Update Briefing Asia Briefing N°66 Jakarta/Brussels, 19 July 2007
Papua: Perspektif Lokal atas Konflik I.
RANGKUMAN
Kebanyakan pengamat luar hanya melihat satu dimensi dari konflik di Papua yaitu – pemerintah Indonesia melawan gerakan kemerdekaan – namun sebenarnya permasalahan tersebut jauh lebih kompleks. Ada beberapa hal lain yang juga penting, misalnya ketegangan antar suku dan antara penduduk asli Papua dan penduduk non-Papua. Selain itu ada pula persaingan untuk mendapatkan kekuatan politik dan akses atas jarahan di tingkat kabupaten dan kecamatan. Padahal masalahmasalah yang ada sangat berbeda antara satu wilayah dan wilayah lainnya. Sementara, perhatian nasional dan internasional cenderung diberikan ke pesisir utara dan wilayah pegunungan tengah, dan secara relatif hanya ada sedikit perhatian untuk kabupaten di wilayah selatan yang sudah cukup lama merasa tidak dilibatkan dalam perpolitikan di Jayapura, ibukota Papua. Boven Digoel adalah sebuah Kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Merauke pada bulan Desember 2002. Kabupaten ini bukanlah pusat pemerintahan propinsi dan juga bukan pusat dari investor besar dari Barat ataupun tempat aktifnya kelompok pro-kemerdekaan. Perhatian utama masyarakat setempat di wilayah ini adalah hak-hak tanah dan politik etnis. Masalah-masalah yang penting bagi mereka adalah bagaimana menyeimbangkan hak-hak tanah adat Papua dengan investasi di bidang kehutanan dan kelapa sawit, dan juga pengelolaan ketegangan sosial sehubungan dengan kedatangan penduduk non-Papua. Keprihatinan lokal lainnya, yang sebenarnya setelah pemilihan tingkat kabupaten pada tahun 2005 sudah berkurang, adalah persaingan antara elit-elit suku Muyu dan suku Mandobo untuk mendapatkan kekuasaan politik, dan bagaimana persaingan tersebut bersentuhan dengan perpolitikan di Merauke yang berbatasan dengan wilayah ini di mana saat ini ada upaya untuk mendirikan suatu propinsi baru bernama Papua Selatan. Korindo, sebuah perusahaan milik Korea, dan anak-anak perusahaan Indonesianya, telah beroperasi di wilayah ini sejak tahun 1993 dengan menebang pohon untuk dijadikan kayu lapis (plywood) dan sejak tahun 1997 juga mengelola perkebunan kelapa sawit untuk memproduksi bahan bakar nabati. Walaupun belum ada konflik besar yang pecah namun di wilayah ini sering terjadi konflik
antara perusahaan dengan para pemilik tanah adat sehubungan dengan akses dan ganti rugi, juga ada konflik antara suku-suku mengenai perbatasan tanah dan di dalam suku-suku itu sendiri atas pembagian ganti rugi. Beberapa tahun lalu, ketidakpuasan dengan Korindo pernah bersinggungan dengan gerakan kemerdekaan, contohnya penculikan beberapa pegawai perusahaan tersebut pada bulan Januari 2001 oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Tetapi sejak terbunuhnya Willem Onde, pimpinan OPM setempat pada bulan September 2001, kelompok pengikutnya yang kecil sudah tidak aktif lagi. Meskipun tidak ada lagi masalah keamanan yang serius di Kabupaten ini, kehadiran TNI dan polisi dirasakan cukup kuat terutama sejak Boven Digoel berpisah dari Merauke di akhir tahun 2002. Penduduk desa, para tamu bahkan politisi dan pegawai negeri setempat dipantau dengan ketat. Pasukan keamanan tidak memainkan peran penting dalam melindungi investor di Kabupaten ini; Korindo dan anak-anak perusahaannya memiliki pasukan keamanan swasta. Meskipun demikian, bila ada masalah antara penduduk setempat dengan perusahaan, maka biasanya yang diminta untuk membantu adalah angkatan darat dan Brimob, yang keduanya mempunyai pos-pos diseantero wilayah hak penebangan hutan dan perkebunan. Sejak berakhirnya operasi militer di akhir tahun 1990an, hanya terjadi sedikit pelanggaran hak asasi manusia oleh pasukan keamanan, namun pelecehan dan intimidasi tingkat rendah cukup luas. Masalah-masalah yang timbul pada umumnya berasal dari perselisihan pribadi dan masalah kepemilikan juga keterlibatan TNI dalam bisnis ilegal kecil tetapi bukan karena masalah politik. Boven Digoel yang terletak di sudut terpencil Papua, kirakira 3,700 kilometer dari ibukota Republik Indonesia, hanya mendapatkan sedikit sekali perhatian. Kabupaten ini tidak mempunyai media lokal yang independen dan hanya ada sedikit sekali lembaga swadaya masyarakat. Sebenarnya Boven Digoel layak diamati. Daerah ini menjadi contoh bagaimana politik di tingkat kabupaten cenderung membuat para elit suku Papua bertarung satu sama lain dan bukannya menjadikan mereka lebih dekat untuk beroposisi melawan Jakarta. Terlebih lagi, dari Kabupaten ini bisa disoroti bahaya dari politik etnik yang seringkali muncul sebagai akibat pemekaran dan bahaya lain yang dapat terjadi akibat investasi besar di bidang
Papua: Perspektif Lokal atas Konflik Crisis Group Asia Briefing N°66, 19 Juli 2007
sumber daya alam. Ada pula kekhawatiran di antara penduduk asli Papua atas kedatangan pemukim Indonesia non-Papua. Uraian ini dibuat berdasarkan wawancara mendalam dengan berbagai kalangan yang terdiri dari pejabat pemerintah dan masyarakat madani, polisi setempat, masyarakat desa di Kabupaten Tanah Merah, Getentiri dan Mindipdana, wakil-wakil perusahaan Korindo di Asiki dan Jakarta juga wartawan dan LSM di Merauke yang bekerja di seluruh wilayah selatan.
II.
POLITIK ETNIK DAN PEMEKARAN DI PAPUA SELATAN
Proses pemecahan propinsi dan kabupaten di Indonesia menjadi unit-unit administratif yang lebih kecil dikenal sebagai pemekaran. Proses ini sering didorong oleh elit-elit lokal yang ingin mendapatkan akses atas kekuasaan dan kekayaan. Seringkali pemekaran tersebut gagal memenuhi janji-janji untuk memperbaiki sistem pemerintahan dan pelayanan. 1 Jika dipraktekkan di daerah-daerah konflik, pemekaran juga berpotensi memperburuk ketegangan komunal dan etnis.2 Permintaan untuk pemekaran di Papua membawa masalah karena pemekaran memperburuk dua masalah utama dari komunitas asli: meningkatnya kehadiran TNI dan polisi dan arus masuk para migran nonPapua. Pemekaran juga cenderung meningkatkan persaingan antara para elit suku, khususnya saat kabupaten baru didominasi oleh dua atau tiga suku atau klan utama. Kabupaten Boven Digoel didirikan pada bulan Desember 2002, ketika Merauke dibagi menjadi empat kabupaten (bagian lainnya adalah Mappi, Asmat dan Merauke yang induk). Hal ini adalah bagian dari proses desentraliasi yang sedang dilakasanakan di Papua.3 Perbatasan kabupaten-kabupaten baru tersebut diputuskan bersama oleh pemerintah Propinsi Papua dan pemerintah
1
Untuk laporan Crisis Group sebelum ini, lihat Asia Briefings N°53, Papua: Answers to Frequently Asked Questions, 5 September 2006; N°47, Papua: The Dangers of Shutting Down Dialogue, 23 Maret 2006; dan N°24, Dividing Papua: How Not to Do It, 9 April 2003; dan Asia Reports N°39, Indonesia: Resources and Conflict in Papua, 13 September 2002; dan N°23, Indonesia: Ending Repression in Irian Jaya, 20 September 2001. 2 Lihat Crisis Group Asia Briefings N°64, Indonesia: Decentralisation and Local Power Struggles in Maluku, 22 Mei 2007; N°37, Decentralisation and Conflict in Indonesia: The Mamasa Case, 3 Mei 2005; dan Dividing Papua, op. cit. 3 Pada bulan Desember 2002 empat belas kabupaten baru didirikan di propinsi ini: Sarmi, Keerom, Sorong Selatan, Raja Ampat, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Tolikara, Waropen, Kaimana, Boven Digoel, Mappi, Asmat, Teluk Bintuni dan Teluk Wondamaa; undang-undangnya bisa dilihat di www.djpp. depkumham.go.id/inc/buka .php?d=2000+2&f=uu26-2002. htm.
