti-Korupsi LSM telah memberi arah intelektual dan kebijakan bagi sektor hukum sejak pertengahan 1960-an, saat Soekarno dengan sengaja menjatuhkan derajat profesi hukum dan peradilan serta menyalahgunakannya. Perilaku Soekarno ini ditiru oleh Soeharto sejak awal 1970-an, walaupun di saat yang sama terjadi pergerakan mendadak dari Kiri ke Kanan (Lev, 1999). Dengan adanya kenyataan bahwa sebagian besar reformasi lembaga negara pasca-Soeharto bisa dibilang gagal, hanya terjadi sedikit perubahan pada kebiasaan korup pemerintah yang sudah jadi penyakit sejak dasawarsa 1960-an dan 70-an (Lindsey, 2000b; Lev, 1999). Dalam kondisi seperti ini, kepemimpinan dalam reformasi hukum dipegang oleh LSM, yang berarti mereka punya pengaruh kuat terhadap kebijakan anti-korupsi. Karena itu, misalnya, pejuang-pejuang reformasi hukum yang terlibat dalam
45
reformasi pemerintahan seperti Prof. Dr. Erman Rajagukguk (Wakil Sekretaris Kabinet) dan Dr. T. Mulya Lubis (Komisi Pemilihan Umum) berakar pada LSM. Sama halnya dengan para pejabat senior lainnya yang menjabat setelah jatuhnya Soeharto, termasuk Presiden Abdurrahman Wahid sendiri.8 Kita juga mulai melihat praktisi-praktisi hukum LSM turut dicalonkan menjadi pejabat tinggi hukum seperti Ketua Mahkamah Agung (Bambang Widjojanto, T. Mulya Lubis, dan Abdul Hakim Garuda Nusantara). Juga kita lihat tokohtokoh LSM cukup banyak masuk ke lembaga hukum tinggi seperti Komisi Hukum Nasional, Komisi Nasional HAM, dan juga dalam program-program besar bantuan reformasi yang berkaitan dengan hukum. Nama-nama tadi sudah berkibar sejak beberapa dasawarsa, tapi belakangan muncul generasi baru tokoh LSM yang sama pentingnya bagi proses reformasi hukum, misalnya Ibrahim dan Rifqi Assegaf dari PSHKI (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia), Hamid Chalid dan Nizar Suhendra dari Masyarakat Transparansi Indonesia, dan Irianto Subiakto dari LBH dan Kontras. Sejumlah LSM cukup mapan yang aktif dalam memerangi korupsi akan diperkenalkan di bawah ini, sekadar sebagai contoh indikatif, dan tentu bukan hanya mereka.
LBH (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)
46
LBH masih merupakan LSM terdepan, dan banyak elit hukum saat ini lahir dari yayasan ini. LBH masih terus aktif sebagai think tank, serta sebagai organisasi aktivis dan penyedia bantuan hukum untuk kasus per kasus, tapi kini juga terlibat dalam mengkritik kebijakan pemerintah. LBH juga mempunyai sejarah sebagai inkubator dari LSM-LSM lainnya. Beberapa peran tradisionalnya seperti menyediakan alternatif analisis legal bagi peristiwa-peristiwa kontroversial, menyingkap korupsi, dan melaksanakan penyelidikan de facto, sekarang diambil alih oleh Komnas HAM, dan kepemimpinan intelektualnya kini dipikul juga oleh LSM-LSM lainnya. Beban kasusnya juga dibagi dengan LSM lain, tapi dalam hal reformasi, LBH tetap pendukung terdepan dan merupakan lembaga penentu.
Bambang Widjojanto, Irianto Subiakto, juga Teten Masduki, pejuang antikorupsi dan hukum perburuhan yang sekarang terlibat di ICW, merupakan deretan nama yang dikenal baik sebagai pimpinannya. Satu LSM pecahannya adalah LBHAPIK, organisasi bantuan hukum untuk wanita, dipimpin oleh Nursyahbani Katjasungkana, juga seorang pejuang reformasi hukum. 9
MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia) LSM ini punya hubungan dengan sekelompok reformis di sekitar mantan menteri keuangan dan tokoh anti-korupsi, Mari’e Muhammad dan Nurcholish Madjid, seorang pemimpin Islam yang moderat. MTI adalah pendidik anti-KKN yang aktif, terlibat dalam kampanye pendidikan untuk masyarakat menyangkut isu-isu korupsi, kegiatan yang sering disebut sebagai “sosialisasi”. MTI bekerja sama dengan universitas-universitas daerah dan media dengan memberikan pelatihan anti-korupsi di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya. Karena MTI aktif dalam meningkatkan kepedulian masyarakat, ia menjadi perantara bagi lembaga-lembaga hukum dalam sektor-sektor pendidikan, pemerintah, bisnis, perbankan dan keuangan, serta juga media.
ICW (Indonesia Corruption Watch) ICW telah sangat berhasil dalam menyingkap skandal-skandal korupsi tingkat tinggi, termasuk kasus Bank Bali dan Texmaco, serta berperan dalam menjatuhkan Jaksa Agung Andi Ghalib (Zemenides, 1999). Tidak seperti MTI, fokus ICW adalah aktivisme. Menjalin kerja sama erat dengan media, ICW bekerja bagaikan detektif yang tak pernah kehabisan energi. Dari semua LSM hukum, ICW-lah yang paling mempunyai pengaruh langsung pada masyarakat. Meski sering kontroversial, tokoh utamanya, Teten Masduki, sering diundang untuk memberi masukan pada pengembangan kebijakan pemerintah, dan dia juga anggota Komite Persiapan Komisi Anti-Korupsi bentukan pemerintah.
47
LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan) Organisasi yang dibentuk tahun 1999 ini didukung oleh jajaran depan pengacara Indonesia seperti T. Mulya Lubis, Prof. J.E. Sahetapy, Mas Achmad Santosa, Bambang Widjojanto, Frans Hendra Winarta dan Benny Harman. LeIP memusatkan perhatian pada kemandirian pengadilan, dan lembaga ini juga merupakan think tank sekaligus watchdog. LeIP punya kepedulian khusus pada reformasi konstitusi dan publikasi dan juga lantang dalam menentang korupsi di bidang peradilan (Jakarta Post, 2001). Organisasi LeIP sangat rapi, punya pendukung yang kuat dan telah membangun struktur yang terbuka dan sangat bisa dipertanggungjawabkan. Dengan sistem keuangan yang diaudit dan tanpa memberikan keuntungan pada para pendirinya, LeIP tidak seperti beberapa LSM lainnya. Lembaga ini juga sangat erat hubungannya dengan PSHKI.
PSHKI (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia) LSM ini terkait pada sekelompok reformis termasuk Prof. Erman Rajagukguk (Wakil Sekretaris Kabinet) dan Prof. Mardjono Reksodiputro. Deretan pemimpinnya termasuk Ibrahim dan Ahmad Fikri Assegaf. Dengan keterlibatan anggotanya dalam LeIP dan MTI, PSHKI mencapai keberhasilan besar dalam penelitian dan pembuatan laporan. Termasuk di dalamnya isu-isu korupsi, dengan fokus khusus pada masalah peradilan. Tingkat akuntabilitasnya, bobot intelektual, serta pengelolaannya sangat tinggi.
PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia)
48
Sebagai organisasi yang lebih radikal, PBHI lebih terlibat pada penggarapan kasus dan mewakili pihak tertuduh dalam kasus-kasus politis yang cukup besar. Perhimpunan ini berfokus kuat pada isu-isu kriminal, tata pemerintahan yang benar, serta upaya-upaya anti-korupsi. Usaha lembaga ini dalam mereformasi hukum pidana, yang ditujukan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah, sungguh mengagumkan. Saat ini PBHI sedang menjalankan program-
program pendidikan berskala besar di Kalimantan, Sumatera dan Jawa, bekerja sama dengan Tim Gabungan Jaksa Agung. Ketua PBHI, Hendardi, mempunyai reputasi sebagai orang yang gigih dan tanpa kompromi.
GeRAK: Organisasi Nasional untuk LSM-LSM Anti-Korupsi Seperti sudah disebut, LSM dalam daftar tadi hanya contoh dari organisasi-organisasi ternama yang berorientasi hukum dan peduli untuk memerangi korupsi. Ada juga kelompok lain yang punya kepedulian sama tapi dengan sudut pandang berbeda, yaitu dari perspektif audit (contohnya Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) atau dari sudut pandang jurnalisme (AJI, Aliansi Jurnalis Independen)10 atau hak asasi manusia (LBH). Kepentingan, aktivitas atau bahkan aliran mereka tidak terlalu berbeda. Di antara 43 LSM yang menghadiri pertemuan Cisarua saja, LSM-LSM anti-korupsi mulai terlihat adanya tumpang-tindih, baik dalam hal perwakilan daerahnya, nomenklatur (terminologinya) maupun agendanya. memikirkan cara Karenanya, kompetisi dan koordinasi jadi masalah berkoordinasi penting bagi sektor LSM, terutama dengan adanya kesulitan secara nasional. dana pada masa ekonomi yang sedang jatuh ini. Bagi lembagalembaga dengan berbagai ragam (yang tersebar di seluruh nusantara dengan jurang perbedaan kondisi yang lebar) dan memperoleh dana dari beragam pihak ini (Holloway dan Anggoro, 2000: 39), ada masalah kedua yang dihadapi, yaitu masalah komunikasi serta diseminasi dalam informasi dan agenda. Dengan adanya masalah-masalah tadi, kekecewaan karena misalnya kegagalan TGPTPK atau bebasnya tersangka dalam kasus Bank Bali, telah mendorong para pejuang anti-korupsi ini untuk memikirkan cara memaksimalkan sumber daya yang ada, terutama sekarang, ketika euforia awal dari reformasi — kejatuhan Soeharto dan melonggarnya kekangan terhadap masyarakat madani — telah hilang semangat. Intinya, LSM-LSM antikorupsi sekarang mulai memikirkan cara untuk melakukan koordinasi yang lebih baik secara nasional.
49
Keanggotaan Kendaraan utama untuk interaksi nasional antar LSM anti-korupsi adalah Jaringan Nasional Gerakan Antikorupsi atau GeRAK11 tadi. GeRAK adalah jaringan nasional yang pada awalnya terbentuk dari 27 LSM yang aktif memprakarsai upayaupaya anti-korupsi. Mencakup hampir semua provinsi, anggota-anggota pertamanya termasuk mereka yang hadir di Cisarua, meskipun tidak semuanya. Berdasarkan provinsi dari Barat ke Timur, mereka adalah: Walhi (Aceh), Simalungun Corruption Watch (Sumatra Utara), Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Riau), Yayasan OWA (Palembang), ICW (Jakarta), MTI (Jakarta), Masyarakat Anti-Korupsi Malang, Akarrumput (Ambarawa, Jawa Tengah), KP2KKN (Jawa Tengah), Solo Corruption Watch, Yogyakarta Corruption Watch, Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta, Yayasan Pengawasan Anggaran (Yogyakarta), IDEA (Yogyakarta), Forum Kota Surabaya, LAKPESDAM-NU (Jombang), Yayasan SINTeSA (Banyuwangi), Bali Corruption Watch, Solidaritas Masyarakat untuk Transparansi (Somasi - Nusa Tenggara Barat), Pusat Informasi dan Advokasi Rakyat (PIAR - Nusa Tenggara Timur), Fakta (Kalimantan Timur), Anti-Corruption Committee (ACC - Sulawesi Selatan), Komite Anti-Korupsi Sulawesi Tenggara (KAK), Wahana Informasi Rakyat (Warrak - Sulawesi Utara), Baileo Maluku (Ambon), Mahasiswa Kalbar.
50
LSM-LSM yang membentuk GeRAK pada umumnya terorganisasi dengan lebih baik sekaligus punya struktur yang lebih formal dibanding LSM lain. Mereka juga cenderung mempunyai sasaran anti-korupsi yang luas, artinya mereka berfokus pada reaksi-reaksi struktural terhadap korupsi daripada isu-isu lokal atau spesifik, meski ada pengecualian penting, seperti AJI atau Walhi, LSM lingkungan itu. Keduanya adalah LSM pelopor, sudah kokoh berdiri sejak jaman Soeharto. Kendati keduanya tidak melihat anti-korupsi sebagai alasan utama berdirinya LSM mereka, mereka tetap terlibat dalam prakarsa-prakarsa anti-korupsi. Hal ini terjadi karena agenda mereka sendiri — kebebasan pers dan perlindungan lingkungan — tak bisa dihindari membuat mereka berhubungan dengan birokrasi maupun dunia usaha, dan dengan sendirinya juga dengan praktek-praktek korupsi yang marak di kedua sektor ini.
Di ibu kota-ibu kota provinsi, GeRAK secara teratur mengadakan pertemuan gabungan antar anggota yang berfungsi sebagai forum terbuka untuk diskusi menyangkut isu-isu anti-korupsi dan manajemen jaringan GeRAK sendiri. Pertemuan-pertemuan ini biasanya terkait dengan prakarsa lain seperti program-program “sosialisasi” dan kegiatan pendidikan dari LSM anggota.
Buletin Surat Elektronik (E-mail) Bentuk kerja sama yang berpotensi paling efektif antara anggota GeRAK adalah sistem “buletin surat elektronik”nya. Serangkaian mailing list (kumpulan email atau surat elektronik melalui internet) dijalankan, satu untuk tiap kawasan di Indonesia (misalnya ada daftar yang berbeda untuk Jawa dan Sumatera). Buletin surat-surat elektronik tersebut dikelola oleh sekretariat daerah. Mailing list di Jawa, yang merupakan media email terpenting, berpusat di Jakarta dan dikelola oleh MTI. Buletin email ini memungkinkan anggotanya untuk bertukar informasi dan surat-menyurat dengan sangat cepat. Kontak antar sekretariat juga terbuka untuk membahas isu-isu yang relevan, isu internasional ataupun isu penting mengenai daerah lain. Tampaknya sistem email GeRAK ini terus berkembang stabil sejak 1999, dan meskipun dampaknya sulit diukur secara empiris, fakta-fakta anekdotal menunjukkan bahwa media tersebut telah menjadi mekanisme komunikasi yang utama bagi LSM-LSM anti-korupsi.
Pengelompokan LSM dalam GeRAK Seperti yang terlihat di daftar Cisarua, “aliran” yang ada dalam GeRAK ini sangat beragam. Meski demikian, untuk keperluan analisis, pengelompokan utama penting untuk diidentifikasi. McDougal, Laswell dan Reisman (1981: 271-2) telah menyusun kerangka tujuh “fungsi keputusan” untuk menganalisis aktivitas-aktivitas LSM:
• Fungsi Intelijen/Penyelidikan: mengumpulkan, analisis dan diseminasi informasi. • Fungsi Promosi: bantuan dalam membentuk kebijakan alternatif bagi pembuat keputusan secara langsung maupun melalui masyarakat.
51
• Fungsi Saran Solusi (prescription function): pengembangan dan pembuatan kebijakan dan undang-undang.
• Fungsi Pemantauan: inspeksi dan mengajukan tuntutan. • Fungsi Aplikasi: menentukan konflik nyata (ini bukan suatu fungsi LSM yang umum). • Fungsi Terminasi/Penghentian: mengakhiri “pilihan solusi yang tidak mendukung kepentingan bersama”. Biasanya LSM hanya menyarankan penghentian ini, bukan mereka sendiri yang melakukannya.
• Fungsi Penilaian: evaluasi dan pemantauan. Ada beberapa kategori yang tidak selalu berlaku bagi LSM biasa, misalnya yang disebut fungsi aplikasi. Ada juga fungsi-fungsi yang tumpang-tindih (misalnya penghentian dan promosi; pemantauan dan penilaian). Batasan-batasannya memang tidak jelas. Karena itu, saya sendiri lebih suka membagi tipe LSM-LSM anti-korupsi Indonesia ke dalam tiga kelompok besar yang secara longgar masuk ke dalam kategori McDougal tadi: Advokasi (pemantauan, terminasi dan penilaian); Penelitian (intelijen, promosi, saran solusi) dan Fokus Lokal (pengajuan tuntutan, aplikasi dan terminasi).
LSM Advokasi LSM-LSM advokasi pada dasarnya kurang peduli pada isu-isu kebijakan atau pengumpulan data dan riset dalam bidang ini, walau hal-hal ini mereka lakukan juga. Kesibukan utama mereka adalah melobi pemerintah dan media akan upaya anti-korupsi, terutama kasus-kasus korupsi individual. Salah satu contoh kegiatan khas LSM-LSM advokasi ini adalah penyelidikan dan penerbitan naskah skandalskandal korupsi. Ini adalah LSM-LSM yang membidik koruptor kelas kakap, menurut terminologi INFID (1999).
52
Sebagai contoh, LSM anti-korupsi yang paling dikenal tentunya ICW (Indonesian Corruption Watch). Advokasi ICW-lah yang menyingkap perampokan uang
rakyat yang dilakukan oleh Jaksa Agung Andi Ghalib, dan upaya ICW yang tak kenal lelah untuk membongkar kasus ini melalui media akhirnya menyebabkan jatuhnya Jaksa Agung itu. LSM-LSM advokasi juga aktif dalam kasus Bank Bali dan skandalskandal yang menyelubungi Presiden Wahid (kasus Bulog dan apa yang disebut dengan kasus “Bruneigate”).
LSM Penelitian LSM-LSM Riset kurang berinteraksi dengan media dan kurang berminat pada pengejaran kasus-kasus korupsi individual. Fokus mereka adalah pengumpulan data, menulis makalah kebijakan dan “mengisi kesenjangan” pemahaman masyarakat, birokrasi dan akademis mengenai korupsi di Indonesia. Meski tak seterkenal LSM-LSM advokasi, LSM-LSM ini sangat efektif dalam mengumpulkan informasi yang menjadi andalan LSM advokasi untuk disebarluaskan melalui program- LSM advokasi dan program sosialisasinya.
penelitian di bidang anti-korupsi lebih banyak di Jakarta ada sekitar 35.
LSM-LSM penelitian juga cenderung terlibat dalam pengembangan kebijakan pemerintah dan juga dalam penyusunan dokumen (position papers) untuk kelompok lainnya, termasuk lembaga-lembaga donor luar negeri. GeRAK memperkirakan jumlah LSM penelitian ada sekitar 30 di seluruh Indonesia.12 Dari semua itu, yang paling terkenal agaknya adalah MTI, yang ikut terlibat membentuk GeRAK dan mempersiapkan penulisan rancangan dua undang-undang anti-korupsi: No.31/1999 menyangkut penghapusan korupsi yang memerlukan pembentukan Komisi Anti Korupsi; dan No.28/1999, tentang pejabat pemerintah yang bebas dari KKN.
LSM yang fokus pada Masalah Lokal Menurut GeRAK13, jumlah LSM advokasi dan penelitian yang aktif di bidang antikorupsi lebih banyak di Jakarta, ada sekitar tigapuluh lima. Kebanyakan dari ribuan LSM lainnya yang bermunculan pasca-Soeharto dan menyatakan aktif di bidang ini berlokasi di luar ibu kota dan sangat berbeda dengan organisasi-organisasi yang berada di Jakarta.
53
LSM-LSM di luar Jakarta ini lebih mudah dipahami bila dilihat sebagai suatu garis kontinum. Di ujung atas (biasanya di pusat-pusat daerah) terdapat LSM-LSM yang dikelola dengan baik, cukup dana, dan terstruktur rapi. Mereka peduli dengan masalah korupsi yang punya hubungan langsung maupun tidak dengan GeRAK. Ujung satunya lagi, ujung yang rendah, tempat kelompok-kelompok penekan yang sangat kecil yang tak mempunyai struktur, kurang dana dan bersatu secara jangka pendek menangani satu atau dua isu yang kental warna lokalnya. Kelompok-kelompok ini bisa sangat efektif, tapi ada dua kesulitan dalam berinteraksi dengan mereka. Pertama, keanggotaan dan keberadaan mereka yang temporal; kedua, sangat terbatasnya isu-isu yang mereka garap.
Forum aktifitas anti-korupsi lokal adalah sengketa tanah dan tuduhan terhadap birokrat lokal.
Fokus kuat aktivitas anti-korupsi dari pressure group lokal ini adalah masalah sengketa tanah dan tuduhantuduhan terhadap birokrat lokal. Mereka menyingkap masalah sengketa itu menjadi perhatian masyarakat (fungsi intel dan pemantauan McDougal) dan sering kali aktif dalam menuntut dan juga menyelesaikan persengketaan tersebut (fungsi aplikasi McDougal).
Hal ini tidak mengejutkan mengingat perebutan tanah antara institusiinstitusi pemerintah, elit kaya dan pemilik tanah tradisional sudah lama menjadi salah satu sumber persengketaan di pengadilan di Indonesia, dan juga telah menjadi titik rawan politis yang mudah meletus kapan saja (Fitzpatrick, 1999; Haverfield, 1999). Jatuhnya Soeharto mendorong ditinjaunya kembali pemindahan kepemilikan tanah di masa Orde Baru yang dilakukan secara ilegal atau dengan penipuan, atau semata dengan menggunakan kekerasan, dengan alasan untuk pembangunan (misalnya, kasus bendungan Kedung Ombo) dan untuk keuntungan pribadi kaum elit. Hukuman yang dijatuhkan pada Tommy Soeharto menyangkut perampokan tanah di zaman korup Soeharto adalah contoh yang paling diingat orang (Budi, SP, 2000: 16-7).
54
Tentu sah saja bagi masyarakat untuk menghubungkan persengketaan tanah
dan korupsi birokrasi. Tapi, untuk kepentingan analisis aktivitas anti-korupsi LSM, ini menciptakan banyak “benturan”. Keadaannya makin memusingkan dengan proses desentralisasi atau otonomi yang baru bergerak. Di atas semua urusan kepedulian antikorupsi dan kaitannya dengan tanah ini, sekarang timbul lagi masalah anti-korupsi yang berhubungan dengan pendanaan dan administrasi Pemda, yang dalam banyak kasus, menyangkut masalah tanah juga. LSM-LSM “lain” ini lebih bertindak pada isu yang terbatas, melakukan lobi jangka pendek, atau sebagai kelompok penekan. Sebagian besar dari mereka bergerak di luar jaringan GeRAK. Tentu ada kemungkinan beberapa dari LSM ini akan memasuki jaringan GeRAK, dan LSM lainnya meninggalkan jaringan itu di kemudian hari. Walau ada kepedulian khusus akan isu-isu lokal, lebih menguntungkan bagi lembaga donor dan pemerintah untuk menjalankan upaya anti-korupsi melalui jaringan GeRAK, dengan memilih kelompok-kelompok penekan lokal untuk bantuan bila diperlukan.
Tujuan-tujuan GeRAK Jaringan GeRAK telah mampu mengartikulasikan tiga sasaran utama jangka pendek. Dengan sendirinya ini merupakan tujuan para pimpinan organisasi GeRAK. LSM-LSM anggotanya mungkin tidak mempunyai komitmen sebesar itu. Demikian pula halnya dengan LSM-LSM di luar jaringan GeRAK, sasaran mereka tentu jauh lebih beragam dan fokusnya tidak cukup kuat. Meski demikian, daftar di bawah ini akan membantu dalam memahami prioritas-prioritas yang dimiliki para pemimpin LSM-LSM anti-korupsi.
Komisi Anti Korupsi Prioritas utama adalah memastikan agar Komisi Anti Korupsi, yang harus sudah dibentuk pada April 2001 sesuai undang-undang No.31/1999, menjadi lembaga terdepan dalam usaha-usaha melawan korupsi di Indonesia, dan tidak berada di bawah kendali Kejaksaan Agung atau Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Peradilan dan HAM). Untuk ini, di antara anggota GeRAK ada kepedulian untuk mendukung
55
pengembangan legislasi yang efektif yang akan menjamin kemandirian komisi ini dan lingkup geraknya, dan juga menyusun kebijakan dan dokumen yang menjadi “dasar ruang gerak” (position papers) untuk mewujudkan proses legislasi tersebut. LSM-LSM GeRAK juga telah bekerja sama dengan Komite Persiapan Komisi ini dan juga dengan Departemen Peradilan dan HAM, sebagai lembaga kunci, dalam mengembangkan komisi ini. Beberapa anggota GeRAK berada di komisi persiapan14 dan telah setuju untuk menjadi anggota Komisi pada waktunya nanti. Ini tentu dimaksudkan untuk menjamin agar aktivitas-aktivitasnya di masa mendatang dapat terpantau.
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) Tim Gabungan ini didukung oleh LSM-LSM GeRAK dan beberapa individu anggota GeRAK juga masuk di dalamnya. Pengunduran diri Ketua Tim yang sangat dihormati, Adi Andojo Sutjipto, mantan hakim agung yang “rajin mengingatkan” dan dekan Fakultas Hukum Univeristas Trisakti, dikarenakan rasa frustrasi merupakan pukulan berat bagi TGPTPK. Keputusan Mahkamah Agung baru-baru ini untuk membatalkan implementasi Peraturan Pemerintah/PP di bawah Undang-undang No. 31/1999 yang merupakan dasar pembentukan Tim Gabungan tersebut (PP No.19/2000), telah menyebabkan bubarnya tim ini.
56
Pembatalan tersebut dilakukan dengan dasar yang lemah, yaitu bahwa dengan adanya pembentukan Tim Gabungan, peraturan tadi berlawanan dengan hukum. Keputusan ini dibuat oleh hakim agung yang cukup dihormati, Paulus Effendi Lotulung, tapi banyak pihak telah melihat hal ini sebagai upaya MA yang tak patut untuk mencegah adanya tuntutan terhadap hakim lainnya. Anggota GeRAK sangat vokal dalam mengkritik keputusan ini (misalnya Rifqi Assegaf dari LeIP: Jakarta Post, 2001), karena ini persis dengan pola lama dan tak asing lagi menyangkut ketidakmampuan pengadilan dan adanya suatu perlawanan aktif terhadap reformasi (Lev, 1999; Linnan, 1999; Lindsey, 2001b). Dengan kata lain, inisiatif ini dikalahkan oleh perlawanan institusional yang sederhana. Bagaimana LSM-LSM anti-korupsi dapat mengatasi respon semacam ini dari organ-organ negara akan dibahas dalam bagian selanjutnya.
Kesadaran Masyarakat Anggota GeRAK lebih banyak terdiri dari LSM Penelitian daripada LSM Advokasi. Karenanya mereka sangat mendukung gerakan “pensosialisasian” dan pendidikan dalam masyarakat Indonesia.15 LSM-LSM ini berprinsip bahwa inisiatif-inisiatif anti-korupsi dari pemerintah pada tingkat institusional, betapapun baiknya niat dan penyusunan rencananya, tak akan berhasil tanpa pemahaman masyarakat akan korupsi. LSM-LSM itu melihat, prasyarat terpenting untuk reformasi institusi yang efektif adalah kebudayaan masyarakat dan birokrat yang juga anti-korupsi. Dalam hal ini mereka mempunyai “sikap Indonesia” yang sama terhadap reformasi hukum, yang sering disebut sebagai pendekatan “kebatinan” oleh Linnan (1999: 3), yaitu pergeseran kebudayaan yang dicapai dengan: ...meningkatkan kesadaran hukum masyarakat pada umumnya agar dapat lolos dari ikatan-ikatan kebudayaan yang sudah telanjur jadi kepercayaan... memperbaiki budaya hukum dan penerapan “standar-standar internasional” dalam (proses) modernisasi adalah hal penting agar perubahan instrumental (yang bersifat legal dan institusional) bisa berpengaruh. Untuk tujuan ini, GeRAK memainkan peran besar dalam mengkoordinasikan kampanye-kampanye sosialisasi anti-korupsi dan program-program pendidikan di Indonesia. Sejalan dengan ini, LSM-LSM Advokasi secara sadar melihat peran mereka dalam mempromosikan isu-isu anti-korupsi di media. Mereka berpendapat bahwa menuntut korupsi kelas kakap sama efektifnya dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan isu-isu anti-korupsi. GeRAK kelihatannya cukup puas untuk memainkan peran pembantu dalam aktivitas-aktivitas ini, memberikan sumber daya dan melakukan publisitas untuk kegiatan advokasi.
Sikap Politis Para Pemimpin Anti-Korupsi Secara umum, kepemimpinan LSM-LSM anti-korupsi untuk “kepentingan umum”
57
ini mewakili generasi baru dari para praktisi hukum Indonesia dan aktivis-aktivis politik. Sebagian besar dari mereka berada pada usia 30-an, yang dulunya adalah mahasiswa atau profesional muda di bawah rezim Orde Baru. Saat ini mereka baru saja mencapai tingkat senioritas dalam karir. Tidak seperti generasi yang dulu mendominasi pemerintahan dan bisnis di bawah Soeharto, banyak dari pimpinan LSMLSM ini mendapat pendidikan di luar negeri atau memegang gelar dari perguruan tinggi di Indonesia. Kebanyakan dapat berbicara sedikit bahasa Inggris dan ada beberapa yang sangat lancar. Karenanya mereka mempunyai akses ke budaya Barat dan “internasional”. Banyak yang sudah terbiasa menggunakan internet dan akrab dengan perkembangan pemikiran hukum dan akademis serta teknologi luar negeri. PSHKI, misalnya, telah mengembangkan Hukumonline.com, situs pelopor dalam bahasa Indonesia yang berisi berita-berita hukum. Pengaruh Lokal Tema lokal bercampur dengan pengaruh-pengaruh yang berasal dari Barat. Ada tradisi berpengaruh dari pemikiran Islam modernis Aliran ini melihat di antara para pemimpin LSM-LSM anti-korupsi ini, terutama dalam reformasi sebagai satu kelompok yang terkait dengan MTI. Pemikiran modernis ini kegagalan karena telah lebih berhubungan dengan sikap etis, dan bukan berupa aliansi politis dengan yang sering disebut sebagai partai atau organisasi dikooptasi oleh negara. modernis Islam seperti PAN (Partai Amanat Nasional) atau Muhammadiyah. Pimpinan yang berpengaruh dengan aliran ini melihat pemerintahan dari perspektif moral yang dalam, dan sangat termotivasi dengan pandangan bahwa korupsi adalah salah per se, dan orang yang beriman mempunyai tanggung jawab untuk mencegah hal ini.