Hal. 2
Kabupaten Merauke setelah berkonsultasi dengan pemuka-pemuka adat. Akan tetapi, perbatasan tersebut kurang lebih didasarkan pada sistem pembagian daerah berdasarkan suku yang dibuat Belanda atas afdeling (kabupaten) dan onder afdeling (kecamatan).4 Padahal, kabupaten Merauke yang asli mempunyai lebih dari 10 kelompok etnik, sedangkan penduduk Boven Digoel terdiri dari tiga suku besar: Muyu, Mandobo dan Auyu.5 Suku minoritas Muyu, yang walaupun populasinya lebih kecil dibanding suku lainnya, akan tetapi karena mereka mendapatkan pendidikan dari missionari Belanda, telah lama mendominasi politik lokal. Bupati pertama Boven Digoel, Wilem Tuwok, tidak saja merekrut kebanyakan pegawai negeri dari suku Muyu, tetapi ia juga telah mengkritik suku Mandobo (dan subkelompok Kombai dan Korowai) sebagai “bodoh, terbelakang dan tidak mampu memerintah”.6 Ketika satu-satunya calon dari suku Mandobo, Yusak Yaluwo, memenangkan pemilihan langsung yang pertama di Boven Digoel pada bulan Juni 2005 (diraihnya berkat kampanyenya untuk memberdayakan suku Mandobo), dua lawan yang dikalahkannya dari suku Muyu, Martinus Torib dan Xaverius Songmen, memelopori gerakan untuk mendirikan kabupaten Muyu.7 Torib dan Songmen, yang juga adalah pimpinan cabang Dewan Presidium Papua yang pro-kemerdekaan secara damai, menegaskan bahwa usulan tersebut tidak ada hubungannya dengan kekalahan mereka dalam pemilihan. Mereka berargumen bahwa wilayah itu mempunyai identitas yang beda karena sudah merupakan Kecamatan (onder afdeling) Muyu sejak jaman Belanda dan bahwa
4
Wawancara Crisis Group dengan Wakil Ketua DPRD Papua, Jan Ayomi, Waropen, 15 Juni 2007. 5 Daerah ini dikenal oleh kebanyakan orang Indonesia sebagai penjara pada zaman Belanda di mana dua pemimpin perjuangan kemerdekaan, Soekarno dan Hatta, ditahan pada tahun 1920an. 6 Beberapa orang yang diwawancarai menyebut istilah bodoh dan belum mampu sebagai alasan-alasan yang dikemukakan oleh Tuwok atas tidak cocoknya orang Mandobo menjadi politisi dan birokrat lokal. Wawancara Crisis Group dengan politisi lokal termasuk Bupati Yasak Yaluwo, anggotaanggota DPRD Tingkat II dan Pastor Katolik Pastor Kor Keban, Tanah Merah, Merauke dan Jakarta, April, Mei 2007. 7 Ada lima calon. Wilhem Tuwok, yang ditunjuk oleh Departemen Dalam Negeri saat kabupaten ini didirikan, bermaksud untuk mengikuti pemilihan tetapi gagal dalam pendaftaran karena ketidaklengkapan dokumen. Ia digantikan oleh seorang wakil partai Golkar lainnya, Piet Tinyap. Yusak Yaluwo menang dengan 45 persen suara, diikuti oleh Xaverius Songmen dengan 22 persen, Martinus Torib dengan 16 persen, Piet Tinyap dengan 12 persen dan Elmilianus Tikok dengan 6 persen. “Hasil Pilkada Langsung Propinsi, Kabupaten dan Kota 2005:Hasil Riset NDI, Sumber KPUD”, Agustus 2005, di http://ndijurdil.ndi.org/Content%20Hasil%20PILKADA%20% 202005%20%20(by%20date).pdf.
Papua: Perspektif Lokal atas Konflik Crisis Group Asia Briefing N°66, 19 Juli 2007
sekitar 8,000 pengungsi suku Muyu yang sekarang tinggal di seberang perbatasan di Papua New Guinea akan pulang bila kabupaten Muyu dibentuk untuk mengakomodasi mereka.8 Mantan komandan OPM setempat, Willem Onde, dan kebanyakan pengikutnya berasal dari suku Muyu. Suku ini sangat menderita selama operasi militer di tahun 1980an. Pada tahun 1984, sekitar 9,500 orang Muyu lari ke luar perbatasan. Beberapa diantaranya adalah anggota dan pendukung OPM tetapi kebanyakan dari mereka adalah penduduk biasa. Seluruh kelompok ini seringkali dicap sebagai OPM, dan stigma ini membuat banyak dari mereka enggan untuk kembali ke Indonesia. Walaupun demikian, beberapa ribu telah kembali sedikit demi sedikit selama tahun-tahun belakangan ini.9 Secara finansial, pemerintah Boven Digoel mempunyai alasan yang kuat untuk menolak pemekaran dikarenakan alokasi anggaran kabuapten dari pemerintah pusat dihitung berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah. Padahal Boven Digoel adalah salah satu kecamatan dengan penduduk perkapita paling tinggi di Indonesia. Tetapi Bupati Yusak juga mengatakan bahwa suku Muyu pada umumnya, dan Torib dan Songmen khususnya, cenderung mendukung OPM sehingga tidak dapat dipercaya mempunyai kabupaten sendiri.10
8
Wacancara Crisis Group dengan, Xaverius Songmen, Merauke, 24 April 2007; Martinus Torib, Tanah Merah, 27 April 2007. “Proposal Pemekaran Kabupaten Muyu Sudah Sampai ke Pusat”, SPM News Digoel, 25 Juli 2006. Bupati Gebze dari Merauke juga menyebutkan Muyu sebagai onder afdeling kelima sebagai argumen untuk membentuk Propinsi Papua Selatan (PPS). “12 Februari, Pembentukan Provinsi Papua Selatan Dicanangkan”, Cenderawasih Pos, 30 Januari 2007. 9 Menurut data resmi sekitar 6.000 orang kembali pada tahun 1992 tetapi jumlah ini termasuk anak-anak yang lahir di pengasingan. LSM setempat mengatakan bahwa pemerintah menggelembungkan angka untuk memperoleh tambahan dana pemukiman kembali. Ratusan orang lain pulang secara perlahan dalam tahun-tahun terakhir. Sumber-sumber Gereja Katolik di Papua New Guinea memperkirakan bahwa sekitar 8.200 orang Muyu masih tinggal di luar perbatasan. Wawancara Crisis Group, Merauke dan Tanah Merah, April 2007. Lihat juga “Returnees from Papua New Guinea to Irian Jaya: Dealing [in] particular with returnees to the Waropko-Mindiptana area”, laporan dari Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Jayapura, 1999, di www.hampapua.org/skp/skp01/smp-03i.rtf. Lihat juga Robin Osborne, Indonesia’s Secret War: The Guerrilla Struggle in Irian Jaya (Sydney, 1985). 10 Wawancara Crisis Group dengan Bupati Yusak Yaluwo, Jakarta, 7 Mei 2007. Dana alokasi umum per kapita untuk Boven Digoel tahun 2006 sebesar Rp.12,084,374 ($1,340), dibandingkan rata-rata nasional sebesar Rp.660,000 ($73). Kebutuhan untuk pembangunan dan biaya transportasi yang sangat tinggi (kebanyakan melalui udara karena sedikitnya jalan) di wilayah ini secara umum dapat menerangkan perbedaan yang begitu besar tetapi Boven Digoel menerima lebih dari delapanbelas kali rata-
Hal. 3
Di pihak lain, usulan untuk mendirikan kabupaten Muyu akan sangat cocok dengan rencana Bupati Merauke, John Gluba Gebze, untuk mendirikan Propinsi Papua Selatan (PPS). Dalam undang-undang otonomi daerah tahun 2004, harus ada lima kabupaten untuk membentuk suatu propinsi.11 Sejauh ini Gebze hanya berhasil mendapatkan dukungan dari empat kabupaten yaitu: Kabupatennya sendiri ditambah Boven Digoel, Mappi dan Asmat. Karena itulah pada awalnya ia mendukung pembentukan kabupaten Muyu agar menjadi kabupaten kelima. Torib juga adalah salah satu orang yang pertama-tama mengusulkan pembentukan propinsi baru di Papua Selatan pada tahun 1999.12 Tetapi, Bupati Yusak, ketua tim penglobi PPS, mengancam akan mencabut dukungan Boven Digoel bila Gebze terus mendukung saingansaingannya. Akhirnya Gebze mengalah.13 Suku Auyu yang merupakan minoritas di Boven Digoel juga merasa terpinggirkan dan bersama-sama dengan para pemimpin Auyu dari kabupaten tetangga, Mappi dan Asmat, mereka memakai ambisi Gezbe untuk membentuk PPS dalam usahanya mendorong pembentukan kabupaten mereka sendiri.14 Pada pemilihan bupati tahun 2005 di Mappi para politisi lokal juga memainkan kartu etnis. Dari lima calon bupati, empat diantaranya orang asli Mappi (dari suku Auyu dan Yaqai) dan satu dari Sorong, Papua Barat Laut. Terjadi persaingan sangat ketat antara Aminadab Jumame, calon dari Sorong yang telah melewatkan karir pegawai negerinya di Papua Selatan dan Fabianus (Fery) Kamkopimu, seorang Yakqai asli dan mantan sekretaris daerah yang mempunyai hubungan dekat dengan Bupati Merauke. Fery melakukan kampanye “putra daerah” dan menurut laporan mengatakan (dengan tidak benar) bahwa undang-undang Otonomi Khusus Papua tahun 2001 mensyaratkan bahwa calon bupati adalah orang asli dari kabupaten daerah pemilihannya.15
rata per kapita nasional. Angka-angka ini berdasarkan data tahun 2005 dan 2006 dari Badan Pusat Statistik, diberikan oleh analis dari Asian Development Bank, Owen Podger. 11 Lihat Pasal 5(5) of Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 12 Wawancara Crisis Group dengan Martinus Torib, 27 April 2007. 13 Ibid. Wawancara Crisis Group dengan Bupati Yusak Yaluwo, Jakarta, 7 Mei 2007. 14 Pemuka suku Auyu dari tiga kabupaten bersatu untuk menolak pendirian PPS kecuali kabupaten Auyu yang sudah didirikan sebelumnya. 15 Wawancara Crisis Group dengan Helfried Lombo, penasihat ahli Bupati Jumame, Merauke, 23 April 2007. Pasalpasal 12a dan 20(1)a dalam Undang-undang Otonomi Khusus menetapkan bahwa gubernur dan wakil gubernur harus orang asli Papua, dan yang diakui Majelis Rakyat Papua (MRP),
Papua: Perspektif Lokal atas Konflik Crisis Group Asia Briefing N°66, 19 Juli 2007
Pada awalnya Komisi Pemilihan Umum Daerah mengumumkan Fery sebagai pemenang tetapi Jumame berhasil menentang keputusan tersebut di Pengadilan Tinggi Propinsi dengan tuduhan bahwa Fery melakukan kecurangan. Fery naik banding ke Mahkamah Agung yang kemudian memperkuat keputusan Pengadilan Tinggi tersebut. Walaupun sudah ada kedua keputusan tersebut, rekan-rekan Fery di Komisi Pemilihan Umum Daerah dan di DPRD berhasil menunda pelantikan Jumame selama sembilan bulan.16 Bahkan setelah Jumame akhirnya dilantik pada bulan Desember 2006, hampir satu setengah tahun setelah terpilih, Fery masih terus melakukan protes dengan menyerahkan suatu petisi ke Pengadilan Negeri pada bulan Mei 2007.17 Fery adalah calon yang diinginkan menang oleh Bupati Merauke, Gebze, temannya di SMA. Tidak dapat dielakkan, hasil pemilihan bupati ini telah mempengaruhi hubungan antara Mappi dan Merauke. Menurut kabar, Gebze juga merasa terancam kedudukannya oleh Jumame yang dikarenakan pernah bekerja di empat kabupaten di bagian selatan, telah dikenal luas di wilayah ini. Oleh karena itu Jumame dipandang akan menjadi lawan kuat Gebze untuk posisi gubernus PPS.18 Ketika para delegasi dari keempat kabupaten berkumpul pada bulan Februari 2007 untuk menyatakan dukungan atas pembentukan PPS, kabupaten Mappi hanya mengirim seorang pemuka masyarakat, sementara kabupaten Asmat, Merauke dan Boven Digoel diwakili oleh bupati dan ketua DPRD masing-masing.19 Gebze juga pernah memaksa Bupati Jumame turun dari sebuah penerbangan pada bulan Januari 2007, saat Jumame dalam perjalanan ke Jakarta untuk bertemu Presiden Yudhoyono dan sekelompok penaman modal
tetapi tidak ada ketentuan yang sama untuk bupati dan pejabatpejabat lain. Undang-undang ini tidak memberikan definisi orang asli Papua, dan definisi yang digunakan MRP untuk menyaring calon-calon gubernur pada tahun 2005 menjadi kontroversial. Lihat Crisis Group Briefing, The Dangers of Shutting Down Dialogue, op. cit., hal. 8-9. 16 Keputusan Pengadilan Tinggi tanggal 11 Agustus 2005, keputusan Mahkamah Agung tanggal 26 Januari 2006. Akhirnya komisi pemilihan umum propinsi menanda-tangani hasil yang diperbarui karena kepala KPUD Kabupaten menolak untuk melakukannya. Wawancara Crisis Group dengan Bupati Jumame, 23 April 2007, Helfried Lombo, op. cit.; “Ratusan Solidaritas Papua Selatan Demo Damai”, Cenderawasih Pos, 30 November 2006. 17 “DPD Surati Mendagri Soal Pilkada Mapi”, Suara Pembaruan, 8 Oktober 2006; “Bupati Mappi akhirnya dilantik”, Cenderawasih Pos, 15 Desember 2006; “Pilkada Mappi masih bermasalah”, Metro News, 29 Mei 2007. 18 Wawancara Crisis Group dengan pejabat-pejabat Mappi dan Merauke, April dan Mei 2007. 19 “Delegasi 4 Kabupaten Nyatakan Dukungan”, Cenderawasih Pos, 8 Februari 2007.
Hal. 4
asing. (Pesawat tersebut milik Pemerintah Kabupaten Merauke.) Dengan alasan yang sama beberapa pejabat dari Jayapura, termasuk Gubernur Barnabas Suebu, terpaksa naik pesawat melalui Timika untuk menghadiri pelantikan Jumame pada bulan Desember 2006.20 Tuntutan untuk pemekaran di Papua tidak hanya terjadi di wilayah bagian selatan. Akses atas kekuasaan politik dan daya tarik adanya harapan untuk mendapatkan pendapatan dari sumber daya alam menghasilkan usulan untuk pembentukan enam propinsi baru dan lebih dari sepuluh kabupaten baru.21 DPRD Jayawijaya bahkan menuntut pembentukan 600 desa baru setelah Gubernur Suebu mengumumkan program pembangunan yang akan mengalokasikan Rp.100,000,000 ($11,000) bagi setiap desa – suatu program yang antara lain dirancang untuk melewati pemerintahan kabupaten yang seringkali tidak efektif dan korup.22 Kasus Boven Digoel merupakan ilustrasi persaingan etnis dan suku yang bisa terjadi sebagai akibat dari pemekaran. Ketegangan di Kabupaten ini berkurang setelah pemilihan tahun 2005, walaupun begitu ketegangan bisa muncul kembali saat pemerintah propinsi dan pusat memutuskan usul pembentukan kabupaten Muyu dan PPS atau menjelang pemilihan kepala daerah berikutnya pada tahun 2010.
20
Wawancara Crisis Group dengan Lembaga Swadaya Masyarakat di Merauke, April 2007. Lihat juga “Penerbangan rombongan Bupati Mappi diturunkan secara paksa”, Kompas, 7 Januari 2007. 21 Selain PPS, ada usul untuk pembentukan lima propinsi baru di Papua: Papua Barat Daya, terdiri dari Sorong, Sorong Selatan, Raja Ampat, Teluk Bintuni dan Kota, seperti yang dibicarakan pada bulan Januari 2007 oleh bupati Sorong , John Wanane. Usul pembentukan propinsi Irian Jaya Tengah yang terdiri dari Kabupaten Nabire, Paniai, Mimika, Yapen, Waropen, Supiori, dan Biak Numfor sudah terbentuk sejak tahun 1999, tetapi saat ini sedang dipimpin oleh Bupati Nabire AP Youw. Propinsi Teluk yang saling tindih dengan usul pembentukan propinsi Irian Jaya Tengah, terdiri dari Kabupaten Yapen, Waropen, Supiori, Biak Numfor dan Nabire, sedang diupayakan oleh mantan bupati Yapen-Waropen, Philips Wona. Suatu Propinsi Dataran Tinggi Tengah – yang juga saling tindih dengan Irian Jaya Tengah dan Teluk Cenderawasih (Nabire, Mimika, Paniai, Puncak Jaya, Tolikara, Jayawijaya, Yahukimo, Pegunungan Bintang) – telah diusulkan oleh Lukas Enembe, Bupati Puncak Jaya dan mantan calon gubernur. Terakhir, suatu propinsi Bomberay, yang akan saling tindih dengan Papua Barat dan Papua Barat Daya, terdiri dari Papua Barat Papua dan Papua Barat Daya, terdiri dari Fak Fak, Kaimana, Teluk Bintuni, Sorong Selatan dan Teluk Wondama, diusulkan oleh para Bupati dari Fak Fak, Kaimana dan Teluk Bintuni. 22 Wawancara Crisis Group dengan Agus Sumule, Penasihat Khusus Gubernur Suebu, Jakarta, Juni 2007.