58
Tema lokal lainnya yang sering diabaikan adalah tradisi demokrasi liberal Indonesia yang menggabungkan perlawanan Muhammad Yamin terhadap integralisme 16 (Bouchier, 1999), visi Sutan Sjahrir tentang demokrasi parlementer, serta demokrasi sosial dari partai yang dilarang, PSI (Partai Sosialis Indonesia), untuk menciptakan
suatu model untuk reformasi saat ini. Dari sudut pandang kelompok ini, masalah-masalah korupsi pada dasarnya struktural dan bermula sejak ditinggalkannya konstitusi parlementer (UUD Sementara 1950) pada tahun 1959.17 Pengaruh lokal yang ketiga datang dari radikalisme mahasiswa, yang ditunjukkan kuat melalui gerakan reformasi tahun 1998 dan 1999. Aliran ini sekarang melihat reformasi sebagai kegagalan karena telah berhasil dikooptasi oleh negara yang justru merupakan sasaran pembongkaran reformasi itu sendiri.
Sinisme Generasi Terakhir, banyak pemimpin LSM anti-korupsi yang sangat sinis pada Orde Baru dan pada sikap pemerintahan sekarang terhadap korupsi dan administrasi di Indonesia. Mereka melihat para pemimpin sekarang ini — Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Akbar Tandjung dan Amien Rais — adalah produk dari cara berpikir yang dikembangkan di bawah kekuasaan Soeharto. Nama-nama tadi dianggap mewarisi gagasan yang melihat peran negara dan dunia bisnis itu tidak sejalan dengan pemerintahan yang baik, semulia apapun niat para pemimpin tersebut. Mereka menganggap akan sangat sulit, mungkin malah mustahil, bagi para pemimpin negara tersebut untuk meninggalkan sikap-sikap dan praktek-praktek Orde Baru. Inilah yang menyebabkan mereka meyakini reformasi anti-korupsi di Indonesia kemungkinan besar tidak akan berhasil di bawah sekumpulan pemimpin politik ini, apapun kebijakan maupun komitmen mereka pada masyarakat. Sejalan dengan hal tadi, banyak pemimpin LSM anti-korupsi ini yang meyakini bahwa perubahan nyata bergantung pada kejatuhan para pemimpin politik tersebut dan pada kebangkitan generasi mereka sendiri. Secara historis, sikap terhadap perubahan politis seperti itu biasa dianut oleh kaum muda Indonesia. Ini menjadi landasan transisi dari Soekarno ke Soeharto di pertengahan 1960-an, saat reformis-reformis muda menggantikan generasi yang dirasakan ketinggalan zaman (walau kemudian dikecewakan oleh Soeharto: Lev,1999). Sikap yang sama juga sudah muncul ketika terjadi dominasi para pemuda pada
59
saat dan setelah revolusi untuk satu dekade sejak 1945 (Lindsey,1999: 13-19). Bagaimanapun, sikap-sikap terhadap upaya anti-korupsi seperti itu menimbulkan dampak. Pertama, ini berarti ada sikap sinis yang sangat kuat terhadap hampir semua pejabat pemerintah. Tapi hal ini tidak menghalangi mereka untuk bekerja sama dengan pemerintah. Malah justru sebaliknya. Karena mereka yakin pemerintah tidak mampu menyelesaikan masalah korupsi, mereka merasa punya satu tanggung jawab untuk terlibat dalam pengembangan kebijakan dan penerapannya. Meski begitu, mereka tetap tidak percaya negara bisa memenuhi kewajibannya. Ini memotivasi mereka untuk memikul sendiri tanggung jawab itu dengan menyelesaikan proyek mereka, walau pemerintah lambat atau bahkan menghambat. Kedua, banyak pemimpin LSM yang kian hari makin memilih pendekatan “netral” terhadap perebutan kekuasaan dalam elit politik. Satu pandangan yang sesekali dikemukakan adalah semua pemimpin yang saat ini bersaing harus diberi kesempatan memimpin negara untuk jangka waktu singkat — satu per satu — agar habis keinginannya untuk berkuasa. Peran LSM selanjutnya adalah secara konstan melancarkan kritik terhadap para pemimpin itu agar mereka lebih cepat tergeser dari kekuasaan. Begitu struktur politis sekarang ini tidak kuat bertahan lagi, misalkan dengan digantinya presiden tiap 18 bulan seperti yang diinginkan beberapa pihak, generasi muda diharapkan dapat mengambil alih. Pada saat ini hampir semua tokoh LSM tidak punya bayangan siapa yang akan jadi pemimpin baru, tapi percaya kalau mereka akan muncul. Karenanya, para pemimpin LSM, termasuk GeRAK, bersedia untuk mengurusi perubahan institusi di tingkat bawah, kesadaran masyarakat, serta program-program “sosialisasi” yang kadang-kadang dianggap terlalu biasa oleh lembaga donor. Seperti dikemukakan Linnan, para pemimpin LSM percaya bahwa dengan begitu mereka bisa membangun suatu “massa kritis” akan perubahan institusi. Juga, membangun kesadaran masyarakat yang dapat jadi dukungan saat generasi mereka memasuki kekuasaan nanti.
60
Jelas, ide-ide politis ini berdasar pada asumsi para pemimpin LSM itu, akan adanya negara yang sangat korup, kaku, dan merintangi, meskipun Soeharto dan Habibie telah
disingkirkan dan pemerintahan yang demokratis telah lahir. Mereka juga meyakini adanya perlawanan ekstrem dari para elit terhadap gerakan anti-korupsi, dan adanya ketidakacuhan rakyat jelata pada isu-isu pemerintahan. Apakah sikap-sikap ini bisa dibenarkan? Ini akan dibahas dalam bagian berikut, dan saya menyimpulkan: hal-hal tadi memang bisa dibenarkan.
Bagian 2: Korupsi dan Negara Indonesia ‘Waralaba’ Orde Baru: Korupsi sebagai Sistem Negara Bagian ini secara singkat membahas sifat dari target utama, dan sekaligus kendala pokok, gerakan anti-korupsi di Indonesia, yaitu sebuah sistem korupsi yang diciptakan oleh negara tapi bersifat lintas sektoral. Kerangka-kerangka analisis yang digunakan di Bagian 3 dipakai untuk menilai apakah Saat ini hampir semua tokoh LSM-LSM anti-korupsi bisa mencapai target akhirnya, yakni LSM tidak punya bayangan membongkar sistem ini.
siapa yang akan jadi baru.
Selama tiga dekade kekuasaan, elit Orde Baru — pemimpin terutama Soeharto dan lingkaran dalam di keluarga dan temantemannya — secara sadar menciptakan negara rahasia yang paralel wujudnya dengan negara nyata untuk menjamin akses pada keuntungan ilegal atau ekstralegal. Dengan cara inilah bisnis dan administrasi dijalankan.18 Di akhir kekuasaan Soeharto, lembaga peradilan, seperti halnya legislatif, secara efektif telah digunakan (atau disalahgunakan) sebagai tangan birokrasi. Akibatnya, pertama, dihilangkannya semua jalur resmi untuk oposisi terhadap lembaga eksekutif. Akibat yang kedua, tidak adanya mekanisme formal yang berjalan untuk manajemen kegiatan pemerintahan yang rasional ataupun penyelesaian masalah, baik antar warga negara atau antara negara dan warga negara. Dampak ketiga dari diperalatnya lembaga peradilan ini ialah munculnya metodemetode alternatif, tak teratur dan informal dalam penyelesaian masalah serta manajemen kegiatan pemerintahan. Cara-cara alternatif ini mengisi kekosongan yang tercipta oleh
61
ketakutan banyak orang pada pengadilan dan politik. Dengan kata lain, lahir hukum baru yang “lunak” — norma-norma alternatif dan informal — untuk menangani isu-isu yang semestinya bisa diselesaikan dengan “hukum tertulis” (hukum resmi yang tertulis) di dalam sebuah negara dengan sistem hukum yang berfungsi. Pada tingkat terendah, wujud alternatif-alternatif informal ini berbentuk korupsi kecil dan biaya-biaya calo/perantara, termasuk juga tradisi-tradisi canggih penyelesaian masalah secara tidak resmi. Pada tingkat tertinggi, cara-cara alternatif ini membentuk sesuatu yang mirip sistem bayangan, sebuah negara “gelap” dan “rahasia” yang sarat kroni, tempat bisnis dan pengambilan keputusan yang sesungguhnya terjadi. Maka, negara Orde Baru menjadi Kunci penciptaan negara negara yang berlandaskan pada ketidakpercayaan. Dengan gelap adalah kekerasan kata lain, transaksi yang efektif, pembuatan keputusan dan negara, untuk memaksakan politik di semua tingkat, dijalankan dalam sistem bayangan ini, yang dipahami semua pihak — suatu rahasia umum — kepatuhan. tapi tidak diakui secara formal. Hasil-hasil dari sistem informal tapi “nyata” yang diakui secara resmi ini kemudian dilegitimasikan dalam apa yang saya sebut (Lindsey, 2000b, 2001) sebagai sistem hukum negara aspal (asli tapi palsu). Hasilnya adalah suatu formalisme hukum (hukum keras) yang sangat canggih dan retorika publik, politik yang kelihatannya rahasia dan tak dapat ditembus, “korupsi” yang ditetapkan oleh negara dan praktek-praktek hukum informal (norma hukum lunak). Sistem aspal itu juga menghasilkan ketakrelevanan dan keganjilan dalam praktek hukum karena praktek hukum itu sendiri merupakan penghubung dua sistem tersebut. Dengan kata lain, banyak sekali hukum, tapi karena hanya yang kuat secara politis yang dapat menang, akhirnya hukum-hukum itu cuma jadi omong kosong.
62
Penciptaan sistem ini merupakan respon rasional terhadap kegagalan negara dalam memberikan suatu sistem formal yang berfungsi dan relevan, yaitu hukum-hukum tegas yang berfungsi.19 Maka negara aspal dan “gelap” yang terdiri dari norma-norma hukum lunak ini berkembang menjadi dimensi-dimensi raksasa, yang sering kali tak
terlihat, dan merasuki hampir semua bagian kehidupan masyarakat Indonesia. Sistem ini telah menjadi satu-satunya cara efektif untuk “berpolitik” dan berdagang — dan akhirnya menjadi hukum. Metafor “aspal” ini tentunya tidak hanya terbatas pada korupsi dan lembaga peradilan. Subversi birokrasi, kejahatan negara serta perilaku kriminal, semua ini didorong oleh dinamika yang sama. Saya berpendapat bahwa kunci penciptaan negara “gelap” adalah kekerasan negara, yang digunakan untuk memaksakan kepatuhan. Kekerasan menjadi ketetapan yang berperan sebagai perekat sistem negara “gelap” ini. Begitu kuatnya, hingga bagi banyak orang hampir tak ada alternatif. Bersikap menurut jadi satu-satunya pilihan agar bisa bertahan secara finansial. Tapi bagi mereka yang memilih untuk bergerak di luar sistem ini, entah itu dalam bersaing sebagai kriminal, atau sebagai penentang yang berusaha menerapkan sistem negara yang resmi di atas negara “gelap” itu, akan menerima sanksi. Sanksinya berupa kemiskinan karena dikucilkan dari akses pada pekerjaan atau pendapatan, dan akhirnya: kekerasan. Mungkin salah satu bukti yang mengejutkan dari sistem korupsi “rahasia” dan kekerasan yang dibuat negara ini — sistem tak resmi yang dipaksakan formal, tapi juga birokratis — adalah pernyataan luar biasa yang diungkapkan oleh pejabat Departemen Tenaga Kerja dalam pengadilan pembunuhan Marsinah, seorang aktivis buruh, tahun 1993 (Fehring dan Lindsey, 1995). Pejabat ini menyatakan, apa pun sistem formal hubungan industri yang ada, masalah buruh di kawasan Sidoarjo (tempat Marsinah bekerja) nyata dilakukan oleh jaringan rahasia antara pemerintah, militer, dan karyawan, dan dipimpin oleh kantor kementerian di daerah. Selain itu, jaringan-jaringan serupa ada di seluruh Indonesia (Fehring dan Lindsey, 1995: 9). Negara Orde Baru ini jadinya adalah sebuah operasi preman. Tawar-menawar yang diajukan merupakan taktik mafia klasik: tawaran perlindungan (terhadap gali atau komunis, misalnya) atau hukuman dalam bentuk kekerasan brutal. Di sini, negara menjadi sebuah perusahaan yang beroperasi dengan gaya yang dipakai kriminal — preman atau, dalam istilah mereka sendiri, jawara, kata yang artinya sudah sama dengan bandit atau gangster, atau lebih umum lagi: “tukang ancam” (standover man).20 Seperti preman,
63
negara Indonesia masih menduduki posisi mendua, bertahan melalui penerimaan terpaksa ditambah dengan rasa takut: Di satu sisi, jawara dibenci karena beban ekonomi tambahan yang harus ditanggung orang, tapi di sisi lain, selalu ada usaha untuk tetap menjaga hubungan baik dengannya ... “Kalau kita baik pada mereka, mereka tidak akan mengganggu kita” (Barker, 1999: 121, n. 49). Kata-kata tadi juga dapat diterapkan pada campuran kekerasan dan korupsi Orde Baru yang terlihat pada Sistem Intelijen Sidoarjo: premanisme negara. Ini merupakan model penindasan dan intervensi negara yang jauh melebihi model kapitalisme negara otoriter Asia Timur, negara otoriter kapitalis (konstitusi ekonomi) yang dilontarkan Jayasurya (1999) dan nama lainnya, menyangkut sebuah negara sentral yang kuat dan punya komitmen pada perkembangan ekonomi. Sistem dan ideologi yang dilahirkan ini pernah diuraikan secara mengesankan oleh McLeod (2000) sebagai suatu bentuk waralaba (franchise) yang rumit. Secara sederhana, uang yang didapat dari perolehan-perolehan ilegal bergerak naik dari “pemegang waralaba” (pemegang jabatan) ke pimpinan “pemberi waralaba” — Soeharto dan lingkaran dalamnya — sebagai imbalan atas bantuan politis, perlindungan dan akses ke berbagai penghasilan. Analisis McLeod ini dapat dilihat sebagai sebuah interpretasi ekonomi dari kritik saya yang berbau politis akan “negara kriminal”. Campuran dari negara dan kejahatan, kebijakan ekonomi dan kekuasaan pribadi adalah hal-hal yang ingin dibongkar oleh LSMLSM anti-korupsi. Dengan kata lain, targetnya bukan hanya tindakan korupsi tapi struktur dasar dan cara negara dan sektor bisnis beroperasi.
Interpretasi Teoretis atas Korupsi dan Hukum
64
Masalah utama untuk dianalisis yang muncul dari model operasi negara “waralaba kriminal” bercap Soeharto ini adalah peran sistem tata pemerintahan, terutama hukum, sebagai alat utama pencegah perilaku korup. Terlihat jelas, gerakan LSM-LSM anti-korupsi
ini didasari pemikiran bahwa reformasi tata pemerintahan pada akhirnya akan mencegah korupsi. Tapi apakah asumsi ini benar? Ugo Mattei menyajikan suatu model untuk memahami hubungan atara korupsi, hukum dan tata pemerintahan. Analisis Mattei mengasumsikan, metode operasi sistem hukumlah kunci untuk memahaminya. Dan bila ini telah dimengerti, sifat dari sistem hukum itu akan menunjukkan cara menangani korupsi. ...ide sederhana di balik ini — tak terlalu baru dalam lingkaran perbandingan — yaitu dalam tiap masyarakat ada tiga sumber utama norma-norma sosial atau insentif sosial yang mempengaruhi perilaku seseorang: politik, hukum dan tradisi filosofis atau agama (Mattei, 1997: 12). Secara kontras, dalam sistem-sistem “Hukum Politis”, hal yang politis dan legal tidak dapat dipisahkan secara formal. Dalam sistem yang profesional sekalipun: politisi membuat hukum, hukum-hukum ini mengatur kegiatan politis, dan praktek hukum selalu mempunyai konotasi-konotasi politis, terutama bila negaranya adalah sebuah partai. Mattei menerima hal ini. Argumennya adalah dalam sistem “Hukum Politis”nya ini, ruang-ruang otonomi untuk hukum dan politik tidak ada. Artinya: ...hukum dalam makna profesional bukannya tidak ada, tapi sangat tersingkirkan dan lemah dibanding sumber-sumber pembuatan aturan sosial lainnya (terutama kekuasaan politis)... hasil dari pengadilan tergantung pada “siapa dia” dalam dunia politis...di bawah hukum politis, tidak ada hukum formal yang dapat dikenakan pada pemerintah. Pemerintah boleh saja mencoba menaatinya (misalnya: supaya sejalan dengan janji-janji yang diucapkan untuk memenuhi tuntutan lembagalembaga keuangan internasional yang berbau Barat), tapi kondisi sekitar dan keinginan untuk mempertahankan kekuasaan... membenarkan mereka untuk mengabaikan hukum formal. Dalam hukum yang berlaku sehari-hari, model pengambilan keputusan yang tidak formal berdasarkan kekuatan politis ini mewarnai seluruh sistem hukum ... “ketika manusia, dan bukan hukum, yang memerintah, orang biasanya merasa lebih waras mencari seorang pelindung yang kuat daripada harus memperjuangkan hak-hak legalnya melawan negara” (Mattei, 1997: 28-9).
65
Interpretasi Mattei terhadap “politik” sangat luas dan lebih didasarkan pada pengertian “kekuasaan” dibanding hanya mengaitkannya dengan lembaga-lembaga politis — pemerintah, parlemen, dan sebagainya. “Politik” dalam hal ini dapat mencakup, misalnya, budaya hukum dan “bentuk-bentuk lain dari regulasi sosial”. Dalam memahami kategori-kategori Mattei, juga penting untuk melihatnya sebagai hal yang tidak eksklusif. Dalam tiap sistem hukum, ketika satu pola bersifat hegemonis (atau menguasai), dua pola lainnya tidak menjadi hilang. Mereka akan memainkan peran lebih besar atau lebih kecil tergantung pada cakupan dari bentuk-bentuk alternatif kontrol sosial yang disisakan oleh pola hegemonis itu. Terkadang pola-pola non-hegemonis akan menentukan akibat hukum tertentu dengan cara tidak resmi, dan penuh sandi... (1997: 14) Jadi, sebuah “sistem hukum tidak akan pernah secara sempurna sejalan dengan pola hukum” (Mattei, 1997: 15). Pola-pola akan ada berdampingan, mungkin dalam bidang yang berbeda atau di waktu-waktu tertentu dalam keadaan tertentu.
“Hukum Politis” dan Korupsi Maka, kembali ke Indonesia dan korupsi, klasifikasi Mattei memberi kita suatu sistem hukum yang kuat warna politisnya. 21 Dalam pola ini, kita juga dapat menemukan sektor-sektor profesional yang tersisa (misalnya konsultan bisnis dan LSM-LSM legal yang terkemuka di Jakarta) dan suatu sektor tradisional yang lebih nyata, adat, dan syariah atau hukum Islam sebagai bagiannya (paling tidak di Indonesia). Baik adat dan syariah, pada waktu yang berbeda dan dalam batas-batas tertentu, bisa masuk ke dalam pola-pola politis (misalnya penyelesaian sengketa (ILSAC, 1996: 16-19); dan, yang ini jarang terjadi, ke dalam pola profesional; misalnya hukum pernikahan (Butt,1999) atau sengketa tanah (Fitzpatrick, 1999). 22
66
Alasan yang biasa diberikan guna menjelaskan kegagalan reformasi hukum adalah kegagalan orang Indonesia menerapkannya, entah itu karena ketidakmampuan (hukumhukum lemah, kurang terlatih dan lembaga-lembaga yang berkekurangan) atau ketidakpercayaan (penyogokan, pencurian atau oposisi politis). Tapi alasan ini tidak
tepat. Ketakpercayaan serta ketakmampuan bukan hanya dua dari sekian kendala; kedua hal inilah justru inti masalah. Masalahnya adalah penyebab utamanya, yaitu korupsi, yang tertanam dalam pola hukum politis, seperti dijelaskan Mattei: ...di dalam peraturan hukum profesional banyak aspek dari peraturan hukum politis yang disebut sebagai “korupsi”, dianggap sebagai penyakit, dan pada umumnya tidak diterima atau dipedulikan oleh para aktor sosial sebagai elemen struktural dari tatanan sosial... Memberi label “korupsi” pada perilaku tertentu yang melicinkan birokrasi, atau label “antidemokrasi” pada gaya kepemimpinan tertentu, tidak banyak membantu dalam memahami keseluruhan insentif sosial yang bermain dalam sistem-sistem hukum di bawah kekuasaan hukum politis ini. Pelabelan itu juga tidak membantu terjadinya transfer pengetahuan serta modal institusi secara besar-besaran ke dalam konteks-konteks tersebut. Transfer begitu saja tanpa mempertimbangkan perubahan lembaga yang akan mempengaruhi hukum yang diimpor, atau proses penolakan, akan membatalkan dampak sosial dari modal insititusional ini. (Mattei, 1997: 29-30). Dalam pandangan ini, reformasi yang berorientasi politis, termasuk misalnya memperkenalkan undang-undang anti-korupsi yang “profesional”, akan gagal, karena keseluruhan pola politis dari sistem hukum ini bergerak melawan implementasi profesionalisme, betapapun samar-samar atau terbatas bentuknya. Secara gamblang, upaya-upaya anti-korupsi akan selalu hancur melawan batu birokrasi (korup) dan pengadilan (korup) sebelum ada perubahan di lembaga-lembaga itu sendiri. Jadi dalam menilai prospek reformasi hukum yang efektif di Indonesia, jangan sampai kita menitikberatkan perhatian pada program-program atau berbagai jenis studi diagnostik dan rencana-rencana yang bertebaran di Jakarta. Kita harus pusatkan perhatian pada niat pemerintah untuk melakukan perubahan sistem besar-besaran, bergerak ke pola-pola perilaku hukum yang baru. Tanpa ini, undang-undang dan lembaga-lembaga baru akan musnah. Tentu saja, ini adalah pendapat para pemimpin LSM anti-korupsi ketika mereka secara tak langsung memakai interpretasi “kebatinan” Linnan akan reformasi hukum (1999: 2-3); negara tidak dapat mengubah dirinya sendiri. Hanya dengan merombak
67
kebudayaan nasional perubahan itu bisa terjadi, dan di sinilah LSM anti-korupsi melihat peran mereka. Sayangnya, tujuan-tujuan ini tampaknya berada jauh di luar jangkauan pemerintahan Presiden Wahid. Apakah hal ini juga di luar jangkauan LSM-LSM Indonesia?
Bagian 3: Menilai Upaya LSM Anti-Korupsi Terlepas dari retorika reformasi, pertanyaan yang jelas muncul dari analisis korupsi di Indonesia dalam Bagian 2 adalah: apakah LSM-LSM mampu memerangi hal yang telah menjadi problem sistemik yang mendominasi tidak saja sektor negara dan bisnis, tapi juga operasi sistem merupakan tantangan bagi pemerintahan di seluruh nusantara?
Ini LSM yang harus mempertahankan momentum reformasi anti-KKN.
Model Mattei memberi jawaban: “tidak, kecuali sistem tersebut dibuat baru”, pindah dari model Politis ke Profesional. Kelihatannya ini tak akan terjadi dalam waktu dekat. Pemerintahan yang sekarang telah kehilangan sebagian besar wewenangnya, juga kehilangan kendali praktis terhadap aparat negara, dan pemerintahan itu sendiri juga menghadapi tuduhantuduhan korupsi yang serius. Reformasi dihentikan oleh konflik yang meningkat antara Presiden dan DPR. Ini merupakan tantangan langsung bagi LSM-LSM anti-korupsi yang sekarang harus berusaha mempertahankan momentum reformasi anti-KKN tanpa dapat mengharapkan dukungan pemerintah atau lembaga-lembaga terpenting negara. Mereka terpaksa hampir sepenuhnya bergantung pada advokasi dan “sosialisasi” untuk bisa mengubah budaya-budaya dan perilaku institusional. Dalam interpretasi yang lebih besar, ini adalah proyek yang membutuhkan waktu puluhan tahun dan bukannya tahunan, sehingga untuk mengukur keberhasilannya tergantung pada jendela kronologis yang dipilih.
68
Tapi, gerakan anti-korupsi LSM menghadapi masalah-masalah lain dalam mengejar agendanya ini, kebanyakan masalah ideologis. Analisis Kennedy (1999) tentang hal yang ia sebut sebagai gerakan “anti-antikorupsi”, memberikan wawasan yang berguna bagi perdebatan (yang tak kunjung selesai) mengenai reformasi tata pemerintahan dalam gerakan reformasi Indonesia.
“Anti-AntiKorupsi” dan Permusuhan terhadap Donatur Luar Negeri Dalam bentuk paling sederhana, Kennedy memaparkan adanya masalahmasalah substantif dalam pemikiran dan kebijakan anti-korupsi: tidak ada konsensus universal yang mendukung program-program yang diajukan oleh badan-badan multilateral dan bilateral di negara-negara berkembang. Secara khusus ia mengemukakan bahwa oposisi anti-korupsi itu: ...sering kali menggunakan pesan moral (yang tampak menghina) dalam kampanye yang berusaha membuat usaha anti-korupsi tampak tidak adil bagi yang berada di pinggiran (yaitu, negara-negara berkembang) (1999: 458). Kritik ini berwujud tiga macam. Pertama adalah pernyataan yang sering terdengar bahwa asal dan nilai-nilai anti-korupsi datang dari Barat. Selain itu, anti-korupsi ini dianggap produk dari standar ganda, misalnya melobi dan membiayai kampanye di Washington bisa diterima tapi kalau dilakukan di Pakistan atau Indonesia menjadi korupsi. Persetujuan Transparansi Internasional yang terbuka dan sering kali berhasil terhadap politik hasil konsensus Washington dalam deregulasi ekonomi pasar merupakan salah satu contoh yang paling provokatif (Boswell, 1998). Kedua, pernyataan bahwa kebiasaan-kebiasaan umum di negara-negara berkembang mendapat kritik, padahal kenyataannya tindakan itu tidak berbeda dengan kebiasaan swasta di negara Barat yang sudah maju dan tidak disebut sebagai korupsi. Di sini Kennedy membandingkan Imelda Marcos dan koleksi sepatunya yang gila-gilaan dengan kekayaan Bill Gates dan gaya hidupnya (Kennedy: 457). Pembelaan ketiga yang sering dipakai adalah antikorupsi pada dasarnya “menyalahkan korban” karena membebankan tanggung jawab pada elit lokal di tingkat nasional, padahal: keputusan menyangkut modal asing dan mekanisme dari sistem dunia yang lebih luas jauh lebih penting (1999: 458). Sebenarnya ini bukan argumen untuk “anti- antikorupsi” yang sesungguhnya
69
tapi argumen “anti terhadap antikorupsi Barat”. Kennedy (1999: 458) menganggap itu “tidak tepat”, dengan menunjukkan bahwa bagaimanapun, kekayaan Marcos didapat dari perampokan terhadap negara yang pemerintahannya sudah dilucuti, sedangkan Gates — apapun hasil proses pengadilan Microsoft — bergerak dalam sistem yang berjalan baik, dengan kerangka peraturan yang ketat (karena itulah ada pengadilan). Dengan kata lain, memang terjadi situasi-situasi saat elit lokal non-Barat memang layak disalahkan karena telah membongkar seluruh sistem tata pemerintahan. Terlepas dari meyakinkan atau tidaknya pembelaan Kennedy ini, pertanyaan yang ia ajukan tentu mengena bagi LSM-LSM antikorupsi Indonesia. Kembali pada penjelasan saya sebelum ini mengenai sikap-sikap politis pimpinan LSM, orientasi Barat dari para pemimpin LSM GeRAK membuat mereka jadi sasaran empuk tuduhan yang dilancarkan oleh pihak radikal dalam gerakan anti-korupsi itu sendiri, bahwa mereka menurut saja kepada pihak Barat.
Dilema para Donor Sifat anti-Barat dari para kritikus anti-antikorupsi ini menimbulkan masalah besar bagi donor asing dan peminjam yang ingin bekerja sama dengan LSM-LSM antikorupsi. Sisi bagusnya, ini berarti bahkan pendukung LSM yang paling kuat pun akan segan untuk terlalu dekat dengan donor Barat. Buruknya, ini berakibat ditunjukkannya ketidakramahan yang terang-terangan.
70
Sikap ketidaksukaan ini muncul dengan adanya anggapan bahwa hampir semua lembaga asing tidak menentang hebatnya korupsi di bawah Soeharto, karena mereka saat itu aktif mendanai kebijakan pemerintah Indonesia. Banyak kritikus dari LSM Indonesia menganggap badan-badan asing itu telah kehilangan hak moral untuk ikut menentukan kebijakan anti-korupsi di Indonesia. Sulit untuk meyakinkan mereka bahwa banyak kesalahan yang dilakukan di masa lalu bukanlah alasan yang benar untuk menghentikan programprogram di sektor pemerintahan. Juga bahwa kerja sama antara LSM dan lembaga donor itu penting agar kesulitan masa lalu tidak terulang.