Papua: Perspektif Lokal atas Konflik Crisis Group Asia Briefing N°66, 19 Juli 2007
III. INVESTASI PENEBANGAN HUTAN DAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Ketegangan sosial dan politik yang disebabkan oleh investasi di bidang sumber daya alam selalu menjadi elemen penting dalam konflik di Papua.23 Hasil kayu dan mineral Papua dan Papua Barat sangat penting bagi perekonomian nasional, namun penduduk wilayah-wilayah ini lebih miskin dari propinsi lain di Indonesia kecuali Nusa Tenggara Barat.24 Sampai tahun 2002 semua penghasilan dari sumber daya alam langsung masuk ke pemerintah pusat. Perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan Soeharto, presiden saat itu, dan kroni-kroninya mendapatkan akses utama. Keterlibatan TNI dalam bisnis resmi dan gelap di Papua juga telah menimbulkan kemarahan dari masyarakat setempat, khususnya di mana bisnis-bisnis tersebut telah menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia. Perhatian masyarakat atas dampak sosio-politik dari penambangan cenderung difokuskan pada tambang emas dan tembaga raksasa milik Freeport di Kabupaten Mimika, pabrik gas alam cair BP di Teluk Bintuni dan pembalakan liar. Tetapi, investasi baru yang paling signifikan di Papua adalah pengembangan perkebunan, terutama kelapa sawit, dan kebanyakan dari perkebunan itu – mungkin ribuan hektar – akan berada di Boven Digoel, Mappi dan Merauke.25
23
Lihat Crisis Group Asia Report N°39, Indonesia: Resources and Conflict in Papua, 13 September 2002. 24 Lihat “Human Development Index” (HDI)”, United Nations Development Programme (UNDP), di www.bps.go.id/sector /ipm/ table1.shtml. Papua dan Papua Barat dianggap sebagai satu propinsi sampai tahun 2004, saat sembilan dari 29 kabupaten dari Propinsi Papua asli berpisah untuk membentuk Propinsi Irian Jaya Barat (namanya diubah menjadi Papua Barat pada bulan April 2007). Saat ini adanya masalah yang belum terselesaikan mengenai apakah Papua Barat masih harus tunduk pada Undang-Undang Otonomi Khusus, berkaitan erat dengan pembagian pendapatan dari penambangan sumber-sumber alam (proporsi yang lebih besar dialokasikan ke propinsi di bawah Otonomi khusus). Bila Papua dan Papua Barat dibagi menurut kabupaten, daerah-daerah dengan proporsi penduduk Papua asli yang lebih tinggi akan jelas terlihat lebih miskin. Daerah-daerah dengan jumlah besar orang Indonesia non-Papua seperti Jayapura, Merauke, Sorong dan Timika memiliki nilai HDI lebih tinggi dibandingkan kabupaten-kabupaten lain di Papua; kabupatenkabupaten di dataran tinggi tengah yang memiliki jumlah penduduk asli tertinggi mempunyai peringkat HDI terendah. Lihat “The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia”, Indonesia Human Development Report 2004, UNDP, hal. 109, di www.undp.or.id/pubs/ihdr2004/ihdr2004 _full.pdf. 25 Wilayah luas lain yang diperuntukkan untuk perkebunan besar adalah Jayapura-Sarmi. Crisis Group tidak berhasil mendapatkan angka yang pasti untuk luasnya tetapi lewat informasi yang didapat dari staf Sinar Mas dan pejabat-pejabat di kantor
Hal. 5
Sebagai upaya meningkatkan produksi bahan bakar nabati, dalam rangka mengurangi subsidi bahan bakar minyak domestik, pemerintah berencana membuka lima juta hektar perkebunan baru di Papua pada tahun 2012.26 Produksi bahan bakar nabati diharapkan dapat memenuhi 10 persen konsumsi bahan bakar nasional pada tahun 2012. Dan walaupun ada yang skeptikal bahwa penggunaan bahan bakar nabati akan menghemat biaya dan bagus untuk lingkungan hidup, tuntutan Eropa untuk penggunaan bahan bakar ini tetap kuat.27 Gubernur baru Papua, Barnabas Suebu, adalah seorang pendukung utama pengembangan perkebunan skala besar sebagai strategi penanggulangan kemiskinan, dan ia menjabarkan program ini sebagai “menghidupkan raksasa tidur” dari potensi ekonomi Papua.28 Investasi baru ini pasti akan memberikan pendapatan baru yang signifikan serta ribuan lapangan pekerjaan baru tetapi investasi ini juga akan membawa resiko konflik sosial. Ada dua bidang yang bisa menimbulkan masalah. Yang pertama adalah hak tanah adat, yang sampai saat ini tidak mempunyai kerangka payung hukum. Undang-undang Otonomi Khusus menyebutkan bahwa “usaha-usaha perekonomian... yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati semua hak-hak masyarakat adat” tetapi perinciannya akan ditetapkan kemudian dalam sebuah peraturan daerah khusus (perdasus) tentang hak-hak tanah adat dan kehutanan.29 Sebuah kerangka perdasus disiapkan oleh satu tim dibawah pengawasan Dinas Kehutanan Propinsi pada tahun 2006 tetapi masih perlu dibahas oleh DPRD.30
Kabupaten bahwa Sinar Mas bermaksud mengembangkan sekitar masing-masing 200.000 hektar di Mappi, Boven Digoel dan Merauke. Wawancara Crisis Group di Merauke, Tanah Merah dan Jakarta, April, Mei dan Juni 2007. Sinar Mas mempunyai nota kesepakatan dengan China National Offshore Oil Corp (CNOOC), untuk proyek investasi bersama untuk suatu proyek bahan bakar nabati bernilai $5.5 milyar di Papua dan Kalimantan. “CNOOC, Widjajas in biofuel project”, South China Morning Post, 10 Januari 2007. 26 Pada bulan Januari 2006 Presiden Yudhoyono menguraikan rencana untuk mempercepat investasi bahan mentah untuk produksi bahan bakar nabati. Lihat Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati Sebagai Bahan Bakar Lain. 27 Lihat misalnya “Sweden Seeks Indonesian Palm Oil to Cut Emissions”, Dow Jones, 29 Mei 2006; “Austrian firms may set up biodiesel businesses here”, The Jakarta Post, 5 Juni 2007. 28 “Membangun Papua Baru di dalam NKRI”, suatu buku kecil yang diterbitkan kantor Gubernur Suebu; Wawancara Crisis Group dengan Agus Sumule, Penasihat Khusus Gubernur Suebu, Mei dan Juni 2007, Marthen Kayoi, Kepala Dinas Kehutanan Papua dan Maria Latumahina, Penasihat Khusus Gubernur untuk masalah sumber-sumber daya alam, Yapen, Juni 2007. 29 Pasal 38(2) Undang-undang Otonomi Khusus. 30 Wawancara Crisis Group dengan anggota DPRD Papua Albert Yogi, Jayapura, 5 Mei 2007, Marthen Kayoi, Kepala
Papua: Perspektif Lokal atas Konflik Crisis Group Asia Briefing N°66, 19 Juli 2007
Adalah suatu tantangan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hak-hak tanah adat yang oleh para pejabat di Boven Digoel diakui sebagai kelemahan besar.31 Tidak ada sistem sertifikat tanah untuk kepemilikan adat, dan kebanyakan masyarakat desa di Boven Digoel tidak paham benar mengenai hakhak mereka dan hak-hak perusahaan. Masalah utama kedua berhubungan dengan kemungkinan membanjirnya pekerja-pekerja Indonesia non-Papua. Bila investasi kelapa sawit oleh Sinar Mas Group terjadi di Papua Selatan misalnya, pemukimpemukim non-Papua yang dibawa masuk untuk bekerja di perkebunan akan melebihi jumlah populasi asli di Kabupaten Boven Digoel, Mappi dan Merauke.32 Perkebunan-perkebunan kelapa sawit juga sedang dipertimbangkan untuk dibuka di Kabupaten Sarmi, Jayapura, Mimika dan Yahukimo. Walaupun pemerintah Kabupaten telah menanda-tangani nota kesepakatan dengan banyak calon investor perkebunan, izin resmi belum diberikan. Pemerintah Propinsi sedang dalam proses mengembangkan strategi untuk mengurangi kemungkinan gangguan sosial sebelum membuka lebih banyak lahan lagi, termasuk
Dinas Kehutanan Papua, dan Maria Latumahina, Penasihat Khusus Gubernur untuk masalah sumber-sumber daya alam, Yapen, Juni 2007. 31 Wawancara Crisis Group dengan Cornelis Ngarbingan, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Boven Digoel, dan staf Dinas Kehutanan Barnabas Sedik dan Urbanus Atek, Tanah Merah, 27 April 2007. 32 Staf Sinar Mas mengakui bahwa perusahaan akan membawa kebanyakan tenaga kerja yang dibutuhkan dari propinsi-propinsi lain. Perkebunan kelapa sawit yang didirikan perusahaan ini di Lere, Kabupaten Jayapura, pada tahun 1992 mempekerjakan sekitar 20 persen pekerja Papua dengan produktifitas hanya sebesar 65 persen dibandingkan perkebunan serupa di propinsi Riau dan Kalimantan. Perusahaan sadar bahwa mereka perlu mempekerjakan sejumlah kecil pekerja Papua karena alasan sosial dan politik, tetapi untuk dapat menjaga produktivitas yang sesuai, perusahaan akan membawa setidaknya 70 persen pekerjanya dari luar. Wawancara Crisis Group dengan staf Sinar Mas. Sinar Mas yang telah menandatangani nota kesepakatan dengan pemerintah Kabupaten Boven Digoel, Mappi dan Merauke di Jakarta bulan Januari 2007, menunjukkan sasaran untuk pengembangkan sekitar 200,000 hektar di masingmasing kabupaten. Bila perkebunan-perkebunan ini jadi dikembangkan, masing-masing wilayah akan membutuhkan 60,000 pekerja yang untuk Boven Digoel berarti gelombang masuk sekitar 42,000 orang non-Papua – suatu jumlah yang lebih besar daripada populasi seluruh Kabupaten tersebut saat ini. Data populasi diambil dari angka Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005. Wawancara Crisis Group dengan eksekutif Sinar Mas, Jakarta, Juni 2007, dan pejabat-pejabat propinsi.
Hal. 6
ketentuan bahwa penduduk asli Papua harus mendapat prioritas sebagai buruh dan dalam kontrak kerja.33 Kasus Korindo di Boven Digoel merupakan gambaran tentang ketegangan-ketegangan sosial yang bisa disebabkan oleh perkebunan besar. Perusahaan Korea ini serta anak-anak perusahaan Indonesianya34 telah beroperasi di wilayah ini sejak tahun 1997. Mereka mengembangkan perkebunan kelapa sawit untuk produksi bahan bakar nabati.35 Walaupun tidak menimbulkan peristiwa kekerasan besar, tetapi kehadiran perusahaan tersebut telah secara langsung dan tidak langsung menyumbang beberapa konflik sosial.
A.
KONFLIK ANTARA KORINDO DAN MASYARAKAT
Kebanyakan penduduk Boven Digoel tergantung pada hutan untuk matapencaharian mereka. Banyak komunitas tetap hidup secara tradisional dengan berburu dan mengumpulkan bahan makanan dari hutan. Sistim kepercayaan tradisional masyarakat lokal Muyu, Auyu dan Mandobo berhubungan erat dengan hutan, dan larangan-larangan untuk mengganggu kuburan leluhur dan tempat-tempat suci lainnya.36 Banyak masyarakat lokal yang setuju untuk memberikan akses atas semua atau sebagian tanah adat mereka ke Korindo, baik untuk tebang pilih atau membukanya untuk perkebunan kelapa sawit. Walaupun begitu banyak penduduk merasa bahwa
33
Masing-masing investor akan dinilai pertama dari kemampuan keuangannya, pemerintah propinsi akan melaksanakan analisis dampak lingkungan awal, dan pada awalnya konsesi yang lebih kecil sekitar 1.000 hektar, akan diberikan sebagai kontrak percobaan sebelum investasi lebih besar diteruskan. Wawancara Crisis Group dengan Agus Sumule, Juni 2007. Berdasarkan perkebunannya di Lere, Jayapura, Sinar Mas dapat dianggap tidak mampu mengelola 600.000 hektar. Pada tahun 1992 mereka diberi izin untuk mengelola 40.000 hektar tetapi selama lima belas tahun terakhir baru menanami 12.000. 34 PT Tunas Sawa Erma (TSE), PT Bade Makmur Orisa (BMO), PT Korindo Abadi dan Pelayaran Dowentindo Nasional. 35 TSE sebenarnya baru beroperasi di wilayah ini sejak tahun 1989 (kontrak awal diberikan pada tahun 1978), tetapi dibeli oleh Korindo pada tahun 1990an. Wawancara Crisis Group dengan Cornelis Ngarbingan, Kepala Dinas Kehutanan Boven Digoel, Tanah Merah, 27 April 2007, dan Tony Nahawarin, Korindo, Jakarta, 28 Mei 2007. 36 Wawancara Crisis Group dengan penghuni desa dan pemuka adat, Mindipdana, Tanah Merah dan Getentiri, AprilMei 2007. Lihat juga, misalnya, Schoorl, J. W. (Pim), Kebudayaan dan Perubahan Suku Muyu dalam Arus Modernisasi Irian Jaya, tersedia sebagai buku elektronik di www.papuaheritage.org/sh_p.php?i d=26&pid=8&ppid=6.
Papua: Perspektif Lokal atas Konflik Crisis Group Asia Briefing N°66, 19 Juli 2007
ganti rugi yang diberikan tidak cukup. Beberapa orang menuduh bahwa perusahaan tersebut telah menebang dengan tidak memperhatikan keinginan mereka yang sudah jelas, dan beberapa komunitas menolak samasekali pemanfaatan komersial atas tanah mereka. Setelah menyetujui rencana kerja dengan Dinas Kehutanan Kabupaten, perusahaan-perusahaan kayu wajib mendapatkan izin dari pemilik-pemilik tanah adat, kemudian melakukan penilaian bersama dengan mereka untuk menentukan jumlah ganti rugi bagi masing-masing klan. Sampai dengan tahun 2005, Korindo membayar Rp.750 (sekitar $.08) per meter kubik kayu yang ditebang, tetapi mereka dipaksa untuk menaikkan harga menjadi Rp.10.000 (sekitar $1.10) per meter kubik sesuai peraturan pemerintah.37 Akan tetapi, ongkos untuk survei dipotong dari ganti rugi. Sampai tahun 2002, biasanya para juru ukur tanah (surveyor) Korindo didampingi oleh tentara tetapi sejak tidak ada lagi ancaman keamanan dari OPM, pendampingan jarang dilakukan. Akan tetapi bila timbul masalah lokal maka militer atau Brimob dipanggil. Pemegang-pemegang tanah adat di desa Tinggam di Kecamatan Mindipdana mengaku bahwa mereka tidak pernah dihubungi oleh pemerintah setempat atau perusahaan sebelum Korindo memulai penebangan di sana pada bulan Juni 2004. Mereka merasa bahwa penawaran dari perusahaan tersebut sebesar Rp.10.000 per meter kubik tidak cukup. Setelah dibagi di antara tujuh klan, setiap keluarga hanya menerima beberapa ribu rupiah ($40-$50).38 Mereka juga mengeluhkan bahwa selama penebangan berlangsung, sagu (makanan utama mereka), rotan dan tanaman-tanaman obat tradisional menjadi rusak dan mereka tidak mendapat ganti rugi atas kerusakan tersebut.39 Pada bulan Desember 2006, setelah penebangan dilakukan di hampir separuh desa, ketuaketua dari klan-klan yang tanahnya belum tersentuh berkumpul dan memutuskan untuk menolak memberi
Hal. 7
akses kepada Korindo dan mengirimkan surat ke perusahaan tersebut dan pemerintah kabupaten.40 Pada bulan Februari 2007, satu tim surveyor dari Korindo tiba di desa Tinggam untuk merencanakan operasi penebangan pohon. Penduduk-penduduk desa yang marah memberitahukan tim ini bahwa mereka sudah mencabut izin penebangan kecuali ganti rugi dinaikkan cukup besar. Para surveyor menerangkan bahwa mereka tidak berhak untuk membatalkan operasi maupun memberikan ganti rugi tambahan tetapi mereka akan menyampaikan keluhan kepada manajemen perusahaan. Karena kuatir bahwa mereka tidak akan pernah mendapat jawaban dari perusahaan, sekelompok kecil penduduk desa menahan seorang surveyor dan mengatakan bahwa ia akan ditahan di desa sampai direktur perusahaan datang dan berbicara dengan mereka. Staf Korindo malah pergi ke Kodim di Mindipdana untuk melaporkan penyanderaan dan kembali dengan enam tentara bersenjata yang menerobos pagar betis yang dibentuk oleh penduduk desa dan membebaskan karyawan yang ditahan tersebut. Masyarakat Tinggam menuduh bahwa para tentara telah mengancam mereka, tetapi tentara tidak menggunakan kekerasan. Perselisihan serupa muncul antara Korindo dan pemilikpemilik tanah adat di desa Autriob, yang mengaku bahwa mereka tidak diajak bicara sebelum perusahaan memulai survei atas tanah mereka untuk melakukan penebangan hutan. Pada tahun 2003 pemuka-pemuka adat dari keenam klan Autriob memutuskan untuk menolak penebangan apapun di desa mereka dan mereka menyampaikan keputusan ini kepada pemerintah setempat (saat itu Kabupaten Merauke).41 Meskipun demikian, Korindo kembali pada tahun 2005 dan mulai beroperasi dengan dalih bahwa mereka telah mendapat izin dari pemerintah pusat yang mengklasifikasikan tanah tersebut sebagai “hutan negara” di bawah undang-undang tahun 1999 tentang kehutanan.42 Penduduk desa Autriob
40
37
Surat Keputusan Gubernur No. 184 Tahun 2004 tanggal 5 Agustus 2004. 38 Wawancara Crisis Group dengan Adrianus Aneyop, Kepala Desa Tinggam , 28 April 2007. Kayu diambil dari tanah adat klan-klan Trotagut, Kame, Workop, Re, Guam dan Autriob pada tahun 2004. 39 Pada tahun 2005 Bupati Boven Digoel mengeluarkan peraturan yang mewajibkan perusahaan untuk memberikan ganti rugi kepada penduduk setempat untuk sumber makanan dan panen lain yang rusak selama kegiatan penebangan. Keputusan Bupati Kabupaten Boven Digoel Nomor 28 Tahun 2006. Tidak ada hukum yang mengatur perusahaan untuk memberikan ganti rugi atas tanaman-tanaman obat-obatan tradisional tetapi DPRD Kabupaten merencanakan untuk membuatnya setelah penilaian eksternal atas nilai dari tanaman-tanaman tersebut dilakukan. Wawancara Crisis Group dengan anggota DPRD Kabupaten, Tanah Merah, April 2007.
Pada bulan Desember 2006, ketua tiga klan mengirimkan surat ke Korindo memberitahukan keputusan mereka untuk menolak akses ke tanah mereka kecuali ganti rugi naik secara signifikan dan mengirimkan tembusannya kepada Bupati, DPRD Kabupaten, dan komando kepolisian dan militer setempat. Mereka tidak memperoleh tanggapan. Mereka juga menulis ke Departemen Hukum dan HAM di Jakarta, yang mengundang mereka untuk suatu pertemuan tetapi tidak seorangpun di desa itu mempunyai uang untuk melakukan perjalan ke ibukota. Wawancara Crisis Group dengan penduduk desa Tinggam 28-29 April 2007. 41 Ke enam klan tersebut adalah Tenarop, Guam, Koperon, Duka, Toron, dan Tenggare. 42 Daerah yang diklasifikasikan sebagai “hutan negara” dalam pasal 4 hukum ini mendefinisikan istilah tersebut sebagai “hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah”. Tetapi Undang-undang ini juga mendefinsikan hutan adat sebagai hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Papua: Perspektif Lokal atas Konflik Crisis Group Asia Briefing N°66, 19 Juli 2007
menahan enam surveyor Korindo, juga menuntut untuk berbicara langsung dengan direktur perusahaan dan Korindo mengirim pasukan Brimob untuk membebaskan staf mereka.43 Penduduk desa Autriob mendatangi kantor Korindo di Asiki hampir satu kali seminggu sejak tahun 2005, bertemu dengan staf senior dari bagian perencanaan dan hubungan masyarakat, tetapi mereka tidak berhasil menyakinkan perusahaan untuk tidak menggunakan tanah mereka. Perwakilan dari desa, Gerardus Guam, bertemu Bupati Yusak pada tahun 2005, yang menasihati para penduduk desa untuk menerima saja ganti rugi yang ditawarkan. Pemilik tanah yang mengambil langkah yang lebih pragmatis telah berhasil memenangkan beberapa konsesi. Sekelompok enam klan di luar kota Mindipdana terlibat dalam perselisihan dengan Korindo, mengaku bahwa perusahaan tersebut menebang pohon tanpa konsultasi pada tahun 2001. Pemuka-pemuka adat setempat menandai teritori mereka dan membentuk tim-tim untuk menutup akses bagi Korindo tetapi setelah pembicaraan yang memakan waktu berbulan-bulan dan melakukan pemetaan bersama, mereka berhasil bernegosiasi dengan perusahaan untuk tebang pilih dan untuk melindungi tempat-tempat suci serta sumber-sumber makanan.44 Kasus-kasus Mindipdana, Tinggam dan Autriob semua berhubungan dengan tebang pilih, yang cukup menghabiskan hutan dan mengganggu sumber-sumber makanan dan penghasilan penduduk setempat.45 Perkebunan kelapa sawit mengharuskan perusahaan untuk membuka lahan dengan cara menebang pohon kemudian membakarnya dan memindahkan penduduk ke daerah baru. Ini merupakan proses yang lebih merusak dan menghasilkan perlawanan yang lebih besar dari pemukapemuka adat, dan dalam beberapa kasus telah bercampur dengan politik lokal. Di daerah Ujung Kia di Kecamatan Getentiri, perlawanan lokal begitu kuatnya sampai Bupati Boven Digoel turut memberi dukungan kepada penduduk desa dan memaksa perusahaan menangguhkan operasi. Desa Ujung Kia terletak di Blok B, dari hak perkebunan kelapa sawit Korindo seluas 7,000 hektar di Boven Digoel Selatan. Perusahaan tersebut memulai kerja di Blok ini pada bulan Maret 2004 dan telah membuka sekitar 4.000
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Umumnya wilayah yang diberikan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dianggap sebagai “hutan negara”. 43 Wawancara Crisis Group dengan Gerardus Guam dan penduduk lain desa, Autriob, Mindipdana, April 2007. 44 Wawancara Crisis Group dengan Constantinus Koan Batak, Mindipdana, 27 April 2007. 45 Hanya pohon yang berdiameter 50 cm atau lebih yang boleh ditebang. Wawancara Crisis Group dengan Barnabas Sedik dari Dinas Kehutanan Boven Digoel, 27 April 2007.