Apa pun masalahnya, di dalam negeri, jawaban berikut ini biasanya lebih bisa diterima dibanding respon lain yang sering terdengar, yaitu bahwa badan-badan donor asing tersebut tidak punya pilihan di masa Soeharto kecuali ikut serta. Beberapa donor mengatakan, kondisi rezim saat itu hanya memberi alternatif untuk sama sekali menarik diri, dan ini tidak mungkin dapat diterima. Hal ini biasanya membuat LSM-LSM mengatakan bahwa orang Indonesia juga berada dalam posisi yang sama. Seperti disajikan dalam Bagian 2, keterlibatan warga negara biasa dalam negara preman “gelap” terjadi karena tak ada pilihan. Karenanya LSM Indonesia memandang pihak asing sangat munafik kalau sekarang LSM Indonesia memandang mendorong reformasi anti-korupsi (lebih-lebih kalau ingin menghukum Indonesia dengan menuntut adanya tindakan pihak asing munafik kalau terhadap korupsi sebagai prasyarat untuk pemberian hibah kini mendorong reformasi dan pinjaman), padahal dulu pihak luar negeri sendiri turut anti-korupsi. serta dalam korupsi. Kenyataannya adalah, seperti dikatakan Kennedy, “kampanye-kampanye anti-korupsi... sangat ideologis” (1999: 468) dan karenanya, bersifat politis. Badan-badan bilateral dan multilateral harus sadar akan hal ini dan mengerti bahwa pemberantasan korupsi dipandang oleh orang Indonesia sebagai masalah Indonesia, bukan urusan lembaga-lembaga asing, yang harus mulai berhati-hati dalam mengembangkan kebijakan anti-korupsi. Kalau tidak, bisa terjadi perpecahan dalam komunitas LSM antara mereka yang senang untuk berurusan dengan donor Barat dan mereka yang enggan; serta antara kelompok dengan cara berpikir yang beda aliran seperti yang dibicarakan di Bagian 1. Ini akan sangat kontraproduktif bagi tujuantujuan para donor, dengan pertimbangan LSM-LSM saat ini sangat penting artinya bagi keberhasilan usaha-usaha anti-korupsi di Indonesia di masa depan.
Masa Depan Seperti yang diutarakan Esty (1998: 716) mengenai sikap WTO pada LSM, dan yang dikatakan Al-Jurf mengenai Bank Dunia (1999), organisasi-organisasi besar
71
internasional harus menghapus pandangan lama bahwa LSM itu tidak relevan atau berbahaya, dan mereka pun harus membuka hubungan. Ruang persaingan yang mereka sediakan untuk pemerintah harus dilihat sebagai satu kebutuhan dan “menajamkan... kinerja sistem peraturan” (Esty, 1998: 716), dalam hal ini kinerja pemerintah tuan rumah dan organisasi-organisasi internasional. Hal ini khususnya berlaku bagi prakarsa-prakarsa anti-korupsi di Indonesia. Pemerintah sekarang ini tidak punya wewenang politis yang dibutuhkan untuk melanjutkan reformasi anti-korupsi atau bahkan untuk menerapkan apa yang telah dimulai (Lindsey, 2001). Kemungkinannya, lembaga-lembaga negara sudah begitu sarat dengan korupsi, atau dibuat terhuyung-huyung oleh perlawanan elit (Lindsey, 2001b). Inisiatif dan kepemimpinan intelektual tetap berada di sektor LSM dan di jaringan profesional swasta. Dalam jangka pendek, tidak banyak hal lain yang bisa secara efektif didukung dan diperkuat untuk tujuan-tujuan anti-korupsi kecuali LSM. Meski begitu, memberi bantuan pada sektor ini tidak sederhana, tidak mudah karena keragamannya dan, untuk kembali ke diskusi awal tulisan ini, karena kemandirian LSM yang relatif dari berbagai mekanisme kontrol politis dan sektor bisnis. Tapi ada beberapa prinsip pemberian bantuan yang bisa ditarik dari analisis tersebut:
• LSM pada hakikatnya sangat berharga, sebagai pemimpin gerakan reformasi anti-korupsi. Mereka juga bernilai sebagai penghubung ke pemerintah dan lembaga-lembaga negara terutama berkaitan dengan pengembangan kebijakan.
• GeRAK merupakan mekanisme yang berguna bagi interaksi donor dengan LSM-LSM antikorupsi. Badan ini dapat bertindak sebagai filter, yang memilah LSM bagus dari LSM sampah, juga sebagai jalur komunikasi untuk pertukaran informasi. Secara institutional GeRAK harus diperkuat, berdasarkan beberapa hal berikut:
• Dukungan untuk LSM-LSM anti-korupsi harus tersebar. Sindrom “satu keranjang” harus dihindari. Bantuan harus diberikan pada berbagai macam LSM agar memperoleh campuran antara LSM-LSM “advokasi”, “riset” dan beberapa LSM “isu lokal”.
72
• Sama halnya, beberapa LSM yang bukan GeRAK juga pantas mendapat dana.
Tokoh-tokoh anti-korupsi tidak bisa hanya dipilih berdasarkan satu jaringan atau kelompok.
• Bantuan harus disebarkan untuk pengembangan kebijakan selain proyek-proyek sosialisasi”.
• Para pendana harus menyadari kepekaan akan “kepemilikan” lokal dari kebijakan dan kegiatan anti-korupsi. Sikap-sikap LSM terhadap Barat tidak seragam.
• Terlalu dekat dengan LSM-LSM tertentu dapat menjadi kontraproduktif baik bagi pendana maupun LSM penerima dana. Tanggapan yang berhati-hati akan tuduhan ikut terlibat dalam KKN Orde Baru harus dipersiapkan.
• Ada sinisme yang kuat di antara banyak pimpinan LSM terhadap pemimpin-pemimpin nasional saat ini. Juga ada perkiraan bahwa reformasi yang sejati tak akan terjadi sampai generasi baru menggantikan mereka. Para donor perlu menyadari adanya sikapsikap ini dalam perencanaan dan penerapan berbagai program serta proyek anti-korupsi.
• Sangat tidak mungkin gerakan anti-korupsi di Indonesia berhasil menciptakan “pergeseran budaya” besar-besaran dan menciptakan kembali sistem-sistem peraturan negara dalam jangka pendek. Perencanaan program harus dibuat dengan mengingat hal ini, dengan target jangka menengah sampai jangka-panjang. Hindari target-target ambisius, berikan prioritas pada proyek-proyek embrio yang kecil dan beragam. Sekali lagi, targetkan bantuan pada cakupan yang beragam. Jangan mempunyai harapan terlalu tinggi. Proyekproyek tidak boleh dirancang untuk gagal.
• Reformasi anti-korupsi ini hanya akan dapat tercapai bila melibatkan LSM sebagai pemeran utama.
Catatan: * Saya ingin menyampaikan terimakasih atas bantuan riset Amanda Whiting dari Asian Law Centre. Segala bentuk kesalahan adalah kesalahan saya. 1
Istilah ‘masyarakat madani’ (civil society) menjadi terkenal setelah Earth Summit tahun
73
1993 saat deklarasi Summit itu, disebut “Agenda 21”, secara khusus menggunakan istilah itu pertama kalinya dalam sebuah dokumen resmi internasional. Istilah ini juga terkenal ketika Uni Soviet runtuh, dari pernyataan yang dikeluarkan oleh organisasio r g a n i s a s i s e p e r t i S o l i d a r i n o s c d a r i Po l a n d i a d a n E c o - F o r u m d a r i B u l g a r i a y a n g memproklamirkan keinginan warga negara untuk berinteraksi sebagai “civil society” di luar kekuasaan negara. Sejak itu, istilah ini bagai menjadi ‘mantra’ dalam pembangunan karena baik pemerintah maupun donor internasional menyatakan betapa pentingnya masyarakat madani itu, walaupun tanpa kesepakatan jelas arti istilah itu (Holloway dan Anggoro, 2000: 4). Dikutip dari Steiner and Alston (2000: 938). Holloway dan Anggoro (2000: 4), secara khusus tidak memasukkan keluarga: “masyarakat madani merupakan kehidupan timbal balik antara keluarga dan negara. 2
3
Paragraf ini diambil dari Steiner dan Alston (2000: 939).
Pasal 71: “Dewan Ekonomi dan Sosial berhak menyusun peraturan yang dibutuhkan untuk pembicaraan resmi dengan organisasi-organisasi nonpemerintah yang kredibel dalam bidangnya. Pembicaraan kedua pihak itu bisa dilakukan dengan organisasi internasional dan, jika diperlukan, dengan organisasi nasional setelah dibicarakan dengan anggota PBB yang bersangkutan. PBB juga telah mengakui bahwa “organisasi-organisasi tersebut harus diberi kesempatan untuk mengemukakan pandangan-pandangan mereka, dan mereka harus memiliki pengalaman khusus atau pengetahuan tehnik yang berguna bagi kerja Dewan (Ekonomi dan Sosial)” (PBB, 1999). 4
Pelat merah, pelat nomor untuk kendaraan pemerintah. Saat anggota GONGO melakukan pemantauan program JPS, mereka menggunakan kendaraan pemerintah (Holloway dan Anggoro, 2000: 35). 5
6
Korupsi, Kolusi, Nepotisme.
Sistem korupsi negara ini, bahkan kriminalitas, dikaji secara lebih terinci dalam Bagian II. 7
Hal ini dan paragraf-paragraf berikutnya di bawah subjudul ‘LSM Hukum dan Antikorupsi’ diambil sebagian dari Lindsey, 2000e 8
74
9
Mengenai sejarah LBH, lihat Lev (1972).
10
Aliansi Jurnalis Independen
11
GeRAK sering disebut sebagai “GRAK’
12
Pembicaraan pribadi dengan Nizar Suhendra, Jakarta, February 2001
13
Pembicaraan pribadi dengan Hamid Chalid, Jakarta, Maret 2001
14
Contohnya Teten Masduki dan Hamid Chalid
Sikap-sikap GeRAK yang dijabarkan dalam paragraf-paragraf berikut diambil dari wawancara dengan anggota GeRAK di Jakarta bulan Februari dan Maret 2001. 15
16
Untuk integralistic staatside lihat Lindsey (1999: 11-20)
Undang-undang ini dibubarkan oleh Presiden Soekarno melalui keputusan sepihak (dan mungkin juga ilegal) untuk kembali ke UUD 1945 di Bulan Juli 1959, tetapi kehancuran demokrasi parlementer terjadi dua tahun sebelumnya dengan dinyatakannya UU darurat yang disebut sebagai “Keadaan Perang dan Darurat” 17
18
Bagian ini banyak diambil dari Lindsey (2000 b dan c; dan 2001)
Korupsi yang mendarah daging dalam kehidupan umum (public life) Indonesia bukanlah suatu kebudayaan yang diwarisi dalam sistem informal, yang sering kali diperdebatkan. Hal ini tidak juga disebabkan oleh pilihan orang-orang Asia untuk penyelesaian sengketa yang informal atau berakar dalam kebudayaan korupsi atau informalitas. Menurut saya ini merupakan respon logis pada keadaan yang ada sesuai dengan pendapat Taylor dan Pryles (1997). 19
Preman adalah jago-jago yang ditemukan diseluruh Indonesia yang hidupnya dari rente ilegal atau japrem (jatah preman) yang didapatkan dari orangt-orang yang mata pencahariannya berasal dari bisnis yang berada di daerah preman tersebut, daerah yang telah dimenangkan dengan mengalahkan preman lain (Barker, 1999: 119-22). Berasal dari bahasa Belanda yang berarti ‘orang bebas’ biasanya dipergunakan untuk tentara-tentara ireguler atau yang didemobilisasikan. Dalam arti sehari-hari kata ini artinya tumpang tindih dengan jago (yang artinya ayam adu), yaitu dalam tradisi desa kuno orang kuat yang dalam konteks urban menjadi kepala geng; bandit rampok; dan laskyar, milisi atau kekuatan ireguler, terutama selama masa revolusi. 20
75
Meskipun Mattei kelihatannya berpendapat kalau pola-pola hukum tradisional lebih dominan di ‘Cina dan negara-negara Asia’ (1997: 33). 21
22
Bagian ini diambil dari Lindsey (2001b).
Kepustakaan Al-Jurf, Saladin (1999) “Participatory Development and NGOs: A Look at the World Bank”, 9, Transnational Law and Contemporary Problems 175. Barker, Joshua (1999), “Surveillance and Territoriality in Bandung”, dalam Vicente L Rafael (ed), Figures of Criminality in Indonesia, the Philippines, and Colonial Vietnam, Southeast Asia Program Publications, Cornell University, Ithaca, 95-127. Bourchier, David (1999), “Positivism and Romanticism in Indonesian Legal Thought”, dalam Lindsey (1999a), 186-196. Boswell, Nancy Zucker (1998), “New Players to Combat Transnational Bribery: The Contribution of the Civil Society/NGO Sector”, 92, American Society of International Law Proceedings, April 1-4, 165. Budiman, Arief (1990), State and Civil Society in Indonesia, Monash Papers on Southeast Asia No. 22, Centre of Southeast Asian studies, Monash University, Clayton. Charnovitz, Steve (1997), “Two Centuries of Participation: NGOs and International Governance”, 18, Michigan Journal of International Law 183. Cribb, Robert (1991a), Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and the Indonesian Revolution 1945-1949, University of Hawaii Press, Honolulu. Cribb, Robert, (ed) (1991b), The Indonesian Killings 1965-1966: Stories from Java and Bali, Monash Papers on Southeast Asia No. 21, Monash University, Clayton, edisi kedua. Esty, Daniel C. (1998), “Linkages and Governance: NGOs at the World Trade Organization”, 19, University of Pennsylvania Journal of International Economic Law 709.
76
Fehring, Ian, dan Tim Lindsey (1995), Indonesian Labour Law Under the New Order: The Military and Prospects for Change, Working Paper, Centre for Employment & Labour Relations, University of Melbourne.
INFID (1999), “Statement by the 12th INFID Conference”, Bali, Indonesia, September 14-17, 1999. (
) Jakarta Post, 3 April 2001, “Supreme Court Denies Lack of Transparency”. Khan, M H & K S Jomo (eds), (2000), Rents, Rent-Seeking and Economic Development: Theory and Evidence in Asia, Cambridge U P, Cambridge. Jayasuriya, Kanishka (1999), “The Rule of Law and Governance in the East Asian State”, The Australian Journal of Asian Law, Vol.1, No.2. David Kennedy (1999), “The International Anti-Corruption Campaign,” 14, Connecticut Journal of International Law 455. Kreuger, Anne (1974), “The Political Economy of Rent-Seeking Society”, American Economic Review, 64(3): 291-303 Lindsey, Tim dan Drew Duncan (eds) (1999b), Prospects for Reform in Post-Soeharto Indonesia, British Columbia, Centre for Asia Pacific Initiatives, University of Victoria. Lindsey, Tim (2000) (ed), Indonesia: The Commercial Court and Law Reform in Indonesia, Sydney, Federation Press. Lindsey, Tim (2000b), “Black Letter, Black Market and Bad Faith: Corruption and the Failure of Law Reform”, dalam Chris Manning dan Peter van Dierman, Indonesia in Transition: Social Aspects of Reformasi and Crisis, CSEAS, Singapore, 278-292. Lindsey, Tim (2000c), “Judiciary System Reform may be Slow but It is Coming”, Jakarta Post, 21 Desember. Lindsey, Tim (2000e), “Legal Institutions Review: Indonesia — Report to AusAID”, laporan kepada AusAID. Lindsey, Tim (2001), “From Soepomo to Prabowo: Violence and the Criminal State in Indonesia”, dalam Charles Coppel (ed), Violent Conflicts in Indonesia, Curzon, akan terbit. Lindsey, Tim (2001b), “Abdurrahman, the Supreme Court and Corruption: Viruses, Transplants & the Body Politic in Indonesia”, dalam Arief Budiman dan Damien Kingsbury, Indonesia: An Uncertain Transition, Crawford, Adelaide, akan terbit.
77
McLeod, Ross (2000), “Soeharto’s Indonesia: A Better Class of Corruption”, Agenda, Vol.7, No.2, 99-112. MTI (2001), “Evaluation of the Anti-corruption Movement in Indonesia: Repairing Institutions and Strengthening Community Participation”, laporan kepada AusAID. Myres S. McDougal, Harold D. Lasswell dan W. Michael Reisman, “The World Constitutive Process of Authoritative Decision”, dalam Myres S. McDougal dan W. Michael Reisman, eds. (1981), International Law Essays: A Supplement to International Law in Contemporary Practic. Onek, Joseph, 1999, Contribution to ‘LPIB Roundtable on Global Corruption’ 31 Law and Policy in International Business 195, 205-211. Rich, Roland et. al., 2000, Report of the Indonesia Governance Sector and identification Mission, report to AusAID, copy on file with author Siegel, James T, 1999, ‘A New Criminal Type in Jakarta: The Nationalisation of Death’, in Vicente L Rafael (ed), Figures of Criminality in Indonesia, the Philippines, and Colonial Vietnam, Southeast Asia Program Publications, Cornell University, Ithaca, 210-230 Steiner, Henry and Philip Alston, International Human Rights in Context: Law, Politics and Morals, Second Edition, Oxford University Press, Oxford, 2000 Sulistyadi, Happy (2000), ‘Korupsi Miliaran Dituntut Bulanan’, Tempo, 13 Agustus. Taylor, Veronica & Michael Pryles, 1997, ‘The Cultures of Dispute Resolution in Asia’, Michael Pryles (ed), Dispute Resolution in Asia, Netherlands, Kluwer Law International, 1-45. United Nations, 1999, Basic Facts Abut the United Nations, Sales No. E.98.1.20 — Press Release ORG/1277, 4 January. Zemenides, Endy, et al, 1999, ‘LPIB Roundtable on Global Corruption’, 31 Law and Policy in International Business, Fall 1999, 195.
78
Korupsi dalam Perspektif Budaya dan Syariat Islam Oleh Masdar F. Mas’udi
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Kehidupan beragama pada tataran ritual dengan segala sarana dan prasarananya seperti masjid, majlis taklim, madrasah dan perayaan hari besar dan upacara keagamaan Islam menunjukkan tingkat perkembangan yang pesat. Demikian pula, jumlah jamaah haji Indonesia tercatat yang terbesar di dunia meskipun harus membayar biaya perjalanan paling mahal. Namun demikian, semarak kehidupan beragama terbukti sama sekali tidak berdampak pada pembentukan ahlak dan moralitas kehidupan sosial, nasional dan bernegara. Konflik dan kekerasan berdarah antara kelompok dengan latar belakang kesukuan, agama dan etnis menjadi-jadi di mana-mana. Indonesia terus menduduki peringkat teratas di Asia dan peringkat ketiga di dunia dalam bidang korupsi. Ungkapan paradoksal “korupsi telah mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia” sudah sejak lama tidak mampu menggugah kesadaran orang-orang yang justru mengaku taat beragama.
Siksa dan Pahala Tindakan manusia dilihat dari kacamata Syariat Islam sebagai hukum moral dipilah dalam lima (5) kategori. Pertama, tindakan wajib, yakni tindakan yang dapat mendatangkan
79
pahala bagi pelakunya dan mendatangkan siksa bagi yang mengabaikannya; misalnya menindak koruptor secara sungguh-sungguh. Kedua, tindakan sunnah, yaitu tindakan yang mendatangkan pahala bagi yang melakukannya, tapi tidak mengakibatkan siksa bagi yang mengabaikannya. Ketiga, tindakan haram (lawan dari wajib) adalah tindakan yang mendatangkan siksa bagi yang menjalankannya dan mendatangkan pahala bagi yang sengaja meninggalkannya; contohnya adalah korupsi. Keempat, tindakan makruh (lawan sunnah), yakni tindakan yang mendatangkan pahala bagi yang meninggalkannya, tapi tidak mendatangkan dosa bagi yang melakukannya. Kelima, tindakan mubah, diartikan sebagai Yang secara terinci tindakan yang tidak mendatangkan pahala maupun siksa bagi dibahas Al-Quran adalah yang menjalankan atau meninggalkannya.
soal uang karena ia paling primer dan sensitif dari seluruh persoalan negara.
Dalam wacana Syariat Islam suatu perbuatan yang secara moral tercela disenyawakan dengan ancaman siksa, sedangkan perbuatan yang terpuji senantiasa didampingi pahala. Aspek ini telah memberi nuansa legalistik dan kemudian formalistik pada Syariat Islam. Penegakannya bergantung pada sanksi. Ia cenderung diletakkan dalam aturan tertulis, formal, eksplisit dan sekaligus ditopang otoritas yang memaksa, baik secara ukhrawi (akhirat) maupun duniawi (negara). Kaidah-kaidah moralitas, walaupun cukup bersifat “positif”, diserahkan pematuhannya pada hati nurani individual, dan topangan akal budi. Nomenklatura Syariat Islam
80
Sebagai istilah, money politics baru menjadi populer di Indonesia di sekitar pertengahan dasawarsa 1990-an, menjelang pemilihan umum pertama setelah Soeharto jatuh. Ketika itu skandal Bank Bali terbongkar dan melibatkan sejumlah fungsionaris Partai Golongan Karya. Bila orang berbicara tentang money politics maka yang dimaksudkan adalah penggunaan uang untuk membeli dukungan politik melalui transaksi jual beli suara. Uang yang digunakan untuk menjualbelikan dukungan politik biasanya bersumber pada negara.
Istilah money politics jelas tidak ada dalam kamus Syariat Islam. Dalam peristilahan Inggris saja relatif muda usianya. Begitu pula, bila orang berbicara tentang “negara”, pokok bahasan hampir selalu berkisar pada masalah seperti “sumber kedaulatan”, “bentuk pemerintahan”, “pemisahan dan pembagian kekuasaan”, “konstitusi”, dan sebagainya. Masalah-masalah tersebut memang penting, tapi hampir tak disinggung dalam Al-Qur’an maupun hadits Rasulullah SAW. Yang secara eksplisit dan mendetil digariskan adalah konsep keuangan negara: Dari mana atau dari siapa ia dihimpun, untuk apa atau kepada siapa ia dibagi-bagikan (tasaruf), apa saja yang termasuk wewenang pemerintah, dan apa pula kewenangan rakyat? Yang secara terinci dibahas dalam Al-Qur’an adalah soal uang karena ia merupakan masalah yang paling primer dan sensitif dari seluruh persoalan negara. Keputusan apa pun yang diambil negara tiada artinya tanpa dukungan dana. Praktek kenegaraan yang paling erat berkaitan dengan moralitas adalah penggunaan dan penyalahgunaan uang negara. Makalah ini mendekati masalah korupsi, khususnya money politics, dari segi Syariat Islam. Yang juga ditelaah dari sudut pandangan Syariat adalah sumber daya atau dana yang digunakan untuk membiayai money politics.
Serangan Fajar Praktek money politics dalam arti jual beli suara sudah hadir di Indonesia sejak pemilihan umum pertama (1971) jaman Soeharto. Sejak itu, setiap kali pemilihan umum diselenggarakan, para pejabat pemerintah Soeharto, pada tingkat pusat maupun daerah, berupaya sekuat tenaga mereka untuk memenangkan Golkar, organisasi politik pendukung pemerintah. Yang paling berkesan bagi rakyat kecil adalah operasi yang diberi nama sandi “Serangan Fajar”. Dalam operasi tersebut segenap aparat desa dan kader Golkar menjelang subuh pada hari pemungutan suara mendatangi rumah penduduk satu per satu. Mereka mempengaruhi rakyat pemilih dengan imbalan uang atau barang, atau bahkan ancaman agar di bilik pencoblosan tanda gambar nanti memilih tanda gambar Golkar.
81
Di samping operasi “Serangan Fajar” pada subuh hari H, Golkar juga tak segansegan menggunakan uang untuk mempengaruhi para saksi dan segenap aparat penyelenggara pemilihan umum untuk melakukan segala-galanya demi kemenangan partai pemerintah. Menjelang pemilihan umum para petinggi pemerintah, yang juga menjabat sebagai fungsionaris Golkar, rajin berkunjung ke pondok-pondok pesantren untuk membagi-bagikan uang dan bantuan lain dengan harapan agar para kiai dan segenap santri mereka bersedia mendukung Golkar. Ada yang memenuhi harapan Golkar, ada yang memenuhi dengan setengah hati, dan ada yang secara sadar ingkar janji. Sebenarnya setiap partai politik ingin melakukan praktek money politics, akan tetapi hanya Golkar-lah, setidaknya selama kejayaan pemerintahan Soeharto, yang memiliki dana hampir tanpa batas untuk melancarkan operasi money politics secara besar-besaran. Namun demikian, perlu dicatat bahwa money politics tidak hanya diselenggarakan dengan modal uang; modal dapat berbentuk kewenangan membagibagikan jabatan atau fasilitas yang bisa mendatangkan uang. Sebagai ilustrasi saja, setiap kali ada pemilihan gubernur, Ketua Dewan Pembina Golkar sudah menentukan calon pilihannya sebelum proses pemilihan dimulai. Para anggota DPRD I yang secara formal berhak memilih akan dengan sendirinya menyesuaikan pilihan mereka pada calon titipan Ketua Dewan Pembina. Dengan demikian para wakil rakyat di tingkat provinsi bisa mempertahankan kedudukannya yang “basah”, sedangkan calon gubernur “anak emas” siap-siap menyetor dana ke “atas”.
Mempertukarkan Allah SWT
82
Anatomi praktek money politics dengan jelas menunjukkan bahwa ia sekadar merupakan suatu jenis suap. Dalam bahasa Syariat Islam ia disebut risywah, suatu pemberian yang bernilai material, atau yang dijanjikan kepada seseorang dengan maksud mempengaruhi keputusan pihak penerima agar menguntungkan pihak pemberi secara melawan hukum. Keuntungan dapat diterima secara langsung oleh pihak pemberi, ataupun tidak langsung melalui pihak yang mempunyai hubungan kepentingan dengan pemberi.
Di jaman dahulu kala, baik jaman Sebelum Masehi maupun masa Rasulullah SAW, orang menyuap untuk mempengaruhi keputusan seorang hakim dalam perkara yang menyangkut kepentingan si pemberi suap. Dalam perkembangannya praktek suap menjalar ke luar ruang pengadilan, dan masuk ke setiap bidang kehidupan masyarakat di mana yang berkuasa berwenang mengambil keputusan yang bisa membahagiakan atau menyengsarakan orang. Akhirnya praktek suap merasuk ke wilayah politik. Istilah money politics lazimnya merujuk pada praktek suap-menyuap untuk mempengaruhi suatu keputusan politik, yang pada akhirya menjelma dalam bentuk kepentingan ekonomi. Apa yang dimaksud dengan “mempengaruhi suatu Dalam bahasa Syariat keputusan”? Sudah menjadi suatu aksioma hukum dan ia disebut risywah, keadilan bahwa dalam memutus sesuatu perkara seorang hakim tidak boleh terpengaruh atau dipengaruhi oleh orang suatu pemberian agar atau pihak lain mana pun. Prinsip independensi ini tidak hanya wajib dijunjung tinggi oleh seorang hakim dalam menguntungkan pihak pemberi mengambil keputusan hukum di pengadilan, tetapi juga secara melawan hukum oleh setiap pejabat yang telah diberi amanat mengemban suatu kekuasaan publik. Pertanyaannya: Apa sesungguhnya yang menjadi tolok ukur independensinya dalam mengambil suatu keputusan? Dalam khazanah Islam dinyatakan bahwa maksud penciptaan manusia tidak lain kecuali untuk beribadah (mengabdi) kepada Allah SWT. Yang dimaksudkan dengan “ibadah” adalah berbuat baik terhadap sesama yang dilakukan semata-mata untuk mendapatkan kasih dan rida-Nya. “Wa maa khalaqtu al-jinn wa al-ins illa li ya’budun” — Tidak diciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepada Allah (Al-Dzaariyat: 56). Dalam ayat lain dinyatakan bahwa sebagai mahluk yang dibekali akal budi, manusia adalah khalifah (wakil) Allah di muka bumi (Al-Baqarah: 30). Sebagai hamba Allah dan khalifahNya, maka segala keputusan dan tindakan yang diambilnya haruslah dipertanggungjawabkan kepadaNya dan dihayati sebagai persembahan untukNya. Dalam bahasa teologis (Islam), tolok ukur independensi yang dimaksud adalah Allah itu sendiri, sebagai Yang Maha Benar dan Maha Adil, atau sebagai Kebenaran (al-Haq) dan Keadilan (al-Adl) per se.
83
Independensi, dengan demikian, tidak diukur pada keteguhan seseorang untuk mengambil keputusan semata-mata atas “kemauan dan pertimbangan sendiri” dengan menutup telinga terhadap aspirasi, saran, bujukan ataupun intimidasi dari orang lain. Independensi adalah keteguhan hati seseorang untuk mengambil keputusan semata-mata demi Kebenaran dan Keadilan-Nya. Tidak menjadi masalah, apakah keputusan yang diambilnya itu sejalan atau tidak sejalan dengan suara, saran atau bahkan paksaan dari orang lain. Suap, sebagai perbuatan mempertukarkan Allah (baca: Kebenaran dan Keadilan) dengan sesuatu yang bersifat materi, dengan demikian merupakan tindakan yang dikutuk, tidak hanya oleh manusia, akan tetapi juga oleh Allah. Manusia patut mengutuk praktek suap karena kerugian material maupun sosial yang ditimbulkannya. Dengan suap yang diterima oleh seorang hakim, maka seseorang terpaksa harus kehilangan sebidang tanah yang menjadi haknya. Dengan suap untuk seorang penguasa, maka seseorang terpaksa harus kehilangan kesempatan menjalankan suatu proyek tertentu yang menjadi haknya. Dengan suap yang diberikan kepada seorang atau banyak orang, maka jabatan lurah, bupati, gubernur atau presiden dapat bergeser kepada mereka yang kurang atau tidak berhak memikulnya. Kerugian akibat suap pada akhirnya bukan saja dirasakan oleh perorangan yang menjadi korban, akan tetapi oleh masyarakat secara keseluruhan.
Kepentingan publik, khususnya golongan lemah, acap diidentikkan sebagai kepentingan Allah, haq Allah atau sabil Allah.
84
Dalam wacana teologi (Islam), kepentingan publik dan khususnya kepentingan golongan yang lemah, acapkali diidentikkan sebagai kepentingan Allah, haq Allah atau sabil Allah. Oleh sebab itu, karena praktek suap secara nyata berlawanan dengan prinsip pemihakan pada Kebenaran dan Keadilan sebagai kepentingan bersama, maka Allah benarbenar telah menyatakan kutukan atasnya. Dalam salah satu haditsnya Rasulullah menegaskan: “La’ana allah al-raasyi wa al-murtasyi” (Allah mengutuk orang yang memberi suap dan yang menerima suap) (HR. Bukhari-Muslim). Dengan ancaman laknat atau kutukan Allah baik terhadap pemberi (al-raasyi) maupun penerima (al-murtasyi), hadits ini menegaskan bahwa suap merupakan tindakan yang sangat tercela dan dibenci oleh agama, atau hukum moral.
Dengan demikian, maka money politics sebagai salah satu jenis suap adalah tindakan yang dapat mendatangkan siksa dari Tuhan bagi pelakunya, baik bagi pihak yang memberi (al-raasyi) maupun yang menerima (al-murtasyi). Sebaliknya, barangsiapa yang secara sadar berusaha menghindarkan diri dari praktek money politics dan jenis suap lainnya, maka untuknya janji pahala dari Tuhannya. Janji pahala ini bahkan bukan saja diberikan untuk mereka yang menolak menerima atau memberi suap. Mereka yang melakukan ikhtiar, baik secara perorangan maupun bersama, untuk membendung terjadinya praktek korupsi dalam kehidupan masyarakatnya pun mendapatkan janji pahala yang sama.
Alasan Kemiskinan Dalam pelbagai dokumen keagamaan Islam, terutama di lingkungan kaum sufi, selalu disebut tiga hal sebagai sumber segala kejahatan (ra’su kulli khathi’ah) dalam kehidupan manusia. Yang pertama adalah kemiskinan, disusul oleh ketidaktahuan, dan ditutup oleh kerakusan. Alasan kemiskinan sebagai pendorong atau penggoda untuk menerima suap d i g a r i s b a w a h i d a l a m s e b u a h h a d i t s N a b i . Ke m i s k i n a n t i d a k h a n y a d a p a t menjerumuskan seseorang ke dalam tindak kejahatan, namun dapat juga menceburkannya ke dalam kekufuran, yakni pengingkaran total terhadap Tuhan dan nilai-nilai kebenaran dan keluhuran lainnya. Kaada al-faqr an yakuuna kufra — Hampirhampir kefakiran itu menjelma menjadi kekufuran itu sendiri. Memang tidak terlalu sulit untuk menjelaskan mengapa rakyat yang rata-rata serba kekurangan, tanpa pikir panjang bersedia mempertukarkan suara (kedaulatannya) politiknya dalam pemilihan umum dengan sedikit imbalan materi. Dalam serba kekurangannya hak suara politik menduduki tempat yang tak berarti dalam skala prioritas seorang yang miskin. Untuk mengatasi kemiskinan yang telah menyebabkan rakyat terjerumus dalam dosa money politics dengan menjualbelikan suara (kedaulatannya) seharusnya pemerintah menyelenggarakan pembangunan yang mengutamakan kepentingan rakyat
85
banyak. Tugas utama negera untuk melakukan segala upaya untuk memberdayakan ekonomi masyarakat yang kurang mampu. Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 sendiri sudah menugaskan hal itu kepada negara. Untuk ini, Islam memberikan kewenangan kepada negara untuk memungut pajak dari mereka yang mampu; bukan untuk kepentingan para pejabatnya, melainkan untuk kepentingan segenap rakyat dengan mendahulukan mereka yang kurang mampu (At-Taubah: 60). Sungguh rapuh gagasan terwujudnya kehidupan masyarakat yang taat beragama, bermoral dan berbudi luhur tanpa ditopang tingkat kesejahteraan ekonomi yang menjamin pemenuhan kebutuhan pokok warganya. Al-Qur’an menegaskan bahwa kesejatian beragama seseorang tidak diukur dengan tingkat kesetiaannya datang ke masjid, melainkan dengan kesungguh-sungguhannya dalam upaya memecahkan persoalan “pangan” dan kebutuhan pokok lainnya. Sufyan alTsauri, seorang sufi terkemuka, mengatakan, “Barangsiapa yang punya roti, beribadahlah, sementara yang belum, carilah”.
Alasan Tidak Tahu
86
Alasan “tidak tahu” bahwa jual beli hak suara melanggar norma moral dan kaidah agama berkaitan dengan pola budaya suatu masyarakat. Ada indikasi kuat bahwa bagi kebanyakan masyarakat kita, baik yang miskin maupun yang berkecukupan, masih merasa samar tentang status imoralitas (jahatnya) praktek money politics. Ada pertanyaan kecil dalam benak mereka, apa salahnya menerima pemberian; dan sebagai imbalannya, apa salahnya membalas “kebaikan” hati si pemberi dengan suatu hak suara yang toh kecil nilainya untuk orang miskin; lagi pula, antara kedua pihak, tidak ada ancam mengancam ataupun paksa memaksa. Apa yang kita kutuk sebagai money politics, bagi mereka merupakan sekadar ritual saling memberi/menerima, atau tolong menolong, dan itu merupakan kebiasaan yang mulia. Paling banter, money politics menyerupai transaksi jual beli biasa yang setiap hari dilakukan oleh semua orang di pasar, di kedai, di kantor, dan seterusnya. Di situ tidak ada yang salah dan tidak ada yang harus disalahkan.
Dalam kamus etika dan moral mayoritas orang Indonesia, yaitu mereka yang dianggap “orang Jawa”, yang secara eksplisit-definitif dicela sebagai kejahatan yang wajib dimusuhi masyarakat, hanya 5 (lima) perkara. Yang disebut “Mo Limo” (5 M) dalam masyarakat Jawa terdiri atas: Main (judi), Maling (curi), Madon (berzina), Madat (mabuk alkohol atau narkoba), dan Mateni (membunuh). Definisi kejahatan adalah segala sesuatu yang mencelakakan atau merugikan diri sendiri dan/atau orang lain. Betapa sulitnya memahami bahwa money politics yang notabene tidak merugikan pemberi suap dan penerimanya merupakan kejahatan yang patut dijauhi. Dalam pandangan budaya seperti ini transaksi money politics berlangsung di dalam lingkungan privat, dan tidak berkait dengan sektor publik. Kesadaran kewarga negaraan pemberi suap dan penerima suap masih sangat lemah. Pola budaya ini kita temukan juga di kalangan masyarakat Muslim yang merupakan mayoritas warga negara Indonesia. Juga Money politics bagi di kalangan mereka praktek money politics dianggap sah saja. mereka sekadar ritual Apalagi bila diingat bahwa dalam wacana Fiqh, sebagai teori hukum Syariat Islam, istilah atau konsep money politics ini belum dikenal. saling memberi, atau Yang relatif telah dikenal adalah suap. Akan tetapi, suap yang menolong, dan itu mulia. dikutuk Tuhan hanyalah suap untuk para hakim dalam memutuskan perkara yang memang banyak terjadi di jaman itu. Bagi penganut paham ini, yang baik adalah yang dinyatakan sebagai baik oleh teks, demikian pula yang buruk adalah yang dinyatakan buruk oleh teks. Kini dapatlah dimengerti apabila praktek money politics (jual beli suara) tidak serta merta dipahami oleh umat sebagai kejahatan secara kategoris, karena istilah atau konsep money politics tidak dicakup dalam teksteks ajaran yang mereka yakini. Kurangnya pemahaman menyebabkan kurangnya kesadaran dan kepekaan terhadap dimensi kriminalitas pada praktek suap dan money politics. Untuk mengatasi distorsi moralitas yang diakibatkan langka-pemahaman ini perlu diluncurkan suatu gelombang besar kritik budaya yang mampu membongkar wacana etika yang terlalu formalistik. Khususnya di kalangan umat Islam penganut ortodoksi ajaran keagamaan perlu digalakkan kritik teologis terhadap dogma bahwa tidak ada hukum moral di luar teks ajaran.
87
Dalam konteks ini perlu didorong pola pemahaman baru yang menempatkan teks-teks ajaran keagamaan lebih sebagai ajaran moral ketimbang sebagai teks hukum dalam pengertian legal-formal. Sesungguhnya potensi ke arah sana cukup memadai, mengingat para ulama Fiqh sendiri menyadari keterbatasan teks untuk mencakup seluruh perilaku manusia yang terus tumbuh dinamis dalam sebutan yang hampirhampir tak terhingga. Dalam pada itu, Al-Qur’an sendiri sebagai induk ajaran Islam hanya memerintahkan umatnya untuk menjalankan yang makruf (baik) dan menjauhi yang munkar (jahat). Sementara soal perilaku mana saja yang makruf dan mana yang munkar diasumsikan manusia sendiri mampu mengidentifikasikannya, baik dengan potensi akal budinya maupun atas petunjuk wahyu Tuhan atau sunnah Nabi-Nya.
Alasan Rakus Berbeda dengan fakor kemiskinan yang menyerang masyarakat lapis-bawah sebagai pihak yang menerima suap, maka wabah kerakusan (thama’) lazimnya menyerang masyarakat golongan menengah ke atas. Karena Wabah kerakusan (thama’) kerakusan, maka seorang penguasa atau suatu partai yang telah lama berkuasa ingin terus menambah kekuasaanya lazimnya menyerang dengan cara membeli dukungan atau suara rakyat. Juga masyarakat golongan karena kerakusannya, seorang hakim, jaksa, polisi, atau panitera peradilan yang telah memiliki kekayaan lebih dari menengah ke atas. cukup masih juga mau memojokkan kliennya untuk memberikan suap dalam memperlancar urusannya. Pastilah juga karena kerakusannya para anggota legislatif di daerah atau di pusat yang telah dicukupi segala kebutuhannya masih mau menjualbelikan suara (kedaulatannya) dalam memilih bupati, gubernur atau presiden atas imbalan sejumlah uang ketimbang mengikuti suara nuraninya.
88
Ada dua hal yang perlu dilakukan secara simultan untuk mengatasi masalah nafsu pejabat bergelimang dalam tumpukan uang dan kemewahan. Yang pertama harus dilakukan adalah penegakan hukum. Suatu kampanye pemahaman akan
kejahatan money politics di kalangan masyarakat luas harus diiringi penyidikan, penindakan, dan pemrosesan hukum yang sah dan efektif. Yang secara moral buruk, bertentangan dengan prinsip kebenaran dan keadilan, merendahkan martabat manusia dan merugikan sesama, harus diletakkan dalam rumusan hukum positif yang ditegakkan secara lurus dan kuat. Langkah kedua untuk mengendalikan kerakusan adalah langkah khas keagamaan dengan menggugah tanggung jawab manusia tidak hanya kepada sesamanya, melainkan sekaligus juga kepada Allah sebagai Khaliqnya. Menggugah para khatib sejuta masjid menyampaikan sikap Islam dan kutukan Allah SWT terhadap korupsi, suap dan money politics diharapkan dapat menutupi lubang-lubang besar dalam pendekatan hukum yang sering terbentur pada lemahnya pembuktian formal. Tidak semua orang yang melakukan kejahatan bisa dibuktikan secara hukum dan dijatuhi sanksi seperti tertera dalam undang-undang. Mudah-mudahan iman seseorang kepada Tuhan yang Maha Tahu segala perbuatan manusia, bisa membuat seseorang menahan diri dari berbuat cela.
Money politics Pakai Uang Negara Untuk mengoperasikan money politics dibutuhkan dana dalam jumlah-jumlah yang amat besar, atau kewenangan membagi-bagikan jabatan yang amat besar pula. Dari mana dana dan kekuasaan mengangkat pejabat itu diperoleh? Money politics adalah penyuapan terhadap khalayak ramai agar memberi dukungan kepada sesuatu kekuatan politik. Bila uang suap itu diperoleh dari perusahaan swasta, maka imbalannya adalah kebijakan yang menguntungkan perusahaan swasta tersebut bila kekuatan politik termaksud menang dalam pemilihan umum, dan menduduki kursikursi kekuasaan. Kekuasaan untuk merumuskan kebijakan ekonomi dan politik adalah negara. Bila uang suap itu diperoleh dari kas negara dengan cara bujukan, desakan, dan ancaman terhadap pejabat yang menjaga kas negara tersebut, maka dana money politics tersebut juga bersumber pada negara. Dana dan kekuasaan negara tidak
89
boleh digunakan atau dimanfaatkan oleh suatu partai atau kekuatan politik. Ia dimaksudkan untuk kesejahteraan seluruh warganya, tanpa kecuali, tanpa diskriminasi. Praktek money politics berkembang biak atas penyalahgunaan dana dan kekuasaan negara. Bagaimana sikap budaya dan Syariat Islam terhadap penyalahgunaan negara semacam ini? Islam adalah al-dien dan sekaligus al-dawlah. Artinya, di samping mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (al-dien), Islam juga berkepentingan meletakkan basisbasis etika dan moral pada hubungan manusia dengan sesama dalam lembaga politik yang bernama negara (al-dawlah). Seperti diketahui, masalah ketidakadilan dan kezaliman yang paling masif dan universal adalah kezaliman yang dilakukan oleh negara. Bicara memerangi kezaliman dan menegakkan keadilan tanpa menyentuh negara adalah omong kosong. Bahwa sepanjang sejarah negara cenderung dipakai oleh penguasa sebagai alat kezaliman umat manusia itulah justru tantangan kemanusiaan paling utama untuk agamaagama, termasuk juga Islam. Ada dua tolok ukur kualitas dan legitimasi pemerintahan dari sudut moral keagamaan. Yang pertama adalah besar-kecil prestasinya menekan seminimal mungkin praktek penyalahgunaan uang negara. Yang kedua menyangkut aspek redistribusi pendapatan negara, yaitu sejauh mana ia dapat mempertanggungjawabkan pentasarufan uang negara bagi kemaslahatan segenap rakyatnya. Kredibilitas dan akseptabilitas setiap pemerintahan di dunia ini, termasuk di Indonesia, di mata rakyat sangat ditentukan oleh dua hal tadi. Maka wajiblah kita semua, terutama kalangan ulama dan pemuka Islam lainnya, untuk dapat meletakkan prinsip-prinsip moral-keagamaan perihal sesuatu yang sangat fundamental ini: keuangan negara. Dari mana ia bersumber, siapa pemiliknya yang sah, untuk siapa/apa ia harus ditasarufkan, apa tanggung jawab pemerintah dalam hal ini, dan apa wewenang rakyat. Mengacu pada ajaran zakat, satu-satunya rukun Islam yang berdimensi sosial sekaligus kekuasaan, sebagaimana dicontohkan oleh pemerintahan Rasulullah SAW dan Khulafa Rasyidin di Madinah, maka ditetapkanlah prinsip-prinsip syariat (moralitas) Islam berkenaan dengan “keuangan negara” sebagai berikut.
Azas Good Governance Sebagai pembawa amanat Allah, amanat keadilan dan kemaslahatan segenap rakyat, pemerintah berkewajiban untuk menegakkan ketertiban umum, melindungi keamanan seluruh rakyat, dan menegakkan keadilan bagi kemaslahatan semua pihak, tanpa membedakan warna kulit, suku bangsa, golongan maupun keyakinan agamanya. Allah berfirman: “Inna allah ya-murukum antu-addu al-amanaat ilaa ahliha wa idza hakamtum baina al-naas an tahukumuu bi al-adl...” [“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak dan apabila kalian memerintah maka memerintahlah berdasarkan dan dengan keadilan ...” (An-Nisa: 59)]. Kaidah Fiqh juga mengatakan: “Tasharruf al-imam ‘ala al-raiyyah manuth bio almashlahah” [“Seluruh kebijakan dan tindakan pemimpin terhadap rakyat haruslah selalu bersumber pada kepentingan mereka” (Qawaid al-Fiqh)].
Ulama dan pemuka Islam Acuan dasar dari kepentingan rakyat adalah hak-hak mereka yang, dalam Syariat Islam, sekurang-kurangnya meliputi lainnya wajib meletakkan 5 (lima) hak induk: 1) perlindungan hidup dan keselematan jiwaprinsip moral-keagamaan raga (hifdz al-nafs); 2) perlindungan hak meyakini dan tentang keuangan negara. menjalankan keyakinan agamanya (hifdz al-dien); 3) perlindungan keselamatan, perkembangan dan pendayagunaan akal budi (hifdz al-aql); 4) perlindungan hak atas harta benda atau kekayaan yang diperoleh secara sah (hifdz al-maal); 5) perlindungan atas kehormatan dan hak berketurunan (hifdz al-’rdl wa al-nasl). [Al-Ghazali, Al-Mustasyfa, juz II, h. 14]. Keadilan bagi si Lemah Untuk penyelenggaraan tata pemerintahan yang baik, pemerintah harus secara khusus memberdayakan dan melindungi hak-hak rakyat yang lemah terhadap eksploitasi dan agresi kelompok kuat. Negara yang tidak menunjukkan komitmen pada keadilan dan perlindungan bagi rakyat lemah, dalam pandangan Islam adalah batil. Allah berfirman: “Ara-aita al-ladiy yukadzzib bi al-diin, fa dzaalika al-ladiy yadu’ul yatiim, wa laa yakhuddlu ‘ala tha’aam al-miskiin...” [“Tahukah engkau siapa (orang/negara) yang mendustakan
91
agama? Merekalah yang tidak peduli terhadap anak yatim dan tidak secara sungguhsungguh memecahkan persoalan makan (: kebutuhan pokok hidup) bagi orang-orang miskin....” (Al-Maa’un: 1-3) ]. Dan Rasulullah SAW bersabda: “La yuqaddis allah ummat la yu’tha dla’ifuha haqqah min syadiidiha hgaira muta’ta’.” [“Allah tidak akan melindungi suatu masyarakat di mana rakyat yang lemah tidak bisa memperoleh kembali hak-haknya dari yang kuat kecuali dengan kekerasan atau penjarahan” (HR. Al-Thabarany) ]. Peranan pelindung bagi yang lemah terhadap pihak yang kuat ini, ditegaskan secara jelas oleh Khalifah yang pertama, Abu Bakar r.a. dalam pidato pelantikannya: “Alaa inn al-qawiyy fiikum huwa al-dla’iif ‘indiy hatta aakhudz minhu al-haqq, wa al-dla’iif fiikum ‘indiy huwa alPajak dalam doktrin Islam qawiyy hatta aakhudz minhu al-haqq” [“... Rakyat lemah di disejajarkan dengan zakat. mata saya adalah kuat di mana saya harus mengembalikan Pemungutannya dilakukan hak-hak yang sah bagi mereka; sementara rakyat yang kuat di mata saya adalah lemah sehingga saya berani mengambil atas nama Allah. hak-hak [orang lain, terutama yang lemah] yang ada pada mereka ...”].
Uang Negara Milik Allah
92
Pajak dalam doktrin Islam disejajarkan dengan institusi zakat. Pemungutannya dilakukan atas nama Allah. Hak negara untuk memungut pajak dibatasi syarat amanat Allah bahwa hasilnya hanya digunakan untuk kemaslahatan umum dan pemberdayaan kelompok lemah. Allah memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk, atas nama Allah, memungut pajak dari mereka yang mampu sebagai sumber utama keuangan negara. (Dalam istilah teknis syari’at, pajak atas warga negara yang Muslim disebut “zakat”, atas warga negara non-Muslim disebut “jizyah”). Allah berfirman: “Alam ya’lamuu ann allah huwa yaqbabal al-taubat ‘an ibaadih wa ya’khuidz al-shadaqah...” [ “Tidak tahukah mereka bahwa yang berhak menerima taubat manusia hanyalah Allah semata, demikian pula yang berhak memungut pajaknya (At-Taubah: 104) ].
Karena Allah tidak memungut pajaknya sendiri, maka pemerintahlah yang diberi wewenang untuk itu: “Khudz min amwaalihim shadaqah tuthahhiruhum wa tuzakkiihim biha ...” [“Ambillah dari harta mereka sedekah (“pajak” dalam bahasa sekularnya; zakat dalam bahasa agamanya) untuk mensucikan mereka dan mengembangkan kehidupan mereka ....” (At-Taubah: 103) ]. Dalam agama Islam pemungutan pajak juga mempunyai tujuan sosial. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Qur’an: “Kaila yakuuna dulatah bain al-aghniyaa minkum..” [“.... agar rizki Allah itu tidak hanya berputar-putar di kalangan orang-orang kaya saja” (AlHasyr: 7)]. Dengan demikian, dalam pandangan Islam, uang negara yang bersumber pada pajak pada hakikatnya adalah uang Allah yang diamanatkan kepada negara untuk ditasarufkan (dibagi-bagikan) bagi sebesar-besar kemaslahatan seluruh rakyat, tanpa diskriminasi apapun. Setiap rupiah dari uang pajak (juga setiap titik kekuasaan yang dibiayai dengan uang pajak) harus dipertanggungjawabkan kepada Allah (di akhirat nanti) dan dipertanggungjawabkan kepada rakyat (di dunia ini). Rasulullah bersabda kepada para penguasa: “..... A’thuhum haqqahum fa inn allah saa-ilahum ‘amma istar’aahum”. [“.... Berikanlah hak-hak mereka (rakyat), karena sesungguhnya Allah akan meminta pertangungjawaban setiap penguasa perihal hak-hak rakyatnya (HR. Bukhari; 3196) ]. Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW juga bersabda: “Maa min ‘abd yastar’iih allah ra’iyyah yamuut yauma yamuut wa huwa ghasy li ra’iyyatih illa harram allah ‘alaih al-jannh”. [“Tidak seorang manusia yang diberi amanat untuk memimpin rakyat kemudian ia mati dalam keadaan mencurangi rakyat kecuali diharamkan kepadanya sorga” (HR. Muslim; 203) ]. Sekali lagi, amat mendesak untuk diingatkan bahwa suatu pembacaan harfiah teks yang disusun hampir satu setengah milenium yang lalu akan menyesatkan ajaran agama. Misalnya, bila dikatakan bahwa pajak bukan zakat, dan oleh karena itu tidak dilarang untuk mengutip komisi atau mencuri dari hasil pungutan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa agama menghalalkan penyelewengan dana yang diperoleh dari
93
pemungutan pajak. Kalaupun pajak disamakan dengan zakat, maka itu hanya sekitar 12% dari anggaran belanja negara. Apakah itu kemudian dapat diartikan bahwa pejabat boleh saja mencuri uang dari 88% APBN?
Delapan Sasaran Uang Negara Dalam pandangan Islam uang pajak adalah uang Allah SWT yang diamanatkan kepada negara untuk ditasarufkan sejujur-jujurnya sesuai petunjuk-Nya. Pajak harus dibelanjakan untuk kemaslahatan segenap rakyat. Yang harus diberi prioritas adalah kaum fakir dan miskin tanpa membedakan agama, ras ataupun suku. Allah SWT berfirman: “Innama al-shadaqaat li al-fuqaraa wa al-masaakin wa al-’amilin ‘alaih wa al-mu-allafah quluubuhum wa fi al-riqaab wa al-gharimin wa fi sabilillah wa aibn sabiil; faridlah min allah wa allah ‘aliim hakiim.” [ “Sungguh segala macam sedekah (yang secara mengikat dipungut pemerintah, yakni “pajak”) adalah untuk kepentingan: i) kaum fakir, ii) kaum miskin, iii) amilin pajak, iv) orang yang tengah dalam proses penyadaran kembali, v) kaum tertindas, vi) yang tertindih utang, vii) kepentingan umum dan penegakan keadilan, viii) anak jalanan ...suatu ketetapan dari Allah, Allah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana (At-Taubah: 60) ]. Rasulullah SAW juga bersabda kepada Mu’adz bin Jabal selaku gubernur di Yaman: “A’limhum ann allah iftaradla ‘alaihim shadaqat tu-khadz min aghniyaa-ihim fa turadd li fuqaraa-ihim...” [Beritahukan kepada rakyat bahwa Allah mewajibkan sedekah (zakat/ pajak) yang diambil dari mereka yang mampu untuk diberikan kepada mereka yang tidak mampu (fuqara, sebagai prioritas)...” (HR. Muslim) ]. Tentunya, konsep asnaf delapan tersebut harus didefinisikan kembali cakupan dan wilayahnya sesuai dengan kondisi masyarakat yang terus berkembang. Definisi asnaf delapan yang dirumuskan Fiqh berdasarkan pengalaman empirik jaman Nabi 14 abad yang lalu tentunya tidak lagi sepenuhnya memadai dengan kompleksitas sosial yang ada hari ini.
94
Pemerintah dan rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR/DPRD secara moralkeagamaan harus mengacukan penganggaran belanja negara dalam APBN/APBD pada
asnaf delapan di atas dengan definisi dan cakupan yang disesuaikan (dikontekstualkan) dengan situasi dan kondisi masyarakat yang terus berkembang. Dalam konteks kemasyarakatan dan kenegaraan modern dewasa ini, asnaf delapan dapat dijabarkan demikian: Fuqara (Kaum Fakir); rakyat papa dengan penghasilan jauh dari kebutuhan. Pengentasan kefakiran ini harus menjadi prioritas utama penganggaran negara/pemerintah baik yang bersifat konsumtif (jaminan pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan) maupun yang produktif untuk meningkatkan tingkat sosial-ekonomi mereka selanjutnya. Masakin (Kaum Miskin); orang-orang yang penghasilannya sedikit lebih baik daripada kaum fakir tapi masih di bawah kebutuhan wajar. Penganggarannya bisa seperti untuk Fuqara, konsumtif dan terutama produktif. Amilin, yakni kebutuhan rutin (gaji dan operasional) Departemen Keuangan dan aparat departemen teknis sebagai pemasok barang-barang publik (public goods). Mu’allaf Qulubuhum (orang-orang yang tengah dijinakkan hatinya). Dalam konteks negara-kebangsaan, sektor ini diarahkan pada program rehabilitasi sosial terhadap para narapidana, para pengguna obat-obat terlarang (narkoba), atau masyarakat terasing yang masih hidup di hutan-hutan.
Yang harus diberi prioritas adalah kaum fakir dan miskin tanpa membedakan agama, ras ataupun suku.
Riqab (Budak); yakni upaya pembebasan masyarakat tertindas, seperti kaum buruh yang teraniaya, atau masyarakat terjajah yang tengah berjuang memerdekakan dirinya. Gharimin (Yang Terbelit Utang); dana untuk sektor ini dapat dialokasikan untuk, misalnya, membebaskan utang para petani yang terkena puso atau pedagang yang bangkrut karena faktor-faktor yang benar-benar berada di luar kemampuan mereka. Sabilillah (Kemaslahatan Umum); baik yang fisik (misalnya jalan, bangunan-bangunan publik, dan semua sarana umum yang diperuntukkan bagi kepentingan orang banyak) maupun yang non-fisik (biaya pertahanan-keamanan negara/rakyat, ketertiban masyarakat;
95
penegakan hukum, pengembangan ilmu pengetahuan-seni-kebudayaan, dan semua sektor yang kemaslahatannya kembali pada kepentingan umat manusia). Ibnu Sabil (Anak Jalanan); dulu yang dimaksud adalah musafir yang kehabisan bekal; untuk konteks sekarang mereka adalah para pengungsi, baik karena bencana alam atau bencana politik. Kewajiban Kontrol Sosial Seluruh rakyat, langsung maupun melalui wakil-wakilnya, para ulama dan para pemukanya wajib melakukan kontrol sosial (amar makruf dan nahi munkar) secara terus-menerus. Pengawasan ini wajib dilakukan di semua tingkat, dari desa sampai kota, agar tidak serupiah pun dari uang pajak — Seluruh rakyat, langsung yang merupakan uang Allah/rakyat — diselewengkan untuk kepentingan pribadi penguasa atau disalahgunakan untuk hal-hal maupun melalui wakilwakilnya, para ulama dan yang merugikan rakyat dan melawan tuntutan keadilan.
pemukaanya wajib melakukan kontrol sosial.
Rasulullah SAW bersabda: “Man ra-aa minkum munkar fal yughayyirhu bi yadih, wa in lam yastathi’ fa bi lisaanih, wa in lam yastathi’ fa bi qalbih, fa dzaalika adl’af al-imaan” [“Barangsiapa yang melihat kemungkaran, hendaklah mengubahnya dengan tangan; jika tidak mampu, dengan lisan; jika tidak juga mampu, dengan hati. Posisi terakhir itulah selemah-lemah iman (HR. Bukhari-Muslim)].