Hal. 8
dari 7.000 hektar lahan, di desa Getentiri dan Butiptiri. Perusahaan ini sepakat dengan Dinas Kehutanan Kabupaten untuk membuka sisa lahan seluas 3,000 hektar pada tahun 2006.46 Perusahaan tersebut memulai konsultasi dengan pemilik-pemilik tanah setempat di awal tahun 2006 tetapi mendapat perlawanan yang kuat sejak awal. Ke 25 klan di desa Ujung Kia, setelah mengamati kelakuan Korindo di Genetiri dan Butiptiti, merasa bahwa harga kehilangan tanah mereka lebih besar dari keuntungan yang ditawarkan perusahaan tersebut. Klan-klan tersebut menulis ke manajemen Korindo dengan menjabarkan lima belas alasan untuk menolak memberikan akses. Keprihatinan utama mereka adalah bahwa perusahaan tersebut tidak memegang janji-janji mereka untuk pengembangan masyarakat, hak-hak pemilik tanah adat tidak dihormati dan penduduk asli Papua tidak diberi pekerjaan.47 Mereka juga mengeluhkan bahwa perusahaan telah mengirimkan tentara bersama tim survei perusahaan. Antara bulan Januari 2006 dan Maret 2007, penduduk desa secara tetap mendirikan penghadang jalan untuk mencegah karyawan-karyawan Korindo memasuki desa mereka,. Dalam satu kejadian pada bulan Oktober 2006, mereka mengancam karyawan perusahaan tersebut dengan panah.48 Penduduk setempat juga mengeluhkan bahwa perusahaan tidak memenuhi janji untuk membangun jalan yang menghubungkan Ujung Kia dengan ibukota Kecamatan, Getentiri. Bupati Yusak, yang ibunya berasal dari Ujung Kia, berjanji dalam kampanyenya saat pemilihan tahun 2005 untuk bekerjasama dengan Korindo guna memastikan bahwa jalan tersebut dibangun. Yusak datang ke Ujung Kia pada bulan Agustus 2006 untuk memediasi perselisihan tetapi gagal dan ia dikritik oleh masyarakat desa atas jalan yang belum dibangun. Kemudian ia meminta Korindo untuk merelokasi perkebunan mereka dan mulai mengambil sikap yang lebih keras. Pada bulan Desember 2006, ia menuntut perusahaan tersebut untuk mengganti manajemen seniornya dan membawa masuk orang yang lebih fokus pada pengembangan masyarakat,. Di awal tahun 2007 ia menunda persetujuan untuk rencana penebangan tahunan perusahaan tersebut selama beberapa bulan.49 Keluhan-keluhan pemilik-pemilik tanah adat menjadikan Korindo sebagai permainan sepakbola politik. DPRD Tingkat II Boven Digoel mengadakan suatu sidang khusus 46
Wawancara Crisis Group dengan Alosius, Getentiri Sekretaris Kecamatan dan Paulus, Kepala Desa Ujung Kia 1 Mei 2007. 47 Korespondensi Crisis Group dengan Guntur Ohoiwutun pengacara Merauke yang membantu ke 25 suku, Juni 2007. 48 Wawancara Crisis Group dengan Camat Getentiri , Filipus Yame, anggota DPRD Kabupaten Boven Digoel, Mei 2007. 49 Wawancara Crisis Group dengan staf Korindo, Jakarta dan Asiki, Mei 2007.
Papua: Perspektif Lokal atas Konflik Crisis Group Asia Briefing N°66, 19 Juli 2007
Hal. 9
pada bulan Februari 2007 yang seluruhnya dihabiskan untuk mengkritik tetapi Dewan sendiri hampir tidak melakukan sesuatu tindakan yang konkrit untuk menangani keprihatinan masyarakat. Dalam sidang tersebut, Bupati Yusak mengeluh bahwa kepala Dinas Kehutanan Kabupaten tidak transparan dalam hubungannya dengan Korindo dan bahwa ia terlalu dekat dengan perusahaan tersebut.50 Pejabat-pejabat Boven Digoel juga selalu mengeluh tentang kecenderungan perusahaan untuk berhubungan dengan pemerintah Kabupaten Merauke dan bukan langsung dengan mereka padahal Boven Digoel telah lepas dari Kabupaten Merauke sejak tahun 2002.51
Pertemanannya secara berkala dengan komandan militer setempat memperlihatkan bahwa ia melakukan permainan ganda, membangun hubungan menguntungkan dengan kelompok pro-kemerdekaan maupun pro-integrasi tergantung pada keperluannya. Ia juga mempunyai hubungan seperti itu dengan Korindo, di satu pihak menuntut (dan biasanya menerima) bantuan, dan bahkan dipekerjakan di perusahaan sebagai penjaga pada tahun 1999, tetapi ia juga akan terlibat dengan masalah keluhan masyarakat lokal atas perusahaan tersebut bila hal tersebut menguntungkan dirinya. Daftar tuntutan Onde untuk pembebasan sandera-sandera dari Korindo menggambarkan hubungan-hubungan mendua tersebut:
B.
Penarikan Brimob dari Kabupaten Merauke 54
Pembayaran oleh Korindo Group sebesar $2 juta bagi OPM sebagai ganti rugi atas kerusakan hutan;
Pembayaran oleh Korindo atas rekeningnya sebesar Rp 2.4 juta ($265) di bar Nikita, Merauke;
Segera membuka dialog antara pemerintah Indonesia dengan OPM mengenai status Papua; dan
Ditariknya Keputusan Polisi No. 2 tahun 2000 yang memasukkan OPM sebagai organisasi terlarang.55
KONFLIK ANTARA KORINDO DAN PEMBERONTAK ORGANISASI PAPUA MERDEKA
Komandan OPM setempat telah memanfaatkan keluhankeluhan masyarakat setempat untuk mengkritik Korindo dan meminta lebih banyak lagi uang dari perusahaan tersebut. Sekelompok kecil pemberontak yang dipimpin oleh Willem Onde, penduduk asli desa Kombut di Mindipdana, aktif sampai akhir tahun 2001 di daerah Asiki, di mana kantor pusat Korindo dan pabrik-pabrik kayu lapis dan kelapa sawitnya berada. Onde nampaknya mempunyai hubungan yang baik dengan perusahaan tersebut. Staf Korindo secara diamdiam mengakui bahwa secara berkala perusahaan tersebut memberi bantuan keuangan kepada Onde.52 Onde juga mempunyai hubungan dengan komando militer setempat setelah secara resmi meninggalkan kekerasan pada bulan Mei 1997 dan menyerahkan beberapa pucuk senjata milik kelompoknya. Secara khusus ia dekat dengan tentara di markas Kopassus di Merauke, di mana ia biasanya tinggal bila sedang berkunjung ke kota ini. Tetapi pada bulan Januari 2001, setelah kembali melakukan perjuangan bersenjata, ia menyandera enam belas karyawan Korindo selama beberapa minggu.53
50
“Korindo terus memperkaya diri”, Boven Digoel Pos, Maret 2007, hal. 20. 51 Perusahaan mengatakan bahwa di Boven Digoel belum ada kantor bea cukai, jadi mereka terpaksa membayar reboisasi dan pajak di Kabupaten Merauke yang kemudian mengirimkan uang tersebut ke Boven Digoel. Bupati Yusak berkilah bahwa uang tersebut dapat dibayarkan ke Dinas Pendapatan Daerah Boven Digoel, jadi tidak ada alasan mengapa uang tersebut perlu diserahkan ke Merauke. Wawancara Crisis Group dengan Bupati Yusak Yaluwo, Jakarta, Mei 2007, Ferry Letsoin dan Agus Merabo, Dinas Hukum Kabupaten, Tanah Merah, April 2007. 52 Wawancara Crisis Group. 53 “Mengapa pembunuhan terhadap Willem Onde dan John Tumin Kandam belum diinvestigasi”, Sekretariat Keadilan dan Perdamaian, Merauke, Juni 2002, hal. 1-2; “Bisnis Militer di
Dalam negosiasi yang dipimpin Bupati Merauke, Onde setuju untuk membebaskan para sandera dengan syarat ia bisa bertemu dengan Presiden Abdurrahman Wahid.56 Ia juga menandatangani surat yang menjamin keamanan karyawan Korindo. Tetapi, hanya sekitar tujuh bulan setelahnya, di awal bulan September 2001, Onde dan letnannya John Tumin, ditemukan terbunuh, kemungkinan oleh pasukan Kopassus .57
Boven Digoel Papua”, Kontras, Maret 2004, hal. 29-30, di http://www.kontras.org/buku/Laporan_Digoel. 54 Wilayah yang saat ini mencakup Boven Digoel, Mappi, Asmat dan Merauke. 55 “Akhir Drama Bar Nikita”, Tempo, 18 Februari 2001, hal. 28. Sebenarnya tidak pernah ada dialog antara pemerintah Indonesia dengan OPM tentang status Papua; referensi dalam daftar tuntutan tentang “pembukaan kembali” dialog mungkin dihubungkan dengan Dialog Nasional antara Presiden Habibie dan Dewan Presidium Papua yang dimulai pada bulan Februari 1999 tetapi langsung berantakan ketika para pemimpin Presidium menuntut kemerdekaan. 56 Onde membebaskan tiga belas dari enam belas sandera pada tanggal 28 Januari, dan tiga sandera terakhir pada tanggal Februari 2001. 57 Pembunuhan tidak pernah diusut secara resmi tetapi saksi-saksi setempat melihat anggota Kopassus bersenjata di wilayah ini pada hari kejadian. Konon, Onde diancam mati pada bulan Mei 2001 oleh komandan Kopassus Papua Mayor Hartomo, setelah ia menolak untuk mendukung Otonomi Khusus. “Mengapa pembunuhan terhadap Willem Onde”, op. cit.