96
Dalam kitab Adab al-Dunya wa al-Dien al-Mawarariy dikatakan: “la tazzal ummatiy fi khair tahta yad allah wa fii kanfih maa lam yumaal qurraa-uha umaraaaha, wa lam yuzakk shulahaa-uha fujjaraha, wa lam yumaari akhyaaraha asyraaraha; fa idzaa fa’aluu dzaalik rafa-’a ‘anhum yadah tsumma sallath ‘alaihim jabaabiratah, fasaa-a hum suu al-’adzab wa dlarabahum bi al-faaqah fa al-faqr wa mala-a qulubahum ru’ba.” [“Umat ini senantiasa dalam kebaikan di bawah tangan Allah dan perlindunganNya selama para ulamanya tidak condong pada penguasanya, yang saleh tidak menjustifikasi yang korup, dan yang baik tidak hanya mengiyakan yang culas. Jika hal
itu terjadi tangan Allah akan segera ditarik dari atas mereka kemudian dikuasakan atas mereka penguasa yang angkara murka, lalu ditimpakan atas mereka siksa yang buruk, dan mereka akan didera kelaparan dan kefakiran serta hati mereka pun penuh rasa ketakutan.”]. Demikianlah pesan moral yang diamanatkan oleh Islam dalam konsepsinya tentang zakat. Amanat ini akan mudah terpungkiri apabila tidak dibatinkan dalam kesadaran setiap warga negara beriman. Hendaknya ia menggugah rasa tanggung jawab semua pihak untuk mewujudkan tata kehidupan bernegara yang melindungi hak-hak semua warga, terutama yang paling lemah, tanpa diskriminasi atas dasar suku, ras, agama maupun kelamin. Di situlah letak misi utama Islam bila benar-benar berniat menebarkan rahmat kesemestaan-Nya. Pada akhirnya kita semua tahu betapa kompleksnya kehidupan manusia dan perbuatannya. Tidak ada teori tunggal yang dapat mengungkapkan hakikat tindakannya, juga praktek korupsi yang marak dalam kehidupan masyarakat kita. Juga tidak ada satu resep untuk mengobati dan menyembuhkannya. Berbagai jalan harus ditempuh dengan penuh kesadaran bahwa satu dan yang lain saling melengkapi dan memerlukan. Yang paling penting, di atas segalanya, adalah kesungguhan mengikhtiarkannya. Walladziina jahadu fiina lanahdiyannahum subulana; wa annalloha la ma’al muhsinin — Hanya mereka yang sungguh-sungguh, yang akan Kami tunjukkan jalannya, dan Allah akan selalu menyertai orang-orang yang berbuat kebajikan (Al-Ankabut: 69).
97
98
Korupsi di Indonesia sudah membudaya, kata Bung Hatta. Dan tiap hari kita menyaksikan contoh-contoh yang makin kaya. Kosakata untuk menunjuk gejala ini pun makin berkembang, kian akrab di telinga masyarakat, bahkan ditiru dalam kegiatan antar anggota masyarakat sendiri (“uang rokok”, “uang pelicin”, “uang semir”, “uang lelah”, “uang titip”, “uang dengar”, dan sebagainya). KKN (korupsi-kolusi-nepotisme), yang kalah oleh Reformasi tiga tahun lalu, hanya limbung beberapa bulan, dan kini makin jelas bahwa ia kembali menguasai gelanggang. Kalangan bisnis dan pers internasional, misalnya, sampai menganggap korupsi di Indonesia bukan penyimpangan, tapi sudah menjadi bagian integral dari semua kegiatan bisnis. Perekonomian pasti macet tanpa suap-menyuap antara pengusaha dan penguasa, yang akhirnya mempengaruhi langsung mutu serta harga barang dan jasa. Setiap anggota masyarakat yang pernah berhubungan dengan birokrasi pun pasti mengetahui hal ini. Mereka juga mungkin mual tiap hari disuguhi berita korupsi oleh media massa. Mereka mencibir, tapi umumnya memandang korupsi itu terjadi jauh di seberang dan di atas sana, tak terkait dengan tingkat kesejahteraan atau derajat kesengsaraannya sebagai manusia yang menjadi warga negara Indonesia. Kalau dompet dicopet, televisi kemalingan, atau uang tunai dipalak oleh preman,
99
barulah mereka menyadari kaitan itu. Padahal antara kemalingan oleh maling kampung dan pencurian dana negara (rakyat) oleh pejabat hakikatnya identik. Yang berbeda hanya caranya. Karena itu berbeda pula cara mereka mereaksinya. Terhadap pencopet mereka marah dan memburunya ramai-ramai, terhadap pejabatkoruptor mereka terus menghormatinya, membungkuk-bungkuk di depannya, gembira dan bangga kalau diizinkan untuk “menghadap”. Para pengusaha yang gemar menyuap pejabat pun mendapat penghormatan besar, apalagi jika mereka menyumbang uang ala kadarnya untuk rumah ibadah, panti asuhan, dan sekolah. Dengan persepsi masyarakat yang terdistorsi parah begitu, tak heran kalau tidak ada seorang pun koruptor yang punya rasa malu untuk memamerkan kekayaannya, misalnya dengan mengadakan pesta supermewah di hotel bintang 5 bagi Koruptor yang “diproses” perkawinan putrinya. Para tamu — yang jumlahnya bisa mencapai sangat mungkinmenyuap lima ribu orang — datang berbondong-bondong sambil mengagumi kemewahan pesta dan melimpahruahnya puluhan jenis makanan, aparat hukum. bukannya bertanya dari mana sang pejabat mendapat uang untuk mengongkosi pesta itu. Padahal semua orang tahu gaji mereka mustahil sanggup membiayainya. Maka, para koruptor bukan hanya tak terjamah hukum, tapi juga tak tersentuh “moral.” Bukankah masyarakat tak mencelanya, malah minta bantuan dana kepada mereka untuk kegiatan olahraga, pembangunan masjid, ikatan alumni sekolah dan sebagainya? Sudah jamak di kalangan masyarakat luas bahwa jabatan identik dengan kekayaan. Satudua petinggi yang mempertahankan hidup sederhana justru diherankan, jika bukan malah diejek dan dianggap bodoh oleh lingkungan dekat dan kerabatnya. Para pengkhotbah agama pun hampir tak pernah mengecam mereka. Yang Muslim bahkan sering naik haji, dan berumroh dua-tiga kali setahun, termasuk ketika biaya ke Mekkah jadi sangat mahal seperti sekarang. “Lain di surau, lain di pasar,” kata pepatah Minang.
100
Satu-dua (tersangka) koruptor yang diekspos luas oleh pers memang dihujat
masyarakat — sang koruptor sendiri sering mengeluhkan “trial by the press” ini dengan sikap seolah bayi tanpa dosa. Tapi jauh lebih banyak yang tak terekspos dan terus menikmati segenap kehormatan sebagai pejabat negara. Dengan sanksi sosial yang nyaris nol itu, tidak mungkin mereka beristirahat dari aksi korupsi rutinnya. Peluang lain adalah menjerat mereka dengan sanksi hukum. Ketentuan perundangan-undangannya tak kurang: ada UU Anti Korupsi No. 3/1971, lalu No. 31/1999, selain sejumlah peraturan lebih rendah. Tapi cara ini sering hanya menggandakan kejengkelan, sebab seluruh proses hukum pun berlumuran korupsi pula. Situasinya memang memutusasakan. Semua orang seperti linglung, tak tahu harus mulai dari mana untuk mengurai benang kusut yang di era Reformasi ini tak kurang kusutnya, jika bukan makin kusut. “Reformasi?” kata orang-orang yang biasa mewajibkan “uang administrasi” untuk berurusan dengan instansinya. “Itu cuma ada di koran, Pak. Kalau mau gratis, minta saja kepada koran....” Koruptor yang “diproses” sangat mungkin menyuap aparat hukum di semua tingkat dan di setiap tahap. “Korupsi dalam korupsi” sealamiah mendung dan hujan. Sebab para aparat itu pun tahu bahwa sang tersangka memiliki banyak sekali uang, dan itu semua toh hasil korupsi, jadi mengapa tak diperas habis? Dan si tersangka, orang-orang terhormat yang biasa hidup nyaman dan sangat ngeri membayangkan kerasnya hidup di penjara, akan menyerah pada tekanan permintaan berapa pun. Toh sebesar-besarnya permintaan para “penegak hukum” itu masih sangat kecil dibanding jumlah yang ditimbunnya selama bertahun-tahun. Itulah sebabnya mengapa penanganan kasus korupsi, terutama yang berskala “kakap”, sangat sering menjadi objek rebutan antara kepolisian dan kejaksaan (sampai sekarang ketentuan hukumnya memang tidak memperjelas instansi mana yang berkompeten mengusut tindak pidana khusus ini), karena mereka tahu benar betapa jinaknya sang “sapi” untuk diperah — para pengacara yang mendampingi si tersangka tentu bisa bercerita banyak tentang hal ini, karena mereka sangat mungkin dilibatkan dalam “pembahasan penyelesaian”, baik mengenai cara-cara pembayaran maupun, yang terpenting, menyangkut jumlahnya.
101
Itu pula sebabnya mengapa hampir tak ada seorang pun tersangka koruptor yang dipenjarakan. Sebab permainan dalam proses hukum sudah bisa dilakukan sejak tahap paling awal (“penyelidikan” dan “penyidikan”). Katakanlah tahap penyelidikan dan penyidikan ini ditangani kejaksaan (“Tim Intelijen”). Dalam proses ini, Tim Intelijen, setelah memeriksa segala sesuatunya — termasuk tentu saja menginterogasi tersangka dan saksi-saksi selama puluhan jam — mungkin memodifikasi kualifikasi perbuatan tersangka, “memperkaya” atau “mempermiskin”nya. Perumusan tuntutan dilakukan oleh tim lain (“Tim Penuntut”), yang akan memaparkan kronologi peristiwa dan merumuskan tuntutan dalam surat dakwaan untuk keperluan persidangan di pengadilan kelak. Di sini penyuapan bisa berlangsung menyangkut kualifikasi perbuatan yang akan dimasukkan dalam surat dakwaan, berdasarkan masukan dari Tim Intelijen, yang akan berujung pada kemungkinan penerapan pasal-pasal yang kurang berat atau sengaja dibuat samar. Dampak hal ini jelas: di persidangan kelak, majelis hakim akan menilai bahwa jaksa tak mampu membuktikan kesalahan terdakwa (vonisnya “bebas murni”), atau mampu membuktikan sebagian dan tak mampu untuk sebagian yang lain, sehingga cukup landasan untuk menjatuhkan vonis yang cukup ringan. Sudah tentu hal ini pun hanya bisa terjadi jika ada kerja sama sebelumnya dengan hakim — semua aspek dan liku-liku ihwal ini sudah bisa diketahui atau “dirasakan” sejak tahap-tahap awal oleh semua pihak yang berpengalaman; sama sekali tidak ada yang aneh atau misterius bagi mereka. Penerapan pasal-pasal tertentu ini, sekaligus pengabaian pasal-pasal tertentu lainnya — meski bisa saja suatu perbuatan memenuhi syarat untuk dikualifikasi dengan pasal-pasal tersebut — punya “harga” yang berbeda-beda, karena perbedaan pasal bisa berarti perbedaan bobot ancaman hukuman.
10 2 102
Salah satu bentuk hal ini adalah apa yang disebut “tuntutan berlapis” atau tidak berlapis. Berlapis artinya: jaksa bisa menuntut dengan landasan pasal-pasal yang banyak, bahkan dari undang-undang yang beragam; misalnya, selain mencantumkan pasal-pasal dari UU No. 3/1971, jaksa juga menyebut sejumlah pasal lain dari KUHP. Tersangka akan meminta supaya pasal yang diterapkan jangan sebanyak itu — setiap
pengurangan pasal tentu ada harganya. Gertakan untuk menerapkan sebanyak mungkin pasal tentu merupakan cara yang gampang — dan “legal” — untuk mendongkrak harga suap. Semua proses ini harus melibatkan kepala kejaksaan, yang berhak menentukan dilanjutkan atau dihentikannya proses penyidikan; atau seberapa tinggi tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut, pada rapat internal yang disebut “ekspos perkara”. Kalau semua sudah tertata rapi, dan harga-harga cocok, mungkin saja Pak Kepala memutuskan untuk menghentikan penyidikan, lalu diterbitkanlah SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Kalau perkara dan bukti-buktinya kelewat mencolok, apalagi ditambah dengan tekanan sorotan masyarakat dan pers sehingga SP3 tak mungkin dikeluarkan, maka permainan Permainan dalam proses berlangsung di tingkat perumusan surat dakwaan tadi. Maka tersangka (dan mungkin pengacaranya) tak mungkin tidak hukum bisa dilakukan sejak mendekati kepala kejaksaan, mengingat desisifnya tahap awal. kedudukan dia. Tentu saja tersangka menginginkan dakwaan seringan mungkin, apalagi jaksa (dan pengacara) dengan mudah bisa meyakinkan bahwa putusan hakim kelak akan banyak bergantung pada rumusan kualifikasi dan dakwaan jaksa. Kalau, umpamanya, suatu perbuatan diancam maksimal hukuman penjara 7 tahun, maka jaksa — dengan uraian riwayat kejahatan terdakwa dan segala sesuatu yang terkait dalam ratusan halaman berkas dakwaan — bisa menuntut hukuman 3 tahun saja (lalu hakim mungkin akan memvonis 18 bulan penjara saja — suatu reduksi-reduksi yang sangat berarti). Kalau perumusan dakwaan sudah terjilid rapi, selanjutnya hakimlah yang memegang palu. Sidang pengadilan pun digelar, yang rangkaiannya bisa memakan waktu berbulan-bulan. Saksi-saksi diajukan, baik yang “memberatkan” (dari pihak jaksa) maupun yang “meringankan” (diajukan pengacara), termasuk “saksi ahli” — yang belum tentu ahli. Sementara itu, hari-hari kosong menjelang jadwal sidang berikutnya tentu dapat diisi dengan serangkaian “perundingan” lanjutan untuk aspekaspek yang belum tuntas disepakati dalam pertemuan-pertemuan penyusunan skenario
103
sebelum persidangan digelar. Ini bisa melibatkan tiga pihak (hakim, jaksa, dan pengacaraterdakwa), khususnya jika telah disepakati bahwa jaksa akan mengurus secara “paket”, artinya dia harus ikut mendekati majelis hakim yang akan mengadili, yang bahkan mungkin bisa dia usulkan kepada Ketua Pengadilan agar hakim-hakim tertentu saja yang dijadikan anggota majelis hakim yang memutus perkara yang sedang ditanganinya; dengan kata lain, di sini jaksa berperan ganda: secara resmi sebagai penuntut dan secara tak resmi sebagai pembela. Atau, jika pengurusan tidak berdasarkan sistem “paket”, resminya perundingan berlangsung antara dua pihak saja Hakim jujur itu pasti (hakim dan pengacara-terdakwa), sedangkan jaksa “tidak tahu kalah melawan dua menahu”.
suara hakim yang sudah dipegang.
Jika semuanya beres, terutama menyangkut harga-harga, maka di ujung rentetan sidang yang panjang itu majelis hakim yang mulia menjatuhkan vonisnya, “berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan”. Hakim memang terikat dengan ketentuan ini, dan tidak dapat memutus berdasarkan fakta-fakta di luar persidangan, dan karenanya ini merupakan peluang yang paling aman untuk dimainkan. Bukankah terungkap atau tak terungkapnya suatu fakta sepenuhnya bergantung dari cara dan bentuk pertanyaan yang diajukan? Di tingkat ini pertanyaan majelis hakimlah yang paling berperan, karena pertanyaanpertanyaan jaksa dan pembela (baik terhadap saksi-saksi maupun terdakwa) sudah “aman terkendali”.
104
Maka irama permainan nyaris sepenuhnya berada di genggaman majelis hakim yang sangat berkuasa, di sebuah ruang sidang yang merupakan teritori mutlak kekuasaan yudikatif, dan kekuasaan ini tak jarang ditegas-tegaskan oleh majelis hakim dengan pelbagai cara, sampai tercapai tingkat yang yang cukup pada diri terdakwa dan para saksi tentang betapa rentannya posisi mereka di ruangan itu — mungkin sebagai semacam kompensasi atas dominasi kekuasaan eksekutif di luar pengadilan. Hakim akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang rumusannya sedemikian rupa, sehingga jawaban yang muncul bisa menonjolkan suatu fakta tertentu atau menenggelamkan fakta lainnya — sesuatu yang sangat mudah dilakukan, terutama bagi hakim yang berpengalaman, dan sangat
mudah pula tercium oleh, misalnya, bekas hakim yang hadir di persidangan sebagai penonton, tapi mungkin sangat membingungkan bagi mereka yang awam soal hukum dan liku-liku sidang pengadilan dengan segenap “keangkeran”nya. Begitulah, maka “atas nama Tuhan Yang Maha Esa” dan “berdasarkan faktafakta yang terungkap di persidangan”, majelis hakim menjatuhkan keputusannya, yang bisa berstatus “bebas murni” (vrijspraak), bisa pula berupa hukuman yang ringan (“berdasarkan bukti-bukti yang sah dan meyakinkan”). Tak ada yang aneh, tiada yang patut dicurigai, sebab semua prosedur formal sudah dilalui, bahkan lengkap dengan pertanyaan-pertanyaan tajam majelis hakim. Dan sebagaimana proses di kejaksaan harus melibatkan kepala kejaksaan, proses di pengadilan pun harus melibatkan ketua kengadilan, sebab dialah yang berwenang memutuskan siapa saja hakim yang akan masuk dalam komposisi majelis hakim yang menangani sidang perkara tertentu. Maka di sini bisa terjadi pemerataan yang buruk dalam penanganan kasus di antara para hakim; hakim-hakim tertentu bisa menangani sangat banyak kasus, sementara hakim lainnya “kekurangan perkara”. Atau lebih tepat: hakim yang rajin memberi “upeti” kepada Pak Ketua akan sering mendapat perkara “basah”, dan hakim yang “kurang pengertian” dilimpahi banyak perkara “kering”, melibatkan orang-orang miskin yang tak mungkin punya uang untuk menyuap (dan dalam perkara semacam inilah hukum benar-benar ditegakkan). Varian lainnya mungkin begini: Pak Ketua menunjuk dua hakim favorit, dan satu hakim bersih, yang kerja samanya tak perlu diharapkan; toh dalam pemungutan suara di majelis hakim nanti, hakim jujur itu pasti kalah melawan dua suara hakim yang sudah “dipegang”. Kalau vonis di pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri) itu memuaskan semua pihak, maka selanjutnya tinggal pelaksanaannya (yang bisa diwarnai oleh uang juga). Kalau salah satu pihak kurang puas dan meminta banding, maka bola menggelinding ke kaki ketua pengadilan tinggi; dan berlangsunglah proses yang mirip, meski lebih sederhana karena, misalnya, mungkin saja pengadilan tinggi hanya perlu memanggil lebih sedikit saksi atau tak perlu memanggil saksi sama sekali. Sudah tentu semua proses ini pun sangat mungkin melibatkan suap.
105
Kalau ada pihak yang belum puas atas vonis pengadilan tinggi, ia bisa memohon banding ke pengadilan tertinggi (kasasi) di Mahkamah Agung. Di sini prosesnya jauh lebih sederhana, karena majelis hakim agung semata-mata memeriksa ketepatan penerapan pasal-pasal dalam keputusan pengadilan-pengadilan di tingkat sebelumnya. Tetapi “kesederhanaan” proses di Mahkamah Agung ini justru sangat mudah “menyederhanakan” suap-menyuapnya pula. Jika ada pihak yang belum puas juga dengan vonis MA, ia bisa memohon peninjauan kembali perkaranya (PK, herziening), pamungkasnya adalah permohonan grasi kepada kepala negara. Di Mahkamah Agung itu, tahap-tahap suap tak kalah meriahnya, dari mulai administrasi perkara (pencatatan, pengklasifikasian, hingga mungkin pemrioritasannya untuk majelis hakim yang bakal mengadili — di sini petugas administrasi perkara mungkin berperan semacam “perantara” antara terdakwa dan hakim), sampai petugas pengurus surat keputusan hakim, yang harus disampaikan kepada terdakwa. Di tahap terakhir ini, sang petugas bisa bermain, apalagi jika keputusan hakim menguntungkan terdakwa. Dia bisa menahan penyampaian keputusan itu; dan minta imbalan tertentu supaya keputusan turun dengan cepat. Terdakwa mana yang tak mau membayar untuk sebuah dokumen penting yang menyatakan dirinya dihukum ringan atau bebas sama sekali? (Ini juga berlaku bagi sengketa perdata; petugas administrasi eksekusi bisa minta uang kepada pihak yang menang, biasanya penggugat. Ada pula kemungkinan lain: terdakwa yang divonis hukuman percobaan, misalnya, apalagi untuk perkara yang sudah terlalu lama, akan pura-pura kesulitan menemukan orang atau alamat si terdakwa; padahal dia sudah ketemu dengan orang itu, tapi pemberian amplop membuatnya “linglung” dan mengatakan sang terdakwa sudah pindah alamat; demikian seterusnya, sampai masa percobaan itu berakhir).
106
Proses di tahap akhir ini biasanya sudah di luar kontrol majelis hakim, yang tentunya sangat sibuk dengan timbunan perkara lain dari seluruh Indonesia yang menumpuk di mejanya, selain memang tampaknya ada saling pengertian bahwa di tahap ini biarlah para pegawai rendahan itu ikut kenduri — bukankah mereka pun
butuh rejeki? Apa pula jeleknya membagi-bagi rejeki, apalagi kepada orang kecil? Janganlah rakus, dan orang yang murah hati itu disayang Tuhan. Ada satu pertanyaan yang mengganjal: mengapa terjadi kemungkinan banding ke pengadilan tingkat selanjutnya jika memang semuanya sudah direkayasa di tingkat pertama (pengadilan negeri)? Kemungkinan jawabannya cukup beragam. Pertama, rekayasa tidak tuntas karena berbagai alasan, atau aspek-aspek tertentu dalam skenario ada yang meleset (misalnya, tidak semua jaksa dan hakim yang terlibat merasakan kepuasan yang sama). Kedua, kasusnya terlalu gamblang dan kesalahan terdakwa terlalu mencolok, sehingga akan terasa keterlaluan jika ia sampai dibebaskan atau divonis ringan, apalagi jika kasus itu tergolong besar dan karenanya menjadi sorotan publik dan pers. (Meskipun tentu ada saja jaksa atau terutama hakim yang sama sekali tak peduli akan hal ini).
Mengapa terjadi
Dalam hal ini para perekayasa di tingkat pertama (jaksa kemungkinan banding jika dan hakim) mungkin mengungkapkan problem-problem ini kepada tersangka/terdakwa, dan mereka hanya sanggup “membantu” semuanya direkayasa di sampai taraf tertentu (misalnya: bahwa terdakwa akan tetap harus tingkat pertama? divonis lumayan berat, tapi ini pun ada “harga”nya, sebab kalau tidak vonisnya akan lebih berat lagi). Kalau terdakwa toh cukup puas, dan memang tidak melihat peluang lagi, ia akan menerima; tapi jika ia yakin mampu menyuap hakim di tingkat berikutnya, ia memilih banding, dan di tahap ini ia “berjuang sendiri” mendekati para hakim tinggi, sementara jaksa dan hakim tingkat pertama berlepas tangan. Demikian pula untuk tahap kasasi. (Permohonan kasasi juga bisa datang dari jaksa, yang diwajibkan mengajukannya jika pada pengadilan tingkat pertama majelis hakim memvonis terdakwa bebas). Begitulah “tipe ideal” mekanisme suap dalam proses hukum bagi tersangka/ terdakwa korupsi. Tentu ada banyak variasi dan nuansanya, misalnya perbedaan cara pendekatan seorang terdakwa terhadap satu per satu anggota majelis hakim — yang tidak dilobi secara sekaligus dalam sebuah ruang layaknya dalam rapat resmi. Tapi dengan aman kita bisa katakan bahwa kerangka pokoknya adalah demikian.
107
Imperium Kleptokrasi tanpa Koruptor Maka genaplah keganjilan Indonesia. Tiap hari rakyatnya mengeluhkan korupsi yang melumuri seantero negeri, tapi menemukan seorang saja pelakunya susahnya setengah mati. Inilah imperium kleptokrasi tanpa koruptor. Sebuah teater besar korupsi tanpa seorang pun aktor. Kegamblangan dan keluasan praktek korupsi juga terlihat dari mudahnya kita mengumpulkan datanya. Beberapa kutipan data berikut ini (dari berbagai sumber), sekadar untuk menyegarkan ingatan. Untuk membuktikan kebenaran para aparat yang mencibir bahwa “Reformasi cuma ada di koran”, mari kita lihat satu contoh temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang indikasi penyelewengan pengelolaan keuangan negara selama 6 bulan pemerintahan duet Abdurrahman Wahid-Megawati. Selama April-September 2000 (sekitar 184 hari) ditemukan pertama kali dalam penyimpangan sebesar Rp 16,485 triliun.
Inilah sejarah Republik, rekening pribadi pejabat tinggi dibuka kepada publik.
Angka itu adalah 66,31% dari keuangan negara sebesar Rp 24,859 triliun untuk tahun 2000 yang diperiksa oleh BPK. Bila temuan itu terbukti benar, berarti setiap hari terjadi penyimpangan sebesar Rp 90 miliar. Penyelewengannya meliputi pelanggaran ketertiban dan ketaatan ketentuan perundang-undangan (ini yang terbesar), pelanggaran terhadap kehematan dan efisiensi, dan penyimpangan pada efektivitas pencapaian sasaran penggunaan uang negara. Sulit dibayangkan jika persentase itu berlaku untuk keseluruhan anggaran: 66,31% kebocoran.... Harap diingat: “uang negara” itu hanya istilah teknis; yang dimaksud dengan istilah itu adalah uang Anda, yang Anda berikan lewat puluhan macam pajak, tak termasuk uang suap yang harus Anda keluarkan untuk memperlancar segala urusan dengan birokrasi.
108
Adapun bukti bahwa “hati nurani sang koruptor” tak bisa diharap, mudah dilihat dari sikap mereka yang tak pandang bulu dalam membidik objek korupsi.
Nama lembaga BPK
Rentang waktu Tahun anggaran 1999/2000
Jumlah total kasus temuan/pengaduan Penyelewengan keuangan negara Rp 165,850 triliun
April-September 2000 545 kasus penyimpangan (semester I tahun anggaraan pengelolaan keuangan 2000) negara, total sekitar Rp 16,485 triliun
BPKP
ICW
Tahun anggaran 1999/2000
18.945 kasus penyelewengan keuangan negara, total nilai 2,4 trilyun 37 kasus tindak pidana korupsi laporan masyarakat, total, kerugian Rp 1,7 triliun
April-Oktober 2000
15 departemen & lembaga non departemen dengan indikasi penyimpangan terbesar senilai Rp. 6,611 triliun.
Juni 1998 - Desember 2000
4000 kasus
Antara lain kasus: BLBI, Bank Bali, KPU, Dana Pemilu 99, APBD, Yayasan Kostrad, Setneg, Yayasan BI, Pertamina, Penyimpangan keuangan negara, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Kucuran dana ke Candra Asri, Taperum, Deposito valas BI di Indover, Dana non budgeter, Penyelenggaraan Haji (ONH) dll
Dana Jamsostek BLBI, Bank Bali, BPPN, Nurdin Khalid, Bulog, Pertamina, BKKBN, BI, Bappenas, PLN, JPS, Dephutbun, Depdagri, Depkeu, Depperindag, Depdiknas Depkes, Deptamben, Deptrans, BPPT, APDB dll
Jamsostek, Rekening Andi Ghalib, Korupsi di PT Garuda Indonesia, Kasus Bank Bali, Korupsi di Setneg, SP3 kasus Texmaco, Kroni Soeharto di Dephutbun, dll.
109
Nama lembaga Komisi Ombudsman
Rentang waktu 10 Maret - Oktober 2000
Jumlah total kasus temuan/pengaduan 1.895 kasus dari 26 provinsi
Antara lain kasus: Vonis ganda Kol (pol/purn) Rudi Hendrawidjaja, kasus-kasus pengadilan sebanyak 675 kasus
Setiap menyangkut dana atau urusan apapun yang berbau duit, hanya dua hal yang relevan untuk mereka tanyakan: pertama, seberapa besar peluang untuk korupsi; kedua, bagaimana caranya membikin rantai aturan begitu rupa sehingga lubanglubang korupsi bertebaran di sana-sini dengan cukup aman. Dana yang ditelan itu bisa untuk keperluan petani (misalnya Kredit Usaha Tani, KUK) atau untuk kaum miskin yang makin sengsara dibelit krisis moneter. Demikianlah, bantuan untuk 80 juta penduduk miskin Indonesia lewat program jaring pengaman sosial (JPS) pun banyak yang bocor. Dana utang dari Bank Dunia dan negara donor itu diselewengkan, mulai dari pusat yang sangat tinggi sampai ke tingkat terendah (kelurahan dan desa). Pertengahan 1999, Indonesia Corruption Watch mengusung kasus dugaan suap terhadap Jaksa Agung Andi M. Ghalib. Inilah pertama kali dalam sejarah Republik, rekening pribadi pejabat tinggi dibuka kepada publik. Dan tuntutan masyarakat agar kekayaan pejabat diperiksa menderas.
110
Sebenarnya ini bukan hal baru. Sudah sejak 1970 ada Keputusan Presiden (No. 52) tentang Pendaftaran Kekayaan Pejabat, Pegawai Negeri dan ABRI. Tapi rezim Orde Baru tak pernah menjalankan ketentuan yang dilahirkannya sendiri. Pelaksanaan Keppres ini cuma terbatas begini: Pejabat eselon I melaporkan kekayaannya kepada presiden, pejabat eselon II melaporkan kepada menteri, untuk disimpan di laci sang atasan, bukan untuk konsumsi publik. Lalu ada juga “sistem” pengawasan melekat (Waskat), dan dua-tiga tahun kemudian bahkan istilahnya pun sudah tak ada lagi yang ingat.
Pemerintahan Abdurrahman Wahid pun menanggapi desakan ini dengan lamban. Setelah berbulan-bulan Presiden dan DPR berselisih tentang jumlah ideal anggota lembaga pemeriksa kekayaan pejabat, baru pada 12 Januari 2001 dilantik 35 anggota Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN). Ini pun menimbulkan kontroversi tersendiri, karena kebanyakan anggotanya tak punya reputasi yang meyakinkan dalam urusan ini — dan gajinya dianggap kelewat besar sehingga memberi kesan sebagai “korupsi yang dilegalkan.” Komisi ini akan bekerja memeriksa kekayaan sekitar 60.000 pejabat negara. Tentu termasuk Menteri Keuangan Prijadi, yang tetap diangkat oleh Presiden Wahid meski pernah tidak lulus uji kelayakan (fit & proper test) oleh Bank Indonesia untuk memimpin Bank Rakyat Indonesia. Sebelumnya, Maret 2000, dibentuk Komisi Ombudsman Nasional melalui Keppres No. 44/2000. Lembaga ini akan menekankan pengawasan pada perangkat hukum dan peradilan. Lagi-lagi, kehadirannya tak membuat masyarakat antusias — mungkin karena diketuai oleh seorang bekas jaksa yang tak dikenal punya reputasi bagus dalam ihwal korupsi. RUU tentang lembaga ini, yang dijanjikan selesai disusun pada akhir 2000, belum terdengar lagi kabarnya. Ada juga Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), dipimpin Adi Andojo Sutjipto. Mungkin karena ketuanya mantan hakim agung, rupanya tim ini lebih banyak berkonsentrasi membidik para bekas kolega sang ketua di Mahkamah Agung. Kalau penilaian lembaga-lembaga internasional harus dijadikan cermin dalam soal korupsi, maka sebagai bangsa kita tidak akan berani untuk berkaca. Situasinya adalah “seribu temuan, nol tindakan.” Begitulah kesimpulan logis yang harus ditarik dari, misalnya, enam tahun terakhir penilaian Transparency International, yang rutin memeringkat persepsi tingkat korupsi suatu negara. “Prestasi” Indonesia luar biasa, selalu masuk dalam 10 besar negara terkorup. Skor tertinggi adalah 10 untuk negara paling bersih dan 0 untuk yang terkorup. Angka tertinggi yang pernah kita capai adalah 2,72, dan terendah 1,7. Yang tak kurang ganjilnya adalah nyaris tiadanya komentar dari para petinggi negara tentang peringkat memalukan yang selalu kita raih itu. Para koruptor Indonesia
111
rupanya benar-benar tegar dan teguh memegang prinsip “kafilah berlalu.” Modus korupsi merentang dari yang paling “primitif” sampai paling canggih. Dan, seiring “perkembangan zaman”, modus yang pada satu masa terhitung canggih, kemudian tergolong primitif dan mencolok, sehingga perlu dihindari. Yang paling primitif tentu saja adalah mengambil telanjang dari brankas atau Semua perizinan adalah rekening dinas atau rekening yayasan, atau kas perusahaan sungai korupsi. Itu sebabnya milik yayasan di bawah suatu instansi. Versi-versi yang lebih canggih banyak variasinya. Bisa berupa penundaan pencairan rantai perizinan harus dibuat pembayaran dana proyek oleh pejabat kepada kontraktor pembangun. Caranya, dana yang sudah keluar dari kas kantor sangat panjang. dimasukkan dulu ke rekening bank pribadi pejabat — dan ini bisa berantai sampai ke pejabat daerah — untuk memetik bunga depositonya. Dan setelah menerima bayaran, kontraktor pun masih harus mengirim balik sejumlah persentase ke rekening pribadi sang pejabat. Cara yang makin digemari adalah penggelembungan nilai proyek atau barang yang harus dibeli instansi (mark up). Ini biasanya atas perintah sang pejabat sendiri. Kalau PT Garongmas Perkasa mengajukan harga Rp 10 miliar (mungkin harga wajarnya adalah Rp 8 miliar), pejabat minta harganya dijadikan Rp 12 miliar (pembengkakan antara 20 sampai 30% merupakan harga lazim yang kini berlaku). Rp 2 miliar kelebihannya itulah yang disebut “uang titip” — hak si pejabat yang “dititipkan” kepada kontraktor. Semua bentuk perizinan adalah sungai korupsi. Itu sebabnya rantai perizinan harus dibuat sangat panjang dan berliku-liku. Dan izin apa pun bisa keluar sangat lama, bisa juga sangat cepat. Yang seharusnya cepat pun bisa dibikin lama, sebagaimana yang semestinya lama pun bisa dibikin kilat. Semua ada harganya. Inilah azas yang berlaku di imperium korupsi: Batas antara izin yang sangat susah dan lama dengan izin yang amat mudah dan cepat adalah setipis lembaran uang.
1 12
Tapi suap belum tentu berupa uang, bisa juga saham atas nama istri atau kerabat si pejabat (misalnya terjadi pada izin pendirian koran baru di masa lalu). Ini cara yang
cerdik dan “berwawasan jauh ke depan”. Dengan cara ini, setelah si pejabat turun kursi pun ia masih terus menikmati laba perusahaan. Tapi agaknya tak ada yang lebih menguntungkan daripada izin monopoli/oligopoli. Perpajakan adalah kebun uang. Kalau Tuan Djoni merasa sangat menderita karena harus bayar pajak penghasilan Rp 600 juta, gampang sekali. Pak Neko dari direktorat pajak hanya perlu mengutak-atik angka yang tepat untuk mengurangi penderitaan itu, dan menyepakatinya dengan Tuan Djoni atau akuntannya. Tuan Djoni cukup membayar Rp 100 juta saja ke kas negara, dan tambah Rp 50 juta buat Pak Neko dan “tim dokter”-nya. Semua dokumennya sah. Tak ada alasan apa pun untuk mengusiknya secara hukum. Kalau toh korupsi ketahuan — baik karena “nyanyian” anggota komplotan yang tak kebagian maupun sebab-sebab lain — dan diproses secara hukum, masih banyak pintu bagi koruptor untuk lolos: mulai dari membeli/menawar proses penyidikan oleh polisi, membeli/ menawar proses penyelidikan dengan perumusan tertentu dalam surat dakwaan jaksa, sampai membeli/menawar vonis hakim, hingga ke tingkat tertinggi, yang “tipe ideal”nya sudah dipaparkan. Suap-menyuap terjadi pula di kalangan sesama pejabat pemerintah dan aparat keamanan. Kalau Pak Rakusih ingin dipromosi atau dimutasi ke tempat atau bagian yang lebih “basah”, dia harus membayar. Maka sulit membayangkan sang pejabat tak akan melakukan korupsi selama ia menduduki jabatan hasil pembelian itu. Investasi harus cepat kembali, agar waktu untuk mengeruk laba bisa lebih lama. Antara pejabat eksekutif dan anggota legislatif pun bisa terjadi “saling pengertian.” Di masa legislatif semakin “berdaya” seperti sekarang, departemen pusat atau pemerintah daerah boleh lebih siaga dengan “dana taktis” untuk para anggota DPR atau DPRD. Kalau laporan pertanggungjawaban gubernur atau bupati ingin lolos dengan lancar, tentu ada harganya. Kasus paling mencolok dalam hal ini — karena banyak diekspos pers, dan bukan berarti di daerah lain tidak terjadi — adalah yang melibatkan gubernur dan DPRD Daerah Khusus Ibu kota Jakarta. Direksi badan usaha milik negara (BUMN) yang diundang untuk “dengar pendapat”
113
di DPR perlu lebih “sensitif” terhadap kebutuhan pihak pengundang. Jumlah “kebutuhan”nya berbanding lurus dengan tingkat “masalah” yang sedang diidap BUMN bersangkutan. Mekanismenya bisa begini: sebelum sidang, direksi BUMN memasok data tertentu, biasanya kepada para anggota DPR yang “vokal”. Dalam rapat kelak, data yang menunjukkan kinerja bagus BUMN itu “dikejar” dan “diperdalam”, sementara data yang sebaliknya tak perlu diusut. Bukan mustahil, daftar pertanyaan untuk anggota DPR itu pun dibuatkan oleh pihak direksi BUMN. Hasil akhirnya: semua lancar, dalam hal-hal tertentu BUMN bersangkutan mungkin “perlu peningkatan”, tapi secara umum kinerja dan kondisinya sehat belaka, labanya pada umumnya “cenderung memperlihatkan pola peningkatan yang berkelanjutan”. Beres. Kasus mutakhir dalam konteks suap antara instansi pemerintah dan DPR kini sedang ramai dibincangkan di kalangan masyarakat. Ceritanya, di suatu pagi yang cerah di pertengahan September 2001, seorang petugas kebersihan gedung DPR/MPR Senayan menemukan selembar traveller’s cheque di toilet. Cek senilai Rp 10 juta itu dikembalikan ke pemiliknya: Direktur Jenderal Anggaran Departemen Keuangan Anshari Ritonga. Staf Pak Dirjen dengan cepat mengetahui bahwa cek itu adalah “jatah Pak Aberson” — Aberson Marle Sihaloho, seorang anggota Komisi Anggaran DPR — dan segera meneruskannya ke staf sang anggota parlemen.
Antara pejabat eksekutif dan anggota legislatif pun bisa saling terjadi saling pengertian.
1 14
Pers melaporkan, Aberson yang terharu dan kagum pada kejujuran orang kecil seperti si petugas kebersihan, tergerak hatinya untuk menghadiahi orang itu Rp 200.000. Setelah diberitakan gencar oleh media, baik Aberson maupun Dirjen Anggaran Anshari Ritonga membantah, dan keduanya mengungkapkan frase lazim sebagai reaksi pertama: “Siap diperiksa”. Kita belum tahu ujung episode ini, tapi sebuah karikatur di majalah Tempo dengan kocak menggambarkan seorang tukang sapu yang terheran-heran melihat banyaknya “sampah” berupa cek di toilet, sehingga dia menyimpulkan bahwa kertaskertas berharga semacam itu rupanya sudah sedemikian banyak dan lazim beredar di gedung parlemen, sampai tercecer-cecer di toilet segala....
Para kolega ataupun bekas rekan kerja Pak Dirjen mungkin hanya tertawa kecut mendengar kasus “cek di toilet” ini, sebagaimana para mantan atau kolega aktif Aberson Sihaloho. Semuanya tentu menyesalkan, bukan terhadap (dugaan) suapnya sendiri, tapi pada kenapa mereka bertindak seceroboh itu, sehingga kasus ini menjadi berita gencar. Bahwa ada lawan-lawan Anshari maupun Aberson yang justru gembira menyaksikan kerusakan reputasi mereka, itu urusan pertarungan politik internal di instansi atau partai masing-masing. Terutama sejak diundangkannya Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) tahun 1990, pihak eksekutif juga harus siap melobi para pejabat yudikatif yang berwenang. Indikasi kasus ini, ironisnya, pernah terungkap justru berkenaan dengan rangkaian pemilihan anggota Mahkamah Agung, khususnya pada tahap pemilihan ketuanya di antara para hakim agung. Semua calon anggota harus mengungkapkan daftar kekayaannya. Salah satu hakim agung yang mencalonkan diri menjadi ketua adalah Benyamin Mangkoedilaga, hakim PTUN yang sangat terkenal dan mendapat banjir pujian berkat keberaniannya memenangkan gugatan Tempo terhadap Menteri Penerangan Harmoko yang membredel majalah itu pada 1994. Dalam hiruk-pikuk proses pemilihan ketua Mahkamah Agung itulah, yang diwarnai debat terbuka di antara para calon dan pengamat dengan disiarkan langsung oleh televisi, terungkap bahwa Hakim Benyamin tak mencantumkan rumah miliknya di sebuah perumahan mewah di Surabaya. Ketika ihwal ini dikonfirmasi oleh wartawan, hakim yang di mata para pendukung dan pengagumnya hidup sederhana itu mengaku bahwa ia tidak mencantumkan rumah itu karena “kreditnya belum lunas”. Mengapa ia sanggup membeli rumah mewah yang tentunya mahal itu? Menurut Benyamin, ia membelinya dengan harga murah dari Pak Wali kota Surabaya, ketika Benyamin menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di kota itu. Ia tak terpilih sebagai ketua Mahkamah Agung, tapi fakta ini tak menjawab pertanyaan mengapa seorang wali kota merasa perlu menjual sebuah rumah dengan murah kepada seorang ketua pengadilan tinggi PTUN, dan mengapa sang Ketua Pengadilan membelinya seolah itu merupakan transaksi normal; seolah ia akan mendapat
115
harga yang sama murahnya seandainya ia bukan ketua pengadilan? Begitulah, sepanjang menyangkut instansi negara beserta para pejabatnya di semua tingkat (dari pesuruh di kelurahan sampai presiden, dari panitera di Pengadilan Negeri hingga para tuan agung di Mahkamah Agung), sebenarnya tidak ada istilah daerah “basah” dan “kering”. Yang ada: daerah basah, lebih basah, paling basah, basah kuyup, daerah banjir, banjir bandang.... Usul-usul pemberantasan yang selama ini dilontarkan aktivis atau pengamat pun umumnya berlawanan sendiri (self-contradictory). Di satu sisi dinyatakan bahwa korupsi sudah amat meluas termasuk ke partai-partai politik, dan sistem hukum sudah bobrok. Di sisi lain diusulkan supaya dibentuk “badan independen” dan perlunya “penegakan hukum yang sungguh-sungguh dan tanpa pandang bulu.” Pertanyaan logisnya adalah: dari mana para anggota “badan independen” itu direkrut, dan bagaimana mungkin suatu “penegakan hukum” dapat dilakukan secara “tak pandang bulu”, sementara diakui bahwa seluruh sistem sudah bobrok? Demikianlah, indikasi kasus korupsi tak hingga jumlahnya, diekspos riuh-rendah oleh media massa. Diseminarkan, dibikin talkshow di layar kaca, dikomentari para “pakar”. Dibikin panitia khusus ini dan pansus itu, komisi ini dan itu, “watch” ini dan “watch” itu. Diaudit dengan biaya mahal oleh auditor swasta independen. Tapi tak satu pun maling berdasi yang kunjung dikenali. Sebagian besar jejak perbuatan mereka hilang — sengaja dihilangkan, dilupakan, ditutup kasus-kasus berikutnya, atau di “SP3-kan” (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) oleh Kejaksaan. Satu-dua koruptor yang cukup sial, dan diberi gelar “Terdakwa” di pengadilan, pun akhirnya bisa tertawa lega sesudah sejenak pingsan: lolos dari segala dakwaan. Satu kasus mutakhir yang berujung vonis penjara hanyalah skandal tukar guling tanah Badan Urusan Logistik dengan PT Goro Bhatara Sakti. Ini pun seorang terpidananya lolos pula — dan makan ongkos poleksosbud yang tak kecil untuk memburunya. Para pejabat yang menurut logika sederhana mustinya terlibat, cukup hadir sebagai saksi.
116
Kasus-kasus perbankan luar biasa vulgarnya. Para konglomerat ramai-ramai bikin
bank, dan menyedot dana masyarakat untuk disalurkan ke puluhan anak-anak perusahaan dalam grup bisnis masing-masing. Ada yang bikin mal, pabrik ini dan itu di dalam dan luar negeri, bahkan ada yang bukan sekadar membangun perumahan melainkan kota baru. Fakta ini saja sudah luar biasa mengherankan kenapa bisa terjadi di sebuah “negara Pancasila”, sementara ia tak mungkin terjadi di negara paling kapitalistik pun. Lebih ganjil lagi, ketika bank-bank itu oleng, mereka dilimpahi bantuan dana murah oleh bank sentral, bukan segera dilikuidasi seperti 16 bank sebelumnya. Dan kemudian: 48 bank penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) menyelewengkan pula bantuan hampir Rp 85 triliun. Dana-dana itu dipakai bukan untuk menyehatkan bank mereka, tapi buat pembiayaan lanjutan proyek-proyek Para pejabat yang menurut yang tertunda akibat krisis moneter. Mungkin pula dipakai membeli ranch, rumah-rumah mewah dan berinvestasi di luar logika sederhana mustinya negeri, dan sebagainya. Siapa yang sanggup, dan punya terlibat, cukup hadir kekuatan moral, untuk mengawasi rimba soft state Indonesia?
sebagai Para pembobol tentu tertawa terbahak-bahak: Republik Indonesia yang dibangga-banggakan 200 juta rakyatnya ini, yang dikelola oleh para pejabat yang tampak angker dan penuh wibawa, begitu gampangnya dibodohi oleh sekumpulan pedagang kelontong. Harga suap para pejabat itu pun sangat murah, diukur dari jarahan yang diraup. Pengusutan kasus ini merayap sangat lambat. Ada debat panjang antara BPK dan pejabat BI ihwal hasil audit yang menyebutkan penyelewengan BLBI Rp 138,4 triliun atau 97% dari total dana BLBI yang disalurkan.
saksi
Adakah pejabat BI yang merasa bersalah? Tak seorang pun. Mereka koor berdalih bahwa kebijakan itu akibat intervensi mantan presiden Soeharto. Mereka memang punya kewenangan yang sah atas penyaluran, bertanggung jawab atas pengawasan, mereka pula yang teken berbagai perizinan dan proses administrasinya. Yang tak mereka miliki adalah kepala — dan martabat sebagai pejabat negara. B e r d a s a r a u d i t B P K m a u p u n B P K P, d u d u k p e r k a r a p e n y i m p a n g a n , penyelewengan
117
— atau apa pun istilahnya yang mengindikasikan kerugian negara — terlihat jelas. Sebelum mengaudit, lembaga-lembaga itu menetapkan obyek pemeriksaan secara spesifik. Lalu seluruh transaksi dan akun yang ada diperiksa untuk menentukan kesesuaiannya dengan standar akuntansi yang berlaku. Dalam kasus BLBI, BPK bertolak dari pertanyaan sederhana: apakah dana BLBI telah disalurkan dan digunakan sesuai ketentuan? Lalu didapat jawabannya: Tidak. Dari sini muncul berbagai temuan, termasuk latar belakang pengucuran dana, proses pengucuran dan pengawasannya. Dalam proses ini, seperti dikatakan oleh seorang petinggi BPK, “tentu ada manusiamanusia yang terlibat, seberapapun kecilnya keterlibatan mereka.” BPK mendata ratusan nama pejabat BI, dari puncak hingga ke bawah, yang diduga tersangkut. Disebut pula sekitar 150 bankir dari 48 bank penerima. Semuanya terang-benderang. Yang gelap-gulita adalah hasil pengusutan hukumnya — kalaupun dilakukan. Kasus Bank Bali lebih menggelikan. Dua terdakwa yang diadili bebas dari segala dakwaan. Pejabat lainnya yang kala itu berwenang memutuskan, tak tersentuh hukum. Nama-nama lain yang dikabarkan turut memperlancar proses cairnya dana terus menikmati kebebasan yang nyaman. Dalam kasus ini pemilik Bank Bali yang menagih piutangnya sebesar Rp 904,6 miliar, hanya menerima Rp 358,4 miliar. Selebihnya masuk kantong si tukang tagih, yang kemudian menyebar ke dua puluhan rekening. Tapi begitu diramaikan oleh media, dalam 3 hari Rp 546 miliar sudah terkumpul lagi masuk ke rekening Bank Bali di BI.
118
Kasus Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) pun dihentikan penyidikannya karena, menurut Kejaksaan, tidak terbukti merugikan negara. Sebab dana Rp 7,1 miliar yang dikeluarkan di masa Menteri Tenaga Kerja Abdul Latief sebagai biaya pembahasan undang-undang ketenagakerjaan oleh DPR, sudah dikembalikan lagi ke kas Jamsostek. Logika elementer hukum pidana diinjak habis. Sejumlah uang diambil, dipakai oleh seorang pejabat, dikembalikan, lalu tak ada soal lagi. Mahasiswa semester satu Fakultas Hukum pun tahu: Perbuatan pidana tidak hapus hanya karena akibatakibatnya telah dipulihkan.
BPK juga memeriksa Yayasan Kostrad. Kas yayasan kesejahteraan anggota Kostrad ini bobol ratusan miliar rupiah. Modusnya telanjang bulat: Pejabat puncak berulang kali menarik dana dari kas yayasan dan beberapa perusahaan di bawah yayasan itu. Jumlah totalnya Rp 135 miliar. Inspektorat Jenderal Angkatan Darat (Irjenad) bukan mengusut temuan itu, malah sibuk mengeluarkan bantahan. Satudua pejabat keuangan di sana dikabarkan terkena “tindakan administratif”. Lalu telinga masyarakat tak mendengar kabar lanjutannya. Nurdin Khalid bertakbir tujuh kali dan sujud syukur di ruang sidang Pengadilan Negeri Bantaeng Sulawesi Selatan, ketika ia divonis bebas dalam kasus dugaan korupsi simpanan wajib khusus petani (SWKP) Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Hasanuddin. Direktur Utama Puskud ini memakai rekening pribadinya BPK mendata ratusan untuk menampung iuran simpanan wajib anggota koperasinya sebesar Rp 115,7 miliar. Jaksa dinyatakan tak nama pejabat BI, dari mampu membuktikan dakwaan, lalu majelis hakim memutus puncak hingga ke bawah, bebas. Tigapuluh lima saksi diajukan, semuanya mengingkari yang diduga tersangkut. kesaksian awal seperti tertuang di Berkas Acara Pemeriksaan. Salah satu saksi kunci, seorang pegawai bank yang mengetahui arus transaksi rekening itu, tak hadir. Saksi “ahli” dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ditolak kompetensinya oleh majelis hakim, karena baru mempelajari ihwal tata niaga cengkeh seminggu sebelum sidang. Kepala Bulog Beddu Amang didakwa menyalahgunakan kewenangannya dalam penunjukan PT Goro Bathara Sakti untuk melaksanakan tukar-guling gudang Bulog di Kelapa Gading, Jakarta. Toko Goro selesai dibangun, tapi Goro tak mampu mewujudkan janji menyediakan tanah pengganti untuk Bulog. Lalu Goro bikin goro-goro dengan meminjam Rp 20 miliar dari bank. Jaminannya: deposito Bulog sendiri. Melalui makelar Hokiarto tanah 150 hektar dibeli seharga Rp 16,25 miliar. Rupanya sisa sebesar Rp 3,75 miliar dibagi-bagi di antara para pejabat Bulog. Kasus yang diindikasikan merugikan Bulog sebesar Rp 95 miliar ini dihentikan, lalu dibuka lagi dan memvonis Ricardo Gelael dan Tommy Soeharto (keduanya pemilik PT Goro)
119
masing-masing 18 bulan penjara. Persidangan Beddu Amang sendiri dinyatakan ditutup, gara-gara kejaksaan tak melampirkan surat izin dari Presiden atas penyidangan Beddu Amang yang anggota MPR itu. Semua itu hanyalah kasus-kasus mutakhir. Masih banyak lakon lainnya, termasuk soal kontrak karya Freeport, yang berbelok menjadi kasus pencemaran nama baik Ginandjar Kartasasmita. Juga penghentian persidangan mantan Presiden Soeharto. Semua kasus di atas hanyalah puncak gunung es yang kebetulan agak mencolok dan terjadi di pusat-pusat kekuasaan, sehingga terekspos oleh pers. Kita belum bicara tentang kasus-kasus di tingkat lebih rendah, yang tak masuk ke pengadilan, tapi jelas “bocor” seperti diungkap oleh BPK dan BPKP sejak lama. Termasuk di daerah-daerah tingkat I dan II di seluruh Indonesia. Sempurnalah imperium kleptokrasi Indonesia. Mayoritas rakyatnya terus berkhidmat, menghormat-hormat, dan selalu damba “menghadap” para kleptokrat yang menyamar sebagai administrator negara. Mereka tak sadar bahwa sambil bersalaman dengan tangan kanan, tangan kiri sang birokrat-kleptokrat merogoh saku celana masyarakat. Dan, cepat dan pasti, tiba-tiba kantong masyarakat terkuras: segala jenis pajak dan aneka biaya terus naik (pendidikan, kesehatan, rekening listrik, telepon, PAM, BBM, izin ini dan itu), sementara mutu pelayanan publik terus menurun. Kalau Anda baca di media massa tentang terjadinya korupsi, Saudara-saudara, itu bukan berlangsung “jauh di seberang dan di atas sana”. Semua pencurian itu terjadi di rumah tangga dan kantor Anda. Sebab Andalah sebagai warga negara yang langsung menomboki “uang negara” yang dicuri.
Kisah Penumpasan Korupsi
120
“Tidak perlu diragukan lagi, saya memimpin langsung pemberantasan korupsi,” tandas Presiden Soeharto dalam pidato 17 Agustus 1970 di DPR Gotong Royong. Jenderal yang baru dua tahun dikukuhkan sebagai presiden itu menekankan, korupsi tidak dapat dibiarkan. Korupsi merugikan keuangan negara, yang berarti merugikan rakyat, membahayakan pembangunan, bertentangan dengan hukum, berlawanan dengan moral dan rasa keadilan.
Pada 2 Desember 1967, baru enam bulan setelah diangkat MPRS sebagai pejabat presiden, Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) untuk membantu pemerintah memberantas korupsi “secepat-cepatnya dan setertibtertibnya.” TPK diketuai Jaksa Agung Letnan Jenderal Soegih Arto. Media massa yang pada awal Orde Baru masih menikmati kebebasannya ramai memberitakan penyelewangan yang di melibatkan karyawan-karyawan ABRI. Adanya “jenderal-jenderal yang kebal hukum” pun sudah diributkan. Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, Komandan RPKAD (kini Kopassus) yang ketika itu sangat dekat dengan Soeharto dan mahasiswa, menyarankan kepada Presiden agar empat jenderal ditindak demi menjaga nama baik ABRI. Sarwo Edhie dipindahkan menjadi Panglima Kodam di luar Jawa. Skandal besar yang melibatkan jenderal-jenderal sahabat Soeharto adalah kasus Coopa (pupuk untuk Bimas) dan Pertamina. Februari 1970 rapat pimpinan ABRI memanggil Direktur Utama Pertamina Letnan Jenderal Ibnu Sutowo untuk memberikan pertanggungjawaban. Kasus Coopa dan Pertamina tak pernah sampai ke pengadilan.
Andalah sebagai warga negara yang langsung menomboki uang negara yang dicuri.
Suatu hari di bulan Agustus 1970, Jaksa Agung Soegih Arto dengan marah meninggalkan pertemuan dengan kelompok “Angkatan Muda” yang mau menyampaikan kepadanya Piagam Penghargaan Pahlawan Nasional dan Bintang Emas Penegak Hukum. Ejekan ini disampaikan lantaran Jaksa Agung selaku Ketua TPK “dengan keberanian yang luar biasa berhasil menyeret sembilan pelaku korupsi ke pengadilan.” Sembilan koruptor itu terbukti menggelapkan uang negara antara Rp 150 sampai Rp 35.000. Padahal, dua bulan sebelumnya Kejaksaan Agung membebaskan Arief Husni, pelaku utama kasus Coopa, yang merugikan program swasembada pangan nasional. Harian KAMI (26 Agustus 1970) menurunkan editorial berjudul “9 Koruptor, 5 Perkara dan 2 Sila.” “Sebagai respons terhadap gelora anti-korupsi,” tulisnya,
121
“pendekar-pendekar kita di TPK telah membekuk, menghantam dan mematikan tidak kurang 9 orang koruptor.” Lalu para koruptor itu dirinci: Moh. Jusuf (46 tahun), selama 1967-68 melakukan korupsi Rp 30.000, sama dengan 60 kg beras sebulan untuk dimakan anak-anaknya yang lapar; Alexander Johannes (67), mengkorupsi Rp 32.000, senilai 21 slof State Express yang merupakan rokok “status” pembesar-pembesar kita. Raden Matheus Sumardi (31) melakukan “penggelapan dan penipuan” sebesar Rp 150, sama dengan 5 bungkus gado-gado di pinggir jalan; Abdulkadir (41), melakukan korupsi sebesar Rp 1.500, seharga selembar kemeja buat hari Lebaran; Sudjadi (33), korupsi Rp 700, senilai 9 bungkus rokok Davros; Kampanye pemberantasan Djajadi (36), korupsi sebesar Rp 35.000, seharga dua kaca mata korupsi justru dipelopori Persol yang biasa dipakai para pembesar kita.
Angkatan Darat, di saat keadaan darurat perang.
Tiga koruptor lainnya: Sadeli (31), korupsi Rp 500, senilai 10 kg beras; Raden Harry Suharno (38), korupsi Rp 24.000, senilai 12 kaset pita tape-recorder Philips untuk mobil sedan anakanak pembesar yang mau “pacaran” ke Bina Ria dengan iringan musik romantis; Zainal Arifin (42), juru ketik yang melakukan korupsi Rp 1.500, senilai 50 liter bensin premium untuk Mercedes-Benz pembesar yang mau ber-weekend di Puncak. Harian KAMI lalu berpesan kepada para terdakwa: “Kalau Saudara-saudara digantung, maka bersama Saudara-saudara digantung pula dua sila dari dasar negara ini: Keadilan Sosial dan Peri Kemanusiaan. Sungguh berat bagi si lemah untuk hidup di negara yang kejam ini.”