Papua: Perspektif Lokal atas Konflik Crisis Group Asia Briefing N°66, 19 Juli 2007
Tidak ada lagi komando OPM yang aktif di wilayah selatan. Joseph Makaonama, yang sampai tahun 2005 berbasis di daerah Wapok di Papua New Guinea, di seberang perbatasan Merauke, meninggalkan gerakan bersenjata setelah markasnya diserang militer di akhir tahun 2004.58 Bernard Mawen, pimpinan OPM untuk wilayah selatan masih berkedudukan di Merauke tetapi ia sudah tidak aktif selama beberapa tahun.
C.
KONFLIK ANTAR PEMILIK-PEMILIK TANAH ADAT
Walaupun perseteruan antara pemilik-pemilik tanah sering terjadi, perseteruan tersebut cenderung mudah diselesaikan. Tanah adapt dibatasi oleh tanda-tanda alam seperti sungai, bukit dan pepohonan. Pada umumnya pemuka-pemuka suku mengakui dan menghormati perbatasan tersebut. Tetapi beberapa perselisihan tentang kepemilikan tanah dan akses antara klan-klan dan suku-suku adat Papua pernah terjadi. Satu contoh perselisihan berubah menjadi kekerasan terjadid di Getentiri setelah 12 klan mengijinkan Korindo untuk membuka lahan tanah mereka untuk perkebunan kelapa sawit pada tahun 2004. Mereka kemudian dipindahkan ke pemukiman baru di Butiptiri dimana hanya ada sedikit sumber makana dari alam.. Beberapa keluarga dari Getentiri sebenarnya berasal dari Ujung Kia, dan walaupun mereka telah memberikan tanah mereka saat pindah ke Getentiri, mereka merasa berhak untuk memanen sagu dari tanah leluhur mereka. Ketika sekelompok kecil laki-laki dari desa Getentiri 2 (desa seringkali diberi nomor untuk keperluan administratif) mengambil sagu dari desa 5 di Ujung Kia pada bulan November 2006, orang-orang setempat menyerang mereka dengan senjata tajam dan menyebabkan seorang luka parah.59 Pertikaian dalam klan tentang perbatasan juga umum terjadi, dan cenderung menjadi besar saat menyangkut adanya ganti rugi dalam jumlah besar, namun masalah menjadi semakin rumit bila pertikaian terjadi pada wilayah perbatasan kabupaten yang satu dengan yang lainnya. Pada bulan Oktober 2006, Korindo memberikan uang ganti rugi kepada etnik Mandobo yang tinggal di desa-desa Manop, Senuf dan Akbal di Kecamatan Jair di Boven Digoel saat mereka membuka lahan untuk menanam kelapa sawit. Tetapi orang etnik Marind di Kecamatan Muting yang bersebelahan (di
58
Wawancara Crisis Group dengan pastor Katolik Romo Jus, yang menfasilitasi genjatan senjata antara Makaonama dan militer, Jakarta, Juni 2007. 59 Wawancara Crisis Group dengan Camat Getentiri Filipus Yame, kepala desa Ujung Kia village, Alosius, 1 Mei 2007.
Hal. 10
Merauke) mengaku sebagai pemilik tanah adat dan bahwa daerah tersebut merupakan tempat suci. Menurut pemimpin-pemimpin adat (baik Mandobo maupun Marind), secara tradisional tanah tersebut dimiliki oleh klan Marind Byaan dan Marind Yeinan, tetapi dalam penyelesaian suatu perang suku pada tahun 1950an, tanah mereka diberikan kepada sebuah klan Mandobo di bagian utara yang keturunannya masih tinggal di sana. Pemilik asli tanah asal Marind, yang tinggal di seberang sungai di Muting, berkilah bahwa kepemilikan tanah tidak pernah dialihkan kepada orang-orang Mandobo, melainkan hanya diberi izin pakai. Pemuka adat Marind kemudian mendatangi perusahaan yang kemudian setuju untuk membayar kepada mereka jumlah yang sama seperti yang dibayarkan kepada penduduk Mandobo .60 Perbatasan-perbatasan antara suku-suku menjadi lebih rumit dengan adanya perubahan dalam perbatasan administratif. Ketika Boven Digoel dimekarkan dari Kabupaten Merauke pada tahun 2002, perbatasan secara kasar dibuat berdasarkan garis-garis etnis. Suku-suku Mandobo dan Auyu masuk Boven Digoel, dan suku-suku Marind tetap di Kabupaten Merauke yang induk. Namun, di beberapa daerah masih ada kebingungan tentang di mana sebenarnya perbatasan berada. Korindo menimbulkan kemarahan masyarakat setempat pada bulan Oktober 2006 ketika mereka membuka lahan di delapan desa yang sama-sama diakui oleh dua pemuka adat dan dua kabupaten.61 Pemuka-pemuka suku yang pada awalnya mendapat ganti rugi atas sebagian tanah adalah bagian dari konsesi Korindo di Kabupaten Boven Digoel, tetapi dewan adat Marind setempat dan pemerintah Kabupaten Merauke mengaku bahwa tanah tersebut milik orang Marind dan adalah bagian dari Kecamatan Muting dan Ulilin di Merauke.62 Dalam rangka menangani perselisihan, Korindo membayar kepada pemuka suku kedua kelompok. Pada bulan Mei 2007 masalah perbatasan
60
“Benih Konflik Tapal Batas Merauke-Boven Digoel”, Katane, Edisi XXII/XII/2006, hal. 3; Wawancara Crisis Group dengan pemuka adat Marind dan ahli antropologi Jul Gebze, Merauke, 24 April 2007; Wawancara telepon Crisis Group dengan Klemens Ndiken, Lembaga Masyarakat Adat Muting, Moses Nelson Woru, dan Camat Muting , juga Anton Kaize, wartawan dari Merauke yang mengunjungi daerah bermasalah tersebut, Mei 2007. 61 Ke delapan desa adalah Kindiki, Selil, Kolam, Wan, Selo, Boha, Pacas dan Muting. Pemerintah kabupaten menerima 48 persen pendapatan negara dari perkebunan. Menurut UndangUndang Otonomi Khusus tahun 2001, Propinsi Papua menerima 80 persen dari pendapatan yang dibayarkan kepada pemerintah pusat untuk kehutanan dan pertambangan dari ini propinsi menyerahkan 60 persen ke kabupaten asal. 62 Wawancara Crisis Group dengan Klemens Ndiken dan Moses Nelson Woru, Mei 2007.
Papua: Perspektif Lokal atas Konflik Crisis Group Asia Briefing N°66, 19 Juli 2007
administratif belum diselesaikan. Para pemuka suku Marind telah mengirimkan surat ke DPRD Tk. II Merauke untuk meminta penjelasan tentang batas tanah tetapi belum mendapat tanggapan.63
D.
KONFLIK DALAM KLAN ATAS GANTI RUGI
Di Papua, kepemilikan tanah tradisional adalah komunal, yang berkisar dari lima sampai 30 rumah tangga untuk satu klan. Kepala atau sekelompok kepala klan biasanya diutus untuk bernegosiasi dengan perusahaan untuk masalah ganti rugi. Pendidikan rendah serta kurangnya informasi dari Dinas Kehutanan Kabupaten menyebabkan kebanyakan masyarakat pedesaan tidak begitu mengerti bagaimana perhitungan ganti rugi dan pembagiannya. Yang hampir selalu terjadi adalah mereka mengharapkan jumlah uang yang lebih besar daripada yang sebenarnya akan diterima. Masalah pembagian tidak merata dalam klan sangat luas dan hampir tidak mungkin diatur. Salah satu masalah yang berhubungan dengan hal ini adalah sejumlah pembunuhan misterius yang dikatakan penduduk setempat akibat ilmu hitam. Penduduk desa Tinggam dan Autriob di daerah HPH Korindo menceritakan adanya enam kasus antara tahun 2003 dan 2007 di mana wakil-wakil klan yang telah bernegosiasi dengan perusahaan ditemukan tewas di hutan (konon tidak ditemukan adanya luka) setelah terjadi perselisihan dalam klan mengenai masalah ganti rugi. Kematian-kematian tersebut tidak dilaporkan ke polisi karena dianggap sebagai bagian dari bentuk peradilan masyarakat setempat64
E.