12 2 122
Di masa Soekarno, kampanye pemberantasan korupsi justru dipelopori oleh Angkatan Darat, yakni di saat berlakunya keadaan darurat perang. Undang-undang anti-korupsi belum ada, kecuali sanksi-sanksi KUHP yang mengadopsi pasal-pasal hukum jaman kolonial. Gerakan pembasmian korupsi ditetapkan melalui peraturan-peraturan Kepala Staf AD selaku Penguasa Militer “di daerah kekuasaan Angkatan Darat”. Lalu pada 1958 gerakan ini bercakupan nasional melalui peraturan Peperpu No. 013, setelah MKN/KASAD menjadi Penguasa Perang Pusat. Isinya meliputi pengusutan, penuntutan, pemeriksaan pidana korupsi dan penilikan harta benda.
Baru pada 1960 muncul Perpu tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Perpu itu lalu dikukuhkan menjadi UU No. 24/1960. Sementara militer tetap melancarkan “Operasi Budhi”, khususnya untuk mengusut karyawan-karyawan ABRI yang tak becus. Waktu itu perusahaan-perusahaan Belanda diambil alih dan dijadikan BUMN, dipimpin oleh para perwira TNI. “Operasi Budhi” antara lain mengusut Mayor Suhardiman (kini Mayor Jenderal TNI Pur). Ia bebas dari dakwaan. Akhir 1967 Soeharto membentuk TPK yang dasar hukumnya masih tetap UU 24/ 1960. Para anggota tim ini merangkap jabatan lain. Hasil kerja orang-orang part-timer inilah yang kemudian menyeret 9 “koruptor” tadi. Presiden Soeharto membentuk Komisi 4 pada Januari 1971, untuk memberikan “penilaian objektif” terhadap langkah yang telah diambil pemerintah, dan memberikan “pertimbangan mengenai langkah yang lebih efektif untuk memberantas korupsi”. Mantan wakil presiden Hatta diangkat sebagai penasihat Komisi 4. Anggota-anggotanya adalah mantan perdana menteri Wilopo, I.J. Kasimo, Prof. Johannes dan Anwar Tjokroaminoto. Kepala Bakin Mayor Jenderal Sutopo Yuwono menjadi sekretaris. Di luaran mahasiswa menggencarkan kampanye anti-korupsi dengan berdemontrasi, membentuk KAK (Komite Anti Korupsi), MM (Mahasiswa Menggugat) serta menggelar pelbagai forum yang mengundang Operasi Budhi antara lain para pembicara tentang korupsi. Di awal 1970-an itu Soeharto mengusut Mayor masih bersedia menerima delegasi-delegasi mahasiswa dan kelompok masyarakat, baik di Bina Graha maupun di Cendana. Suhardiman. Ia bebas Maret 1971 lahirlah UU No. 3/1971 tentang Pemberantasan dakwaan. Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), yang bertahan selama 28 tahun, sampai munculnya UU No. 31/1999 di masa Habibie. Di masa Soeharto, wakil presiden diberi peran pengawasan, sementara Presiden sendiri masih dibantu oleh tiga inspektur jenderal pembangunan (Irjenbang). Kendati sudah ada lembaga tinggi negara (Badan Pemeriksa Keuangan), pemerintah merasa perlu membentuk BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dan kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan (dan Lingkungan Hidup, PPLH).
123
Dengan UU dan lembaga-lembaga penegak hukum yang seharusnya menindak koruptor, pemerintah tetap merasa perlu mengerahkan Kopkamtib dan Laksusda (Pelaksana Khusus Kopkamtib Daerah yaitu Kodam) untuk melaksanakan “Operasi Tertib” memberantas korupsi, manipulasi dan pungutan liar. Opstib yang dibentuk September 1977 itu bergerak dengan jaringan Satuan Tugas Intel Kopkamtib. Di setiap provinsi dan inspektorat jenderal departemen ditempatkan inspektur Opstib untuk “mendinamisir” pengawasan. Khusus untuk penyelundupan dan penggelapan di bea cukai dan perdagangan ekspor-impor, dilancarkan pula Operasi 902 (1976). Operasi ini di bawah kendali Jaksa Agung. Namun banyak perkara 902 kandas di pengadilan. Istilah “mafia peradilan” mulai banyak disebut. Begitupun, selama Orde Baru hanya satu pejabat tinggi yang dipenjara karena korupsi, yaitu Deputi Kapolri Letnan Jenderal Pol Siswadji (1977, divonis 8 tahun). Pegawai negeri yang diganjar hukuman paling berat adalah Kepala Depot Logistik Kalimantan Timur Budiadji, yang divonis penjara seumur hidup (grasi Presiden menguranginya menjadi 20 tahun). “Warlord” beras itu menilep uang negara Rp 7,6 miliar — jumlah yang kala itu menggemparkan. Selebihnya yang dihukum adalah para koruptor lapis kedua dan rendahan.
12 4 124
Lepas dari kadar prestasi yang dicapai dan lolosnya orang-orang dekat Soeharto, dan kendati Newsweek menulis bahwa pemerintahan Soeharto telah korup sejak hari pertama, bagaimanapun pemerintahan Orde Baru masih ditandai upaya sistematis demi menunjukkan adanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Itu khususnya berlangsung selama Kabinet I (1968-1973) sampai IV (1983-1988). Kita masih membaca berita media berisi laporan-laporan resmi tentang temuan-temuan korupsi dan penanganan perkaranya. Ada laporan tahunan Kejaksaan Agung, laporan berkala Opstib, serta pengungkapan penertiban ke dalam oleh departemen pemerintah setiap apel bendera tanggal 17. Kantor Wakil Presiden juga membuka Kotak Pos 5000 untuk menampung pengaduan masyarakat.
Mengawali Kabinet Pembangunan III (1978-1983) misalnya, para menteri dan pejabat eselon I pemerintahan harus menyampaikan laporan pajak kekayaan pribadi kepada Presiden. Pejabat eselon II harus melaporkan pajak kekayaannya kepada menteri. Di awal periode ke-4 pemerintahannya (1983), Soeharto dalam pidato kenegaraan di DPR menegaskan “tidak akan setengah-setengah dalam membasmi korupsi.” Walau Opstib telah menyelamatkan uang negara Rp 200 miliar dan menindak 6.000 pegawai selama 1977-81, dan setiap selambatnya tiga bulan melaporkan kepada Presiden tentang penertiban di departemen dan jawatan pemerintah, toh Ketua BPK Umar Wirahadikusumah menyatakan bahwa “tidak ada satu pun departemen yang bersih dari korupsi.” Sebulan kemudian, November 1981, Wakil Presiden Adam Malik menimpali bahwa “korupsi sudah epidemik.” Dan Ketua DPR/MPR Daryatmo tidak yakin pemerintah sanggup menumpas tuntas korupsi. “Saya ingin tanya, apa ada satu negara atau pemerintahan di dunia ini yang bisa memberantas korupsi secara tuntas?” tambahnya dengan empatik. “Kalau ada, kepala negara yang bersangkutan akan saya sewa untuk jadi presiden di sini.” Itu dikatakannya pada 1979. Sampai 2001 ini, orang yang ingin disewa Daryatmo tak kunjung kita dapatkan.
Sapa Suru Biayai Koruptor? Dalam urusan kolusi dengan pengusaha, atau dengan kegiatan jual beli di lingkungan pemerintahan, perilaku para birokrat di mana-mana serupa belaka. Yang agak berbeda-beda mungkin adalah taktik mereka — dan perlakuan terhadap mereka setelah terbukti melakukan korupsi. Di Zimbabwe, pejabat tinggi Dinas Pos & Telekomunikasi menilep US$ 7.5 juta. Di Korea Selatan seorang presiden dan penasihat pertahanannya menerima suap dari perusahaan yang ingin mendapat kontrak pembelian senjata. Di Singapura seorang petinggi Public Utility Board kena sogok oleh lima perusahaan raksasa multinasional; dia dihukum 14 tahun penjara, dan kelima perusahaan penyogok dijebloskan ke dalam daftar hitam.
125
Di Jerman, kontraktor yang ingin mendapat kontrak pembangunan Terminal 2 Bandar Udara Frankfurt harus menyuap sampai 2,5 miliar DM. Akibatnya biaya proyek itu membengkak 20-30%. Di Prancis 50 juta franc, di Belgia US$1.9 juta, di Malawi jutaan dolar AS dibelanjakan oleh Dana Pers Pemerintah untuk membeli kertas “siluman”, di Kenya US$1.5 juta. Setiap kali pemerintah membeli barang atau jasa, muncullah kesempatan “kakap” untuk mencuri. Biasanya departemen pemerintah yang memutuskan membangun suatu “proyek” berlagak transparan dan menyelenggarakan tender. Tapi untuk masuk dalam daftar rekanan mampu dan memperkecil jumlah pesaing, peserta harus bayar. Informasi dari “dalam” pun ada harganya. Untuk mengatur supaya orang “dalam” menyusun struktur spesifikasi tender, mesti bayar. Untuk menjadi pemenang terpilih mesti bayar, biasanya 20-30% dari harga proyek. Untuk “diizinkan” lolos inspeksi dengan mutu jauh di bawah yang diperjanjikan dalam dokumen kontrak, mesti bayar. Untuk terima bayaran dari pemesan (pemerintah), harus tunggu berbulan-bulan, karena uang yang merupakan hak penjual barang atau jasa dimasukkan dulu ke rekening deposito instansi pemesan. Bunga deposito dibagi-bagi di antara pejabat. Mau terima bayaran dengan lancar 5-8 bulan kemudian? Bayar dulu. Setiap kali pemerintah menjual suatu aset milik negara, muncul peluang korupsi besar-besaran. Proses penjualan aset negara kepada swasta adalah persis sama seperti penyelenggaraan tender untuk pembangunan proyek. Setiap pelelangan, setiap perundingan harga, setiap kali pemerintah masuk ke lapangan transaksi bisnis, di situ terjadi korupsi berskala “kakap”. Ia bisa berbentuk pembatasan jumlah peserta “tender”, pengistimewaan pengusaha yang berkoneksi dengan orang dalam, pembatasan informasi bagi para peserta tender, dan introduksi biaya tambahan transaksi.
126
Pejabat yang korup biasanya dianggap persis seperti pencuri. Setiap hari kita membaca di koran tentang rumah di Jakarta Barat yang dimasuki maling, mobil “Mercy” yang dipecahkan kacanya guna merampok telepon genggam atau dompet, atau jam tangan Rolex. Kita sampai bosan membaca tentang tas yang berisi uang dan baru saja diambil dari bank dijambret pengendara sepeda motor Yamaha RX King. Yang kemalingan adalah rumah
di Pluit, bukan rumah kita. Yang dirampok adalah mobil “Mercy”, bukan Kijang kita. Yang dijambret adalah uang gaji karyawan PT Timsajaya Korupindo Lestari (TKL), bukan warung kita. Begitu pula cara kita melihat korupsi seorang pejabat: Yang dicuri adalah uang pemerintah, bukan uang kita. Benarkah demikian? Mari kita ambil satu saja contoh: Pemerintah memutuskan untuk menjual sebuah BUMN kepada swasta karena kinerjanya dianggap tak efisien dan kurang profesional. Katakanlah nilai pasaran perusahaan itu sekitar US$ 1 miliar. Para pejabat tinggi berbagai departemen berkumpul dan memutuskan Setiap kali pemerintah untuk menjual aset negara tadi seharga US$ 900 juta, asal pembeli menjual suatu aset milik bersedia menempatkan uang sebesar US$ 97.5 juta di suatu rekening di bank luar negeri atas nama perseroan yang berkedudukan di negara, muncul peluang Bahama. Kenyataannya perusahaan yang membeli aset negara korupsi besar-besaran. tersebut membayar lebih dari nilai-pasar, sebab lingkaran penagih suap kian melebar. Pemerintah rugi karena menerima US$ 100 juta lebih rendah daripada nilai-pasar aset yang dijualnya. Pembeli aset rugi karena akhirnya ia harus membayar harga lebih tinggi dari harga pasar. Bagaimana pemerintah meraih kembali kerugian yang telah dideritanya? Gampang. Naikkan saja tarif pajak pendapatan, pajak bumi dan bangunan, pajak rekening deposito di bank, pajak kendaraan bermotor, dan pajak ini dan itu. Bagaimana pula pengusaha swasta menutupi kerugiannya? Juga gampang. Naikkan saja tarif yang dikenakan kepada pengguna jasa di masyarakat. Jelaslah, akhirnya yang membiayai korupsi adalah Anda. Aritmatikanya pun sederhana, meski prosesnya cukup berliku.
Mengukur “Political Will” Dilihat dari segi keluasan prakteknya di suatu negara, ada dua kategori korupsi: sistematik dan sistemik. Pada korupsi sistematik, para pejabat membeli loyalitas dengan cara membagi-bagi “rejeki” kepada pengikutnya. Para pengikut harus disuap terusmenerus. Kalau suapan pihak lawan lebih besar, pengikut “menyeberang”. Ini biasanya
127
terjadi pada saat kesetiaan primordial mulai menipis, dan kesetiaan yang lebih bercorak kepentingan bersama belum tercipta. Kritik atas korupsi dijadikan alat untuk memukul pesaing, bukan demi pelaksanaan pemerintahan yang baik. Walaupun belum sempat meluas atau melembaga, korupsi sistematik dilakukan secara terorganisasi, berulang kali, dan biasanya menyangkut jumlah orang yang besar. Skandal-skandal yang populer biasanya menyangkut korupsi sistematik. Inisiatif diambil oleh para pejabat tinggi, dan melibatkan banyak fungsionaris dan pegawai negeri, para perantara dan pengusaha. Hasil korupsi dibagi-bagi di antara Begitu para petinggi pelaku dicopot, korupsi pun stop. Jangan coba-coba tidak mereka. Penyelundupan kayu di perbatasan yang melibatkan pejabat bea memberi. Barisan cukai, aparat keamanan, pengawas kehutanan dan pengusaha adalah salah satu contoh korupsi sistematik. birokrasi selalu siaga
untuk beraksi.
Korupsi sistemik merupakan kombinasi politik dan korupsi. Dilaksanakan secara teratur, dengan disiplin tinggi, kelompokkelompok pelakunya memanipulasi proses dan hasil pemilihan umum. Elit yang sudah mapan mendikte dunia bisnis. Perusahaan dalam dan luar negeri dikenakan sumbangan wajib. Jangan coba-coba tidak memberi. Barisan birokrasi selalu siaga untuk beraksi. Di negeri miskin, sektor politik dan pemerintahan pasti lemah. Ekonominya bergantung pada pasar luar negeri. Korupsi meluas dan mengakar. Roda pertumbuhan ekonomi sering macet, dan pembangunan berlangsung timpang. Pemerintah menyelewengkan tenaga kerja dan modal dari upaya produktif ke pasar jual beli jasa. “Pengawasan terhadap lembaga keuangan biasanya lemah, sedangkan kebijakan ekonomi dan pelaksanaannya tidak transparan,” ujar Michael Johnston dalam makalahnya di Konferensi “Corruption and Integrity Improvement Initiatives in Developing Countries”, Paris, 24-25 Oktober 1997. “Politik perpajakan tidak jelas, dan pembelanjaannya serba gelap.” Maka tidak muncul kekuatan pasar yang wajar, atau persaingan politik yang sehat.
128
Pejabat bea-cukai yang gajinya kecil, kewenangannya besar dan keahliannya
rendah, merupakan titik rawan korupsi. Aparat keamanan dan penegak hukum yang bertugas mengamankan perbatasan pun akan korup bila atasannya turut serta dalam jaringan korupsi yang rapi. Suap-menyuap dalam keadaan demikian bersifat kolektif. Hasilnya terbagi rata. Penyelundupan barang atau dana, penebangan atau penambangan liar yang tidak hanya dilarang tapi juga melebihi apa yang dibolehkan, semuanya berlangsung di depan mata pejabat yang bertugas mencegahnya. Semua pihak menjadi peserta. Yang tidak mau turut diancam, dan dikucilkan. Gaji birokrasi tidak cukup untuk hidup. Para pegawai negeri rendahan mencari nafkah dengan berdagang kecil-kecilan di luar kantor. Para pejabat yang punya kuasa memutuskan memasang tarif untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan kekuasaannya. Curi-mencuri sudah jadi kebiasaan. Etika pengabdian masyarakat mengalami demoralisasi berat. Organisasi birokrasi jadi kacau. Kebobrokan birokrasi menjalar ke dunia peradilan dan aparat hukum. MasukPejabat yang tak tahu nasib keluar penjara bisa dibeli. Harga putusan hakim sesuai dengan jumlah yang disengketakan. Corak dan isi berita hari depannya akan acara polisi bisa diatur.
bermental mumpung.
Pemerintah yang main copot-ganti pejabat menciptakan suasana yang serba tidak pasti. Keadaan seperti itu sama saja dengan situasi di mana elit bercokol tanpa tantangan ataupun saingan. Para pejabat yang tak tahu nasib hari depannya akan bermental mumpung dan mencuri sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat mungkin. Hak milik tak terlindung. Pemilik tanah dengan bukti sempurna menurut hukum bisa dikalahkan oleh penyerobot ataupun penggugat yang menyogok hakim di pengadilan. Nasib serupa menimpa pengusaha yang membuat perjanjian. Mereka juga tidak dilindungi oleh hukum. Maka bagi para penanam modal hanya tersedia tiga jalan keluar: Mengeruk laba secepat mungkin lalu hengkang, menjual perusahaannya dengan harga obral dan cepat-cepat lari, atau turut dalam kegiatan sogok-menyogok sambil menyimpan dana di luar negeri. Korupsi di negeri seperti itu tidak hanya berlangsung secara “sistematik”,
129
melainkan menjalar luas meresapi setiap aspek kegiatan masyarakat. Korupsi semacam itulah yang disebut “sistemik”. Banyak pihak berpendapat bahwa korupsi sistematik maupun sistemik dapat dikurangi asal saja elit politik mempunyai political will. Yang dimaksud political will adalah tekad para aktor politik yang ditunjukkan secara meyakinkan untuk memerangi sebab dan akibat korupsi pada tingkat sistemik. Political will dianggap ada bila tampak adanya upaya nyata untuk meneliti dan mengerti konteks dan sebab-sebab korupsi. “Harus ada penjajakan empiris tentang besarnya kerugian yang diderita sebagai akibat korupsi, dan sektor kegiatan mana yang merugi paling besar,” kata Sahr J. Kpundeh dalam makalah “Political Will in Fighting Corruption”, pada konferensi di Paris, 1997. Political will dianggap nyata bila pemerintah menggerakkan dan mengikutsertakan semua pihak yang berkepentingan dalam gerakan anti-korupsi. Harus ada perhitungan untung-rugi dalam merencanakan operasi anti-korupsi. Apakah penuntutan hukum adalah cara paling efektif dalam membasmi korupsi? Atau berbagai pendekatan harus dilakukan secara serentak? Jangan lupa bahwa korupsi, seperti setiap kejahatan, dilakukan dengan motif tertentu, pada kesempatan tertentu, dan dengan cara tertentu. Setiap faktor ini merupakan ladang anti-korupsi yang bila digarap dengan sungguh-sungguh akan menghasilkan panen jauh lebih makmur ketimbang mengejar koruptor yang toh akan lolos dari jangkauan pengadilan yang korup. Akhirnya political will akan jelas tampak bila pemerintah mengupayakan pengamatan yang seksama atas dampak suatu kebijakan anti-korupsi, untuk kemudian mempertimbangkan hasil pengamatan tersebut dalam merevisi strategi perjuangan anti korupsi. Adakah Manfaat Gerakan LSM?
130
Sudah agak lama sejumlah besar negara berkembang menyaksikan lonjakan gerakan anti-korupsi yang dipimpin oleh berbagai kekuatan sosial. Basis sosial gerakan-gerakan ini
tak pernah dikaji secara tuntas. Yang ada hanya hipotesis umum bahwa ia merupakan ekspresi lambat dari suatu masyarakat madani (civil society) yang bertujuan memperbaiki pengaturan (governance) ekonomi mereka. Yang jadi soal adalah munculnya keyakinan bahwa mobilisasi civil society di bawah panji-panji anti-korupsi akan secara nyata mengurangi korupsi di negara-negara tersebut. Istilah civil society berasal dari alam pikiran Barat-Liberal yang menggambarkan suatu masyarakat yang mapan dalam jaringan hubungan sosial dan ekonomi serta normanorma kepatutan tertentu. Jaringan itu sudah lama diterima luas di Barat, dan sudah berkesempatan dikembangkan berdasarkan dinamika konsensus bersama, dan kemudian diresmikan dalam sistem hukum. Seperti barang impor lainnya dari Barat, konsep civil society langsung diterima oleh para aktivis di negara-negara berkembang, dan dipakai sebagai cap untuk aspirasi yang dibawa oleh gerakan swadaya masyarakat. Civil society dalam pengertian aslinya hanya akan tumbuh di negara berkembang bila pertumbuhan ekonomi sedemikian lajunya sehingga melahirkan suatu kelas menengah modern di sektor profesi dan jasa. Kelas menengah baru inilah yang membunyikan lonceng pertanda era baru yang tak sudi lagi hidup di bawah sistem “bapakanak buah” (patron-client relations). Ini terjadi di Thailand dan Korea Selatan. Ia tidak terjadi di India, Pakistan, atau Bangladesh.
Struktur bapak-anak-buah tidak tumbuh kearah demokrasi sosial yang modern.
Di tiga negara tersebut pembangunan ekonomi belum mencapai tingkat yang memungkinkan pemerintah mereka mampu membiayai program kesejahteraan umum. Prasarana dasar saja belum mampu didukung oleh penerimaan pajak, apalagi mencapai stabilitas politik melalui pembagian rejeki secara transparan. Sementara itu cekcok dan perpecahan di kalangan elit menjadi-jadi karena keresahan akan lambannya pertumbuhan ekonomi. Struktur dasar “bapak-anak buah” dalam keadaan seperti itu tidak tumbuh ke arah demokrasi sosial yang modern dan transparan. Pertumbuhannya justru mengarah ke jurusan desentralisasi manajemen stabilitas politik yang agak kacau dan dikendalikan oleh pemerintah daerah. Pada 1980-an dan 1990-an berkali-kali muncul gerakan anti-korupsi di India, Pakistan
131
dan Bangladesh. Gerakan-gerakan ini didukung oleh pelbagai kelompok yang dipimpin oleh orang-orang dari golongan menengah. Mereka selalu sukses. Pemimpin-pemimpin yang korup diganti. Tapi struktur dan pola sosial tidak berubah. Tak lama setelah pergantian para pemimpin, muncul lagi tuduhan-tuduhan korupsi terhadap rezim baru. Begitulah roda berputar tanpa henti. Dalam kebanyakan masyarakat negara berkembang, sistem kapitalis yang baru muncul belum diterima luas dan tidak didukung oleh stabilitas politik. Selain itu, negara tidak cukup kuat untuk memaksakan penegakan ketertiban. “Dalam keadaan semacam ini jaringan-jaringan bapak-anak buah-lah yang mengatur pembagian rejeki,” kata Mushtaq H. Khan dalam makalah “The Role of Civil Society and Patron-Client Networks in the Analysis of Corruption”, di konferensi tentang korupsi, Paris, 1997. “Stabilitas politik ‘dibeli’ dengan pembagian rejeki hasil korupsi.” Dalam kancah inilah terjun sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menuntut diakhirinya korupsi. Sementara itu perubahan sosial tak kunjung tiba. Apa gerangan akibatnya kalau gelanggang yang sudah begitu padat dengan pemain dimasuki oleh para pemain baru yang menuntut agar permainan dihentikan? Mungkin mereka akan masuk ke bawah tanah, atau menciptakan bentuk-bentuk baru korupsi. Sebab maling lebih kreatif daripada polisi. Lagi pula, sumber rejeki terbatas. Yang menagih terlalu banyak.
Stop “Kejar Maling” Korupsi yang dibongkar banyak, koruptor yang dijaring sedikit, yang masuk penjara langka. Gerakan anti-korupsi dihadang dilema. Berhenti bergerak, pantang. Melangkah lebih lanjut, membuat orang makin frustrasi dan bertambah nafsu main hakim sendiri. Gerakan anti-korupsi bagaikan bis yang sedang mogok. Tampaknya saluran solar tersumbat. Pedal gas ditancap. Suara gemuruh mesin pincang diselingi ledakan knalpot. Kendaraan tetap berhenti di tempat.
132
Kita sudah terbiasa pada praktek membongkar kejahatan korupsi, menunjuk hidung koruptor, dan mengimbau polisi untuk menyidik. Pada kebanyakan kasus imbauan tak
digubris. Dalam satu-dua kasus penyidikan dilakukan. Perkaranya bahkan sampai ke pengadilan. Tapi biasanya terdakwa bebas murni. Orang tahu sistem penegakan hukum kita rusak berat. Tiada gunanya terus berharap bahwa suatu sistem yang bobrok akan tiba-tiba berfungsi kembali. Praktek “kejar-maling” kita tampaknya kurang berhasil. Penelitian komparatif antarnegara menunjukkan bahwa strategi anti-korupsi yang mengejar koruptor jarang berhasil. Di India, Bangladesh dan Pakistan, gerakan korupsi yang menempuh jalan tunjuk-hidung koruptor sempat berhasil. Para pejabat yang dituduh korup diperiksa, diadili, dihukum. Itu biasanya terjadi sewaktu satu rezim diganti oleh rezim lain. Beberapa bulan setelah rezim baru berkuasa. Para pejabatnya kembali melakukan korupsi yang sama seperti para pendahulunya yang sudah dipenjara. Akhirnya perlu pula diwaspadai agar tuntutan “kejar-maling” tidak disalahgunakan oleh pemerintah untuk memojokkan lawan-lawan politiknya. Pemerintah di negara berkembang tak segan-segan mengorbankan 2-3 pejabat lawan politiknya ke pengadilan, sekadar untuk mengesankan bahwa mereka benar-benar mendukung gerakan anti-korupsi. Tahap advokasi gerakan anti-korupsi sangat berhasil, tapi sudah kehabisan napas. Tahap itu, kata banyak orang, harus cepat disusul oleh tahap perumusan strategi antikorupsi yang cermat. Pandangan yang melihat kegiatan anti-korupsi dalam tahap-tahap, tidak tepat. Tahap advokasi tidak berhenti untuk disambung oleh tahap perumusan strategi. Advokasi harus terus berjalan dan memberi masukan kepada tahap penetapan strategi. Yang perlu terus dibarui adalah bahan yang disampaikan kepada masyarakat luas dalam kampanye anti-korupsi. Selama ini publik melihat korupsi seperti menonton berita kejahatan di layar televisi. Duit Bulog diambil tukang pijit Presiden. Anggota DPRD partai A di kabupaten B disogok supaya memilih ketua dari partai C. Semua itu kita saksikan seolah terjadi di luar diri kita. Yang harus dipertanyakan adalah: Siapa yang mengganti uang yang dikorup sampai Rp 165,85 triliun tahun lalu? Korupsi dilakukan atas dana anggaran belanja negara. Anggaran belanja itu terdiri
133
atas utang luar negeri, pajak dan hasil kontrak minyak, gas dan tambang dengan pihak asing. Kontrak dengan perusahaan asing tidak bisa diotak-atik. Utang luar negeri tak mungkin dikemplang. Dari mana gerangan uang dapat diperas? Siapa lagi? Dari pembayar pajak yang ituitu lagi! Nah, pemerasan itulah yang kini sedang berlangsung. Seirama dengan lagu keroncong, demokrasi pemerasan itu sekarang sedikit diratakan. Rakyat kecil pun harus turut membiayai korupsi melalui pajak atas bunga deposito — yang persentasenya dinaikkan, dan batas minimum kena-pajaknya diturunkan. Pengusaha, mahasiswa, karyawan, tukang becak, guru, pesuruh, kurir, sopir bis dan taksi, para profesional di sepanjang SudirmanThamrin-Kuningan, para artis — semuanya gotong-royong mengongkosi korupsi para pejabat.
Antara kita dan korupsi tiada jarak. penagihan untuk bayar rekening pasti datang.
Antara kita dan korupsi tiada jarak. Penagihan untuk bayar rekening korupsi pasti datang. Tinggal tunggu waktu saja. Pejabat yang korup harus tampak mukanya. Yang membiayai korupsi pejabat tersebut juga kelihatan tampangnya: Anda, kami, kita. Personifikasi ini yang sekarang juga harus dijadikan materi advokasi gerakan anti-korupsi.
Sejarah dan Masa Depan Korupsi Lockheed diperkarakan oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat. Perusahaan itu dituduh menjual pesawat kepada pemerintah RI dengan jalan menyogok pejabat. Yang menerima komisi 3% pertama-tama adalah perusahaan Dasaad-Musin Concern. Dasaad adalah pengusaha. Apakah pengusaha yang menerima komisi harus dianggap melakukan korupsi? Bagaimana kalau penerima komisi adalah pengusaha yang punya pengaruh terhadap pemerintah? Bagaimana kalau Lockheed disuruh oleh pejabat tinggi RI untuk menunjuk Dasaad sebagai perantara? Apakah itu korupsi? Siapa yang korupsi: Lockheed, si pejabat, atau Dasaad?