KONFLIK ANTARA ORANG ASLI PAPUA DENGAN ORANG INDONESIA NON-PAPUA
Kebanyakan pekerja Korindo bukan penduduk asli Papua. Walaupun Crisis Group tidak berhasil memperoleh angka pasti, beberapa karyawan memperkirakan bahwa hanya sekitar 10 persen pekerja Korindo adalah penduduk asli Papua.65 Kebanyakan posisi manajemen senior dipegang oleh orang Korea, dan perusahaan cenderung menerima pekerjan Indonesia non-Papua, terutama untuk posisiposisi profesional dan teknik. Hal ini menimbulkan rasa tidak suka dari masyarakat asli setempat. Korindo telah berjanji untuk memberikan pelatihan dan bantuan bagi 63
Wawancara telepon Crisis Group ketua Lembaga Masyarakat Adat Muting, Klemens Ndiken, Mei 2007. 64 Adrianus Aute dari Subur ditemukan tewas pada tahun 2003, Eduardus Kemi dari Butiptiri pada tahun 2005, Johannes Omba tahun 2005, Ignasius Kame dari Tinggam pada pertengahan 2006, Benedictus Tenerop dekat Mindipdana pada bulan Oktober 2006 dan Paulinus Genarop bulan April 2007. 65 Wawancara Crisis Group, Juni 2007.
Hal. 11
penduduk asli Papua agar mereka bisa mengisi lowongan pekerjaan tetapi kenyataannya Korindo hanya memberi bantuan berupa pendidikan dasar. Umumnya rasa tidak suka tersebut ditujukan langsung kepada perusahaan dan tidak kepada orang-orang migran yang dipekerjakan perusahaan, namun setidaknya ada satu bentrokan antara penduduk asli Auyu dan pekerja asal Jawa. Pada bulan Mei 2005, sekelompok migran Jawa datang ke Asiki untuk mencari pekerjaan dan mereka berhasil bekerja di kantor Korindo beberapa hari setelah kedatangan. Bulan berikutnya, saat pekerja perkebunan di Blok B sedang mengantri untuk menerima upah bulanan mereka, sekelompok pekerja kasar Auyu, yang merasa frustrasi atas perbedaan pendapatan (biasanya didasarkan pada keahlian dan pengalaman) antara pekerja Papua dan non-Papua menyerang pekerja kantor asal orang Jawa. Polisi bertindak cepat dan berhasil mencegah adanya luka-luka serius, tetapi ketegangan akibat masalah ini cukup luas.66
IV. KEAMANAN Karena letaknya yang berbatasan dengan Papua New Guinea, kehadiran TNI di Boven Digoel terasa kuat dengan adanya banyak personnel TNI yang senantiasa ditempatkan disana. Namun, sejak operasi militer resmi berakhir pada tahun 1998, dan terutama sejak komando OPM setempat berkurang kekuatannya setelah terbunuhnya Onde dan Tumin pada tahun 2001, tidak ada lagi ancaman keamanan yang nyata di Boven Digoel.67 Walaupn demikian, ada dua alasan untuk meningkatkan pasukan yang cukup besar di daerah ini. Pertama, status baru Boven Digoel sebagai kabupaten yang menyebabkan didirikannya suatu Kodim baru dengan sekitar 100 pasukan pada tahun 2006, dan sebuah Polres baru tahun 2005.68 Faktor kedua adalah suatu program yang sedang berlangsung sejak bulan Juni 2006 untuk memperkuat keamanan sepanjang 760 kilometer perbatasan dengan Papua New Guinea.69
66
Wawancara Crisis Group dengan Filipus Yame, 1 Mei 2007. Seluruh propinsi Papua diklasifikasikan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) sampai Oktober 1998. Willem Onde secara berkala aktif di Asiki dan Mindipdana yang sekarang adalah Boven Digoel. Bernard Mawen adalah komandan untuk seluruh wilayah selatan namun sudah tidak aktif selama satu dekade. 68 Kodim 1711 secara resmi dibuka pada tanggal 29 Agustus 2006. Wawancara Crisis Group dengan anggota DPRD Boven Digoel, Rufinus, 27 April 2007. 69 Pos-pos perbatasan di Papua ditingkatkan dari 20 menjadi 94. Kehadiran TNI di perbatasan-perbatasan lain juga akan ditingkatkan: di Timor Barat jumlah pos akan naik dari sepuluh menjadi sembilanbelas, dan di perbatasan Kalimantan dengan Malaysia akan diperkuat dengan 50 pos tambahan 67
Papua: Perspektif Lokal atas Konflik Crisis Group Asia Briefing N°66, 19 Juli 2007
Walaupun ada dukungan kuat untuk pemekaran, banyak masyarakat setempat merasa tidak nyaman dengan kehadiran pasukan pengamanan sebagai akibat dari pemekaran tersebut. Operasi militer terhadap OPM pada tahun 1980an melibatkan tindak pembalasan yang cukup luas terhadap masyarakat sipil, terutama suku Muyu yang bermukim di wilayah yang cukup panjang di perbatasan. Pelanggaran hak asasi manusia yang serius terus berlangsung sepanjang tahun 1990an. Walaupun intimidasi dan pelecehan masih luas, dalam dekade terakhir insiden kekerasan serius relatif sedikit.70 Masalah yang terjadi antara militer dan masyarakat setempat cenderung muncul akibat perselisihan antar individu karena masalah pribadi atau masalah kepemilikan dan bukan karena gerakan kemerdekaan. Pembunuhan Liborius Oka di Asiki adalah satu kasus. Sekitar pukul 05:00 pada tanggal 1 Desember 2005 suatu perselisihan antara Oka, manajer personalia Korindo, dan Zulkarnain Lubis, seorang prajurit dari pos militer setempat yang mempertengkarkan hubungan luar nikah Lubis. Dalam kejadian ini Lubis menembak Oka hingga tewas.71 Tidak sampai satu bulan setelah kejadian, Lubis divonis enam tahun penjara oleh pengadilan militer Jayapura atas dakwaan membunuh.72 Ini merupakan satu-satunya kasus prajurit membunuh orang sipil sejak setidaknya tahun 1998. Masalah-masalah yang lebih khas melibatkan pelecehan kronis dan intimidasi dan keterlibatan prajurit dalam bisnis ilegal kecil, termasuk penjualan alkohol.73
Hal. 12
memperbaiki ketersediaan pelayanan dasar tetapi juga beresiko memperburuk ketegangan-ketegangan sosial dan etnis. Kebanyakan orang Papua baik di dalam maupun di luar pemerintah menganggap pemekaran lebih lanjut baik di tingkat propinsi maupun kabupaten sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Argumen yang mendukung terwujudnya pemekaran adalah demi: mempercepat pembangunan dan akses bagi pelayanan dasar dan memperbaiki infrastruktur dan transportasi. Namun penting bagi pemerintah melakukan penilaian yang teliti sebelumya untuk memastikan bahwa pemekaran tidak memperburuk ketegangan-ketegangan etnis dan suku setempat.74 Investasi perkebunan skala besar akan merupakan isu penting di Papua di waktu mendatang. Rencana pemerintah propinsi untuk mempercepat pengembangan perkebunan telah menimbulkan keprihatinan sehubungan dengan hak adat dan penggundulan hutan, selain prospek akan datangnya pemukim non-Papua. Penetapan kerangka kerja hukum yang lebih jelas atas kepemilikan tanah adat dan pengaturan untuk menangani arus migran non-Papua sebelum memulai investasi yang telah direncanakan akan membantu mengurangi kekuatirankekuatiran tersebut.
Jakarta/Brussels, 19 Juli 2007
V. KESIMPULAN Masalah-masalah yang paling sering dikaitkan dengan Papua – perjuangan kemerdekaan, penerapan otonomi khusus secara setengah hati dan masalah militer – bukan menjadi keprihatinan utama penduduk Boven Digoel. Masalah-masalah masyarakat setempat sehubungan dengan tanah, matapencarian dan identitas etnik jauh lebih menonjol. Pemekaran dan investasi sumber daya alam skala besar menjadi isu-isu yang semakin penting di seluruh Papua. Keduanya mempunyai harapan untuk dapat mengeluarkan orang Papua dari kemiskinan dan
sehingga jumlahnya menjadi 85. “RI-Malaysia land border posts to be increased”, Antara, 27 Juni 2006. 70 Lihat “Kehilangan Rasa Aman: Situasi Militer dan EkoSoB Perbatasan RI-PNG di Kab”, laporan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Merauke, Merauke, Maret 2007, untuk rangkuman tentang hubungan antara masyarakat dan pasukan pengaman di wilayah selatan (Merauke, Asmat, Mappi dan Boven Digoel) sejak integrasi dengan Indonesia. 71 Ibid, hal. 44-47. 72 “Soldier gets 6 years for killing civilian”, The Jakarta Post, 12 Desember 2005. 73 Lihat laporan Kontras, op. cit.
74
Dalam hal pemekaran tingkat propinsi, ketaatan ketat pada ketentuan-ketentuan yang relevan dalam Undang-Undang Otonomi Khusus juga sangat penting. Lihat laporan-laporan Crisis Group, Dividing Papua and The Dangers of Shutting Down Dialogue, keduanya op. cit., tentang konsekuensi politis dan hukum bila melangkahi undang-undang tersebut.