134
Lockheed kemudian menyingkirkan Dasaad sebagai perantara dan langsung berhubungan dengan militer Indonesia. Komisinya meningkat menjadi 5%, dan dimasukkan ke rekening yayasan janda dan yatim ABRI. Apakah ini termasuk korupsi? Uang siapa sebenarnya 5% itu? Uang ABRI? Uang pemerintah? Bukankah ABRI bagian dari pemerintah? Kalau begitu, mengapa tidak dialokasikan dana dari anggaran belanja pemerintah saja? Korupsi memang masalah kompleks. Ia berakar dan bercabang di seluruh masyarakat. Dalam arti luas, korupsi mencakup praktek penyalahgunaan kekuasaan dan pengaruh. Bentuk korupsi yang paling umum adalah “suap” atau “sogok”, yaitu memberi sesuatu kepada pejabat agar ia melakukan sesuatu yang sebenarnya wajib dilakukannya secara cuma-cuma. Pemberian bisa berbentuk uang, mobil, tanah, perhiasan, rumah, seks, makanan dan minuman, emas atau perak, saham, perangkat golf — pendeknya hal-hal yang disukai oleh si pejabat. Pembenaran suap beragam coraknya. Ada yang berpendapat, suap sebenarnya sekadar hadiah di antara kawan, kemurah-hatian yang tak ada hubungan dengan jabatan si penerima; sebagai imbalan pengganti tenaga dan pikiran yang telah diberikan oleh si pejabat. Arti suap masa kini merupakan hasil evolusi yang panjang. Sebagai hakim di Pengadilan Banding Circuit 9 yang ahli seluk-beluk suap, John T. Noonan, guru besar ilmu hukum di Universitas California, meneliti banyak kasus, sebagaimana direkamnya dalam Bribes: The Intellectual History of A Moral Idea (University of California Press, 1984). Kesimpulannya: tidak ada jabatan resmi yang bebas dari korupsi, apakah pejabatnya itu Firaun, Sri Paus, atau politisi. Azas timbal-balik atau resiprositas adalah norma dasar yang dianut setiap kebudayaan di sepanjang masa. Lazimnya, penerima hadiah merasa berutang pada pemberi. Menolak hadiah, atau menerimanya tapi kemudian tidak membalas, dianggap sikap permusuhan. Namun memberi hadiah kepada pejabat juga dinilai negatif, yaitu sebagai upaya menjilat, menjalin hubungan, atau mempengaruhi. Seorang penguasa yang menerima sogokan dan tidak membalasnya dengan jasa dianggap tidak bijaksana, tidak adil.
135
Sejarah suap dibagi dalam empat periode. Dari tahun 3000 SM hingga 1000 M, penguasa pada umumnya merangkap hakim. Di sini sudah muncul ketegangan antara norma yang menganggap hadiah kepada penguasa sebagai hal yang wajar di satu sisi, dan kerinduan akan putusan hakim yang tak berpihak di sisi lain. Di Mesir Kuno dan Mesopotamia kerinduan semacam ini sudah mulai dirasakan. Ketegangan seperti ini biasanya berakhir dalam putusan-putusan hakim yang tidak adil. Pada jaman Romawi ketegangan ini terus berlangsung. Istilah “suap” belum muncul, dan penegakan moral anti-suap jarang terjadi. Perhatian dan hujatan hampir sepenuhnya ditujukan pada hakim dan pengadilan. Kemungkinan korupsi di kalangan pembuat undangundang masih belum terbayang. Menerima uang, tapi kemudian memberi putusan yang salah, sudah mulai dikecam. Tapi menerima hadiah kecil-kecilan dianggap wajar saja.
Penguasa yang menerima sogokan dan tidak membalasnya dengan jaksa dianggap tidak bijaksana.
Yang dikecam adalah penerima suap, sedangkan pemberi suap bebas dari kutukan masyarakat. Seorang penyuap yang kecewa atas putusan hakim dapat menuntut si hakim ke pengadilan untuk mengembalikan suap yang telah diterimanya.
“Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak niscaya korup,” kata Lord Acton. Adagium ini juga berlaku pada gereja. Ketika Kaisar Constantine memeluk agama Kristen, organisasi gereja dan Imperium Romawi menyatu dan kekuasaan Gereja Katolik Roma mulai menggusur bentuk-bentuk kekuasaan yang lain. Mulailah terjadi jual beli jabatan gereja. Dimulai sekitar tahun 1000 dan berakhir pada 1550-an, periode kedua ditandai dengan penyebarluasan etika anti-suap melalui karya tulis keagamaan, sastra dan ilmu hukum. Gelombang reformasi mengupayakan penegakan moral anti-suap. Kenyataannya, praktek komersialisasi agama terus berkembang dan bahkan menemukan bentuk-bentuk baru.
136
Saat Perang Salib (1092-1270) umat Nasrani Eropa diwajibkan menempuh perjalanan jauh ke Yerusalem dan mengkristenkan para pemeluk agama lain. Tapi, mereka yang enggan
atau tidak sanggup boleh menggantinya dengan membayar sejumlah uang ke kas gereja. Banyak yang menganggap komersialisasi agama seperti ini sama dengan pemerasan dan penyuapan. Reaksi terhadap praktek semacam inilah yang akhirnya memuncak dalam gerakan Reformasi. Dari abad ke-16 sampai ke-18, di Inggris muncul pengarang-pengarang seperti Geoffrey Chaucer dan William Shakespeare yang mulai menggunakan kata bribe (suap) dalam tulisan mereka. Bribe diberi arti “memberi hadiah secara korup”. Tapi peningkatan kesadaran akan keburukan praktek suap jarang diiringi penuntutan terhadap kasus-kasus suap. Deklarasi kemerdekaan AS pada hakikatnya merupakan protes terhadap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan Raja Inggris, George III. Raja George senantiasa menetapkan pengangkatan, pemberhentian dan besar-kecilnya gaji hakim. Itu sebabnya perintis kemerdekaan AS memisahkan lembaga pengadilan dari kekuasaan pemerintahan. Para hakim diberi gaji cukup besar, agar mereka tidak tergoda untuk menambah penghasilannya dari suap. Hakim juga dilarang memangku jabatan lain, sipil maupun militer, untuk mencegah munculnya sikap purbasangka atau benturan kepentingan. Dalam periode keempat ini, sekali lagi perhatian terpusat hampir sepenuhnya pada hakim dan pengadilan. Pemerintah dan pembuat undang-undang masih terlepas dari perhatian para perintis kemerdekaan. Padahal korupsi oleh pembuat undang-undang sudah sering terjadi. Contoh yang mencolok adalah kasus penawaran saham cumacuma kepada para senator untuk menggolkan undang-undang yang menguntungkan jaringan kereta api Union Pacific. Tawaran diterima, dan UU yang menguntungkan Union Pacific disahkan. Pertengahan abad ke-20 mencatat kemajuan dalam perundangan anti-korupsi dan suap. Undang-undang yang menetapkan bahwa pejabat dan karyawan partai politik pun dapat dipidana suap diberlakukan pada 1962. UU ini kemudian diubah dan diperluas. Setiap orang yang melakukan jual beli pengaruh politik sehubungan dengan pengangkatan jabatan atau transaksi pemerintah, dapat dituntut sebagai pelaku tindak pidana penyuapan. Istri, anak, dan bahkan kekasih juga dapat didakwa
13 1377
bila mengkomersialkan pengaruh mereka. Setelah 1980 bukan hanya si penerima suap, si pemberi pun dapat dipidana karena tindakannya menyabot proses pemerintahan yang sah. Pemerintah memperluas jangkauan perundang-undangan anti-korupsi dengan mempertajam gigi UU anti-mafia dan kejahatan terorganisasi lainnya. Hobbes Act 1946 ditujukan untuk membasmi pemerasan. UU itu memidana seseorang jika ia memperoleh harta orang lain, walaupun dengan persetujuan orang itu, jika persetujuan tersebut didapatnya dengan menyalahgunakan kekuasaan atau ancaman penggunaan kekuasaan, atau kekerasan, atau dalam suasana kesewenangan jabatan.
Setelah 1980, si pemberi suap pun dapat dipidana karena tindakan menyabot proses pemerintahan.
RICO (Racketeering, Influence and Corruption Organization) Act ditujukan untuk membasmi perdagangan gelap. Definisi RICO untuk racketeering adalah “setiap perbuatan yang menyangkut pembunuhan, penculikan, perjudian, pembakaran, perampokan, penyuapan, pemerasan, atau perdagangan narkotika dan barang lain yang berbahaya.”
Dengan diperluasnya jangkauan UU tersebut maka para senator, anggota Kongres, polisi dan bahkan presiden AS pun dapat dituntut berdasarkan UU yang sama untuk menuntut mafia. Terdakwa yang bersalah menurut RICO Act wajib mengembalikan seluruh hasil kejahatannya ditambah bunga terhitung sejak saat tindakan kejahatan tersebut. Orang yang dirugikan karena perbuatan kejahatan RICO wajib diberi ganti rugi tiga kali lipat oleh si terhukum. Antara 1970-1977 lebih dari empat ratus pejabat pemerintah dan kepolisian diadili atas tuduhan korupsi. Hampir semuanya divonis bersalah. Akhirnya politisi dan polisi tak lagi kebal hukum.
138
Tahun 1977 Kongres AS memperluas jaringan UU anti-korupsinya dengan mengesahkan Foreign Corrupt Practices Act. Kebetulan bersamaan dengan itu muncul beberapa skandal tingkat tinggi yang melibatkan perusahaan-perusahaan besar AS di luar negeri, antara lain Skandal Lockheed.
Sejarah manusia mengenal perbudakan yang pada awalnya ditentang oleh ajaran moral dan agama, kemudian diperkuat alasan “perlu secara ekonomis”, namun akhirnya menimbulkan amarah moral bangsa-bangsa sehingga kini ditentang secara universal. Sebaliknya, riba yang oleh semua agama dikecam, diberi pembenaran sosialekonomis yang kuat sehingga berlangsung terus di sektor perbankan (disebut “bunga”) dalam batas-batas yang sebagian ditetapkan oleh pasar dan sebagian lagi diawasi oleh undang-undang. Apakah korupsi kelak akan mengikuti jejak perbudakan atau malah memperoleh pembenaran sosial-ekonomis seperti “bunga” bank? Korupsi dan suap agaknya akan terus dikecam lingkungan yang makin luas karena merupakan tindakan yang memalukan secara universal. Suap menimbulkan ketidaksamaan bukan berdasarkan nilai orangnya, melainkan nilai hartanya. Suap juga merupakan pengkhianatan atas amanat jabatan umum dan kekuasaan, sehingga setiap kebudayaan, Barat atau Timur, Eropa atau Asia, mempunyai undang-undang yang menyatakan korupsi dan suap-menyuap sebagai tindak pidana. Dari sudut pandang agama, memberi dan menerima suap merupakan dosa. Seperti membersihkan kotoran rumah, begitulah upaya pembersihan keburukan akhlak. Tak kenal lelah, tak kenal lengah bagi kaum “warga pengawas”. * Tulisan ini merupakan penggabungan dan penyempurnaan dari sejumlah tulisan dalam jurnal Aksara yang pernah dimuat sebagai suplemen majalah Tempo, 6 Februari 2001.
139
140
Tentang Penulis
Gary Goodpaster adalah guru besar emeritus dari School of Law, University of California Davis, dan kini konsultan pada Proyek Deregulasi dan Kompetisi Asia Development Bank, Jakarta. Ia bukan asing lagi buat Indonesia atau bahkan Asia. Pada musim semi 1995 ia menjadi guru besar tamu (Distinguished Visiting Professor of Law) di bidang hukum pacta Universitas Sumatera Utara. Sebelumnya, 1987-1988, ia adalah Fulbright Professor of Law pada Hong Kong University. Selarna 1998-2001 ia mengepalai proyek kerja sama antara pemerintah AS dan Indonesia (Partnership for Economic Growth). Mata kuliah yang ditekuninya termasuk Hukum Konstitusi, Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa, dan Mediasi, selain mendalami International Joint Ventures, International Trade, International Financial Transactions, Hukum Internasional, Hak Azasi Internasional, Hukum Pidana, dan Hukum Acara Pidana. Di antara buku-buku yang ditulisnya termasuk Panduan Negosiasi & Mediasi, ELIPS Publishing (1999), dan An Outline of American Constitutional Law, Casenotes Publishing (1990. 1994. 1997. dan 2000). Timothy Charles Lindsey adalah Pejabat Direktur Asian Law Centre, University of Melbourne, dan guru besar di Fakultas Hukum universitas yang sama. Ia bukan hanya ahli di bidang hukum Asia Tenggara, termasuk Indonesia, melainkan juga Hukum Kepailitan. Ia meraih tiga gelar S 1 (Bachelor of Arts, Bachelor of Letters, dan Bachelor of Laws) dan satu gelar Ph.D., semuanya dari Melbourne University. Minatnya meliputi sejarah modern, politik, seni, dan arsitektur. Ia mengajar Sejarah Modern Cina dan Sejarah Modern Indonesia, dan suatu mata kuliah baru untuk Departemen Sejarah &
14 1411
Politik Melbourne University, yaitu “Militer & Negara di Indonesia pada Abad ke-20”, Pada Departemen Seni, ia mengajar mata kuliah Kesenian Asia, sedangkan di Fakultas Arsitektur ia memberi kuliah tentang Kota di Asia, Ia menulis dan menyunting buku-buku tentang politik, seni dan hukum di Indonesia, Salah satu bukunya, The Romance of K’tut Tantri & Indonesia (Oxford University Press, 1997) banyak dipuji, antara lain dalam Times Literary Supplement. Karyanya yang akan segera terbit adalah Asian Law in Transition, suatu bibliografi tentang Hukum Asia yang merupakan bagian dari serial dua belas jilid. Masdar F. Mas’udi adalah Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) di Jakarta, anggota Komisi Ombudsman Nasional, pejabat sementara Katib Am Syuriah Pengurus Besar Nahdatul Ulama, dan pengasuh Pesantren Al- Bayan, Cibadak, Sukabumi. Gelar sarjana didapatnya dari Institut Agama Islam Nasional (IAIN) Yogyakarta, dan 52 dalam studi Filsafat dari Universitas Indonesia. Ia antara lain menulis buku Agama ddan Keadlian: Risalah Zakat dalam Islam (1992), dan Islam dan Hak Reproduksi Perempuan (1997).
142
Hamid Basyaib adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta (1990), dan pernah kuliah di Jurusan Ilmu Politik Fakultas Pascasarjana UGM (tldak tamat); pernah bekerja di harian Republika dan majalah Ummat, kini peneliti di Yayasan Aksara dan ketua redaksi jurnal Aksara-Tempo; buku-buku karyanya antara lain Berkaca ke Mancanegara: Kumpulan Artikel Politik Intemasional (1998) dan Agar Indonesia Tetap Bemyanyi” Pergolakan Menjelang dan Pasca Reformasi (1999). Ines Wuri Handayani adalah lulusan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (1995); pernah bekerja sebagai wartawan majalah Swa dan konsultas public relations; kini penelitl dan anggota Dewan Eksekutif Yayasan Aksara. Nono Anwar Makarim adalah lulusan Fakultas Hukum UI (1973), master of law (1975) dan doctor of juridical science (1978), keduanya dari Universitas Harvard; kini Ketua Dewan Eksekutlf Yayasan Aksara; selama 1967-1973 menjadi anggota parlemen, Pemimpin Redaksi Harian KAMI, pendiri dan direktur pertama LP3ES; setelah mengundurkan diri dari firma hukum Makarim & Taira S. (1997), ia selama dua tahun
menjadi visiting scholar di Law School, Universitas New York. Daud Sinjal adalah wartawan yang aktif sejak 1960-an dan pensiun pada 1999 dari jabatan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Suara Pembaruan dan sebelumnya Wapemred majalah Teknologi & Strategi Miliiter (TSM); selain mengikuti pendidikan jurnalistik di Jerman Barat, Amerika Serikat dan Inggris, sebagai wartawan ia mengunjungi puluhan negara dan semua provinsi Indonesia; pemah menjadi anggota pengurus Dewan Koperasi Indonesia dan konsultan lepas Bank Dunia, ia menulis buku Laporan Kepada Bangsa: Militer Akademi Yogya (1996); kini direktur eksekutif Yayasan Aksara.
143
Te n t a n g E d i t o r
Hamid Basyaib adalah peneliti dan ketua dewan redaksi Yayasan Aksara. Ia memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, dan melanjutkan studi pada program Pasca Sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Gadjah Mada (tidak tamat). Semasa mahasiswa, ia memimpin majalah kampus Himmah dan Premis, tabloid ilmu sosial; kemudian editor majalah Kiblat dan harian Masa Kini, staf LitBang Redaksi dan redaktur harian Republika, serta Redaktur Pelaksana dan Asisten Pemimpin Redaksi majalah mingguan Ummat. Ia juga menerjemahkan, menyunting dan menulis sejumlah buku, antara lain Berkaca ke Mancanegara: Kumpulan Artikel Politik Internasional (1998), dan Agar Indonesia Tetap Bernyanyi: Pergolakan menjelang dan Pasca Reformasi (1999). Richard J. V. Holloway adalah Penasihat Program Masyarakat Madani/AntiKorupsi, Kemitraan Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia, suatu prakarsa multilateral beranggotakan Dewan Indonesia, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Ia memperoleh gelar kesarjanaan dari Oxford University dengan catatan “terpuji” khusus untuk bahasa dan sastra Inggris, dan meraih master dalam Administrasi Sosial (Luar Negeri) dari London School of Economics and Political Science. Selama 33 tahun ia bergiat dalam upaya mengentaskan kemiskinan bersama dengan pemerintah dan organisasi nonpemerintah di Asia, Afrika, Karibia, dan Pasifik Selatan; ia juga penasihat pemerintah
145
dan LSM untuk organisasi-organisasi Inggris, Amerika, Kanada, Swiss, PBB dan Bank Dunia. Ia menulis banyak karangan, makalah, brosur, dan buku, antara lain Assessing the Health of Civil Society: A Handbook for Using the CIVICUS Index on Civil Society as a Self-Assessment Tool. Bukunya tentang bagaimana mencapai kemandirian dana (Towards Financial Self-reliance: A Handbook for Civil Society Organizations in the South, telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia) menjadi buku pedoman bagi banyak LSM. Dalam bukunya The Unit of Development is The Organization, Not the Project: Strategies and Structures for Sustaining the Work of Southern NGOs, yang menunjukkan keberpihakannya pada para aktivis LSM di Dunia Ketiga, ia mengecam para penyandang dana yang hanya mau mendanai proyek, bukan pelaksananya. Nono Anwar Makarim adalah salah seorang pendiri dan penasihat kantor konsultan hukum Makarim & Taira S. Ia juga turut mendirikan Yayasan Aksara, dan kini Ketua Badan Pelaksana yayasan tersebut. Tiga organisasi non-pemerintah yang juga turut didirikannya adalah Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI), Yayasan Lingkungan Bambu, dan Lembaga Penelitian, Penerangan, dan Pendidikan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Gelar S.H. diperolehnya dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pada 1973 ia menjadi Fellow di Center for International Affairs, Universitas Harvard dan menulis naskah tentang dinamika hubungan antara penanam modal Asing dan Negara tuan rumah di sektor pertambangan tembaga. Master of Laws (1975) dan Doctor of Juridical Science (1978) didapatnya dari Harvard Law School. Ia melanjutkan studinya selama dua tahun sebagai sarjana tamu pada New York University School of Law. Ia pernah menjadi anggota DPR-GR, pemimpin redaksi Harian KAMI, direktur LP3ES, dan berpraktek sebagai penasihat hukum selama lebih dari 20 tahun. Beberapa bulan menjelang akhir perundingan perdagangan multilateral Putaran Uruguay, ia ditunjuk sebagai penasihat hukum sekaligus anggota delegasi Indonesia, dan kemudian diangkat sebagai penasihat hukum Menteri Perindustrian & Perdagangan untuk urusan di World Trade Organization (WTO).
146
Index A
B
Abdulkadir 122
Bahama 127
ADRI 110, 121, 123, 135
Baileo 50
ACC 44, 50
Bakin 123
AD 122
Bali, Bank 12, 13, 32, 40, 47, 80,109,118
Adil 3, 14, 69, 83, 136 Akal-Budi 80, 83, 91 Alam 17, 22, 25, 96, 131 Al-Qur’an 80, 81, 86, 88, 93 Amanat 83, 91- 93, 97, 139 Amang, Beddu 119, 120 Ambarawa 44, 50 Ambon 50 Anak Emas 82 Andersen, Arthur 12 Andojo, Adi 56, 111 Anshari Ritonga 114 Anti-AntiKorupsi 68, 69 Anti-Barat 70 Anti-Corruption 44, 50, 77, 78 Anti-KKN 47,68 APBD 94, 109 APBN 94
49, 53,
Banda Aceh 31 Bangladesh 131, 133 Banyuwangi 50 Bappenas 109 Barat-Liberal 131 Barker, Joshua 64, 75, 76 BBM 120 Bea-Cukai 9, 124, 128 Bekasi 44 Belanda 123 Bengkulu 44 BI 109, 116-118 Bill Gates 69 Bimas 121 Bina Graha 123 BINGO 38 BLBI 109, 117, 118 BONGO 39
14 1477
BPK 108,109,116-120,125
Departemen Kehakiman 134
BPKP 109, 117, 119, 120, 123
Departemen Kehutanan 11
BPPN 19, 33, 109
Departemen Keuangan 95, 114
Bribes 135
Departemen Peradilan dan HAM 55, 56
Bruneigate 53
Departemen Perhubungan 11, 31
Budha 25
Departemen Sejarah & Politik 141
Budiman, Arief 40, 42, 76, 78
Departemen Seni 142
Bukhari-Muslim 84
Departemen Tenaga Kerja 63
Bukhar-Muslim 96
Dick, Howard 26, 34
Bulog 12, 53, 109, 119, 133
Djajadi 122
BUMN 10, 12, 19, 113, 114, 123, 127
DNGDO 38 DONGO 38
C
DPR 68, 94, 111, 113, 114, 120, 125, 146
Cendana 123
DPR/MPR 114, 125
Cengkeh 119
DPRD 82, 94,113, 133
Chalid, Hamid 46, 75
Dunia, Bank 12, 26, 39, 71, 110, 143, 145, 146
Charnovitz, Steve 41, 42, 44, 76 Constantine, Kaisar 136 Coopa, Kasus 121
E
CSO 38
Emas 5, 20, 135 Esty, Daniel C. 71, 72, 76
D
148
Daryatmo 125
F
Dasaad 134, 135
Fakir 94, 95
Davros 122
Fehring dan Lindsey 63
Departemen 10, 12, 15, 21, 45, 95, 109, 113, 124 - 127
Fiqh 87, 88, 91, 94 Firaun 135
FITRA 44
Hobbes Act 138
Fitzpatrick 54, 66
Hokiarto 119
Frankfurt 126
Holloway dan Anggoro 39, 43, 49, 74
Freeport 120 Fuqara 94, 95
I Ibrahim 46, 48
G
ICW 44, 47, 50, 52, 53, 109
Gates, Bill 70
IDEA 44, 50
Gelael, Ricardo 119
ILSAC 66
GeRAK 41, 44, 49, 50, 51, 53 - 57, 60, 70, 72, 73, 75
IMF 34
Ghalib, Andi M. 47, 53, 109, 110
India 131, 133
Gharimin 95
Indonesia, Bank 22, 111
Golkar 12, 81, 82
INFID 42, 44, 52, 77
GONGO 38, 39, 74
INGO 38
Goro Bhatara Sakti, PT. 116, 119
Irjenad 119
Imigrasi 9
Irjenbang 123 H Habibie, B.J. 13, 60, 123 Hakim Agung 40, 56, 106, 111, 115 HAM 45, 46
Islam 47, 58, 66, 79, 80, 82, 84-94, 97,142, 145 J
Harman, Benny 48
Jaksa Agung 14, 40, 47, 49, 53, 110, 121,124
Harmoko 115
Java 44
Hatta, Mohammad 29, 99, 123
Jawa 5, 47, 49, 51, 121
Hendardi 49
Jawa Barat 10, 39, 44
Herziening 106
Jawa Tengah 11, 44, 50
Hibah 71
Jayasurya 64
149
Johannes 122, 123
Kostrad, Yayasan 109, 119
Johnston, Michael 128
KPKPN 111
Jombang 50
KRAB 44
JPS 74,109, 110
KUHP 102, 122 KUK 110
K KAK 44, 50, 123
L
Kalimantan iv, 5, 44, 47, 49
Laksusda 124
Kalimantan Barat 44
Latief, Abdul 118
Kalimantan Tengah 44
LBH 44, 46, 49, 75
Kalimantan Timur 44, 50, 124
LBH-APIK 47
Kejaksaan Agung 55, 121, 124
LeIP 48, 56
Kennedy. David 68, 69-71, 77
Lev, Daniel 45, 56, 59, 75
Kenya ix, 126, 136
Lockheed 134, 135, 138
Keppres 110, 111
LSM 25, 37-61, 64, 66-68, 70-74, 132,146
Khalid, Nurdin 109, 119
Lubis, T. Mulya 29, 33, 46, 48
KKN 33, 44, 53, 68, 73, 99
Lumpue 31
Kleptokrasi 108, 120
150
Kodam 121, 124
M
Kolonial 122
MA 56, 106
Komnas 46
Madinah 90
Kompak Bima 44
Madiun 44
Kontras 46
Madjid, Nurcholish 47
Kopassus 121 Kopkamtib 124
Mahkamah Agung 40, 46, 56, 106, 111, 115, 116
Korea Selatan 125, 131
Makassar 31, 32
Kostrad 119
Malang 44, 50
Malawi 126
NGO 38, 76
Malik, Adam 125 Maluku 16, 50
0
Mancur, Olson 20, 34, 35
Ombudsman, Komisi 110, 111, 142
Mangkoedilaga, Benyamin 115
Operasi Budhi 123
Marcos, Imelda, Ferdinand 69,70
Opstib 124, 125
Marsinah 63
Orang Jawa 87
Masduki, Teten 46, 47, 75
Orde Baru 13, 41, 54, 58, 59, 61, 62, 63, 64, 73, 110, 121, 124
Masyarakat Madani 37, 38, 41, 49, 74, 130, 145 Mattei, Ugo 65, 66-68, 76
OWA 50 Oxford University 29, 35, 78, 142, 145
McDougal, Myres S. 51, 52, 54, 78 McLeod, Ross 64, 78
P
Mekkah 100
Pabean 11
Miller 30
Pak Neko 113
Mo Limo 87
Palembang 50
Money Politics 18, 80-82, 85, 86-90
PAM 120
MPR 120
PAN 58
MPRS 121
Paris 34, 128, 130, 132
MTI 43, 44, 47, 48, 50, 51, 53, 58, 78
Pasca-Soeharto 42, 44, 45, 53
Muhammad, Mari’e 47
Patron-Client 131, 132
Muhammadiyah 58
PBB 38, 74, 146
Muslim 79, 87, 92, 100
PBHI 48, 49 Peka 44
N
Pembangunan Asia, Bank 26, 145
Narkotika 138
Pemda 55
Newsweek 124
Philips, Tape Recorder 122
15 1511
PK 106
Romawi 136
Political Will 127, 130
RPKAD 121
PP 56
Rusia 7
PPLH 123 PriceWaterhouseCoopers 12
S
Prijadi 111
Sahetapy, J.E. 48
PSI 58
Santosa, Mas Achmad 48
PTPK 123
Schwarz, Adam 32, 35
PTUN 115
SCW 44
PVO 38
Serangan Fajar 81, 82 Sidoarjo 63, 64
Q
Sihaloho, Aberson MarIe 114, 115
QUANGO 38
SIM 9
Quasi-Autonomous 38
Simalungun 44, 50 Singapura 17, 34, 125
15 2 152
R
Siswadji 124
Racketeering 138
Sjahrir, Sjahrir 58
Raden 122
Soegih Arto 121
Rais, Amien 59
Soeharto, Tommy 54, 119
Rajagukguk, Erman 46, 48
Soekarno 45, 59, 75, 122
Rakyat Indonesia, Bank 111
Soekarnoputri, Megawati 59, 108
Ramli, Rizal 34
Spanyol 30
Rechstaat 33
Status Quo 25
Reformasi 14, 18, 26, 28, 42, 44-49, 56, 57, 59, 65-68, 71-73, 77
Steiner dan Alston 37, 74
RICO 138
Subversi 63
Rolex 126
Sufyan al- Tsauri 86
Subiakto, Irianto 46
Sumatera 44, 47, 49, 51
UUD 59, 75
Sumatera Barat 44 Sumatera Selatan 44
W
Sumatera Utara 44 Surabaya 44, 50, 115
Wahid, Abdurrahman vii, 46, 53, 59, 68, 108,110, 111
Sutan 58
Walhi 50
Sutowo, Ibnu 121
Wapres 29
SWKP 119
Waralaba 61, 64 Warlord 124
T
Watchdog 48
Tandjung, Akbar 59
Wibowo, Sarwo Edhie 121
Tempo 78, 114, 115, 139
Widjojanto, BamBang 46, 48
Texmaco 33, 34, 47, 109
Wilopo 123
TGPTPK 40, 49, 56, 111
Winarta, Frans Hendra 48
Thailand 131
Wirahadikusumah, Umar 125
Think Tank 46, 48
WTO 71, 146
Tirtamas Majutama 33, 34 Tjokroaminoto, Anwar 123
Y
TKL 127
Yakuza 2
TNI 16, 24, 33, 123
Yaman 94
TPK 121-123
Yamin, Muhammad 58
Triad 2
YCW 44
Trisakti 56
Yerusalem 137 Yogyakarta 44, 50, 142, 145
U Union Pacific 137 USINDO 29
YPR 44
153
Z Zakat 90, 92, 93, 94, 97, 142 Zemenides, Endy 47, 78 Zimbabwe 125
154